Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 6

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 6


tabiat atau cacat. Demikian pula Hong Kun, cintanya pada
Giok Peng lain, sukanya pada Teng Hiang ini pun lain pula.
Masih sekian lama pemuda she Gak ini berdiam saja. Ia
bukan memikirkan apa baik ia terima cintanya budak ini, ia
justru memikirkan peristiwa di Lek Tio Po bersama Giok Peng.
Ketika itu pergaulan mereka berdua sangat akrab, ia berdiam
tapi matanya menatap nona di depannya ini"
Karena Hong Kun berdiam diri, Ia mengira pemuda itu
sedang memikirkan dirinya sehingga ia bergirang sendiri.
Maka itu ia menghampiri sampai dekat sekali dan
menyenderkan tubuhnya ditubuh si anak muda.
"Kakak Hong?" katanya perlahan.
Hong Kun tengah berkhayal ia sedang bersama Giok Peng,
rasanya manis bukan main. ia terbuka matanya tetapi tidak
melihat jelas orang disisinya itu. Ia mendengar panggilan
"Kakak Hong" dan menyangka itulah suaranya si nona Pek.
"Oh Adik Peng, kau toh datang juga"." katanya, terus ia
mengulur kedua lengannya untuk memegang bahu nona itu"
Disaat ini karena pikirannya terbuka karena ia sangat
girang, maka Hong Kun bebas dari khayalannya dan kagetlah
dia setelah melihat tegas, nona itu bukannya Giok Peng hanya
Teng Hiang sibekas budak!
"Oh!?" serunya sambil ia mencium tubuh orang.
Teng Hiang tak enak hati orang memanggilnya "Adik Peng"
dan bukannya "Adik Hiang". Setiap orang memang
mempunyai rasa harga dirinya sendiri. Maka itu ia merasa
tersinggung. Ia merasa terhinakan, maka mendadak ia
menghunus pedangnya. "Mahkluk tak tahu budi!" serunya. "Berani kau menghinaku
sampai begini!" Kata-kata bengis itu disebabkan hatinya yang panas disusul
dengan tikaman yang dahsyat!
Hong Kun mendengar bentakan dan melihat serangan si
nona, ia berkelit. Namun terlambat sedikit, sebaliknya si nona
bergerak sangat cepat. Tidak ampun pula baginya, bahunya
tergores hingga bajunya sobek dan kulitnya tergores dan
darah mengucur keluar. "Bagus!Bagus!" bersorak sikacung imam yang
menyandarkan dirinya dipojok. Dia memang belum
mengundurkan dirinya sejak berlalunya gurunya secara diamdiam
tadi. "Bagus! Habis bertempur lalu berbicara! Habis berbicara
lalu bertempur pula! Bagus!"
Teng Hiang mendongkol mendengar suaranya bocah itu,
mukanya menjadi merah tapi dia bukan marah pada sikacung
melainkan ia justru mengulang serangannya terhadap si anak
muda, dia menikam dan membabat berulang-ulang!
Hong Kun kaget dan gusar, ia anggap nona ini terlalu sesat.
Kenapa dia mudah tertawa dan gampang murka" Kenapa dia
demikian telengas" Maka ia memikir untuk menghajar adat
sekaligus melampiaskan kedongkolannya! Maka iapun lantas
menyerang! Teng Hiang masih saja gusar, ia menangkis terus
melanjutkan serangannya. Dengan begitu berdua mereka jadi
bertempur, yang satu bersenjata pedang yang lain bertangan
kosong. Yang satu bergusar, yang lain sebab ingin
melampiaskan kedongkolannya dan ditambah lagi salah
mengerti. Maka keduanya jadi seperti juga musuh bebuyutan
dan ingin mengadu jiwa secara sengit.
Tengah orang bertempur seru itu, satu bayangan orang
melompat datang untuk memisahkan.
"Berhenti!" bentak bayangan itu.
Dialah It Yap Tojin yang muncul secara tiba-tiba.
Satu gempuran telah membuat kedua muda mudi ini
mundur dengan sendirinya, hingga mereka dapat melihat si
imam berdiri dengan wajah muram saking gusarnya.
"Kau datang buat mencari Tio It Hiong atau sengaja untuk
mengacau disini?" tanya si imam itu bengis, dia menatap dan
menunding si nona. Mulanya Teng Hiang melengak, lalu dia tertawa dingin.
"Terserah padamu, kau mau bilang apa!" jawabnya berani.
It Yap masih dapat menyabarkan diri.
"Jika maksudmu mencari It Hiong" katanya, "Suka aku
memberi petunjuk, bocah itu sudah mendapatkan kembali
kitabnya dan sudah berlalu dari gunung ini!"
Teng Hiang tertawa. "Sebenarnya ini harus dikatakan siang-siang!" katanya.
"Hanya ini muridmu"."
"Masih kau tak mau pergi!" It Yap membentak. "Jika aku
tidak memandang muka gurumu, hari ini tak usah kau harap
bisa berlalu dari gunungku ini dengan masih hidup!" Ia lantas
menoleh kepada muridnya untuk menambahkan: "Anak Hong,
kau masuklah untuk beristirahat!"
Teng Hiang tidak menggubris guru dan murid itu, dia
menunding Hong Kun sambil berkata keras: "Orang she Gak!
hari ini kau menghina aku begini rupa, kau lihat nanti!" Lalu
dengan satu enjotan tubuh dia melompat pergi melintasi
tembok dan menghilang. Hong Kun berjalan terus kedalam dan gurunya berdiam
saja. Sementara ini marilah kita melihat It Hiong yang berlalu
dari gunung Heng San dengan membawa kitab ilmu pedang
gurunya. Ia girang sekali sebab akhirnya ia bisa mendapatkan
kembali kitab itu. Ia melakukan perjalanan dengan cepat.
Tengah malam dilewati dalam perjalanan, maka setelah tiba
sang pagi ia telah berada di kaki gunung Heng San
dikecamatan Heng Yan. Cara berjalannya anak muda ini yang tak perduli waktu
siang atau malam, menyulitkan Tan Hong yang terus mengintil
di belakangnya. Dia mahir ilmu ringan tubuh, tapi dibanding
dengan It Hiong ia masih kalah satu tingkat. Dilain pihak
sipemuda juga melakukan perjalanan dengan hati terbuka
hingga dia bagaikan dapat tambahan tenaga. Dia tidak
menghiraukan jalanan sukar. Maka itu waktu sampai
dikecamatan itu napasnya si nona tersengal-sengal dan
peluhnya membasahi seluruh tubuhnya.
It Hiong lantas mencari rumah penginapan. Ia minta
sebuah kamar. Baru sekarang ia mikir buat istirahat. Maka ia
minta barang hidangan untuk mengisi perutnya. Terlebih
dahulu ia hendak membersihkan tubuh baru bersantap terus
merebahkan diri untuk istirahat. Ia tidak biasa minum, tapi kali
ini ia minta arak untuk membantu memulihkan kesegarannya.
Selama memesan barang makanan itu, ia menggantungkan
pedangnya didinding terus ia membuka baju luarnya. Kitabnya
ia simpan dibaju dalam, lalu ia mengunci pintu buat mandi.
Mirip alap-alap Tan Hong senantiasa memasang mata. Ia
melihat si anak muda memasuki penginapan, tahulah ia
bahwa orang mau istirahat.
Ketika itu masih pagi, diam-diam dia girang sekali. Tak
nanti kau terbang lolos, pikirnya.
Diwaktu pagi itu, lalu lintas sudah ramai. Supaya tidak
mendatangkan kecurigaan, si nona berjalan perlahan-lahan
mendatangi rumah penginapan itu. Tadinya ia ketinggalan
jauh, dari itu ia mengintainya dari jauh juga.
Sebagai seorang yang sering merantau, ia tahu bagaimana
harus berbuat kalau orang memasuki rumah penginapan.
Demikianlah, ketika ia bertindak masuk dihotel, tanpa menanti
orang menyambutnya dan bertanya dia membutuhkan apa,
dia melempar sepotong perak keatas meja sambil berkata:
"Inilah untuk kalian minum arak!" kemudian menambahkan:
"Barusan anak muda yang membawa-bawa pedang itu, dia
mengambil kamar mana?"
Pengurus hotel menyambar uang sambil tertawa manis.
"Nona mau cari tuan itu?" katanya. "Mari aku antarkan!" Ia
pun menyebutkan kamar It Hiong.
"Tak usah" kata si nona tertawa, "Cukup asal menyediakan
kamarku disebelah kamarnya."
Tan Hong duduk dalam kamarnya sambil berpikir
bagaimana caranya ia nanti mencuri kitab pedangnya pemuda
itu. Tak lama terdengar suara jongos, mendadak Tan Hong
dapat satu pikiran. Ia bangkit dan menghampiri jongos itu.
"Memangnya tuan Tio pergi kemana?" tanyanya tertawa
manis. "Apakah ia sedang tidur?"
Jongos itu mengenali nona yang memberi persen, dia
tertawa dan menjawab: "Tadi aku lihat dia pergi kekamar
mandi, tak nanti dalam waktu sependek ini ia sudah tidur.
Mungkin dia sedang mandi."
Matanya si nona berputar.
"Kalau begitu baiklah barang hidangan ini kau bawa
kekamarku" katanya tersenyum, "Kalau kau suguhkan
sekarang, nanti keburu dingin, buat dianya kau dapat
menyediakan yang baru lagi."
Berkata begitu, Nona Tan menyodorkan sepotong perak.
Melihat uang, bukan main girangnnya si jongos.
"Baik, nona baik!" katanya, lalu terus ia sajikan barang
makanan itu dikamarnya si nona. Habis itu ia pergi keluar.
"tunggu!" si nona memanggil.
"Ada apa nona?" tanya jongos itu, dia berhenti dan
menoleh. "Aku tidak minum arak" kata si nona itu. "Maka itu, kalau
sebentar kau membawakan barang makanannya tuan Tio itu,
kau mampir kesini untuk mengambil arak ini.jadi tak usah kau
mengambil arak yang baru."
"Baik nona!" kata jongos itu dan terus berlalu.
Tan Hong menutup pintu kamarnya. Ia hanya berpikir
sejenak, langsung dikeluarkannya pat po long, kantong
"Delapan Mestika" atau tegasnya kantong serba guna. Sebab
disitu ia simpan segala macam barang yang ia butuhkan dalam
perantauan, hanya kali ini ia mengeluarkan satu botol obat
tidur, yang ia tuangkan sedikit isinya kedalam poci arak. Ia
hendak mencuri kitab itu disaat It Hiong tidur dengan lupa
daratan! Dan dengan memegang kitab itu, ia hendak
mendesak dan memaksa si anak muda suka mengikuti
kehendaknya" Tak usah terlalu lama nona ini berdiam didalam kamarnya
karena ia mendengar suara dari dibukanya pintu kamar
sebelah. Lekas lekas ia mengintai. Tahulah ia si anak muda
sudah kembali kekamarnya. Maka ia merapati pintu kamarnya
sendiri dan duduk menanti di muka pintu, menanti si jongos
datang mengambil arak. Ia menanti supaya jongos itu tak
usah mengetuk pintu kamarnya.
Kali inipun ia tak usah menanti lama. Segera ia mendengar
jongos mendatangi membawa barang makanan. Ia
mendengar sebab jongos itu berjalan sambil bernyanyi
perlahan, rupanya karena girang sekali sudah mendapat
persenan. Ia menggapaikan tangannya dan suruh si jongos
menanti. Ia malah memberi isyarat buat jongos itu menutup
mulut. Dengan cepat ia menaruh guci arak keatas nampannya
si jongos yang terus masuk kekamarnya It Hiong.
Si anak muda sedang lapar, selekasnya jongos menyajikan
barang makanan, ia lantas makan dengan lahapnya. Ia tidak
menenggak arak. Ia tidak biasa minum. Ia lupa araknya itu,
walaupun minuman itu tersedia diatas mejanya. Habis minum
air, ia naik kepembaringan tanpa membuka baju luar lagi,
terus tidur. Tan Hong menanti sekian lama, sampai ia tak mendengar
suara apa juga dikamar sebelah. Ia percaya orang tentu sudah
tidur nyenyak disebabkan bekerjanya obat pulas. Tanpa ayal
lagi, ia pergi kekamar sebelah itu, Ia membekal pisau belati.
Ingin dia mencongkel pintu dengan memakai pisau itu. Namun
ia girang ternyata daun pintu cuma dirapatkan. Maka, mudah
saja ia masuk kedalam kamar orang.
"Orang lalai!" katanya dalam hati. Ia tersenyum. "Orang
Kang Ouw tak boleh teledor begini, sampai pintu kamar lupa
dikunci. Kalau ada musuh datang bukankah itu berarti
celaka?" Berada didalam kamar Nona Tan lantas melihat kesegala
arah. Ia melihat poci arak masih ada diatas nampan. Ia sangat
teliti, maka ingin ia tahu apakah si anak muda sudah
menenggak arak berapa banyak. Ia menghampiri meja, ia
jemput poci arak itu untuk diperiksa. Ia melengak arak itu
belum diminum sama sekali.
"Ah, dia sangat cerdik?" pikirnya. Maka terhadap It Hiong
ia penasaran berbareng menyukai, sebab tipu dayanya gagal.
Ia suka karena anak muda itu tampan, gagah, jujur dan
cerdas. Lekas-lekas Tan Hong kembali kekamarnya. Ia merebahkan
diri sambil berpikir, bagaimana ia harus bekerja supaya kitab
pedang itu dapat pindah ketangannya" Kitab itu tak nampak,
tentunya kitab berada dalam saku baju si anak muda. Tak
berani ia sembarang meraba tubuh anak muda itu. Pasti ia
bakal terasadar dengan kaget. Ia menengadah kelangit-langit
kamar untuk mengasah otak. Sampai lama masih belum ia
memperoleh akal. Letih otaknya, maka tanpa terasa iapun
ketiduran dengan pulasnya. Memang ia sendiripun letih, tak
heran kalau ia tidur lama. Waktu mendusin sendirinya, itulah
waktunya lampu dinyalakan. Sang malam telah tiba.
"Ah!" ia menyesalkan dirinya sendiri. "Aku pun lalai!" Tapi
yang membuat hatinya kuatir ialah kalau-kalau It Hiong sudah
melanjutkan perjalanannya! Maka ia lantas keluar kamarnya
untuk melongok kekamar sebelah. Dikertas jendela dari kamar
It Hiong tampak sinar api lilin yang bermain tak hentinya.
Seketika itu legalah hatinya. Api lilin itu menjadi tanda bahwa
si pemuda belum berangkat pergi.
Sang waktu berjalan terus, tiba waktunya penerangan
dipadamkan. Sang malam pergi, sang tengah malam datang.
Seluruh halaman hotel gelap dan sunyi. Malam memangnya
gelap. Tan Hong menanti saatnya, lantas ia turun dari
pembaringannya. Dari kantung wasiatnya ia menarik keluar
serupa barang. Lalu dengan kertak gigi, ia berkata perlahan:
"Kau cerdik dan waspada, kau tidak minum arak, tapi aku mau
lihat apa kau dapat lolos dari asapku, inilah si "Tidur
Nyenyak!" Si "Tidur Nyenyak" atau Hauw Bong Jie adalah semacam
hio atau dupa istimewa buatan kawanan dari Hek Kang To,
Pulau ikan lodan hitam itu. Kalau hio itu disulut, asapnya
berbau harum, tapi siapa kena sedot asap itu, meskipun


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang tidur maka dia bakal kontan tidur nyenyak. Lupa
segala hal, sesudah lewat dua jam dia akan mendusin sendiri.
Siapa menyedot hio dan kemudian mendusin, sesudah
terasadar dia masih tak merasakan sesuatu hingga dia tak
tahu baahwa dia telah kena asap itu.
Demikian dengan membawa dupanya itu, Tan Hong
menghampiri jendela kamar It Hiong. Disulutnya hio itu dan
dimasukkannya kedalam kamar itu. Ia menanti sekian lama,
sampai ia merasa obat pulas itu sudah bekerja. Perlahan-lahan
ia membuka daun pintu. Mudah saja ia memasuki kamar
orang. Segera ia menyalakan api. Maka tampaklah terlihat
sipemuda tengah tidur nyenyak, napasnya menggeros keluar
dari hidungnya. Tanpa ragu-ragu ia lantas mencari kitab,
mencari sana-sini sampai ia menggeledah baju orang, kantung
dan bawah bantal. Kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam tidak ada!
"Aneh!" pikirnya. "Ah, tidak salah lagi, tentu dia simpan itu
didalam baju dalamnya!"
Giok Bin Sian Ho, si rase Sakti Bermuka Kemala menjadi
orang sesat, dia pula telengas, akan tetapi dia tetaplah
seorang gadis putih bersih. Dalam usia duapuluh lima tahun,
dia tetap gadis remaja. Maka timbul rasa malu atau likatnya
terhadap bangsa pria. Merahlah kulit mukanya, ketika ia
memikir mesti menggeledah tubuh It Hiong. Hatinya goncang,
memukul tak hentinya. Beberapa kali ia mengulur tangannya
guna meraba tubuh si anak muda, beberapa kali pula ia
menarik tangannya kembali. Ya, ia malu, ia likat! Ia jengah
sendirinya! Ia menjublak mengawasi wajah si anak muda yang
lagi tidur dengan tenang"
Sang waktu berjalan terus, tanpa terasa pagi hampir tiba.
ayam jago telah berkokok pertanda sang fajar. Hal ini
membingungkan si nona. Usahanya masih belum berhasil. Ia
masih diganggu dengan rasa likatnya!
"Ah!" serunya kemudian. Kembali ia kertak gigi, kali ini
guna menguatkan hatinya, lantas ia meraba dadanya si anak
muda buat merogoh kedalam saku dari baju dalamnya. Dan ia
berhasil memegang kitab yang ia cari itu, maka ia keluarkan
itu, terus dimasukannya kedalam saku sendiri! Bukan main
lega hatinya. Lekas-lekas ia bertindak kepintu kamar. Ia sudah
mengulur tangannya buat memegang daun pintu untuk dibuka
lalu ia berhenti. Ia berpikir keras, tak lama ia mengeluarkan
saputangannya, diatasnya ditulis dua baris huruf, setelah
meletakkan sapu tangannya itu diatas meja, barulah ia pergi
keluar kamar. Ia tidak kembali kekamarnya, hanya pergi
kehalaman terbuka untuk melompat naik keatas genteng.
Disini ia melihat kesekitarnya.
Pagi itu tetap sunyi, belum ada orang yang mendusin atau
keluar dari kamarnya. Jongospun belum ada yang muncul.
Ditimur tampak langit bersinar putih samar-samar. Masih Tan
Hong berdiri diam diatas genteng itu. Ia ingat saat meraba
dada si anak muda guna mengambil kitab orang itu. Ia
merasakan manis, hingga diluar tahunya pipinya merah
sendiri. Angin pagi sejuk sekali, meresap kedalam tubuh. Nona Tan
menggigil, tapi waktu itu ia merasakan ada angin yang meniup
batang lehernya. Ia terperanjat, insyaflah dia, bahwa telah
berlaku lalai saking kesengsemnya, cepat ia menoleh.
Di depannya, tampak Teng Hiang sedang berdiri
mengawasi! "Hey budak!" tegurnya, "Kau lagi bikin apakah!"
"Melihat tampang mukamu, rupanya kau telah melakukan
sesuatu yang bagus!" Teng Hiang membaliki. lalu
dilanjutkannya perlahan, "Apakah kau hendak mendustai
aku?" Tan Hong tertawa. "Tidak ada halangannya untuk memberitahukan itu
padamu!" sahutnya. "Soal apa lagi kecuali halnya kitab ilmu
pedang!" Teng Hiang melirik, dia tertawa. Aneh suara tawanya itu.
"Aku lihat kau bukannya maksudkan melulu kitab ilmu
pedang itu saja!" katanya. Ia tertawa pula, "Bukankah
sebenarnya kau hendak mendapatkan dirinya Tuan Tio It
Hiong sendiri?" Muka Nona Tan menjadi bersemu merah, dia merasai
pipinya panas. "Oh, adik yang baik" katanya, "Bagaimana kau hendak
menggodia aku" Kau memfitnah ya?"
Teng Hiang tersenyum. "Bagaimana kalau aku mendapat bagian sedikit?" katanya,
"Boleh bukan?" Tan Hong tidak menjawab. "Sampai jumpa pula!" serunya. Mendadak dia lompat dan
terus lari. Teng Hiang tidak mengejar, dia hanya mengawasi setelah
orang lenyap, dia berkata dalam hati: "Habis aku menyambut
guruku, akan aku susul tuan Tio! Kau lihat saja nanti!" Dan
iapun pergilah. Pagi itu It Hiong mendusin dan mendapatkan sinar
matahari dijendela sudah bewarna merah. Ia lantas bangkit
turun dari pembaringannya terus menguap dan mengulet.
"Ah, kenapa aku tidur begini nyenyak?" katanya seorang
diri. Jilid 12 Tepat itu waktu anak muda ini melihat sehelai sapu tangan
diatas meja. Ia heran. Ia lantas menghampiri dan mengulur
sebelah tangannya, menjemput itu. Ia lantas melihat dua baris
huruf yang tertulis pada sapu tangan itu. Bunyinya :
"Kitab pedang aku pinjam untuk dibaca !
Silahkan datang ke Hek Keng To.
Kalau kau memanggil kakak padaku akan
kukembalikan kitabmu itu."
Dibawah itu ada tanda-tandanya dua huruf : "Tan Hong"
Membaca surat itu It Hiong kaget. Segera ia mendekap
dadanya. Maka kembali ia kaget, kali ini kagetnya bukan main
! Kitabnya hilang ! "Celaka !" serunya. Lantas ia menjadi gusar sekali.
Saputangan itu dilemparkan ke tanah. Kendati begitu, ia toh
berdiri menjublak. "Biar akan aku menginjak-injak Hek Keng To rata seperti
bumi ! Budak hina dina, aku akan susul dan cari kau !"
katanya sengit. Dilain detik pemuda ini sudah menyambar pedangnya terus
ia lari keluar untuk pergi menyusul si nona. Ia tak bikin banyak
berisik lagi. Sekarang marilah kita melihat dahulu kepada Teng Hiang,
habis dia berpisah atau ditinggal pergi oleh Tan Hong di
kecamatan Hengyang itu. Dalam perjalanan menemui
gurunya, ia bertemu guru itu. Thian Cio Lojin ditengah jalan,
maka selanjutnya ia turut gurunya itu menuju ke Tay San.
Di jalan besar di Ouwlam barat, rombongan Teng Hiang ini
bertemu dengan rombongan Kiauw In dan Giok Pek. Ia ingat
Teng Hiang ingin ia melampiaskan kesebalannya terhadap
sahabat itu, maka juga kedua nona, nona Cio dan Pek itu, ia
memberi bisikan bahwa It Hiong sudah pergi menyusul Tan
Hong ke Hek Keng To guna anak muda itu mencari ilmu kitab
pedangnya. Maka mereka dianjurkan untuk lekas pergi
menyusul. Berdua Giok Peng, Kiauw In berunding. Biar bagaimana
mereka kuatir Teng Hiang nanti mendustakan mereka.
Sekarang ini Teng Hiang lain daripada Teng Hiang yang
dahulu. Sekarang Teng Hiang menjadi lihai gerak geriknya...
Tengah nona-nona ini masih ragu-ragu dari sebelah depan
mereka melihat menandatanginya dua orang penunggang
kuda yang kemudian ternyata adalah Cek Hong Siancu Cin
Tong si dewa angin merah serta Ba Cu Liang. Yang
belakangan itu adalah muridnya Beng Cinjin.
Cin Tong melihat kedua nona, lantas dia tertawa bergelak.
"Kamu kedua budak !" katanya sembari tertawa nyaring,
tingkahnya ceriwis sekali. "Hari ini kamu jangan memikir pula
akan lolos dari ujung pedang kakekmu !" Lantas ia teriaki Cu
Liang untuk lompat turun dari kudanya, dia sendiri mendahului
berlompat. Kiauw In berdua Giok Peng tahu bahwa mereka tidak dapat
menghindari diri dari pertempuran maka merekapun turun,
untuk menghadapi jago luar lautan yang galak itu. Sambil
menuding, Nona Cio berkata nyaring, "Jahanam ! Ketika di
Siauw Sit San kau bisa lolos, bukannya kau terus pulang ke
pulaumu, untuk menutup diri memikirkan segala perbuatan
salah kamu, sekarang kau berkeliaran disini ! Masih beranikah
kau main gila ?" Ba Cu Liang tidak mau banyak bicara, dia maju sambil
membacok Giok Peng dengan golok Biau-Tonya yang tajam.
Nona Pek berkelit tetapi ia bukannya terus menyingkir,
hanya ia berbalik maju guna membalas menyerang. Ia
menggunakan enam jurus beruntun dan yang keenam ialah
Berlaksa Bunga Mekar Berbareng. Maka juga lawannya seperti
di kurung pedang dari kiri dan kanan, dari atas dan bawah.
Ba Cu Liang menjadi murid alwarisnya Beng Leng Cinjin
dalam angkatan kedua, dialah anggota Hek Keng To yang
paling lihai dari itu tidak heran kalau dia dapat melayani Giok
Peng bahkan dengan goloknya yang istimewa itu ingin ia
membabat kutung pedang si nona.
Giok Peng tidak mempunyai niat berkelahi, ia lebih
memikirkan It Hiong yang lagi dicari itu tetapi karena jago luar
lautan ini mendesak dan melibatnya, terpaksa ia melayani
dengan sungguh-sungguh. Cu Liang keras dan telengas tidak berhasil dia merobohkan
si nona. Sebaliknya, lama-lama dialah yang terdesak. Dia kuat
tetapi kalah bertahan. Lewat tiga puluh jurus terpaksa dia
maju mundur repot dia membela diri, tak peduli goloknya
sangat tajam. Cin Tong berkuatir juga menyaksikan keponakan murid itu
terdesak sedemikian rupa sampai dia kewalahan menangkis
pelbagai serangan lawannya, maka itu hendak dia
memberikan bantuannya. Justru dia mau bergerak maju justru
bahaya sudah lantas mengancam si jago muda.
Pedang Giok Peng meluncur ke-iga kanan lawan itu. Cu
Liang menangkis dengan keras ingin dia supaya kedua senjata
beradu, pedang nanti tertebas puntung. Giok Peng sebaliknya
tak mengijinkan pedangnya terbabat lawan. Ia memutar
pedangnya itu untuk dikelitkan sekalian dipakai menebas
lengan kiri. Celakalah Cu Lian, tak sempat ia menangkis atau berkeliat,
mestinya lengannya itu terbabat buntung atau disaat
menghadapi bencana itu, Trang ! pedang si nona ada yang
tangkis ! Nona Pek terperanjat tetapi segera ia melihat itulah Cin
Tong yang membantu temannya. Ia menjadi marah sekali,
maka ia lantas menyerang si Dewa Angin Merah.
Sebagai kesudahan dari serangannya Giok Peng,
pedangnya bentrok dengan keras tetapi untuk herannya ia
mendapat kenyataan pedangnya itu justru beradu dengan
pedang Kiauw In. Sebenarnya itulah tidak heran. Ketika Cin
Tong bergerak membantu Cu Liang, Kiauw In juga berlompat
menerjang padanya. Dia lihai, disamping menangkis pedang Nona Pek dapat ia
menyelamatkan diri. Atas datangnya pedang Nona Cio, dia berkelit dengan cepat
sekali. Karena itu selagi dia lolos, pedangnya Nona Cio beradu
dengan pedangnya Giok Peng !
Kedua nona kaget hingga mereka sama-sama berlompat
mundur. Cin Tong dapat menyelamatkan diri dengan ia menjatuhkan
dirinya dengan terus bergelindingan, kalau tidak pastilah
ujungnya kedua pedang akan menancap ditubuhnya. Ia
menyingkir jauh setombak lebih.
Kiauw In mendongkol. "Roh gelandangan dari Hek Kang To kemana kau hendak
menyingkir ?" bentaknya. Ia lompat mengejar.
Cin Tong meletik bangun. Dia juga gusar tetapi dia tidak
membuka mulutnya, dia hanya menyambut serangan si nona,
sesudah mana dia lantas membalas hingga tiga kali saling
susul. Kiauw In berpikir sama seperti Giok Peng, tak mau ia
melayani lama ia kedua lawan itu, sebab mereka mempunyai
urusan penting mereka sendiri, kalau ia toh menyerang
maksudnya supaya musuh tahu diri dan pergi menyingkir. Cin
Tong sebaliknya memikir lain. Jago luar lautan ini memang
hendak mengganggu nona-nona itu, dia mau membalas sakit
hatinya kawannya di Siauw Si San maka dia berkelahi dengan
bengis. Demikian mereka bertarung dengan seru.
Ketika itu mendekati maghrib, ditengan jalan itu masih ada
orang-orang yang berlalu lalang, diantaranya ada orang yang
berkereta, tetapi karena ada orang yang berkalahi itu, mereka
itu pada berhenti jauh-jauh dan semua pada menonton.
Belum lama maka datang pula dua penunggang kuda
lainnya, di belakang mereka itu berdua, ada seorang yang
berjubah panjang yang mendatangi sembari berlari-lari.
Nampaknya dia seperti lagi mengejar dua penunggang kuda
itu. Dan dua penunggang kuda itu tak seperti melihat orang
lagi bertarung, terus mereka melarikan kuda mereka, sekeraskerasnya
! Kiranya dua penunggang kuda itu adalah murid-murid dari
To Liong To ialah Coan kun-kah Mie A Lun dan Ciau sui kauw
Lie Seng, si tenggiling dan ular naga mendekam. Cu Liang
melihat mereka itu, kontan dia berteriak-teriak : "Kawankawan
mari lekas. Mari kita bekuk budak perempuan ini !"
Kedua belah pihak itu ada dari kepulauan yang berlainan
tetapi mereka kenal satu dengan lain dan bersahabat. Mereka
memang asal satu golongan.
A Lun dan Lie Seng menahan kuda mereka, lantas mereka
mengawasi kedua nona itu terutama Giok Peng yang mereka
kenali. Lie Seng tertawa tergelak.
"Inilah kebetulan !" serunya nyaring. "Kita bertemu pula !"
Kata-kata itu ditujukan terhadap Nona Pek dan diucapkan
berbareng dengan lompat turunnya dia dari atas kuda, guna
terus menyerang nona itu !
Tapi Lie Seng menyerang secara mendadak itu, tepat
datang tangkisan pedang dari sisinya, setelah kedua senjata


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentrok nyaring, golok Gan leng To terlepas dari cekalannya
jago To Liong To itu, terpental jauh dua tombak bahkan
saking kerasnya tangkisan itu, sipemilik golok sendiri
terpelanting roboh memegang tanah !
Sementara itu Giok Peng terkejut mendengar suaranya Bu
Cu Liang, suara itu berarti ada bala bantuan untuk lawannya
atau lebih jelas lagi ia bakal mengalami kesulitan. Maka segera
ia memikir buat berkelahi cepat. Begitu ia melihat orang
membacok padanya dengan kecepatan luar biasa ia melompat
ke samping, untuk dari situ menangkis sambil menghajar
dengan hebat. Demikianlah kesudahannya, golok lawan
terbang dan tubuh lawan itu pun roboh.
Melihat lawan terjatuh, Nona Pek menggunakan
kesempatan yang baik. Lagi sekali ia bergerak sangat cepat,
sambil lompat maju ia melancarkan satu tikaman ke arah
lawan. Ia ke arah Bu Cu Liang yang terkejut melihat kawannya
yang membantu padanya, terhuyung roboh. Dia mencoba
berkelit, tetapi dia kalah cepat, tahu-tahu bahu kirinya sudah
kena tertusuk, hingga dia merasakan sangat nyeri dan roboh
seketika. Selagi si nona menyerang dan merobohkan lawannya itu,
Lie Sang sudah berbangikit bangun, melihat nona itu
merobohkan kawannya dia maju pula hendak menyerang
guna membantu kawan itu. Tapi Giok Peng mendapat dengar
suara orang bergerak, ia lantas menoleh ke belakang,
selekasnya ia melihat aksinya Lie Seng itu, ia mendahului
bergerak pula. Ia membenci dan bergusar terhadap
pembokongnya itu maka ia menyambut dengan satu tikaman.
Kali ini tanpa mengeluarkan jeritan Lie Seng lantas roboh
terkulai untuk tidak berkutik pula. Dia cuma kaget dan lantas
roboh. Sebab Nona Pek sudah berlompat kepadanya dengan
cepat luar biasa sambil menikam dengan jurus pedang
"Diperairan pulau mematuk ikan". Dan Lie Seng tak berdaya
terhadap sambutan itu yang membuatnya kaget dan gugup.
Maka robohlah dia sebagai korban kegalakannya !
Giok Peng bergirang berbareng menyesal sesudah ia
merobohkan dua lawan itu. Ia girang sebab ia menang dan
bebas. Yang menyesalkan ialah karena ia telah melukai dua
orang, walaupun itu dilakukan dengan terpaksa guna
membela dan membebaskan diri dari ancaman maut ! Ia
merasa bahwa ia telah berlaku terlalu keras....
Kemudian Giok Peng melihat kelilingnya. Ia mendapatkan
Kiauw In tengah bertarung seru sekali dengan Cin Tong. Masih
ada satu rombongan lain yang lagi bertempur hebat. Hanya
ketika ia melihat pihak yang melawan musuh itu ia
tercengang. Ia heran masgul dan girang dengan berbareng.
Di pihak itu pemuda yang bersenjatakan pedang, kiranya
Gak Hong Kun adanya ! Karenanya hilangnya kitab ilmu pedang Giok Peng pergi
mencari itu. Ia pun hendak melakukannya diluar tahunya It
Hiong, inilah sebab ia hendak mencari Gak Hong Kun
kemudian ia mendengar berita hal kitab ilmu pedang sudah
terjatuh kedalam tangannya Tan Hong. Berita itu membuatnya
sedikit girang. Dengan begitu tak usah ia menemui Hong Kun,
tak perlu ia mencari pula pemuda itu. Ia boleh langsung
mencari Nona Tan. Siapa tahu disini secara kebetulan ia
bertemu si anak muda, bahkan orang telah membantui
pihaknya. Mana dapat ia tak menemuinya" Dapatkah ia tak
usah berbicara dengan dia itu " Maka juga bingunglah ia,
hatinya menjadi tak tenang......
Pertempuran diantara Kiauw In dan Cin Tong tetap berjalan
hebat hanya makin lama desakannya sudah makin rapat.
Inilah sebab nona ini insyaf tak usah berkelahi secara berteletele
itu akan merugikan. Hanya ia merasa kesal sebab
lawannya itu tangguh dan tak mudah untuk dikalahkan.
Tengah Nona Cio berkelahi sambil berpikir keras itu ia dan
Cin Tong dikejutkan oleh teriakannya Bu Cu Liang yang
menjadi korban pedang Giok Pek. Hanya si nona terkejut
untuk terus bergirang. Si pria kaget berbareng berkuatir.
Inilah karena dia memperoleh kenyataan, yang menjerit itu
adalah Bu Cu Liang yang menjadi lawannya. Lantas hatinya
menjadi ciut, lenyap sudah pengharapannya. Selagi si nona
mendesak, dia maju mundur--mundur, mendekati Cu Liang.
Selekasnya dia sudah datang cukup dekat, sekonyongkonyong
dia lompat pada si sahabat, yang dia sambar
tubuhnya, terus dibawa lari ke kudanya, terus dia
membawanya lompat naik keatas kudanya itu, buat segera
pergi kabur ! Tentu sekali Kiauw In melengak karena perbuatan lawan itu
sampai tak sempat ia mengejarnya.
Ketika itu Mie A Lun sudah terdesak oleh Hong Kun. Baru
dua puluh jurus dia sudah kewalahan mengerak-geraki Jit
Goat Sianjin ciang, senjatanya yang aneh itu dan terus dia
berkelahi sambil mundur. Dia membantu Cin Tong karena
kebetulan saja siapa tahu sahabatnya Lie Seng, telah dilukai
lawan hingga dia menjadi bingung berbareng menyesal
apabila setelah mendapatkan Cin Tong kabur dengan
membawa Bu Cu Liang hingga dia ditangkap bersama Lie
Seng yang terluka itu... Lagi beberapa jurus maka bulat sudah tekad A Lun untuk
menyingkirkan diri. Dia mundur ke arah kudanya, niatnya
untuk berlompat naik keatas punggung kuda itu, guna kabur
juga. Tapi ia terdesak, dia repot dan berkuatir sekali.
Lawannya, sebaliknya, mendesak semakin keras. Maka tibalah
saatnya dia berlaku ayal sedikit. Tiba-tiba senjatanya kena
tersontek, terlepas dari cekalannya dan terpental. Dia kaget
hingga dia mengeluarkan peluh dingin. Mana dapat dia
melawan terus sedangkan dengan bersenjata dia sudah kalah
angin. Terpaksa dia lompat lari kepada kudanya, dengan niat
melompatinya naik dan kabur.
Gak Hong Kun tidak mau membiarkan orang pergi, ia
berlompat maju menyusul. Tiba-tiba ia terperanjat. Ia melihat
ada bayangan pedang, berkelebat ke arahnya dan telinganya
mendengar ini teriakan nyaring merdu "Gak Hong Kun !
Biarkan dia kabur...."
Hong Kun heran, batal ia melangsungkan tikamannya,
maka sampailah Mie A Lun kabur bersama kudanya ! Ia lekas
menoleh, hingga ia melihat dan mengenali Giok Peng.
"Adik Peng !" serunya girang bukan kepalang. Ia pun
memutar tubuh, lari menghampiri.
Giok Peng berdiri diam, tampangnya sangat muak. Tak
sepatah ia membuka mulutnya.
Ketika Kiauw In pun datang menghampiri, ia lantas berdiri
berendeng dengan Nona Pek, tetapi matanya mengawasi si
anak muda. Hong Kun melengak melihat sikap Nona Pek, tapinya dia
tak berdiam lama. "Adik Peng !" sapanya sembari tertawa. "Aa.. kenapa kau
berada disini " Bagaimana dengan Hauw Yan ?"
Si nona menatap sungguh-sungguh. Dia mengangkat
kepalanya. "Inilah karena kau.. !" katanya atau mendadak dia berhenti.
Dia merasa salah omong, dia menjadi canggung sekali.
Hong Kun sebaliknya. Dia malah tertawa.
"Ah, kiranya kau masih ingat padaku ?" katanya. Tapi tak
dapat dia berbicara terus.
"Beginilah macamnya murid dari Heng San Pay !" tiba-tiba
Kiauw In menyela. "Begini tak tahu malu " Cis !"
Merah padam muka si anak muda, dia terkejut dan malah
dia pun jengah. Gak Hong Kun berkata, "Giok Peng", tak kurang kerasnya,
hingga ia memegat si anak muda yang agaknya berniat
membuka mulut. "Aku mencari kau karena kau telah mencuri
kitab ilmu pedang guru kami !"
Hong Kun lantas menenangkan diri.
"Oh !" serunya tertahan, terus mukanya menjadi merah,
tetapi hanya sekejap saja.
Terus dia menjawab, tak langsung, dia bahkan
menyampaikan soal. "Selama ditengah jalan, kau bertemu dengan budak Teng
Hiang atau tidak ?" demikian ia balik menanya.
"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku ?" tukas si
nona. "Teng Hiang ketahui tentang kitab ilmu pedang itu !" kata
Hong Kun. Kembali dia mengegosi pertanyaan.
"Kepada siapa kau serahkan kitab ilmu pedang itu ?" tanya
Kiauw In, terpaksa. Nona Cio sangat tidak puas, dia habis sabar.
Hong Kun tidak mengambil mumet nona itu, dia hanya
mengawasi Giok Peng. "Adik Peng, dapatkah aku menemani kau pergi mencari
kitab pedang itu ?" demikian dia tanya. Dia bukannya
menjawab hanya bertanya. Selalu dia bicara dengan hawa
maunya sendiri. Sebab sengaja dia berbuat demikian untuk
menggoda hati orang. Hanya kali ini, habis menanya begitu,
dia menghela napas, tampangnya menjadi lesu.
"Tak usah kau pergi bekerja sendiri !" berkata Giok Peng
yang terpaksa menjawab pertanyaan orang. "Kita harus
menyingkir dari kesan umum ! Bilang terus terang padaku,
dimana adanya kitab ilmu pedang itu !"
Si anak muda berdiam, kemudian terdengar suaranya
bagaikan gerutu. "Aku tidak sangka kau begini tidak berbudi...." demikian
katanya perlahan. Dia tunduk.
Melihat sikap orang itu, terpaksa, Giok Peng membayangi
hari-hari yang telah lewat sebelum ia bertemu dengan It
Hiong. Ketika itu ia dan anak muda ini bergaul rukun dan
akrab sekali. Tapi hanya sedetik, ia dapat menguasai pula
hatinya. Mestinya segala apa sudah lewat.
"Jangan bicara tidak karuan !" bentaknya.
"Dimana adanya kitab pedang itu sekarang. Kalau tidak,
kau mesti memberikan keterangan ! Kau harus bertanggung
jawab !" Hong Kun menutupi mukanya dengan kedua belah
tangannya. "Kitab itu sudah dikembalikan kepada Tio It Hiong..."
katanya perlahan. Giok Peng melengak. Itulah tak ia sangka. Kemudian ia
hendak menanya pula ketika Kiauw In menarik ujung bajunya
seraya berkata, "Dia lagi mengulur waktu untuk melibatmu !
Sekarang sudah mendekati sore. Mari kita berangkat !"
Nona Pek menurut, maka ia ikut kawannya itu. Mereka
menaiki kuda mereka, cuma satu kali mereka menoleh pada
Hong Kun, lantas mereka mencambuk kuda mereka itu dan
pergi ! Hong Kun mengawasi dengan terbengong. Lewat sekian
lama, baru dia bagaikan sadar akan dirinya. Ketika itu Giok
Peng sudah pergi jauh. Disitu tidak ada orang lain kecuali
kudanya Lie Seng, maka dia lantas pakai kuda itu dengan apa
ia pergi meninggalkan tempat itu guna menyusul kedua
nona... Sekarang kita kembali dulu kepada Tan Hong si Raja Sakti
Bermuka Kemala, itu nomor dua Hek Keng To, pulau ikan
Lodan Hitam. Dengan membawa kitab ilmu pedang Sam Cay
Kiam, ia kabur dari kecamatan Heng yang, terus menuju
kecamatan Cimkoan. Di sana sengaja ia singgah satu hari,
maksudnya untuk menantikan It Hiong. Ia tidak mengharap
memiliki kitab pedang itu disebabkan ia menghendakinya, ia
hanya jatuh cinta terhadap si anak muda yang tampan dan
gagah itu, yang halus gerak geriknya. Kitab cuma mau dipakai
sebagai jalan untuk memperat perkenalan dan pergaulan. Ia
heran setelah satu hari ia tidak mendapatkan si anak muda
menyusulnya. Terpaksa dihari kedua ia melanjutkan
perjalanannya dengan perlahan-lahan. Maka juga diwaktu
tengah hari baru ia sampai ditempat penyebrangan Pek Cio
Toaw, sebuah tempat yang letaknya sudah dekat dengan
propinsi Ouwlam. Hilang kegembiraannya jago wanita dari Hek Keng To ini.
Ia berhenti disebuah warung teh, pikirannya ialah untuk
medengar-dengar keterangan dari orang-orang yang berlalu
lalang perihal Tio It Hiong mungkin ada yang membawa
ceritera tentangnya. Belum terlalu lama maka tibalah seorang pendeta yang
tubuhnya katai dan kecil dan kurus kering, tangannya sebelah
membawa tongkat rotan. Dia memasuki warung teh dengan
tindakan lebar. Warung itu kecil, mejanya cuma lima buah dan semua meja
berikut kursinya boleh dibilang sudah butut.
Pendeta itu memilih sebuah meja, begitu dia menyapu
dengan matanya kepada semua meja lainnya hingga
sendirinya dia melihat kepada Tan Hong. Dia mempunyai mata
yang bersinar dan wajah sangat dingin hingga siapa yang
melihatnya dapat berperasaan segan atau jeri.
Habis menghirup tehnya pendeta itu lantas
memperdengarkan suaranya yang serak.
Ia berbicara dengan Tan Hong yang ia hadapinya, "Ehh,
anak, sepasang tongkat batu dipunggungmu itu tampak
sangat menyolok mata, apakah kau murid dari Hek Keng To ?"
Tak puas Tan Hong melihat lagak dan mendengar kata
orang itu. Dia itu seperti mengandalkan ketuaan tingkat
derajatnya. "Kalau benar bagaimana, kalau bukan bagaimana ?" Ia
menjawab tetapi sambil kontan membalas menanya.
Tak senang pendeta itu mendapat pertanyaan itu, parasnya
yang tak mengasih mendadak menjadi guram.
"Aku, si pendeta tua menanya kau cara bagaimana kau
berani tak menjawabku ?" tegurnya bengis.
Tan Hong pun mendadak menjadi gusar.
"Nonamu tidak suka menjawab, maka dia tak menyahut
!"demikian balasnya, keras dan sambil menolak pinggang,
setelah mana ia segera berbangkit, berdiri tegar. "Dapatkah
kau melakukan sesuatu atas diriku ?"
Si pendeta kurus kering tertawa pula, dingin.
"Eh, anak, kau jangan galak !" katanya menegur. "Aku si
pendeta hendak menanya dahulu biar jelas terhadapmu, baru
akan aku persilahkan kau, guna kau melanjuti perjalananmu
!..." Si nona juga tertawa dingin.
"Beranikah kau bertindak terhadapku ?" tanyanya
menantang. "Nonamu tidak percaya pendeta kau bernyali


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar, berani menghina orang Hek Keng To !"
Pendeta itu sudah memejamkan matanya ketika dia
membukanya dengan tiba-tiba, sinar matanya itu dengan
tajam menatap orang dihadapannya. Kembali ia tertawa
dingin. "Ooh, karena kau mengakui diri sebagai orang Hek Keng
To," dia menegaskan, "apakah kau yang dipanggil Tan Hong
?" "Mau apa kau menanyakan namaku ?" Tan Hong
membentak. Lantas pendeta katai dan kurus itu kata keren ! "Kalau
begitu kitab ilmu pedangnya Tek Cio Siangjin berada
ditanganmu ! Lekas kau keluarkan itu untuk aku lihat !"
Mendengar disebutnya kitab Sam Cay Kiam, Tan Hong
melengak. Lantas ia pun ingat yang It Hiong sampai itu waktu
masih belum juga menyusul. Karena ini ia mau menerka
mungkin si pendeta pernah mendengar tentang pemuda itu.
Maka duduk pula ia dikursinya dengan perlahan-lahan ia
menghela napas. "Bapak guru datang dari mana ?" tanyanya. "Dan apakah
julukan suci dari bapak guru ?"
"Hmm !" si pendeta memperdengarkan suara dingin ! "Oh,
anak yang cerdik ! Baiklah aku memberitahukan kau terus
terang, supaya kau tak usah bercapai hati menerka-nerka. Aku
si pendeta tua, akulah Gouw Beng yang kaum Kang Ouw
menyebutnya Leng Bin Hud ! Hari ini aku datang dari Tiangsen
! Nah, ragukah kau, bukan ?" ia berdiam sejenak, lalu ia
mengulurkan sebelah tangannya, untuk menambahkan : "Nah,
kau serahkan Sam Cay Kiam kepadaku !"
"Perlahan, taysu !" sahut Tan Hong tertawa. "Sabar !
Nonamu masih hendak menanyakan sesuatu !"
"Apakah yang hendak kau tanyakan ?" kata si pendeta tak
sabaran. "Tanyakanlah, kau jangan banyak bicara ! Tapi tak
usah kau buka mulut lagi, mungkin aku ketahui pertanyaanmu
itu ! Mari aku beritahukan ! Aku ketahui dari tentang kau
mencuri Sam Cay Kiam dari Teng Hiang muridnya Thian Cie
Lojin, hanya bukan aku mendengarnya langsung dari sungai
telaga. Jadi urusan itu bukan cuma aku sendiri yang
mengetahuinya tetapi banyak orang lain. Hayo, kau serahkan
kitab pedang itu padaku ! Apakah kau masih memikir yang
tidak-tidak ?" Tan Hong menggeleng kepala.
"Itulah bukan pertanyaan yang si nonamu hendak ajukan
kepadamu !" sahutnya. "Selama dalam perjalananmu dari
Tiangsen, apakah kau pernah melihat atau menemui seorang
muda she Tio, usia kira dua puluh tahun yang pada
punggungnya tergandol sebatang pedang ?"
"Apakah yang kau maksudkan Tio It Hiong, muridnya si
imam tua she Tio ?" pendeta balik bertaya. "Hm ! Aku si
pendeta tua justru tengah mencarinya untuk membuat
perhitungan dengannya !"
Mendengar jawaban itu, matanya si nona berputar
sedangkan di dalam hatinya ia berpikir : "Kiranya keledia
gundul ini musuhnya adik Hiong ! Baiklah hendak kau bunuh
dia supaya adik Hiong senang hati padaku !" Maka lantas
sepasang alisnya bangkit berdiri terus ia tertawa dingin dan
kata menantang "Kitab pedang Sam Cay Kiam itu benar
berada padaku ! Jika kau rasa kau mempunyai kepandaian
untuk mengambilnya, kau ambillah sendiri !"
Tanpa merasa Leng Bin Hud si Buddha Bermuka Dingin
menjadi naik darah, mendadak dia menggerakkan tongkat
rotannya yang berkepala ular dengan itu dia menyerempang
kaki si nona sambil dia membentak. "Jika kau berani kau
sambutlah aku dalam beberapa jurus !"
Tan Hong melompat berkelit sekalian ia menyambar sebuah
kursi yang terus ia pakai menyampok menangkis maka "Prak!"
rusaknya kursi itu terhajar tongkat hebat potong-potongannya
terbang berhamburan ! Penjual teh menjadi bingung, dia menggoyang-goyangkan
tangan seraya berkata dengan suara menggetar, "Bapak
pendeta, kalau bapak mau berkelahi silahkan pergi keluar. Aku
minta janganlah bapak pendeta merusak usahaku ini !"
Tan Hong sementara itu telah mengeluarkan Sanho pang
ruyungnya yang istimewa itu.
"Eh, Leng Bin Hud !" katanya menantang, "kalau kau
menghendaki seluruh tehnya menjadi dingin beku dan semua
pelanggan bergelandangan disini, nah marilah kau turut si
nonamu pergi keluar sana supaya kita jangan membikin rusak
barang-barang disini !"
Habis berkata begitu si nona terus mendahului bertindak
keluar. Leng Bin Hud gusar sekali, dia menyambut tantangannya
itu maka dia pun pergi menyusul si nona itu. Dengan demikian
betempurlah mereka ditanah rata ditepi gunung dekat
penyeberangan Pek sek touw. Mereka mengadu kepandaian
tanpa banyak omong lagi. Leng Bin Hud memandang ringan kepada lawannya karena
ia melihat si nona masih sangat muda. Ia telah memikir
dengan tongkatnya yang panjang itu dalam dua atau tiga
jurus saja ia akan sudah berhasil merobohkannnya. Lantaran
ini juga, ia tidak lantas mengeluarkan kepandaiannya ilmu
Sian Thian Bu kek Khie-kang. Ia cuma memutar pergi
pulagnnya tongkatnya mencari pelbagai jalan darah si nona.
Tan Hong adalah salah seorang dari Sam Koay-Tiga Jin dari
Hek Keng To, bukan cuma ilmu silatnya bukan sembarang
ilmu, senjatanya juga senjata luar biasa. Sanho pang kokoh
kuat bagaikannya besi bercampur baja dapat dipakai menjajar
batu hancur lebur. Pula senjata itu ada ilmunya sendiri. Maka itu begitu
bergebrak, ia dapat melayani si pendeta ia berhasil mendesak.
Leng Bin Hud repot bertahan dari desakan si nona, baru
sekarang dia insyaf yang wanita remaja dan cantik manis itu
tidak dapat dipandang ringan maka baru sekarang juga secara
tergesa-gesa menggunakan ilmu kepandaiannya, yaitu ilmu
Sian Thian Bu kek Khie kang itu. Hingga selanjutnya dapatlah
ia berkelahi dengan mengimbangi nona itu, dapat juga ia
mencoba balik mendesak. Tengah mereka berdua bertempur seru itu mendadak dari
luar kalangan terdengar suara cempreng dari seorang wanita,
suara yang mirip dengan bunyi kelenengan perak : "Lihat, lihat
si pendeta kurus itu ! Lihat, dia tak sanggup melayani
lawannya ! Lihat, tongkat rotannya sudah mulai kacau !"
Heran Leng Bin Hud karenanya, walaupun sedang berkelahi
ia lantas mencari ketika dan melirik kesisi, guna melihat
wanita itu akan mendapat tahu siapa dia - nona atau nyonya ia kenal atau tidak... Terpisah dua tombak lebih dari tempat pertarungan, dua
orang tengah berdiri menonton pertempuran. Mereka wanita
dua-duanya, yang satu seorang tua yang lainnya seorang
nona kecil. Kalau si wanita tua sudah putih semua rambut
dikepalanya, adalah wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa
kecantikannya, masih menarik hati sebab mukanya masih
merah dadu, sedangkan pakaiannya termasuk pakaian yang
luar biasa sebab pakaiannnya itu yang berwarna merah
tersulamkan gambar kupu-kupu. Dilihat dari tampangnya dia
mungkin baru berumur lebih kurang empat puluh tahun...
Si Nona Tanggung baru berumur tiga atau empat belas
tahun, rambutnya yang hitam panjang dilepas terurai ke
punggungnya, kakinya tidak memakai sepatu, sedang bajunya
hampir sama dengan pakaian si wanita tua juga tersulamkan
kupu-kupu yang mengasih dengar suara nyaring itu adalah si
anak tanggung itu. "Eh, budak perempuan, nyalimu besar ya ?" tegur Leng Bin
Hud. "Bagaimana kau menilai " Awas, sebentar sang Buddha
kamu akan memotong kutung lidahmu !"
Nona kecil itu tertawa geli.
"Bagaimana, eh ?" tanyanya tertawa pula. "Kakak itu saja
kau tidak mampu robohkan, bagaimana kau berani memotong
lidahku " Cis, tak tahu malu !" Dan ia membawa jari-jari
tangannya ke mukanya sendiri untuk mengejek secara
bermain-main. Bukan main panas hatinya si Buddha Bermuka Dingin.
Dengan lantas ia menangkis keras senjatanya lawan. Itulah
tipu tongkat "Membangkitkan badai dan guntur". Menyusul itu,
ia lompat mundur tujuh kaki meninggalkan lawannya untuk
sebaliknya mendekati si nona jail.
"Siapakah kau ?" tegurnya bengis.
Si Nona Tanggung belum menjawab, atau kawannya yang
tua sudah mendahuluinya. "Hm !" nyonya tua itu memperdengarkan suaranya. "Hm !
Akulah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Ngo Cie San ! Apakah
benar kau bagaikan mempunyai mata tetapi tidak mengenal
gunung Tay san yang suci dan agung ?"
Nama "Ang Gan Kwie Bo" itu mempunyai arti "Ibu bajingan
berwajah merah", tetapi mendengar itu Leng Bin Hud tidak
takut atau jeri, bahkan ia mengasi lihat wajah dingin ketika dia
menjawab dengan tak kalah dinginnya. "Tongkat rotan
Buddha kami ini tidak mengenal kamu !"
Ang Gan Kwie Bo melengak, dia tertawa tergelak gelak.
Suara tawanya itu keras, nyaring dan tajam seumpama kata
bagaikan menusuk telinga atau menikam uluhati. Terpaksa
hatinya Leng Bin Hud menggetar juga rasanya nyeri. Bahkan
Tan Hong yang terpisah jauh dua tombak lebih turut
merasakan getaran itu. Sebenarnya tawanya Ang Gan Kwie Bo itu bukan
sembarang tawa. Itu hanya ada semacam ilmu pengaruh yang
dia beri nama Tot Pek Im Po atau gelombang suara merampas
nyawa. Habis tertawa itu, dia tampak tenang.
"Baiklah" kataya sabar, "mari kita mencoba menyambut
beberapa jurusmu, taysu ! Ingin aku belajar kenal dengan
ilmu silat yang istimewa !"
Diam-diam Leng Bin Hud terperanjat. Tahulah dia bahwa
wanita itu sudah mempunyai tenaga latihan yang telah
mencapai puncak kesempurnaan tenaga dari Sian Thian Bu
Kek Khie-kang. Maka mengertilah ia halnya sulit bagi dia dapat
bertahan dari nyonya itu. Karena itu juga suaranya pun jadi
berubah lunak ketika dia menyambut si nyonya. Katanya, "Aku
si pendeta tua tidak mempunyai waktu untuk menyambut kau
! Sekarang ini aku hendak membereskan dahulu ini budak liar
!" Dan berkata begitu, kembali ia mendesak wanita jago dari
Hek Keng To itu. Sebenarnya Ang Gan Kwie Bo sudah berusia delapan puluh
tahun lebih. Dia bukan asal suku Han hanya suku Lei atau
Leejin dan tempat asalnya ialah Ngo Cie San, gunung lima
jeriji tangan. Dimana secara kebetulan dia menemui "Sian Hin
Hun" jamur dewa. Siapa yang makan jamur itu, usianya nanti
dapat tambah banyak, tubuhnya sehat dan tak mempan
penyakit. Setelah mendapati jamur itu dia lantas membuat
obar "tak bisa tua" atau awet muda. Memang tadinya dia
berparas cantik, dengan makan obatnya itu, mukanya menjadi
selalu bersemu merah dadu. Dia bagaikan tak dapat menjadi
tua, kecuali rambutnya yang telah berubah putih. Semakin
banyak dia makan obatnya, dia tampak makin segar dan
mentereng. Lalu diapun mempelajari ilmu silat berikut ilmu
sesat. Dia bertabiat aneh dan telengas, demikian dia
memperoleh nama atau julukannya itu. karena itu juga kaum
Kang Ouw jeri terhadapnya, dimana-mana dia disegani bahkan
ditakuti. Dia biasa bekerja seorang diri, gemar merampok dan
merampas dalam hal mana suka dia tak membiarkan korban
hidup, dia main bunuh orang.
Walaupun menjadi jago Ang Gwan Kwie Bo cuma dapat
berpengaruh di tujuh propinsi selatan sampai pada tiga puluh
tahun dahulu dia roboh ditangannya Pat Pie Sin Kit In Gwa
Sian yang terhadapnya menggunakan ilmu silat Hiang Liok Ho
Mo Kun. Setelah itu dia pergi menyendiri di Ngo Cie San
dimana dia telah melatih diri dalam ilmu Sian Thiang Bu Kek
Khie-kang ilmu tenaga dalam yang dihubungi dengan ilmu
Toat Pek Im Po itu. Thian Cin Lojin kenal Ang Gwan Kwie Bo. Maka itu guna
menambah tenaganya maju gerakan Siauw Lim Pay jago tua
itu sendirinya pergi berkunjung ke Ngo Cie San, mengundang
kepada wanita jago ini dan Ang Gwan Kwie Bo menerima
undangan baik itu sampai baru beberapa hari yang
terbelakang ini dia meninggalkan gunungnya. Sampai
dipenyebrangan Pek Sek To ini kebetulan sekali dia menemui
Leng Bin Hud lagi menempur Tan Hong. Bersama muridnya
Cio Hoa dia berdiri menonton. Nyata sang murid gatal
mulutnya. Selama mengikuti gurunya belum pernah Cio Hoa
turun gunung, bahkan kali inilah yang pertama kali ia turut
gurunya melakukan perjalanan. Ia tertarik hati melihat
pertempuran seru itu hingga ia ingin mencoba kepandaiannya
sendiri. Apalagi ia justru mengejek Leng Bin Hud, sampai si
Buddha Bermuka Dingin menjadi tidak senang dan panas hati.
Demikian mereka berselisih.
Leng Bin Hud tahu wanita itu lihai sekali, tak sudi dia
melayani, bersedia dia mundur teratur. Dalam hal ini dia
pandai membawa diri, kelicikannya membuat dia dapat
menuruti angin. Begitulah dia merendah terhadap si wanita
jago dan terus mundur guna menghadapi Tan Hong pula. Biar
bagaimana tak ingin ia meninggalkan kitab silat Sam Cay
Kiam. Tan Hong menyaksikan dua orang itu berbicara, ia
mendapat kenyataan bagaimana Leng Bin Hud jeri terhadap si
nyonya tua itu, jadi memandang orang makin rendah, maka
itu waktu ia melihat orang datang pula padanya, ia
mendahului bentaknya : "Eh, manusia tak punya muka, tak
tahu malu, masih kau tak mau menggelinding pergi !" Ia pun
mengangkat tongkatnya untuk mengancam.
Leng Bin Hud mendongkol kata dia dengan suara dalam
yang sedap didengarnya : "Ah ! Kau hendak mencoba-coba
sepasang Sing Im Ciong ku !" Dan benar-benar dia lantas
menggerakkan kedua belah tangannya, untuk dipakai menolak
dengan keras. Dengan begitu dia telah memakai tenaga dari
ilmu Sian Thian Bu kek Khie kang yang ia telah latih lama itu.
Maka juga segelombang hawa sangat dingin sudah mendesir
kebadannya Tan Hong ! Nona menggigil seketika. Hawa dingin itu terasa terlalu
meresap kedalam tubuhnya. Lekas-lekas ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk bertahan, terutama guna menutup


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua jalan darahnya. Ia pula mengerahkan tenaga dalam
lunak dari ilmu Hek To yaitu Mo Teng Kee. Hingga didalam
waktu yang singkat, dapat ia menolak keluar serangan hawa
dingin lawan itu. Dengan mencekal sanho-pang, ia berdiri
tegak menghadapi si lawan yang tangguh.
Si Buddha Bermuka Dingin heran menyaksikan lawan nona
itu. Dia telah melihat sendiri tubuh orang menggigil, ia tidak
mengerti kenapa orang pulih dalam waktu yang demikian
singkat, apapula lawan itu adalah seorang perempuan yang
masih sangat muda sedang khiekangnya itu telah ia latih
selama puluhan tahun. Ilmu itu ia beri nama Sian Thian Bu
kek Khie-kang, sedang serangannya barusan menurut ilmu
tangan dingin beracun Han Tok Siang Im Ciang yang
diciptakan dari Khie kang tersebut. Selama di lima propinsi
utara, ilmu khie kang itu belum pernah gagal, cuma satu kali
di dalam peristiwa di gedung gubernur jendral propinsi Anhui
gagal terhadap Tio It Hiong yang pernah minum darah belut
yang mujizat. Ia tidak dapat menerka, Tan Hong
menggunakan ilmu apa untuk bertahan darinya.
Tengah pendeta ini berdiam saking herannya itu maka
disebelah belakang dia, dia dengar pula tawa nyaring yang
tadi dikasihh dengar si anak tanggung. Kali ini anak itu
tertawa sambil berkata. "Sungguh ilmu Siang Im Cian yang hebat sekali ! Tapi
segera ternyata ilmu itu justru dapat dipakai cuma buat
mengebut debu dan menepuk lalat. "
Bukan main mendongkol dan bergusarnya si Buddha
Bermuka Dingin. Ia menyesal sekali yang ia tidak dapat segera
menghajar bocah yang jaih dan kurang ajar itu, untuk
sedikitnya merobek mulutnya atau menamparnya beberapa
kali ! Disebelah itu ia sangat jeri terhadap Ang Gan Kwie Bo,
sedangkan ia mengerti bunyi pepatah yang berkata, tak dapat
bersabar dalam urusan kecil bakal merusak usaha besar.
Maka ia lantas tertawa, sebab dengan kecerdikannya, dapat
ia lantas memikir jalan guna meluputkan dirinya dari kesulitan
itu. Begitulah sembari menoleh pada si nona kecil, ia kata,
"Nona, sungguh kaulah seorang yang pandai yang banyak
pengetahuannya ! Tapi baiklah kau ketahui yang aku si
pendeta, aku tak ingin bentrok dengan orang Hek Keng To
maka aku cuma menggunakan Han Tok Siang Im Ciang
dengan tenaga dua bahagian, melulu guna memberi
peringatan terhadapnya agar dia lekas-lekas mengeluarkan
dan menyerahkan kitab pedang Sam Cay Kiam itu. Jadi tak
pernah aku memikir menggunakan tangan berat terhadap
dirinya !" Dengan kata-katanya ini, Leng Bin Hud mengundang
maksud buruk. Ia membuka rahasia tentang kitab pedang
pusaka, supaya Ang Gan Kwie Bo mendengarnya, agar jago
wanita tua itu tertarik hati dan nanti menggantikan ia
merampasnya dari tangannya Tan Hong. Nyatanya ia belum
kenal Ang Gan Kwie Bo. Nyonya itu bertabiat tinggi dalam
pernah dia menguasi benda orang, baik kitab ilmu pedang
atau kitab ilmu pukulan tangan kosong. Bahkan kata-katanya
itu menimbulkan kesan sebaliknya.
"Ah, taysu !"berkata si nyonya yang dapat menangkap
pikiran orang yang sebenarnya, "kenapa kau telah tidak
menghargai kehormatan dirimu sebagai orang usia dan tingkat
derajatnya lebih tinggi " Kenapa kau tak malu merampas kitab
ilmu pedang lain orang " Buat apa kau mengeluarkan katakatamu
ini, seperti juga kau menempatkan emas di mukamu
sendiri "' Tan Hong girang mendengar kata-kata orang itu. Rupanya
Ang Gan Kwie Bo berada dipihaknya. Lantas ia campur bicara,
katanya, "Benar apa yang cianpwe bilang ! Bagaimana kalau
kita mengeluarkan syarat " Jika didalam tiga puluh jurus kau
dapat menangkan aku satu atau setengah jurus, maka aku
akan menyerahkan kitab pedang itu pada kau. Jika sebaliknya
yaitu kau tidak memperoleh kemenangan kau harus
meletakkan tongkat rotanmu itu dan pergi kabur sendiri,
seperti juga kau dapat melanjuti perjalananku dengan bebas.
Bagaimana kalau kita minta cianpwe ini menjadi saksinya ?"
Nona Tan memanggil "cianpwe" orang tua yang dihormati
kepada si nyonya tua. Si bocah Cio Hia sudah lantas menepuk-nepuk tangan
secara gembira sekali. "Bagus ! Bagus !" serunya. "Cuma aku kuatir si bapak
pendeta nanti jeri..."
Leng Bin Hud Gouw Beng merasa mukanya panas, sedang
kulit mukanya itu segera bersemu merah. Dia malu dan panas
hati, orang bagaikan mengejeknya.
"Tan Hong !" ia membentak si nona dari Hek Keng To,
"dengan caramu ini kau mencari susah sendiri ! Jangan kau
menyesal kalau nanti aku telah menurunkan tangan terlalu
berat !" Menyusul kata-katanya itu menuruti hawa amarahnya,
Gouw Beng sudah lantas memutar tongkat rotannya dengan
apa dia bagaikan mengurung tubuhnya si nona !
Tan Hong tahu orang bergusar sampai pada puncaknya,
mungkin lebih maka tak mau ia menyentuh senjatanya
pendeta itu, hanya terus ia memperlihatkan kelincahan
tubuhnya. Bagaikan ular licin ia berkelit atau lompat sana
lompat sini, menyelamatkan diri dari senjata lawan. Tapi ia
bukan berkelit terus-terusan, ia juga menggunakan
tongkatnya, setiap ada ketika ia menyodok bagian-bagian
kosong dari lawannya itu.
Demikian mereka berdua bertarung dengan seru, walaupun
pertempuran baru saja dimulai. Selagi pihak yang satu berlaku
keras, yang lain lunak tetapi cepat.
Selagi itu Ang Gan Kwie Bo dan Cio Hong terus menonton
dengan perhatian. Saking hebatnya penyerangan jurus-jurus dilewatkan
dengan cepat sekali. Dengan begitu tanpa merasa batas jurus
yang disebutkan tiga puluh jurus telah dilewatkan !
"Sudah cukup ! Sudah lebih daripada tiga puluh jurus !"
tiba-tiba Ang Gan Kwie Bo berseru, "Leng Bin Hud Taysu kau
telah kalah !" Bagaikan orang tak mendengar Gouw Beng masih
menyerang terus. Dia bagaikan lupa atau kalap.
"Taysu, masihkah kau tidak mau berhenti berkelahi ?"
tanya si nyonya tua yang wajahnya tapinya masih seperti
muda dan manis. Leng Bin Hud tetap membudek, sebaliknya dengan Tan
Hong. Nona kontan lompat mundur tujuh atau delapan tindak.
Masih si pendeta penasaran, dia lompat menyusul untuk
mengulangi serangannya bertubi-tubi, baru dia berhenti
dengan terkejut ketika mendadak ia merasai kedua tangannya
bergetar dan gemetar bagaikan terhajar hajaran berat seribu
kati, lengannya pun terasakan nyeri dia bagaikan kaku, maka
mendadak pula ia berlompat mundur, matanya menatap
bengis kepada Ang Gan Kwie Bo untuk terus membentak :
"Hm, jurus pemisah yang jempol ! Kenapakah kau
membokong aku si pendeta tua "'
Si nyonya balik mengawasi. Dia memperlihatkan tampang
dingin. Dengan suara dingin juga dia menjawab : "Bukankah
janji tiga puluh jurus sudah lewat " Baiklah taysu menepati
janji kita dan mengaku kalah !"
Masih pendeta itu penasaran.
"Siapa suruh kau membokong aku ?" tanyanya bengis.
Pendeta ini mengotot, orang memisahkannya secara keras
dia menuduhnya membokong.
"Hai, kau berlaku galak ya " Jika kau tetap tidak puas
marilah kau turun tangan atas diri nonamu ini ! Mari !"
Dan nona cilik itu lompat maju sambil melayangkan sebelah
telapakan tangannya ! Tak jeri Leng Bin Hud terhadap bocah itu. Ia sedang
bergusar sekali. Ia pula melupai hadirnya Ang Gan Kwie Bo
disitu. Dengan memindahkan tongkatnya ke tangan kiri
dengan tangan kanannya ia menyampok menggempur tangan
si nona cilik. Ia memikir membuat orang mendapat luka
didalam. Di luar terkaan si pendeta, Cio Hoa bermata tajam dan
cedas sekali. Ia seperti bisa membaca maksud lawan. Maka
juga selagi menyerang itu, ia merobah tangan terbukanya.
Kelima jari masih tetap dibuka hanya sekarang kelimanya
direnggangkan dan bukan lagi ia menggampar atau
menggaplok hanya menotok ke tangan lawan yang hendak
menangkisnya itu. Ia menotok tengah-tengah telapakan
tangan dibagian yang lemah. Dan selekasnya kedua tangan
beradu ia meneruskan mencelat mundur !
Giauw beng terkejut. Dia telah kena diperdayakan sibocah
bau kencur ! Dia tertotok tak sampai terluka parah toh dia
merasa telapakan tangannya itu tergetar dan kaku kaku gatal
! Tentu sekali ia mendongkol maka hendak ia lompat
menyusul akan tetapi belum lagi dia menjejak tanah atau
berlompat maju, tiba-tiba telinganya sudah mendengar tawa
nyaring garing bagaikan suara genta perak, suara mana mirip
dengan tusukan pada telinga atau tikaman pada ulu hati ! Dan
rasanya sangat sukar akan bertahan dari gangguan itu hingga
dia menjadi kaget tak terkirakan. Dengan terpaksa ia lompat
mundur dua tombak ! Itulah tawanya Ang Gan Kwie Bo siapa telah senantiasa
memasang mata mengawasi gerak gerik si pendeta hingga dia
melihat tegas bagaimana orang dipermainkan Cio Hoa. Dia
mengawasi dengan tampang memandang sangat rendah
setelah mana dengan memegang tangan si anak tanggung,
dia mengajak pergi ke penyeberangan.
Gauw Beng berdiam mengawasi orang berlalu, sesudahnya
dua orang itu pergi jauh, ia menghela napas melegakan
hatinya yang pepat, ketika kemudian ia berpaling, ia
mendapatkan bahwa ia pun sudah ditinggal pergi oleh Tan
Hong. Nona itu sudah berjalan sejauh belasan tombak.
Walaupun demikian dengan mendadak ia berlompat untuk
menyusul ! Tan Hong sementara itu berlari dengan keras. Ia tidak ingin
rewel dan terganggu oleh Gauw Beng Taysu maka juga ia
terus meninggalkan jauh sekali pendeta itu selagi si pendeta
diganggu Cio Hoa dan Ang Gan Kwie Bo. Ia ingin mencari It
Hiong sebab si anak muda belum juga tiba.
Sampai disebuah tikungan, wanita jago dari Hek Keng To
ini dikejutkan oleh berkelebatnya sesosok bayangan orang
yang hampir bertabrakan dengannya. Ia dapat lekas
memindahkan tindakan kakinya serta menggeser tubuhnya
hingga mereka saling lewat, umpama kata hampir saling
membentur bahu. Ia terkejut dan menoleh selekasnya mereka
berdua sudah melewati satu pada lain. Justru ia menoleh itu,
ia melihat orang pun memutar tubuh seraya terus merangsek
padanya sebelah tangannya diayunkan ke arahnya. Terang
orang hendak menepuk punggungnya. Karena ia sudah
menoleh dan dapat melihat, ia segera mencelat ke samping,
membebaskan diri dari serangan gelap itu.
Sekarang terlihat tegas, penyerang itu adalah seorang tosu,
atau imam dari To Kauw, agama To dari Nabi Lo Cu. Dia
mengenakan jubah putih seluruhnya, dia seperti umumnya
kaum tosu, punggungnya menggendol sebatang pedang,
Imam itu bertubuh tegap dan kekar, hanya sebelah matanya mata yang kiri - tak dapat melihat.
"Ha, budak !" demikian si imam menegur, "kenapa kau
sangat sembrono " Kau tak boleh mendapat ampun ! Lekas
bilang, kau asal partai mana " Toyu kamu hendak memberi
ajaran adat kepadamu !"
Berkata demikian mata si orang suci sempat mencilat
berkilau ! Tang Hong pun gusar sekali. Memangnya karena dibokong
itu ia sudah mendongkol bukan main. Ia tidak kenal imam itu
dan merasa tidak bersalah. Jamak kalau mereka hampir
bertabrakan sebab sama-sama mereka lagi lari-lari dengan
kerasnya. "Hmm!" ia memperdengarkan suara dinginnya. "Tan Hong
dari Hek Keng To ! Kau kenal atau tidak?"
Menurut panas hati, nona ini bersikap jumawa.
"Bagus ! Bagus !" imam itu berseru berulang-ulang. "Akulah
Hian Ho Cinjin ! Aku memang tengah mencarimu ! Jika kau
tahu gelagat, lekas kau tinggalkan kitab silat Sam Cay Kiam,
nanti aku beri ampun kepada jiwamu ! Jika tidak, hm awas
kau !" Mendengar orang menyebut nama suCinya, tahulah Tan
Hong bahwa imam dihadapannya ini adalah salah seorang dari
vihara Kim Ho Kiong di puncak Ngo Im Hong digunung Kauw
Loaw San, penghuni atau koancu yang nomor dua. Memang ia
tak kenal si imam tetapi pernah ia dengar namanya. Ketika
dahulu saat Tio It Hiong menyerang Kim Ho Kiong, imam ini
telah terhajar sebelah matanya yang kiri, sekarang ternyata
matanya itu terus buta. Ia mendongkol kapan ia mengingat
orang hendak mendapati kitab pedang Sam Cay Kiam itu.
Bukankah mereka sesama golongan " Sudah si imam ketahui
ia adalah orang Hek Keng To, toh ia masih menghendaki kitab
ilmu pedangnya itu ! Itulah perbuatan keterlaluan. Maka
dalam murkanya mata si nona menjadi merah, dengan bengis
ia mengawasi lalu dengan tawar ia kata keras : "Totiang, jika
kau benar koancu kedua dari Kim Ho Kiong, suka aku
mempersembahkan kitab pedang itu kepada kau hanya
sayang melihat wajahmu ini, nonamu terasangsi, dia
meragukanmu !" Diluar sangkaan mendengar demikian, si imam menjadi
cepat sedangkan tadi tidak karu-karuan, dia bergusar.
Begitulah dia bergusar. Begitulah dia tanya perlahan :
"Entahlah, nona dalam hal apa nona menyangsikan pinto ?"
Tan Hong sengaja tertawa. Ia menjawab wajar : "pernah
aku mendengar keterangan Beng Leng Cinjin, kakak
seperguruanku bahwa Jie Koancu Hian Ho dari Kim Ho Kiong
adalah seorang pertapa yang tampan dan tiada cacatnya pada
anggota-anggota tubuhnya, tetapi sekarang, totiang, kau telah
buta matamu yang kiri ! Jika totiang benar bukanlah imam
yang palsu, tolong kau jelaskan kepadaku, kenapa sekarang
kau buta sebelah matamu itu ?"
Muka Hian Ho menjadi merah, ia melengak karena jengah
atau dilain detik, ia menjadi sangat gusar.
"Hai budak nakal !" bentaknya. "Bagaimana kau jadi begini
kurang ajar " Lihat pedang !" Dan ia menghunus pedangnya
dengan apa ia segera menebas si nona.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Hong pun tidak panas, tetapi ia cerdas ia memikir. Ia
tidak jeri terhadap imam itu bahkan ia memandang tak mata
sebab ia ingat orang pernah roboh ditangan Tio It Hioang.
Begitulah ia berniat "menghajar adat" pada Hian Ho dengan
membuat pedang itu patah. Begitu ditebas, ia menangkis
dengan sanho pang ! Kedua senjata beradu keras, sebab kedua pihak mereka
telah mengerahkan tenaga dalam mereka. Karena beradunya
itu, keduanya sama-sama mundur beberapa tindak dan tangan
mereka bergetar sesemutan. Benar saja ujung pedang kena
tergompalkan ! Tepat itu waktu disitu muncullah Leng Bin Hud. Pendeta itu
yang menyusul terus terusan akhirnya dapat menyandak
orang yang disusulnya karena dia ini tertunda perjalanannya.
Gouw Beng mendatangi sambil berseru : "Hian Ho Totiang,
jangan kasih budak itu lolos ! Kitab ilmu pedang Sam Cay
Kiam berada ditangannya." Dan bentakan itu diakhiri dengan
serangan tongkat rotannya yang diarahkan ke arah pinggang !
Hian Ho melengak mulutnya memperdengarkan suara
seperti geraman. Belum pernah orang membuat pedangnya
bercacat seperti itu di dalam satu gebrakan sja. Ia girang
ketika ia mendengar suaranya Leng Bin Hud dan melihat
mendatanginya pendeta itu. Maka ia percaya, inilah saatnya
guna ia merampas pulang muka terangnya. Dalam hal ini ia
sampai lupa maju, sebab ia tak perduli lagi bahwa mereka
berdua mengepung satu orang bahkan si lawan adalah
seorang wanita muda. Ia tak ingat lagi yang kaum Kang Ouw
bakal menertawakannya. "Mari kita bersama membekuk budak ini !" demikianlah ia
malah berseru dan terus dengan pedangnya ia mengulangi
serangannya. Tan Hong melakukan perlawanan. Didalam waktu yang
singkat ia sudah lantas terdesak.
Kalau ia melawan satu sama satu yang mana saja, dari
Hian Ho dan Gouw Beng sanggup ia melayani sampai seratus
jurs, sekarang lain, semua lawan juga berkelahi dengan keras
sekali sebab dua-duanya sedang mendongkol dan marah
besar. Dengan terpaksa ia menggunakan ilmu silat sanho pang
yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Berkilauan cahaya
senjatanya itu bagaikan mengurung tubuhnya.
Pertarungan berlangsung seru. Tan Hong berlaku sungguhsungguh
dan waspada, matanya dipasang benar-benar. Inilah
yang menyulitkan kedua pengepung itu untuk lekas merebut
kemenangan. Leng Bin Hud penasaran sekali, hatinya menjadi semakin
panas maka satu kali dia menyerang dengan "Menyerbu Terus
Langsung Ke Istana Kuning" suatu jurus silat simpanannya.
Dengan demikian dada atau ulu hatinya Tan Hong terasa
terbebat sebab dilain pihak ada ancaman dari Hian Ho.
Nona itu tabah hatinya, ancaman tak membuatnya terkejut
bahkan ia memperkeras hatinya mempertebal semangatnya.
Ia pun sengit sekali. Ketika senjata lawan tiba, ia menangkis
sambil mencoba melibat dengan senjatanya yang kiri
berbareng dengan mana senjatanya yang kanan ia membalas
menyerang dengan membarenginya. Kalau lawan
menggunakan "Gerak gerik Naga" maka ia jurus silat "Ular
Hijau Melilit Pohon" dan ia bukannya menyerang muka atau
tubuh lawan hanya tangannya yang mencekal tongkat rotan
itu. Jilid 13 Hanya sekelebatan saja, maka mengucurlah darah dari
tangannya Gouw Beng, sebab tanpa daya lagi dia terlambat
sebuah jeriji tangannya hingga jeriji itu dapat kutung!
Mendapat hasil itu semangat Nona Tan berkobar, hanya
disaat ia hendak menyusuli Leng Bin Hud dengan lain
serangan untuk membuatnya mati daya, tiba-tiba ada
sambaran angin di belakangnya. Ia tahu itulah tikamannya
Hian Ho yang mau menghajar dirinya sambil menolong
sipendeta. Dengan cepat ia berkelit ke kiri.
Hian Ho menyerang dengan jurus "hujan lebat dan taufan",
ujung pedangnya menabas kebahu lawan. Waktu serangannya
itu yang mirip pembokongan gagal karena si nona berkelit, tak
menanti sesaat, ia lantas menyusuli dengan satu serangan
tangan kosong. Tangan jahat, angin yang mendahuluinya
menyambar kemuka lawan yang lagi berkelit itu.
Bukan main kagetnya Tan Hong, ia baru saja lolos dari
ancaman pedang maut itu, kakinyapun baru saja diletaki,
maka kali ini ia tak dapat lolos lagi. Ia kurang cepat, pukulan
angin itu walaupun kurang telak mengenai sasaran telah
membuat ia terhuyung-huyung, tubuhnya limbung sesudah
delapan tindak baru dapat ia berdiri diam.
Selain kaget dan nyeri, iapun marasakan darahnya bergolak
pada seluruh tubuhnya. Hian Ho Cianjin tertawa berkakakan.
"Nah, budak bau!" katanya mengejek, sekarang baru kau
ketahui lihainya tangan mautku! Jika kau masih membandel
dan tak sudi menyerahkan kitab pedang itu padaku, akan aku
bikin darahmu berhamburan disini!"
Diam-diam Tan Hong mencoba menenangkan hatinya dan
mengerahkan tenaganya, berbareng dengan itu ia melirik
lawannya. Ia membungkam, tapi sinar matanya menyatakan
kegusarannya. Hanya sejenak saja setelah itu ia sudah
melompat maju menyerang kepada si imam.
Sementara itu Leng Bin Hud sempat mengobati tangannya,
membikin darahnya berhenti mengalir keluar. Ketika itu
wajahnya merah padam saking mendongkol dan gusar. Ketika
si nona berlompat menerjang si imam, dia melihat satu
kesempatan yang baik sekali. Dia memang dapat bersiap
sembarang waktu. Demikianlah secara tiba-tiba dia
menyerang si nona. Untuk itu dia melompat maju dan
serangannya dilakukan selagi nona itu hampir menaruh kaki
ketanah. Dia menggunakan pukulan Sian Thian Bu Kek
Khiekang. Sasarannya adalah punggung lawan yang
dibencinya itu. Senjata Tan Hong dan senjata Hian Ho beradu dengan
keras. Itu karena ketika si nona menghajar, si imam telah
bersiap-siap dan berhasil menangkis dengan tepat. Setelah
bentrokan, tubuh si nona kontan turun ketanah! Saat itu, ia
terkejut sekali karena merasakan sambaran hawa dingin mirip
es merangsang seluruh tubuhnya. Tak sempat ia berdaya
pula. Serangan hawa dingin meresap masuk kedalam
tubuhnya dan menyerang uluhatinya, seketika ia roboh
pingsan. Serangan itu didetik pertama membuat gemetar dan
menggigil seluruh tubuhnya, terus ia jatuh dan tak berkutik
lagi! Selekasnya orang roboh, Leng Bin Hud melompat kedada si
nona untuk berjongkok disisinya, guna mengulur kedua belah
tangan dan merogoh kedalam sakunya hingga didetik lain
kitab pedang Sam Cay Kiam sudah berada didalam
genggamannya! Saking girangnya, Gauw Beng tertawa
terbahak-bahak, hanya belum lagi tawanya itu berhenti, ia
dikejutkan dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh
manusia. Ketika ia menoleh, ia melihat berdiri lima kaki
disampingnya itu seorang anak muda yang tampangnya
tampan dan gagah, yang dipunggungnya menggembol sebuah
pedang! Melihat si anak muda, Leng Bin Hud bediri tercengang. Hian
Ho si imam juga sama herannya seperti sipendeta! Sebab
mereka sama-sama mengenalinya sebagai Tio It Hiong
muridnya Tek Cio Siangjin. Selekasnya mereka sadar dan
mengeluarkan seruan tertahan "Oh"!" Mereka memandang
satu dengan lain lalu kemudian mereka mengawasi pula anak
muda itu. Habis mengawasi tajam kepada dua orang dari kalangan
suci itu, It Hiong lantas menegur: "Apakah kitabnya Tan Hong
kalian yang ambil?" "Apakah anehnya mengambil kitab pedang itu" sahut Leng
Bin Hud tawar, "Jiwamu juga hari ini kurampas!"
Hian Ho mmengawasi sangat tajam, terus membentak:
"Disinilah musuh-musuh saling bertemu! Maka itu sakit hati ini
ingin aku bayar dengan jiwamu!"
Terpaksa, It Hiong jadi naik darah, mukanya menjadi
merah. "Jadi kalian tidak mau memberitahukan padaku siapa yang
merampas kitab pedang!" katanya bengis, "mari, jangan kalian
mengharap akan dapat meninggalkan tempat ini dengan
masih hidup segar bugar! Dengan begitu juga akan bereslah
segala urusan dengan kalian! Nah, kalian berdua majulah
dengan berbareng!" Sambil menantang itu, si anak muda juga sudah lantas
menghunus pedangnya untuk bersedia menyambut serangan.
Dengan begitu juga ia telah memberikan kesempatan kepada
imam dan pendeta itu untuk maju bersama.
Untuk sejenak Hian Ho dan Leng Bin Hud bersangsi. Samasama
mereka merasa jeri atau segan, karena mereka berdua,
masing-masing pernah lolos dari ancaman pedangnya anak
muda yang pemurah itu. Mereka berdua tidak lekas angkat
kaki karena mereka pikir inilah kesempatan yang paling baik
buat mereka bekerja sama menyerang pemuda itu! Dua lawan
satu! Mustahil mereka kalah! Maka mereka melengak sedetik,
lantas mereka saling lirik dan mengedipi mata, menyusul
mana keduanya maju sambil mengangkat senjatanya masingmasing.
Satu pedang Ceng Kong Kiam - satu tongkat rotan Coa
Teang Thung! Dengan sama-sama menggunakan jurus silat
yang istimewa, mereka menyerang dengan berbareng!
Dengan ilmu pedang Khie bun Pat Kwa Kiam, It Hiong
melayani dua musuh. Ia berlaku gesit dan waspada, awas
mata, jeli telinga dan cepat tangan kaki! Iapun menggunakan
ilmu silat "Hang Liong Hok Mo Kun" disaat yang perlu. Maka
disitu sering terdengar senjata-senjata beradu, tubuh-tubuh
berkelit dan berlompatan, bahkan ada yang terpental jauh.
Bertiga"atau lebih tepat disebut berdua, sebab satu dikeroyok
dua orang"mereka mengadu kepandaian atau jiwa"
Sementara itu dengan sendirinya pengalaman dari It Hiong
mengenai ilmu silat Khie bun Pat Kwa Kiam membuatnya
bertambah maju. Dengan demikian dengan mudah ia sanggup
menghadapi pengepungan itu, apalagi ia dibantu oleh pedang
mestikanya serta ilmu ringan tubuh "Lompatan Tangga Mega"
hingga secara umum ia berada diatas angin. Pertempuran itu
berjalan dengan seru, jurus-jurus habis dengan cepat, hingga
dilain saat seratus jurus telah dilewati. Selama itu It Hiong
tetap gagah, pengaruh darah belut emas telah banyak
membantunya. Ia menjadi kuat dan ulet serta dapat bertahan
lama tanpa mudah letih. Walaupun demikian sesudah
melewati banyak jurus itu, ia menjadi berpikir juga. Tak dapat
ia lama-lama berkelahi secara demikian. Kedua musuhnya
bukan orang sembarangan, lama-lama ia bisa kalah tenaga.
Dua-duanya, Leng Bin Hud dan Hian Ho Cinjin
menggunakan seluruh kepandaiannya, mereka juga hendak
merebut kemenangan untuk memuaskan hati mereka. Tengah
mereka bertempur seru itu, mendadak Leng Bin Hud kena
dikakinya sehingga ia kaget sekali, justru ia sedikit lalai
sehingga ujung senjatanya yang istimewa kena terbabat
pedang Keng Hong Kiam hingga ujungnya kutung sedikit! Ia
mundur satu tindak untuk melihat senjatanya, habis mana
mendadak ia melompat maju sambil membalas menyerang
menjambak tangan si anak muda. Ia dapat merangsek sebab
dilain pihak, Hian Ho juga sedang menyerang lawannya itu.
It Hiong dapat menerka maksud kedua lawannya itu. Ia
tidak takut bahkan hatinya tak gentar. Ia tetap berlaku
tenang. Ia juga menantikan waktunya yang baik. Waktu ia
dijambak itu, ia memapaki dengan tebasan pedangnya
ketangan lawan! Leng Bin Hud terkejut, sampai ia menarik
pulang tangannya guna menyelamatkannya dari ancaman
kutung. Pertempuran berlangsung terus. Hian Ho selalu
menyerang secara berbahaya. Leng Bin Hud mengikuti jejak
kawannya itu. Dipihak lain It Hiong tetap waspada dan gesit,
ia tetap melayani dengan seksama.
Satu kali Gouw Beng kaget bukan main. Itulah sebab
pedang lawan menyambar lengan kanannya disebabkan ia
ayal sedikit" "Hm!" It Hiong memperdengarkan ejekan, lalu terus ia
mengulangi serangan mautnya. "Sambut pedangku!" demikian
ia bentak Hian Ho. Imam itu terperanjat jeri kepada pedang mestika itu, ia
lompat mundur dua tindak, tetapi ia mundur bukannya buat
menyingkir jauh. Dari samping ia lantas membalas menyerang
pula. Mulanya dengan Im Sat Ciang, terus dengan tikaman
pedangnya ke arah bahu lawan. It Hiong melihat ancaman itu,
ia berkelit ke kiri, pedangnya dipakai melindungi diri.
Selekasnya kaki kirinya menginjak tanah, kaki kanannya
diangkat naik melayang ke punggung lawan. Semua gerakan
dilakukan dengan sangat cepat! Lagi-lagi Hian Ho lompat
mundur. Kembali ia gagal. Syukur ia masih cukup cepat, maka
ia selamat dari tendangan maut itu. Ayal sedikit saja berarti ia
bakal terluka. Sementara itu Tan Hong sadar sendirinya walaupun
perlahan. Segera ia melihat bagaimana kedua pendeta dan
imam itu tengah mengepung It Hiong dan mereka itu tengah
berkelahi mati-matian. Kapan ia melihat si anak muda,
bagaimana manisnya ia merasa, hingga dalam detik itu ia lupa
akan nyeri pada bahunya, mendadak ia berjingkrak bangun. Ia
terhuyung dua kali sebelum ia dapat berdiri tetap.
"Oh adik Hiong, kau datang?"" serunya dengan napas
memburu. It Hiong tengah berkelahi, akan tetapi mendengar suara si
nona yang ia kenali, ia toh melirik, hingga ia mendapati nona
itu berada sejauh dua tombak lebih dari mereka bertiga.
"Siapakah yang mencuri kitab itu?" tanyanya kepada si
nona itu. Ditanya tentang kitab itu, Tan Hong sadar dan terkejut,
tangannya lantas meraba kedadanya, hingga kesudahannya ia
menjadi terkejut sekali. Kitab itu sudah lenyap. Untuk sedetik
ia terdiam. "Tadi aku dirobohkan hingga pingsan oleh pukulan dingin
Sam Im Ciang si keledia botak Leng Bin Hud" katanya
memberi keterangan. "Karena sekian lama aku tak sadarkan
diri, tak tahu aku kitab itu ada ditangan siapa?" Ia terus
mengawasi pendeta dan imam itu, untuk meneruskan berkata:
"Mestinya satu diantara mereka berdua ini yang merampas


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kitab itu! Adik Hiong bereskanlah mereka berdua, jangan kasi
ada yang lolos!" Selama bicara dengan si nona, dua kali It Hiong mesti
meloloskan diri dari serangan berbahaya lawannya. Hal itu
membuat ia terkejut sekali hingga berbareng iapun berpikir
keras. Demikian pikirnya: "Aku Tio It Hiong mesti berhasil
merampas kitab ilmu pedang guruku! Kenapa aku mesti
melayani mereka berkelahi lama" Itu berarti aku membuangbuang
waktu yang berharga! Bagaimana kalau mereka berlaku
licik dan kabur?" Mendadak, setelah ingat itu, It Hiong sudah lantas
menyerang dengan hebat. Semangatnya seperti terbangun
secara mendadak. Ia menyerang dengan pelbagai jurus silat
pedangnya yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus.
Ia mendesak dan menyerang secara bertubi-tubi!
Segera juga Leng Bin Hud menjadi repot sekali, bahkan
peluhnya lantas bercucuran, dengan sendirinya ia merasa jeri
dan memikirkan cara untuk angkat kaki dan ia merasa
menyesal kesempatan untuk itu belum tiba. Terpaksa ia mesti
bersabar sambil terus waspada.
Akhirnya datang juga saat yang dinantikannya itu. Yaitu
saat Hian Ho Cinjin mencecar si anak muda dan It Hiong mesti
melayaninya. Hian Ho menikam selagi si anak muda sedang
menghadapi sipendeta. Tengah It Hiong menangkis, si imam
Leng Bin Hud mendadak menyerang secara hebat yaitu
tongkat rotannya bagaikan diterbangkan kepada lawannya.
Dilain pihak, dia memutar tubuhnya buat kabur dari sana!
It Hiong repot membela diri dari serangan imam dan
pendeta itu, maka ketika ia melihat sipendeta
meninggalkannya kabur,namun ia tidak mau mengerti, lantas
ia lompat lari sambil berseru: "Kepala gundul! Hendak lari
kemana kau?" Gouw Beng mendengar suara orang ia menjadi bingung.
Itu artinya orang telah mengejarnya! Ia cuma tahu lari buat
menjauhkan diri. Ia tidak ingat ia bakal melewati Tan Hong
yang sedang menderita. Hanya beberapa tindak dari si nona
mendadak ada bayangan sesuatu yang menyambarnya!
Kiranya itulah tongkat Sanhopang dari Nona Tan!
Leng Bin Hud bertangan kosong, karena senjatanya telah ia
lempar dan tak sempat diambil lagi. Sekarang ia mendapat
serangan tiba-tiba, terpaksa ia menggerakkan kedua
tangannya guna melindungi dadanya sedang tubuhnya
ditegakkan. dibiarkannya dadanya itu. Ia terus menjatuhkan
diri untuk terus lompat melenting. Karena itulah tipu
menjatuhkan diri buat menyingkir dari serangan maut. Baru ia
lolos dari serangan itu, serangan susulan sudah tiba, kali ini
yang mengancamnya adalah pedang Keng Hong Kiam, bukan
main kagetnya dia. Walaupun ia coba berkelit namun pedang
toh menancap dibahunya. Ia kaget dan kesakitan, sampai
roboh berguling, ia merasa bahwa ia sukar buat lolos namun
ia tak mau menyerah, tak sudi ia mengembalikan kitab pedang
orang. Ia keluarkan kitab itu lalu dengan seluruh tenaganya ia
lemparkan kepada Hian Ho sambil berseru lemah: "Toheng
sambut! Ingatlah tolong balaskan sakit hatiku ini!" Habis
berkata begitu, ia tidak menanti suaranya berhenti, ia
menotok dirinya sendiri guna menghentikan darahnya keluar
terus. Sesudah itu ia menubruk It Hiong, kedua tangannya
dipiting. Maksudnya ialah menerkam si anak muda guna mati
bersama supaya Hian Ho sempat kabur.
Si imam berhasil menyambut kitab itu terus memutar
tubuhnya dan lari. Tan Hong melihat orang hendak lari, ia
lompat menyusul hendak mencegah, tapi ia disambut
serangan Hian Ho. Ia sedang terluka, maka begitu ia dipapaki
dengan serangan Im Sat Ciang beberapa kali, iapun roboh
tanpa berdaya! It Hiong melihat kitab dilemparkan sipendeta kepada si
imam, ia hendak pergi menyusul imam itu, namun mendadak
Leng Bin Hud lompat menerkamnya" Mau tdak mau ia mesti
membela diri dan caranya ialah dengan memapaki serangan.
Iapun gusar menyaksikan perbuatan pengecut dari pendeta
itu. Maka waktu ia menggerakkan Keng Hong Kiam, Gouw
Beng roboh tanpa berdaya, tubuhnya terkulai tak berkutik
pula! Sementara itu si anak muda telah menyia-nyiakan waktu.
Ketika itu Tan Hong sudah roboh dan Hian Ho sudah kabur,
bahkan imam itu lari luar biasa cepatnya, sehingga sudah tak
nampak bayangannya. Rupanya dia kabur ketempat yang
lebat dimana dia menyingkir dan menyembunyikan diri.
Dalam keadaan seperti itu, It Hiong mengeluarkan suara
nyaring guna melegakan hatinya kemudian sesudah memasuki
pedang kedalam sarung, ia bertindak menghampiri Tan Hong.
Nona itu sudah dapat duduk, ia tengah beristirahat. Lukanya
parah tapi hanya dibahu sehingga dapatlah ia bertahan.
Mungkin dalam waktu beberapa hari ia akan sembuh kembali.
Ia melihat si anak muda bertindak ke arahnya. Ia terperanjat
cukup heran dan bingung dalam hati. Dilain pihak ia mnyesal
sekali, kitab si anak muda tak dapat dilindungi. Karenanya air
mukanya jadi suaram. Iapun berduka bareng malu sendirinya.
Mulanya It Hiong sangat gusar terhadap nona ini yang
telah mencuri kitab pedangnya itu, kemudian hawa
amarahnya reda sesudah ia membaca suratnya si nona yang
ditinggalkan untuknya. Sebab Tan Hong mencuri kitab pedang
bukan untuk dimiliki, melainkan guna memancing
kedatangannya kepulau Hek Keng To. Ia dapat memaklumi
perasaan hati si nona. Kembali ia menghadapi libatan asmara,
nona itu jadi dapat dimaafkan karena dia mencuri saking
terpaksa. Tan Hong mengulangi perbuatannya Teng Hiang mencuri
kitab di Pay In Nia. Teng Hiangpun berbuat karena dorongan
asmara. Sedangkan tadi Nona Tan roboh ditangan Hian Ho
sebab dia hendak merintangi kaburnya si imam itu. Setelah
datang dekat pada si nona dan mata mereka saling
mengawasi. Hatinya It Hiong menjadi lebih berubah lagi. Sinar
mata nona itu sangat lunak dan mendatangkan rasa kasihan.
Hingga disaat itu, entah kemana sudah perginya hawa
amarahnya" "Tan Hong!" tanyanya, "Apakah lukamu parah?"
Nona itu berlega hati mendengar suara orang halus dan
wajahnyapun tenang. Ia lantas mengasih tampang payah,
sambil menghela napas, ia menjawab tak langsung:
"Semuanya salahku, aku bersandiwara tapi kesudahannya
menjadi kenyataan"Aku menyebabkan hilangnya kitab
pedangmu. Buat itu sudah wajar kalau darahku terciprat
disini?" Kata-kata itu makin melunaki hatinya si anak muda.
"Kau terluka apamu?" tanyanya. "Kau dapat bangun dan
berjalan tidak" Tidak baik kau mendeprok saja ditengah jalan
seperti ini! Kau setujukah kalau aku membawa kau kerumah
penginapan dimana kau dapat merawat dirimu?"
Bukan main girangnya Tan Hong, tapi dia berpura-pura.
"Kau baik sekali," katanya "Tapi baiknya kau lekas
menyusul si imam itu untuk merampas pulang kitab
pedangmu, supaya hatimu menjadi tentram?"
It Hiong memperlihatkan tampang sungguh-sungguh,
alisnya bergerak bangun. "Apakah kau sangka Tio It Hiong seorang tak berbudi?"
bilangnya. "Buat kepentinganku kau roboh terluka, mana
dapat aku membiarkan saja dirimu" Buat merampas kitab
pedang itu, tak usah kita terburu-buru, Nah mari kau bangun!"
Si anak muda mengulurkan tangannya yang kanan buat
membantu orang berdiri namun belum apa-apa ia sudah
menarik tangannya dengan cepat"
Melihat begitu, diam-diam Tan Hong girang dalam hati.
"Ikan" itu sudah makan umpan. Ia lantas bersandiwara terus,
kecuali berpura nyeri, iapun membawa lagak sukar bangun
berdiri. Sia-sia saja ia menggerakkan kedua tangannya
membikin kakinya beridri. Ia terhuyung dua tindak dan
mulutnya menjerit "Aduh"!" terus tangannya menyambar si
anak muda guna berpegangan pada bahunya, hingga dilain
saat ia sudah bergelendot pada tubuh pemuda itu!
Mukanya si anak muda jadi merah, dia jengah sekali.
Celakanya buat dia, tidak berani dia menolak tubuh orang
karena dia tak tega, dia malu sendirinya, dia likat. Terpaksa
dia diam saja, pikirannya tak keruan rasa.
Ketika itu angin halus datang berhembus.
"Adik Hiong, kau kenapakah?" tanya Tan Hong hampir
berbisik. "Bukankah tadi kau hendak membawa aku ketempat
penginapan supaya aku bisa merawat diri di sana?"
It Hiong tidak lantas menjawab, ia justru berpikir, "Dia
adalah orang Keng To yang terkenal kejam! Bagaimana aku
dapat bersahabat dengannya" Pula disiang hari bolong seperti
ini, mana dapat aku bersama-sama dengannya" Bagaimana
kata orang jika aku harus memayangnya begitu rupa"
Menyesal tadi aku telah ketelepasan kata, bagaimana
sekarang aku harus menjawabnya" Mana dapat aku menarik
pulang kataku?" Sesudah berdiam sebentar itu, otak It Hiong tak sepepat
semula. Ia dapat mengambil keputusan tidak menghiraukan
cintanya nona itu. Tinggal janjinya untuk membawanya
ketempat penginapan, bagaimana" Ini sulit, maka akhirnya ia
pikir terpaksa mesti lekas membawa nona itu pergi dari situ.
Disaat ia hendak berangkat, tiba-tiba ia ingat "hosin ouw",
obat mujarab itu. "Bukankah lebih baik aku berikan dia obat itu supaya aku
tak usah memayangnya!" pikirnya.
Hanya sejenak pemuda itu berpikir, lantas ia mengambil
keputusannya. Ia lalu melepaskan tangan nona yang
memegangnya. Tan Hong melengak, ia menatap muka si anak
muda. Kemudian ia berkata sambil menangis: "Tan Hong
adalah budak hina dina, tak pantas ia berjalan bersama-sama
seorang pemuda terhormat, karena itu baiklah, aku akan jalan
sendiri perlahan-lahan, tak perduli andiakata aku terjatuh"."
Benar-benar nona ini berjalan, tapi baru dua tindak ia
sudah berpura-pura terhuyung terus ia jatuh mendeprok.
It Hiong terkejut, sambil menjerit tertahan ia menubruk
untuk mengangkatnya bangun.
"Dasar kau"." katanya.
Tan Hong bersandiwara terus, ia tidak menoleh kepada si
anak muda tapi airmatanya meleleh turun dikedua belah
pipinya, ia menangis sesegukan perlahan.
It Hiong bingung, ia dipengaruhi rasa kasihan.
"Kau terluka dalam, perlu kau lekas berobat." katanya
perlahan, "Jangan kau bersedih, itu akan menambah parah
lukamu." Nona itu menangis. "Tak usah kau pedulikan aku" katanya.
"Kau ambillah jalanmu sendiri."
It Hiong menyerahkan sapu tangannya.
"Mungkin aku salah," katanya. "Aku membuat kau berduka,
tapi tidak ada maksudku sengaja. Kau susutlah air matamu,
nanti aku obati kau."
Bagus sekali Tan Hong bersandiwara. Sebenarnya ia tak
merasa nyeri sedikit juga, ia cuma mempergunakan akal
wanita pada umumnya. Ia melihat bahwa ia telah memperoleh
kemenangan! Didalam hati ia girang bukan main tapi di depan
si anak muda ia tampak berduka dan lesu. Ia berkeputusan
membuat anak muda itu menjadi budaknya"Ia mengawasi
orang tanpa membuka suara, kemudian ia sambuti
saputangan itu. Empat buah mata saling bertemu. Wajah si nona perlahanlahan
tampak tersenyum hingga ia menjadi manis dan cantik
sekali. It Hiong yang merasa jengah menjadi tak senang hati.
Sedikit juga ia tak menyangka bahwa nona di depannya itu
lagi main sandiwara. Sebaliknya ia mengira nona itu tentunya
ingin ia yang tolong menghapus airmatanya" Tak ingin ia
melakukan itu, tapi ia takut si nona nanti menangis lebih jauh.
Maka terpaksa ia mengambil pulang saputangannya, terus ia
menyusuti airmata orang"
Habis berbuat begitu anak muda ini tertunduk. Ia bagaikan
orang yang merasa bersalah sendirinya. Inilah karena ia masih
muda dan terlalu polos, belum ada pengalamannya sama
sekali. Malah kemudian ia menghela napas sendiri"
Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa sendirinya. Hanya sehabis
itu mendadak dia menjerit "Aduh!" terus alisnya dikerutkan,
tingkahnya seperti orang kesakitan.
It Hiong terperanjat, berbareng ia merasa kasihan. Justru
itu ia diingatkan pada obat mujarabnya tadi. Lekas-lekas ia
merogoh sakunya dan menarik keluar kotak kayunya yang
indah buatannya. "Nona, kau makanlah obat ini dua lembar," katanya. "Habis
itu perlahan-lahan kau boleh bernapas dan mengerahkan
tenaga buat membantu kekuatan obat tersebut, setelah kau
beristirahat dua tiga jam, nanti kau sembuh seluruhnya?"
"Obat apakah itu?" si Nona Tanya, tampangnya lesu. Ia
seperti lagi menderita. It Hiong membuka bungkusan kotaknya, ia mengambil dua
lembar obatnya terus ia angsurkan pada si nona.
"Inilah obatnya, lekas kau makan!" ia menganjurkan.
Nona Tan menggelengkan kepala. Dia tertawa perlahan,
matanya sementara itu menatap tajam muka sipemuda.
"Tak tahu aku kau berpikir bagaimana terhadap aku!"
katanya, "mana dapat aku lancang makan obatmu ini?"
Anak muda itu memperlihatkan tampang sungguhsungguh.
"Inilah obat mujarab yang istimewa!"katanya. "Inilah
terutama untuk menyembuhkan luka, tak mudah aku
memberikannya kepada orang lain, hanya?"
"Hanya apa?" tanya si nona tertawa. "Bukankah kau tak
dapat memberitahukan kepadaku nama obat ini" Selagi nama
obat belum aku ketahui, mana dapat aku sembarang
makannya" Tak tenang hatiku."
"Inilah obat Cian Sian Ho sin ouw!" berkata si anak muda.
"Sekarang kau tentu senang memakannya, bukan?"
Bagaimana besar rejekinya Tan Hong sampai dia dapat
makan obat mujarab ini! berkata si nona, "Teranglah sudah
bagaimana kau berlaku sangat baik kepadaku."
"Jangan omong saja!" berkata sipemuda tidak sabar,
"Lekas makan obat ini, lantas kau beristirahat sambil
menyalurkan pernapasanmu!"
Masih Tan Hong belum mau memakannya.
"Tahukah kau pantangannya memakan Ho sin ouw?"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanyanya sambil menatap dan sikapnya sangat bersungguhsungguh.
It Hiong melengak. "Benarkah ada pantangannya?" tanyanya heran. "Apakah
itu" Pengetahuan dan pengalamanku masih sedikit sekali,
coba kau tolong beritahu aku!"
Tan Hong tertawa perlahan. Tawanya itu sedap sekali.
"Dahulu guruku pernah omong tentang Ho sin ouw,
katanya obat itu tidak boleh terkena hawa tangan wanita atau
khasiatnya bakal lenyap, karena itu tak dapat aku
memegangnya." It Hiong terdiam. Lantas ia ingat halnya waktu ia
mengobati ayah angkatnya, ia sendiri yang menyuapi obat
kemulut ayahnya itu, In Gwa sian.
Tapi sekarang" Mereka adalah pria dan wanita.
"Hendak aku tanya kau," katanya kemudian kepada si
nona, "pernah tidak gurumu memberitahukan bagaimana
caranya memakai obat ini untuk wanita supaya khasiatnya
tidak sampai hilang!"
"Ada!" sahut si nona tersenyum. " Cukup asal kau yang
memasukkan obat itu kedalam mulutku?" Ia lantas
mengangkat kepalanya untuk didongakkan sedikit, sedangkan
mulutnya segera dibuka bersedia untuk menerima obat untuk
dimakan. Ia memiliki mulut kecil, mulut yang dinamakan mulut
buah engloh. It Hiong jujur, tak pernah ia menyangka bahwa orang
sedang menggoda atau mempermainkannya. Maka tanpa
mengatakan sesuatu ia mengulur tangannya membawa obat
kemulut orang untuk menyuapinya. Tan Hong menyambuti
obat sedang hatinya lega bukan main, ia terus mengunyah
dan menelannya. Lekas sekali mukanya tak sepucat tadi. Ialah
disamping khasiat obat, hatinyapun sangat bahagia dan girang
tak kepalang, sehingga dia makin tampak cantik dan manis.
It Hiong mengawasi selagi ia menyuapkan obatnya. Ia
melihat nona itu berdiri diam saja dengan mata menatap
dirinya serta kedua pipinya yang tampak merah dadu.
"Kau beristirahatlah!" katanya, "Kau duduklah disisi jalan itu
dan salurkan napasmu, aku percaya sebentar juga
kesehatanmu akan pulih."
Tan Hong menurut. Ia pergi kepinggir jalan untuk duduk
disitu dan bersemedi. Iapun memejamkan kedua matanya.
Selang setengah jam, ia memperdengarkan suara "Hh!" dan
wajahnya tampak kecewa, sepertinya ia menyesalkan obat itu
belum dapat terasalurkan benar-benar. Lalu terlihat ia
membuka kedua matanya. "Adik Hiong!" katanya kemudian. "Jalam darah dibahuku ini
masih seperti tertutup, coba kau tolong bukakan. Dapatkah
kau menolongku?" Si anak muda yang lagi menantikan atau menjaga itu
tercengang. "Bagaimana?" tanyanya heran. "Apakah obat mujarab itu
masih belum bekerja?"
"Entahlah!" sahut si nona pula. "Napasku tetap belum mau
berjalan lurus dan didalam masih terasa sedikit nyeri, adik
maukah kau membantui aku?"
Dalam dunia persilatan, membantu orang supaya napas
dapat berjalan lurus adalah yang sulit, buat yang ditolong
sangat besar feadahnya sedang yang menolong tenaganya
banyak terbuang dan tubuhnya Bisa menjadi letih karenanya.
Hanya kalau pertolongan diberikan oleh seorang pria terhadap
seorang wanita atau sebaliknya, itu rasanya berabe. Sebabnya
ialah kedua orang yang menolong dan yang ditolong harus
duduk berhadapan dan tubuh mereka, sedikitnya tangan
mereka harus saling bertempelan. Dari segi kesopanan jelas
kurang bagus dipandang, apalagi kalau dilakukan ditengah
jalan dimana sembarang orang dapat berlalu lintas. Inilah
yang menyulitkan It Hiong, apalagi si wanita terkenal sebagai
jago wanita kaum sesat. Apa nanti kata orang banyak"
Ketika itu sudah mendekati magrib, ditengah jalan itu tak
tampak orang berlalu lalang. Walaupun demikian, si anak
muda berdiri menjublak. Ia bimbang walaupun terhadap si
nona tak sedikit juga ia mengandung maksud tak baik. Ia
justru menghendaki habis memberi obat itu untuk segera
berlalu memisahkan diri. Kalau ia memberikan bantuan tenaga
dalamnya, bagaimana andiakata ada orang yang
memergokinya" Cerita jelek bisa menyebar, apalagi kalau yang melihatnya
adalah pihak yang tak menyukainya. Maka itu, daripada nanti
terbit salah mengerti, ia ingin mencari satu jalan lain yang
sempurna. Tan Hong memikir sebaliknya. Ho sin ouw telah
membuatnya sembuh, tapi ia masih menghendaki lebih
daripada kesembuhannya. Ingin ia menempel dan
mendapatkan si anak muda yang tampan dan gagah, yang
hatinya mulia itu. Maka inilah kesempatan yang baik untuk
mereka berdua bisa berada berdekatan lama-lama.
Melihat orang berdiam saja, Nona Tan segera mendesak.
"Kenapa kau masih berdiri menjublak saja?" tegurnya
manis. "aku toh cuma minta bantuan sedikit dari tenaga
dalammu, mengapa kau mesti memikirkannya lama-lama?"
"Bukan begitu," berkata si anak muda ayal-ayalan. "Aku
lagi memikirkan bagaimana kalau orang mmergoki kita berdua
disini" Orang bisa salah mengerti. Bagaimana kalau kau
makan pula Ho sin ouw lagi?"
Didalam hati Tan Hong tertawa geli. Tapi ia tak putus asa.
Hendak ia mencoba lebih jauh.
"Apa gunanya Ho sin ouw?" tanyanya. "Aku telah
memakannya cukup banyak. Kekuatiran kau tidak beralasan.
Lihat, saat magrib akan segera tiba! Lihat, disini tidak ada
orang lain siapa juga! Siapakah nanti yang melihat kita" Lagi
pula, adik, kaulah orang Kang Ouw sejati, buat apa kau
bertingkah seperti wanita?"
It Hiong kena didesak. Pertama karena ia percaya orang
sangat membutuhkan tenaga bantuannya itu. Kedua ia ingin
lekas-lekas meninggalkannya. Lebih baik ia membantu
daripada ia berdiam saja bersama nona itu. Kalau orang
melihat mereka maka akan menimbulkan kecurigaan. Kalau ia
membantu dia dengan segera ia bisa cepat berlalu. Maka
akhirnya ia bertindak menghampiri nona itu, untuk duduk di
belakangnya. Kedua tangannya diletaki dipunggung orang.
Mulanya ia menggertak gigi guna menguatkan hatinya buat
menahan rasa malu atau likatnya. Seterusnya ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk terus disalurkan kedalam tubuh orang.
Tan Hong diam saja, hatinya berbunga-bunga. Akalnya
telah berhasil dengan baik, bukan kepalang puasnya. Ia
menerima saluran tenaga dalam dengan perasaan melayanglayang.
Sang waktu berjalan cepat. Lewat kira-kira satu jam, It
Hiong menarik pulang kedua tangannya, terus ia bangun,
sesudah menghela napas, ia lompat memisahkan diri sejauh
lima kaki lebih. Disitu ia berdiri sambil mengawasi si nona!
"Kau telah sembuh seluruhnya, nona!" katanya, "Nah,
perkenankanlah aku memisahkan diri!"
Tan Hong terkejut, ia mengawasi anak muda itu, perlahanlahan
ia bangkit untuk merapikan pakaiannya, ia tampak lesu
dan heran. "Bagaimana, eh adik." tanyanya. "Kenapa kau mau pergi
begini cepat?" "Telah aku tolong obati kau, nona" kata It Hiong.
"Sekarang kau telah sembuh, karena itu buat apa aku berdiam
lebih lama pula disini! Lagipula.."
Mendadak si anak muda menghentikan kata-katanya.
Tan Hong mendelong mengawasinya.
"Adik" katanya, "Apapun yang kau ucapkan, tak nanti aku
sesalkan kau. Kenapa kau agak bersangsi" Bicaralah, jangan
kuatirkan aku." It Hiong ingin lekas pergi, mendengar ucapan si nona, ia
tak dapat beragu-ragu lagi.
"Lagipula kita berbeda, golongan kita berbeda jalan satu
dengan lain." ia melanjuti, "Aku dari pihak lurus, kau
sebaliknya, hingga ada kemungkinan dalam pertemuan
digunung Tay San nanti apakah kita bakal menjadi kawan atau
lawan satu sama lain masih belum dapat ditentukan dari
sekarang! Biarlah kita bertemu pula kelak!"
Nona itu tampak sangat berduka.
"Sayang aku berasal dari golongan sesat." katanya berterus
terang. "Memang, mana bisa aku bersahabat dengan murid
terpandai dari Tek Cio Siangjin, ahli pedang terkenal dijaman
kita ini" Hanya pertemuan kita ini membuatku tak dapat
melupakannya, terutama tadi pertolonganmu. Aku hanya itu
seorang wanita, ilmu silatku tidak berarti, akan tetapi
walaupun demikian, kelak dikemudian hari, aku akan
membalas budimu ini. Sekarang kau terimalah dulu ucapan
terima kasihku?" Dengan air mata berlinang, Tan Hong merangkapkan kedua
tangannya memberi hormat pada si anak muda. Air matanya
itu benar-benar bercucuran.
It Hiong terperanjat dan heran.
"Itulah urusan kecil, nona jangan kau buat pikiran,"
katanya, "Kau anggaplah pertemuan kita ini sebagai
pertemuan secara kebetulan dalam sekilas waktu saja. Hatiku
sedang pepat sekali, ingin aku lekas mendapat pulang kitab
pedangku, maka itu nona harap kau merawat dirimu baikbaik!"
Habis mengucap demikian, It Hiong memutar tubuhnya dan
berlalu dengan tindakan lebar.
Tan Hong membanting kaki.
"Ada yang lebih baik," serunya, "Aku masih hendak bicara!
Habis aku bicara, barulah kau pergi, dapat bukan?"
Mau tak mau It Hiong menoleh ke belakang dan
menghentikan tindakannya.
"Nona mau bicara apa?" ia menegaskan.
Tan Hong menghampiri beberapa tindak.
"Dalam hal kitab pedang itu, aku yang bersalah," ia
mengaku perlahan. "Karenanya walaupun kau sudi
memaafkan aku, hatiku terus tak enak dan tak tenang.
Bagamana adik, dapatkah kau mengijinkan aku terus
mendampingimu supaya aku bisa bekerja sekuatku untuk
mendapatkan pulang kitab ilmu pedang itu" Dengan jalan itu
saja barulah aku dapat menebus kesalahanku ini?"
Mendengar suara orang itu, parasnya It Hiong berubah
menjadi gemas dan kasihan bergantian. Mengingat hilangnya
kitab pedang itu ia mendongkol tapi melihat wajah si nona ia
merasa kasihan. Nampak jelas si nona benar-benar menyesal,
bahwa orang asalnya sesat tetapi liangsimnya, hati
sanubarinya masih putih bersih.
"Kau baik sekali nona, terima kasih." katanya. "Tio It Hiong
bodoh, tapi sejak dia memunculkan diri, dia telah
berketetapan untuk hanya bersama sebatang pedangnya
menyapu semua orang sesat yang merintanginya, tak biasa
dia menerima bantuan orang atau orang-orang yang
berkedudukan sebagai lawan dari pihakku. Jika sampai itu
terjadi, mungkin orang itu tak merasa malu, tapi aku. Aku jadi
memperhina pihakku sendiri!"
Tan Hong tertawa kecil. "Adik yang baik, maafkan aku bicara sejujurnya!" katanya.
"Ketika kau mengacau , kecuali Kim Hee Kiong dipuncak Ngo
Im Hong, bukankah Tok Niocu Yauw Siauw Hoa ada mengintil
di belakangmu dan dia membantumu" Cumalah, Yauw Siauw
Hoa dari kalangan mana, aku tidak tahu sama sekali!"
Kata-kata itu membungkam It Hiong. Maunya Bicara tapi
gagal. Sedetik itu ia lantas membayangi bagaimana waktu itu
Yauw Siauw Hoa telah bekerja hebat untuknya, hingga
budinya menjadi besar sekali. budi mana tak dapat ia
melupakannya. Siauw hoa telah membantunya secara matimatian.
Sekarangpun, mengingat nona itu, ia merasa terharu
dan bersyukur sekali. Kiranya juga dalam golongan hitam ada
seorang wanita yang demikian tulus dan ikhlas. Dan sekarang
dihadapannya ini, muncul seorang Tan Hong.
Masih lewat beberapa saat, sebelum It Hiong dapat
menenangkan hatinya! Sulit untuknya mengambil keputusan.
"Oh It Hiong!" pikrnya kemudian, "It Hiong kaulah laki-laki
sejati! Dapatkah menerima dirimu dijagai wanita" Bagaimana
pandangan orang mendapatkan kau bersama seorang nona
dari kalangan sesat" Tidakkah mereka akan
mentertawakanmu?" Karena memikir begini, ia terus menjawab si nona:
"Tentang Yauw Siauw hoa, aku menyesal sekali. Bukankah
pepatah berkata "Peristiwa lama jangan dilupai, tak dapat
dilupai dan peristiwa baru, yang belakangan bakal terjadi
dapat mengambilnya sebagai teladan" Maka itu nona, tak
berani karena urusanku, aku nanti membahayakan dirimu!"
Habis berkata begitu, ia lantas memberi hormat, terus
membuka tindakan lebar dan berjalan pergi.
Tan Hong terkejut saking bingung. Ia lompat menyusul dan
mendahuluinya, terus ia menghadang di depan orang.
"Maafkan kakakmu yang bicara terus terang." katanya.
Suaranya menandakan dia mendongkol berbareng berdosa
dan menyesal, "Maaf kalau aku membuat kau bergusar. Hanya
mengenai urusan mencari pulang kitab pedang itu, aku masih
hendak menanyakan sesuatu. Tahukah kau Hian Ho si imam
tua kemana perginya dia?"
It Hiong heran hingga ia melengak.
"Imam hidung kerbau itu, bukankah dia telah lari pulang ke
Kam Hee Kiong di Ngo Im Hong?" dia balik bertanya.
Mendengar jawaban itu si nona menghela napas.
"Saudaraku yang baik!" katanya, "Kalau sekarang kau
menyusul dia ke Ngo Im Hong, kau bakal melakukan
perjalanan sia-sia belaka"Sejak kau merusak Kam Hee Kiong,
imam tua itu sudah kabur kegunung Kiu Hiong San, kekuil
Siang Ceng Hiong, dideretan bukit karang Hu Yong Ciang."
"Oh, begitu!" seru si anak muda, "Habis kenapakah
bukannya dia bersembunyi di Kiu Hiong San untuk menutup
diri dan memikirkan segala perbuatannya yang salah, dia
justru kelayapan ke Pek Sek Touw" Dia mau bikin apakah?"
Tan Hong tertawa geli. "Perbuatannya orang-orang rimba persilatan mana dapat
ditentukan dari muka?" sahutnya balik bertanya, "Sekarang ini
saat jago dari luar lautan dan dalam negara saling berebutan
kekuasaan! Bukankah saatnya pertemuan persilatan digunung
Tay San sudah tak jauh lagi" Maka itu menurut terkaanku,
pasti imam tua itu tengah mendapat perjalanan mencari
kawan sesamanya dan kebetulan saja ia lewat disini?"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Hiong berdiam sejenak, baru ia bertanya pula cepat:
"Kenapa imam tua itu mengetahui perihal kitab ilmu pedang
itu terjatuh ketanganmu dan dia datang menghadang
perjalanan untuk merebutnya?"
Tan Hong agak sengit. Katanya,"Apakah kau tak pernah
mendengarnya" Hal itu sudah terjadi karena sepak terjangnya
sibudak setan Teng Hiang muridnya Thian Bin Lojin!"
It Hiong menganggap sudah tak perlu lagi ia berbicara lebih
lama pula. "Nah, sampai jumpa pula!" katanya seraya terus tubuhnya
melompat ke depan tanpa menoleh lagi.
Tepat tubuhnya bergerak, bergerak pula tubuhnya si nona,
maka dalam sedetik itu lenyaplah dua bayangan orang
didaLam Sang gelap gulita.
Sekarang marilah kita menoleh pula kepada Nona-nona
Kiauw In dan Giok Peng yang berada ditengah jalan ke arah
barat, yang sudah menghajar kabur Cin Tong sibajingan dari
pulau Hek Keng To dan telah melepaskan diri dari Gak Hong
Kun, maksud utama mereka berdua ialah mencari Tio It
Hiong. Mereka itu mau mengajak sipemuda pergi ke Hek Keng To
guna mencari Tan Hong buat meminta pulang kitab pedang
istimewa. Malam itu mereka di Lai yang dan terus mencari
penginapan. Kapan satu malam telah dilewatkan, pagi-pagi
sekali mereka sudah bangun tidur, berkemas dan berangkat.
Karena mereka hendak mengambil jalan kaki, mereka
menitipkan kuda mereka kepada jongos sambil memesan
untuk merawatnya dengan baik. Dalam waktu singkat, mereka
sudah sampai di Lao sie pang sebuah tempat terpisah
tanjakan. Adalah diatas tanjakan itu terdapat sebuah pohon kayu
yang besar, yang tumbuhnya entah sudah berapa banyak
Perguruan Sejati 1 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 2

Cari Blog Ini