Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 14
kalian sedang berlatih untuk mempertinggi ilmu silat perguruan
kalian, tentu pula kalian sedang mengukur tenaga untuk
menentukan siapa yang lebih unggul dan berhak menjadi
ciangbunjin. Rupanya kami terlalu buru-buru masuk ke sini
sehingga pertandingan kalian terputus setengah jalan. Maka
sekarang kalian boleh meneruskan, tidak sampai satu jam
tentu dapat ditentukan pihak yang kalah atau menang. Kalau
tidak, menuruti watak saudaraku yang tidak sabaran ini, satu
jam kemudian jika urusan masih belum selesai mustahil semua
orang Swat-san-pay akan dibunuh habis olehnya sehingga
tiada seorang pun di antara kalian yang berhasil menjadi
ciangbunjin. Nah, satu, dua, tiga! Lekaslah mulai!"
"Sret", segera Liau Cu-le mendahului melolos pedang.
Tapi mendadak Thio Sam berseru pula, "Yang mengintip di luar
jendela itu tentunya juga orang Swat-san-pay, harap masuk
saja sekalian ke sini! Karena ciangbunjin ini akan ditentukan
dengan ilmu silat, maka tidak peduli tua atau muda, setiap
orang boleh ikut." Habis berkata lengan bajunya lantas mengebas ke belakang,
"blang", daun jendela terpentang dan terpental tersampuk oleh
angin pukulannya itu. Karena jejaknya sudah ketahuan, segera Su-popo menarik A
Siu dan Ciok Boh-thian masuk ke dalam ruangan.
Melihat mereka bertiga, seketika semua orang yang berada di
dalam ruangan menjadi tercengang. Serentak Seng Cu-hak, Ce
Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin berempat mengelilingi
mereka dengan senjata terhunus. Namun Su-popo hanya
tertawa dingin saja tak ambil pusing.
Sebaliknya Hong Ban-li lantas melangkah maju dan memberi
hormat sambil menyapa, "Terimalah hormatku, Sunio (ibu
guru)!" Boh-thian terperanjat. Pikirnya, "Aneh, mengapa suhuku
adalah dia punya ibu guru?"
Dalam pada itu Su-popo hanya menengadah saja tanpa
menggubris hormat Hong Ban-li itu.
Dengan tertawa Thio Sam lantas berkata, "Bagus, bagus! Sobat
cilik yang tidak mau mengaku sebagai Pangcu Tiang-lok-pang
ternyata sudah kembali ke Swat-san-pay sini! Jite, coba lihat,
alangkah miripnya bocah ini dengan samte kita."
Li Si mengangguk dan menjawab, "Ya, cuma tutur katanya
rada-rada tengik dan tingkah lakunya agak bergajul. Di mana
ada nona cantik, di situ juga dia lantas hinggap."
Diam-diam Boh-thian anggap kebetulan malah karena kedua
saudara angkat itu telah salah sangka dia sebagai Ciok Tionggiok.
"Eh, kiranya nenek ini adalah Pek-lohujin, maaf kami berlaku
kurang hormat," demikian Thio Sam membuka suara lagi.
"Para sutemu sedang mengincar kedudukan Ciangbun Pekloyacu,
mereka sedang mengukur tenaga dan adu otot untuk
merebut jabatan terhormat itu. Nah, baiklah, kalian boleh
mulai lagi. Satu-dua-tiga, hayo mulai!"
Namun Su-popo lantas menggandeng tangan A Siu dan Bohthian,
dengan bersitegang leher ia berjalan ke depan. Seng Cuhak
dan lain-lain tidak berani merintanginya dan menyaksikan
nenek itu berduduk pada kursi besar yang tengah dengan sikap
yang mencemoohkan orang-orang di sekitarnya.
"Hayo, kenapa kalian belum mulai, mau tunggu kapan lagi?"
bentak Li Si mendadak. "Benar!" sahut Seng Cu-hak terus mendahului menusuk Nio
Cu-cin dengan pedangnya. Cepat Cu-cin menangkis sambil melangkah mundur, entah
sengaja atau sungguhan, mendadak ia sempoyongan dan
berkata, "Wah, ilmu pedang Seng-suko benar-benar luar biasa,
aku mengaku bukan tandinganmu!"
Di sebelah sana Liau Cu-le dan Ce Cu-bian berdua juga sudah
mulai adu tanding. Tapi keempat orang itu hanya main
beberapa jurus saja, diam-diam para penontonnya sudah sama
menggeleng kepala. Kiranya setiap jurus serangan mereka
semuanya sangat lemah dan kurang jitu, sama sekali tidak
memperlihatkan sebagai tokoh kelas satu dari golongan Swatsanpay. Nyata sekali bahwa pertempuran mereka sekarang bukan "cari
menang" lagi, sebaliknya mereka hanya mencari kalah malah,
mereka sudah tidak mau berebut menjadi ketua Swat-san-pay
lagi. Hanya karena terpaksa maka mereka bertempur
sekadarnya, yang diharapkan bukannya menang melainkan
kalah saja. Tapi karena mereka mempunyai pikiran yang sama,
maka untuk mencari kalah pun tidak gampang.
Suatu ketika tertampak Nio Cu-cin sengaja menubruk ke ujung
pedang Seng Cu-hak, sebaliknya mendadak Cu-hak menjerit,
"Aduh!" Sekonyong-konyong sebelah kakinya kesandung sehingga
tusukannya mengarah ke lantai malah.
Menyaksikan pertarungan yang menyebalkan itu, Thio Sam
terbahak-bahak, katanya, "Losi, kita berdua sudah menjelajah
seluruh jagat ini, tapi pertandingan sebagus ini benar-benar
baru pertama kali ini kita lihat. Pantas ilmu silat Swat-san-pay
sangat termasyhur, nyatanya memang lain daripada yang lain."
Rupanya Su-popo merasa sebal juga, dengan suara bengis ia
lantas membentak, "Ban-li, di mana kau telah mengurung
Ciangbunjin dan anak murid Tiang-bun" Lekas pergi
melepaskan mereka!" "Liau... Liau-susioklah yang mengurung mereka, Tecu sendiri
tidak... tidak tahu apa-apa," sahut Ban-li dengan suara
gemetar. "Kau tahu apa tidak, pendek kata mereka harus lepas
dibebaskan atau segera kubinasakan kau saat ini juga!" bentak
Su-popo pula. "Ya, ya, Tecu akan coba mencarinya," sahut Ban-li sambil putar
tubuh hendak bertindak pergi.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Thio Sam mencegah. "Saudara juga
salah seorang calon pewaris ciangbunjin dari Swat-san-pay,
mana boleh kau tinggal pergi begini saja" Hayolah kau, kau,
kau... kau!" berulang-ulang ia menuding empat murid Swatsanpay, lalu melanjutkan, "Kalian berempat yang pergi
membebaskan seluruh orang Swat-san-pay yang dikurung di
Leng-siau-sia ini dan bawa ke sini semua. Kalau sampai kurang
satu orang saja maka kepala kalian akan hancur seperti contoh
ini." Habis berkata tangan kanannya terus mencakar ke atas tiang
kayu di sebelahnya sehingga tiang itu seketika melekuk suatu
lubang. Tertampak dari sela-sela jarinya bertebaran bubuk
kayu yang halus. Dalam waktu singkat saja sekaligus dia telah perlihatkan dua
macam ilmunya yang sakti, keruan orang-orang Swat-san-pay
menjadi jeri dan mengkeret. Empat orang yang ditunjuk tadi
sampai gemetar ketakutan. Tanpa disuruh lagi segera mereka
mengiakan dan mengundurkan diri untuk melaksanakan
perintah itu. Di sebelah sana Seng Cu-hak berempat masih belum berhenti
dari pertarungan mereka yang lucu. Mereka pun sadar tingkah
laku mereka itu mungkin susah mengelabui mata Thio Sam dan
Li Si, maka sedapat mungkin mereka pura-pura bertanding
sungguh-sungguh dan mengadu jiwa walaupun setiap kali
selalu mengalah dan memberi kesempatan kepada pihak lawan
masing-masing. Makin melihat makin dongkol Su-popo, segera ia mendamprat,
"Huh, permainan setan begini juga dianggap sebagai ilmu silat
Swat-san-pay" Hm, kalian benar-benar membikin malu nama
Leng-siau-sia yang keramat ini."
Mendadak ia berpaling kepada Ciok Boh-thian dan berkata,
"Muridku, ambil golok ini dan tebaslah sebelah lengan mereka,
setiap orang satu." Di depan Thio Sam dan Li Si sedapat mungkin Boh-thian tidak
berani membuka suara agar tidak dikenali. Terpaksa ia terima
golok yang disodorkan padanya, lalu melangkah maju, ia
tuding Seng Cu-hak terus membacok.
Mendengar Su-popo memberi perintah agar lengannya yang
harus ditebas, keruan Seng Cu-hak tidak berani main-main.
Cepat ia angkat pedangnya untuk menangkis. Karena sekarang
menyangkut keselamatannya, maka gerakan pedangnya ini
sangat kuat dan indah, suatu jurus ilmu pedang Swat-san-pay
yang sejati. "Bagus! Mendingan jurus ini daripada tadi!" senggak Thio Sam.
Tiba-tiba Boh-thian mendapat pikiran, "Kedua Giheng sudah
kenal tenaga dalamku yang hebat, jika aku menang dengan
menggunakan lwekang, tentu mereka akan lantas mengenali
aku sebagai Kau-cap-ceng, padahal aku menyaru sebagai Ciok
Tiong-giok, terpaksa aku juga harus menggunakan Swat-sankiamhoat saja!" Segera ia putar goloknya dan menusuk dari samping, yakni
merupakan satu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang disebut
"Am-hiang-soh-eng" (Harum Kedaluan Hilang Bayangan).
Melihat ilmu pedang Boh-thian hanya sepele saja, Seng Cu-hak
tidak jeri pula. Ia putar pedang untuk melindungi tempattempat
penting di tubuhnya sendiri, sesudah beberapa jurus
kemudian, sengaja ia pancing golok Ciok Boh-thian menusuk
ke atas kakinya. Ia pura-pura tidak sempat menangkis dan
mengelak, sambil menjerit kesakitan ia melompat minggir
dengan luka di kakinya itu.
Segera ia membuang pedangnya dan berseru, "Pahlawan selalu
timbul dari kalangan muda, tua bangka sudah tak berguna lagi!
Aku terima mengaku kalah."
Melihat ada kesempatan, Nio Cu-cin juga tidak mau
ketinggalan, segera ia mendahului ayun pedang dan menebas
ke pundak Ciok Boh-thian sambil membentak, "Kau bocah ini
benar-benar tidak tahu aturan lagi, sampai-sampai Susiokco
(kakek-guru muda) juga kau lukai?"
Ia cukup paham ilmu pedang yang dimainkan Ciok Boh-thian,
maka hanya beberapa jurus saja ia sengaja memancing suatu
serangan pemuda itu sehingga lengan kirinya terserempet
pedang. Segera ia berteriak-teriak, "Wah, luar biasa! Hampirhampir
saja lenganku ini ditebas putus oleh anak ingusan ini."
Menyusul Ce Cu-bian dan Liau Cu-le juga tidak kalah liciknya,
berturut-turut mereka pun mencari suatu kesempatan dan
membiarkan ujung golok Ciok Boh-thian melukai sedikit kulit
badan mereka, lalu mengaku kalah dan mengundurkan diri.
Maklumlah bahwa Ciok Boh-thian memang tiada maksud
menebas kutung lengan mereka sebagai diperintahkan oleh Supopo
tadi, pula ia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang
sejati, yang digunakan hanya sedikit ilmu pedang Swat-sanpay
yang belum masak dilatihnya. Selain itu Seng Cu-hak
berempat sebenarnya sangat lihai, hanya lantaran mereka
sengaja mengalah, maka tidak sulit bagi mereka untuk
memainkan kelicikannya. Coba kalau Ciok Boh-thian juga tidak
bermaksud memenangkan mereka, tentu mereka pun tidak
gampang pura-pura kalah. Jadi pertandingan barusan ini lebih mirip dengan permainan
anak kecil saja. Keruan Su-popo sangat mendongkol. Tapi ia
pun tidak ambil pusing, dengan suara bengis ia lantas
membentak, "Jadi kalian sudah dikalahkan oleh bocah ini,
kalian sudah rela mengangkat dia sebagai ciangbunjin?"
Diam-diam Seng Cu-hak berempat membatin, "Kalau dia
diangkat menjadi ketua, paling-paling kita hanya akan
memperalat dia sebagai korban yang mewakilkan Swat-sanpay
pergi ke Liong-bok-to, apanya yang membuat kita
keberatan?" Maka serentak mereka menjawab, "Ya, kedua sucia dari Liongbokto tadi sudah menetapkan syaratnya, kedudukan ciangbun
harus direbut berdasarkan kepandaian masing-masing.
Sekarang kami sudah kalah, ya, apa mau dikata lagi?"
"Jadi kalian benar-benar sudah takluk?" Su-popo menegas.
"Ya, takluk lahir batin tanpa syarat," sahut mereka. Tapi diamdiam
mereka berpikir, "Huh, jika kedua jahanam Liong-bok-to
ini sudah pergi, bukankah Leng-siau-sia ini akan menjadi dunia
kami pula" Hanya seorang nenek loyo dan seorang anak
ingusan saja bisa berbuat apa?"
"Jika begitu mengapa kalian tidak lekas menyampaikan sembah
bakti kepada Ciangbunjin dan mau tunggu kapan lagi?" ujar
Su-popo dengan suara lantang.
Sebelum Seng Cu-hak berempat menjawab atau bertindak,
tiba-tiba terdengar teriakan seorang di luar, "Siapa yang berani
menduduki jabatan ketua Swat-san-pay?"
Itulah suaranya "Gi-han-se-pak" Pek Ban-kiam. Benar juga
segera tertampak tokoh muda Swat-san-pay itu melangkah
masuk dengan menyeret rantai borgol, di belakangnya
mengikut beberapa puluh orang pula, semuanya juga
terbelenggu. Di belakang Pek Ban-kiam kelihatan Kheng Banciong,
Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Houyan Ban-sian, Bun Banhu,
Ang Ban-ek, Hoa Ban-ci, dan anak murid Tiang-bun yang
baru saja pulang dari Tionggoan.
Ketika melihat Su-popo juga berada di situ, segera Ban-kiam
menyapa, "Engkau sudah pulang, ibu!"
Nadanya terdengar penuh rasa girang dan di luar dugaan.
Tadi waktu mendengar Hong Ban-li memanggil Su-popo
sebagai ibu-guru, lapat-lapat Boh-thian sudah merasa nenek
itu tentu adalah istri Pek Cu-cay, sekarang mendengar Pek
Ban-kiam memanggilnya sebagai ibu, maka dugaannya itu
terang tidak perlu disangsikan lagi. Hanya saja ia masih heran,
"Jika suhuku adalah istri ketua Swat-san-pay, mengapa beliau
mengaku pula sebagai ketua Kim-oh-pay, bahkan selalu
mengatakan bahwa Kim-oh-pay merupakan bintang bencana
bagi Swat-san-pay?" Dalam pada itu dilihatnya si A Siu telah berlari ke depan Pek
Ban-kiam dan menyapa, "Ayah!"
Tertampak Ban-kiam sangat girang, sahutnya dengan suara
terputus-putus, "A Siu, kau, kau ternyata tidak... tidak mati?"
"Sudah tentu dia tidak mati!" sela Su-popo dengan mendengus.
"Memangnya semua orang sedemikian tak becus semacam
kau" Huh, hanya kau yang bermuka tebal yang masih berani
memanggil ibu padaku! Hm, benar-benar tiada gunanya aku
melahirkan anak goblok seperti kau. Orang tua sendiri telah
dikurung orang, dirinya sendiri juga berhias besi-besi
rombengan demikian, kau merasa senang ya dengan kejadian
ini" Dasar telur busuk semua, huh, Swat-san-pay apa segala"
Yang tua telur busuk, yang muda juga telur bau, semuanya
telur kopyor. Rasanya lebih baik Swat-san-pay berganti nama
menjadi Telur-busuk-pay saja."
Pek Ban-kiam diam saja membiarkan ibunya mencaci maki
sepuasnya, kemudian barulah ia berkata, "Bu, tertawannya
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak bukanlah karena kepandaianku kalah tinggi daripada
mereka, tapi kawanan pengkhianat ini telah menggunakan akal
licik, dia... dia telah pura-pura menyaru sebagai ayah dan
memasang perangkap di dalam selimut, lantaran itulah maka
anak telah terjebak."
"Dasar telur busuk kecil macam kau ini memang tidak pantas
diberi hidup," damprat Su-popo pula. "Kalau salah mengenali
orang luar sih masih dapat dimengerti, masakah ayahnya
sendiri juga salah mengenalnya, huh, apakah kau masih dapat
dianggap sebagai manusia?"
Rupanya sejak kecil Ban-kiam sudah biasa dimaki dan dihajar
sang ibu, maka sekarang ia pun anggap biasa meski dimaki
habis-habisan di depan orang banyak. Yang terpikir olehnya
hanya keselamatan ayahnya. Maka cepat ia tanya, "Bu, apakah
ayah baik-baik saja?"
"Telur busuk tua itu mati atau hidup, sedangkan kau telur
busuk kecil ini pun tidak tahu, dari mana lagi aku bisa tahu?"
sahut Su-popo dengan gusar. "Daripada hidup membikin malu
saja karena kena dikurung oleh sute-sutenya, ada lebih baik
dia lekas mampus saja."
Mendengar ucapan itu baru sekarang Ban-kiam merasa lega, ia
tahu sang ayah cuma berada dalam tahanan kawanan
pemberontak saja. Katanya segera, "Terima kasih kepada
langit dan bumi bahwa ayah ternyata masih selamat."
"Selamat kentut!" bentak Su-popo dengan gusar. Walaupun
begitu katanya, namun dalam hati sesungguhnya ia pun
memikirkan keselamatan sang suami. Segera ia berkata
kepada Seng Cu-hak dan para sutenya, "Di mana kalian telah
mengurung Toasuheng" Mengapa tidak lekas-lekas
dikeluarkan?" Seng Cu-hak menjawab, "Perangai Toasuheng sangat keras,
siapa pun tidak berani mendekat padanya, kalau mendekat
segera akan dibunuh olehnya."
Terkilas rasa girang dan lega pada wajah Su-popo. Katanya
kemudian, "Bagus, bagus! Dasar telur busuk tua itu selalu
anggap ilmu silatnya nomor satu di dunia ini, sombongnya
tidak kepalang. Sekarang biarlah dia mengalami sedikit
penderitaan supaya tahu rasa."
Agaknya Li Si menjadi tidak sabar mendengarkan caci maki
yang tak habis-habis itu, akhirnya ia menimbrung,
"Sesungguhnya yang manakah ketua Telur-busuk-pay itu?"
Sekonyong-konyong Su-popo melangkah maju, ia tuding Li Si
dan mendamprat, "Istilah "Telur-busuk-pay" masakah boleh
diucapkan oleh telur busuk macam kau" Aku memaki lakiku
dan anakku sendiri. Hm, kau ini kutu busuk jenis apa, berani
kau ikut-ikut menghina Swat-san-pay kami?"
Semua orang menjadi kebat-kebit melihat Su-popo
mendamprat Li Si dengan sikap sedemikian galak. Mereka pikir
kalau sampai Li Si menjadi gusar dan menyerang, maka nenek
itu pasti akan celaka. Maka dengan cepat Ciok Boh-thian lantas
melompat maju dan mengadang di depan Su-popo, asal Li Si
menyerang segera akan ditangkisnya.
Pek Ban-kiam sendiri masih terbelenggu, dia hanya mengeluh
saja dan tak mampu berbuat apa-apa.
Di luar dugaan Li Si ternyata tidak marah, sebaliknya ia
tersenyum dan berkata, "Baiklah, anggaplah aku telah salah
omong, harap Pek-hujin memaafkan. Nah, sebenarnya
siapakah ketua Swat-san-pay kalian!"
"Pemuda ini sudah mengalahkan para pengkhianat itu, mereka
sudah mengangkatnya sebagai ketua Swat-san-pay, siapa lagi
yang merasa tidak takluk?" jawab Su-popo sambil menuding
Boh-thian. "Anak tidak mau terima dan ingin bertanding dulu dengan dia!"
seru Pek Ban-kiam. "Bagus!" sahut Su-popo. "Hayo, buka semua belenggu mereka
itu!" Liau Cu-le menjadi ragu-ragu, ia saling pandang dengan Seng
Cu-hak dan Nio Cu-cin. Pikir mereka, "Jika anak murid Tiangbun
ini dibebaskan, maka untuk mengatasi mereka tentu tidak
gampang lagi. Padahal kita sudah mengadakan
pemberontakan, perbuatan durhaka ini betapa pun tak bisa
diampuni. Namun dalam keadaan sekarang ini mau tak mau
mereka harus dilepaskan juga."
Tapi sedapat mungkin Liau Cu-le mencari jalan lain, katanya,
"Kau adalah jago yang sudah keok di bawah tanganku,
sedangkan aku saja sudah takluk, berdasarkan apa kau berani
membangkang?" Ban-kiam menjadi gusar. Dampratnya, "Huh, kau pengkhianat
yang durhaka ini, kalau bisa aku ingin mencincang tubuhmu
hingga hancur luluh, hm, sebaliknya kau masih berani
mengatakan aku adalah jago yang sudah keok di bawah
tanganmu" Secara licik kau telah menjebak aku, sekarang
tanpa malu-malu kau masih berani bicara?"
Bab 41. Ciok Boh-thian Mengalahkan Pek Ban-kiam, Supopo
Menjadi Ciangbunjin Kiranya orang yang pura-pura sakit dan menyamar sebagai Pek
Cu-cay sehingga tangan Ban-kiam mendadak diborgol itu taklaintak-bukan adalah Liau Cu-le. Di antara anak murid Tiangbun
yang baru pulang dari Tionggoan itu hanya Pek Ban-kiam
yang paling lihai, sekali kepalanya sudah tertangkap, seketika
juga ekornya tidak dapat berkutik sehingga Kheng Ban-ciong
dan lain-lain juga kena diringkus dengan mudah. Sekarang
berhadapan dengan orang yang telah menangkapnya dengan
cara pengecut itu, keruan Ban-kiam merasa dendam dan
geregetan tak terkatakan.
Maka dengan tertawa Liau Cu-le menjawab, "Jika kau tidak
keok di bawah tanganku mengapa kedua tanganmu bisa
terbelenggu" Aku toh tidak menggunakan senjata rahasia juga
tidak memakai obat tidur!"
"Buat apa masih terus bertengkar tak habis-habis?" bentak Li
Si mendadak. "Hayo, lekas membuka belenggunya, biarlah
mereka berdua bertanding."
Liau Cu-le masih ragu-ragu, Li Si menjadi tidak sabar, segera ia
rampas pedang dari tangan Liau Cu-le, hanya dua kali bergerak
saja, tahu-tahu borgol tangan dan kaki Pek Ban-kiam sudah
terputus dan jatuh ke atas lantai. Padahal borgol-borgol itu
terbuat dari baja, sekalipun pedang Liau Cu-le itu cukup tajam,
tapi bukanlah pedang mestika yang dapat memotong besi
sebagai potong sayur, namun dengan lwekang yang tinggi Li Si
telah menebas borgol-borgol itu dengan mudah sekali, yang
hebat adalah tangan dan kaki Pek Ban-kiam sedikit pun tidak
ikut terluka. Keruan semua orang sangat kagum dan tanpa
merasa sama bersorak memuji.
Biasanya Pek Ban-kiam juga tinggi hati, tapi sekarang mau tak
mau ia pun menyatakan kekagumannya. Dalam pada itu
seorang murid Tiang-bun cepat-cepat menyampaikan sebatang
pedang padanya. Tapi mendadak Ban-kiam meludahi muka murid Tiang-bun itu,
menyusul kakinya lantas mendepak sehingga orang itu
terguling. "Huh, pengkhianat!" Ban-kiam memaki.
Maklumlah bahwa anak murid Tiang-bun yang tinggal di Lengsiausia ternyata dalam keadaan selamat tanpa diganggu,
maka terang adalah kaum pengkhianat yang telah ikut
bersekongkol dengan anak murid cabang-cabang yang lain.
"Ini, ayah!" seru A Siu sambil mengangsurkan pedangnya
sendiri. Ban-kiam tersenyum senang, "Ehm, putriku yang baik!"
katanya terhibur. Selama ini dia sudah cukup menderita,
sekarang diketahui ibu dan putrinya dalam keadaan selamat
dan sehat walafiat, dengan sendirinya ia sangat gembira.
Tapi ketika dia berpaling, wajahnya yang tersenyum simpul itu
sekonyong-konyong berubah menjadi bengis dan penuh
kebencian, sorot matanya berapi, bentaknya kepada Liau Cule,
"Kau pengkhianat ini bukan lagi angkatan tua Swat-san-pay,
marilah kita coba-coba lebih dulu. Ini, terimalah pedangku!"
"Sret", kontan ia mendahului menusuk.
Pada saat yang hampir sama tiba-tiba Li Si menegakkan
pedang rampasannya tadi sehingga serangan Ban-kiam itu
tertangkis. Lalu ia sodorkan gagang pedang ke tangan Liau Cule.
Maka mulailah pertarungan sengit, kedua orang sama-sama
mengeluarkan segenap kepandaian masing-masing untuk
mengadu jiwa, sama sekali berbeda daripada pertandingan
antara Seng Cu-hak berempat tadi.
Di antara angkatan tua Swat-san-pay, kecuali Pek Cu-cay,
maka kepandaian Liau Cu-le terhitung yang paling tinggi. Ia
pikir dirinya tadi sudah mengaku kalah pada Ciok Tiong-giok,
asal sekarang dirinya mengalahkan Ban-kiam, maka dengan
sendirinya Ciok Tiong-giok akan tetap diangkat sebagai pejabat
ketua dan akan mengantarkan nyawa ke Liong-bok-to.
Kepandaian Pek Ban-kiam memangnya tidak di bawah Liau Cule,
dalam keadaan gawat begini terpaksa Cu-le mengerahkan
segenap tenaganya, kalau ayal sedikit saja bukan mustahil dia
sendiri yang akan celaka. Ia bertekad harus membinasakan
Ban-kiam, dengan demikian barulah dia dapat menjagoi di
Leng-siau-sia dan Ciok Tiong-giok hanya akan menjadi
ciangbunjin dengan nama kosong saja. Asal Thio Sam dan Li Si
sudah pergi, pemuda itu akan segera didesak agar lekas
berangkat ke Liong-bok-to yang jauh itu daripada nanti
terlambat. Begitulah diam-diam Liau Cu-le mempunyai perhitungan yang
muluk-muluk, semangatnya lantas terbangkit, permainan
pedangnya menjadi semakin lincah dan hidup, setiap
serangannya bertambah ganas.
Sebaliknya Ban-kiam buru-buru ingin membalas dendam
sehingga terlalu nafsu dan sering menyerang secara
berbahaya. Sesudah 30-an jurus, suatu ketika Ban-kiam menusuk ke
depan, namun dengan cepat Cu-le sempat berkelit dan segera
balas menebas, "bret", tahu-tahu ujung baju Ban-kiam
terpapas sepotong. A Siu sampai menjerit khawatir. Sebaliknya Su-popo lantas
memaki, "Dasar telur busuk kecil, serupa benar dengan
bapaknya, anak ajaran telur busuk tua itu memangnya tidak
banyak berguna!" Dalam gugupnya ditambah dicemoohkan pula, keruan
permainan pedang Ban-kiam menjadi agak kacau.
Diam-diam Cu-le bergirang, katanya, "Memangnya aku sudah
mengatakan kau adalah jago yang sudah keok di tanganku,
masakah aku hanya membual saja, buktinya sekarang
bagaimana?" Dengan mengolok-olok begini maksud Cu-le ingin membikin
marah lawannya sehingga perhatiannya semakin terpencar.
Tak terduga perhitungannya ternyata meleset. Paling akhir ini
Ban-kiam telah banyak kecundang di daerah Tionggoan
sehingga perangainya telah banyak lebih sabar dan lebih ulet.
Ia tidak murka atas olok-olok lawan itu, sebaliknya menjadi
lebih prihatin dan menjaga diri dengan rapat. Pada lain
kesempatan berulang-ulang ia berbalik balas menyerang tujuh
kali. Serangan berantai ini seketika mengubah keadaan
menjadi sama kuatnya, bahkan setiap serangan Ban-kiam
selalu mengancam tanpa kenal ampun.
Liau Cu-le ganti siasat, ia main putar di sekeliling Ban-kiam
sambil mencaci maki. Mendadak sinar pedang berkelebat, Bankiam
bersuit panjang, "sret-sret-sret", ia menyerang tiga kali
secara berantai, ketika serangan keempat menyambar pula,
"cret", tanpa ampun lagi kaki Liau Cu-le tertebas kutung
sebatas dengkul. Ia menjerit ngeri tersungkur bermandikan
darah. Dengan pedangnya yang masih berteteskan air darah Ban-kiam
menuding Seng Cu-hak dan membentak, "Sekarang kau! Hayo
maju!" Namun dengan muka pucat Cu-hak diam saja. Selang sejenak
barulah menjawab, "Kau ingin menjadi ciangbunjin boleh
silakan... silakan menjabatnya, aku... aku tidak perlu berebut
dengan kau." Segera sinar mata Ban-kiam beralih kepada Ce Cu-bian dan Nio
Cu-cin. Tapi kedua orang itu pun menggeleng-geleng tanda
menyerah. "Huh, baru mengalahkan beberapa pengkhianat saja apa sih
yang luar biasa?" tiba-tiba Su-popo menjengek. Lalu ia berkata
kepada Ciok Boh-thian, "Muridku, coba kau bertanding dengan
dia, biarkan orang lain menyaksikan apakah murid si telur
busuk tua itu lebih lihai atau murid ajaranku lebih hebat."
Semua orang menjadi heran mendengar ucapan si nenek.
Sudah terang Ciok Tiong-giok adalah muridnya Hong Ban-li,
mengapa nenek itu bilang muridnya sendiri"
Sementara itu Su-popo telah membentak Ciok Boh-thian, "Ayo,
lekas maju! Gunakan golok dan jangan memakai pedang. Ilmu
pedang ajaran telur busuk tua itu hanya permainan anak kecil
saja, tapi ilmu golok kita jauh lebih lihai!"
Sesungguhnya Boh-thian tidak ingin bertanding dengan Pek
Ban-kiam, apalagi kalau teringat beliau adalah ayahnya A Siu
atau bakal mertuanya. Tapi kalau dia membuka suara untuk
menolak tentu rahasia penyamarannya akan diketahui Thio
Sam dan Li Si. Karena itulah dengan menjinjing golok dia
menjadi serbasalah berdiri di samping Su-popo.
Melihat pemuda itu masih diam saja, kembali si nenek
membentak, "Apa yang telah kujanjikan tadi apakah kau sudah
tidak mau lagi" Tadi aku hilang kau harus membuat suatu jasa
besar barulah janjiku itu akan dipenuhi. Dan jasa besar itu
sekarang harus kau lakukan, yakni murid telur busuk tua ini
harus kau kalahkan. Jika kau kalah, maka kau pun harus lekas
enyah dari sini dan jangan bertemu pula dengan aku, lebihlebih
jangan harap bisa bertemu dengan A Siu."
Baru sekarang Boh-thian mengetahui bahwa jasa besar yang
dimaksudkan sang guru kiranya adalah suruh mengalahkan
putra kandung si nenek sendiri. Hal ini benar-benar
membuatnya terheran-heran.
Sebaliknya orang-orang lain yang hadir di situ berpendapat,
"Kiranya Su-popo sengaja hendak menjadikan bocah dungu ini
sebagai ketua Swat-san-pay agar dapat dijadikan korban ke
Liong-bok-to untuk menggantikan nyawa suami atau
putranya." Namun Pek Ban-kiam dan A Siu berdua cukup paham apa
maksud tujuan Su-popo ini.
Kiranya suami-istri Pek Cu-cay dan Su-popo sama-sama
berwatak keras, biasanya si nenek masih suka mengalah
sedikit kepada sang suami walaupun dengan menahan rasa
mendongkol. Dalam persoalan Ciok Tiong-giok hendak
memerkosa A Siu dan gagal itu, bukan saja Pek Cu-cay telah
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menebas sebelah lengan Hong Ban-li, bahkan suami-istri
mereka telah cekcok, dalam marahnya Cu-cay telah menampar
Su-popo sekali. Saking jengkelnya Su-popo lantas minggat dari
Leng-siau-sia. Walaupun sekarang dia sudah pulang, tapi
kejadian ditampar sang suami itu masih terus teringat olehnya,
makanya dia terus mencaci maki "telur busuk tua" tidak habishabisnya.
Watak Pek Cu-cay itu memang sangat sombong, ilmu silatnya
memang juga merajai wilayah barat situ sehingga kepandaian
sang istri dipandang sebelah mata olehnya. Saking dongkolnya
Su-popo bertekad akan mendidik seorang murid yang pandai
untuk mengalahkan putranya sendiri, dengan demikian akan
berarti mengalahkan muridnya Pek Cu-cay sebagai tanda
kemenangannya atas diri sang suami.
Demikianlah apa yang diketahui oleh Pek Ban-kiam atas isi hati
ibunya. Cuma dia belum tahu bahwa Ciok Boh-thian memang
betul adalah murid ibunya, dalam hal ini adalah A Siu yang
lebih jelas duduknya perkara.
Begitulah Ban-kiam lantas melotot kepada Boh-thian dengan
sikap yang menghina. "Bagaimana" Apakah kau memandang enteng padanya?" Supopo
menjengek. "Pemuda ini sudah mengangkat guru padaku
dan telah kudidik seperlunya, kepandaiannya sekarang sudah
berbeda daripada tadinya. Sekarang kau boleh coba-coba
bertanding dengan dia, jika kau yang menang, ya, anggaplah
telur busuk tua bangka itu lebih lihai, tapi kalau kau yang
kalah, maka jadilah A Siu sebagai istrinya."
Ban-kiam terkejut. "Wah, ini tidak boleh jadi, ibu! A Siu mana
boleh diambil sebagai istri oleh bocah ini?" serunya.
Su-popo terbahak-bahak, katanya, "Jika kau dapat
mengalahkan dia, dengan sendirinya A Siu takkan menjadi
istrinya. Kalau tidak, cara bagaimana kau bisa merintanginya?"
Diam-diam Ban-kiam mendongkol, "Ibu marah pada ayah,
sekarang aku ikut-ikut dimarahi. Jika putramu ini tidak mampu
menangkan bocah ini bukankah percuma menjadi manusia di
dunia ini?" Dalam pada itu Su-popo telah membentak pula, "Jika kau
merasa penasaran boleh lekas melabraknya. Buat apa hanya
melotot belaka?" Ban-kiam mengiakan. Segera ia berkata kepada Ciok Bohthian,
"Ayolah, kau boleh mulai menyerang!"
Boh-thian memandang sekejap ke arah A Siu, nona itu tampak
malu-malu dan menaruh perhatian padanya. Pikirnya, "Suhu
mengatakan kalau aku kalah, selanjutnya tak dapat bertemu
lagi dengan A Siu. Maka pertandingan ini mau tak mau harus
menang." Segera ia mengangkat golok dan bergerak. "Sret", mendadak
Ban-kiam lantas menusuk. Cepat Boh-thian menangkis dan
balas membacok satu kali.
Di Ci-yan-to dahulu Boh-thian sudah pernah bergebrak dengan
Ban-kiam. Tapi waktu itu dia menggunakan Kim-oh-to-hoat
murni, ketika Ban-kiam menggunakan jurus yang paling kasar
dari ilmu pedang Swat-san-pay, maka Boh-thian berbalik tidak
mampu menangkisnya sehingga baju di bagian dadanya
tergores dan berlubang. Sejak itulah Boh-thian lantas terbuka
otaknya dan memahami soal "perubahan" atau "variasi" dalam
ilmu silat yang tinggi, diketahuinya bahwa di kala bertanding
silat harus bisa melihat gelagat, berubah dan bertindak
menurut keadaan. Kemudian ia mendapat petunjuk-petunjuk
pula dari Ciok Jing dan Bin Ju sehingga ilmu silatnya banyak
mendapat kemajuan. Sekarang kembali ia harus bergebrak pula dengan Pek Bankiam,
ilmu goloknya tidak lagi terbatas atas ajaran Su-popo
saja, tapi banyak jurus serangannya sudah lain daripada yang
lain dan susah diduga. Keruan sesudah beberapa jurus saja Ban-kiam lantas
terperanjat. Ia tidak mengerti dalam waktu singkat ini dari
manakah bocah ini mendapat pelajaran ilmu golok sedemikian
lihainya" Teringat olehnya waktu bertanding dengan pemuda
yang mengaku pangcu dari Tiang-lok-pang di Ci-yan-to dahulu,
pemuda itu juga mengaku sebagai murid pertama dari Kim-ohpay
segala, ilmu golok kedua orang tampaknya rada-rada
mirip, cuma dalam hal variasi dan keganasan pemuda Ciok
Tiong-giok di hadapannya ini terang jauh lebih lihai.
Wajah kedua pemuda ini sangat mirip, jangan-jangan mereka
berasal dari satu guru" Ibuku mengatakan telah memberi
bimbingan seperlunya, jangan-jangan dia memang benar-benar
adalah murid Ibu" Demikian Ban-kiam menimbang-nimbang
sendiri. Sesudah beberapa jurus pula, ketika Ban-kiam menebas dari
samping, cepat Boh-thian menangkis. "Trang", lelatu api
bercipratan, Ban-kiam merasa lengannya tergetar oleh suatu
tenaga yang mahakuat, dadanya sampai sakit. Keruan ia
tambah kaget, tanpa merasa sampai mundur dua-tiga tindak.
Boh-thian tidak mendesak lebih lanjut, ia berpaling kepada Supopo.
Maksudnya ingin bertanya, "Apakah aku dianggap
menang belum?" Tak terduga Ban-kiam menjadi semakin bersemangat bila
mana berhadapan dengan lawan tangguh, apalagi Ciok TiongKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
giok hanya kaum keroco saja, kalau sampai kalah bukankah
terlalu penasaran" Segera ia membentak, "Lihat pedangku,
bocah!" Menyusul ia lantas menusuk pula.
Waktu Boh-thian hendak menangkis lagi, namun Ban-kiam
tidak mau mengadu senjata pula, segera ia ganti siasat, ujung
pedang berputar terus menjengkit ke atas untuk menusuk
tenggorokan Boh-thian. Serangan ini sangat cepat lagi jitu dan memperlihatkan ilmu
pedang Swat-san-pay yang indah. Thio Sam sampai memuji,
"Ilmu pedang yang bagus!"
Akan tetapi Ciok Boh-thian lantas mengayun goloknya untuk
menebas lengan lawan, yang dia gunakan adalah Kim-oh-tohoat,
jurus ini tepat merupakan serangan yang antiserangan
Ban-kiam itu. Maka Thio Sam kembali berseru memuji, "Ilmu
golok yang bagus!" Begitulah pertarungan kedua orang makin lama makin cepat.
Ban-kiam unggul dalam ilmu pedang yang sudah terlatih,
sebaliknya Boh-thian menang dalam hal tenaga dalam.
Ketika mencapai 30-an jurus, mendadak Boh-thian membacok
ke depan. Dalam keadaan susah menghindar, terpaksa Bankiam
menangkis dengan pedangnya. Maka terdengarlah suara
"trang" yang nyaring, pedang Pek Ban-kiam tergetar patah
menjadi dua. Segera Boh-thian menarik kembali goloknya dan melompat
mundur. Sebaliknya muka Ban-kiam merah padam, dari
seorang murid Swat-san-pay di sebelahnya segera
disambarnya sebatang pedang dan kembali menusuk ke arah
Boh-thian lagi. Setelah mengalami pertarungan seru ini, tenaga dalam yang
terhimpun di tubuh Ciok Boh-thian sudah mulai bergerak, maka
setiap jurus serangannya sekarang selalu membuat Pek Bankiam
merasa kewalahan untuk menangkisnya. Lebih-lebih di
atas senjatanya seakan-akan membawa kekuatan yang susah
dilawan. Maka tidak sampai beberapa jurus pula, "krak",
kembali pedang Ban-kiam tergetar patah. Cepat Ban-kiam
berganti senjata, tapi baru dua jurus saja lagi-lagi pedangnya
patah. Sambil memegang pedang patah Ban-kiam berseru, "Tenaga
dalammu memang jauh melebihi aku, tapi dalam hal serangmenyerang
aku belum lagi kalah!"
Segera ia lemparkan pedang patah, kembali ia sambar
sebatang pedang anak muridnya terus menerjang maju dan
menusuk pula. Tapi Boh-thian sempat mengegos. Sekilas dilihatnya sorot mata
A Siu menampilkan rasa sedih dan khawatir. Sekonyongkonyong
hati Boh-thian tergerak. Teringat olehnya apa yang A
Siu pernah pesan padanya di Ci-yan-to dahulu bahwa di kala
bertanding dengan orang hendaklah selalu memberi jalan hidup
bagi lawannya, kalau bisa mengampuni supaya mengampuni.
Seorang tokoh Bu-lim takkan merasa malu bila dilukai olehmu,
tapi dia akan lebih suka mati saja jika kau mengalahkan dia.
Ia lihat air muka Ban-kiam sangat prihatin, pikirnya, "Dia
adalah tokoh terhormat Swat-san-pay, kalau aku mengalahkan
dia di hadapan orang sebanyak ini tentu dia akan malu.
Sebaliknya kalau aku kalah tentu aku akan kehilangan A Siu.
Wah, lantas bagaimana baiknya" Ya, biarkan aku
menggunakan jurus Pang-kau-cik-kik ajaran A Siu tempo hari
supaya pertandingan ini berakhir dengan seri saja."
Berpikir demikian, mendadak dalam benaknya terkilas pula
suatu kesimpulan, "Ya, di Ci-yan-to tempo hari aku telah
berjanji kepada A Siu bahwa kelak aku akan berbuat menurut
pesannya itu. Untuk mana dia saking terima kasihnya sampai
menjura padaku. Pemberian hormat itu tentulah karena sudah
diduganya akan adanya pertandingan seperti sekarang ini.
Coba kalau bukan lantaran ayahnya, buat apa dia mesti
menyembah padaku" Tentunya dia sudah tahu bahwa ayahnya
takkan mampu melawan ilmu golokku ini, makanya dia
memberi pesan demikian padaku."
Segera ia membacok ke kanan satu kali dan ke kiri satu kali,
karena itu dadanya menjadi terbuka, kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Pek Ban-kiam, pedangnya lantas menusuk ke
depan. Pada saat itulah cepat Boh-thian mundur tiga tindak, goloknya
lantas menebas di depannya sendiri dari atas ke bawah. Waktu
itu tusukan pedang Ban-kiam masih berjarak belasan senti
dengan dada sasarannya dan segera sudah terasa akan
tekanan tenaga dalam Ciok Boh-thian yang dahsyat sedang
pedangnya sampai tergetar dan mendenging-denging.
Akan tetapi pada saat yang sama kembali Ciok Boh-thian
mundur dua tindak lagi. Pikirnya, "Aku sudah mematahkan tiga
batang pedangnya, untuk bisa berakhir dengan seri tentunya
dia juga harus mematahkan golokku ini."
Maka diam-diam ia kerahkan tenaga ke tangan, "krak",
goloknya mendadak juga patah menjadi dua seakan-akan
patah tergetar oleh pedang Pek Ban-kiam.
A Siu menghela napas lega setelah menyaksikan kejadian itu.
Serunya cepat, "Ayah, Toako, kalian sama kuatnya, siapa pun
tidak dikalahkan oleh siapa-siapa!"
Ia berpaling ke arah Boh-thian dan tersenyum simpul padanya,
ia merasa syukur bahwa pemuda itu masih ingat kepada
pesannya dahulu dan dapat memahami maksud tujuannya.
Sebaliknya air muka Pek Ban-kiam tampak pucat lesi,
mendadak ia menancapkan pedangnya ke atas tanah, katanya
kepada Ciok Boh-thian, "Kau sengaja mengalah, masakah aku
tidak tahu" Kau tidak membikin aku kehilangan muka di depan
umum, sungguh aku merasa terima kasih."
Su-popo sangat senang, katanya, "Anakku, kau pun jangan
cemas, ilmu goloknya ini adalah ajaran ibu, lain hari aku pun
akan mengajarkan padamu seperti dia. Kau dikalahkan dia kan
sama saja seperti ibu yang mengalahkan kau. Masakah kita ibu
dan anak masih membeda-bedakan antara kau dan aku?"
Dalam marahnya tadi dia masih mencaci maki "telur busuk tua
bangka" dan "telur busuk kecil" segala, tapi sekarang sesudah
Ciok Boh-thian mengalahkan putranya itu dengan Kim-oh-tohoat,
hal ini berarti pada akhirnya dirinya lebih unggul daripada
sang suami, saking senangnya ia lantas menghibur putranya
yang keok itu. Keruan Ban-kiam merasa serbarunyam, terpaksa menjawab,
"Ya, ilmu golok itu memang benar-benar sangat lihai, mungkin
anak terlalu bodoh dan tak dapat mempelajarinya."
Su-popo mendekati Ban-kiam, perlahan-lahan ia meraba dan
membelai rambut putranya itu. Katanya dengan penuh kasih
sayang seorang ibu, "Kau jauh lebih cerdas daripada bocah
dungu ini, apa yang dapat dia pelajari masakah kau tidak
dapat" He, anak dungu, kenapa tidak lekas menjura dan minta
maaf kepada bapak mertuamu?"
Untuk sejenak Boh-thian melengak. Tapi ia lantas paham juga.
Dengan girang dan kejut cepat ia menjura kepada Pek Bankiam.
Namun Ban-kiam lantas menyingkir ke samping, katanya
dengan suara bengis, "Nanti dulu, urusan ini biarlah
dibicarakan nanti saja."
Lalu katanya kepada Su-popo, "Bu, meski ilmu silat bocah ini
cukup tinggi, tapi tingkah lakunya bangor dan kotor, hari depan
A Siu hendaklah kita pikirkan baik-baik."
"Sudahlah! Sudahlah!" demikian mendadak Li Si menyela.
"Apakah kau akan mengambil dia sebagai mantu atau tidak,
yang terang aku tidak ambil pusing. Kulihat di antara orangorang
Swat-san-pay tiada seorang pun yang dapat menangkan
saudara cilik ini, apakah sudah terang dia akan menjadi
ciangbunjin kalian" Kalian semua takluk atau tidak?"
Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan anak murid Swat-san-pay
yang lain tiada seorang pun yang berani membuka suara.
Mereka merasa kepandaian memang kalah tinggi, di samping
itu mereka pun berharap sesudah Ciok Boh-thian menjadi
ciangbunjin akan segera berangkat ke Liong-bok-to untuk
mengantarkan nyawa, sebab itulah mereka tidak memberi
bantahan apa-apa. Segera Thio Sam mengeluarkan dua potong medali tembaga,
katanya dengan tertawa, "Selamat bahagia, saudara cilik
kembali telah menjabat Ciangbunjin Swat-san-pay, maka
kedua buah medali ini silakan diterima sekalian."
Sambil bicara sebelah matanya berkedip-kedip pula beberapa
kali. Boh-thian tercengang melihat permainan mata Thio Sam itu, ia
heran apakah sang toako telah mengenali penyamarannya"
Padahal sepatah kata pun dia tidak bicara, mengapa rahasianya
bisa ketahuan" Ia tidak tahu bahwa bukan saja ilmu silat Thio Sam dan Li Si
memang sangat tinggi, bahkan pengalamannya juga sangat
luas, walaupun dia tidak pernah bersuara, tingkah lakunya juga
tidak memperlihatkan sesuatu tanda-tanda yang
mencurigakan, tapi tadi waktu dia bergebrak dengan Pek Bankiam,
di mana dia telah mengeluarkan tenaga dalam yang
mahakuat, hal inilah yang jarang terdapat di dunia Kangouw,
sedangkan Thio Sam dan Li Si sudah cukup mengetahui betapa
hebat lwekang Ciok Boh-thian pada waktu mereka berlomba
minum arak berbisa dahulu, maka sekali lihat saja mereka
lantas mengetahui rahasia penyamaran pemuda itu.
Begitulah ketika melihat Thio Sam menyodorkan medali
tembaga kepadanya, Boh-thian menjadi ragu-ragu dan
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir, "Ya, sudahlah! Toh aku sudah pernah menerima
medali undangan ini sebagai Pangcu Tiang-lok-pang, sekali
terima akan mati, dua kali terima juga mati, apa sih
halangannya kalau sekarang aku menerima pula medalinya?"
Tapi baru saja ia angsurkan tangan hendak menerima
pemberian medali-medali itu, mendadak Su-popo
membentaknya, "Nanti dulu!"
Terpaksa Boh-thian menarik kembali tangannya dan
memandang si nenek dengan bingung. Terdengar nenek itu
sedang berkata, "Tentang kedudukan Ciangbunjin Swat-sanpay
ini tadi telah ditentukan dengan jelas, yaitu berdasarkan
ilmu silat masing-masing dan sekarang memang kau telah
keluar sebagai juara. Cuma aku pun merasa muak atas sikap
congkak si telur busuk tua bangka yang sok aksi sebagai
ciangbunjin dahulu. Sekarang aku kepingin menjadi
ciangbunjin juga untuk mencicipi rasanya. Dari itu, muridku
yang baik, silakan kau menyerahkan kedudukan ciangbunjin
padaku saja." "Menye... menyerahkan padamu?" Boh-thian menegas dengan
heran. "Ya, mengapa?" sahut Su-popo dengan marah. "Apakah kau
menolak" Jika demikian, hayolah kita boleh coba-coba
bertanding berdasarkan ilmu silat masing-masing untuk
merebut kedudukan ketua."
Melihat si nenek marah-marah, Boh-thian menjadi takut. Cepat
ia mengiakan, lalu mengundurkan diri.
"Nah, sekarang akulah yang akan menjabat sebagai
ciangbunjin, hayo, siapa lagi yang tidak mau takluk?" seru Supopo
dengan tertawa. Seketika semua orang hanya saling pandang saja, semua
merasa perubahan ini terlalu cepat dan aneh, maka tiada
seorang pun yang berani membuka suara.
Su-popo lantas tampil ke muka dan menerima kedua buah
medali dari tangan Thio Sam, katanya, "Ciangbunjin baru
Swat-san-pay orang she Su dari keluarga Pek mengucapkan
banyak terima kasih atas undangan kalian, pada waktunya
kelak tentu akan hadir."
Thio Sam dan Li Si saling pandang dengan tertawa, berbareng
kedua orang lantas putar tubuh terus melangkah pergi, hanya
dalam sekejap saja suara tertawa mereka sudah berada
beberapa puluh meter untuk kemudian semakin jauh lagi dan
akhirnya menghilang dengan cepat.
Dengan duduk di atas kursi tengah, kemudian Su-popo berkata
dengan pada dingin, "Lepaskan semua belenggu orang-orang
itu!" Tapi mendadak Nio Cu-cin menegur, "Berdasarkan apa kau
berani berlagak dan memerintah" Kedudukan Ciangbun Swatsanpay yang mahapenting ini masakan boleh
diserahterimakan seperti permainan begini saja?"
Seng Cu-hak dan Ce Cu-bian juga lantas menyokong, "Benar,
kau bersenjata golok dan tidak memakai pedang, memangnya
bukan kepandaian Swat-san-pay, mana boleh kau menjadi
ciangbunjin kita?" Tadi waktu Thio Sam dan Li Si masih berdiri di situ, yang dipikir
semua orang adalah selekasnya kedua pentol pembawa maut
itu bisa lekas-lekas pergi dan biar ada satu orang yang
menerima undangannya untuk mengantar nyawa ke Liong-bokto.
Tapi begitu kedua pentol maut itu sudah pergi, segera
teringat oleh mereka akan dosa pengkhianatan yang telah
mereka lakukan, kalau sekarang Su-popo yang menjadi
ciangbunjin mustahil dia takkan mengusut kesalahan mereka
itu. Karena persoalan yang menyangkut mati hidup mereka ini,
maka ramailah seketika dan sama menolak kedudukan Supopo
itu. "Baiklah, jika kalian tidak bisa menerima aku sebagai
ciangbunjin, ya, apa boleh buat," kata Su-popo sambil
memegangi kedua medali tembaga itu dan saling diketok-ketok
sehingga mengeluarkan suara "ting-ting", lalu sambungnya,
"Nah siapakah di antara kalian yang ingin menjadi ciangbun
dan bersedia hadir ke Liong-bok-to" Hayo, silakan tampil ke
depan!" Perlahan-lahan sorot matanya lantas menggeser dari Seng Cuhak
ke muka Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin. Tapi semua orang
sama berpaling, tak berani menatap sinar matanya yang tajam.
"Lapor Sunio," kata Ban-li tiba-tiba, "kami semua telah berbuat
durhaka dan mengkhianat Suhu, sungguh dosa kami tak
terampunkan. Tapi dalam urusan ini sesungguhnya kami
mempunyai alasan yang sangat terpaksa."
Sambil berkata ia terus berlutut dan berulang-ulang menjura.
Lalu menyambung pula, "Sebenarnya Sunio yang menjabat
ciangbunjin kita adalah sangat baik sekali, biarpun Sunio akan
membunuh Tecu juga Tecu tak berani mengelakkan diri. Cuma
Tecu memohon agar Sunio suka mengampuni dosa yang lainlain
untuk menenteramkan perasaan mereka, supaya di dalam
Swat-san-pay kita takkan timbul geger-geger dan bencana
saling bunuh lagi." "Bahwasanya watak suhumu memang kurang baik, hal ini
masakah aku tidak tahu?" ujar Su-popo. "Sesungguhnya
bagaimana awal mula kejadian ini, coba kau ceritakan yang
jelas." Ban-li menjura beberapa kali pula, lalu berkata, "Sejak Sunio,
Pek-suko, dan para sute turun gunung, setiap hari Suhu selalu
marah-marah. Adalah soal kecil jika anak murid cabang utama
kita didamprat atau dihajar oleh beliau, kita yang sudah
menerima budi kebaikan Suhu mana berani merasa penasaran.
Soalnya dimulai pada setengah bulan yang lalu, ketika kita
kedatangan tiga orang tamu yang mengaku tiga saudara she
Ting. Yang seorang katanya bernama Ting Put-ji, yang kedua
Ting Put-sam dan yang lain Ting Put-si...."
"Ting Put-si... Ting Put-si itu mau apa datang ke sini?" Su-popo
menegas dengan terkejut. "Begitu datang ketiga saudara she Ting itu, mereka lantas
bicara secara rahasia dengan Suhu di dalam kamar," tutur Banli
lebih lanjut. "Apa yang dibicarakan kami tidak tahu, yang
terang ketiga tua bangka itu rupanya telah membikin marah
kepada Suhu sehingga keempat orang telah bertengkar. Tecu
sekalian khawatir kalau Suhu sendirian akan kewalahan
dikerubut tiga orang lawan, maka beramai-ramai kami
menjaga di luar kamar, asalkan mendengar perintah Suhu
serentak kami pun akan menyerbu ke dalam untuk melabrak
ketiga tua bangka itu. Terdengar Suhu sangat marah dan
mencaci maki dengan Ting Put-si itu, disinggung-singgung juga
nama "Pek-lwe-san" dan "Ci-yan-to" apa, terdengar disebutsebut
juga nama seorang wanita, kalau tidak salah seperti
"Siau-jui"."
Su-popo mendengus satu kali dengan muka cemberut. Tapi
lantas teringat para anak muridnya belum kenal nama kecilnya
itu, kalau diterangkan akan menjadi kurang baik malah. Maka
ia hanya tanya saja, "Lalu bagaimana?"
"Lalu entah cara bagaimana mulailah bergebrak, yang
terdengar hanya suara menderu-deru angin pukulan di dalam
kamar Suhu," demikian tutur Ban-li. "Karena tidak menerima
perintah Suhu, Tecu dan kawan-kawan tidak berani
sembarangan masuk. Selang tak lama, tertampak dinding
kamar itu sepotong demi sepotong tergetar ambrol, dari lubang
dinding itulah baru kami dapat melihat jelas Suhu sedang
bertanding dengan Ting Put-si. Ting Put-ji dan Ting Put-sam
hanya menonton saja di samping. Karena guncangan angin
pukulan kedua orang sehingga dinding tembok sama tergetar
pecah dan ambrol. Tidak terlalu lama kemudian, tua bangka
Ting Put-si itu akhirnya tidak mampu menandingi kesaktian
Suhu, ia telah kalah satu jurus dan dadanya kena dihantam
oleh Suhu sehingga muntah darah."
Su-popo sampai bersuara kaget, air mukanya menampilkan
rasa khawatir. Dalam pada itu Ban-li telah melanjutkan, "Rupanya Suhu
sangat gusar, pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tapi Ting
Put-ji itu telah menangkisnya dan berkata, "Kalah atau menang
sudah jelas, buat apa diteruskan lagi" Toh bukan permusuhan
besar apa-apa, masakan perlu mengadu jiwa segala?" " Lalu
Ting Put-si dipayang dan pergilah ketiga orang she Ting itu
meninggalkan Leng-siau-sia."
"Ketiga tua bangka itu tidak pernah datang lagi, tapi sejak itu
pikiran Suhu lantas kurang normal, sepanjang hari beliau selalu
terbahak-bahak, tertawa dan bicara sendiri, katanya, "Bangsat
tua Ting Put-si itu memangnya adalah jago yang sudah keok di
bawah tanganku, sekali ini dia tentu akan lebih kapok lagi
mengakui kekalahannya. Dia... dia mengatakan Siau-jui telah
ikut dia ke Pik-lwe-san...."."
Bab 42. Ciok Boh-thian Mengalahkan Wi-tek Siansing
"Ngaco-belo, mana bisa terjadi demikian?" mendadak Su-popo
membentak dengan gusar. "Ya, memangnya Suhu juga bilang, "Ngaco-belo, mana bisa,
terjadi demikian" Terang si bangsat tua Ting Put-si itu sengaja
berdusta, berdasarkan apa sih Siau-jui sudi datang ke Pik-lwesan"
Tapi... tapi, jangan-jangan Siau-jui kena juga dibujuk dan
dirayu dan... dan akhirnya tanpa sadar mau...."."
Dengan muka merah padam kembali Su-popo membentak
pula, "Telur busuk tua bangka itu sengaja mengaco-belo,
masakan bisa terjadi tanpa sadar apa segala?"
Karena tidak paham apa maksud ucapan si nenek, terpaksa
Ban-li mengiakan saja. "Kemudian apa lagi yang dikatakan telur busuk tua bangka
itu?" tanya Su-popo.
"Yang dimaksudkan Sunio apakah Suhu?" Ban-li menegas.
"Ya, siapa lagi kalau bukan tua bangka itu?" sahut Su-popo.
"Sejak itu pikiran Suhu agaknya sangat tertekan, beliau selalu
menggumam, "Apakah benar dia sudah pergi ke Pik-lwe-san"
Tapi pasti tidak. Hanya saja seorang diri dia berkelana di
Kangouw, tentu dia sangat kesunyian dan mungkin bisa terjadi
lalu mampir ke sana untuk omong-omong."."
"Kentut! Ngaco-belo!" kembali Su-popo mendamprat.
Ban-li menjadi serbabingung dan serbarunyam, terpaksa hanya
berlutut dan tak berani mengiakan. Sebab kalau mengiakan
tentu akan berarti mengakui ucapan suhunya itu adalah
"kentut" belaka.
"Coba kau berdiri saja," kata Su-popo kemudian. "Kemudian
bagaimana?" Ban-li mengucapkan terima kasih, lalu berbangkit dan
menyambung ceritanya, "Dua hari kemudian, mendadak Suhu
bergelak tertawa terus, setiap orang yang dijumpai tentu
ditanya, "Coba katakan ilmu silat siapa yang paling tinggi di
dunia ini?" " Semua orang selalu menjawab, "Sudah tentu
Ciangbunjin Swat-san-pay kita yang paling tinggi." "
Tampaknya waktu itu perangai Suhu berbeda sekali daripada
biasanya. Terkadang ia sudah bertanya tentang ilmu silat
secara berbelit-belit sehingga sukar untuk menjawabnya. Suatu
hari beliau kepergok Liok-sute di tengah pelataran, tiba-tiba
beliau bertanya, "Ilmu silatku kalau dibandingkan Boh-hoat
Taysu, ketua Siau-lim-si siapa yang lebih tinggi?" " Entah cara
bagaimana jawab Liok-sute, yang terang buah kepala Liok-sute
kemudian diketemukan sudah remuk kena hantaman Suhu dan
terbinasa di situ. Melihat kematian Liok-sute yang mengerikan
itu, lekas-lekas kami melapor kepada Suhu...."
"A Liok biasanya memang ketolol-tololan dan tidak pandai
bicara, entah cara bagaimana suhumu telah membinasakan
dia?" ujar Su-popo. "Suhu bahkan terbahak-bahak ketika menerima laporan kami,"
demikian Ban-li menyambung. Katanya, "Biarkan dia mampus!
Masakah aku tanya dia tentang ilmu pukulanku dibandingkan
dengan ilmu pukulan Siau-lim-pay, dia secara ngawur telah
menjawab bahwa susah dibedakan mana yang lebih unggul,
katanya aku dan si gundul Boh-hoat Taysu dari Siau-lim-pay
sama-sama lihainya. Hahaha, benar-benar pantas mampus!
Masakan Wi-tek Siansing Pek Cu-cay yang tiada bandingannya
sejak dulu kala sehingga sekarang dianggap sama pandainya
dengan kepala gundul dari Siau-lim-si."
"Kami lihat pikiran Suhu waktu itu tampaknya agak abnormal,
kami hanya saling pandang saja dan tidak berani menanggapi
ucapan beliau. Ternyata Suhu menjadi gusar dan mendamprat
kami, "Apakah kalian bisu semua" Mengapa tidak bicara"
Ucapanku tadi benar atau tidak, tepat atau tidak?" " Segera
beliau tuding Soh-sute untuk menjawab, tapi rupanya jawaban
Soh-sute tidak memuaskan Suhu, sekali gaplok kembali Sohsute
dihantam mati pula. Dan begitu pula Yan-sute disuruh
menyebut bahwa Wi-tek Siansing dari Swat-san-pay adalah
tokoh serbanomor satu di dunia ini baik ilmu pedang, ilmu
lwekang maupun ilmu lain-lainnya. Tapi sekali salah omong,
kembali Yan-sute kemudian juga dihantam pecah kepalanya
dan binasa seketika. Melihat pikiran Suhu dalam keadaan
kurang waras, terpaksa Tecu sekalian tak bisa berbuat apaapa."
"Kenapa kalian tidak memanggil tabib untuk memeriksa
penyakit gurumu?" omel Su-popo.
"Sudah, kami sudah memanggil tabib Lam dan tabib Te yang
paling pandai di Leng-siau-sia kita ini untuk memeriksa
penyakit Suhu, tapi begitu bertemu dengan tabib-tabib itu
Suhu lantas tanya mereka tentang ilmu silat lagi. Sudah tentu
kedua tabib itu tidak dapat menjawab karena ilmu silat bukan
bidang pekerjaan mereka. Karena itu Suhu menjadi marah dan
lagi-lagi kedua tabib itu menjadi korban keganasan beliau.
"Dalam keadaan demikian semua, orang hanya merasa takut
dan penasaran, tapi tidak berani bicara. Besoknya kami hendak
mengubur ketiga sute dan kedua tabib itu, tapi Suhu telah
membikin kacau pula upacara sembahyangan itu. Waktu Thosute
coba-coba melerai beliau, sebaliknya Suhu telah
menyambar sebuah piring dan sebelah kaki Tho-sute telah
tertebas putus mentah-mentah.
"Melihat keganasan Suhu itu, malamnya lantas ada tujuh orang
suheng dan sute yang kabur tanpa pamit. Semua orang merasa
Swat-san-pay sedang menghadapi detik-detik keruntuhan,
setiap orang merasa tidak aman dan terancam oleh kekejian
Suhu itu. Karena sudah terpaksa barulah beramai-ramai kita
berunding tindakan apa yang harus diambil. Akhirnya secara
diam-diam kami telah menaruh obat tidur di dalam makanan
Suhu sehingga beliau tak sadarkan diri dan kaki-tangannya
dapat dibelenggu. Dosa atas perbuatan durhaka kami ini
sesungguhnya terlalu berat, ganjaran apa yang akan
dijatuhkan atas diri kami terserahlah kepada Sunio sekarang."
Habis bicara Ban-li memberi hormat kepada Su-popo, lalu
mengundurkan diri dan berdiri bercampur dengan orang
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak. Untuk sejenak Su-popo termangu-mangu. Teringat olehnya
keperkasaan sang suami selama ini, sampai hari tua ternyata
menjadi linglung dan pikun, tanpa merasa air matanya hampirhampir
menetes. "Apa yang dituturkan Ban-li tadi adakah
sesuatu yang tidak jujur dan terlalu dilebih-lebihkan?"
tanyanya kemudian dengan sama rada gemetar.
Semua orang diam saja. Selang agak lama barulah Seng Cuhak
membuka suara, "Suso, sesungguhnya memang begitulah
kejadiannya, jika kami berdusta lagi padamu bukankah berarti
bertambah besar pula dosa kami?"
"Ya, umpama memang suhengmu bersalah, mengapa Ban-kiam
dan rombongannya yang baru pulang itu pun kalian jebak
pula?" ujar Su-popo. "Dan mengapa para murid Tiang-bun
hendak kalian tumpas, mengapa secara keji kalian hendak
membabat rumput sampai ke akar-akarnya?"
"Siaute memangnya tidak setuju membikin susah Ciangbun
Suheng dan para murid Tiang-bun, maka dari itu Siaute telah
cekcok dengan Liau-sute, untuk ini Suso tentu sudah
mendengar sendiri," kata Ce Cu-bian.
Untuk sejenak Su-popo termenung-menung, akhirnya ia
menghela napas dan berkata, "Ya, apa mau dikata lagi, urusan
sudah telanjur dan tak bisa menyalahkan siapa-siapa."
Sementara itu Liau Cu-le yang sebelah kakinya ditebas kutung
oleh Pek Ban-kiam tadi ternyata cukup memiliki pambek
kesatria, sama sekali ia tidak merintih walaupun darah
bercucuran, ia menutuk hiat-to sendiri untuk menghentikan
aliran darah, lalu membalut sendiri dengan sobekan baju. Tiada
seorang pun muridnya yang mendekat untuk menolongnya.
Semula Su-popo sangat benci kepada Liau Cu-le karena dia
bersitegang hendak membinasakan Pek Cu-cay dan anak murid
Tiang-bun, tapi sesudah mengetahui duduknya perkara dan
ternyata kesalahan terletak pada suaminya sendiri, maka hati
Su-popo menjadi lemas. Segera ia membentak kepada anak
murid cabang empat, yaitu murid-muridnya Liau Cu-le,
"Binatang, menyaksikan guru kalian terluka parah, mengapa
kalian hanya menonton saja" Apakah kalian ini manusia?"
Karena dampratan itu barulah murid-murid cabang empat
berebut lari ke depan untuk menolong Liau Cu-le. Yang lain-lain
ikut merasa lega juga, kalau dosa Liau Cu-le yang besar juga
diampuni, maka mereka yang cuma ikut-ikutan saja tentu
takkan menjadi soal pula. Segera ada orang mengeluarkan
kunci untuk membuka belenggu Kheng Ban-ciong, Ang Ban-ek,
Hoa Ban-ci, dan lain-lain.
Kemudian Su-popo berkata, "Kalau pikiran Ciangbunjin
seketika kurang waras, mestinya kalian harus berusaha
menyadarkan dia. Tapi kalian telah berbuat durhaka, betapa
pun kalian telah melanggar tata tertib perguruan. Cara
bagaimana memutuskan urusan ini aku sendiri pun tidak tahu.
Tindakan pertama sekarang kita harus melepaskan Ciangbunjin
dulu untuk berunding dengan beliau."
Air muka semua orang menjadi berubah dan ragu-ragu,
mereka menjadi takut kalau Pek Cu-cay dilepaskan apakah
tidak akan menimbulkan bencana pula bagi mereka"
Su-popo menjadi gusar. Bentaknya, "Bagaimana" Apakah
kalian akan mengurung dia selama hidup ini, apakah dosa
kalian masih belum cukup?"
Terpaksa Seng Cu-hak menjawab, "Suso, kita sudah
menyaksikan sendiri bahwa saat ini ciangbunjin kita adalah
engkau dan bukan Pek-suko. Sudah tentu Pek-suko akan kita
lepaskan, tapi kita harus berdaya menyembuhkan penyakitnya
dahulu, kalau tidak...."
"Kalau tidak bagaimana?" bentak Su-popo dengan bengis.
"Kalau tidak, Siaute merasa malu untuk bertemu pula dengan
Pek-suko, maka biarlah sekarang juga Siaute mohon diri saja,"
sambung Cu-hak sambil memberi hormat.
Segera Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin juga berkata, "Ya, jika Suso
cukup bijaksana mau mengampuni jiwa kita, maka biarlah kami
segera akan pergi dari sini untuk selamanya tak berani
menginjak Leng-siau-sia lagi."
Diam-diam Su-popo juga dapat memahami perasaan para sute
yang takut kepada kemungkinan balas dendam Pek Cu-cay bila
nanti suheng itu dibebaskan. Jika mereka sampai bubar, maka
Leng-siau-sia tentu takkan pantas sebagai tempat keramat
Swat-san-pay lagi. Terpaksa ia ambil kebijaksanaan, katanya,
"Baiklah, sementara ini kita tunda dulu mengenai persoalan ini.
Biar kupergi menjenguknya, jika tiada sesuatu jalan yang baik,
tentu aku pun takkan gampang melepaskan dia."
Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, dan Nio Cu-cin saling pandang
sekejap. Mereka pikir betapa pun kalian adalah suami-istri dan
sudah tentu akan membelanya. Namun kami juga punya kaki,
bila si gila itu kau bebaskan, segera juga kami akan angkat
kaki dari sini. Maka Cu-hak lantas menjawab, "Silakan Ciangbunjin segera
pergi menjenguk Suheng, biarlah kami menunggu kabar saja di
sini." Segera Su-popo memanggil Ban-kiam dan A Siu, lalu berpaling
kepada Boh-thian, katanya, "Ek-to, coba kalian bertiga ikut
padaku." Menyusul ia berkata pula kepada Seng Cu-hak bertiga, "Lebih
baik silakan ketiga Sute mengantar kami ke sana untuk ikut
mendengarkan pembicaraanku agar kalian tidak menjadi
khawatir. Jangan-jangan kalian akan menyangka kami akan
mengatur tipu muslihat apa-apa untuk menjebak kalian."
"Ah, mana kami berani berpikir demikian?" sahut Cu-hak.
Walaupun begitu katanya, tapi untuk selamatnya mereka
bersama Cu-bian dan Cu-cin lantas ikut masuk ke belakang
juga. Liau Cu-le lantas memberi isyarat kepada seorang
muridnya. Orang itu paham maksud sang guru, dari jauh ia
lantas mengikut juga dari belakang.
Sesudah menyusur serambi yang panjang, akhirnya
rombongan mereka sampai di tempat di mana Ciok Boh-thian
pernah dikurung. "Di sinilah!" kata Seng Cu-hak menunjukkan
tempat tahanan tua yang pernah dilihat Boh-thian.
Waktu Cu-hak mengeluarkan kunci hendak membuka pintu
penjara itu, di luar dugaan gembok pintu itu ternyata sudah
terbuka. Keruan ia bersuara heran dan ketakutan. Diam-diam
ia mengeluh, "Wah, celaka! Si Gila itu sudah lolos!"
Melihat tangan Seng Cu-hak agak gemetar dan tidak membuka
pintu, segera Su-popo mendorong pintu batu itu dan dengan
mudah saja sudah terpentang. Tanpa merasa Cu-hak, Cu-bian
dan Cu-cin bertiga melangkah mundur beberapa tindak.
Di dalam ruangan situ kosong melompong tiada seorang pun.
Segera Seng Cu-hak berseru, "Wah, celaka! Dia sudah kabur!"
Tapi lantas teringat olehnya bahwa tempat situ adalah ruangan
luar, masih harus membuka sebuah pintu pula barulah akan
mencapai kamar tahan Pek Cu-cay. Saking tegangnya sampai
dia tidak berani membuka lagi pintu yang kedua itu.
Mestinya Ciok Boh-thian hendak memberi tahu bahwa pintu itu
sudah dibuka olehnya, tapi demi teringat dia sedang menyaru
sebagai orang bisu, ada lebih baik jangan membuka suara
dahulu. Su-popo menjadi tidak sabar, segera ia ambil kunci dari tangan
Seng Cu-hak dan dimasukkan lubang kunci, tapi segera
diketahuinya pintu itu sudah terbuka, ia sangka sang suami
benar-benar sudah lolos, diam-diam menjadi khawatir kalaukalau
suaminya yang kurang waras itu akan menimbulkan
bencana di luaran. Tak tersangka baru saja pintu itu didorong sedikit, segera
terdengarlah suara tertawa seorang tua. Seketika semua orang
merasa lega, itulah suaranya Pek Cu-cay. Setelah tertawa
orang tua itu telah berseru, "Huh, apa-apaan ilmu silat dari
Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain itu" Sejak kini semua
orang Bu-lim harus ganti belajar ilmu silat dari Swat-san-pay,
segala ilmu silat dari golongan lain harus dihapus. Hai, dengar
tidak kalian" Ini dia Pek Cu-cay adalah raja di atas raja segala
tokoh persilatan. Siapa yang tidak tunduk padaku segera
kupatahkan batang lehernya!"
Waktu Su-popo melangkah masuk, remang-remang terlihat
kaki-tangan sang suami terbelenggu semua dan terikat di
tengah-tengah dua tiang batu dengan rantai besi, mau tak mau
perasaan si nenek menjadi pedih.
Pek Cu-cay juga tertegun ketika tiba-tiba tampak sang istri.
Tapi ia lantas berkata dengan tertawa, "Bagus, bagus! Kau
sudah pulang. Sekarang setiap orang Bu-lim telah mengangkat
aku sebagai yang dipertuan agung, Swat-san-pay menjagoi
seluruh dunia, golongan-golongan lain telah dipunahkan. Popo,
bukankah hal ini sangat menggembirakan?"
"Ya, bagus, tapi entah mengapa aliran dan golongan lain harus
dihapuskan?" sahut Su-popo dengan dingin saja.
"Eh, mengapa kau bertanya demikian" Ilmu silat Swat-san-pay
sudah terang paling tinggi, dengan sendirinya golongan dan
aliran lain harus dibubarkan saja!"
"Coba lihat, siapa ini?" tiba-tiba Su-popo menarik A Siu ke
depan. Ia tahu suaminya paling sayang kepada cucu
perempuannya itu, sebabnya sang suami menjadi kurang
waras pikiran justru timbul lantaran A Siu membunuh diri
terjun ke dalam jurang. Ia berharap dengan melihat cucu
perempuan kesayangannya mungkin pikiran sehatnya akan
pulih kembali. Segera A Siu juga menyapa, "Yaya, aku sudah pulang, aku
tidak mati, aku jatuh di atas salju yang belum beku, nenek
yang telah menolong diriku."
Pek Cu-cay pandang sekejap kepada A Siu. Katanya kemudian,
"Bagus, kau adalah A Siu! O, mestikaku, apakah kau tahu di
dunia ini ilmu silat siapakah yang paling tinggi" Siapa yang
dipertuan agung di dunia persilatan sekarang ini?"
Dengan suara perlahan A Siu menjawab, "Yaya!"
Pada saat itulah Pek Ban-kiam telah melangkah maju, katanya,
"Ayah, anak telah pulang terlambat sehingga ayah menderita,
biarlah anak membukakan belenggumu."
"Hus, pergi kau! Siapa yang minta kau membuka kunci
belenggu?" bentak Cu-cay. "Besi karatan begini dalam
pandangan ayahmu hanya seperti kayu lapuk saja, asal aku
mau meronta sedikit tentu akan terlepas. Soalnya aku tidak
mau dan lebih suka istirahat di sini. Huh, aku Pek Cu-cay
selamanya malang melintang di dunia ini, biarpun seribu orang
maju sekaligus juga tak bisa mengganggu seujung rambut
ayahmu, siapa lagi yang mampu membelenggu diriku?"
"Ya, ayah memang tiada tandingannya di dunia ini," kata Bankiam.
"Sekarang ibu dan A Siu sudah pulang, kita harus
bergembira, silakan ayah makan minum di ruangan depan
untuk merayakan berkumpulnya kita sekeluarga."
Sembari berkata ia terus pegang kunci hendak membuka
belenggu tangan sang ayah.
Tapi Cu-cay menjadi gusar. Teriaknya, "Aku suruh kau pergi,
mengapa kau tidak pergi!"
Tiba-tiba ia melihat Seng Cu-hak dan lain-lain sedang
melongak-longok di luar pintu, segera ia membentak, "Kurang
ajar! Melihat aku mengapa kalian tidak memberi hormat" Hayo,
siapa di antara kalian sang mengaku sebagai kesatria dan
jagoan?" Seng Cu-hak dan lain-lain menjadi serbasalah. Tapi mereka
pikir kalau sang suheng nanti dilepaskan bukan mustahil
mereka akan celaka, rasanya lebih baik sekarang juga
merendah diri dan mengambil hatinya. Maka Cu-hak lantas
menjawab, "Pek-loyacu adalah jago pedang nomor satu tiada
taranya sejak dahulu kala hingga sekarang, bahkan ilmu
pukulan juga nomor satu, ilmu lwekang juga nomor satu!"
"Ya, Pek-loyacu adalah mahakesatria, mahapendekar,
mahaguru ilmu silat, dengan menonjolnya Swat-san-pay kita,
dengan sendirinya Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain
harus dihapuskan, hanya Pek-loyacu kita yang harus
dipertuanagungkan!" demikian Nio Cu-cin lantas ikut
mengumpak. Begitu pula Ce Cu-bian dan lain-lain lekas-lekas
ikut arah angin dan memberi puji sanjung setinggi langit
sehingga Pek Cu-cay tampak manggut-manggut dan tertawa
senang. Sebaliknya Su-popo merasa malu sekali. Pikirnya, "Tua bangka
ini dikatakan gila toh juga tidak. Buktinya dia masih ingat pada
diriku dan A Siu. Penyakitnya mungkin disebabkan karena
terlalu sombong atau gila hormat."
Mendadak Pek Cu-cay berkata kepada Su-popo, "Beberapa hari
yang lalu Ting Put-si telah datang kemari, katanya kau telah
menyambangi dia dan berdiam beberapa hari di Pik-lwe-to.
Apakah benar hal ini?"
"Apakah kau benar-benar sudah gila" Masakah kau percaya
saja segala ocehan demikian?" sahut Su-popo dengan gusar.
"Yaya," tiba-tiba A Siu menyela, "Ting Put-si memang pernah
memaksa aku dan nenek supaya mampir ke tempatnya Piklweto itu, dia memaksa orang di saat bahaya, tapi nenek lebih
suka membunuh diri dengan terjun ke dalam sungai daripada
ikut dia ke tempatnya itu."
"Bagus, bagus! Memangnya nyonya Pek Cu-cay masakah
terima dihina begitu" Kemudian bagaimana?"
"Kemudian... kemudian beruntung kami telah ditolong oleh
Toako ini, akhirnya Ting Put-si dapat digebah pergi," sahut A
Siu. Untuk sejenak Pek Cu-cay mengamati Ciok Boh-thian, katanya,
"Kepandaian bocah ini masih boleh juga, walaupun masih
selisih beberapa pal dengan kepandaianku, tapi rasanya
memang sudah cukup untuk mengenyahkan Ting Put-si."
"Huh, kau membual apa?" teriak Su-popo dengan mendongkol.
"Kau mengaku tokoh nomor satu di dunia ini, kan benar-benar
ngaco-belo belaka! Anak ini adalah muridku, aku sendiri yang
telah mendidiknya. Kepandaian muridku ini saja sudah terang
jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridmu!"
"Hahaha! Omong kosong! Omong kosong!" seru Pek Cu-cay
dengan terbahak-bahak. "Kepandaian apa yang kau miliki
sehingga mampu menangkan kepandaianku?"
"Coba jawab, Kiam-ji adalah anak-didikmu, bukan?" tanya Supopo.
"Nah, coba katakan kepada gurumu, Anak Kiam,
kesudahan pertandingan tadi antara kau dengan muridku
berakhir dengan kemenangan di pihak siapa?"
"Ini... ini...." Ban-kiam tergagap-gagap tak bisa menjawab. Di
hadapan ayahnya yang tinggi hati itu ia tidak berani
mengemukakan hal-hal yang berlawanan dengan wataknya.
Tapi Cu-cay sudah lantas berkata dengan tertawa kepada Supopo,
"Hah, muridmu masakah mampu melawan muridku?"
Su-popo melotot sekali kepada sang putra dan mendengus.
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ban-kiam menjadi kikuk. Sebagai seorang laki-laki yang jujur
terpaksa ia mengaku. Katanya, "Ya, anak memang sudah cobaKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
coba bergebrak dengan dia dan benar-benar telah kalah."
"Apa katamu?" teriak Pek Cu-cay sambil meloncat bangun
sehingga rantai besi borgolnya bersuara gemerencing. "Kau
kalah" Mana bisa jadi" Tidak, tidak boleh jadi!"
Sebagai suami-istri selama puluhan tahun Su-popo cukup kenal
watak dan perasaan sang suami. Pikirnya, "Tua bangka ini
selamanya anggap dirinya tiada tandingannya di kolong langit,
rupanya dia kena dibakar oleh ucapan Ting Put-si sehingga
pikirannya menjadi kurang waras. Kata peribahasa, "Penyakit
jiwa harus diobati dengan ilmu jiwa. Jika sekali-sekali dia
dikalahkan oleh seseorang, boleh jadi penyakit gilanya ini akan
dapat disembuhkan. Cuma sayang Thio Sam dan Li Si sudah
pergi, kalau tidak mereka berdua cukup memenuhi syarat
untuk mengobati penyakit tua bangka ini. Sekarang terpaksa
harus dicari jalan lain, walaupun ilmu silat muridku ini tidak
tinggi, tapi tenaga dalamnya terang lebih kuat, mengapa aku
tidak mencobanya?" Maka ia lantas berkata, "Huh, selamanya kau cuma membual
ilmu silatmu nomor satu di dunia ini dan tenaga dalam tiada
bandingannya di kolong langit. Huh, benar-benar tidak tahu
malu. Padahal melulu soal tenaga dalam saja, muridku ini
sudah terang jauh di atasmu!"
Pek Cu-cay bergelak tertawa sambil mendongak. Katanya
kemudian, "Biarpun Tat-mo Cosu dari Siau-lim-si hidup kembali
juga bukan tandingan orang she Pek ini, sekarang hanya
seorang bocah hijau ingusan saja, kalau tenaga dalamnya ada
satu pertiga tenagaku sudah cukup baginya untuk menjagoi
dunia persilatan." "Huh, benar-benar sombong dan tidak tahu malu," jengek Supopo.
"Kalau kau ingin tahu rasa, cobalah kau mengadu tenaga
dulu dengan dia." "Ha, masakah bocah ini ada harganya untuk bergebrak dengan
aku?" ujar Cu-cay dengan tertawa. "Ya, baiklah, aku hanya
menggunakan sebelah tangan saja sudah cukup membuatnya
berjungkir balik tiga kali."
Su-popo tahu tenaga dalam sang suami memang sangat lihai
dan bukan mustahil Ciok-Boh-thian akan dilukai. Sekarang
suaminya mengucapkan sendiri akan menggunakan sebelah
tangan melulu, keruan kebetulan baginya. Segera ia
menjawab, "Baik. Silakan kalian coba-coba bertanding. Pemuda
ini adalah muridku juga calon suami A Siu, berarti juga calon
cucu menantumu, maka kalian tidak boleh saling melukai."
"Kau bilang dia adalah calon cucu menantuku?" Pek Cu-cay
menegas dengan tertawa. "Baiklah, akan kucoba dulu apakah
dia memenuhi syarat untuk menjadi suami si A Siu atau tidak"
Tentu aku takkan mencelakai jiwanya."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berlari masuk
ke dalam kamar tahanan itu dan berseru, "Lapor Ciangbunjin,
pangcu dari Tiang-lok-pang Ciok Boh-thian bersama Mo-thiankisu
Cia Yan-khek telah menolong keluar Ciok Jing dan istrinya,
sekarang mereka sedang menantang perang di ruang
pendopo." Dari suaranya dapatlah dikenal adalah suaranya Kheng Banciong.
Seketika Pek Cu-cay dan Su-popo bersuara heran berbareng,
"Mo-thian-kisu Cia Yan-khek"!"
Sebaliknya Ciok Boh-thian terkejut dan bergirang. Ia merasa
girang karena diketahui Ciok Jing dan istrinya sudah lolos
dengan selamat. Terkejut karena Ciok Tiong-giok itu sekarang
sudah berada di Leng-siau-sia, maka rahasia penyamarannya
ini tentu akan segera terbongkar. Ia pun sudah lama tidak
bertemu dengan Cia Yan-khek, sekarang dapat berjumpa pula,
di samping girang ia pun rada-rada takut.
"Selamanya kita tiada persengketaan apa-apa dengan Tianglokpang dan Cia Yan-khek, untuk apa mereka mencari perkara
ke sini?" demikian kata Su-popo kemudian. "Apakah mereka
datang untuk membantu Ciok Jing?"
"Ciok Boh-thian dari Tiang-lok-pang itu sangat kurang ajar,
katanya dia telah penujui Leng-siau-sia kita dan suruh kita
harus... harus menyerah padanya," sahut Kheng Ban-ciong.
"Kentut anjing!" teriak Pek Cu-cay dengan gusar, "Orang
Tiang-lok-pang seluruhnya datang berapa banyak?"
"Mereka hanya terdiri dari lima orang saja," sahut Ban-ciong.
"Selain Cia Yan-khek, Ciok Boh-thian dan Ciok Jing suami-istri
terdapat pula seorang nona jelita cucu perempuannya Ting Putsam."
Mendengar si Ting Tong juga ikut datang, mau tak mau Bohthian
lantas mengerut kening. Ia coba melirik si A Siu, ternyata
nona itu pun sedang memandang padanya dengan matanya
yang jeli. Dengan muka merah cepat Boh-thian berpaling ke
arah lain. Pikirnya, "Mengapa Ciok Tiong-giok itu datang pula
bersama Ting Tong" Apa mereka khawatir kalau-kalau aku
mengalami cedera di sini, makanya mereka sengaja datang
buat membantu bila perlu" Dan Cia-siansing itu tentu datang
hendak menolong aku pula."
Dasar watak Boh-thian memang polos dan jujur, maka
disangkanya manusia di seluruh jagat ini juga semuanya
berhati baik dan berbudi. Sebab itulah terhadap orang lain
selalu yang dipikirkan adalah hal-hal yang baik saja.
Dalam pada itu Pek Cu-cay telah berkata, "Huh, hanya lima
orang saja apa artinya bagiku" Apakah tidak kau katakan
bahwa Pek-loyacu dari Swat-san-pay adalah jago nomor satu di
dunia ini, mengapa mereka berani main gila ke sini" Ah, ya, ya!
Tentu berita tentang tetirahku di dalam kamar sunyi ini telah
tersiar, mereka sangka Pek-loyacu sudah cuci tangan dan tidak
mau main silat lagi, maka berani mengacau ke sini. Coba lihat,
baru saja guru kalian istirahat sebentar saja kalian sudah tak
mampu menghadapi orang luar."
"Huh, masih membual apa lagi?" semprot Su-popo. "Hayo,
semua orang ikut aku keluar untuk menandangi musuh."
Segera ia mendahului melangkah keluar disusul dengan Pek
Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan lain-lain.
Baru saja Ciok Boh-thian juga hendak melangkah pergi, tibatiba
didengarnya seruan Pak Cu-cay, "Kau bocah ini tinggal
dulu di sini, biar kuberi sedikit hajaran."
Terpaksa Boh-thian berhenti dan putar tubuh kembali. A Siu
yang sudah jalan juga lantas berpaling dan kembali ke depan
pintu. Ia tahu sang kakek kurang waras, jangan-jangan sekali
hantam Boh-thian akan terbinasa. Maka cepat ia berseru,
"Nenek, kakek benar-benar hendak... hendak bertanding
dengan dia." Su-popo masih sempat berpaling dan berkata kepada Pek Cucay,
"Jika kau berani melukai muridku, seketika juga aku akan
pergi ke Pik-lwe-san untuk selamanya takkan pulang lagi."
Cu-cay menjadi gusar. Teriaknya, "Kau... kau bilang apa?"
Namun Su-popo tak menggubrisnya lagi, segera ia bertindak
keluar sambil merapatkan pintu penjara. Seketika keadaan di
dalam menjadi gelap gulita.
Segera A Siu mendekati sang kakek, ia gunakan kunci yang
tertinggal di atas belenggu oleh Pek Ban-kiam tadi untuk
membuka borgol kaki dan tangan Pek Cu-cay. Katanya
kemudian, "Yaya, bolehlah kau mengajarkan beberapa jurus
padanya. Tapi jangan keras-keras, dia belum lama belajar
silat." Pek Cu-cay menjadi senang, katanya dengan tertawa, "Baik,
aku akan ajarkan beberapa jurus padanya supaya berguna
baginya kelak." Boh-thian merasa kebetulan malah. Tadi ia mendengar kakek
itu mengaku sebagai jago nomor satu di dunia ini, ia merasa
dirinya pasti bukan tandingannya. Sekarang orang tua itu
hanya akan memberi ajaran saja, sudah tentu ini yang
diharapkannya. Maka cepat ia mengucapkan terima kasih.
A Siu lantas mengundurkan diri, ia membuka pintu penjara
sehingga dalam kamar tahanan itu menjadi terang lagi.
Setelah berdiri, ternyata perawakan Pek Cu-cay hampir-hampir
lebih tinggi satu kepala daripada Ciok Boh-thian, tertampak
gagah perkasa laksana malaikat. Keruan Boh-thian bertambah
segan dan hormat padanya sehingga tanpa merasa dia mundur
dua tindak. "Jangan takut, jangan takut!" kata Cu-cay dengan tertawa.
"Yaya takkan melukai kau. Lihat ini, sekali tanganku menjulur
dan memegang kudukmu segera kau akan kubanting
terguling...." sambil bicara tangannya juga lantas meraih dan
benar juga kuduk Ciok Boh-thian lantas kena dipegang
olehnya. Saking cepat dan tepatnya Boh-thian sama sekali tak sempat
menghindar. Terasa tangan si kakek sangat kuat, sekali kena
dipegang tubuh serasa hendak terangkat ke atas. Lekas-lekas
ia mengerahkan tenaga untuk bertahan, menyusul tangan
kanan terus menangkis untuk melepaskan cengkeraman lawan.
Seketika tangan Pek Cu-cay terasa kesemutan tertangkis oleh
tangan Ciok Boh-thian, ia bersuara heran dan merasa tenaga
dalam bocah ini benar-benar sangat hebat. Cepat tangan
kirinya menyambar pula, kembali dada Boh-thian kena
dijambretnya, menyusul terus mengentak ke samping, tapi
tubuh pemuda itu tetap tak bergerak.
Mestinya Boh-thian sudah berjaga-jaga dan ingin berkelit, tapi
toh tetap kena dijambret si kakek, diam-diam ia sangat kagum
dan memuji, "Kepandaian Loyacu memang sangat lihai, hanya
dua jurus ini saja sudah lebih lihai daripada Ting-siya!"
Sebenarnya Pek Cu-cay sudah merasa malu karena dua kali
angkat dan entak tak mampu merobohkan Boh-thian, sekarang
pemuda itu memujinya lebih lihai daripada Ting-Put-si, maka ia
menjadi senang pula. Katanya, "Memangnya Ting Put-si mana
bisa menandingi aku?"
Habis itu kaki kiri Pek Cu-cay terus menjegal. Akan tetapi Bohthian
sempat mengelak pula sehingga tidak jadi jatuh
tersungkur. Serangan tiga serangkai; menarik, mencengkeram dan
menjegal dari Pek Cu-cay itu selama ini sudah banyak
menjatuhkan jago-jago silat ternama. Siapa duga sekarang dia
ketemu Ciok Boh-thian yang memiliki tenaga dalam yang
mahakuat sehingga satu jurus pun tidak berhasil.
Sebabnya pikiran Pek Cu-cay menjadi kurang waras adalah
karena ucapan Ting Put-si tempo hari tentang Su-popo, dalam
gusar dan cemburunya pikirannya menjadi linglung. Sekarang
melihat sang istri sudah pulang dan diketahui pula kepergian
Su-popo ke Pik-lwe-to sebagaimana dikatakan Ting Put-si itu
cuma omong kosong belaka, saking girangnya penyakit gilanya
sudah sembuh sebagian besar. Tapi tentang gila hormat "Jago
nomor satu di dunia", ini masih tetap menjadi keyakinannya.
Tak tersangka sekarang tiga jurus andalannya itu ternyata
tidak mampu mengapa-apakan seorang pemuda sebagai Ciok
Boh-thian, keruan ia menjadi murka sehingga pikirannya
menjadi linglung lagi. Tanpa bicara lagi segera ia menghantam
ke dada Ciok Boh-thian dengan tenaga sepenuhnya, sama
sekali ia sudah lupa tentang pesan Su-popo agar memberi
kelonggaran kepada Boh-thian.
Melihat pukulan dahsyat itu, cepat Boh-thian menangkis, tapi
menyusul kepalan kiri Pek Cu-cay lantas memukul pula. Segera
Boh-thian bermaksud mengegos, namun pukulan susulan Pek
Cu-cay ini sangat lihai, "plak", tanpa ampun lagi bahu kanan
Boh-thian kena digenjot. Saking khawatir dan kagetnya A Siu sampai menjerit. Tapi
Boh-thian ternyata tidak bergerak, bahkan ia menghibur si
nona, "Jangan khawatir, aku tidak sakit!"
"Anak kurang ajar! Kau tidak sakit" Ini, rasakan lagi bogem
mentahku!" teriak Pek Cu-cay dengan gusar sambil
melontarkan hantaman pula. Tapi kena ditangkis oleh Ciok
Boh-thian. Melihat pertarungan kedua orang itu makin lama makin cepat
dan berulang-ulang Boh-thian kena pukulan dan tendangan,
semula A Siu sangat khawatir. Tapi demi melihat pemuda itu
seperti tidak merasakan apa-apa, akhirnya ia pun merasa lega.
Beruntun-runtun Pek Cu-cay telah hantam belasan kali di tubuh
Ciok Boh-thian, semula dia memang cuma menggunakan duatiga
bagian tenaganya menurut pesan sang istri agar Boh-thian
tidak terluka. Tapi pemuda itu ternyata tidak kelihatan kalah,
keruan Cu-cay terkejut dan gusar pula. Maka pukulan-pukulan
selanjutnya juga semakin keras. Namun aneh juga, biarpun
tenaga pukulannya sudah tambah kuat, pemuda itu tetap sukar
dirobohkan. Sambil mengerang murka Pek Cu-cay telah mengerahkan
segenap tenaganya untuk menyerang sehingga antero kamar
penuh angin pukulan yang keras, sampai-sampai rantai besi
yang bergantungan di tiang batu ikut gemerencing terguncang.
A Siu merasa napasnya menjadi sesak, terpaksa ia membuka
pintu kamar penjara itu dan berjalan keluar. Ia merasa tidak
sampai hati menyaksikan tubuh Ciok Boh-thian dihujani
pukulan sang kakek, segera ia merapatkan pintu dan diamdiam
berdoa di luar semoga pertarungan kedua orang itu
berakhir dengan seri dan keduanya tidak terkena cedera apaapa.
Ia mendengar suara daun pintu terguncang dan
gemerencingnya rantai makin lama makin keras, sungguh ia
menjadi cemas dan sangat khawatir. Entah berapa lamanya
ketika mendadak keadaan menjadi sunyi, tak terdengar lagi
suara gemerencingnya rantai dan terguncangnya daun pintu. Ia
coba mendengarkan dengan cermat, ternyata di dalam kamar
penjara itu sunyi senyap. Keadaan demikian membuatnya
semakin cemas daripada tadi. Pikirnya, "Wah, celaka! Entah
kakek atau dia yang menang" Kalau kakek yang menanti tentu
sudah terbahak-bahak, sebaliknya kalau dia yang menang,
tentu pula dia sudah keluar."
Dengan gemetar kemudian A Siu mendorong pintu dengan
perlahan-lahan, hatinya kebat-kebit khawatir kalau-kalau yang
dilihatnya adalah mayat salah seorang yang menggeletak. Tapi
ia lantas menghela napas lega ketika tertampak Pek Cu-cay
sedang duduk bersila dengan kedua mata terpejam, sedangkan
Ciok Boh-thian dengan tersenyum simpul memandang
padanya, sebelah tangan pemuda itu menahan di punggung
sang kakek, rupanya sedang bantu menyalurkan tenaga dalam
untuk menyembuhkan luka sang kakek.
"Apakah... apakah Yaya terluka?" tanya A Siu dengan khawatir.
"Tidak, hanya napasnya sesak seketika, sebentar saja sudah
baik," sahut Boh-thian.
Mendadak Pek Cu-cay melompat bangun sambil membentak,
"Napas sesak apa" Bukankah aku sudah... sudah sembuh?"
Berbareng sebelah tangannya terus menghantam pula ke batok
kepala Ciok Boh-thian.
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi mendadak kedua telapak tangannya terasa bengkak dan
kesakitan, waktu diperiksa, ternyata kedua tangannya sudah
merah biru dan melepuh, kalau hantaman itu mengenai Ciok
Boh-thian, bukan mustahil tangannya sendiri yang akan pecah
lebih dulu. Dalam pada itu kedua kakinya lantas terasa pula kesakitan
seperti ditusuk jarum. Maka tahulah Pek Cu-cay bahwa tenaga
dalam bocah yang disepelekannya itu ternyata mahakuat,
berpuluh kali pukulannya tadi telah terpental kembali karena
terbentur tenaga dalam pemuda itu sehingga tangan dan
kakinya sendiri yang luka tergetar.
Bab 43. Mo-thian-kisu Cia Yan-khek Muncul di Leng-siausia
Untuk sejenak Pek Cu-cay termangu-mangu, akhirnya ia
berkata, "Ya, sudahlah, habislah segalanya!"
Seketika ia menjadi putus asa, segala bualan tentang "jago
nomor satu di dunia ini" barulah diinsafinya terlalu menggelikan
orang lain. Segera ia ambil borgol dan membelenggu pula kaki
dan tangannya sendiri dan dikunci pula padu pilar. "Cring", ia
banting kunci borgol ke dinding batu sehingga kunci-kunci itu
rusak melengkung, maka untuk membuka borgolnya menjadi
susah pula. "He, Yaya, mengapakah kau?" seru A Siu kaget.
Tapi Pek Cu-cay lantas berpaling menghadap tembok, katanya,
"Aku... aku Pek Cu-cay sudah terlalu berdosa, biarlah sekarang
tirakat di sini untuk menginsafkan diri. Lekas kalian keluar dari
sini, sejak kini siapa pun takkan kutemui. Boleh suruh
nenekmu pergi ke Pik-lwe-to saja dan selanjutnya jangan
pulang ke Leng-siau-sia lagi."
A Siu dan Boh-thian saling pandang dengan bingung. Selang
sejenak barulah A Siu mengomeli Boh-thian, "Semuanya garagaramu,
mengapa kau mentang-mentang mesti mencari
menang?" "Aku... aku toh tidak menyerang sekalipun pada kakekmu?"
sahut Boh-thian dengan melengak.
"Apakah dia hanya kakekku saja" Apakah kau merasa terhina
jika memanggil "kakek" juga kepada beliau?" semprot A Siu
dengan melotot. "O, ya. Kakek!" cepat Boh-thian memanggil dengan rasa syur.
Tapi Pek Cu-cay telah menggoyang-goyang tangannya dan
berseru, "Lekas pergi, lekas pergi! Kau lebih kuat daripadaku,
aku adalah cucumu, kaulah kakekku!"
"Wah, kakek telah marah, lekas kita beri tahukan pada nenek!"
kata A Siu sambil menjulur lidah.
Segera kedua orang keluar dari penjara itu dan menuju ke
ruang pendopo. Kata Boh-thian kepada si nona, "A Siu, setiap
orang menyangka aku sebagai pemuda Ciok Tiong-giok itu,
sampai-sampai Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak dapat
membedakan. Tapi mengapa kau tidak sampai salah mengenal
diriku?" Mendadak air muka A Siu berubah merah, lalu pucat pula dan
jalannya menjadi agak sempoyongan. Cepat ia tenangkan diri,
kemudian berkata, "Ciok Tiong-giok itu pernah hendak menodai
diriku sehingga aku terjun ke jurang untuk membunuh diri.
Toako, apakah kau suka membalaskan sakit hatiku dan
membunuh dia?" Boh-thian menjadi ragu-ragu, jawabnya, "Dia adalah putra
tunggal kesayangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, Ciok-cengcu
berdua juga sangat baik padaku, sungguh aku... aku tidak
boleh membunuh putranya, A Siu."
Tiba-tiba A Siu menangis terguguk-guguk, katanya, "Untuk
pertama kalinya aku memohon padamu dan sudah lantas kau
tolak, maka untuk selanjutnya tentu kau pun akan... akan
selalu main garang padaku seperti kakek terhadap nenek.
Biar... biarlah kuberi tahukan pada nenek dan ibu saja."
Habis berkata ia terus putar tubuh dan berlari pergi.
"A Siu, A Siu! Dengarkanlah penjelasanku," seru Boh-thian.
"Jika kau tidak membunuh dia, selamanya aku takkan
menggubris kau lagi!" sahut A Siu sambil menutupi mukanya
dan terus berlari ke depan, hanya sekejap saja ia sudah sampai
di ruang pendopo. Ketika Boh-thian juga menyusul tiba, tertampaklah di ruangan
situ sinar pedang berkilat-kilat, empat orang sedang bertempur
dengan sengit. Mereka adalah Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan
Ce Cu-bian bertiga sedang mengerubut seorang tua berewok
dan berjubah hijau. Melihat orang tua itu, tanpa merasa Boh-thian terus berseru,
"He, Paman Cia, baik-baikkah kau" Sudah lama sekali kita tak
bertemu!" Kiranya orang tua itu tak-lain-tak-bukan adalah Mo-thian-kisu
Cia Yan-khek. Dikeroyok tiga tokoh terkemuka Swat-san-pay ternyata Cia
Yan-khek masih tetap sangat tangkas, dengan bertangan
kosong ia melawan tiga batang pedang sedikit pun tidak
kelihatan asor, sebaliknya dia malah di atas angin, lebih
banyak menyerang daripada diserang. Ketika tiba-tiba
mendengar suara seruan Ciok Boh-thian ia terperanjat, waktu
memandang ke arah pemuda itu, tanpa terasa ia berseru, "He,
mengapa muncul satu pula?"
Pertandingan tokoh-tokoh terkemuka biasanya tidak boleh
lengah sedikit pun. Karena terkejutnya itu, sekaligus pedangpedang
Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan Ce Cu-bian lantas
menusuk ke perutnya. Serangan cepat lagi ganas itu tampaknya pasti akan
menembus perut Cia Yan-khek, Boh-thian menjadi khawatir.
Teriaknya, "Awas!"
Cepat ia melompat maju, sekali jambret ia pegang punggung
Pek Ban-kiam dan ditarik ke atas. Menyusul terdengarlah suara
"krek-krek" dua kali, dalam keadaan berbahaya Cia Yan-khek
telah keluarkan kepandaian andalannya "Pik-ciam-jing-ciang",
tangan kiri mematahkan pedang Ce Cu-bian dan tangan kanan
mematahkan pedang Seng Cu-hak. Walaupun demikian tidak
urung jubahnya juga sudah tergores robek dua jalur panjang.
Bahkan menyusul kedua tangannya terus menyodok pula ke
depan, di mana tenaga dalamnya memancar, kontan Seng Cuhak
dan Ce Cu-bian terus mencelat dan menumbuk dinding.
Dalam pada itu terdengar pula suara "plok" satu kali, kiranya
Pek Ban-kiam telah putar tubuh dan persen Ciok Boh-thian
dengan sekali tamparan. Cia Yan-khek memandang sekejap pula kepada Ciok Boh-thian,
kemudian sorot matanya beralih kepada si pemuda Ciok Tionggiok
yang duduk di pojok sana. Dengan terheran-heran dan
bingung ia bertanya, "Mengapa ka... kalian berdua sedemikian
miripnya?" Sementara itu Boh-thian telah melepaskan Ban-kiam, dengan
muka berseri-seri ia menjawab, "Paman Cia, apakah kau
datang buat menolong aku" Aku baik-baik saja, terima kasih
atas maksud baikmu. Eh, Ting-ting Tong-tong dan Ciok-toako,
kalian juga datang semua" Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
syukurlah kalian tidak tercedera apa-apa. Suhu, Yaya telah
memborgol dirinya sendiri pula dan tak mau keluar, katanya
kau boleh pergi ke Pik-lwe-to saja."
Begitulah sekaligus ia telah bicara terhadap Cia Yan-khek, Ting
Tong, Ciok Tiong-giok, Ciok Jing suami-istri, dan Su-popo. Dia
bicara dengan gembira ria, sebaliknya orang-orang yang
mendengar ucapannya itu sama terkejut.
Dahulu waktu di atas Mo-thian-kay, karena ingin
mempermainkan Ciok Boh-thian, maka Cia Yan-khek telah
mengerahkan tenaga dalamnya dari Pik-ciam-jing-ciang yang
dilatihnya itu. Kebetulan pada saat itulah Pwe Hay-ciok muncul
bersama jago-jago Tiang-lok-pang, katanya hendak mencari
pangcu mereka yang tinggal di atas Mo-thian-kay yaitu Ciok
Boh-thian. Walaupun sekali gebrak saja Cia Yan-khek sudah berhasil
membekuk Bi Heng-ya dari Tiang-lok-pang, tapi dikerubut Pwe
Hay-ciok dan kawan-kawannya, kebetulan Yan-khek sendiri lagi
kehabisan tenaga dalam, ia pikir kalau terus bertahan tentu
akan celaka. Daripada dikalahkan ada lebih baik kabur saja
sebelum terlambat. Sebagai pemilik Hian-tiat-leng, medali wasiat yang
diperebutkan setiap orang Bu-lim sudah tentu Cia Yan-khek
bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun dia tidak dikalahkan,
tapi ia pun merasa terhina dengan peristiwa itu. Ia pikir
sebabnya dirinya sampai kabur adalah lantaran kehabisan
tenaga sebelum musuh tiba, jika dalam keadaan normal Pwe
Hay-ciok sekali-kali bukanlah tandingannya biarpun ditambah
dengan beberapa orang begundalnya.
Segera ia mencari suatu tempat terpencil untuk
mengembalikan lwekangnya dan meyakinkan Pik-ciam-jingciang
sehingga sempurna benar-benar, beberapa bulan
kemudian barulah ia mendatangi Tiang-lok-pang di Yangciu
untuk menuntut balas. Begitu masuk pintu kontan enam orang
hiangcu sudah lantas dibinasakan olehnya. Keruan Tiang-lokpang
menjadi geger. Tatkala itu Ciok Boh-thian sudah ditipu oleh si Ting Tong untuk
menggantikan Ciok Tiong-giok menuju ke Leng-siau-sia dan
nona itu diam-diam sedang mencari kesempatan untuk kabur
bersama Tiong-giok. Tak tersangka penjagaan Tiang-lok-pang
sangat kuat, di mana-mana terdapat pos penjaga, betapa pun
mereka hendak melarikan diri selalu kepergok. Tiada jalan lain
terpaksa Ciok Tiong-giok juga lantas memalsukan Ciok Bohthian
untuk sementara. Sebaliknya Pwe Hay-ciok sesudah menyambut kembali Ciok
Boh-thian dari Mo-thian-kay, diam-diam ia pun merasa telah
mengikat permusuhan dengan seorang tokoh yang kelak tentu
akan mendatangkan kesukaran. Kemudian diketahui bahwa
Ciok Boh-thian ternyata bukan Ciok Tiong-giok yang dicari
mereka itu. Namun jarak waktu datangnya medali undangan
dari Liong-bok-to sudah mendesak, terpaksa ia memalsukan
tanda-tanda atau ciri-ciri yang berada di badan Ciok Boh-thian
sebagai gantinya Ciok Tiong-giok.
Kiranya dahulu setelah Ciok Tiong-giok disanjung-sanjung oleh
Pwe Hay-ciok dan lain-lain dan diangkat sebagai pangcu, tapi
beberapa hari kemudian pemuda yang bangor itu lantas
hendak melarikan diri. Namun ia kena ditangkap kembali oleh
Pwe Hay-ciok dan dibelejeti hingga telanjang bulat serta
ditahan selama beberapa hari. Lantaran itulah ciri-ciri yang
terdapat di badan Ciok Tiong-giok dapat dilihat oleh Pwe Hayciok.
Siapa sangka kedua sucia dari Liong-bok-to ternyata lain
daripada yang lain, rahasia pemalsuan Pwe Hay-ciok itu dengan
mudah telah dibongkar oleh mereka, Ciok Tiong-giok yang asli
telah mereka seret keluar. Walaupun kemudian Ciok Boh-thian
dengan sukarela mau menjabat pangcu mereka untuk
menghadiri pertemuan di Liong-bok-to kelak, tapi Pwe Hay-ciok
merasa malu juga, sedapat mungkin ia menjauhi Boh-thian
sehingga tentang pertukaran Boh-thian dan Tiong-giok yang
mestinya tidak gampang mengelabui matanya sebegitu jauh
belum diketahui. Hari itu Cia Yan-khek telah datang dan sekaligus
membinasakan enam orang hiangcu mereka, terpaksa Pwe
Hay-ciok tampil ke muka. Tapi ia pun insaf bukan tandingan
Cia Yan-khek. Sambil melayani lawan segera ia memberi
perintah agar sang pangcu dipanggil supaya lekas keluar.
Sudah tentu Ciok Tiong-giok menjadi ketakutan, dengan
macam-macam alasan ia menolak untuk keluar sehingga
suruhan Pwe Hay-ciok berturut-turut datang pula dan
memenuhi kamar sang pangcu. Karena sudah tak bisa
mengelakkan diri pula, terpaksa Tiong-giok ikut keluar ke
ruang pendopo dengan tekad bukanlah melawan, tapi akan
menyerah dan minta maaf kepada Cia Yan-khek.
Di luar dugaan ketika Cia Yan-khek melihat dia, seketika ia
berseru terkejut, "He, Kau-cap-ceng, kiranya kau!"
Dalam pada itu tertampak Pwe Hay-ciok sudah menggeletak di
samping dalam keadaan payah, pakaiannya berlumuran darah.
Kalau Pwe-tayhu saja kena dirobohkan Cia Yan-khek, apalagi
dirinya sendiri, bahkan rahasia pemalsuannya tentu akan
terbongkar pula, demikian pikir Tiong-giok. Maka ketika ditegur
oleh Cia Yan-khek, terpaksa ia menjawab dengan tergagapgagap,
"Ya, ki... kiranya Cia-siansing."
Ia tidak tahu bahwa "Kau-cap-ceng" adalah namanya Ciok Bohthian
dan begitu melihat Cia Yan-khek lantas mengira dia
sebagai Ciok Boh-thian. "Hm, bagus, bagus! Ternyata kau ini adalah Pangcu Tiang-lokpang!"
jengek Cia Yan-khek pula.
Tapi demi teringat kejadian-kejadian dahulu, mau tak mau ia
menjadi mengkeret. Seperti diketahui dia telah menerima kembali medali wasiat
dari Ciok Boh-thian yang dikenalnya sebagai pengemis cilik
bernama Kau-cap-ceng. Dahulu Yan-khek sendiri telah
bersumpah siapa-siapa yang menemukan medali wasiatnya
boleh mengajukan sesuatu permintaan atau perintah dan tentu
akan dilaksanakan olehnya.
Maka sekarang ia menjadi khawatir, "Wah, celaka! Kiranya
demikian licinnya Pwe-tayhu ini. Dia mengetahui aku telah
menerima kembali Hian-tiat-leng dari Kau-cap-ceng, maka
dengan segala usahanya dia sengaja datang ke Mo-thian-kay
untuk membawa bocah itu ke sini dan diangkat menjadi pangcu
boneka, sudah terang maksud tujuannya adalah supaya aku
tunduk kepada perintah pangcu mereka. Wahai Cia Yan-khek,
selamanya kau sangat pintar, mengapa hari ini kau masuk
perangkap sendiri ke sini. Sejak kini kau tentu akan selalu
dijadikan alat oleh mereka dan celakalah kau!"
Begitulah, kalau seseorang sudah terikat kepada sesuatu hal,
maka segala apa yang dialaminya tentu selalu dihubunghubungkan
dengan hal itu. Seorang pesakitan yang melarikan
diri dari penjara tentu akan selalu menyangka semua opas di
dunia ini sedang menguber-ubernya. Seorang penjahat tentu
pula akan selalu menganggap setiap orang menaruh curiga
padanya. Begitu pula dalam hubungan asmara muda-mudi,
setiap gerak-gerik atau tutur kata sang kekasih tentu disangka
sebagai ditujukan kepadanya.
Dan demikian pula dengan perasaan Cia Yan-khek sekarang.
Semakin dipikir semakin khawatir dia. Ia mengira Pwe Hay-ciok
sudah merancangkan sesuatu tipu muslihat untuk
menjebaknya. Dengan tak berkedip ia pandang Ciok Tiong-giok
untuk menantikan perintah apa yang harus dilakukan olehnya.
Ia pikir celakalah jika pemuda itu suruh dia mengutungi kedua
tangannya sendiri sehingga cacat untuk selamanya.
Mestinya ia dapat tinggal pergi saja dan untuk seterusnya tak
perlu bertemu dengan Kau-cap-ceng, dengan demikian
terhindarlah kesukarannya. Tapi dengan demikian di dunia
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kangouw tentu akan lenyap pula nama seorang tokoh sebagai
dia. Hal ini masih bukan soal, yang penting adalah sumpahnya
itu, kalau sampai ketulah atau kualat atas sumpahnya sendiri
kan bisa konyol. Begitulah ia terus pandang Ciok Tiong-giok untuk menantikan
perintahnya. Tak tersangka Ciok Tiong-giok juga sangat takut
padanya. Jadi kedua orang terus saling pandang sampai sekian
lamanya. Akhirnya Cia Yan-khek membuka suara juga dengan bengis,
"Baiklah, memang kau telah mengembalikan Hian-tiat-leng
padaku, sekali orang she Cia sudah bicara tentu akan pegang
janji, Sekarang silakan omong saja, apa yang kau minta
kukerjakan segera akan kulaksanakan. Selamanya orang she
Cia sudah malang melintang di Kangouw, biarpun menghadapi
urusan sukar setinggi langit juga takkan mengerut kening."
Mendengar itu, seketika Ciok Tiong-giok tertegun. Tentang
sumpah Cia Yan-khek mengenai Hian-tiat-leng yang dia
sebarkan pernah juga didengar olehnya. Sebagai pemuda yang
cerdik segera ia paham duduknya perkara. Ia duga Cia Yankhek
tentu telah salah sangka dia sebagai Ciok Boh-thian,
bahkan tokoh itu minta dia mengemukakan sesuatu soal dan
tentu akan dilakukan olehnya biar betapa pun sukarnya soal
itu. Keruan Ciok Tiong-giok kegirangan melebihi orang
ketomplok rezeki dari langit.
Ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, boleh dikata tiada
sesuatu yang sukar baginya. Lantas soal apa yang paling tepat
agar dapat dilaksanakan olehnya" Maka untuk sejenak Tionggiok
menjadi ragu-ragu dan termenung-menung.
Rupanya Cia Yan-khek dapat melihat rasa kejut dan girang dan
takut pula atas diri Ciok Tiong-giok, segera ia berkata, "Orang
she Cia sudah pernah mengatakan, siapa saja yang
mendapatkan medali wasiatku, tidak nanti aku mengganggu
seujung rambutnya. Dan sebab apa kau merasa takut-takut"
Kau-cap-ceng, pandai benar lagakmu ya waktu berada di Mothiankay tempo hari. Ilmu "Yam-yam-kang" itu sudah berhasil
kau latih belum?" Ciok Tiong-giok tidak tahu apa itu ilmu Yam-yam-kang yang
ditanyakan, maka secara tak acuh ia hanya tersenyum saja.
Diam-diam ia pun sudah ambil keputusan, "Bahaya yang
sedang kuhadapi adalah dari Swat-san-pay. Sesudah si tolol itu
(maksudnya Ciok Boh-thian) itu sampai di Leng-siau-sia tentu
rahasia penyamarannya akan terbongkar dan jago-jago Swatsanpay tentu akan mencari perkara padaku lagi. Sungguh sial,
aku belum makan nangkanya sudah kena getahnya. Kalau
urusan ini tidak beres-beres tentu hidupku akan selalu tak
tenteram. Sekarang ada kesempatan baik, mengapa aku tidak
minta dia menyelesaikan persoalan ini. Kalau seorang diri Cia
Yan-khek ini mampu mengubrak-abrik Tiang-lok-pang, tentu
pula dia sanggup menghancurkan Leng-siau-sia."
Maka katanya kemudian, "Cia-siansing adalah seorang yang
pegang janji, sungguh harus dipuji dan mengagumkan.
Tentang urusan yang Cayhe minta dikerjakan Cia-siansing ini
mungkin bagi orang lain akan terasa luar biasa dan sukar
dilaksanakan, tapi dengan ilmu silat Cia-siansing yang tiada
bandingannya di dunia ini rasanya hanya soal sepele saja."
Mendengar ucapan pemuda itu rasanya bukan meminta dia
membikin cacat dirinya sendiri, maka Cia Yan-khek menjadi
girang. Segera ia bertanya, "Soal apa yang kau minta
kukerjakan?" "Dengan sembrono Cayhe mohon Cia-siansing suka pergi ke
Leng-siau-sia, tumpas dan habiskan segenap anggota Swatsanpay di sana," sahut Tiong-giok.
Cia Yan-khek terkesiap. Ia pikir Swat-san-pay adalah suatu
aliran besar dunia persilatan yang terkemuka, ketuanya Wi-tek
Siansing Pek Cu-cay juga seorang tokoh ternama yang
disegani, sekarang orang-orang Swat-san-pay itu disuruh
menumpas habis, sudah tentu bukanlah soal mudah.
Tapi dasarnya Cia Yan-khek memang seorang iblis yang
membunuh orang seperti membunuh ayam, orang jahat
biasanya dibunuh olehnya, orang baik juga tidak kurang yang
menjadi korban keganasannya, maka tanpa pikir lagi segera ia
mengangguk dan mengiakan. Lalu putar tubuh hendak terus
berangkat. "Eh, nanti dulu, Cia-siansing!" seru Ciok Tiong-giok.
"Ada apa lagi?" tanya Yan-khek sambil berpaling. Menurut
dugaannya sebabnya "Kau-cap-ceng" itu minta dia pergi
membunuh habis orang-orang Swat-san-pay tentu adalah atas
usul Pwe Hay-ciok dan jago-jago Tiang-lok-pang sehingga aku
diminta menumpas lawannya itu.
Dalam pada itu terdengar Ciok Tiong-giok telah berkata, "Ciasiansing,
aku ingin pergi bersama engkau untuk menyaksikan
soal yang akan kau laksanakan itu!"
Kiranya selama dalam pengawasan orang-orang Tiang-lokpang,
diam-diam Ciok Tiong-giok menjadi sedih. Dia telah
berunding beberapa kali dengan si Ting Tong, kedua orang
sudah ambil keputusan betapa pun takkan berangkat ke Liongbokto. Tapi untuk kabur dari markas Tiang-lok-pang yang
diawasi secara ketat itu juga tidak gampang, kesempatan
melarikan diri hanya ada pada waktu di tengah perjalanan ke
Liong-bok-to nanti. Orang-orang Tiang-lok-pang sendiri walaupun mengadakan
pengawasan keras kepada Ciok Tiong-giok, tapi lahirnya
mereka sangat menurut dan tunduk kepada segala
perintahnya. Malahan keluar-masuk si Ting Tong di markas
Tiang-lok-pang itu pun dapat dilakukan dengan bebas tanpa
rintangan. Dasar otak Ciok Tiong-giok memang encer, begitu mendengar
Cia Yan-khek sudah mengiakan permintaannya dan akan terus
berangkat ke Leng-siau-sia untuk menumpas orang-orang
Swat-san-pay, segera Tiong-giok menganggap kesempatan ini
dapat pula digunakan untuk kabur dari markas Tiang-lok-pang,
sebab itulah ia lantas menyatakan ingin ikut serta berangkat
bersama Cia Yan-khek. Meski dahulu Cia Yan-khek bersumpah cuma akan melakukan
suatu permintaan bagi orang yang menemukan medali
wasiatnya, tapi permintaan Ciok Tiong-giok akan ikut ke Lengsiausia ini ada hubungannya dengan soal yang harus
dilakukannya itu, maka terpaksa ia meluluskan permintaan
pemuda itu. Keruan orang-orang Tiang-lok-pang menjadi gelisah, mereka
sama memandang Pwe Hay-ciok yang terluka parah itu dan
mengharapkan suaranya. Tapi Ciok Tiong-giok lantas berseru, "Sekali aku sudah berjanji
akan menghadiri pertemuan di Liong-bok-to, biarpun apa yang
akan terjadi tentu juga akan kutanggung sendiri. Jika tiba
waktunya tidak nanti aku membikin kapiran kepada kalian."
Dalam keadaan terluka parah sama sekali Pwe Hay-ciok tidak
menduga bahwa Cia Yan-khek yang sudah menang itu berbalik
mau tunduk kepada perintah Ciok Tiong-giok. Ia pikir toh
dirinya dalam keadaan payah dan tak mampu merintangi,
terpaksa ia pun menurutkan arah angin saja dan berkata
dengan lemah, "sel... selamat jalan Pangcu, maafkan Siokhe
ti... tidak dapat mengantar lagi!"
Tiong-giok juga tidak banyak bicara, segera ia ikuti Cia Yankhek
keluar dari sarang Tiang-lok-pang itu.
"Hm, Kau-cap-ceng, selama ini pintar benar kau berpura-pura
ya?" jengek Cia Yan-khek di tengah jalan. "Mataku benar-benar
sudah buta, kukira kau sengaja disuruh Ting Put-si untuk
memata-matai diriku, tak terduga kau adalah Pangcu Tianglokpang." Karena Ciok Tiong-giok sudah memberi suatu perintah untuk
dilakukan Cia Yan-khek sesuai sumpahnya, maka sekarang
Yan-khek tidak perlu sungkan-sungkan lagi padanya, kecuali
membunuhnya, dalam hal ucapan ia tidak perlu merendah diri
lagi kepada pemuda itu. Tiong-giok juga cukup tahu diri, ia tidak berani banyak bicara,
ia hanya mengiakan dengan menyengir saja.
Memangnya si Ting Tong selalu menunggu di sekitar Ciok
Tiong-giok, dengan sendirinya ia lantas menggabungkan diri
dengan mereka dan ikut ke Leng-siau-sia.
Setiba di tempat tujuan walaupun Tiong-giok mendapat
pelindung jago wahid sebagai Cia Yan-khek, tapi betapa pun ia
jeri juga terhadap Pek Cu-cay. Maka diam-diam ia lantas
mengusulkan kepada Cia Yan-khek agar melakukan
penyergapan saja daripada menyerang secara terang-terangan.
Yan-khek merasa cocok atas usul pemuda itu. Maka mereka
bertiga lantas menyusup ke Leng-siau-sia secara diam-diam.
Memangnya Tiong-giok sangat hafal keadaan setempat, maka
dengan mudah saja mereka dapat mencapai tempat yang
dicari. Ketika sampai di ruang tengah mereka lantas mendengar
bisak-bisik orang-orang Swat-san-pay tentang percekcokan di
dalam Leng-siau-sia sendiri. Didengar pula oleh mereka bahwa
Ciok Jing dan istrinya sudah tertawan.
Betapa pun buruk perbuatan Ciok Tiong-giok, kasih sayang
ayah dan anak tidaklah sampai lenyap. Maka diam-diam ia
pancing Cia Yan-khek menuju ke tempat tahanan, di situ Cia
Yan-khek membunuh penjaga-penjaganya, Ciok Jing dan Bin Ju
ditolong keluar, lalu sama-sama datang ke ruang pendopo.
Tatkala itu Su-popo. Pek Ban-kiam dan Ciok Boh-thian sedang
bicara dengan Pek Cu-cay. Kalau menuruti jalan pikiran Cia
Yan-khek, ia lebih suka membunuh siapa saja yang
dipergokinya, ketemu satu bunuh satu, melihat dua bunuh
sepasang, dengan demikian orang-orang Swat-san-pay akan
ditumpas habis olehnya. Namun maksudnya ini dicegah oleh
Ciok Jing dan Bin Ju. Ciok Jing telah berkata padanya, "Kalau memang seorang
gagah, seorang kesatria sejati, hendaklah bertanding dahulu
dengan ketua mereka, Wi-tek Siansing. Sekarang tokoh
utamanya belum lagi muncul, kalau cuma pandai membunuh
anak muridnya yang merupakan kaum keroco saja, bila tersiar
di dunia Kangouw bukankah orang akan mengatakan Mo-thiankisu
hanya berani kepada kaum kecil dan takut kepada yang
keras." "Huh, apa yang kutakuti," jengek Cia Yan-khek, "Baiklah,
kubunuh dulu yang tua baru nanti kuhabisi yang kecil."
Begitulah, maka tidak lama kemudian Su-popo dan Pek Bankiam
lantas keluar. Karena ucapan Cia Yan-khek yang
mentang-mentang itu segera terjadilah pertarungan sengit.
Biar ilmu silat Ban-kiam cukup tinggi toh dia bukan tandingan
pemilik medali wasiat itu, maka hanya beberapa gebrakan saja
ia sudah terdesak dan terancam bahaya.
Karena mendengar Cia Yan-khek sumbar-sumbar akan
menumpas habis seluruh orang Swat-san-pay, biarpun sedang
Pendekar Bunga Merah 1 Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Pahlawan Dan Kaisar 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama