Ceritasilat Novel Online

Imbauan Pendekar 10

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 10


tertawa. Hi Soan mengusap keringat, katanya, "Akan...akan tetapi..."
Mendadak It Kun mendelik, bentaknya, "Hampir tidak pernah kubuka mulut minta sesuatu
kepada siapapun, kau berani bicara keras kepadaku, memangnya kau hanya takut pada Pekbohsin-kun Hu Lopat dan tidak gentar kepada Tui-hong-ciangku?"
Hi Soan tampak mandi keringat, sudah diusap masih terus mengucur, ia menunduk dan
memandangi pedang sendiri, seperti ingin melabrak orang tapi ragu-ragu.
It Kun mendengus, "Konon pedangmu sangat cepat, bahwa kau dapat menjadi pemimpin
lautan selatan, tentu sedikit banyak kau mempunyai kemampuan. Marilah mari, boleh cobacoba
kau tusuk aku satu-dua kali, takkan kusalahkan perbuatanmu."
Hi Soan menggreget, katanya, "Jika demikian terpaksa ku turut saja kehendak It-cinjin."
Sembari bicara pedang lantas menusuk, menghadapi saat gawat yang menyangkut mati
hidupnya dengan sendirinya ia menyerang sepenuh tenaga, terlihat sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu ujung pedang itu menyambar ke tenggorokan It Kun.
Tapi It Kun tetap berdiri di tempatnya dengan tegak seakan-akan menganggap serangan lawan
seperti permainan anak kecil saja.
Diam-diam Hi Soan bergirang, ia pikir bila pedang sudah dekat, jangan harap akan dapat kau
hindarkan. Siapa tahu, pada saat terakhir itu, sekonyong-konyong It Kun mengangkat tangannya, secepat
kilat jarinya menjepit. Betapa cepat gerakan pedang Hi Soan, gerak tangan It Kun ternyata
lebih cepat, hanya dengan dua jari saja batang pedang Hi Soan sudah terjepit.
Keruan Hi Soan terkejut, ia putar mata pedangnya dan bermaksud melukai jari lawan, siapa
tahu jepitan It Kun itu ternyata lebih kuat daripada tanggam, meski Hi Soan sudah
mengerahkan segenap tenaganya pedang tetap tidak dapat bergerak.
Mendadak terdengar It Kun tertawa panjang, tangannya menyendal pelahan dan pedang itu
sudah berpindah ke tangan It Kun, bahkan patah menjadi dua.
377 "Hahaha!" It Kun bergelak tertawa. "Besok lusa barulah tiba hari ulang tahun Hu-lopat,
sedangkan esok pagi sudah tiba hari ulang tahunku kini akupun ketularan penyakit Hu-lopat,
barang siapa tidak mengirim kado padaku akan kubunuh dia. Nah, kado ini akan kau berikan
padaku tidak, katakanlah, terserah kepada keputusanmu!"
Muka Hi Soan tampak pucat seperti mayat, satu kata saja tidak mampu bersuara.
Mendadak seorang menanggapi dengan tertawa, "Esok baru tiba hari ulang tahun Anda,
padahal hari ini juga sudah tiba hari lahirku, kukira lebih dulu kado ini kudu diberikan
padaku." Di tengah gelak tertawanya seorang muncul dari balik batu karang sana dengan tenang,
pakaiannya kotor, tapi tidak kelihatan miskin dan jelek.
Terkejut juga It Kun, selama berpuluh tahun belum pernah ada orang berani bicara demikian
dihadapannya. Sinar matanya menyapu pandang sekejap pada pendatang ini, lalu mendengus
dengan gusar. "Diberikan padamu" Hm, memangnya kau ini orang macam apa?"
"Cayhe Ji Pwe-giok, berjuluk pendekar pedang paling gagah di dunia...."
Belum habis ucapannya, tertawalah it Kun, katanya "Hahahaha, pendekar pedang paling
gagah" Haha, selama hidupku banyak juga melihat orang yang bermuka tebal, tapi belum ada seorang
pun yang melebihi kau."
Hi Soan juga merasa kaget dan geli, cuma tak dapat tertawa.
Sesudah berhadapan baru dirasakan Pwe-giok bahwa perawakan It Kun memang sangat
tegap, meski bungkuk, tetap lebih tinggi satu kepala daripada Pwe-giok, dandanannya juga
nyentrik, bukan pertapa, bukan preman, panjang jubahnya yang mirip jubah kaum Tosu juga
kepalang tanggung, hanya sebatas lutut. Suara tertawanya lantang seperti bunyi genta, nyaring
memekak telinga, jelas tenaga dalamnya juga luar biasa, pantas Hui hi kiam khek yang
malang melintang di lautan selatan juga ketakutan padanya.
Tapi Pwe-giok seperti tidak pandang sebelah mata kepada orang ini, dengan tersenyum ia
berkata, "Serupa Anda, akupun akan marah barang siapa tidak memberi kado padaku."
Suara tertawa It Kun seketika berhenti, dengan mata terbelalak ia pandang Pwe-giok, seperti
selama hidup tidak pernah melihat makhluk seaneh ini. Pandang sejenak barulah ia bergelak
tertawa dan berkata pula, "Hahaha! Bagus, boleh coba kau marah padaku, ingin ku tahu cara
bagaimana kau marah. "Baik," kata Pwe-giok.
Begitu kata "baik" terucapkan, mendadak ujung kakinya mencungkit, pedang patah di tanah
telah diungkitnya ke atas dan disambarnya. "Sret.. serentak ia menusuk ke arah It Kun.
378 Sama sekali Hi Soan tidak menyangka anak muda ini benar-benar berani menyerang It Kun,
dilihatnya tusukan pedang patah itu sangat enteng tak bertenaga, gerakannya juga tidak cepat.
Ia yakin dengan mudah saja It Kun pasti dapat membikin pedang kutung itu terpental.
Siapa tahu, bukannya menangkis, tapi sebaliknya It Kun terdesak mundur dua tiga langkah
oleh tusukan itu, bahkan berkaok-kaok, "Aha, tak tersangka kau anak busuk ini memang
mempunyai sedikit kepandaian."
Hi Soan jadi melengak. masa permainan pedang yang lamban mendapatkan pujian dari It
Kun. Tertampak sinar pedang terus menyambar, meski tidak terlalu cepat, tapi terus menerus dan
tidak terputus, sudah belasan kali Pwe-giok menusuk It Kun tidak melakukan serangan
balasan. Walaupun Hi Soan juga seorang ahli pedang tapi sudah sekian lama ia mengikuti pertarungan
ia merasa tidak melihat sesuatu daya serangan yang lihai pada ilmu pedang Pwe-giok itu,
bahkan jurus apa yang digunakannya juga tidak dikenalnya.
Tapi didengar It Kun memuji terus menerus, "Baik, bagus, anak muda, seperti kau inilah baru
dapat dianggap pemain pedang yang sesungguhnya. Kalau ada manusia lain yang tidak becus,
hanya putar pedang seperti anak kecil juga menandakan dirinya ahli pedang dan menjadi
pimpinan suatu aliran, maka julukanmu sebagai pendekar pedang paling gagah di dunia
memang tidak terlalu berlebihan."
Meski dia tidak tunjuk hidung dan menyebut namanya, tapi siapa yang disindirnya cukup
jelas bagi Hi Soan. Meski dia tidak berani membantah, tapi dalam hati penuh rasa penasaran,
maka berulang ia mendengus.
Ia menyangka dengusannya itu takkan didengar oleh It Kun, tak tahunya mata telinga It-Kun
benar-benar tajam dan luar biasa, sekali lompat mendadak ia mendekat Hi Soan dan bertanya,
"Apa yang kau denguskan" Memangnya kau kira ilmu pedangmu terlebih tinggi
daripadanya?" Hi Soan tidak tahan, ia menjawab, "Cayhe memang tidak tahu dimana letak kehebatan ilmu
pedangnya." "Hm, jika kau dapat melihat dimana letak kebagusan ilmu pedangnya, maka berarti ilmu
pedangnya tidak bagus lagi. Sama halnya seorang pemusik mahir, kalau pendengarnya bukan
seorang peminat seni musik, tentu juga takkan tahu dimana kebagusannya."
Tidak kepalang dongkol Hi Soan, mendadak ia melompat maju, dia jadi lupa bahwa Pwe-giok
berdiri satu garis dengan dia, tapi segera ia melancarkan dua kali pukulan terhadap anak muda
itu. Pwe-giok juga tidak menyangka orang ini berwatak sedongol ini, melihat pukulan yang cukup
dahsyat ini, terpaksa ia putar pedangnya melabrak ke belakang.
379 Dia menebaskan pedangnya sekenanya, akan tetapi bagi Hi Soan terasa sukar ditahan hawa
pedang yang tajam itu sekujur badannya seketika seperti terkurung ditengah hawa pedang,
sukar ditembus dan sulit pula menarik diri.
Beberapa kali dia berganti serangan dan akhirnya dapatlah dia lolos dari kurungan hawa
pedang lawan, tapi tidak urung pundaknya keserempet juga oleh ujung pedang, meski tidak
terluka, namun baju sudah robek.
It Kun bergelak tertawa, katanya, "Nah, sekarang apakah kau tahu dimana letak kebagusan
ilmu pedangnya?" Muka Hi Soan sebentar merah sebentar pucat, mendadak ia memberi hormat kepada Pwe-giok
dan berucap, "Ilmu pedang Anda memang jauh lebih hebat dari padaku, sungguh aku
menyerah kalah" "Hah, boleh juga kau ini, sedikitnya kau masih mau mengaku salah dan menyerah kalah,
"Kata It Kun. "Sebenarnya sudah lama kudengar di dunia Kangouw muncul seorang anak muda yang
bernama sama dengan putera Ji-bengcu, selama tiga bulan saja telah banyak melakukan halhal
yang menggemparkan," kata Hi Soan.
Pwe-giok tersenyum, ucapnya, "Berita dunia Kangouw ternyata cepat juga tersiar."
"Konon ilmu silat Ji-kongcu ini tidak lemah, juga ramah tamah, rendah hati dan prihatin,"
kata Hi Soan pula. It Kun bergelak tertawa, katanya, "Haha, menurut pendapatku, ramah tamah dan prihatin
memang cocok bagi orang lain, tapi tidak sesuai bagimu."
"Oo, maksudmu?" tanya Pwe-giok.
"Habis, seorang kalau berani mengaku sebagai pendekar pedang paling gagah di dunia,
apakah orang ini ramah tamah dan rendah hati?"
"Ya, memang tidak cocok," kata Pwe-giok.
"Nah, meski ilmu pedangmu tidaklah rendah, tapi sekarang masih bukan tandinganku," kata It
Kun pula. "Betul, dalam 300 jurus, meski aku tidak sampai kalah, tapi juga sukar untuk menang," ujar
Pwe-giok. "Tidak bisa menang berarti kalah," kata It Kun.
"Selewatnya 30-0 jurus jelas kau pasti kalah, tapi tampaknya kau ingin bergebrak denganku,
apakah orang demikian terhitung prihatin segala?"
"Setiap orang tentu bisa berubah," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Dan diriku sekarang sudah
bukan diriku yang kemarin."
380 "Kau kan baik-baik saja, kenapa bisa berubah?" tanya It Kun.
Pwe giok berdiam sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan, "Sebab sekarang aku
mendadak menjadi sangat terkenal."
"Manusia takut ternama, babi takut gemuk masakah kau lupa pada kiasan ini" Semakin besar
namamu, semakin banyak orang yang akan mencari perkara padamu dan semakin cepat pula
kematianmu, apa gunanya terkenal?"
Kembali Pwe-giok tertawa, katanya, "Justeru kuharap dicari orang."
It Kun menggeleng kepala, "Turutlah pada nasehatku, lebih baik kau pulang saja dan hidup
aman tenteram dirumah, tidaklah jelek kupandang dirimu, maka tidak ingin ku celakai kau."
"Asalkan kau serahkan kotak besi ini padaku, segera aku akan angkat kaki," kata Pwe-giok.
Gemerdep sinar mata It Kun, tanyanya, "Apakah kau tahu apa isi kotak ini?"
"Tidak tahu," jawab Pwe-giok.
"Habis untuk apa kau minta kotak ini?"
"Tidak untuk apa-apa."
It Kun menjadi melenggong, "Kalau tidak untuk apa-apa, perlu apa pula kau minta?"
"Karena kalian sama menghendakinya, kenapa aku tidak boleh memintanya?" kata Pwe-giok.
Seketika It Kun menarik muka, "Kiranya kau sengaja mencari perkara padaku."
Belum lenyap suaranya, kembali kedua orang saling gebrak lagi.
Sampai di sini, bahkan Hi Soan juga menganggap Pwe-giok tidak waras, malah cukup parah
penyakitnya. Maka ia berharap pertarungan kedua orang akan berakhir dengan sama
menggeletak, maka kotak besi itu dapat dimilikinya lagi.
Dengan sabar ia menonton di samping. Selang cukup lama, ia merasa sinar pedang Pwe-giok
sudah mulai guram, sebaliknya angin pukulan It Kun bertambah dahsyat.
Di bawah ketiak It Kun masih mengempit kotak besi tadi, namun tidak menghalangi gerakgeriknya,
dari sini terbukti bahwa sesungguhnya belum sepenuh tenaga dia melayani Ji Pwegiok.
Sungguh Hi Soan tidak habis mengerti untuk apakah anak muda itu sengaja cari garagara,
bukan mustahil cari mampus malah.
Dilihatnya It Kun sudah hampir dapat mengalahkan Pwe-giok, siapa tahu, pada saat itulah
anak muda itu seperti membisikkan sesuatu pada It Kun, Hi Soan tidak tahu apa yang
dikatakannya, hanya dilihatnya It Kun terus berjumpalitan ke belakang, lalu dipandangnya
Pwe-giok dengan mata terbelalak dan muka pucat, bahkan badan raga gemetar.
381 Lagi-lagi Hi Soan tercengang. Sungguh aneh, mengapa tokoh bungkuk ini mendadak bisa
berubah menjadi begini"
Selang sejenak, dengan suara gemetar It Kun berkata, "Se...sesungguhnya siapa kau"
Dari....darimana kau tahu urusan ini?"
Pwe-giok hanya memandangnya dengan diam, apapun tidak diucapkannya.
Tertampak butiran keringat sebesar kedelai menghiasi dahi It Kun. Sampai sekian lama lagi
barulah dia menghela nafas panjang, lalu berkata, "Sudah 29 tahun, lewat 17 hari lagi
genaplah 29 tahun. Sungguh tak tersangka masih ada orang ingat akan peristiwa ini, masih
ada orang tahu..." "Masakah kau sendiri sudah melupakan peristiwa ini?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Sangat kuharapkan dapat melupakannya, cuma sayang, selamanya sukar melupakannya,"
kata It Kun. "Kalau kau sendiri tidak dapat melupakannya, mana bisa orang lain melupakannya?"
"Akan...akan tetapi urusan ini tidak diketahui oleh siapa-siapa."
"Bila tidak ingin diketahui orang lain, kecuali diri sendiri jangan berbuat, dan bukankah aku
telah mengetahuinya?" ujar Pwe-giok.
"Jangan-jangan kau dan urusan ini ada....ada hubungannya?" tanya It Kun.
"Setiap orang di dunia ini, asalkan berperasaan tentu dia ada hubungannya dengan urusan ini,"
jawab Pwe-giok dengan hambar.
Mendadak It Kun menengadah dan bergumam "Ya, akupun tahu utang ini cepat atau lambat
harus kulunasi." Mendadak ia menghentakkan kakinya ke tanah dan berteriak dengan parau, "Tak perduli siapa
kau aku hanya minta diketahui olehmu bahwa aku It Kun bukanlah manusia yang tidak mau
bayar hutang." "Kedatanganku juga bukan untuk menagih utang, aku cuma menghendaki keinsafanmu dan
memperbaiki kesalahanmu," kata Pwe-giok.
IT Kun bergelak pula, ucapnya, "Jika aku tidak menyesali kesalahanku, begitu kau berani
menyinggung peristiwa itu, tentu sejak tadi sudah kubunuh kau."
Perlahan ia menaruh kotak besi yang dikempitnya itu ke tanah, lalu menghela nafas pula dan
berkata. "Sekali salah langka, menyesal selama hidup....." sampai di sini, mendadak
tangannya menghantam kepala sendiri dan robohlah dia.
"Sekali salah langkah, menyesal selama hidup," Pwe-giok bergumam mengulang kata-kata
itu, mendadak hatinya merasa pedih dan tertekan.
382 Perbuatan salah yang dilakukan seorang dalam sekejap harus ditebus dengan jiwa selama
berpuluh tahun ini, bukankah hal ini rada kurang adil dan rada kejam"
Jika It Kun tidak punya perasaan menyesal, di memang tidak perlu menebus dosanya dengan
membunuh diri. Kalau dia sudah mau menyesal, kenapa kesalahannya tidak dapat diampuni"
Pwe-giok berdiri dengan menunduk kepala, gumamnya, "Apakah salah
tindakanku"...Salahkah tindakanku"...."
Hi Soan terkesima menyaksikan apa yang terjadi itu baru sekarang ia bertanya,
"Sesungguhnya apa yang pernah diperbuatnya?"
Mendadak Pwe-giok mengangkat kepalanya dan menjawab dengan bangis, "Kenapa kau tidak
tanya pada dirimu sendiri telah berbuat salah apa?"
"Aku?" Hi Soan melenggong.
"Demi beberapa potong patung mainan yang tak berarti ini lantas kau bunuh orang, inilah
perbuatanmu yang salah," seru Pwe-giok.
"Kalau tidak kubunuh dia, tentu aku yang akan dibunuhnya, sebab itulah terpaksa kubunuh
dia, yang kuat hidup, yang lemah mati, inilah hukum dunia persilatan," kata Hi Soan.
"Sebagai orang Kangouw, soal mati hidup tidak pernah ku risaukan. Jika kaupun sudah
berkecimpung di dunia Kangouw, pada suatu hari tentu kaupun akan membunuh orang,
kenapa kau pandang mati hidup segawat ini?"
Pwe-giok termenung agak lama, setelah menghela nafas panjang, kemudian berkata,
"Mungkin ucapanmu memang benar, sebagai orang Kangouw, mati atau hidup seharusnya
tidak perlu dipikir lagi, akan tetapi...jika kau tidak takut mati, kenapa kau takut kepada Hupatya
tersebut?" Muka Hi Soan menjadi merah, ucapnya, "Orang yang tidak takut mati, bisa juga....bisa juga
takut pada setan." "Masakah dia itu setan?" tanya Pwe-giok.
"Menurut pandanganku, dia lebih menakutkan daripada setan," kata Hi Soan dengan gegetun.
Lalu sambungnya, "Orang ini she Hu (kaya), maka di belakangnya orang Kangouw suka
bilang dia "kaya tapi tidak mulia", tapi dihadapannya tidak seorang pun berani menyebutkan
poyokannya ini. Pernah satu kali seorang salah omong, baru keluar dari pintu rumah Hupatya,
kontan dia tumpah darah dan roboh binasa...."
"He, dia mempunyai seorang isteri yang dipanggil sebagai Hu-pat-naynay (nyonya besar Hu)
bukan?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Betul, konon Hu-patnaynay ini seorang nyonya yang baik hati dan bijaksana, hidup prihatin
dan bersujud kepada Buddha, selamanya tidak suka kepada bunuh membunuh, sebab itulah
orang yang dibinasakan Hu-patya selalu terjadi setelah meninggalkan pintu rumahnya."
Gemerdep sinar mata Pwe-giok, gumamnya, "Ah, ingatlah aku... akhirnya kuingat juga."
383 "Kau ingat apa?" tanya Hi Soan.
Pwe-giok tidak menjawabnya, ia hanya tertawa dan berkata, "Orang ini cukup menarik,
akupun ingin berkunjung padanya."
"Menarik"....." seru Hi Soan. "O, masakah kau bilang orang ini cukup menarik".... Nanti kalau
sudah berhadapan dengan dia barulah kau tahu dia tidak menarik."
Ketika matanya mengerling kotak besi tadi air mukanya lantas berubah, katanya pula, "Tapi
disini hanya tersedia kado ini, jika...jika kaupun ingin berkunjung kesana...."
"Boleh kau antarkan kadomu dan aku akan pergi menurut keinginanku sendiri," kata Pwegiok.
"Tapi...tapi seorang yang tidak membawa kado, cara....cara bagaimana dapat masuk ke
rumahnya?" ujar Hi Soan.
Kembali Pwe-giok tertawa, katanya. "Aku tidak perlu membawa kado, sebab aku hanya
pengiringmu, seorang Ciangbunjin dengan kado berharga ini, kan pantas jika membawa


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pengiring?" ***** Tempat tinggal Hu patya itu bernama "Ge-sik-wan" atau taman asyik.
Di dunia ini, hartawan yang rakus dan pelit justeru sok menganggap diri sendiri paling hebat,
hidupnya paling senang, maka kediaman "Ge-sik-wan" inipun dibangun serupa kompleks
perumahan orang kaya umumnya, bangunannya sangat kukuh, sangat luas, seperti hendak
didiami oleh beberapa ratus tahun lamanya, ia lupa bahwa hidupnya paling-paling cuma
beberapa puluh tahun, sesudah mati harus ditanam, tanah yang diperlukan paling-paling juga
cuma tujuh kaki. Tapi semua itu tidak ada sesuatu yang istimewa, yang aneh adalah penghuni perumahan ini.
Begitu masuk pintu halaman, segera kelihatan banyak centeng, tempat kediaman kaum
hartawan tentu saja banyak centengnya, hal inipun tidak perlu heran. Yang aneh adalah
centeng ini meski semuanya lelaki dan juga berilmu silat, tapi gaya jalannya kelihatan
berlenggak-lenggok, mirip anak perempuan.
Kedatangan Hi Soan dan Pwe-giok telah disambut oleh dua orang, yang satu tinggi dan yang
lain pendek, yang pendek ini bermuka putih dan berjerawat, yang terus menerus dipandang
justeru Ji Pwe-giok, pandangannya itu lebih mirip anak gadis yang sedang mata dengan
kekasihnya. Memang sudah sering Pwe-giok mendapat main mata dari anak perempuan, tapi lelaki main
mata padanya baru pertama kali ini terjadi. Sungguh tidak kepalang gemas Pwe-giok, ingin
sekali dia mencolok biji mata si pendek ini.
Sedangkan si jangkung berdiri dengan bertolak pinggang dan seperti sedang menegur Hi
Soan. "Siapakah kau ya" Ada keperluan apa ya"
384 Suaranya kecil dan setengah melengking, waktu bicara pinggangnya juga berlenggaklenggok,
kalau mukanya tidak ada akar janggut, mungkin sukar orang membedakan dia ini
lelaki atau perempuan. Hi Soan berdehem, lalu menjawab, "Cayhe Hi Soan dari laut selatan, khusus datang untuk
menyampaikan selamat ulang tahun kepada Hu patya."
Dengan lagak genit si jangkung berseru, "Oo! Kiranya Hi-tayciangbun ya. dan kadonya sudah
kau bawa belum ya?" "Kado sudah tersedia, mohon Koankeh (pengurus rumah tangga) sudi melaporkannya," ucap
Hi Soan. Tiba-tiba si jangkung melirik Pwe-giok dan berkata pula, "Dan siapakah yang ini ya" Untuk
apa pula kemari ya?"
Setiap kalimat ucapannya selalu disertai dengan kata "ya", suaranya ditarik panjang sehingga
membikin tidak enak telinga yang mendengarkannya, sungguh Pwe-giok ingin sekali jotos
merontokkan giginya. Anehnya Hi Soan yang berwatak berangasan itu setiba di sini mendadak berubah menjadi
sabar, sedikitpun tidak berani memperlihatkan rasa kurang senang, dengan tertawa ia
menjawab, "Dia bernama Hi Ji, pengiringku, berharap Koankeh suka banyak memberi
petunjuk padanya." "Kiranya Hi-jiko ya?" kata si jangkung dengan tertawa genit, "Ai, cakap ya" Entah sudah
beristri belum ya?" Mendadak si pendek mendekat dan memegang tangan Pwe-giok, ucapnya dengan terkikik,
"Silahkan Tay-ciangbun masuk dan memberi selamat kepada Patya, Hi-jiko ini boleh tinggal
di sini untuk mengobrol dengan kami."
Tangan si pendek ini terasa basah dan lengket, Pwe-giok merasa seperti disentuh benda cair
seperti riak kental. Hampir saja ia muntah.
Syukurlah pada saat itu juga muncul lagi satu orang yang berseru, "Patya dengar Hitayciangbun
datang, silahkan masuk bersama kado yang dibawa."
Cepat Hi soan menukas, "Baik, baik, segera Cayhe menghadap beliau!"
Segera ia mendahului melangkah ke dalam, setelah naik ke undak-undakan baru menoleh dan
berseru, "Eh, Hi Ji, kenapa tidak lekas bawa kemari kado kita itu."
Maka legalah Pwe-giok akhirnya Hi Soan telah membebaskan dia dari kerumunan si
jangkung dan si pendek. Tampaknya si pendek merasa berat melepaskan tangan Pwe-giok, dia titip pesan pula,
"Sebentar jangan lupa keluar dan mencari diriku ya, namaku si genit!"
385 Tidak kepalang dongkol Pwe-giok, kalau bisa dia ingin menempelengnya beberapa kali, lalu
didepaknya pula. Tanpa menghiraukan segera ia ikut Hi Soan ke ruangan besar sana.
Di tengah pendopo itu sudah berduduk beberapa orang, semuanya kelihatan angker, pakaian
merekapun mentereng, jelas semuanya berkedudukan dan terhormat. Tapi di sini jelas
kelihatan mereka serba salah, duduk tidak tenang, berdiripun tidak enak.
Tepat ditengah ruangan besar itu sudah dipajang tempat duduk kehormatan yang empunya
hajat, dan yang duduk di situ dengan sendirinya ialah Hu-patya dan Hu-pat-naynay. Tuan
rumah yang termasyhur ini ternyata seorang kakek yang berbentuk aneh.
Sebenarnya dia juga punya hidung, punya mata, tidak bungkuk, tidak pincang, telinganya juga
satu di kanan dan satu di kiri, hidungnya juga tidak pesek dan tidak mancung. Cuma, entah
mengapa rasanya tidak sedap dipandang.
Hu-patnaynay, si nyonya rumah, jelas kelihatan seorang nyonya yang anggun, hanya
mukanya terlalu banyak dipoles pupur.
Semakin tua usia seorang perempuan, semakin banyak pula pupur yang diperlukan, ini soal
biasa dan jamak, jika muka perempuan di dunia ini tidak berkeriput dan tidak hitam, maka
pembuat pupur di dunia ini mungkin sudah bangkrut semua.
Setiba di ruangan tengah, meski Hi Soan ingin berlagak sebagai seorang pemimpin, seorang
ketua suatu perguruan, tapi tubuhnya justeru sukar ditegakkan, terpaksa ia membungkuk
tubuh dan menyampaikan hormat kepada tuan rumah, katanya. "Wanpwe Hi Soan dari Lamhay
khusus datang menyampaikan selamat ulang tahun kepada Pat-ya, semoga Pat-ya panjang
umur, banyak rejeki, tambah Hokkhi."
Hu-patya tampak acuh tak acuh, ucapnya, "Wah, bikin repot juga padamu datang dari jauh,
duduk, silahkan duduk."
Ketika Hi Soan menyodorkan kotak besi yang dibawanya, segera wajah Hu-patya bertambah
cerah, apa lagi setelah kotak itu dibuka, senyuman lantas menghias wajahnya. Dia memegang
sebuah patung orang-orangan sepanjang satu kaki lebih, dipandangnya dengan cermat patung
itu, lalu diraba-raba, setelah senyuman bertambah lebar, matapun hampir terpejam, berturutturut
ia mengucapkan belasan kali "bagus, bagus".
Lalu ia tepuk pundak Hi Soan dan berkata, "Bagus bagus sekali. Silahkan duduk, silahkan
duduk ditempat utama. Syukurlah kau dapat menemukan kado sebaik ini untukku, tempat
duduk utama dalam perjamuan ini pastilah bagianmu."
Ucapan ini tidak cuma membuat Hi Soan seakan-akan anak yang mendadak mendapat pujian,
bahkan tetamu lain sama merasa heran dan juga penasaran.
Maklumlah, setiap orang yang menyampaikan selamat ulang tahun kepada Hu-patya tidak
dibedakan tinggi rendahnya kedudukan, juga tidak ditentukan oleh tua mudanya umur, barang
siapa mengantar kado paling berharga, dia yang akan menduduki tempat paling terhormat.
Inilah peraturan yang tidak tertulis, tapi diketahui setiap orang.
386 Meski tempat duduk utama itu tidak akan memberi imbalan apa-apa yang lebih berarti, tapi
orang persilatan paling suka pada kehormatan, asalkan mendapat muka, urusan lain tak
terpikir lagi. Apalagi orang yang bisa menerima kartu undangan Hu-patya pasti bukan orang miskin, yang
hadir ini kalau bukan ketua sesuatu aliran dan golongan terkemuka tentu juga pemimpin
sesuatu perusahaan pengawalan besar dan gembong bandit terkenal, semuanya mencari kado
dengan susah payah, yang diharapkan adalah menggirangkan hati Hu-patya, sekaligus juga
menonjolkan muka sendiri di depan orang banyak.
Jadi kado yang diantar para tetamu ini tiada satupun yang tidak bernilai, semuanya sangat
berharga dan sukar dicari, satu diantaranya mengantar kado 18 biji Ya-beng-cu, mutiara
sebesar gundu yang bercahaya di waktu malam.
Seorang lagi mengantar sebuah Kiu-liong-pwe, cangkir kemala berukir sembilan naga. Pada
waktu mendung, cangkir ini akan berubah menjadi kelam, jika hari cerah, warna cangkir
inipun gemilang. Air yang tertuang ke dalam cangkir akan berubah menjadi arak.
Kedua benda mestika ini sekalipun didalam istana raja juga tidak dapat ditemukan, tapi
sekarang mereka telah digunakan sebagai kado ulang tahun Hu-patya, walaupun terasa berat,
tapi juga bergembira, sebab mereka mengira kado sendiri pasti akan mengalahkan kado orang
lain, bila tersiar, tentu namanya akan semakin menonjol.
Siapa tahu, sekarang Hi Soan hanya memberikan kado beberapa patung orang-orangan dan
benda mestika mereka lantas terkalahkan, padahal mereka tidak tahu dimana letak kebagusan
patung-patung kecil itu. Begitulah semua orang bertanya-tanya di dalam hati, sementara itu perut merekapun
bertambah lapar. Kiranya sudah lama tiba waktunya makan, padahal mereka jauh-jauh datang kemari, minum
saja belum disuguhi, dan kini perut pun sudah lapar, mereka berharap selekasnya tuan rumah
akan menjamunya. Siapa tahu tiada sedikitpun tanda Hu-patya akan membuka perjamuan, sebaliknya ia malah
memejamkan mata, seperti tertidur. padahal perut semua orang sudah berkeroncongan, tapi
siapakah yang berani ribut"
Untung Hu-patnaynay sedikit banyak masih punya perasaan, diam-diam ia memanggil
seorang pesuruh dan berpesan padanya. "Waktu makan Loyacu belum tiba, sedangkan para
tetamu yang datang dari jauh ini tentu sudah lapar, coba tanya ke dapur, adakah makanan
kecil yang enak, boleh keluarkan dulu sekedar untuk ganjal perut para tetamu."
Mendengar ini, hati semua merasa lega, seketika mereka merasa Hu-patnaynay ini dua puluh
tahun lebih muda, makin dipandang makin manis.
Selang tak lama benarlah ada dua orang membawa senampan makanan yang masih panas.
Dipandang dari jauh bentuknya sangat menarik, tapi sesudah dekat baru diketahui bahwa isi
kedua nampan ini adalah ketela rebus.
387 Kalau ketela rebus digolongkan "makanan kecil yang enak", maka segala macam ubi di dunia
ini tentu juga terhitung makanan lezat.
Tampaknya Hu-patnaynay juga merasa rikuh, terpaksa ia berucap, "Meski makanan kecil ini
tidak begitu baik, kuharap kalian sudilah makan seadanya, sebab tidur Patya ini entah
berlangsung hingga kapan, kalau kalian terlambat mengisi perut, bisa masuk angin."
Sudah tentu para tokoh persilatan ini tidak pernah makan ketela rebus, tapi mengingat waktu
perjamuan masih belum ada kepastiannya, maka mau tak mau mereka harus isi perut
seadanya. Diam-diam Pwe-giok merasa geli dan juga mendongkol. Dilihatnya Hu-patnaynay sedang
tertawa, ia menjadi kuatir kalau-kalau labur pada wajah nyonya rumah akan rontok semua.
Kalau labur pada mukanya rontok, entah bagaimana bentuknya, sesungguhnya ia tidak berani
membayangkannya. Untung pupur Hu-patnaynay itu dilabur dengan lapisan lebar itu tidak sampai terkelupas.
Waktu ia pandang para tokoh dunia persilatan itu, biasanya mereka sudah bosan makan ikan
dan daging, tapi sekarang ketela rebus itupun disikatnya dengan lahap.
Sehabis makan ketela, semua orang merasa haus dan terpaksa minum air sebanyaknya,
mendingan tidak minum air, sekali minum air satu-dua mangkuk, seketika perut mereka sama
kembung dan sesak nafas. Banyak orang diantaranya yang cukup encer otaknya dapat memahami maksud tujuan Hupatya,
mereka sengaja dijejali ketela rebus, sebentar kalau santapan lezat disuguhkan, tentu
perut mereka sudah tidak ada tempat luang lagi dan terpaksa harus melotot memandangi tuan
rumah makan sendirian. Karena itulah, beberapa orang yang lebih cerdik itu segera berhenti makan setelah melalap
satu dua biji ketela rebus itu, mereka lebih suka menahan lapar sebentar lagi.
Dugaan mereka ternyata tidak keliru, setelah perut tetamunya kembung, segera Hu-patya
mendusin dan berulang mendesak, "Ayo, siapkan perjamuan! Para tetamu tentu sudah lapar,
kenapa tidak lekas dimulai, tunggu apa lagi?"
Diam-diam beberapa orang yang lebih cerdik tadi merasa geli, mereka menganggap orang
yang terlanjur makan ketela itu orang tolol, sebentar bila perjamuan dimulai, terpaksa orangorang
yang kenyang ketela itu hanya akan menyaksikan orang lain makan minum belaka.
Beberapa orang cerdik ini bertambah gembira ketika diketahui hidangan pertama yang
diantarkan adalah Hay-hong-hi-sit (kepet ikan masak telur kepiting).
Betapa sedapnya masakan ini, tidak perlu makan, cukup memandang warnanya saja sudah
bisa membikin mereka mengiler.
Maka orang yang sudah kenyang ketela tadi menjadi menyesal, yang belum banyak makan
ketela mulai mengedip mata, mereka hanya menunggu komando tuan rumah saja, sekali
diberi aba-aba, kontan Hay-hong-hi-sit itu akan segera diserbu.
388 Bukan cuma hidangannya yang tergolong kelas satu, malah arak yang segera disuguhkan juga
arak simpanan berpuluh tahun. Begitu poci arak ditaruh di atas meja, serentak bau arak yang
merangsang tercium oleh para tetamu.
Maka orang-orang yang terlanjur kenyang ketela tadi merasa gembira pula, mereka pikir
meski tuan rumah yang pelit ini telah menjejal perut mereka dengan ketela, tapi arak enak
tentu dapat minum beberapa cawan lagi.
Terlihat Hu-patya mengangkat poci arak, dan dia mengendus dulu isi poci itu, mendadak ia
berkata dengan serius, "Wah, arak adalah cairan tajam yang dapat merantas usus, minum arak
lebih banyak celaka daripada faedahnya, sedangkan para hadirin adalah tamu undanganku,
jauh-jauh kalian mengantar kado padaku, mana boleh ku bikin susah kalian malah" Tidak
bisa....jelas tidak bisa........"
Segera ia memberi tanda dan berseru, "Ayo, lekas isi cangkir para tetamu dengan sirup, juga
jangan terlalu banyak sirupnya, kalau terlalu banyak makan gula, gigi cepat rusak."
Semua orang saling pandang dengan melongo. Orang yang gemar minum arak tadi sudah
tergelitik ingin membasahi kerongkongannya dengan arak sedap itu, tapi sekarang hampir saja
mereka tumpah darah saking gemasnya.
Sebaliknya Hu-patya lantas menuang cawan sendiri, yang dituangnya adalah arak, lebih dulu
ia mencium bau arak itu, lalu bergumam, "Ehm, alangkah sedapnya arak simpananku ini. Aku
sudah tua, sudah bosan hidup, seumpama mati keracunan arak juga tidak menjadi soal...Eh,
marilah mari, ku suguh dulu satu cawan kepada kalian...Ayo, minum lagi satu cawan!"
Orang yang suka minum arak hanya dapat menyaksikan orang lain minum arak enak,
sedangkan yang diminumnya adalah air sirup, bagaimana rasa dongkolnya tentu dapat
dibayangkan. Setelah beberapa cawan arak masuk perut, wajah Hu-patya tampak cerah, ia tertawa dan
berkata, "Sirup tentu saja jauh lebih enak daripada arak...., Hahaha, mari-mari, silahkan
makan!" Sejak tadi beberapa orang yang lebih cerdik itu memang lagi menunggu "komando" tuan
rumah, maka belum lenyap Hu-patya menarik muka dan membentak, "He, siapa yang
mengantarkan makanan ini" Apakah sengaja bikin celaka orang."
Hati beberapa orang cerdik itu seketika mencelos lagi demi mendengar ucapan yang tidak
beres itu. Seseorang merasa tidak tahan, dengan tersenyum ia tanya. "Memangnya dimana ketidak
beresan hidangan ini?"
"Masa kalian tidak tahu?" ujar Hu-patya.
"Makanan berminyak kurang baik bagi kesehatan, bikin gemuk dan menyumbat pembuluh
darah, lebih-lebih kaum persilatan kita, bila terlalu banyak makan barang berminyak, umpama
tidak bikin perut mules, akibatnya akan membikin gemuk badan. Dan bila badan sudah
gemuk, gerak-gerik tentu tidak leluasa..." ia merandek, lalu menyambung pula, "kalau gerakImbauan
Pendekar > karya Gulong/Khulung > diceritakan oleh Gan K.L. > buyankaba.com 389
gerik kurang leluasa, jika bergebrak dengan orang, sedikit banyak kungfunya pasti akan
berkurang pula. Sedangkan kalian datang dari jauh untuk mengucapkan selamat padaku, bila
terjadi apa-apa setelah makan hidanganku, kan aku yang berdosa kepada kalian."
Dia bicara seperti beralasan, bahkan jujur dan terus terang, malahan seperti sangat bersimpati
terhadap orang lain, meski para tamunya sangat mendongkol, tapi juga tidak dapat
membantah. Karena itulah, Hu-patya lantas mengangkat satu porsi besar Hay-hong-hi-sit itu ke depan
sendiri, katanya dengan menyesal, "Jika yang makan kakek semacam diriku tentu tidak
menjadi soal, sebab aku kan sudah bosan hidup dan hampir masuk liang kubur, apa yang perlu
kutakuti?" Begitulah sambil minum arak dan makan Hi-sit, berulang-ulang ia menyatakan rasa
penyesalannya, "Ai, kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang mau masuk neraka, Demi para
sahabatku, biarpun aku memikul dosa bagi mereka juga pantas. Eh, silahkan kalian minum
sirup, boleh tambah lagi jika kurang."
Semua orang saling pandang dengan melongo dan terbelalak, meski di mulut tidak berani
bicara, tapi didalam hati semua orang hampir mati kaku saking gemas terhadap orang pelit ini.
Baru sekarang Pwe-giok tahu artinya istilah "orang kaya tidak mulia" itu. Sudah banyak juga
dilihatnya orang serakah, iapun tahu orang yang tamak harta tentu pula pelit, tapi orang kaya
pelit semacam Hu-patya ini sungguh ia tidak tahu cara bagaimana lahirnya.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan tertawa, "Sahabat baik
harus ada rejeki dinikmati bersama, ada kesulitan ditanggung bersama, dosa yang kau
tanggung sudah terlalu banyak, biarlah akupun ikut memikulnya sebagian."
Apa yang diucapkan orang ini sama juga apa yang dipikirkan oleh orang banyak, kini orang
ini telah mewakilkan mereka menyatakan isi hatinya, tentu saja mereka merasa senang. Tapi
diam-diam merekapun berkuatir bagi orang ini, bahwa ada orang berani bicara demikian di
hadapan Hu-patya, barang kali orang ini sudah bosan hidup.
Air muka Hu-patya tampak berubah, "brak mendadak ia gabrukkan sumpitnya ke meja dan
mendengus, "Selama hidupku tidak punya sahabat, semua sahabatku sudah lama mati.
Memangnya siapa kau?"
Terdengar orang itu menjawab dengan tertawa "Siaute sengaja datang buat mengucapkan
selamat hari jadinya Hu-patko, belum lagi bertemu muka kenapa Patko sudah menyumpahi
diriku?" Waktu pertama kali dia bicara orang lain merasakan orangnya sudah berada di sekitar situ,
tapi belum kelihatan mukanya, dan sekarang waktu bicara untuk kedua kalinya, semua orang
berbalik merasa dia berada di tempat jauh. Tapi begitu kata terakhir terucapkan, tahu-tahu di
depan pintu sudah muncul sesosok bayangan orang.
Perawakan orang ini sangat tinggi dan kurus, pakaiannya berwarna ungu bukan, hijau bukan,


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelabu pun tidak, ikat pinggangnya berwarna kuning jingga dan terselip sebatang pedang
berbentuk antik. Kepalanya memakai sebuah caping, begitu lebar caping ini sehingga mirip
390 sebuah baskom yang menutupi hampir seluruh mukanya, orang lain tidak dapat melihat
bagaimana bentuk wajahnya, tapi dia dapat melihat orang lain dengan jelas.
Agaknya Hu-patya sudah dapat mengenali pendatang ini, sampai sikap Hu-patnaynay juga
rada berubah, untung mukanya berpupur tebal sehingga perubahan air mukanya sukar dilihat
orang lain. Si jubah hijau berpedang antik ini mendekati Hu-patya dengan langkah berlenggang, katanya
dengan tertawa, "Eh, kenalan lama datang dari jauh, masakah Patko tidak menyilahkan
duduk?" Air muka Hu-patya berubah kelam seperti telapak sepatu, ucapnya, "Ya, duduk, silahkan
duduk." Entah beberapa banyak kata "duduk" yang diucapkannya tapi badannya tidak bergerak
sedikitpun. "Ah, pahamlah aku," kata pula si jubah hijau, "menurut peraturan Patko, untuk mendapatkan
tempat duduk harus memberi kado dulu, orang yang tidak membawa kado bukan saja tidak
disediakan tempat duduk, sebaliknya pantatnya mungkin akan di depak hingga luluh.
Dia tepuk-tepuk bajunya, lalu berkata pula. "Celakanya Siaute justeru lupa membawa kado,
wah, bagaimana baiknya"...Aha, betul, seperti kata orang, sekedar angpau sebagai tanda
hormat, meski kecil nilainya, tapi besar artinya. Betul tidak?"
Ia terus merogoh saku, tapi digagap-gagap, sampai sekian lamanya, akhirnya dikeluarkannya
secarik kertas kumal, entah kertas bekas apa, tapi kertas kumal itu terus disodorkan kepada
Hu-patya, katanya dengan tertawa, "Eh, entah kadoku ini cukup berbobot atau tidak?"
Kini air muka Hi Soan juga berubah kelam, orang mengantar bunga karang sebagai kado saja
akibatnya pulang sampai dirumah terus mati tumpah darah, sekarang orang ini memberikan
secarik kertas kumal dan katanya juga kado, mustahil kalau kepala orang ini tidak
dihancurkan oleh Hu-patya.
Tapi keanehan segera terjadi. Hu-patya justeru manggut-manggut dan berkata. Ya, cukup,
sudah cukup...." "Jika Patko bilang cukup, kan Siaute pantas diberi tempat duduk untuk ikut memikul dosa
bagimu," kata si jubah hijau. Habis berkata, mendadak sebelah tangannya terjulur, kuduk
salah seorang tamu seketika dicengkeramnya.
Padahal tamu itu berjuluk "Poan-cat-san" atau setengah gunduk gunung, dari nama
julukannya dapat dibayangkan betapa besar tubuhnya dan betapa kuat tenaganya, tapi
sekarang kena dicengkeram begitu saja oleh si jubah hijau, mirip elang mencengkeram anak
ayam, menyusul terus dilemparkan ke luar pintu tanpa bisa melawan sedikitpun.
Lalu si jubah hijau terus menempati tempat duduk yang luang itu, dalam sekejap saja sisa
Hay-hong-hi-sit yang baru dimakan sedikit oleh Hu-patya itu telah disikatnya hingga bersih.
Kemudian ia angkat poci arak, seperti ikan paus mengirup air, arak yang mancur dari poci itu
terisap seluruhnya ke dalam perut si jubah hijau.
391 Apa yang diperbuat si jubah hijau telah disaksikan oleh Hu-patya dengan diam saja tanpa
bergerak sedikitpun. Setelah makan dan minum, si jubah hijau mengusap mulut dan menghela napas lega.
"Patko, sudah lama Siaute tidak menanggung dosa sebagus ini, apa bila Patko masih ada dosa
lain, biarlah kuwakilkan sekalian." katanya dengan tertawa.
Maka Hu-patya tampak sebentar pucat sebentar hijau, mendadak ia menggebrak meja dan
berkata, "Hm, percuma kalian mengaku sebagai tokoh dunia Kangouw, masakah melihat
kedatangan Dian toaya kalian tetap duduk saja ditempat tanpa memberi hormat dan mengucap
selamat"!" Semula semua orang mengira sasaran kemarahan Hu-patya itu pastilah si jubah hijau, siapa
tahu justeru orang lain yang dijadikan alat pelampias dongkolnya.
Hanya Pwe-giok saja yang diam-diam merasa geli, ia tahu "si pelit" kembali menggunakan
akal licik untuk melepaskan diri dari "kewajiban, sebab sekali ia sudah marah-marah berarti
telah dihematnya perjamuan selanjutnya.
Sejak semula Hi Soan sudah memperhatikan pedang antik yang dibawa si jubah hijau,
sekarang ia lantas berbangkit dan memberi hormat, seraya berkata "Anda she Dian, entah
adakah hubungan dengan Dian-toaya yang berjuluk Sin-liong-kiam-khek (pendekar pedang
naga sakti) yang termasyhur dari Thian san itu."
Si jubah hijau tidak menjawabnya, tapi perlahan ia menanggalkan capingnya sehingga
kelihatan wajahnya yang kurus pucat, wajah ini kalau dipandang dari jauh akan kelihatan
cakap, tapi bekas luka pedang atau golok pada mukanya yang menakutkan itu.
Serentak Hi Soan menyurut mundur dua langkah demi nampak wajah luar biasa ini. Para tamu
juga sama tergetar dan berbangkit meninggalkan tempat duduknya.
"Ah, kiranya memang betul Dian-locianpwe sendiri," ucap Hi Soan sambil memberi hormat
lagi. "Tidak berani, Cayhe memang betul Dian Liong-cu adanya," kata si jubah hijau dengan
tertawa. Karena tertawa, kulit mukanya yang penuh codet itu bergerak sehingga menambah keseraman
dan misteriusnya dan membikin orang tidak berani lebih lama memandang padanya.
Pwe-giok sudah lama mendengar orang ini adalah salah seorang tokoh terkemuka yang
sederajat dengan Lo-cinjin dan lain-lain, jejaknya sukar dicari dan cara turun tangannya
paling ganas, Pwe-giok sendiri sudah pernah belajar kenal dengan kepandaian muridnya yang
bernama Dian Ce-hun, maka sekarang iapun mencoba mengamati orang beberapa kejap.
Sinar mata Dian Liong-cu menyapu pandang sekeliling ruangan itu, ketika sampai pada wajah
Pwe-giok, ia melototinya dengan senyum tak senyum, tanyanya, "Siapakah nama sahabat
muda ini?" 392 Cepat Hi Soan mendahului menjawab, "Dia bernama Hi Ji pengiringku."
"Oo"!" Dian Liong-cu bersuara heran, "tidak nyana pemuda bertampang segagah ini adalah
pengiring dan anak buah Hi-tayciangbun."
Ia pandang Pwe-giok pula beberapa kejap, lalu sinar matanya beralih ke wajah Hi Soan dan
bertanya, "Konon Bu-lim-pat-bi (delapan cantik dunia persilatan) telah jatuh di tanganmu
entah betul tidak?" Hi Soan menunduk, ucapnya dengan tergagap sambil melirik Hu-patya, "O, tentang ....tentang
ini...." "Ah, tahulah aku," tukas Dian Liong cu sambil tertawa, "Pantas Hu-patko meladeni Anda
sebagai tamu utama, kiranya Anda telah menggunakan Bu-lim-pat-bi sebagai kado."
Semua orang merasa heran, masakah patung orang-orangan tadi disebut "Bu-lim-pat-bi"
segala. Terdengar Dian Liong-cu berkata pula, "Patko, jika kumakan minum di sini tentu akan
membuat Patko seperti disayat-sayat, kalau sekarang aku cuma minta pinjam lihat Bu-lim-patbi,
tentunya kau tidak keberatan bukan?"
Hu-patya hanya diam saja dengan muka kelam.
Mendadak Dian Liong cu menarik muka, katanya, "Aku hanya pinjam lihat saja, toh takkan
membikin si cantik kehilangan secuil daging apapun?"
Muka Hu-patya sebentar pucat sebentar merah, mendadak ia menggebrak meja dan berseru,
"Dian Liong-cu, jangan kau kira aku benar-benar takut padamu, Pek-poh-sin-kun belum tentu
bisa dikalahkan oleh Yu-liong-ciang andalanmu!"
"Dan juga belum tentu bisa menang, begitu bukan?" tukas Dian Liong cu dengan tak acuh.
"Hmk!" Hu patya mendengus.
Dian Liong-cu manggut-manggut dengan tertawa, katanya, "Ya, sudah lama kutahu, kalau
tidak yakin pasti menang, tidak nanti Patko mau berkelahi. Sebab itulah akan lebih baik Patko
perlihatkan saja Bu-lim-pat-bi, aku berjanji takkan mengusiknya."
Hu-patya mengertak gigi, tampaknya masih ragu.
Hu-patnaynay lantas menyela dengan tertawa, "Dian toaya selama bisa pegang janji, apa
halangannya kalau kau perlihatkan kepadanya. Apa lagi para tamu yang hadir tentu juga ingin
tahu dimana letak kebagusan Bu-lim-pat-bi yang termasyhur ini."
Sampai sekian lama pula Hu-patya berpikir, akhirnya ia memberi tanda dan berseru, "Baik,
ambilkan Cui-ci-boan (baskom kristal) dan isi dengan air jernih."
393 Kembali semua orang merasa heran, untuk menonton patung kecil yang disebut Bu-lim-pat-bi
itu, untuk apa disediakan air jernih segala"
Namanya Cui-ci boan atau baskom kristal, dengan sendirinya baskom itu tembus pandang,
besarnya baskom, kira-kira dua kaki, tampak gemerlapan di bawah cahaya lampu sehingga air
didalam baskom juga berkilauan.
Hampir setiap orang yang hadir ini adalah ahli barang antik, begitu melihat baskom kristal ini,
semua lantas tahu inilah sebuah benda antik yang jarang ada bandingannya. Tapi tiada
seorangpun tahu hendak diapakan baskom antik ini oleh tuan rumahnya.
Hu-patya menyuruh baskom itu di taruh di atas meja, lalu berkata dengan perlahan, "selama
30 tahun ini, tidak sedikit muncul tokoh dunia Kangouw yang baru, tidak sedikit pula
pahlawan yang ternama, tapi perempuan maha cantik yang diakui secara resmi oleh dunia
Kangouw, selama 30 tahun ini hanya ada delapan orang. Meski usia dan kedudukan mereka
tidak sama, tapi sejauh ini ke delapan perempuan cantik ini memang benar sangat mempesona
dan membikin orang tergila-gila."
Dia angkat baskom kristal itu, lalu menyambung, "Nah, kado yang diantar Hi-tocu ini adalah
patung daripada ke delapan perempuan cantik tersebut."
Mendengar sampai di sini, semua orang merasa sangat kecewa. Sebab, sekalipun patung
perempuan paling cantik di dunia juga takkan menarik bagi mereka. Patung tetap patung,
sungguh mereka tidak habis mengerti apanya yang menarik hanya sebuah patung benda mati.
Terdengar Hu-patya berkata pula, "Patung-patung ini meski tetap patung belaka, tapi berbeda
daripada patung biasa. Kalau patung lain adalah benda mati, maka patung-patung ini adalah
patung hidup." Sungguh aneh dan sukar dipercaya, masakah ada patung hidup di dunia ini"
Dalam pada itu Hu-patya telah mengeluarkan sebuah patung dan ditaruh di atas meja, lalu
bertanya, "Adakah para hadirin kenal siapa dia?"
Tertampak patung ini memang terukir dengan sangat halus dan indah serupa orang hidup,
sampai rambut dan alisnya juga begitu jelas seolah-olah dapat dihitung, wajahnya terlebih
hidup ukirannya, cantiknya seperti bidadari, pakaiannya justeru berdandan sebagai gadis suku
bangsa Mongol sehingga tampaknya mempunyai gaya tersendiri.
"Apakah nona ini yang terkenal sebagai Say-siang-ki-hoa (bunga aneh di luar perbatasan) si
Ang-boh-tan (si peoni merah)"
"Betul, luas juga pengetahuanmu," jengek Hu-patya.
Dian Liong-cu tersenyum, katanya, "Ang-boh-tan ini adalah isteri kesayangan tokoh utama
Lama besar sekte Mi yang bergelar Ang-hun Lama, konon tidak saja lahiriahnya cantik
molek, juga pembawaannya memiliki daya tarik yang menggiurkan setiap orang yang
memandangnya. Cuma sayang, Ang-hun Lama adalah seorang pencemburu, isterinya ini
disimpan rapat-rapat, orang luar dilarang memandangnya sekejap pun."
394 Air muka Hu-patya tampak senang, katanya "Dan sekarang kita justeru boleh memandangnya
dengan jelas." Sampai akhirnya hanya tertampak tubuhnya yang mulus, si cantik yang telanjang bulat itu
timbul tenggelam didalam air, di bawah cahaya lampu yang berkilauan si cantik seolah-olah
sedang menari. Saking gembiranya Hi-patya berkeplok tertawa, katanya, "Ang-hun menyimpannya sebagai
perempuan pingitan, barang siapa memandangnya sekejap saja akan dilabraknya, tapi
sekarang kita tidak cuma memandangnya sekenyangnya, bahkan boleh mempermainkan dia
sesukanya." Kebanyakan tamu yang hadir sama kesima memandangi si cantik dalam air itu, semua
melongo dan ada yang hampir saja mengiler. Hanya satu dua orang saja yang dapat berpikir
dengan sehat, mereka merasa jiwa Hu-patya pasti kurang beres, tapi kelainan jiwa demikian
rasanya juga menghinggapi kebanyakan lelaki di dunia ini.
Ada pepatah yang mengatakan "hwa-pia-jong-ki" atau menggambar pia (panganan) untuk
menelan lapar, yaitu cerita orang yang kelaparan dan sukar mendapatkan makanan, terpaksa
melukis barang panganan sekedar mengurangi rasa laparnya dengan membayangkan betapa
lezatnya sedang menikmati panganan tersebut.
Dalam hal patung dan lukisan perempuan cantik, hal ini memang banyak mendapat peminat
kaum lelaki tertentu, terutama tidak "mampu". Meski tahu apa yang dilihatnya itu cuma benda
mati, tapi jauh lebih baik aripaa sama sekali tidak ada dan cuma berkhayal belaka.
Begitulah terdengar Dian Liongcu berkata dengan tertawa, "Daripada menari sendirian, kan
lebih menarik jika menari berduaan, kenapa patko tidak mencarikan partner baginya?"
"Eh, usul bagus," ujar Hu-patya. Ia memandang ke dalam kotak, lalu berkata, "Usia Ang-bohtan
sudah tidak sedikit, biarlah kucari seorang muda untuk menari bersama dia."
Lalu mengeluarkan lagi sebuah patung dan dimasukkan ke dalam baskom, katanya dengan
tertawa, "Apakah para hadirin tahu siapakah si cantik nomor satu di daerah Kanglam" Nah,
sekarang juga akan kuhadapkan si cantik nomor satu daerah Kanglam dan si cantik nomor
satu dari daerah perbatasan untuk menari bersama. Kecuali berada ditempatku ini, selama
hidup kalian mungkin tidak ada harapan dapat menyaksikan tontonan menarik ini."
Belum habis ucapannya, air muka Pwe-giok berubah hebat. Ternyata patung kedua yang
dimasukkan ke dalam air itu bukan lain daripada Lim-Tay-ih.
Melihat "Lim-Tay-ih" sedang menari-nari didalam air, mata alisnya seperti orang hidup,
sambil tersenyum dan mengerling seolang-olah sedang menuturkan penderitaannya selama
ini. Pwe-giok tidak tahan lagi, mendadak ia menerjang maju, meja itu terus didepaknya hingga
terjungkir balik. Keruan semua orang terkejut dan juga gusar, beramai-ramai mereka berlari menyingkir,
mereka mengira anak muda ini mungkin sudah gila, makanya mencari kematian sendiri. Air
395 muka Hi Soan juga pucat seperti mayat, kalau Pwe-giok berbuat sesuatu yang membikin
marah tuan rumah, dia sendiri pasti ikut bertanggung jawab.
Hu-patya tampak terkejut juga, sungguh tak tersangka olehnya bocah ini berani main gila di
hadapannya hanya Dian Liong-cu saja tetap tersenyum-senyum menghadapi Pwe-giok yang
mengamuk itu, agaknya dia sudah dapat mengetahui asal-usul anak muda ini.
Setelah melenggong sejenak, bukannya gusar, berbalik Hu-patya lantas tertawa, katanya
sambil mengangguk, "Bagus, bagus sekali! Jika kau sudah bosan hidup, kenapa tidak
kupenuhi kehendakmu?"
Segera ia mendorong minggir meja yang terbalik itu dan membersihkan arak yang muncrat di
atas tubuhnya, lalu selangkah demi selangkah mendekati Pwe-giok.
Mengingat betapa hebatnya Pek-poh-sin-kun tuan rumah itu, sekarang dalam keadaan murka,
betapa dahsyat pukulannya sungguh sukar dibayangkan. Maka semua orang sama menyingkir
agak jauh, mereka kuatir ikut terkena getahnya apa bila berdiri terlalu dekat dengan Pwe-giok.
Hanya Hi Soan saja yang masih punya rasa setia kawan, tampaknya dia ingin membantu Pwegiok
tapi juga ragu-ragu, Dian Liong-cu sempat pula menariknya ke samping.
Orang yang paling tenang adalah Ji Pwe-giok sendiri, Meski rasa gusarnya belum reda, tapi
orang lain tak dapat melihat perasaannya itu. Waktu Hu-patya mendekatinya, ia tidak
memapak maju dan tak menyurut mundur, dia hanya berucap dengan tak acuh, "Kau bukan
tandinganku, akan lebih baik suruh istrimu saja yang maju."
Ucapan ini membikin heran pula semua orang. Padahal Pek-poh-sin-kun tuan rumah
termasyhur di seluruh dunia, justeru tidak pernah terdengar bahwa kungfu Hu-patnaynay
terlebih tinggi daripada suaminya.
Tapi air muka Hu-patya lantas berubah, seperti mendadak pantatnya di depak orang, dia
berseru kaget, "Apa...apa maksudmu?"
"Apa maksudku masakah belum jelas bagimu" Perlu kukatakan lagi?" jawab Pwe-giok
dengan ketus. Hu-patya yang tadinya berlagak seperti paling kuasa di dunia ini sekarang ternyata berdiri
terkesima seperti patung tanpa bisa menjawab. Juga Hu-patnaynay kelihatan serba salah,
meski tidak kelihatan bagaimana perubahan air mukanya, tapi pupur pada mukanya sudah
mulai rontok, seperti labur dinding yang terkelupas karena gempa bumi.
Pwe-giok tertawa, katanya, "Padahal kalian kan tidak benar-benar ingin mendapatkan patung
cantik ini, minat kalian juga tidak terletak pada perempuan, soalnya karena barang ini sudah
diantar kemari, terpaksa kalian menerimanya."
Air muka Hu-patya pucat seperti mayat, ia menyurut mundur setindak, ucapnya dengan suara
serak, "Dari....darimana kau tahu?"
396 Belum lagi Pwe-giok menjawab, mendadak Hu-patnaynay menyerobot maju terus menjotos,
belum lagi kepalannya mengenai sasarannya, angin pukulannya terlebih dulu sudah
menyambar ke dada Pwe-giok.
Siapapun tidak menyangka nyonya rumah yang ramah tamah dan anggun itu memiliki daya
pukulan sedahsyat ini, tampak Pwe-giok berputar dengan cepat sehingga daya pukulan maut
itu terhindar, namun sekali sudah mendahului, segera Hu-patnaynay melancarkan pukulan
lain lagi susul menyusul.
Demikian gencar pukulan lawan sehingga ganti napas saja Pwe-giok tidak sempat, terpaksa ia
main mundur untuk menyelamatkan diri. Pada saat itulah sekonyong-konyong sinar pedang
berkelebat, tahu-tahu Hu-patnaynay menjerit terus melompat mundur, beberapa orang yang
berpandangan tajam sempat melihat dada baju nyonya rumah itu telah tertabas robek hingga
kelihatan dadanya. Anehnya nyonya rumah itu mempunyai dada yang lapang, bahkan bersimbar dada, penuh
tumbuh bulu panjang dan lebat.
"Hahahaha" Dian Liong-cu bergelak tertawa dengan pedang terhunus. "Dugaanku ternyata
tidak keliru, Hu-patnaynay memang benar seorang lelaki."
Baru sekarang para hadirin melenggong.
Tertampak Hu-patya meringkuk di pojok sana dengan malu, sedangkan Hu-patnaynay
berusaha menutupi dadanya dengan baju yang sudah robek itu, keadaannya yang runyam itu
sungguh menggelikan dan juga pantas dikasihani.
Padahal dengan kungfu Hu-patya "suami-isteri" cukup kuat untuk menandingi Dian Liong-cu,
tapi sekarang mereka seolah-olah ayam jago yang sudah keok, bersuara saja tidak berani.
Maklum, bila perbuatan seseorang yang memalukan terbongkar di depan umum, betapapun
hatinya pasti malu dan gugup. Apalagi rahasia mereka ini sudah berjalan selama berpuluh
tahun, yang mengetahui rahasia mereka mestinya ada seorang lagi, cuma sayang orang ini


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah lama mati, sekarang rahasia mereka terbongkar begini saja oleh seorang anak muda
ingusan, sungguh mereka merasa heran dan bingung entah cara bagaimana anak muda ini
mendapat tahu rahasia mereka, karena tidak mengerti tentu juga semakin takut.
Kalau mereka sudah takut, dengan sendirinya orang lain tidak takut lagi kepada mereka,
malahan ada diantaranya segera tertawa mengejek.
Dian Liong-cu juga tertawa dan menyindir, "Haha, pantas di tempatmu ini penuh dipelihara
makhluk-makhluk aneh, semuanya lelaki bukan perempuan tidak, kiranya kalian sendiri inilah
biangnya kawanan siluman ini. Hehe, kalau lelaki berniat memperistri lelaki, hal ini benarbenar
berita aneh yang jarang terdengar di dunia."
Mendadak seorang menanggapi, "Kalau dia suka memperistri seorang lelaki, ini kan urusan
pribadinya. Seumpama dia suka memperistri seekor monyet, hal ini pun haknya, asalkan dia
sudah memaksamu menjadi isterinya, kan sudah, berdasarkan apa kau ikut campur
urusannya"!" 397 Berbareng dengan ucapan itu, seorang telah masuk ke ruangan besar itu dengan langkah
berlenggang. Orang ini berbicara dengan suara lemah, seperti orang yang sudah beberapa hari tidak makan
nasi, tapi cara berjalannya justeru seperti tuan besar. Cuma sayang mukanya kelihatan kurus
kering, kulit badannya kendur semua, mirip balon yang gembos, Bahan bajunya berkualitas
tinggi, yang longgar, cukup untuk mengisi tiga sosok tubuhnya. Orang pakai baju selonggar
ini mustahil takkan dituduh sebagai baju hasil mencuri.
Orang yang berani bicara kasar dengan sin-liong-kiam-khek Dian Liong cu boleh dikatakan
sangat sedikit di dunia ini, semula orang mengira pendatang ini pasti seorang tokoh besar
yang hebat, karena itu semuanya ikut kebat-kebit dan berdebar-debar.
Siapa tahu yang muncul adalah seorang berbaju kedodoran, kulit badannya juga kedodoran,
tampaknya sekali pukul saja pasti akan mencelat.
Tentu saja Dian Liong-cu mendongkol dan juga geli, tapi dia tidak berani mengumbar rasa
marahnya, sebaliknya ia menyapa dengan tertawa, "Wah, tampaknya Anda ini juga
beristerikan seorang lelaki, sebab kalau melihat tampang Anda, mungkin tiada perempuan di
dunia ini yang sudi menjadi istrimu."
Ucapan ini membikin para hadirin tertawa geli.
Tapi makhluk aneh ini sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apa-apa, maklumlah, kulit
mukanya terlalu kendur, seumpama kulit dagingnya bergerak, kulit yang kedodoran itu tentu
takkan ikut bergerak. Terdengar dia bergelak tertawa lalu berseru, "Seumpama aku beristerikan seorang lelaki kan
juga tiada sangkut-pautnya dengan kau, bukan?"
Kalau orang lain tertawa di kulit, maka dia tertawa di daging dan kulitnya tidak tertawa,
meski keras suara tertawanya, tapi wajahnya tetap lesu dan lemas, seakan-akan orang yang
tertawa itu bukan dia, suara tertawanya seperti timbul dari suatu tempat yang lucu dan aneh.
Semula semua orang merasa orang ini sangat lucu, tapi sekarang berbalik terasa rada
menakutkan. Dian Liong-cu berdehem beberapa kali, lalu berkata, "Kalau lelaki beristerikan lelaki, lalu
harus dikemanakan orang perempuan" Jadi urusan ini aku kudu campur?"
"O, jadi kau pasti akan ikut campur," tanya orang itu.
"Betul, aku pasti ikut campur." jawab Dian Liong-cu.
Tapi baru saja kata "campur terucapkan, "plak-plok", mendadak terdengar suara gamparan
keras dan nyaring. Tahu-tahu pipi kanan kiri Dian Liong-cu telah bertambah lima jalur merah
bekas jari seperti sengaja digores dengan pensil, sampai ia sendiri tidak tahu cara bagaimana
kena digampar. 398 Yang dirasakan ketika pipi kanan berbunyi "plak", segera tubuhnya mendoyong ke kiri, tapi
segera pipi kiri ditampar dan "plok", lalu tubuhnya menegak kembali seperti semula.
Waktu dipandang si orang aneh itu, dia masih tetap berdiri di depan dan sedang memandang
padanya dengan gayanya yang khas itu, kalau dikatakan kedua kali gamparan itu dilakukan
olehnya mungkin tidak ada orang yang mau percaya.
Dian Liong-cu merasa seperti bermimpi saja, mendingan mukanya tidak merasa sakit.
Anehnya semua orang sama memandang mukanya dengan sorot mata yang kaget dan kuatir,
seperti orang yang melihat setan di siang bolong.
Tanpa terasa Diong Liong-cu meraba mukanya sendiri, baru sekarang diketahuinya bagian
mukanya telah membengkak lima jalur bekas jari, rasanya kaku dan panas dan sukar bergerak.
Saking kagetnya tanpa terasa ia menjerit perlahan, dan baru diketahuinya bahwa kulit muka
sendiripun kaku, makanya tidak terasa sakit.
"Hehehe, coba katakan lagi, kau pasti ikut campur urusan ini bukan?" dengan tertawa orang
aneh itu bertanya pula. Kerongkongan Dian Liong-cu berbunyi "krak-krok", tapi sukar berbicara.
Orang aneh itu tepuk-tepuk pundak Hu-patya, lalu berkata, "Nah, sudah ku lampiaskan rasa
gemasmu tadi, sekarang apa imbalannya sebagai tanda terima kasihmu padaku?"
"Ini...Cianpwe..." rupanya Hu-patya jadi bingung juga oleh kungfu si orang aneh yang maha
sakti ini, tepukan orang pada pundaknya membuatnya hampir berjongkok kebawah, mana
sempat lagi bicara. "Jika kau tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padaku, biarlah kukatakan saja
padamu." kata orang itu lalu ia pungut patung yang berantakan bersama kotaknya tadi dan
menyambung pula, "Nah, cukup kau berikan saja mainan ini padaku."
Hu-patnaynay menabahkan hati dan berseru, "Siapakah nama Cianpwe yang terhormat,
bolehkah kami diberi tahu?"
"Masa kau tidak kenal siapa diriku?" tanya orang aneh itu. Dia menggeleng kepala dan
menyambung dengan gegetun, "Jika orang lain tidak tahu siapa diriku masih dapat
dimaklumi, tapi kalau kalian juga tidak kenal siapa diriku, wah sungguh aku sangat sedih,
sanagat berduka...."
Bicara sampai di sini, mendadak dari dalam bajunya yang kedodoran itu dirogohnya keluar
sepotong paha ayam goreng. Memandangi paha ayam ini, sorot matanya menampilkan rasa
rakusnya, akan tetapi paha ayam itu hanya dipandang, lalu diendusnya beberapa kali,
kemudian ia menghela nafas panjang dan menyimpan kembali paha ayam itu kedalam
bajunya. Melihat kelakuan orang itu, kulit muka Hu-patnaynay seketika berkerut-kerut, ucapnya
dengan suara gemetar, "Oo....Thian....Thian....."
399 Sekaligus ia berucap belasan kata "Thian", tapi sukar melanjutkannya.
Tergerak pikiran Pwe-giok, tiba-tiba teringat satu orang olehnya serunya, "He, bukankah
Cian-pwe ini Thian-sip-sing?"
"Hahahaha! Memang betul," seru orang aneh itu sambil tergelak: "Tak tersangka bocah ini
malah kenal diriku, sungguh tidak gampang."
Baru sekarang Pwe-giok tahu apa sebabnya kulit muka orang begitu kendur dan mengapa
bajunya begitu longgar tidak sesuai dengan tubuhnya, karena sebagaimana sudah diketahui.
Thian-sip-sing ini tadinya adalah seorang gemuk, bahkan maha gemuk.
Kalau orang gemuk mendadak menjadi kurus, tentu saja akan berubah seperti balon gembos.
Mengapa Thian-sip-sing yang gemuk seperti gajah bengkak itu dalam waktu tidak sampai tiga
bulan telan berubah menjadi sekurus ini" Padahal orang gemuk kalau ingin kurus bukanlah
suatu pekerjaan yang mudah.
"Meng...,mengapa Cianpwe ber....berubah menjadi sekurus ini?" tanya Hu-patnaynay dengan
tergagap. Thian-sip-ping menghela nafas, ucapnya, "Masakah tidak kau lihat" Sekarang barang apapun
tidak berani kumakan, jika kumakan, segera perut terasa mules. Nah, kalau orang tidak
makan, kan mustahil jika tidak cepat kurus?"
Ia berhenti sejenak, lalu menghela nafas gegetun dan berkata pula, "O, agaknya aku harus
ganti nama menjadi Thian-go-sing (si binatang kelaparan)."
Padahal Thian-sip-sing biasanya suka menganggap perutnya sebagai mesin pabrik, apapun
dimakannya segala dilalap, apapun dicerna, mungkin hanya mayat dan lalat saja yang tidak
pernah dimakannya. Dan seorang pelahap begitu masakah sekarang tidak berani makan paha ayam, sungguh sukar
untuk dimengerti dan mengherankan. Tapi tiada seseorang pun berani bertanya.
Hanya Pwe-giok saja yang lantas berkata "Cianpwe sudah digoda sekian lamanya oleh Hwesingdiong, selama itu tentu sangat kapiran bukan?"
Mata Thian-sip-sing terbelalak lebar, tanyanya dengan heran. "He, kaupun tahu kejadian itu?"
"Ya, tahu sekedarnya," jawab Pwe-giok.
"Wah, tidaklah sedikit pengetahuan anak muda ini," gumam Thian-sip-sing dengan melotot.
Pwe-giok tertawa, katanya, "Barang siapa kalau sudah digoda oleh Hwe-sing-diong, maka
hidupnya pasti konyol, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, kalau digoda hingga dua-tiga
bulan lamanya, betapapun gemuk juga akan berubah menjadi kurus."
Thian-sip-sing menghela napas, ucapnya, "Memang betul, sedikitpun tidak salah. Selama duatiga
bulan ini sungguh aku ingin mati saja lebih baik, untunglah setelah aku digoda hingga
400 lebih dua bulan, mendadak mereka menghilang tanpa bekas. Tapi selera makanku juga sudah
kadung rusak, apapun tidak menarik lagi bagiku, biarpun santapan yang paling lezat ditaruh di
depan hidungku juga tidak akan menimbulkan nafsu makanku."
Bicara dan bicara, begitu sedih hingga hampir saja ia meneteskan air mata.
Maklumlah, seorang pelahap kalau sekarang tidak dapat makan enak lagi, maka dapat
dibayangkan betapa tersiksa lahir batinnya.
Pwe-giok melototi patung yang dipegang Thian sip-sing, katanya kemudian, "Makan enak
dan main perempuan adalah watak pembawaan manusia, sekarang Cianpwe tidak doyan
makan lagi makanya kau lantas berganti kesenangan."
Thian-sip-sing tertawa, katanya, Aha, dalam hal ini salahlah kau. Maksudku mencari patung
ini adalah karena aku ingin mencari satu orang."
"Mencari satu orang?" Pwe-giok menegas sambil berkerut kening.
"Apapun juga dia juga salah seorang Bu-lim-pat-bi, patungnya pasti juga terdapat di antara
patung-patung indah ini," kata Thian-sip-sing. "Karena aku tidak dapat melihat orangnya,
juga tidak berani melihatnya bila berhadapan, kan lumayan jika dapat kulihat patungnya."
"Memang siapa dia?" tanya Pwe-giok.
Jilid 14________ Thian-sip-sing berkedip-kedip, dia tidak berkata apa-apa melainkan cuma memberi isyarat
dengan tangan. Melihat isyarat tangan itu, seketika berubah air muka Pwe-giok, serunya, "He, apakah...
apakah isyarat tangan yang diberikan kepada Cianpwe oleh Ji-bengcu tempo hari itu juga
isyarat ini?" "Hah, kaupun tahu kejadian itu".... Aneh, sungguh aneh"!" kata Thian-sip-sing dengan
tercengang. "Setahuku, isyarat tangan ini kan dimaksudkan sebagai Tangkwik-siansing?" kata Pwe-giok.
"Tangkwik-siansing" Siapa bilang isyarat tangan ini menandakan Tangkwik-siansing" Hah,
masakah Tangkwik-siansing telah berubah menjadi wanita maha cantik?" ujar Thian-sip-sing.
Pwe-giok melonjak kaget, serunya, "He, kalau bukan Tangkwik-siansing, habis siapa yang
dimaksudkan dengan isyarat tangan ini?"
Sorot mata Thian-sip-sing menampilkan rasa kejut dan takut, katanya dengan suara parau,
"Jika kau tidak tahu, darimana pula ku tahu...."
Baru omong sampai di sini, mendadak ucapannya terputus, sebab entah kapan dan darimana
datangnya, tahu-tahu mulutnya telah dijejal dengan sebuah jeruk, dengan tepat mulutnya
tersumbat. 401 Padahal orang yang hadir di sini tidaklah sedikit, kalau Thian-sip-sing sendiri tidak tahu
darimana datangnya jeruk itu, apalagi orang lain.
Menyusul lantas terdengar seorang berkata dengan menyesal, "Ai, jaman ini memang serba
susah, ingin mencari suatu tempat untuk tidur senyenyaknya saja tidak gampang."
Suaranya ternyata berkumandang dari langit-langit rumah.
Serentak semua orang sama mendongak ke atas, maka tertampaklah di belandar tengah entah
sejak kapan bergelantungan sebuah karung besar, suara orang itu timbul dari dalam karung
besar itu. Sungguh aneh, masakah di dalam karung itu ada orangnya" Kalau di dalam karung terisi
orang mengapa pula karung itu bisa tergantung di atas belandar" Tanpa sebab mengapa orang
itu mengurung dirinya di dalam karung"
Selagi Pwe-giok merasa heran, mendadak orang banyak sama berteriak kaget, "Hah! Tay-tekiankun-it-te-ceng (bumi dan langit masuk satu karung)... Itulah dia Poh-te Siansing (Tuan
karung)!" Di tengah jerit kaget dan takut itu, berpuluh orang yang hadir di situ lantas berlari sipat
kuping, semuanya kabur pontang-panting, hanya sekejap saja sudah bersih, seorang pun tak
ketinggalan, kecuali Ji Pwe-giok.
Malahan Thian-sip-sing tidak sempat mengeluarkan dulu jeruk yang menyumbat mulutnya
itu, hanya kotak berisi patung itu yang ditinggalkan, sebab ia tahu untuk lari akan lebih
leluasa bertangan kosong daripada membawa barang.
Seorang kalau kepergok Poh-te Siansing, tentu saja lebih baik lari secepatnya.
Suasana di ruangan besar itu menjadi sunyi, hanya Ji Pwe-giok saja yang masih berada di situ.
Setelah terjadi serentetan hal-hal yang aneh dan misterius itu, lalu seorang berdiri di tengah
ruangan sebesar itu dalam keadaan sunyi senyap, di atas kepala malahan bergelantung sebuah
karung besar yang tampak bergontai kian kemari, keadaan ini sungguh membuat orang
merasa ngeri. Hampir saja Pwe-giok juga ingin angkat kaki saja.
Tapi pada saat itulah dari dalam karung lantas timbul pula suara orang, "He, anak muda, jika
kau tidak pergi, mengapa tidak lekas kau turunkan aku si orang tua?"
Seketika Pwe-giok hanya melenggong, sebab iapun tidak tahu apa yang harus dilakukannya"
Segera orang di dalam karung berseru pula, "He, cepatlah sedikit, memangnya kau lebih suka
menyaksikan orang tua mati sesak napas terkurung di dalam karung ini?"
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika kau dapat masuk sendiri ke situ, mengapa
kau tidak dapat keluar sendiri pula?"
402 Orang tua di dalam karung itu tidak bicara lagi, tapi terus mengeluh seperti orang yang benarbenar
hendak mati sesak napas. Sampai akhirnya suara keluhan pun tidak terdengar lagi.
Setelah menunggu lagi sekian lamanya, akhirnya Pwe-giok tidak tahan, segera ia meloncat ke
atas. Siapa tahu baru saja tubuhnya mengapung, mendadak "bluk", karung besar itu terus jatuh ke
bawah. Cepat Pwe-giok melayang turun pula dan membuka karung itu, tapi.... mana ada orangnya"
Yang terdapat di dalam karung hanya beberapa jilid buku saja.
Pwe-giok jadi melongo, hampir saja ia tidak percaya kepada matanya sendiri.
Padahal jelas-jelas suara orang tua itu tadi timbul dari dalam karung, mengapa di dalam
karung ini tidak terdapat orang"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar orang tertawa di atas belandar. Keruan Pwe-giok terkejut.
Cepat ia menengadah, maka tertampaklah dua kaki dan segumpal jenggot panjang bergontai
kian kemari di atas. Kedua kaki itu sangat kecil, sebaliknya jenggot itu sangat panjang dan subur. Cahaya lampu
tak dapat mencapai langit-langit rumah, maka sukar terlihat bagaimana bentuk orangnya
kecuali kedua kaki dan jenggotnya yang panjang itu.
Pwe-giok menarik napas panjang. Kalau orang lain mungkin akan lari terbirit-birit ketakutan
karena menyangka telah ketemu hantu atau siluman. Tapi Pwe-giok tahu orang tua ini pasti
menerobos keluar dari karungnya pada saat dia melayang ke atas tadi, lalu pada waktu karung
itu jatuh ke bawah dan selagi perhatian Pwe-giok tertarik kepada karung yang jatuh itu, segera
orang tua itu melayang lagi ke atas belandar. Sudah barang tentu semua ini dilakukan dengan
sangat cepat. Apa yang terjadi ini kalau sudah dijelaskan tentu tidak perlu dibuat heran, hanya saja kalau
Ginkang orang tua itu tidak maha tinggi, mana bisa mata-telinga Pwe-giok dikelabui"
Begitulah Pwe-giok tetap menahan perasaannya, ia tertawa, ucapnya dengan hambar,
"Sungguh tak tersangka Lo-siansing masih suka main kucing-kucingan seperti anak kecil.
Tapi Cayhe tidak berminat main sembunyi-sembunyi denganmu, maaf, aku mau pergi saja."
"He, kau mau pergi" Apakah kau tidak ingin melihat barang ini?" tiba-tiba si kakek berseru.
Belum lagi Pwe-giok bersuara pula, mendadak sesuatu barang jatuh dari atas belandar. Ia
tidak berani menangkapnya dengan tangan, sedikit mengegos, dengan lengan bajunya ia tadah
barang itu. Di bawah cahaya lampu terlihat benda ini kemilauan, nyata barang ini pun sebuah patung ukir
batu kemala, patung wanita cantik. Waktu ia pandang ke sana, kotak besi dan patung yang
ditinggalkan Thian-sip-sing di atas meja tadi seluruhnya sudah hilang.
403 Nyata, pada saat Pwe-giok sibuk membuka karung tadi, sekejap itu telah digunakan oleh si
kakek untuk melayang turun dan mengambil kotak besi dan patung di atas meja, semua itu
hanya dilakukan dalam sekejap saja, maka dapat dibayangkan betapa hebat ginkangnya.
Betapapun tabahnya Pwe-giok, sekarang ia merasa ngeri juga.
Didengarnya si kakek lagi berkata dengan tertawa, "Eh, anak muda. si cantik dalam
pelukanmu, kenapa tidak kau pandang dengan cermat" Kan sayang jika kesempatan baik ini
kau sia-siakan?" Kalau patung batu pada umumnya hanya kelihatan warna aslinya, tapi pakaian pada patung
kemala ini ialah selapis warna hitam dari bahan poles yang aneh, sebab itulah meski warna
bajunya hitam, tapi lamat-lamat kelihatan badan patung si cantik yang putih bersih.
Kecantikan wajah patung kemala inipun bak bidadari dari kahyangan, hanya di antara mata
alisnya membawa semacam sifat dingin yang sukar di jelaskan sehingga membuat orang
segan mendekatinya. "Apakah kau kenal dia?" terdengar si kakek bertanya.
"Tidak," jawab Pwe-giok.
Kakek itu menghela nafas, ucapnya, "Ya, kau lahir terlalu lambat, makanya tidak kenal dia.
Tapi pada 30-40 tahun yang lalu, apa bila orang Kangouw menyebut Bak-giok Hujin,
sedikitnya berlaksa lelaki akan sukarela mati baginya."
"Kurasa wanita ini sangat sulit didekati," kata Pwe-giok dengan tak acuh.
"Ya, justeru lantaran sikapnya terhadap orang lain selalu dingin seperti es, maka orang lain
pun semakin tertarik dan ingin berdekatan dengan dia", tutur si kakek dengan tertawa.
"sembilan diantara sepuluh orang lelaki umumnya berwatak rendah masakah kau tidak paham


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan hal ini?" Pwe-giok tertawa, katanya, "Biarpun wanita ini maha cantik, akhirnya juga masuk liang kubur
dan menjadi tanah kembali. Apa sangkut-pautnya wanita cantik 40 tahun yang lalu dengan
diriku?" "Kalau tidak ada sangkut-pautnya tentu tidak ku suruh kau pandang dia," ujar si kakek.
"Oo?" Pwe giok bersuara heran.
"Yang di maksudkan oleh isyarat tangan Thian sip-sing tadi ialah si dia ini," kata kakek.
Jantung Pwe-giok berdetak, sedapatnya ia menahan perasaan dan menjawab, "Tapi aku
memang tidak kenal dia."
"Coba ingat-ingat lagi, apakah kau benar-benar tidak kenal dia?" ujar si kakek. "Setahuku
sedikitnya kau pernah bertemu satu kali dengan dia."
404 Kembali jantung Pwe-giok berdebar keras, tiba-tiba teringat olehnya guru Hay Tong-jing dan
Yang cu-kang, wanita bercadar sutera hitam yang maha cantik dan anggun itu.
Serentak juga teringat olehnya sepotong bambu kecil itu, pada bambu kecil itu terukir sebuah
karung atau kantung. Sampai di sini, Pwe-giok tidak tahan lagi, mendadak ia tanya, "Jangan-jangan engkau inilah
Tangkwik-siansing?" "Tangkwik-siansing", nama ini seakan-akan mempunyai semacam kekuatan gaib, setelah
menyebut nama ini, Pwe-giok sendiripun terkejut.
Sungguh sama sekali tak terpikir olehnya bahwa dirinya bisa mendadak bertemu dengan
Tangkwik-siansing. Kakek itu tertawa, ucapnya. "Padahal kita sebenarnya juga sahabat lama, seharusnya kau
kenal padaku." Di tengah gelak tertawanya, dengan enteng ia melayang ke bawah.
Begitu ringan seolah-olah segumpal kapas, seperti sehelai daun jatuh, jenggotnya yang
panjang bertebaran seperti titik-titik air hujan mencurah dari langit.
Perawakan pendek kecil dan kurus sehingga seluruh tubuh seakan-akan terbungkus oleh
jenggotnya yang lebat dan panjang itu.
"He, kiranya kau!" seru Pwe-giok dengan melenggong.
***** Pwe-giok memang betul pernah bertemu dengan kakek ini, bahkan tidak cuma satu kali saja
melainkan dua kali. Pertama bertemu pada waktu dia tertimpa musibah, ayahnya terbunuh dan rumah hancur,
untung dia dapat menyelamatkan diri, namun dia menjadi putus asa dan tiada keberanian
untuk hidup lagi. Pada saat demikian itulah dia bertemu dengan si kakek.
Waktu itu dipergokinya si kakek hendak menggantung diri.
Pwe-giok telah menyelamatkan jiwa orang lain tiba-tiba timbul juga semangatnya untuk
mencari hidup. Pertemuan yang kedua adalah pada waktu dia kehilangan kepercayaan atas ilmu silatnya
sendiri, dalam keadaan pikiran kusut itulah dia bertemu pula dengan si kakek.
Tatkala mana si kakek sedang melukis, yang hendak dilukisnya adalah gunung, tapi yang
muncul pada kanvasnya ternyata bukan gunung.
Dia masih ingat ucapan si kakek itu, "Jelas-jelas gunung yang kulukis, tapi lukisanku justeru
tidak mirip gunung, jelas tidak mirip gunung, tapi setelah kau pandang dengan cermat
405 ternyata memang gunung yang kulukis. Hal ini karena apa yang kulukis ini meski belum
tampak berbentuk gunung, tapi intinya, jiwa daripada obyek yang kulukis sudah kutonjolkan
dengan jelas. Mungkin orang lain tidak paham melihat lukisanku ini, tapi perduli amat,
asalkan yang kulukis adalah gunung, asalkan dalam pandanganku dan perasaanku lukisanku
ini adalah gunung, kan cukup dan terlaksanalah tujuanku" Jika aku sendiri dapat menangkap
intisari dari lukisan ini dan orang lain justeru tidak paham, hal ini kan terlebih baik?"
Begitulah, justeru ucapan si kakek yang berfalsafah itulah sehingga ilmu silat Pwe-giok dapat
melangkah lebih tinggi lagi (tentang pertemuan Pwe-giok dan Tangkwik siansing hendaklah
baca "Renjana pendekar".)
Maklumlah, kungfu aliran Bu-kek-bun keluarga Ji justeru cocok dengan uraian si kakek itu
bermakna tapi tak berbentuk, terlepas dari bentuk yang terbatas dan masuk ke alam yang tak
berkutub, (Bu-kek artinya tak berkutub).
Sejak itulah kungfu Bu-kek-bun benar-benar dikuasai Pwe-giok dengan baik, meski belum
mencapai tingkatan yang sempurna, tapi sudah dekatlah dengan tingkatan tersebut.
Makin dipikir makin terasa oleh Pwe-giok bahwa si kakek ini sama sekali tiada bermaksud
jahat padanya, bahkan si kakek selalu muncul pada saat dia menghadapi bahaya sehingga dia
terlepas dari kesukaran. Jika si kakek dikatakan sebagai iblis yang diam-diam hendak membikin celaka padanya
seperti apa yang diceritakan "Bak-giok Hujin", sungguh sukar untuk dipercaya, tapi apa yang
dikatakan Bak-giok Hujin itu rasanya juga sulit untuk tidak dipercaya.
Waktu ia angkat kepalanya, dilihatnya si kakek alias Tangkwik-siansing sedang
memandangnya dengan tersenyum.
"Sekarang sudah kau kenal diriku bukan?" tanya si kakek.
Dengan hormat Pwe-giok menjawab, "Ya, berulang-ulang Tecu menerima petunjuk dan
petuah Cianpwe, sungguh Tecu sangat berterima kasih."
Dengan jarinya Tangkwik-siansing menjentik patung Bak-giok Hujin dan berkata, "Dengan
sendirinya kaupun pernah melihatnya bukan?"
Pwe-giok membenarkan. "Aneh juga bahwa dia ternyata tidak membunuh kau." gumam Tangkwik-siansing.
"Kenapa dia perlu membunuh diriku?"
"Sebab, bisa jadi kau adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat membongkar rahasia
pribadinya." "Rahasia pribadi bagaimana?" tanya Pwe-giok.
"Apakah kau tahu siapa namanya?" tiba-tiba Tangkwik siansing balas bertanya.
406 Tanpa menunggu jawaban Pwe-giok segera ia menyambung. "Ya, dengan sendirinya kau
tidak tahu siapa namanya, sebab di dunia ini hakekatnya cuma beberapa orang saja yang tahu
namanya, Namanya sendiri juga merupakan rahasia besar."
"Masakah namanya saja mengandung rahasia besar?" Pwe-giok menegas dengan heran.
"Ya, sebab namanya Ki Pi-ceng!"
"Ki Pi-ceng" Masakah dia ada sesuatu hubungan dengan Ki Go-Ceng?"
"Tentu saja ada hubungannya, bahkan sangat erat hubungan antara mereka," tutur Tangkwik
siansing. "Sebab dia bukan saja saudara Ki Go-ceng adik perempuannya, bahkan juga
isterinya." Seketika Pwe-giok melenggong dan tidak sanggup bersuara.
Tangkwik siansing menghela nafas, katanya "Kualat..... memang begitulah mereka kena
itulah," ia tersenyum getir, lalu menyambung, "sebab keluarga Ki mempunyai pikiran yang
gila, yaitu selalu menganggap di dunia ini hanya keturunan keluarga Ki saja yang maha
pintar, maha cerdik, superior yang teratas, yang paling unggul, orang dari keluarga lain tak
dapat menimpali mereka."
"Jadi demikian, jadi....jadi telah berlangsung perkawinan antar anggota keluarga mereka
sendiri?" tanya Pwe-giok dengan melengak.
"Betul" jawab Tangkwik-siansing, "justeru lantaran jalan pikiran mereka yang gila itu, karena
menganggap hanya anggota keluarga mereka sendiri saja bibit unggul, maka turun temurun
terjadi perkawinan antara kakak dan adik sendiri dan putera-puterinya yang dilahirkan kalau
tidak gila tentulah linglung, seperti Ki Pi-ceng, meski lahiriah kelihatan secantik bidadari,
padahal dia juga tidak terkecuali juga seorang gila."
Pwe-giok memandang sekejap patung cantik itu, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.
"Tapi dia adalah seorang gila yang angkuh," sambung Tangkwik siansing. "Ketika
mengetahui Ki Cong-hoa yang dilahirkan itu ternyata abnormal, berbentuk kerdil dan berotak
miring, ia sangat kecewa, tanpa pikir ia tinggalkan rumah dan putus cinta dengan Ki Go-ceng,
makanya sampai dengan tingkatan Ki Cong-hoa hanya terdapat dia saja putera satu-satunya
dan terpaksa pula kawin dengan perempuan dari keluarga luar. Walaupun demikian, sejak
awal hingga akhir Ki Cong-hoa tetap tidak mau meniduri isterinya."
Baru sekarang Pwe-giok tahu duduknya perkara mengapa Ki Leng-hong sejauh itu tidak mau
mengakui Ki Cong hoa sebagai ayahnya, baru diketahuinya pula betapa penderitaan Ki-Hujin,
isteri Ki Cong hoa. Tapi kalau Ki Cong-hoa bukan ayah Ki Leng hong, lantas siapa ayahnya"
Mungkinkah "orang she Ji" yang bersembunyi di lorong bawah tanah itu"
Jangan-jangan "orang she Ji" itu ialah......
407 Makin dipikir makin ngeri Pwe-giok, sungguh ia tidak berani berpikir lagi.
Cuma ada beberapa hal di antaranya yang mau tak mau harus dipikirnya.
Antara lain tentang Bak-giok Hujin, apabila benar wanita cantik ini adalah istri Ki Go-ceng
kenapa dia membunuh Ki Go-ceng" Kejadian ini disaksikannya dengan mata kepala sendiri,
tidak bisa tidak dia harus percaya apa yang terjadi itu.
Didengarnya Tangkwik-siansing berkata pula: "Sejak itu Ki Go-ceng berubah semakin gila.
Waktu itu di dunia Kangouw mendadak terjadi beberapa peristiwa kejahatan yang
menggemparkan dan tidak diketahui pula siapa pelakunya. Ada harta benda partai besar yang
dirampok secara misterius. Beberapa tokoh ternama secara misterius pula terbunuh.
Pelakunya diketahui sangat tinggi kungfunya, setiap peristiwa dilakukan dengan cermat tanpa
meninggalkan jejak apapun. Siapapun tidak menyangka bahwa penjahat itu bukan lain ialah
Ki Go-ceng. Ceritera ini sudah pernah didengar Pwe-giok dari si kakek Ko di lorong bawah tanah di Satjinceng dahulu, maka terbuktilah bahwa cerita Tangkwik-siansing ini bukan karangan belaka.
Terdengar Tangkwik-siansing menyambung lagi: "Waktu itu meski dunia persilatan telah
dibikin heboh dan mengerahkan berpuluh-puluh tokoh terkemuka untuk mencari si penjahat,
tapi tetap tidak dapat menemukan jejaknya, hanya seorang saja yang mengetahui bahwa
pelakunya ialah Ki Go-ceng, tapi sayang, pikirannya ternyata tidak dipercaya oleh orang
lain". "Apakah Cianpwe kenal orang ini?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
Tangkwik Sian-sing tertawa, jawabnya: "Dengan sendirinya kukenal dia, sebab dia adalah
adikku Ban-li-hui-eng Tangkwik Ko"
Sejak mula Pwe-giok memang sudah membayangkan "Kakek Ko" yang misterius itu pasti
mempunyai sejarah yang gemilang pada masa lampau, tapi tak pernah terpikir olehnya bahwa
kakek Ko itu adalah saudara Tangkwik-siansing yang berjuluk Ban-li-hui-eng atau si Elang
terbang berlaksa li. Dengan tajam Tangkwik-siansing memandang Pwe-giok, tanyanya kemudian dengan tertawa:
"Ku tahu, pasti kau kenal dia bukan?"
"Wanpwe menerima budi kebaikan yang amat besar dari Locianpwe itu, sungguh jiwa Tecu
boleh dikatakan atas berkahnya sehingga dapat hidup sampai sekarang" tutur Pwe-giok
dengan gegetun. "Adikku itu bukan saja Ginkangnya sangat tinggi sesuai nama julukannya, juga pandang
kejahatan sebagai musuhnya, ilmu pertabibannya juga sangat tinggi dan hampir tiada
bandingannya di dunia ini. Sekalipun Hoa To (seorang tabib terkemuka di jaman Sam Kok)
lahir lagi juga belum tentu dapat melebihi dia, terutama dalam hal ilmu bedah."
Pwe-giok jadi teringat kepada muka sendiri yang pernah dipermak oleh kekek Ko itu, tanpa
terasa ia meraba pipi sendiri dan timbul rasa terima kasih dan hormatnya.
408 Tangkwik-siansing bercerita pula, karena diuber dan dicari terus oleh saudaraku itu, Ki Goceng
kehabisan akal, terpaksa ia pura-pura mati dan meninggalkan Sat jin-ceng dan
mengasingkan diri di pegunungan terpencil, dicarinya isterinya Bak-giok Hujin Ki Pi ceng."
"Waktu itu Ki Pi ceng juga jauh berada di luar perbatasan?" tanya Pwe-giok.
"Betul. Setelah suami-isteri ini berkumpul kembali di Kwan-gwa (di luar tembok besar yang
merupakan perbatasan antar negara), namun ambisi mereka masih tetap besar, senantiasa
mereka bersiap-siap untuk muncul kembali dan merajai dunia persilatan. Tapi mereka tetap
jeri terhadap kami bersaudara, sebegitu jauh mereka tidak berani menampakkan diri di depan
umum, terpaksa mereka harus menggunakan tipu muslihat, mereka memakai seorang yang
ternama dan disegani di dunia persilatan sebagai boneka."
Kulit muka Pwe-giok berkerut-kerut, ucapnya dengan parau, "Yang dimaksudkan Cianpwe
tentunya orang.... orang she Ji itu"!"
Sorot mata Tangkwik-siansing menampilkan perasaan kasihan dan simpatik, ucapnya dengan
suara halus, "Hong-ho Lojin adalah ksatria pilihan yang jarang ada di dunia persilatan, mana
dia mau membantu kejahatan mereka. Dengan sendirinya merekapun cukup tahu bagaimana
pribadi Hong-ho Lojin, maka mereka harus menggunakan muslihat keji untuk melenyapkan
Hong-ho Lojin dari pergaulan ramai ini, lalu dicarinya seorang yang menyamar sebagai
Hong-ho Lojin, mereka bertekad akan memperalat nama baik Ji Hong-ho, dengan sendirinya
tindakan mereka tidak kenal cara, yang penting tercapainya cita-cita mereka."
Mendengar sampai di sini, hati Pwe-giok menjadi pedih, gemas dan juga terharu.
Yang membuatnya pedih dan gemas karena teringat kepada berantakannya keluarga serta
kematian ayahnya. Dia terharu karena untuk pertama kalinya sekarang ada orang membela kemalangannya ini,
untuk pertama kalinya ada orang menyatakan simpati kepada nasib mereka ayah dan anak,
untuk pertama kalinya ada orang mau bicara baginya.
Tangkwik-siansing menepuk pundak anak muda itu, katanya pula dengan suara lembut,
"Jaring langit cukup ketat, setiap perbuatan berdosa tidak nanti lolos begitu saja. Meski
sekarang kau kenyang merasakan kegetiran orang hidup, pada suatu hari kelak segala sesuatu
pasti dapat dibikin jelas, pada waktu itulah bolehlah kau kembangkan kemahiranmu dan
berbuat kebaikan bagi sesamanya."
Hati Pwe-giok merasa terbakar oleh hawa panas, air mata hampir saja bercucuran, ia berlutut
di depan kakek dan berkata, "Jangan-jangan Cianpwe sudah tahu asal-usul Tecu?"
Tangkwik-siansing membangunkan anak muda itu, katanya, "Ya, dengan sendirinya sudah ku
ketahuinya sejak dulu. Masih ingatkah kau, pada hari pertama kau tertimpa musibah itulah
kita bertemu tatkala mana sudah kuketahui kau mempunyai keberanian menanggung
penderitaan dan menahan hinaan."
Pwe-giok menghela napas panjang agar perasaan menjadi lapang dan tenang, lalu berkata
dengan muram, "Hanya masih ada suatu hal yang sampai saat ini tetap tidak kuketahui."
409 "Hal apa?" tanya si kakek.
Dengan gregetan Pwe-giok berkata, "Sesungguhnya siapakah bangsat yang menyaru sebagai
ayahku itu" Mengapa dia juga mahir kungfu Bu-kek-bun" Bahkan dapat menirukan suara dan
gerak-gerik ayahku dengan begitu persis?"
Tangkwik-siansing termenung sejenak, lalu menghela nafas panjang, katanya, "Naga
melahirkan sembilan anak dan semua tidak ada yang sama, Hong-ho Lojin terkenal berbudi
luhur dan berhati mulia, tapi saudaranya, Ji Tok-ho, justeru seorang terkutuk, binatang yang
maha jahat dan tak terampunkan."
Pwe-giok jadi teringat kepada catatan di dalam buku harian tinggalan Siau-hun-kiongcu itu,
tanpa terasa tubuhnya menggigil, kaki dan tangan menjadi dingin juga, ucapnya dengan
gemetar, "Apakah....apakah bangsat itu ialah... ialah pamanku sendiri?"
Tangkwik-siansing tidak segera menjawab, ia menghela nafas, lalu berkata, "Ada beberapa
hal rasanya tidak enak kukatakan padamu secara terus terang, cuma harus kau maklumi,
meski pamanmu itu dikabarkan minggat dari rumah karena terpaksa, padahal ayahmu tidak
pernah bertindak sesuatu yang tidak baik padanya."
Pwe-giok menunduk dengan berduka dan hanya mengangguk saja.
"Setelah Ji Tok-ho berpisah dengan ayahmu, seperti harimau lepas dari kurungan, dia berbuat
sesukanya, segala kejahatan dilakukannya, tangannya berlumuran darah, juga mengikat
musuh yang tidak sedikit. Cuma ilmu silatnya sangat tinggi, jejaknya sukar dicari, meski
orang membencinya dan ingin mencincangnya kalau bisa, tapi sayang sukar menemukan
jejaknya." Kakek itu berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan perlahan. "Sampai akhirnya tiba
suatu hari yang naas baginya, yaitu pada hari Tahun baru, dia sedang makan dan minum di
rumah pelacur terkenal langganannya, di kota Lok-yang, tanpa terasa dan juga tidak curiga ia
minum hingga mabuk, ia tidak menduga bahwa perempuan langganannya yang sudah
berlangsung sekian tahun itu telah membelot, telah diperalat pihak musuh."
"Tahun baru"....." Pwe-giok bergumam, teringat olehnya apa yang didengarnya di lorong
bawah tanah di Sat jin-ceng dahulu, yaitu "Waktu orang she Ji itu datang ke Sat jin-ceng
adalah hari ketiga sesudah tahun baru...
Didengarnya Tangkwik siansing lagi menyambung ceritanya, "Tapi Ji Tok-ho memang
seorang jagoan lihay yang jarang ada di dunia persilatan, meski dikerubuti belasan tokoh Bulim
terkemuka dalam keadaan mabuk, dia tetap mampu membobol kepungan dan lari masuk
ke Sat-jin-ceng...."
Dia menghela nafas, lalu menyambung, "Ia tahu dalam perkampungan pembunuh itu pasti ada
yang akan melindunginya, apa lagi dia juga sudah biasa masuk keluar kampung itu, jelas
orang lain tidak sanggup menemukan dia."
"Apakah kejadian itu bukan untuk pertama kalinya dia lari masuk ke Sat-jin-ceng?" tanya
Pwe-giok. 410 "Sudah tentu bukan," jawab Tangkwik-siansing. "Sudah lama dia mempunyai hubungan gelap
dengan isteri Ki Cong-hoa, kau tahu Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan kakak beradik itu justeru
adalah anaknya dari hasil berhubungan gelap dengan Ki-hujin."
Sekujur badan Pwe-giok terasa dingin.
Segera teringat olehnya lorong di bawah tanah yang ditemukannya di Sat-jin-ceng dahulu,
disanalah dia menemukan sepotong batu Giok waktu itu ia merasa sangat heran, sebab batu
jade atau kemala itu dikenalnya sebagai benda pusaka Bu-kek-bun, perguruan keluarga Ji
sendiri, mengapa bisa muncul di Sat-jin-ceng"
Selain itu ditemukan sebuah dompet bersulam dan potret sulaman serta dua bait tulisan yang
berbunyi: "Senantiasa mendampingi Anda, semoga jangan ditinggalkan".
Cuma waktu itu sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kekasih Ki-hujin yang dimaksudkan
ia adalah pamannya. Lalu teringat pula olehnya kakak beradik Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan, kedua nona itu
selalu menaruh perhatian padanya secara misterius. Kiranya didalam tubuh mereka memang
mengalir darah keluarga Ji, sebab antara Pwe-giok dan mereka adalah saudara sepupu.
Didengarnya Tangkwik-siansing telah berkata "Ki-hujin telah menyembunyikan Ji Tok-ho di
lorong bawah tanah, ia mengira perbuatan mereka pasti tidak diketahui oleh siapapun. Tak


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersangka setelah pura-pura mati dan menghilang dari pergaulan umum, Ki Go-ceng juga
sembunyi ke dalam lorong bawah tanah itu dan kebetulan memergoki Ji-Tok-ho."
"Jika begitu, meng...mengapa dia tidak...tidak......."
Tangkwik siansing tahu apa yang hendak ditanyakan anak muda itu, maka sebelum orang
mengejutkan ia telah menyambung dengan menghela nafas, "Sebenarnya Ki Go-ceng hendak
membunuh "Ji Tok-ho untuk menutup mulutnya agar rahasia pura-pura matinya tidak
ketahuan orang. Tapi kemudian terpikir olehnya bahwa orang ini cukup berharga untuk
diperalat bagi muslihatnya, mungkin juga dia menganggap Ji Tok-ho sehaluan dan sepaham
dengan dia, maka dia hanya menculik dan membawanya pergi dan tidak membunuhnya."
Hal ini sudah lama terfikir oleh J Pwe-giok, sebab kalau Ji Tok-ho tidak dibawa pergi orang
secara mendadak dan tergesa-gesa, tentu dia takkan meninggalkan dompet bersulam dan batu
Giok itu di lorong bawah tanah di Sat-jin-ceng sana.
Terdengar Tangkwik-siansing berkata pula, "Namun tampaknya langkah Ki Go-ceng itu
tidaklah percuma, sebab Ji Tok-ho dan Hong-ho Lojin adalah saudara, dengan sendirinya
lahiriah mereka hampir sama, cukup dipermak lagi sedikit sana sini, tentu sukar lagi untuk
dibedakan tulen dan palsunya. Apalagi sejak kecil kedua bersaudara itu selalu berkumpul,
dengan sendirinya setiap gerak-gerik dan tutur kata Hong-ho lojin cukup dikuasai oleh Ji Tokho,
maka selain wajahnya telah dibedah dan dipermak, iapun dapat menirukan suara dan
gerak-geriknya dengan persis"
Dia menghela napas lalu melanjutkan: "Sebab itulah, semua persoalan ini bukanlah karena
terjadi secara kebetulan, tapi setiap langkah boleh dikatakan sudah mengalami pertimbangan
411 dan pengaturan yang cermat. Kalau tidak kebetulan diketemukan Ji Tok-ho, bisa jadi mereka
takkan memilih Hong-ho lojin sebagai sasaran utama.
Lama juga Pwe-giok termenung, tanyanya kemudian: "Apakah Ki Go-ceng juga mahir ilmu
bedah?" "Bukan dia, tapi istrinya, Bak-giok Hujin" jawab Tangkwik-siansing. "Konon ilmu bedahnya
dipelajarinya dari seorang Persi dari wilayah barat, meski kepandaiannya tidak sama dengan
ilmu bedah Tangkwik Ko, tapi keduanya mempunyai hasil kerja yang hampir sama"
"Apakah Cianpwe juga tahu kedua murid Bak-giok hujin?" tanya Pwe-giok.
"Maksudmu Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing berdua?" sahut si kakek.
"Betul" kata Pwe-giok
Tangkwik-siansing menghela napas menyesal, ucapnya: "Pada dasarnya jiwa kedua anak
muda itu sebenarnya tidak jelek, cuma sayang, tanpa sadar mereka telah diperalat oleh
gurunya. Menurut pendapatku, mungkin sekali kedua orang itupun tidak tahu rahasia sang
guru, terutama mengenai asal-usulnya dan rencana kejinya"
"Betul, sampai-sampai akupun percaya penuh kepada ocehan perempuan itu, apalagi kedua
muridnya, tentu mereka percaya kepada sang guru" kata Pwe-giok. "Cuma.... jika demikian
halnya, lalu atas perintah siapakah tokoh yang disebut sebagai Lengkui itu?"
"Dengan sendirinya juga atas perintah Ki Pi-ceng" kata si kakek.
"Sungguh aneh" Pwe-giok merasa heran. "Jika begitu, mengapa Ki Pi-ceng sengaja menyuruh
Lengkui membunuh Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing, mereka kan muridnya?"
"Ya, bisa jadi disebabkan Bak-giok Hujin juga mulai ragu terhadap kesetiaan murid sendiri,
sebab lambat laun Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing mulai banyak mengetahui rahasianya,"
tutur Tangkwik-siansing. "Menjadi anak murid orang gila seperti Bak-giok Hujin, jika terlalu
banyak urusan yang diketahuinya, bukannya beruntung sebaliknya malah akan buntung dan
mendatangkan petaka baginya. Mungkin juga Bak-giok Hujin merasa usahanya kini sudah
mencapai sukses besar, sebentar lagi dia akan menjadi tokoh utama yang paling berkuasa di
dunia persilatan, maka dia merasa Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing sudah tidak diperlukan
lagi." Dia berhenti sejenak dan menghela napas, lalu menyambung. "Apapun juga, kan sejak awal
sudah kukatakan bahwa mereka kakak beradik adalah orang gila semua, tindak tanduk mereka
tidak dapat diukur dengan akal sehat ."
"Kecuali Lengkui yang asli, bukankah ia masih mempunyai beberapa duplikat Lengkui yang
lain?" tanya Pwe-giok.
Tangkwik-siansing tertawa, ucapnya, "Ah, semua itu adalah permainan belaka, dia sengaja
membesar-besarkan hal itu untuk menakuti orang lain. Membuat orang menjadi setan
bukanlah pekerjaan yang mudah."
412 Pwe-giok termenung sejenak, gumamnya kemudian, "Wah, jika demikian, jadi selama ini
Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing juga selalu dikelabui oleh gurunya sendiri. Bahwa aku
disuruh bersembunyi ke gua di bawah tanah di pinggang gunung itu bukankah karena dia
sengaja hendak mencelakai aku. Apa yang dikatakannya kepadaku itupun dipercaya penuh
oleh mereka sendiri."
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia merasa ngeri bila membayangkan apa yang dialaminya
itu, telapak tangannya kembali berkeringat dingin.
Sebab faktanya memang begitu, sekarang bukan saja Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing dalam
keadaan bahaya, bahkan Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio juga sudah masuk ke mulut harimau dan
sukar dibayangkan bagaimana nasib mereka saat ini.
Seumpama sekarang juga Pwe-giok pergi menolong mereka, tetap tiada gunanya, sebab pada
hakekatnya dia tidak tahu mereka telah dibawa ke mana oleh Bak-giok Hujin"
Lalu, apa yang diuraikan Tangkwik-siansing apakah seluruhnya benar"
Didengarnya kakek itu berkata pula, "Meski berbagai kejadian rahasia ini adalah hasil
penyelidikanku selama bertahun-tahun dan tentu saja telah banyak memakan tenaga dan
pikiranku, tapi ada juga sebagian adalah hasil perkiraanku berdasarkan semua fakta yang telah
terjadi, boleh dikatakan tak dapat kubuktikan, tentu juga tidak seluruhnya dapat membuat
orang percaya, umpama saja...kalau sekarang kukatakan Ji Hong-ho adalah samaran Ji Tokho,
coba, siapakah yang mau percaya?"
Pwe-giok menghela napas, diam-diam ia membatin, "Memang betul. Kalau aku saja tidak
percaya penuh terhadap keteranganmu, apalagi orang lain?"
Tangkwik-siansing memandang anak muda itu dengan lekat-lekat, katanya kemudian dengan
tenang, "Ku tahu, dalam hati tentu juga kau sangsi terhadap apa yang ku uraikan ini, sebab
itulah..... sekarang juga akan kubawa kau menemui satu orang."
"Menemui siapa?" tanya Pwe-giok heran.
Tangkwik-siansing tertawa, jawabnya, "Setelah bertemu nanti, tentu kau akan tahu sendiri."
Begitulah mereka lantas meninggalkan gedung itu, meninggalkan jalan raya dan menyusur
jalan gili-gili sawah, di depan kelihatan sebuah sungai kecil.
Ada sebuah jembatan kecil dengan embun yang belum kering, di seberang jembatan tampak
pagar bambu mengelilingi tiga buah rumah gubuk beratap rumput alang-alang kering.
Terdengar suara ayam dan anjing berisik di balik gubuk sana.
Cerobong asap di atas rumah tampak sedang mengepulkan asap dan buyar terbawa angin.
Dari jauh Pwe-giok sudah mencium bau harum obat yang sedang dimasak.
Kalau ada orang menyeduh obat, tentu di dalam rumah gubuk ada orang sakit. Dan siapakah
yang sakit" Siapa pula yang sedang masak obat"
413 Pintu pagar tampak setengah tertutup, di bawah pagar tampak terletak sebuah anglo kecil
dengan pot kecil tempat masak obat, agaknya air obat sudah mulai mendidih dan
menyebarkan bau obat yang keras.
Seekor kucing hitam mendekam di samping anglo dengan setengah mengantuk. Di sekeliling
situ tak tampak seorangpun. Di manakah orang yang memasak obat" Untuk apakah
Tangkwik-siansing membawa Pwe-giok ke tempat ini"
"Meong", mendadak kucing itu berbunyi sambil meloncat ke atas, ke dalam pangkuan
Tangkwik-siansing. Perlahan Tangkwik-siansing membelai bulu kucing hitam yang halus bagai sutera itu,
ucapnya dengan tertawa, "Haha, si Hitam sayang, jangan mencakar jenggot kakek!"
Pwe-giok tidak berminat terhadap anjing atau kucing, maka ia tidak tertarik kepada kucing
hitam kesayangan Tangkwik-siansing.
Selagi ia merasa kesepian, tiba-tiba terdengar seorang menegur, "Apa kabar, Ji-kongcu" Baikbaikkah
selama ini?" Suara itu timbul dari belakangnya. Keruan Pwe-giok terkejut, cepat ia berpaling, maka
terlihatlah seraut wajah yang sudah dikenalnya.
Wajah yang sudah tua, penuh keriput dan bekas-bekas penderitaan kehidupan yang panjang,
namun sinar matanya yang menampilkan senyuman simpatik tampak jernih bagai air telaga
yang bening. Kejut dan girang Pwe-giok demi mengenal siapa gerangan si kakek, serunya, "He, kiranya
engkau berada di sini " "
Di sini dan dalam keadaan demikian ia dapat bertemu lagi dengan "si kakek Ko", sungguh
rasanya seperti mimpi atau sudah pada penjelmaan hidup baru.
Kakek itu memang betul si kakek Ko alias Tangkwik Ko yang sudah dikenalnya dan pernah
menyelamatkan jiwanya di Sat-jin-ceng dahulu.
Tangkwik Ko sedang menjinjing sebuah ember kayu yang penuh terisi air. Meski dengan
membawa ember sebesar itu dengan air penuh, ternyata Pwe-giok sama sekali tidak tahu akan
munculnya orang tua itu, dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya.
Melihat codet pada muka Pwe-giok itu, seketika air muka Tangkwik Ko berubah, ia
memandangnya lagi beberapa kejap, segera sorot matanya memancarkan senyuman pula,
gumamnya, "Tampaknya segala sesuatu di dunia ini tidak boleh terlalu sempurna, akan lebih
baik jika ada sedikit cacat atau sesuatu kekurangannya."
Pwe-giok merasa kerongkongannya tersumbat, ingin bicara, tapi sukar bersuara. Seketika ia
hanya melenggong saja. 414 Tangkwik Ko menepuk-nepuk bahunya, ucapnya dengan tertawa cerah, "Kutahu apa yang
hendak kau katakan. Lebih baik tidak kau katakan saja. Di dalam rumah masih ada satu orang
yang senantiasa memikirkan dirimu, lekas kau masuk menjenguknya."
Siapakah orang di dalam rumah yang dimaksudkan Tangkwik Ko" Siapakah yang sakit dan
perlu dimasakkan obat" Jangan-jangan Ki Leng-yan" Atau Cia Thian-pi" Atau Lim Tay-ih"
Tangan Pwe-giok terasa agak gemetar, tidak urung ia mendorong pintu dan masuk ke dalam
rumah gubuk itu. Dilihatnya seorang berbaju putih berbaring miring di atas tempat tidur, mukanya pucat
kekuning-kuningan dan agak kurus, matanya setengah terbuka dan setengah terpejam, namun
sinar matanya tampak gemerlapan.
Begitu melihat orang ini, tak terkatakan rasa girang Pwe-giok, mendadak ia berteriak sambil
menubruk maju, "Hong-samko! Mengapa engkaupun berada di sini, Hong-samko?"
Yang berbaring di situ, orang sakit yang perlu minum obat, ternyata Hoang Sam adanya.
Demi melihat Hong Sam dan Tangkwik Ko berada bersama di sini, seketika kepercayaan Ji
Pwe-giok terhadap Tangkwik-siansing bertambah kuat, walaupun masih ada beberapa hal
dirasakannya masih sukar mendapat penjelasan.
Lebih-lebih tentang kejadian di gua bawah tanah itu, di mana disaksikannya dengan jelas
Bak-giok Hujin Ki Pi-ceng telah membinasakan Ki Go-ceng, peristiwa ini dilihatnya dengan
mata kepala sendiri dan bukan kabar berita.
Begitulah, secara ringkas ia ceritakan kepada Hong Sam pengalamannya selama berpisah ini.
Waktu menuturkan cara bagaimana Cu Lui-ji tertipu dan dibawa pegi oleh Ki Pi-ceng,
sungguh tidak kepalang rasa sedih Pwe-giok dan juga merasa malu karena dirinya gagal
melindungi anak dara itu.
Tapi Hong Sam lantas menghiburnya malah, katanya, "Ki Pi-ceng pasti tidak akan membikin
susah Lui-ji, sebabnya dia membawa pergi Lui-ji hanya digunakan sebagai sandera saja agar
kau tunduk kepada segala perintahnya, supaya kau tidak berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan kehendaknya, supaya kau tidak memusuhi dia."
"Ya, seharusnya sejak semula kupikirkan hal ini, mengapa kubiarkan Lui-ji dibawa pergi
olehnya?" kata Pwe-giok dengan menunduk.
"Padahal kaupun tidak perlu berkuatir bagi Lui-ji," ujar Hong Sam dengan tertawa. "Anak
dara ini cukup cerdik dan licin, kuyakin Ki Pi-ceng belum tentu dapat mengatasi dia. "
Pwe-giok pikir urusan sudah kadung begitu, biarpun kuatir juga tiada gunanya. Terpaksa
untuk sementara dia harus melapangkan dada dan kesampingkan dulu urusan Cu Lui-ji.
Segera ia mengeluarkan buku harian dan potongan bambu itu, katanya kepada Hong Sam,
"Barang-barang inilah yang kutemukan di bawah loteng kecil di Li-toh-tin itu..."
"Sungguh aneh, mengapa buku kecil catatan begini sedemikian mendapat perhatian Siau-hunkiongcu
dan disimpan secara rahasia " "kata Hong Sam sambil berkerut kening.
415 Dengan serius Pwe-giok berkata, "Sebab buku ini adalah buku hutang-piutang yang disebut
Giam-ong-ceh ( piutang raja akherat). Di sini tercatat segala perbuatan jahat setiap tokoh
dunia persilatan. Dengan memiliki buku ini, sama halnya Siau-hun kiongcu memegang
semacam jimat, sebab siapapun pasti kuatir rahasia buruknya akan dibongkar dan disiarkan
olehnya, mau-tak-mau mereka merasa jeri dan segan padanya. "
Hong Sam mengangguk, tapi lantas menggeleng-geleng pula, katanya, "Tidak, alasan ini
memang betul juga, tapi masih ada juga segi kebalikannya, maksudku, buku Giam-ong-ceh ini
justru merupakan sumber bencana."
Pwe-giok termenung sejenak, katanya kemudian, "Ya, ku paham maksud Samko. Setiap
tokoh Kangouw yang perbuatan buruknya tercatat di dalam Giam-ong-ceh, tentu dengan
segala upaya ingin memiliki buku catatan ini, sebab kalau buku ini sudah dipegangnya, di
samping perbuatan buruk sendiri dapat ditutupi atau dihapus, sekaligus dapat digunakan
sebagai alat pemeras kepada orang lain. Betul tidak ?"
Hong Sam mengangguk, katanya "Betul, sebab itulah jika dari buku Giam-ong-ceh ini sudah
sekian banyak rahasia orang lain yang kau ketahui, maka sekarang tidak perlu lagi kau
Pedang Asmara 17 Golok Sakti Karya Chin Yung Rahasia Peti Wasiat 5

Cari Blog Ini