Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis 3

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 3


"Semua telah terjadi, tak perlu Hu pa-cu meresahkan," kata si pendek. Lalu ia berkata
kepada Siu-lam: "Apakah aku perlu yang mempelopori di muka?"
"Tak usah!" sahut Wan Kiu-gui, "tutukan itu luar biasa sekali. Sekalipun kita keburu
datang sebelum mereka mati, pun rasanya sukar menyembuhkan!"
Siu-lam terkejut dalam hati. Siapa lagi yang memiliki ilmu tutukan luar biasa kalau
bukan si dara merah"
Sekonyong-konyong orang kurus melesat ke dekat Siu-lam seraya menegur: "Siapa lagi
yang tinggal di daerah ini kecuali Gan Leng-po?" Ia menutup kata-katanya dengan sebuah
gerak menyambar siku lengan Siu-lam.
Siu-lam menggelincir tiga langkah ke samping untuk menghindari cengkeraman orang.
Si kurus deliki mata dan dengan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya, ia lanjutkan
lagi serangan kedua. Karena tak sempat menghindar, terpaksa Siu-lam menangkis dengan
jurus Ing-hong-can-jau (menyongsong angin memotong rumput).
Pak tua kurus itu tertawa dingin. Menarik tangan kanannya, ia gunakan tangan kiri
untuk menyambar siku lengan kanan Siu-lam. Crek". Siu-lam tak dapat berkutik lagi
tenaganya serasa lenyap! Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras: "Tok Sam-goan, lepaskanlah!"
Ketika pak tua itu berpaling ternyata yang membentak itu si Elang Sakti Tertawa Wan
Kiu-gui, orang she Wan itu menatapnya dengan sorot kemarahan.
Pak tua yang dipanggil Tok Sam-goan itu tergetar nyalinya. Buru-buru ia lepaskan
cengkeramannya dan mundur selangkah.
"Kemarilah saudara Pui," Wan Kiu-gui memanggil Siu-lam menyadari gelagatnya makin
memburuk. Anak buah Wan Kiu-gui sudah menaruh kecurigaan kepadanya. Setiap waktu
mereka dapat membunuhnya. Walaupun belum tentu Wan Kiu-gui itu sungguh hendak
melindunginya, tetapi untuk sementara itu dia masih membutuhkan bantuannya. Tentu
takkan turun tangan. Siu-lam segera menghampiri. Dilihatnya jago golongan hitam yang selalu menyungging
tawa itu agak memuram durja. Sambil menepuk bahu Siu-lam, Wan Kiu-gui
menerangkan: "Kedua orang yang mati itu adalah saudara angkat Tok Sam-goan. Sudah
tentu dia marah kepadamu. Harap jangan gelisah!"
Keterangan itu membuat Siu-lam makin prihatin. Setiap saat jiwanya terancam maut.
Satu-satunya jalan untuk menghadapi mereka, ialah harus bersikap setengah mungkin.
Tetapi sikap itu ditafsirkan lain oleh Wan Kiu-gui. Pemimpin golongan hitam itu makin
curiga. Tetapi karena kuatir ditertawakan bernyali kecil, ia pun tak mau mendesak pada
pemuda itu. Tak lama merekapun tiba di mulut sebuah lembah. Dua batang pohon siong tua,
tumbuh di tengah jalan. Tiba-tiba terdengar Wan Kiu-gui mendengus dan berhenti.
Matanya berkeliaran memeriksa pohon siong itu. Siu-lam pun mengikuti arah yang
dipandang jago itu. Hai, bukan kepalang terkejutnya!
Di atas dahan pohon siong itu masing-masing bergelantungan dua sosok tubuh
orang". Saat itu sudah malam. Suasana makin seram. Bahkan seorang benggolan seperti Wan
Kiu-gui pun diam-diam mengucurkan keringat dingin.
Namun sebagai datuk golongan hitam, tak mudah ia mengutarakan kegentaran hatinya.
Tiba-tiba ia tertawa dingin: "Kedua imam yang gantung diri itu rupanya anak murid Thian
Hong totiang. Ha ha ha, golongan putih dan hitam daerah Kanglam kali ini telah
dijatuhkan orang di gunung Kiu-kiong-san!"
Wan Kiu-gui girang karena ternyata anak murid paderi Thian Hong pun diganas orang.
Siu-lam memperhatikan kedua korban itu. Ah, benarlah. Memang mereka ialah kedua
imam yang pernah dijumpainya ketika turun dari Kiu-kiong-san beberapa hari yang lalu.
Tiba-tiba Wan Kiu-gui hentikan tertawanya. "Aku dengar Gan Leng-po itu disanjung
orang persilatan sebagai seorang tabib sakti. Siapa tahu ternyata dia seorang manusia
berhati ganas.?" Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Masih berapa jauh lagi dari
tempat tinggalnya" Jika bertemu dengannya, ingin aku meminta pelajaran barang
beberapa jurus!" Dengan ucapan itu seolah-olah Siu-lam sudah digolongkan sebagai orang dari Gan
Leng-po. Siu-lam menerangkan bahwa tempat tinggal Gan Leng-po masih kira-kira
sepuluh lie lagi. Kembali Wan Kiu-gui melantangkan tertawanya yang sukar diraba artinya itu: "Bagus,
bagus, harap saudara percepat waktunya!"
"Aku hendak mohon bertanya sebuah hal kepada tuan, entah tuan mau meluluskan
atau tidak?" tiba-tiba Siu-lam berseru.
Jilid 05 SEJATI Wan Kiu-gui tertegun tetapi cepat-cepat ia mempersilahkan pemuda itu
mengatakan permintaannya.
"Apabila nanti Gan lo-cianpwe menanyakan tentang obat yang diberikan kepadaku,
bukankah akan menimbulkan kesulitan"."
Wan Kiu-gui tertawa: "Aku tak takut menghadapi kesulitan. Tetapi apabila saudara
menginginkan kembali botol obat itu, sudah tentu akan kuserahkan!"
Segera orang she Wan itu mengeluarkan botol obat dan diberikan kepada Siu-lam.
Setelah mengamati botol itu berisi obat, segera Siu-lam menyimpan di dalam bajunya.
Katanya: "Perangai Gan lo-cianpwe itu aneh sekali. Jika bertemu harap saudara Wan suka
berlaku sabar!" Wan Kiu-gui menyanggupi. Ia berjanji takkan bertindak keras apabila tidak terdesak.
Setelah itu Siu-lampun mengajaknya berjalan lagi. Diam-diam Siu-lam gelisah. Tak tahu
ia bagaimana kesudahan pertempuran antara Gan Leng-po lawan si dara baju merah,
tetapi baik tabib itu menang atau kalah, yang pasti dia tentu takkan berada dalam
gohanya lagi. Dan apabila Wan Kiu-gui tak menemukan tabib itu, sudah tentu akan
menumpahkan kemarahannya padanya.
"Hm, aku harus cari daya untuk lolos dari cengkeraman mereka," akhirnya Siu-lam
memutuskan. Karena getarnya sang perasaan, tanpa disadari Siu-lam berhenti di mulut lembah. Wan
Kiu-gui menegurnya: "Eh, mengapa berhenti. Apakah masih jauh?"
"Beberapa tikungan lagi, tentu sudah datang"." Siu-lam tergugup kaget ketika
matanya tertumbuk pada sebuah batu karang besar yang bergurat beberapa tulisan:
"Berani masuk melangkah tentu binasa." Wan Kiu-gui melihat juga tulisan itu.
Dengusnya: "Hm, sombong sekali. Aku hendak mencoba!"
Seketika timbullah pikiran Siu-lam, ujarnya: "Gan lo-cianpwee tinggal dalam sebuah
telaga di lembah ini. Beberapa hari yang lalu ketika aku datang, tulisan itu belum ada.
Entah siapa yang menulisnya, tetapi yang jelas bukan buah tangan Gan lo-cianpwe!"
Wan Kiu-gui merenung sejenak, katanya: "Cobalah saudara mengamat-amati lagi,
apakah tulisan itu dari Gan Leng-po?"
Siu-lam mengatakan bahwa ia kenal baik dengan tulisan Gan Leng-po. Katanya:
"Mungkin dia sedang pergi mencari daun obat-obatan dan suruh orang menjagakan
tempat tinggalnya. Dan orang itulah yang menulis tulisan itu!"
Wan Kiu-gui mengangguk dan membenarkan dugaan Siu-lam. Tanyanya sesaat
kemudian: "Selain dia, siapa lagikah yang tinggal di sini?"
"Hanya seorang anak yang menjadi pelayannya!" jawab Siu-lam.
Wan Kiu-gui tertawa seram lalu memberi perintah pada seorang pengawalnya: "Mo
Tong, suruh kawan-kawanmu menjaga mulut lembah ini. Kau dan Tek Sam-goan ikut aku
masuk!" Ternyata yang bernama Mo Tong itu adalah si orang pendek. Dia bersama Tek Samgoan
si orang tua kurus tersipu berlari menghampiri. Sementara lima orang pengiring
yang termasuk jago-jago kelas satu dalam golongan hitam, tanpa menunggu perintah lagi
terus pencar diri menjaga mulut lembah.
"Jika tulisan itu bukan dari Gan Leng-po tentu sudah ada lain orang yang mendahului
kita!" kata si pendek Mo Tong setelah melihat tulisan itu.
"Memang mencurigakan. Tapi kuperhitungkan tentu bukan paderi Thian Hong. Tak
mungkin dia lebih cepat dari kita. Heran, siapakah tokoh lain yang berani bermusuhan
dengan aku?" kata Wan Kiu-gui.
Sekali bergerak, tubuh ketua golongan hitam itupun sudah melesat ke dalam lembah.
Ilmu gin-kangnya luar biasa. Mo Tong dan Tek Sam-goan segera mengikuti.
Siu-lam tertegun. Dalam keadaan seperti saat itu mundur maju serba salah baginya.
Tiba-tiba ia mendengar pekikan Wan Kiu-gui. Sepertinya dia sedang bertempur dengan
seorang lawan yang hebat. Serentak Siu-lam pun lari ke dalam lembah".
Apa yang disaksikan membuatnya terkejut bukan kepalang. Tampak Wan Kiu-gui
sedang mencekal sebatang tongkat bambu. Mo Tong dan Tek Sam-goan berdiri di
belakangnya. Siu-lam cepat-ceat menghampiri dan apa yang dilihatnya makin
membuatnya kaget seperti disambar geledek.
Tangan kanan Wan Kiu-gui mencekal secarik kertas. Kertas itu berlukiskan sepuluh
sosok mayat. Pinggirnya bertuliskan beberapa huruf, berbunyi:
"Dengan hormat menyambut kedatangan.
Maaf, tak sempat sedia peti mati."
Setelah termangu-mangu beberapa saat, Wan Kiu-gui pun berkata kepada si kurus Tek
Sam-goan: "Rupanya perjalanan kita telah diketahui musuh"." Kerutkan alis ia
memandang Siu-lam tajam-tajam: "Bagaimanakah ini" Jika tak mau menjelaskan
sejujurnya jangan sesalkan kalau aku tak menghormat seorang sahabat!"
Siu-lam geleng-geleng kepala: "Soal ini aku juga tak mengerti. Tetapi yang jelas tulisan
ini pun bukan dari Gan lo-cianpwe!"
Dengan mata berapi-api dan tertawa iblis Wan Kiu-gui segera minta Siu-lam menunjuk
jalan. Terpaksa Siu-lam menurut.
"Terserah kalau saudara mencurigai aku. Tetapi kukenal jelas bagaimana perangai Gan
lo-cianpwe itu. Tak nanti dia bertindak seganas itu. Mungkin setelah aku pergi, dia
mendapat bencana"."
Diam-diam Wan Kiu-gui mengakui bahwa pemuda itu berkata jujur. Pikirnya: "Jika
Thian Hong dan aku mengetahui tentang munculnya peta Telaga Darah itu, orang lainpun
tentu tahu juga. Kemungkinan Leng-po sudah dicelakai orang lain!"
Tak berapa lama tibalah mereka di telaga. Menunjuk pada kedua pondok terapung di
telaga itu, Siu-lam mengatakan kalau pondok itu adalah tempat tinggal si tabib.
Setelah memandang keadaan di sekeliling, Wan Kiu-gui suruh Tek Sam-goan menjaga
di mulut jalan sedang ia bersama Mo Tong menuju ke pondok terapung.
Tiba-tiba dari dalam pondok terapung yang besar, melintas sesosok bayangan biru.
Dan menyusul terdengar suara melengking: "Apakah tuan-tuan baru tiba" Sudah lama
aku menunggu di sini!"
Nadanya tinggi macam serigala meraung di tengah malam. Mau tak mau Wan Kiu-gui
seram juga. Dilihatnya pintu pondok menghambur segulung asap dan pada lain saat
muncullah seorang tua yang bertubuh kurus sekali. Wajahnya aneh. Dengan menjinjing
sebuah lentera biru, orang aneh itu meluncur di permukaan air, menghampiri ke tempat
rombongan Wan Kiu-gui. Dikata meluncur karena kalau berjalan, kakinya sama sekali
tidak tampak bergerak".
"Ih, ilmu ginkang apakah yang dijalankan orang itu" Apakah dia bukan bangsa
manusia?" diam-diam Wan Kiu-gui bercekat dalam hati.
Orang itu makin lama makin dekat. Dan saat itu hanya terpisah setombak dari tepi
telaga. Dari cahaya biru yang dijinjingnya, tampak jelas bagaimana wajah orang itu.
Benar-benar sebuah wajah yang membuat bulu roma orang berdiri. Muka panjang, leher
tinggi, mulut lebar dan kedua matanya besar sekali".
Baik Wan Kiu-gui maupun Mo Tong, adalah benggolan yang biasa membunuh orang.
Tetapi berhadapan dengan manusia aneh itu mau tak mau mereka bergidik juga.
Sementara Siu-lam segera teringat bahwa manusia aneh itu adalah manusia aneh yang
bertempur dengan Su Bo-tun.
Segera Wan Kiu-gui hendak menegur tetapi ia tertegun ketika melihat cara orang aneh
itu berdiri di atas air. "Gila, meluncur di atas air sudah suatu ilmu aneh, sekarang dia
berdiri di atas air! Ah, tak mungkin manusia dapat melakukan hal semacam itu. Mungkin
malam in aku bakal ketemu batu!" diam-diam Wan Kiu-gui menimang gelisah.
Kegelisahan itu menurunkan nyalinya beberapa derajat.
Tiba-tiba si tua kurus Tek Sam-goan tertawa dingin: "Menggunakan dua bilah papan
berdiri di air untuk menggertak orang, bukanlah ilmu yang mengherankan! Hm,
kepandaian macam begitu masakan mampu mengelabui aku!"
Manusia aneh berbaju hitam itu ketika mendengar tipu rencananya diketahui orang,
tertawa mengekeh. Sekali melesat, ia melayang ke sebuah batu, serunya: "Karena kalian
takut mati, silahkan melihat-lihat ke dalam pondok itu!"
Suara parau, nadanya macam genderang pecah. Tak enak sekali di telinga. Wan Kiugui
dapatkan bahwa kedua kaki orang aneh itu memang dilekati bilah papan. Tertawalah
ia gelak-gelak: "Maaf, aku tak kenal siapa anda ini!"
Manusia aneh itu tertawa dingin: "Barang siapa kenal padaku, tentu akan pindah ke
dunia lain. Baiklah kalian jangan banyak ini itu!"
Wan Kiu-gui yang sudah pulih nyalinya, segera tersenyum: "Oh, begitu" Justeru aku
mau bertanya!" Manusia aneh itu murka: "Setelah kau mati, baru kuberitahukan namaku. Sekarang
lekas ke pondok itu agar jam kematianmu tak terlambat!"
Kemudian manusia aneh itu pindahkan pandangannya ke arah Siu-lam, dengusnya
dingin: "Hm, kau kembali lagi ke sini, budak. Rupanya kau sudah ditakdirkan mati!" habis
berkata manusia aneh itu loncat ke tengah telaga lagi dan terus meluncur pergi.
"Tak kira kalau kau kenal dengan banyak tokoh aneh!" damprat Tek Sam-goan kepada
Siu-lam. Wan Kiu-gui deliki mata kepada orang bawahannya lalu bertanya perlahan-lahan
kepada Siu-lam: "Tentulah saudara tahu dan asal-usul orang aneh itu?"
Jawab Siu-lam: "Walaupun pernah bertemu satu kali tetapi aku tak kenal padanya.
Tentang asal-usulnya, mungkin aku tahu sedikit. Pernahkah saudara mendengar tentang
gunung Beng-gak?" "Beng-gak?" di luar dugaan, benggolan golongan hitam yang banyak pengalaman itu
berjengit kaget. "Walaupun aku kenal dengan semua tokoh golongan hitam maupun putih
di dunia persilatan, tetapi tak pernah kudengar tentang cerita dari orang semacam itu tadi.
Gunung Beng-gak akupun belum pernah mendengar. Harap saudara memberitahukan di
mana letak tempat itu!"
"Eh, aku sendiripun tak tahu tempat itu. Tetapi kalau mereka berasal dari gunung
Beng-gak. Pemimpinnya saat ini sedang pit-bun (memendam diri meyakinkan sesuatu
ilmu kesaktian). Yang menjalankah kemudi pimpinan gerombolan itu adalah ketiga
muridnya, dara merah dara putih dan dara biru. Mereka gadis-gadis cantik tetapi
ganasnya bukan kepalang dan berilmu tinggi pula. Orang aneh tadi, masih belum
terhitung seberapa. Paling-paling kedudukannya setingkat dengan thau-bak (kepala
guru)"." Siu-lam mempunyai ingatan tajam. Sekalipun hanya mendengar keterangan secara
terpotong-potong tetapi ia dapat membuat analisa yang teratur sehingga tak menimbulkan
kecurigaan. Sampai saat itu Siu-lam berhasil menghindari pembicaraan tentang peta
Telaga Darah. Wan Kiu-gui memberi isyarat mata kepada Tek Sam-goan dan si pendek Mo Tong,
ujarnya: "Rupanya Ti-ki-cu Gan Leng-po telah mati di tangan mereka. Tetapi karena kita
sudah jauh-jauh datang kemari, biar bagaimana kita tetap harus menjenguk ke dalam
pondok terapung itu. Kemungkinan besar kita akan menghadapi pertempuran. Kalian
harus tunggu isyaratku, jangan sembarangan bertindak sendiri!" habis berkata benggolan
itu segera loncat ke tengah telaga. Dengan gunakan ilmu Teng-ping-tok-cui ia berjalan di
atas air. Tek Sam-goan segera menyusul sedangkan Mo Tong setelah mengajak Siu-lam baru ia
loncat ke telaga. "Kalau begitu kau tak mau menjenguk pondok itu."
"Benar-benar aku tak mampu lari di atas air. Maukah kau menunjukkan caranya?"
balas Siu-lam. Tiba-tiba Mo Tong teringat akan cara si orang aneh meluncur di permukaan air tadi. Ia
minta Siu-lam menunggunya sebentar. Ia hendak cari alat penyeberang untuk pemuda
itu. Tak berapa lama pemuda itu datang dengan dua kerat dahan kayu kering sebesar
lengan. Ia suruh Siu-lam meletakkan dahan kering itu ada telapak kaki. Berkat sudah
memiliki dasar ilmu ginkang, ditambah dengan bantuan kayu kering, dapatlah Siu-lam
melintasi telaga. Mereka menghampiri pondok yang besar. Setelah melepaskan kayu
kering, Siu-lam bersama Mo Tong masuk. Tampak Wan Kiu-gui dan Tek Sam-goan tegak
bahu-membahu. Si orang aneh berdiri di samping pintu. Seperti menjaga jangan sampai
kedua orang itu dapat meloloskan diri.
Keadaan ruang pondok itu sama seperti beberapa hari yang lalu. Hanya di tengah
ruangan tergantung sebuah penerangan warna biru. Dikata seperti pelita, lampu pun
bukan lampu. Benar-benar semacam alat penerangan yang aneh. Sebentar
memancarkan sinar biru, sebentar hijau. Menimbulkan suasana yang menyeramkan"..
Selain seorang aneh, di dalam ruang tak ada lain orang lagi. Rupanya Wan Kiu-gui tak
dapat menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru: "Mempersilahkan orang ke dalam
ruangan, mengapa tak lekas muncul"."
Belum habis berkata, tiba-tiba melengking sebuah suara bernada tinggi: "Sudah mau
masuk mengapa tak dapat menunggu sebentar saja!"
Krit, tiba-tiba dinding merekah sebuah liang sebesar pintu kecil dan seorang dara cantik
berbaju merah, muncul dengan tersenyum-senyum. Tangannya menjinjing sebuah hudtim.
Menuding pada rombongan Wan Kiu-gui, dara merah itu menghitung: "Satu, dua,
tiga, empat, eh, salah. Bukankah kalian berjumlah sepuluh orang?"
Belum sempat Wan Kiu-gui membuka mulut, tiba-tiba si dara baju merah berseru
kepada Siu-lam: "Hai, bukankah kita sudah menjadi keluarga" Mengapa kau malah
membantu orang lain memusuhi aku?"
Si orang aneh terkesiap: "Ji-kounio, mengapa budak itu menjadi keluarga kita?"
Si baju merah tertawa mengikik: "Apakah kau tak tahu bahwa dia menjadi kekasih
Sam-kounio?" Orang aneh itu geleng-geleng kepala: "Sam kounio cantik sekali dan wataknya dingin.
Selama ia tak suka pada orang lelaki. Budak itu kepandaiannya rendah, bagaimana Samkounio


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudi memandangnya"."
Dara merah itu tertawa: "Kapankah aku membohongi kau" Jika tak percaya, tanyakah
pada Sam kounio sendiri!"
Tiba-tiba orang aneh itu tamparkan tangannya keluar hingga air telaga muncrat.
Teriaknya: "Jika benar demikian, ah, burung cendrawasih berjodoh dengan burung gagak,
sungguh kasihan Sam-kounio!"
Setelah beberapa saat, Wan Kiu-gui mulai tenang. Diam-diam ia mulai menimbang:
"Ruangan ini sempit sekali, tak mungkin mereka berjumlah banyak. Dara baju merah ini
paling banyak berumur delapan belas tahun sembilan belas tahun. Taruh kata sejak bayi
dia sudah belajar silat, juga takkan mencapai kesaktian yang luar biasa"."
Segera ia tertawa dingin dan bertanya pada Siu-lam: "Tiga nona yang kau ceritakan
tadi, apakah nona ini salah satu di antaranya?"
"Benar," Siu-lam mengiakan.
Dara merah tertawa melengking: "Bagus! Kau sudah membocorkan diri kami kepada
orang lain?"" ia sejenak berhenti, katanya pula: "tetapi tak apalah, toh kalian takkan
dapat pulang lagi!" "Besar nian kata-katamu," Wan Kiu-gui tertawa hina.
"Apa" Kau tak percaya pada ucapanku?" dara merah menegas.
Wan Kiu-gui tertawa gelak-gelak. "Hal ini belum saatnya kita bicarakan sekarang! Aku
hendak bertanya sedikit hal kepada nona."
Terdapat perbedaan dalam nada tertawa kedua orang itu, tertawa si dara baju merah
bernada tinggi bagai kelenting gemerincing. Sedangkan tertawa Wan Kiu-gui dingin seram
seperti iblis meringkik. Tiba-tiba si dara baju merah mengebut api penerangan. Seketika ruang pondok itu
gelap gulita, sudah tentu Wan Kiu-gui dan rombongannya terkejut sekali. Merekapun
bersiap-siap. Tiba-tiba terdengar si dara merah berseru melengking: "Kau perlu tanya apa, silahkan
lekas mengatakan. Setelah mendapat keterangan mungkin kau akan mati dengan mata
meram!" Wan Kiu-gui tertawa gelak-gelak. Nadanya mengiang-ngiang menusuk telinga,
serunya: "Di manakah Ti-ki-cu Gan Leng-po pemilik pondok ini?"
Wan Kiu-gui mengiakan: "Benar, memang sudah lama aku mengagumi Gan lo-enghiong
dan ingin berjumpa!"
Sebagai kelanjutannya, tiba-tiba si dara baju merah mengebutkan hud-tim kepada
orang she Wan, serunya sinis: "Ingin bertemu Gan Leng-po" Bagus"."
Wan Kiu-gui menggembor seraya menghindar ke samping. Dengan gerak to-bak-kimciong
(memukul roboh genta) dia balas menyerang: "Bagaimana Gan Leng-po?"
Si dara baju merah mengisar diri. Sehabis menghindar serangan Wan Kiu-gui ia
menotok Tek Sam-goan seraya menjawab pertanyaan orang she Wan: "Dia"."
Tek Sam-goan memijak lantai. Dengan meminjam tenaga pijakan itu dia menyelinap ke
samping dalam ruang yang gelap gulita. Tek Sam-goan hanya memikirkan serangan si
dara. Dia lupa bahwa di samping itu masih terdapat si orang aneh. Belum sempat
kakinya berdiri tegak, tiba-tiba dia dilanda oleh serangkum gelombang tenaga dahsyat
serta teriakan parau: "Ho, tua bangka, enyahlah kau!"
Pak tua kurus Tek Sam-goan telah mengikui Wan Kiu-gui di dalam beratus pertempuran
besar maupun kecil. Dalam hal berkelahi ia sudah kaya pengalaman. Cara menghadapi
dan memberi reaksi pada setiap serangan, bukan main cepatnya. Belum sang kaki berdiri
tegak, tangan kanan sudah menampar ke belakang. Tapi". dua buah gelombang tenaga
saling berbentur. Sebagai jago berpengalaman, ia menyadari bahwa mengadu tenaga
dengan si orang aneh, akan membawa bencana. Buru-buru ia loncat menyingkir".
Habis menyerang Tek Sam-goan kini si dara merah memberi giliran pada si orang
pendek Mo Tong. Untuk orang pendek itu, si dara gunakan jurus Ci-hong-hud-liu atau
angin puyuh melanda pohon. Tetapi Mo Tong sudah siap sedia. Begitu merasa dilanda
angin, cepat-cepat ia mnyelinap ke sebelah kiri.
Sambil tertawa gemerincing, si dara merah menyerang ke sana, menampar ke sini.
Ganti berganti Tek Sam-goan dan Mo Tong dihajarnya. Kedua kaki tangan Wan Kiu-gui itu
menjadi kalang kabut"
Walaupun Wan Kiu-gui sakti tetapi ia tak kenal keadaan pondok terapung itu. Ia kuatir
dalam pondok itu telah disiapkan alat-alat perangkap. Maka menghadapi amukan si dara,
ia hanya gunakan tujuh puluh persen tenaganya. Lebih banyak berjaga diri daripada
menyerang. Itulah sebabnya walaupun ketiga jagoan golongan hitam lelaki yang sakti
tetapi mereka dapat dibuat bulan-bulanan oleh serangan si dara.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba dara itu hentikan serangan, serunya: "Sedikit
pelajaran ini hanya untuk membuka mata kalian. Terserah kalian pilih jalan mati atau
hidup!" Wan Kiu-gui mendengus dingin: "Jalan hidup bagaimana" Jalan mati bagaimana?"
"Jika mau hidup, kalian menyerah saja dan ikut aku ke suatu dunia yang luas. Jika
memilih jalan mati, itu mudah sekali caranya. Asal setiap orang kuberi sebuah pukulan
Sam-im-ciang dalam dua belas jam kalian tentu sudah mampus!"
Mencuri kesempatan di saat si dara sedang bicara, Wan Kiu-gui melirik ke sekeliling
pondok. Dan pada saat si dara selesai bicara. Wan Kiu-gui segera menyambutnya dengan
sebuah pukulan yang dahsyat. Biat-gong-cong atau pukulan penglebur angkasa luar,
hebatnya bukan alang kepalang. Bruk". dinding ruang pecah berlubang. Kini keadaan
dalam ruang makin jelas. Tokoh-tokoh yang bertempur itu memiliki tenaga dalam hebat. Asal ada sedikit
penerangan untuk melihat sasarannya, tentu akan digunakan sebaik-baiknya.
Marah sekali si dara karena dinding dihancurkan itu. Tetapi dia seorang dara yang
sukar diduga perasaannya. Walaupun marah namun tetap menyungging senyum tertawa.
Ia bergeliat mendekati Wan Kiu-gui, serunya: "Pukulan yang hebat. Benar-benar mampu
menghancurkan batu!"
Sudah tentu Wan Kiu-gui tahu apa yang hendak dirancang dara itu. Tak mau ia
didekati. Kontan ia lontarkan pukulan Hui-poan-jong-ciong (alu memukul lonceng).
"Apakah Gan Leng-po sudah mati di tanganmu?" serunya.
Si dara merah salurkan tenaga dalam ke arah hud-tim. Ia menyabet perlahan dan
lenyaplah pukulan Wan Kiu-gui.
"Begitu besar perhatianmu terhadap orang itu. Bukankah karena peta Telaga Darah?"
seru si dara seraya maju lebih dekat dan tamparkan kebutannya. Rambut hud-tim itu
lurus-lurus seperti sapu lidi.
Wan Kiu-gui tergetar. Kini baru ia tahu bahwa bukan saja si dara memiliki kelincahan
yang hebat, pun juga mempunyai tenaga dalam yang dahsyat. Ia pun maju menyongsong
dengan jurus Chiu-poh-ngo-hian (lima jari memetik harpa).
Si dara tersenyum: "Silahkan kau mengeluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam tiga
puluh jurus jika tak mampu membunuhmu, akan kulepaskan kau dengan penuh
kehormatan!" Si dara menutup ancamannya dengan menutukkan kebut ke lengan Wan Kiu-gui. Wan
Kiu-gui menyurut mundur. Tiba-tiba si dara melesat ke tempat Mo Tong. Tamparkan
kebut dan tebaskan tangan, tiga kali berturut-turut dara itu menyerang si pendek.
Walaupun hanya tiga tetapi cepat dan dahsyatnya bukan alang kepalang.
Dua jurus Mo Tong dapat menghindari tetapi jurus yang ketiga, bahu kirinya tersentuh
kebutan hud-tim. Sakitnya bukan kepalang. Ketika Mo Tong masih tertegun karena rasa
sakitnya si dara sudah menusukkan kebut kepadanya. Jago pendek itu tak mungkin
menghindar lagi. Bluk, rubuhlah ia ke lantai"..
Serentak Tek Sam-goan loncat hendak menolong, tetapi si orang aneh sudah
mencegahnya dengan sebuah pukulan keras. Tek Sam-goan terpaksa mundur lagi.
Adegan itu berjalan hanya dalam sekejap mata. Karena mengira si dara hendak
menyerangnya, ia mundur selangkah. Siapa tahu ternyata si dara alihkan serangan
kepada Mo Tong, Wan Kiu-gui tak sempat menolong anak buahnya itu lagi.
Setelah merubuhkan Mo Tong, si dara lanjutkan serangannya pada Wan Kiu-gui.
Sedang si orang aneh tetap menghamburkan pukulan untuk menghalangi Tek Sam-goan
membantu Wan Kiu-gui. Si dara merah tak mau memberi hati. Serangan hud-tim diperlancar untuk mengarah
jalan darah lawan. Sebagai tokoh golongan hitam yang disegani di seluruh wilayah Kang-lam, Wan Kiu-gui
memang mempunyai kepandaian yang luar biasa. Menghadapi si dara iapun memberi
perlawanan yang seru. Deru angin yang ditimbulkan dari pukulannya membuat pakaian
dara itu bertebaran. Namun dara itu makin lama makin aneh ilmu serangannya.
Permainannya hud-tim makin aneh sehingga seorang momok seperti Wan Kiu-gui yang
kaya pengalaman menjadi bingung juga.
Memang luar biasa permainan si dara itu. Tampaknya hud-tim mengebut ke samping
tetapi tiba-tiba menggeliat menyerang ke bawah. Perubahan yang tiba-tiba dan sukar
diduga itu, membuat lawan selalu terkejut. Untuk menjaga sampai si dara mendekat, Wan
Kiu-gui terus-menerus menghamburkan pukulan dahsyat. Memang dengan cara itu
bermula Wan Kiu-gui berhasil memancang lawan pada jarak tertentu. Tetapi karena terus
menerus menghantam, lama kelamaan ia lelah juga. Sedangkan si dara mengembangkan
permainan lebih aneh".
Menghadapi lawan sehebat itu mau tak mau gentar juga nyali Wan Kiu-gui. Ia insyaf
jika diteruskan tentu ia celaka. Seketika ia mengambil putusan. Sambil bersuit kecil ia
lancarkan tiga buah pukulan dahsyat. Pada saat si dara menyusut mundur, Wan Kiu-gui
loncat ke belakang. Sekali tending, dinding papan hancur dan terlempar ke dalam air.
Wan Kiu-gui loncat keluar dan melayang di atas sekeping papan".
"Anak bulus, hendak lari kemana kau!" teriak si orang aneh dengan suaranya yang
parau. Menjebol sekeping papan ia pun loncat menyusul. Wut, ia lontarkan pukulan ke
dada Wan Kiu-gui. Wan Kiu-gui terkejut. Pukulan orang aneh itu hebat sekali, tak berani ia betrayal.
Dengan sekuat tenaga ia menangkis. Krek". seketika Wan Kiu-gui rasakan darahnya
bergolak keras dan tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Dan papan yang sudah
dibuat pijakan itupun mengendap ke bawah. Air telaga muncrat berhamburan ke manamana.
Sebenarnya orang aneh itu galak sekali. Tetapi karena air muncrat keras, ia tak berani
menghantam lagi melainkan menghantam bahu kiri Wan Kiu-gui. Kiranya dia tak pandai
berenang maka kuatir kalau papan pijakannya dilanda tenggelam oleh goncangan air.
Wan Kiu-gui terkejut lagi. Orang aneh yang dikatakan hanya berkedudukan sebagai
thau-bak (kepala regu) ternyata sedemikian dahsyat pukulannya. Ia merasa berbahaya
kalau melanjutkan adu tenaga dengan orang aneh itu.
Belum hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu bahunya hendak dicengkeram. Wan Kiu-gui
cepat mengisar tubuh lalu menebas lengan lawan disusul dengan menendang perut orang
aneh itu. Papan yang mereka pijak itu hanya sekeping kecil, kira-kira hanya setengah meter
panjangnya. Bertempur di atas keping papan kecil itu, tubuh mereka berguncang-guncang
hendak tenggelam. Separuh tubuh mereka terendam air.
Adalah karena tubuhnya kelewat tinggi, maka kaki tangannya tak leluasa bergerak.
Dan karena takut tenggelam, ia tak berani menyerang. Untung ia mempunyai kelebihan
dari tangannya yang panjang. Sambil menarik tangan kirinya, ia menebas tendangan
lawan dengan tangan kanan.
Sebagai seorang tokoh terkemuka, cepat sekali Wan Kiu-gui mengetahui kelemahan
lawan. Ia tertawa memanjang lalu melancarkan serangan gencar dengan pukulan dan
tendangan. Maju mundur, naik turun ia berlincahan menghujam serangan. Karena
separuh perhatiannya ditumpah untuk menjaga keseimbangan tubuh agar jangan
tenggelam dalam telaga, maka si orang aneh hanya gunakan separuh tenaganya untuk
menghadapi serangan Wan Kiu-gui. Dalam kedudukan itu, ia hanya dapat bertahan tak
sanggup balas menyerang! Pada saat Wan Kiu-gui menang angin, tiba-tiba dari dalam pondok terdengar lengking
teriakan seram. Cepat sekali teriakan itu hilang. Jelas bahwa teriakan itu berasal dari Tek
Sam-goan. Tentunya pembantunya itu dirobohkan oleh si dara baju merah. Seketika
getarlah semangat jago she Wan itu.
Suatu pantangan bagi setiap jago silat ialah bahwa di kala bertempur jangan sekali-kali
terpencar perhatiannya. Hanya sesaat ia agak lamban namun detik itu cukup memberi
peluang bagi si orang aneh untuk menyambar siku lengan lawan. Orang aneh itu cepat
hendak menghancurkan urat nadi lawan tetapi ternyata Wan Kiu-gui bukan makanan
empuk. Sambil mengerahkan tenaga dalam ke lengan, iapun gunakan ilmu pemberat
tubuh Cian-kin-thui. Serentak papan yang dipijaknya tenggelam dan orangnya pun turut
meluncur ke bawah telaga!
Si orang aneh terkejut dan buru-buru lepaskan cekalannya untuk loncat ke udara. Ia
melayang ke atas pondok terapung. Ia benar-benar takut kecemplung air.
Setelah berada di dalam air, Wan Kiu-gui yang pandai berenang segera menghampiri
pondok dan mengintai dari pinggir tembok. Tek Sam-goan dan Mo Tong terkapar di lantai
tak berkutik. "Anak bulus itu barang kali sudah mati tenggelam di dasar telaga!" teriak si orang aneh.
"Jangan ribut!" bentak si dara. "Orangnya sudah berada di bawah pondok ini, kau
masih memaki-maki tak karuan!"
Wan Kiu-gui terkejut".
Gadis itu benar-benar lihay," serunya seraya menyelam lebih ke bawah lagi.
Gerakan Wan Kiu-gui yang pelahan sekali itu, tertangkap juga oleh telinga si dara baju
merah. Ia pun kaget dan cepat taburkan tangannya. Serangkum benda bersinar putih
menyusup ke dalam air. Wan Kiu-gui mengira bahwa dengan menyelam ke dasar telaga ia tentu sudah aman,
tetapi ternyata dugaannya itu meleset. Benda itu ternyata kuat sekali menyelam ke dalam
air dan mengejar korbannya. Sebelum Wan Kiu-gui menyadari, tahu-tahu bahu kirinya
terasa sakit kesemutan, kejutnya bukan kepalang. Dengan mati-matian ia meluncur ke
tepi telaga. Setelah muncul ke tepi dan tak nampak si nona mengejar, ia segera lari menuju ke
mulut lembah untuk mencari anak buahnya yang menjaga di situ. Tetapi belum berapa
jauh ia lari, tubuhnya terasa kaku sekali sampai tak dapat digerakkan.
"Celaka," keluhnya. Senjata rahasia yang dilepaskan si dara berbaju merah ternyata
mengandung racun. Walaupun selama berenang tadi ia sudah berusaha untuk
menyalurkan darah menutup kemungkinan dijalari racun, toh ternyata gagal.
Dengan sekuat sisa tenaganya, Wan Kiu-gui berlari. Tetapi makin menggunakan
tenaga, racun makin cepat berkembang dan kakinyapun makin berat. Ia menghela napas.
Sambil mendongak ke langit ia merintih: "Ah, tak kira aku Wan Kiu-gui akhirnya harus
binasa di gunung Kiu-kiong-san ini tanpa diketahui orang"."
Rintihan itu timbul dari keharuan duka. Rasa duka telah menghapur nyali
kegagahannya. Dan tenaga yang dipertahankan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya
akhirnyapun goyah. Ia rasakan matanya nanar, alam di sekelilingnya gelap gulita dan
pada saat kedua kaki lantas ia pun rubuh".
Entah berapa lama ia pingsan. Hanya ketika ia membuka mata ternyata ia dikerumuni
oleh tujuh delapan orang. Mereka bukanlah anak buahnya. Yang tegak di hadapan
seorang paderi berjenggot panjang. Ah, paderi itu bukan lain Thian Hong totiang,
pemimpin dari golongan putih di daerah Kang-lam.
Di sebelah kanan kiri paderi itu adalah tokoh-tokoh terkenal dari Kang-lam. Mereka
tergolong jago-jago silat dari golongan putih.
Hati Wan Kiu-gui tergetar, namun setenang mungkin ia menegur sinis: "Bagus benar
siasat toheng. Malam ini bunuhlah Wan Kiu-gui. Toheng bakal merajai daerah Kang-lam
tanpa lawan lagi!" Thian Hong totiang tersenyum: "Harap saudara Wan jangan kuatir. Aku bukanlah
orang yang suka mencelakai orang yang sedang menderita!"
"Aku terkena senjata rahasia beracun. Kau tak mau membunuh aku, pun nyawaku tak
sampai besok pagi!" Thian Hong tertawa tawar: "Jelek-jelek aku mengerti ilmu obat-obatan. Jika saudara
percaya, aku bersedia mengobati lukamu."
"Bagiku mati hidup bukan soal. Silahkan totiang memeriksa!" sahut Wan Kiu-gui.
Thian Hong segera memeriksa. Ternyata pada lengan kanan Wan Kiu-gui terdapat
lubang sebesar kelingking. Anehnya luka itu tiada berdarah. Thian Hong minta ijin untuk
merobek baju Wan Kiu-gui.
"Sekalipun lenganku dikutungi, akupun takkan merintih. Silahkan, totiang," kata Wan
Kiu-gui. Wan Kiu-gui itu seorang rase tua yang kenyang makan asam garam dunia persilatan.
Dia tahu bahwa racun yang mengeram pada lengannya itu ganas. Bila Thian Hong
berhasil menyembuhkan, ia tidak perlu berhutang budi. Karena Thian Hong adalah
seorang pemimpin golongan putih yang biasa melakukan kebaikan.
Tapi sebaliknya apabila Thian Hong gagal dan Wan Kiu-gui sampai mati, dunia
persilatan tentu akan mengutuk paderi itu. Paderi itu tentu disangka membunuh seorang
lawan yang terluka dengan cara pura-pura mengobati.
Demikian kelicikan Wan Kiu-gui sekalipun dalam bahaya maut!
Sebelum memeriksa dengan teliti, akhirnya Thian Hong menemukan sebuah benda
sekecil ujung pit (pena) menyusup ke dalam daging lengan kiri Wan Kiu-gui. Ujarnya:
"Harap Wan-heng tahan sakit, hendak kucabut senjata rahasia itu. Setelah mengetahui
asal-usulnya baru dapat kulakukan pengobatannya!"
Wan Kiu-gui mengangguk. Thian Hong pun mulai bergerak. Sekali menjepit dengan
dua jari ia mencabut sebatang panah kecil (passer) yang menyerupai jarum. Warnanya
putih mengkilap. Rombongan orang gagah segera mengkerumun hendak melibat senjata rahasia itu.
Wan Kiu-gui adalah pemimpin loklim (begal) yang telah merajai selama dua puluh tahun
lebih. Dia mempunyai kepandaian yang istimewa. Jika bukan senjata istimewa, tak
mungkin dapat melukai pemimpin golongan hitam itu. Itulah yang mendorong keinginan
tahu para orang gagah. Namun sampai beberapa saat, tak seorang pun yang dapat mengenal senjata rahasia
itu. Mereka hanya saling berpandangan. Thian Hong memeriksa dengan teliti. Di bawah
cahaya bintang, dilihatnya pada ujung jarum terdapat tiga buah huruf Chit-jiau-soh.
Seketika Thian Hong tertegun".
"Apakah dia masih hidup?"" mulutnya mengigau seorang diri. Tangannya lunglai dan
jatuhlah jarum itu ke tanah.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalian tercengang memandang Thian Hong. Seorang jago tua yang jenggotnya putih
menjuntai maju memungut jarum.
"Dalam dunia persilatan rasanya tiada yang menandingi keempat Ji-tok-song-coat
dalam hal senjata rahasia beracun. Tetapi to-hengpun tak usah gelisah. Apakah jarum
perak ini?" Saat itu paderi Thian Hong sudah tenang kembali. Cepat ia menukas: "Ah, sebagai
seorang yang pengalaman rasanya Lo-heng tentu kenal akan jarum Chi-jiau-soh, yang
termasyhur itu?" Mendengar nama Chit-jiau-soh, wajah jago tua itu seketika berubah pucat. Serunya:
"Apa" Jarum yang bentuknya seperti anak panah bukan anak panah, seperti paku bukan
paku, apakah Chit-jiau-soh yang digentarkan dalam cerita dunia persilatan itu?"
"Silahkan Lo-heng periksa sendiri!"
Jago tua berjenggot putih itu segera meneliti jarum. Benar juga pada ujung jarum itu
terdapat tiga buah huruf Chit-jiau-soh. Seketika jago tua itu melongo".
Memang dalam rombongan orang gagah yang hadir di situ, mereka yang tergolong
angkatan tua, tergetar hatinya. Tetapi dua jago muda, diam-diam geli melihat ketakutan
kawan-kawannya. Thian Hong meminta jarum itu dari si jago tua. Katanya: "Yang penting sekarang ini,
kita harus menolong orang ini. Karena dikuatirkan kita akan dianggap mencelakainya. Loheng
paham tentang mengobati luka beracun, harap membantu usahaku ini!"
Thian Hong segera memeriksa luka Wan Kiu-gui. Luka itu berwarna merah, sampai
masuk ke dalam tulang. Walaupun paderi itu ahli dalam pengobatan racun, tetapi
terhadap racun dari Chit-jiau-soh, ia terpaksa geleng-geleng kepala.
"Saudara Wan terkena racun Chit-jiau-soh yang dahulu pernah menggemparkan dunia
persilatan. Terus terang, aku tak dapat mengobati. Tetapi bukan berarti aku tak mau
menolong. Tetap akan kuusahakan sekuat tenaga untuk mencarikan obat. Saat ini racun
sudah menyusup dalam saluran darah, jika saudara Wan mau, kupikir hendak kupotong
daging-daging yang keracunan itu baru kulumuri obat"."
Wan Kiu-gui perlahan-lahan membuka mata dan memandang si paderi dengan tertawa.
Secepat itu ia pejamkan mata lagi tanpa memberi penyahutan apa-apa.
Melihat sinar mata orang she Wan itu suram layu, tahulah paderi Thian Hong bahwa
racun telah masuk dalam jalan darah dan menyalur ke seluruh tubuh. Harapan tertolong,
sangat tipis. Thian Hong tak jadi memotong daging Wan Kiu-gui. Segera ia kerahkan tenaga
memijit keluar darah warna gelap. Kemudian melumurinya dengan obat.
Jago tua berjenggot putih menghela napas: "Ah, to-heng telah memakai sekian banyak
obat pemunah racun yang berharga. Apabila sampai tak dapat menolongnya, tentu tiada
orang yang mempersalahkan to-heng lagi. Akulah yang menjadi saksi bahwa to-heng
sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwanya!"
Thian Hong hanya bersenyum saja. Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan. Walaupun
berasal dari jauh, tetapi sekalian orang gagah mendengarnya. Sayup-sayup jeritan itu
menyerukan kata-kata peta Telaga Darah".
Nama itu lebih mempunyai daya tarik dari jarum Chit-jiau-soh. Sekalian orang menjadi
tegang seketika. Dan suara jeritan itu makin lama makin dekat.
Tiba-tiba Wan Kiu-gui membuka mata dan menggeliat duduk: "Peta Telaga Darah"."
habis berkata ia meram lagi dan menggeletak.
Hilangnya sebuah jeritan itu berganti dengan munculnya seorang tua berjalan dengan
tongkat. Rambutnya terurai awut-awutan menjadi satu dengan jenggotnya yang panjang.
Mata mulut dan telinganya tertutup rambut. Keadaannya seperti seorang gila. Tetapi
menurut derap langkahnya yang berat, terang orang itu seorang berilmu.
Thian Hong mencabut pedang dan membentak orang itu: "Hai, tengah malam menjadi
setan berambut gembel, bukanlah laku seorang ksatria!"
Tetapi orang gila itu tak menghiraukan dan tetap menghampiri. Sebagai seorang yang
menjunjung perikemanusiaan, Thian Hong tak mau sembarangan membunuh. Dia
mundur tiga langkah dan lintangkan pedangnya: "Jika anda masih tetap maju, jangan
persalahkan aku!" Tiba-tiba Wan Kiu-gui menggeletak di tanah, berteriak: "Peta Telaga Darah, Chit-jiausoh"."
Rupanya racun telah menyerang keras hingga tubuhnya panas dan ia mengigau
tak karuan. Orang gila itu tiba-tiba tertawa nyaring: "Kau tahu siapa yang mencuri peta Telaga
Darah?" serunya seraya melesat ke tempat Wan Kiu-gui.
"Berhenti!" bentak Thian Hong sambil lintangkan pedang. Tetapi orang gila itu sebat
sekali. Menyiak pedang ia terus menghampiri Wan Kiu-gui.
Sekalian orang gagah segera menyambut senjata dan mengepung si gila. Si gila buang
tongkatnya lalu mengangkat tubuh Wan Kiu-gui, katanya: "Bilang, siapakah yang mencuri
Peta Telaga Darah milikku!"
Melihat si gila membuang tongkatnya, sekalian orang gagah itupun tak mau
menyerang. "Kau mau cari peta Telaga Darah?" sahut Wan Kiu-gui antara sadar tak sadar.
"Benar, benar"." Tiba-tiba orang gila melihat luka di bahu Wan Kiu-gui. Buru-buru ia
letakkan orang she Wan itu ke tanah lagi. Ia merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan
dua batang jarum dan sebilah pisau kecil, dua botol kecil dari kumala biru.
Terkejut Thian Hong melihat si gila mempunyai dua botol kumala: "Eh, dari mana orang
gila itu memiliki kumala seindah itu"."
Tangan kanan dan kiri si gila yang mencekal jarum segera menusuki tubuh Wan Kiugui.
Cepat dan cekatan sekali ia menusuki sehingga Thian Hong tak dapat mencegahnya
lagi. Sekalian orang yang menyaksikan cara orang gila itu menusuk, terkejut sekali. Jelas
yang ditusuk si gila itu adalah jalan darah yang penting. Jika bukan seorang sakti, tak
mungkin dapat melakukan tusukan semacam itu.
Thian Hong pun terkejut. Dalam dunia persilatan, tabib Ti-ki-cu Gan Leng-po yang
mampu melakukan pengobatan semacam itu. "Eh, apakah orang gila ini Ti-ki-cu Gan
Leng-po?" Dugaan itu makin mempunyai kesan yang kuat. Dan si paderipun segera
menyarungkan pedangnya lagi.
"Apakah saudara ini Ti-ki-cu Gan Leng-po" Aku paderi Thian Hong. Dengan beberapa
sahabat persilatan di Kang-lam sengaja datang ke gunung ini hendak berkunjung pada
saudara." Mendengar itu sekalian rombongan orang gagah segera memberi hormat kepada si gila.
Mereka orang-orang persilatan yang berpengalaman luas. Bahwa Thian Hong telah
mengunjuk sikap hormat pada si gila, serentak merekapun memberi hormat pula.
Si gila tak mengacuhkan teguran Thian Hong. Sama sekali ia tak mau palingkan muka
dan tetap menusuki Wan Kiu-gui. Jago tua she Lo tadi, walaupun tergolong angkatan tua,
tetapi wataknya paling jelek. Dia mendongkol melihat sikap si gila. "Huh, sombong
benar!" Buru-buru Thian Hong mencegahnya. Sementara sehabis menusuki, si gila lalu
menuang beberapa butir pil dari botol kumala dan disusupkan ke mulut Wan Kiu-gui.
Entah bagaimana si gila yang ternyata memang Gan Leng-po, malam itu berlaku
istimewa sekali. Pil yang diminumkan Wan Kiu-gui, merupakan pil simpanan yang tak
ternilai harganya. Tak sembarang diberikan orang. Walaupun andaikata yang minta itu
Wan Kiu-gui, tak mungkin Gan Leng-po mau memberi. Tapi entah bagaimana, saat itu
Gan Leng-po benar ngotot hendak menyembuhkan Wan Kiu-gui.
Habis mengobati, Gan Leng-po masih menunggu di samping Wan Kiu-gui dan
memandangnya lekat-lekat. Gerak-gerik orang gila itu menimbulkan berbagai pertanyaan
pada sekalian orang. Adakah si gila itu hanya berpura-pura ataukah memang tak waras
otaknya. Beberapa saat kemudian, Wan Kiu-gui membuka mata. Ketika pandangannya
tertumbuk pada si gila yang rambutnya kusut masai tak karuan, segera ia bangun dan
menegurnya: "Hai, siapakah kau?"
Bukannya menjawab, si gila malah balas bertanya: "Kau mengetahui peta Telaga Darah
milikku itu, ayo kita cepat mencarinya!"
Dan sebelum Wan Kiu-gui menyahut, si gila sudah mencekal tangannya dan terus
diseret diajak lari. Cekalan si gila itu bagaikan kait besi yang luar biasa kerasnya. Wan Kiu-gui tak
berkutik. Jika ia kerahkan tenaga menolaknya, urat-urat pergelangan tangannya pasti
putus. Terpaksa ia menurut saja diseret si gila.
Apa yang berlangsung saat itu cepat dan di luar dugaan. Ketika Thian Hong dan
sekalian orang gagah tersadar, si gila dan Wan Kiu-gui sudah beberapa tombak jauhnya.
Thian Hong tertegun. Karena orang sudah jauh, ia tak mau mengejar. Ia memungut
dua botol kumala dan dua batang jarum perak yang ditinggal lari oleh pemiliknya, si gila
Gan Leng-po. Disimpannya benda-benda itu. Kemudian ia bertanya kepada sekalian
orang gagah, apakah ada yang kenal dengan Ti-ki-cu Gan Leng-po.
Sahut seorang jago tua yang bertubuh kurus: "Selain Gan Leng-po, tokoh persilatan
manakah yang mampu menusuki jarum di tempat yang segelap ini" Dalam beberapa
kejap dapat menyembuhkan seorang yang sudah hampir mati. Siapa lagi tokoh di dunia
persilatan yang mampu melakukan kesaktian semacam itu" Kecuali si tabib sakti Gan
Leng-po?" Jago tua itu adalah Lo Kun bergelar si Golok Sakti. Di dalam dunia persilatan daerah
Kang-lam, kedudukannya sejajar dengan paderi Thian Hong. Dia lebih tua dari Thian
Hong, pengalamannya luas sekali. Biasanya dia sering mengandalkan usianya tua, untuk
menonjolkan diri. Sering-sering ia berbeda pendapat dengan Thian Hong. Sebagai
seorang paderi, Thian Hong selalu mengalah saja.
Mendengar ucapan jago golok itu, Thian Hong merenung sejenak. Ujarnya: "Memang
hanya tabib sakti Gan Leng-po itu yang disohorkan orang sebagai tabib yang berwatak
aneh. Masakan tingkah lakunya seperti orang gila"."
"Kulihat dia memang sengaja bertingkah seperti orang gila"." kata Lo Kun.
"Aneh, mengapa dia mengigau peta Telaga Darah saja" Apakah maksudnya" Jika dia
benar Ti-ki-cu Gan Leng-po, ah, sia-sialah kunjungan kita kemari"." kata Thian Hong.
Setelah merenung sejenak, Lo Kun berkata pula: "Tak usah kita resahkan dia Gan Lengpo
atau bukan. Yang penting dengan munculnya Chit-jiau-soh itu, kita harus
menanggapinya dengan sungguh-sungguh."
Tiba-tiba dua orang jago muda menyeletuk: "Biasanya Lo-cianpwee berwibawa sekali.
Aneh, mengapa menghadapi jarum Chit-jiau-soh, Lo-cianpwe menjadi gelisah. Wan Kiugui
terkena senjata rahasiapun suatu peristiwa yang tak perlu digemparkan"." kedua
pemuda itu tak lanjutkan kata-katanya. Mungkin kuatir menyinggung perasaan Lo Kun.
Lo Kun berpaling, ternyata kedua pemuda yang bicara itu adalah putera dari Kat Thianbeng.
Kat Thian-beng oleh dunia persilatan Kanglam dijuluki sebagai It-pit-hoan-thian
atau Sebatang Pit Membalik Langit. Kedua puteranya itu bernama Kat Hong dan Kat Wi.
Lo Kun mengurut-urut jenggotnya tertawa: "Dahulu ayahmu memang jarang mendapat
tandingan. Tentulah kalian telah menerima warisan ilmunya yang sakti, tetapi Chit-jiausoh
itu"." Kat Hong tersenyum: "Sejenak ayah mengasingkan diri di gunung Han-tay-san, dia tak
mau mengurusi dunia persilatan lagi. Kami berdua dibesarkan di gunung, jarang keluar di
dunia persilatan. Kepandaian rendah, pengalaman kurang. Jika ada kesalahan, harap locianpwe
memberi maaf!" Lo Kun tertawa dan berpaling kepada Thian Hong pula, tampak wajah paderi itu
mengerut gelap. Rupanya dia tengah memikirkan suatu hal yang gawat.
Yang disebut rombongan orang gagah dari Thian Hong itu hanya terdiri dari delapan
orang. Thian Hong, Lo Kun, kedua kakak beradik Kat Hong dan Kat Wi serta keempat
murid Thian Hong. "Apakah yang kalian tak pernah menceritakan tentang Chit-jiau-soh itu?" tanya Lo Kun
kepada kedua saudara Kat.
Sejenak Kat Wi memandang kepada engkohnya (Kat Hong) lalu menyahut: "Sejak ayah
mengasingkan diri di gunung Hun-tay-san, beliau jarang memberi petunjuk pada kami."
Sementara Kay Hong pun menerangkan bahwa menurut ayahnya, di dunia persilatan
sekarang ini hanya keempat Ji-tok dan Song-coat yang paling ganas dalam hal senjata
beracun. Tentang Chit-jiau-soh, ayahnya tak pernah bercerita.
"Mungkin ayahmu mengira Chit-jiau-soh itu sudah lama lenyap," Lo Kun menghela
napas, "bahkan aku sendiripun jika malam ini tak menyaksikan sendiri, mungkin tak
percaya bahwa Chit-jiau-soh muncul lagi!"
"Oh, Chit-jiau-soh tentu mempunyai riwayat yang menggemparkan sekali!" seru Kat
Hong. Sambil mengurut-urut jenggot, Lo Kun berkata: "Bukan melainkan hanya
menggemparkan, dan mengguncangkan jagat persilatan"."
Rupanya Kat Wi tertarik sekali. Segera ia minta agar Lo Kun menuturkan riwayat Chitjiausoh. Keempat murid Thian Hong pun serempak memandang ke arah jago tua Golok
Sakti Lo Kun. Lo Kun tertawa riang: "Baiklah, kalau kalian ingin mendengarkan, akan kuceritakan.
Tetapi karena ceritanya panjang, mari kita duduk."
Setelah sama mengambil tempat duduk, mulailah Lo Kun bercerita:
"Empat puluh tahun yang lalu, di dunia persilatan muncul sepasang muda-mudi yang
aneh dan sakti. Ilmu kepandaian menggetarkan semua jago-jago ternama. Kedua sejoli
itu selalu bersama-sama. Yang lelaki gagah perkasa, yang perempuan cantik jelita.
Kemunculan sejoli yang cantik dan gagah itu menimbulkan kegemparan orang. Banyak
pemuda yang tergila-gila akan kecantikan gadis itu. Banyak pemudi yang kesengsem
dengan kecakapan si pemuda. Mereka berasal dari seperguruan yakni anak murid dari Lo
Hian si orang sakti."
Lo Kun berhenti sejenak untuk bertanya: "Pernahkah kalian mendengar tentang tokoh
Lo Hian itu?" Kedua saudara Kat gelengkan kepala.
"Lo Hian muncul di dunia persilatan pada enam puluh tahun yang lalu. Dan
kemunculannya itu bagaikan sekuntum bunga mekar. Pagi mekar, sore layu. Tak lama Lo
Hian sudah melenyapkan diri lagi. Banyak cerita tersiar di dunia persilatan. Katanya Lo
Hian mukswa dengan raganya. Adapula yang mengatakan dia mengasingkan diri di
gunung dan tak mau muncul lagi. Tentang sejoli muda-mudi itu, entah benar murid Lo
Hian atau bukan, sukar diselidiki. Hanya karena hanya keduanya memiliki ilmu kesaktian
yang luar biasa, orang lalu menghubungkannya dengan Lo Hian. Sepak terjang kedua
muda-mudi itu terlalu semena-menanya. Tak peduli tokoh dari golongan putih maupun
hitam asal tak menyenangkan hati mereka, tentu dihajar. Tindakan mereka itu
menimbulkan kemarahan dunia persilatan. Diam-diam orang telah mengedarkan surat
untuk memadu persatuan. Baik golongan putih maupun golongan hitam telah mencapai
sepakat untuk menindak kedua anak muda itu. Di mana-mana telah dipasang perangkap
untuk mencelakai kedua anak muda gagah itu. Tetapi berkat kesaktian dan kecermatan,
sejoli muda-mudi itu tetap malang melintang di dunia persilatan"."
"Masakan di dunia persilatan tiada tokoh yang mampu mengalahkan mereka?" rupanya
Kat Wi penasaran. Lo Kun mengangguk: "Dewasa ini kaum persilatan telah bersepakat untuk mengangkat
partai Siau-li-si menjadi pemimpin dunia persilatan. Sekalipun tak dilangsungkan
pengangkatan secara resmi, tetapi dalam prakteknya hal itu telah diakui orang"."
"Sayang aku tak hidup berpuluh tahun yang lalu. Coba masa itu aku sudah besar,
tentu akan kutantng kedua pemuda itu berkelahi!" Kat Wi menyeletuk geram.
Lo Kun hanya tertawa hambar dan melanjutkan ceritanya: "Barisan Lo-han-tin dari
Siau-lim-si, memang merajai dunia persilatan. Beratus-ratus tahun lamanya jarang
terdapat orang yang mampu lolos dari kepungan Lo-han-tin. Tetapi ketika berhadapan
dengan kedua muda-mudi itu, barisan jebol ketiga puluh enam paderi yang menjadi inti
barisan terluka dan kedua anak muda itu lolos. Betapa kesaktian keduanya dapatlah
dibayangkan sendiri"."
"Kalau tahu bahwa dirinya sakti tiada lawan, mengapa kedua anak muda itu tak mau
mendirikan sebuah partai saja?" tanya Kat Hong.
"Ah, segala sesuatu di dunia ini memang sukar diduga. Demikian dengan nasib
keduanya. Pada masa dunia persilatan baik golongan putih maupun hitam berada dalam
kegelisahan akibat pengganasan kedua muda-mudi itu, terjadilah suatu keajaiban. Kedua
sejoli yang tiada tandingannya itu akhirnya saling bunuh membunuh sendiri!" kata Lo Kun.
Kat Wi tercengang, serunya: "Benar-benar di luar dugaan! Mengapa mereka sampai
bermusuhan sendiri?"
Lo Kun mengurut jenggot menghela napas "Pada masa kedua muda-mudi itu naik ke
puncak kemasyhurannya, tiba-tiba mereka menghilang. Setengah tahun kemudian,
barulah tersiar kabar tentang peristiwa saling bunuh di antara kedua pemuda itu. Menurut
cerita dari Siluman Tulang Kumala Ih Ing-hoa, pertempuran yang disaksikan antara kedua
sejoli itu berlangsung seru sekali. Suatu pertempuran yang jarang terdapat di dunia
persilatan. Dari pagi sampai petang dan sampai pagi lagi. Lebih dari seribu jurus telah
dipertarungkan. Akhirnya karena kehabisan tenaga, keduanya sama-sama terluka"."
"Siluman Tulang Kumala Ih Ing-hoa". rasanya ayah pernah menuturkan nama itu!"
seru Kat Hong. "Melihat namanya saja kau tentu dapat membayangkan bagaimana pribadi wanita itu.
Dia adalah seorang wanita aneh yang pernah muncul di dunia persilatan pada empat
puluh tahun berselang. Selain cantik tubuhnya bertulang lunak sekali bagai kapas. Hanya
saja dia itu seorang wanita yang luar biasa cabulnya. Menghadapi kedua sejoli yang tiada
tandingannya itu, entah dari rencana siapa, tetapi tahu-tahu orang telah meminta pada Ih
Ing-hoa untuk mengadu dombakan kedua anak muda itu. Dengan kecantikannya yang
menggiurkan, Ih Ing-hoa diminta untuk menimbulkan cemburu si pemudi agar bertengkar
dengan kawannya si pemuda itu sendiri. Diminta agar Ih Ing-hoa benar-benar dapat
mainkan peranan merayu si pemuda sedemikian rupa, agar si gadis marah. Tentang cara
Ih Ing-hoa menjalankan peranannya, banyaklah cerita yang tersiar. Tapi pada pokoknya,
wanita cantik itu telah membuat sejoli itu bertengkar dan akhirnya bertempur sendiri"."
Rupanya Kat Wi tertarik sekali dengan cerita itu. Ketika Lo Kun berhenti sejenak, Kat
Wi segera mendesaknya: "Lalu bagaimana kesudahannya?"
"Ih Ing-hoa menyaksikan pertempuran itu. Menurut ceritanya, kedua sejoli itu samasama
menderita parah. Yang lelaki dibawa oleh Ih Ing-hoa, yang perempuan ditinggal di
hutan. Kemudian gadis itu ditolong oleh seorang persilatan orang she Bwe. Demikian


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceritanya yang dibawa Ih Ing-hoa. Tetapi benar tidaknya, tiada orang yang dapat
membuktikan. Mungkin hanya tiga orang yang mengetahui hal itu!"
"Apakah ketiga orang itu mempunyai hubungan dengan jarum Chit-jiau-soh?" tiba-tiba
Kat Hong bertanya. Rupanya dia lebih cerdik dari adiknya.
"Munculnya sepasang muda-mudi sakti itu bagai prahara yang mendampar samudera.
Gelombang berhamburan dahsyat. Belum sampai tiga tahun muncul, kedua muda-mudi
itu telah mengobrak-abrik empat puluh delapan sarang gerombolan Loklim (penyamun),
menantang Siau-lim-si dan menghancurkan barisan Lo han-tinnya. Nama mereka
bagaikan bintang cemerlang di angkasa persilatan. Dunia persilatan gentar dan
mengagumi. Tetapi kepergian mereka pun cepat sekali bagaikan bintang jatuh. Mereka
lenyap bagaikan ditelan bumi. Pada tahun kedua sejak lenyapnya sejoli anak muda itu,
Siluman Tulang Kumala Ih Ing-hoa baru muncul lagi di dunia persilatan. Karena
dipandang berjasa melenyapkan kedua muda-mudi itu, dunia persilatan menaruh hormat
kepada Ih Ing-hoa. Tetapi dasar wanita cabul. Rasa menghindarkan dari kaum persilatan
itu, menyebabkan dia semakin mengumbar nafsu kecabulannya. Entah berapa banyak
jago-jago muda dari beberapa partai golongan putih, telah dicemarkan oleh wanita itu.
Hal itu menimbulkan kemarahan partai yang tersangkut. Mereka lalu berserikat
menangkapnya. Tetapi ternyata sejak berkeliaran selama setahun itu, kepandaian Ih Inghoa
bertambah maju. Beberapa kali ia dapat mengalahkan orang-orang yang hendak
menangkapnya. Mendapat hati, Ih Ing-hoa makin melonjak. Tidak kepalang tanggung,
dia lalu membentuk sebuah partai persilatan. Dia menculik dara-dara cantik untuk dipaksa
menjadi muridnya. Semakin besar pengaruhnya, semakin dia jadi mengumbar
kecabulannya lebih hebat. Perbuatan wanita itu telah menimbulkan kemarahan orang
gagah kedua daerah Kanglam dan Kangpak. Mereka bersatu padu bersepakat untuk
menghancurkan wanita siluman itu. Pada masa itu nama ayahmu termasyhur sekali.
Dialah yang mempelopori gerakan membasmi Siluman Tulang Kumala. Akupun menerima
baik undangannya. Tetapi sebelum kami bergerak, tiba-tiba terjadilah perubahan yang
menggemparkan"."
"Bagaimana" Apakah sekalian ksatria itu mundur teratur karena jeri terhadap si
Siluman Tulang Kumala?" seru Kat Hong.
"Tidak! Kalau takut masakan kita mengadakan gerakan itu?"
"Lalu apakah Siluman Tulang Kumala yang ketakutan melarikan diri karena mendengar
gerakan besar itu?" "Jika dia takut lalu melarikan diri, itu bukan suatu kejadian menggemparkan!" sahut Lo
Kun. "Ataukah sebelumnya dia sudah dibunuh orang lebih dulu?" Kat Wi menegas.
"Benar!" Lo Kun tertawa. "Gerombolan Siluman Tulang Kumala yang dibentuk dengan
susah payah selama bertahun-tahun itu, dalam satu malam saja telah dibakar habis oleh
seseorang. Anak muridnya dibunuh sampai ludas. Tetapi anehnya, mayat Siluman Tulang
Kumala itu tak dapat diketemukan. Dia menghilang secara misterius. Selanjutnya wanita
itu tak pernah muncul di dunia persilatan lagi. Sampai sekarang sudah lebih dari tiga
puluh tahun lamanya dia menghilang."
Akan tetapi kedua saudara Kat menyatakan bahwa kemungkinan besar mayat wanita
itu turut terbakar hangus. Tetapi Lo Kun mengatakan bahwa dia tak berani memastikan
hal itu. "Sampai sekarang, hal itu masih belum terdapat buktinya."
Berpaling kepada paderi Thian Hong, dilihatnya paderi itu tengah memandang langit
seolah-olah tak ikut mendengarkan cerita Lo Kun. Sedang keempat muridnya tertarik juga
mendengar cerita itu. Secepat Lo Kun tersenyum lalu melanjutkan ceritanya: "Belum setahun Siluman Tulang
Kumala lenyap muncullah seorang momok perempuan. Wanita itu juga tak kurang
anehnya. Selain potongan tubuhnya yang menyerupai seorang wanita, dia tak pernah
bicara dan tak pernah memperlihatkan wajahnya. Wajahnya diselubungi dengan kain
sutera hitam. Hanya kepandaiannya lebih tinggi dari Siluman Tulang Kumala. Setiap kali
membunuh orang, tentu pada jalan darah korbannya tertancap sebatang jarum Chit-jiausoh.
Lama kelamaan jarum itu menjadi tanda pengenal keganasannya. Setiap Chit-jiausoh
muncul, tentu seorang korban mati. Ada orang menduga, jarum itu sebagai
perlambang dari suatu kenikmatan abadi. Lebih dulu korban diajak main pat-pat gulipat,
kemudian baru dibunuh dengan tusukan jarum. Dugaan itu agak sesuai tetapi sayang
tiada yang mampu membuktikan"."
"Rupanya dia lebih ganas dari Siluman Tulang Kumala. Tetapi entah apakah dia lebih
cantik dari Ih Ing-hoa?" tanya Kat Wi.
"Dia tak pernah membuka kain kerudungnya, tiada seorangpun yang pernah melihat
wajahnya!" sahut Kat Hong.
"Benar, memang tiada seorangpun yang pernah melihat wajahnya! Dan barang siapa
melihatnya serta mendengar ia bicara, tentu akan mati".!" seru Lo Kun.
Jilid 6 "MENGAPA kaum persilatan tak mau bersatu lagi untuk membasmi momok perempuan
itu?" tanya Kat Hong.
"Mengapa tidak" Tiga belas propinsi dari wilayah Kanglam dan Kangpak serta delapan
puluhan jago-jago Siau-lim-si terbagi dalam empat regu, telah mengadakan pengejaran.
Salah sebuah regu berhasil menemukannya di kota Kim-leng. Regu yang terdiri dari dua
puluhan lebih jago-jago silat itu segera mengepungnya, tetapi regu itu dihancurkan
semua. Pada setiap dada korban, tertancap sebatang jarum Chit-jiau-soh. Tiada
seorangpun dari regu itu yang hidup. Kemudian regu kedua berhasil mencari jejaknya di
kota Kay-hong. Juga regu kedua ini mengalami nasib seperti regu kesatu. Hancur binasa
semua dengan perut masing-masing tertusuk Chit-jiau-soh. Dua peristiwa mengerikan itu
cukup merontokkan nyali. Regu pengejaran itu segera membubarkan diri. Dari rencana
hendak membasmi, mereka menjadi calon-calon korban yang ketakutan. Tak ada lain
usaha dari mereka yang masih hidup kecuali hanya berdoa mudah-mudahan si Momok
Wanita jangan membunuhnya. Mereka pasrah nasib karena tak tahu siapa dan
bagaimanakah sebenarnya Momok Wanita itu. Wanita misterius itu dijuluki sebagai Chitjiausoh dan jarum itu merupakan ciri pengenal dari momok itu. Untunglah dia tak lama
muncul di dunia persilatan lalu menghilang lagi. Namun nama jarum maut Chit-jiau-soh itu
tetap berkumandang lama di dunia persilatan sebagai lambang kematian. Setelah limaenam
tahun wanita itu tak muncul lagi, barulah orang persilatan dapat bernapas lega dan
mulai melupakan peristiwa itu. Bahwa kali ini Chit-jiau-soh muncul lagi, benar-benar
membuat orang mulai meraba-raba"."
Kat Hong tersenyum, "Kiranya tak perlu lo-cianpwe gelisah. Jika Chit-jiau-soh itu benarbenar
muncul lagi di dunia persilatan, aku berharap dapat menempurnya demi untuk
membalaskan sakit hati kaum persilatan yang telah binasa!"
Semasa ayah kedua saudara Kat, yakni It-pit-hoan-thian Kat Thian-beng masih aktif,
namanya sangat termasyhur di dunia persilatan. Entah berapa jago-jago golongan hitam
maupun putih yang roboh di bawah senjatanya, bun-ciang-pit. Tetapi setelah ia
mengasingkan diri di gunung Hun-tay-san, ia menolak menerima kunjungan sahabatsahabat
dunia persilatan. Kecuali paderi Thian Hong, tak seorangpun yang mengetahui
tempat kediamannya. Lo Kun juga mengagumi kesaktian Kat Thian-beng. Maka kata-kata
takabur dari dua saudara Kat itu, tak mau ia mencelanya.
Sekonyong-konyong paderi Thian Hong membolang-balingkan pedang dan berseru,
"Jika tak masuk sarang harimau, tak mungkin akan memperoleh anak macan! Karena
Chiat-jiau-soh sudah muncul, kitapun tak dapat mundur. Maukah Lo-heng ikut serta?"
Lo Kun tertawa, "O, sekian lama merenung kiranya hanya begitu keputusanmu. Aku toh
sudah tua, mengapa aku memikirkan soal mati hidup" Sekalipun harus mati di gunung ini,
aku takkan kecewa!" Dengan tegas dan serius, Thian Hong menghaturkan terima kasih. Dengan pedang siap
di tangan, paderi itu segera melanjutkan perjalanan ke atas.
Thian Hong diam-diam telah memperhitungkan bahwa munculnya Chit-jiau-soh itu
terjadi pada tiga puluhan tahun berselang. Yang muncul sekarang ini kebanyakan tentulah
muridnya. Tetapi ia tak pasti. Andaikata dugaan itu meleset, berarti jiwanya dan beberapa
orang yang ikut dalam rombongannya, dia akan mengorbankan jiwanya. Itulah sebabnya
maka Thian Hong menimang-nimang sampai sekian lama, baru ia memutuskan untuk
menjelajah ke bagian lebih dalam dari gunung Kiu-kiong-san.
Karena darah muda, kedua saudara Kat itu diam-diam penasaran terhadap momok
wanita yang dijuluki Chit-jiau-soh itu. Kedua saudara itu percepat langkah mendahului
Thian Hong. Thian Hong tahu bahwa kepandaian kedua anak muda itu memang tinggi. Tetapi
karena musuh belum diketahui ciri-cirinya jelas, ia memberi peringatan kepada kedua
pemuda itu agar berjalan perlahan-lahan.
Setelah membelok beberapa tikungan, suasana berubah lain. Alam sekeliling diliputi air.
Kiranya saat itu mereka tiba di telaga tempat tinggal Ti-ki-cu Gan Leng-po. Rombongan
orang gagah itu berhenti di tepi telaga. Thian Hong menyatakan hendak menuju ke
pondok terapung di tengah telaga. Tetapi Kat Hong tak setuju.
"Lo-cianpwee adalah pemimpin rombongan, mana boleh sembarangan menempuh
bahaya. Lebih baik ijinkan aku saja yang meninjau ke sana!" dan tanpa menunggu
jawaban Thian Hong, anak muda itu terus enjot tubuhnya dan lari di permukaan air.
Melihat caranya anak muda itu gunakan ilmu berjalan di atas air, Lo Kun memberi
pujian, "Dengan sebatang bun-jiang-pit dan kepandaian gin-kangnya, Kat Thian-beng
tayhiap telah menjagoi dunia persilatan selama berpuluh tahun. Sayang aku tak pernah
bertemu muka. Tetapi menilik dari kepandaian puteranya saja kiranya nama Kat tayhiap
itu bukan pujian kosong!"
Kat Wi tertawa, "Ah, apa yang dipertunjukkan saudaraku itu hanya kepandaian kosong,
harap lo-cianpwe jangan memuji kelewat tinggi!"
Dalam pada itu Kat Hong pun sudah loncat ke dalam pondok terapung. Tetapi sampai
sekian saat, pondok itu sunyi saja. Kat Hong tak muncul lagi".
Tiba-tiba paderi Thian Hong getarkan pedangnya dan berkata perlahan-lahan kepada
Lo Kun, "Harap Lo-heng menunggu di sini, aku"."
Belum habis paderi itu berkata, sekonyong-konyong Kat Wi sudah loncat ke telaga dan
terus lari menuju ke pondok. Gerakannya tak kalah gesit dari kakaknya tadi.
Thian Hong tak keburu mencegah. Sekali kebutkan lengan jubahnya iapun sudah
melesat ke muka dan mendahului Kat Wi. Diam-diam Kat Wi penasaran. Begitu hampir
mendekati pondok, tiba-tiba ia melenting ke udara, melayang di atas payon pondok
terapung. Ia berhasil mendahului Thian Hong. Dan secepat kakinya tiba di atas payon
geladak, anak muda itupun sudah mencabut sepasang poan-koan-pitnya. Yang sebatang
untuk melindungi muka dari serangan. Yang sebatang untuk menyerang. Ia loncat turun
dan menerobos masuk ke dalam pondok".
Keadaan dalam ruang pondok gelap sekali, hingga Kat Wi tidak dapat melihat jemarinya
sendiri. Anak muda itu sudah membekal kewaspadaan. Poan-koan-pit di tangan kiri diputar
untuk melindungi diri kemudian barulah ia melayang turun. Tetapi alangkah kagetnya
ketika ia merasa menginjak sesosok tubuh orang. Buru-buru ia kerahkan semangatnya dan
melambung ke udara lagi. Ia takut kalau yang diinjak itu saudaranya. Maka cepat-cepat ia
loncat ke atas. Duk"karena tak melihat keadaan ruang pondok kepalanya membentur langit tutup
pondok. Belum hilang kagetnya, tiba-tiba ia merasa seperti diserang orang dari sebelah
samping. Serangan itu cepat sekali datangnya. Belum orangnya tiba, angin gerakannya
telah membaur Kat Wi. Anak muda membawa hawa yang harum. Sebelum tahu apa yang
terjadi, tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal orang dan menyusul terdengar suara
tertawa melengking, "Lepaskan senjatamu, lekas! Jika coba melawan, kau pasti menderita
lebih hebat!" Kat Wi mendengar dingin. Sebagai jawaban ia balikkan tangan dan menutukkan poankoanpit dalam jurus To-ta-kim-leng atau memukul terbalik kelintik emas.
Tetapi baru tangan bergerak, tiba-tiba ia rasakan bahunya kesemutan dan seluruh
tenaganya lenyap. Bluk, jatuhlah pemuda itu di lantai.
Tepat pada saat itu, Thian Hong menggembor keras dan menerobos.
Walaupun jalan darahnya tertotok dan tak berkutik, tetapi pikiran Kat Wi masih terang.
Dilihatnya yang menotok dirinya itu adalah seorang dara cantik yang mencekal sebatang
hud-tim. Dan saat itu si dara tengah mengebutkan hud-timnya pada pedang Thian Hong.
Dengan ilmu pedang yang saktilah maka Thian Hong dapat memimpin dunia persilatan
golongan putih di daerah Kanglam. Ia telah mencapai tingkat yang tertinggi dalam
meyakinkan ilmu pedang itu. Cepat ia tarik pulang pedangnya. Tetapi baru saja ia hendak
menyerang, ternyata si dara telah mendahului dengan kebutannya. Cepat sekali dara itu
telah melancarkan tiga buah serangan! Serangan bukan sembarang serangan tetapi ketiga
jurus yang dilancarkan si dara jarang terdapat di dunia persilatan. Cepat dahsyat dan luar
biasa anehnya. Betapapun saktinya Thian Hong, namun menghadapi serangan luar biasa dari si dara, ia
terpaksa harus mundur dua langkah.
Tiba-tiba dalam kegelapan, sebuah tangan kurus menyembul dari kegelapan dan
menampar bahu si paderi. Karena sedang menghadapi serangan si dara yang dahsyat,
semangat dan perhatian Thian Hong tertumpak ke situ seluruhnya. Dia tak menyadari
bahwa sebuah tangan maut diam-diam mengancam dirinya.
Kat Wi jelas melihat tangan kurus itu. Tetapi karena ia dalam keadaan tertotok tak
dapat bicara hatinya gelisah bukan kepalang.
Tring".pemuda itu makin gelisah dan kaget ketika mendengar suara pedang Thian
Hong jatuh ke lantai disusul dengan tubuh pendeta itu yang terkulai roboh.
"Celaka. Thian Hong totiang pun tertutuk. Habislah semua pasukan kita!" keluh anak
muda itu. Ia pejamkan mata karena ngeri membayangkan peristiwa yang dihadapinya".
Tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat dan dipindah ke lain tempat. Kemudian jalan
darahnyapun ditutuk lagi sehingga saat itu kesadarannya hilang.
Kat Hong, Kat Wi dan Thian Hong ketiga tulang punggung rombongan, telah rubuh
dalam pondok terapung yang misterius itu"
Ketika membuka mata, Kat Wi dapatkan hari sudah siang. Seorang dara berbaju merah
duduk di tengah-tengah ruangan pondok terapung itu. Di belakangnya tegak seorang
lelaki tinggi berpakaian hitam. Wajahnya seram.
Seorang dara yang cantik jelita dan seorang raksasa kurus yang jelek rupanya. Benarbenar
suatu pemandangan yang tak sedap".
Mengerling ke samping, Kat Wi melihat engkohnya (Kat Hong) bersama seorang
pemuda lain, duduk bersandar pada dinding. Tetapi paderi Thian Hong tak tampak, entah
berada di mana. Tiba-tiba dara baju merah itu kebutkan hud-timnya menampar punggung Kat Wie, jalan
darahnya yang tertutup segera terbuka. Segera Kat Wi kerahkan tenaga dan menggeliat
bangun. Ketika ia hendak menyambar poan-koan-pit yang terletak di samping si dara,
tiba-tiba dara baju merah itu tertawa melengking, "Kedua kakimu telah kututuk, tak
mungkin kau mau berkelahi lagi. Lebih baik duduk sajalah!"
Kat Wi kerahkan tenaga, ah, ternyata kedua pahanya lemah lunglai dan agak linu
kesemutan. Kata-kata si dara itu memang benar.
"Siapakah kau" Apa maksudmu menyiksa aku?" serunya.
Dara itu tersenyum, "Aku belum bertanya, mengapa kau berani bertanya padaku?"
"Mengapa tak berani" Toh paling-paling aku kehilangan jiwa?" seru Kat Wi.
"Ih, rupanya kau memang ingin mati?" si dara tersenyum manis.
Kat Wi marah, "Seorang lelaki boleh dibunuh tetapi jangan dihina. Jika kau
memperlakukan secara nista begini, jangan marah kalau kucaci maki nanti!"
Tiba-tiba si jangkung berwajah ngeri tertawa mengekeh, "Anak bulus, tidak gampang
mau mati, lho. Sekali kutampar, kepalamu tentu pecah!" ia melangkah maju dan
mengangkat tangannya. Tangan si jangkung itu panjang sekali. Meskipun terpisah tiga empat langkah dari Kat
Wi tetapi sekali ulur sudah menyentuh tubuh si pemuda. Tetapi cepat-cepat si dara baju
merah kebutkan hud-timnya menyiak tangan si jangkung.
"Jangan melukainya!" seru si dara tertawa.
Rupanya si jangkung itu taat pada si dara. Ia segera menyusut mundur ke tempatnya.
Mulutnya mengomel, "Hm, membiarkan manusia-manusia hidup hanya akan menimbulkan
bahaya di kemudian hari. Lebih baik lekas dikirim ke neraka sajalah!"
"Ilmu tutuk dari partai Beng-gak, tiada manusia di kolong langit yang mampu
membuka. Sekalipun dibawa lari kemana saja, tak mungkin orang itu mampu
menolongnya"." kata si dara lalu alihkan pandangannya ke arah Kat Hong dan Siu-lam, ia
memerintahkan si jangkung supaya membawa kedua pemuda itu keluar. Si jangkung
segera melakukan perintah. Tangan kanan menjinjing Siu-lam, tangan kiri mengangkat Kat
Hong terus dibawa keluar.
Si dara merah pelahan sekali kebutkan hud-tim ke muka Kat Wi dan tertawa, "Sekarang
dalam ruangan ini hanya kita berdua!"
Kat Wi rasakan darahnya tersirap. Buru-buru ia berpaling muka, "Hanya dua orang lalu
bagaimana"." "Kau boleh menjawab pertanyaan dengan sejujurnya!"
Umur Kat Wi baru enam belas tahun. Tetapi dia seorang pemuda yang keras kepala,
sahutnya dengan dingin, "Ah, tak semudah itu!"
Mengira pemuda itu yang paling kecil umurnya, si dara anggap tentu mudah mengorek
keterangan. Bocah itu tentu tak sanggup menahan siksaan. Tetapi apa yang diperoleh dari
mulut Kat Wi hanya menimbulkan kemarahannya saja. Ia tertawa mengikik, serunya, "O,
tak mungkin kunyana kau seorang jantan. Aku tak percaya tulang-tulangmu dari besi!"
Ia menutup kata-katanya dengan mencekal tangan Kat Wi, "Adik, lebih baik kau bilang
saja. Di manakah peta Telaga Darah itu?" sekali kerahkan tenaga, tangan halus itu
berubah sekeras besi. Buru-buru Kat Wi kerahkan tenaga hendak melawan. Tetapi ah, ia rasakan dadanya
macet. Kejutnya bukan kepalang.
"Telah kukatakan," si dara merah tertawa, "bahu jalan darah sau-yan-tam-keng dan
Thay-im-pi-keng tubuhmu telah kututuk. Berarti kepandaianmu lenyap seluruhnya. Maka
percuma saja jika kau hendak berkeras melawan!"
Seketika Kat Wi rasakan darahnya menyalur terbalik arah. Aduh, sakitnya bukan
kepalang. Namun pemuda tanggung itu tetap menggertek gigi bertahan sakit. Sepatahpun
ia tak mengerang". Si dara berlingkap biji matanya yang indah dan tertawa melengking, "Namun jalan
darahmu tadi telah kututuk putus. Kecuali jago-jago Beng-gak tak mungkin di dunia orang


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menolongmu"."
Kepala Kat Wi mandi keringat. Tak sempat ia mendengarkan kata si dara lagi.
Bentaknya murka, "Tutup mulutmu, siapa sudi mendengar omonganmu!"
Si dara tetap tertawa mengikik, "Jika tak keburu ditolong, dalam waktu tiga bulan, uraturatmu
itu akan terlanjur mengeras. Bukan saja kepandaianmu hilang, pun kau akan mati
dengan perlahan. Dalam usia masih remaja seperti sekarang ini, bukankah sayang kalau
kau mati?" dalam pada berkata-kata itu diam-diam si dara menambahkan tekanannya.
Kat Wi rasakan darahnya makin keras, berhamburan meliar merekahkan dada. Rupanya
si dara tahu kalau pemuda itu sudah tak dapat bertahan lagi, katanya pula, "Asal kau
bicara terus terang, selain kusembuhkan jalan darahmu semua rombonganmu akan
kubebaskan. Pikirlah masak-masak!" kata si dara seraya mengendorkan cengkeramannya.
Kat Wi rasakan sakitnya berkurang. Ia menghela napas, ia menimang, "Saat ini Thian
Hong totiang dan engkohku berada dalam genggamannya. Jika aku bersikap keras kepala,
mungkin aku dan semua orang akan binasa. Aku harus mulai memakai siasat. Toh aku
juga tidak mengerti persoalannya. Kuikatnya dulu dengan perjanjian baru aku mau
menjawab"." "Mudah saja kau suruh aku menjawab pertanyaanmu. Tetapi sebelumnya kaupun harus
bersedia meluluskan tiga buah syaratku!" katanya kepada si dara.
"Katakanlah!" seru si dara.
"Pertama, bebaskanlah semua orang yang kau tawan!"
Si dara baju merah tertawa, "Ih, pintar juga kau ini. Kalau begitu orang-orang itu
adalah rombonganmu"." ia berhenti lalu melanjutkan pula, "Apa syarat yang kedua?"
"Ini yang paling penting. Kau harus memikir semasak-masaknya sebelum mengambil
putusan"." "Jangan banyak bicara, bilanglah!" seru si dara.
"Apa yang kuketahui, akan kuceritakan terus terang semua. Tetapi apa yang tak
kuketahui, janganlah kau memaksa aku mengatakan!"
Sejenak dara berbaju merah itu merenung. Kemudian ia minta Kat Wi menyebutkan
syaratnya yang ketiga. Kat Wi tertawa, "Kita tak kenal mengenal dan tidak ada orang yang menyaksikan kita.
Maka kita harus mengangkat sumpah, agar jangan mengingkari janji!"
Wajah dara baju merah itu mengilas senyum sinis, ujarnya, "Baik, lebih dulu akan
kubuka jalan darahmu, baru nanti kuajukan pertanyaan!"
Dara itu menepuk delapan buah jalan darah Kat Wi dan mengurut-urut lukanya.
"Nah, jalan darahmu sudah kubuka lagi. Sekarang jawablah pertanyaanku," kata si
dara. Kat Wi menggeliat bangun, serunya, "Nanti dulu, nanti dulu. Kau toh belum
bersumpah!" Rupanya Kat Wi masih belum hilang sifat kanak-kanaknya. Ia tetap
menganggap sumpah itu penting.
Si dara tertawa, "Sepatah perkataanku sama dengan segumpal emas, masakan aku
mau mengingkari. Ah, kau kekanak-kanakkan!"
Dikata begitu Kat Wi malu. Cepat ia nyeletuk, "Jika begitu, silahkan kau bertanya!"
Si dara tertawa, "Jauh-jauh kau datang ke Kiu-kiong-san sini, apakah bertujuan mencari
Gan Leng-po?" "Benar!" sahut Kat Wi.
"Perlu apa mencarinya!"
"Hal itu aku kurang jelas. Rupanya seperti hendak minta dia mencari sebuah benda!"
"Apa bukan peta Telaga Darah?" si dara kerutkan alis.
"Aku kurang jelas, tak dapat bicara ngawur!"
Dara itu tertawa mengikik, ujarnya, "Adik kecil, rupanya kau tahu banyak sekali, ya?"
"Benar, tetapi tadi telah kita setujui syarat itu. Yang kuketahui tentu kukatakan. Tetapi
sebenarnya aku tak tahu apa. Bagaimana, apakah kau menyesal?" Kat Wi tertawa gelakgelak
seolah-olah bangga karena dapat menyiasati si dara.
"Kau pintar. Tetapi akupun takkan menyesal!" sahut si dara, kemudian ia berseru
nyaring, "Ciok Toa-piau, bawalah tawanan-tawanan itu keluar semua!"
Sebuah suara parau macam kaleng borot, menyahut, "Ji-kounio, waktunya tinggal
sedikit. Perlu apa bawa mereka" Lebih baik kuremuknya saja!"
"Kusuruh kau membawa mereka keluar, kau dengar tidak?" seru si dara baju merah.
Rupanya Ciok Toa-piau atau si jangkung berwajah ngeri itu takut kepada si dara.
Segera ia menjinjing keluar dua sosok tubuh. Cepat sekali ia bekerja. Dalam beberapa
kejap ia sudah meletakkan sepuluh sosok tawanan.
"Apa masih?" tanya si dara.
Si jangkung gelengkan kepala, "Sudah semuanya!"
Si dara tertawa, serunya, "Tujuh hari kemudian, adalah hari selesainya pertapaan
kaucu. Biarlah kita berbuat amal kebajikan lepaskan mereka!"
"Apa?" si jangkung terbelalak.
Si dara memandang Kat Wi, tertawa, "Aku telah berjanji pada adik kecil itu untuk
membebaskan mereka semua. Masakan aku ingkar janji!"
Ia menutup kata-katanya dengan menampar tubuh Kat Hong. Seketika pemuda itu
menghela napas panjang dan menggeliat duduk. Cepat sekali si dara menampari tubuh
kesepuluh tawanan. Merekapun bangun semua.
Si jangkung hanya mengawasi tingkah laku si dara dengan mata mendelik. Rupanya ia
tak puas dengan tindakan dara itu namun tak berani mencegah.
Setelah menyadarkan tawanannya, si dara tertawa, "Maaf atas penyambutan yang
kurang hormat atas kedatangan tuan-tuan yang jauh memerlukan datang kemari."
Sepuluh orang tawanan itu terdiri dari Thian Hong dan rombongannya, kedua orang
kepercayaan Wan Kiu-gui yang menyertai kepala golongan hitam itu ke Kiu-kiong-san dan
Siu-lam. Ternyata waktu Thian Hong masuk ke dalam pondok terapung dan tidak keluar lagi, Lo
Kun segera ajak keempat murid Thian Hong menyusul. Tetapi merekapun mengalami
nasib serupa seperti Thian Hong. Dara merah dan si jangkung Ciok Toa-piau dapat
merubuhkan mereka. Setelah membuka jalan darah kesepuluh orang tawanannya dan bicara beberapa patah
senda-gurau, si dara baju merah segera melangkah keluar. Tetapi baru beberapa langkah,
ia berpaling lagi, serunya, "Siapakah di antara kalian yang tahu tentang peta Telaga
Darah, lebih baik segera antarkan ke Beng-gak. Jika tidak, dalam waktu sebulan lagi,
dunia persilatan tentu akan banjir darah".!"
Lo Kun Si Golok Sakti mendengus, "Hm, menyerang secara bersembunyi, bukanlah
perbuatan yang gemilang"."
"O, rupanya kau belum puas?" si dara tertawa.
Lo Kun mengurut jenggot dan tertawa nyaring, "Bukan hanya tak puas saja, pun aku
memang ingin meminta pelajaran beberapa jurus dari nona!" katanya seraya melangkah
ke muka. Sinjangkung Ciok Toa-piauw cepat menghadang dan menghantamnya dengan jurus
Cui-san-tiam-hay (mendorong gunung menimbun laut). "Bulus tua, kau omong apa itu"
Makanlah ketupatku ini."
Tetapi si nona cepat kebutkan hud-tim melintang serunya, "Mereka toh calon-calon
mayat, perlu apa kau meladeni."
Thian Hong tergerak pikirannya, ia menggamit ujung baju Lo Kun, "Jangan gegabah,
Lo-heng. Mundurlah!"
Si dara memandang ke arah Siu-lam, serunya, "Harap saudara Pui jangan melupakan
perjanjian dengan sumoayku di Beng-gak. Asal ketemu dengan dia, dia pasti akan
menolongmu." Habis berkata ia terus berputar diri dan melintasi telaga.
Si jangkung sejenak memandang rombongan Thian Hong lalu menyusul si dara.
Tek Sam-goan dan Mo Tong, kedua anak buah Wan Kiu-gui, merasa terpencil. Karena
yang berada di situ semua termasuk rombongan Thian Hong. Mo Tong yang licin segera
berseru kepada Tek Sam-goan, "Tek-heng, sayang pemimpin kita tak berada di sini.
Mungkin tangan kita tak cukup menghadapi sekian banyak orang"."
Thian Hong tertawa hambar, "Jangan khawatir. Walaupun kalian memang termasuk
orang yang harus dilenyapkan untuk kepentingan rakyat Kanglam, tetapi tidak nanti
kuturun tangan di tempat ini!"
Mo Tong tahu Thian Hong itu seorang paderi yang berwatak utama. Mendengar
pernyataan itu, longgarlah perasaan Mo Tong. Namun masih si licik itu sengaja tertawa
sinis, "Sebenarnya mati hidup bagiku tak penting!"
Thian Hong tidak mau menghiraukan. Ia berpaling dan berseru pada murid-muridnya,
"Sebelum mendapat perintahku, kalian tak boleh bertindak sendiri. Siapa melanggar, akan
dihukum!" Setelah itu si paderi bertanya pada Siu-lam, "Maaf, siapakah saudara ini?"
Siu-lam memperkenalkan diri, "Aku jarang datang ke Kang-lam maka totiang tentu tidak
kenal." "Kalau bukan orang Kang-lam apakah tujuan saudara ke Kiu-kiong-san sini?" Tadi ia
mendengar si nona baju merah bicara dengan pemuda itu tentang perjanjian di gunung
Beng-gak. Siu-lam tahu kalau orang menaruh kecurigaan. Untuk menceritakan seluruh kisahnya
tentu memakan waktu. Maka ia mengatakan bahwa ia datang hendak menyambangi Gan
Leng-po yang sudah dikenalnya lama. "Tetapi di sini aku berjumpa dengan nona baju
merah tadi," katanya.
Lo Kun mengurut-urut jenggot, belum sempat ia bicara, Kat Wi sudah mendahului, "Jika
begitu Pui-heng juga baru saja bertemu dengan gadis itu!"
Kata yang bernada sindiran itu membuat Siu-lam tertegun. Tiba-tiba Lo Kun maju
hendak mencengkeram bahu Siu-lam, bentaknya, "Jika kau tak mau memberi keterangan
sejujurnya, jangan persalahkan aku seorang tua tidak tahu adat!"
Siu-lam mengisar ke samping, "Hm, menyerang secara mendadak begini, apakah juga
bukan perbuatan hina?"
Siu-lam tak mau membalas karena hal itu tentu akan menimbulkan kemarahan Lo Kun.
Maka cukuplah ia gunakan kata-kata tajam untuk menghentikan tindakan orang.
Perhitungan anak muda itu tepat. Lo Kun menarik tangan dan menyurut mundur, "O,
kalau begitu kau hendak menantang aku berkelahi?"
Belum Siu-lam menyahut, Thian Hong sudah maju selangkah untuk melerai, "Sekalipun
Pui-heng ini kenal dengan si nona baju merah tetapi aku berani mengatakan dia bukan
anak buah mereka. Harap Lo-heng jangan mendesaknya."
Thian Hong menyuruh keempat muridnya agar mendayung pondok terapung itu ke tepi
telaga. Walaupun mulut mengiakan, tetapi keempat murid itu kerutkan dahi. Tak tahu
mereka dengan cara apa dapat mendorong pondok itu ke tepi. Rupanya Siu-lam tahu
kesulitan mereka. Ia segera menarik tali di bawah air. Seketika pondok itupun meluncur ke
tepi. Thian Hong dan rombongan segera mendarat. Kira-kira tujuh li jauhnya, mereka tiba di
sebuah puncak gunung. Tiba-tiba keempat murid Thian Hong merasa punggungnya linu
sakit. Badannya mulai tak enak dan tenaganya makin lemas, kakinya memberatkan. Tetapi
karena melihat lain-lainnya tidak apa-apa, merekapun tidak berani mengatakan apa-apa
kepada gurunya dan paksakan diri berjalan.
Adalah Lo Kun yang memperhatikan wajah keempat orang itu, diam-diam merasa heran
dan berbisik kepada Thian Hong, "Lihatlah keempat muridmu itu apakah tidak sehat?"
Thian Hong berpaling memperhatikan murid-muridnya. Katanya, "Mungkin mereka
diam-diam telah dicelakai si nona baju merah tadi!"
Kata-kata paderi itu membuat sekalian orang terkesiap. Serempak mereka memandang
ke arah murid-murid paderi itu. Dan serentak dengan itu timbullah pikiran pada hati tiaptiap
orang, "Ah, kalau terhadap mereka dilakukan penganiayaan, bukan mustahil terhadap
diriku pun demikian."
Thian Hong menghampiri muridnya dan suruh mereka membuka baju. Ah, benarlah. Di
punggung mereka masing-masing terdapat lima telapak jari warna merah.
Melihat itu makin gelisahlah sekalian orang. Kat Wi segera suruh engkohnya membuka
baju. Tetapi Kat Hong rupanya enggan.
"Kalau engkoh tak mau, biarlah aku yang membuka bajuku sendiri!" Kat Wi segera
membuka baju. Kat Hong terpaksa memeriksa punggung adiknya. Dan ah, kejutnya bukan
kepalang. Pada punggung Kat Wie itupun terdapat bekas telapak jari berwarna merah.
"Bagaimana engkoh?" teriak Kat Wi gelisah.
Kat Hong mengangguk sarat, "Mengapa tidak ada" Kita harus lekas, mungkin ayah
dapat menolong!" Lo Kun menghela napas, "Ah, sungguh aku harus meminta maaf kepada anda berdua.
Anda berdua biasa hidup bersenang-senang di lembah Tay-beng-koh. Adalah karena kami
undang maka anda berdua sampai tertimpa bencana semacam ini."
Sambil memakai baju, Kat Wie menyahut, "Ah, lo-cianpwe tak bersalah. Malah
kemungkinan lo-cianpwe sendiri juga menderita hal semacam ini."
Sahut Lo-kun; "Aku sudah tua. Mati bukan soal. Tetapi anda yang masih muda, ibarat
matahari yang baru bersinar, penuh dengan masa depan yang gemilang"."
Kat Hong tertawa, "Tak usah lo-cianpwe terlalu meresahkan. Mati hidup sudah takdir.
Kita manusia tak mungkin ingkar. Dan belum tentu luka ini akan mematikan diriku."
Mo Tong tercekat hatinya. Diam-diam iapun gelisah jangan-jangan dirinya juga terkena
telapak jari si nona. Serunya kepada Tek Sam-goan, "Tek-heng, harap buka bajumu agar
kuperiksanya juga!" Tek Sam-goan menolak, "Tak usahlah. Bukan saja aku pasti ada, pun setiap orang di
sini tentu juga terdapat bekas jari itu. Sebaiknya kita berhenti dulu untuk menyalurkan
darah dan memeriksa bagian jalan darah yang terluka."
Walaupun berkata kepada Mo Tong, tetapi sebenarnya kata-kata itu ditujukan kepada
sekalian rombongan Thian Hong totiang. Thian Hong tanpa menyahut terus mendahului
duduk bersemedhi. Sekalian orangpun segera menuruti tindakan paderi itu. Masing-masing mengatur
pernapasan. Tiba-tiba sekalian orang duduk bersila, salah seorang menyelinap pergi.
"Hai, memang kutahu kau memang seorang telur busuk! Berhenti!" tiba-tiba Lo Kun
berseru. Walaupun sedang bersemedhi tetapi Lo Kun tetap memperhatikan gerak-gerik
Siu-lam yang dicurigai itu.
Dan memang yang menyelinap pergi adalah Siu-lam. Ia tak dapat menahan diri lagi. Ia
harus lekas-lekas membebaskan sumoaynya dari tahanan si wanita aneh. Ya, memang ia
tahu dirinya tentu mati. Tetapi sebelum mati, ia harus dapat menolong sumoaynya dulu.
Mendengar teriakan Lo Kun, kedua saudara Kat Hong dan Kat Wi cepat melenting
dengan gerak Capung Memagut Air. Dua tiga kali loncatan, kedua saudara itu sudah
berada di belakang Siu-lam.
"Apa maksud kalian mengejar aku?" Siu-lam hentikan langkah.
"Hm, kau hendak kemana?" Kat Wi mendengus.
"Perlu apa kau mengurus?" sahut Siu-lam.
"Memang aku tak berhak mengurusi. Tetapi pada saat dan suasana seperti ini kau
ngacir secara diam-diam, tentu menimbulkan kecurigaan orang!" seru Kat Hong.
Siu-lam diam-diam mengakui kebenaran kata-kata anak muda itu. Sahutnya, "Benar,
jika mencurigai aku mempunyai hubungan dengan nona baju merah tadi, baiklah aku
takkan pergi"." Serentak ia membuka baju dan suruh kedua saudara itu melihat.
"Lihatlah, kalau punggung tidak terdapat bekas telapak jari, anggaplah aku dengan
nona itu ada"."
Kat Wi cepat menukas, "Jika kuukur dirimu dengan nilai seorang kuncu (ksatria),
dikuatirkan kena kau kelabuhi!"
"Apa" Apakah punggungku tak ada bekas telapak jari?" Siu-lam berseru kaget.
Rupanya Kat Hong lebih berpikiran dewasa. Melihat kerut wajah Siu-lam bukan seperti
orang yang pura-pura, ia cepat maju merintangi adiknya yang hendak menyerang. Setelah
itu ia berkata kepada Siu-lam, "Benar, memang punggungmu tak terdapat luka apa-apa!"
Saat itu Lo Kun pun sudah menghampiri dan menghadang di tengah jalan. Serunya,
"Setiap hari aku biasa berburu burung meriwis, masakan burung meriwis mampu menutuk
mataku!" Dalam keadaan seperti saat itu sukar bagi Siu-lam untuk berbuat apa-apa. Segera ia
memakai baju lagi. Dengan mata berapi-api Kat Wi memandang Siu-lam, serunya, "Bukti sudah nyata, kau
mau bilang apa lagi?"
Cepat ia menyelinap dari belakang engkohnya dan menyambar lengan Siu-lam.
"Kau kelewat menghina orang!" Siu-lam berteriak seraya menghindar. "Apakah kau kira
aku takut padamu?" iapun balas memukul dada orang.
Kat Wi terpaksa menghindar. Ketika ia hendak membalas, Kat Hong cepat merintangi
dan berseru kepada Siu-lam, "Harap Pui-heng berhenti dulu, aku hendak bicara!"
Tetapi Lo Kun serupa pikirannya dengan Kat Wi. Teriaknya, "Separuh umurku
kugunakan berkelana di dunia persilatan. Masakan aku dapat keliru. Jelas orang itu
komplotan si nona baju merah. Asal dapat meringkusnya tentu dapat kita paksa supaya
menyembuhkan luka kita!"
Walaupun Siu-lam berusaha untuk meredakan suasana, tetapi menerima hinaan
semacam itu, ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Teriaknya, "Ayo, majulah kalian!" Ia
menutup kata-katanya dengan melayangkan tinju kepada Lo Kun.
Sambil menangkis Lo Kun membentaknya, "Buktikanlah apa tulangku yang tua ini
mampu menangkis pukulanmu?"
Sebenarnya Siu-lam sudah akan menarik pulang tangannya tetapi mendengar kata-kata
Lo Kun, bangkitlah amarahnya lagi. Diam-diam ia kerahkan tenaganya dan teruskan
pukulannya. Krek". Siu-lam tersurut mundur dua langkah. Lo Kun tertawa gelak-gelak. Maju
merapat lagi, ia menyerang lagi. Kali ini bahkan dengan kedua tangan".
Melihat Lo Kun menyerang hebat sehingga Siu-lam kelabakan, Kat Hong dan Kat Wi
cepat loncat ke samping mereka. Tetapi hati kedua saudara itu berlainan pandangannya.
Kat Wi menjaga jangan sampai Siu-lam lolos, kebalikannya Kat Hong menjaga apabila
pemuda itu sampai terancam ia siap membuatnya supaya lolos".
Pertempuran makin seru. Lo Kun makin menyerang gencar. Hanya karena terdorong
rasa marah maka Siu-lam dapat bertahan diri. Dua belas jurus kemudian, Siu-lam makin
payah. Tenaga lemas, badan menjadi keringatan, napas terengah-engah. Berapa jurus
lagi, dia pasti akan rubuh!
Melihat itu Kat Hong sibuk. Hendak terang-terangan melindungi pemuda itu, ia sungkan
kepada Lo Kun. Tengah ia gelisah mencari akal, sekonyong-konyong Lo Kun menjerit dan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur dua langkah. Tinjunya tak dapat digerakkan.
Siu-lam tak mensia-siakan kesempatan itu. Maju merapat, segera ia menjotos dada
lawan. Tetapi pada saat tinju hendak mengenai sasaran, tiba-tiba Siu-lam melihat wajah
orang tua lawannya itu menahan kesakitan, kepalanya basah mengalir keringat. Siu-lam
tarik pulang tinjunya menyurut mundur.
Lo Kun mulai meletuk terkulai ke tanah. Tangan kirinya menekan punggung dan
mulutnya mengerang-erang.
Melihat itu marahlah Kat Wi. Ia mengira Siu-lam yang menyebabkan Lo Kun rubuh.
Tanpa banyak bicara segera ia menyerang pemuda itu. Sekaligus ia lancarkan empat buah
serangan. "Adik Wi"!" Kat Hong memanggilnya.
"Jangan kuatir, engkoh. Aku seorang cukup untuk menghadapinya!" sahut Kat Wi yang
salah menafsirkan panggilan engkohnya.
Thian Hong cepat loncat menghampiri Lo Kun, "Lo-heng, terluka.?"
Thian Hong tak lanjutkan katanya. Ia ingat Lo Kun pun ditampar punggungnya oleh si
nona baju merah. Mungkin juga terlekat telapak jari si nona. Karena marah dan
menyerang Siu-lam, luka itu cepat sekali merekah.
Buru-buru Thian Hong merobek baju Lo Kun dan memeriksanya. Ah, benar, benar juga,
punggung jago tua itu juga terbekas telapak jari merah dan saat itu malah sudah
membengkak besar. Ketika diraba, luka itu panas rasanya. Diam-diam paderi itu menghela
napas. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu pukulan beracun yang sedemikian
aneh". Berpaling kepada keempat muridnya, tampak mereka masih duduk bersila. Wajahnya
menampil kesakitan dan muka basah keringat.
"Hai, berhentilah kalian bertempur. Aku hendak bicara!" cepat-cepat ia menyerukan
supaya Kat Wi dan Siu-lam berhenti.
Siu-lam cepat loncat mundur. Tetapi Kat Wi tetap merangsang hendak menyambar
lengan lawan. Kat Hong tak senang melihat tindakan adiknya yang melanggar peraturan
pertempuran. Orang sudah berhenti, dia mencuri kesempatan menyerang. Cepat-cepat Kat
Hong loncat menghampiri. Maksudnya hendak mencegah sang adik. Tetapi Siu-lam salah
mengerti. Dikiranya Kat Hong hendak membantu adiknya. Dengan seluruh sisa tenaganya
Siu-lam gunakan jurus Khui-long-poh-lam menyongsong Kat Hong. Sedang sikut kirinya
menyodok lambung Kat Wi. Karena marah Siu-lam telah gunakan seluruh tenaganya. Ia bersedia bertempur sampai
mati. Kat Hong kaget. Ia tak mengira Siu-lam akan menyerang dirinya. Karena serangan
dilakukan cepat sekali, tak mungkin ia menghindar. Terpaksa ia menangkis dengan tangan
kanan. Dua buah pukulan itu menimbulkan reaksi yang cukup hebat. Tinju Kat Hong tertahan
di tengah jalan karena terdampar angin pukulan Siu-lam. Tetapi Siu-lam pun tergetar
tangannya sehingga membentur tangan Kat Wi.
"Hm, kau sendiri yang cari sakit, jangan salahkan aku seorang kejam!" Kat Wi
mendengus dingin seraya mencengkeram siku lengan orang. Seketika Siu-lam rasakan
lemas, darah membalik ke atas melancar jantung. Dadanya hampir meledak.
"Menang karena mengeroyok, bukanlah"." belum selesai Siu-lam menghamburkan
makian tiba-tiba terdengar lengkingan seorang dara, "Cis, tak tahu malu, masakan dua
orang mengeroyok seorang!"
Sesosok tubuh melayang dari udara dan tahu-tahu Kat Wi lepaskan cengkeramannya
dan terpental mundur. Seorang dara kira-kira berumur lima belasan tahun, muncul di
muka Siu-lam. Rambut dara itu dikepang dua, pakaiannya dari kain kasar. Dengan wajah
marah, ia melindungi di depan Siu-lam.
Bermula Kat Wi mengira dirinya didorong oleh seorang sakti. Demi melihat pendatang
itu hanya seorang dara gunung, marahlah ia, "Budak liar, ayo lekas enyah kau!" ia maju
menghampiri. "Siapa yang kau maki?" dara itu melengking marah. Dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya, ia menyerang Kat Wi. Hanya dalam sekejap mata saja ia sudah lancarkan tiga
serangan kilat. Kat Wi dipaksa mundur beberapa langkah.
Sebenarnya Kat Hong hendak melindungi Siu-lam tetapi karena munculnya si dara yang
menyerang Kat Wi begitu deras, karena kuatir adiknya menderita, Kat Hong terpaksa
menampar punggung dara itu. Tetapi Siu-lam pun menguatirkan keselamatan si dara.
Begitu Kat Hong menampar, Siu-lam juga menyerang Kat Hong.
"Siapa suruh kau membantu aku" Lekas mundur!" Di luar dugaan dara itu berpaling
dan membentak Siu-lam. "Apa?" Siu-lam terhenyak.
Adalah karena membagi perhatian pada Siu-lam maka lengan dara itu tertepuk tangan
Kat Hong. Dara itu tertawa dingin. Cepat laksana kilat, ia tusukkan jarinya ke siku lengan
Kat Hong. Kat Hong terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.
"Hai, mengapa dia dapat bergerak luar biasa cepatnya!" diam-diam Kat Hong
mengagumi. Saat itu Kat Wi marah sekali. Cepat ia mencabut sepasang poan-koan-pitnya. Ilmu
ajaran dari ayahnya (Kat Thiat-beng) yang disebut Liu-sing-pit atau pit bintang meluncur
segera dimainkan. Ilmu totokan poan-koan-pit yang terdiri dari tiga puluh enam jurus itu
hebatnya bukan kepalang. Seketika tubuh Kat Wi seperti terbungkus oleh ribuan sinar
bintang. Liu-sing-pit merupakan kepandaian istimewa dari Kat Thian-beng. Jago itu mengambil
kelebihan-kelebihan dari berbagai ilmu, digabung dan disempurnakan sehingga kaya
dengan variasi. Jurus-jurus ilmu pedang, golok, tombak dan lain-lain, semua terdapat
dalam ilmu poan-koan-pit!
Kat Hong tak setuju melihat adiknya menghadapi seorang dara gunung dengan cara
begitu. Waktu ia hendak mencegah, tiba-tiba dara itu sudah maju menerjang hamburan
sinar pit. Dengan sepasang tangan kosong, dara itu menghadap sepasang poan-koan-pit!
Berselang lima jurus kemudian, sekonyong-konyong dara itu melengking. Sekali
balikkan tangan, ia dapat menangkap siku lengan kanan Kat Wi. Dan sekali disentakkan,
berhasillah ia merebut sebatang poan-koan-pit dari anak muda itu.
Indah dan luar biasa sekali gerakan dara itu. Kat Hong dan Siu-lam benar-benar tak
mengerti, ilmu apakah yang digunakan si dara untuk merebut poan-koan-pit Kat Wi itu.
Sebelum Kat Hong dan Siu-lam hilang cengangnya, tiba-tiba si dara melangkah maju
dan setelah menghalang poan-koan-pit di tangan kiri Kat Wi, si dara segera mengangkat
tangannya dan siap menusukkan poan-koan-pit rampasannya tadi ke dada lawan".
Tiba-tiba Kat Wi menjerit dan mundur dua langkah. Bluk, ia jatuh terduduk di tanah.
Poan-koan-pitnyapun jatuh ke tanah!
Melihat adiknya jatuh, marahlah Kat Hong. Karena teraling tubuh si dara, ia tak tahu
bagaimana adiknya sampai rubuh itu. Tetapi ia duga tentulah ditusuk si dara. Cepat ia
mencabut sepasang poan-koan-pitnya dan terus menyerang si dara. Sekaligus ia gunakan
jurus Hong-lui-ki-hwat atau badai dan halilintar menderu, menutuk punggung, kepala dan
pinggang si dara. Cepat dan dahsyatnya bukan main sehingga tak keburu lagi Siu-lam
hendak mencegah. "Awas, nona!" satu-satunya cara untuk membantu si dara hanyalah berseru
memperingatkannya. Sebenarnya teriakan Siu-lam itupun sudah dekat punggung si dara. Dan tampaknya si
dara masih acuh tak acuh. Begitu poan-koan-pit hampir menyentuh punggungnya barulah
ia membungkuk ke muka dan gerakkan sebelah kaki menyapu kaki lawan.
Gerak menghindar dan menyerang itu membuat Kat Hong terkejut. Buru-buru ia loncat
ke belakang. Cepat memang pemuda itu membuat reaksi, tetapi ternyata si dara lebih
cepat lagi. Sebelum tubuh pemuda itu melayang ke belakang, kaki si dara sudah
mendahului menyepak lututnya. Seketika Kat Hong rasakan separuh tubuhnya kaku.
Walaupun ia tak sampai rubuh tetapi ia tak mempunyai tenaga untuk menyerang lagi.
Dara itu melenting berputar diri, serunya, "Jika ayahku tak melarang sembarangan
melukai orang, kakimu tentu sudah kupatahkan!" Ia buang poan-koan-pit rampasan dari
Kat Wi ke tanah. Berputar tubuh terus ngeloyor pergi".
Sebagai seorang yang berpengalaman, seketika tahulah Thian Hong bahwa dara itu
seorang sakti. Percuma ia hendak mengejarnya. Dan yang penting dalam rombongannya harus ada
yang memimpin. Jika ia sampai kalah lagi dengan dara aneh itu, rombonganna pasti
berantakan ibarat sapu lidi tanpa pengikat. Dengan pertimbangan itu ia memutuskan
untuk tidak turun tangan.
Setelah beberapa tombak jauhnya, tiba-tiba dara gunung itu berpaling dan berseru, "Ih,
kenapa kau tak menyusul aku" Begitu aku sudah jauh, orang tentu akan mengganggumu
lagi!" Siu-lam gelagapan. Ikut salah, tidak ikut pun salah. Ia terlongong-longong. Akhirnya ia
menyusul dara itu. Walaupun betis kakinya terluka, namun Kat Hong masih memikirkan keadaan adiknya.
Dengan kerahkan tenaga ia loncat ke tempat adiknya, "Apakah lukamu parah?" Baru ia
mengucap begitu, tiba-tiba kaki kirinya terasa linu kesemutan dan tubuh terhuyunghuyung.
Buru-buru ia duduk. Kat Wi membuka mata dan menggeleng, "Bukan dara gunung itu yang melukai diriku!"
Thian Hong cepat lari menghampiri, tukasnya, "Oh, kemungkinan tentulah racun
pukulan dara baju merah itulah yang menyebabkan!" cepat ia membuka baju Kat Wi dan
memeriksanya. Pada punggung pemuda itu terdapat telapak jari merah. Sekelilingnya
membenjul biru. Kat Hong terkejut dan buru-buru suruh adiknya menyalurkan pernapasan, "Setelah kau
dapat menghentikan rasa sakit, segera aku kupanggul pulang. Mungkin ayah dapat
menolong!" Berkata paderi Thian Hong, "Kita semua terkena pukulan beracun dari dara baju merah
itu. Hanya karena keadaan badan dan latihan kita masing-masing berbeda maka
bekerjanya racun itupun berbeda juga waktunya. Sebenarnya berkat tenaga dalam yang
cukup kokoh, adikmu dapat bertahan lama. Tetapi karena bertempur tadi maka darah
mengalir lebih keras dan racun cepat bekerjanya," paderi itu diam sejenak menghela
napas. Katanya pula, "Terus terang, aku sendiri saat inipun agak mulai terasa sakit di
punggung. Mungkin racun sudah mulai bekerja. Sekalipun ayahmu mungkin dapat
menyembuhkan, tetapi jarak gunung Hun-tay-san amat jauh. Dalam waktu setengah hari
tidak mungkin dicapai. Apabila di tengah jalan racun dalam tubuhmupun bekerja, siapakah
yang akan menolong?"
Seperti disadarkan, Kat Hong segera menyalurkan darahnya. Ah, punggungnya juga
terasa kaku-kaku sakit. "Memang ucapan lo-cianpwe tepat. Tetapi apakah kita rela mati menunggu kematian
tanpa berdaya apa-apa?" bantahnya. Dan berpaling kepada adikya, tampak kepala Kat Wi
bercucuran keringat. Kat Hong makin bingung.
Thian Hong seorang paderi yang banyak pengalaman. Dalam menghadapi kesukaran
saat itu ia tetap bersikap tenang. Ujarnya sambil tersenyum, "Harap Kat-heng jangan
gelisah. Ijinkan aku memikirkan daya upaya!"
Menengadah ke atas, tampak deretan puncak gunung yang tertutup salju. Namun
paderi itu tak tertarik akan pemandangan alam yang sepermai itu. Tiba-tiba ia merogoh ke
dalam jubahnya dan mengeluarkan dua botol kumala. Dituangnya dua butir pil, serangkum
hawa wangi membaur semerbak.
"Ah, kalau pil ini dapat menyembuhkan luka Wan Kiu-gui dari racun Chit-jiau-soh,
mungkin dapat juga untuk menyembuhkan luka pukulan beracun dari dara baju merah.
Betapapun halnya, baiklah kucoba pada mereka," sejenak ia menimang lalu memberikan
kedua butir pil itu pada Lo Kun dan menyuruhnya minum.
Saat itu keadaan Lo Kun makin payah. Walau ia bersemedhi dan berjuang mati-matian
untuk menutup racun, namun tubuhnya tetap panas seperti terbakar. Keringat membanjir
seperti orang mandi. Antara sadar tak sadar, Lo Kun menyambut pil dan terus
menelannya. Dengan tegangnya, Thian Hong menunggu perkembangan Lo Kun. Dapat
tidaknya pil itu menyembuhkan racun pukulan si dara, tergantung dari percobaan pada Lo
Kun! Sepeminum teh lamanya, keringat Lo Kun mulai berkurang dan cahaya mukanya mulai
tenang. Girang Thian Hong bukan kepalang. Segera ia membagikan pil itu pada dua kakak
beradik Kat serta keempat muridnya. Setelah minum dan menyalurkan darah, keadaan
mereka tampak baik lagi. Sekarang kita ikuti dulu Siu-lam yang menyusul si dara gunung. Kira-kira empat li
jauhnya, tiba-tiba Siu-lam berhenti. Ia teringat akan penderitaan yang dialami sumoaynya.
Setiap detik terlambat, berarti setiap detik siksaan bagi sumoaynya itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, nona!" Ia berseru kepada dara gunung itu.
Tiba-tiba dara gunung itu berpaling dan menegur, "Ih, apakah kau lupa padaku?"
Sebenarnya Siu-lam samar-samar sudah ingat bahwa dara gunung itu adalah dara dari
warung makan yang pernah disinggahinya ketika ia hendak mendaki ke gunung Coh-yang
mencari Su Bo-tun tempo hari. Hanya karena tak tahu siapa namanya, maka tak dapatlah
Siu-lam memanggil. Buru-buru ia memberi hormat, "Masakan aku lupa akan pertolongan
nona yang telah memberi makan padaku tempo bulan yang lalu. Karena tak tahu"."
"Benar," tukas si dara gunung, "memang saat itu aku tak memberitahukan siapa
namaku. Nah, dengarlah. Aku orang she Tan?" tiba-tiba dara itu tersipu-sipu merah
mukanya. Ia teringat dirinya seorang anak perawan masakan tak sungkan
memberitahukan nama kepada seorang pemuda.
"O, kiranya nona Tan. Aku bernama Pui Siu-lam," Siu-lam memberi hormat.
Tiba-tiba dara itu menghela napas, "Ah, kakekkupun datang!" Nadanya penuh
kerawanan disertai dengan kerut wajah yang muram.
Siu-lam terkesiap heran, ujarnya, "Kakek nona tentu seorang cianpwe sakti yang
terpendam. Sungguh suatu kebahagiaan apabila aku dapat berjumpa!"
Dara itu menghela napas, "Penyakit lama kakekku baru-baru ini kambuh lagi. Sudah
tiga hari tiga malam beliau tak sadar. Di tengah gunung sunyi ini sebagai dara aku harus
menghadapi peristiwa begini," bercucuran air mata dara itu.
"Harap nona jangan bersedih. Orang baik tentu diberkahi Tuhan," Siu-lam menghibur.
"Ah, tetapi kakek mungkin tak dapat hidup lagi," kata si dara dengan rawan.
Siu-lam tertegun, ujarnya, "Aku membawa beberapa macam pil mujijat dari Ti-ki-cu
Gan Leng-po. Mungkin dapat menyembuhkan kakek nona!"
Si dara menggeleng, "Dalam hal ilmu pengobatan, kakek tiada tandingannya. Penyakita
yang betapa beratpun dapat disembuhkan. Kali ini dia tak dapat menyembuhkan lukanya
sendiri, terang kalau sudah tiada harapan. Sekalipun tabib Hoa To yang termasyhur hidup
lagi, tetap takkan dapat menolongnya!"
Habis berkata dara itu lalu berjalan perlahan-lahan.
Siu-lam tertegun. Ia teringat beberapa kali telah mendapat pertolongan. Bagaimana ia
dapat membiarkan dara itu pergi seorang diri dalam kesusahan" Dan sekurang-kurangnya
ia haturkan terima kasih pada dara itu. Segera ia mengikutinya.
Setelah menikung dua buah tikungan, tibalah mereka di sebuah karang tinggi. Si dara
memandang ke atas karang, serunya, "Kakek tinggal di goha puncak karang itu!" tiba-tiba
ia loncat melambung dan berjumpalitan di udara, lalu melayang ke puncak karang.
Siu-lam menimang-nimang. Puncak karang itu tidak kurang dari dua tombak lebih
tingginya. Sekalipun ia kerahkan seluruh ilmu ginkangnya, tak mungkin ia mampu
mencapai puncak karang itu. Karena itu melandai tinggi, tiada terdapat lekuk atau
benjolan yang dapat dibuat memanjat. Siu-lam kesima.
Rupanya dara itu tahu apa yang diresahkan si anak muda. Segera ia melolos ikat
pinggang dan menjulurkan ke bawah, "Loncat dan peganglah ujung ikat pinggang, biar
kutarik kau ke atas!"
Walau malu hati, tetapi Siu-lam terpaksa menurut juga. Setelah berhasil menarik
pemuda itu ke atas dan memakai ikat pinggangnya lagi, si dara mengatakan kakeknya
tinggal di dalam goha di sebelah muka. Dara itupun lalu berjalan menuju ke goha itu.
Memang Siu-lam melihat di hadapannya terdapat sebuah goa, kecil dan besar. Seorang
tua bungkuk dan jenggotnya putih, tengah berbaring di atas tumpukan rumput kering.
"Kek, ada tetamu hendak menjengukmu!" si dara berlutut di sisi orang tua itu dan
memanggilnya beberapa kali. Tetapi rupanya orang tua itu tidak mendengar. Bahkan
tubuhnyapun tak berkutik sama sekali.
"Biarkan dia tidur, tidak usah dibangunkan," kata Siu-lam. Rupanya si dara mau
mendengarkan perintah Siu-lam. Ia duduk memeluk lutut dan air matanya bercucuran
memandang keadaan sang kakek".
Suasana dalam ruang goa sunyi senyap. Siu-lam tak tahu bagaimana harus menghibur
dara itu. Diam-diam ia heran. Orang tua itu tentulah seorang tokoh yang berilmu sakti.
Mengapa berada dalam tempat semacam itu" Apakah penyakit yang diidapnya"
Tiba-tiba orang tua itu menghela napas dan bangun. "Song-ji, kau menangis lagi?"
serunya kepada si dara yang sesenggukan.
Buru-buru si dara mengusap matanya dan menggantinya dengan tertawa, "Tidak, kek.
Aku tidak menangis."
Namun betapapun dara itu berusaha untuk menutupi kesedihannya, tetap makin
menambah suasana kedukaan saat itu.
Kakek bungkuk itu menggelengkan kepala, "Telah kukatakan padamu beberapa kali.
Saat ini kau sedang berlatih lwekang Hian-shian-ginkang. Di antara dua belas jalan
darahmu ada jalan darah terakhirmu yang belum terbuka yakni jalan darah Seng-si-hiankwan.
Justeru inilah yang paling penting. Dapat tidaknya latihan itu selesai, tergantung
dari dapat tidaknya Sang-si-hian-kwanmu tertembus. Lukaku yang lama kambuh lagi,
racun sudah menjalar ke seluruh tubuhku. Sekalipun mendapat pil dewa, tak mungkin
dapat menolong jiwaku."
Katanya lagi, "Tenaga murni sudah habis. Aku sudah seperti pelita kehabisan minyak.
Kuda Binal Kasmaran 1 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Kisah Sepasang Rajawali 1

Cari Blog Ini