Ceritasilat Novel Online

Kuda Besi 4

Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Bagian 4


"Boleh," kata Kun Hiap. Hui Giok lalu ulurkan tangan, disambut Kun Hiap. Dengan bergandengan tangan keduanya lalu lari.
Melihat adegan itu kecutlah hati Hui Yan.
Wajahnya pucat Dia mengertek gigi. Setelah sesaat tertegun baru dia mengejar.'
Lebih kurang sejam kemudian mereka masuk kedaerah gunung. Dari jauh tampak empat batang api obor yang besar. Tingginya satu tombak. Api. obor itu menerangi segunduk batu besar yang dipahat dengan tiga huruf berbunyi: Sam-sian-soh, atau Lembah Tiga-dewa.
Sebenarnya orang persilatan memberi julukan Cin-nia-sam-shia atau Tiga-benggolan gunung Cin ma kepada tiga tokoh jahat yang bermukim digunung itu. Tetapi mereka menamakan dirinya sendi ri sebagai Cin-nia-sam-sian atau Tiga-dewa gunung Cin~nia. Oleh karena itu tempat tinggal merekapun disebut Sam-sian-koh.
Batu besar itu terletak disebuah tebing gunung. Oleh karena ita walaupun dari jauh, orang
sudah dapat melihatnya. Walaupun perkampungan keluarga Wi itu tak jauh dari gunung Cin-nia tetapi Kun Hiap belum pernah datang ke gunung itu.
Sambil masih menggandeng tangan Kun Hiap, Hui Giok menuujuk kearah tiga buah huruf pada batu karang itu, " Ketiga huruf itu, dibuat oleh mereka bertiga. Setiap orang satu huruf. Karena cihu-ku yang paling tinggi kepandaiannya maka cobalah engkau lihat, huruf koh yang terakhir itu. tentu berbeda jauh, dengan kedua huruf di mukanya.
Tebing karang dimana batu itu terletak, luasnya hampir satu li, tetapi permukaan tebing tak dapat dibuat berdiri orang. Dengan begitu, memang sukar sekali untuk menggurat huruf pada karang itu.
Tiba2 dari bawah karang gunung terdengar suara orang tertawa yang menimbulkan gema sua-ara sehingga lembah seolah bergetar.
Kun Hiap bertiga terkesiap dan hentikan la-rinya. Mereka tak tahu apa yang terjadi di sebelah muka.
"Lihatlah tiba2 Hui Yan melengking.
Menurutkan arah yang ditunjuk si dara, segera Kun Hiap dan Hui Giok melihat dibawah tebing karang itu tampak sesosok tubuh manusia tengah merayap dengan cepat keatas. Sedemikian cepatnya dia sudah merayap keatas sehingga mes-kipun Kun Hiap bertiga tak jauh dari tempat itu, merekapun tak sempat melihat bagaimana roman muka orang itu.
Cepat sekali orang itu sudah mencapai pada karang yang bertuliskan Sam-sian-koh. Dia melentangkan tubuh untuk menempel rapat pada karang dan lalu ulurkan tangan untuk menghapus huruf sam (tiga). Karena setiap guratannya lebih kurang dua meter panjangnya maka orang itupun harus beringsut kian kemari untuk menghapus.
Kini huruf sam telah berobah menjadi hu-ruf ji ( dua ). Karena huruf sam dalam tulisan Tionghoa itu terdiri dari tiga buah garis yang melintang berlapis tiga. Kalau garis yang diatas dihapus maka hanya tinggal dua buah garis itu dan menjadi huruf ji.
Kun Hiap dan kedua gadis saudara Tian, tahu jelas bahwa orang itu menggunakan apa yang disebut Bik-hou-ih-jiang atau Cicak-berpindah-di tembok, sebuah ilmu ginkang atau Meringankan tubuh yang hebat.
Karena garis yang satunya dihapus maka huruf Sam-sian-koh atau ( Lembah Tiga Dewa) kini menjadi Ji-sian-koh atau Lembah Dua Dewa.
"Celaka," Hui Yan berseru tertahan, "cihu akan didatangi musuh yang tangguh sekali! "
Sebelum Tian Hui Giok menjawab, kembali muncul sesosok tubuh lain yang dengan gunakan ilmu Bik-hou-ih-jiang juga merayap lurus naik keatas batu karang. "Toaci," tiba2 Hui Giok dan Hui Yan serempak berteriak dan terus lari menuju kepada sosok tubuh yang baru muncul itu. Sebenarnya Kun Hiap tak mau ikut campur dengan urusan disitu tetapi karena dia ingin menemui saukoh ( mama Hui Yan ), apa boleh buat terpaksa ia menyusul kedua gadis itu.
Setelah lari setengah li, dia melihat orang yang baru muncul itu ternyata seorang wanita. Hal itu kentara dari rambutnya yang terurai panjang. Saat itu wanita tersebut sudah mencapai diatas puncak batu karang.
Puncak karang itu paling2 hanya satu meter lebarnya Wantta itu tadi tegak berhadapan dengan orang yang menghapus tulisan sam itu. Kedua-nya melangsungkan pertempuran sengit. Berulang kali tubuh mereka seperti tak menginjak permukaan puncak karang. Tetapi beberapa kejab lagi, merekapun kembali berada di atas karang itu. Hal itu menandakan bahwa kepandaian kedua orang itu memang bukan olah2 hebatnya.
Ketika Kun Hiap tiba dibawah karang, dilihatnya Hui Giok dan Hui Yan sedang bicara dengan seorang lelaki yang berwajah segitiga. Disamping itu sesosok tubuh lelaki gemuk menggeletak mati di tanah. Mengerikan sekali keadaannya, sebelah tangannya hancur mumur.
Tfba2 dari ataa karang terdengar suara wanita melengking, "Hai, mengapa engkau tak mau balas menyerang?"
Terdengar penyahutan yang bernada aneh, "Aku disebut Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya-tak-pernah-membalas. Apakah engkau tak tahu"
"Kalau benar selamanya tak pernah membalas, mengapa engkau tak diam saja tetapi selalu menghindar?"
Orang itu tertawa, "Benda ditanganmu itu khusus untuk menghancurkan tenaga-murni orang. Kalau aku sampai terkena pukulanmu, lha tenaga-ku Sam-yan-sian-cin-gi bukankah bakal menjadi seperti Sam-sian-koh itu, hilang satu manjadi Ji-sian-koh. Pun Sam-yang~cin-gi bakal menjadi Ji-yang-cin-gi nanti?"
Setelah mendengar pembicaraan mereka tahulah Kun Hiap bahwa orang yang bertempur melawan taci sulung dari Hui Giok dan Hui Yan itu adalah Koan Sam Yang, kepala pulau Moh-hun-to di laut Selatan. Dia teringat ketika ia bersama Hui Yan tempo hari, diapun pernah bertemu dengan tokoh dari pulau Moh-hun-to itu. Dan saat itu Hui Yan tak berani berkutik lagi.
Bahwa kalau sekarang toaci dari Hui Yan berani menempur Koan Sam Yan, jelas menandakan bahwa kepandaian dari toaci Hui Yan itu jauh lebih hebat dari kedua adiknya.
Kun Hiap memandang keatas,untuk memperhatikan pertempuran mereka. Tampak kedua tangan toaci dari Hui Yan itu bergerak laksana petir menyambar. Dan samar2 gerakan tangannya memancarkan suatu sinar kuning gelap. Hebatnya bukan kepalang.
Tetapi Koan Sam Yang si Selamanya-tak-pernah-membalas itu tetap berkelebatan menghindar dan tak mau balas menyerang.
Pikir Kun Hiap. Kalau mereka bertempur ca ra begitu, kapan akan berakhir"
Tiba2 Koan Sam Yang tertawa," Ah, tempat ini terlalu sempit, mari kita turun saja kalau bertempur!"
Habis berkata dia terus melayang turun. Batu karang itu tingginya tak kurang dari lima sampai enam puluh tombak. Sungguh mengejutkan sekali kalau ada orang senekad itu berani loncat turun.
Koan Sam Yang melayang turun dengan lurus kira2 kurang setombak dari tanah, barulah dia tampak mengibaskan lengan baju ke tanah, bum . . . terdengar letupan keras, debu dan pasir berhamburan ke udara dan di tanah pun bertambah sebuah lubang.
Bilakah Koan Sam Yang tegak di tanah, tiada orang yang tahu.. Tahu2 terdengar dia tertawa gelak2 dan melangkah keluar dari kepulan debu yang tebal itu.
Hui Giok, Hui Yan dan laki2 bermuka segitiga, serempak mundur dengan cepat sekali tetapi sekali Koan Sam Yang berkelebat, tahu2 dia sudah menerkam lelaki berwajah segitiga itu.
"Hai, Koan tocu, bukankah engkau bergelar Selamanya-tak-pernah-membalas" Mengapa engkau? menerkam sahabat itu",'' teriak Kun Hiap.
Koan Sam Yang berpaling kepada Kun Hiap, sahutnya, "Hai, engkau" Benar, aku memang bergelar Selamanya-tak-pernah-membalas. Tetapi bukan Selamanya-tak-pernah-turun-tangan. Kalan kunyuk ini sampai menyerang aku, aku memang takkan membalas, Tetapi begitu melihat aku, dia terus lari, itulah sebabnya maka kuringkusnya. Mengertikah engkau?"
Kun Hiap tahu bahwa perangai Koan Sam Yang itu memang nyentrik seperti Hui Yan. Dia paling gemar berdebat mulut. Pikir Kun Hiap, lebih baik dia tik perlu melayaninya saja.
Saat itu Hui Giokpun tiba disamping Kun Hiap, katanya berbisik, " Lekas mundur, biarlah toaci-ku yang menghadapinya. "
Tepat pada saat itu juga setiap angin berberhembus dua seorang wanita telah muncul di hadapan Koan Sam Yang.
Ketika memandang wanita itu, bercekatlah hati Kun Hiap. Hui Yan dan Hui Giok, cantik bagai bunga mekar dipagi hari Dahlia dan ma-war, masing2 mempunyai kecantikan sendiri sendiri.
Tetapi toaci atau kakak sulung dari Hui Yan dan Hui Giok itu, benar2 tak patut kalau menjadi saudara dari Hui Yan atau Hui Giok. Dia memiliki kening yang menonjol, hidung lebar, mulut besar dan potongan mukanya seperti muka kuda. Alis tebal tetapi matanya kecil. Sungguh seorang wanita yang jelek sekali.
Kedua tangan wanita itu memegang semacam senjata. aneh. Tampaknya seperti separoh dari belahan bola. Disebelah atasnya penuh diberi ujung tajam yang panjangnya hanya satu dim, mirip duri. Warnanya kuning emas. Entah senjata apa namanya itu.
Selekas berdiri tegak dihadapannya, Koan Sam Yang sudah menyambut dengan tertawa sinis, "Sekarang terimalah sebuah seranganku! " " Cepat sekali dia sudah menerkam dada wanita itu.
Nyonya Tian tiba2 telentangkan tubuh kebelakang hingga tubuhnya sampai terbaring di tanah. Sudah tentu terkaman Koan Sam Yang hanya menemui angin kosong. Tian toa-siocia (gadis tertua dari keluarga Tian) menendang dan menyurut mundur seraya berseru mengejek, " Bagus, aka takkan membalas!"
Jelas ucapan itu ditujukan kepada Koan Sam Yang. Dia bergelar Selamanya-tak-pernah-membalas, tetapi nyatanya sekarang dia melakukan serangan.
Koan Sam Yang mundur dan saat itu Tian toasiociapun melenting bangun lalu menerjang lawannya. Pertempuran sengit berlangsung lagi.
Melihat itu Kun Hiap menjadi sibuk, serunya kepada Hui Giok. " Nona Tian, ilmu kepandaian toaci-mu ternyata lebih unggul dari Koan Sam Yang."
" Bukan begitu, " jawab Hui Giok,? "adalah karena toaci menggunakan senjata Kim-wi-tho yang khusus untuk menghancurkan tenaga-dalam orang maka Koan Sam Yang jeri juga sehingga kalah angin."
Tergerak hati Kun Hiap. Dia teringat entah kapan ayah dan mamanya pernah menceritakan tentang senjata Kim-wi-tho itu. Karena ia lupa maka diapun tak tahu dari mana dan bagaimana asal usul senjata itu.
Ketika memperhatikan kedua tangan Tian toa-siocia, ternyata seperti memancarkan sinar pelangi kuning. Karena cepatnya dia bergerak maka diapun ( Kun Hiap) sampai tak dapat melihat bagaimana bentuk senjata yang disebut Kim wi-tho itu.
Keduanya bertempur seru sekali. Koan SamYang berkeliaran kian kemari dengan amat cepat sekali. Setiap kali tampaknya seperti hampir termakan senjata Tian toa-siocia, tetapi setiap kaii tentu dapat terhindar dari bahaya.
Setelah menyaksikan sampai beberapa saat, berkatalah Kun Hiap kepada Hui Giok, "Nona Tian, rasanya meskipun bertempur sampai sehari suntuk, mereka akan tetap begitu saja. Apakah kita ..."
Belum sempat Kun Hiap menyelesaikan kata-katanya, tiba2 Hui Yan sudah berteriak, "Ji-ci, mengapa kita berdiri disini berpeluk tangan saja?"
Rupanya Hui Giok tersadar, "Ya benar, wa-laupun kita tak dapat mengalahkannya agar lebih mendekat kepada toa-suci agar toa-suci dapat menghantamnya."
Kedua taci-beradik itu serempak melesat kemuka. Kun Hiap tertegun. Saat itu ketiga taci-beradik sudah mengepung Koan Sam Yang. Mereka berempat bergerak cepat sekali sehingga sukar dikenali lagi yang mana Hui Giok, yang mana Hui Yan.
Diam2 Kun Hiap mengeluh. Kalau dia melanjutkan perjalanan sendiri, dia kuatir Hui Giok akan menyesalinya karena tak mau menunggu dan sama2 pulang menemui mamanya.
Pada saat dia masih ragu, terdengar berulang kali Koan Sam Yang berteriak-teriak, "Ho, pendekar2 cewek keluarga Tian sungguh lihay!"
Ternyata walaupun Koan Sam Yang masih berlincahan dengan tangkas tetapi pelahan-lahan dia didesak Hui Giok dan Hui Yan semakin rapat pada Tian toa-siocia. Sungguh berbahaya sekali.
Kun Hiap tahu bahwa dengan mengandalkan ilmu tenaga-dalam Sam-yang-cin-gi, sekali Koan Sam Yang mau balas menyerang, tentulah ketiga kakak beradik Tian itu akan kalah. Tetapi selama ini, tampaknya Koan Sam Yang memang selalu menjaga gelarnya sebagai Selamanya-tak-pernah-membalas. Maka meskipun terancam bahaya dia tetap tak mau membalas menyerang.
Sebenarnya Kun Hiap tak sabar lagi melihat jalannya pertempuran itu. Tetapi dia sempat, memperhatikan bagaimana dalam keadaan seperti lolos dari lubang jarum, beberapa kali Koan Sam Yang berhasil menghindari dari senjata kim-wi-thau Tian toasiocia.
Diam2 Kun Hiap menyadari bagaimana jauh. terpautnya kepandaiannya dengan keempat orang itu. Dan setelah rumahtangganya mengalami perobahan, kelak dia tentu harus berkelana. Pertempuran luar biasa seperti yang disaksikan saat itu benar2 suatu pertempuran yang jarang terjadi di dunia persilatan. Belum tentu kelak dia mendapat kesempatan untuk menikmati pertempuran? semacam itu lagi.
Memikir begitu,. diapun batalkan niatnya untuk pergi dan makin menaruh perhatian untuk mengikuti jalannya pertempuran.
Memang ilmu kepandaian Kun Hiap tidak berapa tinggi tetapi otaknya cerdas. Cepat sekali ia dapat mengetahui bahwa jurus2 yang dilancarkan kedua taci-beradik Tian itu hanya jurus kosong. Pukulannya tak disentuhkan tubuh Koan Sam Yang melainkan hanya meminjam tenaga pukulan untuk mendesak agar Koan Sam Yang jangan sampai dapat menghindar dan melawan.
Sudah tentu hal itu membuat Koan Sam Yang menderita tekanan. Daa merasa tak leluasa sekali untuk bergerak sebaliknya Hui Giok dan Hui Yan dengan santainya menyerang.
Kun Hiap mendapat kesan bahwa kekalahan Koan Sam Yang hanyalah soal waktu saja. Dari gerakan keempat orang yang bertempur itu serasa Kun Hiap mengerti-tak-mengerti maka perhatiannyapun, makin tertumpah.
Sekonyong-konyong tampak Hui Yan melesat ke samping, kedua jari telunjuk dan tengah sebelah kanan menusuk kedua mata Koan Sam Yang.
Koan Sam Yang bertubuh besar dan Hui Yan jauh lebih pendek. Oleh karena itu waktu melancarkan tusukan kearah mata itu, Hui Yan harus melonjak keatas. Tetapi tak terduga-duga, Koan Sam Yang malah mengendap kebawah dengan begitu tusukan jari Hui Yan hanya lewat di ataa kepala tetapi tidak sampai mengenai matanya. Apabila Koan Sam Yang mau, dengan mudah dia dapat menghancurkan Hui Yan yang saat itu sedang terbuka pertahanannya karena lengannya tengah di julurkan ke atas.
Hui Yan menyadari bahaya itu. Bahkan Kun Hiap yang menyaksikan itu tanpa disadari telah berteriak memberi peringatan, " Lekas hantam ke bawah ...!"
Hui Yan julurkan kelima jarinya untuk di tamparkan kebatok kepala Koan Sam Yang. Tetapi tepat pada saat itu, Tian toa-siociapun menerkam dada Koan Sam Yang seraya berseru kepada adiknya, "Sam-moay, tarik tanganmu, jangan sekali-kali memukulnya."
Ah, benar. Seketika Kun Hiap seperti disadarkan. Gelar Koan Sam Yang adaiah Selamanya-tak-pernah-membalas. itu disebabkan karena tenaga Sam-yang-cin-gi yang dimilikinya dapat meng-hancurkan tulang dan uratnadi tangan lawan yang memukulnya.
Memang tadi Koan Sam Yangpun hanya mengendap kebawah sedikit dan seolah-membiarkan batok kepalanya dihantam Hui Yan. Ternyata hal itu memang disengaja. Dia memang hendak pasang siasat.
Ubun-ubun kepala merupakan bagian yang fatal dari manusia. Setiap jago silat tentu takkan membiarkan batok kepalanya dihantam lawan. Hat itu memang dijadikan alasan mengapa Koan Sam Yang yakin tentu dapat menyiasati |si dara, Hui Yan tentu masuk perangkap.
"Sam-siocia, jangan!" cepat sekali Kun Hiap pun berteriak.
Rupanya seruan tacinya yang tertua dan Kun Hiap itu dapat menyadarkan Hui Yan. Dara itu cepat menarik. Tetapi tiba2 Hui Gioklah yang terangsang. Entah bagaimana tiba2 dia kibaskan kedua lengan bajunya seperti orang yang bernafsu hendak menerjang ke muka. tetapi karena sangat bernafsunya, ujung lengan bajunya telah menyampok siku lengan Hui Yan dan kebetulan mengenai jalan darah Jia-cek-hiat.
Saat itu sebenarnya Hui Yan sudah hendak menarik pulang tangannya yang hendak menghantam batok kepala Koan Sam Yang. Tetapi karena Jalandarah Jia-cek-hwatnya tertampar ujung lengan baju Hui Giok, tenaga-murniyapun kesumbat dan plak .... mau tak mau karena tak kuasa menarik lagi, tangannyapun menampar batok kepala Koan Sam Yang, plak .....
Koan Sam Yang tertawa gelak2 lalu berdiri tegak. Peristiwa itu terjadi dalam sekejab mata. Terdengar Hui Yan melengking aneh, tubuhnya melayang seperti layang2 putus tali ....
Melihat itu Hui Giok loncat ke udara untuk menyambuti tubuh adiknya, "Sam-moay, engkau kenapa" Sam-moay, engkau kanapa?" -- berulang kali dia bertanya dengan nada yang gugup.
Kun Hiap tertegun. Pikirnya, dilihatnya tadi ujung lengan baju Hui Giok telah menyerempet lengan Hui Yan. Apakah karena itu maka Hui Yan terdorong sehingga terlanjur menabok kepala Koan Sam Yang" Tetapi mungkin Hui Giok tak sengaja berbuat begitu. Dan karena melihat adiknya terlempar, dia tentu gugup.
Saat itu -Hui Giok membopong tubuh Hui Yan melayang turun ke tanah. Tampak wajah Hui Yan pucat seperti kertas, matanya memejam. Jelas dara itu tentu menderita luka-dalam yang parah.
Sambil gentak-gentakkan kaki ke tanah, Hui Giok berseru menyesali, Sam-moay, toaci kan sudah memperingatkan, jangan turun tangan. mengapa engkau tetap menghantamnya" Sekarang engkau terkena tenaga Sam-yang-cin-ginya, lalu bagaimana?"
Merdengar itu, Kun Hiap terkejut. Dari kata-katanya, seolah Hui Giok tak merasa bahwa tindakan Hui Yan sampai menampar kepala Koan Sam Yang itu, disebahkan karena lengannya tertampar oleh ujung lengannya (Hui Giok).
Terdengar Hui Yan berkata dengan pelahan dan terputus-putus, "Jici .... aku .... sendi-ri juga tak tahu apa sebab .... secara mendadak .... tak dapat menarik tanganku .... "
"Toaci, sam-moay terluka!" tanpa mengacuhkan keterangan.Hui Yan, Hui Giok berseru memberitahu kepada tacinya yang pertama.
Kun Hiap baru tahu kalau Hui Yan sendiri juga tak tahu sebabnya mengapa dia sampai tak dapat mengendalikan pukulannya. Mungkin saja karena pada saat itu sedang tegang, Hui Yan sampai tak sempat memperhatikan kalau lengannya tersampok ujung lengan baju Hui Giok.
Saat itu Tian toa-siocia berulang-ulang berteriak aneh, rambutnya terurai dan tubuhnya bergerak seperti terbang untuk menerjang dan menye-rang bertubi-tubi kepada Koan Sam Yang.
Tetapi tokoh aneh itu tetap tertawa gelak2, "Nona Tian, lebih baik engkau serahkan saja kuda besi kecil itu. perlu apa engkau simpan"'
"Bangsat tua," teriak Tian toa-siocia sengit, "kalau kusimpan berguna atau tidak untukku, peduli apa engkau" Engkau telah melukai adikku, mana aku mau membiarkan engkau pergi?"
Masih Koan Sam Yang tertawa terus, " kalau engkau tak mau membiarkan aku, mampu apa engkau berbuat kepadaku?"
Saat itu dia hanya menghadapi Tian toa-sio-cia seorang. Sudah tentu ringan sekali. itulah sebabnya maka. dia masih mempunyai luang untuk beraksi sambil geleng2kan kepala."
Tiba2 Hui Giok berteriak, "Toaci, jangan menempurnya lagi! Harap lihat kemari, sam-moay . . . berbahaya ...a . "
Dalam berkata-kata itu biji matanya berli-nang airmata. Memang layak kalau seorang taci bersedih hati melihat keadaan adiknya menderita luka yang sedemikian berbahaya itu.
Kun Hiap terkejut. Diam2 dia malu dalam hati.. Tadi dia dengan mata kepala sendiri ikut menyaksikan peristiwa itu tetapi ternyata dia tak mampu mengetahui jelas. Dia mendapat kesan bahwa Hui Giok memang sengaja hendak mencelakai adiknya tetapi melihat keadaan Hui Giok yang begitu gugup, dia menganggap bahwa tentulah Hui Giok juga tak tahu sendiri apa yang dilakukannya tadi. Kemungkinan hanya secara kebetulan saja.
Memikir sampai disitu diam2 Kun Hiap malu hati karena ia telah menduga yang tidak baik kepada Hui Giok
Mendengar Hui Giok berulang-ulang meneriakinya, Tian toa-siocia juga gugup, serunya, "Ji-moay, sam-moay terkena getaran Sam-yang-cin-gi, aku juga tak dapat menyembuhkan. Lekas saja engkau tutuk jalandarah Leng-tay-hiat dan Hoa- kay-hiatnya. Dalam tiga hari ini lekas engkau bawa ke tempat mama, biar mama yang menolongnya. Sekarang ini, biar bagaimana juga, aku harus menempur bangsat tua ini!"
Koan Sam Yang tertawa terbahak-bahak, "Benar, mamamu dapat menolongnya tetapi harus jangan sampai lewat tiga hari ini. Kalau sampai lebih dari tiga hari, siapapun tak mungkin mampu menolongnya, Lekas pergilah!"
Hui Giok lalu menutuk kedua jalandarah di punggung adiknya. Setelah itu dipanggul dan mengajak Kun Hiap, "Mari kita berangkat!"
Walaupun Kun Hiap segan dekat dengan Hui Yan tetapi pada saat itu melihat wajah si dara pucat seperti kertas dan matanya memejam, mau tak mau dia iba juga.
"Tetapi nona Tian, apakah dalam tiga hari kita bisa mencapai tempat itu" " tanyanya dengan nada kuatir.
Sambil melesat kemuka, Hui Giok menjawab, "Kalau kami kerahkan seluruh tenaga, pasti akan keburu."
Hui Giok bersuit panjang. Lima ekor kuda tegar bulu putih seperti salju muncul dan lari menghampiri.
"Can kongcu, lekas naik kuda," seru Hui Giok yang terus melayang keatas seekor kuda, Kun Hiap terpaksa mengiknti.
Beberapa kuda putih sama jenisnya dengan kuda putih yaiig digunakan Hui Yan ketika menyamar menjadi lelaki dan menculik Kun Hiap ke tempat kediaman Poa Ceng Cay. Ketiga beng-golan gunung Cin-nia memang memelihara kuda yang bagus-bagus.
Begitu mencemplak, kuda putihpun segera membawa Kun Hiap terbang.. Waktu lari beberapa tombak jauhnya, terdengarlah suara Koan Sam Yang berseru kepadanya, "Hai, budak she Can, dahulu aku pernah berhutang budi kepada bapamu, sampai sekarang belum dapat kubalas. Bebe-rapa tahun ini bapamu tak kelihatan batang hi-dungnya. Kemungkman dia sudah menjadi setan hidung belang, Budinya itu, kapan saja engkau hendak menagih kepadamu, asal engkau bilang, tentu akan, kubayar!"
Pada saat Koan Sam Yang mengucapkan kata2 yang terakhir, kuda Kun Hiappun sudah setengah li jauhnya. Tetapi Kun Hiap masih dapat mendengar.
Tiba2 tergeraklah hati Kun Hiap. Yang dimaksud Koan Sam Yang dengan 'bapamu' itu tentulah Can Jit Cui. Dengan begitu Koan Sam Yang tentu tahu banyak tentang Can Jit Cui.
Tetapi saat itu Kun Hiap sudah terlanjur dibawa lari oleh kuda putih sehingga tak mungkin lagi dia kembali untuk meminta keterangan kepada Koan Sam Yang. Apa boleh buat terpaksa dia lanjutkan perjalanan dengan catatan, kelak kalau ada kesempatan terhu lagi dia pasti akan bertanya.
Tiba2 dilihatnya kuda putih yang berada di depan memperlambat larinya. Cepat dia menyusul.
"Tuh! dengar tidak tadi," seru Hui Giok, "Koan Sam Yang telah berhutang budi kepada? ayahmu .... Can Jit Cui!"
"Nona Tian, engkau . .. . sudah memastikan, kalau aku ini . . . anak dari Can Jit Cui?"
"Tolol, setiap orang sudah tahu engkau ini puteranya siapa, hanya engkau sendiri yang tak mau mengakui," seru Hui Giok.
Kun Hiap menghela napas, "Nona Tian, a ku .. . . bukan tak mengakui. Cobalah, engkau pikir. Duapuluh tahun lamanya aku dibesarkan, mendadak orang yang kuanggap sebagai ayahku itu tiba2 saja berobah menjadi musuh yang membunuh ayahku. Sedang ayahku itti belum pernah ku-lihat dan selamanya pun takkan dapat bertemu. Aku harus bertanya kepada setiap orang untuk mengenal ayahku itu. Cobalah engkau pikir, apakah aku disuruh begitu saja mengakuinya sebagai ayah kandungku?"
Hui Giok tertawa masam, "Walaupun engkau tak mau mengakui, pun percuma saja. Nanti setelah bertemu dengan mamaku, beliau pasti tahu banyak sekali tentang diri ayahmu. Ai, kalau Koan Sam Yang tidak mengganggu toaci-ku, kemungkinan saja toaci juga tahu tentang Can Jit Cui."
"Mengapa Koan Sam Yang harus mencari perkara kepada toaci-mu?" tanya Kun Hiap.
"Bukankah engkau sudah mendengar sendiri kalau dia hendak meminta sebuah kuda besi kepada toaci" Entah apa yang dimaksud dengan kuda besi itu. Memang di dunia persilatan banyak sekali peristiwa yang aneh."
"Aku tahu," seru Kun Hiap, "kuda besi itu adalah semacam mainan kuda yang terbuat dari pada besi. Adalah karena benda itu maka Koan Sam Yang sampai mengundang tokoh2 persilatan untuk datang di Istana Tua itu - . - . "
Kun Hiap secara singkat lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya di Istana Tua. Bahkan diapun mengatakan kalau dia sendiri juga mendapatkan sebuah kuda besi.??? "'
"Coba kulihatnya," seru Hui Giok.
Kun Hiap segera mengambil benda itu dari dalam bajunya. Memang tampaknya tak ada yang luar biasa pada kuda besi itu, kecuali yang hitam mengkilap.
Tetapi ketika Hui Giok memain-mainkan benda itu di tangannya, tampaknya dia suka sekali, "Can kongcu, bagaimana kalau engkau berikan mainan ini kepadaku?"
"Boleh saja," cepat Kun Hiap menjawab.
Hui Giok hendak menghaturkan terima kasih tetapi entah bagaimana ttba2 kudanya meringkik keras lalu rubuh ke tanah.
Hui Giok bersuit nyaring. Setelah menekan pada pelana, tubuhnya melambung ke udara. Wa-laupun masih memanggul Hui Yan tetapi gerakannya masih lincah sekali.
Kun Hiap terkejut Tejapi dia tak sempat menghentikan kudahya dan terus lari maju. Setelah lima tombak jauhnya barulah dia dapat meng-hentikan kudahya dan berpaling. Ternyata Hui Giok sudah berdiri tegak di tanah. Walaupun mengalami peristiwa yang mengejutkan tetapi wajahnya masih tetap tenang. Bahkan dia sibuk menca~ri kuda besi tadi.
"Kenapa?" tegur Kun Hiap.
"Ada orang melakukan serangan gelap kepadaku. Tolong sambuti sam-moay ini," serunya seraya menghampiri. Sekali bahunya bergetar, tubuh Hui Yan yang berada di bahunya itupun melayang ke muka. Kua Hiap tergopoh-gopoh membungkukkan tubuh ke bawah pelana untuk menyambuti.
Sedang disana Hui Giok sudah melesat seraya berteriak, "Hai, tikus dari mana itu, berani menyerang gelap orang!"
Dia terus memburu maju dan pada lain kejab menerobos masuk kedalam hutan.
Sudah tentu Kun Hiap bingung. Kalau Hui Giok terlalu jauh mengejarnya dan penyerang ge-lap itu tiba2 muncul di situ, bukankah dia tak mampu menghadapinya"
Dia celingukan kian kemari. Apabila terjadi sesuatu yang berbahaya, dia terus hendak mencongklangkan kudahya. Tetapi ternyata sekeliling penjuru sepi-sepi saja.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, ma-sih juga Hui Giok belum muncul. Pada saat itu terdengar Hui Yan berkata dengan suara lemah, "Mengapa .... berhenti?"
Kun Hiap menunduk- Dilihatnya wajah Hui Yan yang berada dalam pelukannya, makin pucat lesi. Bibirnya merapat dan matanya meram.
Kun Hiap menghela napas, "Ada orang yang melakukan serangan gelap sehingga kuda tacimu mati."
Entah bagaimana ketika melihat keadaan Hui Yan yang begitu mengenaskan, rasa muak Kun Hiap terhadap dara itupun lenyap.
"Tacimu sudah mengejarnya, tentu takkan terjadi apa-apa, jangan kuatir," dia menghibur si dara.
"Tetapi . . . kalau . .. . Kalau dia tak ... kembali?" tanya Hui Yan.
"Jangan berkata yang tidak2," jawab "Kun Hiap, "mengapa dia tak kembali?"
Tiba2 Hui Yan menghela napas lalu tertawa sedih, "Kupikir, kalau aku sampai mati di tengah perjalanan, yang paling gembira sendiri tentulah, jici-ku. Karena aku tak dapat bersaing lagi dengannya."
"Nona Tian, kata-katamu itu sungguh keli-watan sekali . . . . " sebenarnya Kun Hiap hendak mendampratnya tetapi melihat keadaan Hui Yan yang begitu mengibakan, ia tak sampai hati dan hanya tertawa hambar saja.
"Jangan menuduh kalau aku ngoceh," ban-tah Hui Yan, Nanti pada suatu hari engkau tentu akap tahu apa sebabnya."
Kun Hiap tak menyahut tetapi entah kena-pa tiba2 saja ia teringat mengapa Hui Yan sampai menderita luka itu. Saat itu dia menyaksikan di pinggir. Dia seperti mendapat kesan bahwa perbuatan Hui Giok itu memang disengaja hendak mencelakai adiknya... Tetapi pada lain saat dia geleng-gelengkan kepala untuk menghalau dugaan begitu.
Pada saat itu sesosok bayangan melesat dari gerumbul pohon dan terus loncat ke punggung kuda yang dinaiki Kun Hiap. Dengan begi-tu kuda itu harus muat tiga orang. Sekali keprak, kudapun lari. Walaupun harus membawa tiga orang tetapi kuda itu tetap pesat larinya.
"Nona Tian," seru Kun Hiap yang tahu kalau nona yang naik dimukanya itu tak lain adalah Hui Giok, "apa engkau sudah berhasil mengejarnya?"
"Tidak," sahut Hui Giok, "Kulihat sesosok tubuh melesat di sebelah muka. Ketika kukejar dia sudah menghilang. Luka sam-moay berat sekali, jangan kita menunda perjalanan ini karena mengurus gangguan dari orang yang licik."
Kun Hiap mendengus. Dia menunduk memandang Hui Yan. Hui Yan masih pejamkan mata. Wajahnya menampilkan sikap yang sukar diterka.
Kuda mencongklang pesat sekali. Makin la-ma perjalanan itu makin memasuki hutan belantara yang sepi. Lebih kurang tiga empat li, seko-nyong-konyong kuda itu meringkik aneh lagi, kaki belakangnya menjungkat ke atas.
Kejadian itu terjadi dengan mendadak seka-li dan kuda itu menjungkat dengan kuatnya. Mau tak mau Kun Hiap menjorong jatuh kemuka dan diluar kehendaknya, tubuh Hui Yanpun terlepas jatuh terus terguling guling kebawah dan membentur segunduk batu besar.
Kun Hiap terkejut sekali. Dengan sekuat tenaga dia loncat memburu. Tetapi diapun tahu kalau kepandaiannya tak cukup. Ia merasa tak dapat menyambar dan menghentikan tubuh Hui Yan. Satu-satunya jalan dia lalu menelingkupi batu itu seraya memeluknya erat2. Dengan begitu nanti tubuh Hui Yan takkan membentur batu melainkan mengenai dirinya.
Pada lain kejab dia rasakan tubuh Hui Yan menjatuhi tubuhnya, bluk . . . Dara itu terguling jatuh dari ketinggian satu tombak. Ditimpah tubuh si dara yang cukup berat, dada Kun Hiap yang tengkurap di batu terasa sakit bukan kepalang. Seketika matanya berkunang-kunang dan terus tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian ia mendengar suara Hui Giok melengking. Kun Hiap mengangkat kepala memandang ke atas. Dalam cuaca yang remang-remang, dilihatnya Hui Giok seperti orang gelisah.
"Apa .... apa ada orang yang menyerang secara gelap lagi?" seru Kun Hiap.
Tiba2 Hui Giok berseru dengan nada dingin, "Can kongcu, engkau telah membunuh sam sumoayku!"
Sudah tentu Kun Hiap kaget seperti disam-bar petir. Dengan paksakan dirinya, dia berseru gemetar, "Aku . . . membunuh sam-kounio?"
Hui Giok condongkan tubuh sedikit dan menuding ke muka, "Lihatlah sendiri itu!"
Menurut arah yang ditunjuk si nona, Kun Hiap melihat tubuh Hui Yan melingkar di tanah
tak berkutik lagi. Serentak Kun Hiap mengucurkan keringat dingin.?? ?
"Nona Tian, apakah dia . . . dia . ... . "
Hui Giok menghela napas, "Engkau memang tak hati2. Kuserahkan kepadamu mengapa engkau membantigg ke tanah?"
Bermula Kun Hiap mengira kalau peristiwa itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya. Tetapi setelah mendengar tuduhan Hui Giok, Kun Hiap kelabakan setengah mati.
"Apakah dia . . . dia sudah mati?" serunya gemetar.
"Mengapa engkau bertanya begitu?" kata Hui Giok sambil gentak2kan kakinya ke tanah.
Kun Hiap melongo. Benar2 dia tak mengerti mengapa dia tak boleh bertanya begitu. Tetapi karena saat itu perlu mengurus Hui Yan, diapun tak mau berbantah dengan Hui Giok.
"Hayo, lekas kita tinggalkan tempat ini!" kembali Hui Giok berseru.
Kun Hiap memandang ke atas. Dilihatnya kuda putih tadi masih segar bugar tak kurang suatu apa. Dia heran mengapa tadi kuda itu kaki belakangnya menjungkat keatas. Kuda putih itu termasuk jenis kuda pilihan., mengapa wakta lari tiba-tiba bisa beringas liar"
Kun Hiap paksakan diri berbangkit dan hendak menghampiri ke tempat Hui Yan. Tetapi tiba-tiba Hui Giok membentaknya, "Sudah, jangan menghiraukannya lagi!"
Hampir Kun Hiap tak percaya apa yang didengarnya. Sesaat dia tegak seperti patung.
"Engkau telah mengundang bahaya besar. Kalau mamaku tahu puteri kesayangannya mati di tanganmu, mana mama akan mengampuni engkau?" tanpa menunggu si anakmuda membuka mu-lut, Hui Giok mendahului berkata lagi.
Kun Hiap pucat, serunya, "Nona Tian, eng... kau ..... kan tahu. Meskipun aku tidak hati-hati .... tetapi bukan aku yang harus bertanggung jawab."
Hui Giok menghela napas dan menghampiri lalu mengeluarkan saputangan yang harum untuk mengusap keringat di dahi Kun Hiap.
"Can kongcu," katanya dengan lemah lem-but, karena sudah terlanjur melakukan kesalahan, kita harus berusaha untuk menutupi kejadian mi. Agar kecuali aku dan engkau, jangan sampai ada orang lain yang tahu. Mengertikah engkau?"
Diam2 Kun Hiap curiga. Misalnya, sudah tahu kalau adiknya tertimpah bahaya maut, menga-pa Hui Giok tak kelihatan sedih" Dan lagi kuda putih itu masih segar bugar, mengapa tadi secara tiba2 berobah buas" Dan ketika dia jatuh bersa-ma Hui Yan apa saja yang dilakukan Hui Giok"
Kini Hui Giok mengajukan usul yang begi-tu aneh. Dia tak dapat berbuat apa2 kecuali menurut saja. Dia hendak bicara tetapi Hui Giok cepat mendahului, "Kurasa tak perlu engkau gelisah. Siau-moay memang dicelakai Koan Sam Yang. Dan engkau hanya melakukan kesalahan kecil karena kurang hati2 saja."
Sesaat tertegun diam barulah Kun Hiap berkata, "Apakah kita akan membiarkan dia menggeletak disini saja?"
"Ya," sahut Hui Giok.
Kun Hiap terkejut, "Kalau nanti mama dan toaci-mu bertanya, lalu ..... lalu bagaimana kita akan menjawabnya?"
Sengaja Kun Hiap tak mengatakan ' bagaimana" engkau akan menjawab', melainkan dia menggunakan kata2 kita Berarti dia mau bergabung dengan Hui Giok.
"Kita bilang saja," kata Hui Giok, "ditengah perjalanan karena lukanya terlalu parah, dia menghembuskan napas terakhir."
"Tetapi sekalipun begitu, kita kan tidak dapat membiarkan dia ..." tiba2 Kun Hiap-tak dapat melanjutkan kata2. Entah bagaimana hatinya serasa seperti disayat.
"Ya, memang tidak," sahut Hui Giok, "akan kutaruhkan dia didalam gua. Harap engkau berputar tubuh ke belakang, jangan melihatuya.
Kun Hiap menurut. Dia tak tahu bagaimana dan kemana Hui Giok akan membawa jenasah adiknya. Dia hanya rasakan telinganya mendenging-denging dan sayup2 terngiang pula suara Hui Yan yang lemah . . . , ' kalau aku mati di tengah jalan, yang paling gembira sendiri adalah jici-ku'.
Tiba2 Kun Hiap berputar tubuh ke muka. Dilihatnya Hui Giok berjalan dengan tenang.
"Dia .... dia?" seru Kun Hiap .tergagap-gagap.
"Sudah kukubur dengan baik2. Setelah bertemu mama, akan kuajak mama untuk mencarinya lagi. Dengan begitu, engkau sudah bebas darr kesulitan," kata Hui Giok.
Kun Hiap makin curiga. Dia rasakan hal itu seperti suatu komplotan tetapi ia tak tahu bagai-mana persoalannya.
"Can kongcu," kata Hui Giok pula, "mama ku paling sayang kepada sam-moay. Kalau beliau tahu sam-moay mati akibat engkau kurang hatihati, percayalah, engkau pasti akan menderita seumur hidup. Hal ini, akan kubantu munutupi kesalahanmu tetapi engkaupun jangan seka!i-kali mem-bocorkan pada lain orang, tahu?"
Kun Hiap mengangguk, "Ya, tahu. Tetapi nona Tian . . . . "
Hui Giok menghela napas dan menukas.
"Tetapi bagaimana" Engkau tak tahu bagaimana perangai mamaku. Memang tindakan untuk mengelabuhi mama ini kurang layak tetapi apa mau di kata, demi kebaikanmu."
Karena apa yang hendak dikatakan Kun Hiap sudah diungkap oleh Hui Giok maka pemuda itupun tak dapat bicara apa2 lagi. Dia hanya menghela napas.
Hui Giok menarik lengan pemuda itu untuk diajak naik kuda lagi dan terus berangkat. Entah bagaimana serasa dalam hati, Kun Hiap merasa ada sesuatu yang menindih. Beberapa kali Hui Giok mengajaknya bicara dia tak dapat menjawab. Pikirannya hanya mengingat pada peristiwa yang telah terjadi. Mengapa kuda pntih mendadak bisa berobah buas. Lalu Hui Giok lari mengejar musuh kedalam hutan. Dan apa yang diucapkan Hui Yan mengenai diri tacinya. Dan lain-lain.
Hari kedua pada waktu tengah hari, keduanya telah melintasi sebuah lembah yang panjang. Jalanan makin lama makin curam dan berbahaya.
"Kita terpaksa harus turun dari kuda. dan melintasi puncsk gunung di muka itu," ksta Hui Giok. I
"Setelah melintasi puncak gunung, apakah sudah sampai?" tanya Kun Hiap.
"Tak jauh lagi," jawab Hui Giok, "setelah melintasi puncak gunung paling lama sejam lagi, adalah aku dan .... engkau pertama kali bertemu dahulu."
Kun Hiap tertawa rawan. Diam2 dia meni-mang. Jika begitu, waktu yang dibatasi hanya tiga hari tmtuk Hui Yan yang menderita luka itu, takkan keliwat...
Keduanya turun dari kuda dan Hui Giok lalu menepuk pantat kuda beberapa kali. Kuda meringkik keras, melonjak dan terus lari pergi.
"Kuda itu memang tajam nalurinya. Meski-pun berjalan jauh tetapi mereka dapat pulang lagi ke Cin-nia," kata Hui Giok.
"Aneh, kalau kuda itu sedemikian tajam nalurinya, mengapa ditengah perjalanan bisa tergelincir sehingga aku dan . . . . Hui Yan dilempar jatuh?"
Hui Giok berpaling kesamping dan menggumam, 'Binatang tetap binatang. Setiap saat bisa timbul keliarannya. Sudahlah, jangan membicarakan peristiwa itu lagi."
Kun Hiap hanya dapat menghela napas da-lam hati lalu melanjutkan perjalanan dengan Hui Giok..
Setelah melintasi puncak gunung, haripun sudah menjelang petang. Kini mereka berada di luar lembah. Serentak Kun Hiap teringat. Dulu dia datang kesitu karena dibawa Hui Yan. Tetapi sekarang ....
Mereka lalu memasuki lembah. Hui Giok berhenti dan berbisik, "Can kongcu, demi kebaik-anmu sendiri. Kuharap engkau suka ingat baik2 apa yang kuusulkan kepadamu tadi."
Menganggap bahwa Hui Giok bersungguh hati hendak melindunginya dari kemarahan mamanya, Kun Hiap menghaturkan terima kasih, "Ya, pasti akan kuingat. Nona Tian, kebaikanmu itu, pasti takkan kulupakan selama-lamanya.
Merah muka Hui Giok, sahutnya, " Ah, tak perlu begitu."
Hui Giok berpaling lalu berteriak, "Ma. ma, aku sudah pulang."
Dari dalam lembah terdengar suara sau-koh atau mama Hui Giok, "Pulang ya pulang, mengapa harus berteriak-teriak?"
Sambil berjalan, Hni Giok berseru puta, "Ma, telah terjadi suatu peristiwa!"
"Peristiwa apa" Kalau langit roboh, kan ada orang yang bertubuh tinggi yang menyanggahnya, perlu apa engkau bingung2 begitu!"
"Sam-moay meninggal!" seru Hui Giok.
Begitu mendengar keterangan itu, seketika tiada jawaban dari lembah. Hati Kun Hiap berdebar keras. Wajah Hui Giok juga berobah pu-cat.
Hui Glok dan Kun Hiap menunggu dengan berdebar-debar bagaimana reaksi sau-koh. Setelah menunggu beberapa saat baru terdengar wanita itu menghela napas dan diluar dugaan dengan nada tenang dia berseru, "Sam-ah-thau mati" Ji-ah-thau, apakah engkau bergurau?"
Wajah Hui Giok pucat dan sejenak memandang Kun Hiap, dengan suara gemetar dia menjawab, "Ma, masa aku bergurau" Ini Can kongcu datang juga, Waktu sam-sumoay meninggal, Can kongcu juga menyaksikan."
Kali ini suara sau-koh berobah, "Apakah sam-ah-thau mati ditangan Can kongcu?"
Mendengar itu seketika gemetarlah Kun Hiap.
"Bukan," Hui Giok gopoh memberi keterangan, "di lembah Sam~sian-koh kami dan toaci bersama-sama menempur Koan Sam Yang. Kare-na terlalu bemafsu, sam-moay telah menampar batok kepala Koan Sam Yang . . . . "
Mendengar itu Kun Hiap kerutkan dahi.'Memang yang diberitakan Hui Giok itu tak jauh dari kenyataan. Tetapi kalau du mengatakan bah-wa Hui Yan ' terburu nafsu" , itu tidak benar.
Ttba2 sau-koh tertawa gelak2, "Tidak, sam-ah-thau takkan mati!"
Hui Giok dan Kun Hiap terkesiap, Kalau Kun Hiap tak mengerti apa yang dimaksudkan sau-koh. Adalah Hui Giok terkesiap dan berobah wajahnya...
?mqwa-;ahn ... Sebelum keduanya sempat bicara, sau-koh sudah berseru pula, "Sam-ah-thau, engkau sudah terluka berat, mengapa engkau pura2 mati supaya aku kaget" Engkau sudah besar, mengapa masih ugal-ugalan begitu" Awas, kelak engkau tentu mempunyai anak perempuan yang jauh lebih nakal dari engkau, biar engkau tahu rasa!"
Suara itu makin lama makin cepat dan sebelum kumandangnya lenyap, dari mulut gua muncul seorang wanita dengan wajah berseri-seri berjalan pelahan-lahan. Melihat Kun Hiap, dia terus menegur, "Can kongcu, terhadap mamanya sam-ah-thau juga berani mempermainkan, memang kurang ajar sekali budak itu. Untung engkau sudah. tahu wataknya sehingga tak heran."
Diam2 Kun Hiap menghela napas! Mungkin di kolong langit ini tiada seorang mama yang seperti itu. Kalau mendengar anak kesayangannya meninggal, tentu akan kaget dan menjerit histeris mungkin pingsan. Tak ada seorang ibu yang men-dengar berita tentang kematian anaknya, begitu gembira seperti sau-koh.
Demikian kesimpulan Kun Hiap. Tetapi pada lain kilas, ia mendapat kesan. Mungkin karena bersedih, sau-koh sampai bertingkah begitu aneh. Kasihan.
Kun Hiap menghela napas, katanya, "Cian-pwe sam-siocia memang benar telah meninggal."
Sau-koh tertawa gelak2, "Can kongcu, kalau menilik engkau ini seorang pemuda jujur, sungguh tak kira kalau engkau juga berkomplot dengan mereka untuk mengelabuhi aku. Ketahuilah, walaupuh sam-ah-thao terkena getar ilmu Sam-yang-cin-gi dari Koan Sam Yang, tetapi dengan kepandaiannya sekarang, dia tentu dapat bertahan sampai tiga setengah hari. Dari gunung Cin-nia kemari hanya dua setengah hari. Maka apakah aku harus mempercayai keterangan kalian itu" Sam-ah-thau, engkau bersembunyi di dalam gerumbul pohon, awas ya kalau sampai digigit ular beracun!"
Kun Hiap terkejut. Dia berpaling. meman-dang Hui Giok. Dilihatnya wajah nona itu makin pucat sekali. Entah apakah bersedih memikirkan kematian adiknya atau takut karena rahasianya diketahui mamanya.
"Ma," kata Hui Giok dengan paksakan nya-linya, "memang toaci dan Koan Sam Yang menga-takan kalau sam-moay dapat bertahan sampai tiga hari tiga malam. Tetapi di tengah jalan, dia'. . . . dia . . . . ternyata tak kuat , . . dan menghembuskan napas? terakhir ... . "
Wajah sau-koh pelahan-lahan berobah gelap, "Apakah bertemu dengan musuh yang tangguh lagi?"
Kun Hiap mendapat kesan bahwa sau-koh itu seorang wanita yang tajam perasaannya. Tak mungkin orang dapat mengelabuhinya. Walaupun andaikata sekarang dapat menipunya tetapi toh pada suatu hari nanti dia tentu tahu juga.
Kun Hiap kebat kebit hatinya. Hampir saja dia hendak mengaku terus terang tentang kecelakaan yang dialaminya, kuda mendadak liar dan melemparkan dia bersama Hui Yan jatuh ke tanah.
Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, ia merasa lengan bajunya telah ditarik pelan oleh Hui Giok yang berada di sampingnya. Jelas nona itu melarangnya bioara. Terpaksa dia hanya tertawa murung dan diam.
"Ya, memang kita telah mendapat serangan gelap dari musuh sehingga dua ekor kuda yang kami naiki mati. Akupun sudah berusaha untuk mengejar penyerahg gelap itu tetapi dia sudah menghilang," kata Hui Giok dengan nada beriba-iba.
Wajah cerah sau-koh berganti gelap dan dengan suara sarat dia berkata, "Apa engkau tak da-pat mengenali bagaimana orang itu?"
"Orang itu luar biasa cepatnya,- Aku tak ber daya melihatnya," jawab Hui Giok.
"Sam-ah-thau . . . dia . . , dimana?" teriak sau-koh dengan melengking tinggi.
"Kuatir kalau melihatnya mama akan bersedih maka kutaruh jenasahnya dalam terowongan sebatang pohon besar . . .
Biau-koh mendengus. Sekonyong-konyong sabuk pinggang sutera putih yang melilit di ping-gangnya, melayang keluar seperti seekor ular dan melilit siku lengan Hui Giok. Dan tahu2 Hui Giofe seperti ditarik kemuka sehingga terhuyung-huyung. .
"Ma, engkau ....," teriak Hui Giok dengan pucat sekali.
'"Ji-ah-thau, engkau mau mengelabui aku, ya?" teriak biau-koh dengan nyaring sehingga .telinga Kurt Hiap hampir pecah.
Melihat adegan itu diam2 Knn Hiap menge-luh bahwa tak mungkm dapat mengelabuhi wanita tua sakti itu. Buru2 dia berseru, "Cianpwe ..."
Tetapi baru dia berkata begitu dilihatnya Hui Giok menyusupkan tangan kiri ke belakang punggung dan beberapa kali bergoyang-goyang, memberi isyarat agar Kun Hiap jangan bicara. Terpaksa Kan Hiap diam lagi.
"Ma, jenasah sam-moay masih berada dalam lubang pohon. Apakah dia mati karena terkerna tenaga Sam-yang-cin-gi dari Koan Sam Yang, engkau dapat memeriksanya sendiri. Tetapi engkau begitu tak percaya kepada, aku lalu bagaimana aku . . . . . aku punva muka bertemu orang lagi?" - Sambil berkata, Hui Giok menangis.
Diam,2 Kun Hiap memuji kelihayan Hui Giok bersandiwara. Andaikata dia yang menerima keterangan itu, tentulah dia akan percaya penuh. Tetapi menilik wajah sau-koh jelas wanita itu belum begitu percaya. Diam2 Kun Hiap heran, Hui Giok dan Hui Yan itu puteri saukoh tetapi mengapa wanita itu lebih menyayangi Hui Yan dari pada Hui Giok. Buktinya walaupun dengan mencucurkan airmata membari keterangani tetap Hui Giok tak dipercaya.
"Bawa aku kesana!" bentak saukoh.
Sesaat mendengar bentak itu, tiba2 mata Kun Hiap serasa bersinar karena terlanda setiup angin yang menghambur disampingnya. Dan tahu2 wanita itu bersama Hui Giok sudah berada tiga tombak jauhnya. Cepatnya seperti angin saja.
"Cianpwe!" teriak Kun Hiap. Tetapi wanita itu tanpa berpaling menyahut, "Engkau tunggu sa-ja di lembah ini . . . . "


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan pada lain kejab ibu dan anak itupun sudah tenyap dari pandang mata.
Semula Kun Hiap mengira begitu mendengar berita kematian Hui Yan, wanita itu tentu bersedih sekali. Siapa tahu ternyata wanita itu malah pena-saran. Apa boleh buat Kun Hiap terpaksa harus "menunggu di lembah situ.
Dengan menghela napas, diapun mulai ayunkan langkah pelahan-lahan masuk kedalam lembah. Dia pernah mengikuti Hui Yan datang kesitu.
Kini keadaan- di lembah itu tetap seperti dulu tetapi orangnya (Hui Yan.) sudah tiada. Diam diam Kua Hiap merasa sendu perasaannya.
Sambil menunduk dia memasuki sebuah ruangan batu. Setelah itu baru dia mengangkat muka. Ketika memandang ke muka, kejutnya bukan kepalang sehingga dia sampai menyurut selangkah.
Di tengah ruang itu tampak seseorang sedang duduk bersila. Kun Hiap serentak berseru, "Biau-koh suruh aku menunggu disini. Tanpa sengaja aku telah masuk kemari . . . . "
Tetapi baru berkata setengah bagian, tiba-tiba dia tertawa. Ternyata yang duduk itu bukan manusia melainkan sebuah patung. Karena menge-nakan pakaian maka sepintas pandarig menyerupai seperti orang.
Patung itu dahinya lebar, hidung mekar dan bermata kecil seperti tikus. Bentuknya mirip dengan Tian toa-siocia atau puteri biau-koh yang tertua.
Di belakang patung terdapat sebuah meja panjang. Ah, meja sembahyangan karena terdapat dupa dan tempat abu. Pada tempat abu itu tertulis huruf yang berbunyi ' Tempat abadi dari sianhu (meadiang suami) Tian Put Biat.
Kun Hiap tertegun dan mundur beberapa langkah lagi. Keringat dingin mengucur deras. Tanpa disadari dia menjerit lalu mundur dan terus lari keluar.
Waktu memastiki ruang batu tadi, dia hanya menurutkan langkah kakinya saja. Dia tak merasa kalau tadi dia harus berbiluk beberapa tikungan, Sekarang waktu dia ketakutan dan hendak lari ke luar, beberapa kali dia hampir membentur dinding batu -dan karena gugup dia sampai tak dapat menemukan jalan keluar. Dia semakin gugup. Setelah pontang panting tak karuan akhirnya dapat juga dia keluar.
Begitu tiba di tempat terbuka, dia terhu-yung-huyung jatuh ditanah. Dia bangkit tetapi ja-tuh lagi, bangkit jatuh lagi. Setelah dia loncat ba-ngun tiba2 dia merasa dimukanya seperti terdapat sepasang kaki orang.
Dia mengangkat kepala, memandang kedepan.. Ternyata pemilik dari sepasang kaki itu seo-rang lelaki yang bertubuh tinggi kurus tetapi kepalanya kecil sehingga aneh dipandang. Orang itu tak lain adalah si Selamanya-tak-pernah-membalas Koan Sam Yang.
"Ih, budak kecil, " desis Koan Sam Yang, mengapa engkau begitu gugup sekali" Apakah eng kau bertemu setan?"
Lidah Kun Hiap serasa kelu, "Tian .... Tian . .. Tian ..." - dia hanya dapat menga-takan sepatah kata Tian. Beberapa saat kemudian baru dapat menambahkan lagi, " Tian Put Biat!"
'' Hayo," teriak Koan Sam Yang melonjak kaget, wajahnya berobah seketika, " Dimana Tian Put Biat?"
Waktu melonjak ke udara, tanpa melayang turun ke tanah dia terus bergeliat melesat ke mu-ka sampai lima tombak. Dan begitu melayang turun di tanah, tangannya menekan tanah sehingga tubuhnya melambung ke atas lagi seraya .berseru "Tian Put Biat berada di sini!''
"Dia sudah meninggal," seru Kun Hiap.
Mendengar itu laju luncur tubuh Koan Sam Yang berhenti. Tubuh tegak lurus dan meluncur turun ke tanah, kemudian menghela napas longgar, "Sudah mati" Oh, ya, memang Tian Put Biat sudah mati. Semua orang tahu hal itu. Ih, sungguh memalukan, Tian Put Biat yang sudah mati masih dapat membuat Koan Sam Yang kucurkan keringat dingin!"
Dia melesat ke muka dan memaki Kun Hiap, "Budak busuk, Tian Put Biat kan sudah mampus, mengapa engkau menyebut namanya" "
Kun Hiap menghela napas, "Sungguh tak ku-kira kalau ayah mereka itu ternyata Thian Pit Hong dari gunung Bi-ih-san. Dia bergelar Tian Put Biat si Tidak-akan-lenvap.."
Kembali Koan Sam Yang menghela napas longgar dan wajahnyapun mulai tenang, "Biau-koh, mengapa puterimu bersahabat dengan orang, tak maa memberitahukan nama ayahnya" Lihat- dia sampai ketakutan setengah mati, Sungguh keterlaluan sekali!"
Tepat pada saat itu terdengar suara yang ngeri dan seram melengking tajam.
"Biau-koh, lekas keluar dan kasih tahu kepada puteri sulung kesayanganmu itu kalau adiknya tak bakal mati. Dia mati-matian mengejar aku sampai kehabisan jalan nih."
Sambil berteriak itu Koan Sam Yang menu-ju ke mulut lembah dan berdiri tegak disamping segunduk batu besar.
Kun Hiap tak mengerti akan gerak gerik tokoh aneh itu. Tiba2 dari mulut lembah berkelebat sesosok bayangan dan tahu2 Tian toa-siocia sudah menerjang masuk.
Tiba2 Koan Sam Yang muncul dan terus gerakkan tangan kanannya untuk menutuk jalan-darah di punggung Tian toa-siocia. Tian toa-sio-cia merasa kalau dirinya hendak diserang secara menggelap. Cepat dia berputar tubuh. Tetapi terlambat. Baru berputar separoh bagian, wataupun jari Koan Sam Yang belum mengenai tetapi tena-ga Sam-yang-cin-ginya sudah memancar. Kek-gong-tiam-hiat atau ilmu menutuk jalandarah dari jauh. demikian ilmu yang digunakan Koan Sam Yang. Seketika jalandarah Tian toa siocia tertutuk dan setelah berputar-putar beberapa kali, barulah dia jatuh ke tanah.
Koan Sam Yang tertawa lalu kebutkan lengan baju untuk menahan jatuhnya tubuh Tian toa-siocia sehingga tak sampai jatuh telak tetapi pelahan-lahan rebah di tanah.
Waktu menggeletak di tanah, sepasang mata Tian toa-siocia mendelik. Jelas dia. marah sekali tetapi karena jalandarahnya tertutuk, dia tak da-pat berbuat apa2 kecuali melototkan mata.
"Aku telah melukai Tian sam-siocia, ,tak berani lagi mencelakai Tian toa-siocia, Biau-koh, mengapa engkau tak mau keluar?" teriak Koao Sam Yang. '"
Saat itu baru Kun Hiap berani membuka mulut, "Biau-koh tidak ada di sini."
"Celaka," Koan Sam Yang terkejut, " kema-na dia" Luka sam-siocia hanya tahan tiga hari. Kalau dia tak dirumah..."
"sam-siocia sudah mati,"? Kata Kun Hiap.
"Ngaco!" beritak Koan Sam Yang, "aku hanya gunakan lima bagian dari tenaga Sam-yang-cin-gi untuk menggentakkan. Bagaimanapun dia tentu dapat bertahan tiga hari. Heh, engkau kira aku benar2 berani menyalahi Hujin {nyonya) yang digelari sebagai momok nomor satu di dunia persilatan?"
Kun Hiap tahu yang dimaksud dengan wanita momok nomor satu di dunia itu adalah Biau-koh. Dia tertawa dingin, "Kalau begitu lebih baik engKau lekas2 kabur jauh saja! Sam siocia memang benar2 meninggal."
Koan Sam Yang tertegun. Tiba2 dia meng-hampiri ke tempat Tian toa-siocia dan berjongkok terus ulurkan tangan hendak merogoh ke baju Tian toa-siocia. Tetapi tiba2 ditariknya dagu. Wa-jahnya ketakutan, serunya, " Celaka, celaka! Kalau Gong Gong Tin tahu, tentu celaka, ha, ha!"
Dia mengangkat muka dan menuding Kun Hiap, "Aku minta tolong kepadamu. Ambilkanlah sebuah kuda besi dari bajunya dan berikan kepadaku. Dengan begitu aku berhutang dua macam budi kepadamu. Kelak kalau engkau perlu bantu-anku, aku tentu takkan menolak."
Selamanya-tak-pernah membalas, Koan Sam Yang termasuk tokoh yang paling menonjol didunia persilatan. Kalau dia mengatakan begitu sudah tentu suatu keuntungan bagi Kun Hiap.
Tetapi permintaan Koan- Sam Yang yang kelihatannya sepele saja itu ternyata sukar bagi Kun Hiap untuk meluluskan. Dia tertegun diam.
"Hai, lekas lakukan," teriak Koan Sam Yang.
Kun Hiap gelengkan kepula, "Maaf, aku tak dapat."
''Goblok, hanya begitu saja masa engkau ta-kut" Apa takut kalau dia akan memakanmu?" teriak Koan Sam Yang.
Diam2 Kun Hiap menimang. Kalau dia menolak, Koan Sam Yang tentu akan mendesak. Mengapa dia tak mau melakukan perintah itu saja" Bukankah dia nanti mempunyai kesempatan untuk membuka jalandarah Tian toa-siocia yang tertutuk agar nyonya itu dapat segcra menghalau Koan Sam Yang"
Setelah mengambil putusan begitu, dia, terus menghampiri ke tempat Tian toa-siocia.
"Kuda besi kecil itu tentu berada dalam bajunya. Mudah saja engkau mengambilnya," seru Koan Sam Yang.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan Koan Sam Yang, Kun Hiap menjawab, "Bukankah ku-da besi itu hanya seperti mainan anak2" Perlu apa engkau hendak mengambilnya?"
Koan Sam Yang tidak menyahut melainkan tertawa gelak2. Dia gembira sekali. Kun Hiap berjongkok dan ulurkan tangan, plak . . . tiba2 dia menampar sekeras-kerasnya pada jalandarah Ki-hu-hiat di bahu Tian toa-siocia.??? .
Jalandarah Ki-hu-hiat itu, menembus keatas pada jalandarah Gi-ham-hiat dan ke bawah pada jalandarah Gi-jong-biat. Begitu dihantam sekeras-i kerasnya oleh Kun Hiap, jalandarah Tian toa-siociapun segera terbuka.
"Hai, budak bangsat, engkau melakukan apa itu?" teriak Koan Sam Yang seraya maju mener-jang.
Setelah jalandarahnya terbuka, tangan kiri Tian toa-siocia menekan ke tanah, tangan kanan mencekal siku lengan Kun Hiap terus dilempar dan sepasang kakinya susul menyusui menendang dada Koan Sam Yang.
Sungguh suatu adegan yang menarik sekali. Gerakan yang dilakukan Tian toa-siocia itu ham-pir serempak pada satu saat. Dengan meminjam tenaga tekanan ke tanah itu, tubuhnya melenting bangun dan lemparannya itu membuat tubuh Kun JHiap melayang tinggi dan jauh tetapi tak sampai menderita cidera.
Karena disambut dengan tendangan oleh Tian toa-siocia, terpaksa K.oan Sam Yang hentikan gerakannya. Dia membiarkan kedua tendangan itu mengenainya, - baru dia hendak gerakkan tenaga Sam-yang-cin-gi untuk melukainya. .
Tetapi ternyata walaupun wajahnya jelek, ilmu kepandaian Tian toa-siocia itu hebat sekali. Dia dapat menghadapi setiap perobahan dengan cepat.
Dua buah tendangan yang dilakukan Tian toa-siocia itu hanyalah untuk mendahului serangan lawan. Tetapi diapun tahu kalau tendangannya sampai mengenai, dia sendiri yang akan menderita.
Tendangan kaki kirinya tiba2 dihentikan setengah jalan dan tendangan kaki kanan dikenakan pada kaki kiri. Dengan meminjam tenaga tendang-an itu tubuhnya metuncur ke belakang sampli beberapa langkah. Sepintas mirip dengan sebuah meteor terbang.
Koan Sam Yang terkejut. Dia tak menyang-ka sama sekali kalau Tian toa-siocia mempunyai kepandaian yang sedemikian hebatnya. Dengan berteriak aneh dia terus mengejar. Tetapi saat itu Tian toa-siocia sudih berdiri tegak dan sudah siap dengan senjata Kim-wi-thau. Begitu Koan Sam Yang datang, terus saja disambutnya dengan han-taman dan terkaman.
Rupanya Koan Sam Yang lupa bagaimana lihaynya senjata Kim-wi-thau itu. Tahu.2 matanya silau dengan sinar kuning pelangi yang sudah tiba di depan hidungnya. Dia berteriak aneh dan terus melesat ke samping..
Saat itu Kun Hiap sedang bergeliatan jung-kir balik di udara. dia berusaha untuk memperbaiki posisi tubuhnya agar jangan sampai terban-ting jatuh di tanah. Secara kebetulan ketika Koan Sam Yang melesat menghindar ke samping tadi, dia berada tepat di tempat Kun Hiap akap.melayang jatuh.
"Budak busuk, hantamlah dia," teriak Tian toa-siocia kepada Kun Hiap.
Adalah karena berterima kasih kepada Kun Hiap yang telah membuka jalandarahnya tadi maka Tian toa-siocia mau memberi petunjuk kepada Kun Hiap.
Tetapi ketika melihat Koan Sam Yang berada di bawahnya, Kun Hiap sudah gugup. Sekali mendengar teriakan Tian toa-siocia tetapi dia tetap terkesiap.
Koan Sam Yang tertawa gelak2 dan ulurkan tangan menerkam pinggang Kun Hiap. Koan Sam Yang bertubuh tinggi besar maka waktu mener-kam Kun Hiap tadi, tangannya tidak menjulai ke bawah. Dia malah mengangkat tubuh si anakmuda ke atas 'kepalanya.
Kun Hiap rasakan tubuhnya lemas lunglai tak punya tenaga sedikitpun juga ......
(bersambung ke jilid 7). Setelah mengangkat tubuh. Kun Hiap keatas, Koan Sam Yang tertawa mengekeh, "Heh, heh, budak busuk, sebenarnya aku berhutang sebuah budi kepadamu. Kalau tadi engkau mendengarkan perintahku, aku berhutang budi lagi hingga dua kali. Budak busuk, aku orang she Koan sebenarnya berhutang budi duakali kepadamu, seumurhidup boleh dikata engkau pasti menikmati keenakan. Tetapi karena engkau berani menghianati aku, maka hutang budi kepadamupun sudah impas. Kalau kubantingmu engkau bakal jadi apa?"
"Aku . . . akan jadi apa?" seru Kun Hiap gugup.
Koan Sam Yang tertawa, "Engkau pasti hancur lebur terkena tenaga Sam-yang-cm-gi. Begitu tiba di tanah, engkau pasti akan jadi gumpalan darah."
Mendengar itu, menggigillah Kun Hiap. Dia tak berani bicara lagi. Dia hanya merasa kalau tangan Koan Sam Yang mulai melayang ke ba-wah dan tubuhnyapun mulai berayun ke tanah.
Dalam saat2 yang berbahaya itu, tiba2 Tian toa-siocia berseru keras, "Tunggu!"
Kun Hiap rasakan luncuran tubuhnyapun tiba2 berhenti. Ketika membuka mata, dia hanya terpi-sah setengah meter dari tanah.
"Bukankah- tujuanmu hendak menghendaki kuda besi itu?" seru Tian toa-siocia.
"Tentu saja," sahut Koan Sam Yang, "aku lebih suka enak2 tinggal di pulau Moh-hun-to, tetapi berada disini dan menderita hinaan dari seorang budak kecil, apalagi kalau bukan karena kuda besi itu."
Tian toa-siocia tertawa dingin, "Kurasa engkaupun tak mungkin dapat mengumpulkan kedelapan kuda besi itu. Lepaskan dia nanti akan kuberimu.."
"Kasih aku dulu baru nanti kuletakkan dia dengan baik2," seru Koan Sam Yang.
Tian toa-siocia merogoh kedalam baju dan terus melemparkan sebuah mainan kuda besi sebesar kepalan tangan. Koan Sam Yang menyambutinya. Sejenak memeriksa, dia tertawa panjang dan terus meletakkan tubuh Kun Hiap.
Dia bersuit panjang. Seekor keledai lari menghampiri- Sekali ayunkan tubuh, Koan Sam Yang hinggap di punggung keledai. Binatang itu-pun segera mencongklang dan dalam beberapa sa-at sudah lenyap dari pandang mata.
Setelah tokoh aneh itu pergi barulah Kun Hiap dapat bernapas longgar. Didengarnya Tian toasiocia berkata, "Eh, bagaimana engkau?"
Dengan tersipu - sipu malu Kun Hiapa. menyahut, " Terima kasih atas pertolongan Gong hujin. Aku menyesal sekali karena engkau harus kehilangan- sebuah kuda besi. Sebenarnya aku juga punya sebuah tetapi sayang sudah kuberikan orang. Kalau tidak, tentu akan kuhaturkan kepadamu, Gong hujin."
Tian toa-siocia terbeliak. "Engkau juga punya satu" Tak mungkin! Dari mana engkau. mendapatkannya" "
"Koan Sam Yang pernah mengundang beberapa tokoh silat ternama untuk berkumpul di Istana Tua. Di istana itu- telah timbul bermacam kejadian yang aneh sehingga Lui Toa Gui dari marga Lui sampai mati. Kuda besi yang kumiliki itu kudapatkan dari tangan Lui cungcu itu."
Tian toa-siocia kembali tertegun. Berulang kali seri wajahnya berubah-ubah dan akhirnya berseru gugup, "Siapa saja yang diundang Koan Sam Yang?"
"Antara lain Siluman-cantik Pek Ing Ing dari gunung Thay-san. Naga-sakti Nyo Hwat ketua partai Hoa-san-pay itu, kaucu ketua partai agama Thian-sim-kau dari gunung Bu-ih-san. Kera-sakti Thian-san Lo Pit Hi . . ."
Setiap Kun Hiap menyebut sebuah nama tentulah, wajah Tian toa-siocia menjadi suram dan makin suram. Sebenarnya kalau dinilai dari ilmu kepandaian, seharusnya Tian toa-siocia tidak dibawah tokoh2 yang dikatakan Kun Hiap itu. Seharusnya Tian toa-siocia tenang2 saja. Kalau airmukanya sampai berobah, tentulah ada sebabnya.
"Gong hujin, apakah engkau tak enak ba-dan?" tegur Kun Hiap.
"Uh, apakah beberapa tokoh itu saja?" ba-las Tian toa-siocia.
"Masih ada seorang lagi ..."
Dengan memaksakan tertawa, Tian toa-siocia berseru menukas, "Bukankah ketua partai Ceng-shia-pay Thian Go lojin?"
"Ya, benar, kiranya engkau sudah tahu sendiri.
Ternyata apa yang telah dialami Kun Hiap selama tersesat masuk kedalam Istana Tua hingga akhirnya bertemu si dara Hui Yan, telah diceritakan si dara kepada toa-cinya ata Tian toa-siocia itu.
"Hm, kiranya dia sudah mendengar semua. Sungguh tak gampang, Tian toa siocia berkata seorang diri.
"Siapa yang mendengar semua?" tanya Kun Hiap.
Cepat2 Tian toa-siocia mengalihkan persoalan, "Ah, tak apa2. Engkau berikan siapa kuda besi itu?"
Mendengar itu diam2 Kun Hiap bingung. Kalau dia berterus terang mengatakan kuda besi itu dia berikan kepada Tian Hui Giok, dalam kedudukannya sebagai saudara yang tertua kemungkinan Tian toa-siocia akan meminta benda itu dari tangan Tian Hui Giok.
Kun Hiap mendapat kesan betapa sayangnya Hui Giok akan mainan kuda besi itu. Haruskah dia mengatakan terus terang kepada Tian toa-sio-cia"
Melihat Kun Hiap bersangsi, Tian toa-siocia tak mendesak lagi, "Kalau engkau tak mau mengatakan, tak apalah. Tetapi, jangan engkau bilang kepada orang lain juga.. Ingat, sekali orang mendengar hai itu, orang yang engkau beri KUDA BESI itu tentu akan terancam bahaya maut."
Kun Hiap terkejut sekali, "Apa?"
"Mengandung bahaya maut. Apakah engkau tak tahu bagaimana Koan Sam Yang mati-matian mengejar benda itu dari tanganku" Dan aku berani mengatakan bahwa dalam pertemuan di Istana Tua itu tentu muncul seorang tokoh yang misterus."
"Benar," teriak Kun Hiap serempak, "setelah Lui Toa Gui mati, Kera-sakti Lo Pit Hi juga meninggal. Dan masih terdapat seorang yang misterius, mukanya mengenakan kain kerudung. "
Tiba2 Tian toa-siocia menerkam lengan Kun Hiap, "Orang.-berkerudung. Bagaimana bentuk wajah orang misterius itu?"
Kun Hiap meringis "kesakitan karena diterkam Tian toa-siocia, "Lepaskan dulu! Karena mukanya ditutup kain kerudung, bagaimana aku bisa melihatnya?"
Karena gugup, pertanyaan Tian toa-siocia tadi sampai ngawur. Cepat dia berganti pertanyaan, "Bagaimana perawakannya?"
"Hampir sama dengan Kera-sakti Lo Pit Hi." jawab Kun Hiap.
Dengan suara agak gemetar berkatalah Tian toa-siocia, "Engkau.... melihatnya?"
"Malah aku berdebat dengan dia," seru Kun Hiap.
Tian toa-siocia memandang Kun Hiap beberapa kali dan bertanya, "Engkau... tidak takut"-"
Melihat Tian toa-siocia begitu gentar, Kun Hiap menduga tentulah tokoh misterius itu seorang yang luarbiasa, katanya, "Aku tak tahu siapa dia, mengapa aku harus takut?"
Tian toa-siocia menghela napas..
Selanjutnya janganlah engkau mengatakan diri orang misterius itu kepada orang lain, tahu tidak?" katanya pula.
Melihat Tian toa-siocia memesannya begitu serrus, Kun Hiap menduga tentu ada apa-apanya dalam soal itu. Diapun hanya mengiakan saja.
"O, ya, aku lupa bertanya, Apa keperluanmu datang kemari?" tanya Tian toa-siocia.
"Aku hendak bertemu Biau-koh," kata Kun Hiap.
"Perlu apa engkau hendak menemui mama-ku?"
Kun Hiap tertawa masam, "Aku hendak menanyakan seseorang kepada beliau."
"Kalau begitu mengapa engkau tak pergi ke tempat mama, melainkan mondar mandir di lembah ini?" tegur Tian toa-siocia.
"Aku sudah menemui beliau, tetapi ...."
"Bicara yang jelas, jangan plegak-pleguk seperti itu," beritak Han toa-siocia.
Kun Hiap menghela napas panjang, "Sam-siocia telah .... tertimpa malapetaka. Biau-koh dan ji-siocia sedang mencari jenasahnya."
Tian toa-siocia meraung keras dan menampar muka Kun Hiap. Sebelum tamparan tiba, anginnya sudah melanda sehingga membuat Kun Hiap sempoyongan dan jatuh ke samping. Memang dia tak terkena tamparan itu tetapi karena Tiao toa-siocia terlalu besar menggunakan tenaga hingga anginnya menampar Kun Hiap jatuh.
"Engkau berani menghina sam-sumoayku?" serunya.
Sambil berbangkit, Kun Hiap menyatakan, "Ya, memang sungguh begitu."
Tian toa-siocia tertegun seperti patung, "Kalau begitu, Koan Sam Yang itu hanya mencelakai sam-sumoayku?" ia menegas.
Mulut Kun Hiap berkomat kamit tetapi tak berani menceritakan apa yang terjadi di perjalanan.
Tian toa-siocia kerutkan alis, "Ah, tak mungkin. Dia masih dapat bertahan selama tiga hari. Mengapa di tengah perjalanan sampai meninggal?"
"Mungkin tubuhnya lemah sehingga tak kuat bertahan," kata Kun Hiap menyelidik.
"Kentut!" damprat Tian toa-siocia, "dia paling disayang kedua orangtuaku. Begitu dia lahir, ayah terus berkelana ke delapan penjuru untuk mencarikan daun obat yang istimewa khasiatnya. Dengan daim2 obat itu tubuh sam-sumoay siang malam direndam sehingga tulang dan urat-uratnya mungkin tiada manusia di dunia yang mampu menandingi. Sekalipun dia terkena pancaran tenaga Sam-yang-cin-gi tetapi dia tentu masih kuat bertahan tiga hari. Pula andaikata dia diserang orang lain lagi, tak mungkin dia akan mati."
"Kalau .... kalau jatuh dari kuda?" tanya Kun Hiap dengan berbisik.
"Juga takkan mati . . . apa" Dia jatuh dari kuda?" teriak Tian toa-siocia.
"Tidak, tidak!' Kun Hiap gopoh berseru.
Dan dia hanya mengatakan "tidak', tanpa ada lanjutannya. Memang dia sedang dilanda kecurigaan mengenai peristiwa Hui Yan jatuh dari kuda itu.
Untung saat itu Tian toa-siocia tidak memperhatikannya melainkan berkeliaran memandang kian kemari seraya berseru, "Mengapa belum kembali" Mengapa belum kembali?"
"Aku tahu kemana mereka menuju. Gong hujin, bagaimana kalau kuantarkan engkau ke sana?"
"Sialan," gerutu Tian toa-siocia, mengapa tadi-tadi tidak bilang sehingga membuat aku hampir mati kelabakan. Hayo, lekas!" " ia terus menarik lengan baju Kun Hiap dan terus dibawa lari. Kun Hiap rasakan kakinya seperti tak menginjak tanah. Dalam beberapa kejab saja dia sudah lari sejauh empat limapuluh li. Walaupun masih jauh tetapi disebelah muka tampak seseorang tengah berdiri tegak dibawah sebatang pohon. Dan orang itu tak lain adalah Biau-koh.
Tian toa-siocia hentikan larinya tepat dihadapan mamanya, "Ma, sam-moay," sebelum melanjutkan sudah cepat2 dia beralih, "Ma, engkau kenapa?"
Ternyata saat itu wajah Biau-koh pucat lesi dan tegak seperti patung. Matanya tak berkedip. Walaupun diulang sampai beberapa kali oleh Tian toa-siocia, tetap mamanya tak menyahut.
"Ini bagaimana toh" Ini bagaimana toh?" seru Tian toa-siocia seperti mau menangis.
"Beliau terlalu bersedih ....," belum selesai Kun Hiap menghibur tiba2 Biau-koh sudah berteriak, "Sam-ah-thau tidak mati, mengapa aku bersedih?"
Suaranya melengking keras dan sikapnya seperti orang kalap sehingga membuat Tian toa-siocia dan Kun Hiap melonjak kaget, Kun Hiap tertegun. Dia tak tahu apa yang dimaksudkan Biau-koh.
Tian toa-siocia menghela napas panjang, katanya, "Ma, kalau sam-moay tak kena apa2, itu sungguh menggembirakan sekali. Kalau tidak begitu, bukankah aku telah melakukan kesalahan besar karena melepaskan Koan Sam Yang?"
Memang watak Tian toa-siocia itu berangasan. Walaupun masih belum jelas, tetapi dia terus menuduh kalau Koan Sam Yanglah yang menjadi penyebab fari kematian sam-moaynya.
Biau koh tidak menjawab melainkan tertawa nyaring. Hal itu membuat Tian toa-siocia tertegun dan sesaat kemudian ia merasa ada sesuatu yang tak beres dalam persoalan itu.
"Toaci, toaci, lekas kemari !" tiba2 dari arah belakang terdengar orang memanggil.
Tian toa-siocia terkejut dari serentak berpaling ke belakang. Dilihatnya seseorang tengah berusaha merangkak bangun dari gerumbul rumput. Bahunya berlumuran darah, separoh pakaiannya telah robek dan rambutnya kalang kabut. Dia bukan lain adalah Tian Hui Giok.
"Ji-moay, apa engkau terluka ?" teriak Tian toa-siocia kaget.
"Toaci, jangan keras2, kemarilah aku hendak bicara dengan engkau," kata Tian Hui Giok yang terhuyung-huyung dan menggelandot pada pohon.
Tian toa-siocia memandang Hua Giok Lalu memandang mamahnya (Biau-koh). Dengan sikap ragu2, perlahan-lahan dia menghampiri ketempat Hui Giok.
Saat itu Kun Hiap juga tak tahu apa yang telah terjadi.
"Ji-moay, bagaimana engkau?" tanya Tian toa-siocia setelah berada di muka Hui Giok.
Hui Giok tertawa getir lalu mengisarkan bahu kirinya, "Toaci, lihatlah!"
Ketika Tian toa-siocia memandang dengan seksama, tampak bahu kiri adiknya itu terdapat lima gurat bekas luka berdarah yang cukup dalam panjangnya hampir 20an senti. Guratan luka itu dari bahu menyusur ke dada, darahnya masih mengucur.
Seketika berubahlah wajah Tian toa-sio-cia. Jelas luka Hui Giok itu dikarenakan terkena cengkeraman ilmu keluarga Tian yakni Hiat-hun-jiau atau Cakar-arwah-berdarah.
"Stapa.... siapa yang melakukan itu?" teriak Tian toa-siocia.
Dengan menangis Htai Giok menyahut, "Toa-ci, kalau aku tak cepat menghindar, aku tentu sudah mati di tangan mama dan tak dapat bertemu dengan engkau lagi. ?"
Tian toa-siocia terkejut sekali, "Jimoay, walaupun tidak begitu sayang kepadamu tetapi mama tentu tak nanti akan turun tangan begitu ganas kepadamu."
Hui Giok menangis terus, "Lihatlah luka pada bahuku mi, aku ... aku??? "
Tian toa-siocia menghela napas, "Apa yang sebenarnya terjadi dengan sam-moay?"
Hui Giok gemetar menerima pertanyaan itu, "Sam-moay meninggal, mama memaksa aku supaya menunjukkan tempat jenasahnya. Sebenarnya jenasah sam-moay kutaruh dalam lobang sebuah pohon tua. Tetapi sampai di sana, ternyata sudah tak ada. Tiba2 mama marah sekali....."
Tian toa-siocia tengah kerutkan kening menimang atau tiba2 Biau koh memanggilnya, "Toa-ah-thau!"
"Ya, aku datang ma," seru Tian toa-sio-cia. Mendengar nada panggilan mamanya tenang seperti biasa, diam2 ia gembira dan buru2 lari menghampiri. Tampak Biau-koh tertegun beberapa saat lalu menghela napas panjang. Dia tak bicara apa2.
Kun Hiap memandang wanita itu. Dilihatnya wajah Biau-koh lusuh sekali, semangatnya layu. Tetapi bagaimanapun lebih mending dari sikapnya yang tadi yalah begitu dingin Diam2 Kun Hiap yang merasa menjadi gara2 atas kematian Hui Yan, diam2 menghela napas longgar dalam hati. Ketika dia hendak menghampiri ke tempat Biau-koh, tiba2 dari arah belakang Hui Giok berseru pelahan, "Can kong cu, kemarilah . ..."
Kun Hiap menurut. Hui Giok menatapnya dengan pantdang geram2 sedih, "Apakah engkau tak mau segera memanggul aku?"
Saat itu Kun Hiap berada pada jarak yang dekat. Melihat bahu kiri si nona tak tertutup baju, hatinya mendebar keras sehingga dia gugup, "Ini... aku..."
Hui Giok menghela napas pelahan dan berbisik, "Demi menyelamatkan engkau, aku sampai dicakar maka begini rupa. Apakah engkau tak mau membalutkan lukaku?"
Kun Hiap gelagapan dan cepat menyahut,-"Baik, akan kubalut dulu lukamu baru nanti kita bicara lagi."
Dia segera merobek ujung bajunya terus membalut luka Hui Giok. Hatinya berdentam-dentam keras sehingga dia tak dapat menangkap pembicaraan antara Biau-koh dengan Tian toa-siocia.
Beberapa saat setelah puterinya yang pertama itu datang barulah Biau-koh membuka mulut, "Toa-ah-thau, ji-ah-thau.... dialah yang melakukannya. Ya, dialah yang melakukannya."
Kata2 itu diucapkan dengan penuh kedukaan dan keharuan.
"Dia melakukan apa saja, ma?" tanya Tian toa-siocia yang tak mengerti.
Biau-koh mengangkat muka dan memandang kearah tempat Hui Giok. Begitu melihat Kun Hiap tengah membalut lu Hui Giok, wajah wanita itu segera menampilkan sikap muak, serunya, "Apa engkau tak ingat lagi " Waktu engkau kecil, engkau memperlakukan adikmu baik sekali. Tetapi ji-ah-thau tidak demikian. Setiap mendapat benda, mainan baru, tentu kuberikan kepada sam-moay-mu. Memang aku lebih sayang kepada sam-moay-mu. Ji-ah thau hendak merebut barang kepunyaan sam-moaymu, aku selalu membela sam-moay-mu. Sering kali dengan geram ji-ah-thau mengatakan kalau hendak membunuh adiknya. Sekarang yah sekarang, akhirnya dia melakukannya juga !"
Mendengar itu Tian toa-siocia mengucurkan keringat dingin. Setelah beberapa saat tertegun, dia berkata, "Ma, mungkin engkau salah duga. Itu penstiwa pada waktu kanak2, Ji-moay sangat penurut, masa dia akan melakukan hal sedemikian " Kalau sampai sam-moay menderita bencana, tentulah dikarenakan tenaga-tolak dari Sam-yang~cin-gi Koan Sam Yang."
Pelahan-lahan Biau-koh gelengkan kepala, umrnya, 'Engkau tak tahu. Karena engkau sudah lama meninggalkan kami, engkau hanya tahu kalau ji-moaymu itu sangat lembut dan penurut. Tetapi engkau tak tahu isi hatinya. Dalam dunia ini ada dua orang yang paling dibencinya. Kesatu, sam-moaymu. Dan kedua adalah aku. Sekarang dia bersaing dengan sam-moaymu, sudah tentu dia mencari kesempatan untuk mengerjai .... membunuh sam-moay-mu ... . ."
Waktu mengucapkan kata2 yang terakhir, tubuh Biau-koh gemetar.. Dia tahu kalau puteri yang paling dicintainya sudah meninggal dan yang membunuh adalah puterinya yang lain.
Biau-koh merupakah tokoh wanita yang hebat sekali dalam dunia persilatan. Tetapi menghadapi penstiwa yang sedemikian menghancurkan hatinya, dia seperti kehilangan faham.
Saat itu luka Tian Hui Giok sudah dibalut Kun Hiap. Dia mengangkat kepala dan berseru nyaring kepada Tian toa-siocia, "Toaci, mama tentu mengatakan kalau aku yang membunuh sam moay, bukankah begitu ?"
Sebelum Tian toa-socia menyahut, Biau-koh sudah berseru bengis, "Tutup mulutmu ! Mulai saat ini engkau bukan anakku lagi! Engkaupun jangan mengaku aku mama lagi!"
Seketika wajah Tian Hui Giok berobah tetapi dia tak membantah.. Dan setelah melampiaskan kemarahannya itu, Biau-koh kelihatan letih sekali.
Tangan kanannya memegang bahu Tian toa-siocia dan pelahan-lahan dia berputar tubuh.
"Biau-koh cianpwe, aku .....," tiba2 Kun-Hiap berteriak.
Tetapi secepat itu Hui Giok sudah menarik lengan baju Kun Hiap dan berbisik, "Can kongcu, karena hal ini sudah begini, tak perlu engkau berbanyak bicara lagi. Semuanya biarlah aku yang menanggung sendiri."
Melihat nona itu bercucuran airmata dengan sikap yang kasihan sekali, tergeraklah hati Kun Hiap, "Ah, mana bisa ?" serunya.
"Bisa atau tidak bisa toh sudah begini, bukankah engkau hendak bertanya tentang ayahmu" Kurasa mama tentu akan mau memberi keterangan kepadamu," kata Hui Giok.
"Lalu engkau ?" tanya Kun Hiap.
"Akan kutunggu engkau disini. Sesudah menemui mama engkau terus datang lagi kemari," kata Hui Giok.
Kun Hiap percaya, karena menutupi kesalahannya (Kun Hiap) Hui Giok mau mempertanggung jawabkan semua kesalahan itu. Mau tak mau tersentuhlah hati Kun Hiap dan dia tak tega meninggalkan nona itu seorang diri. Tetapi kedatangannya kesitu tak lain adalah hendak menanyakan diri Can Jit Cui kepada Biau-koh. Apakah dia hendak melepaskan tujuannya itu hanya karena tak tega meninggalkan Hui Giok"
Tiba2 Biau-koh yang sudah berjalan beberapa, berpaling dan berseru, "Can kongcu, aku hendak berkata sedikit kapadamu."
"Tuh mama memanggilmu, lekas engkau ke sana, "desak Hui Giok," kalau teringat pada papamu dan mama sampai memberikan sesuatu kepadamu, jangan sekali-kali engkau menolak, mengerti ?"
Kun Hiap mengangguk dan terus menuju ke tempat Biau-koh.
Biau-koh menyambut kedatangan Kun Hiap dengan menjabat tangan anakmuda itu dan menghela napas.
"Ah, kalau aku mempunyai seorang anak laki itu lebih baik ..."
"Apakah anak perempuan tidak sama ?" tukas Tian toa-siocia.
"Anak perempuan kurang lapang dada. Meskipun dengan taci dan adik, tetap tak. mau mengalah. Tetapi anak laki tidak begitu. Biau-koh geleng2 kepala dan melanjutkan berjalan.
Lima enam langkah, dia baru berkata lagi, "Can kongcu, aku dengan ayahmu . . . . , bersahabat baik. Ada sedikit hal yang perlu kusampaikan kepadamu. Ketiga anak perempuanku itu, yang besar memang berwatak keras tetapi jujur dan terus terang. Dia bukan wanita jahat."
"Kutahu hal itu," sahut Kun Hiap, "waktu aku tertangkap, Tian toa-siocialah yang menolong."
"Anak perempuanku ketiga itu nakal dan keras kepala tak mau mengalah pada orang," Biau-koh melanjutkan kata2nya," akulah yang merusak mereka karena sejak kecil terlalu kumanjakan. Tetapi hati budinya tidak buruk. Dia seorang gadis yang baik??? ," berkata sampai disini air-mata wanita itu mengalir deras.
Teringat sewaktu masih bersama-sama Hui Yan. Kun Hiap agak menyangsikan komentar Biau-koh yang mengatakan bahwa puterinya nomor tiga itu seorang gadis baik. Sebenarnya dia hendak menyanggah tetapi mengingat akan kedukaan Biau-koh. dia tak enak hati untuk membantah. Maka diapun hanya mengiakan ala kadarnya saja.
Pelahan-lahan Biau-koh berhenti mengucurkan airmata, katanya pula. "Hanya ji-ah-thau yang di luar sikapnya tampak lemah lembut dan penurut tetapi hatinya ganas sekali. Can kongcu, kuharap engkau jangan meragukan keteranganku ini. Engkau harus menjauhkan diri dari dia, makin jauh makin baik. Kalau tidak, lambat atau cepat kelak engkau tentu akan mati ditangannya juga."
Benar2 Kun Hiap tak menduga bahwa Biau-koh akan mengeluarkan ucapan begitu, sehingga dia melongo dan tak dapat berkata apa2. Kalau Biau-koh mengatakan bahwa Hui Yan itu seorang dara yang baik, itu sih Kun Hiap walaupun enggan, masih dapat menerima. Tetapi waktu Biau-koh mencelah habis2an pada Hui Giok yang dikatakan berhati jahat, Kun Hiap benar2 menolak.
Sejenak berpikir, berkatalah pemuda itu, "Cianpwe, ucapanmu terhadap ji-siocia, apakah adil?"
Tiba2 tangan Biau-koh yang memegang tangan Kun Hiap meremas kencang sekali sehingga Kun Hiap menjerit kesakitan.
Biau-koh tertegun, katanya, "Kalau engkau tak percaya omooganku dan tetap menganggapnya seorang mamisia baik. engkau pasti akan mati tak berkubur!"
Melihat waktu mengucapkan kata2 itu sepasang mata Biau-koh memancarkan sinar berkilat-kilat tajam dan sikapnya begitu seram, mau tak mau Kun Hiap melonjak ketakutan. Dia tak berani membuka mulut lagi.
Biau-koh menghela napas dan lepaskan cekalannya, "Engkau mau. bilang apa lagi ?"
"Aku hendak bertanya tentang diri Can Jit Cui," kata Kun Hiap.
"Ih," desis Biau-koh, "menanyakan tentang diri ayahmu tetapi bertanya kepadaku ?"
Kikuk rasa hati Kun Hiap mendengar pertanyaan balik dari Biau-koh.
"Cianpwe," katanya, "engkau selalu salah faham maka izinkanlah aku memberi penjelasan. Sebenarnya aku ini bukan orang she Can."
"Ngaco!" bentak Biau-koh, "saat ini hatiku sedang gundah, jangan ngaco tak keruan. Kalau ingin bicara apa2, lekaslah katakan !"
Dengan gugup Kun Hiap herkata, "Ayahku adalah Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu, bukan Can Jit Cui."
Biau-koh serentak berpaling memandangnya dengan tajam sekali.
Rupanya Kun Hiap menyadari kalau persoalan itu sukar dijelaskan maka diapun laju menyusuli kata2, "Tetapi sekarang ada orang mengatakan bahwa Can Jit Cui itulah ayahku yang sebenarnya."
"Siapa yang bilang begitu?" tegur Biau-koh.
"Poa Ceng Cay dan Koan Sam Yang sama mengatakan begitu."
"Akupun juga bilang begitu," kata Biau-koh. "Engkau seperti pinang dibelah dua dengan ayahmu dulu. Ayo, kalau begitu, kotak kumala yang kuberikan kepadamu dulu, engkau berikan kepada Wi.... Wi siapa ?"
"Tidak," bantah Kun Hiap, "dia tak kenal cianpwe. Kotak kumala itu dilempar ke atas po-hon."
"Di mana pohon itu ?" seru Biau-koh.
Dengan sabarkan diri, Kun Hiap menerangkan, "Di dalam hutan dekat rumah marga Poa. Kemungkinan sekarang masih disitu."
"Toa-ah-thau," seru Biau-koh kepada puteri sulungnya, "engkau tentunya pernah melihat kotak itu, ya kotak yang sering2 kubuat mainan itu. Lekas engkau cari kotak itu."
"Tetapi ma," bantah Tian toa-siocia, "saat ini kesehatanmu kurang baik, aku hendak menemanimu pulang."
"Pergi! Pergi! Pergi!" teriak Biau-koh, "apakah engkau juga hendak ikut menambah kemarahanku ?"
Tian toa-siocia tak berani berkata apa2 lagi. Setelah pamit, dia mundur berapa langkah dan terus berputar tubuh dan melesat pergi.
"Can kongcu." kata Biau-koh kepada Kun Hiap, "omonganmu tadi membuatku pusing. Kiranya engkau tak tahu siapa ayah kandungmu itu" Kalau begitu sekarang kalian bakal berjumpa."
Kun Hiap tertawa hambar, "Mana mungkin kami bertemu " Sebelum aku lahir, beliau sudah meninggal."
Selama itu, Biau-koh bercakap-cakap sambil berjalan. Tetapi begitu mendengar keterangan Kum Hiap, serentak berhenti dan terlongong-longong..
"Dia sudah mati!" beberapa saat kemudian baru terdengar dia berkata dengan suara hampa.
"Ya, sudah meninggal. Beliau mati di tangan Wi Ki hu.
Lagi2 Biau-koh tertegun beberapa saat, "Wi siapa itu, memang aku pernah mendengar ayahmu mengatakan. Katanya saudara angkat, benar atau tidak ?"
"Benar," sahut Kun Hiap, "mereka dan Poa Ceng Cay berbahasa engkoh adik."
Plak, Biau-koh menampar pipinya sendiri, "O, Allah, mengapa semua peristiwa yang malang terjadi pada sehari ini" Mengapa" Ai . . . "
Tubuh wanita itu bergetar keras seperti mau rubuh. Buru2 Kun Hiap menyanggapinya. Biau-koh berpaling dan menatap pemuda itu dengan lekat. Perasaannya melayang-layang jauh.
"Lalu apa yang engkau ingin tahu?" katanya beberapa jenak kemudian.
"Aku ingin mengetahui kisahnya semasa masih hidup."
Biau-koh ayunkan langkah lagi dan Kun Hiap mengikuti dari belakang. Selama itu Biau-koh hanya diam, matanya memandang jauh ke muka dan Kun Hiappun tak berani mengganggu.
Setelah tiba di tengah lembah barulah Biau-koh berhenti dan berkata, "Mengenai kisah ayahmu waktu masih hidup, sukar untuk dari mana memulai menceritakannya. Aku tak malu mengatakan kepadamu bahwa dia adalah satu-satunya pria yang paling kucintai dalam hidupku."
Kua Hiap tak mau menukas dan hanya mengiakan saja. Biau-koh tundukkan kepala lalu pelahan-lahan lanjutkan langkah. Setelah masuk kedalam gua baru dia menghela napas.
"Tetapi ayahmu tiada cinta kepadaku. Dia seorang pria romantis, setiap datang ke suatu tempat tentu meninggalkan bekas petualang asmara. Dia banyak menjatuhkan hati wanita tetapi dia tak pernah jatuh hati. Ah, peristiwa yang lampau bagaikan gumpalan awan, tak perlu kuceritakan lebih banyak lagi," katanya.
Kun Hiap kecewa. Kedatangan itu hendak mencari keterangan dari Biau-koh mengenai perjalanan hidup Can Jit Cii. Tetapi ternyata wani-ta itu tak mau.menceritakan lebih banyak lagi.
Biau-koh sedang kehilangan seorang puteri dan telah mengusir puterinya yang lain. Betapa remuk rendam hati wanita itu, Kun Hiap dapat memakluminya. Dia tak mau mendesak lagi, kecuali hanya termangu-mangu.
Beberapa saat kemudian baru dia berkata, "Karena cianpwe tak mau memberi keterangan lagi, baiklah lain hari aku datang kemari pula."
Tampak Biau-koh seperti letih sekali. Dia duduk di atas sebuah batu seraya menggerak-gerakkan tangan seperti orang mengantar perpisahan.
Kun Hiap memberi hormat lalu melangkah keluar. Baru tiba di mulut gua, tlba2 Biau-koh berseru, "Apakah ayahmu benar-benar mati ditangan Wi Ki Hu dan engkau tetap menganggap Wi Ki Hu itu sebagai ayahmu?"
"Ya," dengan suara sarat Kun Hiap menjawab.
"Kalau engkau tahu persoalan, lalu bagaimana. tindakanmu"''
"Entah, aku tak tahu," jawab Kun Hiap seperti orang kehilangan faham.
Wajah Biau-koh berubah gelap. Sebenarnya dia berwajah terang dan ramah tamah. Tetapi saat itu ia berubah menjadi bengis.
"Mengapa tak tahu?" serunya tajam, "soal itu sudah gamblang sekali. Wi Ki Hu telah merebut kecintaan ayahmu dan membunuh ayahmu. Ia membutakan pikiranmu karena suruh engkau mengaku ayah kepada pembunuh ayah kandungmu.
Ia menipu mamamu supaya mau diperisteri. Sekarang engkau sudah tahu jelas persoalan itu masih engkau mengatakan tidak tahu apa yang akan engkau lakukan. Apakah engkau ini seorang anak manusia?"
Setiap patah kata diucapkan Biau-koh dengan tajam dan pada kata2 yang terakhir meletus seperti haliiintar sehingga Kun Hiap menggigil.
Memang terjadi suatu pertentangan batin dalam hati pemuda itu. Bermula dia belum tahu, kemudian pelahan-lahan dia mulai mengerti bahwa Wi Ki Hu itu bukan ayah kandungnya. Tetapi dalam hati dia masih mengharap supaya hal itu jangan terjadi sungguh-sungguh. Hanya itu yang- terkandung dalam hatinya. Dia tak sampai pada pemikiran seperti yang dikatakan Biau-koh tadi. Benar-benar dia tak memikirkan hal itu sampai Biau~koh dengan tajam telah memberi dampratan yang pedas.
Serentak terlintaslah dalam pikirannya bahwa ayahnya memang telah dibunuh Wi Ki Hu dan selama duapuluh tahun mamanya telah ditipu menjadi isteri pembunuh ayahnya itu. Dan diapun menganggap pembunuh itu sebagai ayah kandungnya. Ya, benar, kesemuanya itu Wi Ki Hu lah yang telah merencanakan dan mencelakainya. Tetapi apakah yang harus dia lakukan sekarang.
Kun Hiap terlongong-longong beberapa saat baru berkata, "Aku masih ingin menyelidikinya lagi."
"Tidak perlu menyclidiki lagi," teriak Biau-koh dengan bengis, "mamamu belum meninggal. Kalau engkau dapat mencari dan bertanya kepadanya, segala tentu akan jelas!"


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun Hiap menganggap ucapan Biau-Koh itu tepat sekali. Mamanyalah yang menjadi kunci dari segala rahasia itu. Tetapi kemanakah ia hendak mencari mamanya" Dia tak tahu kemana saja mamanya telah menghilang.
Pikiran Kun Hiap kacau sekali sehingga tak memperhatikan lagi apa yang diucapkan selanjutnya oleh Biau-koh. Dia berputar tubuh lalu dengan langkah terseok-seok dia tinggalkan tempat itu.
Tetapi walaupun kakinya berjalan, tetapi dia tak tahu arah mana yang hendak ditujunya. Pikirannya masi
Jilid 8. Kun Hiap dapat mendengar jelas uc
apan orang aneh itu, tetapi dia tak tahu apa maksud orang itu.
Saat itu dia sudah tiba di belakang si orang aneh dan ketika memandang ke muka dilihatnya wajah Hui Giok pucat lesi, seperti orang yang dibuka rahasia hatinya.
Tanpa mengangkat muka lagi, nona itu ber-putar tubuh terus melesat pergi. Kun Hiap hendak mengejar tetapi dihalangi orang aneh itu.
Tak perlu mengikutinya, biarkan dia pergi seorang diri," katanya.
"Tetapi kemanakah dia hendak pergi?" tanya Kun Hiap.
Orang berkerudung itu menghela napas, ujarnya," "Dia sudah
tahu. Tetapi kalau dia tak pergi, akupun juga tak dapat berbuat apa2. Mengapa engkau bergaul dengan gadis semacam itu?"
Sudah tentu Kun Hiap tak senang hati, sa-hutnya, "Dalam hal apa dia tak baik" Mengapa aku tak dapat bergaul dengan dia?"
"Sekarang engkau sudah pemuda dewasa," kata orang aneh itu, "tali kim-kong-jwan itu peninggalan mendiang ayahmu. Apakah engkau tidak merencanakan pembalasan?"
Kun Hiap terlongong. Sama sekali tak disangkanya bahwa orang aneh yang mukanya berselubung kain hitam itu tahu sampai jelas segala sesuatu tentang dirinya.
"Bagai . , . , bagaimana engkau tahu?" akhirnya dengan terbata-bata dia bertanya.
Orang itu menghela napas panjang lalu pelahan-lahan menghembuskannya, "Ah, kalau tahu seluruhnya juga tidak. Tetapi ketika itu mamamu pernah dengan menangis menceritakan hal itu kepada kami berdua suami isteri."
Kejut Kun Hiap bukan alang kepalang, "Ci-anpwe, engkau ini . . . . "
Bahu orang itu bergetar, "Kalau kulepaskan selubung mukaku ini, engkau tentu tahu siapa aku.
Ketika Kun Hiap terkesiap, orang itu pelahan-lahan berpaling tubuh ke belakang dan melepaskan kerudung mukanya. Beberapa jenak kemu-dian baru dia pelahan-lahan berputar tubuh ke muka lagi.
Begitu melihat wajah orang itu, pertama-tama Kun Hiap terkejut sekali sehingga diluar kesadarannya dia sampai lompat mundur ke dalam ruang dan duduk di sebuah kursi..
Orang aneh itu tertawa hambar, "Engkau tentu sudah tahu siapa diriku, bukan?"
Kun Hiap memandang lekat2, Pada kedua pipi orang itu terdapat dua bekas luka yang tak sedap dipandang, bentuknya mirip dengan kun-tum bunga bwe-hoa. Sedemikian hidup cap bunga bwe-hoa itu sehingga sepintas orang mengira kalau kedua pipinya ditempeli dengan bunga bwe-hoa.
Kun Hiap menghela napas, "Ya, kutahu siapa cianpwe ini."
Orang aneh itu kembali tertawa hambar, "Memang dalam dunia persilatan terdapat ciri2 yang terkenal. Sekali lihat orang tentu mengenalnya. Demikian juga aku. Begitu melihat pada be-kas luka kedua pipiku ini orang tentu segera tahu kalau aku adalah roh gentayangan yang berhasil menyelamatkan diri deri keganasan Tian Put Biat. Heh, heh, tokoh persilatan semacam aku, rasanya memang jarang terdapat."
Waktu mengucapkan kata2 terakhir itu, nadanya amat tajam menusuk hati.
Kun Hiap berbangkit "Cianpwe, pandangan orang persilatan dengan cianpwe ternyata berbeda. Tian Put Biat malang melintang di dunia persilatan tak ada orang yang berani melawannya. Sepasang suaini-isteri Ko dari gua Song-yang-tong telah menempurnya di bawah kaki gunung _Liok-poan-san. Walaupun kedua suami-isteri itu kalah dan mukanya menderita luka tetapi Tian Put Biat juga terluka. Sekarang Tian Put Biat telah mati. Siapa tahu kematiannya itu juga akibat luka yang dideritanya dalam pertempuran dulu itu. Nama suami-isteri dari lembah Song-yang-koh yakni Ko Thian Hoan dan Ko hujin, dikagumi seluruh in-san persilatan. Sungguh suatu keberuntungan yang tak pernah kuimpikan bahwa hari ini aku dapat bertemu muka dengan cianpwe."
Sejak menderita kekalahan dari Tian Put Biat memang Ko Thian Hoan dan isteri tak pernah muncul dalam dunia persilatan lagi. Mendengar kata-kata Kun Hiap, Ko Thian Hoanpun berseri tawa, "Ah, pandai sekali engkau mengambil hati orang."
Sebenarnya Kun Hiap tak bermaksud mengambil muka orang tetapi diapun tak mau membantahnya.
"Ko tayhiap, tadi engkau mengatakan kalau mamaku pernah datang dan dengan menangis menceritakan kepadamu?" tanyanya.
Ko Thian Hoan memanggul kedua tangan-nya sambil berjalan mondar mandir.
"Ya, benar," katanya sesaat kemudian, "itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Kala itu aku dan isteri sedang berlatih di gua Song-yang-tong di gunung Tong-pik-san. Kala itu pada saat senja . . . . dia lalu bercerita :
Ditingkah sinar matahari senja, pohon2 dan batu karang membengkakkan bayangan yang aneh beraneka rupa. Saat itu Ko Thian Hoan dan isteri sedang duduk berhadapan dibawah pohon. Ma-sing-masing menempelkan kedua tangannya pada batang pohon. Pejamkan mata dan mengerahkan pernapasan. Ubun kepala keduanya menguap asap tipis.
Saat itu sunyi senyap. Kecuali suara burung gagak yang pulang ke sarang, tiada terdengar su-ara apa-apa lagi.
Entah berapa lama kemudian tampak Ko Thian Hoan membuka mata dan berbisik, "Ada orang datang."
Nyonya Ko tertawa tawar, "Mengapa harus ribut" Langkah kaki orang itu kacau, hawa-murninya tak teratur, jelas tentu seorang yang sedang dirundung kekacauan batin. Malah mungkin menderita luka parah."
Saat itu sekeliling gunung memang masih hening lelap, tak terdengar apa2. Tetapi berkat ketajaman telinga kedua suami isteri itu, mereka dapat menangkap langkah kaki seseorang yang tengah mendatangi. Bahkan bagaimana keadaan pendatang itupun dapat didengarnya.
Kedua suami isteri Ko berpaling memandang ke arah suara itu. Sesosok bayangan melesat dari mulut lembah, dan tiba2 seorang dara juga menerobos masuk kedalam lembah dan berhenti di tempat suami-isteri Ko.
Nyonya Ko berbangkit, "Wan Giok, kenapa engkau" Siapa yang mengejar engkau?"
Memang dara itu bukan lain adalah Tong Wan Giok atau mama dari Kun Hiap. Wajahnya pucat dan sudut matanya seperti habis menangis, tubuhnya menggigil gemetar. Begitu melihat nyonya Ko terus dia lari menghampiri dan jatuhkan diri di dada nyonya itu.
Dengan menangis dara itu berkata, "Bibi Ko, aku . . . bagaimana ini, bagaimana ini?"
Saat itu Ko Thian Hoanpun cepat melesat keluar lembah dan lari berputar-putar untuk mencari orang yang menurut dugaannya hendak mengejar Tong Wan Giok.
Tetapi karena tak terlihat barang seorangpun juga, akhirnya dia kembali masuk kedalam lembah.
Saat itu Tong Wan Giok masih menangis sembari menjerit-jerit, "Aku ini bagaimana" Aku bagaimana ini?"
Dengan pelahan nyonya Ko menepuk bahu nona itu, "Wan Giok, takut apa" Sekalipun langit rubuh, kami berdua tetap akan mampu melindungi mu."??? <
Dengan lunglai Wan Giok mengangkat mu-ka. Dengan airmata yang masih membasahi kedua pipinya, dia berkata, "Dia . . . . mati ...."
Ko Thian Hoan dan isterinya saling berpan-dangan lalu serempak menegas, "Siapa?"
"Yang bulan lalu .... bersama aku datang kemari itu ....," kata Wan Giok dengan terputus-putus.
"Dia" Dia kan masih muda bagaimana bisa mati?" teriak nyonya Ko terkejut.
Kembali Tong Wan Giok melengking tangis.
"Wan Giok," seru Ko Thian Hoan dan istrinya, "aku bersahabat lama dengan ayahmu. Kalau ada apa2, bilanglah kepada kami. Siapakah musuh itu?"
Wan Giok menangis tetapi airm"t.inya sudah kering. Beberapa saat kemudian baru dia dapat menjawab, "Aku .... tak tahu . . . lalu bagai-mana aku ini"'
"Cara bagaimana dia sampai mati?" tanya suami isteri Ko.
Pelahan-lahan Tong Wan Giok hentikan tangisnya dan dengan suara yang agak tenang, dia berkata, "Paman Ko, aku benar2 tak tahu siapa musuhnya. Aku hendak mengatakan sesuatu kepada bibi."
Mendengar itu nyonya Ko memberi isyarat kepada suaminya, "Thian Hoan, dengar tidak" Ha-rap engkau menyingkir dulu."
Thian Hoan deliki mata tetapi mau juga dia melangkah keluar sampai lima enam tombak jauhnya.
Dari jarak itu seharusnya memang tak mungkin dapat mendengar tetapi karena telinga Thian Hoan itu luar biasa tajamnya, diapun dapat menangkap kata2 Wan Giok walaupun diucapkan dengan berbisik, "Bibi, aku . . . sudah . . . mengandung."
Diam2 Thian Hoan terkesiap dan menghela napas.. Dia geleng2 kepala dan pelahan-lahan melangkah keluar lembah. Tak mau dia mendengar pembicaraan itu lebih lanjut.
Saat itu hari makin gelap. Waktu rembulan terbit barulah nyonya Ko mengantar Wan Giok keluar dari lembah. Wan Giok masih menangis dan wajah nyonya Ko tampak serius. Ko Thian Hoan mengantar. Setelah keluar dari lembah sejauh sekian li, barulah Wan Giok pamitan.
Beberapa saat setelah mengantar dengan pandang mata sehingga nona itu lenyap dari pandang mata, barulah Ko Thian Hoan berkata, 'Wan Giok seorang gadis yang tahu memegang harga diri, mengapa dia sampai berbuat begitu?"
Nyonya Ko menghela napas, "Cinta itu buta, kuasanyapun besar sekali. Yang suci, bisa melakukan cemar. Pemuda she Can itu tampaknya memang seorang hidung belang, entah bagaimana Wan Giok sampai jatuh hati kepadanya " Telah kunasehatinya supaya lekas menikah dengan orang agar namanya jangan sampai ternista."
Ko Thian Hoan terkejut, "Apa maksudmu?"
"Kecuali harus memikirkan kepentingan dirinya., Wan Giokpun harus memikirkan kepentingan bayi yang berada dalam kandungannya. Salahkah kalau aku menasehatinya supaya lekas saja menikah dengan seseorang?"
Ko Thian Hoan tak dapat menjawab. Hari makin gelap dan segumpal awan beramk-arak menutupi rembulan sehingga cuaca malam makin pekat.
Selama mendengarkan cerita Ko Thian Ho-an, Kun Hiap hanya terlongong-longong saja. apa yang diceritakan Ko Thian Hoan memang sesuai dengan dugaan Hui Giok. Kini tak perlu diragukan lagi bahwa dia adalah putera dari Can Jit Cui..
Menatap Kun Hiap, Ko Thian Hoan berkata, "Sejak saat itu aku tak pernah berjumpa dengan mamamu lagi. Hanya kudengar dia memang menikah dengan keluarga Wi dari Liong-se . . ."
"Dia menikah dengan pembunuh dari ....ayahku," seru Kun Hiap dengan nada sarat.
Ko Thian Hoan terkesiap, "Bagaimana bisa terjadi begitu" Aku sungguh tak mengerti!"
"Aku juga tak mengerti!" kata Kun Hiap, "baru pada akhir2 ini kutahu hal itu."
Ko Thian Hoan mondar mandir beberapa sa-at, serunya, "Lalu bagaimana tindakanmu?"
Kun Hiap menghela napas. Ko Thian Hoan bukan merupakan orang pertama yang bertanya begitu. Tetapi dulu setiap kali dia mendapat pertanyaan begitu, hatinya selalu bimbang, tak tahu bagaimana harus mengambil keputusan.
Tetapi sekarang secara positif dia sudah memastikan bahwa dia adalah putera kandung dari Can Jit Cui. Sekarang dia harus memberi jawaban yang pasti. Dia harus mengambil keputusan untuk membalaskan sakit-hati dari ayahnya yang belum pernah diLihatnya sejak dia lahir..
Seketika meluaplah darahnya dan berserulah dia dengan nyaring, "Aku akan menuntut balas. Dan sejak saat ini aku bukan orang she Wi lagi!''
Ko Thian Hoan mengangguk pelahan, ujarnya, "Masih ada lagi beberapa hal yang mau tak mau engkau harus tahu."
Saat itu mulai timbul rasa dendam kebencian dalam hati Kun Hiap kepada Wi Ki Hu. Dia tak sudi lagi memakai she Wi. Dia sekarang berganti dengan she yang asli yaitu Can.
"Biarlah kukatakan menurut apa adanya," kata Ko Thian Hoan pula, "setelah mamamu pergi, kami berdua suami isteri telah memerlukan un-tuk menyelidiki bab musabab dari kematian ayah-mu. Walaupun penyelidikan itu tidak menghasilkan sesuatu tetapi kami lebih banyak mempunyai gambaran terhadap peribadi ayahmu.
"Bagaimana perihadinya?" gopoh Kun Hiap bertanya.
Ko Thian Hoan gelengkan kepala, "'Kesan yang kami peroleh yalah bahwa dia memang seorang pemuda yang romantis, suka bertualang da-lam percintaan tetapi tak pernah mempunyai kesetiaan. Banyak gadis2 cantik yang jatuh hati kepa-danya tetapi dia tak pernah membalas cinta mereka. Kami pernah bertemu dan bicara dengan seorang gadis yang pernah ditipunya. Gadis itu ma-sih mencintai dan tak membencinya. Gadis itu tak lain dikemudian hari menjadi isteri dari Tian Put Biat, yaitu Biau Koh. Mengapa kami berdua sampai bertempur dengan Tian Put Biat tak lain sumbernya juga karena masalah itu. Karena wak-tu kami bertemu muka dengan Biau-koh, saat itu Tian Put Biat juga hadir."
Kun Hiap tertawa murung, "Lepas dari ayahku seorang yang tipis moral, tetapi ditilik dari peristiwa secara keseluruhannya, dapatlah disimpulkan bahwa Wi Ki Hu dan ayah telah sama2 mencintai seorang gadis. Wi Ki Hu lalu membunuh ayah. Sedangkan pada waktu itu sebenarnya mereka berdua masih terikat sebagai saudara angkat. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa Wi Ki Hu itu seorang manusia yang licik dan hina.
"Engkau benar," kata Ko Thian Hoan, "sakit hati sebesar itu kalau engkau sampai tak menuntut balas, engkau pasti akan ditertawakan orang. Kelak engkau tentu tiada muka untuk berdiri dalam dunia persitatan."
Mendengar itu Kun Hiap kepalkan tinju dan menggeram, "Aku pasti akan menuntut balas, pasti!"
Dia melangkah ke pintu. Setelah berada di luar ruangan rumah baru dia berkata, "Ko cian-pwe, kemana saja nyonya Ko" Aku hendak minta pamit."
Tiba2 Ko Thian Hoan menghela napas, ujarnya, "Dia pergi ke mana, masa engkau tak tahu?"'
Kun Hiap terkesiap, "Apa katamu?"
"Silakan pergi, tak perlu banyak peradatan," kata Ko Thien Hoan.
Kun Hiap tak mau banyak bicara lagi. Dia, serentak lari keluar lembah dan tak berapa lama dia telah berlari di sepanjang jalan setapak sam-pai lima enam li.
Tiba2 dia melihat Hui Giok tegak di sebelah muka, sambil masih mencekal cakar Hiat-hun-jiau yang berkilat-kilat merah.
"Nona Tian," seru Kun Hiap gembira sekali, "engkau tahu siapakah kedua suami isteri yang mukanya berselubung kain hitam itu?"
Hui Giok paksakan tertawa, "Ya, sudah tentu aku tahu."
Sebenarnya seenaknya saja nona itu menjawab tetapi Kun Hiap menanggapi dengan rasa terkejut sekali.
"Jadi engkau sudah tahu siapa mereka itu?" teriaknya, "mereka adalah musuh besar dari ayahmu. Engkau menemui mereka ...." " sebenarnya Kun Hiap hendak bertanya apa keperluan nona itu menemui Ko Thian Hoan suami istri, tetapi tiba2 dia teringat dan membayangkan apa maksud kedatangan Hui Giok kepada suami isteri Ko Thian Hoan. Mau tak mau dia bercekat da-lam hati dan termangu-mangu.
"Ih, engkau ngelamun apa lagi itu?" buru2 Hui Giok menegurnya.
Menunjuk pada cakar Hiat-hun-jiau, Kun Hiap berseru, "Engkau .... apakah bukan mengatakan kepada nyonya Ko kalau Hiat-hun-jiau dan baju Kim-wi-kah sudah . . . . "
"Ya, benar," tukas Hui Giok, "memang kukatakan kepada mereka bahwa kedua pusaka itu sudah berada di tanganmu."
"Agar mereka tahu bahwa kedua pusaka itua sudah tidak berada di tangan mamamu, bukan?" desak Kun Hiap.
Diam2 Hui Giok terkejut, dan cepat balas bertanya, "Kalau begitu lalu bagaimana?"
Terlintas dalam benak Kun Hiap bahwa di dunia ini rasanya tiada seorang anak yang akan memberitahukan kepada musuh mamanya bahwa mamanya sudah tak menyimpan pusaka yang pa-ling ditakuti musuh itu. Dengan tindakan itu apakah bukan berarti Hui Giok seperti menganjurkan agar musuh itu segera mencari mamanya"
Bermula dia mengharap agar dugaannya itu salah tetapi nyatanya nyonya Ko Thian Hong memang benar2 sudah mencari Biau-koh.
"Ah, celaka," seru Kun Hiap sembari menggentakkan kakinya ke tanah, "apakah engkau tak menyadari kalau nyonya Ko itu sudah men-dendam sakit hati selama bertahun-tahun kepada mamamu" Begitu mendengar Biau-koh sudah tak punya pusaka, dia tentu akan melakukan pemba-lasan."
"Jangan terlalu memandang rendah kepada mamaku," seru Hui Giok.
"Apakah Biau-koh tak takut?"
"Ayah dan mamaku tak pernah takut kepada siapapun juga. Engkau kira ketika kedua orangtuaku itu malang melintang menjagoi dunia persilatan apakah karena mengandalkan kedua pusaka itu saja" Kalau benar begitu, mungapa mamaku rela memberikan kepadamu?"
Pikir punya pikir, apa yang dikatakan Hui Giok itu memang beralasan sekali. Ditilik dari kepandaian ketiga saudara taci beradik yang begitu hebat, tentulah kepandaian Biau-koh itu tiada lawannya di dunia persilatan.
"Mengapa kita tak kesana untuk melihat keadaannya?" sesaat kemudian Kun Hiap bertanya, "siapa tahu kalau2 Biau-koh perlu hendak menggunakan kedua pusaka ini."
Hui Giok tak mencelah melainkan berkata dengan hambar, "Kalau mau ke sana silakan pergi sendiri. Mama sudah tidak sudi lagi melihat kepadaku. Aku tidak dapat menemanimu."
Rupanya Kun Hiap tahu kalau nona itu tak suka hati maka diapun membatalkan maksudnya. "Karena Biau-koh tak takut kepada nyonya Ko tak perlu kita ke sana."
Hui Giok geleng2 kepala. "Tidak, lebih baik engkau ke sana saja. Toh lambat atau cepat akhirnya kita juga akan berpisah, Lebih baik sekarang saja."
"Berpisah?" Kun Hiap terkejut. "Mengapa kita harus berpisah?"
Pelahan-lahan Hui Giok berputar tubuh, serunya, ''Mengikat persahabatan, yang penting ada-lah saling percaya. Tetapi engkau sebentar menduga aku berbuat begini, seberitar lagi mencurigai aku berbuat begitu. Mana kita dapat bersama-sama lagi?"
Merah muka Kun Hiap. "Hui Giok, aku memang bersalah."
Hui Giok menghela napas dan tak bicara apa-apa lagi. Da hanya ayunkan langkah dengan pelahan sembari menunduk.
Karena merasa telah kesalahan omong sehingga menyinggung perasaan si nona maka Kun Hiappun mengikuti di belakang.
Akhirnya Hui Giok mau memberi maaf, katanya. "Bicara apa Ko Thian Hoan kepadamu" Apakah mengatakan kejelekanku?"
Kun Hiap menghela napas, "Setelah mende-ngar penuturannya barulah aku mengerti jelas asal usul diriku. Wi Ki Hu . . , . bangsat tua itu ternyata seorang manusia yang berhati binatang. Dia telah menipu aku supaya menghormatinya dan mengakunya sebagai ayah kandung." Dia meng-gertakkan geraham, menumpahkan kemarahan.
Sekonyong-konyong dari gerumbul rumput yang tak jauh dari tempat itu terdengar suara orang berseru. "Manusia berhati binatang. Sungguh seorang manusia berhati binatang!"
Suara orang itu tajam sekali sampai seperti menusuk telinga, Kun Hiap terkejut dan Hui Gi-okpun berobah wajahnya, cepat dia tebaskan ta-ngannya ke belakang untuk menabur serangkum senjata jarum.
Jarum yang berkilat-kilat itu menyusup ke dalam gerumbul tetapi anehnya tak dapat menembus dan tetap terpancang pada daun gerum-bul saja.
Kun Hiap memandang ke arah gerumbul i-tu. Seluas satu tombak dari lingkaran gerumbul itu apabila memang terdapat orang yang bersembunyi tentu sudah keluar. tetapi ternyata sepi2 saja.
"Siapa yang menyembunyikan kepala menunjukkan ekor itu?" bentak Kun Hiap.
Tiba2 terdengar suara tertawa gelak2. Arahnya dari gerumbul yang penuh dengan taburan jarum itu, "Aku . . . ," seru orang itu.
Kata2 itu menyusup jelas ke telinga Kun Hiap dan Hui Giok. Begitu jelas sekali tetapi di manakah dia bersembunyi"
Kun Hiap makin tegang tetapi Hui Giok ma-lah tenang dan berseru, "Apakah bukan Sam Coat sianseng" Mengapa tidak muncul menunjukkan diri agar wanpwe dapat menghaturkan hormat?"
"O, engkau kenal padanya"'' kata Kun Hiap.
"Sam Coat sianseng itu seorang tokoh luar biasa dalam dunia persilatan. Wataknya nyentrik dan aneh sekali. Lebih baik engkau menyingkir agak jauh dulu. Akan kulihat apakah saat ini dia sedang gembira atau marah, baru nanti kuberitahu lagi kepadamu."
Kun Hiap sesali lagi memandang ke muka dan tetap tidak melihat apa2. Dia semakin heran, "Di manakah Sam Coat sianseng itu?"
"Aku sendiripun tidak dapat mengatakan," sahut Hui Giok, "lebih baik engkau menyingkir dulu agak jauh. Kalau belum kupanggil, jangan bersuara.."
Sukar bagi Kun Hiap untuk membantah. Tetapi dia merasa bahwa selama bersama-sama Hui Giok, dia seperti orang-orangan dari kayu saja. Setiap hal dia harus menurut perintah nona itu. Memang dia anggap no-na itu bukanlah orang jahat tetapi dia merasa bahwa Hui Giok menyembunyikan sesuatu kepa-danya.
Tanpa membantah dia terus berputar diri dan dengan dua tiga kali loncatan dia sudah menyingkir sampai tujuh delapan tombak jauhnya.
"Sam Coat sianseng, mengapa engkau tak unjukkan diri" Sungguh tak kira kalau dapat berjumpa disini, bagus sekali," terdengar Hui Giok berseru.
Kisah Pedang Di Sungai Es 14 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Pedang Golok Yang Menggetarkan 21

Cari Blog Ini