Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 5

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


"Gwakong (Kakek Luar), jangan....!" Terdengar Siangkoan Li berseru kaget.
Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi pedang Yo Cat yang tak boleh dipandang ringan, maka perhatian-nya kurang sepenuhnya terhadap datang-nya serangan Sin-eng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang kecepatannya menyilaukan mata.
Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, namun bagai-kan ada matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila. Ketika ia berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah kakinya kecuali sebuah yang secara aneh telah menancap betis kaki kirinya. Un-tung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan begitu merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan mengerahkan Iwee-kang sehingga senjata rahasia itu hanya separuhnya saja menancap di daging betisnya. Pada saat tubuhnya masih di udara, Yo Cat mener-jang maju dengan tusukan pedangnya, dan lebih hebat lagi, Sin-seng Losu sudah mengerahkan sin-kang di lengan kanannya dan mengirim pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis!
"Auhhhh.... hehhh.... kau berani.... be-rani....?" Terdengar Sin-seng Losu ter-engah-engah dan tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua tangan Siangkoan Li yang terbelenggu! Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya ma-sih di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan lengking tinggi dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular raja menggeliat aneh di udara na-mun pedang lawan
menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan.
"Iihhh....!" Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedang-nya dan menarik lengannya, namun ku-rang cepat sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan pedang, terluka dan darahnya bercucuran Si Muka Mayat ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya khawatir kalau-kalau gadis yang perkasa itu
mendesak-nya dengan serangan maut.
Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! "Gwa-kong.... kau tak boleh membunuhnya.... tak boleh....!" Pemuda itu mengeluh ber-kali-kali.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 101
"Anak keparat, cucu durhaka.... heh-hehhh.... berani kau.... huh-huhh.... kubunuh kau....!"
Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan ber-kelebat dan ia sudah berdiri menghadang di depan Siangkoan Li, mulutnya terse-nyum dan matanya memandang kakek itu dengan penuh
ancaman. Akan tetapi ke-khawatirannya hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat, dengan napas senin kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah se-gar! Diam-diam Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian pukulannya jarak jauh juga hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li, kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan" Sampai di ma-nakah tingkat kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini"
"Kalian ini dua orang tua bangka yang bosan hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke neraka!" Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang orang dari belakang. Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya dan pemuda itu ber-kata dengan nada sedih.
"Jangan, Kwi Lan. Dan lekas kauke-luarkan obat pemunah jarummu untuk Suhengku.
Lekaslah, harap, kau sudi me-lihat mukaku dan menolongnya."
Kwi Lan melongo. Pemuda aneh se-kali! Jelas bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa masih nekad hendak menolong mereka" Akan tetapi mengingat bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya untuk menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan sebungkus kecil obat bubuk dan berkata,
"Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya."
Siangkoan Li menerima bungkusan itu, memberikan kepada suhengnya. "Thio--suheng, kaupakailah ini!" Akan tetapi suhengnya membuang muka dan menghar-dik.
"Tutup mulutmu, pengkhianat!"
Siangkoan Li mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suhengnya yang masih rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata.
"Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi dari sini. Kalau sampai para suhengku datang, engkau tentu akan ce-laka dan aku tidak akan mampu meno-longmu lagi."
Kwi Lan mengeluarkan suara men-dengus di hidungnya. "Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira aku pun takut mati" Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu."
"Nona...., Kwi Lan...., aku tidak ingin melihat kau mati karena aku!"
"Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan tempat ini!"
"Jahanam besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin mayat Ayahmu membalik di dalam
kuburnya! Berani main cinta-cintaan dengan seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini!" Sin-seng Losu sudah memaki-maki lagi.
"Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku menerima hukuman. Akan tetapi kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran karena kau menderita celaka."
Kini Kwi Lan menjadi marah. De-ngan pedang di tangan ia memben-tak, "Siangkoan Li!
Engkau ini pemuda macam apa begini lemah dan buta" Me-mang benar kau adalah orang Thian-liong--pang, akan tetapi Ayahmu dahulu adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan golongan orang jahat. Terhadap perkum-pulan seperti ketika dipimpin Ayahmu itu, aku tidak akan merasa heran apabila engkau mengambil sikap seperti ini, ber-setia sampai mati. Siangkoan Li, engkau melihat sikap Ciam Goan" Nah, dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk di bawah pimpinan Gwakongmu yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu memusuhinya. Bukan me-musuhi perkumpulannya, melainkan orang orangnya yang menyeleweng daripada kegagahan. Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara banyak dan
pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau seorang yang sudah melepas budi berkali-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 102
kali kepadaku, aku harus membelamu dengan taruhan nyawaku. Pernah Guruku bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang paling memalukan adalah kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang kelaliman! Demi untuk kebenaran, jangankan hanya perkumpulan atau teman-teman, biar orang tua sendiri kalau perlu boleh saja dilawan!"
Hebat kata-kata ini, apalagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang buruk daripada kemurtadan anak terhadap orang tua demi membela kebenaran! Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otak-nya tidak waras!
"Dengar....! Dengar itu omongan iblis betina! Omongan perempuan gila! Siang- koan Li, kau berani murtad terhadap Kakekmu?"
Sambil berlutut Siangkoan Li berkata, "Tidak, Gwakong, aku tidak berani....! Kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan. "Kwi Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah datang....!"
"Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!" kata Kwi Lan dengan suara tetap.
"Celaka....! Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?" Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya. "Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan dapat
melawan-nya." Akan tetapi Kwi Lan hanya terse-nyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun,
menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru. "Kalau begitu, demi
keselamatanmu, kita per-gi....!"
Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya ditarik. Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru, "Eh, eh, kenapa lari ketakutan" Mari kita lawan bersama."
"Hushhh.... diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari.
Mari....!" Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu ti-dak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan ma-nusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.
Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di pinggir se-buah sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali.
Sinar matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.
"Mari kuputuskan belenggu." kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li.
Akan tetapi pemuda itu merenggut kem-bali tangannya.
"Untuk apa" Setelah menyelamatkan engkau, aku akan kembali menyerahkan diri."
Kwi Lan marah sekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan me-nudingkan
telunjuknya kepada Siangkoan Li. "Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini le-mah" Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti Ciam Goan untuk
membersihkan Thian-liong-pang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain" Kalau kaulakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau se-orang yang berbakti kepada mendiang Ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang kau-lakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau berkukuh hendak mengerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama mati, akan tetapi mati-ku seribu kali lebih berharga daripada matimu yang seperti kematian seekor kacoa!"
Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia me-mandang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 103
dengan mata melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk be-berapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik napas panjang. "Aku bingung dan ragu-ragu.... agaknya engkau benar.... biarlah akan kutemui kedua orang Suhuku dan minta nasihat mereka....! Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat!" Se-telah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara keras dan.... belenggu besi itu rontok semua dan pu-tus-putus!
Kwi Lan tersenyum girang dan ka-gum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki
kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kekeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.
"Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau kaulakukan ini hanya untuk menge-labuhi aku" Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama.
Sekarang engkau hendak ke mana?"
"Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu, jalan satu-satunya adalah bertanya kepada kedua orang Guruku. Aku hendak mengunjungi mereka."
"Kedua orang Gurumu tentu orang-orang luar biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka.
Aku ikut!" "Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu dengan orang lain. Ke-cuali itu, juga tempatnya amat sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?"
Kwi Lan tersenyum. "Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li, sudah
kukatakan tadi. Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku sudah mengambil
keputusan, sebelum kau yakin akan kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak" Marilah kita berangkat!"
Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan tentu akan melakukan apa yang diucapkannya.
"Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau kau terbawa-bawa ke dalam lembah hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia yang kotor."
Berangkatlah dua orang itu melanjut-kan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya sejauh bumi dengan langit kalau dibanding-kan dengan perjalanan bersama Hauw Lam. Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan gurau, gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang dan lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siang-koan Li adalah seorang pemuda yang pendiam dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan. Di sepanjang jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara. Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li tak pernah mem-buka mulut! Akan tetapi Kwi Lan tidak merasa kecewa. Ia maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya. Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di hatinya.
*** Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun
Pegunungan Lu-liang-san, masuk ke-luar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang
memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya diting-gali beberapa puluh keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana sekali.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 104
"Kita sudah sampai." Kata Siangkoan Li.
"Apa" Di dusun ini?"
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. "Di puncak sana itu."
Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangun-an-bangunan kuno.
"Bangunan apakah itu?" tanya Kwi Lan.
"Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang--pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini."
"Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwe-sio-hwesio yang tinggal di sana?"
Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini
menimbulkan kekesalan hatinya.
"Apakah dugaanku keliru?"
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang. "Kedua orang Guruku adalah....
orang-orang hukuman di kuil itu....!"
"Apa....?" Kwi Lan benar-benar ka-get karena hal ini sama sekali tidak per-nah diduganya.
"Kenapa mereka dihukum" Apakah mereka itu anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang
menyeleweng?" "Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi.... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah me-reka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan. Tidak mudah menemui mereka di sana, kalau, ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi meng-hadap kedua orang Guruku."
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol keluar,
"Siangkoan Li, keadaan Gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di Kuil Lu-liang-pai?"
Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu berce-rita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.
"Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh Ayah."
Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan.
Sebagai seorang anak kecil berusia ti-ga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang. Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang ter-dapat taman bunga yang amat indah. Hawa
pegunungan yang sejuk memungkin-kan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi Siangkoan Li ternya-ta bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan Kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebar-nya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi jembatan.
Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum ter-penuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang. Di-carinya sebatang bambu dan dengan ban-tuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai gala loncatan, sampai jugalah ia ,di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 105
Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang yang ter-tutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah! Dia se-orang anak pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar lubang juga berlum-pur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan maju ketika menda-patkan bahwa lubang itu mempunyai te-rowongan. Akhirnya setelah melalui
te-rowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan ku-misnya.
Orang ke dua kurus sekali se-hingga kaki dan tangan yang tak ter-bungkus pakaian itu merupakan tulang-tulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut pan-jang. Akan tetapi jenggotnya, lebat dan panjang.
Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya pucat seputih tem-bok!
"Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita se-karang sudah mampus dan berada di ne-raka berjumpa seorang iblis cilik?" Si Muka Merah berkata sambil terkekeh--kekeh.
"Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?" kata Si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek.
Melihat keadaan mereka dan men-dengar kata-kata itu, biarpun Siangkoan Li seorang anak yang pemberani, ia merasa serem juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan me-lihat dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia
memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu bertanya.
"Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?"
Dua orang- kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut. "Kau bocah dari mana" Mengapa berani masuk ke sini"
Apakah kau kacung Lu-liang-pai?" tanya yang muka putih.
Siangkoan Li terkejut. Suara itu se-akan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya berhenti ber-detik dan terasa dingin sekali sampai--sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.
"Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama Ayahku berkunjung kepada para Losuhu di Lu-Lang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang." Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai ke tempat itu.
"Ayahmu Siangkoan Bu Ketua Thian-liong-pang" Ha-ha-ha!" Kakek muka me-rah itu tiba-tiba bergerak maju dan.... menyusup keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siang-koan Li saja tak mungkin dapat lolos keluar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak su-sah"
Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat keadaan ini, sungguhpun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap suka memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Ji-wi Locianpwe adalah orang-orang sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf!"
Si Muka Merah tertawa tergelak. "Ha-ha-ha! Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu" Kau putera Siangkoan Bu" Bagus! Eh, bocah, maukah Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 106
engkau menjadi murid kami?"
Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali. Sudah seringkali ia mendengar dari ayahnya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan dan seringkali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat men-jadi murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid! Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang ka-lau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala, "Teecu akan merasa girang dan bahagia sekali, Ji-wi Suhu (Guru Ber-dua)!"
"Ang-bin Siauwte ( Adik Muka Me-rah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana kalau kelak ternyata salah pilih?" tegur Si Muka Putih.
"Heh-heh-heh! Dia ini keturunan se-orang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih" Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya"
Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah menetapkan men-jadi murid kami. Seorang murid tak bo-leh membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil belajar!"
Siangkoan Li terkejut sekali. "Tapi.... tapi.... teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah....!" bantahnya dengan muka pucat.
Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar. "Hah, boleh kaucoba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lu-bang, nyawamu akan lebih dulu mela-yang!"
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang itu turun makanan yang ter-nyata dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai.
"Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang Guruku itu."
Siangkoan Li melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang men-dengarkan dengan muka amat tertarik. "Selama itu belum pernah kedua orang, suhu itu memberitahukan nama mereka.
Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?"
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata, "Memang sudah paling tepat kalau engkau menemui ke-dua orang Gurumu itu untuk minta per-timbangan dan nasihat mereka. Aku be-rani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang gagah yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang sudah runtuh nama baiknya itu, Cap-ji-liong harus dibasmi. Kakekmu harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali bertemu dengan kedua orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siankoan Li."
"Eh, jangan....! Berbahaya sekali....!"
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. "Ber-bahaya" Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu" Kita boleh lihat saja!"
"Bukan, bukan itu maksudku. Kepan-daianmu hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat itu tanpa diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan tetapi.... kedua orang Guruku itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu mereka akan marah kalau melihatmu."
"Betapa pun anehnya mereka, belum tentu seaneh Guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu gila un-tuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku tidak Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 107
takut!" Siangkoan Li habis daya. Berbantahan dengan gadis ini ia merasa tak sanggup menang. Pula dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat ter-hadap Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini. Sekarang, kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka bersama sekalipun, apalagi yang disesalkan" Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilaku-kan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah merasa jantungnya ber-debar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka kepadanya se-perti rasa suka di hatinya"
Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya"
Dengan ilmu kepandaian mereka, de-ngan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan
melompati tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut kete-rangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang Kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.
"Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?"
tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.
"Entah, kedua orang Guruku tak pernah mau bercerita tentang diri me-reka."
"Kalau benar demikian, tentu hwesio--hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa."
"Memang aku masih ingat cerita Ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak per-caya mereka mampu mengalahkan kedua orang Guruku. Buktinya, kalau kedua orang Guruku menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerang-keng" Agaknya memang sengaja kedua orang Guruku tidak mau keluar."
"Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu!"
Tiba-tiba terdengar desir angin. Me-reka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senja-ta rahasia) menyambar di atas kepala me-reka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat mereka bersembunyi. Me-reka memandang ke
sekeliling dengan pedang siap di tangan.
"Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?" kata seorang di antara mereka.
"Benar sekali, Sute (Adik Sepergu-ruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang
menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)" Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua menjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hu-kuman, teman-temannya yang jahat da-tang untuk menimbulkan kekacauan. di sini."
"Kau benar, Suheng (Kakak Seper-guruan). Kata Suhu mereka itu lihai bu-kan main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita menge-nai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti setan" Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk me-ngepung dan mencari mereka!"
Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlem-par dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Li yang me-lakukan hal ini. Memang pemuda ini me-miliki keahlian menyambit dengan kerikil menotok jalan darah, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan me-nolong Kwi Lan di dalam guha yang terancam
kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang. Setelah me-robohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya berlari keluar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.
"Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhuku terhalang." kata Siangkoan Li.
Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan
melompati sungai yang melin-tang. Dengan cepat Siangkoan Li meng-ajak gadis itu mendaki Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 108
bukit kecil yang penuh dengan rumpun alang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhu-nya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya, kedua orang suhu-nya bebas" Entah hari apa, akan tetapi tentu sekitar hari ini.
Dengan mudah Siangkoan Li menda-patkan sumur yang tertutup alang-alang itu. Ia memberi isyarat kepada Kwi Lan untuk mengikutinya kemudian ia melom-pat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan. Setelah gadis itu
mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur, Siang-koan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki terowongan di bawah tanah.
Ketika mereka tiba di sebuah tikung-an terowongan dan dari jauh sudah tam-pak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras. Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil me-mandang ke depan.
Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang me-nari-nari. Akan tetapi luar biasa hebat-nya sambaran tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah -sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu
menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi ternyata
maki-makiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.
"Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan! Apakah engkau sudah mam-pus" Kalau
sudah mampus kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup ataupun sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu! Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk menunggu kedatanganmu.
Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?"
Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu mera-sa betapa lantai tergetar hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak me-lihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap sedang-kan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang mene-robos masuk dari lubang dan celah-celah di atas.
Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka dan membuat me-reka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung tidak mengerti mengapa ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak tampak" Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang"
Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek inimemang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitandengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan! Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh Suling Emas, Akm Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu tek Siansu!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 109
Siapakah Bu Tek Siansu" Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walaupun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Diantara para pendekar terdapat kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapapun juga!
Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu atau lebih tepat, tak seorangpun tahu dimana adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak disangka-sangka.
Lima belas tahun yang lalu, setelah Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling Emas dan kawan-kawannya (baca cerita CINTA BER-NODA DARAH).
sepasang kakek sakti ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio Luliang-san dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Dua orang kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini mem-buat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi we-jangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman di dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa.
Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji me-reka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan me-maki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.
"Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul" Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?" kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang mengeri-kan.
Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu di luar, suara-nya halus dan merdu perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hati-nya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.
"Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?" kata Lam-kek Sian-ong.
"Hoh, ke sinilah biar kami dapat me-nebus penderitaan lima belas tahun de-ngan kematianmu, tua bangka!" kata pula Pak-kek Sian-ong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara yang--khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin me-reda dan akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan
mendengarkan suara yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama se-kali. Namun, seakan-akan oleh mereka terdengar gema suaranya memenuhi te-linga, dan suasana tenang damai dan tenteram masih terasa
menyelubungi hati. "Siancai, siancai(damai, damai)....!
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau di-ikat hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia dari-pada kerbau....!" Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 110
suara yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap, tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka me-masuki terowongan itu. Benar saja duga-an mereka karena tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan sebuah yang-khim berada di punggungnya.
Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong su-dah memasang kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sen-dirinya!
"Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini, kakek-kakek yang sudah amat tua, meng-apa harus bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan" Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang me-ngagumkan, tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gem-blengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah
memperoleh hasil yang amat berharga."
"Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu!" kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.
"Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!"
kata pula Pak-kek Sian-ong yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu.
Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah. "Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan" Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau membersihkan diri dan meng-insyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?"
Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian Si Muka Merah itu tertawa. Ha-ha, Bu Kek Siansu. kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan.
Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!"
"Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini!" kata Pak--kek Sian-ong penasaran.
"Siancai.... Siancai.... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya" Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding" Harap Ji-wi ketahui, semen-jak Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan ma-kin aman, bahkan kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan
me-reka. Tokoh-tokoh hitam akan mengada-kan pertemuan dan sekali mereka itu ber-satu padu, bukankah perikemanusiaan ter-ancam bahaya hebat" Ji-wi, segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari mem-beri cahaya kehidupan.
Tanah memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan.
Ji--wi yang telah dikurniai kepandaian ting-gi, layaknya kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan" Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mem-pelajari ilmu kalau hanya untuk main-main dengan aku seorang tua bangka" Harap Ji-wi suka insyaf."
"Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 111
belas tahun yang lalu."
"Benar kata-kata Ang-bin Siauwte." kata Si Muka Putih. "Yang lain-lain per-kara kecil, kami akan menurut selanjut-nya kalau kami kalah lagi."
Bu Kek Siansu menarik napas panjang. "Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Ka-lau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan.
Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Ji--wi tidak membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang ku-maksudkan tadi."
Kembali dua orang kakek itu saling pandang. Betapapun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia se-tengah dewa itu. Biarpun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam kurungan, namun mereka mak-lum bahwa Bu Kek Siansu
memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesem-patan baik ini.
Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya. Melainkan mereka haus akan kemenangan. Apapun juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apalagi kalau ke-menangan ini disahkan dengan terjatuh-nya Bu Kek Siansu,, si manusia dewa di bawah tangan mereka!
"Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!" kata Si Muka Merah.
"Aku pun memukul tiga kali!" kata pula Pak-kek Sian-ong.
"Terserah, tiga kali juga baik." kata Bu Kek Siansu tenang.
"Kau tidak boleh menangkis!" kata pula Lam-kek Sian-ong.
"Dan tidak boleh mengelak!" sambung Pek-kek Sian-ong.
"Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi."
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang se-menjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini, menjadi ka-get sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan me-reka saja tadi sudah menghancurkan ba-tu. Bagaimana sekarang kakek yang su-dah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak maupun menangkis" Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik
menyaksi-kan keanehan ini. Juga Siangkoan Li su-dah duduk di dekatnya sambil
meman-dang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu. Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri.
Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulai-lah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar akan hal ini, meng-apa ia tidak mau mencuci diri member-sihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan" Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaik-nya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya.
Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam,
mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dah-syat menyambar.
"Desss....!" Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-go-yang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis maupun mengelak. Pukulan yang amat keras dan
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 112
menggeledek. "Ang-bin Siauwte, bergantian!" teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapas-an. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergan-tian, ia mendapat kesempatan memulih-kan tenaga.
Diam-diam ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul se-karung kapas, tenaganya amblas kemu-dian membalik. Sungguh hebat!
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama.
Berbeda dengan Lam-kek Sian-ong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan
tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat ini memukul dengan jari-jari terbuka dan
mengerahkan tenaga Im-kang.
"Cesss....!" Kembali tubuh Bu Kek Siansu terge-tar bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapapun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat.
Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah
mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur
per-napasannya. Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah berse-pakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam peng-gunaan tenaga panas, sedangkan sebalik-nya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mem-pergunakan tenaga dingin.
Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat meng-atur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pu-kulan itu"
Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemu-kulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua yenta itu tentu akan ter-pukul mati.
"Bresss....!" Hebat bukan main pukulan yang dila-kukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sian-ong menampar lambung dalam saat ber-bareng. Tubuh Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang--khim di punggungnya ternyata telah re-muk! Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keada-an hancur sedangkan dinding batu di mana ia terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu! Se-nyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 113
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah memper-gunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi me-lihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan.... mung-kin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan! Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak ber-laku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah meng-hampiri Bu Kek Siansu yang berdiri de-ngan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.
"Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi....!"
Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menu-dingkan telunjuknya dan berkata, "Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan" Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau" Kegagahan ma-cam apa yang kalian perlihatkan ini?"
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong terkejut. Mereka tidak mengira bah-wa semua yang terjadi itu telah disaksi-kan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada ta-ngan kanan Pak-kek Sian-ong.
Mereka berniat untuk melakukan pukulan ter-akhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang tela-pak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di jalan.
"Pergilah kalian!" bentak Lam-kek Sian-ong.
Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat me-ngerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ke-tika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok! Benar-benar, pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyen-tuh tubuh mereka, tentu maut akan da-tang merenggut nyawa! Akan tetapi, ti-ba-tiba mereka merasa ada tangan me-nyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba.
Dan, sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pu-kulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang!


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minggirlah, anak-anak!" terdengar bisikan dari belakang dan Kwi Lan ber-dua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan ke-lihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.
Kedua orang kakek itu sudah melon-cat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 114
Mu-lailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan meng-andalkan kepandaian sendiri! Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar bia-sanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.
"Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi."
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguhpun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Ka-lau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas!
Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu berkata lagi, "Mengapa Ji-wi ragu-ragu"
Adakah Ji-wi merasa menye-sal" Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biar-pun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan
kese-lamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua."
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian--ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lam-kek Sian-ong berkata, "Masih sekali pu-kulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu!"
"Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!" kata pula Pak-kek Sian-ong.
Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
"Dukkk....!" Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tu-buhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah
mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih ber-goyang-goyang. Dari mata, hidung, mu-lut, dan telinga mengalir darah segar! Dua orang kakek itu menjerit dan me-nubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, be-gitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka ber-dua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini"
Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.
"Siancai.... siancai.... legalah hatiku sekarang.... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat...."
"Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?" Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
"Siansu, kami bersumpah akan men-taati pesanmu sampai mati!" kata pula Pak-kek Sian-ong.
"Anak-anak yang baik," kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja. "Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya" Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemah-an-kelemahan dan kebodohan-kebodohan-nya, sadar insyaf dan kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah." Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 115
lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam te-rowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum!
Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini me-nangis terisak-isak.
Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan
menyembunyikan muka-nya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa
me-ngeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheran-an.
Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. "Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu...."
Mendadak Pak-kek Sian-ong memba-likkan tubuh menoleh lalu memben-tak, "Aku tidak mempunyai murid macam engkau.
Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. "Suhu, harap maaf-kan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasihat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang men-jadi perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan....?"
Kini Lam-kek Sian-ong yang memba-likkan tubuh dan menoleh. Ia masih du-duk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik, "Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan! Pergi.... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini!"
"Suhu....!" Siangkoan Li merintih.
"Cukup! Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan Ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kau-kira kami tidak mengetahui sepak ter-jangmu" Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau!" kata Pak-kek Sian-ong.
"Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twa-ko, kaubikin dua orang muda ini kecewa saja!" Si Muka Merah mengejek.
Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li.
Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, meng-ejek dan menghina Kwi Lan.
Wajah pe-muda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan semangat. Ia masih berlutut dan meng-angkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon di-kasihani. Akan tetapi kedua orang guru-nya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka me-rah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu.
Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa.
Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pu-kulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahan-kan lagi. Ia melompat maju dan memaki.
"Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehen-dak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasihat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 116
kalian ini?" Ia lalu meme-gang lengan Siangkoan Li, ditariknya pe-muda itu bangun dari berlutut, digan-dengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.
"Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan me-nyandarkan pendirianmu kepada orang-orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini" Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan" Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun di-tanggung sendiri. Itu baru laki-laki nama-nya!"
"Hi-hi-hik....!" Pak-kek Sian-ong me-ngeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-kek Sian-ong juga tertawa.
Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Bebe-rapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya men-cobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.
Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan
membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut sebelah depan. Biar-pun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelan-ja.
Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan te-tapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa ma-kanan di atas meja, akan tetapi penge-mis itu tidak peduli dan duduk meleng-gut, agaknya tertidur setelah kekenyang-an makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhati-kannya, tentu akan menjadi heran me-lihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun ter-pelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah!
Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun hanya seorang di antara anggauta per-kumpulan-perkumpulan itu yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga Siangkoan Li ter-lalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usaha-nya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada Si Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.
"Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihai-nya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan benar" Untuk apa memikirkan mereka" Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup, meng-hapus semua yang kotor dan mulai de-ngan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat jantanmu" Bangkit-lah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya." Berkali-kali Kwi Lan menghibur.
"Aihhh...., bukan main....!" Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas. Kwi Lan cepat menoleh keluar, akan tetapi tidak tam-pak ada orang di luar. Suara tadi datang dari luar, ataukah.... dari pengemis yang tertidur tadi" Akan tetapi bukan, karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus dan panjang, napas orang sedang tidur! Ia menoleh ke arah dalam di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk member-sihkan dapur. Tidak ada orang lain ke-cuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi. Mung-kin suara orang di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya de-ngan dia.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 117
Siangkoan Li menghela napas panjang. "Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi, mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan.
Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi me-nyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengang-kat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi...." Ia menundukkan muka dengan sedih.
"Mengapa lagi" Apa yang menjadi ha-langan?"
"Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. De-ngan
sendirinya aku telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat! Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku" Kurasa usahaku untuk meng-himpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil."
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yang cerdik. Ia dapat me-ngerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu.
Selagi ia hendak menjawab dan menghibur, tiba-tiba ter-dengar suara halus namun keren dan penuh teguran.
"Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan ke-kerasan!"
Kwi Lan cepat menoleh dan tampak-lah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, ma-tanya bersinar halus namun amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan si-kap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima semua
membawa pedang. "Celaka, mereka adalah hwesio-hwe-sio Lu-liang-pai...." bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan melang-kah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.
"Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi me-maafkan karena hal itu teecu lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin ber-jumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang--pai." Siangkoan Li yang mengenal kesa-lahannya dan kini sedang dalam usaha "memperbaiki jalan hidup" mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.
"Omitohud.... baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu.
Sayang, bukan hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami.
Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan, lebih dari itu, malah tanpa ada yang menge-tahui kau telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Seka-rang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke dalam kuil dan meroboh-kan dua orang murid kami.
Siangkoan Li, hayo lekas berlutut dan menerima hu-kuman di kuil kami."
Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang Siang-bhok-kiam! Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan kiri-nya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.
"Hwesio-hwesio gundul sombong! Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa--dosanya" Apakah kalian ini Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 118
hakim" Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya manusia?"
Para hwesio itu nampak kaget, bah-kan ada di antara mereka mencabut pe-dang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua ta-ngan memberi hormat dan berkata.
"Omitohud...... Nona muda siapakah" Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok Hwe-sio Ketua Luliang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?"
"Hwesio tua, tak perlu aku memper-kenalkan diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia.
Kau tidak berhak!" "Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap" Omitohud, semoga Hudya (Buddha) membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami mengang-gap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak.
Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm.... agaknya pin-ceng tidak akan berlaku selunak ini."
Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkan keningnya. Ia menjadi makin berduka,
diingatkan betapa ayahnya se-orang yang dihormati dan dijunjung ting-gi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.
"Tua bangka gundul! Kau bicara se-olah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia ini! Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa! Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan menganggap me-reka berdosa! Pantas kalian hendak di-basmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu!"
"Kwi Lan, jangan....!" Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siang-koan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan berkata.
"Thaisu, dan para Suhu semua, de-ngarlah! Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Aku tidak merasa ber-dosa terhadap Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu bukan-lah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh.
Aku bersedia melayani kalian, akan te-tapi aku tidak mau dihukum! Kalau ka-lian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh! Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah, silakan!"
Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani me-lawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang he-bat itu, ia meragu. Apalagi di situ ter-dapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu. Andai-kata dia mampu mengalahkan dan me-nangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang--pai" Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu tak Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 119
seorang pun manusia mengetahuinya.
"Omitohud....! Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dam berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu seba-gai musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi." Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus, "Mari kita pergi."
Hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah ke-luar sambil berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang mata sampai mereka itu mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
"Engkau benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri,
mem-pertimbangkan perbuatan sendiri kemudian mempertanggungjawabkannya sendiri pula.
Terima kasih atas segala bantuan-mu, Kwi Lan. Sekarang terbukalah mata-ku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membangun kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, terjunjung tinggi nama-nya di dunia kang-ouw. Aku akan ber-usaha sekuat tenagaku untuk
memperli-hatkan kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang anak seper-ti aku." Ucapan ini bersemangat sekali dan pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan ter-kepal dan mukanya yang tampan kehi-langan kemuramannya, kini tampak ber-seri dan bercahaya.
Kwi Lan tersenyum lebar, mengham-piri dan memegang tangan pemuda itu. "Bagus!
Sekarang aku dapat dengan hati ikhlas dan dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li.
Kelak aku pasti akan datang mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu."
Pemuda itu memandangnya tajam. "Apa" Kau.... kau tidak ikut bersamaku?"
Kwi Lan menggeleng kepala. "Sungguh lucu, bukan" Tadinya engkau yang selalu menyuruh aku pergi akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak
meninggalkanmu akan tetapi engkau yang sebaliknya menghendaki aku membantumu.
Sekarang engkau dapat berdiri sendiri, Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku, me-lainkan urusan pribadimu. Betapapun juga, aku girang sekali telah dapat ber-sahabat denganmu. Engkau seorang pe-muda yang amat hebat!"
"Kwi Lan.... ahhh...."
"Ada apa" Kenapa kau meragu lagi?"
"Kwi Lan...., terus terang saja... hemm, sekarang ini.... terasa amat berat bagiku untuk berpisah darimu. Tidak.... tidak da-patkah kita.... eh, bersama selalu....?"
"Ehm.... ehm....!"
Untung pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil menggaruk-garuk pundak yang agaknya digigit kutu bajunya se-hingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata Siangkoan Li itu men-jadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam warung di mana terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan berkata.
"Maaf, Kwi Lan. Kembali aku terse-ret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus
mengambil jalan kita masing-ma-sing dan kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik, setelah tugas kita masing-masing selesai. Nah, selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan!" Jari tangan yang menggenggam tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke dalam hatinya. Ia me-mandang mesra kemudian menarik kem-bali tangannya.
"Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil da-lam tugasmu.
Sampai berjumpa pula kelak...."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 120
Dengan wajah berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama kemudian ia telah ber-lari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang
mengikutinya. Gadis itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik warung. Setelah membayar harga makan-an, ia pun lalu membawa bungkusan
pa-kaiannya dan meninggalkan warung itu.
*** Kita tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk melanjutkan
perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya. Mari-lah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti telah disinggung oleh ma-nusia dewa Bu Kek Siansu ketika mem-beri nasihat kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, ter-jadi perubahan hebat semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apalagi,
pemerintah Sung dengan secara tidak langsung diban-tu oleh para pendekar, mendapat angin baik dan di mana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan hitam se-hingga
banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang. Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelun-dup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar per-kumpulan pengemis sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah
menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar itu.
Kemudian timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan se-mangat
golongan hitam yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat daripada mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam "datuk" mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir inl banyak mun-cul di dunia sebelah selatan. Semenjak dikalahkan oleh Suling Emas (baca CINTA BERNODA DARAH), iblis betina ini melari-kan diri dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid pe-rempuan yang cantik-cantik dan kese-muanya berambut panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah ba-risan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya menggemparkan per-batasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau di antara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah membu-nuh dua ratus lebih orang pengemis go-longan putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang be-sar sekali. Dia ini dijuluki Bu-tek Siu--lam (Si Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, ten-tu saja namanya disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang ber-usaha untuk mengambil alih kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dika-barkan selain lebih lihai daripada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak bica-ranya seperti perempuan genit!
Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong, seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 121
dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te Liok-kwi (baca CINTA BERNODA DARAH). Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah ger-gaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan!
Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabung-kan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke empat di antara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah se-orang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa).
Dia ini adalah paman guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandai-annya. Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para pengikut-nya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima di antara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Berte-naga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepu-lauan di laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah. Sampai kini belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang sen-jatanya yang aneh dan lucu, yaitu sepa-sang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama tambur dan canang un-tuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyai pengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar!
Pagi hari itu amat ramai di Puncak -Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling -sunyi, tak pernah didatangi manusia ka-rena selain sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan seringkali dijadikan -sarang manusia-manusia buas pula.
Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan di antara orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala! Pagi hari itu sudah ramailah puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam
pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang
berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis. Biarpun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini.
Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman bermacam-macam lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang. Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan
pengemis yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan perkumpulan-perkum-pulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pe-ngemislah yang terbanyak datang me-ngunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan harimau, binatang-bina-tang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 122
manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan ke-biasaan mereka. Biarpun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat bera-mah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa persahabatan satu dengan yang lainnya. Dengan bangga mereka saling menceritakan
pengalaman mereka yang bagi umum merupakan per-buatan jahat, namun bagi mereka
me-rupakan kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir bu-rung-burung yang terbang pergi keta-kutan.
Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini ber-kumpul mengelilingi sebuah batu besar yang bundar bentuknya dan licin permu-kaannya sehingga batu itu dapat diper-gunakan sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di seputar "meja" ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ ada-lah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita
semerdu ini, seren-tak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua
percakapan terhenti dan semua mata melotot me-mandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan de-ngan lenggang bergaya tari, menarik dan
menggairahkan. Dua orang wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka ada-lah wanita-wanita selatan. Rambut me-reka terurai panjang tak digelung, dan gagang pedang tampak di belakang pung-gung. Mereka datang sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata me-ngerling-ngerling genit.
Karena yang menjadi pelopor perte-muan ini adalah dua perkumpulan penge-mis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak mu-suh yang datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang wanita itu.
"Selamat datang di antara sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Ber-dua) ini dari golongan manakah dan ber-diri di bawah bendera apa?"
Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil me-nutupi mulut dengan ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang di antara mereka yang lebih tinggi ber-kata.
"Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini."
"Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!"
Dua orang wanita itu tersenyum-se-nyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.
"Mari duduk dekatku sini, Nona. Ba-tunya licin dan bersih!"
"Di sini teduh. Marilah!"
Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, se-mua mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada pula yang mulai menge-luarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 123
sesuai dengan watak mereka yang me-mang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul. Namun dua orang wani-ta itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta Siang--mou-tin ini tersenyum-senyum dan me-lirik sana-sini memilih tempat. Sesung-guhnya bukan tempat yang mereka pilih, melainkan penawarnya. Tak lama ke-mudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh, mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biarpun tuan rumahnya adalah per-kumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat jang-gal terdengarnya.
Pengemis yang tidak miskin! Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggauta Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias merampok!
Dengan mengandalkan kepan-daian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang kaya lalu "me-ngemis" jumlah tertentu yang harus di-berikan oleh si kaya. Demikianlah prak-tek yang dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-ma-kanan yang cukup lezat dan mahal.
Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang le-bih. Maka perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para pendekar yang pernah menghancurkan golongan
mereka. "Sudah terlalu lama kita ditindas!" Demikian antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang berkata.
"Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka."
"Agar persatuan kita dapat lebih kuat teratur, kita harus mengangkat seorang bengcu (pemimpin). Pertemuan ini me-mang merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan untuk memilih bengcu. Tentu saja memilih bengcu harus mencari seorang tokoh yang sakti agar pekerjaan kita jangan sampai gagal!" kata Ketua Hek-coa Kai-pang. "Kami dari golongan pengemis mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam!"
Semua pengemis yang merupakan ang-gauta pimpinan pelbagai perkumpulan pengemis,
bertepuk tangan menyatakan setuju dan mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa Kai-pang itu.
Mulailah golongan lain mengajukan calon-calon mereka. Wakil-wakil dari utara mengajukan calon Sin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang sudah terkenal kesaktiannya. Golongan barat diperkuat oleh perkumpulan Thian-liong-pang meng-ajukan Siauw-bin Lo-mo. Sebaliknya para penjahat yang datang dari timur dan yang mengagumi sepak terjang Thai-lek Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan tokoh baru ini sebagai beng-cu. Ramailah mereka memuji-muji se-tinggi langit calon masing-masing, men-ceritakan kehebatan sepak terjang me-reka, kelihaian mereka, dan kekejaman mereka yang mereka katakan bahwa lebih hebat daripada Thian-te Liok-kwi yang kini sudah tidak ada lagi, tinggal Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw.
"Bagus! Agaknya kita tidak kekurang-an calon yang hebat-hebat! Sudah ada empat orang calon kita yang dalam be-berapa hari ini akan hadir di sini. Sete-lah semua calon berkumpul, barulah di-lihat siapa di antara mereka yang paling patut dijadikan bengcu. Sementara itu, mengingat bahwa Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, jadi merupakan tokoh tua yang patut diingat, sebaiknya kita mendengarkan suara utus-annya yang kini hadir di sini." kata Ke-tua Hek-peng Kai-pang sambil melirik dua orang nona manis yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 124
kelihatan makin merapat duduknya dengan dua orang laki-laki muda tampan tadi. Tanpa malu-malu lagi kedua nona itu sudah bersikap sangat mesra terhadap dua orang pasangan mereka.
Mendengar ucapan itu, dua orang nona manis itu kini dengan manja dan perlahan mendorong dada pasangan me-reka, kemudian tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali meloncat, gerakan mereka yang amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah ber-diri di atas batu besar di tengah-tengah. Di tempat tinggi ini mereka kelihatan jelas. Cantik genit dengan bentuk tubuh tampak membayang di balik pakaian sutera tipis. Cantik menggairahkan.
"Seperti telah kami katakan tadi, kami hanyalah utusan yang ditugaskan oleh Guru kami sebagai peninjau saja. Guru kami menyatakan bahwa beliau tidak tertarik lagi akan urusan dunia dan tidak menghendaki kedudukan bengcu. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa kami tidak mau bekerja sama dengan Anda sekalian. Guru kami berpesan apa-bila bengcu baru sewaktu-waktu bergerak menggempur Suling Emas, Guru kami pasti akan turun tangan membantu. Ha-nya kalau bentrok melawan Suling Emas saja Guru kami suka berkerja sama.
Kiranya cukuplah pernyataan kami dan selanjutnya kami hanya menjadi peninjau yang tidak mengajukan calon." Setelah berkata demikian, dengan langkah meng-goyang pinggul mereka kembali meng-hampiri pasangan masing-masing yang menerima mereka dengan kedua lengan terbuka dan tertawa-tawa.
Ucapan anggauta Siang-mou-tin ini sekaligus membelokkan percakapan me-reka yang hadir di situ dari persoalan pencalonan bengcu menjadi soal musuh--musuh besar mereka.
"Apa yang dikatakan oleh Ji-wi Kouwnio tadi memang tepat!" kata se-orang di antara para tokoh dari utara. "Memang Suling Emas merupakan seorang musuh besar kita bersama.
Siapakah di antara kita yang belum pernah tergang-gu oleh Suling Emas, baik secara lang-sung mau pun tidak langsung" Dan ja-ngan dilupakan Ratu Khitan! Wanita yang kini menjadi Ratu Khitan kabarnya masih sanak dekat Suling Emas, bahkan berhasil menjadi ratu karena bantuan Suling Emas. Kami mendengar pula bahwa ratu yang sampai kini tidak menikah itu ada-lah kekasih Suling Emas. Sungguh mema-lukan sekali, terutama terhadap bangsa Khitan yang menjadi kawan baik kami. Oleh karena itulah kami mengajukan Pak-sin-ong sebagai calon bengcu dan tugas kita pertama adalah mencari dan membunuh Suling Emas bersama teman--temannya, terutama sekali Ratu Khitan!"
Ramailah mereka menyebut dan menyumpahi nama-nama tokoh yang men-jadi musuh
mereka. Selain Suling Emas dan Ratu Khitan, juga ada yang menye-but-nyebut nama Yu Kang Tianglo yang mereka khawatirkan akan merupakan pimpinan para pengemis baju butut yang amat lihai. Disinggung pula nama Kam Bu Sin bersama isterinya Liu Hwee pu-teri ketua Beng-kauw yang kini berdiam di kota Heng-yang, sebuah kota yang terletak di lembah Sungai Mutiara di mana keduanya hidup rukun dan tenteram namun yang selalu tak pernah
merupakan tugas mereka sebagai orang-orang gagah untuk melawan kejahatan. Masih banyak nama yang disebut dan dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat ini, di anta-ranya disebut-sebut pemilik Ang-san-kok (Lembah Gunung Merah).
"Paling penting lebih dulu memohon bengcu baru untuk menyerang Ratu Khi-tan." seorang tokoh utara berkata, "Kalau kedudukan Ratu Khitan dapat diram-pas, berarti golongan kita akan menda-patkan bantuan yang amat kuat, yaitu bangsa Khitan, sehingga tidak akan su-karlah membasmi yang lain-lain."
"Akan tetapi kabarnya ilmu kepandai-an Ratu Khitan juga amat hebat!" bantah seorang lain.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi aku mendengar bahwa biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun ia masih cantik jelita seperti bidadari dan ilmu kepandaiannya amat dahsyat. Di samping-nya ada pula pembantunya yang setia, Panglima Besar Kayabu yang kabarnya juga lihai sekali."
"Uhh, lihai apa" Kayabu itu hanya mengandalkan ketampanan wajahnya se-hingga ia menjadi seorang di antara ke-kasih Ratu Yalina yang gila lelaki!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 125
"Masa....?" "Siapa membohong" Kekasihnya ba-nyak, di antaranya Suling Emas, Kayabu dan boleh dibilang setiap orang muda bangsa Khitan tentu ditarik masuk ke istana untuk memuaskan nafsunya."
"Ah, benarkah itu....?" Orang-orang menjadi tertarik hatinya.
Orang yang bercerita itu membusung-kan dadanya. Dia seorang laki-laki ber-usia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar, nampak amat kuat, muka-nya dihias kumis dan jenggot lebat, se-hingga wajahnya menjadi angker mena-kutkan.
"Aku bukan hanya sudah menyaksikan dengan mata ini sendiri, bahkan sudah pula menikmati pelukannya yang hangat!" kata laki-laki ini. "Siapa yang tidak tahu bahwa aku pernah tinggal di Khitan dan menjadi kekasih Ratu Yalina sampai sepekan lebih?"
"Wah, hebat sekali! Twako, agaknya dia suka kepadamu karena kau tinggi besar dan gagah!"
kata seorang anggauta pengemis menggoda karena masih belum percaya benar.
"Memang dia paling suka kepada laki-laki yang tinggi besar, terutama sekali yang jenggot dan kumisnya sebagus ini!" Laki-laki itu mengelus-elus jenggot dan kumisnya dengan bangga sambil melirik ke arah dua orang anggauta Siang-mou-tin yang tidak memilih dia.
"Ceritakan....!"
"Ya, ceritakan, Twako. Bagaimana ketika engkau menjadi kekasih Ratu Ya-lina?"
Orang-orang mendesak kepada Si Bre-wok ini untuk bercerita. Dua orang wa-nita anggauta Siang-mou-tin yang men-dengar percakapan yang makin menjurus ke arah cabul dan kotor ini hanya ter-senyum-senyum dan kadang-kadang ter-kekeh geli.
Si Brewok yang kini menjadi pusat perhatian, dengan bangga lalu melompat ke atas batu besar di tengah-tengah, memasang aksi dan berdehem beberapa kali sebelum mulai dengan ceritanya yang pasti menarik dan cabul. Akan tetapi pada saat itu, Si Brewok menjerit dan terjengkang roboh menggelinding turun dari atas batu besar. Ketika orang-orang datang menghampirinya, ternyata Si Brewok sudah tewas dan di lehernya menancap sebatang jarum hijau! Kagetlah semua orang dan pada saat itu, dari balik sebatang pohon muncul seorang gadis muda yang amat cantik. Gadis ini bukan lain adalah Kwi Lan! Secara kebetulan sekali, dalam perjalanannya menuju ke Khitan, Kwi Lan lewat di kaki Gu-nung Cheng-liong-san. Ia tertarik akan gerak-gerik dua orang anggauta Siang-mou-tin maka diam-diam ia mengikuti mereka naik ke puncak di mana ia meli-hat berkumpul banyak orang dari golong-an sesat.
Mula-mula ia hanya mengintai dan mendengarkan, sudah merasa kesal dan hendak pergi ketika tiba-tiba ia mendengar nama Ratu Khitan disebut-sebut. Ratu Khitan yang bernama Yalina, ibu kandungnya! Ia mendengarkan dengan hati berdebar. Ketika mendengar betapa Ratu Yalina dimusuhi, ia hanya mencibir-kan bibirnya dan tidak mengambil peduli. Akan tetapi ketika muncul Si Brewok yang menghina Ratu Yalina, ia tak dapat menahan
Pendekar Lembah Naga 29 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Manusia Harimau Jatuh Cinta 7

Cari Blog Ini