Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 2

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 2


Kasihan Liok Lip-ting yang membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, selama hidup tidak pernah menanam permusuhan dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal habis-habisan.
Beruntun ia melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian berlangsung dalam waktu yang amat pendek Kwa Tin-ok dan Bu- Sam-nio berusaha meno-long, namun terlambat.
Li Bok-chin, serunya: "Dimana" kedua bocah perempuan itu ?" Tanpa menanti jawaban, bayangan berkelebat langsung ia melesat masuk ke dalarn perkampungan dalam sekejap saja ia sudah periksa setiap pelosok rumah, namun tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Dari tungku di dapur ia mengambil api terus menyulutnya di-gudang kayu bakar, tak lama kemudian dia sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum: "Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan kalian silahkan pergi saja !" Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar, mereka menyaksikan orang meng-ganas panta dapat berbuat banyak, keruan gusar mereka bukan kepalang, sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk maju pula, Li Bok-chiu bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia miringkan badan menghindari sambaran tongkat besi, sementara kebutnya terayun membelit pedang Bu Sam-nio, tenaga dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan dorong pula, terdengar "pletak !", pedang itu putus menjadi dua potong, ujung pedang melesat ke arah Bu Sam-nio, sementara gagang pedang menyamber ke muka Kwa Tin-ok.
Bahwa pedangnya terkebut lawan Bu Sam-nio sudah amat kaget, di luar dugaan orang dapat mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas saja untuk menyerang dirinya pula, kutungan pedang itu melesat cepat, lekas ia menunduk kepala untuk berkelit, terasa kepala menjadi dingin dan silir, ujung pedang menyamber lewat memotong sebagian gelungan rambutnya.
Dilain pihak, mendengar samberan angin ke-keras, ujung tongkat Kwa Tin-ok sapukan ke depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke samping, didengarnya Bu Sam-nio menjerit kaget.
dan ketakutan, lekas ia putar tongkatnya hingga menderu kencang dan merangsak maju, sebetulnya tangan kirinya sudah menggenggam senjata rahasia, tapi ia tahu Ping-pok-ciau milik Jik-lian-sian-cu amat ganas dan keji, mata sendiri tidak bisa melihat, jangan2 malah memancing orang mengeluarkan jarumnya yang berbisa itu, sudah tentu dirinya tidak akan mampu melawan, oleh karena itu meski situasi sangat gawat, ia tidak berani sembarangan menimpukkan senjata rahasianya.
Sejak mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran kepadanya, pikirnya: "Kalau tidak ku unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka ini tentu tidak tahu aku sengaja mengalah kepadanya.
" Ujung kebutnya segera membelit ujung tongkat orang, Kontan (Kwa Tin-ok merasa segulung tenaga hebat membetot tongkatnya, lekas ia, kerahkan tenaga untuk menarik balik, siapa tahu baru saja tenaganya tersalur ke ujung tongkat, mendadak" kekuatan betotan kebut musuh sirna tanpa bekas, seketika ia merasakan kaki tangan menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak kuasa mengerahkan tenaga lagi.
Sedikit menggerakkan tangan kirinya Li Bok-chiu sendal tongkat orang ke samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa Tin-ok, katanya tertawa: "Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah mengusap di depan dadamu lho!" Dada Kwa Tin-ok terbuka lebar dan tidak mampu menangkis atau membela diri, tapi ia lantas memaki dengan gusar: "Perempuan keparat, tepukkan saja ke dadaku, kenapa cerewet ?" Melihat gelagat yang jelek ini Bu Sam-nio kaget dan memburu hendak menolong.
Tangkas sekali Li Bok-chiu sudah melejit ke udara, disaat badannya masih terapung di udara, telapak tangannya sempat mengusap sekali dimuka Bu Sam-.
nio. Katanya tertawa: "Kau berani mengggebah muridku, nyalimu cukup besar juga!" - Habis berkata ia tertawa cekikikan, sekali lompat badannya melayang jauh dan sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi, Terasa oleh Bu Sam-nio jari orang yang meraba mukanya itu sedemikian halus dan licin, kulit mukanya terasa dingin nyaman, dilihatnya bayangan orang berkelebat ke dalam hutan dan menghilang, Hanya beberapa jurus saja ia melabraknya, namun gebrakan yang berlangsung tadi boleh dikata berbahaya sekali, ia kerahkan seluruh kekuatannya, akhirnya toh roboh dan tak mampu bergerak Kwa Tin-ok tadipun merasakan dadanya seperti ditindih batu besar ribuan kati, napas sesak terasa mual, segera ia menarik napas dalam2 beberapa kali, barulah pernapasannya dapat lancar kembali.
Dengan susah payah Bu Sam-nio merangkak bangun, didengarnya suara gemuruh dan angin menderu, hawa terasa sangat panas, ternyata Liok-keh-ceng sudah tertelan jago merah yang membara, Dengan Kwa Tin-ok mereka mengangkat tubuh Liok Lip-ting suami isteri, tampak kedua orang sudah kempas kempis, terang tinggal menunggu ajal saja, pikirnya: "Kalau memindahkan mereka, tentu ajalnya akan tiba lebih cepat, namun tak mungkin Kubiarkan mereka di sini, bagaimana baiknya ?" Disaat serba susah itulah tiba2 dari jauh di dengarnya seseorang berteriak: "Niocu, apa kau selamat ?" - itulah suara Bu Sam-thong.
Girang dan dongkol pula Bu Sam-nio, pikirnya kau si gila ini entah berbuat apa saja dan sampai sekarang baru datang, Dilihatnya pakaian sang suami sudah robek dan penuh tambalan," sedang berlari cepat mendatangi sambil ber-kaok2 selamanya Bu Sam-nio belum pernah menghadapi sikap suaminya yang begitu mesra terhadap dirinya, hatinya menjadi senang, sahutnya lantang: "Aku di sini!" Cepat sekali Bu Sam-thong meluncur tiba, tanpa berhenti ia raih badan Liok Lip-ting berdua terus dibawa pergi sambil berteriak: "Lekas ikut aku !" Kwa Tin-ok belum saling memperkenalkan diri, namun ia yakin orang adalah sekaum dari golongan pendekar, maka segera ia ikut jejak orang, sekaligus mereka lari sejauh beberapa li, Bu Sam-thong menjinjing dua orang, Kwa Tin-ok pincang berjalan dengan menggunakan tongkat, namun Bu Sam-nio malah ketinggalan paling jauh.
Bu Sam-thong menyusup ke timur dan berputar ke barat, akhirnya ia bawa kedua orang memasuki sebuah gua di sebuah lekukan gunung, Begitu masuk ke dalam gua itu, Bu Sam-nio melihat Tun-ji dan Siu-bun, kedua puteranya itu selamat tak kurang suatu apapun, ia merasa lega, Dilihat-nya kedua puteranya sedang bermain, batu di tanah bersama Liok Bu-siang dan Thia Eng.
Di ujung sana berdiri seorang gadis cilik lain yang berpakaian mewah, Usianya lebih kecil dari Liok dan Thia, namun sikap dan tindak tanduknya kelihatan sombong, ia tidak sudi bermain dengan mereka berempat, Dia bukan lain adalah puteri kesayangan Kwe Ceng dan Ui Yong, Kwe Hu adanya.
Melihat Kwa Tin-ok ikut datang segera Kwe Hu berteriak: "Kwa-kongkong, kedua burung itu entah pergi kemana, tidak kelihatan bayangannya, ku panggil berulang kali juga tidak mau kembali!" Sementara itu Thin Eng dan Liok Bu-siang lantas memeluk badan Liok-toanio dan Liok Lip-ting serta menangis sambil menjerit2.
Mendengar jerit tangis kedua anak perempuan ini, seketika Kwa Tin-ok teringat akan kata2 Li Bok-chiu, serunya kuatir: "Wah, celaka ! Kita memancing setan masuk pintu, sebentar iblis laknat itu pasti menyusul kemari!" "Bagaimana bisa ?" tanya Bu Sam-nio bingung.
"Gembong iblis itu hendak mencabut nyawa kedua "bocah dari keluarga Liok ini, tapi dia tidak tahu dimana mereka berada.
" Seketika Bu Sam-nio sadar, ujarnya: "Ya, benar,, dia sengaja tidak melukai kami, tapi mengintil di belakang kita secara diam2.
" Bu Sam-thong menjadi gusar, teriaknya: Se-tan keparat itu berani mengganas, sebentar biar aku yang menempurnya.
" Batok kepala Liok Lip-ting sudah remuk, namun ada satu hal yang belum dia selesaikan maka ia bertahan sampai sekarang, dengan suara lemah katanya kepada Thia Eng: "Ah-ing, ambillah sapu.
. . sapu. . . . sapu tangan di dalam bajuku.
" Thia Eng menyeka air mata, lalu merogoh keluar sehelai sapu tangan sutera dari baju sang paman.
Sapu tangan ini terbuat dari sutera putih, tiap ujungnya tersulam bunga merah, Bentuk dan warna bunga itu amat aneh dan lain dari bunga biasanya, kelihatan indah menyolok tapi menyeramkan pula, selintas pandang membuat berdiri bulu kuduk orang.
Kata Liok Lip-ting: "Ah-Eng, ikatlah sapu tangan ini di lehermu, jangan kau copot lagi, tahu tidak ?" Thia Eng tidak tahu maksudnya, namun pamannya berpesan wanti2, maka ia mengangguk serta mengiakan, Saking kesakitan Liok-toanio sudah jatuh pingsan berulang kali, mendengar suara suaminya, segera ia membuka mata, katanya: "Kenapa tidak kau berikan kepada anak Siang " Berikan kepada Siang-ji!" "Tidak!" sahut Liok Lip-ting tegas, "Mana boleh aku mengingkari pesan ayah bundanya ?" "Kau.
. . kau sungguh kejam, puterimu sendiri tidak kau hiraukan lagi keselamatannya ?" mata Liok-toanio memutih, suarapun serak dan jatuh semaput lagi.
Liok Bu-siang tidak tahu soal apa yang dipertengkarkan ayah bundanya, sambil menangis ia berteriak: "lbu Ayah !" "Niocu!" ujar Liok Lip-ting dengan suara lembut: "Kau amat sayang kepada Siang-ji, biarlah dia ikut berangkat bersama kita ?" Sapu tangan sutera putih bersulam bunga merah itu adalah pemberian Li Bok-chiu kepada Liok Tian-goan dimasa mudanya sebagai tanda mengikat janji, Menjelang ajal, Liok Tian-goan tahu dosa2 mereka suami isteri bertumpuk dan banyak musuh, anak cucunya kelak pasti terlibat banyak urusan, maka ia wariskan sapu tangan itu kepada puteranya.
Dengan wanti2 ia berpesan, bila Bu Sam-thong meluruk datang menuntut balas, kalau bisa menghindari adalah baik, kalau tidak bolehlah dilawan sekuat tenaga dan rasanya jiwa tidak akan melayang cuma2.
Tapi kalau Li Bok-chiu yang datang, orang ini amat keji dan ganas pula, ilmu silatnya juga tinggi, satu2-nya jalan untuk menyelamatkan diri ialah mengalungkan sapu tangan sutera putih itu di leher.
ingat akan asmara dimasa mudanya, mungkin si iblis itu tidak tega turun tangan, Tapi Liok Lip-ting sendiri tinggi hati, meski menjelang ajal, namun ia sendiri tidak mau unjuk sapu tangan itu.
Thia Eng adalah puteri saudara perempuan Liok Lip-ting yang dititipkan padanya, Biasanya ia bersikap keras kepada keponakan ini, sering ia memarahinya dan mendidiknya dengan keras, tapi urusan sudah berlarut sedemikian jauh, malah dia berikan sapu tangan penyelamat itu kepada Thia Eng.
Betapapun Liok-toanio berjiwa lebih sempit, kasih sayangnya kepada puteri sendiri lebih besar, melihat sang suami tidak perdulikan keselamatan jiwa puteri sendiri, saking dongkol dan gusar, kontan ia jatuh semaput lagi.
Karena soal sapu tangan sampai bibi dan pamannya bertengkar segera Thia Eng angsurkan sapu tangan itu kepada Piaumoay-nya, katanya: "Bibi bilang untuk kau, nah, terimalah !" Tapi Liok " Lip-ting segera membentak: "Siang-ji, jangan kau terima !" Bu Sam-nio tahu dalam hal ini pasti ada latar belakang yang dirahasiakan segera ia tampil bicara: "Bagaimana kalau sapu tangan ini disobek menjadi dua potong " Satu orang separoh, boleh tidak ?" Liok Lip-ting hendak bicara, namun keadaannya sudah sangat payah, mana bisa mengeluarkan suara pula, terpaksa ia hanya mengangguk saja, Bu Sam-nio segera minta sapu tangan itu "bret" ia sobek menjadi dua dan dibagikan kepada Liok Bu-siang dan Thia Eng.
Bu Sam-thong berdiri di mulut gua, mendengar jerit tangis di sebelah "dalam, tak tahu apa yang terjadi, segera ia berpaling, entah mengapa dilihatnya separuh muka isterinya berwarna hitam separuh yang lain putih halus seperti salju, keruan ia kaget dan kuatir, katanya sambil menuding muka sang isteri: "Ke.
. . kenapa begini ?" "Kenapa ?" tanya Bu Sam-nio sambil meraba mukanya, terasa kulit mukanya seperti kaku dan mati rasa, mencelos hatinya, seketika teringat akan rabaan tangan li Bok-chiu pada mukanya tadi, apa tangan halus dan lembut itu menggunakan racun dalam rabaannya tadi " Baru saja Bu Sam-thong hendak bertanya pula, mendadak didengarnya seorang tertawa di luar gua, katanya: "Kedua bocah perempuan itu di sini bukan " Perduli mati atau hidup, lekas lempar keluar!" suaranya nyaring seperti kelintingan.
Bu Sam-thong segera melompat keluar gua, dilihatnya Li Bok-chiu sedang berdiri di luar gua, seketika hatinya tergetar: "Puluhan tahun tidak bertemu, kenapa dia masih sedemikian cantik ?" Tapi dilihatnya kebut di tangan Li Bok-chiu bergoyang gontai, sikapnya adem-ayem, pandangan matanya tajam, kedua pipinya bersemu merah, bagi orang yang tidak kenal iblis yang suka mengganas ini, orang pasti mengira orang adalah putri hartawan yang sengaja menjadi Tokoh (pendeta wanita agama Tao).
Melihat kebut baru Bu San-thong ingat dirinya tidak membekal senjata, kalau balik mengambil ia kuatir orang akan menerjang masuk dan melukai Thia Eng atau Liok Bu-siang, sekilas dilihatnya di pinggir gua tumbuh sebatang pohon, segera ia rangkul dengan kedua tangan serta menghardik keras: "Naik !" Waktu ia kerahkan tenaga, pohon itu seketika kena dicabut sampai akar-akarnya, Li Bok-chiu tersenyum genit: "Amat besar tenagamu !" Bu Sam-thong segera melintangkan batang pohon itu, katanya: "Nona Li, puluhan tahun tidak bertemu, kau baik-baik saja ?" Dahulu ia biasa panggil orang nona Li, kini meski orang sudah masuk agama menjadi pendeta To, namun ia tidak mengubah panggilannya, selama dua puluhan tahun terakhir ini Li Bok-chiu tidak pernah mendengar orang memanggil dirinya dengan sebutan "nona Li", seketika tergerak hati-nya, terbayang olehnya akan kehidupan manis mesra masa mudanya dahulu, namun kilas lain ia pun berpikir: sebetulnya aku dapat hidup rukun sampai hari tua bersama pujaan hatiku, siapa tahu dalam dunia ini muncul seorang yang bernama Ho Wan-kun yang membuat aku malu dan kehilangan, pamor, aku hidup menderita sampai hari tua.
Se gera rasa manis mesra yang menggejolak tadi se ketika tersapu bersih, perasaan berubah menjadi benci dan dendam.
Seperti Li Bok-chiu Bu Sam-thong juga seorang yang patah hati dalam gelanggang asmara boleh dikatakan mereka mengalami pendeta dan siksaan batin yang sama.
Sepuluhan tahun yang lalu Bu Sam-thong pernah melihat seorang diri Li Bok-chiu membunuh puluhan Piausu dari Ho-si Piaukiok secara kejam dan tak berperi-kemanusiaan, kalau dibayangkan sampai sekarang masih terasa seram, Para Piausu itu sebetulnya tiada salah dan tiada dosa kepadanya, merekapun tiada sangkut paut dengan Ho Wan-kun soalnya hanya karena merekapun she Ho, di kala kepedihan hati tak terlampiaskan, ia luruk ke Ho-si Piau kiok serta membunuh habis semua penghuninya, Kini dilihat pula oleh Bu Sam-thong raut muka perempuan ini sebentar mengunjuk kelembutan hatinya, namun saat lain berubah bengis dan menyeringai dingin, diam2 ia sangat menguatirkan keselamatan kedua anak perempuan Liok dan Thia itu.
Berkata Li Bok-chiu: "Di atas dinding sudah kuberikan tanda sembilan telapak tangan, aku tidak akan berhenti sebelum membinasakan sembilan orang, Nah, Bu-samko, silahkan kau menyingkir !" "0rang2 yang kau musuhi sudah sama mati, putera dan bininya pun sudah kau lukai, cucu perempuannya yang masih kecil itu, harap kau ampuni saja !" kata Bu Sam-thong.
Li Bok-chiu menggeleng sambil tersenyum, katanya: "Bu-samko, silahkan kau minggir.
" Bu Sam-thong pegang batang pohon itu lebih kencang, teriaknya: "Nona Li, kau memang terlalu kejam, Ho Wan-kun.
" Seketika berubah air muka Li Bok-chiu mendengar nama itu, katanya: "Aku sudah bersumpah barang siapa di hadapanku menyinggung nama orang itu, maka kalau bukan aku yang mati pasti dia yang mampus, Nah, Bu-samko, kau sendiri yang salah, jangan kau menyalahkan aku.
" Kebut-nya segera mengebas ke atas kepala Bu Sam-thong.
Jangan pandang kecutnya itu kecil pendek, namun kebasannya ini cepat dan keras sekali, rambut kepala Bu Sam-thong yang awut2an itu seketika seperti diterpa angin ribut Li Bok-chiu tahu orang adalah murid kesayangan It-teng Taysu, meski tindak tanduknya ling-lung, namun ilmu silatnya mempunyai keistimewaannya sendiri, maka sekali turun tangan segera ia lancarkan serangan maut yang mematikan Cepat Bu Sam-thong angkat batang pohon itu dan mendadak terulur maju terus menyapu dengan keras.
Melihat sapuan keras dan lihay ini, badan Li Bok-chiu berkelebat melayang mengikuti deru angin, sebelum daya kekuatan sapuan pohon itu melanda tiba, ia sudah melompat ke depan terus menyerang ke muka lawan.
Hebat memang kepandaian Bu Sam-thong, tidaklah sia2 Toan-hongya menggemblengnya selama puluhan tahun, melihat orang merangsak maju, tangan kanan segera terangkat, jari tengahnya terjulur menutuk jidat orang.
It-yang-ci yang dia lancarkan ini tidak bisa dibandingi dengan permainan isterinya tadi, kelihatannya gerak tangannya tidak begitu cepat dan hebat, namun serba rumit dijajagi atau diraba perubahannya, aneh dan ajaib.
Tapi badan Li Bok-chiu mendadak mencelat mundur beberapa tombak jauhnya, Melihat orang bergerak segesit kera selincah kupu menyelusuri kembang, datang pergi seenteng asap, dalam sekejap saja merangsak maju dan mundur beberapa kali, mau-tidak-mau Bu Sam-thong sangat kagum dan tergetar.
Segera ia kerahkan tenaga mengabitkan dahan pohon itu dengan hebatnya, serentak ia desak lawan mundur puluhan tombak jauhnya, tapi sedikit ada peluang, Li Bok-chiu segera menyelinap maju secepat kilat, untung It-yang-ci amat lihay, kalau tidak tentu sejak tadi dia sudah terkapar roboh.
". Meski demikian, betapapun bobot dahan pohon itu terlalu berat, diputar sedemikian kencangnya, lama-kelamaan ia merasa letih dan kehabisan tenaga, sebaliknya Li Bok-chiu bergerak semakin gesit dan mendesak semakin dekat Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu2 Li Bok-chiu melompat ke pucuk pohon sembari mengayun kebutnya menyerang ke bawah dari tengah udara.
Bu Sam-thong terkejut, lekas ia putar balik batang pohon terus dihantamkan ke tanah, sambil tertawa Li Bok-chiu berlari maju melalui dahan pohon.
segera Bu San-thong memapak dengan tutukan jarinya.
Tapi sekali menggeliat gemulai, badan lawan tahu2 sudah menyurut mundur ke pucuk pohon pula.
Begitulah beruntun puluhan jurus, bagaimanapun Bu Sam-thong kerahkan tenaga menggentak pohon atau menyapukannya dengan hebat menghantam batang pohon yang lain untuk menjatuhkan orang, namun Li Bok-chiu seperti lengket dengan dahan pohon di tangannya itu, malah setiap kali kalau gerakan dahan pohon lamban ia lantas menyerang maju dengan serangan ganas.
Lama kelamaan Bu Sam-thong merasa payah juga, meski badan orang tidak terlalu besar dan berat, paling tidak menambah beban di atas dahan pohon besar itu, dengan berdiri di .
pucuk pohon, dahan pohon itu tidak akan mampu mengenai dia, sebaliknya orang lebih leluasa menyerang dirinya, terang dirinya dalam posisi yang terdesak Inysaf akan kedudukan yang berbahaya ini, bila dirinya sedikit ayal atau lena, jiwa sendiri tidak menjadi soal, tapi semua penghuni gua baik tua dan muda bakal menjadi mangsa keganasannya pula.
Segera ia ayun batang pohon itu lebih kencang, ia berusaha menjatuhkan orang dari dahan pohon di tangannya, Tepat pada saat itulah, tiba2 dari belakang didengarnya seruan nyaring disusul dua bayangan abu2 menubruk turun dari atas Karena pahanya tersambit jarum berbisa, Bu Sam-thong rebah tengkurap tak mampu bangun Jagi, sementara Li Bok-chiu sedang sibuk dikerubuti dua ekor rajawali dan seekor burung merah kecil berparuh panjang.
Waktu Bu Sam-thong angkat kepala, dilihatnya dua ekor rajawali menukik turun bagai meteor jatuh menyerang ke arah Li Bok-chiu dari kanan kiri, Melihat luncuran kedua burung raksasa yang pesat dan dahsyat ini, cepat Li Bok-chiu menjungkir ke bawah dengan kaki kiri tetap menggantol dahan pohon, Karena tidak berhasil mengenai musuh, kedua rajawali itu terbang ke udara pula.
Baru saja Bu San-thong keheranan, tiba2 didengarnya suara anak perempuan di belakangnya: "Tiau-ji, ayo turun gigit perempuan jahat itu !" Kedua ekor burung rajawali itu amat cerdik dan tahu kata2 orang, seekor dari kiri ke kanan, yang lain dari kanan ke kiri, empat cakar besinya serentak mencengkeram ke bawah pohon.
Pernah Li Bok-chiu dengar bahwa Kwe Ceng dan Ui Yong dari Tho-hoa-to ada memelihara sepasang burung rajawali sakti, menghadapi serangan kedua burung sakti ini, terhadap rajawali itu sendiri ia tidak takut, namun ia jeri bila Kwe Ceng suami isteri berada tidak jauh dari situ, hal itu tentu akan membawa kesulitan dan menggagalkan urusannya, dengan gerakan gemulai segera ia berkelit beberapa kali, tiba2 ia ayun kebut-nya, "plok", ia berhasil menyabet sayap kiri rajawali jantan, saking kesakitan rajawali itu berpekik dan beberapa tangkai bulunya rontok berhamburan di udara.
Melihat burung rajawalinya cidera, Kwe Hu berteriak pula: "Tiau-ji jangan takut, gigit perempuan galak itu.
" Sekilas Li Bok-chiu melirik, dilihatnya anak perempuan itu berkulit halus bagai salju, cantik melek dan menawan hati, tergeraklah hatinya: "Sejak lama kudengar bahwa Kwe-hujin adalah perempuan tercantik nomor satu angkatan muda, memangnya anak perempuan ini adalah puterinya ?" - Karena menggunakan pikiran, gerak gerik kaki tangannya menjadi sedikit lamban, Walaupun mendapat bantuan sepasang rajawali namun Bu Sam-thong masih tidak kuasa merobohkan lawannya, keruan hatinya semakin gelisah, Se-konyong2 pohon itu ia lempar ke tengah udara bersama orangnya.
Agaknya Li Bok-chiu tidak menduga akan perbuatannya ini, tanpa kuasa badannya ikut terlempar beberapa tombak tingginya di udara.
Seperti diketahui tenaga sakti Bu Sam-thong memang amat mengejutkan, dulu waktu Kwe Ceng dan Ui Yang hendak minta bertemu dengan It Teng Taysu, di tepi jurang dia mengangkat sepotong batu besar yang diatasnya rebah pula seekor sapi jantan yang besar, ia kuat bertahan hampir setengah jam lebih, Kepandaian silat Li Bok-chiu memang tinggi namun karena dilempar sekuat itu, ia tidak kuasa menyingkirkan diri lagi.
Melihat dia melambung ke udara,, kedua rajawali itu segera menukik turun pula seraya menutuk Kalau di atas tanah datar kedua rajawali ini tidak dapat mengapakan dirinya, sekarang Li Bok-chiu terapung di tengah udara dan tiada tempat untuk pengerahan tenaga, mana kuat melawan terjangan kedua rajawali yang hebat ini! Dalam gugupnya kebut terayun untuk melindungi mukanya, berbareng lengan baju mengebas, sekaligus ia timpuk tiga batang jarum Peng-pok-gin-ciam.
Dua batang menerjang kedua rajawali sebatang ke arah dada Bu Sam-thong.
Tiga batang senjata rahasia dia timpukan ke tiga arah sasaran yang berlainan dengan tepat, sungguh lihay sekali.
Kedua rajawali itu rupanya tahu kelihaian jarum musuh, cepat pentang sayap melambung tinggi pula ke tengah udara, tapi jarum perak itu menyamber teramat cepat, "sret, sret" jarum menyerempet lewat sela2 cakar kaki dan mengelupas sedikit sisik kulitnya, Ketika Bu Sam-thong tiba2 melihat sinar perak berkelebat lekas ia jatuhkan diri, namun jarum perak itu masih mengenai juga paha kiri-nya, sebat sekali ia hendak berdiri pula, siapa tahu kaki kirinya itu, ternyata tidak mau menurut perintah lagi, lututnya tertekuk dan berlutut dengan tangan menyanggah tanah, ia.
kerahkan tenaga murni, baru saja hendak merangkak bangun pula, rasa kaku dengan cepat sudah menjalar sekejap saja kedua kakinya sudah pati rasa, kontak ia jatuh tengkurap, kedua tangan masih bertahan dan meronta hendak berdiri, namun akhirnya ia rebah tak bergerak lagi.
"Tiau-ji, Tiau-ji!" teriak Kwe Hu keras, "Lekas kemari!" Kedua ekor rajawali itu ternyata terbang entah kemana dan tidak mau mendengar teriakannya lagi, "Adik cilik", tegur Li Bok-chiu tersenyum, "apa kau she Kwe ?" Melihat orang bicara manis budi, Kwe Hu pun tertawa, sahutnya: "Ya, aku she Kwe.
Kau she apa ?" "Mari sini, ku ajak kau bermain," perlahan Li Bok-chiu menghampiri hendak menggandeng tangannya.
Dengan mengetuk tongkatnya lekas Kwa Tin-ok menerjang keluar dari gua dan menghadang di depan Kwe Hu, teriaknya: "Hu-ji, lekas masuk !" "Memangnya kau takut aku bakal menelannya bulat2 ?" ujar Li Bok-chiu tertawa cekikikan Kaki kirinya sedikit mencungkit tongkat besi orang berbareng tangan kiri meraih menangkap ujung tongkat.
Kwa Tin-ok lekas menyendal serta menariknya, namun ia tidak berhasil melepaskan cekalan orang, teriaknya: "Hu-ji lekas lari.
" Kwe Hu malah bersungut dan berkata "Bibi ini hendak bermain dengan aku.
" Tidak lari ia malah hendak menarik tangan Li Bok-chiu.
Kwa Tin-ok kaget, selagi kehabisan akal, tiba2 terdengar suara pekik kedua rajawali yang telah terbang balik.
"Tiau-ji, lekas ke sini!" Kwe Hu berseru.
Tiba2 samar merah berkelebat, seekor burung kecil warna merah yang berparuh panjang mendadak menubruk langsung ke arah kepala Li Bok-chiu dari sela2 kedua burung rajawali.
Keruan Li Bok-chiu terkejut lekas kebutnya menyamber namun burung merah itu melayang pergi datang dengan cepat, tiba2 badannya mundur tiga kaki ditengah udara meluputkan diri dari kebutan itu.
. Tapi secepat itu pula ia sudah menerjang maju pula, gerak geriknya tidak kalah dari pada tokoh kosen dunia persilatan.
Kaget dan senang pula Li Bok-chiu, katanya sambil tertawa: "Burung kecil ini menyenangkan juga!" Tiba2 didengarnya suara desiran aneh yang kumandang dari belakang gunung, entah dari mana berbondong2 merayap keluar ular hijau yang tak terhitung banyaknya, Seorang anak laki2 berbaju hijau sedang mendatangi sambil berdendang dengan bertepuk tangan, Ular-ular itu mengiringi nyanyiannya, sebaris dari sebaris amat teratur merubung ke arah Li Bok-chiu.
Anak laki2 berusia 14 - 15 tahun itu lalu duduk di tanah untuk menonton burung merah tadi menempur sengit Li Bok-chiu.
Burung merah kecil itu amat gesit dan tangkas, maju mundur bagai kilat, sabetan kebut Li Bok-chiu meski sangat kencang, namun lawan kecil ini selalu dapat lolos.
Dilihatnya anak laki2 itu bermuka cakap, bibir merah gigi putih, tampan dan menyenangkan serta merta timbul rasa kasih sayangnya, melihat orang menggusur ular menghadang di depannya, diam2 ia berpikir: "Kabarnya di Pek-tho-san daerah Se-ek benua barat ada seorang Bu-lim Cianpwe tokoh persilatan tua bernama Auwyang Hong yang pandai menguasai ular untuk menyerang musuh, mungkin pemuda ini punya hubungan erat dengan dia ?" Semula ia berniat melancarkan serangan ganas untuk membinasakan burung merah itu, berpikir sampai di situ, ia jadi ragu2 dan batalkan niatnya semula.
Harus diketahui Li Bok-chiu adalah seorang yang licik dan banyak tipu dayanya, sebelum bertindak ia selalu memikirkannya lebih dulu secara seksama, kalau dirinya tidak terdesak kalah, dia tidak akan segera menurunkan tangan jahatnya.
pikirnya: "Kenapa hari ini begini kebetulan " It Teng Taysu, Pek-tho-san dan Tho-hoa-to masing2 ada orang kumpul di sini, memangnya sebelum ini mereka sudah berjanji untuk bersatu menghadapi aku " Biarlah kucari tahu dulu keadaan yang sebenarnya.
" Sambil mengebaskan kebutnya, Li Bok-chiu bertanya: "Adik cilik, siapa namamu " Apa kau datang dari Pek-tho-san ?" Melihat orang bicara dengan lemah-lembut, pemuda itu berdiri sahutnya dengan, tertawa: "Aku she Nyo, Pek-tho-san apa yang kau maksudkan ?" Melihat orang tidak bersiap, se-konyong2 burung merah tadi menyergap pula serta mematuk dengan paruhnya yang runcing panjang.
Sebat sekali Li Bok-chiu ulur tangan kiri terus meraih, gerak-gerik burung merah kecil itu amat cepat dan tangkas, namun gerak tangan Li Bok-chiu lebih cepat lagi, tahu2 burung merah itu tergenggam oleh tangannya.
Keruan pemuda itu kaget, teriaknya: "Hai, jangan kau melukai dia !" "Baik, nih, kukembalikan padamu !" sahut Li Bok-chiu sambil membuka telapak tangannya, Begitu mendapat kebebasan burung merah itu segera pentang sayap hendak terbang, tapi baru saya sayapnya terbentang, Li Bok-chiu kerahkan lwekang melalui telapak tangannya, sehingga burung merah itu seakan-akan melengket pada tangannya, biarpun beberapa kali burung kecil itu menggelepai2 sayapnya tetap tidak mampu terbang lolos dari telapak tangannya.
Maklumlah Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah mencapai puncaknya, tenaga yang dikerahkan pada telapak tangannya bisa dia gunakan sesuka hatinya, dalam sekejap saja ia bisa mengubah kekuatan pukulan telapak tangan beberapa kali, sekali serang pukulannya bisa menimbulkan gelombang kekuatan yang menderu hebat, tenaga dipusatkan di tengah2 telapak tangan, sementara jarinya bisa mengendon sehingga orang yang terkena pukulannya tidak mampu mengerahkan tenaga untuk melawan.
Bagi jago yang berilmu silat tinggi, kalau badannya terkena pukulan, secara reflek akan mengerahkan tenaga untuk melawan, baik menangkis atau untuk mematahkan Tapi ilmu pukulan Li Bok-chiu ini lain dari pada yang lain, sekali pukul didalamnya mengandung bermacam kekuatan yang dahsyat, oleh karena itu ia amat tenar dan ditakuti karena ilmu pukulan Jik-lian-sin-ciang, siapa yang tidak akan kuncup nyalinya bila mendengar atau melihat ilmu pukulannya ini.
Begitulah burung merah tadi masih terus kerupukan di tengah telapak tangan Li Bok-chiu dan tidak mampu terbang meloloskan diri.
Bu Sam-nio dan lain2 juga terkurung oleh barisan ular yang banyak itu, merekapun kaget dan heran pula, Melihat burung merah itu tidak mampu lepas dari telapak tangan orang, mereka pun kuatir akan keselamatannya, tapi takut di-gigit u!ar2 berbisa itu, setapak pun mereka tidak berani bergerak.
Melihat suaminya terkapar di tanah tanpa bergerak, entah mati atau masih hidup, betapapun mereka sudah menjadi suami isteri sekian puluh tahun lamanya, Bu Sam-nio amat prihatin akan keadaan suaminya, segera ia berseru memanggil: "Samko, bagaimana kau ?" Bu Sam-thorig mengerang, punggungnya terangkat beberapa kali, namun tetap tidak mampu menegakkan badan.
Kwe Hu, tampak celingukan kian kemari dan tidak melihat bayangan kedua burungnya, segera ia berteriak: "Tiau-ji, Tiau-ji, lekas kembali!" Setelah menunggu cukup, lama tidak melihat apa2, maka Li Bok-chiu sudah bertekad: "Seumpama Kwe Ceng suami isteri dan Auwyang Hong berada di sekitar sini, jika aku segera turun tangan masakah mereka sempat berbuat apa-apa kepadaku ?" - Maka dengan tersenyum kecil ia melangkah ke depan.
"Eh, jangan bergerak !" teriak anak muda tadi.
"Awas digigit ular!" - Tapi dilihatnya di mana kaki Li Bok-chiu beranjak ke depan, kawanan ular itu entah kenapa sama menyurut mundur seperti amat takut kepadanya, saling desak dan menyingkir ke pinggir.
Tiba2 Li Bok-chiu melompat lewat di samping si pemuda terus menerjang ke dalam gua.
Bu Sam-nio ayun pedangnya seraya membentak: "Keluar !" Tangan kiri Li Bok-chiu masih pegang burung kecil dan tangan kanan menyongsong tajam pedang terus menepuk.
Keruan Bu Sam-nio heran, "Memangnya tanganmu terbuat dari baja ?" Siapa tahu jari2 orang ternyata bergerak selincah ular hidup, tahu2 sudah mencomot batang pedang terus digentak ke depan, ujung pedang malah membal balik memotong ke jidat Bu Sam-nio sendiri, perubahan ini terjadi dalam waktu yang amat cepat, "sret", belum sempat ia berkelit pedangnya sendiri sudah membacok jidatnya.
"Maaf !" ujar Li Bok-chiu tertawa, burung ditangan kirinya segera dilepaskan, kedua tangannya segera menjinjing Thia Eng dan Liok Bu-siang, kaki sedikit menutul badannya segera mencelat keluar gua, dalam kesibukannya itu ia sempat pula menendang tongkat besi Kwa Tin-ok yang menyerampang datang dan menimpuk sebatang Ping-pok-ciam di kuncir Kwe Hu.
Mendengar jeritan kedua anak dara Thia dan Liok, tahu keadaan sangat gawat, si pemuda segera bangun dan menubruk maju memeluk Li Bok-chiu sambil teriaknya: "Hai, hai, lekas lepaskan !" Tangan Li Bok-chiu masing2 menjinjing satu orang, sedikitnya ia tidak menduga si pemuda bakal memeluk pinggangnya, tahu2 ia merasa bawah ketiak sudah dijepit sepasang tangan kecil seketika hatinya terkesiap, entah bagaimana seketika seluruh badan menjadi lemas lunglai.
Supaya Thia dan Liok kedua anak perempuan itu tidak tergigit ular, ia kerahkan tenaga di telapak tangan terus melemparkan mereka beberapa tombak jauhnya, cepat sekali tangannya membalik mencengkeram punggung si pemuda.
Usia Li Bok-chiu sudah mencapai lima puluhan tahun, namun dia masih seorang perawan yang suci, semasa mudanya bergaul dan main asmara dengan Liok Tian-goan, namun " masing2 memegang teguh adat istiadat, maka selama hidupnya belum pernah ia bersentuhan tubuh dengan laki2 manapun jua.
Banyak laki2 kalangan Kangouw yang terpikat akan kecantikannya, tapi sekali orang mengunjuk nafsu jahat atau tingkah laku yang tidak sopan, maka jiwa orang itu pasti melayang di bawah Jik-lian-sin-ciangnya.
Walau pemuda ini baru berusia belasan, betapapun dari badannya sudah mengeluarkan bau kelakian yang merangsang dan memabukkan, se-konyong2 Li Bok-chiu menghadapi keadaan ini, seketika ia terkesima dan luluh hatinya.
Begitu mencengkeram punggung si pemuda sebetulnya ia sudah kerahkan tenaga hendak menghancurkan isi perut orang untuk mencabut nyawanya, siapa tahu tenaga ternyata tak kuasa dikerahkan, hal seperti ini selama hidup belum pernah dia alami, keruan tak terkatakan rasa kejut dan herannya.
Pada saat itulah burung merah itu tahu2 menubruk pula mematuk matanya sebelah kiri sedikitpun Li Bok-chiu tidak menduga, tahu-tahu sebelah matanya seperti ditusuk sesuatu benda dan sakitnya luar biasa, biji matanya sudah dipatuk buta oleh burung merah itu.
Keruan murkanya tidak kepalang, "plok", ia ayun tangannya secepat kilat, pukulan ini dilandasi kekuatan Lwekangnya selama hidup ini, burung kecil itu seketika terpental jatuh dengan leher putus sayap kutung, Cepat sekali tangan kanannya mengangkat si pemuda serta memakinya: "Keparat cilik, kau ingin mampus ya !" Segera ia putar badan pemuda itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, segera pula ia hendak benturkan kepala orang pada batu gunung agar mampus, Meski dalam bahaya, namun si pemuda sedikitpun tidak gugup atau takut, malah katanya sambil tertawa: "Kokoh (bibi), jangan kau puntir kakiku hingga kesakitan !" suaranya sedemikian lembut dan aleman, sorot matanya halus mesra dan membuat orang yang menghadapinya luluh hatinya dan kuncup amarahnya, apapun yang diminta rasanya sulit untuk menolaknya.
Sekilas Li Bok-chiu melenggong, belum lagi hatinya ambil keputusan, didengarnya pekik sepasang rajawali di angkasa, kedua rajawali itu sedang terbang mendatangi dari kejauhan, tahu2 menukik serta menyerangnya pula.
Mata kirinya sudah buta, rasa gusar dan penasaran ini belum sempat terlampias, segera ia kebutkan lengan baju kirinya, dua batang Ping-pok-ciam memapak kedua rajawali itu.
Senjata rahasianya ini amat ganas dan berbisa lagi, kedua rajawali ini tadi sudah merasakan kelihayannya, lekas mereka pentang sayap melambung pula ke atas, namun jarum2 perak itu menyamber dengan kecepatan luar biasa, meski kedua rajawali terbang amat cepat, luncuran kedua batang jarum perak itu terlebih cepat lagi, saking kaget dan ketakutan kedua rajawali sampai bersuit nyaring, tampaknya jiwa mereka bakal tak tertolong lagi, kedua rajawali yang gagah perkasa ini bakal melayang oleh jarum berbisa itu.
Mendadak terdengar suara mendering keras, sesuatu benda meluncur amat kencang dari kejauhan memecah angkasa, Sungguh cepat sekali kedatangan benda kecil ini, baru saja kuping mendengar dering luncurannya, dalam sekejap saja sudah melayang tiba dan tahu2 membentur jatuh kedua batang jarum berbisa itu.
Datangnya senjata rahasia ini sungguh sangat mengejutkan meski li Bok-chiu seorang kejam, tak urung iapun terperanjat Segera ia melompat ke depan sambil melemparkan si pemuda untuk menjemput benda itu, kiranya hanya sebutir batu kerikil biasa, Pikirnya: "Orang yang menimpukkan batu kerikil ini ilmu silatnya pasti tinggi luar biasa, mataku sudah cidera, biarlah aku menghindarinya saja.
" Serta merta ia bergerak menuruti jalan pikirannya, telapak tangannya segera menepuk ke punggung Thia Eng, tujuannya hendak membinasakan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesuai tanda peringatan sembilan tapak tangan berdarah yang ditinggalkan di dinding rumah Liok Lip-ting itu.
Akan tetapi pada waktu telapak tangannya hampir menyentuh punggung Thia Eng, sekilas mata kanan yang masih jeli itu tiba2 melihat leher anak dara itu terikat selembar saputangan bersulam bunga merah indah yang dia kenal adalah buah tangan sendiri dahulu yang diberikan pada kekasihnya sebagai tanda mata.
Karena ini, seketika ia merandek, tenaga gablokannya tadi dengan cepat ia tarik kembali segala cumbu-rayu dimasa silam sekilas terbayang kembali olehnya.
Melihat saputangan sulaman ini iapun lantas tahu maksud kemauan Liok Tian-goan, pikirnya dalam hati: "Walaupun ia telah menikah dengan perempuan hina she Ho itu, namun dalam hatinya nyata ia tidak pernah melupakan diriku terbukti sapu tangan ini masih dia simpan baik2, karena itu ia mohon agar aku mengampuni keturunannya, lantas aku harus mengampuni atau tidak ?" Demikianlah sesaat ia menjadi ragu2, tidak bisa ambil keputusan Sejenak pula ia putuskan akan bunuh dulu Liok Bu-siang saja.
Maka kebutnya segera ia angkat hendak menyabet gadis cilik itu, namun di bawah cahaya matahari yang terang, lagi2 tertampak olehnya pada leher gadis ini berkabung selembar saputangan bersulam yang sama.
"Eh !" Li Bok-chiu bersuara heran, pikirnya pula: "Mana mungkin ada dua saputangan yang sama " Satu diantaranya pasti palsu.
" Oleh karena itu, kebutnya yang menghantam tadi ia ubah menjadi membelit dan dengan tepat leher Liok Bu-siang kena dililit oleh ekor kebut, anak dara ini terus dia seret ke dekatnya.
Tetapi pada saat itu juga, suara mendesing tadi kembali menggema, sebutir batu lagi2 menyamber dari belakang mengarah punggungnya, lekas Li Bok-chiu baliki kebutnya untuk menyampuk batu yang cepat sekali datangnya ini, tangkisannya sangat jitu, dengan tepat batu itu kena disamplok pergi namun demikian, Li Bok-chiu merasakan juga genggaman tangannya sakit pedas.
Batu sekecil itu ternyata membawa tenaga begitu kuat, maka betapa hebat ilmu silat penyambit batu itu dapat dibayangkan keruan Li Bok-chiu tak berani tinggal lebih lama lagi, ia samber Liok Bu-siang terus dikempit, ia keluarkan Gin-kang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi, secepat terbang dalam sekejap saja ia sudah menghilang kabur.
Nampak Piamoay atau adik misannya digondol orang, tentu saja Thia Eng menjadi ribut "Piaumoay-Piaumoay !" demikian, ia ber-teriak2 sambil menyusul dari belakang dengan kencang.
Akan tetapi dengan kecepatan berlari Li Bok-chiu, mana bisa Thia Eng menyusulnya " Namun sejak kecil gadis ini sudah punya kemauan keras, dengan kertak gigi ia masih terus mengudak.
Di daerah Kanglam banyak terdapat sungai, tak lama Thia Eng mengudak, ia telah terhalang oleh sebuah sungai kecil hingga tak berdaya buat maju lagi, Tetapi dara ini tidak putus asa, sambil jalan menyusut gili2 sungai, mulutnya masih memanggil terus.
Se-konyong2 pada sebuah jembatan kecil di sebelah kiri sana ada berkelebatnya bayangan putik tiba2 satu orang mendatangi dari seberang Thia Eng tercengang karena tahu2 Li Bok-chiu sudah berdiri di hadapannya, cuma Liok Bu-siang sudah tak kelihatan di bawah kempitannya.
Dalam hati Thia Eng sangat ketakutan, tetapi ia lantas ingat lagi pada Liok Bu-siang, maka dengan tabahkan hati ia tanya: "Dimanakah adik-misanku ?" Sekilas Li Bok-chiu melihat raut muka Thia Eng memper sekali dengan mendiang Ho Wan-kun yang menjadi lawan asmaranya, maka rasa bencinya seketika timbul dan panas hatinya membakar, tanpa pikir lagi ia angkat kebutnya terus, menyabet ke kepala si nona.
Dengan ilmu silat seperti Liok Lip-teng yang begitu tinggi saja tidak mampu menangkis tipu serangan Li Bok-chiu yang lihay ini, apalagi hanya gadis sekecil Thia Eng " Maka tampaknya dengan segera senjata kebut itu akan bikin kepala berikut dada anak dara itu hancur lebur.
Di luar dugaan, baru saja Li Bok-chiu ayun kebutnya, mendadak terasa olehnya tarikannya menjadi kencang, ujung kebutnya se-akan2 kena dibetot oleh sesuatu dan tak mampu diayunkan ke depan.
Tidak kepalang kejutnya, ia hendak menoleh buat melihat, tapi tahu2 tubuhnya terapung ke atas terus melompat beberapa tombak ke bela-kang, habis ini baru turun kembali.
Sungguh bukan buatan kejut Li Bok-chiu oleh kejadian ini, lekas ia putar tubuh, namun ia menjadi melongo karena di belakangnya kosong melompong tanpa sesuatu yang dia dapatkan.
Li Bok-chiu sudah biasa menghadapi lawan tangguh, tahu gelagat kurang menguntungkan dirinya, ia putar kebutnya hingga berwujut satu lingkaran secepat roda angin, dengan demikian, dalam jarak lima kaki musuh sukar mempedayai-nya, setelah ini baru dia berani memutar tubuh lagi.
Maka tertampaklah olehnya di samping si dara cilik Thia Eng kini sudah berdiri seorang aneh berjubah hijau, perawakannya tinggi kurus, air, mukanya kaku tanpa menunjuk sesuatu perasaan, seperti manusia tapi lebih memper mayat pula hingga membikin orang yang melihatnya akan timbul semacam rasa jemu dan muak.
Li Bok-chiu tidak kenal orang aneh ini, ia pikir ilmu silat orang jauh di atas dirinya, tetapi ia justru tidak ingat dalam kalangan Bu-lim ada tokoh siapakah yang begini lihay dan bermuka seperti dia ini, Selagi ia hendak menegur, tiba2 ia dengar orang itu sudah buka suara! "Orang ini terlalu kejam, nak, hayo, kau pukul dia!" demikian orang itu berkata pada Thia Eng.
Sudah tentu Thia Eng tidak berani menghantam Li Bok-chiu seperti apa yang diajarkan itu.
"Aku tak berani," ia menjawab dengan mengkeret.
"Kenapa takut " Hantam saja dia," kata orang itu lagi.
Akan tetapi Thia Eng masih tetap tak berani Akhirnya orang itu jadi tak sabar, mendadak ia pegang tengkuk Thia Eng terus dilemparkan ke tubuh Li Bok-chiu.
Kini Li Bok-chiu tak berani hantam anak dara ini dengan kebutnya lagi, ia ulur tangan kirinya buat menyambut datangnya tubuh kecil itu, tetapi baru saja tangannya hampir menyentuh pinggang Thia Eng, se-konyong2 terdengar suara mendesir, sikutnya terasa linu pegal hingga seketika tangannya tak kuat diangkat Keruan dengan tepat kepala Thia Eng lantas menumbuk pada dadanya, bahkan berbareng pula gadis itu menambahi dengan sekali tamparan keras hingga mengeluarkan suara "plak" pada "pipinya.
Seumur hidup Li Bok-chiu belum pernah dihina sedemikian ini, tentu saja ia gusar, secepat kilat kebutnya memutar terus menyabet kepala gadis cilik itu, Akan tetapi kembali terdengar sambaran angin, tangkai kebutnya kena dibentur sesuatu benda kecil hingga hampir terlepas dari cekalannya.
Kiranya orang aneh tadi telah gunakan pula sebutir batu kecil dan disentilkan dengan jari dan tepat mengenai gagang kebutnya, sementara itu Thia Eng ingat Li Bok-chiu telah membunuh A Kin dan pelayan perempuan dirumahnya, pula nasib paman dan bibinya sampai kini, belum diketahui, tiba2 rasa takutnya tadi berubah menjadi dendam dan murka, tanpa ayal lagi susul menyusul ia kerjakan kedua tangannya yang kecil dengan cepat, beruntun-runtun ia persen pipi Li Bok-chiu dengan empat kali tempelengan pula.
Percuma Li Bok-chiu selama ini malang-melintang di seluruh jagat, tetapi kini telah digenjot anak dara ini sesuka hati tanpa bisa membalas sedikitpun Li Bok-chiu pandai berpikir dan juga pintar.
menyimpan perasaan hatinya, ia mengerti keadaan" tidak menguntungkan dirinya, maka iapun tidak mau tinggal lebih lama, tiba2 ia ketawa ngikik, lalu ia putar tubuh hendak kabur, Baru beberapa langkah, sekonyong-konyong ia kebaskan lengan bajunya ke belakang beberapa kali, berbareng itu terlihatnya sinar perak yang kemilauan, belasan jarum "Peng-pek-gin-tjiam" telah menyamber pada orang aneh berjubah hijau tadi.
Cara Li Bok-chiu melepaskan Am-gi atau senjata gelapnya ini, tidak memutar tubuh dulu, juga tanpa menoleh, akan tetapi setiap jarumnya dengan tepat mengarah tempat yang berbahaya di atas tubuh orang aneh itu.
Orang itu sama sekali tidak menduga akan serangan ini, ia tidak menyangka senjata rahasia Li Bok-chiu bisa begini keji dan begini lihay, terpaksa ia enjot kakinya, secepat kilat ia melompat mundur.
Datangnya jarum perak luar biasa cepatnya, namun cara melompat mundurnya ternyata terlebih cepat lagi, pula sekali lompat ia telah mundur sejauh beberapa tombak, dengan mengeluarkan suara gemerisik, jarum2 perak tadi jatuh semua di depan orang itu.
Li Bok-chiu sendiri sudah mengetahui bahwa serangannya ini tidak bakal berhasil dengan menghamburkan belasan jarum ini tujuannya hanya buat desak orang menyingkir saja, karena itu, ketika ia dengar suara lompatan orang di belakang, kembali ia kebaskan lengan bajunya lagi, dua jarum perak yang lain menyusul dia arahkan ulu hati Thia Eng.
Sudah dipastikan Li Bok-chiu bahwa kedua jarumnya ini tidak nanti meleset dari sasarannya, tetapi karena takut orang aneh berjubah hijau itu menubruk maju dan menghajar padanya, maka tanpa menoleh lagi buat melihat hasil serangannya itu, segera ia "tancap gas" terus lari pergi dengan cepat, hanya sekejap saja ia sudah menyeberangi jembatan dan menghilang di antara hutan yang lebat.
Sementara itu karena serangan mendadak tadi, orang berbaju hijau itu berseru kaget, ketika ia maju dan membangunkan Thia Eng, ia lihat dua jarum perak yang rada panjang telah menancap di dada anak dara itu, tanpa terasa air muka orang aneh ini berubah.
Setelah ter-mangu2 sejenak, segera ia pondong Thia Eng terus lari cepat menuju ke arah barat.
Kembali pada Kwa Tin-ok dan lain2.
Mereka menjadi jeri oleh ketangkasan Li.
Bok-chiu yang pergi-datang cepat luar biasa itu, Hanya si anak muda tadi ternyata bernyali sangat besar.
"Biar aku pergi menolong kedua Moaymoay !" demikian serunya, Sambil berkata ia" terus mengejar pergi mengikuti arahnya Li Bok-chiu tadi Anak muda ini sama sekali tidak kenal jalanan, sesudah belok sini dan putar sana beberapa kali, akhirnya ia kesasar, terpaksa ia harus berhenti untuk tanya orang di pinggir jalan.
Meski begitu, sesudah jalan terus secara ngawur, tiba2 ia dengar dari jauh ada suara teriakan Thia Eng yang me-manggil2: "Piaumoay, Piaumoay !" Kedengarannya suara itu berada tidak jauh, tanpa ayal lagi segera ia percepat langkahnya mengudak ke depan.
sungguhpun anak muda ini baru sekali ini bertemu dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, akan tetapi dalam hati mudanya tanpa terasa sudah timbul perasaan suka pada mereka, sudah terang ia tahu lihaynya Li Bok-chiu, namun ia tetap menguber terus tanpa memikirkan risikonya sendiri.
Setelah ber-lari2 tak lama menurut arah datangnya suara tadi ia taksir seharusnya sudah sampai di tempat suara Thia.
Eng, akan tetapi aneh, meski ia menengok sana-sini, bayangan kedua anak dara itu sama sekali tidak tertampak.
Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 ia lihat di atas tanah berserakan belasan buah jarum perak yang mengeluarkan sinar mengkilap, tiap2 jarum itu panjangnya kira2 setengah dim, pada batang jarumnya lapat2 kelihatan terukir kembangan sangat bagus dan menarik.
Karena itu ia jemput sebuah jarum itu dan digenggam pada tangan kirinya.
Tetapi mendadak ia dapatkan sesuatu yang aneh, ia lihat pada samping jarum2 perak yang berserakan itu ada seekor kelabang besar yang telah mati dengan perut terbalik ia jadi lebih ketarik oleh kejadian ini, tatkala ia menunduk dan periksa lebih teliti, ia lihat pula di atas tanah itu terdapat banyak sekali sebangsa semut, tawon, belalang dan jangkrik, semuanya sudah mati Tentu saja anak muda ini merasa heran.
, waktu ia menyingkap semak-semak rumput bagian lain, sama saja keadaannya, di sekitar tempat yang terdapat jarum perak itu banyak kutu2 dan serangga2 yang mati, Tetapi setelah dia menjauh beberapa tindak di sana serangga2 kedapatan masih hidup segar, sebaliknya.
ketika ia gunakan jarum yang dia pegang itu untuk menyentuh serangga2 itu, luar biasa cepatnya, hanya sejenak saja segera bina-tang2 kecil itu mati kaku, Beberapa kali ia coba dengan beberapa jenis binatang kecil, keadaan serupa saja.
Akhirnya anak muda ini menjadi girang, ia pikir dengan jarum perak ini untuk alat perangkap nyamuk dan lalat, hasilnya tentu akan sangat memuaskan.
Di luar dugaan, sesaat kemudian, mendadak ia merasa tangan kiri sendiri telah kaku kejang, gerak-geriknya tidak leluasa.
Dasar anak muda ini memang punya kecerdasan otak yang luar biasa, se-konyong2 ia terkejut dan sadar: "He, jarum perak ini beracun yang luar biasa jahatnya, sangat berbahaya bila aku memegangnya !" Karena itu cepat ia buang semua jarum itu, segera ia lihat telapak tangan sendiri sudah berubah menjadi hitam semua, lebih2 tangan sebelah kiri, begitu hitam hingga seperti kena tinta, .
Saking takutnya hampir2 saja ia menangis, tangannya di-gosok2kan pada pahanya dengan kuat, namun pe!ahan2 ia merasa tangannya mulai kaku kesemutan dan menaik ke bagian lengan, bahkan tangan kiri sudah pegal sampai di siku.
Sejak kecil anak muda ini sudah biasa berkawan dengan ular berbisa, ia tahu bahayanya orang terkena racun, karena itu akhirnya ia menangis sedih.
"Nah, sudah tahu lihaynya bukan, nak ?" tiba2 di belakangnya ada suara teguran orang.
Suara orang ini nyaring, tetapi pecah dan sangat menusuk telinga, datangnya mendadak hingga se-akan2 timbul dari bawah tanah saja.
Maka dengan cepat si anak muda balik ke belakang.
Tetapi segera ia kaget hingga ternganga, karena apa yang dia lihat ialah seorang yang berdiri di belakangnya, tetapi cara "berdiri" orang.
ini aneh sekali bin ajaib, bukannya dia berdiri dengan kakinya, tetapi dengan kepalanya, jadi kepala yang menyanggah tubuhnya, sedang kedua kakinya rapat tegak ke atas.
Dalam kagetnya anak muda itu melompat mundur beberapa tindak.
"Kau. . . kau ini siapa ?" serunya kemudian dengan tak lancar.
Tetapi aneh, entah cara bagaimana gerakanmu tahu2 orang itu telah enjot tubuhnya maju tiga kaki dan dengan tepat turun di depan si anak muda.
"Aku. . . aku ini siapa " - Ha, jika aku tahu siapa aku ini tentu akan baik sekali," demikian sahutnya.
Keruan anak muda itu semakin ketakutan oleh kelakuan orang, tanpa pikir lagi segera ia angkat kaki dan lari kesetanan cepatnya, namun ia dengar di belakangnya selalu diikuti dengan suara "tok-tok-tok" yang keras, ketika ia menoleh, tanpa terasa arwah hampir terbang dari raganya si-king kagetnya.
Kiranya orangku dh. menggunakan kepala sebagai kaki, dengan menjungkir tubuhnya me-lompat2 dengan kecepatan yang tiada bandingannya, jarak jauhnya selalu tidak lebih dari be berapa kaki saja di belakangnya.
Tentu saja ia berlari semakin kencang dan mati-matian.
Akan tetapi tiba2 ia dengar menderunya angin, tahu2 orang aneh itu sudah melompat lewat di atas kepalanya dan turun di hadapan-nya.
"Mak !" dalam takutnya anak muda itu sampai berteriak memanggil ibu.
Segera ia putar tubuh hendak lari ke jurusan lain, tetapi percuma saja, tidak perduli kemana ia berlari, orang aneh itu selalu dengan kecepatan luar biasa tahu2 sudah melompat lewat dan turun! di depannya.
Percuma saja ia mempunyai sepasang kaki, sebab ternyata tidak bisa lebih cepat dari pada orang yang berlari pakai kepala.
Kemudian ia mendapat akal, ia sengaja berputar dan be.
r-ganti2 beberapa arah, ia tunggu orang aneh itu makin dekat, lalu mendadak ia ulur tangan hendak mendorong orang, Tak terduga, lengannya ternyata sudah kaku dan tidak, mau turut perintah lagi, keringatnya gemerobyos," ia menjadi bingung dan kehabisan akal, akhirnya ia merasakan kedua kakinya menjadi lemas dan jatuh terduduk.
"Semakin kau lari kian kemari, racun di tubuhmu semakin cepat pula kerjanya," demikian ia dengar orang aneh itu berkata.
Seperti orang yang dapat rejeki dan mendadak menjadi pintar sendiri, segera anak muda itu bertekuk lutut ke hadapan orang sambil berseru: "Mohon Lo-kongkong (kakek) menolong jiwaku !" Di luar dugaan, orang aneh itu hanya geleng2 kepala.
"Susah ditolong, susah ditolong !" demikian ia menjawab.
Karena ia gunakan kepala untuk menahan tubuhnya, maka sekali menggeleng kepala, otomatis tubuhnya ikut menggeleng juga hingga bergoncang.
"Kepandaianmu begini tinggi, kau pasti bisa menolong aku," kata anak muda itu pula.
Rupanya kata2 umpakan ini membikin orang aneh itu menjadi senang sekali Karena itu, ia tersenyum.
"Darimana kau tahu kepandaianku tinggi ?" ia tanya, Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus dan tampaknya umpakannya membawa hasil segera anak muda itu mengikuti arah angin, lekas ia tambahi pula pujian2nya.
"Ya, mengapa tidak tahu! Dengan jungkir-balik begini saja bisa berlari secepat ini, di kolong langit terang tiada orang kedua lagi yang bisa melebihi kau.
" Kata umpakan terakhir ini sebenarnya terlalu berlebihan dan diucapkan semaunya saja, siapa duga kata2 "di kolong langit ini tiada orang kedua lagi yang melebihi kau" dengan tepat justru kena betul.
di lubuk hati orang aneh itu, Maka terdengarlah suara ketawanya yang ter-bahak2.
"Baliki tubuhmu, biar aku pandang kau," demikian ia berteriak kemudian.
Anak muda itu pikir: "Betul juga, aku berdiri tegak dan orang ini berjungkir-balik, memang benar tidak bisa terang melihatnya, dia tidak mau berdiri cara biasa, tiada jalan lain kecuali aku yang harus ikut menjungkir.
" Tanpa berkata lagi ia lantas menjungkir tubuhnya, ia sanggah tubuhnya dengan kepala, tangan kanannya yang masih punya daya- rasa ia gunakan pula buat menahan.
Sementara sesudah orang aneh itu mengamat-amati dia beberapa lama, wajahnya tampak mengunjuk ragu dan sedang pikir2.
Kini setelah anak muda itu ikut menjungkir, maka iapun bisa melihat jelas muka orang, ia lihat orang aneh ini berhidung besar, matanya mendelong dalam, mukanya penuh bulu, berbeda sekali dengan manusia2 biasa, ia dengar pula orang itu kemat-kemit menggumam sendiri, ia tidak paham bahasa aneh apa yang diucapkan itu karena sukar didengar.
"Kongkong yang baik, tolonglah diriku," demikian ia memohon pula, Dipihak lain, demi melihat anak muda ini bermuka cakap, cara bicaranya pun membawa semacam daya tarik yang sukar ditolak orang, hati orang aneh itu menjadi girang, "Baik, tidak susah buat tolong kau, tetapi kau harus terima suatu permintaanku.
" sahutnya kemudian.
"Apa yang kau katakan pasti akan ku turut," kata si anak muda, "Permintaan apakah yang harus ku penuhi, katakanlah, Kongkong!" "Haha, justru aku ingin kau terima permintaanku itu," sahut orang aneh itu dengan tertawa lebar.
"Ialah segala apa yang kukatakan, kau harus menurut.
" Mendengar syarat ini, mau-tak-mau anak muda ini berpikir, ia menjadi ragu2.
"Harus menurut semua apa yang dikatakannya " Kalau dia suruh aku menjadi anjing dan makan kotoran, apa harus aku turuti juga ?" Dalam pada itu demi nampak anak ini ragu2, orang aneh itu menjadi gusar.
"Baiklah, biar kau mati saja !" teriaknya segera, Habis ini sekali lehernya mengkeret dan menonjol lagi, tiba2 tubuhnya telah mencelat pergi sejauh beberapa kaki.
Karena kuatir ditinggal pergi orang, untuk mengubernya dan memohon pertolongannya tidak mungkin ia menirukan cara jalan dengan berjungkir maka dengan cepat anak muda itu berjumpalitan dan berdiri kembali, segera pula ia angkat kaki memburu.
"Kongkong, Kongkong!" ia ber-teriak2, "baiklah, aku berjanji apa saja yang kau-katakan, pasti akan ku turut semua.
" Mendengar syaratnya diterima, mendadak orang aneh itu berhenti dan putar balik, "Baik, "tetapi kau harus bersumpah dahulu," katanya.
Tatkala itu si anak muda merasa kaku pegal di tangannya telah menanjak sampai di pundaknya, ia insyaf apabila sampai rasa kaku itu merembes sampai di dada, maka jiwanya pasti akan melayang, maka terpaksa ia menurut dan sumpah.
"Baiklah, aku bersumpah, jika Kongkong menolong jiwaku dan membersihkan semua racun di tubuhku, pasti aku akan menurut semua "kata'2 mu.
Apabila aku membantah, biarlah racun jahat itu balik kembali pada tubuhku.
" Pembawaan anak muda ini memang licin, maka sewaktu ia mengucapkan sumpahnya, dalam hati ia berpikir: "Asal selanjutnya aku tidak menyentuh jarum perak itu lagi, cara bagaimana racun itu bisa balik kembali di tubuhku " Entah orang aneh ini mau terima tidak sumpahku ini ?" Ketika ia lirik orang, ternyata muka orang aneh itu mengunjuk rasa senang, suatu tanda merasa puas atas sumpahnya tadi Kemudian nampak ia manggut2, habis ini mendadak ia berjumpalitan bangun, lengan anak muda itu dia pegang dan dengan kuat ia pijat2 dan di-urut2 beberapa kali.
"Bagus, bagus, kau adalah anak baik", demikian ia berkata.
Karena dipijat dan diurut itu, segera si anak muda merasa lengannya menjadi berkurang rasa pegal kakunya: "Kongkong, pijatlah beberapa kali lagi!" pintanya pula.
Tiba2 orang aneh itu mengkerut kening demi mendengar panggilannya ini.
"Jangan kau panggil aku Kongkong (kakek), tetapi harus panggil ayah !" demikian ia membetulkan.
"Tidak, ayahku sudah mati, aku tak punya ayah," sahut si anak muda.
Jawaban ini membikin orang aneh itu menjadi gusar: "Kurang ajar, baru pertama kali aku berkata kau sudah membantah, guna apa lagi mempunyai anak semacam kau ini ?" bentaknya segera.
"O, kiranya dia hendak terima aku sebagai anak," pikir anak muda itu.
Oleh karena sejak kecil ia tak punya bapak, maka ia sangat iri apabila melihat anak lain mendapat kasih sayang ayah, ia menjadi pingin mempunyai ayah pula, tapi melihat kelakuan orang aneh yang berlainan dengan orang biasa ini dan seperti orang gila, maka kini berbalik ia tidak sudi mengaku ayah padanya.
"Kau tak mau panggil aku sebagai ayah ?" bentak orang aneh itu lagi "Baiklah ! hm, orang lain hendak panggil ayah padaku, belum tentu aku mau terima.
" Namun anak muda itu masih tetap tidak mau memanggil, bahkan mulutnya menjengkit tanda mencemoohkan, iapun tidak gubris kata2 orang lagi, hanya dalam, hati ia sedang berpikir cara bagaimana supaya dapat mengakali orang agar mau menyembuhkan racun di badannya.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu terdengar orang aneh itu komat-kamit entah apa yang dikatakan, berbareng bertindak pergi pula dengan cepat Keruan si anak muda menjadi gugup, ?"Ayah, ayah!" terpaksa ia berseru memanggil "Hendak kemana, ayah ?" Mendengar panggilan itu, orang aneh itu tertawa ngakak senang: "Hahaha, anakku sayang, marilah kuajarkan kau cara melenyapkan hawa racun di dalam tubuhmu.
" Dengan cepat anak muda itu mendekati.
?"Racun yang kena dirimu itu adalah racun jarum Peng-pek-gin-ciam milik Li Bok-chiu, di jagat ini melulu dua orang saja yang mampu menyembuhkannya," "demikian kata si orang aneh pula, ?"Yang seorang ialah Hwesio tua, tetapi untuk menolong kau ia harus mengorbankan jerih-payah latihannya selama beberapa tahun, Dan seorang lagi ialah ayahmu ini.
" " Lalu ia ajarkan kunci ilmu penyembuhannya dengan lisan, anak muda itu disuruh menurut ajarannya itu untuk mengatur napas, Cara ini adalah cara bernapas yang terbalik dan harus dilakukan terbalik pula orangnya, yakni dengan berjungkir kepala di bawah dan kaki di atas, supaya hawa dan darah berjalan bertentangan arahnya, dengan demikian hawa racun itu lantas terdesak kembali dan keluar dari tempat masuk semula.
Tetapi karena baru belajar dan mulai berlatih, setiap hari hanya sedikit saja racun itu bisa didesak keluar, sedikitnya harus lebih sebulan baru bisa dikuras semua hawa berbisa itu.
Setelah orang aneh itu ajarkan cara2 melakukannya, si anak muda ternyata sangat pintar, sekali tunjuk saja ia sudah paham, begitu dengar sudah teringat baik2.
Oleh karena itu ia lantas kerjakan menurut cara yang diajarkan itu.
Betul juga rasa kaku pegal tadi lambat laun mulai berkurang ia atur jalan napasnya sejenak pula, akhirnya dari ujung jari kedua tangannya mengucurkan beberapa tetes air hitam.
"Nah, cukuplah sudah, hari ini tidak perlu berlatih lagi, biarlah besok kuajarkan cara baru padamu, "ujar orang aneh itu dengan girang demi nampak menetesnya air hitam, "Marilah, sekarang kita pergi !" "Pergi ke mana ?" tanya anak itu dengan bingung.
"Kau adalah anakku, kemana saja sang ayah pergi, dengan sendirinya kau ikut ke sana," sahut si orang aneh.
Sebelum anak itu menjawab, saat itu juga tiba-tiba terdengar beberapa kali suara mencicitnya burung, menyusul tertampak sepasang burung rajawali melayang lewat di angkasa dan disusul pula dengan suara seruan orang yang nyaring-keras yang sayup2 berkumandang dari jauh.
Seketika air muka orang aneh itu berubah demi mendadak mendengar suara tadi.
"Tidak, aku tidak mau bertemu dengan dia, tak mau bertemu dia !" se-konyong2 ia berteriak, berbareng itu iapun melangkah pergi dengan cepat.
Langkahnya begitu cepat hingga dalam beberapa tindak saja orang aneh itu sudah menghilang dibalik lereng gunung sana, Keruan si anak muda tadi yang kelabakan "Ayah, ayah!" ia ber-teriak2 sambil menguber.
Akan tetapi baru saja ia melewati satu pohon Yang-liu besar, tiba2 ia dengar samberan angin dari belakang, begitu keras angin itu hingga kulit kepalanya terasa sakit, menyusul ini pandangannya menjadi gelap se-akan2 tertutup selapis awan tebal.
Kiranya kedua burung rajawali tadi telah melayang dari belakang dan turun didepaknya.
Pada saat yang sama itu dari belakang pohon muncul seorang laki2 dan seorang perempuan, kedua rajawali itu menghinggap di pundak kedua orang itu sambil bercuat-cuit seperti sedang melaporkan sesuatu.
Laki2 itu bermata besar dan beralis tebal, dadanya lebar dan punggungnya tegak, umurnya antara 3435 tahun, di atas bibirnya terpelihara kumis tebal, wajahnya sedikitpun tidak menunjukkan perasaannya.
Sedang yang wanita usianya 30 tahunan, meski sudah setengah umur, tetapi diantara mata-alisnya masih jelas kelihatan sifat aleman yang menarik dan seperti masih polos, dengan tangannya ia sedang mengelus sayap burung rajawali dengan rasa sayang, ?"Menurut pendapatmu, anak ini mirip siapa?" tiba2 wanita itu berkata pada lelaki disampingnya sesudah mengamat-amati si anak beberapa kali.
Akan tetapi lelaki itu ternyata tidak menjawab, sebaliknya ia berkata ke jurusan lain; "Kenapa Tiao-ji (si rajawali) bisa berada di sini " jangan2 di atas pulau telah terjadi sesuatu ?" Kiranya kedua orang ini ialah Kwe Ceng dan Ui Yong suami-isteri, mereka telah keluar pulau buat mencari Ui Yok-su, tetapi meski sudah mereka jelajahi antero kota2 di daerah Kanglam, belum juga mereka ketemukan jejak ayah dan ayah mertua mereka itu.
Ui Yong kenal watak ayahnya yang suka pada keindahan alam daerah Kanglam, apabila orang tua ini sampai mencari tempat tirakat lain, maka bisa dipastikan tidak akan melintasi utara sungai Tiangkang dan tentu pula tidak lebih selatan dari Sian-he-nia.
Kebetulan hari itu mereka berdua sampai di kota kecil Ling-oh dari kabupaten Oh-tjiu-hu, di sini tiba2 mereka melihat ada mengepulnya asap dan berkobarnya api yang meninggi ke langit Mereka dengar pula orang udik pada berteriak.
?"He. Liok-keh-ceng kebakaran!" Mendengar nama pedesaan yang disebut itu, hali Kwe Ceng tertarik, ia ingat bahwa di daerah Ling-oh ini terdapat seorang Liok Tian-goan, Liok-loeng-hiong, walaupun selama ini belum pernah bertemu, tapi sudah lama ia kagumi nama orang yang tersohor Ketika ia menanyakan, betul juga apa yang dikatakan orang udik tadi adalah rumah kediaman Liok Tian-goan.
Mereka berdua buru2 menuju ke tempat kebakaran, setiba di sana, perumahan2 yang terbakar itu sudah menjadi puing, hanya di antara sisa2 gundukan api terdapat beberapa mayat yang sudah hangus dengan bau yang sangit busuk.
"Engkoh Ceng, kukira dalam kejadian ini terdapat sesuatu yang aneh?" demikian kata Ui Yong pada sang suami.
"Kenapa ?" tanya Kwe Ceng.
"Ya, ingat saja itu Liok Tian-goan adalah seorang Enghiong yang namanya gilang-gemilang.
kabarnya sang isteri Ho Wan-kun juga seorang pendekar wanita pada jaman ini, kalau hanya kebakaran biasa saja, mustahil tiada seorangpun keluarganya tak bisa menyelamatkan diri" Aku menduga tentu musuhnya yang tangguh telah datang menuntut balas padanya!" demikian pendapat Ui Yong.
Kwe Ceng pikir betul juga pendapat isteri nya ini, ia adalah golongan manusia yang berbudi luhur dan suka menolong, meski kini usiamu sudah menanjak, pengalamannya pun banyak bertambah, namun hatinya yang bajik dan mulia itu sedikitpun tidak berkurang daripada waktu mudanya.
Oleh karenanya segera ia menyatakan akur.
?"Betul pendapatmu marilah kita periksa, coba lihat siapakah musuhnya, kenapa turun tangan secara begini keji ?" Dan setelah mereka berdua mengitar sekali perkampungan yang terbakar itu, sedikitpun tiada tanda2 mencurigakan yang mereka dapat, Tetapi mata Ui Yong yang jeli tiba2 tertarik pada sesuatu, se-konyong2 ia berteriak sambil menuding pada dinding rumah yang tinggal separuh itu.
"Lihat, apakah itu ?" serunya.
Kwe Ceng memandang ke arah yang ditunjuk, tertampaklah di atas dinding itu terdapat bekas lima cap tangan, karena habis tergarang asap, maka cap tangan itu kelihatan bertambah seram.
Seperti diketahui, cap tangan yang berada di dinding itu semuanya ada sembilan buah, tetapi karena dinding temboknya sudah ambruk separoh, maka yang masih ketinggalan hanya lima buah.
Kwe Ceng kaget ketika mengenali tanda telapak tangan itu.
"Jik-lian Sian-cu !" tanpa terasa ia menyebut nama orang.
"Ya, betul dia," ujar Ui Yong, "Sudah lama kita dengar bahwa Jik-lian Sian-cu Li Bok-Chiu dari Hunlam memiliki ilmu silat yang maha hebat, caranya pun sangat keji tiada taranya dan tidak kalah dengan Se-tok Auyang IJong dahulu, jika dia berani menginjak Kanglam sini, kita boleh coba2 ukur tenaga padanya.
" "Ya, tetapi iblis ini sangat ulet" dan tidak gampang dilawan" sahut Kwe Ceng memanggut.
"Paling baik kalau kita bisa ketemukan Gakhu (mertua)" "He, semakin berumur, nyalimu jadi semakin kecil!" goda Ui Yong dengan tertawa.
"Memang," sahut Kwe Ceng.
" Kalau ingat dahulu, tanpa mengenal tingginya langit dan tebalnya bumi, kita berani naik ke Hoa-san untuk berebut gelar jago silat nomor satu dikolong langit ini, jika seperti aku sekarang ini, sekalipun aku digotong kesana dengan joli delapan orang, pasti aku tidak berani pergi" "Huuh " Harus digotong pakai joli segala!" goda sang isteri.
Begitulah sambil besenda-gurau, tapi dalam hati mereka diam2 berlaku waspada, mereka terus periksa, akhirnya di tepi sebuah kolam mereka melihat dua buah jarum Peng-pek-gin-ciam yang be-racun.
Ujung sebuah jarum diantaranya terendam air, karena itu, beberapa ratus ikan piaraan yang berada dalam kolam itu sama mati dengan perut terbalik ke atas, suatu tanda betapa jahat racun yang terdapat pada jarum itu.
Ui Yong melelet lidahnya, dari buntalannya ia keluarkan sepotong baju, ia lempit beberapa kali, dengan dialingi kain baju ini ia jemput jarum perak itu, ia bungkus baik2 dan dimasukkan ke dalam kantong rangsalnya.
Habis ini mereka berdua tidak bicara lagi melainkan percepat memeriksa dan mencari jejak orang pula, akhirnya di belakang pohon Liu tadi mereka dapatkan sepasang burung rajawali dan ketemu pula si anak tanggung itu.
Dari rajawali yang menclok di atas pundak mereka, tiba2 Ui Yong mencium bau yang aneh, berapa kali ia sedot, segera dadanya menjadi sesak dan rasanya menjadi nek.
Kwe Ceng pun mencium bau busuk itu, bau itu seperti datang dari tempat yang sangat dekat dengan hidungnya, waktu ia men-cari2 dari mana datangnya bau busuk itu, tiba2 ia melihat pada kaki kedua burungnya terdapat luka lecet, waktu ia dekatkan hidungnya, betul saja bau busuk itu datangnya dari luka ini.
Suami-isteri ini terkejut, lekas2 mereka periksa luka burung2 itu dengan teliti, meski luka itu sebenarnya hanya lecet kulit saja, tetapi sudah menimbulkan bengkak, pula sebagian kulit daging kakinya sudah mulai busuk.
"luka apakah ini, kenapa begini lihay?" demikian Kwe Ceng berpikir sambil menunduk Tiba2 pula ia lihat tangan kiri si anak muda tadi telah berubah menjadi hitam semua, keruan ia kaget pula.
"Kaupun terkena racun ini ?" serunya kuatir.
Dengan cepat Ui Yong mendekati anak muda itu ia angkat tangannya dan diperiksa, habis ini cepat2 ia gulung lengan bajunya, ia keluarkan pula sebuah pisau kecil, dengan senjata ini ia sayat tangan orang sebelah bawah, lalu dengan kuat ia pencet agar darah yang berbisa mengalir keluar.
Akan tetapi ia menjadi heran sekali ketika melihat darah yang menetes keluar dari tangan anak muda itu ternyata berwarna merah segar, padahal telapak tangannya je!as2 sudah berubah hitam seluruhnya, dan kenapa darah yang mengucur keluar tidak beracun " Nyata ia tidak tahu bahwa setelah si anak muda mendapatkan ilmu ajaib ajaran orang aneh yang suka menjungkir itu, kini darah berbisa dalam tubuhnya sudah didesak ke ujung jaring dan untuk sementara tidak akan menjalar Setelah ragu2 sejenak, kemudian Ui Yong keluarkan sebutir pil "Kiu-hoa-giok-lo-wan", obat pil yang terbuat dari sari sembilan macam bunga2 an.
"Kunyah dan telan ini," katanya sambil memberikan pil itu pada si anak Anak muda itu tidak menolak, ia terima pemberian pil itu terus masukkan ke dalam mulut, rasanya manis dan harum.
Lalu Ui Yong keluarkan pula empat pil dan dibagikan kepada kedua burung rajawalinya yang terluka itu.
Sesudah memikir sebentar, mendadak Kwe Ceng bersiul panjang, Suara siulan ini berkumandang jauh sekali, begitu keras suaranya hingga menggema lembah pegunungan sampai dahan pohon Liu yang menjulur ikut tergoncang, Dalam pada itu belum lenyap suara siulan pertama, menyusul Kwe Ceng menggembor dengan suaranya yang keras, begitu hebat suara teriakan itu susul menyusul hingga bikin seluruh lembah gunung penuh dengan suara sahut-menyahut yang menggelegar Karena teriakan ini sama sekali di luar dugaan, si anak muda tadi dibikin kaget, tanpa tertahan air mukanya berubah hebat karena belum pernah mendengar suara yang luar biasa ini.
Sebaliknya Ui Yong mengerti maksud tujuan sang suami, ia tahu dengan suara itu suaminya bermaksud menantang tanding pada Li Bok-chiu.
Ketika pekikan ketiga sang suami dilontarkan, segera pula ia kumpulkan tenaga dan menyusuli dengan teriakannya.
Kalau suara pekikan Kwe Ceng agak rendah tetapi kuat, maka suara Ui Yong sebaliknya tinggi tetapi nyaring sekali, perpaduan suara yang hebat ini makin lama semakin jauh dan semakin keras, susul menyusul tiada putusnya, se-akan2 satu sama lain tidak ingin ketinggalan.
Kiranya Kwe Ceng dan Ui Yong sudah berlatih diri di Tho-hoa-to dengan giat, tenaga dalam mereka sudah terlatih sampai puncaknya kesempurnaan, dengan suara pekikan yang berkumandang jauh ini, orang2 yang berada dalam jarak belasan li sama terkejut dan ter-heran2 tidak mengerti suara aneh ini datang dari mana.
Sementara itu suara pekikan hebat ini telah didengar oleh beberapa orang tertentu.
Orang aneh yang suka menjungkir itu telah "tancap gas" mempercepat larinya demi mendengarnya.
Sebaliknya orang aneh berjubah hijau yang pondong Thia Eng itu ketawa waktu dengar suara "Haha, mereka telah datang juga, aku harus menyingkir jauh, supaya tidak banyak rewel.
" Dalam pada itu Li Bok-chiu dengan mengempit Liok Bu-siang sedang lari dengan cepatnya, ketika mendadak dengar suara siulan pertama, se-konyong2 ia berhenti, ia ayun kebutnya dan memutar tubuh, "Hm, nama Kwe-tayhiap menggoncangkan Bu-lim, aku justru ingin membuktikannya apakah namanya bukan bikinan belaka," demikian katanya dengan ketawa dingin.
Tetapi tiba2 pula diantara suara pekikan panjang tadi diseling pula dengan suara siulan nyaring yang menimpali suara yang duluan hingga menambah keangkeran suara2 itu.
Hati li Bok-chiu menjadi jeri, teringat olehnya Kwe Ceng dan Ui Yong suami-isteri selama berkelana selalu berdampingan dan bahu-membahu, sebaliknya dirinya hanya sebatang-kara, seketika perasaannya menjadi hampa dan putus asa, ia menghela napas panjang, habis ini dengan mencengkeram punggung Liok Bu-siang terus bertindak pergi.
Pada kala itu Bu-sam-nio sedang memayang sang suami yang terluka dan membawa kedua puteranya pergi jauh setelah berpisah dengan Kwa Tin-ok.
Setelah mengalami pertarungan sengit tadi, kuatir kalau Li Bok-chiu balik kembali buat mencelakai Kwe Hu, maka lekas2 Kwa Tin-ok bawa lari dara cilik ini dengan maksud mencari satu tempat untuk bersembunyi, tetapi ia keburu mendengar suara siulan Kwe Ceng dan Ui Yong yang keras itu, maka hatinya menjadi girang.
"He, ayah, ibu !" Kwe Hu berseru juga ketika mengenali suara orang tuanya.
Habis ini segera ia angkat kaki terus lari menuju kearah datangnya suara, Tetapi tiba2 ia berpikir pula: "Aku telah ngeluyur keluar, tentu nanti akan didamperat ayah, bagaimana baiknya ini ?" Dalam bingungnya ia tarik2 lengan baju Kwa Tin-ok, ia coba membujuk orang tua ini: "Kong-kong, nanti kalau bertemu dengan ayah, katakanlah kau yang bawa aku keluar buat memain, ya?" demikian ia memohon.
"Tidak, aku tidak mau berbohong untuk kau!" sahut Kwa Tin-ok dengan menggeleng kepala.
Tetapi Kwe Hu tidak kurang akal, tiba2 ia meloncat dan merangkul leher si orang tua, dengan kata2 halus ia membujuk .
lagi: "Kongkong, sayanglah padaku sekali ini, seterusnya aku tak akan nakal lagi.
" Namun masih tetap Kwa Tin-ok geleng2 kepala.
"Baiklah, biar aku minggat pergi," teriak Kwe Hu tiba2 sambil lompat turun dari rang-kula.
nnya. "Selamanya aku tak akan menjumpai kau lagi, juga tidak akan menemui ayah-bunda.
" Mendengar kata2 ini, Tin-ok menjadi kaget dan kuatir, ia kenal watak dara cilik ini berani berkata berani berbuat pula, sedang dirinya buta, kalau sampai sikecil ini pergi, maka susah lagi untuk mencarinya.
"Baik, baik, kululuskan keinginanmu," terpaksa ia menyerah.
Kwe Hu ketawa senang dengan kemenangannya ini.
"Memang aku sudah tahu kau bakal meluluskan, tidak nanti kau tega membiarkan aku diomeli ayah dan ibu," kata si nakal ini.
Maka dua sejoli, satu tua dan satu bocah ini lantas berlari ke tempat beradanya Kwe Ceng dan isteri sesudah dekat, dengan serta-merta Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pelukan ibunya dengan laku aleman.
"Bu, Kongkong yang membawa aku ke sini mencari kalian, kau tentu senang bukan?" demikian si nakal ini berkata pada sang ibu.
Akan tetapi Ui Yong yang kepintarannya tiada ban dingannya itu, hanya sedikit permainan sandiwara sang puteri ini mana bisa mengelabui dia, cuma bisa bertemu anaknya di sini, sebenarnya ia memang juga senang, maka ia hanya tertawa saja, lalu bersama sang suami mereka menjalankan penghormatan pada Kwa Tin-ok dan tanyakan kesehatan si orang tua.
Kwe Hu masih kuatir kalau disemprot ayahnya, maka sesudah menyapa sekali, lantas ia tarik tangan si anak muda tadi menyingkir pergi.
"Pergilah kau memetik bunga, buatkan lah mahkota bunga untukku" demikian pintanya.
Pemuda itu tidak menolak, ia ikut pergi bersama, perawakan Kwe Hu ternyata jauh lebih pendek, tingginya hanya sedada orang, maka dengan gampang saja ia dapat melihat telapak tangan pemuda itu yang hitam, mendadak sontak ia kipatkan tangan orang yang tadinya dia gandeng.
"Hiiii, tanganmu kotor, tak mau aku bermain dengan kau," demikian ia meng-olok2.
Watak pemuda itu ternyata tidak gampang mengalah, iapun tinggi hati, maka kontan ia jawab dengan ketus: "Siapa pingin bermain dengan kau?" Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas bertindak pergi sendiri "Eh, eh, saudara cilik, jangan pergi dulu, sisa racun dalam tubuhmu masih belum hilang seluruhnya, kalau sampai kambuh pasti akan luar biasa lihaynya," seru Kwe Ceng ketika melihat si anak muda ini hendak pergi.
Anak itu paling benci kalau orang katai dia jelek, oleh karena itu, olok2 Kwe Hu tadi telah menusuk perasaannya, maka dengan tegang leher ia masih jalan terus tanpa gubris teriakan Kwe Ceng, Tabiat Kwe Ceng memang welas-asih, maka buru2 ia menguber.
"Cara bagaimanakah kau terkena racun ?" demikian ia menanya pula, "Marilah kami sembuhkan kau dulu.
" "Aku toh tidak kenal kau, perduli apa dengan kau?" sahut anak muda itu dengan ketus.
Berbareng ia percepat langkahnya dan bermaksud menerobos lewat disamping Kwe Ceng.
Sekilas Kwe Ceng dapat melihat wajah si anak muda yang menunjukkan rasa marah ini, diantara mata-alis-nya tertampak sangat mirip seseorang, tiba2 hatinya tergerak.
"Eh, saudara cilik, kau she apa?" segera ia tanya.
Namun pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia melolototi orang, lalu tubuhnya sedikit miring dengan maksud hendak menerobos lewat, Di luar dugaan secepat kilat Kwe Ceng sudah mencekal sebelah tangannya.
Dalam kagetnya si anak muda itupun menjadi gusar, ia me-ronta2 beberapa kali, sesudah tak berhasil mendadak ia angkat tangan kirinya terus menggenjot perut Kwe Ceng.
Kwe Ceng tidak urus pukulan ini, ia membiarkan perutnya kena dihantam dengan tersenyum saja.
Ketika anak muda itu bermaksud menghantam lagi, tahu2 kepalannya ambles di-tengah2 perut orang, bagaimanapun juga meski ia tarik2 tetap tak bisa melepaskan diri, ia tidak putus asa, masih terus ia tarik2, saking keras ia keluarkan tenaga hingga mukanya merah padam, tetapi tangannya seperti melengket saja diperut Kwe Ceng, sebaliknya ia rasakan lengan sendiri kesakitan karena di-betot2.
"Nah, beritahu padaku kau she apa dan segera ku lepaskan kau," dengan tertawa Kwe Ceng tanya lagi.
Namun si anak muda memang sangat kepala batu, ia pikir tidak nanti aku mau omong, jika mau, akan kusebutkan she palsu dan nama bikinan saja, oleh karenanya ia lantas menjawab: "Aku she Cin dan bernama Coa-ji, sianak ular, Lekas lepaskan aku.
" Di lain pihak demi mendengar nama orang ini, Kwe Ceng merasa kecewa, ia lantas kendorkan tenaga: perutnya yang menyedot kepalan pemuda itu.
Sesudah tangannya terlepas, pemuda itu pandang Kwe Ceng dengan luar biasa kagumnya atas kepandaian orang tadi.
Di sebelah sana Kwe Hu sedang asyik menceritakan pengalaman selama berpisah dengan ibunya, akhirnya ia ceritakan tentang bagaimana sepasang rajawalinya berkelahi dengan seorang wanita jahat, lalu datang seekor burung merah kecil telah membantu rajawali2nya.
Mendengar "burung merah kecil" itu, Ui Yong jadi ketarik sekali.
. "Apa burung merah kecil itu Koko (kakak) inikah yang membawanya datang ?" ia tanya dengan cepat.
"Ya," sahut Kwe Hu, "Burung merah kecil itu menotol biji wanita jahat itu hingga buta, cuma sayang burung itupun kena digaplok mati oleh dia.
" Mendengar penuturan ini, Ui Yong tidak ragu2 lagi, segera ia melompat maju dan memegang pundak si anak muda tadi dengan kedua tangannya, dengan tajam ia pandang orang, "Kau she Nyo bernama Ko, ibumu yang she Cin, ya bukan ?" demikian ia menegas sekata demi sekata.
Pemuda ini memang benar she Nyo dan bernama Ko, Ketika mendadak nama aslinya disebut Ui Yong, darah di rongga dadanya menaik ke atas hingga hawa racun ditangannya se-konyong2 menjalar kembali, ia merasa kepala puyeng dan pikiran menjadi butek, akhirnya ia jatuh pingsan.
Dalam kejutnya lekas2 Ui Yong memegang tubuh orang supaya tidak sampai roboh.
"Dia. . . dia kiranya putera adikku Nyo Khong.
" kata Kwe Ceng terkejut bercampur girang.
Sementara itu kelihatan Ui Yong mengkerut alis, ia lihat racun menjalar terlalu hebat di tubuh Nyo Ko, ia kuatir, karena sesungguhnya ia sendiri tidak punya sesuatu pegangan untuk menyembuhkan orang.
"Marilah kita cari tempat pondokan dulu, kemudian kita cari pula beberapa racikan obat," ajaknya kemudian dengan suara terharu.
Kwe Ceng lantas pondong Nyo Ko, bersama Kwa Tm-ok, Ui Yong dan si nakal Kwe Hu serta membawa pula sepasang burung Tiao mereka mencari hotel di-kota, bahan obat yang mereka perlukan ternyata sukar dicari, meski sudah dikumpulkan akhirnya masih kurang juga empat macam.
Melihat keadaan Nyo Ko yang masih tak sadar, Kwe Ceng merasa sedih dan kuatir sekali, sampai Ui Yong beberapa kali memanggilnya ternyata tidak di dengarnya.
Ui Yong cukup mengerti perasaan hati sang suami waktu itu, sejak terbinasanya Nyo Khong (tentang lelakon Kwe Ceng, Ui Yong dan hubungannya dengan Nyo Khong akan diceritakan tersendiri) pikirannya selalu sedih dan menyesal maka dengan sendirinya luar biasa girangnya kini demi bisa ketemukan anak keturunan saudara angkatnya itu, tetapi anak ini justeru terkena racun dan belum bisa diketahui bakal mati atau hidup.
"Ceng-koko, marilah kita coba keluar mencari pelengkapnya obat," ia mengajak.
Kwe Ceng sendiri mengerti juga sifat2 Ui Yong, ia tahu bila ada sedikit harapan bisa mengobati, pasti sang isteri sudah menghibur padanya, kini nampak wajah isterinya sangat prihatin, hatinya semakin tak tenteram.
Segera ia pesan Kwe Hu jangan sembarangan ngeloyor pergi, lalu mereka suami-isteri keluar buat mencari obat2an.
Dalam pingsannya Nyo Ko masih terus tertidur, meski hari sudah gelap masih belum juga sadar.
Beberapa kali Kwa Tin-ok masuk kamar memeriksanya, namun orang tua inipun tak berdaya, iapun kuatir kalau si nakal Kwe Hu ngeluyur pergi, maka tiada hentinya ia bujuk dara cilik ini lekas tidur.
Dalam keadaan remang2 entah sudah lewat berapa lama, tiba2 Nyo Ko merasa ada orang me-mijat2 dan meng-urut2 dadanya, karena itu pelahan2 pikirannya jernih kembali, waktu ia buka matanya, ia lihat dalam kegelapan ada berkelebat satu bayangan entah apa meloncat keluar jendela dengan cepat.
Nyo Ko paksakan diri buat berdiri meski rasanya masih lemas, ia coba melongok keluar jendela, tertampaklah olehnya di atas emper rumah berdiri satu orang dengan kepala menjungkir di bawah, siapa lagi kalau bukan orang aneh yang siang hari tadi menerima dirinya sebagai anak angkat itu.
Kepala orang aneh yang menyanggah badannya itu ternyata ada separohnya menempel di luar emper, tubuhnya yang tegak terbalik ke atas itu kelihatan ber-goyang2, agaknya setiap waktu bisa terbanting jatuh ke bawah.
"He, kau!" seru Nyo Ko kaget tercampur girang.
"Kenapa tidak panggil ayah?" tegur orang aneh itu.
Karenanya Nyo Ko lantas memanggil: "Ayah!" -hanya lagu suara panggilannya sangat dipaksakan.
Namun orang aneh itu sudah kegirangan "Naiklah sini," katanya.
Nyo Ko menurut, ia merangkak ke ambang jendela untuk kemudian meloncat ke atas payon.
Tetapi karena badannya masih lemah, tenaganya menjadi tak cukup, maka sebelum tangannya memegang emper rumah atau dia sudah terjungkal ke bawah Dalam kagetnya sampai ia berteriak.
Orang aneh itu tadinya berjungkir di atas payon, tetapi demi nampak Nyo Ko terjungkal, mendadak manusia tubuhnya roboh ke bawah seperti batang kayu saja yang terbanting hanya kepalanya masih tetap melekat di atas emper rumah.
Dengan demikian secepat kilat tangannya menjambret punggung Nyo Ko, habis ini tubuhnya kembali menegak lagi ke atas, Nyo Ko diletakkannya ke atas payon dengan enteng saja.
Dan selagi ia hendak bicara, tiba2 ia dengar di kamar sebelah barat ada suara orang meniup memadamkan api.
ia tahu jejaknya telah diketahui orang, tanpa ayal lagi ia pondong Nyo Ko dan melangkah pergi dengan cepat, hanya sekejap saja beberapa deretan rumah penduduk sudah ia lintasi.
Waktu Kwa Tin-ok melompat ke atas rumah, namun di sekelilingnya sudah sepi nyenyak.
Setelah Nyo Ko dibawa sampai di suatu tempat sunyi di luar kota, orang aneh itu baru menurunkannya.
"Coba kau gunakan cara yang pernah kuajarkan padamu itu, hawa berbisa dipaksa keluar lagi sedikit.
" demikian ia memberi petunjuk pada Nyo Ko.
Pemuda ini menurut, maka tidak antara lama, dari ujung jarinya menetes keluar beberapa titik darah hitam, berbareng rasa sesak di dadanya pun menjadi lega, "Sungguh kau ini anak pintar, sekali tunjuk lantas paham, jauh lebih cerdas dibanding almarhum putera kandungku dahulu," kata orang aneh itu.
Teringat pada puteranya sendiri itu, tiba2 ia meratap: "O, anakku, anakku" Air matanya lantas berlinang juga karena terkencing puteranya sendiri yang sudah mati, ia elus2 kepala Nyo Ko sambil menghela napas pelahan.
Nyo Ko sendiri sejak belum lahir sudah ditinggal bapaknya, ibu pun tewas oleh pagutan ular berbisa dikala ia baru berumur lima tahun, selama 8 9 tahun paling belakang ini, ia terluntang-lantung sebatang kara di Kangouw, dj-mana2 ia dihina orang sehingga menjadikan tabiatnya yang eksentrik, benci pada sesama manusia serta cemburu pada keadaan sekitarnya, Kini meski orang aneh ini belum pernah kenal dia, namun ternyata begitu baik terhadap dirinya, ini boleh dikatakan belum pernah terjadi selama hidupnya.
Karena darah keturunan ayah-bundanya, maka watak Nyo Ko luar biasa pula anehnya, kalau dia sudah baik pada seseorang, maka dia bela mati2an tanpa pikirkan jiwa sendiri sebaliknya jika ada orang lain menghina dan pandang rendah padanya, maka selama hidup akan dia ingat2 terus dan dendam, dia pasti berusaha dengan segala daya-upaya untuk menuntut balas.
Kini si orang aneh itu mengunjuk rasa kasih sayang murni padanya, hati pemuda ini luar biasa terharunya hingga ia melompat terus merangkul leher orang sambil berulang kali memanggil "Ayah, ayah!" Sejak Nyo Ko berumur 2 3 tahun ia sudah berharap mempunyai seorang ayah yang akan cinta dan melindungi dia.
Bahkan dalam mimpi kadang2 mendadak muncul seorang ayah yang gagah perkasa yang dia cintai, tapi bila terjaga dari tidurnya, ayah khayalan itu lantas hilang lagi tak berbekas, oleh karenanya seringkali ia suka menangis sendirian dengan sedih.
Kini harapan yang sudah lama ia impikan itu tiba2 berwujut, dua kali panggilan tadi keluar dari lubuk hatinya yang penuh cinta kasih seorang anak kepada bapaknya.
Jika hati Nyo Ko terharu sekali, maka dalam hati orang aneh itu ternyata jauh lebih girang daripada dia.
Waktu mereka mula2 berjumpa di mana Nyo Ko dipaksa memanggil ayah, dalam hati anak muda itu sesungguhnya seribu kali tidak sudi, tetapi kini dua hati telah kontak seperti ayah dan anak kandung.
"O, anak baik, anak manis, coba panggil ayah sekali lagi!" demikian kata orang aneh itu dengan bergelak ketawa.
Betul juga Nyo Ko lantas memanggil ayah, bukan hanya sekali, malahan dia panggil lagi dua kali, lalu ia menggelendot dibadan orang dengan laku yang aleman.
"Aha, anak baik, marilah kuajarkan kau ilmu silatku yang paling kubanggakan selama hidup ini," dengan tertawa orang aneh itu berkata pula, Sambil berkata, lantas ia berjongkok, dari mulutnya terdengar suara "kuk-kuk-kuk" tiga kali, menyusul kedua tangannya dia dorong ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh yang keras,, setengah tembok pagar yang berada di depannya telah ambruk seketika sehingga debu dan batu berhamburan.
Nampak orang memiliki ilmu silat selihay ini, girang sekali hati Nyo Ko.
"Ayah, ilmu apakah itu, dapatkah aku mempelajarinya ?" dengan cepat ia tanya, "Ini namanya Ha mo-kang (ilmu weduk kodok)," sahut orang itu, "Asal kau mau berlatih dengan giat, tentu kau dapat mempelajarinya.
" "Setelah aku pandai, apakah tiada orang lain lagi yang berani menganiaya diriku ?" tanya Nyo Ko lagi.
"Tentu saja," sahut orang aneh itu sambil menarik alis "Siapa yang berani menghina puteraku, biar aku patahkan tulangnya dan beset kulitnya.
" Kiranya orang aneh yang kosen ini bernama Auwyang Hong yang namanya telah disinggung bagian atas tadi.
Sejak Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di atas Hoa-san (salah satu gunung tersohor di daerah propinsi Siamsay), Auwyang liong kena diakali Ui Yoeg hingga otaknya rada miring, selama belasan tahun, ini ia terluntang-lantung di daerah sunyi, yang dia selalu pikir adalah: "Siapakah aku ini sebenarnya ?" Tetapi tahun2 terakhir ini, sesudah dia berlatih Kiu-im-cin-keng, maka Lwekangnya sudah ada banyak kemajuan, otaknya juga banyak lebih terang, walaupun masih tetap tak beres kelakuannya dan suka gila2an.
Tetapi banyak kejadian lama pelahan2 dan satu persatu sudah mulai dia ingat, cuma saja tentang "siapakah dirinya sendiri" inilah yang tetap belum dia ingat pontang Hoa-san-lun-kian serta mengapa Auwyang Hong bisa diakali Ui Yong hingga menjadi gila dan sebab apa dia berlatih ilmu Kiu-im-cin-keng secara terbalik, pada kesempatan lain akan dibukukan tersendiri.
Begitulah, maka Auwyang Hong lantas mcngajar-Nyo Ko dasar2 permulaan ilmu Ha-mo-kang.
Hendaklah diketahui bahwa Ha-mo-kang yang menjadi ilmu kebanggaan Auwyang Hong ini terhitung ilmu silat kelas satu dalam dunia persilatan Dahulu meski putera kandung sendiri belum pernah Auwyang Hong mengajarkan padanya, tetapi kini karena guncangan perasaannya, ternyata pikir segalanya lagi diajarkannya pada anak angkatnya yang baru dia terima ini.
Ha-mo kang ini sangat sulit dan dalam sekali, Nyo Ko sendiri masih belum punya landasan, meski dia coba baik2 semua apa yang diuraikan Auwyang Hong, tetapi sama sekali ia tidak paham akan arti yang terkandung dalam rahasia ilmu yang dia terima itu.
Oleh karena itu, sesudah hampir setengah hari Auwyang Hong mengajar, tetapi ia lihat Nyo Ko masih ngawur saja kalau ditanya, sama sekali belum paham dasar yang diajarkan, akhirnya Auwyang Hong menjadi keki, dalam dongkolnya ia hendak menampar anak muda itu.
Namun sebelum tangannya menyentuh pipi orang, dibawah sinar sang dewi malam ia lihat muka Nyo Ko yang putih bersih dengan matanya yang jeli menarik itu, ia menjadi tidak tega menghajarnya.
"Sudahlah, kau tentu sudah letih, pulang saja sekarang, besok aku mengajarkan kau lagi," katanya kemudian dengan menghela napas.
Tak tahunya, sejak Nyo Ko dikatai Kwe Hu bahwa tangannya kotor, terhadap anak dara itu telah timbul rasa benci dalam hatinya, maka demi mendengar dirinya disuruh kembali kepada Kwe Ceng, ia menjadi sedih.
"Tidak, ayah, aku ikut kau saja, aku tak mau pulang ke sana," katanya.
Siapa dirinya sendiri, soal ini bagi Auwyang Hong masih belum jelas hingga kini, tetapi mengenai urusan umum pikirannya sudah cukup terang dan jernih, maka atas permintaan Nyo Ko itu ia menjawab: "Jangan.
otakku masih rada kurang beres, ku kuatir kau nanti ikut menderita.
Kau pulang saja dahulu, nanti kalau aku sudah bikin terang sesuatu soal barulah kita berkumpul untuk selamanya.
" Kata2 Auwyang Hong yang penuh kasih sayang ini meresap sekali ke lubuk hati Nyo Ko, boleh dikatakan sejak, ibunya mangkat, belum pernah ia mengenyam rasa simpatik seperti sekarang ini, maka dengan cepat ia merangkul orang.
. "Kalau begitu harap lekas kau datang menjemput aku, ayah," katan'ya.
"jangan kuatir, nak, sementara diam2 senantiasa akan kuikuti kau, kemanapun kau pergi, pasti aku mengetahuinya," sahut Auwyang Hong manggut2.
Kemudian ia membopong Nyo Ko lagi dan diantar pulang ke dalam hotel.
Selama itu Kwa Tin-ok sudah pernah datang sekali mencari Nyo Ko, ia me-raba2 dan tidak mendapatkan anak muda ini di atas ranjangnya, Kwa Tin-ok menjadi kuatir sekali.
Tetapi tatkala untuk kedua kalinya ia datang mencari Nyo Ko lagi, ia mendapatkan pemuda ini sudah ada di situ, selagi ia hendak bertanya tadi kemana atau tiba2 ia dengar di atas wuwungan rumah ada suara mendesirnya angin.
Meski mata Kwa Tin-ok buta, tetapi daya pendengarannya luar biasa tajamnya, ia tahu ada dua orang "ya-heng-jin" (orang jalan diwaktu malam) yang berilmu silat sangat tinggi lewat di atas rumah, Untuk menjaga segala kemungkinan, lekas2 orang tua ini membopong Kwe Hu, sedang senjata tongkatnya segera ia siapkan kian berjaga di dekat jendela, ia kuatir kalau2 kedua tamu malam itu putar kembali lagi.
Betul saja, sejenak kemudian suara mendesirnya angin kembali kedengaran lagi dari jauh mendekat, begitu cepat hingga sekejap saja sudah sampai di atas rumah hotel, lalu ia dengar suatu diantaranya lagi berkata: "Yong-ji, kau kira siapakah dia tadi ?" demikian sahut seorang lain.
Mendengar suara percakapan ini, Kwa Tin-ok tahu Kwe Ceng dan Ui Yong suami isteri.
Karena itulah ia merasa lega, segera ia membuka pintu agar kedua orang itu masuk.
"Baik2kah disini, Suhu?" segera Ui Yong tanya Kwa Tin-ok begitu melangkah masuk.
"Ya, tiada terjadi apa2," sahut Kwa Tin-ok.
"Aneh, apa mungkin kita telah salah lihat ?" kata Ui Yong kepada sang suami.
"Tidak, tidak bisa, orang ini sembilan bagian pasti dia," sahut Kwe Ceng sambil menggeleng kepala.
"Dia " Dia siapa ?" Tin-ok ikut bertanya.
Lekas Ui Yong me-narik2 lengan baju suaminya dengan maksud agar jangan mengatakan Akan tetapi tidak bisa menghormatnya Kwe Ceng terhadap gurunya yang banyak menanam budi padanya, tidak berani ia berdusta meski barang sedikit saja, maka.
ia lantas menerangkan: "Dia Auwyang Hong !" Justru seumur hidupnya paling takut pada orang ini karuan seketika air muka Kwa Tin-ok berubah hebat.
"Auwyang Hong?" ia menegas dengan suara tertahan.
"Betul! dia belum mampus ?" "Tadi ketika kami kembali dari memetik obat2-an, di pinggir rumah kami melihat berkelebatnya bayangan orang, gerak tubuhnya sangat cepat lagi aneh, waktu kami mengejarnya, sayang tak tertampak bayangannya lagi.
Cuma kelihatannya sangat mirip Auwyang Hong," demikian Kwe Ceng ceritakan.
Kwa Tin-ok mengerti muridnya ini sangat jujur dan suka terus terang, semakin menanjak umurnya semakin tulus, kalau dia bilang Auwyang Hong, maka pasti bukan orang lain lagi.
Sementara itu karena kuatirkan diri Nyo Ko, Kwe Ceng telah memeriksanya ke tempat tidurnya dengan membawa lilin, ia lihat air muka pemuda ini merah segar, napasnya teratur dengan haik, tidurnya nyenyak, ia menjadi girang sekali oleh keadaan bocah ini.
"Dia sudah baik, Yong-ji !" saking girangnya ia teriaki isteri.
Padahal waktu itu Nyo Ko hanya pura2 tidur saja, ia pejamkan matanya buat mencuri dengar percakapan ketiga orang, Ketika lapat2 mendengar ayah angkatnya - orang aneh itu - bernama Auw-yang Hong, sedang ketiga orang ini sangat jeri padanya, tentu saja dalam hati kecilnya diam2 ia merasa bangga dan senang.
Dalam pada itu sesudah TJi Yong melihat kea.
da-an Nyo Ko, menjadi ter-heran2, Terang ia lihat hawa racun di lengannya menjalar terus ke atas, sesudah lewat beberapa jam ini, semestinya bertambah hitam bengkak dan merembes lebih luas, siapa tahu hawa berbisa itu sebaliknya malah menghjlang, sungguh kejadian yang sukar dimengerti.
Setelah keluar bersama sang suami sekian lama, namun rumput obat2an yang dia cari tetap belum lengkap, terpaksa seadanya ia gilasi dan racik beberapa macam bahan obat, air perasannya lalu ia minum kan pada Nyo Ko.
Besok paginya, Kwa Tin-ok bersama Kwe Ceng dan Ui Yong melanjutkan perjalanan bersama dua anak kecil, mereka ambil keputusan buat pulang ke Tho-hoa-to dahulu untuk menyembuhkan lukanya Nyo Ko.
Malamnya terpaksa mereka harus menginap lagi di hotel, Kwa Tin-ok tinggal sekamar dengan Nyo Ko, sedang suami isteri Kwe Ceng dan Ui Yong sekamar dengan puteri mereka.
Tengah malam sedang enak2nya mereka tidur, mendadak terdengar suara "krak" yang keras di atas rumah, menyusul mana terdengar pula suara teriakan di kamar sebelah, rupanya ada orang merusak daun jendela dan melompat keluar.
Cepat Kwe Ceng dan Uj Yong melompat "bangun, melalui jendela mereka lihat di atas rumah sudah ada dua orang yang sedang bergebrak dengan sengit.
Baru saja bisa lihat jelas bentuk tubuh kedua orang itu, tiba2 terdengar suara "plak", berbareng itu satu diantaranya telah menjerit terus terbanting ke bawah itu sudah dalam keadaan lumpuh, kaki tangannya kelihatan kaku dan menjulai ke bawah dengan lurus.
Menurut kebiasaan, orang yang berilmu silat tinggi, sekalipun tergelincir jatuh dari tempat tinggi secara tiiba2 pasti akan menekuk badan dan tarik kaki, dengan demikian waktu sampai di tanah, tidak bakal terluka berat, akan tetapi orang itu sudah lebih dulu dihantam semaput di atas rumah, maka dengan tefbantingnya ini tulangnya pasti akan patah dan mungkin kepalanya akan remuk, Pada detik yang berbahaya itu, tiba2 dari jendela kamar sebelah melayang keluar seorang wanita, orang ini adalah Ui Yong, segera ia hendak menangkap tubuh orang, Namun ia masih kalah cepat, sebab Kwe Ceng sudah menyerobot di depannya dan dengan enteng sekali ia tarik tengkuk orang pada waktu hampir membentur tanah, terus diangkat ke atas dan kemudian dia turunkan pelahan, habis ini sekali ia enjot kakinya, segera ia melompat ke atas rumah.
Tetapi sekali ini ia yang ketinggalan ia lihat sang isteri sudah saling gebrak dengan serunya melawan satu orang, Lawannya berperawakan jangkung dan berjenggot pendek, kaki, hidungnya besar, matanya celong, siapa lagi kalau bukan musuh kebuyutan mereka yang sudah tak bertemu selama belasan tahan, Se-tok Auwyang Hong, Si racun dari Barat.
(Se-tok atau Si racun dari Barat adalah julukan Auwyang Hong sebagai satu diantara lima tokoh silat kelas wahid pada jamannya.
Empat rekannya yang juga menjadi musuhnya - masing2 adalah: Tong-sia- Ui Yok-su, Si Latah dari Timur (ia adalah ayah Ui Yong), Lam-te Toan Hong-ya, Si raja dari Selatan, Pak-kay Ang Tjhit-kong, Si langit di Tengah.
Urut2an nama mereka berlima disebut: Tong-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay, Tiong-kian-khun).
Begitulah tadi, Ui Yong yang sudah banyak maju kepandaiannya, dalam belasan jurus itu tipu2 pukulannya ternyata sukar diraba, karena itu, sedikitpun Auwyang liong tidak lebih unggul.
"Aha, Auwyang-sianseng, baik2kah selama berpisah ini ?" demikian Kwe Ceng menyapa setelah tancapkan kakinya di atas wuwungan rumah.
"Apa kau bilang " Kau panggil aku apa ?" tanya Auwyang Hong tiba-tiba.
Begitulah wajahnya mengunjuk rasa bingung, maka terhadap serangan Ui Yong ia hanya menangkis saja tanpa batas menyerang, sedang dalam hati .
ia sedang ingat2 nama yang diucapkan Kwe Ceng tadi, lapat2 ia merasa kata2 "Auwyang" seperti punya hubungan erat dengan dirinya.
Karena pertanyaan tadi, maka Kwe Ceng bermaksud akan menjelaskan namun betapa pintarnya Ui Yong, ketika melihat penyakit otak miring orang belum sembuh, lekas2 ia mencegah, Malahan ia sengaja berseru: "Kau bernama Tio-Tji-Sun-Li, TJiu-Go-Tan-Ong !" Auwyang Hong tampak terkejut dan semakin bingung.
"Apa ?" ia mengulangi "aku bernama Tio-Tji-Sun-Li dan Tjiu-Go-Tan-Ong ?" "Ya, betul, namamu Pang-The-Tju-Wi dan Tjio-Sim-Ham-Yang," sahut Ui Yong mengacau.
Apa yang- diucapkan Ui Yong itu semuanya adalah She atau nama keluarga umum.
Dasar pikiran Auwyang Hong memang belum waras, kini sekaligus Ui Yong melontarkan balasan she yang dikatakan adalah namanya, keruan pikiran Auwyang Hong menjadi semakin ruwet dan tambah butek otaknya.
Berlainan sekali dengan sang isteri, Kwe Ceng adalah orang yang baik budi dan jujur, ia menjadi kasihan melihat keadaan Auwyang Hong- yang hilang ingatan dan linglung itu, "Sudahlah, lekaslah kau pergi saja, selanjutnya paling" baik kita jangan bertemu lagi untuk selama-nya," katanya kemudian.
"He, siapa kau dan siapa aku ?" demikian Auwyang Hong masih bertanya.
"Kau adalah Si Racun tua yang telah membinasakan lima saudaraku !" mendadak suatu suara bentakan menjawabnya dari belakang.
Belum lenyap suara bentakan itu atau sebuah tingkat besi telah menyambar pula, itu adalah senjatanya Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.
Tetapi pada saat itu juga terdengar pula seruan Kwe Ceng: "Awas, Suhu !" Namun sudah terlambat, kemplangan tongkat Kwa Tin-ok itu dengan tepat kena di punggung Auwyang Hong, tetapi yang terdengar hanya "buk" se-kali, tahu2 tongkat malah membal balik, saking keras tenaga menbalnya hingga Tin-ok tak tahan memegangnya, maka baik tongkatnya maupun orangnya sama terperosot jatuh dari wuwungan rumah.
Luar biasa kerasnya hantaman tadi, pula tongkat itu mempunyai bobot beberapa puluh kati, ditambah lagi goncangan membalik, maka tongkat itu telah menyusup masuk ke bawah untuk kemudian dengan tepat menghantam di atas ranjang tamu hotel, Tamu itu sebenarnya lagi terombang-ambing di sorga impiannya, siapa tahu ketiban malang mendadak, sial baginya, tulang kakinya tertindih patah oleh tongkat yang tidak ringan itu, saking sakitnya ia men-jerit2 minta tolong ! Dalam pada itu Kwe Ceng tahu meski gurunya terbanting jatuh ke bawah tentu tidak bakal berhalangan, ia hanya kuatir kalau kesempatan itu digunakan Auwyang Hong untuk menguber dan menghantam, maka kejadiannya pasti akan luar biasa he-batnya, karenanya, tidak pikir lagi segera ia berteriak: "Awas pukulan !" Berbareng itu tangan kanan ia putar sekali terus didorong lurus ke depan, ini adalah satu diantara tipu pukulan Hang-liong-sip-pat-ciang yang disebut "Kong-liong-yu-hwe" atau Naga pembawa sesal, ilmu pukulan "Hang-liong-sip-pat-ciang" (delapan belas jurus ilmu pukulan penakluk naga) ini adalah ajaran guru Kwe Ceng yang lain, yakni Pak-kay Ang Tjhit-kong, itu pemimpin besar dari Kay-pang atau persatuan kaum jembel.
Selama ini tipu pukulan "Kong-liong-yu-hwe" ini dia latih dengan giat, apalagi ditambah kegiatan latihan selama belasan tahun ini, maka tekanan pukulan ini boleh dikata sudah sampai di" puncak yang paling sempurna.
Pada mula2 dia dorong ke depan tampaknya seperti seenaknya saja dan enteng sekali, tetapi bila ketemukan tenaga rintangan, maka dalam sekejap saja he-runtun2 bisa bertambah dengan tiga belas tenaga susulan yang satu lebih kuat dari pada yang lain secara ber-tumpuk2, sungguh tiada sesuatu yang tak bisa dihancurkan dan tiada lawan yang tak bisa dirobohkan.
Puncak kesempurnaan tipu pukulannya ini dipelajari dan diketemukan dia dari dalam kitab ilmu silat Kiu-im-cin-keng, suatu kitab yang selamanya dibuat sasaran perebutan diantara lima tokoh tersebut di atas, sekalipun Ang Tjhit-kong dahulu, kalau cuma tipu pukulan "Kong-liong-yu-hwe" ini saja juga tidak selihay seperti Kwe Ceng sekarang ini.
Dalam pada itu baru saja Auwyang Hong berhasil bikin terpental Kwa Tin-ok, segera terasa olehnya ada samberan angin yang datang dari muka, meski tenaga samberan angin itu tak begitu kerns, tetapi pernapasannya toh sesak hingga susah bernapas sebagai seorang jago kelas satu, ia tahu keadaan berbahaya, maka lekas2 ia sedikit berjongkok, menyusul kedua tangannya dia dorong ke depan sambil mulutnya mengeluarkan suara "kok", ini adalah ilmu "Ha-mo-kang", ilmu weduk kodok yang menjadi kebanggaan seumur hidupnya.
Oleh karena itu, saling beradunya tiga telapak tangan tak bisa dihindarkan lagi, namun tubuh kedua orang hanya sama2 tergetar saja dan tidak sampai ada yang terguling.
Tetapi Kwe Ceng tidak berhenti sampai di situ saja, dengan cepat ia tambahi tenaga pukulannya yang susu)-menyusul dan satu lebih kuat dari pada yang lain seperti gelombang ombak yang ber-gulung2 kepantai.
Sebaliknya dari mulut Auwyang Hong pun tiada hentinya terdengar suara "kok-kok-kok" yang keras, tubuhnya kelihatan ber-goyang2, agaknya setiap saat bisa terbanting roboh oleh daya tekanan Kwe Ceng.
Tapi sungguh aneh, semakin kuat dan semakin bertambah daya tekanan tenaga pukulan Kwe Ceng, maka tenaga tangkisannya yang membalik dari Auwyang Hong juga ikut bertambah menurut kebutuhan.
Sudah ada belasan tahun mereka berdua ini tidak ukur tenaga, kini bertemu kembali didaerah Kanglam, dengan sendirinya masing2 ingin bisa menjajal sampai di mana kemajuan pihak lain.
Dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam atau pertandingan silat di Hoa-san tatkala itu Kwe Ceng masih bukan tandingan Auwyang Hong, tetapi sesudah sekian lama, berpisah dan kemajuannya yang pesat, ilmu silat Kwe Ceng boleh dikatakan telah sampai tarap yang paling masak, Namun demikian Auwyang Hong yang berlatih ilmu dari kitab "Kiu-im-cin-keng" secara terbalik (peristiwa diakali Ang Tjhit-kong hingga Auwyang Hong tertipu dan mempelajari Kiu-im cin-keng secara terbalik kelak akan diceritakan), dengan sendirinya juga ada kemajuan tertentu, yang satu betul dan yang lain terbalik, akhirnya tetap yang betul menangkan yang terbalik, maka dengan saling labraknya sekarang, Kwe Ceng sudah bisa melawan orang dengan sama kuat.
Pendekar Latah 28 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Kisah Si Pedang Kilat 2

Cari Blog Ini