Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 6

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


kemarahannya sehingga sebelum Si Brewok bicara yang bukan-bukan, ia sudah
menyerangnya dengan sebatang jarum. Siapa kira Si Brewok itu hanya lihai mulutnya saja.
Diserang satu kali telah roboh dan tewas!
Kwi Lan muncul dari tempat sem-bunyinya dan berkata lantang. "Aku tidak mencari
permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi mendengar monyet itu membual, benar-benar membikin orang menjadi muak dan tak dapat menahan tangan untuk tidak menghajarnya.
Sela-mat tinggal!" Dengan enak saja Kwi Lan yang telah membunuh orang itu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.
Semua orang terkejut. Gadis cantik itu dapat bersembunyi di situ tanpa se-orang pun di antara mereka tahu, hal ini sudah membuktikan kelihaiannya. Ke-mudian sekali turun tangan sudah mem-bunuh Si Brewok, hal ini merupakan buk-ti ke dua. Semua orang menjadi kesima. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan seorang Khitan yang ikut dalam rom-bongan dari utara.
"Itu dia perempuan iblis yang me-rampas kuda hitam Hek-liong-ma!" Orang Khitan ini telinga kanannya putus bekas sabetan pedang Siang-bhok-kiam di ta-ngan Kwi Lan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 126
"Benar, dia Si Gadis Siluman, murid iblis betina yang bernama Kam Sian Eng!" teriak seorang yang tangan kanan-nya buntung, mata kanannya buta dan hidungnya bengkok. Dia adalah seorang tokoh Hek-pang Kai-pang yang pernah mendapat hajaran Kam Sian Eng dan kini mengenal Kwi Lan.
"Dia pengacau itu....!" beberapa orang Thian-liong-pang juga berseru.
"Srr.... werr.... siuuuuttt....!" Hujan senjata rahasia menyerang Kwi Lan!
Gadis ini terkejut. Tak disangkanya bahwa ia akan bertemu banyak musuh di tempat ini.
Cepat ia meloncat ke depan mengelak dari serangan hujan senjata rahasia itu. ia menaksir bahwa jumlah lawannya ada seratus orang lebih dan dari sambaran senjata-senjata rahasia tadi tahulah ia bahwa di antara mereka terdapat banyak orang yang tak boleh dipandang ringan kepandaiannya. Ia tidak takut, tidak pernah mengenal takut. Akan tetapi Kwi Lan juga bukan seorang goblok yang mau menyia-nyiakan nyawa-nya, mati konyol dikeroyok begitu banyak lawan. Sambil tersenyum mengejek ia lalu mempergunakan kepandaiannya ber-lari cepat.
Karena ia tidak mengenal daerah itu, ia lari ke kiri dan kebetulan sekali ia lari ke tempat kuda.
Kuda-kuda tunggangan para pendatang ini dikumpul-kan di suatu tempat yang banyak ditum-buhi rumput gemuk, dijaga oleh belasan orang anggauta rendahan.
Ketika Kwi Lan lari sampai ke tem-pat ini dikejar oleh puluhan orang dari belakang, ia melihat betapa di tempat kuda ini ternyata juga terjadi kekacauan. Belasan orang penjaga kuda sudah meng-geletak malang-melintang di sekitar tem-pat itu sedangkan puluhan ekor kuda itu sudah terlepas semua! Terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, membuat bina-tang-binatang itu menjadi makin panik, saling tabrak dan riuh rendah suara me-reka meringkik-ringkik. Melihat kesem-patan ini, Kwi Lan lalu melompat ke atas punggung seekor kuda tinggi besar, kemudian menyendal kendali kuda itu, membelok ke kanan lalu melarikan kuda.
Ributlah suara para pengejar ketika, menyaksikan kekacauan di tempat ini, apalagi ketika melihat betapa semua kuda mereka telah terlepas dan panik. Dalam keadaan seribut itu, mereka ter-halang melakukan pengejaran, dan sibuk menenangkan kuda tunggangan mereka.
Kwi Lan membedal terus kudanya menuruni puncak. Ketika mendengar de-rap kaki banyak kuda mengejarnya, ia segera mempersiapkan jarum-jarumnya dan menoleh. Mau tidak mau ia tertawa sendiri melihat bahwa yang mengejarnya adalah kuda-kuda tanpa penunggang.
Ki-ranya banyak kuda yang karena bingung lalu mengikuti saja kuda yang ditung-gangi Kwi Lan. Gadis ini lalu menahan kudanya dan menghalau belasan ekor kuda yang mengikutinya itu sehingga mereka lari kacau-balau ketakutan.
Sambil tersenyum-senyum Kwi Lan melanjutkan perjalanannya. Senyum ke-puasan menghias bibirnya. Ia telah ber-hasil merobohkan orang yang telah meng-hina ibu kandungnya. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya dan belum pernah ada yang bercerita tentang ibunya, namun ia tidak percaya bahwa ibunya seorang berwatak rendah seperti dibualkan oleh Si Brewok tadi. Ia puas bahwa ia telah membunuh orang itu dan di samping ini telah mendapatkan seekor kuda tunggangan. Biarpun tidak sebaik kuda keturunan Hek-liong-ma yang hilang ketika ia dikeroyok bajak sungai anak buah Huang-ho Tai-ong, namun kuda ini juga seekor kuda yang baik. Agaknya tunggangan orang-orang utara tadi. Me-reka itu jelas adalah orang-orang dari golongan sesat, maka Kwi Lan tidak me-rasa malu untuk merampas kuda mereka.
Akan tetapi, setelah melarikan kuda beberapa lama belum juga Kwi Lan ber-hasil turun dari Cheng-liong-san. Ia me-rasa heran dan bingung sekali. Sudah lama ia membalapkan kuda, naik turun dan membelok ke kanan kiri, namun ia hanya berputar-putar di sekitar lereng gunung. Ia memang berhasil melarikan diri dari para pengejarnya, namun ia tidak berhasil turun dari gunung!
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia melihat seorang berpakaian pe-ngemis duduk bersandar batang pohon. Pengemis itu agaknya kelelahan dan mengaso di tempat itu lalu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 127
tertidur ka-rena hembusan angin gunung yang sejuk. Pengemis ini pakaiannya penuh tambalan, memegangi sebatang tongkat, sebuah buntalan besar terletak di dekatnya dan sebuah topi lebar menutupi seluruh mu-kanya. Topi lebar bundar yang butut dan tua, akan tetapi anehnya, setangkai bu-nga mawar yang merah segar berikut dua helai daunnya terselip menghias pita topi itu.
Kwi Lan menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya kepada pengemis ini, menanya-kan jalan turun.
Akan tetapi siapa tahu kalau-kalau pengemis ini seorang di an-tara kaum sesat yang berkumpul di pun-cak tadi. Tentu akan sia-sia pertanyaannya. Kalau pengemis ini seorang di anta-ra kaum sesat itu, tentu bukan percuma berada di situ. Mungkin sengaja mengha-dang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.
Kwi Lan sengaja memperlambat ja-lannya kuda ketika melewati pengemis yang duduk
melenggut itu. Kudanya lewat dekat di depan Si Pengemis dan ia sudah siap waspada menjaga serangan. Namun pengemis itu tidak bergerak, seolah-olah tidak mendengar suara kaki kuda lewat di depannya. Kwi Lan lewat terus sampai agak jauh sambil menengok. Pengemis itu tetap tidak bergerak. Kalau begitu, tentu bukan seorang di antara kaum sesat, pikirnya. Tentu seorang pengemis tulen yang kelaparan dan kele-lahan. Maka ia lalu memutar kembali kudanya dan meloncat turun dekat pe-ngemis itu. Muka pengemis itu tidak tampak, tertutup topi lebar. Akan tetapi orang yang menjadi pengemis tentulah seorang tua yang sudah tidak kuat beker-ja lagi dan hidup terlantar, pikirnya.
"Paman pengemis!" tegurnya nyaring. "Harap kau bangun sebentar, aku ingin bertanya...."
Pengemis itu tersentak seperti orang kaget, lalu mengguman dan menggaruk belakang telinganya. Gerakan ini mem-buat topinya makin menunduk. Ketika ia mengangkat sedikit mukanya, yang tam-pak oleh Kwi Lan hanya sepasang mata mengintai dari bayang-bayang gelap di bawah topi.
"Mau bertanya apa?" Suara pengemis itu lirih seperti orang kelaparan benar sehingga kehabisan tenaga.
"Engkau tentu mengenal jalan di tem-pat ini, Paman tua, kautolonglah aku yang tidak tahu jalan. Tunjukkan padaku jalan menuruni lembah gunung ini."
Sejenak pengemis itu tidak menjawab, melainkan memandang kuda yang ditun-tun Kwi Lan.
Kemudian ia berkata, acuh tak acuh, "Jalan turun bisa ditempuh jalan kaki, tak mungkin berkuda. Dari sini maju kira-kira setengah li, di pinggir jalan terdapat sebuah batu besar berben-tuk kepala burung. Di belakang batu itulah terdapat jalan setapak yang akan membawa orang turun ke bawah." Setelah berkata demikian, pengemis itu kembali menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh pulas lagi.
"Terima kasih, Paman." kata Kwi Lan akan tetapi pengemis itu tidak menjawab karena agaknya sudah tidur.
Huh, pemalas benar, pikir Kwi Lan. Akan tetapi tiba-tiba ia ingat seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika ia mengingat-ingat, terba-yanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun dekat markas besar Lu-liang-pai di mana ia bersama Siangkoan Li berpisah. Di rumah makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus -menerus duduk melenggut, sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya semen-jak ia datang ke rumah itu sampai pergi lagi. Inikah orang itu" Melihat topi bu-tutnya mungkin ini orangnya dan kalau betul, benar-benar aneh dan mencuriga-kan. Bagaimana bisa begitu kebetulan" Tadinya bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di Cheng-liong-san. Di sana tidur, di sini pun tidur. Kalau pe-ngemis ini begitu malas dan kerjanya hanya tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini" Biarlah, asal ia tidak menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak di puncak itu dan tentu masih berusaha mencarinya. Tak perlu menambah lawan yang belum diketahui kesalahannya. Ia lalu meloncat ke atas punggung kudanya lagi dan melarikan kuda ke depan.
Kurang lebih setengah li jauhnya, me-lihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip kepala Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 128
burung, ia berhenti. Benar saja seperti diceritakan pengemis tadi, ketika ia menyelinap ke belakang batu, tampak olehnya jalan menurun yang hanya tampak bekas tapak kaki saja. Jalan itu curam dan kecil sekali, turun-nya harus berpegangan pada akar-akar dan batu. Tak mungkin dilalui oleh se-ekor kuda. Kalau begitu pengemis itu tidak bohong, dan tidak mempunyai niat buruk. Pada saat Kwi Lan hendak me-nuruni jalan setapak itu, tiba-tiba ia men-dengar bentakan-bentakan keras di sebe-lah belakang. Ia meloncat keluar lagi dari belakang batu untuk melihat, siap dengan pedangnya. Alangkah kaget dan herannya ketika dari jarak setengah li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis malas yang tadi duduk melenggut di bawah pohon, kini telah bertanding dikeroyok belasan orang banyaknya!
Hebatnya, pe-ngemis itu masih menutupi kepala dan mukanya dengan topi lebar butut, bahkan masih duduk melonjorkan kaki dan ber-sandar pada pohon, hanya tongkat di
tangannya yang bergerak-gerak ke depan menangkis serangan senjata tajam belas-an orang itu yang menyerangnya sambil membentak-bentak!
Kwi Lan tertarik sekali. Banyak se-kali orang aneh di dunia ini dan agaknya pengemis malas itu pun seorang aneh. Ia menunda niatnya meninggalkan gunung ini dan karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu berlari kembali ke tempat penge-mis itu dikeroyok. Ternyata kini setelah dekat bahwa belasan orang yang menge-royok itu adalah pengemis-pengemis pula!
Pengemis-pengemis baju bersih yang su-dah beberapa kali bentrok dengan Kwi Lan.
"Hayo mengakulah! Engkau dari go-longan mana dan mengapa mengacau pertemuan di
puncak Cheng-liong-san" Pakaianmu bersih, hal ini berarti bahwa engkau masih segolongan dengan kami, pengemis-pengemis pakaian bersih. Me-ngapa kau mengacau pertemuan yang diadakan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang" Kau dari partai mana?"
"Hemm, baju bersih badan kotor hati busuk, apa artinya" Orang-orang sesat, pergilah dan jangan menggangguku!" Pe-ngemis itu berkata tak acuh, dan tongkatnya juga bergerak sembarangan meng-hadapi belasan batang tongkat, golok, dan pedang itu.
Kwi Lan yang kini sudah berdiri de-kat memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta kagum sekali. Tong-kat di tangan pengemis malas itu benar-benar hebat dan lihai bukan main. Me-mang behar bahwa belasan orang penge-royok itu tidak berapa tinggi ilmu silat-nya, namun karena belasan orang maju bersama maka cukup berbahaya. Apalagi kalau diingat bahwa pengemis malas itu melawan sambil duduk dan lebih-lebih lagi, mukanya ditutup topi butut. Akan tetapi begitu tongkat di tangan pengemis malas ini bergerak ke depan, berturut-turut belasan orang pengemis baju bersih itu roboh terguling dengan sambungan lutut terlepas karena totokan ujung tong-kat yang dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!
Kini pengemis malas itu dengan ge-rakan sigap telah meloncat bangun, dan barulah tampak oleh Kwi Lan betapa tubuh pengemis ini jangkung dan tegap, namun mukanya tetap
bersembunyi di balik topi butut. Sambil melintangkan tongkatnya dengan sikap penuh wibawa pengemis itu menghadapi para pengemis yang merintih-rintih dan mengurut-urut lutut mereka, lalu terdengar suaranya lantang berpengaruh, jauh bedanya de-ngan ketika bicara dengan Kwi Lan tadi.
"Berani menjadi pengemis berarti berani menjauhkan diri dari pada per-buatan-perbuatan jahat, berani mengatasi kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati nurani mereka yang mam-pu, berani mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan tetapi kalian menghadapi kemiskinan dengan perbuatan jahat. Kalau sudah begitu, mengapa masih me-makai pakaian pengemis" Kalian hanyalah penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pengemis, membikin kotor dunia penge-mis dan sudah sepatutnya dibasmi. Kalau mau menjadi penjahat, jadilah penjahat yang berani bertanggung jawab, atau kalian mau jadi pengemis, jadilah penge-mis yang baik. Mengapa berlaku seperti pengecut-pengecut yang hina-dina?"
Belasan orang pengemis yang meng-geletak itu tidak menjawab, hanyalah memandang
dengan mata melotot. Seba-gai jawaban kata-kata itu, dari jauh ter-dengar bentakan-bentakan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 129
dan berbon-dong-bondong datanglah berlari-lari ba-nyak orang yang bukan lain adalah orang-orang yang tadi berapat di puncak dan kini sudah datang mengejar. Jumlah mereka itu ada tiga puluh orang lebih!
Mendengar bentakan-bentakan mereka, pengemis aneh itu menggerakkan kepala memandang ke depan, kemudian ia me-noleh kepada Kwi Lan dengan muka ma-sih tersembunyi di balik topi. "Nona, mengapa engkau kembali" Pergilah turun gunung dan jangan kau melibatkan diri dengan orang-orang jahat itu."
"Dan engkau sendiri?" Kwi Lan ber-tanya.
"Aku akan menghadapi mereka. Tong-katku masih cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus itu."
"Wah, enaknya! Engkau mau mencari enak sendiri, Paman jembel! Kalau tong-katmu kuat, apa kaukira pedangku kurang tajam" Kaulah yang boleh pergi, mereka itu mengejar aku, bukan mengejar eng-kau!" bantah Kwi Lan sambil mencabut Siang-bhok-kiam dari
sarungnya. Melihat bahwa pedang gadis itu terbuat daripada kayu, pengemis itu tercengang, kentara dari sikapnya yang tiba-tiba tak berge-rak. Topinya terangkat sedikit dan dari bayangan topi itu menyambar dua buah mata yang tajam sinarnya.
"Ah, kiranya Nona seorang pendekar pedang yang lihai!"
Percakapan mereka terpaksa dihenti-kan karena para pengejar sudah tiba dekat. Yang tercepat larinya bahkan sudah tiba di depan pengemis itu dalam jarak empat lima meter. Mereka meng-angkat senjata sambil membentak marah.
Akan tetapi pengemis itu dengan tenang namun cepat bukan main telah mengge-rakkan tangan kanannya ke arah topinya, meraih dan melemparkannya ke depan dengan gerakan kilat dan.... topi itu ber-pusing dan terbang menyambar mereka yang datang mengancam. Bagaikan hidup, topi itu terbang keliling dan kembali kepada pemiliknya setelah lebih dahulu mampir dan mencium dahi atau leher mereka yang mengejar paling depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul robohnya tubuh enam orang pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat bangun lagi!
Sejenak Kwi Lan bengong. Bukan ka-rena melihat senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa itu karena ia mak-lum bahwa dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar melempar topi yang pinggirannya lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi. Yang membuat ia bengong adalah ketika pengemis itu melepas topinya, maka tampaklah kepala dan muka seorang pengemis yang tampan dan gagah! Seorang pemuda yang paling banyak dua tiga tahun lebih tua dari-padanya! Dan ia sudah menyebutnya paman tua! Akan tetapi ketika pengemis muda itu sudah mengenakan kembali topinya yang lebar sehingga mukanya yang tampan tertutup topi, Kwi Lan sadar dari keheranannya. Ia pun tidak mau kalah dan secepat kilat tangan kiri-nya bergerak melepas jarum-jarum halus. Kembali terdengar jerit kesakitan dan enam orang pengejar roboh.
"Nona, mari kita pergi. Jumlah mere-ka amat banyak dan di antara mereka banyak terdapat orang pandai. Mari!"
Mereka berdua lari cepat dan sesam-painya di batu berbentuk kepala burung, mereka lalu menuruni jalan setapak. Para pengejar yang belum roboh tidak berani mengejar setelah menyaksikan kelihaian dua orang muda itu. Mereka berdiri ra-gu-ragu, menanti rombongan pengejar lain yang lebih banyak sambil menolong teman-teman yang terluka.
Karena Kwi Lan dan pengemis aneh itu menggunakan gin-kang mereka, se-bentar saja mereka berhasil menuruni Cheng-liong-san dan tak tampak atau terdengar lagi pengejar mereka. Mereka kini jalan berendeng menuju ke timur. Semenjak turun gunung tadi, tak pernah mereka membuka mulut dan baru setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, me-reka tidak berlari lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan suara.
"Ah, untung bahwa tokoh-tokohnya belum hadir. Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm...., berbahaya sekali!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 130
"Kaumaksudkan tua-tua bangka yang mereka sebut-sebut tadi seperti Bu-tek Siu-lam, Thai-lek Kauw-ong, Jin-ciam Khoa-ong dan Siauw-bin Lo-mo" Ah, aku tidak takut! Justeru aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!" kata Kwi Lan.
Kini pengemis muda itu yang menoleh dan memandang terheran-heran. Saking herannya ia sampai lupa menyembunyikan muka seperti yang biasa ia lakukan. Kebetulan sekali Kwi Lan pun menoleh sehingga ia dapat melihat wajah penge-mis itu dengan jelas. Wajah yang tampan dan gagah, masih muda namun sudah jelas tampak kematangan jiwa pada sinar mata dan tarikan mukanya.
"Engkau seorang gadis yang aneh, Nona!"
"Tidak seaneh engkau!" jawab Kwi Lan cepat. "Bukankah engkau ini penge-mis malas yang pernah kulihat duduk dalam warung di lereng Lu-liang-san" Dan mengapa engkau sekarang berada di sini" Apakah engkau sengaja mengikuti perjalananku?"
Pengemis itu menggeleng kepala. "Ti-dak ada yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu lagi di sini karena memang aku hendak menonton perte-muan kaum sesat di sini.
Akan tetapi engkau.... justeru pertemuan di Lu-liang-san itu yang membuat aku keheranan dan mengatakan engkau seorang aneh, Nona. Kulihat engkau di sana bersama cucu ketua Thian-liong-pang, bersama seorang dari golongan hitam yang menentang para hwesio Luliang-pai. Aku sudah menyayangkan mengapa seorang dengan kepandaian seperti kau ini terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan tetapi hari ini aku melihat engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi mereka, bahkan baru saja kau menantang-nantang terhadap empat orang tokoh besar mereka. Bukankah hal ini amat aneh sekali?"
"Jadi tadinya kaukira aku ini seorang tokoh hitam pula?" tanya Kwi Lan sam-bil memandang marah.
"Begitulah, karena kau datang bersa-ma tokoh Thian-liong-pang dan menen-tang hwesio-hwesio Lu-liang-pai."
"Bukan, aku bukan tokoh golongan sesat."
"Itu aku percaya setelah menyaksikan sepak terjangmu di sini. Engkau tentu seorang pendekar pedang wanita yang sakti."
"Juga bukan. Aku bukan pendekar wa-nita dan bukan pula penjahat. Aku orang biasa saja.
Tidak seperti engkau. Engkau tentu seorang tokoh kaipang (perkumpul-an pengemis) yang terkenal. Agaknya engkau memimpin pengemis-pengemis baju kotor, bukan?"
Pengemis muda itu menghela napas panjang kemudian menggeleng kepala.
"Aku juga bukan apa-apa, seperti engkau bahkan tidak ada orang yang mengenal siapa aku ini. Memang betul bahwa mendiang Ayahku adalah seorang tokoh besar dunia pengemis, akan tetapi sudah lama sekali sebelum aku lahir Ayahku telah mengundurkan diri dari dunia pengemis. Sebagai seorang penge-mis, tentu saja Ayah hanya meninggalkan topi butut, tongkat lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat betapa dunia pengemis terancam mala-petaka, terpaksa aku harus turun tangan mewakili mendiang Ayah. Karena itulah aku turun gunung dan bertemu dengan engkau di sini."
"Wah, kalau begitu Ayahmu tentu Yu Kang Tianglo!"
Pengemis muda itu terkejut. "Bagai-mana kau bisa tahu?"
Kwi Lan tertawa dan wajah yang sudah cantik itu menjadi amat menarik. Ketawanya wajar, tidak ditutup-tutupi dan tidak malu-malu sehingga gadis itu memperlihatkan kecantikan yang aseli. Pengemis muda ini sejenak menjadi bengong, namun ia membuang pandang matanya dan menekan perasaannya.
"Tentu saja aku tahu! Kau berilmu tinggi dan seorang pengemis, kau bilang Ayahmu tokoh besar dunia pengemis. Tentu pengemis golongan putih. Dan tadi, di antara musuh-musuh kaum sesat di-sebut-sebut nama Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau bukan Ayahmu."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 131
Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata susila palsu, Di samping ini, juga pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang terletak di lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila kepada gadis ini. Siapa orangnya yang takkan tergila-gila"
"Betul sekali dugaanmu. Mendiang Ayahku adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki, pengemis muda sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku."
Ia menjura dengan sikap hormat.
Kwi Lan membalas penghormatan itu sambil tertawa, "Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan" Gerakan tongkat-mu tadi hebat luar biasa, biarpun pakai-anmu pakaian jembel, namun engkau bukan seorang kotor! Yu Siang Ki, nama-ku Kwi Lan, Kam Kwi Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku Mutiara Hitam!"
Pengemis muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan.
"Engkau she Kam, Nona?"
"Benar, kenapakah?"
"Aih, tidak apa-apa, hanya.... mengapa begitu kebetulan" Eh, Nona Kwi Lan...."
"Wah, kau menjemukan benar, menye-butku nona-nonaan segala! Semua orang yang menjadi sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja atau.... Mutiara Hitam."
"Tapi aku.... bukan sahabat...."
"Hemm, bagus, ya" Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi" Engkau tak mau bersahabat" Nah, selamat berpisah!" Kwi Lan sudah mem-balikkan tubuh hendak pergi.
"Eh...., maaf, bukan begitu maksudku. Aku.... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi.... baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang marah?"
Kwi Lan tertawa! "Memang aku gam-pang marah gampang gembira! Nah, se-karang
lanjutkan, kalau aku she Kam, mengapa kebetulan?"
"Shemu mengingatkan aku akan se-orang yang kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti yang selain menjadi sahabat baik mendiang Ayahku, juga menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun disebut-sebut oleh mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!"
"Eh, dia she Kam?"
Siang Ki mengangguk. "Menurut pe-nuturan Ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song, Kwi Lan, melihat keadaanmu yang luar biasa, ilmu kepandaian-mu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan menghubungkan engkau dengan Suling Emas" Apakah engkau
pu-terinya" Ataukah keponakannya?"
Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar
demikian, bahwa dia puteri seorang sakti seperti Suling Emas, alang-kah akan menyenangkan dan membangga-kan! Akan tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang Khitan yang dianggap bangsa liar!
"Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaima-na macamnya Suling Emas."
"Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang hatiku andaikata engkau benar--benar puterinya, karena aku pun sedang mencarinya. Aku sendiri pun belum per-nah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi Ayah berpesan bahwa dalam usa-haku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku
mengetahui siapa orang tuamu?"
Mereka tiba di depan sebuah anak sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki Gunung Cheng-liong-san itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara batu-batu menjadi dendang yang aneh namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi sungai, di atas batu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 132
yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan topinya dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi anak sungai itu.
"Aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku." kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang mata melamun. "Se-menjak aku masih bayi, aku dirawat Guruku."
Yu Siang Ki menmmandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan tetapi sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping orang tua-nya. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, seorang gadis yang patut dikasihani.
"Ah, Gurumu tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?"
"Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya mengenalnya sebagai Bibi Sian. ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa saja." Kwi Lan memang sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya adalah seorang aneh yang tidak suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau
menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan memberitahu-kan bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!
Yu Siang Ki menarik napas panjang. "Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara mereka dan me-lihat kepandaianmu, tentu Gurumu se-orang yang amat pandai."
Kwi Lan tertawa. "Yu Siang Ki, eng-kau belum pernah bertanding denganku, belum pernah melihat kepandaianku, akan tetapi sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah ter-lalu aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu barulah patut disebut orang-orang sakti dan aneh luar biasa."
Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. "Apa" Engkau pernah berjumpa dengan kedua Locianpwe itu" Mengenal mereka?"
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. Hati-nya masih mengkal kalau ia teringat ke-pada dua orang kakek itu, menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li, "Tentu saja aku sudah pernah bertemu dengan dua orang tua bangka seperti monyet!"
"Aiihhh.... Kwi Lan, bagaimana engkau berani....?"
"Memaki mereka monyet" Di depan mereka pun aku berani memaki-maki mereka. Boleh jadi mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka itu layak dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepan-daian seperti Bu Kek Siansu, tentu me-reka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu sampai kapok!"
Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama makin mengherankan gadis ini! "Kau.... kau pernah berjumpa pula dengan.... dengan Bu Kek Siansu?"
Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.
Tanpa disadarinva, Siang Ki meme-gang lengan gadis itu erat-erat dan dengan penuh gairah ia bertanya. "Benar-kah itu, Kwi Lan" Benarkah ada manusia dewa itu" Aku hanya mendengar nama-nya seperti dongeng yang diceritakan Ayah!"
"Mengapa aku berbohong" Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan tetapi juga go-blok!"
Kali ini sepasang mata Siang Ki me-mandangi muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesua-tu yang tak masuk akal dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kang-ouw, menyebut nama dua orang kakek ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini tidak hanya berani memaki mereka, bahkan berani mengata-kan bahwa Bu Kek Siansu goblok! Ini sudah keterlaluan sekali. Nama Bu Kek Siansu sudah disanjung-sanjung oleh se-mua pendekar, dianggap guru besar yang setarap dengan Tat Mo Couwsu dan juga disegani, semua tokoh dunia hitam, di-anggap seperti manusia dewa yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini menyebutnya goblok! Ka-lau tidak mendengar dengan kedua te-linganya sendiri, tak mau Siang Ki mem-percayai hal ini.
"Kwi Lan, maukah engkau mencerita-kan kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 133
kakek sakti itu?" Dengan penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan
semangat Kwi Lan untuk menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.
Ketika mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang kali ia mengangguk. "Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut dika-sihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan membantunya jika keada-an mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku banyak persamaannya. Dia bertugas membangun dan membersihkan Thian-liong-pang sedangkan aku harus mem-bangun kembali dan membersihkan Khong-sim Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kauceritakan bahwa kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek Siansu untuk memihak kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan sanggup membendung datang-nya iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan."
"Yu Siang Ki, aku sudah terlalu ba-nyak bercerita. Sekarang kauceritakanlah pengalamanmu, tentang Ayahmu yang terkenal itu dan tentang kau sendiri."
Memang begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa suka dan cocok sekali dengan gadis yang wajar dan polos ini. Apalagi ketika mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam, biarpun tidak ada hubungan dengan Kam Bu Sang si Suling Emas, namun persamaan she ini saja sudah
menambah rasa suka di hatinya karena semenjak kecil memang Siang Ki sudah memuja nama Suling Emas yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya. Kini mendengar perminta-an gadis ini tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
Yu Kan Tianglo adalah seorang tokoh partai pengemis Khong-sim Kai-pang. Ia putera Ketua Khong-sim Kai-pang akan -tetapi semenjak kecil menghilang dan mempelajari Ilmu silat tinggi. Setelah berusia tiga puluh tahun ia muncul dan mencari musuh besar yang membunuh ayahnya, yaitu seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi raja pengemis, It-gan Kai-ong. Di dalam usahanya yang amat sukar ini karena It-gan Kai-ong memiliki kesaktian yang hebat, ia men-dapat bantuan Suling Emas sehingga akhirnya berhasil membunuh tokoh iblis itu.
Semenjak itu, Yu Kang Tianglo tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw. Biarpun secara diam-diam ia masih suka kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para pimpinan kaipang, namun ia sendiri mengasingkan diri dan beberapa tahun kemudian menikah dengan puteri seorang sahabatnya, juga seorang pende-kar silat yang mengasingkan diri. Dari pernikahan ini lahirlah Yu Siang Ki. Akan tetapi sungguh malang nasib Yu Kang Tianglo, ketika melahirkan, isteri-nya meninggal dunia. Hal ini terjadi karena tempat tinggal mereka yang me-nyendiri di lereng Bukit Thai-hang-san, jauh tetangga sehingga pada saat melahir-kan. Yu Kang Tianglo sendiri tidak ber-ada. di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia pulang ke pondok bersama seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan, isterinya telah menggeletak tak bernyawa di sam-ping seorang bayi yang menangis keras. Isterinya mati karena kehabisan darah!
Yu Kang Tianglo hidup dengan hati mengandung kedukaan besar. Ia makin tak mau lagi muncul di dunia ramai. Hidupnya dlcurahkan untuk merawat dan mendidik Siang Ki sehingga ketika pe-muda ini, berusia dua puluh tahun, ia telah mewarisi semua kepandaian ayah-nya!
Betapapun juga, Yu Kang Tianglo tak pernah mau mengingkari asal-usulnya sebagai putera kai-pang (perkumpulan pengemis) sehingga bukan hanya dia, bahkan puteranya pun semenjak kecil diharuskan memakai pakaian yang dihias tambal-tambalan seperti pakaian penge-mis.
"Demikianlah, Kwi Lan. Ketika Ayah mendengar bahwa dunia pengemis kem-bali rusak dan terancam hebat oleh tokoh-tokoh sesat sehingga banyak pe-ngemis dibawa menyeleweng, Ayah men-jadi kaget dan marah sekali. Hal ini sungguh menjadi malapetaka karena jan-tung Ayah yang selalu lemah dan sakit-sakit semenjak ibu meninggal dunia, mendapat serangan yang membawa Ayah meninggal dunia pula. Ayah hanya ber-pesan agar aku mewakili Ayah untuk menolong kaum pengemis, terutama se-kali Khong-sim Kai-pang."
Kwi Lan mendengarkan penuturan itu dengan hati penuh iba. Kiranya pemuda ini juga Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 134
bernasib buruk di waktu kecil-nya, tidak ada bedanya dengan Tang Hauw Lam maupun Siangkoan Li. Semen-jak kecil sudah dirundung malang dan kini hidup sebatang kara di dunia.
"Saudara Siang Ki, karena engkau selalu melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat engkau mengenal semua tokoh kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam maupun putih.
Karena Ayahmu adalah sahabat baik pende-kar sakti Suling Emas, tentu engkau tahu baik tentang riwayat pendekar itu."
"Aku hanya mendengar dari penuturan mendiang Ayah. Biarpun hatiku amat kepingin, namun belum pernah aku mendapat kehormatan berjumpa dengan pen-dekar itu."
"Dalam percakapan kaum sesat di puncak Cheng-liong-san tadi, aku men-dengar mereka menyebut-nyebut nama Ratu Khitan yang katanya masih sanak dekat dengan Suling Emas, bahkan katanya menjadi.... eh, kekasihnya. Tahukah eng-kau akan hal itu?"
Yu Siang Ki menggeleng kepalanya. "Ayah tidak tahu akan hal itu. Aku pun tidak tahu benar.
Yang kutahu bahwa Ratu Khitan kabarnya juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan aku pernah mendengar pula dari luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi adik angkat Su-ling Emas. Tentang hubungan asmara di antara mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, sampai sekarang Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu Khitan yang kabarnya cantik jelita itu sampai seka-rang tak pernah menikah."
Berdebar jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa tidak enak. Menurut kata Bibi Sian gurunya, dia adalah puteri Khi-tan. Kalau Ratu Khitan tidak pernah menikah, bagaimana ia bisa menjadi puterinya" Siapakah ayahnya"
"Ah, bagaimana mungkin seorang ratu tidak menikah?" Ia pura-pura merasa heran dan bertanya. "Bukankah seorang raja atau ratu itu membutuhkan keturun-an untuk kelak diwarisi tahta kerajaan?"
Yu Siang Ki mengangguk-angguk. "Aku tidak tahu mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu tidak menikah. Akan tetapi aku mendengar dari para pedagang keliling yang seringkali mengembara ke Khitan bahwa sesungguhnya ia tidak me-nikah namun Ratu Khitan
mempunyai seorang putera angkat. Agaknya putera angkatnya itu pun telah mewarisi kepandaian ibunya. Namanya Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali pangeran itu mengadakan perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya tampan bukan main dan sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang tangguh."
Makin tidak nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau benar seperti yang dituturkan gurunya secara singkat sekali bahwa dia puteri Ratu Khitan mengapa ia sejak kecil ikut Bibi Sian" Mengapa Ibu kan-dungnya sendiri tidak merawat dan men-didiknya, bahkan mengangkat seorang pu-tera" Apakah karena aku perempuan" Makin penasaran rasa hati Kwi Lan se-hingga tampak mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api kemarahan.
"Kau kenapakah?" Siang Ki yang ber-pemandangan tajam itu menegurnya.
"Tidak apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa bertemu dengan Suling Emas?"
Siang Ki makin terheran. "Kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai hu-bungan dengan Suling Emas, mengapa sekarang hendak bertemu dengannya?"
Kwi Lan sudah dapat menekan pera-saannya. Ia tersenyum dan menjawab. "Puji-pujian yang kudengar mendorong hatiku untuk melihat bagaimana macam-nya pendekar besar itu. Di manakah dia berada sekarang?"
"Aku sendiri pun mencari-carinya, Kwi Lan. Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia seperti Suling Emas. Aku hendak pergi ke Kang-hu mengun-jungi pusat dari Khong-sim Kai-pang. Setelah aku memperkenalkan diri, kiranya para tokoh Khong-sim Kai-pang ada yang tahu di mana adanya Suling Emas yang merupakan sahabat baik itu."
Hati Kwi Lan kecewa mendengar bahwa pemuda yang luas pengalamannya ini pun tidak tahu di mana adanya Suling Emas. Ia harus bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai pendekar Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 135
itu ten-tang ibu kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya itu seorang wanita tak tahu malu seperti yang dibi-carakan oleh para kaum sesat, ia tidak usah melanjutkan keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu. Di samping ini, ia pun tertarik untuk menyaksikan bagaima-na keadaan perkumpulan pengemis golongan putih yang menjadi
musuh pe-ngemis-pengemis golongan hitam. Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh dan pende-kar-pendekar besar yang ia percaya tentu akan ia jumpai kalau ia mengikuti pe-ngemis muda ini.
"Aku ikut!" Tiba-tiba ia berkata. Siang Ki memandang, terkejut. "Apa maksudmu" Ikut....?"
"Ya, aku ikut bersamamu dengan harapan agar kau dan Khong-sim Kai--pang akan dapat membantuku memperte-mukan dengan Suling Emas. Atau.... ba-rangkali engkau tidak suka mengajak aku."
Sepasang mata gadis itu memandang penuh selidik, bahkan mengandung tan-tangan. Mau tidak mau Siang Ki terse-nyum. Gadis ini benar lincah dan wajar, aseli dan menyenangkan. Ia mengangguk dan berkata lirih.
"Bukan aku yang tidak suka melaku-kan perjalanan bersamamu, Kwi Lan. Sebaliknya aku bersangsi apakah engkau akan betah melakukan perjalanan di sam-ping seorang pengemis sehingga dera-jatmu terseret turun dan dipandang ren-dah serta dihina orang."
"Karena kau seorang yang berpakaian pengemis" Huh, hendak kulihat siapa berani
menghinaku kalau aku berjalan bersamamu! Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan pula dari kata-katanya, melainkan dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar setelah meran-tau."
Pengemis muda itu memandang de-ngan wajah berseri dan mulut tersenyum. "Dan engkau akan masih belajar banyak, Kwi Lan, dan akan mendapatkan kenya-taan-kenyataan yang banyak pula. Hidup ini belajar dan sebelum mati, takkan pernah habis hal-hal yang perlu kita pe-lajari. Nah, mari kita berangkat ke kota Kang-hu."
Demikianlah, untuk ke tiga kalinya Kwi Lan melakukan perjalanan bersama seorang
pengemis tampan yang lihai dan sifatnya jauh lagi bedanya dengan dua orang pemuda yang pernah dikenalnya. Kalau Tang Hauw Lam pemuda berandal-an yang selalu riang gembira itu meman-dang hidup dari segi yang lucu dan menggembirakan, sedangkan Siangkoan Li
memandang hidup dari segi yang penuh kedukaan, kekecewaan dan penuh per-juangan, adalah pemuda ke tiga ini se-orang pemuda yang sikapnya seperti orang tua, sudah masak, berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan me-mandang dunia dengan sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemu-da yang ketiganya sama lihai, entah mana yang paling tinggi ilmunya, dan yang memiliki sifat-sifat menarik dan baik masing-masing.
Tiga pemuda perkasa yang begitu berjumpa dengan Kwi Lan telah memperlihatkan rasa suka dan sayang!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suling Emas, semenjak dalam buku jilid pertama. Dua orang tokoh pengemis Khong-sim Kai-pang yang bernama Gak-lokai dan Ciam-lokai, dengan penuh ke-yakinan mengira bahwa Suling Emas ada-lah Yu Kang Tianglo dan mohon kepada
"Yu Kang Tianglo" ini untuk menolong kaum pengemis yang terancam kesela-matannya oleh kaum sesat. Setelah men-dengar permintaan mereka berdua, akhir-nya Suling Emas
menyanggupi untuk da-tang ke Kang-hu mengunjungi Khong-sim Kai-pang sebagai Yu Kang Tiang-lo!
Ada dua hal yang menyebabkan Suling Emas menerima permintaan ini. Pertama karena mengingat akan persahabatannya dengan Yu Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali
menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan orang-orang sesat. ke dua, karena ia sedang dikejar-kejar -oleh para orang-orang suruhan Ratu Ya-lina dari Khitan yang minta kepadanya untuk datang ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke Khitan melepaskan rindu terhadap kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina, akan tetapi keinginan ini ia te-kan dengan anggapan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 136
bahwa kepergiannya ke Khitan berarti merendahkan derajat ratu yang di junjung tinggi oleh bangsa Khitan itu. Tidak, ia harus berkorban. Dengan menyamar menjadi Yu Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan saputangan, tentu akan membebaskannya daripada pengejaran orang-orang Khitan itu.
Karena kini menghadapi sebuah tugas yang penting, maka hati dan pikiran Suling Emas tidak lagi terlalu ditekan oleh kenang-kenangan pahit sehingga tubuhnya menjadi lebih segar dan ber-semangat. Memang tubuh pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala penderitaan. Hanya kalau terlalu merana hatinya, teringat akan kegagalan-kegagalan cinta kasih yang meremukkan jiwanya, maka jantungnya menjadi tidak kuat dan ia suka terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia sudah dapat mengatasi kedukaan lni, tubuhnya menjadi sehat kembali.
Kuda merah kurus yang menjadi ka-wan satu-satunya dan menjadi kuda tung-gangannya yang setia, berjalan perlahan. Setelah tiba di depan pintu gerbang kota Kang-hu sebelah barat, Suling Emas menarik napas panjang. Entah sudah berapa belas tahun ia tak pernah lewat kota ini yang dahulu dikenalnya amat baik. Ia menaikkan saputangan menutupi mukanya,
menundukkan topi bututnya menyembunyikan muka dan melanjutkan perjalanan. Untuk pergi ke kuil yang menjadi markas besar perkumpulan pengemis, Khong-sim Kai-pang, ia harus memasuki kota Kang-hu dan keluar lagi dari kota itu melalui pintu sebelah timur karena kuil itu berada di luar kota se-belah timur.
Kota Kang-hu tidak ada perubahan. Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu saja. Namun ia tahu bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang dahulu telah menjadi tua, seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti yang mu-da, yang dahulu masih kanak-kanak atau bahkan belum terlahir. Oleh karena peng-gantian satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa ia tidak mengenal seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang atau berada di dalam warung dan toko. Maka hatinya menjadi lega dan ia melepas saputangan yang menutupi mukanya. Hanya kalau perlu saja, agar jangan dikenal orang, ia menutupi muka-nya. Kalau memang tidak ada yang mengenalnya, ia tidak perlu menutupi mukanya karena hal ini malah akan me-nimbulkan kecurigaan.
Seorang laki-laki tua di atas kuda kurus dan buruk bukanlah penglihatan yang aneh di kota itu, maka tak seorang pun memperhatikan Suling Emas. Semua orang menganggap dia ini seorang petani tua miskin yang mungkin hendak mencari sanaknya di kota atau hendak berbelanja.
Ketika tiba di sebuah jalan simpang tiga di dekat pintu gerbang timur, Suling Emas menghentikan kudanya di depan sebuah warung. Ia teringat bahwa warung ini dahulu amat terkenal dengan masakan bakminya yang lezat dan murah. Perut-nya memang sudah lapar maka ia ingin makan di mi warung ini. Seperti yang telah diduganya, juga penjaga kedai bak-mi ini sudah terganti orang lain semua. Akan tetapi meja-mejanya masih seperti dahulu, menjadi hitam mengkilap saking tuanya dan setiap hari terkena minyak. Dengan hati lega Suling Emas mengambil tempat duduk di sudut menghadap ke pintu masuk. Senang juga melihat betapa dugaannya tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi banyak tamu karena bakminya. Buktinya, belasan orang tamu yang memenuhi tempat itu semua meng-gerakkan sumpit makan bakmi!
Ia memesan bakmi dan arak, kemudi-an makan dengan enaknya. Betapapun juga, karena ia berada dekat markas Khong-sim Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah ia akan mengha-dapi hal-hal yang pelik, Suling Emas memasang mata dengan waspada. Ia sengaja tidak menurunkan topi bututnya dan mengintai dari balik topinya sambil makan bakmi dan minum arak. Tidak ada sesuatu yang ganjil di antara para tamu yang makan bakmi. Hanya di sudut kanan ada tiga orang laki-laki berpakaian se-perti ahli-ahli silat, agaknya mereka ini adalah piauwsu-piauwsu (pengantar ki-riman) yang lewat di Kang-hu dan makan di kedai ini.
Yang seorang sudah berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 137
Yang dua orang adalah pemuda-pemuda berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat terhadap yang tua itu. Di pinggang me-reka tampak gagang pedang. Melihat sikap mereka itu tidak sombong dan bicara dengan sopan dan perlahan. Suling Emas tahu bahwa mereka ini adalah orang baik-baik. Logat bicara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang selatan.
Setelah habis semangkok bakmi, Suling Emas minta semangkok lagi. Perutnya amat leper, sudah dua hari ia tidak makan. Juga ia minta tambah arak. Pe-layan kedai curiga. Orang tua ini pelahap benar, dan pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat juga seorang dusun yang miskin.
"Lopek harap bayar dulu," kata Si Pelayan dengan suara perlahan. Kalau sampai orang ini terlalu banyak makan minum kemudian tidak dapat membayar-nya, dia juga tidak terlepas dari tang-gung jawab dan selain mendapat teguran, sedikitnya ia harus menanggung separoh harga makanan dan minuman itu!
Suling Emas tersenyum. Ia dihina, akan tetapi ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia tidak merasa terhina karena ia tahu akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata sesuatu ia mengeluar-ken sepotong perak dan memberikannya kepada Si Pelayan. Melihat perak ini yang cukup besar, Si Pelayan mengubah sikap membungkuk-bungkuk dan berkata,
"Biar nanti sajalah, Lopek. Saya am-bilkan tambahanmu." Si Pelayan pergi dan Suling Emas menyimpan peraknya sambll tersenyum pula. Semenjak ia muda dahulu sampai sekarang, generasi telah berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan berdasarkan pribadinya namun ber-dasarkan harta dan
kedudukannya. Orang menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya melainkan berdasar-kan bagusnya pakaian dan padatnya kan-tung. Manusia sudah tidak dapat
me-nguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta benda dan ke-dudukan.
Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan!
Ketika pelayan itu membawa bakmi dan arak tambahan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut di pintu kedai. Si Pelayan menoleh dan ketika ia melihat dua orang pengemis di pintu itu yang marah-marah dan memaki-maki, ia cepat-cepat lari ke dalam dengan muka pucat. Suling Emas menoleh dan diam-diam ia terkejut ketika melihat dua orang pengemis setengah tua yang berdiri di depan pintu itu. Dua orang pengemis ini menaruh tangan kiri di atas dada sedangkan tangan kanan membentuk ling-karan dengan ibu jari dan telunjuk di atas kepala. Itulah tanda bahwa mereka berdua adalah anggauta-anggauta Khong-sim Kai-pang!
Mau apakah dua orang Khong-sim Kai-pang datang ke kedai ini dengan sikap demikian aneh"
"Mana pemilik kedai" Hayo lekas keluar!" bentak seorang di antara mereka dengan suara galak. Kini mereka sudah menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi mereka kempit. Tak lepas dari pandang mata Suling Emas betapa para tamu kelihatan gelisah me-lihat dua orang pengemis ini, seperti takut-takut. Sejak kapankah anggauta-anggauta Khong-sim Kai-pang bersikap galak seperti ini dan ditakuti orang"
Dari dalam kedai berlari-lari keluar se-orang berjubah hitam panjang, tubuhnya ke-cil kurus dan kumisnya panjang sampai ke dagunya. Jelas tampak orang ini ketakut-an, sambil membungkuk-bungkuk dan me-maksa senyum sehingga tampak giginya yang hitam karena tembakau ia meng-hampiri dua orang pengemis itu sambil berkata,
"Ah, kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang! Silakan duduk!"
"Tak usah banyak jual omongan ma-nis. Kami datang bukan menghendaki bakmimu yang busuk dan arakmu yang bau! Engkau Lai Keng pemilik kedai ini?"
Be.... betul...., ada apakah, Taihiap....?"
Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, Si Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada ang-gauta Khong-sim Kai-pang itu.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 138
"Huh, engkau benar-benar memandang rendah kepada kami, ya" Ketika kemarin seorang anggauta rendahan kami datang minta derma sepuluh tail, kenapa hanya kauberi uang kecil"
Engkau berani meng-hina kami?"
"Ah, tidak sama sekali...., mana saya berani" Ketahuilah, harap Ji-wi suka
mempertimbangkan. Perdagangan seka-rang sepi, dan pula keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagai-mana saya sanggup menderma sepuluh tail perak" Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan...."
"Tidak laku, ya" Sepi kau bilang" Be-gini banyak tamu kau bilang sepi!" ben-tak pengemis ke dua.
"Benar, ada juga yang datang ber-belanja namun keuntungannya tipis se-kali...."
"Banyak alasan! Kalau kaunaikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau mendapatkan banyak untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail" Pendek-nya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim Kai-pang bukannya orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau se-karang tidak mengeluarkan sepuluh tail, jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini!" Sambil berkata demi-kian, seorang di antara para pengemis itu menggerakkan tongkatnya ke bawah dan.... "ceppp....!" tongkat itu amblas masuk ke dalam lantai sampai setengah-nya lebih!
Si Pemillk Kedai menjadi pucat wajah-nya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur isak ia berkata, "Kalau begini.... bakal bangkrut...."
"Kaupilih saja. Bangkrut atau mam-pus!"
Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak meja sambil
berseru, "Bangsat tak tahu malu! Dari mana datangnya pengemis-pengemis yang begini kurang ajar!"
Ternyata yang menggebrak meja dan -marah-marah ini adalah tiga orang piauw-su tadi yang kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di luar pintu.
Piauwsu se-tengah tua bermuka merah tadi kini me-nudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,
"Kalian ini golongan apakah" Melihat sikap dan pakaian seperti pengemis-pe-ngemis yang biasanya mencari sisa ma-kanan di kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang yang lewat.
Akan tetapi ternyata kalian lebih rendah daripada pengemis maupun perampok. Pengemis tidak minta secara paksa sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis!"
Dua orang pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata melotot lebar. "Apa kamu mencari mampus berani men-campuri urusan kami dua orang anggauta Khon-sim Kai-pang?" Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara pengemis itu dengan keras-keras, agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama ini untuk mendatangkan kesan.
"Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) semestinya mem-punyai
anggauta-anggauta yang berhati kosong tanpa pamrih akan tetapi kalian ini perampok-perampok berkedok penge-mis amat menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang sedang
makan di kedai ini, memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang mengganggu! Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada nafsu makan. Hayo enyah dari sini!" bentak piauwsu setengah tua muka merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak. Malah seorang di antara dua orang muda ini segera me-ngulur tangan ke depan, menggunakan dua buah jari menjepit tongkat yang ter-tancap di lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar dari lantai.
"Phuhh! Yang macam ini dipakai me-nakut-nakuti orang" Menyebalkan!" kata-nya sambil melempar tongkat itu sehingga tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai. Semua tamu kedai itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah sekali.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 139
Pemilik tongkat sudah menyambar tong-katnya, kemudian mereka berdua me-loncat mundur lalu berdiri di jalan sambil menantang.
"Pengacau dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?"
Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu muda. "Tak tahu malu, menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk, kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan manusia jahat. Kami datang dan pergi tak pernah
menyem-bunyikan nama. Di selatan kami terkenal piauwsu-piauwsu yang paling, benci ter-hadap penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti srigala-srigala berkedok domba! Aku Lim Kiang atau Lim-piauw-su, dan ini kedua orang puteriku. Lekas kalian enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang mengusir anjing-anjing rendah."
Dua orang pengemis itu marah bukan main. "Keparat she Lim! Kau dan anak--anakmu sudah bosan hidup rupanya. Maju-lah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu yang lebar itu?"
"Ayah, biarkan kami menghajar dua penjahat ini!" seru dua orang muda sam-bil meloncat ke depan dan pedang me-reka sudah berada di tangan. Sang Ayah yang agaknya cukup percaya akan kepandaian putera-puteranya, lalu mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil bertolak pinggang.
Dua orang pengemis itu sudah ber-seru nyaring sambil memutar tongkat besi mereka, menyerang dua orang piauw-su muda yang sudah menangkis dengan pedang mereka pula.
Terjadilah pertan-dingan yang seru, di atas jalan raya di depan kedai bakmi! Mereka yang tadinya enak-enak makan bakmi, kini sudah ke-luar pula dari kedai untuk menonton, wajah mereka tegang dan khawatir ka-rena semua orang di Kang-hu tahu be-laka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berlaku sewenang--wenang. Tentu saja diam-diam mereka mengharapkan kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.
Pengharapan mereka itu ternyata ter-kabul. Dua orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki ilmu pedang yang hebat. Tidak sampai lima puluh jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis Khong-sim Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tu-sukan pedang dan tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut menonton menjadi terkejut ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera ia kenali. Itulah ilmu pedang Beng-kauw! Tak di-sangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan me-lihat sepak terjang mereka, ia menjadi bangga, Mereka ini murid-murid Beng-kauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka memberi hajaran dua orang pengemis jahat, juga melihat be-tapa dua orang piauwsu muda itu hanya melukai pundak lawan, tidak
membunuh-nya. Beberapa orang di antara penonton yang tadi makan bakmi segera meng-hampiri tiga orang piauwsu itu sambil berbisik, "Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kai-pang bermarkas di luar kota ini dan selain anggautanya banyak, juga mereka mempunyai pemimpln-pe-mimpin yang pandai dan amat kejam! Lekas, Sam-wi
(Tuan Bertiga) pergilah dari sini."
Piauwsu tua mengerutkan alisnya dan berkata lantang, "Kami bukan golongan pengecut yang berani berbuat tidak be-rani bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua orang pengemis ini karena kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka itu dengan pedang kami." Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali tidak membayangkan kesom-bongan.
Banyak orang yang sudah tahu akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka ber-tiga lekas pergi saja karena kalau tidak, mana mungkin mereka dapat melawan banyak anggauta Khong-sim Kai-pang.
Namun bujukan-bujukan itu sia-sia belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua orang pu-teranya bahkan menyatakan hendak mendatangi markas besar Khong-sim Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk Kang-hu! Tiba-tiba Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 140
ter-dengar suara orang yang amat jelas me-ngatasi semua suara orang yang sedang
membujuk-bujuk, "Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa dibujuk--bujuk"
Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka mati!"
Semua orang menoleh dan ketika orang-orang di situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini adalah seorang berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah ter-tutup sehelai kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir. Ada suara bisikan-bisikan terdengar. "Nah, mereka sudah mulai datang....!"
Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya she Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling Emas de-ngan tajam. Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pe-mimpin Khong-sim Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah maju dan
hendak menegur. Akan tetapi Suling Emas sudah meng-hampiri mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan menegur, "Kalian ini orang-orang apa berani hen-dak mengancam Khong-sim Kai-pang" Kalau ada satu dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang kota ini pencuri belaka" Kalau ada satu dua orang piauwsu menyeleweng, apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka" Demi-kian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng, apa-kah benar kalau dikatakan bahwa Khong-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat" Setelah memperoleh kemenangan berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, Itulah sikap se-orang bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah" Hayo pergi.... pergi.... pergi....!" Ia mendorong--dorong sehingga jari-jari tangannya me-nyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi ke-benaran dan kegagahan. Untuk membela yang tertindas dan menghadapi yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewa-risi watak gagah ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan. Karena itulah, ia memberi tanda kepada dua orang pu-teranya untuk mundur, kemudian ia sen-diri tersenyum dan berkata.
"Setiap orang manusia tentu mencari kebenarannya sendiri. Betapapun jahatnya Khong-sim Kai-pang, tentu seorang ang-gautanya akan melihatnya sebagai per-kumpulan yang baik.
Sahabat, kalau kau merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau majulah!"


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.
"Aihh....!" ia berseru kaget dan ta-ngannya meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk melihat ke arah ping-gangnya. Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pe-dang itu sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!
Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
"Pe.... pedangku....!" Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa pedang kedua orang puteranya juga sudah lenyap!
"Adakalanya orang tidak dapat meng-andalkan pedangnya." Suling Emas ber-kata lagi, "Tapi lebih tepat memperguna-kan akal dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang akan selalu membawa kemenang-an. Sam-wi mencari inikah?"
Tiga orang piauwsu itu melongo ke-tika melihat pengemis yang mukanya ditutupi saputangan itu mengangsurkan tiga batang pedang mereka! Cepat me-reka menyambut pedang mereka dan tidak berani sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat merampas pe-dang mereka bertiga tanpa mereka ke-tahui sama sekali, adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa se-kali dan bukanlah lawan mereka! Betapa-pun juga, Lim Kiang adalah seorang ga-gah yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum ia dikalahkan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 141
"Boleh jadi engkau seorang yang me-miliki kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira bahwa kami takut untuk coba-coba memberantas kejahatanmu!" Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak hendak menerjang Suling Emas.
Pada saat itu berkelebat dua bayang-an hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang bertubuh bong-kok kurus. Namun Si Bongkok ini seka-li sambar sudah mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke belakang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung.
Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.
"Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar terha-dap Ketua Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?" bentak Si Pengemis Bongkok yang bukan lain ada-lah Gak-lokai. Adapun pengemis ke dua adalah Ciam-lokai.
Lim Kiang adalah seorang piauwsu yang sudah banyak pengalaman. Ia ter-kejut dan maklum bahwa dua orang pengemis tua itu pun lihai bukan main.
Akan tetapi ia makin kaget ketika men-dengar disebutnya nama Yu Kang Tiang-lo. Ia memandang terbelalak kepada Su-ling Emas lalu berkata.
"Locianpwe ini.... Yu Kang Tianglo...." Akan tetapi.... mereka itu...." Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi dihajar dua orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas, tanah.
Suling Emas mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan dua orang putera-nya. "Terima kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang penyeleweng itu. Memang di anta-ra anggauta Khong-sim Kaipang ada yang menyeleweng, namun itu bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampai-kanlah hormatnya Yu Kang Tianglo ke-pada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami hormati!"
Diam-diam Lim Kiang terkejut dan heran. Ia memang lama mendengar nama besar Yu Kang Tianglo akan tetapi sama sekali tak pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis itu pasti dapat mengenal gerakan pedang putera-puteranya sehing-ga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diturut kedua orang puteranya.
"Mohon maaf bahwa kami berani ber-sikap kurang hormat kepada Locianpwe." Setelah berkata demikian, Lim Kiang ce-pat-cepat mengajak kedua orang putera-nya pergi
meninggalkan Kang-hu. "Kalian sudah datang" Bagus! Bagai-mana kalian dapat membiarkan dua orang jahat itu melakukan hal yang amat me-malukan Khong-sim Kai-pang?" Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.
"Maaf, Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggauta yang setia sudah menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu." kata Gak-lokai, sedangkan Ciam-lokai meng-ambilkan kuda Suling Emas. Ketiganya lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua orang pengemis yang terluka tadi se-dangkan Gak-lokai sibuk menuturkan apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang se-lama ini.
Sementara itu, berita tentang muncul-nya Yu Kang Tianglo seperti tadi ter-dengar oleh beberapa orang penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh kepercayaan bahwa setelah to-koh besar itu muncul, Khong-sim Kaipang akan bersih dari oknum-oknum jahat dan tidak lagi ada penggangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya.
Mendengar penuturan Gak-lokai, Su-ling Emas menjadi marah. Ternyata bah-wa kaum sesat yang menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil me-mecah belah perkumpulan itu, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 142
bahkan se-bagian besar anggautanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak mengherankan karena ok-num-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang
menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan dunia.
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang meli-hat gejala-gejala buruk ini, maklum bah-wa kalau mereka berdua berkeras, tentu akan terjadi perang di antara para ang-gauta sendiri yang akan mengorbankan banyak nyawa. Padahal, mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada dasarnya jahat, melainkan karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping itu, ada lima orang kaum sesat yang kini terpilih menjadi pemimpin me-reka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai sehingga dua orang kakek ini tidak be-rani turun tangan secara serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang mereka andalkan.
"Mereka yang menyeleweng kini men-duduki markas karena para anggauta yang setia rela mengikuti kami mengun-durkan diri bersembunyi di tempat-tem-pat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu." Gak-lokai menutup ceritanya. "Mereka kini mengganti pakaian mereka dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi. Ha-nya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh orang lebih maka anggauta-anggauta yang me-nyeleweng akan dapat disadarkan kem-bali."
Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang tajam melihat bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara pohon-pohon mendahului mereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah mata-mata golongan sesat yang kini menguasai mar-kas Khong-sim Kai-pang. Ketika mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil besar yang semenjak dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat betapa dari belakang mereka datang berbondong-bondong puluhan orang pengemis yang berpakaian butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh orang lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk menengok, mereka serentak menjatuhkan diri berlu-tut dan seperti dlkomando saja mereka berseru. "Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!"
Kemudian tampak dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti baris-an pengemis pula, pengemis dengan pa-kaian bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini Suling Emas berkata kepada pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai suara-nya nyaring.
"Saudara-saudara semua tidak boleh sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan sendiri, hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang mengotori kai-pang!"
Demikianlah, empat puluh orang pe-ngemis itu disuruh menanti di luar, se-dangkan Suling Emas dengan diantar Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk dengan langkah tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luar pekarangan. Ia
memandang ke depan dan melihat bahwa yang memimpin ba-risan pengemis baju bersih yang jumlah-nya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh orang. Lima di antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian pengemis tambal-tambalan dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak senjata tongkat yang berat dan jelas bukan tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak berpakaian pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya mereka berdua itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh lebih. Suling Emas memandang tajam namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari pekarangan, ia naik anak tangga yang ting-ginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan yang cukup luas. Tempat inilah yang biasanya dipakai untuk perte-muan umum para anggauta, di udara ter-buka dan letaknya di depan kuil.
Lima orang pengemis berpakaian pe-nuh kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan sikap angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka. Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh ter-sungkur ke depan kaki lima orang kepala pengemis baru.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 143
"Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggauta Khong-sim Kaipang ini?" Terdengar sua-ra Suling Emas memecah kesunyian. Sua-ranya halus, namun penuh wibawa. "Me-reka yang merasa bersalah, sudah menye-lewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju mengaku agar menerima hukuman!"
Seorang di antara lima pimpinan pe-ngemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Suling Emas.
"Siapakah kau" Apa hubunganmu dengan perkumpulan kami sehingga kau berani
mengucapkan kata-kata kurang ajar" Apakah engkau ini sekutu para pengkhia-nat macam dua orang jembel tua bangka itu?" ia menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai.
Gak-lokai tak dapat menahan kema-rahannya. "Sungguh kalian ini tak tahu diri! Kalian adalah orang-orang baru di Khong-sim Kai-pang, namun kalian seper-ti buta. tidak mau membuka mata, seper-ti tuli tak mau membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, se-orang tokoh terbesar dari golongan Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut!"
Lima orang itu agaknya sudah men-dengar laporan maka mereka tidak men-jadi kaget, bahkan tersenyum-senyum. Akan tetapi di antara lima puluh lebih anggauta Khong-sim Kaipang yang sudah dibawa menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menjadi pucat mukanya, menggigil tubuh-nya. Kawan-kawannya yang percaya ke-pada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Puluhan ta-hun Yu Kang Tianglo tidak memperlihat-kan diri, membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam keadaan terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti se-orang kawakan yang berkuasa! Cih, sung-guh tidak tahu malu! Pada saat ini me-mang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk sementara ini kami lima oranglah yang berkuasa sampai di-adakan pemilihan ketua pada pertemuan antara kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini seorang tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli. Engkau tidak ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di sini!"
Merah wajah Gak-lokai dan Ciam--lokai, namun Suling Emas memberi isya-rat dengan tangan agar mereka diam. Ia sendiri lalu melangkah maju dan de-ngan sikap tenang ia berkata. "Yu Kang Tianglo bukan seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang.
Semenjak Ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal sebagai
perkum-pulan orang-orang gagah yang membela orang-orang terlantar dan jembel-jembel kelaparan, membimbing mereka kembali ke dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka, paling anti akan kejahatan. Siapa dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan siapa pun dia orangnya boleh menjadi anggau-ta, asal saja mereka itu orang baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan yang selama puluhan tahun ditempuh Khong-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan mun-cul di sini sekiranya keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya. Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan, de-ngan mata kepala, sendiri aku menyaksi-kan dua orangmu melakukan pemerasan seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak membersihkan kai-pang dari orang-orang jahat!"
Mendengar ini, banyak di antara para anggauta Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju kembang-kembang dan memegang tongkat besi, menjadi ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka itu meloncat maju mengurung Suling Emas dan Si Juling membentak.
"Keparat busuk, enak saja kau meng-obrol di sini! Kami yang berkuasa di Khong-sim Kaipang dan kami yang ber-hak menentukan bagaimana cara kami mengumpulkan dana demi Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 144
kemajuan per-kumpulan dan kebahagiaan semua anggau-ta kami. Kau berani datang
menghina, berarti engkau mencari mampus sendiri!" Sambil berkata demikian, Si Juling dan empat orang adik seperguruannya meng-angkat tinggi tongkat-tongkat mereka. Ada yang memegang tongkat besi, ada tong-kat baja, kuningan bahkan ada yang me-megang tongkat dari perak murni!
"Hemm.... hemm.... semenjak dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan ke-benaran dan selalu mengambil jalan ha-lus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut sebagai lam-bang mencari jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewah--mewahan dan berlumba memegang tong-kat yang
membayangkan kekerasan dan kekejaman. Sungguh menyeleweng sekali!"
"Tak usah banyak cakap! Satu di an-tara syarat menjadi pimpinan Khong--sim Kai-pang, dia harus mempunyai ke-pandaian yang paling tinggi itu di antara para anggauta. Beranikah engkau mela-wan kami berlima?"
"Eh, kiranya kalian maslh mengenal juga akan peraturan itu" Bagus, hanya sayangnya, kalian memperlihatkan ke-curangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama atau ditambah lagi dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri pinjam tongkatmu!"
kata Suling Emas, menoleh kepada dua orang tokoh lama itu.
"Harap Pangcu pakai saja tongkat ini. "Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin Tianglo." kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkat-nya, sebatang tongkat bambu yang sudah amat tua.
Yu Jin Tianglo adalah Ketua Khong--sim Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka tentu saja semua anggauta yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah. Mereka semua tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai sen-diri tidak berani sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah oleh pengeroyokan mereka berlima"
Namun Suling Emas dengan langkah lebar dan tenag sudah berdiri di tengah-tengah
lapanganyang tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa Si Juling berbisik-bisik kepada dua orang pendeta, akan tetapi kemu-dian Si Juling bersama empat orang ka-wannya meloncat dan sekaligus mengu-rung.
"Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat Khong-sim Kai-pang menjadi perkumpulan yang paling hebat di antara semua kai-pang.
Maksud baik kami ini kiranya malah kauhina! Sungguh kau mencari mati sendiri."
Suling Emas tertawa di balik saputa-ngannya. "Kalian ini pengemis-pengemis macam apa"
Pakaiannya saja berlumba mewah! Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu orang-orang golongan sesat yang hendak menyelundup ke kai-pang-kai--pang mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat ri-wayat kalian!"
"Manusia sombong!" Lima orang itu membentuk barisan mengurung Suling Emas yang
masih berdiri tegak tanpa memasang kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi la-wan! Tongkat dipanggul di pundak, ber-diri seenaknya dan pandang mata tidak acuh sama sekali! Diam-diam Gak-lokai Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat, menjadi khawatir sekali. Akan tetapi lima orang pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka terus berge-rak mengitari Suling Emas dan mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba Si Mata Juling yang menjadi pimpinan me-reka berteriak keras dan serentak lima batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan sinar yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali! Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka, lima orang pengemis baju kembang itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat cepatnya, dan amat berat sehingga ter-dengar angin bersiutan. Betapa mungkin ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 145
menghindarkan diri dari hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini"
"Singgggg...., Krak-krak-krak-krak-krak....!"
Semua orang kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini terbang di udara dan jatuh jauh dari tempat itu. Ketika mereka memandang ke depan lima orang pengemis baju kem-bang itu sudah roboh tak berkutik lagi sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti tadi memanggul tong-katnya!Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya pihak kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum.
Kemudian meledaklah sorak-sorai penuh kegembiraan dari be-berapa puluh orang pengemis anggauta Khong-sim Kai-pang yang setia, sedang-kan para anggauta Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri berlutut.
"Yu Kang Tianglo, kau terlalu som-bong!"
Bentakan ini keras sekali dan kiranya dua orang berpakaian tosu tadi telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas, sedangkan yang kedua dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan mayat lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang itu ke bawah
pang-gung! Perbuatan yang kejam ini disambut suara berbisik dari mereka yang pro dan anti di golongan anggauta, baik yang kini sudah berpakaian bersih maupun yang masih berpakaian butut.
"Trakk! Trakk! Trakk!"
Suara ini nyaring sekali sehingga me-nyakitkan telinga. Melihat betapa kedua telapak tangan pendeta yang mengham-piri Suling Emas ditepuk-tepukkan menerbitkan suara nyaring itu, semua orang yang tadinya berisik menjadi diam dan memandang penuh keheranan dan
ke-kaguman. Betapa dua telapak tangan dari kulit dan daging dapat mengeluarkan bunyi seperti itu"
Sahabat-sahabat pengemis de-ngarlah baik-baik! Pinto (aku) ber-dua hanyalah tamu-tamu dari kelima pangcu (ketua) yang telah terbunuh secara keji oleh manusia sombong yang mengaku Yu Kang
Tianglo ini. Pinto berdua adalah orang--orang sebawahan Locianpwe Bu-tek Siu--lam, bagaimana mungkin menyaksikan tuan rumah dihina orang tanpa turun ta-ngan" Telah kita ketahui semua betapa para anggauta kai-pang di bawah pimpin-an orang-orang lama yang mengaku suci dan bersih, hidup sengsara, kekurangan makan dan pakaian, bahkan kadang-ka-dang mengalami kelaparan. Kemudian golongan kami sebagai pimpinan baru telah
mengangkat nasib para jembel se-hingga mereka dapat memakai pakaian baik dan makan sekenyangnya setiap hari. Tak perlu dibicarakan panjang lebar siapa yang lebih patut menjadi pemimpin kai-pang. Sudah terbukti pula betapa kelima orang kai-pang yang terbunuh berjasa besar terhadap saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini yang akan
merampas kedudukan dan akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam lembah
kesengsaraan!" Mendengar ini, terbangun semangat mereka yang tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat betapa dahulu, semenjak dipimpin oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta Ciam-lokai, para anggau-ta hidup di bawah tekanan peraturan-peraturan keras sekali, bahkan mereka itu diharuskan hidup seadanya dan seder-hana, sesuai dengan pendapatan serta hasil sumbangan para dermawan. Kemu-dian setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan dipegang oleh lima orang ketua baru, uang mengalir masuk dengan berlebihan sehingga mereka dapat hidup jauh lebih baik, bahkan dapat pula bermewah-mewahan! Maka ketika men-dengar ucapan tosu itu, mereka lalu saling bicara dan keadaan menjadi berisik kembali.
Suling Emas tercengang ketika meli-hat tosu yang membunyikan kedua tela-pak tangan tadi.
Ia maklum bahwa tosu itu bukan sembarang orang, telah memi-liki kepandaian tinggi dan tentu seorang ahli Tiat-ciang-kang (Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih kedua telapak Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 146
ta-ngannya sehingga menjadi kuat dan keras laksana baja. Apalagi mendengar tosu itu mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek Siu-lam, ia menjadi tertarik. Memang selama perantauannya, ia mendengar akan munculnya seorang tokoh besar berjuluk Bu-tek Siu-lam ini.
Akan tetapi sebelum Suling Emas menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gak-lokai berteriak keras. "Sungguh tamu-tamu yang tak tahu malu mencampuri urusan dalam Khong-sim Kaipang!" Ke-mudian tubuh dua orang kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah melayang dan meloncat ke depan Suling Emas menghadapi dua orang tosu itu.
Ciam-lokai menghampiri Suling Emas dan berkata halus, "Mohon Pangcu sudi membiarkan kami berdua memberi ha-jaran kepada tosu-tosu lancang ini."
Suling Emas cepat membisikkan na-sihatnya. "Baiklah, Ciam-lokai, kau nanti hadapi Si Hidung Besar itu dan awaslah terhadap telapak tangannya. Dia ahli Tiat-ciang-kang dan jangan sampai meng-adu telapak tangan, akan tetapi serang kedua jalan darah di belakang sikunya." Karena bisikan ini dilakukan seperti tan-pa menggerakkan bibir, hanya dengan pengerahan, tenaga khikang yang sempur-na, maka yang mendengar hanya Ciam-lokai
seorang. Kakek bertongkat butut ini mengangguk-angguk. Ia percaya penuh akan kelihaian ketuanya yang sakti.
Sementara ini, Gak-lokai Si Kakek Pengemis yang bertubuh bongkok, sudah melangkah maju, mengerahkan khi-kang dan berkata lantang sehingga suaranya mengatasi suara berisik para anggauta Khong-sim Kai-pang yang seketika men-jadi tenang dan mendengarkan penuh perhatian.
"Sejak kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai penasihat-penasihat segala macam hidung kerbau" Urusan kai-pang adalah urusan dalam dan tidak boleh sama sekali dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah menjadi peraturan kai-pang sejak dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu. Sekarang ada tamu-tamu tak diundang yang berani lancang mencampuri urusan dalam, hal ini tak lain berarti sebuah tantangan!"
Dua orang tosu itu menjadi merah mukanya. Tosu yang alisnya putih me-langkah maju dan membentaki "Jembel busuk! Tak tahukah kau siapa kami ber-dua" Kami adalah utusan Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Berani kau menghina utusan beliau?"
Gak-lokai menjura dan menjawab sua-ranya tegas dan nyaring. "Kami sama sekali tidak menghina siapapun juga, apalagi seorang tokoh besar seperti Lo-cianpwe Bu-tek Siu-lam.
Sebaliknya kali-an inilah yang sudah menghina ketua kami! Kalian sebagai orang luar mana tahu peraturan dan sifat Khong-sim Kai-pang kami" Perkumpulan kami bukanlah
perkumpulan segala macam jembel yang kelaparan dan yang hanya memikirkan tentang makanan dan pakaian belaka! Akan tetapi, kai-pang kami adalah per-kumpulan orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, orang-orang yang ber-tugas membela kebenaran dan keadilan tanpa pamrih, cukup dengan hidup seder-hana atas kerelaan dan belas kasihan orang yang lebih mampu. Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan menganggap
penyelundup-penyelundup itu menjunjung tinggi derajat perkumpulan kami" Huh, bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan dengan cara yang keji dan dengan cara yang lebih jahat daripada perampok-pe-rampok hina!
"Setan kelaparan! Gak-lokai dan Ciam-lokai, pinto sudah tahu bahwa ka-lianlah yang menjadi penyakit dalam Khong-sim Kai-pang. Kalian mengandal-kan apa berani bicara seperti itu di de-pan pinto?" bentak tosu hidung besar dengan marah. "Pergilah, kalian terlalu rendah untuk berurusan dengan pinto. Biarkan orang yang sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan kami!"
"Heh-heh-heh!" Hidung kerbau macam kalian ini mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu kami yang mulia?" Kalau kalian hendak menantang, cukup kami yang akan melayaninya.
Rekan Gak, kau minggirlah, biarkan tongkat bututku menghajar anjing hidung besar ini!"
Gak-lokai tertawa lalu meloncat ke pinggir, lalu tubuhnya melayang ke ba-wah dan tahu-tahu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 147
ia telah menyelinap ke dalam ruangan depan kuil dan sebe-lum lain orang berani mencegah, ia su-dah meloncat kembali membawa tiga buah bangku. Ia mempersilakan Suling Emas duduk di atas bangku, kemudian ia sendiri duduk di sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke tiga adalah diperuntukkan Ciam-lokai.
"Ha-ha, Tosu Alis Putih. Kami tidak tahu kau siapa, karena kau tamu tak di-undang, silakan kau berdiri saja di sudut situ!" kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini marah sekali, mengepal tinju dan mendelik.
"Eh-eh, sabar dulu. Giliran kita belum tiba. Nanti setelah Saudara Ciam mem-bereskan temanmu Si Hidung Kerbau, barulah kita boleh saling tonjok!" kata pula Gak-lokai. Tosu Alis Putih itu hanya membuang ludah melampiaskan marahnya, kemudian ia memandang ke
tengah pang-gung di mana Ciam-lokai sudah berha-dapan dengan kawannya.
Ciam-lokai dengan menggerak-gerak-kan tongkat bambunya yang butut, yang tadi ia
pinjamkan kepada Suling Emas, menghadapi tosu hidung besar, tersenyum lebar dan berkata, suaranya lantang.
"Eh, tosu yang tak tahu diri! Engkau mengaku tamu, akan tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berar-ti kalian ini bukan sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki ke-adaan Khong-sim Kai-pang. Setelah kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku siapa sebenarnya kau ini agar aku tahu pula siapa nama orang yang nanti roboh di tanganku!"
Ucapan ini diucapkan halus dan sewa-jarnya, akan tetapi tetap saja membikin panas telinga karena sifatnya tekebur! To-su yang hidungnya besar itu usianya sudah tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih muda daripada Ciam-lokai, akan tetapi wajahnya masih gagah dan kulit mukanya kemerahan, rambutnya masih hitam. Ia menekan kemarahan hatinya dan terse-nyum mengejek lalu berkata.
"Jembel tua bangka yang sudah mau mampus, dengarlah baik-baik! Pinto ber-nama Bu Keng Cu, sedangkan dia itu adalah Suhengku bernama Bu Liang Cu. Ka-mi berdua adalah anak murid Im-yang-kauw di perbatasan dunia barat. Keda-tangan kami di Khong-sim Kai-pang ini adalah mewakili Bengcu (Pimpinan) kami yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam untuk memenuhi undangan pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang pimpinan Khong-sim Kai-pang yang
menjadi sahabat kami dan tuan rumah, telah tewas di tangan Yu Kang Tianglo, tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam. Kalau kau sudah bosan hidup hendak mewakili Yu Kang Tianglo, silakan. Akan tetapi ja-ngan lupa bahwa pinto sudah menasi-hatimu supaya kau mundur saja karena kau bukanlah lawan pinto, jembel tua!"
Wajah Ciam-lokai menjadi pucat seka-li. Memang Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang aneh. Orang lain kalau marah akan merah sekali mukanya, akan tetapi Ciam-lokai menjadi pucat! Ia ma-rah karena merasa kalah bicara. Siapa kira, tosu ini pandai berdebat dan kini ia yang tadinya hendak menyombong, oleh tosu yang lemas lidah itu seakan-akan diseret turun menjadi terbalik keadaan-nya! Selagi ia memutar-mutar otak untuk mencari jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu itu sudah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Nah, mukamu sudah pucat seperti mayat, jembel tua. Pinto khawatir kau akan roboh pingsan dan tewas karena takut! Lebih baik sebelum terlambat, kau mundurlah dan biarkan Yu Kang Tianglo saja yang melayani pinto!"
Ciam-lokai makin pucat, mulutnya bergerak-gerak namun tidak dapat me-ngeluarkan suara saking marahnya. Ia tahu bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang dalam hal kepandaian berdebat, rekannya Gak-lokai lebih pan-dai, maka ia hanya dapat menoleh ke arah Gak-lokai dengan muka masih pucat dan sinar mata minta bantuan.
"Heh-heh-heh, Saudara Ciam yang baik. Mengapa kau terheran-heran men-dengar tosu hidung kerbau Bu Keng Cu itu bernyanyi semerdu ini" Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak sekali-pun kalau hampir mampus dapat bernyanyi merdu" Akan tetapi Si Hidung Besar Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 148
ini suaranya mengandung hawa busuk beracun, maka lebih baik lekas kauusir dia pergi!"
Muka Ciam-lokai yang tadi pucat kini menjadi merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu sambil menyeringai lebar. "Nah, kau sudah mendengar sendiri. Ma-sih tidak mau pergi"
Besar-benar muka tebal!"
Bu Keng Cu marah sekali. Tanpa bicara lagi kembali ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan terdengar-lah suara nyaring seperti dua buah benda keras digosok. Kemudian secara tiba-tiba dan dengan dahsyat sekali, tosu itu sudah menerjang maju, kedua tangannya terbu-ka, yang kanan memukul ke arah ke-pala, yang kiri mencengkeram ke arah dada.
Telapak tangannya berwarna hitam mengkilap dan ketika ia menerjang, sam-baran angin pukulannya dahsyat sekali.
Ciam-lokai terkejut dan cepat ia mengelak sambil meloncat ke kiri dan tongkat bututnya bergerak secara aneh, berkelebat cepat dan terdengarlah suara "plak-plak!" dua kali disusul seruan Bu Keng Cu yang tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Gak-lokai bersorak, diikuti oleh para pengemis bawahannya. Memang lucu se-kali
pertandingan dalam gebrak pertama itu. Bu Keng Cu kelihatan amat dahsyat dan ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan Ciam-lokai amat cepat dan aneh dan dalam gebrakan pertama saja tong-kat bambunya sudah berhasil menggebuk punggung lawan dua kali dan mendorong pantat satu kali. Sayang bahwa gebuk-an-gebukan itu dilakukan terlalu cepat sehingga tak bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk dapat merobohkan lawan sekuat tosu itu.
Memang ilmu tongkat yang diperguna-kan oleh Ciam-lokai tadi amat luar bia-sa. Itulah ilmu tongkat Go-bwee-tung (Tongkat Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo. Gerakan-gerakannya aneh sekali dan ilmu tongkat ini sanggup un-tuk "mencuri" beberapa gebukan walau menghadapi ilmu silat yang amat tinggi sekalipun, karena sifat-sifatnya seperti ekor buaya yang dapat menyabet dari belakang tanpa diduga-duga lawan. Hanya sayangnya, Yu Jin Tianglo dahulu men-ciptakan ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum dan menghajar anak buah yang dahulu menyeleweng, maka semua pukulannya bukan merupakan pukulan maut. Dan karena Yu Jin Tianglo melihat bakat baik pada Ciam-lokai untuk men-jadi pimpinan pengemis maka ia sengaja menurunkan ilmu ini kepadanya.
Karena sifatnya hanya untuk meng-hukum, bukan membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung ini tentu saja tidak banyak paedahnya kalau diperguna-kan dalam pertandingan sungguh-sungguh di mana kedua lawan berusaha keras untuk merobohkan dan kalau perlu saling membunuh. Betapapun juga, melihat bah-wa dalam gebrakan pertama saja pe-ngemis tua itu sudah berhasil menggebuk lawannya, para pengemis yang pro ke-pada Ciam-lokai bersorak-sorai gembira. Sebaliknya Bu Keng Cu menjadi kaget sekali dan tak berani menganggap rendah lawannya yang ternyata memiliki ilmu tongkat yang hebat itu. Ia berseru keras dan menepuk-nepuk kedua telapak tangan-nya sehingga terdengar suara nyaring, dan kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak asap! Itulah puncak kehebatan penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang! Ke-mudian tosu itu kembali menyerang, kali ini terjangannya jauh lebih hebat dari-pada tadi, juga pukulannya cepat dengan kedua tangan bergerak-gerak secara aneh, yang kanan lambat-lambat akan tetapi yang kiri cepat-cepat.
Ciam-lokai bukan seorang bodoh. Su-dah banyak pengalamannya dalam ber-tempur, dan ia maklum pula akan keli-haian tosu ini. Ia tidak berani lagi main--main dan mengandalkan Go-bwee-tung, maka ia cepat menggeser kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya,
menghindar-kan. pukulan kiri lawan yang amat cepat datangnya itu. Akan tetapi siapa kira, begitu tubuhnya merendah tahu-tahu pukulan tangan kanan yang tadinya ber-gerak lambat, sudah tiba dan dari atas menghantam ke arah kepalanya! Ia kaget sekali dan cepat-cepat ia mengangkat tongkat menangkis sambil mengerahkan kedua tangannya yang memegang kedua ujung tongkatnya.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 149
"Krakk!" Tongkat itu patah menjadi dua! Ciam-lokai meloncat ke belakang dan wajahnya menjadi pucat. Bukan saja ia menderita malu, juga ia merasa sayang sekali bah-wa tongkat pusaka pemberian mendiang Yu Jin Tianglo itu kini patah menjadi dua!
Segera terdengar sorakan para pe-ngemis baju bersih yang berpihak kepada dua orang tosu ini, karena keadaan kini berubah untuk keuntungan Si Tosu. Ciam-lokai menggigit bibir dan ia menerjang maju dengan dua batang tongkat pendek di kedua tangan. Kini ia menyesal mengapa tadi ia tidak segera menggunakan siasat yang dibisikkan ketuanya kepada-nya.
Maka kini begitu menerjang, ia segera menggunakan dua batang tongkat pendeknya untuk menghujani kedua siku tangan lawan dengan totokan-totokan cepat.
"Aiihhh....!" Bu Keng Cu berseru kaget dan sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk menghindarkan totokan itu. Di dalam hatinya, ia terkejut bukan main. Bagaimana kakek jembel ini dalam dua gebrakan saja sudah dapat menge-tahui kelemahan Ilmu Tiat-ciang-kang yang dipergunakannya"
Sampai tiga puluh jurus lebih, Ciam-lokai mendesak lawannya dengan totok-an-totokan maut yang dipusatkan pada kedua siku tangan lawan. Bu Keng Cu mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan totokan-totokan itu, ke-mudian secara tiba-tiba gerakannya ber-ubah. Sejurus gerakannya kasar dan ke-ras, pada jurus berikutnya berubah halus lembek, kemudian berubah lagi. Dalam lima enam jurus saja Ciam-lokai sudah hampir terkena tusukan jari tangan yang sekeras baja, dan untung ia masih sem-pat membuang tubuh ke belakang sehing-ga hanya ujung bajunya yang bolong ke-tika tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari menusuk ujung baju bisa bolong menya-takan bahwa jari-jari itu cukup kuat untuk menusuk bolong logam keras!
Setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu silat aneh yang sebentar lembek sebentar keras, cepat dan lambat berganti-ganti dan selalu berubah, Ciam-lokai menjadi ter-desak hebat. Kini sukar baginya untuk mengancam kedua siku lawan, karena kedua tangan lawan itu melakukan ge-rakan-gerakan yang selalu berubah sifat-nya sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.
Suling Emas yang menyaksikan jalannya. pertandingan sejak tadi, diam-diam harus mengakui keunggulan tosu itu atas ke-pandaian Ciam-lokai. Apalagi ketika tosu itu mainkan ilmu silat yang dikenalnya sebagai Ilmu Silat Im-yang-kun, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan tewas dalam pertempuran ini. Maka ia lalu mengerah-kan tenaga khi-kangnya, mulutnya ber-kemak-kemik tanpa mengeluarkan suara.
Akan tetapi, Ciam-lokai yang sedang sibuk menghadapi desakan lawan yang lihai, tiba-tiba mendengar suara ketuanya itu berbisik jelas sekali di pinggir te-linganya. "Hantam lutut kanannya, totok pundak kirinya!"
Ciam-lokai yang sedang terdesak he-bat dan sibuk menyelamatkan diri itu, mendengar suara ketuanya, secara mem-buta lalu mentaati anjuran ini. Ia menggerakkan kedua tangan secara beruntun, menghantamkan tongkat kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan tongkat kanannya menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri.
Bu Keng Cu terkejut setengah mati. Memang pada saat itu, biarpun ia sedang mendesak lawan, bagian lutut kanan dan pundak kiri inilah yang terbuka, sedang-kan perubahan gerak jembel tua itu be-nar-benar aneh dan tidak terduga, begitu langsung menyerang dua bagian yang lemah ini. Hampir saja lutut kanannya kena dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang lalu menerjang maju lagi dengan kemarahan meluap.
"Hantam pelipis kirinya dan totok lambung kanannya!"
Kembali Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan hati girang setelah melihat betapa petunjuk pertama tadi hampir berhasil. Kembali Bu Keng Cu kaget setengah mati dan hanya dengan susah payah ia mampu membebaskan diri dari bahaya maut. Ia terheran-heran dan ma-kin penasaran dan marah. Jelas bahwa ia menang unggul dan ia sudah yakin akan memperoleh Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 150
kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan terdesak, jembel itu secara tiba-tiba merobah gerakan secara begitu aneh, kadang-kadang berla-wanan dengan gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang bermain silat lagi, akan tetapi selalu tepat menyerang ba-gian-bagian tubuhnya yang tak terjaga"
Apakah jembel ini mempunyai "mata ke tiga" yang dapat melihat bagian-bagian terbuka itu"
Hal seperti ini hanya dapat dan mungkin dilakukan oleh orang yang sudah mengenal ilmu silatnya Im-yang-kun. Akan tetapi andaikata Si Jembel Tua ini mengenal bahkan ahli dalam ilmu silat Im-yang-kun, mengapa gerakan-ge-rakannya begitu tiba-tiba dan seperti dipaksakan"
"Injak kaki kirinya dan tusuk perut-nya, kalau ia membalik, tendang pantat-nya!" kembali bisikan itu diturut oleh Ciam-lokai dengan taat. Pada saat itu Bu Keng Cu sedang mendesaknya dengan tendangan kaki kanan dan ia baru saja menyelinap ke kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia lalu mengangkat kakinya menginjak secara tiba-tiba dan keras ke arah kaki kiri tosu itu, berbareng ia me-nusukkan tongkatnya ke arah pusar la-wan.
"Hayaaaa....!" Bu Keng Cu terkejut dan cepat ia memutar tubuh untuk menghindarkan dua serangan berbahaya ini. Akan tetapi siapa duga baru saja tubuhnya terputar, sebuah tendangan tepat mengenai pantatnya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlem-par ke bawah panggung!
Tepuk sorak riuh-rendah menyambut kemenangan Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis pengikut kaum sesat men-jadi pucat wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan diri sebagai utusan Bu-tek Siu-lam itu ternyata hanya sebuah gentong kosong belaka, kalah oleh Ciam-lokai yang tua dan kurus kering!
Pada saat itu, di antara riuh-rendah-nya para pengemis yang menjagoi Ciam--lokai bersorak-sorak, berkelebat bayangan Bu Liang Cu, dan begitu berhadapan dengan Ciam-lokai, ia langsung mengirim serangan bertubi-tubi, mengeluarkan ju-rus-jurus paling lihai dari Im-yang-kun. Kiranya tosu yang menjadi suheng Bu Keng Cu ini tadi juga menyaksikan
ke-anehan terjadi dalam pertandingan itu. Ia yakin bahwa Im-yang-kun mengatasi ilmu silat Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada saat-saat tertentu jembel itu me-rubah gerakannya dan begitu tepat me-ngisi lowongan yang melemahkan perta-hanannya" Oleh karena inilah, dengan hati penasaran ia lalu maju dan langsung menggunakan jurus-jurus Im-yang-kun untuk mencoba apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan ahli Ilmu Silat Im-yang-kun.
Hebat bukan main terjangan Bu Liang Cu karena ia lebih pandai dari pada sutenya!
Karena kejadian ini tak terduga-duga dan tiba-tiba, maka Ciam-lokai tak dapat mengharapkan bisikan-bisikan ketuanya, maka cepat ia memutar kedua tongkat dan meloncat ke belakang.
Akan tetapi karena perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan serangan tangan kanan Bu Liang Cu, ia kurang cepat menghindar ketika tangan kiri tosu itu bergerak ce-pat sekali menyambar pergelangan tangan kanannya. Jari-jari tosu itu sudah me-nyentuh kulit lengannya. Ciam-lokai terkejut, menarik tangannya. Akan teta-pi ia tidak dapat mencegah lagi tongkat-nya yang di tangan kanan terampas se-dangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang! Keadaannya berbahaya sekali karena jika tosu itu melanjutkan serang-annya, celakalah ia!
"Heh, tosu bau, jangan main curang kau." Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju menghadapi Bu Liang Cu. "Lawanmu adalah aku karena rekanku Ciam-lokai sudah
mengalahkan kawanmu!"
Tosu itu berdongak dan tertawa ber-gelak. "Ha-ha-ha-ha! Siapa yang curang" Suteku tidak pernah kalah oleh jembel busuk itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu!"
"Benar! Mari kita hadapi mereka, Su-heng. Hayo majulah dan biar kita lihat bersama apakah benar kalian berdua dapat mengalahkan kami!" Bu Keng Cu berseru dan ia pun sudah melompat lagi, ke atas panggung, berdiri dekat suheng-nya. Ia memang tidak terluka. Kini ke-dua orang tosu itu berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda Im-yang-kun. Ilmu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 151
Pendekar Panji Sakti 11 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 1

Cari Blog Ini