Ceritasilat Novel Online

Medali Wasiat 9

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 9


melukiskan muka yang bengis dan jahat.
Untuk sejenak Boh-thian memandangi kedua bentuk pening
tembaga itu, ia merasa muka yang terlukis di atas pening itu
seakan-akan hidup saja, ia tidak berani memandang lebih lama
lagi dan cepat-cepat berpaling. Ketika ia memandang pula
kepada mayat-mayat yang bergelimpangan itu, ia melihat
hampir semuanya membawa senjata, terang korban-korban itu
adalah orang-orang persilatan semua.
Waktu diperiksa lebih teliti, terlihatlah pada baju setiap korban
itu masing-masing tersulam seekor ikan kecil bersayap dan
berwarna putih. Boh-thian tambah heran, ia menduga korbankorban
di atas kapal itu tentu adalah orang-orang sekomplotan,
cuma tidak diketahui mengapa bisa ketemukan musuh tangguh
dan semuanya terbinasa. Begitulah kapal tanpa juru mudi itu masih terus terhanyut ke
hilir. Menjelang tengah hari, sampailah pada suatu pengkolan
sungai, tiba-tiba dari depan sedang meluncur tiba dua buah
kapal dengan menempuh arus.
Melihat ada kapal yang meluncur dari hulu sungai dalam
keadaan oleng, juru mudi kapal dari muara sungai itu menjadi
khawatir dan berteriak-teriak, "Hai! Awas! Banting kemudi!"
Akan tetapi kapal tanpa pengemudi itu makin mengoleng,
kebetulan di tengah sungai situ ada pusaran air sehingga kapal
itu malah menerjang ke depan dengan melintang. Maka
terdengarlah suara gemuruh yang keras, tanpa ampun lagi
kedua buah kapal dari muara sungai itu telah tertumbuk.
Terdengarlah suara orang yang panik diseling suara caci maki
yang kotor. Boh-thian menjadi kaget dan khawatir. Pikirnya,
"Wah, kapal mereka telah tertumbuk rusak, tentu mereka akan
mencari ke atas kapal ini dan meminta pertanggungjawabanku.
Kalau diusut lebih jauh, tentu mereka akan mengira aku yang
telah membunuh orang-orang di atas kapal ini. Wah, tentu aku
bisa celaka. Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?"
Dalam gugupnya tiba-tiba timbul akalnya, cepat ia menyusup
ke dalam ruangan kapal, ia membuka papan lubang dan
sembunyi ke dalam dek di bagian bawah kapal.
Sementara itu tiga buah kapal sudah oleng bersama dan
bergumul menjadi satu. Selang tak lama lantas terdengar ada
suara orang melompat ke atas kapal ini, menyusul ramailah
suara teriak kaget orang banyak. Ada yang berseru, "He, inilah
orang-orang Hui-hi-pang (gerombolan ikan terbang)! Meng...
mengapa sudah mati semua!"
Lalu ada yang menanggapi, "Ya, bahkan pangcu... pangcu
mereka Seng Tay-yang juga mati di sini!"
Sejenak kemudian mendadak ada orang berteriak di haluan
kapal, "He, med... medali pengganjar dan... dan medali
penghukum!" Dari suaranya yang gemetar terang sekali orang ini sangat
ketakutan. Karena teriakan itu, seketika suara ribut-ribut tadi lantas
berhenti, keadaan berubah menjadi sunyi senyap.
Walaupun sembunyi di bawah kapal dan tidak dapat melihat air
muka orang-orang itu, tapi dapatlah Boh-thian membayangkan
betapa kaget dan takutnya mereka.
Sampai agak lama barulah terdengar seorang membuka suara,
"Tahun ini memang jatuh tempo keluarnya Siang-sian-leng dan
Hwat-ok-leng (Medali Pengganjar dan Medali Penghukum),
maka besar kemungkinan kedua rasul pengganjar dan
penghukum kembali telah bertugas keluar lagi. Ai, memangnya
orang-orang Hui-hi-pang ini di masa lampau sudah terlalu
banyak melakukan kejahatan...." sampai di sini ia lantas
menghela napas panjang dan tidak meneruskan.
"Oh-toako," demikian terdengar seorang bertanya, "konon
menurut cerita orang, katanya Siang-sian-leng dan Hwat-okleng
ini adalah tanda panggilan kepada seseorang ke... ke
sesuatu tempat, setiba di sana barulah diambil tindakan, jadi
hukuman tidak dilakukan di tempat si orang yang dipanggil."
"Ya, bilamana yang dipanggil itu mau tunduk kepada
panggilannya," sahut orang yang duluan tadi. "Tampaknya
Seng Tay-yang dari Hui-hi-pang ini tidak mau menurut perintah
dan melakukan perlawanan, maka kedua rasul sakti itu
menjadi gusar." Sesudah pembicaraan orang itu, lalu semua orang terdiam lagi.
Tiba-tiba Boh-thian sendiri teringat, "Mayat-mayat yang
bergelimpangan di kapal ini katanya adalah orang-orang Huihipang segala dan ada juga seorang pangcu. Wah, celaka,
bukan mustahil kedua rasul yang disebut pengganjar dan
penghukum itu juga akan mendatangi Tiang-lok-pang kami?"
Berpikir demikian, mau tak mau ia menjadi gelisah, ia merasa
perlu lekas pulang ke tempat Tiang-lok-pang untuk
memberitahukan kepada kawan-kawannya di sana agar bisa
siap siaga sebelumnya. Maklum, walaupun dia keliru disangka
sebagai Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang sehingga banyak
menimbulkan kesulitan-kesulitan baginya, bahkan beberapa
kali jiwanya terancam bahaya, namun setiap orang di Tianglokpang adalah sedemikian baik dan menghormat padanya,
meskipun pernah terjadi seorang Tian Hui yang bermaksud
membunuhnya, tapi hal ini pun terjadi karena salah paham,
sebab itulah Boh-thian sangat menaruh perhatian terhadap
keselamatan orang-orang Tiang-lok-pang. Segera ia pasang
telinga dan mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan
orang-orang di atas kapal itu.
Terdengar seorang di antaranya telah berkata pula, "Oh-toako,
menurut pendapatmu, urusan ini akan merembet sampai
kepada kita atau tidak" Kedua rasul itu apakah juga akan
mendatangi Tiat-cha-hwe (perkumpulan tombak besi) kita?"
Maka orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah
menjawab, "Jikalau kedua rasul pengganjar dan penghukum
sudah muncul lagi, maka setiap organisasi atau perkumpulan di
dunia Kangouw tentu susah bebas dari penilikan mereka.
Tentang Tiat-cha-hwe kita apakah dapat terhindar dari
malapetaka ini kukira semuanya tergantunglah kepada nasib
kita." Dan sesudah merenung sejenak, lalu ia berkata pula, "Baik
begini saja, diam-diam boleh kau perintahkan orang agar
segera pulang lapor kepada Congthocu (ketua) kita. Adapun
para saudara yang berada di atas kedua kapal kita itu, boleh
suruh mereka berkumpul ke atas kapal ini. Semua benda di
atas kapal ini janganlah dipegang, kita membawa kapal ini ke
kampung nelayan di luar muara Ang-liu-kang sana. Karena
kedua rasul pengganjar dan penghukum sudah menumpas
habis para tokoh-tokoh Hui-hi-pang, rasanya mereka takkan
datang lagi untuk kedua kalinya."
"Betul, betul, bagus sekali akal ini!" seru orang pertama tadi.
"Jika kedua Sucia (rasul) melihat kapal ini pula, tentu mereka
akan mengira kapal ini hanya berisi mayat-mayat orang Hui-hipang
belaka dan tidak mungkin memeriksa ke sini lagi. Biarlah
sekarang juga aku akan meneruskan perintahmu."
Tidak lama kemudian, terdengarlah orang banyak beramairamai
berkumpul ke atas kapal ini. Di tempat sembunyinya
Boh-thian dapat mendengar percakapan ramai yang dilakukan
orang-orang itu dengan suara perlahan dan ketakutan seakanakan
sedang menghadapi elmaut.
Terdengar seorang di antaranya berkata, "Tiat-cha-hwe kita
toh tiada bersalah kepada mereka, rasanya kedua rasul
pengganjar dan penghukum takkan membikin susah kepada
kita." Lalu seorang kawannya menanggapi, "Memangnya kau kira
orang-orang Hui-hi-pang berani menyalahi mereka" Tapi toh
tidak terhindar dari malapetaka. Ai, kukira bencana yang selalu
terjadi satu kali setiap sepuluh tahun ini mungkin... mungkin
kali ini kita... kita juga...."
Tiba-tiba seorang lagi menyela, "Lau Li, apabila Congthocu kita
memenuhi panggilan dan pergi ke sana, lalu bagaimana?"
"Lalu bagaimana" Sudah tentu bisa pergi tak bisa pulang!"
sahut orang she Li itu dengan mendengus. "Menurut kejadianKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, setiap orang, apakah
dia pangcu, congthocu, atau ciangbunjin dari golongan mana,
asal sudah pergi memenuhi panggilan itu, belum pernah ada
seorang pun yang pulang kembali. Sudahlah, selama ini
Congthocu sangat berbudi kepada kita, pendek kata kalau
terjadi apa-apa atas diri beliau, masakah kita mesti bersikap
pengecut dan membiarkan beliau menghadapi bahaya sendiri?"
"Benar juga. Tapi jalan paling baik adalah menghindari saja,"
ujar seorang lagi. "Untung kita dapat mengetahui sebelumnya
secara kebetulan, tampaknya Thian memang memberkati agar
Tiat-cha-hwe kita terbebas dari bencana ini. Perkampungan
nelayan kecil di muara Ang-liu-kang itu sangatlah terpencil dan
merupakan suatu tempat sembunyi yang bagus, biarpun kedua
Sucia pengganjar dan penghukum serbalihai juga susah untuk
menemukan kita." "Sudah lama Congthocu mengusahakan perkampungan nelayan
ini, tujuannya tiada lain justru akan digunakan seperti sekarang
ini," kata orang yang dipanggil Oh-toako tadi. "Selama delapan
tahun nelayan yang berdiam di perkampungan itu boleh dikata
tidak pernah keluar dari perkampungan itu, jadi tempat itu
memangnya adalah sebuah tempat pengungsian yang baik."
Kemudian seorang lagi yang bersuara lantang kasar telah
berkata, "Tiat-cha-hwe kita selama ini malang melintang di
lembah Tiangkang sini, kita tidak takut kepada langit dan tidak
gentar pada bumi, bahkan kepada si tua bangka raja juga kita
tidak mau tunduk, mengapa sekarang hanya mendengar nama
rasul-rasul kentut apa segala lantas ketakutan setengah mati
dan lari mencawat ekor terus mengkeret dan sembunyi seperti
kura-kura saja. Seumpama kita dapat sembunyi dengan baik,
tapi kelak kalau ada orang menanyakan kejadian ini, lalu muka
kita harus ditaruh ke mana" Maka ada lebih baik kita
melawannya mati-matian, persetan, toh jiwa kita belum pasti
akan melayang!" "Benar juga," ujar Oh-toako tadi. "Orang yang makan nasi
Kangouw sebagai kita ini memangnya tidak perlu pikir tentang
jiwa melayang segala, pekerjaan kita senantiasa bergulat
dengan elmaut, apa yang mesti kita takuti. Namun menghadapi
Siang-sian dan Hwat-ok Sucia kita tidak boleh tidak berpikir
dua kali, jangankan kita, sedangkan tokoh-tokoh terkemuka
sebagai...." Sampai di sini, mendadak orang yang bersuara lantang kasar
tadi berteriak, "Huh, dasar pengecut, bilakah kau pernah
melihat aku Ong-laulak, Si Bulus Berkepala Botak, minta
ampun dan takut kepada orang lain" Huh... aduuuh!"
Belum selesai ucapannya, mendadak ia menjerit ngeri. Habis
itu keadaan lantas sunyi senyap dan tiada seorang pun yang
berani membuka suara lagi.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Boh-thian merasa ada air yang
menetes di atas tangannya, waktu ia mengendus barang cair
itu, terciumlah bau anyirnya darah. Malahan darah itu masih
terus menetes dari atas. Karena tahu orang-orang yang berada di atas geladak kapal itu
tepat berada di atas kepalanya, maka Boh-thian tidak berani
bergerak sedikit pun agar tidak menjangkitkan sesuatu suara
dan terpaksa membiarkan darah menetes terus di atas
badannya. Dalam pada itu terdengar pula si Oh-toako tadi sedang
berteriak dengan bengis, "Apa kau menyalahkan aku karena
Ong-laulak telah kubunuh?"
"Ah, tidak, tidak!" demikian sahut seorang dengan suara agak
gemetar. "Ucapan Ong-laulak tadi memang... memang terlalu
kasar sehingga tidaklah heran membikin marah kepada Ohtoako.
Cuma... cuma saja Ong-laulak selamanya juga... juga
sangat setia dan telah banyak berjasa bagi Tiat-cha-hwe kita."
"Jadi kau tidak setuju atas tindakanku barusan ini?" tanya si
Oh-toako. "Bu... bukan...." belum sempat orang itu bicara pula, kembali
terdengarlah jeritan ngeri, terang ia sudah dibunuh pula oleh
orang she Oh itu. Maka air darah kembali menetes lagi ke bawah melalui celahcelah
papan kapal, untung sekali kini air darah itu tidak
mengotori badan Ciok Boh-thian, tapi menetes semua di lantai.
Berturut-turut Oh-toako itu telah membunuh dua orang,
keruan yang lain-lain tidak berani banyak cincong lagi. Maka
Oh-toako itu telah berkata, "Bukanlah aku sengaja berbuat
ganas dan kejam dan tidak mengingat hubungan baik sesama
saudara, tapi soalnya menyangkut jiwa beribu-ribu anggota
kita, bila tempat kita ini sampai diketahui musuh, maka nasib
kita pasti akan serupa dengan kawan-kawan dari Hui-hi-pang
ini. Ong-laulak menganggap dirinya jagoan dan berteriakteriak,
padahal jiwanya tidaklah menjadi soal, masakah jiwa
Congthocu dan kita semua harus ikut melayang bersama dia?"
Terdengar semua orang mengiakan saja dan tidak berani bicara
pula. Maka Oh-toako itu berkata lagi, "Nah, siapa-siapa yang tidak
ingin mampus supaya berdiam saja di dalam kapal ini. Siau
Song, pergilah kau memegang kemudi, pakailah sepotong kain
layar untuk menutupi tubuhmu agar jangan sampai dilihat
orang." Begitulah Boh-thian yang mendekam di bawah kapal itu lantas
mendengar mendeburnya air, kapal itu terasa bergerak.
Mungkin orang-orang di atas kapal itu semuanya sedang
merenungkan nasibnya sendiri-sendiri, maka tiada seorang pun
yang berbicara. Dengan demikian Boh-thian sendiri lebih-lebih
tidak berani bergerak dan menerbitkan sesuatu suara. Teringat
olehnya tipu-tipu silat yang dimainkannya di tepi pantai
kemarin itu, dengan pedang di tangan kiri dan golok di tangan
kanan, ditambah lagi jurus-jurus pukulan dan tendangan
ajaran Ting Put-si. serta Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong,
semua kepandaian itu sejurus demi sejurus terlintas pula
dalam ingatannya, sehingga tanpa merasa seluruh tenaga
dalam yang terpupuk di dalam tubuhnya, telah dicurahkan
semua ke dalam jurus-jurus ilmu silat ciptaannya itu.
Terkadang kalau ia merasa salah satu jurus di antaranya masih
kurang sempurna, segera ia memikirkannya pula dari semula.
Begitulah ia tenggelam di dalam lamunannya untuk menyelami
ilmu silatnya. Semula ia masih sempat mengikuti juga gerakgerik
orang-orang Tiat-cha-hwe yang berada di atas kapal itu,
tapi sampai akhirnya, perhatiannya telah tercurah seluruhnya
kepada ilmu silat melulu. Sesudah mengalami penyelaman
secara mendalam ini, baru sekarang lwekang dan gwakang
yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun ini dapatlah


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilebur dan dipahami dengan baik. Maka si "Kau-cap-ceng"
yang tadinya cuma seorang pemuda gunung yang ketololtololan
telah tumbuh juga menjadi seorang jago silat kelas
wahid hasil ciptaannya sendiri.
Beberapa jam kemudian, teringat pula olehnya pertandingan
ilmu pedang antara Ciok Jing suami-istri melawan, Pek Bankiam,
serta macam-macam ilmu silat ketika terjadi pertarungan
antara Ting Put-sam dan Ting Put-si mengeroyok Pek Ban-kiam
di Ci-yan-to tempo hari, di mana dahulu ia merasa susah
memahami letak kebagusan ilmu-ilmu silat itu. Tapi sekarang
sesudah direnung kembali, ia merasa setiap tipu dan setiap
jurus yang dimainkan mereka itu toh semuanya jelas dan
gamblang baginya. Selagi Boh-thian termenung-menung, tiba-tiba terdengar suara
gemerencingnya rantai, kiranya kapal itu sudah membuang
sauh dan telah berlabuh. Segera terdengar pula si Oh-toako sedang berkata, "Sesudah
masuk rumah, semua orang dilarang keluar lagi. Dengan
tenang tunggulah kedatangan Congthocu dan terserah kepada
perintah beliau nanti."
Dengan suara perlahan semua orang telah mengiakan, lalu
dengan hati-hati mereka mendarat semua. Hanya dalam
sekejap saja semua orang sudah meninggalkan kapal itu,
keadaan menjadi sunyi kembali.
Sesudah menunggu agak lama, Boh-thian menduga orangorang
itu tentu sudah masuk rumah semua, maka perlahanlahan
barulah ia berani membuka papan lubang dan melongok
ke atas. Segera matanya menjadi silau oleh cahaya yang
terang benderang. Kiranya waktu itu sudah siang hari.
Melihat sekelilingnya tiada orang lagi barulah Boh-thian
menerobos keluar dari bawah dek. Ia lihat di atas geladak
kapal masih penuh dengan mayat-mayat kemarin itu. Segera ia
menjemput sebatang golok dan diselipkan pada ikat
pinggangnya. Ia menggerayangi pula mayat-mayat itu dan
menemukan beberapa renceng uang perak guna sangu. Lalu ia
menuju ke buritan kapal, dari situ ia melompat ke daratan.
Sambil membungkuk ia terus berlari-lari kecil menyusur tepi
sungai. Kira-kira satu li jauhnya barulah ia sampai di suatu jalanan
kecil yang menghubungkan tepi sungai itu. Ia pikir saat itu
belum terlepas dari daerah berbahaya, rasanya makin jauh
meninggalkan tempat itu akan makin baik, maka ia lantas
angkat kaki dan berlari-lari secepatnya. Untunglah
perkampungan nelayan itu memang sangat sepi dan terpencil,
belasan li di sekitar situ ternyata tiada sebuah rumah pun,
selama itu tiada seorang pun yang dijumpai.
Ia tidak tahu bahwa di sekitar perkampungan nelayan itu,
sebenarnya ada juga beberapa petani, tapi petani-petani itu
diam-diam telah binasa diracun orang-orang Tiat-cha-hwe, ada
juga penduduk pindahan baru dari lain tempat, tapi tidak lama
kemudian meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berdekatan dengan perkampungan nelayan
Ang-liu-kang (muara pohon Liu merah) itu menganggapnya
sebagai tempat maut yang selalu berjangkit penyakit menular.
Maka selama beberapa tahun ini tiada seorang pun yang berani
mendekatinya, dan dengan demikian Ang-liu-kang dapatlah
menjadi sarang Tiat-cha-hwe yang sangat baik dan rahasia.
Setelah berlari beberapa li lagi, jarak dengan kampung nelayan
itu sudah semakin jauh. Boh-thian benar-benar sudah sangat
lapar. Segera ia memasuki hutan yang berada di sebelah jalan
dengan tujuan mencari sesuatu makanan. Eh, benar-benar
sangat kebetulan, belum jauh ia berjalan, sekonyong-konyong
terdengar suara gemeresak, dari tengah-tengah semak-semak
telah menerjang keluar seekor babi hutan yang besar, dengan
kedua taringnya yang kelihatan putih tajam, binatang itu terus
menyeruduk ke arah Ciok Boh-thian.
Tapi dengan sebat sekali Boh-thian dapat mengegos ke
samping, berbareng tangan kanan sudah mencabut golok,
dengan jurus "Tiang-cia-ciat-ki" (Si Kakek Menebas Tangkai)
dari Kim-oh-to-hoat, secepat kilat ia menebas. "Sret", tanpa
ampun lagi buah kepala babi hutan itu sudah terpenggal.
Babi hutan itu ternyata sangat buas dan tangkas, meski
kepalanya sudah terpenggal toh tubuhnya masih menerjang ke
depan sampai beberapa meter jauhnya, habis itu barulah
roboh. Sungguh girang Boh-thian tak terkatakan. Ini benar-benar
pucuk dicinta ulam tiba, memangnya ia sedang kelaparan dan
ingin mencari makanan, tahu-tahu babi hutan itu telah
mengantarkan nyawa sendiri untuk menjadi babi panggang
baginya. Segera Boh-thian mencari sepotong batu hitam, ia gunakan
punggung golok untuk mengetok batu itu sehingga meletikkan
lelatu untuk membuat api unggun.
Ia pilih bagian-bagian yang baik dan potong keempat paha babi
hutan itu. Ia mencucinya ke tepi sungai kecil yang tiada jauh
dari situ. Ketika kembali goloknya yang dia bakar di dalam api
unggun itu pun sudah merah, dengan golok panas itulah ia
bersihkan bulu-bulu di atas paha babi hutan. Lalu keempat
paha itu dia tusuk dengan sebatang kayu dan terus
dipanggang. Tidak lama kemudian, maka teruarlah bau harum sedap yang
merangsang selera. Tengah Boh-thian sibuk memanggang paha babi hutan, tibatiba
terdengar di tempat sejauh beberapa puluh meter sana
ada orang berkata, "Wah, alangkah sedapnya bau ini, benarbenar
membangunkan nafsu makan setiap orang!"
"Agaknya di sebelah sana ada orang sedang memanggang
daging, marilah kita coba pergi ke sana dan berunding padanya
untuk minta bagian sedikit," demikian seorang lagi
menanggapi. "Ya, benar! Hayo!" sahut orang yang pertama.
Lalu terdengar suara langkah mereka yang menuju ke tempat
Ciok Boh-thian. Maka tertampaklah seorang di antaranya bertubuh tinggi
gemuk, bermuka lebar dan bertelinga besar, memakai jubah
warna kuning kehijau-hijauan, wajahnya tersenyum simpul dan
ramah tamah. Seorang lagi juga bertubuh sangat tinggi, tapi
kurus kering, berbaju panjang warna biru langit, berjenggot
kecil sebagai buntut tikus, wajahnya kelihatan guram dan
bersungut. Sesudah dekat, segera si gemuk menyapa dengan tertawa,
"Haha, Saudara cilik, bolehkah...."
Karena sudah mendengar percakapan mereka tadi, segera
Boh-thian menukas, "Ya, di sini masih banyak kelebihan daging
panggang, biarpun sepuluh orang juga takkan habis, sebentar
boleh silakan kalian ikut pesta saja."
"Jika demikian, banyaklah terima kasih," ujar si gemuk.
Kedua orang itu lantas berduduk di samping api unggun.
Mereka melihat pakaian Ciok Boh-thian cukup perlente, tapi
kotor dan kusut, bahkan penuh bekas darah. Kedua orang itu
saling tukar pandang dengan perasaan heran. Tapi mereka
lantas memusatkan perhatian mereka kepada paha babi hutan
yang sedang dipanggang itu dan tidak ambil pusing lagi kepada
keadaan Ciok Boh-thian itu.
Babi hutan itu ternyata cukup gemuk sehingga sesudah
terpanggang minyaknya telah menetes ke dalam api unggun
dan menimbulkan bau sedap, walaupun belum dimakan,
namun sudah merangsang selera.
Keruan si kurus hampir-hampir mengiler. Dari pinggangnya ia
menanggalkan sebuah houlo (buli-buli arak terbuat dari sejenis
labu) berwarna biru, ia membuka sumbat buli-buli itu terus
menenggak seceguk, lalu mulutnya berkecap-kecap sambil
memuji, "Ehmmm, arak bagus!"
Si gemuk juga lantas menanggalkan sebuah houlo warna
merah, lebih dulu ia mengocaknya berapa kali, lalu membuka
sumbat dan menenggaknya juga satu ceguk, kemudian ia pun
berkata, "Ehmmm, arak bagus!"
Selama ikut Cia Yan-khek dahulu, sering juga Ciok Boh-thian
melihat dan mencicipi arak. Sekarang terendus bau arak,
seketika timbul juga keinginannya ikut minum. Cuma ia
menjadi ragu-ragu ketika melihat kedua orang itu masingmasing
meminum araknya sendiri-sendiri dan tiada maksud
mengundangnya ikut minum, maka ia pun merasa tidak pantas
untuk memohon kepada mereka.
Selang tak lama, keempat paha babi panggang itu sudah cukup
matang, segera Boh-thian berkata, "Sudah matang sekarang,
silakan makan!" Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, segera si gemuk dan si
kurus menyerbu babi panggang itu, masing-masing
menyambar sepotong paha gemuk besar itu terus akan
digerogoti dengan lahapnya kalau Ciok Boh-thian tidak keburu
menyetop mereka, "Meski kedua belah paha itu gemuk dan
besar, tapi itu adalah paha bagian belakang, rasanya tidak
seenak paha bagian depan."
Apa yang dikatakan Boh-thian itu memang benar. Kalau
memilih paha (kaki) babi, maka kaki bagian depan adalah lebih
lezat daripada kaki belakang.
Maka si gemuk telah menjawab dengan tertawa, "Hatimu
ternyata sangat baik!"
Segera ia menukarkan sebelah kaki depan yang lebih kecil dan
lebih lezat rasanya, lalu digerogoti dengan lahapnya.
Si kurus sudah telanjur menggerogoti paha panggang bagian
depan itu, ia hanya ragu-ragu sejenak, tapi tidak jadi
menukarkannya. Begitulah sesudah kedua orang itu memakan sebagian paha
panggang itu, lalu masing-masing minum seceguk lagi araknya
masing-masing sambil memuji, "Ehmmm, arak bagus!"
Kemudian buli-buli arak disumbat kembali dan digantungkan
lagi ke pinggang masing-masing.
Diam-diam Boh-thian membatin, "Tampaknya kedua orang ini
toh bukan orang miskin, mengapa mereka begini kikir, hanya
minum dua ceguk saja lantas tidak berani minum lebih banyak
lagi, memangnya apakah arak mereka sedemikian bagus dan
mahalnya?" Sejenak kemudian, dengan memberanikan diri Boh-thian coba
memohon kepada si gemuk, "Toaya (tuan), apakah boleh aku
minta arakmu barang beberapa cegukan saja?"
Namun si gemuk telah menggoyang kepala dan menjawab,
"Tidak, tidak boleh! Ini bukan arak, tidak boleh diminum orang
lain. Kami telah makan babi panggangmu, sebentar kami tentu
akan memberi balas jasa yang pantas."
"Hehe, kau berdusta," ujar Boh-thian dengan tertawa. "Baru
saja kau sendiri mengatakan "arak bagus", pula aku pun
mencium harumnya arak."
Lalu ia berpaling kepada si kurus dan memohon, "Biarlah arak
kepunyaan Toaya ini saja, bolehkah aku meminumnya
beberapa ceguk?" Namun si kurus telah menjawabnya dengan mata mendelik,
"Ini adalah racun, jika kau berani boleh silakan minum."
Habis berkata ia lantas menanggalkan pula buli-bulinya dan
ditaruh di atas tanah. "Jika racun, mengapa kau sendiri tidak keracunan?" ujar Bohthian
dengan tertawa sambil mengambil buli-buli arak itu,
ketika ia membuka sumbatnya, segera terendus bau arak yang
menusuk hidung. Melihat Boh-thian benar-benar akan minum arak kawannya, air
muka si gemuk agak berubah, cepat ia berkata, "Memangnya
begitu, siapa yang berdusta padamu" Hayo, lekas taruh
kembali!" Berbareng tangannya lantas menjulur dengan maksud merebut
kembali houlo yang telah dipegang Boh-thian itu.
Tak terduga, baru saja jarinya menyentuh tangan Ciok Bohthian,
seketika si gemuk merasa tergetar oleh suatu tenaga
yang mahakuat sehingga jarinya terpental balik.
Si gemuk bersuara kaget dan berkata, "Eh, beginilah kiranya!
Jadi kami sendiri yang salah mata, ya, silakan minum arak itu!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Boh-thian lantas angkat houlo itu
dan meneguknya dua kali, ia pikir si kurus sangat kikir dan
sayang sekali kepada araknya, maka ia tidak berani minum
terlalu banyak, sesudah ia tutup kembali buli-buli itu, lalu
mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba ia merasa suatu arus hawa dingin menaik dari
perutnya. Hawa dingin itu terus mengalir menaik sehingga
dalam sekejap saja sekujur badannya seakan-akan terbeku
kaku. Cepat Boh-thian mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melawan, dengan demikian arus dingin itu lambat laun dapat
dipunahkan. Dan sesudah hilang rasa dingin itu, seketika
seluruh anggota badannya terasa sangat segar sekali, bukan
saja tidak merasa dingin, sebaliknya malah merasa hangathangat
dan enak sekali. "Ehmmm, arak bagus!" demikian tanpa terasa Boh-thian juga
memuji dan tanpa kuasa ia sambar houlo arak tadi, ia cabut
sumpalnya dan kembali meneguk dua kali.
Ketika tenaga dalamnya dapat memunahkan pula hawa dingin
yang timbul dari arak itu, maka ia pun mulai merasakan
pengaruhnya alkohol itu. Katanya dengan gegetun, "Ah, benarbenar
arak bagus yang belum pernah kuminum. Sayang arak
ini terlalulah berharga, kalau tidak tentu akan kuhabiskan
seluruhnya." Air muka si gemuk dan si kurus tampak terheran-heran. Kata si
gemuk, "Jika adik cilik benar-benar tahan minum, maka
bolehlah silakan minum habis seisi houlo itu."
"Apa benar" Kukira Toaya ini takkan mengizinkan," ujar Bohthian
dengan girang. "Isi houlo merah tuan gemuk ini rasanya terlebih enak lagi,
apakah kau mau mencobanya?" tiba-tiba si kurus menanggapi
dengan nada dingin. Boh-thian tidak bersuara lagi, ia hanya pandang si gemuk
dengan maksud memohon. Tiba-tiba si gemuk menghela napas, katanya, "Semuda ini
telah memiliki lwekang sedemikian tinggi, tapi jiwa akan
melayang secara begini, sungguh sayang!"
Sambil berkata ia terus menanggalkan houlo merah dari
pinggangnya dan ditaruh di atas tanah.
Diam-diam Boh-thian berpikir, "Kedua orang ini rupanya suka
berkelakar semua. Bilamana arak mereka ini benar-benar
beracun, mengapa mereka sendiri telah meminumnya juga?"
Segera ia pun angkat houlo merah itu, ketika sumpalnya
dicabut, bau arak lantas menusuk hidung pula. Tanpa pikir lagi
ia lantas meneguk dua kali. Sekali ini rasanya tidak dingin


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti arak si kurus, sebaliknya rasanya sangat panas
sehingga perut seperti terbakar. Boh-thian sampai menjerit
kaget dan meloncat bangun, cepat ia mengerahkan tenaga
dalam sehingga rasa panas sebagai api itu dapatlah
dipunahkan. Teriaknya, "Wah, lihai benar arak ini!"
Dan aneh juga, begitu rasa panas di dalam perut sudah lenyap,
seketika sekujur badannya terasa lebih segar daripada tadi.
"Begitu hebat tenaga dalammu, kenapa sih kalau kau habiskan
sekalian isi kedua houlo itu?" ujar si gemuk.
"Ah, aku mana berani minum sendirian," sahut Boh-thian
dengan tertawa. "Hari ini kita bertiga dapat berkenalan dan
bersahabat, alangkah senangnya jika kita sambil makan daging
panggang sambil masing-masing minum seceguk. Nah, silakan
dahulu, Toaya." Habis berkata ia terus mengangsurkan houlo merah itu kepada
si gemuk. "Haha, jika adik cilik ingin mengukur kekuatan padaku,
terpaksa aku mengiringi sebisanya," sahut si gemuk dengan
tertawa. Ia terima houlo merah dan menenggaknya seceguk,
lalu diangsurkan kembali kepada Boh-thian sambil berkata,
"Silakan minum lagi!"
Tanpa sungkan-sungkan Boh-thian minum seteguk pula, lalu
mengangsurkan houlo itu kepada si kurus sambil berkata,
"Silakan Toaya ini juga minum!"
Air muka si kurus tampak berubah, katanya, "Aku akan minum
kepunyaanku sendiri."
Segera ia ambil houlo biru dan minum seteguk, kemudian
diberikan pula kepada Ciok Boh-thian.
Boh-thian telah merasakan arak di dalam houlo biru itu, ia pikir
kalau arak panas dan dingin itu diminum seteguk demi seteguk
secara bergiliran, rasa panas-dingin yang bercampur aduk itu
tentulah akan sangat enak sekali. Maka tanpa pikir ia lantas
terima houlo biru si kurus dan meminumnya seteguk besar.
Ketika dilihatnya si gemuk dan si kurus memandangnya dengan
mata melotot, segera Boh-thian paham apa artinya, dengan
menyesal ia bilang, "O, maaf, terlalu banyak tegukan barusan
ini." Tapi si kurus telah berkata dengan nada dingin, "Jika kau ingin
gagah-gagahan, makin banyak kau meneguk makin baik."
"Kalau kehabisan dan kita belum puas, biarlah sebentar kita
beli lagi di kota sana, aku membawa uang, boleh kita membeli
satu guci besar dan kita dapat minum sepuas-puasnya. Cuma
arak sebagus ini mungkin susah didapatkan," kata Boh-thian
dengan tertawa. Lalu ia minum seteguk lagi isi houlo merah,
kemudian diangsurkan kembali kepada si gemuk.
Si gemuk tampak duduk bersila dan diam-diam mengerahkan
lwekangnya, dengan demikian barulah dia minum seteguk pula.
Ia semakin heran dan terperanjat demi menyaksikan Boh-thian
minum seteguk demi seteguk tanpa halangan apa-apa.
Bab 26. Ciok Boh-thian Menciptakan Pukulan Berbisa
Kiranya si gemuk dan si kurus itu adalah tokoh-tokoh yang
memiliki ilmu silat mahatinggi. Hanya saja bentuk ilmu yang
dilatih mereka itulah satu-sama-lain berlawanan. Yang dilatih si
gemuk adalah sun-yang, positif, mahapanas, sebaliknya yang
diyakinkan si kurus adalah im-ju, negatif, mahadingin. Isi dari
kedua houlo mereka itu adalah arak obat yang sangat baik
untuk menambah lwekang mereka. Arak di dalam houlo merah
adalah arak mahapanas dan mahakeras, sebaliknya arak di
dalam houlo biru adalah arak obat mahadingin.
Kedua botol arak obat itu mengandung banyak sekali obat-obat
mukjizat kumpulan si gemuk dan si kurus, khasiatnya sangat
hebat dan keras, bagi orang biasa, jangankan meminumnya,
hanya mencicipi saja juga akan melayang jiwanya.
Adapun lwekang si gemuk dan si kurus memangnya sangat
tinggi, pula mereka telah minum obat lain yang dapat
melemahkan bekerjanya arak obat mereka, sebab itulah
mereka tidak keracunan. Tetapi kalau si gemuk salah minum
arak si kurus dan si kurus keliru minum arak si gemuk, maka
mereka pasti akan binasa seketika, bahkan usus mereka akan
putus dan mati dengan mengerikan. Tapi sekarang mereka
melihat Ciok Boh-thian sudah sekian banyak minum arak
mereka dan masih tetap tidak berhalangan apa-apa, keruan
mereka terperanjat tak terkatakan.
Pengalaman dan pengetahuan si gemuk dan si kurus
sebenarnya sangat luas, segala ilmu silat di dunia ini boleh
dikata hampir seluruhnya dikenal mereka, tapi sama sekali tak
terpikir oleh mereka bahwa secara sangat kebetulan Ciok Bohthian
telah mendapat pengalaman aneh, lebih dulu pemuda itu
mendapat ajaran ilmu silat lunak dan dingin yang menyerupai
"Han-ih-bian-ciang", kemudian mendapat ilmu "Yam-yamkang"
yang mahakeras dan panas dari Cia Yan-khek. Kedua
macam ilmu yang panas-dingin, im dan yang atau positif dan
negatif itu mestinya berlawanan satu sama lain, karena itu
Boh-thian hampir-hampir lumpuh dan binasa, tak terduga ia
mendapatkan pula "Lo-han-hok-mo-kang" dari Tay-pi Lojin
dengan boneka-boneka kayu pemberiannya itu, hal ini
membuat tenaga im dan yang di tubuh Boh-thian menjadi
terbaur menjadi satu, makin menambah kekuatannya yang
ampuh, bahkan menjadi tidak mempan keracunan segala jenis
racun. Ketika minum arak-arak obat si gemuk dan si kurus tadi mulamula
Boh-thian memang merasakan tajamnya arak itu, tapi
sesudah dipunahkan oleh tenaga dalamnya, dalam waktu
singkat malah makin menambah kekuatan yang telah
dimilikinya itu. Dasar jiwa Ciok Boh-thian memang luhur, sesudah minum arak
enak kedua orang itu secara gratis, ia merasa rikuh dan segera
panggang lebih banyak daging babi hutan itu, ia pilih bagianbagian
yang paling lezat untuk disuguhkan kepada si gemuk
dan si kurus sambil berulang-ulang minta mereka pun ikut
minum arak. Setelah mengetahui tenaga dalam Ciok Boh-thian luar biasa
lihainya, si gemuk dan si kurus menyangka pemuda itu sengaja
hendak bertanding lwekang dengan cara minum arak berbisa
itu. Karena mereka pun tidak mau mengaku kalah, terpaksa
mereka terima ajakan Ciok Boh-thian dan minum arak sendirisendiri
seteguk demi seteguk, tapi diam-diam mereka juga
menjejalkan obat pil pemunah racun arak ke mulutnya sendirisendiri.
Di samping itu si gemuk dan si kurus diam-diam juga
mengawasi gerak-gerik Ciok Boh-thian, mereka melihat
pemuda itu sama sekali tidak makan obat pemunah apa-apa,
betapa hebat tenaga saktinya benar-benar tiada pernah
mereka lihat, sungguh mereka tidak tahu dari manakah
mendadak bisa muncul seorang kesatria muda yang aneh ini.
Dalam pada itu setelah minum seteguk lagi Ciok Boh-thian
telah menyodorkan pula houlo merah kepada si gemuk.
Terpaksa si gemuk menerimanya sambil berkata, "Lwekang
adik cilik ternyata begini hebat, sungguh Cayhe sangat kagum.
Numpang tanya siapakah nama saudara cilik yang terhormat?"
Boh-thian lantas mengerut kening bila ditanya soal nama.
Jawabnya, "Urusan ini benar-benar membikin kepalaku sakit.
Sering orang menuduh aku she Ciok, padahal aku bukanlah she
Ciok, aku tidak tahu she apa dan bernama siapa, sebab itulah
pertanyaanmu ini benar-benar susah kujawab."
Sudah tentu si gemuk tidak mau percaya, ia anggap Boh-thian
berlagak bodoh dan tidak mau mengatakan namanya. Ia coba
tanya pula, "Jika demikian, siapakah guru saudara cilik yang
terhormat" Dari golongan dan aliran manakah engkau?"
"Guruku she Su, beliau adalah seorang nenek tua, apakah kau
pernah kenal dia?" sahut Boh-thian. "Beliau adalah cikal bakal
Kim-oh-pay dan aku adalah muridnya yang pertama."
Diam-diam si gemuk dan si kurus menganggap Ciok Boh-thian
hanya membual saja, sebab seluruh golongan dan aliran
persilatan di dunia ini boleh dikata telah dikenalnya semua, tapi
belum pernah mereka mendengar tentang Kim-oh-pay dan
nenek she Su apa segala. Pada kesempatan tanya-jawab itulah, si gemuk pura-pura lupa,
ia tidak minum araknya, tapi houlo merah lantas disodorkan
kembali kepada Boh-thian sambil berkata, "O, kiranya adik cilik
adalah murid pertama dari Kim-oh-pay, pantas engkau begini
lihai. Ini, silakan minum lagi sebagai penghormatanku!"
Tapi Boh-thian melihat si gemuk belum meneguk araknya itu,
ia mengira si gemuk saking asyiknya bicara sehingga lupa
minum, segera ia berkata, "Eh, kau sendiri belum lagi minum."
"O, ya" Aku sampai lupa," sahut si gemuk dengan muka
merah. Karena maksudnya diketahui orang, diam-diam ia
merasa sangat mendongkol. Ia tidak tahu bahwa
sesungguhnya Ciok Boh-thian adalah bermaksud baik karena
khawatir si gemuk dirugikan karena si gemuk sendiri tidak
minum. Padahal seluruhnya si gemuk sudah minum delapan ceguk,
kalau minum lebih banyak lagi, sekalipun ada obat pemunah
juga pasti akan berbahaya baginya. Maka terpaksa ia purapura
mengangkat houlo merah, ia tempelkan di tepi mulut
dengan lagak menenggak, tapi sebenarnya ia tutup rapat-rapat
mulutnya, maka waktu buli-buli itu diturunkan, arak yang akan
tertuang itu sudah mengalir masuk kembali ke dalam buli-buli
itu. Perbuatan si gemuk ini sudah tentu diketahui pula oleh si
kurus. Maka ia pun lantas menirukannya, ia juga cuma
berlagak minum, tapi sesungguhnya tiada setetes arak yang
masuk ke dalam tenggorokannya.
Dan begitulah, seteguk demi seteguk secara bergiliran,
akhirnya isi houlo-houlo yang hampir penuh itu boleh dikata
ada delapan bagian yang diminum sendiri oleh Ciok Boh-thian.
Memangnya kekuatan minum arak Boh-thian tidak besar, ia
hanya mengandalkan tenaga dalamnya yang hebat sehingga
sampai sekian lamanya masih dapat bertahan. Walaupun arak
berbisa itu tiada jeleknya, bahkan bermanfaat baginya, namun
di bawah pengaruh alkohol itu, mau tak mau pikirannya
menjadi agak limbung, bicaranya menjadi banyak, ia mengoceh
tentang si A Siu, si Ting-tong, dan macam-macam lagi.
Sudah tentu si gemuk dan si kurus merasa bingung dan tidak
mengerti apa yang dikatakan pemuda itu. Pikir si gemuk,
"Masakan kekuatan minum kami berdua tidak mampu melawan
dia seorang, hal ini kalau sampai tersiar, wah, tentu akan
runyam. Apalagi sesudah dia minum habis kedua buli-buli arak
mukjizat ini, kelak dia tentu akan tambah lihai. Peribahasa
mengatakan, "Berpikiran sempit bukannya seorang kesatria,
kalau tidak keji bukanlah jantan". Rasanya aku harus berani
bertindak lebih jauh."
Karena pikiran itu, si gemuk lantas mengedipi si kurus.
Si kurus dapat menangkap maksud kawannya, segera ia
merogoh saku dan mengeluarkan sebutir pil yang disebut "Kiukiuwan" (pil 99) dan disiapkan di tangannya. Waktu Boh-thian
menyodorkan lagi houlo biru padanya, segera ia pura-pura
minum pula seteguk, lalu pura-pura menggunakan tangannya
buat mengusap mulut houlo, tapi yang sebenarnya ia telah
masukkan pil Kiu-kiu-wan ke dalam buli-buli itu. Sesudah dia
kocak-kocak beberapa kali, lalu berkata, "Ehmmm! Arak bagus!
Arak enak!" Ketika si kurus melakukan perbuatannya itu, diam-diam si
gemuk juga sudah mengeluarkan sebutir pil yang bernama
"Liat-hwe-tan" (pil api membara) dan diam-diam dimasukkan
ke dalam houlo merah, Dan dengan sendirinya sisa arak
bercampur Liat-hwe-tan ini pun habis ditenggak oleh Ciok Bohthian.
Sebagai pemuda yang masih hijau pelonco, Boh-thian mengira
telah bertemu dengan dua orang peminum yang baik hati,
maka ia hanya asyik minum arak dan makan daging, sama
sekali tak terpikir olehnya bahwa kedua orang yang
sebelumnya tak dikenal itu, diam-diam hendak membikin
celaka padanya. Begitulah, maka terdengar si kurus telah berkata, "Adik cilik,
sisa arak di dalam houlo ini tinggal sedikit saja, rupanya kau
sangat kuat minum, maka boleh kau habiskan saja."
"Baiklah," sahut Boh-thian dengan tertawa. "Karena kalian
tidak sungkan-sungkan, maka aku pun tidak perlu sungkansungkan
juga." Segera ia ambil houlo biru, baru saja ia hendak mengeringkan
isinya, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, katanya, "Ketika
berada di atas kapal, pernah kudengar ceritanya si Ting-ting
Tong-tong, katanya kalau orang lelaki dan orang perempuan
cocok satu sama lain, maka mereka akan terikat menjadi
suami-istri. Bila lelaki suka sama lelaki, maka mereka bisa
mengangkat saudara. Hari ini secara kebetulan kita telah
bertemu di sini dan rupanya kalian cukup menghargai diriku,
kupikir sehabis makan-minum ini nanti, biarlah kita bertiga
lantas mengangkat saudara saja, dengan demikian kelak kita
akan selalu dapat makan-minum bersama dan tentu sangat
menyenangkan. Entah bagaimana pendapat kalian atas usulku
ini?" Khawatir kalau-kalau Boh-thian tidak jadi menghabiskan
araknya, cepat si gemuk menjawab, "Bagus, bagus! Bagus
sekali usulmu ini. Nah, silakan kau habiskan sisa arak kami ini."
"Dan bagaimana pendapat Toaya yang ini?" tanya Boh-thian
kepada si kurus. "Tentu saja aku menurut bilamana adik cilik mempunyai
maksud baik demikian," sahut si kurus.
Sekarang pikiran Boh-thian sudah makin limbung, keadaannya
sudah setengah mabuk, saking senangnya ia terus mengangkat
tinggi-tinggi houlo biru dan menenggak habis seluruh sisanya.
Ternyata rasanya sekarang sudah tidak sedingin tadi.
"Sungguh hebat, sungguh kuat sekali adik cilik ini. Nah, sedikit
sisa arak di dalam houlo ini pun silakan adik cilik habiskan
sekalian," seru si gemuk dengan tertawa. "Dan habis itu segera
kita mengangkat saudara."
Pikiran Ciok Boh-thian memangnya sangat sederhana, pula
dalam keadaan sudah sinting, dengan sendirinya mulutnya
banyak mengoceh dan banyak tingkah pula, tanpa merasa ia
pun berlagak gagah, tanpa pikir ia ambil houlo merah lagi terus
ditenggak habis sisa isinya.
Si gemuk dan si kurus saling tukar pandang, pikir mereka,
"Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan adalah racun yang tiada
bandingannya di dunia ini. Kiu-kiu-wan dibuat dengan 9x9=81
macam rumput berbisa. Liat-hwe-tan juga terbuat dari bahanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
bahan racun yang tiada taranya seperti warangan, bisa ular
sendok, bisa laba-laba hitam dan macam-macam lagi. Tak
peduli Kiu-kiu-wan atau Liat-hwe-tan, asal sebutir
dicemplungkan ke dalam sumur atau sungai, maka penduduk


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkampung-kampung akan mati keracunan. Sekarang kedua
pil beracun digunakan sekaligus, mustahil kalau dia masih
tetap tidak akan mampus keracunan."
Benar juga, baru saja mereka berpikir demikian, mendadak
terdengar Ciok Boh-thian telah menjerit, "Aduh! Celaka! Sakit
sekali perutku!" Dan sambil memegang perut pemuda itu meringis dan
berjongkok. Si gemuk dan si kurus saling pandang dengan tertawa senang.
Segera si gemuk pura-pura tanya, "He, ada apakah" Perutmu
sakit" Ah, tentu karena kau makan terlalu banyak, maka
perutmu mulas!" "Tidak! Bukan mulas! Tapi... aduh, celaka!" teriak Boh-thian
sambil meloncat. Berbareng si gemuk dan si kurus juga lekas-lekas melompat
bangun. Mereka mengira sebelum pemuda itu menemui ajalnya
tentu akan menyerang mereka sekuat-kuatnya, maka mereka
telah himpun tenaga dan siap menantikan segala
kemungkinan. Ciok Boh-thian memang lantas memukul juga, tapi bukan
ditujukan kepada mereka, melainkan diarahkan kepada
sebatang pohon besar sambil berteriak, "Aduh! Sa... sakitnya
tidak kepalang!" Karena perutnya sakit dan ususnya seperti dipuntir-puntir,
maka Boh-thian telah mengerahkan tenaga dalamnya dengan
maksud hendak memunahkan rasa sakit itu melalui
pukulannya. Tak terduga Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan
memang bukan racun sembarang racun, sekali kedua jenis
obat itu sudah bekerja, seketika perut Boh-thian seperti
disayat-sayat, sakitnya susah dilukiskan dan hampir-hampir ia
jatuh kelengar. Seketika kaki-tangannya juga terasa kaku dan
sekujur badannya terasa kejang.
Saking tak tahannya, sekuatnya tangan kiri lantas memukul ke
batang pohon. Tak tersangka sesudah pukulan itu dilontarkan,
segera rasa sakit perutnya lantas agak berkurang. Maka tangan
kanan segera dipukulkan pula kepada batang pohon.
Dan begitulah seterusnya, setiap ia melontarkan pukulan rasa
sakit perutnya lantas berkurang dan segar kembali. Tapi kalau
dia berhenti memukul, seketika perutnya kesakitan lagi,
bahkan seperti disayat-sayat dan ditusuk-tusuk.
Sambil berkaok-kaok menahan rasa sakit dan kaki-tangannya
bergerak dan memukul, maka dengan sendirinya ia telah
mengeluarkan ilmu silat yang baru saja diciptakannya ketika
berada di Ci-yan-to itu. Walaupun ilmu silatnya itu tidak begitu
teratur, tapi dahsyatnya mengejutkan.
Si gemuk dan si kurus kembali saling pandang dengan
terperanjat, berulang-ulang mereka melangkah mundur.
Mereka tahu jago silat selihai sebagai Ciok Boh-thian itu,
sesudah keracunan dan pada saat akan menemui ajalnya,
tentu seluruh kekuatan di dalam tubuhnya akan buyar dan
meledak sehingga kelakuannya akan mirip harimau gila. Asal
kena terpukul atau kena dirangkulnya, maka celakalah orang
itu. Mereka melihat pukulan dan tendangan Ciok Boh-thian yang
dahsyat itu gayanya mirip ilmu silat Swat-san-pay dan
menyerupai pula ilmu silat keluarga Ting. Di samping itu
banyak tercampur pula ilmu silatnya Mo-thian-kisu Cia Yankhek.
Keruan mereka tambah melongo heran dan mau percaya
mungkin pemuda ini benar-benar adalah murid dari Kim-ohpay.
Makin memukul makin dahsyat dan cepat permainan Boh-thian
itu. Ia merasa setiap pukulannya dilontarkan, setiap kali pula
tenaga pukulannya itu lantas melenyapkan sedikit rasa sakit
perutnya. Maka ia memukul dengan lebih semangat lagi dan
makin dahsyat. Walaupun demikian, sekarang si gemuk dan si kurus juga
sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian Ciok Bohthian
itu. Meski pukulan Boh-thian itu sangat dahsyat, namun
gayanya dan caranya tidaklah luar biasa. Mereka saling
pandang dengan tersenyum dan sama-sama berpikir, "Lwekang
bocah ini memang sangat kuat, tapi ilmu silatnya ternyata
tidak seberapa. Jika Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan tidak dapat
membinasakan dia, terang pemuda ini pun bukan tandingan
kami berdua. Tadi karena tenaga dalamnya terlalu lihai, maka
terlalu tinggi menilai kepandaiannya."
Berpikir sampai di sini, mereka menjadi sayang kepada arak
obat dan pil-pil yang berharga dan telah diminum oleh Ciok
Boh-thian tadi. Tahu begitu, sekali gebrak saja pemuda itu
sudah dapat mereka bunuh dan tidak perlu banyak membuang
waktu dan membuang barang berharga sebanyak itu.
Setelah bersilat sekian lamanya, kadar racun di dalam perut
Boh-thian juga mulai menghilang terbawa oleh tenaga dalam
yang dia keluarkan dan terdesak sampai di bagian telapak
tangan, rasa sakit perutnya juga lantas berkurang dan akhirnya
lantas lenyap juga. Kemudian dengan agak sempoyongan Boh-thian kembali ke
samping api unggun, katanya dengan tertawa, "Wah,
sedemikian sakitnya perutku barusan ini, kukira ususku akan
putus terpuntir-puntir, sungguh aku takut setengah mati."
Si gemuk dan si kurus menjadi terperanjat malah, pikir
mereka, "Sungguh luar biasa, ternyata di dunia ini ada
makhluk yang tak mati kena racun Kiu-kiu-wan dan Liat-hwetan."
Segera si gemuk menanyakan, "Dan sekarang perutmu masih
sakit atau tidak?" "Tidak, tidak sakit lagi," sahut Boh-thian sambil mengulur
tangan kanan untuk mengambil sepotong daging babi
panggang yang sudah hampir hangus.
Di bawah cahaya api unggun tiba-tiba ia melihat di telapak
tangan sendiri itu ada bintik merah sebesar mata uang, ia
bersuara heran, "He, apa apakah ini?"
Waktu ia periksa tangan kiri, ternyata yang berada di telapak
tangan kiri ini adalah bintik-bintik biru.
Kiranya tadi ia telah mendesak racun di dalam perutnya ke
telapak tangan, cuma saja dia tidak mahir menggunakan
tenaga dalamnya sehingga tidak dapat mendesak kadar racun
itu keluar tubuh, akibatnya racun itu menjadi terkumpul pada
telapak tangannya. Bagi si gemuk dan si kurus sudah tentu paham duduknya
perkara, maka mereka merasa lebih lega pula. Pikir mereka,
"Kiranya bocah ini pun tidak mampu memanfaatkan tenaga
dalamnya yang mahadahsyat itu, maka bocah ini lebih-lebih
tidak perlu ditakuti lagi. Boleh jadi dia memang dilahirkan
dengan keadaan yang luar biasa, atau mungkin dia telah
makan sesuatu benda mukjizat sehingga membuat tenaga
dalamnya sedemikian lihainya."
Dalam pada itu terdengar Ciok Boh-thian telah berseru kepada
mereka, "He, tadi kita telah bersepakat akan mengangkat
saudara. Nah, siapakah di antara kalian berusia lebih tua dan
siapakah nama kalian yang terhormat?"
Sesungguhnya si gemuk dan si kurus yakin bahwa sesudah
Ciok Boh-thian minum racun mereka tentu akan binasa
seketika, makanya mereka tanpa pikir menyanggupi akan
angkat saudara dengan dia, sama sekali tak terduga, bahwa
pemuda itu ternyata tidak mempan diracun.
Selamanya kedua orang ini sangat tinggi hati dan menilai tinggi
dirinya sendiri, apa yang sudah mereka katakan tentu ditepati,
sejak mereka berhasil meyakinkan ilmu silat mereka yang
ampuh belum pernah mereka mengingkar sesuatu janji, maka
sekarang walaupun di dalam hati mereka seratus kali tidak sudi
mengangkat saudara dengan pemuda ketolol-tololan ini, tapi
terpaksa mereka harus melakukannya agar tidak mengingkari
janjinya sendiri. Begitulah, maka sesudah si gemuk berbatuk satu kali, lalu
katanya dengan canggung-canggung, "Aku... aku bernama Thio
Sam, usiaku lebih tua sedikit daripada saudaraku yang
bernama Li Si ini. Dan kau sendiri katanya tidak punya nama,
cara bagaimana kita dapat mengangkat saudara?"
"Guruku telah memberikan suatu nama padaku, ialah Su Ek-to,
maka bolehlah kalian panggil aku dengan nama ini saja," sahut
Boh-thian. "Jika demikian, bolehlah kita bertiga mengangkat saudara
sekarang juga," ujar si gemuk dengan tertawa. Lalu ia
mendahului berlutut dengan sebelah kaki dan berseru lantang,
"Hari ini Thio Sam dan Li Si mengangkat saudara dengan Su
Ek-to, sejak kini kalau ada untung akan sama dinikmati dan
jika ada kesukaran akan sama ditanggung. Bila mengingkari
sumpah ini, biarlah kelak Thio Sam akan menyerupai babi
hutan ini disembelih orang dan dimakan. Haha, haha!"
Sudah tentu "Thio Sam" (Thio si Tiga) adalah namanya yang
palsu, maka dia sengaja menyebut Thio Sam melulu dan sama
sekali tidak menyebut "Aku", hal ini menandakan dia memang
tidak mempunyai maksud sungguh-sungguh untuk kiat-pay
atau mengangkat saudara dengan Ciok Boh-thian.
Segera si kurus juga berlutut dan menirukan si gemuk, katanya
dengan tertawa, "Ya, hari ini Li Si dan Thio Sam mengangkat
saudara dengan Su Ek-to, biarpun tidak dilahirkan pada tahun
dan hari yang sama, tapi semoga dapat mati pada hari dan
waktu yang sama. Bilamana melanggar sumpah ini, biarlah
kelak Li Si akan mati dicincang orang. Hehe, hehe!"
Dengan sendirinya "Li Si" (Li si Empat) adalah namanya yang
palsu juga. Maka sehabis mengucapkan itu, ia berulang-ulang
mengekek tawa. Sebaliknya Ciok Boh-thian adalah seorang pemuda yang masih
hijau dan polos, ia pun berlutut dan mengangkat sumpah
dengan tulus dan sungguh-sungguh, "Hari ini aku mengangkat
saudara dengan kedua Koko (kakak) ini, bila ada arak enak dan
daging lezat tentu akan kusilakan mereka menikmati dahulu,
jika ada orang lain hendak membunuh kedua Koko, tentu aku
akan maju untuk melawannya dahulu. Apabila aku mengingkar
janji, biarlah aku dihukum untuk sakit perut setiap hari seperti
tadi." Melihat kesungguhan Ciok Boh-thian itu, diam-diam si gemuk
dan si kurus merasa rikuh sendiri. Si gemuk lantas berbangkit
dan berkata, "Sudahlah, Samte (adik ketiga), sekarang kami
ada urusan penting, terpaksa kita harus berpisah dahulu."
"Toako dan Jiko (kakak tertua dan kakak kedua) hendak ke
mana?" demikian tanya Ciok Boh-thian. "Tadi Thio-toako
menyatakan sesudah kita menjadi saudara angkat, maka ada
untung akan dirasakan bersama dan kalau ada kesukaran akan
ditanggung bersama pula. Toh aku tiada punya urusan apaapa,
maka biarlah aku ikut berangkat bersama kalian saja."
Namun si gemuk lantas bergelak tertawa, sahutnya, "Kami lagi
ada urusan, yaitu hendak mengundang tamu, hal ini tiada
menarik, maka kau tidak perlu ikut."
Habis berkata segera ia mendahului berangkat.
Sebagai pemuda yang baru saja bergaul dan mengikat
persahabatan, Ciok Boh-thian merasa berat untuk berpisah,
segera ia pun ikut di belakang mereka dan berkata, "Biarlah
aku mengantar keberangkatan kedua Koko. Setelah berpisah,
entah kapan kita akan berjumpa dan bersama-sama makanminum
pula." Si kurus yang memakai nama palsu Li Si itu tetap merengut
dan tidak ambil pusing kepada Boh-thian, hanya si gemuk Thio
Sam yang masih bersenda gurau dengan dia. Katanya, "Samte,
kau bilang gurumu memberi nama Su Ek-to padamu, jika
demikian, sebelum gurumu memberi nama baru itu tentu kau
sudah mempunyai nama yang asli. Sekarang kita sudah
mengangkat saudara, masakah kita perlu berdusta dan
menyimpan rahasia?" Boh-thian tertawa rikuh, sahutnya, "Bukanlah aku sengaja
berdusta kepada Koko, soalnya namaku terlalu tidak enak
didengar. Sejak kecil ibuku memanggil aku sebagai Kau-capceng."
"Kau-cap-ceng" Hahahaha! Kau-cap-ceng! Nama ini memang
sangat aneh!" seru si gemuk sambil bergelak tertawa.
Langkah Thio Sam dan Li Si itu tampaknya tidak terlalu cepat,
tapi diam-diam mereka telah menggunakan ginkang yang
tinggi, maka pepohonan di tepi jalan telah mereka lewati
seperti terbang cepatnya.
Untuk sejenak Ciok Boh-thian tercengang dan tahu-tahu sudah
ketinggalan beberapa meter jauhnya, cepat ia pun angkat kaki
dan menyusulnya. Begitulah, dua orang di muka dan satu orang di belakang, jarak
mereka selalu bertahan sejauh beberapa langkah saja. Thio
Sam dan Li Si ingin lekas-lekas meninggalkan si bocah tolol ini,
tapi meski mereka sudah mengeluarkan segenap kepandaian
ginkang mereka toh Boh-thian tetap mengintil dengan kencang
di belakang. Bicara tentang jalan cepat mereka bertiga, maka kentara sekali
selisih kepandaian mereka yang sangat mencolok. Gaya
langkah Thio Sam dan Li Si, tampak seenaknya saja, mereka
berlenggang dengan luwes, sedikit pun tidak kelihatan terburuburu.
Sebaliknya Ciok Boh-thian harus melangkah lebar-lebar,
kedua tangannya juga berayun ke muka dan ke belakang
sambil membungkuk tubuh dan setengah berlari, kelakuannya
itu lebih mirip copet kepergok dan sedang diuber orang.
Tapi di tengah jalan cepat itu toh Ciok Boh-thian masih
sanggup membuka mulut dan bicara seperti biasa, keruan mau
tak mau si gemuk dan si kurus harus kagum kepada tenaga
dalamnya yang mahakuat itu.
Ketika tanpa merasa Boh-thian mengetahui bahwa arah yang
diambil mereka itu adalah jalan di mana dia datang tadi, yaitu
menuju kampung nelayan yang dibuat sembunyi gerombolan
Tiat-cha-hwe dan sekarang sudah sangat dekat, maka cepat
Boh-thian berseru, "He, he! Kedua Koko, di depan sana adalah
tempat berbahaya, janganlah ke sana. Marilah kita berganti
jurusan saja dan jangan mengantarkan jiwa percuma ke sana."
Rupanya Thio Sam dan Li Si menjadi heran, berbareng mereka
berhenti dan berpaling, tanya Li Si, "Mengapa kau katakan di
depan sana adalah tempat berbahaya?"
"Ya, di muara sungai di depan sana ada sebuah kampung
nelayan, banyak sekali orang-orang Kangouw yang
bersembunyi di sana dan tidak ingin orang lain mengetahui
jejak mereka, jika mereka melihat kita bertiga hendak
memergoki tempat sembunyi mereka, boleh jadi mereka akan
terus mengganas dan akan membunuh kita."
"Dari mana kau tahu?" tanya Li Si dengan muka masam.
Segera Boh-thian menceritakan pengalamannya, di mana dia
telah kesasar ke atas kapal yang penuh mayat, cara bagaimana
dia telah mendengar perundingan orang-orang Tiat-cha-hwe di
tempat sembunyinya dan akhirnya menyaksikan orang-orang
itu sembunyi di perkampungan nelayan itu.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi mereka sembunyi di kampung nelayan itu adalah lantaran
takut kepada Siang-sian dan Hwat-ok Sucia, ini toh tiada
sangkut paut dengan urusan kita, mengapa kita takut akan
dibunuh mereka?" ujar Li Si tetap dengan air mukanya yang
merengut. "Tidak, tidak!" sahut Boh-thian sambil goyang-goyang kedua
tangannya. "Orang-orang itu terlalu ganas dan jahat, sedikitsedikit
lantas main membunuh, demi rahasia jejak mereka,
bahkan kawan mereka sendiri pun tidak segan-segan
dibunuhnya. Ini lihat, noda darah di atas bajuku ini adalah
tetesan darah kawan mereka yang terbunuh itu."
"Ya, sudahlah, jika kau takut bolehlah kau jangan ikut kami,"
ujar Li Si. "Tapi... tapi kukira kedua Koko lebih baik jangan pergi ke
sana," kata Boh-thian. "Urusan ini tidak boleh di... dibuat mainmain."
Namun Thio Sam dan Li Si tidak gubris padanya lagi, segera
mereka berpaling kembali dan berjalan terus. Pikir mereka,
"Percuma saja bocah ini memiliki tenaga dalam sehebat ini,
ilmu silatnya ngawur, pengecut pula seperti tikus."
Tak tersangka, belum seberapa jauh mereka berjalan, tahutahu
Boh-thian telah menyusul tiba pula dengan langkah cepat.
"Katanya kau takut dibunuh orang-orang Tiat-cha-hwe, buat
apa kau ikut lagi?" tegur si Thio Sam.
"Bukankah kita sudah bersumpah bahwa kalau ada untung
akan dinikmati bersama dan kalau ada kesukaran akan
ditanggung bersama pula," sahut Boh-thian. "Sekarang kalau
kedua Koko berkeras hendak ke sana, maka terpaksa aku
mengiringi kalian agar bila perlu dapat mati pada hari dan
waktu yang sama. Seorang laki-laki sejati mana boleh
melanggar janjinya sendiri."
"Hehe, kalau nanti sekaligus berpuluh tombak orang-orang
Tiat-cha-hwe menancap di atas tubuhmu sehingga kau akan
dibikin mirip binatang landak, apakah kau tidak takut?" jengek
Li Si. Boh-thian menjadi terbayang jeritan ngeri kedua orang Tiatchahwe yang terbunuh di kapal mayat itu, diam-diam ia
mengirik juga. Ia pikir pengganas-pengganas yang sembunyi di
kampung nelayan itu sedikitnya ada ratusan orang, sekarang
dirinya hanya bertiga, biarpun betapa tinggi ilmu silat kedua
saudara angkat itu rasanya juga susah melawan orang banyak.
Melihat air muka Boh-thian menunjuk rasa jeri, segera Li Si
mengejeknya, "Sudahlah, untuk mati rasanya kami berdua
juga tidak perlu minta ditemani, kau boleh pulang saja sendiri.
Jika kami nanti tidak mati, sepuluh tahun lagi tentu kita akan
berjumpa pula." "Tidak, aku tetap akan ikut," sahut Boh-thian. "Tambah
seorang pembantu tentu akan tambah baik. Andaikan kita tidak
dapat melawan jumlah mereka yang terlalu banyak, di saat
berbahaya toh kita masih dapat melarikan diri dan belum pasti
akan terbunuh." Melarikan diri" Huh, itu kan perbuatan pengecut!" jengek Li Si.
"Sudahlah, lebih baik kau jangan ikut saja daripada nanti
membikin malu." "Baiklah, aku pasti takkan lari," sahut Boh-thian.
Karena tidak berdaya mengenyahkan Boh-thian, Li Si dan Thio
Sam hanya saling pandang dengan tersenyum ewa. Tanpa
berkata lagi mereka lantas melanjutkan perjalanan, tidak lama
kemudian sampailah mereka di tengah kampung nelayan itu.
Ternyata kapal yang penuh mayat itu sudah tak terlihat pula, di
tengah kampung itu pun sunyi senyap tiada tampak seorang
pun. Setelah mengamat-amati keadaan setempat, lalu Thio Sam dan
Li Si mendatangi sebuah gubuk. Pintu gubuk itu didorong
terpentang, langsung mereka lantas menuju ke dapur. Sesudah
memandang keadaan sekitar tempat itu dan memikir sejenak,
tiba-tiba Thio Sam memindahkan sebuah gentong air besar
yang terletak di pojok ruangan dapur itu. Maka tertampaklah di
bawah gentong air itu ada sebuah gelang besi.
Tanpa disuruh lagi Li Si lantas pegang gelang besi itu terus
ditarik ke atas. Maka terdengarlah suara keras, sepotong papan
besi ikut terangkat dan kelihatan sebuah lubang di bawahnya.
Segera Thio Sam mendahului melompat masuk ke dalam
lubang itu. Menyusul Li Si juga melompat ke bawah.
Boh-thian terheran-heran melihat kejadian luar biasa itu.
Tanpa pikir ia lantas ikut melompat ke dalam lubang.
Mendadak di bawah lubang itu mereka disambut oleh suara
bentakan seorang, "Siapa itu?"
Menyusul angin tajam lantas menyambar, dua batang Cha
(tombak bercabang) yang mengilap telah menusuk ke arah
Thio Sam. Tapi ketika kedua tangan Thio Sam bergerak dan menepuk di
atas batang tombak-tombak itu, di mana tenaga dalamnya
menggetar, kontan kedua penyerang itu lantas terjungkal dan
binasa. Di depan mereka ternyata terbentang sebuah jalan lorong yang
berlika-liku, di atas dinding jalan tersulut lilin yang besar.
Setiap ada pengkolan jalan, di situ tentu dijaga oleh dua orang
lelaki. Tapi setiap kali Thio Sam cukup menggerakkan kedua
tangan dan kontan kedua laki-laki bersenjata tombak itu lantas
terbunuh. Caranya Thio Sam ternyata sangat cepat lagi jitu,
sama sekali ia tidak perlu menggunakan jurus kedua.
Boh-thian sampai melongo menyaksikan kesaktian itu,
pikirnya, "Ilmu sulap apakah yang digunakan Thio-toako ini"
Jika yang dia gunakan ini adalah ilmu silat juga, maka terang
Thio-toako jauh lebih lihai daripada Ting Put-sam, Ting Put-si,
Pek-suhu, dan lain-lain."
Selagi pikiran Boh-thian melayang, terdengarlah suara riuh
ramai, dari depan telah membanjir tiba orang banyak.
Namun Thio Sam telah maju dengan langkah perlahan.
Sebaliknya orang-orang yang menyerbu dari depan itu
mendadak berdiri tegak, air muka mengunjuk rasa kaget dan
ketakutan. "Apakah congthocu kalian berada di sini?" tanya Thio Sam.
Segera seorang laki-laki berperawakan tinggi besar tampil ke
muka orang banyak, katanya sambil memberi hormat,
"Maafkan kami tiada menyambut kedatangan tuan-tuan.
Silakan menuju ke ruangan besar untuk sekadar minum. O,
kiranya masih ada seorang tamu terhormat lagi. Silakan tuantuan
bertiga masuk ke dalam."
Thio Sam dan Li Si tidak bicara lagi, mereka hanya
mengangguk saja. Boh-thian sendiri merasa kebat-kebit, di jalan lorong yang
remang-remang dan menyeramkan itu Thio Sam berturut-turut
telah membinasakan 12 orang Tiat-cha-hwe, tampaknya pihak
mereka tentu akan menuntut balas, maka diam-diam Boh-thian
sangat khawatir. Namun dilihatnya kedua saudara angkat itu
telah melangkah ke depan seperti tidak terjadi apa-apa, sudah
tentu ia tidak dapat mundur sendirian, maka terpaksa ia
mengikut dari belakang. Lelaki kekar tadi lantas menunjukkan jalan di depan dengan
sikap sangat hormat. Sepanjang jalan lorong itu penuh berbaris
anggota Tiat-cha-hwe yang bertombak baja, ujung tombak
yang bercabang itu tajam dan gemilapan terkena sinar lilin.
Namun Thio Sam dan Li Si anggap seperti tiada apa-apa saja,
bersama Ciok Boh-thian mereka lantas menyusur ke depan
mengikuti tuan rumah. Sesudah membelok lagi suatu
pengkolan, mendadak pandangan mereka terbeliak, mereka
telah sampai di suatu ruangan pendopo.
Di sekeliling dinding pendopo itu terpasang banyak obor
sehingga keadaan terang benderang sebagai siang hari. Sekitar
ruangan juga berdiri penuh anggota-anggota Tiat-cha-hwe
yang bertombak. Air muka semua orang ini tampak sangat
tegang. Sekali tempo pandangan Ciok Boh-thian kebentrok dengan
sinar mata orang-orang itu, ia merasa sorot mata mereka itu
semuanya buas dan kejam sehingga membikin orang merasa
tidak aman. Lelaki kekar tadi menyilakan Thio Sam dan Li Si duduk ke
tempat yang terhormat. Tanpa sungkan-sungkan Thio Sam dan
Li Si terus mengambil tempat duduk yang ditunjuk. Dengan
tertawa Thio Sam berkata kepada Boh-thian, "Adik kecil,
bolehlah kau duduk di sebelahku sini."
Dan sesudah Boh-thian juga mengambil tempat duduk, lelaki
kekar itu juga mengiringi duduk di sebelah lain. Sejenak
kemudian beberapa orang pelayan yang tak bersenjata telah
menyiapkan meja dengan hidangan lengkap.
Mendadak Thio Sam dan Li Si menggerakkan tangan kiri
masing-masing, berbareng dari lengan baju mereka
menyambar keluar sesuatu benda, "plok", kedua benda itu
jatuh berjajar di atas meja di depan si lelaki kekar tadi, kiranya
kedua benda itu adalah dua potong pening atau medali
tembaga dan ambles rata di permukaan meja.
Tertampak di atas pening tembaga itu masing-masing terukir
muka orang, yang satu muka yang tertawa dan yang lain muka
yang lagi gusar. Jadi mirip sekali dengan kedua pening
tembaga yang terpaku di atas kapal mayat orang-orang Hui-hipang
itu. Serentak si lelaki kekar itu berbangkit demi melihat kedua
benda itu. Seketika pula terdengar suara gemerencing, ratusan
orang yang berdiri di sekitar ruangan pendopo telah
menggerakkan tombak mereka, karena tombak mereka
terpasang gelang-gelang besi, maka mengeluarkan suara
nyaring yang membisingkan telinga, berbareng orang-orang itu
pun melangkah maju satu tindak.
Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir, "Wah, celaka, mereka
akan berkelahi. Di ruangan pendopo yang terletak di bawah
tanah ini tentu susah untuk melarikan diri."
Waktu ia melirik kedua saudara-angkatnya, ia lihat Thio Sam
dan Li Si masih tetap tenang saja, yang satu tetap tersenyumsenyum
ramah dan yang lain tetap bermuka masam tanpa
memberi reaksi apa-apa. "Jika sudah begini, apa mau dikata lagi?" ujar si lelaki kekar
tadi dengan lesu. "Congthocu," kata Thio Sam dengan tertawa, "kedatangan
kami adalah untuk mengundang kau agar suka hadir pada
pesta "Lap-pat-cok" (bubur atau jenang perayaan tutup tahun)
nanti, maksud lain tidak ada, harap jangan curiga."
Lelaki kekar itu memang benar adalah congthocu atau
pemimpin umum Tiat-cha-hwe. Dia bersangsi sejenak,
kemudian ia telah menepuk meja sekali, kedua potong pening
tembaga yang terjepit rata di muka meja itu mendadak
mencelat ke atas, dengan cepat ia sambar kedua benda itu dan
dimasukkan ke dalam baju, lalu katanya, "Baiklah, orang she
Liong pasti akan hadir pada waktunya."
"Banyak terima kasih atas kerelaan Liong-thocu sehingga
perjalanan kami ini tidak tersia-sia," ujar Thio Sam sambil
mengacungkan jari jempolnya.
Sekonyong-konyong di antara orang-orang yang berkerumun
itu ada seorang telah berseru, "Walaupun Liong-congthocu
adalah pemimpin kami, tapi Tiat-cha-hwe adalah milik orang
banyak, maka tidaklah pantas kalau Congthocu sendiri saja
yang disuruh memikul beban ini bagi para saudara."
Begitu mendengar suara orang itu, segera Boh-thian mengenali
pembicara itu adalah Oh-toako yang berturut-turut membunuh
dua orang di atas kapal itu. Ia tahu orang she Oh sangat
ganas, maka diam-diam ia merasa kebat-kebit dan khawatir.
"Apa gunanya mengakibatkan korban yang lebih banyak," ujar
congthocu she Liong itu dengan tersenyum getir. "Keputusanku
ini sudah bulat, hendaklah Oh-hiante tidak perlu banyak bicara
lagi." Lalu ia angkat poci arak yang sudah tersedia untuk
menuangkan arak bagi Thio Sam, tapi tangannya ternyata agak
gemetar, arak yang tertuang sampai tercecer di atas meja.
Kata Thio Sam dengan tertawa, "Konon Liong-congthocu
adalah seorang kesatria yang gagah berani, membunuh orang
biasanya tidak berkedip, tapi hari ini mengapa menjadi agak
jeri?" Habis berkata segera Thio Sam mengangkat cawan arak dan
hendak minum. Tapi mendadak tangannya terasa kaku, cawan
arak jatuh ke lantai dan pecah berantakan, menyusul tubuh
Thio Sam lantas terkulai miring di atas kursi.
Keruan Boh-thian terkejut, cepat ia tanya, "He, kenapakah kau,
Toako?" Segera ia pun berpaling dan tanya Li Si, "Jiko, kenapakah...."
belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya Li Si juga terkulai
lemas dan perlahan-lahan memberosot ke bawah meja.
Bab 27. Pukulan Berbisa Ciok Boh-thian Mulai
Mengganas Tentu saja Boh-thian tambah kaget dan bingung.
Congthocu she Liong itu semula mengira kelakuan Thio Sam
dan Li Si itu hanya pura-pura dan main sandiwara saja, tapi
kemudian demi tampak muka Thio Sam merah membara,
napasnya terengah-engah, sebaliknya kedua mata Li Si
kelihatan mendelik, mukanya gelap menghitam, itulah tandatanda
terkena racun yang mahajahat. Keruan ia menjadi
girang, tapi ia masih tidak berani ambil tindakan sesuatu, ia
pura-pura berkata, "He, kenapakah" Apa barangkali arak kami
ini tidak cukup baik" Dan tuan ini mau minum tidak?"
Sambil berkata ia hendak menuangkan arak untuk Li Si.
Dalam pada itu tubuh Li Si sudah meringkuk seperti cacing di
bawah meja, tubuhnya tampak berkejang.
Sungguh kaget Ciok Boh-thian tak terkatakan, cepat ia
memayang bangun Li Si dan berkata, "Jiko, apakah... apakah
badanmu sakit?" Nyata Boh-thian tidak tahu bahwa tadi lantaran berlomba
minum arak yang mengandung racun jahat dengan dia, maka
sedikitnya Thio Sam dan Li Si masing-masing juga telah ikut
minum tujuh atau delapan ceguk.
Menurut ukuran kekuatan Thio Sam dan Li Si itu, bila berturutturut
mereka minum dua-tiga ceguk dan segera mengerahkan
tenaga dalam untuk melawan bekerjanya racun, maka hal ini
masih tidak menjadi halangan bagi mereka.
Namun tadi mereka telah minum melampaui takaran, waktu itu
mereka masih bertahan sekuatnya dan diam-diam merasa
senang karena Ciok Boh-thian telah kena dikelabui, di samping
itu juga merasa syukur karena lwekang mereka tampaknya
telah banyak tambah maju, buktinya setelah minum arak
berbisa sebanyak itu toh tidak merasakan perut sakit dan usus
terpuntir-puntir. Di luar perhitungan mereka bahwa tatkala itu mereka telah


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minum obat pemunah, obat pemunah itu gunanya
melambatkan bekerjanya racun arak itu, dengan demikian
tenaga dalam mereka yang kuat itu lambat laun akan dapat
membaur dan memunahkan arak obat yang sudah masuk di
dalam perut, dengan demikian tenaga dalam mereka akan
bertambah lebih kuat. Jadi obat pemunah itu sebenarnya hanya
mempunyai khasiat melambatkan bekerjanya racun dan tiada
khasiat memunahkan racun.
Tapi sesudah kedua orang melakukan perjalanan cepat, di luar
dugaan pada saat yang genting racun jahat di dalam arak itu
mendadak telah bekerja di dalam perut. Keruan seketika perut
Thio Sam dan Li Si kesakitan seperti disayat-sayat, sekujur
badan mereka kaku kejang. Mereka insaf keadaan sangat
berbahaya, maka cepat mereka mengerahkan tenaga murni di
dalam pusarnya untuk bertahan, sedapat mungkin sisa arak
berbisa di dalam perut itu dibungkus dan membiarkannya
cerna sedikit demi sedikit. Kalau tidak, bila racun jahat itu
bekerja secara mendadak, tentu jantung mereka akan putus
dan bisa mati seketika. Diam-diam mereka mengeluh, sungguh sial bahwa racun itu
justru bekerja pada saat mereka berada di sarang musuh,
andaikan bekerjanya racun di dalam perut itu sementara dapat
dilambatkan, tapi rasanya juga susah terhindar dari kekejaman
orang-orang Tiat-cha-hwe itu.
Di pihak lain, ketika mendadak melihat Thio Sam dan Li Si tibatiba
memberosot ke lantai dengan badan kejang, keringat
berbutir-butir memenuhi jidat mereka, tampaknya sangat
menderita, maka Liong-congthocu dan Oh-toako dari Tiat-chahwe
serta anak buah mereka menjadi terheran-heran dan
curiga pula. Walaupun menghadapi kesempatan yang bagus itu
untuk bertindak, namun terpengaruh oleh wibawa Thio Sam
dan Li Si yang memang sangat mereka takuti, maka sementara
itu mereka masih tidak berani bertindak apa-apa.
Dalam pada itu yang paling gelisah adalah Ciok Boh-thian, ia
coba tanya pula, "Toako, Jiko, apakah kalian mabuk atau
mendadak kalian sakit usus buntu?"
Namun Thio Sam dan Li Si tidak memberi jawaban, dengan
setengah berduduk setengah telentang cepat mereka
mengerahkan lwekang untuk melawan bekerjanya racun di
dalam perut. Selang tidak lama, mulailah dari ubun-ubun
kepala kedua orang mengeluarkan uap putih yang hampir tidak
kelihatan. Liong-congthocu itu cukup berpengalaman, demi melihat
keadaan itu, segera ia mengisiki bawahannya she Oh tadi, "Ohhiante,
kedua orang ini terang dalam keadaan payah, kalau
bukan cau-hwe-jip-mo (kelumpuhan karena sesatnya ilmu
yang dilatih) tentu adalah sakit keras mereka mendadak
kumat. Mereka sedang mengerahkan lwekang untuk bertahan,
kesempatan ini janganlah kita sia-siakan, hayolah beramairamai
maju bersama!" Orang she Oh itu menjadi girang. Tapi ia tidak berani
mendekat, hanya sebatang tombak lantas ditimpukkannya ke
arah Thio Sam. Sudah tentu Thio Sam tidak sanggup menangkis, terpaksa ia
berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan tubuhnya,
namun tidak urung tombak itu telah menancap di atas bahunya
sehingga darah bercucuran.
Kaget Ciok Boh-thian tak terhingga, cepat ia berseru, "He, kau
kenapa kau berani melukai toakoku?"
Sudah tentu orang-orang Tiat-cha-hwe tiada satu pun yang
takut padanya, pertama karena dia masih sangat muda, kedua
Boh-thian kelihatan bingung dan gugup, gerak-geriknya
tampaknya lucu. Apalagi Thio Sam yang biasanya sangat
ditakuti mereka itu sekarang dengan sangat mudah telah
dilukai, keruan mereka tambah berani dan bersemangat. Maka
tanpa menjawab lagi segera Ciok Boh-thian dipersen dengan
timpukan tiga batang tombak sekaligus oleh orang-orang Tiatchahwe. Dengan gugup Boh-thian sempat menggunakan lengan kiri
untuk menyengkelit sehingga dua batang tombak kena
ditangkis mencelat, berbareng tangan kanan digunakan untuk
menangkap tombak ketiga, menyusul tubuhnya menggeser,
cepat ia menjaga di depan tubuh Thio Sam dan Li Si yang tak
berkutik itu. Dalam keadaan panik, tiba-tiba lima batang tombak baja telah
menyambar pula. Cepat Boh-thian putar tombak rampasannya
itu, satu per satu tombak-tombak musuh itu kena dipukul
mencelat kembali sehingga dua anggota Tiat-cha-hwe berbalik
jatuh menjadi korban, yang seorang kepalanya pecah dan yang
lain perutnya tertembus. Liong-congthocu itu cukup cerdik, ia melihat tempat yang agak
sempit itu sukar menggunakan senjata, kalau pertarungan
demikian diteruskan tentu akan lebih banyak melukai
kawannya sendiri. Maka cepat ia berseru, "Semua orang
berhenti dahulu, biarkan aku sendiri yang membereskan anak
jadah ini!" Serentak anak buahnya lantas menyingkir. Ketika Liongcongthocu
itu membungkuk tubuh, kedua tangannya meraba
ke kain pembebat kakinya, ketika menegak kembali, tahu-tahu
kedua tangannya masing-masing sudah memegang sebilah
belati yang mengilap. "Hayo mundur, saksikanlah congthocu kita membereskan anak
jadah itu!" teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe sambil
menyingkir dan berdiri memepet dinding pendopo.
Mendadak Liong-congthocu itu melompat maju secepat kilat,
tahu-tahu ia sudah berada di samping Ciok Boh-thian, kedua
belatinya lantas menyambar dari atas dan bawah, masingmasing
mengincar muka dan pinggang pemuda itu.
Sama sekali Ciok Boh-thian tidak menduga datangnya
serangan lawan ternyata begini cepat, keruan ia menjadi
kelabakan, sambil berseru kaget lekas-lekas ia melangkah ke
samping, namun tidak urung pinggang dan lengannya juga
sudah terkena belati musuh. "Trang", berbareng tombak
rampasannya itu pun jatuh ke lantai.
Melihat kepandaian Ciok Boh-thian ternyata tidak tinggi, diamdiam
Liong-congthocu itu merasa lega dan mendapat hati.
Sambil membentak-bentak kembali ia menubruk maju pula
sebagai harimau menerkam mangsanya.
Karena sudah kepepet, dalam keadaan gugup Ciok Boh-thian
harus melawan sebisanya, tanpa pikir tangan kirinya lantas
menolak ke depan, ternyata yang digunakannya ini adalah
salah satu jurus yang telah diciptakannya sewaktu berada di
Ci-yan-to tempo hari. Di luar dugaan, tolakan tangannya itu
telah menimbulkan serangkum angin yang mahakuat dan
menyambar ke arah lawan. Seketika Liong-congthocu itu merasa napasnya menjadi sesak
dan cepat-cepat ia melompat pergi. Untunglah Ciok Boh-thian
belum matang betul atas jurus-jurus serangan ciptaannya
sendiri itu sehingga tidak terpikir olehnya untuk melakukan
serangan susulan lagi. Diam-diam Liong-congthocu terkejut, pikirnya, "Kiranya ilmu
silat bocah ini sesungguhnya tidak lemah. Daripada banyak
terjadi hal-hal yang tak terduga, apalagi kalau kedua orang itu
sembuh kembali, tentu aku bisa celaka. Paling perlu bocah ini
harus dimampuskan lebih dulu."
Maka cepat kedua belatinya berputar naik-turun dan kembali ia
menubruk maju ke arah Ciok Boh-thian.
Luka di lengan Boh-thian yang terkena belati tadi sangat
ringan, tapi pinggang yang tertusuk itu terasa sangat sakit.
Karena sekali balas serang Liong-congthocu itu kena dipaksa
mundur, diam-diam Boh-thian berpikir, "Eh, rupanya jurus
serangan yang kuciptakan dengan secara ngawur itu boleh juga
digunakan." Ketika dilihatnya Liong-congthocu menerjang maju pula dengan
bengis, cepat Boh-thian lantas mengegos ke samping,
berbareng tangannya membalik dan menghantam ke punggung
lawan. Sebagai pemimpin besar Tiat-cha-hwe, sudah tentu ilmu silat
Liong-congthocu itu bukanlah kaum keroco yang rendah. Ketika
didengarnya setiap pukulan Ciok Boh-thian itu selalu membawa
sambaran angin yang keras, tenaga dalamnya ternyata sangat
lihai, diam-diam ia menjadi jeri. Sekarang ia tidak berani ayal
dan memandang ringan lagi kepada Ciok Boh-thian, segera ia
mengeluarkan segenap kepandaian yang diandalkannya, ia
mulai menyerang ke tempat yang mematikan di tubuh pemuda
itu dengan jurus-jurus serangan yang paling ganas.
Semula Ciok Boh-thian agak repot juga melayani serangan
musuh yang menggencar itu, tapi lama-lama ia pun dapat
mengikutinya sehingga pertarungan kedua orang makin lama
makin sengit. Bermula juga anggota-anggota Tiat-cha-hwe masih bersoraksorak
memberi bantuan semangat kepada congthocu mereka,
tapi sampai akhirnya mereka menjadi melongo dan ikut
berdebar-debar menyaksikan pertempuran seru itu dan lupa
bersorak lagi. Dalam pada itu Thio Sam dan Li Si masih tetap menggeletak
tak berkutik, sambil mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan meluasnya racun di dalam perut mereka pun
mengikuti pertarungan sengit antara Ciok Boh-thian melawan
Liong-congthocu. Mereka sadar bahwa mati atau hidup mereka
hanya tergantung kepada hasil pertempuran itu.
Berulang-ulang mereka melihat banyak kesempatan bagus bagi
Ciok Boh-thian untuk mengalahkan lawannya, tapi
kesempatan-kesempatan itu telah disia-siakan semua oleh
pemuda itu. Sungguh mereka merasa sayang sekali dan gelisah
pula, bahkan mereka pun tidak berani terlalu memencarkan
perhatian sehingga mengganggu tenaga dalam sendiri yang
sedang dikerahkan untuk melawan racun itu.
Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama pula,
mendadak Ciok Boh-thian melancarkan sebuah pukulan. Baru
saja Liong-congthocu itu hendak menangkis, tiba-tiba ia
mencium dari angin pukulan lawan itu terbawa semacam bau
harum yang memabukkan, seketika kepalanya menjadi pusing,
orangnya lantas roboh dan tak sadarkan diri lagi. Tapi air
mukanya memperlihatkan tersenyum-senyum yang aneh.
Ciok Boh-thian berbalik terperanjat atas kejadian itu, cepat ia
melompat mundur dan berseru, "He, kenapa" Apa kau
terpeleset jatuh" Boleh lekas bangun!"
Dari samping orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah
berlari mendekati sang congthocu, tertampak muka pemimpin
mereka itu berwarna matang biru, itulah pertanda kena racun
yang mahajahat. Waktu diperiksa pula napasnya, ternyata
orangnya sudah mati. Saking kaget dan gusarnya Oh-toako itu lantas berteriak
dengan suara parau, "An... anak jadah, kau... kau berani main
licik dengan memakai racun, biarlah kita meng... mengadu jiwa
saja dengan dia.... Hayolah kawan-kawan, maju semua untuk
menuntut balas, Cong... Congthocu telah dibinasakan oleh
anak bangsat ini!" Orang-orang Tiat-cha-hwe serentak berteriak-teriak, mereka
angkat tombak terus menyerang serabutan ke arah Ciok Bohthian.
Dengan mati-matian Ciok Boh-thian tetap mengadang di depan
Thio Sam dan Li Si dan tidak berani menyingkir pergi, ia
khawatir kalau sedikit lena tentu kedua saudara angkat akan
dibunuh oleh tombak-tombak baja yang tak terhitung
banyaknya itu. Ketika sudah berbahaya, segera Boh-thian merebut sebatang
tombak musuh, sekuatnya ia patahkan tombak itu sehingga
menjadi pendek, lalu dia mainkan Kim-oh-to-hoat dengan
kencang untuk menangkis dan menghalau serangan musuh.
Karena tenaga dalamnya memang sangat kuat dan tersalur ke
batang tombaknya yang pendek itu, maka susahlah bagi
musuh yang ingin menahannya, dalam sekejap saja belasan
senjata lawan sudah tersampuk jatuh atau terpental.
Ada seorang anggota Tiat-cha-hwe yang berdiri paling depan,
ketika tombaknya terbentur dan mencelat, segera ia menubruk
maju, kedua tangannya terus mencakar ke muka Ciok Bohthian.
Melihat lawan itu menerjang dengan kalap, cepat tangan
kirinya menyapu ke depan, maka terdengarlah suara "prak"
yang keras, dengan tepat kesepuluh jari musuh kena ditampar
sehingga sembilan di antara sepuluh jari itu patah semua,
menyusul orang itu lantas terkulai ke lantai dan tak berkutik
lagi. Dalam pertarungan sengit itu, dengan sendirinya tiada orang
sempat memerhatikan mati atau hidupnya anggota Tiat-chahwe
itu. Segera ada tujuh atau delapan kawannya menerjang
maju lagi, ada yang bertombak dan ada yang bertangan
kosong, dengan nekat mereka mengerubut Ciok Boh-thian.
Boh-thian sendiri tidak berani mundur barang selangkah pun,
ia khawatir akan memberi lowongan kepada musuh sehingga
kedua kakak-angkatnya mendapat cedera. Maka bila dilihatnya
ada musuh mendesak maju, kontan tangannya lantas
menampar atau menabok. Dan setiap kali ia menyerang, aneh
juga, entah sebab apa pihak lawan pasti roboh terjungkal,
saktinya tidak alang kepalang.
Begitulah, maka berturut-turut enam atau tujuh orang telah
dirobohkan oleh Ciok Boh-thian. Tentu saja pihak lawan
menjadi geger, banyak di antaranya berteriak-teriak, "Awas,
pukulan anak keparat ini berbisa dan sangat lihai, kawankawan
harus hati-hati!" Lalu ada orang berseru pula, "Ya, Ong-samko dan Sun-loliok
juga telah binasa dipukul anak bangsat itu, hati-hatilah ka...
kawan...." belum selesai ucapan orang ini, "bluk", tahu-tahu ia
sendiri pun roboh terkapar, tombaknya yang antap tepat
memukul mukanya sendiri. Rupanya orang ini belum lagi terkena pukulan berbisa dari Ciok
Boh-thian, tapi dia toh mati juga keracunan.
Di ruangan pendopo itu masih banyak anggota-anggota Tiatchahwe yang belum sempat ikut bertempur, mereka menjadi
saling pandang dengan penuh ketakutan, tanpa merasa mereka
mundur ke belakang selangkah demi selangkah. Menyusul
terdengarlah suara gedubrakan dan gemerencing yang nyaring
ramai, ternyata anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu satu per
satu telah roboh terjungkal dengan sendirinya, ada yang
sempat memutar tubuh dan hendak melarikan diri, tapi belum
seberapa langkah, tidak urung juga roboh terkapar dengan
tombak mereka. Hanya dalam sekejap saja ratusan laki-laki tegap yang berada
di ruangan pendopo itu sudah bergelimpangan memenuhi
pendopo, tinggal empat orang saja yang berkepandaian paling


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi, sedapat mungkin mereka menutupi mulut dan hidung
sendiri, lalu mencari jalan buat berlari keluar. Namun mereka
hanya mampu mencapai pintu ruang pendopo saja, lalu
keempat orang itu jatuh terjungkal semua dan binasa.
Menyaksikan keadaan demikian, bukannya Boh-thian bergirang
atas kemenangannya, sebaliknya ia menjadi ternganga takut.
Jauh lebih takut daripada waktu dia kesasar ke atas kapal yang
penuh mayat di Ci-yan-to tempo hari. Maklum, waktu di atas
kapal itu, yang dilihatnya adalah mayat anggota-anggota Huihipang yang sudah mati lebih dulu, tapi sekarang anggotaanggota
Tiat-cha-hwe ini satu per satu menggeletak mati di
depan matanya secara aneh, entah kena sihir atau disambar
iblis nyawa mereka itu. Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada seruan orang-orang Tiatchahwe tadi yang mengatakan pukulannya yang berbisa itu
terlalu lihai, ia menjadi bingung sebab selamanya dirinya toh
tidak pernah berlatih ilmu pukulan yang berbisa apa segala.
Ketika tanpa sengaja ia coba mengamat-amati telapak
tangannya sendiri, tiba-tiba terlihat di tengah-tengah telapak
tangan itu terdapat toh merah sebesar gobang, di pinggir toh
merah itu banyak terdapat garis-garis biru yang aneh. Dengan
terheran-heran Boh-thian mengamat-amati sampai sekian
lamanya, akhirnya ia merasa jijik sendiri, kedua tangan sendiri
seakan-akan telah berubah sebagai benda-benda yang
memuakkan, hidungnya mengendus pula bau yang aneh,
seperti bau wangi dan seperti bau busuk yang susah dilukiskan.
Boh-thian tidak ingin melihat tangannya sendiri lagi, ia coba
berpaling memandang Thio Sam dan Li Si, keadaan kedua
orang itu tampaknya baik-baik saja, ubun-ubun kepala mereka
makin banyak mengepulkan uap putih, di bahu Thio Sam masih
tetap menancap tombak yang ditimpukkan orang Tiat-cha-hwe
tadi. Boh-thian pikir tombak yang menancap di bahu sang toako itu
harus dicabut keluar lebih dahulu. Maka ia lantas mendekati
Thio Sam, ia pegang gagang tombak dan perlahan-lahan
dicabut ke luar. Darah segar lantas memuncrat keluar dari
bahu Thio Sam. Cepat Boh-thian menahan luka itu dan
menyobek ujung bajunya dan digunakan membalut luka sang
toako. Terdengar Thio Sam telah menarik napas panjang, lalu dengan
suara lemah ia berkata, "Deng... dengarkanlah dan... dan
kerjakanlah... menurut... petunjukku...."
Kiranya keadaan Thio Sam dan Li Si sama payahnya terkena
racun araknya sendiri, tapi sesudah pundak Thio Sam
mengeluarkan darah, hal ini malah membikin bekerjanya racun
dihambat untuk sementara. Ia insaf kesempatan yang cuma
sedetik itu adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
diri, maka dengan sepenuh tenaga ia coba bicara kepada Ciok
Boh-thian. "Ya, baiklah, pasti akan kukerjakan menurut petunjuk Toako,"
demikian Boh-thian menjawab.
"Gun... gunakanlah... tangan kirimu un... untuk menahan lengtayhiat di.... di punggungku...." kata Thio Sam dengan
terputus-putus dan sekata demi sekata, dan sesudah bernapas,
lalu ia menyambung pula. Begitulah, sesudah banyak membuang tenaga dan dengan
susah payah akhirnya barulah Thio Sam selesai memberi
petunjuk kepada Ciok Boh-thian, caranya mengerahkan
lwekang untuk membantu mendesak keluar kadar racun yang
mengeram di dalam tubuhnya. Ketika habis bicara, saking
letihnya jidatnya sampai penuh butiran keringat yang besarbesar,
wajahnya juga merah membara dan napas terengahengah.
Boh-thian tidak berani ayal lagi, segera ia kerjakan menurut
petunjuk sang toako. Ia membuka baju Thio Sam dan
menggunakan tangan kiri untuk menahan di leng-tay-hiat di
bagian punggung, sedangkan tangan kanan menahan di tantionghiat, tenaga dalam dikerahkan masuk melalui tangan kiri
untuk mendesak kadar racun, sebaliknya tangan kanan
mengerahkan tenaga untuk mengisap keluar.
Benar juga, tidak antara lama terasalah ada suatu arus hawa
yang hangat dan halus telah menyusup masuk melalui tangan
kanannya. Yang terpikir oleh Ciok Boh-thian hanya menolong
jiwa Thio Sam saja, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa
lantaran kerjanya itu kembali badannya sendiri telah
kemasukan kadar racun yang tidak sedikit, yaitu racun yang
asalnya mengeram di tubuh Thio Sam.
Selagi Boh-thian asyik melakukan tugasnya itu, tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang banyak. Dari luar telah berlari
masuk belasan orang yang semuanya bersenjata tombak.
Terang mereka adalah anggota Tiat-cha-hwe pula. Begitu
mereka memasuki ruangan dengan sendirinya mereka lantas
kaget melihat pemimpin dan kawan-kawan mereka sudah
menggeletak tak bernyawa memenuhi pendopo itu.
Kiranya orang-orang Tiat-cha-hwe ini bertugas menjaga di luar,
karena sudah sekian lamanya tiada terdengar sesuatu suara
atau perintah dari sang congthocu, maka sebagian di antara
mereka lantas masuk ke situ untuk melihat apa yang sudah
terjadi. Sudah tentu mereka tidak menduga bahwa kawan-kawan
mereka sudah mati semua, saking kagetnya mereka melihat
pula Ciok Boh-thian, Thio Sam dan Li Si masih duduk di atas
lantai situ dan terang juga terluka parah, maka sambil
berteriak-teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu serentak
menyerbu maju sambil mengacungkan tombak mereka.
Mestinya Ciok Boh-thian hendak berbangkit untuk menghalau
musuh. Tak tersangka belasan orang Tiat-cha-hwe itu baru
menerjang maju kira-kira beberapa meter jauhnya, mendadak
tubuh orang-orang itu lantas sempoyongan seperti orang
mabuk, menyusul satu per satu lantas roboh terkulai, seperti
nasib kawan-kawan mereka yang lain, belasan orang itu pun
mati tanpa bersuara. Boh-thian sendiri tidak alang kepalang kagetnya, jantungnya
sampai berdebar-debar, ia berteriak dengan gemetar, "Toako...
Toako, apakah... apakah di ruangan ini ada setan" Le... lekas
kita pergi saja dari sini!"
Namun Thio Sam menjawabnya dengan menggeleng. Saat itu
sebagian racun di tubuhnya sudah terdesak keluar, sakit
perutnya sudah tidak sehebat tadi, maka dapatlah ia bicara
dengan lebih lancar, "Boleh kau menggunakan cara barusan ini
un... untuk menolong Jiko pula."
Boh-thian mengiakan. Segera menurutkan cara ajaran Thio
Sam tadi untuk mengisap racun Li Si. Sekarang yang terasa
masuk di telapak tangannya adalah hawa halus yang dingin
segar. Kira-kira sepertanak nasi kemudian, kadar racun di dalam
tubuh Li Si sudah banyak berkurang, maka bergilir Thio Sam
yang ditolong. Begitulah secara bergilir, berulang-ulang Boh-thian telah
mengisap tiga kali pada tiap-tiap orang itu. Walaupun sisa
racun belum lenyap seluruhnya, tapi sekarang sudah tidak
berhalangan lagi bagi Thio Sam dan Li Si.
Melihat mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka, teringat
kepada keadaan bahaya tadi, mau tak mau Thio Sam dan Li Si
merinding sendiri dan bersyukur pula atas pertolongan Ciok
Boh-thian. Melihat air muka Ciok Boh-thian walaupun merasa
takut-takut, tapi gerak-geriknya sangat tangkas, sedikit pun
tiada tanda-tanda keracunan, maka diam-diam Thio Sam dan Li
Si tidak habis mengerti, mereka merasa bocah ini mungkin
memiliki kekebalan pembawaan atau mungkin pernah makan
obat mukjizat apa-apa sehingga tidak mempan keracunan.
Hendaklah maklum bahwa arak berbisa dari kedua houlo itu
sebagian besar telah diminum Ciok Boh-thian, yang diminum
Thio Sam dan Li Si hanya sebagian kecil saja, tapi sekarang
boleh dikata hampir seluruhnya kadar racun dari arak kedua
houlo itu masuk di dalam tubuh Ciok Boh-thian. Sebabnya
orang-orang Tiat-cha-hwe itu seketika binasa bila kesampuk
oleh angin pukulannya terang adalah karena tersebarnya racun
mahajahat melalui telapak tangannya. Bahkan akhirnya seluruh
ruang pendopo itu pun penuh dengan hawa berbisa sehingga
orang yang masuk ke situ akan mati seketika.
"Baiklah, Jite dan Samte, marilah kita pergi dari sini," akhirnya
Thio Sam berkata dan segera mendahului berjalan keluar
dengan diikuti oleh Li Si dan Boh-thian.
Sesudah keluar dari lorong di bawah tanah, tertampaklah di
atas berdiri beberapa puluh orang yang berkerumun di sekitar
lubang masuk itu, semuanya bersenjata tombak dan sedang
mengintai-intai. Waktu melihat Thio Sam bertiga muncul, serentak mereka
merubung maju. Seorang di antaranya lantas menegur,
"Congthocu di mana" Mengapa belum lagi keluar?"
"Congthocu kalian berada di dalam," sahut Thio Sam dengan
tertawa. "Jika kau ingin bertemu bolehlah masuk saja."
"Mengapa kalian keluar lebih dulu?" seorang yang berada di
barisan depan ikut tanya.
"Hal ini aku sendiri pun tidak mengerti, maka lebih baik kalian
boleh masuk ke dalam dan tanya saja kepada Congthocu,"
sahut Thio Sam dengan tertawa. Berbareng kedua tangannya
lantas menjulur ke depan, kontan dua orang kena
dicengkeramnya terus dilemparkan ke dalam lorong di bawah
tanah. Perawakan kedua orang itu sangat kekar, ilmu silat mereka pun
tampaknya tidak lemah, siapa duga hanya sekali dicengkeram
saja mereka lantas tak bisa berkutik, mirip bangkai saja
mereka telah terlempar ke dalam lorong.
Keruan kawan-kawannya menjerit kaget, berbareng mereka
angkat tombak terus menyerang. Sama sekali Thio Sam tidak
menghindar atau berkelit, sebaliknya ia mendesak maju dan
kedua tangannya menyambar ke depan, kontan dua orang
kena dicengkeram lagi terus dilemparkan pula ke belakang.
Ternyata serangan Thio Sam itu teramat jitu, di mana
tangannya sampai tentu sasarannya kena dicengkeramnya.
Walaupun orang-orang Tiat-cha-hwe itu juga menyerang, tapi
tombak mereka selalu menusuk tempat kosong atau cepatcepat
ditarik kembali karena khawatir mengenai kawannya
sendiri, maklum, mereka berkerumun di tempat yang sempit.
Ciok Boh-thian hanya menonton saja di samping, dilihatnya
Thio Sam seenaknya saja mencengkeram dan melemparkan
musuh sehingga mirip elang menyambar anak ayam, tak peduli
cara bagaimana musuh berusaha melawannya atau ingin lari,
tapi selalu sukar meloloskan diri dari cengkeraman dan
lemparannya itu. Makin melihat Boh-thian makin ternganga heran, sungguhsungguh
tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ternyata ada
kepandaian setinggi ini. Kalau dibandingkan sang toako angkat
ini, maka jago-jago yang pernah dikenalnya seperti Pek-suhu,
Ciok-cengcu, Ting Put-sam dan Ting Put-si, Su-popo, dan lainlain,
apalagi si Ting-ting Tong-tong segala, boleh dikata tiada
artinya lagi. Di sebelah lain Li Si ternyata tidak perlu maju membantu, ia
hanya berpangku tangan mengikuti kejadian itu.
Sesudah belasan orang dicengkeram dan dilemparkan ke dalam
lorong oleh Thio Sam, segera Thio Sam memutar ke belakang
untuk mengincar orang-orang yang berdiri paling jauh sehingga
lambat laun orang-orang Tiat-cha-hwe itu didesak mendekati
lubang lorong. Sisa orang-orang Tiat-cha-hwe itu kini tinggal 30-an saja.
Mereka menjadi ketakutan demi melihat ilmu silat Thio Sam
yang luar biasa itu, segera ada orang mendahului berteriak,
"Lari!" Cepat orang itu melarikan diri ke dalam lorong di bawah tanah.
Tanpa pikir kawan-kawannya lantas ikut masuk juga.
"He, jangan masuk ke sama, di dalam sana sangat berbahaya!"
seru Boh-thian. Tapi siapa yang mau percaya dan menurut padanya" Bahkan
orang-orang itu berebut mendahului menyelamatkan diri ke
dalam lorong yang sudah penuh hawa berbisa itu. Dan sudah
tentu, tiada lama berselang orang-orang itu pun berturut-turut
binasa semua. Sungguh Boh-thian tidak habis mengerti, ia merasa bingung
sebab apakah anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu bisa
mendadak mati satu per satu dan mengapa sang toako dan jiko
itu juga mendadak sakit perut dan keracunan" Pula untuk apa
sang toako sengaja menggiring orang-orang itu masuk ke
lorong di bawah tanah"
Begitulah ia menjadi ragu-ragu dan entah cara bagaimana
harus ditanyakan kepada kakak-kakak angkat itu. Sejenak
kemudian, ia coba minta keterangan kepada Thio Sam,
"Toako...." Tapi mendadak Thio Sam memotong, "He, siapakah yang
datang itu?" Ketika Boh-thian berpaling, ia tidak melihat bayangan seorang
pun, segera ia tanya, "Siapakah yang datang" Di mana
orangnya?" Namun tak terdengar Thio Sam menyahut. Waktu Boh-thian
berpaling kembali, ia menjadi terkejut. Ternyata Thio Sam dan
Li Si sudah menghilang. "Toako! Jiko! Ke manakah kalian?" seru Boh-thian. Berulangulang
ia berteriak, namun tiada jawaban apa-apa.
Kampung nelayan itu banyak terdapat rumah-rumah gubuk,
berturut-turut ia memeriksa beberapa rumah gubuk itu, tapi
semuanya kosong melompong tiada bayangan seorang pun.
Tatkala itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur, seluruh
kampung nelayan itu terang benderang, tapi keadaan sunyi
senyap dan tinggal dia seorang diri.
Teringat kematian orang-orang Tiat-cha-hwe yang mengerikan
di lorong itu, Boh-thian menjadi merinding takut. Mendadak ia
menjerit terus berlari terbirit-birit keluar kampung.
Sesudah belasan li berlari barulah Boh-thian melambatkan
langkahnya. Waktu ia periksa kembali telapak tangannya
sendiri, ia melihat toh merah yang timbul di tengah telapak
tangan itu sekarang sudah hilang sebagian besar dan tidak
sejijik seperti tadinya, maka legalah hatinya.
Kiranya timbulnya toh merah di telapak tangan itu adalah
tergantung keadaan, karena dia sudah tidak mengerahkan
tenaga, maka racun yang terdesak itu lantas mengalir kembali
ke dalam tubuh melalui urat nadinya. Dan begitulah
selanjutnya karena dia berlatih tiap hari, maka racun jahat itu
pun perlahan-lahan punah sendiri dan lwekangnya juga ikut
bertambah hebat. Sesudah 7x7=49 hari nanti barulah seluruh
kadar racun di dalam tubuh itu dapat punah seluruhnya.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah, tanpa membedakan arah, Ciok Boh-thian terus
berjalan mengikuti langkahnya. Sesudah setengah harian,
kembali ia telah sampai di tepi Tiangkang (Sungai Panjang).
Segera ia menyusur jalan di tepi sungai itu dan menuju ke hilir
sungai. Sewaktu tengah hari sampailah di suatu kota kecil, Boh-thian
membeli bakmi sekadar isi perut, lalu melanjutkan perjalanan
ke timur. Karena dia tiada mempunyai sesuatu kepentingan, maka ia
terserah ke mana dirinya akan terbawa oleh kakinya. Waktu
petang, tiba-tiba dilihatnya jauh di depan di antara hutan sana
ada dinding rumah, sesudah dekat, kiranya adalah sebuah
kelenteng yang megah. Di depan kelenteng itu terbentang
sebuah jalanan yang lebar dan rata terbuat dari papan-papan
batu. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak berjalan keluar
dua tojin (imam agama To atau Tau) berkopiah kuning dan
membawa pedang. Waktu melihat Ciok Boh-thian, dengan langkah cepat kedua
tojin setengah umur itu lantas mendekatinya. Seorang imam
itu lantas menegur, "Kau mau apa?"
Rupanya dia melihat pakaian Boh-thian kotor dan kumal,
usianya masih muda, kelakuannya juga ketolol-tololan, maka
nada teguran imam itu menjadi agak kasar.
Namun Boh-thian tidak ambil pusing, ia menjawab dengan
tertawa, "Ah, tidak mau apa-apa, aku hanya berjalan-jalan
saja. Eh, apakah di sini adalah kelenteng hwesio (padri agama
Buddha)" Apakah bisa memberi sedikit makanan padaku?"
"Anak goblok sembarangan omong," semprot tojin itu dengan
gusar. "Kau sendiri lihat apakah aku ini seorang hwesio" Hayo,
lekas enyah, lekas! Kalau berani main gila lagi ke Siang-jingKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
koan sini, awas kedua kaki anjingmu!"
Berbareng tojin yang lain tampak meraba-raba pedangnya
dengan muka bengis, lagaknya seperti segera akan lolos
senjata untuk membunuh orang.
Namun dengan tertawa Boh-thian hanya berkata, "O, jika
bukan kelenteng hwesio, maka tentulah kelenteng tosu.
Soalnya perutku sudah lapar, maka ingin minta sedikit
makanan pada kalian, toh aku tidak ingin berkelahi. Ya, tanpa
sebab buat apa mesti membunuh dua orang tojin?"
Sambil berkata ia pun terus berjalan pergi.
"Kau bilang apa?" damprat imam yang muda tadi dengan
gusar, berbareng ia lantas memburu maju.
Apa yang dikatakan Ciok Boh-thian itu sesungguhnya tidaklah
salah. Ketika di ruang bawah tanah di tempat sembunyi orangorang
Tiat-cha-hwe itu, sekali tangannya bergerak tentu jatuh
seorang korban, hal ini membuatnya sangat menyesal, maka ia
benar-benar tidak ingin berkelahi lagi dengan orang. Sekarang
dilihatnya imam muda itu memburu dan hendak melabraknya,
ia menjadi khawatir jangan-jangan di luar tahunya kembali
imam itu dibunuhnya pula. Maka tanpa pikir lagi ia terus
angkat langkah seribu, dengan cepat ia lari masuk ke dalam
hutan. Maka terdengarlah kedua tojin itu tertawa terbahak-bahak.
Imam yang setengah umur tadi berkata, "Hahaha! Rupanya
seorang bocah dogol, hanya sedikit digertak saja sudah lari
terbirit-birit mencawat ekor!"
Boh-thian sendiri merasa lega melihat kedua imam itu tidak
mengejarnya. Tapi hari sebentar lagi akan gelap, untuk
mencari sedikit makanan atau buah-buahan sekadar tangsel
perut juga susah, sebab hutan itu melulu pohon cemara dan
sebagainya yang tak berbuah.
Ia coba berlari ke atas sebuah bukit kecil dan memandang
sekitarnya, ia lihat dari belasan rumah. Cerobong rumah bagian
belakang tampak mengepulkan asap, hal ini menandakan
penghuninya sedang menanak nasi dan memasak. Kecuali
kompleks bangunan kelenteng itu tiada terdapat bangunan lain
di sekitar situ. Melihat cerobong yang mengepulkan asap, Ciok Boh-thian
menjadi terbayang-bayang kepada masakan-masakan enak,
maka perutnya yang lapar itu tambah berkeroncongan. Ia pikir,
"Para tojin itu tampaknya sangat garang, baru saja bicara
sudah ajak berkelahi. Biarlah aku mengintip ke rumah belakang
sana, bila ada makanan, segera aku mencurinya dan lari."
Begitulah ia lantas memutar ke belakang kelenteng, ditujunya
rumah yang bercerobong asap tadi, lalu ia menggeremet maju
mepet tembok. Tiba-tiba dilihatnya pintu belakang rumah itu
setengah tertutup dan setengah terbuka, keruan ia menjadi
girang. Ia melongok ke dalam dan melongok ke belakang
seperti maling khawatir kepergok, lalu menyelinap masuk ke
dalam. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah masuk pintu belakang
itu, maka Boh-thian telah berada di suatu pelataran dalam. Di
sebelah sana adalah serambi panjang dengan kamar dapur
yang besar, terdengar suara wajan gemerencang terketok dan
suara minyak mengosos disertai bau sedap yang teruar jauh ke
luar dapur. Keruan semua itu makin merangsang selera Ciok Boh-thian
yang memang sudah kelaparan itu, hampir saja ia mengiler,
cepat ia menelan ludah, biji lehernya sampai naik-turun.
Ia dengar di dalam dapur itu banyak orang, ia pikir kalau
menuju langsung ke sana tentu akan kepergok. Tiba-tiba ia
mendapat akal, dengan hati-hati ia mendekati pintu dapur, ia
sembunyi di pinggir serambi yang gelap. Pikirnya, "Ingin
kulihat masakan yang selesai diolah itu nanti dibawa ke mana"
Jika di dalam ruang makan sana toh belum ada orang, maka
aku akan mencuri sepotong daging dan semangkuk nasi, lalu
akan kubawa lari, dengan demikian aku tak perlu berkelahi
atau membunuh orang lagi."
Benar juga, tidak antara lama, terlihatlah tiga orang keluar dari
kamar dapur itu. Semuanya adalah tosu kecil. Seorang
membawa tanglung (lampu berkerudung) berjalan di depan, di
belakangnya dua orang masing-masing membawa nampan
dengan masakan-masakan yang menyiarkan bau sedap, terang
masakan-masakan itu adalah sebangsa Ang-sio-bak, ayam
goreng dan sebagainya. Keruan biji leher Ciok Boh-thian naik-turun lagi, berulang-ulang
ia telan ludah sendiri pula. Dengan berjinjit-jinjit ia lantas
menguntit di belakang tosu-tosu kecil itu.
Sesudah menyusur serambi dan melalui sebuah gang, akhirnya
ketiga tosu cilik itu masuk ke sebuah ruangan. Masakanmasakan
yang mereka bawa itu ditaruh di atas meja. Dua tosu
kecil di antaranya lantas kembali dulu ke dapur, tertinggal
seorang tosu kecil yang masih mengatur meja-kursi, sumpit
dan cawan dan lain-lain yang perlu dalam perjamuan.
Dengan sembunyi di balik jendela ruangan yang panjang itu
dengan mata tak berkedip Ciok Boh-thian terus mengincar
makanan-makanan yang sudah siap di atas meja itu. Sungguh
kalau dia tidak khawatir memukul mati tosu cilik itu, tentu
sejak tadi dia sudah menerjang masuk dan menggasak
makanan lezat itu. Tunggu punya tunggu, syukurlah akhirnya tosu kecil itu
meninggalkan ruang makan itu dan menuju ke ruangan sana.
Tanpa ayal lagi Ciok Boh-thian lantas menyerobot ke dalam,
lebih dahulu ia comot sepotong "Ang-sio-gu-bak" (daging sapi
masak saus) dan dijejalkan ke dalam mulut, saking keburunya
sampai ia keselak. Sambil mengunyah, kedua tangannya lantas
menyambar pula seekor ayam kuah dan bermaksud membetot
paha ayam, "Pek-sak" (ayam masak kuah bening) itu.
Tapi baru saja Ang-sio-gu-bak tadi masuk ke perutnya, tibatiba
terdengar di luar jendela sana ada suara orang bicara,
"Sute, Sumoay, silakan sebelah sini!"
Lalu terdengar suara tindakan beberapa orang menuju ke
ruangan makan itu. "Wah, celaka! Bisa kepergok aku ini!" demikian Boh-thian
mengeluh. Saat itu paha ayam "Pek-sak" tadi belum lagi kena
dibesetnya, terpaksa ia angkat ayam itu seekor penuh terus
hendak berlari ke ruangan belakang, tapi mendadak dari
belakang juga ada suara orang yang lagi mendatangi.
Ia coba periksa sekitarnya, ternyata ruangan itu cukup luas
dan tiada tempat sembunyi yang baik. Diam-diam Boh-thian
mengeluh dan gelisah, "Wah, jangan-jangan aku terpaksa
harus berkelahi dan membunuh lagi."
Bab 28. Thian-hi Tojin Ketua Siang-jing-koan
Dalam pada itu beberapa orang itu sudah berada di depan
deretan jendela panjang, sejenak lagi tentu akan memasuki
ruang makan. Pada saat yang sudah sangat mendesak itu, sekilas Boh-thian
melihat di atas ruangan itu tergantung melintang sebuah papan
pigura besar yang bertuliskan tiga huruf emas. Karena sudah
kepepet, tanpa pikir lagi Boh-thian lantas meloncat ke atas
belandar, lalu menyusup ke belakang papan pigura itu. Ia
setengah merebah dan rasanya cukup baginya untuk
sembunyi. Apa yang terjadi itu hanya berlangsung dalam beberapa detik
saja. Di sini Ciok Boh-thian baru saja sembunyi di belakang
papan pigura, di sebelah sana orang-orang tadi pun sudah
mendorong pintu dan melangkah masuk. Terdengar seorang di
antaranya sedang berkata, "Kita adalah saudara seperguruan,
mengapa Suko seperti kedatangan tamu agung saja dan
mengadakan perjamuan apa segala."
Boh-thian merasa suara orang itu sudah dikenalnya. Ia coba
mengintip ke bawah melalui sela-sela pigura itu, ia lihat ada
belasan tojin mengiringi dua orang tamu pria dan wanita.
Kiranya kedua orang tamu ini adalah Ciok-cengcu suami-istri,
yaitu Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng.
Terhadap Ciok Jing berdua sampai sekarang Ciok Boh-thian
masih sangat berterima kasih, lebih-lebih Nyonya Ciok yang
dahulu pernah memberi sedekah kepadanya, pula belum lama
berselang telah mengajarkan ilmu pedang padanya. Maka
setelah bertemu sekarang, seketika timbul perasaan hangat di
lubuk hati pemuda itu. Sementara itu seorang tosu tua yang sudah ubanan terdengar
membuka suara, "Sute dan Sumoay datang dari jauh, sungguh
suhengmu ini merasa girang tak terhingga, hanya secawan
arak bening ini saja masakah dapat dikatakan sebagai
Pendekar Panji Sakti 9 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah 5

Cari Blog Ini