Ceritasilat Novel Online

Mestika Burung Hong Kemala 2

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Akan tetapi, Kui Bi sudah siap siaga. Si bopeng itu hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja, hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan maka dengan mudah Kui Bi yang marah dapat menghindarkan diri dari tubrukannya. Dengan lincah Kui Bi mengelak miring lalu kakinya melangkah maju sehingga ia tiba di sisi kiri agak ke belakang tubuh lawan dan ketika tubuh tinggi besar itu luput tubrukannya dan mendorong ke depan, secepat kilat kak Kui Bi menendang ke belakang lutut kaki kanan si bopeng yang menopang tubuhnya.
"Dukk!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terdorong dan tersungkur ke depan, hidungnya mencium tanah.
"Desss...., Brukkk.......!
Untung semalam turun hujan dan tanah di pekarangan itu basah dan tidak keras sehingga ketika tubuhnya jatuh tersungkur mencium tanah, bukit hidungnya tidak, remuk melainkan hanya kotor berlepotan tanah basah saja.
Akan tetapi, melihat segebrakan saja di bopeng roboh oleh gadis kecil mungil itu, empat orang perampok lainnya terkejut bukan main dan hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Terutama sekali si bopeng sendiri, di bukan saja terkejut dan heran, akan tetapi lebih dari itu dia marah sekali Dia merangkak bangkit dan mukanya yang bopeng itu kini menjadi semakin buru karena berlepotan tanah dan warnanya menghitam karena darah sudah naik ke kepala dan mukanya.
Si muka kuning yang menjadi pemimpin mereka, dan yang tentu saja paling tangguh di antara mereka, kini melangkah maju. "Eh, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian, nona manis" Bagus, kami menjadi semakin kagum dan akan bangga kalau kalian ikut dengan kami !"
"Enci Lan, kauhadapi anjing muka kuning ini, aku yang merampas kembali buntalan kita," kata Kui Bi dan Kui Lan mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi, Kui Lan yang pendiam akan tetapi yang juga sudah marah sekali itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya dengan cepat seperti gerakan seekor burung lewat, sudah menerjang ke depan, jari-jari tangannya meluncur dan menyerang si muka kuning dengan totokan.
Si muka kuning memang tidak seperti anak buahnya yang hanya mengandalkan tenaga kasar. Ternyata dia pandai ilmu silat dan melihat gadis cantik dan lembut itu menyerang dengan totokan yang mendatangkan angin bersiutan, dia tidak berani memandang ringan dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Betapapun, dia tidak gentar dan tidak percaya bahwa gadis cantik lembut itu akan mampu menadinginya, maka begitu serangan pertama Kui Lan luput, dia sudah menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Kui Lan sebagai gertakan, dan yang benar-benar menyerang adalah tangan kanan yang mencengkeram ke arah ping gang! Gerakannya kasar dan bertenaga, seperti gerakan serangan seekor biruang saja. Namun, dengan mudah dan cepat Kui Lan berkelebat dan tubuhnya sudah lenyap dan berada di sebelah kiri lawan, dan serangan itupun hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi, si muka kuning sudah cepat memutar tubuh kekiri dan kini dia menyerang lagi, bukan hanya serangan untuk meringkus gadis cantik itu, melainkan serangan pukulan dengan kedua tangan secara bertubi. Kembali Kui Lan dapat mengelak dengan amat mudahnya. Gadis yang pendiam dan lembut ini telah memiliki ilmu silat yang lumayan tingkatnya, memiliki kecepatan gerakan dan telah menghimpun tenaga sakti, akan tetapi selama ini, ia tidak pernah berkelahi!
-oo0dw0oo- Jilid 3 Biarpun ia sudah mempelajari banyak jenis serangan, banyak macam pukulan dan tendangan yang lihai, namun belum pernah ia memukul atau menendang orang! Karena itu maka iapun masih berpikir-pikir dan memilih-milih, apa yang harus ia pergunakan untuk memukul lawan ini! Dan tiba-tiba seorang yang bertubuh pendek dan berkepala besar, yang melihat betapa pemimpinnya tidak dapat menundukkan gadis cantik itu, sudah maju dan mengeroyok Kui Lan menghadapi pengeroyokan itu dengan tenang saja karena ia dapat, mengikuti gerak-gerik mereka dengan mudah, dan dapat menghindarkan diri tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Berbeda dengan encinya, walaupun Kui Bi juga belum pernah mempergunakan ilmu silat untuk memukul orang, namun ia adalah seorang gadis lincah yang mudah menyesuaikan diri dengan segala macam keadaan. Karena ia maklum bahwa lima orang itu amat jahat, maka iapun sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran keras kepada mereka, kalau perlu membunuh mereka. Ini merupakan kewajiban, karena para penjahat seperti itu hanya akan membahayakan kehidupan orang lain, dan mengacaukan keamanan. Begitu ia menyuruh encinya untuk menghadapi si muka kuning, tubuhnya sudah berkelebat ke depan dan pertama-tama yang diserangnya adalah orang yang menggendong buntalan pakaiannya, buntalan kain merah! Orang itu bertubuh tinggi kurus dan wajahnya bengis. Melihat dirinya diserang dengan tamparan, orang ini tersenyum mengejek. Dia memandang rendah gadis yang masih belum dewasa benar itu dan inilah kesalahannya! Dia memandang rendah lawan yang jauh lebih kuat dan lebih lihai daripada dirinya sendiri dan melihat Kui Bi menggerakkan tangan kiri menampar.dari samping; dia menyambut dengan tangan kanan, bukan hanya untuk menangkis, melainkan untuk menangkap lengan yang kecil dan berkulit putih mulus itu! Melihat ini, Kui Bi yang tidak sudi membiarkan lengannya dipegang apa lagi ditangkap, cepat menarik kembali tangan kirinya dan secepat kilat kakinya sudah masuk dan mencium perut lawan.
"Ngekk!" Ujung sepatu yang mencium perut itu kuat sekali, rasanya seperti tertusuk tombak tumpul, membuat orang tinggi besar itu merasa seperti napasnya terhenti dan otomatis ia membungkuk dan tangan kirinya memegang perut yang baru saja dicium sepatu. Ketika dia membungkuk inilah, tengkuknya disambar tangan kanan Kui Bi yang amat cepat dan kuat.
"Kekk..... !!" Tubuh itu tersungkur dan pada saat itu, tangan kiri Kui Bi sudah berhasil merenggut lepas buntalan pakaiannya dari punggung orang itu.
Dua orang anggauta gerombolan itu terkejut dan marah. Orang yang mengendong buntalan pakaian kain kuning milik Kui Lan , selain marah juga khawatir kalau-kalau buntalan di punggungnya itu akan terampas pula, maka sudah mencabut golok dari pinggangnya. Juga kawannya yang mukanya brewokan sudah mencabut golok dan mereka berdua menerjang Kui Bi dengan serangan golok yang dilakukan dengan sengit untuk membunuh. Lenyap sudah dari pandangan mereka semua kecantikan yang menggairahkan dari gadis itu, yang nampak kini hanyalah seorang gadis yang merupakan lawan berbahaya dan harus dibunuh segera!
"Singggg......!" nampak sinar menyilaukan mata dan tahu-tahu Kui Bi sudah memegang sebatang pedang. pedangnya yang diambilnya dari dari buntalan pakaiannya. Begitu pedang gerakkan, lenyaplah ujud pedang, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti seekor naga melayang-layang dan menyambar ke arah dua orang lawannya yang memutar golok. Terdengar suara berkerontangan dan tiba-tiba ujung pedangnya sudah melukai pundak kiri orang yang menggendong buntalan pakaian kain kuning. Ketika orang itu terhuyung memegangi pundak yang berdarah, Kui Bi sudah meloncat, menyambar dan untaian milik encinya sudah pula dapat dirampasnya!
Ketika menengok untuk melihat keadaan encinya, Kui Bi mengerutkan alisnya. Encinya dikeroyok dua, si muka kuning dan seorang bertubuh pendek. Kedua orang itu juga menggunakan golok sedangkan encinya bertangan kosong. Sebetulnya, biar dikeroyok dua oleh mereka yang memegang senjata, encinya tidak kalah. Hanya sayang, agaknya encinya itu merasa ragu-ragu untuk menjatuhkan lawan, maka hanya mengelak dan berloncatan ke sana sini saja menghindarkan diri dari sambaran golok dua orang lawannya, ia juga melihat betapa kini tiga orang lawannya sendiri sudah mengepungnya, dengan golok di tangan. Si bopeng, si tinggi besar dan si brewok sudah siap untuk mengeroyoknya dan wajah mereka bengis sekali.
"Enci, kaupergunakan pedangmu ini!" seru Kui Bi kepada encinya Mendengar ini, Kui Lan meloncat ke belakang menjauhi dua orang pengeroyoknya dan Kui Bi melemparkan buntalan kuning milik encinya. Kui Lan girang menyambut buntalan itu, mengeluarkan pedangnya dan dengan sikap tenang menggendong buntalan itu di punggungnya. Semua ini ia lakukan dengan tenang sekali walaupun dua orang lawannya kini sudah siap untuk menyerangnya dengan golok.
Begitu dua orang itu, si muka kuning dan si pendek menerjang dengan sengit, Kui Lan menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi berdencing nyaring dan dua orang pengeroyok itu terhuyung ke belakang. Demikian hebat gerakan pedang Kui Lan yang kini merasa lebih tabah karena ia tidak harus menggunakan tangan kosong merobohkan lawan, berarti jari-jari tangannya akan menyentuh tubuh lawan! Dan begitu ia memainkan Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang gerakannya amat indah juga aneh, dua orang lawannya menjadi bingung dan terdesak hebat, hanya mampu mundur-mundur dan memutar golok melindungi tubuh saja.
Demikian pula dengan tiga orang pengeroyok yang melawan Kui Bi. Tadinya mereka dengan dahsyat dan bengis menerjang, akan tetapi begitu Kui Bi memainkan Ilmu Pedang Dewi, mereka bertiga juga menjadi bingung, pandang mata mereka silau oleh gerakan pedang yang cepat dan aneh, dan hanya mampu mundur saja..
Kui Bi berbeda dengan Kui Lan, hatinya lebih tabah dan lebih keras, maka begitu ia memegang pedang dan menyerang ia tidak mau memberi hati lagi kepada tiga orang lawannya. Juga karena tiga orang lawannya itu hanya memiliki ilmu silat biasa saja, berbeda dengan Si muka kuning lawan Kui Lan yang jauh lebih lihai dari pada anak buahnya, maka belum sampai sepuluh jurus, pedang Kui Bi telah menyambar-nyambar dan tiga orang lawannya terjungkal roboh. Si bopeng mengaduh-aduh dengan paha kanan robek dan tidak mampu bangkit kembali, si tinggi besar terbacok pundaknya sehingga menembus tulang pundak yang menjadi putus, dan si brewok hampir putus pangkal lengan kirinya !
Kui Bi tersenyum dan memandang kepada tiga orang lawan yang sudah roboh itu. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk melihat keadaan encinya. ia tidak merasa khawatir dan memang kini encinya sudah membuat dua orang lawan itu terdesak terus, akan tetapi encinya nampak masih ragu-ragu untuk melukai dua orang lawan itu.
"Lan-ci, kalau mereka mendapat kesempatan mereka yang akan membunuhmu! Cepat robohkan mereka!" katanya sambil menggeleng-geleng kepalanya. Encinya itu selalu tidak tega, pada hal ia tahu bahwa encinya lebih berbakat dari pada ia sendiri dalam hal ilmu silat. Kalau mereka berlatihpun, ia merasa berat menandingi encinya. akan tetapi encinya selalu khawatir kalau-kalau melukainya dan sengaja mengalah.
Mendengar ini, Kui Lan menoleh dan melihat adiknya telah merobohkan tiga orang pengeroyoknya, iapun menekan perasaannya, menggigit bibirnya dan begitu pedangnya berdesing-desing, si muka kuning berteriak, pedang di tangan Kui Lan menembus bahu kanannya membuat goloknya terlepas, dan si pendek juga roboh dengan pundak terluka parah!
Pemilik kedai minuman dan para pembantunya yang tadi mengintai dengan ketakutan, kini berdiri di depan pintu, bengong memandang bagaimana dua orang gadis itu merobohkan lima orang perampok yang ganas itu dengan mudahnya! Kui Bi meloncat dan kini pedangnya menempel di leher si muka kuning.
"Kalau engkau tidak cepat menyuruh orang-orangmu mengembalikan kuda kami, aku akan menyayat-nyayat kalian berlima sampai tidak berbentuk manusia lagi!"
Si muka kuning dan kawan-kawannya merasa kecelik. Dia kini tahu bahwa mereka berhadapan dengan dua orang gadis yang hebat, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarpun mereka merasa penasaran, namun sekali ini. benar benar merasa tidak berdaya. Mendengar ancaman gadis yang kecil mungil kelihatan masih remaja itu, yang menempelkan pedang di lehernya, diapun mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan rasa penasaran dan dendamnya.
"Baik, lihiap (pendekar wanita), bebaskan kami dan kami akar cepat menyuruh dua orang kami mengembalikan kuda ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua)."
"Huh, kaukira kami bodoh" Suruh saja seorang dari temanmu yang masih dapat berlari, engkau dan tiga yang lain tinggal di sini. Kalau dalam waktu satu jam kuda kami belum kembali, kalian berempat akan kusayat-sayat!"
Si muka kuning melihat betapa empat orang kawannya semua terluka parah. Si bopeng jelas tidak dapat berlari karena paha kanannya terluka, si brewok juga hampir putus pangkal lengan kirinya, temannya si pendek terluka parah pundaknya, hanya dapat mengaduh dan merintih, dan biarpun si tinggi besar juga terbacok pundaknya sampai menembus tulang pundak yang putus, dia seoranglah yang agaknya masih dapat berlari cepat.
"Akhun, cepat engkau yang pergi melapor dan bawa kembali dua ekor kuda itu!" katanya.
Si tinggi besar bangkit berdiri dengan wajah menyeringai kesakitan, akan tetapi dia memaksa diri untuk berlari sambil memegangi lengan yang pundaknya terbacok.
Kui Bi mengajak encinya untuk kembali memasuki kedai, duduk dan memesan teh. Arak di kedai itu terlampau keras untuk mereka yang biasanya hanya dapat minum teh dan anggur yang tidak begitu keras. Kini mereka menanti sambil duduk minum teh, menghadap ke luar agar mereka dapat mengamati empat orang yang masih merintih-rintih itu. Kini empat orang itu saling bantu untuk mengobati luka mereka dengan obat luka yang selalu terdapat di kantung baju mereka. Kui Bi menggapai kepada kakek pemilik kedai minuman. Dengan terbongkok-bongkok kakek itu mendekat "Paman, siapakah sebetulnya mereka?"
"Wah, celaka, lihiap...... ji-wi (kalian berdua) telah bermusuhan dengan anak buah Kwi-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan). Karena ji-wi berada di sini dan keributan terjadi di sini kalau mereka datang bukan hanya ji-wi yang akan ditangkap, bahkan kedai kami inipun akan dihancurkan dan mungkin kami akan dibunuh!" Kakek itu menang tanpa suara.
"Hemm, jangan khawatir, kami dua akan membasmi mereka!" kata Kui Bi dengan gagah.
"Takkan ada gunanya andaikata ji-wi menang juga, karena setelah ji-wi pergi, kami tentu akan menjadi penumpahan dendam mereka. Kalau ji-wi lihiap kasihan kepada kami, harap ji-wi segera pergi dari sini dan mengambil sendiri kuda ji-wi. Sarang mereka berada di bukit depan Itu, bukit kecil di tepi sungai yang nampak dari sini."
Kui Lan bangkit berdiri. "Bi-moi tidak baik kalau mengakibatkan paman tertimpa malapetaka. Mari kita tinggalkan tempat ini dan mengambil sendiri kuda kita."
Kui Bi mengangguk. "Baik, marilah, enci." Mereka keluar dari kedai menggendong buntalan mereka. Ketika tiba di pekarangan di mana empat orang itu masih duduk di atas tanah, Kui Bi berkata, "Nanti dulu, Lan-ci. Aku akan membereskan mereka!"
"Adik Bi, jangan bunuh orang..!" Kui Lan berseru, alisnya berkerut ia khawatir adiknya akan membunuh empat orang yang sudah terluka itu, Kui Bi tersenyum.
"Lan-ci, para guru kita mengatakan bahwa seorang pendekar tidak akan membunuh lawan yang sudah tidak dapat melawan lagi. Tidak, aku tidak akan pembunuh mereka, hanya memberi hajaran agar mereka jera dan lain kali tidak berani mengganggu wanita!"
Melihat Kui Bi menghampiri mereka, empat orang itu menjadi ketakutan. Kui Bi tersenyum mengejek melihat mereka berempat berhimpitan dengan sikap ketakutan seperti empat ekor kelinci melihat harimau. Begitulah watak orang-orang jahat, ganas menindas kalau sedang menang, takut dan pengecut kala berhadapan dengan yang lebih kuat.
"Kau, monyet muka kuning, engkau harus antar kami menyusul orangmu yang mengambil kuda, agar lebih cepat!" kata Kui Bi .
Nampak sinar mata si muka kuning berkilat dan wajahnya membayangkan kegembiraan sekilas mendengar perintah ini. Tergopoh dia bangkit berdiri. "Baik, lihiap. Mari saya antar......"
Kui Bi menggerakkan kakinya tiga kali dan tiga orang yang lain itu mengeluh dan roboh terjengkang, pingsan disambar ujung sepatu gadis itu.
"Mari kita berangkat" kata Kui Bi dan si muka kuning tanpa dapat bicara segera melangkah ke arah timur, menyusuri sungai, menahan rasa nyeri pada bahu kanannya yang terluka, dan di belakangnya kakak beradik itu berjalan lengan sikap tenang namun waspada. Setelah mereka pergi, pemilik kedai dan anak buahnya cepat menolong tiga orang anggauta perampok itu dan membawa mereka masuk ke dalam kedai untuk merawat mereka. Hal ini terpaksa mereka lakukan agar mereka tidak dilanda amukan para penjahat.
Diam-diam si muka kuning bergembira karena dua orang gadis ini dianggapnya sebagai dua ekor domba yang dia tuntun masuk ke dalam rumah jagal! Kalau dua orang gadis ini tiba di lereng bukit karang di depan, yang menjadi sarang dari mereka, pasti mereka akan mampu melawan. Dan sudah saatnya dia dan kawan-kawannya membalas dendam! Kalau saja pemimpin besar mereka, Kwi-jiauw Lo-mo, tidak memborong dua orang gadis yang amat cantik jelita ini. Iblis Tua itu terkenal haus akan wanita! Akan tetapi setidaknya, seperti menjadi kebiasaannya, dia mudah bosan dan sebentar saja dua orang gadis ini tentu akan dilemparkan kepada anak buahnya. Nah, pada saat itulah dia akan membalas dendam ini!
Akan tetapi belum ada setengah jam mereka berjalan, dan mereka tiba di tepi sungai yang berada di kaki bukit karang itu, terdengar derap kaki kuda dari depan. Si muka kuning mengangkat mukanya yang nampak bergembira dan suaranya juga terdengar lantang. "Itu mereka sudah datang!"
Dua orang gadis itu sudah siap siaga. Merekapun tahu bahwa suara itu bukan hanya derap kaki dua ekor kuda, melainkan banyak! Mereka dapat menduga mengapa si muka kuning ini nampak gembira dan setelah rombongan penunggang kuda itu tiba di situ, baru mereka melihat bahwa dugaan mereka benar Dua orang pencuri kuda yang menjadi anak buah si muka kuning itu, bersama si tinggi besar yang tadi disuruh mengambil kuda mereka, datang bersama serombongan orang yang terdiri dari belasan orang banyaknya! Tentu si tinggi besar melapor kepada para pimpinan gerombolan tentang kekalahan lima orang perampok itu dan kini kawan-kawannya datang, bukan untuk mengembalikan kuda melainkan untuk mengeroyok!
Kui Lan dan Kui Bi Sudah siap. Mereka sudah mencabut pedang mereka dan dengan marah Kui Bi menggerakkan pedangnya ke arah si muka kuning yang berteriak dan.roboh. Pahanya disabet pedang sampai terluka parah dan diapun merintih dan mengaduh-aduh. Belasan orang itupun sudah berloncatan dari atas kuda dan dengan golok di tangan, mereka mengepung dan mengeroyok enci dan adik itu. Kui Lan dan Kui Bi memutar pedang mereka dan memainkan Ilmu Pedang Dewi. Nampak dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar, membuat para pengeroyok terpaksa mundur dan melebarkan kepungan karena pedang di tangan dua orang gadis itu ampuh bukan main. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja, dua orang pengeroyok sudah roboh, pada hal, belasan orang itu merupakan tokoh-tokoh yang paling tangguh di antara mereka. Tingkat kepandaian mereka sebanding dengan tingkat si muka kuning.
"Enci Lan, mereka ini srigala-srigala busuk, kita bunuh saja mereka semua!" teriak Kui Bi yang marah sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, Kui Lan masih membatasi tenaganya karena ia tidak bermaksud melakukan pembunuhan.
Ternyata bahwa ilmu pedang yang dikuasai dua orang kakak beradik itu merupakan ilmu yang hebat. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu silat lumayan, mereka berpengalaman dan sudah terbiasa menggunakan kekerasan dan merekapun memiliki tenaga yang kuat. Namun, menghadapi pedang dua orang gadis itu, mereka tidak dapat berbuat banyak bahkan mereka tidak berani mengepung terlalu ketat karena pedang di tangan kakak beradik itu bukan main ganasnya. Nampaknya lembut dan indah, seperti gerakan gadis-gadis menari-nari, akan tetapi siapa berani mendekat dia akan terbabat atau tertusuk.
"Tahan senjata! Kalian semua mundur!" terdengar seruan suara yang mengguntur dan belasan orang itu berlompatan ke belakang, lalu berdiri tegak dengan sikap menghormat.
Kui Lan dan Kui Bi berdiri tegak pula, berdampingan dan dengan pedang melintang depan dada, waspada dan siaga. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya pendek gemuk sehingga kelihatan seperti bulat, kepalanya bulat besar dan botak, matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semua berbentuk bulat-bulat sehingga dia nampak lucu seperti sebuah boneka besar. Akan tetapi kalau orang melihat ke arah kaki dan tangannya, orang akan merasa ngeri. Kedua tangannya yang berlengan pendek besar itu disambung dua buah cakar besi yang kelihatan kebiruan dan mengkilap, runcing tajam melengkung, an kedua kakinya mengenakan sepatu yang ujungnya dipasangi besi runcing! Melihat kedua tangan yang dipasangi cakar itu, teringatlah Kui Lan dan Kui Bi akan keterangan pemilik kedai minuman tentang tokoh pemimpin gerombolan penjahat yang dijuluki Kwi-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan).
Kui Bi menudingkan pedang dengan tangan kanannya ke arah muka si pendek gendut itu, dan tangan kirinya bertolak pinggang, mulutnya dan pandang tanya mengejek. "Hemm, kiranya badut ini yang memakai julukan Kwi-jiauw Lo-mo?"
Mendengar ucapan itu, si pendek tidak marah, bahkan tertawa dan nampak giginya yang besar-besar dan juga bentuknya bulat-bulat! Agaknya orang memang diciptakan dengan suatu keistimewaan, yaitu serba bulat, demikian pikir Kui Bi .
"Ha-ha-ha-ha, dua orang nona manis telah memperlihatkan kepandaian. Kalian begini cantik jelita, begini halus lembut dan mulus, akan tetapi gagah memiliki kepandaian lumayan. Sungguh mengagumkan! Dan engkau sudah mengenal pula julukanku, nona manis ya lincah?" Dia memandang kepada Kui Bi merasa betapa mata yang bulat itu seperti mengeluarkan sinar yang hendak menelannya bulat-bulat. Hati gadis ini rasa ngeri juga, akan tetapi ia sengaja mengeluarkan suara yang mendengus dari hidung dan tawa mengejek.
"Hiiih, apa sih sukarnya menebak bahwa engkau yang berjuluk Iblis Tua Muka Setan" Rupamu seperti iblis dan dua tanganmu memakai cakar baja. Engkau seperti seorang badut yang hanya dapat menakut-nakuti anak kecil saja!"
"Heh-heh, manis. Engkau dan kainmu itu bukan anak kecil lagi maka tidak takut. Dan akupun tidak ingin kalian takut kepadaku, ha-ha-ha!"
"Sudahlah, muak perutku bicara dengan iblis macam kamu! Kwi-jiauw Lo-mo, cepat kembalikan dua ekor kuda milik kami dan kamipun akan melanjutkan perjalanan, tidak akan membunuhi anak buahmu lagi." Ucapan Kui Bi ini memang terdengar tinggi hati sekali dan memang ini disengaja untuk membalas ucapan si.pendek yang mengandung maksud tertentu yang menjijikkan hatinya.
"Boleh, boleh! Jangankan hanya dua ekor kuda Itu, semua kuda yang kami miliki akan kuberikan kepadamu, manis, bahkan diriku ini kupersembahkan kepada kalian dua orang nona manis Marilah kalian ikut denganku untuk menerima semua itu!"
Yang Kui Lan yang sejak tadi diam saja, tak dapat menahan kemarahanya mendengar ucapan yang maksudnya membalas dengan kata-kata tak senonoh itu. "Jahanam busuk tahan mulutmu yang kotor!" bentaknya dan Kui Bi tersenyum melihat sikap encinya. Biasanya, encinya seorang yang penyabar dan jarang marah, kalaupun marah akan diam saja dan tidak sampai ledak seperti sekarang.
"Nah, babi gendut, enciku sudah marah. Cepat kembalikan kuda kami atau aku tidak akan menanggung-jawab kalau lehermu akan dipancung enciku yang sudah marah!"
Kui Lan mengerling kepada adiknya sebagai teguran. Dalam keadaan seperti itu, si bengal itu masih juga sempat berkelakar. Akan tetapi ucapan bernada mengejek dan menghina itu, masih saja tidak memanaskan hati Kwi-jiauw Lo-mo. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal di dunia kang-ouw, yang sudah lama tidak pernah memperlihatkan diri. Kini, agaknya dia muncul dan memimpin gerombolan perampok. Hal yang sungguh mengherankan kalau diingat bahwa datuk sesat ini pernah memimpin gerombolan yang ratusan orang banyaknya. Semenjak gerombolannya dibasmi pasukan pemerintah yang di pimpin oleh seorang panglima yang lihai, dia menghilang dan baru sekarang, sepuluh tahun lebih kemudian, dia muncul lagi hanya sebagai pemimpin gerombolan yang terdiri dari dua puluh orang lebih saja.
"Nona-nona manis, kalian seperti dua ekor burung yang baru meninggalkan arang, terlalu berani namun kurang perhitungan sehingga kalian berani menentang Kwi-jiauw Lo-mo. Nah, majulah, akupun ingin berkenalan dengan dua orang gadis yang akan menjadi selir-selirku, heh-heh-heh!"
Ucapan ini demikian menusuk perasaan sehingga Kui Bi sendiri yang biasanya lincah Jenaka dan pandai bertengkar, menjadi bungkam, mukanya kemerahan dan matanya bersinar-sinar. "Babi gemuk, engkau akan mampus oleh pedang kami!" bentaknya dan iapun sudah menerjang dengan pedangnya, mengirim tusukan dengan jurus Dewi mempersembahkan bunga yang amat cepat dan indah gerakannya, namun didukung tenaga dahsyat Kui Lan juga sudah menggerakkan pedangnya, membantu adiknya menyerang laki-laki pendek bundar itu.
"Trangg! Cringgg....!!" Bunga api berpijar dan dua orang kakak beradik itu terkejut dan terhuyung ke belakang ketika pedang mereka bertemu dengan sepasang cakar setan itu. Bukan main kuatnya tenaga yang menangkis pedang mereka !
"Ha-ha-ha-ha, nona-nona manis kalian baru tahu hebatnya Kwi-jiauw Lo-mo! Ha-ha-ha!" Dan kini, tubuh yang bulat itu menggelinding atau berputar-putar seperti bola, menerjang ke arah mereka secara aneh. Dua orang gadis itu cepat memutar pedang dan memainkan Sian-li Kiam-sut bagian pertahanan untuk melindungi diri mereka. Dan memang hebat ilmu pedang ini. Biarpun gerakan lawan amat dahsyat, namun dengan pertahanan ilmu pedang itu, Kui Lan dan Kui Bi masih mampu melindungi diri mereka sampai lewat belasan jurus. Tiba-tiba si pendek gendut yang bergerak seperti bola menggelinding ke sana sini itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak .sambil tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian sungguh hebat, memiliki ilmu pedang aneh yang baik sekali. Akan tetapi, lihat jurusku ini!" Tiba-tiba tubuhnya bergerak, tidak lagi bergulingan seperti tadi, melainkan meloncat seperti katak, dan tubuh itu berputar di udara dan menerjang ke arah Kui Bi seperti sebuah peluru besar yang berputar. Kui Bi terkejut, mencoba untuk membacok dengan pedangnya.
"Tranggg......! !" pedang itu seperti bertemu bola baja yang amat kuat dan terlepas dari tangan Kui Bi karena sebetulnya, pedang Itu telah ditangkap dan direnggut oleh cakar baja dan sebelum gadis itu mampu mengelak, pinggangnya telah kena disepak oleh pinggir kaki. Untung tidak ditendang karena kalau terkena tendangan dari depan, tentu tubuhnya akan ditembusi besi runcing di ujung sepatu. Kui Bi mengeluh dan terpelanting roboh!
Kui Lan marah dan menyerang dengan dahsyat sambil mengeluarkan bentakan nyaring. "Haiiii ........!"
Namun, lawannya melompat ke belakang, lalu seperti katak yang pandai membuat lompatan berganda, tubuh itu kembali meluncur balik ke arah Kui Lan dan seperti tadi, tubuhnya berputar. Kui Lan menusukkan pedangnya menyambut.
"Cringgg......!!" Seperti halnya adiknya, pedang Kui Lan terampas dan iapun terpelanting di dekat adiknya, terkena sepakan pada bahunya. Selagi mereka bergerak hendak bangkit, tiba-tiba tubuh si pendek itu sudah berdiri di dekat mereka sambil tertawa bergeIak.
"Omitohud.....! Iblis dan setan bermunculan, pertanda bahwa dunia akan mengalami kekacauan," terdengar suara lembut, namun suara itu mengandung getaran yang sedemikian kuatnya sehingga Kwi-jiauw Lo-mo sendiri terkejut bukan main dan cepat dia membalikkan tubuh memandang. Di depannya berdiri seorang hwesio yang berkepala gundul kelimis, mukanya segar dan kemerahan seperti muka kanak-kanak, tubuhnya gemuk dengan perut besar seperti arca Ji-lai-hud, mata dan mulutnya demikian ramah selalu tersenyum seperti muka bayi yang sedang merasa nyaman tubuhnya, dan dia mengenakan jubah kuning yang longgar, sepatu kulit kayu dan memegang sebatang tongkat bambu ular, yaitu semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, demikian pula warna garis dan totol-totol seperti kulit ular.
Kwi-jiauw Lo-mo adalah seorang datuk sesat yang sepuluh tahun lalu malang melintang di dunia kang-ouw, banyak pengalamannya dan mengenal para tokoh dunia persilatan. Akan tetapi dia tidak mengenal hwesio yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini! Biarpun demikian, dia tahu bahwa hwesio ini seorang sakti, dan dia tahu pula bahwa orang-orang yang telah menjadi pendeta, tidak mencari kemashuran nama, kedudukan atau harta benda sehingga banyak di antara mereka yang berilmu tinggi, tidak terkenal di dunia kang-ouw.
"Hemm, hwesio yang baik, siapakah engkau dan mengapa seorang pendeta yang hanya sibuk dengan urusan nirwana, hari ini mencampuri urusan duniawi" Apakah engkau tidak takut jubahmu nanti dikotori urusan dunia?" ucapan ini bernada mengejek, akan tetapi juga cukup menghormat karena bagaimanapun juga, datuk sesat ini tidak berani memandang rendah para pendeta.
Mendengar teguran itu, hwesio gendut seperti arca Ji-lai-hud itu masih tersenyum, akan tetapi matanya membayangkan kebingungan karena memang tidak semestinya seorang pendeta mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan tokoh-tokoh dunia sesat. Melihat kebimbangan sikap hwesio gendut itu, Kui Bi yang mengharapkan bantuan dan melihat adanya bahaya mengancam, segera berkata dengan suara lantang.
"Heii, babi gemuk Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau yang sudah setua ini tidak tahu akan pendirian seorang yang berhati suci dan mulia" Ada pendapat nenek moyang yang bijaksana begini: Membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata tanpa mencegahnya, sama saja dengan membantu berlangsungnya kejahatan itu sendiri! Engkau dan anak buahmu merampok kami enci dan adik, dan hendak menawan dan menghina kami. Kalau losuhu ini membiarkannya saja, berarti beliau telah membantu perbuatan keji dan jahat kalian dan beliau tentu tidak mau disebut antek perampok-perampok seperti kamu!"
"Bocah setan, tutup mulutmu!" Kwi-jiauw Lo-mo dengan marah membentak dan dia menubruk maju, menyerang dengan cakar kirinya untuk membunuh agar gadis itu tidak banyak cakap. Yang Kui Bi cepat mengelak dengan melempar tubuh ke samping, akan tetapi angin pukulan yang dahsyat membuat ia terpelating. Gadis ini tabah dan cerdik. Begitu tubuhnya terpelanting, ia sudah bergulingan ke arah hwesio gemuk sambil berseru, "Lebih baik mati gagah sebagai harimau dari pada hidup pengecut macam babi!" Jelas bahwa ucapan ini ditujukan kepada hwesio, untuk mengejeknya dengan maksud agar hati hwesio itu tersentuh.
"Hendak lari kemana kau!" bentak Kwi-jiauw Lo-mo. Dia mengejar dan memukul lagi, tidak perduli kepada hwesio yang berada dekat gadis yang bergulingan itu.
"Plak! Duk!!" kedua cakar itu terpental dan tubuh Kwi-jiauw Lo-mo terhuyung ke belakang.
"Omitohud.... bukan pinceng (aku) suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi tanganku menjadi tak berguna dan batinku kotor kalau pinceng membiarkan saja orang bertindak jahat dan sewenang-wenang. Gadis ini benar, pinceng tidak ingin menjadi bi atau antek penjahat. Harap Lo-mo tidak mengganggu mereka lagi."
"Hwesio keparat!"
Dengan kemarahan membuat mukanya merah dan matanya melotot, Kwi-jiauw Lo-mo (iblis Tua Cakar Setan) itu kini menerjang dan menyerang hwesio gendut dengan kedua cakarnya, mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh. Hwesio itupun menggerakkan tongkat bambunya untuk melindungi dirinya sambil menggeser kaki ke sana sini untuk menghindarkan diri dari amukan Si Cakar Setan. Sementara itu, belasan orang anak buah Si Cakar Setan sudah pula mengeroyok Kui Lan dan Kui Bi. Dua orang gadis ini cepat mengambil pedang mereka dari atas tanah dan mereka berdua mengamuk. Kini, Kui Lan tidak lagi merasa ngeri dan ia menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat, bahkan seolah tidak mau kalah dengan adiknya karena ia yakin bahwa kalau mereka berdua tidak dapat membasmi kawanan penjahat ini, mereka yang akan tertimpa malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Mereka berdua sudah memainkan Sian-li Kiam-sut, dan dengan ilmu pedang ini, belasan orang itu tidak berani menyerang terlalu dekat.
Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui merasa heran, terkejut dan kecelik bukan main ketika dia bertanding melawan hwesio bertongkat bambu kuning itu. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bahkan dapat dibilang seorang di antara para datuk persilatan yang selain memiliki nama besar, juga terkenal lihai sekali dan sukar dicari tandingannya. Sepasang cakar setan yang menyambung kedua tangannya amat tangguh dan sukar dikalahkan. Akan tetapi sekali ini, dan baru pertama kali dialaminya, dia seperti seorang kanak-kanak saja ketika bertanding melawan hwesio yang perutnya gendut dan mirip arca Ji-lai-hud itu. Hwesio itu dengan tongkat bambunya mampu membuat kedua cakar setannya sama sekali tidak sempat menyentuh lawan. Jangankan menyentuh kulit tubuhnya, bukan menyentuh jubahpun tidak mampu, manapun cakarnya menyerang, selalu terpental kalau bertemu dengan tongkat bambu, bahkan pergelangan dan siku lengannya selalu terancam totokan-totokan ujung bambu kuning yang gerakannya seperti seekor ular hidup saja! Padahal, dia tidak mengenal hwesio itu. Ini berarti bahwa hwesio gendut itu bukan seorang tokoh besar dunia persilatan, melainkan seorang pendeta yang sama sekali tidak ternama!
Saking geramnya karena sudah belasan kali semua serangannya gagal total, tiba-tiba Kwi-jiauw Lo-mo mengeluarkan suara gerangan seperti seekor biruang dan sepasang cakarnya menyambar dari kanan kiri dengan tenaga sepenuhnya. Agaknya, satu di antara cakar itu tentu akan mengenai sasaran karena tongkat itu mana mampu menangkis sepasang cakar yang datang pada saat yang bersamaan dari kanan kiri" Akan tetapi, tubuh yang gembrot itu ternyata mampu bergerak dengan ringan sekali seperti seekor burung saja tubuh itu sudah melayang ke belakang.
"Tranggg......!!" Bunga api berpijar ketika sepasang cakar itu saling berbenturan. Sungguh merupakan senjata yang mengerikan!
Sementara itu, kakak beradik Kui Lan dan Kui Bi mengamuk dengan pedang mereka dan membuat belasan orang pengeroyok mereka kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang terluka oleh pedang kedua orang gadis itu. Setelah dua orang roboh tewas dan lima yang lain terluka, para pengeroyok itu menjadi gentar dan sambil menyeret kawan-kawan yang terluka, mereka lalu melarikan diri .
Melihat betapa anak buahnya melarikan diri dan dia sendiripun tidak mampu menandingi tongkat bambu yang amat lihai itu, Kwi-jiauw Lo-mo maklum bahwa kalau dia nekat melanjutkan perkelahian, akhirnya dia akan mendapat malu.
"Hwesio usil! Biar lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan!" katanya sambil melompat ke belakang Melihat hwesio itu hanya menyeringai lebar dan tidak mengejar, diapun melompat dan melarikan diri. Dua ekor kuda milik kakak beradik itu ditinggalkan oleh kawanan perampok.
"Omitohud, hanya dengan kemampuan seperti itu sudah berani memaksakan kehendak mengganggu orang lain!" kata hwesio itu sambil tersenyum. Kalau dia menghendaki, tidak akan terlalu suka baginya untuk merobohkan Si Cakar Setan itu tadi. Akan tetapi dia tidak mau melakukan itu dan kini dia memandang kepada dua orang gadis yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya .
"locianpwe telah menyelamatkan nyawa kami!" kata Kui Lan .
"Kami menghaturkan terima kasih locianpwe,," kata pula Kui Bi, "kami akan membalas budi locianpwe dengan melayani semua kebutuhan Locianpwe kalau sudi menerima kami sebagai murid."
Hwesio itu tersenyum, memandang kepada mereka dan matanya berseri ketika dia memandang kepada Kui Bi. "Omitohud..... kalian ini gadis-gadis petulang telah memaksa pinceng sehingga terseret ke dalam perkelahian! Luar biasa sekali!"
"Maaf, locianpwe," kata Kui Bi yang memang lincah dan pandai bicara. "Bukan kami yang memaksa Locianpwe, melainkan kemuliaan hati locianpwe sebagai seorang pendeta suci dan orang tua gagah perkasa berwatak pendekar yang memaksa locianpwe turun tangan menolong kami."
Hwesio itu menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya yang gundul dan bundar seperti bola, akan tetapi wajahnya masih berseri dan mulutnya masih tersenyum. "Bukan itu yang menarik sekali hati dan perhatian pinceng, nona. Biasanya, pinceng tidak mau usil mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi, melihat permainan pedang kalian, pinceng merasa tertarik sekali. Bukankah ilmu pedang yang kalian mainkan itu adalah Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi)?"
Kakak beradik itu saling pandang dengan heran, lalu keduanya mengangguk "Tepat sekali dugaan locianpwe. Memang kami tadi memainkan Sian-li Kiam-sut, akan tetapi karena kami baru saja mempelajarinya, latihan kami belum matang......" kata Kui Lan .
Hwesio itu mengangguk-angguk "Hemm, engkau benar, nona. Kalau latihan kalian sudah matang, mana mungkin Si Cakar Setan itu akan mampu mengalahkan kalian dengan mudah" Jadi kalian ini murid Sin-tung Kai-ong" Inilah yang menarik hati pinceng untuk turun tangan tadi."
Kui Bi yang cerdik hendak mengatakan benar, akan tetapi kakaknya lebih cepat, Kui Lan seorang berwatak lembut dan sama sekali tidak suka berbohong, dan ia sudah khawatir kalau adiknya berbohong. "Tidak, locianpwe kami bukan murid orang yang namanya locianpwe sebut tadi."
"Ehh" Lalu dari mana kalian dapat memainkan Sian-li Kiam-sut" Siapa yang mengajarkannya kepada kalian?"
Dengan singkat namun jelas Kui Lan menceritakan pengalaman mereka ketika bertemu dengan seorang pengemis tua yang kemudian secara rahasia mengajarkan ilmu pedang itu kepada mereka. "Kami tidak pernah mengenal siapa beliau, locianpwe, bahkan beliau memesan agar kami merahasiakan ajaran itu. Akan tetapi karena locianpwe telah mengenal ilmu pedang kami, terpaksa kami membuka rahasia ini."
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud......! Si jembel tua itu sampai sekarang masih suka bersikap rahasia-rahasiaan! Jembel tua yang mengajarkan ilmu pedang itu kepada kalian adalah Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang di antara tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Kalian bangkitlah. Tidak perlu berlutut, mari kita bicara dengan baik. Pinceng melihat bahwa kalian bukanlah gadis-gadis kang-ouw biasa. Pakaian kalian dan kuda kalian menunjukkan bahwa kalian adalah gadis-gadis hartawan, dan sikap serta bicara kalian juga berbau bangsawan! Bagaimana gadis-gadis seperti kalian dapat berkeliaran di sini" Pinceng Kong Hwi Ho-siang paling tidak suka melihat kepalsuan, maka kalau kalian tidak ingin pinceng tinggalkan sekarang juga, ceritakan sejujurnya siapa kalian dan mengapa pula dapat berada di tempat ini."
Melihat wajah yang cerah dan penuh senyum itu kini nampak bersungguh-sungguh, Kui Bi tidak berani main-main lagi. "locianpwe, karena locianpwe juga bersikap jujur, maka kami berjanji akan berterus terang kepada locianpwe. Kami kakak beradik, namaku Yang Kui Bi dan ini kakakku Yang Kui Lan. Kami dari kota raja........"
"She Yang dari kota raja?" Hwesio itu memotong dan kini sepasang alisnya berkerut, matanya mencorong. "Mengingatkan pin-ceng kepada Menteri Utama Yang Kok Tiong dan selir Kaisar Yang Kui Hui yang tersohor itu....!"
"Mereka adalah ayah dan bibi kami, locianpwe," kata Kui Lan dengan suara lirih.
Hwesio itu terbelalak, untuk beberapa detik lamanya wajahnya berubah, senyumnya hilang dan alisnya berkerut. Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya dan nampak tenang kembali.
"Hemm, kalian adalah puteri Menteri Utama, bahkan keponakan selir Kaisar yang paling berpengaruh. Kalian kaya raya dan berkedudukan tinggi, berenang dalam lautan kemewahan dan kemuliaan. Kenapa dapat berkeliaran ke tempat sunyi ini tanpa pengawal?"
Kui Lan tidak dapat menjawab dan mengerling kepada adiknya, menyerahkan tugas kepada adiknya untuk menerangkan. Kui Bi tersenyum dan menatap tajam wajah hwesio itu. "locianpwe sendiri merasa tidak senang mendengar bahwa kami dari keluarga Yang. Hal ini kami ketahui dari pandang mata dan sikap locianpwe. Apa lagi locianpwe, bahkan kami sendiripun muak dengan segala macam kepalsuan yang berada di kota raja, terutama di istana. Justeru karena kemuakan kami itulah kami meninggalkan kota raja dan merantau, locianpwe."
"Omitohud.....! Mana mungkin dapat dipercaya keterangan ini" Kalian puteri-puteri bangsawan, dekat dengan istana, bagaimana mungkin merasa muak dengan kehidupan mewah itu dan pergi meninggalkan rumah untuk merantau" Kepalsuan-kepalsuan apa yang kalian lihat dan rasakan?"
"locianpwe, kami adalah tiga bersaudara. Kami masih mempunyai seorang kakak kami bernama Yang Cin Han. Kami bertiga sejak kecil suka mempelajari silat dan juga kami membaca kitab kitab sejarah. Kami melihat ketidakwajaran dan kepalsuan merajalela di istana. Sribaginda Kaisar seperti boneka di tangan bibi kami Yang Kui Hui. Ayah kamipun diangkat menjadi Menteri Utama bukan karena kecakapan dan kemampuan melainkan karena jasa bibi Yang Hui. Kami muak dengan semua itu dan kami bertiga meninggalkan rumah. Kami ingin bertualang, ingin bebas merdeka seperti burung-burung di angkasa. Kami ingin meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu kami. Kebetulan kami bertemu dengan locianpwe di sini, maka kami mohon sekali lagi, sudilah kiranya locianpwe menerima kami sebagai murid." Setelah berkata demikian, Kui Bi memegang tangan kakaknya dan kembali mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu yang duduk bersila di atas batu besar.
"Omitohud...., sungguh menakjubkan! Betapa akan bahagianya bangsa dan negara kalau semua orang muda seperti kalian ini, tidak silau oleh kesenangan melainkan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, agaknya masih sangat sukar untuk percaya begitu saja. Kalau kalian ingin menjadi murid pinceng, dapat pinceng menerima kalian namun dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, locianpwe" Kami siap memenuhinya," kata Kui Bi dengan tegas.
"Syaratnya, kalian harus taat, dan selama dua tahun penuh kalian tidak boleh meninggalkan kuil di mana kalian akan pinceng titipkan. Selama dua tahun itu, apapun yang terjadi di kota raja, kalian tidak boleh meninggal kuil dan harus melatih semua ilmu yang pinceng ajarkan dengan tekun. Nah bersediakah kalian memenuhi syarat itu?"
"Saya bersedia!" kata Kui Bi tegas.
"Saya..... saya.... bagaimana kalau ayah dan ibu menjadi gelisah dan sedih karena selama itu kita tidak pulang, Bi-moi?" Kui Lan meragu.
"Lan-ci, bukankah kita sudah bertekad meninggalkan semua itu" Setelah lewat dua tahun, baru kita pulang!" bantah adiknya.
"Omitohud...., kalau kalian tidak rela, jangan memaksa diri agar kelak tidak akan menyesal dan menyalakan pin-ceng," kata hwesio itu dan tanpa diketahui dua orang gadis itu, dia memandang mereka dengan sinar mata yang tiba-tiba membayangkan perasaan iba yang mendalam!
"Sudahlah, Lan-ci, bagaimana kita dapat melewatkan kesempatan baik ini! Bukankah selama ini kita mendambakan seorang guru yang sakti?"
Kui Lan menyerah "Baiklah, saya bersedia melaksanakan perintah dan memenuhi syarat itu," katanya.
"Bagus! Nah, sekarang tunggangilah kuda kalian dan ikuti pin-ceng pergi dari sini!"
"Nanti dulu, locianpwe. Kami belum melakukan upacara pengangkatan guru." kata Kui Bi dan iapun kembali menggandeng tangan encinya untuk berlutut dan memberi hormat delapan kali ke ada hwesio itu sambil menyebut "Suhu". Hwesio itu yang kini telah mendapatkan kembali kegembiraannya, tertawa tawa sampai perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, seolah ada kehidupan bersendiri dalam perut yang besar itu.
"Sudahlah, pin-ceng senang sekali mempunyai murid-murid seperti kalian," kata Kong Hwi Ho-siang dan sekali menggerakkan tangan, ujung lengan bajunya menyentuh pundak dua orang gadis itu dan luar biasa sekali, Kui Lan dan Kui Bi merasa seperti terangkat oleh angin yang amat kuat sehingga mau tidak mau mereka bangkit berdiri dan memandang kagum karena mereka mengerti bahwa gerakan guru mereka tadi merupakan pengerahan sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat.
"Akan tetapi, suhu. Bagaimana mungkin teecu berdua menunggang kuda sedangkan suhu berjalan kaki" Biarlah teecu dan enci Kui Lan berboncengan dan suhu menunggang kuda teecu (murid) ."
Hwesio itu tertawa bergelak dan mulutnya terbuka. Dua orang gadis itu memandang dengan heran melihat betapa mulut itu sama sekali tidak mempunyai gigi lagi, seperti mulut bayi! Dan tertawa seperti itu, memang wajah Kong Hwi Ho-siang mirip wajah seorang bayi
"Ha-ha-ha-ha, pin-ceng telah di kurniai sepasang kaki yang kuat, kenapa mesti pinjam kaki kuda untuk berdiri" Sudahlah, kalian tunggangi saja kuda kalian dan pin-ceng berjalan kaki Kaukira gurumu ini tidak akan mampu menandingi larinya kuda?"
Dua orang gadis itu saling pandang, merasa heran, kagum dan juga bangga, akan tetapi ada pula perasaan ingin membuktikan dan penasaran. Boleh jadi suhunya memiliki ilmu silat yang hebat, akan tetapi lari menandingi kuda" Melihat kedua orang murid itu nampak tertegun dan ragu, Kong Hwi Ho-siang memberi isyarat dengan tangan agar keduanya cepat meloncat ke atas punggung kuda.
"Nah, ikuti pin-ceng!" katanya dan tubuhnya berkelebat ke depan dan melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya! Dua orang gadis itu terkejut dan cepat menggebrak kendali agar kuda mereka berlari cepat mengejar bayangan guru mereka yang sudah jauh itu. Mereka membalapkan kuda, akan tetapi tetap saja tidak mampu menyusul bayangan yang bergerak meluncur menyusuri sungai. Padahal, mereka melihat betapa hwesio itu seperti melangkah biasa saja, namun jubahnya yang lebar berkibar-kibar!
Mereka tentu saja menjadi kagum bukan main dan kini lenyap pula sedikit keraguan yang masih bersisa di hati Kui Lan. Kegembiraan melihat kenyataan akan kesaktian gurunya membuat gadis ini dapat melupakan bayangan kerinduan terhadap orang tuanya. Guru seperti hwesio ini sukar ditemukan dan mereka beruntung sekali, tidak saja tadi diselamatkan dari malapetaka mengerikan, bahkan kini diterima menjadi murid.
Ketika akhirnya mereka menghentikan larinya kuda di pekarangan sebuah kuil yang berada di tempat sunyi, di tepi sungai dan di kaki sebuah bukit, kuda mereka terengah dan berpeluh, akan tetapi hwesio itu sama sekali tidak berkeringat, dan napasnya biasa saja, masih tersenyum lebar.
"Wah, suhu hebat sekali! Suhu lari melebihi kecepatan kuda kami!" Kui Bi berseru kagum sambil melompat turun. "Suhu harus mengajarkan ilmu berlari cepat seperti itu kepada teecu!"
"Hushh, Bi-moi, mana ada murid mengharuskan gurunya!" Kui Lan menegur, khawatir kalau guru mereka menjadi marah mendengar kelancangan adiknya.
"Omitohud....! Kakak beradik memiliki watak yang jauh berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Demikianlah segala.apa yang berada di dunia ini, termasuk manusia. Ada kelebihannya pasti ada kekurangannya, ha-ha-ha. Kalian jangan khawatir. Kalau kalian tekun berlatih, dalam dua tahun pin-ceng akan menurunkan ilmu-ilmu simpanan pin-ceng kepada kalian. Ilmu berlari cepat seperti tadi bukan apa-apa, walaupun amat penting, yaitu kalau-kalau kalian terpaksa melarikan diri, tidak akan mudah, dikejar, ha-ha-ha!"
Dua orang gadis itupun tersenyum mendengar kelakar guru mereka yang kadang penampilannya tidak mirip pendeta bahkan lebih mirip kanak-kanak.
Mereka memasuki kuil. Kuil yang tidak besar itu berada di tepi Sungai Wei, di kaki Bukit Bangau. Tempat yang cukup sunyi karena berada di luar dusun, bahkan jauh dari kota Mereka di" sambut oleh seorang nikouw (pendeta wanita) yang bertubuh kurus dan nampak bersih dan rapi. Usianya sekitar lima puluh tahun, masih cantik akan tetap dirinya di bungkus kesederhanaan yang wajar, matanya lembut dan gerak-geriknya nampak ringkih.
"Susiok (paman guru)!" Nikow itu memberi hormat kepada Kong Hwi Ho-siang yang tertawa-tawa.
"Pek-lian, ini adalah murid-murid pin-ceng, namanya Yang Kui Lan dan adiknya, Yang Kui Bi. Kui Lan dan Kui Bi, ini adalah murid keponakan pinceng, namanya Pek-lian Nikouw. Kalian boleh menyebut suci (kakak seperguruan) kepadanya dan dapat mengharapkan petunjuknya. Jangan mengira ia lemah ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat gerakan pin-ceng akan nampak lamban sekali!" Hwesio itu tertawa dan dua orang gadis itu terkejut dan kagum bukan main. Kalau guru mereka yang memiliki ilmu berlari secepat itu masih memuji ginkang nikow ini, sudah tentu ia memiliki kepandaian hebat bukan main.
"Omitohud. susiok selalu berkelakar dan terlalu memuji.," kata nikouw tua dengan lembut dan senyumnya amat ramah. "Dalam hal ilmu silat, pin-ni (saya) seperti semut dibandingkan susiok yang seperti gajah. Pin-ni hanya belajar sedikit ilmu untuk melarikan diri dari bahaya."
Kong Hwi Ho-siang tertawa terpingkal-pingkal. "Ha-ha-heh-heh, pin-ceng seperti gajah" Ha-ha-ha, sungguh tepat. Ketahuilah, PeK-lian, pin-ceng hendak menitipkan dua orang murid pin-ceng itu di sini. Tidak, mereka tidak harus menjadi nikouw, mereka hanya pinceng titipkan selama pin-ceng mengajar ilmu silat kepada mereka."
"Tentu saja, susiok. Mereka boleh tinggal di sini selama mereka sukai, asal tempat yang sederhana ini tidak membosankan hati mereka. Mari, kedua sumoi, mari masuk dan pin-ni pilihkan kamar yang pantas untuk kalian."
"Aih, suci, tidak perlu repot-repot mengurus kami. Sebaiknya kalau kami berkenalan dulu dengan para nikouw yang tinggal di sini," kata kui bi. Mereka lalu diperkenalkan dengan lima orang nikouw lain yang tinggal di kuil Thian-bun-tang itu.
Demikianlah, sejak hari itu, Kui Lan dan Kui Bi tinggal di kuil Thian-bun-tang dan setiap hari mereka melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh guru mereka. Kong Hwi Ho-siang sendiri tidak tinggal di kuil itu, hanya seminggu sekali datang untuk menggembleng dua orang muridnya diri pagi hingga malam. Juga mereka berdua mendapatkan petunjuk jalan ilmu meringankan tubuh dari Pek-lian Nikouw, dan mempelajari isi kitab-kitab agama dari para nikouw lain.
Atas kehendak Kong Hwi Ho-siang dua orang gadis ini tidak pernah keluar dari kuil sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa di kuil itu tinggal dua orang gadis cantik jelita Inilah sebabnya mengapa semua usia Menteri Yang untuk mencari kedua orang puterinya itu gagal.
Karena kakak beradik ini memang berbakat baik, apa lagi di bawah bimbingan yang tekun dari Kong Hwi Ho-siang, juga lingkungan hidup yang bersih rajin dan tekun dengan para nikouw, kedua orang gadis bangsawan itu memperoleh kemajuan pesat sekali. Pelajaran keagamaan juga merupakan hiburan yang baik, sekali dan dapat mengobati kerinduan mereka terhadap orang tua.
O0dw0O Apa yang dikhawatirkan Yang Kok Tiong terjadilah. Setelah An Lu Shan dianggap tidak bersalah oleh kaisar, bahkan menerima hadiah dan pujian atas kesetiaannya, memang tidak nampak tanda-tanda bahwa panglima peranakan Khitan Turki itu akan memberontak. Bahkan kaisar juga tidak menaruh curiga ketika An Lu Shan memperkuat pasukannya dengan alasan untuk memperkuat penjagaan di perbatasan utara.
Akan tetapi dua tahun kemudian An Lu Shan membuka kedoknya. Diam-diam dia bukan hanya menghimpun kekuatan pasukannya, bahkan juga mengadakan hubungan dan persekongkolan dengan suku-suku asing di utara, terutama dengan suku Khitan. Mulailah dia menggerakkan pasukannya menuju ke selatan. Mula-mula ia tidak ada yang curiga melihat gerakan ini, karena bukankah pasukan yang dipimpin An Lu Shan merupakan pasukan Kerajaan Tang" Dan panglima An Lu Shan tentu saja memiliki pasukan pilih yang terkuat dari Kerajaan Tang. Di membawa pasukan besarnya menyeberang Sungai Kuning, kemudian menyerbu Lok-yang tanpa kesulitan. Pasukan yang menjaga Lok-yang yang merupakan kota raja yang kedua setelah kota raja Tiang-an dikejutkan oleh serbuan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Lok-yang diduduki dengan mudahnya.
Gegerlah kota raja ketika kaisar mendengar berita itu. Dia bukan hanya terkejut, akan tetapi juga khawatir kali. Dengan tergesa-gesa Kaisar Ia mengerahkan seluruh pasukan untuk menyambut gerakan barisan pemberontak itu. Terjadilah pertempuran besar di Ling-pao yang berlangsung sampai dua pekan lebih. Namun, akhirnya pasukan pemerintah tidak kuat bertahan dan dapat dihancurkan dan sisa pasukan mundur ke benteng pasukan pemerintah di Terusan Tiong-koan. Terjadi perang besar di benteng Tiong-koan ini. Namun, pasukan pemberontak yang sudah lama membuat persiapan penyerbuan itu dan keadaannya jauh lebih kuat, dapat menghancurkan pertahanan pasukan pemerintahan sehingga benteng Tiong-koan juga bobol. Benteng pertahanan terakhir yang merupakan pintu gerbang ke kota raja, jatuh. Tentu saja hal ini membuat Kaisar Hsuan Tsung atau Beng Ong yang sudah berusia tujuh puluh tahun ini menjadi gentar. Kepanikan melanda keluarga kaisar, dan dengan tergesa-gesa Kaisar melarikan diri mengungsi ke barat, menuju ke Se-cuan.
Demikianlah, pasca tahun 755, An Lu Shan memimpin pasukannya menyerbu ibu kota Tiang-an dan boleh dibilang hampir tidak mendapatkan perlawanan. Hanya ada beberapa orang panglima yang setia melakukan usaha yang sia-sia untuk melawan sampai mati, namun pasukan kecil mereka tidak ada artinya terhadap balatentara besar yang menyerbu kota raja bagaikan air bah itu. Kota raja Tiang-an diduduki oleh An Lu Shan dan terjadilah apa yang ditakuti rakyat. Yaitu perampokan, perkosaan dan pembunuhan.
Sebagian besar keluarga kaisar tertumpas, para wanitanya yang muda dan cantik dipaksa menjadi selir atau bunuh. Yang diajak pergi mengungsi. Hanya kaisar hanyalah keluarga dekat, bahkan selirnya yang tak pernah terpisah dari sisinya hanyalah Yang Kui Hui! Selain selir yang tercinta ini, juga ikut pula Menteri Utama: Yang Kok Tiong, kakak kandung selir Yang Kui Hui itu. Yang Kok Tiong hanya seorang diri saja mengikuti kaisarnya yang melarikan diri. isterinya, berkeras tidak mau meninggalkan gedungnya karena ia akan menunggu kembalinya tiga orang anaknya yang telah menghilang selama dua tahun. Akhirnya, dalam kerusuhan itu, ketika para perajurit pemberontak merampok rumahnya dan ia akan di perlakukan tidak senonoh oleh seorang di antara mereka, nyonya yang cantik dan lembut ini memilih kematian dengan minum racun yang memang sudah ia persiapkan!
Selain Menteri Yang Kok Tiong dan Selir Yang Kui Hui, ada pula pasukan pengawal yang terdiri dari seratus orang lebih mengawal rombongan kaisar. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Kok Cu It, panglima berusia empat puluh dua tahun yang terkenal setia kepada kaisar, Panglima Kok Cu ini pula yang mati-matian menghimpun pasukan dan melakukan perlawanan di Terusan Tung-ku-an, akan tetapi akhirnya pasukannya terpukul hancur karena memang kalah besar dan kalah persiapan. Kini, dengan pasukan pengawal yang hanya seratus orang lebih, panglima ini tidak mau melarikan diri seperti rekan-rekannya, melainkan dengan setia dia mengawal kaisar melarikan diri ke barat.
Semula, Kaisar Beng Ong yang sudah tua itu masih merasa terhibur dalam pelariannya. Selirnya tercinta berada di sampingnya. Dan di situ masih terdapat Menteri Yang Kok Tiong yang setia dan dapat menjadi penasihatnya, juga terdapat pula Panglima Kok Cu It yang dapat dipercaya akan membelanya mati-matian.
Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa malapetaka datang bukan dari luar, melainkan dari pasukan pengawal itu sendiri. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah itu terjadi ketika rombongan pengungsi ini tiba di pos penjagaan di Ma-wei, di Sher si sebelah barat. Di tempat yang berada di perbatasan dengan Tibet ini, rombongan berhenti untuk beristirahat melewatkan malam. Para perajurit yang berjaga di pos itu berjumlah tiga losin orang dan mereka segera bergabung dengan pasukan pengawal yang menceritakan keadaan di timur yang telah diduduki para pemberontak.
Menteri Yang Kok Tiong tidak tinggal diam. Dia maklum bahwa rombongan telah tiba di perbatasan dengan daerah Tibet, dan untuk menyelamatkan dan mengamankan kaisarnya, sebaiknya kalau dia dapat menghubungi para tokoh di Tibet untuk mencari perlindungan bagi kaisarnya. Oleh karena itu, diapun segera mengadakan hubungan dengan para kepala Lama, yaitu pendeta di Tibet yang memegang kekuasaan di daerah itu, agar para pendeta itu dapat menerima rombongan pengungsi sebagai sahabat.
Akan tetapi, pada saat Menteri Yang Kok Tiong mengadakan perundingan dengan beberapa tokoh pendeta Lama di tendanya, terjadi perundingan lain di antara pasukan. Para perajurit yang menderita dalam pelarian itu, lelah dan lapar, juga harapan mereka semakin tipis, masa depan demikian suram. Kalau mula-mula mereka hanya mengeluh, kemudian mereka merasa penasaran. Para perwira yang menjadi pembantu-pembantu panglima Kok Cu mulai menyinggung tentang kelemahan kaisar yang menjadi permainan Selir Yang Kui Hui.
"Coba bayangkan, orang macam Yang Kok Tiong diangkat menjadi Menteri Utama! Hanya karena dia kakak selir itu maka dia diangkat menempati kedudukan tertinggi sesudah kaisar!"
"Dan sekarang, lihat saja! Dia malah bersekongkol dengan para pendeta Lama!"
"Jangan-jangan dia hendak mengkhianati kaisar. Melihat kaisar telah jatuh, dia kini menjilat kepada para pendeta Lama!"
"Seret pengkhianat Yang Kok Tiong!"
Segera mereka bersorak-sorak dari memaki-maki Menteri Yang Kok Tiong! Bahkan seratus dua puluh orang lebih itu kini menyerbu ke arah tenda yang menjadi tempat tinggal sementara dari Menteri Yang Kok Tiong!
Ketika itu, para pendeta Lama telah meninggalkan tenda Menteri Yang! Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar ribut-ribut di luar. Dia segera melangkah keluar, hanya untuk menghadapi amukan para perajurit. Menteri itu sama sekali tidak berdaya. Pada waktu itu, dia sudah tidak lagi dijaga oleh pengawal seperti ketika dia masih tinggal di kota raja. Dia tidak dapat melawan dan tewas seketika di bawah banyak senjata yang membuat tubuhnya hancur!
Mendengar keributan ini. Kaisar Beng Ong terkejut bukan main, demikian pula panglima Kok Cu It yang ketika peristiwa itu terjadi sedang berbincang-bincang dengan kaisar. Mereka berlari keluar dan Panglima Kok Cu sudah mencabut pedangnya untuk melindungi kasar.
Sementara itu, bagaikan srigala-srigala buas yang menjadi semakin ganas setelah merasakan sedikit darah, para perajurit pengawal setelah melumatkan tubuh Menteri Yang Kok Tiong yang mereka anggap menjadi seorang diantara mereka yang melemahkan negara an mengakibatkan kerajaan jatuh ke tangan pemberontak, kini berbondong-bondong menuju ke pondok darurat yang di bangun untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi kaisar.
"Bunuh Selir Yang Kui Hui!"
"Gantung iblis betina itu!"
-oo0w0ooo- Jilid 4 Kaisar dan Panglima Kok Cu it muncul di beranda loteng dan mereka melihat betapa semua pasukan telah berdiri di depan pondok dan sikap mereka seperti harimau yang haus darah! Ketika melihat kaisar dan Panglima Kok Cu It muncul di loteng, semua orang terdiam. Bagaimanapun juga, kaisar dan panglima itu masih memiliki wibawa besar yang membuat mereka gentar Han tunduk. Sekilas pandang saja tahulah Panglima Kok Cu bahwa semua perwira terlibat dalam unjuk perasaan itu, maka tidak mungkin melakukan tertib hukum, militer. Kalau mereka itu dihukum, sama saja dengan melenyapkan pasukan pengawal!
"Apa artinya semua ini?" terdengar suara Kok Cu It yang menggelegar.
"Kami mendengar kalian telah membunuh Menteri Yang! Dan sekarang kalian membikin ribut di sini. Apakah kalian hendak memberontak terhadap Sribaginda Kaisar?"
Kaisar sendiri juga berusaha menenangkan hati mereka. "Para perajurit dengarlah baik-baik. Kami mengerti bahwa kalian menderita kelaparan dan kehausan, kelelahan. Akan tetapi, kami tidak akan pernah melupakan jasa kalian. Jasa kalian masing-masing telah kami catat dan percayalah, Kerajaan Tang akan bangkit kembali dan setelah kita berhasil, kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang. tinggi. Kami percaya kalian adalah pahlawan-pahlawan, bukan pengkhianat."
Mendengar ucapan kaisar dan panglima mereka, para perajurit itu kini berteriak-teriak lagi.
"Hukum gantung Yang Kui Hui! ia telah meracuni istana, ia telah melemahkan kerajaan, mempermainkan Sribaginda!"
"Kami telah menghukum Yang Kok Tiong, dan kami akan menghukum Yang Kui Hui! Kerajaan Tang harus dibersihkan dari orang-orang yang mempermainkan kerajaan dan mau enaknya saja!"
Wajah kaisar menjadi pucat mendengar ini. "Ah, bagaimana ini, Kok-ciangkun......?" bisiknya kepada panglimanya dengan suara gemetar.
Kok Cu It mengamati keadaan para anak buahnya. Pendengarannya yang tajam mendengar bahwa di antara teriakan-teriakan mereka terdapat ancaman, bahwa kalau Kaisar tidak menghukum mati Ya Kui Hui, mereka akan membakar pondok itu dan membunuh seluruh keluarga kaisar! Pangeran Su Tsung, yaitu putera mahkota yang ikut pula naik keberanda loteng dan sejak tadi berdiri di belakang kaisar bersama Selir Yang Kui Hui juga mendengar teriakan-teriakan it Juga Yang Kui Hui mendengar teriakan itu. Selir ini sudah merasa sedih dan sakit hati sekali mendengar bahwa kakaknya dibunuh oleh para perajurit dan kini mereka berteriak-teriak menuntut agar ia dihukum mati!
"Sribaginda, hamba tidak melihat lain jalan...." kata Panglima Kok Cu It. Diam-diam, jauh di dasar lubuk hatinya, panglima ini tidak dapat menyalahkan sikap pasukannya. Memang semua orang tahu betapa Yang Kui Hui telah melemahkan istana, melemahkan kaisar dan dengan sendirinya juga melemahkan negara. Wanita ini menjadi rebutan antara anak dan ayah. Isteri Pangeran houw ini direbut oleh mertuanya sendiri dan setelah menjadi selir kaisar, semua kekuasaan kaisar dikendalikannya!
"Hukum Yang Kui Hui!"
"Iblis betina itu kekasih An Lu han si pemberontak!"
Teriakan-teriakan semakin berani. Yang Kui Hui maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya, lapun kini teringat akan semua sikap dan perbuatannya, yang dilakukan demi kesenangan iri sendiri dan keluarganya. Kini semua itu mengalami kegagalan dan ia harus berani menerima kenyataan. Maka, iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.
"Sribaginda, hukumlah hamba, gantunglah hamba kalau itu dapat meredakan kemarahan mereka..... hamba rela mati.... untuk menyelamatkan paduka..." katanya sambil menangis.
Kaisar yang amat mencinta selirnya ini terharu, mengangkat selirnya berdiri dan merangkulnya. Mereka berrangkulan sambil menangis.
"Tidak......, tidak......... Kui Hui, engkau tidak boleh dihukum mati ......" rintih kaisar yang tua itu dengan memelas. Melihat adegan romantis di atas loteng, di mana kaisar itu rangkulan dengan selir yang dibenci pasukan itu, mereka berteriak-teriak semakin ganas.
"Sribaginda...... relakan hamba..... hamba sudah menerima kasih sayang paduka yang berlimpahan..... sekaranglah saatnya hamba membalas jasa... dengan nyawa hamba untuk menyelamatkan paduka....." Kui Hui berkata di antara isak tangisnya. Iapun melepaskan diri dari pelukan kaisar.
"Kok-ciangkun, minta mereka menanti sebentar, aku mau berganti pakaian dulu, baru. aku akan menggantung diri di sini agar mereka semua dapat melihatnya ."
"Kui Hui......!" Kaisar berseru, akan tetapi selir itu telah berlari turun ke kamarnya. Kaisar tua itu hendak mengejarnya, akan tetapi terhuyung dan cepat Pangeran Su Tsung merangkulnya.
"Sribaginda, tidak ada jalan lain, harap paduka menguatkan hati paduka, semua ini demi negara!" kata Kok-ciangkun dan mendengar kalimat terakhir ini, kaisar mendapatkan tenaga baru, dan diapun mengangguk. Demi negara! Demi kerajaan! Dia harus mengorbankan Yang Kui Hui, selir tercinta.
Kok Cu It lalu berdiri di tepi loteng dan berseru dengan suara lantang bahwa Selir Yang Kui Hui siap menerima hukuman mati, dan agar para pe-rajurit tenang. Mendengar teriakan ini, semua perajurit menjadi diam dan suasana menjadi hening, namun mencekam sekali, menegangkan perasaan.
Tak lama kemudian Yang Kui Hui naik ke loteng dan ia telah mengenakan pakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya yang masih hitam dan panjang itu dibiarkan terurai dan ia tidak mengenakan perhiasan sebuahpun. Namun, dalam pakaian sederhana serba putih dan mengurai rambut itu, makin nampak kecantikannya yang aseli dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang sukar dicari bandingnya! Melihat selirnya sudah siap untuk mati, kaisar merangkulnya lagi.
"Kui Hui ah, Kui Hui........ bagaimana aku dapat membiarkan engkau mati meninggalkan aku......?"
Kui Hui juga menangis, akan tetapi ia menghibur kaisar. "Sribaginda, harap relakan hamba. Hamba akan menanti paduka di sana...." Selir itu lalu melepaskan rangkulan dan ia menyerahkan sebuah sabuk sutera putih kepada Kok Cu It untuk dipasangkan di galok melintang. Kok-ciangkun tanpa ragu lagi segera membuat tali penjirat yang tergantung di balok melintang, kemudian, setelah Yang Kui Hui merangkul dan mencium kaisar, ia lari dan dibantu Kok Cu It, selir ini memasukkan kepala nya di lubang jiratan yang dibuat di ujung sabuk, kemudian ia meloncat dan tubuhnya terayun-ayun, lehernya tergantung!
"Kui Hui......!" Kaisar merintih dan terkulai pingsan dalam rangkulan pangeran mahkota Su Tsung. Melihat tubuh selir itu tergantung dan meronta sebentar lalu terkulai, para perajurit yang menonton dari bawah bersorak gembira. Timbul lagi semangat mereka setelah kini dua orang yang mereka benci, yaitu Yang Kok Tiong dan Yang Kui Hui, telah tewas.
Setelah terjadinya peristiwa yang membuat hati kaisar terbenam dalam duka, rombongan itu melanjutkan pengungsian mereka ke daerah Se-cuan. Dan di sepanjang jalan, Panglima Kok Cu it berhasil menghimpun pasukannya, yaitu menampung para perajurit yang melarikan diri dan yang menyusul ke barat untuk bergabung dengan kaisar mereka.
Setelah Yang Kui Hui tidak ada lagi, Kaisar Hsuan Tsung atau Kaisar Beng Ong yang berusa tujuhpuluh tahun itu tidak mempunyai semangat lagi dan diapun melimpahkan tahta kerajaan kepada pangeran mahkota, yaitu Pangeran Su Tsung.
Dan di tempat pengungsian ini, Kaisar yang baru, Kaisar Su Tsung, dibantu oleh Panglima Kok Cu It dan para pengawal yang masih setia, membangun kembali kekuatan Kerajaan Tang. Berkat kebijaksanaan Panglima Kok Cu It yang menjanjikan imbalan besar kepada mereka, pasukan Kerajaan Tang mendapat bantuan dari orang-orang Turki, bahkan mendapat bantuan pula dari Caliph, yai tu panglima kerajaan Arab, dan beberapa suku bangsa lain. Akhirnya, dengan balatentara campuran ini, Panglima Ko Cu It mulai bergerak ke timur untuk merebut kembali Kerajaan Tang yang terjatuh ke tangan An Lu Shan. Dan terjadilah perang yang berkepanjangan.
Setelah jenazah Yang Kui Hui dikubur secara sepantasnya, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan, Kaisar Hsuan Tsung mengadakan percakapan rahasia dengan Pangeran Mahkota dan dengan Panglima Kok Cu It. Hanya mereka bertiga saja yang bicara di dalam ruangan itu, tidak boleh dihadiri orang lain.
Mula-mula kaisar dan pangeran mahkota berdua saja yang duduk di dalam ruangan itu, dan para pengawal disuruh menjaga di luar ruangan. Kemudian datanglah Panglima Kok Cu It dengan wajah muram, dan begitu dia muncul, kaisar sudah cepat bertanya.
"Bagaimana, ciangkun, berhasilkah menemukannya?"
Panglima itu dengan murung menggeleng kepala. "Tidak berhasil, Sribaginda. Hamba tidak dapat menemukannya di dalam pakaian yang dipakainya, juga di antara perbekalan di dalam tendanya, hamba tidak dapat menemukan pusaka itu."
Panglima itu dipersilakan duduk dan mereka bertiga nampak murung. "Akan tetapi, kenapa ayahanda menitipkan pusaka yang amat penting itu kepada Paman Yang Kok Tiong?" kata sang pangeran dengan nada suara menyesal.
Ayahnya menghela napas panjang "Keadaan amat gawat dan kami tiaak melupakan untuk membawa pusaka itu ketika mengungsi. Dan kami yakin bahwa pusaka itu tentu akhirnya akan diperebutkan orang, karena menjadi lambang kekuasaan. Untuk mengamankan, diam-diam kami titipkan kepada Menteri Yang. tidak akan dicari orang, dan tidak kan ada yang mengira bahwa pusaka ada padanya. Siapa tahu hari ini terjadi malapetaka yang mendadak tidak disangka-sangka?"
"Ampun, Sribaginda. Kiranya tidak perlu disesalkan hal yang telah terjadi. Yang terpenting, kita harus dapat menemukan kembali pusaka itu dan sementara ini, kehilangan itu harus dirahasiakan karena kalau sampai terdengar rakyat, tentu dukungan mereka terhadap paduka menjadi lemah "
"Apa yang dikatakan Paman Panglima Kok memang benar, ayahanda. Tanpa adanya pusaka itu, hamba sendiri akan merasa lemah menunaikan tugas."
Kaisar mengangguk-angguk dan mereka bertiga terbenam ke dalam kekhawatiran. Pusaka apa yang membuat mereka bertiga begitu cemas karena dinyatakan hilang"
Sejak Kerajaan Tang berdiri, satu setengah abad yang lalu, semenjak kaisar pertama Kerajaan Tang memerintah, yaitu Kaisar Tang Kaocu, Kerajaan Tang memiliki banyak pusaka yang menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi di antara semua pusaka yang ada, yang dianggap terpenting dan sebagai pusaka tanda kekuasaan adalah sebuah benda mustika yang amat kuno dan amat indah. Benda itu adalah sebuah kemala yang amat luar biasa karena dalam sebongkah kemaia itu terdapat warna merah, putih, hijau dan hitam. Jarang ada kemala yang mengandung beraneka warna seperti itu.
Hiasan kemala itu diukir amat halusnya, berbentuk seekor burung Hong yang sedang terbang membentangkan sayapnya. Ukiran itu sedemikian halusnya sehingga seolah hidup saja, dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar. Bukan Saja benda ini amat indah dan amat berharga, merupakan benda langka, namun lebih dari pada itu, benda ini dianggap memiliki daya atau pengaruh sehing ga menjadi kepercayaan umum bahwa siapa yang memiliki benda itu, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi kaisar! Seolah benda itu diturunkan dari langit sebagai tanda kekuasaan Kaisar! Kepercayaan ini merupakan tahyul yang sudah berakar mendalam di hati keluarga Kerajaan Tang dan bahkan semua pong gawanya.
Inilah sebabnya, mengapa ketika kaisar Hsuan Tsung kehilangan mestika itu, dia, pangeran mahkota, dan panglima Kok termangu dan berduka. Kalau sampai berita tentang kehilangan mestika itu terdengar keluar, maka sukar sekali mengharapkan dukungan rakyat untuk bergerak dan bangkit kembali. Raja yang sudah kehilangan giok-hong (Hong Kemala) berarti sudah kehilangan hak untuk menjadi raja!
"Ah, mungkinkah dia mengkhianati kami?" Kaisar yang tua itu mengepal tinju. "Keparat engkau Yang Kok Tiong kalau engkau mengkhianati kami dan memberikan mestika itu kepada orang lain!"
"Ayahanda tentu maklum bahwa Paman Yang mempunyai tiga orang anak, se orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Bahkan kabarnya ketika terjadi penyerbuan di kota raja, tiga orang anaknya itu belum pulang. Mereka tentu selamat dan mengapa mereka tidak menyusul kita, padahal ayah mereka berada bersama kita" Ini tentu ada sebabnya. Hamba tidak akan merasa heran kalau kelak ternyata bahwa mestika itu berada di tangan seorang di antara a-naknya!"
"Mungkin sekali itu. Keparat engkau, Yang Kok Tiong!" Kaisar memaki-maki menterinya yang sudah tewas.
Panglima Kok Cu It menyabarkan dan menenangkan hati ayah dan anak itu. "Hamba kira, hal itu kelak akan dapat kita selidiki. Hamba kelak akan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menemukan kembali mestika itu. Sekarang, sebaiknya kita tidak ribut-ribut dan merahasiakan hal ini, seolah mestika itu masih ada pada paduka. Yang terpenting sekarang adalah menghimpun tenaga agar kita dapat membalas kekalahan kita dari An Lu Shan."
Kaisar tua mengangguk-angguk. Pangeran mahkota Su Tsung yang masih cemas dengan kehilangan mestika itu yang akan membuat dia merasa hampa kalau kelak menjadi kaisar tanpa memilikinya, segera bertanya, "Akan tetapi, Paman Panglima.Bagaimana kalau nanti para pimpinan kelompok yang kita mintai ban tuan mengetahui bahwa mestika itu tidak ada pada kita lagi" Bagaimana kalau mereka minta agar ayahanda Kaisar memperlihatkan mestika itu kepada mereka" Ingat, suku-suku bangsa di sini, terutama bangsa Uigur yang kita harapkan sekali bantuannya, amat percaya a-kan lambang kekuasaan itu."
"Paduka benar, Pangeran, akan te tapi jangan khawatir, hamba akan mempersiapkan tiruannya!"
Demikianlah, kehilangan mestika itu tetap menjadi rahasia karena setelah tukang yang pandai membuatkan sebu ah mestika tiruan yang dilihat begitu saja serupa dengan yang aseli, diam-diam Panglima Kok Cu membunuhnya. Mestika Hong Kemala yang palsu itu lalu diserahkan kepada Kaisar. Ketika ka isar menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran MaKkota, maka mestika palsu itupun diberikan kepadanya.
Beberapa kali mestika itu diperlihatkan sepintas lalu kepada para pimpinan kelompok atau suku bangsa sehing ga mereka semua percaya bahwa kaisar baru itu masih memiliki Mestika Hong Kemala, maka mereka bersemangat memban tunya karena mereka percaya bahwa barang siapa memiliki mestika itu, dia pasti akan berhasil menjadi raja!
0odwo0 Bukit itu disebut orang Bukit Hitam, berdiri tegar di seberang utara Sungai Yang-ce. Disebut Bukit Hitam karena memang bukit itu selalu nampak hitam! Pohon-pohon yang tumbuh di situ, hutan-hutan, nampaknya memang kehitam hitaman atau hijau tua dan gelap. Dan bukit ini merupakan tempat yang ditakuti orang, karena selain terdapat banyak ular-ular yang beracun, juga menjadi tempat pelarian dan persembunyian para penjahat yang dikejar-kejar yang berwajib atau di kejar-kejar para pendekar. Bahkan terdengar desas-desus bahwa hutan-hutan di bukit itu juga dihuni oleh setan dan iblis, menjadi sarang siluman yang suka mengganggu manusia. Tidak mengherankan kalau hampir tidak pernah ada orang berani mendaki nya, bahkan para pemburu yang terkenal berani dan gagah sekalipun, akan berpikir seratus kali untuk memburu binatang hutan di bukit itu.
Akan tetapi, pada pagi hari itu para petani yang sedang menggarap sawah di kaki bukit sebelah timur, menghentikan pekerjaan mereka dan mata mereka terbelalak memandang kepada seorang gadis yang melenggang seorang diri melalui jalan dusun itu menuju ke arah Bukit Hitam! Kalau saja gadis itu merupakan seorang wanita yang berwajah mengerikan, atau setidaknya nampak seperti seorang wanita kang-ouw yang gagah perkasa, agaknya para petani tidak akan menjadi bengong memandangnya. Akan tetapi, gadis itu demikian cantik jelita dan lembut, langkahnya juga lemah gemulai seperti orang menari saja. Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, dan ia cantik jelita, wajahnya yang bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam lebat dan agak berombak, dengan anak rambut bermain di dahi dan pelipis, melingkar-lingkar. Akan tetapi yang teramat indah adalah matanya dan mulut nya. Sepasang mat itu lebar dan bersinar-sinar, dengan kedua ujung agak menyerong ke atas dan mata itu makin indah karena dihias bulu mata yang panjang lentik. Dan mulutnya! Bibir itu selalu nampak basah dan merah segar, lengkungnya seperti gendewa terpentang, kalau senyum sedikit saja nampak lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Mulut itu menantang dan menggemaskan! Tubuhnya ramping dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya memang sederhana, terbuat dari kain yang kasar, namun bersih dan karena bentuk tubuhnya memang menggairahkan, mengenakan pakaian apapun akan pantas saja.
Agaknya gadis yang melangkah seorang diri sambil senyum-senyum pada burung-burung yang beterbangan, kepada kerbau-kerbau yang meluku di sawah, kepada para petani, menyadari pula bahwa orang-orang itu berhenti bekerja dan memandangnya penuh perhatian. Namun, pandangan mata para petani itu jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit, dengan pandang mata para pemuda yang pernah dijumpainya selama ini. Pandang mata para pemuda, terutama pemuda kota mengandung kekurangajaran dan kegenitan. Sebaliknya, pandang mata para petani itu hanya membayangkan keheranan dan keinginan tahu. ia lalu menghampiri mereka.
"Para paman yang baik, benarkah dugaanku bahwa bukit di depan itu yang dinamakan orang Bukit Hitam?"
"Betul nona," kata seorang di antara mereka, seorang petani berusia limapuluh tahun lebih.
"Ah, kalau betul dugaanku. Nah, terima kasih, paman. Pagi ini cerah sekali, aku ingin cepat-cepat sampai di sana." Gadis itu meninggalkan senyum yang manis sekali kepada mereka lalu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanannya sambil memandang ke arah bukit itu.
"Maaf, nona, apakah nona hendak pergi mendaki Bukit Hitam?"
Suara kakek itu yang membuat si gadis cepat membalikkan tubuh menghadapinya dan memandangnya. Dalam suara kakek itu terkandung kekhawatiran besar.
"Benar, paman. Kenapa?"
"Aahhh.......!" Semua orang yang mendengar jawaban ini mengeluarkan suara seruan kaget dan khawatir, membuat gadis itu makin tertarik.
"Nona, kami tahu bahwa nona tentulah bukan orang dari daerah sini. Nona agaknya belum mengenal Bukit Hitam maka berani hendak mendakinya. Tentu nona belum pernah ke sana, bukan?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Belum pernah, paman, akan tetapi kenapa?"
"Aihh, kalau begitu, kami mohon sebaiknya nona jangan sekali-sekali mendaki bukit itu! Maut yang mengerikan menanti nona di sana!" Kakek itu menunjuk ke arah Bikit Hitam dan mukanya agak pucat.
"En, kenapa begitu" Ada apanya sih di atas sana?" Gadis Itu memandang dan menunjuk ke arah bukit, mulutnya tetap tersenyum.
"Apa saja yang dapat mencabut nyawa berada di sana, nona!" kata petani itu. "Binatang buas, ular-ular berbisa, penjahat-penjahat pelarian yang menyembunyikan diri, dan belum lagi... setan dan iblis, siluman dan segala ma cam arwah penasaran menjadi penghuni hutan di bukit itu!"
Gadis itu membelalakkan matanya yang lebar sehingga mata itu nampak seperti sepasang bintang yang cemerlang "Ih, kalau benar di sana terdapat demikian banyaknya pencabut nyawa, kenapa kalian enak-enak saja bekerja di sini, di kaki bukit itu tanpa rasa takut?"
"Di sini lain lagi halnya, nona. Bukit itu telah menjadi bukit yang ditakuti semenjak nenek moyang kami yang tinggal di sini. Siapapun yang berani ke bukit itu, pasti akan mengalami kematian mengerikan. Akan tetapi, belum pernah penghuni di kaki bukit ada yang diganggu. Maka, sekali lagi, kalau nona hanya hendak melihat pemandangan alam, pergilah ke bukit lain, jangan ke Bukit Hitam."
"Benar, nona, jangan pergi ke sana. Engkau masih begini muda..... betapa mengerikan kalau engkau menjadi korban pula!" kata seorang petani lain.
Gadis itu tersenyum. "Terima kasih atas nasihat para paman di sini. Akan tetapi aku mempunyai urusan dan keperluan di bukit itu. Nah, selamat tinggal!" Gadis itu melangkah lagi.
"Nona......, nona. . . . !" Petani itu masih berteriak gelisah. "Urusan apa yang nona punyai di tempat seperti itu?"
Sambil terus melangkah dan menoleh sedikit gadis itu manjawab, "Urusanku justeru ingin bertemu dengan binatang buas, ular berbisa, penjahat dan setan siluman!"
Mendengar jawaban ini, para petani menjadi bengong! Kemudian, mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika mereka melihat gadis itu berkelebat dan bayangannya lenyap ke arah bukit itu!
"Hiii.... ia..... ia...." seorang tergagap.
"si..... si... siluman.." yang lain menyambung.
Belasan orang petani itu lalu bergerombol, saling berhimpitan dan dengan tubuh gemetar menanti melapetaka apa yang akan menimpa mereka. Baru setelah lewat sejam dan tidak terjadi se suatu, mereka berani melanjutkan, akan tetapi sama sekali tidak berani membicarakan gadis tadi selama mereka bekerja di sawah. Baru nanti setelah mereka pulang, akan ramailah di dusun mereka mendengar kisah yang aneh tentang gadis cantik yang berani mendaki Bukit Hitam dan pandai menghilang. Mereka semua yakin bahwa gadis cantik tadi pastilah siluman!
Begitu banyaknya orang membicara kan tentang setan iblis dan siluman dan mereka semua takut kepada siluman. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang benar-benar melihat siluman. Mereka sudah banyak mendengar tentang setan, akan tetapi belum pernah melihatnya sendiri secara jelas. Kalau pun ada yang pernah melihatnya, yang terlihat hanya bayangan atau samar-samar saja sehingga tidak dapat ditentukan bahwa yang dilihatnya adalah setan! Justeru inilah yang mendatangkan rasa takut, justeru karena tidak dapat dilihat. Andaikata setan dan iblis dapat dilihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia lagi. Mahluk yang paling buas dan besarpun, asalkan dia dapat dilihat, mudah ditaklukkan oleh manusia. Setan dan iblispun, kalau terlihat, tentu akan dapat ditaklukkan manusia. Rasa takut timbul karena ulah permainan pikiran. Pikiran membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran membayangkan hal yang belum ada, yang belum terjadi. Orang takut terkena penyakit karena dia belum sakit. Kalau dia sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu, yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa dan sebagainya dan selanjutnya.
Siapakah gadis cantik jelita yang demikian besar nyalinya mendaki Bukit Hitam, bahkan yang seolah dapat menghilang dari pandang mata para petani" ia bukanlah siluman, bukan iblis atau setan, ia seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dan ia bukan lain adalah Can Kim Hong!
Dua tahun telah lewat semenjak Kim Hong diselamatkan oleh seorang kakek gagu dari tangan gurunya sendiri dan putera gurunya, yaitu Bouw Hun dan puteranya, Bouw Ki. Bouw Ki, suhengnya itu, tergila-gila kepadanya dan hendak memaksanya menjadi isterinya, dibantu oleh ayah suhengnya atau gurunya sendiri. ia melarikan diri akan tetapi dapat disusul mereka, dan tentu ia akan terjatuh ke tangan mereka kalau saja tidak muncul kakek gagu yang mengalahkan ayah dan anak itu, kemudian yang mengantarkan Kim Hong menyeberangi sungai ke pantai sebelah selatan.
Setelah tiba di tepi sungai sebelah selatan, Kim Hong hendak memberi upah kepada tukang perahu yang gagu itu, akan tetapi si tukang perahu menolak, kemudian mencoba untuk menyatakan isi hatinya dengan gerakan tangan. Namu n, Kim Hong tidak mengerti.
"Aih, paman yang gagah dan baik, apa sih yang hendak kaukatakan dengan gerakan jari tangan itu" Aku tidak mengerti!" kata Kim Hong.
Si gagu tersenyum dan diam-diam Kim Hong merasa senang kepada kakek itu. Bukan hanya karena kakek itu dengan amat mudahnya mengalahkan gurunya yang merupakan datuk orang Khitan, akan tetapi juga senyum kakek itu membuat wajahnya nampak ramah dan menyenang kan, juga masih nampak betapa si gagu ini adalah seorang pria yang tampan. Dari bentuk wajahnya, sinar matanya, dapat diduga bahwa si gagu ini bukan orang kebanyakan, karena selain wajahnya tampan dan nampak rapi dan bersih, juga matanya mengandung wibawa yang besar. Pakaiannya serba hitam sederhana, bahkan caping lebar yang menutupi kepalanya juga hitam. Yang putih hanya rambutnya, yang panjang dan tiga perempat bagian sudah putih.
Sambil tersenyum si gagu lalu membuat coretan di atas tanah dengan sebatang ranting. Kim Hong membaca coret-coretan yang membentuk huruf itu.
"Di depan terdapat para penjahat yang jauh lebih berbahaya dari pada dua orang tadi," demikian bunyi tulisan i ru.
Kim Hong tersenyum. Kiranya o-rang ini hendak memperingatkan ia bahwa kalau ia melanjutkan perjalanan, akan banyak menemui penjahat yang bahkan lebih lihai dari pada gurunya!
"Aku tidak takut, paman!" katanya.


Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si gagu menulis lagi. Coretannya cepat dan bertenaga sehingoa membentuk huruf-huruf yang dalam dan mudah dibaca di atas tanah.
"Keberanian tanpa didasari kekuatan suatu kesombongan yang bodoh dan sia-sia. Nona berbakat, kalau mau menjadi muridku tentu akan memiliki bekal yang kuat untuk melakukan perjalanan seorang diri," kata tulisan itu.
Kim Hong tertegun dan termenung, ia harus mencari ayah kandungnya, akan tetapi kalau baru saja keluar sudah hampir gagal karena ia kurang mampu membela diri, bagaimana kalau di depan benar-benar bertemu lawan yang lebih lihai dari Bouw Hun" Usahanya akan sia sia, dan iapun akan tertimpa malapetaka. Setelah mempertimbangkan, dan yakin akan kemampuan si gagu, tiba-tiba Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan tukang perahu itu dan memberi hormat.
"Teecu (murid) Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu......" Kim Hong memandang ke atas tanah sebagai isyarat bahwa ia menunggu jawaban orang itu dengan tulisan. Si gagu kembali tersenyum lebar dan ujung ranting itu cepat mencoret beberapa huruf di atas tanah.
"Hek-Liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu!" Kim Hong membaca dan ia kembali memberi hormat.
"Teecu Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu Kwan Bhok Cu yang berjuluk Naga Hitam!"
Kembali pria itu menuliskan diatas tanah setelah dengan ranting dia menghapus tulisan tadi sehingga permukaan tanah rata kembali.
"Aku mau menjadi gurumu, dengan syarat bahwa selama dua tahun engkau ikut ke manapun aku pergi, mentaati semua perintahku, berlatih dengan tekun dan sekali saja engkau mencoba meninggalkan aku sebelum kuberi ijin, aku akan membunuhmu. Bagaimana?"
Kim Hong terkejut. Betapa kerasnya peraturan orang ini. Akan tetapi, karena ia ingin sekali memiliki ilmu kepandaian yang dapat mengalahkan o-rang seperti gurunya, maka dengan nekat iapun mengangguk dan menjawab dengan suara yang tegas. "Teecu bersedia!"
Si gagu lalu memberi isyarat kepada Kim Hong untuk naik kembali ke dalam perahu kecil. Kim Hong mentaati dan merekapun kembali ke dalam perahu. Si gagu mendayung perahu yang meluncur cepat seperti anak panah terlepas dari busu rnya.
Demikianlah, semenjak hari itu, Kim Hong menjadi murid Si Naga Hitam yang gagu. Dia digembleng dengan keras dan tekun, dan karena Kim Hong memiliki bakat yang baik, dan iapun sudah memiliki dasar ilmu silat yang cukup mendalam berkat pendidikan Bouw Hun, maka dalam dua tahun digembleng, ia memperoleh kemajuan yang amat pesat. Bukan hanya ilmu silat, tenaga sakti sin-kang dan juga ilmu meringankan tubuh, akan tetapi juga gadis itu menerima ilmu bermain di dalam air. ia bukan saja pandai renang seperti ikan, akan tetapi juga tahan menyelam sampai lama, tidak seperti kemampuan orang biasa, dan di dalam airpun ia dapat bergerak dengan gesit.
Selama dua tahun lebih, Kim Hong membuktikan bahwa biarpun ia suka berkelakar, lincah galak Jenaka dan ugal ugalan, namun ia taat dan tekun berlatih sehingga belum pernah gurunya yang gagu itu merasa kecewa atau menyesal. Bahkan sejak mempunyai Kim Hong sebagai muridnya, si gagu itu nampak selalu cerah dan berseri, selalu gembira dan diam-diam dia amat menyayang gadis itu seperti anaknya sendiri. Itulah se babnya maka dia ingin menjadikan Kim Hong seorang gadis yang benar-benar tangguh.
Pada suatu hari, ia memanggil Kim Hong dan gadis itu seperti biasa, telah mempersiapkan sebatang ranting untuk menjadi alat tulis bagi gurunya sebagai pengganti kata-kata. Akan tetapi, kalau ada orang lain melihat cara guru itu "bicara" kepada muridnya melalui tulisan, mereka akan terlongong heran. Si Naga Hitam sama sekali tidak mencoret ke atas tanah lagi seperti dua tahun yang lalu, melainkan dia menggunakan ranting itu untuk membuat gerakan mencoret-coret di udara! Dan hebatnya, Kim Hong dapat mengikuti setiap gerakan corat coret itu dan membacanya, walaupun tentu saja dipandang dari sudutnya yang berhadapan, huruf-huruf yang ditulis di udara itu terbalik! Inilah merupakan semacam ilmu yang dikuasainya karena kebiasaan. Selama dua tahun, gurunya selalu bicara engan coretan huruf dan gadis itu sedemikian hafal dengan gerakan itu sehingga lambat laun, gurunya tidak perlu lagi menulis di atas tanah, cukup membuat gerakan menulis di udara. Dan "ilmu" ini ternyata mendatangkan kemajuan pesat bukan main dalam ilmu silat Kim Hong, karena pandang matanya kini amat peka dan tajam, dapat mengikuti gerakan ranting yang sengaja dipercepat oleh si gagu kalau dia menuliskan huruf di udara.
"Semua ilmu simpanan telah kuajarkan padamu," demikian bunyi coret n di udara itu, diikuti dengan seksam oleh Kim Hong. "Akan tetapi aku ingin engkau memiliki kekebalan terhadap segala macam racun sehingga engkau tidak dapat dicurangi lawan yang jahat dan yang suka menggunakan racun untuk menjatuhkan lawan. Untuk keperluan itu, sekarang juga engkau harus pergi mencarii Ang-thouw-hek-coa (Ular Hitam Kepala Merah). Jangan kembali ke sini sebelum engkau membawa seekor Ang-thouw coa. Pergilah engkau ke Bukit Hitam di lembah sungai Yang-ce sebelah utara.
Tempat itu amat berbahaya, dan engkau berhati-hatilah. Sekali terkena gigitan ular itu, kekuatan tubuhmu tidak akan mampu melindungimu. "Nah, berangkat lah dan jangan ragu!"
Seperti biasa, Kim Hong menaati perintah ini. Setelah membawa bekal pakaian, iapun berangkat. Dan pada suatu pagi, tibalah ia di kaki Bukit Hitam dan sikapnya membuat para petani di kaki bukit itu terkejuf dan ketakutan, mengira ia seorang siluman.
0odwo0 Biarpun Kim Hong memiliki watak yang lincah Jenaka, galak dan ugal-ugalan, akan tetapi iapun selalu waspada dan tidak ceroboh. Apa lagi melihat sikap para petani di kaki bukit, ia tahu bahwa bukit yang didaki itu merupakan tempat yang berbahaya, Juga gurunya menuliskan bahwa Bukit Hitam merupakan tempat berbahaya dan ia harus berhati-hati. Itulah sebabnya, setelah memasuki hutan pertama, ia mendaki dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa waspada terhadap sekelilingnya.
Dalam keadaan seperti itu, gadis ini waspada dan seluruh pancaindera dan urat syarafnya dalam keadaan peka dan siap siaga sehingga ada gerakan sedikit saja, ada bau apa saja dar pendengaran apa saja, ia pasti dapat menang kapnya dengan cepat. Inilah hasil dari kepekaan yang didapat karena selama dua tahun lebih, setiap hari ia mengikuti dan menangkap gerakan ranting di tangan suhunya setiap kali nbcaran ke padanya. Bukan hanya matanya yang amat jeli, juga pendengarannya sehingga ia dapat mengikuti gerakan ranting di tangan suhunya dengan pendengarannya saja. Tanpa melihatpun, ia dapat mendengarkan dan mengetahui huruf apa yang ditulis suhunya di udara!
Tiba-tiba ia berhenti, hidungnya yang kecil mancung itu bergerak-gerak sedikit, atau lebih tepat lagi, cuping hidung yang tipis itu kembang kempis, ia mencium sesuatu! Di dalam hutan seperti itu yang hawanya lembab, memang terdapat banyak macam bau yang ditimbulkan oleh kebasahan tanah yang ditilami daun-daun kering membusuk, daun-daun yang basah, kembang-kembang hutan, kotoran binatang, dan sebagainya. Akan tetapi Kim Hong mencium bau bangkai! Tentu saja karena tidak berpengalamanan dalam hal ini, ia tidak dapat membedakan bangkai apa yang menghamburkan bau busuk itu, bangkai binatang ataukah manusia, ia menghampiri dan menutupi hidungnya ketika melihat bahwa yang berbau busuk itu adalah mayat seorang manusia. Agaknya baru beberapa hari orang laki-laki itu tewas. Mukanya belum rusak, akan tetapi kulitnya sudah muai rusak dan membusuk. Sekali pandang saja tahulah Kim Hong bahwa orang itu tewas karena luka berat di kepalanya, bahkan kepala itu melihat bentuknya sudah tidak utuh lagi, retak atau pecah. Dan ia melihat tanda penghitam seperti jari-jari tangan di pelipis kanan mayat itu.
Kim Hong melanjutkan perjalanannya, mendaki ke atas. Dan di sepanjang perjalanan mendaki yang sukar karena tempat itu licin dan banyak terdapat jurang yang curam, ia melihat mayat-mayat berserakan. Semua ada tujuh orang banyaknya! ia semakin waspada. Betul pesan suhunya, dan benar pula keterang an para petani tadi. Tempat ini berbahaya sekali. Melihat keadaan tujuh orang itu, yang tewas dengan tanda-tanda bekas jari menghitam, mereka tentulah bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata bertubuh tegap dan kokoh kuat, dan di dekat mereka selalu terdapat senjata, agaknya senjata mayat itu. Ada pedang, golok, tombak dan lain-lain, yang kesemuanya menunjukkan senjata yang cukup baik. Ada pembunuh yang meninggalkan tapak jari hitam di tempat ini, pikirnya!
Suara mendesis dari sebelah kiri membuat Kim Hong meloncat dan menjauh. Seekor ular yang panjangnya satu setengah depa bergerak cepat ke arahnya. Ular itu agaknya galak, berani menyerang manusia. Akan tetapi bukan ular yang ia cari karena ular ini belang-belang, dan panjang. Pada hal Ang-thouw-hek-coa, menurut suhunya, hanya sebesar ibu jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari dua tiga jengkal saja. Tangan Kim Hong menyambar sebatang ranting dan sekali ranting bergerak, ular itu melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat sekarat dengan kepala tertembus ujung ranting yang menghunjam ke dalam tanah.
Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara nyanyian aneh, terdengar asing sekali baginya, lapun menyelinap di antara pohon-pohon dengan tetap waspada karena ia tidak mau kalau tiba-tiba kakinya dipagut ular berbisa, ia menyusup-nyusup sampai ke tempat dari mana suara itu datang dan tak-lama kemudian, ia sudah mengintai dari balik semak belukar dengan mata terbelalak heran.
Tigabelas orang duduk bersila di tempat terbuka dalam setengah lingkaran. Di depan setiap orang nampak sebatang hio besar menancap di atas tanah dan terbakar membara, mengeluarkan asap yang baunya aneh. Bau ini tadi bah kan pernah tercium oleh Kim Hong, akan tetapi disangkanya bau itu datang dari semacam kembang yang tidak dikenalnya. Dan tigabelas orang inilah yang bernyanyi, nyanyian dalam bahasa aneh yang tidak dikenalnya. Melihat pakaian mere ka, orang-orang itu tentu bangsa campuran. Ada yang berpakaian Han, ada yang seperti pakaian orang Uigur Man-cu, dan Mongol. Mereka terdiri dari se puluh orang laki-laki dan tiga orang wanita, usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun.
Suara nyanyian mereka semakin meninggi dan menggetarkan suasana. Kim Hong terkejut dan cepat mengerahkan sin-kan untuk melawan pengaruh suara yang menggetarkan jantungnya itu. Dan tak lama kemudian, tercium bau yang memuakkan, amis dan keras, dan nampak puluhan ekor ulat berbondong-bondong datang, berlenggang-lenggok memasuki tempat itu, ke dalam setengah lingkaran, berkumpul di tengah dan mereka nampak jinak-jinak! Ular-ular terus berdatangan sehingga jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor, ada yang besar ada yang kecil dan dari bermacam warna. Dengan tertarik sekali Kim Hong me mandang dan mengamati dari tempat pengintaiannya, akan tetapi hatinya kecewa. Tidak seekorpun di antara banyak ular itu yang warnya seperti ular yang dicarinya. Tidak ada Ang-thouw-hek-coa di situ!
Melihat demikian banyaknya ular, biarpun ia tidak takut, namun ia merasa jijik dan otomatis tangannya menyam bar sebatang ranting untuk mempersiap kan diri kalau-kalau ular-ular menjijikkan itu tiba-tiba menyerangnya. Gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun kepala suku Khitan, pernah memberi tahu kepadanya bahwa untuk menghadapi ular-ular, paling baik mempergunakan ranting, terutama sekali ranting bambu. Sekali saja terkena sabetan ranting yang sebesar jari tangan, ruas tulang seekor ular dapat dibuat terlepas dan binatang itu tentu tidak dapat lari lagi. Menggunakan pemukul yang besar tidak menguntungkan karena ular itu pandai mengelak dengan tubuhnya yang berkulit licin. Sabetan ranting kecil yang melintang tidak dapat dielakkan.
Kini tigabelas orang itu, yang tadinya bersila, berlutut dan menyembah-nyembah ke arah sekumpulan ular, dan mulut mereka masih mengeluarkan suara nyanyian aneh itu. Kim Hong dapat menduga bahwa mereka ini adalah segerombolan orang sesat penyembah ular! Pernah ia mendengar dari Bouw Hun bahwa memang terdapat orang-orang yang menyembah ular yang dianggap sebagai dewa-dewa tanah. Dan orang-orang seperti itu memiliki ilmu menalukkan ular, mereka adalah pawang-pawang ular yang pandai dan juga ahli racun ular sehingga merupakan musuh yang amat berbahaya! Akan tetapi menurut guru pertamanya itu, para penyembah ular ini bukan orang yang suka melakukan kejahatan, tidak suka merampok atau mengganggu orang lain dan hanya bertindak keras kalau diganggu. Mereka mendapatkan penghasilan dari menjual racun-racun ular kepada rumah-rumah obat yang membutuhkan racun untuk berbagai keperluan pengobatan. Mereka ahli mengolah racun berbagai macam ular menjadi pel, dan setiap macam racun ular tertentu mempunyai manfaat tertentu pula. Racun-racun yang sudah menjadi pel itu amat mahal sehingga kehidupan para penyembah ular ini cukup makmur.
Tiba-tiba datang pula seekor ular besar dan ular itu menggigit bangkai seekor ular lain. Melihat ini, berdebar rasa jantung Kim Hong karena ia melihat betapa ular yang mati dan yang dibawa ular besar itu masih tertusuk ranting. Itulah ular yang menyerangnya tadi dan yang telah dibunuhnya!
Seorang di antara tigabelas o-rang itu, laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti ular, matanya sipit dan hidungnya pesek, bangkit dan menghampiri ular be sar, lalu memeriksa ular yang mati. Alisnya berkerut dan diapun berkata dalam bahasa Han kepada ular besar yang kulitnya keputih-putihan itu.
"Pek-coa, kau cari pembunuhnya dan bawa dia ke sini, hidup atau mati!"
Ular besar putih itu seolah mengerti apa yang diucapkan si mata sipit. Seperti seekor anjing pelacak, dia mencium-cium ke arah ranting yang masih menancap di kepala rekannya, kemudian diapun bergerak pergi dengan cepat, menghilang ke dalam rumpun ilalang! Diam-diam Kim Hong bergidik ngeri. Ketika ia memandang lagi, si mata sipit itu kini mengeluarkan sebatang pisau tajam, lalu melepaskan daging dan kulit ular yang mati itu dengan hati-hati agar jangan merusak tulangnya. Kemudian, daging itu dia kerat-kerat dan dia lemparkan ke arah ular-ular yang segera memperebutkannya seperti sekumpulan ayam kelaparan dilempar jagung. Dan tulang itu, masih utuh berikut kepalanya yang sudah dilepas dari ranting yang menembusnya, lalu dikubur di tengah-tengah lingkaran itu dengan dibantu oleh teman-temannya, kemudian mereka bersembahyang di depan "Makam" kecil tulang ular itu!
Kim Hong demikian tertarik sehingga dia agak lengah, tidak tahu bahwa ular besar putih itu bergerak perlahan menghampirinya dari belakang! Ular itu cukup besar, sebesar betis orang dewasa dan panjangnya ada dua meter!
Baru Kim Hong tersentak kaget ketika hidungnya mencium bau wangi aneh di belakangnya, ia menengok dan hampir menjerit saking jijiknya ketika melihat ular putih itu sudah berada dekat di belakangnya dengan mata mencorong dan lidah merah keluar masuk moncongnya! Jelas ular itu, seperti seekor anjing pelacak, sudah menemukan yang dicarinya dan kini siap untuk menyerang !
Kim Hong seorang gadis pemberani, bahkan tidak pernah mengenal takut. Apa lagi setelah kini ia menjadi lihai sekali karena gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia menjadi semakin berani. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tetap saja seorang wanita dan sebagian besar kaum wanita merasa ngeri dan jijik, bukan takut, kalau melihat ular. Kini, dalam keadaan jijik melihat ular putih itu tiba-tiba berada di belakangnya, setelah membalik dan berhadapan, Kim Hong tidak membuang waktu lagi. Pada saat ular itu membuka moncongnya hendak menyerang, ia mendahului dengan tusukan rantingnya yang tepat memasuki moncong itu dan menembus ke belakang kepala! Ular itu menggeliat-geliat, dengan ekornya ia memukul ke kanan kiri sehingga menimbulkan suara gaduh.
Dan tiba-tiba saja Kim Hong sudah mendapatkan dirinya terkepung oleh tigabelas orang itu yang memandang kepadanya dengan mata mengandung kemarahan.
"Kiranya engkau, nona muda yang kejam, yang telah membunuh ular-ular kami! Agaknya engkau pula yang telah membunuhi beberapa orang kawan kami dengan kejam!" bentak si mata sipit dan tiga belas orang itu sudah mencabut senjata mereka, yaitu sebatang suling baja yang ujungnya runcing seperti tombak. Agaknya para pawang ini mempunyai suling untuk memanggi ular dan alat inipun dipergunakan sebagai senjata. Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ujung suling yang runcing itu mengandung racun mematikan, maka iapun bersikap waspada dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat ke arah tempat terbuka yang tadi dipergunakan untuk tempat sembahyang tigabelas orang itu. Maksudnya adalah untuk mencari tempat yang lapang agar leluasa ia menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan, ia lupa bahwa di situ berkumpul seratus ekor ular! Dan benar saja, begitu ia terkejut karena teringat akan ular-ular itu, terdengar suara melengking, mungkin suara sebatang suling yang ditiup, dan seratus ekor ular-ular itu serentak menyerangnya dengan ganas!
Kim Hong dalam keadaan serba salah, ia lalu meloncat pula dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon, aman dari serangan ular-ular itu.
"Tahan!" teriaknya kepada tiga belas orang itu. "Aku sama sekali tidak pernah membunuh kawan kalian dan kalau aku membunuh dua ekor ular itu, aku sekedar membela diri, bukan sengaja membunuh!"
Akan tetapi tigabelas orang itu agaknya sudah marah dan penasaran sekali melihat dua ekor ular mereka terbunuh. Mereka ramai-ramai mengepung pohon di mana Kim Hong berada dan mengacung-acungkan suling mereka dengan si kap mengancam.
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dahsyat, sesosok bayangan berkelebat dan seorang di antara tiga belas orang itu roboh dengan kepala retak! Semua orang terkejut dan di situ telah berdiri seorang laki-laki. raksasa yang menyeramkan! Pria itu berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang mengerikan adalah kulitnya yang hitam seperti arang! Yang nampak jelas hanya putih matanya saja karena rambut nya juga masih hitam semua. Mukanya penuh dengan brewok pula.
Duabelas orang penyembah ular itu kini melupakan Kim Hong dan mereka mengepung si raksasa hitam. Orang yang bermata sipit dan berhidung pesek menu dingkan,sulingnya kepada orang itu dan berseru marah. "Kiranya engkau yang telah membunuhi kawan-kawan kami selama beberapa hari ini?"
Kakek raksasa itu mengebut-ngebutkan ujung pakaiannya yang mewah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Biarpun seluruh kulitnya hitam arang akan tetapi kakek raksasa itu berpakaian indah dan bersih, sampai sepatunyapun mengkilap dan dia seorang pesolek karena rambut-nyapun tersisir rapi dan berkilauan ka rena diminyaki. Rambutnya diikat dengan sutera merah dan gelung rambutnya dihias tusuk gelung dari emas permat berbentuk seekor harimau.
"Ha-ha-heh-heh-heh, mereka tidak mau menyerahkan racun-racunnya kepadaku, maka kubunuh! Dan akupun membunu temanmu itu, agar kalian tidak banyak cing-cong lagi. Cepat serahkan seluruh pengumpulan racun kalian kepadaku kalau kalian menghendaki hidup!"
Si mata sipit hidung pesek mengeluarkan suara melengking dari mulutnya, dan seratus ekor lebih ular-ular itu kini menyerbu ke arah si raksasa hitam.
Kakek itu masih tertawa bergelak. dan kedua tangannya bergerak mendorong ke depan, ke arah ular-ular itu. Dan, serangkum angin keras dan kuat sekali menyambar ke arah ular-ular itu yang terlempar jauh ke belakang seperti sekumpulan daun kering diterbangkan a-ngi n taufan!
Duabelas orang itu terkejut dan merekapun serentak maju mengeroyok kakek raksasa. Akan tetapi, kembali kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan empat orang yang berada paling dekat dengannya, terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Kalau semua o-rang terkejut, kakek itu tertawa berge lak.
Pendekar Latah 13 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 1

Cari Blog Ini