Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 5
sejak saat itu ia kehilangan kitab lima pedang Sam Cay Kiam
yang membuatnya kaget dan berduka bukan main. Itulah
kitab pusaka gurunya. Tak mestinya kitab itu lenyap, lebihlebih
tidak lenyap dari tangannya. Maka keras ia memikir,
menerka-nerka siapa si pencurinya. Ia lantas ingat tiga orang
yang dapat dicurigai, ialah Tong Hiang, budaknya Giok Peng,
Cin Tong dari Hek Kong To dan Gak Hong Kun, sahabat tetapi
saingan dalam percintaan.
"Tiga orang itu memiliki kepandaian akan mencuri Sam Cay
Kiam, " demikian pikirnya, "tetapi diantara mereka bertiga,
cuman Tong Hiang yang pernah mencurinya di Pey In Nia
baru-baru ini. Ketika itu Tong Hing suka mengembalikan kitab
itu sebab dia dinasihati Giok Peng, yang berlaku murah hati
terhadapnya. Mungkinkah Tong Hiang yang datang pula dan
mencuri lagi kitab itu " Kalau andiakata Cin Tong yang
mencuri, ada kemungkinan dia dianjurkan Tong Hiang atau
diperintah budak itu. Mengenai Gak Hong Kun, ia lebih-lebih beragu-ragu.
It Hiong jujur, tak berani ia sembarang menuduh orang.
Bukankah Hong Kun muda dan gagah " Mustahil Hong Kun
mau mencuri barang sahabat baiknya " Ia menganggap ia
adalah sahabat baik orang she Gak itu. Kalau Hong Kun
mencuri, tak malukah dia menghadapi rekan-rekannya kaum
dunia persilatan " Kalau tokh benar Hong Kun mencuri, itu
mungkin disebabkan urusan asmara, cintanya terhadap Giok
Peng hingga otaknya menjadi keras. Atau Hong Kun mau
gunakan kitab itu guna memaksa Giok Peng menyerah
terhadapnya. Satu malam It Hiong berpikir, masih ia belum dapat
mengambil keputusan. Kitab pedang itu tidak cuma
menyangkut gurunya, yang paling penting ialah akibatnya
nanti terhadap dunia persilatan. Celakalah kalau kitab pedang
itu jatuh didalam tangannya orang jahat yang berhasil
mempelajari itu hingga sempurna.
Demikian, walaupun ia belum dapat menerka siapa si
pencuri, mendekati fajar It Hiong meninggalkan Kiauw In dan
Giok Peng kepada siapa ia cuma meninggalkan surat. Ia turun
dari gunung Siauw Sit San. Dengan kepandaiannya lompat
tinggi dan ringan tubuh, didalam waktu tiga jam, dapat It
Hiong turun dari gunung itu, akan tetapi ia mau menduga si
pencuri boleh jadi masih ada didalam wilayah gunung itu,
maka itu ia lantas melakukan pemeriksaan, menggeledah
setiap gua atau bagian rimba yang lebat. Baru sesudah lewat
lohor, karena usahanya tidak memberikan hasil, ia turun terus,
akan melanjuti perjalanannya, sampai akhirnya ia tiba
dikecamatan Tong Hong dimana ia terus mencari rumah
penginapan. Kebetulan sekali bagi anak muda ini, dari mulutnya jongos
yang melayaninya, ia dapat tahu Hong Kun justru berada
dirumah penginapan yang sama dan mengambil sebuah kamar
diruang belakang. Untuk sejenak, ia menjadi bingung pula.
Segera menemui pemuda she Gak itu atau jangan.
"Apakah baik aku lantas bicara secara terus terang padanya
?" demikian ia berpikir. "Bagaimana kalau Hong Kun mengakui
mencuri dan lalu mengajukan syarat untuk mengembalikannya
" Aku menerima syarat itu atau jangan " Sebenarnya cukup
asal dia mengembalikan dan kita tetap bersahabat... Hanya
bagaimana caranya aku bicara langsung dengannya "
Dipihakku, aku tidak punya alasan atau bukti " Itu artinya
Bielang sahabat berbareng menambah seorang musuh...!"
Kemudian setelah memikir masak-masak, It Hiong putuskan
buat melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Pemuda ini memasuki rumah penginapan sesudah lewatnya
jam pertama selesai dia membersihkan muka, jongos sudah
menyediakan barang hidangan. Jongos ini doyan sekali bicara.
Dia omong ini dan itu untuk menarik perhatian si tetamu.
Tentu sekali ia melakukan tugasnya dengan baik itu supaya
orang suka pada penginapannya dan nanti memberi hadiah.
Sayang untuknya, pikiran It Hiong lagi kalut dia dibiarkan
ngoceh sendirian saja. "Tuan" kata si jongos kemudian sesudah dia melihat
temannya itu agak lagi berpikir keras. Dia pun ingat sesuatau,
"Tuan, apakah sahabat tuan tetamu kami yang tinggal di
ruang belakang itu?"
Benar-benar perhatiannya di anak muda menjadi tertarik.
"Apakah katamu ?" tanyanya.
"Jika tuan bersahabat dengan tuan itu, tuan Gak," kata si
jongos menjelaskan, "harap tuan berlaku hati-hati..."
It Hiong heran hingga ia melongo.
"Apakah artinya kata-katamu ini ?" tanyanya pula.
Senang si jongos yang perhatian tetamunya itu sudah
tertarik. "Sebab tuan, sebab tamuku itu aneh tabiatnya" dia
menerangkan lebih jauh. "Tuan Gak itu telah menamparku
tanpa aku bersalah. Dia lebih banyak merebahkan diri sambil
mengeluarkan airmatanya. Dia pula mempunyai sejilid kita
yang atasnya bertuliskan empat huruf...."
It Hiong makin tertarik. Hatinya tercekat.
"Apakah kau tahu apa bunyinya ke empat huruf dari buku
itu ?" tanyanya. Jongos itu mengawasi, dia tersenyum tetapi dia tidak
menjawab. It Hiong pun mengawasi pelayan itu. Ia cepat menangkap
mau orang, maka ia merogoh sakunya dan mengeluarkan
sepotong perak . "Kau ambil ini untuk kau membeli arak" katanya. "Sekarang
coba kau pikir, empat huruf itu huruf-huruf apa....?"
Tanpa malu-malu jongos itu menyambut sepotong perak
itu, terus dia masuki kedalam sakunya. Dia tertawa pula.
"Tuan baik sekali !" bilangnya. "Terima kasih banyak !"
Habis berkata tapi dia diam pula. Dia mengasi lihat tampang
sedang berpikir keras. "Dari emapt huruf itu, aku cuma kenal dua" sahutnya
kemudian. "Itulah dua huruf Sam Cay. Dua yang lainnya aku
tidak kenal..." It Hiong menerka kepada Sam Cay Kiam. Darahnya lantas
bergolak. Ia mendongkol berbareng berduka hati. Terang
Hong Kun adalah si pencuri kitab, sungguh tak terpikirkan
olehnya ! Hong Kun yang gagah dan bersahabat dengannya !
"Benarkah Hong Kun berbuat demikian hina ?" pikirnya
berulang-ulang. Ia terbengong dalam kesangsian. "Benarkah
dia ada sedemikian tak tahu malu ?"
Selagi si anak muda berpikir keras itu, jongos penginapan
terus berdiri diam. "Pergilah kau minum arak !" perintahnya. "Aku hendak
beristirahat !" Mendengar perintah itu, barulah si jongos bebenah dan
mengundurkan diri. Selewatnya jam tiga sunyi sudah seluruh hotel. Penerangan
di sana sini telah dipadamkan.
It Hiong belum tidur. Ia berlompat turun dari
pembaringannya terus ia menyingsatkan pakaiannya. Dengan
menggendol pedangnya, diam-diam ia keluar dari kamarnya.
Ia bertindak ke ruang belakang. Tak sukar buatnya mencari
kamarnya Hong Kun. Ia berdiri di depan pintu berniat akan
mengetuknya atau ia bersangsi sesaat. Diantara ia dan
pemuda itu ada ganjalan diluar kehendaknya. Diantara mereka
berdua ada budi dan perasaan.....
Tanpa merasa anak muda ini membayangi pula peristiwa di
Lok Tio Po. Itulah hal sangat menyedihkan. Bukankah itu
sama saja ia telah merampas pacar orang " Hal itu
membuatnya malu kepada dirinya sendiri, ia malu kepada
orang she Gak itu. Sedangkan ketika Giok Peng sakit parah di
Siauw ongpo, Hong Kun juga yang pergi mencarikan obat
hosin ouw, obat mujarab itu. Hong Kun melakoni perjalanan
ribuan lie akan mendapatkan obat itu dari tangan kekasihnya
Perlan Hiong si bunga rajah putih bersih. Jiwa Giong Peng
telah tertolong, itulah budi besar. Hal itu pula membuatnya
sangat mengagumi dan menghormati pemuda she Gak itu.
Lalu terbayang pula peristiwa lain. Kali ini halnya Hong Kun
sudah membinasakan Ciatkang Siang Kiat, kedua jago dari
Ciatkang itu yang mati kecewa. Dalam hal itu Hong Kun sudah
kesudian menjadi kaki tangannya pembesar negeri, sendirinya
menyia-nyiakan dan melenyapkan kehormatannya sebagai
orang Kang Ouw sejati.....
Dan yang terbelakang ini Hong Kun pula tak malu
menyelundup masuk ke Siauw Sit San, ke kuil Siauw Lim Sie,
dan secara tak terhormat sudah memancing Giok Peng
membuat pertemuan rahasia dengannya. Peristiwa itu dapat ia
sudahi, maka ia memaafkan pemuda itu, tetapi apa celaka, dia
justru mencuri kitab Sam Cay Kiam !
Itulah kitab sangat penting karya susahnya dari gurunya,
dan akibatnya dapat merusak rimba persilatan...
Maka ditimbang bolak balik, Hong Kun berbuat lebih
banyak kejahatan daripada kebaikan. Kebaikan terhadap Giok
Peng dan dirinya. Itulah soal pribadi. Menjadi keburukan ialah
bekerja dibawah perintahnya pembesar negara yang borok
dan mencuri kitab ilmu pedang, itulah kejahatan. Dan
akibatnya pencurian kitab ilmu pedang itu, akibatnya dapat
meruntuhkan rimba persilatan.
Akhirnya gusarlah anak muda ini, maka lantas dapat ia
mengambil keputusan. Ia bertindak mendekat daun pintu,
tangannya diulurkan, maka dengan satu suara keras terbuka
dan menggubraklah pintuk kamari itu. Sembari bertindak
masuk kedalam kamar ia berseru : "Kakak Gak, bangun !
Adikmu ingin bicara denganmu !"
Habis berkata ia mengeluarkan sumbunya untuk disulut
menyala hingga kamar itu menjadi terang.
Hong Kun mendusin. Sebenarnya dia terkejut, tetapi segera
ia dapat mengendalikan diri. Dia berlaku sabar sebab ia dapat
mengenali suaranya si pemuda she Tio. Ia bergerak untuk
duduk tak mau dia segera menyingkap kelambu. Dari dalam
kelambu itu dia berkata tenang-tenang. "Kiranya ada tamu
yang datang tengah malam begini ! Tetamu dari manakah
yang demikian baik hati datang menjengukku " Silahkan
duduk dahulu, hendak aku memakai pakaian !"
It Hiong berdiri, ia menanti sambil mengendalikan diri.
Lewat sesaat maka tersingkaplah daun kelambu. Disitu It
Hiong muncul dengan sikapnya yang tenang. Tentu saja dia
lantas melihat It Hiong yang lagi berdiri tegak dengan wajah
muram, sebab hati si anak muda sedang panas sekali.
"Kiranya kau kakak Tio !" katanya, nadanya dingin. "Kakak
datang secara begini tergesa-gesaan sampai mendobrak dan
merusak pintu tentunya ada urusan sangat penting bukan "
Saudara ada pengajaran apakah dari kau ?"
Selagi ia berkata-kata itu si anak muda menyantel
pedangnya dipinggangnya. Walaupun hatinya sedang panas saking gusarnya, It Hiong
tidak berani lantas menuduh bahwa orang telah mencuri kita
ilmu pedang gurunya. Sebisa-bisanya ia menekan hawa
amarahnya itu. "Aku dengar kakak mempunyai sejilid buku yang bagus,
sengaja aku datang untuk meminjamnya" katanya sabar.
Gak Hong Kun berpura tertawa.
"Aku sedang melakukan perjalanan," sahutnya. "Aku pula
sedang ada urusan sangat penting. Disini dimana aku
mempunyai buku " Harap saudara Tio tidak salah mengerti."
It Hiong mengawasi tajam.
"Kakak Gak, kaulah seorang jujur, kenapa kau mendusta ?"
tanyanya. Itulah teguran.
Mendadak saja Hong Kun memperlihatkan kemarahannya.
"Saudara Tio, jangan kau memaksa orang !" bentaknya.
"Darimana kau pernah melihat aku memiliki sesuatu kitab ?"
It Hiong juga tak dapat mengendalikan diri lagi.
"Aku paling tak dapat melihat perbuatan tak tahu malu
semacam ini !" ia pun membentak. "Siapa tidak ingin ketahui
perbuatannya, maka janganlah orang melakukan
perbuatannya itu." It Hiong berlompat maju ke depan pembaringan, ia
menyingkap kelambu dan membongkar bantal kepala.
"Hai perbuatanmu ini perbuatan apakah ?" tegur Hong Kun
gusar. "Aku Gak Hong Kun, biarnya aku muncratkan darahku
dalam lima tindak tak nanti aku membiarkan orang
memperhina diriku macam begini !"
Dan "Sret !" dia menghunus pedangnya.
It Hiong dapat mendengar suara pedang dihunus. Ia
menoleh seraya terus lompat ke samping pintu kamar, dari
situ ia mengawasi bengis pada si anak muda.
"Apakah kau menyangka aku cuma menerka-nerka saja ?"
tanyanya gusar. "Apakah kau kira kau cuma menangkap angin
membekuk bayangan " Ada orang yang menyaksikan
bagaimana kau menangis dan air matamu bercucuran
sedangkan buku Sam Cay Kiam itu jatuh ke lantai !"
Heng Kun melengak, tetapi hanya sedetik lantas ia
memperlihatkan pula wajahnya yang dingin.
"Memang aku mempunyai kitab semacam itu !" katanya
nyaring. "Aku tidak hendak meminjamkan buku itu padamu,
habis kau mau apa ?"
It Hiong melengak. Ia heran akan sikapnya pemuda di
depannya itu. "Aku ingat persahabat kita maka juga barusan hendak aku
dari kau, kakak." katanya. Ia menjadi sabar pula. "Tapi baiklah
kakak ketahui, kitab itu kitab karyanya guruku. Kau telah
mencuri itu, bagaimana kau masih hendak menyangkalnya "
Jika kau tidak mau mengembalikan itu secara baik-baik, maaf,
terpaksa aku akan berlaku kurang hormat terhadapmu !"
Berkata begitu, anak muda ini lantas menghunus
pedangnya, hingga terdengar suaranya yang nyaring anak
muda. Yang pertama dilembah Pek Keng Kok dan yang kedua
kali di gunung Siauw Sit San, maka tahulah ia kelihaian orang
muda itu. Sedangkan Kong Hong Kiam adalah pedang mustika
yang tajam luar biasa. Tapi dialah seorang muda beradat
tinggi, yang bangga akan kepandaiannya sendiri, dia tak takut
! Pula, selama ia gagal dalam urusan asmaranya dengan Pek
Giok Peng, ia pun bersakit hati, dalam kekecewaan dan
mendongkol, ingin ia mengadu kepandaian dengan
saingannnya itu. Sekarang rahasianya dibuka tentang ia
mencuri kitab, kemarahannya sampai di puncaknya. Ia malu
dan mendongkol, ia jadi seperti mata gelap.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, boleh kau andalkan ujung pedangmu untuk
mendapatkan pulang kitab ilmu pedangmu !" teriaknya
menantang. Tapi ia bukan cuma memperdengarkan suara
besar itu, ia bahkan mendahului menyerang. Itulah jurus
"Pohon Bunga Bwe Mengeluarkan Pasu" dan sasarannya ialah
ulu hatinya It Hiong. Bukan main gusarnya pemuda she Tio itu sebab sudah
terang orang berasal orang toh menyangkal dan mengotot,
lalu diakhir mengaku salah tetapi sudi meminta maaf akan
memperbaiki kesalahannya itu. Dalam murkanya, bersedia ia
melayani orang mengadu kepandaian cuma ia tak mau segera
mengandalkan pedang mustikanya. Dengan masih dapat
mengendalikan diri, selagi tikaman datang ia berlompat keluar
pintu kamar, terus ke halaman yang kosong. Di situ ia berdiri
menantikan. Hong Kun lompat menyusul. Ia putar pedangnya hingga
sinarnya berkilauan, lalu ia maju untuk menyerang. Dalam
sengitnya, ia menyerang secara berantai hingga tiga jurus.
It Hiong tidak menangkis atau membalas menyerang. Ia
juga tetap belum mau menggunakan pedangnya. Maka itu,
tiga kali ia berkelit terus menerus.
"Kakak Gak" katanya dengan sabar, "jika kau suka
mengembalikan kitabku itu, suka aku memulihkan
persahabatan kita. Kau setuju bukan ?"
Hong Kun tidak menjawab, dia justru menikam.
It Hiong melihat tidak ada tempat lagi buat ia main berkelit
mundur, ia pula sangat memikirkan kitab silatnya. Sampai
disitu habis sudah sabarnya. Maka itu ia lantas berkelit ke sisi
darimana segera ia mulai melakukan pembalasan. Ia menikam
dengan jurus "Kunang-kunang terbang menari-nari". Jurus itu
pula setelah serangannya yang pertama lantas disusul
perubahannya, semua sampai delapan tikaman dan tebasan
lainnya. Hong Kun dapat berkelit dari serangan yang pertama itu
lantas dia berkelit tak hentinya dengan demikian dengan
sendirinya ia kena terdesak mundur beberapa tindak.
Malam itu si putra malam sudah berada diarah barat,
sinarnya telah mulai sirna. Di tempat itu, es putih beterbangan
menyeluruh. Cahaya pedang yang bergerak tak hentinya
bagaikan memahat diatas es putih itu.
Hebat adalah dua anak muda itu, sama-sama muridnya
jago-jago silat yang kenamaan. Guru mereka ialah Thian Hee
Te It Kiam, jago pedang nomor satu dikolong langit dan Hong
San Kiam Lek, jago pedang dari gunung Hong San. Mereka
pula murid-murid pilihan.
Bentrokan-bentrokan pedang mendatangkan suara sangat
berisik, maka juga banyak tamu-tamu lainnya yang mendusin
dari tidurnya, mulanya mereka terkejut kemudian semua pada
mencari menonton. Hati mereka berkedutan saking hebatnya
pertempuran itu. Jongos hotel muncul dengan ketakutan, dia merasa jeri
sendirinya. Berulang-ulang dengan tidak lancar dia berkata :
"Tuan-tuan, harap kalian jangan berkelahi disini...."
Tiada orang yang menggubris pemintaan itu. Kedua anak
muda bertarung terus, tetap sama hebatnya.
Kembali si jongos berteriak-teriak, sampai akhirnya
suaranya itu terdengar juga. dengan berbareng kedua anak
muda berlompat mundur. "Saudara Tio !" kata Hong Kun yang menantang : "Saudara
kalau tetap kau menghendaki kembalinya kitab ilmu
pedangmu kau harus menggunakan kepandaianmu yang
sejati. Jika kau benar bernyali besar, lima hari lagi, aku
menantikan kau diatas gunung Hong San ! Di sana nanti aku
belajar kenal dengan ilmu silat pedang nomor satu di kolong
langit ! Baranikah kau bukan ?"
Habis mengucap itu, sekonyong-konyong Hong Kun
menjejak tanah untuk berlompat naik ke atas genteng guna
mengangkat kaki. It Hiong lompat menyusul, maka didalam waktu sekejap,
lenyaplah dua bayangan dari mereka, ditelan sang malam
yang gelap itu. Hong Kun kabur terus menerus, sampai ia beranda diluar
kota Tonghong, Setelah melintasi perjalanan duapuluh lie
lebih, ia berada disebuah jalanan yang sunyi. Sang fajar telah
tiba, maka juga sang surya mulai muncul diufuk timur. Sinar
matahari pagi indah dan hangat, angin pun bertiup halus,
membuat orang merasa nyaman.
Sampai disitu, pemuda she Gak ini tidak berlari-lari lagi. Ia
tidak melihat It Hiong mengejarnya terus. Ia berjalan selama
dua jam, tibalah ia di danau Yo kee cip. Biar bagaimana
hatinya tidak tenang. Rupa-rupa perasaan mengacaukan
otaknya. Ia tidak takuti It Hiong, ia hanya tak tenang hati. Ia
pikirkan Giok Peng. Memang niatnya ialah, dengan mencuri
kitabnya It Hiong, hendak ia gunakan itu guna mendesak dan
mempengaruhi Nona Pek itu. Ia masih menyintai si nona...
Hong Kun adalah sudah berpikir buat kembali ke Siauw Sit
San, supaya ia bisa menggunakan kesempatan akan bertemu
pula dengan Giok Peng. Hanya masih ada juga kekuatirannya
kalau-kalau ia akan kepergok It Hiong, itu artinya berabe dan
maksudnya bakal gagal. Selagi berpikir itu, pemuda ini sudah sampai di depan
restoran Hok Lay Rejeki. Datang tanpa merasa, ia bertindak
memasuki rumah makan itu. Ia lantas minta barang makanan
dan arak. Ingin dengar air kata-kata ia melenyapkan
kekacauan pikirannya itu. Tentu sekali ia mesti minum seorang
diri. Tak hentinya mulutnya meneguk araknya. Pikirannya juga
tak berhenti bekerja, ia sudah mengiringi lima poci arak tetapi
nasi dan barang santapannya belum pernah tersentuh
sumpitnya.... Sekian lama itu jongos itu selalu mengawasi tetamunya ini.
Ia dapat menerka kenapa orang minum saja tak makan tak
berkata-kata. Akhirnya ia datang menghampiri.
"Tuan !" tegurnya sembari tertawa, "tuan telah minum arak
pilihan kami, silahkan coba juga barang makanan kami yang
lezat-lezat !" Hong Kun berpaling kepada pelayan itu.
"Tambahkan dua botol lagi ! katanya keras. "Jangan
mengoceh tidak karuan !"
Jongos itu kebengongan. Justru itu dari meja disampingnya meja Hong Kun itu
terdengar seorang berkata begini : "Arak tidak membuat
orang sinting, orang yang membikin dia sinting sendirinya !
Bunga tidak memelet orang lupa daratan, orang lupa datang
sendiri !" Orang yang berkata itu adalah seorang imam, tubuhnya
tinggi besar dan kekar, disela leher bajunya tertancap hudtim,
kebutannya. Ditangannya ia memegang sebuah cangkir arak.
Ia dahului kata-katanya itu dengan gelak tawa, habis itu ia
menenggak araknya itu sampai cawannya kering. Lantas ia
berkata pula, menyambungi : "Meletakkan golok jagal,
menoleh ialah tepian... !"
Diakhirnya imam itu mengetuk-ngetuk mejanya, mulainya
memperdengarkan nyanyian perlahan-lahan.
Hong Kun dapat mendengar kata-kata orang itu, tak peduli
ia sedang risau. Ia tahu mengerti maksudnya itu. Telah ia
merasa seperti tertikam. Karena itu ia membentak : "Darimana
datangnya si manusia yang kurang ajar, yang bacotnya
mengoceh tidak karuan ?"
Imam itu seperti tidak mendengar suara orang itu, ia masih
memperdengarkan nyanyiannya, berulang-ulang ia minum
araknya ayal-ayalan, sedang tangannya pun tak berhenti
mengetuk-ngetuk mejanya bagaikan irama nyanyiannya itu...
Hong Kun menjadi habis sabar. Dia menjadi gusar.
"Tutup bacotmu !" ia membentak mendamprat. "Apakah
kau hendak mencoba-coba ilmu pedang Hong San pay " Mari
bangun !" Dan ia berjingkrak bangun dari kursinya, ia
berpaling kepada si imam sambil matanya mendelik,
mengawasi bengis. Mendengar tantangan itu, si imam tidak menjadi marah.
Dia malah tertawa lebar sampai suaranya itu terdengar diluar
rumah makan. Dia tertawa sambil melenggak. Setelah
berhenti tertawa, dia berkata : "Seorang anak muda begini
bertabiat keras, itu cuma akan mendatangkan keruwetan
pikiran sendiri ! Buat apa membangga-banggakan ilmu pedang
Hong San Pay " Buat apa bertingkah pula seperti juga disisimu
tak ada lain orang " Cobalah kau tanya dirimu sendiri,
dapatkah kau melayani ilmu pedang Khie Bun Pat Kwa Kiam
dari Pay In Nia " Hahahahahahaha !"
Bukan kepalang mendongkolnya Hong Kun. Dia lantas
mengunjuki tampang takabur.
"Kitab pedang Sam Cay Kiam dari Tek Cio Siangjin telah
berada ditanganku !" katanya jumawa. "Murid terpandai dari
dia itu pun tak mampu merampasnya pulang dari tanganku !
Kau pikir ilmu pedang siapa yang lebih sempurna ?"
"Oh, begitu ?" kata si imam tertawa. "Jangan kau mendusta
dihadapanku Beng Leng Cinjin !"
Gak Hong Kun terkejut. Kiranya orang ini adalah satu
diantara ketiga bajingan dari Hek Kong To. Ia merasa bahwa
ia sudah ketelepasan bicara.
Ketika itu diundakan tanggapun terdengar tindakan kaki
orang. Lantas tampak munculnya seorang wanita muda
pakaian luar biasa, sangat berbeda daripada pakaian wanita
seumumnya sedangkan mukanya terpupurkan medok
makanya itu makin bercahaya disebabkan warna pakaiannya
merah seluruhnya. Nona itu bagaikan mega merah.
Rambutnya yang dikekang dengan gelang emas tergerai
panjang dipunggungnya dimanapun tergendol pedangnya.
Tampak wanita itu sangat centil, matanya memain dengan
tajam. Dia bertindak naik dengan lambat-lambat. Tiba diatas,
lantas dia mengambil tempat duduk. Segera dia memanggil
jongos, minta disediakan barang santapan berikut sepoci arak.
Melihat si nona, si imam tertawa dan menegur : "Eh, nona
Tong Hiang kau juga datang kemari, ya ?"
Tong Hiang demikian nama nona itu, lantas berpaling.
Mengenali Beng Leng Cinjin, ia lantas memberi hormat.
"Karena terlambat oleh sesuatu hal, budakmu jadi lewat
disini" sahutnya. Dia membahasakan diri sebagai budak.
Imam itu menghela napas. Kata ia masgul : "Nona, tolong
kau sampaikan kepada Thian Cio Cianpwe bahwa hatinya
Beng Leng sudah jadi seperti air yang berhenti mengalir
hingga tak ada lagi kegembiraannya untuk turut hadir dalam
rapat besar guna merundingkan soal ilmu pedang di Tiong Gak
nanti. Nah, sampai jumpa pula kelak di belakang hari !"
Berkata begitu, si imam membayar uang kepada jongos
terus ia bertindak pergi. Tapi ia berjalan sambil tertawa gelak
dan mengucapkan : "Meletakkan golok jagal, menoleh..."
Suaranya itu lenyap sendirinya dengan berlalunya semakin
jauh... Jilid 10 Teng Hiang mengawasi berlalunya imam cabang atas dari
luar lautan itu, baru ia memandang sekitarnya. Ketika itu
tamu-tamu lainnya lagi berkasak-kusuk membicarakan tingkah
lakunya Beng Leng yang mirip orang edan. Dengan melihat
keseluruh ruang si nona jadi mendapat lihat juga pada Hong
Kun, yang duduk tenang-tenang saja, tangannya membolak
balik lembarannya sejilid buku.
Lantas si Nona Tong berbangkit dan bertindak
menghampiri. "Tuan Gak, masihkah kau mengenali Teng Hiang budak
pelayan dari Lok Tiok Po ?" sapanya.
Hong Kun menoleh. Ia melengak ketika mendengar
suaranya si budak pelayan, lebih-lebih sesudah ia mengenali
nona itu. Mulanya tadi ia tidak memperhatikan, ia tidak
mengenali nona itu karena orang berdandan secara luar biasa
hingga ia beda dengan Teng Hiang semasa dia di Lok Tiok Po
masih mengikuti Giok Peng. Teng Hiang sekarang dan Teng
Hiang dahulu sangat jauh berbeda.
"Apakah Locianpwe Pek Kin Jie di Lok Tio Po ada banyak
baik ?" ia tanya. Ia tanpa menjawab lagi pertanyaan si wanita
muda : "Apakah nona datang kemari untuk mencari Nona Pek
Giok Peng" Benarkah ?"
Mulanya Teng Hiang berdiri di depan orang tapi sekarang,
sebelum menjawab ia lantas menjatuhkan diri, duduk dikursi,
di depan anak muda itu. Ia mengawasi Hong Kun yang
tangannya menggenggam kitabnya itu.
"Nona Giok Peng ?" kemudian ia menjawab, suaranya
bagaikan mengasi. "Sekarang ini nona itu berada di Siauw Sit
San tinggal bersama-sama Tuan Tio ! Merekalah sepasang
burung mandaria yang hidup rukun dan manis ! Dan aku "
Aku hidup sebatang kara, luntang lantung di dalam dunia yang
luas ini. Mana mereka itu sudi memperhatikan padaku si Teng
Hiang " Akulah orang yang telah masuk dalam kalangan sesat,
apa perlunya mereka itu memperhatikan lagi padaku ?"
Hong Kun tercengang. "Kau sudah meninggalkan Lok Tiok Po ?" tanyanya.
Teng Hiang tidak menjawab, ia hanya mengganda tertawa.
Lalu tiba-tiba saja ia meluncurkan sebuah tangannya dengan
sangat cepat, hingga tahu-tahu buku ditangannya si pemuda
sudah berpindah ke tangannya sendiri.
"Kau sedang membaca buku apa ?" tanyanya, tingkahnya
acuh tak acuh, bagaikan orang bergurau. Diapun sudah lantas
membalik lembarannya buku itu.
Hong Kun terkejut sekali. Inilah diluar biasa ia mengulur
tangannya, guna merampas pulang buku itu.
Teng Hiang pun berlaku sangat cerdik dan cerdas, dengan
kehebatan luar biasa juga, ia menarik tangannya yang
memegang buku itu sedangkan dengan tangannya yang lain,
ia menyambar dan mencekal tangan orang !
Hong Kun kaget, ia terasadar dari pusingnya yang
disebabkan arak. "Kenapa Teng Hiang menjadi begini lihai ?" pikirnya. Lalu ia
kata sibuk : "Pulangkan buku itu padaku ! Aku sangat
membutuhkan buku ilmu pedang itu !"
"Sibuk buat apakah ?" Teng Hiang tanya tertawa. "Aku tak
membutuhkan buku macam begini ! Laginya buku ini pernah
terjatuh kedalam tanganku. !"
Hong Kun tidak menggubris kata-kata orang, dia
membutuhkan sangat kitab ilmu pedang itu, maka tanpa
menjawab, dia meluncurkan pula tangan guna merampas !
Teng Hiang menyambut tangan pemuda itu, hingga dia itu
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget dan lekas-lekas menariknya pulang. Setelah itu, kembali
ia mencoba merampas. Teng Hiang berkelit, lantas dia angkat tangan kirinya yang
memegang buku itu. "Kau kenapa kah ?" tanyanya tawar. "Buat apa kau bingung
tak karuan " Sudah aku bilang, aku tidak membutuh buku ini !
Hanya terlebih dahulu hendak aku tanya kau ! Kenapa kau
bilang kau sangat membutuhkannya ?"
Hong Kun bilang juga. Si nona terlalu cerdik dan licin. Tapi
ia perlu buku itu ! Lantas ia menggunakan akal. Ia mencoba
cara halus, Teng Hiang tidak dapat dilawan keras. Ia malah
berlaku terus terang ! "Buku ini aku butuhkan supaya aku dapat pakai guna
mendapatkan kembali Giok Peng" sahutnya. "Aku ingin dia
kembali kedalam rangkulanku ! Nah kau pikir, bukankah aku
segera membutuhkan buku ini ?"
Teng Hiang tertawa geli. Ia kembalikan buku itu dengan
jalan melemparkannya. "Oh !" katanya. "Sungguh tak ku sangka murid Heng San
Kiam kek yang sangat tersohor dalam dunia Kang Ouw tetapi
dia telah menggunakan caranya ini untuk mendapatkan buku
orang ! Inilah cuma demi sang asmara !"
Hong Kun tertawa. "Kau belum pernah merasai cinta !" katanya. "Kau belum
pernah dilandanya maka kau bicara seenaknya saja !"
Ketika itu jongos datang dengan barang hidangan dan
araknya si nona, yang dia atur diatas meja.
Teng Hiang menuangi arak pada cawannya Hong Kun, lalu
cawanya sendiri. "Tuan Gak, mari minum !" kta Teng Hiang seraya
mengangkat cawannya itu. "Hari ini hendak aku mewakilkan
Nona Giok Peng menghormati kau dengan satu cawan !" Dan
lantas ia meneguk araknya.
Hong Kun pula tetapi dia menjadi lihai sekali. Inilah sebab
kelakuannya si bekas budak yang demikian bebas tak ubah
dengan lagak laguknya seorang pria.
Demikian berdua mereka makan dan minum.
Selama itu Teng Hiang mendapat kenyataan walaupun si
anak muda sedang kacau pikirannya, dia tetap tampan dan
menarik hati, hingga hatinya tergiur juga maka satu kali
sambil tertawa ia kata : "Baiklah kau berpijak kepada kata-kata bahwa dari pada
masih mengingat-ingat peristiwa yang lama lebih baik
mengambil orang di depan mata ! Bukankah itu yang terlebih
baik " Jangan kau kacau sendiri tak karuan !"
Hong Kun mengawasi tajam. Kata dia sungguh-sungguh.
"Tahukah kau akan pepatah bahwa siapa berada di laut, dia
sukar mendapatkan air " Apakah kau menyangka aku si orang
she Gak seorang biasa saja " Orang dapat mengatakan apa
juga kepadaku tetapi aku bawa diriku sendiri ! Akan aku
berdaya sampai nanti aku mati.... !"
Lalu ia menghela napas panjang. Keduanya berdiam sekian
lama. "Habis Tuan Gak" kemudian Teng Hiang tanya, "apa saja
yang kau niat lakukan " Dapatkah kau beritahukan itu
kepadaku ?" Hong Kun suka bicara terus terang.
"Aku sudah berjanji dengan Tio It Hiong untuk bertempur
di Hong San" sahutnya. "Selesai mengadu kepandaian, hendak
aku pergi ke Siauw Sit San mencari Giok Peng guna
memberitahukan dia apa yang telah terjadi."
"Kalau tuan mau pulang ke Heng San inilah kebetulan."
berkata si nona. "Itulah jalan yang sama yang aku hendak
ambil ! Bagaimana kalau budakmu ini mengantarkan barang
satu lintasan?" Hong Kun mengangguk. Itulah tanda ia setuju.
Ketika itu sudah cukup mereka makan dan minum. Lantas
keduanya berbangkit, selesai membayar uang kepada jongos,
mereka bertindak keluar, untuk pergi ke pasar guna membeli
kuda. Dengan demikianlah mereka melakukan perjalanan
mereka. oooOooo Satu hari mereka berjalan terus, lalu mereka memutar
menuju ke propinsi Ouwlam. Disini, ditengah jalan mereka
bertemu dengan Cin Tong dan Tan Hong, kedua jago dari Hek
Keng To, luar lautan. Sampai Teng Hiang memisahkan diri dari
si anak muda, untuk ia turut bersama Tan Hong dan Cin Tong
berdua. Cin Tong dan Tan Hong itu tengah dalam perjalanan
mencari Beng Leng Cinjin kakak merangkap ketua mereka.
Mereka mau membujuki supaya ketua itu suka pulang ke
pulau mereka. Dengan Teng Hiang, mereka dari satu kaum,
maka itu dapat mereka berjalan bersama.
"Adik Teng Hiang" tanya Tan Hong, "tadi kau ada bersama
dengan bocah itu, siapakah dia ?"
"Dialah Gak Hong Kun, muridnya Heng San Kiamkek,"
sahut Teng Hiang. "Tadi aku bertemu dia di Yop Kee jip maka
kami berjalan bersama."
Sekalian bicara, budak yang gemar bicara itu lantas
menutur lakon asmara diantara Giok Peng dan It Hiong,
bahwa karena kedua pemuda itu mengganjal hati satu dengan
lain, maka juga mereka berjanji akan mengadu pedang di
Heng San. Tan Hong tertawa mendengar cerita itu.
"Aku lihat pemuda itu tampan, kenapa di kena dikalah si
orang she Tio ?" tanyanya. "Kenapakah sampai pacarnya itu
kena orang rampas ?"
"Sayang kau belum pernah melihat Tuan Tio itu, kakak
Hong" berkata Teng Hiang menjawab pertanyaan orang lain.
"Dalam hal rupa dan kepandaian, dia melebihi lain orang satu
tingkat. Dialah yang dibilang, siapa melihatnya tentu
menyukainya ! Tak heran kalau nonaku dahulu tergila-gila
terhadapnya. Kalau kakak bertemu dengannya, pasti kakak
pun bakal kena tersesatkan!"
Tan Hong tertawa pula. "Adik" katanya, "bukankah kau pun menaruh hati kepada
anak muda she Tio itu " Benar, bukan?"
Teng Hiang tunduk, lalu menghela napas.
"Inilah yang dibilang, air mengalir bunga gugur dan musim
semi pergi berlalu !" sahutnya. "Aku telah kehilangan
kesempatanku." "Kalian bangun wanita," Cin Tong campur bicara, "di dalam
hati dan pada mata kalian yang dipikirkan dan terlihat kaum
pria melulu ! Kalian sampai tak memikirkan orang toh ada
masing-masing pikiran dan penglihatannya !"
Tan Hong melirik mendelik pada pria itu, kemudian ia
mengawasi pula Teng Hiang untuk berkata lagi : "Ada pepatah
yang berkata, siapa berjodoh maka walaupun jauh seribu lie,
orang akan bertemu juga akhirnya. Urusan di dunia pun
begitu, berubah tak hentinya, seperti berubahnya awan diatas
langit. Sang waktu, sang kesempatan masih banyak, kau tahu
?" Teng Hiang terdiam, ia menutup mulut. Ia mengedut tali
kudanya, membikin ia dapat mengasi lari kuda mereka
berendeng dengan jago wanita dari luar lautan itu.
Cin Tong sementara itu sudah membiarkan kudanya lari
disebelah depan, mendahului lima atau enam tombak.
Ketika itu ada permulaan musim panas, kadang-kadang
turun hujan. Bertiga mereka mengikuti jalan besar. Dikiri dan
kanan mereka tampak sawah melulu dengan pohon padinya
yang tumbuh subur seluas hanya bersama hijau segar. Itulah
yang umumnya dibilang, "Di Kanglam rumput panjang burungburung
pada beterbang." Tang Hong dan Teng Hiong tertarik keindahan alam
persawahan itu, mereka pula bicara banyak, tanpa merasa,
mereka memperlambat larinya kuda mereka.
Tiba-tiba saja muncullah sang angin yang terus meniupniup
membuat ujung baju mereka bermain-main karena
sampokkannya, sedangkan di udara, terlihat perubahan sang
mega, yang dari terang menjadi mendung, sedangkan dari
permukaan bumi lantas muncul hawa panas mengkedus.
Dari sebelah depan lantas terdengar suara nyaring dari Cin
Tong, "Hujan besar lagi mendatangi! Mari lekas kita mencari
tempat meneduh !" Kedua nona juga melihat bahwa sang hujan bakal lekas
turun, mereka menjadi bingung ! Disitu hanya jalan besar, kiri
dan kanan tampak cuma sawah saja ! Kemana mereka dapat
pergi untuk melindungi diri " Tidak lain, terpaksa mereka
memecut kuda mereka untuk membuatnya lari terus.
Baru mereka berlari-lari empat puluh tombak, air langit
jarang-jarang sudah mulai berjatuhan. Maka mereka itu
mengaburkan terus kuda mereka, sampai mereka menikung
disebuah tikungan. Sekarang, di depan mereka, mereka
melihat sebuah tanjakan dimana terdapat beberapa rumah
gubuk. Itulah tempat petani menyimpan alat-alat
pertaniannya. Bertiga mereka kabur semakin keras ke sebuah gubuk.
Hujanpun lantas turun dengan lebatnya. Angin bertiup
semakin keras. Lekas sekali pakaian mereka bertiga menjadi
basah. Barulah itu waktu mereka tiba digubuk itu, yang tak
ada manusianya. Disitu mereka turun dari kuda mereka, buat
berlindung lebih jauh dari sang hujan dan angin. Paling dahulu
mereka mencoba mengurus baju mereka. Disitu mereka pada
berduduk di tanah. Mereka juga tidak berani membuat
tabunan, kuatir nanti kesalahan kena membakar gubuk itu.
Di luar gubuk, sang hujan dan angin dan guntur bercampur
menjadi satu, dan gubuk bergerak-gerak hingga bersuara
berkresekan. Hawa sangat dingin hingga ketiga orang itu yang
pakaiannya basah, menderita gangguan.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak ada bayangan
seseorang bergerak masuk kedalam gubuk. Segera ternyata
dialah seorang muda, dipunggung siapa tergondol sebatang
pedang. Dia basah kepala dan pakaiannya sembari menyeka
air hujan pada mukanya, dia kata hormat : "Bolehkah aku ikut
berteduh di dalam gubuk ini..."
Anak muda itu berkata tanpa melihat lagi siapa yang
berada di dalam gubuk itu, ia repot menyeka air hujan dan tak
sempat meneliti orang. Tidak demikian dengan Cin Tong si
Dewa Angin Merah. Dia mengenali orang dengan siapa dia
pernah bertempur di Pay In Nia. Dia bisa melihat tegas, sebab
dia sudah lama berada di dalam gubuk dan mukanya kering
dari air. Lantas dia berlompat bangun sambil menghunus
pedangnya. Tan Hong tidak kenal pemuda itu, ia tak perdulikan.
Tapi Teng Hiang mengenalnya, dalam girang mendadak ia
berseru : "Tuan Tio ! Oh, kau juga datang kemari " Benarbenar
di dalam dunia ini di tempat mana saja orang tak
bertemu orang !" Ia lantas bangun berdiri dan bertindak
menghampiri. It Hiong, demikian pemuda itu telah menyusut bersih air di
mukanya dan menggebruki pakaiannya, terus ia mengawasi
ketiga orang didalam gubuk itu.
"Kiranya Teng Hiang, kau pun berlindung disini." katanya
sabar. Terus ia bertindak ke ambang pintu.
Hatinya Tan Hong tergerak mendengar Teng Hiang
memanggil "Tuan Tio" pada orang yang baru datang itu, tidak
ayal lagi ia lantas membuka lebar matanya dan mengawasi
dengan tajam. It Hiong mau pergi keluar tapi ia bersangsi. Hujan turun
makin deras. "Kakak Hiong !" Tan Hong menyapa pula, sekarang sambil
tertawa manis, "apakah kakak tengah menuju ke Heng San ?"
Hatinya It Hiong panas mendengar orang merubah
memanggil ia kakak dan lagu suara orang demikian merdu
dan akrab, ingin ia menegur atau segera ia dapat menahan
sabar. Ia ingat tak perlunya ia bergusar. Teng Hiang pun
bertiga, itulah akan merepotkan ia andiakata nona itu dan
kawan-kawannya bergusar. Untuk mengendalikan diri ia
berdiam saja. "Kakak Hiong !" Teng Hiang berkata pula, lagi-lagi dia
tertawa. "Teng Hiang toh bukannya orang luar " Kenapakah
kakak " Kau nampaknya asing terhadapku ini ! Coba kakak
ingat-ingat, apa yang pernah ucapkan semasa kita berada di
Lok Tiok Po...." It Hiong berdiam. Ia ingat apa katanya dahulu hari itu.
Memang pernah dia bilang bahwa ia tak membedakan orang,
ia anggap Giok Peng dan Teng Hiang sama saja. Bahkan
ketika itu ia memanggil "adik" pada si budak yang sekarang
telah berubah menjadi begini centil dan genit. Ia menjadi
kurang enak hati karena si budak membangkitnya.
"Jangan kau salah mengerti Teng Hiang." katanya sabar.
"Kalau aku tengah memperhatikan suara urusan, aku tak ingat
lagi lain-lainnya apapula yang telah lama lewat."
Tiba-tiba Tan Hong campur bicara, katanya :"Orang di
dalam dunia ini, makin dia bicara manis, makin ternyata dialah
si orang tak berbudi dan tipis perasaannya ! Adik Hiang, kau
bilang benar atau tidak kata-kataku ini ?"
Berkata begitu ia menatap kepada si anak muda. Makin
lama ia melihat makin nyata pada wajah si anak muda itu.
Teng Hiang berpaling kepada Tan Hong, ia tertawa
perlahan. Kemudian ia menoleh pula pada si anak muda yang
ia awasi. "Apa yang kau pikir dalam hatimu kakak, semua aku tahu !"
katanya pula. "Bukankah kau sedang menyibuki kitab ilmu
pedangmu yang lenyap itu ?"
It Hiong tidak dapat menyangkal, ia mengiakan.
"Karena lenyapnya kitab pedang itu, hatiku ruwet bukan
main !" sahutnya. Teng Hiang menatap terus.
"Apakah kakak kuatir nanti tak dapat melayani Gak Hong
Kun ?" dia tanya. "Itulah bukannya soal tak kau pikirkan itu." sahut si anak
muda. "Aku hanya kuatir kitab itu tidak berada ditangannya
Gak Hong Kun bahwa sebenarnya kau tengah dipancing dia
untuk mendatangi Heng San !"
"Dalam perjalananku ini, di Yo kee cip pernah aku bertemu
Gak Hong Kun." Teng Hiang memberitahukan. "Jangan kuatir
kakak, jangan kau ragu-ragu lagi, kitab ilmu pedang itu
memang berada padanya. Aku telah melihatnya sendiri."
Mendengar keterangan itu yang ia percaya hatinya, It
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hiong menjadi lega. Ia lantas melongok keluar. Hujan sudah
mulai mereda bahkan matahari tampak pula sinarnya. Lalu ia
berpaling pula kedalam hingga sinar matanya bentrok dengan
sinar mata ketiga orang itu. Ketika ia melihat Tan Hong ia
terkejut. Sinar matanya nona itu sangat tajam.
"Nah, sampai kita jumpa pula !" katanya tiba-tiba lantas
tubuhnya mencelat keluar berlari kabur tanpa menoleh lagi.
Tan Hong melongo dan Teng Hiang kecele, Cin Tong
berlega hati sebab ia tak usah bertempur pula dengan pemuda
itu. Karena hujan sudah reda sekali tinggal gerimis sedikit tiga
orang itupun keluar dari gubuk melanjuti perjalanan mereka.
Hanya kali ini mereka lantas memencar diri . Teng Hiang
hendak mencari Thian Jie Lo jin gurunya, Cin Tong hendak
mencari Beng Leng Cinjin kakaknya itu, batal ia pulang ke luar
lautan. Dan Tan Hong " Nona ini tak dapat melupakan pula
pada It Hiong yang tampangnya ganteng, yang sikap
duduknya gagah. Maka tanpa mengatakan sesuatu, ia menuju
ke arah Heng San, guna menyusul anak muda itu. Tak tahu ia,
apa ia telah dipengaruhi mata penglihatan pertama kali atau
bukan. It Hiong sementara itu dihari kedua maghrib sudah sampai
di kecamaTan Hong yang, langsung ia memasuki kota yang
tak besaran juga tak kecil. Di saat itu orang sudah mulai
menyalakan api. Langsung ia mencari rumah penginapan
untuk lantas bersantap, sesudah mana ia menutup pintu
kamarnya untuk menyekad diri dengan beristirahat.
Malam itu lewat tanpa suatu kejadian. Pagi hari It Hiong
sudah mendusin dan terus berkemas, maka dilain saat ia
sudah berada dalam perjalanan ke Heng San. Dari jauh ia
sudah melihat gunung itu dikitari banyak gunung kecil dan
banyak pepohonannya. Nampak gunung itu angker.
Kapan si anak muda tiba di kaki gunung ia menindak. Dari
situ tak tahu ia mesti menuju kemana. Ia tidak tahu dimana
pernahnya gubuk dari Hong Kun atau Hong Kun akan
menantikan ia dibagian mana dari gunung tersohor itu.
Berdiri menjublak saja, didalam hati anak muda ini
mengagumi Heng San, yang lebih dikenal dengan nama Lam
Gak --Gunung Selatan. Gunung itu menyambungi kedua
kawan dan Tiongan san dan Hengen. Ia menerka gubuknya
Heng San Kiam Kek tentunya berada di tempat yang paling
suci atau dipuncak tertinggi. Itulah tempat hartanya Heng San
Kiam Kek It Yap Tojin, mana dapat ia mencari secara
bersahaja " Kalau begitu ia mesti mendaki semua tujuh puluh
dua puncak Heng San ! Puncak utama ialah Hwe Gan Hong, puncak burung belibis.
Puncak yang tertinggi dan tertutup awan atau halimun yang
mungkin keadaannya lebih berbahaya dari pada Pay In Nia,
tempat bersemayamnya gurunya di gunung Kiu Hoa San.
"Sayang..." katanya masgul. Ia lupa menanya tegas
alamatnya Hong Kun. Terutama ia tak ingat halnya lebih baik
ia ikut atau jalan berbareng dengan pemuda itu.
Di tanah pegunungan itu tak hentinya It Hiong merasai
siurannya angin dan telinganya pun senantiasa mendengari
gemuruh daun-daun pohon cemara serta mendengungnya air
tumpah. Semua itu membuatnya seperti melupakan bisiknya
dunia pergaulan. Ia bukan mau pesiar. Ia toh terpesona akan
keindahan gunung. Walaupun demikian ia memasang mata
untuk mencari jalan mendaki. Itulah pokok tujuannya.
"Baiklah, aku duduk beristirahat dahulu" pikirnya kemudian.
Ia mengharap-harap munculnya seorang tukang mencari kayu
guna dimintai keterangannya. Maka ia menghampiri sebuah
batu di tepi jalan diatas mana ia berduduk.
Sang waktu berjalan tanpa menghiraukan apa jua. Capai
rasanya, tengah hari sudah lewat dan orang mulai mendekati
sang lohor. Gunung tetap sunyi, seorang pun tak pernah
melintas. Kesabarannya It Hiong tengah diuji. Ia ingin maju tetapi
ragu-ragu. Masih ia duduk berdiam, sampai tiba-tiba ia melihat
seorang bagaikan bayangan tengah berlari mendatangi. Ia
menjadi bersemangat, hingga ia menjadi girang sekali. Bahkan
ia berlompat bangun dan bertindak maju guna memapaki
orang itu. Hanya sebentar kedua belah pihak sudah datang dekat
atau enam tombak, It Hiong mendapati ia berdiri berhadapan
dengan seorang pendeta yang tubuhnya tinggi besar, yang
parasnya tampan usianya lebih kurang empat puluh tahun.
Orang beribadat itu mengenakan jubah putih dan sebuah
golok Kay co tergantung di pinggangnya. Dia memakai sepatu
rumput dengan apa dia lari keras tanpa menerbitkan suara
berisik. Dia berlari keras tetapi nampak dia bersikap tenang.
It Hiong mengangkat kedua tangannya memberi hormat
pada pendeta itu. "Selamat siang, taysu !" sapanya. "Aku mohon bertanya,
apakah taysu datang ke Heng San ini untuk mengunjungi
salah seorang pertapa disini ?"
Pendeta itu menghentikan tindakannya dan membalas
hormat. Sebelumnya menjawab, dia mengawasi dahulu si
anak muda melihat ke atas dan ke bawah.
"Maaf sicu" sahutnya, "Sicu menanya begini kepadaku,
entah ada apakah maksud sicu " Harap sicu sudi menjelaskan
terlebih dahulu." It Hiong berpikir, "Aku hendak mengadu pedang dengan
Gak Hong Kun, mana dapat kau beritahukan itu pada lain
orang !" Karenanya terpaksa ia mendusta. Sahutnya, "Aku
yang rendah ini datang kemari memenuhi undangannya
seorang sahabat, hanya sayang sekali, aku lupa menanyakan
alamatnya yang jelas. Sahabat itu cuma menyebut saja
gunung Heng San." Pendeta itu tertawa. "Sicu kecil nampaknya kau cerdas sekali" kata dia manis,
"kenapa buktinya sicu begini sembrono ?"
It Hiong jengah. Memang ia telah berbuat lalai.
"Taysu benar." sahutnya. "Taysu, apakah taysu ketahui
dimana letaknya tempat bertapa dari Heng San Kiam Kek It
Yap To jin " Sudikah taysu memberi petunjuk kepadaku yang
rendah ?" Pendeta itu mengawasi. Nampak dia heran.
"Mohon tanya, sicu kecil." kata ia pula, sebelum ia
menjawab pertanyaan orang. "Bukankah sicu menjadi
muridnya Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian " Pinceng merasa
mengenali pada sicu..."
It Hiong berlaku jujur. "Sebenarnya aku yang rendah adalah muridnya Tek Cio
Siangjin dari Kin Hoa San" sahutnya, "In Gwa Sian itu adalah
ayah angkatku." "Amida Buddha !" pendeta itu memuji. "Kiranya sicu adalah
penolong besar dari Siauw Lim Sie! Sayang pada saatnya
terjadi penyerbuan kepada kuil dan gunung kami, pinceng
kebetulan berada didalam perantauan hingga pinceng tak
dapat ketika akan menyaksikan kegagahan sicu itu yang
demikian lihainya ! Sicu adalah kemudian, setelah mendengar
berita tentang penyerbuan itu lekas-lekas pinceng membuat
perjalanan pulang tetapi sesampainya di gunung pinceng
cuma dapat melihat sicu satu kali saja. Hal itu sebenarnya
membuatku menyesal..."
Pendeta itu berhenti sejenak baru ia menambahkan :
"Sekarang ini pinceng tengah menjalankan perintah ketua
kami untuk menyampaikan surat undangan kepada It Yap
Tojin supaya imam itu suka turut menghadiri pertemuan besar
yang bakal diadakan itu. Sebenarnya pinceng melainkan
ketahui It Yap Tojin tinggal di puncak Hee Gan Hong, tetapi
belum pernah pinceng pergi ke sana."
Keterangan itu menggirangkan juga It Hiong.
"Kalau begitu, mari kita pergi bersama !" katanya gembira.
"Dapatkah aku yang muda mengikuti taysu ?" Ia memberi
hormat. Pendeta itu membalasi. "Dengan segala senang hati sicu !" katanya. "Balikan ini
membuatku bersyukur dan beruntung!"
"Terima kasih !" kata si anak muda yang lantas melihat
langit. Sang sore lagi mendatangi, "Mari, taysu !"
Tidak ayal lagi, keduanya melanjutkan perjalanan dengan
berlari-larian. It Hiong dari di sebelah depan, si pendeta
mengikutinya. Lewat delapan lie, mereka mulai mendaki dan
jalanan mulai sukar. Mereka maju terus sampai mereka mulai
memasuki tempat lebat dengan pepohonan. Itulah rimba.
Pendeta itu memiliki ilmu ringan tubuh yang tak lemah,
selama berjalan bersama itu ia ketinggalan lebih dari empat
atau lima tombak. Rimba itu, rimba pohon cemara, panjang lima atau enam
lie, pepohonannya besar-besar dan tinggi hingga umpama
kata menutupi matahari dan tumpukan daun isinya tebal kira
satu dim. Sehabisnya rimba lantas tampak sebuah tempat
terbuka penuh dengan rumput luas dua puluh tombak lebih,
ujungnya lapangan rumput itu adalah jurang yang membuat
jalanan buntu. Disebelah depan jurang ada sebuah puncak
tinggi. Ketika matahari sudah jauh turun ke barat, karuan
cahayanya terhalang puncak, disitu cuaca mulai gelap. Yang
molos hanya sedikit sinar layung merah.
"Bagaimana, taysu ?" It Hiong tanya, "kita jalan terus atau
cari gua untuk beristirahat ?"
"Pinceng memikir baik kita singgah disini untuk makan
rangsum kering." sahut orang yang ditanya, "habis itu, kita
melanjutkan perjalanan kita. Apakah sicu akur ?"
It Hiong mengangguk seraya terus menghentikan
gerakannya. Maka itu, diatas rumput mereka duduk numprah. Si
pendeta mengeluarkan rangsum keringnya, untuk mereka
bersantap bersama. It Hiong menghaturkan terima kasih.
Pendeta itupun mengeluarkan sabuknya buat menyusut
peluhnya. "Sicu, sungguh hebat ilmu ringan tubuh sicu !" kata si
pendeta memuji. "Tak kecewa yang aku bermandikan peluh
karena telah aku menyaksikan kepandaian sicu itu." Habis
memuji, ia tertawa sendirinya.
It Hiong hendak merendahkan diri ketika ia mendengar
satu suara yang datangnya dari pojok jurang : "Eh, pendeta
hutan, apa yang kau tertawakan " Menyebut-nyebut ilmu
ringan tubuh itu, apanyakah yang aneh ?"
Ilmu ringan tubuh yang dipuji si pendeta ialah Te In Ciong
atau lompatan Tangga Mega. Dan menyusul kata-kata itu, tiga
orang tampak berlari-lari. Hanya sebentar tiba sudah mereka
dihadapan si pendeta dan si anak muda.
Dari tiga orang itu, yang jalan di muka adalah seorang
dengan alis tebal, mata bundar, kumis janggutnya kaku
bagaikan tombak cagak, brewoknya sampai disisi telinga,
menyambung dengan cacentangnya. Dia mengenakan kopiah
hijau dengan jubah hijau, juga pada pinggangnya terselipkan
joan pian, cambuk lunak terbuat dia besi bercampur baja.
Orang yang kedua tubuhnya sedang dan sudah kepalanya
botak lanang kepala itu pun besar bagaikan gantang, hingga
mirip dengan sebuah labu yang diletaki diatas leher ! Dibawah
sepasang alisnya yang sudah putih terdapat dua biji mata
kecil, mirip mata tikus, yang cahayanya bercilakan. Pakaiannya
ialah jubah kuning sebatas dengkul dan celana kuning juga.
Sebagai senjatanya ialah sepasang roda Jit goan lun yang dia
gendolnya di punggungnya.
Orang yang ketiga adalah seorang wanita muda, nona
dengan usia kira dua puluh empat tahun, bajunya merah tua,
rambutnya yang panjang terlepas, ujungnya dipakaikan gelang
emas, gelang mana ditabur dengan semacam tusuk kundia
burung hong (phoenix). Selagi si nona berjalan, burungburungan
itu bergoyang-goyang. Dia berparas cantik dan ada
sujennya juga. Dia pula bermata jeli, hanya sayang, sinar
matanya tajam entah licik entah genit. Dia membekal pedang,
yang ditaruh dipunggungnya. Rencanya pedang itu, yang
berwarna kuning, memain diantara siurannya sang angin.
Kiranya mereka itu bertiga diantara To Liong To Cit Mo atau
tujuh bajingan dari Pulau Naga Melengkung (To Liong) ialah
bajingan yang nomor dua Lom Hong Huan, bajingan kelima
Bok Cee Lauw dan bajingan bunga Siauw Wan Goat.
To Liong To berada jauh diluar lautan, kenapa ketiga
bajingannya ini berada didaratan Tionggoan" Kenapa
sekarang mereka muncul di Heng San " Itulah karena ada
sebabnya. Karena mereka tengah ditugaskan kakak atau ketua
mereka bajingan yang nomor satu, guna mengundang It Yap
Tojin yang mau diminta suka masuk ke dalam kalangan Cit
Mo, tujuh bajingan, guna mereka nanti sama-sama
menentang ke empat partai rimba persilatan yang terbesar.
Ketua Cit Mo itu ialah Kung Teng Thian yang namanya
mempunyati arti luar biasa, ialah Teng Thian-Menelan Langit.
Dan pada tiga puluh tahun dahulu bajingan itu pernah
bertemu It Yap Tojin ditengah jalan dimana mereka bentrok
hingga mereka bertempur selama tiga ratus jurus tanpa ada
yang kalah atau menang, hingga kesudahannya mereka
berhenti berkelahi sendirinya dan terus perkelahian itu diubah
menjadi persahabatan. Ketika itu It Yap diundang pergi ke
pula Naga Melengkung dimana ia berdian setengah bulan,
baru ia pulang ke gunungnya.
Cit Mo, Sam Koay dan It Yaw Tujuh Bajingan, Tiga Jin itu
(dan satu Mambang) muncul pula di dalam dunia Kang Ouw
Sungai Telaga, maksudnya ialah untuk kembali menjagoi
rimba persilatan. Toa Mo Kang Teng Thian tahu It Yap Tojin
yang lihai itu memaruahkan diri si lurus dan si sesat,
karenanya mengandalkan persahabatannya, hendak ia
mengundangnya bekerja sama.
Dia percaya imam itu akan menerima baik undangannya
itu. Demikian dia mengutus tiga saudaranya itu mengunjungi
puncak Hwe Gan Hong. Lam Hong Hoan bertiga sampai di Heng San satu hari lebih
dahulu daripada It Hiong. Mereka bermalam di Go In Ih diatas
puncak. Tempat itu, kuil imam bukan, vihara pendeta Budha
pun bukan. Temboknya yang dibuat dari batu granit
melindungi tiga undakan rumahnya yang dibangun di
pinggang gunung bahagian yang rata tanahnya. Bagian
belakangnya bagaikan menyender pada puncak gunung yang
tinggi. Di bagian depannya ada pemgempangnya buatan
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia lebar persegi dua puluh tombak lebih yang airnya
didapat dari air gunung yang disalurkan ke situ. Di tengah
empang dibangun sebuah jembatan kecil mungil yang
melengkung bagaikan pelangi. Ujung jembatan yang satu
menghadapi pintu besar, disitu dibuat sebuah jalan yang kecil
yang kedua sisinya ditanami banyak pohon bunga. Hingga
seluruhnya tempat menjadi tenang, nyaman dan menarik hati
terutama bagi mereka yang menyukai keindahan alam.
Ketika mereka itu bertiga sampai di Gio In Ih, justru itulah
saatnya It Yap Tojin belum lama pulang dari Siauw Sit San
habis dia menempur Pat Pie Sin Kit dan terluka karenanya. Dia
lantas duduk bersemedhi untuk memelihara diri. Dia heran
waktu dia mendengar tibanya tamu-tamu dari luar lautan itu,
tetapi lekas-lekas dia keluar untuk menyambut.
Kedua pihak membuat pertemuan di ruang pertengahan,
habis belajar kenal dan minum teh, Lam Hong Hoang lantas
menghaturkan surat ketuanya sambil menjelaskan maksud
kedatangannya itu. It Yap Tojin tersenyum. "Sudah tiga puluh tahun kita berpisah, tidak kusangka yang
kakak kalian masih ingat pada pinto." berkata imam lihai itu.
"Sungguh pinto bersyukur sekali ! Hanya sangat disayangkan,
tak dapat pinto menerima baik undangannya ini disebabkan
pinto tengah merawat lukaku. Di dalam hal ini pinto mohon
maaf saja." "Totiang lihai ilmu silatnya dan nama ilmu pedang Heng
San pun sangat tersohor," berkata Lam Hong Hoan sungguhsungguh.
"Siapakah yang tidak menghormati totiang "
Karenanya kenapakah kesehatan totiang malah terganggu
hingga kau perlu dirawat " Sudikah totiang memberikan
keterangan kepada kami supaya pengetahuan kami jadi
bertambah ?" Sekonyong-konyong It Yap Tojin tertawa keras dan lama
sampai tempat kediamannya itu seperti tergetar. Dengan
tertawa semacam itu ia hendak melampiaskan hawa yang
seperti menutup dadanya. Baru setelah itu ia memberikan
keterangannya. "Malu untuk menuturkan duduknya hal."kata ia. "Pada
setengah bulan yang baru lalu pinto berada di Siauw Sit San,
di sana pinto sudah beradu tenaga dengan In Gwa Sian si
pengemis bau, kesudahannya kedua belah pihak sama terluka
tubuhnya bagian dalam. Itulah penasaran hebat yang selama
hidupku hendak aku melampiaskan !"
"Si pengemis tua yang bau itu terlalu mengandalkan ilmu
tenaga dalamnya yang dinamakan Sian Thian It Goan Khiekang."
Cit Mo Siauw Wan Goat turut bicara. "Karena itu dia
menjadi berkepala besar, dia berjumawa dan suka berbuat
sekendaknya sendiri. Dia pula pandai ilmu silat tangan Hang
Liong Hok Mo Ciang hoat. Apakah yang aneh dari ilmunya itu "
Jika dia nanti ketemu kakak tua kami, ilmu tangan kosong Bun
Eng Sin Kun dari dari kakak akan membuatnya hilang muka !"
"Bun Eng Sin Kung" ialah ilmu silat tangan kosong tanpa
bayangan. Ngo Mo Bok Cee Lauw si bajingan kelima juga turut
mengasih dengar suaranya selekasnya sepasang alisnya
bergerak-gerak. Dia berkata : "Salahnya ialah totiang sangat
bermurah hati ! Coba ketika itu totiang segera menggunakan
ilmu pedang Heng San Kiam hoat, dapatkah si pengemis tuan
yang bau itu meloloskan dirinya ?"
Senang It Yap Tojin mendengar pujian itu, ia sampai
tertawa lebar. "Ilmu pedang pinto ini," kata ia, "seingatku sudah pinto
yakinkan beberapa puluh tahun lamanya, maka juga pinto
telah memikir buat sekali mengadunya dengan Khie Bun Pat
Kwa Kiam dari Tek Cian Siangjin. Sangat ingin pinto mencari
keputusan dengan Tek Cio siapa lebih tinggi, siapa lebih
rendah..." Puas Lam Hong Hoang yang katanya telah membangkitkan
hawa amarah tuan rumahnya itu, maka lantas berkata pula :
"Kali ini kami bergerak bersama-sama. gerakan kami ini sudah
menggetarkan seluruh rimba persilatan, maka itu kami sangat
mengharap supaya dengan gerakan ini kita pasti sanggup
membakar topengnya kawanan ke empat partai besar itu yang
memiliki nama kosong belaka ! Oleh karena itu totiang, inilah
saatnya totiang mempertunjuki Heng San Kiam hoat, supaya
dunia tahu dan kaum muda nanti menghargai dan
menghormati totiang !"
"Saudara Lam, berat kata-katamu ini !" berkata It Yap
tertawa. "Nah, totiang kalian sampaikan kepada kakak kalian
itu bahwa selekasnya lukaku sembuh, lantas pinto akan cepatcepat
menyusul ke Tiong Gak untuk di sana pinto menerima
sekalian perintah kalian !"
Itulah pertanda bahwa undangan sudah diterima baik,
maka itu Lam Hong Hoan bertiga girang bukan main. Lantas
mereka menghaturkan terima kasih habis mana mereka
memohon diri. Dan adalah dalam perjalanan pulang itu
ditengah berumput itu bertiga mereka bertemu dengan Tio It
Hiong dan pendeta dari Siauw Lim Sie. Mereka mendengar
disebutnya ilmu Te In Ciong, Tangga Mega, mereka tahu
itulah ilmu kepandaian Tek Cio Siangjin, karenanya mereka
menduga anak muda itu muridnya si imam jago dari Kuil Hoan
San. Mereka galak, mereka menjadi membawa sikap galaknya
itu. Begitulah si pendeta di hina dan ilmu Te In Ciong orang
dipandang rendah. Kemudian Lam hong Hoan berkata dingin dan takabur :
"Kepandaiannya Tek Cio si hidung kerbau itu tidak berarti ! Eh,
pendeta liar, bagaimana kau dapat memikir memakai
kepandaiannya si hidung kerbau buat menggertak orang ?"
It Hiong menjadi sangat gusar. Mulanya ia sudah menerka
bahwa rombongan itu rombongan manusia kasar, kalau ia
tidak sudi melayani pikir, itulah sebab kedua belah pihak baru
pernah bertemu satu dengan lain, tetapi sekarang di depannya
sendiri orang menghina dan mendamprat gurunya, tak dapat
ia bersabar lebih jauh. "Hai, roh pergelandangan dan setan durjana, kenapa kalian
mudah saja mencaci orang tanpa sebabnya ?" ia menegur.
"Jika benar kalian mempunyai kepandaian, mari maju untuk
mencoba-coba ! Ilmu pedang Pay In Nia tidak dapat dipakai
menggertak orang tetapi sanggup membuat kepala terpisah
dari batang leher kalian !"
Bok Cee Lauw gusar melewati batasnya, maka lantas saja
dia berlompat maju, sepasang roda Jit Goat Lun dipakai
menghajar lawan. Ia menggunakan ilmu "Menangkal Matahari
dan Rembulan" dan arahnya ialah kedua buah bahu orang !
It Hiong menyingkir dari serangan berbahaya itu, sesudah
itu baru ia menghunus Keng Hong Kiam hingga terdengar
suara anginnya yang kerasa. Ia terus membalas menyerang,
menebas pinggang lawan. Bok Cee Lauw kaget saking hebatnya serangan itu dia
lompat mundur dua tindak.
It Hiong menggunakan kesempatan yang baik itu, selagi
lawan mundur, ia mendesak.
Syukur bagi Bok Cee Lauw, dia bukan sembarang jago dari
To Liong To, walaupun sudah terdesak, sebab dia kena
didahului dia toh dapat memberikan perlawanan dengan baik.
Dia pandai ilmu "Toi Lui Kang" si Keong, dapat dia sangat
terdesak. Cara berkelahi cocok dengan sepasang rodanya itu.
Biasanya menghadapi musuh lainnya dia sudah berhasil dalam
lima jurus saja. Kali ini dia menghadapi It Hiong, dia repot
sendirinya. It Hiong berkelahi dengan waspada, sesudah beberapa kali
bacokan atau tikamannya gagal sebab licinnya lawan itu.
Setelah bertempur sekian lama, Bok Cee Lauw lupa yang
pedang lawannya pedang mustika yang tajamnya luar biasa,
untuk membalas mendesak, ia menghajar dengan roda kirinya
disasarkan ke dada lawan itu.
Sekarang tidak ampun lagi, kedua senjata beradu satu
dengan lain. Buat kagetnya si bajingan, ia mendapat
kenyataan rodanya kena ditebas kutung ! Tentu sekali, ia
kaget bukan main. Ilmu silat yang digunakan Bok Cee Lauw adalah "Matahari
dan Rembulan Berebutan Sinar, ia percaya ia bakal berhasil,
tak tahunya ia sendiri yang juga menjadi sangat kaget. Itulah
meragukannya, sebab gerakan tubuhnya menjadi rada lambat.
Ia mencoba lompat mundur dengan berjumpalitan, masih ia
gagal. Orang tidak dapat melihat bagaimana pedang bekerja
tetapi waktu jago dari To Liong To itu dapat bangun berdiri,
terlihat bajunya didadanya sobek kira tidak dan darahnya
tampak mengucur keluar dari liang robekan itu !
Lam Hong Hoan lantas lompat pada adiknya itu, untuk
memeganginya. Sebab badan si saudara rada limbung.
"Bagaimana, adik ?" tanyanya. "Parahkah lukamu ini ?"
"Tidak apa" sahut sang adik yang nomor lima, nafasnya
mendesak. "Cuma luka ringan saja !"
Hong Hoan lantas memeriksa luka saudaranya itu dan terus
memakaikannya obat. It Hiong tidak melanjuti serangannya, hanya sambil berdiri
mengawasi, ia kata nyaring : "Jika kalian penasaran, aku
bersedia melayani lagi kalian semua !"
Atas kata-kata berani itu, Siau Wan Goat mengajukan diri
masuk ke dalam kalangan, ia mengawasi si anak muda, yang
ia awasi keseluruhannya, atas dan bawah, habis itu baru kata
: "Suka aku menerima pengajaran dari kau, ingin aku belajar
kenal dengan Khie Bun Pat Kwa Kiam!"
Nona itu berkata sembari tertawa kemudian ia menghunus
pedangnya. "Cuma sebegini saja ilmu kepandaian dari To Liong To !" It
Hiong berkata pula sama nyaringnya. "Karena pedang Keng
Hong Kiam yang tajam luar biasa baiklah kalian maju beramairamai
saja !" Siauw Wan Goat tidak menjadi mendongkol atau bergusar,
ia dapat tertawa manis. "Buat maju berramai-ramai, tak usah !" sahutnya. "Mari kita
bertempur berpasangan saja."
It Hiong mendongkol. "Budak perempuan !" bentaknya. "Siapa mau berpasangan
denganmu " Sungguh tak tahu malu!"
Dalam gusarnya, si anak muda lantas mendahului turun
tangan. Ia menikam dengan gerakan "Menyerbu Teras ke
Istana Naga Kuning."
Siauw Wan Goat tidak menangkis, ia hanya berkelit, cepat
dan lincah sekali. Dia memang mahir didalam ilmu ringan
tubuh "Bajingan berkelit". Tahu-tahu dia sudah berada di
belakang lawannya sembari tertawa dia kata : "Hai, murid
terpandai dari Pay In Nia, apakah ini bukan berarti nonamu
berkasihan terhadapmu " Mana dia ilmu Tangga Megamu itu
?" Pendeta dari Siauw Lim Sie yang menyaksikan pertempuran
itu kaget sekali. Si nona sangat lihai dan It Hiong terancam
bahaya. It Hiong terkejut. Memang ia mendapati selagi pedangnya
meluncur, lawan menghilang. Ia tidak sangka orang berkelit
lompat ke belakangnya. Maka selagi orang memperdengarkan
suaranya, ia sudah lantas memernahkan diri agar tidak kena
dibokong. Siauw Wan Goat licin sekali. Ia berada di belakang orang
tetap ia tidak mau segera menyerang hanya sengaja ia
memperdengarkan kata-katanya itu saat mengejek lawan. Ia
merasa pasti kalau ia menikam lawan bakal menangkis. Itulah
berbahaya buat pedangnya yang akan terancam buntung.
"Rupanya kau jeri kepada pedangku ?" kata It Hiong tawar.
Ia telah memutar tubuh dan melihat si Nona berdiri diam saja
mengawasi ia dengan air mukanya tersungging senyuman.
Nona itu memang cantik menarik. "Apakah baik kita
menggunakan tangan kosong saja " Dengan memakai
pedangku, kemenanganku bukan kemenangan yang terhormat
!" Dan lantas ia memasuki pedangnya ke dalam sarungnya.
Siauw Wan Goat melirik. Ia pun memasuki pedangnya ke
dalam sarungnya. "Begini bagus !" katanya. "Aku memikir akan memakai ilmu
silatku Bajingan Berkelit akan melayani ilmumu Tangga Mega
!" "Sudah, jangan banyak bicara !" It Hiong membentak. "Kau
majulah !" Nona itu menerima baik tantangan itu. ia lantas maju
setindak. Itulah gerakan "Bajingan Berkelit" dicampur dengan
ilmu "Seribu Perubahan" !
It Hiong menyambuti serangan si nona. Baru beberapa
gebrakan ia sudah lantas mulai mendapatkan lawan bangsa
lemah itu ternyata sangat gesit dan lincah. Secepat itu Wan
Goat sudah berlompatan ke pelbagai penjuru, tubuhnya
tampak seperti sulala berkelebatan sedangkan kedua belah
tangannya saban-saban menyambar bagaikan bayangan.
"Pasti inilah ilmu silat tercampur ilmu sesat" pikir anak
muda itu yang lantas berkelahi dengan waspada. Tak mau ia
sembarang turun tangan, sebaiknya ia berlaku waspada dan
gesit ! ia pun menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega
serta jurus-jurus dari Ilmu Menaklukan Naga Menundukkan
Harimau, Hang Liong Hok Houw.
Itulah pertarungan To Liong To kontra Pay In Nia, tangan
bertemu tangan, ringan bertemu ringan, atau lebih benar lagi,
lurus kontra sesat, hingga seorang biasa saja sukar melihat
siapa yang memukul atau menangkis atau sebaliknya.
Tiga orang yang menyaksikan pertempuran berdiam
dengan kagum, mata mereka tak berkedip.
Saking cepatnya orang bergerak-gerak, jurus-kurus pun
dikasih lewat dengan gencar hingga dari belasan sampai
puluhan lalu naik seratus dan seratus lebih. Sesudah jurus
yang kedua ratus barulah terlihat pihak pria memang unggul.
It Hiong tetap mantap, tidak demikian dengan Wan Goat. Si
nona mulai lamban bergeraknya dan nafasnya mulai
memburu. Nyatalah dia kalah urat.
Lam Hong Hoang berkuatir melihat adiknya kalah angin,
tanpa memikir panjang lagi ia meraba cambuk lunaknya, terus
ia lompat kedalam kalangan pertempuran akan membantui
adiknya itu. Mula kalinya ia menggunakan ilmu cambuk "Kiri
dan Kanan Bertemu Sumbernya", cambuk itu menyambar ke
kiri dan kanan. Sang pendeta melihat kawannya dikepung, ia pun lompat
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maju sambil menggerakan goloknya. Ia tidak puas sebab ia
menyangka orang-orang Kang Ouw itu tak tahu malu sudah
main keroyok. Hong Hoan terkejut. Segera ia menarik pulang cambuknya.
Kalau tidak cambuk itu bisa terbacok buntung. Ia pun
berlompat mundur. Tak ada niatnya menempur pendeta itu, ia
maju cuma guna meringankan adiknya dari desakan
sipemuda. Pendeta itu berdiri berdiam. Ia mengawasi lawannya itu, ia
tanya tertawa : "Sicu apakah sicu tak memandang mata pada
ilmu golok Lohan To dari Siauw Lim Pay ?"
Hong Hoan menjawab tenang : "Masih banyak kesempatan
akan belajar kenal ilmu silat golokmu itu, taysu. Sekarang
sudah lewat jam pertama, kitapun berada diatas gunung, aku
pikir baiklah kita mencari dahulu tempat untuk beristirahat Jika
taysu mau memaksakan, baiklah aku Lam Hoang Hoan dari To
Liong To, aku bukannya seorang pengecut !"
Cuma dengan terpaksa Hoang Hoan berkata demikian,
supaya orang tidak tahu halnya ia merasa jeri.
Selama pertempuran terhenti karena aksinya Hong Hoan
itu. Siauw Wan Goat terus memandangi It Hiong sering ia
tampak tersenyum, ada kalanya ia seperti orang
berpenasaran.... It Hiong tidak prai, tetapi ia tidak marah. Kata ia bengis :
"Kalian menerbitkan gara-gara sendirinya ! Kalian cuma
mengandalkan kepandaian kalian ! Nah, sekarang apakah
faedahnya itu " Pertempuran sudah berhenti masih kalian tak
mau pergi " Apakah yang hendak kalian nantikan " Mau
apakah sebenarnya kalian ?"
Siauw Wan Goat yang memberi jawaban. Lebih dahulu, dia
tertawa manis. "Kapannya kau mempelajari ilmu mendamprat orang
menurut caramu ini ?" dia membaliki. "Bukankah kita
berimbang, tidak kalah dan tidak menang " Kenapa sekarang
kita tak mau bersahabat saja ?"
Sebelum It Hiong memberikan jawabannya, sang pendeta
dari Siauw Lim Sie sudah mendahuluinya sambil berkata :
"Jika nona sudi merubah cara hidup nona beramai, sungguh,
itulah bukan main bagusnya !"
Tapi Bok Cee Lauw gusar. Kata dia keras : "Kakak kedua !
Adik ketujuh ! Buat apa ngoceh tak karuan dengan ini
kawanan ruh gelandangan dan setan liar " Mari kita pergi !"
Dia lantas berbangkit untuk terus menuding It Hiong sambil
menambahkan : "Anak busuk, luka tusukan pedang ini akan
tiba saatnya aku perhitungkannya ! Kau lihat saja nanti !" Dia
berkata garang, tetapi dia juga yang mendahului membuka
tindakan lebar, untuk berangkat pergi...
Lam Hong Hoan menyusul saudaranya itu, Siauw Wan Goat
turut pergi sesudah kedua saudara itu pergi setombak lebih
jauhnya, hanya selagi mau memutar tubuh ia melirik It Hiong
dan berkata perlahan sekali : "Aku menyesal sudah tak
bertemu sejak.." It Hiong membiarkan orang pergi, ia mengawasinya dengan
mendelong meskipun kemudian orang sudah pergi jauh.
Sang pendeta berdehem, kata dia seorang diri : "Segala
kehendak dan napsu, itu semua saitan belaka ! Sang Buddha
kami maha pengasih dan penyayang, pikirnya jernih bagaikan
kaca !" Mendengar suara itu, hatinya It Hiong tergetar, ia lantas
menoleh kepada sipendeta maka ia melihat orang beribadat
itu sudah duduk bersila diatas rumput, kedua matanya
dipejamkan. Tanpa mengatakan sesuatu ia bertindak
menghampiri lalu dalam detik ia sudah duduk bersila juga,
akan beristirahat bersama.
Lewat jam dua, angin terasa mulai keras, hawa udara
dingin. Ketika itu cukup sudah It Hiong beristirahat, kesegarannya
sudah pulih. Hanya pikirannya yang belum tenang. Itulah
sebab lantas ia ingat kepada Kiauw In, kepada Giok Peng lalu
Teng Hiang dan Tok Nio Cu Yauw Siauw Hoa. Mereka itu
berlainan tampang dan sifatnya, pertemuannya dengan
mereka pun dalam pelbagai keadaan yang jelas ialah mereka
semua menyintai dan menaruh hati terhadapnya, semua suka
membantu padanya hingga mereka itu pada melupai diri
sendiri. Demi dirinya nona-nona itu berani berkorban apasaja !
Terhadap mereka itu, ia bersukur. Ia bergirang tetapi pun,
ia malu sendirinya. ia menyesal berbareng bersuka cita kalau
ia membayang peristiwa diloteng Ciat Yan Lauw lakonnya
dengan Giok Peng. Syukurlah paman gurunya, In Gwa Sian
suka bertanggung jawab buat kesesatan yang diluar
kekuasaannya itu. Kalu tidak entah bagaimana hebatnya
urusan akan berakhir, ia lalu jagai sikap gurunya. Maka ia
makin percaya gurunya itu pandai meramal.
Tapi lakon asmaranya itu nampak belum juga habis. Diluar
dugaannya, muncul lagi dua orang yang menaruh hati
terhadapnya ialah Tan Hong dan Siauw Wan Goat, satu dari
Hek Keng To, pulau Ikan Lodan Hitam satu lagi dari To Liong
To, pulau naga melengkung. Ia tidak memberi hati kepada
mereka itu berdua tetapi gerak gerik mereka luar biasa. Ia
bertanya-tanya dalam hatinya entah bagaimana gerak gerik
terlebih jauh dari mereka itu, entah bagaimana ia bakal
terlihat atau digerembengi...
Karena Tan Hong dan Siauw Wan Goat muncul paling
belakang, mereka itu masih saja meninggalkan kesan, mereka
itu seperti juga terus berbayang-bayang...
"Ah !...." akhirnya ia menghela napas masgul.
Di saat itu, mendadak It Hiong ingat kitab ilmu pedang
gurunya yang ia keja hilang, yang sekarang berada
ditangannya Gak Hong Kun. Celaka kalau Hong Kun sampai
memepelajari ilmu pedang itu. Sudah ia mendapat malu
akibatnya buat kaum rimba persilatan juga sukar dibayangi.
Bencana apa akan terbit andiakata Hong Kun menjadi kosen
sukar dikalahkan siapa juga " Bukankah itu berarti bahwa
dialah yang berdosa besar " Maka itu, kokoh kuatlah tekadnya
untuk mendapatkan kembali kitab pedang itu, tak perduli apa
yang ia bakal lakukan. Ia mesti mencegah ancaman petaka di
belakang hari. Pendeknya Heng San harus dijelaskan
seluruhnya guna mencari Gak Hong Kun.
Karena ini, terbangunlah semangatnya anak muda ini
hingga ia menunjukkan tampang sungguh-sungguh serta
kedua matanya dibuka lebar-lebar. Hingga ia nampak keren
sekali. Tatkala itu bintang banyak tetapi cahayanya lemah.
It Hiong tengah duduk sambil matanya mengawasi ke
depan, waktu ia dikejutkan oleh berkelebatnya satu bayangan
tubuh manusia, bayangan mana lantas berhenti di depan
sejarak lima kaki. "Siapakah kau " " tegur si anak muda sambil ia mengawasi
tajam. "Bagaimana cepat kau telah melupakan aku ?" ada jawaban
bayangan atau orang di depan itu. Suaranya halus dan merdu.
"Aku Tan Hong.."
It Hiong berjingkrak bangun, ia lantas mengenali si cantik
dari luar lautan itu. Justru baru saja ia memikirkannya.
"Mau apa nona datang kemari ?" tanyanya keren,
tangannya berada pada gagang pedangnya. "Malam ini, angin
keras sekali dan dingin ! Kalau kau tengah melakukan
perjalanan, nah, persilahkanlah !"
Pendeta dari Siauw Lim Sie terbangunkan suara keras si
anak muda. Ia membuka matanya dan melihat. Lantas ia
memuji Sang Buddha. Tan Hong tertawa walaupun ia telah ditegur. Ia menjawab
manis : "Habis berlindung dari hujan dirumah gubuk itu, aku
lantas menyusul kau. Aku mengikutimu. Bukankah kau hendak
mendaki gunung Heng San buat mencari kitab ilmu pedangmu
itu " Aku memikirkan tak memperdulikan bencana apa yang
muncul asal bisa membantumu."
It Hiong mengendalikan hatinya, supaya tidak bergusar.
"Kau baik sekali nona, aku menerima baik kebaikanmu itu"
sahutnya sabar. "Tapi kau menganggap baiklah aku jangan
mengharapi bantuan nona itu. Aku merasa bahwa aku sendiri
masih sanggup mencari kitabku itu. Bagaimana dapat aku
merepotkan kau " Silahkan nona kembali, jangan nona
memikir yang lainnya yang tidak-tidak... Nona tahu, aku putih
bersih, tak dapat aku kasi diriku."
"Hm, orang putih bersih !" berkata si nona hambar. Tetapi
ia tertawa manis, "Kau memang putih bersih, hanya saja,
sesudah di sana ada janji dengan kakak seperguruanmu Cio
Kiauw In, toh masih terjadi juga lakon diatas loteng Ciat yan !
Bagaimanakah itu ?" Mukanya It Hiong menjadi merah. Ia malu dan
mendongkol. "Apakah kau datang hanya buat menggodia aku ?"
tanyanya. Tan Hong tetap tertawa manis.
"Aku mau artikan bahwa kaulah pria yang tak mau menyianyiakan
waktu !" sahutnya. "Aku mau omong terus terang.
Aku Tan Hong, aku dapat berbuat sebagaimana Pek Giok
Peng-satu rupa !" It Hiong menjadi gusar. Hampir ia habis sabar.
"Budak hina tak tahu malu !" dampratnya.
"Makin lama kau menjadi makin tidak karuan ! Kau mau
pergi atau tidak !" dan ia mencabut pedangnya.
Nona itu tidak mau pergi.
"Aku bermaksud baik" sahutnya, masih membandel.
"Kenapa kau menjadi begini galak " Buat apakah ?"
It Hiong mengibaskan pedangnya.
"Aku tak perduli kau bermaksud baik !" katanya sengit.
"Soalnya ialah aku ingin berlalu dari sini!"
Nona itu sungguh bandel. "Kau begini galak" katanya perlahan. "Apakah dengan
begini dapat kau menggertak aku " Tidak, aku tidak mau pergi
! Ini batang leherku, hendak aku mencoba berapa tajamnya
pedangmu!" Berkata begitu, Nona Tan bertindak menghampiri si anak
muda, untuk datang lebih dekat !
It Hiong kewalahan. Ia jadi berpikir : "Dia melihat aku, dia
tidak tahu malu, tapi sebenarnya dia tidak bermaksud jahat.
Untuk menyuruh dia pergi tak dapat aku menghajar atau
membinasakan-nya. Bukankah aku seorang laki-laki sejati "
Bagaimana kalau aku membunuh seorang wanita yang justru
sangat mencintai aku dan minta dicintai " Apakah orang tak
akan tertawakan aku " Tak malukah aku ?"
Dalam bingungnya, anak muda ini berdiri diam saja.
Pedangnya telah dikasih masuk pula kedalam sarungnya.
Melihat orang diam saja, puas Tan Hong. Ia tahu bahwa ia
telah peroleh angin. Maka ia bertindak lebih jauh, datang lebih
dekat pada anak muda itu.
"Bunuh, bunuhlah aku !" kata ia sengaja. Ia mengajukan
kepalanya. "Lebih baik aku mati bermandikan darah diujung
pedangmu daripada akan mencari hidup sendiri didalam dunia
ini tetapi tanpa kebahagiaan...."
It Hiong tetap diam. Dilawan bandel dan mengalah itu ia
kewalahan. Apa ia bisa berbuat terhadap wanita yang tidak
mau melawannya " Jilid 11 Pendeta dari Siauw Lim Sie itu bingung juga menyaksikan
apa yang dipandangnya itu, ia berkesan baik terhadap
sipemuda. Ia memuji nama Buddha, lalu ia berkata kepada si
nona: "Oh nona apa-apaan kau mendesak begini rupa kepada
Tio Sicu" Kau bermaksud baik terhadapnya, bukan" Kenapa
kau tidak mau menanti sampai Tio Sicu selesai mendapatkan
kitab ilmu pedangnya itu?"
Disebutnya hal kitab ilmu pedang itu membuat It Hiong
terasadar, segera ia menatap Tan Hong, lantas ia berkata
kepada sipendeta: "Taysu, mari kita berangkat!" Dan dia
mendahului lompat turun ketepian jurang!
Pendeta itu menurut, ia lompat menyusul. Maka pergilah
mereka menuju ke Hwe Gan Hong. Mereka tak peduli cahaya
bintang yang guram, mereka jalan hingga tanpa terasa sudah
melalui belasan lie. Angin dan hawa dingin makin menjadi-jadi
tapi itu tak dihiraukan. Mereka maju terus!
It Hiong lari dengan cepat sekali. Tak ingin ia disusul Tan
Hong, ia jengah sendiri. Dengan petunjuk sipendeta, pada waktu terang tanah, It
Hiong sudah tiba di depan Co In Ih.
Kasihan pendeta itu yang tiba belakangan. Dia bernapas
memburu, peluhnya membasahi kepala, muka dan jubahnya.
"Kita sudah sampai Sicu," katanya sambil meluruskan
pernapasannya. Hanya waktu masih pagi begini, tak dapat kita
mengganggu tuan rumah. Ia tentu sedang menjalankan
ibadatnya. Baiklah sambil beristirahat, kita menanti sekian
waktu lagi" It Hiong setuju, ia mengangguk. Lantas ia mencari batu
besar diatas mana ia duduk.
Lewat sekian lama, pintu besar terdengar bersuara terus
terpentang. Diambang pintu muncul seorang kacung imam
yang sebelah tangannya membawa keranjang bunga, dia
langsung berlari-lari ke arah jembatan. Dia melihat kepada
dua orang itu tetapi sambil tunduk, dia lari pergi menghilang
dibalik sebuah tikungan gunung.
"Selamat pagi kakak kecil!" It Hiong berseru menyapa
kacung itu. Ia melompat bangun dan mengawasi sikacung.
"Maaf kakak kecil, aku mohon bertanya, Apakah It Yap
Totiang berada didalam" Kami minta sukalah kau
mengabarkan tentang kedatangan kami ini"
Kacung itu memutar tubuhnya.
"Kau she dan nama apa tuan?" tanya dia.
"Beberapa orang tuan dari To Liong To sudah pergi
meninggalkan gunung Siong San ini?"
"Kami datang dari Siauw Lim Sie," sambut pendeta
mewakili It Hiong menjawab, "Kami tengah menjalankan
perintah guru kami untuk menemui It Yap Totiang guna
membicarakan suatu urusan."
Kacung itu bukannya menjawab sipendeta malah
mengomel seorang diri: "Heran! Kenapa dalam beberapa hari
ini Go In Ih mendapat kunjungan sekian banyak orang?"
"Aku bernama Tio It Hiong," It Hiong memperkenalkan diri,
"Aku datang kemari buat memenuhi janji dengan kakak
seperguruanmu, Gak Hong Kun"."
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kacung itu menggoyang tangannya.
"Aku tidak peduli kalian mencari siapa." kata dia. "Kalian
tunggu saja sebentar! Aku lagi buru-buru hendak memetik
bunga segar!" Habis berkata dia terus lari pergi.
It Hiong mendongkol. Ia mengawasi kawannya.
"Bocah itu kurang ajar!"
"Kita jangan layani dia," berkata sipendeta, "Kita tunggu
saja!" Sang matahari mulai naik tinggi, halimun pagi mulai sirna
dan burung-burung mulai ribut berkicauan memecah
kesunyian pagi. Kacung tadi tampak lari mendatangi, selagi mendekat dia
berkata: "Maaf aku membuat tuan-tuan menanti lama!
Sekarang juga akan aku kasih kabar pada guruku!" Dan ia lari
mendaki jembatan terus masuk kedalam rumah.
Hanya sebentar kacung itu sudah muncul kembali dan
segera terdengar suaranya yang nyaring: "Bapak pendeta dari
Siauw Lim Sie silahkan masuk untuk minum teh! Dan tuan Tio
It Hiong tamu kami yang terhormat, harap suka menanti
sebentar lagi!" It Hiong heran, ia menoleh kepada sipendeta yang juga
mengawasinya. "Taysu, pergilah masuk!" katanya "Urusan Taysu penting
sekali." Pendeta itu mengangguk-ngangguk, lantas ia mengikuti
sikacung berjalan masuk. Belum lama ia sudah kembali,
terlihat tegas wajahnya tak gembira, pertanda ia putus asa.
Setelah dekat dengan si anak muda, ia berkata menyesal:
"Sungguh aneh, Ketua kami menulis surat sendiri
mengundang It Yap Totiang tapi ia menampik undangan itu,
bahkan dari lagak suaranya barusan, aku menerka ia justru
akan berpihak kepada pihak lawan! Sekarang pinceng mau
lekas pulang guna menyampaikan berita supaya ketua kami
dapat memikirkan pula bagaimana baiknya. Kalau Sicu masuk
kedalam, waspadalah! Sampai jumpa pula!"
Tanpa berayal lagi pendeta itu berlari-lari turun gunung.
It Hiong menanti sekian lama, kacung tadi masih belum
muncul juga, ia menjadi heran hingga hatinya menjadi tidak
puas. "Kau tidak mengundang aku masuk, baiklah!" pikirnya
sengit. "Aku akan masuk dengan paksa! Jangan kau katakan
aku tidak tahu sopan santun!" Lantas ia melangkah memasuki
rumah itu. Diruang tamu keadaannya sunyi. Ruang tamu itu kosong.
Dalam kegusarannya tak sempat lagi ia memperhatikan
perlengkapan ruangan itu. It Hiong berkata nyaring
"Aku Tio It Hiong! Aku datang untuk memenuhi janji!
Suruhlah Gak Hong Kun keluar menemuiku!"
Tidak ada jawaban. It Hiong mengulang tantangannya
beberapa kali! Akhirnya muncul juga kacung tadi.
"Buat apa membuka suara membikin ribut disini?"
tegurnya, "Apakah Go In Ih dapat membiarkan kau berlaku
begini tidak tahu aturan" Kakakku Gak Hong Kun menyuruh
kau menggelinding masuk!" Dan dia lantas lari masuk, sejenak
dia berpaling dan katanya keras: "Apakah kau mempunyai
nyali besar buat turut aku masuk?"
It Hiong tengah panas hati, ia turut masuk tanpa
mengatakan sesuatu. Ia kemudian sudah berada dalam
sebuah kamar mirip obat. Disitu ia mendapatkan It Yap Tojin
tengah duduk bersemedi diatas pembaringan sedangkan Gak
Hong Kun berdiri disisi gurunya. Ia menghampiri pembaringan
sampai dekat, lantas merangkapkan dua tangan untuk
memberi hormat sambil menjura pada imam itu. Katanya: "Tio
It Hiong datang menghunjuk hormat! Semoga totiang sehatsehat
saja!" Biarpun hatinya mendongkol tak mau ia
melupakan adat kesopanan.
It Yap Tojin membuka kedua belah matanya mengawasi si
anak muda. "Apakah kau muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia?"
tanyanya dingin. "Kenapa kau lancang memasuki Go In Ih dan
membikin ribut disini?"
It Hiong tetap berlaku sabar dan hormat.
"Benar, Tek Cio Siangjin adalah guruku," sahutnya. "Hari ini
aku datang untuk memenuhi janji kakak Gak, muridmu yang
telah mengundang aku datang kemari. Maksudku ialah buat
mengambil pulang kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam karya
guruku. Bagaimana urusan kami berdua hendak diselesaikan
terserah kepada totiang?"
"Hm!" tukas Gak Hong Kun dengan suaranya yang dingin
dan bernada mengejek. Dia mendahului gurunya, "Eh, orang
she Tio, bagaimana kau berani berlaku begini kurang ajar
dihadapan guruku?" It Hiong tidak menggubris lagak orang itu, ia hanya
berkata: "Saudara Gak, kepribadainmu dan kepandaian
silatmu biasanya aku sangat mengaguminya, tetapi kitab ilmu
pedang guruku telah terjatuh kedalam tanganmu, karena itu
tak dapat tidak, aku mesti datang kemari guna memintanya
pulang dari kau!" Belum lagi Hong Kun menjawab, gurunya sudah menyela.
Kata It Yap Tojin: "Memang kitab itu menjadi karya gurumu,
tapi aku dengar kitab itu diserahkan kepada anak Hong oleh
salah seorang dari kalian dari Pay In Nia! Maka hak apa yang
kau andalkan untuk memintanya pulang?"
It Hiong melengak, ia menahan sabar.
"Kalau seorang laki-laki berbuat sesuatu, dia mesti lakukan
itu secara baik-baik juga!" katanya, lanjutnya "Saudara Gak,
aku mohon tanya, siapakah yang telah memberikan kitab itu
kepadamu?" Gak Hong Kun tertawa dingin.
"Dialah Pek Giok Peng?" sahutnya tegas.
Itulah fitnah, maka habislah kesabaran It Hiong.
"Ngaco belo!" bentaknya. "Kau telah curi kitab ilmu pedang
itu! Kau juga yang menantang aku datang ke Hwe Gan Hong
buat mengadu ilmu pedang! Siapa sangka justru mengandung
maksud jahat! Kau sengaja hendak membikin rusak
persahabatan kita! Benarkah kau begini tidak tahu malu?"
"Hei Anak Hong, bagaimana ini?" bentak It Yap Tojin.
"Lekas omong terus terang! kita adalah kaum Heng San Pay,
kita memiliki ilmu pedang kita sendiri! Siapakah yang kemaruk
dengan kitab pedang Pay In Nia?"
Melihat gurunya gusar, Hong Kun membawa sikap hormat
dan sungguh-sungguh. "Suhu!" katanya, "Anak she Tio ini terlalu mengandalkan
pedang Keng Hong Kiam, sudah berulangkali dia menghina
muridmu ini, maka juga aku telah tantang dia datang
kegunung kita supaya dapat aku mengadu kepandaian pedang
dengannya dihadapan suhu."
"Hendak aku mencari keputusan siapa menang siapa
kalah!" Dasar licik, pemuda itu mencoba mengalihkan pertanyaan
gurunya. Tapi It Hiong tidak puas, ia menegur: "Saudara Gak,
kenapa bicaramu ini seperti menyembunyikan kepala
menongolkan ekor" Bukankah kau menantang aku datang
kemari buat kita mengadu pedang, bahwa sehabisnya itu kau
berjanji hendak mengembalikan kitab ilmu perguruanku."
"Apakah kau percaya betul bahwa dengan ilmu pedangmu
kau dapat mengalahkan aku?" katanya jumawa. "Jangan kau
terlalu menghina orang!"
Sampai disitu tahulah It Yap Tojin bahwa yang salah ialah
muridnya itu, akan tetapi ia membawa sifatnya sendiri,
menyayangi murid secara keterlaluan dan suka memenangkan
Hong Kun, sedangkan Hong Kun itu murid terasayangnya.
Maka ia lantas minta kitab ilmu pedang itu dari muridnya
kemudian ia berkata: "Siapa benar siapa salah tak usah kita
pertengkarkan lagi! Karena kalian sudah berjanji hendak
mengadu ilmu pedang, baiklah kalian lakukan itu. Aku juga
hendak menyaksikan bagaimana macamnya ilmu pedang Pay
In Nia!" Berkata begitu, imam ini bergerak turun dari atas
pembaringannya, untuk terus pergi keluar dari kamarnya itu.
Hong Kun mengikuti gurunya, maka It Hiong terpaksa turut
juga. Disepanjang jalan mereka semua menutup mulut. It Yap
Tojin membawa kedua anak muda itu ke belakang tempat
kediamannya itu, di sana ada sebuah halaman mirip sebuah
taman kecil. Disekitarnya terdapat pot-pot bunga yang terbuat
dari batu gunung dimana tertanam aneka bunga yang indahindah
dan harum baunya. Ditanah terlihat banyak bunga merah yang sudah gugur.
Dihalaman kosong itu tumbuh rumput hijau luasnya kira-kira
dua puluh tombak persegi.
"Nah, disinilah kalian berdua mengadu ilmu pedang!"
berkata si imam setelah dia menghentikan tindakannya. Siapa
yang menang satu atau setengah jurus saja, dialah yang
mendapatkan kitab ini!"
Terang guru ini memihak muridnya, ia justru memakai kitab
sebagai hadiah! Hong Kun lantas berkata: "Dia menggunakan Keng Hong
Kiam! Pedang itu tajam luar biasa, kalau pedangku beradu
dengan pedangnya bukankah itu berarti aku rugi dan kalah?"
Tapi It Hiong tidak takut, ia lantas berkata: "Kalau aku
memakai pedangku ini, menangku bukanlah menang dengan
penuh kehormatan. Totiang aku minta sukalah aku
dipinjamkan sebatang pedang yang lain!"
It Yap Tojin tertawa. "Bagus!" serunya memuji. "Kau memiliki semangat rimba
persilatan!" Dan lantas ia memberi pinjam pedangnya sendiri.
It Hiong menyambut sambil mengucapkan terima kasih,
terus ia maju ketengah lapangan rumput itu. Hong Kun
mengikuti, di depan gurunya dia jadi bernyali besar.
Keduanya sudah lantas menghunus pedangnya masingmasing,
dan langsung mengambil posisinya.
"Kakak Gak, silahkan mulai!" It Hiong berkata. Dalam
mendongkolnya ia tetap membawa prilakunya seorang
terhormat yang tahu sopan santun.
"Maafkan aku!" berkata Hong Kun yang juga berlaku
hormat, hanya begitu dia mengucapkan kata-katanya itu, dia
lantas menyerang dengan jurus "Bangau Putih Melintasi
Sungai". Pedangnya menebas pinggang lawan. menyusul
mana dia terus menyerang berulang-ulang, tak sudi ia
memberi kesempatan kepada lawannya yang selalu masih
main menangkis dan berkelit, main mundur dan berlompatan
ke kiri dan kanan. Dia pergunakan ilmu pedangnya yang terdiri
dari duapuluh empat jurus secara beruntun!
It Hiong masih menghargai It Yap Tojin. Di depan guru
besar itu, ketua sebuah perguruan, tak mau ia berlaku kurang
hormat atau jumawa, ia menaati pesan gurunya buat berlaku
tenang dan sopan. Untuk menyelamatkan diri dari serangan
lawan, maka ia mempergunakan jurus Tan In Ciong, ilmu
ringan tubuh Lompatan Gesit Tangga Mega. Maka ia terlihat
sangat gesit dan lincah, kemana pedang musuh tiba, dari situ
ia menghilang, tubuhnya bergerak gerak bagaikan bayangan.
Maka dalam waktu yang pendek mereka telah bertempur
tigapuluh jurus lebih. Selama itu, pemuda tuan rumah itu
selalu jadi penyerang dan lawannya hanya membela diri, cuma
beberapa kali saja ia mengancam guna membebaskan diri dari
desakan lawan. Pedang merekapun sering kali beradu satu dengan yang
lain, memperdengarkan suara nyaring atau memuncratkan
percikan api, hingga pemandangannya menjadi menarik hati,
mirip dengan kembang api.
It Yap Tojin menonton dengan hati puas dan kagum sambil
mangut-manggut. Ia mendapati sepasang anak muda ini telah
mencapai kepandaian yang sempurna. Tentu sekali ia girang
mempunyai murid yang lihai, yang dapat mewarisi
kepandaiannya. Jurus-jurus berjalan terus. Selama ini, It Hiong tidak lagi
mengalah seperti sebelumnya sebab itu berbahaya. Kalau ia
salah satu tindak saja atau tangannya kurang cepat, ia bisa
celaka. Iapun tidak menggunakan pedangnya sendiri. Dipihak
Hong Kun, ia tak perlu jeri lagi terhadap Leng Hong Kiam
maka hatinya menjadi besar dan tabah. Lagipula di depan
gurunya hendak ia perlihatkan ketangkasannya.
Mereka berdua berimbang, sebab yang satu lunak yang lain
keras. Yang lunak ialah It Hiong. Ia masih berpikir panjang
dan tak mau mengalahkan Hong Kun dengan mudah. Karena
hal itu dapat membuat It Yap Tojin kehilangan muka. Ia mau
mencari kemenangan dengan satu atau setengah jurus supaya
pamornya Heng San Pay dapat terlindungi. Tapi karena hal ini,
ia jadi mesti berkelahi keras sekali, sebab ia mesti meladeni
Hong Kun yang sudah kalap itu.
Dari pertempuran biasa, kedua pihak sudah memasuki
babak dimana tenaga dalam digunakan. Itu bukan lagi pibu
biasa, kali ini mereka berkelahi untuk merampas hidup. It
Hiong dipaksa mengikuti musuhnya, karena ia harus menang
dan tak mau celaka. Maka ia berlaku waspada, awas dan
gesit. Tibalah saatnya It Hiong membalas menyerang dengan
tebasan "Burung Air Mematok Ikan"
Hong Kun tidak mau menangkis, sebaliknya begitu berkelit
ia mendak, terus membalas dengan jurus "Ular Hijau Melintas
Pohon" Ujung pedangnya lurus mengancam ulu hati lawan.
Inilah saat yang berbahaya buat It Hiong jika tidak mundur
maka dadanya dapat dijadikan sate sedang akibatnya bagi
Hong Kun adalah batang lehernya atau kepalanya terbabas
kutung. Namun It Hiong benar-benar lihai, tak kecewa ia menjadi
murid terpandai Tek Cio Siangjin. Ia tidak melompat mundur.
Ketika ujung pedang meluncur ia mengangkat sebuah kakinya
mendepak lengan lawan yang dipakai menyerangnya itu,
sedangkan pedangnya diteruskan menabas.
Hong Kun terkejut. Sudah tentu ia terpaksa mesti merubah
jurusnya. Depakan lawan membuat serangan mautnya itu
gagal. Dengan mendak tadi, dapatlah ia melindungi kepala
atau batang lehernya. Tangannyapun tidak sampai keras
terdupak, sempat ia memutar lengannya itu dan
menggunakan pedangnya untuk menyampok pedang lawan.
Buat kesekian kalinya kedua pedang beradu dengan keras.
Selagi pedang beradu, It Hiong tidak berdiam saja. Ia justru
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak terus membarengi menyerang pula. Hanya kali ini ia
tidak memakai pedangnya, ia cuma melayangkan kaki kirinya
keiga lawan. Hong Kun terperanjat, tapi dapatlah ia
menyelamatkan diri. Yang terbuka adalah iga kirinya, maka ia
lantas menyampok kaki lawan yang menuju keiganya itu
menggunakan tangan kirinya. Habis itu ia lompat mundur.
It Hiong tidak sudi memberi ampun, ia terus lompat
mengejar untuk menyusul. Ia membacok dengan pedangnya
dengan jurus pedang "Memutar Dunia", menyusul mana ia
mendesak dengan tigapuluh enam jurus dari Khie bun Pat Kwa
Kiam. Maka itu pedangnya seperti berputaran dengan
senantiasa berkilau tajam. Menyaksikan cara menyerang si
anak muda, It Yap Tojin kagum berbareng terkejut. Ilmu silat
itu hebat dan berbahaya. Hong Kunpun segera mengeluarkan jurus-jurus simpanan
dari ilmu silat Heng San Pay, guna melindungi diri yang lagi
terancam itu. Ia berkelit, melompat dan mendekam ditanah.
Segala macam gerakan mesti digunakannya untuk meloloskan
diri dari desakan musuhnya. Dia akhirnya berhasil juga
meloloskan diri dengan susah payah, sehingga serangan It
Hiong tidak memperoleh hasil. Namun sekarang hatinya mulai
menjadi ciut. Sekarang ia insyaf benar bahwa kepandaian
lawan lihai luar biasa, sedangkan dahinya telah mengeluarkan
peluh pertanda ia telah mengeluarkan segenap tenaganya.
Selain itu ia juga sadar ilmu silat Heng San Pay juga tidak
dapat dipandang ringan, karena itu timbullah kebanggaan dan
kejumawaannya. Justru begitu timbul pula penasaran dan
gusarnya, lantas ia ingin membuat pembalasan. Begitulah ia
berseru dan menyerang dengan hebat. Ia ingin dengan satu
gerakan saja dapat mematahkan atau mengutungkan pedang
lawan. It Hiong sendiri telah berbesar hati. Ia telah menang diatas
angin. Ketika ia diserang itu, ia menangkis dan Hong Kun
lantas menempel pedangnya. Menyaksikan demikian, It Hiong
dapat menebak maksud lawan, Hong Kun mau melibat
pedangnya untuk mengadu tenaga dalam supaya pedangnya
dapat dipatahkan. Tak ayal lagi ia mengerahkan tenaga
dalamnya, menyambut tantangan lawan, tenaganya terkumpul
pada pedang dan lengannya.
Selagi pedang pedang saling menempel, pikiran kedua jago
dipusatkan, tangan kiri mereka juga dikerahkan guna
membantu tenaga pada tangan kanan. Kuda-kuda mereka
tertancap kuat. Kalau toh kuda-kuda itu bergerak, itu cuma
untuk memperkuatnya. Sikacung merebahkan diri di bangku, dia menonton dalam
keheranan dan kekaguman. Satu kali ia bertepuk tangan
saking gembiranya. Kedua pemuda itu sama gagahnya dan
sama pandainya, tetapi It Hiong tetap berada satu tingkat
lebih atas. Dia memiliki tenaga dalam yang luar biasa, sebab ia
pernah meminum darah belut emas. Darah binatang itu
membuat tenaganya bertambah sedang tubuhnya ringan dan
lincah. Ilmu silatnya sendiri oleh gurunya ia diajari tenaga
lunak sedang ayah angkatnya mengajarkan Hang Liong Hok
Mo Kun membuat ia bisa bertindak keras. Dan semua itu
disempurnakan dengan minat, tekad dan tekunnya belajar dan
berlatih. Berjalannya sang waktu membuat muka It Hiong menjadi
bersemu merah. Itulah bukti dari hebatnya pengerahan
tenaga dalamnya. Walaupun demikian ia tetap tenang dan
waspada, sedang nafasnya tetap seperti semula. Tidaklah
demikian keadaan Hong Kun, mukanya telah berpeluh dan
sekarang ia bermandikannya. Pula tertampak napasnya mulai
memburu. Namun ia tetap bertahan sebab niatnya sangat
keras guna merobohkan lawan yang dibencinya itu. Lawan
yang menjadi saingannya dalam urusan asmara!
Tengah kedua belah pihak ngotot berkutat itu, tak ada
salah satu pihak yang mau menyerah kalah, mendadak dari
luar tembok Pekarangan tampak sebuah bayangan kecil hitam
menyambar kedada Gak Hong Kun, arahnya yaitu punggung
kiri anak muda itu. It Yap Tojin melihat datangnya serangan gelap itu.
"Anak Hong hati-hatilah! Senjata rahasia!" demikian
teriaknya. Hong Kun mendengar tegas peringatan gurunya itu, ia
terkejut hingga ia melengak sejenak. Justru detik itu ia
berhenti pula mengerahkan tenaga dalamnya. Maka tak
ampun lagi "Trang!" kutunglah pedangnya. Ia kaget dan
mencelat kesamping dengan begitu berbareng iapun lolos dari
bayangan hitam kecil yang menyambarnya itu. Senjata rahasia
itu melesat terus menancap dinding batu. Ia kaget dan
bergusar, tetapi iapun heran hingga jadi berdiri menjublak.
Parasnya It Yap Tojin guram seketika. Itulah disebabkan ia
menyaksikan pedang muridnya kutung dan ujungnya jatuh
menggeletak ketanah. Tapi senjata rahasia itu ada baiknya
juga untuk menutupi kekalahan muridnya itu.
It Hiong meninggalkan Hong Kun. Ia menghampiri It Yap
Tojin buat memberi hormat, seraya berkata: "Inilah hal diluar
dugaan! Saudara Gak telah kutung pedangnya tapi itu bukan
berarti kekalahannya. Kita belum tentu menang kalahnya.
Maka itu saya yang rendah mohon petunjuk totiang, apakah
mengulangi pertarungan ini atau bagaimana?"
Pertanyaan anak muda itu ada baiknya bagi It Yap Tojin
untuk mengutarakan pikirannya. Dengan sendirinya wajahnya
yang tadinya muram jadi lega. Lantas ia tertawa dan berkata:
"Benar, memang belum ada yang menang atau kalah,tapi
kalian perlu istirahat! Pertempuran kalian demikian lama dan
meminta tenaga berlebihan, baiklah urusan disudahi saja!"
Menutup kata-katanya ini, si imam lantas mengulurkan
tangannya mengembalikan kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam.
Hong Kun yang melihat perbuatan gurunya itu sebenarnya
merasa tidak puas, hatinya terasa nyeri tapi ia tutup mulut.
Terhadap gurunya, tidak berani ia banyak bicara. tidak
demikian terhadap lawannya. Maka guna lampiaskan
penasarannya, dengan dingin ia berkata pada It Hiong:
"Memang buntungnya pedang bukan berarti menang atau
kalah! Aku taat pada guruku, maka itu orang she Tio, aku beri
ampun padamu! Nantipun kelak akan datang harinya kita
berdua bertemu pula untuk menuntaskan urusan ini! Kita
berdua tak dapat berdiri tegak bersama!"
It Hiong tidak sudi melayani orang mengadu lidah,
diterimanya kitab pedang itu, ia berseru: "Sampai jumpa
pula!" terus ia memutar tubuh melompat naik melewati
tembok, buat berlalu dari Go In Ih.
Apakah senjata rahasia yang kecil dan mirip bayangan itu"
Siapa yang melepaskannya" Tak lain adalah Tan Hong, salah
satu iblis dari Hek Kong To. Sebab dia terus menyusul dan
menguntit It Hiong, walaupun si anak muda tak suka memberi
muka padanya. Ia mengambil jalan dari belakang Go In Ih.
Jadi kebetulan sekali baginya, segera ia menyaksikan kedua
pemuda itu sedang bertarung. Maka ketika tiba saat genting
itu, saat ia merasa heran, kagum dan berbareng kuatir, ia
memberikan bantuan kepada It Hiong. Dalam hal itu ia sampai
melanggar aturan kaum persilatan. Ia menjemput sepotong
batu krikil, terus ia timpukkan ke arah Hong Kun. Habis itu ia
menunduk untuk sembunyi. Ya sembunyi sambil menonton
terus. Hingga ia menyaksikan kemenangan It Hiong, pemuda
yang ia gilai itu. Dan ketika It Hiong angkat kaki, tanpa ayal
lagi iapun keluar dari tempat persembunyiannya itu guna
menyusul anak muda itu. Bagus untuk nona itu. It Yap Tojin tidak mencari atau
mengejarnya. Imam itu justru masgul melihat muridnya
berdiam diri saja, mukanya pucat dan tampangnya sangat
lesu, bagaikan orang yang gugur semangatnya.
"Anak Hong" katanya menghibur, "Jangan kau bersusah
hati! Dalam pertempuran siapa menang atau siapa kalah,
itulah lumrah! Jangan kau menggoda hatimu. Nah pergilah
beristirahat"!"
"Kepandaianku tidak berarti, suhu" sahut murid itu
perlahan. "Sekalipun darah bermuncratan aku rela. Cuma aku
menyesal telah dibokong orang dengan senjata rahasia,
hingga pemusatan tenagaku runtuh dan pedang pun patah
kerenanya. Kalau sakit hati ini tak aku balas, mana ada muka
aku menemui banyak orang?"
Mendadak It Yap Tojin seperti disadarkan, maka ia lantas
bertindak ketembok untuk melihat senjata rahasia tadi.
Kiranya itu adalah batu krikil biasa yang terdapat dimanamana.
Karena itu dia jadi menduga-duga, siapa penyerang
gelap itu, serta apa pula maksudnya menenyerang dengan
batu itu. "Ada kemungkinan penyerang gelap itu sipendeta Siauw
Lim Sie tadi" Hong Kun mengutarakan terkaannya.
"Perasaan aku melihat satu bayangan orang dengan tubuh
langsing" sikacung nyeletuk.
Hong Kun berpikir menerka-nerka. Tak dapat ia
membedakannya. Tapi ia penasaran, maka ia lantas berkata
pada gurunya: " Suhu, muridmu berpikir untuk turun gunung
guna mencari tahu penyerang gelap itu, untuk membuat
pembalasan!" Dimulut Hong Kun mengatakan demikian, yang sebenarnya
ialah senantiasa ia ingat Giok Peng, jadi ia ingin pergi untuk
membuat Giok Peng dan It Hiong terpecah-pecah. Ia sendiri
mau jadi sinelayan yang memperoleh hasil tanpa berpikir. Tak
ada niatnya yang keras buat mencari pembokongnya itu"
Biar bagaimana, It Yap Tojin sangat menyayangi muridnya
ini, karena itu tak sampai hati ia mencegahnya.
"Jangan terburu nafsu, anak" kata dia. "Sang waktu masih
banyak! Baiklah kau istirahat dahulu sedikitnya satu malam!
Kau berangkat besok saja!"
It Yap Tojin baru menutup mulutnya, belum lagi muridnya
mengatakan sesuatu, sekonyong-konyong mereka melihat
satu bayangan orang melompat masuk dari atas tembok,
bahkan segera terlihat nyata dialah Teng Hiang si nona manis
yang menjadi centil tingkahnya. Dengan langkah berlenggang,
dia menghampiri It Yap Tojin buat memberi hormat, sambil
bertanya: "Mohon tanya totiang, apakah tuan Tio It Hiong
telah datang ketempat totiang ini?"
Melihat nona itu, Hong Kun menerka dialah sipembokong.
Mendadak ia menjadi marah, tanpa menanti jawaban gurunya,
ia mendamprat: " Budak nyalimu sungguh besar! Bagaimana
kau masih berani datang kemari dengan lagak pilonmu ini?"
Menyusul sebelah tangannya melayang kemuka orang!
Teng Hiang terkejut. Inilah diluar dugaannya. Tetapi ia
bukan sembarang orang, sempat ia menangkis, tatkala tangan
mereka beradu keras, keduanya sama-sama mundur sendiri
setindak. "Tahan!" bentak It Yap Tojin, yang terus menatap nona
dengan dandanannya yang luar biasa, sejenak kemudian,
barulah dia bertanya: "Siapakah kau" Apa perlunya kau
datang kemari?" Diperlakukan kasar oleh Hong Kun dan dibentak imam tua
itu, Teng Hiang tidak gusar, dia tertawa manis.
"Aku yang rendah Teng Hiang, muridnya Thian Cie Lojin,"
sahutnya ramah. Tanpa menanti jawaban si imam, dia
menoleh kepada Hong Kun untuk mengawasi tajam sambil
berkata keren: "Tuan Gak, apakah kau sangka Teng Hiang
adalah orang yang dapat kau hina" Kenapa datang-datang kau
menyerang aku, perbuatanmu sangat kurang ajar!"
Hong Kun gusar. "Hai, budak!" serunya. "Kau telah membantu Tio It Hiong
membokong aku dengan senjata rahasia, bagaimana kau
dapat mengatakan aku yang kurang ajar" Lihat tanganku ini!"
Kembali dia menyerang! Dengan gesit Teng Hiang berkelit. Dia menjadi gusar juga,
maka itu alisnya lantas berbangkit berdiri dan kedua matanya
dibuka lebar-lebar. "Kapan aku bokong kau?" ia tanya bengis, "Jika aku tidak
memandang kepada gurumu, hmmm, jangan kau nanti
katakan aku tidak kenal kasihan!"
Hong Kun bertambah murka, ia melompat maju untuk
mengulang serangannya. Kali ini dia menyerang dengan dua
tangan terbuka. Teng Hiang telah menjadi seorang yang luar biasa. Didalam
murkanya, ia masih dapat tertawa, maka itu dia marah atau
gusar tampangnya sama saja.
Demikian juga kali ini, dia bukan mendamprat melainkan
tertawa bergelak-gelak, hingga suara tawanya itu
mendengung ditelingnya si anak muda. Sambil tertawa, dia
lantas menyerang si anak muda itu.
Hong Kun lagi gusar, dia melayani. Dengan begitu
bergebraklah mereka bahkan secara hebat.
Lewat sepuluh jurus, Hong Kun menjadi heran. Teng Hiang
sangat lincah dan gesit. Bermacam serangannya juga beda
dari orang kebanyakan, ia menjadi gentar hati dan berpikir:
"Heran budak ini! Waktu lewat belum lama, Kenapa
sekarang dia menjadi begini lihai?"
Diantara muda mudi itu tidak ada sangkut paut juga,
bahkan selama di Lek Tiok Po si, pemuda sebagai tetamu
biasa dilayani sipemudi yang ketika itu masih menjadi pelayan
hingga disaat yang kebetulan dan dia datang tepat saat Hong
Kun baru dikalahkan It Hiong. Sedangkan sipemuda lagi
mendongkol dan bersusah hati, hingga ia disangka sebagai
orang yang membokongnya. Sekarang sesudah bertempur
banyak jurus itu, perlahan-lahan hati Hong Kun berubah,
amarahnya reda, iapun diherankan ilmu silatnya si nona. Maka
itu mendadak ia lompat mundur meninggalkan medan
pertempuran. Diluar kalangan ia diam-diam mendelong
mengawasi si nona. Teng Hiang tidak lompat menyusul melanjutkan
penyerangan. Dia berdiri diam, balik mengawasi.
"Bagaimana, Eh!" tanyanya tertawa. "Kenapa kau tidak
menyerang terus?" Hong Kun masih berdiam, dan masih mendelong.
"Tahukah kau akan maksud kedatanganku kemari?" Teng
Hiang tanya pula. Kembali dia tertawa. "Aku datang dengan
maksud baik. Aku mengkuatirkan kalian berdua, supaya
ganjalan dilenyapkan! Aku kuatir sekali disebabkan ilmu
pedang itu kau dan tuan Tio nanti mengadu jiwa! Diluar
sangkaku, kau jadi seperti edan, datang-datang kau
menyerang aku!" Berkata begitu nona ini berpaling kepada It Yap Tojin,
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka untuk herannya ia mendapatkan si imam sudah
menghilang dari hadapan mereka berdua!
Masih Hong Kun tidak dapat menjawab.
Teng Hiang berkata pula. "Aku kira dapat menebak delapan
sembilan bagian tepat! Aku terus terang! Kau rupanya tidak
mempunyai semangat laki-laki. Itulah cuma sebab kau
kehilangan pacar! Kau tahu, nona kami Nona Giok Peng belum
pernah aku melihat ia berduka seperti kau sekarang ini!"
Hong Kun bingung, orang melukai hatinya dengan
menyebut ia kehilangan pacar!
Iapun berduka. Tiba-tiba tubuhnya menggigil dan akhirnya
dia menghela napas. "Teng Hiang!?" katanya. "Aku minta janganlah kau
menyebut-nyebut pula hal itu".dapatkah?"
Teng Hiang tertawa geli. Dia bercekikikan. Dia mengawasi
dengan wajah tersungging senyum.
"Tuan Gak!" katanya kemudian. "Baik kau dengar katakataku!
Kau toh laki-laki sejati" Buat apa kau membawa
tingkahnya seorang wanita" Kenapa hatimu sangat mudah
tergerak dan terpengaruh" Bukankah kau kenal dengan
pepatah "Hilang Tong go, dapat Siang Jie?" Kalau kau telah
kehilangan Giok Peng, apakah sudah tidak ada lain wanita
lagi?" Kata-kata itu ada maksudnya yang dalam dan
diucapkannyapun secara sangat menggiurkan hati. Teng Hiang
cantik manis dan ketika itu Hong Kun merasakan hatinya berat
bagaikan diganduli batu besar, walaupun demikian sebagai
orang yang cerdas, ia tahu apa maksud Teng Hiang dengan
kata-kata itu serta gerak geriknya yang lemah lembut tetapi
menggoda. Di Yo Kue Cip juga pernah ia mendengar nona ini
secara samar-samar mengutarakan suara hatinya itu
terhadapnya. Biar bagaimana hatinya tergerak juga sedikit.
Cuma karena ia bertabiat tinggi dan menganggap diri dari
kalangan atas, mana sudi ia menerima seorang bekas budak
menjadi istrinya" Hanya didetik ini, setelah menerima pukulan
yang keras hingga hatinya berguncang dapatlah ia merasakan
cintanya Teng Hiang itu. Apa juga dibilang, nona ini telah
memberi hiburan terhadapnya dan membantu membangun
semangatnya. Asmara memang aneh, sehingga orang sukar meloloskan
diri daripadanya, sekali orang telah terlibat susah untuk
melepaskan diri. Diwaktu demikian, orang sukar mengenal
Kisah Pedang Bersatu Padu 2 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Pendekar Sakti 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama