Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 6
Sun-popoh ber-ulang2 menghela napas karena terharu oleh nasib bocah ini, malahan kadang2 ia menimbrung dengan beberapa kata pendapatnya, tapi semua kata2 yang dia lontarkan ternyata selalu bernada membela Nyo Ko saja, sebentar ia cela Ui Yong yang suka pilih kasih mengeloni puterinya sendiri, sebentar lagi ia maki Thio Ci-keng yang berpikiran sempit dan tak berbudi dan tega menghajar satu anak kecil.
Hanya Siao-liong-li masih tetap tidak unjuk sesuatu pendapatnya, ia masih duduk dengan tenang saja, cuma di waktu Nyo Ko bercerita pernah bertemu dengan Li Bok-chiu, ia telah saling pandang beberapa kali dengan Sun-popoh.
"O, anakku yang harus dikasihani!" demikian ber-ulang2 Sun-popoh menyebut sambil merangkul Nyo Ko sesudah bocah ini selesai menutur.
Sebaliknya Siao-liong-li pe-lahan2 berdiri dan tidak pedulikan keadaan kedua orang yang saling rangkul itu.
"Sudahlah, lukanya sudah tidak berbahaya lagi, Sun-popoh, kini kau boleh antar dia pergi!" tiba2 ia berkata.
Tentu saja Sun-popoh kaget, begitu pula Nyo Ko tercengang.
"Tidak, aku tidak mau kembali ke sana, matipun aku tidak mau kembali kesana !" teriak Nyo Ko.
"Kohnio (nona), anak ini kalau kembali lagi ke Tiong-yang-kiong pasti akan dihajar lagi oleh gurunya," kata Sun-popoh coba membujuk Siao-liong-li.
"Tidak, kau antar dia kembali ke sana, katakan pada gurunya agar jangan bikin susah anak ini," sahut Siao-liong-li.
"Ai, ini adalah urusan dalam orang lain, mana bisa kita ikut campur," ujar Sun-popoh.
"Kau boleh antarkan sebotol Giok-hong-cio (madu tawon putih) dan bicara padanya, tidak nanti imam tua itu tidak menurut," kata Siao-liong-li lagi.
Kata2 Siao-liong-li ini diucapkan dengan suara halus, tetapi sebagai majikannya, dengan sendirinya mengandung semacam perbawa yang sukar dibantah.
Karena itu, Sun-popoh telah menghela napas, ia cukup kenal tabiat Siao-liong-li yang kukuh, percuma saja meski banyak bicara, ia tatap Nyo Ko pula dengan penuh rasa kasih sayang.
Di luar dugaan, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus memberi hormat pada mereka berdua.
Tierima kasih pada Popoh dan Kokoh yang telah menyembuhkan lukaku, sekarang aku mohon diri saja," demikian ia berkata.
"Ke mana kau hendak pergi ?" dengan cepat Sun-popoh tanya.
Nyo Ko menjadi tertegun oleh pertanyaan ini, memang sebelumnya ia tidak tahu akan menuju kemana, "Dunia masih cukup luas, kemana saja aku bisa pergi," jawabnya kemudian.
Ia berkata dengan ketus, akan tetapi di antara matanya jelas kelihatan mengunjuk perasaan sedih.
"Adik cilik, bukannya aku tidak mau terima kau menginap di sini, tetapi sesungguhnya ada peraturan keras di sini yang melarang orang luar datang kemari, hendaklah kau jangan menyesal," demikian Siao-liong-li berkata padanya.
"Kokoh jangan bilang begitu, kelak saja kita berjumpa pula," sahut Nyo Ko dengan lantang.
Walaupun ia berkata dengan menirukan lagak orang tua, tetapi karena suaranya masih ke-kanak-kanakan, maka kedengarannya sangat lucu, Sun-popoh merasa geli juga dan kasihan pula, ia lihat mata anak itu basah tetapi sedapat mungkin bertahan jangan sampai butiran air mata itu menetes.
"Sudahlah, Kohnio, kini sudah jauh malam, kenapa tidak biarkan dia berangkat besok pagi saja," segera ia membujuk Siao-liong-li pula.
Namun percuma saja, apa yang sudah diputuskan Siao-liong-li, siapapun tidak mungkin bisa membatalkan maksudnya, maka ia telah geleng2 kepala.
"Popoh, apa kau lupa pada peraturan yang ditetapkan Suhu dahulu ?" demikian ia peringatkan Sun-popoh.
Karena itu, Sun-popoh menjadi tak berdaya, lalu ia berdiri, dengan suara rendah ia berkata pada Nyo Ko: "Mari, nak, akan kuberi sesuatu mainan padamu".
Diluar dugaan, mendadak Nyo Ko kesut air matanya, habis ini dengan kepala menunduk supaya tangisnya tidak terlihat orang, ia lantas berlari keluar.
"Tidak, aku tak mau, akupun tidak perlu diantar kau," serunya.
Akan tetapi baru saja ia berlari sampai am-bang pintu, tiba2 terdengar suara teriakan orang yang berkumandang dari luar, suara itu sangat keras dan sedang berkata : "Anak murid Coan-cin-kau, In Ci-peng, atas perintah Suhu mohon bertemu Liong-kohnio" "Di luar ada orang mencari kau, jangan kau keluar dulu," lekas Sun-popoh menahan Nyo Ko.
Seketika muka Nyo Ko menjadi pucat, ia terkejut tercampur gusar, saking terguncang perasaannya hingga tubuh juga gemetar.
"Sun-popoh, pergilah kau bicara pada me-reka," kata Siao-liong-li.
"Baiklah," sahut Sun-popoh sesudah memikir sejenak, habis ini ia berpaling dan berkata pada Nyo Ko : "Kau tinggal dulu disini, biar aku bicara dengan mereka.
" Siapa tahu adat Nyo Ko justru tidak kenal apa artinya takut, lebih2 ia tidak mau tunduk pada kekerasan, maka dengan suara lantang ia menjawab: "Popoh, tak usah urus diriku lagi.
Berani berbuat berani bertanggung javvab, biar aku sendiri yang menghadapi mereka, aku sudah terlanjur membunuh orang, biar aku ganti dengan jiwaku agar dibunuh mereka.
" Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas berjalan keluar.
Akan tetapi kuburan kuno yang sebenarnya lebih tepat dikatakan istana dibawah tanah itu luar biasa besar dan luasnya, Dahulu Ong Tiong-yang berlatih silat dan bertapa juga dilakukan di sini, kemudian ditempati bekas kekasihnya bahkan keadaan dalam kuburan telah banyak ditambah dan diperindah hingga keadaan jalanan di dalamnya luar biasa ruwet perubahannya, kalau bukan orang yang sudah kenal betul jalan2 di dalamnya, pasti orang akan kesasar untuk selamanya tidak dapat keluar Iagi.
Karena itulah dengan cepat Sun-popoh lantas menyusul ia pegang tangan Nyo Ko dan digandeng hanya sekejap saja sesudah menyusur hutan rindang itu mereka sudah sampai di tanah lapang didepan hutan sana.
Di bawah sinar bulan yang terang, tertampaklah di sana sudah berdiri enam atau tujuh orang imam dengan berjajar, kecuali itu ada pula empat imam pekerja yang menggotong Thio Ci-keng serta Ceng-kong yang terluka parah itu.
Dengan munculnya Nyo Ko, seketika para imam itu menjadi berbisik, mereka saling bicara dengan suara pelahan sambil melangkah maju beberapa tindak secara serentak.
Dalam pada itu, tanpa menunggu orang buka suara lagi segera Nyo Ko melepaskan gandengan Sun-popoh terus lari maju ke depan.
"lni, aku ada disini, hendak disembelih atau mau dikorek boleh terserah sesukamu!" dengan suara keras ia memapaki para imam itu, Tentu saja sikap Nyo Ko ini sama sekali di luar dugaan imam2 Coan-cin-kau itu, sama sekali tidak disangka bahwa bocah sekecil ini mempunyai watak yang begitu keras dan berani mati.
Tetapi diantara imam2 itu segera ada satu yang maju, dengan sekali tarik, tahu2 Nyo Ko kena diseretnya ke sebelah sana.
"Hm, aku toh tidak bakal lari, apa yang kau kuatirkan ?" dengan kepala batu Nyo Ko masih menjengek.
Tentu saja imam itu tidak mau menerima ejekan itu, ia adalah muridnya Thio Ci-keng, ia telah menyaksikan keadaan gurunya yang diantup tawon dan belum diketahui bakal mati atau hidup, dan semua itu adalah gara2 Nyo Ko, dengan sendirinya ia sangat benci pada bocah ini, kini mendengar orang malah mengejek padanya, dengan gemas ia angkat kepalan terus memukul ia hantam batok kepala Nyo Ko.
Sebenarnya Sun-popoh bermaksud bicara secara baik2 dengan para imam itu, tetapi mendadak secara paksa Nyo Ko diseret kesana, melihat ini saja ia tak tega, apalagi mendadak ia menyaksikan Nyo Ko dihajar pula, tentu saja api amarahnya lantas membakar.
Tanpa ayal lagi ia lantas menyerobot maju, begitu lengan bajunya mengebut, sekali saja tangan imam yang memegang Nyo Ko itu kena disabet.
Karena serangan ini, seketika imam itu merasakan tangannya sakit pedas seperti kena dipukul oleh ruyung baja saja, mau-tidak-mau ia harus melepaskan Nyo Ko, dan selagi ia hendak bentak bertanya, tahu2 Sun-popoh menyamber tubuh Nyo Ko terus diangkat, tanpa bicara wanita tua ini putar tubuh lantas berjalan pergi.
Sudah tentu imam2 yang lain tidak biarkan orang pergi begitu saja, segera ada tiga imam yang lain mengudak maju, "Lepaskan orangnya !" teriak mereka.
"Kalian mau apa ?" sahut Sun-popoh menoleh dengan tertawa dingin.
Di antara para imam itu In Ci-peng terhitung paling tahu adat, ia mengerti manusia2 yang tinggal di dalam kuburan kuno itu rapat sekali hubungannya dengan perguruannya sendiri, maka tak berani ia berlaku gegabah, lekas2 ia membentak mencegah kawan-kawannya, "Lekas mundur, jangan kurangajar kepada orang tua," demikian katanya, Habis ini dia sendiri maju memberi hormat pada Sun-popoh, ia perkenalkan diri pula: "Tecu In Ci-peng memberi hormat pada Cianpwe" "Lalu kalian mau apa ?" tanya Sun-popoh pula.
"Anak ini adalah murid Coan-cin-kau kami, mohon cianpwe suka menyerahkan dia," sahut Ci-peng.
"Hm, serahkan dia " Enak saja kau buka mulut," damperat Sun-popoh dengan suara bengis, "Dihadapanku saja kalian berani hajar dia secara begini kejam, apalagi nanti kalau sudah berada di rumah, entah cara bagaimana kalian akan siksa dia.
Kini kau ingin aku melepaskan dia, maka aku bilang tidak bisa! Sekali tidak, seribu kali tetap tidak !" "Tetapi anak ini terlalu nakal dan berani pada guru.
cianpwe tentu tahu dalam Bu-lim orang paling menghormat pada orang tua, maka kalau kami menghukum padanya, agaknya pantas juga," kata Ci-peng dengan menahan marah.
"Hm, berani pada guru apa segala, hanya ocehan sepihak belaka," kata Sun-popoh lagi dengan gusar, Lalu ia tuding Ceng-kong yang rebah ditempat usungan itu dan menyambung pula: "Bocah ini bertanding dengan imam sebesar itu, memangnya itu peraturan Coan-cin-kau kalian " sebenarnya bocah ini tidak mau maju, tetapi kalian paksa dia turun kalangan, Dan kalau sudah saling gebrak, dengan sendirinya ada yang menang dan ada yang kalah, kalau imam gemuk itu sendiri yang tak becus dan/kena dihantam, kenapa harus salahkan orang lain ?" Wajah Sun-popoh memangnya sudah jelek karena marah, kulit mukanya menjadi merah padam, keruan rupanya semakin menakutkan.
Dalam pada itu ber-turut2 sudah datang lagi belasan imam yang lain, mereka pada berdiri di belakang In Ci-peng dan sedang bisik2 membicarakan wanita tua bermuka jelek yang tak mereka kenal ini.
"Tentang siapa yang benar dan salah dalam pertandingan itu, kami tentu akan melaporkannya pada Ciangkau Cosu kami untuk diambil keputusannya," demikian sahut Ci-peng lagi.
"Maka harapIah Locianpwe kembalikan anak itu.
" Waktu itu Nyo Ko masih merangkul dalam pondongan Sun-popoh, ia bisik2 pada orang tua itu buat menghasut: "Popoh jangan mau percaya, imam ini banyak sekali tipu musIihatnya, jangan kau kena diakali.
" Mendengar Nyo Ko berlaku begitu aleman dan ber-ulang2 memanggil Popoh atau nenek padanya, Sun-popoh menjadi girang sekali, dalam hati ia telah ambil suatu keputusan yang pasti, yalah tidak akan menyerahkan Nyo Ko pada In Ci-peng.
Oleh karenanya dengan suara keras ia lantas berteriak pula: "Kau inginkan anak ini, lalu apa yang hendak kalian perbuat atas dirinya ?" "Tecu mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan ayah anak ini, pasti tidak bakal membikin susah anak kawan yang sudah meninggal harap Locianpwe jangan kuatir," sahut Ci-peng.
"Hm, dengan apa aku harus percaya padamu ?" jengek Sun-popoh.
"Aku tidak biasa banyak bicara dengan orang luar, maaf saja aku tak bisa tinggal lebih lama di sini.
" Habis berkata, lalu ia angkat kaki hendak kembali ke dalam hutan lagi, Tatkala itu Thio Ci-keng sedang digotong orang, lukanya yang diantup tawon terasa jarem dan gatal luar biasa, tetapi pikirannya cukup terang dalam segala hal ia dengar Ci-peng adu mulut dengan Sun-popoh sekian lamanya, ia menjadi gusar, Sewaktu Sun-popoh hendak melangkah pergi, mendadak ia melompat bangun dari usungan terus mengadang di depan Sun-popoh.
"Dia adalah muridku,.
apa aku hendak hajar dia atau hendak memaki dia, semuanya terserah padaku, Kau tidak perbolehkan guru mengajar, murid, apa di dunia persilatan terdapat peraturan semacam ini ?" demikian ia membentak.
Melihat kepala orang bengkak sekali lipat daripada biasanya, pula dari lagu suaranya, tahulah Sun-popoh pasti imam ini adalah guru Nyo Ko.
Atas teguran itu, seketika ia menjadi tak bisa menjawab.
Oleh karena sudah tiada alasan, terpaksa ia menjawab secara membandel: "Ya, justru aku tak perkenankan kau mengajar dia, kau mau apa ?" "Anak ini pernah apa dengan kau " Berdasarkan apa kau ikut campur tangan ?" bentak Ci-keng pula dengan murka.
Kembali Sun-popoh tertegun oleh pertanyaan ini.
Tetapi ia semakin bandel pula, maka tanpa pikir ia menjawab dengan suara keras: "Dia sudah bukan anak murid Coan-cin-kau kalian lagi, tahu" Anak ini sudah mengangkat nona Siao-liong-li kami sebagai guru, maka baik atau jelek akan dirinya, dibumi ini hanya Siao-liong-li seorang saja yang boleh mengurusnya, Nah, kalau kalian tahu gelagat, lekas enyah dan jangan coba ikut campur urusan ini.
" Kata2 ini ternyata sangat mengejutkan para imam itu hingga seketika mereka menjadi gempar.
Kiranya menurut peraturan Bu-lim atau dunia persilatan siapa saja sebelum mendapat perkenan dari guru asalnya sekali2 dilarang mengangkat guru lagi pada orang laim jika hal itu dilakukan maka itu berarti "suatu penghianatan yang maha besar dan pasti tidak bisa diampuni oleh orang sesama punia persilatan.
Oleh karena itu, meski ketemu guru yg.
kepandaiannya berlipat ganda lebih tinggi dari guru yang pertama juga tak boleh sesukanya memanjat ke atas lebih tinggi.
Kini Sun-popoh didebat oleh Thio Ci-keng hingga tak bisa menjawab, pula ia memang tidak pernah berhubungan dengan tokoh2 kalangan persilatan dengan sendirinya ia tidak kenal semua aturan2 itu, ia hanya buka mulut sekenanya, tak tahunya katanya tadi justru melanggar pantangan besar persilatan.
Keruan saja para imam Coan-cin-kau menjadi gusar semua.
Ci-keng sendiri waktu itu lagi kesakitan hebat dan luar biasa rasa gatalnya, ia sudah tak tahan lagi oleh siksaan2 itu, ia merasa adu jiwa saja malah lebih enak.
Oleh karena itu dengan kertak gigi menahan sakit segera ia tanya : "Nyo Ko, apa hal itu memang betul ?" Nyo Ko masih kecil usianya, dengan sendirinya ia tidak kenal segala peraturan Kangouw segala, ia lihat Sun-popoh terus membela dirinya dan ribut mulut dengan gurunya, tentu saja apa yang dikatakan orang tua ini ia perkuat.
"Ya, memang betul, kau mau apa " Kau imam busuk ini sudah pukul aku sedemikian rupa, untuk apa aku mengaku kau sebagai Suhu lagi " Memang aku sudah angkat Sun-popoh sebagai guru, pula sudah menyembah Liong-kokoh sebagai Suhu," demikian dengan suara keras ia menjawab.
Bukan buatan gusar Ci-keng hingga dadanya hampir2 meledak, tanpa pikir lagi se-konyong2 ia melompat maju, berbareng kedua tangannya lantai mencengkeram ke tubuh Nyo Ko.
Sudah tentu Sun-popoh tidak tinggal diam, "lmam liar, apa kau cari mampus ?" damperatnya segera, sebelah tangannya berbareng menangkis.
Thio Ci-keng adalah jago kelas satu di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, kalau soal ilmu silat ia masih di atas In Ci-peng, meski tubuhnya luka parah, namun pukulannya tadi ternyata sangat hebat.
Begitulah, maka tangan kedua belah pihak saling bentur, seketika mereka merasa kesemutan hingga masing2 tergetar mundur beberapa tindak.
"Hm, imam liar, boleh juga kau," jengek Sun-popoh sesudah kenal kepandaian orang.
Dilain pihak, sekali menyerang tidak kena, segera serangan keduanya menyusul, kembali Ci-keng hendak menjamberet lagi.
Sekali ini Sun-popoh tak berani pandang enteng pula lawannya, ia mengegos kesamping, habis ini, se-konyong2 sebelah kakinya tanpa kelihatan bergerak atau tahu2 sudah melayang menendang dikatakan tidak kelihatan oleh karena itu adalah "kun-lay-tui" atau kaki tersembunyi di dalam Kun" (gaun panjang), yakni kain yang dia pakai hingga menutupi seluruh kakinya.
Sebagai jago Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja Ci-keng tidak gampang diserang, ketika mendadak mendengar menyambernya angin, segera ia bermaksud menghindarkan diri Tak tersangka, tiba2 lukanya yang diantup tawon itu luar biasa gatelnya, tanpa tahan ia menjerit sambil pegang kepalanya terus berjongkok, keruan tidak ampun lagi, justru pada waktu ia menjerit dan berjongkok, kaki Sun-popoh yang melayang itu dengan tepat kena tendang iganya.
Karena tendangan keras ini, Ci-keng sampai mencelat ke udara, walaupun demikian, selagi terapung di udara ia masih men-jerit2 saking gatelnya.
In Ci-peng menjadi kaget oleh kejadian itu, lekas2 ia melayang ke atas menangkap tubuh Ci-keng supaya tidak terbanting, kemudian ia turunkan tubuh sang Suheng dengan pelahan, sementara itu ia lantas memberi tanda pada imam2 lain buat mengepung maju, maka terpasanglah seketika barisan bintang "Pak-tau-tin" yang maha lihay dari Coan-cin-kau.
Sun-popoh tidak kenal akan jaringan barisan lawannya, maka sesudah menangkis beberapa kali rangsakan musuh, segera ia mengerti akan lihaynya, ditambah lagi sebelah tangannya harus membopong Nyo Ko, ia hanya bisa melayani musuh dengan sebelah tangan saja, maka hanya belasan gebrak saja ia sudah kewalahan hingga ber-ulang2 terancam bahaya.
Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa Sun-jpopoh letakkan Nyo Ko ke bawah, lalu dengan kedua tangannya ia papaki lawan, Tapi tiba2 terdengar suitan dari barisan Pak-tau-tin lawan, menyusul mana ada dua imam telah menyerobot maju hendak menangkap Nyo Ko.
Sun-popoh menjadi kaget, diam-diam iapun mengeluh, ia mengerti barisan bintang lawan itu sukar dipatahkan, dirinya terang tak ungkulan buat melawannya, Karena itu, disamping kakinya digunakan menendang kedua imam yang hendak menawan Nyo Ko, berbareng pula dari mulutnya mendadak mengeluarkan suara mendengung.
Suara "ngung-ngung" itu mula2 hanya pelahan saja, karena itu para imam tidak menaruh perhatian, tetapi lama kelamaan suara mendengungnya menjadi keras, lambat laun para imam itu merasakan tidak enak sekali oleh suara itu, makin lama semakin susah menahan, sampa akhirnya banyak yang mendekap kuping dengar tangan, sebab itu juga, daya serangan mereka tadi ikut terpengaruh dan menjadi kendur.
Di antara imam2 itu hanya In Ci-peng seorang yang selalu berlaku waspada dalam menghadapi Sun-popoh ini, ia cukup kenal kepandaian cianpwe yangl tinggal di dalam kuburan kuno itu adalah setingkat dengan kakek gurunya, Tiong-yang Cosu, dengan sendirinya orang keturunannya pasti bukan kaum lemah.
Maka sejak mendengar suara "ngung-ngung" yang tercetus dari mulut Sun popoh, Ci-keng mengira orang sedang menggunakan ilmu gaib sebangsa hipnotis, maka ia telak pusatkan seluruh semangatnya dan menantikan segala kemungkinan.
Tak terduga, meski sudah lama suara "ngung-ngung" itu terdengar, walaupun semakin keras juga, namun perasaan maupun semangatnya sama sekali tidak menjadi goyah.
Tentu saja ia heran. Sedang ia . terasa aneh, mendadak ia ingat pula akan sesuatu, tanpa tertahan luar biasa terkejutnya.
Karena itu, segera ia hendak perintahkan kawannya agar lekas mundur, tetapi sudah terlambat dari jauh sudah terdengar berkumandangnya suara "ngung-ngung" yang riuh dan keras dan pada suara mendengung dari mulut Sun-popoh.
"Celaka, lekas kita lari!" seru Ci-peng cepat.
Tentu saja imam2 yang lain menjadi heran, mereka tertegun oleh teriakan Ci-peng, dalam hati mereka tidak habis mengerti, sebab sudah terang mereka telah berada di atas angin, mengapa tiba2 Ci-peng ber-teriak2 dan takut pada wanita tua yang jelek ini " Dalam pada itu, se-konyong2 segumpal bayangan kelabu berkelebat serombongan tawon putih tiba2 menyamber keluar dari hutan terus menubruk ke atas kepala para imam itu.
Karena sudah menyaksikan penderitaan Ci-keng yang disengat tawon, para imam itu bukan buatan takutnya demi nampak kawanan tawon putih yang menyamber tiba itu, serentak mereka putar tubuh terus lari terbirit-birit.
Dengan cepat kawanan tawon putih itupun segera mengejar.
Melihat larinya musuh dan tahu para imam itu tidak bakal sanggup melepaskan diri dari antupan tawonnya, Sun-popoh bergelak ketawa senang.
Tak terduga, mendadak satu imam tua tampil ke depan dari para imam yang lari kesetanan itu, tangan imam tua itu membawa dua obor yang coraknya sangat aneh, tiba2 obor itu diayun ke depan, seketika obor itu menyala terlebih hebat dan dari ujung api obor yang membakar itu mengepulkan asap yang sangat tebal.
Oleh karena asap tebal inilah seketika barisan tawon putih itu menjadi kacau, dengan cepat pula mereka lantas terbang kembali.
Terkejut sekali Sun-popoh oleh perubahan hebat dan cepat ini, waktu ia mengamat-amati imam tua itu, ia lihat rambut orang sudah putih, begitu pula alisnya, raut mukanya lonjong, melihat rupanya tentulah jago tinggi dari Coan-cin-kau.
"Hai, kau imam tua ini siapa " Mengapa kau berani menghalau tawonku ?" segera Sun-popoh membentak.
"Aku bernama Hek Tay-thong, terimalah hormatku, Popoh!" sahut imam tua itu dengan tertawa.
Walaupun Sun-popoh selamanya tidak pernah bergaul dengan orang dari, kalangan Bu-lim, tapi karena letak Tiong-yang-kiong hanya berdampingan saja deiigan tempat kediamannya, maka iapun kenal nama Hek Tay-thong yang termasuk satu di antara tujuh murid utama Ong Tiong-yang, itu cakal bakal Coan-cin-kau.
Karenanya ia menjadi kaget demi mendengar nama orang, ia pikir imam semacam In Ci-peng saja ilmu silatnya tidak lemah, sudah tentu imam tua ini terlebih susah dilawan, sementara hidungnya mencium pula bau sumpek dari asap tebal yang terhembus dari obor orang hingga terasa ingin muntah, pula kawanan tawon sudah tak bisa diandelkan lagi sebagai bantuan, melihat gelagat jelek, diam2 ia coba mencari jalan buat mundur teratur.
"Eeeh, Khu Ju-ki, Ong Ju-it, kalian ikut datang juga " Hayolah maju sekalian, tidak nanti aku Sun-popoh gentar!" demikian tiba2 ia berkata dengan tertawa sambil menuding ke belakang Hek -Tay-thong.
Tentu saja Hek Tay-thong tertegun, "He, kenapa Khu dan Ong berdua Suheng telah datang juga ?" demikian ia membatin Diluar dugaan, ketika ia menoleh, mana ada bayangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it" Waktu ia berpaling kembali, tahu2 orang yang berhadapan dengan dia tadi sudah menghilang, yang terdengar hanya suara bergelak ketawa panjang yang berkumandang dari tengah hutan, nyata Sun-popoh dan Nyo Ko sudah pergi jauh dengan jalan mengakali dirinya.
"Kita harus kejar atau tidak " Hek-susiok," tanya In Ci-peng.
Hek Tay-thong menggeleng kepala, "Tidak",, sahutnya kemudian, "Cosuya telah menentukan peraturan keras yang melarang kita masuk ke dalam hutan itu, marilah kita kembali dahulu untuk berunding.
" Sementara itu Sun-popoh dengan menggandeng Nyo Ko sudah berada kembali di dalam kuburan kuno itu, sesudah mengalami peristiwa tadi, hubungan kedua orang telah bertambah eratnya.
Nyo Ko masih kuatir kalau Siao-liong-li tetap tidak mau menerima dia untuk tinggal bersama.
"Jangan kuatir, pasti akan kumintakan agar dia suka terima kau," ujar Sun-popoh untuk membesarkan hati anak itu.
Nyo Ko lantas disuruh menunggu dan me-ngaso dahulu di kamar depan, ia sendiri lalu pergi bicara dengan Siao-liong-li.
Akan tetapi lama sekali ditunggu2 masih belum nampak Sun-popoh kembali, keruan Nyo Ko menjadi tambah kuatir dan tak sabar pula.
"Terang bibi Siao-liong-li tidak mau terima aku disini, sekalipun Sun-popoh bisa memaksa padanya agar suka menerima, tapi hidupku di sini selanjutnya jadi tidak menarik lagi," demikian Nyo Ko pikir, Dan sesudah ia pikir lagi pergi-datang, akhirnya ia ambil keputusan dan diam2 berjalan keluar sendiri.
Tetapi baru saja ia melangkah keluar kamar, tiba2 Sun-popoh telah kembali dengan ter-gesa2.
"Kau hendak ke mana ?" tanya orang tua itu.
"Popoh," jawab Nyo Ko dengan suara lesu, "biarlah aku pergi saja, kelak kalau aku sudah besar, nanti aku datang menyambangi engkau lagi.
" "Tidak, jangan kau pergi sendiri," kata Sun-popoh cepat, "biar aku antar kau ke suatu tempat lain, agar orang-tak bisa menghina kau lagi.
" Mendengar kata2 ini, maka tahulah Nyo Ko bahwa Siao-liong-li ternyata betul2 tidak mau terima dirinya tinggal di situ.
Karenanya hatinya menjadi sedih.
"Sudahlah, tak perlu lagi," sahutnya kemudian dengan kepala menunduk "Memangnya aku adalah anak nakal, kemana saja pasti tiada orang yang mau terima diriku, Sudahlah, jangan Popoh repotkan diri lagi.
" Sun-popoh ini berwatak keras lurus, tadi ia telah berdebat setengah harian dengan Siao-liong-li urusan penerimaan Nyo Ko, karena Siao-liong-li tetap berkeras tidak mau terima, hati orang tua ini menjadi sangat mendongkol kini melihat lagi Nyo Ko yang harus dikasihani seketika darah panasnya menjadi bergolak.
"Tidak, nak, orang lain tak suka padamu, Popoh justru menyukai kau," demikian katanya penuh rasa sayang, "Marilah kau ikut padaku, tidak perduli ke mana saja, selalu Popoh akan berada disampingmu.
" Tentu saja Nyo Ko sangat girang, segera ia gandeng tangan orang tua itu, lalu mereka berdua keluar lagi dari pintu kuburan.
Dalam marahnya Sun-popoh ternyata tidak membekal barang2 lain maupun pakaian lagi, dan ketika ia coba merogoh sakunya, tiba2 tangannya menyentuh sebuah botol kecil, ia menjadi teringat botol ini berisi madu tawon yang tadinya bermaksud diberikan pada Tio Ci-keng.
Terpikir pula olehnya bahwa imam itu meski jahat, tapi dosanya masih belum perlu harus sampai mati, kalau madu tawon ini tidak diminum, tentu luka antupan tawon yang dideritanya itu sukar sembuh kembali.
Karena pikiran ini, dengan tangan kiri pondong Nyo Ko, lalu berangkatlah dia menuju ke Tiong-yang-kiong.
Tatkala itu sebagian Tiong-yang-kiong sudah diperbaiki, walaupun hanya sebagian kecil saja yang pulih dan jauh sekali kalau dibandingkan dengan kemegahan yang dulu, namun sedikitnya sudah ada rumah genting dan kamar papan.
Sementara itu demi mengetahui dirinya dibawa Sun-popoh ke Tiong-yang-kiong pula, Nyo Ko menjadi kaget.
"He, Popoh, untuk apalagi kau ke sana ?" tanyanya cepat dengan suara pelahan.
"Antar obat untuk gurumu," sahut Sun-popoh.
Dalam pada itu, Tiong-yang-kiong yang dituju sudah berada di depan mereka, Sesudah dekat, segera Sun-popoh melompat ke atas pagar tembok, dari sini ia hendak melompat turun ke pelataran bagian dalam.
Tetapi sebelum ia melompat turun, mendadak suasana gelap dan sunyi itu digemparkan oleh bunyi genta yang keras dan ramai, menyusul dari jauh maupun dekat hanya terdengar suara suitan belaka.
Dengan kejadian mendadak ini, insaflah Sun-popoh kalau dirinya telah terjebak ke dalam kepungan musuh, sungguhpun ilmu silatnya tinggi dan nyalinya besar, namun tidak urung ia merasa jeri juga.
Harus diketahui bahwa Coan-cin-kau adalah satu aliran persilatan terbesar dikalangan Bu-lim, penjagaan yang dilakukan ditempat mereka ini biasanya sangat keras, apalagi beberapa hari paling belakang ini selalu ada orang datang mencari setori, sudah tentu penjagaan semakin diperkuat dan dimanapun terdapat orang.
Kini ada orang melompati pagar tembok mereka, seketika juga genta dibunyikan sebagai tanda bahaya, Dengan tanda ini, bukan saja semua anak murid Coan-cin-kau yang berada di dalam istana lantas keluar memapak musuh dalam berbagai kelompok, bahkan tidak sedikit pula para imam yang menyebar jauh keluar, pertama2 untuk mengepung musuh yang berani menyerbu tempat mereka, kedua untuk merintangi bala bantuan musuh yang datang belakangan.
Begitulah demi nampak suasana yang berobah menjadi hebat ini, mau-tak-mau Sun-popoh merasa kebat-kebit juga.
"Hai, Thio Ci-keng, lekas keluar, aku ingin bicara dengan kau," demikian ia lantas berteriak.
Akan tetapi Ci-keng sendiri tidak muncul, sebaliknya dari pendopo tengah sana tiba2 keluar satu imam setengah umur.
"Malam buta cianpwe berani masuk ke kuil kami, sebenarnya apakah maksud tujuannya ?" segera imam itu menegur.
"lni buat Thio Ci-keng, ini adalah obat penawar racunnya sengatan tawon," sahut Sun-popoh, Berbareng ini, ia lemparkan botol madu tawon pada orang.
Imam itu ulur tangannya menyambut botol kecil yang dilemparkan itu, tetapi ia setengah percaya setengah sangsi, "Untuk apa ia berlaku begini baik hati, tadi sudah melukai orang, sekarang berbalik mengantarkan obat ?" demikian ia berpikir.
"Obat apakah ini ?" kemudian ia tanya dengan suara keras.
"Tak perlu tanya, asal kaiu minumkan dia seluruh isinya, tentu kau akan lihat chasiatnya," sahut Sun-popoh.
"Tetapi darimana aku bisa tahu kau bermaksud baik atau bertujuan jahat, dan bagaimana pula aku tahu ini betul2 obat penawan racun atau racun malah, Thio-suheng sudah kau aniaya begitu rupa, kenapa sekarang kau berbalik berbaik hati hendak menolongnya ?" kata imam itu dengan curig.
, Dasar watak Sun-popoh memang tulus, mendengar orang mencurigai maksud baiknya, bahkan kata2nya tidak enak didengar, keruan api amarahnya tidak bisa ditahan lagi, Tiba2 ia letakkan Nyo Ko ke bawah, habis ini dengan sekali lompat ia mendekati orang, begitu tangannya meraih secepat kilat botol madu tawon tadi telah direbutnya kembali.
"Buka mulutmu !" tiba2 ia berkata pada Nyo Ko sambil mencopot tutup botol.
Nyo Ko menjadi bingung oleh perintah orang yang mendadak ini, tetapi ia menurut juga dan mengangakan mulutnya.
Waktu Sun-popoh baliki botol madu tawon itu, maka tertuanglah seluruh isi botol itu ketenggorokan Nyo Ko.
"Nah, enak bukan, mendingan daripada dicurigai orang sebagai racun," demikian katanya mencemooh imam itu.
"Ko-ji, mari kita pergi!" Lalu dengan menarik tangan Nyo Ko segera ia mendekati pinggir pagar tembok.
Rupanya imam tadi dari merasa malu berobah menjadi gusar, diam2 iapun menyesalkan dirinya yang seharusnya jangan banyak curigai.
Kini tampaknya obat yang diantar orang ternyata memang betul2 obat pemunah, kalau Thio Ci-keng tidak tertolong oleh obat yang jitu, mungkin sukar untuk bertahan sampai besok.
Oleh karena kuatirnya itu, segera ia melompat ke atas dan mencegat didepan orang sambil pentang kedua tangannya, "Locianpwe, kenapa kau harus marah2 padaku, aku hanya berkata main2 saja, tapi kau anggap sungguhan," demikian ia coba membujuk "Jika memang betul obat penawar, maka mohonlah engkau suka berikan sekarang.
" Akan tetapi Sun-popoh sudah terlanjur menjadi sengit, ia benci pada lidah orang yang tak bertulang, putar balik tidak menentu, maka ia menjawab dengan tertawa dingin.
"Obat tadi sayang hanya ada sebotol saja, ingin lebih banyak sudah tidak ada lagi.
Hitung2 nyawa Thio Ci-keng melayang di tanganmu sendiri".
demikian kata Sun-popoh, berbareng ia baliki sebelah tangannya terus tambahi orang dengan sekali tempelengan sambil membentak: "Kau tidak menghormati kaum Cianpwe, kau inilah yang harus dihajar adat!" Pukulan ini begitu aneh gerakannya dan cepat pula, ternyata imam itu tak mampu berkelit, maka terdengarlah suara "plak" yang keras, dengan tepat sebelah pipinya kena ditampar.
Melihat kawan mereka dihantam, dua imam lain yang menjaga dipinggir pintu menjadi gusar.
"Seumpama betul kau adalah kaum Cianpwe, mana boleh kau berlaku tidak se-mena2 di Tiong-yang-kiong !" bentak mereka berbareng, Habis ini, yang satu memukul dengan tangan kiri dan yang lain dengan tangan kanan, bersama2 mereka menyerang dari samping.
Sun-popoh sudah pernah kenal lihaynya Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau, maka ia tak berani terlibat dalam pertempuran dengan mereka, apa lagi kini dirinya sudah masuk "sarang harimau", tentu saja ia lebih perlu pakai perhitungan, maka dengan sekali loncat segera ia melompat ke atas tembok yang lebih tinggi.
Tampaknya diatas tembok sana tiada seorangpun siapa duga, baru saja ia hendak tancapkan kaki di atas sana, mendadak dari sebelah luar seorang lain meloncat naik memapaki padanya.
"Turun saja !" bentak orang itu sambil kedua telapak tangannya mendorong dari depan.
Waktu itu Sun-popoh sedang terapung di udara, terpaksa dengan tangan kanan ia balas dorongan orang itu, karenanya satu tangan lantas saling bentur dengan dua tangan, masing2 sama tergetar mundur dan turun ke bawah kedua sisi tembok.
Nampak penyatron terjatuh kembali, segera ada enam atau tujuh imam mengerubut maju dengan teriakan ramai mereka desak Sun-popoh sampai dipojok dinding.
Para imam ini adalah jago pilihan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, tampaknya mereka memang sengaja dipilih untuk menjaga pendopo besar kuil mereka, maka dalam sekejap saja secara bergantian, seperti ombak saja secara bergelombang mereka merangsak maju beberapa kali.
Sun-popoh terpepet dipojok tembok, ia bermaksud tarik Nyo Ko buat menerjang keluar, tetapi barisan telah dipasang kuat oleh para imam itu tetap menahan dia ditempatnya, sudah beberapa kali Sun-popoh berusaha menerjang lagi, tetapi selalu didesak mundur kembali Sebenarnya kalau Sun-popoh seorang diri saja, maka kepandaian para imam ini sekaH2 tidak nanti bisa merintanginya, cuma sekarang ia harus membagi perhatiannya untuk melindungi Nyo Ko, maka ilmu kepandaiannya menjadi tak bisa dikeluarkan seluruhnya.
Sesudah belasan jurus lagi, Thio Ci-kong, adik, seperguruan Thio Ci-keng, yang ditugaskan mengepalai penjagaan pendopo depan, ketika mengetahui lawan sudah tak berdaya lagi, segera ia memberi perintah menyalakan api lilin.
Sejenak kemudian tertampaklah belasan lilin raksasa telah menyala terang diseluruh ruangan pendopo itu, muka Sun-popoh yang tersorot api lilin itu ter-tampak pucat seram, mukanya yang memang jelek kini kelihatannya lebih menakutkan lagi.
"Jaga rapat dan berhenti dulu menyerang," tiba2 Thio Ci-kong berseru.
Karena itu, ketujuh imam yang mengerubuti Sun-popoh tadi segera melompat mundur ke belakang, tetapi mereka masih bersiap dan menjaga di tempat masing2 dengan kuat.
Sun-popoh menarik napas lega sesudah kepungan musuh menjadi kendur.
"Hm, nama Coan-cin-kau yang disegani di seluruh jagat nyata bukan omong kosong belaka," demikian ia masih mengejek "Coba, belasan orang muda kuat bersama mengerubuti seorang nenek yang loyo dan seorang anak kecil, hm, hm, sungguh lihay, sungguh hebat !" Muka Thio Ci-kong menjadi merah oleh ejekan orang.
"Kami tidak pandang apa kau orang tua atau dia anak kecil," demikian ia coba menjawab, "kami hanya ingin menangkap penyatron yang berani terobosan di Tiong-yang-kiong kami, baik kau nenek2 ataupun laki2 sejati, kalau sudah berani masuk ke sini dengan tubuh tegak, maka sedikitnya harus keluar dengan tubuh membungkuk "Hm, apa artinya tubuh membungkuk ?" sahut Sun-popoh dengan tertawa dingin, "Apa kau maksudkan nenekmu yang tua ini harus merangkak keluar dari sini, ya bukan ?" Ci-kong tadi telah merasakan tempelengan orang tua ini dan sampai sekarang masih terasa sakit, sudah tentu dia tidak mau selesai dengan begitu saja.
"Jika kau ingin pergi bebas, itupun tidak sukar, asal kau mau turut tiga syarat kami," demikian katanya kemudian, "Pertama, kau telah melepaskan tawon dan mencelakai Thio-suheng, maka obat penawarnya tadi harus kau tinggalkan.
Kedua, anak ini adalah murid Coan-cin-kau, kalau tidak mendapat idzin Cosuya, mana boleh dia melepaskan diri dari ikatan perguruan secara gampang, maka dia harus kau tinggalkan juga di sini.
Dan ketiga, kau telah berani menerobos masuk ke Tiong-yang-kiong, kau harus menjura di depan "pemujaan Tiong-yang Cosu untuk minta maaf.
" "Hahahaaa," tiba2 Sun-popoh menjawab dengan gelak-ketawanya, "Memang sudah sejak dulu aku katakan pada Siao-liong-li kami bahwa para imam Coan-cin-kau tiada satupun yang berguna, nah, buktinya apa sekarang, kapan perkataan nenekmu pernah salah" - Baiklah, segera aku berlutut dan menjura minta maaf padamu.
" Sambil berkata, betul juga ia lantas membungkuk hendak berlutut Tindakan orang tua ini justru sama sekali tak diduga Thio Ci-kong sebelumnya, karena itu ia menjadi tertegun, sementara ia lihat Sun-popoh betul2 telah bertekuk lutut dan pada saat itu juga, se-konyong2 berkelebatlah sinar mengkilap, tahu2 sebuah Am-gi atau senjata rahasia menyam-ber ke arahnya.
"Haya !" teriak Ci-kong saking kaget.
Lekas juga ia hendak berkelit, akan tetapi menyamber-nya Am-gi itu ternyata secepat kilat, tidak ampun lagi tepat menancap di pundak kirinya.
Kiranya itu adalah sebuah anak panah kecil yang terpasang di punggung di dalam baju, asal orangnya menundukan kepalanya, maka anak panah itu lantas menjeplak dan menyamber keluar dengan cepat hingga sukar untuk menghindarinya.
Untung Sun-popoh tiada maksud hendak mengarah jiwanya, maka orang tua itu sengaja bikin menceng tempat yang dia incar, ia tidak arahkan tenggorokan melainkan menancap di pundak lawan.
Nampak Ci-kong terkena senjata orang, para imam yang lain menjadi kaget tercampur gusar, segera mereka membentak lalu serentak pula menghunus senjata mereka.
Semua Imam Coan-cin-kau biasanya memakai senjata pedang, oleh sebab itu sesaat di seluruh pelataran hanya tertampak sinar pedang belaka yang kemilauan.
Tapi Sun-popoh hanya berdiri dengan tenang saja sambil bersenyum dingin, dalam hati ia insaf juga bahwa urusan hari ini tentu akan runyam, tapi dasar wataknya memang keras, seperti jahe saja, semakin tua semakin pedas, maka tak nanti ia sudi menyerah pada orang.
"Kau takut tidak, nak ?" tiba2 ia berpaling menanya Nyo Ko.
Nampak pedang para imam yang begitu banyak, diam2 Nyo Ko sedang berpikir: "Jika Kwe-pepek yang berada di sini, lebih banyak lagi imam2 busuk ini tidak nanti aku takut Tetapi kini hanya mengandalkan kepandaian Sun-popoh saja, terang kami berdua tak akan bisa meloloskan diri.
" Maka waktu ditanya Sun-popoh, dengan suara keras ia segera menjawab: "Popoh, biarkan mereka membunuh diriku saja, Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan engkau, lekas engkau pergi saja dari sini.
" Mendengar kata2 anak yang kepala batu ini, pula selalu memikirkan keselamatan dirinya, keruan Sun-popoh semakin sayang dan kasihan pada Nyo Ko.
"Tidak, biar Popoh ikut bersama kau mati di sini, supaya para imam busuk ini merasa puas," demikian jawabnya dengan suara lantang.
Habis ini, mendadak ia membentak sekali: "Kena !" Se-konyong2 ia ulur tangannya, pergelangan tangan dua imam segera kena di cekalnya, waktu ia menekuk dan memuntir tangan orang, tahu2 kedua pedang imam2 itu sudah berpindah tangan, telah kena direbut Sun-popoh.
"Kau berani tidak melabrak imam2 busuk ini, nak ?" tanya Sun-popoh sambil memberikan sebatang pedang rampasannya itu kepada Nyo Ko.
"Sudah tentu aku tak takut," sahut Nyo Ko.
"Cuma sayang di sini tiada orang luar yang menyaksikan kejadian ini.
" "Orang luar apa ?" tanya Sun-popoh tak mengerti.
"Bukankah nama Coan-cin-kau tiada bandingannya di seluruh jagat ini ?" kata Nyo Ko.
"Kalau cara mereka menghina dan mengeroyok seorang nenek dan satu anak kecil seperti sekarang ini tiada orang luar yang menyiarkan kejadian ini, bukankah sangat sayang ?" Nyata meski usia Nyo Ko masih muda, tetapi ia sangat cerdik, tadi ia mendengar Sun-popoh adu mulut dengan Thio Ci-kong, segera ia tahu di mana letaknya titik berat perdebatan mereka, maka dengan sengaja ia mengolok-olok nama baik Coan-cin-kau.
suaranya memangnya nyaring dan melengking sebagaimana suara anak2, maka kata2-nya tadi semuanya dapat didengar para imam yang berada dipendopo itu hingga ada sebagian besar merasa malu diri oleh sindiran itu, mereka pikir kalau harus mengeroyok seorang nenek dan seorang anak, sesungguhnya hal ini memang tidak patut.
"Biar aku pergi melaporkan pada Ciangkau Cosu (guru besar pejabat ketua) dan minta petunjuknya," segera terdengar ada diantara mereka yang berbisik2.
Akan tetapi Thio Ci-kong ternyata berpikir lain, ia sudah terluka oleh Am-gi di pundaknya, ketika anak panah hendak dia cabut, tiba2 dapat diketahui bahwa ujung anak panah itu ternyata berujung pancing yang membalik, kalau sudah nancap, semakin hendak dicabut semakin terasa sakit pula.
Karenanya ia menjadi kuatir kalau anak panah itu berbisa, ia pikir kalau tidak menawan wanita tua ini dulu dan menggeledah obat pemunahnya, mungkin jiwaku bisa melayang.
"Tidak, tangkap dia lebih dulu, kemudian baru lapor Ciangkau Cosu dan minta keputusan-nya," begitulah dengan cepat ia mencegah, Lalu dengan suara keras ia membentak lagi: "Hayo, para Sute,maju bersama dan tawan dia !" Akibat pikiran Thio Ci-kong yang sesat inilah, kelak terlalu menimbulkan banyak peristiwa2, sebab tatkala itu Ma Giok sendiri sedang bertapa disuatu gubuk yang didirikan di atas bukit di belakang Tiong-yang-kiong yang jauhnya belasan li, maka semua urusan keagamaan telah diserahkan pada In Ci-peng.
Apabila Ma Giok sendiri tahu Sun-popoh menerjang masuk istana mereka itu, tentu ia selesaikan urusan itu dengan kata halus dan mencegah anak muridnya berbuat kurang hormat pada orang tua.
Tetapi sayang ia tidak keburu mendapat tahu, sedang Hek Tay-thong yang waktu jtu berada di Tiong-yang-kong, karena tabiatnya juga keras, maka terjadilah drama yang membawa ekor panjang ini.
Begitulah, sementara para imam digerakan Thio Ci-kong mengerubut maju, lambat laun jaring2 Pak-tau-tin mereka mulai sempit, tampaknya dengan segera Sun-popoh akan tertawan hidup2 oleh mereka.
Tak terduga, meski tujuh imam itu mendesak sampai jarak antara tiga langkah lagi dari orang tua ini, namun Sun-popoh masih bisa menjaga diri dengan rapat luar biasa, bagaimanapun mereka menyerang tetap tak mampu maju lebih dekat lagi.
Kalau Pak-tau-tin ini langsung dipimpin Thio Ci-kong sendiri dan ikut bergerak sebenarnya masih bisa banyak berubah pula siasat mengepungnya, tapi karena Ci-kong terluka pundaknya, ia kuatir anak panah itu berbisa, kalau dia bergerak, mungkin bekerjanya racun akan bertambah cepat, maka dia hanya berdiri disamping sambil memberi pe-tunjuk2 saja, dan karena dia sendiri tidak maju.
Dengan sendirinya daya tekanan barisan bintang2 pereka menjadi kurang kuat.
Begitulah sesudah lama masih belum bisa kalahkan orang, pelahan para imam itu menjadi kelabakan sendiri.
Dalam pada itu mendadak terdengar Sun-popoh menggertak sekali, tiba2 ia lemparkan pedang di tangannya terus menyerobot maju selangkah, tahu2 ia menerobos di bawah sinar pedang dan secepat kilat berhasil menjamberet dada seorang imam muda, berbareng imam itu ia angkat pula.
"lmam busuk, sekarang kalian mau beri jalan atau tidak ?" teriak Sun-popoh murka.
Karena kawannya tertawan secara tak ter-duga2, maka seketika imam2 yang lain jadi tertegun.
Tetapi pada saat itu juga tiba2 dari belakang imam2 Coan-cin-kau itu menyerobot kelus satu orang, sekali geraki tangannya, dengan Kim na-jiu-hoat (ilmu cara mencekal dan menangkap mendadak ia menyanggah lengan Sun-popoh, sebelum Sun-popoh bisa melihat jelas rupa orang yang datang mendadak ini atau sudah terasa olehnya pergelangan tangan menjadi pegal linu, tahu imam muda yang dia tawan tadi kena direbu orang itu, menyusul lagi segera ada angin santa menyamber dari depan, nyata orang itu telah menambahkan sekali pukulan yang mengarah ke muka Sun-popoh.
"Cepat benar gerak pukulan orang ini," diami Sun-popoh membatin, Oleh karenanya secepat kilai pula ia balas dengan pukulan juga.
Kedua telapak tangan saling bentur hingga bersuara, nyata Sun-popoh sendiri tergetar mundur setindak.
Orang itu hanya tergetar mundur juga, tetapi hanya menggeser sedikit saja, habis ini, pukulan kedua kalinya segera dikirim lagi tanpa berhenti dahulu.
Seperti tadi, kembali Sun -popoh angkat tangannya menangkis, dan karena saling beradunya tangan, kembali Sun-popoh tergetar mundur setindak pula, sebaliknya orang itu malah bisa melangkah maju sedikit, lalu disusul lagi dengan pukulan yang ketiganya.
Demikianlah secara susul-menyusul dan satu lebih cepat dari yang lain, ber-runtun2 orang itu menyerang tiga kali, dan Sun-popoh beruntun terdesak mundur tiga tindak, karenanya orang tua ini sempat memandang wajah penyerangnyai ketika pukulan keempat kalinya dilontarkan orang itu pula, kini Sun-popoh sudah membelakangi tembok, ia sudah kepepet dan tiada jalan mundur lagi.
Tetapi pukulan sekali ini tidak penuh dikeluarkan oleh orang itu, begitu saling tempel dengan tangan Sun-popoh yang menangkisnya segera dengan suara lantang ia bersuara: "Popoh, hendaklah kau memberikan obat penawarnya dan tinggalkan anak ini saja !" Waktu Sun-popoh menegasi maka tertampaklah olehnya orang ini rambut alisnya sudah putih semua, air mukanya kuning hangus, siapa lagi dia kalau bukan Hek Tay-thong yang siang harinya telah usir tawonnya dengan asap obor itu.
Sun-popoh menyadari kepandaian dan keuletan imam tua ini masih di atas dirinya, jika tenaga pukulan ke-empat kalinya ini dilontarkan penuh, mungkin dirinya tidak kuat menahan lagi, Akan tetapi wataknya yang keras itu tidak meng-idzinkan dia menyerah mentah2.
"Kau ingin aku tinggalkan bocah ini, untuk itu harus kau bunuh nenekmu dahulu," demikian ia membentak.
Hek Tay-thong tahu orang tua ini mempunyai hubungan baik dengan mendiang gurunya, maka dia tak ingin mencelakainya, tenaga pukulannya masih dia tahan dan tidak dilontarkan.
"Kita bertetangga selama puluhan tahun, untuk apa harus cekcok oleh karena satu anak kecil saja ?" ia berkata dengan halus.
Akan tetapi Sun-popoh ternyata tidak gampang diajak berunding.
"Hm," demikian jawabnya dengan menjengek, "memangnya aku datang kesini dengan maksud baik mengantar obat, jika tak percaya kau boleh tanya anak muridmu, apa aku bohong tidak ?" Karena keterangan ini, segera Hek Tay-thong hendak menoleh buat bertanya, Diluar dugaannya se-konyong2 Sun-popoh menggeraki sebelah kaki-nya, tahu2 melayang terus menendang ke bagian selangkangannya.
Tendangan ini ternyata sangat keji, pula datangnya tanpa suara dan tiada tanda sama sekali, tubuhnya tidak bergerak, Kun-nya juga tidak bergoyang tetapi tahu2 kaki sudah melayang tiba, disinilah letak lihaynya "Kun-lay-tui" atau ilmu tendangan kaki dari balik Kun itu.
Karenanya, sewaktu Hek Tay-thong mengetahui dirinya diserang, sementara kaki Sun-popoh sudah melayang sampai di dekat perutnya, sekali pun dengan cepat ia bisa melompat mundur, namun pasti tidak keburu Iagi.
Akan tetapi Hek Tay-thong bukan anak murid Tiong-yang Cinjin yang diakui ahli silat nomor satu di seluruh kolong langit ini kalau dengan begitu ia kena diserang, sudah banyak pula pertem-puran2 besar pernah dia hadapi, maka dalam keadaan sangat berbahaya itu, tanpa pikir lagi ia kumpulkan tenaga pada tangannya terus mendorong ke depan, karena itu Sun-popoh tak kuat menahan hingga kena disurung mundur.
Tatkala itu punggung Sun-popoh sudah mepet pagar tembok, ketika mendadak didorong orang dengan kuat, ia menjadi tak tahan, terdengarlah suara "bluk" yang keras disusul dengan berhamburnya bata dan kapur pasir tembok yang gugur, tanpa ampun lagi Sun-popoh muntah darah segar, habis ini ia terkulai ke tanah untuk selanjutnya tak sadarkan diri lagi.
Tidak kepalang kejut Nyo Ko melihat orang tua yang disayanginya itu jatuh semaput, dengan cepat ia tengkurap menutupi badan Sun-popoh yang sudah menggeletak tak berkutik itu.
"Kalau kalian hendak bunuh orang, bunulah aku saja, siapapun tak boleh mencelakai Popoh !" demikian teriaknya.
Rupanya suara teriakan ini masih bisa didengar oleh Sun-popoh, orang tua ini telah pentang sedikit matanya dan unjuk senyumnya, "Ya, nak, biar kita berdua mati bersama di sini," katanya dengan suara lemah.
Tiba2 Nyo Ko pentang kedua tangannya melindungi Sun-popoh, dengan membelakangi Hek Thay-thong dan lain2, sedikitpun ia tidak hiraukan keselamatan dirinya sendiri lagi.
Dengan serangannya tadi, Hek Tay-thong sesungguhnya telah menggunakan pukulan berat, nampak lawannya terkulai, dalam hati ia berbalik sangat menyesal, dengan sendirinya tidak nanti ia susulkan serangan lain pula, maka segera ia ingin mengetahui keadaan luka Sun-popoh dengan maksud akan memberi obat untuk menyembuhkan lukanya, tapi karena dialangi tubuh Nyo Ko yang tengkurap hingga keadaan si nenek tak dapat di-lihatnya.
"Nyo Ko, menyingkir kau, biar aku periksa keadaan Popoh," dengan suara lembut ia coba membujuk.
Akan tetapi mana Nyo Ko mau menurut, bahkan dengan kedua tangannya ia malah merangkul Sun-popoh dengan kencang.
Hek Thay-thong ulangi lagi bujukannya sampai beberapa kali dan Nyo Ko masih tetap tidak gubris padanya, akhirnya ia menjadi gelisah, ia tak sabar lagi, segera ia tarik punggung Nyo Ko.
"lmam busuk, tak boleh kau mencelakai Popoh," segera Nyo Ko ber-teriak2.
Dalam keadaan ribut2 itu, se-konyong2 terdengar suara orang menyindir dari belakang mereka: "Hm, menganiaya nenek dan anak kecil terhitung orang gagah macam apakah ini ?" Suara itu begitu ketus dan dingin hingga hati Hek Tay-thong se-akan2 tergetar, cepat ia menoleh, maka tertampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik tahu2 sudah berdiri di am-bang pintu pendopo besar mereka, Seluruh badan gadis ini mengenakan pakaian berkabung yang putih mulus, entah mengapa sinar matanya itu se-akan2 menyorotkan rasa dingin yang tak terhingga bagi orang yang menatap padanya.
Hek Tay-thong kaget oleh munculnya orang secara mendadak ini ia tahu, apabila genta tanda bahaya Tiong-yang-kiong mereka berbunyi maka dalam jarak sejauh belasan li yang terdapat penjagaan rapat luar biasa itu segera akan terdengar, akan tetapi datangnya gadis jelita ini sebelumnya ternyata tiada seorangpun yang memberitahu dengan tanda bahaya, entah cara bagaimana gadis jelita ini masuk secara diam2 tanpa konangan.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah nona " Ada keperluan apakah ?" segera ia menanya.
Akan tetapi gadis itu tidak menjawab melainkan melototinya sekali sambil mendekati Sun-popoh yang menggeletak tak berdaya itu.
Sementara itu rupanya Nyo Ko sudah tahu siapa gerangan yang datang ini, ia telah mendongak dan dengan suara pilu ia berkata: "Liong-kokoh, Sun-popoh telah dipukul mati oleh imam jahat ini!" Kiranya gadis jelita berbaju putih ini memang betul Siao-liong-li adanya, Tadi waktu Sun-popoh membawa Nyo Ko meninggalkan kuburan, lalu masuk ke kuil imam Coan-cin-kau dan bergebrak dengan mereka, semua ini selalu dikuntit Siao-liong-li dari belakang dan disaksikannya dengan jelas, ia menduga tidak nanti Hek Tay-thong turun tangan yang mematikan, maka selama itu ia tidak unjuk diri, siapa tahu keadaan se-konyong2 berubah hingga akhirnya Sun-popoh terluka parah, ia bermaksud menolong namun sudah tidak keburu lagi.
Dan ketika dengan mati-matian Nyo Ko berusaha melindungi Sun-popoh, kejadian inipun dapat dilihatnya, dalam hati ia pikir anak ini ternyata mempunyai jiwa jantan juga, Maka kini demi nampak anak ini berkata sambil matanya mengembeng air mata, Siao-liong-li lantas angguk2 : "Ya, setiap orang pasti akan mati, itu bukan soal apa2.
" Aneh sekali jawabannya ini, padahal sejak kecil Sun-popoh yang membesarkan dia, hubungan mereka boleh dikata laksana ibu dan anak, akan tetapi dasar watak Siao-liong-li memang dingin, ditambah lagi sejak kecil ia sudah berlatih Lwe-kang, sudah dilatihnya hingga tanpa emosi sedikit pun, sama sekali ia tidak pernah mengunjuk rasa suka-duka ataupun senang dan marah.
Memang luka Sun-popoh yang berat itu terang sukar disembuhkan kembali, dengan sendirinya terasa pilu juga olehnya, akan tetapi rasa duka-pilu ini boleh dikatakan hanya sekilas saja berkelebat di lubuk hatinya untuk kemudian lantas lenyap, air muka gadis ini masih tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.
Di lain pihak, demi mendengar Nyo Ko memanggil gadis jelita itu sebagai "Liong-kokoh" (bibi Liong) maka tahulah Hek Tay-thong bahwa gadis cantik ayu yang berada di hadapannya ini bukan lain adalah Siao-liong-li yang pernah mengusir Pangeran Hotu dari Monggol tanpa unjuk diri itu, keruan ia jadi lebih2 heran.
Hendalah diketahui bahwa sejak Pangeran Hotu ngacir dari Cong-lam-san, peristiwa ini sekejap saja lantas tersiar luas di kalangan Kangouw, meski setapak saja Siao-liong-li belum pernah menginjak kakinya ke bawah gunung Cong-lam-san, akan tetapi namanya ternyata sudah tersohor di dunia persilatan dan disegani setiap orang, Begitulah dengan pelahan Siao-liong-li berpaling dan memandang para imam Coan-cin-kau itu satu per satu, kecuali Hek Tay-thong yang Lwe-kangnya terlatih lebih dalam hingga hatinya lebih tenang tidak gampang terpengaruh maka imam2 yang lain semuanya melihat kedua mata bola gadis jelita ini se-akan2 sebening dan mengkilap seperti air, tetapi memancarkan sinar dingin menusuk seperti es, karenanya tak tertahan mereka sama bergidik seperti orang kedinginan.
"Bagaimana keadaanmu, Popoh ?" tiba2 Siao-liong-li tanya Sun-popoh sambil berjongkok untuk memeriksa lukanya.
"Nona," sahut Sun-popoh dengan menghela napas lemah, "selama hidupku tiada pernah aku memohon sesuatu padamu, sekalipun memohon, kalau sudah kau tolak, tetap kau tolak," Siao-liong-li adalah gadis yang luar biasa pintarnya, maka demi mendengar lagu perkataan orang, ia lantas tahu kemana orang hendak ber-kata.
"Dan sekarang apa yang hendak kau mohon padaku ?" tanyanya kemudian sambil mengerut kening.
Sun-popoh angguk2, ia tuding Nyo Ko, tetapi seketika tak sanggup mengucapkan sesuatu.
"Kau ingin aku menjaga dia ?" tanya Siao-liong-li lagi.
"Ya," jawab Sun-popoh dengan sisa tenaga yang masih ada padanya.
"Kau harus menjaga dia seumur hidupnya, jangan kau biarkan dia dihina orang barang sedikitpun.
Bagaimana, kau sanggup tidak ?".
"Menjaga dia seumur hidup ?" mengulangi Siao-liong-li dengan ragu-ragu.
"Ya," kata Sun-popoh lagi dengan suara keras, "Nona, jika aku si-tua ini tidak mati, akupun akan menjaga kau seumur hidup, Di waktu kecil-mu, makan, tidur, mandi, ngompol, semua ini apa bukan nenek sendiri yang mengerjakannya " Dan semua ini balasan apa yang pernah kau limpah-kan padaku ?" Karena kata2 Sun-popoh ini, Siao-liong-li meng-gigit2 bibir, agaknya pertentangan batinnya sedang bekerja hebat.
"Baiklah, aku menyanggupi permohonanmu," katanya kemudian tegas.
Maka puaslah Sun-popoh oleh jawaban ini, dari mukanya yang jelek itu tertampak senyuman lembut, matanya kemudian menatap Nyo Ko, rupanya seperti ada sesuatu yang hendak dia katakan pada bocah itu, tetapi napasnya sudah memburu hingga tak sanggup bersuara.
Nyo Ko yang cerdik itu tahu maksud si orang tua, maka dengan cepat ia tempelkan telinganya ke mulut orang.
"Popoh, adakah sesuatu yang hendak kau katakan padaku ?" tanyanya dengan suara pelahan.
"Mepetlah sedikit Iagi," pinta Sun-popoh.
Betul juga Nyo Ko berjongkok terlebih rendah hingga kupingnya menempel dengan bibir orang.
"Baju kapas yang ku.
. . . pakai ini harus kau simpan baik2, di.
. . di. . . " demikian kata Sun-popoh dengan suara lemah sekali hingga akhirnya napasnya tak sampai, maka berhenti-lah dia, mendadak ia menyemburkan darah segar hingga seluruh muka Nyo Ko dan banjunya basah kuyup oleh darah, habis ini Sun-popoh tutup matanya dan menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Popoh, Popoh !" Nyo Ko menjerit-jerit, ia menggelendot di atas badan orang tua yang sudah tak bernyawa lagi itu dan menangis ter-gerung2.
Tangisan Nyo Ko ini betul2 mengharukan sekali dan timbul dari hatinya yang murni, para imam yang mendengarkan itu mau-tidak-mau ikut tergerak juga perasaannya, lebih2 Hek Tay-thong, ia menjadi menyesal tidak kepalang.
"Popoh," kata Hek Tay-thong kemudian sambil mendekati jenazah Sun-popoh dan memberi hormat, "tak disengaja aku telah menewaskan kau, hal ini sesungguhnya bukan tujuanku, Dosa utang jiwa sudah menimpa pada diriku, mana berani aku mengelakannya.
Harap mangkatlah engkau dengan baik dan tenang !" Mendengar kata2 orang yang se-akan2 sedang sembahyang ini, Siao-liong-li hanya berdiri saja tanpa buka suara, Sehabis Hek Tay-thong berkata, kemudian mereka berdua lantas saling berhadapan dan saling pandang.
"Bagaimana " Kau tidak lantas bunuh diri, apa perlu aku sendiri yang turun tangan ?" kata Siao-liong-li tiba2 dengan mengkerut kening.
Hek Tay-thong terhitung imam yang beribadat tinggi, akan tetapi demi mendengar kata2 Siao-liong-li tadi, tidak urung ia melengak juga.
"Ha, apa ?" ia menegas.
"Apa ?" sahut Siao-liong-li mengejek "Hm, bunuh orang harus ganti jiwa, maka lekaslah kau bunuh diri supaya urusan menjadi selesai, dengan begitu aku lantas ampuni jiwa semua orang di dalam kuilmu ini.
" Keruan kata2 yang luar biasa ini seketika membikin suasana menjadi gempar, sebelum Hek Tay-thong buka suara pula atau para imam yang lain sudah pada ribut, sementara itu di pendopo depan sudah berkumpul imam Coan-cin-kau sebanyak tiga-empat puluh orang, seketika juga mereka pada balas mendamperat be-ramai2 atas ucapan Siao-liong-li yang tak pantas tadi.
"Eh, nona cilik, lekas kau pergi saja, kami tidak akan merintangi kau lagi!" "Hm, perempuan sekecil ini, berani betul kau mengoceh seenaknya !" Begitulah antara lain kata2 yang terdengar diucapkan para imam itu.
Mendengar kawannya mengeluarkan kata2 kurang hormat, lekas Hek Tay-thong memberi tanda supaya diam.
Di lain pihak Siao-liong-li ternyata anggap sepi saja berisik imam2 tadi, dengan pelahan ia keluarkan segulung sutera putih yang halus tipis dari dalam bajunya.
Semua orang menjadi heran dan saling pandang, mereka tidak tahu hendak digunakan apakah sutera putih ini.
Tetapi lantas tertampak Siao-liong-li menjereng kain suteranya itu, ia masukkan potongan kain putih itu pada tangan kirinya, lalu tangan yang kanan dipakainya pula kain putih yang lain.
, Kiranya kain sutera putih itu adalah sepasang sarung tangan.
"Nah, imam tua, kalau kau tamak hidup dan takut mati, tak berani kau bunuh diri, maka bolehlah lolos senjatamu sekarang !" dengan suara pelahan Siao-liong-li lantas menantang.
Hek Tay-thong tersenyum sedih atas tantangan Siao-liong-li ini.
"Sudahlah, aku telah salah mencelakai Sun-popoh, maka tak ingin bertengkar dengan kau lagi, bolehlah kau membawa Nyo Ko pergi dari kuil ini," katanya kemudian.
Menurut jalan pikiran Hek Tay-thong.
meski Siao-liong-li bisa mengusir pangeran Hotu hingga namanya terkenal dikolong langit, tapi apapun juga mengandalkan kekuatan tawon putih piaraannya, dalam usia semuda ini, sungguhpun ilmu silatnya mendapatkan ajaran guru kosen juga tidak akan letih kuat dari pada Sun-popoh.
Oleh karena itu, kalau dia mengidinkan Siaolliong-Ii pergi membawa Nyo Ko, boleh dikatakan ia ingin urusan ini menjadi damai dan tidak terjadi percekcokan lagi, jadi sesungguhnya ia sudah berlaku murah hati.
Siapa tahu, kata2nya tadi seperti tidak didengar oleh Siao-Iiong-Ii, ketika tangan kiri si gadis bergerak, se-konyong2 seutas kain sutera putih melayang terus menyamber ke muka Hek Tay-thong.
Gerak serangan ini datangnya terlalu cepat dan tanpa suara, sebelumnya pun tiada tanda2 Siao-liong-ii hendak melontarkan serangan, di bawah sorotan cahaya api lilin, ujung selendang sutera itu tertampak pula terikat dengan sebuah bola kecil berwarna emas.
Melihat tipu serangan orang yang begitu cepat, pula senjata yang dipakai ini aneh luar biasa, seketika Hek Tay-thong menjadi bingung, ia tidak tahu cara bagaimana harus menangkisnya, Tetapi usianya sudah lanjut, dengan sendirinya segala sesuatu dia lakukan dengan sangat tenang, meski ia yakin kepandaian sendiri lebih tinggi beberapa kali lipat dari lawannya, namun tak berani juga ia sambut serangan tadi, maka dengan mengegos saja ia berkelit kekiri.
Di luar dugaan selendang sutera Siao-liong-li yang membawa senjata di bagian ujung itu ternyata bisa memutar di tengah udara, ketika Hek Tay-thong berkelit kekiri, tahu2 selendang sutera inipun ikut mengarah ke kiri, maka terdengarlah suara "ting-ting-ting" tiga kali, bola kecil yang terikai pada ujung selendang itu tiba2 berbunyi sendirinya tiga kali terus menutul ke mukanya mengarah tiga tempat Hiat-to.
Cara menyerang tiga tempat sekaligus ini, cepat dan jitu, sekalipun Hek Tay-thong sudah banyak berpengalaman, belum pernah juga dilihat nya, apalagi diantara serangan itu terseling pula bunyi "ting-ting" yang nyaring, meski tidak keras suaranya, namun aneh sekali hingga hati orang terguncang.
Dalam kagetnya oleh perubahan serangan ini, lekas2 Hek Tay-thong mendayongkan tubuhnya ke belakang, ia keluarkan gerakan "thi-pan-kio" (jem-batan papan besi) dan membiarkan bola diujung selendang itu menyamber lewat di atas hidungnya, Tetapi ia kuatir pula bola emas itu mendadak mengetok lagi ke bawah, maka sewaktu tubuhnya mendoyong ke belakang tadi, mendadak pula ia geser tubuh kesamping, ilmu silat Hek Tay-thong sudah terlatih sampai tingkatan yang bisa dilakukan sekehendak hatinya, maka gerakan ke samping diwaktu tubuhnya mendoyong itu tidak sulit bagi-nya.
Karena gerakan ini rupanya tidak tersangka juga oleh Siao-liong-li, maka terdengarlah suara "ting-" sekali, bola emasnya ternyata benar telah mengetok tanah.
Dengan bola emasnya ini, biasanya Siao-1iong-li bisa mengetok Hiat-to orang secara ber-tuntun2 dan susul menyusul dengan jitu sekali, kini melihat Hek Tay-thong sanggup meluputkan diri di waktu terancam bahaya, mau-tidak-mau dalam hati Siao-liong-li memuji ketangkasan imam Coan-cin-kau yang hebat ini.
Ketika Hek Tay-thong bisa berdiri tegak lagi, tertampaklah mukanya berubah kecut.
Di antara para imam yang menyaksikan gebrakan tadi, semuanya juga menjadi geger, Para imam itu kalau bukan anak murid Hek Tay-thong tentu adalah murid-murid keponakannya, terhadap ilmu silatnya biasanya boleh dikata kagum tidak terhingga, tapi demi melihat caranya menghindari serangan orang, meski belum sampai terluka, namun jelas mengelak dengan ter-gopoh2, terang dalam keadaan terdesak.
Dengan kuatir segera ada empat imam lain mengayunkan pedang mereka untuk merintangi Siao-liong-li.
"Ya, memangnya sejak tadi seharusnya kalian gunakan senjatamu !" terdengar Siao-liong-li menyambut.
Habis ini, begitu kedua tangannya bergerak, tahu2 kedua ujung selendang suteranya seperti ular perak saja me-lingkar2 ke depan dan terdengarlah bunyi suara "ting-ting" dua kali, bahkan menyusul berbunyi pula dua kali, tahu2 tempat "tay-yan-hiat" di pergelangan tangan keempat imam itu telah kena ditutuk semua oleh bola emas, senjata merekapun sama jatuh ke tanah hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring.
Karena serangan serentak yang mematahkan semua tusukan empat imam itu, keruan imam2 yang lain menjadi jeri dan ternganga, tiada lagi yang berani coba2 ikut turun tangan.
Semula Hek Tay-thong menyangka Siao-liong-li tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, siapa tahu, hanya sekali gebrakan saja dirinya sudah hampir kecundang, tanpa terasa timbul juga rasa marah-nya, segera dari tangan salah seorang anak muridnya ia ambil sebatang pedang, ia hendak tempur orang lagi dengan senjata, "llmu kepandaian Nona ternyata hebat, nyata Pinto (imam miskin, sebutan diri sendiri kaum Tosu) telah kurang hormat dan salah duga, Baik-lah, mari, kini biar Pinto minta petunjuk beberapa gebrakan yang hebat," demikian ia berkata.
Siao-liong-li tidak menjawab melainkan hanya angguk2, habis ini kembali terdengar "ting-ting" dua kali, selendang suteranya tiba2 menyambet dari kiri ke kanan.
Kalau diurut menurut tingkatan, sebenarnya Hek Tay-thong masih lebih tinggi setingkat daripada Siao-liong-li, maka waktu mulai bergebrak, seharusnya Siao-liong-li menghormati kaum yang lebih tua dan mengalah dulu diserang tiga kali.
Akan tetapi kesemua ini ternyata tidak dihiraukan olehnya, begitu maju malah dia lantas menyerang lebih dulu dengan tipu2 yang mematikan, segala peraturan Bu-lim atau dunia persilatan ternyata dianggap sepi saja.
"Meski ilmu silat gadis ini mempunyai titik kelihayan yang tersendiri, tapi dia tidak paham apa2 tentang etika, terang dia kurang berpengalaman dalam pertempuran, meski kepandaiannya tinggi, tidak nanti melebihi aku," demikian Hek Tay-thong berpikir.
Karena itu, segera pedangnya bergerak, Kiam-hoat dari Coan-cin-pay yang tiada bandingannya itu segera dikeluarkan, ia layani samberan selendang sutera putih Siao-liong-li dengan sama cepat dan sama lihaynya.
Imam2 yang lain pada menonton disamping dengan penuh perhatian, di bawah sinar lilin yang ber-goyang2, kelihatanlah satu gadis jelita berbaju putih sedang menempur seorang imam tua dengan jubah kelabu, yang satu cantik molek, yang lain tua ubanan, pertarungan mereka makin lama makin seru.
Sebenarnya kalau soal Kiam-hoat, karena Hek Tay-thong sudah melatih ilmu pedang selama puluhan tahun, di dalam Coan-cin-kau dia terhitung jago nomor tiga atau empat, tetapi kini sudah beberapa puluh jurus saling gebrak dengan Siao liong-li, sedikitpun ternyata dia tak bisa memperoleh keunggulan Siao-liong-li memainkan selendang suteranya, begitu cepat dan hidup seperti naga sakti, pula bola emas yang terikat pada ujung selendang itu tiada hentinya mengeluarkan suara "ting-ting" yang nyaring, suara ini lebih mengacaukan perasaan lawan.
Setelah lama masih belum bisa mengalahkan orang, meski Hek Tay-thong sendiri juga belum tentu bisa kalah, tapi bila teringat dirinya sudah terkenal sebagai jago terkemuka di kalangan Bu-lim, jika harus bergebrak dua-tiga ratus jurus dengan gadis jelita ini, sungguhpun achirnya menang toh pasti kehilangan pamor juga.
Oleh karena itu ia menjadi gopoh, begitu Kiam-hoatnya berubah, ia menyerang terlebih lambat malah.
Aneh bahwa tiap gerak serangannya jauh lebih lambat dari tadinya, akan tetapi sebaliknya daya tekanan pedangnya justru bertambah beberapa kali lipat lebih kuat.
Kalau tadi pedangnya selalu harus menghindari gubetan selendang sutera orang, tapi kini setelah daya tekanannya bertambah, ia ber-berbalik mengincar buat menabas bola emas di ujung selendang itu.
Setelah beberapa jurus lagi, tiba2 terdengar suara "cring" yang keras, bola emas Siao-liong-li saling bentur dengan pedang, Tetapi Hek Tay-thong lebih ulet dan lebih kuat, pedangnya membikin bola emas orang mendal ke atas dan terpental balik mengarah muka Siao-liong-li sendiri.
Sudah tentu kesempatan baik ini tidak dilewatkan oleh Hek Tay-thong, berbareng ia kirim serangan yang lain, diiringi sorak sorai gembira para imam yang menonton, ujung pedangnya telah menerobos di antara kain selendang lawan terus mengarah pergelangan tangan Siao-liong-li.
Dengan, serangan ini Hek Tay-thong yakin sedikitnya lawan akan membuang kain selendangnya kalau pergelangan tangannya tidak mau tertusuk pedang.
Siapa duga Siao-liong-li justru tidak menghindari serangan itu, hanya tangannya membalik dan dengan sekali tangkap ia malah pegang senjata orang, menyusul ini lantas terdengar suara "pletak", ternyata pedang Hek Tay-thong telah patah menjadi dua.
Sungguh hebat sekali ke jadian ini hingga semua imam sama menjerit kaget, dengan cepat pula Hek Tay-thong lantas melompat mundur ke belakang sambil masih memegangi sepotong pedangnya, ia berdiri terkesima.
Kiranya sarung tangan yang dipakai Siao-liong-li itu terbuat dari benang emas putih yang paling halus tetapi sangat ulet pula, walaupun tipis dan lemas, tapi tidak mempan oleh senjata2 biasa, sekalipun golok pusaka atau pedang tajam, sukar juga untuk menembusnya.
Sudah tentu hal ini tak diketahui Hek Tay-thong, ia menjadi bingung karena mendadak orang berani tangkap senjatanya dan dengan tenaga tekukan yang tepat telah mematahkan pedangnya secara mentah2.
Dalam keadaan kecundang sedemikian ini, dengan muka pucat Hek Tay-thong sampai tak bisa berpikir bahwa pada sarung tangan itulah terletak khasiat segala ketangkasan Siao-liong-li, ia malah mengira gadis ini betul2 sudah dapat berlatih semacam ilmu yang kebal dan tak mempan segala macam senjata.
"Bagus, bagus, baik Pinto mengaku kalah !" demikian katanya kemudian dengan suara ter-putus2.
"Nah, nona, bolehlah kau membawa pergi anak ini".
"Ha, sesudah kau mencelakai Sun-popoh, lalu bicara seenaknya, sekali ngaku kalah lantas anggap beres begini saja ?" Siao-liong-li mengejek.
"Haha, memang betul katamu, aku ini betuI2 sudah pikun !" kata Hek Tay-thong sambil mendongak.
Habis ini ia angkat pedangnya yang sudah patah itu terus menggorok kelehernya sendiri dengan maksud membunuh diri.
Akan tetapi sebelum pedang menempel lehernya, mendadak terdengar suara "creng" yang nyaring, tangannya tergetar keras, dari luar pagar tembok mendadak menyamber tiba sebuah mata uang hingga pedangnya terbentur jatuh.
Dengan tenaga Hek Tay-thong, bukanlah soal gampang orang hendak pukul jatuh senjatanya dengan sesuatu benda, Dalam terkejutnya itu, segera pula Hek Tay-thong tahu siapa yang telah datang ia mengenali tenaga sambitan mata uang itu.
"Khu-suheng, aku tak becus telah mencemarkan nama baik golongan kita, maka terserahlah padamu sajalah !" serunya kemudian sambil memandang ke arah datangnya mata uang tadi.
"Hek-sute, kalah-menang adalah soal biasa, kalau sekali mengalami kekalahan lalu mesti gorok leher sendiri, maka suhengmu ini sekalipun punya delapanbelas kepala tentu sudah habis tergorok," demikian terdengar orang menjawab dari luar kelenteng dengan tertawa.
Ketika suara itu berhenti segera pula orangnya sudah muncul, dengan pedang terhunus Khu Ju-ki sudah melompat masuk melintasi pagar tembok itu.
Watak Khu Ju-ki paling suka blak2an, maka begitu datang segera pedangnya menusuk ke lengan kiri Siao-liong-li sambil berseru: "Tiang-jun-cu Khu Ju-ki minta petunjuk pada tetangga terhormat kita.
" "Ha, kau imam tua ini terhitung suka terus terang juga," sahut Siao-liong-li.
Berbareng itu, tangan kirinya menjulur, kembali ia dapat menangkap pula pedang Khu Ju-ki yang menusuk itu.
"Awas, Suheng !" teriak Hek Tay-thong kuatir karena pengalamannya tadi.
Akan tetapi sudah terlambat, ketika Siao-liong-li gunakan tenaga menekan, Khu Ju-ki pun salurkan tenaga ke batang pedangnya, karena itu terjadilah tenaga lawan tenaga, keras lawan keras, maka terdengarlah suara "krak", kembali pedang patah menjadi dua, tetapi tangan Siao-Iiong-li tidak urung tergetar hingga pegal linu, dada pun terasa rada sakit.
Cukup sekali gebrakan ini saja Siao-liong-li sudah tahu bahwa kepandaian Khu Ju-ki masih jauh di atas Hek Tay-thong, sedang ilmu kepandaian sendiri "Giok-li-cin-keng" masih belum sempurna, terang tiada harapan buat menang, maka tanpa pikir lagi ia buang pedang patah yang disebutnya itu, lalu dengan cepat ia kempit mayat Sun-popoh dan tangan lain pondong Nyo Ko, begitu kedua kakinya menutul, tiba2 tubuhnya mencelat ke atas, dengan enteng sekali seperti daun saja ia melayang keluar dari pagar tembok.
Mendadak nampak Ginkang (ilmu entengi tubuh) orang yang hebat sekali ini, Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong hanya saling pandang saja dengan terperanjat Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong sudah saling gebrak dengan Siao-liong-li tadi, mereka bisa ukur ilmu silat Siao-liong-li yang meski tinggi, tapi belum pasti bisa menangkan mereka, namun ilmu entengi tubuh yang barusan dilihatnya itu sungguh belum pernah mereka saksikan selama ini.
"Sudahlah, sudahlah!" kata Hek Tay-thong dengan menghela napas panjang penuh menyesal.
"Hek-sute, percuma saja kau berlatih diri dalam agama selama sekian tahun, tapi sedikit ke cundang saja kau lantas putus asa ?" ujar Khu Ju-ki.
"Harus kau ketahui bahwa saudara2 kita yang dikirim ke Soasay sekali ini, sama juga telah mengalami kekalahan habis2an.
" "Hah, kenapa " Lalu ada yang terluka tidak ?" tanya Hek Tay-thong kaget oleh berita sang Suheng.
"Cerita ini terlalu panjang, marilah kita menemui Ma-suheng dahulu," sahut Khu Ju-ki.
Kiranya sesudah melukai beberapa orang di-daerah Oh-tjiu, Kanglam, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu mengerti terlalu banyak onar yang dia lakukan, maka ia telah menyingkir jauh ke daerah Soasay buat hindari percecokan, akan tetapi angkara murkanya ternyata tidak menjadi padam, di sana kembali dia celakai beberapa orang gagah dari Bu-lim, keruan akhirnya bikin gusar kalangan umum hingga pemimpin Bu-lim setempat telah menyebarkan undangan mengajak kawan segolongan untuk mengeroyok Li Bok-chiu.
Di antara yang diundang itu terdapat pula Coan-cin-kau.
Tatkala itu Ma Giok telah berunding dengan Khu Ju-ki, mereka berpendapat meski Li Bok-chiu banyak melakukan kejahatan, tapi mengingat hubungan kakek gurunya dan gurunya sendiri, Tiong-yang Cinjin yang sangat erat, sedapat mungkin dibikin akur saja percecokan itu dan memberi jalan hidup baru kepada Li Bok-chiu untuk hari depan.
Oleh sebab itu, Lau Ju-hian dan Sun Put-ji lantas dikirim dahulu ke utara.
Siapa tahu Li Bok-chiu ternyata tidak mau kenal kebaikan orang dan bahkan terus saling gebrak, akhirnya Lau Ju-hian dan Sun Put-ji berdua terkalahkan di bawah tangannya.
Belakangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, kedua jago utama Coan-cin-pay ini menyusul memberi bantuan, Tetapi Li Bok-chiu ternyata sangat licin, ia insaf seorang diri sukar berlawanan dengan jago2 begitu banyak, maka ia menggunakan kata2 pancingan kepada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it dan akhirnya menetapkan peraturan satu lawan satu pada hari yang tertentu.
Hari pertama yang turun bertanding adalah Sun Put-ji, tetapi diam2 Li Bok-chiu telah gunakan tipu keji, ia telah melukai tokoh wanita Coan-cin-kau itu dengan jarum berbisa yang sangat jahat itu.
Habis ini ia sendiri malah mengunjungi rumah orang untuk memberikan obat penawar racunnya, dalam keadaan demikian tidak bisa tidak Khu Ju-ki harus menerimanya.
Dan dengan begitu pula imam2 Coan-cin-kau boleh dikatakan sudah menerima budi orang, menurut peraturan Kangouw lalu mereka tidak boleh bermusuhan lagi dengan Li Bok-chiu, tentu saja mereka hanya saling pandang dan tertawa getir belaka terus pulang ke Cong-lam-san.
Syukur Khu Ju-ki buru2 pulang lebih dahulu dan tidak mengiringi Ong Ju-it pesiar ke Thay-heng-san, karenanya pada saat yang sangat tepat telah berhasil menolong jiwanya Hek Tay-thong.
Kembali bercerita mengenai Siao-Iiong-li, sesudah pondong Nyo Ko dan lain tangan merangkul mayat Sun-popoh, kembalilah mereka ke Hoat-su-jin-bong atau kuburan kuno itu.
Setelah Nyo Ko diturunkan, mayat Sun-popoh direbahkan pada dipan yang biasa buat tidur, sedang Siao-liong-li sendiri dengan bertopang dagu duduk di kursi sambil ter-menung2.
Sebaliknya Nyo Ko masih mengemblok di atas jenazah Sun-popoh dan masih menangis ter-guguk2.
"Orang sudah mati, untuk apa ditangisi ?" kata Siao-liong-li tiba2 sesudah agak lama Nyo Ko tersedu-sedan, "Hari ini kau menangisi dia, kelak kalau kau sendiri mati, entah siapa yang akan menangisi kau ?" Nyo Ko tercengang oleh kata2 Siaonliong-Ii yang terlalu menusuk perasaan ini.
Tapi bila dipikir lebih jauh, terasa ada betulnya juga, Karenanya ia menjadi makin berduka, tak tahan lagi ia menangis ter-gerung2.
Sama sekali hati Siao-liong-li tidak tergerak oleh tangisan anak itu, dengan sikap dingin saja ia menyaksikan Nyo Ko menangis, mukanya sedikitpun tidak memberi sesuatu tanda perasaan.
"Marilah kita menanam mayatnya, ikutlah padaku !" katanya kemudian sesudah agak lama, Habis ini ia angkat mayat Sun-popoh dan menuju sebelah barat.
Lekas2 Nyo Ko mengusap air matanya dengan baju, cepat ia ikut di belakang orang.
Di dalam kuburan itu tiada sinar terang sedikitpun terpaksa Nyo Ko harus pentang matanya selebar mungkin, dengan begitu lapat2 baru dia bisa melihat bayangan baju Siao-liong-li yang putih itu.
Sesudah berjalan me-Iingkar2, belok sana dan tikung sini akhirnya Siao-liong-li membuka sebuah pintu batu yang kelihatannya sangat berat, kemudian mereka masuk ke dalam sebuah kamar batu yang sangat luas.
Di sini Siao-liong-li mengeluarkan ketikan api dan menyalakan pelita minyak diatas meja batu.
Setelah ada sinar terang, segera Nyo Ko memandang keadaan kamar besar ini, tetapi mau-tidak-mau ia rada bergidik oleh suasana yang seram, ia lihat ruangan yang begini besar ternyata kosong belaka tiada isi Iain kecuali beberapa buah peti mati dari batu yg berjajar di tengah ruangan.
Waktu Nyo Ko memperhatikan ia lihat dua peti mati diantaranya tertutup rapat, sedang tiga peti lainnya tutupnya hanya dirapatkan separoh saja, dipandang dari jauh dalam peti kelihatan gelap, tidak diketahui di dalamnya ada mayat atau tidak.
"Cosu-popoh (kakek guru) tidur di dalam sini," kata Siao-liong-li sambil menuding peti mati yang pertama, lalu ia tuding peti mati kedua dan sambung lagi: "Dan Suhu tidur di sini.
" Waktu Nyo Ko lihat jari si nona menuding peti mati yang ketiga, hatinya menjadi ber-debar2, ia tidak tahu Siao-liong-li bakal bilang siapa yang tidur di situ, tapi ia lihat tutup peti itu belum dirapatkan, jika di dalamnya sudah ada isinya, bukankah itu sangat menakutkan " "Dan Sun-popoh tidur di sini," demikian ia dengar Siao-liong-li menyambung lagi.
Karena kata2 inilah baru Nyo Ko tahu bahwa peti mati itu memang kosong, diam2 ia merasa lega, Tetapi bila ia lihat di samping sana masih ada dua peti mati lagi yang kosong, tanpa terasa ia menjadi heran dan ingin mengetahui.
"Dan kedua peti yang itu, Liong-kokoh ?" tanyanya kemudian.
"Yang satu buat Suci (kakak seperguruan perempuan) Li Bok-chiu dan yang lain buat aku sendiri," sahut Siao-liong-li.
Karena jawaban ini, seketika Nyo Ko terkesima.
"Apakah Li Bok-chiu Kokoh akan kembali ke sini?" tanyanya.
"Kalau guruku sudah mengatur begini akhirnya dia pasti akan kembali," kata Siao-liong-li.
Dan sekarang ternyata masih kurang satu peti lagi, sebab guruku tidak pernah menduga kau akan datang ke sini.
" Keruan Nyo Ko kaget oleh kata2 ini.
Tidak, aku tidak perlu !" sahutnya cepat.
"Aku sudah berjanji pada Sun-popoh untuk menjaga kau seumur hidup, kalau aku tidak meninggalkan tempat ini, dengan sendirinya kaupun tetap disini," ujar Siao-liong-li.
Mendengar si nona berbicara soal mati-hidup orang seperti soal biasa saja, akhirnya Nyo Ko juga tidak takut2 lagi.
"Seumpama kau tidak perbolehkan aku keluar, tapi kalau kau sudah mati, bukankah aku dapat keluar sendiri," sahutnya kemudian.
"Kalau aku sudah bilang akan menjaga kau seumur hidup, sudah tentu aku tak akan mati lebih dulu dari pada kau," kata Siao-liong-li Keruan Nyo Ko heran, "Mana bisa ?" ia debat "Bukankah umurmu lebih tua dari padaku ?" "Ya, tapi sebelum aku mati pasti aku bunuh kau lebih dulu," kata Siao-liong-li.
Namun meski usia Nyo Ko masih kecil, nyata ia tidak kurang akal "Itu kan belum tentu bisa, aku punya kaki, memangnya aku tak bisa lari ?" demikian ia berpikir Begitulah si Nyo Ko ini, belum dia angkat guru pada Siao-liong-li, tapi diam2 ia sudah adu kepintaran dengan orang.
Sementara itu Siao-liong-li telah mendekati peti mati yang ketiga, ia dorong tutup peti ke belakang, ia angkat jenazah Sun-popoh dan hendak dimasukkan ke dalam peti.
Tiba2 Nyo Ko ingat pesan Sun-popoh pada saat yang terakhir bahwa : "Baju kapas yang kupakai ini hendaklah kau simpan baik2, di.
. . " dan sebelum habis dikatakan atau orang tua itu sudah keburu putus napasnya, Kalau orang tua itu minta dirinya menyimpan baik2 baju kapas itu, mengingat perkenalan mereka yang baik, kalau disimpan sebagai tanda mata untuk hari kelak, sesungguhnya pantas juga.
"Kokoh, baju kapas Popoh itu ditinggalkan untukku saja," serunya segera sambil menyerobot maju.
Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka pada sifat2 insaniah yang menjemukan, ia lihat watak Nyo Ko yang suka bergirang, marah2, menangis2 dan tertawa segala, meski belum ada satu hari berkenalan dengan Sun-popoh, tapi bocah ini sudah merasa begitu berat ditinggalkan orang tua itu, rasa Siao-liong-li menjadi muak, maka atas permintaannya tadi, ia mengkerut kening, namun tidak urung ia copot baju kapas itu dari badan Sun-popoh dan dilemparkan pada Nyo Ko.
Setelah terima baju kapas itu, karena terharunya kembali Nyo Ko mewek2 hendak menangis lagi.
Tetapi Siao-liong-li telah melototinya, lalu ia masukkan mayat Sun-popoh ke dalam peti ia tarik penutup petinya, maka terdengarlah suara yang keras, tutup peti mati itu telah menutup dengan rapat sekali.
Karena merasa sebal kalau2 Nyo Ko menangis lagi, maka tanpa pandang sedikitpun pada bocah ini segera Siao-liong-li mengajak: "Mari keluar !" Berbareng itu ia kebaskan lengan bajunya, empat pelita minyak di dalam kamar itu sekaligus tersirap, keadaan seketika menjadi gelap guIita, Oleh karena kuatir kalau dirinya akan dikurung di kamar peti mati itu, lekas2 Nyo Ko membawa baju kapas Sun-popoh itu terus ikut keluar.
Tinggal di dalam kuburan kuno yang bagaikan istana di bawah tanah itu, hakikatnya tidak diketahui dan tak dapat membedakan siang atau malam, Tetapi sesudah sibuk setengah harian, kedua orang sudah merasa letih, maka Siao-liong-li suruh Nyo Ko tidur ke kamar Sun-popoh saja.
Sejak kecil Nyo Ko terluntang-luntung di kalangan Kangouw seorang diri, sering ia harus menginap di kelenteng bobrok di hutan yang sunyi maka nyalinya sebenarnya sudah terlatih sangat berani Tetapi aneh, sejak melihat peti mati batu tadi dan sekarang diharuskan tidur sendirian, entah mengapa ia menjadi merasa takut tak terhingga.
Oleh karena itu, meski Siao-liong-li sudah mengulangi kata2nya menyuruh dia pergi tidur, dia masih tetap menjublek saja.
"Kau dengar tidak perkataanku " Apa kau tuli ?" bentak Siao-liong-li menjadi gemas.
"Aku takut," sahut Nyo Ko.
"Takut apa ?" tanya Siao-liong-li.
"Entah, tapi aku tak berani tidur sendirian," kata Nyo Ko.
Melihat wajah anak ini memang takut, dalam hati Siao-liong-li pikir umur anak ini masih kecil, tidaklah perlu harus menghindarkan peraturan pemisahan antara 1aki2 dan wanita, Karenanya dengan menghela napas kemudian ia berkata : "Baik-lah, kau tidur sekamar dengan aku.
" Lalu ia bawa Nyo Ko ke kamar tidurnya sendiri.
Siao-liong-li sudah biasa hidup dalam kegelapan selamanya dia tidak perlu menyalakan pelita atau lilin, tetapi sekarang sepesial ia menyulut satu lilin untuk Nyo Ko.
Waktu melihat wajah Siao-liong-li yang begitu cantik ayu tiada bandingannya, pula baju yang dia pakai putih bersih seperti salju tanpa debu sedikitpun semula Nyo Ko menyangka kamar si gadis ini tentunya teratur dengan indah sekali.
Tak terduga, begitu ia memasuki kamar orang, seketika ia merasa kecawa, Kiranya kamar Siao-liong-li kosong melompong tanpa sesuatu pajangan, serupa saja keadaannya dengan kamar peti mati tadi.
Di dalam kamar hanya terdapat satu lonjor batu hijau yang digunakan sebagai ranjang, di atas ranjang ini tergelar selembar tikar dan terdapat pula selapis kain sutera putih yang rupanya dipakai sebagai selimut.
Kecuali itu tiada sesuatu benda lain yang dilihatnya.
"Entah aku harus tidur di mana " Mungkin dia akan suruh aku tidur di lantai", demikian Nyo Ko membatin.
"Kau tidur saja di ranjangku," tiba-tiba ia dengar Siaoliong-li berkata padanya.
"Itu tidak baik, biar saja aku tidur di lantai.
" sahut Nyo Ko. Tak terduga, tiba2 Siao-liong-li menarik muka oleh jawabannya itu.
"Kurangajar, berani kau mernbangkang," damperatnya.
. "Aku adalah gurumu, apa yang kukatakan kau harus menurut, tahu " Kau berani berkelahi melawan gurumu dari Coan-cin-kau itu, hal itu masa bodoh, Tetapi lain, kalau kau berani membangkang perintahku segera juga kucabut nyawamu !" "Tak perlu kau begini galak, akan kuturut saja semua perkataanmu " demikian Nyo Ko menyahut.
"Berani kau adu mulut ?" bentak Siao liong-li.
Namun si Nyo Ko memang anak bandel, ia lihat wajah Siao-liong-li sangat cantik dan usianya muda, sedikitpun tidak mirip seorang "Suhu", karenanya ia melelet-lelet lidah atas bentakan tadi, habis ini ia diam saja.
Sudah tentu kelakuannya ini dapat dilihat Siao-liong-li, "Kenapa kau melelet lidah " Kau tak terima bukan ?" damperatnya lagi.
Nyo Ko tak berani menjawab sekali ini, ia copot sepatunya terus naik ke atas ranjang buat tidur Tetapi baru saja ia merebah, tiba-tiba terasa olehnya hawa sedingin es yang merasuk tulang, saking kagetnya sampai ia meloncat turun dengan kaki telanjang.
Nampak kelakuan Nyo ko yang lucu ini, sungguhpun Siao-liong-li tidak pernah mengunjuk sesuatu tanda perasaannya, tidak urung hampir2 saja ia mengeluarkan suara tertawa geli.
"Ada apa ?" ia coba tegur dengan menahan gelinya.
Namun Nyo Ko memang terlalu cerdik, sekilas saja ia sudah melihat ada tanda2 tertawa pada wajah Siao-liong-li.
Oleh karenanya ia tidak menjadi takut oleh teguran itu, bahkan ia tertawa sendiri.
"Di atas ranjang ini ada apa2nya yang aneh, kiranya engkau sengaja mempermainkan aku," demikian jawabnya.
"Siapa mempermainkan kau.
Memang beginilah ranjang ini, lekas kau naik lagi dan tidur," kata Siao-liong-li dengan sungguh2.
Habis ini ia sengaja ambil kemoceng (bulu ayam) dari belakang pintu, dengan alat ini ia lantas mengancam: "lni jika kau berani merosot turun lagi, rasakan nanti, sepuluh kali sabetanku !" Sekali lompat dengan enteng Siao-liong-li merebahkan diri diatas tali kecil yang dianggapnya seperti ranjang empuk Sudah tentu tak terbilang kagum Nyo Ko oleh kepandaian yang luar biasa ini.
Melihat sigadis berlaku sungguh2, terpaksa Nyo Ko naik ke atas ranjang batu dan tidur lagi.
Sekali ini Siao-liong-Ii sengaja menyingkirkan baju kapas tinggalan Sun-popoh, ia pindahkan ke tempat yang tak dapat dijamah tangan Nyo Ko.
Sebaliknya karena pengalaman tadi, sekali ini Nyo Ko tidak terkaget lagi, ia rebah diatas ranjang batu yang dingin itu.
Akan tetapi ranjang itu sama saja seperti balok es yang maha dingin, semakin tidur rasanya semakin dingin, sampai akhirnya saking tak tahan seluruh tubuh Nyo Ko jadi gemetar, ia menggigil kedinginan hingga kedua baris giginya gemerutuk.
Tak lama, hawa dingin ranjang batu itu semakin men-jadi2 serasa meresap kedalam tulang sungsum, sungguh ia tak tahan lebih lama lagi.
Ketika Nyo Ko melirik Siao-liong-li, ia lihat wajah nona itu mengunjuk senyum, tapi bukan senyum, terhadap penderitaannya itu se-akan2 merasa senang dan bersyukur.
Diam2 Nyo Ko mendongkol Tetapi ia masih berusaha melawan rasa dingin yang menembus keluar dari ranjang batu itu dengan sepenuh tenaganya.
Sementara ia lihat Siao-liong-li telah keluarkan seutas tali sebelah ujung tali ia ikat pada sebuah paku yang menancap di dinding sebelah timur, lalu tali ini ditarik dan diikat kencang pada paku yang berada di dinding sebelah barat.
Tali yang dipasang ini kira2 setinggi manusia, dengan sekali lompatan enteng Siao-liong-li telah merebah di atas talu tali itu dianggapnya sebagai ranjang saja, Bahkan berbareng lompatannya tadi, sekali ayun tangannya, dengan angin pukulannya ia sirapkan api lilin.
Sungguh tidak terbilang kagumnya Nyo Ko oleh kepandaian orang yang luar biasa itu.
"Kokoh, maukah kau mengajarkan kepandaian seperti itu kepadaku besok ?" dalam kegelapan ia coba tanya si nona.
"Hm, terhitung apa kepandaian semacam ini ?" jengek Siao-liong-li.
"Asal kau belajar dengan baik, masih banyak lagi kepandaian yang jauh lebih lihay yang akan kuajarkan padamu.
" Tabiat Nyo Ko meski nakal tetapi sangat ter-guncang perasaannya demi mendengar Siao-liong-li dengan sungguh2 akan diajarkan kepandaian pada-nya, tanpa terasa ia menjadi tunduk dengan sepenuh hati, perasaan mengkalnya tadi seluruhnya dia lemparkan ke-awang2, dalam rasa terima kasihnya itu, saking terharunya ia mengucurkan air mata.
"Kokoh, kau begini baik terhadapku, tapi tadi aku malah benci padamu," demikian katanya dengan suara berat "ltu tidak perlu dibuat heran," sahut Siao-liong-Ii, "Aku telah usir kau, sudah tentu kau benci padaku.
" "Tetapi soalnya bukan itu," kata Nyo Ko, "Semula aku mengira kau sama saja seperti guruku yang lalu, hanya mengajarkan segala kepandaian yang tak berguna.
" Mendengar bocah itu berkata sembari menggigil kedinginan tiba2 Siao-liong-li menanya: "Dinginkah kau ?" "Ya, dingin sekali," sahut Nyo Ko, "Di bawah ranjang ini ada apa2 yang aneh, mengapa begini hebat rasa dinginnya ?" "Kau suka tidur di situ tidak ?" tanya Siao-liong-li pula.
"Aku. . . aku tak suka," sahut Nyo Ko ragu2.
"Huh, kau tak suka ?" jengek Siao-liong-li, "Ketahuilah bahwa entah ada berapa banyak to-koh2 Bu-lim di seluruh jagat ini yang justru ingin meniduri ranjang ini, tetapi tak pernah kesanpaian cita-citanya.
" "Aneh, bukankah itu berarti cari siksaan belaka ?" ujar Nyo Ko heran.
"Hm, siksaan ?" jengek Siao-liong-Ii, "Kira-nya aku sayang dan kasihan padamu, tetapi kau malah anggap tersiksa, sungguh tidak kenal kebaikan orang.
" Mendengar lagu suaranya agaknya memang tidak bermaksud jelek dengan menyuruh dirinya tidur di atas ranjang dingin ini, maka Nyo Ko lantas memohon dengan suara lunak.
"Kokoh yang baik, apakah paedahnya ranjang dingin ini, maukah kau menerangkannya padaku ?" "Kau harus tidur seumur hidup di atas ranjang ini, faedahnya pasti akan kau ketahui kelak", sahut Siao-liong-li "Nah, sekarang pejamkan matamu dan tak boleh bicara Iagi" Dalam kegelapan lalu terdengar suara gemerisik yang pelahan sekali dari baju sutera yang dipakainya, agaknya Siao-liong-li telah membalik tubuh, Sungguh sukar dimengerti padahal hanya tidur di atas seutas tali yang terapung diudara, tetapi bisa membalik tubuh sesukanya.
Karena kata2 terachir tadi yang bernada keren, maka Nyo Ko tak berani bertanya lagi, betul juga ia lantas pejamkan mata untuk tidur, Akan tetapi hawa dingin yang menghembus keluar dari bagian bawah terus-meneras menyerang, mana bisa ia terpuIas.
Lama kelamaan, tak sangguplah Nyo Ko bertahan pula.
"Kokoh, aku tak tahan lagi," dengan suara pelahan ia memanggil Namun suara pernapasan Siao-Iiong-li lapat terdengar agaknya sinona sudah tertidur.
Kembali Nyo Ko memanggil dua kali lagi dengan pelahan dan tetap tiada jawaban, "Biarlah aku turun ke bawah sebentar, tentu dia takkan tahu," demikian ia pikir.
Maka dengan pelahan2 ia merosot turun ke pinggir ranjang, ia berlaku hati2 sekali dengan menahan napas agar tidak mengeluarkan suara.
Siapa tahu, baru saja ia menginjak lantai se-konyong2 terdengar suara gemerisik yang sangat pelahan, tahu2 Siao-liong-li sudah melompat turun dari atas talinya, sekali cekal tangan kiri Nyo Ko telah dipegangnya terus ditelikung ke belakang, bahkan ia digusur ke atas tanah.
Karena tindakan tiba2 ini, Nyo Ko menjerit kaget tetapi sehabis ini ia lantas bungkam dalam segala bahasa.
Sementara itu Siao-liong-li telah angkat kemocengnya, dengan keras ia sabet pantat Nyo Ko.
Nyo Ko tahu percuma saja meski minta ampun, oleh karena itu dengan mengertak gigi kencang2 ia menahan rasa sakit sabetan kemoceng orang, Luar biasa sakitnya lima kali sabetan yang pertama, tetapi pada sabetan ke-enam kalinya, Siao-liong-li turunkan tangannya dengan enteng saja, sampai dua kali yang terakhir, kuatir Nyo Ko tak tahan gebukannya, ia memukul terlebih pelahan lagi Setelah genap menyabet sepuluh kali, lalu Siao-liong-li jambret tubuh Nyo Ko dan dilemparkan lagi ke atas ranjang batu.
"Awas! Berani kau turun lagi, segera kau rasakan pula kemoceng ini!" bentaknya mengancam.
Tanpa bersuara Nyo Ko merebah di atas ranjang batu itu, ia dengar Siao-liong-li telah kembalikan kemocengnya ke belakang pintu tadi, lalu melompat pula ke atas tali buat tidur.
Siao-liong-li menyangka Nyo Ko tentu akan menangis dan bikin ribut lagi oleh hajarannya itu, tak terduga, sepatah katapun anak muda itu tak bersuara, ini betul2 tak pernah disangkanya "Ko-ji, kenapa kau diam saja ?" tanyanya kemudian "Tiada yang perlu kukatakan, sekali engkau bilang pukul, tentu aku akan dipukulnya, percuma saja meski aku minta ampun," sahut Nyo Ko.
"Hm, tetapi dalam hatimu kau tentu mencaci maki padaku," kata Siao-liong-li.
"Tidak, aku takkan mencacimaki kau, betapapun engkau masih jauh lebih baik daripada guruku yang dahulu," kata Nyo Ko.
"Sebab apa ?" Siao-liong-li menjadi heran.
"Ya, sebab meski engkau memukul aku, tetapi dalam hatimu kau tetap sayang dan kasihan padaku, makin pukul makin pelahan, engkau kuatir kalau aku kesakitan," kata Nyo Ko.
Muka Siao-liong-li rada merah karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, syukur dalam kegelapan hingga tidak sampai dilihat Nyo Ko.
"Cis, siapa sayangi padamu, kalau lain kali kau tak menurut kata lagi, tentu akan kupukul terlebih keras," omelnya kemudian.
Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus, Nyo Ko jadi dapat hati.
"Lebih keras engkau memukul, tetap aku suka.
" demikian katanya dengan cengar-cengir.
"Cis, agaknya tulangmu memang gatal, sehari tidak rasakan gebukan, tentu kau tak bisa tidur nyenyak," omel Siao-liong-li pula.
"ltupun harus me-Iihat2 siapa yang memukul aku," kata Nyo Ko.
"Jika orang yang suka padaku menghajar diriku, sedikitpun aku pasti tidak den-dam, mungkin malah merasa senang, sebab dia hajar aku karena ingin aku berbuat baik, Tetapi bila orang yang benci diriku, sekalipun dia hanya memaki sekata atau mendeliki mata padaku, kelak kalau aku sudah dewasa, satu persatu pasti akan kucari dia buat membikin perhitungan.
" "Coba katakan, siapa yang benci kau dan siapa2 lagi yang suka padamu ?" tanya Siao-liong-li "ltu sudah kuingat baik2 dalam hati," kata Nyo Ko.
"Tentang orang yang benci padaku boleh tak perlu disebut, tetapi orang yang sayang padaku ada aku punya Mak (ibu) yang sudah meninggal, ayah angkatku Auwyang Hong, paman Kwe Ceng dan ada lagi Sunpopoh dan engkau.
" "Hm, jangan harap aku akan sayang padamu," sahut Siao-liong-li dengan tertawa dingin.
"Aku hanya menurut pesan Sun-popoh, dia minta aku menjaga kau, maka aku lantas menjaga kau, selama hidupmu ini jangan kau harapkan aku akan berbaik hati padamu.
" Memangnya Nyo Ko sedang kedinginan, demi mendengar kata2 orang ini, sama saja ia telah ditambahi dengan siram se-ember air dingin.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kokoh, aku ini yang kurang baik apa " Kenapa engkau begini benci padaku ?" tanya Nyo Ko menahan rasa mendongkolnya.
"Kau baik atau tidak, peduli apa dengan aku ?" sahut Siao-Iing-li dingin, "Tetapi akupun tidak benci kau.
Selama hidup ini aku tinggal di dalam kuburan ini, aku tak suka pada siapapun dan tak benci pada siapapun !" "Selama hidup tinggal di sini " itu kan tidak menarik," kata Nyo Ko.
"Kokoh, pernah tidak kau keluar.
" "Tak pernah kuturun dari Cong-lam-san ini," sahut Siao-liong-li.
"Di luar sana paling banyak juga cuma ada gunung ada pohon, ada matahari ada rembulan, apanya yang menarik ?" "Ai, kalau begitu hidupmu ini benar2 sia-sia belaka," kata Nyo Ko menepuk tangan, "Jika hidup dikota, di sana bermacam ragam benda yang aneh, itulah baru menyenangkan dan menarik," Habis ini ia lantas ceritakan semua pengalamannya dan apa saja yang pernah dilihatnya selama ia ter-Iunta2 sejak kecil Dasar si Nyo Ko memang pandai bicara, apalagi sengaja ia bumbu-bumbui, ia tambahi kecap, tambahi merica, tambahi minyak, keruan ceritanya menjadi lebih aneh dan menarik dengan aneka macam ragamnya.
Meski Siao-liong-li sudah berumur 20 tahun, tetapi selamanya belum pernah turun dari Cong-lam-san barang selangkahpun, maka apa saja yang dibualkan Nyo Ko, semuanya ia percaya penuh, malahan sampai akhirnya, tak tertahan ia telah menghela napas.
"Kokoh, kubawa kau pergi pesiar, mau tidak?" kata Nyo Ko akhirnya.
Di luar dugaan, Siao-liong-li menjadi gusar oleh ajakan ini.
"Ngaco-belo," damperatnya, "Cosu-popoh sudah meninggalkan pesan bahwa barang siapa yang pernah tinggal di dalam "Hoat-su-jin-bong" ini siapapun tidak boleh turun dari Cong-lam-san meski selangkahpun," "Ha, apakah akupun tak boleh turun gunung ?" tanya Nyo Ko kaget oleh keterangan orang.
"Sudah tentu," sahut Siao-liong-li.
Akan, tetapi Nyo Ko tidak menjadi gugup, sebab dalam hati ia telah pikir: "Satu pulau terpencil seperti Tho-hoa-to saja bisa kutinggalkan, apalagi hanya sekian kuburan kuno ini mana bisa mengurung selama hidupku.
" Begitulah selama mereka bicara, sesaat itu Nyo Ko melupakan rasa dingin yang menggigilkan tadi tetapi sejenak saja percakapan mereka berhenti seluruh tubuhnya segera terasa gemetar lagi "Kokoh, ampuni diriku, aku tak mau tidur lagi di atas ranjang ini.
" demikian ia memohon.
"Dalam perkelahianmu dengan guru Coan-cin-kau, sepatah kata saja kau tak sudi minta ampun, kenapa sekarang begini tak berguna ?" sahut Siao-liong-li "ltuIah lain," kata Nyo Ko dengan tertawa, "Siapa yang tidak baik terhadap diriku, sekalipun aku mati dipukulpun tidak nanti aku sudi minta ampun padanya, Tetapi siapa yang baik padaku, meski aku harus mati untuknya juga aku rela, apalagi hanya minta ampun.
" "Cis, tak malu, siapa baik padamu ?" jengek Siao-liong-li Sejak kecil Siao-liong-li dibesarkan oleh gurunya dan Sun-popoh, selama dua puluh tahun itu hanya kedua orang tua itu saja yang berdampingan dengan dia.
Meskipun kedua orang tua itu sangat baik padanya, tetapi gurunya mengharuskan dia berlatih "Giok-li-sim-keng" (ilmu gadis suci) dan sejak kecil dia sudah diajarkan membuang segala cita-rasa, asal kelihatan Siao-liong-li mengunjuk sedikit perasaan saja, segera gurunya mendamperatnya.
Sedang Sun-popoh walaupun cukup simpatik, namun ia juga tak berani menghalang-halangi pelajaran Siao-liong-li sehingga oleh karena itu tabiatnya yang aneh dan menyendiri tanpa emosi itu terpelihara sejak kecil.
Kini dengan datangnya Nyo Ko, anak ini justru berhati panas seperti api, usianya masih kecil pula, baik tutur katanya maupun tindak-tanduknya sudah tentu berbeda seluruhnya dari pada kedua nenek2.
Sebenarnya Siao-liong-li juga tahu apa yang dituturkan Nyo Ko itu jelas menyalahi ajaran2 guru-nya, namun tidak urung ia ikut bercerita dengan asyik sekali hingga lupa daratan.
Siao-liong-li menerima Nyo Ko sebenarnya hanya untuk memenuhi permintaan Sun-popoh saja, tetapi kemudian Nyo Ko selalu bilang dia sangat baik padanya, dengan sendirinya lambat laun iapun merasa memang benar ia memperlakukan anak ini dengan sangat baik.
Demikianlah, karena lagu bicaranya Siao-liong-li telah berubah halus, maka Nyo Ko makin mendapat hati "Wah, dingin, Kokoh, dingin sekali aku tak tahan lagi!" akhirnya ia berani ber-teriak2.
Padahal sekalipun kedinginan sebenarnya belum perlu ber-teriak2 minta tolong dan bikin geger segala.
"Jangan ribut, biar kuceritakan padamu tentang asal-usul ranjang batu ini," kata Siao-liong-li kemudian.
"Baiklah," sahut Nyo Ko girang.
"Nah, Kokoh aku tidak berteriak lagi mulailah bercerita !" "Tadi kukatakan tidak sedikit tokoh Bu-lim di jagat ini ingin tidur di atat ranjang batu ini, hal ini sekali2 bukan untuk mendustai kau," demikian Siao-liong-li menutur, "Harus diketahui bahwa ranjang ini dibikin dari batu pualam dingin purbakala, inilah alat pembantu utama bagi orang yang ingin berlatih Lwekang yang tinggi.
" "lni bukan batu biasa ?" tanya Nyo Ko heran.
"Katanya kau sudah banyak berpengalaman dan pernah melihat benda yang aneh2, tapi pernahkah kau melihat batu sedingin ini ?" sahut Siao-liong-li.
"Hendaklah diketahui batu ini adalah hasil jeri-payah Cosu-popoh selama tujuh tahun berada di kutub utara yang paling dingin, disana batu pualam dingin ini dia gali dari bawah es yang tebalnya ratusan tombak, Siapa yang berlatih Lwekang dengan tidur di atas ranjang batu pualam ini, maka setahun saja sudah sama dengan berlatih sepuluh tahun secara biasa.
" "He, begini besar faedahnya ?" seru Nyo Ko kegirangan.
"Ya," kata Siao-liong-li, "Mula2 kau tidur di atasnya terasakan dingin tak tertahan, tetapi asal kau kumpulkan seluruh tenaga untuk melawannya, lama kelamaan akan menjadi biasa, sekalipun di waktu tidur, itu berarti tak pernah berhenti berlatih diri.
Sebab orang biasa kalau berlatih ilmu, sekalipun orang yang paling giat dan rajin, tiap2 hari ada beberapa jam perlu buat tidur, Dau kau harus tahu, melatih ilmu yang menjalankan napas dan darah ditubuh sama sekali berlawanan daripada ilmu biasa, jika sampai tertidur, maka jalan darah itu akan berputar seperti biasa dan ini sebaliknya membikin percuma dari apa yang dilatihnya waktu siang hari.
Tetapi kalau orangnya tidur di atas ranjang ini, bukan saja tidak sia-sia hasil yang dilatih siang harinya, bahkan Lwekangnya akan bertambah lebih kuat.
" Mendengar penjelasan ini, saking senangnya Nyo Ko terus berseru: "Kokoh, sungguh baik sekali engkau padaku, dengan tidur di ranjang ini, aku tak akan takut lagi pada kedua saudara Bu dan Kwe Hu, sekali pun Tio Ci-keng dari Cian-cin-kau yang sudah Iama berlatih itu, kelak aku pasti dapat melebihinya," demikian katanya.
"Tetapi Cosu-popoh telah menetapkan peraturan bahwa orang yang sudah tinggal di dalam kuburan ini harus tekun berlatih diri dengan tenang dan sabar, harus hapuskan segala napsu berlomba dengan orang luar," kata Siao-liong-li dengan dingin.
Nyo Ko menjadi gugup oleh kata-kata ini.
"Mereka begitu menghina padaku, pula telah tewaskan Sun-popoh, apakah begitu saja kita anggap beres ?" katanya penasaran.
"Setiap manusia akhirnya toh mesti mati, sekalipun Sun-popoh tidak mati ditangan Hek Tay-thong, lewat beberapa tahun lagi ia sendiripun akan mati juga," ujar Siao-liong-li "Apa bedanya hidup lebih lama beberapa tahun atau mati lebih cepat beberapa tahun " Kata2 balas dendam segala, untuk selanjutnya tak boleh kau sebut2 lagi di hadapanku.
" Nyo Ko merasa kata2 Siao-liong-li ini ada benarnya juga, tetapi iapun merasa ada tempat2 yang tidak tepat, hanya seketika ia tidak mendapatkan kata2 yang tepat untuk mendebatnya.
Pada saat itu juga hawa dingin terasa menyerang lebih hebat lagi, Tiba2 Nyo Ko teringat pada apa yang dikatakan Siao-liong-li tadi, ia pikir: "Kenapa aku tidak mencobanya dengan Lwekang ajaran ayah angkat itu ?" Segera tubuhnya menegak ke atas, ia menjungkir dengan kepala dibawah, ia keluarkan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Auwyang Hong.
Tak lama kemudian terasalah semacam hawa hangat mengalir melalui seluruh tubuhnya, segera pula perasaan dingin tadi banyak berkurang waktu dia me-mutar2 tiga kali, tiba2 tubuhnya malah terasa sepanas dibakar, sedikitpun tidak kedinginan lagi, bahkan setelah dia rebah kembali di atas ranjang batu itu lantas terasa segar dan sangat enak, ketika matanya dipejamkan akhirnya ia tertidur dengan nyenyak.
Tetapi sesudah tertidur kira2 setengah jam, setelah hawa hangat tubuhnya buyar, kembali ia terjaga dari tidurnya oleh karena hawa dingin telah menyerang lagi, oleh karena itu, segera ia menjungkir pula mengeluarkan ilmu ajaran Auwyang Hong.
Dan begitulah seterusnya, tidur sebentar lalu mendusin dan tidur lagi, ia ribut sendiri semalam suntuk, tetapi paginya sesudah bangun, bukannyas ia merasa letih, sebaliknya ia malah penuh semangat, suatu tanda bahwa ilmu menjungkirnya itu khasiatnya memang hebat.
Waktu Siao-liong-li meraba jidat anak ini, merasa suhu badan orang biasa saja, keruan ia menjadi heran sekali, maka dengan sabar dia tanya Nyo Ko ilmu apa yang pernah dipelajarinya dahuIu.
Sedikitpun Nyo Ko tidak membohong, ia menerangkan seluruhnya, ia ceritakan Lwekang yang dipelajarinya dari ibu kandungnya sendiri dan Ha-mokang yang diterimanya dari Auwyang Hong.
Diam2 Siao-liong-li ber-pikir2, ia merasa kedua macam Lwekang yang diuraikan Nyo Ko itu sama sekali tidak sejurus dan berlainan, terang pula berbeda sekali dengan Lwekang sendiri, la, pikir meski apa yang Nyo Ko pahami itu hanya sedikit dasar penuntun saja, tapi dengan ini pula dapat dibayangkan yang lain bahwa kedua ilmu Lwekang yang dipelajarinya itu justru luar biasa bagusnya, sesungguhnya tidak dibawah Lwekang dari pada perguruannya sendiri.
Pedang Naga Kemala 9 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Raja Naga 7 Bintang 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama