Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Demikianlah, Mutiara Hitam. Se-menjak saat itu aku menjadi murid Bu--tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru ter-buka mataku akan ilmu yang sebenar-nya." Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang per-kasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika is menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadap-an dengan kakak kandungnya sendiri. Perasaan ini mungkin timbul karena se-menjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Be-tapa tidak" Bibi Bi Li yang memelihara-nya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia me-nangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kan-dung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri"
"Wah, kau melamunkan apa?" Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 51
"Kenapa kau membentak-bentak orang?"
Hauw Lam tertawa. "Siapa mem-bentak-bentak" Aku hanya bertanya. Mengapa engkau
melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang te-linga setajam-tajamnya!"
"Menanti apa" Memasang telinga un-tuk apa?"
"Waduh, bagaimana ini" Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau ber-tanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa" Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!" jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik na-pas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandung-nya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata,
"Perlu apa banyak cerita" Namaku, engkau sudah tahu."
"Siapa?" "Mutiara Hitam."
"Wah, kenapa kau suka sekali mem-permainkan aku" Aku sudah menceritakan namaku
sendiri, Tang Hauw Lam...."
"Tapi aku mengenalmu sebagal Beran-dal saja, cukup. Dan kau mengenalku se-bagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama"
Nama apa pun, juga apa bedanya" Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya.
Nama hanya kosong belaka!"
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, "Nama itu kosong belaka....! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah se-pandai itu berfilsafat"
Ataukah.... kau pernah patah hati?"
"Patah hati" Bagaimana hati bisa patah" Apakah hati itu seperti kayu kering.... macam ini?"
Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
"Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali."
"Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kaulanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana Ayah dan Ibumu?"
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kem-bali wajah yang tampan itu menjadi ce-rah ketika menjawab,
"Ibuku telah meninggal dunia dan...."
"Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?"
"Lho! Kenapa marah?" Hauw Lam bertanya mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
"Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?" Kwi Lan mengulang.
Pemuda itu melongo. Dara yang can-tik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga.
"Yang bilang" Tentu saja Ayahku. Ayahku yang bilang bahwa Ibu telah meninggal dunia."
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong akan tetapi dapat ditahannya.
"Dan Ayahmu di mana dia?"
"Ayah" Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah meninggalkan aku di kelenteng Bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia.
Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...."
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penung-gang kuda. Pakaian, topi, dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 52
bahasa mereka membuktikan bahwa mereka ada-lah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tu-buhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil an bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
"Kuda betina yang hebat!" Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman. Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikan-nya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan, dan agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman! Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, mem-buat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena me-reka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah melon-cat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalaman-nya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata,
"Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!"
"Salam!" Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk me-nepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pe-muda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
"Kuda hebat....!" ia memuji pula. "So-bat, apakah kuda hitam ini hendak di-jual" Kalau hendak dijual, ber pakah harganya?"
Orang yang menuntun kuda membela-lakkan matanya kepada Hauw Lam, ke-mudian ia
tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri me-mandang. Kemudian Si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw
Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika me-ledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa me-reka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
"Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, darimana dan hendak dibawa ke mana?"
Akhirnya Si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. "Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!"
"Siapakah Ratu kalian yang mulia?" Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
"Ratu kami adalah Sang Ratu di Khi-tan."
"Ohhh....!" Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kem-bali dan hanya memandang penuh per-hatian.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 53
"Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana" Akan kami antar-kan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!"
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jerih.
Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang bahkan ia lalu berkata,
"Wah, barang sumbangan saja meng-apa kuda yang begini bagus" Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku."
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suara-nya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil ber-diri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
"Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku" Ha-ha-ha!
Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini" Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu" Ha-ha-ha!" Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya Si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh se-mua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya,
tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua ta-ngannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka ber-tujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat ce-katan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam maupun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang me-reka
dengan muka terheran-heran. Kira-nya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sam-bil duduk di atas akar pohon. Dalam ke-marahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rum-put itu. Biarpun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini beru-bah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati. Batang--batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka,
menimbulkan rasa perih dan pedas, se-dangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan--akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes! Mereka ter-heran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jerih membuat wajah mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa rumput itu merupakan pleister-pleister hijau "menghias"
muka, apalagi orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya se-hingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 54
ketawanya. "Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali....! Lucu sekali....! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hen-dak main komidi kuda, ya"
Bagus...., bagus....!" Hauw Lam bertepuk-tepuk ta-ngan dan berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main. Akan tetapi karena mereka dapat men-duga bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata--kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
"Aih.... aih.... kalian masih belum kapok" Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?" Hauw Lam ber-seru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. "Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!"
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai di mana
kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
"Mengalahkan mereka tanpa membu-nuh barulah hebat," Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, pada-hal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda
berandalan itu mem-bunuh rakyat ibu kandungnya.
"Oho, mudah saja, kaulihat!" Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
"Hayo kalian maju, tunggu apalagi" Bukankah golok kalian sudah terhunus" Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada kambing untuk di-sembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!" Ia menantang dengan cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan di punggung! Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang se-cara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah itupun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa maka kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan" Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
"Cring-cring-trang-traaanggg....!" Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba--tiba lenyap dari tempatnya. Cepat me-reka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusung-kan perut, akan tetapi sekarang tangan-nya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa golok buruk bentuk-nya itu ternyata terbuat daripada logam yang ampuh dan terpilih.
"Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu" Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!"
Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke
depan. Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 55
tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata ber-gulung-gulung menyambut
mereka. Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok ter-lempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek.
Dalam se-kejap mata saja tujuh orang itu tida hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, "Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang."
Hauw Lam tertawa akan tetapi se-belum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan
menghardik, "Masih banyak cakap lagi" Kalian ini orang-orang Khi-tan yang tidak baik!
Lekas pergi dan tinggalkan kuda hitam!"
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menter-jemahkan ucapan ini.
Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata,
"Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan kepada kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda persahabatan. Bagai-mana kami berani meninggalkannya di sini" Hal ini berarti akan hilangnya nya-wa kami sebagai penggantinya!"
"Huh! Siapa peduli nyawa anjing ka-lian" Katakan saja kepada Ratumu bah-wa yang
mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!"
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lan-cang, terlalu berani. Tadi berani meng-hina dan memandang rendah Bu-tek Siu--lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi! Apakah yang
di-andalkan dara ini maka bersikap sede-mikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan atas" Kepandaian-nya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai kini menem-pel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia me-rasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu"
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah Si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, "Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...."
"Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!" bentak Kwi Lan tidak sabar lagi. Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya,
"Apa" Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?"
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih ter-tempel rumput. "Betul...., betul....! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan...."
"Bedebah....!" Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kem-bali, sikapnya keren dan mulutnya membentak,
"Lekas pergi dari sini!"
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut se-batang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 56
berkelebat dan dengan persis membabat putus te-linga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya ke-girangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja men-jadi kaget dan kesakitan.
Sambil menu-tupi telinga kanan yang sudah tak ber-daun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
"Kami telah menerima pengajaran," kata Si Ompong sambil meringis, "harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...."
"Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?" Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong. "Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta" Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!"
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda, sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, ken-dalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya.
"Kuda bagus, kuda hebat....!" Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
"Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini."
"Siapa yang menginginkan kuda" Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.
"Apa" Bagaimana maksudmu?"
Kwi Lan tersenyum mengejek. "Bo-doh! Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat"
Maksud Si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Ke dua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian--liong-pang?"
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk ta-ngan, "Wah,
bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali ke-pada orang lain."
"Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda in!, bisa saja kita ambil kembali."
Diam-diam Hauw Lam merasa kha-watir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
"Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia. Jin-cam Khoa-ong."
"Siapa sih Algojo itu?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya daripada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup, semua itu, betapapun gagahnya, tewas di bawah senjatanya yang mengeri-kan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 57
kekejamannya yang melewati batas, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!"
"Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!"
"Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini me-rupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak ang-gautanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai
perkumpulan besar, masih memandang kepada Thian-liong-pang...."
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kaukira aku takut untuk pergi sendiri" Sambil ber-kata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu
mening-galkan Hauw Lam yang berdiri melongo. Akan tetapi karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apa-lagi menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan.
Kwi Lan me-narik-narik kendali kuda sambil mem-bentak,
"Kau juga hendak mogok" Kuda si-alan! Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah...., kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam" Apa kau marah kepadaku" Aku sama sekali tidak takut, hanya aku heran menyaksikan keberanian-mu menentang semua tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu.... kenapa repot-repot amat"
Lebih baik kautunggangi dia, kan enak?"
Watak Kwi Lan memang aneh, agak-nya ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa juga men-jadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah mengenal duka mau-pun takut. Melihat pemuda itu mengham-piri dan wajahnya sungguh-sungguh, ia tersenyum. "Aku belum pernah menung-gang kuda!" katanya.
Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda" Benar-benar luar biasa sekali ini. "Belum pernah" Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau ditunggangi orang yang takut-takut me-nunggang kuda."
"Aku memang belum pernah menung-gang kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut" Kaulihat saja!" Sekali menggerak-kan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak apabila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.
"Ah, keliru kalau begitu menunggang-nya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"
"Siapa bilang tidak bisa" Kaulihat!" Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari cepat. Kwi Lan terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan berdiri!
Hauw Lam sudah mengejar dan me-megang kendali kuda, mengeluarkan suara menyuruh
berhenti. Setelah kuda berhenti, ia menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri di atas punggungnya" Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Be-ginilah cara menunggang kuda. Lihat, kuberi contohnya!"
Karena memang Kwi Lan seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka
pelajaran menunggang kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Ber-angkatlah kedua orang muda itu melaku-kan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda sedangkan
Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pe-muda itu berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah. Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw Lam duduk di belakangnya di atas pung-gung kuda. Hauw Lam juga
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 58
menuruti kehendaknya sehingga dalam waktu bebe-rapa hari saja melakukan perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya ini.
*** Kota Yen-an terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shen-si.
Kota ini cukup besar dan ramai dan dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han yang kini sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan Sung.
Kerajaan Hou-han dahulu terkenal sebagai kerajaan yang kecil tapi amat kuat. Terutama sekali ketika seorang di antara panglima perangnya adalah mendiang Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai mengatur siasat perang. Setelah jenderal ini mengundurkan diri keadaan kerajaan mengalami kemunduran pula. Akan tetapi keadaannya masih amat kuat karena beberapa tahun kemudian di dalam istana kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, seorang wanita sakti yang menjadi "tante girang" di dalam istana mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para panglima muda yang tampan, Di samping Tok-siauw-kwi (ibu
kandung Suling Emas) ini terdapat pula selir raja yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk, Siang-mou Sin-ni Coa Kim Bwee. Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti ini tidak ada kerajaan makin mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara Kerajaan Sung menjatuhkan kerajaan kecil ini.
Tokoh-tokoh yang dikalahkan biasanya kalau tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul dan merupakan kelompok yang menentang si Pemenang secara diam-diam. Demiklan pula
keadaan di bekas Kerajaan Hou-han ini. Orang--orang yang memiliki ilmu kepandaian lalu mengadakan persatuan dan bersembunyi di balik papan nama perkumpulan menjadi golongan dunia hitam yang diam-diam mencari kesempatan untuk melawan atau setidaknya
merongrong pemerintahan yang tak disukainya. Di antara perkumpulan-perkumpulan
semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan terbesar, bahkan boleh dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini adalah karena bekas para panglima dan tokoh Kerajaan Hou--han banyak yang menggabungkan diri dalam perkumpulan ini. Namun karena kesempatan untuk melawan pemerintahan Sung tidak ada, apalagi setelah para panglima yang benar-benar berjiwa pa-triotik meninggal dunia, jiwa perkumpul-an Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat. Dasar yang semula patriotik tadi-nya terdorong setia kepada kerajaan berubah, berubah menjadi dasar dunia hitam, dan tujuan yang menyeleweng jauh terdorong oleh nafsu angkara murka untuk menguasai dunia, harta benda, nama besar dan kemenangan mengandal-kan kekuatan.
Sisa para panglima Hou-han melihat ini sebanyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di dusun-dusun dan pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak Thian-liong-pang seluruhnya dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang menjadi Ketua Thian-liong-pang adalah seorang bekas pendeta yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti).
Pendeta yang berasal dari barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia hitam dan biarpun jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah asuhannya, Thian-liong-pang menja-di perkumpulan yang amat kuat. Semua anggauta Thian-liong-pang rata-rata digembleng ilmu silat tinggi. Apalagi murid kakek itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa. Murid-murid kepala sebanyak dua belas orang sedemikian terkenalnya di dunia kang-ouw sehingga tokoh-tokoh yang besar sekalipun tidak akan berani memandang rendah Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) dari Thian-liong-pang! Dua belas orang murid kepala yang menjadi murid kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah mewarisi kepandaian kakek itu menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah ketenaran mereka adalah senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti).
Oleh karena Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu tua dan pikun, juga sudah mulai lemah karena tuanya, maka sebagai penggantinya ditunjuk muridnya yang paling tua, seorang laki-laki Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 59
tinggi besar bercambang bauk yang bertenaga besar seperti gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Tenaga Besar) bernama Ma Kiu. Ma Kiu ini dulunya seorang jagal babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi anggauta Beng-kauw. Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi anggauta Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takutpula akan hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia melarikan diri ke utara. Di Yen-an ia memasuki Thian-liong-pang, berhasil menarik hati ketuanyadan menjadi muridnya. Karena memang tingkatnya sudah tinggi, maka ia segera menduduki seorang diantara murid kepala yang lihai, bahkan kemudian terpilih menjadi murid nomor satu dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti gurunya yang sudah tua, yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang!
Gedung besar yang menjadi markas Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an.
Agak janggal nampaknya bahwa jalan besar dimana gedung ini berdiri kelihatan sunyi, bahkan gedung itu jauh dari tetangga. Namun orang tidak akan merasa heran kalau
mendengar bahwa para tetangga yang tadinya tinggal dekat gedung itu berangsur-angsur diri sehingga rumah-rumah kosong di sekitar jalan itu merupakan daerah yang dianggap tidak aman bagi penduduk Yen-an. Hal ini dipergunakan oleh Thian-liong-pang untuk memperluas markas mereka dengan membeli murah secara paksa rumah-rumah dan pekarang-an yang ditinggalkan.
Pada hari pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang, keadaan di situ lebih ramai diripada biasanya. Banyak tamu hilir mudik mengunjungi Thian-liong-pang dan para penduduk Yenan hari itu mera-sa ketakutan selalu karena di kota Yen-an berkeliaran banyak orang-orang aneh dan sikapnya menyeramkan. Karena itu biarpun tidak tahu pasti, namun sudah dapat menduga bahwa para tamu luar kota yang hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah tamu dari Thian-liong-pang dan tentulah terdiri dari bukan orang baik--baik. Memang dugaan ini tepat.
Sebagian besar yang datang mengunjungi Thian-liong-pang adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lin dan kang-ouw (hutan lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok, bajak, gerombolan-ge-rombolan yang mengabdi kepada hukum rimba mengandalkan
kekuatan untuk me-lakukan perbuatan apa saja yang mereka kehendaki.
Hari itu semenjak pagi sekali telah banyak orang-orang yang dandanannya aneh-aneh memasuki kota Yen-an. Men-jelang siang hari, orang-orang yang de-ngan hati berdebar tidak enak menonton keramaian dan iring-iringan tamu ini, tertarik sekali melihat dua orang muda yang keadaannya tidak kalah anehnya daripada orang-orang yang menyeramkan lainnya, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak kelihatan menyeram-kan. Bahkan sebaliknya, dara remaja yang menunggang kuda hitam itu, biarpun pinggangnya digantungi pedang dan ga-gang pedang indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati dan sama sekali tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang pria yang memandangnya.
Adapun teman-nya, seorang pemuda remaja pula, juga berwajah tampan dan matanya
bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum. Bahkan ketika me-masuki kota Yen-an, pemuda ini dengan wajah berseri lalu meniup suling sambil berjalan di samping kuda hitam! Seba-tang golok besar dengan sarung pedang aneh, tidak kelihatan menyeramkan se-baliknya malah tampak lucu, seakan-akan, pemuda itu sengaja membadut dan
menggantungkan golok untuk main-main saja.
Wajah Kwi Lan, dara yang menung-gang kuda hitam, kelihatan gembira pula. Setelah beberapa pekan lamanya melaku-kan perjalanan bersama Hauw Lam, ia benar-benar
mengenal watak pemuda ini sebagai seorang pemuda yang selalu gembira, jenaka, ugal-ugalan namun pada dasarnya gagah perkasa, tak kenal takut, berbudi dan.... selalu mengalah kepada-nya. Harus dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang lain, apalagi dengan orang mudanya. Teman satu-satunya hanyalah Suma Kiat, dan ia tidak suka kepada suheng ini, yang kadang-kadang memperlihatkan sikap terlalu manis berlebih-lebihan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 60
kepadanya akan tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh. Tidak mengheran-kan apabila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan dalam waktu yang tidak lama itu mereka telah menjadi sa-habat yang akrab. Sukar bagi seseorang untuk tidak ikut bergembira apabila me-lakukan perjalanan dengan Hauw Lam. Apalagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya memang lincah, jenaka dan suka bergembira.
Melihat betapa temannya memasuki kota Yen-an sambil meniup suling dan dengan lenggang dibuat-buat seperti seorang penari atau seperti orang berbaris, Kwi Lan tersenyum geli. Ia maklum bah-wa kedatangan mereka ke Yen-an bukan-lah sekedar pelesir, melainkan untuk mencari pengalaman dan lebih mendekati petualangan karena yang akan mereka masuki adalah sarang penjahat atau dunia hitam yang amat berbahaya! Akan tetapi melihat pemuda itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, ia menjadi kagum dan juga menjadi gembira.
Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang mudanya yang tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari belakang sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi melihat bahwa dua orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir kota, sebelum dekat mereka yang mengikuti sudah ber-henti dan membalikkan tubuh meninggal-kan tempat itu.
Setelah tiba di depan rumah gedung besar yang dihias arca singa batu dan papan nama perkumpulan itu, Kwi Lan menghentikan kudanya dan Hauw Lam menghentikan tiupan
sulingnya. Dari luar gedung saja sudah terdengar suara ba-nyak orang di sebelah dalam.
Beberapa orang penjaga menyambut mereka dengan menjura dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang mukanya penuh cambang bauk dan yang kelihatan terke-jut sekali melihat dua orang muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya ter-kejut itu berubah merah dan ia segera menjura dan berkata.
"Ah, kiranya Nona Mutiara Hitam dan Tuan.... Berandal yang datang berkunjung! Silakan masuk....!" Melihat sikap Si Bre-wok ini, teman-temannya juga cepat memberi hormat kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan mendengar nama julukan pemuda tampan itu, diam-diam
mereka merasa geli. "Ha-ha-ha!" Kiranya Si Ouw Kiu! Eng-kau masih hidup" Syukurlah kalau pan-jang umur.
Kami datang memenuhi janji hendak menonton keramaian sekalian menyampaikan
sumbangan kepada ketua baru Thian-liong-pang!" Teman-teman Ouw Kiu tercengang
mendengar ucapan dan menyaksikan sikap pemuda ini. Bica-ranya begitu seenaknya seperti kepada seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran melihat betapa Ouw Kiu yang ter-kenal jagoan di antara mereka, begitu menaruh hormat yang berlebihan terha-dap seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang masih amat muda. Kalau semua temannya terheran, adalah Ouw Kiu yang menjadi merah mukanya. Peris-tiwa di dalam hutan dua pekan yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan Thian-liong-pang dan para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal itu merendahkan nama besar per-kumpulan. Oleh karena itulah maka keti-ka tadi ia menyebut nama Mutiara Hi-tam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu bahwa dua orang inilah yang mem-bunuh seorang anak murid Thian-liong-pang.
Dengan menahan kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.
"Ah, Ji-wi ternyata memegang janji. Silakan masuk! Nona, biarlah orang-orang kami merawat kuda Nona itu. Silakan turun dan masuk ke dalam!"
"Mana bisa barang sumbangan diting-galkan di luar?" Kwi Lan berkata.
"Barang sumbangan...." Apakah mak-sud Nona....?"
Kwi Lan tersenyum. "Justeru kuda inilah barang sumbangannya untuk disam-paikan kepada Ketua Thian-liong-pang!"
"Ah.... kuda bagus.... kuda hebat....!"
Ouw Kiu tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa kuda yang besar dan memang he-bat ini akan dipersembahkan kepada ke-tuanya. Kiranya dua orang muda yang lihai ini telah merendahkan diri dan hen-dak menyenangkan hati ketuanya dengan hadiah seekor kuda pilihan, pikirnya.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 61
Akan tetapi jangan kira bahwa kalian akan dapat lolos dari sini, biarpun telah menyogok dengan seekor kuda.
Melihat Ouw Kiu memuji-muji sambil menjura.... seorang lain memberi isyarat dengan kedua tangan mempersilakan me-reka dan yang lain-lain juga menjura. Kwi Lan lalu berkata,
"Hayo, Berandal kita masuk saja. Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun tentu suka mencicip arak wangi Thian-liong-pang!"
"Hayo, tunggu apa lagi?" Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian ia me-nempelkan suling pada mulutnya dan me-langkah maju sambil meniup suling. Ada-pun Kwi Lan tanpa mempedulikan gerak protes mulut, mata, dan tangan para penjaga sudah menarik kendali dan me-maksa kuda hitamnya untuk menaiki anak tangga, terus menjalankan kudanya memasuki ruangan depan menuju ke dalam!
Tentu saja para penjaga kaget dan bergerak hendak mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik kepada teman-teman-nya dan kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat karena gentar dan sebentar merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa dua orang itulah yang membunuh seorang kawan mereka.
"Jangan sembarangan bergerak, mere-ka lihai sekali!" bisik Ouw Kiu. "Biar-kan Pangcu yang membereskan mereka!" Setelah berkata demikian, melalui pintu samping Ouw Kiu
mendahului masuk dan diam-diam melaporkan kepada pimpinan Thian-liong-pang.
Pada waktu itu, Kakek Sin-seng Losu masih duduk di kursi ketua sambil me-lenggut mengantuk. Akhir-akhir ini, ka-kek yang sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut dan banyak me-ngantuk. Kini ia telah mengenakan pa-kaian khusus untuk upacara. Jubahnya baru dan indah di bagian dadanya terda-pat gambar sebuah timbangan. Inilah tanda bahwa dia sudah meninggalkan ke-dudukan ketua dan kini menjadi penasihat yang mempertimbangkan dan memutuskan segala macam perkara yang tak dapat diputuskan oleh ketua baru. Di sebelah kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang jagal babi itu.
Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun ini keren, apalagi jeng-got dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya melotot lebar seakan-akan sela-lu mengeluarkan sinar mengancam. Di sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu calon ketua baru ini duduk atau berdiri sebelas- orang adik-adik seperguruannya yang ter-diri dari bermacam-macam orang. Ada Hwesio gundul, ada tosu, ada yang seper-ti petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek Sin-seng Losu berdiri seorang petugas yang mem-bawa bendera Thian-liong-pang, bergam-bar naga terbang.
Para tamu yang lebih lima puluh itu semuanya sudah memenuhi ruangan, du-duk di bangku-bangku memutari meja bundar yang sudah disediakan. Pelayan-pelayan sibuk melayani mereka dengan minuman dan makanan. Saat itu, upacara sudah hendak dilakukan, akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan tak senang hatinya.
Kemudian ia berbisik kepada suhunya yang masih melenggut, setengah tidur setengah bersamadhi.
"Suhu, tamu sudah lengkap, Apakah tidak lebih baik dilakukan sekarang upacaranya?"
"Hemmm....?" kakek itu membuka mata malas-malasan, kemudian menoleh ke arah kirinya, di mana terdapat sebuah bangku yang kosong. "Dia belum datang?" Ma Kiu mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya. "Suhu, sudah sejam lebih kita menanti, akan tetapi Siauwte (Adik Seperguruan Kecil) masih juga belum muncul. Dia, suka pergi ber-buru binatang, suka pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak akan datang karena lupa akan urusan hari ini."
"Kita tunggu sebentar lagi." bantah Si Kakek. "Betapapun juga, Siangkoan Li adalah anak tunggal mendiang puteraku, dia cucuku satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang sudah tidak ada, sepatut-nya dia menyaksikan upacara penting hari ini."
Biarpun di dalam hatinya merasa mendongkol sekali terhadap Siangkoan Li yang
memperlambat upacara pengangkat-annya menjadi Ketua Thian-liong-pang namun Ma Kiu tidak berani membantah kehendak gurunya. Siangkoan Li adalah cucu Sin-seng Losu, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 62
semenjak kecil anak ini sudah ditinggal mati ayah bun-danya yang tewas dalam pertandingan.
Kemudian ia dididik oleh kakeknya dan biarpun ia cucu kakek ini, namun ia juga murid, maka dua belas orang murid ke-pala atau lebih terkenal Dua Belas Naga Thian-liong-pang itu memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal Siangkoan Li masih amat muda, baru dua puluh tahun usianya.
Pada saat itulah Ouw Kiu si Brewok datang melapor. Karena Sin-seng Losu sudah melenggut lagi di atas kursinya, Ouw Kiu lalu melapor kepada Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang kedatangan dua orang muda tadi. Tentu saja Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali, mendengar bahwa dua orang muda yang mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal dan telah membunuh
seorang anggauta Thian--liong-pang berani muncul. Akan tetapi oleh karena saat
pengangkatannya seba-gai ketua sudah tiba, ia tidak ingin urus-an yang amat penting artinya bagi diri-nya itu terganggu atau terkacau keribut-an, maka ia menyabarkan hatinya yang panas. Apalagi ketika mendengar laporan Ouw Kiu bahwa dua orang itu datang untuk menonton upacara dan membawa hadiah seekor kuda yang bagus. Maka dia segera berdiri dan menyambut. Melihat kakak tertua ini bangkit, otomatis sebe-las orang adik seperguruan itu bergerak pula dan mengikutinya menyambut.
Terdengar suara nyaring kaki kuda menginjak-injak lantai dan para tamu serentak menengok, disusul suara mereka riuh membicarakan tamu yang baru mun-cul. Tentu saja cara Kwi Lan memasuki ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar berbulu hitam, amat menarik perhatian dan selain mendatang-kan kaget, juga heran. Akan tetapi di-samping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum karena tidak saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya lebih menarik lagi, cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi kemerahan, bibir manis tersenyum simpul. Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya, lalu menjura ke arah tuan rumah, diam-diam ia memperhatikan Ma Kiu dan sebelas orang adik seperguruan-nya. Biarpun belum pernah bertemu de-ngan mereka, namun jumlah ini menim-bulkan dugaan di hati bahwa tentu inilah yang disebut Cap-ji-liong yang ditakuti orang itu. Ia tersenyum dan berseru de-ngan suara nyaring.
"Kami, Dewi Mutiara Hitam dan Dewa Berandal...." Sampai di sini Hauw Lam menoleh kepada Kwi Lan yang tersenyum pula lalu melirik kepada semua tamu yang mengeluarkan seruan heran men-dengar sebutan dewa dan dewi tadi, ke-mudian melanjutkan setelah keadaan men-jadi sunyi senyap karena semua orang memasang telinga penuh perhatian untuk mendengarkan apa yang ia katakan selanjutnya, "..... secara kebetulan lewat di Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya hendak mengadakan upacara pengangkatan ketua baru. Maka kami ingin sekali menonton keramaian dan Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan memberi hadiah kuda hitam-nya untuk Thian-liong-pang!"
Mendengar dirinya disebut-sebut se-bagai Sang Dewi Kwi Lan mengerutkan alisnya dan cemberut, melompat turun dari kuda dan berkata, "Harap jangan dengarkan obrolan Berandal ini! Kuda ini memang hendak kusampaikan kepada Thian-liong-pang, akan tetapi bukan ha-diah dariku, melainkan hadiah dari Khi-tan untuk Thian-liong-pang!"
Mendengar ucapan Kwi Lan berubah air muka dua belas orang "naga" dari Thian-liong-pang itu. Ma Kiu segera ber-kata, suaranya berubah ramah, "Ah, ki-ranya Ji-wi adalah utusan dari Pak-sin-ong" Sungguh merupakan penghormatan besar sekali terhadap Thian-liong-pang dan salah paham yang terjadi beberapa pekan yang lalu adalah kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi sudi memaaf-kan."
"Aku tidak tahu apa yang kaumaksud-kan." kata Kwi Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw Lam. "Akan tetapi yang jelas, kuda ini bukan sembarangan kuda, melainkan kuda keturunan kuda pribadi Ratu Khitan. Harap Thian-liong-pang suka menerima. anugerah dari Ratu Khitan ini."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 63
Kwi Lan bicara sejujurnya, karena di dalam hati ia tetap condong untuk mem-bela Ratu Khitan yang menurut penutur-an guru dan bibinya adalah ibu kandung-nya sendiri. Akan tetapi Ma Kiu men-dengar ini, mengangguk-angguk dan ber-tukar pandang dengan sebelas orang saudaranya.
"Kami mengerti.... kami mengerti dan terima kasih banyak.... katanya. Tentu saja Kwi Lan tidak mengerti apa yang ia maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip kepadanya, ia pun diam saja. Ia lalu melompat turun dari kuda-nya dan memberikan kendali kuda kepada Ma Kiu. Calon ketua itu menggapai se-orang anggauta Thian-liong-pang yang tinggi besar.
"Bawa kuda ini ke kandang dan pe-lihara baik-baik beri makan minum se-cukupnya!"
Orang tinggi besar itu memberi hor-mat dan menerima kendali. Akan tetapi begitu ia menarik kendali, kuda hitam itu yang mencium bau orang baru dan merasai tarikan keras, segera mering-kik, membuka mulut dan menerjang orang tinggi besar itu! Si Tinggi Besar terkejut dan berusaha mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit sehing-ga ia berkaok-kaok kesakitan dan ketika kuda itu melepaskan gigitannya, daging pundak berikut baju sudah robek dan da-rah membasahi semua bajunya! Tentu saja anggauta ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya. Hauw Lam tertawa bergelak. "Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda sembarangan!"
"Hemm, memang kuda pilihan. Twa-suheng, biarlah aku yang membawanya ke kandang."
Seorang laki-laki berusia ham-pir empat puluh tahun, bertubuh kecil kurus, melangkah maju, Dia ini adalah seorang di antara Cap-ji-liong dan begitu Ma Kiu menganggukkan kepala, Si Kurus sudah menyambar kendali kuda, lalu tu-buhnya melayang naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik dan meronta-ronta, namun dengan menjepit-kan kedua kaki ke perut kuda, Si Kecil Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot kendali kuda. Kuda hitam makin marah, melonjak-lonjak dan meloncat-loncat tinggi menggerak-gerak-kan punggungnya. Kalau orang biasa ten-tu akan terlempar dari punggung kuda, akan tetapi ternyata Si Kecil Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya mendoyong ke sana ke mari, namun ia dapat duduk tegak dan tetap. Akhirnya, setelah hidung dan bibir kuda mengeluarkan darah karena tertarik kendali, baru kuda hitam itu kelelahan dan menurut saja disuruh berjalan keluar dari dalam ruangan tamu!
Ma Kiu lalu mempersilakan dua orang tamu mudanya untuk duduk di bagian depan. Hauw Lam berbisik. "Mereka mengira bahwa kita ini tokoh-tokoh ke-percayaan Jin-cam Khoa-ong dan me-mang biasanya orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan sambil me-nyamar dan merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang pemerintah-an Khitan. Tentu Si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi banyak tamu, maka ia bilang mengerti!"
Pemu-da itu tertawa dan Kwi Lan juga ter-tawa geli. Pelayan datang dengan cepat membawa minuman arak wangi dan masakan-masakan lezat dan mahal. Kare-na memang sudah lapar dan sudah lama tidak bertemu makanan lezat, Hauw Lam dan Kwi Lan tidak sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu adalah se-orang ahli makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam masakan yang datang membanjir! meja mereka Hauw Lam tiada hentinya mengoceh untuk memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.
"Ini kodok goreng istimewa. Kodok macam ini hanya terdapat dalam rawa-rawa dan daerah selatan saja, dagingnya empuk, gurih dan harum sedap. Maka harganya pun amat mahal.
Sayang ini yang jantan, kalau yang betina lebih lezat. Akan tetapi kodok betina jarang disembelih orang karena dibutuhkan te-lurnya. Hanya Kaisar yang suka menyu-ruh buatkan kodok betina goreng!" Me-mang luar biasa masakan kodok goreng itu. Berbeda dengan swike biasa, kodok ini digoreng berikut kulitnya yang loreng-loreng, akan tetapi justeru kulitnya itu yang enak, kemripik seperti krupuk udang. Juga berbeda dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan, tidak ke-ras.
"Wah, ini sop buntut menjangan na-manya! Dimasak sop dengan campuran kacang polong dan jamur kuning. Hebat! Tapi kalau terlalu banyak membuat badan panas dan darah Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 64
mengalir cepat. Sedikit cukup untuk menghangatkan tu-buh. Dan ini masak tim kaki burung raja air! Kau tahu apa itu burung raja air" Bebek! Ini tim kaki bebek. Enak kenyil-kenyil dan gurih. Wah, yang di sana itu panggang ayam angkasa. Sedap!"
"Apa itu ayam angkasa?" Kwi Lan bertanya, gembira oleh penjelasan yang lucu ini.
"Ayam angkasa" Masa tidak tahu" Burung dara! Enak juga, cobalah."
Sampai kenyang sekali perut Kwi Lan karena pandainya Hauw Lam memper-kenalkan setiap masakan sehingga tak dapat ia bertahan untuk tidak mencicipi-nya.
"Eh, ini masakan apa" Mengapa dagingnya bundar-bundar tapi bukan bakso" Licin....!"
Hauw Lam mengulur leher menjenguk, lalu mengorek dengan sumpit untuk me-meriksa.
"Ini...." Waaahh.... gila amat! Ini.... ini bukan makanan wanita! Celaka! yang begini dikeluarkan. Sialan benar!" Ia mengomel panjang pendek tanpa men-jawab pertanyaan Kwi Lan.
Gadis itu tentu saja menjadi tertarik sekali, "Masakan apa sih" Kenapa bukan makanan wanita?"
Heran sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi merah dan ia tampak ga-gap-gugup dalam menjawab. Padahal biasanya pemuda ini paling pandai bicara. "Masakan.... waaahhh, bagaimana ini...." Ini masakan.... masakan....hemmmm....!" Karena mereka berdua tadi bicara keras tanpa mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan terakhir ini pun terde-ngar pula oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka mulai tertawa-tawa geli menyaksikan sikap Hauw Lam ini.
"Ih, kenapa kau" Sudah mabokkah" Masa menjawab masakan saja begitu sukar" Kalau tidak mengenal, bilang saja terus terang, mengapa susah-susah amat?" Kwi Lan menegur.
"Siapa bilang aku tidak mengenal ma-sakan ini" Semua masakan di dunia per-nah kumakan.
Aku pernah memasuki dapur kaisar, pernah ikut dalam perjamu-an Beng-kauw di selatan! Ini masakan.... daging kambing saus tomat!"
"Uhh, hanya daging kambing saja ke-napa tidak dari tadi menyebutnya" Kau bohong
agaknya! Kalau benar hanya da-ging kambing, mengapa bentuknya bulat seperti ini" Dan mengapa pula tadi kau hilang ini bukan makanan wanita?"
"Ha-ha-ha-ha! Itu bukan daging kam-bing, melainkan.... peluru kambing. Ha-ha-ha!" Riuh rendah suara ketawa itu.
Hauw Lam dan Kwi Lan menengok. Sejak tadi mereka sudah tahu bahwa tidak jauh dari meja mereka, dalam ja-rak lima meter, terdapat enam orang anggauta pengemis baju bersih yang duduk mengelilingi meja dan sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Enam orang
pengemis itu rata-rata sudah ber-usia enam puluh tahun lebih, hanya yang dua inilah mereka masih muda dan kini dua orang inilah yang tertawa-tawa oleh ucapan seorang di antara mereka tadi. Pada saat itu, Kwi Lan dengan sumpit-nya telah menusuk dua potong daging kambing itu yang memang berbentuk bundar telur sebesar telur ayam.
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya kambing jantan yang memiliki peluru itu, kambing betina tentu saja tidak punya.
Akan tetapi keliru kalau orang bilang wanita tidak boleh mema-kannya, malah sebetulnya itu makanan wanita, apalagi wanita cantik....! Ha-ha-ha-ha!" komentar pengemis muda yang ke dua dan kembali dua orang yang duduknya menghadap kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa sambil terang-terangan memandang kepada gadis itu.
Akan tetapi, mendadak dua orang pengemis muda yang sedang tertawa berkakakan itu terhenti ketawanya sete-lah mengeluarkan suara "ha-haaauupp!" dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik leher dan tangan kanan menun-juk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka yang ternganga. Tanpa diketahui orang lain saking cepatnya gerakan tangan Kwi Lan, dua buah daging bulat yang tadi berada di ujung sepasang sum-pitnya kini telah menyusup masuk ke tenggorokan dua orang itu melalui mulut yang tadi terbuka lebar-lebar.
Empat orang pengemis lain yang mengira bahwa dua orang temannya ini, tersedak makanan sibuk menolong, menepuk-nepuk punggung mereka dengan keras sambil bertanya-tanya.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 65
Akan te-tapi dua orang itu hanya dapat menge-luarkan suara seperti orang gagu karena kerongkongannya tersumbat. Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk dan meloncat keluarlah daging bulat seperti telur ayam itu, sedangkan seorang lagi, karena daging itu belum keluar dan ia merasa napasnya hampir putus, dengan nekat lalu memasukkan sumpit ke mulut-nya dan mendorong daging di kerong-kongannya itu terus masuk! Akal ini menolong juga dan terhindarlah ia dari-pada bahaya maut tercekik.
Kwi Lan yang telah memberi hukum-an kepada dua orang pengemis muda yang berani
mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi merah. Tidak hanya ka-rena marah, juga karena jengah setelah ia mendengar apa sebetulnya daging bulat-bulat itu. Diam-diam ia memaki tuan rumah yang mengeluarkan hidangan macam itu. Gadis ini memang masih asing dengan segala masakan-masakan kota, apalagi masakan-masakan yang begitu mewah.
Semenjak kecil ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat Bibi Bi Li. Kini untuk mengalihkan perha-tian dari masakan yang dianggapnya tidak pantas itu, lalu bertanya kepada Hauw Lam yang masih tertawa-tawa, mentertawakan keadaan dua orang pengemis tadi.
"Dan ini, apakah ini" Untuk apa" Kelihatannya seperti darah."
"Bukan darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu menambah asin atau manis masakan."
Sementara itu, dua orang pengemis muda yang sudah bebas daripada daging-daging bulat, kelihatan marah-marah, ber-diri dan memandang ke arah meja Kwi Lan sambil melotot.
Empat orang kawan-nya yang lebih tua juga sudah menengok semua dan mereka bicara berbisik-bisik satu kepada yang lain, wajah mereka mengancam. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan apa yang akan me-reka lakukan terhadap dua orang muda itu tanpa mengganggu jalannya pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh biasa saja yang datang mewakili penge-mis golongan hitam, maka tentu saja mereka segan untuk membuat gaduh dan kacau dalam pesta perayaan pengangkat-an Ketua Thian-liong-pang. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk me-nanti sampai upacara berakhir, barulah akan memberi hajaran kepada dua orang muda kurang ajar itu.
Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar, bentakan suara laki-laki mengiringi tangis wanita.
Semua tamu menengok dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berjubah seperti pendeta, akan te-tapi rambutnya panjang riap-riapan dan mukanya seperti seekor singa, matanya lebar dan bersinar liar. Laki-laki berusia lima puluhan tahun ini memegang seba-tang cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia menggiring dua belas orang wanita muda-muda dan cantik-cantik seperti se-orang penggembala menggiring ternak saja.Beberapa orang di antara wanita inilah yang mengeluarkan suara tangisan, dan yang lain berjalan dengan muka pucat dan mata penuh kecemasan.
Begitu memasuki ruangan itu, kakek ini tertawa dan wajahnya menjadi makin menyeramkan.
Rambutnya yang riap-riap-an dan terhias bunga-bunga cilan, sema-cam bunga yang wangi, bergerak-gerak ketika ia tertawa. Melihat tamu ini,Thai-lek-kwi Ma Kiu berubah air mukanya, menjadi girang dan segera turun sendiri menyambut dan menjura.
"Wah, kiranya sahabat Ci-lan Sai-kong yang datang berkunjung. Sungguh merupakan
kehormatan besar bagi kami."
"Huah-ha-ha-ha! Thian-liong-pang ter-kenal dengan Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) yang sungguh gagah perkasa. Kini yang tertua di antaranya akan menjadi ketua, benar-benar menambah keangkeran Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk memberi hormat kepada Sin-seng Losuhu, dan memberi selamat kepada Thian-liong-pang dengan ketua barunya, dan karena pinceng seorang miskin yang hanya suka mengumpulkan bunga-bunga harum maka pinceng hanya dapat mem-beri sumbangan dua belas tangkai bunga harum ini untuk hiasan kamar Dua Belas Naga dari Thian-liong-pang sehingga ka-mar mereka menjadi harum dan membuat mereka enak tidur. Ha-ha-ha!" Kemudian kakek itu membunyikan
cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawan-annya sambil membentak, "Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru kalian!" Karena agaknya sudah tahu akan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 66
kekejaman kakek itu, dua belas orang gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka.
Para tamu yang hadir terdiri dari orang-orang golongan hitam, maka peris-tiwa ini tidaklah mengherankan hati me-reka, malah banyak di antara mereka. tertawa-tawa dan terdengar komentar di sana-sini memuji dua belas orang gadis itu dan menyatakan betapa senangnya menerima sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi Ma Kiu dan adik-adik seperguruannya serta para anggauta Thian-liong-pang menganggap hal ini biasa dan sewajarnya saja. Akan tetapi karena saat itu adalah saat yang penting dan di situ terdapat banyak tamu, Ma Kiu merasa malu dan jengah juga. Ia kembali menjura dan berkata.
"Ah, Saudara Ci-lan Sai-kong mengapa begitu sungkan" Kami tidak mengharap-kan
sumbangan. Kedatanganmu saja sudah cukup menggirangkan hati kami!" Sung-guhpun tidak menolak secara berterang, namun kata-kata ini menyatakan ketidak-senangan hati dengan sumbangan itu, karena diberikan bukan pada saatnya yang tepat.
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya yang kaku. "Sudah kukatakan tadi, pinceng orang miskin dan hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa para pimpinan Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan pinceng maka
pinceng membawa dua belas tang-kai kembang ini. Jangan Sicu (Tuan yang Gagah) khawatir, bunga-bunga ini masih murni, datang dari keluarga baik-baik dan sengaja kupilih untuk Sicu sekalian!"
Pada saat itu, Si Tua Renta Sin-seng Losu yang tadinya duduk melenggut mengantuk di atas kursi, kini tiba-tiba nampak segar, dan tidak mengantuk lagi. Ia duduk tegak di kursinya, matanya yang setengah lamur itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua belas orang gadis yang berlutut di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi ia berkata,
"Sumbangan paling berharga diberikan orang, kenapa banyak rewel" Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku!"
"Huah-ha-ha-ha!" Ci-lan Sai-kong ter-tawa bergelak sambil berdongak sehingga perutnya yang besar bergerak-gerak turun naik, "Sin-seng Losu benar-benar menga-gumkan sekali.
Orang boleh tua tapi hati harus tetap muda! Kalau Losuhu meng-hendaki, lain kali boleh pinceng kirim beberapa tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan lebih harum!"
"Heh-heh, terima kasih.... ini sudah cukup.... banyak ...."
Biarpun dia sendiri seorang yang tidak pantang melakukan segala macam mak-siat, namun sebagai calon ketua perkum-pulan besar, Ma Kiu merasa malu juga mendengar percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah agar suhunya yang sudah pikun dan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan Sai-kong itu tidak menge-luarkan omongan-omongan yang tidak patut lagi, ia segera menjura.
"Banyak terima kasih atas sumbangan-mu, kami persilakan duduk dan menik-mati hidangan sekadarnya!" sambil me-nyuruh adik-adik seperguruannya memba-wa para gadis itu ke belakang, ia sendiri lalu mengantar tamu ini ke tempat du-duknya.
Hauw Lam mengerutkan alisnya, mu-kanya yang tampan dan biasa bergembira itu berubah sama sekali, sepasang mata-nya memancarkan sinar kemarahan Kwi Lan melihat hal ini dan merasa heran. Mengapa pemuda, ini marah-marah"
"Kau kenapa?" Ia bertanya lirih.
"Kenapa" Hemm, tidakkah kaulihat mereka tadi....?" Hauw Lam menjawab dengan
pertanyaan pula. "Ci-lan Sai-kong itu, jai-hwa-cat terkutuk...."
"Apa itu jai-hwa-cat?"
Dalam kemarahannya, Hauw Lam berubah gemas dan mengomel. "Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa! Tidak mengenal masakan masih tidak aneh, akan tetapi seorang dara dengan kepan-daian seperti kau ini yang patut menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa itu jai-hwa-cat benar-benar bikin hati men-dongkol. Sekan-akan kau mempermainkan aku dan pura-pura tidak tahu!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 67
Kwi Lan makin heran melihat pemuda ini bertambah kemarahannya. "Eh, kau kenapa sih"
Mabok agaknya, ya" Aku benar-benar tidak tahu, kau marah-ma-rah. Hayo jelaskan, apa sih yang dinama-kan jai-hwa-cat itu" Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan menjijikkan, tapi ia seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang pendeta" Setahuku, pendeta suka memetik daun-daun dan menggali, akar-akar untuk obat. Memetik bunga (jai-hwa) untuk apa?"
"Kau benar bodoh, Mutiara Hitam !
Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan tetapi di balik kedoknya, ia pen-jahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan bunga adalah seorang gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan meme-tik bunga biasa, melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kaulihat dua belas gadis itu...."
"Hemm, mereka itu orang-orang tidak punya guna. Mereka mau saja dijadikan barang sumbangan. Perlu apa dipikirkan boneka-boneka hidup itu?"
"Mereka dipaksa!"
"Ih, aku tidak melihat mereka dipaksa. Mereka berjalan dengan sukarela sama sekali tidak melawan."
"Mereka orang-orang lemah, bagaima-na berani melawan?"
Kwi Lan mengangkat kedua pundak. Ia tetap tidak mengerti dan tidak mem-pedulikan nasib dua belas orang wanita tadi. Hauw Lam makin mendongkol. Ga-dis aneh yang telah
merampas hatinya ini agaknya selain berwatak luar biasa, juga, hatinya keras dan tidak mempeduli-kan nasib orang lain.
Tiba-tiba terjadi keributan kembali dan masuklah dari ruangan depan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih tinggi kurus dan wajahnya tampang sikapnya agung dan pakaiannya biarpun tidak baru, namun bersih dengan potongan pakaian pelajar. Di pinggang orang ini tergantung sebatang pedang. Begitu ma-suk, semua orang tahu bahwa pelajar tua ini sedang marah, sepasang matanya yang tajam mengeluarkan sinar. Ia lang-sung melangkah lebar ke dalam ruangan tamu, berhenti di depan Sin-seng Losu lalu menudingkan telunjuknya dan ber-teriak.
"Sin-eng Losu! Bagaimana pertang-gunganjawabmu terhadap Thian-liong-pang" Kulihat betapa Thlan-liong-pang berubah menjadi perkumpulan iblis yang jahat dan yang
mengotorkan nama kami para patriot Hou-han! Tadinya melihat muka mantumu, Siangkoan Bu yang gagah perkasa dan dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan benar, aku masih bersabar menyaksikan sepak terjangmu. Akan te-tapi setelah Siangkoan Bu meninggal, kau dan murid-muridmu makin merajalela melakukan kejahatan-kejahatan yang keji, menyeret nama bersih Thian-liong-pang sebagai tempat perkumpulan para patriot Hou-han menjadi perkumpulan bangsat-bangsat dan penjahat-penjahat!"
Mendengar ucapan ini Ma Kiu melompat bangun diturut sebelas orang adik seperguruannya.
"Heh, orang she Ciam! Engkau dahulu memang tokoh Thian--liong-pang, akan tetapi dengan kehendak-mu sendiri kau pergi mengundurkan diri sehingga kalau tidak ada Suhu kami, tentu Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur diperhina orang lain. Kini Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang besar, dihormati orang di dunia kang-ouw, dan kau berani datang bersikap kurang ajar terhadap Suhu" Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Ciam-sicu, mengingat engkau masih bekas pemimpin Thian-liong-pang dan mengingat akan hubungan kita yang lalu, biarlah kumaafkan kata-katamu yang kasar tadi." Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang. "Akan tetapi katakanlah mengapa datang-datang kau memaki dan marah-marah" Bukankah anak buahku sudah pula memberi kabar kepadamu dan memberi
undangan?" "Aku tidak peduli akan upacara peng-angkatan ketua baru, asal saja Thian-liong-pang dibawa ke jalan benar. Akan tetapi, aku sedang mengejar Ci-lan Sai-kong Si Penjahat Pemetik Bunga Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 68
yang terkutuk, yang telah menculik belasan orang gadis. Siapa kira, dua belas orang gadis itu diculiknya untuk diantarkan ke sini! Hayo menyangkallah kalau bisa! Bukankah Sai-kong keparat itu mengan-tarkan mereka ke sini sebagai sumbangan" Beginikah wataknya para pimpinan Thian-liong-pang sekarang" Begini rendah dan bejat?"
"He-heh, Ciam-sicu. Apa pun yang di-persembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik untuk ditolak. Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik orang lain. Memang kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan tetapi kalau kau menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu," Kembali Ketua Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran. Ia sebetulnya tidak takut terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah karena mengingat akan perhubungan me-reka yang lalu. Ciam Goan ini dahulu adalah seorang di antara pimpinan Thian--liong-pang dan terkenal aktif serta setia terhadap perkumpulan. Baru sepuluh tahun yang lalu, karena makin tidak suka akan sepak terjang pimpinan baru ia mengundurkan diri dan tidak pernah mencampuri Thian-liong-pang.
Baru sekarang ia tiba-tiba muncul dan marah--marah karena melihat betapa penjahat pemetik bunga yang dikejar-kejarnya itu memberikan gadis-gadis culikannya seba-gai sumbangan kepada pimpinan Thian-liong-pang!
"Sin-seng Losu! Kau masih mempunyai rasa malu, itu bagus. Lekas bebaskan dua belas orang gadis itu dan selanjutnya aku tidak akan mencampuri urusan Thian-liong-pang lagi karena semenjak saat ini, aku bersumpah takkan sudi lagi menginjak lantai ini!"
Mendengar kata-kata ini, Sin-seng Losu menoleh ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya jelas hendak menga-lah dan gerakan mukanya merupakan perintah agar murid-muridnya membebas-kan dua belas orang gadis sumbangan Ci--lan Sai-kong. Di dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya merasa mendongkol dan marah sekali. Mereka memang suka dengan
wanita-wanita cantik, akan tetapi bagi mereka amat mudah mendapatkan wanita cantik, baik dengan mengandalkan uang, kedudukan, maupun kepandaian dan tentu saja mereka tidak begitu kukuh,untuk menahan dua belas orang gadis tadi. Akan tetapi, sikap Ciam Goan amat merendahkan mereka dan kalau mereka mengalah, mereka merasa malu kepada para tamu.
Selain itu, mereka pun tahu bahwa gurunya mengalah hanya karena mengingat bahwa Ciam Goan ini dahulu bekas pemimpin Thian-liong-pang. Soal kepandaian, sungguhpun Ciam Goan cukup lihai, namun mereka tidak gentar meng-hadapinya. Karena inilah, Ma Kiu menja-di ragu-ragu untuk menyetujui sikap gurunya yang mengalah.
Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras dan Ci-lan Sai-kong sudah me-lompat bangun menghadapi Ciam Goan. Sambil bertolak pinggang orang tinggi besar itu tertawa dan berkata.
"Huah--ha-ha-ha! Cacing kurus yang bicara besar dan sombong! Engkau bilang mengejar dan mencari pinceng" Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng yang menyum-bangkan kepada dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena pinceng masih berada di tempat ini, masih menjadi tanggung jawab pinceng!"
"Bagus! Memang aku akan membunuhmu, jai-hwa-cat!" bentak Ciam Goan de-ngan marah.
Bekas tokoh Hou-han ini ti-dak peduli akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah meluap-luap. Yang membuat marah sekali bukan hanya meli-hat penjahat cabul penculik gadis-gadis remaja itu, melainkan terutama sekali ka-rena melihat betapa Thian-liong-pang yang tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk membangun kembali ke-rajaan yang sudah runtuh, kini ternyata menyeleweng menjadi sarang penjahat kejam terkutuk. Maka kini dengan kema-rahan meluap ia mencabut pedangnya dan langsung menerjang Sai-kong itu dengan tusukan kilat ke arah dada, Harus dike-tahui bahwa Ciam Goan ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun seorang panglima Kerajaan Hou-han dan dalam hal ilmu pedang, ia telah digem-bleng oleh seorang pamannya, adik ibu-nya, juga seorang panglima, yaitu Pang-lima Giam Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu pedang Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 69
Mendengar suara angin pedang ber-desing dan melihat serangan yang cepat ini, Ci-lan Sai-kong tidak berani meman-dang rendah. Sambil berseru keras ia sudah meloncat mundur sambil mengibas-kan lengan bajunya yang lebar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah menghunus keluar sebatang golok tipis yang mengkilap saking tajamnya.
Ujung pedang di tangan Ciam Goan sudah datang lagi dengan tusukan kearah leher. Kini Cilan Sai-kong menggerakkan goloknya menangkis sambil me-ngerahkan tenaganya. Sai-kong ini adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) se-hingga tenaganya amat besar. Terdengar bunyi nyaring ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali. Untung tadi sudah menduga akan be-sarnya tenaga lawan, sehingga ia telah mengerahkan Iwee-kang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat menghadapi tenaga keras dengan tenaga lemas. De-ngan cara ini, walaupun tertangkis keras,pedangnya tidak terpental melainkan menempel pada golok sehingga tidak ada bahaya terlepas atau rusak.
Selagi Sai-kong itu terkejut karena tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat pedang lawan terpukul jatuh, Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset dan langsung dengan gerakan nyerong pedangnya itu menyambar ke arah lengan kanan lawan. Inilah jurus ilmu pedang Kun-lun yang bernama Hun-in-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), amat berbahaya karena yang diserang bukan bagian tubuh lain melain-kan lengan kanan yang memegang golok! Hebatnya jurus ini adalah karena pedang itu akan terus mengulang gerakannya membabat dari kanan ke kiri dan sebalik-nya tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Kecepat-annya mengandalkan kepada gerak per-gelangan tangan, maka cepatnya bukan main dan lawan yang diserang tentu akan menjadi bingung.
Demikian pula dengan Ci-lan Sai-kong. Melihat pedang lawannya memba-bat ke arah lengan kanannya, ia kaget sekali dan cepat ia menarik lengan kanannya sambil memutar golok, siap membalas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedang yang lewat ke sebelah kirinya itu kini membalik dengan kece-patan kilat dan telah membabat lagi ke arah pinggangnya! Tak disangkanya lawan akan dapat mengulangi serangan sedemikian cepatnya, maka ia pun menggerak-kan golok menangkis. Namun tetap saja Ciam Goan dapat terus menyambung serangannya, begitu tertangkis, pedangnya membalik dan meluncur dengan babatan dari samping, demikian pula kalau di-elakkan sehingga Sai-kong itu mengalami penyerangan berantai yang membuat dia repot menyelamatkan diri.
Akan tetapi, Ci-lan Sai-kong juga bukan seorang lemah. Selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, juga ia sudah kenyang akan pengalaman bertanding. Inilah sebabnya maka
menghadapi serangan Hun-in-toan-san yang amat lihai ini ia pun tidak kekurangan akal.
Melihat beta-pa pedang lawan selalu membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan yang diserang adalah pinggang ke atas, tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan keras dan tubuhnya lalu rebah dan menggelin-ding ke atas tanah. Ia tidak hanya meng-gelinding untuk menyelamatkan diri, me-lainkan juga berguling untuk mendekati lawan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah, membabat kaki lawan dan juga ada kalanya menusuk ke arah perut. Inilah Tee-tong-to (Ilmu Golok Berguling-an) yang amat berbahaya. Segera keada-an menjadi berubah. Kalau tadi Ciam Goan berada di pihak penyerang dan pendesak dengan jurus Hun-in-toan-san, kini Si Penjahat Pemetik Bunga itu yang mendesak dengan Tee-tong-to. Ciam Goan menjadi repot sekali, harus melon-cat ke sana ke mari dan pedangnya melindungi tubuh bagian bawah, bagian yang amat sulit dilindungi dengan pedang.
"Wah, ramai betul!" Hauw Lam berkata dengan wajah gembira. "Kalau tidak hati-hati orang she Ciam itu tentu akan celaka."
"Tidak mungkin!" bantah Kwi Lan.
"Biarpun ilmu pedangnya hanya permainan kanak-kanak, sedikitnya ia lebih baik daripada brewok itu."
"Hauw Lam melirik ke arah gadis ini. Terlalu sombongkah gadis ini, atau me-mang betul-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 70
betul berkepandaian begitu tinggi sehingga menganggap ilmu pedang Ciam Goan yang jelas bersumber ilmu pedang Kun-lun itu dianggap permainan kanak-kanak.
"Kumaksudkan bukan dalam pertan-dingan melawan Sai-kong itu. Melawan dia, kiranya takkan kalah karena kulihat Sai-kong itu hanya luarnya saja kelihatan kuat, akan tetapi dalamnya sudah lapok seperti pohon tua, napasnya sudah hampir putus. Yang kukhawatirkan adalah orang-orang Thian-liong-pang. Lihat saja sikap Dua Belas Naga itu dan kurasa Ciam Goan belum tentu akan dapat meninggal-kan tempat ini dengan selamat."
Kini Kwi Lan yang merasa heran. Ia tidak berkata apa-apa, akan tetapi hati-nya penasaran. Ia belum berpengalaman seperti Hauw Lam, tidak mengenal watak orang-orang kang-ouw.
Sementara itu, pertandingan antara dua orang itu makin seru. Kini Ci-lan Sai-kong tidak lagi menggunakan Tee-tong-to karena setelah puluhan jurus ia lakukan tanpa hasil, ia menjadi kelelahan sendiri. Memang Tee-tong-to sungguhpun lihai dan berbahaya bagi lawan, namun untuk memainkannya membutuhkan te-naga dan napas panjang. Adapun Ci--lan Sai-kong, sungguhpun terlatih baik dan banyak pengalaman, namun tepat seperti dikatakan Hauw Lam tadi di sebelah dalam tubuhnya ia sudah lemah. Sai-kong ini adalah seorang abdi nafsu, seorang yang selalu mengumbar nafsu sehingga tentu saja kekuatan-kekuatan sebelah dalam tubuhnya menjadi lemah dan mana ia mampu bertahan melawan seorang yang ulet dan kuat seperti Ciam Goan" Kini keringatnya sudah membasahi muka dan leher, napasnya mulai ter-engah-engah seperti orang dikejar setan.
Melihat keadaan lawan ini, Ciam Goan lalu mendesak dan menerjang de-ngan jurus Seng-siok-hut-si (Musim Panas Kebut Kipas). Jurus ini amat gencar seperti gerakan kipas di tangan, bahkan lebih gencar serangannya daripada jurus Hun-in-toan-san tadi. Tiga kali Sai-kong itu mengelak dan menangkis, keempat kalinya ketika ujung pedang menotok iga kiri, ia cepat melakukan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) untuk melindungi iganya dengan golok sambil tangan kirinya bergerak memukul dada lawan. Namun siapa kira, Ciam Goan sudah merobah gerakan pedangnya, ia tidak jadi menotok iga, melainkan memutar pedangnya ke kanan dan.... "crakkkk!" lengan kiri Sai-kong itu terba-bat putus sebatas siku!
"Aduhh....!" Sai-kong itu terhuyung dan Ciam Goan sudah menerjang maju untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pada saat itu tampak sinar putih meluncur cepat dan
"traanggg....!" pe-dang di tangan Ciam Goan terpental dan lepas dari pegangannya. Sebatang sumpit gading yang tadi menghantam pedang itu jatuh ke atas lantai di depannya.
Pucat wajah Ciam Goan. Kiranya Ma Kiu yang menyambitkan sumpit itu untuk menangkis pedangnya dan menyelamatkan nyawa Ci-lan Sai-kong. Lemparan sumpit saja sudah dapat meruntuhkan pedangnya. Baru lemparan sumpit begitu hebat, apa-lagi kalau orangnya maju!
Ciam Goan menghela napas dan berkata,
"Kepandaian Thai-lek-kwi memang hebat. Seorang saja sudah sehebat itu, apalagi kalau Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang maju bersama. Akan tetapi aku Ciam Goan seorang laki-laki yang tidak takut mati. Majulah kalian semua dan mari kita mengadu nyawa di sini!" Sikap Ciam Goan benar-benar amat ga-gah sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi kagum sekali.
Diam-diam gadis ini sudah siap-siap untuk membela orang gagah itu. Ia mendengar kawannya berbisik, "Kalau dia. dikeroyok, hemmm.... akan kucabuti semua rambut dari muka Ma Kiu berikut bulu-bulu hidungnya!" Mau tidak mau Kwi Lan tertawa geli mendengar ucapan ini.
Karena gadis wajar dan polos, maka suara ketawanya tidak ia tahan-tahan. Padahal waktu itu, keadaan sudah amat tegang dan amat sunyi. Tidak ada suara keluar dari para tamu yang menanti perkembangan selanjutnya yang mene-gangkan. Tentu saja suara ketawa gadis ini terdengar jelas.
Sin-seng Losu lalu bangkit berdiri. Suara ketawa Kwi Lan tadi seakan-akan menampar mukanya dan ia berkata, "Sudahlah kami sedang hendak melakukan upacara penting tidak perlu pertandingan dilanjutkan berlarut-larut. Apalagi, kami tidaklah serendah itu untuk melakukan pengeroyokan terhadap seorang yang tidak berapa pandai seperti Ciam-sicu, kau Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 71
sudah berhasil mengalahkan Ci-lan Sai-kong, nah, tidak lekas pergi dari sini mau tunggu apa lagi?"
Ciam Goan menghela napas dan ber-kata, "Aku harus tahu diri, tak mungkin dapat melawan kalian. Biarlah dua belas orang gadis ini tersiksa di sini, aku tidak berdaya menolong. Akan tetapi ingat, Ciam Goan bukan seorang yang mudah melupakan kejahatan macam ini. Lain kali kita bertemu pula!" Setelah berkata demikian, Ciam Goan memungut pedang-nya lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ci-lan Sai-kong sudah ditolong dan diobati lengannya yang buntung, tempat itu sudah dibersihkan oleh pelayan dan Ci--lan Sai-kong sudah disuruh mengaso di kamar belakang.
"Cu-wi sekalian dipersilakan berdiri, upacara akan dilakukan sekarang juga!" Sin-seng Losu berseru keras dan semua tamu bangkit berdiri dari tempat duduk masing-masing. Biarpun merasa tak se-nang, Kwi Lan yang melihat Hauw Lam berdiri dengan muka melucu, terpaksa bangkit juga. Suasana kembali menjadi sunyi sehingga langkah seorang murid kepala Thian-liong-pang yang membawa panci, diikuti saudara-saudaranya, ter-dengar nyata. Sambil berlutut murid itu memberikan panci kepada Sin-seng Losu yang sudah bangkit berdiri dari kursinya. Dengan kedua tangan ia memegang panci itu dan pada saat itu Thai-lek-kwi Ma Kiu maju dan berlutut menghadap para tamu. Seorang murid lain datang pula dari be-lakang dan terdengarlah hiruk-pikuk suara anjing menggonggong. Kiranya murid ini datang menyeret seekor anjing hitam ke depan gurunya. Tanpa berkata sesuatu Sin-seng Losu menggerakkan tangan kiri dengan dua jari terbuka, menusuk leher anjing hitam itu. Terdengar anjing itu menguik keras akan tetapi oleh murid tadi ekornya dipegang dan tubuhnya di-angkat ke atas.
Dari lehernya yang ber-lubang bercucuran darah yang ditampung oleh Sin-seng Losu ke dalam panci tadi. Anjing tadi meronta-ronta dan menguik-nguik, akhirnya darahnya habis dan ia berhenti berkelojotan. Bangkainya lalu dilemparkan ke sudut oleh Si Murid yang lalu mengundurkan diri. Beberapa orang pelayan lalu mengangkat bangkai itu ke belakang dan Kwi Lan mendengar suara Hauw Lam berbisik di belakangnya, "Hemm, tentu dimasak
daging anjing itu." "Ihhh....!" Kwi Lan berseru kaget, akan tetapi mereka lalu mengalihkan perhatian lagi ke tengah ruangan di ma-na Sin-seng Losu memegang panci berisi darah anjing hitam. Kakek ini lalu meng-angkat panci tinggi-tinggi dan berkata.
"Dengan disaksikan oleh Cu-wi seka-lian, dan dengan syarat sudah ditentukan dalam perkumpulan Thian-liong-pang ka-mi, saat ini aku menyerahkan kedudukan Pangcu (Ketua) kepada muridku yang pertama, Ma Kiu. Nyawa anjing hitam itu menjadi saksi dan darahnya mengha-lau semua iblis yang hendak mengganggu tugasnya!" Setelah berkata demikian, Sin-seng Losu menyiramkan darah anjing hitam itu ke atas kepala Ma Kiu yang botak!
"Ihhh....!" kembali Kwi Lan berseru dan seperti terpesona ia pun menuangkan kecap dari botol ke dalam cangkirnya sampai penuh! Kecap itu kental dan me-rah seperti darah.
"Hemmm, benar-benar keji dan ko-tor." bisik Hauw Lam di belakangnya. "Mutiara Hitam, aku sudah muak dan gatal-gatal tanganku diam saja sejak tadi di sini. Apakah menyaksikan lagak badut-badut ini kita harus diam saja" Hayo kau ramaikan tontonan di sini, kautarik perhatian mereka dan aku akan masuk menolong gadis-gadis tadi. Atau aku yang memancing keributan sedangkan kau yang menolong ....?"
"Ah, peduli amat dengan mereka. Kalau kau mau menolong, pergilah. Aku.... aku ingin mencoba sampai di mana kelihaian mereka ini!"
Hauw Lam mengangguk lalu diam-diam ia menyelinap pergi menggunakan kesempatan
selagi semua orang mencurahkan perhatian kepada upacara peng-angkatan ketua baru. Kwi Lan yang memang sejak tadi mendongkol dan tidak senang, mendengar niat Hauw Lam
hen-dak menolong dua belas orang gadis-gadis itu, entah mengapa hatinya makin tidak senang lagi. Dan kini ia ingin menum-pahkan kemarahan hatinya kepada orang-orang Thian-liong-pang. Ia membawa cangkir kecap itu menuju ke depan, lalu berkata.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 72
"Pangcu yang baru diangkat dengan siraman darah anjing. Kalau dia suka darah biarlah aku mengucapkan selamat dengan darah naga ini!" Kwi Lan ter-senyum manis dan begitu ia menggerak-kan tangan kanan, "darah" dalam cang-kirnya menyiram keluar dan dengan ke-cepatan luar biasa menyambar kepala dan muka Ma Kiu yang masih berlepotan darah akan tetapi sudah duduk di kursi ketua yang tadi diduduki suhunya!
Namun Ma Kiu memang lihai. Tanpa turun dari kursinya, ia mengerahkan te-naga dan....
berikut kursi yang diduduki-nya ia telah meloncat kursinya itu telah pindah ke kiri sejauh satu meter! Akan tetapi karena sambaran kecap itu luar biasa cepatnya, ia tidak dapat menghindarkan lagi sebagian kecap me-nyiram pipinya dan memasuki mulutnya. Ketika ia tahu bahwa yang menyiram mukanya adalah kecap, mengertilah Ma Kiu bahwa gadis itu sengaja mencari gara-gara. Akan tetapi karena tadi mengira bahwa gadis itu adalah utusan Jin-cam Khoa-ong, Ma Kiu masih menahan kemarahannya, lalu berseru dengan nada marah.
"Nona sebagai tamu yang kami hor-mati, sebagai utusan Pak-sin-ong yang kami muliakan, apakah arti perbuatanmu ini?"
Kwi Lan tersenyum mengejek. Sejak tadi ia sudah tidak senang kepada mereka, terutama Ma Kiu. Ia memang tidak peduli akan nasib dua belas orang wanita muda tadi, akan tetapi mereka itu ia anggap terlalu sombong, tidak memandang mata kepadanya sehingga melakukan apa saja di depannya seakan-akan ia tidak akan bisa berbuat sesuatu! Memang watak Kwi Lan aneh sekali dan ia hanya selalu menurutkan perasaan hatinya. Kalau perasaan hatinya suka, seperti terhadap Hauw Lam, ia pun akan bersikap baik.
"Artinya, Brewok, bahwa aku setuju dengan ucapan orang she Ciam tadi, bahwa Thian-liong-pang dipimpin oleh orang-orang yang busuk! Bahwa kuanggap engkau seorang yang suka mandi darah anjing hitam, tak patut menjadi Ketua Thian-liong-pang, patutnya menjadi tukang jagal anjing!"
Semua orang terbelalak kaget mendengar ini dan semua tamu menahan napas. Omongan itu merupakan penghina-an yang tiada taranya! Apalagi bagi me-reka yang mengenal bahwa dahulunya Ma Kiu adalah seorang tukang jagal, maka omongan gadis itu yang entah
disengaja atau tidak mereka tidak tahu tentu amat menyakitkan hati ketua baru Thian-liong-pang ini. Dan memang sesungguhnyalah, setelah sesaat terbelalak seperti arca saking kaget dan herannya, wajah Ma Kiu perlahan-lahan menjadi merah sekali sampai ke telinganya.
Kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dan kalau ia tidak ingat bahwa kursi itu adalah kursi ketua tentu telah diterkamnya hancur lengan kursi itu untuk melampiaskan kemarahannya.
"Bocah kurang ajar!" bentaknya, Suaranya menggetar saking marahnya. "Biarpun engkau utusan dari utara, apa kaukira kau boleh bersembunyi di balik nama Jin-Cam Khoa-ong untuk menghinaku?"
Kwi Lan tertawa, menggunakan tangan kanannya secara main-main meremas cangkir bekas kecap tadi sehingga cangkir itu hancur lebur menjadi tepung dalam genggaman tangannya yang berkulit halus lalu berkata.
"Siapa bilang aku kaki tangan Jin-cam Khoa-ong" Biar dia algojo manusia maupun algojo anjing seperti engkau, aku sama sekali tidak mengenalnya. Sia-pa kesudian bersembunyi di belakang namanya?"
Mendengar ini, kembali semua orang melengak kaget. Kalau dara remaja itu tadi bersikap ugal-ugalan dan kurang ajar, mereka semua mengira bah-wa gadis itu adalah kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan hal itu tidaklah begi-tu aneh. Akah tetapi setelah kini gadis itu sendiri menyangkal menjadi orang Pak-sin-ong dan berani menghina tokoh besar itu pula di depan orang banyak, benar-benar mereka menjadi kaget dan heran sekali. Gilakah dara remaja ini"
Kalau gila, alangkah sayangnya, dara re-maja begitu cantik jelita!
Lebih-lebih lagi Ma Kiu sendiri. Ke-marahannya meluap-luap dan diam-diam ia pun lega bahwa dara ini bukan utusan Jin-cam Khoa-ong, karena dengan ke-nyataan ini ia boleh Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 73
berbuat sesuka hati-nya, terhadap gadis ini. "Bagus!" teriak-nya sambil bangkit berdiri.
"Kalau begi-tu, biarlah kau menjadi tawanan kami dan akan kaurasakan penderitaan yang akan membuat kau merindukan kemati-an!" Dalam suara ini terkandung ancaman yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi Kwi Lan tidak mengenal apa itu artinya takut dan ngeri. Ia malah tertawa.
"Sudah, jangan membadut lagi. Sudah sejak tadi aku muak mendengar dan me-lihat segala yang terjadi di sini. Lekas keluarkan kuda hitamku, Nonamu hendak pergi!" Sambil berkata demikian Kwi Lan menggunakan tangan kiri untuk menge-but-ngebutkan bajunya. Karena ia baru saja melakukan perjalanan jauh bersama Hauw Lam dengan naik kuda, tentu saja pakaiannya banyak debunya dan begitu ia kebut-kebutkan, debu mengepul ke seke-lilingnya dan mengotori meja-meja tamu lainnya.
"Wanita keparat! Kau belum tahu lihainya tuan besarmu!" Thai-lek-kwi Ma Kiu sudah tak dapat menahan kemarah-annya lagi dan kini hendak melangkah maju. Akan tetapi terdengar suara Sin--seng Losu di belakangnya.
"Seorang ketua tidak sepatutnya melayani segala anak kecil. Apakah Thian-liong-pang sudah tidak ada orang lain untuk membereskan kuda betina liar ini" Hayo, siapa berani maju menangkapnya" Tangkap dan bawa ke kamarku, aku butuh yang liar macam ini untuk
menambah semangatku!"
Untung bahwa Kwi Lan masih hijau dan tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek ini. Kalau ia tahu tentu ia takkan dapat menahan kemarahannya lagi. Tiba--tiba dari golongan tamu melompat keluar seorang laki-laki muda yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih.
Pengemis muda ini menjura ke arah kursi ketua dan berkata.
"Betul apa yang dikatakan Losuhu tadi. Thian-liong-pang tidak perlu repot-repot, di antara tamu-tamu yang hadir masih banyak yang sanggup menangkap bocah ini. Biarlah saya menangkap siluman cantik ini untuk Thian-liong-pang!"
"Ha-ha-ha, sahabat-sahabat dari Hek-coa Kai-pang memang selalu merupakan sahabat-sahabat baik kami. Tidak per-cuma bersahabat dengan Hek-coa Kai-pang. Silakan Siauw-sicu" kata Sin-seng Losu.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong, mengangkat muka dan membusungkan dadanya, melangkah maju menghampiri Kwi Lan. Dia adalah seorang di antara dua pengemis muda yang tadi di-paksa menelan daging kambing oleh Kwi Lan, maka tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membalas penghinaan tadi. Akan tetapi karena wataknya memang mata keranjang, begitu melihat wajah jelita, hatinya sudah ber-debar-debar dan timbul niat hatinya untuk mempermainkan Kwi Lan. Ia ter-senyum dibuat-buat, matanya memandang kurang ajar, dan berkata,
"Nona kecil bermulut besar! Kau ti-dak tahu tingginya langit lebarnya bumi! Berani mengacau Thian-liong-pang dan tidak memandang sebelah mata kepada para tamunya.
Dosamu besar sekali dan sudah sepatutnya kau dihukum mati. Akan tetapi tuan mudamu yang melihat bahwa kau masih muda remaja dan cantik jelita, bersedia memberi ampun asal saja kau suka berlutut dan menganggukkan kepala delapan kali lalu berjanji akan melayani dengan manis segala kehendak Sin-seng Losuhu dan.... aduuuhhh...." Pengemis muda itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia keburu mati dengan gosong dan tulang-tulangnya remuk.
Pukulan Kwi Lan yang disertai kemarahan hebat itu membuat ia terlempar sampai menimpa meja di depan Ma Kiu si ketua baru!
Kagetlah semua yang hadir di situ. Terutama sekali lima orang pengemis anggauta Hek-coa Kai-pang yang melihat seorang saudaranya dalam segebrakan saja terpukul tewas, segera me-lompat bangun dari tempat duduk masing-masing. Saudara muda mereka tadi, biarpun bukan anggauta pimpinan teratas dari Hek-coa Kai-pang, namun merupakan seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga. Bagaimanakah dapat roboh binasa hanya sekali Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 74
pukul oleh gadis remaja itu" Sekali melompat mereka tiba di dekat meja Ketua Thian-liong-pang yang tertimpa tubuh saudara muda me-reka dan begitu melihat dada dan muka pengemis muda itu biru menghitam, me-reka mengeluarkan seruan kaget dan marah. Hek-coa Kai-pang adalah per-kumpulan pengemis dunia hitam yang terkenal akan kelihaian mereka bermain racun. Kini seorang anggauta mereka tewas oleh pukulan yang mengandung racun hebat!
"Thian-liong-pangcu, maafkan kami yang terpaksa harus turun tangan terha-dap siluman betina ini!" berkata seorang di antara lima orang pengemis itu kepada Ma Kiu. Setelah berkata demikian lima orang pengemis ini sudah meloncat dan mengurung Kwi Lan yang berdiri dengan sikap tenang. Di tangan mereka tampak pedang yang sudah siap untuk menerjang dan mengeroyok. Akan tetapi melihat pukulan beracun yang hebat itu, pula mendengar bahwa gadis itu tadi menyangkal sebagai utusan Pak-sin-ong, pengemis tertua berlaku hati-hati dan berkata.
"Nona muda, engkau sudah berani lancang tangan membunuh seorang di antara saudara kami.
Hayo mengaku, siapakah engkau dan dari partai mana agar kami dapat mempertimbangkan tin-dakan kami selanjutnya terhadap dirimu." Kata-kata ini mengangkat kedudukan para pengemis itu ke tempat atas dan memang inilah yang dimaksudkan oleh pengemis itu untuk menutup rasa malu karena mereka berlima mengurung se-orang nona muda.
"Apakah kau tuli" Tadi sudah diperke-nalkan namaku Mutiara Hitam, bukan dari partai manapun juga. Saudaramu mampus oleh tingkahnya sendiri. Apakah masih ada lagi yang sudah ingin mam-pus" Kalau ada, boleh maju biar aku membantunya pergi ke neraka agar dunia ini tidak terlalu kotor. Kalau tidak ada, hayo keluarkan kuda hitam, Nonamu sudah jemu dan ingin pergi dari sini."
Pengemis tua itu tak dapat menahan kemarahannya dan berseru. "Saudara-saudara, kalau kita tidak dapat memba-las kematian saudara muda kita, percuma saja menjadi anggauta Hek-coa Kai-pang!" Seruan ini merupakan komando bagi teman-temannya dan serentak mereka
menggerakkan pedang mengirim se-rangan. Akan tetapi lima orang pengemis ini hanya melihat Si Nona tidak berpin-dah tempat melainkan menggerakkan kedua tangannya dan....
pedang mereka membalik dan menghantam diri mereka sendiri. Benar-benar amat luar biasa gerakan kedua tangan Kwi Lan ini. Se-tiap sambaran pedang ia sambut dengan tangan terbuka dan dengan gerakan aneh yang mengeluarkan hawa pukulan amat kuatnya, pedang yang menyambar dada-nya membalik ke dada Si Pemegang Pe-dang, yang menyambar pundak
membalik ke pundak Si Penyerang dan demikian seterusnya sehingga terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika lima orang pengemis ini roboh berturut-turut oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka sendiri!
Melihat gerakan luar biasa yang men-datangkan akibat aneh itu, Ma Kiu yang berkepandaian tinggi maklum bahwa biarpun masih amat muda, gadis itu benar-benar lihai sekali. Kalau tidak lekas turun tangan membekuk atau membinasa-kan gadis yang mengacau
perkumpulannya ini tentu setidaknya akan mengurangi keangkeran Thian-liong-pang, demikian pikirnya. Maka ia lalu berseru. "Tangkap siluman ini!" Ia memberi isyarat dan sebelas orang adik seperguruannya mengikuti gerakannya menghampiri Kwi Lan. Gadis ini teringat akan cerita Hauw Lam akan kehebatan Cap-ji-liong yang katanya disegani oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ia bersikap hati-hati namun wajah-nya tetap berseri dan bibirnya tersenyum mengejek.
"Inikah yang disebut Dua Belas Ekor Naga dari Thian-liong-pang" Hemm, Sungguh gagah!"
kata Kwi Lan sambil tersenyum.
Merah muka Ma Kiu. Sebagai ketua baru Thian-liong-pang, sungguh amat memalukan kalau ia harus maju bersama sebelas orang sutenya untuk mengeroyok seorang gadis remaja. Nama Cap-ji-liong sudah tersohor. Masa kini menghadapi seorang gadis remaja mereka harus maju bersama" Akan tetapi gadis ini aneh ilmu silatnya, dan kalau sekali tu-run tangan Cap-ji-liong tidak mampu merobohkannya, hal itu akan lebih me-malukan lagi.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 75
"Bocah, kalau kau sudah mendengar tentang Cap-ji-liong, mengapa banyak tingkah" Cap-ji-liong selamanya maju bersama. Karena kau menjadi tamu, ber-arti kami kurang sopan kalau turun ta-ngan di sini. Jika engkau benar-benar berani kami menantangmu untuk mengadu kepandaian di ruangan silat!"
Ucapan ini sedikit banyak menghapus rasa malu pihak Thian-liong-pang karena berarti bahwa dua belas orang tokohnya bukan sekali-kali hendak mengeroyok begitu saja, melainkan telah melakukan tantangan secara berterang. Kalau gadis ini tahu diri dan menolak tantangan lalu pergi meninggalkan tempat itu tentu Cap-ji-liong tidak akan menghalanginya. Semua tamu menduga bahwa, tentu gadis itu akan mempergunakan kesempatan ini untuk pergi
menyelamatkan diri, karena melawan Cap-ji-liong berarti mencari mati. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika melihat gadis itu terse-nyum lebar dan menjawab,
"Kalian menantangku" Boleh, siapa takut akan pengeroyokan kalian" Hayo, hendak kulihat seperti apa kepandaian Cap-ji-liong!" Kwi Lan yang tidak me-ngenal apa artinya takut, tentu saja tidak dapat menolak tantangan ini, yang diucapkan dengan kata-kata "kalau ia berani!" Ia seorang gadis remaja yang baru saja turun ke dunia ramai sama sekali belum berpengalaman hanya meng-andalkan kepandaian luar biasa dan kebe-ranian saja. Kalau ia berpengalaman, tentu ia akan menaruh curiga mengapa Cap-ji-liong menantangnya dengan memi-lih tempat.
"Bagus!" seru Ma Kiu. "Mari ke lian-bu-thia (ruangan silat), biarlah para tamu yang terhormat menjadi saksi bahwa kau menerima tantangan Cap-ji-liong untuk bertanding di lian-bu-thia!"
Sambil membusungkan dada, sedikit pun tidak gentar, Kwi Lan berjalan mengikuti Ma Kiu ke ruangan belakang di mana terdapat ruangan silat yang luas dan berbentuk bundar. Sebelas orang adik seperguruan Ma Kiu berjalan di belakangnya, kemudian berbondong-bondong para tamu yang ingin menyaksikan per-tandingan itu membanjiri ruangan silat pula.
Kini mereka telah berhadapan. Kwi Lan memperhatikan mereka. Ma Kiu yang menjadi
pimpinan berdiri di tengah sedangkan sebelas orang lain berdiri di kanan kirinya. Mereka tampak gagah dan keren dan melihat gerak-gerik mereka, memang dapat dibayangkan bahwa Cap-ji-liong rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga usia dan pakaian mereka bermacam-macam. Ada yang sudah tua, ada yang masih amat muda. Ada yang berpakaian seperti tosu, ada yang gundul seperti hwesio, dan ada yang berpakaian seperti pelajar. Anehnya, kini mereka telah memakai sebuah tali yang mengikat kepala mereka, tali yang dipasangi se-buah batu permata kuning dan terpasang di atas dahi mereka. Juga Ma Kiu kini memakai tali semacam itu. Ia tidak tahu bahwa itulah tanda khas tokoh Thian-liong-pang dan batu kuning itu diberi nama mustika naga.
Pendekar Cacad 19 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Istana Yang Suram 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama