Ceritasilat Novel Online

Medali Wasiat 8

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 8


Lalu nenek itu berkata, "Pek Ban-kiam itu memang
mempunyai bakat yang bagus, latihannya sangat giat pula,
sejak kecil sampai sekarang sudah lebih 20 tahun berlatih ilmu
pedang, sekarang kau hanya melihatnya saja dalam waktu
sebentar lantas ingin selihai dia, bukankah terlalu
menggelikan?" "Nenek, Toako ini memangnya mengatakan tidak selihai Peksuhu
itu," sela A Siu. Su-popo melotot sekali kepada nona itu, lalu dia berpaling
kepada Boh-thian dan berkata pula, "Baiklah, boleh coba kau
pertunjukkan sekarang, ingin kulihat betapa lihainya ilmu
pedangmu." Boh-thian tahu si nenek sedang menyindir padanya, dengan
muka marah segera ia menjemput sebatang ranting pohon
untuk digunakan sebagai pedang, ia menirukan jurus ilmu
pedang yang pernah dilihatnya di kelenteng tempo hari itu,
"sret", segera ia menusuk seperti apa yang dimainkan Houyan
Ban-sian dan Bun Ban-hu dahulu.
"Haha!" Su-popo tertawa. "Jurus pertama saja sudah salah!"
Muka Boh-thian bertambah merah dan segera berhenti.
"Teruskan, terus main," seru Su-popo. "Aku ingin tahu betapa
lihainya Swat-san-kiam-hoat-mu."
Dengan perasaan malu mestinya Boh-thian hendak
melemparkan ranting kayu itu. Tapi sekilas dilihatnya A Siu
sedang memandangnya dengan penuh perhatian, sorot
matanya memperlihatkan rasa simpatik, sedikit pun tiada
maksud mengejek. Maka ia lantas menggerakkan pedangnya
pula, "sret-sret-sret", ia mainkan terus ilmu pedang yang
dilihatnya tempo hari, makin lama makin lancar permainannya
sehingga menerbitkan suara angin yang menderu-deru.
Semula Su-popo dan A Siu tersenyum-senyum saja
menyaksikan permainan Boh-thian, akan tetapi makin lama
rasa menghina nenek itu pun makin lenyap, sebaliknya menjadi
heran. Setelah Boh-thian selesai memainkan Swat-san-kiamhoat
yang tidak teratur dan banyak kesalahannya itu, maka
Su-popo saling pandang sekejap dengan A Siu, mereka
mengetahui ilmu pedang yang dipelajari pemuda itu sangat
tidak sempurna, terang karena tidak mendarat didikan
sebagaimana mestinya, namun tenaga dalamnya ternyata
sangat hebat, boleh dikata jarang ada bandingannya.
Waktu melihat kedua orang itu diam-diam saja, dengan kikuk
Boh-thian lantas membuang ranting kayu dan berkata,
"Hendaklah kalian jangan menertawakan lagi diriku, aku sangat
bodoh, sesudah belasan hari aku pun tidak ingat lagi
seluruhnya." "Kalau bilang permainanmu ini boleh menyaksikan latihan anak
murid Swat-san-pay di suatu kelenteng bobrok, lalu diam-diam
mempelajarinya?" tanya Su-popo.
"Ya, aku tahu adalah perbuatan tidak pantas mencuri belajar
ilmu silat orang lain, soalnya aku merasa ilmu pedang ini
sangat menarik, maka tanpa sadar lantas mengingat-ingat
permainan mereka ini," tutur Boh-thian dengan muka merah.
"Hanya dalam semalam saja kau sudah dapat mempelajari hal
ini pun boleh dikatakan kau mempunyai bakat yang tinggi,"
ujar Su-popo. "Maka aku punya Kim-oh-to-hoat ini tentu kau
pun dapat mempelajarinya. Begini saja, ada lebih baik kau
mengangkat aku sebagai gurumu."
"He, nenek itu kurang baik," sela A Siu mendadak.
"Mengapa kurang baik," tanya si nenek dengan heran.
Wajah A Siu menjadi merah jengah, sahutnya, "Jika begitu,
bukankah aku harus memanggil dia sebagai Susiok (paman
guru), seketika aku menjadi lebih rendah setingkat."
"Panggil Susiok ya panggil saja, mengapa mesti geger?" ujar si
nenek dengan menarik muka.
"Si tua bangka Ting Put-si sewaktu-waktu dapat menyusul
kemari dan memaksa aku pergi ke Pik-lwe-to, dalam keadaan
begitu bukanlah kita harus terjun ke sungai untuk membunuh
diri lagi" Jalan satu-satunya ialah lekas-lekas mengajar ilmu
silat kepada si Lemper ini barulah kita dapat melawan tua
bangka itu. Sekarang urusan sudah mendesak, dari mana
dapat membedakan soal tingkatan segala. Eh, Lemper
Raksasa, Su-popo hari ini ingin membuka pintu dan mendirikan
cabang serta akan menerima kau sebagai murid pertama bagi
Kim-oh-pay kami, kau mau tidak?"
Watak Ciok Boh-thian mestinya sangat penurut, Su-popo ingin
dia menjadi muridnya, tentu dia akan terima dengan baik. Tapi
demi mendengar A Siu mengatakan sungkan untuk
memanggilnya sebagai Susiok, maka ia menjadi agak raguragu.
"Lekas kau berlutut dan menyembah padaku, maka jadilah kau
sebagai ahli waris Kim-oh-pay kami," kata Su-popo pula. "Aku
adalah cikal bakal dari Kim-oh-pay dan kau adalah murid
pertama angkatan kedua Kim-oh-pay kita."
Tiba-tiba A Siu teringat sesuatu, ia tersenyum dan berkata,
"Nenek, terimalah ucapan selamatku atas pendirian cabang
Kim-oh-pay kalian hari ini. Eh, Toako ini, bolehlah lekas kau
mengangkat guru pada nenek. Aku toh bukan murid Kim-ohpay,
tapi kita terdiri dari dua golongan yang berlainan, maka
aku tidak perlu memanggil kau sebagai Susiok."
Karena buru-buru ingin menerima murid, maka Su-popo tidak
memikirkan apa yang dikatakan A Siu itu, segera ia berkata
pula, "Lekas berlutut dan menyembah delapan kali padaku."
Mendengar A Siu sudah setuju, dengan girang Boh-thian lantas
berlutut dan menyembah delapan kali kepada Su-popo.
Rasa girang Su-popo sungguh tak terkirakan, katanya,
"Sudahlah! Murid yang baik, sekarang kita adalah orang
sekeluarga, hubungan kita menjadi tidak sama dengan tadi.
Hari ini Kim-oh-pay kita telah didirikan, kau harus melatih ilmu
silatku dengan giat dan tekun, sebab bagaimana
perkembangan Kim-oh-pay kita di kemudian hari semuanya ini
adalah tergantung kepadamu. Nah, Lemper Raksasa ...."
"He, nenek cikal bakat Kim-oh-pay," tiba-tiba A Siu menyela
dengan tertawa, "Murid pertama golongan kalian adalah
kesatria yang hebat, tapi nama julukannya ini kedengarannya
kurang sedap." "Ya, benar juga," sahut Su-popo. "Eh, sebenarnya siapa
namamu" Terhadap Suhu sekali-kali kau tidak boleh berdusta."
"Ya, ya," sahut Boh-thian. "Ibuku memanggil aku sebagai Kaucapceng, tapi orang-orang Tiang-lok-pang mengatakan aku
adalah Pangcu mereka yang bernama Ciok Boh-thian. Padahal
bukan, namun aku ... aku sendiri pun tidak tahu sebenarnya
she apa dan bernama siapa."
"Huh, Kau-cap-ceng apa segala, ngaco-belo belaka! Ibumu
tentu seorang gila," kata Su-popo dengan mendengus.
"Sudahlah, boleh begini saja, kau ikut aku punya she, yakni
she Su. Sebagai murid Kim-oh-pay angkatan kedua sebaiknya
kau pakai nama apa ya" Ehm, murid Swat-san-pay itu ada
yang bernama Pek Ban-kiam. Hong Ban-li, Kheng Ban-ciong
dan entah "Ban" apa lagi. Tapi kita lebih kuat selaksa kali
daripada mereka, murid mereka adalah angkatan "Ban" (laksa),
maka murid kita adalah angkatan "Ek" (seratus juta, jadi
selaksa kali daripada selaksa). Dia bernama Pek Ban-kiam
(selaksa pedang), maka biarlah aku memberi nama padamu,
yaitu "Su Ek-to" (seratus juta golok)."
Memangnya selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah
mendapat nama yang resmi, baik dipanggil sebagai Kau-capceng,
si Lemper, maupun Ciok Boh-thian, semuanya tak
diperhatikan olehnya. Sekarang Su-popo memberi nama Su Ek-to padanya,
memangnya dia juga tidak tahu "Ek" itu berarti "laksa kali laksa"
(10.000x10.000), maka tanpa pikir ia pun mengiakan saja.
Sebaliknya Su-popo merasa sangat senang, dengan penuh
semangat ia berkata pula, "Aku punya Kim-oh-to-hoat ini
sudah beberapa tahun yang lalu kuciptakan dengan sempurna
cuma saja untuk memainkan ilmu golok ini diperlukan tenaga
dalam yang kuat, kalau tidak tentu takkan memperlihatkan
betapa hebatnya ilmu golok ini. Sekali ini aku kepergok Ting
Put-si di sungai sini, dia berkeras hendak mengundang aku ke
Pik-lwe-to, untuk ini kalau dia tak dilabrak, tentu dia masih
akan terus rewel dan tak mau mundur teratur, maka aku dan A
Siu lantas melatih "Bu-bong-sin-kang" bersama, bila tenaga
sakti ini sudah terlatih, aku akan menggunakan Kim-oh-to-hoat
dan A Siu memainkan ... Giok-tho-kiam-hoat (ilmu pedang
rembulan dengan perpaduan sang surya dan rembulan),
jangankan cuma seorang tua bangka sebagai Ting Put-si,
biarpun tokoh nomor satu di dunia persilatan sekarang ini juga
akan angkat tangan menghadapi kami. Tak terduga karena
sedikit lengah A Siu telah salah latih, cepat aku memberi
pertolongan, akibatnya kami berdua sama-sama runyam, hawa
murni tersesat dan menjadi lumpuh semua."
Begitulah, dasar watak si nenek memang suka blakblakan,
sekali Boh-thian sudah menjadi muridnya, maka ia lantas
bicara secara terus terang dan menceritakan sebab
musababnya dia sampai menjadi lumpuh itu.
Lalu ia menyambung pula, "Dan untunglah kau memiliki tenaga
dalam yang hebat, ini sangat cocok untuk melatih Kim-oh-tohoat
kita. To-hoat tidak sama dengan Kiam-hoat, pedang
mengutamakan cepat dan gesit, sebaliknya golok harus keras
dan kuat. Ranting kayu itu terlalu enteng, boleh kau cari
sebatang lagi yang lebih besar."
Boh-thian mengiakan dan lantas pergi mencari batang kayu.
Sampai di tempat sebatang pohon yang sudah tumbang, ia
lihat di samping itu ada sebatang golok yang sudah karatan, ia
coba menjemput golok itu, ternyata golok itu adalah golok
yang biasanya dipakai memotong kayu, mata goloknya sudah
banyak yang sumbing, bahkan gagang kayunya sudah
membusuk dan terlepas, hanya bobotnya agak lumayan dan
terasa. Ia pikir daripada menggunakan ranting kayu adalah lebih baik
memakai golok pemotong kayu yang sudah karatan ini. Maka ia
lantas mencari sepotong kayu dan dipasang sebagai gagang
goloknya itu. Waktu melihat Boh-thian membawa kembali golok karatan itu
Su-popo dan A Siu tertawa geli, kata si A Siu, "Nenek, Kim-ohpay
kalian hari ini didirikan secara resmi dan memakai golok
pusaka demikian untuk mengajarkan ilmu silat kepada
muridmu yang pertama, bukankah agak ... agak kurang
mentereng?" "Kurang mentereng apa?" sahut Su-popo. "Justru
perkembangan Kim-oh-pay kami kelak adalah berkat golok
pusaka ini. Hahahaha!" ia menjadi terbahak-bahak sendiri demi
bicara tentang "golok pusaka" yang istimewa itu. Maka A Siu
dan Boh-thian juga ikut tertawa.
"Baiklah, sekarang kita mulai," kata Su-popo kemudian.
"Ingatlah yang betul, jurus pertama dari Kim-oh-to-hoat kita
bernama "Khay-bun-liak-cat" (buka pintu tangkap maling),
yaitu khusus digunakan untuk mengatasi jurus "Jong-siongkhengkhek", (menyambut tamu di bawah pohon Siong) dari
Swat-san-kiam-hoat mereka. Karena mereka pura-pura baik
hati menyambut tamu segala, maka terang-terangan saja kita
membuka pintu dan tangkap maling. Tampaknya kita pun
seperti membungkuk memberi hormat, tapi di dalam hati kita
anggap lawan sebagai maling."
Habis bicara ia lantas mengambil ranting kayu tadi dan
perlahan-lahan memberi contoh caranya menggunakan jurus
serangan itu sambil berkata, "Karena aku masih lemas
sehingga gerak-gerikku kurang cepat, tapi kau harus
memainkannya dengan cepat dan kuat."
Boh-thian memanggut, lalu angkat goloknya dan menirukan
memainkan jurus serangan itu dengan cepat sekali.
"Bagus, kalau sudah hafal nanti kau harus memainkannya lebih
cepat," ujar Su-popo. "Dan jurus kedua kita bernama Bweswathong-he (bunga Bwe mekar di musim panas), yaitu untuk
mengatasi mereka punya jurus Bwe-swat-ceng-jun (bunga Bwe
mekar di musim semi). Mereka suka main bunga Bwe bersayap
enam apa segala, tapi kita sengaja mekar di musim panas agar
salju mereka mencair dan bunga Bwe mereka rontok."
Jurus "Bwe-swat-ceng-jun" dari Swat-san-pay itu agak ruwet
sebagaimana pernah disaksikan Ciok Boh-thian alias Su Ek-to
waktu Pek Ban-kiam memainkannya di markas Tiang-lok-pang
tempo hari. Sedangkan "Bwe-swat-hong-he yang diajarkan Su-popo ini
adalah sangat cepat, dalam sekejap harus membacok ke atas,
ke bawah, ke kanan dan ke kiri masing-masing tiga kali
sehingga berjumlah 12 kali bacokan, dengan serangan dahsyat
ini untuk mematahkan setiap serangan pedang lawan.
Lalu jurus ketiga bernama "Jian-kin-ap-tho" (seribu kati
menindih unta) khusus untuk mengawasi jurus "Siang-tho-selay
(dua unta datang dari barat) dalam Swat-san-kiam-hoat.
Jurus keempat bernama "Tay-hay-tim-sah" (pasir tenggelam di
dasar laut) untuk mengatasi jurus "Hong-sah-bong-bong"
(angin badai bertebaran), dan begitu seterusnya, setiap jurus
ilmu golok ajaran Su-popo itu tentu ada sesuatu nama yang
aneh. Walaupun nama jurus-jurus ilmu golok itu aneh, tapi
memang sangat hebat dan menakjubkan.
Boh-thian tidak pernah kenal sekolahan alias buta huruf, maka
ia tidak paham nama-nama jurus ilmu golok yang indah itu, dia
hanya mengingat baik-baik caranya memainkan setiap jurus
itu. Su-popo juga cukup sabar, mulutnya mengucap dan tangannya
bergaya memberi contoh, bila permainan Boh-thian salah
segera dibetulkannya. Dengan demikian kemajuan Boh-thian
menjadi pesat, jauh berbeda daripada waktu dia mencuri
belajar ilmu pedang Swat-san-pay di kelenteng bobrok tempo
hari itu. Sesudah memberi petunjuk sampai 18 jurus, Su-popo sendiri
merasa letih, segera ia pejamkan mata untuk mengaso dan
membiarkan Boh-thian berlatih sendirian.
Tidak lama kemudian Su-popo menyambung pula pelajarannya,
bila sudah capek ia mengaso lagi dan begitu seterusnya
sehingga menjelang magrib ia sudah mengajarkan 72 jurus
Kim-oh-to-hoat kepada Boh-thian.
"Swat-san-kiam-hoat mereka meliputi 72 jurus," demikian kata
Su-popo akhirnya, "tapi ilmu silat Kim-oh-pay kita selalu
melebihi mereka, maka ilmu golok kita ini pun satu jurus lebih
banyak daripada mereka, jadi ada 73 jurus. Jurus yang terakhir
ini hendaklah kau perhatikan betul-betul, ini, lihatlah!"
Sambil berkata ia lantas mengangkat ranting kayu dan
memotong dari atas ke bawah, lalu sambungnya, "Di waktu
melontarkan serangan ini kau harus meloncat ke udara dan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membacok ke bawah bersama badanmu yang lagi menurun
itu." Menyusul ia lantas mengajarkan cara bagaimana harus
meloncat, cara bagaimana mengerahkan tenaga dan cara
bagaimana menutup jalan mundur yang mungkin digunakan
lawan untuk menghindar. Untuk sejenak Boh-thian termenung-menung menyelami jurus
itu, kalau ia menirukan ajaran si nenek, ia meloncat ke atas,
lalu goloknya membacok ke bawah, begitu dahsyat serangan
itu sehingga sebelum goloknya menurun atau debu pasir di
atas tanah sudah bertebaran.
Selesai pertunjukkan jurus serangan itu, Boh-thian lantas
berhenti dan berdiri di samping. Waktu ia pandang Su-popo,
tertampak wajah si nenek pucat pasi, ketika berpaling dan
memandang A Siu, nona itu tampak mengembeng air mata,
agaknya sangat berduka. Boh-thian menjadi heran, dengan tergagap-gagap ia bertanya,
"Apakah ... apakah jurus permainanku ini tidak betul?"
Su-popo tidak menjawab. Selang sebentar barulah ia
menggerakkan tangannya dan berkata, "Betul, cuma ... cuma
daya serangan itu teramat dahsyat, maka janganlah
sembarangan digunakan agar tidak keliru melukai orang baik."
"Ya, ya, orang baik sekali-kali tidak boleh dilukai," sahut Bohthian.
Jurus ke-73 itu rupanya menimbulkan kesan yang amat
mendalam bagi Boh-thian sehingga pada malamnya ia tak bisa
tidur nyenyak, ia terus memikirkan cara permainan jurus
terakhir sampai melupakan Ting Put-sam dan Ting Put-si serta
Pek Ban-kiam yang sedang mencarinya di sekitar gua itu.
Syukurlah Ci-yan-to itu penuh dengan hutan belukar, walaupun
luas pulau itu tidak terlalu besar, maka Pek Ban-kiam dan
kawan-kawannya seketika susah menemukan tempat
sembunyinya itu. Besok paginya, begitu bangun ia lantas berlatih Kim-oh-tohoat.
Sampai jurus terakhir, ia meloncat ke udara terus
membacok ke bawah. Sekali ini lebih dahsyat lagi daripada
kemarinnya, begitu angin senjatanya menyambar ke bawah,
"blang", terdengarlah suara benturan yang keras.
"Selamat pagi Su ... Su-toako," tiba-tiba terdengar A Siu
menegurnya dari belakang.
Boh-thian menoleh, dilihatnya A Siu berada di depan gua dan
sedang menyaksikan dirinya dengan sorot matanya yang halus.
"Oh, ya, selamat pagi," sahutnya cepat.
Muka A Siu menjadi merah, katanya, "Aku ingin jalan-jalan ke
hutan sana, apakah engkau suka mengawani aku?"
"Baiklah, kau sudah dapat bergerak, kau memang harus
melemaskan otot," sahut Boh-thian. Segera kedua orang
berjalan ke arah hutan sana.
Kira-kira beberapa puluh meter jauhnya, sementara itu mereka
sudah memasuki hutan yang cukup rindang itu, di dalam hutan
masih remang-remang oleh kabut tipis, keadaan sunyi senyap,
hanya terdengar suara tindakan mereka yang menimbulkan
suara keresek-keresek menginjak daun-daun kering di atas
tanah. Sekonyong-konyong Boh-thian mendengar suara tersedu-sedu
sebelahnya, waktu Boh-thian menoleh kiranya A Siu yang
menangis. Keruan ia terkejut dan cepat ia bertanya, "Nona A
Siu, sebab ... sebab apakah engkau menangis?"
Tapi A Siu tidak menjawab, ia berjalan pula dan tiba-tiba
bersandar di sebatang pohon dan menangis lebih sedih lagi.
"Ada apakah" Kau telah diomeli nenekmu?" tanya Boh-thian. A
Siu menggeleng kepala. "Habis mengapa" Badanmu tidak enak?" tanya Boh-thian pula.
Kembali A Siu hanya menggeleng saja dan begitu pula meski
Boh-thian telah bertanya sampai beberapa kali.
Seketika Boh-thian menjadi bingung. Wanita-wanita yang
pernah dikenalnya seperti ibunya, Si Kiam, Ting Tong, Hoa
Ban-ci dan lain-lain semuanya berwatak terang-terangan dan
tidak pernah terjadi seperti A Siu yang lemah lembut dan malumalu
ini. Makin sedih A Siu menangis, makin bingunglah Boh-thian,
akhirnya terpaksa ia memohon, "Sebenarnya apakah yang
menyebabkan hatimu sedih" Sudilah kau menerangkan
kepadaku?" "Se ... semuanya ga ... gara-garamu, kau ... kaulah yang
salah, masakah ... masakah kau masih bertanya?" sahut A Siu
dengan terguguk-guguk. Keruan Boh-thian terkejut, pikirnya, "Aku yang salah" Bilakah
aku berbuat salah?" Tapi karena dia sangat menghormati A Siu yang berbudi halus
itu maka ia percaya saja segala apa yang dikatakan nona itu,
jika dia bilang dirinya salah, maka tentulah tidak keliru lagi.
Segera ia menjawab dengan suara terputus-putus, "No ... nona
A Siu, harap engkau suka menerangkan padaku apa
kesalahanku, aku adalah ... adalah seorang bodoh, sudah
berbuat salah, tapi ti ... tidak tahu, sungguh bodoh aku ini."
Dengan air mata meleleh A Siu memandang Boh-thian, lalu
tuturnya, "Semalam aku ... aku telah bermimpi buruk,
impiannya sangat menakutkan, di mana kau ... kau telah
bersikap sedemikian kejamnya kepadaku?"
Sampai di sini kembali air matanya bercucuran lagi.
"Aku sangat kejam padamu?" Boh-thian menegas dengan
terheran-heran. "Ya, aku telah mengimpi, dengan memainkan jurus ke-73 dari
Kim-oh-to-hoat itu, kau telah membacok dari udara dan sekali
bacokan telah membinasakan diriku," sahut A Siu.
Untuk sejenak Boh-thian tercengang, mendadak ia mengetokngetok
kepalanya sendiri dan mengomel, "Kurang ajar! Aku
telah membikin nona ketakutan di dalam mimpi."
A Siu menjadi tertawa geli, katanya, "Su-toako, aku sendirilah
yang bermimpi dan tak dapat menyalahkan kau."
Boh-thian sampai terkesima memandangi wajah si nona yang
putih halus dan cantik itu di kala tertawa dengan pipinya yang
masih terdapat beberapa tetes air mata.
Muka A Siu menjadi merah, katanya pula dengan malu-malu,
"Impianku biasanya sangat tepat dan terbukti, makanya aku
menjadi takut jangan-jangan pada suatu hari kelak engkau
benar-benar akan membacok mati diriku dengan jurus ketujuh
puluh tiga itu." "Tidak, tidak mungkin, biar bagaimanapun tidak mungkin aku
membunuh kau," sahut Boh-thian sambil menggeleng-geleng.
"Jangankan aku tak mungkin membunuh kau, sekalipun kau
yang akan membunuh aku juga aku takkan ... takkan
melawan." "Jika aku akan membunuh kau, sebab apa kau takkan
melawan?" A Siu menegas dengan heran.
"Ya, aku ... aku merasa apa pun yang nona katakan dan apa
pun yang hendak nona lakukan, tentu aku akan menurut
kepada segala kehendakmu itu," sahut Boh-thian sambil garukgaruk
kepala dan menyengir. "Apabila engkau benar-benar
hendak membunuh diriku, bila aku tidak menurut, tentu
engkau akan tidak senang, maka adalah lebih baik aku
membiarkan diriku dibunuh engkau saja."
A Siu mendengarkan ucapan Boh-thian itu dengan termangumangu.
Ia merasa ucapan pemuda itu sangat tulus ikhlas dan
timbul dari lubuk hatinya yang murni, sungguh ia menjadi
sangat berterima kasih, ia terharu dan matanya menjadi merah
lagi. Katanya kemudian, "Sebab ... sebab apakah engkau
sedemikian baiknya padaku?"
"Kupikir asalkan nona merasa senang, maka aku pun merasa
bahagia," sahut Boh-thian, "Nona A Siu, sungguh aku ingin ...
ingin senantiasa memandang kau seperti sekarang ini.
Dasar Boh-thian memang seorang pemuda yang masih hijau
dan polos, apa yang terpikir olehnya segera diucapkannya
tanpa mempunyai pikiran-pikiran lain. Sebaliknya meski usia A
Siu lebih muda beberapa tahun, namun dalam hal seluk-beluk
kehidupan manusia entah berapa kali lipat paham daripada
Boh-thian. Oleh sebab itulah demi mendengar ucapan Bohthian
tadi segera ia anggap pemuda itu telah menunjukkan
rasa cinta padanya dan bersedia untuk hidup berdampingan
selamanya sebagai suami-istri. Keruan ia menjadi malu,
mukanya menjadi merah dan menundukkan kepala.
Sampai sekian lamanya kedua orang terdiam. Akhirnya A Siu
membuka suara dengan kepala tetap tunduk, "Aku pun tahu,
engkau adalah orang baik, apalagi ketika di atas perahu itu kita
... kita berdua telah memakai satu bantal, untuk mana biarpun
mati juga aku takkan ikut kepada orang lain lagi."
Dengan ucapan A Siu ini maksudnya ialah bahwa apa yang
sudah terjadi itu seakan-akan sudah suratan takdir. Dalam
keadaan seluruh badan terikat Boh-thian justru dilemparkan
orang ke dalam kolong selimutnya sehingga meringkuk
bersama satu bantal semalam suntuk, hanya saja ia malu
untuk mengatakannya secara terus terang, maka ketika
menyebut tentang "bersatu bantal" itu suaranya menjadi
sedemikian lirihnya sebagai bunyi nyamuk.
Sudah tentu Boh-thian sama sekali tidak paham ucapan A Siu
itu pada hakikatnya merupakan sumpah setianya, yang
diketahui hanya kedengaran si nona ternyata sangat baik
padanya, dengan sendirinya ia sangat senang. Tiba-tiba ia
berkata, "Alangkah baiknya jika di atas pulau ini hanya
terdapat nenekmu, engkau dan aku bertiga. Kita dapat tinggal
selamanya di sini tanpa diganggu oleh siapa pun juga. Tapi
sayang kita telah disusul oleh Pek Ban-kiam, kakek-kakek Ting
Put-sam, Ting Pun-si segala sehingga kita selalu dalam
keadaan khawatir." "Aku sih tidak takut kepada Pek Ban-kiam atau Ting Put-si
segala, aku hanya takut kalau ... kalau kelak kau membunuh
diriku," sahut A Siu sambil mengangkat kepalanya.
"Tidak, aku lebih suka membunuh diri sendiri daripada
mengganggu seujung jarimu sekalipun," sahut Boh-thian cepat.
Tanpa merasa A Siu mengangkat telapak tangan sendiri serta
memandangnya. Kala itu sinar sang surya sedang
memancarkan cahayanya yang gilang-gemilang dan menembus
masuk ke dalam hutan di antara celah-celah pepohonan, maka
tertampaklah jari-jari A Siu yang putih bersih menggiurkan itu,
tanpa merasa Boh-thian terus pegang tangan si nona dan
menciumnya. Keruan A Siu menjerit kaget dan cepat menarik kembali
tangannya, mendadak ia menjadi lemas dan bersandar di
batang pohon dengan napas terengah-engah.
Mengira si nona menjadi marah, cepat Boh-thian berkata, "O,
maafkan, nona, harap janganlah marah. Aku tidak sengaja ...."
Melihat kegugupan pemuda itu, A Siu menjadi tidak tega,
kembali ia menyodorkan tangannya dan berkata dengan suara
lemah lembut, "Ti ... tidak, tidak apa-apa."
Boh-thian menjadi girang, dengan hati berdebar-debar kembali
ia memegang tangan si nona yang putih halus itu dan dirabarabanya
dengan perlahan, tapi ia tidak berani menciumnya lagi.
Sudah tenang kembali pernapasannya, lalu A Siu berkata, "Kau
telah melancarkan jalan darah nenekku, akan tetapi entah
kapan barulah kekuatan beliau dapat pulih kembali."
Karena Boh-thian tidak paham tentang Cau-hwe-jip-mo
(lumpuh karena salah melatih) apa segala, maka ia pun tidak
tahu cara bagaimana harus menghiburnya, ia hanya berkata,
"Semoga Ting Put-si tak dapat menemukan kita, maka takkan
menjadi halangan walaupun sementara ini kesehatan nenekmu
belum pulih kembali."
"Mengapa kau masih bicara tentang nenekmu dan nenekku
segala" Bukankah dia adalah cikal bakal Kiam-oh-pay dan
engkau adalah muridnya, mengapa engkau tidak memanggil
Suhu padanya?" "Ya, karena sudah biasa sehingga sukar berubah seketika,"
sahut Boh-thian. "Nona A Siu ...."
"Mengapa kau masih menyebut nona apa segala padaku, buat
apa mesti sungkan-sungkan?"
"O, ya, ya. Tapi ... tapi cara bagaimana aku harus memanggil
kau?" Kembali muka A Siu menjadi merah, katanya di dalam hati,
"Seharusnya kau memanggil aku "adik Siu" dan aku memanggil
Toako padamu." Akan tetapi, betapa pun dia adalah nona yang berperasaan
halus, pikirannya demikian sudah tentu tak berani
diutarakannya, maka ia hanya menjawab, "Boleh kau panggil
aku "A Siu" saja. Dan bagaimana aku harus memanggil
engkau?" "Kau suka memanggil apa, boleh terserah padamu," ujar Bohthian.
"Bila aku memanggil engkau sebagai si Lemper, kau akan
marah atau tidak?" tanya A Siu dengan tertawa.
"Ha, bagus, masakan aku akan marah?" ujar Boh-thian tertawa
juga. "Baiklah. Eh, Lemper!" panggil A Siu dengan suara merdu.
"Ya, A Siu," sahut Boh-thian. Dan A Siu juga mengiakannya.
Maka tertawalah kedua muda-mudi itu dengan saling pandang,
rasa gembira mereka susah diperkirakan.
"Apakah kau tidak lelah berdiri sejak tadi" Marilah kita
berduduk untuk bicara," ajak Boh-thian. Lalu kedua orang itu
duduk berjajar di bawah pohon besar itu.
Rambut A Siu yang panjang itu menjulai sampai di pundak dan
mengilap terkena sinar matahari. Perlahan-lahan Boh-thian
membelai rambut si nona yang tersampir di sebelah bahunya
itu. "Engkoh Lemper," kata A Siu sambil memainkan ujung
bajunya, "jika kami tidak bertemu dengan kau, tentu nenek
dan aku saat ini sudah mati tenggelam di dasar sungai dan
takkan terjadi seperti saat sekarang ini."
"Kalau kita bisa hidup seperti ini, bukankah kita akan sangat
gembira?" sahut Boh-thian. "Buat apa kita harus belajar ilmu
silat apa segala dan saling pukul, saling gontok, akibatnya
sama-sama susah dan sama-sama celaka. Sungguh aku tidak
paham." "Betapa pun ilmu silat harus kita pelajari," ujar A Siu. "Di dunia
terlalu banyak orang jahat, biar kau tak memukul orang, tentu
orang lain yang akan memukul kau. Memukul saja masih tidak
menjadi soal, kalau sampai membunuh, itulah yang celaka.
Maka dari itu Engkoh Lemper, bolehkah aku mohon sesuatu
padamu?" "Boleh saja," sahut Boh-thian. "Apa yang kau katakan, tentu
akan kulakukan." Maka berkatalah A Siu, "Kim-oh-to-hoat yang diajarkan nenek
itu memang sangat lihai, ditambah lagi Lwekangmu yang kuat,


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesudah kau latih dengan masak, tentu akan sedikit sekali jago
silat yang mampu menandingi kau. Hanya saja aku
mengkhawatirkan sesuatu, kau sangat jujur dan polos,
sebaliknya hati manusia di dunia Kangouw ini kebanyakan
palsu dan jahat, bila kau banyak mengikat permusuhan, tentu
kau akan masuk perangkap orang-orang jahat itu dengan
segala tipu akalnya yang licik. Maka dari itu aku mohon
hendaklah kau jangan banyak mengikat permusuhan dengan
orang." "Ini adalah maksud baikmu bagi kepentinganku, tentu saja aku
akan menurut," sahut Boh-thian sambil mengangguk.
Sesudah berhenti sejenak, lalu A Siu berkata pula, "Kim-oh-tohoat
ajaran nenek itu setiap jurusnya sangat ganas dan kejam,
kelak bila kau bertempur dengan orang, bila banyak melukai
atau membunuh orang, mau tak mau musuhmu akan menjadi
banyak juga." Boh-thian menjadi khawatir, cepat jawabnya, "Ya, benar
ucapanmu ini. Biarlah aku takkan mempelajari ilmu golok ini
dan akan minta nenek mengajarkan kepandaian lain saja."
"Ilmu silat Kim-oh-pay justru cuma terdiri dari ilmu golok itu
melulu dan tiada lain macam lagi," kata A Siu dengan
menggeleng kepala. "Pula, biar ilmu silat macam apa pun juga
pasti akan melukai dan membunuh orang. Kalau tak dapat
melukai atau membunuh orang, maka itu tak bisa dinamakan
silat lagi. Soalnya, asal di waktu kau bertempur dengan orang
hendaklah senantiasa bermurah hati, di mana dapat
mengampuni orang, maka ampunilah, dan ini pun sudah
cukup." "Di mana dapat mengampuni orang, ampunilah dia, katakatamu
ini sangat baik. A Siu, kau sungguh sangat pintar dapat
mengatakan kata-kata sebagus itu," puji Boh-thian.
"Ah, masakah aku bisa sepintar itu, apa yang kukatakan ini
hanya kutipan dari sesuatu syair kuno saja," sahut A Siu
dengan tersenyum. "Apa" Syair?" tanya Boh-thian dengan bingung. Maklum, dia
buta huruf, sudah tentu syair apa segala tak diketahuinya.
A Siu memandang heran kepada pemuda itu, ia ragu-ragu
apakah Boh-thian benar-benar tidak paham atau cuma purapura
saja" Tapi ia pun tidak menjawabnya, sesudah merenung
sejenak, kemudian ia berkata, "Harus mencapai tingkat tiada
tandingannya di dunia ini barulah dapat mengampuni orang di
mana kau ingin mengampuni, kalau tidak, biarpun kau yang
minta ampun kepada orang juga belum tentu orang mau
mengampuni. Eh, Lem ...." sampai di sini ia tertawa, lalu
menyambung, "Bolehkah aku memanggil "Toako" saja
kepadamu?" Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia meneruskan
lagi, "Maksudku agar kau suka mengampuni sesama manusia,
tetapi orang Bu-lim banyak yang berhati jahat, engkau
bermaksud mengampuni orang boleh jadi pihak lawan
menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai kau. Toako,
aku pernah melihat orang memainkan sejurus serangan yang
amat bagus, biarlah sekarang kupertunjukkan kepadamu."
Habis berkata ia lantas mengambil golok puntul yang terletak
di sebelah Boh-thian, ia berdiri tegak, lalu membuka langkah,
golok ditolak ke depan dengan melintang, menyusul lantas
menebas ke kiri, ditarik kembali dan menebas lagi ke kanan,
menyusul golok membacok balik dan menurun ke depan
dadanya sendiri. Melihat gaya si nona yang indah dan menggiurkan itu, Bohthian
menjadi terpesona sehingga termangu-mangu
memandangi A Siu, hakikatnya ia tidak memerhatikan
permainan goloknya tadi. Dalam pada itu sesudah menarik kembali goloknya, A Siu
mundur dua tindak, lalu berdiri tegak pula dengan golok
terpeluk di depan dada, katanya, "Sesudah menarik kembali
senjata, tenaga dalam harus tetap dikerahkan untuk menjaga
sekitar badan sendiri agar tidak mendadak diserang musuh."
Ketika melihat pemuda itu termenung-menung memandangi
dirinya dan terang tidak memerhatikan apa yang dikatakan
tadi, segera ia bertanya, "Kenapakah kau" Apakah jurus
permainanku ini kurang baik?"
Bab 23. Pek Ban-kiam Dikerubuti Ting Put-sam dan Ting
Put-si "O, ti ... tidak! Baik sekali, ba ... bagus sekali!" sahut Boh-thian
dengan tergagap. "Di mana letak kebagusannya?" tanya A Siu.
"Ini ... ini ...." Boh-thian menjadi susah menjawab, mukanya
berubah merah. "Ya, tahulah aku," omel A Siu. "Engkau adalah murid ahli waris
Kim-oh-pay, sudah tentu kau sama sekali memandang sebelah
mata dengan sedikit permainan cakar kucing yang kutunjukkan
ini." "O, ma ... maaf, aku memandangi kau karena sangat
memesonakan, maka aku menjadi lupa kepada permainan
golokmu," sahut Boh-thian dengan gugup. "Nona A Siu,
sukalah engkau memainkannya sekali lagi."
"Tidak, tidak mau lagi!" A Siu pura-pura marah.
"Aku mohon dengan sangat, sukalah kau main sekali lagi,"
pinta Boh-thian sambil memberi hormat.
"Baik, aku main satu kali lagi, tapi tidak kuat untuk main ketiga
kalinya," kata A Siu dengan tersenyum. Segera ia membuka
langkah dan ayun goloknya lagi membacok dan menebas
seperti tadi, ia ulangi pula jurus itu dengan perlahan.
Sekali ini Boh-thian benar-benar memerhatikan dengan
sungguh-sungguh, maka dapatlah dia ingat dengan baik
caranya, gayanya, langkah, dan gerakan-gerakannya.
Lalu A Siu memberi pesan pula bilamana Boh-thian harus tetap
mengerahkan tenaga untuk menjaga-jaga kalau pada saat
terakhir mendadak diserang musuh, untuk ini Boh-thian
mengingatnya dengan baik pula. Lalu ia mengambil golok dari
si nona dan memainkan jurus itu menurut apa yang telah
dipahaminya. Melihat pemuda itu sekali belajar lantas bisa, sungguh A Siu
sangat girang, pujinya, "Kau sungguh pintar, Toako, hanya
memerhatikan sebentar saja kau sudah dapat memahaminya.
Jurus serangan ini bernama "Pang-kau-cik-kik" (mengetok dari
samping dan memukul dari sisi), ke mana golokmu tiba, ke
situlah tenaga dalam harus dikerahkan."
"Jurus serangan ini sungguh sangat bagus, tiba-tiba di kanan,
tahu-tahu di kiri, mendadak ke atas, tahu-tahu ke bawah lagi
sehingga musuh susah untuk menangkis," ujar Boh-thian.
"Letak kebagusan jurus serangan ini melainkan berguna untuk
mengampuni pihak lawan saja," kata A Siu. "Hendaklah tahu,
sekali jago silat sudah bertanding, sekali senjata beradu, maka
sering kali harus mengadu tenaga dalam, sesungguhnya itu
adalah pertarungan yang sangat berbahaya, yang kalah
andaikan tidak mati juga pasti akan terluka parah. Tidak perlu
dibicarakan lagi apabila kau memang tidak dapat melawan
musuh, tapi seumpama kau lebih lihai daripada lawanmu, kau
ada maksud takkan melukai lawan dan ingin menghentikan
pertarungan sengit dengan sama-sama tidak cedera, hal ini
sesungguhnya teramat sukar. Maka dari itulah, jurus "Pangkaucik-kik" ini adalah sangat bagus dan serbaguna, jurus ini
takkan melukai orang, tapi juga tak bisa dilukai orang."
Melihat nona itu bersandar di pohon dan tampaknya sangat
lelah, segera Boh-thian berkata, "Duduklah, agaknya engkau
sangat lelah." Perlahan-lahan A Siu berjongkok dan duduk bersila di bawah
pohon, kemudian ia tanya, "Kau sudah mendengarkan uraianku
barusan?" "Sudah," sahut Boh-thian. "Jurus ini bernama "Pang-kau-cikkik"
apa ya?" Sekali ini bukanlah dia tidak memerhatikan uraian A Siu tadi,
tapi ia benar-benar susah mengucapkan nama jurus serangan
itu. Maklum, nama itu adalah kalimat ungkapan tertentu,
karena dia tidak pernah sekolah, dengan sendirinya ia tidak
paham dan susah mengucapkan.
"Ha, kembali kau tidak memerhatikan uraianku lagi," omel A
Siu. "Sudahlah, kau berpaling ke sana dan jangan memandang
padaku lagi." Kata-kata si nona ini sebenarnya hanya untuk bergurau saja.
Tak tersangka Boh-thian dasarnya memang polos tanpa
mempunyai pikiran apa-apa, ia benar-benar berpaling dan tak
berani memandangnya lagi.
A Siu menjadi tak enak sendiri, ia tersenyum, lalu
menerangkan, "Jurus itu bernama "Pang-kau-cik-kik". Toako,
hendaklah mengetahui bahwa setiap tokoh Bu-lim kebanyakan
sudah menjaga nama dan pamor. Seorang tokoh yang
kenamaan, dia takkan menyesal bila kau melukainya sehingga
parah sekalipun, tapi dia akan merasa malu bila kau
mengalahkan dia. Sebab itulah di waktu bertanding paling baik
kalau kita bisa memberi kelonggaran kepada lawan dan jangan
terlalu mendesaknya. Jika sudah terang kau telah menang,
bolehlah kau menggunakan jurus serangan "Pang-kau-cik-kik"
ini, karena kau menebas ke sana dan ke sini dan naik-turun,
tentu pandangan orang-orang di samping akan kabur, tapi
akhirnya kau melangkah mundur sambil menarik kembali
golokmu, hal ini akan membingungkan para penonton, mereka
takkan mengetahui dengan pasti siapa yang telah menang dan
siapa yang kalah. Dengan cara demikian berarti kau telah
memberi muka kepada lawan agar dia tidak merasa malu dan
berarti kau telah mengurangi permusuhan yang tidak habishabis.
Bila kau dapat menambahi beberapa patah kata yang
ramah tamah untuk memuji pihak lawan, dengan demikian
pihak lawan menjadi lebih rikuh lagi untuk bermusuhan terus
dengan kau dan bukan mustahil akan berbalik menjadi
kawanmu." Sungguh Boh-thian sangat kagum atas uraian si nona, katanya,
"A Siu, kau masih sangat muda, tapi sudah sedemikian pandai
memikir. Caramu ini benar-benar sangat baik."
"Jangan memuji dulu, uraianku masih belum selesai," kata A
Siu dengan tertawa. "Sekarang bolehlah kau berpaling kemari."
Boh-thian menurut. Ia lihat si nona sedang memandang
padanya dengan tersenyum simpul, wajahnya molek berseri,
untuk pertama kalinya hatinya terguncang.
Dalam pada itu terdengar A Siu telah berkata, "Ah, aku pintar
apa" Aku hanya dengar kata orang tua saja, maka aku pun
menirukannya." "Biarlah aku melatihnya sekali lagi supaya tidak lekas lupa,"
ujar Boh-thian. Lalu ia melompat bangun, ia angkat goloknya
dan memainkan pula jurus "Pang-kau-cik-kik" itu sampai dua
kali lagi. "Ehm, bagus, sedikit pun tidak salah," kata A Siu sambil
manggut-manggut. Dengan senang Boh-thian lantas duduk di samping si nona.
Tiba-tiba A Siu menghela napas dan berkata, "Toako, aku telah
mengajarkan jurus "Pang-kau-cik-kik" ini, tapi janganlah kau
beri tahukan kepada nenek."
"Ya, takkan kukatakan padanya, kutahu nenekmu tentu akan
kurang senang," sahut Boh-thian.
"Dari mana kau mengetahui nenek akan kurang senang?"
tanya A Siu. "Engkau bukan orang Kim-oh-pay, sekarang sebagai murid
Kim-oh-pay aku telah belajar kepandaian dari golongan lain,
sudah tentu beliau akan kurang senang," ujar Boh-thian.
"Kim-oh-pay, haha, Kim-oh-pay! Nenek menjadi seperti anak
kecil saja," kata A Siu dengan tertawa.
"Ya, aku pun merasa nenekmu agak kekanak-kanakan sifatnya.
Ting Put-si hanya mengundang beliau bermain ke Pik-lwe-to,
mestinya beliau boleh pergi saja sebentar, buat apa dilakoni
sampai terjun sungai segala. Perangainya benar-benar agak
terlalu keras." "Huh, kau berani menggerundel pada gurumu sendiri, awas
akan kukatakan padanya biar beliau membeset kulitmu," kata
A Siu dengan tertawa. Boh-thian menjadi gugup juga walaupun mengetahui si nona
hanya bergurau saja, cepat ia berkata, "He, jangan! Lain kali
aku takkan sembarangan omong lagi."
Melihat kekhawatiran pemuda itu, A Siu menjadi menyesal
juga, ia merasa tidak pantas mendustai orang jujur sebagai
Boh-thian itu. Apalagi kalau diingat sebabnya dirinya
mengajarkan jurus "Pang-kau-cik-kik" itu, walaupun tidak jelek
bagi pemuda itu, tapi sesungguhnya juga terdorong oleh
kepentingan sendiri. Dasar perasaan A Siu memang halus, maka cepat ia berkata,
"Toako, kau telah berjanji padaku bila kelak bertempur dengan
orang, engkau takkan sembarangan melukai dan membunuh
orang, bahkan takkan membikin malu orang, sungguh aku
merasa sangat berterima kasih, untuk mana terlebih dulu
terimalah penghormatanku ini."
Habis berkata ia lantas berlutut dan menyembah.
Boh-thian terkejut, serunya cepat, "He, mengapa engkau
memberi penghormatan setinggi ini?"
Segera ia pun berlutut dan balas menyembah.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang
wanita dengan gusar, "Huh, tidak tahu malu, mengapa kau
main sembah-sembahan lagi dengan perempuan lain di sini?"
Siapa lagi suara itu kalau bukan suaranya si Ting Tong!
Keruan kejut Boh-thian tak terhingga, "Haya! Ting-ting Tongtong!"
ia menjerit dan segera melompat bangun.
Benar juga tertampak si Ting Tong sedang berlari datang dari
hutan sana, di belakangnya mengikuti seorang tua, itulah Ting
Put-sam adanya. Melihat kedua orang itu, sungguh takut Boh-thian tidak
kepalang, cepat ia rangkul A Siu dan mengepitnya, segera ia
membawanya melarikan diri secepat terbang.
Akan tetapi Ting Put-sam jauh lebih cepat lagi, hanya beberapa
kali lompatan saja sudah melampaui Boh-thian dan segera
mengadang di depan pemuda itu.
Kembali Boh-thian menjerit kaget, cepat ia membelok ke
samping. Memangnya dia punya ginkang kalah tinggi daripada Ting Putsam,
ditambah lagi dia mengempit si A Siu, sudah tentu
dengan mudah saja kembali dia sudah diadang pula oleh Ting
Put-sam. Saat itu si Ting Tong juga sudah menyusul sampai di
belakangnya. Tertampak nona itu bersenjata liu-yap-to (golok
panjang tipis seperti daun liu) yang mengilat, keruan ia tambah
khawatir.

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar si Ting Tong membentak dengan murka,
"Letakkan perempuan hina itu dan biar kubinasakan dia, kalau
tidak, selama hidup urusan kita ini pasti takkan terselesaikan!"
"Ti ... tidak, jang ... jangan!" sahut Boh-thian gugup.
"Sret", mendadak Ting Tong menebaskan goloknya ke atas
kepala A Siu. Boh-thian terkejut, tanpa pikir lagi ia melompat
ke samping. Saking khawatirnya kalau-kalau tebasan si Ting Tong itu akan
membinasakan A Siu, maka tanpa terasa tenaga dalamnya
telah timbul menurutkan pikirannya, seketika tenaga dalam
yang mahakuat timbul di telapak kakinya sehingga tubuhnya
yang meloncat itu terus mengapung ke atas, di luar dugaan
tingginya sampai melebihi pucuk pohon.
Sedemikian tinggi loncatan Boh-thian itu, bukan saja Ting Putsam
dan si Ting Tong terkejut, bahkan Boh-thian sendiri pun
menjerit kaget selagi badannya masih terapung di udara.
Ia menduga bila jatuh nanti, tentu badannya akan hancur,
paling sedikit kakinya juga pasti patah. Lebih celaka lagi kalau
A Siu sampai dibunuh oleh si Ting Tong, tentu runyamlah
segala urusan. Saat itu badannya sudah mulai menurun ke bawah dan
tampaknya akan menjatuhi sebatang dahan pohon yang
melintang, dalam gugupnya ia menggunakan kakinya untuk
bertahan sekuatnya dengan maksud dapatlah melompat lagi
sejauh mungkin untuk melarikan diri. Tak terduga lantas
terdengarlah suara "krak", dahan pohon itu telah patah,
badannya membal lagi ke depan sehingga lebih tinggi daripada
tadi. Syukurlah pada saat itu terdengar A Siu yang berada di
kempitannya itu telah berkata padanya, "Toako, waktu
menurun nanti hendaklah tekuk kakimu agar daya turunnya
tertahan sedikit, tentu daya pentalnya nanti akan lebih ...."
Belum habis ucapan A Siu, kembali kedua kaki Boh-thian sudah
jatuh pula di atas dahan pohon yang lain.
Sekali ini ia menuruti petunjuk A Siu, ia sedikit tekuk lututnya
untuk mengurangi daya tekanannya. Aneh juga, dahan pohon
itu tidak patah lagi, tapi hanya mendoyong sedikit ke bawah,
lalu menyendal kembali ke atas sehingga tubuh Boh-thian
terlempar terlebih tinggi dan jauh. Dan begitulah seterusnya,
tiap kali di atas dahan, lalu Boh-thian terpental lebih jauh lagi
sehingga lambat laun suara bentak maki si Ting Tong makin
menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.
Dengan melompat naik-turun itu, Ciok Boh-thian merasa
sangat senang. Ditambah lagi A Siu masih terus memberi
petunjuk-petunjuk cara menggunakan tenaga dan cara
melompat. Memangnya tenaga dalam Boh-thian sangat kuat,
sekali mengetahui cara bagaimana menggunakan ginkang,
dengan cepat ia sudah dapat melompat dengan sesukanya
sebagai kera atau tupai gesitnya. Sungguh senangnya tak
terhingga, katanya, "Wah, cara demikian ini sangat bagus,
dengan begini kita takkan takut dikejar oleh mereka lagi."
Dalam pada itu mereka sudah hampir mencapai ujung hutan
sana, tiba-tiba terdengar pula suara-suara bentakan yang
ramai disertai sinar berkelebatnya senjata, terang ada orang
sedang bertempur di sana.
"Wah, celaka, di sana ada orang, kita jangan maju lagi," kata
Boh-thian. Dan sedikit kakinya menutul dahan pohon, dengan
enteng ia lantas turun ke bawah. Ia menurutkan cara yang
diajarkan A Siu, ia tarik napas dalam-dalam, ujung kakinya
menyentuh tanah lebih dulu, biarpun dia masih tetap
membawa seorang, tapi jatuhnya ke tanah ternyata tiada
mengeluarkan suara apa-apa.
Ia sembunyi di balik sebatang pohon yang besar, lalu
mengintip ke arah suara ramai-ramai sana. Tapi ia menjadi
terkejut. Tertampak di suatu tanah lapang yang dikelilingi
pohon-pohon itu ada dua orang sedang bertarung dengan
sengit, yang satu bersenjata pedang adalah Pek Ban-kiam,
yang lain bertangan kosong, itulah Ting Put-si.
Di samping masih ada belasan murid Swat-san-pay dengan
pedang terhunus sedang mengawasi pertempuran itu, mereka
bersorak-sorak untuk memberi semangat kepada Pek Bankiam.
Sebaliknya mesti Ting Put-si tidak bersenjata, tapi dia telah
mainkan tangannya untuk mencengkeram, mencakar,
menutuk, memotong, dan memukul, lihainya melebihi
sepasang senjata. Terkadang kalau pedang Pek Ban-kiam menusuk dari samping,
bukannya Ting Put-si menghindar mundur, sebaliknya ia
menerjang maju untuk mendahului menghantam.
Hanya mengamati beberapa jurus saja segera Boh-thian
mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyaksikan
pertempuran itu sampai lupa bahwa dia masih memondong
seorang lagi. Memangnya Boh-thian pernah belajar Swat-sankiamhoat, sedangkan jurus-jurus serangan Ting Put-si juga
adalah sebagian pernah diajarkan kepadanya, walaupun masih
ada sebagian besar tak pernah dilihatnya, tapi jalannya
dapatlah diikuti dengan baik, di mana letak tujuan setiap
serangan itu pun dapat dipahaminya.
Ia lihat Ting Put-si lebih banyak menyerangnya daripada
bertahan, sepasang telapak tangannya sebagai pedang dan
mirip golok, terkadang dipakai menusuk menyerupai tombak
pula sehingga Pek Ban-kiam terdesak dan terpaksa lebih
banyak bertahan daripada menyerang.
Pek Ban-kiam tampak tenang dan sabar, namun tidak kurang
pula tangkisannya. Terkadang kelihatan dia terdesak, tapi
sekali pedangnya berkelebat, kembali dia dapat memaksa Ting
Put-si untuk menarik kembali serangannya.
Tampaknya tidaklah mudah bagi Ting Put-si untuk merebut
kemenangan, bahkan kalau sudah lama boleh jadi akan lebih
menguntungkan Pek Ban-kiam yang bersenjata itu.
Kalau Ciok Boh-thian saja dapat menarik kesimpulan demikian,
maka bagi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si sudah tentu lebihlebih
merasakan akan keadaan itu.
Kiranya Ting Put-si itu menganggap dirinya sama tingkatannya
dengan ayah Pek Ban-kiam yaitu Wi-tek Siansing Pek Cu-cay,
maka ia telah menyatakan akan melawan Pek Ban-kiam
dengan bertangan kosong, bahkan di dalam 72 jurus saja ia
akan dapat merampas pedang lawannya itu.
Di luar dugaan, begitu pertarungan sudah berlangsung seketika
Ting Put-si mengeluh di dalam hati. Dahulu ia pernah
bertempur dengan beberapa orang murid Swat-san-pay, maka
ia sangka kepandaian Pek Ban-kiam betapa pun juga terbatas.
Siapa duga di antaranya sesama murid Swat-san-pay itu
bedanya ternyata sangat jauh, keruan ia terkecoh dan
mengeluh. Walaupun yang dimainkan Pek Ban-kiam sama-sama adalah
Swat-san-kiam-hoat, tapi kecepatannya dan perubahanperubahannya,
tenaga dalam yang digunakan serta caracaranya,
nyata dia sudah mencapai tingkatan jago kelas satu,
sekalipun Wi-tek Siansing Pek Cu-cay sendiri di masa jayajayanya
ketika masih malang melintang di dunia Kangouw
mungkin juga tidak lebih daripada kepandaian sang putra
sekarang. Terpaksa Ting Put-si harus mencurahkan perhatian dan
mengerahkan semangat lebih daripada biasanya, ia gunakan
kegesitannya untuk melompat dan menyusup kian-kemari di
bawah lingkaran sinar pedang lawan, terkadang bila sudah
kepepet ia harus menggunakan serangan balasan yang
berbahaya dengan tujuan gugur bersama untuk memaksa Pek
Ban-kiam menarik kembali serangannya yang lihai. Sebaliknya
bila ketemukan keadaan begitu, selalu Pek Ban-kiam mengalah
dan tidak mau mengadu jiwa dengan lawan, seakan-akan Bankiam
sudah yakin pasti akan memperoleh kemenangan terakhir
nanti. Sebenarnya kalau berbicara tentang kepandaian sejati betapa
pun harus diakui Ting Put-si adalah lebih tinggi setingkat,
sebabnya dia terdesak adalah lantaran dia terlalu takabur, dia
tak mau menggunakan senjata untuk menandingi Pek Bankiam,
dia tidak tahu jago macam apakah "Gi-han-se-pak" itu,
bahwasanya sekalipun jago yang paling kuat, kalau senjata
lawan senjata dengan dia juga tidak mudah untuk
mengalahkannya, apalagi bertangan kosong sebagai Ting Put-si
sekarang" Begitulah, maka sesudah dua-tiga puluh jurus, tiba-tiba Pek
Ban-kiam berkata, "Ting-sicek (Paman Ting), silakan
menggunakan senjata saja, kalau bertangan kosong engkau
tak dapat menandingi aku."
"Kentut!" bentak Ting Put-si dengan gusar. "Masakah aku tak
dapat menandingi kau" Hm, ini boleh kau coba seranganku ini!"
Mendadak tangan kirinya berputar sekali, menyusul kepalan
kanan terus memukul ke depan melalui lingkaran tangan kiri
itu. Serangan ini sangat aneh, karena tidak paham cara
mematahkannya, terpaksa Pek Ban-kiam mundur satu tindak.
Ting Put-si tertawa terbahak-bahak, sekonyong-konyong ia
melompat naik ke kanan, begitu cepat tubuhnya mengapung ke
atas seakan-akan kakinya dipasang dengan pegas (per) dan
mendadak bisa terpental, ketika tubuhnya sudah berada di
udara, kedua kakinya lantas menendang cepat.
Terpaksa Pek Ban-kiam mundur selangkah lagi sambil putar
pedangnya untuk melindungi mukanya sendiri.
Tapi Ting Put-si masih terus melancarkan serangan-serangan,
mendadak dari sebelah kanan, tahu-tahu dari sebelah kiri, tibaKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tiba dari belakang, dan sekonyong-konyong dari depan lagi.
Ciok Boh-thian sampai pusing menyaksikan serangan-serangan
Ting Put-si yang tampaknya tak teratur itu.
"Bret", mendadak terdengar suara kain terobek, kiranya lengan
celana Ting Put-si telah tertusuk oleh pedang Pek Ban-kiam
dan sobek. Meski kakinya tidak sampai terluka, tapi celananya
juga sudah terobek panjang sehingga kelihatan kakinya.
"Terima kasih atas kesudianmu mengalah," segera Ban-kiam
berkata sambil menarik kembali pedangnya.
Pertandingan di antara jago silat kelas tinggi, kalah atau
menang hanya tergantung kepada satu-dua jurus saja. Maka
sekali celana Ting Put-si tertusuk robek, hal ini boleh dikata
sudah terang siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Tak terduga, dari malu Ting Put-si menjadi gusar, bentaknya,
"Siapa yang mengalah padamu" Tusukanmu barusan ini hanya
kebetulan saja mengenai celanaku, masakah dianggap?"
Dan segera dengan jurus "Khik-cui-heng-ciu" (Perahu Meluncur
Melawan Arus), kembali ia menerjang pula.
Dalam keadaan demikian, mau tak mau Pek Ban-kiam harus
angkat pedang dan menyambut serangan itu. Tusukan
pedangnya tadi sehingga merobekkan lengan celana lawan,
dibilang kebetulan memang juga betul, waktu itu Pek Ban-kiam
sedang menusuk ke depan, Ting Put-si juga sedang mengayun
kakinya untuk menendang sehingga seperti sengaja
menyodorkan lengan celananya ke ujung pedang lawan.
Namun demikian, sedikit banyak kegarangan Ting Put-si
menjadi banyak berkurang juga, serangan-serangan
selanjutnya mau tak mau harus lebih berhati-hati, tapi makin
lama dia pun semakin terdesak di pihak asor.
Melihat perimbangan pertarungan itu tentu saja yang paling
senang adalah orang-orang Swat-san-pay yang menonton di
samping, segera ada yang berseru memuji, "Coba lihatlah jurus
serangan Pek-suko, Gwat-sik-hun-hong (Sinar Rembulan
Remang-remang) itu, pedangnya bergerak seakan-akan tak
kelihatan, remang-remang saja menuju sasarannya, sungguh
telah memperlihatkan inti Swat-san-kiam-hoat yang hebat.
Lihatlah itu, Ting-siansing sampai kerepotan menghindar, kalau
bukan Pek-suko sengaja memberi kelonggaran tentu badannya
sudah pakai bintang."
"Kentut!" mendadak terdengar bentakan orang dari dua
jurusan. Satu jurusan adalah suara Ting Put-si, itulah lumrah
dan tidak mengherankan karena dialah yang diolok-olok, tapi
suara yang lain ternyata datang dari jurusan timur laut sana.
Waktu semua orang berpaling ke arah sana, maka orang yang
paling kaget tentulah Ciok Boh-thian.
Ternyata di sebelah sana telah berdiri berjajar dua orang, yang
seorang adalah Ting Put-sam dan yang lain dengan sendirinya
adalah si Ting Tong. "He, Losam, lekas kau menyingkir pergi, aku sedang bergebrak
dengan orang, buat apa kau berdiri di situ?" teriak Ting Put-si.
Meski dengan sepenuh perhatian dia bergebrak dengan Pek
Ban-kiam, tapi betapa pun adalah saudara sekandung sendiri,
baru dengar suaranya saja ia lantas tahu sang kakak telah
datang. Maka Ting Put-sam telah menjawab dengan tertawa, "Aku ingin
melihat apakah ilmu silatmu selama ini sudah ada kemajuan
atau tidak." Ting Put-si menjadi gugup, ia tahu dalam keadaan demikian
dirinya pasti susah memperoleh kemenangan, tapi sang kakak
justru telah muncul dan ingin melihat kepandaiannya.
"Kau pergi saja, Losam," serunya pula. "Kau hanya
mengacaukan perhatianku saja. Aku terpaksa harus bicara
dengan kau sehingga perhatianku terpencar, cara bagaimana
aku bisa menghajar bocah ini."
"Kau tidak perlu bicara dengan aku, kau boleh berkelahi
dengan sepenuh perhatianmu," sahut Put-sam dengan tertawa.
Lalu ia menoleh dan berkata kepada si Ting Tong, "Biasanya
kau punya Si-yaya (kakek keempat) suka menganggap ilmu
silatnya tiada tandingannya di dunia ini, seakan-akan kakekmu
sendiri juga tak bisa menandingi dia. Sekarang kau boleh
pentang matamu lebar-lebar untuk menyaksikannya, boleh kau
melihat kau punya Si-yaya dengan bertangan kosong akan
menghajar lawannya, akan merebut pedang lawan sehingga
lawannya mengaku kalah serta berlutut dan menyembah minta
ampun padanya. Hahaha!"
Ting Put-sam sengaja bergelak tertawa sehingga suaranya
memekak telinga dan membuat siapa yang mendengar merasa
tidak enak. Keruan Ting Put-si sangat mendongkol, bentaknya, "Losam,
kau tertawa apa-apaan?"
"Aku menertawai kau!" sahut Put-sam.
"Menertawai aku mengenai apa" Apanya yang menggelikan?"
teriak Put-si dengan gusar.
"Aku menertawai kau karena selama hidupmu kau suka
sombong, ingin menang sendiri, tapi di kala menghadapi
bahaya toh masih perlu bantuan kakakmu ini untuk
mengangkat kau keluar dari malapetaka," kata Put-sam.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Malapetaka apa?" bentak Put-si dengan murka. "Bocah she
Pek ini adalah angkatan muda kita, kalau bukan mengingat
ayah-bundanya, tentu sejak tadi sekali menghantam sudah
kumampuskan dia. Huh, siapa yang ingin bantuanmu untuk
mengangkat diriku apa segala" Lebih baik kau pergi
mengangkat poci arak saja atau mengangkat pispot juga boleh.
Aduh! Anak kurang ajar, kau berani melukai aku ...."
Mestinya dia sudah kewalahan melawan Pek Ban-kiam yang
bersenjata, sekarang dia terpencar pula perhatiannya untuk
bicara dengan Ting Put-sam, kesempatan itu segera digunakan
oleh Ban-kiam untuk menyerang sehingga iga kirinya tergores
dan darah bercucuran. Ting Put-sam dan Ting Put-si adalah saudara sekandung, tapi
sejak kecil mereka sudah suka bertengkar dan berkelahi
sendiri. Si kakak tidak mirip kakak, si adik juga tidak pantas
sebagai adik. Tapi sekarang demi melihat saudaranya terluka,
mau tak mau ia menjadi khawatir juga, segera ia membentak
dengan gusar, "Anak bedebah! Kau berani melukai saudara
Ting Put-sam?" Dan sekali melompat, segera ia melayang ke belakang Pek
Ban-kiam dan kontan hendak mencengkeram punggung lawan
itu. Diserang dari muka dan belakang, namun sedikit pun Pek Bankiam
tidak bingung, lebih dulu pedangnya menusuk Ting Put-si
sehingga lawan dari depan itu dipaksa mundur setindak, habis
itu ia lantas putar pedang menebas ke belakang.
Dasar Ting Put-si memang suka unggul, dia masih berteriakteriak,
"Losam, lekas menyingkir! Siapa yang suruh kau
membantu aku?" "Siapa yang membantu kau?" sahut Ting Put-sam. "Aku Ting
Put-sam paling benci kalau ada perkelahian yang tidak adil.
Biarlah aku melucuti pedangnya dulu, lalu akan kubikin
darahnya juga keluar di badannya, habis itu barulah kalian
berkelahi secara adil."
Melihat sang suheng dikeroyok, sudah tentu para murid Swatsanpay tidak kira tinggal diam. Apalagi Ting Put-sam itu
diketahui adalah musuh yang telah membunuh saudara
seperguruan mereka, maka serentak mereka berteriak-teriak
terus menerjang maju bersama.
"Anak anjing, apa barangkali sudah bosan hidup semua" Hayo
lekas enyah kembali seluruhnya!" bentak Ting Put-sam.
Namun sebagai jawaban para murid Swat-san-pay itu telah
menusuk dengan pedang mereka. Dengan gesit dapatlah Ting
Put-sam menghindar serangan-serangan itu sambil membentak
pula, "Lekas mundur semua, kalau tidak awas, terpaksa Locu
akan membunuh orang!"
Ban-kiam mengetahui para sutenya itu sekali-kali bukan
tandingan Ting Put-sam, sekali orang tua itu menyatakan
hendak membunuh orang, maka akibatnya tentu para sutenya
itu akan banyak yang menjadi korban. Cepat ia berseru, "Para
Sute, hendaklah lekas mundur!"
Biasanya murid-murid Swat-san-pay itu sangat segan kepada
sang suheng, maka demi mendengar perintah itu, serentak
mereka melompat mundur semua.
"Coba pinjamkan pedangmu itu!" tiba-tiba Ting Put-sam
berkata kepada seorang murid Swat-san-pay yang pendek
gemuk dan bernama Li Ban-san.
"Baik, ini terimalah!" sahut Li Ban-san dengan gusar. "Sret",
mendadak pedangnya menusuk ke perut Ting Put-sam.
Tapi dengan cepat Ting Put-sam menggeser ke pinggir, sekali
tangannya menjulur, dengan tepat pergelangan tangan Li Bansan
sudah tertangkap olehnya, dengan perlahan Ting Put-sam
memuntir sehingga mau tidak mau Li Ban-san harus
melepaskan pedangnya sehingga mirip benar dengan Li Bansan
sengaja menyodorkan pedangnya kepada Ting Put-sam.
Karena puntiran itu, pergelangan tangan Li Ban-san sudah
terkilir, waktu Ting Put-sam mengayun kaki pula, kontan badan
Li Ban-san yang bundar buntak di depan itu terjungkal.
Waktu murid-murid Swat-san-pay hendak mengerubut maju
lagi, namun Ting Put-sam sudah memutar pedang
rampasannya, ia gunakan ujung pedang untuk menggaris di
tanah sambil berlari mengelilingi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si
yang sedang bertempur itu sehingga suatu garis lingkaran
seluas empat lima meter. Selesai itu, lalu ia berkata kepada murid-murid Swat-san-pay,
"Nah, siapa saja yang berani melangkah masuk lingkaran ini
berarti dia telah masuk ke pintu akhirat."
Pek Ban-kiam tampaknya menghadapi lawannya dengan
sangat tenang, tapi di dalam hati sebenarnya ia sangat gelisah.
Ia tahu kedua saudara Put-sam dan Put-si itu biasanya
membunuh orang tidak pernah berkedip alias tidak kenal
ampun. Sekarang kedua orang tua itu bersatu padu untuk
menempurnya, terang dirinya susah untuk melawan mereka.
Keadaan sekarang kalau dibandingkan pertarungan di
kelenteng toapekong waktu melawan suami-istri Ciok Jing
mungkin jauh lebih berbahaya, boleh jadi murid Swat-san-pay
hari ini akan gugur semua di Ci-yan-to ini.
Karena keadaan sudah berbahaya, terpaksa Pek Ban-kiam
melancarkan serangan-serangan kilat lagi, ia pikir Ting Put-si
harus dibinasakan dahulu barulah keselamatan murid-murid
Swat-san-pay dapat terjamin.
Akan tetapi Ting Put-si juga bukan kaum keroco yang dengan
mudah dapat dibinasakan olehnya. Meski iga orang tua itu
sudah terluka, namun luka itu tidak parah dan masih dapat
bertempur dengan tangkasnya.
Begitulah, lantaran Pek Ban-kiam ingin buru-buru menang,
meski serangan-serangannya tambah gencar, tapi "safety"nya
menjadi kurang daripada tadi.
Sebaliknya Ting Put-si semakin tangkas, kedua tangannya
menari kian-kemari di antara berkelebatnya sinar pedang
lawan, dia masih tetap gesit dan berbahaya walaupun darah
tiada hentinya bercucuran keluar dari lukanya.
"Losi, kau boleh mundur dahulu," demikian Ting Put-sam telah
tampil ke depan dengan pedang terhunus. "Balut dulu lukamu
baru nanti kau maju dan bertempur lagi."
Namun dasar Ting Put-si adalah orang yang suka menang,
segera ia berteriak, "Luka apa" Di mana aku terluka" Huh,
hanya sebatang pedang karatan bocah ingusan ini saja
masakah dapat melukai diriku?"
Ting Put-sam terbahak-bahak dan tidak membantahnya lagi.
"Sret", mendadak pedangnya menusuk ke arah Pek Ban-kiam
sambil berseru, "Nah, orang she Pek, hendaklah kau
mendengarkan yang jelas, saat ini adalah aku bertempur
dengan kau satu lawan satu, Ting-losi juga ingin satu melawan
satu dengan kau, jadi bukan kami berdua bersama-sama
mengerubut kau seorang. Ting Put-si suruh aku jangan ikut
campur, tapi aku tidak menurut. Sebaliknya aku suruh dia
mundur dan dia juga tidak mau tunduk. Aku sendiri menjadi
sebal melihat rupamu ini, maka aku ingin memberi hajaran
padamu. Losi juga muak padamu, maka ingin memberi persen
beberapa kali tamparan padamu. Sekarang kami masingmasing
akan mencapai tujuannya sendiri-sendiri dan tiada
maksud hendak mengeroyok kau, aku sengaja bicara di muka
supaya orang lain takkan bilang Ting-si Siang-hiong (kedua
tokoh keluarga Ting) telah mengeroyok seorang jago Swatsanpay, hal ini tentu tak enak didengar kalau tersiar."
Begitulah, meski mulutnya mengoceh, tapi tangannya tidak
pernah kendur, ia menyerang dengan cepat dan lihai.
Diam-diam Ban-kiam sangat mendongkol, pikirnya, "Huh, kau
bilang bertempur dengan aku satu lawan satu dan Ting Put-si
juga menyatakan bertempur satu lawan satu, tapi kenyataan
demikian apa bedanya dengan dua mengeroyok satu?"
Namun watak Pek Ban-kiam tidak suka bertengkar mulut
dengan orang, pula ia sudah merasa muak terhadap sifat
pengecut kedua saudara she Ting itu, apalagi di bawah
kerubutan dua jago terkemuka, sudah tentu ia pun tidak dapat
membagi perhatiannya untuk bicara.
Maka dia hanya memusatkan perhatian dan menjaga diri
dengan sangat rapat, bila ada kesempatan dia lantas
melancarkan serangan balasan.
Pada suatu saat yang menentukan, ketika pedang Ting Put-sam
terbentur dengan pedang lawan, Ban-kiam merasa lengannya
tergetar, tenaga dalam lawan yang dahsyat telah
membenturnya dengan hebat, cepat ia pun mengerahkan
tenaga sambil menyampuk ke samping, menyusul pedang
berputar untuk menebas kembali. Akan tetapi pada saat itu
juga mendadak kaki kanan terasa kesakitan, kiranya Ting Putsam
telah menggunakan telapak tangan kiri yang kuat untuk
memotong kakinya, walaupun tidak terluka, namun sakitnya
bukan kepalang. Cepat ia mundur dua tindak dengan
terhuyung-huyung dan hampir-hampir terperosot jatuh.
"Jangan mencelakai suko kami!" teriak seorang murid Swatsanpay terus menerjang maju dengan pedang terhunus.
Tapi baru saja kakinya melangkah masuk lingkaran yang
digaris Ting Put-sam tadi mendadak sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu dadanya sudah tertusuk oleh pedang, sudah binasa
ditusuk oleh Ting Put-sam.
Keruan orang-orang Swat-san-pay terkejut dan murka pula,
dua orang di antaranya segera menerjang maju pula.
Ting Put-sam membentak dengan suara menggelegar sambil
loncat ke udara, dari atas pedangnya terus membacok ke
bawah, berbareng telapak tangan kiri juga menghantam. Di
mana sinar pedangnya menyambar, tanpa ampun lagi salah
seorang murid Swat-san-pay itu terbelah menjadi dua mulai
dari pundak kanan sehingga sampai di pinggul kiri, sedangkan
pukulan tangan kiri Ting Put-sam juga mengenai batok kepala
murid Swat-san-pay yang lain, kontan orang itu roboh terkulai
tanpa bersuara, kepalanya sampai terpuntir ke belakang,
kiranya tulang lehernya sudah patah dan terang tak bisa hidup
lagi. Hanya dalam sekejap saja Ting Put-sam sudah membunuh tiga
orang, Ciok Boh-thian sampai berdebar-debar dan ngeri
menyaksikannya. Bahkan keganasan Ting Put-sam itu belum mereda, ia putar
pedangnya secepat kilat dan menerjang ke arah Pek Ban-kiam.
Mendadak terdengar suara "krak-krak" dua kali, kedua pedang
yang saling bentur itu telah patah semua. Berbareng kedua
orang sama-sama menimpukkan sisa pedang patah kepada
lawan dan kedua orang sama-sama mendakkan tubuh untuk
menghindar, kedua pedang patah itu pun sama-sama
melayang lewat di atas kepala masing-masing.
Kedua orang sama gerakannya dan sama cepatnya, betapa
bahayanya juga sama-sama pula.
Karena kaki kanan Pek Ban-kiam sudah terluka, jalannya
menjadi kurang leluasa, sekarang kehilangan senjata lagi,
seketika ia terdesak di pihak yang dicecar dengan seranganserangan
tanpa dapat membalas. Ada lagi dua murid Swat-san-pay yang nekat, walaupun sadar
bilamana mereka melangkah masuk ke dalam lingkaran tentu
mereka lebih banyak mati daripada hidupnya. Tapi mereka pun
tidak ingin menyaksikan sang suheng dikerubut dan
dibinasakan begitu saja oleh musuh, maka tanpa pikir lagi
mereka lantas menerjang maju dengan pedang terhunus.
Tiba-tiba Ting Put-sam berseru, "Losi, boleh kau bereskan
mereka saja, hari ini aku sudah membunuh tiga orang."
"Haha, jadinya kau juga terpaksa memohon sesuatu padaku,"
seru Put-si dengan tertawa.
Sungguh aneh sekali, sama sekali Ting Put-si tidak memutar
tubuh, tapi kedua kakinya terus menyepak ke belakang seperti
halnya kuda menyepak orang saja, maka terdengarlah "plakplok"
dua kali, kedua kakinya masing-masing telah kena
menyepak di dada tiap orang.
Kontan kedua murid Swat-san-pay itu mencelat sampai
beberapa meter jauhnya dan terbanting jauh, sedikit pun
mereka tidak sempat bersuara dan tahu-tahu mereka sudah
mati terdepak. Sekali kedua saudara she Ting sudah mengganas, maka
mereka tidak kenal lagi segala tata krama dan sopan santun
orang Kangouw lagi. Mereka kerjakan tangan dan kaki dan
menyerang Pek Ban-kiam dengan cara yang keji mematikan.
Dengan kaki pincang Pek Ban-kiam masih terus bertahan
dengan tenang, selangkah ia mundur keluar dari kalangan.
Sekonyong-konyong ia bersuara tertahan pula, kiranya bahu
kanan telah kena dihantam lagi oleh telapak tangan Ting Put-si
sehingga lengan kanan hampir-hampir susah bergerak.
Melihat pertarungan sengit itu, semakin lama darah kesatria
Ciok Boh-thian semakin bergolak, mendadak ia berteriak, "Cara
demikian sungguh terlalu tidak adil!"
Tanpa pikir lagi ia terus lemparkan A Siu ke atas tanah, ia
cabut golok karatan yang terselip diikat pinggangnya, lalu
menerjang maju sambil berteriak, "Sungguh tidak adil, dua
mengeroyok satu!" Karena dilemparkan begitu saja ke atas tanah, A Siu sampai
menjerit kesakitan. Rupanya Boh-thian mendengar suara A Siu
itu, ia masih sempat berpaling dan berkata, "O, maaf, maaf!"
Habis itu secepat terbang ia sudah melompat masuk ke tengah
lingkaran dan mendekati Ting Put-si.
Mendengar dari belakang ada orang menerjang tiba, Ting Put-si
tetap tidak menoleh atau membalik tubuh, kembali kakinya
menyepak lagi ke belakang.
Tapi sekali menutul kedua kakinya, dengan enteng sekali Bohthian
lantas melayang ke depan melintasi kepala orang dan
turun kembali di depan Ting Put-si.
Ketika merasa kakinya menyepak tempat kosong, sebaliknya
tahu-tahu di depannya sudah bertambah satu orang, untuk
sejenak Ting Put-si tercengang, tapi ia lantas berseru sambil
menuding, "He, Lemper Raksasa, kiranya kau!"
"Ya, betul, inilah aku," sahut Boh-thian. "Kalian ... kalian
berdua mengeroyok satu orang, ini terlalu tidak adil."
Habis berkata, Boh-thian coba melirik ke arah Ting Put-sam
dengan jantung memukul keras, ia masih ngeri menyaksikan
tiga sosok mayat yang berlumuran darah yang barusan
dibunuh Ting Put-sam itu menggeletak di sebelahnya, bahkan
kakinya sendiri sekarang juga berlepotan darah.
Semula Ting Put-sam juga terkejut ketika tiba-tiba melihat
seorang melayang masuk ke tengah kalangan pertempuran
mereka. Tapi demi mengenali Boh-thian segera ia
mendamprat, "Anak bedebah, tempo hari kau telah berhasil
melarikan diri, kiranya kau sembunyi di sini."
"Aku ... aku ingin melerai kedua Loyacu agar janganlah terlalu


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak mengikat permusuhan, jika sudah menang, di mana
dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni, buat apa
mesti ngotot dan ingin membunuh musuh habis-habisan."
Bab 24. Ting Put-sam dan Ting Put-si Melawan Gabungan
Kim-oh-to-hoat dan Swat-san-kiam-hoat
Put-sam dan Put-si saling pandang dengan bergelak tertawa,
kata Put-si, "Losam, entah dari mana bocah ini dapat belajar
beberapa kalimat ocehan penjual obat, lalu sekarang
menirukannya untuk memberi nasihat kepada kita, sungguh
lucu, hahaha!" Boh-thian tidak menanggapi lagi, tiba-tiba ia gunakan goloknya
untuk mencukil sebatang pedang yang terletak di atas tanah
sehingga pedang itu terlempar ke arah Pek Ban-kiam,
berbareng ia berseru, "Pek-suhu, Swat-san-pay kalian biasanya
harus menggunakan pedang!"
Sungguh sekali-kali tak tersangka oleh Pek Ban-kiam bahwa di
saat dirinya terancam bahaya dan tampaknya dalam sekejap
lagi tentu akan binasa di bawah tangan kedua saudara Ting,
siapa duga mendadak telah muncul seorang penolong yang
bukan lain adalah Ciok Tiong-giok, bocah yang selama ini
sedang dicari dan hendak dibunuhnya, sudah tentu tidak
keruan perasaannya pada saat demikian.
Pedang yang dilemparkan ke arahnya itu adalah tinggalan
seorang sutenya yang dibinasakan Ting Put-sam tadi, asal
dirinya sudah bersenjata pula, seketika semangatnya akan
bertambah berlipat ganda. Maka tanpa bicara lagi segera ia
sambar pedang yang melayang ke arahnya itu.
Sebaliknya Ting-Put-sam menjadi murka melihat Boh-thian
merintangi tujuannya, bahkan hendak membantu pihak lawan,
segera ia mendamprat, "Anak jadah! Bukankah orang she Pek
itu hendak menangkap dan membunuh kau" Jika tempo hari
aku tidak menolong kau, apakah kau masih dapat hidup sampai
sekarang?" "Ya, betul juga," sahut Boh-thian sambit memanggut.
"Makanya aku pun hendak menasihatkan Pek-suhu ini agar di
mana dapat mengampuni orang hendaklah suka mengampuni."
Dalam pada itu diam-diam Ting Put-si merasa khawatir kalaukalau
Boh-thian membicarakan kejadian di atas perahu, di
mana ia telah dikalahkan oleh pemuda itu, hal ini tentu akan
sangat menghilangkan pamornya, maka ia pikir bocah ini harus
dibinasakan lebih dulu, dengan demikian rahasianya tidak akan
terbongkar. Maka ia lantas membentak, "Kau mengoceh apa di sini" Ini,
rasakan!" Kontan ia terus menghantam ke arah Ciok Boh-thian.
Sekali ini Su-popo tiada terdapat di situ, maka Ting Put-si tidak
perlu rikuh-rikuh lagi, jurus serangan "Hek-in-boan-thian"
(Awan Mendung Memenuhi Langit) yang digunakan ini adalah
tipu serangan yang belum pernah diajarkan kepada Boh-thian.
Namun Pek Ban-kiam tidak dapat tinggal diam dan
membiarkan Ciok Tiong-giok dihantam mati secara begitu keji,
sekali pedangnya bergerak, dengan jurus "Lo-su-hong-sia"
(Pohon Tua Mendoyong Miring) segera ia menusuk dari
samping. Di lain pihak ternyata Ciok Boh-thian juga tidak manda
diserang, mendadak goloknya membacok dengan jurus "Tiangciaciat-ki (Orang Tua Memotong Ranting), dengan cepat ia
menebas tangan Ting Put-si.
Sungguh aneh juga jurus serangan antara golok dan pedang itu
mestinya saling berlawanan, yaitu seperti diketahui ilmu golok
yang dimainkan Ciok Boh-thian itu adalah ciptaan Su-popo
yang bertujuan mengalahkan Swat-san-kiam-hoat.
Tapi sekarang sesudah bergabung dan dimainkan bersama,
ternyata telah menimbulkan daya tekanan yang mahadahsyat,
hanya sekejap saja Ting Put-si sudah terkurung di bawah
ancaman pedang dan golok itu.
"Awas, Losi!" seru Put-sam dengan khawatir. Maksudnya
hendak membantu, akan tetapi serangan-serangan gabungan
golok dan pedang itu terlalu lihai, apalagi dia sendiri bertangan
kosong, biar bagaimanapun juga susah menembus jaringan
sinar pedang dan golok. Sudah tentu yang lebih-lebih kaget adalah Ting Put-si, untung
pada saat berbahaya itu ia sempat menjatuhkan tubuh ke
samping, lalu bergelindingan lolos keluar kalangan. Waktu ia
melompat bangun pula, tertampaklah di antara pedang dan
golok lawan sana masih bertebaran sutra-sutra putih panjang.
Ketika ia meraba janggutnya sendiri, ternyata jenggotnya yang
putih panjang itu sudah terkupas sebagian.
Dengan sendirinya Ting Put-si terkejut dan gusar pula, Ting
Put-sam juga melongo kaget, Pek Ban-kiam pun tidak
menduga, hanya Ciok Boh-thian saja masih tidak sadar bahwa
serangannya tadi sesungguhnya sangat lihai dengan tenaga
dalam yang dahsyat sehingga telah mengguncangkan perasaan
tiga jago terkemuka dunia persilatan di depannya itu.
"Baik, kita pun memakai senjata," akhirnya Ting Put-sam
berseru. Segera ia jemput dua batang pedang yang berserakan
di atas tanah, ia berikan sebatang kepada Put-si, lalu berseru
pula, "Hayolah, Losi, pikir apa lagi" Majulah bersama!"
Dan sekali pedangnya bergerak, segera ia mendahului
menusuk Ciok Boh-thian. Memang Ciok Boh-thian masih hijau dan tiada berpengalaman,
maka ia menjadi kelabakan ketika diserang, ia bingung cara
bagaimana harus menangkisnya. Syukurlah Pek Ban-kiam
lantas membantunya dengan jurus serangan "Siang-tho-selay",
serangan ini seketika menyadarkan Ciok Boh-thian,
segera ia mengeluarkan jurus "Jian-kin-ap-tho" ajaran Supopo,
dengan punggung golok ia mengetok ke bawah, begitu
hebat daya tekanannya sehingga Ting Put-sam hampir-hampir
tidak kuat menahan pedangnya. Untung Ting Put-si cepat
menolongnya. Waktu Pek Ban-kiam menyerang pula dengan jurus "Hong-sahhongbong", segera Boh-thian mengikuti dengan jurus "Tayhaytim-sah", kerja sama antara golok dan pedang itu
sedemikian rapat sehingga Ting Put-sam dan Ting Put-si
semakin terdesak, sampai-sampai mereka berkaok-kaok
kelabakan. Tenaga dalam Ciok Boh-thian memangnya sangat kuat, ilmu
silat yang dipelajarinya juga sangat bagus, hanya saja kurang
latihan dan belum ada pengalaman dalam medan pertempuran,
sebab itulah terkadang ia menjadi bingung menghadapi
serangan lawan dan tidak tahu harus menangkis dengan jurus
serangan apa. Kim-oh-to-hoat yang dipelajari Boh-thian itu, kecuali jurus ke73, jurus-jurus yang lain adalah khusus ditujukan untuk
menghadapi Swat-san-kiam-hoat. Sewaktu Su-popo
mengajarnya juga selalu memberi petunjuk cara mengatasi
serangan Swat-san-kiam-hoat sejurus demi sejurus. Tapi
sekarang dalam keadaan bingung ia menjadi tidak ingat lagi
kepada ajaran Su-popo, bila musuh menyerang, tanpa pikir lagi
ia hanya menirukan Pek Ban-kiam saja, jurus serangan apa
yang dimainkan Pek Ban-kiam, segera ia juga keluarkan jurus
serangan lawannya menurut petunjuk Su-popo. Jadi kalau Pek
Ban-kiam memainkan jurus "Lau-ki-heng-sia", maka ia lantas
mengeluarkan jurus "Tiang-cia-ciat-ki", bila Pek Ban-kiam
gunakan "Siang-tho-se-lay", segera ia pakai jurus "Jian-kin-aptho".
Walaupun Kim-oh-to-hoat itu diciptakan Su-popo sebagai
tumbal penangkal Swat-san-kiam-hoat, justru karena tumbal
itulah maka bila keduanya digunakan secara bersama-sama
maka setiap lubang kelemahan dari masing-masing to-hoat dan
kiam-hoat itu menjadi tertutup rapat dan jadilah semacam ilmu
silat yang mahadahsyat dan tiada taranya.
Semula Pek Ban-kiam merasa ragu-ragu dan tidak habis
mengerti akan kelakuan Ciok Boh-thian itu. Tapi sebagai
seorang tokoh silat terkemuka, sesudah berlangsung beberapa
jurus ia mengetahui ilmu golok yang dimainkan Ciok Boh-thian
itu hakikatnya merupakan jodoh dari ilmu pedangnya sendiri,
bilamana kedua senjata sudah dimainkan bersama, maka luar
biasa daya tekanannya kepada pihak musuh.
Yang lebih hebat lagi adalah tenaga dalam bocah she Ciok itu
seakan-akan membawa semacam kekuatan yang kelihatan,
yang makin lama makin luas daya tahannya.
Dalam hal ilmu silat maupun pengetahuan sudah tentu Ting
Put-sam dan Ting Put-si lebih atas daripada Pek Ban-kiam,
maka dengan sendirinya mereka pun sudah mengetahui
keadaan yang luar biasa pada diri Ciok Boh-thian itu. Cuma
saja watak kedua saudara she Ting itu memang bengis dan
galak, betapa pun mereka tidak mau mengaku kalah, bahkan
mereka berharap ilmu golok aneh yang dimainkan Ciok Bohthian
itu terbatas jurus serangannya, maka mereka masih terus
bertahan dengan mati-matian untuk mencari kesempatan.
Pek Ban-kiam juga khawatir kalau-kalau Ciok Boh-thian cuma
"macan kertas" saja, jangan-jangan hanya beberapa jurus
serangan permulaan saja yang lihai, habis itu tak berguna lagi
dan berbalik akan dikalahkan oleh kedua saudara Ting. Melihat
gelagatnya adalah lebih menguntungkan kalau melancarkan
serangan kilat dulu. Karena pikiran demikian, segera ia melancarkan serangan
dengan jurus "Am-hiang-soh-eng" (Harum Kurang, Bayangan
Jarang), batang pedangnya gemetar, sinar pedangnya
gemilapan, itulah sejurus Swat-san-kiam-hoat yang paling
hebat dan dapat melukai lawan di luar sadar orang.
Untuk mengikuti jurus Swat-san-kiam-hoat itu, segera Ciok
Boh-thian juga mengayun goloknya menebas dari samping
dengan jurus "Beng-goat-ciau-su" (Rembulan Terang Menyorot
Pohon), goloknya juga tampak gemetar dan menyambar cepat
dengan membawa tekanan tenaga dalam yang dahsyat.
Maka terdengarlah dua kali suara jeritan, pundak Ting Put-si
terkena golok, lengan Ting Put-sam juga tertusuk pedang.
Kedua orang secepat kilat lantas melompat keluar kalangan.
Ting Put-sam masih sempat jambret si Ting Tong dan dengan
cepat sekali lantas menghilang di balik hutan di sebelah timur
sana. Sebaliknya Ting Put-si terus melarikan diri ke balik bukit
sebelah barat. Hanya sekejap saja keadaan menjadi sunyi kembali, darah
berceceran di atas tanah dengan lima sosok mayat yang sudah
tak bernyawa. Para murid Swat-san-pay saling pandangmemandang
dengan rasa curiga. Pek Ban-kiam melirik ke arah Ciok Boh-thian dengan rasa
benci, malu dan heran pula, tapi juga tidak kurang rasa terima
kasihnya. Coba kalau bocah ini tidak membantunya, tentu saat
ini jiwa belasan orang Swat-san-pay sudah melayang di pulau
terpencil ini. Sungguh ia masih merasa ngeri bila teringat
betapa ganas dan keji serangan-serangan kedua saudara Ting
yang tidak kenal ampun tadi.
Sesudah menghela napas lega, kemudian Ban-kiam bertanya,
"Ilmu golokmu barusan ini adalah ajaran siapa?"
"Ajaran Su-popo," jawab Boh-thian. "Seluruhnya ada 73 jurus,
lebih banyak satu jurus daripada Swat-san-kiam-hoat kalian
dan tiap-tiap jurusnya adalah penangkal daripada Swat-sankiamhoat." "Hm, tiap-tiap jurus adalah penangkal Swat-san-kiam-hoat"
Ha, apakah tidak terlalu besar mulutnya?" jengek Pek Bankiam.
"Siapakah Su-popo itu?"
"Su-popo adalah cikal bakal Kim-oh-pay kami, beliau adalah
guruku, aku adalah murid pertama angkatan kedua Kim-ohpay,"
sahut Boh-thian. Pek Ban-kiam menjadi gusar mendengar jawaban itu,
jengeknya pula, "Hm, kau boleh tak mengakui perguruan
asalmu, mengapa kau masuk lagi ke dalam perguruan Kim-ohpay
apa segala" Hm, Kim-oh-pay, nama ini belum pernah
kudengar, di dunia persilatan juga tiada pernah terdaftar nama
ini." Boh-thian masih tidak tahu kalau Pek Ban-kiam sudah gusar, ia
menjelaskan pula, "Menurut berita suhuku, katanya Kim-oh
berarti sang surya, bila matahari terbit, maka mencairlah salju
di atas gunung, sebab itu bila anak murid Swat-san-pay
kebentur dengan Kim-oh-pay kami, maka tiada jalan lain bagi
kalian kecuali ... kecuali ...."
Mestinya ia hendak berkata sebagaimana pernah diucapkan
oleh Su-popo, yaitu "kecuali berlutut dan menyembah minta
ampun". Tapi betapa pun Boh-thian bukanlah pemuda tolol,
sebelum kata-kata itu diucapkan, mendadak ia ingat bahwa
kata-kata itu tidaklah pantas didengar oleh murid-murid Swatsanpay, maka mendadak ia berhenti dan tidak melanjutkan
kata-katanya. Sudah tentu Pek Ban-kiam kurang senang, dengan muka
masam ia mendesak dengan suara bengis, "Bila anak murid
Swat-san-pay kami ketemukan orang Kim-oh-pay kalian lantas
bagaimana" Kecuali apa, lekas katakan!"
Boh-thian menggeleng, sahutnya, "Bila kuterangkan, tentu kau
akan marah, aku pun mengira ucapan Suhu ini agak tidak
tepat." "Kecuali mengaku kalah dan lari terbirit-birit, demikian hendak
kau katakan, bukan?" desak Ban-kiam pula.
"Ya, kukira tiada berbeda jauhnya maksud ucapan suhuku itu
dengan kata-katamu ini," sahut Boh-thian. "Tapi hendaklah
Pek-suhu jangan gusar, mungkin suhuku hanya bergurau saja
dan janganlah dianggap sungguh-sungguh."
Sebenarnya Pek Ban-kiam masih kesakitan karena kakinya dan
pundaknya kena pukulan Ting Put-si tadi, tapi demi mendengar
uraian Ciok Boh-thian yang menghina nama baik
perguruannya, sudah tentu ia tidak tahan lagi, segera ia angkat
pedangnya dan berseru, "Baik, sekarang juga aku ingin belajar
kenal dengan ilmu silat Kim-oh-pay kalian, aku ingin tahu cara
bagaimana kau akan menundukkan Swat-san-kiam-hoat kami."
Tapi begitu pedangnya terangkat, seketika ia merasa
lengannya sakit tidak kepalang dan pedang hampir-hampir
terlepas dari cekalannya.
Pada saat itulah seorang murid Sat-san-pay bernama Pau Banyap
telah tampil ke muka dan berseru, "Bocah she Ciok, tentu
kau tidak kenal lagi kepada susiokmu ini, biarlah aku saja yang
belajar kenal dengan kepandaianmu!"
"Pau-sute, kau mundur saja, biar aku yang melayani dia," seru
Ban-kiam. Segera ia pindahkan pedang ke tangan kiri lalu
berkata pula, "Nah, bocah she Ciok, mulailah!"
"Sudahlah, kakimu dan pundakmu sudah terluka, kita tak perlu
bertanding lagi, apalagi aku pun pasti bukan tandinganmu,"
demikian sahut Boh-thian.
"Kau berani menghina Swat-san-pay, mengapa tidak berani
bertanding?" bentak Ban-kiam dan kontan pedangnya
mendahului menyerang dengan jurus "Bwe-swat-ceng-jun"


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

walaupun ia menyerang dengan tangan kiri sehingga tidak
segesit tangan kanan, namun serangannya itu tetap tidak
kurang lihainya. Cepat Boh-thian angkat golok karatnya dan balas dengan jurus
"Bwe-swat-hong-he" ajaran Su-popo. Ternyata jurus serangan
ini sangat bagus dan merupakan penangkal bagi jurus "Bweswatceng-jun" yang dilontarkan Pek Ban-kiam itu.
Keruan Ban-kiam terperanjat, cepat ia ganti serangan dan
dengan jurus "Bang-gwat-cau-tit" (Meniup Seruling di Malam
Terang Bulan). Tapi Boh-thian lantas keluarkan jurus "Jik-jitkimkoh" (Genderang Berbunyi di Siang Bolong).
Kembali Ban-kiam terkejut, tampaknya golok lawan sudah
menyambar tiba dan cepat menuju ke titik kelemahan jurus
serangannya sendiri itu, tanpa pikir lagi segera ia ganti
serangan lagi. Untunglah Boh-thian tidak paham di mana letak
kebagusan serangannya sendiri dari tidak mendesak lebih jauh,
sebaliknya ia pun segera ganti jurus serangan begitu melihat
Ban-kiam ganti serangan. Padahal dengan jurus "Jik-jit-kim-koh" itu Boh-thian sudah
berada di pihak penyerang, tak peduli apakah Ban-kiam ganti
jurus serangan atau tidak, asalkan Boh-thian mendesak maju,
tentu Ban-kiam akan dipaksa melangkah mundur beberapa
tindak. Dalam keadaan kakinya tidak leluasa bergerak, mau tak
mau Ban-kiam pasti akan menghadapi bahaya atau terpaksa ia
harus menyerah kalah. Tapi karena Boh-thian tidak paham
letak kebagusan serangannya itu telah terbuang dengan
percuma. Diam-diam Ban-kiam bersyukur atas dirinya sendiri. Malahan
sebagian murid Swat-san-pay yang menyaksikan di samping
itu pun dapat melihat keadaan demikian tadi dan diam-diam
mereka pun merasa bersyukur bagi sang suheng.
Akan tetapi beberapa jurus kemudian, kembali Pek Ban-kiam
menghadapi bahaya lagi. Kim-oh-to-hoat itu benar-benar sangat aneh, tiap-tiap jurusnya
ternyata benar-benar merupakan penangkal bagi Swat-sankiamhoat. Tak peduli betapa pun hebat serangan Pek Bankiam
selalu dapat dipatahkan oleh Ciok Boh-thian, hanya
dengan golok karatan saja Boh-thian tetap di pihak yang lebih
unggul. Kira-kira sudah lebih tiga puluh jurus, ketika Ciok Boh-thian
sedang membacok dengan goloknya ke pundak kiri Pek Bankiam,
mestinya Ban-kiam dapat mengayun kakinya untuk
menendang pergelangan tangan Boh-thian yang memegang
senjata itu. Akan tetapi baru saja kakinya terangkat sedikit,
seketika bagian yang bekas kena pukulan Ting Put-si itu terasa
kesakitan luar biasa, saking tak tahan sampai Ban-kiam
merasa lemas dan tekuk lutut, lekas-lekas ia menyangga
dengan tangan kanan di atas tanah.
Dalam keadaan demikian terang dia tak dapat menghindarkan
bacokan Ciok Boh-thian tadi. Di luar dugaan bacokan Ciok Bohthian
itu ternyata tidak diteruskan, bahkan ia berkata, "Biarlah
sekali ini tak dianggap saja."
Kesempatan itu segera digunakan Pek Ban-kiam untuk
melompat bangun. Sekilas itu timbul macam-macam pikiran di dalam benaknya,
"Bocah ini sedari tadi sudah dapat mengalahkan aku, mengapa
setiap jurus serangannya selalu tak diteruskan" Tampaknya dia
seperti tidak pernah belajar Swat-san-kiam-hoat. Barusan
sudah terang dia tadi menundukkan aku, mengapa dia sengaja
mengalah padaku" Padahal bocah she Ciok ini biasanya sangat
licik dan kejam, bila aku sudah dibunuh olehnya, terang para
Sute tiada satu pun yang mampu menandingi, dia tidak tega
membunuh, apakah sebabnya" Jangan-jangan, ya, janganjangan
dia benar-benar bukanlah Ciok Tiong-giok?"
Berpikir sampai di sini, tanpa pikir pedang yang dipegang
tangan kiri itu lantas menusuk ke depan dengan jurus "Tiauthiansik (gaya pembukaan). Seketika terdengar suara heran
para murid Swat-san-pay. Kiranya "Tiau-thian-sik" itu tidak
termasuk di dalam ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat, tapi
adalah salah satu kepandaian dasar bagi setiap murid Swatsanpay yang mulai belajar, maka tiada dapat digunakan untuk
menandingi musuh. Sebab itulah maka para murid Swat-sanpay
yang lain bersuara heran, mereka menyangka sang
Suheng terluka parah dan tidak sanggup memainkan
pedangnya lagi. Tak tersangka Ciok Boh-thian juga terkesima atas serangan
Pek Ban-kiam itu. Maklum ia tidak pernah melihat jurus "Tiau-thian-sik" ini, Supopo
juga tidak pernah mengajarkan padanya, maka ia
menjadi bingung cara bagaimana harus menangkisnya.
Akan tetapi di hadapan jago sebagai "Gi-han-se-pak" Pek Bankiam
mana boleh lawannya main ayal-ayalan. Hanya sedikit
tertegun saja secepat kilat pedang Ban-kiam sudah
menyambar tiba dan tepat menjuju di depan ulu hati Ciok Bohthian.
"Bagaimana sekarang?" bentaknya.
"Aneh, ilmu pedang apakah seranganmu ini" Mengapa aku
tidak pernah tahu?" sahut Boh-thian.
Mau tak mau Ban-kiam merasa kagum juga atas ketabahan
Boh-thian, walaupun jiwanya terancam, tapi toh masih sempat
bertanya tentang ilmu pedang apa segala. Segera ia berkata,
"Apa benar kau tidak pernah mempelajarinya?"
Boh-thian menjawab dengan menggeleng kepala.
"Saat ini bila aku hendak mencabut nyawamu adalah terlalu
mudah bagiku," ujar Ban-kiam, "Akan tetapi seorang laki-laki
harus dapat membedakan antara dendam dan budi secara
tegas. Tadi kau telah menolong aku di kala aku dikerubut
kedua saudara she Ting. Sekarang aku hanya kembalikan
budimu itu, kita satu jiwa bertukar satu jiwa, jadi masingmasing
tiada punya utang apa-apa. Sejak kini kau dilarang
mengatakan lagi bahwa Kim-oh-to-hoat adalah penangkal
Swat-san-kiam-hoat."
"Ya, memangnya tadi aku pun sudah bilang tak sanggup
melawan kau," sahut Boh-thian sambil memanggut. Tapi
mendadak ia berkata pula, "Eh, Pek-suhu, sekarang aku sudah
paham. Seranganmu ini agaknya toh tidak susah untuk
ditangkis." Habis berkata sekonyong-konyong dadanya melekuk sehingga
terlepas dari ancaman ujung pedang, berbareng goloknya
lantas menyampuk dari samping. "Plok", golok dan pedang
kebentur, karena tenaga dalam Boh-thian memang sangat
dahsyat, kontan pedang Pek Ban-kiam terlepas dan patah
menjadi dua. Air muka Ban-kiam berubah merah padam, cepat ujung kaki
mencukit, sebatang pedang yang terletak di tanah lantas
mencelat dan dapat dipegangnya pula. Menyusul "sret-sretsret"
tiga kali, ia menyerang dengan cepat, semuanya adalah
jurus serangan yang paling umum dan mesti dipelajari setiap
murid Swat-san-pay yang mulai belajar. Tapi bagi Ciok Bohthian
serangan-serangan yang mudah itu malah
membingungkannya, ia menjadi kelabakan dan tak dapat
menangkis lagi, tahu-tahu pergelangan tangan sudah terkena
pedang dan goloknya terlepas dari cekalan.
Pada saat lain ujung pedang lawan sudah menjuju di depan ulu
hatinya pula. Waktu Ban-kiam menyendal pedangnya, seketika baju di
bagian dada Boh-thian itu tergores sebuah lingkaran kecil.
Ketika pedangnya ditarik kembali, tiga cuil kain bundar kecil
lantas jatuh bertebaran. Maka tertampaklah baju di dada Ciok Boh-thian telah berlubang
sebesar mangkuk, baju luar, baju tengah dan baju dalam telah
tembus kena digores sebuah lubang bundar sehingga kelihatan
kulit dadanya. Ketika pedang Ban-kiam bergerak pula, mendadak Boh-thian
berteriak mengaduh, ternyata dadanya sendiri sudah tertusuk
enam titik secara berjajar dalam bentuk enam sayap. Darah
pun merembes keluar dari luka-luka itu. Untung tusukan
pedang itu tidak dalam sehingga tidak terlalu sakit.
"Jurus "Swat-hoa-liok-cut" yang bagus!" sorak para murid Swatsanpay. Pek Ban-kiam juga lantas berkata, "Nah, sekarang silakan
pulang dan beri tahukan kepada gurumu bahwa Swat-san-pay
yang telah mencederai kau ini."
Rupanya Ban-kiam melihat Boh-thian memang benar-benar
tidak paham beberapa jurus kepandaian dasar Swat-san-pay
tadi, pula sikapnya dan gerak-geriknya, perangainya dan tutur
katanya juga sama sekali berbeda daripada Ciok Tiong-giok,
maka ia pikir, "Dia telah menyelamatkan jiwaku tadi, tak peduli
dia Ciok Tiong-giok atau bukan, yang pasti hari ini tak dapat
aku membunuh dia. Jurus "Swat-hoa-liok-cut" ini hanya sekadar
sebagai peringatan bagi Kim-oh-pay mereka agar jangan lagi
bermulut besar." Habis itu, bersama para sutenya segera mereka mengangkat
jenazah-jenazah kelima sutenya yang terbunuh tadi. Karena
berduka atas kematian para sutenya, pula malu atas dirinya
sendiri yang tak dapat membela sute-sute itu, tanpa merasa
Ban-kiam mencucurkan air mata. Katanya dengan dendam,
"Kedua bangsat tua Put-sam dan Put-si, sakit hati Swat-sanpay
ini pasti akan menuntut balas, diharap saja kalian jangan
mati terlalu cepat."
Lalu ia memberi tanda berangkat, beramai-ramai mereka
lantas bertindak keluar hutan sana, tiada seorang pun yang
menoleh lagi kepada Ciok Boh-thian.
Melihat darah berceceran di atas tanah, beberapa batang
pedang patah berserakan di sana sini, keadaan sunyi senyap,
hanya suara beberapa ekor burung gaok terdengar terbang
melayang di atas pohon sana, mau tak mau Boh-thian merasa
seram juga. Segera ia jemput kembali goloknya, lalu berseru, "A Siu! A
Siu!" Ia coba mencarinya di balik pohon besar tempat mereka tadi,
tapi A Siu tidak diketemukan. Ia pikir mungkin si nona sudah
pulang lebih dulu. Segera ia pun kembali ke gua dengan
langkah cepat sambil berseru, "A Siu! A Siu!"
Keruan Boh-thian menjadi gugup, ia lihat di atas tanah di
dalam gua itu ada huruf-huruf yang ditulis dengan arang, tapi
dia adalah pemuda buta huruf, sudah tentu tidak paham apa
arti tulisan itu. Ia menduga Su-popo dan A Siu tentu sudah
pergi semua meninggalkan dia.
Semula Boh-thian merasa sangat kesepian, Tapi sejak kecil ia
sudah biasa hidup seorang diri, rasa sepi itu tidak lama
kemudian pun tak dirasakannya lagi. Sekarang luka di dadanya
sudah tidak berdarah lagi. Ia robek sepotong kain dari ujung
baju luar untuk menutupi lubang bundar di bagian dada itu.
Katanya di dalam hati, "Semuanya sudah pergi, biarlah aku
pun pergi saja dari sini, aku akan mencari ibu dan Si Kuning."
Sekarang dia sudah terhindar dari macam-macam persoalan
orang lain yang membingungkan, ia merasa lega dan gembira.
Segera ia selipkan golok karatan diikat pinggangnya, lalu
menuju ke tepi sungai. Sampai di tepi sungai, tertampak ombak mendebur-debur, di
tepi sungai tiada sebuah kapal apa pun. Boh-thian terus
mencari dengan menyusur pantai. Ci-yan-to itu adalah sebuah
pulau karang yang tidak luas, maka tiada satu jam lamanya
Boh-thian sudah mengelilingi pulau kecil itu dan tetap tiada
tampak bayangan sebuah kapal pun. Sepanjang mata
memandang juga tiada kelihatan bayangan layar sesuatu
perahu yang berlayar di sepanjang sungai.
Kiranya Ci-yan-to terletak di suatu muara Sungai Tiangkang
yang bercabang, arus di situ sangat keras, permukaan sungai
juga sempit, maka jarang sekali ada kapal atau perahu yang
mendekati pulau kecil itu.
Sambil berdiri di tepi sungai, diam-diam Boh-thian memikir,
"Terpaksa aku harus tinggal lagi beberapa hari di sini, akan
kutunggu kalau-kalau ada kapal atau perahu yang lalu di sini.
Kalau tidak, boleh juga aku akan belajar berenang agar lain kali
bila aku didorong orang dan kecemplung lagi ke dalam sungai,
tentu aku takkan khawatir dan takkan minum air lagi."
Kemudian terpikir pula, "Ya, buat apa aku mesti buru-buru
pergi dari sini" Orang-orang itu seperti Ting-samyaya, Tingsiyaya,
si Ting-ting Tong-tong, Pek-suhu, dan lain-lain lagi,
semuanya ingin membinasakan diriku. Untuk berkelahi aku tak
dapat melawan mereka, kalau sembunyi di sini kan lebih
selamat." Tengah termenung-menung, mendadak terdengar suara
keresek, dari semak-semak di samping kakinya tiba-tiba
melompat keluar seekor kelinci liar. Memangnya Boh-thian
sedang kelaparan karena setengah harian belum makan apaapa,
selama beberapa hari terakhir ini pun tidak berani
menyalakan api untuk memasak, yang dimakan melulu
kesemak belaka. Sekarang melihat seekor kelinci gemuk, tentu
saja ia sangat girang, segera ia cabut goloknya dan memburu
terus menusuk. Namun kelinci itu teramat gesit, sedikit meloncat ke samping,
seketika tusukan Boh-thian itu mengenai tempat kosong. Tapi
cepat Boh-thian memutar kembali goloknya terus menebas,
kontan kelinci itu tertebas menjadi dua potong.
Selagi Boh-thian hendak mengambil kelinci yang sudah mati
itu, tiba-tiba terkilas sesuatu di dalam benaknya, "Tebasanku
barusan ini bukankah adalah jurus "Ting-cia-cit-ki" ajaran Supopo"
Ya, memang betul adalah jurus serangan itu. Jika
demikian, jadi jurus ini tidak melulu untuk mengatasi "Lau-kihongsia" dari Swat-san-kiam-hoat, tetapi masih dapat
digunakan pula pada lain tempat."
Lalu terpikir lagi olehnya, "Tadi waktu aku menusuk kelinci ini
dengan golok, caraku adalah sama dengan jurus ilmu pedang
yang dimainkan Pek-suhu untuk mengalahkan aku itu. Padahal
kelinci ini toh tidak pernah belajar ilmu golok atau ilmu pedang
segala, tapi sedikit berkelit saja dia sudah menghindarkan
tusukanku. Ah, tahulah, bila aku diserang orang aku boleh
menangkis atau berkelit dan tidak pasti harus menggunakan
jurus atau cara-cara tertentu untuk menangkisnya."
Maklumlah, selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah
mendapat pelajaran ilmu silat secara teratur, Cia Yan-khek dan
Ting Put-si telah mengajarkan ilmu silat padanya, tapi mereka
itu tiada punya maksud tujuan baik. Ting Tong dan Su-popo
telah mengajarkan Kim-na-jiu-hoat dan Kim-oh-to-hoat
padanya, walaupun mereka tiada bermaksud jelek, tapi juga
mempunyai tujuan tertentu, yaitu seorang berharap dia dapat
menyelamatkan diri, sedangkan seorang lagi ingin Boh-thian
menggunakan Kim-oh-to-hoat untuk menangkan Swat-sankiam

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hoat, adapun mengenai bagaimana cara menghadapi
musuh, cara bagaimana menyerang dan menghindari serangan
serta kepandaian-kepandaian dasar ilmu silat pada umumnya
sama sekali tak pernah diajarkan kepadanya. Sebab itulah
maka Boh-thian dapat melayani Swat-san-kiam-hoat yang
dimainkan Pek Ban-kiam secara lihai itu, sebaliknya malah
kelabakan dan tak bisa menangkis jurus "Tiau-thian-sik" yang
sepele. Sekarang secara kebetulan golok Ciok Boh-thian telah menebas
kelinci sehingga berhasil menyelami jalan ilmu silat yang
sebenarnya, bahwasanya ilmu silat itu adalah hidup dan tidak
mati dalam setiap gerak atau jurus tertentu, tapi boleh berubah
dan bergerak menurut keadaan.
Teori demikian sebenarnya sangatlah dangkal, sebabnya Ciok
Boh-thian tidak paham adalah bukan lantaran dia bodoh,
soalnya sejak mula dia sudah disesatkan oleh macam-macam
ajaran yang diberikan si Ting Tong, Ting Put-si dan Su-popo
secara kaku dan mati. Malam itu waktu di kelenteng Toapekong meski Bin Ju juga
pernah bergebrak dan seakan-akan sengaja mengajar kepada
Ciok Boh-thian, tapi tatkala mana kedua orang tiada bicara
barang sepatah kata pun, Bin Ju hanya membantunya
memahami cara menggunakan jurus serangan Swat-san-kiamhoat,
dengan sendirinya di mana letak "hidupnya" ilmu silat itu
tidak sampai diajarkan padanya.
Sekarang hal ini mendadak disadari sendiri olehnya, keruan ia
sangat girang. Pikirnya pula, "Tempo hari waktu berada di atas
perahu Suhu telah memberikan petunjuk padaku agar
menirukan setiap jurus yang dimainkan Ting-siyaya, tipu
serangan apa yang dilontarkan beliau, segera aku pun
menirukan dengan tipu serangan yang sama. Cara demikian
terang seperti orang bermain-main saja. Coba bilamana TingKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
samyaya juga berada di situ, lalu beliau mendadak menyerang
padaku, kan bisa celaka kalau aku tetap melayani Ting-siyaya
dengan tipu serangan yang sama-sama. Maka terpaksa aku
harus ganti tipu serangan yang lain untuk menyambut pukulan
Ting-siyaya dan sekaligus balas menyerang Ting-samyaya."
Begitulah, sekali otaknya menjadi encer, segera segala ilmu
silat yang pernah dipelajarinya lantas diingatkannya kembali
sejurus demi sejurus, saking asyiknya, tanpa merasa kaki dan
tangannya lantas bergerak-gerak sendiri seperti sedang
menari-nari. Ia tidak pikirkan lagi itu jurus apa dan cara
bagaimana harus menggunakannya, tapi apa yang dia ingat
lantas dimainkannya menurut pikirannya, apa tangannya yang
terangkat atau kakinya yang bergerak, makin lama makin
bersemangat, sampai akhirnya debu pasir dan daun kering ikut
bertebaran terbawa oleh angin yang ditimbulkan oleh tenagatenaga
dalamnya yang dikeluarkan itu. Bahkan berpotongpotong
batu sebesar kepalan juga mencelat ke udara tercukit
oleh kakinya, pepohonan juga terguncang.
Waktu batu-batu itu jatuh kembali ke atas kepalanya, apakah
Ciok Boh-thian menolaknya ke samping dengan tenaga
pukulannya ke atas atau melompat untuk berkelit, keadaan
demikian menjadi mirip tengah bertempur saja.
Makin lama makin bersemangat dan batu yang tercukit oleh
kakinya juga tambah banyak. Sampai akhirnya, tak peduli
batu-batu menghambur dari arah mana tentu dapat ditolaknya
terpental atau dihindarkannya dengan sangat mudah.
Sekonyong-konyong terdengar suara "krak", sebatang ranting
kayu yang juga mencelat ke udara telah patah terbentur batu,
lalu jatuh ke bawah berbareng dengan batu itu. Secepat kilat
tangan kiri Boh-thian menyambar tangkai kayu itu, menyusul
terus menyabet ke samping sehingga tepat batu itu kena
disampuk dan mencelat jauh-jauh.
Untuk sejenak Boh-thian melengak sendiri, katanya di dalam
hati, "Bukankah gerakan ini adalah jurus serangan yang
dimainkan dengan tangan kiri oleh Pek-suhu tadi?"
Segera ia pegang lagi goloknya, dengan tangan kiri tetap
memegang tangkai kayu. Ia mainkan jurus "Tiang-cia-ciat-ki"
dari Kim-oh-to-hoat. Jurus-jurus serangan golok dan pedang itu mestinya saling
bertentangan, tapi sekaligus dimainkan bersama ternyata
menimbulkan daya serangan yang mahadahsyat. "Cret",
sebatang pohon siong sebesar lengan telah terkutung oleh
goloknya, sebaliknya tangkai kayu di tangan kiri juga kena
sabet di batang pohon sehingga kulitnya pohon itu terbeset
sebagian. Saking asyiknya Ciok Boh-thian memainkan sebatang golok
karatan dan sebatang ranting kayu, makin lama makin cepat,
ia tidak ambil pusing apakah permainannya yang aneh itu tepat
atau tidak, yang terang di atas pulau situ toh tiada manusia
lain lagi, maka ia tidak perlu khawatir ditertawai orang.
Begitulah, secara tidak sengaja Ciok Boh-thian alias Su Ek-to
telah meyakinkan lwekang yang paling tinggi, kemudian
digembleng oleh beberapa tokoh terkemuka, sekali otaknya
menjadi encer, tiba-tiba dia dapat menciptakan sejenis ilmu
silat gabungan pedang dan golok.
Ilmu silatnya ini mencakup Swat-san-kiam-hoat dan Kim-ohtohoat, pula meliputi ilmu silat ajaran Cia Yan-khek, Ting Putsi,
si Ting Tong, dan Bin Ju. Hanya saja jurus serangannya
tiada tertentu, walaupun mempunyai daya tekanan yang
dahsyat, tapi lubang kelemahannya juga tidak sedikit.
Boh-thian sendiri tiada bermaksud menciptakan ilmu silat,
sudah tentu tak pernah terpikir olehnya untuk memberi nama
jurus-jurus ilmu silatnya itu.
Apalagi dia buta huruf, disuruh membeli nama juga dia tidak
mampu. Begitulah makin latih makin tambah lwekangnya sehingga
sedikit pun tidak merasa lelah sampai akhirnya perutnya
berkeruyukan saking laparnya barulah ia berhenti. Waktu ia
cari kelinci tadi ternyata sudah hancur terinjak-injak olehnya
sendiri, terpaksa ia mencari ke semak pula untuk menangsel
perut. Ia coba kembali ke gua itu dengan harapan Su-popo dan A Siu
sudah pulang, tapi keadaan di situ ternyata sunyi senyap.
Dalam pada itu malam pun sudah tiba, terpaksa Boh-thian
tidur di dalam gua. Sampai tengah malam, mendadak terdengar suara menderak
yang keras dari arah pantai. Karena lwekangnya sekarang
sudah sangat tinggi, dengan sendirinya indra pendengarannya
juga sangat tajam. Segera ia melompat bangun dan berlari ke
tepi sungai. Di bawah sinar bintang yang remang-remang
tertampak sebuah kapal berlabuh di sana dan tiada hentinya
bergoyang-goyang. Boh-thian terkejut dan bergirang, ia khawatir kalau-kalau kapal
itu adalah milik Ting Put-sam atau Ting Put-si, maka ia tidak
berani mendekatinya. Ia coba sembunyi di belakang pohon
untuk mengintai. Tiba-tiba terdengar suara menderak yang keras pula, sekali ini
dapat dilihatnya dengan jelas, yaitu layar yang terlepas di tiang
kapal itu tadinya berlipatan menjadi satu, ketika tertiup angin
kencang, layar itu lantas terpentang dan mengeluarkan suara
kebasan keras. Kapal itu tergoyang-goyang dan tampaknya hendak terhanyut
pula meninggalkan pulau, cepat Boh-thian berlari mendekati
sambil berteriak, "Adakah orang yang berada di atas kapal?"
Tapi ia tidak mendapat jawaban orang. Sekali lompat segera ia
melayang ke atas kapal. Ia coba melongok ke dalam ruangan
kapal, keadaan di dalam gelap gulita dan tiada kelihatan apaapa.
Dalam pada itu kapal itu mulai terombang-ambing, nyata telah
meluncur perlahan ke tengah terbawa oleh arus. "Apakah ...
apakah Ting-samyaya yang berada di dalam?" Boh-thian
berteriak pula. Namun tetap tiada jawaban seorang pun.
Tanpa pikir ia berjalan ke dalam ruangan, mendadak kakinya
kesandung badan orang merebah melintang di lantai kapal.
Cepat Boh-thian berkata, "Maaf!" Segera ia bermaksud
membangunkan orang itu. Tak terduga di mana tangannya
menyentuh kiranya adalah serangka mayat yang sudah kaku
dan dingin. Keruan Boh-thian menjerit kaget. Waktu tangan kirinya meraba
ke belakang, kembali tersentuh lengan seorang, keadaannya
juga sudah kaku dingin, terang sudah mati sekian lamanya.
Dengan menggagap-gagap ia terus menyusur ke belakang
kapal, ternyata di mana-mana hanya mayat belaka, kakinya
menginjak mayat, di mana tangannya menjulur juga selalu
menyentuh mayat. Di ruangan belakang juga penuh dengan
mayat, banyak yang bergelimpangan di lantai, ada pula yang
duduk di atas kursi. "Adakah orang di sini?" kembali Boh-thian berteriak khawatir.
Saking ngerinya sampai ia merasa suaranya sendiri pun sudah
berubah. Setiba di buritan kapal, di bawah sinar bintang yang remangremang
kelihatan pula di atas geladak situ pun bergelimpangan
belasan orang. Semuanya sudah kaku, terang juga mayat.
Bab 25. Rasul Pengganjar dan Rasul Penghukum
Sementara itu angin meniup dengan kencangnya sehingga
menimbulkan suara menderu-deru, beberapa layar kapal yang
sudah robek pun ikut berkibar-kibar dan menerbitkan suara
memberebet yang keras dan menyeramkan.
Walaupun Ciok Boh-thian alias Su Ek-to sudah biasa hidup
sendirian dan berhati tabah, tapi di tengah malam gelap, di
atas kapal yang penuh mayat belaka, betapa pun ia merasa
merinding juga, apalagi kalau terkenang kepada "mayat hidup"
yang pernah mengudaknya di Hau-kam-cip dahulu itu.
Saking ngerinya segera Boh-thian bermaksud meninggalkan
kapal itu. Tapi baru saja ia naik kembali ke atas geladak kapal,
maka mengeluhlah dia. Kiranya kapal itu sudah jauh
meninggalkan tepian dan sedang terhanyut oleh arus yang
deras. Mula-mula kapal itu terhanyut ke pulau Ci-yan-to,
sesudah berputar dan oleng beberapa kali, kemudian terhanyut
pula ke hilir. Semalam suntuk Boh-thian tidak berani tidur di dalam kapal, ia
melompat ke atas atap kapal, sambil bersandar pada tiang
layar ia menantikan datangnya fajar.
Besok paginya sesudah sang surya muncul dan seluruh jagat
raya menjadi terang benderang, barulah rasa seram Boh-thian
mulai hilang. Ia coba memeriksa kembali keadaan kapal itu, ia
lihat di luar dan dalam kapal itu sedikitnya ada 50-60 mayat
yang bergelimpangan dan mengerikan. Anehnya di atas mayatmayat
itu tiada bekas-bekas darah, juga tiada tanda-tanda
terluka oleh senjata tajam sehingga tidak diketahui apa yang
menyebabkan kematiannya. Ketika Boh-thian memutar ke haluan kapal, tiba-tiba dilihatnya
tepat di atas pintu ruangan kapal terpaku dua buah pening dari
tembaga putih sebesar gobang. Sebuah pening melukiskan
muka seorang yang sedang tertawa ramah, sebuah lagi
Pedang Kayu Harum 25 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Wanita Gagah Perkasa 2

Cari Blog Ini