Ceritasilat Novel Online

Medali Wasiat 5

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 5


menyalahkan kau!" "He, Ting-ting Tong-tong! Kita harus bicara di muka, lho! Kita
sembahyang Thian ini hanya main-main saja atau sungguhan?"
seru Ciok Boh-thian pula.
Dari balik kerudung muka Ting Tong menjawab dengan
tertawa, "Sudah tentu sungguhan, urusan demikian masakah
... masakah boleh main-main?"
"Tapi ... tapi kau yang salah mengenali orang, aku ... aku tak
mau tanggung, lho! Jangan-jangan kelak kau menjadi
menyesal dan ... dan akan menjewer kupingku dan menggigit
pundakku lagi, ini ... ini tidak boleh, ya?"
Seketika para hadirin tercengang. Ting Tong juga mengikik
geli. Sahutnya dengan suara rendah, "Tidak, aku takkan
menyesal, asal kau selalu baik padaku, tentu aku takkan ...
takkan menjewer kau lagi."
Sebaliknya Ting Put-sam lantas berseru, "Dijewer bini adalah
sesuatu yang lumrah, kenapa mesti digegerkan" Nah, Kau-capceng,
sudah sekian lamanya A Tong berlutut padamu mengapa
kau tidak lekas membalas hormat?"
"Ya, ya," cepat Boh-thian menjawab. Dan segera ia pun
berlutut dan saling menyembah dengan Ting Tong.
Protokol lantas berteriak lagi, "Upacara selesai, silakan
sepasang pengantin baru masuk kamar. Semoga hidup
bahagia, panjang umur, keturunan subur!"
Seketika suara seruling berbunyi pula. Lalu sepasang pengantin
diiringkan ke dalam kamar baru. Kamar ini jauh lebih kecil
daripada kamar Ciok Boh-thian di markas Tiang-lok-pang itu,
perabotnya juga sederhana, hanya penerangan lilin lebih
semarak, di dalam kamar penuh pajangan-pajangan kain
merah dan benda-benda lain yang menambah suasana
bahagia. Sesudah menundukkan Ting Tong dan Ciok Boh-thian di pinggir
ranjang, beberapa pengiring pengantin itu menuangkan dua
cawan arak dan ditaruh di atas meja, kata mereka bersama,
"Kionghi dan selamatlah sepasang pengantin baru, silakan
saling tukar minum secawan arak ini!"
Lalu dengan tertawa terkekeh-kekeh mereka mengundurkan
diri sambil merapatkan pintu kamar.
Hati Ciok Boh-thian menjadi berdebar-debar. Meskipun ia
masih hijau dan sama sekali tidak paham kehidupan manusia
umumnya, tapi ia pun insaf bahwa dengan upacara tadi, maka
dirinya dan si Ting Tong telah menjadi suami istri. Ia lihat Ting
Tong berduduk dengan diam saja di sebelahnya, kepalanya
masih berkerudung kain sutra merah.
Bab 13. Pek Ban-kiam Jago Swat-san-pay
Karena sampai sekian lamanya anak dara itu masih tidak
bergerak akhirnya Boh-thian bicara mengada-ada, "Eh, Tingting
Tong-tong, kau memakai kerudung itu, apakah tidak
merasa gerah?" "Sudah tentu gerah sekali, hendaklah kau menyingkapnya
saja," sahut Ting Tong dengan tertawa.
Maka dengan jari Ciok Boh-thian lantas memegang ujung kain
kerudung dan perlahan-lahan menyingkapnya.
Di bawah cahaya lilin tertampaklah wajah si Ting Tong yang
cantik molek. Girang dan berdebar-debar hati Ciok Boh-thian,
dengan mata tak berkedip ia memandangi nona itu, katanya,
"Kau ... kau sungguh cantik."
Ting Tong tersenyum manis, pipi kirinya kelihatan sebuah dekik
kecil, perlahan-lahan ia menunduk dengan malu-malu.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara Ting Put-sam di
luar kamar, kedengaran sedang berkata di tempat yang agak
tinggi, "Malam ini adalah malam pengantin cucu perempuanku
entah kawan dari manakah itu yang datang silakan turun
kemari sekadar minum secawan."
Lalu di tempat yang tinggi sebelah sana ada orang menjawab,
"Pwe Hay-ciok, pengabdi Tiang-lok-pang, dengan jalan
menyampaikan salam hormat kepada Ting-samya, harap maaf
atas kelancangan kami membikin ribut ke sini malam-malam
begini." "O, kiranya Pwe-siansing yang telah datang," bisik Ciok Bohthian
di dalam kamar. Alis Ting Tong tampak terkerut, ia mendesis agar pemuda itu
jangan bicara. Maka terdengarlah Ting Put-sam sedang bergelak tertawa,
katanya, "Eh, kukira kawan tukang gerayang dari mana, tak
tahunya adalah orang dari Tiang-lok-pang. Kalian ingin minum
arak pengantin atau tidak" Janganlah bergembar-gembor
sehingga mengganggu cucu perempuanku dan menantu cucuku
itu." Pwe Hay-ciok ternyata sangat sabar menghadapi ucapan yang
kasar itu, ia terbatuk beberapa kali, lalu berkata, "Kiranya hari
ini adalah hari nikah cucu perempuan Ting-samya, maafkan
kedatangan kami yang sembrono ini sehingga tiada membawa
kado apa-apa, lain hari tentu kami akan datang pula memberi
selamat dan minta minum arak pengantin. Sekarang Pang kami
sedang menghadapi sesuatu urusan genting dan harus bertemu
sendiri dengan Ciok-pangcu kami, maka mohon Ting-samya
sudi pertemukan kami kepada beliau, untuk mana sebelumnya
kami mengucapkan terima kasih. Sesungguhnya kalau tiada
urusan penting, biarpun nyali kami sebesar langit juga kami
tidak berani sembarangan menerobos ke tempat kediaman
Ting-samya ini." "Pwe-tayhu, kau juga seorang tokoh di dunia Kangouw dan
tidak perlu main sungkan-sungkan kepadaku," sahut Ting Putsam.
"Apa yang kau sebut sebagai Ciok-pangcu adalah cucu
menantuku Kau-cap-ceng ini bukan" Tapi dia bilang kalian
telah salah mengenali dia, maka tidak ingin bertemu dengan
kalian." Orang-orang yang datang bersama Pwe Hay-ciok itu
seluruhnya adalah delapan jago utama Tiang-lok-pang. Demi
mendengar Ting Put-sam memaki Pangcu mereka sebagai
"Kau-cap-ceng" atau anak anjing, seketika beberapa orang di
antaranya mengeluarkan suara geraman, kalau bisa mereka
ingin melabrak orang she Ting itu.
Tapi Pwe Hay-ciok sendiri pernah mendengar Ciok Boh-thian
mengaku bernama Kau-cap-ceng, maka ia anggap apa yang
diucapkan Ting Put-sam itu tiada bermaksud menghina sang
Pangcu. Ia pun kenal tabiat sang pangcu yang bangor, boleh
dikata seorang bajul buntung, ke mana pun pergi suka main
perempuan, bermalam di tempat "Ca-bo-keng" (rumah
perempuan) adalah soal biasa baginya. Tapi sekarang
mendengar bahwa sang Pangcu telah diambil sebagai cucu
menantu oleh iblis tua Ting Put-sam, mau tak mau hati Pwe
Hay-ciok menjadi ragu-ragu dan khawatir. Ia pikir kejadian ini
tentu akan membawa akibat buruk di kemudian hari, lebih
celaka lagi kalau sampai bermusuhan dengan tokoh-tokoh
sebagai Ting Put-sam dan Ting Put-si bersaudara ini.
Maka ia lantas berkata, "Ting-samya, urusan Pang kami ini
sesungguhnya sangat genting dan harus segera dimintakan
petunjuk Pangcu. Dalam hal Pangcu kami suka bicara mainmain
atau berkelakar adalah lazim saja."
Mendengar ucapan Pwe Hay-ciok itu, agaknya sangat khawatir
dan gelisah, Ciok Boh-thian menjadi teringat kepada
pertolongan dan perhatian tabib itu ketika dirinya dirangsang
oleh derita penyakit panas dingin tempo hari, maka ia menjadi
tidak tega membiarkan dia gelisah sedemikian rupa, segera ia
membuka jendela dan berseru, "Pwe-siansing, aku berada di
sini! Apa kalian mencari aku?"
Pwe Hay-ciok sangat girang, cepat jawabnya, "Ya, betul!
Siokhe ada urusan penting yang harus segera dilaporkan
kepada Pangcu." "Aku adalah Kau-cap-ceng dan bukan Pangcu kalian apa
segala," ujar Boh-thian. "Jika kau ingin mencari diriku sih
memang sudah ketemu, tapi bila ingin mencari Pangcu, terang
kau telah keliru alamat."
Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah, tapi lantas dijawabnya, "Ah,
Pangcu suka bergurau lagi. Silakan Pangcu suka keluar
sebentar agar kita bisa bicara lebih jelas."
"Kau minta aku keluar?" Boh-thian menegas.
"Ya, Pangcu," sahut Pwe Hay-ciok.
Tiba-tiba Ting Tong telah tarik-tarik lengan baju Ciok Boh-thian
dan membisikinya, "Engkoh Thian, janganlah keluar!"
"Biar aku bicara sebentar saja dengan dia, segera aku akan
kembali," sahut si pemuda. Lalu ia melompat keluar melalui
jendela. Maka tertampaklah di atas pagar tembok pekarangan sebelah
barat berdiri Pwe Hay-ciok, di atas wuwungan di belakangnya
terdapat pula beberapa orang lagi. Sebaliknya di atas dahan
pohon besar yang berada di sebelah timur pekarangan itu
berduduk satu orang, ialah Ting Put-sam.
"Pwe-tayhu, kau ingin bicara dengan cucu menantuku, aku ikut
mendengarkan, boleh tidak?" tiba-tiba Ting Put-sam bertanya.
Tentu saja Pwe Hay-ciok susah menjawab. Padahal Ting Putsam
sendiri sebagai seorang angkatan tua harus tahu
peraturan Kangouw, urusan penting dan rahasia golongan lain
adalah tidak pantas orang lain ikut-ikut mendengarkan, nyata
tingkah laku iblis ini memang aneh sebagaimana disohorkan
oleh orang Kangouw, demikian pikir Pwe Hay-ciok. Kemudian ia
menjawab, "Urusan ini Cayhe tidak berani menjawab, Pangcu
sendiri berada di sini, segala apa sudah seharusnya diputuskan
oleh beliau." "Bagus, bagus! Segala urusan telah kau timpakan kepada cucu
menantuku," kata Ting Put-sam. "Hai, Kau-cap-ceng, Pwetayhu
ingin bicara dengan kau aku pun ingin ikut
mendengarkan." "Apa halangannya jika Yaya ingin ikut mendengarkan," sahut
Ciok Boh-thian. "Hahaha! Bagus, bagus! Anak baik, cucu berbakti!" seru Ting
Put-sam dengan tertawa. "Nah Pwe-tayhu, kalau ingin bicara
lekaslah mulai. Maklum, waktu sangat berharga, apalagi, di
malam pengantin cucu perempuanku ini kau sengaja datang
membikin kacau, benar-benar runyam."
Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menduga Ciok Boh-thian akan
mengizinkan permintaan Ting Put-sam tadi, tapi apa daya
hanya dalam hati saja ia merasa kurang senang. Lalu ia mulai
berkata, "Pangcu, di markas telah mendapat kunjungan tamu
dari Swat-san-pay." "Swat-san-pay?" Boh-thian manggut-manggut. "Apa barangkali
nona Hoa Ban-ci dan kawan-kawannya?"
Banyak sekali golongan dan aliran di dunia persilatan, tapi yang
dikenal Ciok Boh-thian hanya Swat-san-pay saja dan di antara
orang-orang Swat-san-pay itu hanya dikenalnya Hoa Ban-ci
seorang, sebab itulah ia lantas menyebut namanya.
"Nona Hoa juga terdapat di antara tamu-tamu itu," sahut Pwe
Hay-ciok. "Selain itu masih ada pula beberapa orang di bawah
pimpinan "Gi-han-se-pak" Pek ...." sampai di sini ia lantas
berhenti dan dengan penuh perhatian ia memandang air muka
sang Pangcu. Di bawah cahaya bulan dapat dilihat jelas ketika mendengar
sebutan "Gi-han-se-pak", sama sekali air muka Ciok Boh-thian
tiada reaksi apa-apa. Maka lega dan tenteramlah hati Hay-ciok.
Dari sikap sang Pangcu yang tenang-tenang itu, ia yakin sang
Pangcu tentu sudah mempunyai kepandaian yang lebih unggul
untuk menghadapi orang-orang Swat-san-pay, dan apa yang
dituduhkan pihak lawan itu hanya omong kosong belaka.
Maka ia lantas menyambung pula, "Tampaknya orang-orang
Swat-san-pay yang datang itu adalah jago-jago pilihan semua."
"Sekalipun si tua bangka Pek Cu-cay yang datang sendiri juga
bisa apa?" tiba-tiba Ting Put-sam menyela. "Pwe-tayhu,
kabarnya kau punya "Ngo-heng-liok-hap-ciang" sangat lihai,
mengapa kedatangan seorang bocah seperti Pek Ban-kiam saja
kau sudah gugup?" Mendengar orang memuji pukulannya, mau tak mau Pwe Hayciok
menjadi senang. Dengan tersenyum ia menjawab, "Sedikit
kepandaianku ini masakah ada harganya untuk disebut-sebut.
Tiang-lok-pang kami meski suatu organisasi kecil juga tidak
pernah takut kepada golongan dan aliran mana pun juga di
dunia persilatan ini. Soalnya selama ini kami toh tiada
percekcokan apa-apa dengan Swat-san-pay, tapi kedatangan
Gi-han-se-pak ini tampaknya sangat garang dan ingin segera
bertemu dengan Pangcu, kami minta dia suka menunggu
sampai besok juga telah ditolak, maka teranglah dalam urusan
ini ada sesuatu hal yang agak luar biasa, dan kami perlu minta
petunjuk kepada Pangcu."
"Kemarin nona Hoa itu telah ditawan oleh Tan-hiangcu dan pagi
tadi dia telah kita lepaskan," demikian kata Boh-thian. "Apa
barangkali orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah karena
kejadian ini?" "Mungkin ada sedikit hubungan dengan kejadian itu," sahut
Pwe Hay-ciok. "Tapi Siokhe sudah minta keterangan kepada
Tan-hiangcu, katanya Pangcu bersikap sangat ramah kepada
nona Hoa, bahkan seujung rambutnya juga tak disentuh,
kesalahannya berani kasak-kusuk ke dalam markas kita juga
tak diusut, hal ini boleh dikata telah memberi muka kepada
orang-orang Swat-san-pay. Kalau melihat sikap Gi-han-se-pak
yang garang itu, agaknya kedatangan mereka adalah untuk
urusan lain." "Habis apa yang kau kehendaki dariku?" tanya Boh-thian.
"Itulah terserah kepada perintah Pangcu," sahut Pwe Hay-ciok.
"Jika Pangcu ingin cara halus, maka kami akan segera kembali
dan memberi sedikit petuah kepada mereka. Sebaliknya kalau
Pangcu bilang pakai kekerasan, maka kita lantas hajar mereka
hingga kocar-kacir agar mereka kapok dan tidak berani
sembarangan main gila dengan Tiang-lok-pang. Atau boleh
juga Pangcu sendiri coba melihat-lihat ke sana dan bertindak
menurut gelagat, jalan ini pun baik juga."
Berada sendirian di dalam kamar bersama Ting Tong tadi
memangnya Ciok Boh-thian lagi merasa bingung, ia tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya sesudah masuk di dalam kamar
pengantin itu. Ia merasa dirinya bukanlah Ciok-pangcu tulen,
tentang pengantinan itu akibatnya kelak tentu akan membikin
susah, untung Pwe Hay-ciok sekarang datang, kesempatan ini
dapat dibuat alasan untuk meloloskan diri. Maka ia lantas
berkata, "Jika demikian, baiklah aku akan pulang untuk
melihatnya, mungkin ada salah paham di pihak mereka dan
aku akan bicara secara terus terang kepada mereka," lalu ia
berpaling dan berkata pula, "Yaya, Ting-ting Tong-tong! Aku
akan pergi dulu, ya!"
Ting Put-sam garuk-garuk kepala, katanya, "Wah, cara,


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian kurang baik. Kalau bocah-bocah kaum Swat-san-pay
itu yang datang mengacau, biarlah aku saja yang pergi
membereskan mereka. Toh aku memang sudah pernah
membunuh dua orang murid mereka dan memang sudah
mengikat permusuhan dengan si tua bangka she Pek,
bagaimana kalau sekarang harus aku membunuh lagi beberapa
orang mereka, maka utang piutang ini akan sama saja cara
memperhitungkannya kelak."
Tentang terbunuhnya Sun Ban-lian dan Cu Ban-jing oleh Ting
Put-sam, karena hal ini menyangkut kehormatan Swat-sanpay,
maka telah dirahasiakan, kecuali Ciok Jing suami istri
yang telah diberi tahu. Pwe Hay-ciok sendiri merasa tidak enak kalau Ting Put-sam
ikut campur dalam urusan ini sehingga akan makin
mempertajam pertentangan dengan Swat-san-pay yang luas
pengaruhnya di dunia persilatan itu. Maka ia lantas berkata,
"Jika Pangcu sendiri ingin pulang untuk menemui orang Swatsanpay, sudah tentu jalan ini adalah paling baik. Dari itu
urusan kecil Pang kami ini tidak perlu sampai membikin urusan
ini tentu akan berkunjung lagi kemari."
Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menyinggung tentang arak
pengantin segala, sebab ia berharap sesudah pulang di markas
Tiang-lok-pang nanti akan dapat membujuk sang Pangcu agar
membatalkan maksudnya berbesanan dengan keluarga Ting
itu. Tak terduga Ting Put sam lantas berkata, "Ngaco-belo, kalau
aku sudah mengatakan akan pergi, maka sudah pasti aku akan
pergi. Pendek kata urusan Tiang-lok-pang ini, aku Ting-losam
sudah pasti akan ikut campur."
Setelah mengikuti percakapan di luar itu, Ting Tong menduga
sebabnya orang-orang Swat-san-pay mendatangi markas
Tiang-lok-pang tentu adalah gara-gara perbuatan kekasihnya
yang bersifat bajul buntung ini, mungkin karena Hoa Ban-ci
dari Swat-san-pay itu bermuka cantik, maka telah diganggunya
dan bukan mustahil sudah dipaksa secara kasar. Padahal saat
ini adalah malam pengantin baru mereka, tapi Ciok Boh-thian
ternyata hendak pulang untuk menemui Hoa Ban-ci tanpa
memedulikan dirinya, keruan Ting Tong sangat mendongkol.
Maka tanpa pikir lagi segera ia melompat ke luar dan berseru,
"Yaya, jikalau Engkoh Thian ada urusan penting dan harus
pulang segera, walaupun berat juga terpaksa kita tak dapat
merintanginya. Biar begini saja, kita kakek dan cucu berdua
juga ikut Engkoh Thian ke sana untuk melihat tokoh-tokoh
macam apakah dari Swat-san-pay yang datang itu."
Meski Ciok Boh-thian ingin menghindari kesukaran di dalam
kamar pengantin, tapi sesungguhnya ia pun merasa berat
untuk berpisah dengan Ting Tong, kini mendengar nona itu
mau ikut pulang padanya, ia menjadi girang dan segera
menanggapi, "Bagus, bagus! Ting-ting Tong-tong, marilah kita
berangkat. Yaya, marilah engkau pun ikut."
Sekali sang Pangcu sudah berkata demikian, terpaksa Pwe
Hay-ciok tak dapat bicara lain lagi. Beramai-ramai mereka
lantas menuju ke tepi sungai dan naik ke atas perahu besar
milik orang-orang Tiang-lok-pang dan segera mereka berlayar
pulang ke markas. Diam-diam Pwe Hay-ciok mengisiki Ciok Boh-thian, "Pangcu,
hendaklah kau minta kepada Ting-samya agar jangan ikut
turun tangan dan membunuh orang Swat-san-pay, tiada
gunanya banyak mengikat permusuhan, sedapat mungkin kita
harus menyelesaikan setiap persoalan secara damai."
"Benar, tanpa sebab mana boleh sembarang membunuh orang,
kan orang jahat namanya jika suka membunuh orang?" sahut
Boh-thian. Pwe Hay-ciok sampai melongo sendiri mendengar jawaban Ciok
Boh-thian itu. Katanya di dalam hati, "Kau sendiri mengapa
mendadak bicara seperti seorang mahaalim" Sungguh aneh!"
Setiba di markas Tiang-lok-pang, segera Ting Tong berkata,
"Engkoh Thian, biar aku mengganti pakaian kaum lelaki ke
kamarmu, lalu ikut bersama kau untuk menemui nona Hoa
yang cantik molek itu."
Sebagai pemuda yang masih hijau, Ciok Boh-thian merasa
tertarik akan permainan si Ting Tong itu, jawabnya dengan
tertawa, "Untuk apa kau menggunakan pakaian lelaki?"
"Aku tidak ingin diketahui sebagai istrimu agar nanti dapat
lebih bebas bicara," kata Ting Tong tertawa.
"Baiklah, mari kuantar kau ke kamarku," sahut Boh-thian.
Mendadak Ting Put-sam juga berkata, "Biar aku pun ikut
menyamar saja. Pwe-tayhu, apakah boleh aku menyaru
sebagai anak buahmu?"
Memangnya Pwe Hay-ciok tidak ingin diketahui oleh orang
Swat-san-pay tentang beradanya Ting Put-sam di dalam Tianglokpang, maka kesediaan Ting Put-sam untuk menyamar itu
menjadi kebetulan baginya. Segera ia menjawab dengan
senang, "Apa yang Ting-samya kehendaki, boleh silakan saja."
Begitulah Ciok Boh-thian lantas membawa Ting Put-sam dan
Ting Tong ke kamarnya. Waktu itu Si Kiam masih mendengkur
dengan nyenyaknya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, ia
lantas terjaga bangun. Ia menjadi terheran-heran ketika
melihat Ting Tong dan kakeknya.
Boh-thian merasa susah untuk menjelaskan apa yang sudah
terjadi, hanya dikatakannya, "Enci Si Kiam, mereka ini hendak
menyamar, boleh ... boleh kau membantu mereka seperlunya."
Dan karena khawatir ditanya oleh Si Kiam, maka cepat ia
keluar lagi dari kamar dan menunggu di ruangan luar.
Tidak terlalu lama, datanglah Tan Tiong-ci dan memberi lapor,
"Pangcu, para saudara sudah siap menantikan kedatangan
Pangcu ke ruangan Hou-beng-tong."
Pada saat itulah tampak Ting Tong juga telah muncul sambil
berseru, "Baiklah, kita boleh segera pergi bersama."
Mendadak Boh-thian melihat di depannya telah bertambah
seorang pemuda dengan dandanan yang serbaindah. Ternyata
Ting Tong telah memakai baju panjang warna hijau, pakai ikat
kepala kaum pelajar, tangannya membawa kipas lempit.
Sebaliknya Ting Put-sam telah mengganti pakaian yang kasar
berlengan pendek, mukanya sengaja dipoles hitam, memakai
sepatu butut, pundak miring sebelah, jalannya dibikin pincang,
kelakuannya sangat lucu. Hampir-hampir Ciok Boh-thian tidak kenal lagi pada orang tua
itu, selang sejenak barulah ia berseru dengan terbahak-bahak,
"Yaya, kau sama sekali telah berubah rupa."
Kemudian Tan Tiong-ci bertanya kepada Boh-thian, "Pangcu,
apakah kita perlu membawa senjata?"
"Membawa senjata?" sahut Boh-thian dengan mata terbelalak
lebar. "Untuk apa membawa senjata?"
Tiong-ci menyangka arti jawaban Boh-thian itu adalah
kebalikannya, maka ia hanya mengiakan saja dan segera
mendahului berjalan di depan dan membawa mereka ke ruang
Hou-beng-tong (ruang harimau buas).
Di ruangan itu sudah menunggu beberapa puluh orang, ketika
melihat kedatangan Ciok Boh-thian, serentak mereka berdiri
dan memberi hormat. Sama sekali Boh-thian tidak menyangka ruangan itu
sedemikian besarnya serta sedemikian banyak orang yang
berada di situ. Ia terkejut, lebih-lebih ketika orang-orang itu
serentak memberi hormat, keruan ia menjadi bingung dan
entah cara bagaimana harus bicara. Untuk sekian lamanya ia
tertegun di ambang pintu.
Ia lihat meja-meja yang terletak di sekeliling ruangan itu
semuanya terdapat lilin besar yang memancarkan cahaya yang
terang, beberapa puluh orang lelaki berbaris di kanan-kiri, di
tengah-tengah ruangan tersedia sebuah kursi besar berlapis
kulit harimau yang loreng. Keangkeran ruangan besar itu
seketika membikin pemuda gunung yang masih hijau itu
tercengang bingung. Terpaksa ia memandang ke arah Pwe
Hay-ciok yang juga terdapat di antara orang-orang yang
menantikan kedatangannya itu, ia sangat mengharapkan
nasihat Pwe Hay-ciok akan bagaimana harus diperbuatnya.
Syukurlah Pwe Hay-ciok lantas menyambut ke hadapannya dan
berbisik padanya, "Pangcu, marilah kita ambil tempat duduk
dulu, habis itu barulah sahabat dari Swat-san-pay itu diundang
masuk kemari." Dalam keadaan demikian sudah tentu Ciok Boh-thian
menurutkan saja segala petunjuk Pwe Hay-ciok. Di bawah
iringan Pwe-tayhu, segera Boh-thian mendekati kursi besar
berlapis kulit harimau itu dengan sangsi.
"Silakan Pangcu duduk saja," Pwe Hay-ciok membisikinya.
"Aku ... aku duduk di sini?" Boh-thian menegas dengan
bingung, sungguh ia merasa takut, tanpa merasa sorot
matanya tertuju ke arah Ting Tong, ia berharap paling baik
kalau nona itu lantas menyeretnya melarikan diri keluar dari
ruangan itu dan kabur sejauh mungkin ke tempat yang sunyi.
Tapi Ting Tong hanya membalas dengan tersenyum saja
dengan maksud memberi dorongan padanya.
Melihat sinar mata si nona yang mesra itu Boh-thian merasa
nona itu seperti sedang menganjurkannya agar jangan takut
dan siap membantunya jika ada kesukaran apa-apa. Sekarang
semangat Boh-thian terbangkit, hatinya menjadi tabah, ia
merasa terima kasih dan lega. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
lantas duduk di atas kursi berkulit harimau itu.
Sesudah Boh-thian berduduk, lalu Ting Put-sam dan Ting Tong
berdiri di belakang kursi besar itu. Segera para hadirin juga
lantas mengambil tempat duduknya sendiri-sendiri menurut
urutan dan kedudukan masing-masing.
Kemudian Pwe Hay-ciok mulai membuka suara, "Saudarasaudara
yang terhormat. Selama ini Pangcu telah jatuh sakit
parah sekali, untunglah kini kesehatan beliau telah sembuh
kembali walaupun semangatnya belum lagi pulih seluruhnya.
Seharusnya Pangcu masih perlu istirahat untuk beberapa hari
lamanya barulah dapat bekerja seperti biasa. Tak terduga-duga
sobat-sobat dari Swat-san-pay bersitegang harus bertemu
dengan Pangcu, seakan-akan kalau Pangcu tidak menemui
mereka, maka menandakan sakitnya Pangcu sudah tak bisa
disembuhkan lagi. Hehe, masakah dengan Lwekang mahatinggi
yang dimiliki Pangcu bisa terganggu oleh penyakit yang tiada
artinya" Pangcu, apakah sekarang juga kita undang saja sobatsobat
dari Swat-san-pay itu masuk ke sini?"
Boh-thian mendengus sekali, ia tidak tahu apa mesti
menyatakan baik atau tidak baik.
Tapi Pwe Hay-ciok lantas memerintahkan orang-orang Tianglokpang mengatur tempat duduk mereka semua berduduk di
sebelah timur, sembilan buah kursi di sebelah barat
dikosongkan untuk para tamu.
Lalu Pwe Hay-ciok berseru, "Bi-hiangcu, boleh silakan para
tamu masuk untuk bertemu dengan Pangcu."
Bi Heng-ya mengiakan dan segera melangkah keluar. Tidak
lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang di luar.
Pintu ruangan terbuka Bi Heng-ya muncul dan berdiri di sisi
pintu dan berseru, "Lapor Pangcu, para sobat dari Swat-sanpay
telah tiba!" "Marilah kita keluar menyambutnya," Pwe Hay-ciok mengisiki
Ciok Boh-thian dan perlahan-lahan menarik lengan bajunya.
"Menyambut?" Boh-thian menegas dengan ragu-ragu,
perlahan-lahan ia berbangkit dan ikut Pwe Hay-ciok menuju
keluar ruangan. Tepat pada saat itu juga kesembilan jago Swat-san-pay telah
melangkah masuk, mereka semuanya memakai baju panjang
warna putih, orang yang berjalan paling depan bertubuh sangat
tinggi, berumur antara 42-43 tahun, mukanya kereng, ketika
dua-tiga meter berhadapan dengan Ciok Boh-thian mendadak
ia berdiri tegak, sorot matanya menatap tajam kepada Bohthian.
Tapi Boh-thian membalasnya dengan tersenyum ketolol-tololan
sebagai tanda sambutan. Lalu Pwe Hay-ciok berkata, "Pangcu, saudara ini adalah "Gihanse-pak" (perbawa menggigilkan seluruh barat laut) Pek
Ban-kiam, Pek-toako yang namanya disegani dan ilmu
pedangnya tiada bandingannya di Bu-lim."
Boh-thian hanya manggut-manggut saja dan kembali
tersenyum ketolol-tololan. Karena dia hanya kenal Hoa Ban-ci
seorang saja yang ikut di belakang Pek Ban-kiam itu, maka ia
lantas berkata dengan tertawa, "Nona Hoa, kau telah datang
lagi," Air muka kesembilan jago Swat-san-pay berubah seketika demi
mendengar teguran itu. Pek Ban-kiam adalah putra sulung Wi-tek Sian-sing Pek Cucay,
itu Ciangbunjin atau ketua Swat-san-pay. Nama seluruh
saudara perguruan mereka memakai huruf "Ban" (laksa)
semua, dia bernama "Ban-kiam" (selaksa pedang), maka dapat
dibayangkan ilmu pedangnya tentu lain daripada yang lain.
Dalam Swat-san-pay nama Pek Ban-kiam sejajar dengan Honghwesin-liong Hong Ban-li, orang Kangouw menjuluki mereka
sebagai "Swat-san-siang-kiat" (dua jago dari Swat-san). Coba
kalau bukan Pek Ban-kiam sendiri yang datang, tentu Pwe Hayciok
tidak perlu malam-malam datang ke rumah Ting Put-sam
untuk mencari Ciok Boh-thian. Dan kalau tokoh terkemuka
sebagai Pwe Hay-ciok juga sedemikian hormat dan segan
padanya, sebaliknya seorang Pangcu yang masih muda belia
ternyata acuh tak acuh kepadanya, sudah tentu Pek Ban-kiam
sangat mendongkol, apalagi dia sudah menunggu sekian
lamanya di ruangan tamu sekarang ternyata disambut secara
dingin saja, bahkan datang-datang yang disapa adalah
Sumoaynya yang cantik itu, keruan dada Pek Ban-kiam
hampir-hampir meledak saking menahan perasaannya.
Syukurlah dia adalah seorang kesatria yang bisa membawa diri
dan tidak mau perhatikan perasaannya secara terbuka. Hanya
dengan sikap dingin ia melirik Ciok Boh-thian, meski tidak
bicara, namun air mukanya sudah kentara sangat menghinakan
kelakuan Ciok Boh-thian tadi.
Hoa Ban-ci juga serbasalah atas teguran Boh-thian itu, ia pun
tidak menjawab dan hanya mendengus sekali saja.
Sebaliknya Ciok Boh-thian masih terlalu polos dan kekanakkanakan,
ia tidak tahu bahwa orang-orang Swat-san-pay itu
sudah marah padanya, ia masih bertanya pula, "Eh, nona Hoa,
apa luka di kakimu itu sudah sembuh" Masih sakit atau tidak?"
Pertanyaan ini membuat muka Hoa Ban-ci merah jengah,
seketika orang-orang Swat-san-pay yang lain juga lantas
memegang gagang pedang dan siap dilolos.
Melihat ketegangan suasana itu, cepat-cepat Pwe Hay-ciok
membuka suara, "Silakan duduk, saudara-saudara, silakan!
Sebenarnya kesehatan Pangcu kami belum mengizinkan untuk
menemui tamu, tapi karena kedatangan saudara-saudara dari


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat jauh, terpaksa beliau menemui kalian. Tadi saudarasaudara
telah lama menunggu, haraplah suka dimaafkan."
Pek Ban-kiam hanya mendengus saja dan segera mengambil
tempat duduk pertama di sebelah barat tadi. Kheng Ban-ciong
duduk di sisinya, lalu Kwa Ban-king, Ong Ban-jim dan
seterusnya, Hoa Ban-ci duduk di tempat yang terakhir.
Diam-diam beberapa orang Tiang-lok-pang merasa senang
mendengar ucapan sang Pangcu mengenai luka di kaki Hoa
Ban-ci dan membikin orang-orang Swat-san-pay itu gemas
setengah mati, tapi toh tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok juga telah mengiringkan Ciok
Boh-thian kembali ke tempat duduknya. Para pelayan lantas
mengaturkan minuman. Kemudian Hay-ciok membuka suara lagi, "Tiang-lok-pang kami
sudah lama kagum kepada Wi-tek Siansing, Swat-san-siangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kiat dan para jago muda dari Swat-san-pay, cuma sayang
tempat kami ini terpencil di daerah Kanglam sehingga susah
mengadakan hubungan. Hari ini berkat kunjungan Pek-siheng
dan saudara-saudara sekalian, sungguh kami merasa bahagia
sekali." Pek Ban-kiam membalas hormat sambil berkata, "Pwe-tayhu
Tiok-jin-seng-jun, Ngo-heng-liok-hap-ciang juga tiada
bandingannya di dunia ini, meski selama ini kita tidak kenal,
tapi Cayhe sudah lama mendengar nama kebesaranmu."
Dia hanya memuji Pwe Hay-ciok saja, tapi tidak sebut-sebut
Ciok Boh-thian. Namun Pwe Hay-ciok pura-pura tidak tahu, sahutnya dengan
merendah diri, "Ah, Pek-siheng terlalu memuji. Entah saudarasaudara
sudah berapa hari tiba di Yangciu ini" Biarlah lain hari
Pangcu akan bertindak selaku tuan rumah dan mengundang
saudara-saudara sekalian mengadakan sekadar perjamuan."
Pek Ban-kiam mulai tidak sabar karena maksud kedatangan
mereka tidak ditanyakan, segera ia berseru lantang, "Di
kalangan Kangouw orang menyohorkan ilmu silat Ciok-pangcu
kalian sangat hebat, cuma tidak diketahui kepandaian Ciokpangcu
itu entah berasal dari golongan atau aliran mana?"
Pertanyaan ini membuat orang-orang Tiang-lok-pang mengerut
kening semua. Memang kepandaian Ciok-pangcu mereka
terkenal sangat hebat dan aneh, tapi tiada seorang pun yang
tahu dari golongan atau aliran mana ilmu silat sang Pangcu itu.
Kalau ditanya juga cuma dijawab dengan tersenyum saja. Jadi
orang-orang Tiang-lok-pang sendiri sebenarnya juga ingin
tahu, maka serentak pandangan semua orang beralih kepada
Ciok Boh-thian. Keruan Boh-thian gelagapan, sahutnya, "Ini ... itu ... kau tanya
tentang ilmu silatku" Tapi aku se ... sedikit pun tidak bisa ilmu
silat apa-apa." Memangnya Pek Ban-kiam sudah sangsi melihat sikap Ciok
Boh-thian yang serbasalah itu dan mengatakan tidak bisa ilmu
silat, keruan ia tambah curiga. Dengan tertawa menyindir ia
berkata pula, "Tiada sedikit tokoh-tokoh dan jago-jago
terkemuka di dalam Tiang-lok-pang kalian, kalau Ciok-pangcu
tidak bisa ilmu silat, apakah engkau dapat mengepalai para
jago-jago sebanyak itu" Hm, ucapanmu itu hanya dapat dipakai
menipu anak kecil saja."
"Kau bilang aku menipu anak kecil?" Boh-tian menegas dengan
bingung. "Siapa anak kecil itu" O, apa barangkali kau
maksudkan Ting-ting Tong-tong" Tapi dia ... dia bukan anak
kecil lagi, aku pun tidak menipu dia, sebelumnya aku pun
sudah katakan padanya bahwa aku bukan dia punya Engkoh
Thian." Rupanya meski dia sedang tanya jawab dengan Pek Ben-kiam,
tapi sayup-sayup hidungnya mengendus bau harum yang
timbul dari badan si Ting Tong yang berdiri di belakangnya itu
sehingga semangatnya sudah melayang kepada diri anak dara
itu. Dengan sendirinya Pek Ban-kiam tidak paham apa yang
dikatakan tentang Ting-ting Tong-tong apa segala, disangkanya
Ciok Boh-thian sudah merasa bersalah, maka sengaja bicara ke
timur dan ke barat untuk mengaburkan pokok pembicaraan
mereka. Seketika air muka Ban-kiam berubah masam, dengan
suara geram ia berkata pula, "Ciok-pangcu, biarlah kita bicara
secara terus terang dan blakblakan saja. Cobalah jawab, ilmu
silat yang kau pelajari di Leng-siau-sia itu mungkin belum
terlupa seluruhnya, bukan?"
Ucapan Pek Ban-kiam ini benar-benar telah menggemparkan
orang Tiang-lok-pang termasuk Pwe Hay-ciok. Mereka tahu
Leng-siau-sia (kota langit) adalah tempat kediaman kaum
Swat-san-pay yang terletak di pegunungan Swat-san di wilayah
barat sana. Jika menurut ucapan Pek Ban-kiam ini, apakah
benar sang Pangcu dahulu pernah belajar silat kepada kaum
Swat-san-pay" Jadi kedatangan orang-orang ini barangkali ada
hubungannya dengan urusan perguruan mereka sendiri"
Namun terdengar Ciok Boh-thian telah menjawab dengan
bingung, "Leng-siau-sia" Tempat apakah itu" Selamanya aku
tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa. Jika pernah belajar
tentu takkan melupakannya sama sekali."
Jawaban ini bukan saja menusuk perasaan orang-orang Swatsanpay, bahkan Pwe Hay-ciok juga merasa keterlaluan.
Masakah nama "Leng-siau-sia" yang tersohor dikenal setiap
orang Bu-lim dianggap oleh sang Pangcu sebagai tempat yang
tak pernah dikenal, bahkan menyatakan tidak pernah belajar
ilmu silat, omong kosong yang tak masuk di akal, betapa pun
juga hanya akan menurunkan derajat sang Pangcu sendiri.
Sebaliknya bagi pendengaran orang-orang Swat-san-pay,
terutama Pek Ban-kiam, sudah tentu jawaban Ciok Boh-thian
tadi merupakan suatu hinaan besar.
Yang pertama-tama tidak tahan ialah Ong Ban-jim, segera ia
berteriak, "Ucapan Ciok-pangcu barusan ini benar-benar
keterlaluan. Apa barangkali semua orang Swat-san-pay satu
peser pun tiada harganya dalam pandangan Ciok-pangcu?"
Melihat orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah, Boh-thian
menyangka ucapannya tadi tentu salah, maka cepat
menjawab, "O, tidak, tidak! Masakah aku berani mengatakan
orang-orang Swat-san-pay tidak laku sepeser pun. Seperti ...
seperti ...." Tiba-tiba teringat olehnya dahulu waktu dia ikut Cia Yan-khek
berbelanja ke kota, ia tahu barang yang baik berharga lebih
mahal, maka ia bermaksud mengucapkan kata-kata yang bisa
membikin senang Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, tapi
berulang-ulang ia berkata, "seperti ... seperti ...." namun tak
bisa memberi contoh yang tepat. Dan karena di antara orang
Swat-san pay yang dikenalnya itu hanya Hoa Ban-ci saja
seorang, maka dalam keadaan serbasusah ia lantas berkata,
"Seperti ... seperti nona Hoa Ban-ci tentulah berharga, ya,
tentu sangat berharga ...."
"Sret", serentak orang-orang Swat-san-pay berbangkit dari
tempat duduk mereka dan senjata terlolos dari sarungnya,
selain Pek Ban-kiam, delapan orang lainnya semua sudah
menghunus pedang dan berdiri mengepung di depan Ciok Bohthian.
Bahkan Ong Ban-jim terus menuding dan mendamprat,
"Orang she Ciok, kau sembarangan mengoceh dengan katakata
rendah, sungguh kau terlalu menghina kami. Walaupun
kami sudah berada di sarangmu juga tidak manda diperlakukan
secara semena-mena."
Bab 14. Ciok Boh-thian Ditawan oleh Pek Ban-kiam
Boh-thian tambah bingung melihat kemarahan orang-orang
Swat-san-pay itu, pikirnya, "Apa yang kukatakan adalah
bermaksud baik, mengapa kalian marah padaku malah?"
Dalam bingungnya ia lantas berpaling kepada Ting Tong dan
bertanya, "He, Ting-ting Ting-tong, apakah barusan aku telah
salah omong?" Ting Tong tertawa, sahutnya "Entahlah, aku pun tidak tahu.
Barangkali nona Hoa tidak laku dengan harga baik seperti
katamu." Boh-thian manggut-manggut, katanya, "Ya, andaikan nona Hoa
tidak begitu berharga dan harus dijual murah, toh hal demikian
tidak perlu di buat marah?"
Seketika orang-orang Tiang-lok-pang tertawa gempar
mendengar ucapan itu, mereka menduga sang Pangcu pasti
sudah ambil keputusan akan melabrak pihak Swat-san-pay,
maka sengaja menggunakan kata-kata demikian untuk
mengolok-oloknya. Segera ada seorang menanggapi, "Ya, jika
terlalu mahal tentu kita tidak mampu membelinya. Bila agak
murah sedikit, hehe, tentu kita dapat ...."
"Cring", mendadak terdengar suara nyaring disertai
berkelebatnya sinar pedang. Kiranya Ong Ban-jim sudah tak
dapat menahan rasa murkanya, pedangnya lantas menusuk ke
dada Ciok Boh-thian. Untung Pek Ban-kiam keburu melolos
pedang juga dan mengetok ke batang pedang sang Sute
sehingga senjata Ong Ban-jim itu hampir-hampir terlepas dari
cekalan, tangannya sampai pegal tergetar. Dan dengan
sendirinya tusukan itu hanya mencapai setengah jalan saja dan
tak dapat diteruskan. Berbareng Pek Ban-kiam juga lantas membentak, "Sakit hati
kita kepada orang ini sedalam lautan, mana boleh dibereskan
dengan sekali tusuk saja?"
"Sret", ia masukkan kembali pedangnya, lalu berkata kepada
Boh-thian dengan suara geram, "Nah, Ciok-pangcu,
sesungguhnya kau kenal padaku atau tidak?"
Boh-thian manggut-manggut, sahutnya, "Ya, aku kenal kau.
Bukankah kau adalah Gi-han-se-pak Pek Ban-kiam dari SwatKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
san-pay?" "Bagus jika kau masih kenal padaku," ujar Ban-kiam. "Nah apa
yang pernah kau lakukan tentunya akan kau akui, bukan?"
"Apa yang pernah kulakukan sudah tentu aku mengakui," sahut
Boh-thian. "Baik, dan sekarang aku ingin tanya padamu. Ketika berada di
Leng-siau-sia dahulu siapa namamu?"
"Ketika di Leng-siau-sia?" Boh-thian menegas sambil garukgaruk
kepalanya yang tidak gatal. "Kapan sih aku pernah ke
sana" O, ya, tempo dulu waktu aku turun gunung untuk
mencari ibu dan si kuning, aku pernah menjelajahi beberapa
buah kota, aku pun tidak tahu apa nama kota-kota itu, besar
kemungkinan di antaranya ada sebuah kota yang bernama
Leng-siau-sia." "Kau tidak perlu melantur-lantur dan berlagak pilon," semprot
Pek Ban-kiam. "Hendaklah bicara terus terang saja, namun
aslimu toh bukan Ciok Boh-thian."
"Benar, benar! Memangnya aku bukan Ciok Boh-thian," seru
Boh-thian dengan tersenyum. "Tapi merekalah yang telah salah
mengenali diriku. Ya, betapa pun memang Pek-suhu lebih
pintar, sekali tebak lantas tahu bahwa aku bukan Ciok Bohthian."
"Bagus! Dan siapakah namamu yang asli, cobalah katakan biar
didengar oleh semua yang hadir di sini ini," ujar Ban-kiam.
"Dia bernama apa" Hm, dia bernama Kau-cap-ceng!" sela Ong
Ban-jim dengan makiannya.
Sekali ini bergilir orang-orang Tiang-lok-pang yang serentak
berbangkit dengan marah dan sama melolos senjata. Namun
Ong Ban-jim tidak menjadi gentar, ia sudah bertekad biarpun
dicincang oleh orang-orang Tiang-lok-pang juga tiada takkan
peduli asalkan dapat mencaci maki lebih dulu si Kau-cap-ceng
(anak anjing) ini. Tak terduga bahwa makiannya itu tidak membikin murka Ciok
Boh-thian, sebaliknya pemuda itu malah bertepuk tangan dan
bergelak tertawa, serunya, "Ya, benar, benar, sedikit pun tidak
salah, memangnya aku ini bernama Kau-cap-ceng, entah dari
mana kau mendapat tahu?"
Sudah tentu jawaban Ciok Boh-thian ini membikin semua orang
terlongong-longong bingung kecuali beberapa orang seperti
Pwe Hay-ciok, Ting Put-sam dan lain-lain yang pernah
mendengar pemuda itu mengaku bernama "Kau-cap-ceng".
Diam-diam Pek Ban-kiam membatin, "Bocah ini benar-benar
licin dan licik, benar-benar lain daripada yang lain, sampai caci
maki Ong-sute barusan juga diterimanya bulat-bulat. Terhadap
manusia licik demikian harus hati-hati, sedikit pun tidak boleh
lengah." Sedangkan Ong Ban-jim lantas terbahak-bahak geli, serunya,
"Hahahaha! Jadi kau memang benar adalah Kau-cap-ceng"
Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!"
"Namaku memang Kau-cap-ceng, kenapa mesti dibuat geli?"
sahut Boh-thian. "Dahulu kalau ibumu juga memanggil kau
sebagai Kau-cap-ceng, maka sekarang kau tentu juga sudah
menjadi Kau-cap-ceng."
"Ngaco-belo!" bentak Ban-jim dengan murka. Berbareng
pedangnya lantas bergerak dalam jurus "Hui-sah-cau-ciok"
(pasir terbang batu bertebaran), sinar pedang gemerdep,
kontan ia menusuk ke dada Ciok Boh-thian.
Pek Ban-kiam sengaja hendak melihat selama beberapa tahun
ini ilmu silat aneh apa yang telah dipelajari Ciok Boh-thian
sehingga dalam usianya yang masih muda belia itu sudah
menjadi Pangcu suatu organisasi besar serta disegani tokohtokoh
sebangsa Pwe Hay-ciok dan lain-lain. Maka tindakan Ong
Ban-jim itu tidak dicegahnya, walaupun mulutnya pura-pura
menegur, tapi sengaja membiarkan Ong Ban-jim menerjang ke
depan. Meski Boh-thian pernah belajar beberapa tahun ilmu Lwekang,
tapi dalam hal bertempur sama sekali tiada pengalaman dan
tak pernah belajar cara-cara berkelahi. Keruan ia menjadi
kelabakan ketika melihat ujung pedang Ong Ban-jim
menyambar ke arahnya, ia tak tahu cara bagaimana harus
menangkis atau menghindar, dalam gugupnya secara otomatis
kedua tangannya lantas menolak ke depan, karena dia
memakai baju panjang yang berlengan panjang dan gondrong,
maka lengan baju itu menjadi seakan-akan dikebutnya ke
depan. Terdengarlah suara "krak" sekali menyusul tubuh Ong
Ban-jim terus mencelat ke belakang dan "blung", badannya
tertumbuk di pintu ruangan besar itu.
Tadi ketika orang-orang Swat-san-pay sudah masuk ke dalam
Hou-beng-tong, segera orang-orang Tiang-lok-pang menutup
pintu, mereka menaksir bila terjadi pertengkaran, maka orangorang
Swat-san-pay akan dapat dibekuk dan tak bisa
meloloskan diri. Daun pintu ruangan itu terbuat dari kayu pilihan yang sangat
kuat, dilapis pelat besi diberi berpaku tembaga. Begitu
punggung Ong Ban-jim tertumbuk di atas pintu, menyusul
lantas terdengar suara "crat-cret" dua kali, dua potong pedang
patah berbalik menancap di atas badannya sendiri. Dengan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemas ia terbanting jatuh di atas lantai, darah segar merembes
ke luar dan dalam sekejap saja sudah membasahi bajunya
yang putih itu. Cepat Kwa Ban-kin dan Hoa Ban-ci memburu maju, yang
seorang memeriksa napasnya dan yang lain memeriksa
nadinya. Untung meski tenaga dalam Ciok Boh-thian sangat kuat, tapi
dia tak tahu cara bagaimana menggunakannya, maka Ong
Ban-jim selain menderita luka luar itu, jiwanya boleh dikata
selamat. Hanya satu jurus yang diperlihatkan Ciok Boh-thian ini bukan
saja membikin panik orang-orang Swat-san-pay, bahkan di
pihak orang Tiang-lok-pang juga gempar, mereka bergirang
dan terheran-heran pula, sebab ilmu silat sang Pangcu itu
hanya diketahui sangat aneh dan susah dijajaki, tapi belum
pernah diketahui bahwa Lwekangnya ternyata sedemikian
dahsyatnya. Diam-diam Pwe Hay-ciok mengangguk dan membatin, "Pangcu
hanya menghilang setengah tahun saja dan ternyata beliau
memang sedang meyakinkan semacam Lwekang yang lihai,
dengan hasilnya ini sungguh Tiang-lok-pang harus merasa
bahagia sekali." Sebaliknya Pek Ban-kiam lantas menjengek, "Ciok-pangcu,
sebagai orang Bu-lim kita harus mengutamakan tentang
perbedaan kedudukan dan antara tua dan muda. Setiap orang
yang berani melawan orang tua adalah khianat dan durhaka.
Guru dipandang melebihi ayah sendiri. Engkau pernah belajar
silat di perguruan Swan-san-pay kami maka jelek-jelek Ongsute
ini juga terhitung kau punya Susiok, tapi sekali gebrak kau
sudah turun tangan keji, sebenarnya apa alasanmu" Segala
persoalan di dunia ini tak bisa mengesampingkan tentang
"kebenaran", biarpun ilmu silatmu mahatinggi juga takkan
terhindar dari keadilan."
"Apa yang kau maksudkan, sedikit pun aku tidak paham,"
demikian sahut Boh-thian dengan bingung. "Kapan aku pernah
belajar ilmu silat di tempat Swat-san-pay kalian?"
"Sampai saat ini kau masih tidak mau mengaku?" Ban-kiam
menegas dengan aseran. "Kau mengaku sebagai Kau-cap-ceng,
hehe, kau rela merendahkan dirinya sendiri adalah urusanmu
sendiri. Tapi ayah-ibumu adalah kesatria-kesatria terutama di
dunia Kangouw. Kalau kau tidak mau mengaku perguruanmu,
apa terhadap ayah-bundamu juga kau tidak mau mengaku?"
Boh-thian menjadi girang, cepat ia menjawab, "He, kau kenal
ayah-ibuku" Wah, baik sekali kalau begitu. Pek-suhu, harap
engkau suka memberitahukan padaku, di manakah ibuku"
Siapakah ayahku?" Sambil bicara lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan
sikap yang sungguh-sungguh dan tulus.
Pek Ban-kiam menjadi bingung malah, ia tidak paham apa
maksud tujuan sikap pura-pura pemuda itu.
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Orang ini mahajahat dan
mahalicin, sekali-kali tidak boleh diukur menurut orang biasa.
Demi untuk menutupi asal usulnya sendiri sampai-sampai
ayah-ibunya sendiri juga tak diakuinya. Kalau dia sudah mau
mengaku dirinya sendiri sebagai Kau-cap-ceng, dengan
sendirinya tentang perguruan dan orang tua tak terpikir lagi
olehnya." Begitulah, seketika hati Pek Ban-kiam menjadi bimbang, ia
menghela napas panjang dan berkata, "Bakat sebagus ini
justru tidak mau belajar yang baik, sungguh sayang."
"Pek-suhu, kau bilang sayang, ada apakah dengan ayahibuku?"
tanya Boh-thian agak bingung.
"Jika kau masih mempunyai rasa khawatir atas diri ayahibumu,
hal ini menandakan kau masih belum durhaka sama
sekali," ujar Ban-kiam. "Ilmu pedang ayah-ibumu sangat sakti,
suami-istri berkelana di Kangouw bersama, sudah tentu
mereka takkan menghadapi sesuatu bahaya apa-apa."
Dalam pada itu dengan dipapah oleh Kwa Ban-kin dan Hoa
Ban-ci, perlahan-lahan Ong Ban-jim telah sadar kembali dan
terdengar suara rintihannya.
Hati Ciok Boh-thian memangnya sangat welas asih, segera ia
bertanya, "Toako ini tadi mengapa mendadak terbang ke
belakang dan seperti tertumbuk jatuh di sana" Pwe-siansing,
apakah dia terluka parah?"
Pertanyaan Boh-thian ini sebenarnya timbul dari hati nuraninya
yang baik, tapi bagi pendengaran orang lain semuanya
menganggap dia sengaja menyindir. Seketika sebagian besar
orang-orang Tiang-lok-pang bergelak tertawa, ada yang
memuji kelihaian sang Pangcu ada pula yang mengolok-olok
pihak Swat-san-pay. "Hm, hanya dengan sedikit kepandaian
begitu saja juga berani main gila ke sini, sekarang sesudah
kalian diberi tahu rasa oleh Pangcu baru nyaho!" demikian
cemooh mereka. Namun Pek Ban-kiam anggap tidak mendengar semua olokolok
itu, segera ia berseru pula dengan suara lantang, "Ciokpangcu,
kunjungan kami ke sini ini adalah untuk urusan pribadi
Ciok-pangcu sendiri saja dan tiada sangkut pautnya dengan
sahabat-sahabat yang lain, maka pihak Swat-san-pay kami
tidak ingin bertengkar mulut seperti di tengah pasar. Nah, Ciok
Tiong-giok, aku hanya ingin bertanya padamu, kau sebenarnya
mau mengaku atau tidak?"
"Ciok Tiong-giok" Siapa itu Ciok Tiong-giok?" Kau ingin aku
mengaku tentang apa?" Boh-thian menegas dengan melongo
heran. "Kau tidak perlu berlagak pilon," ujar Ban-kiam. "Gurumu
Hong-hwe-sin-liong telah berkorban sebelah lengan lantaran
perbuatanmu yang rendah dan kotor itu. Padahal budi Hongsuko
terhadapmu adalah lebih besar daripada gunung, apakah
sedikit pun dalam hatimu tidak merasa menyesal dan merasa
malu?" Karena apa yang dikatakan Ban-kiam itu memang tidak bisa di
pahami oleh Ciok Boh-thian, maka ia lantas bertanya lagi,
"Hong-hwe-sin-liong" Hong-suko" Siapakah dia" Mengapa dia
mengorbankan sebelah lengannya lantaran perbuatan yang
rendah dan kotor" Apa sih per ... perbuatanku yang rendah dan
kotor itu?" Sungguh tidak kepalang rasa murka Pek Ban-kiam, sudah tetap
tidak mau mengaku, bahkan akhirnya pemuda yang dianggap
durhaka itu sengaja mendesaknya agar menguraikan apa yang
terjadi di Leng-siau-sia seperti putrinya hendak diperkosa,
akhirnya membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang,
kejadian-kejadian yang memalukan dan mengenaskan itu
masakah pantas untuk diceritakan di hadapan orang luar"
Saking murkanya "sret" pedangnya terlolos, tangannya
bergerak, sinar pedang gemerlap, "tok" pedang sudah masuk
kembali ke dalam sarungnya lagi.
Habis itu ia berkata pula sambil menunjuk bekas-bekas pedang
di atas pilar di sebelahnya dan berseru, "Saudara-saudara
sekalian, ilmu pedang Swat-san-pay kami adalah terlalu rendah
dan menertawakan bagi kaum ahli. Tapi sejak cikal bakal kami
mendirikan golongan kami sampai sekarang, turun-temurun
kami ada suatu kebiasaan, yaitu, bila pedang kami beruntung
dapat melukai pihak lawan, maka di tempat luka itu tentu akan
kelihatan bentuk Swat-hoa (bunga salju) bersayap enam."
Segera semua orang memandang ke arah pilar, maka
tertampaklah di atas pilar yang bercat merah itu ada enam titik
bekas tusukan pedang, setiap titik itu berbentuk bunga salju
yang bersayap enam. Keenam titik bekas pedang itu berbaris
dengan sangat rajin dalam bentuk segi enam. Padahal pedang
Pek Ban-kiam tadi kelihatannya cuma berkelebat sekali saja,
lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya, hanya dalam
sekejap saja, dengan getaran pedangnya sudah terbentuk
bunga salju sebanyak itu, betapa cepat dan jitunya ilmu
pedang Pek Ban-kiam itu sungguh susah dibayangkan.
Kalau tadi banyak di antara orang-orang Tiang-lok-pang
memandang hina kepada pihak Swat-san-pay karena sekali
gebrak saja Ong Ban-jim sudah dibikin mencelat oleh Ciok Bohthian,
tapi sekarang sesudah menyaksikan kepandaian Pek
Ban-kiam yang lihai ini, mau tak mau mereka merasa kagum
dan bahkan ada yang bersorak memuji.
"Sedikit kepandaian orang she Pek ini sesungguhnya tiada
artinya, aku percaya tentu tidak sedikit di antara para hadirin
yang jauh lebih pandai daripada diriku," demikian kata Bankiam
dengan rendah hati. "Jadi sesungguhnya dengan
kepandaianku yang rendah ini sekali-kali aku tidak berani main
gila ke tempat kalian ini. Hanya saja ada satu urusan yang
kami inginkan kesaksian para sahabat. Dahulu tujuh tahun
yang lalu, dalam Swat-san-pay kami terdapat seorang murid
celaka yang bernama Ciok Tiong-giok, secara sembrono dan
kurang ajar dia telah berani coba-coba bertanding dengan Liaususiok
kami. Untuk memberi hajar adat padanya, maka Liaususiok
sengaja melukai paha anak durhaka itu dan
meninggalkan bekas luka dalam bentuk bunga salju seperti di
atas pilar ini. "Meski ilmu pedang golongan kami hanya biasa saja dan tidak
mengherankan, tapi di dunia ini tiada ilmu pedang lain yang
dapat meninggalkan bekas bunga salju demikian. Nah, Ciok
Tiong-giok, kau telah mendustai semua orang dan tidak berani
memperlihatkan asal usulmu yang sebenarnya. Coba sekarang
kau menyingsing lengan celanamu, biar dilihat oleh para
hadirin apakah di pahamu ada bekas luka itu atau tidak?"
"Kau suruh aku menyingsing lengan celanaku?" Boh-thian
menegas dengan heran. "Benar, sahut Ban-kiam. "Jika di pahamu tiada terdapat bekas
luka itu maka aku inilah yang buta dan dengan sendirinya akan
minta maaf atas kelancangan kami ini. Sebaliknya kalau
pahamu terdapat bekas luka itu lantas ... lantas bagaimana?"
"Jika di atas pahaku terdapat bekas luka demikian, itu benarbenar
sangat aneh, sebab aku sendiri sama sekali tidak tahu,"
ujar Boh-thian dengan tertawa.
Diam-diam Pek Ban-kiam menjadi ragu-ragu sendiri melihat
sikap Ciok Boh-thian yang tenang itu. Tapi ia yakin pemuda ini
pasti Ciok Tiong-giok yang dicarinya itu. Walaupun sudah
selang beberapa tahun, tindak tanduknya tampak agak
berbeda daripada dulu, tapi mukanya sedikit pun tidak salah.
Apalagi sesudah Hoa-sumoay bebas dari tawanan orang TiangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
lok-pang, dengan pasti dia yakin Ciok Boh-thian inilah sama
orangnya dengan Ciok Tiong-giok, masakah beberapa pasang
mata bisa salah lihat semua"
Selagi Ban-kiam termenung, dengan tertawa Tan Tiong-ci
lantas berkata, "Haha, kau ingin melihat bekas luka Pangcu,
sebaliknya Pangcu ingin melihat bekas luka di kaki nona Hoa.
Di sini terlalu banyak orang, ada lebih baik silakan Pangcu dan
nona Hoa saling lihat ke dalam kamar saja."
Ban-kiam menjadi murka, mendadak ia maju ke depan dan
membentak, "Ciok Tiong-giok, dasar orang berdosa, kau tidak
mau memperlihatkan bekas luka di kakimu, maka boleh ikut
aku pulang ke Leng-siau-sia saja!"
"Sret", berbareng pedang sudah terhunus di tangannya.
"Eh-eh, Pek-suhu mengapa menjadi marah?" ujar Boh-thian.
"Di atas kakiku selamanya tiada bekas luka apa-apa, jika tidak
percaya bolehlah kuperlihatkan."
Sambil berkata ia terus menyingsing lengan celananya
sehingga kelihatan pahanya. Seketika suasana di ruang besar
itu menjadi sunyi senyap, perhatian semua orang terpusat
kepada paha Ciok Boh-thian.
Mendadak terdengar jeritan terkejut orang banyak.
Ternyata di sisi luar paha kiri Ciok Boh-thian memang benar
ada enam titik bekas luka. Keruan di antara orang-orang itu
yang paling terkejut adalah Boh-thian tersebut sendiri. Ia coba
gosok-gosok bekas luka itu, tetapi bekas luka itu memang
nyata dan berada di atas pahanya. Ia kucek-kucek matanya
dan kembali mengamat-amati paha sendiri pula, namun bekas
luka itu memang sama benar dengan bekas pedang di atas
pilar tadi. Sembilan pasang mata orang-orang Swat-san-pay sekarang
menatap tajam kepada Ciok Boh-thian, mereka tidak bicara
lagi, tapi menantikan pengakuan dosa Ciok Boh-thian sendiri.
Dahi Ciok Boh-thian sampai berkeringat. Ia meraba bekas luka
di paha itu, lalu meraba-raba pula bekas luka di atas pundak
sambil menggumam, "Aneh, di kaki ada bekas luka, di atas
pundak juga ada luka, mengapa orang lain mengetahui,
sebaliknya aku ... aku malah tidak tahu. Jangan-jangan aku
benar-benar sudah melupakan segala kejadian di masa
dahulu?" Ia coba memandang Pwe Hay-ciok, dilihatnya penasihat itu
menggeleng kepala perlahan. Ia menoleh ke arah Ting Tong,
anak dara itu tampak mengerut hidung dan mencibir padanya.
Ia coba memandang juga kepada Ting Put-sam, orang tua itu
angkat lengan baju kanan untuk menutupi gerakan tangan kiri
yang memberi tanda agar segera labrak pihak lawan saja.
Pada saat itulah Tan Tiong-ci telah mendekati sang Pangcu dan
mengaturkan sebatang pedang sambil membisiki, "Pangcu,
tidak perlu banyak bicara dengan mereka. Segala urusan
biarlah diputuskan dengan kepandaian saja. Yang menang
adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah."
Rupanya Tan Tiong-ci yakin dengan kepandaian sang Pangcu
yang aneh serta Lwekangnya yang hebat itu tentu dapat
mengalahkan Pek Ban-kiam. Kalah berdebat terpaksa pakai
kekerasan. Paling-paling main kerubut, dengan jumlah orang
Tiang-lok-pang yang jauh lebih banyak pasti akan dapat
membekuk orang-orang Swat-san-pay itu, demikian pikirnya.
Secara tak sadar Boh-thian telah terima pedang yang
disodorkan padanya itu. Di lain pihak Pek Ban-kiam lantas berseru dengan suara
kereng, "Dengarkanlah Ciok Tiong-giok, hari ini Pek Ban-kiam
mendapat titah Wi-tek Siansing selaku Ciangbunjin kita, agar
melakukan pembersihan rumah tangga sendiri. Maka urusan ini
adalah urusan dalam Swat-san-pay dan tiada sangkut pautnya
dengan orang luar. Jikalau di dalam markas Tiang-lok-pang ini
tidak pantas digunakan gelanggang pertarungan, bagaimana
kalau kita keluar saja untuk menentukan mati dan hidup?"
"Buat ... buat apa mesti menentukan mati dan hidup?" sahut
Ciok Boh-thian dengan bingung.
Tiba-tiba Ting Tong mendorong perlahan di punggungnya dan
membisikinya, "Engkoh Thian, hayo majulah! Labrak saja dia!
Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dia, sekali tusuk
bunuh saja dia!" "Ti ... tidak, buat apa membunuh dia" Dia toh bukan orang


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahat?" sahut Boh-thian dan tanpa merasa melangkah maju
beberapa tindak. Melihat tindakan pemuda itu sangat kukuh dan kuat, terang
Lwekangnya sangat hebat. Tadi Pek Ban-kiam juga sudah
menyaksikan Ong Ban-jim terpental hanya kena kebasan
lengan bajunya saja, sekarang dengan sendirinya ia tidak
berani ayal sedikit pun. Segera pedangnya menyendal sekali,
dengan jurus "Bwe-swat-ceng-jun" (bunga Bwe dan bunga
salju bertebaran), sinar pedangnya berkilau, ujung pedang dan
mata pedang digunakan berbareng terus menyerang ke arah
Ciok Boh-thian. Seketika Boh-thian merasa pandangannya menjadi silau dan
tak dapat membedakan yang mana ujung pedang dan yang
mana mata pedang. Dengan gugup kembali Ciok Boh-thian mengebutkan kedua
lengan bajunya secara serabutan. Percuma saja dia memiliki
Lwekang yang tinggi tapi sama sekali tak dapat menggunakan.
Tadi Ong Ban-jim kena disengkelit dan terpental adalah karena
kebetulan saja, sekarang dia mengebas lengan baju pula,
karena tenaga dalamnya tak terpakai, pula kepandaian PekBan-kiam juga tidak dapat disamakan dengan Ong Ban-jim,
maka terdengarlah suara "brat-bret" beberapa kali, kedua
lengan baju Ciok Boh-thian telah terkupas robek oleh pedang
Pek Ban-kiam menyusul tenggorokan Boh-thian terasa "nyes"
dingin, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah mengancam di
lehernya. Rupanya Pek Ban-kiam insaf jago-jago di pihak lawan teramat
banyak, terutama tokoh-tokoh Pwe Hay-ciok dan si kakek
berbaju kasar yang berdiri di belakang Ciok Boh-thian itu tentu
ilmu silatnya susah diukur. Berada di tempat berbahaya, sekali
mendapat kesempatan, mana boleh pihak lawan kelonggaran"
Maka segera ia mendesak maju, secepat kilat Ciok Boh-thian
lantas dikempitnya dengan kencang berbareng lengannya
menjepit sekuat-kuatnya di tempat Hiat-to bagian pinggang
Ciok Boh-thian sehingga pemuda itu tak bisa berkutik
berbareng ia terus membentak, "Para sobat, hari ini terpaksa
kami harus lancang tangan, biarlah lain hari kami akan datang
lagi untuk minta maaf."
Melihat sang Suheng telah berhasil menawan musuh, tanpa
diperintah serentak Kwa Ban-kin menggendong Ong Ban-jim
yang terluka terus mendahului menerjang ke arah pintu.
Namun Tan Tiong-ci dan Bi Heng-ya telah melompat maju
bersama sambil membentak, "Tinggalkan Pangcu!"
Berbareng golok mereka terus menyerang, yang satu
membacok pundak dan yang lain menebas kedua kaki Pek Bankiam.
Tapi pedang Pek Ban-kiam hanya sedikit bergerak saja dan
"cring-cring" dua kali berturut-turut, tapi selisih kedua
tangkisan itu sebenarnya cuma sekejap mata saja cepatnya.
Ketiga orang sama-sama terkejut dan sama-sama tergetar
mundur satu tindak oleh tenaga dalam masing-masing.
Sekilas timbul pikirannya Pek Ban-kiam bahwa hanya ilmu silat
kedua lawan ini saja sudah sedemikian lihainya apalagi kalau
mereka mengerubut maju bersama maka pihak sendiri yang
cuma berjumlah sembilan orang saja pasti akan gugur semua
di situ. Secepat kilat ia lantas melompat ke samping dan berdiri
membelakangi dinding, lalu bentaknya, "Ciok Tiong-giok sudah
kutawan, kalau kalian main kerubut, terpaksa aku
membinasakan dia dahulu untuk kemudian melayani kalian."
Para jago Tiang-lok-pang itu tiada seorang pun yang menduga
bahwa Pangcu mereka yang berkepandaian sedemikian
tingginya hanya dalam satu gebrakan saja sudah kena ditawan
musuh, keruan mereka menjadi panik dan bingung. Bahkan
kejadian yang luar biasa ini pun di luar dugaan Ting Put-sam
yang berpengalaman luas itu.
Ting Put-sam saling pandang sekejap dengan Ting-Tong. Air
muka Ting Tong tampak sangat khawatir, berulang-ulang ia
memberi tanda agar sang kakek turun tangan. Tapi Ting Putsam
hanya tersenyum-senyum saja tanpa memberi reaksi apaapa.
Ia anggap ilmu silat Ciok Boh-thian sangat tinggi, hal ini
pernah dicobanya dengan tenaga dalam yang kuat, pemuda itu
telah memunahkan tepukannya di atas perahu tempo hari itu,
maka tidaklah mungkin dengan sedemikian gampangnya dia
kena ditawan musuh, tentu di balik kejadian ini ada tujuan
tertentu, kalau dirinya ikut campur tentu akan membikin
runyam rencananya malah. Maka ia sengaja tinggal diam saja
untuk menantikan perkembangan selanjutnya.
Melihat sikap sang kakek yang acuh tak acuh dan tenangtenang
itu, Ting Tong menjadi lega. Namun begitu ia tetap
khawatir juga karena sang suami berada dalam tawanan
musuh. Dalam pada itu, dengan kedua tangannya menolak daun pintu,
Kwa Ban-kin sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mendorong pintu itu, tapi pintu itu hanya mengeluarkan suara
berkeriutan saja dan tidak mau terbuka. Rupanya di luar pintu
sana telah ditahan dengan balok-balok kayu yang kuat.
Melihat daun pintu yang didorong sekuatnya itu lambat laun
mulai terpentang, cepat Pwe Hay-ciok melompat maju dan
berseru, "Sobat Kwa jangan terburu-buru pergi dulu, biarlah
kami suruh orang membuka pintu dan mengantar
keberangkatan kalian,"
"Mundur!" bentak Hoa Ban-ci sebelum Pwe Hay-ciok mendekat,
dengan pedang terhunus ia menjaga di belakang Kwa Ban-kin.
Namun Pwe-Hay-ciok tidak gentar, mendadak jarinya yang
kuat sebagai kait itu terus mencengkeram ke atas pedang
lawan. Ban-ci terkejut, ia heran apakah tangan orang she Pwe itu
kebal senjata tajam" Dan karena sedikit ayal itulah tahu-tahu
jari Pwe Hay-ciok sudah mendekati, sekonyong-konyong
cengkeramannya berubah menjadi menyelentik, "creng",
tangan Hoa Ban-ci sampai kesaktian, pedang terlepas dari
cekalan dan jatuh ke lantai. Berbareng tangan kanan Pwe HayKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
ciok lantas merangsang maju pula dan tepat pundak Banci
kena ditepuk sekali. Serangan Pwe Hay-ciok ini dilakukan dengan gesit dan cepat
sekali, sungguh tidak kalah indahnya kalau dibandingkan
betapa hebat caranya Pek Ban-kiam membuat enam titik bunga
pedang di atas pilar tadi.
Diam-diam Ting Put-sam memberi pujian juga, sebabnya Pwe
Hay-ciok terkenal di Bu-lim, nyata dia punya ilmu pukulan Ngohengliok-hap-ciang memang mempunyai keunggulannya
sendiri. Pwe Hay-ciok masih menyusur kian kemari dengan cepat
sekali, ia menyelentik di sini dan memukul di sana. Para murid
Swat-san-pay itu kecuali Ong Ban-jim yang sudah terluka,
sisanya beruntun-runtun telah dirobohkan semua.
Setiap orang paling-paling hanya mampu bergebrak tiga-empat
jurus saja dengan Pwe Hay-ciok dan musuh dirobohkan.
"Kepandaian bagus, Ngo-heng-liok-hap-ciang yang hebat,
orang she Pek kelak pasti akan belajar kenal padamu!" seru
Pek Ban-kiam. Mendadak ia meloncat ke atas, "brak" atap
rumah telah disundul olehnya sehingga berlubang, dengan
mengempit Ciok Boh-thian ia lantas menerobos keluar.
"Kenapa tidak belajar kenal sekarang saja?" seru Pwe Hay-ciok,
menyusul ia pun meloncat ke atas dan hendak menguber lawan
melalui lubang atap yang bobol itu.
Tapi mendadak matanya menjadi silau, bintik sinar pedang
sebagai hujan mencurah telah mengancam kepalanya.
Dalam keadaan terapung di udara, pula tidak bersenjata, sudah
tentu Pwe Hay-ciok tidak dapat menangkis serangan itu,
seketika ia membikin antap badannya dan anjlok kembali
mentah-mentah ke bawah. Gerakan itu tampaknya sepele saja, tapi dalam sekejap dapat
mengubah daya loncat ke atas itu menjadi anjlok ke bawah,
asal telat sekejap saja tentu sudah terluka oleh pedang lawan,
ketangkasan Pwe Hay-ciok ini membikin para jago yang berada
di ruangan situ sama memuji di dalam hati.
Namun berkat serangannya itu Pek Ban-kiam telah sempat
membawa lari Ciok Boh-thian.
Sedangkan Pwe Hay-ciok begitu kakinya menyentuh lantai
kembali ia meloncat ke atas untuk mengejar.
Ting Tong ikut sibuk, cepat ia pun bermaksud meloncat keluar
melalui lubang atap yang bobol itu. Namun Ting Put-sam
keburu menarik tangan anak dara itu dan membisikinya, "Tidak
perlu buru-buru!" Di tengah berhamburnya batu pasir rontokan genting atap itu
sekonyong-konyong di antara murid-murid Swat-san-pay yang
menggeletak di lantai itu, seorang yang bertubuh kurus kecil
mendadak meloncat ke atas segesit kucing dan secepat kera
menerobos keluar melalui lubang atap itu.
Tan Tiong-ci sempat menebas dengan goloknya, terdengar
"sret" sekali, selapis tumit sepatu orang itu kena tertebas,
hanya selisih beberapa senti saja kaki orang kurus kecil itu
tentu terkutung. Orang-orang Tiang-lok-pang sama melengak, tak terduga oleh
mereka bahwa di antara jago-jago Swat-san-pay itu selain Pek
Ban-kiam ternyata masih ada seorang jago selihai itu, sudah
terang tadi orang itu sudah ditutuk roboh oleh Pwe Hay-ciok
tapi mampu mengerahkan tenaga dalam dan membuka Hiat-to
sendiri yang tertutuk itu lalu meloloskan diri di depan orang
banyak. Khawatir kalau ketujuh orang tawanan yang lain akan kabur
lagi, segera Bi Heng-ya menambahi beberapa kali tutukan pada
setiap orang itu. Dalam pada itu sudah ada belasan jago Tiang-lok-pang dengan
bersenjata telah ikut mengejar keluar melalui lubang atap yang
bobol itu. Orang-orang Tiang-lok-pang itu berpendapat, orang
lain telah berani main gila ke sarang mereka dan bahkan
menawan Pangcu mereka, kalau sang Pangcu tidak direbut
kembali, maka untuk selanjutnya nama Tiang-lok-pang mereka
pasti akan runtuh. Walaupun pihak musuh juga tertawan tujuh
orang, tapi biarpun bagaimana juga tak dapat mengimbangi
tertawannya sang Pangcu. Mereka yakin asal orang she Pek itu
dapat dicegat, lalu dikerubut, akhirnya sang Pangcu tentu
dapat diselamatkan dan hal ini akan merupakan pahala besar
bagi mereka yang berjasa itu. Karena itulah dengan penuh
semangat mereka lantas menguber musuh secara terpencar.
Sementara itu fajar sudah menyingsing, orang-orang Tianglokpang yang dikerahkan untuk mencari musuh semakin
banyak. Tapi meski sudah diuber dan dicari kian kemari dalam
jarak seluas belasan li, ternyata jejak musuh itu sama sekali
tak tertampak. Kiranya Pek Ban-kiam sendiri pun terheran-heran bahwa dalam
satu jurus saja Ciok Boh-thian sudah kena ditawannya. Ia tahu
kejadian itu tentu hanya secara kebetulan saja, walaupun
berhasil menawan orang yang dicarinya itu tapi orang-orang
Tiang-lok-pang telah dikerahkan semua untuk mengejarnya,
untuk melarikan diri tentu juga sukar.
Ia coba memandang sekelilingnya, tertampak di hulu sungai
sebelah barat sana ada sebuah jembatan batu. Tanpa pikir lagi
ia terus berlari ke sana dan menyusup ke bawah jembatan. Ia
mengepit Ciok Boh-thian dengan tangan kiri, pedang di tangan
kanan lantas ditusukkan ke dalam celah-celah batu jembatan
sehingga terjepit dengan kencang. Lalu dengan sebelah tangan
itu menggandul dan pepetkan tubuhnya di bawah jembatan itu.
Tidak lama kemudian lantas terdengar suara suitan orangorang
Tiang-lok-pang bahkan ada yang melintasi jembatan itu,
getaran orang-orang itu waktu menginjak jembatan itu hampirhampir
membikin pedang Pek Ban-kiam terlepas dari celahcelah
batu. Diam-diam Pek Ban-kiam sudah ambil keputusan kalau
jejaknya diketahui musuh, maka besar kemungkinan terpaksa
harus membunuh dulu pemuda tawanannya itu.
Terdengar ada suatu rombongan orang-orang Tiang-lok-pang
sedang mencarinya dengan menyusur tepi sungai. Ketika
hampir mendekati jembatan itu, mendadak di semak alangalang
sana ada suara keresek, ada seorang secepat terbang
telah berlari ke arah yang berlawanan sana. Dari suara
tindakan dan gerakan orang itu Ban-kiam tahu adalah seorang
Sutenya yang bernama Ang Ban-ek.
Ia bergirang dan merasa lega. Ang Ban-ek itu tergolong nomor
satu dalam hal Ginkang di antara sesama jago-jago Swat-sanpay,
larinya secepat terbang, tiada seorang pun yang mampu
menyusulnya. Nyata sekali perbuatannya barusan ialah untuk
membelokkan perhatian musuh dan memancing pihak musuh
mengejarnya ke jurusan lain, dengan demikian dapat memberi
kesempatan kepada Pek Ban-kiam untuk meloloskan diri dari
tempat bahaya itu. Dan ternyata benar juga, orang-orang
Tiang-lok-pang beramai-ramai lantas mengejar ke jurusan
sana. Tapi Pek Ban-kiam masih ragu-ragu orang-orang. Tiang-lokpang
terlalu banyak jumlahnya, asal dia memperlihatkan diri,
tentu akan kepergok. Tengah bersangsi, tiba-tiba terdengar suara mendeburnya air,
suara dayung perahu mengayuh, tertampak dari arah timur
sana sedang mendatangi tiga buah perahu beratap, kedua
buah perahu di antaranya penuh memuat sayur-mayur, sebuah
lagi penuh memuat rumput jerami. Rupanya orang kampung
pagi-pagi hendak pergi ke pasar kota Yangcu untuk menjual
hasil tanamannya. Ketiga perahu itu bereret-eretan menerobos
di bawah jembatan batu. Pek Ban-kiam sangat girang, ia tunggu waktu perahu ketiga
lewat di bawah jembatan itu, segera ia tarik pedangnya,
bersama Ciok Boh-thian mereka menjatuhkan diri ke atas
tumpukan jerami di atas perahu itu. Karena tumpukan jerami
itu sangat tinggi dan lunak, maka apa yang terjadi itu sama
sekali tidak diketahui si tukang perahu.
Dengan membawa Ciok Boh-thian segera Ban-kiam menyusup
ke dalam onggok jerami itu sehingga tidak kelihatan dari luar.
Sesudah tiba di pasar kayu bakar, sambil menantikan
tengkulak yang biasa menerima barang dagangannya, si
tukang perahu telah meninggalkan perahunya untuk pergi
makan-minum. Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Pek Ban-kiam. Lebih
dulu ia melongok ke tepi, ia lihat di dekat situ tiada orang lain.
Segera ia membawa Ciok Boh-thian melompat ke daratan.
Dilihatnya di ujung kade sebelah barat sana berlabuh juga
sebuah perahu beratap, segera ia mendatangi perahu itu,
begitu melompat ke atas perahu segera ia sodorkan sepenceng
uang perak seberat empat-lima tahil dan berkata, "Juragan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu, kawanku ini sakit keras dan perlu segera ditolong,
harap kau lekas mengantar kami ke Tingkang."
Melihat biaya yang diberikan itu jauh melebihi biasanya,
juragan perahu menjadi girang, tanpa banyak cincong lagi ia
lantas angkat sauh dan meluncurkan perahunya ke depan.
Sambil sembunyi di dalam perahu beratap itu, diam-diam Pek
Ban-kiam merancang apa yang harus diperbuatnya nanti. Ia
tahu di sekitar daerah Yangciu itu Tiang-lok-pang mempunyai
pengaruh kekuasaan sangat besar, asal jejaknya diketahui,
dalam waktu singkat orang-orang Tiang-lok-pang tentu akan
dapat menyusulnya. Ia bergirang dan sedih pula, girangnya karena Ciok Tiong-giok
yang telah dicarinya sekian lamanya itu sekarang telah dapat
ditangkapnya secara mudah sekali. Sedangkan sedihnya adalah
lantaran para Sute dan Sumoaynya juga ditawan pihak Tianglokpang, entah cara bagaimana harus menolong mereka"
Khawatir kalau-kalau Ciok Boh-thian pura-pura saja, maka
tidak sampai satu jam segera ia menutuk lagi beberapa tempat
Hiat-to di tubuh pemuda itu. Ketika perahu itu sampai di muara
sungai Kwaciu dan masuk di perairan Tiangkang, sementara itu
Ciok Boh-thian sudah berulang-ulang ditutuk sehingga
beberapa puluh kali banyaknya.
Sesudah perahu itu masuk perairan Tiangkang, segera Bankiam
berkata, "Juragan perahu, perahumu boleh kau luncurkan
saja ke hilir ini, kutambah lagi lima tahil perak untukmu."
Juragan perahu itu girang setengah mati, berulang-ulang ia
mengucapkan terima kasih, katanya, "Hadiah tuan penumpang
ini sungguh teramat besar, cuma perahuku ini terlalu kecil dan
tidak kuat menahan gelombang ombak Tiangkang ini, untuk
bisa berlayar terus hanya bisa dilakukan dengan menyusur tepi
sungai saja." "Terserah, asal menyusur tepi utara saja," kata Ban-kiam.
Setelah perahu itu berlayar lebih 20 li jauhnya, tertampak di
tepi sungai sana ada sebuah kelenteng kecil berdinding kuning.
Segera Ban-kiam berdiri ke haluan perahu dan bersuit sekeraskerasnya.
Maka terdengarlah suara suitan pula dari dalam
kelenteng itu. "Menepi di sini, juragan perahu!" seru Ban-kiam.
Tanpa bicara juragan perahu lantas merapatkan perahunya ke
tepi sungai. Ia menancapkan galahnya dan menambat
perahunya, baru saja dia hendak pasang papan loncatan, tahutahu
Pek Ban-kiam sudah melompat ke daratan dengan
mengempit Ciok Boh-thian.
Juragan perahu itu sampai kaget dan kesima melihat cara
penumpangnya melompat seperti terbang itu.
Dan baru saja Ban-kiam mendarat, seketika ia disambut
dengan sorak gembira oleh belasan orang yang keluar dari
kelenteng tadi. Kiranya mereka adalah rombongan kedua dari
murid Swat-san-pay. Ketika melihat Ban-kiam mengepit
seorang pemuda, serentak mereka bertanya, "Pek-suko,
apakah dia?" Bab 15. Munculnya Ciok Jing dan Istri
Ban-kiam membanting Boh-thian ke tanah, katanya dengan
gusar, "Para Sute, beruntung sekali akhirnya anak durhaka ini
dapat kita tangkap. Masakah kalian sudah pangling padanya?"
Waktu semua orang mengamat-amati Ciok Boh-thian, lapatlapat
mereka masih mengenali dia adalah Ciok Tiong-giok, itu
anak yang lincah dan nakal di Leng-siau-sia dahulu. Saking
gemasnya segera ada yang mendepak, ada pula yang meludahi
Boh-thian. "Harap saudara-saudara jangan melukai dia," ujar seorang
murid yang berusia agak lanjut. "Hasil Pek-suko yang gilanggemilang
ini sungguh harus dibuat bersyukur dan diberi
selamat." Namun Ban-kiam menggeleng kepala sahutnya, "Meski bocah
ini dapat kita tangkap kembali, tapi tujuh orang Sute dan
Sumoay kita telah jatuh di tangan musuh, sesungguhnya kita
lebih banyak rugi daripada untungnya."
Sambil bicara mereka lantas berjalan ke dalam kelenteng kecil
itu. Kelenteng kecil yang sudah bobrok itu adalah kelenteng Thotebio (kelenteng Toapekong) yang tiada penghuninya, sebab
itulah murid-murid Swat-san-pay telah menggunakannya
sebagai pos penghubung. Begitulah, orang-orang Swat-san-pay itu lantas mengeluarkan
daharan yang tersedia untuk Pek Ban-kiam. Habis itu mereka
lantas berunding apa tindakan selanjutnya.
Kata Ban-kiam, "Kita sudah dapat menangkap anak durhaka
ini, maka kita harus mengirimnya pulang ke Leng-siau-sia
untuk diserahkan kepada Ciangbunjin. Walaupun tujuh orang
Sute dan Sumoay kita tertawan musuh, kukira jiwa mereka
tidak perlu dikhawatirkan, rasanya orang Tiang-lok-pang
takkan berani mengganggu mereka. Sekarang aku akan
membagi tugas kepada kalian. Thio-sute, Ong-sute dan Tiosute,
kalian adalah orang selatan, maka boleh tinggal di kota
Yangciu dengan menyamar untuk memata-matai pihak musuh
dan memerhatikan keadaan ketujuh Sute dan Sumoay kita
yang tertawan itu, tapi jangan sekali-kali bertindak sendirisendiri."
Segera Thio, Ong dan Tio bertiga mengiakan.
Lalu Pek Ban-kiam menyambung, "Ang Ban-ek, Ang-sute,
orangnya sangat cerdik, ilmu silatnya juga tinggi, sesudah
kalian mengadakan kontak dengan dia, maka kalian harus
menurut kepada pesannya. Janganlah kalian mentang-mentang
sebagai Suheng, lalu berlagak sehingga membikin urusan
menjadi runyam." Ketiga orang itu sangat hormat dan segan kepada Pek-suheng
ini, maka berulang-ulang mereka mengiakan lagi.
"Sekarang kita harus lekas menyeberang ke selatan, lebih dulu
kita mengitar ke sana baru kemudian pulang ke Leng-siau-sia,"
kata Ban-kiam pula. "Walaupun perjalanan menjadi lebih jauh,
tapi orang-orang Tiang-lok-pang pasti tidak menduga jurusan
kita tempuh ini." Dan ucapan ini nyata sekali tanpa tedeng
aling-aling ia telah menunjukkan rasa jerinya kepada pihak
Tiang-lok-pang. Dalam pada itu hari sudah mulai gelap. Ban-kiam menghela
napas dan berkata pula, "Perjalanan kita ini walaupun telah
berhasil membakar Hian-soh-ceng serta dapat menangkap
murid Ciok Tiong-giok ini, tapi kita telah kehilangan dua orang
Sute yang terbunuh secara penasaran Kheng-sute dan lain
ditawan musuh pula, semua ini benar-benar sangat memalukan
golongan kita, Kalau diusut pokok pangkalnya segalanya
adalah lantaran pimpinanku yang tidak becus ini."
"Pek-suko tidak perlu mencela dirinya sendiri," ujar Houyan
Ban-sian, seorang Sutenya yang berumur paling tua. "Padahal
sebab musababnya yang sesungguhnya adalah karena kita
semua ini kurang tekun belajar, kita sudah mendapat didikan
Suhu, tapi dalam perguruan kita selain Hong-suheng dan Peksuheng
berdua yang lain-lain hanya berhasil mendapatkan
sedikit bulu dan kulit ajaran Suhu saja dan tidak dapat
mempelajari intisarinya."
"Ya, dasar kita ini memang seperti katak di dalam tempurung,"
kata seorang Sutenya yang berbadan gemuk dan bernama Bun
Ban-hu. "Di waktu kita saling bertanding di antara kita sendiri
di Leng-siau-sia, kita semua sama menganggap dirinya sendiri
sudah jagoan, sudah kampiun. Tak terduga setelah berada di
dunia luar barulah kita sadar kita ini terlalu pecak. Pek-suko
baru akan berangkat kalau hari sudah gelap, mumpung masih
ada waktu dan kita juga lagi iseng, maka diharap Pek-suko
suka menggunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk
sejurus-dua kepada kami sekalian."
Para Suheng dan Sutenya serentak bersorak menyatakan
setuju. Maka berkatalah Ban-kiam, "Sebenarnya ilmu silat yang
diajarkan Tiatia (ayah) kepada para saudara sedikit pun tiada
bedanya seperti apa yang diajarkannya kepadaku, sama sekali
beliau tiada pernah pilih kasih. Seperti Hong-suheng, dia lebih
giat dan lebih tekun belajar daripadaku, maka kepandaiannya
juga lebih tinggi daripadaku."
"Ya, bahwasanya Suhu tidak pernah pilih kasih, hal ini kita
mengetahui semua," kata Bun Ban-hu, "Soalnya kita sendirilah
yang terlalu bodoh dan tak dapat memahami intisari ajaran
beliau." "Baiklah, kepulangan kita ke Leng-siau-sia ini besar
kemungkinan masih akan banyak mengalami rintanganrintangan,
kalau kita bisa tambah sedikit kepandaian akan
berarti kekuatan kita bertambah pula," kata Ban-kiam, "Nah,
Houya-sute dan Bun-sute, kalian boleh coba-coba mulai
bergebrak, Tio-sute dan Ong-sute silakan pasang mata di luar,
kalau ada sesuatu yang mencurigakan hendaklah segera
memberi tahu." Sebenarnya Tio dan Ong berdua sangat ingin menyaksikan
latihan para Suheng dan Sute dengan petunjuk-petunjuk dari
Pek-suheng, kesempatan ini biasanya jarang terjadi, tapi
mereka justru disuruh meronda di luar, tentu saja dalam hati
mereka merasa enggan, tapi mereka juga tidak berani menolak
perintah sang Suheng itu, terpaksa mereka keluar dengan rasa
kurang senang. Segera Houyan Ban-sin dan Bun Ban-hu menghunus pedang
masing-masing dan pasang kuda-kuda. Bun Ban-hu adalah
Sute, ia berseru, "Silakan mulai, Houyan-suko!"
Dengan memegang pedangnya terbalik, lebih dulu Houyan
Ban-sian memberi hormat kepada Ban-kim dan berkata, "Harap
Pek-suko memberi petunjuk-petunjuk seperlunya!"
Dan sesudah Pek Ban-kiam mengangguk, segera Ban-sian
memutar pedangnya ke atas terus membuka serangannya, ia
menusuk ke bahu kiri Bun Ban-hu. Itulah jurus "Lau-ki-hengsia"
(ranting pohon bertumbuh miring) dari Swat-san-kiamhoat.
Kiranya di dalam kota Leng-siau-sia banyak tumbuh Bwe-hoa.
Cikal bakal mereka yang menciptakan ilmu pedang itu pun
sangat suka kepada bunga Bwe, sebab itulah di dalam gerak
ilmu pedangnya itu banyak diseling dengan gaya bunga Bwe,
tangkai Bwe, dahan Bwe dan sebagainya. Bunga Bwe yang
bagus biasanya tumbuh dalam keadaan gundul, dahannya
jarang-jarang dan tak berdaun, sebaliknya kuntum bunganya
lebat dan menggerombol. Sebab itulah ilmu pedang yang dimainkan Houyan Ban-sian
dan Bun Ban-hu terkadang sangat lambat dan tenang,
terkadang cepat dan kerap pula dengan sinar pedang
kemilauan sebagai bunga salju yang bertebaran tertiup angin.
Dalam pada itu Ciok-Boh-thian yang tertutuk dan dilemparkan
begitu saja di samping ruangan sana itu tiada seorang pun
yang menggubrisnya. Sebenarnya perutnya sudah sangat lapar, dalam keadaan iseng
coba-coba ikut menonton latihan ilmu pedang yang dimainkan
Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu.
Lwekang Boh-thian sekarang sudah sangat sempurna, hanya
saja mengenai ilmu pukulan atau ilmu pedang dan sebagainya
sama sekali ia tidak becus, namun ilmu silat umumnya harus
menggunakan Lwekang sebagai dasar, ilmu pukulan dan lainlain
hanya gerakan yang dikerahkan oleh tenaga dalam itu.
Karena di waktu kecilnya Boh-thian sering berburu binatang
dan menangkap burung, maka pada dasarnya gerak-geriknya
sudah gesit dan cekatan. Sejak dia berhasil pula melatih Lohanhok-mo-kang yang berasal dari boneka-boneka itu, maka
tokoh-tokoh kelas satu seperti Pwe Hay-ciok atau Cia Yan-khek
sekalipun juga bukan tandingannya lagi.
Setelah mengikuti sejenak pertandingan dan serangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menyerang antara Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu, ia
menjadi ketarik dan merasa dirinya juga bisa. Ia merasa
serang-menyerang kedua orang itu seperti permainan anak
kecil saja, sudah terang satu tusukan asal disorong maju
sedikit lagi tentu akan mengenai sasarannya, tapi justru tenaga
penyerangnya sudah habis dikerahkan dan terpaksa hanya
mencapai jarak tertentu saja dan gagal mengenai lawannya.
Boh-thian pikir mungkin karena mereka adalah sesama saudara
seperguruan dan hanya latihan saja, maka dengan sendirinya
tidak saling menyerang dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba terdengar Pek Ban-kiam membentak "Berhenti dulu!"
Lalu ia maju ke tengah, ia ambil pedangnya Houyan Ban-sian
dan memberi contoh, katanya, "Tusukanmu barusan ini kalau
disorong maju dua senti lagi tentu sudah memperoleh
kemenangan." Boh-thian menjadi senang karena apa yang dikatakan Pek Bankiam
itu cocok benar dengan pikirannya tadi, Tapi mengapa
penyerangnya itu sengaja tidak mau menusuk dengan lebih
maju sedikit" Sementara itu kelihatan Houyan Ban-sian telah mengangguk
dan menjawab, "Petunjuk Pek-suko memang tepat. Cuma
serangan Siaute barusan ini telah dilakukan dengan sekuatnya
dan sampai di sini tahu-tahu tenaga dalam sudah habis
dikerahkan sehingga susah disorong maju lebih jauh lagi."
Ban-kiam tersenyum, katanya, "Untuk mencapai tenaga dalam
yang kuat memang bukan latihan dalam satu-dua hari saja.
Lwekang yang kupelajari pada hakikatnya juga tiada bedanya
dengan Lwekang yang dipelajari para Sute. Namun demikian,
kekurangan tenaga dalam masih dapat dibantu dengan
menggunakan perubahan-perubahan ilmu pedang.
Sesungguhnya Lwekang golongan kita juga tiada sesuatu yang
luar biasa, dibandingkan Lwekang golongan lain seperti Siaulimpay Go-bi-pay, Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, meski masingmasing
golongan mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri
tapi sejarah golongan kita masih terlalu muda sehingga tak
dapat membandingi golongan-golongan yang bersejarah
ratusan tahun itu. Namun begitu ilmu pedang golongan kita
sesungguhnya dapat dikatakan tiada bandingannya di dunia ini.
Maka dari itu di kala berhadapan dengan musuh hendaklah
para Sute menggunakan keunggulan pihak sendiri untuk
menyerang kelemahan musuh, janganlah mengadu tenaga
dalam dengan orang, tapi gunakanlah perubahan-perubahan
ilmu pedang kita yang hebat ini untuk merebut kemenangan."
Para Sutenya sama mengangguk dan membenarkan analisis
sang Suheng yang ternyata tepat sekali itu.
Kiranya ketua Swat-san-pay yang sekarang, Wi-tek Siansing
Pek Cu-cay, yaitu ayahnya Pek Ban-kiam, pada waktu kecilnya
secara kebetulan telah minum obat mukjizat sehingga tenaga
dalamnya mendadak maju sangat pesat dan dapat menandingi
latihan orang selama 40-50 tahun.
Sebenarnya Lwekang Swat-san-pay itu tidak dapat menandingi
golongan lain, tapi Pek Cu-cay telah mengambil jalan lain yang


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih cepat sehingga tenaga dalamnya menjadi lebih tinggi
malah dibandingkan tokoh-tokoh Siau-lim-pay, Bu-tong-pay
dan lain-lain. Sudah tentu obat mukjizat begitu hanya bisa diketemukan
secara kebetulan dan tak dapat dicari. Walaupun tenaga dalam
Pek Cu-cay sendiri sangat kuat tapi anak muridnya yang
berjumlah tidak sedikit itu justru lemah dalam hal Lwekang.
Dasar watak Wi-tek Siansing itu memang suka unggul, maka
selamanya ia tidak menjelaskan titik kelemahan golongannya
sendiri kepada para muridnya.
Anak muridnya yang hidup terpencil di pegunungan bersalju itu
karena kurang penerangan lantas menganggap ilmu pedang
dan Lwekang golongannya tersendiri terhitung nomor wahid di
kolong langit ini. Baru sesudah mereka berulang-ulang
terjungkal di daerah Tionggoan, sekarang Pek Ban-kiam secara
terus terang telah menguraikan titik kelemahan golongannya
sendiri dan barulah mereka sadar semuanya.
Begitulah Pek Ban-kiam lantas memberi petunjuk-petunjuk
tentang di mana letak kehebatan perubahan ilmu pedang Swatsanpay itu sejurus demi sejurus. Sesudah Houyan Ban-sian
dan Ban Ban-hu, lalu berganti pula dua orang Sutenya yang
lain. Kemudian Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu disuruh
menggantikan Tio dan Ong yang pasang mata di luar itu.
Ilmu pedang yang dimainkan orang-orang Swat-san-pay itu
sebenarnya tidak banyak bedanya satu sama lain.
Dasar Ciok Boh-thian memang pintar, pondamen tenaga
dalamnya sudah sangat kuat pula, ditambah lagi Pek Ban-kiam
telah memberi petunjuk-petunjuk dengan sungguh-sungguh
yang diikuti Ciok Boh-thian dengan saksama.
Maka sampai dengan pasangan ketujuh dari pertandingan anak
murid Swat-san-pay itu, dari 72 jurus Swat-san-pay itu telah
dipahami seluruhnya oleh Ciok Boh-thian, walaupun namanama
dari jurus-jurus ilmu pedang itu tak teringat dengan
lengkap, intisari dari perubahan-perubahan ilmu pedang itu
pun susah dipahami seketika, tapi bilamana diserang lawan,
maka cara menangkis dan cara balas menyerang sudah
tercakup di dalam rekaannya, bahkan ilmu pedang yang dia
reka itu jauh lebih bagus dan jitu daripada murid-murid SwatKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
san-pay itu, sebaliknya cocok sekali dengan petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Pek Ban-kiam kepada Sute-sutenya.
Terkadang apa yang direka oleh Ciok Boh-thian itu juga agak
bodoh, ilmu pedang yang digunakan murid Swat-san-pay itu
ada lebih bagus daripada rekaannya, dan petunjuk yang
diberikan Pek Ban-kiam juga lebih bagus setingkat lagi.
Jika demikian, maka ini berarti Ciok Boh-thian sudah lebih
mendalami satu jurus ilmu pedang itu.
Begitulah dengan asyik sekali semua orang mencurahkan
perhatian dalam mempelajari ilmu pedang, yang belajar lupa
lelah, yang menonton lupa lapar, sehingga semua murid Swatsanpay itu selesai latihan, Swat-san-kiam-hoat itu telah
dimainkan beberapa kali secara berulang-ulang oleh anak
murid Swat-san-pay, maka Ciok Boh-thian juga telah paham
hampir seluruhnya dari ilmu pedang itu.
Diam-diam Boh-thian juga heran, "Sudah begitu lama orangorang
ini melatih ilmu pedang, mengapa permainan mereka
sedemikian jeleknya, sudah terang jurus-jurus ilmu pedang ini
sangat gampang, tapi mereka justru tidak dapat melakukannya
dengan jitu." Ia tidak tahu bahwa Lo-han-hok-mo-kang yang telah
dipelajarinya dari boneka-boneka itu adalah semacam Lwekang
mahatinggi dari Siau-lim-pay yang merupakan ikhtisar atau
saripati dari ilmu silat Siau-lim-pay yang paling dalam.
Dengan memiliki pengetahuan Lwekang yang tinggi itu,
terhadap setiap ilmu silat umumnya adalah laksana orang
memandang bumi dari puncak gunung, segala apa dapat
dilihatnya dengan jelas dan boleh dikata tiada artinya lagi
baginya. Selagi Boh-thian termenung-menung sendiri, tiba-tiba
terdengar Pek Ban-kiam menghela napas panjang sambil
melemparkan pedangnya. Keruan para Sutenya saling pandang dengan heran, mereka
tidak paham apa maksud sang Suheng dengan menghela napas
panjang dan membuang pedangnya itu.
Tertampak sorot mata Pek Ban-kiam kemudian beralih kepada
Ciok Boh-thian yang mendoprok bersandar di pilar sana,
dengan muka muram dan suara serak ia berkata, "Sejak bocah
ini masuk perguruan kita, hanya dalam waktu dua-tiga tahun
saja dia sudah dapat memahami intisari ilmu silat golongan
kita, walaupun kekuatannya masih kalah daripada para paman
gurunya yang sudah belajar belasan tahun, tapi dalam hal
kecerdasan dan perubahan-perubahan gerak menurut keadaan
dia ada lebih pintar, hal ini cocok benar dengan ilmu pedang
kita yang memang mengutamakan kegesitan dan perubahanperubahan
cepat. Sebab itulah Hong-suko menaruh harapan
sangat besar kepadanya, bahkan Ciangbunjin sendiri juga
menunjukkan perhatian dan berharap dia yang akan
mengembangkan kejayaan golongan kita. Tapi, siapa duga ...
ai, at ... ai ...." berulang-ulang ia menghela napas panjang
sampai tiga kali, betapa rasa sayang dan menyesalnya kentara
sekali pada wajahnya itu.
Hendaklah maklum bahwa "Gi-han-se-pak" Pek Ban-kiam
bukan cuma ilmu silatnya saja yang tinggi, bahkan pengalaman
dan pengetahuannya juga sangat luas.
Sesudah menyaksikan latihan-latihan Sutenya itu, ia merasa
semua Sute itu terbatas oleh bakat pembawaan masingmasing,
biar betapa pun giatnya mereka berlatih juga susah
mendapat tingkatan tertinggi. Ia menjadi teringat kepada nasib
golongannya sendiri yang tiada mempunyai ahli waris yang
baik maka ia sangat menyesal. Mestinya Ciok Boh-thian
seorang pemuda pilihan yang jarang terdapat, tapi anak muda
itu justru tidak baik kelakuannya, sebab itulah ia menghela
napas dan bersedih mengingat nasib golongan Swat-san-pay
kelak. Ciok Boh-thian menjadi terharu juga ketika melihat sorot mata
Pek Ban-kiam yang memandang ke arahnya itu penuh kasih
sayang padanya, walaupun tidak paham kandungan hati tokoh
Swat-san-pay itu tapi diam-diam timbul juga rasa terima
kasihnya. Begitulah suasana dalam kelenteng sunyi itu untuk sekian
lamanya menjadi sunyi senyap.
Selang sebentar, mendadak Pek Ban-kiam menggunakan ujung
kaki kanan untuk menutuk gagang pedang yang dilemparkan
ke lantai tadi, kontan pedang itu lantas mencelat ke atas dan
kena dipegangnya. Dengan perlahan-lahan ia menuju ke
pelataran. Tiba-tiba ia berseru, "Sobat dari manakah itu,
silakan turun saja untuk bicara?"
Para murid Swat-san-pay menjadi terperanjat. Serempak
mereka menduga tentu orang-orang Tiang-lok-pang yang telah
datang" Anehnya mengapa Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu
yang menjaga di luar itu sama sekali tidak memberi tanda
bahaya apa-apa" Datangnya musuh juga sama sekali tak
bersuara, mengapa Pek-suko dapat mengetahui"
Selagi semua orang berkebat-kebit, terdengarlah suara
jatuhnya benda yang perlahan, tahu-tahu di tengah pelataran
sana sudah bertambah dua orang.
Yang satu berbaju hitam mulus, yang lain adalah wanita yang
berpakaian putih mulus. Kedua orang itu sama-sama membawa pedang yang terselip di
punggung mereka, di waktu melompat turun mereka hanya
mengeluarkan suara yang perlahan, hal ini sudah menang
angin lebih dulu, ditambah lagi kedua orang sama-sama gagah
dan cantik sehingga membuat kesengsem setiap orang yang
melihatnya. Segera Pek Ban-kiam memberi hormat dan berseru pula,
"Kiranya adalah Ciok-cengcu dan nyonya dari Hian-soh-ceng
yang telah datang!" Suami-istri yang datang ini memang benar adalah Ciok Jing
dan Bin Ju. Wajah Ciok Jing tampak bersenyum simpul, ia
membalas hormat dan berkata, "Pek-suheng telah berkunjung
ke tempat kami, kebetulan kami suami-istri tiada di rumah dan
tidak memberi penyambutan yang layak, untuk ini hendaklah
suka memberi maaf." Anak murid Swat-san-pay yang pernah bertemu dengan Ciok
Jing di Hau-kam-cip tempo hari semuanya telah tertawan di
markas Tiang-lok-pang, sedangkan rombongan ini tiada yang
kenal suami-istri itu, maka mereka menjadi tergetar ketika
mendengar yang datang ini adalah Ciok Jing bersama istrinya.
Pikir mereka, "Kami sudah membakar perkampungannya,
entah mereka sudah tahu atau belum?"
Tak terduga Pek Ban-kiam lantas bicara secara terus terang
saja, katanya, "Kunjungan kami ke Tionggoan ini adalah untuk
mencari putramu, karena putramu tidak diketemukan, dalam
gusarnya aku telah membakar kampung kediamanmu."
Wajah Ciok Jing yang tersenyum itu sama sekali tidak berubah
demi mendengar keterangan itu. Sahutnya, "Perkampungan
kami itu memangnya tidak bagus bangunannya, kalau Peksuheng
merasa tidak suka dan telah mewakilkan Siaute
membakarnya, hal ini menjadi kebetulan malah. Untuk mana
aku mengucapkan banyak terima kasih atas kemurahan hati
Pek-suheng yang telah sudi menyingkirkan dulu semua
penghuni rumah sehingga tiada satu ekor ayam atau itik yang
terbakar mati, ini menandakan hati Pek-suheng yang welas
asih patut dipuji." "Pelayan dan penjaga kediaman Ciok-cengcu itu toh tiada
berdosa, kami mana boleh sembarangan membikin susah
orang lain" Buat apa Ciok-cengcu mesti berterima kasih
segala?" sahut Ban-kiam.
"Para kesatria Swat-san-pay sesungguhnya sangat sayang
kepada putraku itu, cuma sayang anak itulah yang tidak genah
sehingga sangat mengecewakan harapan Pek-locianpwe, Hongsuheng
dan Pek-suheng, sungguh kami merasa terima kasih
dan malu pula," demikian kata Ciok Jing. "Apakah Peklocianpwe
baik saja" Begitu pula tentunya Pek-lohujin (nyonya
besar Pek, ibu Pek Ban-kiam)?"
Habis berkata bersama sang istri mereka sama membungkuk
tubuh sebagai tanda menghormat kepada ayah dan ibunya Pek
Ban-kiam. Ban-kiam membalas hormat itu, sahutnya, "Atas doa Ciokcengcu
berdua, ayah sendiri dalam keadaan baik saja,
sedangkan ibu berhubung dengan perkara putramu itu,
sekarang beliau tidak berada di Leng-siau-sia lagi."
Sampai di sini, tertampaklah air mukanya yang menyesal dan
sedih. "Pek-lohujin berkepandaian tinggi dan berbudi luhur, selama
hidup beliau banyak melakukan kebajikan, siapa orangnya di
dunia Kangouw yang tidak kagum padanya," kata Ciok Jing.
"Sekali ini beliau hanya keluar sekadar berlibur, tentulah
keadaan beliau akan baik-baik dan sehat walafiat."
"Banyak terima kasih atas pujian Ciok-cengcu, semoga dengan
demikianlah adanya," sahut Ban-kiam. "Cuma saja usia ibu
sudah lanjut, sekarang berkelana pula di Kangouw, sebagai
anak mau tak mau ikut berkhawatir juga."
"Ini menandakan kebaktian Pek-suheng yang terpuji," ujar Ciok
Jing. "Sebagai anak orang harus berbakti kepada orang tua,
sebagai orang tua wajib mendidik putra-putrinya, semua ini
adalah sifat manusia yang umum. Sekalipun kelakuan putraputrinya
tidak pantas, di samping menyesal, sebagai orang tua
terpaksa hanya dapat memberi ajaran lebih keras saja kepada
anak-anaknya." "Ciok-cengcu adalah tokoh yang dihormati dan disegani orangorang
Bu-lim, kalau tidak salah di pendopo Hian-soh-ceng
kalian tergantung sebuah pigura besar yang bertuliskan "Ohpekhun-beng (hitam atau putih harus dibeda-bedakan secara
tegas). Entah betul tidak adanya pigura itu?"
"Betul," sahut Ciok Jing. "Tapi entah pigura bertuliskan empat
huruf itu sekarang berada di mana?"
"Sudah kubakar," sahut Ban-kiam.
"Bagus!" kata Ciok Jing. "Putraku adalah murid Swat-san-pay
kalian, jika melanggar peraturan perguruan adalah seharusnya
mendapat hukuman setimpal dari pimpinan dan gurunya,
apakah akan dihajar atau dibunuh, sebagai orang tua kami tak
dapat ikut campur, ini adalah peraturan Bu-lim yang tak bisa di
ganggu gugat. Untuk ini waktu di Hau-kam-cip tempo hari kami
pernah menyerahkan pedang hitam putih kepada kawankawanmu
dengan pernyataan kami akan menggiring anak
durhaka itu ke Leng-siau-sia untuk menukar sepasang pedang
kami itu, bukankah kejadian ini juga telah diketahui oleh Peksuheng?"
Tentang sepasang pedang hitam-putih itu Pek Ban-kiam
memang sudah mendapat tahu dari Kheng Ban-ciong, Kwa
Ban-kin dan lain-lain, diketahui pula bahwa sepasang pedang
itu telah dirampas orang di tengah jalan, perampas pedang itu
kemungkinan adalah tokoh-tokoh yang disegani orang-orang
Bu-lim, yaitu Thian-kisu Cia Yan-khek. Sekarang didengarnya
Ciok Jing menyinggung tentang sepasang pedangnya, tanpa
terasa mukanya menjadi merah. Sahutnya kemudian, "Ya,
betul. Cuma pedang kalian itu tiada kami bawa, kelak pasti
akan kami aturkan kembali dengan baik."
"Hahaha! Ucapan Pek-suheng ini sungguh terlalu memandang
enteng kepadaku ini," seru Ciok Jing dengan tertawa. "Kalian
sekarang telah meringkus anakku, di samping itu senjata kami
itu ditahan pula dan tak dikembalikan, apakah ada peraturan
demikian di dalam dunia persilatan?"
"Habis bagaimana kalau menurut pendapat Ciok-cengcu?"
tanya Ban-kiam. "Ucapan seorang laki-laki sejati, biar bagaimanapun takkan
ditarik kembali," kata Ciok Jing. "Maka dari itu hanya ada satu
di antara dua, inginkan anak harus kembalikan pedang, bila
menahan pedang harus melepaskan anakku."
Sebenarnya Pek Ban-kiam adalah seorang tokoh terkemuka,
bahwasanya sepasang pedang hitam putih telah direbut orang,
memangnya dia merasa malu terhadap Ciok Jing, maka
pantasnya dia tidak boleh putar lidah dan main menang sendiri.
Tapi dia juga pernah bertukar pikiran dengan Kheng Ban-ciong
dan Sute-sute yang lain, menurut perkiraan mereka bukan
mustahil secara diam-diam Ciok Jing telah bersekongkol
dengan Cia Yan-khek, lebih dulu Ciok Jing pura-pura
menyerahkan pedang-pedang pusaka mereka sebagai jaminan,
lalu minta Cia Yan-khek mencegat di tengah jalan dan
merebutnya kembali. Apalagi Ciok Tiong-giok telah


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebabkan kematian putri tunggal kesayangannya itu,
sekarang anak muda yang merupakan biang keladi dari segala
peristiwa menyedihkan ini sudah tertangkap, sudah tentu Bankiam
tidak rela melepaskannya begitu saja hanya karena
ucapan Ciok Jing tadi. Begitulah, sesudah berpikir sejenak lalu ia berkata,
"Permintaan Ciok-cengcu itu Cayhe tidak berani
memutuskannya sendiri, harap Ciok-cengcu suka memaafkan.
Tentang sepasang pedang kalian itu pendek kata adalah
tanggung jawabku Pek Ban-kiam ini. Bila orang she Pek
ternyata tidak mampu mengembalikan sepasang pedang
hitam-putih itu, biarlah aku akan datang ke kediaman Ciokcengcu
dan menggorok leherku di depan kalian untuk menebus
dosa." Pernyataan Pek Ban-kiam ini cukup tegas dan tanpa tawarmenawar
lagi. Ciok Jing cukup kenal siapa Pek Ban-kiam, yaitu
seorang kesatria yang selalu pegang janji, kata-kata sesuai
dengan perbuatan. Sekarang dengan tegas Ban-kiam telah
menanggung sepasang pedangnya dengan jiwa sendiri, maka
mau tak mau dia harus memercayainya. Namun demikian
dengan jelas dilihatnya putra kesayangan mereka meringkuk di
lantai yang kotor itu, betapa pun ia tidak tega membiarkannya
dibawa pulang orang-orang Swan-san-pay.
Lebih-lebih Bin Ju, sejak berada di dalam kelenteng itu
pandangannya tidak pernah meninggalkan lagi tubuh si BohKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
thian. Dia sudah berpisah sekian lamanya dengan putra
kesayangannya, sekarang dapat bertemu di tempat yang jauh
ini, sungguh ia sangat ingin menubruk maju untuk
memeluknya. Sedari tadi air matanya sudah berlinang-linang
dan hampir-hampir menetes, apa yang dikatakan Pek Ban-kiam
sama sekali tak digubris olehnya. Cuma saja ia selalu tunduk
kepada segala keputusan sang suami, maka dia tidak ikut
bicara melainkan tetap berdiri di samping Ciok Jing.
Maka Ciok Jing telah menjawab, "Ah, ucapan Pek-suheng
terlalu sungguh-sungguh, hanya sepasang senjata kami itu
terhitung apa" Mana boleh dipersamakan dengan badan Peksuheng
yang berharga" Hanya saja sebagai orang Kangouw
segala apa kita mengutamakan keadilan. Sekalipun ilmu
pedang Swat-san-pay sangat hebat dan orangnya berjumlah
banyak, tapi juga tidak boleh berbuat sesukanya, sudah mau
pedangnya, ingin orangnya pula. Nah, Pek-suheng, sekarang
juga bocah ini akan kami bawa pulang saja."
Bicara sampai di sini, tiba-tiba pundak kirinya sedikit bergerak,
ini adalah isyarat kepada istrinya agar lolos pedang dan
menyerang bersama. Benar juga, segera pandangan semua orang menjadi silau oleh
gemerdepnya sinar pedang, tahu-tahu ujung pedang Ciok Jing
dan Bin Ju sudah menusuk ke arah Pek Ban-kiam. Kira-kira
belasan senti di depan dada sasarannya, mendadak kedua
pedang itu berhenti serentak.
"Silakan, Pek-suheng!" seru Ciok Jing. Nyata, sebagai tokoh
terkemuka mereka suami-istri tidak ingin menyerang secara
mendadak di kala pihak lawan belum siap siaga. Kalau Pek
Ban-kiam tidak meloloskan pedang untuk menangkis, maka
tusukan mereka itu pun tidak diteruskan ke depan.
Dengan sorot matanya yang tajam Pek Ban-kiam menatap
ujung pedang lawannya, mendadak ia melangkah maju
setengah tindak. Segera Ciok Jing dan Bin Ju menarik mundur
pedang mereka, jarak ujung pedang dengan dada sasarannya
tetap belasan senti jauhnya.
Tapi mendadak Ban-kiam meluncur satu tindak ke belakang,
ketika kedua pedang Ciok Jing dan Bin Ju ikut menjuju maju,
maka terdengarlah suara "tring-tring" dua kali, Pek Ban-kiam
sudah melolos pedangnya dan telah balas menyerang malah.
Tiga batang pedang seketika menjangkitkan suatu lingkaran
sinar yang kemilauan. Pedang yang digunakan Ciok Jing mestinya berwarna hitam
mulus, tapi karena pedang itu sudah diserahkan kepada orang
Swat-san-pay sebagai jaminan bersama pedang istrinya, maka
sekarang yang dia pakai adalah sebatang pedang biasa.
Biasanya orang-orang Swat-san-pay sangat mengagumi ilmu
pedang Pek-suko mereka yang hebat, sekarang mereka
berpendapat biarpun dikerubut orang dua juga sang Suheng
akan lebih unggul. Maka mereka hanya menonton di samping
saja dengan pedang terhunus.
Semula tertampak serangan-serangan Ciok Jing dan Bin Ju
yang dapat bekerja sama dengan sangat baik itu dilakukan
dengan lambat, tapi makin lama makin cepat sehingga sesudah
50 jurus lebih jurus-jurus serangan suami-istri itu susah
dibedakan lagi. Sebaliknya yang dimainkan Pek Ban-kiam adalah Swat-sankiamhoat yang meliputi 72 jurus itu. Ilmu pedang yang pasti
dipelajari setiap murid Swat-san-pay ini tampaknya tiada
sesuatu yang luar biasa, tapi di bawah permainan Pek Bankiam
ternyata tidak kalah lihainya daripada ilmu pedang Ciok
Jing berdua, baik bertahan maupun balas menyerang dapat
dilakukan dengan tepat dan menimbulkan daya tekanan yang
hebat kepada lawan. Di dalam kelenteng kecil itu hanya tersulut sebatang lilin saja,
sinarnya agak guram sehingga menambah seramnya suasana
pertempuran itu. Tadi waktu Ciok Jing dan istrinya tiba, segera Ciok Boh-thian
dapat mengenali Bin Ju adalah si wanita cantik berhati luhur
yang pernah memberi uang kepadanya di Hau-kam-cip tempo
dulu. Begitu datang suami-istri itu lantas tiada hentinya bicara
dengan Pek Ban-kiam, menyusul ketiga orang lantas lolos
pedang dan bertempur sehingga tiada memberi kesempatan
kepada Ciok Boh-thian untuk menyapa dan bicara.
Sedangkan apa yang dipercakapkan Ciok Jing dan Pek Bankiam
tadi juga tak dipahami Ciok Boh-thian, hanya lapat-lapat
diketahuinya Ciok Jing telah minta kembali sepasang pedang
kepada Pek Ban-kiam, selain itu mengenai diri seorang anak
apa, cuma sama sekali tak terduga olehnya bahwa yang
dimaksudkan itu justru adalah Ciok Boh-thian sendiri.
Tadi juga telah disaksikan latihan ilmu pedang dari muridmurid
Swat-san-pay, sekarang dilihatnya pula Ciok Jing bertiga
melolos pedang dan bertanding pula, ketiga orang tidak saling
membentak atau memaki, sikap mereka pun ramah tamah
saja, maka disangkanya mereka juga sedang latihan saja
seperti tadi. Sejenak kemudian ia lantas memerhatikan pula ilmu pedang
yang dimainkan Ciok-Jing dan istrinya. Segera dapat
diketahuinya bahwa ilmu pedang ketiga orang itu ternyata
sangat berbeda. Gerakan Ciok Jing sangat kuat dan tangkas, sebaliknya Bin Ju
lemah gemulai. Jurus ilmu pedang yang dimainkan suami istri
itu adalah sama, tapi yang satu keras dan yang lain lunak,
yang satu Yang (positif) dan yang lain Im (negatif), yang satu
cepat dan yang lain lambat, tenaga dalam yang digunakan
berlawanan satu sama lain, tapi bila ketemu dengan pedang
Pek Ban-kiam, segera jurus pedang suami-istri itu tampaknya
dapat bekerja sama dengan sangat rapat dan dua menjadi
satu. Maklum bahwa suami-istri Ciok Jing dan Bin Ju yang telah
menikah selama dua puluh tahun itu tidak pernah berpisah
barang satu hari pun, juga tiada pernah absen satu hari tidak
berlatih pedang, maka ilmu pedang mereka sudah boleh
dikatakan mencapai dua raga satu pikiran. Dalam hal
permainan berganda pedang, di dunia persilatan sudah tiada
bandingannya lagi. Tentang teori ilmu pedang yang mendalam itu sudah tentu Ciok
Boh-thian tidak paham, tapi Lwekang yang telah dimilikinya
sekarang adalah sangat aneh, lebih dulu ia melatih Lwekang
mahadingin dari sesuatu orang, kemudian mendapat ajaran
Lwekang mahapanas dari Cia Yan-khek, akhirnya melalui "Lohanhok-mo-kang" yang merupakan Lwekang yang paling
sempurna itu sehingga kedua macam Lwekang dingin dan
panas semula dapat dilebur menjadi satu.
Ilmu pedang Ciok Jin dan Bin Ju, sebenarnya dimainkan
dengan Lwekang Im dan Yang yang tidak sama. Maka Ciok
Boh-thian hanya menonton sebentar saja lantas seperti
menyadari sesuatu, pikirannya, "Aneh, ilmu pedang mereka ini
aku dapat memainkannya semua, tapi entah sejak kapan aku
telah mempelajarinya?"
Karena merasa ilmu pedang yang dimainkan ketiga orang itu ia
sendiri pun bisa, maka Ciok Boh-thian menjadi girang tak
terkatakan. Tidak lama kemudian ia lantas tahu juga bahwa dengan satulawandua keadaan Pek Ban-kiam lebih lemah dan mulai
terdesak. Kiranya ilmu pedang dan tenaga dalam Ciok Jing suami-istri
masing-masing sebenarnya sama kuatnya, tapi sekarang
mereka berdua mengerubut Pek Ban-kiam seorang, dengan
sendirinya Ban-kiam kewalahan, cuma dalam ilmu pedang Bankiam
itu ada suatu arus tenaga yang ganas dan lihai, dasar Bin
Ju memang lemah lembut, di waktu menyerang selalu memberi
kelonggaran, sebab itulah mereka bertiga dapat bertarung
sampai sekian lamanya. Padahal walaupun Bin Ju kelihatan
lemah gemulai, tapi dalam hal ilmu pedang sebenarnya sedikit
pun tidak di bawah suaminya.
Begitulah, maka sesudah beberapa puluh jurus, beruntunruntun
Pek Ban-kiam dua kali hampir dimakan ujung pedang
Bin Ju. Diam-diam Ban-kiam mengeluh. Namun dasar
wataknya memang keras, sekalipun dia mesti binasa di bawah
pedang Ciok Jing suami-istri juga dia pantang menyerah, maka
dengan mati-matian ia masih terus bertahan.
Selang sejenak pula, sekarang beberapa orang Swat-san-pay
sudah mulai mengetahui keadaan sang Suheng yang payah itu.
Segera seorang di antaranya berteriak, "He, dua orang
mengerubut satu orang, huh, tidak tahu malu! Ciok-cengcu,
jika kau berani silakan bertempur satu-lawan satu dengan Peksuko
saja, kalau ingin main keroyokan terpaksa kami juga akan
menerjang maju semua!"
Pedang Kayu Harum 1 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Kisah Si Pedang Kilat 4

Cari Blog Ini