Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 11
Bin Ju mengajak. Lalu ia mendahului melompat turun terus
masuk ke dalam kelenteng.
Terpaksa Ciok Jing dan Boh-thian ikut ke dalam kelenteng.
Padahal Ciok Jing mengetahui sang istri selamanya jarang
bersembahyang. Tapi sekarang dilihatnya Bin Ju sudah berlutut
di depan patung ji-lay-hud (Buddha) dan sedang menjura
berulang-ulang. Waktu ia berpaling ke arah Ciok Boh-thian, tiba-tiba timbul
rasa terima kasihnya, pikirnya, "Walaupun bocah ini tidak
genah kelakuannya, padahal cintaku kepadanya melebihi
jiwaku sendiri. Jika ada orang hendak membikin celaka
padanya tentu aku akan membelanya sekalipun nyawaku harus
melayang. Hari ini kami ayah-ibu dan anak dapat berkumpul
kembali, sungguh Tuhan yang maha pengasih benar-benar
sangat memberkati kepadaku."
Karena itu, tanpa merasa ia pun berlutut dan menjura ke
hadapan patung Buddha. Boh-thian hanya berdiri saja di samping, ia dengar Bin Ju
memanjatkan doa dengan suara perlahan, "Mohon Buddha
memberkati agar penyakit putraku ini lekas sembuh. Dia masih
terlalu muda, biarlah segala dosanya ditanggung olehku
sebagai ibunya, segala kutuk hukuman ibunya yang akan
memikulnya, asalkan putraku selanjutnya dapat membarui
hidupnya, bebas dari kesukaran dan bencana, hidup sejahtera
dan bahagia." Suara Bin Ju itu sebenarnya sangat lirih tapi dengan lwekang
Ciok Boh-thian yang tinggi sekarang, dengan sendirinya ia
dapat mendengarnya dengan jelas. Seketika darahnya tersirap,
perasaannya terguncang, pikirnya, "Jika dia bukan ibu
kandungku, masakah dia sedemikian baiknya kepadaku"
Selama ini aku ragu-ragu untuk memanggil ibu padanya, aku
benar-benar sudah terlalu linglung."
Saking terharunya mendadak ia terus menubruk maju terus
merangkul pundak Bin Ju dari belakang sambil berseru, "Ibu,
O, ibu, kau benar-benar adalah ibuku!"
Dari panggilan ibu tadi keluar dari mulutnya dengan sangat
dipaksakan adalah sekarang panggilan Boh-thian ini benarbenar
timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Sudah tentu Bin Ju
dapat mendengar dari nada suaranya itu, dengan terharu ia
lantas berpaling dan balas memeluk sambil berseru, "O,
anakku yang bernasib malang!"
Dasar watak Ciok Boh-thian memang jujur dan berbudi, ia
menjadi teringat kembali kepada "ibu" yang pernah selama
belasan tahun di atas gunung yang sunyi itu, walaupun dirinya
diperlakukan dengan kurang baik, tapi ibu dan anak telah hidup
berdampingan sekian lamanya, betapa pun hatinya juga
merasa berat. Maka ia telah bertanya pula, "Dan bagaimana
dengan ibuku yang dahulu itu" Apakah... apakah dia memang
membohongi aku?" "Bagaimana macamnya ibumu yang dahulu itu" Coba kau
terangkan pada ibu," kata Bin Ju sambil membelai-belai rambut
Ciok Boh-thian. "Dia... dia punya rambut sudah agak putih, jauh lebih pendek
daripadamu, dia pun tak bisa ilmu silat, dia sering marahmarah
sendiri, terkadang marah-marah padaku dengan mata
melotot," demikian tutur Boh-thian.
"Kau bilang dia adalah ibumu, apakah dia pun panggil anak
padamu?" tanya Bin Ju.
"Tidak, dia panggil aku sebagai "kau-cap-ceng"!" sahut Bohthian.
Hati Ciok Jing dan Bin Ju tergerak semua, pikir mereka,
"Wanita itu memanggil Anak Giok sebagai kau-cap-ceng (anak
anjing campuran), teranglah karena dia terlalu benci kepada
kami suami-istri, jangan-jangan... jangan-jangan adalah wanita
hina itu?" Maka cepat Bin Ju tanya pula, "Apakah ibumu itu bermuka
bundar telur, kulit badannya sangat putih, kalau tertawa
terdapat dekik di atas pipinya?"
"Bukan," sahut Boh-thian sambil menggeleng. "Ibuku itu
berpipi gemuk dan kekuning-kuningan, jarang tertawa, juga
tiada dekik di pipi apa segala."
"O, kiranya bukan dia," ujar Bin Ju dengan menghela napas.
"Nak, ketika di kelenteng kecil malam itu pedang ibu telah
melukai kau, bagaimana dengan lukamu itu?"
"Tidak apa-apa, hanya luka ringan saja, beberapa hari lagi
tentu akan sembuh," sahut Boh-thian.
"Dan cara bagaimana kau lolos dari cengkeraman Pek Bankiam?"
tanya Bin Ju pula. "Anak kita benar-benar hebat,
sampai "Gi-han-se-pak" juga tidak mampu menawannya."
Kata-kata terakhir ini dia tujukan kepada Ciok Jing dengan rasa
bangga. Ciok Jing sendiri memang sangat kagum kepada kepandaian
Pek Ban-kiam setelah pertandingan di kelenteng Toapekong
tempo hari. Maka ia pun setuju atas ucapan sang istri. Ia hanya
menjawab, "Ah, jangan terlalu memuji padanya, nanti terlalu
memanjakan dia." Tapi Ciok Boh-thian lantas menerangkan, "Bukan aku sendiri
yang meloloskan diri, tapi Ting-samyaya dan si Ting-ting TongKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tong yang menyelamatkan aku."
Ciok Jing dan Bin Ju terperanjat mendengar namanya Ting Putsam
itu, cepat mereka tanya keterangan lebih lanjut.
Karena cerita ini agak panjang, maka Ciok Boh-thian lantas
menguraikan dengan jelas tentang cara bagaimana Ting Putsam
dan si Ting Tong telah menolongnya, kemudian Ting Putsam
hendak membunuhnya, tapi Ting Tong telah mengajarkan
kim-na-jiu-hoat padanya dan akhirnya dia terlempar ke dalam
perahu yang lain. Bin Ju lantas menanyakan pula kejadian-kejadian sebelumnya,
terpaksa Boh-thian menuturkan cara bagaimana ia telah
dinikahkan dengan si Ting Tong oleh Ting Put-sam dan cara
bagaimana ditawan oleh Pek Ban-kiam di markas besar Tianglokpang. Kemudian ceritanya melompat kejadian berikutnya,
di mana dia telah bertemu dengan Su-popo dan A Siu di Sungai
Tiangkang serta bertanding melawan Ting Put-si, lalu cara
bagaimana Su-popo telah menerimanya sebagai murid pertama
Kim-oh-pay ketika mendarat di Ci-yan-to. Sesudah itu dia
ditinggal pergi si nenek dan A Siu, lalu menemukan kapal
mayat Hui-hi-pang, akhirnya dia ketemu dengan Thio Sam dan
Li Si serta mengangkat saudara dengan mereka. Ia
menceritakan seluruhnya sehingga sampai di sarang Tiat-chahwe
dan akhirnya kesasar ke dalam Siang-jing-koan.
Apa yang telah dialaminya di dunia Kangouw itu memangnya
sudah membikin bingung padanya, sekarang dia disuruh cerita,
sudah tentu terjungkir balik tiada teratur. Namun Ciok Jing dan
Bin Ju selalu tanya secara teliti sehingga akhirnya sebagian
besar cerita Ciok Boh-thian itu dapatlah dipahami mereka.
Begitulah makin mendengar cerita itu makin terheran-heran
Ciok Jing berdua, pikiran mereka pun semakin tertekan. Waktu
Ciok Jing menanyakan cara bagaimana Boh-thian bisa masuk
ke dalam Tiang-lok-pang, maka anak muda itu lantas
menguraikan cara bagaimana dia dibawa Cia Yan-khek ke atas
Mo-thian-kay sehingga mendapat ilmu menangkap burung dari
jauh, kemudian ia putar kembali ceritanya mengenai dahulu ia
pernah terima persen dari Bin Ju di depan warung siopia ketika
bertemu dengan Bin Ju di sana.
Sudah tentu Ciok Jing dan Bin Ju sama sekali tidak menduga
bahwa si pengemis kecil yang kotor dekil yang pernah dijumpai
di Hau-kam-cip dahulu itu ternyata bukan lain adalah putranya
sendiri. Bila teringat keadaan si pengemis kecil yang terluntalunta
dan harus dikasihani itu, kembali Bin Ju merasa pilu
hatinya. Diam-diam Ciok Jing juga membatin, "Kalau dihitung menurut
waktu pertemuan di Hau-kam-cip tempo dulu itu, tatkala mana
bocah ini toh belum lama melarikan diri dari Leng-siau-sia.
Mengapa Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya bisa pangling
kepada Anak Giok ini?"
Berpikir demikian, segera Ciok Jing mengamat-amati pula air
muka "Ciok Tiong-giok". Ia merasa muka si pengemis kecil
yang sekilas pernah dilihatnya di Hau-kam-cip dahulu itu
samar-samar sudah tak teringat olehnya, yang masih jelas
adalah pakaiannya yang compang-camping dan mukanya yang
kotor saja. Lalu terpikir lagi, "Sejak dia melarikan diri dari
Leng-siau-sia, sepanjang jalan ia hidup dari mengemis, sudah
tentu mukanya menjadi dekil, bukan mustahil malah dia yang
sengaja membikin kotor mukanya supaya tidak mudah dikenali
orang sehingga Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya
menjadi pangling. Aku pun sudah berpisah sekian tahun
lamanya, perubahan anak kecil juga sangat cepat, dengan
sendirinya aku lebih-lebih pangling lagi."
Setelah ragu-ragu sejenak kemudian Ciok Jing coba bertanya,
"Waktu di depan warung siopia tempo dulu, apa kau tidak
merasa takut ketika melihat Kheng Ban-ciong dan para
susiokmu yang lain?"
Sebenarnya Bin Ju tidak suka sang suami menyinggung urusan
Swat-san-pay itu, tapi karena sudah diucapkan, untuk
mencegahnya juga tidak bisa lagi, ia hanya mengerut alis, ia
khawatir sang suami terus mengusut perbuatan-perbuatan
putranya yang tidak senonoh.
Tak terduga Ciok Boh-thian telah menjawabnya, "Kheng Banciong"
Orang-orang Swat-san-pay itu" Apakah mereka benarbenar
adalah susiokku" Tatkala itu aku tidak tahu mereka
hendak menangkap aku, dengan sendirinya aku tidak takut
kepada mereka." "Kau tidak tahu mereka hendak menangkap kau?" Ciok Jing
menegas. "Kau... kau benar-benar tidak tahu Kheng Ban-ciong
adalah susiokmu?" "Ya, tidak tahu," sahut Boh-thian sambil menggeleng.
Melihat wajah sang suami sekilas agak masam, Bin Ju tahu
Ciok Jing telah menahan rasa gusarnya sedapat mungkin. Maka
cepat ia membuka suara, "Nak, setiap orang tentu pernah
berbuat salah, asalkan insaf akan kesalahannya dan berani
memperbaikinya rasanya belumlah terlambat. Ayah dan ibu
mencintai kau melebihi jiwanya sendiri, maka segala apa tidak
perlu kau merahasiakan, katakanlah terus terang segala sebab
musababnya kepada ayah-ibumu saja. Sebenarnya bagaimana
sikap Hong-suhu terhadap dirimu?"
"Hong-suhu" Hong-suhu yang mana?" Boh-thian menegas
dengan bingung. Tiba-tiba teringat olehnya ketika di kelenteng
Toapekong tempo hari ayah-ibunya pernah sebut-sebut
namanya Hong Ban-li, maka ia lantas menyambung pula,
"Apakah kau maksudkan Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li" Aku
pernah mendengar kalian menyinggung namanya, tapi aku
tidak kenal dia." Ciok Jing dan Bin Ju saling pandang sekejap. Segera Ciok Jing
tanya pula, "Dan bagaimana dengan Pek-yaya (Kakek Pek)"
Tabiat beliau sangat keras bukan?"
"Pek-yaya siapa" Entah, aku tidak pernah melihat dan tidak
kenal dia," sahut Boh-thian sambil geleng kepala.
Menyusul Ciok Jing dan Bin Ju bergilir menanyakan pula
suasana dan keadaan Swat-san-pay di Leng-siau-sia, tapi Ciok
Boh-thian ternyata tidak mengetahui apa pun.
"Engkoh Jing, penyakitnya ini terang terjadi sejak waktu itu,"
kata Bin Ju kepada sang suami.
Ciok Jing mengangguk, tapi diam saja.
Kiranya kedua orang sekarang telah paham duduknya perkara,
mereka menarik kesimpulan, "Anak Giok sudah mengalami
pukulan batin yang mahahebat sejak dia melarikan diri dari
Leng-siau-sia, jika bukan kepalanya terkena benda keras waktu
di tempat perguruannya itu, tentu disebabkan saking
ketakutannya sehingga pikirannya menjadi linglung dan
melupakan segala kejadian di masa lampau. Tentang
pengalamannya waktu di Mo-thian-kay dan di Tiang-lok-pang,
semuanya itu terjadi sesudah dia menderita sakit hilang
ingatan." Kemudian Bin Ju berusaha menjajaki lagi kejadian-kejadian di
masa kecilnya, tapi bicara ke sana kemari Ciok Boh-thian
hanya ingat pernah hidup di atas pegunungan yang sunyi,
kerjanya cuma menangkap burung dan memburu ayam hutan,
lebih dari itu dia tidak dapat menjelaskan lagi, seakan-akan
sejak dia dilahirkan sehingga berumur belasan tahun, masa
hidupnya itu hanya kosong belaka tanpa sesuatu peristiwa.
"Anak Giok," kata Ciok Jing akhirnya, "ada suatu hal penting
yang menyangkut mati-hidupmu di masa depan. Tentang ilmu
silat Swat-san-pay sebenarnya sampai berapa banyak telah
kau pahami?" Boh-thian tampak termangu-mangu, jawabnya kemudian, "Aku
hanya menyaksikan orang-orang Swat-san-pay melatih ilmu
pedang di dalam kelenteng tempo hari, diam-diam aku pun
mengingatnya sebagian saja. Apakah lantaran ini mereka
sangat marah padaku sehingga aku hendak dibunuh oleh
mereka" Ayah, itu Pek-suhu bersitegang mengatakan aku
adalah murid Swat-san-pay, entah apakah maksudnya"
Anehnya mengapa di atas pahaku memang benar terdapat
bekas luka tusukan ilmu pedang mereka itu. Ai, sungguh aku
pun tidak habis mengerti akan hal ini."
"Adik Ju, biar kucoba lagi dia punya ilmu pedang," kata Ciok
Jing kepada sang istri. Lalu ia melolos pedangnya dan
menyambung pula, "Coba, boleh kau gunakan Swat-san-kiamhoat
yang telah kau pahami itu untuk bergebrak dengan Ayah,
sedikit pun kau tidak boleh menyembunyikan kepandaianmu."
Bin Ju lantas mencabut pedang dan diserahkan kepada Ciok
Boh-thian sambil tersenyum, maksudnya mendorong anak
muda itu agar melakukan apa yang dikehendaki Ciok Jing.
Ketika Ciok Jing mulai menusuk dengan lambat, segera Ciok
Boh-thian mengangkat pedang untuk menangkis, yang dia
gunakan adalah jurus "Siok-hong-hut-khi" (Angin Utara
Mendadak Meniup), gerakannya lamban, gayanya kaku dan
banyak lubang kelemahannya.
Ciok Jing mengerut kening melihat ketololan ilmu pedang anak
muda itu, sebelum kedua pedang kebentur, segera ia ganti
serangan lagi sambil berkata, "Kau pun boleh balas serang
saja!" "Baik!" sahut Boh-thian. Mendadak pedangnya membacok dari
samping, ia gunakan pedang sebagai golok sehingga yang dia
mainkan lebih mirip Kim-oh-to-hoat daripada disebut ilmu
pedang. Dengan cepat Ciok Jing mempergencar serangan-serangannya,
pikirnya, "Betapa pun licin bocah ini juga jangan harap akan
dapat mengelabui diriku dalam hal ilmu silat. Setiap orang
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menghadapi detik menentukan antara mati atau hidup
tidaklah mungkin berpura-pura lagi dalam permainan ilmu
pedangnya." Karena pikiran ini, segera ia mendesak lebih kencang pula,
setiap serangannya selalu menuju tempat-tempat berbahaya di
tubuh Ciok Boh-thian. Mau tak mau Boh-thian menjadi kelabakan, dalam gugupnya
untuk mempertahankan diri secara otomatis ia lantas
memainkan kepandaian ciptaannya sendiri, yaitu ilmu yang
mirip ilmu golok dan menyerupai ilmu pedang.
Dalam pada itu serangan-serangan Ciok Jing bertambah
gencar. Coba kalau lawannya bukan putranya sendiri, niscaya
dengan mudah dia sudah membikin tamat riwayatnya. Pada
jurus ke-11 jika mau dada Ciok Boh-thian tentu sudah
ditembus oleh pedangnya, ketika jurus ke-23 mestinya buah
kepala anak muda itu pun dapat ditebasnya menjadi dua,
bahkan setiba jurus ke-28 pertahanan Ciok Boh-thian menjadi
terbuka semua, dadanya, perutnya, pundaknya, kakinya,
semuanya dengan gampang dapat dijadikan sasaran pedang.
Ciok Jing menoleh sekejap kepada sang istri sambil
menggeleng. "Sret", menyusul pedangnya lantas menusuk ke
depan, perut Ciok Boh-thian segera terancam oleh ujung
pedang. Keruan Boh-thian kelabakan, ia coba menangkis
sebisanya, "trang", tahu-tahu pedang Ciok Jing tergetar
mencelat, berbareng dadanya terasa sesak, kontan ia tersentak
mundur beberapa tindak. Di bawah guncangan tenaga dalam
Ciok Boh-thian yang mahakuat itu, hampir-hampir saja ia tidak
sanggup berdiri tegak lagi.
"He, kenapakah kau, Ayah?" seru Boh-thian kaget, cepat ia
membuang pedangnya dan memburu maju hendak memayang
Ciok Jing. Tiba-tiba Ciok Jing merasa pening dan muak, lekas-lekas ia
menutup pernapasan dan memberi tanda agar Boh-thian
jangan mendekatnya. Kiranya sekali Ciok Boh-thian sudah bergebrak dengan orang,
dengan sendirinya racun yang mengeram di dalam tubuhnya
lantas terdesak keluar oleh tenaga dalamnya yang bergolak itu.
Syukurlah sebelumnya Ciok Jing sudah mengetahui seluk-beluk
kepandaian putranya sehingga tidak sampai roboh keracunan.
Khawatirkan diri sang suami, cepat Bin Ju juga memburu maju
untuk memayangnya, ia menoleh dan menegur Boh-thian,
"Ayah cuma menjajal kepandaianmu saja, mengapa kau begini
sembrono?" Boh-thian menjadi khawatir, sahutnya cepat, "Ya, aku... aku
yang salah, Ayah! Apakah kau terluka?"
Melihat bocah itu menaruh perhatian secara tulus dan sungguhsungguh
kepadanya, diam-diam Ciok Jing sangat girang dan
terhibur. Ia tersenyum, sesudah mengatur napasnya,
kemudian ia menjawab, "Ah, tidak apa-apa. Adik Ju, jangan
kau salahkan Anak Giok. Dia memang benar belum memahami
ilmu pedang Swat-san-pay, sebab kalau dia sudah mahir, tentu
dapat menyerang dan dapat menarik kembali dengan tepat,
dengan sendirinya dia takkan sembrono padaku. Tenaga dalam
bocah ini benar-benar sangat hebat, tokoh Bu-lim yang mampu
menandingi dia boleh dikata sangat terbatas."
Bin Ju cukup kenal watak sang suami yang biasanya tidak
sembarangan memuji orang persilatan pada umumnya, kalau
sekarang dia memuji putra kesayangannya, hal ini
menandakan kepandaian Ciok Boh-thian memang benar-benar
hebat. Tentu saja Bin Ju ikut bergirang, katanya, "Tapi ilmu
silatnya masih terlalu kaku, sebaiknya sang ayah memberi
petunjuk-petunjuk seperlunya."
"Ketika di kelenteng tempo hari bukankah kau sudah pernah
mengajarkan dia?" ujar Ciok Jing dengan tertawa. "Tampaknya
dalam hal mendidik anak nakal si ayah yang keras harus
menyerah kepada sang ibu yang pengasih."
Bin Ju tersenyum gembira, katanya, "Kalian tentu sudah lapar,
marilah kita mencari rumah makan."
Sesudah mereka sampai di suatu kota kecil dan tangsel perut
seperlunya, kemudian mereka keluar kota menuju ke suatu
tempat yang sunyi. Di sini Ciok Jing lantas menguraikan letak
saripati ilmu pedang yang hebat. Dasarnya Ciok Boh-thian
memang tidak bodoh, selama ini dia telah banyak memahami
pula berbagai macam ilmu silat, sekarang diberi petunjuk pula
oleh tokoh silat terkemuka sebagai Ciok Jing, sudah tentu ia
tambah cepat mengerti. Apalagi lwekang Ciok Boh-thian
memangnya sudah sangat tinggi dan melebihi jago kelas satu
di dunia Kangouw, yang masih kurang baginya hanya dalam
hal pengalaman tempur saja.
Begitulah Ciok Jing dan Bin Ju bergilir memberi petunjuk dan
saling gebrak dengan Boh-thian, bilamana ada sesuatu
kesukaran segera mereka memberi petunjuk di mana perlu,
dengan demikian kemajuan Boh-thian terang jauh lebih pesat
daripada waktu Bin Ju memberi petunjuk secara diam-diam
waktu bertemu di kelenteng Toapekong dahulu.
Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian teramat kuat, biarpun dia
berlatih terus dari siang sehingga petang tanpa berhenti dan
mengaso, namun sedikit pun dia tidak kelihatan lelah, bahkan
napasnya tidak sampai terengah-engah. Sebaliknya Ciok Jing
dan Bin Ju yang memberi petunjuk secara bergilir malah mandi
keringat dan merasa capek.
Secara ringkas saja pelajaran-pelajaran itu telah berlangsung
selama beberapa hari, kemajuan Boh-thian sangat pesat, dari
ilmu pedang ajaran ayah-ibunya sudah dapat dipahaminya
tujuh-delapan bagian. Hian-soh-kiam-hoat memangnya adalah ilmu pedang yang
lihai, ditambah lagi tenaga dalam Ciok Boh-thian yang
mahakuat, kelak kalau bertemu lagi dengan Pek Ban-kiam,
Ting Put-sam, dan Ting Put-si dan lain-lain, andaikan Boh-thian
belum dapat mengalahkan jago-jago tua itu, paling sedikit ia
pun sudah mampu mempertahankan diri.
Selama beberapa hari itu, di kala mengaso atau di waktu
makam, Ciok Jing dan Bin Ju masih terus berusaha memancing
Ciok Boh-thian menceritakan pengalamannya di masa lampau
dengan maksud membantunya memulihkan daya ingatannya.
Akan tetapi Boh-thian hanya dapat menceritakan dengan jelas
tentang kejadian sesudah dia berada di Tiang-lok-pang, sampai
kejadian-kejadian kecil ia pun dapat menerangkan, tapi ditanya
sewaktu kecilnya, ketika tinggal di Hian-soh-ceng dan belajar
silat di Leng-siau-sia, semuanya ini ia hanya melongo saja tak
bisa menjawab. Pada hari itu, sesudah makan siang, mereka bertiga kembali
berada di bawah pohon yang biasanya mereka suka dudukduduk
di situ dan mengobrol. Tiba-tiba Bin Ju menjemput
setangkai ranting dan menggores-gores di atas tanah, ia
menulis empat huruf "Hek-pek-hun-beng" (hitam dan putih
harus dibeda-bedakan dengan tegas), lalu katanya, "Anak
Giok, apakah kau masih ingat keempat huruf ini?"
Boh-thian menggeleng-geleng kepala, sahutnya, "Tidak, aku
tidak bisa membaca."
Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua. Padahal waktu anak
mereka meninggalkan rumah Bin Ju sudah mengajarkan
membaca kepadanya, kitab-kitab yang sederhana sebagai
"Sam-ji-keng" (kitab aksara tiga), "Tong-si" (sanjak Tong)
boleh dikata sudah dapat dihafalkan di luar kepala, mengapa
sekarang jawabnya tidak bisa membaca" Apalagi Wi-tek
Siansing dari Swat-san-pay terkenal serbapandai, baik ilmu
silat maupun ilmu sastra. Anak muridnya juga terkenal sebagai
kaum cerdik pandai semua. Waktu Ciok Jing memasrahkan
Tiong-giok kepada Hong Ban-li dahulu juga dengan tegas
dinyatakan semoga anak itu mendapat didikan ilmu silat
maupun ilmu sastra, tatkala itu Hong Ban-li telah berkata
dengan tertawa, "Pek-tehu (adik ipar Pek, maksudnya istri Pek
Ban-kiam) adalah sastrawan wanita di Leng-siau-sia kita,
biarkan dia yang mengajar putramu, tanggung tidak akan
mengecewakan harapanmu."
Tapi kini anak muda itu ternyata mengaku buta huruf.
Tentang empat huruf "Hek-pek-hun-beng" itu adalah tulisan di
atas papan yang tergantung di pendopo Hian-soh-ceng mereka,
tulisan itu adalah sumbangan seorang tokoh Bu-lim angkatan
tua, maknanya cocok dengan sepasang pedang hitam-putih
andalan Ciok Jing dan istrinya, tapi juga mengandung pujian
kepada mereka suami-istri yang suka membela keadilan dan
membantu kaum lemah untuk menumpas kejahatan.
Sebabnya Bin Ju menulis keempat huruf yang dahulu sering
dilihat putranya sejak kecil, mungkin dari situ akan dapat
mengingatkan dia kepada kejadian-kejadian di masa lampau,
siapa duga anak muda itu bahkan menjawab tidak dapat
membaca. Lalu Bin Ju menggores lagi angka "satu" di atas tanah,
tanyanya pula dengan tertawa, "Dan huruf ini kau masih ingat
tidak?" "Tidak, huruf apa pun aku tidak tahu, tiada yang pernah
mengajarkan padaku," jawab Boh-thian.
Pedih sekali hati Bin Ju, air matanya lantas berlinang-linang
lagi. "Anak Giok, coba kau mengaso dulu ke sebelah sana," kata
Ciok Jing kepada Boh-thian.
Setelah mengiakan, Boh-thian lantas jinjing pedangnya dan
menyingkir ke sana untuk berlatih sendiri.
Kemudian Ciok Jing telah menghibur sang istri, "Adik Ju,
penyakit yang diderita Anak Giok tampaknya tidaklah enteng
dan tak dapat disembuhkan dalam waktu singkat."
Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula,
"Seandainya dia memang sudah melupakan segala kejadian
yang lalu, hal ini pun bukanlah urusan jelek. Sepak terjang
bocah ini di masa lampau terlalu sembrono, walaupun sekarang
agak... agak linglung, tapi tingkah lakunya terang jauh lebih
baik dan lebih prihatin. Hal ini boleh dikata merupakan suatu
kemajuan besar baginya."
Bin Ju pikir apa yang dikatakan sang suami itu pun ada
benarnya, seketika dari sedih berubah menjadi girang. Apa
halangannya kalau cuma buta huruf saja, paling-paling
diajarkan lagi dari permulaan kan beres"
Tiba-tiba Ciok Jing berkata pula, "Adik Ju, ada suatu hal yang
aku tidak habis paham. Penyakit hilang ingatan bocah ini
terang sudah terjadi sewaktu dia meninggalkan Leng-siau-sia,
kemudian ia menderita sakit panas lagi, hal ini hanya semakin
menambah parah penyakitnya itu. Akan tetapi... akan
tetapi...." Mendengar ucapan sang suami itu mengandung sesuatu tekateki
yang mendalam, mau tak mau Bin Ju ikut menjadi tegang,
cepat ia tanya, "Akan tetapi apa?"
"Bicara tentang kesusastraan terang Anak Giok buta huruf,"
kata Ciok Jing. "Bicara tentang ilmu silatnya juga tidak terlalu
mahir, hanya lwekangnya saja yang luar biasa. Bicara soal
pengalaman, pengetahuan dan tipu akalnya, semuanya lebihlebih
tiada yang dapat dipilih. Padahal Tiang-lok-pang adalah
suatu organisasi besar yang sangat menonjol pada masa akhirakhir
ini, namanya sangat disegani oleh dunia persilatan,
mengapa... mengapa...."
"Ya, betul, mengapa mengangkat seorang anak kecil sebagai
Tiong-giok untuk menjadi pangcu mereka?" sambung Bin Ju
dengan manggut-manggut. Ciok Jing merenung sejenak, lalu sambungnya pula, "Waktu di
Ciciu tempo hari kita pernah mendengar cerita bahwa Ciok
Boh-thian, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang adalah seorang
yang suka main perempuan, tingkah lakunya culas dan licik,
tapi ilmu silatnya sangat tinggi pula. Sebenarnya tiada seorang
pun yang tahu asal-usul Ciok-pangcu itu, belakangan entah
mengapa dia telah dapat dikenali oleh murid wanita dari Swatsanpay yang bernama Hoa Ban-ci, katanya dia adalah murid
murtad Swat-san-pay mereka, Ciok Tiong-giok, yang sedang
dicari-cari oleh perguruannya. Tapi kalau dilihat sekarang,
segala apa tentang tingkah lakunya culas licik dan ilmu silatnya
sangat tinggi, ulasan-ulasan itu sesungguhnya tidak tepat
digunakan atas diri Tiong-giok."
Dengan mengerut kening Bin Ju menanggapi, "Ya, dahulu kita
pikir usia Anak Giok memang masih muda, tapi otaknya
memang tajam, jika ilmu silatnya benar-benar telah maju
pesat sehingga dapat menjabat sebagai pangcu apa juga bukan
sesuatu yang aneh, sebab itulah kita tatkala itu sedikit pun
tidak curiga, kita hanya berunding cara bagaimana
menyelamatkan dia dari pencarian Swat-san-pay. Akan tetapi
melihat kelakuannya sekarang, kukira... kukira...."
Sampai di sini mendadak ia perkeras suaranya, "Ya, Engkoh
Jing, kukira di balik urusan ini tentu adalah suatu muslihat keji.
Coba pikir saja, betapa cerdik pandai tokoh "Tio-jiu-seng-jun"
Pwe-siansing itu, masakah...." sampai di sini ia menjadi takut
sendiri, suaranya menjadi gemetar pula.
Ciok Jing sendiri berjalan mondar-mandir dengan berpangku
tangan, mulutnya tiada hentinya menggumam, "Ya,
mengangkat dia menjadi pangcu , mengangkat dia menjadi
pangcu , apa maksud tujuannya" Apa maksud tujuannya?"
Setelah dipikir berulang-ulang, akhirnya jelaslah duduknya
perkara baginya, segala apa yang terjadi sangat cocok dengan
persoalannya, cuma saja urusan ini terlalu mengerikan, maka
ia tidak berani lantas mengutarakan pendapatnya.
Waktu ia memandang sang istri, sekilas sorot mata Bin Ju juga
sedang menatap ke arahnya dengan penuh rasa cemas dan
khawatir. Untuk sejenak suami-istri itu saling pandang, habis itu
mendadak mereka berseru berbareng, "Pengganjar dan
Penghukum!" Ucapan ini cukup keras sehingga dapat didengar oleh Ciok Bohthian,
segera anak muda ini mendekati dan bertanya, "Ayah,
ibu, sebenarnya macam apakah Pengganjar dan Penghukum
itu" Aku pernah mendengar nama itu dari orang-orang Tiatchahwe, imam-imam Siang-jing-koan itu pun pernah
menyebut-nyebutnya."
Ciok Jing tidak menjawab sebaliknya malah bertanya, "Sewaktu
kau mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si, apakah
mereka mengetahui kau adalah Pangcu Tiang-lok-pang?"
"Mereka tidak tanya, aku pun tidak bilang, mungkin mereka
tidak tahu," sahut Boh-thian.
"Bagaimana keadaan mereka ketika kau berlomba minum arak
berbisa dengan mereka" Coba kau ceritakan lagi dengan lebih
jelas," tanya Ciok Jing.
"Hah, apakah arak itu berbisa" Mengapa aku tidak keracunan?"
sahut Boh-thian dengan heran. Lalu ia pun menuturkan lagi
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengalamannya ketika bertemu dengan Thio Sam dan Li Si, di
mana mereka telah makan babi panggang dan minum arak
sepuas-puasnya. Ciok Jing mendengarkan dengan diam saja, sesudah Boh-thian
menutur, ia merenung sejenak, lalu berkata, "Anak Giok, ada
suatu hal harus kukatakan padamu, baiknya saat ini masih
dapat dicegah, maka kau pun tidak perlu khawatir."
Sesudah merandek sebentar, kemudian ia menyambung, "Pada
masa 30 tahun yang lalu, banyak sekali di antara gembonggembong
dan tokoh-tokoh Bu-lim dari berbagai golongan dan
aliran mendadak telah menerima undangan yang meminta
mereka sebelum tanggal 8 bulan 12 supaya datang ke Liongbokto (Pulau Kayu Naga) di Laut Selatan untuk makan Lappatcok." "Ya, semua orang asalkan mendengar tentang "Lap-pat-cok"
lantas sangat ketakutan, entah apa sebabnya?" kata Boh-thian
sambil manggut-manggut. Namun Ciok Jing menyambung terus, "Tokoh-tokoh dari
berbagai golongan dan aliran itu semuanya adalah orang-orang
yang punya harga diri, ketika mereka menerima medali
undangan...." "Medali undangan" Apakah kedua potong medali tembaga itu?"
sela Boh-thian. "Betul, tak-lain-tak-bukan adalah kedua buah medali tembaga
yang pernah kau rebut dari Ciau-hi Supek itu," sahut Ciok Jing.
"Muka medali-medali itu masing-masing terukir wajah orang
yang sedang tertawa, ini mempunyai arti "pengganjar", yaitu
memberi ganjaran kepada orang yang berbuat bajik,
sebaliknya medali yang lain terukir wajah marah yang berarti
"penghukum", yaitu pemberi hukuman kepada setiap kejahatan.
Pengirim-pengirim medali undangan itu adalah dua orang
pemuda gemuk dan kurus."
"Pemuda?" Boh-thian menegas. Ia sudah menduga pengirimpengirim
medali-medali itu tentulah Thio Sam dan Li Si, tapi
demi mendengar pemuda, ia merasa tidak cocok pula dengan
mereka. "Apa yang terjadi itu adalah di waktu lebih 30 tahun yang lalu,
dengan sendirinya ketika itu mereka masih muda," ujar Ciok
Jing. "Para pemimpin Bu-lim yang kebagian medali undangan
itu dengan sendirinya ragu-ragu, mereka menanyakan
siapakah tuan rumah yang mengundang itu, tapi kedua utusan
itu menyatakan bahwa sesudah para tamu sampai di tempat
tujuan tentu akan tahu sendiri. Gembong-gembong persilatan
itu ada yang anggap sepele akan undangan itu dan
menerimanya dengan tertawa, ada juga yang marah-marah.
Menurut kedua utusan itu, bila penerima undangan itu
menepati undangan itu, maka segalanya akan aman tenteram,
sebaliknya kalau menolak, maka golongan atau organisasi
mereka ini pasti akan tertimpa bencana. Karena itulah para
pemimpin persilatan itu saling bertanya-tanya, "Hadir atau
tidak?" "Orang pertama yang menerima medali undangan itu adalah
Siau-san Totiang, Ciangbunjin Jing-sia-pay di Sucwan Barat.
Sambil tertawa ia mengerahkan tenaga dalam sehingga kedua
medali tembaga itu kena diremas menjadi dua potong tembaga
rongsokan. Dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat
itu Siau-san Totiang mengira kedua pemuda yang takabur itu
pasti akan kabur dengan ketakutan. Siapa duga, baru saja
medali-medali itu dirusaknya, kontan keempat tangan pemudapemuda
itu pun sekaligus menghantam dada Siau-san Totiang,
tanpa ampun lagi tokoh persilatan di daerah Sucwan itu
terbinasa seketika."
"Ah, sedemikian keji cara mereka itu," seru Boh-thian.
"Ya, serentak orang-orang Jing-sia-pay juga lantas mengerubut
maju," sambung Ciok Jing. "Tatkala itu ilmu silat kedua
pemuda belum mencapai tingkatan setinggi seperti sekarang,
segera mereka merampas dua batang pedang, setelah
membunuh tiga orang Tojin mereka lantas melarikan diri.
Namun demikian, kejadian tentang Jing-sia-pay diubrak-abrik
dan Siau-san Totiang dibunuh dua orang pemuda yang tak
terkenal dalam waktu singkat saja sudah lantas membikin
geger dunia persilatan. "Dua puluh hari kemudian, Tiau-lopiauthau di Ekciu juga
menerima medali undangan tersebut. Waktu itu Tiaulopiauthau
sedang sibuk mengadakan perjamuan untuk
merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Tamu-tamu yang hadir
sangat banyak, tiba-tiba kedua pemuda yang tidak diundang
muncul di tengah perjamuan dan mengaturkan medali-medali
tembaga mereka. Memangnya sebagian besar para hadirin itu
lagi ramai membicarakan peristiwa Jing-sia-pay, sekarang
diketahui kedua pemuda itu mengacau pula ke situ, serentak
mereka bergerak dan hendak menghajar kedua pemuda itu.
Tak terduga dengan gampang saja kedua pemuda itu dapat
meloloskan diri dari kepungan orang banyak. Bahkan tiga hari
kemudian, keluarga Tiau-lopiauthau sebanyak lebih 30 jiwa
pada tengah malam buta semuanya telah tewas. Di atas pintu
rumah jelas terpaku dua bentuk medali tembaga muka tertawa
dan muka marah itu."
"Pertama kalinya aku melihat kedua medali tembaga itu adalah
di pintu ruangan kapal Hui-hi-pang yang penuh mayat itu,"
kata Boh-thian dengan menghela napas. "Tak tersangka
bahwa... bahwa kedua medali itu mirip saja dengan kartu
undangan yang dikirim oleh Giam-lo-ong (raja akhirat)."
"Setelah kejadian itu tersiar, segera ketua Siau-lim-pay tampil
ke muka dan mengundang para pemimpin terkemuka dari
dunia persilatan untuk merundingkan cara menghadapi
persoalan medali-medali tembaga itu, berbareng penyelidikpenyelidik
disebarkan untuk mencari tahu jejak kedua utusan
yang mengganas itu," demikian Ciok Jing melanjutkan
ceritanya. "Namun kedua pemuda utusan itu benar-benar
sangat licin, sering kali mereka menyamar dan ganti rupa
sehingga jejak mereka susah diketemukan. Tapi bilamana
orang-orang Bu-lim sudah mulai lengah, tahu-tahu kedua
pemuda itu muncul lagi untuk menyampaikan kedua medali
panggilan. "Bukan saja jejak kedua pemuda itu susah diketemukan dan
ilmu silatnya tinggi, malahan mereka pandai menggunakan
racun pula. Seperti Sian-pun Tianglo dari Siau-lim-pay, Khopek
Tojin dari Bu-tong-pay, mereka telah tewas semua
sesudah menerima medali undangan. Waktu menerima medalimedali
itu tiada terjadi apa-apa, tapi lewat sebulan kemudian
mendadak mereka kena penyakit keras terus binasa. Menurut
perkiraan, tentulah kedua rasul Siang-sian dan Hwat-ok Sucia
itu jeri kepada ilmu silat Sian-pun Tianglo dan Kho-pek Totiang
yang tinggi, mereka tidak mampu melawannya, maka diamdiam
mereka telah menaruh racun jahat di atas medali-medali
mereka, sesudah tangan menyentuh racun itu, akhirnya racun
akan bekerja dan membunuh sang korban. Anehnya racun itu
sama sekali tidak memberi tanda-tanda sebelumnya, tapi sekali
sudah kumat, hanya dalam waktu satu jam saja lantas binasa,
sungguh lihainya susah dikatakan."
Bab 32. Ting Tong! Dia Muncul Lagi
Ciok Boh-thian sampai merinding mendengarkan cerita seram
itu, katanya, "Masakah kedua saudara-angkatku Thio Sam dan
Li Si itu adalah manusia-manusia yang begitu kejam" Mereka
suka bermusuhan dengan orang-orang Bu-lim, sebenarnya apa
maksud tujuannya?" "Entahlah, selama 30-an tahun ini persoalan yang rumit ini
tetap tak terpecahkan," sahut Ciok Jing sambil menggeleng.
"Sesudah tewasnya tokoh-tokoh terkemuka seperti Siau-san
Totiang dari Jing-sia-pay, Tiau-lopiauthau dari Sucwan, Sianpun
Taysu dari Siau-lim-si, Kho-pek Totiang dari Bu-tong-pay,
mau tak mau pemimpin-pemimpin Bu-lim yang lain menjadi
kebat-kebit dan merasa tidak aman, mereka tidak berani main
kasar lagi, bila di antaranya ada yang menerima medali
undangan, segera disanggupi untuk hadir pada perayaan
makan Lap-pat-cok itu. Jika demikian, maka kedua rasul itu
akan berkata, "Sungguh kami merasa mendapat kehormatan
atas kesediaan tuan akan hadir di Liong-bok-to, diharap pada
hari dan bulan sekian silakan menunggu di mana, pada
waktunya tentu ada orang akan menyambut kalian dengan
perahu." " Begitulah, selama tahun undangan itu, tokoh-tokoh
Bu-lim, ciangbunjin, pangcu dari berbagai golongan yang telah
menjadi korban keganasan mereka itu ada 14 orang, selain itu
ada 19 tokoh yang melaksanakan undangan mereka. Akan
tetapi ke-19 orang itu hanya dapat pergi saja dan tidak dapat
pulang, selama 32 tahun ini sedikit pun tiada berita-berita
tentang nasib mereka."
"Terletak di lautan selatan manakah pulau yang disebut Liongbokto itu?" tanya Ciok Boh-thian. "Mengapa tidak
mengumpulkan teman dan pergi menolong ke-19 orang itu?"
"Tentang Liong-bok-to itu sudah ditanyakan kepada hampir
seluruh nelayan dan ahli pelayaran, tapi tiada seorang pun
yang kenal nama pulau itu, tampaknya pulau itu hanya omong
kosong kedua pemuda itu saja," tutur Ciok Jing lebih jauh.
"Begitulah setahun demi setahun telah lalu dengan cepat,
selain keluarga-keluarga dari ke-33 orang yang mengalami
nasib malang itu, maka semua orang lambat laun sudah
melupakan peristiwa-peristiwa tersebut. Tak terduga 11 tahun
kemudian, tahu-tahu medali undangan itu muncul lagi di dunia
Kangouw. Kali ini ilmu silat kedua rasul itu sudah tambah maju
lagi, hanya di dalam waktu 20-an hari saja beberapa ratus
orang dari berbagai aliran dan organisasi besar telah dibunuh
oleh mereka. "Keruan kejadian itu semakin menggegerkan dunia Kangouw.
Waktu itu tiga orang tertua Go-bi-pay lantas tampil ke muka
untuk mengumpulkan 20-an jago-jago pilihan, secara diamdiam
mereka sembunyi di markas Ang-jio-hwe (perkumpulan
tombak merah) di daerah Holam untuk menantikan kedatangan
kedua pengganas. Tak terduga kedua pengganas itu seperti
serbatahu saja, mereka telah menghindari Ang-jio-hwe, bahkan
tidak menginjak ke dalam wilayah Holam, sebaliknya medali
panggilan mereka masih terus disebarkan ke tempat-tempat
lain. Asal penerima medali undangan itu menyanggupi akan
hadir, maka segenap anggota keluarga penerima undangan itu
akan aman tenteram, jika tidak maka biarpun betapa keras dan
rapatnya penjagaan, tentu segenap anggotanya akan menjadi
korban keganasan kedua orang itu.
"Tahun itu Soa-pangcu dari Hek-liong-pang juga mendapat
medali undangan, tatkala itu ia telah menyanggupi akan hadir,
tapi diam-diam ia telah memberitahukan waktu dan tempat
perahu yang akan memapaknya kepada Ang-jio-hwe. Maka tiba
pada saatnya serentak ke-20 tokoh persilatan itu lantas
menuju ke tempat yang dimaksudkan. Akan tetapi sial bagi
mereka, entah siapa yang telah membocorkan rahasia mereka
itu, ketika tiba saatnya ternyata tiada seorang pun atau perahu
yang datang menyambut. Mereka coba menunggu lagi
beberapa hari, namun satu demi satu di antara mereka itu
berturut-turut tewas keracunan.
"Keruan sisanya menjadi ketakutan dan beramai-ramai mereka
lantas bubar menyelamatkan diri. Akan tetapi belum lagi
sampai di rumah masing-masing, di tengah jalan mereka sudah
mendapat kabar, ada yang seluruh anggota keluarganya telah
habis dibunuh orang, ada pula segenap anggota organisasinya
telah habis dibinasakan tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Dalam tahun itu hanya ada tujuh orang tokoh saja yang telah
menumpang sebuah kapal lain menuju ke Liong-bok-to, tapi
mereka pun bisa pergi dan tak bisa pulang, besar kemungkinan
mereka sudah terkubur di dasar lautan yang susah dijajaki.
Apa yang terjadi itu adalah peristiwa pada 21 tahun yang lalu.
Ai, benar-benar bencana besar bagi Bu-lim, kalau dipikir
sungguh menyeramkan dan menyedihkan!"
Ciok Boh-thian ingin tidak memercayai cerita yang mengerikan
itu, akan tetapi dengan mata kepala sendiri ia telah
menyaksikan terbunuhnya anggota-anggota Tiat-cha-hwe serta
kapal mayat orang-orang Hui-hi-pang, bahkan tanpa sengaja
dia sendiri telah membantu Thio Sam dan Li Si melakukan
keganasan itu, kalau teringat sekarang sungguh ia menjadi
bergidik sendiri. Ia dengar Ciok Jing telah menyambung pula, "Selang 11 tahun
kemudian, kembali kedua rasul itu muncul lagi. Yang pertama
menerima medali undangan adalah Bu-kek-bun di daerah
Kangsay. Setahun sebelumnya di antara pemimpin-pemimpin
berbagai golongan dan aliran sudah mengadakan musyawarah
dan permufakatan, tak peduli siapa yang menerima undangan,
maka seluruhnya akan menerima dengan baik dan berjanji
akan hadir. Mereka telah bertekad kepada pemeo yang
mengatakan "tidak masuk sarang harimau, mana bisa
mendapat anak harimau". Mereka bertekad akan datang ke
Liong-bok-to untuk melihat keadaan yang sebenarnya, semua
orang telah bersatu padu akan menumpas musuh bersama dari
dunia persilatan itu. "Sebab itulah pada tahun undangan itu, di mana medali
undangan disampaikan sebegitu jauh tidak terjadi korban jiwa,
seluruhnya ada 33 orang yang telah menerima undangan,
maka ada 33 orang yang akan hadir, akan tetapi ke-33 jago
dan kesatria pilihan yang terkenal cerdik pandai itu pun
mengalami nasib yang sama, mereka bisa pergi dan untuk
selamanya tidak pernah pulang lagi, hilang tanpa bekas dan
tanpa berita. "Karena pengacauan Liong-bok-to itu, maka jago-jago
terkemuka Bu-lim selama ini menjadi terkuras habis. Siangjingkoan kami biasanya jarang berkeliaran di Kangouw, meski
ilmu silat ayah-ibumu berasal dari Siang-jing-koan, tapi dalam
pergaulan selalu menggunakan nama Hian-soh-ceng. Para
paman gurumu yang berilmu silat tinggi itu pun jarang
bertarung dengan orang sehingga bagi penglihatan orang luar
para imam Siang-jing-koan dikira hanya orang-orang beribadat
yang saleh dan tidak paham ilmu silat...."
"Apakah lantaran mereka jeri kepada Liong-bok-to?" Boh-thian
memotong. Untuk sejenak Ciok Jing tampak serbaragu-ragu, katanya
kemudian, "Para paman gurumu itu biasanya tidak pernah
bermusuhan dengan orang, mereka adalah imam-imam yang
suci, tapi bila dikatakan mereka jeri kepada Liong-bok-to, ya,
memang benar juga. Maklum, biarpun kau adalah tokoh Bu-lim
kelas satu, biarpun punya pengaruh besar dan berkawan
banyak, asalkan menyebut "Liong-bok-to", siapa pun akan
kebat-kebit. Sungguh tidak tersangka bahwa Siang-jing-koan
yang sedemikian prihatin, akhirnya tetap tak terhindar dari
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bencana." Habis berkata ia lantas menghela napas panjang.
"Ayah ingin menjadi Ciangbunjin Siang-jing-koan, katanya
hendak menyelidiki keadaan Liong-bok-to yang sebenarnya,"
tanya Boh-thian pula. "Tapi kalau mengingat pengalamanpengalaman
yang lalu, di mana tidak sedikit tokoh-tokoh
terpandai yang hanya bisa pergi dan tak bisa pulang, rasanya
tugas ayah pun tidaklah gampang dilaksanakan."
"Ya, sudah tentu sangat sulit," ujar Ciok Jing. "Tapi kita
biasanya memandang membantu kesukaan orang sebagai
kewajiban sendiri, apalagi urusan mengenai perguruannya
sendiri, masakah kita bisa berpeluk tangan tanpa peduli?"
Boh-thian mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia tanya, "Kau bilang
kedua saudara angkatku Thio Sam dan Li Si itu adalah kedua
rasul dari Liong-bok-to yang menyampaikan medali
undangan?" "Itu sudah terang dan tidak disangsikan lagi," sahut Ciok Jing.
"Jika mereka adalah orang jahat, mengapa mereka mau
mengangkat saudara dengan aku?" kata Boh-thian dengan
heran. Ciok Jing tertawa geli. Katanya, "Waktu itu kau bicara dengan
ketolol-tololan sehingga mereka tidak dapat menolak. Apalagi
sumpah yang mereka ucapkan itu adalah palsu dan tidak dapat
dianggap." "Sumpah palsu bagaimana?" tanya Boh-thian.
"Thio Sam dan Li Si adalah nama mereka yang palsu," tutur
Ciok Jing. "Mereka mengucapkan sumpah atas nama Thio Sam
dan Li Si, dengan sendirinya segala sumpah yang diucapkan
hanya palsu belaka."
"O, kiranya demikian! Kelak kalau bertemu lagi tentu aku akan
menegur mereka." Sampai di sini Bin Ju yang sejak tadi hanya tinggal diam saja
tiba-tiba menyela, "Anak Giok, lain kali kalau ketemu kedua
orang itu hendaklah kau berlaku hati-hati. Tangan kedua orang
itu sudah penuh berlumuran darah, mereka biasa membunuh
orang tanpa berkedip, kalau pertarungan secara terangterangan
tidak menang mereka lantas menyerang secara
menggelap. Kalau menyerang secara menggelap tidak berhasil
mereka lantas menggunakan racun."
"Ya, jangankan kau masih sangat hijau dan pikiranmu jujur
polos, sekalipun tokoh-tokoh yang jauh lebih cerdik daripada
kau juga susah menghindarkan diri dari keganasan kedua
utusan itu," sambung Ciok Jing. "Maka bicara tentang hati-hati
dan berjaga-jaga boleh dikata sangat sulit. Sebaliknya, anak
Giok, kalau lain kali bertemu lagi harus serentak menggunakan
pukulan mematikan, harus mendahului daripada didahului.
Walaupun cuma seorang saja di antara mereka yang dapat
dibunuh juga sudah terhitung mengurangi suatu bencana bagi
Bu-lim." "Tapi... tapi kami adalah kiat-pay-hiati (saudara angkat),
masakah aku boleh membunuh mereka?" ujar Boh-thian
dengan ragu-ragu. Ciok Jing hanya menghela napas dan tidak bicara lagi. Ia pikir
memang tidaklah patut untuk memaksa sang putra membunuh
saudara-saudara angkatnya sendiri.
"Engkoh Jing," kata Bin Ju dengan tertawa, "kau bilang anak
Giok orang yang jujur polos, jadi sudah terang putra kita telah
berubah baik bukan?"
"Dia memang sudah berubah menjadi baik," sahut Ciok Jing
sambil mengangguk. "Dan justru sebab itulah maka ada orang
ingin memperalat dia untuk menahan bencana yang akan
menimpa mereka. Anak Giok, apakah kau tahu sebenarnya apa
maksud tujuan para pemimpin Tiang-lok-pang itu mengangkat
kau sebagai pangcu mereka?"
Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang bukan anak bodoh,
hanya sejak kecil hidup di gunung bersama ibunya, di waktu
mudanya tinggal di atas Mo-thian-kay bersama Cia Yan-khek,
kedua orang juga jarang bicara, sebab itulah terhadap selukbeluk
dan lika-liku orang hidup sama sekali tak dipahami
olehnya. Sekarang demi mendengar uraian Ciok Jing tadi,
seketika dia sadar, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, "Ya,
mereka mengangkat aku sebagai pangcu, jangan-jangan...
jangan-jangan aku hendak dijadikan tameng oleh mereka?"
Ciok Jing menarik napas lega, katanya, "Ya, sebenarnya
sebelum duduknya perkara dibikin jelas tidaklah pantas
mengukur jelek hati orang dan menilai rendah kesatria
Kangouw, tapi kalau bukan begitu, di dalam Tiang-lok-pang
sendiri toh banyak terdapat tokoh-tokoh terkenal, masakah
seorang muda yang masih hijau sebagai dirimu yang diangkat
menjadi pangcu" Tiang-lok-pang itu adalah suatu organisasi
besar yang baru menonjol pada beberapa tahun terakhir ini,
ketika kita bertemu di Hau-kam-cip dulu di dunia Kangouw
masih belum mengenal "Tiang-lok-pang" apa. Menurut
perkiraanku, karena kemajuan pesat yang dicapai Tiang-lokpang
pada masa akhir-akhir ini, maka para pemimpin Tianglokpang telah memperhitungkan sudah dekat dengan waktu
munculnya medali undangan dari Liong-bok-to, sekali ini Tianglokpang mereka pasti akan menerima juga undangan itu,
sebab itulah lebih dulu mereka lantas memilih seorang yang
mempunyai hubungan rapat dengan mereka untuk diangkat
menjadi pangcu, dan bila tiba saatnya, pangcu yang baru ini
lantas didorong ke depan untuk memikul segala bencana yang
akan menimpa." Ciok Boh-thian sampai terlongong-longong, sungguh tak
pernah terpikir olehnya bahwa hati manusia ternyata
sedemikian licin dan kejamnya. Tapi perkiraan Ciok Jing itu
memang sangat masuk di akal sehingga mau tidak mau ia pun
percaya penuh. "Nak," Bin Ju ikut berkata, "nama Tiang-lok-pang di kalangan
Kangouw sangat busuk, walaupun tidak terlalu jahat, tapi soal
merampok, mengganas dan perbuatan-perbuatan kekerasan
lain bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka, lebih-lebih
mereka tidak pantang kecabulan, hal ini lebih-lebih tidak dapat
dimaafkan oleh orang Bu-lim. Para Thocu dan Hiangcu di dalam
organisasi mereka itu bukanlah manusia baik-baik semua,
kalau mereka sengaja membikin perangkap untuk menjerat
kau, hal ini pun tidak mengherankan."
"Hm, mereka sengaja mencari orang untuk menjadi pangcu
dan anak Giok memang pilihan yang paling tepat," jengek Ciok
Jing. "Dia sudah melupakan kejadian-kejadian di masa yang
lampau, terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang Kangouw
juga tidak paham, Mereka cuma tidak menyangka sama sekali
bahwa pangcu muda mereka ini ternyata adalah putranya Ciok
Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng sehingga perhitungan
mereka belum pasti akan terlaksana dengan tepat."
Sampai di sini, tangannya memegang gagang pedang sambil
memandang jauh ke timur, yaitu arah letak markas pusat
Tiang-lok-pang. "Jika kita sudah mengetahui tipu muslihat mereka, maka kita
tidak perlu khawatir lagi," kata Bin Ju. "Untungnya anak Giok
belum lagi menerima medali undangan. Lalu sekarang apa
yang harus kita lakukan, Engkoh Jing?"
Ciok Jing merenung sejenak, jawabnya, "Kita bertiga harus
datang ke Tiang-lok-pang untuk membongkar rahasia mereka.
Cuma dengan demikian mereka tentu akan malu dan menjadi
kalap sehingga besar kemungkinan akan terpaksa main
kekerasan, padahal kita hanya bertiga, pula kita perlu
kesaksian beberapa orang terkemuka dari Bu-lim agar di
kemudian hari mereka tidak dapat merecoki anak Giok lagi."
"Nyo Kong, Nyo-toako di Ka-hin-hu, Ciatkang, adalah sahabat
kental kita, pergaulannya juga sangat luas, boleh kita minta dia
tampil ke muka untuk mengajak kawan-kawan Bu-lim
bersama-sama berkunjung ke Tiang-lok-pang."
"Usul ini sangat bagus," kata Ciok Jing dengan girang. "Kawankawan
Bu-lim di sekitar Kanglam rasanya pasti akan suka
membantu kita suami-istri."
Hendaklah maklum bahwa hubungan Ciok Jing suami-istri
dengan orang-orang Bu-lim biasanya sangat baik, mereka suka
membantu kesukaran kawan dan jarang minta bantuan orang
lain. Sekarang tiba-tiba mereka inginkan bantuan kawankawan
itu, tentu saja dengan gampang mereka akan
mendapatkan bala bantuan secukupnya.
Begitulah mereka bertiga lantas mengambil jalan ke arah timur
menuju ke Ka-hin-hu. Tiga hari kemudian, sampailah mereka
dan bermalam di Liong-ki-tin. Kota kecil ini cukup ramai,
mereka bertiga bermalam di suatu hotel. Ciok Jing suami-istri
mendiami sebuah kamar besar di bagian depan, sedangkan
Ciok Boh-thian memperoleh sebuah kamar agak kecil di
sebelah dalam. Mestinya Bin Ju hendak mencarikan sebuah
kamar besar bagi putra kesayangannya itu, tapi karena kamarkamar
sudah penuh tamu, terpaksa apa adanya.
Malam itu Boh-thian duduk bersila di atas tempat tidurnya, ia
melatih ilmunya sehingga badan terasa segar dan semangat
penuh. Waktu ia periksa kedua telapak tangannya, ternyata
noktah merah dan garis-garis biru di tengah telapak tangan itu
sudah samar-samar dan hampir-hampir tak kelihatan lagi.
Ia tidak tahu bahwa kedua botol arak berbisa itu sekarang
sudah terbaur menjadi tenaga dalam yang mahakuat di dalam
tubuhnya, ia menyangka tentu kegiatannya berlatih selama
beberapa hari ini sehingga racun telah diusir keluar, maka ia
menjadi girang, lalu ia merebah dan tidur.
Sampai tengah malam, tiba-tiba terdengar jendela bersuara
gemeletak, ada orang sedang mengetok jendela dengan
perlahan. Tepat Boh-thian bangun dan tanya dengan suara tertahan,
"Siapa?" Tapi kembali terdengar suara "tek-tek-tek" tiga kali, suara
jendela diketok itu sudah sangat hafal baginya. Hati Boh-thian
berdebar, cepat ia tanya pula, "Apakah Ting-ting Tong-tong di
situ?" Maka terdengarlah suara si Ting Tong menjawab perlahan di
luar jendela, "Sudah tentu aku adanya, memangnya kau
mengharapkan siapa?"
Boh-thian menjadi girang dan gugup pula demi mendengar
suara si nona, seketika ia sampai tidak sanggup bicara lagi.
Tiba-tiba terdengar suara "bret", kertas jendela terobek,
sebuah tangan menyelonong masuk, tahu-tahu telinganya
telah dijewer. "Hayo, mengapa tidak lekas membuka jendela?" demikian
terdengar si nona berkata.
Boh-thian menjadi kesakitan, tapi khawatir membikin kaget
ayah-ibunya, maka ia tidak berani bersuara dan lekas-lekas
membuka daun jendela. Segera Ting Tong melompat masuk ke dalam kamar, ia
mengekek tawa dan berkata, "Engkoh Thian, kau kangen
padaku atau tidak?" "Aku... aku... aku...." berulang-ulang Boh-thian menyebut
"aku", tapi tidak sanggup meneruskan lagi.
"Bagus, jadi kau tidak kangen padaku, ya?" omel si Ting Tong.
"Yang kau rindukan hanya pengantin baru yang telah
bersembahyang Thian bersama kau itu?"
"Bilakah aku pernah bersembahyang Thian lagi dengan siapa
lagi?" sahut Boh-thian.
"Huh, dengan mata kepala sendiri aku melihatnya, kau berani
mungkir?" semprot si nona. "Baiklah, aku pun tidak
menyalahkan kau, ini memang sifatmu yang bangor dan biasa
main gila, aku berbalik merasa senang. Dan di manakah nona
cilik pengantin baru itu?"
"Sudah hilang, ketika aku kembali ke dalam gua di sana, dia
sudah hilang meski aku telah mencarinya," tutur Boh-thian.
"O, semoga Buddha memberkati, supaya selama hidup ini kau
takkan menemukan dia lagi," kata si Ting Tong dengan
mengikik. "Dan di manakah kakekmu, apakah beliau baik-baik saja?"
tanya Boh-thian. "Kenapa kau tidak tanya diriku baik-baik atau tidak?" omel si
nona sambil mencubit lengan pemuda itu. Tapi mendadak ia
menjerit, "Aduh!"
Kiranya tenaga dalam Ciok Boh-thian telah mementalkan
tangan si nona dengan kuat sehingga nona itu menjerit kaget.
"Apakah kau baik-baik saja, Ting-ting Tong-tong?" tanya Bohthian
kemudian. "Sungguh untung bagiku, waktu kau
melemparkan aku ke dalam sungai, kebetulan aku jatuh di
dalam sebuah perahu sehingga tidak sampai mati tenggelam."
"Untung apa" Akulah yang sengaja melemparkan kau ke dalam
perahu itu, masakah kau tidak tahu?" kata Ting Tong.
Boh-thian menjadi kikuk, sahutnya, "Di dalam hatiku sudah
tentu tahu kau sangat baik padaku, hanya saja... hanya saja
aku merasa malu untuk mengatakannya."
Ting Tong tertawa, katanya, "Kau dan aku adalah suami-istri,
masakah pakai malu apa segala?"
Begitulah mereka duduk berdampingan di pinggir ranjang,
sayup-sayup Boh-thian mengendus bau harum yang timbul dari
badan si Ting Tong, harumnya anak perawan yang khas,
keruan perasaan Boh-thian seperti dikilik-kilik dan....
Tapi demi teringat bahwa ayah-ibunya juga berada di kamar
sebelah, urusan perkawinan dengan si Ting Tong ini entah
bagaimana pendapat mereka, ia angkat tangan kanan dan
bermaksud merangkul si nona, tapi baru saja menyentuh
bahunya, cepat ia menarik kembali lagi tangannya.
"Engkoh Thian, hendaklah katakan sejujurnya padaku,
sesungguhnya aku lebih cantik ataukah binimu yang baru itu
lebih ayu?" tiba-tiba si Ting Tong bertanya.
"Di manakah aku ada bini baru lagi" Aku hanya punya... punya
istri kau seorang saja," sahut Boh-thian.
Ting Tong kegirangan, mendadak ia peluk si anak muda dan
"ngok", ia menciumnya satu kali.
Boh-thian menjadi merah jengah dan bingung, ingin
mendorong pergi si nona, rasa berat karena nikmat juga
ciuman itu, hendak balas memeluk, eh, hati tidak berani.
Biarpun tingkah laku si Ting Tong itu lebih berani, tapi apa pun
juga dia adalah anak perawan yang masih suci, ketika tanpa
sadar ia mencium Ciok Boh-thian satu kali, lalu ia pun merasa
menyesal. Dengan malu ia lantas menyusup ke tengah ranjang,
ia tarik sehelai selimut terus membungkus dirinya rapat-rapat.
Sampai sekian lamanya Boh-thian merasa ragu-ragu,
tangannya ingin memegang anak dara itu, tapi takut-takut dan
tidak jadi. Akhirnya ia hanya memanggil perlahan, "Ting-ting
Tong-tong! Ting-tang Ting-tong!"
Namun si nona diam saja tak menggubrisnya.
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya Boh-thian menguap kantuk, ia duduk di atas kursi
sambil mendekap di atas meja kemudian terpulas.
Di pihak lain si Ting Tong merasa bersyukur karena kekasih
yang dicari-cari selama ini telah dapat diketemukan pula.
Dengan rasa senang serta badan lelah, tanpa merasa akhirnya
ia pun tertidur di atas ranjang.
Sampai fajar sudah menyingsing, tiba-tiba terdengar suara
orang mengetok pintu, lalu terdengar Bin Ju sedang
memanggil, "Anak Giok, kau sudah bangun?"
"O, ibu!" Boh-thian menjawab sambil berbangkit. Tapi demi
memandang ke arah si Ting Tong, seketika ia menjadi bingung.
"Buka pintu, anak Giok, aku ingin bicara," terdengar Bin Ju
berkata pula. Boh-thian mengiakan. Dengan ragu-ragu pintu lantas hendak
dibukanya. Sudah tentu si Ting Tong menjadi kelabakan juga. Yang akan
masuk itu adalah ibu mertua, kalau dilihatnya dirinya
bermalam di suatu kamar bersama Ciok Boh-thian, walaupun
mereka tidak melanggar tata susila apa-apa, tapi siapa yang
mau percaya, bukankah kelak akan dipandang hina oleh ibu
mertua itu" Segera ia membuka daun jendela dan bermaksud melompat
keluar. Tapi ketika ia melirik Ciok Boh-thian, tiba-tiba hatinya
terasa berat pula untuk berpisah, dengan susah payah ia telah
mencari anak muda itu dan akhirnya diketemukan di sini, jika
sekarang berpisah lagi maka susahlah diramalkan kapan akan
dapat bersua pula. Maka berulang-ulang ia memberi tanda agar
anak muda itu jangan membuka pintu dahulu.
"Ibuku, tidak menjadi soal," bisik Boh-thian, sementara itu
tangannya sudah menyentuh palang pintu.
Ting Tong menjadi gugup, pikirnya, "Kalau orang lain memang
tidak menjadi soal, tapi ibumu justru menjadi soal."
Ia melihat palang pintu sudah hampir diangkat oleh anak muda
itu, untuk melompat keluar jendela rasanya juga tidak keburu
lagi. Mestinya si Ting Tong adalah anak dara yang tidak takut mati,
tapi demi terpikir akan berjumpa dengan ibu mertua, bahkan
kepergok dalam keadaan yang kurang pantas begini, mau tak
mau ia menjadi gugup. Saat itu Boh-thian sudah hampir
menarik palang pintu, tanpa pikir lagi segera ia bertindak
dengan menggunakan kim-na-jiu-hoat, tangan kirinya
mencengkeram "leng-tay-hiat" di punggung anak muda itu dan
tangan kanan tepat memegang "koan-ki-hiat" di tengkuknya.
Boh-thian hanya merasa kedua tempat hiat-to itu kesemutan
dan kaku, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia merasa si Ting Tong
telah merebahkan tubuhnya, lalu menyeretnya dan sembunyi
bersama-sama ke kolong ranjang.
Bin Ju adalah tokoh Kangouw yang sudah berpengalaman.
Ketika didengarnya suara jawaban sang putra di dalam kamar,
tapi sampai sekian lamanya pintu kamar tidak dibuka,
kemudian terdengar pula suara-suara yang mencurigakan, ia
menjadi khawatir atas keselamatan Ciok Boh-thian, tanpa pikir
lagi segera ia mendobrak pintu dengan bahunya.
Ketika palang pintu patah dan daun pintu terpentang, segera
dilihatnya jendela pun sudah terbuka, sedangkan putra
kesayangannya sudah tiada berada di dalam kamar lagi. Cepat
ia berseru, "Lekas kemari, Engkoh Jing!"
Dengan menjinjing pedang Ciok Jing segera memburu tiba.
"Anak... anak Giok telah digondol lari orang!" seru Bin Ju
dengan suara gemetar sambil menunjuk jendela.
Habis itu susul menyusul suami-istri itu lantas melayang ke
luar jendela, satu hitam yang satu putih laksana dua ekor
burung raksasa saja, gayanya sangat indah.
Si Ting Tong yang sembunyi di kolong ranjang diam-diam
memuji juga akan kepandaian pasangan suami-istri yang
tersohor itu. Sebenarnya dengan pengalaman Ciok Jing dan Bin Ju yang luas
itu mestinya tidak gampang tertipu. Soalnya mereka terlalu
mengkhawatirkan keselamatan sang putra sehingga tidak
sempat berpikir panjang lagi, begitu melihat jejak putranya
sudah hilang, pikiran Bin Ju lantas bingung dan menduga keras
pasti orang Swat-san-pay atau Tiang-lok-pang yang telah
menculik Ciok Boh-thian. Ketika dia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar, jarak
waktunya dengan suara-suara yang mencurigakan di dalam
kamar itu hanya selang sejenak saja, ia menaksir masih dapat
menyusul penculiknya, sebab itulah tidak menaruh perhatian
keadaan di dalam kamar. Ciok Boh-thian sendiri yang kena dicengkeram Hiat-to yang
penting itu untuk sedetik dua detik memang tak bisa berkutik,
tetapi karena lwekangnya terlalu lihai, hanya sekejap saja ia
sudah dapat melancarkan kembali Hiat-to yang tertutuk itu.
Cuma saja ia merasa senang dan nikmat badannya berada
dalam pelukan si Ting Tong, maka ia tidak mau bersuara
memanggil ayah-ibunya. Dan karena sedikit ayal itulah
sementara itu Ciok Jing dan Bin Ju sudah melompat ke luar
jendela dan pergi jauh. Di kolong ranjang itu sudah tentu banyak debu kotoran,
akhirnya Boh-thian tidak tahan dan bersin beberapa kali, ia
tarik tangan si Ting Tong dan menerobos keluar dari kolong
ranjang. Ia lihat muka si nona juga penuh debu, tapi tidak
mengurangi cantiknya dan kelihatan malu-malu.
"Mereka adalah ayah-ibuku," demikian Boh-thian coba
menerangkan. "Aku sudah tahu, petang kemarin aku mendengar kau
memanggil mereka," sahut Ting Tong.
"Nanti kalau ayah dan ibu sudah kembali, maukah kau
menemui mereka saja?" tanya Boh-thian.
"Aku tak mau," sahut Ting Tong sambil membuang muka.
"Ayah-ibumu memandang hina kepada kakekku, dengan
sendirinya juga memandang rendah padaku."
Selama beberapa hari berada bersama ayah-ibunya Ciok Bohthian
telah banyak mendengar pembicaraan mereka, ia merasa
ayah-ibunya benar-benar pendekar-pendekar yang berbudi
luhur, berbeda sekali dengan tindak tanduk Ting Put-sam.
Karena itulah ia menjadi ragu-ragu dan bungkam.
Ting Tong menaksir tidak lama lagi Ciok Jing berdua pasti akan
pulang, segera ia mengajak, "Marilah kau ikut ke kamarku, aku
ingin bicara sesuatu dengan kau."
"Kau pun menginap di hotel ini?" tanya Boh-thian dengan
heran. "Tidak menginap di sini, habis menginap di mana?" ujar si
nona. Lalu ia menggapai Boh-thian dan mendahului melompat
keluar jendela, ia menyusur ke serambi sana dan lantas masuk
ke sebuah kamar. Segera Boh-thian menyusul ke dalam kamar si nona, ia tanya,
"Di mana kakekmu?"
"Aku berkeluyuran sendiri, tidak bersama kakek lagi," sahut
Ting Tong. "Sebab apa?" tanya Boh-thian.
"Hm, sebab apa?" si nona mendengus. "Aku ingin mencari kau,
tapi kakek tidak mengizinkan, terpaksa aku minggat sendirian."
Boh-thian menjadi terharu, katanya, "Ting-ting Tong-tong, kau
sungguh sangat baik terhadapku."
Si nona sangat girang, sahutnya dengan tertawa, "Semalam
kau rikuh untuk mengatakan, mengapa sekarang kau tidak
rikuh lagi?" "Kau sendiri yang mengatakan bahwa kita adalah suami-istri,
tidak perlu rikuh-rikuh dan malu-malu," kata Boh-thian dengan
tertawa. Muka si Ting Tong kembali bersemu merah.
Pada saat itulah terdengar di luar suara Ciok Jing sedang
berseru, "Ini uang sewa kamar dan rekening makanan!"
Habis itu lantas terdengar suara berdetaknya kaki kuda,
rupanya Ciok Jing suami-istri telah berangkat meninggalkan
hotel. "Apakah kau tahu di mana letak Ka-hin-hu?" tanya Boh-thian
kepada si Ting Tong. "Ka-hin-hu adalah tempat yang besar, masakah tidak tahu?"
sahut si nona dengan tertawa.
"Ayah-ibuku hendak pergi ke sana untuk mencari seorang yang
bernama Nyo Kong, sebentar biarlah kita menyusul ke sana
saja," kata Boh-thian. Agaknya ia pun merasa berat untuk
berpisah dengan si nona jelita yang baru saja bersua kembali.
Karena keterangan Boh-thian itu, tiba-tiba Ting Tong mendapat
akal, "Dia tidak kenal jalanan ke Ka-hin-hu yang terletak di
jurusan tenggara sana, biarlah nanti aku mengajaknya
berangkat ke arah timur laut supaya makin lama makin jauh
berpisah dengan ayah-ibunya, dengan demikian tentu tidak
khawatir akan bertemu lagi di tengah jalan."
Lantaran hatinya senang, dengan sendirinya mukanya yang
memang ayu itu bertambah cantik menggiurkan.
Boh-thian sampai terkesima memandangi anak dara itu.
"Mengapa kau memandang aku sedemikian rupa" Memangnya
baru saja kenal?" Ting Tong menggoda dengan tertawa.
"Ting-ting Tong-tong, kau... kau sungguh sangat enak
dipandang, jauh lebih bagus daripada ibuku," ujar Boh-thian.
Si nona mengikik tawa, sahutnya, "Engkoh Thian, kau pun
sangat bagus, jauh lebih bagus daripada kakekku."
Habis berkata ia lantas terbahak-bahak.
Begitulah kedua muda-mudi itu bicara dan bersenda gurau,
akhirnya Boh-thian tetap teringat kepada ayah-ibunya,
katanya, "Bilamana aku tidak diketemukan ayah dan ibu,
mereka tentu akan khawatir. Marilah sekarang juga kita
menyusul mereka." "Baiklah," sahut Ting Tong. "Engkau benar-benar putra yang
berbakti." Segera mereka pun membereskan rekening hotel dan lantas
berangkat bersama. Sudah tentu pengurus dan pelayan hotel dibuat terheran-heran
ketika melihat Ciok Boh-thian yang datangnya diketahui
bersama Ciok Jing suami-istri, kini tahu-tahu keluar bersama
dari kamar si nona cantik yang semula datang sendirian. Maka
gegerlah suasana hotel itu ramai membicarakan kejadian itu,
ada yang membumbu-bumbui dengan kata-kata kotor dan
cabul, ada pula yang kagum kepada rezeki Ciok Boh-thian yang
dianggapnya kejatuhan bidadari dari langit....
Sesudah meninggalkan Liong-ki-tin itu, Ting Tong lantas
mengajak Boh-thian ke jurusan timur. Beberapa li kemudian,
sampailah mereka di suatu persimpangan jalan cabang tiga.
Tanpa pikir si Ting Tong lantas mengambil jurusan timur laut.
Karena percaya si nona pasti kenal jalanan, maka tanpa curiga
Boh-thian mengikut saja. Katanya, "Ayah-ibuku menunggang
kuda bagus, bilamana mereka tidak berhenti mengaso di
tengah jalan terang kita tidak dapat menyusul mereka."
"Setiba di rumah keluarga Nyo di Ka-hin-hu dengan sendirinya
akan bertemu," ujar Ting Tong dengan tersenyum. "Ayahibumu
sudah kenyang makan asam-garam, memangnya kau
khawatir mereka akan kesasar?"
"Ayah dan ibu sudah menjelajahi hampir seluruh jagat,
masakah mereka bisa kesasar?" sahut Boh-thian dengan
tertawa. Begitulah sepanjang jalan mereka bicara dan bergurau dengan
gembira ria. Sejak berkumpul dengan ayah-ibunya dan hanya
mendapat petunjuk-petunjuk, maka sekarang Boh-thian sudah
jauh lebih paham tentang seluk-beluk orang hidup.
Melihat tingkah laku ketolol-tololan sang kekasih telah banyak
berkurang, diam-diam si Ting Tong sangat girang. Pikirnya,
"Sesudah menderita sakit parah, banyak kejadian-kejadian di
masa lampau telah dia lupakan. Asalkan aku menceritakannya
kembali hal-hal itu, tentu dia takkan lupa lagi."
Maka sepanjang jalan ia sengaja menceritakan kejadiankejadian
di dunia persilatan, tentang peraturan-peraturan
Kangouw, soal hati manusia yang baik dan jahat dan macammacam
lagi. Sewaktu tengah hari, sampailah mereka di suatu kota kecil.
Mereka mendapatkan sebuah rumah makan untuk mengaso
dan tangsel perut. Ketika masuk ke ruangan rumah makan itu, terlihat tiga buah
meja besar di bagian tengah sudah penuh diduduki tetamu.
Terpaksa mereka mengambil sebuah meja kecil di pojok
ruangan. Rumah makan itu tidak terlalu besar, si pelayan sedang sibuk
menyiapkan daharan bagi tamu-tamu yang berada pada tiga
meja besar itu sehingga tidak sempat mengurusi kedatangan
Boh-thian berdua. Ting Tong melihat di antara tamu-tamu yang mengelilingi
meja-meja besar terdapat tiga orang wanita yang usianya
boleh dikata tidak muda lagi, dengan sendirinya juga tak dapat
disebut cantik. Orang-orang itu semuanya membawa senjata,
logat mereka adalah orang-orang daerah Liau-tang. Mereka
sedang makan-minum secara bebas.
"Sobat-sobat Kangouw ini kalau bukan orang-orang dari
piaukiok (perusahaan pengawalan) tentu adalah jago-jago
kalangan lok-lim (kaum begal dan sebagainya)," demikian pikir
si Ting Tong. Ia lihat Boh-thian juga sedang memandang ke arah tamu-tamu
di meja besar itu, tiba-tiba terpikir pula olehnya, "Semoga aku
senantiasa berada bersama Engkoh Thian dan makan bersatu
meja seperti sekarang ini, maka bahagialah selama hidupku
ini." Begitulah, karena rasa bahagianya itu, maka meski pelayan
terlambat meladeninya juga tidak menimbulkan rasa
marahnya. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar ada orang berseru di luar,
"Aha, bagus, bagus! Ada arak dan ada daging, memangnya
kakek sudah sangat lapar!"
Boh-thian merasa suara orang sudah dikenalnya. Benar saja,
segera tertampak seorang tua telah melangkah masuk.
Ternyata adalah Ting Put-si.
"Wah, celaka!" diam-diam Boh-thian mengeluh. Cepat ia
berpaling ke arah lain agar tidak dilihat orang tua itu.
Si Ting Tong juga lantas membisikinya, "Wah, aku punya
cekkong (mbah cilik), jangan kau pandang dia, biar aku
menyaru dahulu." Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia mengeluyur
ke ruangan belakang. Bab 33. Kembali Ciok Boh-thian Membikin Keok Ting Putsi
Sesudah masuk, Ting Put-si melihat meja-meja sudah penuh
tetamu, hanya di meja Ciok Boh-thian masih ada tempat duduk
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lowong, tapi di atas meja belum terdapat daharan apaapa,
maka tak disir olehnya. Sebaliknya ia lantas duduk di atas
bangku panjang pada meja yang tengah, waktu ia mendesak
sedikit, kontan seorang laki-laki yang duduk lebih dulu di atas
bangku itu terdesak ke ujung.
Keruan laki-laki itu menjadi gusar, sekuatnya ia pun mendesak
kembali. Ia pikir berapa kuat tenaga kakek loyo ini, hanya
sedikit desak saja pasti akan membuatnya mencelat keluar
pintu. Tak terduga baru saja badannya kontak dengan tubuh Ting
Put-si, seketika timbul suatu kekuatan yang mahadahsyat dan
mendesaknya kembali sehingga dia sendiri yang terpental.
Untunglah Ting Put-si keburu menariknya sambil berkata,
"Jangan sungkan-sungkan, marilah duduk bersama!"
Karena tarikan Ting Put-si barulah laki-laki itu tidak jatuh
tersungkur. Seketika mukanya merah padam dan tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya lagi.
Ting Put-si lantas berkata pula, "Hayo, silakan, silakan! Jangan
sungkan-sungkan, silakan!"
Lalu mangkuk besar yang berisi arak lantas diangkatnya terus
ditenggak hingga habis. Menyusul ia lantas ambil sumpit bekas
pakai si lelaki tadi dan menyumpit sepotong daging terus
dimakannya dengan nikmat. Kelakuannya itu seakan-akan
dialah tuan rumahnya yang sedang menjamu tamu.
Tiada seorang pun di antara tetamu itu yang kenal Ting Put-si,
tapi lwekang si lelaki tadi terhitung paling kuat di antara
mereka, karena desakannya tadi lelaki itu hampir-hampir saja
mencelat dan jatuh, maka dapatlah dibayangkan si kakek loyo
ini tentu bukan orang sembarangan. Kiranya lelaki yang
didesak Ting Put-si tadi adalah Hoan It-hui dari Ho-hou-kau di
Kwantang. Sambil menikmati daharannya, seperti tidak sengaja Ting Putsi
menatap seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya dan
sedang melotot padanya, pinggang lelaki itu terlibat sebatang
"kiu-ciat-nui-pian" (ruyung lemas beruas sembilan). Mendadak
ia menegur, "Hei, bocah, dari golongan mana kau" Mengapa
kau pun menggunakan kiu-ciat-pian?"
"Cayhe Hong Liang, ketua Jing-liong-bun di Kimciu," sahut lakilaki
itu dengan suara lantang, "Numpang tanya Locianpwe,
apakah Cayhe tidak boleh menggunakan kiu-ciat-pian?"
Saat itu si Ting Tong sudah menyamar sebagai pelayan dan
telah keluar lagi, mukanya dipoles dengan hangus, tangannya
juga penuh hangus, ketika dia meraba muka Ciok Boh-thian,
kontan muka Boh-thian juga penuh hangus hitam, kedua
muda-mudi saling pandang dengan geli.
Tiba-tiba terdengar Ting Put-si bergelak tertawa, katanya,
"Hahaha! Masakah Yaya melarang orang menggunakan kiuciatpian?" Dan ketika tangannya meraba ke pinggang sendiri dan ditarik
kembali, "sret", tahu-tahu tangannya juga sudah memegang
sebatang ruyung lemas. Ujung ruyung berbentuk kepala naga,
badan ruyung bercahaya kemilauan berhiaskan emas putih dan
batu permata, bila ruyung itu bergerak, terpancarlah sinar
gemerlapan yang menyilaukan mata.
Diam-diam semua orang terperanjat. "Kiranya dia sendiri juga
menggunakan kiu-ciat-pian?" demikian pikir mereka.
Sementara itu Ting Put-si telah berkata pula, "Bocah ingusan
yang tidak punya kepandaian apa-apa juga berani membawabawa
kiu-ciat-pian segala, bila bertempur dengan orang tentu
lebih banyak kalah daripada menang dan orang tentu akan
memandang rendah kepada setiap pemain kiu-ciat-pian.
Memang sudah lama Yaya mendengar di daerah Kimciu
terdapat sekawanan yang mengaku Jing-liong-bun segala,
keparat, katanya turun-temurun kalian juga memakai kiu-ciatpian.
Maka sudah lama aku ingin membunuh habis segenap
keluargamu, cuma saja daerah Kwantang terlalu dingin, Yaya
malas datang ke sana buat bunuh orang. Sekarang kebetulan
pergoki kau bocah ini di sini, nah, tidak lekas kau membunuh
diri mau tunggu apa lagi?"
Baru sekarang Hong Liang paham duduknya perkara. Kiranya
kakek ini bersenjatakan kiu-ciat-pian, maka orang lain dilarang
menggunakan senjata yang serupa. Hal ini benar-benar terlalu
aneh dan sewenang-wenang.
Sebelum Hong Liang memberi jawaban, sekonyong-konyong
bergemalah suara seorang di meja sebelah kiri sana, "Hm,
untung juga kau bocah tua ini tidak menggunakan golok!"
Waktu Ting Put-si memandang ke arah pembicara itu,
terlihatlah orang itu bermuka lebar dan penuh berewok
pendek. Segera ia tanya, "Jika aku menggunakan golok, lantas
bagaimana katamu?" "Sebab yayamu juga menggunakan golok, kalau menuruti
logika kau bocah tua yang semena-mena ini, bukankah Yaya
juga akan kau bunuh?" sahut lelaki berewok. "Tapi seumpama
kau mampu membunuh Yaya, di dunia ini masih beribu-ribu
dan berlaksa-laksa orang yang memakai golok, apakah kau
mampu membunuh habis mereka?"
Habis berkata, "sret", ia melolos goloknya dari pinggang terus
ditancapkan ke atas meja.
Golok itu berwarna emas lembayung, punggung golok tebal
dan mata golok tipis, pada pangkal gagang golok tergantung
seuntai kain sutra warna ungu. Waktu golok itu menancap di
atas meja, bergetarlah mangkuk piring yang berada di atas
meja sehingga mengeluarkan suara, nyata sekali golok itu
sangat berat dan tenaga pemakainya juga sangat kuat.
Kiranya lelaki berewok itu adalah Lu Cing-peng berjuluk Cikimto (Si Golok Emas Lembayung), ketua Gway-to-bun
(Golongan Golok Kilat) dari Tiang-pek-san.
"Cret", mendadak Ting Put-si menyimpan kembali ruyungnya,
ketika sebelah tangannya menjulur, tahu-tahu golok yang
terselip di pinggang si lelaki yang berada di sebelahnya telah
dicabut olehnya, lalu serunya, "Baik, anggap Yaya memang
bersenjatakan golok, lantas bagaimana" Tapi, wah, keliru!
Kurang ajar!.... Yaya berjuluk "Ce-jit-put-ko-si", sekarang di sini
ada 11 bocah keparat yang bergolok, ditambah lagi pemakai
ruyung ini, terpaksa Yaya harus membagi dan membunuh
selama tiga hari...."
Golok adalah senjata yang sangat umum, maka di antaranya
orang-orang Kwantang itu memang ada 11 orang yang
membawa golok. Mereka menjadi terkejut menyaksikan
kecekatan Ting Put-si merebut golok itu, tanpa merasa mereka
sama meraba goloknya sendiri dan siap bertempur. Ketika
mendengar si kakek mengaku berjuluk "Ce-jit-put-ko-si" atau
satu hari tidak lebih dari empat, beberapa orang di antaranya
sampai berseru, "Ha, dia... dia adalah Ting Put-si!"
"Ya, hari ini Yaya belum pernah membunuh orang maka
dapatlah aku membunuh empat bangsat cilik, nah, siapakah di
antara kalian yang ingin mampus?" demikian Ting Put-si
berseru sambil tertawa. "Hayo lekas laporkan nama kalian! Jika
tidak kecuali bocah bersenjata ruyung ini asal kalian mau
menjura sepuluh kali dan minta ampun kepada Yaya, maka
boleh juga jiwa kalian diampuni."
Tapi lantas terdengarlah suara tertawa dingin di sana-sini,
empat orang serentak berbangkit dan melangkah keluar rumah
makan itu mereka lantas berdiri sejajar di depan pintu. Selain
Hong Liang, Hoan It-hui, Lu Cing-peng, orang keempat adalah
seorang wanita setengah umur.
Wanita itu tidak bersenjata, begitu sudah berdiri di luar pintu,
segera ia singkap kedua sayap kun (gaun panjang) dan diikat
pada ikat pinggangnya, maka tertampaklah dua baris pisau
kecil yang gemerlapan di bagian pinggangnya. Pisau itu
panjangnya cuma belasan senti, sedikitnya ada 30 batang
lebih, secara rajin terselip pada seutas sabuk bersulam yang
terikat di pinggang. Sedangkan senjata Hoan It-hui adalah sepasang boan-koan-pit,
dengan suara lantang ia membuka suara, "Cayhe adalah Liautangho (Burung Ho dari Liautang) Hoan It-hui, ketua Ho-pitbun,
bersama-sama dengan ketua Jing-liong-bun, saudara
Hong Liang; ketua Gway-to-bun, saudara Lu Cing-peng dan
Hui-hong-to (Pisau Belalang Terbang) Ko Sam-niocu dari Hanbweceng. Keempat golongan kami dari Kwantang ini
selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan Ting-loyacu, tapi
entah sebab apa Ting-loyacu telah sengaja menghina dan
mengolok-olok kami, haraplah sudi memberi penjelasan?"
Ting Put-si tidak menjawab, sebaliknya ia sengaja mengamatamati
Ko Sam-niocu dengan kepala miring-miring ke sini dan
meleng-meleng ke sana seperti lagaknya anak kecil mengincar
boneka. Kemudian ia berkata, "Kurang! Kurang cantik!"
Melihat lagak Ting Put-si itu sudah tentu semua orang tahu
yang dimaksudkannya "kurang cantik" itu adalah Ko Samniocu.
Dasar watak Ko Sam-niocu memang sangat keras,
kepandaiannya juga memang tinggi, ayahnya, bapak
mertuanya dan gurunya, semuanya cukup ternama dan
berpengaruh di dunia persilatan Kwantang, Han-bwe-ceng
mereka juga terkenal suatu perkampungan yang kaya raya
dengan sawah-ladang, perkebunan dan peternakan yang subur.
Sebab itulah biarpun dia sudah janda, tapi sangat terkenal di
Kwantang. Apalagi pada masa mudanya dia pun tersohor
sangat cantik, walaupun sekarang sudah setengah umur juga
masih belum hilang seluruh kecantikannya itu. Keruan ia
menjadi murka mendengar hinaan Ting Put-si itu. Terus saja ia
berteriak, "Ting Put-si, keluarlah kau!"
Dengan acuh tak acuh Ting Put-si melangkah keluar rumah
makan itu. Tanyanya, "Apakah kalian berempat ini yang ingin
mampus?" Sekonyong-konyong sinar putih berkilauan, lima batang pisau
terbang telah menyambar tiba dari berbagai jurusan. Cepat
sekali datangnya pisau-pisau terbang itu, meski pisau-pisau itu
sangat pendek, tapi desiran angin yang timbul dari sambaran
pisau-pisau itu tidak kalah kerasnya daripada angin sambaran
golok atau pedang. "Pisaunya bagus! Orangnya tidak cantik!" bentak Ting Put-si.
Berbareng tangan kanan lantas menarik keluar kiu-ciat-pian, di
mana cahaya kuning berkelebat, empat pisau musuh lantas
tersampuk jatuh. Dalam pada itu pisau kelima telah
menyambar ke mukanya, dia lantas pamerkan sekalian
kepandaiannya, begitu mulut terbuka ujung pisau itu lantas
tergigit. Hong Liang, Hoan It-hui dan Lu Cing-peng terperanjat. Tapi
serentak mereka lantas menerjang maju.
Cepat Ting Put-si menghindarkan bacokan golok Lu Cing-peng,
berbareng kakinya menendang pergelangan tangan Hoan It-hui
untuk memaksanya menarik kembali boan-koan-pitnya.
Sedangkan kiu-ciat-pian yang diputarnya berbalik digunakan
untuk melibat ruyung Hong Liang.
Akan tetapi sebelumnya Hong Liang sudah siap sedia, ia tahu si
kakek lawannya ini tidaklah empuk, maka begitu ruyung Ting
Put-si menyambar tiba segera ia menyendal ruyungnya sendiri
sehingga batang ruyung melurus lempeng laksana tombak
terus ditusukkan ke dada musuh.
"Boleh juga, bocah keparat ini!" puji Ting Put-si sambil
mengulur tangan kanan untuk menarik ujung ruyung lawan.
Hong Liang terkejut dan cepat menarik kembali senjatanya.
Tapi lengan Ting Put-si masih tetap menjulur maju. Untunglah
pada saat itu golok Lu Cing-peng lantas menebas sehingga Ting
Put-si terpaksa menarik kembali tangannya. Dan dari sebelah
lain Ko Sam-niocu juga telah menyambitkan sebilah pisau.
Begitulah karena dikerubut orang empat, mau tak mau Ting
Put-si tak berani mengolok-olok lagi, Dengan penuh tenaga ia
putar ruyungnya untuk menjaga diri. Baru sekarang dia
mengetahui bahwa kepandaian orang-orang Liautang itu
ternyata tidak rendah, jika satu lawan satu memang tidak ada
artinya, tapi satu dikeroyok empat, betapa pun ia agak
kerepotan juga. Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut menyaksikan pertarungan
itu bercampur dengan orang banyak. Sesudah beberapa puluh
jurus, tertampak Lu Cing-peng dan Hoan It-hui serempak
menyerang maju. Waktu Ting Put-si mengayun ruyungnya
untuk memaksa mundur kedua lawan itu, pada saat itulah kiuciatpian Hong Liang lantas menyabet ke atas kepala Ting Putsi.
Buru-buru Ting Put-si miringkan kepalanya, tapi hampir pada
saat yang sama dua bilah pisau terbang Ko Sam-niocu juga
telah menyambar tiba. Dalam seribu kerepotannya itu lekaslekas
Ting Put-si mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dua
bilah pisau itu menyerempet lewat di tepi tenggorokannya,
hanya selisih beberapa senti saja tentu lehernya sudah bocor.
Walaupun begitu tidak urung sebagian kecil jenggot Ting Put-si
yang sudah putih beruban itu juga terpapas sehingga benangbenang
perak itu bertebaran jatuh.
"Hui-to (pisau terbang) yang bagus!" demikian belasan orangorang
Kwantang yang menonton di depan pintu memberi
sorakan kepada Ko Sam-niocu.
Diam-diam Ting Put-si juga mengakui kelihaian senjata rahasia
janda Kwantang itu. Ia pikir kalau tidak menggunakan
serangan mematikan, bukan mustahil dirinya yang bakal
kecundang. Segera ia putar ruyungnya dengan lebih kencang, di tengah
berkelebatnya bayangan ruyung ia selingi pula dengan kim-najiuhoat dengan tangan lain. Ruyung digunakan menyerang
jarak jauh, yang berani dekat segera dicakar dan dicengkeram
dengan tangan kiri, dengan demikian Lu Cing-peng dan Hoan
It-hui terpaksa harus menghindar dan tidak berani mendekat
lagi. Melihat Ting Put-si memainkan kim-na-jiu, yang paling senang
adalah Ciok Boh-thian. Maklum, dahulu ketika di atas perahu
Ting Put-si pernah mengajar ilmu menangkap dan
mencengkeram itu kepadanya, cuma waktu itu
pengetahuannya dalam teori-teori ilmu silat sangatlah terbatas,
apa yang diajarkan Ting Put-si itu hanya ditelannya mentahmentah
dan cuma diingatnya di dalam hati saja, tapi tidak
mampu mempraktikkannya. Tapi sekarang dia telah mendapat
petunjuk-petunjuk ilmu silat dari ayah-ibunya, banyak pula
mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat yang berharga, dengan
sendirinya benaknya yang tadinya bebal lantas terbuka. Ia
merasa sangat senang dan cocok dengan setiap jurus serangan
Ting Put-si baik mencengkeram, mencakar, memegang,
menarik dan gaya-gaya serangan lain.
Sampai pada suatu saat menentukan, mendadak tangan kiri
Ting Put-si merangsang ke pundak Lu Cing-peng. Cepat Cingpeng
memutar balik goloknya untuk menebas lengan lawan.
Boh-thian terkejut. Ia tahu apabila tebasan Lu Cing-peng itu
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diteruskan, tangan Ting Put-si tentu akan berubah menampar
dan pasti akan kena mukanya, menyusul tangannya akan
menyambar ke bawah untuk merampas goloknya. Tamparan
Ting Put-si itu tentu akan membikin kepala Lu Cing-peng pecah
berantakan. Maka tanpa lagi pikir lagi Boh-thian lantas berseru,
"Awas, dia akan pukul mukamu!"
Karena lwekangnya sangat kuat, maka suaranya itu dapat
didengar setiap orang walaupun di tengah suasana
pertempuran yang ramai. Sebagai jago silat terkemuka dengan
sendirinya Lu Cing-peng mendengar juga seruan Ciok BohKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
thian itu. Seketika ia tersadar dan cepat membuang golok dan
menjatuhkan diri ke bawah. Walaupun cukup cepat dia
menghindar, tidak urung terserempet juga angin tamparan
Ting Put-si sehingga mukanya terasa panas pedas.
Sesudah bergelindingan beberapa meter jauhnya barulah Lu
Cing-peng melompat bangun dengan hati berdebar-debar.
Untunglah ada orang berseru memperingatkan, kalau tidak
jiwanya pasti sudah melayang di bawah pukulan lawan.
Tapi dengan menyingkirnya Lu Cing-peng, Hoan It-hui menjadi
payah menghadapi Ting Put-si, berulang-ulang ia diberondong
dengan serangan-serangan berbahaya. Cepat Cing-peng
berseru, "Ambilkan golok!"
Segera seorang anak buahnya melemparkan sebatang golok,
begitu sambar golok itu serentak Lu Cing-peng menerjang
maju lagi. Tiba-tiba dilihatnya ruyung Ting Put-si sedang
berlibatan dengan ruyung Hong Liang, sekonyong-konyong
tubuh Hong Liang terseret terus ditumbukkan kepada golok Lu
Cing-peng yang sedang membacok itu. Terpaksa Cing-peng
memutar balik goloknya. "Awas, orang she Hoan! Lehermu akan dicengkeram!"
mendadak Boh-thian berteriak.
Hoan It-hui terkejut, tanpa pikir ia lantas tegakkan boan-koanpit
untuk melindungi tenggorokannya sendiri. Benar juga, saat
itu kelima jari Ting Put-si sudah mencakar tiba, "cret", lehernya
keserempet dan meninggalkan lima jalur lecet berdarah.
Berturut-turut Boh-thian berseru dan menyelamatkan jiwa dua
orang, keruan para jago Kwantang itu merasa sangat terima
kasih. Mereka melihat muka penggembor itu terpoles hangus
hitam, terang muka aslinya tidak ingin dikenali orang.
Sebaliknya Ting Put-si menjadi murka, kontan ia memaki,
"Kurang ajar! Anak anjing siapa itu yang membacot di sini"
Kalau berani boleh majulah untuk menempur Yaya!"
"Wah, dia... dia telah mengenali kita?" kata Boh-thian kepada
si Ting Tong sambil menjulurkan lidah.
"Habis siapa yang suruh kau buka mulut?" omel Ting Tong.
"Tapi dia mengatakan anak anjing siapa, mungkin dia belum
tahu siapa dirimu." Dalam pada itu kelima orang itu kembali sudah bertempur pula
dengan lebih sengit. Ting Put-si buru-buru ingin tahu siapa
orang yang berseru membantu lawannya itu, maka ia
menyerang semakin gencar dengan jurus-jurus mematikan.
Tapi berulang-ulang Ciok Boh-thian berseru tepat pada
waktunya sehingga Lu Cing-peng tertolong pula dua kali, Hoan
It-hui empat kali dan Hong Liang tiga kali.
Pada satu kali mendadak Ting Put-si menggunakan serangan
berisiko, sekonyong-konyong ia meloncat ke atas terus
menubruk ke arah Ko Sam-niocu. Untung juga Ciok Boh-thian
berseru memperingatkannya sehingga Ko Sam-niocu sempat
menghindar, tapi tidak urung pundak Ko Sam-niocu tersampuk
oleh jari Ting Put-si sehingga lengannya terasa kaku dan susah
bergerak lagi. Namun janda Kwantang itu pun benar-benar sangat lihai,
meski tangan kanan tak bertenaga lagi, segera tangan kiri
mencabut pisau, "crit-crit" dua kali, dua batang pisau lantas
menyambar ke arah Ting Pit-si. Tapi sekali gulung dengan
ruyungnya, kedua pisau itu lantas terlibat terus disambitkan ke
arah Hong Liang dan Lu Cing-peng. Berbareng itu bahkan Ting
Put-si lantas meloncat ke atas, ruyungnya terus menyabet ke
bawah. Cepat Ko Sam-niocu membungkuk tubuh untuk menghindar.
Tapi terdengarlah suara jeritan orang banyak, menyusul janda
Kwantang itu merasa kepalanya terangkat, tanpa kuasa
tubuhnya terus melayang ke atas.
Kiranya ujung ruyung Ting Put-si dengan tepat kena melilit
sanggulnya dan badannya ikut terangkat. Keruan Hong Liang
bertiga sangat terkejut. Dengan tenaga mereka berempat saja
masih kewalahan, apalagi kalau Ko Sam-niocu mengalami
nasib malang, sisa mereka bertiga tentu juga tak terhindar dari
bencana. Maka dengan mati-matian mereka lantas mengerubut
maju. Mendadak mulut Ting Put-si meniup, "berrr", pisau yang
tergigit olehnya tadi lantas disemburkan ke perut Ko Samniocu.
Sedangkan tangan kiri berbareng mencengkeram,
mencakar dan menjambret, dalam sekejap saja ia dapat
menghalau Hong Liang bertiga yang sekaligus menerjang maju
itu. Saat itu tubuh Ko Sam-niocu masih terapung di udara,
sambaran pisau yang ditiup Ting Put-si itu betapa pun sukar
dihindarnya. "Selama ini entah sudah berapa banyak musuh
yang binasa di bawah pisau terbangku, tapi hari ini senjata
akan makan tuannya, akhirnya aku mesti mati di bawah
senjatanya sendiri," begitulah terbayang olehnya sambil
memejamkan mata dan menanti ajal.
Sungguh di luar dugaan siapa pun juga, secara kebetulan dua
bilah pisau yang dilibat dan disambitkan Ting Put-si tadi
masing-masing telah kena disampuk mencelat oleh Hong Liang
dan Lu Cing-peng, dengan tepat pisau-pisau itu telah
menyambar lewat di samping Ciok Boh-thian. Melihat keadaan
sangat berbahaya, untuk bersuara memperingatkan juga tidak
keburu lagi, segera Boh-thian menangkap kedua batang pisau
itu dan secepat kilat lantas disambitkan.
Maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring, sebilah pisau
itu tepat membentur jatuh pisau yang sedang menyambar ke
arah perut Ko Sam-niocu, pisau yang lain juga tepat memapas
putus rambutnya sehingga Ko Sam-niocu terjatuh ke bawah.
Tapi begitu kakinya menyentuh tanah, cepat ia melompat
mundur dengan berjumpalitan, Mukanya tampak pucat pasi
ketakutan. Penonton-penonton di samping juga terkesima
kaget, sampai lupa menyoraki kepandaian Ciok Boh-thian yang
luar biasa itu. Apa yang terjadi ini pun sama sekali di luar dugaan Ting Put-si.
Cepat ia berpaling dan membentak, "Sobat dari manakah yang
selalu merintangi urusanku" Kalau berani hayolah maju untuk
bertempur 300 jurus dengan aku, terhitung kesatria macam
apa jika main sembunyi-sembunyi saja?"
Kedua mata Ting Put-si melotot ke arah Ciok Boh-thian, tapi
muka pemuda itu terpoles hangus, maka ia tidak mengenalnya.
Tapi mengapa orang ini tahu sebelumnya setiap jurus
serangannya, bahkan benturan kedua bilah pisau itu amat jitu
disertai tenaga yang amat kuat, maka teranglah lwekang
sendiri sekali-kali bukan tandingannya. Walaupun watak Ting
Put-si sangat tinggi hati, sekarang mau tak mau ia harus
prihatin dan tidak berani mengoceh semena-mena lagi seperti
tadi. Sebaliknya perbuatan Ciok Boh-thian tadi hanya terdorong oleh
maksudnya ingin menyelamatkan orang, sekarang mendadak
dipelototi dan ditegur oleh Ting Put-si dengan garang, ia
menjadi lupa pada mukanya sendiri yang telah dipoles hangus
oleh si Ting Tong, maka dengan gugup ia menjawab, "Siyaya,
aku... aku inilah Si Lemper Raksasa!"
Untuk sejenak Ting Put-si tercengang, lalu ia berkata dan
terbahak-bahak, "Hahaaak! Kukira siapa, tak tahunya adalah...
adalah Si Lemper Raksasa!"
Ia pikir pantas bocah ini mengetahui setiap jurus seranganku di
muka, sebab tempo hari bocah ini pernah kuberi tahu tentang
ilmu silatku. Maka lenyaplah rasa jerinya tadi, segera ia
membentak Ciok Boh-thian, "Anak keparat, mengapa kau
berani ikut campur urusan yayamu?"
Kontan ruyungnya lantas menyabet ke atas kepala pemuda itu.
Tapi dengan enteng sekali Ciok Boh-thian dapat menghindar
dengan melompat ke samping. Ting Put-si tambah murka
karena serangannya luput, beruntun-runtun ia menyerang tiga
kali pula dan semuanya kena dielakkan oleh Ciok Boh-thian. Ia
tidak tahu bahwa dengan lwekang yang dimiliki Ciok Boh-thian
sekarang, berbagai jurus serangan ilmu silat dalam
pandangannya adalah terlalu sepele dan tiada artinya lagi.
Hanya saja ia masih takut kepada wibawa Ting Put-si, maka ia
hanya berkelit saja tanpa balas menyerang.
Diam-diam Ting Put-si merasa heran, ia merasa tidak pernah
mengajarkan ilmu permainan ruyung itu kepada Ciok Bohthian,
mengapa pemuda itu mampu mengikuti seranganserangannya
dengan baik tanpa cedera apa-apa"
Orang-orang lain yang menyaksikan Ciok Boh-thian berkelit ke
sini dan menghindar ke sana di bawah sambaran ruyung
menjadi khawatir. Sebaliknya Boh-thian sendiri berpikir,
"Kenapa Siyaya tidak menyerang aku dengan sungguhsungguh"
Apa barang kali dia cuma main-main dengan aku?"
Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ting Put-si sudah
mengeluarkan segenap kepandaiannya, cuma kakek itu tetap
kalah setingkat sehingga ruyungnya tidak mampu mengenai
Boh-thian. Ting Tong cukup kenal watak kakek-ciliknya itu, dalam keadaan
kalap bukan mustahil sekali-kali ruyungnya akan mengenai
sasarannya, maka ia menjadi khawatir dan cepat berseru,
"Engkoh Thian, lekas balas menyerang, lekas! Kalau tidak bisa
celaka kau!" Mendengar suara jeritan nyaring anak dara keluar dari mulut
seorang "pelayan" rumah makan, keruan semua orang menjadi
heran dan memandang sekejap kepada si Ting Tong.
Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak mau mengerti. Pikirnya,
"Mengapa bisa celaka" Ah, barangkali karena aku tidak balas
menyerang, maka Siyaya akan anggap aku telah menghinanya
sebagaimana halnya dahulu aku dianggap demikian oleh imamimam
Siang-jing-koan karena aku menempur mereka dengan
sebelah tangan terikat."
Karena itu, segera ia menjulurkan kedua tangannya terus
mencengkeram ke dada Ting Put-si sekaligus, yang dia
gunakan adalah 13 jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong
dahulu. Sudah tentu Ting Put-si mengenal ilmu silat keluarganya
sendiri itu. Hanya saja ia menjadi kaget karena setiap jurus
serangan yang tampaknya sepele, tapi di tangan Ciok Bohthian
lantas menjadi suatu serangan dahsyat yang lihai. Keruan
ia bingung dan berteriak-teriak, "Ada setan! Ada setan!"
Beberapa jurus kemudian, dengan gerakan "Hong-bwe-jiu"
(Pegangan Ekor Burung Hong), tangan Boh-thian membalik dan
tepat ujung ruyung Ting Put-si kena dicengkeramnya.
Sekuatnya Ting Put-si membetot, tapi tidak bergoyah sedikit
pun. Ia menjadi kalap, dengan bentakan keras ia kerahkan
segenap tenaganya untuk menarik, saking nafsunya ia menarik
sehingga ruas tulang seluruh badannya sampai berbunyi
kratakan, nyata ia telah keluarkan seluruh tenaganya habishabisan.
Melihat si kakek sedemikian ngotot hendak menarik kembali
ruyungnya, Boh-thian membatin, "Jika kau tidak mau lepas
tangan, biarlah aku yang lepas saja!"
Waktu dia kendurkan pegangannya, maka terdengarlah suara
gedubrakan yang ramai gemuruh, tubuh Ting Put-si mencelat
ke belakang sehingga dinding rumah makan itu ambrol
tertumbuk, bahkan terus jatuh ke ruangan makan, meja kursi
dan mangkuk piring ikut terseruduk jatuh dan pecah
berantakan. Menyusul terdengarlah empat kali jeritan ngeri,
seorang anak buah Kwantang dan tiga orang penonton biasa
tahu-tahu telah jatuh tersungkur, punggung mereka terlihat
mengeluarkan darah. Waktu Boh-thian memburu masuk, dilihatnya punggung
keempat orang itu ada yang terkena beling pecahan mangkuk,
ada yang terkena sumpit, tapi Ting Put-si sudah menghilang
entah ke mana perginya. Kiranya Put-si tahu kalau dirinya bukan tandingan Ciok Bohthian
lagi, saking gusar dan gemasnya lantas dilampiaskannya
kepada orang-orang yang berada di dekatnya, sekenanya ia
sambar pecahan mangkuk dan sumpit untuk menimpuk empat
orang itu. Ketika Hoan It-hui dan kawan-kawannya memeriksa korbankorban
yang jatuh itu, ternyata semuanya sudah tidak
bernyawa lagi. Kejut mereka tak terhingga mengingat
keganasan Ting Put-si itu. Coba kalau Ciok Boh-thian tidak
turun tangan menolong mereka, tentu saat ini mayat yang
menggeletak di situ bukanlah keempat orang itu, tapi adalah
mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang.
Segera mereka menjura kepada Ciok Boh-thian dan
mengucapkan terima kasih, "Atas budi pertolongan Siauhiap
(pendekar kecil), selama hidup kami ini takkan lupa. Tolong
tanya siapakah nama Siauhiap yang mulia?"
Karena sudah mendapat petunjuk-petunjuk tentang tata krama
dari ibunya, segera Ciok Boh-thian membalas hormat dan
menjawab, "Ah, hanya sedikit urusan saja tidak perlu disebutsebut
lagi. Cayhe she Ciok dan bernama Tiong-giok."
Lalu ia pun tanya nama dan asal usul keempat orang itu.
Hoan It-hui memperkenalkan dirinya bersama tiga kawannya,
kemudian ia tanya pula nama si Ting Tong.
"O, dia bernama Ting-ting Tong-tong, dia adalah... adalah...."
berulang-ulang ia mengucapkan "adalah", mukanya menjadi
merah dan tidak dapat menyambung lagi.
Sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman luas, Hoan
It-hui tidak menanya lebih lanjut. Ia pikir sepasang muda-mudi
ini mengadakan perjalanan bersama, sudah tentu ada
hubungan istimewa di antara mereka yang serbasusah untuk
diceritakan kepada orang lain.
"Marilah kita pergi saja!" demikian si Ting Tong lantas
mengajak. "Ya, baiklah!" sahut Boh-thian sambil mohon diri kepada semua
orang. Berulang-ulang Hoan It-hui dan kawan-kawan menyatakan
terima kasih sambil mengantar. Mestinya mereka ingin tanya
pula dari golongan mana dan siapa perguruan Ciok Boh-thian,
tapi lihat si Ting Tong beberapa kali mengedipi pemuda itu,
nyata mereka tidak ingin diganggu lebih lama oleh orang lain,
terpaksa It-hui berkata pula, "Budi pertolongan Siauhiap tadi
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
entah cara bagaimana harus kami balas. Di kemudian hari asal
ada perintah dari Siauhiap, biarpun masuk lautan api atau
terjun ke dalam air mendidih tidak nanti akan kami tolak."
Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada tanya-jawab yang
diajarkan ibunya, segera ia berkata, "Kita adalah sesama orang
Bu-lim, seharusnya kita saling bantu membantu. Jika kalian
sedemikian sungkan, aku jadi rikuh sendiri. Hari ini kita dapat
bersahabat sungguh aku merasa senang tak terhingga."
Memangnya Hoan It-hui merasa sangat berterima kasih karena
jiwanya ditolong pemuda itu, ternyata tutur kata jago muda
budiman ini juga sedemikian ramah tamahnya, keruan ia
tambah kagum dan merasa suka berkawan padanya.
Begitu pula si Ting Tong diam-diam merasa girang, "Coba,
siapa berani mengatakan Engkoh Thian adalah orang linglung,
bukankah pikirannya sekarang sudah semakin jernih."
Karena hatinya senang, maka wajahnya lantas bersenyum
simpul. Tapi ia lupa mukanya telah dipoles dengan hangus,
dadanya memakai kain koki, tapi kupingnya memakai antinganting,
maka tampaknya menjadi ganjil dan lucu, diam-diam
semua orang tertawa geli.
Ko Sam-niocu lantas memegang lengan si Ting Tong, katanya
dengan tertawa, "Pelayan rumah makan secantik ini sungguh
jarang terdapat di kampung halaman kita. Nyata beda sekali
suasana di Kanglam ini dengan daerah Kwantang kita."
Mendengar itu, semua orang mengakak tawa. Ting Tong juga
mengikik, pikirnya, "Ya, saking gugupnya karena melihat
sicekkong (kakek-cilik keempat) tadi aku lantas buru-buru
menyamar, sekarang aku menjadi lupa mencuci muka dan
melepaskan anting-antingku ini."
Dalam pada itu kelihatan beberapa ratus penduduk setempat
sedang merubung dan menonton, agaknya mereka merasa jeri
karena pertarungan sengit tadi. Tapi Ting Put-si telah
membunuh tiga orang, tentu penduduk akan mengira mereka
ini adalah kaum perampok dan kawanan bandit yang biasa
mengganas. Maka Ko Sam-niocu lantas berkata pula, "Kita
jangan lama-lama tinggal di sini, marilah berangkat."
Lalu ia pun berkata kepada Ting Tong, "Adik cilik, karena
penyamaranmu ini mungkin bajumu sendiri telah menjadi
kotor. Aku membawa cukup banyak pakaian, jika kau sudi
bolehlah mencari suatu tempat untuk cuci badan dan ganti
pakaianku. Sungguh gadis cantik seperti dirimu ini selamanya
belum pernah kulihat, kelak kalau kupulang ke Liautang tentu
engkau akan dapat kugunakan sebagai bahan cerita kepada
sanak keluargaku." Meski si Ting Tong adalah seorang dara yang nakal dan cerdik,
tapi sejak kecilnya mengikut kakeknya tinggal di tempat yang
terpencil dan berkelana di Kangouw, belum pernah ia
mendapat pujian sebagaimana diterimanya dari Ko Sam-niocu,
keruan ia menjadi senang sekali, sahutnya dengan tertawa,
"Ah, masakah aku cantik" Cici terlalu memuji saja!"
"Tapi... tapi pada malam... malam itu kau benar-benar telah
bersolek dengan sangat cantik," tiba-tiba Boh-thian ikut
berkata. Maksudnya adalah malam pengantin mereka tempo
hari, cuma saja tidak jadi diucapkannya.
Ting Tong melototinya sambil menjulur lidah.
Ko Sam-niocu lantas memberi tanda dan berseru, "Marilah
berangkat!" Beramai-ramai semua orang mengiakan. Segera mereka
membawakan kuda, lebih dulu Ciok Boh-thian dan si Ting Tong
disilakan naik ke atas kuda, habis itu berbondong-bondong
mereka pun mencemplak ke atas kuda masing-masing, dengan
membawa jenazah kawan mereka dari Liautang itu dengan
cepat mereka lantas meninggalkan tempat itu.
Bicara tentang usia maupun ilmu silat sebenarnya Hoan It-hui
adalah paling tinggi di antara rombongan mereka itu. Tapi
perjalanan mereka ke Tionggoan ini semua ongkos telah dipikul
oleh Ko Sam-niocu yang memang terkenal sangat tangan
terbuka, menggunakan uang seperti membuang sampah, maka
nyonya itu berbalik seakan-akan menjadi pemimpin dari
rombongan. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda pilihan dari
Liautang, maka dalam waktu singkat saja beberapa puluh li
sudah mereka lalui. Diam-diam Boh-thian tanya kepada Ting
Tong, "Apakah jalan ini menuju ke Ka-hin-hu?"
Ting Tong mengangguk dengan tersenyum. Padahal letak Kahinhu itu di jurusan tenggara, sebaliknya mereka menuju ke
arah timur laut, jadi jarak mereka dengan Ciok Jing menjadi
semakin jauh. Petangnya mereka sampai di Kota Peng-yang-ceh. Mereka
bermalam pada suatu hotel yang terbesar di kota ini. Kawan
mereka yang mati itu adalah dari Gway-to-bun, maka Lu Cingpeng
dan anak muridnya berkewajiban menyelesaikan
layonnya. Ko Sam-niocu sendiri membantu si Ting Tong
berdandan kembali sebagai wanita. Diam-diam Ko Sam-niocu
merasa heran, si Ting Tong berdandan sebagai nyonya muda,
tapi tingkah lakunya jelas masih anak perawan, sungguh ia
tidak habis mengerti akan hal ini.
Bab 34. Tonghong Heng, Ketua Tiang-lok-pang yang Asli
Malamnya jago-jago Liautang itu mengadakan perjamuan besar
bagi Ciok Boh-thian. Karena tidak ingin diketahui hubungan
dirinya dengan Ting Put-si, maka setiap kali Ko Sam-niocu,
Hoan It-hui dan lain-lain memancing tentang asal usul dan
perguruan dirinya dan Ciok Boh-thian selalu Ting Tong
berusaha membelokkan pokok pembicaraan.
Karena yang ditanya enggan menerangkan, maka para jago itu
pun tidak berani banyak bertanya lagi.
Melihat hubungan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong penuh kasih
sayang, Ko Sam-niocu menduga tuan penolongnya dengan adik
perempuan cilik itu besar kemungkinan adalah sepasang
kekasih yang diam-diam minggat dari rumah. Jika demikian
halnya, adalah tidak tahu diri bila kita menghalangi malam
bahagia mereka ini. Sebab itulah, sesudah cukup makan minum, Ko Sam-niocu
lantas memberi tanda kepada Hoan It-hui, masing-masing
menggandeng Ciok Boh-thian dan Ting Tong untuk diantarkan
ke kamar mereka. Dengan tertawa penuh arti Hoan It-hui lantas mengundurkan
diri, sebaliknya Ko Sam-niocu masih menggoda, "Inkong, coba
lihatlah, pengantin perempuan kita ini cantik sekali bukan?"
Muka Boh-thian menjadi merah, ketika ia melirik si nona,
tertampak air muka si Ting Tong juga merah jengah, kerlingan
matanya menggetar sukma, jantung Boh-thian memukul keras.
Cepat kedua muda-mudi itu sama-sama melengos, keduanya
sama-sama mundur beberapa tindak dan berdiri bersandar
dinding. Ko Sam-niocu mengekek tawa, katanya, "Malam pengantin
kalian ini janganlah disia-siakan, mengapa kalian mesti malumalu?"
Sambil berkata sebelah tangannya lantas menutupkan pintu
kamar dari luar, sebelah tangan yang lain lantas mengayun
pula, sebilah pisau terbang lantas menyambar sehingga batang
lilin yang menerangi kamar itu terpapas bagian atasnya.
Seketika keadaan di dalam kamar menjadi gelap gulita,
sedangkan pisau terbang itu masih terus melayang keluar
dengan menembus jendela. "Selamat malam dan selamat tidur! Semoga kalian hidup
bahagia sampai hari tua!" demikian Ko Sam-niocu berseru
dengan tertawa. Lalu pintu kamar dirapatkannya.
Seperti halnya pada malam pengantin mereka dahulu,
sekarang Ciok Boh-thian dan si Ting Tong juga sama-sama
bingung dan malu-malu walaupun dalam hati mereka
sebenarnya seperti dikilik-kilik.
Sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar
suara bentakan seorang di pelataran sana, "Huh, jika memang
jantan dan kesatria sejati, hayolah keluar untuk berkelahi
secara terang-terangan, mengapa mesti main menimpuk pisau
secara sembunyi-sembunyi, huh, bukankah ini perbuatan kaum
pengecut?" Ciok Boh-thian dan Ting Tong menjadi geli. Si nona lantas
berlari mendekati Boh-thian, empat tangan saling
menggenggam dengan kencang. Nyata perbuatan Ko Samniocu
yang menimpukkan pisau untuk memadamkan api lilin
mereka tadi telah menimbulkan salah paham orang di luar itu.
Mestinya Ciok Boh-thian ingin bersuara memberi penjelasan,
tapi terasalah sebuah tangan yang halus dan lunak telah
mendekap mulutnya dan melarangnya bersuara. Segera ia pun
rangkul si Ting Tong ke dalam pelukan.
Dalam pada itu orang yang berada di pelataran itu masih terus
memaki, "Pisau terbang yang keji semacam ini besar
kemungkinan adalah perbuatan perempuan hina yang tidak
kenal malu dari Liautang itu. Hm, janda she Ko itu tidak becus
ilmu silatnya, paling-paling hanya pandai menyerang secara
menggelap dengan pisau karatan seperti ini. Jika kesatria dari
Tionggoan sini tentu tidak sudi menggunakan senjata rahasia
begini." Oleh karena timpukan pisaunya telah menimbulkan salah
paham orang, mestinya Ko Sam-niocu tidak ingin cekcok dan
membiarkan orang mencaci dan habis perkara. Siapa duga caci
maki orang itu secara terang-terangan telah dialamatkan
kepadanya, diam-diam ia heran, "Apakah orang itu mengenali
pisauku atau cuma omong sekenanya saja?"
Tapi caci maki orang itu ternyata semakin galak dan meluas,
katanya, "Huh, dasar Kwantang adalah daerah miskin, daerah
kere, di mana penuh kaum perampok dan kawanan bandit.
Bedebah, di sana ada seorang yang berjuluk "Ban-to-bun" (Si
Golok Lambat), permainan goloknya lamban, pintarnya cuma
menggunakan obat tidur untuk membikin celaka orang. Ada
pula seorang yang bernama Jing-coa-pang (Gerombolan Ular
Hijau), pekerjaannya cuma mengemis dengan membawa ular.
Ada lagi seorang she Hoan pakai nama "It-hui-lok-cui" (Sekali
Terbang Kecemplung ke Dalam Air), kemahirannya adalah
menggunakan dua batang kayu pencukit tahi, haha, sungguh
menggelikan!" Keruan gembar-gembor orang di pelataran itu membuat jagojago
Liautang di dalam hotel menjadi gusar. Mereka tahu orang
sengaja mengolok-olok dan menantang kepada mereka.
Segera Lu Cing-peng menjinjing goloknya dan menerjang ke
pelataran. Maka tertampaklah seorang laki-laki pendek kecil
sedang mencak-mencak, mencaci maki dengan tak terhingga
senangnya. "Hai, sobat," segera Lu Cing-peng membentak, "apa
maksudmu menggembar-gembor tak keruan di sini"!"
"Apa maksudku?" orang itu menjawab. "Asal aku melihat muka
orang dari Liautang aku lantas merasa muak dan ingin
kupenggal kepalanya untuk digantung di atas tiang sana."
"O, bagus! Ini dia kepala orang Liautang berada di sini, boleh
Kilas Balik Merah Salju 8 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pedang Dan Kitab Suci 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama