Ceritasilat Novel Online

Misteri Tirai Setanggi 2

Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Bagian 2


"Ya. Dia dan kau harus meninggalkan saya", kata Ki Pita Loka.
"Tapi bagaimana saya harus pergi"Kota terdekat adalah 100 KM dari sini. Sedangkan mobilku dan semua perlengkapanku sudah kau buang, Guru!"
"Sebaiknya anda pergi, Dasa!"
"Pita Loka!" Dasa berseru lantang saking kesal.
"Ikuti ucapan Guru Gumara tadi. Kembalilah kamu ke masyarakat manusia biasa seperti kamu sebelum kenal saya", ujar Pita Loka berwibawa. Hal ini membuat Dasa Laksana menyeringai sedih dan berkata seperti menguras seluruh isi kalbunya: "Saya sudah terikat dengan masyarakat kau, sekalipun masyarakat itu terdiri dari dua orang di sini: kau dan saya".
Sementara itu, Gumara bagai terlunta-lunta sudah melewati dua buah bukit. Dia lemaskan seluruh otot ketika melangkah. Dia seakan-akan kosong dari segala kekosongan. Dibilang dia bertenaga, sepertinya dia bukan melangkah melainkan mengapung. Dibilang tak bertenaga, dia mampu memanjati berbagai dinding-dinding curam di antara bukit dan bukit. Juga, jika dibilang dia seenaknya tak ambil perduli atau jatuh atau terpeleset pun tidak. Bahkan begitu hati-hatinya Gumara ketika terpeleset di jurang lain sempat menangkap satu akar dari pohon yang tumbuh di tepi jurang, lantas, begitu sadar dia menarik nafas dan berkata: "Ya Allah. syukur alhamdulillah umurku masih Kau perpanjang".
Masih dinaikinya satu bukit lagi menjelang pulang menuju desa Kumayan, yaitu Bukit Tunggal.
Ketika pergi dari desa Kumayan hendak menjemput Harwati atau Pita Loka. dia memang sengaja menghindar dari jalur Bukit Tunggal .Tapi entah bagaimana dia menjadi tercengang saja sewaktu sadar bahwa dia sudah berada di kawasan kekuasaan Ki Tunggal.
Koleksi KANG ZUSI Berdasarkan mimpinya yang sama bentuk sebanyak tujuh kali mimpi pada tiap malam Jum"at berturut-turut, dia sudah dilarang oleh Ki Tunggal untuk menjumpai beliau.
Jika berhadapan muka, akan terjadi bencana.
Maka orangtua sakti itu pun merasa perasaannya tak enak di kala maghrib tiba sehingga dia berkata pada isterinya yang berusia 16 tahun itu: "Nik, apa kau tidak merasa malam ini kelihatannya seperti akan terjadi sesuatu?"
Senik Makuto yang cantik talu tersenyum;;; "Adabarangkali seseorang yang mau menguji Tuan?"
"Ha", tebakanmu jitu! Itulah yang kurasakan!"
"Kalau begitu pertanyakan!" ujar sang isteri.
"Bawa ke sini dupa itu, Nik", ujar sang Guru yang berusia 100 tahun itu. Bau asap dupa melingkupi tempat bertapa Guru Tunggal itu. Wajahnya diasapi. Asap itu seakan-akan masuk cepat ke paru-parunya, lalu paru-parunya seakan dipenuhi oleh asap, yang kemudian memasuki seluruh pembuluh darah. Beliau yang tadi keriput secara perlahan seperti tampak muda selama lebih dari dua jam perkembangan pengaturan nafas yang amat cepat dan mengerikan. Tapi Senik Makuto bukan ngeri, melainkan senang. Pertamakali dia jumpa dengan Sang Guru sampai tergila-gila bukannya menemukan orang tua loyo keriput. Dengan mata jelalatan penuh birahi.
Senik Makuto memperhatikan wajah suaminya yang penuh ketegangan namun makin lama semakin muda.
"Kini usiaku sudah semakin mendekati usia orang itu", ujar Sang Guru.
"Siapa orang itu yang tuan maksud?"
"Ki Gumara. Manusia perkasa. Dia datang terlalu cepat. Belum semestinya dia hadir di sini!"
"Apa yang tuan rasakan?" tanya Senik terheran.
"Aku sedang membencinya", geram Ki Tunggal dan matanya mulai merah.
"Kenapa Tuan membencinya?"
"Dia akan berguru kepadaku. Dia mencoba melawan ketetapan Yang Maha Kuasa.
Dia datang ke sini kelewat cepat, sebelum keharusannya. Apa boleh buat. Semua soal selalu dengan dua kemungkinan. Ya atau tidak. Bila ya ini berarti aku harus mati.
Sedangkan aku belum waktunya mati".
Senik Makuto yang polos itu segera memeluk suaminya:"Kak, jangan berkata begitu!
Senik sudah dikutuk dan diusir orang tua dan orang sedesaku! Kakak jangan mati!"
Koleksi KANG ZUSI Ki Tunggal bahagia dan menoleh pada isterinya yang beda usianya 86 tahun dengan dia. Dia tersenyum dan berkata:
"Kalau begitu, Ki Gumara yang wajib aku matikan! Jika aku yang mati. Ilmu tunggalku akan berpindah secara alami kepadanya. Tapi jika dia yang mati dan aku yang hidup, maka ilmunya memperganda ilmu yang aku punya. Tapi kenapa dia datang" Untuk apa dia datang"
Pintu daun nipah itu berkibas-kibas, mulanya lambat. Lalu lebih cepat. Kepala Ki Tunggal terdongak. Senik Makuto yang melihat perubahan wajah suaminya juga menoleh ke pintu dengan rasa kecut.
"Aku tahu kamu yang datang Ki Gumara!" teriak Ki Tunggal.
"Betul Tuan Guru yang mulia. Bolehkan saya masuk?"
"Boleh, hanya apabila daun Pintu itu berhenti berkipas!"
Pintu daun nipah yang semula bergoyang kipas itu mendadak berhenti berkibas. Satu sosok berdiri dengan sepenuh keagungan membuat Senik Makuto harus melepaskan nafas; "hahhhh", yang didengar oleh Ki Tunggal, suaminya Ki Tunggal menoleh dan menyindir: "Kau terpesona dengan lelaki muda itu?"
Senik Makuto termalu-malu sipu.
"Inilah justru yang aku kuatirkan, Gumara. Kau datang begitu cepat. sedangkan bulan maduku bersama isteriku tercinta ini barusan berlangsung 37 hari. Kenapa kau tidak datang di hari ke-41?"
Gumara menghentikan langkahnya, lalu berkata:
"Setahu saya, Tuan Guru lebih faham kenapa saya melangkah ke sini. Bukankah ilmu tuan yang agung itu pernah menyebar ke seluruh penjuru, hingga ayahku mendengar berita itu!"
Berita apa itu?" "Ayahku berkata, bagi tuan ada empat patokan: Langkah. rejeki. jodoh dan maut, hanya Allah yang menentukan", ujar Gumara hormat.
"Hmmm. Apa belul si Ki Karat itu ayahmu?" tanya Ki Tunggal.
"Saya ke sini atas nama kedamaian, bukan atas nama prahara. Kenapa tuan tuduh saya manusia tak punya Ayah. Hanya ada dua manusia setahu saya yang tak punya ayah, yaitu Adam dan Nabi Isa, bukan begitu?"
"Yang kumaksud kau anak haram jadah", kata Ki Tunggal seraya menoleh pada isterinya yang cantik dan bertanya: "Kau dengar ucapanku, Nik?"
Koleksi KANG ZUSI "Apa betul orang segagah ini anak jadah?" tanya Senik Makuto.
"Betapapun tinggi ilmunya, dia manusia yang hina", kata Ki Tunggal yang membuat Gumara yang semula sopan lantas merentakkan kakinya sampai mengagetkan Senik yang lantas menjerit.
"Jangan menjerit", kata Ki Tunggal memperingatkan isterinya, "Aku memang memancing kemarahannya, agar dia cepat mati karena melawan Guru Besar!" Ki Tunggal seketika itu juga merasa yakin usianya sama persis dengan lawannya, Gumara. Begitu cekatan dia ketika menerkam Gumara dengan auman mirip suara harimau.
Tetapi Gumara menangkisnya lawannya dengan auman pula. Ini membuat Ki Tunggal kaget. Dalam hatinya dia berkata: wah, anak ini sudah seilmu denganku".
Ki Tunggal menghambur dengan auman lagi, tapi Gumara tegak kokoh dan mencakar mukanya dengan gerak diam tegak lurus. Setelah dia cakar dia pegang sebelah kaki lawannya dan dia banting. Tubuh Ki Tunggal melintir bagai gasing lepas tali! Gumara menggeram. Ki Tunggal menyeringai dan bangun lagi yang kali ini cepat menyergap lengan Gumara dan dibantingnya dalam sedetik itu juga.
Debu lantai menguap ke udara. Tapi seketika itu pula ketika satu sodokan mencakar mau mengenai muka Gumara, Gumara pun menyergap pergelangan tangan Guru Besar itu dan membantingnya sedetik itu pula. Debu menguap lagi. Tapi Senik terpaku penuh pesona. Dia mengagumi suaminya maupun Gumara.
" Gumara lalu meringankan tubuhnya agar apabila dia kena serangan apapun, resiko remuk tidak dialami. Ketika dia melihat Ki Tunggal menjungkir dengan satu telapak tangan ke lantai, ia sudah terka bahwa satu kaki Guru itu akan menerjang dadanya.
Jika ini dibiarkan tendangan itu akan merupakan hantaman telapak kaki yang bisa muntah darah. Untuk itulah analisa sedetik Gumara membuat dia mengosongkan udara di perutnya seraya mengangkat tubuh satu hasta. Tendangan telapak kaki yang miring itu tepat mengenai perut Gumara. Yah, dengan ringan perut Gumara menahannya, sementara saking kencangnya tendangan Guru Tunggal itu ... tubuh Gumara terlempar, menghantam dinding nipah yang tebalnya sejengkal Dinding itu jebol, dan Gumara terlempar keluar. Dia melakukan salto, berjumpalitan di atas rumputan di depan padepokan Ki Tunggal.
Tapi seketika salto itu berekhir dengan kedua kakinya berdiri tegap menghadap, muncullah Ki Tunggal keluar dari pintu. Dengan telapak tangan keduanya ia hadapkan kedepan serta tenaga dalam yang diolah dari pusar lewat puncak kepala lalu terhembus lewat mulutnya, terhembuslah gelombang udara panas dan mulut itu dengan kecepatan bintang pindah.
Ki Tunggal menahan panasnya wajahnya terkena radiasi yang ia tahu datang dari mulut Gumara.
Tokoh tertua yang pernah dikagumi oleh enam manusia harimau dari Kumayan ini terus bertahan menahan panas. Begitu panasnya radiasi gelombang yang dihembuskan mulut Gumara, hingga tampaklah asap pada kumis dan Janggut Ki Tunggal. Kumis Koleksi KANG ZUSI
dan janggutnya hangus kini ...
Tapi beliau tetap tegak dengan pertahanan tenaga dalam. Juga tenaga ini bersumber pada sari nafas yang diolah dari puser-puser. Begitu padatnya perang terhalus ini, sampai ubun-ubun Gumara menciptakan ucapan asap, dan ubun-ubun Ki Tunggal pun mengepulkan asap.
Ketika pertempuran dalam diam beginilah Senik Makuto mulai ngeri Kalau tadi dia terkagum-kagum oleh pertempurangaya persilatan yang berupa gerak anggauta tubuh, kini wanita muda usia itu bukan lagi terkagum.
Senik ngeri! Senik ingin berteriak tapi lidahnya kelu saking tegang. Pada puncak ketegangan tempurgaya hening begini, maka hujan gerimis pun turun. Baik Ki Tunggal, maupun Gumara sama menahan nyeri. Kepala mereka ibarat kekenceng besi dijerangan yang tiba-tiba diguyur air. Ssssssssssss".. Suara itu sama muncul dari kepala Gumara dan Ki Tunggal, desis kehangusan mengerikan...
Kekerasan hati adalah modal bagi seorang juara, itulah yang diperlihatkan oleh gerak diam Gumara maupun Ki Tunggal! Hujan gerimis berubah menjadi hujan deras, diselang seling oleh petir menyambar.
Satu petir yang amat dahsyat yang menciptakan garis lurus kilatan listrik bergemuruh.
Garis listrik itu memanjang jelas dari utara ke selatan, menciptakan bekas yang jelas.
Garis petir itu seakan-akan dibagi dua yaitu jarak tiga meter ke Gumara dan tiga meter ke Ki Tunggal. Garis petir itu telah membedah hutan belantara melampaui dua bukit ke selatan. Pada bukit yang ketiga, Bukit Rotan. ujung garis petir itu menghantam satu-satunya pohon kelapa. Di sini menggelegarlah puncak suara dahsyat!
Harwati melompat dan sekelebatan sudah berdiri depan rumah jeraminya. Matanya melotot melihat pucuk pohon nyiur yang terbakar, begitupun batang pohon nyiur itu kelihatan seperti gagang obor.
Biar hujan lebat, api yang membakar pohon kelapa itu tidak padam. Api itu bagaikan api yang bertenaga nuklir dengan sulutan minyak bensol gas berdaya bakar tinggi.
"Adaperistiwa besar, Guru!" teriaknya pada Ki Rotan yang juga muncul dari rumah jeraminya.
"Apa pendapatmu!" teriak Ki Rotan.
Harwati berlari di tengah hujan dan petir itu menuju pondok jerami gurunya. Dalam basah kuyup itu dia berkata;
"Aku mengikuti kejadian ini sejak awal. Sekarang ini malam Selasa, Hujan akan tak berhenti selama tiga bulan mendatang. Kulihat bola api bagai bergulingan dari langit, jatuhnya tepat kira-kira di Bukit Tunggal di utara. Lalu bola api itu membentur kawasan Ki Guru Tunggal, menciptakan garis lurus ke wilayah kita ini setelah Koleksi KANG ZUSI
membakar dua bukit perantara; "Ah, aku yakin sedang terjadi pertempuran silat besar antara dua raksasa disana !"
"Siapa kira-kira yang melakoni perang dahsyat ini?" tanya Ki Rotan.
"Ayahku pernah menceritakan bahwa suatu kali bola api akan turun dari langit, jatuh di ubun-ubun Bukit Tunggal. itu lambang perebutan ilmu dan yang akan bertanding disana adalah turunan Ki Karat. Ya, turunan ayahku! Kurasa Ki Gumara sekembali dari sini lewat ke Bukit Tunggal itu, padahal itu pantangan. Disana dia akan dicegat Ki Tunggal yang iri hati, lalu bertempurlah kakak tiriku dengan beliau. Tapi...
bukankah ayahku berkata bahwa turunannya yang akan menang" Aku inikan turunan Ki Karat?"
Mendengar kisah Harwati itu, Ki Rotan berkata bersemangat pada muridnya: "Ayoh, Ki Wati, segera langkahi dua bukit itu supaya kau sampai ke Bukit Tunggal. Kau ganggu pertempuran dua orang itu! Kau jadi orang yang ketiga! Tipu keduanya, dan habisi keduanyal Bukankah kau yang akan jadi pemenang" Bukankah kau yang dimaksud ayahmu sebagai pewaris ilmu tertinggi itu?".
Ucapan sang Guru yang biarpun kini ilmunya lebih rendah daripadanya. membuat Ki Harwati bergelimang gelora bakaran semangat. Dia tak menuggu waktu setelah berkata: "Ki Guru benar!"
"Kau telah membuktikan bisa mengambil sekeping ilmu stanggi Ki Pita Loka. Kini ambillah ilmu Ki Tunggal atau Gumara atau gabungan dari keduanya bila kau bisa membinasakan dua-duanya!"
"Baik Ki Guru!"
"Bawa tongkatmu!" kata Ki Rotan.
Ki Harwati hanya tersenyum dalam hati, sebab senjata rotan itu sudah tak ada perlunya lagi.
Dia berkelibatan dengan lincah melompati dahan demi dahan. Sampai subuh tiba dia masih berlompatan dari dahan ke dahan dalam rimba-rimba ke arah utara.
Setelah dua setengah kali bola matahari bergelincir, pada siang bolong yang gemercik hujan gerimis, sampailah dia di tengah Bukit Tunggal. Matanya menyelidik. Dia tak melihat, bahwa di bawah satu pohon kemumu Ki Tunggal sedang duduk bersila seraya menghembuskan radiasi bertenaga neutron ke arah Gumara yang juga duduk bersila, dengan hembusan tenaga radiasi yang berkekuatan seimbang. Tampak sinar hijau berganti merah silih berhembus dari dua mulut jawara itu ... tapi Ki Harwati tak melihatnya, sehingga ketika dia melintasi gadis itu ... dia merasa terbakar dan berteriak seraya melompat, melolong kesakitan bagai anjing betina kena sulut.
Waktu dia melompat mundur dan mundur sangatlah jelas oleh matanya dua perkelahian secara hening sedang terjadi. Nasehat gurunya dia laksanakan. Dia mendekati tempat Gumara duduk bersila di bawah pohon kemuning dan berseru Koleksi KANG ZUSI
lantang: "Aku membantu anda, kakakku Ki Gumara!"
Teriakan ini membuat Ki Tunggal terkejut dan melompat menyiapkan kuda-kuda mempertahankan diri. Dengan sekelebatan bagai angin puting beliung, Ki Harwati sudah menyerbu menabrak membenturkan telapak kakinya, tepat mengenai dada Ki Tunggal. Seketika itu juga Ki Tunggal muntah darah ...!
Menyaksikan Ki Tunggal roboh, Ki Harwati jadi kesetanan. Dengan mata bernyala dia menoleh pada Gumara. Gumara merasa senang karena adik tirinya, satu titisan darah, bisa merubuhkan Ki Tunggal.
Dengan basah kuyup dan juga dikuyupi keharuan jiwa, dia berdiri melangkah menuju Ki Harwati. Tetapi tanpa dia duga Harwati melompat dengan terjangan yang lebih dahsyat dari terjangan pertama. Untunglah sebelum telapak kaki adik tiri yang akan menggedor dadanya itu sampai, Ki Gumara menghembuskanya dengan napas inti, sehingga Harwati berteriak melolong!
Telapak kaki sang adik tiri itu bolong seketika!
Dia terus melolong. Rupanya sementara peristiwa ini terjadi. Ki Tunggal sudah bangkit kembali setelah dia sadap dengan hirupan seluruh darahnya yang sudah tumpah dari mulutnya tadi.
Dengan gerak puting beliung dia sekaligus menyabet tubuh Harwati hingga terlempar masuk ke rumah nipah dan menjebol dinding yang lebarnya sejengkal itu. Sekaligus pula sabetan itu menabrak tubuh Gumara yang langsung terpeleset dan meluncur bagai meluncurnya bola bowling.
Tubuh itu menabrak tiga pohon kelapa yang tumbang sampai akar-akamya mencuat, dan terakhir menabrak lagi satu pohon kecapi yang amat tinggi. Pohon ini juga tumbang.
Bunyi pohon besar itu bergemuruh ke tebing di bawah. Dan Gumara meluncur jatuh memasuki tebing yang tingginya 80 meter itu. Untunglah tubuhnya nyangsang di sebuah pohon miring yang tumbuh di tengah tebing itu. Rupanya ikat pinggang Lee yang dia pakai itulah yang menyelamatkanya dari kehancuran.
Sungguh hebat ilmu Ki Tunggal, fikir Gumara. Pujian itu memang sungguh-sungguh.
Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ki Karat, ayahnya, maupun Ibunya. Tapi di balik pujian itu, sembari terengah-engah menuruni tebing lewat batu-batuan raksasa itu. Gumarapun sebenarnya tidak begitu silau pada kehebatan Ki Tunggal. Ilmunya baru dirasakan istimewa justru dalam memanfaatkan perkelahian segitiga. Yaitu setelah munculnya Ki Harwati secara mendadak. Jika Harwati tidak muncul mungkin keadaan akan sangat lain. Tetapi, baru ia ingat nasehat gurunya, bahwa perkataan "jika" bukan milik seorang ksatria.
Koleksi KANG ZUSI Gumara masih terengah-engah. Tentu saja perkelahian dengan Ki Tunggal itu bukan sembarang perkelahian. Itulah perkelahian dua malam tiga hari yang mungkin belum pernah dialami oleh seorang Jawara manapun. Tetapi dirasakan hebat karena masing-masing tidak menghadirkan harimau karena kuatir saling mengetahui kelebihan dan kekuranganya.
Dalam lelah itu, Gumara duduk di batu. Rupanya musim penghujan sudah mulai. Jauh disana , tampak Bukit Kumayan seperti mengepulkan kabut. Jelaslah itu pembalikan sinar matahari atas hujan yang sudah menderas disana . Tapi di tempat Gumara duduk ini, dia tidak basah. Padahal gerimis ada di sekelilnginya!!!!! Gumara berdiri tegak dengan kaget" Dia heran! Hanya di seputarnya saja tiada gerimis"
Ini tentu ngalamat! Ini tentu suatu pertanda, pikinya.
Jarak tujuh langkah dalam radius titik sentral dia berdiri itu, benar-benar seluruhnya kering!. Biasanya dia mendapatkan suatu ngalamat lewat mimpi. Kali ini tidak seperti biasanya. Mengapa"
Lalu munculah seorang tua yang pakaianya lusuh. Tongkatnya yang bercabang dua pertanda bahwa orangtua tak dikenal ini adalah orang yang bukan manusia biasa.
Pasti ada isi. Kesan Gumara orangtua berjanggut putih dengan jubah lusuh itu menampilkan watak pribadi berwibawa. Beliau memanggil tuan guru kepada Gumara.
"Maaf Pak Tua. Saya bukan tuan guru. Saya memang guru, tapi guru SMP yang melihat keindahan alam di sini karena sekolah sedang libur kwartal", kata Gumara dengan berendah hati.
Namun orangtua itu tersenyum bijaksana. Gumara memperkenalkan diri lebih dulu, kemudian bertanya:
"Pak tua namanya siapa. Pak?"
"Nama saya Ibrahim Arkam. Saya telahlima puluh tahun ingin mempertinggi ilmuku.
Tapi seluruh penjuru yang kucari, tidak bersua".
"Apa yang Bapak cari. Pak Ibrahim?" tanya Gumara sopan.
"Kitab." "Kitab apa. Pak Ibrahim?"
"Sebuah kitab sakti. Kitab Makom Mahmuda", ujar Ibrahim tua.
"Saya tak pernah mendengar nama Kitab itu!" kata Gumara.
"Tapi andalah calon yang menemukanya". Kata Ibrahim Arkam, Gumara tercengang.
"Apa isi Kitab itu?" tanya Gumara.
"Rahasia Kehidupan. Anda akan mengetahuinya jika sudah membacanya. Kehidupan Koleksi KANG ZUSI
ini penuh banyak rahasia. Tapi jika kita sudah menemukan satu kuncinya. kita mendapatkan derajat tinggi!"
Ibrahim Arkam lalu mengulas ucapannya lagi: "Kau lihat, bukti bahwa kau terlahir sebagai anak sakti adalah ini. Di sekitarmu ini. Lihat, selingkaran tempat kau berdiri ini tidak terkena hujan. Bajumu kering. Sedengkan bajuku basah kuyup. Ini berariti aku sudah cukup puas bertemu seseorang yang kelak akan mewarisi Kitab sakti Makom Mahmudah itu".
"Kenapa harus saya?" tanya Gumara, "Bukankah Bapak mengembara selama ini untuk mencari Kitab itu?"
"Memang begitulah jalan Nasib. Bukankah yang itu yang aku inginkan" Tuhan sendiri pernah berujar: "Apa yang kau sukai belum tentu engkau dapatkan. Dan apa yang engkau dapatkan belum tentu kau sukai. Tapi apa yang engkau sukai belum tentu baik bagimu", maka aku cukup puas mengembara hingga titik akhir ini! Bila misalnya Kitab Sakti itu, yang aku sukai itu, aku dapatkan, belum tentu itu BAIK
UNTUKKU. Tapi kau" Aku tahu kau tidak mencari-cari dengan ngoyo untuk mendapatkannya. Namun akhirnya kau yang akan mendapatkannya", kata si tua Ibrabim Arkam pun kelihatan matanya berkaca-kaca.
"Tapi kenapa Bapak begitu yakin bahwa sayalah orangnya yang terpilih mendapatkan Kitab Sakti itu?"
"Guruku banyak. Salah seorang di antaranya adalah Ki Tunggal yang menjadi penguasa Bukit Tunggal disana . Setidaknya calon pemilik Kitab Sakti itu biarpun cuma sekali saja, akan pernah bertemu dengan dia".
Sungguh kagum Gumara dengan ramalan yang memang ada bukti itu.
"Ki Tunggal yang telah memberi tahu kepadaku, bahwa calon pemilik Kitab Sakti itu harus memiliki tiga unsur kekuatan: Kekuatan benda padat, kekuatan benda cair dan kekuatan gelombang, apa itu udara, cahaya ataupun gas yang bermutu tinggi.
Bersyukurlah kau. Mari singgah ke pondokku". Ujar Ki Ibrahim Arkam dengan ramah dan hormat.
Dia ramah dan hormat karena dia telahlima puluh tahun ingin mendapatkan Sang Kitab. Tapi tenyata dia jumpa muka dengan calon pemilik syah kitab tersebut, sesuai dengan ramalan bekas gurunya.
Pondok yang dimaksud lelaki tua yang berwibawa ini, tenyata satu lobang di sebuah tebing. Tak ada tangga untuk sampai ke lobang itu. Gumara keheranan karena dengan acuan tiga langkah dan dua telapak tangan si tua bertelekan pada permukaan tanah mendadak dia sudah jumpalitan bagai orang bersalto. Seketika itu juga beliau sudah sampai dekat pintu lubang dinding tebing itu.
Dari atassana . Ki Ibrahim Arkam berseru pada Gumara yang masih ada di bawah:
"Hoi pendekar muda, naiklah ke sini".
Koleksi KANG ZUSI "Bagaimana caranya, Pak Tua?" tanya Gumara.
"Ah, kau jangan bercanda, anak muda", kata Ibrahim Arkam.
Gumara lalu merayap saja di dinding tebing itu seperti seekor cicak. Setiba dia di atas, Ibrahim Arkam menepuk-nepuk bahunya: "Tambah yakin aku bahwa kau yang akan menjadi pewaris Kitab Makom Mahmuda itu, setelah satu abad terlepas dari tangan Syekh Turki".
"Ah, jangan besar-besarkan hatiku. Pak". kata Gumara.
"Aku tak berdusta anak muda. Cuma tiga orang yang berasal dari Kumayan yang memiliki ilmu cicak. Pertama Syekh Turki. Kedua Ki Karat, ayahmu. Dan kini engkau yang ketiga", ujar Ibrahim Arkam dengan sopan. Lalu dibawanya Gumara memasuki rumah "di dalam tebing" itu. Segalanya amat di luar dugaan. Rumah dalam tebing itu mirip guha. Kesamaannya dengan Guha Lebah tidak ada sama sekali.
Kebersihan dalam "rumah kiayi tua" ini amat luar biasa, Beliau berkata setelah Gumara memuji kebersihan, katanya: "Sesuai dengan hadis Nabi, kebersihan itu sebahagian dari Iman".
Adadua obor yang terbuat dari kayu belahan pohon karet. Begitu Gumara menoleh, dia melihat ada semacam kuburan. Dua kuburan malah. Namun sebelum Gumara bertanya. Ibrahim Arkam menjelaskan; "Itu kuburan istriku, yang wafat 50 tahun yang lalu. Menjelang pengembaraanku mencari Kitab. Dan satunya lagi, kuburan anak lelakiku, yang terbunuh oleh ilmu setan Ki Rotan. Dua-duanya akulah yang memasukkannya ke liang kubur. Tapi jika aku mati, kuharap seorang calon Pendekar Besar yang memasukkan diriku ke liang kubur!"
"Siapa calon Pendekar Besar itu, Pak?" tanya Gumara.
Orangtua itu melirik tepat ke muka Gumara seraya berkata:: "Anda!"
"Siapa tahu saya yang duluan mati, Pak", kata Gumara.
"Tidak. Ketetapan itu sudah tiba. Guruku yang terakhir. Ki Sabda, pernah menyatakan padaku begini: Mungkin kau yang akan mendapatkan Kitab Makomam Mahmuda itu.
Mungkin juga tidak. Tanda-tandanya tidak adalah, jika kau temukan seseorang pengembara yang bahkan hujan pun takut membasahi dia, seorang yang rendah hati, setelah bersua dengan orang itu, ikhlaslah, lalu bersiaplah untuk mati".
Mata Ki Ibrahim Arkam tampak berlinang. Gumara tak habis heran, dan sebetulnya sudah yakin. Tapi bagaimana mungkin seseorang meramalkan kematianya" Bukankah mati itu rahasia Tuhan"
Tapi kesempatan ini ingin digunakan oleh Gumara. Dulu ia pernah membaca buku semasa masih Sekolah Guru Atas (SGA). Ia lupa nama pengarangnya.Tapi ia tidak lupa pesan pengarang itu yang berfatwa: "Berguru kepada orang yang hidup itu baik, tetapi berguru kepada ORANG YANG AKAN MATI itu lebih baik!" Jika benar Koleksi KANG ZUSI
Ibrahim Arkam akan mati, ia siap untuk berguru kepadanya.
Pertama setelah dia dijamu minuman tebu yang sudah diperas, ia ingin bertanya, di manakah Ki Ibrahim Arkam medapatkan tebu. Lalu, kedua ketika tengah hari dia disuguhkan makan siang dengan hidangan singkong rebus. Dia bertanya dalam hati, dari manakah Ki Ibrahim dapat singkong rebus. Setelah makan siang itu, dia mengikuti bersembahyang lohor. Tapi ya Allah, betapa orangtua ini lamanya berdiri membaca ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Juga betapa lama dia rukuk dan sujud.
Apakah yang dibaca guru tua ini ketika berdiri, rukuk dan sujud?"
Ketika Gumara melihat tumpukan singkong-singkong yang sebesar paha tak tahan lagi Gumara bertanya: "Dimanakah tuan guru membeli singkong ini?"
"Di tanam sendiri".
"Tebu-tebu itu?".
"Juga hasil kebun tebuku"
"O, mana kebun anda?"
"Di sini. Di sini", ujar pak tua itu menunjuk tempat mereka duduk. Gumara tercengang. Tapi sebelum dia bertanya lagi, orangtua itu mengajak Gumara menuju satu lorong. Tiap tiga meter ada obor kayu karet. Lalu tampaklah sebuah kebun.
Bayangkan! Kebun di bawah tanah. Rupanya ada terowongan raksasa peninggalan Bala Tentara Jepang yang sudah diperlengkapi dengan gardu-gardu listrik. Dan kebun di bawah tanah ini benar-benar subur. Tenyata tebing itu tembus menghadap ke timur.
Setidaknya sampai jam 10 pagi kebun di bawah ini sudah menikmati cahaya matahari secara total. Tinggi terowongan ini adalah 10 meter. Jadi pohonan seperti pohon singkong dan pohon tebu tidak akan sampai menjangkau langit-langit terowongan Jepang ini. Gumara sampai geleng-geleng kepala. Kalau sekiranya orang melihat dari arah timur, orang takkan percaya di sini ada kebun di bawah tanah.
Paling yang tampak hanya kehijauan biasa saja...
Keheranan Gumara rupanya tidak akan berhenti di situ saja. Ki Ibrahim Arkam menyeret lengan Gumara ke sudut tenggara. Ternyata di situ ada semacam pintu beroda. Ketika pintu beroda itu didorong Pak Tua itu, terbukalah satu ruangan.
Alangkah terkejutnya Gumara! Bukan main! Satu ruangan yang indah dengan dekorasi rumah-rumah bangsawan Japang. Wallpaper yang menghiasi ruangan itu merupakan dekoratif khas Jepang. Tempat tidurnya pun tingginya cuma sejengkal. Di timur, di barat ruangan yang mirip kamar hotel ini, ada kaca setebal satu sentimeter.
Kaca ini benar-benar berfungsi sebagai jendela yang akan menyerap sinar dan ultra violet matahari. Tak bisa dibayangkan jika malam, kebetulan Bulan Purnama!
Adapula wastafel dan kran-kran air ledeng. Juga ada kamar mandi. Maka yakinlah Gumara mengapa Ki Ibrahim Arkam ini terawat bersih. Di kamar mandi ada persediaan biji-biji buah klereg, yang bisa berfungsi sebegai sabun.
Koleksi KANG ZUSI "Bisa mandi di kamar mandi ini, Pak?" tanya Gumara.
"Lho bisa saja. Kalau puteran itu (maksudnya kraan) diputar, maka akan keluar air.
Setelah aku selidiki, air ini datangnya dari pipa yang menembus dua bukit. Air ini datangnya dari air terjun Ratu Stanggi!"
"Ratu Stanggi!" seru Gumara tercengang, karena baru mendengar nama itu.
"Kamu baru mengenal nama itu?" tanya Ki Ibrahim Arkam.
"Baru kali ini. Ayahku pun tidak pernah menceritakan, Pak".
"Supaya kau kelak menyaksikannya sendiri, lalu merasa heran. Ratu itu sebetulnya Ratu Jin yang sepertinya bertugas sebagai saringan bagi orang-orang yang akan menjalani keutamaan hidup", kata Ki Ibrahim Arkam. Gumara kini lebih tertarik untuk memutar kraan. Memang muncratlah air dari atas. Saking girangnya Gumara tak membuka baju kemeja putihnya maupun celananya, bahkan dia berbasah-basah kegirangan menikmati air bersih!
Ki Ibrahim menyembunyikan perasaan gelinya.
Adahanduk yang bersih berjajar, sekitar 12 buah. Kiranya melihat handuk ini berukiran motif Dai Nippon, tentulah ini persediaan Perwira Jepang yang melarikan diri ke sini.
Lalu Gumara pun diberikan satu stel pakaian Tentara Jepang. Dengan demikian, ketika dia mengenakannya, dan melihat dirinya sendiri di kaca. hanya rambut gondrongnyalah yang kurang cocok dalam pakaian militer ini.
"Masih ada satu soal lagi", kata Ki Ibrahim.
"Apa, itu Guru?"
"Di sudut itu aku bersembahyang tahajud apabila malam mulai mendekati dinihari".
Gumara terpana. Hanya lewat Ki Putih Kelabu dia pernah mendengar anjuran bersembahyang tahajud. Kini dari Ki Ibrahim yang tua dan bersih ini.
"Kalau begitu boleh saya amalkan sembahyang tahajud di sini?" tanya Gumara pada ki tua.
"Ah, kau jadi tamuku. Kau akan kulengkapi dengan pelbagai kebutuhan selama menjadi tamuku. Asal saja kau bersedia menguburkanku di samping kuburan isteriku.
Dan jangan sekali-kali engkau kuburkan aku di samping orang-orang itu!"
Ki Ibrahim menyingkapkan satu tirai berupa gorden panjang. itu bukan ruang biasa.
Dan itu hanya semacam terowongan kasar saja. Tapi ketika memegang obor mengajak Gumara memasukinya, Gumara heran sekali. Ternyata ruangan ini semacam Koleksi KANG ZUSI
kuburan.Ada dua belas pedang samurai ditancapkan di tiap-tiap kepala kuburan-kuburan itu.
"Siapa mereka Ki Ibrahim!" tanya Gumara.
"Mereka Perwira Jepang yang bersembunyi di sini. Aku sedang tergila-gila mencari Kitab Sakti itu, sampai kesasar memanjat dinding tebing yang menghadap ketimur itu
... kebun singkong itu ... lalu kutemui seorang Tentara Jepang siap dengan pedang samurai. Kami berhadapan. Aku sedang dalam tingkat ujian kekebalan ilmuku.
Kulawan serdadu yang bersenjata pedang samurai itu. Cukup lihay dia ... Tapi ketika muncul seorang lagi dan seorang lagi sampai semuanya 12 orang, aku tak mungkin mundur lagi. Kurebut senjata mereka, dan kutebas leher mereka satu demi satu. Pada hari itu juga aku harus menggali 12 kuburan sampai lepas dinihari berikutnya. Lalu aku kubur mereka, dan kutemukan pintu dorong kamar rahasia itu!"
Dan si tua bersih itu kemudian berkata: "Akhir cerita, mereka semua mati seperti setan. Mati yang mengerikan, nak Gumara".
Gumara tambah betah. Tetapi dalam kepalanya tak sebagaimana biasa berisi pertanyaan dan keheranan. Dan malam itu dia menginap di kamar yang indah itu.
Ketika ia terbangun di tengah malam, ia tiba-tiba merasa ngeri. Dilihatnya Ki Ibrahim tidak berada di sebelahnya. Oh, ternyata beliau sedang bersembahyang tahajud.
Gumara lalu bangun dan menuju kamar mandi. Dia berwudhu. Dan ikut melaksanakan sembahyang tahajud tanpa setahu Ki Ibrahim, sebab dia mendirikannya di sudut lain.
Gumara mulai lelah. Jika diikuti amalan sembahyang tahajud Ki Ibrahim maka dia akan teler. Dia cuma sanggup satu jam saja. Tak bisa dibayangkan, betapa konsentrasi kiayi tua itu amat hebatnya. Gumara sudah melihat fajar menyingsing dari kebun timur, kembali ia ke ruangan indah mendapati Ki Ibrahim masih bersembahyang. Dan setelah itu, Ki Tua ini memanggil Gumara.
"Mari ikut bersama saya bersembahyang f ajar" katanya.
Lalu ikutlah Gumara selaku makmum yang diimami oleh Ki Ibrahim, melakukan sembahyang fajar. Ternyata sembahyang dua-dua rakaat itu belumlah dihabisi sang imam ketika beliau berkata: "Waktu subuh tiba. Ikutlah bersama mendirikan sholat subuh!"
Begitulah, selaku tamu yang dihormati. Gumara mengikutinya. Tak lama setelah itu.
Gumara mendengar kata-kata si tua: "Nak, ingin sekali aku melihat permainan silatmu".
"Dengan senjata?" tanya Gumara.
"Tidak usah. Kau toh kuketahui orang hebat. Aku hanya ingin melihat jurus-jurus permainanmu. Hanya sebagai hiburan bagiku yang sudah dekat ajal", kata si tua.
Koleksi KANG ZUSI Gumara lalu mengambil tempat. Dia bersila dengan hadap duduk yang menghadap langsung Ki Ibrahim, dalam jaraklima meter. Lalu dengan kedua telapak tangan yang dirapatkan dan melipat ke dada, Gumara menghatur sembah. Dia membuka
"permainannya" dengan tarikan sembah ke kening, lalu telapak tangannya terkembang ke samping, dan dalam sekelebatan dia buka kedua kaki dan berdiri merentak dengan satu "tantangan". Tantangan itu diterima oleh Ki Ibrahim dengan satu serbuan tendangan ke arah jidat Gumara, tetapi Gumara mengelak sehingga kaki Ki Ibrahim dipanggul di bahu Gumara, lalu Gumara banting orang tua itu sampai dia jumpalitan saperli salto ke sudut pintu kamar mandi.
"Sudah, cukup segitu", ujar si tua dengan nafas ngos-ngosan.
"Aku baru mulai", kata Gumara.
"Aku sudah selesai", ujar si tua, "Yah memang engkaulah pewaris Kitab Sakti itu ...
karena perkelahian singkat tadi kau lakukan tanpa main-main". Lalu si tua itu mengajak Gumara ke kebun.
Rupanya disuruh ikut menggali ubi dan menebang tebu. Itulah sarapan pagi mereka berdua. Minuman air tebu. Dan makan singkong rebus.
"Bolehkah saya malam nanti diperkenankan tidur sendirian?"
"Di mana?" "Di kebun. Malam ini saya merasa tak ingin tidur ditemani anda", Ujar Gumara.
Ki Ibrahim Arkam tersenyum meyakinkan, lalu berkata; "Begitulah ujar Guru saya yang kini saya temui buktinya. Katanya: "Hai putra Arkam, jika kau temui seorang lelaki yang suka berterus terang, jika perlu melukai perasaan orang lain demi keinginannya yang sudah matang, dialah calon Pendekar Besar" ... dan nyatanya kau jadi tamuku, tapi kau minta syarat tidurmu tak ditemani dan yang kau pilih adalah kebunku. Kupersilahkan kau menyatakan apa saja, melakukan apa saja. Kau di sini bukan lagi tamu buatku!"
Hal itu menyenangkan hati Gumara. Siang itu juga dia melakukan latihan yang ia sendiri tak mengetahui kenapa harus demikian. Tak ada bisikan, tak ada pembimbing, kecuali ingin melakukan "permainan" saja. Dan hal ini tanpa dia duga diperhatikan oleh Ki Ibrahim. Latihan itu cuma melompat dan melompat ke segala penjuru, di antara pohon singkong dan pohonan tebu, tanpa kesenggol sedikitpun dengan daun maupun batangnya. Ternyata selama dua jam dia harus menguras keringatnya yang berleleran sampai ketika tiba-tiba ia kaget satu benda seperti dilemparkan oleh seseorang kepadanya. Dan ternyata benda itu sebuah keris trisulo, yang saat melayang langsung dia tangkap, dan kembali melompat ke permukaan tanah dan tidak menyenggol daun tebu atau singkong.
"Hadiah dariku untukmu", ujar Ki Ibrahim Arkam di balik rumpun tebu yang di pinggir. Gumara tercengang, dan amat bahagia setelah mendengar pujian: "Aku senang permainanmu, nak Gumara. Sekiranya rumpun tebu dan singkong ini adalah Koleksi KANG ZUSI
susunan benang kusut kayak sarang laba-laba, maka satu benangpun tidak akan tersentuh ketika kau melompat ke segala penjuru!"
"Pujian tuan dapat membuat saya kesasar", kata Gumara.
"Tapi tiap orang menuntut ilmu, pasti akan mengalami kesasar. Besar atau kecil.
Ingatlah itu", ujar Ki Ibrahim. Sampai sehabis selesainya sembahyang iesya di belakang imam Ibrahim Arkam, Gumara pun akhirnya menghatur sembah; "Kuharap maaf tuan, karena malam ini aku sudah katakan ingin tidur sendirian di kebun tuan".
"Kupersilakan dengan senang hati", ujar Ki Ibrahim.
Latihan permainan yang tak direncanakan tadi siang rupanya membuat Gumara tidur lelap di antara pohon singkong yang berdaun rimbun itu. Tak ada penerangan, tapi juga tak ada nyamuk. Gumara dalam keadaan ngorok lalu terjaga dengan tiba-tiba.
Karena ia mendengar seperti bunyi benda gemerincing.
Bulu romanya merinding, tidak sebagaimana biasa. Perasaan takut yang amat sangat-yang bukan menjadi ciri kebiasaannya - kini membuat dia seperti seorang penakut yang bulu romannya meremang, merinding tegak! Gumara mendengar lagi suara gemerincing itu.
Mendadak secara mengerikan, kedengaranlah suara dari dua belas penjuru secara menggemuruh: "Banzaiii Tenno Heika! Banzaaaaai!"
Dalam gelap itu Gumara mendengar suara gemerincing pedang, kadang kilatannya karena masih ada sejumut cahaya langit dari timur kebun itu. Kilatan pedang itu membabi buta, dan Gumara sudah melihat dua belas lawannya pada posisi mata angin, Mereka tegap dan berpakaian perwira Tentara Jepang. Tapi semuanya tidak berkepala. Tampaknya duabelas manusia tak berkepala itu penakut. Tak ada kesan mereka akan menyerbu.
"Setan?", gerutu Gumara sambil merebahkan diri lagi. Tetapi teriakan Banzai mendadak terdengar lagi disertai gemerincing pedang. Gumara berdiam diri saja.
Teriakan itu semakin hebat dan gemerincing pedang semakin mendekat. Dan Gumara hanya berpeluk lutut saja, tanpa mengacuhkan musuh-musuhnya, Gumara sudah diberi patokan, bahwa dia tidak diperkenankan melawan setan. Namun teriak dan gemerincing pedang semakin lama membuat Gumara semakin marah, sehingga dia melompat dari tidurnya seraya berteriak: "Kamu bangsattt!!!?"
Teriak Gumara sempat membuat terdongak Ki Ibrahim yang baru selesai dari sembahyang tahajudnya.
Sementara itu Gumara dengan kemarahan yang amat sangat melakukan pertempuran habis-habisan merebut pedang samurai seluruhnya. Dan dengan dua belas pedang yang silih berganti dia mainkan itu dia membabat musuhnya yang tunggang langgang.
Dan ketika mereka sudah menghilang, Gumara heran mengapa dia menggenggam Koleksi KANG ZUSI
enam pedang samurai di tangan kanan, dan enam di tangan kiri. Keajaiban memang sering dia alami.
Ketika dia permisi lewat di ruangan tahajud Ki Ibrahim dia ingin membuktikan apakah tadi perkelahian konkrit ataukah mimpi. Dia buka tirai keruangan kuburan itu.
Samar-samar ditelitinya. Tak ada satupun pedang tertancap disana sebagai nisan perwira-perwira Jepang itu. Lalu Gumara mendengar ucapan Ki Ibrahim: "Tancapkan saja 12 pedang itu kembali, di tempat semula". Selesai Gumara menancapkan setiap pedang pada tiap kuburan itu, begitu dia masuk keruangan tahajud, didengarnya Ki Ibrahim Arkam berkata: "itulah kerjaan setan perwira Jepang yang sudah mati itu.
Mereka mengira kamu tamu biasa."
KEMUDIAN Ki Ibrahim Arkam menjelaskan bahwa dia sering terbangun apabila muncul gangguan dari tamu-tamu tak diundang itu. Keramahan, kemurahan hati menceritakan pengalamannya, membuat Gumara betah hidup berdampingan dengan orang tua itu.
Pada hari ketujuh, Ki Arkam bertanya: "Tadi malam, apakah anda bermimpi?"
"Ada", sahut Gumara.
"Jangan lupa mencari takwil mimpi anda itu. Dan jangan katakan kecuali jika aku minta", kata Ki Arkam.
Gumara merinding sesaat. Sekiranya dia ceritakan mimpi itu, atas permintaan Ki Ibrahim Arkam, maka pastilah orangtua itu akan terkejut.
Dan ketika Gumara memasuki tiga minggu sebagai tamu Ki Arkam pada suatu pagi seraya menikmati sarapan singkong rebus dan air tebu, bertanyalah dia pada Gumara;
"Adamimpi semalam?"
"Ada", sahut Gumara.
"Karena tadi malam pun aku bermimpi tentang anda, coba kita bertukar kisah mengenai mimpi masing-masing", kata orangtua itu.
"Mimpi saya tentang diri anda", kata Gumara.
"Justru karena itu, mimpi saya pun tentang diri anda", kata Ki Ibrahim Arkam seraya senyum.
"Selama di sini, saya dua kali bermimpi", kata Gumara
"Mimpi manakah yang tuan guru kehendaki?"
"Mimpi yang pertama akupun sudah diberitahu, tapi mimpi yang kedua justru yang saya tak tahu", kata Ki Ibrahim Arkam.
"Saya didatangi oleh orangtua bersorban, lalu dia mengatakan supaya saya berhati-Koleksi KANG ZUSI
hati terhadap Pedang Raja Turki".


Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, itu. Pedang Raja Turki itu terakhir dimiliki oleh Ki Tunggal. Ini takwilnya adalah, anda suatu saat akan terancam oleh Ki Tunggal, muridnya, atau Pedang Raja Turki itu. Lalu apa lagi, nak Gumara?"
"Saya akan melihat tengkorak aneh", kata Gumara.
"Itu takwilnya adalah, anda harus hati-hati. Ingatlah kiasan ini; Tengkorak itu mandi tiap hari dengan air yang sama dengan air mandi kita", Ki Ibrahim bertanya lagi;
"Lalu, apa mimpi anda itu lagi?"
"Saya diberitahu, bahwa saya akan menemukan lawan seorang yang gemar menggunakan senjata. Dan orang itu kini dalam keadaan dirantai", Gumara menerangkan, lalu bertanya: "Siapakah dia?"
Ki Ibrahim Arkam dengan tekun memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat urutan takwil mimpi yang pernah dituturkan oleh gurunya dulu. Setelah sempurna terkumpul ingatannya: "Limapuluh tahun yang lalu sebelum aku ingin mengembara mencari Kitab Sakti itu, aku pernah diberitahu guruku. Bahwa, calon Pendekar Besar itu akan berhadapan dengan calon-calon yang hebat pula. Antara lain lelaki berantai besi. yang akan memiliki sepuluh ilmu. Lelaki itu bukan dengan sengaja untuk ngelmu. Tapi keadaan terpaksa dia terlibat menjadi seorang pendekar dunia persilatan di sepuluh kawasan. Lalu, apa lagi lanjutan mimpi anda?"
"Oh ya, saya terlupa menceritakan awal mimpi. Mimpi itu sebetulnya berawal dari kejadian yang memalukan. Saya menjadi tukang perkosa gadis. Lalu saya merampok harta orang kaya. Lalu saya bertemu dengan seorang wanita cantik yang akan menjadi isteri saya. Barulah kemudian rentetannya tengkorak yang saya kisahkan Pada tuan itu. Kemudian, saya lanjutkan cerita tadi. Saya kemudian betemu dengan seorang pendekar pincang!"
"Pendekar pincang?" tanya Ki Ibrahim tercengang, lalu menepuk tangan dengan girang: "Itu murid Ki Tunggal, nak!"
"Dan maaf saja ... dialah yang disebutkan orangtua dalam mimpi itu, yang akan membuka rahasia tirai Stanggi", ujar Gumara.
Ki Ibrahim juga terheran-heran setelah mendengar keterangan itu. Padahal dulu gurunya bilang, bahwa seorang lelaki calon Pendekar Besar itulah yang akan mengetahui kunci rahasia tirai stanggi. Pikiran murung ini terjadi pada hari ke-22 dan seterusnya.
Pada hari ke-39, si tua itu lebih murung. Dia mengeluh sesak nafas. Dan tiba-tiba saja dia bertanya: "Wahai calon Guru Utama. Katakan padaku mimpimu yang pertama!".
"Tidak cemaskah tuan jika mendengarnya?" tanya Gumara.
Koleksi KANG ZUSI "Katakan saja", ujar pak tua itu dengan wajah murung disertai nafas yang sesak.
Gumara berkata: "Tiba-tiba saja aku seperti mendapatkan ilham, bahwa yang satu ini tidak boleh kukatakan pada tuan. Maha Pemilik Rahasia adalah Tuhan". Dan airmata Ki Ibrahim Arkam menggelinding seketika. Butiran airmata berikut menggelinding lagi. Lalu dia berkata; "Tentara Jepang itu meninggalkan pacul, linggis dan sekop di gudang satu lagi, dekat kuburan mereka. Kalau terjadi sesuatu atas diriku, gunakanlah barang-barang itu".
"Ke mana anda akan pergi?""
"Bersembahyang, itulah kegemaranku".
Dan. si tua itupun meninggalkan Gumara, sampai sore Gumara tidak melihatnya, begitupun ketika malam tiba. Aneh sekali! Di mana beliau bersembahyang" Di ruangan kamar Perwira Jepang itu tak ada. Dipanggil-panggil, tak menyahut.
Kemudian Gumara pergi ke kebun. Juga tak ada. Paginya Gumara mencari lagi si tua itu ke Kuburan Perwira Yang 12 itu. Kali ini dia tertarik pada bunyi pintu yang bergerit. Dia lalu merinding. Pintu bergerit itu agak jauh ke barat daya. Gumara lalu memberanikan diri. Memang ada pintu. Ketika pintu itu dibuka, tampaklah lampu obor kayu karet yang akhirnya menerangi ruangan itu. Itu sebuah gudang, yang penuh dengan macam-macam benda, termasuk pipa listrik dan pipa ledeng. Bahkan ada ban mobil.
"Ki Ibrahim ... ", ujar Gumara.
Ternyata dia melihat setumpuk kain putih. Bila Gumara mendekat, tampaklah orangtua itu menggeletak di atas tikar sembahyangnya, memegang biji tasbih. tapi sudah tak bernyawa lagi. Dekat tikar sembahyang itu ada sekop besar dan sekop kecil, pacul dan linggis. Itulah isyarat dia minta bantuan Gumara untuk menguburkannya.
Setelah orangtua itu dia kuburkan sesuai amanatnya. Yaitu disamping kuburan isterinya. Gumara berfikir apa perlunya lagi di sini"
Tanpa ada si tua yang hidup, tak enak di sini.
Lalu Gumara pun berlalu. Langkahnya jadi ringan secara aneh. Dia seperti bocah kesenangan setelah meninggalkan padepokan sunyi almarhum Ki Ibrahim Arkam.
Gumara gembira, sehabis dia terbangun dari mimpi itu. Tekadnya hendak kembali ke Kumayan, dia batalkan. Dia memutar pandangan untuk. mencari letak Bukit Lebah itu. Tak sulit. Bentuknya mirip sekali dengan payung terkembang. Di selatansana itu.
Dia harus kembali menemui Pita Loka, sesuai dengan mimpinya itu!
Sebelum dia melangkah, dipetiknya buah kesemek. Dibersihkannya buah yang mirip buah apel itu. Dan setelah dia memakan dua buah, hanya seperempat jalan turunnya matahari, mendadak ada yang meronta dalam diri kasarnya! Ya, keinginan sexual untuk mengawini Pita Loka. Keinginan birahi yang berkobar bagai amukan api yang menyesakkan dada. Dan hal ini membuat Gumara yang tenang itu berubah lincah.
Koleksi KANG ZUSI Langkahnya cepat. Gumara seakan-akan kembali surut menjadi remaja yang digoda libido.
Entahlah bagaimana, rupanya dia tersesat ke sebuah ladang timun. Di luar kebiasaan terdidiknya, kali ini dia tanpa permisi mengambil satu timun dan dilahapnya timun itu dengan lahap. Suara sap-sap-sap menghabisi timun itu membuat dia tak sadar sudah memakan bagian yang pahit. Karena dia melihat satu pinggul wanita yang sedang memetik timun, gairah sexualnya menyala hebat. Apa lagi wanita itu mengenakan kain merah. Terkena sorot matahari pinggul itu bagaikan secara amat halus terbelah dua. Gumara tak menunggu waktu lagi. Dia menuju wanita yang rupanya masih menungging itu. Begitu Gumara menyuruk-nyuruk kuatir tertangkap basah, setiba dekat kaki wanita itu, dia tarik kain merah itu.
Wanita itu terpekik minta tolong.
Gumara ketakutan. Dan lebih malu lagi karena wanita yang menunggingkan pinggulnya itu ternyata wanita yang sudah agak lanjut usia. Mendadak seorang kakek mencabut parangnya, Gumara makin ketakutan. Lebih ketakutan lagi ketika kakek itu sudah mendekatinya dengan kalap.
Gumara begitu ngeri tanpa berkutik sedikitpun ketika parang tajam itu diayunkan padanya seraya si kakek berteriak; "Mati kamu!"
Parang itu menancap ke bahu Gumara.
Tapi kakek itu bengong. Mulutnya menganga. Dia heran tak ada darah menetes di bahu itu, padahal parang tajamnya sudah masuk sedalam tiga jari. Gumara lalu menghatur sembah: "Maaf kakek. Terutama Nenek, saya minta maaf".
Ia berlalu dengan tersipu malu, ia tidak lagi lincah. Ia mulai menyadari tujuannya semula. Bukan ke ladang ini lantas akan memperkosa seorang wanita yang ternyata lanjut usia, bukan! Ia harus menuju Bukit Lebah itu! Ke selatan itu! Bukan ke Barat itu!
Kini langkahnya tidak cepat tidak pula lambat. Ketika menuju ke arah selatan itulah ia seperti mendapat pengetahuan baru. Bahwa setiap ilmu apapun godaan utama adalah soal sexual. Gumara lalu memukul sumber yang membuat ia tergoda, dan dia menjerit sendiri kesakitan. Kemudian dia melanjutkan langkah lagi.
Dan langkahnya lebih pasti. Di sela-sela batu raksasa itu sudah didengarnya suara air terjun. Ini berarti hanya beberapa mil lagi akan mencapai sungai bundar yang dikenal melingkari Bukit Lebah itu. Dengan santai dia turuni tebing terjal itu. Tapi ... bah!
Tenyata ada perempuan mandi telanjang bulat pada air terjun itu. Mulanya dia bergairah untuk cepat mendekati dan melampiaskan nafsunya yang kini berkobar di dada. Tapi bukankah wanita mandi itu adalah Pita Loka"
Gumara malu pada diri sendiri. Tapi yang lebih membuatnya malu adalah perasaan Koleksi KANG ZUSI
berdosanya. Bahwa libido sexual memang selalu menggoda ilmu yang akan diperolehnya itu.
Gumara kembali bersembunyi sampai wanita telanjang itu berpakaian. Setelah diperkirakannya selesai, ia melanjutkan menuju tebing itu. Ternyata wanita itupun sedang menapaki jenjang-jenjang batu setapak, naik ke tebing. Bukan rambut ikal itulah yang pertama menggoda Gumara. Juga bukan buah dadanya yang sejenak tampak, sebelum wanita itu menutupinya dengan kedua telapak tangan dan membetulkan kain yang menyelimuti dirinya. Tapi kalung itu, yang bertatahkan permata. Andaikata kalung itu aku rampok, sekarang ini, tentu benda itu akan menggiurkan Pita Loka. Sehingga dia bersedia menceritakan misteri tirai stanggi.
"Maaf, nona. Saya orang utas yang tersesat jalan. Isteriku sedang berdiam karena sedang mengidam. Yang dia idamkan yaitu sebuah kalung penuh permata. Bolehkah saya pinjam kalung nona?".
Wanita itu menjadi tidak ramah dan menjerit minta tolong.
"Rampoooook", teriaknya keras.
Bintik keringat dingin ketakutan bukan membuat Gumara lari ke bawah, tapi lari ke atas mengikuti wanita itu. Wanita itu tambah takut dan berteriak lantang lagi:
"Toloooong, ada rampok!"
Seorang petani yang menyandang pacul, kontan menghantamkan mata paculnya ke kepala Gumara.
Gumara terdongak kaget setelah melihat gagang pacul di depan hidungnya. Tapi lebih tercengang lagi sang petani, yang melihat mata paculnya masuk ke tengah kepala
"sang perampok" tapi tak tampak luka. Juga ketika pacul itu ditarik dengan cabutan yang menguras tenaga. Bekas luka pun tak ada, apalagi darah.
Petani itu berkata pada wanita tadi; "Dia perampok berilmu kebal. Mari kita pulang saja. Ilmu dipakai untuk merampok adalah ilmu sial!"
Gumara tercengang. Dia meraba kepalanya. Memang tak ada bekas apapun, juga tak terasa rasa nyeri. Dia sadar, bahwa dia harus menemui Pita Loka. Bukan membujuknya dengan kalung permata yang akan dirampoknya dengan cara tipuan tadi. Dia menuruni tebing itu untuk menyeberangi sungai. Tapi mendengar derasnya bunyi air terjun itu. Gumara berhenti sejenak.
Seperti ada yang mendorongnya untuk melihat bukit kenapa perasaan ini ingin menyaksikan air terjun. Padahal di kawasan ini sudah sering dia melihat air terjun.
Tentu air terjun ini menyimpan sesuatu rahasia.
Tapi ah ... masa bodo Ia sudah tergoda dua kali, Pertama kali tergoda iman karena sex, dan yang kedua tergoda iman karena harta. Namun karena ia berusaha untuk mencari Kebenaran Koleksi KANG ZUSI
Mutlak, konsentrasinya melangkah di batu sungai kurang awas.
Dia terpeleset. Dan jatuh!
Lalu kedengaran suara orang mentertawakannya.
Cekikikan lagi! Dan itu pasti suara wanita. Gumara yakin, mungkin saja yang tertawa itu Pita Loka. Gumara menoleh ke arah bunyi orang yang mentertawakannya.
Ternyata ia menoleh ke air terjun. Hal ini membuat dia penasaran. Dia melangkahi batu-batuan sungai menuju ke air terjun tadi. Diperhatikan, apa benar di balik air terjun jtu ada wanita. Setelah dia perhatikan, dia coba lagi berseru;"Hoi! Siapa anda!"
Terdengar wanita tertawa, tapi terdengar pula dia berlari setelah melemparkan sebuah batu. Batu itu mengenai kepala Gumara, tapi dia segera menangkap batu itu sebelum batu itu kecemplung masuk sungai. Aneh sekali. Batu itu ternyata batu yang menebarkan bau stanggi. Hal ini membuat Gumara berfikir dua kali Dan ketika fikirannya yang ketiga muncul, ia memutuskan harus ke balik air terjun itu.
Pakaian putihnya yang sudah koyak-koyak itu, sudah basah kuyup ketika dilintasinya air terjun itu. Ternyata di balik air terjun itu, setelah melangkah sekitar 21 langkah, ada semacam pintu guha. Gumara seperti bocah yang ingin tahu. Dan sebagaimana layaknya bocah, dia merasa ngeri tiba-tiba. Heran sekali, karena bulu kuduknya dan seluruh bulu romanya merinding" Dia seakan-akan melihat dalam kegelapan tanah menjorok ke dalam tebing air terjun ini sesuatu yang mengerikan.Ada dua mata yang tampak begitu besar disana itu. Lalu ada yang bergoyang-goyang. Hihh, ngeri sekali!
Itu lidah yang menjulur! Untuk surut, kakinya gemetar. Lalu dia rasakan pula bau stanggi sekitar tempat yang berbentuk guha itu. Batu yang sekepal di tangannya ia baui lagi. Ternyata batu ini lebih keras lagi aroma stangginya!
"Jangan lepaskan!" terdengar suara.
"Apa yang jangan dilepaskan?"
"Batu itu!" terdengar lagi suara.
Suara itu menggema. Dan jelas suara wanita.
"Siapa yang bersuara itu?" tanya Gumara tambah gemetaran.
Aku, Ratu Guha Stanggi" terdengar sahutan yang juga menggema. Jelas sekali suara itu suara wanita. Dan bukannya wanita tua!
"Kenapa anda melemparku dengan batu stanggi ini, ha?" suara Gumara menggema.
"Karena aku tahu, anda mencari saya", kata Ratu Stanggi itu.
"Mencari kau?" Koleksi KANG ZUSI "Yah, karena anda ingin mengetahui misteri tirai stanggi! Misteri itu kini telah anda dapatkan! Dalam guha inilah letak misteri itu! Dan tirai yang ingin anda singkapkan itu, sudah anda lewati!"
"Tirai apa itu?" tanya Gumara.
"Tirai perlambang! Air terjun itu lambang dari maksud tirai. Bukannya ke Guha lebah itu anda harus pergi. Karena menemui Pita Loka, dan mencari misteri stanggi kesana , hanya membuang waktu. Misteri itu ada di sini! Dan sekarang anda sudah memasuki misteri itu!"
Dalam sekelebatan Gumara menyaksikan sosok yang tak jelas sedang melakukan bentuk persilatan yang luar biasa. Hanya kecepetan garis petir yang mampu menandingi bentuk gerak dan jurus persilatan itu. Bila sosok tak jelas itu menubruk dinding guha, terdengar benturan mirip petir yang menimbulkan percikan api!
Gumara kagum sebagai penonton.
"Yang anda ingin cari dibalik misteri itu adalah ilmu yang Tinggi. Tapi bukankah anda lihat ilmuku ini adalah ilmu yang tertinggi?"
"Ya", ujar Gumara, "Rupanya kepada andalah, Ratu Stanggi, saya harus belajar.
Rupanya kepada anda saya musti berguru".
Gumara mendengar lagi suara wanita itu: "Anda harus maju lagi sekitar tujuh langkah".
Mendengar itu Gumara jadi ngeri. Di sini saja dia berdiri sudah ngeri. Dan seperti bocah yang menginginkan sesuatu, tapi kecut, maka dia melangkah selangkah saja, lalu berhenti.
"Bulu romaku tegaaaak!" teriaknya.
Gemetar dia, namun sempat mendengar wanita itu mentertawakannya. Dia mendengar suara lagi: "Maju lagi selangkah".
"Aku takut", ujar Gumara.
Namun dicobanya maju lagi. Pemandangan semakin gelap. Keringat dinginnya mulai dirasakannya. Bau stanggi itu semakin memadatkan indera hidungnya. Dan dia seakan-akan menyerah; "Aku takuttt".
"Jangan takut. Aku gurumu! Bukankah kau ingin mendapatkan ilmu melalui Kitab yang kau baca lewat mimpi, bahwa kau harus menyingkap misteri tirai stanggj"
Semua orang ingin mempertinggi ilmunya. Tapi ilmu yang akan aku beri padamu adalah satu kedudukan ilmu yang Tertinggi, mengerti"!!!, wanita itu membentak. Dan karena gema suaranya bergemuruh, bentakan itu semakin menakutkan. Dan Gumara gemetar menjawab ketakutan: "Saya mengerti Ibu Betara Guru".
Koleksi KANG ZUSI "Jangan takutttt!" teriak wanita itu juga membentak dan bergema menakutkan.
"Saya mencoba berani".
Dan wanita itu membentak lagi: "Ayoh melangkah lagi, tolol!"
Dan Gumara melangkah lagi dengan sangat rendah hati, bagai budak pada majikannya. Karena tiba-tiba merasakan bau bangkai, dia berhenti.
"Kenapa berhenti"!!!" bentak wanita itu.
Namun, hanya suara saja yang kedengaran. Sosok wajah apalagi tubuhnya tak tampak. Gumara tambah takut. Dia merasakan bau bangkai.
"Selangkah lagi. ayoh maju!!!" terdengar bentakan wanita itu lagi.
Suasana semakin gelap. Gelap sekali. Bau sekali. Dan menakutkan sekali! Dan dengan terpaksa dan terseot.Gumara melangkah selangkah lagi.
"Bagus", kedengaran pujian Ratu Stanggi.
"Aku memohon, pelajaran yang tuan Ibu Betara Guru akan berikan dipersingkat. Saya takut, takut sekali".
"Hah, mana ada ilmu yang gampang diperdapat! Semua ilmu ada jenjangnya.
ngerti?"?"" bentakan iagi.
Dengan nada hampir menangis Gumara berkata: "Saya mengerti, Guru". Lalu dia merasa dirinya semakin lemah dan berkata: "Saya lapar, Betara Guru!"
"Kelaparan adalah bagian dari ilmu yang akan kuberikan".
"Tapi saya sekarang ini ... lapar sekali!"
"Diam, bangsat!" bentak suara wanita itu.
Gumara merasa dirinya tak kuasa apa-apa lagi. Bau bangkai itu semakin menusuk hidung. Rasa lemah dan takut semakin membuatnya tak mampu berfikir. Dan dengan merengek dia bersuara melolong: "Tolong katakan padaku kelak saya akan menjadi apa. Betara Guru yang mulia!"
"Kau akan manjadi sembahan seluruh jawara, dari Bukit Kumayan hingga ke Bukit Lebah. Bahkan Pita Loka akan menghatur sembah padamu!"
Airmata Gumara meleleh. Dalam gelap airmata itu bagaikan mutiara yang antara tampak dan tiada berada di kerang terkelupas dalam lautan biru. Dan menjelmalah Koleksi KANG ZUSI
sosok tubuh yang luar biasa cantiknya. Dipergelangan tangannya teruntai gelang bertatah ratna mutu manikam.
Tubuhnya seakan dilapisi sutra tipis sehingga menciptakan bentuk wanita yang menerbitkan birahi namun begitu kaya.
Dan sungguh membuat Gumara tolol ternganga melihat wanita itu duduk di tahta emas, kursi yang takkan pernah dilihatnya, hanya kecuali dalam cerita-cerita lukisan.
"Tuan memang pantas jadi ratu!" kata Gumara terpesona.
"Dan engkau akan menjadi Rajaku!"
"Aduh, saya orang lemah dan tolol. Saya muridmu! Mana mungkin?"
"Ratu Stanggi sudah harus menjadi jodoh Raja Gumara. Kini ikuti perintahku!
Pejamkan matamu!" "Baik Ratuku tercinta".
"Jongkoklah. Meraba di permukaan guha ini. Bila kau rasakan ada benda bulat seperti kelapa yang sudah dikupas sedikit, peganglah itu!"
Gumara bagai orang dongok, berjongkok. Tangannya meraba. Hidungnya merasa bau amis. Tapi rasa ingin cepatnya mendapatkan ilmu tertinggi dengan kedudukan Sembahan Semua Juara, dia akhirnya berteriak setelah meraba kelapa dimaksud Guru itu.
"Ini kelapa sudah kupegang!"
"Batu stanggi di tangan kiri, kelapa di tangan kanan! Ayoh cepat keluar dan ikuti arus sungai dengan menghanyutkan dirimu!"
Gembira Gumara menuruti perintah. Dia memegang kelapa dan batu stanggi tadi, meninggalkan Guha tadi, melewati air terjun dan berhanyut-hanyut ke arah Barat Timbul tenggelam dia dalam gelombang sungai, terhanyut mengikuti arus sungai seperti orang gila tak sadarkan diri.
Kadang dibiarkan kepalanya terbentur pada batu sungai yang menghadang arus.
Biarpun terasa sedikit, dia tak menjerit. Yang penting kelapa di tangan kanan, batu stanggi di tangan kiri ... tak lepas dari pegangan!
Tak terfikir lagi lapar dan haus. Juga dia tak menyadari hari telah malam. Dan di langit ada bulan. Bulan yang sedang purnama. Waktu itulah Gumara mendengar seruan dari atas batu tebing; "Pak Gumara ...!"
Dia mendahulukan kakinya. Sepatu Phuma yang melekat di kakinya dia sodok ke batu bawah air. Tubuhnya tertahan dan dia menyandarkan punggung bertahan ke batu curam.
"Pak Gumara!" terdengar lagi suara dari atas tebing. Gumara mencoba melihat ke Koleksi KANG ZUSI
atas, tapi terhalang oleh rumpun bambu. Lalu dia merasakan bau amat busuk.
Dicarinya sumbernya. Ternyata di tangan kirinya itu. Dia buka tangan kirinya"ternyata itu bukan batu. Tapi gigi manusia yang menggigit batu. Gigi bangkai manusia!
Gumara membanting sehingga muncrat air sungai membuat waiahnya bersimbah air.
Ini membantu penglihatannya. Dia lalu merasakan bau lagi! Ternyata bau di tangan kanan. Ternyata itu bukan kelapa tetapi kepala manusia, yang tampaknya baru mati.
Begitu Gumara mau membantingnya, dia mendengar suara dari balik batu. Suara itu suara wanita. Yang berseru: "Jangan buang dia! Berikan dia padaku dan lemparkanlah!"
Gumara melemparkan kepala manusia yang mengerikan itu. Tampak ada tangan menyambut kepala itu. Dan sekonyong tegaklah di atas batu itu satu sosok tanpa kepala. Kepala yang dilempar Gumara tadi dia jinjing. Dan sosok itu, yang menjinjing kepala itu, adalah wanita dalam pakaian compang camping. Melihat wanita tanpa kepala yang menjinjing kepala mengerikan itu. Gumara kontan berteriak bagai bocah ketakutan: "Tolong akuuu!!!"
Dia berteriak lagi: "Tolong akuuuu!"
Seorang wanita masih dalam pakaian mukena putih menuruni tebing dengan amat mudah. Lalu dia mengulurkan tangan untuk menolong Gumara.
"Siapa kau?" tanya Gumara ragu.
"Murid tuan Guru. Saya Pita Loka" ujar wanita berpakaian mukena itu.
"Bukan sebuah godaan?"
"Bukan godaan. Bukan setan. Bukan jin atau pun peri! Aku Pita Loka, puteri Ki Putih Kelabu" ujar Pita Loka pasti, "Mungkin anda ragu melihat diriku masih berpakaian mukena ini. Aku sedang menyelesaikan do"a sehabis shalat Iesya. Kulihat anda di bawah itu, diantara sinar bulan purnama, bagai hanyut! Ayoh, pegang tangan saya, Pak Guru, saya tolong angkat ke atas!"
Begitu Gumara memegang telapak tangannya, Pita Loka merenggut tubuh itu dan melemparkannya. Tubuh Gumara terangkat setinggi tujuh meter di atassana tetapi kemudian disambut oleh Pita Loka dengangaya yang mirip orang menyambut barang yang ringan.
Kemudian setelah disambut dia lepaskan Gumara dalam posisi berdiri. Dan Gumara berdiri dengan tercengang. Lalu Pita Loka melangkah duluan menuju satu tumpukan batu yang rata. Dipermukaan susunan batu yang rata itu ada tikar sejadah. Tikar itu diambil Pita Loka semudah pula menyambar satu kayu karet yang ujungnya menyala api.
"Apa yang tadi anda lakukan maka hanyut, Pak Guru?"tanya Pita Loka.
"Saya hanyut dalam godaan setan".
Koleksi KANG ZUSI "Setan" Aneh sekali" ujar Pita Loka.
Dengan memegang obor Pita Loka menggiring Gumara ke mulut Guha Lebah itu.
Gumara berhenti melangkah. Pita Loka berdiri di hadapan pintu itu. Tampak lebah-lebah yang ribuan jumlahnya itu berdengung ramai. Lalu semuanya minggir ke tepi seakan memberi jalan penuh penghormatan. Gumara mengikuti langkah Pita Loka memasuki gerbang guha itu. Dalam Guha tampak cahaya terang, Ternyata dua obor menyala, yaitu api yang bergoyang di ujung kayu karet.
Dengan menunjuk ke sebuah batu berbentuk kursi. Pita Loka berkata: "Silakan duduk".
"Menakjubkan! ?" ujar Gumara,
"Dulu Bapak belum sempat masuk. Keburu bertempur dengan Dasa Laksana. Ah, kalau saya ingat itu, saya kasihan pada Bapak", ujar Pita Loka.
Sejak mendengar nama Dasa Laksana kembali, perasaan cemburunya menjalari urat darahnya. Namun dia diam. Dan rasanya ingin bertanya.
"Mana Dasa Laksana?" tanya Gumara.
"Adadi dalam", sahut Pita Loka.
"Adadi dalam" Apa di guha ini pun ada kamar?"
Pita Loka tarsenyum. Dia menyadari nada tanya Gumara cemburu. Tapi dia tetap menjawab: "Di guha ini ada kamar".
"Oh", nada singkat Gumara itu menandakan putus asanya.
"Ini saya hadiahkan sebuah hidangan makan malam yang pasti belum anda coba,. ujar Pita Loka seraya menyerahkan satu buah-buahan yang baru dikupas.
"Buah apa ini?" tanya Gumara heran.
"Nikmati dulu". kata Pita Loka.
Tapi sebelum dia makan buah yang agak aneh itu, Gumara bertanya: "Boleh saya bertatap muka dengan Dasa Laksana?"
"Boleh saja. Tapi makan buah hadiahku dulu", kata Pita Loka.
"Tidak. Saya ingin berjumpa dia", kata Gumara.
"Kenapa Pak Guru mendesak begitu?"
Gumara menahan rasa malu, lalu berkata geram: "Mungkin aku sudah tertipu oleh si tua Ibrahim Arkam"
Koleksi KANG ZUSI "O, Ibrahim Arkam" Dia bukan penipu!" kata Pita Loka.
"Jika demikian kau mengenal dia?"
"Tentu". Lalu Pita Loka berkata lagi: "Ayoh makan buah hadiah terhormat dariku!"
"Jangan-jangan buah ini ada racunnya! ", ujar Gumara.
Pita Loka. yang juga memegang satu buah yang sama, penasaran tertuduh begitu. dan dia berkata: "Ini buah yang sama. Jika buah ini mengandung racun, aku akan mati duluan dari anda!"
Pita Loka memakan buah itu. Gumara jadi ngiler. Dan dia menggigitnya sedikit.
Rasanya mirip jambu bol. Tapi jelas bukan jambu bol.
"Buah apa ini?" tanya Gumara.
"Buah mancina. Mungkin di Cina, sekitar pegunungan, buah ini pun ada. Jika buah ini sudah tertalu matang, rasanya mirip yoghurt, yaitu induk susu kegemaran orangYugoslavia ."
"Pernahkah kau menghadiahkan buah mancina ini pada Dasa Laksana?" tanya Gumara memancing. Pancingan itu membuat bekas muridnya yang cerdas itu tersenyum.
Ujar Pita segera. "Hanya tamu terhormat. seperti Ibrahim Arkam yang pernah kuberi.
Dasa Laksana tidak!"
"Kau tak berbohong, Pita?"
"Mana pernah aku bohong. Karena aku tak pernah bohonglah maka aku kini ada di sini", ujar Pita Loka.
"Apa yang menyebabkan kau sampai mengasingkan diri ke sini?" tanya Gumara bersemangat dan dia semakin bersemangat mengunyah pula karena buah mancina ini ternyata amat lezat.
"Katakan Pita Loka, apa penyebab kau minggat sampai terdampar ke sini?"
"Karena terbawa Nasib".
"Ah. Kau seorang yang cerdas, kaya logika dan matematis!"
"Tapi saya pun punya perasaan sebanyak pikiranku, Pak!"
"Apa perasaanmu ketika kau lari?"
Koleksi KANG ZUSI "Ingin menaklukan anda".
"Ha?" "Ilmu anda tinggi, ilmu Harwati tinggi. Sedangkan ayahku tidak mewariskan apa-apa bagiku kecuali seluas otak di kepalaku ini, Pak. Jika anda ingin saya berterus- terang mengapa saya minggat, penyebabnya amat sederhana! "
"Katakan penyebab itu. Sebab justru itulah yang ingin saya ketahui"
"Penyebabnya karena patah hati. Karena cinta tak terbalas".
Mendengar itu. Gumara yang sedang asyik mengunyah buah mancina terhenti mengunyah. Dia Terpana menatap Pita Loka.
"Pada siapa kamu patah hati, Pita Loka?" tanya Gumara.
"Ah, tak usah dibicarakan lagi. Semua itu sudah lewat. Kini aku berada di dunia yang lain"
"Di dunia suami isteri?"
"Tidak" "Di dunia cinta?"
"Jauh dari itu"
"Jadi dunia macam apa yang kau maksud" Ah, aku ingin bertatap muka dengan Dasa Laksana. Boleh atau tidak?"
"Boleh saja. Tapi nanti. Kalau buah mancina Bapak sudah habis. Mau satu lagi?"
"Aku butuh makan nasi. Aku lapar sekali", kata Gumara.
"Saya sudah lama tak mengenal nasi, Pak. Hanya makan buah rimba. Mau Bapak satu buah mancina lagi?"
"Saya hanya mau bertatap muka dengan Dasa Laksana. Hanya karena terhalang oleh rasa respect padamulah maka seluruh perkelahian dengan dia dulu saya akhiri dengan kekalahan saya".
"Bapak mengira saya tak mengetahuinya. Bapak sebetulnya bisa meremukkan dia.
Saya tau itu ... " Untuk pertama kali, kecemburuan Gumara yang berkobar berubah jadi senyuman murni.
Keduanya berpandangan. Pita Loka sesak dadanya menahankan nafsu birahi yang Koleksi KANG ZUSI
mengamuk-ngamuk dalam dada, tapi demikian pula Gumara. Ketika keduanya sama bangkit pada puncak ketegangan oleh gairah, satu cahaya kilatan disertai geledek membahana dengan dahsyat!
Satu batu amat besar jatuh dari arah atas guha sampai satu obor yang tadi menyala padam seketika. Tinggal satu obor lagi yang menyala, membuat suasana semakin mencekam.
"Ampuni saya. Tuhanku!" berseru Pita Loka, menyadari lintasan dosa, yang hampir terjalin sekalipun sudah bergumul berkecamuk dalam pikirannya.
Gumara tak mengucapkan penyesalan, kecuali diam tertunduk, menyatakan rasa bersalah hanya dalam kalbu. Rupanya. Kilatan sinar petir berbentuk aliran listrik yang dahsyat itu muncul dari utara ke selatan. Hal ini dilihat oleh Harwati maupun Ki Rotan. Harwati yang telapak kakinya berlubang sebesar lidah manusia melangkah terseok-seok namun lincah ia menuju ke gubuk jerami Ki Rotan. Ki Rotan melihat Ki Harwati melangkah pincang menuju dirinya.
"Apa yang kira-kira sedang terjadi?" tanya Ki Rotan.
"Bagai bola api itu jatuh di Bukit Selatan itu. Cahaya terang tampak olehku, jelas jatuh di Bukit Berpayung atau Bukit Lebah!"
"Kalau begitu ada musibah di sana?" kata Ki Rotan bersemangat Ki Harwati berkonsentrasi sejenak. Tongkatnya dia colok ke kaki kanannya yang berlubang itu.
Dia berkonsentrasi sejenak.
"Kukira begitu", ujarnya setelah selesai berkonsentrasi.
"Apa yang kita lakukan?"
"Suatu malapetaka besar sedang terjadi di Guha Lebah".
"Dari mana kau tahu, Ki Wati?"
"Dari ucapan Ki Pita Loka sendiri. Bukankah dia mempercayaiku, sewaktu aku berguru padanya?"
"Lantas?" "Dia mengatakan, suatu ketika ilmuku akan berakhir apabila ada bola api membentur Bukit Lebah ini. Semua lebah akan jatuh di lantai guha bagai anai-anai yang mati bergelimpangan. Waktu itu, kata Ki Pita Loka, seluruh ilmu yang aku miliki akan habis".
"Dia harus kita ambil sebelum jatuh ke tangan orang lain", kata Ki Rotan.
"Tak semudah itu", ujar Ki Harwati
"Jadi bagaimana caranya kita merebut ilmu Ki Pita Loka?"
Koleksi KANG ZUSI Ki Wati menjawab: "Kecuali jika kita pergi ke Bukit Tunggal. Kita bergabung dengan Guru Tua itu."
"Kalau begitu mari kita ke Guru Tua". kata Ki Rotan bersemangat.
"Tak mungkin saya membawa anda, Tuan Guru. Kedudukan anda, sekalipun bekas guru saya, anda ini adalah murid saya". kata Ki Harwati.
Ki Rotan kecewa. Lalu dia berkata: "Jika demikian keadaannya, maka baiklah anda pergi sendiri. Tapi jangan lupakan saya. Saya murid anda, seluruh ilmu yang baru anda dapatkan, berikan padaku".
"Saya tak pernah akan lupakan jasa Ki Guru" , kata Ki Harwati. Lalu dengan terlebih dulu mencolokkan ujung tongkatnya ke lubang kaki, dia Iantas berkonsentrasi. Petir menyambar lagi, Ki Harwati mendongak ke langit. Dia ikuti cahaya petir itu. Di tengah-tengah pajalanan bertempur dua buah garis petir. Lalu terciptalah bola api yang amat terang. Bola api itu bagai menggelinding menuju selatan dan tampak jelas menghantam Bukit Lebah yang bentuknya seperti payung itu. Tak jelas apa yang terjadi selanjutnya karena angin puting beliung menghantam dan memelintir kawasan Ki Rotan. Ki Harwati tak tunggu lagi. Dalam basah kuyup deras hujan dia dalam sekelebatan sudah hinggap di antara dahan pohon satu ke pohon lain.
Perjalanan dua setengah malam itu seakan-akan percuma. Guru Tua, Ki Tunggal, yang dia harapkan dapat memberikan inspirasi dalam keadaan terkapar. Agaknya dia sekarat.
"Tuan akan menemui ajal?" tanya Ki Wati.
"Benar. Aku sudah mendapatkan pertanda ngalamat, ketika dua hari yang lalu, pada tengah malam kulihat bola api beterbangan dari Bukit Tunggal ini, di antar oleh sang petir. Ya, di BuKit Lebah akan terjadi perang kebatinan yang dahsyat untuk memperebutkan Kitab itu ... "
"Kitab" Kitab apa. Tuan Guru?"
"Itulah yang namanya Kitab Ketujuh. Kitab yang hanya ayahmu dan Ki Putih Kelabu serta turunannya yang mengetahui namanya"
"Apa nama Kitab itu, Guru?"
"Namanya Kitab Makom Mahmuda"
"Saya pernah mendengarnya! Tapi cuma dalam mimpi! Coba anda berikan sisa ilmu anda padaku, Tuan Guru. Biarpun sedikit, yaitu bahan yang saya tidak punyai".
"Semua berpangkal pada Tujuh Harimau", kata Guru Tua sekarat itu.
Tapi sementara itu Ki Rotan menempuh jalan sendiri. Dia tak sabar menanti kembalinya gurunya, Ki Harwati. Dia justru ingin mendahului Ki Wati menuju ke Koleksi KANG ZUSI
Bukit Lebah karena terlanjur mengetahui sebagian rahasia yang telah dia dengar dua setengah malam yang lalu.
Di padepokannya, Ki Tunggal meneteskan air mata setelah berbaring. Katanya dengan sedih: "Tahukah kau, mengapa diriku jadi sial" Itu karena aku meremajakan diriku! Dan mengawini anak perawan. si Senik itu!"
"Di mana beliau ... Ratu Senik. Ki Guru?"
"Setelah kamu berangkat dengan kuisi sedikit ilmu itu, dia cemburu padamu. Maka aku tampil sebagai sosok tua keriput. Aku dimaki-makinya sebagai lelaki tua tak tahu diri. Aku tak mengutuknya! Itulah salahku! Seorang guru tak boleh mencintai apapun kecuali ilmu. Dia minggat. Tapi aku tahu dengan siapa Ratu Senik akan mendapat teman. Dia akan menjadi lawan seluruh tujuh manusia harimau di kemudian hari. Tapi ilmu yang akan kuberikan padamu hanya satu kisah. Yaitu, setelah kematianku, akan lahir satu manusia harimau. Dialah harimau ke delapan degan kelebihan ilmu dari yang lain yang sudah mati atau yang masih hidup. Karena tujuh harimau terdahulu tidak mendapatkan Kitab Tujuh itu, mungkin hanya dia satu-satunya!"
"Lalu?" "Untuk mendapatkan Kitab itu, akan terjadi perang hebat. Mungkin ada yang mati.


Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku kuatir, jika kau kesana, kau terlibat dalam perang perebutan Kitab Sakti itu".
"Akibat lain?" tanya Ki Wati.
"Ada yang gila".
"Tapi katakan pada saya, siapa pemilik Kitab tersebut" "
Ki Tua berdiam sedih. Dia tidak diperkenankan menyatakan siapa, kendati ia tahu.
sesuai dengan sumpahnya, apabila dia katakan maka dia akan mati dalam keadaan mengerikan. Bukan mati sebagai manusia. Tapi mati dalam bentuk: bangkai harimau.
"Kurasa, aku sudah dekat", kata Ki Tunggal.
"Nanti dulu, Ki Guru!"
"Nyawa tak bisa di tunda". Ujar si Tua itu yang menggelepar sesaat lalu mengaum bagai macan dan kemudian, dalam keadaan tangan terlipat, beliau masih membaca-baca sesuatu, bergelepar sejenak. Dan nafasnya pun terhenti.
Karena kesal dan sedih. Ki Wati menangis menggero-gero sampai pingsan beberapa saat. Dia seakan-akan orang yang mendapatkan satu kesempatan manis namun terlepas.
Dan keberangkatannya yang mestinya segera itu harus tertunda. Betapapun, gurunya yang terakhir adalah Ki Tunggal!. Seorang guru harus dihormati. Dan seorang guru yang disaksikan mati, harus dikuburkan secara layak. Dalam hujan lebat itu juga, Ki Wati mengambil cangkul...
Koleksi KANG ZUSI Dia memilih tempat yang paling mudah dikenal, yaitu di bawah satu pohon yang berbunga harum. Berdaun harum. Berbatang harum. Yakni pohon cendana.
Pacul menghantam tanah yang becek itu.
Ketinggian ilmunya menyebabkan ringkasnya pekerjaan menggali lubang kubur itu.
Tetapi tiba-tiba bulu romanya merinding, entah mengapa. Hujan henti seketika, berganti gerimis kecil. Dan pemandangan di sekitarnya bukan seperti di kawasan Bukit Tunggul lagi, melainkan di satu pertanahan kuburan yang begitu banyak disekeliling. Satu-satunya yang tak berubah adalah pohon cendana itu.
Latu Ki Wati yang semestinya tak punya rasa takut itu, mendadak takut karena melihat samar-samar satu sosok berjubah makin dekat dan makin dekat. Lidah Ki Wati akan berteriak, namun kelu. Suara pun tersekat di kerongkongan.
Orang berjubah itu tinggi besar. Makin dekat makin tinggi.
Dan ... wajahnya tampak rata.
Bulu roma Ki Wati makin merinding, karena tiba-tiba orang itu berkata: "Pinjam cangkulmu. Orang sakti seperti beliau, kuburannya harus dalam. Ada nanti yang jahat menggali kuburan ini, mengambil satu dua helai rambut beliau ".
"Siapa anda?" tanya Ki Wati mulai berani.
"Aku bekas muridnya. Karena durhaka pada Guru, pada beliau, aku bertanding.
Senjatanya yang ampuh, yaitu Pedang Raja Turki, telah membabat wajahku hingga rata. Aku bukan manusia lagi, bukan setan ataupun jin!"
Orang misterius itu mencangkul. Begitu cekatan, bertambah lagi dalam lubang itu tujuh hasta. Ketika cangkul diserahkannya kembali, Ki Wati terjengkang ke belakang karena melihat wajah itu mirip harimau luka yang mengaum dahsyat. Entah bagaimana sosok harimau itu berlalu dari situ.
Ki Wati teringat Pedang Raja Turki itu. Namun dia harus menguburkan Sang Guru terlebih dahulu. Ringkas sekali waktu penguburan oleh sang murid.
Baru setelah itu, Ki Harwati menggeledah rumah. Dia menemukan pedang yang istimewa, adanya dalam salah satu tiang bambu. Dengan pedang itu, dia merasa tongkatnya tak ada arti lagi. Pedang itulah yang disandangnya pergi.
Dan, di Guha Lebah memanglah sedang terjadi satu malapetaka dahsyat. Ki Pita Loka dengan wajah sedih menyaksikan lebah-lebah piaraannya yang setia selama ini begitu panik. Mereka tak bisa keluar karena sebuah batu raksasa jatuh tepat di depan pintu guha. Lebah-lebah itu mencari jalan keluar dengan kalap. Mereka menerjang atap guha, tapi lantas jatuh berguguran. Dalam sinar satu obor kayu karet itu, tampaklah Koleksi KANG ZUSI
lebah-lebah itu jatuh seratus demi seratus ekor. Mereka berguguran.
Gumara sendiri duduk terpaku pada kursi batu seperti orang tolol. Apa yang dicarinya, sesuai dengan peutunjuk Ki Ibrahim Arkam berdasarkan takwil mimpi, sepertinya cuma berita bohong. Kitab Makom Mahmuda justru tidak ada. Bahkan Pita Loka sudah bersumpah, bahwa dia tidak memiliki Kitab sakti itu.
Yang terjadi justru sebaliknya!
Tirai stanggi yang konon merupakan dinding lingkaran asap yang selama ini jadi kisah kesaktian Pita Loka dari mulut para guru-guru besar, malahan tidak mengeluarkan bau stanggi lagi. Memang asap itu ada. Dan Gumara menyaksikannya.
Asap itu mengepul dari dasar lantai guha. Namun tidak mengeluarkan bau stanggi.
Asap itu malahan menyesakkan nafas. Sebab bau yang dipancarkannya berupa bau belerang.
"Bagaimana jalan keluar kita?" tanya Gumara.
"Kita sedang terkurung. Sejak meteor jatuh dari angkasa luar menutupi pintu guha, kita seakan-akan siap untuk mati terkurung", kata Ki Pita Loka. Gumara yang dirinya kelihatan berubah menjadi tolol, lalu bertanya; "Bagaimana nasib Dasa Laksana?"
"Persetan dengan dia", kata Pita Loka.
"Persetan" Kalau begitu kau membenci dia!"
"Ya!" "Kukira kalian berdua sudah melangsungkan ikatan".
"Dia biang keladi bencana ini. Seorang manusia kota yang moderen, telah mencemarkan kebersihan ilmu kebatinan".
"Lalu, yang kau maksud kamarnya?" tanya Gumara.
" Lihat sendiri saja", kata Pita Loka.
"Boleh aku bertatap muka dengan dia?"
"Silahkan", kata Pita Loka.
Gumara bertanya lagi: "Tunjuki padaku tempat di mana dia berada. Tampaknya kamu sangat merahasiakan".
"Itu. Di Sana. Sekarang tak ada kamus rahasia lagi", kata Ki Pita Loka. Gumara menuju ke tempat telunjuk Ki Pita Loka tertuju. Ada satu lorong sempit Makin Gumara masuk, makin terasa bau amis. Seperti bau bangkai ular! Tak ada penerangan ke sana. Jadi Gumara mesti meraba-raba dinding lorong itu.
Koleksi KANG ZUSI Lalu Gumera merasakan jalan ke sana licin. Berkali-kali hampir tergelincir dia, Sementara itu bau amis semakin mendahsyat. Gumara ingin tahu sumber bau itu. Dia tergelincir lagi sebab sepatu karetnya harus menginjak benda licin. Gumara lantas berhenti melangkah. Dia berjongkok. Dan dirabanya penyebab ia terpeleset sebab licinnya.
Begitu dirabanya lantai guha yang licin itu, dia merasakan semacam sisik ular.
Untunglah dia tak menjerit. Cuma bulu romanya meremang. dia melanjutkan perjalanan. Tampak ada sedikit cahaya obor. Ini membuat Gumara ingin tahu.
Semakin terang cahaya itu, semakin besar rasa ingin tahu Gumara, mengapa ada semacam ular di lantai guha yang bikin dia terpeleset lagi!
Ular! Benar-benar bangkai ribuan ular di lantai itu! Ular-ular yang jumlahnya begitu banyak, rupanya baru saja mati. Ular itu mati keracunan asap belerang yang memang memenuhi lorong yang sedang dilewati Gumara.
Terdengar suara: "Siapa itu?"
Suara itu dari lorong yang ke kiri. Gumara menoleh ke suara itu. Barulah tampak olehnya, Dasa Laksana, dalam keadaan dirantai. Tubuhnya tinggal tulang di balut kulit. Bibirnya kering. Matanya menonjol keluar. Dan rupanya dia barusan saja makan bangkai ular.
"Aku Gumara yang pernah anda kalahkan", kata Gumara." Mengapa anda dirantai begini?"
"Aku dalam belajar dengan Ki Pita Loka. Lalu mendadak nafsu birahiku timbul dalam suatu upacara kenaikan tingkat ilmu yang kupelajari darinya. Aku mencoba memperkosanya. Tapi gagal. Lalu aku dibantingnya sampai pingsan. Dan kudapati diriku di sini, diawasi oleh ratusan dan ribuan ular berbisa, dalam keadaan dirantai?"
"Tahukah anda apa yang sedang terjadi?" tanya Gumara.
"Aku tahu" ujar Dasa Laksana, "Aku kehilangan daya. Bencana ini tiba akibat kutukan. Kutukan dari langit. Ketika meteor itu dua kali membentur Bukit Lebah ini, kukira aku akan mati. Tapi tolonglah aku kini!"
Gumara kehilangan akal. Lalu dia dengar ucapan Dasa Laksana: "Tahukah anda, saya mencoba memperkosa Ki Pita Loka berdasarkan mimpi?"
"Kau juga termasuk percaya takwil mimpi?" tanya Gumara.
?"Yah, sudah terlanjur terlibat dalam dunia asing ini ...begitulah! Aku bermimpi ketemu orangtua yang bernama Ki Rotan. Mimpi itu selanjutnya menyatakan. agar Koleksi KANG ZUSI
aku menyetubuhi Ki Pita Loka agar mendapatkan tuah. Ilmu Ki Pita Loka akan sendirinya kupunyai bila berhasil menyetubuhinya. Nyatanya ... itu semua godaan".
Lalu mendadak, amat mengejutkan, terdengar suara gemuruh! Gumara maupun Dasa Laksana sama menjerit. Satu kesan bahwa ada cahaya di lorong kanan itu sudah jelas.
Ya, cahaya dari arah selatan. Dari lorong mati. Lalu muncul bayang-bayang setelah setengah jam Gumara dan Dasa Laksana terpana bisu. Kebisuan itu terpecahkan oleh bunyi langkah orang mendekat Dari bayangan yang timbul bergerak di dinding lorong kanan itu, tampak bahwa manusia yang bergerak masuk itu memegang tongkat.
"Itu orang yang kulihat dalam mimpi!" seru Dasa Laksana tak tahan, meronta.
"Ki Rotan", bisik Gumara.
Gumara segera berkonsantrasi karena merasa dalam bahaya.
Aneh" Biasanya jika dia berdzikir,,,, dia merasa ada getaran gelombang masuk ke dalam dirinya! Kali ini tidak ada getaran.
Ia seperti bocah yang ketakutan sewaktu Ki Rotan mendekat wajah Ki Rotan jadi buas. Gumara dan Dasa Laksana sama mengkeret takut. Ki Rotan mengayunkan tongkat. Lalu disabetnya tubuh Gumara.
Gumara menjerit lantang. Lalu Ki Rotan berkata. "Kini giliran akulah yang akan memiliki Kitab Sakti itu! Mana Ki Pita Loka!"
Gumara tak menjawab. Satu sabetan tongkat itu telah membuat dia tersungkur mencium bangkai ular dalam keadaan pingsan. Dasa Laksana Tak berkutik. Dia hanya menyerahkan diri atas kekuasaan apapun yang akan melangkahinya. Tapi sikap penyerahan ini pulalah yang membuat Dasa Laksana merasa dirinya diisi oleh satu kekuatan. Tubuh yang loyo berbalut kulit tipis itu seakan-akan merasa dirinya kuat.
Dia lihat tangannya yang dirantai dengan rantai besi itu. Dia coba merenggut rantai itu dengan membuka kedua tangan! Bunyi gemerincing rantai besi putus, membuat Dasa Laksana heran sendiri. Dan Ki Rotan yang sudah menuju ke dalam, menoleh. Dia kaget sekali karena melihat tokoh lemah yang tadi dibentaknya, berdiri tegap.
Senjatanya rantai besi yang terjurai di tangan kiri. Dia tampak begitu mengerikan, sehingga Ki Rotan bukan bersikap mau menyerang, melainkan bertahan. Dia memutar-mutar rantai besi itu di atas kepalanya, sebagai acuan akan menjerat Ki Rotan.
Ki Rotan mencoba menangkis dengan tongkatnya ketika rantai itu hampir menjerat lehernya. Tongkat itu patah, tapi membuat bentuknya mirip tombak runcing.
Koleksi KANG ZUSI Ki Rotan menyerang dengan suara teriakan dahsyat. Suara teriak ini yang menyadarkan Ki Pita Loka dari lamunan sedihnya menatapi tirai asap stanggi di depannya yang berubah bau menjadi bau belerang.
"Hai, hentikan perkelahian itu!" ujarPita Loka melihat terjadi pergumulam seru di lorong itu. Suara lantang Ki Pita Loka, membuat Gumara yang baru siuman dari pingsannya segera berdiri. Dia berbeda dari Gumara yang biasa. Dia jadi beringas karena munculnya satu kekuatan dahsyat. Dia melompat menerkam dua orang yang sedang beradu kuat itu.
Satu cakaran mengoyak muka Ki Rotan. Dan satu cakaran lagi mengoyak muka Dasa Laksana. Dua-duanya menjerit hebat kesakitan. Tapi dua-duanya pun mundur ke dalam, bahkan Ki Rotan ketika mundur membentur tubuh Pita Loka yang berdiri tercengang.
Perkelahian seru terjadi. Kini Ki Rotan sudah kerjasama dengan Dasa Laksana karena naluri mendadak. Dua-duanya mengeroyok Gumara. Satu belitan rantai yang dipecut Dasa Laksana membelit leher Gumara. Tapi dia mengaum sehingga belitan itu lepas.
Kaki kiri Gumara menendang tegak lurus menghantam Ki Rotan yang meloncat mau menerjangnya. Dia tendangkan ke kanan mengenai leher Dasa Laksana sehingga orang ini terjungkal.
Pita Loka tampaknya bengong. Tiap dia membangkitkan perkataan khas dari ilmu saktinya, sedikitpun tak ada kekuatan lagi. Gumara tampak menerkam dua lawannya dengan cakaran ketat lalu melempar tubuh dua lawan itu ke arah pintu guha. Teriak teriak serentak dari tiga mulut kedengaran mengalahkan suara benturan tubuh dua lawan Gumara itu.Batu langit itu kehilangan daya tahan, lalu bergulingan menciptakan suara amat gemuruh. Ketika batu besar itu mencebur ke dalam sungai, terdengar satu kali lagi bunyi gemuruh.
Pita Loka menuju pintu untuk menyaksikan lanjutan perkelahian itu.
Pita Loka tercengang karena Gumara yang melompat membabi buta itu ternyata berbentuk harimau mengerikan. Dengan buas Ki Rotan kena cakar sehingga satu biji matanya terkelupas. Dalam keaadan buta sebelah itu Ki Rotan melarikan diri. Tinggal Dasa Laksana yang wajahnya penuh gores cakaran itu masih menggunakan berbagai cara. Satu pohon dia cabut, dan dia ayunkan menghantam seekor harimau ganas yang akan menerkamnya. Ia tak mengetahui pohon apa itu. Tapi jelas, ketika ayunan pukulan itu tepat mengenai kepala, Gumara berteriak dan dirinya terjungkal, berubah bentuk dari bentuk harimau jadi manusia biasa.
Dasa Laksana kalap. Tapi dia Justru tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat. Mendadak sontak dia melolong keras. Suaranya membahana membentur tujuh buah bukit juga di dengar oleh Ki Harwarti yang barusan sadar dari pingsannya jatuh di jurang. Ki Harwati sedang akan menuju Guha Lebah. Tapi dia berpapasan dengan Ki Rotan yang satu matanya sudah copot.
Koleksi KANG ZUSI Mulanya Ki Harwati siap mau menebas Ki Rotan sebab curiga. Pedanq Raja Turki sudah disiapkannya akan menebas leher muridnya yang khianat itu. Tapi ucapan Ki Rotan menyadarkan dirinya.
"Bahaya anda ke Guha Lebah. Semua menjelma serentak berubah!", ujar Ki Rlotan, Ki Harwati malahan menjadi bersemangat. Dia mendapat kekuatan batin justru setelah mendengar ucapan Ki Rotan. Dia melompat ke sebuah dahan, lalu mendapatkan tenaga untuk terbang dan bergelayutan kian kemari dari pohon ke pohon. Lalu, ketika ia menclok di sebuah dahan, dilihatnya di bawah ada seorang pria melolong. Pakaiannya dalam safari pemburu. Orang itu mungkin pemburu gila. Tapi ditangan kirinya ada rantai yang selalu dia ayun-ayunkan. Ah, tentu dia mau mencari lawan, fikir Ki Wati. Ki Wati meloncat ke bawah disertai teriakan. Dan seketika itu juga Dasa Laksana melolong sembari mengayun-ayunkan rantainya. Jebakan jerat rantai itu tiap sejenak tertabrakan dengan mata pedang yang menimbulkan bunyi gemerincing.
Pita Loka, yang kelihatannya seperti kurang ingatan, masih berdiri di pintu Guha Lebah yang tak ada lebahnya lagi. Tiba-tiba saja dia melihat serombongan manusia.
Mereka tampak lelah dari perjalanan yang jauh. Dan begitu melihat wanita berikat kepala, kepala rombongan itu berseru: "Itu dia Ki Pita Loka!" Pita Loka!"
Setelah mendekati Pita Loka, yang tertua berkata: "Saya Tongga Agun, kepala desa yang baru"
"Desa apa?" "Desa Kumayan". Desa itu kini tertimpa musibah. Seluruh penduduk sakit, termasuk ayah anda Ki Putih Kelabu. Hanya anda yang dapat menyembuhkannya!"
Pita Loka pada mulanya tak ingat lagi nama desa Kumayan.Tetapi setelah mendengar nama Ki Putih Kelabu. Hilang ingatannya berubah. Ya, kini dia sadar.
"Musibah apa tuan Tongga?" Tanya Pita Loka.
"Lebah-lebah menyerbu sewaktu batu langit meluncur menimpa jalanan depan rumah anda. Batu itu menciptakan lubang. Dari lubang itu mendadak saja keluar asap. Dan dari asap itu mendadak saja keluar lebah-lebah yang ribuan jumlahnya. Tiap penduduk terkena sengatan lebah itu. Dan seluruh desa Kumayan kini menderita sakit.
Saya disuruh ke sini, karena kata ayah anda, anda memiliki ilmu penakluk lebah berdasarkan primbon harimau".
Semangat membela kampung halaman itu bergelora dalam jiwa Pita Loka, yang sebengrnya sudah hampir rontok seluruhnya. Tapi begitu dia melangkah sebentar, satu teriakan dahsyat muncul dari pohon kecapi. Ki Harwati secara tiba-tiba sudah mengayun-ayunkan pedang Raja Turki yang sudah berlumuran darah. Ki Pita Loka mundur, mundur. memberi aba-aba kepada utusan desa Kumayan agar melarikan diri.
Koleksi KANG ZUSI "Berikan Kitab Sakti itu padaku sekarang. Sebelum darahmu mengalir seperti darah kekasihmu. Dasa Laksana!" bentak Ki Harwati.
"Dia tak memiliki Kitab Sakti itu, adikku!" Terdengar suara dari balik semak. yang ternyata Gumara.
Ucapan Gumara ini membuat Ki Harwati kalap. Dia membentak: "Diam kau! Masih juga kau membela gadis yang kau cintai ini?"
Satu ayunan pedang seketika itu juga akan menebas leher Gumara, andaikata dia tidak cepat tunduk. Gumara dalam sekejap berubah menjadi seekor harimau beringas.
Dia terkam dengan cakarnya wajah Harwati, tetapi bukan wajah itu yang terpegang melainkan pedang itu. Anehnya, dalam sekejap Gumara berubah kembali dari bentuk harimaunya menjadi Gumara biasa. Pedang itu sepertinya bergerak dalam genggamannya, lalu ketika dia mencoba menebas Harwati, pedang itu melingkar lepas berupa benda melayang ke udara... dan jatuh tepat di atas Bukit Lebah. Satu suara nyaring bagai petir disertai kilatan bagai arus lirik terdengar. Gumara bersama Harwati menyerbu serentak masuk ke Guha itu. Pita Loka hanya tercengang dan bekata: "Ayoh tuan-tuan, kita cepat lari sekarang menuju Kumayan!"
Sementara itu Gumara dan Harwati sama mengerem langkahnya. Karena tepat pada tempat asap stanggi berupa lingkaran sebelumnya yang berubah bau belerang mendadak ambles. Lingkaran itu berbentuk sumur yang dalam. Gumara tiba-tiba berseru: "Itu pedangmu menancap diatas permukaan air mendidih di dalam itu "
Ucapannya menimbulkan gema.
Ki Harwati menoleh pada Gumara. Matanya berbinar penuh nafsu. Dan dia berkata:
"Kakak, aku mencintai anda lahir dan batin!"
Gumara berkata: "Kau ingin mendapat kutukan?"
Gumara berteriak: "Lihat! Itulah Kitab yang selama ini kucari!"
Harwati menjenguk ke sumur di bawah itu. Di antara air mendidih itu, dia memang melihat sebentuk Kitab yang mengambang, bergeletar mengikuti air mendidih.
Hampir saja dia dengan kalap akan menerjuni sumur itu, untung saja lengannya dipegang oleh Gumara.
Mendapat bantuan begitu, Ki Wati jadi bernafsu. Dia memeluk Gumara dan berkata:
"Mari kita mengasingkan diri sehagai suami isteri. Kau toh dari Ibu yang lain, kendati kita dari ayah yang sama"
"Kuhormati cintamu padaku, adikku! Tapi kita sama-sama satu darah. Kita dari titisan air mani Ki Karat. Dan kita terkutuk jika menjadi laki bini!"
"Kalau kita sudah hidup terasing dari dunia ramai, siapa yang akan mengerti asal usul Koleksi KANG ZUSI
kita?". Ki Harwati dengan kesetanan memeluk Gumara. Tapi Gumara mencoba melawan nafsu iblis adik tirinya itu, dan tanpa sengaja mendorong tubuh adiknya itu masuk ke sumur.
Ki Harwati berteriak melolong. Ini membuat Gumara kalap. Ilmunya menjalari darahnya. Getaran demi getaran dirasanya Lalu dia mengaum dahsyat berubah bentuk menjadi harimau beringas. Namun telap saja dia berputar-putar mengelilingi sumur mendidih itu. Hanya berputar-putar. Dan berputar-putar sampai matahari tenggelam dan terbit lagi dan tenggelam lagi.
Ki Pita Loka memasuki Desa Kumayan dengan langkah perkasa diiringi oleh sepuluh orang penjemputnya. Dia tidak lagi tolol seperti pertama kali ditemukan. Seluruh desa bagaikan mati. Di sana sini lebah-lebah mendengungkan suara. Lebah-lebah itu kini berkumpul seperti sebuah iring-iringan skuadron. Ki Pita Loka segera sadar, ilmunya bukan hilang oleh musibah bukit Lebah. Dia sampai di depan rumahnya, menatapi lubang besar jatuhnya batu meteor itu. Di hadapan ayahnya yang bengkak-bengkak itu Ki Pita Loka berkata agung: "Lebah-lebah ini seluruhnya akan aku hukum! "
TAMAT Wanita Gagah Perkasa 11 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 23

Cari Blog Ini