Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 3
bukanlah sembarang lawan, sedang pada mulutnya dia
memandang ringan dan hendak mempermainkannya. Kiranya
dia memang unggul disebabkan desakannya dengan talinya
yang lihai itu. Tapi dia masih tidak mau menyerah kalah,
bahkan dia penasaran. Dia toh belum dikalahkan, dia baru
dibikin tak mampu merobohkan musuhnya. Sekarang jago dari
To Liong To mau menggunakan akalnya. Dia main mundur
saja. Selang sembilan tindak, diam-diam dia merogoh kesakunya
menyiapkan senjata rahasianya. Dia menggunakan tangan kiri
sebab tangan kanannya selalu menggunakan pedangnya guna
melayani lawan, ternyata ia meggunakan Hui Hie Piauw, yaitu
senjata rahasia Ikan Terbang. Tiga kali beruntun dia
menyerang si nona selagi nona itu tidak bersiap sedia. Tapi
itulah bukan senjata rahasia maut yang dapat mematikan, itu
hanya tipuan belaka guna membuat lawan kaget dan repot.
Selagi menimpuk itu, selagi si nona terkejut, tangan
kanannya berganti meraba ke pinggangnya dimana ada
tersiapkan lain macam senjata rahasia, ia delapan belas biji
Hui Seng Tan, peluru Bintang Terbang. Asalkan alat
rahasianya ditekan, peluru melesat saling susul menyerang
musuh! Giok Peng kaget dan repot. Itulah senjata-senjata
rahasia yang asing baginya. Makanya ia menyampoknya,
ketiga Hui Hie Piauw. Yang hebat adalah delapan belas buah peluru itu, yang
menyerang ke atas dan ke bawah, masing-masing sembilan
biji. Itulah tipu senjata rahasia yang dinamakan "Hujan Bunga
Sejagat". Untuk menyelamatkan diri, ia menggunakan
kemahiran kegesitan dan kelincahan tubuhnya. ia berkelit dan
berlompatan ke segala arah hingga ia tampak mirip daun-daun
yang berjatuhan. Kalau ia berlompatan ke kiri dan kanan, ia lompat tak lebih
dari tujuh kaki. Itulah ilmu yang dinamakan "Tonggeret
Bersedia di antara Daun Rontok." Selekasnya delapan belas
senjata habis dipakai menyerang, bebaslah Nona Pek dari
ancaman bencana maut itu. Tidak ada sebiji peluru juga yang
mengenai tubuhnya. Setiap peluru cuma mendekati ia tiga dim
lalu terasampok menyasar.
Bukan main mendongkol dan gusarnya Cut Tong Kauw,
tanpa mengatakan sesuatu ia menyerang pula. Dia
mengumbar hawa amarahnya. Kali ini dia menyerang dengan
senjata rahasianya yang ketiga ialah Cit Chao So In Nauw,
panah tangan Tujuh Bintang Memecahkan Mega. Diapun
berbesar hati karena sebegitu jauh yang dia tahu setiap
menyerang dengan senjata ini mesti-mesti dia berhasil. Tiap
batang panah tangan itu panjangnya tujuh dim batangnya,
bagian yang tajam ujung ditancapkan empat batang jarum
yang mampu menembus sekalipun orang yang tubuhnya
kebal, menembus ke daging menancap ke tulang. Saking
halusnya, panah tangan itu sulit dikelit.
Tapi yang paling celaka adalah ujungnya setiap jarum
pernah dicelupkan racun hingga asal mengenai darah, racun
itu lantas bekerja, membuat orang binasa seketika! Thio Siong
Kang kosen, semua tiga senjata rahasianya itu jarang dia
gunakan, lebih-lebih panah tangan itu. Biasanya dia gunakan
terhadap lawan yang tangguh.
Demikian kali ini sesudah kewalahan melayani si nona yang
mulanya ia pandang ringan. Begitu dalam amarahnya, dia
menyerang Giok Peng. Nona Pek selalu waspada. Ia
mendengar suara menghembus lalu melihat sinar-sinar halus
berkelebatan ke arahnya. Tanpa berayal lagi, ia memutar
pedangnya maka itu berhasillah ia menyampok jarum dan
runtuh ketujuh jarum maut itu! Siong Kang melengak di dalam
hati, hawa marahnya lantas meluap dan karenanya itu luar
biasa ia menggunakan senjata rahasianya yang terakhir samasama
lihainya, yaitu Hui Ciam yang istimewa, "Panah dan
Jarum". Makanya ia menyerang dengan ilmu silat, cara
menyerangnya membuat panah itu menyerang ke lima
sasaran empat penjuru dan tengah hingga mirip dengan
bunga bwe lantas disusul dengan sembilan batang jarum, dari
luarnya satu panah itu terbuat dari besi pula, cara
menyerangnya sebanyak tiga kali. Setiap ujung panah beracun
dan bagian cagaknya tajam sekali. Jika lima batang yang
pertama gagal, menyusul sepuluh batang lainnya, kalau masih
gagal pula menyusullah yang terakhir bahkan ini terdiri dua
belas batang. Hingga semuanya berjumlah dua puluh tujuh batang panah
beracun! Penyerangan yang kedua dan ketiga racun berubah
arah lagi, sesuai cara menyerangnya! Kali ini Siong Kang
percaya bahwa dia tidak akan gagal pula! Nona Pek berseru
"Bagus!" ketika ia melihat musuh menghujani ia dengan anak
panah istimewa itu, dengan lantas ia memutar pedang
bagaikan kitiran hingga tubuh terlindung rapat sampai hujan
dan angin tak dapat menembusinya, hanya terdengar suara
anginnya dan terlihat sinar pedang berkilauan. Suara lainnya
adalah bunyinya ujung yang tajam bentrok dengan badan
pedang dengan kesudahannya anak panah jatuh berserakan di
lantai. Si nona pun habis sabarnya sesudah ia diserang berulangulang
itu maka ia hendak pembalasan tetapi justru ia mau
menghampiri lawan, Siong Kang mendahuluinya kabur ke
dalam pepohonan lebat di dekat situ, tatkala dia dikejar terus,
dia pun kabur terus-terusan sampai akhirnya dia lenyap dari
pandangan mata. Hingga sia-sia belaka si nona mendaki
puncak untuk melihat ke segala arah. Sebenarnya Siong Kang
menyingkir di tempat-tempat yang rapat dengan pepohonan,
dengan cepat dia menuju ke kali Siong Yang Kee.
Di tengah jalan dia terkejut. Tiba-tiba ia mendengar suara
riuh dan berisik. Lekas dia menengok ke belakang. Maka
tampak banyaknya api obor mendatangi dari puncak Ngo Leng
Hong di arah kanan kuil Siauw Liem Sie. Dia dapat menerka
tentunya para pendeta lagi berjalan pulang, supaya dia tidak
terlihat atau terpergok mereka itu, lekas-lekas dia lari pula ke
tempat lebat dengan pohon, disini dia tetap lari terus
mengikuti tepian rimba itu ....
Sebenarnya tempat lebat itu merupakan rimba-rimba kecil
dan banyak tikungannya dan di setiap gundukan rimba ada
hidup sebuah pohon tua yang umurnya di atas sertaus tahun
yang dahan-dahan dan daunnya bagaikan mengelilingi langitlangit
menambah gelapnya rimba. Jangan kata malam,
siangpun gelap dan orang disitu tak dapat membedakan
empat penjuru, timur dan barat selatan dan utara! Di dalam
rimba itu mudah bagi orang terasasar.
Tidak demikian cabang atas dari luar lautan ini. Sebabnya
ialah dia sudah membuat persediaan, yaitu sejak satu bulan
yang lalu dia sudah mendatangi puncak Ngo Leng Hong dan
membuat sebuah gubuk di dalam dimana dia tinggal dengan
menyamar sebagai seorang tukang cari kayu, untuk
menjelajah rimba guna mengenali setiap bagiannya supaya
jika ada kesempatan dia dapat mengintai kuil Siauw Liem Sie.
Dia pula berani bergaul dengan penduduk gunung disekitar
itu, hingga dia bisa mendengar dari setiap penduduk
andiakata ada gerak-geriknya kuil yang molos keluar. Bahkan
di waktu malampun, dia dapat mondar-mandir dengan bebas
di dalam rimba itu. Demikianlah kali ini menyingkir dari kuil.
Di dalam waktu yang pendek dia sudah tiba di kali Siauw
Yang Kie, di tepi mana dia cepat melompat menaiki sebuah
pohon kayu besar untuk mengambil satu buntalan besar untuk
sambil membawa buntalan itu dia lompat turun pula.
Hanya kali ini segera dia mendengar pertanyaan dari luar
rimba, "Siapa di sana?" Mendengar suara itu, Siong Kang
terkejut. Suara itu aneh datangnya, seperti dari tempat yang
jauh tetapi tibanya, yaitu terdengarnya cepat sekali. Suara itu
mirip anak panah yang melesat datang. Walaupun demikian
dia berlaku tabah dan tenang. Dia berdiam saja. Tak mau dia
menyahut. Sebaliknya dia membuka buntalannya dan mengeluarkan
sebuah barang setelah dia membukanya nyata itulah sepotong
baju renang panjang lima dim lebar tiga dim, terbuatnya dari
kulit lunak tapi kuat hingga tak mudah dirusak senjata tajam.
Itulah pakaian To Liong To yang memerlukannya sebab
mereka berdiam di atas sebuah pulau dan setiap waktu harus
bergerak di air, berenang atau menyelam. Dengan cepat Siong
Kang menggunakan baju mandinya itu, kemudian dari dalam
bungkusannya dia menarik sepasang Ngo Bie Cie, yaitu
senjata mirip kaitan yang diberi nama "Alis Angkasa".
Itulah senjata yang bisa dipakai di dalam air dan di dalam
air itulah senjatanya pengganti pedang yang berat. Seluruh
kaitan terbuat dari besi, kuat dan ringan sebab besi bajanya
tak besar. "Siapa itu di dalam rimba?" terdengar pula tegur selagi si
jago To Liong To berdandan itu.
Suara itu keras tetapi seperti suara seorang tua. Dan
pertanyaan terus diulangi beberapa kali sebab selain dia itu
tidak memperolah jawaban. Meski juga ia mendengar, Siong
Kang bagaikan berpura tuli. Tetap ia tidak menyahut balik,
cuma dengan perlahan ia tertawa dingin. Toh ia bersiap sedia,
kaitannya dipentang, disiapkan guna menyambut musuh!
Teguran tidak terdengar lagi, sebagai gantinya ada suara kaki
mendatangi. Itulah suara yang disebabkan injakan kaki pada
daun-daun kering bunyinya berserakan. Sampai disitu dengan
tetap waspada, Siong Kang mengeluarkan suara seperti babi.
Diluar rimba, tindakan kaki terdengar mendatangi makin
dekat makin dekat. Lagi terdengar suaranya seorang tua:
"Siapa di dalam rimba" Lekas keluar! Jangan kau main
sembunyi saja!" Kembali Siong Kang mengeluarkan suara
mirip babi tadi. "Suhu!" terdengar suara diluar, mirip anak muridnya,
seorang wanita yang memanggil gurunya.
"Barangkali itu suaranya Binatang. Coba dengar!" Di dalam
hatinya, Siong Kang tertawa. Ia menerka bahwa orang kena ia
akali. Karenanya, ia mengulangi suaranya itu, lebih nyaring
lagi. Sebab ia "berbunyi", kaitannya digoreskan kepada tanah,
suaranya seperti babi lagi mencakar dengan kakinya. Setelah
suara kecil halus itu terdengar suara si tua tadi: "Di waktu
salju dan angin besar seperti ini, di waktu tengah malam gelap
gulita, binatang liar juga tak berani keluar mencari makan!
Muridku, kau berhati-hatilah!" "Biar aku yang masuk
melihatnya!" terdengar suara lain lagi.
"Jika benar binatang liar, akan aku bunuh dengan kay tao
ku ini supaya penduduk sini bebas dari gangguannya!" Siong
Kang menerka di luar rimba ada tiga orang, satu tua, satu
anak tanggung dan yang ketiga seorang pendeta.
Dia itu menyebut kay tao. Ialah golok istimewa yang
merupakan senjata dari kaum penganut agama Sang Buddha.
Si anak tanggung tentunya seorang kacung karena pendeta
dan si orang tua pasti pendeta tua.
Ia memasuki tepian kali tanpa membuat suara, pikrinya
"Sekarang kamu bertiga kepala-kepala gundul, kebetulan
kamu datang, dasar kamu mau mengantarkan jiwa kamu!
Dengan begini kalau nanti aku pulang, dapat aku menangih
jasa dari kakakku!" Segera setelah mengambil keputusan,
Siong Kang mengeluarkan pula suaranya hingga dua kali,
setelah itu ia lompat ke tepi kali.
Memang benar ketiga orang itu pendeta semua. Yang tua
adalah Gouw Ceng, salah satu dari Siauw Liem Ngo Lo, lima
Tetua Siauw Liem Sie, senjatanya ialah sebatang hong puansan,
yang mirip sekop. Dia mengajak Gouw Hong, adik
seperguruannya dan si kacung pendeta Ceng Ceng.
Mereka datang dari puncak Ngo Leng Hong dan di
sepanjang jalan terus melakukan pemeriksaan dan
penggeledahan. Pek Cut Siansu telah memerintahkan separuh
muridnya pulang dan separuh lagi melakukan pemeriksaan
umum dan untuk memeriksa di Siauw Yang Kee itu diperlukan
lima enam puluh orang. Gouw Ceng pernah terluka hingga ia
merasa malu karenanya , karena itu ia ingin membasmi para
penyerbunya itu, maka juga ia yang mengajukan diri meminta
tugas ronda dan memeriksa itu.
Pek Cut menerima baik permintaan itu sebab ia tahu
sebelah hilir Siauw Yang Kee menjadi jalan masuk sebelah kiri
Siauw Liem Sie dan dialah itu perlu dijaga oleh seorang yang
lihai, cuma ia memesan untuk Gouw Ceng barhati-hati, setiba
fajar dia mesti lekas kembali. Tugasnya akan diganti oleh
orang lain. Demikian bertiga mereka pergi ke Siauw Yang Kee
dan mereka justru bertemu dengan si licik Thio Siong Kang.
Hanya itu mereka menyangka bahwa mereka benar bertemu
dengan babi hutan hingga mereka sudah berlaku sembrono
dan melanggar pantangan, "Bertemu rimba jangan
memasukinya". Beng Khong maju di muka. Gouw Ceng dan Ceng Ceng
mengikuti dia. Dia menjadi heran. Dia cuma melihat kali, tiada
manusia tiada binatang. Sambil menunju ke kali, dia kata: "Barusan terang-terang
aku melihat ada sesuatu yang muncul di permukaan air yang
terus selam pula. Sekarang bayangannya pun lenyap ...."
Berkata begitu, pendeta ini berjalan.
Dia pun menuju ke sebelah kanan, di situ ada sebuah
pohon cemara yang lebat bercampur pohon-pohon rotan dan
rumput yang tinggi hingga siapa berjalan di situ dia bisa
muncul dan lenyap disebabkan tinggi dan lebatnya rumput itu.
Melihat Beng Khong maju, Ceng Ceng menyusul, Gouw Ceng
berusaha mencegah tetapi berdua mereka terus melangkah,
terpaksa ia membiarkan mereka pergi. Atas segera juga ia
mendengar dua jeritan yang menyayatkan! Ia menjadi kaget
sekali, ia mengikuti jejak dari situ segera ia berlompat lari
untuk mencari tahu suara siapa itu. Hanya sebentar, pendeta
ini telah tiba di tepian kali. Di sana tak tampak Beng Khong
dan Ceng Ceng, segala apa sunyi kecuali air sungai berombak
bergoyang-goyang .... Sambil memegangi senjatanya, Gouw Ceng berjongkok
guna melihat pinggiran kali guna mencari tapak atau bekasbekas
kedua kawannya itu. Untuk terkejutnya, ia melihat
tanda darah merah baru, di atas dahan sebuah pohon
terdapat baju yang dikenalinya sebagai milik kacungnya Ceng
Ceng, ia menjadi kaget pula. Lantas ia lalu memasang mata di
tepian itu guna menyusul atau atau mencari kedua kawannya
itu. Sepatutnya Ceng Ceng tak ia bawa bersama. Baru pendeta
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini lari belasan tombak jauhnya, mendadak ia mendengar
suara air berbareng melihat munculnya kepala seseorang,
malahan ia lantas kenali si kacung pendeta.
"Ceng Ceng!" ia memanggil.
"Ceng Ceng!" Tidak ada jawaban, sebaliknya kepalanya
Ceng Ceng itu mendadak selam tenggelam pula masuk ke
dalam kali! Itulah aneh! Gouw Ceng menjadi curiga.
Dia maju dua tindak sambil dia menegur: "Penjahat siapa
yang telah mencelakai muridku" Lekas muncul!" Ia pun
menghajar permukaan air. Menyusul itu, tiba-tiba tampak munculnya kepala orang,
ketika Gouw Ceng mengawasi, disamping kaget sekali, iapun
mengeluh. Itulah kepalanya Beng Khong, adik seperguruannya!
Bagaikan orang kalap, Gouw Ceng melompat ke air,
senjatanya dipakai menyerang dengan hebat.
Ia pula berseru: "Jahanam, akan aku adu jiwaku!" Hajaran
itu membuat air muncrat, hasilnya tidak ada.
Kepalanya Beng Khong terus tak muncul pula. Tapi dilain
saat, di muka air sejauh setombak lebih, timbullah dua kepala
orang dengan berbareng kedua kepala itu bergoyang tak
henti-hentinya. Itu pula kepalanya Bneg Khong dan Ceng
Ceng! Dilihat dari gerak-geriknya itu, terang kedua kepala
orang itu ada yang menggerak-geriknya, yakni dibuat main ....
Dalam gusarnya, Gouw Ceng seperti lupa segala apa. Ia
lantas bergerak menghampiri kedua kepala orang itu. Karena
air kali dalam, ia mesti berenang. Ketika itu, air tak membeku.
Sebaliknya, air mengalir deras. Itulah Thio Siong Kang, yang
telah memancing Ceng Ceng dan Beng Khong yang telah ia
dapat binasakan, sesudah mana lebih jauh mencoba
memancing Gouw Ceng. Ia ada bagaikan siluman air. Ia dapat
bergerak dengan leluasa di dalam kali. Ia girang ketika ia
mengetahui si pendeta sudah mencebur ke air apalagi ia
selekasnya memperoleh kenyataan pendeta itu tak pandai
berenang. Kepalanya Ceng Ceng dan Beng Khong segera
ditarik pula ditenggelamkan sebagai gantinya itu tangannya
dia dipakai mencabut cagak atau kaitan Ngo Bie Cie yang ia
selipkan di pinggangnya, dengan itu ia lantas menyerang.
Di dalam air, Gouw Ceng tidak dapat bergerak dengan
bebas. Ia menunggu di atas, di bawah kurang perhatian.
Justru itu, ia dapat merintangi kaitan yang satu, tidak lainnya.
Senjatanya Cut Tong Kauw memangnya tidak ampun lagi,
paha kanannya kena tertikam hingga darahnya lantas bocoran
dan lukanya nyeri. Ia kaget dan merasa nyeri, dalam
kagetnya, ia menyerang ke arah dimana ia rasa musuh
berada. Gerakannya itu cepat luar biasa. Cut Tong Kauw tak
dapat membela atau melindungi diri sepenuhnya, ujung
senjata lawannya mengenai kemprolannya disebabkan
gerakannya sedikit lambat. Bukan main ia merasakan nyeri, ia
lantas menyelam lari! Habis menyerang itu, Gouw Ceng lekaslekas
kembali ke darat. Tak usah ia berdiam lama, di permukaan air ia tampak
timbulnya pula Thio Siong Kang karena cabang atas dari luar
lautan itu hendak membinasakan lawannya. Ia muncul untuk
terus menantang secara jumawa: "Eh, darimana sih
datangnya ini keledia kepala gundul dari Siauw Liem Sie"
Kalau kau benar laki-laki sejati, mari turun ke kali!" Baru
sekarang Gouw Ceng melihat musuh curang itu, yang selalu
main dalam air. Dia mirip siluman air sebab yang tampak
mukanya saja. Di dalam air itu, dia seperti dapat berdiri tegak.
Itulah bukti dari lihainya ilmu berenangnya.
Ia mengerti kalau ia berkelahi di dalam air, sukar buat ia
merebut kemenangan tetapi gusarnya bukan bukan main,
sukar buat ia menahan sabar. Maka itu ia lantas menjemput
batu dan menyerang dengan timpukan. Batu itu dapat
digunakan dengan ilmu melemparkan "Panah Bulu Terbang
bagaikan Belalang". "Jahanam, jangan lari!" iapun membarengi berteriak.
"Bagus!" Siong Kang berseru terus ia menyelam hingga tak
tampak lagi. Gouw Ceng putus asa hingga ia menarik nafas dalamdalam.
Sekarang ia ingat kepada luka di pahanya, yang
darahnya masih mengucur maka dengan kedua jeriji
tangannya, ia menekan pinggiran luka itu guna menahan
keluarnya darah, sembari berbuat begitu ia menghadap ke
arah barat sambil membaca mantra "Menghentikan Darah",
menyusul itu ia menekan lukanya itu. Maka di lain saat
berhenti sudah keluarnya darah. Itulah mantra warisannya
Tatmo Couwsu. Baru Gouw Ceng menghentikan darahnya, ia
melihat Siong Kang muncul pula.
Kali ini jago luar lautan itu berkata nyaring, "Pendeta
gundul, aku tahu kau pasti tidak berani turun ke air! Karena
itu tuan besarmu tak mau melayanimu lebih lama pula!" Habis
orang berkata itu, Gouw Ceng memburu ke tepian.
Ia gusar sekali. Ia berkata sengit, "Jahanam, sayang tadi
aku tidak menghajar mampus padamu! Beranikah kau naik ke
darat ini buat menempur aku tiga ratus jurus?" Siong Kang
tertawa lantang. "Sampai ketemu pula di belakang hari!" kata dia mengejek.
"Akan tiba satu hari yang tuan besarmu akan
mengantarkan kau pergi ke Barat! Ke Nirwana! Keledia
gundul, kau ingat kata-kataku ini!" Kata-kata yang
memanaskan hati ini ditutup dengan orangnya menyelam, dari
gerakan air masih terlihat bahwa dia berenang ke hilir hingga
dia terbawa arus yang deras itu.
Gouw Ceng mengawasi dengan melongo terus ia menghela
napas. Ia tak berdaya sama sekali. Mayat kedua kawannya
pun tak dapat ia cari. Sesudah menjublek sekian lama, baru ia
pergi dengan tindakan berat dengan wajah lesu.
"Dasar aku yang kurang teliti!" ia menyesalkan dirinya
sendiri. "Kecewa Beng Khong dan Ceng Ceng, akulah yang seperti
mengantarkan jiwanya. Mana aku ada muka untuk kembali ke
kuil menemui ketua dan saudara-saudara lainnya" Tidak bisa
lain, aku mesti cari mayatnya Beng Khong berdua, pulang ke
kuil adalah soal lain ...." Maka itu terus pendeta ini berjalan di
tepian itu. Tatkala itu angin sudah mulai berhenti menghembus dan
ufuk timur mulai nampak sisanya, guram-guram terang
pertanda tibanya sang fajar. Terus Gouw Ceng berjalan
sampai akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang berada di aliran
bawah sungai Siuaw Yang Kee. Di sana terdapat banyak
sawah yang menjadi miliknya kuil sampai sperti tak terlihat
ujung perbatasannya. Kebanyakan sawah itu diusahakan oleh para pendeta
sendiri, yang lainnya digarap oleh penduduk kampung itu. Di
antaranya ada sawah yang sudah diubah menjadi kebun
sayur. Dengan berdiri diam, Gouw Ceng melihat ke sekitarnya,
ia tidak mendapati siapa juga. Ia mendongkol, iapun berduka.
Maka ia lantas duduk bersila di bawahnya sebuah pohon
cemara pada mana menyandarkan tubuhnya. Ia mengeluarkan
sepatunya Ceng Ceng dan mengawasi itu berulang kali ia
menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala, ia
bagaikan kelalap ke dalam pikiran kusutnya sampai ia tak tahu
ada orang muncul dari belakang pohon, sampai orang itu
menegurnya, "Eh, barang apakah itu?" Maka kagetlah ia, terus
ia mencelat bangun untuk segera memutar tubuh.
Barulah hatinya tenang sesudah mengenali orang yang
ialah Lauw In. Di lain pihak dengan gugup, ia mencoba
menyimpan sepatu ke dalam jubahnya! Liauw In mencegah.
"Sute," katanya, "bukankah itu sebuah sepatu?" "Sute"
berarti adik seperguruan dan Gouw Ceng adalah sute-nya
yang ke empat (si-sute). "Bu ... bukan Toa-suheng ..." sahut adik seperguruan itu
bingung dan gugup hingga suaranya tak lancar.
"Apakah Toa-suheng seorang diri saja?" "Toa-suheng"
adalah kakak seperguruan yang tertua.
Kiauw In mengawasi. Ia melihat satu wajah yang pucatguram.
"Kau kenapakah, sute?" kakak itu tanya.
"Kau seperti hendak menyembunyikan sesuatu kepadaku"
Sepatu siapakah itu" Aku minta janganlah kau membohong".
Bukan main bingungnya pendeta itu, hatinya pepat. Tibatiba
ia terjatuh duduk dengan sendirinya! Ia berdiam saja.
Liauw In heran. Ia mendekati, akan menongkrong di depan
adik seperguruan itu. "Di sini cuma ada kita berdua, sute" katanya sabar.
"Kau mempunyai urusan apakah" Tak ada halangan untuk
memberitahukan itu kepadaku" Gouw Ceng Beng tidak lantas
menjawab, hanya kali ini ia justru menarik keluar sepatu yang
ia sembunyikan itu untuk dilemparkan, setelah mana ia
menutupi mukanya dan membungkam.
Liauw In pergi menjemput sepatu itu untuk memeriksanya
dengan seksama. Selama itu ia pun berdiam saja, cuma
hatinya yang bekerja menerka-nerka.
Selang sesaat dengan tangan bergemetar ia bawa sepatu
itu ke mukanya Gouw Ceng untuk menanya dengan suara tak
lancar: "Bukankah ini sepatunya Ceng Ceng" Dia kena
apakah?" Untuk kesekian kalinya, adik seperguruan itu tetap
membisu. Liauw In penasaran, ia menanya dan menanya pula. Ia
mendesak. Sampai itu waktu, baru Gouw Ceng mengangkat kepalanya
untuk memandang kakak seperguruannya itu.
"Dia ... dia sudah ..." sahutnya sukar.
"Juga Beng ... Khong ...." Liauw In terkejut sekali, hatinya
menggetar. Ia menatap. "Apakah mereka sudah mati?" tanyanya.
"Siapakah yang?" Sekarang tak dapat adik seperguruan itu
menutup mulut lebih lama maka ia tuturkanlah
pengalamannya tadi sampai Ceng Ceng dan Beng Khong
menyusul ke dalam rimba, ke tepi kali, dimana mereka itu
cuma terlihat kepalanya sebagai mayat sedangkan Ceng Ceng
ketinggalan sebelah sepatunya yang didapatkan di tempat
yang ada darahnya. Habis itu ia ceritakan "pertempurannya" dengan musuh di
dalam air yang lihai itu yang telah pergi menghilang menyelam
sambil menjanjikan akan bertemu pula nanti.
Liauw In terkejut. Ia mencekal sute itu untuk
mengangkatnya bangun. "Sute! Inilah hebat!" katanya
nyaring, hatinya tegang. "Mari kita lekas pulang untuk mengabarkan kepada bapak
ketua untuk kita mengambil keputusan! Peristiwa ini tidak
boleh dibiarkan saja. Bahkan kita tidak dapat bertindak
lambat!" "Gouw Ceng tidak, hendak aku turun gunung,"
katanya. "Hendak aku mencari Thio Siong Kang, kepala bajingan itu
guna menuntut balas buat adik Bneg Khong dan Ceng Ceng.
Sebelum berhasil aku membalas dendam, aku sumpah tidak
mau aku pulang ke kuil".
Gusarnya Liauw In menjadi padam. "Sute, kau benar,"
berkata dia terus terang.
"Benar Beng Khong dan Ceng Ceng telah terbinasa tetapi
mereka pasti terbinasa karena dicurangi, sebagaimana kau
sendiri hampir celaka kena dibokong lawanmu. Dalam
peristiwa ini, kau tak bersalah sama sekali. Buat apa kau
meninggalkan kuil kita" Musuh kita itu pastilah salah seorang
bajingan dari luar lautan, dari To Liong To. Dia dapat
bersembunyi di sekitar kali ini, itulah berbahaya. Itu pula
menandakan lihainya. Bukankah kita tidak pernah memergoki
kita" Karena itu aku percaya, dia mestinay bukan baru malam
ini saja tiba di sini. Sebab telah terbukti penjagaan kita kurang
sempurna, selanjutnya kita mesti lebih waspada dan
memperketatnya. Maka itu, perlu hal ini dilaporkan kepada
ketua kita. Perihal urusan kita tiap tahun, untuk itu kita masih
punya waktu satu bulan lebih. Sekarang inipun para undangan
tengah terus mendatangi, kita harus menantikan mereka
supaya dengan bantuan mereka itu dapat kita membasmi
musuh kita. Kawan-kawan yang termasuk orang lain suka
membantu kita, apapula kau seorang dari Ngo Lo. Jika kau
pergi tanpa pamitan, bukan saja ketua kita bakal menyesalkan
kau, tenaga kitapun menjadi berkurang. Maka itu sute, tak
dapat kau pergi." Gouw Ceng dapat dikasihh mengerti maka ia
mengangguk-angguk. Lalu ia lantas menyimpan pula sepatunya Ceng Ceng dan
berkata: "Marilah kita pulang, sepatu ini aku akan jadikan
barang bukti kalau bapak ketua dan saudara-saudara kita
melihatnya pasti makin keras tekadnya buat menentang
musuh dari luar lautan itu! Kau jangan kuatir, sute kau tak
bakal dipersalahkan, kau akan dimaklumi." Gouw Ceng
berdiam maka Liauw In lantas pegang tangannya, ditarik buat
diajak meninggalkan tempat itu.
Dengan tangan yang satu ia sentuh bahunya adik
seperguruannya itu. "Jangan menyesal dan berduka sute," kakak itu masih
membujuk. "Kau lihat cepat atau lambat sakit hati ini pasti bakal
terbalaskan! Marilah!" Dan mereka menuju pulang ke kuil.
Sekarang kita melihat dahulu Nona Cio Kiauw In seperginya
dia dari Nona Pek Giok Peng. Kalau Nona Pek menuju ke kiri,
ia ke kanan dimana terdapat sebuah ruang diam, kamarkamar
peranti bersemadhi yang bangunannya lebih besar
daripada ruang lainnya di dalam kuil itu. Inilah tempat yang
diperuntukan para tamu. Ketika itu ruang tersebut sangan
sunyi, semua pintu sudah dirapatkan, rupanya orang telah
pada beristirahat. Tanpa ragu-ragu ia lompat naik ke atas
genteng untuk melintasi ruang itu.
Dari atas wuwungan, ia melihat jauh ke sebelah depan
hingga ia menyaksikan pelbagai tanjakan dan bukit-bukit kecil
di sebelah bawahnya. Ia juga melihat Ngo Leng Hong, lima
puncak di arah barat itu. Setelah mengawasi sekian lama,
nona ini menjadi bimbang.
"Malam begini gelap dan puncak demikian," demikain
pikirnya, "aku sebaliknya seorang diri, habis aku menuju ke
arah mana?" Lalu ia memikir sebaliknya.
Ia sudah keluar, tak dapat ia kembali. Masih ia berpikir itu
ketika ia mendengar suara genta nyaring dan berisik, suaranya
seperti dekat seperti jauh. Ia menerka kepada pertanda untuk
berkumpulnya para pendeta. Terkaan ini membuat hatinya
tenang. Bukankah pendeta itu berjumlah besar dan juga ada
ahli-ahli silat kenamaan. Tanpa itu, taruh kata musuh banyak,
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak mudah mereka itu dapat menerobos masuk atau banyak
tingkah. Maka ia pikir baiklah ia pergi melakukan perondaan,
umpamakan ia menemui musuh, harus ia hajar musuh itu
supaya ia dapat membuat jasa dan nanti memperoleh muka
terang! Begitu keputusan itu diambil, begitu si nona melompat
pergi. Ia menjelajahi pelbagai bukit kecil yang berupa seperti
tanjakan, terus sampai di kaki puncak Ngo Leng Hong. Di sini
ia berhenti sebentar, sekalian beristirahat, matanya
memandang ke kaki puncak. Ia mendapati rimba di antara
mana lapat-lapat tampak beberapa gua. Karena ini ia berlaku
waspada. Setelah beristirahat itu, Kiauw In lompat naik ke
atas sebuah pohon tua, dari situ ia berlompatan terus. Ia
dapat bergerak dengan leluasa karena ia menggunakan ilmu
ringan tubuh "Burung Wlaet Menembusi Tirai".
Ia bergerak maju ke kiri dan ke kanan, sampai ia berada di
pinggang gunung dimana barulah ia lompat turun ke tanah
untuk terus mengawasi ke bawah gunung ke segala penjuru.
Tempat dimana si nona berdiam ialah depannya sebuah gua
besar yang tingginya dua tombak, yang mulutnya lebar
bagaikan ikan lodan mulut mana madap nyamping.
Bergelantungan pada itu ada banyak stalaktit dan akar-akar
rotan. Ada juga terdengar suara menetes air. Dari luar ada
cahaya silau mencorong ke dalam membuat mata silau.
Dengan mencekal pedangnya, dengan tindakan perlahan
Kiauw In berjalan memasuki gua itu.
Selekasnya si nona berada di dalam gua, segera ia
merasakan tubuhnya hangat. Hawa di situ sangat beda
dengan hawa dingin di luar gua. Karenanya mendadak saja ia
merasa segar dan bersemangat. Ia memejamkan mata
sebentar lalu dipentangnya pula hingga ia dapat melihat
denag terlebih tegas sedangkan telinganya segera mendengar
suara plak plok perlahan tak hentinya. Ia melihat banyak
bayangan hitam berterbangan bolak-balik, di antara ada yang
saban-saban membentur dinding dan jatuh karenanya. Kiranya
itulah kawanan kampret yang rupanya menjadi kaget karena
datangnya orang dan lantas terbang berserabutan.
Lantas Nona Cio berpikir: "Di sini ada banyak kampret,
pasti di sinipun tidak ada orang. Baiklah aku keluar dahulu
melihat di luaran". Maka iapun bertindak keluar.
Lantaran ia mengawasi daerah Timur dimana tampak dua
buah puncak di atas satu diantaranya terlihat ada banyak
sekali sinar-sinar warna terang kehijau-hijauan mirip kunangkunang
yang sedang terbang mondar-mandir dan turun naik.
Mengawasi pemandangan itu, makin lama Kiauw In merasa
makin aneh. Selagi begitu, ia mendengar dengungan genta
dari kejauhan (itulah saat dimana Giok Peng menendang
genta berulang-ulang). Ia tidak perhatikan itu, ia tidak menyangka jelek atau
mencurigainya. Suara itu toh datang dari tempat yang jauh. Ia
justru memusatkan perhatiannya kepada kunang-kunang itu,
yang berterbangan tetapi tetap berkumpul, bergumulan di
satu tempat. Ia menyesal karena ia terpisahnya terlalu jauh,
tak dapat ia melihat lebih tegas. Untuk menghampirinya, iapun
merasa sulit. Maka Kiauw In mengawasi saja sampai selang seketika ia
mendapati sinar terang itu bagaikan berpindah turun dan
cahayanya pun seperti berkelap-kelip. Seperti cahaya api yang
sebentar hidup sebentar padam. Nampaknya seperti kunangkunang
itu ada yang maju pergi. "Ah, itu bukannya kunang-kunang!" tiba-tiba ia berkata,
satu katanya itu keterlepasan.
"Di atas gunung tak sama dengan di kaki bukit, di atas
gunung tidak ada tempat yang semak-semak, biasanya di
tempat kering tak ada kumpulan kunang-kunang sebanyak itu.
Itu juga tentu bukannya cahaya dari kawah. Habis cahaya
apakah itu" Kalau itu api kunang-kunang yang terasampok
angin, kenapa pindahnya turun ke bawah tak tertiup ke
puncak yang lain" Itulah aneh! Ah, biarlah aku pergi ke sana
melihat ...." Setelah mengambil putusan ini, sukar atau tidak
Nona Cio lantas bergerak ke arah api yang aneh itu.
Bagaikan sang kera, ia pindah dari satu pohon ke pohon
yang lain. Sebab sulit untuk jalan atau berlari-lari di bawah
tanah. Tidak terlalu lama sampai sudah ia di puncak yang
kedua. Di sini baru ia mencari jalanan. Ia mendapati sebuah
jalan kecil yang berliku-liku maka ia lantas berlari-lari.
Karenanya, ia mesti lari berputaran. Ia lari keras sekali. Kali itu
ia tiba di puncak yang ke empat hingga di depannya tampak
puncak yang paling besar. Ia senang melihat puncak itu. Di
puncak itu tampaknya terdapat lebih banyak gua. Tanpa ragu
ia maju terus. Kalau perlu ia merayap naik dengan bantuannya
akar-akar rotan. Dengan sukar akhirnya ia toh tiba juga di atas puncak. Di
sini ia berdiri, memandang ke lain arah, ke bawah puncak.
Maka tampaklah di situ sebuah kali, lebar dan agaknya dalam.
Kali ini memisah puncak ini dengan puncak sebelah sana,
puncak kelima. Maka juga puncak itu dapat dipandang tetapi
tak dapat segera disampai ....
Keras Nona Cio berpikir. Bagaimana caranya untuk pergi ke
seberang itu" Biar bagaimana , iapun telah merasa letih.
Sambil separuh beristirahat itu, terus ia memandang ke
sekitarnya. Akhirnya setelah menghela napas dan bangun
berdiri, ia bertindak ke sebuah gua kecil di depannya,
memasukinya dan lantas duduk di atas sebuah batu besar. Ia
memejamkan mata seperti lagi bersemadhi, napasnyapun
disalurkan dengan perlahan.
Di saat itu, sulit buat Kiauw In untuk menenangkan diri.
Pikirannya terasa kusut. Ia meram dan melek dan meram
pula. Entah berapa lama ia sudah duduk diam saja seperti itu.
Lalu, tiba-tiba ia terperanjat.
"Kakak In?" demikian ia mendengar secara mendadak.
Cepat ia membuka matanya.
Untuk herannya, ia melihat Giok Peng di hadapannya.
"bagaimana?" tanyanya segera. "Apakah kau menemukan
musuh?" Giok Peng sudah lantas menuturkan pengalamannya,
bagaimana ia telah bertemu Thio Siong Kang si jago luar
lautan yang lihai itu, yang kosen tetapi licik.
"Sia-sia belaka aku mengejar dan mencarinya." Nona Pek
menambahkan kemudian. "Dia memiliki kepandaian ringan tubuh yang
mengagumkan. Sia-sia saja aku mencarinya selama beberapa
jam." "Akupun tidak menemukan barang seorang musuh."
Kiauw In memberitahukan. "Mungkin dia atau mereka sudah lari kabur. Adik Peng,
Hauw Yau ditinggal lama, entah dia sudah mendusin atau
belum. Mari kita lekas pulang!" Berkata begitu Nona Cio
segera berlompat bangun dan bertindak keluar. Giok Peng pun
ingat anaknya itu maka ia segera mengikut.
Sekeluarnya dari puncak ke empat, mereka itu menghadapi
sebuah kali besar, kali tanah pegunungan yang airnya deras
sekali, yang saban-saban menerjang batu-batu besar sehingga
makin menerbitkan suara nyaring dan berisik, suara berisik
mana diperbuat oleh suaranya sebuah curahan air tumpah
yang tinggi. Disitu kedua nona menghentikan tindakannya.
Mereka tidak melihat jalan yang dapat dilalui. Kauw In
menunjuk ke depan dan berkata kepada Giok Peng:
"Adik, lekas cari jalan. Lihat, fajar lagi mendatangi!
Mungkin sampai tengah hari juga kita sukar sampai di kuil!"
Giok Peng berjalan sampai di tepian kali.
Ia menoleh ke kiri dan kanan, yaitu ke hulu dan ke ke hilir.
Sekian lama dia berdiam, tiba-tiba ia berkata: "Aku ingat
sekarang! Ini kan puncak ke empat" Maka puncak yang tadi
kita lihat dari atas mesti puncak yang paling belakang. Mari
kita kembali, dari sana baru kita dapat berjalan pulang." Kauw
In berpikir. "Tadi, apakah kau melihat cahaya api yang berkelak-kelik?"
tanyanya. "Bukan melainkan cahaya api tapi api para pendeta" sahut
Giok Peng. "Jumlah mereka sedikitnya seratus orang lebih. Mereka itu
mencari dan menggeledah di atas dan di kaki gunung dengan
berpencaran." "Benarkah itu?" Kauw In menegasi.
Awalnya dia heran. "Ah" ia menambahkan, "Kalau
demikian, benar-benar kita mesti kembali!"
Lantas nona Cio mendahului bertindak hingga Giok Peng
mesti mengikutinya. Dengan banyak susah mereka tiba pula di
puncak dan mulut gua tadi, dari sini, dari atas mereka dapat
memandang ke bawah. Masih mereka belum juga melihat jalanan. Tiba-tiba Nona
Cio menebas berulang-ulang kepada pohon cemara.
"Kenapa itu kakak?" tanya Giok Peng heran. Kauw In
menuding ke arah kali. "Kita harus menyebrangi kali, tetapi kita tidak dapat
berenang" sahutnya. "Maka kita mesti menebang pohon ini buat dijadikan
batangnya sebagai perahu, mari kau membantu aku
menebangnya!" Tepat itu waktu dari dalam gua terdengar
suara orang: "Eh, hati-hati! Di luar gua ada orang!" Giok Peng
terkejut, serta merta ia menghunus pedangnya dan lompat
mencelat ke mulut gua. Kauw In pun melompat menyusul kawannya itu ketika dari
salam gua tampak munculnya dua orang pendeta, yang
segera dikenali Gouw Jin dan Gouw Gie adanya, tangan
mereka membekal tongkat, tampang mereka tegang.
"Taysu, kami disini!" Kauw In segera meneriaki.
"Kami hendak pulang tetapi kami belum berhasil mendapati
jalannya." Kedua pendeta melihat kedua nona, lekas-lekas
mereka memberi hormat. "Mari kami mengantarkan nona-nona pulang" kata Gouw
Jin. "Terima kasih" Nona Cio mengucap.
Gouw Jin mendahului memutar tubuh, buat kembali ke
dalam gua, kedua nona mengikuti. Gouw Gie mengikuti paling
belakang. "Hati-hati!" terdengar suara Gouw Jin setelah mereka jalan
selintasan. Giok Peng mengawasi ke depan dimana terdapat dinding
yang penuh akar rotan. Disitu tampak sebuah liang besar,
Gouw Jin membungkuk masuk ke dalam liang itu, yang
merupakan sebuah pintu. Gouw Jin maju akan membetot akar
rotan tang menghadangnya. Sekarang Giok Peng berdua
melihat sebuah alat, yaitu sebuah pintu besi yang daunnya
tergantung tinggi. Selekasnya mereka masuk, daun pintu itu menggebrak
jatuh dengan memperdengarkan suara nyaring berisik.Diamdiam
kedua nona merasa aneh. Lama mereka mengikuti si
pendeta jalan di sebuah terowongan yang cuma muat satu
orang. Sekitarnya batu dan tingginya terowongan cuma tiga
kaki sehingga orang harus membungkuk-bungkuk.
Terowongan pula gelap. Mereka mesti jalan berbelok-belok
beberapa kali sampai mereka mulai merasa hembusan angin
lalu tampak sinar terang, pertanda datangnya fajar.
Di paling ujung itulah mulut terowongan itu berada.
Sekeluarnya dari mulut gua, Giok Peng berdua baru dapat
melihat tegas-tegas. Di depan mereka, puncak gunung
bagaikan menembus ke langit. Mega seperti menutupinya, di
ufuk timur cahaya matahari masih lemah sekali. Puncak yang
tadi malam mereka lihat berada dekat sekali di depan mereka.
"Taysu, apakah ini puncak yang kelima?" Kauw In tanya
Gouw Jin. "Ya" sahut pendeta itu mengangguk.
"Dari sini kita pulang, jalannya dekat sekali."
"Semula aku menyangka kami dapat pulang dengan jalan
puncak pertama itu" kata Giok Peng.
Gouw Jin menggeleng kepala lalu dia menutur perihal
jalanan di kelima puncak disitu. Ada banyak jalanan, banyak
juga yang buntu. Tanah datar lebih banyak daripada guanya.
Kali tak dapat dilewati kalau airnya banjir, yaitu di musim
hujan. Di sebelah situ, ada pula gangguan halimun atau uap yang
tebal. Terowongan itu adalah buatan ketua mereka terdahulu.
Masih ada beberapa terowongan lain yang jarang dipakai. Di
akhirnya Gouw Jin memberi penjelasan bahwa tadi mereka
tengah melakukan pemeriksaan ketika mereka melihat kedua
nona itu maka juga mereka lantas menghampirinya. Diamdiam
kedua nona mentertawakan diri. Lantaran tak kenal
jalanan, mereka jadi tersesat. Sekarang dengan dipimpIn
Gouw Jin berdua, lekas sekali mereka kembali ke kuil.
Di pendopo Tay Hiong Po-tian, orang tengah berkumpul.
Disitu Pek Cut Taysu sebagai ketua duduk di kursi pertama,
ditemani oleh Gouw Hian Tojin dari Butong Pay serta ke empat
adik perguruannya sendiri. Di sebelah kiri duduk Pat Pie Sin Kit
bersama Ngay Eng Eng, Ang Siau Siangjin, Liauw Lo, Gouw To
dan Gouw Hoat Taysu. Melihat orang berkumpul dan
tampangnya mereka itu, Kiauw In berdua menerka mesti telah
terjadi sesuatu. Lekas-lekas mereka maju mendekati buat memberi hormat
pada Pek Cut semua setelah mana mereka mendampingi
paman guru mereka, si pengemis sakti.
"Gouw Ceng, coba kau tuturkan pengalamanmu tadi malam
bertemu dengan musuh," berkata Pek Cut Taysu habis kedua
nona menjalankan kehormatan.
Rupanya orang baru saja berkumpul. Kiauw In berdua
menoleh kepada Gouw Ceng yang paling dulu menghormati
ketuanya, baru dia memberi hormat pada para tamu dan
paman gurunya, setelah itu dia mulai menceritakan
penuturannya yang jelas sekali.
"Tadinya aku tak niat pulang lagi," ia tambahkan kemudian
seraya mengasi tahu bagaimana Liauw In, yang
menemukannya, membujuk dan memberi pengertian
kepadanya kepada bahaya yang mengancam Siauw Liem Sie
serta dunia rimba persilatan semuanya.
"Sekarang aku menerima salah, bersedia aku menerima
hukuman dari bapak ketua." Mengakhiri kata-katanya itu,
Gouw Ceng menghampiri Pek Cut, untuk berdiri sambil tunduk
di depan ketuanya itu, tampangnya sangat berduka.
"Aku sudah tahu" berkata ketua itu.
"Pergilah mundur dan beristirahat! Jangan kau bersusah
hati. Beng Khong dan Ceng Ceng sembrono, mereka
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerima bagiannya maka biarlah mereka nanti disambut
oleh sang Buddha kita di Tanah Barat. Bagi kita, dunia kosong!
Sekarang soalnya ialah musuh besar berada di depan kita dan
keselamatan Siauw Liem Sie terancam, kita harus berdaya
membebaskan diri. Lagi sekali aku beritahukan, jangan kau
bersusah hati. Pergilah kau mundur!"
Jilid 6 Gouw Ceng tidak segera mengundurkan diri.
"Bapak Ketua," katanya, "Aku bersedia mengorbankan diri,
tak nanti aku mundur walaupun ada ancaman berlaksa
kematian!" Pek Cut mengulapkan tangannya.
"Amidha Budha!" pujinya.
"Aku mengerti kau!" Terus ia berpaling kepada Liauw In
dan berkata: "Liauw In, kau ajaklah dia pergi!"
Liauw In menurut, habis mengangguk, ia menghampiri
Gouw Ceng untuk memegang.
"Sute kau harus dengar kata-kata bapak ketua." katanya,
"Mari beristirahat!"
Lalu adik seperguruannya itu ditarik, diajak kependopo
belakang. Pek Cut menoleh kepada Go Hian Tojin kemudian berkata:
"Totiang, bukankah Thio Siong Kang itu salah seorang
bajingan kepala dari pulau To Liong To" Apakah totiang
pernah mendengar tentang mereka?"
Go Hian membalas hormat. "Maaf, pendengaran pinto tentang dunia Kang Ouw sangat
terbatas," sahutnya. "Memang dahulu pernah pinto
mendengar perihal bajingan kepala dari pulau itu, bahwa
mereka itu suka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
halal, bahkan pernah ada beberapa orang rekan yang datang
kepada pinto untuk mengajak pinto pergi menyerang mereka,
katanya guna membantu rakyat dari gangguan mereka itu.
Terpaksa pinto tolak ajakan itu sebab ketika itu pinto
berpendapat partai kami tidak mencari urusan diluaran, kalau
orang tidak mengganggu kami, kamipun tidak mau
mengganggu orang. Karena itu pinto tidak tahu jelas perihal
bajingan-bajingan itu."
Pek Cut tahu dari pihak Bu Tong Pay ini, ia tidak dapat
mengharap keterangan jelas, kalau toh ia menanyakan Go
Hian, itulah disebabkan sebagai tuan rumah tak boleh ia lupa
menunjukkan penghargaan dan rasa hormatnya pada
tetamunya itu, yang telah begitu memerlukan datang untuk
membantu pihaknya. Maka ia mengangguk dan berkata:
"Terima kasih totiang! Syukur bahwa totiangpun mengetahui
bahwa mereka itu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak halal. Sebenarnya perbuatan itu sudah lama mereka
kerjakan dan orang jauh dan dekat rata-rata pernah
mendengarnya." "Sayang malam tadi aku tidak bertemu sendiri dengan
jahanam itu!" berkata Eng Eng sengit. "Kalau sebaliknya,
walau kepandaianku tidak berarti, hendak aku mencoba
membekuknya." "Ngay Tayhiap berbicara secara terus terang, senang aku
mendengarnya!" In Gwa Sian menimbrung.
Setelah itu muncullah dua orang pendeta muda, yang
masing-masing membawa satu buntalan hitam serta sehelai
atau tambang panjang terbuat entah dari rotan atau benda
lainnya. Mereka itu muncul dari depan dan masuknya secara
tergopoh-gopoh, langsung mereka mendekati Gouw jin Taysu,
salah satu dari Ngo Lo, kelima Tianglo. Mereka memberi
hormat, lantas mereka menyerahkan barang-barang yang
dibawanya itu sambil mengucapkan kata-kata dengan
perlahan. Gouw Jin menyambut sambil mengangguk-ngangguk,
lantas dia berbangkit dan membawa kedua rupa barang itu
kehadapan Pek Cut untuk dipersembahkan, sambil memberi
hormat, ia berkata: "Harap bapak ketua ketahui bahwa Ceng
Leng dan Beng Wan berdua sudah menerima perintah pergi
kekaki Ngo Leng Hong dekat Siauw Yan Kie, dimana mereka
membuat penyelidikan. Menurut penduduk sana, pada dua
bulan yang lalu kampung mereka kedatangan seorang pria
pertengahan, yang tinggal dengan membuat gubuk dikaki
gunung dan Pekerjaannya setiap hari ialah mencari kayu buat
dijual kepada penduduk kampung, bahwa kadang-kadang dia
menanyakan penduduk tentang segala hal perihal kuil kita.
Tadi malam orang itu nampak pulang entah apa sebabnya.
Mendengar itu Ceng Leng bercuriga, maka ia pergi kegubuk
orang itu dan memeriksanya. Ia cuma menemukan tali
panjang ini, lainnya segala perabotan dapur saja. Beng Wan
sebaliknya menemui bungkusan ini dibawah pohon cemara tua
ditepi kali, tergeletak ditanah, terus dia membawanya pulang.
Harap bapak ketua sudi memeriksanya."
Semua mata hadirin segera diarahkan kepada kedua
barang itu. Pek Cut mengawasi sekian lama, lantas bungkusan
itu ia serahkan pada Go Hian Tojin, untuk si imam melihatnya.
"Sungguh bungkusan yang besar." kata Imam dari Bu Tong
Pay itu, "Seorang manusiapun dapat dibungkus dengan ini!"
"Jahitannya bukan seperti jahitan biasa." Pek Cut
menambahkan, pendeta ini heran.
In Gwa Sian menyambuti bungkusan itu untuk diteliti. Dia
bermata tajam, lantas katanya: "Menurut aku, bungkusan
inipun bekas direndam dahulu dengan getahnya suatu pohon
dan bekas dijemur kering hingga kain ini tidak nyerap air dan
dapat dipakai sebagai pakaian menyelam. Kalau kalian tidak
percaya, cobalah!" Ngay Eng Eng turut memeriksa benda itu lalu dia
menunjuki jempol tangannya.
"Saudara In benar!" katanya. "Inilah pasti milik Thio Siong
Kang sibajingan itu!"
"- Hal 09 S/D 16 hilang ?"
menjadi jurus "Belibis Turun di Pasir" Pedangnya menjadi
meluncur kebahu kiri lawan. Pedang itu bersinar berkilau.
Sia Hong terancam bahaya, untuk menyelamatkan diri ia
berkelit sambil melompat jungkir balik dengan jurus "Ular
Naga Berjumpalitan" Toh ia terlambat juga, ia masih kalah
cepat. Hanya untung baginya cuma bajunya yang terobekrobek!
Dengan lompatan itu ia menyingkir sejauh dua tombak.
"Imam siluman, benar lihai pecut emasmu itu!" Seng Ciang
berseru. Sia Hong mengeluarkan peluh dingin. Meski selamat, ia
sudah kalah, maka mukanya menjadi pucat pasi dan merah
padam. Ia malu dan penasaran.
Selagi saudara seperguruannya itu berdiri diam. Hek Hong
berlompatan maju sambil menunding dengan goloknya, golok
Pun Tiat To. Ia berseru: "Siluman, benar lihai ilmu pedangmu!
Mari pinto juga hendak belajar kenal denganmu!" Menyusul itu
ia menyerang membacok ke arah jalan darah hoa kay si
lawan. Seng Ciang melihat datangnya ancaman, ia menangkis
dengan keras hingga senjata mereka bentrok dan bersuara
nyaring. Setelah itu ia membalas menikam iga kiri si imam.
Mau tidak mau Hek Hong mesti berloncatan mundur. Balasan
lawannya itu hebat sekali. Sambil mundur itu, ia menghajar
pedang guna memunahkan serangan itu. Maka pedang dan
golok beradu keras berisik dan percikan apinya bermuncratan.
Bentrokan itu hebat Hek Hong, goloknya hampir lepas dari
tangannya dan jeriji tangannya hampir terpotong, walaupun
demikian ia tidak mau berhenti sampai disitu. Ia penasaran. Ia
merasa dirinya seperti sedang menunggang harimau hingga
tak dapat ia berlompatan turun. Sambil menggertak giginya
dan menyerang pula, mulanya menusuk lalu mendak dan
membabat lawan. Seng Ciang menangkis tusukan itu, dilain pihak sambil
menjejak tanah, dia lompat guna menyelamatkan kakinya, tapi
selekasnya dia menaruh kakinya, dia balas membacok dari
atas kebawah. Tak berhasil dia mengenai lawan tapi
pedangnya menghajar golok demikian telak dan keras, hingga
golok dari tangan Hek Hong mental dan selagi lawan itu
menjadi kaget dan bengong, dia berlompatan maju dengan
susulan tikamannya! Tanpa senjata dan sedang bingung sedang tangannyapun
nyeri, maka Hek Hong tidak berdaya terhadap serangan kali
ini. Tak ampun lagi bahu kirinya kena tertikam hingga ia
terluka, sambil menjerit robohlah tubuhnya.
Koaw Hong berlompat maju, dia kaget bercampur gusar.
Kaget buat saudara seperguruannya dan gusar terhadap
lawan itu. Sambil menunding dan berteriak: " Kau berani
melukai adik seperguruanku, Awas!" Dan dia segera
menghajar dengan Bu Hwe Pian, cambuk baja yang
dinamakan "Ekor Harimau". Itulah pukulan "Kacung Tay Sie
Menindih Kepala". Melihat senjata orang agaknya berat, Seng Ciang berlaku
hati-hati. Begitulah ia menghindar ke kiri darimana ia
membarengi membabat ke kanan mencari bahu lawan. Koaw
Hong pun berkelit, habis berkelit ia menyerang pula,
cambuknya dibabat untuk sekalian melibat tubuh musuh. Seng
Ciang mendak, dengan begitu cambuk lewat diatas kepalanya.
Sekali lagi ia membalas kembali kebahu lawannya itu. Koaw
Hong berkelit sambil berlompatan dengan penasaran, maka
kembali iapun menyerang dengan menyabet kebawah.
Seng Ciang menjejak tanah melompat tinggi setombak
lebih dan setelah ia mendarat ia telah terpisah tujuh delapan
kaki dari lawannya. Tapi ia disusuli si imam yang
menyerangnya dengan jurus "Naga Hitam Keluar Dari Gua"
sasarannya ialah jalan darah "heng han" dipunggung Seng
Ciang. Jago luar lautan mendengar suara aneh akibat
bekerjanya cambuk, ia berkelit sambil mendak ke kanan
darimana lagi-lagi ia membabat bahu lawannya.
Didalam delapan belas senjata, cambuk terhitung yang
nomor tujuh dan dipelajarinya paling sulit, siapa pandai
menggunakannya, dia akan jadi lihai sekali. Koaw Hong cukup
lihai tetapi dia kalah licin dari Seng Ciang, yang ilmu
pedangnya baik sekali. Maka juga didalam waktu tigapuluh
jurus, jago luar lautan itu tetap lebih unggul. Bahkan sehabis
itu, perlahan-lahan, si Imam mulai terkurung sinar pedangnya.
Kalau dia melawan terus dapat susah dia. Karenanya lantas ia
menggunakan akal, mendadak ia menyabet kebawah dengan
jurus "Angin Puyuh Menyapu Salju".
Dengan memaksakan diri Seng Ciang lompat mundur, atas
mana Koaw Hong lompat ke kanannya. Menampak demikian ia
menerka si imam hendak menyerang dia dengan senjata
rahasia, maka ia lantas memasang mata. Sengaja ia menegur:
"Eh imam siluman, kita belum menang atau kalah, kenapa kau
mau mundur?" Lalu terus ia lompat menyusul pedangnya
dilancarkan. Benarlah terkaan jago luar lautan itu, saking terpaksa,
Koaw Hong hendak menggunakan senjata rahasianya, cepat ia
merogoh kesakunya dan menimpukkan dua batang jarum
emas, mengarah kemuka dan dada.
Seng Ciang bermata tajam, dan lagi dia sudah bersiaga,
maka itu ketika ia melihat bahu si imam bergerak, ia dapat
menerka kemana arah serangannya. Ia telah memasang mata,
lantas ia menyerang. Ia juga membekal senjata rahasia yang
berupa paku dan dengan itulah ia menyambut jarum lawan.
Suara nyaring terdengar akibat bentrokan senjata rahasia
yang dua-duanya lantas jatuh ketanah. Menyusul itu Seng
Ciang bertindak lebih jauh. Tanpa ragu dan tanpa ayal. Kalau
tadi ia menimpuk dengan tangan kanan, sekarang ia
menimpuk pula dengan tangan kiri. Kalau tadi ia
menggunakan paku, sekarang senjata rahasia yang
dinamakan Thie Lian Cie atau teratai besi. Dan teratai yang
pertama meluncur ke belakang kepala si imam.
Koaw Hong kaget bukan main, ia mendengar bunyi senjata
beradu, ia tahu bahwa penyerangan gelapnya sudah gagal,
maka dalam hati ia berseru: " Celaka!" dan belum sempat ia
berdaya telinganya sudah mendengar sambaran angin di
belakangnya, dengan cepat ia tunduk sambil mendak sedikit.
Dengan begitu senjata rahasia itu lewat diatas kepalanya.
Tetapi itu belum semua. Seng Ciang menyerang dengan
menggunakan tipu daya. Serangannya kebatok kepala cuma
akal belaka guna memancing kelengahan lawan. Selekasnya
timpukannya yang pertama itu segera menyusul yang kedua,
lalu menyusul yang ketiga. Dua yang belakangan ini dengan
kecepatan luar biasa dan arah tujuannya berlainan.
Kaow hong sudah lantas menjerit. Tak berdaya ia waktu
teratai yang kedua menancap di jalan darah co in dibetisnya
bagian belakang kaki kanannya, sambil menjerit "Aduh!"
tubuhnyapun roboh. Dia merasa nyeri dan kaki kanannya itu
lantas menjadi kaku. Untung baginya, teratai yang ketiga lolos
karena ia keburu roboh. Menyusul robohnya si imam, muncullah Ngay Eng Eng yang
lantas menghadapi Seng Ciang guna menghadang andiakata
jago luar lautan itu hendak merampas jiwa lawannya. Ngay
Eng Eng datang dengan meluncur dari tempat yang tinggi.
"Hm!" Eng Eng mengasih dengar ejekannya. "Kalian gagah
sekali sehingga dapat merobohkan beberapa bapak imam!
Tapi kalian jangan berpuas diri dahulu! Aku Ngay Eng Eng
dengan tanganku yang berdarah daging ini, hendak aku
melayani kalian. Aku hendak melampiaskan penasarannya
bapak-bapak ini"!"
Belum berhenti suaranya, Lie Seng sudah menikam
padanya. Dengan hanya satu kali bergerak, maka Eng Eng
sudah berkelit hingga segera berada di belakang penyerang
yaitu Lie Seng, si Ular Naga Mendekam, lantas ia membalas
menyerang dengan kedua belah tangannya dengan
menggunakan ilmu silat "Tangan Membalik Mega". Sasarannya
ialah kedua bahu lawan. Lie Seng terkejut tetapi dia sanggup menyelamatkan diri.
Sambil mendak sedikit dia menjejak tanah, berkelit dengan
melompat sejauh tiga tombak. Melihat orang menyingkir
begitu jauh, Eng Eng tertawa.
"Manusia jahat, jika kau bernyali, mari maju pula!"
tantangnya. Lalu bukannya ia berdiam menanti orang
menghampirinya, ia justru melompat ke kiri untuk lari
mendekati tanjakan! Lie Seng menjadi sangat gusar, sambil membentak ia lari
mengejar. Jago tua itu sengaja hendak mempermainkannya,
ia tidak segera melayani melainkan hanya lari berputaran
seperti lagi main petak, kemudian barulah ia lari mendaki
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuju puncak. Ketika itu ia menoleh ke belakang, ia melihat
si Ular Naga Mendekam masih terus menyusulnya dan
ketinggalan tak jauh darinya.
Dengan lekas jago dari luar lautan itu dapat menyusul dan
dengan sengit dia lantas menikam untuk itu dia sampai
berlompat. Eng Eng masih tidak hendak menyambuti, ia hanya
berkelit. Karenanya ia jadi telah memberi kesempatan buat
lawannya itu kembali menikam! Masih jago tua itu tidak mau
melawan, dan hanya berkelit menghindar. Kali ini dia lari terus
mendaki bukit dan barulah diatas bukit itu ia berdiri menanti.
Lie Seng menyusul terus, kedatangannya dibarengi dengan
tusukan, karena dia semakin gusar maka serangannyapun
makin hebat. Pedangnya itu selain berkilau kehijau-hijauan
anginnyapun terdengar tajam. Eng Eng menduga senjata
lawan adalah senjata mestika maka tak mau ia memandang
enteng. Sebaliknya ia mengerahkan tenaga dalam
ditangannya, setelah berkelit ia melayani bertempur sambil
berlompatan mundur dan kesisi kanan berlompatan tinggi.
Dengan tangannya ia bersilat dengan ilmu silat Kim Na Kong
yang istimewa untuk menangkap senjata atau serangan
lawan. Ia sudah berusia lanjut tetapi ia dapat bergerak dengan
gesit sehingga ia seperti sedang bermain diantara kilauan
pedang. Sudah lama sekali Ngay Eng Eng tidak menggunakan
senjata tajam. Kalau bertempur ia selalu menggunakan
sepasang tangannya. Demikian pula kali ini, tak peduli pedang
si Ular Naga Mendekam menyerang dengan luar biasa, ia
selalu dapat melayani dengan mudah sekali. Dengan cepat
dua puluh jurus telah berlalu, seperti semula tadi tetap
mereka tak ada yang kalah atau menang. Sebaliknya Lie Seng
semakin penasaran, ia menggunakan seluruh kepandaiannya
sebab niatnya adalah merobohkan musuh. Sementara
lawannya tetap melayani dengan tenang seperti semula. Maka
sepuluh jurus lagi telah dilewatkan.
Tengah mereka bertempur bagaikan main-main itu,
mendadak Eng Eng mementang kedua tangannya, terus
tubuhnya mencelat sejauh tiga tombak, sebab ia
menggunakan ilmu silat lompat tinggi dan jauh "Elang
Menyerbu Langit". Ia menyingkir kesebelah kanan. Lie Seng
membentak nyaring, tubuhnya membarengi berlompat juga
menyusul. Dia seperti tidak mau memberi kesempatan. Kali ini
Eng Eng lari terus terusan, sampai melewati empat puncak.
Dipuncak yang ke empat ini ia tiba disebuah pohon yang besar
dan tua, yang tinggi dan banyak dahan-dahannya sedang
daunnya berupa mirip payung. Disitu ia berhenti dan
mengawasi lawannya sambil tersenyum.
Lie Seng mengejar terus tapi sekarang dia telah bermandi
peluh dan napasnyapun tersengal sengal, cuma semangatnya
yang tak kunjung padam, tapi dia masih menuruti suara
hatinya, yaitu marah. Selekasnya dia datang mendekat maka
tak ampun lagi dia menikam lawannya itu! Dengan tangan
kosong, Eng Eng tidak mau menyambuti pedang. Buat
kesekian kalinya ia berkelit luar biasa gesit, tahu-tahu ia sudah
berada di belakang penyerangnya. Dengan sama hebatnya ia
menyerang dengan kedua tangannya. Ia menggunakan jurus
Melintang Menghajar Dahan Emas, walaupun demikian ia
menggunakan tenaga lima bagian.
Lie Seng lihai, masih dapat ia menyelamatkan diri dengan
lompat ke depan sejauh dua tombak. Cuma iganya tersentuh
sedikit, sedang maksud lawannya adalah membuatnya roboh
pingsan disebabkan tulang-tulangnya pada patah. Panas si
jago dari luar lautan, setelah menaruh kaki, dia memutar
tubuh buat maju menghampiri lantas menikam pula, hebat
niatnya untuk membalas lawannya.
Heran juga Eng Eng, biasanya jarang ia gagal dengan
serangan semacam itu. Hajarannya itu mampu menciderai
orang yang kebal sekalipun, namun Lie Seng malah masih
mampu menyerangnya. Tapi ia tak gentar. Ia menanti, segera
setelah ujung pedang hampir sampai, ia berkelit ke kiri hingga
ia jadi berada disebelah kanan lawannya. Disini ia lantas
menyerang. Tentu sekali sekarang ia tambah tenaganya
hingga menjadi tujuh bagian.
Kali ini Lie Seng tidak lolos seperti tadi, punggungnya telah
terhajar telak, maka tubuhnya tersuruk ke depan sejauh satu
tombak. Tapi dia kuat sekali, dia tak roboh mencium tanah,
bahkan dia lekas-lekas memperbaiki diri. Maka itu kembali dia
dapat maju pula guna melakukan serangan balasan. Dia
menggunakan ilmu pedang "Dengan Obor Membakar Langit".
Kembali Eng Eng menjadi heran. Ia heran atas kekebalan
dan ketangguhan lawannya itu. Orang telah mengeluarkan
banyak sekali tenaga dan barusan telah kena terhajar
walaupun cuma tersentuh iganya lalu terhajar punggungnya.
Kenapa dia dapat bertahan sedemikian rupa"
Tak usah lama jago tua itu berpikir, lantas ia ingat sesuatu,
hingga ia bagaikan orang yang baru sadar dari tidurnya. Itulah
sebabnya kenapa tubuh lawan terasa seperti lunak-lunak
keras atau lembek kokoh, hingga hajarannya tak mengenai
secara hebat. Maka itu, mungkin orang itu mengenakan
lapisan atau pelindung yang istimewa ditubuhnya. Entah".
"Orang licin!" pikirnya. Lalu, melihat sebuah pohon Pek
disebelah kanannya, ia mendapat akal. Dengan segera ia
menjejak tanah dan lompat naik keatas pohon itu. Berdiri satu
kaki dengan sikap "Ayam Emas Berdiri Dengan Satu Kaki"
Melihat sikap orang itu, Lie Seng gusar sekali. Dia
membentak lantas melompat naik guna menyusul dan
langsung menyerang tanpa ampun lagi dengan tikaman "Naga
Hijau Masuk Kelaut" mengarah ke dada lawannya. Memang
niatnya Eng Eng dengan aksinya itu adalah untuk merampas
pedang lawan. Ia bersikap tenang, ketika ia ditikam itu, ia
menanti sampai orang hampir mendapat hasil, mendadak ia
berpura-pura terpeleset hingga tubuhnya terguling dari dahan
dimana ia menaruh sebelah kakinya. Ia mengait dengan
kakinya hingga tubuhnya bergelantungan bagaikan orang
bermain ayunan. Dengan cepat tangan kanannya menyambar
dahan itu untuk dipegang erat-erat buat bertahan hingga
tubuhnya tak jatuh kebawah, menyusul kemudian sebelah
kakinya menendang lengan lawan, lengan yang dipakai
menikam. "Aduh!" Lie Seng menjerit, kaget dan nyeri. Cekalannya
sudah lantas terlepas hingga pedangnya jatuh ketanah. Saking
nyerinya dia mesti memegangi lengannya itu. Karena ini dia
menjadi jeri dan terpaksa lompat turun dari pohon untuk terus
lari dan kabur! Eng Eng tidak mau mengerti. Ia tak sudi
membiarkan lawan lolos, begitu melihat orang lari, ia lompat
turun terus mengejar. Ia memang dapat lari lebih cepat,
sebentar saja ia sudah berhasil menyusul. Maka bergeraklah ia
bagaikan elang. Kedua tangannya dipentang menyambar ke
iga lawan. Lie Seng tahu datangnya ancaman itu, namun tangannya
tak berdaya sehingga ia menjadi kuatir, tapi ia masih memiliki
tangan kiri. Sambil mendak untuk berkelit dari sambaran, ia
memutar tubuhnya lalu cepat dengan tangan kirinya itu ia
menyerang keperut musuh. Ia menggunakan pukulan "Tangan
Pasir Besi" yang lihai dan mengarah perut musuh. Ia bersedia
mati bersama" Eng Eng tidak menjadi bingung, sebaliknya ia mendahului.
Dengan sebelah tangannya dan dengan ujung lengan bajunya
ia menyampok muka lawan. Si Ular Naga Mendekam kaget
sekali. Tak dapat ia berkelit atau menangkis. Tapi hebat
kebutan itu, walaupun cuma ujung baju. Ia merasai mukanya
nyeri sekali seperti terasampok lembaran besi. Kali ini tak
ampun lagi, ia berteriak kesakitan lantas terjengkang dan
roboh pingsan! Sementara itu Mie A Lun sudah menyusul hingga ia sempat
menyaksikan robohnya saudara angkatnya itu, guna menolong
saudaranya yang ia kuatir dibunuh musuh, ia menyerang
musuh dengan satu ayunan tangan dan meluncurlah senjata
rahasianya, sebatang kongpiauw disusul oleh dua yang lain.
Senjata itu melesat dengan mengeluarkan suara yang tajam.
Eng Eng tahu datangnya serangan itu, dengan tabah ia
mengebut berulang-ulang membuat ketiga senjata rahasia itu
berjatuhan ketanah. Mie A Lun terperanjat saking herannya atas kelihaian
lawannya. Ia menjadi penasaran sekali, maka ia menyerang
pula sekarang dengan lebih gencar, ia menyerang keatas tiga
kebawah empat. Maka tujuh buah sinar terang meluncur ke
arah lawannya. Eng Eng mengenali senjata rahasia itu ialah
semacam panah tangan yang bukan terbuat dari besi atau
emas, melainkan terbuat dari akar kayu pinang yang
dilengkapi dengan baja dan seluruhnya sudah direndam dalam
air beracun juga ditambahi dengan sebuah per hingga bisa
melesat dengan cepat sampai sejauh tujuh delapan tombak
dan setiap pipanya memuat tujuh batang. Kembali ia
menunjukkan kegesitan dan kelihaiannya. Sambil melompat ia
mengebut setiap panah tangan itu sehingga berjatuhan
ketanah dan ia terbebaslah ia dari ancaman maut.
Panas hatinya Mie A Lun melihat senjata rahasianya gagal,
sambil berseru ia maju menyerang dengan tangan kirinya
untuk menggertak sementara kepalan kanannya meninju
hebat kedada. Eng Eng berkelit ke kiri, tangan kirinya
membacok lengan penyerangnya itu. Ia bukan membacok
dengan senjata tajam, melainkan dengan pergelangan telapak
tangannya. Itulah bacokan yang dinamakan "Menyambut
Palang Pintu Besi" A Lun gesit, dapat ia menggeser lengannya itu. Ia gagal
menyerang tapi lengannyapun selamat. Tapi Eng Eng berlaku
cepat sekali, ia menyerang pula dengan kedua tangannya
mencari sepasang mata lawannya. Serangan mana membuat
lawannya berkelit sambil memutar tubuh, hingga ia berada
disisi kiri, maka ia lalu meluncurkan tangannya ke iga jago tua
itu. Itulah serangan "Tawon Galak Masuk Kesarang" Eng Eng
berkelit, tangan kirinya menolak, demikianlah mereka saling
serang. Kiranya Mie A Lun menggunakan ilmu silat "Naga
Berenang". Maka itu ia dapat bersilat pesat kedelapan penjuru
hingga ia tampak mirip bayangan saja. Tapi Eng Eng bukan
sembarang lawan. Jago tua ini dapat menandingi kegesitan
jago dari luar lautan itu. Dengan demikian mereka telah
bertempur lebih dari tiga puluh jurus. A Lun penasaran sekali,
sebab ia tak mampu mengalahkan lawannya, mendadak ia lari
berputaran, lalu lompat keluar lapangan untuk memasang
kuda-kudanya. Selekasnya ia mengerahkan tenaganya
ditangan kanan, tiba-tiba ia menyerang sambil berseru
nyaring. Ia menggunakan pukulan "Harimau Hitam
Mencengkeram Hati" Eng Eng dapat mengegos tubuh dari pukulan dahsyat itu.
Ia menjadi gusar hingga kumis dan janggutnya bangun berdiri
seperti duri landak. Disaat serangan lewat ia berlompatan
merangsek untuk balas menghajar. Ia bukan memukul atau
menusuk hanya menjambret kedua bahu lawannya itu guna
mencengkeram tulang-tulangnya buat ditarik dengan kuat dan
keras. Sebab ia menggunakan jurus silat "Cakar Elang". Kalau
ia berhasil maka patah dan rusaklah tulang bahu lawannya.
A Lun mengenal bahaya itu, ia berkelit dengan gerakan dari
Naga Berenang. Ia berkelit ke kiri ke kanan, darimana ia
mengirim serangan balasan ke kiri bahu lawan. Ia menyerang
pula dengan pukulan "Harimau Hitam Mencengkeram Hati"
dan sasarannya ialah jalan darah cang cok dari Eng Eng.
Celaka, siapa yang terhajar jalan darah tersebut akan mati
seketika, seringannya akan sakit batuk dan susah napas
bertahun-tahun sebelum akhirnya menutup mata. Eng Eng
mengerti akan ancaman bahaya itu maka ia menyelamatkan
dirinya dengan kelitan "Angin Meniup Gelombang Pohon
Yangliu" Dua Kali gagal menyebabkan hawa amarahnya memuncak.
Dengan sengit kepalan kirinya menghajar muka lawannya.
Tapi kali ini dia dilawan keras dengan keras, serangan itu
disambut dengan serangan juga. Maka bentroklah kepalan
mereka berdua dan kesudahannya mereka sama-sama
terpukul mundur. Habis berkelahi lama dan menggembor kegusarannya itu, A
Lun telah menggunakan tenaganya berlebihan, maka habis
bentrok ini, napasnya lantas memburu, hingga mukanya
penuh dengan butiran peluh. Ternyata dia kalah ulet. Sedang
ia masih mengatur napasnya yang memburu, lawannya
berseru sambil maju menyerangnya dengan tidak memberikan
kesempatan untuk beristirahat. Serangan datang bertubi-tubi,
sebab gagal yang satu, menyusul yang lain, tangan dan kaki
bergantian. Bukan main repotnya A Lun untuk membela diri. Dalam
repotnya itu, ia mencoba berlompat minggir tujuh tindak lalu
dengan cepat sekali mengeluarkan senjatanya yang termasuk
senjata istimewa. Senjata itu sepasang terbuat dari besi,
batangnya sebesar biji buah persik sedang panjangnya dua
kaki delapan dim dan ujungnya merupakan seperti lima jari
tangan yang lancip. Eng Eng segera mengenali senjata itu yang disebut Jit Goat
Sian Jin Ciang "Tangan Dewa berpokok Matahari dan
Rembulan" atau "CaCing Duri Badak Matahari dan Rembulan".
Tentu sekali tak mudah ia mempertahankan perkelahian
dengan tangan kosong terus menerus, melihat orang
menggunakan senjata, dengan cepat ia menghunuskan
pedang yang tergantung dipunggungnya.
"Sambut!" A Lun berseru seraya dia mementang sepasang
senjatanya yang luar biasa itu, untuk meluncurkan senjatanya
yang kiri. Itu hanya itu gertakan belaka, selekasnya lawan
berkelit ia membarengi menyerang pula dengan tangan kanan
dan mengancam jalan darah lengtay. Eng Eng berkelit ke kiri,
setelah bebas ia balas menyerang. Ia menebas lengan
lawannya itu, gerakannya ialah gerakan "Belibis Turun di Pasir
Datar" A Lun menarik tangan dan tubuhnya buat mengangkat kaki
kiri menggeser kesamping musuh dari sisi, sebelum musuh
menarik pulang tangannya, ia coba mendahului menyerang
pula. Dengan dua senjata berbareng, hanya serangannya
masing-masing keatas dan kebawah. Itulah jurus "Gouw Kong
Menumbang Pohon Kayu Manis" dengan begitu kedua belah
pihak sama-sama berlaku keras dan gesit, mereka saling balas
secara kontan. Eng Eng menyingkir dari senjata lawan.
Setelah itu ia membalas pula, menikam dengan jurus
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menunggang Naga Memancing Burung Phoenik"
Mie A Lun juga dapat menyelamatkan dirinya. Dengan
sepasang senjatanya, dia menangkis pedang lawan. Jago she
Ngay itu menarik pulang pedangnya. Ia memutar tubuhnya
kesamping, dari situ ia menyerang dengan jurus "Rajawali
Emas Membuka Sayap" Tapi serangan itu sia-sia belaka,
lawannya mampu melayaninya. Kembali lawannya menyerang
balik dengan senjatanya mencari jalan darah khie-hay di
pundak kiri. Untuk mencegah serangan itu, Eng Eng
mengancam tangan lawan itu, ia menusuk tangan yang
memegang Sian Jin Ciang. A Lun menarik senjatanya. lalu
dengan cepatnya dia balas menyerang dengan jurus silat
"Bajingan Galak Memasuki Pintu Neraka" sasarannya ialah
jalan darah thay-yang yang berada dibawah iga Eng Eng.
Jago tua itu tidak melompat menyingkir, dia hanya
menyedot hawa membuat tubuhnya menjadi menyusut,
sehingga senjata lawan tak sampai sasarannya.
"Kena!" ia berseru. Itulah karena habis berkelit ia
menyerang. A Lun bermata jeli dan gesit, dapatlah ia berkelit dari
ancaman pedang itu, ia menangkis dengan tangan kiri seraya
tangan kanannya dipakai menyerang musuh. Eng Eng lompat
ke kiri untuk terus mengancam iga lawan. Kali ini A Lun
terancam bahaya besar, syukur dia tidak menjadi gugup. Dia
tidak berkelit ke belakang atau ke kiri kanan, sebaliknya dia
justru merangsek maju. Pedang lawan ia tempel, supaya
ujung pedang tidak menyentuh tubuhnya, berbareng dengan
itu senjatanya yang sebelah lagi menghajar dada musuhnya
mencari jalan darah khie-bun. Tangkisan dan serangannya itu
dinamakan jurus silat "Bidadari Menenun"
Eng Eng melompat sejauh lima kaki lalu mengawasi
musuhnya dengan tajam, sesudah itu keduanya sama saling
mendekati. Ia lantas menyerang dengan gencar dan hebat,
sehingga berbalik ia menjadi pihak yang menyerang, pihak
penyerbu tahu diri, dan dapat melihat gelagat sehingga
berlaku dengan waspada. A Lun memanfaatkan dengan
maksimal keunggulan senjatanya yang mempunyai
empatpuluh sembilan jurus dan duapuluh empat diantaranya
untuk menghajar jalan darah. Memang senjata itu jarang
terlihat di muka umum saking langkanya.
Buat sementara Eng Eng tampak unggul, ia dapat
mengandalkan pedangnya yang tajam. Iapun selalu
menggunakan tangan kirinya untuk menusuk jalan darah
lawan. Tak dapat A Lun lalai atau ayal bergerak, bisa-bisa dia
jadi korban. Souw Tay Liong melihat kawannya tidak berhasil
merebut kemenangan, dia jadi berpikir keras. Sekian lama
diapun berdiri menonton saja, melihat keadaan dia lantas
mengambil keputusan. "Adik, kau mundurlah!" Dia berseru kemudian kepada A
Lun, "Biar kakakmu yang membereskan lawanmu ini!"
Walaupun dia berkata begitu, si Harimau Gunung ini tidak
menanti saudaranya mundur dulu, ia trus melompat maju
untuk menyerang musuh. A Lun mendengar dan melihat
begitu kakaknya itu maju, dia melompat keluar dari kalangan
meninggalkan lawannya. Eng Eng sempat mengawasi lawan
barunya yang bersenjatakan golok Gan Leng To - Sayap
Belibis. Namanya "Sayap Belibis" tetapi kenyataannya golok itu
beratnya kira-kira empatpuluh kati. Itulah senjata berat yang
jarang dipakai orang dan siapa yang memakainya selain
tenaganya besar kemungkinan ilmu silatnyapun mahir.
Walaupun demikian ia tidak jeri, bahkan sebaliknya, ketika
musuh datang mendekat secepatnya ia mendahului menikam.
Souw Tay Liong melihat serangan itu lantas berkelit.
Walaupun senjatanya berat, namun tak mau ia memakainya
dengan sembarangan. Dia berkelit ke kiri. Dari sini barulah dia
membalas membacok iga kiri. Itulah ilmu golok "Sang Nelayan
Menebar Jala". Sasarannya ialah iga kiri lawan. Sambil berkelit
ke kanan, Eng Eng menangkis. Ia berlaku cepat hingga lawan
tidak sempat menarik pulang goloknya, dengan begitu pedang
dan golok beradu keras satu dengan yang lain, hingga
suaranya memekakkan telinga dan kedua senjata mengaung
sampai lama. Benturan itu membuat Souw Tay Liong mengetahui bahwa
lawan memiliki tenaga yang besar. Hal ini membuatnya
berpikir. Ia tahu mereka berada diwilayah musuh, sehingga
dari segi kedudukan pihak sana lebih unggul. Karena itu
pihaknya perlu secepatnya untuk merebut kemenangan. Kalau
lawan sampai memperoleh bantuan, tentulah berbahaya bagi
mereka. Karena itu tak ayal lagi ia mulai mencoba mendesak.
Ia berkelahi dengan menggunakan "Pek Houw To" yaitu ilmu
golok Harimau Putih, yang semuanya terdiri dari delapan
puluh satu jurus, semua dengan gerak gerik harimau dan pula
biasanya semua serangannya berantai dan belum berhenti
kalau musuh belum dikalahkan".
Satu keistimewaan lain dari ilmu golok Harimau Putih itu
ialah bisa digunakan untuk melayani berbagai senjata dan
selama dipergunakan ditempat luas, sinarnya terlihat
berkilauan. Dan biasanya kalau musuh tak lihai maka hanya
dalam sepuluh jurus dapat dirobohkan. Eng Eng kenal Pek
Houw To, maka itu melihat lawan menggunakan ilmu golok
yang lihai itu, ia tidak bersangsi pula. Ia juga menggunakan
ilmu pedangnya Bu Kek Kiam - pedang Tanpa Batas, yang
telah ia latih selama lima puluh tahun, ilmu ini mirip dengan
ilmu Thay Kek Kiam yaitu bertujuan melawan kekerasan
dengan kelembutan. Sinar pedangnya mengurung seluruh
tubuhnya dengan rapat. Begitulah Pek Houw To dilayani oleh Bu Kek Kiam, ilmu
goloknya menjadi tak dapat bergerak dengan leluasa, sampai
pada jurus yang ketujuhpuluh lima, yaitu "Harimau Lapar
Menggoyang Kepala" dan "Harimau Hitam Menerkam Bumi"
mendadak goloknya diputar melintir lalu mendadak dia juga
membacok lawannya pada tiga arah!
Tidak ada jalan lain bagi Eng Eng untuk menyelamatkan diri
selain melompat menyingkir, dengan begitu semua bacokan
yang keatas dan kebawah tidak mengenai sasaran. Ia
melompat ke kiri, selekasnya ia menaruh kaki, ia balas
menyerang. Ia bukannya menabas melainkan menikam
kemuka lawan. Souw Tay Liong terperanjat juga. Ia seharusnya terus
mencecar musuhnya supaya semua jurusnya dapat di jalankan
habis, namun sekarang tidak, bahkan ia harus menyelamatkan
dirinya. Maka ia berkelit kesamping, tangan kirinya dipakai
menolak sedang golok ditangan kanannya membacok dengan
jurus "Harimau Menggeliat"
Bukannya Eng Eng terancam bahaya, melainkan inilah yang
ditunggu-tunggunya, ia mendahului menghajar belakang golok
musuhnya dengan jurus pedang "Ular Sakti Muntahkan Tikus"
dengan mengerahkan tenaganya. Tay Liong kaget sekali,
tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba goloknya terlepas dan
terpental keudara dan jatuh hingga delapan kaki jauhnya
dengan suara berdentangan nyaring.
Cie Seng Ciang dan Mie A Lun kaget sekali hingga mereka
berseru tertahan! Mereka menerka pasti lawan akan
melanjutkan serangan susulannya. Sementara itu Tay Liong
masih kelihatan tergetar sambil memegang tangannya yang
terasa sangat nyeri. Namun dugaan mereka ternyata salah. Setelah
kemenangannya Eng Eng tidak menggunakan kesempatan itu
untuk terus mendesak musuh, sebaliknya dia terus melompat
mundur sambil memberi hormat dengan memegangi terus
pedangnya, sambil tertawa ia berkata: "Sahabat aku
mengucapkan terima kasih karena kalian sudi mengalah. Ini
cuma kekeliruan gerakan tangan, belum ada yang menang
atau kalah! Silahkan ambil golokmu itu! Tak usahlah kalian
mencoba menjagoi disini!"
Perkataan Eng Eng ini membuat lawannya menjadi gusar
sekali. Ia sudah kalah dan merasa malu, tetapi kata-kata
orang membuat merah muka dan telinganya. Ia menganggap
dirinya diejek atau dihina, katanya dalam hati: " Makhluk mau
mampus! Kau belum kenal senjata rahasiaku yang asal
digunakan pasti meminta jiwa!"
Memang si Harimau Gunung pandai dua macam senjata
rahasia, yang pertama ialah yang terdapat didalam kantong
kulit yang tergantung dipinggangnya. Kantong itu berisi Hui
Hie Cie yaitu tempuling ikan yang terbuat dari baja mengkilat,
panjangnya tiga dim, ujungnya lancip, seluruh tubuhnya
bersisik tajam mirip duri. Apalagi tempuling itu bekas
direndam didalam racun yang ganas, siapa kena terluka maka
dia mesti binasa. Yang lainnya ialah piauw berantai yang
tersimpan dalam lengan bajunya, tajamnya luar biasa. Kedua
macam senjata rahasia itu biasa digunakannya setelah ia
terdesak, maka dari tadi ia ingin menggunakannya namun
dibatalkannya sendiri. Ia tidak menyangka, orang yang
usianya sudah meningkat ternyata sedemikian kosen.
Sekarang saatnya sudah tiba, mendadak ia berseru dan
tangan kirinya terayun menimpukkan tiga buah piauw secara
beruntun. Lalu tanpa menantikan bagaimana hasil
serangannya itu, tangannya terus meraba kantong kulitnya
dan mengambil tujuh batang tempulingnya"
Eng Eng tidak menyangka bahwa orang gusar dan terus
menyerang dirinya, tetapi ia selalu siap sedia, bahkan ia
sempat melihat lawan merogoh kantong kulitnya. Maka sambil
berkelit dari ketiga piauw, ia tak lengah, terus ia menatap
tangan musuhnya dan ia menduga pada senjata rahasia
beracun. Selepasnya senjata itu ditimpukkan , ia putar
pedangnya untuk menangkis. Tubuhnya bagaikan tertutup
pedang. Tiga kali terdengar suara tang ting tong, terus ketiga
piauw sudah jatuh ketanah.
Dilain pihak dengan tangan kirinya ia mengeluarkan Thie
Lian Cie, teratai besinya. Dua biji untuk disembunyikan
didalam lengan baju. Tak dapat ia berlaku ayal, segera ia
melihat tujuh sinar terang meluncur ke arahnya, empat diatas,
tiga dibawah. Tak dapat ia menyampok semua senjata itu
yang ia terka senjata rahasia adanya. Maka guna
menyelamatkan diri ia membuang tubuhnya kesamping untuk
terus bergulingan. Itulah jurus silat "Go Tae Liong" atau "Naga
Tidur Ditanah". Dilain pihak, dengan pedangnya barulah ia
menyampok tiga yang kebawah itu hingga ketiga tempuling
itu terasampok mental! Souw Tay Liong terkejut hingga hatinya gentar
menyaksikan ketangkasan lawannya. Sedang menurut
dugaannya, musuh tak akan lolos dari salah satu dari sepuluh
senjata rahasianya, terutama tempulingnya yang beracun. Ia
menjadi sangat penasaran, sambil kertak giginya ia
menyerang pula dengan lima biji tempulingnya yang telah ia
keluarkan dengan sangat cepat dari kantongnya.
Kali ini Eng Eng pun sudah siap sedia. Setelah menjatuhkan
diri ia lantas bangun. Ketika kelima senjata rahasia tiba, ia
sampok runtuh semuanya, ia putar pedangnya rapat
mengurung dirinya. Tay Liong makin gusar, ia menyimpan goloknya
dipunggungnya, terus menggunakan kedua tangannya untuk
meraup senjata rahasianya. Kiranya disamping tempuling Hui
Hie Cie, iapun membekal Hui Hong Ciam, jarum "Belalang
Terbang". Ia lalu menggenggam masing-masing tujuh buah
terus menyerang bagaikan hujan. Ia sudah merasa pasti kali
ini tidak akan gagal pula".
Jago dari luar lautan ini tidak pernah menyangka bahwa
Ngay Eng Eng adalah seorang ahli dalam soal menghindari
senjata rahasia, baik dengan berkelit maupun dengan
pedangnya. Dan kali ini Eng Eng memutar tubuhnya bagaikan
gangsing, pedangnya turut berputar melindungi seluruh
tubuhnya. Maka nyaringlah suara bertemunya senjata rahasia
itu dengan pedangnya, yang pada jatuh langsung ketanah
atau terpental jauh! Tay Liong terkejut menyaksikan lihainya lawan, hingga ia
melongo. Justru itu Eng Eng melompat ke arahnya dan
menebas ke arahnya. Tanpa tahu apa-apa, pedang lawan
sudah menebas kutung batang lehernya hingga robohlah
tubuh dan kepalanya secara terpisah dan darahnya muncrat
bagai air mancur. Cie Seng Ciang kaget menyaksikan
kebinasaan adiknya itu, dia menjadi sangat gusar sehingga dia
lupa pada lawannya yang gagah luar biasa.
Dia lantas mengeluarkan suara kemarahannya: "Kurang
ajar! Bagaimana kau berani membinasakan adik angkatku"
Aku Cie Seng Ciang akan mengadu jiwa denganmu!"
Lantas dia keluarkan senjata rahasianya, sebab dia tak mau
menggunakan pedangnya. Dia menurunkan sebuah
bungkusan kuning dari punggungnya, dari situ dia menarik
keluar sepasang Cu Bo Wanyo Kauw, Kaitan "Bebek Mandarin"
Kaitan ini beda sekali dari kaitan "Kepala Harimau" yang biasa
orang miliki. Yang kiri panjang dua kaki delapan dim, yang
kanan lebih panjang empat dim, besarnya sebesar jari tangan
dan di belakangnya dilapisi emas hingga bersinar gemerlapan
menyilaukan mata. Ujung atau kepala kaitan bercagak tiga,
yang ditengah mirip tombak cagak, yang kiri dan kanan mirip
jie-ie, yaitu semacam tongkat lambang agama Sang Buddha.
Gagangnya disertakan besi pelindung, guna melindungi
tangan yang memegangnya dari serangan senjata lawan.
Pelindung itu bukan mirip tombak cagak tapi sama seperti
kaitan melengkung, pada ujung gagang diikatkan pita yang
berkibaran tertiup angin.
Begitu melihat orang memegang kaitan itu, Eng Eng
menyadari kalau Seng Ciang benar-benar lihai. Kaitannya
sendiri sudah hebat, apalagi pitanya itupun dapat dipakai
untuk melibat senjata musuh! Segera Eng Eng bersiap,
demikian juga lawannya. Cie Seng Ciang maju setindak.
"Sahabat, lihat senjataku!" katanya nyaring. Sambil
melangkah maju, ia mulai penyerangannya. Dengan cagak kiri
ia mengancam, sedang serangan yang sebenarnya ialah cagak
kanan yang menuju keiga lawan.
Eng Eng sudah siap, mudah saja ia menghindar,
berbarengan dengan musuh, pedangnyapun menyambar
kelengan kanan guna membabat lengan itu dengan jurus
pedang "Membuka Penglari Menukar Tiang" Seng Ciang
mundur sambil mendak, terus tubuhnya berputar untuk
selekasnya menggempur pedang lawan dengan jurus silat
"Kipas Besi Menyambut Angin" keras ia menggempurnya.
Eng Eng menyambut dengan gerakan "Elang Kelabu
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Membuka Sayap", selekasnya lolos ia mendak, guna terus
menyerang pula membabat kebawah beruntun hingga tiga kali
pulang pergi dengan jurus pedang "Angin Timur Mencuci
Jembatan" Dengan sepasang kaitannya Seng Ciang membebaskan diri
dari ancaman pedang, terus ia membalas menyerang. Mulanya
ia melompat maju, setelah datang dekat lawan sambil
memiringkan tubuhnya ia menikam. Eng Eng mesti berlaku
awas. Tak mau ia memberi kesempatan pedangnya terkait
atau terlibat. Ia menggeser kaki kirinya ke belakang tubuhnya
untuk mundur, dengan begitu senjata lawan tidak mengenai
sasaran dan iapun bebas. Belum sempat ia menenangkan diri,
sepasang kaitan musuh sudah tiba pula, maka lantas ia
mundur setindak sambil kakinya terus dijejakkan untuk
membuat tubuhnya mencelat mundur lebih jauh, inilah yang
dinamakan tipu "Di Tepi Jurang Menahan Kuda"
Hebat Seng Ciang, gagal serangan pertama menyusul
serangan berikutnya. Demikian ia sudah mengulangi
serangannya tanpa henti, ia ingin pedang musuh terlibat dan
terlepas dari cekalan atau terpental jauh. Ketika musuh
mundur ia merangsek, hingga ia mengikuti lawan bagai
layang-layang putus. Lalu dengan kaitannya lagi-lagi ia
menyerang jalan darah Beng Bun.
Selagi melompat mundur, Eng Eng sudah
memperhitungkan kemungkinan lawan menyusul
membayanginya, maka ia juga telah siap sedia. Dengan
kecepatan luar biasa, ia memutar tubuh, buat menghadapi
lawan. Tubuhnya mendak sedang pedangnya menangkis. Ia
memutar tubuh dengan gerakan "Naga Kuning Membalik
Badan", terus ia berseru bengis: "Kena!" Dan pedangnya
menusuk dari bawah keatas dengan jurus "Menolak Mega
Mengejar Rembulan" Ia membabat sebelah lengan lawannya
yang ganas itu. Seng Ciang terperanjat. Tak disangka olehnya bahwa lawan
demikian lihainya. Ia lantas menarik tangannya yang dipakai
menyerang itu, sebaliknya dengan tangan kirinya yang
mencoba mengkait pedang lawan. Eng Eng membebaskan
pedangnya dengan gerakan "Membalik Kepala Memandang Si
Putri Malam" habis itu ia membalas dengan membabat kaki kiri
orang she Cie itu. Seng Ciang terkejut. Maka ia menyelamatkan dirinya
dengan menangkis dengan sepasang kaitannya, membuat
kedua senjata beradu keras menerbitkan suara nyaring.
Saking kerasnya senjata beradu, hingga kedua pihak pun
merasakan tubuhnya bergetar.
Jilid 7 Diam-diam Eng-Eng tunduk akan melihat pedangnya,
hatinya lantas menjadi lega. Pedangnya itu tangguh, tidak
sampai menjadi bengkok melengkung, bahkan lecetpun tidak.
Kapan Seng Ciang pun melihat kaitannya, ia terkejut sekali. Ia
tidak menyangka pedang musuh begitu kuat sekali. Kaitannya
telah sompal akibat adu kekuatan itu, walaupun cuma codet
saja. Yang membuatnya berkecil hati adalah kepercayaan
bahwa siapa senjatanya sompal, itulah alamat atau pertanda
tidak baik... Seng ciang heran sebab ia tahu kaitannya terbuat dari besi
dan baja campurannya terpilih dan buatannya juga sempurna,
toh senjatanya itu masih kalah. Itu pula bukti lawan bertenaga
kuat. Karena ini ia memikir buat tidak melawan keras dengan
keras. Ia mau mengandalkan kelicinan atau kecerdikannya.
Segera kedua pihak sudah mulai bergebrak pula. Seng Ciang
bertindak dengan hati-hati bagaikan naga marah, demikian
kedua kaitannya jago luar lautan ini bergerak-gerak.
Untuk melayani musuh yang telah menjadi nekad seperti
itu. Eng Eng menggunakan kepandaiannya yang menjadi
latihannya selama tiga puluh tahun lebih. Yaitu ilmu pedang
Bu Kek Kiam. Saking serunya ia sudah menjalankan sampai
seratus dua puluh lebih, sedangkan jumlah semua jurusnya
ialah seratus sembilan puluh lima.
Coba musuh bukannya Cia Seng Ciang pasti musuh itu
sudah roboh siang-siang. Seng ciang dapat membuat dirinya
berada disebelah belakang lawan, segera dia mementangkan
kedua senjatanya, untuk diteruskan menghajar punggung
lawannya itu. Itulah jurus " Dewa Thio mengantar arak. "
Eng Eng belum sempat memutar tubuh ketika ia insyaf
akan datangnya bahaya, maka dengan cepat ia berbalik sambil
menangkis dengan secepatnya, dengan tenaga penuh. Itulah
tangkisan yang juga merupakan serangan.
Seng Ciang terkejut. Kedua tangannya bisa terbabat putus.
Tapi ia bukanlah seorang lemah. Tidak menanti sampai
tibanya pedang ia mendahului mundur tujuh kaki. Eng Eng
mendongkol. Ia mengharap mampu merobohkan musuhnya
itu. nyata ia gagal. Tidak bersangsi pula, ia lompat mengejar.
Segera ia menikam pinggang lawan. Ia menggunakan tipu
pedang " Angin Mengantarkan Pelayaran Sungai. "
Seng Ciang merasakan angin menyambar dibawah ia tahu
halnya penyerangan tengah mengancamnya. Untuk
menyelamatkan diri, ia mendahului memutar tubuh sambil
lompat berjumpalitan. Namanya jurus silat itupun " Ular naga
berjumpalitan. "tepat dengan cara bergeraknya, Maka ujung
pedang cuma mampu mendekati tiga dim , lantas tak
mengenai. "Bagus!" berseru Seng Ciang yang membalas menyerang
dengan jurus "Sepasang gelang mengalangi rembulan". Saking
cepatnya ia berhasil menggempur pedang lawan hingga sekali
lagi kedua senjata bentrok keras. Bahkan kali ini pedang kena
terlibat. Itu jadi mirip dengan pertarungan hidup dan mati.
Niatnya Seng Ciang yaitu merampas pedang lawannya itu.
Dilain pihak, Eng Eng mau mengadu tenaga kalau perlu suka
ia mengadu jiwa. Maka keduanya menjadi saling menarik. Eng
Eng berlaku cerdik tengah saling tarik itu ia menolak.
Seng Ciang terperanjat. Diluar sangkaan, ia kena tertolak
mundur sepuluh tindak lebih.
"Benar kau lihai !" serunya mendongkol. Tetapi ia diamdiam
ia melirik dana mengedipi mata Mie a Lun.
Kawan itu mengerti, segera ia mengangkat tubuh Souw Tay
Liong buat dipanggul dan dibawa lari. Seng Ciang menanti
kawan itu sudah lari sedikit jauh, ia lompat mundur, sesudah
mana ia memutar tubuhnya dan lari menyusul kawannya. Eng
Eng melihat orang meninggalkannya pergi. Ia membiarkan
saja tak ada niatnya untuk mengejar, sebaliknya ia
memberikan obat kepada Pek Hong Tojin, hingga ia lekas
pulih juga kesakitannya. Setelah itu ia menotok bebas pada
Kam Hong Tojin. "Si bajingan sudah pergi, mari kita pulang!"
Kemudian si jago tua mengajak. "kalau ada terjadi sesuatu
di kuil, mungkin kita dapat memberikan bantuan kita."
Sim Hong bertiga mengangguk, maka berempat mereka
berlari pulang. Malam itu bulan indah tetapi sang mega menutupinya,
membuat sang jagad malam suaram terbenam dalam
kesunyian. Kalau toh ada yang terdengar, itulah suara siuran
perlahan dari daun-daun pohon cemara serta berkericiknya air
kali. Eng Eng lagi di depan. Ia menggunakan tenaga Kun Goan
It Khie Kang. Hingga seolah-olah kakinya tidak menginjak
tanah. Karenanya, ditanah pegunungan itu dapat berlari
seperti ditanah datar. Sim Hong bertiga mencoba mengejar,
mereka tidak berhasil. Mereka berdua tetap terpisah dua
tombak lebih. Maka didalam hati mereka mengagumi dan
memuji jago tua itu. Tengah mereka berlari lari itu mendadak Eng Eng
mengangkat kepalanya memandang kepinggang gunung.
Itulah karena telinganya mendengar sesuatu. Maka lantas ia
melihat beberapa batang panah api meluncur diudara,
mulanya naik terus turun kembali setelah tampak lantas
lenyap. Menyusul itu dari lembah puncak yang ketiga terlihat
naiknya enam buah balon Khong Beng Teng yang ... tidak
jelas..... dan tiga sisanya berwarna kuning semua. Mengikuti
tiupannya angin timur laut, semua balon melayang ke arah
Siauw Lim Sie. Pada malam seperti itu, munculnya balon itu
menyolok mata. Sesudah itu menyusullah suara nyaring dari
genta kuil yang berbunyi tak hentinya.
"Celaka!" seru Eng Eng terkejut. "Pasti kawanan bajingan
sudah menyerang Siauw Lim Sie!" Lantas ia percepat larinya.
Walaupun demikian, masih sempat ia menunjuk ke tanah
datar di luar kuil sambil ia berkata pada ketiga kawan
imamnya : "Totiong bertiga lihat! Bukankah itu kelima Tianglo
dari Siauw Lim Sie tengah memimpin murid-muridnya guna
menentang lawan?" Sin Hong bertiga menandang ke arah yang ditunjuk itu.
Memang di depan pintu Pekarangan dari Siauw Lim Sie terlihat
satu pertempuran ramai, orang bergerak-gerak dan golok dan
pedang saling sambar. Nampaknya pertempuran itu hebat
sekali. "Mari kita maju!" Sin Hong mengajak Eng Eng yang tangan
bajunya ia tarik. Ia sendiripun mempercepat larinya.
Di dalam waktu yang singkat, tiba sudah mereka berempat
di tempat pertempuran. Hingga sekarang mereka dapat
melihat dengan tegas. Pihak musuh benar-benar adalah Hek Keng To Sam Koay,
ialah tiga "jia" (samkoay) dari Hek Keng To, pulau ikan Lodan
Hitam, Thia Lohan Kee Liong Si arhat Besi, Giok Bin Sian Kong
Tan Hong si Rase Sakti Bermuka Kemala dan Cek Hong Siancu
Cin Tong Si Dewa Angin Merah. Mereka lihai sekali, mereka
menabas kesana kemari terhadap para pendeta yang
mengepungnya, diantara siapa yang telah banyak yang roboh
terluka dan terbinasa. Bertiga mereka dibantu oleh Kan Tie Uh
si murid murtad dari Siauw Lim Sie yang berlaku sebagai
cecolok atau penunjuk jalan. Dia lihai dan dia dapat
menghadang Gouw cang dang Gouw Gie dua tertua dari
Siauw Lim Sie. Dia bersenjata golok, saban-saban dia berseruseru,
rupanya guna mengacaukan pihak kuil.
Gouw Ceng gusar dia melesat ke belakang orang murtad
itu dengan senjatanya hong piausan dia menyontek ke
belakang kepala orang. Dia menggunakan jurus "Membiak
Awan Melihat matahari." Kan Tie Uh menjatuhkan diri dalam
gerak "Keledia Malang bergulingan" setelah jatuh lantas dia
menghajar kedua kaki lawannya itu. Gouw Ceng berlompat
berkelit atas mana musuhnya segera meneruskan menyerang
kepada Gouw Gie, saudaranya seperguruannya itu. Hingga
mereka bertiga jadi bertempur seru.
Rombongan Hek Keng To ini datang menyerang secara
tiba-tiba. Sengaja mereka mendahului waktu undangan atau
tantangan dari In Gwa Sian berdua Pek Cut Tojin. Mereka
ingin ketahui persiapan dan kekuatan pihak Siauw Lim Sie itu.
Mereka datang bersama-sama rombongan dari pulau To Liong
To dan lain-lain seperti Cie Seng Ciang Siauw Tiong Seng thia
Han Bin Tiong Lam Cay, Tio It In Lie Tay Keng, Mie A Lun
Souw Tay Liong dan Lie Seng. Setibanya di wilayah kuil
mereka lantas memencar diri dalam beberapa rombongan.
Sengaja pula mereka menyerang di waktu malam, niatnya
kalau bisa sekalian membasmi musuh, merampas dan
menduduki Siauw Lim Sie supaya kuli itu dapat digunakan
mereka sebagai pangkalan untuk melaksanakan lebih jauh
maksud mereka menjagoi dunia Rimba Persilatan seluruh
Tionggoan. Ketika itu Kan Tie Uh merasa puas sekali sebab seorang diri
ia sanggup menentang kedua Tianglo dari Siauw Lim Sie.
Setelah menonton sejenak itu, Eng Eng menjadi naik darah.
Sebab ia menyerukan tingkahnya si manusia murtad. Ia lantas
berseru seraya terus maju untuk segera menyerang dengan
kedua tangan kosongnya menotok dua jalan darah seng bun
dan hong hwe. Tak ada lagi sedikitpun rasa kasihannya. Ke
dua Tianglo, ia berkata : "Taysu silakan mundur! Biarkan aku
yang membereskan telur busuk ini!"
Kan Tie Uh terperanjat. Seruannya itu membuat telinganya
ketulian. Tapi dia tak menjadi bingung. Tahu akan datangnya
musuh baru, dia menyerang Gouw Ceng dan Gouw Gie,
selekasnya dua pendeta itu berkelit, ia lompat keluar
kalangan. "Cegat dia!" teriak Eng Eng pada Sin Hong Tojin, tetapi
imam itu justru baru saja merintangi Kee Liong. Karena itu
terpaksa ia sendiri yang berlompat lebih jauh, menghadang
sambil menyerang pula. Kan Tie Uh juga gusar maka dia segera membacok
penghadangnya itu, hanya setelah menyerang lantas dia
lompat mundur kembali tiga tindak.
"Manusia busuk, kemana kau hendak lari?" Eng Eng
membentak. Baru sekarang nampak Tie Uh bingung. Kembali Eng Eng
menyerang dengan kedua tangannya dengan gerakan "Elang
Mengacau Lautan" Ia hendak menghajar kepalanya si pendeta
murtad. Justru disaat mengancam Tie Uh itu, satu bayangan orang
terlihat lompat ke arahnya, untuk menaruh kaki di depannya,
sedangkan dari mulut bayangan itu, ya. orang itu terdengar
bentakannya yang nyaring : "Aku datang! Bangsat tua, jangan
banyak tingkah." Terus kata-kata galak itu ditutup dengan
satu serangan kebutan ke arah jalan darah kiok-tie!
Eng Eng berlompat mundur, menyingkir dari serangan tibatiba
itu, selekasnya ia mengangkat kepalanya, ia mengenali
penyerangnya ialah Beng Leng Cinjin, kepala dari sekalian
bajingan dari Hek Keng To, pulau Ikan Lodan Hitam. Tangan
kiri dia itu mencekal hokutim kentulannya dan tangan
kanannya memegang pedang. Dengan pedangnya, dia
barusan menikam juga ke jalan darah co-leng. Serangan itu
menandakan ketelengasan. Bukan main mendongkol dan gusarnya jago tua itu maka
setelah orang menyerang pula ia pula melengkung kedua
tangannya untuk membalas menyerang tangan kanannya
menotok ke jalan darah yu leng. Parasnya Beng Leng Cinjin
menjadi merah. Diapun gusar. Dia menarik pulang pedangnya
untuk menabas ke depan dada guna mencoba mengutungkan
lengan lawan. Dengan kebutannya dia menyampok dari
samping menyambar jalan darah thay yang dari si jago tua.
Untuk penyerangnya ini, dia maju dua tindak.
Sin Hong Tojin kuatir nanti Eng Eng gagal ditangannya
ketua dari Hek Keng To itu maka ia berniat memberikan
bantuannya karena itu segera ia menyampok Kee Liong yang
ia hadang itu hingga Si Arhat Besi roboh tersungkur.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tepat itu waktu Gouw Tek Taysu tiba di situ maka dia
lantas menyerang Kee Liong yang sedang coba bangkit berdiri.
Sin Hong sendiri tanpa ayal pula menghampiri Beng Leng
untuk menyerang imam itu dengan tangannya mengarah jalan
darah Kiok-tiong di punggungnya. Hebat serangan itu, kalau
sasaran itu kena maka batang leher orang bakal patah dan
nyawanya akan melayang pergi.
Tetapi Beng leng Cinjin lihai, nyalinya besar, matanya
tajam, tanpa melihat lagi tanpa memutar tubuh, dia
menangkis ke belakangnya dengan tebasan "Burung Phoenix
Mementang sayap" maka bebaslah ia dari ancaman
malapetaka! Di samping menangkis sambil membacok itu Beng Leng
juga menyerang, ialah dengan kebutannya yang diputar
hingga menggulung. Hampir Sin Hong celaka, untung masih
keburu berkelit. Sejenak itu, berhentilah pertempuran mereka. Beng Leng
Cinjin berdiri mengawasi para musuh, ia berkata dengan
seram, nadanya mengejek : "Apakah berdua hendak melayani
aku seorang diri?" Parasnya Eng Eng merah padam. Ia menjawab keras :" Aku
si orang tua sendiri saja dapat aku melayani kau untuk
dibereskan hingga tak usahlah aku meminta bantuan orang!"
Terus ia berpaling kepada Sin Hong Tojin untuk berkata :"
Toya, silakan kau membekuk dia orang jia itu serta itu
manusia murtad!" Sin Hong Tojin menurut sambil mengiakan ia lantas
meninggalkan dua orang itu. Ia menuju langsung kepada
Gouw Tek yang tengah menempur Kee Liong. sebab musuh
itu sempat bersiap sedia melakukan perlawanan. Lucunya
kedua orang itu bertempur ilmu silat Hong Mo Thung dari
Siauw Lim Sie. Itulah ilmu silat Tongkat Penakluk Bajingan.
Disaat itu juga Gouw Tek sudah keteter sebab ia telah berusia
lanjut. Ia telah bermandikan peluh pada kepala dan mukanya.
Dilain pihak lagi Kan Tie Uh ialah berhasil dirintangi Gouw
Ceng dan Gouw Gie sedangkan Tan Hong bersama Cin Tong
lagi mengamuk diantara para pendeta yang mengepungnya.
Sepasang pedang mereka main bacok dan tebas saj. Hingga
ada belasan pendeta yang terbinasa dan luka. Di saat mereka
sampai di muka pintu, disitu mereka terhadang Gouw Jiu
Taysu yang baru muncul dari dalam kuil. Pendeta itu dengan
tongkatnya menyerang untuk mencegat.
Sin Hong lantas mengawasi kepelbagai penjuru lalu dia
mengambil keputusan buat membantu Gouw Tek Taysu.
Hanya itu mereka terpisah satu dari lain cukup jauh tak dapat
ia menghampiri dalam sekejab. Justru itu pendeta itu tengah
terancam bahaya oleh Kee liong yang menyerang dengan
pukulan "Menggempur Genta Emas" Terpaksa imam ini lantas
mengeluarkan tiga batang teratai besi dan segera menimpuk
ke arah musuh. Tanpa membiarkan musuh bernapas hendak ia menghajar
mati musuhnya, walaupun ia mendengar serangannya si
imam, bahkan juga suara menyambarnya senjata rahasia, ia
tak keburu melindungi dirinya. Sambil berteriak keras saking
nyerinya, mundurlah ia terhuyung-huyung hingga lima atau
enam tindak. Senjata rahasia itu menembusi punggungnya.
Justru begitu Gouw Tek menggunakan kesempatan yang baik
untuk lompat menghajar dengan tongkatnya sambil dia
memuji "Amida Buddha, hari ini lolap membuka pantangan
pembunuhan!" Belum lagi tongkatnya melukai korban tiba-tiba
ia berteriak nyaring secara menyeramkan dan tubuhnya terus
terpelanting jatuh sejauh setombak lebih.
Sin Hong Tojin kaget sekali. Ketika itu belum sempat dia
menghampiri pendeta itu. Dari jauh terlihat satu bayangan
orang yang melayang cepat ke arahnya. Belum sempat dia
melakukan sesuatu, bayangan itu sudah tiba disisinya. dalam
kaget dia berlompat mundur. Masih sempat ia melirik Gouw
Tek taysu siapa berguling di tanah dengan keadaan yang
sangat menderita. Ia heran kaget dan ia mengawasi bayangan
katai kecil itu. "Eh mau apakah kau mengawasi aku saja?" demikian
bayangan itu yang sebenarnya salah satu bajingan, suaranya
kecil tetapi tajam dan iramanya menusuk telinga. "Mungkin
kau tidak kenal aku" Akulah Siauw Tiong Beng dari To Liong
To!" Baru sekarang Sin Hong dapat membuka mulutnya.
"Orang she Siauw!" bentaknya "Kiranya kau telah
berkomplotan dengan murid murtad Siauw Lim Sie, tiga jin
dari Hek Keng To dan bajingan2 lainnya dari To Liong To
datang mengacau Siauw Lim Sie."
"Apakah kau tak kuatir dari Sungai Telaga nanti
mentertawakanmu" Jika kau kenal selatan, lekas-lekas kau
mengangkat kaki dari sini!"
Mendengar teguran itu, Siauw Tiong Beng terbangun
alisnya, dia tertawa tergelak-gelak.
Sin Hong Tojin sementara itu berpikir. "Melihat suasana ini,
terang sudah bahwa satu pertempuran besar tak dapat
dihindarkan lagi! Gouw Tek terus bergulingan dan merintih,
pasti dia terluka parah. Jika dia tak lekas ditolongi mungkin
jiwanya bakal melayang ...." karena memikirkan demikian
tanpa menghiraukan si bajingan, ia lompat kepada pendeta
yang lagi menderita itu. Tapi di saat ia hampir sampai kepada
Gouw Tek, tahu-tahu Siauw Tiong Beng sudah menghadang
dihadapannya. Ia tidak melihat bagaimana orang itu bergerak
bahkan waktu orang mengibaskan tangannya. Ia merasakan
dorongan angin yang keras kepada mukanya dan jubahnya
berkibaran! Itulah tenaga tangan kosong yang mahir sekali
yang ia baru pernah lihat dan merasainya. Di dalam kaget ia
lekas-lekas membela diri dengan menggunakan tenaga lunak
Kiok Jin Kang, mengumpulkan tenaga dalam di seluruh
tubuhnya, sedangkan kedua kakinya yang berkuda-kuda
hampir melesak kedalam tanah. Dengan berdiri tegak dan
kokoh itu, dengan mata yang bersinar tajam, ia menatap
lawannya yang lihai itu. Siauw Tiong Beng tertawa berkakakan.
"Tak kurang tak lebih aku cuma menggunakan ilmu Hun
Kim Cu Kut Kang yang umum saja kepada budak berkepala
gundul itu!" kata dia menghina. "Nyata dia tak punya guna
baru tersentuh satu kali dia sudah roboh tak berdaya! Dengan
ini aku hendak membuatnya ketahui halnya bahwa ilmu silat
Siauw Lim Sie bukanlah ilmu jagoan hingga dikolong langit ini
tiada lawannya!" "Dan malam ini kami cari adalah Pek Cut si gundul serta si
pengemis yang disebut Pat Pie Sin Kit, untuk membuat
perhitungan!" Sin Hong menjadi tidak senang.
"Kau ngoceh tidak karuan!" bentaknya," Pek Cut Siancu
menjadi ketua dari sebuah kuil dan ia tersohor suci dan mulia
hatinya sehingga kaum rimba persilatan tak ada yang tak
menghormatinya. Kenapa kau berombongan dengan segala jin
dan bajingan mau menemuinya" Mana sudi dia menemuimu"
Kau baiknya jangan membuat kotor tempat suci ini."
Kata-kata si imam dari Bu Tong Pay ditutup dengan
serangan yangn mendadak terhadap si katai kecil itu yang ia
totok kedua jalan darahnya tionghu dan thian koat. Itu pun
jalan darah yang berbahaya, siapa yang tertotok walaupun dia
mempunyai tubuh Kim Ciong Tiouw, Lonceng Emas yang tak
mempan senjata, tetap akan terluka juga didalamnya.
Siauw Tiong Beng mirip terbokong tetapi dia tabah dan
gesit. Dia bukan berkelit justru mengajukan sebelah
tangannya yang semua jarinya terbuka untuk merintangi
serangan itu. Tatkala tangan mereka terbentur satu dengan
yang lain, si imam terkejut. Ia merasai tangan kanannya
seperti terkena tusukan jarum dan tangan kirinya tertindih
berat hingga sukar diloloskan, bahkan tenaga menindihnya
makin bertambah. Syukur disaat itu tibalah serombongan
pihak pendeta yang terus maju menyerang. Antaranya ada
yang lantas menolong Gouw Tek Siansu dan dibawa pergi.
Tibanya rombongan itu menolong si imam, sebab Siauw Tiong
Beng terpaksa meninggalkannya guna membela diri dari
kepungan para pendeta In Gwa Sian serta sejumlah muridnya.
Diantaranya turut juga Kiauw In bersama Giok Peng. Bahkan
ketika nona Pek baru saja tiba di muka pintu gerbang, ia
sudah dihadang oleh Thio Han Biu, Siauw Kui dan Tong Lam
Cay ketiga cabang atas dari To Liong To. pulau Naga
Melengkung. Disebelah ia, nona Cio dirintangi Lie Tay Kong.
Maka itu mereka sudah lantas bergebrak.
Giok Peng membentak ketiga musuh membuat mereka itu
terperanjat sebab suara si nona sangat berpengaruh.
Walaupun demikian, Siauw Kui toh sudah lantas mendahului
menerjang. Dia menikam dada si nona dengan pedangnya,
dengan ilmu pedang "Membuka Saluran Air Gunung."
Giok Peng menangkis tikaman itu dengan jurus "Benang
Sutera Melibat Lengan". Ia meneruskan menghajar. Siauw Kui
penasaran. Kembali ia menyerang, kali ini dengan jurus
"Sabuk Kemala Melilit Pinggang". Cepat serangannya itu ke
tubuh si nona ! Nona Pek berseru, tubuhnya mencelat naik
untuk dari atas membacok ke bawah. Pedangnya itu
berkilauan. Siauw Kui terkejut, ia melompat mundur tiga
tindak. Selekasnya Giok Peng menaruh kaki pula di tanah, ia
mendahului mengulangi serangannya guna mendapati tempat,
dan ketika yang terlebih baik, dan ia menikam lagi sebelum
musuh itu sempat membuat penyerangan balasan. Kali ini
musuh itu kena terdesak, terus dia terkurung sinar pedang
yang gemerlapan. Celakanya buat dia, dia mesti
menghindarkan senjatanya dari pedang si nona yang dia
sangka pedang mustika adanya.
Tong Lam Cay terkejut menyaksikan kawannya terdesak si
nona. Ia tidak lantas bertindak. Justru begitu Siauw Kui sudah
lantas terancam bahaya maut, sebab desakan lawan
membuatnya repot dan kelabakan ! Baru setelah itu, tanpa
terpikir pula ia melompat maju, guna menyerang si nona buat
membantu kawannya itu. Selekasnya mendapat bantuan itu, Siauw Kui kontan
merasa sedikit ringan, Giok Peng mesti melayani tenaga baru
itu. Bahkan lewat sedetik, dengan bantuan kawannya orang
she Siauw itu mencoba berbalik mendesak. Berdua mereka itu
bekerja sama. Dilain saat cepat sekali perubahan telah terjadi.
Ialah Nona Pek menjadi sangat cepat menghadapi kedua
lawannya walaupun pedangnya tajam, ia toh kena terdesak.
Thia Han Bin yang berdiri diam disisi selalu memasang mata,
selekasnya ia mendapatkan nona itu bagaikan tak berdaya,
sambil berteriak nyaring ia lompat maju menyerang. Tiga kali
ia membulang-balingkan goloknya, golok Ban-To yang
terkenal tajam luar biasa. Ia pula, dalam ilmu golok lebih
unggul dari pada kedua kawannya itu.
Giok Peng berkelahi dengan maju mundur. Ia menggertak
gigi untuk dapat mempertahankan diri.
"Hahaha !" tertawa Han Bin habis dia mendesak keras dua
kali. "Masihkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu dan
minta ampun " Apakah benar-benar kau mau mencari
mampus " Saudara-saudaraku, mari kita berbuat baik, kita
bekuk dia hidup-hidup !" Dia berkata-kata dengan lantang.
Giok Peng berkuatir berbareng mendongkol sekali, justru
begitu, mendadak ia bagaikan terasadar, ia terus ingat
sesuatu. Tidak ayal lagi, ia bersilat dengan ilmu pedang Thay
Kek Kiam yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Maka
berlawanlah pedangnya ! Maka didalam waktu yang pendek,
dari terdesak ia berbalik menjadi si penyerang.
Han Bin bertiga heran bahwa orang yang tinggal kalahnya
saja dapat membalik suasana secara sedemikian rupa. Mata
mereka pun lantas disilaukan oleh cahaya pedang
berkelebatan. Si nona menjadi bagaikan gempuran gelombang
sungai Tiang Kang ! "Budak ini benar lihai !" pikir Han Bin dalam bingungnya.
Sia-sia belaka ia mencoba mendesak pula. "Suasana begini
buruk, kalau aku tidak segera mengangkat kaki, kita bisa
sudah....!" Maka lagi sekali ia mendongak, niatnya ialah saat si
nona mundur melompat ke belakang dan mengangkat kaki...
Juga Siauw Kiu dan Tong Lam Cay memikir serupa sebagai
kawannya itu, maka mereka berbareng mencoba mencari
jalan keluar. Mereka memiliki kepentingan diri sendiri hingga
mereka lupa bahwa lain orang pun berpikir demikian.
Han Bin mencari ketika, ia segera melihat itu. Atas
desakannya, gerak gerik si nona seperti terkekang. Dengan
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 7 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pendekar Pemetik Harpa 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama