Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 2
ditangkap hidup-hidup oleh musuh. Belum dapat ia menumpahkan kemarahannya, tahutahu
bahunya tertutuk. Dara itupun rubuh ke tanah.
Sekalipun tertutuk jalan darahnya, tetapi Hui-ing masih sadar pikirannya. Ia merasa
tubuhnya dijalari sebuah tangan yang kurus kering. Hendak menjerit tak dapat, hendak
meronta tak mampu. Dara itu menangis karena menahan malu dan kemarahan yang
meluap-luap. Karena ia jatuh tengkurap, maka tak dapatlah ia melihat siapakah yang jail
kepadanya itu. Ketika tangan kurus itu meraba ke dada, tiba-tiba berhenti dan dengan sebuah
gurangan jari yang ringan, robeklah pakaian si dara!
Hui-ing makin gelisah. Tangan kurus itu ternyata berhenti di bagian bajunya yang
dipergunakan menyimpan buntalan kain kuning. Benda yang oleh ayahnya disuruh
menyerahkan pada Tukang Pancing Lim Ching-siu.
Sebelum dapat berbuat apa-apa, tangan kurus itu pun sudah mengambil keluar
bungkusan kain itu. Pada lain saat terdengar bungkusan itu dirobek.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, Hui-ing rasakan jalan darahnya yang tertutuk itu
diurut-urut. Seketika darahnya memancar kembali. Hui-ing segera hendak loncat bangun
tetapi dia dibentak oleh sebuah suara dingin: "Budak perempuan, jika berani mencuri
kesempatan melarikan diri, tulang-tulangmu akan kuremuk-remuk. Biar kau merasakan
kesakitan yang paling hebat. Mati tidak hidup tidak. Dan kusuruh kau tinggal di sini
menemani aku!" Jilid 03 HUI-ING ngeri mendengar ancaman itu, serunya:
"Huh, jika benda itu tak kau kembalikan padaku, akupun tidak sudi meninggalkan
tempat ini!" Dan mencuri kesempatan, tiba-tiba ia membalikkan kepala.
Astaga" apa yang dilihatnya benar, membuat tubuhnya menggigil. Cepat-cepat ia
pejamkan mata lagi. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Ternyata yang dilihatnya itu seorang manusia yang seram sekali. Manusia yang tak
berpakaian, telentang di atas sebuah batu. Rambutnya terurai lepas tiada ikatan,
memanjang beberapa meter. Mukanya penuh dengan gurat-gurat bekas luka. Dari batas
perut ke bawah, dagingnya kecil sekali, hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Tangan
kirinya terkulai lunglai. Hanya tangannya kanan yang masih dapat bergerak. Sedang
menggenggam secarik gambar peta dari kain sutera.
Rupanya manusia seram itu sudah mengetahui ketakutan Hui-ing. Tiba-tiba ia
menghela napas: "Budak perempuan, jangan takut! Empat puluh lima tahun yang lalu,
akupun serupa cantiknya seperti kau. Mungkin masih lebih cantik dari kau. Entah berapa
puluh pemuda yang menyembah di bawah telapak kakiku"."
Hui-ing kicop-kicupkan matanya. Walaupun masih takut, tetapi diberanikan juga untuk
bertanya: "Benarkah itu?"
Manusia seram berambut panjang itu marah: "Masakan aku bohong padamu!" Tibatiba
nadanya agak lembut lagi: "Ah, memang kalau ditilik dari wajahku yang ngeri saat ini,
jangankan kau, tetapi setiap orang pun tentu tak percaya pada keteranganku. Tetapi apa
yang aku katakan itu, memang benar-benar kenyataan"."
Ia berhenti sejenak merenung. Rupanya ia terkenang akan peristiwa lama yang
menyedihkan. Ia menghela napas, ujarnya: "Tetapi apakah bedanya orang yang cantik
dan buruk itu" Bukankah setelah mati, tengkorak si cantik dan tengkorak si buruk tak ada
bedanya?" Karena orang makin lama makin ramah, timbullah nyali Hui-ing untuk bertanya:
"Mengapa lo-cianpwee berada di liang neraka ini" Ah, betapa kasihan lo-cianpwe tinggal
di tempat selembab ini sampai berpuluh tahun?"
Tiba-tiba manusia seram itu tertawa dingin. "Aku telah dicelakai orang. Tubuhku
ditabur obat racun yang membuat tulang dan kulit-kulitku menyusut kecil. Lalu aku
dilempar ke dalam liang neraka sini. Aku menderita kesakitan paling sengsara yang
pernah dialami manusia! Tetapi orang yang mencelakai aku itu, telah kubunuh. Jika aku
tidak lumpuh, hm, entah berapa banyak jiwa yang akan kubunuh."
Dalam kegelapan, Hui-ing melihat betapa tajam mata manusia seram itu memancarkan
cahaya berapi-api. Api dendam kesumat kepada musuh-musuhnya!
Tiba-tiba manusia seram itu menghela napas: "Mengapa dulu-dulu kau tak datang
kemari?" Hui-ing terkesiap, sahutnya: "Liang goa ini berada di pusar gunung, jarang orang
mengetahui. Dan lagi kamipun tak tahu kalau di sini terdapat penghuninya"."
Tiba-tiba manusia seram itu mengangkat tangan kanannya yang memegang gambar
peta lalu mendorong pada dinding batu di belakangnya. Krek" dinding itupun terbuka
sebuah lobang. Cahayanya bintang-bintang di langit, menerobos masuk hingga liang itu
tampak agak terang. Hui-ing berpaling. Dilihatnya Siu-lam terlentang di tanah dengan tangan mendekap
muka. Diam-diam Hui-ing heran dan kagum, manusia seram itu hanya mempunyai
sebuah lengan yang dapat bergerak, tetapi ilmu tutukannya luar biasa hebatnya. Dapat
menutuk cepat sekali dan mengarah jalan darah agar orang itu roboh menurut yang
dikehendakinya. Manusia seram itu memandang ke langit, ujarnya: "Saat sudah lewat tengah malam.
Beberapa jam lagi sudah terang tanah. Jika kalian datang ke sini beberapa tahun yang
lalu, betisku belum hilang dagingnya, alangkah baiknya! Tetapi sekarang, sudah
terlambat. Sekalipun aku masih dapat bertahan hidup beberapa bulan, tetapi sudah tidak
berguna!" Hui-ing tidak mengerti apa yang dituturkan manusia aneh itu, namun ia tetap terharu.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil: "Mamah!"
Manusia aneh itu menghela napas, serunya: "Oh, kau sudah pulang?"
"Eeeh, lo-cianpwe mempunyai seorang putri juga?" tanya Hui-ing.
Manusia aneh tertawa: "Hm, benar! Apakah kau hendak berkenalan dengannya?"
Diam-diam Hui-ing tak percaya bahwa seorang gadis mampu masuk keluar ke tempat
yang sedemikian berbahayanya itu. Namun ia tertawa: "Sudah tentu aku senang sekali
berkenalan dengan puteri lo-cianpwe!"
Manusia berambut panjang yang ternyata seorang wanita itu segera lambaikan
tangannya ke lobang goa dan serempak dengan itu menggelindinglah dua butir buah Li,
lalu seekor burung nuri menyelinap masuk.
Hui-ing terkejut. Seumur hidup belum pernah ia melihat seekor burung nuri sebesar
itu. Sifat kanak-kanaknya timbul, dielus-elusnya burung itu.
"Itulah puteriku, kau suka?" tanya wanita aneh.
"Seekor burung yang bagus sekali, locianpwe tentu menggunakan waktu lama untuk
mengajarinya!" "Sejak dilemparkan ke dalam liang neraka ini, hanya dialah yang menjadi kawanku. Ah,
jika tak ada dia, mungkin aku sudah mati kelaparan di sini."
Tiba-tiba Hui-ing teringat akan suheng yang masih menggeletak tak berkutik, ia
memberanikan diri berkata: "Kami berdua telah dikejar musuh hingga kesalahan masuk ke
sini. Kami tak mempunyai permusuhan apa-apa dengan lo-cianpwee, entah"."
"Maksudmu agar kubuka jalan darah budak laki-laki itu, bukan?" tukas si wanita aneh.
"Lo-cianpwee seorang sakti, masakan kami dapat lolos?" kata Hui-ing.
"Memang," sahut si wanita aneh. "Kecuali aku merelakan kau pergi, jangan harap kau
bisa tinggalkan tempat ini," ia segera melambaikan tangan kanannya ke arah Siu-lam.
Terdengar Siu-lam menghela napas dan menggeliat bangun. Melihat sumoaynya tidak
kurang sesuatu, bernapas lega. Kemudian berpaling ke arah wanita aneh yang berbaring
di pembaringan, ia kaget tetapi cepat ia tindas perasaannya.
Wanita aneh itu menyapukan pandangannya kepada kedua muda-mudi, tanyanya: "Apa
kalian masih ingin tinggalkan liang neraka ini?"
"Maaf, aku tidak mengerti maksud lo-cianpwee," sahut Siu-lam.
Wanita aneh itu tertawa seram: "Jika ingin tinggalkan tempat celaka ini harus
meluluskan sebuah permintaanku. Jika tidak, kalian harus tinggal di sini seumur hidup.
Setelah aku hampir mati, sebelumnya hendak aku remukkan dulu jalan darah kalian yang
penting agar serupa denganku. Akan kusuruh si nuri untuk mencarikan makan sampai
akhir hidup kalian!"
Siu-lam ngeri mendengarnya, namun dipaksakan juga untuk menyahut: "Entah apa
yang hendak lo-cianpwee perintahkan pada kami?"
Tiba-tiba si wanita aneh berganti nada seram: "Sebenarnya juga bukan hal yang sukar
asal kalian bersungguh-sungguh melaksanakan tentu dapat"." Ia mengangkat gambar
peta, serunya pula: "Akan kutukar obat yang hendak kusuruh cari itu, dengan gambar
peta ini!" "Mana bisa! Peta itu adalah milik ayahku!" teriak Hui-ing.
Wanita aneh itu tertawa mengekeh, serunya: "Apa" Peta Telaga Darah itu milik
ayahmu?" "Entah miliknya atau bukan aku kurang jelas. Tetapi ayahlah yang memberikannya
kepadaku dan suruh memberikannya pada seseorang!"
"Baik! Karena kau segan kehilangan peta itu, tinggallah di sini seumur hidup!" seru si
wanita. Hui-ing terkesiap: "Caramu memaksa dengan kekerasan itu, sungguh tidak memuaskan
hatiku!" Wanita aneh tertawa: "Jika kau bicara seperti ini ketika aku masih segar, walaupun
nyawamu rangkap sepuluh, tentu akan kuhancurkan semua! Setelah beberapa tahun
dijebloskan di sini, watak berangasanku banyak berkurang. Nah, katakanlah, dengan cara
bagaimana kau dapat puas?"
Siu-lam tahu bahwa wanita berwajah seram itu sakti sekali. Jika sumoaynya sampai
kesalahan omong, tentu akan celaka. Buru-buru ia nyeletuk: "Lo-cianpwee mau tukar
peta itu dengan obat yang kami cari. Tetapi lebih dulu harap ceritakan asal-usul peta itu
agar kami tak dapat ditipu orang!"
Wanita aneh itu merenung sejenak lalu katanya: "Dalam dunia persilatan dewasa ini,
memang sedikit sekali orang yang tahu tentang riwayat peta ini! Dan lagi menilik usia dan
kepandaian kalian sekarang ini, sekalipun memiliki peta itu juga tiada gunanya. Malahmalah
akan mendatangkan bencana padamu!"
Makin berat dugaan Siu-lam bahwa kematian kedua gurunya itu akibat menyimpan peta
itu. Keinginannya untuk mengetahui riwayat peta makin besar. Dengan cara membikin
panas hati, Siu-lam berseru: "Sebuah gambar peta dari sutera yang sudah kusam begitu,
masakan begitu berharga dipertaruhkan dengan jiwa?"
Wanita aneh tertawa: "Kau tahu apa, budak! Dahulu itu peta dibuat oleh seorang tabib
sakti Lo Hian bergelar Sin-ih-tan-su (Tabib Sakti Ahli Pembuat Pil). Peta itu merupakan
tempat penyimpanannya resep-resep dan obat-obat mukjijat. Selain itu juga dua batang
rumput ajaib, permata mustika yang tak terhitung banyaknya. Tabib Lo Han itu selain
pandai ilmu obat-obatanpun memiliki ilmu silat yang sakti. Tetapi tabib itu seorang
manusia aneh. Dia tak mau berjumpa dengan orang. Entah sudah banyak tokoh-tokoh
persilatan yang berusaha hendak menjumpainya, selalu gagal. Konon kabarnya tabib itu
sudah meninggal dan peta pusaka itu diberikan kepada salah seorang ahli waris muridnya.
Tetapi kabar itu tak benar. Karena seumur hidup dia tak pernah menerima murid secara
resmi. Orang yang disebut sebagai muridnya itu hanya secara kebetulan berjumpa
dengan dia dan tinggal bersamanya selama tiga hari. Sekalipun dalam waktu sesingkat
itu, orang itu telah mendapat banyak sekali pelajaran-pelajaran yang berharga. Walaupun
hanya sepersepuluh dari kepandaian si tabib, tetapi sudah membuatnya sejajar dengan
tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi."
"Ah, masakah di dunia terdapat manusia yang sedemikian saktinya?" seru Siu-lam.
Wanita aneh menghela napas, ujarnya: "Yang hendak kusuruh kalian lakukan jalan
mencari orang yang dianggap sebagai ahli waris tabib itu. Tukarkan peta ini dengan obat
Kiu-coan-siok-beng-seng-ki-san!"
Kiu-coan-siok-beng-seng-ki-san artinya obat penyembuh nyawa dan pemulih daging.
Hui-ing tak berani memberi jawaban. Dipandangnya Siu-lam.
Siu-lam tampak merenung. Dia tahu bahwa menolak perintah wanita itu, berarti mati.
Namun meluluskan, pun berat. Peta itu adalah pemberian suhunya supaya diserahkan
pada Si Tukang Pancing Lim Chin-siu".
Kembali wanita aneh itu tertawa rawan: "Jika kalian dapat mencarikan obat itu
sehingga aku bisa sembuh, sudah tentu takkan kulupakan budimu begitu saja. Akan
kuberi tiga macam ilmu kesaktian yang kumiliki. Cukup kalian mempelajari tujuh bagian
saja, kalian tentu sukar menemui tandingan lagi. Seumur hidup aku belum pernah
meminta pertolongan orang seperti saat ini. Mau atau tidak kalian membantu aku, supaya
kalian pertimbangkan!" Habis berkata wanita itu lalu pejamkan mata.
Siu-lam berpaling kepada sumoaynya. Karena wanita itu berada di dekatnya, mereka
tak leluasa berunding dengan mulut. Apa boleh buat, mereka menggunakan isyarat
kerutan dahi dan wajah. Setelah merenung beberapa waktu, akhirnya Hui-ing menghela napas perlahan: "Ah,
bagaimana ini" Ayah telah perintahkan aku supaya menyerahkan pada Si Tukang Pancing.
Jika tak kulaksanakan, ayah tentu marah. Ah, sukar nih"."
Tiba-tiba wanita aneh itu membuka mata dan memandang keluar: "Hari sudah terang,
sebentar tentu sudah terang tanah. Tubuhku yang kena racun ini tak boleh terkena sinar
matahari. Sekali kena, racun itu akan menjalar keras, tubuhku akan cair jadi air!"
"Begini sajalah," akhirnya Siu-lam berseru: "Biar aku tinggal di sini sebagai tanggungan.
Lo-cianpwe berikan peta itu kepada sumoayku. Begitu sumoay sudah berhasil menemui
Ti-ki-cu Gan Leng-po dan menukarkan dengan Kiu-coan-siok-beng-seng-ki-san, barulah locianpwe
lepaskan kami!" "Mamah, mamah, hari sudah pagi, hari sudah pagi!" tiba-tiba burung nuri berteriak dan
terbang keluar dari lubang goa.
Tiba-tiba wanita aneh itu mencengkeram tubuh Siu-lam dan diangkatnya ke atas: "Dari
pada kau yang tinggal di sini, aku lebih suka sumoaymu yang berada di sini. Paling lama
aku hanya dapat bertahan tiga bulan lagi. Jika dalam tiga bulan kau tak kembali
membawa obat itu, tulang-belulang sumoaymu akan kurusak agar dia tetap mengawani
aku seumur hidup di sini!"
Sebelum Siu-lam sempat bicara, tahu-tahu ia telah dilempar keluar. Huh! Ia dikejutkan
oleh air yang mencurah ke kepalanya. Ternyata saat itu ia berada di bawah sebuah air
terjun. Goa tadi terjadi karena lubang yang dibuat oleh curahan air terjun yang beratusratus
tahun lamanya. Tiba-tiba wanita itu berseru dari lubang goa: "Ti-ki-cu Gan Leng-po itu tinggal di tapal
batas Kiang-see dan Kanglam di gunung Kiu-kiong-san. Mudah sekali menukarkan peta itu
dengan obat yang kuperlukan. Karena dia memang butuh sekali akan peta itu. Tetapi
ingat, jangan sekali-kali kau mengatakan bahwa aku yang memerlukan obat itu. Kalau dia
sampai tahu hal itu, kau tentu dibunuhnya. Nah, ingatlah, kau hanya mempunyai waktu
tiga bulan. Dapat tidaknya kau menepati janji, tergantung dari berapa nilai tanggung
jawabmu atas keselamatan sumoaymu ini!"
Tiba-tiba Siu-lam rasakan tubuhnya didorong oleh serangkum tenaga dan byuuur, ia
jatuh ke dalam kolam air. Buru-buru ia berenang naik ke tepian. Peta pusaka
disimpannya, setelah beberapa saat terlongong-longong memandang ke liang goa yang
berisi sumoaynya itu segera ia kuatkan hati dan angkat kaki.
Entah berapa lama ia menyusuri di dalam lembah itu, tiba-tiba mendengar suara orang
melengking di udara: "Matahari sudah keluar, matahari sudah keluar!"
Ketika memandang ke atas, ah, ternyata burung nuri piaraan si nenek berwajah seram.
Rupanya burung itu sengaja menunjukkan jalan. Akhirnya menjelang tengah hari,
dapatlah ia keluar dari lembah. Tiba di mulut lembah, burung nuri itupun tiba-tiba terbang
masuk ke dalam lembah itu.
Siu-lam terlongong-longong mengantarkan kepergian burung nuri berparuh merah itu.
Apa yang dialami selama beberapa hari itu. Apa yang dialami selama beberapa hari ini,
benar-benar tak mudah dilupakan. Kini ia hanya diberi waktu tiga bulan. Apabila ia gagal
mendapatkan obat itu, sumoaynya tentu dibunuh si nenek. Dan kini harus menjaga peta
itu baik-baik. Teringat akan peta, seketika timbullah keinginannya untuk melihat.
Benarkah peta itu sedemikian hebat nilainya.
Segera ia mencari beristirahat. Petapun dikeluarkan".
Di bawah sinar matahari, peta itu tampak jelas. Tetapi gambar-gambar yang tertera di
situ berbeda sekali dengan peta kebanyakan. Tutup kulit peta itu dilumuri darah merah,
sehingga menimbulkan kesan yang menyeramkan.
Di dalamnya terdapat banyak garis-garis warna hitam yang melingkar-lingkar macam
sarang labah-labah. Ada yang gurasannya tebal ada yang tipis. Di tengah-tengah
lingkaran garis itu terdapat sebuah titik warna putih yang menonjol, diberi dua baris
tulisan berbunyi: "Mustika tiga jaman, pil lima racun, angin jahat bara api, rahasia sepanjang masa. Tak
boleh sembarang ambil. Siapa lancang masuk ke telaga darah, pasti hancur binasa tiada
tara." Beberapa jenak Siu-lam memandang peta itu dan merenungkan bunyi tulisannya. Ia
masih meragukan kebenaran isi tulisan itu.
Disimpannya lagi peta itu, lalu ia meneruskan perjalanan. Dengan menggunakan ilmu
lari cepat, dapatlah dalam beberapa hari saja ia tiba di kaki gunung Kiu-kiong-san.
Gunung itu merupakan sebuah pegunungan yang luas dan tinggi. Siu-lam termangu.
Kemanakah ia harus mencari tempat tinggal si tabib di daerah pegunungan yang seluas
itu" Tengah ia bersangsi, tiba-tiba ia melihat seekor burung bangau besar terbang
menggondol seekor ular. Serentak timbul pikirannya. Ia beli segulung tali dan kain putih.
Ternyata ia hendak membuat sebuah layang-layang. Layang-layang itu ditulis beberapa
huruf yang artinya: "Mohon berjumpa dengan Ti-ki-cu!"
Layang-layang itu dinaikkan sampai tinggi ke udara. Ujung tali diikat pada sebatang
pohon. Dari tempat seluas beberapa li, tentulah terlihat jelas. Tetapi menunggu sampai
setengah hari, belum juga ia melihat seseorang. Bahkan sampai matahari terbenam!
Malampun tiba. Siu-lam tidak putus asa. Dicobanya cara kedua, membuat api unggun.
Disinari api unggun layang-layang itu tampak jelas di malam hari. Itu pun gagal!
Ketika berputar diri, ia tersentak kaget. Beberapa langkah di belakangnya ternyata
muncul si darah baju putih. Dara yang dijumpai di rumah suhunya tempo hari! Sama
sekali ia tak mendengar suara kedatangan dara itu".
Walaupun sudah pernah berjumpa beberapa kali, namun malam itu karena jaraknya
dekat dan diterangi api unggun, Siu-lam kesima melihat kecantikan si dara yang menonjol.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya dara itu tahu dipandang dengan lekat, tetapi ia tak membuat reaksi apa-apa.
Beberapa saat kemudian iapun balas menatap wajah Siu-lam. Yang ditatap gelagapan
tersipu, buru-buru ia memberi hormat: "Atas pertolongan nona di Co-yang-ping itu, aku
menghaturkan terima kasih!"
Dara itu tertawa. "Tetapi apa maksud nona selalu mengikuti perjalananku selama ini?" tanya Siu-lam
pula. Si dara alihkan pandangan ke sebuah batu karang, serunya dingin: "Selagi api masih
menyala, lekas kau seret mayat-mayat itu dan lempar ke dalam api!"
Terkejut Siu-lam saat melihat mayat lelaki berpakaian ringkas tergeletak di tepi karang.
Ternyata orang itu tertutuk jalan darahnya dan nyawanya putus. Menilik tubuhnya yang
masih hangat, terang belum lama matinya. Segera ia melakukan perintah nona itu.
"Untuk ke sekian kali, nona telah menolongku. Dan nona selalu ikuti jejakku. Apa
maksud nona sebenarnya" Memang kuakui, jika nona mau tentu mudah membunuhku."
Sahut si dara dingin: "Sebenarnya akupun tak sesungguhnya hendak melepas budi
padamu. Tak perlu berterima kasih kepadaku. Karena gurumu Ciu Bwe dahulu pernah
sekali menolong orang tuaku, maka aku hendak membalas budi kepada murid atau anak
perempuannya. Malam ini adalah yang terakhir kalinya aku menolongmu. Lain kali jika
berjumpa mungkin kau kubunuh!" habis itu dara berputar diri dan berlalu.
Siu-lam memandang bayangan dara itu dengan berbagai kesan: "Ia dara cantik,
umurnya mungkin tujuh belasan tahun, tapi dingin."
Tengah termenung-menung, tiba-tiba di udara terdengar suara tertawa di udara.
Mendengar itu si dara cepatkan langkah. Dua tiga kali berlompat ia sudah lenyap dalam
hutan. Siu-lampun hendak bersembunyi tetapi sudah terlambat. Orangitu cepat sekali sudah
muncul di samping Siu-lam. Seorang kakek kurus yang berlari-lari dengan membawa
sebatang tongkat. Walaupun sudah tua tetapi gerakannya masih gesit sekali.
Kakek itu memandang Siu-lam dengan berkilat-kilat. Tiba-tiba kakek itu tekankan
tongkatnya ke tanah dan tahu-tahu tubuhnya melambung ke udara melayang melampaui
kepala Siu-lam terus meluncur ke tempat api unggun. Dengan tongkatnya ia mengungkit
mayat yang dilempar ke api oleh Siu-lam tadi, terus dilemparkan dua tombak jauhnya.
"Siapakah yang dibakar ini?" serunya dengan dingin.
Siu-lam tahu atas kesaktian si kakek. Tiba-tiba terkilas sesuatu pada pikirannya. Ia
tertawa: "Apa locianpwe ini Gan lo-cianpwe?"
"Benar, memang aku Gan Leng-po yang kau cari!" sahut orang tua itu.
"Wanpwe sudah lama mengagumi lo-cianpwe. Maka jauh-jauh kuperlakukan
berkunjung kemari untuk menemui lo-cianpwe."
Ti-ki-cu Gang Leng-po memandang layang-layang kain yang dibuat Siu-lam. Ia tertawa
dingin: "Pintar juga akalmu itu. Tetapi apakah maksudmu menghadangku?" katanya
congkak. "Gan lo-cianpwe tentulah seorang sakti, maka wanpwe sengaja bawa benda pusaka
kesini?" "Apakah benda itu hendak kau haturkan padaku?" tanya Gan Leng-po dingin.
"Lo-cianpwe menduga tepat?"
"Seumur hidup aku hanya memberi pada orang. Tak pernah menerima pemberian
orang!" serunya marah.
Siu-lam tertawa: "Aaah, janganlah lo-cianpwe buru-buru menolak. Mungkin benda itu
adalah benda yang lo-cianpwee idam-idamkan."
"Apa" Segala ratna mutu manikam bagiku hanya seperti batu biasa. Rasanya tiada
benda di dunia yang dapat menarik hatiku!" seru si tabib itu dengan murka.
"Janganlah lo-cianpwe buru-buru mengatakan begitu. Benda ini benar-benar tiada
tandingannya di dunia"."
"Sekalipun tiada keduanya di dunia, tetapi jangan harap dapat menggerakkan hatiku,"
berdengus Gan Leng-po. "Kau berani datang kemari tentu sudah tahu peraturanku.
Bahwa sekeliling sepuluh li luasnya tak boleh sembarangan melukai orang!"
Siu-lam tertawa tawar: "Maaf, wanpwe belum pernah dengar hal pantangan lo-cianpwe
itu!" Gan Leng-po tertawa dingin: "Orang kenal aku, tentu tahu tentang laranganku itu. Kau
tak tahu berarti kau memandang rendah padaku. Dan dengan berani melukai orang, kau
tentu mempunyai kepandaian sakti. Nah, aku minta pelajaranmu beberapa jurus dulu
baru nanti kita bicara lagi!"
Wut, Gan Leng-po menutup kata-katanya, dengan melayangkan tongkat ke kepala Siulam.
Siu-lam terkejut sekali. Walaupun enak saja si tabib menggerakkan tongkat, tetapi
kerasnya bukan main. Menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Siu-lam cepat menghindar ke samping. Ia tertawa gelak-gelak: "Aha, orang persilatan
mengagumi Ti-ki-cu sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan. Tetapi ternyata apa yang
aku saksikan tidaklah seperti yang disohorkan. Sungguh kecewa sekali. Tahu begini tak
perlu jauh-jauh aku datang kemari menemuinya!"
Gan Leng-po tertawa gelak: "Di daerah tempat tinggalku kau berani membunuh orang,
mengapa masih berani banyak mulut?"
Diam-diam Siu-lam menimang. Orang itu dibunuh si dara baju putih. Jika ia dapat
mengadu Gan Leng-po dengan si dara baju putih, bukankah ia dapat melenyapkan
seorang musuh yang tangguh seperti dara itu" Tapi ia teringat betapa dara itu telah
menyelamatkan jiwanya. Tidakkah suatu perbuatan rendah jika membalas budi orang
dengan kejahatan" Serentak ia mendapat akal, sahutnya: "Benda yang kuberikan pada lo-cianpwe ini,
menimbulkan nafsu orang untuk memilikinya. Untuk menjaganya terpaksa
membunuhnya, jikalau lo-cianpwe tak menerima, aku tidak memaksa dan aku pergi dari
sini!" "Hm". kau kata mencari aku dan malah berani melanggar laranganku membunuh
orang. Jangan harap bisa pergi dari sini semaumu!" dengus Gan Leng-po.
Siu-lam sadar, tidak mungkin ia dapat melawan tabib itu. Jika terlibat lama dalam
percakapan dan timbulkan kemarahan tabib itu, ia kuatir akan menderita bencana.
"Pernahkah lo-cianpwe mendengar tentang peta Telaga Darah?" tanyanya dengan nada
bersungguh. Mendengar itu Gan Leng-po tercengang.
"Apa" Kau mendapatkan peta Telaga Darah?" teriaknya kaget.
Siu-lam tersenyum simpul: "Kedatanganku kemari adalah hendak menukarkan peta
pusaka itu dengan pil buatan lo-cianpwe!"
Entah girang entah kaget, Gan Leng-po hanya mengangguk-angguk kepala saja dan
mengigau perlahan: "Benar, di dalam dunia hanya benda itu yang dapat menggerakkan
hatiku!" Melihat reaksi si tabib yang sedemikian hebat, diam-diam Siu-lam mengakui kebenaran
kata-kata si wanita seram.
"Aku seorang anak yang kurang pengalaman. Walaupun mendapat peta itu tetapi tak
gunanya. Maka kupikir lebih baik kutukarkan dengan beberapa macam pil buatan locianpwe
yang sakti!" katanya lebih lanjut.
Tampaknya si tabib sudah tenang kembali. Ia tertawa: "Di sini bukan tempat bicara.
Jika kau suka, mari kita omong-omong dalam pondokku!"
Siu-lam menerima ajakan itu. Sebelumnya lebih dulu si tabib memutus layang-layang
tali, Siu-lam ikut tabib aneh itu masuk ke dalam sebuah lembah.
Saat itu rembulan sudah mendaki puncak gunung. Sekonyong-konyong Gan Leng-po
berhenti dan berkata: "Tempat tinggalku di belakang tikungan itu!"
Ketika melalui dua buah tikungan gunung, tibalah mereka di sebuah telaga kecil. Di
atas telaga itu terapung dua pondok: "Itulah tempatku, di atas air!" kata si tabib.
Memandang ke lereng puncak, Siu-lam melihat kurang lebih dua ratusn kolam air,
dilingkari oleh beratus-ratus saluran air yang mencurah ke bawah karang. Cara
menyalurkan air diatur sedemikian rupa sehingga air tetap, mengalir ke bawah. Sebuah
jalan batu pandak menjulur masuk ke tengah telaga. Si tabib melangkah ke jalanan batu
itu lalu membungkuk dan masukkan tangannya ke dalam air. Tiba-tiba salah satu pondok
yang kecil, meluncur ke arah si tabib. Kiranya di bawah jalanan batu itu dipasang tali yang
menyambung ke pondok kayu.
Berkata si tabib dengan bangga: "Untuk membuat pil, terpaksa aku tinggal di sini
selama dua puluhan tahun. Air telaga ini berasal dari sumber air dingin di perut gunung
dan cairan salju beratus tahun umurnya. Air itu paling cocok untuk pembuatan pil.
Karena itu terpaksa kubuat dua buah pondok terapung!"
Siu-lam memuji keahlian orang. Setelah diajak masuk pondok terapung, si tabib lalu
membuka daun jendelanya. Tib-tiba pondok itu meluncur ke tengah telaga lagi.
Kembali Siu-lam harus memuji kepandaian tabib itu merencanakan pondok terapung
yang indah dan praktis. Di dalam pondok terdapat lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis
ternama. Caranya mengatur hiasan dan alat-alat dalam pondok itu, menimbulkan kesan
yang menggairahkan hati orang.
Gan Leng-po senang mendapat pujian tamunya. Ia mengatakan bahwa tempat
pembuatan pil dilakukan di pondok terapung yang lebih besar itu.
"Selain seorang kacung, tak pernah orang luar masuk ke pondok terapung itu. Tetapi
malam ini kuadakan pengecualian untukmu. Mari kita lihat-lihat ke sana," katanya.
"Ah, jika itu suatu tempat rahasia, lebih baik aku tak ke sana," Siu-lam sungkan.
"Kau aneh benar, anak muda. Banyak orang ingin sekali melihat tempat pembuatan pil
tapi sia-sia. Sebaliknya kuajak kau, malah menampik. Benar-benar baru pertama kali ini
aku berjumpa dengan orang seperti kau," kata si tabib.
Akhirnya Siu-lam terpaksa mau. Si tabib segera ajak Siu-lam melangkah ke dalam
pondok terapung yang besar. Sebuah tungku besar dengan sebuah kuali besar di ruang
tengah, di samping tungku itu duduk seorang pemuda cakap berumur dua puluhan tahun.
Rupanya pemuda itu asyik memandang kuali, hingga kedatangan kedua orang itu tak
diketahuinya. Gan Leng-po menghampiri dan melongok ke kuali. Tiba-tiba ia membuka lubang angin
tungku. Seketika api pun reda.
Pemuda itu memandang sejenak pada Siu-lam lalu melangkah ke sudut ruang. Gan
Leng-po silahkan tamu duduk. Tak berapa lama si pemuda cakap keluar membawa
nampan dari batu pualam putih. Dari sinar lampu yang dibawa pemuda itu, Siu-lam
melihat dia pemuda beroman cakap dan gagah. Hanya sayang agak ketolol-tololan.
Siu-lam berterima kasih tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Gan Leng-po hela napas
dan menunjuk pada pemuda itu: "Anak itu telah menunggu pembuatan pil selama tiga
belas tahun. Dia mempunyai tulang bagus. Sayang dia bisu tuli!"
Siu-lam terkejut, ia mengatakan bukankah si tabib berkepandaian sakti untuk
mengobati segala macam penyakit?"
Gan Leng-po menghela napas: "Obat tak dapat melawan takdir. Andaikata anak itu
sembuh, dia tentu menjadi seorang tunas persilatan yang cemerlang. Ah, sayang,
sayang!" Memandang ke sebelah muka, Siu-lam melihat pemuda bisu itu tengah duduk
menunggu tungku. Sebentar-sebentar memandang Gan Leng-po dan Siu-lam dengan
tersenyum-senyum. Melihat itu makin timbul rasa kasihan Siu-lam. Ia mendesak
mengapa si tabib tak mengobatinya.
Gan Leng-po menghela napas: "Untuk mengobati memang masih ada harapan tetapi
harus dengan ilmu tusuk jarum yang lihay serta ramuan obat-obat yang sukar dicari"."
"Mengapa lo-cianpwe tak mau mencobanya?" desak Siu-lam pula.
"Ah, bukan aku tak mau. Dia telah membantu aku selama tiga belas tahun sejak dia
berumur enam tahun. Betapapun aku mempunyai rasa kasihan. Tetapi?"
"Tetapi bagaimana?"
"Cobalah kau lihat pada alisnya. Bukankah terdapat guratan macam naga timbul ke
atas. Itulah pertanda dari kekejaman yang ganas. Jika anak itu makin mempunyai
kesaktian, dia makin berbahaya. Aku tak dapat melawan takdir dan tak mau menimbulkan
bencana. Oleh karena itu sampai sekarang aku belum mau mengobatinya!"
Tiba-tiba Siu-lam teringat akan sumoaynya yang masih ditawan oleh si wanita seram.
Dia hanya diberi waktu tiga bulan. Segera ia alihkan pembicaraan kepada pokok
tujuannya. Mengeluarkan peta Telaga Darah, ia berkata: "Kudengar peta ini adalah
ciptaan Lo-han lo-cianpwe"."
"Itulah mendiang guruku, seorang manusia yang luar biasa"."
"Kudengar pula bahwa lo-cianwpe adalah satu-satunya murid dari Lo tayhiap, maka dari
jauh sengaja kudatang kemari karena perlu hendak menyerahkan peta pusaka ini kepada
lo-cianpwe dengan harapan lo-cianpwe sudi menukarnya dengan sebotol pil Kiu-coan-kisiokbeng-san!" Gan Leng-po tertawa: "Peta Telaga Darah adalah benda peninggalan guruku. Bagiku
benda itu tak ternilai harganya. Apa artinya hanya sebotol pil Kiu-coan-seng-ki-siok-bengsan"
Akan kuberi kau dua botol pil itu ditambah pula dengan sepuluh butir pil pemunah
segala racun Bik-tok-tin-sin-kim-tan."
Serentak Siu-lam berbangkit dan menyerahkan peta kepada si tabib: "Harap lo-cianpwe
suka memeriksa palsu tidaknya peta ini!"
Dengan hati-hati sekali Gan Leng-po menerima peta dan memeriksanya: "Benar, benar,
memang inilah peta Telaga Darah yang asli!" serunya dengan gemetar.
"Karena pembalasan pil sedang mencapai taraf penyelesaian, maaf, aku tak berani
mengganggu tempo lo-cianpwe lebih lama dan segera hendak minta diri," kata Siu-lam.
"Sebenarnya kuminta saudara tinggal beberapa hari di sini. Tetapi rupanya kau
mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan. Baiklah tunggulah sebentar,
kuambilkan obat itu!" segera ia masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian keluar
membawa dua botol dari batu kumala serta sebuah doos berwarna kuning emas.
"Kedua botol ini berisi pil Kiu-coan-seng-ki-siok-beng-san dan doos ini berisi sepuluh
butir pil Bik-tok-tin-sin-kim-tan. Untuk segala macam racun, pil ini mujarab sekali. Harap
kau pergunakan sebaik-baiknya!"
Setelah menerima obat itu, Siu-lam pun segera minta diri. Gan Leng-po mengantar
tamunya sampai jauh, kemudian ia memberi petunjuk: "Lurus kea rah tenggara kira-kira
dua puluh li, beloklah ke timur dan kau tentu keluar dari lembah ini. Maaf, aku tak dapat
mengantar kau lebih jauh lagi."
Siu-lam menghaturkan terima kasih dan segera lari menuruni gunung. Saat itu
rembulan terang, angin berhembus perlahan. Dengan gunakan ilmu lari cepat ia buruburu
hendak mencapai goa tempat kediaman wanita seram agar dapat membebaskan
sumoaynya. "Berhenti!" sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh bentakan yang dikenalnya sebagai
suara si tabib Gan Leng-po. Ia pun segera hentikan langkah.
Tabib itu mencekal tongkat dengan wajah merah membara, tegurnya bengis: "Seumur
hidup belum pernah aku ditipu orang. Tak kira mala mini aku kena diingusi seorang anak
kemarin sore!" "Apa" Apakah peta Telaga Darah itu palsu?" Siu-lam terkejut juga.
Gan Leng-po tertawa dingin: "Aku percaya mataku belum lamur. Tak mudah untuk
menipuku barang palsu!"
Siu-lam kaget. Mengapa dalam waktu beberapa saat saja sikap dan nada tabib itu
berubah seratus delapan puluh derajat. Heran dibuatnya.
"Jika peta tidak palsu, mengapa lo-cianpwe menyusul aku dan tampaknya marah"
Apakah lo-cianpwe menyesal karena memberi obat kelewat banyak?"
"Aku tak pernah menjilat ludahku!" sahut si tabib.
"Habis, apakah maksud lo-cianpwe?" Siu-lam benar-benar heran.
Gan Leng-po merenung sejenak, ujarnya: "Kalau begitu apakah kau benar-benar tidak
tahu?" Tepat sekali Siu-lam menduga kemungkinan yang dialami tabib itu, serunya: "Apakah
peta itu hilang?" Gan Leng-po tertawa gelak-gelak: "Bukan saja peta tetapi orang itupun mencuri
beberapa botol obat!"
Diam-diam perhatian Siu-lam tertumpah si darah baju putih. Siapa yang mampu
melakukan perbuatan itu kalau bukan dara yang mempunyai ilmu tinggi"
"Celaka, apabila dia sampai marah kepadaku pil pemberiannya ini tentu diambilnya
kembali," pikir Siu-lam.
"Aku tak mau menimpakan kesalahan pada orang. Tetapi yang jelas, selama dua puluh
tahun tinggal di pondok terapung itu tak pernah mengalami peristiwa semacam ini"."
"Maksud lo-cianpwe menuduh aku bersekongkol dengan orang luar?"
Siu-lam gelisah, namun ia masih berlaku setenang mungkin. Ia menanyakan
bagaimana maksud tabib itu.
"Selama peristiwa ini belum jelas, terpaksa kau tak kuperbolehkan meninggalkan
tempat ini," Gan Leng-po mendengus dingin.
"Apakah setahun lo-cianpwe belum dapat menyelidiki peristiwa itu, akupun harus
tinggal selama setahun juga?" Siu-lam makin gelisah.
"Ya, selama belum terang, selama itu kau harus tinggal di pondok terapung!"
"Kalau sampai sepuluh tahun?"
"Sepuluh tahun kau harus tinggal!"
Siu-lam terkejut. Namun ia tahu tabib itu terlalu sakti. Ia bukan lawannya. Akhirnya ia
terpaksa menurut. Diam-diam ia akan merencakan jalan meloloskan diri.
Gan Leng-po menghela napas. "Kupercaya tokoh-tokoh persilatan di daerah Kanglam
tentu jeri kepadaku. Jelas pencuri peta dan obat itu tentu bukan tokoh dari sini.
Kemungkinan dia tentu mengikuti jejakmu secara diam-diam."
"Kupercaya lo-cianpwe tentu mengetahui sampai di mana kepandaianku," kata Siu-lam.
"Ah, siapa tahu kepandaian orang. Mungkin kau masih menyembunyikan ilmu
kepandaian yang istimewa."
"Jangan merendah, locianpwe," seru Siu-lam, "Jika lo-cianpwe bersungguh-sungguh
menyerang, mana aku sanggup bertahan sampai sepuluh jurus saja?"
Gan Leng-po memaki pemuda itu di hati: "Hm, besar sekali omonganmu. Jika mau,
dalam tiga jurus saja jiwamu tentu sudah melayang!"
"Lo-cianpwe mengatakan kemungkinan ada orang secara diam-diam mengikuti jejakku.
Jika memang benar ada, mengapa tidak di tengah jalan ia menghadang aku?"
Pertanyaan Siu-lam itu membuat Gan Leng-po terkesiap. Akhirnya ia tertawa: "Kau
pintar juga. Tetapi jangan kuatir. Apabila sudah aku bekuk pencurinya, dua botol obat
dan coba pemunah racun itu tentu kuberi kepadamu!" habis berkata ia terus angkat kaki.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siu-lam mengikuti ketika tiba di pondok napasnya terengah-engah, sedang tabib itu
biasa saja. Tanpa menarik ujung tali pengikat pendek si tabib itu terus menyambar
lengannya Siu-lam dan dibawa loncat ke atas pondok yang besar. Rupanya tabib itu
mendapat firasat, selama ia mengejar Siu-lam, di pondoknya telah terjadi sesuatu lagi".
"Hai!" serentak menjeritlah Gan Leng-po ketika menyaksikan keadaan dalam ruang
pondok. Pemuda bisu menggeletak di dekat tungku. Dan api tungkupun padam.
Gan Leng-po banting-banting kaki: "Habis, habislah seluruh jerih payahku selama
sepuluhan tahun. Aku bersumpah tidak mau hidup sekolong langit dengan manusia itu!"
"Menghadapi musuh yang lihay baiklah lo-cianpwe berlaku tenang, jangan bernafsu,"
kata Siu-lam yang simpati atas kehilangan orang itu.
Pada saat melihat tungku api padam, wajah si tabib berubah menjadi suram sekali.
Bahkan Siu-lam sempat memperhatikan beberapa tetes air mata telah menitik dari mata
tabib itu. Ia tahu betapa besar kedukaan yang diderita si tabib saat itu.
Tiba-tiba Gan Len-po meraung sekeras-kerasnya. Tongkat dihantamkan sampai lantai
melesek. Dipeluknya kuali pemasak obat itu erat-erat. Ia tertawa nyaring nadanya penuh
dendam. Gan Leng-po sekonyong-konyong melempar kuali itu ke dalam telaga sekuatnya. Air
telaga muncrat ke atas. Pondok terapung berguncang. Siu-lam kaget dan membuat
reaksi cepat. Ia loncat keluar pondok. Tapi betapa cepatnya masih kalah cepat dengan
sambaran tenaga yang dilancarkan si tabib. Tubuhnya meluncur tercebur ke dalam
telaga". Untung ia pandai berenang. Cepat ia ke tepi telaga. Dilihatnya si tabib berlarian di
atas air telaga sambil tertawa pedih.
Siu-lam termangu-mangu menyaksikan peristiwa yang tak terduga itu. Seorang tokoh
persilatan yang sakti, tiba-tiba menjadi gila".
Tiba-tiba ia teringat pada pemuda bisu yang masih tergeletak di dalam pondok
terapung. Ia segera menuju ke situ. Ternyata pemuda bisu itu masih menggeletak tak
sadarkan diri. Walaupun sudah dilepaskan ikatannya, ia masih belum siuman. Dan
anehnya, Siu-lam tak mengetahui luka apa yang menyebabkan pemuda bisu itu pingsan.
Terpaksa ia duduk coba menolongnya dengan menyalurkan tenaga dalam. Tetapi
usahanya itupun tak berhasil.
Siu-lam menghela napas dan menyeka peluh di kepalanya. Pada saat ia mengangkat
kepala. Kejutnya bukan kepalang. Ternyata entah kapan, si dara baju putih sudah berada
di sebelahnya. Dara itu tertawa riang: "Aku telah gunakan ilmu tutuk istimewa menutuk jalan darahnya
Thing-kiong dan Hong-ih di tubuh pemuda itu. Jangankan kau, sedang tokoh-tokoh
persilatan yang lihay jangan harap dapat mengetahui rahasia tutukan ini!"
Siu-lam tenangkan goncangan hatinya, ujarnya: "Kalau begitu peta dan obat dari Gan
Leng-po tentu kau yang mencurinya!"
"Huh, mencuri" Aku toh mengambil benda yang berharga?" sahut si dara.
"Kuali yang dibuat memasak obat itu, kau juga yang memadamkan apinya?"
Dara itu mengangguk. "Ya, perlu apa kau tanya begitu melilit?"
Si dara berhenti sejenak, kerutkan dahi. Katanya pula: "Rupanya kau seorang yang
baik hati. Hm, tetapi urusan di sini tiada sangkut pautnya dengan kau. Aku tak percaya
kau akan membalaskan sakit hati orang buta itu!"
Siu-lam benar-benar tersinggung mendengar ucapan si dara. Serunya melantang:
"Meskipun kepandaianku kalah dengan kau, tetapi aku tak takut kepadamu!"
Si dara tersenyum: "Dengan memandang mendiang Ciu lo-enghiong, aku tak mau
bertengkar dengan kau. Lekaslah kau kembali ke Coh-yang-ping menemui sumoaymu."
Kata-kata itu diucapkan dengan nada ramah. Tidak lagi sedingin seperti tadi. Dan
memang Siu-lam segera teringat pada keselamatan sumoaynya. Buru-buru ia tinggalkan
pondok. Si dara memandang bayangan pemuda itu dengan menghela napas. Pada saat ia
hendak memanggilnya, tiba-tiba Siu-lam berputar diri. Mata mereka saling berpandangan.
Bibir mereka yang bergerak-gerak hendak berkata, tiba-tiba ia tak dapat meluncurkan
kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, adalah si dara yang membuka mulut lebih dulu:
"Mengapa tak lekas pergi?"
Sebenarnya tadi si daralah yang hendak memanggil tetapi karena Siu-lam berpaling diri,
dara itu batalkan kata-katanya.
"Pemuda itu seorang biasa. Jika kau tak mau menolongnya, janganlah melukainya
lagi!" kata Siu-lam.
"Perlu apa kau pedulikan dia" Bagaimana kalau kubunuh sekarang di hadapanmu?"
"Membunuh orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan yang perwira!" dengus
Siu-lam. Sekonyong-konyong si dara baju putih membungkukkan badan dan menutuk kepala si
bisu. Bukan kepalang kejut Siu-lam. Serentak ia loncat menerjang, menampar tangan si
dara. Tetapi dara itu luar biasa cepatnya. Menutuk kepala si bisu, kemudian menghindar
sehingga tamparan Siu-lam luput.
"Mau apakah kau?" tegurnya.
Siu-lam tertawa binal: "Menurut wajahmu secantik bunga, orang tentu tak percaya
kalau hatimu seganas ular berbisa!" habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah
keluar. Tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking nyaring:
"Kembalilah!" serangkum angin mendesis dan Siu-lam rasakan tubuhnya tertarik
mundur. Siu-lam terkejut. Buru-buru ia salurkan darahnya. Ternyata tak kurang suatu apa.
Cepat ia berpaling. Ah, ia terkejut ketika melihat seorang dara baju merah tegak di
ambang pintu. Dara itu memegang sebatang hud-tim (kebut pertapaan). Rambutnya
disanggul mirip dayang keratin, dadanya penuh berhias intan permata yang berkilaukilauan.
Seorang dara yang cantik jelita".
Menilik kemunculannya yang tak mengeluarkan suara sama sekali itu, Siu-lam menduga
dara baju merah itu tentu tak kalah sakti dengan si dara baju putih. Dan ketika
memandang pada si dara baju putih, ternyata dara itu berubah wajahnya.
Dara baju merah tertawa mengikik: "Sam-sumoay, kau sehat-sehat saja kan selama
ini?" Si dara baju putih menyahut dengan dingin: "Terima kasih atas perhatian Ji-suci!"
Ternyata keduanya suci dan sumoay, tetapi sikap mereka tak saling ramah. Walaupun
dara merah itu menyungging senyuman, tetapi senyum yang sinis. Dan walaupun si dara
putih menyebut suci (taci perguruan) serta memberi hormat, tetapi nadanya sedingin es.
"Ah, sam-sumoay seorang cerdas. Mengerjakan sesuatu tentu sempurna. Aku kagum
padamu. Tentulah kau sudah berhasil mendapatkan peta itu, bukan?"
Sahut si dara putih dingin: "Ah, suci terlalu menyanjung diriku, sungguh berat bagiku.
Sungguh kecewa sekali, peta Telaga Darah itu sampai saat ini belum terdengar beritanya
sama sekali!" Dara baju merah tertawa melengking. Perlahan-lahan masuk ke dalam pondok,
ujarnya: "Ketika meninggalkan gunung, toa-suci pesan wanti-wanti padaku. Selekas
menemukan kau supaya segera diajak pulang!"
"Sudah tentu aku menurut saja perintah Ji-suci!" sahut si dara putih seraya melesat
keluar. Tetapi secepat itu si dara baju merah kebutkan hud-timnya dan menghadangnya. Ia
tertawa. Tunggu dulu, aku masih perlu bicara denganmu!"
"Eh, bukankah suci memerintahkan supaya aku lekas pulang" Mengapa sekarang
merintangi?" lengking si dara baju putih.
Dara merah tertawa melengking: "Perintah toa-suci, supaya sumoay menyerahkan peta
itu kepadaku!" "Kalau toa-suci benar memperhatikan diriku, tentu tak sampai hati menyuruh aku
mencari jejak peta itu!" sahut dara putih.
Dara merah tertawa pula: "Soal itu nanti saja boleh kau tegur pada toa-suci yang
penting sekarang ini, memenuhi perintah toa-suci aku hendak menanyakan padamu, di
manakah sekarang peta itu?"
Dara putih menyahut: "Bukankah telah kukatakan tadi, bahwa peta itu tiada beritanya
sama sekali!" Si merah tertawa: "Jika benar peta itu belum diketemukan, aku sanggup mencari
jejaknya. Tetapi bila peta itu sebenarnya sudah kau simpan, ah, sukarlah bagiku. Bukan
saja sia-sia jerih payahku, pun sukar nanti kuberi jawaban kepada toa-suci!"
Si dara putih menjawab tenang: "Maaf jika aku agak kasar bicara. Jika memang toasuci
begitu tak percaya padaku, aku sungguh kecewa sekali"."
"Ah, tak perlu," kata dara merah, "tetapi mana dia mau percaya pada keteranganku"
Begitu aku pergi, kemungkinan dia segera datang!"
"Kalau begitu, ji-suci juga tidak percaya padaku?" seru si dara putih.
"Itu belum menjadi pemikiranku," kata si dara merah, "tetapi apabila perintah toa-suci
itu tak kulaksanakan, dikuatirkan toa-suci akan marah. Karena itu terpaksa aku harus
menyulitkan kau"."
"Aku tak mengerti apa maksud ji-suci?" seru si dara putih.
Dara merah tertawa: "Itu mudah saja. Sumoay kan cukup pintar. Masakan tidak dapat
memikirkan" Tetapi karena kau takmau mengatakan, baiklah, biarkan aku yang mewakili
kau. Yaitu, ijinkan aku menggeledah badanmu."
Tiba-tiba wajah si dara putih itu berubah membesi. Dua alisnya yang menyerupai bulan
sabit tiba-tiba menjungkat ke atas: "Apa" Suci hendak menggeledah aku?"
"Ah, bukan begitu," buru-buru si dara merah menyusuli, "Maksudku hanya memeriksa
sekedarnya. Dan anggaplah aku hanya sebagai wakil menjalankan perintah toa-suci saja!"
Diam-diam Siu-lam heran. Bukankah peta itu jelas sudah berada pada si dara putih"
Mengapa dia menyangkal" "Hm, asal aku membuka mulut mengatakan hal itu, kedua taci
beradik itu tentu akan bentrok sendiri. Dan apabila mereka sampai bertempur, akupun
dapat meloloskan diri dari sini!" diam-diam Siu-lam menimang suatu rencana.
Baru ia hendak membuka mulut, tiba-tiba si dara putih keliaran matanya dan
memandang kepadanya. Kemudian berkata pula pada jie-sucinya: "Dalam lain-lain
urusan, aku tidak berani membantah. Tetapi dalam hal ini, benar-benar aku sukar
meluluskan!" Tiba-tiba wajah si dara merah membesi, serunya geram: "Jika sumoay tidak
meluluskan, bukan saja menyulitkan diriku terhadap toa-suci nanti, pun sukar bagiku
untuk mempercayaimu!"
"Jika ji-suci tidak percaya, akupun tidak berbuat apa-apa. Tetapi kalau badanku
hendak digeledah, maaf, aku keberatan."
"Kalau aku tetap akan menggeledah?" dara baju merah menegas.
"Maaf, aku terpaksa tak dapat menurut!" sahut si putih.
"Bagus!" seru si dara baju merah, "karena nyata kau tidak memandang mata pada
orang yang kau sebut sebagai suci, maka janganlah persalahkan aku kalau bertindak
melampaui batas kepadamu!"
Entah dengan gerak ilmu apa, tetapi begitu tubuh dara baju merah itu menggeliat,
tahu-tahu ia sudah berada di muka dara baju putih dan terus ulurkan tangan
mencengkeramnya. "Harap jangan keras-keras, ji-suci!" si dara baju putih pun balas menggurat jarinya ke
lengan si merah. "Ih, kau berani melawan?" bentak si dara baju merah. "Wut?" ia ayunkan kebutnya ke
kepala sumoaynya. Cepat-cepat si dara baju putih melesat ke samping dan mundur tiga langkah. Serunya:
"Dengan memandang sesame perguruan, aku akan mengalah sampai tiga kali!"
Marah sekali dara baju merah: "Kurang ajar, tak perlu kau mengalah sama sekali. Jika
mampu ayo tandingilah aku!"
Cepat dara baju merah itu lancarkan tiga buah serangan dengan hud-timnya. Setiap
kebutan mengandung tenaga dalam yang hebat hingga timbulkan deru angin keras. Baju
Siu-lam turut berkibar-kibar.
Si dara baju putih tak kurang lincahnya, bergeliatan menghindari ketiga serangan itu.
Tapi hebatnya serangan si dara merah telah membuat si dara baju putih terdesak di pojok
pondok. Terpaksa ia balas menyerang dengan tiga kali pukulan dan dua kali tendangan.
Serangan balasan itu telah memperbaiki posisi si dara baju putih lagi. Siu-lam di
hatinya ngeri melihat tingkah dua dara itu. Pikirnya: "Begitu ganas mereka berkelahi
dengan sesama saudara seperguruan sendiri. Jika dengan lain orang, tentulah lebih ganas
lagi!" Tiba-tiba ia dapat pikiran, kalau tak lekas loloskan diri sekarang, kapan lagi" Cepat ia
menyelinap ke pintu pondok.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar tawa melengking: "Hai, jangan buru-buru pergi
dulu!" ucapan itu disusul dengan berkelebat si dara baju merah menghadang di pintu dan
dengan jurus Giok-tay-wi-yau atau Selendang Kumala Melibat Pinggang ia desak mundur
Siu-lam ke dalam pondok lagi.
Setelah memundurkan Siu-lam, dara baju merah itu berseru kepada si putih: "Ah,
kepandaianmu pesat sekali, sumoay. Sungguh aku kagum. Tak heran kalau beberapa kali
suhu memuji kau di depan toa-suci."
"Nyata-nyata sekarang ini aku sucimu tak dapat menghajarmu lagi!"
"Ah, aku berterima kasih karena suci suka berlaku murah kepadaku," si dara baju putih
merendah diri. Habis bertempur dahsyat, kedua taci beradik seperguruan itu sudah ramah kembali.
Siu-lam tak habis herannya.
Memandang ke arah si pemuda bisu yang masih terkapar di tanah, dara baju merah
tertawa: "Sumoay, apakah orang itu sudah mati?"
"Telah kututuk jalan darah Thian-ting-hiat. Kalau tak mati juga akan cacad!" sahut si
baju putih. Alihkan pandangan ke arah Siu-lam, dara baju merah itu bertanya: "Dan siapakah dia"
Kau lebih baik kubunuh sekalian!"
Si putih bersangsi, ujarnya: "Dia bukan orang sini! Kepandaiannya tidak tinggi. Biarkan
dia hidup, takkan merintangi kita. Membunuhnya tiada berguna bagi kita. Ah, lebih baik
lepaskan saja!" Si Merah tertawa: "Ih, sejak kapan kau berubah begitu baik hati. Kau segan
membunuhnya, biar aku saja yang membunuhnya!" Wut, kebut segera diarahkan ke arah
Siu-lam. Melihat kebut dari rambut kuda si dara merah tiba-tiba berubah seperti seikat jarum
tajam-tajam, bukan kepalang kaget Siu-lam. Cepat-cepat menghindar ke samping.
"Eh, kau bisa menghindar?" dara merah kerutkan sepasang alis dan maju mendekati.
Sekali geliatkan tangan, hud-tim dikebutkan menurun.
Siu-lam berada di sudut pondok. Tiada jalan menghindar lagi. Satu-satunya jalan
hanya menghindar ke kiri. Tetapi di situ menghadang si dara baju putih yang ganas.
Tetapi karena tiada jalan lain, apa boleh buat, ia terpaksa menghindar ke kiri".
Di luar dugaan, bukan saja dara putih itu tidak merintangi pun bahkan malah menyisih.
Dengan sebuah gerak isyarat agar Siu-lam menyelinap ke sisi.
Di balik wajahnya yang dingin, tersembullah sebuah senyum manis dan kata-kata yang
ramah: "Apakah kau terluka?" dan tangan kirinya pun menyentuh kening Siu-lam dengan
gerakan yang mesra sekali. Kemudian ia mengisar tubuh dan mengalingi di depan Siulam.
Dara merah sejak kecil menjadi teman sepermainan dara putih. Tetapi belum pernah ia
melihat sumoaynya itu bersenyum sedemikian manisnya. Dara merah tercengang,
serunya: "Mengapa kau tersenyum" Siapakah pemuda itu?"
Tiba-tiba si dara putih berubah ramah sekali dan menjawab perlahan: "Terus terang
aku katakan kepada suci, dia adalah"." Ia tak lanjutkan katanya. Pipinya merah jambu.
Dara merah tertawa ngikik: "Mengapa tak kau katakan tadi-tadi" Hampir saja dia
kulukai." "Ah, sudah tentu aku sungkan mengatakan," si dara putih tertawa.
"Sumoay, biasanya kau alim seperti po-sat (dewi), mengapa ternyata"." Ia merasa
kelepasan omong dan hentikan kata-katanya.
Dengan kemalu-maluan tersipu-sipu berkatalah dara putih: "Ji-suci, kuminta janganlah
kau memberitahukan hal ini kepada toa-suci."
"Takut apa" Biarpun tahu, dia juga tak dapat berbuat apa-apa," sahut si dara merah.
"Tetapi mulut toa-suci tajam sekali. Aku takuti dia tentu menertawakan aku!" kata dara
putih. Dara baju merah tertawa: "Baik, aku berjanji takkan memberitahukan. Tetapi harap
menyisih sebentar, aku ingin melihatnya!"
"Eh, dia manusia biasa, apanya yang harus dilihat?" seru si baju putih.
"Hendak kulihat tampangnya, apakah dia benar-benar seorang yang mempunyai
rejeki." "Ah, goda asmara?"
Perlahan-lahan si merah menyisihkan tubuh sumoaynya: "Masakan melihat sebentar
saja, kau tak boleh. Apa kau kuatir kurebut?"
"Tidak, tetapi aku kuatir ji-suci menertawakan!" si dara putih menyisih dua langkah ke
samping. Siu-lam benar-benar pusing mendengar kata-kata si dara baju putih. Ia terlongonglongong
seperti patung. "Ai, ternyata seorang tunas yang cemerlang," tiba-tiba si dara baju merah melengking
tawa dan ulurkan tangannya hendak mencekal tangan Siu-lam. Pemuda itu mundur dua
langkah. "Sumoayku yang cantik jelita, telah jatuh hati padamu. Masakan aku sebagai sucinya,
tak boleh melihatmu?"
"Mana begitu" Kan"!"
"Biasanya sumoayku itu dingin sekali," tukas si dara merah, "untuk membuatnya
tertawa, sukar bukan kepalang. Sungguh luar biasa kau dapat merebut hatinya. Masakan
aku hendak berbuat apa-apa kepada adik iparku," ia maju dan tiba-tiba menyambar
lengan kanan Siu-lam. Karena cepat dan luar biasa sekali sambaran si dara baju merah, Siu-lam tak dapat
menghindar. Seketika ia rasakan tangannya terjepit besi. Tulang-tulang serasa remuk
dan hilanglah seluruh daya perlawanannya. Karena menahan sakit, keringat mengucur
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
deras di dahinya. Namun pemuda itu tak mau mengerang.
Berhasil meringkus si pemuda, dara baju merah siapkan kebutan hud-timnya dan baru
berkata kepada dara baju putih: "Jika sumoay tetap tak mau menyerahkan peta pusaka
itu, jangan menyesal kalau aku terpaksa mempersakiti kekasihmu!"
Dengan penuh kasih mesra, dara baju putih memandang Siu-lam, serunya: "Jika ji-suci
tak percaya omonganku, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Sekalipun kau
membunuhnya, aku pun tak dapat mengadakan peta yang tak ada padaku!"
Siu-lam gusar sekali. Ia hendak membuka rahasia si dara baju putih. Tiba-tiba dara
baju putih maju dua langkah dan berkata dengan nada tajam:
"Jika ji-suci tetap hendak menyusahkannya, akupun terpaksa akan menempurmu
sampai mati"." Dara baju merah terkesiap mendengar ancaman adik seperguruannya. Dengan ucapan
itu dara baju putih secara halus menyatakan bahwa pemuda itu adalah kekasihnya.
"Sebagai saudara tunggal perguruan, kepandaian kita sama. Apa yang kau bisa,
akupun tentu bisa juga. Jika kita saling bunuh, tentu akan ada yang mati!" sahut si dara
merah. Wajah si dara putih berubah, serunya dingin: "Ah, belum tentu. Aku pernah
mempelajari ilmu Kui-chiu-mo-ciang (Pukulan Tangan Iblis Pagi). Apakah suci hendak
mencobanya?" Dara baju merah mengerut sejenak lalu tertawa: "Kita toh tunggal seperguruan,
mengapa harus bentrok sungguh" Tadi aku hanya bergurau saja, masakan sumoay
menganggap sungguh-sungguh?"
Pada saat si dara baju putih mengisar tubuh, sekonyong-konyong si dara baju merah
melesat ke luar pondok. Loncat ke dalam air, ia gunakan ilmu kepandaian berjalan di atas
air melintasi telaga. Diam-diam Siu-lam tak habis herannya. Mengapa si dara baju merah sebagai taci
seperguruan, takut kepada adiknya" Dan serentak ngerilah hati Siu-lam ketika
membayangkan kemungkinan lebih lanjut. Ya, apabila dara baju putih itu sampai
bertindak yang lebih ganas, ia tentu akan mati. Dara itu jelas menyimpan peta Telaga
Darah. Satu-satunya orang yang mengetahui rahasia itu adalah dia. Jika dara itu
membunuhnya untuk menghilangkan jejak, tak mungkin ia dapat melawan.
Bagi Siu-lam, mati bukan soal. Tetapi yang dipikirkan ialah sumoaynya yang masih
ditawan si wanita aneh itu. Apabila ia tak berhasil membawakan obat, sumoaynya tentu
dibunuh oleh wanita itu. Tiba-tiba dara baju putih itu menghela napas: "Mengapa kau tak lekas-lekas melarikan
diri?" Siu-lam berpaling memandangnya. Dilihatnya wajah dara itu rawan dan matanya
mengembeng air mata. Budi dengan langit bedanya sekarang dara itu. Beberapa jenak
yang lalu, merupakan seekor iblis yang ganas. Kini berubah seperti sekuntum bunga
melati yang cantik suci. Tiba-tiba Siu-lam teringat akan pemuda gagu yang masih menggeletak di lantai.
Serunya perlahan-lahan: "Dia gagu dan tuli, tak nanti dapat mengganggumu. Jika nona
suka bermurah hati, ampunilah dia!" habis berkata, ia terus hendak melangkah.
Tiba-tiba dara itu membentaknya: "Berhenti!"
Karena sudah menduga, tenang-tenang saja Siu-lam berhenti dan berseru: "Memang
telah kuduga nona tentu takkan melepaskan aku. Akupun tak mampu melawanmu.
Terserah kalau kau mau membunuhku!"
"Jika aku sungguh-sungguh mau membunuhmu, sekalipun kau mempunyai nyawa
rangkap sepuluh, tentu akan amblas juga. Sekarang?" tiba-tiba dara itu hentikan katakatanya
dan merenung lama. Katanya pula: "Sekarang aku sendiripun sudah terdesak
dalam kedudukan berbahaya. Setiap saat jiwaku terancam maut."
"Apa?" Siu-lam terkejut.
Dara itu tertawa tawar: "Karena aku berani menentang saudara seperguruanku tadi,
hm, mereka tentu takkan berhenti sampai di sini saja. Mereka tentu akan minta
pertanggungjawaban. Kemungkinan jiwamu!"
"Apakah nona benar-benar hendak menolong"." Tiba-tiba Siu-lam berhenti karena
melihat dua gumpa asa membumbung ke udara.
Wajah dara putih itupun berubah: "Kusuruh lekas pergi, mengapa kau masih
membandel" Hm, kini terlambat, tak mungkin kau lolos lagi!"
Siu-lam seperti disadarkan, cepat-cepat ia memberi hormat: "Karena nona tak
bermaksud jelek kepadaku, sekarang aku hendak pergi!"
"Goblok! Ji-suci dan nona toa-suciku sudah bersatu pada datang. Tak mungkin kau
lari!" Siu-lam tertegun. Serunya: "Kalau begitu, aku tetap harus tinggal di sini?"
Dara baju putih berdiam diri. Tiba-tiba ia mengangkat muka dan memandang Siu-lam
dengan iba. "Apabila menghadapi bahaya maut, kau pilih mati konyol atau mati secara perwira?"
serunya. Siu-lam terbeliak mendengar pertanyaan itu, Serunya heran: "Maaf, aku tak mengerti
maksud nona!" Dara itu menghela napas ringan, ujarnya: "Baiklah, karena kau masih tak mengerti,
akan kujelaskan. Kedua saudara seperguruanku itu dengan susah payah mengejar aku,
tujuannya ialah hendak memburu peta Telaga Darah itu. Sudah jelaskah kau akan hal
itu?" "Benar, aku sudah mengerti," sahut Siu-lam.
"Kaupun tentunya mengerti juga bahwa peta itu penting sekali dan menjadi rebutan
orang persilatan. Jika peta itu sampai jatuh ke dalam tangan taci seperguruanku, dunia
persilatan tentu hancur lebur. Ah, adanya tak kuserahkan peta itu kepadanya karena aku
tak mau melihat dunia persilatan dilanda banjir darah. Peta itu berada padaku,
kemungkinan kedua taciku itu tentu akan menggeledah badanku!"
"Kalau begitu lebih baik hancurkan saja peta bencana itu!" serentak Siu-lam berseru.
Jilid 04 "MENGHANCURKANNYA MUDAH memang. Akan tetapi hal itu tak berarti akan
mencegah pertumpahan darah. Selama sumber bencana itu tak dilenyapkan, setiap saat
pembunuhan ganas tentu timbul"." Ia berhenti sejenak lalu berkata pula: "Kini hanya ada
satu cara. Entah kau mau meluluskan atau tidak?"
"Apa" Apakah dengan kepandaian yang begini dangkal aku mampu menghapus
ancaman itu?" "Masih banyak persoalan, bukan melulu mengandalkan kepandaian ilmu silat saja."
"Baik, silahkan bilang! Jika aku dapat tentu akan meluluskan," sahut Siu-lam.
Sepasang pipi si darah merah jambu. Dengan mengulum senyum jengah ia berkata:
"Asal dapat menyimpan peta itu agar jangan sampai ketahuan kedua suciku, meskipun
mereka curiga padaku tetapi tanpa bukti, mereka tentu tidak dapat berbuat apa-apa!"
Siu-lam mengangguk: "Benar."
Si dara tersenyum kecil: "Tetapi dalam pondok terapung ini, sukar untuk
menyembunyikan peta itu."
Siu-lam memandang ke sekeliling, sahutnya: "Sebaiknya peta itu dicemplungkan dalam
air, tentu mereka tak dapat mencari. Begitu mereka pergi, baru kau ambil lagi."
Si dara menggeleng: "Mustahil! Jika peta itu dibawa hanyut air, tak mungkin kita
mencarinya lagi. Hanya kau yang dapat membantu hal ini!"
"Aku" Bagaimana caranya?" Siu-lam heran.
"Telanlah peta itu! Selekas mereka pergi, baru nanti kuambilnya dari dalam perutmu."
"Dari dalam perut"."
"Ya, kubelek perutmu."
Gemetar tubuh Siu-lam mendengar kata-kata si dara. Perut dibelek, orangnya tentu
mati. "Hm, cerdik sekali akalmu, ya. Tetapi"." Dengusnya.
"Tetapi apa?" tukas si dara. "Sekalipun kau mati tetapi kau dapat menyelamatkan
beribu-ribu jiwa. Jangan kuatir. Akupun takkan mengecewakan kau. Kau takkan
menderita sakit apa-apa. Kau akan mati dengan cepat. Dan setelah kau mati, akupun
takkan menikah selamanya. Begitu aku berhasil memperoleh pusaka dari Telaga Darah
itu, tentu akan kubalaskan sakit hatimu. Dan setelah berhasil menguasai dunia persilatan,
akan kupanggil seluruh kesatria dunia persilatan dan mengumumkan tentang jasamu.
Sekalipun kau sudah meninggal, tetapi namamu akan dipuja orang selama-lamanya. Dan
sebagai isterimu, aku tentu mendapat penghormatan dari dunia persilatan. Amal besar
yang gilang gemilang itu, beranikah kau melaksanakannya?"
Siu-lam tertawa tawar: "Untuk amal itu sekalipun harus ditebus dengan nyawa tetapi
cukup berharga. Hanya saat ini aku masih mempunyai beberapa urusan yang belum
terselesaikan. Jika mati, hatiku belum tenteram!"
"Serahkan urusan itu kepadaku!" sahut si dara baju putih. "Asal kau meluluskan, sejak
ini kita menjadi suami isteri. Urusanmu sudah tentu akan kuselesaikan!"
Melihat kesungguhan nada si dara, diam-diam Siu-lam menimang. Dia kalah sakti
dengan si dara itu. Meluluskan atau menolak, sama saja. Lebih baik ia bersikap ksatria.
"Jika ucapan nona itu sungguh dari hati nuranimu, aku rela berkorban untuk
menyelamatkan peta itu. Tetapi ada dua buah hal yang hendak kuminta kau
menyelesaikan!" Kembali sepasang pipi dara itu merah. Bibirnya merekah senyum yang manis sekali.
Ujarnya lemah lembut: "Sebelum kita berpisah, marilah kita melakukan sumpah sebagai
suami isteri di hadapan Dewi Rembulan. Kemudian barulah kau mengatakan pesanpesanmu."
Si dara mengulurkan tangan menyekal lengan Siu-lam dan keduanya serentak berlutut
di hadapan pintu. Dalam keadaan seperti itu, tak dapat lagi Siu-lam mengelak. Terpaksa
ia menurut saja. Dirasakannya tangan dara itu bercucuran keringat dingin. Pertanda
hatinya pun bergoncang keras.
Sesaat kemudian meluncurlah kata-kata dari mulut dara itu: "Dewi Rembulan menjadi
saksi hamba Bwe Hoang-swat, kelahiran Suci, tahun ini berumur delapan belas tahun.
Saat ini mengingatkan tali perjodohan dengan Pui Siu-lam. Menjadi suami istri sampai
kakek nenek. Dan berjanji akan setia sampai mati. Jika sampai bercabang hati, hamba
rela ditumpas langit pernyataan hamba ini biarlah disaksikan oleh bumi dan langit!" Diamdiam
Siu-lam mendengus dalam hati: "Huh, sumpahmu ini berpura-pura untuk
memperalat diriku. Apa gunanya bersumpah seberat itu!"
Teringat bahwa beberapa saat lagi, ia harus menelan peta, tergerak juga perasaan Siulam
atas sumpah yang diucapkan dara itu. Segera ia pun mengucapkan ikrar.
"Dewi Rembulan menjadi saksi, tecu Pui Siu-lam saat ini mengikat janji dengan nona
Bwee menjadi suami isteri. Tak ada lain permohonan, kecuali setelah aku mati, agar nona
itu suka melakukan dua buah permintaanku. Pertama, menyelidiki siapa pembunuh
guruku lalu membalas sakit hatinya. Kedua, paling lambat dalam waktu sebulan
menyampaikan pil pemberian Gan lo-cianpwee ini ke Po-to-kang. Dimana sumoayku
ditahan oleh seorang wanita tua dalam sebuah goa rahasia. Setelah menukarkan obat itu
dengan sumoayku lalu mengantarkan sumoay ke puncak Ki-ling-nia di telaga Se-ou.
Apabila kedua hal itu telah dilaksanakan, walaupun mati tetapi aku puas."
Habis mengucapkan isi hatinya, Siu-lam berpaling kepada si dara baju putih, serunya:
"Mana peta itu?"
Dengan bercucuran air mata si dara mengeluarkan peta, ujarnya penuh haru: "Sejak
saat ini kau sudah menjadi suamiku. Apabila kubunuhmu untuk mengambil peta itu,
bukankah aku seorang isteri yang kejam terhadap suami!"
Siu-lam tertawa: "Telah kita janjikan di muka. Sudah tentu hal itu tak dapat dikatakan
membunuh suami." Siu-lam terus hendak menyambuti peta itu tetapi tiba-tiba si dara menariknya kembali:
"Jangan terburu memakannya dulu. Tunggu barangkali aku dapat memikirkan lain cara
yang lebih baik!" Siu-lam tertawa getir: "Terhadap kedua sucimu yang begitu ganas, jangan harap kita
mampu menyembunyikan peta itu selain kutelan!"
Bwe Hong-swat memandang rembulan di langit. Tampak jelas kecantikannya yang
menonjol tetapi diliputi kedukaan yang mendalam. Butir-butir air mata bercucuran pada
kedua belah pipi. Dari seorang dara berhati beku dan kejam, saat itu ia berubah menjadi
seorang nona yang sedang menanggung duka.
Sekonyong-konyong angin malam membawakan suara teriakan si tabib Gan Leng-po
yang berkaok-kaok tak henti-hentinya: "Peta Telaga Darah". peta Telaga Darah?"
Diam-diam Siu-lam menyesal sekali. Apabila ia tak menyerahkan peta itu, tabib sakti
itupun tak nanti menjadi gila.
Sekonyong-konyong serangkum hawa harum yang membuai semangat, menampar
hidung Siu-lam dan serempak dengan itu mulut si dara melekat di telinga Siu-lam, serunya
girang: "Ah, tak perlu kau telan! Aku menemukan lain cara lagi!"
"Bagaimana?" Siu-lam palingkan kepala.
Bwe Hong-swat tertawa. "Sekarang belum saatnya kuberitahukan kepadamu. Aku toh
sudah menjadi isterimu, sudah tentu aku tak mau sembarangan membunuhmu."
"Hm, pandai benar nona ini bersandiwara," diam-diam Siu-lam memaki dalam hati.
Adalah karena sudah terisi dengan purbasangka yang buruk, maka setiap itikad baik dari
Bwe Hong-swat selalu ditafsirkan salah, tetapi kali ini, agak berubah pandangan Siu-lam
terhadap sikap nona itu. "Apa yang telah kuikrarkan tadi, tetap kupegang teguh. Menelan sekarang atau nanti,
toh sama saja. Bahkan kalau terlalu lama, mungkin tak menguntungkan kau. Apabila
kedua suci-mu keburu datang, bukankah akan sia-sia rencanamu tadi?"
"Ah, tidak," sahut Siu-lam, "asal kau mau melaksanakan permintaanku tadi, matipun
aku puas!" Dengan wajah bersungguh, Bwe Hong-swat berkata: "Sudahlah, jangan mengungkit
lagi hal itu. Aku toh sudah menjadi isterimu. Bagi seorang wanita, kesucian diri adalah
pusaka kehormatannya. Hidupku kini sudah menjadi milikmu. Aku sudah menjadi
anggota keluarga Pui. Sampai mati aku tetap akan menjadi setan keluarga Pui. Pada saat
kuminta kau menelan peta itu, terlintaslah kesadaran dalam nuraniku. Kita tak saling
mendendam permusuhan, hanya karena nafsu rakus maka aku sampai mengorbankan
jiwamu. Suatu hal yang benar-benar melanggar kewajiban seorang isteri. Ketika
mengucapkan sumpah di bawah kesaksian Dewi Rembulan tadi, aku menyadari kesalahan.
Sebagai seorang isteri tak layak aku membunuh suamiku"."
Bwe Hong-swat berhenti untuk menghela napas. Ujarnya pula: "Aku sendiri tak tahu
mengapa aku berubah pandangan. Mungkin karena pengaruh dari cara ibuku memberi
pendidikan tentang kewajiban seorang isteri yang berbudi. Maka kau anggap aku sebagai
isteri atau tidak, bukan soal bagiku."
Siu-lam hanya ganda tertawa. Diam-diam ia memaki nona itu: "Boleh saja kau bicara
ini itu, tetapi aku tetap tak percaya."
Tiba-tiba teriakan Gan Leng-po makin dekat. Jelas tabib gila itu sedang menuju ke
pondok terapung. Siu-lam terkejut. Ia kuatir tabib itu masih mengenalinya.
Akan tetapi ketika memandang pada Bwe Hong-swat, wajah dara itu tampak berseri
girang. Siu-lam tak habis herannya.
Saat itu Gan Leng-po gunakan ilmu Teng-cui-leng-po (ilmu berjalan di atas air)
melintasi telaga. Pada lain kejap, tabib itu sudah naik ke dalam pondok terapung. Tabib
sakti yang gila itu memandang Siu-lam sampai beberapa jenak. Tiba-tiba tabib itu
getakkan tongkatnya ke lantai dan membentak keras: "Apa kau tahu peta Telaga Darah"
Lekas kembalikan padaku!" tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram bahu Siu-lam.
Siu-lam menghindar ke samping. Tetapi tabib itu tetap mengejarnya. Wut! Ia
sapukan tongkatnya. Bwe Hong-swat cepat lompat menghampiri. Serunya kepada Siu-lam: "Pancing dia
supaya memusatkan perhatiannya kepadamu. Aku hendak menutuk jalan darahnya!"
Habis menghindar serangan tongkat, Siu-lam menghela napas: "Ah, dia sudah gila,
mengapa hendak kau bunuh?"
Walaupun gila tetapi kepandaian silat tabib itu masih tetap sakti. Cepat dan dahsyat
sekali tongkat itu ditusukkan ke dada. Terpaksa Siu-lam buang tubuh ke belakang.
Serangan tongkat makin lama makin menggencar. Betapapun Siu-lam berusaha keras
untuk menghindar namun akhirnya ujung bajunya terkena tusukan juga. Akhirnya tak
tahan pemuda itu. Setelah menghindari sebuah tusukan itu, ia berteriak: "Lo-cianpwe,
harap berhenti! Apakah kau hendak mencari peta Telaga Darah itu?"
Anehnya si tabib yang sudah gila, tiba-tiba berhenti ketika mendengar seruan Siu-lam:
"Benar! Apakah kau tahu peta itu?"
Siu-lam benar-benar kagum atas perhitungan Bwe Hong-swat terhadap diri tabib itu.
Serunya: "Peta Telaga Darah bukan lain selembar sutera kuning yang digambari dengan
garis-garis merah?" "Benar, benar! Di mana peta itu?" teriak Gan Leng-po.
Saat itu Bwe Hong-swat sudah mendekati di belakang si tabib. Begitu Gan Leng-po
sedang tumpahkan perhatian melayani bicara pada Siu-lam, secepat kilat menutuk
punggung si tabib itu. Si tabib lengah dan tak berdaya"..
Setelah berhasil merubuhkan orang, cepat sekali Bwe Hong-swat mengeluarkan peta
dan menyusupkan ke dalam ujung baju tabib itu. Katanya kepada Siu-lam: "Hendak
kupinjam tabib gila ini untuk menyelamatkan peta dari sini!"
Siu-lam tercengang. Dia benar-benar heran terhadap gerak-gerik si nona yang serba
sukar diduga-duga itu. "Cara ini memang bagus tetapi agak berbahaya. Memang dapat menghindari kedua
sucimu tetapi bila sewaktu-waktu tabib ini pulih kesadarannya, bukankah sukar untuk
merebut dari tangannya?" kata Siu-lam.
"Jangan kuatir!" Bwe Hong-swat tertawa. "Dia seorang tokoh yang berilmu tinggi dan
berkemauan keras. Sekali kehilangan barang yang dicintainya, dia telah mendapat
goncangan batin hebat. Apalagi melihat kuali pemasak obatnya tak kusengaja telah
kupadamkan apinya, dia makin menderita sekali"."
Siu-lam mengangguk: "Pandanganmu tepat sekali, nona!"
Siu-lam tergugu. Ia tak menyangka bahwa sandiwara sumpah perkawinan itu dianggap
serius oleh si dara. Padahal jelas semula dara itu hanya melakukan pernikahan itu sekedar
untuk menenangkan hati Siu-lam agar mau menelan peta.
Bwe Hong-swat menghela napas: "Peta dan obat merupakan jiwanya. Kehilangan
kedua benda itu membuatnya kalap dan berubah ingatan. Dalam waktu pendek tak
mungkin ia dapat sembuh. Untuk sementara waktu, kita tak perlu menguatirkan hal itu.
Yang perlu kita kuatirkan ialah kedua suciku. Mereka tentu masih curiga padaku. Jika
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka memaksa mengajakku pulang, tentu sukar untuk mengambil kembali peta itu dari
tangan si tabib. Kepandaianmu jelas bukan tandingannya. Ah, tetapi dalam waktu seperti
saat ini, tak ada guna kita banyak persoalan lagi!" Bwe Hong-swat segera membuka jalan
darah tabib itu lagi, kemudian ia cepat-cepat loncat keluar pondok.
Gan Leng-po menghela napas. Dia duduk memandang Siu-lam lekat-lekat. Tiba-tiba ia
berseru marah: "Mana peta itu" Lekas kembalikan padaku!"
Siu-lam memaki tabib itu. Sedang jiwanya masih terancam mengapa tetap memikirkan
peta saja. Melihat Siu-lam diam saja, rupanya tabib itu tak sabar lagi. Segera ia maju
mencengkeram bahu orang. Siu-lam cepat-cepat miringkan tubuh dan loncat keluar dari
pondok. Gan Leng-po mengejar keluar. "Hai, mau lari kemana kau?" Ia menyerang punggung
Siu-lam dengan ujung tongkat. Tiba-tiba tongkat itu ditangkap oleh sebuah tangan halus
dan menyusul terdengar bentakan bengis: "Jangan menyerang sembarangan orang!"
Karena pikirannya masih linglung, Gan Leng-po terlongong-longong, sahutnya: "Dia
mencuri peta Telaga Darah milikku. Sudah tentu akan kutangkap!"
Bwe Hong-swat lepaskan cekalannya dan tertawa: "Bagaimana rupanya petamu itu"
Tentu kuberitahukan siapa pencurinya."
Girang Gan Leng-po bukan kepalang, serunya: "Bagus, bagus, tentu kuterangkan, tentu
kuterangkan padamu!"
Hanya beberapa patah kata itu yang diucapkan, selanjutnya tak berkata apa-apa lagi.
Bwe Hong-swat kerutkan dahi, tertawa: "Tadi kulihat seorang nona baju merah,
membawa sebuah bungkusan sutera kuning yang penuh garis-garis merah."
"Benar, benar! Memang itu petaku! Di mana nona baju merah itu?" teriak Gan Lengpo
serempak. Bwee Hong-swat menunjuk ke seberang tepi telaga, serunya: "Dia lari ke sana
membawa peta." Tanpa menunggu kata-kata si nona lebih lanjut, tabib itu segera loncat ke dalam telaga.
Dengan gunakan ilmu Teng-ping-tok-cui (ilmu berjalan di atas air), ia lari ke tepi.
Siu-lam terlongong-longong mengawasi tingkah laku tabib itu. Beberapa saat kemudian
ia menghela napas: "Sayang, seorang tokoh yang dipuja dunia persilatan menjadi gila
karena sebuah peta. Terang dia masih dikuasai oleh nafsu kemilikan angkara murka"."
"Sudahlah, tak perlu memikirkan orang itu. Lekas duduk di sisiku sini. Kedua suciku
sebentar lagi tentu datang!"
Siu-lam menurut. Walaupun duduk di samping seorang dara cantik, namun pikiran Siulam
tetap melayang-layang memikirkan nasib sumoaynya yang masih dalam cengkeraman
hantu wanita tua itu. "Ih, caramu ini tidak seperti seorang suami terhadap isterinya. Masakah duduk
berdampingan tetapi pikiranmu memikirkan lain orang. Kalau kau bersikap begitu, tentu
akan diketahui oleh kedua suciku!" tegur Bwe Hong-swat.
Siu-lam tersenyum: "Apa yang hendak kita percakapkan?"
Sebenarnya Bwe Hong-swat bukanlah seorang dara yang berhati dingin. Hanya karena
sejak kecil diasuh dalam keluarga yang keras, dia berubah menjadi seorang dara bengis.
Dan seumur hidup baru pertama kali itu ia bersanding dengan seorang jejaka. Pertanyaan
Siu-lam itu membuatnya termangu-mangu. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat
berkata: "Apa saja yang hendak kau bicarakan, boleh saja. Asal kita duduk berapat diri
agar mereka mempunyai kesan bahwa kita ini benar-benar sepasang suami isteri yang
mesra!" Habis berkata Bwe Hong-swat segera sandarkan kepalanya ke bahu Siu-lam. Jantung
Siu-lam mendebar keras. Dengan jengah, Siu-lam hendak menolak tubuh dara itu tetapi
secepat itu Bwe Hong-swat ulurkan tangannya ke dalam telapak tangan Siu-lam: "Nih,
lihatlah tanganku, bagus tidak?"
Siu-lam gelagapan dan di luar kesadarannya segera menyambuti tangan si dara.
Ujarnya tertawa: "Lunak sekali bagaikan tak bertulang, lembut bagaikan salju, indah
seperti mutiara!" "Kita kan sudah menjadi suami isteri. Jika kau anggap bagus, pandanglah sepuaspuasmu!"
kata si dara. Siu-lam melepaskan cekalannya: "Ah, melihat sebentar sudah cukup, toh sama saja"."
Cepat pada itu dua sosok bayangan berjalan di permukaan telaga. Segera Bwe Hongswat
membisiki Siu-lam: "Kedua suciku datang!" cepat ia rapatkan tubuhnya ke dada Siulam.
Cepat sekali kedua sosok bayangan itu muncul ke dalam pondok. Ketika Siu-lam
melirik, dilihatnya dua orang nona cantik tegak berjajar di hadapannya. Yang seorang
mengenakan pakaian warna biru. Usianya di antara dua puluh tiga tahun. Rambutnya
terurai sampai ke bahu. Yang di sebelah kanannya, mengenakan pakaian merah,
tangannya mencekal sebatang kebut hud-tim. Ialah si dara baju merah yang disebut jisuci
(kakak kedua) oleh Bwe Hong-swat tadi.
Kedua nona itu cantik-cantik bagai bunga mawar dengan dahlia. Sukar untuk memilih
siapa yang lebih cantik. Yang dapat dibedakan ialah, si dara baju biru berwajah angkuh
dan kejam. Sedang si dara baju merah ramah dan mengulum senyum.
Pelahan sekali Bwe Hong-swat membuka matanya dan memandang kedua sucinya itu.
Dengan tingkah yang keenggan-engganan, ia berbangkit dari pelukan Siu-lam, kemudian
memberi hormat kepada si nona baju biru: "Maafkan aku berlaku kurang hormat kepada
toa-suci." Nona baju biru tertawa hambar: "Dari ji-sumoay, kudengar kau sudah mempunyai
kekasih. Aku masih tak percaya. Tetapi apa yang kusaksikan saat ini, benar-benar
meyakinkan. Kuhaturkan selamat padamu, sam-sumoay!"
"Ah, toa-suci jangan mentertawakan," sahut Bwe Hong-swat.
Tiba-tiba wajah si nona baju biru mengerut bengis.
"Aku mengagumi kecerdikan sam-sumoay. Oleh karena itu maka kuminta kau yang
mencari Peta Telaga Darah itu. Dan kuyakin sam-sumoay tentu tak akan mengecewakan
harapanku," kata si nona baju merah.
Sahut Bwe Hong-swat: "Dari telaga Tang-ping-ou sampai ke Po-to-kang hingga ke
gunung Kiu-kiong-san sini, belumlah aku dapat menemukan jejak peta itu. Harap toa-suci
suka maafkan kebodohanku!"
Nona baju biru tertawa dingin. Menuding pada Siu-lam ia berseru; "Siapa dia" Dari
Tang-ping-ou sampai ke Po-to-kang dan dari Po-to-kang sampai ke Kiu-kiong-san sini,
siapakah yang kau kejar itu?"
"Meskipun yang kukejar itu dia tetapi ternyata dia tak menyimpan peta itu!" kata Bwe
Hong-swat seraya menuding Siu-lam.
Si nona baju merah tertawa mengikik: "Asal kalian berdua sekongkol menyembunyikan
peta itu, ah, ibarat seperti jarum jatuh di laut."
"Mengapa ji-suci terlalu mencemoohku saja" Apakah maksud ji-suci?" seru Bwe Hongswat
dingin. Si nona baju merah tertawa: "Walaupun ucapanku tak enak didengar tetapi maksudku
tetap baik." Bwe Hong-swat sebenarnya hendak menegur ji-sucinya tapi mendengar toa-suci agak
marah, tak berani ia berkata keras. Katanya perlahan: "Ji-suci memang sering berlawanan
pendapat dengan aku. Suka cari perkara. Dalam hal ini kumohon pertimbangan toa-suci!"
"Manis benar mulutmu!" si nona baju merah tertawa mengejek.
Si nona baju biru deliki mata: "Sudahlah, jangan ribut-ribut lagi! Benar tidak, kalian"
Masakah kalian tak mau mengindahkan kata-kataku!"
Toa-suci atau si nona baju biru mempunyai pengaruh besar. Bwe Hong-swat dan si
nona baju merah tak berani bicara lagi.
Mata si nona baju biru memandang beberapa jenak kepada Bwe Hong-swat. Lalu
katanya dengan nada dingin: "Tahukah sam-sumoay apa yang menjadi pantangan
perguruan kita?" "Ah, masakan aku berani melupakan," sahut Bwe Hong-swat.
"Baik," kata si nona baju biru. "Apa hukumannya murid yang berani mengelabui guru
dan saudara seperguruannya yang lebih tua?"
"Dipagut ribuan ekor ular berbisa!" sahut Bwe Hong-swat.
Mendengar jawaban yang tegas itu, agak tenanglah wajah si nona baju biru. Sejenak
ia memandang ke arah Siu-lam, katanya: "Karena dia datang ke telaga Tong-ping-ou,
tentulah dia mempunyai hubungan dengan keluarga Ciu. Potong rambut tak mencabut
akarnya, tentu akan menimbulkan bahaya di kelak kemudian hari. Lebih baik bunuh saja
dia!" Bwe Hong-swat kerutkan dahi, sahutnya: "Dia sudah menjadi suamiku. Mohon toa-suci
suka memandang mukaku dan jangan membikin susah padanya."
Si nona baju biru tertawa hambar. "Telah kuselidiki jelas bahwa peta itu berada di
tangan suami-isteri Ciu-pwe. Setelah suami-isteri itu mati tentulah peta ini jatuh pada
orang yang mempunyai hubungan dengan mereka. Mungkin dia (Siu-lam) tentu tahu di
mana peta itu. Ah, sam-sumoay, di dunia banyak sekali pria yang bagus. Mudah sekali
untuk mencari suami tampan. Mengapa kau tergila-gila padanya" Lebih baik serahkan
saja pada ji-sucimu. Mungkin dapat diperoleh keterangan tentang peta itu. Hal ini sangat
penting. Sudah terlanjur membunuh seratus mengapa membiarkan hidup satu orang.
Harap sam-sumoay menyadari bahwa kepentingan perguruan jauh lebih penting daripada
kepentingan pribadi!"
"Hal ini"." Baru Bwe Hong-swat hendak membantah, si nona baju merah sudah
tertawa menukas: "Heran, mengapa sam-sumoay yang begitu anti orang laki, kini bisa
jatuh hati pada orang itu" Jangankan toa-suci, aku sendiripun menaruh curiga!"
Wajah Bwe Hong-swat mengerut bengis: "Benar, memang biasanya aku anti lelaki.
Tetapi sekali telah menjatuhkan pilihan, seumur hidup tetap akan setia. Jika suci berdua
hendak membunuhnya, akupun tak mau hidup di dunia lagi!"
Siu-lam terkesiap mendengar pernyataan Bwe Hong-swat.
Di luar dugaan perkataan si nona baju biru: "Karena Sam-sumoay bersungguh-sungguh
membelanya, demi memandang ikatan persaudaraan kita, kali ini dapat kuberinya
ampun!" Serta merta Bwe Hong-swat berlutut di hadapan toa-sucinya: "Terima kasih atas budi
kebaikan toa-suci." Si nona baju biru mengangkat bangun Bwe Hong-swat: "Ah, kita toh sesama saudara
seperguruan. Mengapa Sam-sumoay bersikap seperti orang luar. Ah, jangka waktu suhu
menutup diri (sedang meyakini suatu ilmu) segera akan selesai. Sebaiknya kita harus
lekas pulang. Beliau sayang sekali kepadamu. Beliau paling senang kalau kau yang
menjaga di sampingnya. Urusan mencari peta itu, serahkan saja pada ji-sucimu. Marilah
kau ikut aku pulang sekarang juga!"
Bwe Hong-swat yang cerdas cepat mengetahui apa yang tersembunyi di balik kata-kata
toa-sucinya itu. Ia melirik pada si nona baju merah, serunya: "Harap ji-suci memandang
mukaku dan dapat bertemu lagi masih dalam persaudaraan!"
Si nona baju biru mencekal lengan Bwe Hong-swat, ujarnya: "Kita harus lekas-lekas tiba
di rumah sebelum suhu turun dari pertapaannya"." sejenak ia berpaling ke arah Siu-lam
dan berseru: "Jika kau ingin menemui sumoayku ini, tiga bulan kemudian datanglah ke
gunung Beng-gak, sebagai toa-suci aku tentu mengatur pertemuan kalian. Mudahmudahan
berpisah dalam keadaan sebagai temanten baru itu akan menambah rindu
kebahagiaanku dalam pertemua kalian nanti!"
Habis berkata ia menarik tangan Bwe Hong-swat diajak lari keluar. Setelah melintasi
telaga merekapun melenyapkan diri.
"Ji-suci, maukan kau mengantar kami sebentar?" tiba-tiba Bwe Hong-swat berpaling
dan berteriak. Si nona baju merah tertawa mengekeh: "Ah, mengapa tidak" Harap Sam-sumoay
jangan banyak kecurigaan!" sekali melesat ia melintasi telaga dan menyusul kedua
saudaranya. Kini di dalam pondok terapung itu hanya tertinggal Siu-lam seorang diri terlongonglongong.
Tiba-tiba ia teringat akan pemuda gagu. Cepat ia masuk ke ruang dalam. Si
gagu itu masih membujur di lantai, entah masih hidup atau sudah mati. Tetapi ketika Siulam
meraba dadanya, ternyata jantung si gagu itu masih mendebur pelahan. Segera ia
duduk dan menyalurkan tenaga dalam untuk mengurut-urut tubuh si gagu.
Ah, ternyata ilmu tutukan Bwe Hong-swat merupakan ilmu tutukan istimewa dari
perguruannya. Sekalipun kepala Siu-lam mandi keringat tak juga si gagu dapat bergerak.
Akhirnya ia lepaskan usaha pertolongannya.
"Aku sudah berusaha sekuat kemampuanku, tetapi tak dapat menolong saudara.
Terpaksa aku hendak pergi dari sini. Semoga Tuhan melindungi anda dan anda dapat
bertemu dengan orang berilmu yang dapat memberi pertolongan!" Siu-lam mengucap
kata-kata perpisahan lalu melangkah ke luar pondok.
Setelah tiba di tepi telaga, segera ia gunakan ilmu lari cepat. Ia merasa telah berlari
belasan li maka dikendorkanlah larinya. Ia percaya dirinya tentu sudah di luar wilayah
kekuasaan Gan Leng-po. "Hai, mengapa baru datang?" tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah lengking teriakan.
Siu-lam berpaling. Di bawah sinar rembulan remang, dilihat si nona baju merah berada
beberapa meter di belakangnya. Tangan mengepit si gagu sambil tersenyum simpul.
Diletakkannya si gagu di tanah, serunya tertawa: "Kau sudah berjanji sehidup-sehati
dengan Sam-sumoayku. Dengan begitu kita sudah menjadi orang sendiri. Maukah kau
menjawab beberapa pertanyaan sucimu ini?"
"Asal tahu tentu aku bersedia menjawab," sahut Siu-lam.
Nona itu tertawa. Sekali menggeliat, ia melesat ke depan Siu-lam: "Di manakah peta
Telaga Darah itu" Asal kau suka memberitahukan selain takkan kuganggu pun bahkan
akan kuberimu beberapa benda yang jarang terdapat di dunia"."
Siu-lam menyurut mundur, sahutnya tertawa: "Aku belum pernah melihat apa peta
Telaga Darah itu. Bagaimana aku dapat mengunjukkan benda itu padamu?"
Nona baju merah tersenyum: "Ah, kan lebih enak minum anggur daripada minum
racun" Jika aku sampai marah, jangan harap kau tinggalkan gunung ini dengan masih
bernyawa!" "Telah kuterangkan sejujurnya. Jika tak percaya silahkan nona menggeledahku!"
Sejenak nona itu merenung lalu menyuruh Siu-lam menanggalkan baju luarnya. Apa
boleh buat, Siu-lam terpaksa menurut.
"Hai, mengapa tak lekas-lekas membuka?" seru nona baju merah ketika melihat Siu-lam
perlahan-lahan menanggalkan baju luarnya.
"Kalau tak percaya, geledahlah! Masakan baju dalam harus kubuka semua?" teriak Siulam
marah. "Benar," si nona tertawa mengikik, "harus buka semua baru aku mau percaya kalau kau
tak menyembunyikan peta itu!"
"Seorang lelaki boleh dibunuh tetapi jangan dihina. Aku seorang pria, masakan disuruh
buka baju di hadapan seorang gadis!" teriak Siu-lam.
Sambil memainkan kebutnya, si nona baju merah tertawa: "Jika kau enggan, terpaksa
aku harus bertindak sendiri." Ia maju dua langkah, tangan kiri mencengkeram bahu Siulam.
Siu-lam menghindar ke samping. Dengan gerak Kiau-bak-kim-leng, ia memukul dada si
nona. "Sayang sam-sumoayku sudah tak berada di sini. Kalau ada, ia tentu menolongmu!"
seru si nona seraya menggeliat ke samping dan secepat kilat menyambar siku lengan Siulam
sebelah kanan. Seketika Siu-lam rasakan tenaganya lumpuh.
Sambil mengunjukkan kebut hud-tim di muka Siu-lam, nona itu berkata: "Jika kau tetap
tak mau menyerahkan peta, terpaksa akan kusapu mukamu sampai hancur. Lihat saja,
apakah sumoayku nanti masih suka padamu atau tidak!"
"Matipun bukan soal, apalagi hanya rusak muka!" sahut Siu-lam.
"Kau keras kepala benar," si nona tertawa tetapi aku tak percaya kau mempunyai
tulang besi. Mari kita coba siapa yang lebih tahan!"
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan bagaikan bintang meluncur turun, sesosok tubuh
muncul di hadapan kedua orang. Nona baju merah dan Siu-lam terkejut melihat kegesitan
orang itu. Ah, ternyata si tabib sakti Gan Leng-po.
"Kembalikan peta Telaga Darah!" teriak si tabib seraya gunakan jurus Thay-san-ya-ting
(Gunung Thay-san Menindih Kepala) menghantam kepala si nona baju merah dengan
tongkatnya. Si nona menangkis dengan hud-timnya: "Hai, tua bangka, mengapa kau bertingkah
seperti orang gila!"
Walaupun gila tetapi kepandaian tabib itu masih sakti melihat si nona menyongsong
kebut, cepat ia geliatkan tongkatnya ke bawah untuk menyapu kaki.
Si nona baju merah terkejut melihat kelihaian orang gila itu. Cepat ia dorong Siu-lam
mundur dan ia sendiri loncat ke belakang.
Walaupun berkepandaian tinggi, tetapi nona itu kurang pengalaman. Menghadapi
serangan si tabib yang begitu dahsyat, ia gugup. Benar ia dapat menghindar tetapi ia pun
lepaskan cekalannya pada lengan Siu-lam.
Si tabib makin kalap. Dengan jurus Sun-cui-tui-cou (menurut arus mendorong perahu),
ia tusukkan ujung tongkatnya. Jurus itu sebenarnya jurus biasa. Tetapi dalam tangan si
tabib, telah berubah menjadi jurus yang berbahaya sekali.
Kini si nona tak mau mundur lagi. Tusukan tongkat dihindari dengan sebuah geliatan
tubuh kemudian ia menyerang dengan menamparkan kebutannya.
Gan Leng-po masih ingat akan keterangan Bwee Hong-swat bahwa yang mencuri peta
Telaga Darah itu seorang nona baju merah. Maka begitu melihat nona itu merah bajunya,
segera ia serang mati-matian. Tetapi ternyata nona baju merah itu lihay sekali. Serangan
kebutnya, memaksa ia harus mundur tiga langkah.
Kini Gan Leng-po makin yakin bahwa nona baju merah yang di hadapannya itulah yang
mencuri peta Telaga Darah.
"Kembalikan petaku!" teriaknya seraya menyerang dengan jurus Bay-san-to-hay
(menghancurkan gunung membalikkan laut).
Demikian keduanya bertempur seru dengan jurus yang berbahaya dan dahsyat.
Melihat itu timbullah pikiran Siu-lam untuk lolos. Cepat ia menyelinap pergi dari situ.
Si nona baju merah tahu perbuatan Siu-lam. Tetapi karena dilibat oleh hujan serangan
si tabib, terpaksa ia tak dapat mencegah. Kini kemarahannya ditumpahkan kepada si
tabib edan. Serangan kebutannya dirubah sedemikian rupa. Setiap gerak kebutan
tamparan merupakan jurus-jurus maut. Disaluri tenaga dalam, untaian rambut hud-tim itu
berubah keras seperti kawat tajam.
Kepandaian Gan Leng-po bukan olah-olah saktinya. Walaupun kepandaian nona itu
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebat, tetapi dalam waktu singkat, sukar untuk memenangkan pertempuran.
Sedang Siu-lam yang meloloskan diri, lari sekuat kakinya mampu membawanya. Ia
tidak mau menganggap dirinya sudah lolos sebelum benar-benar dirinya sudah aman.
Ketika mentari pagi mengintip di puncak gunung, barulah Siu-lam rasakan kedua kakinya
lemas lunglai. Ia beristirahat di balik sebuah batu di tepi jalan.
Entah berapa lama ia tertidur, ketika bangun ternyata sudah tengah hari. Kini perutnya
mulai merintih-rintih minta isi. Baru ia hendak berbangkit mencari makanan, tiba-tiba ia
mendengar suara orang berkata perlahan: "Kudengar Ti-ki-cu Gan Leng-po pandai sekali
dalam ilmu membuat obat-obatan. Jika kali ini kita datang bertemu dengannya, pasti kita
akan mendapat beberapa obat yang berharga."
Terdengar lengking suara mirip anak, menyahut: "Suhu telah memperingatkan kita
bahwa Gan lo-cianpwe seorang yang aneh wataknya. Tak usah kita meminta apa-apa
padanya agar jangan dipandang remeh olehnya."
"Ah, sute hanya tahu satu tak tahu lainnya. Suhu hanya kenal pada Gan lo-cianpwe
tetapi tidak pernah berhubungan. Surat suhu yang kita bawa untuk Gan lo-cianpwe ini
tentulah penting sekali isinya. Siapa tahu, karena girang Gan lo-cianpwe suka memberi
hadiah beberapa macam pil kepada kita!" sahut yang berkata pertama tadi.
Kembali orang yang bernada seperti bocah tertawa: "Mudah-mudahan begitulah. Mari
kita lanjutkan perjalanan lagi."
Ketika Siu-lam mengintip dari celah karang, dilihat yang bercakap-cakap itu dua orang
anak muda yang mengenakan jubah seperti imam dan memanggul pedang. Mereka
menuju ke barat. Bermula Siu-lam hendak memanggil mereka dan memberitahukan tentang keadaan
yang diderita oleh si tabib, tetapi akhirnya ia ambil putusan lebih baik lekas-lekas
menolong sumoaynya. Ia tak kenal dengan kedua orang itu, siapa tahu jangan-jangan
bisa salah paham dan menimbulkan kesulitan.
Baru kaki diayun, tiba-tiba seorang tua berjubah warna kelabu dan seorang lelaki
berumur tiga puluhan tahun berlari-larian mendatangi. Dari pakaian dan roman muka
mereka jelas kalau mereka agak letih karena habis menempuh perjalanan jauh. Mereka
berhenti di muka Siu-lam dan setelah memandang pemuda itu, beberapa jenak, si orang
tua memberi salam: "Tolong tanya, apakah anda melihat dua orang berpakaian imam lalu di sini?" tegurnya.
Siu-lam mendapat kesan bahwa kedua orang itu tentu sedang mengejar kedua imam
tadi. Tak tahu bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba lelaki setengah tua mencabut
senjatanya sepasang poan-koan-song-pit (sepasang tangkai pena) dan menuding pada
Siu-lam: "Apa kau tuli" Mengapa ditanya diam saja"!"
Siu-lam kerutkan keningnya. Ia tak kenal siapa kedua orang itu. Sebaiknya ia bersikap
menghindari diri saja. Selintas teringatlah ia akan pemuda gagu pembantu dari Gan Lengpo.
Ah, sebaiknya ia pura-pura menjadi seorang gagu saja.
Dengan tingkah laku seperti orang gagu, Siu-lam menguak-nguak teruskan berjalan
pergi. "Seorang pemuda cakap yang gagah, mengapa gagu?" si orang tua kerutkan dahi.
"Dia tentu hanya berpura-pura gagu saja. Biarlah kutampar mukanya, tentu dia bisa
bicara!" seru lelaki setengah tua seraya hendak menampar. Tapi dicegah oleh si orang
tua. "Jangan, kalau berpura-pura masakan aku tak tahu. Ah, jangan buang waktu
percuma!" kata si orang tua yang merasa dirinya lebih berpengalaman. Rupanya lelaki
yang muda itu takut kepadanya.
"Tetapi aku tak percaya kalau dia gagu, dari gerak-geriknya dia bahkan seorang yang
mengerti ilmu silat," lelaki setengah tua itu masih menggerutu.
"Benar, dia memang mengerti ilmu silat. Tetapi masakan tak ada orang persilatan yang
gagu. Sudahlah, pengalamanku yang berpuluh tahun di dunia persilatan ini tentu takkan
salah lihat!" sahut si orang tua.
Lelaki setengah tua menyelinap senjatanya ke punggung lagi tetapi tetap memandang
gerak-gerik Siu-lam yang berjalan dengan tenang. Akhirnya dapatlah Siu-lam lolos dari
gangguan kedua orang tak dikenal itu. Setelah beberapa waktu berlari, ia beristirahat lagi.
Tubuhnya benar-benar lemas karena perut kosong.
Tiba-tiba di udara beterbangan beberapa ekor burung dara. Timbul seketika akal Siulam
untuk mendapatkan makanan. Ia memungut sebutir kerikil lalu dilontarkan ke atas.
Seekor burung merpati terkena lontarannya dan jatuh. Kemudian Siu-lam membuat api
unggun dari ranting-ranting kering.
Tiba-tiba ia teringat bahwa orang persilatan sering menggunakan burung merpati untuk
menyampaikan berita. Segera burung itu diperiksa, ah, ternyata benar. Ia menemukan
sebuah tabung kecil berisi surat di bawah sayap kiri burung itu. Surat berbunyi:
Thian Hong toheng, Maaf, karena ada urusan penting,
aku tak dapat datang memenuhi janji.
Tujuh hari lagi, aku pasti datang.
Surat itu tak bertanda tangan tetapi dibubuhi cap sebuah gambar Thay-kek-tho.
Siu-lam mendengar juga siapa paderi Thian Hong itu. Dia seorang paderi yang menjadi
tokoh pertama dari Su-tay-beng-kiam (Empat Jago Pedang Termasyhur). Karena sering
melakukan perbuatan utama, paderi itu dianggap sebagai pemimpin golongan putih dari
tujuh propinsi Kang-lam. Siu-lam tertegun. Diam-diam ia menyesal telah mengganggu merpati itu. Pengirim
surat tentu juga seorang golongan putih. Dan serentak dengan itu teringatlah ia akan
orang tua dan lelaki setengah tua serta kedua orang yang terdahulu dijumpainya tadi.
Gerak-gerik kedua orang rombongan itu bukan sewajarnya, kemungkinan kedatangan
mereka tentulah mempunyai hubungan dengan peta Telaga Darah.
Ia terkejut ketika api hampir padam. Buru-buru ia hendak berbangkit, tiba-tiba
pergelangan tangannya dicengkeram oleh sebuah tangan keras.
"Lekas berikan surat itu kepadaku! Berani melawan, urat-uratmu kuhancurkan!"
terdengar suara ancaman bengis.
Dan serentak punggung Siu-lam dicengkeram. Dalam keadaan seperti itu terpaksa Siulam
menurut. Tetapi ketika ia mengangkat tangan, bahunya kesemutan dan pingsanlah
ia. Entah berapa lamanya, ketika sadar ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah kereta.
Kaki dan tangannya diikat kencang.
Siu-lam geram. Dikerahkan tenaga dalam untuk memutus tali pengikat. Tiba-tiba
terdengar suara berbisik: "Harap kenal gelagat sobat. Jika coba-coba berontak, jangan
menyesal kalau aku terpaksa memutus lenganmu!"
Ternyata dalam kereta itu terdapat seseorang yang menjaganya. Siu-lam hanya dapat
menghela napas. Dan karena kedua matanya ditutup dengan kain hitam, ia tak tahu saat
itu malam atau siang. "Sahabat, aku tak kenal dan mempunyai dendam permusuhan apa-apa kepadamu.
Mengapa kau menyiksa aku begini?" serunya.
Orang itu tertawa: "Tanyakan saja nanti pada pemimpin kita. Sekarang lebih baik kau
jangan banyak bicara!" jawab penjaga itu.
Siu-lam teringat akan perutnya yang lapar. Memang kalau lapar tentu tak punya
tenaga bertempur. Lebih baik ia bersikap bersahabat dan minta disediakan makanan.
Baru ia hendak membuka mulut tiba-tiba terdengar suara parau dari sebelah luar: "Hai,
budak itu sudah bangun?"
Penjaga dalam kereta mengiakan.
"Awas, budak itu ganas rupanya. Hati-hati jangan sampai dia lolos. Kita yang celaka
nanti," seru suara parau itu pula.
Mendengar itu Siu-lam terpaksa batalkan kata-katanya. Kira-kira sejam kemudian,
kereta itu tiba-tiba berhenti. Dan Siu-lam rasakan dirinya digotong keluar. Ternyata dia
diangkut ke tepi sebuah sungai. Di situ telah disiapkan sebuah perahu. Karena kelaparan
dan letih sekali Siu-lam pingsan lagi.
Ketika membuka mata, ia berada dalam sebuah ruangan besar yang terang benderang
penerangannya. Ruangan itu penuh dengan orang yang duduk diatur dalam dua jajaran.
Tak kurang dari dua puluhan orang jumlahnya. Di tengah-tengah duduk seorang tua
memakai pakaian warna biru. Umurnya lebih kurang lima puluh tahun. Hidung betet,
mata juling. Tubuhnya kokoh kekar dilingkari dua untai jenggot yang menjulur sampai ke
dada. Seorang lelaki yang gagah perkasa.
Di sebelah kirinya, duduk seorang lelaki bertubuh pendek. Sepasang matanya bersinar
tajam. Sedang di sebelah kanan duduk seorang tua bertubuh kurus. Rambut dan
jenggotnya sudah putih semua.
Lelaki gagah itu memegang surat yang ditemukan Siu-lam dari sayap merpati. Begitu
melihat Siu-lam ia segera memberi salam dan berseru dengan tertawa: "Maaf, karena tak
tahu maka sampai berlaku kurang sopan terhadap saudara!"
Walaupun ucapan ramah tetapi nadanya tetap seram. Saat itu Siu-lam sudah tidak
diikat dan tak ditutupi matanya. Melihat sambutan orang yang ramah, iapun tersipu-sipu
membalas hormat. "Rasanya dunia persilatan Kanglam tidak pernah melihat kehadiran saudara. Saudara
tentu berasal dari jauh," kata lelaki si hidung betet.
"Benar, memang aku datang dari Kangpak dan kebetulan pesiar ke gunung Kiu-kiongsan.
Tetapi entah apakah kesalahanku sehingga tuan menawanku ke sini?"
"Ah, memang sudah jamak dalam dunia persilatan sering terjadi kesalahan paham.
Memang karena salah paham maka anak buahku sampai membawa saudara kemari. Dan
karena kita sudah saling kenal, maka sukalah saudara memberi petunjuk tentang kedua
buah hal. Setelah itu tentu akan kami antar saudara pulang serta menghukum anak
buahku yang bersalah itu!"
Diam-diam Siu-lam menimang. Lelaki hidung betet ini tentulah pemimpin dari
rombongan orang yang berada di situ. Timbul keinginannya untuk mengetahui siapa
orang itu. Dengan hormat ia menanyakan nama dan gelaran si hidung betet.
Sambil mengurut-urut jenggot, si hidung betet tertawa: "Ah, aku seorang yang tak
ternama. Namaku Wan Kiu-gui."
Siu-lam terkesiap. Ia pernah mendengar juga tentang Wan Kiu-gui bergelar Siau-hinsineng atau Elang Sakti Berwajah Ketawa, sebagai pemimpin golongan hitam dari tujuh
propinsi Kanglam. Dialah pemimpin dunia lok-lim (bangsa penyamun) di Kanglam.
Kedudukannya berlawanan dengan Thian Hong totiang yang satu pemimpin golongan
putih, yang satu pemimpin golongan hitam.
Elang Sakti Tertawa Wan Kiu-gui balas menanyakan nama Siu-lam. Dan Siu-lampun
memberitahukan namanya. "Ah, apakah saudara Pui kenal pada Thian Hong-totiang?" tanya Wan Kiu-gui.
"Thian Hong-totiang?" sahut Siu-lam tenang-tenang, "setiap orang persilatan tentu
mengenalnya. Begitu juga aku. Hanya sayang aku tak pernah bertemu dengan paderi
itu." Wan Kiu-gui tertawa: "Oh, kiranya saudara hanya kenal namanya saja. Kalau begitu"."
sampai di sini tiba-tiba wajah si hidung betet itu berubah seram lagi. Diacungkan surat
yang dicekalnya lalu berseru dingin. "Dari manakah saudara mendapatkan surat ini?"
Saat itu Siu-lam merasa dirinya disorot oleh berpuluh-puluh pasang mata. Diam-diam
ia mengeluh. Dan berada dalam sarang harimau. Sekali kurang hati-hati bicara, tentu
akan tertimpa bencana maut.
"Surat itu kudapatkan secara tak sengaja," akhirnya ia menjawab.
Beberapa tertawa mengejek berhamburan dari kedua jajaran tempat duduk yang penuh
orang itu. Siu-lam menyurut dua langkah ke belakang, serunya: "Siapa pengirim surat itu,
aku pun tak tahu!" "Kalau begitu saudara juga tak tahu akan rapat besar yang hendak diselenggarakan
paderi Thian Hong?" seru Wan Kiu-gui pula.
Siu-lam mengiakan. "Walaupun keterangan saudara menyangsikan, tetapi akupun terpaksa
mempercayaimu," kata Wan Kiu-gui seraya tertawa keras.
"Aku telah mengatakan sebenar-benarnya. Kalau saudara tak percaya, terserah saja,"
kata Siu-lam. Wan Kiu-gui tenang-tenang saja memasukkan surat itu ke dalam bajunya. Dan kini ia
mengeluarkan sebuah botol kecil dari batu kumala putih. Siu-lam hampir menjerit melihat
botol kumala itu. Cepat ia merogoh bajunya, ah". kosong! Siu-lam pucat seketika.
Sambil memainkan sepasang botol kumala, Wan Kiu-gui tertawa: "Saudara mengatakan
tak pernah campur dengan orang persilatan. Tetapi kedua botol ini berisi obat yang
jarang terdapat di dunia persilatan. Dari manakah saudara memperolehnya?"
Dari gelisah kini Siu-lam menjadi gusar. Serunya: "Obat itu kuperoleh dari pemberian
Gan lo-cianpwe di gunung Kiu-kiong-san. Apakah hubungannya?"
Wan Kiu-gui tertawa gelak-gelak. Sejenak ia tukar isyarat mata dengan orang tua
kurus yang duduk di sebelah kanannya. Katanya lagi kepada Siu-lam: "Obat Kiu-coansiokbeng-seng-ki-san dan Kun-tok-tin-sin-tan ini, obat dewa yang sukar didapat. Kalau
Ti-ki-cu Gan Leng-po sampai mau memberikan padamu, tentulah mempunyai hubungan
baik sekali dengan saudara!"
Siu-lam terkesiap, sahutnya: "Memang aku punya hubungan baik dengan kalian!"
Siu-lam buang semua rasa takut. Ia duga benggolan golongan hitam itu tentu marah.
Di luar dugaan Wan Kui-gui malah tertawa girang: "Oho, kalau begitu kau tahu tempat
tinggalnya!" "Ya!" "Ah, sudah lama aku ingin bertemu dengan tabib itu. Sayang tak tahu tempatnya. Kini
saudara tentu tak keberatan membawaku kesana, bukan?"
Siu-lam terkesiap dan tak dapat berkata sampai beberapa saat.
"Jika kau membuat aku kecewa, terpaksa akupun akan mengecewakanmu," Wan Kuigui
seraya lemparkan botol kumala melambung tinggi ke atas. Kemudian botol itu
disambutinya. Ia memberi peringatan pada Siu-lam, bahwa setiap saat obat itu dapat
dihancurkan. "Bukan karena tak mau tetapi Gan lo-cianpwe itu sekarang tak tinggal di sana," seru
Siu-lam. Wan Kui-gui mendengus dan lemparkan botol makin tinggi lalu disusul lagi dengan
botol yang kedua. Tring".botol itu berbenturan perlahan.
"Tak apalah. Asal kau mau membawaku ke sana, puaslah hatiku," kata Wan Kui-gui.
Tiba-tiba Siu-lam loncat menerjang benggolan itu untuk merebut botol obatnya. Wan
Kui-gui masih tertawa melantang. Ia hanya guratkan tangan kanan perlahan-lahan dan
Siu-lam sudah terhuyung-huyung mundur tiga langkah.
Pemuda itu putus asa. Tak mungkin ia dapat melawan benggolan sakti itu. Dalam
putus asa, Siu-lam hendak melarikan diri. Tetapi ah" si orang tua yang duduk di samping
Wan Kui-gui sudah melesat menghadang di ambang pintu.
Siu-lam tertegun. Orang tua itu menghampirinya perlahan-lahan. Semua hadirin di situ
memandang Siu-lam. Siu-lampun bersiap-siap. Tetapi tiba-tiba, sebelum ia sempat
berbuat sesuatu sebuah jari kurus telah menutuk dadanya. Cepat dan tepat sekali jari itu
bergerak. Seketika Siu-lam rubuh lemas, tenaganya lumpuh.
"Aku meminta secara baik, namun kalau kau tak kenal gelagat, terpaksa kupersakiti,"
Wan Kiu-gui tertawa. Marah, malu, penasaran dan putus asa berkecamuk dalam hati Siu-lam. Benggolan
golongan hitam tersebut sepuluh kali lebih sakti darinya. Tak bakal ia mampu lolos.
"Jika kau mau mengantarkan aku ke tempat Gan Leng-po, bukan saja kedua botol itu
kukembalikan padamu, pun akan kuantarkan kau pulang. Kelak apabila kau memerlukan
bantuan, kami bersedia untuk membantumu. Ah, kau seorang cerdik, mengapa tak mau
berpikir panjang?" Siu-lam memandang kepala benggolan itu dengan tajam. Ia tak dapat berkutik tetapi
mulutnya bergerak seakan hendak bicara.
Sebagai seorang berpengalaman, cepat Wan Kiu-gui berbangkit dan mengangkat
bangun Siu-lam. Ditepuknya punggung pemuda itu tiga kali: "Kalau tadi saudara
menerima, tentu tak sampai begini."
Kemudian ia perintah supaya mempersiapkan perjamuan itu, walaupun Wan Kiu-gui
berlaku ramah, pikirnya Siu-lam tetap melayang jauh kepada sumoaynya. Betapa ia ingin
lekas-lekas membawa obat itu untuk membebaskan dara itu.
Selesai perjalanan, wan Kiu-gui segera mengajak Siu-lam berangkat. Dia membawa
pengiring delapan orang bersenjata lengkap. Mereka naik kuda. Cepat sekali mereka tiba
di tepi sungai. Lima buah perahu telah disiapkan, tiap perahu dinaiki dua orang. Wan Kiugui
dan Siu-lam naik dalam sebuah perahu.
"Aku hanya bersedia mengantarkan ke tempat Gan locianpwe. Soal dia di rumah atau
tidak dan mau menerima kedatanganmu atau tidak, bukan tanggung jawabku," kata Siulam.
"Tentu," jawab Wan Kiu-gui. "Masih ada sebuah hal lagi yang hendak kutanyakan
padamu?" "Silahkan." "Rupanya kau belum pernah berkelana di dunia persilatan. Apa maksudmu
mengembara kali ini" Apakah hanya semata-mata hendak minta obat kepada Gan Lengpo?"
"Benar, memang hanya itu."
Wan Kiu-gui tertawa. Serunya beberapa jenak kemudian: "Walaupun kudengar pil Kiucoansiok-beng-seng-ki-san dan Bi-tok-tik-siu-tan itu obat mujijat, tetapi selama ini belum
pernah kulihatnya. Benarkah tujuanmu hanya untuk meminta obat itu?"
Siu-lam mengatakan bahwa obat itu hanya untuk persediaan saja. Dalam pada
bertanya jawab itu, perahupun tiba di seberang tepi. Kembali mereka melanjutkan
perjalanan dengan kuda. Pada hari kedua menjelang petang, mereka tiba di kaki gunung
Kiu-kiong-san. Menghadapi pendakian yang sukar, terpaksa mereka berjalan kaki. Kuda disuruh jaga
salah seorang pengiring Wan Kiu-gui. Siu-lam tetap dijaga ketat oleh delapan buah Wan
Kiu-gui. "Masih berapa jauhnya tempat tinggal Gan lo-cianpwee itu?" tanya Wan Kiu-gui.
Siu-lam mengeluh: "Kabut mulai membungkus gunung sukar untuk mengenal jalan"."
Belum habis ia berkata tiba-tiba Wan Kiu-gui mendengus dan loncat ke semak belukar
yang tumbuh di sebelah kiri. Dia berhenti di muka sebuah semak, lelaki tua bertubuh
kurus segera maju menghampiri semak itu. Ternyata di dalam semak itu terbaring dua
orang lelaki. Matanya tertutup kaki tangannya menjulur. Entah hidup atau mati.
"Selain Gan Leng-po, siapakah yang tinggal di daerah sini lagi?" tanya Wan Kiu-gui.
"Aku kurang jelas," sahut Siu-lam.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wan Kiu-gui tertawa seram lalu pengiringnya memeriksa keadaan kedua korban itu.
Siu-lam terbeliak kaget ketika mengetahui kedua korban itu bukan lain ialah orang tua
berjubah kelabu dan lelaki setengah tua yang dijumpainya kemarin.
"Sudah mati," kata pengiring Wan Kiu-gui.
Dengan tetap mengulum tawa, Wan Kiu-gui perintah anak buahnya mengubur kedua
mayat itu. Dua anak buah Wan Kiu-gui segera mengangkut mayat itu ke dalam hutan. Ucap Wan
Kiu-gui kepada Siu-lam: "Pernahkah kau bertemu dengan kedua anak buahku yang mati
itu?" Siu-lam tahu bahwa berhadapan dengan kepala golongan hitam yang cerdik dan licin
itu tak guna ia berbohong. Maka diceriterakannya pertemuan dengan kedua korban
beberapa hari yang lalu. "Menilik kau juga seorang persilatan, tentulah dapat menduga bagaimana cara
kematian mereka?" Seru Wan Kiu-gui pula. "Menurut penilikanku, kedua anak buah tuan binasa karena tutukan Ciong-chiu-hwat!"
Wan Kiu-gui tertawa: "Benar, memang mereka mati karena tangan ganas itu!"
"Menurut pendapatku, mereka belum lama meninggalnya"." Tukas si orang pendek.
"Setelah ditutuk tak berkutik mereka ditinggalkan di sini sampai jiwanya melayang.
Penutukan itu terjadi dua hari yang lalu," Wan Kiu-gui menambahi keterangannya, "Di
dunia persilatan orang yang berani menentang aku tak ada keduanya kecuali si hidung
kerbau Thian Hong itu. Tetapi kedua orang tadi jelas bukan mati karena tangan paderi
itu. Entah siapa lagi yang mempunyai ilmu tutukan sedemikian saktinya itu!"
Kisah Pendekar Bongkok 11 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Manusia Yang Bisa Menghilang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama