Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis 9

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 9


seperti setan jejadian. Merekalah yang membawa alat-alat tetabuhan yang mengalun lagu
sedih itu! Melihat itu Hian-song berkata kepada Siu-lam, "Engkoh Lam, mengapa manusiamanusia
itu mengerikan wujudnya" Apakah mereka sengaja berdandan begitu atau
memang aslinya begitu?"
"Mana di dalam dunia terdapat setan" Mereka tentu manusia-manusia biasa yang
menyaru," jawab Siu-lam.
Sebenarnya agak takut juga Hian-song, tetapi setelah mendengar keterangan Siu-lam,
nyalinya jadi besar lagi.
Rombongan manusia-manusia aneh itu makin lama makin mendekati. Ternyata di
belakang rombongan manusia setan itu tampak juga sebuah rombongan lain. Terdiri dari
delapan wanita berpakaian serba putih, mengurai rambut, berkaki telanjang dan
menggotong sebuah tandu berwarna hijau".
Berbeda dengan rombongan setan yang dipimpin kedua manusia tinggi besar tadi,
kedelapan wanita baju putih itu berparas cantik.
Tiba-tiba music tadipun berhenti. Rombongan manusia setan cepat-cepat menyiak ke
samping memberi jalan pada rombongan perempuan baju putih.
Su Bo-tun mendengus, "Hm, apa perlunya mereka mengeluarkan barisan setan"
Apakah mereka hendak membikin takut kita?"
Rombongan penandu perempuan itupun makin dekat ke tempat rombongan orang
gagah. Setelah meletakkan tandu, mereka mundur beberapa langkah dan tegak berjajarjajar
di belakang tandu. Sedang barisan manusia setan di belakang mereka kira-kira dua
tombak jauhnya. Setelah menyebut kata-kata omitohud, berserulah Tay Hong, "Apakah yang di dalam
tandu ini ketua Beng-gak" Loni dan rombongan adalah tetamu-tetamu yang memenuhi
undangan. Harap gakcu (ketua) jangan memberi penyambutan dengan cara yang seram!"
Tetapi sampai diulang beberapa kali, tetap tiada jawaban dari dalam tandu itu. Baik
kedelapan perempuan cantik maupun rombongan manusia setan, mereka tetap membisu.
Betapapun sabarnya, akhirnya Tay Hong tak dapat menahan perasaannya lagi. Sekali ia
acungkan tangan maka kedelapan belas paderi jubah kuning segera tampil menghampiri.
Dengan mencekal tongkat merekapun segera menghampiri ke tempat tandu.
Kedelapan perempuan cantik itu cepat merogoh ke dalam bajunya dan mengeluarkan
golok bian-to yang tipis.
Siau Yau-cu kerutkan alis dan berbisik kepada Tay Hong, "Golok kedelapan wanita itu
tajam sekali. Sebaiknya jangan sampai beradu dengan senjata mereka."
Berserulah Tay Hong dengan nyaring, "Karena gakcu yang mengundang kami,
mengapa sekarang tak mau keluar bertemu muka" Jika gakcu tetap bersikap begitu, maaf
terpaksa loni akan bertindak melanggar aturan"."
Belum selesai ketua Siau-lim-si itu mengucap, terdengarlah suara ketawa melengking
nyaring macam bunyi kelinting dari dalam tandu, "Tak kira kalau kalian datang lebih pagi
dari waktu undangannya. Karena tak keburu mengadakan persiapan maka sampai
membuat kalian menunggu lama."
Nadanya lemah lembut dan tenang. Selesai ucapan itu, layar penutup kelambu
tersingkap perlahan-lahan dan seorang wanita yang mengenakan pakaian seperti seorang
pertapa perlahan-lahan keluar dari tandu.
Ratusan mata dari rombongan orang gagah yang hadir di tempat itu, segera tercurah
ke arah wanita itu. Wajah wanita itu kekuning-kuningan. Alisnya tebal dan mulutnya lebar. Sekilas
merupakan raut wajah yang tak sedap dipandang. Tubuhnya langsing, tangannya putih
seperti salju. Jika tak melihat wajahnya dan hanya memandang potongan tubuhnya
tentulah mengira kalau wanita itu cantik.
Tay Hong berpaling dan berkata perlahan kepada Siau Yau-cu, "Kenalkah Siau-heng
kepada wanita itu?" Jawab jago tua Bu-tong-pay itu, "Dahulu ketika bertempur dengan wanita itu, dia
mengenakan kain kerudung muka hitam sehingga tak kelihatan wajahnya. Tak ingat lagi
bagaimana rupanya. Tetapi aku terluka aku berhasil menyingkap kain kerudungnya dan
seingatku wajahnya tidak begitu."
Tiba-tiba Su Bo-tun mendengus, "Sekalipun kau memakai topeng kulit manusia, tak
nanti dapat mengelabui mataku!"
Tiba-tiba wanita itu mengusap mukanya dan tertawa, "Benar, memang aku memakai
topeng kulit manusia. Tetapi begitu kalian melihat wajahku yang asli, hari kematian kalian
tentu sudah dekat!" Begitu tangan wanita itu mengusap mukanya, maka wajah yang kuning emas segera
berganti dengan wajah yang merah segar".
Diam-diam Tay Hong membatin, "Hm, entah berapa lembar topeng kulit yang
dipakainya. Mengapa wajahnya bisa berubah menjadi merah."
Terdengar wanita misterius itu tertawa pula.
"Tuan-tuan adalah tetamu dari jauh. Sekalipun datang kemari hendak mengantar
kematian, tetapi sebagai tuan rumah akupun harus menyambut dengan baik, kemudian
baru turun tangan!" Ia menutup kata-katanya dengan guratkan tangannya ke udara dan serentak suara
musikpun terdengar lagi. Begitu musik berbunyi, dari gerumbul pohon bunga muncul sekelompok manusiamanusia
aneh yang wajah dan pakaiannya bermacam-macam warnanya. Mereka masingmasing
membawa dua buah kursi dan meja. Dalam sekejap saja, di tengah padang bunga
itu telah disiapkan berpuluh meja perjamuan. Menyusul dengan itu, muncul pula pelayanpelayan
yang membawa hidangan. Kira-kira sepeminum teh lamanya, meja-mejapun
sudah penuh dengan hidangan dan minuman.
Wanita berpakain pertapaan itu segera memberi hormat seraya tertawa, "Silahkan
tuan-tuan minum arak Ciu-hun-ciu. Perjalanan kea lam baka jauh sekali, jangan sampai
saudara-saudara kelaparan di tengah jalan!"
Sejenak Tay Hong memandang kepada rombongannya dan diam-diam ia berpikir.
Mengapa munculnya rombongan pelayan itu tak dapat diketahui sama sekali. Begitu pula
hidangan itu entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah dibawa kabur. Dan ketika
memandang ke arah padang bunga, ternyata rombongan manusia-manusia berpakaian
aneh yang membawa hidangan tadi, sudah tak tampak lagi bayangannya".
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh lengking oleh tertawa dari si wanita berbaju pertapaan,
"Silahkan tuan duduk seenaknya!" kemudian wanita itu mendahului mengambil tempat di
kursi. Siau Yau-cu berbisik kepada Tay Hong, "Baik kita menuruti permintaannya dulu. Nanti
setelah tanyakan apa maksudnya mengundang kita, barulah kita mengambil tindakan lebih
lanjut. Sekalipun arak dan makanan mereka dicampuri racun, tak nanti dapat mencelakai
kita." Diam-diam Tay Hong menimang. Ia tak tahu apakah wanita itu benar-benar ketua
Beng-gak atau bukan. Ia setuju dengan pendapat Siau Yau-cu.
"Siau-heng benar," katanya. Kemudian ia mengacungkan tangan dan berseru nyaring,
"Saudara-saudara boleh masuk dalam perjamuan tetapi jangan makan dan minum."
Habis berkata ia terus mengambil tempat duduk berhadapan dengan wanita itu. Siau
Yau-cu pun duduk di sebelah Tay Hong.
Su Bo-tun memandang ke arah Sam-kiam-it-pit Tio Hon Leng, Ngo Cong-han, Kui-sintuihun Kau Cin-hong, dan paderi Thian-hong. Kemudian orang she Su itu berkata dengan
perlahan, "Lebih baik kita duduk di meja yang di tengah itu!"
Keenam orang itu mengerti maksud Su Bo-tun. Mereka segera mengambil tempat
duduk di tengah dan dengan diam-diam telah membentuk barisan Chit-sing-tun-heng-tinhwat
mengepung si wanita. Demikian sekalian rombongan orang gagah segera mengambil tempat duduk. Meja
dengan diduduki sepuluh orang. Selain wanita yang mengenakan pakaian pertapa itu,
yang Sembilan orang adalah rombongan tetamu. Sedang kedelapan gadis berpakaian
putih yang menguasai rambut tadi, sambil bersiap dengan golok bian-to di tangan, tegak
berjajar di belakang wanita berpakaian pertapa.
Rombongan manusia aneh yang berwajah seperti setan tadi, masih tetap berdiri di
tempatnya semula. Perjamuan itu tampak aneh. Sekian banyak tetamu hanya ditemui oleh seorang dari
pihak tuan rumah. Tiba-tiba wanita berpakaian pertapa itu berbangkit seraya mengangkat cawan arak,
"Saudara-saudara telah jauh memerlukan datang untuk memenuhi undangan pesta maut.
Sungguh pantas dikagumi. Maka sebagai selamat datang, marilah kita teguk cawan
araknya." Tetapi sekalian tetamu diam saja. Tiada seorangpun yang menyambuti ajakan wanita
itu. Tay Hong siansu memberi hormat seraya bertanya, "Undangan gak-cu kepada kami,
sesungguhnya bermaksud apa" Harap gak-cu sudi menjelaskan!"
Wanita itu tertawa longgar, "Eh, bukankah telah kulakukan" Cawan pertama tadi adalah
selaku hatur terima kasih bahwa kalian telah sudi memenuhi undangan untuk hadir dalam
pesta maut ini"."
Tiba-tiba Su Bo-tun menekan cawan araknya. Cawan itupun ambles masuk ke dalam.
Kemudian berseru dingin, "Ah, belum tentu. Jika tak percaya, silahkan gak-cu segera turun
tangan." Wanita berpakaian pertapa itu tertawa mengekeh, "Kalian lebih dulu sudah terkena
racun. Maka tak perlu harus turun tangan, kalian tak mungkin hidup lebih lama dari dua
belas jam lagi!" Mendengar itu terkejutlah sekalian orang gagah. Buru-buru mereka menyalurkan napas
untuk mengetahui apakah kata-kata wanita itu benar.
Melihat sekalian tetamunya ketakutan, wanita itu tersenyum simpul. Tiba-tiba ia
mengusap mukanya lagi dan serentak dengan itu wajahnya yang berwarna merah segar
tadi, tiba-tiba berubah menjadi hitam legam. Karena tersenyum maka tampaklah deretan
giginya yang putih. "Racun yang menyusup ke tubuh saudara memang tiada berwarna dan tiada berbau.
Tetapi ganasnya bukan kepalang. Kecuali ramuan obat yang kubuat, di dunia tak mungkin
terdapat obat yang dapat menolong jiwa kalian?" kata wanita itu.
Karena dapatkan pernapasan tak kurang suatu apa, Kau Cin-hong marah dan
membentaknya, "Jangan ngaco-belo jual gertakan kosong!"
Habis berkata jago she Kau itu segera berbangkit lalu diikuti oleh Ngo Cong-han, Ngo
Cong-gi, Kat Thian-beng, Tio Hong-kwat dan Thian Hong totiang. Mereka siap hendak
menyerang. Wanita aneh yang berpakaian pertapa itupun tertawa tawar. Seolah-olah ia tak
mengacuhkan sikap keenam orang pemberingas itu.
"Kalau kalian tak percaya, silahkan coba menyedot napas yang panjang. Tentu kalian
merasakan agak berbeda dengan biasanya!"
Kau Cin-hong menurut. Ia menyedot napas panjang. Ia membau bau bunga yang
wangi, lain tidak. Saking marahnya Kau Cin-hong segera lontarkan sebuah hantaman
kepada wanita itu, "Jangan coba menggertak kami dengan segala ocehan kosong!"
Wanita itu diam saja. Ia tak mau menghindar maupun menangkis. Tampaknya ia
membiarkan dirinya dipukul.
Kau Cin-hong menjadi kelabakan sendiri. Karena orang diam saja, ia mengurangi
tenaga pada pukulannya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika tinju mengenai tubuh wanita itu, terasa seperti
membentur segumpal pakis atau lumut yang licin sekali. Tinju menggelincir ke samping.
Untunglah Kau Cin-hong tadi sudah mengurangi tenaga pukulannya. Kalau tidak orang
tentu terbawa oleh tinjunya yang menggelincir ke samping itu.
Melihat peristiwa itu, kagum Ngo Cong-han bukan kepalang. Dengan menggembor
keras, iapun lontarkan sebuah pukulan keras. Dia duduk paling dekat dengan wanita itu.
Maka pukulannya diarahkan pada jalan darah di punggung orang.
Tetapi wanita berpakaian pertapa itu tetap tak mengacuhkan dan tertawa kepada Tay
Hong siansu, "Bagi kalian hanya terbuka dua buah jalan. Jalan hidup atau jalan mati".."
Tiba-tiba Ngo Cong-han mendengus tertahan dan tahu-tahu tubuh ke samping. Melihat
itu buru-buru Su Bo-tun mengangkat tangan kanan dan melepaskan tenaga dalam untuk
menyanggah tubuh Ngo Cong-han. Siau Yau-cu pun tak kurang sigapnya. Ia ulurkan
tangan menyalurkan napas!
Tay Hong bertanya dengan nada dingin, "Kalau jalan hidup itu bagaimana" Kalau jalan
matipun bagaimana?" Wanita berpakain pertapa kembali tersenyum lalu menyahut, "Jika ingin hidup, harus
segera mengangkat sumpah berat. Bahwa sejak hari ini kalian harus menurut segala
perintahku. Tak boleh membantah. Tetapi jika menghendaki jalan mati, itupun malah lebih
mudah. Asal kuperintahkan membunyikan lagu mengantar kematian, racun dalam tubuh
kalian tentu segera bekerja. Tak seorangpun dari rombongan kalian yang dapat melihat
matahari esok pagi!"
Mendengar nada wanita itu tampaknya bersungguh-sungguh, diam-diam Tay Hong
menimang, "Ditilik dari kesungguhan bicaranya, kemungkinan rombonganku memang
telah keracunan. Tetapi setelah melangkah masuk ke dalam lembah Coat-beng-koh tadi,
tak ada anggota rombongan yang minum air walaupun hanya setitik saja. Aneh, mengapa
dia mengatakan aku dan rombongan terkena racun?"
Maka berserulah ia dengan tersenyum, "Loni benar-benar tak mengerti ucapan gak-cu
tadi. Sejak memasuki lembah ini, tak setitik air yang diminum rombongan loni. Entah
bagaimana bisa keracunan?"
Su Bo-tun kerutkan dahi dan berseru juga, "Karena datang menghadiri undangan gakcu,
tentang soal mati-hidup sudah tak kami hiraukan lagi. Terkena racun atau tidak,
takkan kami pikirkan sama sekali"."
Tiba-tiba ketua Bu-tong-pay dari imam Sin Cong menyeletuk, "Lebih baik segera kita
mulai bertanding saja agar diketahui siapa yang menang atau kalah!"
Sekalian orang gagah serempak berbangkit dan teganglah suasana saat itu.
Wanita pertapa itu mengusap mukanya lagi. Seri wajahnya yang berwarna hitam tibatiba
berubah menjadi biru muda. Dan dengan tertawa seram berserulah ia, "Karena kalian
ingin buru-buru turun tangan, baiklah! Tetapi apakah kalian hendak maju serempak atau
satu persatu?" Ringan kedengarannya suara tertawa wanita itu, tetapi sesungguhnya telah menembus
ke dalam telinga sekalian orang seperti jarum yang menusuk. Kecuali Tay Hong siansu dan
beberapa tokoh sakti, lain-lain orang yang mendengar tertawa itu, hatinya tergetar keras.
Apalagi kalau melihat wajah si wanita yang seram, mungkin orang biasa tentu sudah
melarikan diri. Beberapa tokoh yang sudah siap menyerang tadi begitu mendengar tantangan si
wanita, malah terkesiap dan tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah hening beberapa jenak, Su Bo-tun berseru dingin, "Undanganmu kepada
sekalian orang gagah itu, jelas bermaksud memandang rendah. Aku"."
"Aku bersedia menjadi orang pertama yang hendak menguji kepandaian orang yang
dijuluki sebagai tokoh nomor satu di dunia persilatan!" tiba-tiba sebuah suara telah
mendahului Su Bo-tun. Ketika sekalian orang berpaling, ternyata yang bicara itu adalah si jago gemuk dari
Tibet. Pek Co-gi, jago Tibet yang bergelar Bu-ing-sin-kun perlahan-lahan melangkah maju.
Wanita berpakaian pertapa itu tertawa melengking, "Mendengar kata-katamu, agaknya
kau ini bukan orang yang menerima undanganku"."
"Benar, aku memang datang dari Segak dan tak menerima undanganmu. Aku hanya
kepingin menyaksikan kesaktianmu"."
Kembali wanita itu tertawa mengekeh, "Bagus! Sungguh kebetulan sekali kau datang
sendiri sehingga aku tak perlu mencari jauh-jauh"."
Pek Co-gi tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat dan menampar, "Cobalah dulu
pukulanku Bu-ing-sin-kun ini!"
Wanita itu heran mengapa tak terdengar desis angin pukulan jago Tibet itu. Tetapi
keheranannya itu segera terjawab ketika tahu-tahu dadanya terlanda tenaga dahsyat.
Tubuhnya berguncang keras sehingga tak dapat berdiri tegak. Setelah bahunya
bergoyang-goyang beberapa kali barulah ia dapat berdiri tegak lagi.
Mendapat hasil, Pek Co-gi tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan kedua tangannya
ia lepaskan beberapa pukulan.
Tiba-tiba wanita itu mengacungkan tangan ke atas. Manusia-manusia aneh yang berada
di belakangnya segera membunyikan alat-alat tetabuhannya dan seketika terdengarlah
suara music yang menusuk telinga. Dan serempak dengan itu, wanita itupun mulai
goyang-goyangkan lengan bajunya dan menari.
Wanita itu menari tetapi tari bukan sembarang tari. Dari gerak lengan bajunya itu
berhamburanlah tenaga lwekang lunak yang sakti. Bukan saja tenaga pukulan Pek Co-gi
terhapus, pun dapat memantulkan tenaga membal yang melanda kepada jago Tibet itu.
Bermula Pek Co-gi hanya merasakan tenaga pukulannya terpental balik, tetapi makin
lama makin terasa dahsyat".
Diam-diam Su Bo-tun memperhatikan perkembangan itu. Dilihatnya Pek Co-gi makin
tak tahan. Segera ia berbangkit dan mulai mengambil posisi sebagai penggerak (kepala)
barisan Chit-sing-tun-heng-tin-hwat.
Melihat Su Bo-tun bertindak, maka Tio Hong-swat, Ngo Cong-han, Kat Thian-beng, Kau
Cin-hong dan Thian Hong totiang serta Ngo Cong-gi yang sudah beristirahat tadi
berbangkit dan mengambil posisi masing-masing. Mereka bergerak cepat sekali. Dalam
sekejap mata sudah terbentulah barisan Chit-sing-tun-heng-tin itu. Wanita itu dikepung di
tengah-tengah. Tiba-tiba wanita itu taburkan kedua tangannya. Setelah berhasil mengundurkan Pek Cogi,
sekonyong-konyong ia loncat mundur dan menyelundup ke dalam gerumbul pohon
bunga. Kedelapan gadis baju putih dan rombongan manusia aneh penabuh music, segera
mengikuti di belakang wanita itu. Mereka menyelinap ke dalam gerumbul bumi.
"Lo-siansu, mari kita kejar!" seru Su Bo-tun kepada Tay Hong seraya mendahului loncat
ke muka. Sebagai seorang ketua sebuah partai persilatan yang besar, sudah tentu Tay Hong
harus menjaga diri. Setelah merenung sejenak, barulah ia menyetujui ajakan Su Bo-tun


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Tetapi pada saat itu, Su Bo-tun dan rombongan wanita berpakaian pertapa tadi, sudah
lenyap ke dalam gerumbul pohon bunga. Dan ketika berpaling ke belakang, ternyata si
nona baju biru dan Bwe Hong-swat pun sudah tak tampak lagi.
Siau Yau-cu menyambut pedangnya dan berseru, "Dikuatirkan Su-heng terpancing
siasat wanita siluman itu. Ayo, kita lekas menyusulnya!"
Rombongan orang gagah segera bergerak maju. Sambil berjalan mereka bolangbalingkan
senjatanya membabati pohon-pohon bunga yang tumbur di kedua tepi jalan.
Terdengar gemuruh pohon-pohon yang tumbang dan daun-daun yang berhamburan
kemana-mana. Padang bunga itu ternyata cukup luas. Setelah pohon-pohon bunga dibabati, mereka
melihat padang bunga itu makin menurun. Agaknya seperti sebuah lereng gunung yang
melandai ke bawah. Siau Yau-cu memperhatikan keadaan di sekeliling. Dilihatnya sebuah karang yang
menjulang tinggi sekali hingga mencapai ketinggian beratus tombak. Sebuah karang yang
tak mungkin dicapai sekalipun orang memiliki ilmu ginkang yang sakti.
Diam-diam Siau Yau-cu memperhitungkan.
Jika wanita siluman itu benar-benar telah berada di karang tinggi yang puncaknya
tertutup kabut tebal itu, jelas Su Bo-tun tentu tak berhasil menyusulnya. Maka satusatunya
jalan hanyalah harus melintasi gerumbul pohon yang terbentang di sebelah muka
itu. Dalam pada itu, Siau Yau-cu dan rombongannya telah tiba di ujung penghabisan dari
gerumbul pohon bunga. Dan keadaan di sini tiba-tiba berubah. Karang-karang yang
belasan tombak tingginya, berjajar mengeliling lamping gunung. Merupakan sebuah
lembah batu yang sempit memanjang. Tetapi mulut lembah batu itu hanya cukup dimasuki
dua orang. Dinding lembah licin dan melandai runcing sehingga sukar untuk dipanjat.
Siau Yau-cu berhenti dan berpaling, serunya, "Selain ganas, siluman perempuan itu
ternyata cerdik sekali. Lembah yang memang menyeramkan keadaannya ini telah
dibangun lagi menjadi sebuah tempat yang berbahaya. Kita yang tak kenal keadaan di
tempat ini, tentu akan menderita kerugian. Kanan kiri tempat ini merupakan jalan buntu
dan satu-satunya jalan hanya lembah batu yang sempit itu. Rupanya Su-heng telah dipikat
perempuan siluman itu agar masuk ke dalam lembah."
"Apa boleh buat, marilah kita masuk ke lembah ini," sahut Tay Hong.
Tiba-tiba dari salah sebuah ujung lembah, muncul dua orang bertubuh tinggi besar dan
berpakaian serba putih. Mereka masing-masing mencekal tongkat gok-tong-pang. Dengan
langkah bergoyang-gontai mereka melangkah keluar.
Siau Yau-cu berbisik-bisik, "Kedua orang itu adalah pelopor jalan ketika si perempuan
siluman hendak muncul tadi. Terang kalau perempuan siluman itu berada dalam lembah
ini. Dan Su-heng kebanyakan tentu sudah masuk. Sebaiknya kita lekas menyerbu masuk."
Tay Hong menimang. Menilik sempitnya lembah, lebih baik hanya beberapa orang saja
yang masuk. Kalau kebanyakan orang, malahan tak leluasa.
Kemudian ketua Siau-lim-si itu berkata kepada sekalian orang gagah, "Dalam lembah
sempit ini kemungkinan musuh tentu menyembunyikan barisan yang kuat. Harap saudarasaudara
menunggu di luar sini dulu. Biarlah loni dahulu yang masuk meninjau ke dalam."
Dengan pedang di tangan, Siau Yau-cu segera melangkah masuk ke dalam lembah.
Melihat itu, kedua lelaki tinggi besar tadi segera percepat langkahnya untuk
menyambut. Sedang Tay Hong yang menyusul Siau Yau-cu segera membisiki jago tua dari
Bu-tong-pay itu, "Harap Siau-heng mundur dulu. Rupanya tongkat kedua orang itu berat
sekali. Di dalam lembah tak leluasa bertempur, biarlah loni yang menghadapi mereka!"
Karena mengetahui ketua Siau-lim-si itu memang memiliki tenaga yang dahsyat, maka
Siau Yau-cu pun segera menyingkir ke samping memberi jalan.
Tay Hong segera maju. Baru ia melewati Siau Yau-cu, kedua orang tinggi besar itupun
sudah tiba di hadapannya. Salah seorang yang di sebelah kiri mendengus dingin dan tahutahu
tongkat segera menghantam ke dada Tay Hong dengan jurus Tay-san-ya-ting atau
gunung Tay-san menindih puncak.
Tongkat pertapaan atau siang-ciang yang dibawa Tay Hong itu hampir dua meter
panjangnya. Untuk dibuat bertempur dalam lembah yang sesempit itu, terang tak leluasa.
Maka Tay Hong segera mengganti caranya mencekal. Ia mencekal di bagian tengah
tongkat itu sehingga seperti orang memakai toya pendek. Dengan memutar-mutar tongkat
ia melawan kedua orang tinggi besar itu.
Tring tring" terjadilah benturan keras antara tiga batang tongkat. Diam-diam Tay Hong
terkejut atas tenaga lawannya yang dapat menahan tongkatnya.
Jilid 17 TIBA-TIBA dari belakang kedua orang tinggi besar itu terdengar suara orang
melengking, "Sudahlah, jangan bertempur, berhentilah!"
Kedua orang tinggi besar itu menurut perintah. Mereka menarik tongkat dan tegak
berdiri di samping. Seorang nona baju biru yang membawa senjata aneh macam tanduk rusa, muncul di
hadapan kedua orang tinggi besar. Dengan wajah berseri tawa, berserulah nona itu,
"Paderi tua dan kau Tok-gan-kui (Setan mata satu yakni Siau Yau-cu), dengarlah aku
hendak bicara"."
"Apa maksudmu?" tegur Siau Yau-cu.
"Lembah ini sempit sekali. Jika tak biasa bertempur di sini, tentu tak dapat
mengembangkan kepandaiannya"."
Diam-diam Siau Yau-cu membenarkan kata-kata nona itu. Namun ia menyahut dingin,
"Apakah maksud nona?"
Jawab nona baju biru itu, "Meskipun tuan berdua sakti, tetapi sukar rasanya untuk
melintasi hadangan-hadangan dalam lembah ini."
"Hm, hendaknya nona jangan bicara berputar-putar," dengus Siau Yau-cu, "harap lekas
katakan apa maksud nona!"
Nona baju biru itu tertawa, "Jika tuan berdua hendak melintasi jalanan ini, harap
mundur dan kembali ke tempat semula dulu. Setelah kami bertiga menyeberang keluar,
barulah tuan berdua masuk ke dalam lembah"."
Ah, kiranya berputar-putar sampai sekian lama, nona itu hanya menghendaki kedua
tokoh itu mundur keluar lembah.
Siau Yau-cu tertawa hambar, "Ah, lebih baik nona saja yang mundur kembali dan kami
yang melintasi lebih dulu!"
"Omitohud!" tiba-tiba Tay Hong berseru, "Hud-co ampunilah murid hendak membuka
pantangan membunuh!"
Dengan kerahkan tenaga lwekang, ia melangkah ke muka. Tongkatnya tiba-tiba
bergerak dalam jurus Tit-to-ui-liong (luruk menjolok naga kuning), menusuk ke arah salah
seorang lelaki tinggi yang berdiri menyambar karang gunung sebelah kiri.
Orang tinggi besar itu cepat-cepat gerakkan tongkat gok-song-pangnya untuk
menghantam tongkat orang.
Tay Hong adalah ketua Siau-lim-si. Dia sebenarnya memiliki kepandaian sakti dan
lwekang yang tinggi. Tetapi sebagai seorang paderi yang saleh, ia selalu bermurah hati
dan menjunjung perikemanusian. Tetapi saat itu karena mencemaskan keselamatan Su
Bo-tun, maka ia bertindak keras.
Tring, tangkisan orang tinggi besar itu tak mampu menghalang tongkat Tay Hong.
Ujung tongkat ketua Siau-lim-si tetap langsung menusuk lambung si tinggi besar. Huak"
mulutnya muntah darah dan orangnya terpental beberapa meter di belakang si nona baju
biru! Seumur hidup jarang Tay Hong turun tangan seganas itu. Bahwa sekali gerak ia
membinasakan jiwa si tinggi besar, paderi Siau-lim-si itu terkesiap sendiri dan buru-buru
mengucap omitohud. Serunya, "Jika kalian berdua tetap tak mau menyingkir, jangan
salahkan loni berlaku ganas!"
Ucapan itu ditutup dengan tusukan ujung tongkat kepada si tinggi besar yang berada di
sebelah kanan. Hanya saja, kali ini ia cuma gunakan separoh tenaganya.
"Lembah ini memang sempit tetapi tak ada barisan terpendam. Jika kita tak kembali,
kawan-kawan tentu akan menyusul kemari. Lebih baik kita berdua masuk," kata Siau Yaucu.
Setelah merenung sejenak, Tay Hongpun menyetujui. Begitulah kedua tokoh itu segera
melintasi pintu batu. Tiba di ujung padang rumput, mereka berhadapan dengan sebuah
pintu batu lagi. Pada pintu batu itu tertulis tiga huruf besar: Seng-su-bun atau Pintu Matihidup.
Si nona baju putih Bwe Hong-swat tegak berdiri di ambang pintu dengan memeluk
senjata giok-ci. Siau Yau-cu hendak menyelidiki keadaan tempat itu melalui Bwe Hong-swat. Tetapi
wajah nona baju putih itu sedingin wajah sebuah patung".
Tay Hong memandang ke dalam pintu. Tampak di dalamnya penuh dengan bangunan
gedung, merupakan sebuah dunia tersendiri. Diam-diam Tay Hong menimang, "Ah,
jangan-jangan tempat ini terdapat barisan pendam. Hanya saja Bwe Hong-swat tak leluasa
untuk memberi isyarat!"
Tay Hong yang cerdik segera mengambil sikap seperti tak kenal nona itu. Sambil
melintangkan tongkatnya, ia membentak keras, "Harap nona suka menyisih!" Ia menutup
kata-katanya dengan gerak jurus Ngo-tiang-bit-san, tongkat dihantamkan ke kepala si
nona. Bwe Hong-swat berkisar diri dan menyisih ke samping kiri sampai tiga langkah
kemudian berseru dingin, "Silahkan masuk!"
"Omitohud!" seru Tay Hong seraya melangkah masuk. Seruan omitohud itu dilambari
dengan tenaga lwekang yang membuat telinga pekak.
Siau Yau-cu pun mengimbangi dengan bersuit nyaring lalu ikut masuk.
Di dalam pintu Sen-si-bun itu ternyata sebuah pemandangan lain. Barisan manusiamanusia
aneh yang wajah dan dandanannya menyerupai setan, tegak berjajar-jajar di
kedua samping jalan. Masing-masing mencekal senjata. Tetapi manusia-manusia itu tak
mengacuhkan kedatangan Tay Hong dan Siau Yau-cu.
Dengan keliarkan mata dalam sekejap saja Siau Yau-cu sudah dapat mengetahui
jumlah barisan manusia-manusia aneh itu tak kurang dari empat puluhan.
Diam-diam ia terkejut, pikirnya, "Jika mereka sakti semua dan kita hanya dua orang
tentu sukar untuk menghadapi mereka!"
Tay Hong tenang-tenang saja. Ia tak menghiraukan barisan orang-orang aneh itu. Ia
terus melangkah maju dan barulah berhenti ketika ia terhalang oleh sebuah ruang besar.
Di samping ruang itu berjajar kedelapan gadis baju putih. Masing-masing mencekal
sebatang bian-to atau golok tipis.
Pintu ruang besar itu terkancing rapat. Di atasnya terdapat delapan buah tulisan:
"Barang siapa masuk selangkah saja, tentu bakal hancur binasa!"
Sejenak memandang kedelapan gadis baju putih itu, berserulah Tay Hong, "Apakah
pemimpin kalian berada dalam ruang ini?"
Kedelapan gadis itu tertawa. Serempak mereka mundur tiga langkah dan memberi
jalan. Dan pintu bercat hitam itupun tiba-tiba mengatup sendiri tetapi sebelum menutup
rapat, kembali berhenti. Lubang celah di tengah kedua daun pintu hanya cukup untuk
dilalui seorang. Memandang ke dalam, Tay Hong melihat sebuah ruang yang gelap gulita. Diam-diam ia
heran dan tak mengerti apakah yang direncanakan wanita siluman itu.
Tengah ia merenung, tiba-tiba dari dalam ruang terdengar suara orang bernada lembut
sekali, "Paderi tua, mengapa kau ragu-ragu tidak masuk" Apakah kau takut?"
Diam-diam Tay Hong menimang. Jika ia tak berani memasuki ruang itu tentu akan
ditertawakan orang dan nama Siau-lim-si pasti akan jatuh. Maka setelah menetapkan
keputusan segera ia melangkah maju. Tiba-tiba Siau Yau-cu loncat mendahuluinya.
Melihat jago Bu-tong-pay itu sudah menerobos masuk, maka kedelapan gadis baju
putih itupun tertawa-tawa memandang kepada Tay Hong. Sudah tentu Tay Hong marah.
Ia duga kawanan gadis itu tentu menertawakan dirinya yang tak berani masuk.
"Siau-heng, jangan masuk seorang diri, tunggulah loni!" setelah mengerahkan tenaga
dalam segera ia ayunkan tongkatnya menghantam daun pintu.
Bummm! Terdengar ledakan keras tetapi daun pintu bercat hitam itu tetap tidak
bergeming. Kiranya daun pintu itu terbuat daripada besi baja yang kokoh sekali.
"Taysu, lekas menjemput sekalian kawan-kawan kita. Kekuatan kita tipis sekali,
dikuatirkan tak dapat mengatasi keadaan!" seru Siau Yau-cu dari dalam.
Diam-diam Tay Hong membenarkan ucapan jago tua Bu-tong-pay itu. Jika pintu besi itu
dapat bergerak membuka sendiri, tentulah juga dapat menutup sendiri.
Sekalipun di dalam ruang tiada terdapat barisan musuh, tetapi dengan ditutup dalam
pintu baja sekuat itu, tentu keduanya tak mungkin dapat keluar lagi. Lebih baik ia
mengundang rombongannya untuk beramai-ramai menggempur pintu itu.
"Siu-heng, harap lekas keluar. Pada saat dan tempat ini, bukanlah waktunya untuk
unjuk kegagahan!" seru Tay Hong kepada Siau Yau-cu.
Terdengar suara orang tertawa mengikik tetapi suara Siau Yau-cu tak terdengar sama
sekali. Beberapa saat kemudian, suara tertawa itupun berhenti dan ruangpun kembali
sunyi. Kembali kedelapan gadis baju putih itu memandang Tay Hong seraya tersenyum ewah.
Ketua Siau-lim-si terkesiap, serunya dingin, "Jika kalian menggunakan siasat iblis, terpaksa
loni bertindak!" Mendengar itu sekonyong-konyong kedelapan gadis itu bergerak-gerak menari. Lemah
gemulai tubuhnya menyertai gerak tariannya yang indah, benar-benar sangat menarik.
Karena sejak kecil tak pernah bergaul dengan kaum wanita dan tak pernah melihat tarian
yang seindah itu berdebar-debarlah hati Tay Hong siansu.
Tetapi dia seorang paderi yang tinggi kebatinannya. Buru-buru ia tenangkan
kegoncangan hati dan dengan membentak keras segera gunakan jurus Lat-sog-ngo-gak, ia
menyerang kawanan gadis itu.
Kedelapan gadis itu terkejut dan cepat-cepat mundur ke samping. Tetapi setelah dapat
menghindari tongkat Tay Hong, merekapun maju menyerang dengan bian-to.
Tay Hong mendengus. Tongkat dibolang-balingkan ke kanan dan ke kiri. Dalam sekejap
saja ia telah lancarkan dua belas jurus serangan. Kedelapan gadis itu terpaksa harus
mundur". Tiba-tiba terdengar salah seorang dari mereka tertawa mengikik. Sekali tangan kiri
bergerak maka terlepaskan pakaiannya putih. Saat itu ia hanya mengenakan celana dalam
warna merah. Ketujuh kawannya pun mengikuti juga. Mereka lepaskan baju dan tinggal
memakai celana dalam warna merah".
Tay Hong tertegun. Diam-diam ia memaki kawanan gadis yang tak punya malu itu.
Tetapi karena ia betrayal gerakan tongkatnya pun agak kendor. Empat gadis itu
menerjang maju seraya membaurkan hawa harum. Keempat golok tipis mereka
berhamburan menyerang jalan darah berbahaya di tubuh Tay Hong.
Tay Hong agak terkejut. Buru-buru ia pusatkan semangatnya dan sapukan tongkatnya.
Keempat gadis yang menyerang itupun terpaksa mundur lagi.
Kini kawanan gadis setengah telanjang itu berputar-putar menarikan bian-tonya untuk
menyerang. Bermula Tay Hong tak merasakan apa-apa, tetapi selang belasan jurus
kemudian tiba-tiba ia rasakan sesuatu yang tidak wajar. Dalam pandangannya kedelapan
gadis itu benar-benar menarik. Selain memiliki tarian golok yang merupakan jurus-jurus
serangan yang berbahaya, pun gerakan tubuh mereka sangat indah sekali. Perlahan-lahan
tongkat ketua Siau-lim-si itupun makin kendor gerakannya".
Memang hebat sekali kedelapan gadis itu. Selain memiliki wajah yang cantik jelita, pun
gerak tarian bersama yang indah gemulai itu selalu diiringi dengan senyum yang
menawan. Seorang paderi saleh seperti Tay Hong siansu, hampir saja tergoncang
perasaannya. Untung dalam saat-saat yang berbahaya itu, Tay Hong dapat tersadar. Buruburu
ia berseru "Omitohud". Sambil pejamkan kedua mata ia mainkan tongkat dalam ilmu
Cap-pik-lo-han-ciang-hwat yang sakti. Ilmu permainan tongkat itu merupakan ilmu
istimewa dari partai Siau-lim-si. Dimainkan oleh seorang tokoh semacam Tay Hong siansu,
ilmu yang benar-benar sedahsyat gunung rubuh!
Ketua Siau-lim-si itu tetap pejamkan kedua matanya sehingga pemusatan pikirannya
lebih penuh. Pikiran terpusatkan, gerakan tongkatnyapun makin dahsyat.
Kedelapan gadis setengah telanjang itu tertawa mengejek karena melihat tingkah laku
paderi Siau-lim-si itu. Masakan orang bertempur dengan mata meram" Ah, dalam sepuluh
jurus saja paderi itu tentu sudah dapat diringkus. Demikian pikiran mereka.
Tetapi apa yang mereka hadapi saat itu, benar-benar mengejutkan. Tubuh ketua Siaulimsi itu seolah-olah tertutup oleh bayangan tongkat. Sedikitpun tiada lubang
kelemahannya. Di samping itu, pun tongkat si paderi makin lama malah semakin
menyerang gencar sekali. Kedelapan gadis bersenjata bian-to itu, dipaksa harus mundur
dalam lingkaran setombak jauhnya. Mereka tak mampu mengisar maju walau pun hanya
sejari! Setelah dua puluh jurus lamanya, Tay Hong merasa pikirannya sudah tenang. Tiba-tiba
ia membuka mata dan dengan menggembor keras ia jurus Sin-liong-tiau-siu atau Naga
sakti terpenggal kepalanya, ia hantam golok seorang gadis hingga terpental ke udara.
Golok bian-to memang tipis dan tajam luar biasa. Tetapi karena tongkat sian-ciang itu
terbuat dari baja murni dan berat sekali, golok bian-to tak mampu memapasnya malah
terpental jatuh! Setelah memperoleh hasil, semangat Tay Hong semakin menyala. Ia balikkan tongkat
dengan jurus To-coan-im-yang (memutar balik Im dan Yang) dan dapat menghantam
lepas golok dari gadis yang berkedudukan di sebelah tenggara. Dan meluncur ia lancarkan
tiga kali serangan tongkat. Seketika kepungan kedelapan gadis itu menjadi kacau balau.
Asal Tay Hong lanjutkan lagi serangannya, kedelapan gadis itu tentu terluka".
Tiba-tiba dari dalam ruang besar yang gelap terdengar lengkingan nyaring, "Kalian
bukan tandingan paderi tua itu. Lekas mundur!"
Kedelapan gadis itupun mundur.
Kembali suara dari dalam ruang gelap itu melengking lagi, "Dapat memenangkan
dengan beberapa pelayanku, masih belum termasuk sakti. Siau-lim-si adalah partai
termasyhur dan dianggap sebagai pemimpin dunia persilatan. Jika berani, masuklah ke
ruang Hwe-lun-tian ini!"
Tay Hong sejenak berpaling ke belakang. Tampak Bwe Hong-swat masih tegak
memeluk senjatanya Giok-ci. Sedangkan rombongan orang gagah di luar lembah tadi
masih belum tampak muncul. Diam-diam ketua Siau-lim-si resah".
Lembah sempit itu hanya cukup dilalui dua orang. Jika orang Beng-gak menugaskan
jago-jagonya yang sakti untuk menjaga mulut lembah itu, tentu sukar bagi rombongan
orang gagah untuk menerobos masuk. Dan mengapa Siau Yau-cu yang dipandang sebagai
tokoh dewa pedang, begitu masuk ke dalam ruang Hwe-lun-tian lantas tak kedengaran


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaranya lagi" Demikian pertanyaan-pertanyaan yang mencengkam dalam benak Tay
Hong saat itu. "Paderi tua, apakah kau takut?" kembali orang di dalam ruang gelap itu melengking
dengan tertawa mengejek. Tay Hong benar-benar gelisah. Tidak masuk, kuatir akan ditertawakan. Berarti pula
nama Siau-lim-si akan jatuh. Namun masuk, ia kuatir masih akan memasang perangkap
yang ganas. Ketua Siau-lim-si itu ragu-ragu tak dapat segera mengambil keputusan".
Kembali suara lengking tertawa dari ruang itu terdengar pula, "Paderi tua, jika takut
janganlah masuk. Segeralah berlutut di depan pintu dan memberi hormat tiga kali
kepadaku"." "Ho, kau anggap loni ini orang apa?" teriak Tay Hong dengan gusar, "Sekalipun ruang
Hwe-lan-tian ini merupakan gunung golok hutan pedang, loni tetap akan masuk juga!"
Dengan lintangkan tongkat sian-ciang, paderi Siau-lim-si itu segera melangkah masuk.
Bum" begitu masuk, pintu besipun segera mengatup rapat ruang gelap gulita sekali
sehingga tak dapat ia melihat jari tangannya sendiri.
Tay Hong kerahkan lwekang untuk melindungi diri lalu memandang ke sekeliling. Berkat
lwekangnya yang tinggi, penglihatannyapun tajam sekali. Cepat ia segera dapat melihat
keadaan ruang itu. Pada dinding sebelah muka, terdapat sebuah ranjang dari batu pualam hijau. Di atas
ranjang itu duduk bersila seorang wanita berpakaian pertapa, tetapi wajahnya diselubungi
kain kerudung warna hitam. Siau Yau-cu dan Su Bo-tun tak nampak berada di ruang situ.
Entah di mana mereka. Pada keempat ujung tiang, ditaruh sebuah pot bunga yang menyiarkan bau harum,
kecuali pot bunga, ranjang pualam dan wanita berkerudung, lain-lain benda tak terdapat
dalam ruangan itu. Diam-diam Tay Hong heran, pikirnya, "Menilik sikapnya, wanita berkerudung itu bukan
seperti orang yang habis bertempur. Tetapi mengapa Siau Yau-cu tak kelihatan?"
Tay Hong memandang ke sebelah muka lalu berseru, "Apakah nona yang menjadi tuan
rumah di sini?" Wanita itu perlahan-lahan menyingkap kain kerudung yang menutupi wajahnya.
Seketika ruangan yang gelap gulita itu menjadi terang benderang menyilaukan mata.
Sebuah wajah yang cantik jelita menonjol gilang-gemilang".
Kiranya sinar terang itu berasal dari untaian permata yang dilekatkan pada kain
kepalanya. Di antara roncean berpuluh-puluh permata itu, paling depan sendiri adalah
sebutir mustika sebesar buah kelengkeng. Sinarnya paling terang sendiri.
"Benar!" sahutnya dengan suara hening.
Betapapun kuat iman Tay Hong, namun tak urung tergetar juga hatinya melihat
kecantikan wajah wanita itu. Betul-betul ia kerahkan semangatnya untuk menguasai
dirinya. Setelah ia bertanya pula, "Kemanakah orang yang masuk ke sini tadi?"
Jawab wanita itu dengan nada melengking genit, "Ruang Hwe-lun-tian merupakan
ruanga peleburan nyawa. Begitu masuk, mana dapat keluar lagi" Kedua sahabatmu itu
telah terbenam dalam lautan derita siksaan yang hebat. Setelah mereka sadar akan
kesalahannya dan bersedia bernaung dalam Beng-gak, barulah mereka dapat keluar dari
laut penderitaan itu."
"Alam pelebur jiwa dari karma manusia, adalah ajaran yang diturunkan oleh Budha
kepada manusia, agar kita manusia sadar akan kesalahan dan menuju ke jalan yang
terang. Masakan kau layak membicarakan hal itu?"
Wanita cantik itu tertawa, "Ruang ini meskipun luas, tetapi tak ada alat perkakasnya
apa-apa. Jika tak percaya, silahkan kau periksa di mana kedua sahabatmu itu."
Memang justeru hal itu yang mengherankan Tay Hong. Pikirnya, "Apakah Su Bo-tun
juga masuk ke sini, itu masih belum jelas. Tetapi ternyata tadi Siau Yau-cu terang masuk
ke sini. Mengapa dia tak tampak sama sekali?"
Namun Tay Hong adalah seorang paderi yang cerdik sekali. Setelah merenung sejenak,
tiba-tiba ia tersadar. Iapun tertawa dingin, "Jika gak-cu memasang alat rahasia di tengah
ruang ini dan menggerakkan pada saat orang sedang lengah"."
Tiba-tiba wanita berpakaian pertapa itu tertawa melengking. Sekali tangannya
melontar, pakaiannya berhamburan ke samping dan tubuhnya tak memakai selembar
pakaianpun juga. Sejak kecil Tay Hong sudah masuk gereja. Tak pernah ia bergaul dengan kaum wanita.
Menyaksikan pemandangan yang demikian "menyeramkan" itu serentak Tay Hong segera
berseru, "Omitohud!" lalu melengos ke samping tak mau memandang lagi.
Kemudian ia berseru nyaring, "Gak-cu mengirim jarum untuk mengundang sekalian
orang gagah. Apakah tujuan gak-cu" Gak-cu termasuk ketua sebuah partai persilatan.
Apakah perbuatan gak-cu bertelanjang itu tak merendahkan kedudukan gak-cu?"
Serangkum angin harum membaur dan wanita itu melenking lagi, "Paderi tua, orang
hidup paling lama hanya seratus tahun!"
Nadanya lemah lembut, suaranya merdu sehingga semangat Tay Hong tergerak. Diamdiam
ia terkejut dan tak berani mendengarkan lagi. Serentak ia menggembor dan
menyerang dengan tongkatnya!
Serentak dengan taburan angin tongkat yang menderu dahsyat, terdengarlah lengking
tertawa wanita itu mengiang-ngiang lenyap bersama lenyapnya angin sambaran tongkat.
Tay Hong terkejut dan memandang ke muka lagi, kawanan gadis telanjang itupun
lenyap! Ruanganpun seketika hening lagi.
Dalam pada itu Tay Hong pun menimang-nimang dalam hati, "Di dalam ruang ini entah
berapa banyak alat-alat rahasia yang dipasang. Betapapun tinggi kepandaianku, tetapi aku
hanya seorang diri. Tentu tak mungkin mampu menahan gelombang bahaya yang begitu
banyak. Baiklah kubobolkan pintu besi dulu agar sekalian kawan-kawan dapat masuk!"
Secepat menetapkan rencana, ketua Siau-lim-si itupun melesat ke muka pintu dan
ayunkan tongkat besinya. Buummm!! Terdengar ledakan dahsyat macam gunung meletus.
Pintu tak apa-apa sebaliknya Tay Hong rasakan tangannya tergetar. Mau tak mau ia harus
mengeluh. Tiba-tiba terdengar lengking suara wanita tadi dari ujung ruang, "Paderi tua, apakah
kau masih tak menyerah" Apakah kau ingin berkumpul dengan kedua kawanmu yang
sedang menderita siksaan itu"."
Dada Tay Hong serasa diledak kemarahan. Merogoh ke dalam baju, ia menjemput
sebatang kim-pa (semacam alat music pang disebut kecer) lalu mencurahkan perhatian
mencari di mana si wanita berada.
Tetapi dia adalah seorang ketua gereja besar. Biasanya, jangakan pakai senjata rahasia
sedang membawanya saja ia tak pernah. Tetapi dalam menghadapi keadaan seperti saat
itu ia terpaksa menggunakannya. Karena dalam tempat itulah akan ditentukan nasib dunia
persilatan. Dalam memutuskan membekal senjata itu atau tidak, ia harus mengadakan perdebatan
dalam hati. Akhirnya ia memutuskan untuk membekal dua belas batang kim-pa.
Dengan tegang ia menunggu setiap gerakan. Begitu si wanita telanjang muncul lagi,
segera akan ia tabur dengan kim-pa.
Tiba-tiba terdengar lengking suara tertawa wanita itu. Tetapi bukan dari sudut ruang
melainkan seperti dari belakang ruang.
"Ih, ih, kau hendak menggunakan senjata rahasia?"
Tay Hong yang sudah siap, begitu mendengar arah datangnya suara itu, cepat-cepat
menaburkan kim-panya. Kim-pa meluncur menimbulkan bunyi bersuit-suit yang tajam.
Cring! Kim-pa itu membentur dinding dan menyusup ke dalamnya.
Kecer emas atau kim-pa itu terbuat dari bahan baja murni yang lunak, Empat tepinya
tajam sekali. Sekalipun orang memiliki ilmu kebal Kim-ciong-toh, Thiat-poh-san dan lainlain
kekebalan, juga sukar untuk terhindar dari timpahan kim-pa tersebut!
Begitu selesaikan melontarkan sebuah kim-pa, tangannya kiripun sudah merogoh dua
buah kim-pa lagi. Dari lain sudut ruang, terdengar suara seorang gadis berseru dengan nada dingin,
"Karena kau tak menyadari kesesatanmu, terpaksa aku pun tak mau banyak bicara lagi!"
Tay Hong menajamkan pandangan matanya tetapi tak tampak suatu apa. Agaknya
suara itu seperti berasal dari dalam tembok. Tay Hng tak mau menimpuk. Ia tegak berdiri
dengan bersiap-siap. Matanya diarahkan ke ujung ruang. Asal wanita telanjang itu muncul,
tentu segera akan disambut dengan taburan kim-pa.
Sayup-sayup terdengar suara berderakan. Dan ranjang batu di sudut dinding tampak
bergerak pelahan-lahan. Tak berapa lama, dari tengah ranjang batu muncul sebuah kimting
(tempat pedupaan dari emas). Setelah ranjang batu itu berhenti berputar, di
tengahnya tampak sebuah kim-ting. Besarnya tak kurang dari satu setengah meter. Kimting
itu berkepul-kepul memecahkan asap".
Sambil mengawasi kesemuanya itu, diam-diam Tay Hong sudah menetapkan rencana.
Jika alat-alat rahasia dalam ruang itu tak dihancurkan tentu sukarlah dirinya keluar. Begitu
ranjang berhenti berputar, iapun segera menghampiri. Takut kalau lantai terdapat alat-alat
rahasianya, ia berjalan dengan pelahan-lahan.
Tuan-tuan hidungnya membau bau harum semerbak dan seketika itu ia rasakan
kepalanya pusing, tubuhnya terhuyung-huyung mau jatuh.
Dan berbareng itu terdengarlah suara orang tertawa melengking, "Lekas lepaskan
senjatamu dan kau masih ada harapan hidup. Kau sudah menghirup racun wangi Cit-tokhiang
yang ganas." Pada saat Tay Hong hendak menyahut, tiba-tiba ia teringat. Jika ia bicara, racun wangi
itu tentu akan tersedot masuk ke dalam tubuhnya. Maka cepat-cepat ia menutup
pernapasan dan tak mau menjawab. Setelah itu ia kerahkan tenaga murni untuk
menghalau racun dalam tubuhnya!
Pada saat ketua Siau-lim-si itu sedang berjuang keras untuk menghalau racun, adalah
rombongan orang gagah yang berada di tengah lembah itu mulai sadara menunggu
kedatangan Tay Hong dan Siau Yau-cu yang sampai sekian lama tak kembali. Dengan
dipelototi Sin Cong tojin ketua Bu-tong-pay, rombongan orang gagah itupun segera
melangkah ke depan. Baru beberapa belas langkah, tiba-tiba terdengar getaran keras. Dari kedua samping
dinding karang tiba-tiba meluncur keluar dua bilah papan besi yang menutup jalan.
Sin Cong tojin memperhitungkan bahwa ia mampu loncat melewati papan besi yang
tingginya hampir dua tombak itu. Maka setelah mengempos semangatnya, ia putar pedang
dan melambung ke atas. Cret, ia hinggap di puncak papan besi itu tak terdapat rintangan
suatu apa. Dengan membolang-balingkan pedang selaku isyarat, ia berseru, "Di belakang papan
besi tak ada rintangannya. Silahkan saudara-saudara loncat ke atas papan ini!" habis
berkata iapun terus melayang ke bawah dan melangkah ke depan.
Kedua belah papan besi itu meskipun tak terlalu tinggi, tetapi licin dan tajam sekali. Jika
tak memiliki ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin mampu berdiri di atas papan itu tanpa
terluka. Ilmu silat itu memang tiada batasnya. Tak mungkin seseorang dapat menguasai
seluruhnya dengan sempurna. Ada yang hanya sakti dalam ilmu gin-kang, ada pula yang
mengutamakan kesempurnaan ilmu lwekang, ada yang hebat dalam ilmu gwa-kang
(tenaga luar), ada yang mempunyai pukulan sakti yang maut, ada yang sakti dalam ilmu
pedang, ada lagi yang tiada tandingannya dalam ilmu melepas senjata rahasia dan lainlain.
Rombongan orang gagah yang datang ke Beng-gak itu, demikian juga keadaannya.
Walaupun mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang ternama, tetapi tidak semua
orang sakti dalam ilmu gin-kang atau meringankan tubuh. Karenanya hanya sebagian saja
yang mampu loncat melampaui papan besi itu. Kira-kira ada masih dua puluhan orang
yang tidak dapat mengutamakan ilmu tenaga luar (gwa-kang). Ilmu bermain senjata,
kebanyakan memerlukan ilmu gwa-kang yang tinggi.
Oleh karena tak mampu melompati, maka rombongan jago-jago gwa-kang itu segera
menggempur papan besi dengan senjatanya masing-masing. Seketika terdengar deburan
dahsyat macam gunung meletus".
Setelah melayang turun di tanah, Sin Ciong tojin segera lari ke muka. Pada saat ia
hendak keluar dari mulut lembah, tiba-tiba seorang nona baju merah menghadang di
jalan. Nona itu memanggul sebatang pedang dan tangannya mencekal sebuah hud-tim.
Begitu muncul dan membentak, nona baju merah itu terus menyerang Sin Ciong tojin
dengan pedangnya. Sin Ciong tojin berlari cepat sekali, dan nona itupun muncul dengan mendadak.
Keduanya belum sempat melihat jelas masing-masing pihak. Pedang si nona menabur dan
pedang Sin Ciongpun melayang. Trang, tring, tring, terdengar dentring senjata beradu
keras. Setelah menghalau pedang si nona, Sin Ciong lancarkan serangan balasan sekaligus
tiga jurus. "Hebat benar ilmu pedangmu, imam tua!" seru nona baju merah seraya tertawa. Iapun
mainkan pedang dengan gencar dan rapi. Bertubi-tubi ia menyerang sampai tiga belas
kali. Tetapi Sin Ciong tojin adalah ketua dari partai Bu-tong-pay yang termasyhur dalam ilmu
pedang. Ia memang telah mencapai tingkat sempurna dalam ilmu pedang. Sekalipun
serangan si nona selebat hujan mencurah, namun tidak mampu mendesaknya mundur
setengah langkah sekalipun! Semua serangan dapat dihalaunya.
Pada saat kedua orang itu masih bertempur seru, rombongan orang gagahpun tiba.
Tapi karena lembah batu itu sempit sekali, maka sudah dipenuhi oleh baying-bayang
kedua orang yang bertempur itu sehingga rombongan orang gagah tak dapat member
bantuan. Sambil bertempur, nona baju merah itu lepaskan pandangan pada sekalian orang
gagah. Serunya dengan tertawa, "Harap tuan-tuan bersabar menunggu giliran. Pintu
akhirat masih tetap terbuka menunggu kedatangan tuan-tuan. Sebaiknya dalam
menunggu giliran ini, tuan-tuan suka merenungkan kembali kepada masa muda yang lalu.
Di mana tuan-tuan tentu pernah mengalami peristiwa yang indah dan romantis"."
Sin Ciong tojin menggembor sekuatnya, "Siluman perempuan yang hina, jangan
mengoceh tak keruan!" pedang tiba-tiba berkilat dengan dahsyatnya.
Amukan ketua Bu-tong-pay itu mengejutkan sekalian orang gagah. Baru sekarang
mereka benar menyaksikan betapa hebat ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur itu.
Seketika tubuh si nona terbungkus oleh sinar pedang. Rupanya malu juga Sin Ciong
karena berhadapan dengan seorang nona tak terkenal saja, ia tak mampu menjatuhkan.
"Jika dia sampai mampu melayani aku seratus jurus, nama Bu-tong-pay tentu akan
merosot ditertawakan orang," pikir Sin Ciong.
Maka setelah mengambil keputusan, ia kerahkan ilmu lwekangnya ke batang pedang.
Setiap tabasan dan gerakan pedangnya tentu mengandung hamburan lwekang yang hebat
keliwat-liwat. Rupanya hal itu dimaklumi juga oleh si nona baju merah. Ia rasakan setiap sambaran
pedang lawan tentu menghambur tenaga hebat. Diam-diam ia menimang, "Rupanya imam
hidung kerbau ini sakti dalam ilmu pedang dan lwekang. Menilik gelagatnya, tipis
harapanku untuk mengalahkannya."
Kini ia berganti siasat untuk bertahan diri. Di samping itu tak henti-hentinya ia
menggoda dengan ucapan-ucapan yang mengejek, "Imam tua, apakah kau sungguhsungguh
hendak mengadu jiwa dengan aku?"
Tetapi Sin Ciong tojin tak mau menggubris. Dia tetap curahkan seluruh perhatiannya
dalam serangan pedangnya. Serangannya pun makin lama makin dahsyat.
Setelah dapat bertahan sampai delapan sembilan jurus, mau tak mau akhirnya nona itu
merasa tak kuat juga. Lingkaran pedangnyapun makin lama makin menyempit kecil.
Bertempur dalam lembah batu yang sesempit itu memang sukar sekali. Gerak-geriknya
sangat terpancang, tak leluasa untuk berlincahan menghindar. Demikianlah pada pihak
yang menyerang. Segala jurus permainan yang sakti pun tak leluasa dikembangkan.
Ilmu kepandaian nona itu mempunyai gaya aneh dan penuh ragam. Tetapi ia tidak
leluasa untuk mengembangkan. Kebalikannya, ketua Bu-tong-pay itu memiliki lwekang
yang jauh lebih tinggi dari si nona. Ilmu pedangnyapun istimewa sekali.
Si nona rupanya menyadari kelemahannya.
Makin lama ia makin terdesak kewalahan.
"Lepas!" tiba-tiba terdengar Sin Ciong membentak keras. Pedang berkiblat menabas
lawan. Hebat dan cepatnya bukan seolah-olah.
Karena sempit dan kedua sampingnya terhalang karang, si nona tak mungkin
menghindar. Satu-satunya jalan hanya menyurut ke belakang. Tetapi karena cepatnya
pedang lawan, ia terpaksa menangkis.
Tring,,,, tubuh si nona melengkung, kaki menyurut mundur dua langkah. Pedang Sin
Ciong saling melekat dengan pedangnya. Dua kali ia berusaha untuk menghalau pedang
lawan tetapi tak berhasil.
Saat itu Sin Ciong tojin benar-benar sudah terangsang hawa pembunuhan. Dengan
tertawa seram, ia perkeras tekanannya dan berhasil mengendap turun dua tiga dim lagi.
Wajah si nona tampak pucat. Butir-butir keringat mulai mengambng di dahinya".
Saat itu perhatian sekalian orang gagah ditumpahkan pada adu lwekang yang
disalurkan melalui pedang antara Sin Ciong tojin dan si nona baju merah.
Dalam pada itu beberapa orang yang agak kurang tinggi gin-kangnya dan tak dapat
loncat ke atas papan besi, telah dibantu oleh kawan-kawannya dengan ditarik tambang.
Akhirnya merekapun berhasil melewati papan besi itu.
Sementara pedang si nona baju merah tampak makin lama makin menurun ke bawah.
Terpisah dari kepalanya hanya beberapa jari saja. Kepala nona itu sudah basah kuyup
dengan keringat begitu pula pakaiannya.
Tetapi Sin Ciong tojin sendiripun juga banyak mengeluarkan tenaga. Ubun-ubun
kepalanya menguap dan keringatpun mulai mengucur.
Siu-lam dan Hian-song yang menyaksikan adu lwekang itu, menarik kesimpulan bahwa
dalam beberapa saat kemudian, si nona baju merah tentu akan kalah".
Tiba-tiba dari belakang nona baju merah itu melesat sesosok bayangan. Gerakannya
macam burung walet meluncur dari udara.
"Hai, mereka hendak membantu"!" Hian-song berteriak terus enjot tubuhnya
menyongsong. Suatu adegan yang mendebarkan telah terjadi. Pada saat pendatang itu melayang di
atas kepala kedua orang yang sedang bertempur, Hian-songpun sudah menebangnya. Jadi
Hian-song dan pendatang baru itu adu kesaktian di atas kepala kedua orang yang tengah
mengadu tenaga.

Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tring" terdengar dering senjata beradu dan kedua sosok bayangan itupun masingmasing
mencelat ke belakang. Setelah keduanya tegak di tanah, barulah sekalian orang mengetahui bahwa ternyata
yang digempur Hian-song itu si nona baju biru atau murid ke-satu dari ketua Beng-gak!
Siu-lam buru-buru menghampiri Hian-song; "Sumoay, apakah kau terluka?"
Si dara berpaling memberi senyum kepada pemuda itu, sahutnya, "Tidak!"
Si nona baju biru setelah berdiam diri sejenak untuk memulangkan napas, lalu berseru,
"Sumoay, harap mundur. Biar cici yang menghadapi mereka!"
Saat itu si nona baju merah atau murid ke-dua dari ketua Beng-gak sedang menderita
tekanan hebat dari ketua Bu-tong-pay. Walaupun mendapat perintah dari sucinya, tetapi ia
tak mampu melepaskan diri dari gencetan musuh".
Makin deras butir-butir keringat yang membanjir turun dari nona baju merah itu.
Napasnyapun terengah-engah dan pedang Sin Ciong tojin makin menurun sesenti demi
sesenti. Saat itu mata pedang hanya terpisah sejari tangan dari muka si nona.
Melihat sumoaynya terancam bahaya, cepat-cepat si baju biru mengeluarkan
senjatanya yang aneh seperti tanduk rusa, menyanggah pedang Sin Ciong.
Seketika pedang ketua Bu-tong-pay itupun macet tak mampu menurun lagi.
Si nona baju merah menghela napas longgar, serunya, "Toa-suci, apakah temponya
sudah cukup panjang?"
"Cukup," sahut si nona baju biru, "kita mundur pelahan-lahan!"
Pembicaraan kedua nona itu terdengar jelas tetapi sekalian orang gagah tak mengerti
apa yang mereka maksudkan.
Sedang Sin Ciong tojinpun menimang dalam hati, "Ah, tenaga lwekang kedua nona ini
memang hebat. Jika kuteruskan adu kekuatan dengan mereka, kemungkinan aku tak
dapat bertahan lama."
Secepat kilat, ketua Bu-tong-pay itu mengambil keputusan. Dengan kerahkan
tenaganya ia menyentakkan pedangnya dan bubarlah ketiga senjata yang saling melekat
itu". Begitu lawan menarik pulang pedangnya, si nona baju merahpun cepat-cepat
menyelinap ke belakang toa-sucinya.
Saat itu rombongan orang gagah hanya terpisah dua-tiga meter dari mulut lembah.
Mereka hendak menyerbu ke dalam lembah itu.
Sambil memutar pedang untuk melindungi diri, sejenak Sin Ciong tojin berpaling ke
belakang. Ketika tampak rombongan orang gagah mengikutinya, diam-diam ia membatin,
"Karena Tay Hong siansu sudah masuk ke dalam lembah, saat itu rupanya mereka
mempercayakan pimpinan kepadaku"."
Semangat ketua Bu-tong-pay serentak menyala. Tanpa disadari pedang telah
dimainkan dalam jurus ilmu pedang simpanan partai Bu-tong-pay, yakni ilmu pedang
Thay-kek-hui-kiam yang hebat.
Tay-kek-hui-kiam merupakan ilmu pedang warisan dari partai Bu-tong-pay. Selain
mempunyai gaya dan gerak perubahan yang luar biasa anehnya pun mempunyai daya
kegunaan yang istimewa, yakni meminjam tenaga lawan untuk menghantam lawan. Ilmu
pedang itu sebetulnya khusus untuk menghadapi lawan yang lebih kuat. Ilmu pedang
yang dilambari dengan lwekang Im-ji-kang atau lwekang Im yang bersifat lunak.
Merupakan ilmu simpanan yang istimewa dari partai Bu-tong-pay. Setiap angkatan ketua
baru, hanya diajarkan kepada dua orang anak murid Bu-tong-pay. Ialah kepada ketua
partai dan murid yang dipandang paling cerdas dan berbakat atau kepada murid yang
telah berjasa besar kepada partai.
Setelah ketua Bu-tong-pay itu melancarkan tiga jurus berantai dari ilmu pedang Thaykekhui-kiam maka si nona baju biru menjadi kelabakan. Akhirnya terpaksa ia melolos
pedangnya juga. Sebelah tangan mencekal pedang, barulah ia dapat bertahan diri.
Sekalipun begitu ia tetap terdesak mundur.
Melihat betapa gencar dan dahsyat serangan pedang ketua Bu-tong-pay itu diam-diam
nona baju biru heran-heran kagum. Namun ia menghias kegentaran hatinya dengan
senyum simpul, "Aduh, tak kira kalau seorang imam tua hidung kerbau seperti kau
ternyata memiliki kepandaian yang begini hebat. Sayang kau seorang pertapaan, seumur
hidup tentuk takkan mencari isteri!"
Mulutnya menggoda, tetapi kedua senjatanya tetap bergerak makin seru untuk
menahan desakan pedang lawan.
"Kau anggap pinto ini orang apa" Masakan sudi bergurau dengan perempuan siluman
seperti macammu!" teriak Sin Ciong tojin dengan marah sekali seraya perhebat permainan
pedangnya. Nona baju biru itupun mencurahkan seluruh kepandaiannya. Tetapi makin lama makin
merasa payah. Betapapun ia mengeluarkan jurus-jurus yang aneh dan istimewa, tetapi
selalu didahului oleh pedang lawan. Ia makin terkejut, pikirnya, "Ah, mengapa sedemikian
hebat ilmu pedang imam tua ini" Mengapa pedangnya selalu membayangi dan mendahului
gerak senjataku" Kalau pertempuran ini dilanjutkan, mungkin aku tak kuat bertahan
sampai seratus jurus"."
Tengah nona baju biru itu menimang-nimang bagaimana tindakan yang akan dilakukan
tiba-tiba dari belakang terdengar si nona baju merah berseru, "Toa-suci, barisan sudah
disiapkan. Lepaskan saja mereka dan cepatlah masuk!"
Si biru mengiakan terus buru-buru menyurut mundur. Tetapi ujung pedang Sin Ciong
tojin tetap membayangi dan menusuk ke dada nona itu.
Nona baju biru menghindar ke samping terus loncat mundur dan lari keluar lembah.
Sin Ciong tojin memburu sampai di mulut lembah. Dia tak mau terus mengejar si nona,
melainkan berhenti untuk menyelidiki keadaan di luar lembah itu.
Ternyata di luar lembah telah berjajar sebuah barisan dari anak buah Beng-gak yang
wajahnya dicontreng dengan macam-macam warna dan mengenakan pakaian yang anehaneh.
Si nona baju biru masuk ke dalam barisan itu.
Barisan orang-orang aneh itu mengenakan topi dan senjata-senjata yang berbentuk
aneh juga. Ada yang seperti tusuk garu, ada yang jarang digunakan orang persilatan.
Setelah adu kepandaian kedua nona tadi, kini Sin Ciong tojin tak berani memandang
rendah pada kekuatan Beng-gak. Ia tegak berdiri mengawasi barisan itu. Lebih dulu ia
hendak meneropong, barisan apakah yang dihadangkan lawan itu kemudian setelah
mengetahui namanya barulah ia menggempurnya.
Tetapi sampai beberapa jenak, belum juga ia mengetahui nama barisan itu. Jelas bukan
jenis barisan Pat-kwa-kiu-kiong-tin, bukan pula barisan Ngo-heng-seng-khik-tin. Ketua Butongpay yang sakti ilmu pedangnya itu benar-benar tak mengetahui barisan apa yang
dihadapinya itu. Saat itu sekalian rombongan orang gagah sudah siap di luar lembah. Masing-masing
siap dengan senjatanya. Setiap saat akan menyerbu.
Dalam pada itu diam-diam si nona baju biru kerahkan semangatnya. Karena
lwekangnya tinggi, maka dalam beberapa saat saja ia sudah segar kembali. Sambil
membolang-balingkan senjatanya tanduk rusa, ia berseru melengking, "Imam hidung
kerbau, jangan bersikap sok tahu! Sekalipun kau mengawasi tiga hari tiga malam, tak
nanti mampu mengetahui rahasia barisan Ngo-kui-tin ini!"
Ngo-kui-tin berarti lima macam setan. Atas kata-kata si nona itu, Sin Ciong tojin seperti
disadarkan. Dari warna muka anggota barisan samar-samar ia dapatlah Sin Ciong
mengetahui sedikit rahasia barisan itu.
Kiranya manusia-manusia aneh yang menjaga barisan itu mukanya dilumuri bedak lima
macam warna. Karena bercampur baur untuk sesaat memang sukar dibedakan. Tetapi
setelah memperhatikan, barulah Sin Ciong tojin mengetahui bahwa wajah anggota barisan
itu terbagi atas warna merah, kuning, biru, putih, dan hitam.
Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat maju mendekati Sin Ciong tojin dan berbisik, "Apakah
totiang sudah mengetahui rahasia perubahan barisan itu?"
Wajah ketua Bu-tong-pay itu agak kemerah-merahan. Ia gelengkan kepala dan
mengatakan belum. "Jika kita terus-menerus hanya menghadapi saja, kiranya kurang menguntungkan.
Jumlah orang kita hampir seimbang dengan mereka. Sekalipun kita terkurung di dalam
barisan, rasanya kita masih dapat bertahan. Kita tetapkan rencana, setiap orang
menghadapi seorang musuh, jangan berganti lain musuh. Sekalipun barisan Ngo-kui-tin itu
banyak sekali perubahannya, tetapi asal satu demi satu kita bayangi terus, masakan
mereka mampu bergerak!" kata Tio Hong-kwat.
Diam-diam Sin Ciong tojin menimang. Saat itu sekalian orang gagah sudah siap tempur.
Jika ia mencegah, kemungkinan akan menimbulkan rasa tak puas mereka. Akhirnya ia
memberi komando. "Karena saudara-saudara ingin menyerbu barisan mereka, pintopun tak dapat
menghalangi. Tetapi sampai saat ini pinto belum dapat mengetahui bagaimana rahasia
barisan itu. Maka dalam penyerbuan nanti, sebaiknya kita pecah menjadi lima kelompok
yang satu dengan yang lain harus saling dapat memberi bantuan!" kata ketua Bu-tong-pay
itu. Kemudian ia mengangkat pedang dan berseru nyaring, "Hayo, kita serbu!"
Yang paling tak sabar lagi adalah rombongan anak murid Siau-lim-si. Mereka benarbenar
mencemaskan ketua mereka yang berada di dalam sarang musuh. Maka begitu
mendengar komando Sin Ciong, merekapun serentak bergerak menerjang!
Tiba-tiba jumlah delapan belas orang imam jubah merah menyelinap keluar dari
samping kanan Sin Ciong tojin. Mereka masing-masing menghunus golok kwat-to. Dan
dari samping kiri ketua Bu-tong-pay itupun muncul lagi delapan belas orang imam jubah
kuning dengan membawa tongkat sin-ciang. Kedua barisan imam itu dengan wajah
bengis, melangkah maju. Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dengan mencekal pit di tangan kiri dan tangan kanan
memegang pedang, pun segera menempati di tengah kedua barisan.
It-ciang-tin-sam-siang Ngo Cong-han, Tui-hong-tiau Ngo Cong-gi, Kiu-sing-tui-hun Kau
Ciu-hiong, It-pit-boan-thian Kat Thian-beng dan Thian Hong totiang segera mengikuti di
belakang Tio Hong-kwat. Kedua jago pedang dari partai Ceng-shia-pay Siong Hong dan Siong Gwat, Thian Heng
totiang dari partai Kun-lun-pay, bersama lima belas tokoh sakti lainnya juga menyerbu ke
muka. Sin Ciong tojin beserta anak murid Bu-tong-pay, Sin-kun Pek Co-gi jago tua dari Tibet
dan yang lainnya tetap berada di luar barisan.
Demikian rombongan orang gagah segera mulai bergerak. Yang pertama-tama bentrok
dengan barisan orang Beng-gak adalah kedua barisan paderi Siau-lim-si. Segera terjadi
pertempuran gempar, golok menyambar-nyambar dan tongkat menderu-deru".
Begitu tiba, Tio Hong-kwat segera menyerang seorang musuh yang mengenakan
pakaian hitam. Ia sabatkan pedang dengan jurus Hwat-jo-hun-coa sedang pit lurus
menusuk dada. Manusia aneh berpakaian hitam itu, tenang-tenang mengangkat garu baja untuk
menangkis. Tring, tring terdengar dua buah benturan keras".
Tio Hong-kwat terkejut. Diam-diam ia berpikir, "Orang ini hanya salah seorang anak
buah Beng-gak yang tergolong kerucuk, tetapi tenaganya sudah sedemikian hebat!"
Tetapi Tio Hong-kwat tak sempat menimang lebih lanjut karena saat itu si orang aneh
baju hitam sudah lancarkan serangan balasan sampai tiga kali. Terpaksa ia putar pedang
dan pit untuk menangkis. Sehabis itu, ia menyurut mundur dua langkah. Memindahkan
pedang ke tangan kiri dan tangan kanannya merogoh sebatang pedang pandak dari dalam
baju. Pedang pandak itu berkilat-kilat tajam. Jelas dari bahan baja murni yang terpilih. Setiap
batang pedang tangkainya diberi alat pelindung tangan. Alat itu diikat dengan tali kawat
yang halus. Pada saat Tio Hong-kwat mengeluarkan senjata baru itu, Ngo Cong-han dan Ngo Conggi
menyelinap dari samping kanan-kirinya, terus menyerbu ke muka.
Tetapi berbareng dengan itu, dari barisan Beng-gak pun melesat seorang manusia aneh
berpakaian merah. Dengan golok kui-thau-to ia menyambut kedatangan musuh.
Terjadi bentrokan hebat antara Tio Hong-kwat dengan si orang aneh baju merah.
Keduanya sama-sama melayang di udara. Tio Hong-kwat mainkan senjata pitnya dalam
jurus Ki-hong-teng-ka (burung cenderawasih melambung naga menjulang).
Orang aneh baju merah itu menyapu dengan goloknya. Terdengar dering senjata
beradu keras dan kedua orang itupun sama-sama melayang turun ke tanah.
Pada saat melayang itu, Tio Hong-kwat sempat memperhatikan seorang aneh baju
kuning tengah memandangnya lekat. Orang aneh baju kuning itu mencekal sepasang
tombak panjang. Tampaknya orang itu siap hendak menyerang.
Melihat itu cepat-cepat Tio Hong-kwat empos semangatnya. Sekali menggeliat ia
melambung ke udara lagi. Sepasang pedang pandak yang berada di tangan kanan, tibatiba
ditaburkan. Manusia aneh baju kuning tadi, telah kehilangan arah pandangannya karena lawan (Tio
Hong-kwat) meluncur turun. Apalagi di sekelilingnya penuh dengan hamburan senjata
kawan-kawannya yang sedang bertempur dengan rombongan lawan. Dering gemerincing
suara senjata saling beradu, telah memekakkan telinganya ia tak dapat menangkap
sepasang pedang pandak yang dilepas Tio Hong-kwat. Tahu-tahu punggungnya tersusup
ujung pedang. Sakitnya bukan kepalang".
Ternyata Tio Hong-kwat berhasil menusuk punggung orang aneh baju kuning itu. Ia
gunakan ilmu Cian-kin-tui (memberatkan tubuh) meluncur turun sambil memutar pit di
tangan kiri untuk melindungi diri. Begitu menginjak tanah cepat ia sentakkan tangan
kanan dan pedang yang bersarang di punggung si orang baju kuning menyembur darah
dan orangnyapun segera rubuh.
Kiranya sepasang pedang pandak Tio Hong-kwat itu diikuti dengan tali kawat yang
halus. Begitu ditaburkan, dapat ditarik kembali lagi.
Ada sesuatu yang mengherankan Tio Hong-kwat. Yang sekaligus terkena tusukan maut
dan rubuh, tetapi orang baju kuning itu sepatahpun tak mengeluarkan rintihan.
Melihat seorang kawannya rubuh, orang baju merah yang bertempur dengan Tio Hongkwat
tadi segera menyerbu lagi. Ia hantamkan golok menabas kepala Tio Hong-kwat
dengan jurus Thay-san-ya-ting. Berbareng itu mulutnya bersuit-suit aneh. Suitan itu
rupanya sebuah komando. Karena sesaat kemudian barisan Ngo-kui-tin segera bergerakgerak".
Tring, Tio Hong-kwat menangkis dengan pit. Tetapi ketika pit beradu dengan golok, ia
rasakan tangannya bergetar. Diam-diam ia terkejut atas tenaga orang yang sedemikian
kuatnya. Tetapi sebelum orang baju merah itu menyusuli lagi serangan yang kedua, barisan
Ngo-kui-tin sudah mulai bergerak-gerak merobah formasinya. Buru-buru orang baju merah
itu menerjang masuk. Seorang kawannya yang berbaju biru, ikut menerjang sambil
tusukkan ujung garu kepada Tio Hong-kwat.
Tio Hong-kwat gunakan jurus Ji-hong-si-pit untuk menangkis lalu menyerang dengan
jurus Siau-ci-thian-lam. Tetapi habis menyerang orang baju biru itu terus melesat ke
samping. Tusukan pit Tio Hong-kwat telah disambut oleh seorang baju hitam. Begitu Tio
Hong-kwat menangkis dan balas menyerang, orang itupun sudah melesat mundur dan
diganti oleh lain kawannya.
Gerak menyerang dan menghindar secara bergantian itu telah dilancarkan dengan rapi,
cepat dan dahsyat. Gerak-gerak mereka seperti rantai yang tak henti-hentinya melibat
lawan. Tio Hong-kwat yang berada dalam barisan musuh di bagian paling dalam sendiri, telah
menderita tekanan yang paling berat. Didapatinya barisan Ngo-kui-tin itu bergerak dengan
cepat dan rapat sekali. Setiap anggota barisan yang terdiri dari manusia-manusia aneh
berpakaian warna-warni itu, masing-masing memiliki kepandaian yang sakti.
Saat itu Tio Hong-kwat benar-benar dalam keadaan yang sulit. Kepungan barisan Ngokuitin. Bahkan untuk berkisar ke kanan-kiri saja ia tak mempunyai kesempatan lagi.
Pertempuran itu telah berlangsung beberapa saat dan Tio Hong-kwat tak tahu entah
sudah melayani beberapa banyak lawan. Tetapi yang jelas ia terpancing di tempat tak
dapat bergerak karena terkepung rapat oleh barisan Ngo-kui-tin.
Dalam pertempuran itu makin lama makin terasa suatu keanehan. Di antara lima
macam warna muka orang-orang aneh itu, hanya yang bermuka dan berbaju merahlah
yang tak henti-hentinya bercuit-cuit seperti suara tikus. Tetapi mereka yang berbaju
kuning, biru, putih dan hitam, tampaknya seperti orang gagu semua.
Sin Ciong tojin yang mengawasi pertempuran itu, terkejut karena mendapatkan
rombongan kawan-kawan tak dapat menerobos barisan musuh. Ia mendapat kesan bahwa
anggota-anggota barisan Ngo-kui-tin itu sakti-sakti semua. Rupanya mereka sengaja
diperintah untuk menghadang masuknya rombongan orang gagah ke dalam lembah.
Dalam pada itu tampak si nona baju biru dan baju merah tetap berada di tengah
barisan tetapi tak ikut turun tangan.
Makin memperhatikan, Sin Ciong makin mendalam kesannya, bahwa anggota-anggota
Ngokui-tin itu ternyata bukan sembarang tokoh. Jelas mereka itu tergolong jago-jago sakti
kelas satu. Apalagi mereka telah dilebur dalam sebuah kesatuan barisan yang dahsyat.
Pembawaannya sudah tentu hebat bukan kepalang!
"Apakah mereka anak murid Beng-gak" Ah, kalau benar anak buah Beng-gak
sedemikian saktinya, memang sukar memenangkan Beng-gak," ia menimang dalam hati.
Tiba-tiba dari belakang barisan, muncul seorang gadis baju putih sembari mengempit
senjata giok-ci. Ia menghampiri si nona baju biru dan setelah membisiki beberapa patah
kat, lalu muncul ke samping.
Nona baju biru mengangguk lalu mengangkat senjatanya tinggi-tinggi ke atas.
Sekonyong-konyong barisan Ngo-kui-tin itu menyiak ke kanan dan ke kiri. Mereka berbaris
dengan rapi pada kedua samping. Di tengah-tengah terbuka sebuah jalan.
Si nona baju biru segera ayunkan langkah melintasi jalan itu. Sementara si nona baju
merah dan si baju putih segera mengikuti di belakangnya.
Rombongan orang gagahpun terpaksa hentikan serangannya. Kira-kira dua tiga meter
jaraknya, si nona baju biru berhenti. Serunya, "Paderi tua Siau-lim-si itu, sudah terjeblos
dalam ruangan Hwe-lun-tian. Lalu siapakah yang menjadi pimpinan rombongan kalian?"
Sekalian orang memandang kepada ketua Bu-tong-pay. Sin Ciong totiang tertegun. Ia
merasa, sekalian orang gagah secara resmi belum memintanya menjadi pimpinan.
"Sudahlah, jangan banyak aksi," tiba-tiba si nona baju biru melengking tertawa,
"anggap saja kau yang menjadi gantinya pimpinan rombonganmu!"
Sin Ciong tojin tampil ke muka dan membentaknya, "Pinto tak pernah bergurau, harap
nona bicara yang sopan agar jangan dipandang sebagai perempuan rendah!"


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nona baju biru itu malah tertawa mengikik, "Sebenarnya aku memang bukan seorang
gadis pingitan. Boleh saja kau hendak mengatakan apa saja!"
"Apa yang nona hendak katakan, silahkan," kata Sin Ciong tojin.
Sejenak nona itu memandang kepada sekalian orang gagah kemudian berkata, "Kedua
orang tua bangka dan paderi tua itu sudah terjeblos dalam ruang pelebur Hwe-lun-tian
dan sedang menderita siksaan"."
Tiba-tiba kata-kata nona itu terputus oleh kaum serempak dari sekalian paderi Siau-limsi
yang mengucapkan doa keselamatan untuk ketua mereka.
Betapapun dingin dan kejam hati si nona baju biru, namun ketika mendengar
rombongan paderi itu melantangkan doa-doa keagamaan, tak urung hati nuraninya
tersentuh juga. Doa itu berlangsung beberapa saat. Selama itu Siu-lam termenung-menung. Sejak
terjadi pertempuran dengan barisan Ngo-kui-tin, ia tetap tidak mau turun tangan. Kiranya
ia sedang bingung memikirkan sesuatu, yakni tentang peta Telaga Darah yang ada pada
Hian-song. Ia tak mau ikut menyerbu karena kuatir dara itupun akan ikut. Jikalau sampai
tertawan Beng-gak, bukankah peta pusaka itu akan jatuh juga ke tangan musuh"
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang menyebabkan ia tertegun tidak ikut bergerak.
Hian-songpun juga ikut diam.
Setelah nyanyian pemanjatan doa itu selesai, hati Siu-lam pun ikut tenang. Entah
bagaimana semangat keperwiraannya timbul seketika. Ketika memandang ke muka
dilihatnya kawanan orang aneh dari barisan Ngo-kui-tin itu tiba-tiba jadi hiruk-pikuk
seperti orang kebingungan.
Melihat itu si nona baju biru terkejut. Wajahnya berubah seketika. Untunglah nyanyian
itu segera berhenti sehingga kegelisahan orang-orang aneh itupun sirap juga.
Tiba-tiba ketua Bu-tong-pay mencabut pedang dan bersuit nyaring, "Tay Hong siansu
adalah paderi saleh yang berilmu tinggi, mana kita dapat merelakan dia berkorban untuk
kita" Jika nona tidak ada lain urusan, pinto segera hendak menerobos barisan!"
Si nona baju biru tertawa, "Bagaimana gerak perubahan Ngo-kui-tin, kiranya kalian
tentu sudah melihatnya. Dengan kepandaian yang kalian miliki, tentulah sukar untuk
menerobosnya. Tetapi"."
"Tetapi bagaimana?" sambut Sin Ciong.
"Tetapi sekarang tak perlu kalian berkelahi lagi."
"Pinto tak percaya kalau tak mampu menerobos Ngo-kui-tin," seru Sin Ciong. Tapi
diam-diam dalam hati ketua Bu-tong-pay itu masih meragu. Walaupun selama
memperhatikan pertempuran tadi ia sudah menemukan cara untuk memecahkannya,
tetapi ia belum yakin penemuan itu akan berhasil.
Kembali nona baju biru itu tertawa melengking, "Guru telah mengeluarkan perintah,
mengutus kami bertiga saudara mengantar kalian ke ruang Hwe-lun-tian!"
Diam-diam ketua Bu-tong-pay tercekat hatinya. Menilik sikap dan nada bicara nona itu
begitu longgar, ia kuatir jangan-jangan Tay Hong siansu, Su Bo-tun dan paman gurunya
Siau Yau-cu benar-benar sudah terjebak dalam perangkap mereka. Tetapi ketua Bu-tongpay
itu tak mau mengunjuk kegelisahannya. Dengan lantang ia menyahut, "Jangankan
hanya sebuah ruang Hwe-lun-tian yang kecil sekalipun golok hutan pedang, akupun tidak
gentar. Silahkan nona membawa kami ke sana!"
Demikian ketiga nona itu segera berjalan diikuti oleh rombongan orang gagah. Setelah
melintasi barisan Ngo-kui-tin dan sebuah padang rumput yang panjang, tibalah mereka di
muka sebuah pintu batu yang bertulisan tiga huruf Seng-si-bun (pintu kematian).
Begitu memasuki pintu itu, seketika pemandangannya berubah. Kawanan manusia aneh
yang berjajar menjaga pintu itu, sudah tak tampak. Suasananyapun tak menyeramkan
lagi. Mereka memasuki sebuah ruang besar dari batu marmer hijau. Pada kedua samping
ruang itu, berjajar delapan orang gadis baju putih tak memakai sepatu. Masing-masing
mencekal sebatang golok tipis bian-to.
Begitu pintu gedung dibuka, ruangan dalam penuh dengan lilin yang mengepulkan asap
tebal sehingga keadaan dalam ruang itu tak kelihatan jelas. Kedelapan gadis baju putih itu
segera mundur. Nona baju biru terus melangkah ke dalam ruang. Tetapi begitu tiba di tengah,
bayangannya lenyap ditelan kemelut asap.
Nona baju merahpun segera mengikuti sucinya. Tiba di tengah ruang, tiba-tiba ia
berpaling dan menghentikan langkah. Dengan kebut pertapaannya ia mengebut-ngebut
asap yang menyelubungi dirinya. Sepintas pandang, seolah-olah seperti seorang dewi
kahyangan yang turun dari awan.
Si nona baju putih begitu melangkah masuk ke pintu segera berpaling dan berkata
pada rombongan orang gagah, "Setelah masuk pintu Seng-si-bun, harap kalian masuk ke
ruang Hwe-lun-tian ini!"
Jilid 18 SAMBIL ayunkan langkah perlahan-lahan, diam-diam Sin Ciong totiang memperhatikan
keadaan ruang itu dengan seksama. Tetapi asap yang menyelubungi ruang itu tebal sekali
sehingga apa yang berada di situ tak begitu jelas.
Siu-lam pun mengikuti d? belakang ketua Bu-tong-pay. Ketika lewat di muka si nona
baju putih Bwe Hong-swat, tiba-tiba tubuh nona itu berputar melintas cepat di
hadapannya. Seketika Siu-lam rasakan sebuah tangan halus telah menjamah tangannya.
Pemuda yang cerdik itu cepat-cepat menyambut tang?n si nona, dan ah" benarlah.
Kiranya nona itu telah menyusupkan dua butir pil sebesar kedele ke dalam tangannya. Dan
secepat menyerahkan pil, Bwe Hong-swat terus menyelinap lenyap dalam lautan asap.
Sin Ciong mencabut pedangnya dan membolang-balingkan untuk melindungi diri.
Tindakan itu diikuti oleh semua orang gagah.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar keras. Ternyata pintu gedung Hwe-lun-tian
telah menutup sendiri. Saat itu hanya separoh dari rombongan yang masuk. Yang separoh masih tertinggal di
luar gedung. Sin Ciong tojin membolang-balingkan pedangnya ke udara. Itulah pertandaan dari
partai Bu-tong-pay. Anak murid Bu-tong-pay yang berada di belakang, cepat segera
mengatur diri dalam barisan Ngo-heng-kiam-tin.
Asap makin lama makin tebal sehingga menyerupai halimun pegunungan di pagi hari.
Dan mulailah terasa hawa yang lembab-lembab basah.
Tiba-tiba dari sudut ruang yang tertutup kabut asap itu terdengar suara seorang wanita
melengking, "Lekas lepaskan senjatamu dan duduk bersila mendengar keputusanku. Jika
berani membangkang, jangan salahkan aku bertindak ganas!"
Nada suara melengking nyaring bagaikan bunyi burung kenari yang sedap didengar.
Asup tebal sekali sehingga Sin Ciong tojin yang berusaha untuk menajamkan
pandangan matanya tetap gagal untuk mengetabui siapa wanita itu.
Tiba-tiba penerangan lilin di ruang itu padam serempak. Gelap pekat tiada taranya.
Tiba-tiba Siu-lam teringat akan pil pemberian si nona baju putih tadi. Sejenak ia merayu.
Pil itu hanya dua butir. Kepada siapakah hendak ia berikan"
Tiba-tiba sebuah tangan halus mencekal lengannya dan disusul dengan suara Hiansong
yang halus, "Engkoh Lam, apakah kau takut?"
"Tidak!" Dengan manja Hian-song rapatkan tubuhnya kepada S?u-lam seraya berbisik bahagia,
"Asal bersama engkau, aku tidak takut segala apa!"
Siu lam mendengus. Pada saat ia hendak bicara, tiba-tiba serangkum angin bertenaga
kuat melanda dari belakang.
Dalam tempat dan keadaan segelap itu, satu-satunya alat penjagaan diri hanyalah
telinga. Arah datangnya serangan atau gangguan lawan, hanya dapat diperhitungkan
melalui penangkapan telinga.
Sebenarnya Siu-lam dapat menghindar ke samping. Tetapi ia tak berbuat begitu,
melainkan sabetkan pedangnya ke belakang. Seketika terdengarlah jeritan ngeri. Entah
siapa, tetapi jelas pedangnya telah memakan satu korban.
Sesungguhnya ketika menyabetkan pedang tadi, Siu-lam sudah menginsyafi akibatnya.
Dalam keadaan pekat itu, kemungkinan pedangnya akan memakan jiwa seorang kawan
sendiri. Tetapi pedang sudah terlanjur disabetkan. Tak mungkin ditariknya kembali".
Ia baru terkejut ketika mendengar jeritan yang begitu ngeri. Korban tebasannya itu,
jika tidak mati tentu akan terluka parah.
S?u-lam menyesal sekali. Tiba-tiba terdengar suara gemerincing senjata beradu.
Rupanya telah terjadi pertempuran seru antara rombongan orang gagah melawan orangorang
Beng-gak. Siu-lam segera empos semangatnya dan curahkan seluruh perhatiannya. Tetapi asap di
dalam ruangannya sedemikian tebalnya hingga jari-jari tangannya sendiri tidak dapat
terlihat, ia tak dapat melihat siapa bertempur dengan siapa. Yang didengarnya hanyalah
senjata saling beradu! Kembali terdengar dua kali jeritan ngeri. Dan tetap ia tidak mengetahui siapakah
korban yang jatuh itu. Diam-diam ia mengeluh. Musuh tahu terang, tetapi fihaknya tak
dapat melihat musuh. Jika mereka melancarkan serangan dahsyat, rombongan orang
gagah tentu akan terancam bahaya kemusnahan. Demikian kecemasan yang mulai
mencekam hati Siu-lam. Dari arah sudut ruangan, kembali terdengar suara wanita tadi melengking, "Kuberi
kalian waktu sepeminum teh lamanya. Jika tidak mau membuang senjata dan menyerah,
kalian semua akan kubinasakan, saat itu kalian hendak menyerah sudah tak dapat
kuterima lagi!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara teriakan yang lantang, "Asap dalam ruangan ini tebal
sekali, harap saudara-saudara hentikan serangan!"
Siu-lam mengenal suara itu sebagai suara Sin Ciong totiang. Ia membisiki Hian-song,
"Memang suasana ruang ini gelap sekali. Bahkan jari-jemari kita sendiri tak dapat
melihatnya. Apabila musuh menyuruh dua tiga orangnya untuk mengacau di tengah ruang
ini, kemungkinan kita akan berantam dengan kawan sendiri!"
Hian-song tertawa, "Tetapi walaupun lebih gelap lagi, aku tetap melihat kau."
Dalam saat dan tempat yang dikuasai iblis-iblis maut itu, mudahlah orang tergetar
hatinya. Siu-lampun segera memeluk si dara erat-erat.
Apakah Hian-siong tersipu-sipu malu atau berseri girang, Siau-lam tak dapat melihat.
Tapi yang dirasakan nyata, dara itu susupkan mukanya ke dadanya seraya berbisik,
"Engkoh, kemungkinan kita tak dapat keluar dari sini lagi. Asap yang berhamburan ini
mengandung racun!" "Hai, bagaimana engkau tahu?"
"Dalam asap ini kucium bau yang harum. Karena bau harum itu halus sekali, maka
seorang tentu sukar merasanya?"
"Tetapi mengapa kau dapat merasakan?"
"Dahulu ketika aku masih tinggal bersama kakek, memang pernah membaui semacam
wewangian halus seperti ini. Ketika itu kakek tak di rumah, maka aku segera lari ke dalam
biliknya dan membuka kotak besinya. Ternyata dalam kotak itu terdapat beberapa macam
bunga yang sudah kering. Bau harum halus itu berasal dari bunga-bunga itu. Hanya saja
bau yang sekarang ini lebih halus lagi maka tadi aku tak dapat lekas-lekas
mengenalnya"." Dara itu menghela napas longgar, katanya pula, "Sekarang karena aku berada di
sampingmu, sekali tahu bahwa kita segera akan mati, tetapi sedikitpun hatiku tak gentar?"
"Sumoay, cobalah kau baui lagi yang seksama, apakah kau tak salah?"
Hian-song mengangkat kepala dan mengemasi rambutnya lalu berkata, "Tidak salah
lagi." Siu-lam pun mencobanya. Ah, benarlah. Ia rasakan dalam asap itu mengandung bau
harum yang halus. Serentak timbullah kemarahan Siu-lam. Jika asap itu benar
mengandung racun harum, celakalah sekalian orang gagah yang berada dalam ruang itu.
Serentak ia hendak berteriak memperingatkan rombongan orang gagah. Tetapi pada lain
saat ia teringat akan pil pemberian Bwe Hong-swat. Apakah pil itu bukan untuk menolak
racun" Jika aku berteriak, dikuatirkan tentu akan menyulitkan nona Bwe".
Sesungguhnya ia tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan Bwe Hong-swat. Tetapi
entah bagaimana, seringkali ada sesuatu perasaan yang timbul dalam hatinya, bahwa
nona baju putih itu benar-benar telah menjadi isterinya seperti yang mereka ucapkan di
bawah sinar rembulan dahulu.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berseru melengking, "Ketika masuk ke dalam
lembah ini, sebenarnya kalian sudah menghisap racun yang membaur dari padang bunga.
Tetapi racun itu memang lambat sekali jalannya. Dua belas jam kemudian baru terasa.
Tetapi sekarang kalian telah menghisap racun yang lebih hebat dari asap di sini. Setelah
kedua jenis racun itu bercampur, jangan harap kalian mampu tertolong lagi. Jika tak
percaya, cobalah kalian menyalurkan napas atau cobalah menyedot dengan hati-hati,
adakah dalam asap itu tidak terbaur bau harum yang halus!"
Mendengar itu sekalian orang gagah hentikan usahanya untuk menjebol pintu besi.
Mereka berusaha untuk menenangkan diri.
"Ya, benar, memang asap ini mengandung racun halus. Kata-kata orang tadi memang
tak bohong!" teriak Hian-song dengan lantang.
Setelah mendapat penegasan dari dara itu barulah sekalian orang mempercayai.
Mereka segera menyedot napas. Ah, benarlah. Dalam asap itu memang mengandung bau
harum yang halus. Demikianpun yang dirasakan Sin Ciong tojin. Ia merasakan sesuatu yang berlainan
dalam dadanya. Namun ia tak mau mengakui, karena dikuatirkan sekalian orang akan
menjadi panik. "Kita harus lekas-lekas keluar dari ruang ini. Mari kita kerahkan seluruh kepandaian kita
untuk menggempur ruangan ini!" serunya dergan nyaring.
Rombongan anak murid Bu-tong-pay segera bersiap dalam barisan Ngo-heng-tin.
Sambil menjaga kedatangan musuh, mereka telah mengeluarkan api untuk menerangi
ruangan itu. Rornbongan orang gagahpun mengeluarkan kipas untuk menghalau asap di
sekelilingnya. Kini keadaan ruang itu agak tenang.
Pada saat itu tiba-tiba Siu-lam rasakan kepalanya pening. Buru-buru ia telan sebutir pil
pemberian Bwe Hong-swat itu. Kiranya karena untuk membuktikan kata-kata Hian-song,
tadi ia telah menyedot agak keras, sehingga racun yang masuk dalam tubuhpun lebih
banyak. Setelah minum pil, tubuhnya terasa panas. Tanyanya kepada Hian-song, "Sumoay,
apakah kau tahu cara untuk menyembuhkan racun asap itu?"
Hian song menggeleng, "Tidak tahu! Ketika kubuka kotak kakek dan terkena racun
bunga, kakek segera datang dan menolongku. Tetapi aku harus beristirahat beberapa hari
baru sembuh betul. Kakek memperingatkan agar aku jangan memasuki kamarnya dan
membuka barang-barangnya lagi.
Harapan Siu-lam untuk menolong rombongan orang gagah tak tercapai. la menghela
napas, dan suruh si dara minum pil yang sebutir.
Saat itu setelah ruangan terang, rombongan orang gagah segera mengatur diri sejak
menggempur barisan Ngo-kui-tin dan terjadi kekacauan ketika ruangan gelap, rombongan
paderi Siau-lim-si telah kehilangan dua orang yang luka dan seorang yang mati.
Rombongan murid Bu-tong-pay hanya menderita dua orang yang luka.
Kini murid Siau-lim-si telah membentuk barisannya Lo-han-tin pula dan murid Bu-tongpay
siap dengan barisan Ngo-heng-tin.
Sambil membolang-balingkan pedang, Sin Ciong totiang berseru nyaring, "Sudah berani
mengundang mengapa tak berani unjuk diri" Jika masih main mengumpat, ruang Hwe-luntian
ini akan kami hancurkan"."
Tiba-tiba dari sudut ruang terdengar suara seorang perempuan melengking, "Ruang
Hwe-lun-tian ini terbuat dari baja yang kokoh. Jika ampuh, silahkan kalian
menggempurnya"."
Dengan pendengarannya yang tajam dapatlah Sin Ciong membedakan bahwa suara
wanita itu bukanlah wanita yang tadi.
Tio Hong-kwat berbisik kepada Sin Ciong, "Kita telah terjebak dalam perangkap
mereka. Bila bertempur, kita tentu lebih menderita. Sebaiknya kita berusaha untuk keluar
dari ruang ini!" "Benar!" sahut Sin Ciong tojin, "tetapi aku tak dapat menemukan cara untuk
membobolkan tembok ruangan ini. Apakah mempunyai cara yang bagus?"
Tio Hong-kwat tertegun, "Ah, saat ini aku belum menemukan cara untuk
menggempurnya. Tetapi baiklah totiang memberitahukan pada sekalian saudara untuk
berusaha keluar dari sini!"
Jawab Sin Ciong, "Jika asap ini benar mengandung racun, kitapun sudah kemasukan
racun. Jika mundur dari sini, kemungkinan juga tidak terdapat obat. Daripada begitu, lebih
baik kita menyerbu masuk dan bertempur sampai detik terakhir dengan siluman
perempuan itu!" Ngo Cong-han mendukung pernyataan ketua Bu-tong-pay itu.
Setelah merenung sejenak, ketua Bu-tong-pay itu berseru nyaring, "Asap dalam ruang
ini kemungkinan memang mengandung racun. Kita hanya mempunyai dua jalan.
Menggempur dan keluar dari ruangan ini atau beramai-ramai menyerbu musuh!"
Habis berkata ketua Bu-tong-pay itu terus memutar pedang dan menyerbu ke sudut
ruang dari mana suara lengking wanita tadi berasal.
Saat itu korek api yang disulut rombongan orang gagah sudah hampir separo yang
padam. Hanya tinggal empat atau lima batang saja.
Begitu melihat pemimpinnya bergerak, barisan anak murid Bu-tong-pay pun segera
bergerak mengikuti. Begitu pula sekalian orang.
Sebenarnya Sin Ciong tojin seorang yang cermat dan hati-hati. Tetapi dalam saat dan
tempat seperti itu, ketenangan pikirannya mulai goyah. Dia hendak mencari orang Benggak
untuk memaksanya supaya memberitahukan rahasia keluar dar? ruangan itu. Atau
kalau ketemu dengan ketua Beng-gak, hendak ia terjang mati-matian.
Tetapi di sudut, ruang, ia tak menemukan barang seorang musuhpun juga. Ketiga nona
anakmurid Beng-gak itu entah Ienyap kemana!
Untuk menumpahkan kemarahannya, Sin Ciong hantamkan pedangnya ke dinding. Dia
seorang tokoh yang bertenaga sakti. Pedangnyapun sebuah pedang pusaka yang dapat
menabas logam. Tetapi anehnya dinding ruangan itu sama sekali tak bergeming.
Sekalian orang gagahpun menghampir?. Dengan menggembor sekuat-kuatnya, delapan
belas paderi jubah kuning serempak ayunkan tongkatnya menghantam dinding. Terdengar


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ledakan dahsyat dan percikan bunga api, tetapi dinding itu tetap tangguh.
Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dingin dari lain sudut, "Jika aku tak keluar untuk
bertempur, mungkin kalian tak dapat mati dengan meram"."
"Benar!" teriak Sin Ciong tojin, "jika kau dapat mengalahkan kami dengan kepandaian,
barulah kami benar-benar tunduk. Menang karena menggunakan segala macam akal
muslihat busuk, bukankah laku seorang kesatriya!"
Suara melengking itu menyahut, "Karena kalian berkeras hendak melihat aku, baiklah.
Tetapi barang siapa melihat wajahnya, hanya dua pilihan. Kesatu, dia harus mati. Kedua,
harus masuk menjadi anak buah Beng-gak dan tak boleh berkhianat"."
Sin Ciong membentak, "Hm, kau melupakan sebuah kemungkinan lagi. lalah, suatu adu
kesaktian yang akan dapat memutuskan siapa yang lebih unggul dan harus mati dulu!"
Tiba-tiba asap dalam ruangan itu lenyap. Ruang tampak jelas keadaannya.
Dengan tenang, ketua Bu-tong-pay itu berseru kepada sekalian orang gagah, "Entah
menang entah kalah, tetapi kita memang mempunyai harapan tipis bisa keluar dari Benggak
sini. Di daerah Kang-lam dan Kang-pak dan di luar perbatasan, kemungkinan memang
masih banyak okoh-tokoh sakti yang bersembunyi. Tetapi berpuluh-puluh tahun ini tokohtokoh
sakti yang terdapat di dunia persilatan hanyalah kita yang ada sekarang ini."
Ucapan ketua Bu-tong-pay itu sangat berkenan dalam hati sekalian rombongan.
Memang yang aktif dan ternama dalam daerah masing-masing, hanyalah anggota-anggota
yang ikut serta dalam rombongan yang datang ke Beng-gak itu.
Kata Sin Ciong lebih lanjut, "Asap dalam ruangan ini tadi mengandung racun. Dan
karena kita berada agak Iama di sini, tentulah sudah kemasukan racun itu."
Sekalian orang memandang ke arah ketua Bu-tong-pay itu dengan pandang
kehampaan. Sin Ciong menghela napas, "Jika kita binasa di sini, dunia persilatan tentu akan
mengalami perobahan. Sayang bahwa kepandaian sakti dari saudara-saudara sekalian,
ikut lenyap!" "Karena waktunya tak banyak, maka harap totiang lekas memberitahukan bagaimana
rencana totiang," seru Kau Cin-hong.
Sin Ciong totiang berkilat-kilat memandang ke arah Siu-lam dan Hian-song. Tampak
kedua anak muda itu berdiri berdampingan. Wajahnya kemerah-merahan dan matanya
meram seperti orang yang mabuk arak. Ketua Bu-tong-pay itu kerutkan dahi. Dia
menghela napas pelahan. Wajahnya mengunjuk rasa putus asa".
Ketika berpaling, ia melihat dua pemuda yang berada di belakang Kat Thian-beng.
Segera ia menghampirinya, "Apakah kedua anak muda ini, putera saudara?" tanya kepada
Kat Th?an-beng. Kat Thian-beng mengiakan. Walaupun disertai dengan tertawa, tetapi diam-diam
hatinya berduka. Karena orang yang datang ke Beng-gak situ kebanyakan tentu seorang
diri. Hanya dia sendiri yang membawa kedua puteranya. Dengan begitu ludaslah ayah dan
anak". "Kat-heng mempunyai berapa putera?"
Pertanyaan ketua Bu-tong-pay itu bagaikan ujung pisau menyayat hati Kat Thian-beng.
Jago tua itu menghela napas pelahan, "Memang puteraku hanya dua oranrg itu!"
Hubungan antara ayah dan anak adalah seperti mata dengan kaki. Apabila sang kaki
terluka, mata tentu ikut mengucurkan air mata sedih. Kat Thian-beng yang gagah perkasa,
akhirnya harus mengusap air mata yang mulai menitik di pelupuknya".
Melihat itu Kat Wi dan Kat Hong segera menghibur ayahnya, "Harap ayah jangan
berduka. Anak berdua tak takut mati"."
Mendengar pernyataan kedua puteranya itu, tiba-tiba Kat Thian-beng tertawa terbahak.
"Bagus puteraku. Kalian tak kecewa menjadi putera keluarga Kat yang gagah perkasa.
Ayah dan anak bisa mati bersama, memang suatu kematian yang gemilang!"
Tiba-tiba Sin Ciong tojin menutuk jalan darah kedua pemuda itu. Sudah tentu Kat
Thian-beng terkejut sekali, "Eh, apa maksud totiang?"
Wajah ketua Bu-tong-pay berobah serius. la memandang kepada rombongannya, "Saat
ini kita semua sudah terkena racun. Sekalipun belum tentu seperti yang dikatakan oleh si
perempuan siluman bahwa kita hidup hanya beberapa jam saja tetapi jelas hari ini kta
memang sukar keluar dari sini"."
Sekalian orang mendengar ucapan ketua Bu-tong-pay itu dengan penuh perhatian.
Sin Ciong tojin menghela napas pula, "Pinto mempunyai dua butir pil kim-tan. Pil ini
adalah pusaka warisan dari partay Bu-tong-pay. Entah terbuat dari bahan apa tetapi
khasiatnya seperti pil dewa yang dapat menghidupkan orang yang hampir mati, dapat
memunahkan segala macam racun. Sayang pil itu hanya kubawa dua butir sedang yang
terluka sekian banyak orang. Maka pil ini akan kuberikan pada anak muda yang berbakat
bagus dan berotak terang"!"
"Ah, mana bisa" Lebih baik totiang sendiri saja yang meminumnya!" Kat Thian-beng
berseru kaget. Tetapi ketua Bu-tong-pay itu tak menghiraukanya. Memandang kepada rombongan
orang gagah ia berkata pula, "Kedua putera saudara Kat ini, termasuk yang paling muda
sendiri di antara kita. Mereka mempunyai bakat bagus dan pribadi yang perwira. Pinto
hendak meminumkan pil ini pada mereka. Mudah-mudahan kedua pemuda itu dapat lebih
kokoh tenaga dalamnya. Tetapi saudara-saudara harus menyetujui sebuah syaratku agar
ilmu kepandaian saudara-saudara jangan sampai lenyap!"
Kini sekalian orang mengerti apa yang dimaksud Sin Ciong tojin. Tetapi mereka tak
berani berkata apa-apa. Ketua Bu-tong-pay itu kemudian mengeluarkan dua butir pil dari botol kumala lalu
memasukkannya ke dalam mulut Kat Wi dan Kat Hong.
Kat Thian-beng terharu sekali sehingga mengucurkan air mata.
"Pinto akan menulis ilmu simpanan dari Bu-tong-pay, baik ilmu silat tangan kosong,
ilmu pedang maupun pukulan Bian-ciang di atas baju ini." Sin Ciong tojin merobek lengan
baju dan dengan peniti ia menulis di atasnya. Dengan tenaga dalam yang hebat, dapatlah
ketua Bu-tong-pay itu mengerjakan semua rencananya.
Sekalian orang tergerak hatinya melihat tindakan Sin Ciong tojin itu. Merekapun segera
mengikuti. Ada yang merobek lengan baju dan menulis dengan ujung senjatanya. Ada
pula yang menuliskan thiat-pit (pena baja) pada tangkai pedang dan lain-lain.
Dalam beberapa kejap di hadapan kedua anak muda Kat Wi dan Kat Hong telah
bertumpuk seonggok robekan baju, tangkai pedang dan ikat kepala.
Setelah itu, Sin Ciong tojin gunakan tenaga sakti, tempelkan tangannya ke punggung
kedua anak muda yang masih pingsan itu. la salurkan Iwekang ke tubuh mereka.
"Toheng, biarlah kubantumu!" tiba-tiba Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi jago tua dari Tibet
menghampiri. Dan tanpa tunggu jawaban Sin Ciong ia segera lekatkan tangannya pada
punggung Kat Hong. Berkat Iwekang kedua tokoh yang sakti itu, dalam beberapa kejap saja kedua anak
muda itu dapat sadar kembali.
"Harap kalian berdua jangan bicara dulu. Salurkanlah darahmu untuk menyambut
saluran Iwekang pinto. Pinto akan membantu kalian untuk menembus jalan darah penting
dalam tubuh kalian!"
Kedua pemuda itu memandang kepada ayahnya. Tampak Kat Thian-beng dengan
wajah bersungguh-sungguh menyuruhnya segera menurut perintah Sin Ciong tojin.
Kat Hui dan Kat Hong pun segera mengerahkan lwekangnya untuk menyambut saluran
lwekang kedua tokoh tua itu.
Bluk! Tiba-tiba terdengar dua sosok tubuh berjatuhan ke lantai. Ketika sekalian orang
berpaling, ternyata yang jatuh itu adalah Siu-lam dan Hian-song.
Golok Sakti Lo Kun segera menghampirinya dan ketika hendak mengangkat tubuh
mereka tiba-tiba terdengar gelak tertawa melengking memenuhi ruang. Ketika
mamandang ke sudut ruang, ternyata di situ telah muncul empat wanita yang berpakaian
empat macam warna. Karena sudah menumpahkan perhatian pada Kat Hui dan Kat Hong serta terkejut atas
rubuhnya Siu-lam dan Hian-song, maka mereka tak tahu kemunculan keempat wanita itu.
Pada saat Sin Ciong tojin tengah menyalurkan Iwekang ke tubuh Kat Hui, sekalian
orang diam-diam menganggap Thian Hong siansu sebagai pimpinan. Karena paderi itu
diam saja. Sekalian orangpun tak berani bicara.
Keempat wanita itupun maju menghampiri rombongan orang gagah. Yang tiga orang
ternyata si nona baju merah, baju biru, dan si putih Bwe Hong-swat. Tetapi yang seorang
lagi mengenakan pakaian warna hitam, begitu pula wajahnya tertutup kerudung hitam.
Perawakan wanita misterius itu lebih tinggi dari ketiga nona. Suara ketawa melengking
tadi, berasal dari wanita itu juga.
Begitu keempat wanita itu hampir tiba, Kat Thian-beng loncat menerjangnya dengan
senjata thiat-pit. Si nona baju merah yang mengawal di sebelah kanan si wanita, tertawa dingin terus
loncat menyongsong Kat Thian-beng dengan kebut hud-tim berbareng itu tangan kanan
mencabut pedang dan ditusukkan ke dada orang.
Thiat-pit dan pedang susul-menyusul datangnya Kat Thian-beng yang sudah merasa
berterima kasih kebaikan Sin Ciong tojin mcnolong kedua puteranya, telah membulatkan
tekadnya. Dengan mengembor keras, ia benturkan thiat-pitnya kepada kebud si nona.
Nona berbaju merah tertawa dingin. Kebud disentakkan keatas untuk melibat thiat-pit
sedang pedang digerakkan dengan jurus Keng-hong-hwi atau burung hong kaget
meninggalkan rumpun alang-alang. Pedang berkilat laksana kilat.
Terlibat oleh kebut, pedang Kat Thian-beng tak dapat seketika bergerak. Jika ia
menghindari pedang si nona, ia harus lepaskan thiat-pitnya.
Kat Thian beng tak mempunyai banyak waktu untuk merenung. Cepat-cepat ia
lepaskan pedang dan Ioncat mundur. Tetapi nona baju merah ?tu setelah kebutkan thiatpit,
dengan tertawa melengking ejek segeria mengejar, "Huh, hendak lari kemana kau"
Maju selangkah, pedang dimainkan dalam jurus Coan-hun-ki-gwat atau menembus
awan mengambil rembulan. Bagaikan kilat menyambar pedang berkiblat menusuk dada.
Saat itu belum saja Kat Thian-beng berdiri tegak atau pedang sudah hampir melekat
dadanya. Dalam kejutnya ia hantamkan tangan kanan dengan pukulan Tou-ping-boangwat
atau bintang membentur bulan.
"Huh, kau masih berani melawan?" dengus nona baju merah itu. Pedang tiba-tiba
dirobah dengan jurus Lan-ho cay-tou atau Bintang bima sakti menjatuhkan bintang.
Pedang tiba-tiba menabas.
Uh" terdengar orang tertahan disusul dengan muncratnya darah merah. Separoh
lengan kiri jago she Kat itu terpapas kutung.
Tetapi jago tua itu dengan keraskan hati, gerakkan tangan kanan menghantam dengan
jurus Pit-to-hong-liong atau Menyogok naga kuning.
Kenekadan orang she Kat itu membuat si nona baju merah yang berhati ganas mau tak
mau menjadi terkesiap juga".
Duk" karena tertegun, dada si nona termakan tinju Kat Thian-beng. Seketika nona itu
terhuyung mundur dua langkah!
Mendapat hasil, Kat Thian-beng menggembor keras dan maju dua laugkah untuk
menyodokkan tinjunya yang masih lempang kemuka tadi ke dada si nona. Ia bergerak
dengan cepat dan keras. Tetapi ternyata si nona baju merah lebih cepat lagi. Kisarkan tubuh ke samping, pedang
diputar dan tiba-tiba di papaskan ke atas.
Uh!". Kembali terdengar jeritan tertahan dari mulat Kat Thian-beng. Lengan
kanannyapun terpapas kutung!
Tetapi entah dengan kekuatan apa, jago she Kat itu tidak mengerang dan tidak rubuh.
Bahkan seperti orang yang kerasukan setan, setelah kedua lengannya kutung, sekonyongkonyong
ia ayunkan kaki kanannya dengan ilmu tendangan Gai-sing-thi-tou atau bintang
pagi berjumpalitan. Dengan sekuat tenaga ia tendang perut si nona.
Nona baju merah itu berkerut alis dan tertawa dingin, "Benar seorang jago yang gagah
perkasa!" Kata-kata itu ditutup dengan menyapukan kebutnya ke kaki lawan. Begitu kaki Kat
Thian-eng terpental, nona itu segera susuli dengan tusukan pedang ke dada.
Cres! .. ujung pedang menusuk dada terus tembus sampai ke punggung. Namun orang
she Kat itu pantang berteriak. la hanya mengerang perlahan lalu menyurut mundur dan
rubuh ke ataa tanah. Kat Thian-beng jago yang termasyhur dengan senjata thiat-pit (pena baja), terpaksa
mesti mengakhiri hidupnya secara mengenaskan.
Adalah karena racun asap itu maka Khat Thian-beng menderita kekalahan dari si nona
berbaju merah. Buru-buru Sin Ciong tojin menotok pinggang Kat Hong dan Kat Wi lagi. la kuatir karena
melihat ayahnya meninggal secara begitu mengenaskan, kedua pemuda itu akan
terpengaruh sehingga darahnya meliar dan menderita apa yang dikata Co-hwe-jip-mo atau
tubuhnya rusak menderita aliran darah yang liar.
Setelah Kat Thian-beng meninggal, baru]ah Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat
menggembor dan menerjang dengan pedangnya. Memang pengaruh racun itu menjadikan
pikiran sekalian orang gagah menjadi tumpul.
Si nona baju merah tertawa dan berpaling, "Ji sumoay, kau saja yang membereskan!"
Si putih Bwe Hong-swat mengiakan. Sekali melesat ia menyongsong Tio Hong-kwat.
Tring, tring terdengar benturan senjata tajam dan Tio Hong-kwatpun tersurut mundur
beberapa langkah". Sekalian orang gagahpun mengikuti Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat manyerbu. Mereka
segera disambut oleh si nona baju biru dan baju merah. Tetapi si wanita berkerudung kain
hitam tegak berdiri mengawasi saja.
Ketliga nona murid Beng-gak itu berkepandaian sakti. Dengan bahu membahu, mereka
bertiga dalam membendung serbuan lawan. Pertempuran lawan berlangsung seru sekali.
Senjata macam tanduk rusa dari si nona baju biru, tampaknya mengganas dengan hebat!
Tring, tring, tring, tak henti-hentinya terdengar gemerincing senjata beradu. Beberapa
saat kemudian terdengar jerit orang tertahan dan seorang murid Siau-lim-si telah terbelah
dua oleh senjata si nona baju biru.
Sin Ciong tojin mengawasi pertempuran itu dengan hati dingin. Walaupun serangan
rombongan orang gagah cukup dahsyat, tetapi mereka lebih mirip dengan kerbau gila
daripada jago persilatan yang menyerang dahsyat. Hal itu menandakan bahwa racun
dalam tubuh mereka sudah mulai bekerja.
Diam-diam ketua Bu tong pay itu menggigil".
Ia menghela napas. Sambil putar pedangnya ia berbisik kepada kedua jago Ceng-siapay
ialah kedua saudara Siong Hong dan Siong Gwat totiang, "Apa yang toheng berdua
rasakan saat ini?" "Hatiku agak berdebar tak tenang?" jawab Siong Hong totiang.
"Harap toheng tenangkan semangat dulu. Setelah itu harap memberitahukan pinto.
Nanti Kita bersama-sama menyerbu"."
Tiba-tiba terdengar dua buah jeritan ngeri. Dua orang gagah dalam rombongan, telah
rubuh. "Omitohud!" terdengar ucapan doa melantang. Serempak terdengarlah nyanyian
memanjatkan doa untuk kedua korban yang jatuh itu.
Nyanyian itu telah membangkitkan semangat anak murid Siau-lim-si. Mereka
menyerang dengan cepat dan dahsyat. Terpaksa lain-lain orang gagah menyingkir ke
samping memberi jalan. Munculnya gelombang serangan barisan Siau-lim-si itu dapat mencegah amukan ketiga
nona. Adalah karena rombongan orang gagah itu terhadang oleh ketiga nona dan ada
beberapa yang terbunuh maka kepala barisan Siau-lim-si segera lantangkan doa kemudian
terdengar nyanyian-nyanyian doa dari dalam kitab suci. Ayat dan doa yang dinyanyikan itu
membangkitkan kerelaan semangat berkorban untuk kepentingan lain orang. Mendekatkan
akan hakiki dari kematian dengan kehidupan. Mati adalah seperti pulang ke rumah asal.
Dengan semangat yang telah diisi itu, barisan Lo-han-tin segera bergerak dengan
mantap. Ke tigapuluh enam paderi Siau-lim-si itu merupakan murid angkatan kedua dari Siaulimsi. Mereka berkepandaian tinggi. Begitu pula barisan Lo han-tin itu merupakan barisan
Siau-lim-si yang paling dibanggakan. Penuh dengan perobahan-perobahan yang sukar
diduga dan variasi yang mengagumkan.
Melihat perbawa barisan Lo han-tin, timbullah semangat Sin Ciong tojin. Dengan
lwekang yang hebat, ia dapat menekan menjalarnya racun dalam tubuhnya.
Sambil membolang-balingkan pedang, ia berseru lantang kepada anak murid Bu-tongpay,
"Barisan Lo han-tin sudah bergerak. Tapi cara bertempur dahsyat itu akan
mempercepat bekerja racun. Sekali racun mengembang, tak mungkin terobati Iagi"."
Ketua Bu-tong-pay itu menghela napas, kemudian ia berbisik-bisik memberi pesan
kepada anak murid Bu-tong-pay. Setelah itu ia berpaling dan bicara beberapa saat dengan
jago Ceng-sia-pay Siong Hong dan Sing Gwat, kemudian dengan jago tua dari Tibet Pek
Co-gi. la bicara pelahan sekali sehingga lain orang tak dapat menangkapnya.
Hanya yang tampak, saat itu anak murid Bu-tong-pay, kedua jago Ceng-sia-pay, Buingsin-kun Pek Co-gi segera duduk bersemedhi.
Sementara Sin Ciong tojin pun segera bekerja. la mengumpulkan warisan ilmu
pelajaran silat dari beberapa tokoh yang ditulis pada tangkai pedang, robekan baju dan
lain-lainnya itu. Lalu dibagi dan dibungkus jadi dua bungkusan. Kemudian iapun duduk
bersemedhi. Tak berselang beberapa saat, tiba-tiba Sin Ciong tojin rubuh lebih dulu. Setelah itu
berturut-turut rubuhlah Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi, kedua jago Ceng-sia-pay dan anak murid
Bu-tong-pay. Mereka menggeletak malang-melintang di lantai. Ada yang rubuh terlentang,
ada yang miring, dan ada pula yang tengkurap sehingga menimbulkan kesan kalau
pekakas dalam tubuhnya hancur karena keracunan".
Karena melihat mereka rubuh, diam-diam Kau Cin-hong heran, "Eh, mengapa mereka
begitu mudah terjungkal!" Apakah mereka tak mampu menahan bekerjanya racun?"
Seketika ia nekad. tetapi serempak dengan itu matanya terasa berkunang-kunang. Ah,
ia pun hampir tak kuat bertahan lagi. Dengan menggembor keras, ia taburkan senjatanya
Kiu-mo-ci-hoat atau gelang jari sembilan. Lontaran itu dilambari dengan sisa tenaganya
dan ditujukan pada si wanita berkerudung kain hitam!
Badai Awan Angin 12 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Petualangan Manusia Harimau 4

Cari Blog Ini