Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Majulah!" Kwi Lan menantang, sikap-nya acuh tak acuh.
Terdengar suara "set-set-set!" teratur ketika kaki dua belas orang itu mulai bergeser dengan cepat mengatur barisan mengurung. Mereka tidak melangkah, tidak mengangkat kaki
melainkan berge-ser sehingga sepatu mereka menimbulkan suara di atas lantai. Keadaan menjadi hening dan tegang semua tamu meman-dang ke arah Kwi Lan yang menjadi pusat perhatian karena nona ini sudah terkurung di tengah-tengah!
Dua belas orang itu masih terus ber-gerak menggeser kaki sehingga tubuh mereka bergerak mengitari Kwi Lan, suara geseran kaki mereka kini berbunyi susul-menyusul seperti desis ular, Kwi Lan masih berdiri diam tak bergerak, hanya biji matanya yang bergerak-gerak, mengerling dan mengikuti gerakan me-reka di sebelah depan. Kedua telinganya
memperhatikan gerakan di belakangnya dengan seksama, setiap urat syaraf di tubuhnya menegang, siap sedia, akan tetapi wajahnya masih tenang dengan senyumnya mengejek Tiba-tiba saat yang dinanti-nantikan oleh semua orang tiba. Dengan teriakan nyaring seorang anggauta Cap-ji-liong yang muda, bertubuh tinggi kurus ber-muka seperti tikus, menerjang Kwi Lan dari sebelah belakang. Agaknya laki-laki muda ini tertarik oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh Kwi Lan sehingga ia menyerang bukan memukul, melainkan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 76
memeluk ke arah pinggang dengan kedua lengannya. Namun gerakan-nya ini mendatangkan angin hebat dan tak boleh dipandang ringan. Pada detik berikutnya, anggauta lain, seorang tosu, mengulur tangan dari sebelah kiri untuk mencengkeram pundak, disusul serangan saudaranya dari depan, kanan, dan ke-mudian dua belas orang itu sudah ber-gerak serentak susul-menyusul dengan teratur baik sekali. Gerakan mereka yang teratur itu lebih merupakan gerakan dalam sebuah barisan dan sekaligus me-reka telah menutup semua jalan keluar bagi Kwi Lan! Kiranya Ma Kiu dan adik-adiknya tidak mau menyia-nyiakan waktu dan sekali turun tangan mereka tidak main-main lagi.
Pendengaran Kwi Lan yang tajam me-wakili matanya. Ia tahu bahwa penye-rang pertama datang dari belakang. De-ngan mudah ia mendoyongkan tubuh mengelak, kemudian secara tiba-tiba kaki kanannya menendang ke arah tangan tosu yang mencengkeram pundak kirinya, di-sambut dengan gerakan meloncat ke atas dan melihat betapa para pengeroyoknya turun tangan secara bergiliran, tubuhnya yang meloncat ke atas itu tiba-tiba me-lakukan gerak berputaran secara cepat sekali. Hebat bukan main gerakan gadis ini, cepat dan aneh. Karena gerakan memutar di udara ini sukar diikuti gerakan tangan dan kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah menangkis semua serangan lawan dengan tangan atau dengan kaki, bahkan masih berkesempatan membagi pukulan dan tendangan yang mengenai empat orang lawannya.
Mereka mengaduh dan berseru kaget, tak menyangka bahwa selain dapat bergerak cepat itu, bekas tangan atau kaki gadis itu amat berat menimpa pundak dan dada. Sesaat baris-an itu kacau, akan tetapi Ma Kiu berseru keras dan barisan menjadi rapi kembali pada saat gadis itu sudah menurunkan tubuhnya dan berdiri di tengah kurungan. Ia tersenyum-senyum karena dalam ge-brakan pertama ini ia berhasil memper-lihatkan kelihaiannya!
Kini para tamu menjadi berisik sekali. Mereka kagum dan kaget bukan main. Ketika tadi dua belas orang itu menye-rang secara bertubi-tubi dan setiap se-rangan merupakan pukulan dan cengke-raman yang lihai, diam-diam mereka menduga bahwa gadis ini mencari mati. Akan tetapi siapa kira, gadis itu dapat bergerak seperti kilat cepatnya dan ham-pir sukar dipercaya betapa gadis itu bukan hanya dapat menangkis semua serangan, juga dapat memukul dan menendang empat orang pengeroyoknya, biarpun hal itu dilakukan cepat-cepat dan tergesa-gesa sehingga tidak tepat kenanya.
Gerakan pertama ini membuka mata Ma Kiu. Ia maklum bahwa biarpun dalam hal tenaga, mereka semua tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi dalam hal kecepatan gerak maupun dalam hal ilmu silat yang luar biasa, gadis itu benar-benar merupakan lawan tangguh. Dia tadi berlaku sungkan sehingga mengeluar-kan komando untuk bergerak satu-satu secara
bergiliran, siapa tahu, karena ia sungkan empat orang adiknya mengalami pukulan dan tendangan. Sekali lagi ia berseru keras dan kali ini dua belas orang itu menerjang maju secara berba-reng! Hanya lima orang yang menyerang langsung ke arah tubuh Kwi Lan. Sedang-kan yang tujuh orang menghantam ke tengah, ke atas, ke bawah dan sekitar tempat Kwi Lan berdiri sehingga me-reka telah menutup semua jalan keluar. Kemana pun gadis ini hendak bergerak, ia akan disambut hantaman yang dilaku-kan dengan pengerahan Iwee-kang!
Hal ini sama sekali tak diduga oleh Kwi Lan. Gadis ini terkejut juga, mak-lum bahwa keadaannya berbahaya. Baru ia tahu bahwa Cap-ji-liong benar-benar hebat dan tangguh. Biarpun kalau melawan mereka satu-satu, ia sanggup merobohkan mereka itu dalam waktu singkat, akan tetapi kalau mereka maju berbareng amatlah sukar dilawan. Ia berseru keras, tidak bergerak dari tempatnya, melainkan menggunakan kaki tangan menangkis dan jari tangannya menotok ke arah pergelangan tangan lima orang yang menyerangnya secara berturut-turut. Akan tetapi tiba-tiba lima orang penyerang itu menarik kembali penyerangan mereka dan barisan bergeser terus, disusul lima orang lain yang menyerang secara tiba-tiba, dibantu tujuh orang yang mencegat jalan keluar! Setiap menyerang, lima orang itu mengambil kedudukan ngo-heng, dan setiap kali melihat bahwa serangan itu akan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 77
gagal, barisan yang terus bergeser itu menarik kembali serangan untuk di ulang dengan perubahan-perubahan mendadak yang sukar untuk diduga sebelumnya.
Kwi Lan merasa kewalahan. Dahinya yang putih halus itu mulai berkeringat. Ia takut, akan tetapi jengkel dan penasaran sekali! Ketika untuk kesekian kalinya lima orang lawan menyerangnya dan kepalanya sudah mulai pening karena mencurahkan perhatian dan
menduga-duga perubahan, ia berseru keras, mencabut pedangnya dan memutar pedang itu ke sekelilingnya.
Tidak tampak gerakannya ini saking cepatnya. Tahu-tahu dua belas orang itu mencium bau yang wangi dan tampak oleh mereka sinar hijau bergulung-gulung seperti naga sakti bermain di angkasa, seperti hawa yang dingin sekali.
"Awas.... mundur dan siapkan senjata....!" Ma Kiu berseru keras. Barisannya melebar dengan cepat, namun masih saja ada dua orang yang terkena serempetan ujung pedang Siang-bhok-kiam sehingga pangkal lengan mereka terluka mengeluarkan darah. Lagi-lagi kurang tepat kenanya karena Kwi Lan tidak menggunakan pencurahan perhatian sepenuhnya dan tadi hasilnya inipun hanya kebetulan saja. Bagaimana ia dapat mencurahkan perhatiannya dalam sebuah serangan kalau lawannya yang dua belas orang banyak-nya itu selalu bergerak secara membi-ngungkan" Kini terdengar suara nyaring dan semua anggauta Cap-ji-liong sudah memegang senjata masing-masing. Ada yang memegang toya, ada yang memba-wa pedang, golok, thi-pian (pecut besi), siang-kek (sepasang tombak cagak), poan-koan-pit (senjata penotok jalan darah seperti pena bulu), tombak tiat-kauw (gaetan besi) dan lain-lain. Ma Kiu sen-diri bersenjatakan sepasang pedang pan-jang yang kelihatan berat.
Para tamu makin tegang. Setelah kini kedua pihak menggunakan senjata, tak dapat
disangsikan lagi gadis itu tentu akan mati dalam keadaan tubuh tidak utuh. Setiap anggauta Cap-ji-liong memiliki ilmu kepandaian khusus, bahkan sebe-lum menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu adalah ahli-ahli silat kelas satu. Kini mereka maju bersama, dapat dibayangkan betapa hebatnya.
"Ha-ha-ha-ha! Sayang sekali kau akan tercincang mati.... bunga liar seperti engkau sukar dicari....!" Tiba-tiba ter-dengar suara Sin-seng Losu yang tadi kelihatan bersungut-sungut ketika bebera-pa orang di antara murid-muridnya ada yang terluka. Kakek ini sejak tadi me-lenggut di atas kursi, menonton pertan-dingan sambil merem-melek. Kelihatan-nya saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia menon-ton dengan hati penuh penasaran karena semenjak tadi, belum juga ia dapat me-ngetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal ini benar-benar membuat ia kaget dan heran. Biarpun ia sudah terlalu tua sehingga tenaga dan napasnya sudah berkurang banyak dan kalau ber-tanding, dia sendiri tidak akan dapat mengatasi keampuhan Cap-ji-liong, akan tetapi pengetahuannya dalam ilmu silat sudah amat dalam. Hampir semua aliran ilmu silat di dunia ini! Ia kenal baik akan tetapi mengapa sekali ini, setelah melihat gadis itu bersilat sampai puluhan jurus, ia sama sekali tidak mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan" Ia anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis itu. Mirip-mirip ilmu silat Kun-lun-pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai, akan tetapi ketika menotok hampir sama dengan ilmu totok Im-yang-tiam-hoat yang lihai dari Siauw-lim-pai. Akan teta-pi semua itu hanya mirip saja, dan sama sekali bukan aselinya, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan aselinya!
Hal ini memang tidak mengherankan kalau orang mengenal dari mana Kwi Lan mendapatkan semua ilmu yang aneh itu. Gurunya adalah seorang wanita yang luar biasa, yang puluhan tahun menyem-bunyikan diri dan menelan segala macam ilmu tanpa ada yang menuntun.
Dalam istana bawah tanah terdapat banyak se-kali kitab pelajaran ilmu silat peninggal-an mendiang Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab itu dari partai-partai besar.
Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan, memang tidak sehat alias tidak normal, maka ketika mempe-lajari semua ilmu itu ia telah menyele-weng dan ilmu yang aseli berubah, men-jadi ilmu aneh dan ganas. Kwi Lan juga mempelajari kitab-kitab itu sendirian saja, hanya Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 78
menerima petunjuk-petunjuk dari gurunya, justeru sedikit petunjuk itu menyeleweng daripada aselinya, maka dapat dibayangkan betapa hasil ilmu yang ia kuasai tentu saja lebih aneh dan lebih menyimpang dari aselinya! Jangankan Sin-seng Losu, biar tokoh-tokoh dari partai yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri melihat cara Kwi Lan bersilat tentu takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.
Ucapan mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi Lan hebat dan luar biasa. Baru pedangnya, sebatang pedang kayu wangi, sudah membuktikan bahwa gadis ini biar-pun masih remaja, namun sudah menca-pai tingkat yang dinamakan tingkat "yang lunak mengalahkan yang keras" yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur, tenaga yang dikendalikan hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat
dipergunakan untuk melawan senjata keras. Akan tetapi, menghadapi pengu-rungan dua belas Cap-Ji-liong yang mem-pergunakan dua belas macam senjata ini, Kwi Lan benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan menyambarnya seperti hujan dan hanya dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ilmu pedangnya yang aneh maka sementara itu ia masih mampu bertahan. Seperti juga tadi, dua belas orang pengeroyoknya itu tidak me-ngeroyok, secara serampangan saja, me-lainkan mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh kuat.
Perlahan akan tetapi tentu mereka mulai menekan dan mendesak.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari sebelah dalam. Teriak-teriakan orang terdengar.
"Kebakaran....! Kebakaran....!"
"Tangkap bocah setan....!"
"Celaka, tawanan gadis-gadis itu di-larikan....!"
Semua tamu terkejut dan dua belas orang Cap-ji-liong yang sudah mulai mengurung dan mendesak Kwi Lan, ter-pengaruh oleh teriakan-teriakan ini se-hingga tekanan kepada gadis itu agak mengendur. Pada saat itu, berkelebat bayangan yang tertawa-tawa, "Ha--ha-ha, sungguh memalukan. Dua belas ekor monyet tua mengeroyok seorang gadis jelita! Dua belas ekor naga kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!"
Kiranya bayangan ini bukan lain ada-lah Hauw Lam yang dengan gerakan cepat sudah meloncat dan memutar go-loknya menerjang barisan pengepung se-hingga terbukalah barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu mengeluarkan aba-aba. Ba-risan yang diterjang Hauw Lam sengaja membuka "pintu" dan pemuda ini pun sekarang masuk ke dalam pengurungan dua belas orang tangguh itu.
"Eh, Mutiara Hitam. Kita datang ber-sama, mana bisa sekarang engkau berpes-ta-pora sendiri saja melabrak dua belas ekor monyet tua ini" Aku ikut. Hayo -kita sekarang berlumba. Kita beradu punggung dan lihat pedangmu, atau go-lokku yang lebih dulu membabat mampus mereka ini!"
Kwi Lan tersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan terdesak hebat. Namun seujung rambut ia tidak merasa gentar. Ia tadi sudah siap-siap, kalau sampai ia kalah dan harus roboh di tangan dua belas orang pengeroyoknya, ia tentu akan menyeret beberapa orang di antaranya terutama sekali Ma Kiu, untuk tewas bersamanya! Untuk niat ini ia sudah menggenggam tujuh jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat munculnya Hauw Lam yang mengajak ia berlumba, timbul kegembiraannya dan ia berseru.
"Berandal cilik! Kaulihat betapa aku merobohkan mereka!" Setelah berkata demikian, Kwi Lan mainkan pedangnya menerjang maju. Empat orang di depan-nya cepat mengangkat
senjata untuk menangkis dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu tangan kiri Kwi Lan bergerak dan sinar hijau menyambar ke depan.
"Awas....!" Ma Kiu berseru memper-ingatkan adik-adiknya. Namun, jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari jarak dekat sehingga biarpun empat orang itu berusaha mengelak, dua orang di antara mereka kurang cepat dan ro-bohlah mereka sambil mengeluarkan je-ritan kesakitan. Murid-murid Thian-liong-pang segera menolong mereka ini dan kini sepuluh orang pengeroyok menerjang dengan marah sekali. Hauw Lam tertawa-tawa dan sambil berdiri Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 79
saling membela-kangi, dia dan Kwi Lan memutar senjata menghadapi para pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu Hauw Lam. Tadi yang membuat ia amat repot adalah penyerangan lawan yang berada di belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi memperhatikan bagian bela-kang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Setiap ada se-rangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung menyambut serangan ini dengan tusukan atau totokan yang men-dahului sehingga Si Penyerang terpaksa menarik kembali serangannya.
"Semua mundur....!" tiba-tiba Ma Kiu berteriak keras memberi perintah kepada adik-adiknya Sepuluh orang itu serentak melompat mundur sambil menggerakkan tangan kiri. Maka berhamburanlah senjata-senjata rahasia yang berbentuk peluru bintang, bagaikan hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi Lan. Dua orang muda itu cepat memutar golok dan pedang, memukul runtuh semua senjata rahasia.
"Wah, kau yang mengajar monyet--monyet itu. Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!"
Hauw Lam mengomel. Kwi Lan yang maklum betapa besar bahayanya kalau pihak lawan
mulai menyerang dari jauh dengan senjata rahasia, setuju akan usul ini. Akan tetapi sebelum mereka sempat mendapatkan jalan keluar untuk melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka injak tergetar dan dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos ke bawah.
"Celaka....!" Hauw Lam berseru dan bersama Kwi Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat dicegah lagi!
"Cari pegangan....!" Hauw Lam ber-seru pula dan merentangkan kedua ta-ngannya. Goloknya ia tusuk-tusukkan ke samping dan akhirnya tangan kirinya berhasil meraba dinding. Ia menggerakkan tubuh sehingga tubuhnya yang meluncur itu terbanting ke kiri, menubruk dinding dan di lain saat tubuhnya tergantung pada gagang golok yang dipegangnya erat-erat.
Akan tetapi Kwi Lan yang memiliki gin-kang luar biasa itu, dengan mengge-rak-gerakkan kaki tangannya dapat memperlambat luncuran tubuhnya, bahkan ketika kedua kakinya menyentuh dasar sumur, tubuhnya membalik lagi ke atas sampai dua meter lebih, seakan-akan di kedua kakinya dipasangi per yang lemas sekali.
"Mutiara Hitam.... kau di mana....?" Terdengar suara Hauw Lam di atas.
Kwi Lan sudah duduk di atas tanah berbatu dan menjawab, "Di bawah sini. Turunlah. Mau apa kau bergantungan disitu?"
Hauw Lam menengok ke bawah. Sinar yang masuk dari atas memberi penerang-an suram, akan tetapi ia dapat melihat betapa gadis itu sudah duduk enak-enak-an di sebelah bawah, kira-kira tiga me-ter dari tempat ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga, mencabut goloknya dan meloncat turun di dekat gadis itu. Pada saat itu, terdengar suara berderit keras dan lobang di sebelah atas itu tertutup rapat kembali. Keadaan menjadi gelap gulita, melihat tangan sendiri pun tak tampak!
"Wah, kita seperti dua ekor tikus masuk perangkap!" Hauw Lam berkata berusaha untuk tertawa, akan tetapi me-nahannya karena khawatir kalau-kalau membuat gadis itu tak senang.
"Kau kenapa" Mau tertawa, tertawa-lah. Mengapa memandang kepadaku se-perti orang ragu-ragu" Kaukira aku ta-kut" Huh, enak di sini!" kata Kwi Lan yang segera duduk melonjorkan kedua kakinya.
Hauw Lam terkejut. "Apa kaubi-lang...." Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku.... eh, Mutiara Hitam, apakah engkau mempunyai nama seperti kucing?"
"Hemm, kalau aku kucing, engkau tikus! Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan apa yang kaulakukan tadi."
Tentu saja Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil tinggal di bawah tanah, di dalam istana bawah tanah sehingga ia merasa enak berada di bawah tanah! Karena semenjak kecil biasa hidup di tempat gelap Kwi Lan memiliki mata yang sudah biasa dengan kegelapan dan dapat melihat benda di dalam gelap, setidaknya lebih awas daripada orang biasa.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 80
Mendengar suara gadis itu tidak dibuat-buat, diam-diam ia merasa sema-kin kagum dan suka.
Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Selain cantik jelita seperti dewi, juga wajar dan polos, ditambah kepandaian yang amat tinggi. Tadi ketika dikeroyok Cap-ji-liong, gadis ini sudah memperlihatkan bahwa ia me-miliki kepandaian yang benar luar biasa. Jarang ada tokoh yang mampu memper-tahankan diri dari pengeroyokan Cap-ji-liong, apalagi melukai dua orang di antara mereka dalam pengeroyokan. Dan sekarang, biarpun telah terjebak masuk ke dalam sumur, gadis ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak membayangkan sikap takut-takut.
"Nanti dulu, paling penting aku harus menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar."
kata Hauw Lam sambil mengulur kedua lengan ke depan, mera-ba-raba.
"Tak usah kauselidiki lagi. Percuma, sumur ini sengaja dibuat untuk menjebak musuh.
Dindingnya terbuat dari batu tebal, tingginya lima tombak lebih dan di atas ditutup lembaran besi yang atasnya dipasangi tegel, dan dapat terbuka atau tertutup sendiri dengan alat rahasia."
Kembali Hauw Lam menjadi heran. Gadis ini bicara seakan-akan tidak ber-ada di dalam gelap, seperti menceritakan keadaan yang dilihatnya dengan nyata. Ia tidak percaya lalu kedua tangannya me-raba-raba dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan gadis itu. Dinding sumur itu segi empat, lebarnya tiga meter tiap segi, dan terbuat daripada batu tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia tidak dapat melihat apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba kepala gadis itu!
"Eh-eh, mau apa kau" Seperti orang buta saja!" Gadis itu membentak.
"Wah, maaf.... aku.... aku memang se-perti buta di sini...."
"Duduklah dan jangan berkeliaran."
Hauw Lam lalu duduk di atas lantai sumur. Tanah padas berbatu itu agak basah. Betapapun juga, ia tidak dapat bersikap masa bodoh seperti gadis ini. Masa mereka harus menerima kematian seperti dua ekor tikus dalam sumur" Ia harus berdaya untuk keluar dari dalam sumur ini. "Mutiara, aku tidak mengerti bagaimana kau dapat mengetahui keadaan sumur ini. Akan tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak mungkin kita meloncat keluar dari sini. Biarpun begitu, dengan bantuan golok dan pedangmu, aku dapat meloncat-loncat sambil
menancap-kan golok dan pedang bergantian pada dinding, terus sampai keluar. Setelah itu, aku akan mencari tambang untuk mena-rikmu keluar pula."
"Eh, takutkah engkau di sini?"
"Bukan takut! Akan tetapi kita harus mencari jalan keluar."
"Hemm, bagaimana kau akan membu-ka penutup besi di atas itu" Pula, siapa tahu begitu kau keluar, hujan senjata akan menyambutmu?"
Hauw Lam terkejut. Beralasan juga kata-kata gadis ini. "Habis.... bagaimana."
"Kita menanti kesempatan dan semen-tara itu, duduk mengaso di sini dan kau-ceritakan apa yang terjadi tadi."
Malu juga rasa hati Hauw Lam men-dengar suara gadis itu yang amat tenang. Ia lalu bercerita.
Ketika tadi melihat datangnya Ci-lan Sai-kong yang menggi-ring dua belas orang gadis-gadis muda yang diculik, Hauw Lam marah bukan main. Akan tetapi ia menahan-nahan perasaan hatinya dan setelah mendapat kesempatan ia lalu menyelinap ke dalam pada saat perhatian semua orang tertarik oleh perbuatan Kwi Lan yang amat be-rani. Setelah tiba di ruangan belakang, ia menyergap dan menotok seorang anggau-ta Thian-liong-pang. Dari orang inilah ia mendapat keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang ditahan di kamar belakang, dijaga oleh empat orang ang-gauta Thian-liong-pang. Ia menotok lumpuh orang itu kemudian melanjutkan penyelidikannya. Tekad hatinya akan me-nolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, secara mudah ia merobohkan em-pat orang penjaga dan pada saat itulah dari atas genteng melayang turun se-orang laki-laki yang ternyata adalah Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liong-pang yang tadi diusir oleh Ma Kiu.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 81
Girang hati Hauw Lam dan diam-diam ia kagum menyaksikan keberanian Ciam Goan.
Biarpun sudah jelas bahwa orang gagah itu tak mungkin dapat melawan para pimpinan Thian-liong-pang dan tadi pun sudah dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih berani dan berusaha menolong dua belas orang gadis tawanan. Tanpa banyak cakap mereka lalu
mema-suki kamar, membebaskan dua belas orang gadis itu. Hauw Lam menyerahkan dua belas orang gadis itu kepada Ciam Goan untuk diajak melarikan diri, se-dangkan dia sendiri memancing perhatian orang dengan jalan membakar bangunan samping bagian belakang.
Akalnya berha-sil baik. Semua orang lari ke tempat kebakaran dan mengeroyoknya, sehingga Ciam Goam dan dua belas orang gadis tawanan itu dapat pergi dengan aman. Hauw Lam sendiri lalu memancing mere-ka yang mengeroyoknya ke sebelah dalam gedung, bahkan ia lalu menggabung de-ngan Kwi Lan yang sudah terdesak oleh Cap-ji-liong sehingga akhirnya mereka berdua terjeblos ke dalam sumur perang-kap.
"Begitulah." Hauw Lam mengakhiri ceritanya. "Kuharap saja orang she Ciam itu berhasil melarikan dan menyelamat-kan dua belas orang gadis itu. Dan kau sendiri, apa yang kaulakukan tadi" Wah, kepandaianmu hebat bukan main, Mutiara Hitam. Aku takluk setelah menyaksikan betapa kau melawan pengeroyokan Cap--ji-liong!"
"Hemm, mereka memang kuat sekali kalau maju bersama. Sebelum kau datang membantu, hampir aku roboh." Mutiara Hitam atau Kwi Lan lalu menceritakan pengalamannya. Hauw Lam kagum sekali dan diam-diam di lubuk hatinya ia mera-sa puas dan tidak akan penasaran kalau mengalami kematian bersama nona ini di dalam sumur!
"Sekarang bagaimana" Aku bukannya takut terkurung seperti ini, akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus keluar dari sini, terutama sekali engkau...." katanya.
"Mengapa aku" Kalau kau bagai-mana?"
"Aku juga harus dapat keluar, akan tetapi yang paling penting engkau, Nona. Kau seorang wanita, karena itu harus didahulukan keselamatanmu...."
"Huh, laki-laki dan wanita apa beda-nya?"
Hauw Lam tidak mau membantah tentang itu. "Biar kucoba untuk merayap atau meloncat naik."
"Percuma, kita tunggu kesempatan. Kalau ada yang membuka penutup besi di atas itu, sudah kupersiapkan jarum-ja-rumku. Begitu ada orang di atas, kuse-rang dengan jarum dan kau boleh me-lompat dengan bantuan golokmu ditan-capkan pada dinding."
"Bagaimana kalau tidak ada yang membuka penutup besi di atas?"
"Kalau begitu, hemm.... kita tinggal di sini selamanya sampai mati"
Mendengar kata-kata yang dikeluarkan seenaknya dan tenang-tenang saja itu, Hauw Lam bergidik. Akan tetapi hatinya menjadi hangat ketika ia ingat betapa gadis itu agaknya senang saja tinggal berdua dengan dia di situ selamanya sampal mati! Ia menjadi terharu dan baru sekali ini selama hidupnya Hauw Lam merasa hatinya terharu sekali dan juga bahagia!
Suaranya menjadi gemetar ketika ia berkata, lenyap nadanya yang suka bergurau, suaranya kini bersungguh-sungguh.
"Nona.... aku...., aku pun rela mati di sini, rela tinggal di sini selama hidupku, bahkan aku akan berbahagia sekali.... berdua di sampingmu selamanya...."
"Ihhh! apa maksud kata-katamu yang aneh ini?" Kwi Lan yang tentu saja masih bodoh dalam hal asmara, bertanya heran. Nada suara gadis ini menyadarkan Hauw Lam, membuat
mukanya merah sekali, membuat ia merasa malu sekali. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga ia tidak usah menentang pandang mata Kwi Lan, dan kegelapan ini sesungguhnya yang membuat ia berani melanjutkan kata-katanya yang membisikkan suara hatinya.
"Mutiara.... biarpun belum lama aku mengenalmu, bahkan namamu yang se-sungguhnya pun aku belum tahu.... akan tetapi.... aku tidak merasa begitu. Bagiku engkau sudah kukenal selama hidupku. Tadinya aku sebatang kara di dunia ini... setelah bertemu denganmu, aku merasa tidak sebatang kara lagi. Mutiara.... ah, aku harus berterus terang.... aku.... aku cinta Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 82
padamu...." Saking kaget dan herannya mendengar ucapan yang lama sekali belum pernah didengarnya dan yang baru ia raba-raba maksud sebenarnya ini, Kwi Lan duduk termenung dan menggigit jarum yang dipegangnya. Ia seperti orang terpesona, tidak peduli bahwa pada saat itu, sinar terang menerobos masuk dari atas dan penutup lubang sumur itu dibuka orang! Hauw Lam melihat ini dan cepat melompat, siap untuk menerjang ke atas dan berseru.
"Mutiara.... lekas serang dia...."
Akan tetapi Kwi Lan hanya meman-dangnya dan berkata bingung, "Ada apa....?"
"Ssstt.... naiklah....!" Tiba-tiba orang yang membuka penutup sumur itu berka-ta, kemudian seutas tambang meluncur turun dari atas.
Hauw Lam dan Kwi Lan melihat bah-wa yang muncul dan melemparkan tambang itu adalah seorang yang berkeru-dung kain hitam, akan tetapi dari suara-nya dapat diketahui bahwa dia seorang laki-laki. Begitu melempar tambang, bayangan itu lenyap kembali.
"Mari kita naik!" Hauw Lam berkata dan cepat-cepat pemuda ini merayap naik melalui tambang seperti seekor kera cepatnya, Kwi Lan juga sudah merayap baik dan sebentar saja keduanya sudah melompat keluar dari sumur. Sejenak mata Hauw Lam menjadi silau karena tiba-tiba dari tempat gelap berada di terang. Ia mengejap-ngejapkan matanya, kemudian ketika matanya bertemu dengan Kwi Lan, tiba-tiba pemuda ini men-jadi merah seluruh mukanya!
"Pergi dari sini cepat!" Hauw Lam berkata dan mereka lalu melompat ke-luar dari ruangan silat yang kini sudah sunyi. Akan tetapi begitu mereka keluar dari ruangan silat dan berada di ruangan tengah, dari kanan kiri berlompatan ke-luar beberapa orang anggauta Cap-ji-liong!
"Celaka! Mereka lolos! Kepung.... tangkap....!" Mereka berteriak-teriak dan empat orang sudah menerjang Hauw Lam dan Kwi Lan.
Akan tetapi, keampuhan Cap-ji-liong adalah kalau mereka maju bersama. Kini hanya ada empat orang di antara mere-ka, tentu saja bukan tandingan Hauw Lam dan Kwi Lan. Begitu sepasang orang muda ini menggerakkan senjata empat orang itu sudah melompat mundur untuk menghindarkan bahaya maut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hauw Lam dan Kwi Lan untuk berlari terus. Karena dari depan berbondong datang para anggauta Thian-liong-pang, Hauw Lam lalu menarik tangan Kwi Lan, diajak lari melalui ruangan belakang. Mereka lari masuk ke ruangan dalam, terus ke belakang. Bebe-rapa orang anggauta Thian-liong-pang yang bertemu dengan mereka dan berusaha menghalangi, mereka robohkan de-ngan
tendangan atau pukulan tangan kiri.
Untung bagi mereka bahwa para pim-pinan Thian-liong-pang pada saat itu sedang sibuk membuat persiapan untuk mengunjungi pertemuan antara tokoh-tokoh dunia hitam yang akan di-adakan di Puncak Cheng-liong-san untuk memilih jagoan nomor satu di dunia. Ma Kiu ketua baru, juga Sin-seng Losu sen-diri bersama murid-muridnya bersama be-berapa orang tamu penting sudah me-ninggalkan gedung untuk mengunjungi kota Tai-goan untuk ikut menyambut da-tangnya seorang tokoh besar yang ter-kenal dengan julukan Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Karena tokoh besar ini masih terhitung paman guru Sin-song Losu, tentu saja oleh Thian-liong-pang dianggap sebagai kakek guru dan mereka mengharapkan kakek guru ini akan men-jadi jagoan nomor satu sehingga nama Thian-liong-pang akan ikut terangkat tinggi. Karena kesibukan ini mereka ha-nya meninggalkan empat orang murid kepala bersama murid-murid bawahan untuk menjaga gedung. Sama sekali me-reka tidak menduga bahwa dua orang muda tawanan mereka akan dapat melo-loskan diri dan
menganggap mereka itu tentu akan tewas kelaparan di dalam sumur.
How Lam dan Kwi Lan maklum bahwa kalau para pimpinan Thian-liong-pang keburu datang mengeroyok, keadaan mereka akan berbahaya. Karena mereka datang ke tempat itu hanya untuk "main-main" dan tidak mempunyai urusan ter-tentu dengan perkumpulan ini, mereka pun tidak ada niat untuk melanjutkan pengacauan. Dihadang oleh murid-murid bawahan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 83
Thian-liong-pang tentu saja me-reka dengan enak merobohkan semua penghadang, terus lari ke belakang, men-cari kandang kuda dan setelah dapat menemukan kuda hitam yang mereka
"sum-bangkan" tadi, mereka lalu menunggang kuda berdua dan membalapkan kuda itu keluar dari Yen-an. Terdengar derap kaki kuda yang ditungganggi para anak buah Thian-liong-pang mengejar, namun tak seekor pun kuda mampu menandingi lari-nya kuda hitam dari Khitan itu.
Setelah kota Yen-an jauh ditinggalkan dan tak tampak adanya pengejar lagi, Kwi Lan yang duduk di depan tiba-tiba menahan kudanya. Mereka berhenti di jalan simpang empat.
"Di sini kita berpisah. Kau turunlah."
Hauw Lam meloncat turun dan me-mandang gadis itu dengan muka terkejut. Tak disangkanya bahwa secara tiba-tiba gadis itu mengajak mereka saling berpi-sah. Namun nona itu menundukkan muka, tidak membalas pandang matanya.
"Mutiara Hitam.... Nona...., mengapa kita harus berpisah?" Suara Hauw Lam gemetar, tidak seperti biasa. Jantung Kwi Lan berdebar aneh. Ia marah dan juga bingung.
"Nona, apakah engkau marah karena pengakuanku di dalam sumur tadi" Maaf-kanlah, aku bukan bermaksud menying-gung perasaanmu atau menghinamu, aku hanya mengeluarkan isi hatiku sejujurnya. Biarpun kau akan menjadi marah dan membunuhku, aku tak dapat
menyangkal bahwa aku.... cinta padamu, Mutiara Hi-tam."
Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak bisa marah kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia senang mendengar pengaku-an itu. Akan tetapi ia tidak ingin sela-manya berada di samping Hauw Lam. Ia ingin menyendiri.
"Hauw Lam, ada hal yang lebih pen-ting bagimu. Engkau harus pergi kepada Ibu
kandungmu." Terbelalak mata Hauw Lam meman-dang. "Apa...." Apa yang kaumaksud-kan....?"
"Bukankah Ayahmu bernama Tang Sun dan Ibumu bernama Phang Bi Li?"
Hauw Lam melangkah maju dan memegang tangan Kwi Lan. "Mutiara! Bica-ralah yang
jujur! Bagaimana kau tahu akan nama Ayahku" Memang Ayahku bernama Tang Sun. Nama Ibu aku tidak pernah dengar, akan tetapi engkau.... bagaimana bisa tahu?"
Kwi Lan yang kini melihat betapa wajah Hauw Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik tersenyum. "Kau pantas menjadi kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap aku anak sendiri. Ayahmu.... Ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri. Ibumu masih hidup, namanya Phang Bi Li dan kini tinggal di Hutan Iblis."
Makin pucat wajah Hauw Lam. "Di Hutan Iblis...." Ayahku mati....?" Ia me-rasa mimpi mendengar keterangan ini dan tentu ia tidak akan percaya kalau saja ia tidak yakin bahwa gadis yang baru dikenalnya beberapa hari ini tak pernah membohong seperti juga tak per-nah merasa takut.
"Pergilah, carilah Ibumu dan kau akan mendengar semua. Ibumu hanya tahu bahwa puteranya bernama Tang Hauw Lam. Kau pergilah ke Lembah Air Hijau, di kaki Pegunungan Pek-liu-san sebelah utara, di sana terdapat hutan yang oleh orang-orang disebut Hutan Iblis. Nah, Ibumu tinggal seorang diri di dalam pon-dok di hutan itu, menanti-nanti keda-tanganmu.
Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula." Setelah berkata demi-kian, Kwi Lan
membalapkan kudanya pergi dari tempat itu, meninggalkan Hauw Lam yang masih berdiri seperti arca dengan muka pucat.
"Ibuku.... Ibu kandungku.... Ibuku...." Pemuda yang biasanya periang itu kini hanya berbisik-bisik dengan sepasang ma-ta basah. Pandang matanya mengikuti bayangan Kwi Lan di atas kudanya. dan semangatnya serasa terbawa terbang pergi.
*** Kwi Lan menjalankan kudanya sambil melamun. Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa betapa ia kehilangan seorang teman seperjalanan yang selalu mendatangkan suasana gembira.
Akan te-tapi kalau ia teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw Lam, ia menjadi kece-wa.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 84
Hal ini melenyapkan rasa gembiranya dan membuatnya menjadi tak enak, hatinya berdebaran dan ia menjadi malu, tak ingin bertemu kembali dengan pemuda itu. Ada hal lain yang sejak tadi ia pi-kirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama Hauw Lam berada dalam sumur jebakan" Apakah orang gagah she Ciam yang telah menolong dua belas orang gadis tawanan" Rasanya tidak mungkin karena biarpun gagah be-ran, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi kepandaiannya. Penolong tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan dan rahasia Thian-liong-pang.
Kwi Lan yang tidak mengenal jalan, tidak tahu bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah Sungai Kuning yang mengalir di sebelah timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa jalan ini pula yang diambil oleh rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke Tai-goan!
Hari telah menjelang senja. Ia segera membalapkan kudanya ketika melihat se-buah dusun jauh di depan. Perkampungan ini cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan dusun itu. Semua orang kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang menunggang seekor kuda hitam yang indah ini, namun Kwi Lan tidak ambil peduli. Setelah pengalaman-nya di Thian-liong-pang, Kwi Lan bersi-kap hati-hati dan tidak mau mencari perkara. Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang yang berilmu tinggi. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya dan menurut pe-nuturan Hauw Lam, di Khitan banyak
terdapat orang-orang pandai sehingga seorang tokoh hitam seperti Jin-cam Khoa-ong itu pun menjadi buronan Khi-tan. Ia akan menemui Ibu kandungnya dan kalau mungkin,
memperdalam kepandaiannya.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dan hari telah lewat senja ketika ia menghentikan kudanya di tepi Sungai Kuning yang airnya melimpah-limpah dan amat lebar.
Ia duduk di atas ku-danya sambil termenung. Bagaimana ia dapat melanjutkan perjalanan"
Tidak ada jembatan, tidak ada perahu, dan tempat itu amat sunyi, tak tampak seorang pun manusia. Hanya dapat dilihat dari situ perahu-perahu nelayan jauh sekali dan ada di antara mereka yang sudah menya-lakan lampu penerangan. Ia lalu menja-lankan kudanya menyusuri sungai menuju ke kiri untuk mencari perahu yang kira-nya akan dapat menyeberangkannya atau kalau tidak, ia akan mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam dan besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba dari jauh ia melihat sebuah perahu kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu seorang nelayan, pikirnya. Mungkin dia bisa menolongku mencarikan sebuah perahu besar untuk menyeberang. Perahu kecil macam itu mana dapat menyeberangkan kudanya" Kwi Lan
mempercepat larinya kuda ke arah pan-tai. Akan tetapi ia terlambat karena dari dalam perahu itu meloncat keluar ba-yangan hitam yang kemudian berla-ri amat cepatnya ke darat. Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan nelayan biasa, pikirnya. Nelayan biasa mana bisa memi-liki ginkang yang sedemikian baiknya. Ia pun cepat membelokkan kudanya, meng-ikuti arah larinya orang itu. Cuaca sudah mulai gelap dan Kwi Lan yang merasa tertarik, melanjutkan kudanya ke depan sambil mencari-cari dengan pandang matanya.
Bayangan itu lenyap sudah. Gerakan-nya terlalu cepat dan melakukan penge-jaran sambil menunggang kuda amat sukar. Selain itu, juga Kwi Lan meragu untuk mengejar secara sungguh-sungguh. Ia tidak tahu siapa orang itu dan menga-pa berlari-lari dengan cepatnya.
Terang bukan nelayan dan ia tidak mempunyai keperluan sesuatu dengan orang itu. Ha-nya ia tadi ingin bertanya kalau-kalau orang itu dapat menunjukkan di mana ia dapat menyewa perahu untuk menyebe-rang bersama kudanya.
Sinar terang yang keluar dari kumpulan batu-batu gunung di pantai sebelah depan menarik perhatiannya. Sinar yang ber-gerak-gerak besar kecil itu tentulah sinar api unggun yang dinyalakan orang. Ada api unggun tentu ada orang dan kalau ada orang berarti ia akan bisa mendapat-kan keterangan dan petunjuk yang diharapkan. Kini kuda hitam yang
ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas yang tinggi dan dijalankan perlahan.
Ternyata api unggun itu dinyalakan orang di dalam sebuah guha batu yang amat lebar. Ketika Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 85
Kwi Lan yang masih duduk di atas kudanya tiba di depan mulut guha, ia melihat lima orang laki-laki di dalam guha. Kedatangannya agak-nya sudah dinanti mereka karena mereka sudah berdiri dan tangan kanan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Yang paling depan adalah se-orang pemuda yang berambut panjang, berpakaian hitam dan berwajah tampan sekali. Kepalanya diikat tali dan di dahi-nya besinar sebuah batu permata kuning, Tiga orang yang lain juga sudah siap dan memandang kepadanya dengan mata ter-belalak kaget dan marah. Adapun orang ke lima adalah seorang pendeta yang jenggotnya kasar dan jarang seperti ka-wat, tubuhnya tinggi besar dan di bela-kang punggungnya tampak gagang seba-tang pedang.
"Siauw-ya (Tuan Muda), dia adalah Mutiara Hitam yang mengacau di Thian--liong-pang....!"
Seorang di antara tiga orang di belakang pemuda tampan itu berseru.
Pemuda itu memandang dengan mata bersinar tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya nyaring. "Mau apa engkau datang ke sini?"
Kwi Lan tersenyum. Ia tidak meman-dang mata kepada orang-orang Thian--liong-pang ini dan melihat batu permata di dahi Si Pemuda Tampan, Ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu se-orang tokoh pula. Akan tetapi ia sedikit pun tidak takut dan karena ia kemarin tidak melihat pemuda ini di antara yang mengeroyoknya, ia pun tiada nafsu untuk melayani mereka.
"Aku tidak butuh kalian, aku hanya perlu seorang nelayan yang dapat menye-berangkan aku dan kudaku." jawabnya, suaranya dingin. Biarpun ia tidak mengharapkan bantuan mereka ini, namun siapa tahu mereka dapat memberi kete-rangan tentang nelayan yang ia butuhkan.
Sebelum pemuda dan tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong yang berdiri paling belakang itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata.
"Siangkoan-kongcu, biarkan lohu menghadapinya!" Dengan langkah lebar pendeta ini maju.
Setelah berhadapan dengan Kwi Lan, ia menjura dengan hor-mat, tersenyum-senyum dan jenggotnya yang kaku bergerak-gerak, matanya ber-kejap-kejap.
"Nona, sungguh Nona yang masih begini muda amat mengagumkan. Tadi lohu sudah
mendengar penuturan saudara-saudara Thian-liong-pang akan sepak ter-jang Nona yang berani menghadapi Cap-ji-liong. Ha-ha-ha, sungguh gagah! Se-orang muda segagah Nona ini patut dikagumi dan sama sekali tidak pantas di-musuhi. Orang gagah mengutamakan
per-sahabatan sesama orang gagah, maka terimalah rasa kagum lohu!"
Kwi Lan yang melihat kakek ini me-rangkapkan kedua tangan, membawa ke-dua tangan ke depan dada sambil bergerak memberi hormat, tersenyum meng-ejek. Dengan gerakan ringan sekali tu-buhnya sudah meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi kakek itu dan menjura sambil berkata.
"Kau orang tua terlalu merendah!"
Biarpun kelihatannya seperti orang menjura dan memberi hormat, namun kedua tangan sai-kong itu bergerak ke depan dan menyambarlah angin pukulan dahsyat ke arah dada Kwi Lan.
Gadis itu hanya menjura dengan bibir tersenyum, agaknya seperti tidak tahu akan
penye-rangan orang, akan tetapi kakek itu me-rasa betapa tenaga dorongan kedua ta-ngannya tadi seakan-akan membentur api dan membalik, menimbulkan rasa panas pada dadanya. Ia kaget sekali, akan te-tapi masih merasa penasaran dan sambil tertawa dan berkata, "Nona benar-benar hebat....!" Kedua tangannya membuka jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri menotok ke arah pundak dan yang kanan menotok ke arah pergelangan tangan!
Hebat serangan ini, namun masih saja tampak seakan-akan orang yang memuji dan
menyentuh karena sayang dan kagum, sama sekali tidak kelihatan seperti orang menyerang.
Padahal serang-an itu kalau tepat mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan seketika lumpuh dan lemas.
"Totiang (panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan!" kata Kwi Lan dan kedua
tangannya bergerak ke depan pula seperti orang mencegah. Hanya tampak-nya saja seperti mencegah, akan tetapi sebenarnya dengan cepat seperti kilat menyambar, jari tangan Kwi Lan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 86
sudah siap menerima kedua tangan kakek itu. Kalau kakek itu melanjutkan serangan-nya, maka kedua telapak tangannya tentu akan bertemu dengan jari tangan Kwi Lan sehingga sebelum dapat menotok orang, Ia sendiri sudah akan terkena totokan lawan!
"Ahhh....!" Sai-kong itu menarik kembali kedua tangannya dan melangkah mundur kemudian ia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, semuda ini sudah me-miliki kepandaian hebat, benar-benar membuat lohu kagum dan takluk, Nona ingin menyeberang" Biarlah lohu antar-kan!"
Girang hati Kwi Lan mendengar ini. "Kau mempunyai perahu, Totiang?"
"Ha-ha, tentu saja ada, harap Nona jangan khawatir. Marilah!" Kakek itu dengan langkah lebar keluar dari dalam guha, diikuti oleh Kwi Lan.
"Tahan! Mutiara Hitam, engkau sudah mengacau Thian-liong-pang, bagaimana kami dapat membiarkan kau pergi begitu saja?" teriak seorang di antara anggauta-anggauta Thian-liong-pang sambil melom-pat maju dan mencabut pedang. Akan tetapi pemuda tampan tadi
mencegah dan menghardik. "Nona sudah ikut bersama Huang--ho Tai-ong (Raja Sungai Huang-ho), mau apa kau ribut-ribut?"
Kalau saja Kwi Lan sudah banyak pengalaman merantau, tentu ia akan ter-kejut sekali mendengar nama ini. Huang--ho Tai-ong adalah nama julukan kepala bajak Sungai Huang-ho yang terkenal sekali. Akan tetapi gadis ini selain ku-rang pengalaman, juga tidak mengenal takut, maka ucapan Si Pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Ia mengikuti sai-kong itu yang terus berjalan mende-kati pantai, kemudian kakek itu menge-luarkan teriakan melengking nyaring tinggi sambil menengadahkan kepalanya. Terdengar suitan balasan dari arah kiri dan tidak lama kemudian, muncullah se-buah perahu dalam sinar bintang-bintang di langit yang suram muram. Kiranya perahu itu bercat hitam, cukup besar dan didayung oleh empat orang tinggi besar.
"Silakan, Nona. Lohu sendiri akan menemanimu menyeberang." kata sai-kong tadi sambil tersenyum.
"Terima kasih. Kau baik sekali, To-tiang." jawab Kwi Lan yang menuntun kuda hitamnya ke atas papan perahu, Kakek itu pun melompat naik, memberi aba-aba dan empat orang anak buahnya kembali mendayung perahu ke tengah. Ketika Kwi Lan menengok, ia melihat
pemuda tampan tadi bersama teman-temannya berdiri di pinggir sungai dan memandang.
Karena tidak mengerti, Kwi Lan sama sekali tidak merasa heran mengapa layar perahu itu tidak dipasang. Untuk menye-berangi sungai sebesar Sungai Kuning ini, tentu dibutuhkan layar agar penyeberang-an dapat berjalan cepat. Akan tetapi empat orang itu hanya mendayung saja sehingga perahu bergerak lambat, malah hanyut oleh air. Kuda hitam yang tinggi besar dan gagah itu pun mendengus-dengus dan meringkik, keempat kakinya menggigil ketika melihat air yang hitam berombak. Akan tetapi, Kwi Lan berdiri tegak memegangi kendali, sedikit pun tidak merasa takut!
"Nona, orang-orang Thian-liong-pang tadi menceritakan tentang sepak terjang Nona di Thian-liong-pang dan menyebut Nona Mutiara Hitam. Bolehkah lohu tahu, siapa sesungguhnya namamu dan dari perguruan manakah" Lohu sendiri disebut orang Huang-ho Tai-ong,
bernama Ma Hoan." Kwi Lan tidak menaruh curiga kepada kakek ini, juga tidak memperhatikan nama maupun julukannya, akan tetapi karena kakek ini menolongnya menyebe-rang, ia menganggapnya orang baik. De-ngan acuh ia menjawab, "Si Berandal su-dah menjuluki aku Mutiara Hitam, biar-lah selanjutnya orang mengenalku dengan nama itu juga. Aku tidak terikat dengan perguruan mana pun."
Kakek ini mengerutkan alisnya. Gadis yang cantik jelita, akan tetapi sombong sekali, pikirnya. "Mutiara Hitam, julukan yang bagus. Nona, kenapa engkau menga-cau Thian-liong-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 87
pang" Mengapa memu-suhinya?"
"Aku tidak memusuhi Thian-liong-pang dan tidak ada urusan apa-apa anta-ra mereka dan aku.
Hanya aku tahu bahwa orang-orang Thian-liong-pang bu-kan manusia baik-baik, pula pengecut. Beraninya hanya melakukan pengeroyokan dan menggunakan perangkap!"
Pada saat itu, Ma Hoan tertawa ber-gelak dan terdengarlah bunyi banyak dayung memukul air. Ketika Kwi Lan melihat ke kanan kiri, ia mengerutkan alisnya. Kiranya tanpa ia ketahui, telah muncul empat buah perahu kecil yang mengurung perahu yang ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu juga bercat hitam dan setiap buah perahu ditumpangi enam orang bersenjata golok.
"Ha-ha-ha, Mutiara Hitam, engkau terlalu cantik jelita, akan tetapi terlalu sombong! Engkau sudah berada dalam cengkeramanku, masih bermulut besar mencaci maki Thian-liong-pang"
Ketua Thian-liong-pang adalah Kakakku, tahukah kau?"
Kwi Lan memandang tajam dan ter-ingatlah ia sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya adik Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak banyak anak buahnya, tentu kepala bajak sungai dan dia berada da-lam bahaya!
"Bagus, kalau begitu kau sudah bosan hidup!" kata Kwi Lan dan sekali tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah tercabut dan menerjang, merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah Huang-ho Tai-ong Ma Hoan dan empat orang pendayung perahu. Kuda hitam meringkik ketakutan, empat orang itu berteriak keras dan terjungkal keluar dari perahu, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Ma Hoan sudah meloncat dan tubuhnya melayang ke atas sebuah diantara pera-hu-perahu kecil yang mengurung perahu besar.
"Tangkap dia, gulingkan perahu!" Ma Hoan berseru, memberi komando kepada anak
buahnya. Kwi Lan mendengar ini menjadi kaget juga. Kalau lawan meng-gunakan akal menggullngkan perahu, dia dan kudanya celaka! Karena itu, sebelum mereka turun tangan, tubuhnya sudah lebih dulu mencelat ke atas sebuah pe-rahu kecil terdekat. Sambil meloncat, ia memutar pedangnya. Enam orang dengan golok di tangan menyambutnya. Ter-dengar suara keras dan enam buah golok itu terlempar ke dalam air dan seorang di antara mereka malah roboh dengan lengan kanan terbabat putus! Lima orang lainnya cepat-cepat meloncat ke dalam air dengan panik.
Begitu perahu kecil yang diinjak-nya itu terus bergoyang-goyang dan miring Kwi Lan sudah mengenjot tubuh-nya lagi, kini meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma Hoan. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat menawan Ma Hoan. Ia tentu akan celaka. Di darat, ia tidak akan peduli akan pengeroyokan tiga puluh orang itu, akan tetapi di air! Me-lawan seorang di antara mereka saja belum tentu ia menang.
Ma Hoan tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning dan tidak akan menjadi kepala bajak kalau ia tidak lihai ilmu silatnya dan pandai bermain di air. Me-lihat tubuh gadis, perkasa itu berkelebat meloncat ke arah perahunya, ia mengenal bahaya dan.... cepat-cepat ia melempar diri ke dalam air! Dua orang anak buah-nya di perahu itu yang tidak keburu terjun, menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan terjungkal di air.
Keadaan menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram gelap Kwi Lan mengamuk, meloncat dari perahu ke perahu. Namun para bajak itu sudah lebih dahulu terjun ke air dan mulailah mereka berusaha menggulingkan perahu di mana Kwi Lan berdiri. Gadis ini tentu saja tidak, mau digulingkan ke dalam air. Ia bermain loncat-loncatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi karena perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu berputaran dan hanyut, apalagi karena bajak-bajak meng-gulingkan semua perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah berdiri di atas perahu yang terbalik, tidak mempunyai tempat lagi untuk meloncat. Kuda hitam besar sudah terjungkal ke dalam air ketika perahu besar digulingkan. Ketika perahu terbalik yang ia injak itu tiba-tiba me-nyelam, ia masih dapat meloncat ke atas dan.... tak dapat dicegahnya lagi tubuhnya jatuh terbanting ke dalam air yang ber-gelombang!
Kwi Lan pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah setelah ia terbanting ke Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 88
air. Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan lumpuh kaki tangannya!
Tahulah Kwi Lan bahwa ia telah tertotok lumpuh. Tu-buhnya terasa dingin dan basah. Ketika ia membuka mata, ia melihat api unggun dan ternyata ia telah berada di dalam guha besar tadi, menggeletak di atas rumput kering dan tubuhnya tidak tertutup pa-kaian sama sekali!
Kenyataan ini mem-buat Kwi Lan merasa kaget setengah mati dan cepat-cepat ia menutupkan kedua matanya lagi, pura-pura pingsan atau hampir pingsan lagi saking kaget-nya. Ia tahu bahwa ia telah tertawan, dan bahwa orang telah menanggalkan semua pakaian dari tubuhnya.
Kemudian ia mendengar betapa di situ terdapat banyak orang, bahkan ada suara orang berbantahan. Dengan jantung berdebar ketakutan, baru sekali ini Kwi Lan me-ngenal rasa takut, ia mendengarkan, tanpa membuka matanya.
"Ma-totiang, aku tahu bahwa urusan ini adalah urusan pribadimu dan sekali lagi kunyatakan bahwa antara Nona itu dan aku tidak ada sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua hal itu bukan menjadi halangan bagiku untuk mencegah terjadi-nya hal yang memalukan ini.
Betapapun juga, Kakakmu, Ma Kiu Suheng adalah ketua kami, kalau sekarang engkau
me-lakukdn perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti akan menodai nama besar Thian-liong-pang?"
"Eh, Siangkoan-kongcu! Sejak kapan Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki
mengambil seorang wanita yang disukanya" Engkau hendak menghalangiku, berarti engkau iri hati dan engkau sen-diri suka kepada wanita pengacau itu. Betulkah?"
"Tidak, Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil wanita mana saja yang disu-kainya, akan tetapi kalau wanita itu mau. Engkau merobohkannya dengan akal curang, dan hendak memaksanya secara keji. Mendiang Ayahku, seorang Ketua Thian-liong-pang tidak pantang melakukan apa saja kecuali sikap curang dan penge-cut. Kalau kau mengalahkan dia dengan kepandaianmu, maka menjadi hakmulah untuk memperlakukan orang yang kauka-lahkan
sesuka hatimu. Akan tetapi me-lihat betapa tadi dia dilawan secara licik dan sekarang hendak diperlakukan keji, sungguh sebagai seorang gagah aku tidak akan mendiamkan saja. Ma-totiang, agar jangan kita menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw, kaubebaskan dia!"
"Bocah, berani engkau membuka mulut besar" Siangkoan Li! Kau menganggap kau ini siapa dan aku ini orang macam apa, bisa kauperintah sesukamu" Biarpun mendiang Ayahmu pernah menjadi ketua Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu bukanlah sahabatku! Hanya mengingat engkau masih cucu luar Sin-seng Losu dan masih adik seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu, aku masih menganggapmu orang sendiri! Akan tetapi jangan kau keterlaluan karena menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua saudara Cap-ji-liong juga tidak suka akan sepak terjangmu yang menyimpang dengan jalan mereka!"
Hening sejenak. Kwi Lan memandang dari balik bulu matanya dan melihat bahwa yang bertengkar adalah pemuda tampan berambut panjang dan sai-kong yang menawan dirinya.
Tiga orang ang-gauta Thian-liong-pang berdiri di sudut, memandang dan melihat pandang mata mereka terhadap pemuda itu, agaknya mereka ini tidak berpihak kepada Si Pemuda. Kwi Lan lalu menutupkan mata-nya kembali, menekan perasaannya yang seperti akan melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki tangannya tetap lumpuh dan karena dadanya penuh hawa amarah yang hebat, sukar baginya untuk me-ngumpulkan hawa murni.
"Ma-totiang, bicara tentang sepak terjang, bukan aku yang menyimpang, melainkan orang lain yang menyeleweng! Akan tetapi cukuplah tentang Thian-liong-pang. Kita bicara tentang perbuatan-mu sekarang. Ma-totiang, engkau adalah seorang bekas pendeta, sedikit banyak pernah belajar tentang kebajikan. Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu ke-pandaian tinggi, sedikit banyak mengerti tentang kegagahan. Engkau adalah se-orang yang sudah tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang hendak memper-kosa seorang gadis....?"
"Huh, bocah bermulut lancang! Siapa hendak memperkosa" Lancang kau menu-duh orang...."
"Engkau masih berani menyangkal" Melihat keadaan Nona ini...."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 89
"Ha-ha-ha! Memang, dia kutelanjangi, akan tetapi aku tidak berniat memperko-sanya.
Mungkin anak buah Thian-liong-pang itu mempunyai niat demikian, me-lihat pandang mata mereka! Ha-ha, aku sama sekali bukan hendak memperkosa, melainkan ingin menggunakan dia mem-bantu menyempurnakan ilmu silat yang sedang kucipta! Dia seorang gadis yang memiliki Iwee-kang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan darah yang sehat. Dia juga telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali kuambil semua kekuatan Im-kang dari tubuhnya...."
"Keji! Aku tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan bahwa engkau sedang men-cipta dan melatih Ilmu Bi-ciong-kun (Ilmu Silat Menyesatkan) yang kaulengkapi dengan pukulan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun)...., akan tetapi mengapa menggunakan Im-kang seorang gadis....?"
"Ha-ha-ha, Siangkoan Li! Kaukira akan mudah saja mencari rahasia ilmuku itu" Tidak perlu, hanya perlu kauketahui bahwa aku perlu hawa murni dan darah gadis ini untuk I-kin Swe-jwe (Ganti Obat Cuci Sumsum). Sudahlah, kau pergi dan jangan menggangguku lagi."
"Tidak! Kalau engkau lebih dulu mem-bebaskan Nona ini, kemudian bertanding dengannya secara jantan, biar dia kalah dan mati di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah tidak akan turut campur. Akan tetapi melihat dia ditawan dengan akal keji dan kini akan menjadi korban ilmu iblismu, aku tidak akan tinggal diam saja!"
"Bagus! Memang anak tidak akan ber-beda dengan ayahnya! Ayahmu penyele-weng dari Thian-liong-pang, engkaupun...."
"Tutup mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!" bentak Siangkoan Li yang sudah
mencabut pedangnya. Huang-to Tai-ong Ma Hoan berteriak keras seperti seekor harimau terluka, mencabut pedangnya dan menyerang pe-muda itu. Karena guha itu kurang luas untuk bertanding, sedangkan ia maklum akan kelihaian lawannya, pemuda yang bernama Siangkoan Li itu lalu meloncat keluar guha dikejar oleh Ma Hoan. Sege-ra terjadi pertandingan hebat di luar guha, di bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara senjata mereka saling ber-adu, terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih berusaha menekan kemarah-annya dan membebaskan diri daripada totokan.
"Sam-sute, bagaimana baiknya seka-rang?" Terdengar seorang di antara tiga anggauta Thian-liong-pang berkata. Me-reka bertiga masih berada di dalam guha itu, kini memandang ke arah Kwi Lan dengan mata terbelalak penuh kagum dan gairah.
"Biarkan saja mereka bertempur." kata suara lain yang parau. "Ma-totiang adalah adik kandung Pangcu (Ketua), dan Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo--pangcu, bagaimana kita boleh campur tangan" Lihat alangkah hebatnya Nona ini, hemm.... selagi mereka bertanding, mengapa kita sia-siakan kesempatan ba-gus ini?"
"Sam-suheng benar!" kata suara ke tiga. Aku pun selama hidupku belum per-nah melihat yang seindah ini. Aku rela nanti dimarahi Ma-totiang atau Siang-koan-kongcu...."
Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh nafsu. Sebetulnya me-reka itu bukanlah kaum jai-hwa-cat ma-cam Ci-lan Sai-kong, bukan pula orang-orang mata keranjang, sungguhpun mere-ka juga tak dapat disebut orang baik-baik. Akan tetapi melihat keadaan Kwi Lan, menyaksikan kecantikan wajah yang memang jarang bandingannya, melihat bentuk tubuh yang demikian menggairah-kan, mereka tak dapat lagi menguasai hati dan menyerah kepada bujukan iblis nafsunya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi Lan ketika melihat tiga wajah yang berkeringat dengan mata berkilat-kilat seperti mata binatang kelaparan itu makin mendekatinya. Ia tidak pernah mengenal takut menghadapi ancaman maut sekalipun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan bahwa kini ia terancam malapetaka yang jauh lebih mengerikan daripada maut sendiri! Ia sudah mengerahkan tenaga, namun perhatiannya tak dapat terkumpul bulat-bulat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 90
sehingga belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan kakinya masih lemas, lumpuh tak bertenaga.
"Sam-sute, Hok-sute, kalian mundur-lah. Aku sebagai Suheng kalian, paling tua dan biarkan aku mendekati dia lebih dulu."
"Ah, tidak, Suheng! Aku yang meng-usulkan lebih dulu!"
"Sam-suheng, aku yang paling muda lebih cocok dengan dia!"
Tiga orang murid Thian-liong-pang yang hati serta pikirannya sudah hitam dan gelap kotor oleh nafsu iblis itu kini saling berebut! Dari pertengkaran mulut, mereka kini saling betot dan agaknya mereka akan saling jotos karena sudah mulai memaki. Melihat ini, Kwi Lan maklum betapa dirinya diperebutkan oleh tiga orang manusia yang seperti anjing-anjing kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar gelisah, perasa-annya seperti ditusuk-tusuk. Makin rusak-lah pengerahan tenaga dan hawa murni di tubuhnya sehingga akhirnya ia meng-hela napas dan mengeluarkan suara rin-tihan karena putus harapan.
Tiba-tiba dari luar guha menyambar dua sinar hitam yang tepat sekali me-ngenai jalan darah di leher dan pinggang Kwi Lan. Kiranya dua sinar itu adalah dua buah batu kecil yang tepat telah menotok jalan darahnya dan.... seketika Kwi Lan merasa betapa jalan darahnya pulih kembali! Kaki tangannya dapat ia gerakkan dan biarpun masih kesemut-an, namun ia segera melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia sudah me-nyambar pakaiannya yang tadi ia lihat bertumpuk di sudut guha. Dengan jari-jari tangan gemetar saking lega dan girang hatinya tertolong pada detik-detik berbahaya itu, namun dengan amat cepat Kwi Lan mengenakan pakaiannya dan tubuhnya yang kini sudah berpakaian itu berkelebat cepat ke arah pintu guha ketika ia melihat tiga orang Thian-liong--pang berusaha lari keluar. Kejadian ini amat cepatnya. Ketika tiga orang Thian--liong-pang tadi bertengkar untuk memperebutkan Kwi Lan, mereka tidak tahu bahwa calon korban mereka itu sudah melompat bangun dan
berpakaian. Setelah akhirnya seorang di antara mereka me-lihat Kwi Lan dan berteriak kaget, me-reka semua menoleh dan serentak mereka kini berlumba lari ke arah pintu guha untuk menjauhkan diri dari gadis yang mereka tahu amat lihai itu. Namun tiba-tiba di depan mata mereka berkelebat bayangan orang dan tercium bau harum, tahu-tahu mereka sudah melihat Kwi Lan menghadang di depan pintu guha dengan pedang Siang-bhok-kiam yang harum di tangan! Wajah yang cantik jelita itu tersenyum, senyum manis sekali, akan tetapi sinar matanya tajam bagaikan pedang dan dingin seperti salju! Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu me-langkah mundur dengan muka pucat dan bergidik ngeri. Jalan mundur tidak ada lagi. Satu-satunya jalan keluar untuk lari telah dihadang oleh Mutiara Hitam.
Gadis itu melihat tiga orang lawannya mundur-mundur ketakutan, kini melang-kah maju pula perlahan-lahan. Ia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata, namun pandang matanya dan senyumnya telah membayangkan ancaman yang menyeramkan, dan tiada caci maki dari
mulut lebih jelas membayangkan kema-rahan yang meluap-luap itu. Tiga orang yang mundur terus akhirnya sampai me-pet di dinding batu guha. Terpaksa me-reka berhenti, saling pandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh menggigil. Mereka tersudut seperti tiga ekor tikus menghadapi seekor kucing yang hendak mempermainkan mereka lebih dahulu sebelum menjatuhkan terkaman maut.
Tiga orang itu saking takutnya men-jadi nekat. Mereka merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasia mereka, yaitu perluru-peluru bintang Sin-seng-piauw yang menjadi senjata utama para anak buah Thian-liong-pang. Tidak semua anggauta Thian-liong-pang mewarisi ilmu silat Sin-seng Losu, akan tetapi mereka semua diharuskan melatih penggunaan senjata rahasia Sin-seng-piauw ini. Senja-ta rahasia ini bentuknya seperti bintang, kecil namun berat dan pada ujungnya yang runcing diberi racun.
Seperti mendapat aba-aba saja, tiga orang itu menggerakkan tangan menyam-bit dengan Sin-seng-piauw. Belasan buah peluru bintang ini menyambar ke arah Kwi Lan. Namun sekali memutar Siang--bhok-kiam, semua senjata itu runtuh, menancap di atas lantai atau dinding Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 91
ka-nan kiri gadis itu. Tiga orang anak buah Thian-liong-pang itu adalah anggauta-anggauta tingkat rendah kepandaian me-reka masih terlalu rendah bagi Kwi Lan. Mereka menjadi makin ketakutan dan menghamburkan senjata-senjata raha-sia mereka sampai habis. Sebuah pun tidak ada yang menyentuh pakaian Kwi Lan. Gadis ini memperlebar senyumnya
Sambil berteriak-teriak seperti orang gila saking takut dan nekat, tiga orang itu lalu menerjang maju, memutar golok dan membacok sejadinya asal cepat dan kuat. Kwi Lan menggerakkan pedangnya yang berkelebatan seperti kilat menyam-bar. "Trangg.... tranggg.... tranggg....!"
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga batang golok itu patah-patah dan yang berada di tangan mereka hanya tinggal gagangnya saja! Kembali mereka mundur-mundur sampai mepet dinding dan rasa takut mereka ini memuncak. Melihat betapa gadis itu sambil terse-nyum-senyum melangkah maju dengan pedang di tangan, mereka bertiga hampir menjadi gila. Lutut mereka menggigil dan akhirnya mereka tak dapat menahan diri lagi, jatuh berlutut sambil memohon-mohon ampun dan menangis!
"Menjijikkan!" Kwi Lan berkata perla-han akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali sampai lenyap berubah gulungan sinar hijau menyambar-nyambar. Terdengar jeritan-jeritan menyayat hati dan ketika gadis itu melangkah keluar dari dalam guha, di bawah penerangan api unggun tampak tiga tubuh manusia ber-gelimpangan di atas lantai guha itu, tanpa tangan dan kaki lagi! Darah membanjir merah. Mengerikan sekali tubuh yang hanya tinggal kepala dan badan itu, kaki tangan mereka buntung dari pang-kalnya! Kini tiga orang itu hanya bisa menggerak-gerakkan kepala dengan mulut mengerang kesakitan dan mata terbelalak, masih ketakutan. Namun satu-satunya bagian tubuh yang masih dapat bergerak, kepala itu, tentu takkan lama bergerak karena mereka tak mungkin dapat hidup lagi dengan darah mengalir keluar seperti pancuran itu.
Kwi Lan mendengar betapa di luar masih terjadi pertarungan hebat. Kini terdengar suara bersuitan keras dan ke-tika ia meloncat keluar dari dalam guha, ia melihat betapa pemuda tampan yang menolongnya tadi dikeroyok oleh banyak orang yang membantu Huang-ho Tai-ong Ma Hoan! Pemuda itu hebat sekali per-mainan pedangnya dan biarpun Ma Hoan
mengeroyoknya dengan bantuan tujuh orang anak buahnya, namun pemuda itu masih saja menekan mereka dengan ge-rakan-gerakan pedang yang amat kuat. Belasan orang anak buah bajak bersuwit-an dan mengurung. Biarpun ilmu pedang-nya hebat, pemuda itu terkurung oleh banyak sekali bajak yang rata-rata me-miliki kepandaian lumayan.
Kwi Lan melompat, pedang Siang-bhok-kiam berkelebat dan terdengarlah jerit susul menyusul di antara anak buah bajak yang mengurung. Keadaan menjadi kacau-balau dan Kwi Lan yang merasa benci sekali kepada Ma Hoa, berhasil membuka jalan darah mendekati Ma Hoan dan langsung mengirim tikaman berantai ke arah dua puluh tujuh jalan darah lawan.
"Hayaaaa....!" Ma Hoan terkejut se-kali seperti disambar petir. Repot ia menggerakkan pedang untuk menangkis dan mengelak. Setiap tangkisan membuat pundak kanannya tergetar dan dadanya panas, sedangkan setiap elakannya hanya berselisih sedikit sekali dari sambaran pedang lawan sehingga berkali-kali ia berteriak kaget dan mencium bau harum pedang lawan yang menyeramkan hati-nya. Betapa pun lihainya Ma Hoan, na-mun menghadapi ilmu pedang Kwi Lan yang amat aneh, ia hanya mampu mem-pertahankan diri dan terhuyung-huyung mundur sambil berteriak-teriak memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju
mengeroyok. Adapun pemuda itu sekarang juga sudah dikeroyok banyak bajak su-ngai, namun mereka ini bukanlah lawan Si Pemuda yang gagah perkasa. Sebentar saja mereka berseru kesakitan dan ba-nyak di antara mereka yang mundur. Namun tak seorang pun terluka berat karena pemuda ini sengaja tidak mau menurunkan tangan maut.
Biarpun dikeroyok banyak orang, Kwi Lan menggmuk dan sudah lima orang anak buah bajak roboh tewas oleh pedangnya. Ketika ada empat orang bajak menubruknya dengan golok dari depan sedangkan Ma Hoan meloncat mundur bersembunyi di belakang empat orang ini, agaknya hendak lari, Kwi Lan mengeluar-kan suara melengking nyaring . Seketika empat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 92
orang di depannya itu menjadi lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Lan untuk meloncati kepala mereka mengejar Ma Hoan! Sebelum tu-buhnya turun, pedangnya sudah menyam-bar ke arah leher lawan yang amat di-bencinya ini.
Ma Hoan terkejut sekali dan menge-rahkan tenaga menangkis dengan pedang-nya.
"Tranggg....!" "Celaka....!" seru Ma Hoan ketika pe-dangnya menjadi patah oleh pedang gadis itu dan pundaknya terasa sakit karena tertusuk pedang. Ia cepat menggulingkan tubuhnya ke bawah dan terus berguling-an, sedangkan para anak buahnya kembali maju menyerbu Kwi Lan.
Dengan demi-kian, kepala bajak itu tertolong dan se-kali tubuhnya meloncat, is lenyap dalam gelap. Dengan pundak berdarah, Ma Hoan berlari cepat menuju ke sungai. Ia pikir kalau ia bisa sampai ke sungai, berarti nyawanya selamat karena sekali terjun ke air, gadis itu tentu takkan dapat mengejarnya lagi. Ia bergidik kalau mengingat betapa hebat ilmu kepandaian gadis itu dan juga menyesal mengapa ia gagal mendapatkan hawa murni Im-kang dari gadis yang sehebat itu. Diam-diam ia marah dan gemas kepada Siangkoan Li.
Hatinya girang setelah ia mendengar suara air. Sungai Kuning terbentang di depan dan ia mempercepat larinya meng-hampiri pantai. Ia melihat di dalam gelap sesosok bayangan hitam di pantai dan dikiranya bayangan itu seorang di antara anak buahnya, maka ia mengham-piri sambil berteriak, "Lekas sediakan perahu....!"
Akan tetapi kata-katanya terhenti dan ia berdiri melongo, tengkuknya terasa dingin dan rambutnya berdiri satu-satu. Bayangan itu kini melangkah maju dan bukan lain adalah Kwi Lan, Si Mutiara Hitam! Gadis ini tersenyum manis dan pedang di tangannya tergetar.
Huang-ho Tai-ong Ma Hoan bukanlah seorang penakut. Sebagai kepala bajak yang sudah belasan tahun merajalela disepanjang Sungai Kuning, entah sudah berapa banyaknya manusia tewas di ta-ngannya dan ia dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Akan tetapi se-karang menghadapi seorang gadis yang tersenyum-senyum manis di depannya, ia
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali! Baru sekarang ia merasa apa yang dirasakan oleh para korbannya, rasa takut dan ngeri meng-hadapi bahaya maut. Akan tetapi sebagai seorang jagoan, ia segera dapat mengubah rasa takut ini menjadi kemarahan dan kenekatan. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti suara srigala marah, ia menerjang maju dan kedua telapak tangannya memukul berbareng dari kanan kiri lambung. Inilah sebuah jurus Bi--ciong-kun dan dari kedua telapak tangan-nya keluar tenaga Tok-hiat-ciang. Biar-pun ilmu yang ganas ini belum terlatih sempurna, apalagi tenaga beracun Tok--hiat-ciang belum jadi sepenuhnya, namun sudah hebat bukan main. Seorang lawan yang tanggung-tanggung saja kepandaian-nya, mungkin masih dapat menangkis atau mengelak dari pukulan, namun sukar untuk menyelamatkan diri daripada hawa pukulan yang beracun itu.
Kwi Lan menghadapi pukulan ini dengan tenang. Melihat lawannya tidak bersenjata lagi, ia pun tidak mengguna-kan Siang-bhok-kiam di tangannya. De-ngan pengerahan tenaga dalam, tangan kirinya menyampok dan hawa pukulan-nya menyambut serangan lawan, kemu-dian kakinya menendang. Tubuh Huang-ho Tai-ong terlempar ke belakang! Kaget bukan main kepala bajak ini. Bukan ha-nya gadis itu dapat menahan pukulannya, bahkan secara aneh sekali kakinya sudah menendangnya sampai terjengkang bebera-pa meter jauhnya. Ia makin panik dan ta-kut, lalu melompat bangun dan.... membalikkan tubuhnya lari kembali ke tempat tadi. Setidaknya di tempat pertempuran tadi, ia masih dapat mengharapkan anak buahnya untuk membantunya, daripada menghadapi gadis setan ini sendirian saja di pinggir sungai dan jalan untuk menye-lamatkan diri terjun ke air sudah ditutup oleh Mutiara Hitam!
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan bingung hati kepala bajak ini ketika ia tiba di depan guha tadi, di situ telah sunyi, tidak ada lagi pertempuran dan tidak tampak seorang pun anggauta bajak sungai! Selagi ia hendak lari lagi ke kiri, tahu-tahu ada bayangan berkele-bat dan.... lagi-lagi Si Gadis jelita telah berada di depannya.
"Perempuan siluman!" Ia membentak dan dengan nekat menubruk maju dengan kedua lengan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 93
terpentang, untuk memeluk dan kalau perlu mengajak mati bersama. Tampak sinar hijau berkelebat, disusul pekik mengerikan dari kepala bajak itu dan darah menyambur keluar dari dada-nya ketika Huang-ho Tai-ong Ma Hoan roboh tersungkur, mendekap dada dengan kedua tangan, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian.
Kwi Lan berdiri memandang korban-nya. Baru lenyap sekarang sinar matanya yang berkilat-kilat dan senyumnya yang dingin. Sambil menarik napas panjang, ia memasukkan Siang-bhok-kiam ke dalam sarungnya.
"Mereka memang jahat, Huang-ho Tai-ong memang layak mati, akan tetapi kau terlalu ganas, Nona."
Kwi Lan cepat membalikkan tubuh-nya. Ia melihat pemuda tampan yang rambutnya dibiarkan terurai di atas punggung itu, pemuda yang bernama Siangkoan Li, yang tadi telah
menolong-nya dari bahaya yang lebih hebat daripa-da maut. Pemuda itu berdiri di mulut guha dan tampak gagah membelakangi sinar api unggun yang agaknya masih menyala di dalam guha itu. Teguran ini seketika mendatangkan rasa marah di hati Kwi Lan, akan tetapi mengingat bahwa pemuda ini sudah menolongnya, ia menekan perasaan marahnya dan
berta-nya, suaranya ketus.
"Aku membunuh dia dengan sebuah tusukan, mengapa kaubilang ganas" Apa yang
kaumaksudkan?" Pemuda itu mengerutkan keningnya dan wajahnya yang tampan itu tampak makin sungguh-sungguh. "Huang-ho Tai-ong sudah layak mati dan tusukan pada jantungnya sudah tepat.
Yang kumaksud-kan adalah pembunuhan yang kaulakukan kepada tiga orang anggauta Thian-liong--pang. Mengapa kau begitu ganas mem-buntungkan kaki tangan mereka, mem-biarkan mereka menderita hebat sebelum mati?"
Pertanyaan yang penuh teguran ini bagi Kwi Lan dirasakan seperti tantang-an. Ia segera membusungkan dada, me-negangkan leher dan memandang tajam.
"Hemm, kulihat engkau memakai peng-ikat kepala dan permata kuning seperti yang dipakai Cap-ji-liong. Engkau seorang tokoh Thian-liong-pang. Apakah engkau kini hendak membalas atas kematian tiga ekor anjing di dalam guha itu?"
Pemuda itu memandang marah. Dua pasang mata saling pandang dan saling tentang, akan tetapi pemuda itu lebih dahulu menurunkan pandang matanya, menghela napas dan berkata, nada suara-nya penuh penyesalan.
"Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah sepatutnya karena dia mempunyai
niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga orang Thian-liong-pang di dalam guha itu, mengapa kau menyiksa mereka" Dan mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang ketika diadakan upacara pengang-katan ketua baru?"
"Huh! Orang sendiri biar kotor diang-gap bersih selalu! Tiga orang itu bukan manusia, mereka hanya tiga ekor anjing busuk yang patut dibunuh seratus kali! Mereka itu hendak....
hendak.... berbuat kurang ajar, mereka seperti anjing-anjing yang kotor....!"
Pemuda itu menghela napas. "Ah, sudah kusangka demikian....! Makin lama makin rusaklah nama Thian-liong-pang bersama rusaknya watak mereka....! Ah, Nona, sekarang aku tahu mengapa kau membunuh mereka, akan tetapi tetap saja kau terlalu ganas. Membunuh dengan dorongan kebencian dan kemarahan bu-kanlah sikap seorang gagah."
Kwi Lan makin marah dan penasaran. Ia membanting kaki kanannya dan meng-hardik.
"Kau ini seorang tokoh Thian-liong-pang, apa kaukira seorang gagah" Apakah Thian-liong-pang perkumpulan orang gagah" Huh! Kulihat dengan mata sendiri bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkum-pulan orang-orang jahat. Dalam pesta perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang datang adalah orang-orang dari golongan hitam. Bahkan ada yang
me-nyumbangkan dua belas orang gadis cu-likan! Dan ketuanya diangkat dengan upacara penyembelihan dan penyiraman darah anjing. Perkumpulan apa ini" Dan kau yang menjadi tokohnya masih berani bicara tentang sikap seorang gagah?"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 94
Aneh sekali. Pemuda yang tadinya bersikap marah dan penuh teguran kepa-da Kwi Lan, setelah menghadapi kata-kata yang pedas ini tiba-tiba saja ber-ubah air mukanya. Ia mengerutkan ke-ningnya, wajahnya yang tampan menjadi gelap, kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menarik napas pan-jang berkali-kali dan mengeluh.
"Disalah-gunakan.... disalahgunakan....!" Dan ia pun menangis!
Kwi Lan tercengang menyaksikan pe-rubahan ini. Dia sendiri memang keras hati, mau membawa kehendak sendiri dan berwatak aneh, namun dia bukan seorang yang tidak
mengenal budi. Melihat ke-adaan pemuda ini, hatinya pun menjadi lunak, dan tanpa disadarinya, ia sudah duduk pula di atas sebuah batu, di depan pemuda itu lalu berkata.
"Aku tidak bermaksud memaki dan menyinggungmu. Aku hanya memaki Thian-liong-pang.
Biarpun kau seorang tokoh Thian-liong-pang, kulihat engkau lain daripada mereka. Engkau sudah me-nolongku tadi dan budimu itu sungguh amat besar, membuat aku bersyukur dan berterima kasih sekali. Engkau sudah menentang Huang-ho Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya hebat, engkau sudah memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu kerikil."
Pemuda itu menyusut air matanya dan mengangkat muka memandang Kwi Lan. Kemudian
berkata dengan suara berduka. "Aku tidak peduli andaikata kau mencaci maki diriku. Dan aku tentu akan menyerangmu andaikata makianmu terha-dap Thian-liong-pang tidak benar. Akan tetapi apa yang kaukatakan adalah benar dan keadaan Thian-liong-pang seperti itulah yang menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk Thian-liong-pang, akan tetapi dengan keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang ini.... bagaimana mungkin aku membelanya" Aku malu sekali, sedih, tapi.... tidak berdaya....!"
Timbul rasa suka di hati Kwi Lan terhadap pemuda ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki ilmu kepandaian ting-gi seperti telah dibuktikannya tadi de-ngan sambitan kerikil dan dengan sepak terjangnya dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya, juga memiliki kesetiaan namun tidak ikut menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain dari perkumpul-annya itu.
Dengan suara halus ia ber-kata.
"Dari percakapan tiga ekor anjing tadi aku mendengar bahwa kau bernama Siangkoan Li dan menjadi cucu luar Si Kakek Sin-seng Losu. Seorang seperti kau ini bagaimanakah bisa berada di tengah-tengah mereka yang kotor seperti me-reka itu?"
Siangkoan Li menundukkan mukanya. "Nona, bagaimana aku dapat bercerita tentang
keadaanku sebagai seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah perkasa, seorang pendekar seperti engkau ini?"
"Pendekar" Siapa bilang aku pende-kar?"
"Ah, tidak perlu kau merendahkan diri. Kau tentulah seorang Lihiap (Pende-kar Wanita) dari perguruan tinggi yang terkenal maka kau berani menentang Thian-liong-pang. Kau hidup di dunia yang bersih, yang menjujung tinggi kega-gahan, yang selalu bertindak membela kebenaran dan keadilan, menentang keja-hatan. Sebaliknya aku, aku hidup berge-limang dosa dan kejahatan, hidup di du-nia kotor dan hitam...."
"Ihhh, kau ngaco tidak karuan. Siapa bilang aku pendekar" Aku sama sekali bukan seorang lihiap. Aku seorang peran-tau, tidak datang dari perguruan mana-pun juga. Guruku bukan orang terkenal, dan andaikata kuberitahukan juga engkau pasti tak pernah mendengar namanya.
Aku lama sekali bukan penegak kebenar-an dan keadilan, bukan pendekar dan aku hanya bertindak menurut suara hatiku saja. Yang memusuhi aku, tentu akan kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan kubaiki kembali. Engkau baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak mungkin kau kuanggap musuh. Siangkoan Li, aku ingin sekali mendengar
bagaimana kau bisa terlibat dalam Thian-liong-pang."
Mula-mula pemuda itu memandang Kwi Lan dengan sinar mata heran dan tidak percaya, kemudian berkata perla-han.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 95
"Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita. Hanya bedanya, engkau be-bas dan aku terikat...." Ia meraba permata kuning yang menghias dahinya. Ke-mudian ia melonjorkan kakinya, duduk dengan enak dan mulai bercerita.
Thian-liong-pang tadinya merupakan perkumpulan orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang berjiwa patriot membentuk perkum-pulan Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali wilayah Hou-han yang sudah tertumpas musuh. Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, yang bernama Siangkoan Bu, putera seorang bekas panglima Kerajaan Hou-han. Di bawah pimpinan Siangkoan Bu inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan pertempuran gerilya dan se-ring kali melakukan pengrongrongan ter-hadap Kerajaan Sung. Karena perkumpul-lan ini membutuhkan banyak tenaga orang-orang gagah, tentu saja sukar un-tuk mengadakan penyaringan sehingga banyak pula orang-orang dari dunia hi-tam yang memiliki kepandaian, masuk pula menjadi anggauta. Di antara mereka ini terdapat seorang pelarian dari barat, bekas seorang pendeta yang bukan lain adalah Sin-seng Losu bersama puterinya yang cantik dan berkepandaian tinggi pula. Hal yang lumrah terjadilah, Siang-koan Bu jatuh cinta kepada puteri Sin-seng Losu dan kemudian mereka meni-kah. Dari pernikahan ini lahirlah Siang-koan Li.
Sin-seng Losu memiliki ilmu kepandai-an yang amat tinggi sehingga Ketua Thian-liong-pang yaitu mantunya sendiri, mengangkatnya sebagai guru untuk para anggauta Thian-liong-pang.
Dengan kedudukan ini, ditambah kenyataan bahwa dia adalah ayah mertua Siangkoan Bu, maka Sin-seng Losu merupakan orang ke dua setelah mantunya di dalam perkum-pulan.
Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul penjilat-penjilat, yaitu orang-orang dari dunia hitam yang menyelundup ma-suk ke dalam Thian-liong-pang. Mulailah Sin-seng Losu menyimpang daripada jalan bersih menjadi hamba nafsu dan makin tua menjadi makin gila.
Orang-orang gagah yang melihat ge-jala-gejala busuk mulai tumbuh dalam Thian-liong-pang, menjadi marah dan tidak senang sekali. Akan tetapi oleh karena segan terhadap Siangkoan Bu, seorang patriot sejati yang dihormat dan disegani, mereka masih dapat menahan sabar.
Tentu saja, sebagai seorang yang bijaksana, Siangkoan Bu maklum pula akan keadaan ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh banyak anggauta yang berasal dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba susah. Mau ditindak, kakek itu adalah ayah mer-tuanya.
Tidak ditindak, dapat merusak nama baik perkumpulan. Akhirnya, Siang-koan Bu yang pada suatu hari berhasil merampas tiga belas butir permata ku-ning milik pembesar tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi boneka Kerajaan Sung, lalu menggunakan perma-ta-permata kuning itu sebagai tanda kekuasan. Ia memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang, di anta-ranya dia sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain yang ia tahu adalah orang-orang gagah dan pa-triot-patriot sejati, sebagai dewan pimpimpinan yang memakai hiasan dari permata kuning dan mereka yang memakai tanda ini berhak untuk mengambil kepu-tusan demi kebaikan Thian-liong-pang, di antaranya berhak menghukum para ang-gauta yang menyeleweng!
Dengan adanya peraturan ini, Sin-seng Losu merasa tersudut dan tidak berani lagi melakukan penyelewengan-penyelewengan secara berterang. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga Siangkoan Bu dan Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi bentrokan de-ngan jagoan-jagoan Kerajaan Sung, Siang-koan Bu dan isterinya tewas dalam per-tempuran hebat.
Semenjak itulah, kekuasaan tertinggi jatuh ke tangan Sin-seng Losu. Dan ka-rena ilmu kepandaiannya paling tinggi ditambah dua belas orang muridnya yang paling ia sayang, yaitu para penjilat ter-diri dari Thai-lek-kwi Ma Kiu dan yang lain-lain, tidak ada tokoh lain yang be-rani menentangnya. Bahkan satu demi satu para patriot mengundurkan diri se-hingga tiga belas buah permata kuning terjatuh ke tangan Sin-seng Losu yang mengangkat diri menjadi Ketua Thian-liong-pang.
"Demikianlah, Nona. Sebuah permata, yaitu bekas milik Ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar) Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 96
diberikan kepadaku untuk kupakai, sedangkan yang dua belas dibe-rikan kepada para suheng, murid Gwa-kong."
"Cap-ji-liong itu?"
"Benar, kami diharuskan sumpah setia sebelum menerima permata ini, dan hal itu memang menjadi peraturan perkum-pulan kami."
Hening sejenak setelah pemuda itu selesai bercerita. Diam-diam Kwi Lan merasa kasihan kepada Siangkoan Li. Pemuda ini yatim piatu dan terpaksa hidup di antara orang-orang jahat dan merasa tidak berdaya karena yang me-ngepalai orang-orang jahat itu adalah kakek luarnya sendiri! Di samping kenya-taan ini, juga ia telah bersumpah setia sebagai pemakai permata kuning, setia terhadap Thian-liong-pang yang kini beru-bah menjadi dunia hitam!
Pantas saja pemuda ini selalu bersedih, wajahnya tak pernah berseri karena batinnya tertekan selalu.
"Aku seorang anggauta dunia hitam, Nona. Bahkan seorang tokohnya karena aku masih cucu luar orang pertama Thian--liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi seorang macam aku untuk menceritakan semua ini kepada seorang seperti Nona.
Akan tetapi.... aku tidak bisa diam saja melihat kau dirobohkan orang dengan cara pengecut, karena itu.... biarpun me-rupakan penghinaan terhadap perkumpul-an, aku.... aku nekat turun tangan...."
Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu. "Siangkoan Li, kalau begi-tu.... yang
menolong aku dan Berandal keluar dari sumur itu.... engkaulah orang-nya?"
Siangkoan Li menundukkan mukanya yang menjadi merah. "Aku seorang peng-khianat
kotor.... aku.... aku akan menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali....! Hidup bagiku sudah memuakkan, lebih baik menyusul Ayah Ibu...."
"Siangkoan Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata--kata pengecut seperti itu" Orang yang bosan hidup, yang mengharapkan kemati-an, adalah seorang pengecut yang tidak berani menentang kesulitan hidup, demi-kian kata Guruku. Biarpun semua orang menganggapmu sebagai seorang tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan,
menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah!"
"Kam Kwi Lan" Itukah namamu, Nona....?"
Kwi Lan terkejut. Karena merasa ka-sihan, ia sampai memperkenalkan nama-nya secara tak sadar. Karena sudah ter-lanjur, ia lalu berkata, "Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si Berandal."
"Si Berandal" Pemuda tampan yang datang bersamamu" Dia tampan dan lihai sekali. Di mana dia sekarang?"
"Dia pergi mencari Ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan bah-wa kau akan menebus dosa menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang hendak kaulakukan?"
Dalam percakapan tadi ketika Si No-na memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit cahaya gembira, akan tetapi mendengar perta-nyaan itu, kembali wajahnya menjadi muram. Sejenak ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka sadari, sang malam telah mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.
"Aku harus mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima hukuman."
"Ah, mengapa begitu" Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan!" teriak Kwi Lan penasaran.
Tiba-tiba Siangkoan Li melompat ba-ngun. "Tidak! Tak mungkini Thian-liong-pang adalah perkumpulan yang didirikan oleh mendiang Ayahku. Ayah Ibuku telah menyerahkan nyawa mereka untuk Thian-liong-pang. Masa aku harus melarikan diri" Meninggalkan Thian-liong-pang" Tidak, Kwi Lan. Aku takkan mundur biar-pun harus menghadapi kematian."
"Tapi, orang tuamu mati untuk Thian-liong-pang dalam membela Hou-han, me-reka mati Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 97
sebagai pahlawan-pahlawan utama. Akan tetapi kau...., kau hendak menyerahkan nyawa sebagai seorang pengkhianat Thian-liong-pang" Selagi Thian-liong-pang dikuasai orang-orang jahat?"
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Betapapun juga, masih ada Sin-seng Losu di situ dan kau harus ingat, dia adalah Gwakong (Kakek Luar) bagiku.
Andaikata tidak ada dia, tentu aku sudah akan mengadu nyawa dengan Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari Thian-liong-pang!"
"Marilah kita berdua sekarang juga menghadapi mereka. Siangkoan Li, kau percayalah, kita berdua akan dapat meng-hancurkan mereka! Kulihat kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada Cap-ji-liong...."
Siangkoan Li mengangguk. "Memang, terhadap Cap-ji-liong aku tidak takut. Biarpun mereka itu terhitung Suheng-suhengku sendiri karena aku pun men-dapat pelajaran ilmu silat dari Gwakong, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang Guru yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Gwa-kong."
"Siapakah mereka itu?" Kwi Lan ber-tanya kagum.
Siangkoan Li menggeleng kepala. "Ti-dak boleh kusebut, sungguhpun andaikata kukatakan juga, kau takkan mengenalnya. Agaknya antara gurumu dan guruku ada persamaan keanehan dalam hal nama ini. Kau bilang gurumu tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi kurasa gurumu masih jauh lebih terkenal daripada guruku yang benar-benar tak ada seorang pun menge-nalnya." Tiba-tiba Siangkoan Li meman-dang ke depan dan wajahnya menegang.
Kemudian ia memegang tangan Kwi Lan, menggenggam tangan yang kecil halus itu sejenak sambil berkata,
"Sudahlah, Kwi Lan. Mereka sudah datang. Selamat berpisah. Kau percaya-lah, pertemuan ini merupakan satu-satu-nya hal yang paling menyenangkan hatiku selama hidupku dan sampai mati pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu." Se-telah berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan pegangan tangannya dan de-ngan langkah lebar ia pergi meninggalkan Kwi Lan.
Kwi Lan berdiri di depan guha dengan hati bimbang. Biarpun pemuda itu sudah dua kali menolongnya, akan tetapi pe-muda itu bukan apa-apanya. Orang lain yang kebetulan bertemu di situ. Urusan pribadi pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia kepada Thian-liong-pang dan begitu bodoh untuk menyerahkan diri minta di-hukum, peduli apakah dengan dia" Ber-pikir demikian, Kwi Lan juga mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Ia masih gemas kala mengingat kuda hitamnya yang hilang.
Matikah kuda itu" Hanyut dan tenggelam" Ataukah terampas para bajak"
Pemuda yang aneh, kembali ia ber-pikir tentang diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk melupakan pemuda itu begitu saja. Masih terngiang di te-linganya ucapan pemuda itu ketika hen-dak berpisah, ucapan yang agak gemetar. Pertemuan yang paling menyenangkan hatinya selama hidupnya! Sampai mati pun pemuda itu takkan melupakannya! Hemmm, Kwi Lan merasa betapa muka-nya menjadi padas. Jantungnya berdebar aneh, seperti ketika Hauw Lam si Be-randal menyatakan cinta kasihnya kepadanya di dalam sumur.
Siangkoan Li merupakan pemuda yang aneh. Akan tetapi ada perbedaan men-colok dalam sikap mereka. Hauw Lam selalu gembira dan jenaka, nakal dan lucu. Sebaliknya, Siangkoan Li selalu muram dan sedih. Mengenangkan Hauw Lam menimbulkan kegembiraan.
Menge-nangkan Siangkoan Li menimbulkan ke-haruan. Akan tetapi keduanya sama baik-nya.
Sama tampan, sama lihai dan ke-duanya sama amat baik kepadanya! Hauw Lam sedang pergi mencari ibu kandung-nya, dan Siangkoan Li.... pergi mencari maut! Ah, tidak boleh begini! Ia harus melarangnya, harus mencegahnya!
Kwi Lan lalu pergi mengejar. Siang-koan Li sudah tak tampak lagi bayangan-nya akan tetapi karena waktu itu mata-hari telah mulai muncul mengusir ke-gelapan, ia dapat lebih mudah mencari pemuda itu. Ia mendapatkan pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho dalam keadaan....
terbelenggu kedua tangannya dan sedang dimaki-maki oleh Sin-seng Losu, disaksi-kan oleh Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 98
seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek kurus berjenggot lebat.
Siangkoan Li hanya menundukkan muka-nya dengan kening berkerut, kelihatan berduka sekali. Melihat keadaan pemuda ini, darah Kwi Lan sudah bergolak saking marahnya. Di situ hanya terdapat tiga orang Thian-liong-pang, biarpun yang seorang adalah tokoh terbesar, Sin-seng Losu. Andaikata Cap-ji-liong lengkap berada di situ sekalipun, ia tidak akan gentar menghadapi mereka untuk me-nolong Siangkoan Li. Pemuda itu telah dua tiga kali
menolongnya, tidak hanya menolongnya daripada bahaya maut, bah-kan dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut!
"Sin-seng Losu tua bangka jahat! Hayo bebaskan Siangkoan Li!" bentaknya sambil muncul dari belakang batang po-hon dengan pedang di tangan.
Seorang di antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara kuning di dahi seperti Siangkoan Li, menoleh dan mukanya menjadi marah sekali ketika ia mengenal Kwi Lan. Bagaikan kilat cepatnya, ta-ngan kirinya bergerak dan pada saat itu Siangkoan Li berseru,
"Thio-suheng.... jangan....! Nona Kam, jangan turut campur....!"
Namun terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw sudah menyambar ke arah tubuh Kwi Lan, akan tetapi gadis ini mengge-rakkan pedang menyampok runtuh tiga batang Sin-seng-piauw sedangkan tangan kirinya sudah menyebar jarumnya ke arah anggauta Cap-ji-liong itu. Orang she Thio ini cepat meloncat untuk mengelak, na-mun kurang cepat karena Kwi Lan me-lepas jarum secara luar biasa sekali. Ia melepas dengan gerakan sekaligus, namun ternyata jarum-jarum di tangannya telah terpecah menjadi dua rombongan. Rom-bongan pertama menyerang cepat sekali sedangkan rombongan kedua, biarpun disambitkan dalam waktu yang sama, lebih lambat dan merupakan jarum pe-nutup jalan keluar sehingga ke mana pun juga lawan mengelak, tentu akan di-sambut oleh jarum-jarum rombongan ke dua ini. Anggauta Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya tertusuk se-batang jarum yang amblas sampai tidak tampak menembus celana, kulit dan dagingnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh pingsan!
"Wuuuttt.... singgg....!"
Masih untung bahwa Kwi Lan mem-punyai kegesitan yang mengagumkan dan gerakan yang aneh. Otomatis tubuhnya mencelat ke kiri sampai hampir menyen-tuh tanah untuk mengelak sambaran pe-dang yang amat luar biasa itu. Ketika ia berjungkir balik memandang, kiranya yang menyerangnya adalah orang kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi Lan terkejut juga.
Gerakan pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih hebat daripada orang-orang Cap-ji-liong!
Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang Thian-liong-pang yang menduduki tingkat satu.
Kalau begitu orang itu tentu bukan orang Thian-liong-pang.
Ia memandang penuh perhatian. Orang itu tinggi kurus mukanya pucat kehijau-an, tanda bahwa dia telah melatih se-macam ilmu Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan
jenggotnya awut-awutan tak terpelihara, juga kotor seperti seorang pengemis terlantar.
Namun pakaiannya bukan seperti pakaian penge-mis. Agaknya seorang pertapa yang sudah tidak peduli akan kebersihan dirinya lagi. Mukanya kurus tak berdaging, hanya kulit pembungkus tengkorak. Tentu usianya sudah tua sekali. Orang ini berdiri me-mandangnya dengan muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan perasaan sesuatu, juga mulutnya tidak mengeluar-kan kata-kata.
"Susiok, harap jangan layani dia! Nona Kam, kau pergilah....!" Kalimat terakhir itu ditujukan kepada Kwi Lan dengan pandang mata penuh kedukaan. Makin tidak tega hati Kwi Lan, maka ia meng-hadapi kakek berpedang itu sambil me-ngejek,
"Kalian bebaskan dia atau.... pedangku harus bicara?"
"Sute (Adik Seperguruan), kau wakili aku hajar siluman ini!" Sin-seng Losu berkata.
Kini tahulah Kwi Lan bahwa kakek kotor ini adalah adik seperguruan Sin-seng Losu, pantas saja Siangkoan Li me-nyebutnya paman guru. Ia melihat betapa orang itu menggetarkan pedangnya di tangan kanan sedangkan tangan kirinya tergetar hebat lalu menjadi kaku dengan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 99
jari-jari membentuk cakar garuda. Ke-mudian tubuh orang itu menubruk ke de-pan,
pedangnya membabat ke arah ping-gang sedangkan tangan kirinya mencakar ke arah
mukanya. Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya, pedang itu ataukah jari-jari tangan kiri itu. Keduanya me-ngeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan amat kuatnya.
Sambutan Kwi Lan atas serangan dahsyat dan aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan Kwi Lan memang aneh dan tidak terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti daripada ilmu silat Kam Sian Eng bahwa setiap serangan lawan merupakan pintu yang terbuka dan me-rupakan kesempatan untuk dibalas serang-an yang mematikan! Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Kwi Lan sudah me-loncat tinggi ke atas sehingga pedang lawan lewat di bawah kedua kakinya dan berbareng pedang Siang-bhok-kiam di ta-ngannya bergerak menyambar ke bawah membabat tangan kiri lawan yang men-cakarnya tadi.
Kakek itu membelalakkan mata dan agaknya hanya gerakan mata ini sajalah yang
menyatakan bahwa ia merasa kaget sekali karena bagian muka yang lain tetap seperti kedok.
Namun ternyata ia lihai sekali. Karena tidak keburu menarik kembali lengan kirinya yang kini menjadi sasaran pedang lawan, ia segera mem-buang diri ke belakang sehingga roboh terlentang sambil memutar pedang di depan dada dan bergulingan. Secepat kilat ia sudah bangun kembali dan kini mereka sudah berhadapan lagi. Keduanya sama maklum bahwa lawan adalah se-orang yang lihai. Namun Kwi Lan tetap tersenyum mengejek, menanti serangan lawan.
Kakek itu kini menerjang kembali sambil memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali.
Pedangnya membacok-bacok secara bertubi, kiri kanan atas bawah, diselang-seling namun tak pernah berhenti, mengikuti bayangan dan gerak-an lawan. Kwi Lan memperlihatkan
ke-gesitannya, terus mengelak dengan se-dikit miringkan tubuh sehingga pedang lawan menyambar-nyambar di samping tubuhnya, bahkan kadang-kadang kelihat-an seperti sudah menyerempetnya! Makin lama makin gencar serangan aneh dan hebat ini. Pedang itu seakan-akan di-gerakkan oleh mesin, tak pernah berhenti menyerang dan setiap bacokan disertai tenaga dahsyat.
Setelah dua puluh jurus lewat Kwi Lan hanya menghadapinya dengan elakan-elakan segesit burung walet, gadis ini lalu berseru nyaring dan pedang Siang--bhok-kiam berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung yang makin lama makin luas lingkarannya dan betapa pun lawan-nya memutar pedang setelah lewat lima puluh jurus, sinar hijau mulai menggulung dan melibat sinar pedang kakek itu.
Kakek ini sebenarnya bukan orang sembarangan. Dia bernama Yo Cat, mu-rid dari tokoh besar Siauw-bin Lo-mo paman guru Sin-seng Losu. Di dalam du-nia hitam, ia sudah
menduduki tingkat tinggi, sejajar dengan Sin-seng Losu.
Karenanya jarang ia bertemu tanding. Siapa kira, hari ini, selagi ia ikut dengan suhengnya itu untuk mempersiapkan tem-pat istirahat bagi gurunya yang akan datang berkunjung ke Yenan, ia bertemu seorang gadis muda belia yang tidak hanya mampu menandinginya, bahkan kini mendesaknya dengan ilmu pedang yang hebat dan luar biasa, dimainkan dengan sebatang pedang kayu pula!
"Auuuggghhhh....!" Hebat sekali pekik yang keluar dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat ini, bukan seperti suara manusia lagi, dahsyat dan liar,lebih mirip suara binatang buas atau suara iblis. Kwi Lan adalah seorang gadis gemblengan yang telah mempelajari pel-bagai ilmu yang aneh-aneh dengan cara yang aneh pula. Namun menghadapi Yo Cat yang terlatih puluhan tahun lamanya dan sudah menjadi ahli sebelum gadis ini terlahir, apalagi menghadapi ilmu hitam Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis) ini, jantungnya tergetar dan
tubuh-nya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia terhuyung-huyung ke belakang.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 100
Lebih hebat lagi, setelah mengeluarkan ilmu menggereng yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan melakukan tekanan-tekanan berat!
Ada satu hal yang menguntungkan Kwi Lan, yaitu wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak pernah mau kenal apa artinya takut. Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena kelemahan orang menghadapi ilmu semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan takut.
Kalau hati merasa gentar, makin hebat penga-ruh ilmu itu sehingga mungkin tanpa bertanding lagi orang sudah bertekuk lutut. Karena hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan dahsyat itu sebentar saja dan Kwi Lan sudah dapat menetap-kan perasaannya lagi. Pedangnya mulai memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu singkat saja kembali ia telah
me-ngurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak pengalamannya, namun menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi yang dilatih di bawah bimbingan seorang jago wanita gila, tentu saja ia menjadi bingung sekali, tak dapat men-duga-duga bagaimana perubahan pedang itu sehingga menjadi mati kutu!
"Eh, budak cilik, kau kurang ajar se-kali!"
Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan kirinya bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia Sin--seng-piauw, namun jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak murid Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya seperti bintang, akan tetapi terbuat daripada perak berkilauan dan karena kakek ini yang menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun hebat luar biasa!
Patung Emas Kaki Tunggal 15 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Seruling Samber Nyawa 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama