Ceritasilat Novel Online

Kitab Mudjidjad 2

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 2


nyonya turun tangan, maka terpaksa Bwee Hiang juga
meloloskan pedangnya yang tajam.
"Aku tidak perduli Gin-Eng atau Kim Eng (elang emas),
tetap aku akan kasih hajaran, kalian boleh maju satu
persatu atau mau dua-duanya" tantang Bwee Hiang.
"jumawa benar, kau nona," kata sian Sui ketawa. "Aku
senang dengan sikapmu itu, makanya kau jadilah
mantuku, jangan adu pedang."
nyonya rumah berkata sewajarnya, tapi Bwee Hiang
salah mengerti, Kiranya ia diejek oleh Sian Sui, maka
hatinya menjadi panas. "Kau kira aku barang murah boleh dibujuk" Hm" Bwee
Hiang mendengus, "Tan-ko biar aku yang maju dulu" kata sang isteri,
ketika melihat Bwee Hiang kepala batu. ia berkata sambil
menyerang si gadis. cepat serangan dilakukan oleh Sian Sui, tapi lebih
cepat Bwee Hiang berkelit.
Dengan bacokan yang menyilang, sebagai balasan
menyerang, Bwee Hiang bikin si jago pedang dari Kongtongpay kaget dan agak gugup, karena rambutnya
hampir terkupas oleh pedangnya si nona jagoan"Hehe. . ." Bwee Hiang ketawa, nampak lawannya
gugup lantaran kaget. "jangan ketawa dulu, nona" kata Sian Sui dan kembali
ia menyerang. Kedua jago betina itu saling menyerang dengan seru.
Benar-benar nama si Elang Perak bukannya percuma,
sebab ia gagah benar memainkan pedangnya sekali pun
jarang berlatih. Namun Bwee Hiang tidak jerih, malah
makin kuat adanya lawan, jago kita makin bernapsu
menggempurnya. Ketika melihat isterinya keteter. Tan
pangcu tidak tinggal diam, ia berseru,
"Sui-moay, apa boleh aku turun tangan membantu?"
"Tidak usah," sahut sang isteri yang terus bikin
perlawanan walaupun sudah didesak oleh Bwee Hiang.
Senang sian Sui melihat permainan pedang Bwee
Hiang diatas kepandaiannya, ia sangat menyayangkan
kalau nona segagah in sampai jatuh menjadi mantu
orang lain Seberapa bisa ia bertahan dan mengeluarkan
kepandaiannya dengan maksud menundukkan si nona
kosen, tapi Bwee Hiang makin lama permainan
pedangnya makin mengherankan dan akhirnya si nyonya
berkaok juga minta bantuan suaminya. Tan Pangcu cepat
turun tangan- "Bagus" seru Bwee Hiang ketawa ngikik. "Dua jago
pedang mengerubuti seorang bocah, kau lihat nonamu
nanti bikin kalian tak ada lubang untuk lari"
"Budak liar, kau jangan sombong" bentak Tan Pangcu
seraya mainkan pedangnya lebih gencar. Tapi Bwee
Hiang seenaknya saja menangkis dan menyerang lawan.
suami isteri itu merasa kagum, penjagaannya menjadi
agak lengah. "Awas" seru Bwee Hiang, menyusul pedangnya
berkelebat. "Aduh" seru nyonya rumah, berbareng rambutnya
berterbangan kena dipapas pedangnya Bwee Hiang.
Tangannya memegangi kepalanya yang menjad gundul.
Sian Sui menjadi sangat murka.
Sekarang ia tak menyayangi lagi kepandaiannya Bwee
Hiang, sebaliknya dengan murka sekali ia putar
pedangnya dan menyerang dengan hebat. Bwee Hiang
tidak jadi keder oleh karenanya, sebab hal demikian, ia
sudah perhitungkan terlebih dahulu.
Penjagaan diatur tebih cermat, menghadapi suami
isteri yang melanjutkan serangan-serangannya seperti air
membanjir. Si nona baru pertama kali merasakan
melawan musuh alot, Satu kali pedangnya San Sui mengarah
tenggorokannya, ia berkelit, berbareng pedangnya
dipakai menabas kebawah, menghindarkan serangan
pedang Tan Pangcu yang mengarah perutnya. Sekali
menjejak lantai, tubuhnya melambung dan berputar
seperti gasing, hingga suami isteri itu menjadi kaget,
menggunakan ilmu apa si nona itu" Dalam kagetnya,
Sian sui lupa akan penjagaan, hingga rambutnya kembali
terpapas makin pendek. sedang Tan Pangcu kebagian
robek baju dibagian pundaknya. Untung baginya keburu
mengengos, kalau tidak, pundaknya bakal terkupas
pedang Bwee Hiang yang nyelonong tak bisa di-rem, sian
Sui dalam gusarnya menusuk dada Bwee Hiang,
si nona kali ini menggunakan lweekangnya, ia
menangkis pedang lawan dari bawah keatas "Trang ..."
terdengar suara keras dari bentrokan dua senyata. Sian
Sui rasakan tangannya kesakitan, hingga pedangnya
yang tergetar menjadi jatuh.
Tan Pangcu menggunakan kesempatan Bwee Hiang
ketawa ngikik, menyabetkan pedangnya dari samping.
Kembali Bwee Hiang melambung, kali ini kakinya bekerja,
menendang pergelangan tangan Tan Pangcu hingga
pedangnya terlempar dan orangnya sendiri meringisringis
kesakitan, ia menjadi lengah ketika Hwee Hiang
sudah tancap kaki lagi dilantai dengan sebat telah
mendorong tubuhnya- Buk... Tan Pangcu jatuh meloso dan kcpalanya
membentur meja hingga tambah daging.
Melihat sudah cukup ia memberi pelajaran, si nona
dengan ketawa cekikikan telah meninggalkan itu suami
isteri itu dengan jalan melompati jendela.
"celaka" tiba-tiba terdengar suara disebelah kamar, Itu
adalah teriakan Bwee Hiang yang kurang waspada ketika
melompati jendela, tubuhnya sudah kena dijaring.
Kiranya, orang sudah mengetahui knaau dalam
ruangan itu terjadi pertempuran, maka orang-orang
ceng-Liong-pang yang spesial memasang perangkap
dengan jaring sudah berjaga-jaga disebelah luar jendela.
Ketika tubuhnya si nona melayang keluar persis masuk
kedalam jaring yang sangat kuat,
Tidak berdaya Bwee Hiang dalam jaring itu, sebab
pedangnya tak dapat digeraki. Tubuhnya sudah terjaring
seperti juga lepet oleh jaring perangkap tadi, sebentar
lagi tampak Tan Pangcu dengan isterinya keluar dengan
ketawa- ketawa, "Budak liar" mengejek Tan Pangcu, "Apakah salah aku
bilang, bahwa kau bisa masuk sukar keluar" Nah,
Sekarang kau dapat buktikan"
Bwee Hiang tidak menyahut. ia putar otak. cara
bagaimana ia dapat mengataSi kesulitan itu"
"Anak- anak lekaS bawa ia masuk kedalam tahanan"
seru Tan pangcu, siapa setelah keluarkan perintah,
dengan lantas sudah ajak isterinya Sian Sui masuk pula.
celaka pikir Bwee Hiang, sekali ini ia ingat apa yang
dikatakan oleh Tan Pangcu ketika ia mencuri dengar
dibalik tiang. Kim Liong akan disuruh perkosa dirinya
supaya kalau sudah terjadi begitu ibarat beras sudah jadi
bubur ia akan menyerah jadi mantunya Pangcu dari
ceng-Liong-pang. Memikirkan akan nasibnya yang nanti mendapat
hinaan, diam-diam si nona merasa cemas.
Pikirannya melayang kepada Kwee In, entah lagi apa
sekarang si adik kecil itu dilembah Tong-hong-gay
sementara ia dalam bahaya malam ini"
Pikitnya: "Biarlah. kalau sampai kejadian aku
diperkosa, dari pada aku turut dijadikan mantunya Tan
Pangcu keparat itu. lebih baik aku membunuh diri untuk
mengunjuk kesetiaanku kepada adik In. Biarlah dilain
penitisan aku menuntut balas kepada Tan Pangcu dan
mengabdi kepada adik In . .."
Rupa-rupa pikiran mengaduk dalam otaknya si gadis
jagoan. la digotong masuk kedalam sebuah ruangan yang
seram, remang-remang gelap. setelah melalui loronglorong
yang berbulak-balik. ia dijebloskan dalam keadaan
masih teringkus didalam jala. Bwee Hiang coba
mengerahkan lwekangnya untuk membikin putus jala
yang meringkus dirinya, tapi sia-sia saja. Semua daya
tidak berguna, pedangnya yang tajam tak dapat
digerakkan karena seperti menempel dengan badannya.
Setelah ditinggalkan berapa lama, Bwee Hiang lihat
ada orang masuk dan mendekatinya. Kiranya itu ada satu
anak buah dari ceng-Liong-pang yang bermuka bengis
dan penuh berewokan wajahnya. orang itu jongkok
didekatnya, "Anak manis, sungguh kau cantik sekali . , ." katanya
seraya mencolek pipi Bwee Hiang yang putih halus,
hingga si nona melotot matanya.
Ingin Hwee Hiang meremas tangan jahil itu, tapi ia
tidak berdaya, Dalam marahnya tiba-tiba terlintas suatu
akal dalam benaknya. Dari merengut ia ketawa manis,
hingga orang itu heran. "Toako, namamu siapa?" tanya si nona ramah dan
halus. orang itu melengak. "Aku Lie jim, penjaga tahanan
disini," sahutnya lantas.
Lie jim begitu cepat menyahut, lantaran melihat si
nona melirik dengnn menggiurkan sekali kelihatannya.
"Lie Toako," kata Bwee Hiang pula, "Kau bilang aku
cantik, apa betul?" "Demi sang Buddha, memang kau sangat cantik
nona," sahut Lie jim.
"Habis, kalau aku cantik kau mau apa?" tanya sinona
ketawa manis. Hatinya Lie jim berdebaran.
"Aku ingin mempunyai isteri yang cantiknya seperti
kau nona." sahutnya.
"Apa Lie Toako telah beristeri?" tanya Bwee Hiang.
"Belum, belum...Masih belum ketemu nona yang
disetujui." "Bagaimana kalau dengan aku, kau setuju?"
Terbelalak matanya si berewokan mendengar tawaran
si nona, "tentu, tentu, cuma sayang kau menjadi orang
tawanan perkumpulan kami.-." Lie jim berkata menghela
napas. "Kalau orang tawanan kenapa?" tanya Bwee Hiang
dengan suara halus. "Kau akan mendapat hukuman dari Pangcu."
"Kiranya kau tega kalau aku mendapat hukuman dari
Pangcu?" Kembali si berewokan terbelalak matanya dan
menatap si jelita dalam remang-remang gelap. Ia tidak
menjawab, hanya menundukkan kepalanya,
"Lie Toako, kalau kau senang kepada kecantikanku,
aku percaya kau juga senang menolongku. Kau tidak
akan menyesal kalau mempunyai isteri secantik aku,
betul tidak Lie Toako" coba kau pikir panjang, apa kau
tidak menyesal kalau calon isterimu sebagai aku ini
mendapat hukuman dari Pangcu?"
Lie jim tertegun mendengar perkataan si cantik.
Memang ia menginginkan wanita cantik macam Bwee
Hiang itu, cuma si nona sudah terjatuh dalam tangan
Ketuanya, cara bagaimana ia dapat menolongnya"
Dalam bimbang, tiba-tiba ia mendengar temannya
memanggil "Lao- lie, kau lama didalam ada urusan apa"
Lekas keluar, sebentar Pangcu datang, kau bakal dapat
hukuman rotan" Makin bingung Lie jim. "Nona, maaf terpaksa aku harus menjalankan perintah
Pangcu...." berbareng Bwee Hiang lihat si berewokan mengangkat
tangannya yang memegang selembar kain berupa sapu
tangan dan ditutupkan kemuka si nona,
Bwee Hiang tidak berdaya, sebentar lagi ia mengendus
bau wangi dan perlanan-lahan matanya dirasakan berat,
akan kemudian ia jatuh pules. Kiranya salembar kain itu
ada mengandung obat bius, yang membuat orang tidak
sadarkan diri apabila mencium bau harum yang terdapat
pada selembar kain itu. Kapansi nona tersadar pula, ternyata badannya sudah
diikat kencang jadi satu dengan tiang yang terdapat
dalam ruangan itu, rupanya tiang itu peranti menghukum
orang, entah sudah berapa banyak orang yang dibelebet
menjadi satu dengannya. Ketika Bwee Hiang membuka matanya ia melihat
sudah ada Tan pangcu dengan isterinya yang mengawasi
kepadanya dengan senyuman mengejek.
"Budak liar, kau sekarang mau apa?" mengejek Sian
Sui, si Elang Perak. "Kau mau bunuh, boleh bunuh, siapa suruh kau
banyak bacot" kata Bwee Hiang ketus.
"Enak saja kau bicara." Kata si Elang Perak: "Sekarang
aku mau tanya kau lagi, kau bersedia tidak untuk
menjadi menuntuku" Kalau bersedia, aku tidak tarik
panjang kau sudah menghina aku dengan mengupas
rambutku, Sebaliknya, aku akan menikahkan kau dengan
Kim Liong dengan segala kehormatan, Lekas jawab"
Bwee Hiang berdiam dan tundukkan kepala.
"Lekas jawab" bentak si Elang PerakBimbang pikiran Bwee Hiang. "Kalau aku menolak. kau
mau apakan aku?" tanyanya.
"Kalau kau menolak. kau tahu sendiri kau bakal
mendapat kehinaan, akan aku suruh orang perkosa
dirimu dalam keadaan tidak berdaya"
"Kau jangan sekejam itu. Kalau mau bunuh boleh
bunuh, aku menolak" "Bagus" seru si Elang Perak. seraya mendekati si
nona. Entah bagaimana ia bergerak, tahu-tahu baju Bwee
Hiang dibagian dada sudah dirobek dan kelihatanlah


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadanya yang putih meletak dibawah terangnya lampu,
yang tatkala itu sudah dipasang terang dalam ruangan
yang tadi remang-remang gelap.
Bwee Hiang melihat kesekitarnya, ternyata disitu tidak
ada orang lain kecuali mereka bertiga, hingga perasaan
malunya kurangan dengan terpentangnya ia punya buah
dada yang padat menonjol bagus sekali.
"Lihat" berkata pula si Elang Perak. "Barang yang kau
simpan baik-baik itu akan menjadi permainan dari orang
yang akan mengambil kehormatanmu, kalau kau masih
tetap membandel dalam keputusanmu. Maka itu, dari
pada kau terhina, terimalah lamaranku untuk kau
menjadi isterinya anakku Kim Liong, ia toh bukan orang
jelek-jelek." Bwee Hiang menghela napas. Ia menyahut: "Bibi,
anakmu itu memang ada anak baik. Ia sopan santun
kelakuannya, wajahnya juga cakap dan tidak
sembarangan pemuda dapat menandingi kecakapannya.
Aku suka padanya, cuma saja aku sudah ada yang
punya. Kalau masih bebas terang aku tidak menolak
untuk menjadi menantumu"
"Siapa yang sudah mencuri hatimU?" tanya si Elang
Perak, "Hek bin Sin-tong..." jawab Bwee Hiang tegas.
"Hek-bin Sin-tong." menggUmam Tan Pangcu.
"Siapa itu Hek-bin Sin-tong?" tanya sang isteri kepada
Tan Pangcu. "Aku juga hanya pernah dengar, tapi rupanya ia lihay
menurut katanya Tonghong Kauwcu, dibuktikan oleh
terbirit-biritnya lari kedua kakek yang membuat huruhara
di markas Ngo-tok-kauw ketika mendengar
disebutnya nama Hek bin Sin-tong," menerangkan Tan
Pangcu, Gin- eng Kam Sian Sui berdiam sejenak.
Bwee Hiang pikir ada harapan ia dibebaskan, melihat
si nyonya seperti berpikir mendengar namanya Hek bin
Sin-tong, Tapi alangkah kagetnya si nona, ketika si nyonya
angkat kepalanya dan mengawasi kearahnya.
Tangannya diulur, mencubit pipinya Bwee Hiang,
hingga si nona berjengit kesakitan-Katanya:
"Kau begini cantik, jatuh ditangannya seorang bocah
hitam, meskipun sakti, sungguh menyebalkan sekali" .
"Ia bukannya bocah hitam lagi sekarang, sebab sudah
salin rupa menjadi seorang bocah yang sangat cakap"
bantah Bwee Hiang. "Tidak perduli ia hitam atau cakap, tetap kau harus
tunduk kepada keputusanku. Kau terima tidak dijadikan
mantuku" Kalau tidak. tahu sendiri ..."
jengkelnya Bwee Hiang saban-saban diancam. Dari
jengkelnya ia menjadi nekad, katanya: "Manusia muka
tebal, orang tidak sudi jadi mantunya dipaksa dengan
ancaman yang bukan-bukan. Nah, kau boleh jalankan
maksudmu yang busuk. nanti juga Hek-bin Sin-tong akan
datang kemari mengubrak-abrik markas besar kalian dan
membasmi seluruh rumah tanggamu sebagai pembalasan
atas kematianku" "Siapa bilang kau bakal mati?" tanya si Elang Perak
heran. "Kalau aku sudah dinodai, apa kau kira aku masih
ingin hidup" Hm jangan kau mimpi sebegitu lekas aku
tahu diriku terganggu, aku lantas akan bunuh diri"
Si Elang Perak ragu-ragu kelihatannya mendengar si
nona akan berbuat nekad. Kalau sampai kejadian demikian, jadi sia-sia saja
maksud baiknya untuk mengambil Bwee Hiang sebagai
mantu, malahan bakal mustahil kata-kata si nona
menjadi kenyataan-Hek-bin sin-tong akan mengubrakabrik
markasnya dan melakukan pembunuhan massal.
Dalam ragu-ragunya si nyonya menatap wajah suaminya.
"Anak bandel" bentak Tan Pangcu. "Apa kau masih
tetap dengan keputusanmu, menolak menjadi mantunya
ketua dari ceng Liong-pang?"
"Itu sudah terang, kenapa mesti ditanyakan lagi?"
sahut Bwee Hiang kalem. "Baik" kata Tan Pangcu. "Sian-moay, jalankan terus
maksud kita, biarlah ceng-Liong-pang menjadi korban
dari tindakan kita" ia berkata pada isterinya. si Elang Perak ragu-ragu
muntuk mengambil keputusanla
menghampiri pula Bwee Hiang, kembali ia mencubit
pipi si nona sehingga matang biru,
"Aku sayang sama kecantikanmu dan kepandaianmu,
tapi apa bokh buat."
Brekk Menyusul terdengar suara kain robek, kali ini
baju bagian perutnya si nona yang terobek panjang,
hingga Bwee Hiang menjadi jengah dan ingin menutupi
bagian itu, tapi tidak berdaya, karena kedua tangannya
diikat kencang jadi satu dengan tiang. Untuk memaki
dengan perkataan-perkataan kotor tidak ada gunanya ia
pikir, maka tidak ada lain jalan, ia jadi menangis.
"Baiklah, dalam keadaan tidak berdaya kau akan
diganggu kehormatanmu . . ." kata si Elang Perak. seraya
keluarkan selembar kain dari sakunya, dan ditutupkan
kemukanya Bwee Hiang. Kembali si nona mengendus bau harum seperti tadi
dan matanya mulai berat mengantuk dan jatuh pulas
kemudian- Entah apa yang akan terjadi dengan dirinya si jelita
yang dalam keadaan tidak berdaya diikat jadi satu
dengan tiang, dibius, dan .... buat dada serta perutnya
terpentang menantang bagi orang yang melihatnya , . , ,
" -oo0dw0oo- BAB-05 ANG HOA LO BO .... Si nenek Kembang Merah yang meninggalkan coa-kok
tanpa permisi dari Suhunya, Lam-hay Mo Lie, bukannya
tidak beralasan. Ia pergi lantaran cemburu pada
Suhunya, yang ternyata isterinya Kwee Cu Gie, orang
yang sampai pada saat itu ia cintai.
Maksudnya, dengan memoles Lo in (Kwee in)
wajahnya menjadi hitam legam, ia mau membikin Kwee
cu Gie datang meminta obat pemusnahnya, tidak
tahunya telah berkesudahan lainYang ia tidak mengira sama sekali, adalah Lam-hay Mo
Lie, yang menjadi suhunya, ialah isterinya Kwee cu Gie,
Kalau ia tahu siang-siang, pasti si nenek akan pikir-pikir
dahulu untuk menjadi muridnya Lam-hay Mo Lie Sie Lan
Eng, Sejak dahulu ia gemas pada Kwee cu Gie yang tidak
menghiraukan cintanya, Disamping rasa gemas ia juga mengakui bahwa ia ada
mencintai si cakap tampan Kwee cu Gie, Sejak waktu ia
masih perawan ditampar oleh Kwee cu Gie karena
kelakuannya yang genit, kejadian itu sampai lewat
puluhan tahun masih belum lenyap dari ingatannya.
la masih terus penasaran pada si orang she Kwee, ia
ingin balas membikin malu Kwee Cu Gie, namun ia tidak
berdaya. Panas bukan main hatinya ketika ia ketemu
Kwee cu Gie di coa-kok. apa lagi setelah mengetahui
bahwa Lam-hay Mo Lie adalah isterinya si orang she
Kwee. Maka itu, dengan tidak banyak mulut, diam-diam
ia sudah meninggalkan coa-kok.
Ang Hoa Lobo, adalah satu wanita cantik dimasa
perawannya (masih bernama Teng Goat Go), sayang
wajahnya yang cantik kena dihembus hawa racun yang
dimasak. hingga wajahnya berubah hitam dan jelek,
seperti juga hal itu terjadi dengan Kim Popo alias Kong
Kim Nio (baca buku Bocah Sakti).
Dengan wajah yang jelek. tambahan dirinya
berpakaian seperti nenek-nenek, maka Ang Hoa Lobo
persis satu nenek tua, Sebenarnya, badannya masih kuat
dalam memasuki usia setengah abad. Masih pada
kencang, tak kalah dengan wanita- wanita dari usia tigapuluhan.
Apa lagi ia merawat dirinya dengan
menggunakan lwekang yang tinggi, tak gampang dirinya
menjadi reyot. Ang Hoa Lobo napsunya masih besar dalam soal
hubungan sex, maka dengan kehilangan Siauw cu Leng,
yang ia tidak tahu kemana perginya, membuat ia sering
uring-uringan kehilangan partnernya,
Ang Hoa Lobo tak tahu kalau Siauw cu Leng sudah tak
ada pula didunia, karena tenaga pukulan membalik ketika
ia menyerang si bocah Sakti Kwee In,
Dalam perjalanan menjauhkan diri dari coa-kok. Ang
Hoa Lobo tak tahu ia harus pergi kemana untuk
menumpangkan dirinya. Tak ada teman yang untuk
diajak berdamai, yang biasanya ia suka berdamai dengan
Siauw cu Leng ketika ia masih hidup, Ang Hoa Lobo terus
mengikuti kakinya kemana sang kaki mengajaknya jalanTahu-tahu dlwaktu hari menjelang sore, ia sudah
dibawa ketepi sebuah sungai kecil yang airnya mengalir
sangat jernih sekali, Disitu adalah daerah pegunungan
yang jauh kesana sini, hanya rimba pepohonan yang
terbentang tak jauh dari mengalirnya sungai kecil itu.
Tatkala itu Ang Hoa Lobo baru sadar bahwa ia sudah
berjalan jauh dan mulai merasakan sangat haus, cepatcepat
ia menghampiri tepi kali, merebahkan badannya
tengkurap untuk menyendok air sungai dengan
tangannya. Selain ia melenyapkan rasa hausnya dengan air yang
disendok oleh tangannya, ia cacapi kepalanya hingga ia
merasakan sangat adem dan bersemangat. Tiba-tiba ia
melihat bayangan wajahnya pada permukaan air, ia jadi
menghela napas, Katanya pada diri sendiri:
"Goat- Go, kalau saja wajahmu tidak terkena racun,
pasti kecantikanmu sampai sekarang masih belum hilang.
Lihat, ini semua masih kencang "
Si nenek berkata sambil meremas-remas bukit
dadanya, yang menonjol keras, tidak reyot seperti neneknenek
biasa. Sambil meremas-remas buah dadanya dan ketawa
bangga, tiba-tiba ia merasa cemas, mengingat Siauw cu
Leng sekarang sudah tidak ada didampingnya. ia merasa
kuatir buah dadanya akan mengendor, lantaran tukang
merawatnya (Siauw cu Leng) sudah tidak ada. Buah
dadanya Ang Hoa Lobo yang kian mengencang berkat
kepandaiannya si iblis Alis Buntung, yang setiap mau
bersatu badan dengan si nenek terlebih dahulu ia sedot
dan kemoti buah dadanya si nenek hingga si nenek
menggeliat-geliat saking nikmatnya dan kejadian itulah
selalu terbayang didepan matanya Ang Hoa Lobo.
Tampak si nenek matanya berkaca-kaca menangis
kehilangan orang yang biasa menghiburnya dan memberi
banyak kesenangan kepadanya. la berpaling
kesekitarnya, ia dapatkan dirinya sendirian ditepi kali itu.
Seperti tidak percaya, bahwa tubuhnya masih pada
kencang, si nenek sudah membukai satu persatu
pakaiannya, sehingga tidak ada sehelai benangpun
menempel pada badannya. ia bercermin dipermukaan
air, seraya berseri-seri dan kedUa tangannya menelusuri
badannya sendiri seraya memencet-mencetnya dan ia
dapat kepastian semuanya masih kokoh kuat. Matanya
memandang pada kulitnya yang putih halus, ia
mengusap-usap perut dan pahanya yang putih halus
dengan perasaan sayang. Melihat keadaan si nenek waktu itu, tidak beda ia
seperti orang yang sakit ingatan, dengan tiba-tiba telah
membukai pakaiannya dan telanjang bulat seraya
ketawa-ketawa dan kedua tangannya tidak hentinya
meraba sana sini pada badannya sendiri.
Sebaliknya untuk si hidung belang, melihat tubuh si
nenek yang putih mulus dan tidak sehelai benang pun
yang menutupi badannya, pasti akan tergetar jantungnya
dan mungkin lompat dengan tiba-tiba atau sedikitnya
mendeprok lemas ditanah. Terlancur sudah membuka seluruh pakaiannya Ang
Hoa Lobo sudah turun mandi di kali.
Ia rasakan air sungai yang mengalir bening itu sangat
adem dan semangatnya telah pulih, yang tadinya sangat
lesu memikirkan akan nasibnya.
Sungai. itu tidak seberapa dalam, si nenek dapat
merendam dirinya denagn gembira sekali. Malah
terdengar suara tertawanya yang haha-hihi...persis
seperti orang gila, sebab disitu ia hanya sendirian.
Setelah merasa cukup ia merendam dirinya, ia naik
kembali kedarat dan perlahan-lahan mulai mengenakan
kembali pakaiannya. Menuruti hatinya ia ingin terus dalam keadaan tidak
berpakaian, untuk memamerkan tubuhnya yang putih
mulus tidak bercacad, ntuk menutupi kejelekan wajahnya
yang cacad, namun ia tak dapat melakukan itu oleh
karena dilarang oleh pergaulan sopan.
Dengan perasaan menyesal iapakai bajunya terlebih
dahulu, sedang bagian bawahnya ia biarkan terbuka
dahulu. Kemudian ia duduk pada sebuah batu yang tidak
jauh dari sungai itu. Ia melamun rupanya, sebab tidak
lagi ia berseri-seri, sepasang matanya yang halus tajam
memandang jauh kedepan. Dibelakang batu itu ada pepohonan yang tumbuh
lebat, muka Ang Hoa Lobo tidak memperhatikan
belakangnya dan ia melamun dengan memandang ke
depan. Beberapa kali terdengar ia menghela napas, asyik
rupanya ia melamun- Ia menunduk dan memandang kedua belah pahanya
yang montok halus, mengapit bagian yang paling
'disukai' oleh lelaki rakus. Ia ketawa perlahan, ia
bergumam "masih boleh, masih tahan beberapa tahun lagi, ia


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemuk dan indah sekali. Hihihi. ."
Entah apa yang dimaksudkan dengan perkataan Ang
Hoa Lobo, hanya batu yang didudukinya saja rupanya
disitu yang mengetahuinya.
Tampak si nenek sambil mengelus-elus kedua pahanya
yang montok telah tertawa ngikik, kemudian dengan
malas ia bangkit dari duduknya.
"Adik Kim, kau sedang melamun apa. . . .?" tiba-tiba
Ang Hoa Lobo dengar orang menegur dari belakangnya,
justeru ia sedang hendak melangkah pergi. Ternyata Ang
Hoa Lobo bukan sendirian disitu.
Kaget bukan main ia, cepat ia lompat menghampiri
pakaiannya dan mengenakan dengan cepat sekali. Baru
saja ia kelar mengenakan pakaian bawahnya, orang yang
menegur tadi sudah berada didekatnya dan tahu-tahu ia
dirangkul dari belakang dan dicium tengkuknya,
"Adik Kim, kau jangan malu-malu terhadap kokomu
sendiri. . ." bisiknya, seraya dengan kurang ajar orang itu
telah meraba teteknya si Nenek Kembang Merah. hingga
seketika berdebaran hatinya. Ia tidak berontak dan
biarkan orang permainkan barang yang paling dihargai
oleh setiap wanita, tapi oleh si nenek rupanya telah obral
murah. Melihat Ang Hoa Lobo diam saja, orang itu makin
berani dan tangannya tidak berhenti pada buah dadanya
saja, juga menjelajahi keseluruh tubuh sampai dibagian
bawah hingga Ang Hoa Lobo bergemetar tubuhnya pada
saat tangan orang itu menyentuh bagian teriarang.
"Adik Kim, sungguh tubuhmu kencang seperti perawan
saja. . . OH, adik Kim kau lupa dengan percintaan kita
dulu" oh, adik Kim, kau jangan menolak. ..."
Demikian orang itu berkata merayu, dan Ang Hoa
Lobo masih diam saja seluruh tubuhnya menjadi
permainan orang lelaki asing itu. Ia tundukkan kepala
malah, seperti tidak mau dikenali oleh si lelaki asing.
Sepintas pandangan ia dapat lihat lelaki itu cakap dan
kuat badannya seperti Siauw cu Leng pasangannya,
maka ia senang dirangkul dan senang dengan perkataan
merayu, cuma ia tidak tahu siapa yang dimaksudkan oleh
orang laki-laki itu. Kelihatannya lelaki itu sangat menyinta
pada adik Kim itu, begitu juga pelukannya ada demikian
mesranya. "Apa adik Kimnya bisa menerima tangan nakal dari
lelaki ini?" tanya Ang Hoa Lobo dalam hati kecilnya.
"Aku harap kau suka memaafkan perbuatanku tempo
hari." Ang Hoa Lobo kembali bisikan lelaki itu, sementara
kedua tangannya kembali sudah pindah kedadanya, dan
si nenek pun masih terkenang hubungan mesranya,
sementara gumpulan bulat dadanya diremas-remas.
Kelakuan demikian ia sudah menghadapinya dari
Siauw cu Leng, namun kali ini yang berbuat demikian ada
seorang lelaki asing, makanya hatinya berdebaran keras.
"Kau selalu akan memaafkan kokomu, adik Kim. . . ."
dengan suara halus lelaki itu menyambung perkataannya
dan mencium lehernya dari belakang, hingga bergejolak
hatinya Ang Hoa Lobo. "Hanya lantaran pada suatusaat
hati kokomu Khilap. maka koko sudah melakukan
perbuatan yang membikin adik Kim tidak senang, Tapi
ingatlah akan kecintaan kita tempo hari. Kalau saja Suko
siauw cu Leng tidak mengadu biru diantara kita, pasti
kita tidak menemukan kegagalan dalam percintaan kita,
oh, adik Kim. ..." Kali ini Ang Hoa Lobo hatinya berdebaran lain, ia
berdebaran hatinya oleh karena mendengar disebutnya
nama Siauw cu Leng yang telah hlang entah kemana
perginya" Ketika kembali lelaki itu dengan mesra memeluk rapat
dadanya, Ang Hoa Lobo sebenarnya ingin
membiarkannya sebab dirasakan hangat sekali dalam
pelukan lelaki asing itu, cuma saja ia tidak tahan untuk
mengetahui halnya Siauw cu Leng, si lblis Alis Buntung
yang meninggalkan dirinya tanpa memberi tahu apa-apa.
Ia coba berontak perlahan untuk meloloskan diri dari
pelukan orang, Tapi lelaki itu kembali berbisik
ditelinganya: "Adik Kim, kau marah padaku" oh, adik Kim. . ."
kembali bisikan itu disusul dengan tangannya yang nakal
bermain diantara pahanya, hingga Ang Hoa Lobe tidak
tahan merasa geli dan cekikikan ketawa.
orang itu seperti kaget mendengar suara cekikikan
ketawa wanita yang dipeluknya, sebab suara itu ada
asing bagi pendegarannya- Maka ia telah putar membalik
badannya Ang Hoa Lobo, hingga sekarang mereka jadi
berhadap-hadapan, "Hei, kau . . kau bukan adik Kim..." seru laki-laki itu
kaget dan melepaskan tangannya yang masih merangkul
si Nenek Kembang Merah. "Memang juga aku bukan adik Kim-mu, kenapa kau
terus menerus merayapi tubuhku ?" sahut Ang Hoa Lobo
dengan wajah gusar, "Maaf, maaf.. aku sudah salah mata..^" kata lelaki itu
gugup, "Enak saja kata kata salah mata," sahut Ang Hoa Lobo
dengan suara keras. "Apa tanganmu yang nakal tadi
dapat di-maafkan" Hmm Enak yang menyelusuri tubuh
orang, untung aku sudah berpakaian, kalau tidak, entah
kau buat apa atas diriku?"
Orang itu pucat mendengar si nenek menyemprot
pedas. wajahnya merah jengah, katanya:
"Harap kau suka memaafkan akan perbuatanku yang
tidak bagus barusan, sebab benar-benar aku kira kau
adalah adik Kimku." Orang itu bekata seraya putar tubuhnya hendak
berlalu. "Berhenti!!!" bentak Ang Hoa Lobo. "Enak saja kau
mau meninggalkan aku begitu saja, setelah berbuat tidak
bagus barusan, kau barus mempertanggung jawab-kan
perbuatanmu." Orang itu merandek dan kembali memutar tubuh
menghadapi si nenek yang dalam keadaan gusar
kelihatannya. Matanya menyala menembusi jantung,
hingga diam-diam si lelaki asing itu terkejut. Diam-diam
ia berkata pada dirinya sendiri: "Wanita ini perawakannya
peisis seperti adik Kim, aku jadi kesalahan melakukan
apa-apa yang tidak bagus. Sekarang ia begitu marah,
apa jadinya nanti" Dilihat dari matanya yang menyorot
tajam, pasti kepandaiannya tidak dibawah dari adik Kim.
Pasti ia mempunyai lwekang tinggi dan bagaimana nanti
aku kena dihajar oleh tongkatnya yang berat?"
seraya berkata-kata dalam hatinya, matanya melirik
kepada Ang Hoa Lobo, yang bobotnya paling sedikit juga
delapan puluh kati, lebih be&ar dari tongkatnya orang
yang ia impikan (adik Kimnya). Tapi ia ada satu lelaki
licin, maka dengan wajah ketawa-ketawa, ia menanya:
"Adik, kau menahan aku ada urusan apa?"
Senang hatinya Ang Hoa Lobo dipanggil adik. Ia
merasa bahwa dirinya ada lebih muda dari orang lelaki
itu, yang parasnya cukup tampan.
Parasnya si nenek Kembang Merah yang tadi berengut
marah, tampak berubah lunak dan mesem kepada si
lelaki didepannya tatkala mendengar orang memanggil
adik kepadanya. "Kau siapa sebenarnya?" tanya Ang Hoa Lobo.
"Aku The Sam, mohon maaf atas kelakuan barusan, "
sahutnya lantas. "Siapa adik Kim itu yang kau maksudkan?" tanya pula
Ang Hoa Lobo. "Oh, ia adalah adik seperguruanku," sahut The San.
"Adik Kimmu itu siapa nama penuhnya dan anaknya
siapa?" "Nama adik Kim ialah Kong Kim Nio, putra dari Kong
Tek Liang di Hoa im. "
Terkejut hatinya Ang Hoa Lobo mendapat keterangan
itu. "Kong Kim Nio. ..." ia membatin dalam hatinya. "Ia
adalah musuhku dalam percintaan merebut Siauw Cu
Leng. Tidak nyana si Kim mempunyai pacar yang begini
gagah dan kuat, badannya tinggi besar menjadi impian
tiap wanita. juga kecintaannya yang dulu-dulu tidak
menjadi padam oleh wajahnya si Kim yang sudah
berubah jelek itu, seperti dibuktikan oleh rangkulannya
lelaki dihadapannya yang mesra dan bisikannya yang
merayu, aku dengar barusan ketika memeluki diriku. Ah,
benar benar si Kim sangat beruntung. Tidak, seperti juga
dengan Siauw Cu Leng, cintanya aku akan rebut pula,
biar ia mampus lantaran gemas padaku yang menjadi
cumi-cumi dalam sejarah hidupnya. Aku benci si Kim,
yang berlagak lebih cantik dariku . ."
Kong Kim Nio yang dimaksudkan adalah Kim Popo.
The Sam sudah keliru menganggap bahwa Ang Hoa Lobo
adalah Kim Popo, sebab perawakannya hampir sama,
lagipula melihat sekelebatan wajahnyapun ada sama
korban dari hawa racun, hitam dan rusak.
The Sam sejak berpisah dengan Kim Popo, selalu ia
buat pikiran bekas kecintaannya itu. Ia mau menemukan
pula dan perbaiki kesalahannya, sehingga Kim popo
berbalik hatinya dan melupakan dosanya yang serakah
hendak memiliki Tiam-hiat Pit koat. Ia percaya Kim Popo
akan mengampuninya manakala ia timbulkan soal duludulu
dimana Kim Nio pernah menjadi kecintaannya.
Ia tahu kebiasaan Kim Nio alias Kim Popo suka
menjelajahi pegunungan, maka sudah lama ia
menyelidiki jejaknya sang bekas kecintaan. wajahnya Kim
Popo memang sudah jelek sekarang, tapi ia tahu bahwa
tubuhnya masih kencang mulus karena dirawat
sempurna berkat lwe-kangnya yang tinggi. Itu ia dapat
buktikan, ketika pertama kali ia bersua pula dengan Kim
Popo setelah wajahnya jelek, ialah ketika mau menguber
Kim Wan Thauto yang merampas kitab thiam-hiat (ilmu
menotok)dari tangan Kim Popo.
Pada saat mana, The Sam mencekal lengan Kim Popo
yang halus putih, buah dadanya masih padat berisi naik
turun ketika Kim Popo menarik napas.
The Sam dikala itu sebenarnya sudah mau merayu
pada Kim Popo, dan melampiaskan rindunya akibat
cintanya yang terhalang oleh Siauw Cu Leng, namun, tak
dapat ia berbuat demikian oleh karena pada waktu itu
Kim Popo sangat tergesa gesa untuk menyusul Kim Wan
Thauto guna merebut pulang kitab thiam-hiatnya.
Dengan cara tidak terduga-duga ia menemukan Ang
Hoa Lobo yang ia anggap Kim Popo ditepi sungai, sedang
tengkurup menyendok air sungai untuk menghilangkan
rasa haus. Ia tadinya lantas mau menghampiri dan menegur Ang
Hoa Lobo yang dikira Kim Popo, namun, keinginan itu ia
batalkan talkala wanita ditepi sungai itu dengan tiba-tiba
telah meloloskan pakaiannya satu per-satu.
The Sam berdiri bengong dari kejauhan menyaksikan
tubuh yang halus mulus serta padat, melayanglah
seketika pikirannya kepada jaman mudanya waktu Kim
Popo jatuh dalam pelukannya di taman bunga dan
dikecupnya beberapa kali wajahnya yang cantik. ia tak
melupakan Kim Popo alias Kong Kim Nio saat itu matanya
redup-redup basah dengan bibir gsmetar menantang
kasih, ia menundukkan kepala dan mencium penuh
mesra bibir yang gemetaran dan tampaklah Kim Nio
matanya berkaca-kaca menangis saking merasa bahagia
untuk kejadian yang dialaminya itu.
Kini ia menyaksikan wanita yang diimpikannya itu
berdiri dengan tidak sehelai benang pun yang menutupi
tubuhnya, hatinya bergejolak tidak tenang. Oh, pikir-nya,
bagaimana bahagianya ia kapan dapat merangkul tubuh
yang indah itu, tangannya dapat berkeliaran atas tubuh
yang serba padat itu. Hatinya cemas nampak wanita ditepi sungai itu telah
mereadam badannya telah naik kedarat dan mengenakan
pula pakaiannya, namun, terhibur juga ketika
menyaksikan Ang Hoa Lobo hanya mengenakan pakaian
bagian atas saja, sedangkan bagian bawahnya masih
tetap telanjang. Di-balik pohon yang ]ebat ia
menyaksikan keindahan bagian bawah Ang Hoa Lobo,
tatkala si nenek menghampiri batu dan duduk diatasnya
terus melamun. The Sam tatkala itu, hanya ia sendiri
yang tahu, bagaimana keras menahan debaran hatinya,
ingin ketika itu ia memeluk Ang Hoa Lobo dan meremasremas
kedua pahanya yang montok berisi.
Ia menyesal telah keluarkan tegurannya, sehingga
wanita yang diimpikan itu cepat mslompat menghampiri
pakaiannya dan dipakai dengan cepatnya, hingga
lenyaplah psmandangan yang mengasyikkan barusan.
Kini ia dapat kenyataan, bahwa wanita itu bukannya
Kong Kim Nio alias Kim Popo yang sering ia impikan.
"Kau mengatakan namanya Siang Cu Leng, siapa itu
Siauw Tin Leng," menanya Ang Hoa Lobo pura-pura tidak
kenal dengan nama partnernya.
"Siauw Cu Leng adalah kami punya Suko," jawab The
Sam. "Kenapa Siauw Cu Leng" Apa ia mengganggu
percintaanmu dengan Kim Nio?" tanya lagi Ang Hoa Lobo
kepingin tahu. Tampak wajahnya The Sam berubah guram. Dengan
suara gergetan ia berkata: "Siauw Cu Leng sudah
merebut Kim Nio dari tanganku. Sukoku itu orang jahat,
setelah ia dapatkan Kim Nio masih belum puas dan
membuat perhubungan dengan seorang gadis nama
Teng Goat Go, kemudian kabur dengan gadis itu. Kim Nio
diterlantarkan-nya."
"Bagaimana kau tahu Siauw Cu Leng direbut oleh
Teng Goat Go?" "Ini aku tahu dari mulutnya Kim Nio sendiri, ketika


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum lama berselang aku ketemu dengannya. Hatiku
panas, ingin aku menampar sekali mukanya Teng Goat
Go yang telah merebut suaminya adik Kim!"
"Hehe, kau mau menampar Teng Goat Go7" Ang Hoa
Lobo ketawa. "Asal kau ketemu dengan Teng Goat Go,
bukannya kau menampar, malah kau bisa-bisa ditampar
dan tekuk lutut menahan cintanya. Kau tidak tahu, gadis
Teng Goat Go itu sangat cantik. Lebih cantik dari si Kim
Nio, matanya Siauw Cu Leng mudah tergila-gila
kepadanya." The Sam berdiri heran mendengar perkataannya Ang
Hoa Lobo. "Adik, apa kau tidak salah berkata" Adik Kim sangat
cantik, mana ada gadis yang dapat mengalahkan
kecantikannya?" bantah The Sam, melindungi
kecintaannya. "Lelaki tolol, asal kau ketemu Teng Goat Go, pasti kau
akan kesemsem dan jatuh berlutut minta cintanya seperti
aku katakan tadi." Ang Hoa Lobo menegaskan. The Sam jadi tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak
percaya, tidak percaya," katanya pasti. "Dalam pikiranku,
hanya adik Kim wanita cantik menarik, tidak bakal ada
wanita lain yang merubah pikiranku itu."
Ang Hoa Lobo tertawa terkekeh-kekeh. Ia berkata:
"Asal kau ketemu Goat Go, orang tolol, kau akan
merangkul padanya dan membisiki kata-kata merayu
serta tanganmu tidak bisa diam berkeliaran ditubuhnya
yang montok padat. Hihihi . . ."
The Sam melengak heran, Matanya mengawasi pada
Ang Hoa Lobo yang berseri-seri kearahnya,
menakutkan... kalau The Sam tidak pernah melihat
wajahnya Kim Popo yang rusak dan bersenyum
kearahnya. Malah dibalik wajah yang rusak itu dari Ang
Hoa Lobo, The Sam seolah-olah menemui sifat sifat genit
dan berani. "Kau menatap saja pada wajahku, memangnya
wajahku kebagusan?" tegur Ang Hoa Lobo ketawa. "Asal
dulu kau melihat wajahku, pasti kau akan bertekuk lutut .
. ." The Sam semakin heran hatinya. Pikirnya, apa wanita
ini ada maunya terhadap dirinya, makanya telah
mengeluarkan kata-kata yang tidak semestinya dikatakan
oleh seorang wanita sopan" Kapan ia mengingat akan
tubuhnya Ang Hoa Lobo yang serba padat, tiba-tiba saja
berdebaran hatinya dan ingin mengulangi rabaannya atas
badan si nenek, meskipun sekarang sudah terhalang oleh
pakaiannya. The Sam adalah seorang licik dan licin, maka ia
berkata: "Adik...wajahmu tidak menjadi soal, adalah
tubuhmu yang sangat mengiurkan . . ."
Ang Hoa Lobo ketawa cekikikan seperti juga anak
perawan umur enam belas tujuh belaS tahun.
Diam diam si nenek merasa bangea mendengar pujian
dari lelaki didepannya. Bergerak tubuhnya Ang Hoa Lobo ketika nyekikik
ketawa, terutama bagian dadanya yang padat, sehingga
The Sam berdiri bengong menyaksikannya.
"Orang tolol, kau mau tampar Teng Goat Go atau mau
gerayangin tubuhnya?" tegur Ang Hoa Lobo ketika
melihat The Sam diam saja berdiri.
"Kau.., kau.. ?" berkata The Sam terputus-putus.
"Ya, akulah Teng Goat Go.. ." sahut Ang Hoa Lobo
bangga. "Adik Goat, oh. sungguh kebetulan." tiba-tiba saja The
Sam lompat menyergap Ang Hoa Lobo, pikirnya ia mau
permainkan tubuh orang serba padat itu.
"Mana begitu gampang!" kata Ang Hoa Lobo, yang
berkelit dari sergapan The Sam.
The Sam ketawa nyengir, nampak sergapannya tidak
membawa hasil. "Adik Goat, kau permainkan kokomu?" seru The Sam,
kembali ia menyergap. Kali ini ia gunakan ilmunya 'Tongpiekong' ialah tangannya bisa mengerat dan mengulur
panjang, hingga Goat Go alias Ang Hoa Lobo ia kaget, ia
gagal dalam berkelitnya. Tahu-tahu ia rasakan tubuhnya kena dipeluk oleh
lengan kanannya The Sam yang mengulur panjang,
kemudian badannya terangkat melayang dibawa lari dan
direbahkan dibalik batu, dimana Ang Hoa Lobo tadi
duduk termenung. Entah sejak kapan baju bagian atasnya jadi terbuka,
Ang Hoa Lobo lihat kedua buah dadanya terpentang.
Nenek Kembang Merah tubuhnya menggeliat geliat
menahan bergeloranya sang napsu, kapan ia rasakan
buah dadanya yang kiri diremas dan yang sekalian
dihisap oleh The Sam. "Koko, kau mau apakan...aku.. ?" tanya Ang Hoa Lobo
dengan suara gemetar sambil tangannya mengelus-elus
kepalanya The Sam yang nempel didadanya.
Cuaca sementara itu telah mulai remang-remang
gelap. Suara napas The Sam yang memburu terbawa keluar
dari balik batu oleh tiupan Sang angin sepoi-sepoi.
"Koko, kau benar-benar hebat . . . ." terdengar suara
Aug Hoa Lobo perlahan. Menyusul terdengar suara mendengus saling susul
seperti kecapean. Apa yang dilakukan oleh kedua insan itu dibalik batu.
hanya angin sepoi-sepoi saja yang berlalu lalang yang
mengetahuinya dan sang batu yang gagu.
Sampai cuaca sudah gelap, barulah The Sam dan Ang
Hoa Lobo pada keluar dari balik batu sambil merapikan
pakaiannya masing masing.
Mereka kemudian duduk berendeng di-atas batu besar
itu. "Koko, kau bawa ransum kering?" tiba-tiba Ang Hoa
Lobo menanya. "Aku sangat lapar."
"Ada, ada..." sahut The Sam, seraya merogoh sakunya
dan dikeluarkannya beberapa potong kuwe kering. lalu
diberikan kepada si Nenek Kembang Merah.
Dengan lahap Ang Hoa Lobo makan kuwe itu.
"Nanti aku ambilkan airnya," berkata The Sam, seraya
merosot turun dari batu dan pergi ketepi kali. Dengan
menggunakan daun yang lebar, ia menyendok air sungai
dan dibawanya pada Ang Hoa Lobo, untuk si Nenek
Kembang Merah minum. The Sam sendiri sudah menggayem kuwe, untuk
menangsel perutnya yang juga lapar.
Tidak jadi kegelapan dua manusia itu berada didaerah
pegunungan yang sepi, karena waktu itu tanggal dua
belas dan sang rembulan cukup terang, menerangi
mereka yang sedang menangsel perutnya yang lapar.
"Adik Goat, aku tidak kira kau bisa main," tiba tiba The
Sam berkata ketawa. "Kau kira aku sudah loyo" Hm! Asal kuat kau
melayaninya..." Ang Hoa Lobo bersenyum.
Keduanya tertawa gembira, dan sejak itulah The Sam
menggantikan 'tugasnya' Siauw Cu Leng, yang sudah
Ang Hoa Lobo lupakan sejak malam itu mendapat
hiburan dari The Sam yang tidak pernah diimpikan
sebelumnya. The Sam lebih kuat dan lebih agresif, maka si Nenek
Kembang Merah suka padanya dan cepat melupakan
Siauw Cu Leng. Untuk sementara mereka tinggal dalam sebuah goa,
sebelum mendapat tempat yang baik untuk tempat
meneduh. The Sam mengajak Ang Hoa Lobo berkelana,
namun si Nenek Kembang Merah tidak menyetujuinya,
enlah apa sebabnya" "Koko, kita belum lama berkumpul, maka sebaiknya
kita berkumpul puas puas dulu, baru kita pikir lagi
kemana kita harus pergi!" berkata Ang Hoa Lobo ketawa.
The Sam mengerti maksud pacarnya. Ia menyahut:
"Untuk beberapa hari kita sudah berkumpul, apa masih
belum puas" Dalam perjalanan juga kita tidak akan
hentikan kewajiban kita, bukan?"
"Oo, disini dan diluaran lain," sahut Ang Hoa Lobo
genit. "Disini tidak ada gangguan, hatiku tentram
melayani kau sembarang waktu, siang atau malam...."
Ang Hoa Lobo berkata seraya merangkul The Sam,
tangannya nyelonong dan bakal main bagian yang
manimbulkan napsu, The Sam tergerak hatinya,
tangannya juga tidak tinggal diam dan membukai
pakaian Ang Hoa Lobo, sehingga si Nenek Kembang
Merah cekikikan ketawa lantaran merasa geli beberapa
bagian tubuhnya kena disentuh tangan nakal The Sam.
Tengah hari bolong juga tidak menjadi ukuran untuk dua
insan itu melampiaskan kesenangannya.
Untuk membuat The Sam tidak mensia-siakan dirinya,
maka Ang Hoa Sobo pada suatu hari telah menotok The
Sam hingga tidak bisa bergerak, hanya mulutnya yang
masih bicara. "Adik Goat, kenapa kau menotok aku?" tanya The Sam
heran. "Sudah tentu ada maksudnya," sahut Ang Hoa Lobo
ketawa. "Kau bermaksud apa?" tanya The Sam kepingin tahu.
"Sederhana saja," sahut Ang Hoa Lobo
"Kau sudah ganggu diriku, aku kuatir kau
meninggalkan aku yang berwajah jelek. maka sekarang
aku mau bikin wajahmu juga jelek seperti Siauw Cu Leng
tempo hari. Hihihi . . ."
Tergetar hatinya The Sam. Marah sekali ia, mendapat
tahu wajahnya bakal dirusak oleh Ang Hoa Lobo. Ia tidak
mengira si nenek ada demikian kejam, kalau tidak, siangsiang
ia sudah lari meninggalkannya.
"jangan kau gusar, manis . . ." kata Aug Hoa Lobo
tenang, seraya menyeka mukanya The Sam dengan kain
yang sudah dicelup racun.
The Sam meramkan matanya. Ia tidak merasakan
apa-apa. hanya dingin saja, tapi akibat sekaan dengan
kain yang sudah dicelup racun itu hebat sekali, sebab
wajahnya The Sam yang tampan telah berubah menjadi
keriput tua dan hitam hangus seperti terbakar. Setelah
mana, seraya terkekeh-kekeh ketawa Ang Hoa Lobo
mengambil cermin dan dihadapkan kepada The Sam,
Bukan main kagetnya si orang she The, sebab wajahnya
sekarang sudah salin rupa menakutkan.
"Kau suugguh kejam, adik Goat!" The Sam mengeluh.
"Aku bukannya kejam," sahut Ang Hoa Lobo kontan.
"Aku berbuat begini untuk mencegah kita jangan sampai
bercerai seumur hidup. Aku mencintaimu, koko, maka
kau jangan salah paham aku berbuat demikian. Kalau
kau dalam wajah aslimu, bagaimana sedih dan hancur
hatiku, manakala kau sudah bosan dan meninggalkan
diriku. Sekarang, dengan wajah yang serupa ini, aku
tidak kuatir kau akan mensia-siakan diriku."
The Sam menghela napas. Ia tidak bisa kata apa apa,
sebab kenyataannya wajahnya sekarang sudah tak dapat
diobati lagi. Ia tahu Teng Goat Go ada puterinya jago
racun dari Hoa im, yang tidak mudah ia permainkan.
Satu satunya hiburan baginya, setelah wanita itu
memang benar-benar mecintai pada dirinya, makanya
sudah berlaku kejam agar ia tidak ditinggal pergi
olehnya. Dengan wajah yang berubah demikian jelek, tidak ada
muka ia untuk bergaul dengan kawan-kawannya pula,
apalagi dengan golongan wanita, maka selanjutnya ia
menjadi budaknya Ang Hoa Lobo seperti telah terjadi
dengan Siauw Cu Leng,si Iblis Alis Buntung ....
-ooOdwOoo- BAB-6 BWEE HIANG .... Kita kembali kepada jago betina kita yang telah
pingsan karena mengendus obat bius. Ia dalam keadaan
terikat badannya dengan tiang, bajunya bagian dada dan
perutnya disobek terbuka oloh Gin-eng Kam Sian Sui,
hingga kulitnya si nona yang putih mulus terlihat nyata.
Apa ini pembalasan dari si Elang Perak yang rambut
kepalanya dipapas gundul oleh si nona atau memang
suatu tekanan untuk si nona menurut dijadikan
menantunya, menjadi isterinya Kim Liong, anaknya yang
nomor dua. Bwee Hiang dalam pingsan sudah tidak ingat apa-apa
pula, kalau ada orang yang melakukan perbuatan tidak
senonoh atas dirinya, ketika itu ada sangat gampang
sebab si nona dalam keadaan tidak berdaya.
Berapa lama si nona jatuh pingsan oleh pengaruhnya
obat bius, tahu tahu ketika ia siuman kembali, ia
dapatkan dirinya bukan didalam ruangan yang seram,
hanya dibawah sebuah pohon yang rindang diantara
tegalan yang terbentang luas.
Ia dapatkan dirinya tidak terikat dengan tiang, tapi
sudah bebas, bebas bergerak dan ia jadi jengah
sendirinya nampak keadaan dirinya saat itu. Pakaiannya
sudah robek disana sini, memalukan sekali.
Hatinya sangat gemas kepada si Elang Perak dan
suaminya. "Awas, akan kulakukan pembalasan untuk hinaan ini!"
ia berkata sendirian. Tapi, segera ia menjadi heran, karena kenapa dirinya
ada disitu sebalik dari berada dalam ruangan tahanan
yang menyeramkan itu" Siapakah yang telah
membebaskan dirinya" Siapa yang telah menolongnya"
Sungguh ia harus menghaturkan terima kasih kepada
penolongnya itu, yang begitu berani berkorban merebut
ia dari tangannya orang-orang ganas seperti Tan Pangcu
dan isterinya. Waktu itu adalah pagi-pagi.


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matahari pagi baru saja mengunjukkan dirinya. Malu ia
dengan pakaian demikian pulang ke markas Ngo-tokkauw.
Makin dipikir makin gemas ia kepada Ketua dari
Ceng Liong Pang yang telah menghina kepadanya.
Matanya tiba-tiba tertumbuk pada satu bungkusan,
diatas mana ada pedangnya yang menjadi
kesayangannya. Ia heran, Lalu ia mendekati bungkusan
itu, ketika ddihat isi-nya ternyata ada seperangkat baju
wanita. Seraya memegang baju dari bungkusan tadi. Bwee
Hiang tertegun. Pikirannya melayang-layang. Ia menanya
pada dirinya sendiri: "Siapakah orang yang menolong
diriku" Demikian baik orang itu, bukan saja menyediakan
pakaian untuk aku tukaran, tapi juga pedangku tidak
lupa dibawakan sekali.... "
Ketika ia membeber baju baru itu. tiba-tiba jatuh
secarik kertas. cepat Bwee Hiang memungutnya dan
dibaca isinya yang berbunyi:
"Adik Hiang, Sungguh malu aku tatkala mengetahui kau mendapat
perlakuan yang tidak enak dari ayah dan ibuku. Dengan
melupakan bahwa perbuatanku membuat ayah dan ibu
gusar aku sudah bawa kau kemari. Terimalah pakaian
untuk tukaran dan pedangmu juga aku sekalian
kembalikan. Dengan memandang pada mukaku, aku
harap kau tidak menarik panjang urusan ini dan sukalah
kau memaafkan atas perbuatan ibu dan ayahku yang
keliru itu, untuk mana aku sangat berterima kasih sekali
kepadamu." "Aku sendiri sekarang sudah tidak ada dimarkas, aku
pergi merantau untuk mencari guru yang pandai, agar
ilmu silatku tidak mentah matang. Semoga pada lain
kesempatan kita berjodoh bertemu muka kembali. Sekali
lagi, untuk kesalahan ayah dan ibuku, aku mohon kau
suka memberi ampun, adik Hiang "
("TAN KIM LIONG")
"Oh, ia yang menolong aku..." menggumam si gadis,
tatkala ia habis membaca surat.
Wajah Kim Liong yang cakap seketika itu telah
berbayang didepan matanya.
Si gadis menghela napas, setelah merenung beberapa
saat. "Engko Liong ada pemuda cakap dan sopan santun
kelakuannya, aku suka padanya. sayang sudah
terlambat, hatiku sudah dimiliki adik In. Kasihan ia.., ia
pergi mengembara untuk mencari guru, semoga ia
berhasil dan menjadikan dirinya seorang jago nomor satu
dalam kalangan rimba persilatan.." demikian Bwee Hiang
berkata sendirian. Setelah itu cepat ia bertukar pakaian.
Rupanya itu adalah pakaian ibu atau ensonya Kim
Liong, sebab pas sekali dipakai Bwee Hiang, hingga diam
diam ia tersenyum geli setelah bertukar pakaian baru.
Kemudian ia jumput pedangnya dan dicantolkan
dipinggangnya, sedang pakaiannya yang sudah sobeksobek
itu sayang ia buang dan dibungkusnya rapih untuk
dibawa pulang. Sebentar lagi tampak ia sudah berlalu dari tempat itu.
Dengan menanya nanya kepada tani, cepat ia
menemukan jalan untuk pulang ke markas Ngo-tok
kauw, dimana kedatangannya disambut dengan hati lega
oleh Tong-hong Kauwcu dan ibunya, karena mereka
telah kehilangan si nona.
Ketika Bwee Hiang ditanyakan ia sudah pergi kemana,
tidak bilang dulu kepada sang ibu, Bwee Hiang hanya
ketawa. Ia tidak memberitahukan apa yang sudah terjadi
semalam dalam markas Ceng-liong-pang. Ia masuk
kekamarnya, setelah itu ia keluar lagi menemani ibunya
duduk kong-kouw. "Anakku, aku harap kau tetap tinggai bersama ibu
disini," berkata sang ibu tiba-tiba. "Ayahmu sudah
berdamai denganku, kau bakal diangkat menjadi Sen-koh
(puteri Ketua) dari perkumpulan kita. Aku harap kau
tidak menolak, sebab dengan adanya kau disini, kami
tidak takut-takut pula dengan segala rongrongan, sebab
ada kau yang dapat mengusirnya. Bukankah baik
demikian, anak Hiang?"
Bwee Hiang tidak menyahut. Ia hanya bersenyum,
hingga sang ibu mendesak: "Anakku, suka terima
bukan?" "Ibu," sahut sang anak. "Aku bukannya menolak,
namun, aku sudah janji dengan adik In, untuk membikin
kunjungan kelembahnya. Kami masih ada urusan yang
belum diselesaikan, maka hatiku selamanya tidak
tenteram!" "Urusan apa yang harus diselesaikan, anak Hiang?"
"Itu urusan besar, ibu. Seperti pernah kukatakan pada
ibu, permusuhan dendam Sucoan Sam-sat adalah urusan
yang sangat penting, aku dengan adik In dan lain-lainnya
harus menyatroni sarangnya untuk menuntut balas. Aku
harus dengan tangan sendiri membunuh mereka, barulah
aku merasa puas!" Terbelalak matanya Ceng Hoa. sang ibu, mendengar
kata-kata anaknya. "jadi. kalau kau belum membalas Sucoan Sam-sat,
hatimu masih belum tenang?" tanya sang ibu dengan
penuh kuatir. Bwee Hiang tersenyum getir. "Memang, kalau urusan
itu aku sudah dapat selesaikan barulah hatiku merasa
tentram, ibu" Sang ibu menggeleng-gelengkan kepala dan menghela
napas. "Anak Hiang, menurut pikiran ibumu, lebih baik kau
batalkan niatmu yang bukan-bukan itu. Ibumu tidak
setuju kau pergi kesana untuk mengantarkan jiwa, kau
diam saja disini dengan tenteram dan bahagia,
sebaliknya pergi kesana mencari bahaya!"
Bwee Hiang tundukkan kepala, tidak berkata apa apa.
"Bagaimana, apa pikiran ibu tidak benar?" tanya sang
ibu. "Sebaiknya dalam soal Sucoan Sam-sat ibu tidak
banyak campur, itu adalah urusan anak pribadi."
menyahut sang anak dengan gagah. "Urusan ngo-tokkauw,
apabila mendapat kesusahan, asal anak masih
bernapas pasti anak akan datang menolongnya. Adik In
juga sudah tentu tidak akan tinggal diam."
Putus asa sang ibu untuk membujuk anaknya tinggal
terus di markas Ngo tok-kauw dan menjadi Seng-koh.
Dalam pergaulan yang singkat, Ceng Hoa tahu adat
anaknya yang keras hati. maka ia pun pikir tidak perlu
membujuknya lagiSejak itu, dua hari kemudian Bwee Hiang telah
menghilang. Ia hanya meninggalkan sepotong surat
kepada ibunya. bahwa ia pergi ke lembah Tong-hong-gay
untuk mencari adik In-nya. harap sang ibu tidak
memikirkannya. Sekali waktu, manakala ada kesempatan
pasti ia akan berkunjung ke Ngo tok-kauw bersama adik
In-nya. Tonghong Kin yang diberitahukan suratnya sang anak,
juga tidak bisa kata apa-apa.
"Anak Hiang keras adatnya." ia menghela napas.
"Bagaimana juga kita bujuk tak akan berhasil." katanya.
"Biarlah kita sebagai orang tua mendoakan akan
keselamatannya." Mari kita ikuti perjalanannya Bwee Hiang.
Sebagai gadis cantik dengan membawa-bawa pedang,
memang juga dirinya Bwee Hiang ada menarik perhatian
orang yang berlalu-lalang. Tapi orang anggap ia ada satu
Lie-hiap (pendekar wanita), maka orang tidak usil akan
dirinya. Namun tidak demikian dengan mata alap-alap dari
kalangan bangor, melihat Bwee Hiang cantik jelita itu,
tidak melewatkan kesempatan untuk mmggodai si jago
betina. Bwee Hiang sebenarnya sangat mendongkol hatinya.
oleh gangguan orang orang demikian, tapi ia berlagak
pilon, ia tidak mau mencari gara-gara oleh urusan sepele,
kuatir perjalanannya menjadi tertunda.
Tapi, dasar nasibnya Bwee Hiang rupanya dalam
setiap perjalanannya mesti menemui pengalaman, maka
ia tak dapat menghindarkan bentrokau dengan orangorang
dari Peng Tek Liang, jagoan dari kampung Pek-keCun. Itulah pada waktu ia bendak melangkah masuk
kedalam warung makanan, ia dengar teriakan dari
seorang perempuan yang minta tolong.
Bwee Hiang tidak jadi masuk kewarung itu dan lalu
pasang kuping dari jurusan mana teriakan minta tolong
itu keluar. Ia putar tubuhnya lari ketempat dari mana teriakan
terdengar, disana ia lihat ada seorang wanita muda
tengah diseret oleh beberapa orang laki-laki, malah ada
yang menyambuki, hingga wanita itu berteriak-teriak
minta tolong. Meskipun ada banyak orang yang melihat kejadian
kejam itu, tidak ada orang yang berani ulurksn
tangannya menolong wanita tadi yang berteriak teriak.
Dibelakang perempuan itu ada digiring dua orang tua,
rupanya mereka sepasang suami-isteri. yang perempuan
kelihatan sudah sukar bertindak, tapi dipaksa oleh orang
orang yang mengiringnya. Malah dengan kejam perempuan tua itu juga
berkenalan dengan cambukan.
"Kalian begini kejam!" seru wanita tua itu. "Apa
memangnya dalam kampung ini tidak ada keadilan"
Biarlah kalian nanti mendapat hukuman untuk kekejaman
ini. Aduh! Kejam, kejam . . !"
Orang tua itu menangis, kena dicambuk mukanya,
hingga mengeluarkan darah dari bekas cambukan tadi.
"Kalian jangan menganiaya ibuku!" wanita muda yang
diseret tadi berkata dengan putus-asa. "Lepaskan ibu dan
ayahku, biar aku yang menanggung sendiri nasib celaka
ini, Aku tidak takut dihadapkan kepada Peng-jiya, palingpaling
aku juga dicambuk mampus kalau aku tidak turuti
kemauannya..." Wanita muda itu menangis menggerung-gerung sedih.
Dalam keadaan demikian ia diseret terus, hingga tak
dapat ia merontak-rontak untuk meloloskan diri dari
seretannya orang-orang itu yang dilakukan dengan kasar
sekali. "jiya telah perlakukan kau baik-baik, kenapa kau
menolak kemauan jiya" Hm, Siapa yang berani
menentang jiya" Rasakan akibat keangkuhanmu. Maka,
baik-baiklah kau ikut kami menghadap jiya, disana kau
boleh minta ampun dengan menyerahkan dirimu, pasti
jiya mempunyai pertimbangan untuk membebaskan ibu
dan ayahmu!" membujuk salah satu orang yang
mengiring wanita itu, rupanya yang menjadi kepalanya.
Bwee Hiang dapat dengar semua pembicaraan
mereka. Ia mengerti bahwa perbuatan itu dilakukan oleh
orang-orangnya, orang yang berpengaruh dalam
kampung itu, melakukan perbuatan yang sewenangwenang
kepada pihak yang lemah. Hal demikian
memang sering terjadi, orang-orang takut campur
tangan karena takut oleh pengaruhnya si orang jagoan.
Menghadapi soal yang ganjil itu, tidak bisa tidak Bwee
Hiang campur tangan. Maka, begitu rombongan orang-orang itu lewat
didepannya, segera ia menghadang. Ia berkata: "Tuantuan,
harap berhenti sebentar. Aku ingin bicara dengan
kepala rombongan!" Orang-orang jahat itu kaget nampak tiba-tiba saja ada
satu gadis menghadang, hingga mereka berhenti. Ketika
dilihat bahwa diri si gadis itu tidak ada apa-apanya yang
dibuat seram, maka mereka jadi berani dengan
mengandalkan jumlah banyak.
Tampak ada seorang maju kedepan. "Aku Peng Tiong,
orangnya Peng jiya, kau mau omong apa mencegat
perjalanan kami?" bentaknya nyaring.
Bwee Hiang bersenyum manis, senyuman yang
membuat orang orangnya Peng jiya terbelalak saking
menggiurkan rupanya. "Aku menghadang bukannya apa apa, aku mau minta
Toako suka melepaskan wanita itu bersama kedua orang
tuanya," sahut Bwee Hiang kemudian dengan tenang.
Gerr! saja tiba-tiba orang ketawa, mentertawakan
Bwee Hiang. "Anak manis, kau jangan mengganggu perjalanan
kami," berkata Peng Tiong. seraya ketawa cengar-Cengir
seperti monyet kena terasi. "Lekas kau enyah dari sini,
sebentar kalau dilihat jiya aku tidak tanggung akan
nasibmu!" "Memangnya Peng jiya kenapa kalau melihat aku?"
tanya Bwee Hiang.. "Ehm!" Peng Tiong berdehem, sambil matanya
menatap wajah si nona. "Kau begini cantik. mana jiya
mau lepaskan" Kau dari mana sih datangnya?"
Bwee Hiang tidak gusar dengan kata-kata Peng Tiong,
malah ia bersenyum. "justeru aku mau melihat jiya, ia ada dimana
sekarang?" kata si nona serius.
Peng Tiong melengak mendengar perkataan si nona.
Biasanya, wanita mendengar namanya saja Peng-jiya
sudah ketakutan, ini sebaliknya malah mau mencari jiya,
benar ada diluar dugaan mereka yang menjadi
begundalnya. "Nona, kalau kau tidak mau dapat susah, aku
nasehatkan lekas kau pergi dari sini, kalau tidak, jangan
sesalkan aku akan tangkap kau untuk dipersembahkau
kepada majikanku. Pasti ia senang melihat wajahmu


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat cantik..."
"Manusia hina!" bentak Bwee Hiang, mulai sengit ia
mendengar kata kata Peng Tiong. "Apa kau kira nonamu
dapat disamakan dengan lainnya" Kau lihat, kalau kalian
tidak melepaskan itu nona (sambil menunjuk pada wanita
yang tengah menangis), dan ayah ibunya, jangan
sesalkan nonamu akan memberi hajaran pada kalian!"
"Wah, galak benar!" seru salah satu orangnya Pengjiya,
sementara itu ketawa ramai telah terdengar riuh.
Mereka mentertawakan Bwee Hiang yang dianggap
sudah sinting ingatannya hendak campur-campur
urusannya Peng-jiya. Bwee Hiang jadi kurang senang.
"Kalian mau lepaskan atau tidak mereka bertiga?"
tegurnya bengis. "Bukan saja mereka tidak di lepaskan, malah kau juga
akan kami tangkap!!." seru Peng Tiong dengan tidak
kurang bengisnya. "Bagus!" kata Bwee Hiang menyusul tangannya diulur
mau mencekuk Peng Tiong. Bukan main gusarnya si kepala rombongan, seraya
berkelit ia memaki: "Budak hina! Dasar peruntunganmu
bakal jadi permainannya jiya, maka dengan tidak hujan
tidak angin datang-datang mau campur perkara orang
lain!" "Hehe, kau bisa main juga, ya!" jengek Bwee Hiang
tatkala melihat Peng Tiong sudah bisa selamatkan
dirinya. "Lihat ini!" berbareng kepalan si nona berkelebat, dan
kali ini tak dapat dikelit oleh Peng Tiong, sebab si orang
she Peng terpelanting kena dijotos telak dadanya dan
muntahkan darah segar. Kawan-kawannya melihat pimpinannya dengan
segebrakan sudah dijatuhkan oleh si nona. matanya pada
terbelalak keheranan. "Manusia-manusia tolol!" bentak Peng Tiong. "Untuk
apa jiya piara kalian, kalau tidak mau membela
kehormatannya jiya" Lekas serbu dan tangkap budak liar
itu!" "Enak saja kau bicara, apa kiranya mudah menangkap
nonamu" Hm! Siapa tidak tahu diri, boleh maju!" tantang
Bwee Hiang, tenang-tenang saja jago betina kita.
Orang-orang itu seperti baru sadar akan tugasnya,
maka mereka lantas mengurung Bwee Hiang, meskipun
dengan takut-takut kelihatannya.
Si nona tabu mereka keder, maka ia lalu menggertak:
"Satu demi satu aku akan bikin kalian muntah darah
seperti Peng Tiong itu!" si nona seraya menunjuk pada
Peng Tiong yang masih mendeprok di-tanah dengan
mulutnya berlumuran darah.
"Kentut!" teriak Peng Tiong. "Lekas serbu, jangan
kasih lolos budak liar itu. Siapa yang bisa tangkap, akan
mendapat hadiah dari jiya!"
Mendengar disebutnya 'hadiah', membuat mereka jadi
bersemangat. Bwee Hiang tenang-tenang saja, ketika mereka
beringas hendak menangkapnya.
Begitu mereka menyergap dengan berbareng, begitu
juga tubuhnya Bwee Hiang berputar dan segera
terdengar dua-tiga orang rubuh menjerit kesakitan dan
muntah darah. Yang lain-lainnya menjadi takut melihat kekosenannya
Bwee Hiang. "Lepas mereka, kalau tidak, rasakan tanganku yang
keras!" bentak Bwee Hiang seraya mengacungkan
kepalannya. Tinju itu putih mungil, tapi dirasakan sebagai palu
godam dari ratusan kati memukul dada, hingga mereka
yang jadi korban pada ketakutan. Mereka mendeprok
terus, pura pura sudah tidak berdaya oleh pukulannya
Bwee Hiang tadi. Masih ada dua-dua orang yang berlaku nekad dan
menyergap Bwee Hiang, namun, dengan satu kelitan
manis Bwee Hiang menghilang dan tahu-tahu mereka
pada menjerit dan jatuh terkulai kena tinjunya jago kita.
"Hehe !" tertawa Bwee Hiang, ketika melihat korbankorbannya
pada merintih kesakitan. Sedang yang lainlainnya
sudah pada lari meninggalkan orang-orang
tawanannya. Bwee Hiang lalu meaghampiri pada wanita muda tadi
dan menanyakan duduknya perkara.
Kiranya wanita itu sudah mempunyai suami, yang
tengah mencari pekerjaan di kota. Ia tinggal bersama
ayah dan ibunya yang sudah lanjut usianya, mereka yang
di-tawan bersamanya. Pada suatu hari ada lewat Peng
Tek Liang, yang dikenal dengan nama Peng-jiya (majikan
kedua), didepan rumahnya dan kebetulan Peng jiya
melihat padanya sambil bersenyum. Wanita itu mengira
Peng-jiya ada kenalan suaminya, maka ia juga
bersenyum. Lantaran senyuman ini telah menerbitkan
malapetaka, segera itu waktu Peng-jiya telah masuk
kedalam rumahnya dan mengajak si nyonya muda
mengobrol. Wanita itu, yang mengaku bernama Swat Lan,
memang berparas cukup cantik dan menarik hatinya
Peng-jiya. Ketika mengetahui bahwa Peng-jiya bukan apa
apa suaminya, Swat Lan sadar bahwa ia telah
mengundang masuk srigala kedalam rumahnya.
Ia memang sudah dengar bahwa Peng-jiya itu seorang
paling suka permainkan anak bini orang dan bukan
sedikit yang telah menjadi korbannya, tanpa ada campur
tangan dari pihak pembesar yang bertugas dalam
kampung itu, rupanya sudah kena disuap oleh Peng-jiya
yang terkenal hartawan dalam kampungnya.
Ketika Peng-jiya mengajak mengobrol terus, Swat Lan
menjadi ketakutan, sebab orang she Peng itu, bukan saja
mulutnya yang nyerocos tapi juga tangannya nakal
mencubit lengan, pipi dan malah berani menowel orang
punya buah dada. "Peng-jiya," Swat Lan kata, ketika melihat gelagat
jelek. "Harap kau suka batasi tanganmu yang nakal,
kalau kelihatan orang, bukankah menjadi malu?"
"Malu apa, asal kau suka melayani, Peng-jiya tidak
takut malu!" jawabnya ketawa.
Swat Lan sebenarnya tidak selayaknya menemani
orang laki-laki asing duduk mengobrol, apa lagi suaminya
sedang tidak ada dirumah. Ketelanjur Peng-jiya
menerobos masuk dan minta ia duduk pasang omong,
katanya ada urusan penting yang hendak ditanyakan,
maka Swat Lan kepaksa melayani bicara. Ia tidak
mengira kalau Peng-jiya itu sangat ceriwis dan
tangannya nakal, hingga ia jadi ketakutan.
"Peng-jiya, tidak baik aku menemani lama-lama kau
bicara, maka aku permisi masuk kedalam saja," kata
Swat Lan dengan suara halus. Pikirnya, dengan suara
halus itu ia dapat mengusir Peng-jiya, tapi, dugaannya
meleset. Begitu si nyonya muda bangkit dari duduknya
Peng-jiya membarengi berbangkit dan dengan tiba tiba
saja sudah merangkul dirinya, hingga Swat Lan menjadi
gelabakan... "Peng jiya. ingat aku bukan istrimu.., ah. aku takut
nanti orang lihat. suamiku pulang pasti aku akan
dipukuli. Peng ji ya, kau jangan begini!" Swat Lian
berontak, untuk melolokan diri dari pelukan Peng jiya.
Tapi Swat Lan sukar melepaskan dirinya dari
cengkeramannya orang yang sudah kalap, malah
pelukannya Peng jiya dirasakan makin erat. Panas
dirasakan kedua pipinya ketika merasa kedua belah
pipinya diciumi Peng jiya. Swat Lan menangis, ketika
dalam keadaan tidak berdaya ia hendak direbahkan
didipan. Untung tiba-tiba pintu terbuka, ayah dan ibunya
datang masuk dan mengusir Peng jiya.
Gagal Peng jiya mempermainkan si cantik Swat lan. Ia
lepaskan pelukannya, seketika itu Swat Lan melejit
bangun dan berdiri dibelakang ibu dan ayahnya sambil
menangis keras karena dirinya dihinakan orang.
Peng jiya marah diusir oleh kedua orang tua itu. Ia
menghampiri dan mengirim pukulan kepada ayahya Swat
Lan.namun, pukulannya mengenakan angin, dikelit oleh
orang tua itu. "Kau berani banyak lagak dirumah orang!" bentak
ayah Swat Lan bengis. Menyusul tangannya yang kuat
memcekuk belakang lehernya Peng jiya, dengan sakat
enteng ia dibawa keluar dan dilemparkan hingga si orang
she Peng bergulingan. Kesakitan juga Peng jiya karena lemparan tadi.
Hatinya panas, ia berteriak: "Manusia dekat mampus!
Lihat pembalasan Peng jiya!!"
Ayahnya Swat Lan gemas. Ia keluar dan hendak
memberi hajaran pula kepada orang ceriwis itu. Namun
Peng jiya sudah siang-siang lari dari situ.
Pada keesokan harinya dengan dipimpin oleh Peng
Tiong, rumahnya Swat Lan disatroni. Ayahnya yang
kepandaiannya tidak seberapa, dikeroyok oleh banyak
begundalnya Peng jiya dan akhirnya telah menyerah.
Bersama dengan isterinya orang tua yang usianya
sudah lanjut itu digiring oleh orang-orangnya Peng jiya.
Sementara Swat Lan secara kasar telah digelandang
juga. Belakangan ia mogok dijalan, maka terpaksa ia
diseret oleh orang-orangnya Peng jiya, sehingga si nona
berkaok-kaok minta tolong dan didengar oleh Bwee
Hiang. Setelah mendengar duduknya perkara, Bwee Hiang
manggut-manggut. "Memang orang ada yang suka sewenang-wenang
kepada orang yang tidak punya uang, apalagi kalau
orang itu setan paras elok, makin jahat dalam segala
perbuatannya." berkata Bwee Hiang kepada Swat Lan.
Sambil menepas air matanya Swat Lan menyahut:
"Adik, semestinya kau jangan turut campur dalam
urusanku ini. sebab akibatnya sangat hebat. Peng-jiya
bukan hanya punya orang-orang seperti yang di-pimpin
Peng Tiong saja, tapi juga ada memelihara jagoan
jagoan tukang pukul yang kepandaian silatnya tinggi.
Adik, aku kuatir akan keselamatanmu maka pergilah kau
lari!" Swat Lan menyuruh si nona lari meninggalkan
mereka. "Hehehe!" Bwee Hiang ketawa tawar. "Urusan sudah
ditanganku, mana bisa begitu mudah aku
meninggalkannya. Lihat saja, enci Lan, apa yang Pengjiya
bisa bikin terhadap aku. Mari sekarang kita pulang?"
Bwee Hiang mengajak si nyonya muda.
Swat Lan ajak kedua orang tuanya pulang, tapi ibunya
ternyata sudah habis tenaganya, dan ayahnya masih
dapat jalan. "Adik," kata Swat Lan. "Ibuku tidak bisa jalan, biarlah
kita mengaso dahulu sebentar. Kapan tenaganya sudah
pulih baru kita pulang."
"Mana bisa begitu, mari aku gendong ibumu!" sahut
Bwee Hiang. Ia berkata sambil menghampiri nyonya tua itu, yang
lantas menggendongnya. Swat Lan sangat berterima kasih kepada Bwee Hiang,
yang bukan saja menolong mengusir orang-orang jahat,
sebaliknya sudah menggendong ibunya pulang.
Dalam perjalanan pulang tampak kedua wanita itu
omong-omong banyak, Bwee Hiang dan Swat Lan
dengan sedikit tempo saja menjadi kenalan baik.
Sampai dirumahnya, Swat Lan repot menyediakan
barang hidangan untuk Bwee Hiang, yang sudah lapar
dari setadian. jago betina kita tidak malu-malu menyikat
makanan dalam rumahnya Swat Lan. apa lagi nyonya
rumah saban saban menyuruh ia makan banyak.
Swat Lan sendiri hanya makan sedikit, rupanya
hatinya sangat ruwet dan memikirkan apa yang akan
terjadi sebentar. "enci Swat Lan, hayo ikut makan banyak," berkata
Bwee Hiang. "jangan kau pikirkan urusan Peng jiya,
kalau mereka datang kemari akan kukasi hajaran kepada
mereka. Malah Peng-jiya sendiri akan kuketemukan dan
ancam ia hentikan perbuatan-perbuatannya yang tidak
senonoh itu." Swat Lan hanya anggukkan kepalanya. Dalam hatinya
ia berkata: "Apa kau tidak terlalu sombong membuka
mulut besar sekarang" Hm! Sungguh sayang sekali kalau
kau sebentar jatuh dalam tangannya Peng-jiya!"
Swat Lan merasa sayang kalau sampai Bwee Hiang
sebentar akan jatuh ditangannya si orang she Peng, ini
sebab ia tidak tahu kepandaiannya Bwee Hiang sampai
di-mana. Ketika Swat Lan sedang temani Bwee Hiang, setelah ia
mengobati luka ayah dan ibunya, tiba-tiba pintunya
digedor dari luar. "Kasar benar gedoran itu, kau bukalah enci Lan!"'
berkata Bwee Hiang tenang.
Swat Lan sebenarnya ragu-ragu untuk membukanya.
akan tetapi, kalau dibiarkan rumahnya bisa roboh oleh
gedoran yang dahsyat itu, maka mau tidak mau ia telah
membukai pintu dan sebentar saja sudah menerobos
masuk empat-lima orang yang berperawakan tinggi besar
dan wajahnya semuanya bengis menakutkan.
"Mana itu wanita liar?" tanya salah satu diantaranya
dengan suara keras seperti lonceng ditabuh, hingga Swat
Lan menggigil badannya. "Kau jangan taku enci Lan" menghibur Bwee Hiang.
Lalu ia bangkit dari duduknya, menghadapi orang yang
menanya tadi. Ia kata: "Kau cari siapa, sahabat?"
Orang itu memandang Bwee Hiang, dalam hatinya
lantas menduga bahwa wanita liar yang ia sebutkan tadi,
adalah wanita yang berdiri dihadapannya. Maka ia kata:


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona, kau yang bikin huru-hara barusan?"
"Itu bukannya huru hara. aku hanya menolongi enciku
dari cengkeraman orang jahat!!" jawab Bwee Hiang
ketawa. "Nona, kau benar-benar telah makan nyalinya
harimau, begitu berani membentur Peng jiya yang sudah
terkenal banyak anak buahnya. Aku nasehatkan kau
jangan campur urusan dalam rumah ini, mana kalai aku
tidak menurut, tahu sendiri akibatnya..."
Bwee Hiang ketawa ngikik, hingga orang itu
keheranan. "Kau ketawakan apa, nona?" tanyanya kepingin tahu.
"Aku ketawakan kalian, sudah merendahkan diri
menjadi anak buahnya orang jahat!" sahut Bwee Hiang
tegas. hingga lima orang yang barusan masuk pada
melengak heran. "Kau berani menyindir?" kata orang tadi. "Aku Kim-say
Thio Tjiang, kepala dari semua orang-orangnya Peng-jiya
adalah satu laki-laki, tak takuti siapa juga "
"Siapa kata kau takuti orang. yang aku ketawakan kau
tolol telah menjadi begundalnya segala hartawan
kampungan jahat!" sahut Bwee Hiang ketawa ngikik.
Kim say Thio Tjiang, si Singa Emas, marah bukan
main. la membentak: "Budak liar, kalau tidak aku bekuk
kau, memang juga kau tak tahu kelihayanku"
Seiring dengan kata-katanya, tangannya diulur cepat
sekali hendak mencekuk batang leher orang, tapi Bwee
Hiang lebih gesit. Lengannya sudah kena dicekal si nona.
"Singa Emas, cobalah keluarkan kepandaianmu"
ngeledek Bwee Hiang. setelah mencekal keras lengan
Kim-Say Thio Tjiang. Meskipun kecil dan halus jari-jarinya si nona, tapi
ketika mencekal lengan si Singa Emas seperti telah
berubah menjadi jepitan besi kuatnya.
Si Singa Emas rasakan ngilu dipencet lengannya,
sampai peluh membasahi tubuhnya. Ia tidak mengira si
nona mempunyai tenaga lwekang demikian dahsyat.
Meskipun ia coba berkali kali, hasilnya nihil, lengannya
tak dapat terlepas dari cekalannya Bwee Hiang yang
seperti jepitan besi. "Kau boleh unjuk kelihayanmu!" mengejek Bwee
Hiang, ketika melihat si Singa Emas dahinya sudah penuh
dengan keringat yang berketel ketel.
"jangan sombong!" bentaknya, berbareng kakinya
bekerja menendang selangkangan si nona yang sedang
enak-enakan mencekal lengan si Singa Emas. Ia tidak
menduga orang bakal menendang, hingga hampir saja
Bwee Hiang celaka, kalau tidak cepat melepaskan
cekalannya dan merangkapkan pahanya, untuk
menerima tendangan lawan.
-OO0DW0OOJILID 3 Bab 7 TENDANGAN si Singa Emas keras tapi tenaga
membalik dari pahanya Bwee Hiang yang dirangkap tadi,
tidak kurang kerasnya, sebab si Singa Emas badannya
melayang dan menimpa dinding rumah hingga ambrol.
Thio Ciang menggeletak sambil keluarkan rintihan
kesakitan, kakinya yang menendang tadi telah patah.
Bwee Hiang gunakan jurus 'Giok-lie Koan-bun (Wanita
cantik menutup pintu ), menangkis tendangan lawanyang
dabs yat. Kawan-kawannya melihat pemimpinnya keok, menjadi
murka. Cepat mereka mengurung, tapi Bwee Hiang tidak
takut. Sa-yang diilain ruangan itu sempit, maka ia sudah
lompat keluar diuber oleh empat.
Orang kawannya si Singa Emas yang mengira si gadis
takut- Swat Lan melihat Bwee Hiang lompat keluar, ia juga
mengira Bwee Hiang ketakutan, maka hatinya jadi sangat
khawa-tir akan diri penolongnya. Ketika dengan lesu ia
melongok keluar ia lihat sudah ada dua lawannya Bwee
Hiang yang menggeletak. Ia hanya dikoroyok oleh dua
orang. Hatinya Swat Lan menjadi gembira dengan
serentak melihat kemenangan tuan psnolongnya. Dengan
tak terasa ia malah bertepuk tangan, seperti memberi
semangat kepada Bwee Hiang untuk merobohkan dua
lawannya lagi. Nona kosen kita tahu tepukan tangan si nyonya cantik,
maka setelah ia melirik sebentar, badannya berkelebat
dan tahu-tahu dua musuhnya terpelanting hampir
berbareng kena jotosan dan tendangan Bwee Hiang yang
liehay. Itulah terjadi ketika Bwee Hiang mengegos, menyusul
tiujunya yang keras menghantam dada musuhnya yang
menyerang tadi. Tidak sampai disitu, sebab Bwee Hiang
segera kempeskan perutnya kasih lewat pukulanyang
mengarah perut dari lawannya yang satunya. Menyusul
kakinyu terangkat, sebelum sang lawan perbaiki posisinya,
yalah menarik pukulan kearah perucang luput,
satu tendangan hebat bersarang dirusuknya hingga tak
ampun pula lawan Bwee Hiang terbanting meloso
ditanah. Ini adalah gerakanyang dinamakan
'Kim-tiauw-hoan-sin' atau 'Rajawali Emas membalik
tubuh' ajaran Kwee In, guru cilik Bwee Hiang, si Bocah
sakti yang sangat sangat liehay.
Melihat empat orang Iawannya Bwee Hiang sudah
pada roboh, Swat Lan lari menghampiri si jago betina.
Sambil mencekal tangan orang Swat Lan berkata:
"Adikku, kau benar-benar hebat! Aku tidak nyana hanya
beberapa gebrakan saja, kau dapat menjatuhkan musuhmusuh
tangguh. Sungguh diluar dugaanku sama sekali."
Bwee Hiang tertawa. Ia hadapi mereka yang sedang
pada merintih dan berkata: "Kalian boleh pulang dan
kasih tahu kepada Peng-jiya aku akan bikin kunjungan
kesana, untuk menghajarnyal"
Setelah berkata Bwee Hiang ajak Swat Lan masuk pula
kedalam, di mana ia tidak dapatkan Peng Tiong yang tadi
rebah ketimpa tembok yang ambrol. Kemana ia sudah
pergi" Bwee Hiang tidak ambil mumet.
"Enci Lan," kata si gadis. "Aku sudah bekerja, maka
aku harus bekerja sampai pada buntutnya, maka
sebentar malam aku akan menyatroni rumahoya Pengjiya!"
"Jangan, perbuatan itu sangat berba-haya!" sahut
Swat Lan kaget. Bwie Hiang tertawa, "Kalau orang itu tidak dikasih
hajaran, mana bisa kapok?" kata si gadis. "Biarlah aku
pergi kesana, aku juga tidak sembarangan turun
tangan dan aku hendak melihat gelagat" nya juga. Kau
jangan kuatir, enci!"
Swat Lan tak dapat mencegah kemau-annya jago
betina kita, ia hanya minta supaya si gadis berhati hati,
jangan sampai kena perangkap musuh dan meuyulitkan
diri sendiri. Swat Lan tinggalkan Bwee Hiang se-bentaran untuk
melihat keadaan kedua orang tuanya, kepada ayahnya ia
ceritakan halnya, Bwee Hiang telah menghajar orangorangnya
Peng-jiya. Orang tua itu unjuk paras girang.
"Aku puas mendengar kejadian ini," berkata sang
ayah. "Cuma saja aku kha-watirkan urusan tidak sampai
disini saja, Peng-jiya mana mau mengerti orang orangnya
dijatubi begitu saja, pasti ia akan mengirim orangorang
kuatnya lagi." "Adik itu akan menyatroni rumahnya Peng-jiya,
bagaimana ayah pikir T' tanya Swat Lan, yang ingin tahu
bagaimana pikiran sang ayah atas tindakannya BweeHiang. "Memang ada baiknya kalau si nona pergi kesaua
untuk mengrsi hajaran pada orang jakat itu, cuma aku
khawatir mak-sudnya gagal, karena menurut kabar
rumahnya Peng-jiya selainnya dijaga oleh orang
orangnya yang terdiri dari jago jago pilihan juga
diperlengkapi dengan banyak perkakas rahasia. Ioi ada
berbahaya, maka kau harus kasih nasehat si nona
supaya ia berlaku hati-hati, kalau tidak, lebih baik kau
cegah ia pergi kesana, aku takut ia mendapat bahaya."
Swat Lan memang sama pikirannya dengan sang
ayah, maka ketika ia menemui Bwee Hiang pula ia
ulangkan nasehatnya supaya si nona jangan teruskan
maksud u ya menya-troni rumahnya Peng-jiya. Ia
tuturkan kekuatiran sang ayah bahwa si nona nanti
masuk jebakan Bwee Hiang tidak menjawab. ia kerutkan alisnya yang
bagus. Ia jadi ragu-ragu akan menyatroni rumahnya Pengjiya,
mengingat dhana ada dipasang banyak perkakas
rahasia. Sebalik-nya dipikir lagi, kalau ia tidak pergi
kesana, Peng-jiya jadi keenakan dan perbuat-annya pasti
akan lebih jahat pula. Sementara itu cuaca sudah gelap tanda sang malam
sudah tiba. Swat Lan telah msnyediakan hidangan pula untuk si
nona makan. Kali ini Swat Lan hatinya rada lega, maka ia
dapat menemani Bwee Hiang makan.
Selama makan, tampak Bwee Hiang tidak banyak
berkata-kata, ia seperti sedang memikirkan jalan
bagaimana untuk memberi hajaran kepada Peng-jiya.
Swat Lan saban-saban mengajak ia bicara, gadis kita
hanya sambut dengan ketawadan mnnggutkan kepala
saja. Nyo-nya rumah tahu bahwa Bwee Hiang sedang
memikirkan halnya Peng-jiya. Ia menghibur: "Adikku,
aku harap kau jangan menempuh bahaya, jangan kau
coba pergi menyatroni rumahnya Peng-jiya yang banyak
dipasang perangkap berbahaya. Biarkan saja, orang
jahat begitu nanti juga ketemu batunya!"
"Enci Lan, justeru sekarang ia ketemu batunya,
bagaimana kau mengharap ada lain batu yang
menemukan Peng-jiya?" sahut Bwee Hiang ketawa.
Swat Lan semu merah wajahnya karera jengah.
Memang juga pada waktu itulah Peng-jiya ketemu
batunya, yalah ketemu Bwee Hiang. Sebab orang gagah
yang bagaimana lagi yang lebih hebit kepandaian-nya
dari Bwee Hiang?" Malam itu Bwee Hiang tidur bersama-sama dengan
Swat Lan. Sampai jauh malam mereka pasang omong,
sampai tiba-tiba Bwee Hiang rasakan kepalanya berat
dan mengantuk, ia lihat kawan bicaranya sudah
menguap saja dan lantas menghampiri ranjang untuk
lantas tidur tidak ingat pula akan dirinya.
Bwee Hiang yang sudah ada pendalaman, cepat-cepat
ia rogoh kantongnya dan masuki pil pemusnah obat tidur
kedalam mulutnya. Makin lama, ia menghendus bau
wangi makin tajam dan ia pun turut Swat Lan naik
keranjang untuk lantas tidur.
Sebentar pula, ssteyah kedua wanita itu mendengkur
pulas, tiba tiba dari jendela masuk sesosok bayangan
dengan wajahnya pakai topeng hitam.
Orang itulah yang telah membius Bwee Hiang dan
Swat Lan. "Nona gagah," terdengar orang itu berkata kata
sendirian. "Bagaimana juga kau ada seorang wanita,
tidak dapat melebihi kecerdikannya orang lelaki "
Perlahan-lahan ia menghampiri Bwee Hiang yang tidur
disebelah tepi ranjang. Bwee Hiang tidur dengan celentang, hingga parasnya
yang cantik terlihat nyata oleh si orang bertopeng.
"Sungguh cantik nona gagah ini..." menggumam si orang
bertopeng. "Kalau saja aku tidak banyak . hutang budi
kepada Jiya, terang nona se-cantik ini bakal menjadi
makananku. Biarlah aku bawa pada Jiya, sebagai tanda
bahwa aku setia kepadanya. Oli, bagaimana girangnya
Jiya kalau sudah melihat kecantikannya nona gagah ini . .
." menyusul ta-ngannya yang jail menyolek pipinya Bwee
Hiang, yang diam saja, malah kelihatan parasnya seperti
bersenyum kena dicolek pipinya, sehingga membuat si
orang bertopeng menjadi tergetar hatinya.
Ingin ia memeluk dan menciumi si nona, namun, ia
merasa berdosa kepada Jiya kalau ia berbuat demikian,
maka ju-ga dengan menekan geloranya sang hati,, ia
sudah angkat dan pondong Bwee Hiang pergi melalui
jendela. Gesit orang itu, rupanya dia mempu-nyai kepandaian
tinggi dalam hal ilmu mengentengi tubuh, sebab dengan
beberapa lompatan saja ia telah menghilang ditelan oleh
kegelapan sang malam. Sebentar saja ia sudah sampai
pada sebuah bangunan rumah besar yang mewah, yang
tembok pe-karangannya tinggi. Ternyata tembok
pekaranganyang tinggi itu tidak menjadi rintangan bagi si
orang bertopeng, meskipun ia membawa beban berat,
dengan sekali enjot saja ia sudah menclok diatasnya,
tembok, kemudian lompat turun kesebelah dalam. Ia
berlari-lari disaling oleh lompat sana lompat sini seakanakan
ia menghindarkan diri menginjak perangkap.
Sebentar lagi ia masuk pintu sebelah kiri dari
bangunan rumah yang besar itu. Didalam ia harus lewati
beberapa ruangan, dengan cermat sekali ia dapat
menghindarkan tiap jebakanyang dipasang disitu.
Segera ia sudah sampai pada sebuah ruangan luas,
namun, ia masih terus membelok kekiri dan kemudian
kekanan, lantas berdiri didepannya sebuah pintu besar.
Ia mengetuk tiga kali, berhenti sejenak, lalu mengetuk
dua kali lagi, lama ia berdiam, lalu mengetuk lagi tiga
kali, inilah rupanya kode untuk orang yang disebelah
dalam tahu kalau yang datang ada kawan ssndiri.
Segera tampak terbuka sebuah lobang pada daun
pintu. Seorang dengan suara parau menanya: "Siapa
diluar" Binatang atau manusia?"
"Manusia atau binatang adalah sahabat!" Si orang


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertopeng menjawab. Itulah kode untuk malam itu rupa-nya, sebab lantas
kelihatan pintu dibuka lebar dan Si orang bertopeng
nerobos masuk dengan memondong Bwee Hiang.
Diruangan tengah ada duduk berkumpul kira-kira
sepuluh orang, dengan dikepalai oleh Peng jiya,
diantaranya tampak Peng Tiong dan empat kawannya
pecun-dang Bwee Hiang. Si orang bertopeng lalu merebahkan Bwee Hiang
diatas sebuah dipan beralas kasur yang empuk dan
menyiarkan bau wangi; Orang-orang yang ada disitu sangat girang melihat si
orang bertopeng berhasil dengan pekerjaannya. Ketiiea si
orang bertopeng menghampiri Peng-jiya, ia melapor:
"Jiya, aku sudah selesaikan tugas yang Jiya berikan
padaku, harap Jiya suka periksa."
"Saudara Lie, sungguh aku sangat berterima kasih
atas bantuanmu," jawab Peng-jiya dengan sorot mata
kegirangan, "Sekarang kau beristirahatlah'." ia
menyilahkan. Si orang bertopeng menghampiri ka-wan-kawannya
untuk duduk berkumpul. Mereka kasak-kusuk menanyakan bagaimana si orang
bertopeng melakukan pekerjaannya, ketika melihat Pengjiya
telah menghampiri Bwee Hiang yang menggeletak
diatas dipan. Dalam keadaan rebah seperti tak sadarkan
diri, tampak wajahnya Bwee Hiang mempesonakan
Peng jiya, si gila basa. "Sungguh cantik. . .!" ia memuji
perlahan. "Kalau saja ia dapat menjadi gundikku, rasanya
hidupku sungguh puas. Belum pernah aku menemui
gadis secantik ini. Tapi, eh, apa benar nona ini yang
menjatuhkan Peng Tiong dan kawan-kawan-nya?" Ia
menanya pada dirinya sendiri, berbareng ia menggapai
pada Peng Tiong dan beberapa kawannya yang tadi
siang menempur Bwee Hiang.
Peng Tiong cepat bangkit berdiri disusul oleh kawan
kawannya, mereka menghampiri Peng-jiyi. "Coba kalian
kenali, apa nona ini yang me.nbikin susah kalian tadi
siang?" Peng-jiya menanya pada Peng Tiong dan kawankawannya.
Peng Tiong dan kawan-kawan menegasi roman Bwee
Hiang sejenak. "Betul, betul ia yang telah merobohkan
kami orang. Ia sangat hebat kepandaiannya, Jiya harus
hati-hati membikin jinak kepadanya, salah-salah nanti
bisa dapat susah!" menasehati Peng Tiong.
Peng-jiya ketawa. "Kau jangan takut, apa baru sekali
ini saja Peng-jiya menemui wanita kosen" Sudah dua-tiga
orang wanita kosen telah dibikin tunduk oleh Peng-jiya,
cuma sayang satu yang paling belakangan kepala-batu,
setelah mengetahui dirinya sudah dinodai lantas
membunuh diri. Dasar perempuan tidak punya rejeki,
kalau dengan rela seterusnya menjadi gundik Peng-jiya
tentu sekarang ia hidup senang seperti yang Yainlainnya.
Memang wanita itu adatnya aneh-aneh.
Hahahaha . . ." Peng Tiong tidak berkata apa-apa lagi, lalu bersama
kawan-kawannya balik lagi kemeja berkumpulnya,
dimana mereka meneruskan kasak-kusuknya dengan si
orang bertopeng. Orang bertopeng itu adalah orang Peng-jiya yang
paling disayang, ia bernama Lie Ciang bergelar Hui-yan
(si Walet Terbang). Tidak kecevta ia mempunyai julukan
si Walet Terbang, sebab ginkangnya sangat hebat.
Dalam kesukaran mendapatkan perempuanyang disetujui
oleh Peng-jiya selalu minta bantuannya Hui-yan Lie
Ciang. Saban kali tugas yang diberikan kepada Hui yan
Lie Ciang belum pernah gagal, maka Peng-jiya sangat
sayang pada si Walet Terbang.
Dalam hal Bwee Hiang juga, Peng-jiya tidak
melupakan Hai yan Lie Ciang, yang merupakan kartu
teakhir untuknya, sebab usaha jago-jago pilihannya yang
dipimpin Peng Tiong telah dipecundangi oleh si nona
gagah. Kejahatan Peng-jiya sudah luber, maka juga ia sudah
ketemu Bwee Hiang rupanya.
Melihat Peng-jiya seperti yang ke-sengsern msnatap
wajahnya Bwee Hiang yang cantik, orang-orangnya
lantas minta permi-si berlalu. Mereka tahu diri, dalam
keadaan seperti itu si majikan membutuhkan
ketenteraman dan berada berduaan dengan bakal
korbannya. Peng-jiya ketawa ketika mendengar orang-orangnya
minta permisi berlalu. "Baiklah, Lain kati kita berunding pula dalam
urusanyang kita barusan bica-rakan belum ada
keputusannya, sekarang selamat malam!" berkata
Peng-jiya ketawa. Peng Tiong dan teman-temannya dilain detik sudah
berada diluar kamar. Pintu segera dikunci dari sebelah
dalam oleh Peng-jiya. Mendadak saja hatinya menjadi
dak-dik-duk kapan pada saat ia melangkah menghampiri
Bwee Hiang fmembayangkan kecantikanaya Bwee Hiang
dan tubuhnya yang serba padat menggiurkan.
"Dasar peruntunganku baik, lepas pe rempuan sialan
itu, bolehnya menemui si cantik dan gagah ini. Baiklah,
aku nanti buat ia jinak seperti yang laianya. Oh,
bahagialah aku kalau ia menjadi gundikku yang tercinta.
Saban hari akan ku ajak ia pelesir, pasti ia tak akan
menolak-nya melihat badaanya yang kokoh dan serba
padat itu . . ." Demikian ia melamun kalau ia sudah dapat menjinaki
jago betina kita. Sementara itu ia sudah malingkah
mendekati dipan diatas mana Bwee Hiang masih rebah
celentang tak sadarkan diri. Peng-jiya memandang,
memandang dengan tak merasa bosan pada wajah Bwee
Hiang yang segar dan sepasarg bibirnya seperti
tersenyum. Peng- jiya duduk disampingnya Bwee Hiang, sambil
ulurkan tangannya mencu-bit perlahan pipi si nona ia
berkata: "Nona kau sungguh cantik . . ."
Tangannya kemudian mau mengcerayang pada bagian
tubuh Bwee Hiang lainnya, tapi batal, ketika merasakan
debaran hatinya tak tertahankan. Segera ia bangkit dan
meloloskan pakaian luarnya, hingga kini ia hanya
berpakaian dalam yang dengan lantas dapat diloloskan
kalau sebentar ia mulai melakukan tugasnya.
Dalam pakaian dalam itu ia menghampiri si nona.
Perlahan-lahan ia menggeser badan Bwee Hiang sedikit
ketengah dan ia sendiri lalu merebahkan dirinya disarapi
ng si nona. Cepat tangannya bekerja, hendak membukai pakaian
Bwee Hiang. Tak tertahan geloranya sang hati nampak bibir Bwee
Hiang seperti bersenyum menantang, maka ia batalkan
menggerayang pakaian orang, ia cenderungkan
kepalanya dan hendak mengecup bibir yang semekar itu.
Pada saat itulah tiba-tiba Bwee Hiang pelengoskan
mukanya, berbareng Peng-jiya rasakan iganya
kesemutan kena ditotok. Badannya roboh tengkurup
diatas dipan, sementara Bwee Hiang sejak tadi sudah
meninggalkannya. Kalau Bwee Hiang masih celentang, pasti tubuhnya
Peng-jiya akan menindih Bwee Hiang. Si nona ada sangat
sebat, begitu ia menotok sudah lantas melejit turun dari
dipan dan mengawasi Peng-jiya yang badannya roboh
tengkurap. Bagaimana Bwee Hiang dengan mendadak bisa
syuman" Itu tidaklah heran, seperti dikatakan diatas, ketika ia
melihat Swat Lan menguap saja dan ia ada menphendus
baunya asap wangi, lantas tahu ada orang datang
membius mereka, maka seketika itu ia masuki pil
pemusnahnya kedalam mulutnya. Itulah pil bikinan Kwee
Inyang diberikan kepa-danya untuk menjaga diri.
Si nona tahu kedatangannya Hui yan Lie Ciang, namun
ia pura pura tidak sadarkan diri. Ia biarkan dirinya
dipondong dibawa kesarangannya Peng jiya. Itu memang
keinginannya si nona. sebab sampai sebegitu jauh ia
ragu-ragu menyatroni sarangnya Peng-jiya dikarenakan
disana banyak dipasang perangkap.
Dengan diam-diam ia perhatikan gerak annyaHui-yan
Lie Ciang, ketika ia dipondong lompat sana dan lompat
sini menghindarkan tempat-tempacang ditaruh .
perangkap. Ia catat dikepalanya, supaya dalam
perjalanan pulang ia tidak sampai kejeblos dalam
perangkap. Senang hatinya si nona mendapat petun-juk dari si
Walet Terbang dengan tidak disadari oleh Hui-yan Lie
Ciang. Si nona sangat hormat dalam usahanya, tidak
mau ia membikin ular kaget, maka ia biarkan dahulu
tangannya Peng jiya yang hendak membukai pakaiannya,
ia menanti si korban sampai cenderungkan badannya. Ia
tahu lelaki bangor tidak tahan melihat senyuman
menggiurkan, maka juga ia telah bersenyum manis
seraya geraki sedikit bibirnya seperti gemetar.
Pemandangan inilah yang membuat Peng jiya kena
perangkap si nona. Tidak tahan akan napsunya yang
bergelora, ia cepat cenderunekan badannya dengan
maksud hendak mencium, pada saat itulah si nona
pelengoskan mukanya dan berbareng dengan sebat
menotok 'Thian kie-hiat' (jalan darah pada bagian iga
kanannya), sehingga si alap alap perempuan ambruk
tengkurup. Bwee Hiang menghampiri Peng jiya yang sudah tidak
berdaya. Ia tarik bangun dengan tangan kirinya, tangan
kanannya menggampar keras pada pipinya Peng-jiya
hingga berlepotan darah mulutnya dan gigi-nya ada tigaempat
biji yaiyg rontok. Sakit bukan main, tapi Peng-yiya
tak berdaya. "Manusia hina!" bentak Bwee Hiang. "Entah berapa
banyak korban karena kejahatanmu, maka sekarang
rasakan pembalasan perempuanyang dihina olehmu!"
menyusul kakinya Bwee Hiang bekerja dan menendang
nyungsep tubuhnya Peng-jiya ke kolong dipan.
Justeru lantaran tendangan itu.totok-an pada iganya
menjacii terbuka dan Bwee Hiang tidak sadari ini, karena
ia saking gusarnya. Bwee Hiang jongkok menarik kakinya Peng jiya, lalu
diberdirikan pula dengan maksud menghajar pula pipinya
sang korban dengan tangannya yang sudah siap
dikerjakan. Pada saat itulah, tiba-tiba Peng-jiya merangkul si
nona. Denpan mencerahkan semua tenaganya yang ada
Peng-jiya telah merangkul erat, hingga si nona menjadi
kaget, kedua tangannya tidak bisa digeraki. la berontak
keras, hingga mereka jadi bergunyengan dan Bwee
Hiang rasakan tubuhnya didorong kedekat dipan.
Kaget si nona mengetahui tenaganya Peng-jiya ada
besar, hingga kedua tangannya tak dapat digeraki. Makin
lama ia makin terdesak kedckat dipan.
"Kau jangan andalkan ilmu silatmu yang tinggi, lihat
Peng jiya akan bikin kau merasakan kenikmatannya
dunia.." berkata Peng-jiya, seraya terus mendorong
Bwee Hiang kearah dipan, maksudnya hendak
merebahkan si nona dan diganggu kehormatannya.
Bwee Hiang merah selebar mukanya mendengar
perkataan cabul dari Peng jiya.
Kegusarannya meluap-luap, tapi ia masih belum dapat
meloloskan diri dari rang-kulannya Peng-jiya yang entah
teiah menggunakan ilmu apa"
Kaget si nona ketika Peng jiya dengan kekuatan
raksasanya telah berhasil mendorong dirinya rebah
diaras dipan. Dengan begitu mereka jadi bergulat diatas
dipan, yang satu berontak hendak meloloskan diri, yang
satu bertahan dengan kuatnya.
Bwee Hiang sudah keluarkan keringat juga bila
mengingat bahaya yaag mengan-cam dirinya. Ia bingung
Peng-jiya telah menggunakan ilmu apa, sebab kedua
tangan nya yang biasanya lincah menjadi mati kutu kena
didekap oleh Peng jiya. Lebih pula Bwee Hiang kagetnya tatkala nampak
Peng-jiya seraya mendekap keras badannya, tangannya
masih ada kesempatan untuk merayapi bagian dadanya.
Pu-cat wajahnya si nona, rasa takut mulai muncul dalam
hatinya. Ia merontak dengan kekuatannya yang ada, namun,
sia-sia saja, badannya. tak dapat terlepas dari
rangkulannya Peng-jiya yang seperti jepytau besi.
Pikir si nona: "Sekali ini aku mesti celaka . . . ! Oh,
adik In, encimu bukan tidak bersetia kepadamu, biarlah
dilain penitisan kita berjodoh . . . Encimu dalam
cengkeraman srigala dan tidak berdaya, kapan encimu
sudah dinodai, encimu akan membunuh diri untuk
menanti kau dialam baka dan encimu akan minta ma'af
untuk perbuatan encimu yang tak bisa menjaga
kehormatannya . . . , adik In, kau dimanakah" Tidakkah
kau kasihan kepada encimu yang sedang dalam bahaya
ini . . . ?" Bwee Hiang tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca
menangis, mengingat akan nasibnya yang buruk.
Meskipun demikian ia tetap merontak-rontak ketika Peng
jiya menambah pula tenaganya dan menekan tubuhnya
untuk tidak bergerak diatas dipan.
"Tok! Tok! Tok!" tiba-tiba terdengar ketukan dipintu,
pada saat Bwee Hiang sudah putus asa untuk dapat
melindungi dirinya. Ketukan itu membuat Peng jiya kaget. Justeru
lantaran kaget, tenaganya yang seperti raksasa tadi
mengendor, kesempatan mana tidak disia siakan oleh
Bwee Hiang dan sekali merontak kali ini ia berhasil
melepaskan dirinya. Ia melejit bangun, menyusul Peng


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jiya sudah berada didekatnya pula hendak merangkul.
Kali ini si nona tidak kasih hati, tinjunya me-luncur
kearah dada Peng-jiya. Buk! Tinju Bwee Hiang bersarang
telak didada Peng-jiya, hingga si hartawan jahat terkulai
roboh dan muntah darah- Saking gemasnya, Bwee Hiang
menendang keras pada rusuknya Peng-jiya, hingga ia
menje-rit kesakitan dan bergelimpangan dilantai, untuk
dilain detik ia telah melepaskan na-pasnya yang
penghabisan. "Sialan!" Bwee Hiang membatin, seraya merapikan
rambutnya dan pakaiannya yang kusut barusan bergulat
diatas dipan dengan Peng-jiya.
Lega bukan main hatinya Bwee Hiang dapat lolos dari
terkamannya Peng-jiya. "Entah ia menggunakan ilmu apa, hingga aku tidak
berdaya didekap olehnya?" tanya Bwee Hiang pada
dirinya sendiri. Ia tidak bisa memikirkan hal itu lebih jauh, karena
ketukan pintu makin gencar.
Bwee Hiang bersenyum. Ia bersyukur atas ketukan
pintu itu, sebab gara-gara ketukan pintu itu ia dapat lolos
dari bahaya yang hampir tak dapat dielakkan.
Bwee Hiang disamping bersyukur kepada ketukan
pintu, ia juga punya keperca-yaan bahwa tenaganya
Kwee lnyang tak kelihatan telah membantu dirinya dapat
ia meloloskan diri dari rangkulannya Peng-jiya, sebab
pikirnya, barusan saja ia berkata kata kepada adik Innya,
dengan tiba-tiba saja ia mempunyai kekuatan
dahsyat dan pelukannya Peng-jiya dapat diatasi.
Bwee Hiang tahu bahwa yang mengetuk itu tentu
begundalnya Peng jiya, dalam marahnya ia menghunus
pedangnya. Seketika itu ia lupa akan pesanan Kwee In
supaya ia membatasi pembunuhan, karena rasa gusarnya
dirinya dihina orang. Ia benci pada Peng-jiya, tapi
sekarang Peng-jiya sudah mati, maka kebenciannya ia
tumplek pada si orang bertopeng alias Hui-yan Lie Ciang
dan semua begundalnya Peng-jiya.
Ketika ketukanyang gencar itu tidak ada yang
membukai, maka mulailah pintu dibuka dengan cara
kasar. Didobrak dengan keras, akhirnya pintu itu terbuka
juga beberapa orang telah lompat masuk. Diantaranya
ada Lie Ciang yang masih mengenakan topengnya dan
Peng Tiong yang Bwee Hiang kenali.
Mereka kaget nampak Peng-jiya kedapatan mati
dengan mulut berlumuran darah.
"Celaka, perempuan liar itu telah kabur setelah
membunuh Peng-jiya!" seru Peng Tiong, setelah
memeriksa mayatnya sang 'cukong'.
"Peng heng, mana ia bisa kabur," sahut Hui-yau Lie
Ciang. "Kecuali ambil jalanan dipintu, tidak ada jalan lain
untuk ia berlalu!" Peng Tiong pikir perkataannya Lie Ciang benar. Maka
seketika itu matanya mengawasi keatas, tapi tidak ada
tanda-tanda yang menunjiukan bahwa Bwee Hiang sudah
mabur melalui atap rumah. Melihat kesekitarnya juga
tidak ada tanda-tanda yeng mencurigakan, maka ia
lantas membentak: "Perempuan hina, keluarlah terima
kematiaumu!" Tidak terdengar penyahutan dari si nona.
Keadaan hening sejenak. Mereka saling pandang
dengan hati berdebaran, tapi masing-masing sudah siap
dengan sewjata tajam ditangan.
"Sudah membunuh orang, mau lolos dengan mudah,
enak saja! Lekas keluar unjukkan muka dan terima
kematianmu!" teriak pula Peng Tiong dengan sangat
gusar. Kembali tidak ada terdengar suara sahutan.
Tiba-tiba Hui-yan Lie Ciang ketawa gelak-gelak. Ia
berkata: "Peng-heng, wanita itu tentu sudah diajak naik
sorga oleh Peng Jiya, makanya juga malu malu keluar
unjukkau diri. ..." Belum habis perkataan Lie Ciang, tiba tiba melompat
keluar Bwee Hiang dari balik tirai yang menutupi ruangan
kecil peranti Peng jiya beristirahat.
,,Manusia hina, kau berani omong kotor!" bentak Bwee
Hiang. Si nona barangkali tinggal diam terus dibentak pergi
datang, kalau tidak Lie Ciang yang. licin keluarkan
ejekannya yang membuat ha tinya si nona panas.
"Bagus! kau sudah keluar!'' kata Peng Tiong.
"Sekurang, gunakanlah pedangmu untuk bunuh diri,
menyusul rokhnya Peng-jiya, diangan sampai kami turun
tangan sehingga kematianmu degan badanyang tidak
utuh!" "Kentut busuk!" bentak Bwee Hiang gemas. "Malam ini
nonamu akan melakukan pembunuhan besar-besaran
untuk mencuci kehinaan, maka terimalah ini!"
Bwee Hiang berkata sambil berkelebatakan
pedangnya, ia menusuk kearah dada Peng Tiong, yang
menjadi gelabakan lantaran tidak menduga si nona balcal
menyeragg dirinya. Ia masih dapat mengelakkan tusukan pedang, tapi
tidak terhindar dari sabetan pedang yang membikin
rambut kepalanya terbang berhamburan.
"Turun tangan semua!" teriak Peng Tiong sangat
gusar. Mentaaii komando pemimpinnya, mereka lantas
menyerbu. Segera juga terdengar ramai beradunya
senjata. Permainan pedang Bwee Hiang sangat bagus,
penuh variasi, hingga lawannya tertegun oleh karenanya.
Juga dibantu oleh tajamnya pedang, Bwee
Hiang boleh dikata menguasai keadaan meskipun dirinya
dikeroyok oleh tidak kurang sembilan orang, termasuk
Hui yan Lie Ciang. Si Walet Terbang ingin menangkap Bwee Hiang hiduphidup
maka serangannya tidak begitu ganas seperti Peng
Tiong dan kawan-kawannya.
Hui-yan Lie Ciang pikir, sekarang Peng-jiya sudah
mati, sangat sayang kalau gadis secantik Bwee Hiang itu
jatuh ditangan lain, maka ia sebisa-bisa menggunakan
kepandaiannya untuk merobohkan Bwee Hiang dengan
tidak bercacad. Ia tidak tahu, kalau Bwee Hiang sudah keluarkan
pedangnya seperti macan tumbuh sayap. Gagah luar
biasa, tak mudah orang mendekatinya.
Melihat dirinya dikeroyok oleh orang orang kuat, maka
si nona sudah keluarkan ilmu pedangnya 'Bwee-boakiamhoat' (ilmu pedang kembang Bwee), ajaran
ayahnya (Liu Wanggwee) namun sudah diperbaiki oleh
Kwee In menjadi sangat lihay. Si nona setelah
mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu pedangnya itu,
belum juga dapat merobohkan lawan-lawannya yang
alot, maka ia sudah keluarkan jurus kesayangannya yalah
'Bwee-hiang-boan-wan' atau 'Harumnya bunga bwee
memenuhi taman', Suatu jurus yang sangat lihay dan
bukan sekali dua kali dengan jurus itu si nona peroleh
kemenangan dalam pertempuran. Ini kali juga lantas
kelihatan lihaynya jurus itu, sebab lawan-lawannya
menjadi terdesak mundur, termasuk Hui yan Lie Ciang
yang hendak menangkap si nona hidup hidup.
Dalam tempo singkat lantas terdengar jeritan disana
sini, itulah Bwee Hiang yang tidak mau kasih hati kepada
lawan lawannya. Dimana pedangnya berkelebat, disitu
terdengar jeritan dan robohnya tubuh manusia. Rintihan
terdengar disana sini, sementara ruanganyang lebar itu
menjadi banjir darah. Dari sembilan orang pengeroyoknya, ketinggalan Peng
Tiong dan Lie Ciang dui orang yang masih ngotot
menggempur si nona. Mereka juga sudah mulai gentar melihat kawankawannya
sudah menjadi korban si nona yang kosen.
Dengan cermat mereka melayani Bwee Hiang, seraya
mencari kesempatan untuk angkat kaki dari depan Bwee
Hiang. Menyusul Peng Tiong menjerit dan roboh dilantai,
pundaknya kena dipupus oleh pedangnya Bwee Hiang.
"Hehe-he!" Bwee Hiang tertawa terkekeh kekeh melihat
Peng Tiong roboh dengan memegangi pundaknya yang
terluka. Menggunakan kesempatan Bwee Hiang sedang
ketawa, Hui-yan Lie Ciang angkat kaki.
"Perlahan sedikit sahabat. . . . !" Lie Ciang dengar
orang berkata, ketika ia hampir mendekati pintu keluar.
Menyusul Bwee Hiang sudah menghadang didepannya.
Terkejut bukan main Lie Ciang, ia tidak mengira si
nona demikian lihay. Seketika itu ia rasakan tubuhnya
mengeluarkan banyak peluh saking ketakutan.
"Nona, aku tidak bersalah banyak dalam hal dirimu,
malah aku juga mengeroyok dengan tidak sungguh
sungguh barusan, maka aku harap kau sukalah kasi jalan
aku berlalu dari sini. Aku tidak akan mencam-puri pula
urusannya Peng-jiya," demikian Lie Ciang memohon
kasihannya Bwee Hiang "Enak saja kau bicara, sahabat," sahut Bwee Hiang.
"Lantaran bantuanmu, maka Peng-jiya semakin ganas
sepak ter-jangnya, maka, orang semacam kau perlu apa
ditinggal hidup!". . berbareng pedangnya Bwee Hiang
berkelebat, kontan kepala-nya Lie Ciang menggelinding
dilantai tanpa mengeluarkan jeritan pula.
Sungguh hebat jago betina kita kalau sudah marah.
Ia putar tubuhnya kembali kepada Peng Tiong dan
kawan-kawannya. Ia lihat Peng Tiong dan tiga empat
orang kawannya yang masih hidup, dengan tidak banyak
rewel ia kutung-kutungi kepalanya.
Darah membanjiri ruangan, keadaan sangat
mengerikan, namun bagi Bwee Hiang kejadian demikian
sudah biasa, ia sama sekali tidak kaget dan menyesal.
hanya sedikit tergetar hatinya, manakala ingat akan
nasehat Kwee In untuk membatasi pembunuhan, jangan
terlalu banyak membunuh orang kalau tidak terpaksa.
Pikirnya, apa yang ia perhuat sekarang saking terpaksa,
maka adik Innya tentu tidak akan mence-la
perbuatannya itu. Menggunakan darah yang mcngumpiang disitu, Bwee
Hiang menulis ditembok yang berbunyi: "Pembunuhan
dilakukan oleh Pendekar wanita yang kebetulan lewat,
siapa berani tarik panjang urusan akan dicabut
nyawanya. Semua alat rahasia yang merupakan
perangkap harus dimusnahkan semua, kalau tidak ingin
gedung ini menjadi rata dengan tanah!"
Setelah selesai menulis, jago betina kita bikin bersih
pedangnya dengan sprei dipan diatas mana belum lama
berselang ia bergulat dengan Peng-jiya.
Ia penasaran Peng jiya telah menggunakan ilmu apa,
makanya ia tidak berdaya dalam pelukannya" Kembali ia
menghampiri korban-korbannya yang sudah putus
nyawanya, kebetulan diantaranya ada yang masih
bernapas, hanya pura-pura saja mati. Bwee Hiang
ketawa, cepat ia menarik keluar orang itu diantara
mayat-mayat Peng Tiong dengan kawan kawannya.
Orang itu sebenarnya tidak terluka beret, hanya saking
takutnya ia tidak ingin mati konyol, maka ia pura-pura
mati. la tidak mengira kalau Bwee Hiang ketahui akalnya.
Kaget bukan main ketika ia ditarik dan dibangunkan.
Ia mula mula pura-pura lemas terkulai, tapi ketika
dibentak Bwee Hiang: "Kau janganmain gila terhadap
nonamu!" orang itu tidak berani meneruskan pura
puranya. Ia buka matanya dan menatap Bwee Hiang
dengan sorot memohon dikasihani.
"Aku mau majukan beberapa perta-nyaan padamu,
kau harus bicara betul, baru aku dapat mengampuni
selembar jiwamu," berkata Bwee Hiang pada orang itu.
"Nona mau menanya apa?" tanya orang itu cepat.
"Siapa namamu" Apa kau sudah ker-ja lama pada
Peng-jiya?" Bwee Hiang mulai menanya.
"Namaku Lie Kam, saudara muda dari Lie Ceng. Aku
ikut Peng jiya dengan perantaraannya Lie Ciang
saudaraku." "Bagus," kata Bwee Hiang. "Apa Peng jiya berilmu silai
tinggi?" "Peng-jiya ilmu silatnya tidak tinggi, hanya ia
mempunyai tenaga raksasa, berkat ia melatih 'Thay-lekeng
jiauw kang' (Tenaga cengkeraman burung garuda).
Siapa yang kena dipeluk olehnya, jangan harap bisa
berontak dan meloloskan dirinya, itulah yaug aku tahu!"
Bwee Hiang terkejut. Pantasan ia dipeluk Peng jiya
seperti dijepit dengan jepitan besi, sehingga tidak
berdaya meloloskan diri, kalau begitu Peng-jiya memiliki
tenaga sakti yang hebat Bwee Hiang tampak meraba pedangnya, hingga Lie
Kam menjadi ketakutan. "Kau jangan bunuh aku, Liehiap," ia memohon.
"Dirumah aku masih mempunyai isteri, dua anak dan ibu
mertua yang sudah lanjut usianya. Kalau aku terbunuh,
siapa nanti yang mencari nafkah untuk kasi makan
mereka" Oh, Liehiap ampunkan dosaku . . . . "
Bwee Hiang sebenarnya paling benci kalau lihat orang
pengecut, tapi mendengar Lie Kam meratap
mengemukakan ada punya isteri, dua anak dan ibu
mertua yang ia harus kasi makan, hatinya menjadi
lemah. "Baiklah," kata Bwee Hiang seraya memasuki pulang
pedangnya. "Aku sekarang pergi, kasi tahu kepada Pengtoaya,
supaya ia turut apa yang aku barusan tulis
ditembok. Nah, kau lihat itu!" Bwee Hiang berkata sambil
menunjuk kepada tulisannya ditembok.
Lie Kam manggul-manggutkan kepala-nya. "Aku akan
sampaikan kata-kata Liehiap,'* katanya.
"Eh, aku mau tanya lagi," kata pula Bwee Hiang.
"Apakah kelakuannya Peng-toaya sama dengan kelakuan


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peng-jiya?" "Tidak sama, sahut Lie Kam. "Peng-toaya benar galak,
tapi ia tidak melakukan perbuatan yang sewenangwenang
terhadap orang perempuan. Ia lebih
mengutamakan mengurus perusahaan dari pada
mengumbar napsu perempuan."
Pendekar Panji Sakti 26 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 12

Cari Blog Ini