Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 10

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 10


"Eeeh, bicara dengan kaum Cianpwe, kenana tidak turun dari keledaimu ?" demikian segera ia menyerobot maju dan cari2 persoalan.
Menyusul itu tahu2 ia sudah berada di depan binatang tunggangan orang dan ulur tangannya buat menarik lengan kanan si gadis.
Karena gerak tangannya itu sangat cepat hingga gadis itu tak sempat menghindarkan diri, seketika lengannya kena dicekal, dan karena lengan kanannya dipakai untuk memegang golok-sabitnya, maka goloknya tak bisa dipakai menangkis.
Tak tersangka se-konyong2 sinar tajam berkelebat sedikit gadis itu tekuk sikutnya, golok-sabitnya tahu2 memotong dari samping, dari jurusan yang sama sekali tak terduga.
Tentu saja tidak kepalang kagetnya Tan-lokunsu, lekas2 ia lepaskan cekalannya bila ia tidak mau merasakan tajamnya golok itu.
sungguhpun begitu, tidak urung dua jari tangannya sudah terluka.
Dengan cepat segera ia melompat mundur terus cabut goloknya sendiri, dalam gusarnya ia ber-teriak2 mendamperat: "Perempan bangsat, agaknya kau sudah bosen hidup !" Melihat kawannya dilukai, mau-tak-mau yang lain2 ikut mengangkat senjata, Han-cecu pakai sepasang ganden berantaai, sedang Tio Put-hoan lolos pedangnya, begitu pula Ki Jing-si dan Bing-hiam juga lantas tarik pedang mereka.
Akan tetapi mereka menjadi kaget ketika merasa senjata yang mereka genggam itu bobotnya sangat enteng, ketika mereka tegasi, celaka tiga-belas, kiranya yang terpegang di tangan mereka melainkan garan pedang belaka, sedang bagian yang tajam ketinggalan di dalam sarungnya.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa itu adalah perbuatan Nyo Ko semalam di mana pedang mereka diam2 dipatahkan dan selimut mereka dikencingi juga, sedang kini musuh tangguh sudah berhadapan senjata saja mereka tak punya.
Rupanya melihat kelakuan kedua imam yang kikuk dan serba salah itu, si gadis tadi tertawa ngikik geli.
Waktu itu Nyo Ko sendiri lagi berduka, tetapi demi mendengar suara tertawa gadis itu dan melihat kelakuan kedua imam yang lucu itu, tak tertahan iapun tertawa maski sebenarnya ia masih tersenggak-sengguk.
Sementara itu terlihat si gadis telah membuka serangan, se-konyong2 ia ayun goloknya terus memotong ke telinga Bi Jing-hian.
Dengan sendirinya lekas2 Bi Jing-hian tarik badan dan mengkerut kepala buat hindarkan elmaut, siapa tahu gaya serangan golok itu ternyata sangat hebat, ketika tangan si gadis sedikit memutar senjatanya yang aneh itu tiba2 membelok di tengah jalan terus mengiris ke bawah lagi karena tidak ter-duga2 akan perubahan serangan ini, tidak urung sebelah kuping Bi Jing-hian tetap menjadi korban.
Keruan saja keempat kawannya terkejut, sama sekali tak mereka duga bahwa To-hoat atau ilmu permainan golok orang bisa begitu bagus dan aneh.
Keadaan sudah memaksa, kini mereka tak pikirkan lagi keroyokan atau tidak, segera mereka mengerubut maju terus kepung si gadis bersama keledainya di tengah2.
Cuma yang mengeroyok hanya tiga orang saja, Bi Jing-hian dan Ki Jing-si terpaksa mundur ke belakang karena mereka tak bersenjata, yang mereka pegang hanya garan pedang, hendak dibuang sayang, tidak dibuang toh tidak terpakai mereka menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus di-buatnya.
Dalam pada itu tiba2 terdengar gadis itu bersiul nyaring sekali, ia tarik tali kendali keledainya terus melompat pergi sejauh beberapa tombak dengan maksud memboboIkan garis kepungan orang.
Namun dengan cepat Tan-lokusu bertiga lantas mengerubut maju lagi.
Bahkan sebelum tiba orangnya, lebih dulu Han-cecu timpukkan ganden besinya yang berantai itu.
Melihat senjata orang cukup berat, pula tipu serangannya cukup ganas, diam2 gadis itu merasa heran juga, maka tak berani lagi ia memandang enteng, ketika tubuhnya mengegos, timpukkan ganden tadi telah dia hindari.
Memang senjata "Lian-cu-tui" (ganden berantai) Han-cecu itu bukan senjata ringan dan mempunyai daya tekanan yang sukar ditahan.
Sebaliknya ilmu pukulan Tan-lokunsu sebenarnya lebih tinggi dari pada permainan goloknya, pula jarinya sudah terluka, maka serangan goloknya boleh dikatakan tak seberapa, hanya Kiam-hoat Tio Put-hoan sebaliknya tidak bisa dipandang rendah, serangannya jitu lagi keji, setiap tipu serangannya selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Tatkala itu hati Nyo Ko rada tenang, kini baru dia amat-amati wajah gadis itu, ia lihat raut muka orang potongan daun sirih dan sanggat cantik, usianya agaknya setahun dua tahun lebih muda dari pada dirinya, pantas kalau si pelayan hotel tidak percaya bahwa itu "gadis cantik berbaju putih" adalah kakak perempuannya.
Di samping muka orang yang cantik itu, kulit badannya sebaliknya rada hitam2 manis, sama sekali berlainan dengan kulit Siao-Iiong-li yang putih bersih.
Senjata yang dipakai gadis inipun sangat aneh dan lain dari pada yang Iain, ilmu permainan goloknya sangat gesit, meski dikatakan golok, tetapi yang dipakai adalah gerak tipu permainan pedang, lebih banyak menusuk dan memotong dari pada membacok dan membabat.
Hanya menyaksikan beberapa jurus permainan golok orang, segera Nyo Ko tahu orang memang menggunakan ilmu silat dari golongan yang sama dengan dirinya, yakni Ko-bong-pay.
Apakah dia ini juga muridnya Li Bok-chiu " demikian Nyo Ko menjadi heran.
Semula sebenarnya Nyo Ko sangat penasaran karena lima orang lelaki mengeroyok seorang gadis cilik, tetapi kemudian sesudah mengetahui dari mana asal-usul ilmu silat orang, karena menduga orang pasti muridnya Li Bok-chiu, seketika timbul rasa antipatinya Nyo Ko, ia pikir biarkan saja pihak mana yang bakal menang, semuanya tidak kugubris.
Begitulah dia lantas berbaring lagi dengan sikunya sebagai bantal, hanya kadang2 saja ia melirik pertarungan yang sedang berlangsung dengan sengit itu.
Untuk belasan jurus permulaan, karena gadis itu berada lebih tinggi di atas keledainya, maka kelima lawannya dipaksa harus melompat kian ke mari untuk menghindari sabetan golok-sabit yang diayun pergi datang.
Sesudah belasan jurus lagi, karena senjata yang dipegangnya hanya gagang pedang yang sudah patah dan tak sanggup membantu kawannya, tiba2 hati Ki Jing-si tergerak "Mari Bi-sute, ikut padaku !" ia teriaki Bi Jing-hian.
Habis itu ia berlari menuju ke tempat yang banyak tumbuh pohon, di sana ia pilih satu pohon muda dan sekuat tenaganya ia patahkan bongkot-nya, ia hilangkan tangkai dan daunnya, maka ber-wujutlah kini sebatang pentung yang dapat dipakainya sebagai gaman.
Tentu saja Bi Jing-hian sangat girang, iapun tiru2 sang Suheng dan patahkan satu pohon yang lain untuk digunakan sebagai senjata.
"Hantam keledainya dan tidak orangnya!" demikian Ki Jing-si beri petunjuk lagi, Habis ini, dua pentung kayu mereka lantas menyerampang dari kanan dan kiri dengan cepat mereka arah kaki keledai tunggangan gadis tadi.
"Hm, tak punya malu !" dengan pelahan gadis itu menjengek berbareng ia ayun goloknya buat tangkis pentung orang.
Karena sedikit melengnya ini, dari samping lain ganden berantai Han-cecu sudah menyerang juga bersama dengan pedang Tio Put-hoan.
Dalam keadaan terancam, lekas2 gadis itu keluarkan gerak tipu yang berbahaya, ia tunduk kepala dan luputkan ganden yang menyamber, saat lain terdengar pula suara "trang" yang nyaring, goloknya telah ditangkiskan pedang lawan yang lain.
Tetapi pada waktu itu juga keledainya telah melengking kesakitan terus menegak dengan kaki belakang, kiranya binatang ini telah kena ditoyor sekali oleh pentungnya Ki Jing-si.
Melihat ada kesempatan, segera Tan-lokunsu menjatuhkan diri terus menggelundung mendekati musuhnya, ia keluarkan ilmu golok dan berhasil menghantam sekali paha keledai hitam dengan punggung goloknya.
Dengan demikian tak mungkin lagi bagi si gadis mengandalkan keledainya, dalam pada itu senjata lawan baik pedang maupun ganden berbareng telah menyamber datang pula, terpaksa ia meloncat ke atas, sedang tangan kiri menyamber dan pentung Bi Jing-hian berhasil dicekalnya, ketika ia gunakan tenaga dalamnya, tahu2 pentung itu telah patah menjadi dua potong.
Dan begitu kedua kakinya tancap kembali di atas tanah, sekalian pula goloknya dia babat ke samping untuk patahkan bacokan Tan-lokunsu yang sementara itu telah menyerang.
"He, kenapa " Dia sudah terluka ?" tiba2 Nyo Ko kaget demi nampak gaya berjalan si nona.
Kiranya kaki kiri si gadis rada pincang, dengan sendirinya untuk berjalan, apa lagi buat melompat menjadi tidak leluasa.
Dan dengan sendiri-nya, sebab inilah maka sejak tadi dia tidak mau turun dari keledainya.
Tahu akan ciri gadis ini, seketika rasa keadilan Nyo Ko tergugah, ia niat turun tangan buat membantunya, Tetapi ketika dia pikir dan ingat pengacauan Li Bok-chiu hingga dirinya yang tinggal aman tenteram bersama Siao-liong-li di dalam kuburan itu berakibat seperti keadaan sekarang ini, kembali hatinya menjadi panas Iagi, ia berpaling ke jurusan lain dan tak mau menyaksikan lebih lanjut Namun telinga toh mendengar suara "crang-creng", suara beradunya senjata tajam yang nyaring dan tiada hentinya, rasa ingin tahunya tak bisa ditahan, kembali ia berpaling buat menonton lagi, Hanya sejenak tadi ternyata keadaan pertarungan itu sudah banyak berubah, gadis itu telah terdesak lari kian kemari, sudah lebih banyak menangkisnya daripada balas menyerang.
Dalam pada itu mendadak Han-cecu telah tim-puk sebelah gandennya, terpaksa gadis itu miringkan kepalanya, tetapi pada saat yang sama juga pedang Tio Put-hoan sudah menusuk pula, terdengarlah suara "cring" yang nyaring pelahan, ternyata gelang perak pengikal rambut gadis itu telah kena ditabas kutung hingga sebagian rambutnya yang panjang terurai.
Maka tertampaklah alis si gadis yang lentik itu menjengkit, bibirnya pun sedikit bergerak dan digigit, mukanya seketika seperti tertutup oleh selapis awan hitam, kontan goloknya membabat, ia balas sekali serangan orang.
Melihat tarikan alis dan gerakan bibir si gadis, seketika hati Nyo Ko terguncang keras, "Di waktu Kokoh marah padaku, persis mimik wajahnyapun begitu," demikian pikirnya.
Oleh karena melihat rasa gusar yang diunjuk gadis itu, tanpa pikir lagi Nyo Ko ambil keputusan pasti akan membantu padanya.
Sementara itu ia lihat keadaan gadis itu semakin terdesak, gerak-geriknya tak teratur lagi.
"Hayo, lekas katakan, sebutan apa sebenarnya antara kau dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu ?" demikian terdengar Tio Put-hoan memperingatkan lawannya, "Jika masih tetap tidak menjelaskan jangan kau sesalkan senjata kami tak bermata.
" Di luar dugaannya, bukan saja gadis itu tidak menjawab, bahkan goloknya tahu2 menabas dari belakang kepala karena senjata ini memang me-lengkung, Terkejut sekali Tio Put-hoan oleh serangan yang aneh itu, syukur dengan cepat Tan-lo-kunsu keburu wakilkan dia menangkis hingga dengan demikian jiwa Tio Put-hoan dapat diselamatkan.
Melihat tipu serangan si gadis begitu keji, ketiga lawannya kinipun tidak pakai murah hati lagi, Maka dalam sekejap saja, gadis itu sudah ber-ulang2 menghadapi serangan berbahaya, Tio Put-hoan pikir gadis ini pasti ada hubungan rapat dengan Li Bok-chiu, kalau kelak diketahui oleh Li Bok-chiu, tentu dikemudian hari akan menjadikan bibit bencana saja, oleh sebab itu serangan2nya kini selalu mengincar tempat2 yang berbahaya.
Melihat keadaan si gadis sudah dalam detik yang sangat genting, segera Nyo Ko melompat ke atas punggung sapi jantan tadi, ia jojoh sekali pantat binatang itu dengan jerijinya, karena kesakitan dengan sekali menguak sapi jantan itu pentang kaki dan menerjang ke jurusan enam orang yang sedang saling labrak itu.
"Haya, celaka ! Sapiku kesetanan, tolong, tolong !" demikian Nyo Ko sengaja ber-teriak2.
Baru saja selesai ia berteriak, orangnya berikut sapinya sudah menyerbu sampai di kalangan pertempuran sana.
Tatkala itu keenam orang itu asyik bertempur mati-matian, ketika mendadak melihat seekor banteng menyeruduk tiba dengan kalap, niat mereka hendak melompat ke samping buat hindarkan diri, namun secepat kilat banteng itu sudah menerjang sampai di belakang Ki Jing-si dan Bi Jing-hian.
Nyo Ko sendiri tengkurap di atas sapinya, tangan dan kakinya bergerak naik turun seperti orang kebingungan dan ketakutan setengah mati, sesudah dekat dengan kedua orang tadi, dengan cepat "hong-gan-hiat" di punggung kedua orang dicengkeramnya.
"Hong-gan-hiat" adalah salah satu jalan darah penting di tubuh manusia, karena kena dicekal, seketika Ki Jing-si dan Bi Jing-hian menjadi lemas kesemutan dan tak bisa berkutik, Dengan pelahan Nyo Ko angkat tangannya, kedua orang itu dia tarik keatas terus digantung pada kedua tanduk sapi jantan itu, sedang mulutnya masih tiada hentinya berteriak "Tolong ! Tolong!" Kemudian dengan ujung kaki ia tendang pantat sapi itu, maka berlari kesetanan lagi binatang itu ke lereng bukit dengan membawa tiga orang, satu tengkurap di punggungnya dan yang dua ter-cantol pada tanduknya.
Melihat perubahan yang mendadak dan aneh ini, baik si gadis tadi maupun Tio Put-hoan seketika berhenti dari pertempuran mereka.
Nyata ilmu silat Nyo Ko masih jauh lebih tinggi daripada keenam orang itu, apa yang dilakukannya ternyata tiada seorangpun yang mengetahuinya.
Ketika sampai di tanah rumput dimana dia angon sapi tadi, Nyo Ko buang kedua imam itu ke tanah terus giring sapi itu menerjang ke bawah puIa, sekali ini yang dia incar adalah Han-cecu dan Tan-Iokunsu.
Rupanya Han-cecu pikir tenaganya cukup besar untuk menundukkan binatang yang mengganas ini, maka gandennya yang berantai dia libat di pinggangnya, lalu dengan pasang kuda2 kuat ia tunggu sapi itu mendekat, se-konyong2 ia melangkah maju setindak terus tanduk binatang itu dia pegang erat2 dengan kedua tangannya, dengan demikian ia hendak taklukkan banteng ngamuk itu.
Dilain pihak Nyo Ko masih bertingkah serabutan sambil berteriak2, namun pada saat yang jitu sekali, "cian-tay-hiat" di pinggang Tan-lokunsu dia tutuk pula dengan tendangan.
Dan sebelum kedua sasarannya ini roboh atau mereka sudah dia samber terus digantung lagi di atas tanduk sapi dan diangkut pula ke tanah rumput tadi.
Melihat banteng ngamuk ini begitu aneh, mau tak mau si gadis dan Tio Put-hoan saling pandang dengan tak mengarti, jika tadi mereka saling labrak dengan adu jiwa, maka kini sebaliknya ada persamaan perasaan diantara mereka, yakni "senasib.
" Dalam pada itu dilihatnya banteng ngamuk tadi sudah balik kembali, suara teriakan bocah angon yang tengkurap di atas binatang itu kedengarannya sudah serak, terang sekali keadaan sangat genting.
Segera Tio Put-hoan ber-siap2, ia menunggu banteng itu menyeruduk tiba kira2 setengah tombak sebelum tubuhnya, sekonyong-konyong pedangnya berputar, ia hindari serudukan banteng itu dari depan, dengan cepat tubuhnya melangkah ke samping sambil pedangnya menusuk, begitu cepat dan tepat saat yang digunakan, dengan segera banteng ngamuk itu bakal tembus tertusuk perutnya.
Siapa tahu, baru saja ujung pedangnya hampir menyentuh kulit sapi itu, se-konyong2 bocah angon itu tangannya bergerak pontang-panting sambil pegang sulingnya dan dengan persis batang suling membentur ujung pedang, karena itu, arah pedang menjadi menceng, Karena luput serangannya, Tio Put-hoan terkejut untuk menghindar agar tidak diserempet banteng itu, lekas2 ia melompat ke atas dengan maksud melewati binatang itu, siapa duga selagi orangnya terapung di udara, se-konyong2 mata kakinya terasa kaku kesemutan, ketika tubuhnya jatuh ke bawah, dengan tepat menyangkol di ujung tanduk banteng hingga kena dibawa binatang yang berlari itu ke tanah lapang tadi untuk kemudian dilemparkan di sana.
Habis itu, Nyo Ko putar haluan sapi itu, kembali menerjang cepat pula ke arah si gadis yang masih tersisa itu.
Di lain pihak sesudah menyaksikan kelima jago seperti Tio Put-hoan kena diseruduk jatuh semua oleh banteng ngamuk itu, meski gadis itu merasa curiga juga, tetapi ia pikir hanya seekor sapi jantan saja, kena apa harus ditakuti " Segera dia bersiap-siap.
Dilihatnya dengan mulut berbusa binatang itu telah memyeruduk tiba pula, Pada saat yang tepat mendadak ia meloncat ke atas, berbareng itu goloknya terus membacok leher banteng itu.
"Haya, celaka, jangan bunuh sapiku !" jerit Nyo Ko mendadak Berbareng itu diam2 ia jojoh pundak sapi itu dengan jarinya, karena sakit, dengan sendirinya kepala sapi itu meleng ke samping dan dengan persis bacokan orang dapat dihindarinya.
Sedangkan Nyo Ko sendiri pura2 jatuhkan diri tergelincir ke bawah sambil ber-teriak2 : "Tolong ! tolong !" Sebaliknya sapi jantan itu rupanya sudah terlalu letih, sesudah beberapa tindak berlari lagi dia lantas berhenti dengan napas empas-empis.
Melihat binatang itu tidak main gila lagi, setelah tenangkan diri mendadak gadis itu jinjing goloknya terus berlari ke tanah datar sana.
"Celaka, kelima orang itu pasti akan teraniaya," pikir Nyo Ko diam-diam.
Karena itu, sebelum gadis itu sampai di tem-patnya, lebih dulu Nyo Ko sudah jemput beberapa batu kecil, sekali ayun batu2 itu ditimpukkan ke badan kelima orang yang rebah tak berkutik itu.
Meski umur Nyo Ko masih kecil, tetapi ilmu silatnya sudah terlatih sampai tingkatan yang tiada taranya, walaupun jaraknya dengan kelima orang itu sangat jauh, namun tiap2 batu yang ditimpukkan itu dengan tepat mengenai Hiat-to di tubuh masing2.
Ketika Tio Put-hoan cs. mendadak merasakan tubuh kesakitan, tetapi rasa kesemutan juga segera hilang, mereka menyangka gadis itu diami sembunyikan bala bantuan yang sangat lihay, cara mereka kena ditutuk dan mendadak terlepas pula jalan darahnya tentu perbuatan jagoan yang tersembunyi itu, kini orang suka memberi jalan hidup, mana berani lagi mereka terlibat dalam pertarungan pula " Maka begitu mereka merangkak bangun, tanpa pikir lagi segera mereka angkat langkah seribu alias kabur.
Dalam gugupnya karena ketakutan itu, rupanya Bi Jing-hian menjadi bingung hingga tak bisa bedakan arah timur dan barat, bukannya dia lari ke jurusan yang selamat, sebaliknya ia malah lari ke arah si gadis yang sedang memarani mereka itu.
"Bi-sute, lekas kembali !" seru Ki Jing-si kuatir.
Ketika Bi Jing-hian sadar keliru jalan dan berniat putar kemudi, namun sudah terlambat, si gadis sudah datang dekat, goloknya sudah diangkat dan dibacokkan padanya.
Sungguh luar biasa kaget Bi Jing-hian, ia sendiri sudah tak bersenjata, Iekas2 ia mengegos buat luputkan diri dari ancaman maut, tak terduga arah serangan yang dilontarkan gadis itu ternyata susah dipastikan, mula2 seperti mengarah ke kiri, tahu2 telah sampai di kanan, disertai berkelebat-nya sinar dingin, tahu2 golok-sabit telah berada di depan mukanya.
Dalam keadaan kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa Bi Jing-hian angkat sebelah tangannya buat menangkis, maka tidak ampun lagi terdengar sekali suara "cret", telapak tangannya tertabas putus oleh golok-sabit si nona.
Walaupun demikian Jing-hian masih belum merasakan sakit, ia masih sempat putar tubuh terus lari ter-birit2 lagi, Waktu itu Tio Put-hoan sudah berpaling juga, dengan pedang melintang di dada ia berusaha melindungi kawannya.
Rupanya gadis itu telah kenal juga lihaynya orang, maka tak berani ia mendekati, ia menyaksikan Bi Jing-hian dipayang pergi oleh Ki Jing-si untuk kemudian menghilang di balik gunung sana.
Nampak musuh sudah pergi, gadis itu masih ketawa2 dingin, sedang dalam hati penuh curiga, ia pikir apakah mungkin ada orang luar yang bersembunyi di sekitar sini " Dengan cepat ia mengelilingi sekitar sana, tetapi keadaan sunyi senyap tanpa satu bayangan pun, Dia kembali lagi ke lembah sana, ia lihat Nyo Ko masih duduk di tanah dengan muka mewek2 seperti mau menangis.
"Hai, bocah angon, apa yang kau keluh-kesahkan ?" tegur gadis itu.
"Sapi ini tadi telah gila hingga tubuhnya babak belur, kalau pulang nanti pasti aku akan dihajar setengah mati oleh majikan.
" sahut Nyo Ko. Tetapi waktu si gadis periksa keadaan sapi jantan, ia lihat kulit tubuh binatang itu halus bersih, tiada kelihatan sesuatu luka.
"Baiklah, hitung2 sapimu ini telah menolong aku tadi, ini, aku beri serenceng uang perak," kata si gadis pula.
Habis itu ia keluarkan serenceng uang perak yang berbobot sekira lima tahil terus dilemparkan ke tanah, ia menduga "bocah angon" itu pasti akan girang tidak kepalang dan mnghaturkan terima ka-sih, siapa tahu orang masih bermuka muram durja, sambil geleng2 kepala, tetapi tidak mengambil uang perak itu.
"Kenapakah kau ?" tanya gadis itu tak sabar, "lni uang perak, tahu tidak kau, tolol ?" "Hanya serenceng tidak cukup !" sahut Nyo Ko kemudian Waktu gadis itu merogoh sakunya, kembali ia keluarkan serenceng uang perak lain yang masih ada dan dilemparkan ke tanah lagi.
Tapi Nyo Ko sengaja goda padanya, dia masih tetap goyang kepala.
Akhirnya gadis itu menjadi marah, alisnya tertarik tegak dan mukanya merengut.
"Sudah habis, tolol!" damperatnya, Habis ini ia putar tubuh dan berjalan pergi.
Melihat sikap orang sewaktu marah, seketika hati Nyo Ko terguncang, teringat tiba2 olehnya sikap Siao-liong-li waktu mendamperat dirinya, karenanya ia telah ambil suatu keputusan: "Jika seketika tak bisa ketemukan Kokoh, biarlah aku senantiasa menyaksikan wajah nona ini saja yang suka marah2.
" Maka sebelum orang melangkah pergi, tiba2 Nyo Ko merangkul kaki kanan si gadis sambil ber teriak2 : "Tidak, kau jangan pergi!" Dengan kuat gadis itu coba meronta kakinya, tetapi saking kencangnya Nyo Ko merangkul, ia tak berhasil melepaskan diri, keruan ia bertambah gusar.
"Lepas, ada apa kau merangkul kakiku ?" dengan suara garang gadis itu membentak.
Melihat air muka orang yang sedang marah2, bukannya Nyo Ko melepaskan, sebaliknya ia malah senang.
"Tidak, aku tak bisa pulang rumah lagi, kau harus tolong aku," demikian sahutnya.
Sudah gusar gadis itu menjadi geli pula melihat kelakuan Nyo Ko.
"Jika kau tak lepaskan, segera aku bacok mati kau," dengan angkat golok-sabitnya si gadis coba menakut-nakuti.
Tetapi rangkulan Nyo Ko berbalik tambah kencang, ia malah pura2 menangis sekalian.
"Baiklah, boleh kau bacok mati aku saja, toh kalau pulang akupun tak bakal hidup lagi," serunya sambil meng-gerung2.
"Lalu apa yang kau kehendaki ?" tanya si gadis kewalahan.
"Entahlah, aku ikut kau saja.
" sahut Nyo Ko. Rupanya gadis itu menjadi sebal karena di-ganduli orang, "Kenapa harus berurusan dengan si tolol semacam ini," demikian pikirnya, Habis ini ia angkat goloknya terus membacok sungguh2.
Semula Nyo Ko menduga orang tidak nanti bacok padanya secara sungguh2, maka ia masih pegang kaki orang erat2, siapa duga hati gadis itu ternyata keji, bacokannya ini betul2 diarahkan ke atas kepalanya, meski tiada niatnya untuk menewaskan jiwa orang, tetapi ia bermaksud memberi bacokan di batok kepala agar "si tolol" ini tahu rasa dan tak berani main gila lagi.
Syukur Nyo Ko sangat cekatan, begitu golok orang tinggal beberapa senti lagi bakal berkenalan dengan batok kepalanya, mendadak ia jatuhkan diri terus menggelinding pergi, " "Haya, tolong, tolong !" demikian ia menjerit-jerit pula.
Karena bacokannya tadi luput, si gadis menjadi tambah sengit, ia melangkah maju, kembali sekali bacokan diberikan pada Nyo Ko.
Nyo Ko telentang di atas tanah, kedua kakinya mancal2 serabutan.
"Mati aku ! Mati aku !" demikian ia berteriak-teriak, sedang kedua kakinya terus memancal dan mendepak tak keruan, tampaknya seperti tak teratur tetapi pergelangan tangan gadis itu ternyata beberapa kali hampir kena ditendang, meski berulang kali ia hendak bacok pula, namun tidak sekalipun bisa mengenai sasarannya, sudah tentu ia bertambah gusar.
Melihat muka orang penuh mengunjuk marah, Nyo Ko justru ingin menikmati wajah orang semacam ini, karena itu, tanpa terasa ia terkesima dan memandangi orang.
Gadis itu juga seorang yang pintar luar biasa, ketika melihat kelakuan Nyo Ko yang aneh, tiba2 ia membentak : "Hayo, bangun !" "Tetapi kau bunuh aku tidak ?" tanya Nyo Ko ke-tolol2an.
"Baiklah, aku tak bunuh kau," sahut si gadis.
Karena janji ini, dengan pelahan Nyo Ko merangkak bangun, napasnya sengaja dia bikin ter-engah2, diam2 ia kumpul tenaga dalam dan bendung aliran darahnya, maka mukanya seketika berubah menjadi putih lesi, begitu pucat hingga tiada warna darah sedikitpun, seperti orang yang ketakutan.
Melihat rupa orang, diam2 si gadis sangat senang.
"Hm, berani lagi tidak kau main gila ?" demikian ejeknya sambil angkat golok-sabitnya terus menuding pada telapak tangan Bi Jing-hian yang terkutung dan masih ketinggalan di tanah datar itu, lalu ia mengancam: "Coba, orang begitu galak dan bengis, toh cakarnya kena ditabas oleh golokku tadi.
" Sambil bicara, goloknya yang melengkung itu diulurkan, tiba2 ia kesut senjatanya di atas baju Nyo Ko yang memang dekil, kiranya ia gunakan baju Nyo Ko sebagai lap untuk menghilangkan noda darah goloknya.
Diam2 Nyo Ko geli oleh lagak si gadis.
"Hm, kau anggap aku ini orang macam apa, berani kau begini kurangajar padaku ?" demikian ia membatin.
Walaupun begitu, pada mukanya tetap ia pura-pura mengunjuk rasa keder, ia sengaja mengkeret mundur seperti takut pada senjata orang yang mengkilap itu.
Gadis itu masukkan goloknya ke sarungnya, lalu dengan sebelah kakinya ia cukit renceng uang perak tadi ke arah Nyo Ko.
"Nih, sambuti!" serunya dengan tertawa, dengan membawa sinar putih yang gemerdep, serenceng uang perak itu menyamber ke arah muka Nyo Ko.
Menyambernya perak itu sebenarnya tidak keras, orang biasa saja pasti sanggup menangkapnya.
Tetapi Nyo Ko justru pura2 bodoh, ia melangkah mundur dan menubruk maju secara gugup, sedang tangannya diulur ke atas buat menangkap, tiba2 terdengar suara "plok" sekali, uang perak itu kena menimpuk dia punya batok kepala.
"Aduh !" jerit Nyo Ko sambil mendekap batok kepalanya.
Sementara itu jatuhnya uang perak itu kena menindih pula di atas kakinya, Maka dengan sebelah tangan pegang batok kepala dan lain tangan tarik sebelah kaki, Nyo Ko ber-jingkrak2 dengan kaki tunggal sambil ber-teriak2: "Auuuh, kau pukul aku, kau pukul aku !" Begitulah Nyo Ko pura2 meng-gerung2 menangis.
Nampak ketololan orang sudah begitu rupa hingga tiada obatnya, dengan suara pelahan gadis itu mencemoohnya sekali: "Tolol !" - Habis ini ia putar tubuh dan pergi mencari keledai hitam-nya.
Akan tetapi binatang itu sejak tadi entah sudah kabur kemana sewaktu dia bergebrak dengan Tio Put-hoan, terpaksa ia pergi dengan jalan kaki.
Nyo Ko jemput uang perak tadi dan masukkan ke sakunya, lalu dengan menuntun sapinya ia ikut di belakang si gadis.
"Bawa serta aku, nona !" demikian ia berseru.
Namun gadis itu tak gubris padanya, sebaliknya ia percepat langkahnya, hanya sekejap saja Nyo Ko sudah ketinggalan hingga tak kelihatan.
Tak terduga, baru saja ia berhenti sebentar, tiba2 Nyo Ko sudah muncul lagi dari jauh dan masih tetap menuntun sapinya.
"Bawalah aku, bawalah aku !" demikian Nyo Ko masih terus ber-teriak2.
Mendongkol sekali gadis itu karena orang mengintil terus, sambil kerut kening, segera ia keluarkan Ginkang, sekaligus ia berlari sejauh beberapa li, dengan demikian ia yakin "si tolol" itu pasti tak sanggup menyusulnya.
Diluar dugaan, tidak antara lama, sajup2 kembali terdengar pula suara teriakan: "Bawalah aku !" - Luar biasa rasa gemasnya gadis itu, sekali ini ia tidak lari menyingkir sebaliknya ia putar balik mendatangi Nyo Ko, "sret", golok-sabit-nya dia loIos.
"Haya, celaka !" teriak Nyo Ko pura2 ketakutan, berbareng ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.
Maksud si gadis asal orang tidak selalu mengintip sudah cukup, Oleh karena itu, ia masukkan kembali golok ke sarungnya, ia putar kembali dan melanjutkan pula perjalanannya.
Tetapi belum seberapa jauh ia berjalan, tiba2 didengarnya di belakang ada suara menguaknya sapi, waktu ia menoleh, ia lihat Iagi2 Nyo Ko mengintil di belakang sambil masih tuntun binatang angonnya itu, jarak dengan dirinya kira2 beberapa puluh tindak saja.
Sungguh tak terbilang mengkal si gadis, sekali ini ia sengaja berhenti di tempatnya untuk menunggu datangnya Nyo Ko.
Akan tetapi, demi nampak orang tak berjalan, segera pula Nyo Ko berhenti kalau si nona melangkah Nyo Ko lantas menyusul lagi apabila dia putar balik dan hendak hajar padanya, segera Nyo Ko kabur pula.
Begitulah terjadi kucing-kucingan diantara Nyo Ko dan gadis itu, sebentar mereka kejar mengejar dan sebentar lagi berhenti sementara itu hari sudah magrib dan gadis itu masih tetap tak bisa melepaskan diri dari godaan Nyo Ko.
Keruan tidak kepalang gemasnya gadis itu, ia lihat meski bocah angon ini tolol2 goblok, tetapi gerak kakinya ternyata cepat luar biasa, mungkin sudah terlalu bisa berlarian di tanah pegunungan beberapa kali ia kejar orang hendak menutuk jalan darahnya atau melukai kedua kakinya, tetapi setiap kali selalu Nyo Ko bisa meloloskan diri dengan menggelinding dan merangkak pergi dengan cepat.
Sebenarnya ilmu silat Nyo Ko jauh di atas gadis itu, cuma dia sengaja lari kalau sudah dalam keadaa yang paling berbahaya, dengan demikian ia gadis itu tidak menjadi curiga.
Begitulah maka sesudah beberapa kali digoda lagi, karena kaki kiri gadis itu memang pincang, sesudah jalan lama ia menjadi payah, Tiba2 ia mendapat satu akal, dengan suara keras dia teriaki Nyo Ko: "Baiklah, kubawa serta kau, tetapi kau harus turut segala perkataanku," "Apa betul kau mau membawa aku ?" dengan girang Nyo Ko menegas.
"Ya, siapa dustai kau ?" sahut si gadis.
"Aku sudah letih, kau menunggang sapimu dan biar aku ikut membonceng.
" Betul saja Nyo Ko lantas tuntun sapinya mendekati dengan cepat, dibawah cuaca senja yang re-mang2 Nyo Ko dapat melihat mata si gadis menyorot tajam, ia tahu pasti orang tak bermaksud baik, maka diam2 ia berlaku waspada, dengan cara yang susah pajah ia merambat ke atas punggung sapinya.
Sebaliknya gadis itu hanya sedikit menutul kakinya, dengan enteng sekali ia telah melompat ke atas dan menunggang di depan Nyo Ko.
"Keledaiku sudah hilang, tidak jelek juga menunggang sapi jantan ini saja," pikir gadis itu, kemudian dengan ujung kakinya ia tendang iga banteng itu, karena kesakitan, maka sapi itu membedal ke depan seperti kesetanan.
Melihat tibanya kesempatan baik, diam2 gadis itu tersenyum dingin, mendadak sikutnya dengan kuat menyodok ke belakang, dengan tepat sekali kena sodok "ki-bun-hiat" di dada Nyo Ko.
"Aduuh !" jerit Nyo Ko, menyusul mana ia pun terjungkal dari punggung sapinya.
Gadis itu sangat senang karena serangannya berhasil "Betapapun kau berlaku bambungan, sekarang kau kena juga kuingusi," demikian katanya dalam hati Lalu ia sogok pula iga sapi itu dengan jari tangannya, karena merasa sakit, sapi jantan itu kabur terlebih cepat lagi.
Sekali jari si gadis menjojoh punuk kerbau itu, lari si kerbau semakin kencang, tiba-tiba didengarnya Nyo Ko masih berkaok-kaok di belakangnya, waktu ia berpaling, tampak dengan kedua tangannya Nyo Ko ganduli ekor kerbau ikut lari berlompatan naik turun, lucu sekali tingkah lakunya.
Diluar dugaan, tiba2 terdengar Nyo Ko men-jerit2 dan berteriak2, suaranya terdengar berada di belakang saja, waktu gadis itu menoleh, ia lihat Nyo Ko sedang menggendoli ekor sapi dengan kedua tangannya, saking cepatnya dibawa kabur sapi itu hingga kedua kakinya sedikitpun tidak menempel tanah, jadi seperti terbang saja Nyo Ko inL hanya keadaannya sangat mengenaskan, mukanya penuh debu pasir, ingus dan air mata membasahi mata hidungnya.
Karena merasa tak ada jalan lain lagi, tiba2 gadis itu kertak gigi, ia tegakan hati, golok dia angkat terus hendak membacok tangan Nyo Ko yang menggendoli ekor sapi dengan kencang, Tetapi sebelum serangannya dilontarkan tiba2 didengarnya suasana sekitarnya riuh ramai, kiranya sapi itu telah berlari sampai disuatu pasar.
Oleh karena pasar itu penuh berjubel dengan orang hingga tiada jalan lewat, akhirnya sapi itu berhenti sendiri dengan Nyo Ko masih tetap "me-lengket" di belakangnya.
Karena sengaja hendak goda si gadis untuk menikmati wajah orang diwaktu marah2, maka Nyo Ko lantas rebahkan diri di tanah sambil ber-teriak2 : "Aduh, dadaku sakit, kenapa kau pukul aku ?" Karena suara teriakannya ini, orang2 di pasar itu lantas berkerumun untuk mencari tahu sebab-musababnya dan apa yang terjadi.
Karena dirubung orang banyak, dengan sekali menyelusup segera gadis itu bermaksud mengeluyur pergi.
Tak terduga Nyo Ko lebih cerdik dari dia, mendadak Nyo Ko merangkak maju, sebelah kaki si gadis dia pegang dengan erat2.
"Jangan pergi, jangan pergi!" demikian ia ber-teriak-teriak pula.
"He, ada apakah " Apa yang kalian ribut-kan ?" beramai-ramai orang yang merubung itu bertanya.
"Dia adalah biniku, biniku ini tak suka pada-ku, bahkan dia pukul aku pula," teriak Nyo Ko dengan lagak lagu yang toloI.
Mendengar orang berani mengaku bini atas dirinya, sungguh tidak kepalang gusar gadis itu hingga kedua alisnya seakan-akan menegak, tanpa segan2 lagi sebelah kakinya melayang, segera ia hendak tendang Nyo Ko.
Akan tetapi Nyo Ko tidak kurang akal, mendadak lelaki yang berdiri di sebelahnya didorong nya ke depan, karena itu, tendangan si gadis dengan tepat mengenai pinggang lelaki itu.
Keruan saja lelaki itu sangat gusar.
"Perempuan keparat, berani kau tendang aku ?" damperatnya kontan, Menyusul kepelannya sebesar mangkok lantas menjotos.
Namun gadis itu tak gampang dihantam, tiba2 tangan orang dipegangnya, sebelah tangannya menyusul mengangkat lelaki itu terus dilempar pergi dengan meminjam tenaga pukulan orang tadi, Dengan sekali sengkelit ini, tubuh lelaki yang gede itu se-konyong2 melayang ke atas udara sambil tiada hentinya berteriak-teriak dan kemudian pun jatuhlah dia di antara orang banyak yang berkerumun itu hingga keadaan menjadi tuggang langgang karena ada beberapa orang pula yang ke-tindih oleh tubuh lelaki itu.
Dengan sekuat tenaga sebenarnya si gadis tadi ingin melepaskan diri dari Nyo Ko, tetapi karena digendoli Nyo Ko dengan mati-matian seketika ia menjadi kewalahan Dalam pada itu dilihat-nya ada lima-enam orang lagi yang maju dan rupanya akan bikin perhitungan padanya karena di-sengkelitnya si lelaki tadi, dalam keadaan demiki-an, mau-tak-mau ia berkuatir juga.
"Tolol, baiklah aku bawa serta kau, lekas kau lepaskan kakiku !" terpaksa dengan kata halus ia mengalah pada Nyo Ko.
"Dan kau masih akan hantam aku tidak ?" Nyo Ko sengaja tanya lagi.
"Baiklah, tak pukul lagi," sahut si gadis.
Sehabis itu barulah Nyo Ko melepaskan kaki orang yang dia pegang erat2 tadi, kemudian iapun merangkak bangun, Lalu dengan cepat mereka ber dua menerobos keluar diantara orang banyak dan tinggalkan pasar itu, dari belakang mereka mendengar ramai suara teriakan2 orang yang penasaran tadi.
"Lihatlah, sekarang sapiku telah hilang pula, tak bisa tidak lagi aku harus ikut kau," kata Nyo Ko kemudian sesudah di tempat sepi.
"Hm, sekal, lagi kau ngaco-belo bilang aku adalah binimu segala, awas, kalau aku tidak penggal kepalamu," dengan sengit gadis itu mengancam.
Berbareng goloknya diayun pula ke arah kepala Nyo Ko.
"Haya, jangan," teriak Nyo Ko sambil melompat pergi dan kepalanya dipegang dengan kedua tangannya, "Baiklah, nona manis, tak berani lagi aku bilang begitu.
" "Hm, melihat macammu yang kotor ini, siluman yang paling jelek juga tak sudi menjadi bini-mu," demikian cemooh si gadis.
Nyo Ko tak menjawab, ia hanya me-nyengir2 tolol saja.
Tatkala itu hari sudah mulai gelap, dengan berdiri di ladang yang luas, dari jauh tertampak mengepulnya asap dapur di rumah2 penduduk karena itu barulah mereka merasa perut sudah lapar.
"Aku sudah lapar, pergilah kau ke pasar tadi membelikan barang makanan," kata si gadis kemudian "Tidak, tak mau aku pergi," sahut Nyo Ko meng-geleng2 kepala, "Kenapa tak mau ?" damperat gadis itu dengan tarik muka.
"Masak aku tolol, kau tipu aku pergi beli makanan, lalu kau sendiri mengeluyur kabur," sahut Nyo Ko.
"Aku bilang tak kabur, tentu tak kabur," ujar si gadis.
Tetapi Nyo Ko masih geleng kepala saja.
Karena merasa jengkel, gadis itu ajun bogemnya hendak meninju, tetapi dengan cepat Nyo Ko bisa menyingkir pula.
Sebelah kaki gadis itu pincang, dengan sendirinya jalannya tidak begitu leluasa, percuma saja dia memiliki Ginkang, tetapi selalu tak bisa me nyandak orang, Tentu saja ia sangat mendongkol ia pikir sia2 saja memiliki ilmu silat yang tinggi dan percuma mengaku dirinya cerdik dan banyak akal, nyatanya kini digoda seorang anak tolol yang kotor dan berbau busuk tanpa bisa berbuat apa2.
Begitulah dengan pelahan ia meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan besar, dalam hati ia pikir cara bagaimana nanti secara mendadak beri sekali bacokan dan bunuh si tolol ini.
Selang tak lama, cuaca menjadi gelap seluruhnya, tiba2 dilihatnya di pinggir jalan ada sebuah rumah batu yang bobrok, agaknya sudah tiada penghuninya, mendadak ia dapat satu akal "Biarlah malam ini aku menginap di sini, tengah malam nanti kalau si tolol sudah pulas, sekali bacok saja kubunuh dia," demikian pikirnya.
Setelah ambil keputusan, segera ia menuju ke rumah batu itu, waktu pintu didorong, tiba2 tercium bau apek yang menyenggerok hidung, terang sekali rumah ini sudah terlalu lama ditinggalkan penghuninya.
Kemudian gadis itu pergi mencari segenggam rumput kering dan lap bersih sebuah meja, di atas meja inilah dia berbaring, ia pejamkan mata untuk mengumpul tenaganya.
"Tolol, tolol !" panggilnya ketika dilihatnya Nyo Ko tidak ikut masuk ke dalam.
Akan tetapi tiada sahutan yang dia peroleh, "Jangan2 si tolol ini mengetahui aku hendak membunuh dia, maka telah kabur lebih dulu ?" demikian ia pikir.
Sesudah agak lama, ketika lajap2 hendak pulas, mendadak tercium olehnya bau sedap yang sangat menusuk hidung, Dalam terkejutnya segera pula ia melompat bangun, waktu dia lari keluar, dilihatnya di bawah sinar bulan yang terang Nyo Ko sedang berduduk sambil mencekal sepotong entah paha binatang apa dan sedang pentang mulut menggerogoti dengan lahap, di samping sana menyala segunduk api unggun dan di pinggir gundukan api itu terletak bahan makanan itu dan sedang dipanggang, dari situlah bau sedap tadi menguar.
"Mau tidak ?" tanya Nyo Ko dengan tertawa demi nampak gadis itu keluar, Habis itu ia ambil sepotong daging paha yang telah dipanggang hingga berbau sedap itu terus dilemparkan kepadanya.
Waktu gadis itu menyambutinya, ia lihat daging paha itu seperti paha kijang, memangnya perut sudah lapar, maka tanpa sungkan2 lagi ia sebret daging itu dan dimakan sepotong demi sepotong, meski kurang asin karena tidak digarami, tetapi dalam keadaan lapar rasanya sangat lezat juga.
Maka dengan duduk di tepi api unggun itu ikutlah dia makan dengan bernapsu.
Tetapi dasar anak gadis, maka cara makannya tidak main lalap seperti Nyo Ko, lebih dulu ia sobek2 daging paha itu dalam potongan kecil2, kemudian dengan pelahan baru dia memakannya, Tetapi bila dilihatnya cara makan Nyo Ko yang lahap hingga air liurnya ikut mencerocos, ia menjadi mual dan jijik, kalau tak jadi makan, perutnya terasa lapar, karena itu, terpaksa ia berpaling ke jurusan lain dan tidak pandang Nyo Ko lagi.
Sesudah sepotong daging itu habis, kembali Nyo Ko lemparkan sepotong lagi kepadanya.
"He, tolol, kau bernama siapa ?" tiba2 gadis itu menanya.
"Eh, apa kau ini dewa " Kenapa kau tahu bahwa aku bernama Tolol ?" dengan lagak bebal yang di-bikin2 berbalik Nyo Ko menanya.
"Haha, jadi kau memang bernama si tolol ?" gadis itu tertawa demi mendengar jawaban orang, rupanya ia menjadi gembira, "Dan dimanakah Bapa dan Mak-mu ?" "Sudah mati semua," sahut Nyo Ko.
"Dan kau sendiri bernama siapa ?" "Tak tahu, Buat apa kau tanya ?" kata si gadis.
"Dia tak mau katakan, biarlah aku pancing dia," demikian pikir Nyo Ko karena orang tak mau memberitahukan namanya.
Lalu dengan berlagak ber-seri2 ia berkata pula : "Hahaa, aku tahu, kaupun bernama si tolol, maka kau tak mau mengatakan namamu.
" Tentu saja gadis itu menjadi gusar, segera ia melompat maju, ia angkat kepalan terus menggetok dengan keras ke atas kepala Nyo Ko.
"Siapa bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang tolol," demikian damperatnya pula.
Karena kepala digetok orang, Nyo Ko pura2 kesakitan sambil menutup kepala dengan tangan-nya.
"Ya, sebab kalau orang tanya nama ku, bila aku katakan tak tahu, lantas orang panggil aku si tolol, sekarang kaupun bilang tak tahu, dengan sendirinya kaupun bernama si tolol," kata Nyo Ko dengan mewek2 bikinan.
"Siapa bilang aku tak tahu ?" bentak si gadis sengit "Hanya aku tak suka katakan padamu, Aku she Liok, mengarti tidak ?" Kiranya gadis ini adalah Liok Bu-siang, itu gadis cilik pemetik ubi teratai yang sudah kita kenal pada permulaan cerita ini.
Sebagaimana masih ingat, dahulu waktu dia main panjat pohon bersama Piaoci-nya, yaitu Thia Eng, dan kedua saudara Bu, ia telah jatuh dari atas pohon hingga tulang kakinya patah, Syukur secara kebetulan Bu-samnio numpang menginap dirumahnya dan telah menyambungkan tulang kakinya yang patah itu.
Tetapi karena ayah Bu-siang, jakni Liok Lip-ting mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka saling gebrak sehingga sambungan tulang kaki Bu-siang rada terganggu dan sedikit meleset sesudah sembuh, kaki kirinya yang patah itu telah mengker sekira satu senti, maka bila berjalan menjadi sedikit pincang pula.
Walaupun kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih, tetapi dasar pembawaannya cantik raut mukanya, setelah besar ia bertambah manis pula, tapi karena pincang kakinya, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya.
Sesudah seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun tidak terluput dari kematian, tetapi setiap kali bila melihat saputangan sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, lantas Li Bok-chiu teringat pada cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega menghabisi jiwa anak dara itu.
Liok Bu-siang sendiri meski usianya masih kecil, tetapi ia sudah pandai berpikir, ia mengerti dirinya terjeblos di dalam cengkeraman iblis perempuan ini, jiwanya boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang setiap saat terancam bahaya, oleh sebab itu ia berlaku sangat hati2 dan berusaha sedapat mungkin me-narik2 hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang membawa diri dan rajin melayani sehingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya bunuh orang tanpa berkedip itu lambat laun menjadi reda juga maksud membunuhnya pada Liok Bu-siang.
Kadang2 Li Bok-chiu terkenang pada peristiwa di masa mudanya yang sangat menyesatkan itu, segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya, lalu nona kecil itu disiksa dan dihina untuk melampiaskan dendamnya.
Namun Bu-siang pintar pura2, ia sengaja bikin mukanya kotor dan rambutnya serawutan sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis yang harus dikasihani maka bila melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak umbar dendamnya lantas tak sampai hati dilontarkan lagi.
Begitulah caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi dirinya sendiri, beruntung juga seorang gadis cilik seperti dia itu ternyata bisa hidup terus berdampingan dengan Li Bok-chiu yang kejam itu.
sungguhpun demikian, dalam hati Bu-siang tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya yang dibunuh Li Bok-chiu secara kejam, sebaliknya apabila Li Bok-chiu coba menanyakan tentang ayah-ibunya, selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura tidak mengingatnya lagi.
Bila Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang Ling-po, ia lantas menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu diambilkan handuk atau Iain2, atau dia pura2 menyapu dan bersihkan meja kursi.
Memangnya ilmu silat Bu-siang sudah ada dasarnya, maka diam2 ia mengingatnya dengan baik apa yang dilatih kedua orang tadi, lalu di waktu malam diam2 ia sendiri lantas melatihnya kembali.
Ditambah lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang Ling-po hingga belakangan ketika sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas memohon bagi Liok Bu-siang untuk diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.
Dengan begitulah beberapa tahun telah lalu, ilmu silat Bu-siang sudah banyak maju pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapapun masih terdapat sisa-sisa rasa benci padanya, jangankan ilmu silat yang paling tinggi, meski ilmu kepandaian kelas dua saja tak sudi diajarkan padanya, baiknya ada Ang Ling-po yang merasa kasihan padanya dan diam2 suka memberi petunjuk2, maka ilmu silatnya walau tak bisa dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak rendah.
Hari itu, ber-turut2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah berangkat ke Hoat-su-jin-bong untuk mencuri "Giok-li-sim-keng", karena sampai lama belum nampak kedua orang itu kembali, maka Bu-siang telah ambil keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam buat mencari tahu mati-hidup ayah-bundanya yang sebenarnya, sebab waktu kecil ia hanya melihat ayah-ibunya dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentunya banyak celaka daripada selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya kedua orang tua dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun dalam hatinya masih selalu menaruh sedikit sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin sekali dia mencari tahu keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri2 ini telah merubah sifatnya hingga rada rendah diri, dia paling benci apabila ada orang memandang kakinya pincang itu.
Hari itu di tengah jalan justru kedua imam telah memandang beberapa kali pada kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan amarahnya, kontan Bu-siang melontarkan kata2 yang menghina, dasar kedua imam itu juga bertabiat buruk, maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi perang senjata, dalam pertarungan itu, dengan golok-sabitnya yang melengkung itu Bu-siang telah tabas daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, sebagai ekornya kemudian terjadi pertarungan sengit di Cay-long-kok itu.
Dulu tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di gua pegunungan dekat Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa sekali dengan Nyo Ko, tetapi waktu itu sama2 masih kecil, sekarang keadaan mereka berdua pun sudah banyak berubah, dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak mereka ingat lagi.
BegituIah setelah Bu-siang menghabiskan dua potong daging paha kijang panggang, iapun merasa kenyang.
Di lain pihak sebaliknya Nyo Ko sedang memandangi wajah si nona yang manis, "Saat ini Kokoh, entah berada di mana " Gadis di depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu kuberi dia paha kijang panggang, bukankah akan sangat menyenangkan ?" demikian pikirnya diam2.
Karena hatinya memikir, maka matapun menatap orang terlebih kesima.
Melihat begitu rupa orang pandang padanya, Bu-siang menjengek sekali, habis ini ia berdiri hendak menyingkir Mendadak dari jauh terdengar seorang sedang mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan suara "srat-sret, srat-sret", sambil mendekat orang itu sembari gunakan hidungnya untuk mengendus se-keras2nya.
"Ehm, wangi, sedap !" demikian ia berseru.
Dan sesudah dekat, maka jelas kelihatanlah baju yang dipakai orang itu penuh tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere, seorang pengemis.
Walaupun kere, tetapi dia mendekati orang dengan lagak tuan besar, lalu dia duduk di samping Nyo Ko, tanpa disuruh pun tanpa permisi segera dia samber sepotong daging kijang panggang yang masih digarang di atas api unggun tadi terus digeragoti dengan lahap seperti orang yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak makan.
Nyo Ko sih tidak menggubris diri orang, tetapi Bu-siang yang mencium bau busuk tubuh orang yang kotor, memangnya dia sudah mendongkol, kini melihat kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah lipat, mendadak dia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk kedalam rumah untuk tidur.
Rupanya sikap Bu-siang ini dapat diketahui si jembel tadi, tiba2 ia mendongak dan memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum, habis ini ia menunduk kembali untuk makan daging panggangnya.
Bu-siang menjadi gusar melihat kelakuan orang.
"Apa yang kau tertawakan ?" damperatnya segera.
"Aku tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau ?" sahut pengemis itu dengan dingin.
Dalam gusarnya Bu-siang sudah pegang goloknya dan berniat bunuh orang, syukur dia memikir pula: "Jangan dulu, kalau aku bunuh dia si tolol itu tentu akan ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar sementara.
" Maka dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi ia lantas masuk ke rumah batu itu.
Di luar dugaan, baru saja dia melangkahi am-bang pintu, tiba2 terdengar si pengemis membuka suara pula dan sedang bertanya pada Nyo Ko : "Siapakah dia tadi, apa dia binimu " Kenapa kakinya pincang " Tidak laku dijual ?" Sungguh tidak kepalang rasa gusar Liok Bu-siang oleh serentetan kata2 yang semuanya sangat menusuk hatinya, per-tama2 orang bilang dia adalah bini si tolol yang kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang cacat di-olok2 dan ketiga dia dianggap seperti khewan saja, bukan saja harus dijual, bahkan dikatakan tidak laku.
Sejak kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala siksa-derita yang diperoleh dari Li Bok-chiu, oleh sebab itu, dalam pandangannya setiap orang di jagat ini dianggap sebagai musuh semua dan setiap orang pasti akan membikin susah padanya, ditambah kakinya pincang sehingga tabiatnya berubah aneh, yakni merasa rendah harga diri, maka bila siapa saja berani coba2 memandang sekejap pada kakinya yang cacat itu, tentu akan menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi telah mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina itu, keruan dia tak tahan lagi, dengan cepat golok-sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya si jembel itu.
Si pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan Pengemis) angkatan keenam, di kalangan pengemis mereka ilmu silatnya tergoIong tengahan, maka kepandaiannya pun tidak terlalu rendah.
Persatuan Pengemis itu sejak Ang Chit-kong menjabat ketua, anggotanya banyak terpengaruh-oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap di mana-mana adalah kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang, suka bersahabat dengan siapapun juga yang dijumpai.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh sebab itulah demi bertemu dengan Nyo Ko yang lagi panggang daging di tempat sepi, pula melihat pakaian Nyo Ko compang-camping, maka pengemis tadi pikir meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih terhitung segolongan, golongan kere.
Karena itu iapun tidak sungkan2 lagi, begitu datang ia lantas duduk terus ikut makan, siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu dan kurang senang, bahkan terus berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan ia telah tertawai orang beberapa kata, tak terduga si gadis ternyata sangat pemarah, begitu putar kembali lantas main senjata.
BegituIah, maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu telah berteriak sambil melompat bangun: "Haya, jangan ngamuk, jangan ngamuk, aku telah makan panggang daging lakimu.
biarlah aku muntahkan kembali saja!" Justru Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas dirinya, keruan ia bertambah murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari kiri dan memotong pula dari kanan, be-runtun2 dua kali mengarah tempat lawan yang berbahaya.
Namun dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri, ketika serangan ketiga menyamber lagi, karena arah yang dituju tidak tetap, sedikit meleset saja dugaan pengemis itu, maka terdengarlah suara merobeknya kain, ternyata bajunya yang memang rombeng telah tertabas robek.
Keruan pengemis itu terkejut, "Eh, tidak nyana ilmu silat anak dara ini ternyata sangat lihay," demikian katanya dalam hati.
Dalam pada itu untuk keempat kalinya Bu-siang telah menyerang lagi, maka tak berani pula si pengemis pandang enteng lawannya, segera tongkat yang terselip di pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan.
Tetapi setelah saling gebrak belasan jurus, rangsakan Bu-siang semakin lama semakin ganas, diam2 pengemis itu mengelak.
"Anak dara ini entah dari golongan dan aliran mana datangnya, perlu apa aku terlibat permusuhan dengan dia tanpa sebab " Asal aku tancap gas se-kencang2nya terus mengeluyur pergi, masakan gadis pincang ini sanggup mengejar padaku ?" demikian pikirnya, Demi ingat kaki orang pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi ke arah anggota badan orang yang cacat itu.
Sebenarnya kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat kaki, asal dia putar tubuh terus kabur mungkin segala persoalan akan menjadi selesai, tetapi celaka baginya, justru karena pandangannya tanpa sengaja itu kepada kaki orang yang pincang, habis ini baru dia melarikan diri, kelakuannya ini telah menyinggung perasaan Liok Bu-siang yang paling benci kalau kakinya yang cacat itu dipandang orang, sebab inilah dikemudian hari telah banyak menimbulkan ekor panjang.
Ketika Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang pincang sambil mengunjuk rasa senang, habis ini tongkat ditarik terus kabur, keruan rasa gusarnya me-Iuap2 tak bisa ditahan lagi.
"Pengemis maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan leluasa dan tak sanggup mengejar kau ?" damperatnya sengit.
Habis ini segera dia mengudak.
Melihat pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang putar goloknya yang melengkung itu, setelah diayun beberapa kali, se-konyong2 ia lepaskan se-keras2nya ke arah tenggara hingga membawa samberan angin yang santer.
Tatkala itu dengan se-enaknya Nyo Ko sedang makan daging panggang dan menyaksikan perkelahian orang sambil duduk, ia menjadi sangat senang melihat si pengemis sengaja bikin Bu-siang marah2.
Tetapi ia menjadi heran ketika mendadak melihat Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara, namun baru saja ia tercengang atau tiba2 terlihat golok-sabit itu memutar sendiri di udara seperti dikemudikan saja.
Golok-sabit yang melengkung ini bentuknya sangat aneh, mata goloknya begitu tipis seperti kertas, diwaktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga yang digunakan sangat tepat pula, maka tertampaklah golok itu membawa suara ngaungan terus menyamber ke tubuh si pengemis tadi.
Saat itu si jembel sedang berlari dengan cepat, siapa duga golok ini seperti punya mata saja, se-konyong2 menyamber tiba terus menancap di atas punggungnya.
Saking sakitnya oleh tusukan golok itu, tanpa ampun lagi pengemis itu jatuh terjungkal.
Tentu saja Bu-siang tidak sia2kan kesempatan itu, dengan gunakan ilmu entengkan tubuh ia memburu maju dengan niat cabut goloknya yang menancap di punggung orang untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan lagi.
Namun pengemis itu tidak menyerah mentah2, belum sampai orang datang dekat, sekuat tenaganya ia telah merangkak bangun terus berlari pula ke depan seperti kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang tanpa bekas di kegelapan.
Sesudah dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya orang, akhirnya Liok Bu-siang tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke tempatnya tadi.
"Lekas pergi mengambil kembali golokku itu.
" bentaknya tiba-tiba sesudah berhadapan dengan Nyo Ko.
"Golok apa " Aku tak tahu !" sahut Nyo Ko acuh tak acuh.
"Bukankah kau melihat golokku menancap di punggungnya ?" kata Bu-siang pula, "Lekas pergi mengambil !" "Tak bisa mengambilnya lagi," ujar Nyo Ko sambil goyang2 tangannya.
Bu-siang tahu percuma saja meski banyak bicara, karena itu, ia putar tubuh terus masuk rumah batu tadi untuk tidur sendiri, Baiknya padanya masih terdapat sebilah belati, maka katanya dalam hati: "Walaupun golok-sabit sudah tak ada, dengan belati inipun cukup untuk bikin beberapa lubang di badanmu.
" Tengah malam, diam2 Bu-siang bangun, dengan ber-indap2 ia keluar rumah, ia lihat Nyo Ko sedang menggeros di tepi gundukan api itu tanpa bergerak sedikitpun.
Gundukan api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai doyong ke barat, hanya remang2 masih kelihatan bayangannya.
Segera Bu-siang cabut belatinya, dengan pelahan ia mendekati orang, begitu sudah dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus ditusukkan se-keras2nya ke punggung orang, tapi mendadak tangannya kesemutan, tangannya terguncang sakit, karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang, dengan menerbitkan suara nyaring, belatinya terlepas dari cekalan, terasa olehnya tempat yang kena tusukan belatinya itu seperti mengenai besi atau batu yang keras.
Keruan saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang, tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus lari menyingkir dalam hati ia pikir: "Jangan2 Si tolol ini telah melatih diri begitu rupa sehingga tubuhnya kebal tak mempan senjata ?" Sesudah berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak mendengar suara kejaran Nyo Ko, kemudian Bu-siang menoleh, dilihatnya masih meringkik di samping gundukan api yang sudah padam itu tanpa bergerak sedikitpun.
Dengan sendirinya Bu-siang menjadi curiga, "Tolol, he, Tolol !" ia ber-teriak2 memanggil Tetapi meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang masih tetap tidak menyahut Waktu Bu-siang menegasi, ia lihat tubuh Nyo Ko dalam keadaan meringkuk, bentuknya sangat aneh dan mencurigakan.
Maka dengan tabahkan hati ia mendekati.
Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak mirip bentuk manusia, ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang berada di bawah baju itu laksana batu.
Tanpa ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu, betul saja di dalamnya berisi sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju membungkus batu, tetapi bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan.
Seketika Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan itu, kembali ia memanggil pula : "He, Tolol.
" Namun tetap tiada jawaban, Ketika ia coba pasang kuping mendengarkan tiba2 terdengar dalam rumah batu itu sayup2 seperti ada suara orang mengorek.
Keruan saja Bu-siang ter-heran2, segera ditujunya tempat datangnya suara itu, betul saja ia lihat Nyo Ko sedang tidur pulas di atas meja yang tadi digunakan dirinya.
Karena serangannya tadi tidak mengenai sasarannya, dalam gusarnya Bu-siang tidak berpikir pula secara teliti kenapa orang bisa mendadak tidur di atas mejanya, mendadak ia melompat maju, belati diangkat dengan sekali tusuk kembali ia tikam pula punggung orang.
Bu-siang menjadi senang karena sekali ini ia telah tepat menikam orang yang sesungguhnya ia lihat Nyo Ko tidak melompat bangun pula tidak menjerit kesakitan, maka tanpa ayal ia cabut belatinya dan tambahi pula sekali, tempat dimana melatinya menusuk terang sekali adalah daging tubuh orang, sedikitpun tiada perbedaan lain, cuma aneh, sama sekali tidak tertampak mengalirnya darah.
Karena itu, kembali Bu-siang terkejut tetapi gusar pula, susul menyusul ia menusuk lagi beberapa kali, tetapi yang terdengar malah suara meng-gerosnya Nyo Ko yang semakin keras.
"Ai, siapakah yang mengitik-ngitik punggungku " Hihi, jangan guyon ! Haha jangan main2, aku tak tahan geli!" demikian terdengar Nyo Ko malah menginggau.
Saking terperanjatnya Bu-siang sampai mukanya pucat lesi, akhirnya kedua tangannya pun menjadi gemetar sendiri "Jangan2 orang ini adalah setan atau siluman ?" katanya dalam hati.
Oleh karena pikiran itu, segera ia putar tubuh hendak melarikan diri, akan tetapi, entah saking takutnya atau mengapa, seketika kedua kakinya seperti tak mau turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.
"Ai, pungungku kenapa begini geli, tentu ada tikus yang hendak colong daging kijangku," demikian kembali terdengar Nyo Ko menempati lagi.
Habis itu ia malah ulur tangan ke punggung, dari dalam bajunya ditarik keluar sepotong dagang kijang panggang terus dibanting ke lantai.
Melihat ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini baru dia mengerti duduknya perkara, "Kiranya si tolol ini simpan daging kijang dekat punggungnya, pantas belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya melayang sebab semuanya mengenai daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah dibikin takut!" begitulah ia pikir.
Karena dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil tewaskan orang, rasa benci Bu-siang terhadap Nyo Ko menjadi tambah pula, "Si tolol busuk, lihat sekali ini jiwamu melayang tidak ?" dengan geregeten Bu-siang berkata dengan suara pelahan, menyusul ini tiba2 ia menubruk maju, lagi2 dengan belatinya ia menikam punggung Nyo Ko, ia menduga sekali ini pasti Nyo Ko tak terluput dari kematian.
Siapa tahu pada waktu belatinya hampir mengenai tubuh Nyo Ko, mendadak dalam keadaan masih mengorek pemuda itu telah membaliki tubuhnya, keruan tusukannya menjadi luput hingga mengenai meja sampai ambles sebatas gagang belati Selagi Bu-siang sekuatnya hendak cabut kembali belatinya, di lain pihak Nyo Ko seperti mimpi saja, tiba2 berteriak : "Tolong, Mak ! Tolong, ada tikus busuk hendak gigit aku !" Menyusul itu kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan menjulur ke depan, tahu2 kaki kiri tepat ditaruh di atas siku Bu-siang tempat kiok-ci -hiat" dan kaki kanan sebaliknya menggeletak di atas pundak si gadis tepat mengenai tempat "ko-cing-hiat".
Kedua tempat yang disebut itu adalah kedua Hiat-to yang berbahaya di tubuh manusia, ketika Nyo Ko ulur kedua kakinya, entah sengaja atau secara kebetulan, secara persis telah membentur kedua tempat jalan darah itu.
Keruan seketika Bu-siang merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak bisa berkutik lagi ia hanya berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan penyanggah kaki Nyo Ko.
Sungguh bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian ini, meski tubuhnya tak bisa bergerak, tetapi mulutnya masih bisa buka suara, Karena itu segera ia membentak mendamperat: "Hai, ToloI, lekas singkirkan kakimu yang bau ini!" Tetapi jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya Nyo Ko yang semakin keras.
Tidak kepalang gemasnya Bu-siang hingga dia kehabisan akal, dalam keadaan murka, tiba2 ia pentang mulut terus meludahi tubuh Nyo Ko.
Tak kira lagi2 Nyo Ko membaliki tubuhnya, sedang ujung kaki kanannya seperti tak disengaja saja tiba2 melayang dan dengan tepat membentur pelahan "pi-su-hiat" di bawah dagu Liok Bu-siang.
Karena benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang menjadi kaku semua, kini mulut saja tak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya yang kenyang mencium bau kaki Nyo Ko yang bacin.
Bcgitulah gadis itu telah dibuat tempat penyanggah kaki Nyo Ko hingga sekian lama, saking dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput, Dalam hati tiada hentinya ia mengutuk dan menyumpahi Nyo Ko: "Jahannam kau si Tolol ini, besok kalau aku sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau hingga menjadi baso.
" Tidak lama, rasanya Nyo Ko sudah cukup puas mempermainkan orang, tiba2 ia membaliki tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari atas tubuh orang, kini ia membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam keadaan gelap Nyo Ko masih bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh gusar dan mangkel itu.
Tetapi semakin Bu-siang mengunjuk gusar, rupanya semakin mirip Siao-liong-li hingga dengan ter-mangu2 Nyo Ko menikmati wajahnya seperti orang yang kehilangan semangat Di lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke barat hingga sinar sang dewi malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Nyo Ko dapat dilihat dengan jelas oleh Liok Bu-siang, ia lihat pemuda ini sedang pentang kedua matanya lebar2 dan lagi memandang padanya dengan tersenyum-simpul.
Keruan hati Bu-siang terkesiap, "Jangan2 si Tolol ini sengaja berlagak bodoh dan pura2 bebal " Memang tak disengaja tadi ia menutuk jalan darahku ?" demikian ia ber-tanya2 pada diri sendiri.
Oleh karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Justru pada saat itu juga, tiba2 dilihatnya Nyo Ko sedang melirik ke lantai, waktu Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Nyo Ko itu, maka tertampaklah olehnya di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang sejajar, kiranya ada tiga orang telah berdiri di ambang pintu sana.
Waktu ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu semuanya bersenjata.
"Celaka, celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi justru Hiat-to kena ditutuk si Tolol ini," diam2 Bu-siang mengeluh.
Nyata, meski tadi dia sudah curiga, namun apapun juga sukar dipercaya bahwa seorang bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini memiliki ilmu silat yang tinggi Dalam pada itu demi dilihatnya bayangan orang2 itu, segera Nyo Ko pejamkan mata lagi dan pura2 tidur.
"Hayo, budak hina, lekas keluar, apa dengan berdiri tegak begitu saja lantas dikira Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau ?" demikian terdengar salah seorang di luar itu berteriak.
"Ah, kiranya kaum imam lagi," kata Nyo Ko di dalam hati demi mendengar tantangan orang itu.
"Kamipun tidak inginkan jiwamu, asal iris juga batang hidungmu, potong sebelah daun kuping dan sebelah telapak tangan saja sudah cukup," terdengar seorang Iain berkata lagi.
"Kami sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk turun tangan saja," demikian kata orang ketiga.
Habis itu, ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka kepung pintu keluar itu dengan rapat.
"He, suara teriakan apakah di luar itu, di manakah kau nona Liok ?" demikian kemudian Nyo Ko bangun terduduk dengan mengulet ke-maIas2-an.
"Eh, nona Liok, kenapa kau berdiri saja di situ ?" Habis berkata, seperti tidak sengaja ia tarik2 lengan baju si gadis dan digoyangkan beberapa kali, Maka terasalah tiba2 oleh Liok Bu Siang ada suatu kekuatan yang besar sekali telah menggun-cang2kan seluruh tubuhnya hingga ketiga tempat Hiat-to yang tertutuk tadi seketika lancar kembali dan dapat bergerak bebas lagi.
Bu-siang pun tidak sempat berpikir secara teliti, segera ia jemput belatmya dari lantai terus melompat keluar rumah, di bawah sinar rembulan itu terlihatlah olehnya tiga orang lelaki sudah menantikan di situ, iapun tidak bicara lagi, begitu tangannya bergerak belatinya segera menusuk pada orang yang berdiri di sebelah kiri.
Orang itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan Bu-siang itu, ia incar2 dengan baik ruyungnya terus disebetkan ke bawah.
Ruyungnya ini memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya juga besar, sabetannya itupun diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah suara "trang" yang keras, belati Bu-siang seketika terlepas dari tangan.
Waktu itu Nyo Ko masih merebah miring di atas mejanya, ia lihat Bu-siang melompat ke samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke depan, segerapun Nyo Ko menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu pertahankan goloknya.
Memang betul, ketika Bu-siang membaliki tangannya lagi, dengan ilmu silat Ko-bong-pay yang sangat hebat itu, tahu2 golok salah satu imam itu sudah kena disebutnya dan bahkan dibarengi pula sekali membacok, tidak ampun lagi pundak imam itu telah merasakan tajam goloknya sendiri.
Dengan disertai caci maki, lekas2 imam itu melompat ke samping untuk merobek kain bajunya buat membalut lukanya itu.
Sesudah mendapatkan goIok, seketika semangat Bu-siang bertambah, tanpa ayal lagi ia tempur lelaki yang memakai ruyung besi itu dengan sengit, Sedang seorang lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata tumbak, iapun tidak berpeluk tangan ia ikut terjun ke dalam pertempuran, tumbaknya bekerja cepat menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak berani terlalu mendekati Bu-siang.
Ilmu silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat tinggi, setelah belasan jurus, lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan Agaknya lelaki itu mempunyai tingkat yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal ini terbukti gerak-geriknya ternyata sangat beraturan, meski beberapa kali Bu-siang berbuat kesalahan dalam serangannya, namun orang itu ternyata tidak mau terlalu mendesak dan gunakan kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.
Sementara itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya, dengan tangan kosong ia menerjang maju lagi.
"Darimana datangnya perempuan keparat seperti kau ini, kenapa cara turun tanganmu begitu keji ?" demikian dengan tangan menuding Bu-siang mencaci-maki, Habis ini, begitu kepalanya menunduk, segera ia menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.
"Celaka !" diam2 Nyo Ko berteriak demi dilihat keadaan pertarungan keempat orang diluar itu.
Betul saja dibawah berkelebatnya sinar senjata, punggung imam itu kembali merasakan sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tumbak si lelaki pendek itupun menusuk sampai di belakang Liok- Bu-siang, sedang telapak tangan si lelaki kuat tadipun sudah menghantam ke dada si gadis.
Karena keadaan berbahaya itu, dengan cepat dua batu kecil disamber Nyo Ko terus ditumpukkan sekaligus, sambitannya ini ternyata sangat jitu, yang sebuat tepat mengenai tumbak musuh hingga senjata ini terguncang pergi, sedang batu yang lain kena pula pergelangan tangan lelaki kuat tadi.
Lelaki itu ternyata sangat tinggi ilmu silatnya, meski tangan kanan kena sambitan batu dan seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak tangan yang lain masih bisa bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan lagi, maka terdengarlah suara "plak", dada Bu-siang kena digenjot dengan keras.
Keruan Nyo Ko terkejut Ya, bagaimanapun usia Nyo Ko masih muda dan pengalamannya cetek, sama sekali tak diduganya bahwa lelaki itu memiliki kepandaian lihay "Lian-goan-siang-ciang" atau pukulan berganda secara susul-menyusul.
Ketika pukulan kedua orang itu dilontarkan lekas2 Nyo Ko melayang maju buat menolong Liok Bu-siang, dengan sekali tarik saja ia dapat jambret baju leher lelaki itu, lalu dengan tenaga raksasa nya terus dilempar pergi se-jauh2nya.
Tubuh lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus kati, tetapi oleh lemparan Nyo Ko ini, seketika ia ter-apung2 di udara untuk kemudian jatuh terbanting sejauh beberapa tombak Melihat Nyo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki pendek menjadi jeri, Iekas2 mereka membangunkan kawannya terus pergi tanpa berpaling lagi.
Kemudian Nyo Ko memeriksa keadaan Bu-siang, ia lihat muka si gadis pucat kuning, napasnya sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan.
ia ulur sebelah tangan ke bahu orang dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk kembali, siapa tahun tiba2 terdengar suara "gemerutuk" dua kali, suara saling gosoknya tl!ang, kiranya dua tulang iga Bu-siang telah patah oleh hantaman lelaki tangkas tadi.
Sebenarnya Bu-siang sudah jatuh pingsan, tapi karena terguncangnya tulang iga yang patah hingga menimbulkan sakit hebat, saking sakitnya berbalik ia sadar dari pingsannya itu, lalu ia merintih-rintih dengan kepala tunduk.
"Kenapa " Apa sangat sakit ?" lekas2 Nyo Ko bertanya.
Dalam sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat kini mendengar pertanyaan Nyo Ko, keruan ia mendongkol.
"Masih tanya, sudah tentu sangat sakit! demikian dengan mengertak gigi menahan sakit dia mendamperat, "Hayo pondong aku ke dalam rumah !" Nyo Ko tak membantah Iagi, ia pondong tubuh si nona, tapi tidak urung terjadi juga guncangan hingga tulang iga yang patah itu kembali saling gosok hingga Bu-siang kesakitan Iagi.
"Bagus ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja siksa aku, ya ?" demikian ia me-maki2.
"Dan, dimanakah ketiga orang tadi ?" Nyata pada waktu Nyo Ko turun tangan menolongnya, waktu itu ia kebetulan jatuh semaput oleh hantaman musuh, sebab itu tak diketahuinya "si Tolol" inilah yang telah menolong jiwanya.
"Mereka mengira kau sudah mati, maka mereka lantas pergi," dengan tertawa Nyo Ko menjawab.
Mendengar keterangan ini hati Bu-siang merasa lega.
"Apa yang kau tertawa ?" damperatmya pula demi dilihatnya Nyo Ko menyengir2.
"Kau kesenangan ya melihat aku kesakitan ?" Mendengar orang mendamperat dan memaki terus-menerus padanya, setiap kali orang memaki, Nyo Ko lantas teringat pada kejadian dahulu ketika dirinya didamperat Siao-liong-li.
Selama beberapa tahun ia hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii di dalam kuburan Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu dianggap masa yang paling menyenangkan selama hidupnya, sungguhpun Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya dengan bengis, tapi karena, diketahuinya sang guru mengajarnya dengan sesungguh hati, meski mendapat damperatan, toh tetap dirasakannya sangat senang.
Kini karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia cari, tetapi kebetulan ada seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata2 yang bengis, tanpa terasa hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya Siao-liong-li sekedar pelipur hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya menjadi sedikit berkurang.
Begitulah, maka terhadap cacimaki Liok Bu-siang tadi, Nyo Ko hanya tertawa saja tanpa di-gubrisnya.
Melihat wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat pada dirinya sendiri yang sudah cacat, kini menderita luka parah pula, sebaliknya bocah angon ini meski kotor namun seluruh anggota badannya dalam keadaan baik.
Memangnya tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam keadaan luka ia menjadi iri terhadap Nyo Ko, ia gemas sekali bisa2 dengan sekali bacok hendak dibunuhnya Nyo Ko.
Nyo Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi, Karena gerakan merebahkan itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi lagi saling gosok, saking sakitnya Bu-siang men-jerit2 tak tahan.
Dan justru waktu menjerit itu pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat2 iganya, maka rasa sakitnya menjadi lebih hebat lagi.
"Maukah kusambungkan tulangmu yang patah ini ?" tanya Nyo Ko kemudian.
"Anak angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa ?" damperat Bu-siang.
"Pernah anjing piaraanku yang borokan berkelahi dengan anjing tetangga dan tulang kakinya patah tergigit, maka akulah yang sambungkan tuIangnya," kata Nyo Ko.
"Dan ada lagi, babi betina kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya, itupun aku yang menyambungkan tulangnya.
" Bu-siang menjadi gusar karena dirinya disamakan dengan khewan, tetapi ia tak berani berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit, terpaksa dengan suara tertahan ia mendamperat lagi: "Kurangajar, kau memaki aku sebagai anjing borokan dan maki aku pula sebagai babi betina, Kau sendirilah yang anjing borokan dan babi betina.
" "Tidak, salah, seumpamanya babi, aku kan babi jantan," sahut Nyo Ko dengan tertawa, "Lagipula, anjing borokan itupun betina, anjing jantan tak bisa borokan kulitnya.
" Biasanya Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu mulut, tetapi karena rasa sakitnya tidak kepalang setiap ia buka mulut, maka maksudnya balas makian orang itu ia urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan menahan rasa sakit, ia tak gubris lagi keceriwisan Nyo Ko.
"Tahukah kau, tulang anjing totokan itu lantas sembuh dalam beberapa hari saja sesudah ku sambung, ketika berkelahi lagi dengan anjing tetangga, keadaannya seperti tulangnya tak pernah patah," demikian Nyo Ko sengaja menerocos terus.
"Eh, nona Liok, bagaimana dengan kau, mau tidak akupun sambung tulangmu ?" Dalam keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga: "Boleh jadi bocah angon kotor ini betul2 bisa menyambung tulang, apa lagi disinipun tiada tabib, kalau tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati konyol kesakitan.
" Tetapi lantas terpikir lagi olehnya: "Tulang igaku yang putus, kalau dia menyambungkan tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan, bukankah ini sangat memalukan " Hm, kalau dia tak bisa menyembuhkan Iuka2ku, biar kuhabiskan jiwaku bersama dia.
Dan kalau bisa sembuh, akupun tidak membiarkan seorang yang pernah melihat tubuhku tetap hidup di jagat ini," Dasar sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena penderitaannya sejak kecil pula begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh juga oleh sifat2 Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan, walaupun umurnya masih sedikit, tapi dalam pikirannya penuh dengan angan2 yang keji.
Begitulah, maka dengan suara rendah lalu ia berkata : "Baiklah, boleh coba kau menyambungkan tulangku, sebenarnya kau bisa atau tidak " jangan kau coba membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau !" Nyo Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah Katanya dalam hati: "Jika dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin selanjutnya tiada kesempatan baik lagi.
" Oleh karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata lagi: "Sewaktu babi betinanya wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya, beribu kali anak gadisnya memohon padaku dan beruntun memanggil aku seratus kali "engkoh yang baik" baru aku mau menyambungkan tulangnya.
" "Cis, cis, bocah angon busuk, cis.
. . auuh. . . " damperat Bu-siang ber-ulang2, tetapi mendadak ia menjerit karena dadanya terasa sakit pula.
"Kau tak mau panggil aku, tak mengapalah," kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Nah, aku akan pulang sajalah, nona Liok, selamat tinggal, sampai ketemu lagi.
" Sambil bicara, betul saja Nyo Ko lantas melangkah keluar pintu.
"Celaka, dengan kepergiannya ini, pasti aku akan mampus kesakitan di sini," demikian pikir Bu-siang.
Karena itu, terpaksa ia tanya dengan menahan amarahnya : "Lalu apa yang kau kehendaki ?" "Sebenarnya kaupun harus panggil aku seratus kali "engkoh yang baik", tetapi sepanjang jalan aku sudah kenyang dicaci maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu kali baru jadi," sahut Nyo Ko.
Betul2 Bu-siang mati kutu, "BIarlah kusanggupi semuanya, nanti kalau aku sudah sembuh, satu persatu baru kubikin perhitungan padanya," Demikian pikirnya diam2.
Karena itu, segera ia menurut: "Baiklah, Engkoh yang baik, engkoh yang baik, engkoh yang baik.
. . auuh. . . " "Sudahlah, masih ada 997 kali, sementara ku catat saja sebagai utangmu, nanti kalau kau sudah baik barulah dilunaskan lagi," kata Nyo Ko.
Habis berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak membuka bajunya.
Karena kelakuan Nyo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit mengkeret dan membentak: "Pergi, apa yang hendak kau lakukan ?" Karena bentakan itu, Nyo Ko menyurut mundur.
"Untuk menyambung tulangmu, kenapa bajumu tak boleh dibuka " Aku pernah dengar orang bilang ada ilmu "ke-san-pak-gu" (memukul kerbau dari balik gunung), tetapi tak pernah mendengar ada ilmu "ke-ih-ti-gu" (mengobati kerbau dari balik baju)," demikian katanya dengan tertawa.
Mendengar kata2 ini, Bu-siang merasa lucu juga akan kelakuannya tadi, tetapi kalau dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya rada malu juga.
Karena itu ia menjadi ragu-ragu.
"Baiklah, tak bisa kutolak kau," katanya kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir lama.
"Kalau kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja, akupun tidak kepingin.
. . " Baru saja Nyo Ko berkata sampai disini, mendadak didengarnya di luar sana ada suara orang sedang berbicara : "Budak hina ini pasti berada di sekitar sini, kita harus lekas menemukannya.
" Bu-siang menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam keadaan demikian rasa sakit dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia mendekap mulut Nyo Ko yang sedang berkata tadi Kiranya yang bicara di luar itu tidak lain dari pada Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu, gurunya yang sangat ditakutinya itu.
Nyo Ko sendiripun sangat terkejut setelah dikenalnya suara siapa orang itu.
"Yang menancap di punggung pengemis itu terang adalah "Gin-ko-to" milik Sumoay, cuma sayang tak keburu kita mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti," demikian terdengar suara seorang wanita lain.
Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po adanya.
Kiranya sejak mereka guru dan murid terlolos dari kematian di Hoat-su-jin-bong, kemudian mereka telah pulang ke Jik-keh-ceng yang menjadi kediamannya, di sana diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan perkampungan mereka itu tanpa pamit, bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu "Ngo-tok-pit-toan" (kitab rahasia "Panca-bisa") telah ikut dicuri juga.
Sebabnya Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga tokoh2 Bu-lim pada jeri bila mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena ilmu silat-nya, tetapi pada bisa jahat "Ngo-tok-sin-ciang" "pukulan sakti panca-bisa, yakni lima macam racun) dan senjata "Peng-pek-gin-ciam" (jarum perak batu es).
Justru kitab "Ngo-tok-pit-toan" itu memuat resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan saktinya yang berbisa itu dengan obat pemunahnya pula, kalau kitab itu teruar di kalangan umum, lalu ditaruh kemana lagi nama baik dan wibawa Jik-Iian-sian-cu yang disegani itu" Li Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi kitab pusakanya itu, dengan sendirinya tak perlu kitab itu selalu dibawa, pula penyimpanannya di Jik-he-ceng sangat dirahasiakan siapa tahu Liok Bu-siang yang pintar dan cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan benda2 rahasia gurunya telah diketahui olehnya, dan karena sudah ada niatannya hendak melarikan diri, maka jarum perak berbisa dan obat pemunah sang guru, bahkan kitab "Panca-bisa" itupun dicuri dan dibawa lari sekalian Keruan amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan Liok Bu-siang itu, dengan membawa Ang Ling-po, siang malam segera diubemya, Terapi sudah lama Bu-siang kabur, pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang sepi, meski Li Bok-chiu berdua sudah menguber dari utara sampai selatan dan dari selatan kembali ke utara untuk mencegatnya, namun tetap tak kelihatan bayangan si gadis yang dicari itu.
Kebetulan juga malam hari itu, waktu mereka berdua sampai di sekitar kota Cingkoan, mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang mengatakan bahwa ada pertemuan golongan mereka di sesuatu tempat.
Li Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu tersebar di mana2, kabar berita merekapun sangat cepat dan tajam, tentu diantara mereka ada yang pernah melihat Liok Bu-siang.
Oleh karena itu mereka berdua lantas pergi ke tempat pertemuan itu dengan maksud mencari kabar.
Tetapi di tengah jalan mereka telah ketemukan satu anak murid Kay-pang dari angkatan ke-enam yang digendong lari oleh seorang kawannya dalam keadaan luka2, selain itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.
Dengan kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas dapat dilihatnya di punggung pengemis yang di gendong itu menancap sebilah golok yang melengkung dan dapat dikenalinya adalah "Gin-ko-to" atau golok perak melengkung milik Liok Bu-siang.
Oleh karena tak ingin bikin onar dengan kaum pengemis yang berpengaruh besar itu, maka diam2 Li Bok-chiu mengintil dari belakang untuk mengintai kebetulan lapat2 dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu dalam keadaan marah2, katanya yang melukai kawan mereka itu adalah seorang gadis pincang yang menimpukkan golok melengkung itu.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir kalau pengemis itu baru saja dilukai, tentu Liok Bu-siang masih berada juga di sekitar sini, Karena itu dengan langkah cepat segera ia menguber lagi hingga sampai di depan rumah batu bobrok itu.
Disini tertampak olehnya ada segundukan abu bekas api unggun, hidungnya pun mengendus bau darah yang anyir, lekas2 ia nyalakan api dan coba periksa sekitarnya, betul saja di atas tanah diketemukannya lagi bekas2 noda darah yang masih baru, terang sekali terjadinya pertarungan sengit itu belum lama berselang.
Dari itu segera Li Bok-chiu tarik2 ujung baju sang murid sambil menuding ke arah rumah bobrok itu.
Ang Ling-po mengerti maksud sang guru, ia mengangguk habis itu pintu ramah yang setengah tertutup itu ia dorong, dengan putar pedang untuk melindungi tubuhnya segera ia terjang ke dalam.
Di Iain pihak, demi mendengar, suara percakapan antara Suhu dan Sucinya, Bu-siang insaf sekali ini tak luput lagi dari kematian, karena itu, ia malah kuatkan hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk menantikan ajalnya.
Begitulah ketika terdengar suara pintu didorong, menyusul satu bayangan orang menyelinap masuk yang bukan lain adalah sang Suci - Ang Ling-po.
Sejak kecil Bu-siang pandai ambil hatinya, maka terhadap sang Sumoay tidak jelek juga kasih sayang Ang Ling-po.
Sekali ini sang Sumoay telah melanggar peraturan besar perguruannya, pasti gurunya akan siksa habis2an dengan macam2 cara yang keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit baru dihukum mati, kini nampak si gadis masih rebah di atas meja, segera Ang Ling-po angkat pedangnya terus menusuk ke ulu hati sang sumoay, dengan demikian ia pikir anak dara ini boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.
Siapa duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu hari Liok Bu-siang, tiba2 Li Bok-chiu telah tepuk pelahan pundaknya, karena ini, seketika Ling-Po merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera pula tangannya melambai ke bawah.
"Hm, apa aku sendiri tak bisa membinasakan dia " Perlu apa kau kesusu ?" kata Li Bok-chiu dengan tertawa dingin.
Habis ini ia berpaling dan ditujukan pada Liok Bu-siang.
"Hm, apa di hadapan Suhu kau tak melakukan penghormatan lagi?" Tetapi Bu-siang sudah teguhkan hatinya.
"Hari ini aku sudah jatuh ke tangannya, baik minta ampun atau membangkang pasti juga akan merasakan siksaan yang kejam," demikian pikirnya, Karena itu, dengan dingin saja ia jawab: "Keluarga kami dengan kau sudah menanam dendam sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak bicara.
" Tetapi Li Bok-chiu hanya pandang anak dara itu dengan diam, entah rasa suka atau duka yang terkandung pada sorot matanya itu.
sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka dan kasihan, namun Bu-siang ternyata tidak gentar sedikitpun oleh sikap sang guru itu, bibirnya sedikit terjibir, tampaknya malah mengunjuk sikap yang angkuh dan menantang Dengan begitulah mereka bertiga telah saling pandang.
"Mana kitab itu, serahkan !" kata Li Bok-chiu kemudian sesudah terdiam agak lama.
"Sudah direbut seorang Tosu (imam) dan seorang pengemis !" sahut Bu-siang.
Terkejut sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu.
Dengan kaum pengemis itu meski tak pernah Li Bok-chiu bermusuhan, tetapi dengan "Coan-cin-kau" tidak sedikit dendamnya, iapun tahu antara Kay-pang dan Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat rapat, kalau kitab "Ngo-tok-pit-toan" itu sampai jatuh di tangan mereka, itulah sungguh celaka ! Sayup2 Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang guru, ia tahu pasti orang sedang memikirkan akal keji untuk siksa dirinya.
jika waktu melarikan diri sepanjang jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya, kini setelah betul2 tertangkap, ia malah tidak begitu takut lagi seperti semuIa.
"Eh, kemanakah si tolol itu telah pergi ?" demikian tiba2 ia jadi teringat pada Nyo Ko.
Dalam keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa terasa timbul semacam perasaan hangat terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu.
Pada saat itu juga, mendadak ada berkelebatnya sinar api, menyusul mana dengan membawa suara gedebukan tiba2 seekor banteng ngamuk menerjang masuk dari luar.
Waktu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka tertampaklah seekor sapi jantan yang tinggi besar telah menyerobot masuk, pada ujung tanduk kanan binatang itu terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang lain terikat pula seikat kayu dengan api yang me-nyala2.
Terjangan binatang itu ternyata hebat sekali, walaupun ilmu silat Li Bok-chiu sangat tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi serudukan sapi jantan itu dari depan, segera ia berkelit ke samping, ia lihat binatang itu mengitar sekali di ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar keluar lagi.
Tatkala menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya, waktu keluarpun berlari secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja sapi itu sudah lari pergi sejauh belasan tombak.
Dengan memandangi bayangan binatang itu mula2 Li Bok-chiu rada heran, tetapi segera terpikir olehnya: "He, siapakah yang mengikat pisau dan kayu berapi itu di tanduknya ?" Waktu mereka berpaling kembali, tanpa berjanji mereka - guru dan murid - menjerit berbareng, ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih rebah di atas meja itu, kini sudah lenyap tanpa bekas.
Lekas Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis ini ia melompat lagi ke atas atap rumah.
sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti sapi tadi yang bikin gara2, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan gesit segera diuber-nya binatang itu.
Dalam keadaan gelap itu, sinar api yang menyala pada tanduk sapi itu cukup jelas kelihatan nyata binatang itu sudah menerobos masuk ke sebuah hutan, Dari sorot api terlibat juga oleh Li Bok-chiu bahwa di atas punggung sapi itu tiada penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur dengan menunggang sapi Tetapi segera tergerak pikirannya: "Ah, tentu tadi ada orang yang sembunyi di luar, sapi aneh itu digunakan untuk mengalihkan perhatianku dan dalam keadaan kacau budak hina itu lantas ditolongnya pergi.
" Namun seketika ia menjadi bingung karena tak tahu ke jurusan mana harus mengejar, hanya langkahnya dia percepat hingga sebentar saja sapi jantan itu sudah dapat disusulnya, Waktu ia melompat ke atas punggung binatang itu dan diperiksanya teliti namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.
Kemudian ia lompat turun dan tendang sekali bokong binatang itu, lalu dengan tekap bibir ia bersuit memberi tanda pada Ang Ling-po, mereka lantas menguber lagi dari dua jurusan, yang satu dari utara ke selatan dan yang lain dari barat ke timur.
Munculnya sapi jantan itu dengan sendirinya adalah perbuatan si Nyo Ko.
Tadi begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam2 ia mengeluyur keluar melalui pintu belakang dan mengintip dari luar, mendengar satu kata saja segera ia tahu Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang.
Meski Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau "paman" guru Nyo Ko sendiri namun bencinya terhadap perempuan kejam itu sudah terlalu mendalam.
Semula ia bingung cara bagaimana harus menolong jiwa Liok Bu-siang, mendadak dilihatnya "dari jauh sapi jantan yang kemarin itu sedang menguak tak bertuan, keruan saja ia bergirang, ia ber-Iari2 memarani binatang itu, ia ikat belatinya Bu-siang dan seikat kayu yang dinyatakan dulu tanduk sapi, ia sendiri terlentang menggempit di bawah perut binatang itu, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.
Waktu sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang telah disambernya dengan masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi.
Dasar ilmu silat Nyo Ko sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan dengan cepat sekali, ditambah lagi rupa sapi jantan itupun aneh, maka sekalipun Li Bok-chiu luar biasa lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui juga oleh Nyo Ko.
Dan ketika ia berhasil menyusul sapi jantan yang kabur itu, tatkala mana Nyo Ko sudah menyembunyikan diri diantara semak2 rumput sambil pondong Liok Bu-siang.
Sudah tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit Bu-siang menjadi melebihi di-sayat2, cara bagaimana Nyo Ko menolong dan cara membawa dirinya menggemblok di bawah perut sapi dan cara bagaimana melompat turun dan sembunyi di semak alang2, semuanya itu tak diketahuinya oleh karena keadaannya yang setengah pingsan.
Sesudah agak lama kemudian baru pikirannya sedikit pulih kembali, dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.
"Jangan bersuara !" lekas2 Nyo Ko dekap mulutnya sambil membisikinya.
Betul saja lantas terdengar suara tindakan orang yang tidak jauh dari tempat sembunyi mereka.
"He, kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan ?" itulah suaranya Ang Ling-po.
"Marilah kita pergi saja, budak hina ini tentu sudah kabur jauh," terdengar Li Bok-chiu menyahut dari jauh.
Habis itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang Ling-po yang makin menjauh.
Saking sesak oleh karena mulutnya ditutup rapat orang, segera Bu-siang meronta dan hendak berteriak lagi, namun sedikitpun Nyo Ko tak melepaskannya, tangannya masih dekap kencang2 pada mulutnya.
Ketika Bu-siang meronta lagi dan merasa dirinya berada dalam pelukan si pemuda, ia menjadi malu tercampur gugup, segera ia bermaksud memukul orang, Namun sebelumnya tiba2 terdengar Nyo Ko membisikinya lagi: "Ssst, jangan kau tertipu, gurumu sengaja akali kau !" Baru selesai ia bicara, betul saja lantas terdengar Li Bok-chiu lagi berkata: "Ah, rupanya memang tiada di sini lagi.
" - Begitu dekat suara nya se-akan2 berada di samping mereka saja.
Keruan Bu-siang terkejut "Untung ada si tolol ini, kalau tidak, tentu aku sudah tertawan oIehnya.
" Kiranya Li Bok-chiu memang cerdik, ia sangsi Bu-siang masih sembunyi di sekitar sini, maka sengaja ia bilang pergi, padahal dengan ilmu entengi tubuh "Chau-siang-hui" (terbang di atas rumput) diam2 ia putar kembali lagi tanpa terbitkan sesuatu suarapun, dan karena ini hampir saja Bu-siang terjebak kalau Nyo Ko kurang cerdik.
Sesudah Nyo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat diketahuinya Li Bok-chiu berdua sekali ini betuI2 sudah pergi, barulah ia lepaskan tangannya yang mendekap mulut si nona, "Baiklah sekarang tak perlu kuatir lagi.
" dengan tertawa ia berkata.
"Lepaskan aku," bentak Bu-siang karena badannya masih dalam pelukan orang.
Maka dengan pelahan Nyo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah rumput itu.
"Segera juga kusambung tulangmu, kita harus lekas meninggalkan tempat ini, kalau sampai fajar mendatang mungkin tak bisa meloloskan diri lagi," katanya.
Bu-siang manggut2 tanda setuju.
Karena kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung tulangnya dan me-ronta2 hingga diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Nyo Ko tutuk dulu jalan darah Bu-siang hingga gadis ini tak mampu berkutik, habis ini baru baju orang dibukanya.
"Se-kaIi2 jangan bersuara," demikian ia pesan, Sesudah baju luar dibuka, tertampaklah baju dalam si gadis yang berwarna biru muda.
Tiba2 kedua tangan Nyo Ko rada gemetar, tak berani ia membuka baju orang lebih jauh, Waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang pejamkan kedua matanya lengan alis berkerut rapat Dasar Nyo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika mencium bau wangi badan gadis, tak tertahan jantungnya memukul keras.
"Sembuhkanlah aku !" kata Bu-siang tiba-tiba sambil buka matanya, Hanya sepatah kata saja, lalu ia pejamkan matanya pula dan berpaling ke jurusan lain.
Akan tetapi Nyo Ko berhenti lagi tak berani meraba badan orang ketika badan si gadis yang putih halus tertampak olehnya, ia berdiri terpesona.
Karena sudah lama menunggu, pula terasa angin silir menghembusi badannya yang sudah terbuka hingga rada sejuk rasanya, tiba2 Bu-siang membuka matanya lagi hingga kelakuan Nyo Ko yang ter-mangu2 seperti patung itu dapat dilihatnya.
"A. . . apa yang kau. . . kau lihat ?" bentaknya gusar.
Nyo Ko terkejut, lekas2 ia ulur tangan buat meraba tulang iga orang yang patah, tetapi baru menyentuh kulit badan orang yang halus itu, Nyo Ko merasa seperti kena aliran listrik, tangannya cepat ditarik kembali lagi.
"Lekas tutup matamu, jika kau pandang aku lagi segera ku.
. . ku. . . " bentak Bu-siang puia dengan suara ter-putus2, sampai disini tak tahan lagi air matanya lantas menetes.
"Ba. . . baiklah, jangan kau menangis," sahut Nyo Ko gugup, Habis itu betul saja ia pejamkan matanya, lalu tangannya meraba lagi tulang iga orang, di pasang dengan tepat kedua tulang iga yang patah itu, lalu baju si gadis lekas2 ia tarik buat menutupi bagian badannya itu.
Sesudah rada tenang perasaannya Nyo Ko mendapatkan pula empat potong kayu, dua batang diapit di bagian depan dada dan yang dua batang di punggung, dengan kulit pohon yang dia beset ia pakai sebagai perban, lalu diikatnya dengan kencang supaya tulang yang patah itu tidak tergeser lagi.
Habis ini baru dia betulkan baju si gadis dan lepaskan tutukannya tadi.
Waktu Bu-siang pentang matanya, remangl ia lihat muka Nyo Ko yang tersorot sinar bulan bersemu merah dan dengan rasa kikuk2 sedang mengintip meliriknya, tetapi begitu sinar mata kedua belah pihak kebentrok, dengan cepat Nyo Ko melengos ke samping.
Meski sekarang tulang iganya sudah tersambung betul, namun masih dirasakan sakit jarem, cuma sudah jauh berkurang daripada rasa sakit waktu tulangnya saling gosok hendak disambung tadi.
"Si tolol ini ternyata punya sedikit kepandaian juga," demikian ia pikir.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya Bu-siang bukannya gadis bodoh, kini sudah dapat dilihat juga bahwa se-kali2 Nyo Ko bukan anak udik biasa, lebih2 bukan anak tolol segala, tetapi karena sejak mula ia sudah perlakukan orang dengan caci maki dan pandang hina, kini meski sudah ditolong ia tetap belum mau merubah sikapnya.
"Lalu bagaimana baiknya sekarang, Tolol ?" demikian ia tanya, "Apa kita harus terpaku disini atau harus menyingkir pergi yang jauh ?" "Bagaimana menurut kau ?" balas Nyo Ko tanya.
"Sudah tentu pergi saja, apa tunggu kematian di sini ?" sahut Bu-siang tertawa.
Keruan girang sekali si gadis hingga ia tertawa riang.
"Tolol, daerah Kanglam begitu jauh letaknya, apa bisa kau pondong aku terus sampai di sana ?" ujar Bu-siang.
walaupun berkata demikian, namun iapun tidak bantah lagi dan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam pelukan Nyo Ko.
Karena kuatir kepergok Li Bok-chiu berdua, maka jalan yang dipilih Nyo Ko adalah jalanan kecil yang sepi, Dasar Ginkang Nyo Ko memang sudah sangat tinggi, meski langkahnya cepat, namun bagian tubuh yang atas sedikitpun tidak ter-kocak sehingga sama sekali Bu-siang tidak merasakan sakit lagi.
Begitu cepat larinya Nyo Ko hingga Bu-siang melihat pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat ke belakang, sungguh cepatnya seperti kuda balap, kalau dibandingkan malahan Ginkang pemuda ini tidak dibawah gurunya, keruan diam2 Bu-siang sangat heran dan terkejut.
"Ha, kiranya si Tolol ini memiliki ilmu yang tinggi luar biasa, dengan umurnya semuda ini, mengapa sudah dapat melatih diri sampai begini lihay ?" demikian ia bertanya di dalam hati.
Sementara itu hari sudah mulai terang, waktu "Bu-siam" menengadah ia lihat muka Nyo Ko meski kotor, namun tidak menutupi mata dan alisnya yang cukup jelas bukan anak tolol sebagaimana dia anggap, melainkan pemuda yang ganteng.
Betapapun juga hatinya tergerak, lambat laun iapun lupa rasa sakit di dadanya, selang tak lama.
"Pergi ke mana ?" tanya Nyo Ko.
"Aku mau pulang ke Kanglam, mau tidak kau antar aku ke sana ?" kata Bu-siang lagi.
"Aku harus mencari Kokoh, tak dapat ku pergi begitu jauh", sahut Nyo Ko.
Mendengar jawaban ini, tiba2 Bu-siang tarik muka.
"Baiklah, kalau begitu lekas kau pergi ! Biarkan aku mati di sini saja," demikian katanya kemudian.
Kalau si gadis ini memohon dengan kata2 halus dan membujuk umpamanya, dapat dipastikan Nyo Ko tidak nanti mau terima, tetapi kini melihat wajah orang mengunjuk rasa gusar dan alisnya ter-kerut rapat, lapat2 memper sekali dengan sikap Siao-Iiong-li diwaktu marah, tak tertahan ia lantas menerima baik permintaan orang.
"Bisa jadi Kokoh kebetulan juga berada di daerah Kanglam, biar kuantar nona Liok ini ke sana, siapa tahu kalau Thian kasihan padaku dan berhasil ketemukan Kokoh di sana ?" demikian ia pikir, walaupun demikian, sebenarnya dalam hati ia cukup tahu juga bahwa harapan itu terlalu kecil sekali, cuma tiada jalan buat menolak permintaan Liok Bu-siang, maka pikirannya tadi boleh dibilang hanya untuk menghibur dirinya sendiri saja.
Karena itulah, sambil menghela napas, kemudian iapun pondong lagi tubuh Bu-siang.
"Untuk apa kau pondong aku ?" bentak Bu-siang dengan gusar.
"Pondong kau ke Kanglam," sahut Nyo Ko lagi, lapat2 iapun terpulas dalam pelukan Nyo Ko.
Sampai hari sudah terang benderang, akhirnya Nyo Ko merasa letih juga, ia lari sampai dibawah satu pohon besar, ia turunkan Bu-siang dengan pelahan dan ia sendiri duduk di samping si gadis untuk mengaso.
Setelah Bu-siang mendusin, dengan tersenyum manis tiba2 ia berkata pada Nyo Ko : "Aku lapar, kau lapar tidak ?" "Sudah tentu lapar," sahut Nyo Ko, "Baiklah, kita mencari kedai nasi untuk tangsal perut.
" Lalu ia pondong lagi si gadis, sudah sepanjang malam ia pondong orang, maka kedua lengannya terasa pegal, maka tubuh si gadis ia angkat dan didudukkan di atas pundaknya, dengan demikian ia melanjutkan perjalanan dengan pelahan.
"He, Tolol, siapa namamu ?" tanya Bu-siang dengan tertawa sambil kedua kakinya menggeduk-geduk dada Nyo Ko.
"Rasanya tidak baik di hadapan umum selalu kupanggil kau si Tolol saja!" "Memangnya aku tiada nama lain, semua orang panggil aku si Tolol," sahut Nyo Ko.
"Hm, tak percaya aku, tak mau kau katakan juga masa bodoh," kata Bu-siang dengan mendongkol "Kalau begitu, siapakah Suhumu ?" ,Mendengar orang menyebut "Suhu", karena terhadap Siao-liong-Ii luar biasa menghormatnya, maka Nyo Ko tak berani bergurau atas nama gurunya itu.
"Suhuku adalah Kokoh," demikan ia jawab dengan sungguh2 Atas jawaban ini, Bu-siang mau percaya, "Kiranya ilmu silatnya ini adalah keturunan keluarga sendiri," demikian ia pikir.
"Dari tempat mana dan aliran manakah Ko-kohmu itu ?" segera ia tanya pula.
"Tempatnya di rumah," sahut Nyo Ko pura2 tolol "Dan aliran apa itulah aku tak tahu.
" "Hm, pura2 bodoh kau," omel si gadis.
"Yang aku tanya yalah ilmu kepandaianmu itu dipelajari dari pintu perguruan mana ?" "Pintu" Apa kau tanya pintu rumahku itu ?" sahut Nyo Ko berlagak linglung, "Pintu itu bukankah terbikin dari kayu ?" Mendengar jawaban yang tak keruan juntrung-nya ini, diam2 Bu-siang pikir: "Jangan2 orang ini memang betul2 tolol, hanya karena terlahir bisa lari cepat dan bukannya memiliki ilmu silat yang tinggi " Tetapi salah juga, terang sekali ia mampu menutuk dan menyambung tulang, sudah tentu dia adalah jagoan Bu-lim, jangan2 ilmu silatnya meski hebat, namun orangnya memang dasarnya dungu".
BegituIah Bu-siang berpikir dengan bingung, Kemudian dengan kata2 halus ia coba menanya lagi: "Coba katakanlah baik2 padaku, tolol, sebab apakah kau menolong jiwaku ?" Pertanyaan ini seketika sulit dijawab Nyo Ko, karena itu ia telah pikir sejenak, habis ini baru ia berkata : "Kokoh suruh aku menolong kau, maka aku lantas menolong kau !" "Siapakah kau punya Kokoh itu ?" tanya Bu-siang.
"Kokoh ya Kokoh, dia suruh aku kerja apa lantas kukerjakan apa," kata Nyo Ko.
Si gadis menghela napas lagi oleh jawaban yang tak genah ini, ia pikir : "Ah, kiranya orang ini memang betul2 toloI.
" Dan karena pikiran ini, rasa marahnya terhadap Nyo Ko yang mulai timbul tadi, kini mendadak berubah lagi menjadi jemu dan gemas.
Melihat orang terdiam, tiba2 Nyo Ko malah tanya : "Hei, kenapa kan tak bicara lagi ?" Bu-siang tak menjawab, ia hanya menjengek saja sekali, Karena itu Nyo Ko mengulangi pula pertanyaannya, Kalau aku tak suka bicara lantas tak bicara, tahu, Tolol " Lekas kau tutup mulut !" bentak Bu siang tiba-tiba.
Nyo Ko pikir wajah orang dalam keadaan muring2 demikian tentu enak sekali dipandang, tetapi si nona duduk di atas pundaknya, maka sukar dilihat, diam2 ia merasa sayang.
Begitulah sambil bicara itu, kemudian tibalah mereka di suatu kota kecil.
Melihat cara sepasang muda-mudi ini, yaitu Bu-siang didukung dengan duduk di atas pundak Nyo Ko, semua orang di jalan sama ter-heran2.
Akan tetapi Nyo Ko tak peduli, ia mencari satu restoran dan minta disediakan daharan, mereka duduk berhadapan Mendadak Bu-siang mengkerut kening ketika terendus olehnya bau tapi sapi yang menghembus keluar dari badan Nyo Ko.
"He, Tolol, kau duduk ke meja sana saja, jangan duduk semeja dengan aku," katanya pada si pemuda dengan sikap mual.
Nyo Ko tidak membantah, dengan tertawa ia duduk ke meja yang lain.
Walaupun demikian, melihat duduk orang masih menghadap ke arahnya, makin dipandang tampang tolol orang semakin menjemukan, maka dengan tarik muka Bu-siang berkata lagi: "Jangan kau pandang aku," habis ini ia menuding meja yang lebih jauh letaknya dan menyambung : "Sana, pindah ke meja itu !" Nyo Ko menurut, dengan tertawa sambil membawa mangkok nasinya ia malah pindah ke ambang pintu dan duduk di sana lalu makan nasinya.
Pendekar Pemetik Harpa 21 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Kisah Sepasang Rajawali 17

Cari Blog Ini