Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 7

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 7


tahun. Akar kedua pohon itu melingkar-lingkar menutup
jalanan. Pohonnya tidak terlalu tinggi, besarnya sepelukan
sepuluh orang! Pohon pun subur sekali, banyak cabangnya
dan lebat daunnya hingga dilihat dari jauh pohon bagaikan
payung yang tengah terpentang. Hingga sekitarnya menjadi
teduh. Perkampunganpun berada tak jauh dari pohon besar
itu dan itu merupakan sebuah pasar kecil.
Berdua Kiauw In dan Giok Peng duduk berteduh dibawah
pohon raksasa itu, mata mereka diarahkan kekampung hingga
mereka dapat melihat orang berlalu lalang atau mondar
mandir. Sampai mendadak mereka mendapati satu orang
berlari-lari ke arah tanjakan atau lereng itu dan larinya cepat
hingga lekas sekali dia itu sudah sampai.
Kedua nona itu melihat seorang tosu atau imam yang
sebelah matanya picak yang tubuhnya besar dan kekar.
Bahkan Giok Peng mengawasi dengan penuh perhatian.
"Kakak" katanya pada Kiauw In perlahan dan sambil
menarik tangan orang. "Aku rasanya mengenali dia. Ingatkah
kakak siapa dia?" "Bukankah dia sipendeta tua dari Kim Hee Kiong di Ngo Im
Hong?" sahut Kiauw In sambil meneliti wajah orang. "Kita
harus waspada!" Juga si imam agaknya terperanjat ketika melihat kedua
nona itu. Hanya sebentar lantas dia menghunus pedangnya
dan membentak: "He, bocah perempuan, kau pernah apa dengan Pat Pie Sin
Kit sipengmis tua bangkotan" Cara bagaimana kalian berdiri
disini memenggat jalanku?"
Imam itu ialah Hian Ho Cinjin. Dia kabur sesudah terjadi
perampasan kitab silat. Dia jeri betul terhadap It Hiong dan
selama lari menyingkir itu dia sangat takut ada yang
menghadang dan mengganggunya. Demikianlah waktu ia
melihat kedua nona itu. Kecurigaannya muncul dengan
sendirinya. Sejenak itu dia belum tahu siapa kedua nona itu
tetapi dia merasa seperti mengenalnya. Dia ingat-ingat lupa.
Demikianlah dia menegur, teguran yang seperti juga
membuatnya membuka rahasia sendiri. halnya dia sedang
ketakutan". Kiauw In sangat cerdas, ia dapat menerka jelek.
"Kau membuat apa ditengah jalan ini?" ia balas
membentak. "Kalau kau tidak memberi keterangan yang jelas,
jangan harap kau dapat lewat disini!"
Hian Ho membalingkan pedangnya. Matanyapun menatap
bengis. Dengan perlahan dia bertindak maju, tampangnya
sangat garang. Nampaknya dia sangat mengancam.
"Bagaimana kepandaian kamu berdua jika dibanding
dengan kepandaiannya Tan Hong dari Hek Keng To?" dia
tanya nyaring. "Cara bagaimana kamu berani merintangi Toya
kamu" rupanya kamu sudah bosan hidup!"
Dengan "To-ya" dia membahasakan dirinya. Artinya ialah
imam yang suci atau kesohor.
Kiauw In tidak mengambil peduli akan lagak orang itu.
"Kau telah merampas kitab ilmu pedang dari tangannya
Tan Hong!" katanya memancing. "Beranikah kau menyangkal
itu! Kau kenalkah aku" Aku Cio Kiauw In, muridnya Tek Cio
Siangjin! Lekas kau serahkan kitab Sam Cay Kiam itu pada
kami!" Giok Peng lantas menyelak, katanya keren, "Siapa yang tak
ingin orang ketahui perbuatannya, tak ada jalan lain daripada
jangan melakukan perbuatan itu!"
Hian Ho mengira orang tahu jelas perihal perampasan kitab
pedang di Pek Sek Touw, dia tertawa dingin. Dia
membesarkan nyalinya. Kata dia keras dan menantang: "Ya!
Kitab pedang itu ada pada Toya kamu! Aku tidak takut dengan
kawanan budak, kamu mempunyai kepandaian buat
merampasnya atau tidak?"
Kiauw In puas mendengar suara orang itu. Jadi untuknya
tak ada lagi keragu-raguan tentang imam dari Kim Hee Kiong
itu. Maka iapun menghunus pedangnya.
"Jangan kau bergalak-galak!" tegurnya. "Jangan kau
bertingkah! Hendak aku tanya kau, bagaimana kepandaian
ilmu pedangmu apabila dibandingkan dengan kepandaian
ketua kamu?" Hian Ho habis sabar. "Sudah!" bentaknya. "Nah, kau sambutlah pedangku ini!"
Dia benar-benar maju menyerang dengan jurus "Angin musim
rontok menyapu daun" pedangnya menabas ke arah pinggang
nona Cio. Sementara itu Giok Peng yang girang menyaksikan
kecerdasan Kiauw In hingga si imam mudah saja seperti
membuka rahasia mengenai kitab pedang mestika yang
dipersengketakan itu, telah memasang mata tajam. Ia tertawa
dan berkata: "Eh, hidung kerbau! Tanpa dihajar, kau telah
membuka rahasiamu sendiri!"
Hian Ho membungkam, cuma pedangnya yang digeraki,
ketika Kiauw In menyambut, maka keduanya lantas bertarung.
Hebat si imam menyerang, karena dia ingin lekas-lekas
merebut kemenangan, supaya dia tak usah menyia-yiakan
waktu. Kiauw In tahu imam itu lihai-dialah lawan dari kelas satu,
maka itu ia tidak mau berlaku sembrono. Lebih baik tak ingin
ia keras lawan keras. Karenanya ia segera menggunakan Te In
Ciong, ilmu lompat dan ringan tubuh Tangga Mega. Didesak
lawan secara hebat itu, ia melayani dengan lebih banyak
loncat sana dan loncat sini, kebanyakan ia berkelit saja.
Hian Ho megharap segera memperoleh kemenangan,
kesudahannya hatinya menjadi kurang tentram. Kewalahan
dia melayani kegesitan dan kelincahan si nona. Tak dapat dia
mendesak orang hingga orang suka melayani dia sama
serunya. Tapi dia tidak putus asa. Dia mendesak terus, dia
ingin lekas pulang kekuilnya.
Giok Peng menonton dipinggiran, otaknya bekerja: "Ilmu
pedangnya imam ini tidak dapat dipandang ringan. Kalau dia
dilayani secara begini sampai kapan pertempuran akan
berakhir?" Ia lantas memikir buat turun tangan, tapi ia malu
sendiri. Bagaimana dapat ia main keroyok" Dia akhirnya cuma
menonton terus, tetapi pedangnya ia hunus.
Masih pertempuran berlangsung, kedua pihak sama
unggulnya. Yang satu keras yang lain lunak, tapi silunak tak
sampai terdesak kepojok. Lewat delapanpuluh jurus masih
Hian Ho belum sempat meloloskan dirinya. Hal ini
membuatnya mendongkol berbareng sibuk sendirinya. Hatinya
tak tenang, lantaran ini dia memikir akal. Kebetulan ketika
satu kali si nona balas menikam padanya, dia berkelit dengan
lompat kesamping sebuah pohon besar, untuk terus
berlindung dan menghilang di belakang pohon itu. Akar pohon
banyak dan muncul berlengketan, sedangkan pohonnya juga
ada durinya dan ada pohon rotan yang mengelilitnya. Bagian
atas pohon itu dapat pula menjadi tempat sembunyi yang baik
sekali. Melihat orang berkelit itu, Kiauw In hendak menyusul,
namun mendadak ia ingat pepatah yang mengatakan
"Penjahat terdesak, jangan dikejar" Sendirinya ia lantas
menunda maksudnya mengejar itu.
Giok Peng dilain pihakpun berseru: "Kakak jangan susul
dia! Awas dia menggunakan tipu daya licik!"
"Ya, dia licik sekali!" sahut Kiauw In penasaran. "Dapatkah
kita tak berbuat sesuatu atas dirinya?"
Giok Peng tertawa. Dia berpengalaman, dia dapat
mengendalikan dirinya. "Musuh ditempat gelap, kita ditempat terang, itulah
berbahaya buat kita," katanya sabar, "Karena sudah pasti
kitab ditangannya, kita sabar saja. Mustahil dia dapat
memilikinya buat selama-lamanya" Mustahil pula dia dapat
pergi sembunyi keatas langit?"
Kiauw In mengawasi ke belakang pohon raksasa itu, yang
lebat dengan dahan-dahan dan daunnya, hingga sukar melihat
menembusinya. Kemudian ia berpaling pada kawannya dan
berkata, "Bagaimana kalau kita bakar saja" Dapatkah dia
lolos?" "Bagus kakak!" Giok Peng berseru. "Kita menggunakan api
membakarnya! Bagus!"
Lantas kedua nona bekerja mengumpulkan daun-daunan
kering terus ditumpuk ditepi pepohonan lebat itu, disisi pohon
kayu besar. Setelah itu mereka menyalakan api. Tidak lama
maka api sudah mulai menyala besar, berkobar dan asapnya
mengepul-ngepul. Bahkan mereka berdua berdiri dikepala
angin untuk berulang-ulang mengebut ke arah api itu untuk
membantunya berkobar! Sebagai akibatnya dari nyala api itu, burung-burung pada
beterbangan pergi dan tikus serta binatang kecil lainnya lari
serabut. Api makin besar dan panas dan asap makin tebal.
Karena itu kedua nona lompat turun kebawah tanjakan,
menyingkir dari hawa panas dan asap itu. Dari tempat jauh
mereka memasang mata. Dari jauh api dan asap terlihat tegas, belum lama maka
berdatanganlah orang-orang kampung disekitar situ guna
melihat dan kalau perlu membantu memadamkan api. Suara
jadi riuh dengan bunyi kentongan dan gembreng.
Menyaksikan kesibukan penduduk situ, Kiauw In menyesal
sudah membakar pepohonan itu. Artinya mereka sudah
meyusahkan penduduk setempat. Maka bersama Giok Peng ia
berlari-lari memapaki rombongan orang kampung itu.
Orang yang lari di depan rombongan itu adalah seorang
pria tua dengan rambut ubanan, tangannya mencekal tongkat,
janggutnya bertebaran diantara tiupan angin. Dia sudah tua
tapi dia dapat berlari keras. Tak lama tibalah orang itu beserta
kawan-kawannya. "Jangan-jangan api itu disebabkan siluman ini?" si orang
tua itu berkata didalam hati, selekasnya dia melihat kedua
nona berlari ke arahnya. Melihat jurusannya ia menerka
darimana nona itu datang, yaitu dari tempat pohon kayu besar
itu! Setelah datang dekat satu dengan lain, Giok Peng
mendahului menyapa: "Paman bagaimana caranya
memadamkan api itu?" Iapun seperti Kiauw In tetap merasa
tak enak hati. Orang tua itu mengawasi kedua nona bergantian.
"Apakah nona-nona sedang berlalu lalang disini?" dia balik
bertanya, "Apakah barusan nona dapat melihat seorang imam
lewat sini" Matanya hilang sebelah dan tubuhnya menggembol
pedang?" Nona Peng melengak. Ia bukan dijawab malah balik
ditanya. Karena ini ia tidak lantas memberikan jawaban. Ia
justru mengawasi. Orangtua itu menatap. "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" tanyanya,
tampangnya tak puas. Kiauw In segera melangkah maju, ia memberi hormat.
"Maaf paman," katanya mewakili kawannya . "Paman
menanyakan tentang imam bermata satu, apakah paman
maksudkan Hian Ho Cinjin dari Kim Hee Kiong, Ngo Im Hong?"
"Benar!" sahut orang tua itu, "Apakah kalian melihat dia?"
Jilid 14 "Aku melihat dia lari bersembunyi ke belakang pohon kayu
besar itu." Giok Peng memalangi kakaknya menyahuti.
"Karena dia tidak mau keluar, kami membakar pohon itu,
niatnya untuk memaksa dia menyusul dari tempatnya
bersembunyi. Diluar kehendak kami justru menerbitkan
kebakaran ini." Orang tua itu nampak tidak senang.
"Kalian mempunyai kepandaian apa maka kalian berani
mencampur tangan dalam urusan merampas kitab pedang
Sam Cay Kiam ?" tegur orang tua itu. "Kamu berani membakar
disini ! Tahukah kamu aturan tempat kami ini Lao sie peng ?"
Ditegur secara demikian Nona Pek menjadi tidak senang.
"Lao sie peng toh bukannya istrinya Raja Langit ?" katanya
keras. "Dalam hal itu juga, nona kamu tak memperdulikan apa
jua, juga tidak aturan di Lao sie peng ini !"
Matanya orang tua itu bersinar.
"Siapa main gila di Lao sie peng ini, ia mesti membuntungi
sendiri tangannya !" katanya nyaring. "Siapa sudah
menguntungi tangannya baru dia dapat berlalu dari sini !"
Kiauw In kuatir ketegangan itu memuncak. Itulah artinya
berabe. Maka lantas ia menyela. Sembari memberi hormat ia
kata sabar, "Sabar, paman ! Segala apa dapat kita damaikan.
Inilah adikku, ia kurang pandai bicara. Paman menanyakan
tentang imam picak itu, apakah maksudnya " Sudikah paman
memberikan keterangan padaku ?"
Mendengar suaranya nona ini amarahnya si orang tua
menjadi lantas berkurang.
"Buat apa si imam tua dicari kalau bukan buat urusan kitab
pedang Sam Cay Kiam itu ?" demikian dia menjawab.
"Imam tua itu justru bersembunyi didalam semak di
belakang pohon kayu besar itu" kata Kiauw In cepat. "Paman
kenal baik tempat ini, bagaimana kalau kami turut bersama
pergi mencarinya ?" Tiba-tiba orang tua itu tertawa.
"Ah, anak, kau bicara mudah saja !" katanya. "Dia setolol
kau ini !" Berkata begitu, si orang tua menoleh ke arah api. Di sana
orang kampung tengah memerangi memadamkan si ayam
jago merah. "Jika kalian hendak mencari dia" kata orang tua itu
kemudian, "kalian harus pergi ke Ho yong ciang di gunung Kui
Kiong San, didalam kuil Siang Ceng Koan ! Hanya, sebelum
kalian pergi kalian harus bereskan dahulu urusan disini ! Kalian
sudah bersalah menerbitkan kobaran itu ! Untuk itu kalian
harus menebus dosa...."
Nona Cio mengendalikan dirinya untuk tidak menunjukkan
kegusarannya. "Aku mohon supaya kami diberi maaf karena kami
kesalahan berbuat tanpa maksud sengaja" katanya, "jika toh
dianggap ada kerugiannya kami bersedia menggantikannya
secara pantas ! Kita sesama kaun rimba persilatan bukankan
dapat kalau paman memberi muka kepada kami ?"
Tetapi orang tua itu membentak : "Apa yang aku ucapkan
tak dapat itu diubah lagi ! Eh, bocah, kau siapakah " Tepatkah
orang semacam kau bicara secara lohan ?" Dia


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membahasakan dirinya lohan, artinya si orang tua.
Giok Peng habis sabar. Sreeet ! demikian ia menghunus pedangnya.
"Pedangku ini tidak mengenal segala aturan !" katanya
keras. Kiauw In bertindak maju, menghalang diantara kawan itu
dan si orang tua. Ia memandang si orang tua dan berkata
sabar : "Kita tidak bermusuh satu sama lain, kita hanya baru
pernah bertemu ditengah jalan ini, oleh karena itu buat apa
kita menanam bibit permusuhan " Aku minta dengan hormat
agar paman menarik pulang aturan paman itu, supaya apa
sudilah kau berlaku sabar luar biasa..."
"Hai anak-anak, apakah kalian pernah tengah main
sandiwara ?" tanya si orang tua dingin. "Lohan tidak
mempunyai banyak ketika akan melayani kalian ! Jika kalian
kenal gelagat, lekas kalian kuntungi sendiri lengan kalian. Jika
tidak, Hmm !" Kata-kata itu diakhiri dengan satu gerakan tongkatnya,
hingga terdengar siurannya angin tongkat itu.
Kiauw In berlompat mundur dua tindak.
"Dilihat begini, tidak dapat tidak, kita mesti beradu
tangan..." pikirnya, masygul. Lantas ia berpikir lebih jauh,
matanya sampaikan berputar. Kemudian ia maju pula untuk
berkata : "Baiklah, paman kami bersedia menuruti perintahmu
untuk kami menanyakan she dan nama paman, supaya kami
berdua mengenalnya !"
Orang tua itu menatap Kiauw In, wajahnya dingin sekali.
"Baik !" sahutnya kaku. "Kalian dengar baik-baik dan
berhati-hatilah ! Akulah Siang Kung Bu Eng Thung Cim ! Nah,
tahukah kalian ?" "Siang Kung" ialah nama tempat atau nama sungai dan "Bu
Eng Thung" adalah gelaran yang berarti "Tongkat Tanpa
Bayang", diambil dari arti, saking hebatnya tongkat itu
digeraki sampai bayangannya pun tidak nampak.
Mendengar nama itu Giok Peng segera ingat kepada nama
dari sahabat ayahnya. Maka segera ia masuki pedangnya
kedalam sarung lantas sambil tertawa ia bertanya : "Bukankah
paman masih ingat kepada Siauw Yan Jie dari Lek Tiok Po ?"
Liong Cim menatap nona itu, otaknya bekerja. Dia
mengawasi dari atas ke bawah dan sebaliknya, agaknya dia
hendak menegas benar-benar.
"Nona, kau pernah apakah dengan saudara Pek Lian Jie
dari Lek Tiok Po ?" akhirnya dia tanya menegaskan.
"Ia adalah ayahku yang rendah" sahut si nona hormat.
Orang tua itu mengetahui anak sahabatnya, lantas dia
tertawa. "Kami baru berpisah sepuluh tahun, siapa sangka
sahabatku telah mempunyai seorang putri remaja sebesar
kau, anak !" katanya. "Dan kau muncul pula dalam dunia
Sungai Telaga ! Apakah ayahmu baik-baik saja ?"
"Terima kasih, paman !" sahut si nona. "Dengan berkah
paman, ayah tak kurang suatu apa ! Tapi, paman jika tidak
ada titah apa-apa lagi dari paman, perkenankanlah aku
memohon diri !" Liong Cim terdiam, ia seperti ingat sesuatu apa.
"Ah !" serunya kemudian. "Aku ingat sekarang ! Anak, tak
carai itu terasangkut sekarang kau harus mampir dahulu ke
gubukku. Kebetulan ada orang Lek Tiok Po datang,
perempuan mencari kau..."
Giok Peng terperanjat. "Apakah mereka masih ada dirumah paman " " tanyanya.
"Entah mereka sudah berangkat pergi atau belum. Paling
benar ialah kalian turut aku."
Selama itu api telah dapat dikendalikan, tetapi Hian Ho tak
tampak, orangnya tidak, mayatnya tidak juga .
"Pesan mereka itu kalau api sudah padam betul, mereka
boleh pulang" kata Liok Cim pada salah seorang bawahannya
yang disuruh pergi kepada orang-orang yang asyik
memadamkan api, "Aku mau pulang lebih dahulu."
Orang itu menyahuti "ya" dan berlalu.
"Nah, anak, mari kita berangkat !" Orang tua itu mengajak
Giok Peng dan Kiauw In. Nona Cio sendiri sudah menemui orang tua itu dari baru,
lalu ia memberi hormat, seraya memperkenalkan diri
kemudian dengan ditarik oleh Giok Peng, ia berjalan
berendeng dengan kawannya itu mengintil di belakang si
orang tua. Lao sie peng adalah sebuah dusun dikaki bukit, rumahnya
ada yang merupakan gua-gua karang, penduduknya seratus
keluarga lebih, warungnya dua atau tiga puluh buah, jalan
besarnya cuma satu terbentang ditengah-tengah. Yang lainnya
jalan kecil. Setibanya didalam dusun, sembari jalan Liok Cim memberi
keterangan kepada kedua nona tentang dusunnya itu. Tanpa
merasa berjalan dan tiba-tiba dari sebuah rumah makan
muncul seorang muda yang berlari ke arah mereka !
Kiauw In adalah yang dahulu melihat pemuda itu, ia
terperanjat hingga ia mengeluarkan seruan tertahan setelah
mana ia berlompat maju untuk memapaki guna menyamber
tangan orang. "Adik Hiong !" serunya.
"Ah, kakak !" si anak muda pun berseru. Karena dialah It
Hiong yang ketika itu pikirannya kurang terang. Disatu pihak
ia ingin menyusul Hian Ho Cinjin dilain pihak ia menyingkir dari
Tan Hong. Dia sebenarnya tidak melihat Nona Cio sampai si
nona menghadang dan menyapanya. Sudah tentu dia terkejut
berbareng girang bertemu kakak In nya.
"Kakak kenapa kau disini ?" tanyanya setelah lenyap
herannya. Giok Peng sementara itu sudah lantas menghampiri.
"Adik Hiong !" tegurnya tanpa memperhatikan wajah orang,
"bagaimana sih pikiranmu " Kenapa kau berlalu tanpa
mengatakan sesuatu " Kau membikin kami sangat memikirkan
dan menguatirkanmu, tahu ?"
Justru itu nona ini ingat kepada Liok Cim yang menyusulnya
yang sudah lantas di belakangnya, mukanya menjadi merah
sendirinya. Ia jengah yang ia berlaku demikian akrab dengan
anak muda itu. It Hiong girang bukan kepalang meliha kedua "kakak" itu,
banyak yang ingin utarakan dan tanyakan, akan tetapi melihat
diantaranya ada seorang tua, ia dapat mengendalikan hatinya.
Giok Peng segera mengajar kenal kedua belah pihak, It
Hiong dengan si orang tua.
"Sungguh kebetulan !" berkata Liok Cim girang sekali.
"Kalian telah bertemu di Lao sie peng ini! Nah, silahkan kalian
turut aku ke gubukku, harap jangan sungkan !"
It Hiong menerima baik undangan itu, ia menghaturkan
terima kasih. Si orang tua lantas berjalan di muka memimpin mereka itu.
It Hiong memikir untuk menampik undangan itu tetapi
Kiauw In, yang melihat gerak geriknya sudah lantas
kepadanya : "Adik Hiong jangan tergesa-gesa ! Kami sudah
diketahui dimana beradanya kitab ilmu pedang kita ! Paman
ini baik sekali, jangan tolak kebaikannya, mari kita pergi ke
rumahnya dimana kita dapat omong-omong dengan leluasa.
Juga ada orang dari Lek Tiok Po yang mencari adik Peng dan
mereka sekarang berada dirumahnya paman..."
It Hiong heran juga. "Baiklah ! "sahutnya. Ia mengucap terima kasih kepada
orang tua itu, lantas ia berjalan mengikuti. Ia menerka
mestinya Kiauw In hendak membicarakan sesuatu kepadanya.
Memangnya ia paling menghargai kakak seperguruan ini.
Belum lama, habis menikung disebuah pengkolang, tibalah
mereka di depan sebuah rumah besar yang berPekarangan
banyak pepohonan hingga mirip terkurung rimba. Pekarangan
itu luas. Ketika itu lewat lohor, burung-burung sudah mulai pulang
ke sarangnya masing-masing dan bunga-bunga mulai mekar,
pemandangan alam menjadi indah. Suasana yang tenang
sekali hingga siapa juga merasa nyaman dan pikirannya
terbuka. Tuan rumah mengundang ketiga tetamunya memasuki
ruang tamu-tamu dan mempersilahkan duduk bersama,
sedang pegawainya sudah lantas datang menyuguhkan air
teh, hingga mereka lantas dapat membasahkan kerongkongan
mereka. Habis itu Giok Peng lantas minta tuan rumah memanggil
keluar orang dari Lek Tiok Po buat ia segera menemuinya dan
menanyakan apa maksudnya datang mencarinya.
"Ha, hampir aku lupa !" berkata Liok Cim tertawa. Lantas ia
menoleh kepada kacungnya yang ia suruh lekas memanggil
datang orang dari Lek Tiok Po itu. Sembari tertawa kemudian
ia kata pula : "Keponakanku, tabiatmu sama dengan tabiat
ayahmu ! Maka itu melihat kau, anak, aku bagaikan melihat
sahabatku itu !" Giok Peng tersenyum. "Paman bisa saja !" katanya.
Ketika itu muncullah orang dari Lek Tiok Po, dua orang.
Setelah melihat nona, mereka itu lantas memberi hormat
sambil yang seorang berkata : "Nona, kami dititahkan mencari
nona ! Kami telah pergi ke sekitar Sam Siang tak tahunya kita
bisa bertemu disini...."
Mendadak hamba itu berhenti bicara. Ia menoleh kepada It
Hiong, agaknya dia ragu-ragu.
"Lekas bicara !" Giok Peng mendesak. "Sebenarnya ada
urusan apakah ?" Masih dua orang itu bersangsi, masih mereka suka
mengawasi si anak muda. It Hiong menerka sesuatu, lantas ia kata hambar :
"Saudara, bicaralah terus terang tak peduli urusan
mengenakan diriku ! Jangan takut, tak akan aku sesalkan kau
!" Kiauw In berdiam sekian lama, segera ia bisa menerka.
Maka ia tertawa dan turut bicara.
"Bukankah urusanmu itu disebabkan Gak Hong Kun telah
datang mengacau ke Lek Tiok Po ?" demikian tanyanya.
Giok Peng terkejut. Dia lantas membanting kaki.
"Urusan apakah ?" tanyanya keras. "Kenapa kamu beraguragu
" Bicara ! Kamu mau main gila, ya ?"
"Benar, urusan mengenai Gak Hong Kun." sahut orang Lek
Tiok Po itu akhirnya. Nampak ia menyesal. Karena nonanya itu
malah bergusar, mereka lantas tak berayal pula memberi
keterangannya. Duduk halnya ialah begini. Gak Hong Kun putus asa
sesudah mencuri kitab pedang Sam Cay Kiam mencintainya.
Urusan itu membuatnya bergusar salah bergirang tak bisa.
Pikirannya menjadi kacau hingga dia menjadi mendongkol
tanpa sebab. Toh tetap dialah seorang yang berotak cerdas. Dia insyaf
kesukaran hatinya itu bisa mencelakai dirinya sendiri. Maka
tak dapat ia membiarkan hatinya dipengaruhi terus menerus.
Lantas dia mengambil satu keputusan. Jalan meninggalkan
gunung Heng San dan memasuki dunia Sungai Telaga.
Perantauan mungkin akan melegakan hatinya.
Diluar keinginannya, di Ouwlam barat dia justru bertemu
dengan Giok Peng yang lagi bertempur dengan Cin Tong dan
rombongannya. Sendirinya dia memberi bantuannya hingga
Cin Tong beramai dapat diusir pergi. Ketika itu ingin dia
membaiki pula nona itu atau usahanya gagal sebab Giok Peng
segera diajak pergi oleh Kiauw In. Mulanya hendak dia
menyusul nona itu atau disaat terakhir dia mengambil
keputusan pergi ke Siang caipo Kangjee untuk mencari Tiat
See Cian Pek Kui Jie ayahnya si nona, untuk berbicara dengan
orang tua itu, guna menutur rahasia hatinya. Tapi dia sedang
mendongkol, hatinya panas pikirannya kacau, ketika dia tiba di
Lek Tiok Po dia justru mengacau... Memang umumnya, siapa
tengah uring-uringan mudah dia bergusar dan melakukan
sesuatu diluar pikiran sehat...
Selekasnya Hong Kun tiba di Siang cui po lantas dia
memperlahan jalannya kudanya. Maka binatang tunggangan
itu jalan bagaikan setindak demi setindak menghampiri Lek
Tiok Po yang mempunyai jalanan batu putih yang rada sempit.
Sebenarnya Hong Kun kembali ke tempat yang lama yang
segalanya berada bagaimana sediakala tetapi dipandangan
matanya, semua itu berubah semuanya mendatangkan
perasaan yang lain daripada biasanya. Keindahan alam tak
dapat mempengaruhi pikirannya yang pepat, kedukaan
membuatnya dia melihat lain macam. Segalanya tampak tawar
dan tak menarik hati, semuanya sunyi. Bahkan tempat dimana
dahulu dia bersama Giok Peng suka berkumpul dan
beromong-omong dengan manis sekarang seperti juga duri
yang menusuk matanya hingga sebab dia melihatnya.
Bercokol diatas punggung kudanya dengan perlahan dia terus
memasuki Lek Tiok Po sampai ke pintu Pekarangan. Disini dia
melupakan aturan Lek Tiok Po yang berbunyi "Di muka pintu
orang harus turun dari kudanya dan berjalan kaki". Dia justru
maju terus, maju untuk memasuki dan melintasi pintu
Pekarangan itu ! Pintu Pekarangan itu ada orang yang menjaganya. Dia itu
dari jauh-jauh sudah melihat ada orang datang bahkan dia
kenali, maka dia berlari-lari menghampiri, terus dia mencekal
las kuda seraya berkata : "Tuan Gak ! Tuan Gak ! Silahkan
turun !" Hong Kun mengawasi orang itu. Ketika itu tengah seperti
orang lupa ingatan. Tak heran kalau di depan matanya seperti
Giok Peng yang tebayang yang menyambutnya. Diluar
kesadarannya, dia menggelindur : "Oh, adik Peng, kau
menyambut aku..." Baru dia berkata begitu, baru dia insyaf
orang itu hanya pengawal Lek Tiok Po !
Orangnya Pek Kui Jie itu heran.
"Tuan Gak !" kata dia, "aku minta tuan suka turun dari
kudamu ! Harap tuan suka mentaati aturan dari Lek Tiok Po
kami..." Hong Kun melengak. Mestinya dia menganggap permintaan
itu seperti perintah atau kata-kata orang hanya bentakan.
"Aku tak pedulikan aturan kamu !" dia membentak dan
tangannya terayun membuat cambuknya menyabet si penjaga
pintu ! Penjaga pintu itu terkejut, syukur dia jeli dan cepat, ketika
cambuk itu tiba dia sambar itu dan cekal dengan keras terus


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tarik. Tiba-tiba saja tubuh Hong Kun kena terbetot, hingga
ia terjatuh dari atas kudanya cuma taklah ia sampai roboh. Ia
dapat menaruh kakinya dengan baik.
Pegawai itu lekas menghampiri untuk membayangnya.
"Maaf tuan Gak" katanya tertawa. "Silahkan masuk !"
Hong Kun tidak menjawab sebaliknya dia mengusir orang
supaya mundur lalu dengan tindakan lebar dia jalan memasuki
Pekarangan itu untuk menghampiri rumah terus ke Toa thia
yaitu ruang depan. Pegawai itu sendiri yang mengikuti berhenti di ceracapan
dimana dia memperdengarkan suara nyaring memberitahukan
orang di dalam rumah datangnya tamu-tamu. Dia sendiri tidak
berani lancang masuk. Tatkala itu tuan rumah Pek Kiu Jie lagi main catur dengan
Tong Wie Lam, sahabat karibnya. Selekasnya ia mendengar
laporan, lantas ia berbangkit dan bertindak keluar.
"Oo.. Gak laolan !" ia menyambuti tetamunya. Ia agak
heran. "Sudah lama kita tidak bertemu ! Silahkan duduk ! Mari
kita minum teh !" Hong Kun memperlihatkan wajah dingin. Dia membalas
hormat tetapi dia berkat. "Apakah Lo poocu banyak baik " Aku
yang muda hari ini datang kemari buat mencari adik Peng
guna memperoleh keputusan !"
Anak muda itu memanggil lo poocu artinya pemilik atau
tuan rumah yang tua dari dusun keluarga Pek itu. Habis
berkata dia bertindak masuk terus dia duduk. Terhadap Tong
Wie Lam si guru silat dia melirik pun tidak.
Tuan rumah melengak. Tak dapat ia menerka orang mau
apa, atau apa maksudnya...
Maksud baik atau buruk. Maka ia cuma bisa berkata pula,
"Laote tentu banyak caPek habis berjalan jauh ! Silahkan
minum teh dahulu, nanti kita bicara perlahan-lahan."
Memang orangnya tuan rumah sudah lantas menyuguhkan
teh. Seperti semula, Kiu Jie memanggil laote kepada si anak
muda. Panggilan itu berarti adik yang tua.
Tong Wie Lam tidak puas terhadap sikapnya anak muda
itu. Memang ia telah tidak berkesan baik. Kali ini keadaannya
makin buruk. Dahulu Wie Lan menjadi penghubung antara It
Hiong dan Giok Peng yang jodohnya hendak ia rangkap, tetapi
"ketemubatunya" kegagalan itu membuatnya ia berkata tak
nanti ia sudi datang pula ke Lek Tiok Po, tetapi sekarang toh
datang juga. Inilah disebabkan ia mendengar halnya It Hiong
sudah "menikah" dengan Giok Peng dan telah memperoleh
anak, hingga sirnalah penasarannya, jadi tak sudi datang dia
jadi sering berkunjung dan persahabatannya dengan Pek Kiu
Jie pulih seperti sedia kala, ia telah diundang ketika Giok Peng
pulang bersama anaknya Hauw Yan, supaya guru silat itu
melihat ibu dan anak yang manis itu. Kedua sahabat itu gemar
minum arak bersama dan main catur. Hanya itu hari ini diluar
dugaan. Hong Kun telah datang berkunjung dan orang she
Gak itu telah tidak memperdulikan si guru silat yang ia kenal
baik. Hanya sebentar sebuah meja perjamuan sudah diatur rapi.
Kiu Jie lantas mengundang tamunya duduk bersantap. Cian
Ling dan Siauw Hoaw kedua tuan rumah yang muda duduk
menemani. Mereka duduk disebelah bawah.
Mulai dengan perjamuan itu Kiu Jie mengangkat cawan
araknya dan berkata : "Sungguh diluar dugaanku yang Gak
Laote telah datang menjenguk aku. Kau baik sekali, aku
berterima kasih ! Nah, mari kita minum dan makan bersama !"
Tuan rumah terus menghirup araknya. Ia berbicara tanpa
menyebut Giok Peng atau It Hiong. Hal itu membuatknya likat
sendirinya. Hong Kun berbangkit dan menghirup kering cawannya, ia
memandang pada hadirin lainnya terus ia berduduk pula.
Agaknya ia likat. Ketika ia bicara sikapnya sangat merendah.
Seterusnya ia duduk minum seorang diri. Ketika ia sudah
menenggak tiga cawan yang besar, ia menghela nafas dan
kata : "Lopoocu, maafkan aku yang muda. Aku lagi berduka,
kebetulan arak ini dapat mencoba melenyapkan kedukaan itu,
dapat juga menghilangkan penasaranku..."
Tuan rumah tertawa. "Gak Laote, apakah kesukaranmu itu ?" dia bertanya.
"Nampaknya kau berduka sekali. Dapatkah kau
menerangkannya kepada kami ?"
Hong Kun menyeringai. "Lopoocu, kau tahu halnya tetapi buat apa kau
menanyakannya ?" dia membaliki. "Sekarang aku yang muda
mohon bertanya bagaimanakah dengan janji lopoocu dahulu
soal dihadapan, masih itu masuk hitungan atau tidak ?"
Kiu Jie segera sadar akan urusan jodohnya Giok Peng. Hal
itu menyulitkannya. Tapi ia memaksakan diri buat tertawa dan
kata : "Itulah urusan pribadi anakku sendiri, aku minta agar
urusan itu tak dibicarakan pula. Laote menjadi pria muda
laksana binatang kielin, kau murid pandai dari Heng San Pay
kau terkenal dalam dunia Sungai Telaga, karena sebagai
seorang laki-laki sejati dimanakah yang kau bakal tak
mempunyai istri yang setimpal " Dlam hal kita ini adalah
anakku yang tidak berbakti dan tidak punya rejeki besar, dia
telah membuat kekeliruan yang tak dapat diperbaiki lagi !
Dahulu memang aku si orang tua berniat menjodohi kalian
berdua, apa lacur minatku tak dapat tercapai. Oleh karena itu
aku cuma dapat memohon maaf dari kau, laote.."
Malu Kui Jie mengatakan itu tetapi terpaksa ia
mengatakannya juga. Hong Kun memperlihatkan tampang sangat berduka.
Dengan suara dalam, ia berkata : "Dasar untungku yang tipis,
hingga aku cuma bisa menyesalkan diriku sendiri. Tetapi
sekarang dapat aku memaksa adik Peng itu pula urusan
seumur hidup dari adik Peng ! Cuma aku tidak mengerti
karena aku tahu adik Peng bukannya seorang manusia yang
tak berbudi ! Aku percaya disini tentu ada pengacaunya ! Dia
tidak saja membuatku menyesal seumur hidupku, dia juga
membuat lopoocu menjadi mendapat malu !"
"Itulah terpaksa laote" kata Kiu Jie menyesal. "Aku sudah
berusia lanjut, tak dapat aku memberatinya lagi. Tapi aku
percaya kalau kawan-kawan kaum Kang Ouw mengetahui
hatiku ini, aku percaya mereka dapat maklum dan
memaafkannya. Aku minta laote janganlah kau berduka
karena urusanku ini"
Sementara itu Tong Wie Lam tidak puas akan sikapnya
Hong Kun ini. Si anak muda terlalu mendesak dia sampai
seperti tak tahu malu... Karena tak tahan sabar, guru silat ini campur bicara.
Katanya : "Keponakan Giok Peng sudah menikah, dia pula
sudah punya anak bahkan dia telah tinggal jauh dari Lek Tiok
Po ini, karena itu lote, apakah faedahnya buat kau
mengumbar ganjalan hatimu disini ?"
Hong Kun mengangkat kepalanya, sepasang alisnya
terbangun. "Datangku ini kemari adalah untuk mencari adik Peng !"
sahutnya nyaring. "Hendak aku tanya dia depan berdepan, dia
telah memindahkan cintanya itu apakah itu karena
sukarelanya sendiri atau bukan !"
Wie Lam semakin tidak puas, anak muda itu benar kurang
ajar, demikian anggapannya. Maka ia berkata keras : "Kalau
benar karena sukarelanya bagaimana " Kalau bukannya
bagaimana ?" Mendadak Hong Kun berjingkrak bangun.
"Tua bangka, apakah katamu ?" tanyanya keras. "Kau galak
tak karuan ya " Inilah urusanku tak dapat kau
mencampurinya. Biar pun aku mesti menginjak Lek Tiok Po
rata seperti bumi, mesti aku tanyakan sendiri adik Peng, mesti
aku memperoleh jawabannya."
Dalam panasnya hati anak muda ini menggebrak meja
hingga mangkuk dan sumpit mencelat berhamburan dan arak
bermuncratan. Wie Lam pun gusar, maka dia mencelat bangun.
"Anak bau, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar di
depanku si orang tua " tegurnya.
Hong Kun tidak takut, bahkan dia jadi semakin gusar.
"Marilah kau coba sambut tanganku" katanya tertawa
dingin. Kiu Jie bingung, dia masgul sekali. Bersama kedua
anaknya, dia langsung maju sama.
Thian Liong dan saudaranya tidak campur bicara, walaupun
sebenarnya mereka pun tidak puas. Habis menyapih itu,
mereka mengajak Wie lam pulang ke kamarnya sembari jago
tua itu dibujuki. Hong Kun berduka, hatinya panas, tetap ia tak dapat
makan dan minum, hanya arak ia tengak terlebih banyak,
hingga otaknya makin kacau. Cepat sekali ia terjatuh dibawah
pengaruh tak kesadaran. Suka ia tertawa, suka ia menangis
sendirinya ! Tingkahnya mirip seorang otak miring.
"Kau sudah pusing laote" berkata Kiu Jie yang sendirinya
masgul sebab ia menyesal atas kejadian ini. "Baiklah kau pergi
ke kamar tetamu untuk beristirahat, besok kita bicara pula."
Lantas tuan rumah ini menyuruh seorang kacungnya
memimpin tamunya ini pergi ke kamar tetamu.
Tiba-tiba Hong Kun menggaplok kacung yang
mendekatinya. "Bukannya kau meminta nonamu datang menyambut aku,
kau justru mau mengajak aku pergi!" demikian tegurnya
bengis. Memangnya air kata-kata pun sudah
mempengaruhinya. "Kemana kau hendak membawaku ?"
Kacung itu kaget dan kesakitan. Nyeri gaplokan itu.
"Apakah nonamu itu menyembunyikan diri ?" kata pula
Hong Kun sama kerasanya. "Apakah dia mengira aku tidak
berani pergi loteng mencarinya ?"
Kiu Jie masgul dan bingung. Orang seperti sudah lupa
ingatan. "Duduk laote" ia membujuk. "Anakku si Peng tidak ada di
rumah, dia pergi merantau. Dia bukannya bersembunyi sebab
tidak mau menerimamu... Pergi kau beristirahat, sebentar kita
nanti bicara pula...."
Kemudian tuan rumah ini menyuruh kacungnya lekas
menyediakan sari buah dingin buat dikasihh tetamunya minum
agar tetamunya sintingnya berkurang.
Mau Hong Kun minum sari buah itu, habis itu dia nampak
lebih tenang. Dia duduk diam menarik nafas panjang dan
pendek. Bahkan lewat sesaat lagi dia tidur pulas dan
menggeros. Karena itu satu malam itu Kiu Jiterpaksa
menemani dia beristirahat di dalam ruang besar itu.
Besok paginya Kiu Jie mendusin dengan terkejut. Ia
dibanguni kacungnya yang tergopoh-gopoh mengabarkan
halnya Gak Hong Kun yang sudah "menyerbu" ke loteng Ciat
Yan Lauw tempatnya Giok Peng, bahwa di sana si anak muda
telah merusak pintu, jendela, kursi, meja dan buku serta alat
tulis lainnya. Bahkan Nyonya Kiu Jie tak dapat mencegah anak
muda itu, dari itu tuan tua ini diminta datang untuk mengurus
atau mengekangnya. "Ah.." seru jago tua itu, kaget dan heran. Seketika itu juga
ia lari ke dalam terus ke loteng putrinya. Baru tiba di ruang
dalam, telinganya sudah mendengar suara berisik yang
disebabkan dihajarnya barang-barang perabotan rumah
tangga serta teriakan-teriakan atas bentakan-bentakan dari si
anak muda yang menjadi tamunya itu. Dan kapan dia ada
diatas loteng, lantai sudah penuh barang rongsokan sebab
pecahnya cangkir dan lain-lain dan kursi meja pada bertumpuk
berjumpalitan. Disisi kamar tampak Ban Kim Hong, si nyonya
rumah yang tua, berdiri bengong dengan wajahnya merah
padam sebab dia gusar tanpa dapat berbuat apa-apa.
Bukan main mendongkolnya Kiu Jie, maka dia mengajukan
diri sambil membentak. Hampir dia menyerang kalau tidak
kedua anaknya malang dihadapannya, mencegahnya
menggunakan kekerasan. "Gak Laote, kenapa kau berlaku begini tidak tahu aturan ?"
tegurnya. "Berhenti !"
Belum berhenti suaranya jago tua ini atau mendadak Siauw
Houw memperdengarkan suara tertahan diteruskan dengan
robohnya tubuhnya ! Mulanya dia terhuyung beebrapa tindak,
setelah tak dapat mempertahankan diri, dia roboh dengan
muntah darah ! Thian Liong melompat maju, guna membantu saudara itu.
"Adik, apakah lukamu parah ?" tanya kakak ini.
"Aku terhajar pada bahu kiriku" sahut sang adik, napasnya
memburu. "Aku telah menghadang di depannya paman Tong
buat melindunginya dari serangan Hong Kun.."
Ban Kim Hong, si nyonya rumah, gusar menyaksikan
putranya terluka. Berbareng, ia pun berkuatir dan bersedih
hingga air matanya meleleh keluar tanpa ia merasa. Ia
menggertak gigi dan berkata sengit : "Gak Hong Kun,
nyonyamu hendak mengadu jiwa denganmu !" Dan lantas ia
merogoh sakunya mengeluarkan kim ciam, senjata rahasianya
yang berupa jarum emas untuk menghajar pemuda itu !
"Jangan ibu !" mendadak Thian Liong mencegah sambil ia
menarik tangan ibunya itu. "Tak usah ibu campur, biar ayah
yang mengurusnya sendiri."
Tong Wie Lam si guru silat sekali hingga kumis janggutnya
bagaikan pada bangun berdiri, sambil membentak, dia
menyerang dengan kedua belah tangannya hingga ketika
Hong Kun menyambutnya melayani padanya, berdua mereka
jadi bertarung seru dalam seketika. Hanya, walaupun ia
kesohor ia bukanlah lawan dari si anak muda muridnya It Yap
Tojin yang lihai, baru dua puluh jurus, permainan silatnya
sudah kalah sendirinya. Sia-sia belaka ia menggunakan
pelbagai macam tipu. Ia yang terpaksa mundur setindak demi
setindak, hingga keadaannya menjadi berbahaya....
Pek Kui Jie jujur, dialah seorang yang terhormat, mengenai
jodoh puterinya dengan Kong Kun itu, ia jengah sendirinya,
tetapi sekarang, menyaksikan si anak muda demikian kurang
ajar dan ganas, ia menjadi tidak puas. Tapi ia tetap adalah
seorang jago tua, bagaimanapun ia bergusar masih dapat ia
menguasai dirinya sendiri.
"Hong Kun !" ia berseru, "kau telah turun tangan, kau juga
sudah melukai orang, apakah itu berarti kau menghendaki aku
mengadu jiwa denganmu ?"
"Saudara Pek !" Wie Lam menyela, "jangan sungkan
terhadap binatang ini !"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, belum suaranya berhenti, mendadak jago ini roboh
dikarenakan satu tinju dari si anak muda yang mendesak
membuatnya repot sampai tak sanggup menangkis....
Kini dia terkejut sambil menitahkan orang-orangnya
membantu sahabatnya itu, ia maju menghadang si anak muda
sambil ia membentak : "Gak Hong Kun ! Sebenarnya kau mau
apakah " Kau bilanglah terus terang. Apakah kau sangka aku
orang tua takut padamu ?"
Agaknya otak Hong Kun rada sadar, suaranya tuan rumah
membuatnya dapat berpikir. Lekas-lekas dia memberi hormat.
"Tidak, aku tidak berani" katanya. "Aku yang muda datang
ke loteng untuk mencari adik Peng, guna menanya dia satu
hal. Diluar keinginanku, aku telah bertempur melawan orang
hingga aku sudah melakukan suatu perbuatan yang kurang
hormat. Buat kesalahanku itu, aku minta lopoocu memaafkan
aku !" Kui Jie menunjuk ke lantai dimana berantakan segala
macam perabotan yang rusak disebabkan sepak terjangnya
pemuda itu, ia berkata : "Kau lihat ! Macam apakah itu "
Apakah artinya ini " Anak Peng sudah tidak tinggal di loteng
ini, buat apa kau cari dia " Lek Tiok Po tidak dapat
ketempatan orang tidak tahu aturan semacam kau ini, maka
itu, silahkan kau lakukan perjalananmu !"
Itulah pengusiran ! Hong Kun mengawasi kerusakan dan kekalutan lotengitu,
dia mengoceh seorang diri : "Ah, aku bersalah terhadap adik
Peng... Kenapa aku merusak kamarnya ini."
Lantas dia menjatuhkan diri, duduk numprah, menangis
sambil menutupi mukanya. Menyaksikan lagak orang itu, Kiu Jie mendongkol
berbareng geli di hati. Ia pun merasa berkasihan.
"Telah aku bilang !" katanya suaranya dalam, "bahwa anak
Peng tidak ada disini. Dia pula sudah punya anak ! Mana
dapat urusanmu diperbaiki pula " Maka kau padamkanlah
hatimu !" Hong Kun menangis terus dia sesegukan. "Aku tahu"
sahutnya. "Di jaman ini tak lagi ada harapan buatku hidup
bersama-sama adik Peng tapi ingin bertemu muka dengannya
sendiri untuk aku menanyakan sesuatu. Setelah itu, meski
tubuh ragaku hancur menjadi abu, akan aku rela dan puas !"
Ban Kim Hong melirik anak muda, ia menghela napas.
"Benarkah didalam dunia ada bocah setolol ini ?" tanyanya.
Lalu bersama Thian Liong ia memperpanjang Siauw Hoaw
buat diajak berlalu dari atas Loteng.
Kiu Jie kewalahan. ?"Gak Laote" katanya kemudian, sabar. "Jika memang
mesti kau ingin bertemu dengan anak Peng, nah kau
berdiamlah disini, asal kau terus bersikap tenang, nanti aku
mengirim orang mencari anakku itu supaya dia pulang dan
menemanimu. Kau tunggu saja dengan sabar."
Mendadak Hong Kun berlompat bangun, terus ia menjura
kepada jago tua itu. "Akan aku yang muda mendengar katamu cianpwe"
katanya sabar. "Biar aku berdiam di loteng ini menantikan
kembalinya adik Peng ! Dapat aku mananti sampai sepuluh
tahun sekalipun ! Asal aku bisa bicara dengannya satu kali
saja, segera aku akan berpamitan dan pergi dari sini !"
Demikian si anak muda berdiam di Lek Tiok Po dan Kiu
Jitelah mengirim dua orangnya mencari Giok Peng sampai
kedua pesuruh itu tiba ditempatnya Liok Cim dimana dengan
kebetulan mereka bertemu dengan kedua nona itu begitu
dengan It Hiong. Demikian pula mereka memberikan
penuturannya yang jelas itu. Dia akhirnya pegawai yang
memberi penuturan itu katanya : "Tuan dan Nyonya memesan
agar nona cepat-cepat pulang supaya urusannya si anak muda
gila itu dapat segera dibereskan supaya dia bisa lekas disuruh
pergi !" Habis berkata dua orang itu berdiri hormat disini.
Biar bagaimana Giok Peng merasa terharu mendengar
Hong Kun demikian tergila-gila terhadapnya tetapi perbuatan
orang merusak lotengnya membuat hatinya panas sehingga ia
membungkam sebab tak tahu ia mesti tertawa atau berduka.
Dengan mulut bungkam itu ia mengawasi It Hiong dan Kiauw
In. Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara keras dan
berpengaruh dari tuan rumah.
"Hm !" demikian suaranya Liok Cim yang terang merasa tak
puas atau mendongkol : "Tak kusangka yang Hong San Kiam
kek yang demikian tersohor sudah mengajari seorang muda
yang begitu tak tahu malu !"
"Ketika aku bertemu dia di Lek Tiok Po, aku mendapatkan
dia sebagai yang polos dan gagah" berkata It Hiong,
"karenanya kau menghargai dan menghormatinya. Mengenai
urusan jodoh kita, kita sebenarnya merasa malu hati,
terhadapnya aku simpati, aku merasa berkasihan kepada
nasibnya, aku maka didalam segala hal menghadapi dia aku
senantiasa mengalah, aku berlaku murah hati. Sama sekali tak
tega aku melukai dia, jangan kata membunuhnya. Tapi dia
berbuat hal yang menyebabkan. Di kota raja dia telah
membantu pembesar negeri, dia telah membunuh Ciat-kang
Siang Kitab, itu berarti hutang jiwa. Aku melepaskan dia sebab
aku masih ingat dialah sahabatnya kakak Peng, siapa tahu
sekarang dia menjadi begini kurang ajar, bukannya dia
menyesal dan merubah tingkah lakunya, dia justru mengacau
dan merusak di Ciat yan Lauw ! Kakak Peng, mari aku temani
kau pulang, akan kau bikin darahnya muncrat meluluhan !"
Berkata begitu, wajah anak muda ini merah padam, tanda
dari kegusarannya. Giok Peng bersusah hati mendengar kata-kata orang itu,
airmatanya berlinang-linang.
"Kenapa kau begini bergusar buat urusan sekecil itu, adik
Hiong ?" tanyanya perlahan. "Dalam hal ini, akulah yang harus
disesalkan." Belum habis si nona berbicara, atau ia sudah menangis
sesegukan, kepalanya terus ditunduki.
Kiauw In menghampiri. Ia meraba bahu orang, sedang
tangannya yang lainnya dipakai mengeluarkan sapu
tangannya guna menghapus airmata kawan itu.
"Kau kenapakah, adik Peng ?" katanya halus. "Kau
bersabarlah menghadapi urusan ini, buat apa menuruti hati
dan menjadi begini berduka ?"
It Hiong mencoba mengendalikan kemurkaannya kapan ia
melihat Nona Pek demikian bersedih. Ia terus berkata sambil
tertawa : "Aku sangat bergusar hingga aku terlepasan bicara,
hingga kau bersusah hati, kakak harap kau maafkan aku."
Habis berkata anak muda itu lantas menjura terhadap si nona.
Kiauw In tertawa melihat lagak orang.
"Kau terlalu" katanya. "Ya, kau jadi makin nakal dan tebal
kulit mukamu ! Darimana kau dapat pelajari tingkah polahmu
ini ?" Lekas sekali, hilang sudah kedukaannya Giok Peng
menyaksikan tingkahnya It Hiong itu, maka juga meski
airmatanya belum hilang, ia dapat tersenyum terus tertawa.
Karena jengah, ia membuang muka.
Liok Cim heran menyaksikan gerak gerik muda mudi itu.
Inilah disebabkan ia belum tahu hubungan apa ada diantara
mereka itu, terus ia berdehem.
"Tentang peristiwa di Lek Tiok Po itu" katanya kemudian,
'"aku si tua tak tahu suatu apa, karena itu, harap dimaklumi,
tak dapat aku mencampur bicara, baik kalian mendamaikan
sendiri saja. Perkenankanlah aku mengundurkan diri dahulu..."
Walaupun demikian, tuan rumah tidak lantas bertindak
pergi. Masih ia menambahkan : "Jangan sungkan, anak-anak
dan harap maklum yang perjalanan kami tidak sempurna !
Malam ini baiklah kalian berdiam disini, sebentar sore akan
aku menyambut kalian didalam suatu perjamuan yang
sederhana..." Kali ini dia terus bertindak pergi.
Giok Peng lantas menyuruh kedua orangnya mengundurkan
diri, buat mereka itu beristirahat. Sebenarnya ia hendak
menjawab atau mengatakan sesuatu atas kata-katanya tuan
rumah itu, sayang Liok Cim sudah pergi jauh. Ia mengawasi
punggung orang sampai ia tidak melihatnya lagi. Habis itu ia
berpaling pada It Hiong, matanya dideliki.
"Apakah kau tak malu ?" katanya manja. "Awas kalau lain
kali kau berlaku tebal muka seperti sekarang ini, akan aku beri
ajaran padamu ! Tak nanti kau dapat ampunan !"
Kemudian nona ini berpaling pada Kiauw In.
"Kakak !" katanya "guru kita telah memberikan kau
pertanda yang menugaskan kau dapat mewakilkannya
menjatuhkan dan menjalankan hukuman, sekaranglah tiba
saatnya buat kau keluarkan itu buat kau mengajar adat pada
murid ini !" Dan ia menunjuk It Hiong tetapi dengan wajah
tersungging senyuman. Mendengar hal pertanda itu kim pay It Hiong terkejut. Ia
ingat halnya gurunya selain memberi kimpay kepada Kiauw In
juga ia dibekali dengan diserahkannya sejilid kitab ilmu
pedang beserta tiga buah kim long yaitu surat yang tertutup
hingga itu merupakan surat wasiat. Sekarang kitab ilmu
pedang itu sudah lenyap telah berada ditangannya si imam
tua Hian Ho. Sedangkan kim long yang pertama harus
dibukanya nanti disaat "sepasang rembulan saling
memancarkan diri". Apakah artinya sepasang rembulan saling memancarkan
diri itu " Kata-kata asli itu ialah Siang Goat Kauw Hoi.
Maka ia menjadi berdiri menjublak, otaknya bekerja,
mulutnya berkelemak kelemik, hampir tak terdengar suaranya
yang sangat perlahan. Kiauw In kenal baik adik Hiong itu yang sangat
menghormati gurunya, maka itu si anak muda dapat keliru
mengartikan kata-katanya Giok Peng barusan. Dia mungkin
menerka ia bakal menggunakan kimpay guru mereka itu sebab
kata-katanya si Nona Pek. Maka ia mau melegakan hati orang.
Lebih dahulu ia tertawa baru ia berkata : "Eh, adik Hiong kau
kenapakah " Kau tahu adik Peng bicara main-main saja !
Kenapakah kau menganggap itu sungguh-sungguh ?"
It Hiong melengak lalu ia mengangkat kepalanya.
"Kakak" katanya. "Tahukah kalian apa artinya sepasang
rembulan saling memancarkan diri itu?"
"Eh... kau ini orang aneh" Giok Peng menegur. "Kenapa
disitu saat kulit mukamu tebal atau dilain saat kau menjublak
tidak karuan ?" Kiauw In dengan tampang sungguh-sungguh pun berkata :
"Adik Hiong, kau sebenarnya memikir apa " Cobalah kau
jelaskan !" It Hiong mengawasi kedua nona bergantian, otaknya
bekerja. "Selamanya aku telah memikir mengajak kakak berdua
pulang ke Lek Tiok Po" kata ia, "di sana kita tegur Gak Hong
Kun, kita usir dia pergi, andiakata dia menolak terpaksa kita
harus membikin darahnya muncrat di ujung pedang kita.
Sekarang aku memikir dua hal penting yang aku mesti segera
kerjakan karenanya aku batal turut mengikut pulang ke Lek
Tiok Po. Aku minta kakak Peng maafkan aku..."
"Hal apakah yang kau ingat, adik ?" Kiauw In tanya.
"Tadi kakak Peng menyebut kimpay dari guru kita" sahut si
anak muda, "lantas aku kepada kitab silat yang hilang itu. Aku
menganggap kitab itu perlu lekas dicari dan didapatkan
pulang. Yang lainnya ialah kim long, surat wasiat dari guru
kita itu, terutama yang pertama yang berkatai harus dibuka
disaat sepasang rembulan saling memancarkan diri. Perlu kita
mengerti maksudnya kata-kata yang tersembunyi itu. Itulah
sebab kenapa aku menanyakan kalian, kakak."
"Oh, ya !" Giok Peng seperti orang yang baru ingat. "Guru
kita luar biasa, pesannya pesan tersembunyi, maka tidak
dapat dengan mudah saja kita menerka artinya....?"
"Memang guru kita lihai sekali, tak mudah mengerti
pesannya itu" Kiauw In turut bicara. "Jika kita terka saja,
mungkin kita tidak akan memperolah hasil tentang kimlong
itu,baik kita bicarakan belakangan. Yang penting sekarang
ialah urusan kembali ke Lek Tiok Po serta soal mencari kitab
ilmu pedang kita ! Nah, bagaimana kita harus bekerjanya ?"
"Kakak berdua berpendapat bagaimana ?" It Hiong tanya.
"Aku bersedia mencuci telinga mendengarnya."
Giok Peng tertawa. "Ada-ada saja kau !" katanya manis. "Sampai-sampai mesti
mencuci telinga mendengar ! Bagaimana kau dapat memikir
mengeluarkan kata-kata merdu itu ?"
Kiauw In tersenyum. "Sudah, adik Peng, jangan kau bergurau." kata dia. "Mari
kita berpikir dan bermufakatan ! Bukankah itu jauh terlebih
baik ?" Nona Peng melengak. "Begitu pun baik" sahutnya. "Diantara dua urutan kita, aku
anggap mencari kitab ilmu pedang adalah yang lebih perlu !
Bukankah Hian Ho kabur pulang ke Siang Ceng Koan di Hu
yong ciang, Kiu Kiong San " Entah ada siapa lagi orang jahat
yang bersembunyi di sana. Maka itu kakak, aku pikir, baik
kakak turut adik Hiong pergi menyusul kesana. Tentang Gak
Hong Kun, biar aku yang urus sendiri, aku percaya tidak bakal
terjadi sesuatu yang berupa keonaran."
It Hiong tidak setuju dengan pendapatnya Giok Peng itu. Ia
berkuatir. Ia tahu Hong Kun pandai berakal dan Giok Peng
lemah hatinya, jadi ada kemungkinan kakak ini nanti dilagui
pemuda itu. Itulah berbahaya. Onar bisa terjadi karenanya.
"Aku kurang akur, kakak" bilangnya. "Begini saja, kita pergi
bertiga ke Lek Tiok Po"
Kiauw In cerdas sekali. Ia dapat membaca hatinya. It Hiong
sebenarnya kuatir nanti terbit kelakon baru. Apa kata
seandianya Giok Peng terlibat pula dalam soal asmara lama.
"Baiklah, adik !" ia berkata, "aku setuju dengan
perkataanmu ! Dengan begini kau jadi tak usah kuatir, supaya
hatimu tetap tenang saja...."
Giok Peng melengak. Ia menatap nona Cio.
"Apa katamu kak ?" tegurnya. Ia menyangka ia lagi digodia.
"Apakah kakak berkongsi dengan si dungu ini ?" Dan dengan
sebuah jari tangannya, ia menunjuk It Hiong yang ia terus
tegur, "bagaimana, eh, dengan kau " Kapannya kau belajar
menjadi begini berhati-hati " Bukannya kau urusi perkara
penting, kau justru..."


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir si nona menyahut "urusan perempuan".
"Bukan... bukan begitu kakak !" kata It Hiong lekas. "Aku
hanya menguatirkan nanti kena orang lagui...."
"Sudah, sudah !" Kiauw In datang sama tengah. "Sudah
kita jangan perpanjang pembicaraan kita ini ! Kita turut
pikirannya adik Peng ! Adik Peng sendiri akan pulang ke Lek
Tiok Po dan kita berdua ke Kui Kiong San ! Kalau adik Peng
selesai terlebih dahulu, dia lantas menyusul kita ! Dengan
mengandal kepada kim pay, aku mengambil keputusan ini !"
Menutup kata-katanya itu yang terang dan tegas, Nona Cio
lantas menatap It Hiong. Ia memancarkan sinar matanya yang
jeli. Mendengar demikian, It Hiong tunduk. Ia bungkam.
Giok Peng berkuatir orang berduka. Ia menghampiri
separuh menghibur. Ia berkata, "Kakakmu ini dahulu benar
ada punya urusan dengan Gak Hong Kun tetapi urusan itu
sudah lama habis bagaikan alir mengalir ke timur karenanya
janganlah kau buat kuatir. Aku pun telah menjadi ibu orang,
ibu yang masih harus merawati anaknya ! Mungkinkah aku
masih jadi seperti si pemuda yang gemar berkecimpung dalam
urusan asmara dan hatiku mudah berubah " Nah, kau
tetapkan hatimu !" Ia hening sejenak, untuk segera
menambahkan. "Kakakmu ini hidup dia menjadi hambanya
keluarga Tio, mati dia menjadi setannya keluarga Tio juga ! Di
dalam keadaan bagaimana pun leher kakakmu ini dapat
dipenggal tetapi hatinya tak akan tertunduki. Akan aku
lindungi tubuhku yang putih bersih supaya nanti aku
kembalikan kepada kau adik. Masihkah kau memikir yang
tidak-tidak " Nah, berlakulah tabah !"
It Hiong mengangkat mukanya, sepasang alisnya bangkit
bangun. "Aku tak memikir yang tidak-tidak kakak" katanya. "Tidak
nanti aku membuatmu malu. Cuma, bicara terus terang, orang
she Gak itu sangat licik, dia banyak akalnya, maka dengan kau
pulang seorang diri, kakak aku minta sukalah kau berlaku
dengan sangat berhati-hati !"
Berkata begitu pemuda ini lantas menoleh kepada Kiauw
In. "Baiklah kakak, aku turut pikiranmu !" katanya. "Nah, mari
kita berdua pergi ke Kiu Kiong San !"
Tepat menyusuli kata terakhir dari It Hiong itu, dari luar
ruang besar terdengar suara nyaring, "Pernah aku pergi ke Hu
yong ciang di gunung Kiu Kiong San itu, karenanya dapat atau
tidak jika adikmu yang kecil ini menjadi pengantar untuk
membuka jalan ?" Berbareng dengan terhentinya suara itu, suatu bayangan
orang nampak berkelebat, lantas mereka disitu tambah
dengan seorang Nona Tanpa suara apa-apa lagi !
Dan kapan It Hiong bertiga, yang sedikit terperanjat,
berpaling, maka mereka sama-sama melihat Tan Hong, si
nona manis yang kosen, yang dandanannya singsat-ringkas,
dipunggungnya tertancapkan ruyungnya, ruyung sanho pang
yang istimewa itu ! Giok Peng segera berlompat mundur, tangannya terus
menghunus pedangnya ! It Hiong rada bingung, dia melirik
kakak Peng-nya itu. Adalah Kiauw In, yang dapat berlaku tenang, bahkan ia
pula yang mendahului membuka suara.
"Selama di gunung Siauw Sit San" katanya tawar, "nonamu
sudah berlaku baik sekali terhadapmu, sekarang kau menyusul
kemari, apakah maksudmu ?"
Tan Hong memperlihatkan tampang manis yang
tersunggingkan senyuman ramah tamah.
"Harap Nona Cio tidak keliru mengerti" katanya sabar dan
merdu setelah mana ia bertindak perlahan menghampiri It
Hiong, kembali sembari tersenyum dan melirik ia menyapa :
"Eh, adik Hiong, mengapa terhadap kakakmu ini kau begini
acuh tak acuh ?" It Hiong bingung sekali. Sebelum sempat ia menjawab Giok
Peng sudah berlompat maju dan "Sreett !" pedangnya telah
ditebaskan ke arah nona she Tan itu sembari menyerang itu
iapun membentak : "Kau memanggil adik Hiong tepatkah itu,
budak hina dina " Kau malu atau tidak ?"
Mudah saja Tan Hong berkelit dari tebasan pedang yang
mengancam batang leher yang putih halus. Ia tidak
menghunus pedang atau membalas menyerang. Lagi-lagi ia
tertawa dengan manisnya. "Bukankah kau telah mengalah membiarkan Kakak Kiauw
In biasanya menyebutnya adik Hiong?" kata ia. Kembali dia
tertawa. "Karena itu tidak dapatkah kalau kau pun
membiarkan aku turut memanggilnya adik Hiong juga ?"
Tanpa menanti habisnya kata-kata orang itu, Giok Peng
sudah menikam dengan pedangnya. Ia mendongkol dan panas
hati. Bahkan kali ini ia mengulangi menikam dan menebas
hingga tiga kali ketika serangannya yang kedua ini pun gaya
seperti semula. Karena ia menyerang berulang-ulang sinar
pedangnya sampai berkeributan diantara api lilin diruang
besar itu. Masih selalu Tan Hong mengelak diri, tak ia menangkis
atau hanya menghunus pedangnya. Sebaliknya, ia tetap
tertawa manis, sikapnya sangat ramah tamah.
"Ah, kakak Peng !" katanya agak heran. "Kenapa cuma
sebab aku memanggil adik Hiong kau menjadi begini bergusar
" Tak dapatkah kau bersabar dan menanti sampai aku telah
selesai bicara" Sampai itu waktu akan aku biarkan kau
menebas dan menikam aku sepuasmu !"
Kiauw In segera merasakan sesuatu yang tak biasanya.
Maka ia lantas menyela sama tengah. Kata ia pada nona she
Tan itu : "Diantara kami dan kau keadaan ada seumpama api
dan air sebab jalan kita ialah lurus dan jalan sesat !
Sebenarnya dari pihakmu ada kata-kata apakah yang
maksudnya baik ?" "Kakak Kiauw jangan dengarkan ocehannya !" Giok Peng
kata keras. "Dimana ada orang Hek Keng To yang hatinya baik
?" Walaupun dia berkata demikian, nona Pek sudah
mengembalikan pedangnya kedalam sarungnya. Ia tak lagi
menuruti suara hatinya seperti semula.
Tan Hong berdiri diam. Tiba-tiba ia menangis sebelum
suaranya terdengar, air matanya mendahului meleleh keluar
membasahkan kedua belah pipinya yang putih halus.
"Siapa berasal dari pihak sesat, itu artinya penyesalan
seumur hidupnya" kata ia sesegukan. "Karena itu aku telah
mengambil keputusan buat menukar cara hidupku dahulu hari
itu supaya aku dapat mulai hidup baru tetapi jalan buat
bersahabat dengan kalian itu rupanya sangat sulit lebih sukar
daripada mendaki langit...."
Kiauw In melengak. Lantas ia menunjuki tampang
sungguh-sungguh. Jilid 15 "Nona" katanya, "jika benar kau telah insyaf dan hendak
merubah cara hidupmu untuk membersihkan dan menyayangi
diri sendiri sungguh itu suatu hal yang menggirangkan yang
harus diberi selamat ! Sampai itu waktu siapakah diantara
sahabat-sahabat kaum Kang Ouw yang tak akan
memandangmu dengan pandangan mata yang lain dari pada
umumnya " Cumalah hendak aku memberikan penegasan
kepadamu, apabila kau hanya menggunakan akal muslihat
untuk menipu adik Hiong, itulah harapan yang akan sia-sia
belaka !" Tan Hong masih mengeluarkan air mata dan sesegukan.
"Memang aku ini asal kalangan rendah dan sesat" kata ia
mengakui keadaan dirinya. "Itulah sebabnya, walaupun aku
menaruh hormat dan cinta terhadap Tuan Tio, aku masih
merasa bahwa aku tidak mempunyai rejekinya. Buatku
sekarang ialah tinggal harapan asalkan kalian suka
mengijinkan aku memanggil kakak kepada kalian dan
menyebut adik kepada adik Hiong ! Sebegitu saja, lain tidak !"
Berkata begitu terlihat tegas Tan Hong sangat berduka dan
tak berdaya. "Dimulut kuda tumbuh gigi gajah, itulah yang sukar terlihat
dan terdengar !" ejek Giok Peng keras dan tajam. "Menyesal
dan merubah kelakuan buat menjadi orang baru ! Itulah
bukan kata-kata yang dapat diucapkan belaka ! Nona Tan, jika
kau hendak bersahabat dan bergaul dengan kami, maka itu
akan harus dibuktikan dahulu. Sekarang dan di belakang hari
!" Tan Hong mengeluarkan sapu tangannya akan menepis air
matanya. "Kakak berdua, akan aku perhatikan benar nasihat kalian"
katanya perlahan. "Tetapi datangku malam ini terutama
berhubung dengan kitab ilmu pedang yang hilang dari adik
Hiong. Aku menyesal sekali sebab kitab itu hilang mulanya
disebabkan aku, karenanya aku memikir buat memberikan
tenaganya guna mendapatkan pulang kembali ! Tenagaku
mirip tenaga kapas tetapi hendak aku mencoba menebus
kesalahanku. Aku mau menjadi penunjuk jalan dari perjalanan
kalian ke Huyong ciang, Kiu Kiong San ! Dapatkah ?"
It Hiong yang berdiam sekian lama baru sekarang
membuka mulutnya buat turut bicara.
"Nona Tan, aku bersyukur atas kebaikanmu ini !" demikian
katanya. "Ditangannya Tio It Hiong ada pedang Kang Hong
Kiam panjang maka itu tak aku takuti sekalipun kandang naga
dan gua harimau ! Bagaimanakah bedanya kalau kuil Siang
Ceng Koan dari Hu yong ciang dibandingkan dengan vihara
Kim Hse King dari Ngo Im Hong " Buat kau nona, lebih baik
nona pulang ke Hek Keng To dimana kau dapat mengunci
pintu guna merenungkan segala perbuatanmu yang sudahsudah
!" Tan Hong tertawa sedih. "Baik, adik Hiong !" sahutnya. "Tak perduli kau perlakukan
aku bagaimana juga tetapi hati kakakmu ini telah kuserahkan
kepada kau ! Akan aku dengar kata-katamu ! Jika kau tidak
menghendaki aku pergi ke Kiu Kiong San, baik, akan aku tidak
pergi !" Berkata begitu airmatanya jago betina dari Hek Keng To itu
berjatuhan deras sekali. Giok Peng mengawasi tajam, tak ada sedikitpun jua rasa
terharunya. Bahkan ia masih bersikap keras. Dengan gusarnya
dia membentak : "Tan Hong, kenapa kau tidak mau bicara
dengan kakak In dan aku " Kenapa kau hanya perlihatkan
lagakmu ini pada adik Hiong " Kau cuma membuat supaya
dirimu terlihat disayang orang ! Apakah kau tak kuatir orang
nanti mengejekmu ?" It Hiong berdiam mendengar kata-katanya Giok Peng itu.
Baik terhadap nona ini terutama terhadap Kiauw In tidak mau
ia sembarang bicara. Kedua nona itu berarti banyak baginya.
Tak mau ia menyebabkan mereka salah mengerti. Maka ia
melihat dan mengawasi saja ke atas rumah. Ia bagaikan tak
melihat dan mendengar ketiga nona itu.
Diam-diam Kiauw In berkesan baik terhadap Tan Hong, ia
memang berhati halus dan pandangannya juga jauh hingga
melihat dan mendengar dan mengimbanginya. Ia terharu
kalau ia mencapai orang yang putus asa. Demikian maka ia
bisa menempati diri disisinya Giok Peng yang bertabiat keras
itu, yang sangat membenci perilaku yang dianggapnya sesat
dan buruk itu. Cuma disebabkan ia masih memandang Giok
Peng, terhadap Tan Hong tak mau ia sembarang bertindak
mengiringi suara hatinya. Nona Peng terang terpengaruh
kejelusannya, dia pasti berketetapan : "Disisi pembaringannya,
tak dapat dia mengijinkan lain orang turut pulas menggeros
bersama !" Maka disitu, diantara empat orang itu, ada pikirannya
masing-masing sendiri. Maka, setelah yang satu berdiam,
yang lain membungkam juga. Maka juga, untuk sejenak itu
sunyi senyaplah ruang dimana mereka berada hingga dari
kejauhan terdengar alunan kentongan tanda waktu dari sang
malam... Lewat lagi sekian lama, Kiauw In yang memecah kesunyian.
"Nona Tan, sudah larut malam" katanya perlahan, "silahkan
kau pulang untuk beristirahat. Jika kau dapat
memperbataskan dirimu dan menyayanginya, baiklah, mari
kita menjadi sahabat-sahabat satu dengan lain ! Nah, sampai
bertemu pula !" Tan Hong agak terkejut. Ia sampai memperdengarkan
suara "Oh !" Lantas ia mengawasi tajam Kiauw In, It Hiong
dan Giok Peng, terutama terhadap si pemuda.
"Sampai jumpa pula" katanya selang sesaat, lantas
tubuhnya mencelat keluar ruang dimana dia lenyap didalam
kegelapan dari sang malam !
Giok Peng menghela napas lega seperginya jago betina dari
Hek Keng To itu kemudian dengan perlahan ia menepuk
bahunya It Hiong selagi si anak muda diam menjublak.
"Dia telah pergi !" katanya tertawa. "Buat apa kau masih
berdiam saja, adik Hiong ?"
It Hiong terperanjat karena tepukan ke pundaknya itu. Ia
justru tengah kesengsem memikirkan Tan Hong. Apa dan
anggapan orang lain, ia melihat Tan Hong bersungguhsungguh
terhadapnya. Kecuali berasal dari Hek Keng To, pulau
ikan lodan, nona itu tak ada kecelaannya : muda, cantik dan
manis !" "Apakah kakak ?" tanyanya dalam kagetnya itu.
Giok Peng berdiam. Tapi Kiauw In menghela napas dan
berkata : "Beginilah hidup manusia didalam dunia... Tak dapat
kita memisahkan diri dari kedukaan dan kegirangan, keduanya
mesti berkumpul bersatu padu dan mencar bercerai berai !
Tan Hong harus dikasihhani... Dia bertemu dengan adik Hiong,
lantas ia terjebak dalam lautan asmara, tergugat dalam
gelombang pusar cinta. Guru kita telah berkatai bahwa adik
Hiong sangat terikat kutukan pembunuhan dan asmara.
Memang guru kita itu sangat pandai dan jauh pandangannya,
guru kita mengetahui segala apa jauh di muka...."
"Aa... kakak apakah kata-katamu itu ?" tanya Giok Peng
tertawa. "Apakah bencana asmara adik Hiong itu dapat
diserahkan kepada sang takdir atau nasib " Tidak ! Kita
manusia yang harus membuat dan menetapinya, kita harus
mempunyai kekuatan untuk mengaturnya ! Kalau kakak
menggunakan kimpay untuk mengekangnya, apakah yang
dapat ia perbuat " Dapatkah dia dibiarkan sekehendak hatinya
"..."

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hatinya It Hiong bergetar mendengar suaranya Giok Peng
itu. Ia baru saja ingat halnya selama ia merawat diri di Pek
Sek Touw bersama Tan Hong. Untuk membikin tenang hatinya
si nona terutama Kiauw In, ia lantas berkata, "Kakak untuk
selanjutnya didalam segala hal, akan aku mendengar katakata
kalian berdua. Aku harap aku tidak sampai melakukan
sesuatu yang melawani garis."
Giok Peng mengawasi si adik terus ia menoleh kepada
Kiauw In tangannya dia tarik sembari tertawa dia kata : "Lihat
kakak ! Lihat makin lama dia makin bermuka tebal ! Hanya
kata-katanya makin lama makin sedap didengarnya."
Kiauw In tidak menjawab, ia melainkan tersenyum.
Demikian halus budi Pekertinya.
Kalau toh kemudian ia membuka mulutnya, inilah katakatanya.
"Sekarang sudah bukan siang lagi, mari kita beristirahat...."
Dan ia menarik Nona Pek buat diajak memisahkan diri dari It
Hiong. Malam itu orang menumpang di rumahnya Liok Cim.
Esok paginya baru ayam berkokok, ketiga tamu-tamu ini
sudah bangun dari tidurnya untuk mencuci muka, bersisir dan
berkemas-kemas akan akhirnya berpamitan dari Ba Eng Cung
Liok Cim dan mengajak dua orang Lek Tiok Po berangkat
menuju Kiu Kiong San, gunung mana berada diperbatasan
kedua propinsi Ouwpak dan Kungsy.
Sedangkan Lek Tiok Po pernahnya dialiran bawah sungai
Tiang Kang, di Siang Cui Pa di belakang bukit Siauw Kok San.
Maka juga mereka berlima dapat berjalan bersama-sama
dari Lao sie pang diluar kota kecamatan Lui yang Oawlam,
Giok Peng hendak pulang ke Lek Tiok Po, It Hiong mau pergi
ke Kiu Kiong San dari itu sesampainya di Hongyang Ouwpak,
habis melewati kota itu, mereka berpisah.
Sekarang marilah kita ikuti dahulu Tio It Hiong bersama
nona Cio Kiauw In. Pada suatu hari, tiba mereka sudah di
jalan besar yang terpisahnya dari Kiu Kiong San tinggal kira
lima lie. Disini buat sedetik mereka merunduk ditepi jalan.
Itulah disebabkan mendadak saja mereka melihat seorang
penunggang kuda yang kabur mendatangi, terus melewatinya
sambil dia itu mengawasi si pemuda. Dia bertubuh besar dan
pakaiannya ringkas. It Hiong merasa mengenali orang itu cuma ia tidak lantas
mengingat-ingat. Justru itu penunggang kuda itu telah
kembali dan tiba di depannya, dia menghentikan kudanya
terus dia lompat turun untuk memberi hormat sambil
menyapa, "Tio Sute ! Sejak kita berpisah apakah kau baik-baik
saja " Kau membuat kakakmu bersengsara mencarimu !"
Sute.. itu ialah panggilan buat adik seperguruan.
Mendengar suara orang itu, It Hiong berdiri berendeng
bersama Kiauw In untuk mengawasi orang itu, selekasnya ia
telah melihat tegas, ia nampak tercengang saking girang.
"Whie Suheng !" serunya. "Bagaimana ! Bagaimana kita
dapat bertemu disini " Apakah paman Beng baik-baik saja ?"
Orang itu ialah Whie Hoay Giok. Dia tidak segera menjawab
hanya dia mengeluarkan sapu tangan akan menghapus peluh
serta debu di mukanya. Setelah itu dia nampak lelah sekali,
karena berduka. Dia menghela napas.
"Suhu ?" katanya balik bertanya. "Jiwa suhu sekarang
sedang terancam, bahkan dia mungkin merembet-rembet kau,
sute.. panjang untuk menuturkannya..."
"Suhu" ialah bapak guru.
Hoay Giok berhenti bicara untuk menatap muka orang.
Agaknya sulit dibuatnya berbicara terus. Tentu sekali itu
membingungkan It Hiong. Kiauw In banyak pengalamannya, ia dapat menerka hati
orang. "Adik" kata ia kepada It Hiong, "mari kita pergi ke dusun
itu, ke sebuah warung. Supaya di sana leluasa kau bicara
dengan kakak seperguruanmu ini."
"Bagus ! Bagus !" berseru Hoay Giok sebelum suara si nona
berhenti. "Mari"
It Hiong mengangguk. Maka bertiga mereka berjalan
bersama, Hoay Giok menuntun kudanya.
Hanya sebentar, tiba sudah mereka didusun di depan itu.
Langsung mereka memasuki sebuah rumah makan lantas
mereka memesan barang santapan serta sepoci arak. Syukur
tamu-tamu lainnya hanya dua tiga orang saja.
Habis menenggak secawan anggur, It Hiong mulai bicara.
"Suheng, kenapa kau tiba disini ?" demikian tanyanya. "Ada
tejadi apakah atas diri Paman Beng" Apakah ia kembali
diganggu kawanan kuku garuda itu ?"
Yang dipanggil Paman Beng itu ialah Beng Kauw alias Koa
Eng. "Bukan..." sahut Hoay Giok yang pun habis mengeringkan
cawannnya, "suhu bukan diganggu kawanan garuda hanya ia
terjatuh dibawah pengaruhnya bajingan Jalan Hitam yang
memaksanya untuk berdaya mencari sute yang mereka itu
tantang berkelahi..."
It Hiong terkejut berbareng bersusah hati sampai
meneteskan air matanya. Kata ia seorang diri perlahan :
"Paman Beng adalah tuan penolongku satu-satunya, jika atas
dirinya terjadi sesuatu meski aku pertaruhkan jiwaku mesti
aku menolongnya...." Maka terus ia bertanya, "Suheng, lekas
kau bicara ! Siapakah kawanan bajingan itu " Apakah
sebabnya maka Paman Beng terjatuh dibawah pengaruhnya "
Dan kenapakah aku turut terbawa-bawa ?"
Kembali Hoay Giok menghela nafas.
"Nanti aku tuturkan dari mulanya, adik" sahutnya. "Ketika
itu hari, suhu berpisah dari kau di lembah Pek Hai Kok lantas
suhu tinggal berobat dirumahnya tetua Yan San it Tiauw Ngo
Pak San. Suhu sembuh selewatnya dua bulan. Lantas suhu
mengatakan mau pergi ke Kwan hwa buat suatu urusan guna
memenuhi janji dan aku diperintahkan merantau buat mencari
pengalaman. Berselang setengah tahun, pada suatu hari aku
tiba dikaki gunung Ciong Lam San, dimana secara kebetulan
aku bertemu dengan Ga Tauw Kong murid bukan imam dari
Pauw Pok Toa tiang dari Ceng Shia Pay. Ia tengah mengejar
seorang laki-laki yang cara berdandannya aneh, beda daripada
kita. Dia mempunyai kepala dan mata yang kecil. Aku pegat
dia dan merobohkannya dengan satu totokan jalan darah.
Atas pertanyaan dia mengaku bahwa dialah orang cebol dari
jalan hitam dan habis melakukan pembunuhan dan dia
kepergok Ga Tauw Kong maka dikejar itu. Dia mengaku
sebagai muridnya partai Lo Sat Bun di Ay Luo San. Dialah
yang memberitahukan bahwa guru kita telah terkurung
didalam goanya partai itu."
It Hiong terkejut berbareng heran.
"Kalau suhu pergi ke Kwa gwa kenapa sebaliknya ia
tertawan di Ay Luo San ?" tanyanya.
"Itulah anehnya !" sahut Hoay Giok. "Aku menyangsikan
keterangannya penjahat itu. Kemudian aku pergi mencari
keterangan tetapi aku tidak memperoleh kepastian..."
Hoay Giok menenggak pula araknya guna mencoba
melenyapkan pepat hatinya.
Kiauw In menunda sumpitnya.
"Kenapa saudara Whie tidak pergi langsung ke Ay Lao San
?" tanyanya. "Bukankah itu lebih mudah untuk memperoleh
kepastiannya ?" Hoay Giok menatap si nona.
It Hiong segera berbangkit dan kata, "Maaf suheng, karena
pikiranku kacau, belum sempat aku mengajar kenal kepada
kalian. Inilah kakak Kiauw In, kakak seperguruanku."
Menyebut "kakak seperguruan" itu, It Hiong rada likat,
mukanyapun bersemu merah. Ia merasa tak enak hati sebab
ia tidak bicara terus menjelaskan bahwa si nona adalah
tunangannya. Ia likat. Kiauw In pun tunduk, mukanya pun bersemu merah.
Hoay Giok cerdas, ia dapat menerka tetapi ia tidak
mengatakan apa-apa. "Sebenarnya aku memikir seperti katamu Nona Cio" ia
melanjuti keterangannya. "Telah aku pergi ke Ay Lao San.
Malu buat memberitahukan kalian, aku tidak punya guna, di
sana didalam satu pertempuran aku kena dikalahkan..."
It Hiong melihat muka orang merah jengah.
"Jangan menyesal, kakak" katanya menghibur. "Memang
kepandaian seseorang tidak ada batasnya, seperti gunung
yang satu lebih tinggi dari pada gunung yang lain. Kekalahan
bukan hal yang memalukan. Kakak, siapakah itu yang kakak
tempur dan dia dari partai mana ?"
Lagi-lagi Hoay Giok menarik napas panjang.
"Dialah tongcu, ketua nomor empat dari Lo Sat Bun" ia
mengasi keterangan. "Dia Lou Hong Hai gelar Lap Ciu Koan
Im atau Koan Im galak. Dia lihai sekali. Telah aku melayani
dengan menggunakan seratus dua puluh jurus Lohan Ciang
dan ilmu golok Lohan Kun hoat, selewatnya kira dua jam,
akhir aku kena dirobohkan. Dia telah menggunakan dua rupa
ilmunya yaitu tangan Im Yang Ciang dan Lo Sat Khiekang...."
Lo Sat Bun ialah partai Rakas atau raksasa.
"Toh kakak dapat lolos dan kabur dari gunung itu ?" tanya
It Hiong heran. Hoay Giok minum pula araknya. Ia menepuk meja ketika ia
menjawab adik seperguruannya itu.
"Whie Hoay Giok kalah tetapi dia bukannya si manusia yang
takut mati, yang cuma mau hidup saja !" katanya keras. "Juga
nasib guru kita masih belum diketahui, mana dapat aku
berhenti berdaya dan meninggalkannya pergi " Bahkan aku
memikir buat mengadu jiwa asal suhu dapat ditolongi !"
"Kalau begitu" kata It Hiong, "Karena kau tidak sanggup
melawan wanita kosen itu bukankah kau telah menggunakan
akal " Nah, akal apakah itu ?"
"Kau cerdas adik, kau dapat menerka walaupun belum
seluruhnya !" Hoay Giok memuji. "Bahkan dari mulutnya Lap
Chiu Koan Im aku mendengar halnya Kiu Cie Hai Hoan Keng
Su sudah masuk kedalam partai itu..."
"Keng Su itu sangat jahat" berkata It Hiong. "Semasa
digedung hamba di Hap hui telah aku tebas kutung masingmasih
sebelah lengan dan kakinya maka itu seorang cacat
sebagai dia, masihkah dia dapat melakukan kejahatan ?"
"Sabar adik" berkata Hoay Giok. "Nanti aku memberikan
penjelasanku, setelah itu kita akan pikir bagaimana baiknya
membantu suhu..." It Hiong bersedia mendengari keterangan kakak
seperguruannya itu, maka bersama-sama Kiauw In, ia
memasang telinga. Menurut Hoay Giok, ketika ia sampai digunung Ay Lauw
San, selagi ia mau menyerbu masuk kedalam gua, ia bertemu
dengan Lap Chiu Koan Im Lon Hong Hai, ketua nomor empat
dari Lo Sat Bun, kaum "raksha" itu, maka berduel mereka
lantas bertarung selama hampir dua jam. Ia baru kena
dikalahkan sesudah Lou Hong Hai menggunakan tipu-jurus
silatnya Im Yang Ciang dan Lo Sat Khie Kang. Saking berduka,
ketika itu ia menggigil seluruh tubuhnya. Hampir ia nekad
membuang diri ke jurang. Di saat genting itu, ia ingat
gurunya, maka batal ia berlaku nekad. Hendak ia mencari tahu
dahulu tentang gurunya itu. Karena itu ia tidak menggunakan
kekerasan, ia memikir menggunakan cara halus. Demikian
sesudah melarikan diri, ia kembali ke mulut gua. Di sini ia
berteriak berulang-ulang : "Kiu Cie Hai Hoan Keng Su mari
keluar ! Mari kau menepati janji!"
Lou Hong Hai yang muncul pula. Datang-datang dia
membentak : "Eh, bocah ! Bukannya kau pergi kabur, kau
berkaok-kaok disini ! Apa maumu ?"
"Aku ingin bertemu dengan Keng Su." Hoay Giok bertahan.
Ia tidak perduli yang ia bentak bekas lawannya itu. "Kami
berdua telah berjanji menjelaskan urusan kami. Tolong Lou
Tongcu menyampaikan kabar kepada Ken Su supaya dia
keluar menemui aku. Sukakah tongcu menolong?"
Lou Hong Hai membenci orang berlaku kasar maka itu
mendengar suara halus bekas pecundangnya, suka dia
melayani bicara. Begitulah dia bertanya, "Sebenarnya, siapakah kau " Kau
mempunyai sangkutan apa dengan Kiu Cie Hai Hoan Keng Su
?" Hoay Giok suka berlaku terus terang. Ia menyebut
namanya sendiri serta nama gurunya.
"Ha ha ha !" tertawa tongcu nomor empat itu. "Beng Koa
Eng " Dia sudah kena diperdayakan Keng Su ! Dia telah
dikurung disini !" Panas hatinya Hoay Giok, dia mengertak gigi sebisa-bisa
menahan sabar. Dia tahu, percuma dia berkeras. Sudah
terang dia kalah dari orang she Lou itu.
"Tidak, aku tidak percaya !" kata dia, menggunakan akal.
"Dengan sepasang Thin pit senjatanya yang berupa alat tulis
itu, guruku telah menjagoi di dalam dunia Sungai Telaga,
mustahil dia roboh ditangannya Keng Su " Aku harap Lou
Tongcu tidak bicara secara sembarangan saja !"
Kembali Hong Hai tertawa. Dengan jumawa ia kata, "Tak
usah Keng Su menggerakkan tangannya sendiri buat dia
sudah cukup asal dia mengatur tipu dayanya yang istimewa !"
"Memang gurumu seorang Kang Ouw kawakan dan
tersohor tetapi dia toh roboh mirip seorang bocah hingga dia
terkurung disini. Coba pikir bukankah itu lucu " Ha ha ha ha."
"Lou Tongcu" kata Hoay Giok, "benarkah kata-katamu ini "
Kalau benar dapatkah kau memberi buktinya ?"
"Bocah, kau cerdik !" kata Hong Hai tertawa.
"Baiklah, akan aku mengasi lihat padamu !"
Tongcu nomor empat ini lantas berpaling kepada budaknya
buat mengatakan sesuatu dengan sangat perlahan, atas mana
budak itu segera mengundurkan diri.
Tidak lama maka terdengarlah suara besi beradu dengan
lantai, menyusul itu tampak tibanya seorang yang tubuhnya
besar dan jangkung yang mukanya bengis dan licik.
Dia mengenakan lengan kanan dan kaki kirinya dengan besi
pancangan hingga dia sukar berjalan dengan tindakan kaki
seperti biasa, dia mesti lompat berjingkrakan sekali dengan
sekali atau acul-aculan !
Hoay Giok belum pernah melihat Keng Su, ia mengawasi
dengan bengong kepada orang yang baru muncul itu yang
tampangnya aneh. "Heng Tongcu telah datang !" terdengar suara Lou Hong
Hui. "Nah, bocah ingin aku ketahui kau mempunyai urusan
apa dengannya yang hendak kau bereskan ?"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keng Su sementara itu membawa sikapnya acuh tak acuh.
Dengan suara tawar, ia menyapa Hoay Giok.
"Eh, bocah, apakah kau muridnya Beng Koa Eng ?"
demikian tanyanya. "Apakah orang semacam kau tepat untuk
berurusan dengan musuhnya si orang tua ialah Tio It Hiong si
bangsat kecil muridnya Tio Cio si imam tua bangka ?"
"Oh, bangsat tua she Keng !" membentak Hoay Giok gusar.
"Kau telah memperdaya guruku, kau telah memancingnya
hingga guruku datang kemari masih kau bilang kita berdua
tidak mempunyai urusan ?"
Habis berkata anak muda ini menghunus goloknya seraya
melompat maju. Kiu Cie Hui Hoan tertawa dingin dan menyeramkan.
"Coba tanya pada dirimu sendiri berapa tinggi sudah
kepandaianmu hingga kau sanggup berkelit dari gelang
terbangku ?" kata dia mengejek. "Baiklah jika kau memikir
buat mampus ! Akan aku pakai senjata guru pit besi Tin pai
hong untuk melayani kau beberapa jurus saja !"
Berkata begitu Keng Su menggerakkan tangannya berbalik
maka dilain saat tangannya itu telah tergenggam sepasang
alat tulis dari besi yang dinamakan Bung Ciang pit !
Melihat senjata itu, Hoay Giok ingat kepada senjata
gurunya, yang buat beberapa puluh tahun senantiasa menjadi
genggaman gurunya. Ia menjadi gusar sekali. Ia lantas
menerka mungkin benar gurunya telah orang celakai. Saking
bersedih dan berkuatir, tanpa merasa ia mengeluarkan
airmata. Disitu ia berdiri menjublak.
Kiu Ciu Hui Hoan mengawasi, ia tertawa dingin.
"Eh, bocah buat apa kau menangis ?" ejeknya. "Gurumu
masih belum kehilangan jiwanya." Tak sanggup Hoay Giok
mengendalikan diri lagi. Ia berlompat maju untuk mulai
dengan penyerangannya. Dengan goloknya sebatang ia
menggunakan tipu bacokan, "Sang Badai Menyampok Hujan
Menyamping" membacok pundak orang berwajah bengis itu.
Keng Su melihat golok menyambar ia menanti sampai
senjata itu hampir mengenai sasarannya, ia berlompat berkelit
berbareng dengan mana sebelah pitnya - yang kiri - dipakai
menangkis keatas niatnya untuk membuat senjata lawan itu
terbang pergi. Kedua senjata beradu dengan keras sampi meletiklah
percikan apinya. Hoay GIok mundur tiga tindak, tangan kanannya
bergemetaran sesemutan. Keng Su pun berlompat mundur dengan kaki besinya itu. Ia
merasakan tenaga si "bocah" bukan sembarang tenaga.
Habis itu Hoay Giok maju pula menyerang dengan sebuah
tipu dari golok Lohan To hoat atau lima golok arhat, namanya
Batu Bandel Mengangguk. Keng Su tahu orang bertenaga besar tak sudi ia mengadu
tenaga pula. Ia berkelit kesisi darimana segera ia
memperdengarkan suaranya nyaring : "Aku si orang tua tak
sempat melayani kau main-main, tetapi jika kau ingin
menyelamatkan jiwanya si orang she Beng, kau mesti dengar
kata-kataku !" Mendengar demikian si anak muda tak mendesak lagi.
"Siluman tua she Keng kau hendak bicara apa ?" tegurnya.
"Kau bicaralah !"
Keng Su tertawa seram. "Baik kau ketahui bocah !" katanya. "Aku si orang tua
dengan si bangsat kecil Tio It Hiong itu aku mempunyai
permusuhan hutang darah dan itu harus diberus, diselesaikan,
cuma sekarang ini aku tidak mempunyai waktu luang buat
mencari dia guna membereskannya, karenanya terpaksa aku
menggunakan akal membekuknya. Aku membuatnya menjadi
manusia tanggungan ! Asal si bangsat kecil Tio It Hiong
datang kemari, akan aku segera bebaskan dia !"
Selekasnya Keng Su berhenti bicara terdengar pula suara
besi beradu dengan lantai seperti suara datangnya dia tadi
lantas dilain saat dia sudah tak tampak lagi. Habis bicara itu
dia kembali masuk ke dalam gua, ke dalam sarangnya !
Menutur sampai disitu Hoay Giok mendongkol bukan
kepalang, mukanya menjadi merah padam, ototnya sampaisampai
pada menonjol keluar, mandadak dia menepuk meja
membuat cawan menari berjingkrakan, araknya tumpah,
cawannya hancur di lantai !
Sepasang alis It Hiong juga bangun berdiri, tetapi ia tak
berdiri diam saja. Hanya sesaat kemudian tampak airmatanya
berjatuhan. Inilah karena ia membayangkan bagaimana
penderitaannya Beng Koa Eng di dalam Lo Sat Tong. Gua
Raksa dari Keng su di Ay Lao San, sedangkan ia menyayangi
orang she Beng itu bagaikan ayahnya sendiri. Ia menjadi
bingung, sudah mesti mencari kitab pedang gurunya,
sekarang muncul perkara orang kosen kepada siapa ia
berhutang budi besar. Kalau ia ayal-ayalan mungkin Hian Ho
sempat berlari jauh dan menyembunyikan diri hingga sukar
dicari atau Kao Eng akan terbinasa ditangan musuh. Atau lagi
kalau Hian Ho mendapat cukup waktu ada kemungkinan dia
sempat mempelajari ilmu pedang Sam Cay Kiam itu. Hian Ho
bukan seorang bodoh bahkan pintar dan cerdik ! Dan kalau
dia pandai Sam Cay Kiam itu membahayakan pertemuan di
Tay San pada tanggal lima belas bulan kedelapan nanti !
Dalam bingungnya It Hiong terus menatap Hoay Giok.
Kiauw In mengawasi adik Hiongnya itu. Ia dapat menerka
kesangsian si adik. Mengurus pamannya dahulu atau mencari
kitab ilmu pedang " Ia cerdas lantas saja ia mendapat pikiran.
Maka ia tertawa dan kata, "Adik Hiong, di dalam keadaan
seperti orang harus berlaku tabah ! Bukankah kau kenal
pepatah yang berkata, Tiba berlaksa kesulitan, orang harus
membesarkan nyalinya " Kenapa sekarang kau bersangsi saja
?" Hatinya It Hiong memukul mendengar kata-katanya kakak
In nya. Ia lantas berpaling kepada si kakak dan menghela
nafas. "Aku seorang yang kasar dan kurang pengalaman." kata ia
mengakui. "Kesukaran paman Beng membuatku putus asa. Di
lain pihak aku dibingungkan urusan kitab ilmu pedang kita.
Kitab itu tak kurang pentingnya. Bagaimana aku harus
bertindak " Kakak In tolong kau memberikan petunjuk
padaku...." Ketika itu, Hoay Giok berkata pula. Dia sangat
menguatirkan keselamatannya Kao Eng. Dilain pihak dia belum
tahu artinya Sam Cay Kiam bagi It Hiong bertiga.
"Adik, apakah yang kau sangsikan pula ?" demikian katanya
suaranya nyaring. "Suhu tengah terkurung, dia berada
ditangannya orang-orang jahat dan kejam ! Kawanan bajingan
itu tak mengenal kasihan ! Kita tak akan dapat hidup lebih
lama pula andiakata terjadi sesuatu yang tak dikehendaki atas
diri suhu ! Adik, mari kita pergi dahulu ke Ay Lao San ! Habis
itu baru kita urus yang lainnya !"
It Hiong mengagumi kakak seperguruannya itu, yang
semangatnya tebal. Sendirinya semangatnya terbangun juga.
Maka ia dapat lantas mengambil keputusan.
"Kakak, mari kita pergi ke Ay Lao San !" katanya.
Kiauw In tersenyum melihat sikap orang itu serta
keputusannya sesudah sekian lama si anak muda terbenam
dalam kesangsian. "Kakak Whie dan adik Hiong" demikian katanya sabar, "aku
minta janganlah kalian begini bernapsu. Berlakulah tenang
dan membuatlah kepala kalian dingin. Tak dapatlah kalau kita
memikirkan pula dengan seksama ?"
Darahnya It Hiong dan Hoay Giok bagaikan tenaga
bergejolak, keduanya menoleh mengawasi nona Cio.
Kiauw In tertawa, sikapnya tenang dan wajar.
"Kakak Whie dan adik Hiong, tenanglah" demikian katanya
sabar sekali. "Dalam hal ini kita harus berlaku sabar dan teliti,
harus kita memecahkan persoalan dengan cermat. Tidak ada
faedahnya kita bekerja dengan ragu-ragu..."
Hoay Giok tidak puas. "Nona mempunyai daya apakah ?" tanyanya. "Aku minta
sukalah nona menjelaskannya !"
Kiauw In mengawasi pemuda itu.
"Saudara berdua mau pergi ke Ay Lao San buat membantu
paman Beng. Itulah tugas suci kalian" katanya sabar,
"walaupun demikian, tak usah saudara-saudara tergesa-gesa
sekali. Menurut pandanganku, jiwanya paman Beng tidak
terancam langsung, tidak dalam waktu yang pendek ini.
Bukankah ia tidak bermusuhan besar dengan Keng Su " Kalau
umpamanya Keng Su hendak merampas jiwanya, tak nanti dia
menanti sampai sekarang ini ! Buat apakah dia berlarut-larut "
Musuh Keng Su ialah adik Hiong ! Dia telah kehilangan sebelah
lengan dan kakinya, pasti dia tak lagi dapat bergerak dengan
bebas ! Dengan kelemahannya itu mana dapat dia merantau
mencari adik Hiong " Disebelah itu, masih ada soal ilmu
silatnya. Taruh kata dia telah melatih diri dengan hebat, dia
tetap kurang kepercayaan atas dirinya bahwa ia akan sanggup
mengalahkan adik Hiong. Maka itu, guna menuntut balas, dia
mengharapi bantuannya kaum Lo Sat Bun, terutama hendak
mengandalkan pelbagai alat rahasia partai raksasa itu ! Dia
harus membuat orang bercelaka kalau dia mau berhasil
membuat pembalasan ! Begitulah dia menggunakan akalnya
ini, menawan dan menahan paman Beng kalian itu, membuat
pamanmu itu sebagai manusia tanggungan ! Adik Hiong mau
diumpamakan ikan yang nanti menyebar pancing dan
menelannya. Kalau ikan belum makan pancing, mana mungkin
umpannya dibinasakan terlebih dahulu " Nah, kalian pikirilah,
benar atau tidak pikiran ini..."
Hoay Giok dapat berpikir. Ia melihat alasan si nona tepat.
"Jadi, nona" kata ia sabar, "menurut nona kita pergi dahulu
ke Kui Kiong San ?" Kiauw In mengangguk. "Ya, kita bekerja dengan mengimbangi keadaan" sahutnya.
"Buat bekerja, kita harus pilih mana yang lebih penting dan
mana yang harus didahulukan ! Umpamanya kitab pedang
Sam Cay Kiam. Ilmu pedang itu bisa melukai orang banyak
kalau sampai dapat dipahamkan orang jahat. Bicara tentang
orang banyak, itulah tak ada batas jumlahnya. Waktunya pula
mendesak ! Makin lama kitab berada ditangan orang, makin
banyak kesempatan buat dia mempelajarinya dan makin
banyak kesempatan buat mempelajarinya hingga sempurna !
Bagaimana dia dapat dikekang kalau dia telah menjadi lihai
sekali " Celakalah dunia persilatan yang lurus. Maka itu, perlu
kita pergi dahulu ke Kui Kiong San. Buat pergi ke gunung itu
kita membutuhkan waktu tidak sampai dua hari maka kita
akan tiba di sana dalam waktu yang sesingkat. Sesampai di
vihara Siang Ceng Koan di Hoyong ciang itu kita akan bekerja
secara seksama. Aku harap dengan waktu hanya lima atau
tujuh hari, akan sudah selesai usaha kita ini. Bagaimana
andiakata kita pergi dahulu ke Ay Lao San yang jauhnya enam
atau tujuh ratus lie yang dibutuhkan waktu sepuluh sampai
setengah bulan " Tungkul kita pergi ke Ay Lao San maka ada
kemungkinan Hian Ho telah kabur dan bersembunyi entah
kemana.... Habis kemanakah kita harus mencarinya ?"
It Hiong kagum sekali. Sungguh beralasan kata-katanya
kakak In itu. "Kakak, kita berdua benar-benar bangsa kasar" katanya
pada Hoay Giok. "Mana kita sanggup memikir teliti seperti
kakak In ini " Maka itu sekarang, bagaimana pikiran kakak "
Setujukah kita pergi dahulu ke Kiu Kiong San ?"
Hoay Giok telah mulai tenang diri, maka itu dapat ia lantas
menjawab : "Baik" sahutnya. "Baik kita turut pikirannya kakak
In !" Nona Cio tertawa. "Masih ada satu pikiranku" katanya. "Entah bagaimana
kakak Whie.." "Aku dan saudara Tio ada seumpama saudara kandung"
kata Hoay Giok sungguh-sungguh, "kalau ada sesuatu yang
aku harus kerjakan kalian bilanglah, tidak ada halangannya
buatku !" "Kakak Whie, kenalkah kakak dengan adik Pek Giok Peng ?"
Kiauw In tanya. "Apakah dia Nona Pek Giok Peng yang dikenal sebagai
Siauw Yan Jie si walet mungil dari Lek Tiok Po ?" Hoay Giok
balik bertanya. "Tidak salah !"
"Tentang nona itu aku cuma baru dengar namanya. Belum
ada kesempatanku bertemu dengannya..."
"Eh, kakak In, apakah maksudmu ?" sela It Hiong heran.
"Tidak apa-apa !" sahut si nona tertawa. "Aku cuma
memikir meminta kakak Whie pergi ke Kiu Kiong San guna
mencari tempat penginapan, buat dia menanti tibanya adik
Peng itu. Setelah bertemu, berdua meraka lantas berangkat
menyusul kita, buat mereka memberikan bantuannya. Kita
harus jaga supaya kita tak putus hubungan satu dengan lain !"
It Hiong setuju. Lantas dia memberitahukan Hoay Giok
tentang kakak Peng nya itu yang pulang ke Liok Tiok Po dalam
beberapa hari ini pasti sudah kakak itu akan pergi Kiu Kiong
San, karenanya haruslah mereka ada bersama.
Hoay Giok mengerti akan tugasnya itu, dia menganggukangguk,
bahkan segera saja mengambil selamat berpisah buat
berangkat terlebih dahulu.
Gunung Kiu Kiong San terletak melintang diantara kedua
propinsi Hangsay dan Ouwoak, panjangnya beberapa ratus lie
puncaknya tinggi, ada curamnya, ada lembah-lembahnya yang
sunyi ada pula hutan serta jalan kecilnya yang berliku-liku.
Disitu ada bagian-bagiannya yang tak pernah orang datangi.
Pula kabut biasa bagaikan menutup jalan sebab orang sukar
melihat apa-apa, hingga selekasnya berada di gunung itu
sukar mengenali arah.... It Hiong dan Kiauw In tiba di kaki gunung besoknya tengah
hari. Itulah kaki gunung bagian selatan. Mereka tidak kenal
puncak Hu yong ciang, karenanya mereka mesti tanya pada
pencari kayu. Tapi beberapa orang yang ditanyakan semua
menggeleng kepala. Hal itu menyulitkan mereka. Maka Nona
Cio mesti menggunakan otaknya berpikir : "Kawanan tukang
kayu tak dapat mendaki gunung lebih daripada setengahnya,
tidak heran jika mereka tak kenal Huyong ciang" katanya.
"Aku menerka pada bagian tertinggi atau teratas dari puncak
utama. Maka itu adik, mari kita mendaki terus !"
Berkata begitu tanpa menanti lagi jawaban "Ya", Kiauw In
lantas menarik tangan orang buat diajak berlari-lari naik.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Hiong turut berlari. Bagi mereka itu berdua jalanan sulit tidak menjadi soal.
Dua-dua mereka sudah mahir sekali pelajaran mereka ilmu
ringan tubuh Tangga Mega. Dan mereka berlari terus selama
dua jam diwaktu mana barulah mereka tiba di pinggang
gunung. Di sini mereka lantas melihat kelilingan. Mega dan
kabut membuat mereka tak dapat melihat dengan tegas
bahkan jalanan yang tadi mereka ambil pun seperti
menyelinap hilang. Untuk beristirahat mereka duduk diatas sebuah batu besar,
merekapun sekalian mengisi perut mereka dengan rangsum
kering yang dibekalnya. Sembari makan itu sering mereka
memandang kesekitarnya. Terutama untuk melihat cahaya
matahari yang telah mulai doyong ke barat tanda dari sang
lohor. "Mari, kita maju lagi !" kata si nona kemudian pada
kawannya sembari ia tertawa menandakan kegembiraannya.
"Mari kita lihat ada atau tidak vihara diatas gunung ini. Kalau
tidak kita mencari gua untuk berlindung melewati sang
malam..." It Hiong berdiam nampak dia berpikir.
"Aku berpikir buat kita meneruskan perjalanan di waktu
malam" katanya kemudian.
"Perjalanan malam boleh tetapi ingat inilah hutan dan disini
pasti banyak binatang hanya terutama bangsa ular." berkata si
nona. "Itulah bukannya perjalanan yang tiada bahayanya.
Laginya kita masih belum tahu dimana letaknya Huyong ciang.
Apakah itu bukannya berarti perjalanan sia-sia belaka ?"
Berkata begitu, nona Cio bangkit berdiri, ia melihat pula
kelilingan. Ketika itu angin gunung lagi bertiup-tiup kepada
pepohonan hingga terdengar suaranya sayup-sayup. Kecuali
suara sang angin diantara pepohonan itu seluruh gunung
sunyi sekali. Justru didalam keadaan sunyi senyap itu tiba-tiba
mereka berdua mendengar suara genta samar-samar..."
"Ah !" seru si nona gembira sekali. "Suara itu datang dari
barat daya. Tentu di sana ada vihara atau rumah berhala !"
It Hiong memasang telinga. Masih sempat ia mendengar
alunan genta itu, ketika ia berpaling kepada Kiauw In, ia
melihat wajah kakak itu sangat gembira hingga kecantikannya
mentereng sekali, kulit mukanya merah dadu, ayu dan agung.
Itulah wajah yang mendatangkan kekaguman dan cinta kasih.
Tanpa merasa si anak muda melihat dan melihat lagi tak
hentinya. Kiauw In melihat orang menatapnya demikian rupa tanpa
merasa hatinya berdenyut bukan main ia merasa bunga
hingga mukanya menjadi seperti bertambah dadu.
"Eh, oh, kau kenapa ?" tegurnya. "Memangnya kau belum
pernah melihat mukaku ini ?"
It Hiong bagaikan terasadar dari tidurnya. Ia jengah.
"Tidak" sahutnya likat. Ia kuatir kakak itu gusar. "Hanya
aku lihat kakak pada pipimu yang kiri ada sujannya."
Nona itu bersenyum terus ia tunduk. Ia likat sendirinya !
"Mari !" kata si nona kemudian sesudah ia menarik pemuda
yang tampan itu. "Kau lihat sang maghrib akan segera tiba !"
Dan ia bertindak lebih dahulu.
It Hiong mengebuti bajunya lantas mengikuti. Ia berjalan di
belakang si nona hingga ia melihat satu petakan tubuh yang
ramping sekali. Berdua muda mudi itu berlari-lari ke arah dari mana suara
genta terdengar tadi. Tidak ada yang bicara tetapi mereka
manis sekali. Tanpa banyak lagak tetapi cinta mereka cinta
murni... Mereka berjalan terus sampai tanpa merasa si puteri malam
mulai muncul. Entah berapa puncak dan rimba yang telah
mereka lewati. Tiba-tiba mereka mendengar pula suara genta
seperti tadi. Hal itu sangat menggairahkan hati mereka itu.
Teranglah akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Tiba-tiba
saja semangat mereka mendapat kejutan luar biasa, bukan
main gembiranya mereka. Di depan mereka ada segundukan pepohonan lebat, suara
genta datang dari dalam situ. Kesana mereka maju.
"Dua kali genta berbunyi" kata It Hiong perlahan. "Kakak,
adakah itu pancingan untuk kita atau hanya kebetulan saja ?"
Kiauw In tersenyum. "Mungkin itulah tanda waktu dari penghuni-penghuni
rumah suci itu" sahutnya. "mungkin itu tanda mulai atau
habisnya upacara sembahyang. Bagi kita itulah sangat
kebetulan kita menjadi memperoleh arah kemana kita harus
menuju." Selagi bicara mereka sudah mulai memasuki tempat
pepohonan itu, hutan pohon rimba yang bayangannya
memain diantara cahaya rembulan yang bergeraknya lunak
itu. Tak jauh dari kumpulan pepohonan itu lantas tampak
sebuah jalanan yang terbuat dari batu kolar yang teratur rapi,
yang menanjak naik dan berliku-liku. Di kiri dan kanan masih
merupakan hutan bambu. Habis hutan itu adalah sebidang
tanah terbuka yang bundar lebar yang terkurung dengan
gunung. Ditengah-tengah itu terdapat bangunannya, ialah
sebuah vihara yang tidak terlalu besar yang formasinya
mengandal pada gunung. Dari jauh tampak bangunan merupaka tiga gundukan,
tengah dan kiri dan kanan. Yang kiri dan kanan itu tentulah
tempat kediaman orang para beribadat dari vihara itu.
Dengan berani sepasang muda mudi ini berjalan terus
menginjakkan kaki diantara Pekarangan rumput di depan
vihara. Tembok Pekarangan ini kebetulan pintu kiri terbuat
dari batu hijau. Di atas daun pintu sekali, pada tembokan batu
hijau juga, terlukiskan dengan huruf-huruf besar air emas
namanya vihara itu ialah vihara Kie Lek Hud. Di kiri dan kanan
pintu pada batu hijau juga atau granit, terukirkan gambar dari
pelbagai macam seperti rumput dan bunga, kutu dan ikan.
Daun pintu bercat hitam seluruhnya dan waktu itu sedang
terkunci rapat. Berdiri di hadapan pintu, bayangan muda mudi
itu terpetakan oleh sinarnya si putri malam. Buat sesaat,
mereka berdua berdiri sambil berpikir : mengetuk atau jangan,
untuk menumpang bermalam. Tentu sekali, sambil
menumpang itu, mereka mau mencari tahu jalan untuk pergi
ke Huyong ciang. mereka bersangsi sebab mereka pun mau
mau menerka jangan-jangan vihara ini menjadi vihara
terdepan, atau mata-mata dari kuil Siang Ceng Koan yang
mereka hendak datangi. Kalau terkena hal itu berarti mereka
memasuki gua harimau dan mudahlah mereka nanti dibikin
celaka dalam gelap. It Hiong yang habis sabar.
"Kakak, buat apa kita berdiri menjublak disini ?" katanya
kepada Kiauw In. "Baiklah kita ketuk pintu dan menjelaskan
maksud kita ingin menumpang bermalam. Asal terus kita
berwaspada !" "Aku juga tidak dapat memikir lainnya jalan," sahut si nona.
"Hanya ada satu soal, andia kata vihara ini bukan sarang
penjahat dapatkah mereka mengijinkan orang perempuan
bermalam disini?" "Orang beribadat berhati murah mustahil ada semacam
larangan !" kata It Hiong keras-keras.
Kiauw In tertawa. "Kau lupa adik ! Bagaimana waktu kita bermula kali tiba di
Siauw Lim Sie ?" katanya. "Bukankah waktu itu adik Peng dan
aku dilarang menumpang bahkan dilarang memasuki pendopo
lebarnya ?" It Hiong ingat soal itu, ia jadi berpikir.
"Jika benar ada larangan semacam itu" katanya kemudian,
"baik kita tanya saja jalanan ke Huyong ciang. Memangnya
kita tidak memikir buat menumpang bermalam disini."
Begitu berkata tanpa menanti jawaban si nona, It Hiong
melompat ke depan pintu sekali untuk ia meluncurkan
tangannya kepada gelang pintu yang bermuka binatang, maka
dilain saat berisik sudah suaranya gelang beradu pada daun
pintu berulang-ulang. Setelah itu ia berdiri diam menantikan.
Lewat sekian lama tidak ada orang yang muncul untuk
menegur atau membukakan pintu. Habis suara berisik itu
vihara sunyi seperti semula.
It Hiong jadi tidak puas maka ia membunyikan gelang pintu
itu dengan terlebih keras hingga suara berisik itu mengalun
jauh ke sekitar gunung, memecahkan kesunyian malam itu.
Lewat lagi sekian lama masih kesunyianlah menyambut
ketokan pintu It Hiong itu. Tentu sekali hal ini membuatnya
penasaran hingga hendak ia mengetuk pula sekeras-kerasnya.
Tepat itu waktu, Kiauw In lompat pada si anak muda untuk
mencegahnya. "Kenapa sih tak sabaran begini macam ?" katanya.
"Sudahlah !" Baru berhenti suaranya Kiauw In atau ia dan kawannya
dikejutkan suara tiba-tiba yang terdengar dari arah belakang
mereka. "Para tan wat, selamat pagi !" demikian satu suara sapaan.
"Tan wat" ialah penderma atau pengamal dan oleh para
pendeta bisa digunakan sebagai panggilan umum kepada
orang yang ditemuinya. Muda mudi itu memutar tubuh dengan kaget, tetapi mereka
dapat menenangkan hati. Mereka lantas melihat orang yang
menegurnya, yang mulanya mirip satu bayangan anak kecil.
Ternyata dialah seorang kacung pendeta. Dia menghadapi
muda mudi itu sembari memberi hormat dengan merangkap
kedua tangannya. Berdua mereka lantas memberi hormat.
"Tak usah banyak hormat bapak guru kecil !" berkata si
nona yang terus menyambar lengannya It Hiong buat diajak
turun beberapa undakan tangga.
It Hiong tidak puas maka juga ia kata didalam hatinya,
"Kau pendeta cuma suaramu saja sedap didengar ! Kenapa
kau tidak membuka pintu mengundang kami masuk hanya kau
muncul secara tiba-tiba dengan diam-diam " Lihatlah
bagaimana caranya kau mengundang kami masuk ke dalam.
Ia tidak menjawab undangan itu.
Kacung pendeta itu lantas berkata pula, "Para tanwat,
ketua kami mengundang tanwat masuk kedalam untuk minum
teh !" Kiauw In sebaliknya. Nona cantik yang luwes itu berkata :
"Kami justru lagi minta menumpang barang satu malam !
Tolong bapak guru kecil memimpin kami..."
"Silahkan !" berkata pula kacung pendeta itu seorang
suebie yang terus saja berlompat menaiki tangga hingga ia
berada di muka pintu sekali diwaktu mana dengan satu
gerakan tangannya, ia membuat daun pintu gerbang itu
terbuka terpentang. Ia berdiri disisi pintu sambil
mempersilahkan pula kedua tamunya, "Silahkan masuk !"
It Hiong lantas bertindak masuk diikuti Kiauw In.
Semasuknya dari pintu gerbang itu pendopo pertama yang
It Hiong berdua memasuki adalah Wio To Tian, pendopo Veda
yang gelap dan sunyi. Setelah mereka masuk kedalam, pintu gerbang tertutup
sendirinya. Ketika itu cuma dari belakang pendopo itu tampak sedikit
sinar terang. Maka It Hiong lantas mengeluarkan sumbunya
buat menyalakannya, untuk dengan itu mereka bisa melihat
jalanan. Si kacung pendeta sebaliknya lantas mengeluarkan
sesuatu dari sakunya setelah ia kibaskan itu ditangannya
tampak sebuah lentera mungil. Yang heran walau lentera itu tongloleng- dapat menyala sendiri dan lilinnya dapat memberi
penerangan sejauh dua tombak.
Dengan membawa lenteranya itu si kacung berjalan di
muka. Kata ia sembari berjalan, "Para tanwat datang malammalam
kemari mungkin ada urusan penting yang hendak
dibicarakan dengan ketua kami, bukankah ?"
"Tidak ! tidak ada urusan penting." sahut It Hiong. "Kami
cuma ingin mohon bermalam disini !"
Heran pendeta cilik itu. Dia tertawa.
"Oo, seorang laki-laki sejati, kenapakah bicaranya raguragu
?" Demikian katanya.
Mendengar demikian It Hiong segera berpikir : "Kacung ini
masih sangat muda tetapi dia sudah cerdik sekali !"
Sedangkan terhadap si kacung ia berkata : "Aku berbicara
sejujurnya, tidak aku mendusta, harap bapak guru kecil dapat
maklumkan kami !" Kacung itu tidak bicara pula, dia hanya berjalan cepat
menuju kedalam, ketika toh terdengar suaranya ia berkatakata
seorang diri dengan suaranya yang kurang lancar dan
tegas : "Ilmu sakti Bii Cong dari suhu malam ini mungkin
keliru." Kiauw In melengak mendengar kata-kata orang yang ia
dapat tangkap dengan tegas.
"Bapak guru kecil," tanyanya, "apakah gelaran dari bapak
guru kau itu " Dapatkah kau memberitahu kepada kami ?"
"Mohon tanwat memaafkan aku, tak dapat aku
memberitahukannya" sahut kacung pendeta itu. "Biasanya
orang menyebut saja Lo hwesio, bapak pendeta yang tua,
maka itu silakan tanwat berdua menyebutnya begitu saja."
Ketika itu mereka sudah tiba dihalaman dalam, yang
berupa latar kosong, terus berjalan sampai di muka pintu
tunsit, kamar peranti membuat obat. Di muka pintu sekali si
kacung pendeta berdiri seraya mengangkat tinggi lenteranya,
terus ia berkata dengan nyaring : "Suhu, kedua tamu yang
terhormat sudah sampai !"
Dia memanggil "suhu" bapak guru pada gurunya itu.
"Silahkan undang masuk !" terdengar suara dari dalam,
jawaban yang berupa perintah.
kacung itu menolak daun pintu untuk bertindak masuk. Ia
mempersilahkan kedua tetamunya.
It Hiong dan Kiauw In bertindak masuk ke dalam kamar itu.
Di situ diatas pembaringan tanpa kelambu, mereka lantas
mendapat lihat seorang pendeta tua sedang duduk bersila,
pendeta mana mempunya wajah yang mengasi kesan sangat
baik, yang janggutnya putih panjang sampai di dadanya. Dia
pula nampak agung hingga siapa saja yang melihatnya pasti
muncul rasa hormatnya. Sepasang muda mudi itu bertindak maju untuk memberi
hormat. It Hiong yang berkata : "Aku yang muda Tio It Hiong
dan Cio Kiauw In mengharap kebahagiaan bapak guru !"
Pendeta tua itu tertawa manis.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan pakai banyak aturan, tanwat berdua !" katanya
halus. "Silahkan duduk !" Ia pula mengundang minum teh
yang terus disuguhkan muridnya.
Dengan mengucap terimakasih, It Hiong berdua duduk
disisi si pendeta. Mereka minum teh.
Ketika si anak muda hendak memberitahukan maksud
kedatangannya, pendeta itu mendahului ia dengan berkata :
"Tak usah tanwat menjelaskannya, aku si pendeta tua sudah
ketahui ! Silahkan duduk, nanti aku pikirkan dahulu..."
It Hiong dan Kiauw In saling melirik. Mereka membungkam.
Pendeta tua itu duduk bersila, ia berdiam bagaikan tengah
bersamadhi. Kira sehirupan baru terdengar tawanya, tak
nyaring tetapi sedap didengar telinga. Setelah itu ia membuka
mulutnya. "Tan wat berdua mau pergi ke Hayong ciang, apakah
tanwat sudah ketahui perihal kuil Sang Ceng Koan itu ?"
demikian tanyanya. It Hiong menggeleng kepala.
"Pengalamanku masih sangat sedikit, tentang itu belum
dapat aku memikirkannya." sahutnya terus terang.
"Siapa tahu lawan, dia tahu dirinya sendiri, itulah
menyebabkan orang seratus kali berperang seratus kali
menang !" berkata si pendeta tua. "Tentang pepatah itu
baiklah tanwat perhatikannya dengan seksama. Maafkan jika
aku si pendeta tua banyak mulut. Itulah pelajaran utama bagi
siapa yang hendak memasuki dunia Sungai Telaga. Di dalam
dunia Sungai Telaga terdapat banyak sekali kesesatan dan
kesulitan..." It Hiong berbangkit menjura.
"Aku yang rendah bodoh sekali" katanya hormat,
"pendengaran dan penglihatanku sangat sedikit, maka itu aku
mengharap bapak guru tidak berkeberatan akan memberi
pengajaran atau petunjuk padaku.."
"Aku yang tua sudah mensucikan diri, maka juga telah lima
puluh tahun lebih aku tidak campur lagi urusan dunia
persilatan seumumnya." kata pendeta itu sabar. "Pula kamar
obatku ini juga biasanya tidak menerima kunjungan tamutamu
bukan orang beribadat. Barusan kebetulan aku tengah
melatih ilmu Bii Cong maka tahulah aku tentang tibanya dua
orang murid pandai dari Tek Cio To tiang. Ini berarti bahwa
kalian telah memenuhi panggilan karma atau tanda dari
permulaan dari kutukan pembunuhan kaum persilatan.
Jilid 16 "Semoga kita menerima berkahnya Sang Buddha, supaya
siang-siang kawanan setan nanti menerima bagiannya supaya
dunia rimba persilatan lekas aman sentosa ! Baru saja aku si
pendeta tua selesai membaca doa maka juga aku dapat
menyuruh muridku mengundang tanwat berdua datang kemari
untuk kita beromong-omong."
"Kami datang kemari kami mau mencari dan mendapati
pulang kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam dari guru kami."
Kiauw In turut berkata. "Kami mau pergi ke Huyong ciang
tanpa kami menghiraukan ancaman malapetaka. Entah di kuil
Siang Cung Koan itu ada perangkap apa serta orang lihai
bagaimana...." Jaka Lola 6 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Pendekar Latah 4

Cari Blog Ini