Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 8

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kaipang dan Hek-coa Kai--pang mulai berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah puncak dari mana mereka da-pat memandang datuk mereka dengan
penuh harapan. Di antara kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik hatinya dan ingin menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang mendatangi bukit yang sunyi itu.
Mereka ini adalah orang-orang petani, beberapa orang pe-lancong dan ada juga beberapa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 176
orang kang-ouw yang menjadi ingin tahu sekali. Ketika rombongan pengemis mulai men-daki bukit, orang-orang ini yang tidak tahu akan bahaya dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk menonton.
Kedatangan rombongan bukan penge-mis ini tak terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam. Ia segera menghadap ke arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata, suaranya manis sekali terdengarnya, sungguhpun dengan dialek asing.
"Siapakah jago kalian" Mana dia" Suruh dia naik ke sini!"
Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya karena mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang menjawabnya, Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan tidak menghormati-nya.
Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi itu sudah melayang turun dari puncak, tiba di antara puluhan orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan genit ini pun tertawa-tawa. Akan tetapi secara mendadak suara ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang di antara mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang laki-laki ber-usia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijam-bak rambutnya dan digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.
"Hi-hik, inikah jago kalian" Atau ada yang lain lagi?" Bu-tek Siu-lam bertanya sambil tertawa-tawa dan mengangkat-angkat tubuh yang tergantung di tangan kanannya itu. Karena kesakitan, orang itu menjadi marah sekali. Betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang kuat dan pernah belajar silat, maka ten-tu saja tidak mau dihina oleh orang aneh ini.
"Bedebah! Lepaskan aku!" teriaknya dan tangan kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.
"Crakkk!" Laki-laki itu menjerit dan darah me-nyembur dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas siku karena pukulannya tadi ditangkis dengan guntingan, dilaku-kan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya, Laki-laki itu meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan kedua kakinya
meng-hantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang aneh itu.
"Crak-crak-crak!"
Sungguh hebat pemandangan itu. Me-ngerikan sekali! Laki-laki yang tergan-tung itu kini buntung semua lengan dan kakinya! Darah bercucuran dan Laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah lagi, agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan!
Kejadian ini membuat para penonton menjadi pa-nik, ada yang lari, ada yang jatuh ba-ngun, ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking takutnya.
"Hayo mana jagomu. Inikah" Crak--crak! Atau ini" Crak-crak-crak!" Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerja-kan guntingnya setelah melemparkan korban pertama ke atas tanah.
Ia tidak menggunting badan atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja belasan orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah mem-banjir dan mereka yang menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati karena kehabisan darah!
"Heeii, anak-anakku semua kaum kai--pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh kita kalau aku menjadi Bengcu!"
Para pengemis itu biarpun tadinya merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun karena me-reka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan senang melihat orang lain bukan golongannya menderita, lalu bersorak girang.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 177
"Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!"
"Tidak ada yang dapat melawan ke-gagahan Locianpwe!"
Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan puas.
Semen-tara itu sisa para penonton yang panik -dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah barat menjauhi rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati mereka lega karena orang aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk mendemonstrasikan kepandaian dan
kekejamannya telah puas. Di antara rombongan pengemis itu -terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis semenjak mudanya, dan -semenjak dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang. Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan prang baik-baik sampai pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang. Hal ini adalah karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala urusan.
Pendeknya, ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap perkumpulannya yang didirikan oleh seorang pamannya dahulu. Begitu bodoh dan tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun ikut rombongan hanya untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang yang dipilih perkumpulannya sebagai bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau rombongannya bergerak.
Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di luar batas perikemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan kemarah-annya membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apalagi ketika melihat betapa para pengemis yang menjadi anggauta-anggauta perkumpulannya kini sambil tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu mulai menyeret mayat-mayat yang bergelimpangan dan melem-parkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin penasaran. Kalau ia melihat anak buah merampok atau memeras, ia masih tidak peduli karena betapapun juga yang dirampok dan diperas tentulah orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan tanpa alasan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini menembus kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.
"Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti iblis?" bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siu-lam.
"Hoan-lokai, jangan sembrono....!"
"Hoan-lokai, jangan kurang ajar ter-hadap calon bengcu....!"
Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai yang sudah menjadi marah sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu, berhadapan dengan Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang dan melihat betapa kedua tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka ter-kejut dan mengeluarkan teriakan kaget. Warna hijau pada kedua tangan ini men-jadi tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua tenaga Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan ilmunya dan biarpun semua orang tahu akan keampuhan kedua tangannya, namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai mengerahkan tenaga Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau! Kini tak seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka pucat dan mata terbelalak. Betapapun juga,
kejadi-an ini menegangkan hati dan menyenang-kan, karena mereka mendapat kesempat-an untuk menyaksikan kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang keselamatan Hoan--lokai, siapa peduli" Kakek ini biarpun memiliki ilmu tinggi, namun bodoh Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 178
dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun tak-kan merugikan siapa-siapa.
Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua tangannya hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu akan sikap kakek pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua tangan yang hijau itu mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam agaknya sama sekali tidak memandang mata.
"Kau mau apa?" tanya Bu-tek Siu-lam dengan sikap angkuh sambil meman-dang pengemis itu dengan kepala dimiringkan.
"Kau ini manusia apakah iblis" Kalau manusia, mengapa kau membunuhi orang sekejam itu tanpa alasan?" tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan mata me-lotot.
Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi bah-wa kakek pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap orang aneh itu yang amat sombong, Hoan-lokai sudah menggerakkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Pukulan ini keras sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan seperti ini, pengemis tua itu sanggup memukul han-cur sepotong batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.
Namun bagi seorang tokoh besar se-perti Bu-tek Siu-lam, tentu saja kepan-daian seperti ini tidak ada artinya sama sekali, termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang adalah ilmu gwa-kang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang hanya dengan latihan-latihan berat mempergu-nakan kekuatan kulit daging, maka bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang. Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah tidak lagi memhutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakar,
kepandaian-nya. Seseorang yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga kasar, melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk dipergunakan secara te-pat. Seorang ahli ilmu silat tinggi men-dasarkan tenaga dalam yang sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah seperti air, atau lunak ulet seperti karet.
Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya seperti besi
sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak dan lemas itu" Besi dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain karena keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada artinya bahkan me-mukul diri sendiri, kalau dihantam-kan pasir, tanah atau air yang tak me-lawan, akan lenyap dan tenaga pukulan-nya akan tersedot tanpa guna.
"Wuuuuttt.... desss!" Pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali mengenai perut Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa tangannya itu amblas atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui perlawanan seperti orang memukul kapas. Namun Hoan-lokai ada-lah seorang ahli silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang aneh kejam seperti iblis ini adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam), maka ia cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
"Wuuuuttt.... dukkk!" Kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan kiri Hoan-lokai seperti memukul karet dan membalik. Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan siasat, hanya menggunakan setengah tenaga-nya, sedangkan tenaga
setengahnya lagi ia pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang "menancap" ke dalam perut. Ia berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
"Ha-ha-hi-hi-he-hehh....!" Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit se-kali, berirama dan berlagu seperti orang bernyanyi! "Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak"
Teman-temanmu mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan
aku?" Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 179
"Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka!"
Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya me-nyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya tadi!
Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama
perkumpulan Hek--coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak
dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan.
Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeli-haranya bertahun-tahun itu demikian mu-dah terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan tangannya secara ber-bareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.
"Wuuuttt.... ceppp....!"
Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi segera kakek pengemis itu me-ronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk mencabut keluar kedua
tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ke-tawanya lucu menyeramkan.
"Pergilah!" bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan te-naga. Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari "cengkeraman"
perut, ter-lebih dahulu terdengar suara "pletok-pletok!" dua kali dan ketika kedua ta-ngan itu sudah bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah! Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan tulang sumsum.
Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat pe-nuh keringat, dan garis-garis keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai.
Dia memang se-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebat-nya rasa sakit yang dideritanya, ia men-jadi makin marah dan nekat. Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya ber-gantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya! Seruduk-an seperti ini sama sekali tak boleh dipandang ringan karena dengan kepala-nya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding tembok yang kuat!
Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha--ha-hi-hi, memasang perutnya yang se-ngaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat
dihindarkan lagi tubrukan antara kepala dan perut itu.
"Suppp!" Kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak
mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut! Aneh sekali kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan kesakitan hebat.
Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di bawahnya. Biarpun semua orang yang hadir belum Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 180
pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu, yaitu mengguna-kan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat menduga be-tapa kepala Hoan-lokai, seperti kedua
tangannya tadi, akan menjadi remuk ter-gencet!
Pada saat itu, dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan ter-bahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan ber-diri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan melongo. Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara ketawa-nya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orang-nya ternyata biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran biasa. Kecil kurus, se-demikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang sempit itu amat panjang.
Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu pula karena
sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya pan-jang kakinya telanjang. Benar-benar se-orang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya sedang-kan mulut itu sendiri tidak tertawa!
Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula
serombongan orang yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah
bendera yang dipegang oleh seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thian-liong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga! Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw- bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan.
Sebe-tulnya, julukannya Iblis Tua Muka Ter-tawa kurang tepat karena biarpun suaranya kalau tertawa seperti orang terping-kal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa!
Kedua kaki orang aneh ini tidak tam-pak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih "menancap"
dalam perut Bu-tek Siu-lam. Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama se-kali tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut lawan.
Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya tak dapat diceritakan lagi sa-king hebatnya.
"Huah-hah-heh-heh-heh!" Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa mengge-rakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! "Gunung di barat takkan dapat berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!" Setelah ber-kata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat Hoan-lokai.
"Bukkk!" Tendangan ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 181
orang mengira demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.
Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai bagai-kan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.
Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo-mo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah bagai-mana, tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepan-daian Si Iblis Banci! Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong se-orang tokoh yang berkepandaian tinggi di antara para anggauta Hek-coa Kaipang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas! Sama sekali tidak berdaya dan kepalanya pening pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu hanya dengan dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya ter-lempar ke sana ke mari! Sambil mem-permainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenak-nya!
"Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan me-miliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?" Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.
"Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupa-kan setan di barat dan ditakuti orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin Lo-mo!" Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siu-lam.
"He-he-hi-hi-hik! Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pan-tas sekali!
Orangnya ternyata lebih buruk daripada namanya!" Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai me-nyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.
Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan.... tubuh kakek pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara! Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan me-reka diulur ke depan dengan jari tangan terbuka darimana meluncur tenaga sakti yang tak tampak, yang "menahan"
bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekan-an makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.
Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola di-lontarkan ke sana ke mari sehingga ke-palanya pening, pandang matanya ber-kunang dan kini, tertahan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 182
oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuh-nya terjepit dan sukar bernapas. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia me-ngeluarkan teriakan menyeramkan, tubuh-nya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah! Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!
Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke atas tanah. Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Iblis tua bangka kurus kering benar-benar mengagumkan!"
Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. "Eng-kau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!" Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian--liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo--mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata. "Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bang-kai ini?"
Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan suara ter-tawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menu-angkannya beberapa tetes cairan ber-warna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka membelalakkan mata saking kaget dan herannya. Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap, me-lumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat. Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu silat dan me-rupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.
Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil ber-kata.
"Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?"
Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. "Memang hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepada-mu sebelum kau mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk
mengalahkan guntingku ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu!"
"Huah-hah-hah, bocah muda omongan-nya besar! Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku" Ataukah masih ada yang lain" Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang tanggung aku turun ta-ngan membuang keringat menghadapi mereka!" Ucapan kakek kecil ini mem-buat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bu-kan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh.
Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat men-jawab, terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini hebat bukan main, menggetar-kan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong
me-ngerikan ini, orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama aneh-nya dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya, tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang, ujungnya ber-kait dan bergigi seperti gergaji! Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam. Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orang-orang dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.
"Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 183
Manusia)!" kata Bu-tek Siu-lam.
Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo me-mandang penuh perhatian dan amat ter-tarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata, "Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang ber-nama besar!"
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguhpun hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang nama-nya sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu. Sam-bil tersenyum
mengejek ia lalu meng-hadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong dan berkata.
"Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji.
Agaknya tali itu untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi--hik! Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum be-nangku!" Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya!
Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya ber-diri dengan kedua kaki terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina akan tetapi juga terang-terangan
menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya,
"Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong!" Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan ter-belah dan isi perutnya akan cerai-berai!
"Traanggg....!" Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siu-lam terdorong ke belakang ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit.
Mereka me-mandang kagum dan muka mereka ber-ubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.
"Siuuuuutttt....!" Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung dan me-layang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.
"Cringgg....!" Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pan-cing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan ma-sing-masing selain memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam meng-gunakan senjata rahasia bertali itu.
Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pan-dang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 184
kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.
"Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut" Setelah kita datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha!" Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawan-nya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk men-jaga diri.
Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin , taufan me-ngamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah!
Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua ada-lah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspada-an. Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya se-perti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.
"Tak salah lagi, engkau tentulah Thai--lek Kauw-ong!" seru Bu-tek Siu-lam sam-bil memandang penuh perhatian.
"Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?" ta-nya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah
menjulang tinggi di dunia kang-ouw.
"Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!"
"Bagus, kebetulan sekali!" kata Pak-sin-ong yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan memandang rendah. "Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalon-kan menjadi Bengcu. Kita menanti apa-lagi" Mari mengeluarkan kepandaian
me-nentukan siapa yang lebih unggul!"
Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya,
sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua ta-ngannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun rak-sasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sam-pai lama baru keluar suara dari mulut-nya.
"Tidak bertempur!"
Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pe-ngikut
sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagainya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut ti-mur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya ter-tarik mendengar nama besar Bu-tek Siu--lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk di-ajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak me-ngenal hukum-hukum dan bertindak se-enak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia me-lakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 185
baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis membunuh-bunuhi orang-orang yang sama sekali tidak salah. Ka-lau hatinya lagi senang, biar orang ber-sikap keterlaluan kepadanya, ia akan ter-tawa saja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara.
Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali. "Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?" tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.
"Tidak ada Bengcu" jawab Si Kakek Gundul singkat.
"Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukan-kah kita
berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih ung-gul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita" Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?"
"Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?"
Ucapan itu singkat namun jelas mak-sudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak
menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak di-tentukan siapa menjadi bengcu dan ke-enam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam"
Namun tiga orang aneh yang mende-ngar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena me-reka, bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol. Ia selalu rindu untuk me-rampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengan-dalkan bantuan kaum sesat di dunia per-silatan teritu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya me-ngapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.
"Pemilihan Bengcu harus diadakan!" seru Bu-tek Siu-lam.
"Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?" kata pula Pak-sin-ong penasaran.
"Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!" Siauw-bin Lo-mo juga berkata.
"Bodoh!" Thai-lek Kauw-ong memben-tak. "Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding, ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!"
Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembreng-nya sehingga terdengar bunyi "brenggg!" yang nyaring sekali menulikan telinga.
Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul, menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu le-nyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pim-pinan mereka saja berani menonton per-temuan empat orang aneh itu dari tem-pat yang agak jauh dan aman.
Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita mereka semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 186
dikeluarkan melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka ke-pada Thai-lek Kauw-ong seorang! Pada-hal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah!
Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya itu tiba, ia sudah men-dahului menggerakkan sepasang gembreng-nya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan tidak ter-duga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya de-ngan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas
menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu! Se-kaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga orang lawannya!
Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepa-sang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan kanannya. "Wiirr....!" Jarum besar yang diikat be-nang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong.
"Tranggg....!" Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka terpaksa menangkis dengan gem-breng kirinya dan usahanya menjepit gunting menjadi gagal.
Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan ten-dangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh meng-elak.
Dalam segebrakan itu saja, dari ke-adaan diserang, Thai-lek Kauw-ong mam-pu merobah keadaan menyerang dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan
agaknya kalau dibandingkan dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan kemenangan-keme-nangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!
"Hemm, kalian seperti bajingan-ba-jingan kecil hendak mengeroyok" Boleh!" Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasa-an. Tiga orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di da-lam hati mereka itu diam-diam bermak-sud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.
"Siapa mengeroyokmu" Sombong! Li-hat kelihaian Pak-sin-ong!" seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat
menyam-bar, sinar putih dari tangan kirinya sudah meluncur cepat dan itulah pancing ber-tali yang menyambar ke arah muka Thai-lek Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal sen-jata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek Kauw-ong
menggerakkan gembreng kanannya me-nangkis. Terdengar suara "cringgg!" ke-ras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sin-ong sendiri! Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 187
kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah me-nerjang maju dan
menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!
Sama sekali bukan serangan ringan yang dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini meleng-kung membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan ke-luar lawan! Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat
menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Brenggg....!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk
mematahkan tenaga tang-kisan yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyung-huyung! Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil ber-seru keras.
"Klik-klik!" Guntingnya yang besar berbunyi dua kali dan dengan amat cepat-nya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisih-nya dari leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.
"Klik.... brenggg!" kembali seperti ke-adaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring se-kali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai men-jadi pucat. Ia dapat menangkis dan me-ngelak sambaran dan gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera ter-desak hebat!
"Breng.... brenggg....!" Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada saat ia membuang diri ke belakang ini.
"Hehh....!" Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak dan mem-buang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengi-baskan gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyele-weng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluar-kan keringat dingin. Kalau ia tidak ber-laku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sam-bil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji kepandaian Si Raja Monyet. "Huah-hah-hah, Kauw-ong, kau-terimalah senjataku!"
bentaknya dan ke-tika tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong,
menge-luarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu takut menghadapi senjata ra-hasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 188
Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya memyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan se-bagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut! Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyam-but sepasang gembrengnya dengan mudah.
Empat orang sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang gemrengan siap menghadapi tiga orang itu. Karena dalam gebrakan-gebrakan per-orangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai--lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa hari ini ia meng-hadapi tiga orang lawan yang akan me-rupakan makanan yang keras baginya! Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan telinga, juga membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah menjadi tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang tinggi.
Tentu saja empat orang itu ter-kejut dan seketika menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding. Ketika Thai-lek Kauw-ong memutar tu-buh dan tiga orang lainnya juga meman-dang, mereka melihat seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang tak diketahui empat orang itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa, apalagi wanita itu duduk di atas ranting yang kecil dan kiranya akan pa-tah kalau diduduki orang biasa. Akan tetapi wanita itu duduk dengan enak, membelakangi mereka dengan tubuh di-putar dan kepala dipalingkan ke arah mereka. Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran. Tubuh wanita itu padat dan indah ben-tuknya, pakaiannya indah, akan tetapi kepala wanita itu tertutup kerudung! Biarpun kerudung itu tipis dan memba-yangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja
menyeramkan dan menimbul-kan bayang-bayang gelap pada muka, terutama pada kedua
matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya kelihatan kilauan seperti titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit putih halus dan berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi se-mua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam mengkilap!
Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguh-an sendiri sehingga mereka menjadi ang-kuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh di-pandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia men-jadi marah sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani meng-ganggu mereka berempat.
"Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani ber-sikap kurang ajar!"
Tangan kirinya berge-rak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.
Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu
memancing ikan! Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang meman-cing ikan merupakan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 189
kesenangan banyak orang sejak jaman dahulu sampai seka-rang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat pan-cing dan talinya bukan hanya untuk me-mancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amat ampuh. Ia menciptakan ilmu silat yang Khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping gergajinya, senjata pancing ini amatlah berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.
Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun wanita itu yang ha-nya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan marenggut kerudung yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan te-lunjuknya menyentil dengan kuku
te-lunjuk. "Cringg....!" Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya.
Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.
"Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan puncak ini!" terdengar suara wanita itu.
Suaranya halus merdu, akan tetapi amat dingin. Kedua tangannya bergerak ke depan menceng-keram daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara meleng-king panjang sambil menggerakkan kedua tangan, daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil me-nyambar ke arah empat orang itu. Bah-kan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pim-pinan rombongan pengemis dan rombong-an Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka mengadu ilmu.
Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali!
Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan, akan tetapi da-pat melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya dapat dilaku-kan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apalagi mereka se-bagai orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.
Jerit-jerit mengerikan membuat em-pat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang, ternyata beberapa orang dari tiga go-longan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam.
Beberapa helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggauta Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun ter-bang dan berkelojotan dalam keadaansekarat!
Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 190
Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata, "Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!" Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula bajunya. Katau tidak tentu sudah pecah-pecah
pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di kerong-kongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.
"Siuuuuutttt.... krakkk.... !" Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,
Melihat kehebatan Ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang hebat ini! Juga wanita ber-kerudung itu diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa Si Gundul yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar amat lihai. Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suara-nya tetap halus dan merdu namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.
"Namaku Sian dari Istana Bawah Ta-nah. Baru sekarang keluar dari bumi me-masuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu" Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya!"
Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu me-nyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang mem-bayang di balik pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!
Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini. Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apalagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab pening-galan iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri. Seperti tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan te-naga sinkang yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani mene-rima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkangnya biarpun cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah lebih tinggi daripada tingkat mereka!
"Huah-hah-hah!" Siauw-bin Lo-mo ter-tawa tanpa menggerakkan bibirnya se-hingga Kam Sian Eng memandang dengan hati terheran-heran. "Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya lagi" Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami" Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 191
Kam Sian Eng mengangguk. "Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang
sembarangan, aku ber-sedia untuk berkenalan. Aku setuju de-ngan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?" tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok dengan usulnya. "Me-mang tak perlu ada Bengcu, lebih pen-ting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tan-ding)?" Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya! Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan watak-nya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapat-nya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
"Kalau begitu tidak bertanding?" Thai--lek Kauw-ong bertanya kecewa.
"Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?" tanya Kam Sian Eng. Biarpun wanita ini mengalami gang-guan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu muda-nya ditambah dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyele-weng, namun ia tidak kehilangan kecer-dikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding meng-hadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
"Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.... cocok!" kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.
"Betul! Memang kita segolongan, per-lu apa bertempur?" kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita me-rampas Kerajaan Khitan.
"Segolongan?" Sian Eng bertanya. "Golongan apa?"
"Hi-hik, sahabatku yang manis. Go-longan apalagi" Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!"
kata, Bu-tek Siu--lam sambil mesam-mesem genit. Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.
Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong di-kira senyum karena setuju disebut go-longan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. "Huh, memang benar!
Banyak orang me-nyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah ma-camnya orang yang tidak sesat?"
"Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat" Di antaranya, yang paling menon-jol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah
golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian
berempat un-tuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai se-kali." Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan keben-cian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas"
Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo
dikalahkan Suling Emas sehingga ter-jadi permusuhan antara kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Se-lain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga
pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 192
Sejenak wajah cantik di balik keru-dung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas ada-lah Kam Bu Song, kakak tirinya.
Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang tak pernah ber-temu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini da-pat melawan kakak tirinya itu!
"Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor!
Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw--kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Tok-siauw-kwi" Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat men-diang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak
mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!" kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.
"Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,"
kata Sian Eng. Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Beng-kauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS). Karena ia menda-patkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.
"Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian "toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!" Thai"lek Kauw-ong berkata. Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah menjawab cepat-cepat.
"Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!" Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi
sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
"Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya
menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!" ia terkekeh genit.
"Ilmu kepandaiannya lumayan," kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw.
Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan
berharga. "Biarpun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam-wi," kata Pak-sin-ong. "Tentu saja Sam-wi dapat
mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi se-waktu-waktu perlu bantuan."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 193
Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan, oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk me-laksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arahh selatan karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun. Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga
membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya ber-bentuk lonjong
manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat.
Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah
tersenyum. Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam
mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggung-nya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul ga-gangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah daripada cantik, sungguhpun ke-manisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.
"Maaf, saya mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan be-lajar kenal dengan Bengcu baru!" kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
"Hi-hik, kalau Gurumu secantik eng-kau, mengapa tidak kauajak sekalian datang ke sini, manis?" kata Bu-tek Siu--lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita pakaian merah itu.
Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih se-hingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nya-ring.
"Kalau saya tidak keliru sangka, Lo-cianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan" Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!" Sambil berkata demi-kian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam yang memang meman-dang rendah semua orang tertawa me-ngejek lalu
berkata, "Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi" Po Leng In" Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?" Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap.
Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam mem-buka mulut bernyanyi dan....
suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
"Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang kalau tidak dicium! Wanita adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak di-timang!"
Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan "ngokk" pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak per-nah ada orang laki-laki berani menggang-gunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Se-karang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 194
se-ketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
"Lepas....!" jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.
"Siuuuuttt.... plakkk!" Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang
memegang perge-langan tangan kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan te-tapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan
memakai gelang emas itu terkena lecut-an ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena luka. Ia berseru kaget dan me-narik tangannya sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.
Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan berge-rak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya penuh kemarah-an, dan biarpun ia maklum bahwa lawan-nya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, ma-tanya bersinar-sinar dan ia berkata, "Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku" Hi-hik, murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat daripada baja!"
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah "bersaudara" atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah "ja-tuh" itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeram-kan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja! kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkan-nya dan memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mo-ngol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang telah mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton sambil menyeringai le-bar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia se-enaknya dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin me-nyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu. Adapun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam, masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga mereka masih
menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sam-pai datuk mereka muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Selagi "orang muda", ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 195
me-lakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang,
"saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya." Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya dan dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menye-nangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beri-ngas, matanya seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeram-kan itu berubah dan suaranya penuh wi-bawa ketika ia memberi perintah.
"Buka bajumu!" Muka Po Leng In menjadi pucat se-kali, matanya terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memak-sakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.
"Buka! Buka bajumu!"
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.
"Hemm.... hemm....!" Terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya.
Matanya terbuka le-bar-lebar memandang dan hatinya berta-nya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.
"Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau mengge-letak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuh-mu seindah matamu, aku suka
mengam-punimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada.
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya.
"Bu-tek Siu-lam engkau terlalu meng-hina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!"
Kata-kata itu tertutup dengan gerak-an pedang. Cepat sekali gerakan pedang-nya, sehingga tak tampak bentuk pedang-nya, berubah menjadi sinar kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam, dibarengi hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sin-kang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk me-ngenal serangan berbahaya. Ia mengeluar-kan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sem-pat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan
kelan-jutan daripada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatang-kan maut! Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi Si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah ber-sahabat dengan Tok-siuw-kwi dan mene-rima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah peng-gunaan rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan ke-dua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seper-ti laki-laki biasa! Kalau lawannya se-orang laki-laki biasa, tentu saat itu su-dah tewas oleh cengkeramannya.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 196
Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po- Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan
kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari kanan kiri dada-nya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!
"Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!" terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran.
Kalau ia se-bagai seorang di antara lima "dewa" yang menggantikan kedudukan enam "iblis"
kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus menaruh mukanya"
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia "tutup" jalan darahnya, kemudian se-cepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang me-nyambar ke arah mukanya lalu mengang-kat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Ka-rena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya se-tinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In kaget dan mengenali baha-ya. Sambil berseru "lepaskan" kedua kakinya
bergantian menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggen-cet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
"Hi-hi-hi-hik! Kaulihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?"
"Hemm, tak ada gunanya!" Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
"Hi-hik, siapa bilang tidak ada guna-nya" Rambutnya harum sekali!" Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. "Dan kita lihat apakah jantungnya ter-buat daripada baja!" Pedang di tangan kanannya bergerak dan "brett!"
pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas ping-gang tidak berpakaian lagi! Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa
mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Muka-nya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa--apa, matanya memandang penuh kebenci-an dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali.
Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ke-tika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki ta-ngan. Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Kalau me-lihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa ter-hina!"
"Hendak kulihat sampai di mana ke-tabahanmu!" gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang panjang itu! Po Leng In adalah seorang wanita yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 197
seperti gurunya, amat menyayang rambut pan-jangnya, maka tanpa disadarinya ia men-jerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!
"Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!" Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih meman-dangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!
"Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantung-nya!"
Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai
perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam su-dah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. "Mahluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh un-tuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mam-pu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!"
Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apalagi ma-kian demikian hebatnya. Saking heran dan kagetnya, ia urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita ini yang da-tang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana suara itu da-tang, ia melihat bahwa yang datang itu seorang gadis muda remaja yang amat cantik jelita dan yang memandangnya dengan mata berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama, tiba-tiba tangannya yang meme-gang pedang menjadi tergetar hebat se-hingga secara terpaksa ia harus melepas-kan pedang itu yang jatuh ke tanah di-dekat tubuh Po Leng Ini
Kwi Lan, gadis remaja yang baru datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu kerikil, dan me-ngira bahwa orang aneh itu melepaskan pedang karena gentar akan tegurannya tadi.
Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan. Sayang ia datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan bibi dan gurunya, Si Wanita Berkerudung. Biarpun sejak masih kanak-kanak ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini tidak pernah mendapat gem-blengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga segala sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja.
Akan tetapi oleh karena Kwi Lan adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga ti-dak suka melihat si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di samping ini, ia suka dan kagum melihat kegagah-an. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang sama sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia men-jadi kagum dan tanpa mempedulikan bahwa wanita itu adalah murid Siang-mou Sin-ni yang ia pernah dengar dari gurunya adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, ia segera melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.
Bu-tek Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan. Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri dan membelakanginya!
Sama sekali tidak mempedulikan dia dan caci makinya tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat gunting besar terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat menduga dengan pasti siapa orang itu.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 198
"Hei, bukankah kau si iblis Bu-tek...." Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriak-annya karena tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu gunting besar itu sudah berada di tangannya, menyambar ke arah rumpun bunga di bawah pohon.
"Klik-klik!" hanya dua kali guntingan dan tetumbuhan itu terbabat habis! Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan manusia.
Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyam-bit kerikil ke arah lengannya bersem-bunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras.
Kwi Lan terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan ternyata dugaannya tidak keliru. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri. Siapa lagi kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan dan ia berdiri dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia menu-dingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.
"Huh, kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita.
Alangkah jauh bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!" Hauw Lam mengejek.
"Eh kau Berandal....!" Tiba-tiba Kwi Lan berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya tersenyum lebar. "Heiii, kau.... Mutiara Hitam....?" Kiranya pemuda itu baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ. Sejenak mereka saling pandang.
"Awas....!" Tiba-tiba Kwi Lan ber-seru.
Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguhpun ia suka berkelakar.
Sambaran gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya dengan kuat ke arah lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil menggunting leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah mengancam lengannya segera menekuk siku dan gun-tingnya membalik, menyambut golok.
"Traaanggg....!" Bunga api berpijar menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek Siu-lam bahwa golok itu tidak patah-patah! Juga tidak terlepas dari pegangan tangan pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup menahan senjata yang terpukul, apalagi tergunting oleh senjatanya. Pemuda ini bukan orang sembarangan!
"Bocah, engkau siapa dan murid sia-pa" Mengapa kau berani main-main dengan aku dan menyerang secara menggelap?" Bu-tek Siu-lam menahan gunting-nya dan bertanya marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada seorang pemuda berani menandinginya, akan te-tapi karena ia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan cukup berharga untuk ditanya.
Hauw Lam menyeringai. Padahal di dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan membuat bahu-nya terasa akan patah itu telah menga-getkan hatinya. Namun ia masih tertawa-tawa untuk mengelabuhi lawan. "Heh-heh, siapa tidak mengenal Bu-tek Siu-lam" Biarpun belum melihat orangnya, namanya sudah dikenal semua orang ter-masuk aku.
Siapa aku" Kautanyalah ke-pada Nona itu, namaku Berandal karena aku suka berandalan!
Kau tanya Guruku" Ada ratusan orang, terlalu panjang kalau disebut satu demi satu!"
"Bocah ingusan! Tak kausebut juga apa kaukira aku tidak bisa mengenal ilmu silatmu ceker ayam" Kau bergerak-lah....!" Setelah berkata demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya membentuk lingkaran lebar yang melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup
semua jalan keluar! "Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau memang tampan, biarpun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau wanita?" Tang Hauw Lam biarpun harus cepat mengelak dengan repot karena Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 199
gunting itu menyambar-nyambar dari segala ju-rusan, namun masih sempat berkelakar untuk memanaskan hati lawan. Di sam-ping ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejek-annya tadi berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu to-koh aneh ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya dengan cara menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membu-nuhnya sebelum berhasil
mengenal ilmu silatnya. Karena inilah Hauw Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia peroleh dari petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar biasa, yang muncul dari dalam kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Kare-na itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan betapapun gunting di tangan Bu-tek Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan diri daripada lingkaran, bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.
Sementara itu, melihat munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gem-bira dan ia cepat-cepat menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan menotok atau meng-usap, pulih kembali jalan darah di tubuh Po Leng In. Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali. Rambutnya terbabat separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri meme-gang rambut berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan kanannya meng-ambil pedangnya, lalu ia sejenak meman-dang wajah Kwi Lan.
Kemudian ia mem-bungkuk dan berbisik. "Terima kasih ba-nyak, mudah-mudahan aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali de-ngan kerikil kecil sanggup memukul run-tuh pedangku dari tangan Bu-tek Siu-lam."
"Kerikil" Meruntuhkan pedang" Aku tidak.... ah, agaknya Si Berandal yang melakukannya."
"Si Berandal?" "Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu."
Wanita itu menengok dan mengerut-kan keningnya. Biarpun pemuda yang disebut Berandal oleh penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata Po Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan putih, dan se-orang pemuda pakaian putih telah berdiri di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu. Ia memandang tajam dan pada saat itu, terdengar suara pemuda yang melawan Bu-tek Siu-lam, yang biar-pun terdesak masih tertawa-tawa.
"Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah mengenal ilmu silatku?"
Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu melawannya, ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum da-pat menduganya dari cabang persilatan mana, Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga! Saking panas hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan tetapi karena ia ingin memaksa Si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat ia kenal asalnya, maka terpaksa ia
mengeluarkan senjatanya jarum besar diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap dipergunakan bila perlu.
"Heh-heh, memang kau bertubuh pria berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting. Eh, kau sen-diri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kautuduh aku yang bukan-bukan menyerangmu secara meng-gelap?"
"Bocah setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, sete-lah mengenal ilmu silatmu, aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian menjahitnya kembali
dengan jarumku ini!"
"Heh-heh, tak mudah, sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan menjahit tubuhku lalu kaujadikan barang mainan" Cih, tidak tahu malu. Kalau laki-laki, kau tua bangka dan kakek-kakek, kalau wanita, kau juga sudah nenek-nenek. Siapa sudi....
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 200
aiiiihhh....!" Hauw Lam berseru terkejut dan cepat ia melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi diri. Gerakan memutar golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi gerakan-nya membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan, sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyela-matkan diri dari sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.
"Aihhh, bukan berandal yang menyam-bitkan kerikil!" Kwi Lan berkata. Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan mengangguk-angguk, ke-mudian sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi Lan lalu berlari cepat me-ninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak ada gunanya ber-ada di situ lebih lama lagi. Ia harus cepat pulang untuk melapor kepada guru-nya!
Kwi Lan belum melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan tangguh itu.
Ketika ia bergerak hendak mencabut pedangnya dan melon-cat membantu Hauw Lam, tiba-tiba ber-kelebat bayangan putih di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan serius dan telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.
"Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki, apa-kah tidak sudah tadi pemuda sembrono itu menjadi korban guntingnya" Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya yang aneh dan selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan dirobohkan. Ka-lau Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan engkau bahkan memba-hayakan keselamatannya dan keselamat-anmu sendiri."
Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan men-cegahnya membantu Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya
Pendekar Buta 5 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 9

Cari Blog Ini