Ceritasilat Novel Online

Mestika Burung Hong Kemala 4

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Bouw Ki menghela napas panjang dan berkata, wajahnya muram. "Enak bagaimana, sumoi" Aku lebih senang kalau saat ini, ayah masih menjadi kepala suku di Lembah Huang-ho, dan aku berada di sana bersamamu. Hidup rasanya lebih bebas dan tak banyak pusing seperti sekarang."
"Eh" Kenapa banyak pusing dan kenapa pula tidak bebas?"
"Aku diikat oleh kedudukanku," Pemuda Khitan itu memandang pakaiannya yang dalam bulan-bulan pertama amat dibanggakan akan tetapi yang kini terasa seperti membelenggu dirinya itu. "Waktuku sudah disita oleh tugas pekerjaan, dan tentu saja pusing karena Kerajaan baru ini masih menghadapi banyak tantangan. Pertama, Kaisar Kerajaan Tang masih ada, dan kini di barat sedang menyusun kekuatan. Mereka pasti tidak akan menerima begitu saja dan selama kaisar dan keluarganya itu belum terbunuh, ancaman masih akan terus membayangi kota raja ini. Selain itu, yang lebih memusingkan lagi, adanya persaingan dan permusuhan yang secara diam-diam telah timbul di antara keluarga dan para pimpinan kerajaan baru ini"
"Eh, kenapa begitu" Bukankah Panglima Besar An Lu Shan telah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"
"Banyak yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa dan timbul saling iri. Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku.....aku sungguh tidak puas dan tidak senang biarpun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan bahaya"
Kim Hong tersenyum. Suhengnya ini memang pernah menyakitkan hatinya karena hendak memaksanya menjadi selir, akan tetapi harus diakui bahwa suhengnya ini biarpun berhati keras, namun jujur, tidak seperti suhuiya.
"Aih, suheng. Mungkin hanya mulutmu saja yang mengeluh, akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir" Tidak hebatkah itu?" ia mengejek.
"Hemm, itu hanya usaha ayah dani ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantikpun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."
Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek. "Aih, jadi engkau masih terus bertekad untuk memper-isteri aku, biarpun aku sudah berulang kali menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakaki Apakah engkau dan ayah juga masih ingin melanjutkan usaha kalian memaksaku agar suka menjadi isteriku?"
Bouw Ki menghela napas panjang. "Sebetulnya, cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi suamimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Akan tetapi, engkau terlalu keras hati dan keras kepala. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."
Gadis itu diam-diam merasa mendongkol, ia datang ke rumah suhunya secara suka rela, akan tetapi ia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal! Biarpun tidak dijelaskan, namun ia tahu bahwa agaknya suhunya dan suhengnya sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan ia pergi lagi dari situ! Suhengnya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan sejak dua tahun yang lalu, suhengnya tidak pernah melupakan diri nya! Dan sekarang, keadaannya bahka lebih terjepit dari pada dahulu. Biar pun kini ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga ia tidak takut menghadapi suhunya dan suhengnya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin ia akan dapat meloloskan diri"
Akan tetapi, Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja. seolah-olah ia belum melihat kenyataan pahit itu. "Suheng, karena selama ini engkau telah banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"
"Bagus, aku senang sekali, sumoi! Engkau tentu kini telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulupun aku tidak dapat mengalahkanmu,.apa lagi sekarang !"
"Ah, belum tentu, suheng. Bagaimanapun juga, aku belum mempunyai pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar."
"Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."
Mereka pergi ke petak rumput tak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suhengnya itu agar kalau sewaktu-waktu ia harus melawannya, ia akan dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan.
Dengan gaya yang menarik, setelah melepaskan baju kebesarannya Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suhengnya masih serupa dengan dahulu, maka iapun memasang kuda-kuda yang sama. "Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"
"Sumoi, awas seranganku!" bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengari gadis yang dirindukannya itu! Dia menyerang, bukan dengan pukulan melainkan dengan cengkeraman-cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan perasaan hatinya, ingin dia dapat menangkap lengan sumoi nya, atau setidaknya merabai tubuhnya untuk melepaskan kerinduan- nya.
Tingkat kepandaian Kim Hong sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lalu. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaan- nya. Terutama sekali, ia telah minum racun darah ular hitam kepala merah. Sekali melihat saja tahulah ia bahwa kepandaian suhengnya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap karena pengalaman bertanding. Kalau ia menghendaki, dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkan suhengnya. Akan tetapi, Kim Hong tidak mau melakukan ini dan iapun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah ia pelajari dari ayah suhengnya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat.
Akan tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong maupun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.
Pemuda itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus sekali! Bouw-ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu" Perkenalkan aku dengannya!"
Bouw Ki maju dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki sambil berkata, "Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang, saya tidak mengadakan penyambutan."
Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suhengnya memberi hormat dan menyebut pemuda itu pangeran, ia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapanbelas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandang matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin dan membuat ketampanan wajahnya nampak aneh. Pakaian nya-mewah dan pemuda itu seorang pesolek. Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.
"Pangeran, ini adalah sumoi saya, bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali akan ilmu silat dan biarpun masih muda, ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."
Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja, hanya menoangkat kedua tangan dengan dada sebagai penghormatan.
Pangeran muda itu tertawa, "Haha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi telah banyak mengalah kepadamu" Kalau ia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalahkannya. Ha-ha-ha!"
Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Biarpun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoinya yang sejak dahulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoinya dapat mengalahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak mengalah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah. "Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."
Akan tetapi, diam-diam Kim Hon terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suhengnya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suhengnya, ia mengira suhengnya hanya mencari muka saja. Akan tetapi sekarang, pangeran itu telah dapat melihat bahwa ia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang lihai dan berpemandangan tajam sekali.
"Nona Can, akupun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini !" tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu. Muka Kim Hong menjadi merah karena serangan itu mengandung ketidak-sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya. Maka, iapun menyambut dengan dorong kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari kedua telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahyat.
"Plakk!" Tak dapat dihindarkan lagi, dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dan matanya memandang marah walaupun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyun dan diapun berseru kagum.
"Hebat....! Nona Can, ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoimu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?"
"Pangeran terlalu memujiku," kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan. Pangeran muda itu menghela napas panjang.
"Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"
"Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."
"Kalau begitu, biar aku menyusulnya ke sana." Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Setelah pangeran itu pergi. Bouw Ki mendekati Kim Hong. "Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi" Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau memiliki ilmu yang dahsyat melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"
"Hemm, mungkin dia berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memuji ku. Siapa sih dia?"
Bouw Ki tersenyum dan mengangguk angguk. "Mungkin juga. Dia memang amat lihai, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi' diapun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda dan agaknya diapun tidak rukun dengan Sri baginda."
"Ehh" Kenapa begitu?" Kim Hong tertarik walaupun ia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhunya, harus di tentangnya. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhunya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, ia dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu dapat ia kumpulkan sebagai laporan penting kalau ia sudah menghadap Kaisar Beng Ong kelak.
Bouw Ki mengajaknya kembali duduk di bangku dekat kolam ikan dan dia pun menceritakan keadaan keluarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu. An Lu Shan pernah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita! Memang sesungguhnya amat memalukan dan tidak pantas. Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tak sempat melarikan diri dan menjadi tawanan. Akhirnya, gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tak senang antara ayah dan puteranya itu. Perasaan tidak senang itu ditambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengusulkan agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi, baru saja dia menjadi kaisar!
"Demikianlah, sumoi. Biarpun pada lahirnya tidak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya, terdapat perasaan tidak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan" Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong. Ah, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepadamu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."
Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong, untuk mengobrol dengannya di dalam rumah. Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu, bertemu dengan pembesar itu diluar istana. Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya bicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.
"Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!" kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).
Pangeran itu tersenyum dan wajah nya berseri. "Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kasar itu, paman Bouw?"
"Bendanya sendiri belum, Pangeran, akan tetapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, walaupun dengan harga mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."
"Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"
Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian, di pos penjagaan Ma-wei, para perajurit yang marah membunuh menteri itu. Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu mencari pusaka itu, namun tdak pernah dapat ditemukan. Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong, diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit. Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang disuruhnya kembali ke kota raja dan menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.
"Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."
"Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan" Orang itu mungkin hanya seorang penipu....."
-oo0dw0oo- Jilid 7 Bouw Hun tersenyum dan mengelus jenggotnya yang lebat. "Apakah paduka kira saya begitu bodoh, Pangeran" Souw Lok itu baru saya beri lima ribu tail dan dia membuka sebuah toko dengan modalnya itu di kota raja. Setiap gerak geriknya saya suruh amati dan dia tidak boleh meninggalkan kota raja sebelum pusaka itu ditemukan, dengan janji yang lima ribu tail lagi saya bayarkan. Akan tetapi kalau dia menipu dan pusaka itu tidak dapat ditemukan di tempat yang ditunjukkan peta, dia akan dihukum mati dan semua hartanya dirampas."
Pangeran An Kong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus sekali kalau begitu, paman. Sebaiknya paman cepat pergi mengambil benda itu di tempat di sembunyikannya. "
"Setelah melapor kepada paduka, besok juga saya akan mengirim sepasukan orang kepercayaan untuk pergi ke tempat itu dan mengambilnya, pangeran."
"Baik, aku percaya sepenuhnya ke padamu, paman. Setelah benda pusaka itu berada di tangan kita, baru kita laksanakan rencana kita yang ke dua. Dengan pusaka itu, tentu kedudukanku akan menjadi lebih kuat dan dapat menarik dukungan para pejabat lama yang masih. menguasai beberapa daerah lain. Akan tetapi ada satu hal lagi yang kurasa patut kau perhatikan, paman. Yaitu mengenai murid paman yang bernama Can Kim Hong itu."
Bouw Koksu terkejut. "Eh" Paduka sudah mengenalnya" Ada apakah dengan gadis itu, pangeran" ia memang cantik, apakah paduka......"
"Ah, jangan salah sangka, paman. Memang ia cantik menarik dan aku akan suka sekali andaikata ia dapat menjadi milikku, akan tetapi saat ini, yang menarik hatiku bukanlah kecantikannya, melainkan ilmu silatnya, paman. Aku masih terheran-heran karena tadi aku melihat ia berlatih silat dengan puteramu, bahkan aku telah menguji tenaganya dan sungguh ia luar biasa sekali. Bagaimana mungkin paman dapat memiliki seorang murid wanita sehebat itu, yang tingkat kepandaiannya demikian tingginya. Aku sama sekali bukan tandingannya, paman!"
Tentu saja Bouw Hun terkejut mendengar ini, "Aih, saya sendiri juga baru saja bertemu dengan murid saya itu, pangeran. Selama dua tahun ia merantau dan berguru lagi dan mengingat bahwa ia menemukan seorang guru sakti, sangat boleh jadi kini tingkat kepandaiannya meningkat banyak. Akan tetapi mampu menandingi paduka" Sungguh tidak saya sangka....."
Bagaimana tidak akan heran perasaan hati Bouw Kok-su mendengar bahwa pangeran muda ini tidak mampu menandingi ilmu silat Kim Hong. Padahal, pangeran ini lihai sekali, tingkat kepandaiannya tidak berada disebelah bawahnya!
"Aku yakin akan kelihaiannya, paman. Karena itu, engkau harus dapat membujuk dan menariknya agar ia membantu kita. Kita membutuhkan tenaga orang orang lihai seperti muridmu itu."
Bouw Koksu tertawa gembira dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha, harap paduka tidak khawatir, pangeran. Tentu saya dapat membujuknya, karena bagaimanapun, ia sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami merencanakan untuk menjodohkan Bouw Ki dengan Can Kim Hong.
"Bagus, itu lebih baik lagi, paman. Nah, sekarang harap paman suka membuat persiapan untuk mengambil pusaka itu secepatnya.'"
Bouw Koksu lalu berpamit dan kembali ke rumah gedungnya, disambut plej isterinya yang sudah mempersiapkan pesta keluarga untuk menyambut pulangnya Kim Hong. Gadis itu merasakan keakraban mereka dan merasa terharu, juga gembira. Sedikit perasaan tidak enak sehubungan dengan peristiwa dua tahun ia ketika ia hendak dipaksa menjadi selir Bouw Ki, mulai menipis.
0odwo0 "Kim Hong, aku membawa berita yang amat baik dan menggembirakan sekali untukmu!" kata Bouw Ki begitu dia memasuki rumahnya dan melihat sumoinya itu. Kim Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan Bouw Hun dan ternyata pada sore hari itu. "Coba terka, berita apa yang akan kusampaikan padamu?"
Kim Hong memandang suhengnya yang nampak berseri wajahnya itu, lalu dengan penuh harapan ia bertanya, "Suheng, apakah engkau membawa berita tentang ayahku?"
"Tepat sekali, sumoi. Aku telah menyebar penyelidik sejak engkau pulang sepekan lalu dan sekarang aku telah menemukan ayah kandungmu yang bernama Can Bu itu. Dan, ha-ha-ha, sungguh mengherankan sekali, dia adalah seorang perwira dalam pasukan yang kupimpin!"
"Ah, luar biasa!" seru Bouw Hu sambil menepuk pahanya. "Kalau begitu kenapa aku tidak pernah melihat dia Dahulu, duapuluh tahun yang lalu, dia pun seorang perwira pasukan ketika di tertawan oleh pasukan Khitan dan menjadi tawanan, lalu hidup di antara bangsa Khitan."
"Para opsir atau perwira memang hanya berada di benteng, ayah," Bouw Ki menjelaskan. "Dan dia sendiri tidak pernah bertemu ayah. Diapun sama sekali tidak menyangka bahwa aku adalah anak kecil yang pernah dikenalnya di Khitan. Dia termasuk seorang di antara para perwira Kerajaan Tang yang telah menyerahkan diri dan menakluk, dan seperti ayah mengetahui, kita menerima tenaga bantuan para anggauta pasukan yang telah menyatakan takluk dan suka bekerja kepada pemerintah baru."
"Suheng, di mana dia" Aku ingin bertemu dengan ayahku!" kata Kim Hong dan ia merasa betapa jantungnya berdebar dan perasaan aneh dan tegang menghubungi hatinya. Dara ini belum pernah melihat ayahnya dan ia hanya pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang perwira yang gagah dan tampan. Sekarang, suhengnya mengatakan bahwa ayah kandungnya itu menyerah kepada kekuasaan pemberontak, bahkan mengabdi kepada pemberontak. Di mana letak kegagahannya" Diam-diam ia merasa kecewa dan penasaran. Agaknya ia akan lebih merasa lega dan bangga andaikata mendengar bahwa ayahnya, sebagai seorang perwira, telah gugur ketika melawan pasukan pemberontak yang menyerbu kota raja! Tentu saja ia akan lebih senang dapat bertemu dengan ayahnya, akan tetapi bukan sebagai seorang perwira yang mengkhianati Kerajaan Tang, melainkan umpamanya saja, seorang perwira yang melarikan diri karena kalah perang dan menjadi rakyat biasa.
"Tenanglah, sumoi. Paman Can Bu sendiri masih merasa tegang dan bingung mendengar bahwa puterinya berada disini. Bahkan dia sudah hampir tidak ingat lagi bahwa dia mempunyai seorang puteri di Khitan, maklum sudah duapuuh tahun lebih dia meninggalkan Khitan. Bahkan dia terkejut ketika kujelaskan bahwa ayah adalah orang yang di kenalnya sebagai Bouw Kok-su, yang dahulu menjadi kepala suku bangsa Khi tan. Dia sudah ikut bersamaku ke sini, akan tetapi dia menanti di luar karena aku tidak ingin menimbulkan kekagetan dan agar engkau dapat menerimanya dengan tenang."
"Aku ingin bertemu dengan dia suheng. Terima kasih atas bantuanmu.."
"Bouw Ki, bawa dia masuk ke sini. Akupun ingin bertemu dengan Saudara Can Bu yang meninggalkan Khitan dua puluh tahun yang lalu!" kata Bouw Hu gembira.
Bouw Ki berlari keluar dan tak lama kemudian, dia masuk kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, disambut oleh Bouw Hun dan isterinya, juga oleh Kim Hong yang hanya berdiri bengong, mengamati pria yang kini menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat kepada Bouw Kok-su.
"Aha, saudara Can Bu! Ya, aku masih ingat kepadamu. Lupakah engkau siapa aku, ha-ha-ha!" Bouw Kok-su berseru sambil tertawa.
Pria itu mengangkat muka dan memandang dengan bingung dan bimbang.
'Paduka...... benarkah paduka adalah Kepala Suku Bouw Hun yang dahulu....." Dan ciangkun ini putera paduka Bouw Ki yang dahulu masih kecil itu" Nyonya, maafkan saya dan terimalah hormat saya......" orang itu kembali memberi hormat.
"Bangkitlah, saudara Can Bu Hong dan duduklah. Kita adalah orang-orang sendiri, jangan terlalu sungkan dan sementara ini lupakan dulu segala kedudukan. Duduklah dan pandang baik-baik, siapa gadis ini?"
Can Bu bangkit berdiri dan memandang kepada gadis yang juga berdiri dan sedang mengamatinya itu. Kim Hong rasa lehernya seperti dicekik karena haru, akan tetapi juga ragu dan agak kecewa. Inikah orang yang selama ini dirindukannya" Inikah orang yang dahulu, ketika ia masih kecil, ibunya menceritakannya dengan penuh kerinduan dan kekaguman" Inikah orang yang dicari-carinya itu" Memang wajahnya tidak jelek, cukup tampan, dan bentuk tubuh nya juga tegap sebagai seorang perajurit. Akan tetapi gagah perkasa" ia tidak melihat tanda-tanda itu pada tarikan muka dan pandang matanya, bahkan mata itu kelihatan sungkan dan bahkan malu-malu, agak gelisah malah, sama sekali bukan seperti mata seorang pendekar! Karena tegang dan terharu bercampur kecewa, Kim Hong diam saja, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Paman Can Bu, inilah sumoi Can Kim Hong, puterimu dan mendiang bibi Khilani seperti yang kuceritakan itu. ia adalah anakmu, paman!" kata Bouw Ki seperti hendak menarik ayah dan anak itu dari alam lamunan yang membuat mereka hanya saling pandang sejak tadi.
"Anakku..... Ah, siapa kira hari ini aku dapat bertemu dengan anak ku....." Akhirnya Can Bu berkata, biar pun masih ragu, dia mengembangkan kedua lengannya.
"Ayah..... Bertahun-tahun aku selalu memikirkan orang yang menjadi ayah kandungku. Jadi engkau...... engkau ini ayahku....?" Kim Hong berkata lirih seperti kepada diri sendiri, dan iapun menghampiri pria itu. Ketika Can Bu merangkulnya, Kim Hong merasa aneh dan tidak nyaman, karena pria ini sama sekali asing baginya. Akan tetapi ia membiarkan saja pria itu merangkul dan mengelus rambutnya.
"Maafkan aku, anakku. Selama ini ...... ayahmu tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencarimu, merawat dan mendidikmu," katanya dengan suara agak gemetar.
Dengan lembut Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan ayahnya, melangkah mundur dua kali dan memandang wajah ayahnya, bertanya, "Sekarang.... dimana ayah tinggal dan dengan siapa ayah hidup?" Sukar baginya harus tinggal bersama seorang ibu tiri dan saudara-saudara tiri.
"Sumoi, Paman Can Bu hidup sebatang kara, tidak beristeri dan tidak mempunyai keluarga, tinggalnya di dalam benteng," kata Bouw Ki.
"Kalau begitu, biar dia tinggal saja di sini bersama Kim Hong!" kata Bouw Kok-su. "Bouw Ki, usahakan agar saudara Can Bu dipindah tugaskan, mulai sekarang bekerja sebagai kepala pengawal keluarga kita dan tinggal di sini, di rumah samping itu."
"Ah, itu baik sekali!" seru Bouw Ki. "Tentu paman Can setuju, bukan?"
Sebetulnya Kim Hong hendak menolak. Tidak senang ia kalau ayah kandungnya mondok di situ, yang berarti bahwa ia dan ayahnya menerima budi keluarga Bouw dan bahkan terikat dengan mereka. Akan tetapi ayahnya sudah cepat memberi hormat dan berkata dengan suara gembira sekali.
"Tentu saja saya setuju, ciangkun. Terima kasih banyak atas budi kebaikan Tai-jin dan Ciang-kun!"
Karena ayahnya telah menerimanya, tentu saja Kim Hong tak dapat berkata apa-apa lagi. ia masih merasa asing dengan ayahnya, masih sungkan untuk menegurnya. Kelak saja, perlahan-lahan ia akan membujuk ayahnya agar tinggal di luar gedung itu, di rumah sendiri sehingga tidak tergantung kepada siapapun, juga lebih bebas.
Setelah mendapat kesempatan untuk berdua saja dalam ruangan rumah samping, Kim Hong duduk berhadapan dengan pria yang dinyatakan sebagai ayah kandungnya itu. Mereka saling berpandangan sejenak, dan akhirnya Can Bu yang menundukkan pandang matanya lebih dahulu. Sinar mata gadis itu terlalu tajam, bagaikan pisau yang runcing menusuk sampai ke ulu hati.
"Kim Hong, kenapa engkau memandangku seperti itu?" tanya Can Bu yang sudah menunduk.
Gadis itu tetap mengamati wajah pria di depannya dengan pandang mata penuh selidik. "Engkau....... benarkah engkau ini ayah kandungku?" tiba-tiba ia bertanya dan Can Bu mengangkat muka, alisnya berkerut dan pandang matanya penasaran, marah.
"Hemm, pertanyaan ini bisa kukembalikan kepadamu, Kim Hong. Benarkah engkau ini anak kandungku" Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu" Kita tidak pernah saling berjumpa. Hanya ada satu hal yang pasti bagiku, yaitu aku pernah tinggal di Khitan duapuluh tahun lebih yang lalu, dan aku menikah dengan seorang wanita bernama Khilani. Nah. kalau benar engkau ini puteri Khi lani, jelaslah bahwa engkau adalah anakku dan aku inilah ayah kandungmu. Kim Hong, kenapa engkau masih bertanya seperti itu, dan seolah meragukan bahwa aku ini ayah kandungmu?" Kini pandang mata Can Bu yang penuh selidik mengamati wajah Kim Hong.
Gadis itu menghela napas panjang. "Ayah, aku masih ingat betapa ibu menceritakan bahwa suaminya, ayah kandungku, adalah seorang perwira Kerajaan Tang yang gagah perkasa. Kini aku mendapatkan ayah memang seorang perwira, akan tetapi..... kenapa ayah membantu pemerintah yang didirikan pemberontaki"
Wajah pria itu berubah agak pucat, matanya memandang ke sekeliling seperti orang ketakutan. "Ssttt....... apa yang kau ucapkan ini, Kim Hong" Kalau terdengar orang lain, kita bisa celaka! Bukankah suhu dan suhengmu sendiripun menjadi orang-orang besar dalam pemerintahan ini?"
"Hemm, mereka lain lagi," kata Kim Hong, semakin kecewa melihat sikap ayahnya yang ketakutan itu. Mereka ada lah orang-orang Khitan yang sejak dahulu memang bermusuhan dengan Kerajaan Tang, bahkan suhu adalah kepala suku Khitan. Tidak mengherankan kalau mereka bergabung dengan pemberontak dan kini menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi engkau, ayah! Menurut ibu, engkau seorang bangsa Han. Kenapa sekarang engkau bahkan mengkhianati kerajaan dan bangsa sendiri?"
Can Bu mengerutkan alisnya dan memandang tak senang. "Kim Hong, engkau lancang. Sribaginda sendiri, ketika masih menjadi Panglima besar, juga seorang pejabat Kerajaan Tang, dan biarpun beliau itu masih mempunyai darah Khitan, akan tetapi sebagian besar para perwira dan perajuritnya adalah bangsa Han! Pemberontakan itu dilakukan karena Kaisar Beng Ong amat lemah dipermainkan wanita, dan di istana terjadi perebutan kekuasaan yang memuakkan. Jangan kau salahkan ayahmu kalau sekarang aku mengabdi kepada pemerintah ini."
Kim Hong diam saja dan ia terngat akan cerita gurunya. Menurut guru nya, Kaisar Beng Ong memang di permainkan oleh seorang selir cantik yang bernama Yang Kui Hui, demikian cantiknya selir itu sehingga gurunya sendiri tergila-gila kepada selir itu. Gurunya juga berpesan agar ia membela Kerajaan Tang dan membantu kaisar untuk merampas kembali tahta kerajaan dari tangan An Lu Shan, dan menemukan Giok-hongcu Gurunya, yang dahulu pernah berusaha membunuh Kaisar Beng Cng, kini bahkan menyuruh ia membela kaisar itu. Kini ia mengerti mengapa. Kalau dahulu gurunya memusuhi kaisar, hal itu dilakukan karena dia seorang tokoh Beng-kauw yang menganggap kaisar lalim dan patut dilenyapkan agar kedudukan kaisar diganti oleh kaisar lain yang lebih bijaksana. Akan tetapi sekarang, lain lagi keadaannya. Tahta kerajaan direbut oleh pemberontak An Lu Shan, seorang peranakan Han, yang tentu dianggap berdarah asing oleh gurunya. Karena itu gurunya menyuruh ia berpihak kepada pemerintah Kerajaan Tang.
"Kim Hong, kenapa engkau diam saja" Sudah mengertikah engkau sekarang mengapa ayahmu bekerja kepada pemerintah yang baru" Bahkan sekarang aku menjadi kepala pengawal keluarga gurumu, bukan lagi menjadi perwira pasukan."
Kim Hong menghela napas panjang agi, "Maafkan aku, ayah,. Terus terang saja, tadinya aku kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ibu dahulu bercerita tentang ayah kandungku yang gagah perkasa, dan aku terlanjur membayangkan ayah sebagai seorang pendekar besar. Kiranya kini ayah terlibat dalam pemberontakan, atau membantu pemerintah pemberontak. Akan tetapi aku sekarang dapat mengerti dan tidak menyalahkan ayah."
Can Bu menujulurkan tangan dan memegang tangan puterinya dari seberang meja. "Bagus, aku senang sekali mendengar itu, anakku. Dan kuharap engkau suka membantu ayah, membantu suhumu dan suhengmu......"
"Maaf, ayah. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pemerintah kerajaan baru ini, tidak ingin pula membantu pekerjaan suhu dan suheng, walaupun tentu saja aku suka membantu pekerjaan ayah. Ayah hanya bertugas menjaga keselamatan keluarga suhu, bukan" Nah, aku akan membantu pekerjaan ayah."
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayahmu menerima tugas yang lebih penting" Apakah engkau tetap mau membantu ku?"
"Tentu saja, aku akan membantu agar ayah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, akan tetapi aku sendiri tidak mau langsung menerima perintah dari orang lain."
"Bagus, aku mendengar dari suhengmu, Bouw-ciangkun, bahwa engkau memiliki ilmu silat yang amat hebat, bahkan Pangeran An Kong sendiri mengagumi. Kalau engkau mau membantuku, maka tugas penting yang harus kukerjakan dalam beberapa hari ini tentu akan dapat kulaksanakan dengan baik."
"Tugas apakah itu, ayah?" Kim Hong mengerutkan alisnya, tidak mengira sama sekali bahwa ayahnya telah menerima tugas penting lain.
"Tugas ini amat berbahaya, dan tanpa bantuanmu, tadinya aku merasa khawatir sekali kalau gagal. Aku ditugaskan mengikuti rombongan pasukan yang akan dipimpin Bouw-ciangkun sendiri untuk mengambil sebuah pusaka kerajaan di tempat tersembunyi."
Kim Hong menatap wajah ayahnya dan jantungnya berdebar tegang.
"Pusaka apakah itu, ayah" Dan mengapa berbahaya untuk mengambilnya" Di mana tempat pengambilannya?" Dalam hatinya, Kim Hong teringat pesan gurunya, Si Naga Hitam, tentang pusaka yang dinamakan Mestika Hong Kemala!
"Pusaka itu amat penting bagi kerajaan, karena merupakan lambang kekuasaan kaisar. Pusaka itu hilang dan yang terakhir kalinya berada di tangan Menteri Yang Kok Tiong. Ketika menteri itu terbunuh, pusaka itu lenyap entah ke mana. Beruntung sekali gurumu, Bouw Koksu yang cerdik dan bijaksana, dapat menemukan peta di mana pusaka itu disembunyikan dan besok pagi, suhengmu akan memimpin pasukan untuk mengambil pusaka itu. Akupun dikut-sertakan, karena itu, aku mnta agar engkau suka turut pula memperkuat rombongan kita."
Kim Hong menelan kembali kata-kata "giok-hong-cu" yang sudah berada di ujung lidahnya dan ia pura-pura tidak tahu, akan tetapi dengan cepat ia meangguk. "Aku akan senang sekali membantu ayah dalam tugas penting itu, ayah." ia teringat akan pesan suhunya, dan ia akan melihat apakah benar yang akan diambil rombongan itu adalah gio hong-cu. Dan kalau benar demikian setidaknya ia tahu di mana adanya mestika yang diperebutkan itu!
Malam itu Kim Hong tidur dengan hati tenang, bagaimanapun juga, ia telah bertemu bahkan berkumpul dengan a-yah kandungnya, dan untuk tugas kedua yang diserahkan gurunya kepadanya, yatu membantu kaisar Tang menemukan kembali giok-hong-cu dan menentang pemberontak, agaknya dapat ia mulai dari kota raja itu sendiri! Tak seorangpun tahu akan isi hatinya dan akan tugasnya itu, dan ia dipercaya oleh pemerintah An Lu Shan! Memang ayahnya berada di pihak musuh, akan tetapi ia akan dapat membujuk dan menyadarkan ayahnya perlahan-lahan, kalau ia sudah akrab benar dengan ayah kandungnya itu.
0odwo0 "Bukan main! Paman sungguh seorang pemberani! Aku merasa kagum dan bangga sekali padamu, paman!" kata pemuda itu sambil memandang orang yang duduk di depannya dengan sinar mata penuh kagum. Dia seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan, sikapnya lincah, matanya bersinar-sinar penuh semangat dan kejenakaan, mulutnya tersenyum-senyum dan pakaiannya tidak teratur seenaknya sendiri. Pemuda ini adalah seorang pemuda yang lincah Jenaka dan selalu gembira, akan tetapi di balik sikapnya yang bengal dan agak ugal-ugalan itu tersembunyi kepandaian yang hebat. Dia bernama Souw Hui San, dan dia sudah yatim piatu. Di partai persilatan Go-bi-pai, namanya terkenal sekali karena dialah murid utama Gobi-pai, murid yang masih muda akan tetapi berkat bakat dan ketekunannya sejak kecil hidup di partai itu sebagai kacung lalu murid, maka dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat Go b i-pai dan terkenal sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai. Baru tga bulan dia tiba di Tiang-an, kota ra ja yang kini dikuasai kerajaan baru pemberontak An Lu Shan. Dia mempunyai seorang paman, yaitu adik mendiang a-yahnya, yang kini membuka sebuah toko di kota raja itu dan pamannya ini bernama Souw Lok.
Baru hari itu pamannya membuka rahasia kepada keponakannya, setelah dia merasa yakin benar bahwa keponakan nya kini telah menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi.
"Aku melakukan itu demi Kerajaan Tang, Hui San. Aku harus mencari jalan sebaiknya dan kebetulan sekali engkau datang. Hanya engkaulah yang dapat mebantuku."
"Paman Souw Lok, bagaimana sampai Menteri Yang mempercayakan pusaka itu kepada paman" Harap paman ceritakan sejelasnya agar aku mengerti persoalannya dan dapat bekerja sebaik mungkin. Para guruku di Gobi-pai, selain mengajarkan ilmu silat, juga mengajarkan bagaimana aku harus menjadi seorang warga negara yang baik dan setia kepada pemerintah. Karena itu, aku siap membantu paman demi kejayaan kembali Kerajaan Tang yang dijatuhkan pemberontak."
Souw Lok lalu bercerita. Dia adalah seorag pelayan dalam keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Sejak muda dia kerja pada keluarga itu dan menjadi seorang pelayan setia yang dipercaya penuh oleh keluarga itu. Ketika Menteri Yang Kok Tiong menemani Kaisar Hsua Tsung mengungsi ke barat, Souw Lok inilah satu satunya pelayan yang mengikuti majikannya .Ketika kaisar yang mengkhawatirkan keselamatan pusakanya yang penting, yaitu Giok-hong-cu, dan menitipkannya kepada Menteri Yang Kok Tiong, menteri itu menjadi gelisah dan bingung. Dia tahu betapa pentingnya Mestika Burung Hong Kemala itu. Para pemberontak dan raja muda di daerah tentu akan berusaha memperebutkan pusaka itu, karena pusaka itu dianggap sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar. Kemudian, Menteri Yang Kok Tiong mempunyai akal. Para pemberontak tentu akan mencurigai dia kalau tidak menemukan mestika itu pada kaisar. Akan tetapi, tak seorangpun akan mencurigai Souw Lok, seorang pelayan. Karena itu, ada suatu malam, dalam perjalanan mengungsi itu, dia memanggil Souw Lok ke dalam kamarnya dan bicara empat mata dengan pelayan itu.
"Souw Lok, dapatkah aku mengharapkan kesetiaanmu kepadaku dan kepada Kerajaan Tang?" tanya Menteri Yang Kok Tiong.
"Tentu saja, Taijin. Hamba siap mengorbankan nyawa hamba demi Kerajaan Tang!"
"Aku percaya kepadamu, Souw Lok. Oleh karena itu maka kau kupanggil. Ku serahi tugas yang teramat penting, bahkan kejayaan kembali Kerajaan Tang kuserahkan ke dalam tanganmu."
Tentu saja Souw Lok terkejut bukan main dan sambil berlutut dia mendengarkan keterangan Menteri Yang Kok Tiong. Menteri itu menerima Mestika Burung Hong Kemala dari kaisar untuk diselamatkan. Menteri yang setia itu telah menyembunyikan benda pusaka itu di sebuah tempat rahasia, yaitu di dalam sebuah guha kecil yang mereka lalui dalam perjalanan mengungsi. Tak seorangpun melihatnya dan dia sudah membuat kan peta tempat itu agar kelak muda di cari kembali.
"Biar andainya aku tertawan musuh dan disiksa sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia benda pusaka itu," kata sang menteri, "akan tetapi kalau mereka menemukan peta ini di tubuhku, berarti pusaka itu akan terjatuh ke tangan musuh. Oleh karena itu kutitipkan peta ini kepadamu, Souw Lok. Tidak akan ada orang mencurigaimu. Bawalah peta ini ke Tiang-an, usahakan agar engkau dapat menyerahkan petai ini kepada seorang di antara anak-anakku Benda pusaka itu harus dipertahankan untuk membangkitkan kembali Kerajaan Tang."
Biarpun dia menggigil karena takut dan tegang, namun Souw Lok yang setia menerima juga peta itu. Lukisan yang kecil itu dapat dia sembunyikan dalam lipatan bajunya dan diapun meninggalkan rombongan kaisar yang melakukan perjalanan mengungsi, dan dia kembali ke Tiang-an yang sudah diduduki pemberontak An Lu Shan. Dan tepat seperti perkiraan Kenteri Yang Kok Ting, tiada seorangpun mencurigai bahwa bekas pelayan ini memiliki peta rahasia tempat disembunyikannya benda yang diperebutkan oleh semua raja muda dan gubernur, juga dicari oleh An Lu Shan sendiri.
Mendengar cerita itu, Souw Hui San mengerutkan alisnya. "Ternyata paman memegang rahasia yang demikian pentingnya. Akan tetapi tadi paman mengatakan bahwa paman telah menjual peta itu kepada Bouw Koksu dan paman menerima banyak uang, dapat membuka toko ini. Bagaimana pula ini, paman" Memang paman pemberani dan pintar, akan tetapi maafkan pertanyaanku, paman. Apakah paman hendak menjual negara.."
"Hushh, pamanmu bukan manusia serendah itu, Hui San! Ketahuilah bahwa dalam pengungsian mereka, Kaisar telah membicarakan urusan Mestika Burung Hong Kemala dengan Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu Ketika Menteri Yang Kok Tiong terbunuh, mestika itu telah hilang dan tidak ada seorangpun mengetahui di mana mestika disimpan oleh mendiang Menteri Yang. Percakapan mereka itu diam-diam didengarkan seorang thai-kam (sida-sida) dan orang i-ni menyebar desas-desus tentang hilang nya Mestika Burung Hong Kemala di tangan mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Berita itu sampai pula ke sini dan tentu saja An Lu Shan memerintahkan semua pembantunya untuk ikut mencari dan memperebutkan pusaka itu. Usaha itu diserahkan kepada Bouw Koksu. Koksu ini segera menyelidiki siapa saja orang-orang yang dekat dengan Menteri Yan Kok Tiong ketika masih hidup. Selain ke tiga putera dan puterinya, juga semua bekas pembantu rumah tangga dan pelayan dicurigai. Karena tiga orang puteranya tidak dapat ditemukan, maka semua bekas pelayan keluarga Yang ditangkapi, termasuk aku. Seorang demi seorang dipaksa untuk mengaku di mana disembunyikannya pusaka itu dan setiap orang yang mengatakan tidak tahu, disiksa sampai mati ."
"Hemm, betapa kejamnya Bouw Koksu," kata Hu San.
"Bekas kepala suku Khitan itu memang seorang yang kejam, lihai dan licik sekali. Karena melihat semua rekan tewas disiksa, tentu saja aku tidak mau mengalami siksaan sampai mati...."
"Dan paman lalu menyerahkan peta itu kepada Bouw Koksu dan menerima imbalan uang banyak....?"
"Hushh, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan buruk! Ketahuilah, kalau aku membiarkan diriku disiksa sampai mati, tentu pusaka itu untuk selamanya akan hilang dan tak akan dapat dikembalikan kepada Kerajaan Tang, karena hanya aku seoranglah yang mengetahui tempat persembunyiannya. Karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk tetap tinggal hidup akan tetapi juga menjaga agar pusaka itu tidak terjatuh ketangan pemberontak."
"Apa yang paman lakukan?"
"Diam-diam sebelumnya aku telah menghafalkan peta itu di luar kepala, dan aku sedikit mengubah peta itu. Kalau dalam peta aselinya tempat persembunyian pusaka itu berada diguha ke tiga, aku mengubahnya dengan tanda bawa benda itu disimpan di dalam guha ke tujuh. Ada sepuluh buah guha di bukit itu. Nah, karena aku tidak ingin mati dan benda itu hilang begitu saja, ketika jatuh giliranku diperiksa, aku mengaku terus terang bahwa Menteri Yang memang memberikan sebuah peta kepadaku. Dan aku minta imbalan kalau petatu diminta oleh Bouw Koksu. Tentu saj Bouw Koksu memenuhi permintaanku dan memberiku lima ribu tail sebagai uang muka dan yang lima ribu tail lagi akan dia berikan setelah dia mendapatkan pusaka itu."
"Akan tetapi, paman. Kalau di mengambil pusaka itu di guha seperti yang ditunjukkan oleh peta paman, tentu dia tidak akan menemukannya dan paman tentu akan dianggap menipu dan menerima hukuman!"
Orang tua itu tersenyum. "Paman mu tidak setolol itu, Hui San. Tadinya memang aku akan segera melarikan diri membawa sisa uang setelah kubelikan toko ini, akan tetapi setelah engkau muncul, aku mendapat pikran lain. uka akan menemuka benda di guha itu, dan dia akan memberiku limaribu tail lagi akan tetapi pusaka itu tetap akan menjadi milik kita."
"Ehh" Bagaimana mungkin paman?"
"Hu San, selama ini aku diam-diam melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa sampai hari ini, Bouw Koksu belum mengirim orang untuk mengambil mestika itu. Hal ini menunjukkan bahwa ada maksud tertentu dalam hati Bouw Koksu. Agaknya dia tidak langsung melapor kepada kaisarnya, dan mungkin saja dia hendak memiliki sendiri pusaka itu. Lihat, aku telah mempersiapkan ini." Souw Lok mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning dan ketika buntalan kain itu dibuka, Hui San melihat sebuah benda yang indah, terbuat dari batu giok dan berbentuk seekor burung Hong!
"Inikah Giok-hong-cu itu" Akan tetapi..... telah berada di tangan paman!" serunya heran.
Souw Lok menggeleng kepalanya. "Aku telah mengeluarkan uang seribu tail untuk membujuk seorang ahli ukir kemala yang tinggal di luar kota raja, dan menyuruh dia buatkan ukiran seekor burung hong kemala seperti ini. Aku menyamar seorang kakek sehingga dia tidak thu siapa yang menyuruh dia membuatkan ukiran burung hong kemala."
"Jadi ini yang palsu" Untuk apa, paman" Ah, aku mengerti sekarang. Tentu paman hendak menipu Bouw Koksu dengan memberinya Giok-hong-cu yang palsu ini!"
"Engkau cerdik, Hui San. Akan tetapi hanya engkau yang akan mampu melakukan siasatku itu."
Hui San tersenyum. Pemuda yang lincah Jenaka ini memang memuliki kecerdikan dan dia sudah dapat menduga dan mengerti apa yang dikehendaki pamannya.
"Paman sungguh cerdik bukan main! Tentu paman menghendaki agar aku membawa benda ini ke tempat rahasia itu, meletakkannya ke dalam guha ke tujuh, kemudian aku mengambil yang aselinya yang berada di dalami guha ke tiga dan membawanya ke sini. Begitukah?"
Pamannya mengangguk-angguk. "Aku sendiri tidak berani melakukan itu karena kalau ketahuan orang lain, akan berbahaya. Axan tetapi engkau sudah mendemonstrasikan kepandaianmu dan aku yakin bahwa dengan kepandaianmu itu, engkau akan mampu melakukannya dengan baik. Biarkan Bouw Koksu mendapatkan Giok-hong-cu yang ini, dan yang aselinya tetap berada pada kita!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan dengan Giok-hong-cu yang aseli itu, paman?" Pemuda itu memancing.
"Hemm, kita biarkan Bouw Koksu bergembira dengan Giok-hong-cu ini, dan aku menerima lagi limaribu tail. Setelah tu, baru aku meninggalkan kota raja dan hidup sejahtera di dalam dusun yang jauh dari sini, dan engkau kuserahi tugas untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau dapat juga langsung kepada Sri baginda Kaisar sendiri yang kini mengungsi ke se-cuan."
Pemuda itu mengangguk-angguk, ia tidak menyalahkan pamannya yang hendak menikmati hidup sebagai orang kaya di dusun. Bagaimanapun juga, pamannya telah berjasa menyelamatkan pusaka kerajaan Tang itu, dan yang ditipu oleh pamannya adalah pemcercntak.
"Baiklah, paman. Cepat beri gambaran yang jelas tentang letak tempat yang dimaksudkan itu." Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dengan berbisik-bisik dan Souw Lok memberi keterangan yang sejelasnya. Keponakannya Itu diminta agar melakukan perjalanan barat, menyusuri sepanjang pantai sungai Yang-ce.
"Setelah kurang lebih lima ratus dari sini, engkau akan melihat pegunungan dan yang nampak dari tepi sungai itu adalah tiga puncaknya yang runcing, yang paling tengah tinggi runcing dan di kanan kirinya terdapat dua buah puncak yang sama tingginya, akan tetapi hanya setengah tinggi yang tengah. Kau dakilah pegunungan itu sampai engkau tiba dibukit batu karang. Terus saja naik sampai ke puncaknya dan di sana engkau akan menemukan guha guha batu karang itu. Tak seorangpun akan mendatangi tempat yang kering kerontang itu, sama sekali tidak menarik karena tidak ada tumbuh-tumbuhan, hitung dari kiri ke kanan kalau berhadapan dengan tebing bukit karang akan ada sepuluh buah guha. Nah, hitung dari kiri, yang ke tiga dan ke tujuh. Jelas, bukan?"
Hui San mencatat semua itu di dalam hatinya dan malam itu juga dia berangkat membawa buntalan kuning ber Giok-hong-cu palsu yang dia masuk dalam buntalan besar pakaiannya. Sedang pedang tergantung di punggungnya Pemuda ini memang gagah perkasa tampan. Usianya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi karena wajahnya selalu cerah gembira dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya, nampak seperti baru berusia duapuluh tahun saja. Pakaiannya agak nyentrik, seenaknya sendiri, bahkan celananya kedodoran atau kebesaran, akan tetapi agaknya dia tidak perduli. Juga rambutnya awut-awutan karena sehabis mandi tadi, sebelum berangkat, dia tidak menyisir rambutnya, hanya menyisir dengan jari-jari tangannya saja sehingga setelah kering menjadi awut-awutan dan acak-acakan. Sebuah camping bundar yang ujungnya runcing tergantung di punggung, di atas pedang dan buntalan. Camping itu agak lebar dan baik sekali di pergunakan sebagai pelindung kepala dari panas hujan.
Hui San melangkah santai ketika keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang. Akan tetapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia meninggaIkan jalan raya, kemudian menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat seperti larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh.
0odwo0 Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang. Mereka berdua mempergunakan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya dan gerakan mereka demikian ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang memperebutkan sekuntum bunga untuk dihisap madunya. Tubuh mereka kadang nampak dan kadang tidak, dan hanya dua gulungan sinar pedang mereka yang saling belit dan saling tekan, tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.
Yang seorang berusia duapuluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil di dagu kiri, menambah indah dan manis sekal wajah itu. Kulitnyapun putih kemerahan, lembut halus seperti kulit bayi Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat memainkan pedang sedahsyat tadi.
Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis inipun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.
Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong! Seperti telah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han dan mereka bertemu dengan Kong Hwi Ho-siang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tinggal dalam kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Ni-kouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang. Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil tu. Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Juga dari suci mereka, Pek-lian Ni-kouw, mereka diberi pelajaran gin-kang (ilmu meringank tubuh). Dari suhu mereka, kedua orang dara ini selain menerima latihan menghimpun tenaga sin-kang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai, dimatangkan sehingga kini ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, juga dua orang gadis itu menerima pelajaran ilmu toya yang amat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hongn Sin-pang (Toya Sak tangan dan Awan).
"Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita," kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembra.
"Baik, Bi-moi," kata Kui Lan dan iapun mencabut sebatang toya yang tadi ia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu. Adiknya juga rnencabut toyanya dan kini keduanya sudah saling berhadapan sambil memasang kuda-kuda dengan melintangkan toya didepan dada. Pedang mereka tadi mereka simpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.
"Silakan, enci Lan!" Kata Kui Bi. Kui Lan mengeluarkan bentakan halus dan iapun sudah menggerakkan toyanya menyerang. Adiknya menangkis dan membalas serangan encinya dan segera terdengar suara Lak-tok-tak-tok beradunya kedua batang toya itu. Makin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga nampak gulungan sinar putih seperti awan, dan angin menyambar-nyambar, merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Itulah kiranya nama ilmu toya itu. Angin dan awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambaran nya mendatangkan angin besar!
Setelah merasa puas, keduanya menghentikan gerakan toya. Ada keringat tipis membasahi leher dan dahi ke dua orang gadis itu.
"Omitohud, tidak sia-sia jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah dapat menguasai Hong-in Sin pang dengan baik!"
Kedua orang gadis itu cepat menengok dan memberi hormat kepada hwesio bertubuh gemuk seperti Ji-lai-hud. Hwesio yang mulutnya sudah tidak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakt i.
"Suhu......!" Dua orang gadis itu mengangkat kedua tangan depan dad memberi hormat.
"Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi pinceng melihat bahwa kalian telah berhasil baik dan sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk meninggalkan kuil Thian-bun-tang, kecuali kalau kalian berdua ingin menjadi biarawati!"
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Bi mewakili encinya berkata, "Suhu, teecu berdua tidak ingin menjadi biarawati!"
Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha ha-ha-ha, siapa yang menyuruh kalian menjadi biarawati" Akan tetapi, menjadi biarawati hanyalah merupakan tanda lahiriah belaka karena sesungguhnya, baik pendeta ataupun orang biasa, memiliki kewajiban yang sama dalam hidup ini, yaitu menjadi manusia yang baik dan berguna bagi rakyat, bagi negara, dan bagi manusia sendiri. Nah, berkemaslah kalian dan hari ini juga kalian boleh meninggalkan kuil. Ingat, pergunakan semua kepandaian yang telah kalian pelajari dengan tekun untuk perbuatan yang baik dan benar. Nah, pinceng mau pergi lebih dulu!" Setelah berkata demikian, sekali mengebutkan lengan bajunya, hwesio itu telah lenyap dari taman itu. Kui Lan dan Kui Bi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah perginya guru mereka.
"Terima kasih, suhu!" seru mereka berbareng dan sikap ini saja sudah menunjukkan betapa kedua orang gadis ini telah dapat menanggalkan semua ketinggian hati yang timbul dari lingkungan keluarga mereka. Keduanya adalah puteri menteri yang berkuasa, dan sejak kecil hidup dalam kemuliaan, kemewahan dan penghormatan. Kini, mereka tidak ragu untuk menghormati guru mereka, seorang hwesio tua yang miskin, dengan berlutut di atas tanah, tidak perduli bahwa lutut celana mereka menjadi kotor karenanya.
Ketika mereka menghadap Pek-lian Ni-kouw, sebelum mereka melapor tentang ucapan suhu mereka tadi, Pek-lian Ni-kouw sudah mendahului mereka. "Omitohud......, su-pek (uwa guru) telah memberi tahu kepada pin-ni bahwa sumoi berdua akan meninggalkan kuil hari ini. Aih, betapa kuatnya ikatan batin mencengkeram perasaan manusia. Omitohud..'.... pin-ni yang sudah belasan tahun mengasingkan diri di kuil, tetapi saja masih dapat dicengkeram sehingga di saat perpisahan dengan sumoi berdua, hati ini merasa sedih dan kehilangan!" Nikouw itu menghela napas panjang.
Kedua orang gadis bangsawan itu memegang tangan nikouw itu dari kanan kiri. "Suci, percayalah, kami berdua selamanya tidak akan dapat melupakan kebaikan suci dan kelak, kalau ada kesempatan, kami pasti akan datang berkunjung," kata Kui Lan dengan suara terharu.
Kui Bi tertawa. "Aih, suci. Di mana ada pertemuan tanpa perpisahan" Justeru pertemuan menjadi peristiwa yang membahagiakan kalau didahului dengan perpisahan, bukan" Kami berterima kasih sekali kepada suci yang selama ini bukan hanya bersikap amat manis budi kepada kami., bahkan telah mengajarkan gin-kang secara, sungguh-sungguh kepada kami."
Pek-lian Ni-kouw tersenyum dan hatinya terhibur oleh sikap lincah Kui Bi. "Omitohud, kenapa kita bertiga menjadi seperti tiga orang anak kecil" Hayo, kalian cepat berkemas dan berangkat selagi hari masih pagi!" Dengan lembut ia mendorong kedua orang sumoi nya itu yang segera memasuki kamar mereka untuk berkemas.
Setelah dua orang gadis itu berganti pakaian, membawa buntalan pakaian di punggung, pedang di punggung dan muncul pula di ruangan depan, Pek-lian Ni-kouw merangkul mereka seorang demi seorang dan dengan suara agak gemetar ia berkata, "Lan-sumoi, dan Bi-sumoi, kalian adalah adik-adik seperguruan, kan tetapi aku merasa seolah kalian ini seperti anak-anakku atau keponakanku sendiri. Kalian telah mempelajari banyak ilmu pembela diri yang cukup kuat, akan tetapi waspadalah selalu. Di dunia ini banyak terdapat orang jahat. Apa lagi kalian adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan menarik. Pin-ni khawatir kalau dalam perjalanan kalian akan menemui banyak godaan dan gangguan."
"Harap suci tidak khawatir. Kiranya tidak percuma suhu mengajarkan ilmu kepada kami, juga suci telah mengajar kami bagaimana untuk dapat membela diri dengan baik. Kami pasti akan manipu menjaga diri, suci," kata Kui Bi.
"Kalian sudah mendengar bahwa kota raja Tiang-an telah diduduki pemberontak. Lalu ke mana sekarang kalia hendak pergi?" tanya pula Pek-lian Nikouw yang masih saja mengkhawatirkan keadaan dua orang sumoinya yang amat disayangnya itu.
"Kami sudah mendengar bahwa Sri-baginda Kaisar bersama ayah kami dan bibi mengungsi ke barat. Kami akan menyusul ayah ke sana, suci," kata Kui Lan .
"Sebaiknya begitu. Kita tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar bahwa kota raja diduduki pemberontak dan Sribaginda melarikan diri ke barat. Mudah-mudahan saja kalian akan dapat bertemu dengan keluarga kalian. Pin-ni hanya akan berdoa untuk kalian berdua sumoi."
"Terima kasih, suci."
Dua orang gadis itu lalu pergi meninggalkan kuil di mana selama lebih dua tahun mereka tinggal dan berlatih silat, diantar oleh Pek-lian Ni-kouw dan para nikouw lain sampai ke luar pekarangan kuil itu. Setelah jauh meninggalkan kuil, baru kedua orang gadis itu berhenti untuk menentukan arah ke mana mereka hendak pergi.
"Enci Lan, apakah tidak sebaiknya kalau kita lebih dahulu pergi ke Tiang-an?" kata Kui Bi ketika dua orang gadis itu duduk di tepi jalan gunung itu, di atas batu besar.
"Aih, kenapa kesana, Bi-moi" Bukankah kota raja telah diduduki musuh" Akan berbahaya sekali kalau kita ke sana. Dan menurut berita, ayah menemani Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Sebaiknya kalau kita langsung saja menyusul ke barat."
"Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui apa yang telah terjadi dengan keluarga kita, enci."
"Kalau begitu, mari kita mencari keterangan yang jelas lebih dulu, baru kita menentukan langkah apa yang akan kita ambil "
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Tiang-an. Setelah tiba di beberapa dusun dan kota, mereka mencari keterangan dan mendengar berita simpang siur tentang keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Ada yang mengabar kan bahwa menteri itu tertawan pemberontak, ada yang mengabarkan bahwa keluarga orang tua mereka telah dibunuh pemberontak, ada pula yang mengabarkan bahwa keluarga mereka itu telah ikut mengungsi bersama kaisar.
Kedua orang gadis itu merasa bingung dan berduka. "Enci Lan, sebaiknya kalau kita membagi tugas. Seorang pergi menyusul ke barat, dan seorang lagi menyelidiki ke kota raja."
"Akan tetapi, amat berbahaya kalau memasuki Tiang-an, Bi-moi. Kalau ada yang tahu bahwa kita adalah puteri Menteri Yang, tentu pemerintah pemberontak akan menangkap kita."
"Begini saja, enci Lan. Biar aku yang memasuki Tiang-an dan menyelidik keadaan orang tua kita. Engkau berangkatlah dulu ke barat menyusul rombongan kaisar. Tentu tidak sukar mencari jejak rombongan itu. Setelah aku mendapat keterangan di kota raja, baru aku akan menyusul pula ke sana."
"Akan tetapi, berbahaya sekali ke Tiang-an!"
"Aku akan berhati-hati dan menyamar, enci Lan. Pula, andaikata ada terjadi sesuatu dengan diriku, masih ada engkau di sana! Asal jangan kita berdua yang tertimpa malapetaka, seorang di antara kita masih akan mampu berjuang untuk membela Kerajaan Tang!" kata Kui Bi penuh semangat. "Pula, bukan hanya perjalananku ke Tiang-an yang berbahaya, juga tugasmu menyusul ke barat tidak kurang bahayanya. Bahkan perjalananmu lebih jauh dan sukar dibandingkan aku. Ke Tiang-an dekat saja, akan tetapi menyusul rombongan Sri baginda ke barat" Entah sampai dimana akhir perjalanan itu. Sudahlah, enci Lan, saat ini tidak perlu kita bimbang dengan ragu dan khawatir, mari kita membagi tugas ini. Ingat akan pesan dan nasihat suhu!"
Melihat gairah dan semangat adiknya, timbul pula semangat Kui Lan ia memang seorang gadis yang lembut, tidak sekeras adiknya, akan tetapi pengalaman pahit membuat ia maklum bahwa ia tidak boleh terlalu lemah menghadapi kehidupan yang penuh tantangan ini. ia teringat akan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan tantangan. Baru dilahirkan saja seorang manusia sudah menangis, tanda bahwa dalam kehidupan dia akan menghadapi segala macam tantangan! Justeru di dalam tantangan-tantangan itulah letak seni kehidupan. Tanpa adanya tantangan, kehidupan tentu akan hambar dan tidak ada artinya Justeru dengan adanya kesukaran, kesulitan, kegagalan dan sebagainya itulah maka hidup ini terasa hidup, penuh gerak, penuh daya dan upaya. Seni hidup adalah menghadapi semua tantangan dan mengatasinya! Orang yang putus asa, orang yang menyerah terhadap keadaan, adalah orang yang tidak menunaikan tugas kehidupan ini. Kita dilahirkan untuk berdaya upaya menghadapi semua tantangan hidup. Pergunakan segala anggauta jasmani, segala daya akal pikiran, untuk berikhtiar mengatasi semua kebutuhan dan kesulitan hidup, itulah tugas kewajiban setiap orang manusia Dan semua usaha ini didasari kepercayaan, iman dan penyerahan kepada Yang Menciptakan segala yang ada, ya Yang Maha Pencipta, Maka Kuasa dan Maga Pengasih.
"Baiklah, Bi-moi, mari kita membagi tugas!" katanya dengan semangat yang mulai bangkit. Adiknya memandang dengan wajah berseri.
"Nah, kita berpisah di sini, enci Lan. Semoga tak lama lagi kita akan dapat saling berjumpa. Kalau aku sudah mendapat tahu keadaan sebenarnya yang terjadi di kota raja, tentu aku akan segera menyusul ke barat. Entah siapa nanti yang lebih dulu dapat bertemu dengan Han-toako dan ayah ibu, aku atau engkau."
"Selamat berpisah, adikku." Mereka berangkulan dan berciuman, lalu mengambil jalan masing-masing. Kui Bi menuju ke kota raja Tiang-an sedangkan Kui Lan menuju ke barat.
0odwo0 Yang Kui Lan memasuki kota Liu-ba di pegunungan Cin-lingsan. Kota ini cukup ramai dan hari telah menjelang senja ketika gadis itu memasuki kota ini. Di sepanjang penjalanan ia telah mendengar ke arah mana perginya rombongan pengungsi kaisar, ia merasa ia lapar dan memasuki sebuah rumah makan yang berada di sudut kota. ia mengambil keputusan untuk makan dulu, kemudian mencari penginapan dan besok pagi pagi sekali melanjutkan perjalanan.
Rumah makan Itu tidak berapa besar, hanya ada belasan buah meja di situ, itupun tidak penuh, hanya setengah nya terisi tamu. Kui Lan memilih sebuah meja kosong, tidak memperdulikan pandang mata para tamu di tempat itu yang semua menoleh dan memandang kepadanya dengan penuh kagum. Memang Kui Lan seorang gadis yang cantik jelita. Wajahnya mirip sekali dengan bibinya, mendiang Yang Kui Hui, selir kaisar yang kecantikannya membuat kaisar tergila-gila. Biarpun Kui Lan sama sekali tidak menghias mukanya, tanpa bedak tanpa gincu, juga rambutnya disanggul biasa tanpa hiasan, pakaiannya juga sederhana sesuai dengan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw, namun kecantikannya yang aseli bahkan membuat semua pria di rumah makan itu, termasuk para pelayan dan pemilik rumah makan, memandangnya penuh kagum. Hanya ada satu orang saja di antara para tamu yang tidak memandang kepadanya, walaupun tamu itupun melihat ia memasuki rumah makan. Tamu yang sikapnya berbeda dari yang lain ini adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana pula, namun wajah nya tampan dan gagah, sikapnya tenang dan pendiam.
Kebetulan sekali ketika Kui Lan mengambil tempat duduk, tanpa sengaja ia duduk menghadap ke arah pemuda itu. yang juga duduknya menghadap kepadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi mereka saling pandang. Akan tetapi pemuda itu dengan sopan segera mengalahkan pandang matanya. Hal ini justeru menarik perhatian Kui Lan. Semua tamu menoleh dan memandang kepadanya dengan mata seperti srigala kelaparan, akan tetapi pemuda itu bahkan mengalihkan pandang mata! Iapun menunduk, akan tetapi kerlingnya dengan tajam kadang menyambar ke arah meja di depan itu walaupun ia tidak secara langsung memandang kepada pemuda tadi. Pelayan datang menghampiri dan iapun memesan nasi dani dua macam sayuran. Telah dua tahun lebih ia tinggal di kuil, setiap hari pantang makan daging seperti para nikouw, maka iapun memilih sayur yang tidak mengandung banyak dagingnya, ia bukan memantang daging, hanya sudah terbiasa makan sayuran
Pelayan itu memandang heran. Seorang gadis yang cantik ini, memesan masakan yang begitu sederhana dan murah. Agaknya seorang gadis yang tidak membawa banyak uang, pikirnya.
Karena Kui Lan tidak mau memperdulikan keadaan sekelilingnya, ia tidak tahu bahwa di meja sebelahnya, yang berada di belakangnya, duduk tiga orang yang dari pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah tiga orang perwira. Usia mereka antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, dan dari wajah mereka mudah diketahui pula bahwa mereka bukanlah bangsa pribumi, melainkan suku bangsa utara karena wajah mereka seperti wajah orang Mancu atau Uigur. Juga logat bicara mereka, biarpun menggunakan bahasa Han, kedengaran asing .
Ketika pelayan datang mengantarkan nasi dan dua mangkok sayuran kepada Kui Lan , sebelum gadis itu mulai makan, tiba-tiba saja tiga orang perwira itu bangkit dan menghampiri meja Kui Lan. Gadis ini mengangkat muka melihat tiga orang perwira itu berdiri di depannya, terhalang meja.
Kui Lan memandang mereka dengan sinar mata bertanya, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Gadis ini memang berwatak lembut, tidak seperti adiknya yang tentu akan segera membentak dalam keadaan seperti itu. Melihat gadis jelita itu hanya memandang dan tidak kelihatan marah dengan kemunculan mereka, tiga orang perwira itu menganggap bahwa gadis itu merupakan makanan lunak bagi mereka. Seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang panjang kecil, menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuning yang tidak rata, lalu berkata dengan suara yang terdengar amat ramah.
"Nona, orang secantik nona tidak sepatutnya makan nasi dengan sayur saja tanpa daging. Marilah, nona, kami bertiga mengundang nona untuk makan di meja kami. Kami sediakan hidangan yang paling lezat untuk nona, juga anggur manis yang harum."
Di dalam hatinya, Kui Lan marah kepada tiga orang yang lancang berani menegur seorang gadis yang tidak mereka kenal, akan tetapi karena ucapan si kumis panjang itu ramah, iapun menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu mengambil sepasang sumpit di tangan kanan, dan mengangkat mangkok nasi di tangan kiri, mulai akan makan tanpa memperdulikan mereka.
"Ah, agaknya nona ini malu-malu," kata perwira ke dua yang tubuhnya tinggi besar dan matanya melotot lebar. "Kalau begitu, biarlah kami bertiga yang pindah ke mejamu, nona. Heiii pelayan! Pindah-pindahkan hidangan kami ke meja ini !"
Pelayan datang berlarian dan tiga orang perwira itu kini duduk di seputar meja Kui Lan, ketiganya menyeringai dan mata merekpun memandang wajah Kui Lan seperti hendak menelannya bulat-bulat. Kui Lan mulai marah, akan tetapi ia masih menahan sabar. Ia menyambar buntalan pakaiannya, dan membawa mangkok nasi dan mangkok sayurannya, lalu ia berjalan menuju ke meja lain yang kosong, dekat dengan meja pemuda yang tadi mengacuhkannya, lalu duduk dan mulai makan nasi dan sayurannya, tanpa memperdulikan tiga orang perwira itu.
Perwira ke tiga, yang tinggi kurus dan mukanya kuning pucat seperti orang berpenyakitan, menjadi marah. Dengan langkah lebar dia menghampiri meja Kui Lan . "Heii, nona sombong! Buka matamu baik-baik. Kami adalah tiga orang perwira dari kerajaan baru! Berani engkau menolak undangan kami, bahkan tidak memperdulikan kami?"
Kui Lan bangkit berdiri, ia memang tidak pandai bicara, juga merasa segan untuk bertindak kasar, akan tetapi kemarahan membuat ia menekan sepasang sumpit dengan tangan kanannya sepasang sumpit itu amblas masuk kedalam meja sampai tembus!
"Aku tidak sudi dipaksa oleh apapun!" katanya dan ia mengeluar sepotong uang perak dari buntalannya dan sekali banting, potongan perakpun amblas masuk ke dalam meja yang tebal itu. Kemudian, ia menyambar buntalannya dan pergi meninggalkan rumah makan itu tanpa berkata apapun!
Tiga orang perwira itu menyaksikan demonstrasi tenaga sinkang gadis cantik itu. Akan tetapi, agaknya mereka masih merasa penasara apa lagi merasa malu melihat betapa depan umum seorang gadis Han berani menolak undangan mereka. Itu bagi mereka merupakan penghinaan yang besar! Sebagai anggauta pemberontak yang merasa menang, tentu saja mereka merasa berkuasa dan setiap orang rakyat harus tunduk dan taat kepada mereka! Mereka lalu melangkah keluar, menggapai belasan orang perajurit anak buah mereka yang menanti di luar rumah makan, kemudian mereka memimpin belasan orang perajurit itu untuk melakukan pengejaran pada gadis yang nampak berjalan keluar dari pintu kota Liu-ba. Kui Lan memang merasa jengkel sekali dan peristiwa di rumah makan tadi membuat ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan saja dan kalau perlu bermalam di luar kota karena ia merasa tidak senang lagi tinggal di kota itu. Akan tetapi belum lama dia keluar dari pintu gerbang kota itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berkuda mengepungnya. Mereka itu berloncatan turun dan ia melihat bahwa tiga orang perwira yang tadi, memimpin belasan orang perajurit, telah mengepungnya.
Tiga orang perwira itu menghadang Kui Lan yang bertanya dengan lembut, "Kalian ini mau apa menghadang dan mengepungku?"
"Ha-ha-ha, nona manis. Engkaulah bersikap kurang ajar dan menghina kami. Mudah saja bagi kami untuk menuduhmu pemberontak dan membunuhmu sekarang juga. Akan tetapi kalau engkau suka minta maaf dan mau menemani bersenang-senang malam ini, engkau akan kami maafkan," kata si kumis pajang.
Kedua pipi yang putih halus menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah itu kini mencorong. "Engkau biadab dan jahat!" katanya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 8 "Heh,heh, makin marah semakin manis!" kata si kumis melintang dan tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak ke depan, ke arah dada Kui Lan! Gadis ini tidak mampu menahan kesabarannya lagi. ia melangkah mundur dengan gerakan seringan burung dan begitu ka-kinya meluncur ke bawah, sepatunya telah menyambar dagu si kumis panjang dengan tenaga dahsyat.
"Krekk........!!" Bagaikan disambar petir, si kumis melintang, terjengkang dan terbanting, roboh terlentang dengan mata terbelalak dan mulut berdarah, tulang rahangnya patah! Dia hanya mampu merintih-rintih.
"Gadis pemberontak!" bentak dua orang rekannya. "Tangkap pemberontak ini!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Kalian manusia taki tahu malu!" dan sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.
Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat seorang pemuda berdiri di depan mereka. Kui Lan juga mengenal pemuda itu. Bukan lain adalah pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang berbeda dengan orang lain, sama sekali tidak mengacuhkannya, bahkan ketika bertemu pandang, segera mengalihkan pandang matanya.
"Siapa kau" Pemberontak pula"!" bentak si tinggi besar. Akan tetapi si muka kuning terbelalak memandang pemuda itu.
"Engkau...... bukankah engkau .. Sia-ciangkun ....?""
Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini diapun mengenal pemuda itu. Kalau tadi dia mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, sedangkan dia mengenalnya sebagai seorang panglima yang selalu berpakaian seragam.
"Sia-ciangkun......, ga.....gadis ini..... ia seorang pemberontak ...." katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat berwibawa, seperti sikap seorang atasan terhadap anak buahnya. "Kalian kira aku tidak mengetahuinya" Sejak di rumah makan aku sudah melihat dan mendengar kalian mengganggu nona ini dan sekarang kaukatakan ia pemberontak. Ulah kalian tidak seperti perwira, sepantasnya menjadi buaya-buaya darat rendahan!" Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali tubuhnya bergerak. Si tinggi besar dan si muka kuning mengaduh dan terpelanting, dan semua perajurit yang tadi mengepung Kui Lan juga seorang demi seorang terpelanting keras dihajar oleh pemuda itu.
Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang hebat, pikirnya. Wajahnya tampan, sikapnya gagah perkasa, juga jelas baik budi dan adil, dan melihat gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu silat yang tangguh .
Pemuda itu memandang marah kepada belasan orang yang sudah dirobohkan semua. "Nah, sekarang pergilah kalian. Kalau sekali lagi aku memergoki kaliai berbuat jahat, tentu takkan kuampun lagi. Pergi!" Bagaikan sekawanan anjing ketakutan, belasan orang itu merangkak pergi.
"Nona, maafkanlah mereka. Memang mereka itu orang-orang kasar yang sudah sepantasnya menerima hajaran keras," kata pemuda itu, kini berhadapan dengan Kui Lan dan memberi hormat.
Kui Lan cepat membalas penghormatan itu. "Terima kasih," gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi, diam diam ia merasa penasaran karena tadi mendengar betapa si tinggi besar menyebut pemuda ini Sia-ciangkun, berarti bahwa pemuda ini juga seorang perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja! "Apakah mereka itu anak buahmu dan kau............ seorang perwira?"
Gadis itu mengangkat muka memanjang dan dua pasang mata bertemu panjang. Menghadapi pandang mata yang lembut namun tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, kini menjadi gugup begitu pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam sinarnya!
Kembali pemuda ini mengangkat ke dua tangan memberi hormat dan berkata, "Dugaanmu memang benar, nona. Namaku Sia Su Beng dan aku memang seorang.... panglima kerajaan......."
"Ahhh.....!" Tentu saja Kui Lan merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu. Ketika mengaku dirinya sebagai panglima kerajaan, pemuda itu kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!
"Nona, harap jangan salah sangka!" katanya cepat. "Biarpun aku seorang panglima, namun sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu Shan.."
"Ssttt.....!" Kui Lan merasa khawatir kalau-kalau ucapan itu terdengar orang lain dan ia memandang ke sekeliling.
"Nona, begitu engkau melawan tga orang perwira dan pasukannya tadi aku sudah menduga bahwa engkau tentulah seorang yang menentang pemerintah baru ."
"Ciangkun......"
"Aih, nona, jangan sebut aku ciangkun."
"Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya," kata Kui Lan dan Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu. Dia mengangguk lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu, di sawah ladang yang sunyi dan dari tempat itu mereka dapat melihat kesekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.
"Nona, aku telah memperkenalkan diri. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona" Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."
Kui Lan sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka berdua tidak akan mengganti nama, akan tetapi akan menanggalkan nama keluarga mereka agar tidak dikenal orang. "Nama keluargaku Kui dan namaku Lan," jawabnya.
"Nona Kui Lan , nama yang indah sekali!" kata pemuda itu sambil tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi sifat yang menarik pemuda itu di samping ketampanan dan kegagahannya, yaitu pemuda ini pandai bicara dan pandai pula merayu! "Kalau boleh aku mengetahui, nona dari perguruan manakah?"
Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan copot. Senyum itu demikian manisnya! "Maaf , ciangkun........"
"Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang menyakitkan hati itu."
"Akan tetapi seorang panglima."
"Itu hanya demi perjuangan menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup de ngan toako (kakak) saja"
"Tapi engkaupun menyebutku nona," kata Kui Lan, diam diam merasa heran mengapa ia dapat begini akrab dengan cepatnya.
"Baiklah, aku siauw-moi (adik) dan engkau menyebutku toako. Nah, lanjutkan ceritamu, siapakah gurumu dan engkau dari perguruan mana Lan-moi (adik Lan)?" Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu, entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi keluar dari mulut pemuda itu terdengar demikian mesra dan indah!
"Maaf, .... toako. Aku bukan dari perguruan manapun, dan terus terang saja, suhuku melarang aku memperkenalkan namanya, harap engkau maklum
Tent saja Kui Lan mengatakan demikian hanya untuk menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ah, tidak mengapa, Lan-moi. Memang, sebagai seorang gadis sepertimu ini, tentu saja tidak semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu mengenai dirimu. Baiklah aku yang akan lebih dulu memperkenalkan keadaanku. Sejak muda sekali aku telah menjadi perwira dan aku ditugaskan di utara, dibawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku mengikuti setiap perkembangan dan mengetahui semua gerakannya, dan sebetulnya aku sama sekali tidak setuju ketika dia menggerakan pasukan untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Tang."
"Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan telah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap ....."


Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidak kau lanjutkan, Lan-moi" Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti aku membantu pemberontakannya" Memang aku akui hal itu. Habis, apa yang dapat di lakukan seorang bawahan seperti aku" Terpaksa aku membiarkan dia melakukan pemberontakan. Akan tetapi, diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk menggulingkannya, bahkan kalau mungkin membunuhnya. Diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan, dan mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah. aku sudah membuka semua rahasiaku kepadamu, nona eh, adik Lan."
Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa begitu percaya kepadanya sehingga membuka rahasia yang dapat membahayakan nyawanya itu" Kalau sampai rahasia itu ketanuan, tentu pemuda akan celaka! Ia merasa girang telah di percaya sedemikian rupa.
"Terima kasih atas kepercayaan-toako, dan maafkan keraguanku tadi.Sekarang aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku kagum sekali akan usahamu menghancurkan pemberontak. Engkau seorang gagah yang setia kepada kerajaan."
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Lan-moi" Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak kemana dan dari manakah" Tentu saja kalau aku boleh mengetahui...."
Kui Lan menghela napas panjang. Biarpun ia sudah percaya kepada pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang amat dikaguminya, akan tetapi ia sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka harus merahasiakan keluarga mereka dari siapapun juga. Bukan saja karena ayah mereka adalah Menteri Yang Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi lebih dari itu, bibinya adalah selir yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi! ia bahkan merasa malu untuk mengakui bahwa ia adalah keponakan dari Yang Kui Hu!
"Aku hendak menyusul ayah ke barat."
"Aih, di manakah ayahmu itu, Lan moi?"
"Ayahku mengawal Sri baginda mengungsi ke barat." Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimanapun juga, ia tidak lah sama sekali berbohong. Ayahnya memang mengikuti kaisar mengungsi, ia tidak berbohong, yang dirahasiakannya hanyalah keluarganya.
Pemuda itu nampak terkejut. "Ah, kiranya ayahmu seorang pengawal Sribaginda! Kiranya keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku girang dan bangga sekali dapat berkenalan denganmu, Lan-moi. Kalau begitu, jalan yang kita tempuh mempunyai tujuan yang sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Hanya kita berbeda cara dan jalan. Aku yakin kelak kita akan dapat saling bantu dalam perjuangan kita."
"Mudah-mudahan begitu, toako. Sekarang malam hampir tiba, aku harus melanjutkan perjalanan." Gadis itu bangkit berdiri.
Sia Su Beng termenung dan menghela ia napas. "Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan dan berduka, Lan-moi, seolah aku akan berpisah dengan seorang sahabat yang sudah lama kukenal. Sayang sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja. Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lan-moi."
"Terima kasih, engkau baik sekali, toako. Akupun.... tidak akan lupa kepadamu."
"Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi ."
Setelah sejenak saling pandang dengan sinar mata yang membawa serta seribu satu macam perasaan, kedua o-rang muda itupun saling memberi hormat dan berpisah. Namun, keduanya melangkah seperti orang yang lesu dan kehilangan, saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta!
0odwo0 Malam Itu gelap dan dingin, apa lagi hujan rintik-rintik sejak senja tadi membuat orang enggan keluar dari dalam rumah. Kota raja nampak sunyi dan hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja memaksa diri ke luar rumah, mengenakan baju tebal dan melindungi kepala dengan payung.
Di tempat yang biasanya ramai di kunjungi orang saja, seperti di rumah makan, di toko-toko, malam itu sepi sekali. Apa lagi di tanah kuburan umum itu. Sunyi dan bahkan menyeramkan. Pada malam terang bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu saja, itupun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada malam gelap dingin dan gerimis itu, tak seorangpun yang sehat akalnya akan mau masuk ke dalam tanah kuburan.
Akan tetapi, pada malam yang menyeramkan itu, Yang Kui Bi berlutut d depan sebuah kuburan dan menangis terisak-isak. ia mencoba untuk menahan agar tidak mengeluarkan suara terlalu keras, akan tetapi tetap saja ia memanggil-manggil ibunya sambil menangis. Membayangkan ibunya membunuh diri ketika rumah mereka diserbu pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa! Siang tadi, setelah beberapa hari berada di kota raja, ia berhasil menemukan seorang wanita tua bekas seorang di antara pelayan keluarga mereka dan dari pelayan inilah ia mendengar segalanya. Ayahnya pergi mengikuti kaisar mengungsi, akan tetapi ibunya tidakmau meninggalkan rumah karena menanti kembalinya kakaknya, Yang Cin Han, ia sendiri dan enci nya. Dan ibunya berada di rumah ketika kota raja diserbu dan rumah merekapun diserbu pemberontak.
la harus menahan hatinya siang tadi, menanti sampai malam tiba baru ia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam biasa saja, seperti kuburan penduduk biasa! Pada hal ibunya adalah seorang nyonya menteri!
"Ibu..... maafkan aku, ibu....." ia tersedu.
Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang di belakangnya. Cepat sekali, tubuh yang tadi nya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat, memutar tubuh dan ia sempat melihat sesosok bayangan menyelinap pergi. Kedukaan yang mendalam membuat Kui Bi mendendam dan marah sekali kepada pemberontak yang telah menghancurkan keluarga orang tua nya dan membuat ibunya membunuh diri. ia menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah orangnya pemberontak atau pemerintah yang baru. Maka, kemarahannya ditimpakan kepada bayangan itu dan dengan gerakan bagaikan seekor burung walet keluar diri dalam guha, iapun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan tamparan ke arah pelipis orang itu .
"Wuuuttt.... plakkk!" Tamparan itu tertangkis dan ternyata bayangan itu memiliki tenaga yang cukup kuat sehingga tangan Kui Bi yang menampar tadi tertangkis dan terpental. Gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, iapun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu. Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itupun lihai bukan main. Malam itu gelap sekali dan hanya sekali-kali ada cahaya kilat di angkasa. Perkelahian itu lebih dikendalikan oleh ketajaman pendengaran mereka.
Bayangan itu menangkis dan mengelak, juga balas menyerang sambil mundur sehingga tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di mana terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi mereka untuk dapat melihat bayangan masing-masing. Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya, ia dapat menduga bahwa lawannya seorang laki-laki yang tubuhnya sedang. Akan tetapi yang membuatnya ia penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang ternyata biarpun tidak seringan gerakannya sendiri, orang itu dapat menghalau setiap erangannya. Seolah lawan yang amat lihai! Dan ilmu tongkat orang itupun aneh dan berbahaya sekali, maka ia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut, melainkan dicampur dengan gerakan Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) yang seharus nya dimainkan dengan toya, akan tetapi terpaksa ia mainkan dengan pedangnya, dan berulang-ulang terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.
Tiba-tiba di angkasa terdengar ledakan keras menyusul cahaya kilat yang amat terang. Biarpun hanya beberapa detik, namun cukup bagi kedua orang tu untuk saling melihat muka dan Kui Bi cepat menahan serangannya dan berseru, "Han-koko......."!"
Pemuda itu tertawa dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa ong yang diserangnya tadi memang kakaknya, Yang Cin Han!
"Bi-moi,ilmu silatmu sekarang hebat!"
"Han-koko...... ah, Han-koko. ibu kita....." Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan kakaknya. Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja dua matanya menjadi basah. Dia membiarkan adiknya menangis di dadanya dan air mata adiknya itu turun seperti hujan rintik-rintik. Kemudian, setelah membiarkan Kui Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan suaranya terdengar gembira.
"Adikku yang manis, di mana kegagahanmu" Engkau sudah demikian tangguh sekarang, akan tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia, akan tetapi itu sudah takdir Tuhan, tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu!"
Kui Bimemang memiliki hati keras, maka ia segera dapat memulih hatinya dan kini mereka berdua mencari perlindungandi bawah atap seng makamyng lebih terawat. Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi, dan mereka saling bertanya, lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Kui Bi girang mendengar bahwa kakaknya ini telah menjadi murid Sin-tung Kai-ong, pengemis sakti yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada ia dan encinya, dan sebaliknya, Cin Han kagum mendengar bahwa kedua orang adiknya menjadi murid seorang hwesio sakti.
"Akan tetapi, di mana Lan-moi" kenapa tidak bersamamu di sini?" tanya Cin Han.
"Kami memutuskan untuk membagi tugas dan berpisah, koko. Enci Lan pergi ke barat menyusul rombongan Kaisar ketika kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, sedangkan aku ke kota raja ini untuk melihat keadaan keluarga kita. Sungguh menyedihkan mendengar bahwa ibu telah meninggal dunia, membunuh diri ketika rumah kita diserbu pemberontak. Mudah-mudahan saja ayah yang mengikuti kaisar kebarat dalam keadaan selamat dan ...... kenapa, Han-ko?" Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan kakaknya dengan kuat.
"Adikku, apakah engkau ini masih adikku Kui Bi yang tabah dan pemberani, tidak cengeng dan periang, lincah Jenaka dahulu itu?"
"Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"
"Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengar baik-baik," kata Cin Han masih tetap memegang lengan adiknya. "Ayah kita telah.... tewas pula dalam perjalanan ke barat......"
"Ayah......!!" "Bi-moi, ah, Bi-moi.....!" Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai dalam pelukannya. Pingsan.
Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja ia menangisi kematian ibunya depan makam yang tak terawat, sekarang tiba-tiba saja mendengar bahwa ayahnya juga telah tewas, maka ia tidak kuat dan roboh pingsan.
Cin Han menolong adiknya dan setelah menotok beberapa jalan darah gadis itu siuman kembali dan mereka berdua kembali menangis. Akan tetapi hanya sebentar Kui Bi menangis.
"Koko, ceritakan bagaimana ayah tewas...." katanya lirih,,
"Aihhh, sejak dulu aku telah mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tdak wajar, hanya karena pengaruh bibi Yang Kui Hui," katanya. Kemudian dia menceritakan seperti apa yang didengar nya tentang ayahnya dan bibinya. Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri semakin tidak senang dan curiga kepada Menteri Yang Kok Tiong yang di-anggap biang keladi keruntuhan Kerajaan Tang, kemudian mengeroyok menteri itu sampai tewas. Kemudian diceritakannya pula bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di depan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.
Setelah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang terdengar tarikan napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa semua peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andaikata bibi mereka itu dahulu tidak melindungi An Lu Shan ketika dilaporkan ayah mereka kepada kaisar, tentu tidak akan terjadi pemberontakan itu.
"Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya, ko-ko!" tiba-tiba Kui Bi berkata dengan penuh semangat.
"Hushhh, kaukira begitu mudah membunuh dia" Dia sekarang telah menjadi seperti seorang kaisar, tinggal di istana, dijaga oleh pasukan pengawal. Jangan bertindak sembarangan dan mencelakai diri sendiri, adikku."
"Han-koko, lalu apa yang harus kita lakukan" Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi malapetaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa karena kita takut celaka?"
"Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus melakukan sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk menentang An Lu Shan dan menghancurkannya. Tentu saja kita tidak dapat bertindak sendiri menghadapi pasukannya yang ratusan ribu orang banyaknya. Aku mendengar bahwa Gok-hong-cu hilang. Itu hanya desas-desus, akan tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya, Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan. Lalu, aku mendengar desas-desus bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari pusaka itu. Agaknya dia telah mengetahui tempatnya, maka aku akan membayangi pasukan itu dan kalau mungkin aku akan merampas mestika itu dari tangan mereka !"
Kui Byang sejak tadi termenung memikirkan sesuatu, mengangguk.
"Baiklah, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita sendiri, koko. Apakah di kota raja ini terdapat orang yang bisa dipercaya dan masih setia kepada Kerajaan Tang?"
"Banyak, Bi-moi. Banyak kawan-kawan kita dan mereka itu diam-diam juga sudah siap untuk bergerak menentang An Lu Shan kalau saatnya tiba."
"Bagus! Kalau begitu, antarkan aku kepada mereka, koko. Aku ingin bergabung dengan mereka menentang si jahanam An Lu Shan!"
"Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hati, jangan engkau bertindak sembrono dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan engkau takkan berhasl."
"Aihh, Han-ko, apakah kaukira adikmu ini masih kanak-kanaki Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."
Malam itu juga, Cin Han mengajak adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai mempergunakan hartanya, maka dia sekeluarga dapat hidup aman dan selamat dari serbuan pasukan pemberontak. Bahkan dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru. Tidak ada seorangpun dapat mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam mempersiapkan diri untuk bergerak apabila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.
Ji-wangwe yang tidak mempunyai anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han malam itu dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang lalu, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut. Mengetahui bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap melemahkan Kerajaan Tang, mendatangkan rasa tidak senang dan kecurigaan. Akan tetapi setelah Cin Han, menjelaskan bahwa dia sendiri bersama para adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka, tidak suka pula kepada sepak terjang bibinya yang mempergunakan kecantikan mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu muncul dan memperkenalkan Yang Kui Bi, adiknya, gadis itupun diterima dengan ramah oleh Ji-wangwe.
"Jangan khawatir, kongcu," kata hartawan itu kepada Cin Han. "Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan, ia memakai she Kui dan bernama Bi, Baik, akan kami katakan bahwa ia anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan." Hartawan Ji senang sekali ketika mendengar bahwa Ku Bi adalah seorang gadis yang juga memliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.
"Dan bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji" Apakah sudah-ada berita tentang keberangkatan mereka?" tanya Cin Han. Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang kedudukan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berit.
"Sudah ada ketentuan. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya dia akan di ditemani oleh seorang gadis yang memiliki ilmu silat lihai sekali. Karena itu, engkau harus berhati-hati, kongcu."
Cin Han mengangguk-angguk. Dia sudah tahu siapa Bouw-ciangkun, seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras. Malam itu, kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala pengalaman mereka, dan sekali ini, Ji-wangwe ikut dalam percakapan mereka sehingga hartawan ini semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan juga setia kepada Kerajaan Tang. Mereka berdua ini saja dapat merupakan pembantu yang boleh diandalkan, pikirnya girang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Cin Han sudah meninggalkan rumah itu dalam pakaian seperti seorang pengemis muda. Tak lama kemudian, dia sudah membayangi rombongan pasukan yang dipimpin oleh Bouw Ki yang ditemani oleh Can Kim Hong. Rombongan ini menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan mempernunakan ilmu berlari cepat. Ketika rombongan berkuda itu menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah lagi baginya untuk membayangi. Dia menggunakan sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Kini dia dapat membayangi rombongan itu dengan seenaknya, diatas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
0odwo0 Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan memandang dengan kagum ke arah guha-guha yang berjajar seperti sumur miring itu. Betapa hebat dan megahnya alam, pikirnya. Betapa sakti dan mahakuasanya Sang Pencipta semua ini! Dan diapun kagum akan kecerdikan mendiang Menteri Yang Kok Tiong, yang telah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu di salah satu di antara guha-guha itu. Guha ke tiga memang merupakan guha paling kecil dan paling tidak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk mendekatinya. Selain jalan menuju ke guha ke tiga itu harus memaniat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga berbahaya.
Hui San adalah seorang pendekar Gobi-pai yang cerdik dan biarpun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada. Setelah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang tersesat ke tempat ini, dia menemukan guha-guha itu. Akan tetapi, walaupun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak tergesa-gesa menghampiri guha. Kegirangan telah bertemu dengan tempat itu tidak membuatnya lengah. Dia lalu menyelinap ke balik sebuah batu karang, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama kemudian, dia telah mengintai dari puncak, memandang ke sekeliling. Barulah hatinya lega setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun nampak di sekitar tempat itu. Dia lalu ce pat turun dari puncak, menghampiri tebing dan berhadapan dengan guha-guha tadi lagi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah guha ke tiga. Guha itu kecil dan dia harus membungkuk untuk merangkak masuk. Dan di sudut guha itu, tertutup tumpukan batu-batu karang berkapur, dia menemukan benda yang dicarinya. Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam! Ketika tutup kotak itu dibukanya, di dalamnya terdapat benda pusaka itu. Mestika Burung Hong Kemala yang aseli! Bentuknya tidak berbeda jauh dari yang dibawa dalam buntalannya, yaitu bentuk seekor burung Hong. Akan tetapi benda pusaka ini mengeluarkan cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Dan u-kiran burung Hong-nya juga amal indah. Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!
Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya, kemudian dia keluar dari dalam guha. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai dulu dari dalam guha sampai lama, sampai dia merasa yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam guha itu Seperti tadi, diapun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihat nya, baru dia memasuki guha ke tujuh yang lebih besar. Dia memasuki guha itu, lalu menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an. Yang palsu dia masukkan ke dalam kotak hitam dan meletakkannya ke dalam guha, di sudut yang gelap, sedangkan yang aselinya dengan aman berada dalam buntalan pakaiannya!
Kemudian, diapun keluar dari dalam guha setelah mengintai lebih dahulu dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugas nya, diapun meninggalkan tebing itu Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan mendaki naik ke puncak. Dengan demikian, andaikata ada orang melihatnya tentu orang itu mengira bahwa dia mendaki puncak da hanya kebetulan saja lewat di depan tebing itu, bukan bermaksud pergi ke tebing.
Setelah tiba di puncak, dia beristirahat, duduk di balik batu kasar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik tinggi, lalu mengeluarkan tempat minuman. Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan kembali buntalan pakaiannya di punggung, dan menuruni bukit itu dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di sepanjang lereng yang penuh hutan, walau- pun tidak begitu lebat pohonnya, namun karena usianya sudah tua maka pohon-pohon itu tinggi dan besar batangnya.
Setelah tiba di hutan pertama, diapun memanjat pohon tertinggi dan me mandang ke sekeliling. Tiba-tiba dia nampak mengerutkan alisnya. Dari arah puncak, dari mana dia turun tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia melihat ke bawah, dia melihat debu mengepul dan serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!
Tak lama kemudian, Hui San sudah menyelinap di balik semak-semak dan mengintai ketika seorang gadis menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dan diapun menahan napas. Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan inipun tidak aneh karena sejak kecil dia tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi dan kalaupun pernah dia bertemu wanita, maka yang di jumpainya hanyalah gadis-gadis pegunungan di Gobi-san yang sederhana sekali. Akan tetapi gadis yang lewat di dekatnya itu demikian cantik jelita seperti bidadari! Bidadari yang lembut, namun gagang pedang di punggungnya itu menunjukkan bahwa gadis itu tidak selembut seperti nampaknya. Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon yang masih ada beberapa helai daunnya.
Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit dan pasti akan bertemu dengan rombongan orang berkuda itu! Dia mendapatkan perasaan tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, maka diam-diam dia lalu membayangi gadis itu. Dari langkahnya saja dia dapat menduga bahwa gadis itu membawa pedang bukan sekedar untuk memasang aksi, melainkan ia seorang gadis yang sungguh memiliki kepandaian.
Kini derap kaki kuda itu sudah terdengar dari situ. Rombongan orang berkuda dari bawah itu sudah dekat, akan tetapi gadis cantik itu masih tetap berjalan dengan santai! Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin dia meneriaki gadis itu agar bersembunyi atau menyingkir saja. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tidak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang tidak merupakan rombongan orang jahat"
Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan dan mereka tidak lagi dapat membalapkan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan. Sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak! Tentu saja dia merasa khawatir sekali. Dari tempat persembunyiannya, dia melihat betapa gadis cantik itu berhenti melangkah dan agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.
Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan diri mengungsi, ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya.
Ketika ia tiba di pegunungan yang sepi itu, ia mengambil jalan pintas, mendaki puncak bukit dan kini tiba-tiba di tempat sunyi itu ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda. yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan tampan, berpakaian perwira. Tentu Sia Su Beng akan nampak lebih gagah dari pada orang ini kalau dia berpakaian perwira, Kui Lan membayangkan. Dan di samping pemuda perwira itu duduk seorang gadis cantik dan gagah di atas seekor kuda putih. Kemudian di belakang mereka nampak duapuluh lebih perajurit berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang. Bertemu dengan serombongan perajurit yang tentu merupakan perajurit anak buah pemberontak An Lu Shan. Kui Lan merasa sebal dan tidak senang. Akan tetapi, iapun tahu bahwa tidak semestinya ia mencari keributan menghadapi demikian banyak orang. Apa lagi perwira itu kelihatan bukan orang lemah. Maka, iapun sengaja menepi untuk memberi jalan agar rombongan berkuda itu lewat.
Golok Halilintar 5 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 12

Cari Blog Ini