Ceritasilat Novel Online

Panji Sakti 1

Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Bagian 1


" Panji Sakti Khu Lung JIT GOAT SENG SIM KI (Panji Hati Suci Matahari Bulan)
Suatu kejadian telah menggemparkan bu lim (Rimba persilatan),
yakni musnahnya CIOK LAU SAN CUNG (Perkampungan Loteng
Batu). Seluruh penghuni perkampungan itu terbunuh, termasuk
majikan perkampungan yang tidak lain adalah pasangan pendekar
Pek Mang Ciu dan isterinya.
Namun tidak tampak mayat Pek Giok Liong, yaitu putra satusatunya
pasangan pendekar tersebut. Apakah Pek Giok Liong dapat
meloloskan diri" Tiada seorang bu lim pun yang mengetahuinya.
Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda berpakaian kumal.
Siapa pemuda itu" Tidak lain Pek Giok Liong. Ternyata dia dapat
meloloskan diri. Pek Giok Liong menuju ke Lam Hai (Laut Selatan). Dalam
perjalanan, dia sering dikejar orang-orang yang tak dikenalnya,
sekaligus ingin membunuhnya pula.
2 Siapa yang membantai Ciok Lau San Cung" Itu merupakan
kejadian misterius. Dan siapa pula yang mengejar Pek Giok Liong
dengan maksud membunuhnya" Apakah Pek Giok Liong bisa tiba
dengan selamat di Lam Hai" Bertujuan apa dia ke Lam Hai, dan
siapa yang menolongnya"
Pek Giok Liong memperoleh sebuah Jit Goat (Gwe) Seng Sim Ki
(Panji Hati Suci Matahari Bulan). Apa kegunaan panji itu dan siapa
yang memberinya" Dapatkah Pek Giok Liong mempelajari kepandaian tinggi untuk
membalas dendam berdarah kedua orang tuanya" Siapa pembunuhpembunuh
kedua orang tuanya, dan apa pula yang akan terjadi atas
dirinya" Bagian ke 1: Orang Tua Pincang
Udara amat dingin, angin yang berhembus pun terasa menusuk
tulang. Siapa pun terhembus angin itu, sekujur badannya pasti
menggigil kedinginan. Dalam udara yang sedemikian dingin, orang biasanya, tidak akan
keluar dari rumah kalau tiada urusan penting, lebih baik duduk di
hadapan Anglo (tungku) untuk menghangatkan badan.
Akan tetapi, apabila ada urusan penting, itu apa boleh buat,
terpaksa harus keluar rumah juga.
Siauw keh cung (Perkampungan keluarga Siauw), terletak lima
belas li (mil) di sebelah selatan Teng Hong Sia (Kota Teng Hong).
Perkampungan tersebut terdiri dari dua puluhan kepala keluarga,
dan setiap keluarga pasti she Siauw (marga Siauw), tiada satu pun
yang marga lain. Cung cu (Majikan perkampungan) itu bernama Siauw Thian Lin,
usianya lima puluh tahunan, baik budi dan tergolong orang kaya di
daerah Teng Hong, bahkan sangat terkenal dan dihormati penduduk
setempat. Rumah Siauw Thian Lin sangat besar, di kiri kanan pintu rumah
itu terdapat sepasang singa batu yang amat besar, maka membuat
rumah tersebut tampak bertambah mentereng.
Ketika hari mulai gelap, terdengar suara langkah yang tidak
teratur mendekati rumah Siauw Thian Lin, ternyata seorang anak
3 lelaki berusia sekitar lima belas tahun berjalan tertatih-tatih
mendekati rumah tersebut.
Rambut anak lelaki itu awut-awutan, mukanya pun tampak agak
kekuning-kuningan. Dia tampak seperti pengemis kecil, sebab pakaiannya sangat
kumal dan robek sana-sini. Sungguh kasihan anak lelaki itu!
Ketika itu pintu rumah Siauw Thian Lin tertutup rapat, dan di
pintunya terdapat sepasang gelang besi yang cukup besar. Meskipun
hari sudah gelap, sepasang gelang besi itu masih tampak
gemerlapan. Pengemis kecil itu berdiri mematung di depan pintu. Berselang
beberapa saat kemudian, ia memberanikan diri untuk menggoyanggoyangkan
salah satu gelang besi itu.
Tak lama, terdengar suara sahutan yang serak dari dalam.
Tampaknya suara orang tua.
"Siapa yang mengetuk pintu?"
"Aku," jawab pengemis kecil itu cepat. "Orang lewat, Lo Jin Keh
(Orang tua), tolong buka pintu!"
Tak seberapa lama kemudian pintu itu terbuka. Yang membuka
pintu itu ternyata seorang kakek berusia tujuh puluhan. Rambutnya
sudah putih semua, dan kakinya pincang.
Orang tua pincang itu menatap si pengemis kecil dengan tajam,
kemudian mengernyitkan kening.
"Siau hengte (saudara kecil), engkau ada urusan apa?"
tanyanya. "Lo jin keh, saat ini udara sangat dingin, cayhe (aku yang
rendah), tidak punya uang untuk menginap di rumah penginapan,
maka ingin menumpang semalam di sini, besok pagi segera pergi
Boleh tidak?" sahut pengemis kecil dengan suara rendah dan sopan.
"Saudara kecil!" Orang tua pincang mengamatinya dengan
penuh perhatian, lalu bertanya, "Engkau dari mana?"
"San Si (nama kota)," jawab pengemis kecil jujur.
"Mau ke mana?" tanya orang tua pincang lagi.
"Lam Hai (Laut Selatan)," jawab pengemis kecil itu dengan
merendahkan suaranya. Orang tua pincang tampak terperanjat, ia memandang pengemis
kecil itu seraya berkata.
"Lam Hai" Tempat itu jauh sekali!"
Pengemis kecil manggut-manggut dan berkata.
4 "Benar, tempat itu memang jauh sekali." wajah pengemis kecil
itu mencerminkan kebulatan hatinya, kemudian melanjutkan,
"Meskipun berada di ujung langit, aku harus ke sana."
Ucapan yang mantap tersebut membuat orang tua pincang
tergerak hatinya, bahkan sepasang matanya pun menyorotkan sinar
yang aneh. "Saudara kecil, engkau begitu bertekad ke Lam Hai, sebetulnya
ada urusan apa?" tanya orang tua pincang sambil menatapnya.
Pengemis kecil itu tidak segera menjawab, malah mendadak
mengalihkan pembicaraan. "Lo jin keh, aku sangat lelah, lapar dan kedinginan. Bolehkah
aku ke dalam untuk menghangatkan badan di depan tungku, setelah
itu barulah kita mengobrol. Bagaimana?"
Memang, pengemis kecil itu tidak mau menjawab pertanyaan
dari kakek pincang tadi. Sementara orang tua pincang manggutmanggut
seraya berkata. "Baiklah saudara kecil, silakan masuk!"
"Terima kasih!" Pengemis kecil itu melangkah ke dalam.
Orang tua pincang menutup pintu, lalu melangkah ke dalam
seraya berkata pada pengemis kecil itu.
"Saudara kecil, mari ikut aku!"
Pengemis kecil mengikuti orang tua pincang itu ke sebuah rumah
yang tak jauh dari situ. Rumah itu kecil dan terletak di sebelah kiri
rumah Siauw Thian Lin. Di dalam rumah kecil itu terdapat sebuah meja, dua buah kursi
dan sebuah tungku di atas meja tersebut. Di sisi tungku itu terdapat
sebuah teko dan dua buah cangkir.
Rumah kecil itu sederhana sekali, tetapi sangat bersih dan rapi,
itu pertanda orang tua pincang tersebut suka akan kebersihan.
Orang tua pincang itu ternyata penjaga pintu rumah Siauw Thian
Lin, tetapi orang luar tidak ada yang tahu. Dia pun jongos tiga
turunan keluarga Siauw. Oleh karena itu cung cu Siauw Thian Lin
juga harus menaruh hormat dan merasa segan padanya.
Entah sudah berapa kali Siauw Thian Lin menyuruh orang tua itu
agar tinggal di rumahnya untuk hidup senang dan nyaman. Namun
orang tua pincang itu selalu menolak, alasannya lebih cocok
menghuni rumah kecil itu.
5 Siauw Thian Lin tahu jelas sifat aneh jongosnya itu, maka ia
tidak pernah mendesaknya lagi, cuma diam-diam menarik nafas
panjang. Begitu memasuki rumah kecil itu, sekujur badan si pengemis
kecil pun merasa hangat dan nyaman, sehingga membuatnya
menjadi bersemangat, apalagi setelah berdiri di depan tungku yang
menyala. Orang tua pincang tersenyum, kemudian mengangkat teko
sekaligus menuang air teh yang masih hangat ke dalam gelas.
"Saudara kecil, duduklah!" ujar orang tua pincang sambil
menaruh minuman ke hadapannya.
Pengemis kecil mengangguk lalu duduk. Kini wajahnya tidak
begitu pucat lagi. Sepasang matanya yang tadi redup pun sudah
mulai bersinar, begitu bening dan tajam.
"Saudara kecil, silakan minum! Lo Ciau (Aku yang tua) mau ke
dapur menyiapkan makanan untukmu."
Pengemis kecil segera menjura hormat.
"Terima kasih, lo jin keh! Aku sungguh merepotkan," ucapnya
singkat, tetapi sopan dan ramah. Itu pertanda dia berpendidikan,
bahkan mungkin mempunyai latar belakang keluarga yang baik.
Orang tua pincang menatapnya dalam-dalam. Hatinya pun
semakin tergerak. "Anak ini sedemikian tahu diri dan tahu kesopanan, tentunya
bukan berasal dari keluarga biasa. Tapi".. mengapa menjadi begini
rupa, lagi pula kenapa harus pergi ke Lam Hai yang sangat jauh itu?"
batin lelaki tua pincang itu. "Suadara kecil, engkau tidak perlu
sungkan-sungkan. Minumlah!" ujarnya dengan lembut, lalu dia
melangkah ke dalam, sedangkan pengemis kecil mulai meneguk air
teh hangat itu. Wajahnya mulai tampak kemerah-merahan penuh
semangat. Setelah membatin, dia pun tersenyum.
Tak seberapa lama kemudian, orang tua pincang sudah kembali.
Tangannya membawa sebuah nampan kayu berisi semangkok nasi,
sepiring daging dan semangkok sop ayam.
Pengemis kecil segera bangkit berdiri, lalu menyambut nampan
kayu itu seraya berkata dengan haru.
"Terima kasih banyak, lo jin keh!"
"Saudara kecil," ujar orang tua pincang sambil tersenyum
lembut. "Lo ciau tidak suka akan kesopanan palsu. Mumpung nasi
6 dan sayur masih hangat, cepatlah engkau makan! Seusai makan, lo
ciau ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu."
Pengemis kecil manggut-manggut, lalu menaruh nampan kayu
itu di atas meja lalu duduk dengan kepala tertunduk dan mulai
makan. Orang tua pincang duduk di kursi lain. Ia mengambil cangklong
sekaligus menyalakannya, kemudian menghisapnya dalam-dalam.
Pengemis kecil bersantap bagaikan harimau lapar. Maklum sudah
satu hari perutnya tidak. diisi. Maka dalam waktu sekejap, habislah
sudah nasi dan semua hidangan itu.
Orang tua pincang tersenyum. "Bagaimana" Engkau sudah
kenyang belum" Kalau belum, akan lo ciau ambilkan lagi."
Pengemis kecil tertawa tersipu. Hatinya merasa tidak enak
karena telah menghabiskan semua hidangan itu.
"Terima kasih, lo jin keh! Aku".. aku sudah kenyang," jawabnya.
Wajahnya pun tampak segar seusai bersantap.
Orang tua pincang memandangnya dengan penuh perhatian.
"Saudara kecil, lo ciau ingin bertanya padamu, apakah engkau
sudi menjawab secara jujur?" tanyanya sambil terbatuk-batuk
ringan. Pengemis kecil berpikir sejenak.
"Itu tergantung pada pertanyaan lo jin keh." jawabnya
kemudian. "Lo ciau ingin menanyakan namamu serta riwayat hidupmu."
Pengemis kecil mengernyitkan kening, lama sekali barulah
berkata, "Lo jin keh, aku cuma numpang menginap semalam di sini dan
besok pagi akan pergi. Kenapa lo jin keh harus menanyakan itu?"
Orang tua pincang tertawa-tawa, kemudiar memandangnya
seraya menjawab. "Tentunya lo ciau punya alasan tertentu untuk menanyakan itu."
"Apa alasan to jin keh?"
"Begitu melihatmu, lo ciau terkesan baik."
"Ooooh"..!" Sepasang bola mata pengemis kecil berputar.
"Terima kasih atas kesan baik lo jin keh namun ku harap lo jin keh
jangan bertanya tentang itu."
"Kenapa?" Orang tua pincang tercengang "Apakah engkau punya
suatu rahasia yang tidak bisa diberitahukan pada orang lain?"
7 Air muka pengemis berubah. Ia manggut-manggut seraya
berkata, "Betul. Aku memang punya suatu rahasia yang tidak bisa
diberitahukan pada orang lain."
"Oh?" Orang tua pincang mengernyitkan kening. "Namamu juga
tidak boleh di diberitahukan pada lo ciau?"
Pengemis kecil diam sejenak. "Lo jin keh nama kecil ku Siau
Liong, maka panggil saja Siau Liong!" jawabnya kemudian dengan
suara rendah. "Ngmm!" Orang tua pincang manggut-manggut. "Siau Liong,
mau apa engkau pergi ke Lam Hai" Bolehkah lo ciau tahu?"
Pengemis kecil tersenyum getir, kemudian sahutnya dengan
suara dalam. "Lo jin keh, maafkanlah aku sebab aku ke Lam Hai untuk
mengurusi sesuatu yang amat penting, itu pun merupakan harapan
kecil. Oleh karena itu, untuk sementara ini, aku tidak mau berpikir,
juga tidak leluasa untuk membicarakannya."
Orang tua pincang diam, berselang sesaat barulah membuka
mulut untuk bertanya. "Siau Liong, jarak dari sini ke Lam Hai
puluhan ribu li. Saat ini musim dingin, lagi pula engkau tidak punya
uang, bagaimana mungkin pergi ke sana?"
Tentang ini, memang merupakan kesulitan. Akan tetapi, Siau
Liong tampak seakan sudah mempunyai jalan untuk mengatasi
semua kesulitan itu. Oleh karena itu, Siau Liong malah tersenyum.
"Lo jin keh, mengenai semua kesulitan ini, aku telah memikirkan
jalan keluarnya." "Oh?" Orang tua pincang menatapnya tajam.
"Meskipun harus menempuh puluhan ribu li, aku telah
membulatkan hati dan bertekad dengan segala keberanian, paling
lambat setengah tahun pasti tiba di Lam Hai. Mengenai musim
dingin, tiga bulan kemudian akan berganti musim semi yang
nyaman. Maka dari sini ke Lam Hai, udara akan berubah nyaman
perlahan-lahan. Aku memang tidak punya uang, tapi masih bisa
memetik buah-buahan di hutan untuk mengisi perut. Malam harinya,
aku akan berteduh di goa agar tidak kedinginan."
Ucapan Siau Liong itu membuat orang tua pincang itu kagum,


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian tertawa gelak seraya berkata.
"Engkau memang anak baik dan pemberani bahkan punya tekad
yang sungguh diluar dugaan. Namun......" Orang tua pincang
8 menghentikan ucapannya sejenak, kemudian melanjutkan,
"Sebenarnya aku punya cara terbaik. Cara itu tidak hanya dapat
mengurangi penderitaanmu menahan lapar dan dingin, bahkan
dapat mempercepat waktu agar engkau tiba di Lam Hai. Siau Liong
sudikah engkau menuruti cara lo ciau?"
Siau Liong tertegun, lalu bertanya dengar heran.
"Lo jin keh punya cara apa untuk mengatur semua itu?"
"Engkau tinggal di sini tiga bulan, setelah musim semi tiba,
barulah berangkat. Lo ciau akan bermohon pada cung cu agar
menghadiahkan padamu seekor kuda yang kuat dan sehat serta pek
gin (uang perak) ratusan real. Nah, engkau bisa berangkat tanpa
kekurangan apa pun."
"Tinggal di sini tiga bulan?" Itu sungguh di luar dugaan Siau
Liong. "Tanpa suatu syarat apa pun?"
"Tentunya engkau tidak bisa cuma makan tidur. Di kolong langit
tiada urusan semacam itu. Ya, kan?" Orang tua pincang tersenyum.
"Betul, lo jin keh!" Siau Liong manggut-manggut. "Aku ingin
bertanya, apa syarat itu?"
"Kerja keras," jawab orang tua pincang bernada dingin.
"Kerja keras?" Siau Liong tertegun.
Orang tua pincang manggut-manggut, wajahnya pun tampak
dingin. "Engkau takut kerja keras?"
"Takut sih tidak, hanya saja"..." Siau Liong menggelenggelengkan
kepala dan melanjutkan ucapannya, "Merasa kaget dan
sungguh di luar dugaan."
"Kenapa begitu?"
"Cuma kerja keras tiga bulan bisa mendapat uang perak ratusan
tael, bukankah itu merupakan suatu kejutan?"
"Jadi".." Orang tua pincang menatapnya dingin. "Engkau
merasa terlampau banyak uang imbalan itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Uang imbalan itu amat banyak,
maka sungguh di luar dugaan."
"Engkau tahu betapa susahnya kerja keras itu?"
"Mohon diberitahukan!"
"Itu adalah kerja yang sangat sulit sekali." ujar orang tua
pincang dan tetap bernada dingin.
"Susah sampai bagaimana?"
"Sampai waktunya engkau akan mengetahuinya."
"Sekarang tidak boleh mengetahuinya?"
9 Orang tua pincang menggelengkan kepala, dan menatap Siau
Liong dengan dingin seraya berkata, "Tidak boleh."
"Lo jin keh"..." Siau Liong mengerutkan sepasang alisnya. "Ada
alasan tertentu?" "Pokoknya tidak boleh memberitahukan," sahut orang tua
pincang dingin. "Lagi pula tidak perlu harus ada alasan tertentu."
Jawaban itu agak ketus, tidak masuk akal dan tidak beraturan.
Namun orang tua pincang mempunyai maksud lain.
Siau Liong anak yang cerdas dan pintar, tapi baru berkenalan
dengan orang tua pincang itu. Tentunya ia tidak mengenal watak
maupun sifatnya. Lebih-lebih tidak akan menduga masih ada
maksud lain dalam benak orang tua pincang itu.
Hening sesaat suasana dalam rumah kecil itu, kemudian
mendadak orang tua pincang berkata dengan nada dingin lagi.
"Bagaimana Siau Liong" Lo ciau sedang menunggu jawabanmu."
Siau Liong mengernyitkan kening, lama sekali barulah menjawab
dengan wajah serius. "Banyak-banyak terima kasih, lo jin keh. Aku telah bertekad
berangkat ke Lam Hai, lain hari akan kembali ke mari untuk memberi
jawaban." Orang tua pincang menatapnya.
"Tentang tinggal di sini tiga bulan, itu tidak perlu dibicarakan
lagi." Siau Liong menambah ucapannya dengan tegas.
Mendadak orang tua pincang tertawa gelak, lalu ujarnya dengan
suara dalam, "Kalau begitu, engkau telah memutuskan tidak akan menerima
apa yang lo ciau atur itu?"
"Mohon lo jin keh memberi maaf, aku berpikir lebih baik aku
berangkat esok pagi saja." Siau Liong tertawa hambar.
"Apa alasanmu, Siau Liong?" Orang tua pincang menatapnya
tajam. "Lo jin keh, pergi atau tinggal adalah hak ku, maka tidak perlu
alasan apa pun," tegas Siau Liong.
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa terbahakbahak. "Siau Liong,
apa yang kau katakan itu memang tidak salah. Pergi atau tinggal
tergantung padamu dan itu merupakan hakmu. Tapi".. lo ciau tahu
itu cuma merupakan alasan belaka, padahal sesungguhnya terdapat
sebab musabab lain."
"Lo jin keh kira ada sebab musabab apa?" tanya Siau Liong.
10 "Takut kerja keras. Ya, kan?" sahut orang tua pincang sambil
menatapnya dalam-dalam. Sepasang alis Siau Liong tampak berkerut lantaran merasa
tersinggung oleh sahutan itu.
"Lo jin keh ingin memanasi hatiku?" tanyanya.
Orang tua pincang tersenyum hambar.
"Anggaplah benar lo ciau memanasi hatimu, lagi pula
sesungguhnya..... engkau cuma keras di mulut saja. Sama sekali
takut kerja keras." jawabnya.
"Maksud lo jin keh?" Ucapan Siau Liong terputus, karena
mendadak berkelebat sosok bayangan memasuki rumah kecil itu.
Muncullah seorang pemuda berusia tujuh belas tahunan,
mengenakan jubah hijau. Pemuda itu cukup tampan, namun
sikapnya agak angkuh. dia berdiri dekat pintu.
Bagian ke 2: Tiga Pukulan Satu Jurus Pedang
Pemuda berjubah hijau itu memang cukup tampan. Sepasang
alisnya berbentuk seperti golok, sepasang matanya, bersinar tajam
dan hidungnya mancung. Akan tetapi, kedua bibir atas dan bawah agak tipis. Wajahnya
dingin dan angkuh, bahkan tampak tak berperasaan dan tak berbudi.
Dia bukan pemuda yang berbudi luhur.
Orang tua pincang kelihatan tidak terkesan baik pada pemuda
itu. Begitu melihat kemunculannya, keningnya pun berkerut.
"Ci Yen! ada urusan apa engkau ke mari?" tanyanya dengan
nada dingin. Ternyata pemuda berjubah hijau itu bernama Tu Cu Yen, anak
yatim piatu yang diangkat anak oleh cung cu Siauw Thian Lin. Itu
karena dia tergolong anak yang cerdik dan pandai.
Tidak hanya cerdik dan pandai, Tu Cu Yen pun berhati licik dan
pandai bermuka-muka di hadapan Siauw Thian Lin suami istri. Oleh
karena itu, Siauw Thian Lin dan istri sangat menyayangi sekaligus
memanjakannya, maka menyebabkannya menjadi angkuh sekali.
Siapa pun tidak berada dalam matanya, kecuali kedua orang tua
angkatnya itu. Tentunya Siauw Thian Lin tidak mengetahui akan hal itu. Kalau
ada yang melaporkan, mereka suami istri pun tidak akan percaya,
bahwa anak angkat mereka itu begitu macam.
11 Itu karena Tu Cu Yen selalu berlaku sopan di hadapan mereka,
bahkan sangat menurut. Akan tetapi, di belakang Siauw Thian Lin
suami istri, Tu Cu Yen bersikap angkuh dan sama sekali tidak
memandang sebelah mata pada orang lain.
Mengenai orang tua pincang, berhubung dia itu jongos tiga
turunan keluarga Siauw, maka Siauw Thian Lin suami istri masih
harus menaruh hormat dan merasa segan padanya. Justru itu
membuat Tu Cu Yen semakin penasaran. Walau merasa kurang puas
dalam hatinya, pemuda itu tidak berani bersikap maupun berlaku
kurang ajar di hadapan orang tua pincang tersebut.
Meskipun begitu, Tu Cu Yen telah bersumpah dalam hati dengan
penuh rasa benci dan dendam.
"Hmm! Lo nu cai (budak tua) suatu hari nanti Siau Ya (tuan
muda) pasti memperlihatkan kelihayan tindakan Siau ya, pokoknya
kau akan mati secara mengenaskan!"
Walau pernah bersumpah demikian dalam hati, saat ini ia sama
sekali tidak berani berbuat apa-apa, sebaliknya malah bersikap
hormat sekali terhadap orang tua pincang itu.
"Ngie peh (ayah angkat) memerintahku ke mari untuk
mengundang lo jin keh ke rumah." ujarnya sambil menjura.
"Ada urusan apa?" tanya orang tua pincang, dengan nada suara
agak lembut. Mata Tu Cu Yen yang tajam itu mengarah pada Siau Liong. Ia
tampak tertegun dan kemudian mengerutkan kening seraya berkata
pada orang tua pincang. "Siau tit (keponakan) juga tidak begitu jelas. Sepertinya.....
berkaitan dengan urusan Ciok Lau San Cung (Perkampungan Loteng
Batu)." Begitu mendengar nama perkampungan itu disebut Tu Cu Yen,
air muka Siau Liong langsung berubah, sekujur badannya pun
menggigil. Untung orang tua pincang dan Tu Cu Yen tidak mengetahui akan
hal itu, seandainya tahu......
Sementara orang tua pincang memejamkan matanya, berselang
sesaat baru dibukanya kembali dengan perlahan lalu memandang Tu
Cu Yen dengan penuh perhatian.
"Ada urusan apa dengan San Si Ciok Lau San Cung
(Perkampungan Loteng Batu di San Si)?"
12 "Dengar-dengar perkampungan itu telah diserang mendadak
oleh penjahat. Pek Mang Ciu tay hiap (Pendekar Pek Mang Ciu)
suami istri terbunuh, dan seluruh keluarganya yang berjumlah dua
puluh lima orang dibantai, tiada seorangpun dapat meloloskan diri."
Sekujur badan orang tua pincang tampak bergemetar.
Jenggotnya yang sudah putih itu pun bergerak, dan sepasang
matanya menyorot tajam. "Tahuhkah dari mana kabar berita itu" Kabar angin atau
sungguhan?" tanyanya.
Tu Cu Yen menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menjawab
dengan bahu terangkat sedi kit.
"Tentang itu Siau tit tidak mengetahuinya, kalau mau jelas,
tanya saja pada ayah angkat!"
"Kapan kejadian itu?"
"Setengah bulan yang lalu."
Sementara itu, Siau Liong cuma duduk diam dan mematung.
Sepasang matanya terus memandang pada api di dalam tungku.
Entah apa yang sedang dipikirkannya"
Orang tua pincang melirik Siau Liong sejenak, lalu berkata.
"Siau Liong, engkau duduk saja di sini! Lo ciau pergi sebentar,
dan akan segera kembali ke mari."
Siau Liong tetap tercenung sambil memandang api di dalam
tungku. Apa yang dikatakan orang tua pincang seakan tidak masuk
ke telinganya. Orang tua pincang mengernyitkan kening, kemudian berkata lagi
dengan suara yang agak keras.
"Siau Liong, kenapa engkau" Apakah yang lo ciau katakan
barusan, engkau tidak dengar?"
Meskipun orang tua pincang mengeraskan suaranya, Siau Liong
masih tetap duduk melamun.
Orang tua pincang mengernyitkan kening lagi, kemudian serunya
dengan suara lantang. "Siau Liong!" Siau Liong tampak tersentak kaget, tapi mukanya tidak
memperlihatkan perubahan apa pun, cuma kelihatan melongo.
"Heh! lo jin keh, ada urusan apa?"
"Siau Liong, engkau sedang memikirkan apa?" Orang tua
pincang balik bertanya sambil menatapnya.
13 "Aku tidak memikirkan apa-apa." Siau Liong menggeleng-geleng
kepala. Orang tua pincang tahu, Siau Liong tidak mau berterus terang,
maka tidak mendesaknya. Ia hanya tersenyum penuh kasih sayang
seraya berkata. "Engkau duduk di sini saja! lo ciau mau pergi membicarakan
suatu urusan dengan cung cu, dan akan segera kembali ke mari.
Engkau mengerti?" Siau Liong manggut-manggut dengan wajah tanpa
memperlihatkan perasaan apa pun.
"Aku mengerti." katanya.
Orang tua pincang menatapnya lagi, lalu bangkit berdiri
perlahan-lahan. Namun ketika baru mengayunkan kakinya, tiba-tiba
hatinya tergerak. "Ci Yen, engkau tinggal di sini sebentar menemaninya!" ujarnya
kepada Tu Cu Yen. Tu Cu Yen tidak rela dalam hati, namun tidak berani menolak. Ia
mengangguk terpaksa seraya berkata.
"Ya, baiklah." Pada waktu bersamaan, Siau Liong pun membuka mulut.
"La jin keh, jangan merepotkan tay ko (saudara) ini!"
Orang tua pincang tertegun. Ia memandang Siau Liong dan
bertanya. "Engkau seorang diri berada di sini tidak akan merasa kesepian?"
"Tidak," jawab Siau Liong. "Aku justru ingin duduk seorang diri
agar bisa tenang." Orang tua pincang manggut-manggut. Ia tidak mengatakan apa
lagi, lalu pergi untuk menemui Siauw Thian Lin bersama Tu Cu Yen.
Berselang beberapa saat kemudian, orang tua pincang sudah
kembali ke rumah kecil itu.
Siau Liong masih tetap duduk di tempat, sama sekali tidak
beranjak. Hanya saja saat ini ia bersandar ke belakang, dan kedua
matanya terpejam seakan sudah pulas.
Orang tua pincang itu sendiri pun tidak tahu apa sebabnya
dirinya begitu menaruh perbatian dan merasa sayang pada Siau
Liong. Kini orang tua pincang itu bertambah memperhatikannya.
Berdasarkan mimik Siau Liong, dalam benak orang tua pincang
14 terpikir suatu urusan. Kemungkinan besar Siau Liong ada hubungan
dengan urusan itu. Sementara Siau Liong diam saja, rupanya ia memang pulas.
Orang tua pincang tidak mau mengejutkannya. Ia berjalan ke dalam
dengan langkah ringan. Akan tetapi, pada waktu bersamaan, Siau Liong membuka
matanya, lalu duduk tegak sambil tersenyum.
"Oh! Sudah balik, lo jin keh?"
Orang tua pincang manggut-manggut dengan wajah penuh kasih
sayang. "Engkau tidak tidur?" tanyanya lembut.


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sepasang mataku memang tidur, namun..... hatiku tidak ikut
tidur," sahut Siau Liong.
Orang tua pincang mengerti akan ucapan itu, tapi tidak
mengatakan apa pun. Dia lalu duduk di hadapan Siau Liong dan
menatapnya tajam. "Siau Liong," tanyanya, "Engkau pasti berangkat esok pagi?"
"Lo jin keh, justru mendadak pikiranku berubah," jawab Siau
Liong berterus terang. "Oh?" Orang tua pincang tampak gembira sekali. Sepasang
matanya pun bersinar-sinar. "Jadi engkau bersedia tinggal tiga bulan
di sini?" "Ya." Siau Liong mengangguk. "Lo jin keh, kupikir tidak
seharusnya aku menolak kebaikan lo jin keh. Oleh karena itu aku
mengambil keputusan untuk menuruti apa yang lo jin keh atur itu."
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa gembira. "Ini sungguh
bagus. Lo ciau gembira sekali."
Orang tua pincang tertawa lagi. Berselang sesaat ia melanjutkan
ucapannya dengan wajah ceria.
"Siau Liong, lo ciau yakin engkau pasti sudah mengantuk sekali.
Nah, mari kita tidur, segala apa pun kita bicarakan esok saja."
Sejak itu, Siau Liong tinggal bersama orang tua pincang.
Tugasnya memotong rumput dan merawat taman bunga di halaman
belakang rumah keluarga Siauw.
Siang hari, Siau Liong bekerja, malam harinya tidur bersama
orang tua pincang di rumah kecil itu. Orang tua pincang pun telah
menyediakan sebuah ranjang kayu untuknya.
15 Pekerjaan Siau Liong sungguh ringan, sama sekali tidak
melelahkannya. Namun justru malah membuatnya tak bergairah.
Entah sudah berapa kali, ia bermohon pada orang tua pincang
agar diberikan pekerjaan lain, namun orang tua pincang selalu
mengalihkan pembicaraan, atau mengatakan tunggu beberapa hari
akan dibicarakan lagi. Apa boleh buat, Siau Liong terpaksa menunggu. Sehari lewat
sehari, tak terasa sebulan telah berlalu. Begitu cepat, sehingga Siau
Liong tidak menyadarinya.
Dalam waktu sebulan ini, Siau Liong mengetahui satu hal yang
sangat mengejutkannya, yakni keluarga Siauw yang berjumlah dua
puluh orang lebib itu rata-rata memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Cung cu Siauw Thian Lin mempunyai seorang putri berusia
empat belas tabun, namanya Hui Ceh yang berparas cantik jelita.
Selain Tu Cu Yen, anak angkat itu, masih ada tiga murid lain
yang masing-masing bernama Siauw Shauw Lam, berusia tujub
belas, Siauw Kim Beng berusia enam belas dan Siauw Peng Yang
berusia enam belas juga. Ketiga murid itu masih terhitung keponakan cung cu Siauw Thian
Lin. Usia mereka lebih muda dari Tu Cu Yen, maka harus
memanggilnya toa suheng (saudara tertua seperguruan).
Berdasarkan ini, dapatlah diketahui bahwa cung cu Siauw Thian Lin
merupakan tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
Satu bulan bukan waktu yang pendek. Oleh karena itu, Siau
Liong pun mulai kenal dengan orang-orang keluarga Siauw.
Siau Liong memang tergolong pemuda yang sangat tampan,
babkan juga sopan dan ramah tamah. Oleh karena itu semua
keluarga Siauw, baik yang tua maupun yang muda sangat
menyukainya. Pada suatu malam, ketika Siau Liong berbaring di ranjang kayu
dengan mata terpejam dan pikiran menerawang, mendadak orang
tua pincang menegurnya dengan suara rendah.
"Siau Liong! Engkau sudah tidur?"
Siau Liong segera membuka matanya, lalu duduk seraya
menjawab. "La Jin Keh, aku belum tidur. Ada urusan apa?"
"Bagaimana kalau kita mengobrol sejenak?"
Orang tua pincang turun dari ranjang kayu, lalu melangkah ke
tempat duduk yang tak jauh dari ranjang itu.
16 Siau Liong juga turun mengikuti orang tua pincang, kemudian
mereka pun duduk menghadap tungku.
Sepasang mata orang tua pincang menatap Siau Liong dalamdalam
dengan penuh perhatian, kemudian berbatuk ringan dan
bertanya. "Siau Liong, sudab berapa lama engkau tinggal di sini?"
"Hingga hari ini sudah satu bulan."
Orang tua pincang manggut-manggut, lalu bertanya lagi.
"Bagaimana kesanmu di sini?"
"Baik, lagi pula semua orang pun sangat baik terbadap diriku."
"Tahukah kamu apa sebabnya?" tanya orang tua pincang sambil
tertawa. Siau Liong berpikir sejenak, kemudian tersenyum.
"Aku mengerti, semua ini karena muka lo jin keh."
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak begitu, Siau Liong, jawabanmu cuma benar separuh."
Siau Liong tertegun. Ia memandang orang tua pincang dengan
mata terbelalak lebar. "Kenapa jawabanku cuma benar separuh, lo jin keh?" tanyanya
heran. "Separuhnya lagi".." Orang tua pincang tersenyum lembut.
"Justru karena engkau tahu diri, sopan dan ramah terhadap siapa
pun. Maka semua orang baik padamu. Mengertikah engkau?"
"Ooooh!" Wajah Siau Liong agak kemerah- merahan. "Lo Jin
Keh"..." Orang tua pincang menggoyang-goyangkan tangannya, agar
Siau Liong tidak melanjutkan ucapannya.
"Siau Liong, memang baik bersikap sopan dan ramah tamah.
Akan tetapi, terlampau sopan dan ramah tamah malah dianggap
bermuka-muka. Mengertikah engkau?"
"Ya." Siau Liong manggut-manggut. "Terima kasih atas nasihat
lo jin keh!" Orang tua pincang tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan.
"Siau Liong, dalam sebulan ini apa yang kamu temukan?"
Pertanyaan yang tiada ujung pangkal itu membuat Siau Liong
melongo dengan mulut ternganga lebar.
"Maksud lo jin keh?"
"Misalnya lo ciau sendiri, apakah engkau merasa diri lo ciau lain
dari yang lain?" 17 Ucapan itu membuat Siau Liong paham. Matanya pun berbinarbinar
seketika. "Lo jin keh memiliki ilmu silat yang tinggi." jawabnya.
Orang tua pincang tertawa, gembira sekali.
"Jadi engkau telah tahu itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Sepuluh hari yang lalu, aku telah
mengetahuinya. Lo jin keh adalah orang yang berilmu tinggi."
"Siau Liong!" Orang tua pincang tertawa lagi. "Katamu itu tidak
salah, lo ciau memang memiliki ilmu silat yang tinggi, namun".."
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
melanjutkan. "Dibandingkan dengan Thai Ceng Sin Kang (tenaga sakti
pelindung badan) yang dimiliki keluarga Pek di Ciok Lau San Cung,
sama juga seperti gunung kecil bertemu gunung besar."
Air muka Siau Liong langsung berubah. Ia pun lalu bangkit
berdiri. "Lo jin keh!" ujarnya terkejut.
Mendadak wajah orang tua pincang pun berubah serius.
"Duduklah, Siau Liong! Jangan gampang emosi!" tegur orang tua
pincang dengan halus sambil menatap Siau Liong tajam.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam agar bisa tenang, lalu
duduk dan memandang orang tua pincang itu.
"Lo jin keh...."
Orang tua pincang menggoyang-goyangkan tangannya, agar
Siau Liong tidak melanjutkan ucapannya.
"Siau Liong, lo ciau telah melihat jelas tentang dirimu."
Siau Liong tersentak dan segera bertanya.
"Lo jin keh melihat jelas tentang apa?"
"Walau terus menutupi mengenai dirimu, engkau tidak bisa
mengetahui sepasang mata lo ciau. Sudah lama lo ciau mengetahui
bahwa dirimu memiliki ilmu silat yang tidak rendah."
Karena orang tua pincang telah mengetabui tentang itu, Siau
Liong pun merasa tidak enak untuk menyangkal. Ia manggutmanggut
dan tanyanya kemudian. "Lo jin keh telah tahu tentang itu, lalu kenapa?"
"Tidak apa-apa." Orang tua pincang tertawa. "Hanya saja..... lo
ciau berniat menyempurnakan dirimu."
"Mengapa?" Siau Liong tercengang.
18 "Itu".." Orang tua pincang tertawa lagi sambil menatapnya
lembut. "Karena lo ciau sangat menyukaimu, lagi pula kita pun
sangat cocok satu sama lain."
"Bagaimana cara lo jin keh menyempurnakan diriku?"
"Menurunkan kepadamu Sam Cau Ciang Hoat dan It Cau Kiam
Hoat." "Jurus pukulan apa dan apa nama jurus pedang itu?" tanya Siau
Liong. Orang tua pincang tidak menyahut, cuma tersenyum lembut.
"Jangan bertanya sekarang, kelak engkau akan mengetahuinya."
Bagian ke 3: Satu Pukulan Menimbulkan Benci
Sang waktu berlalu satu bulan lagi. Kini Siau Liong sudah
menguasai Sam Cau Ciang Hoat (tiga jurus pukulan telapak tangan)
dan It Cau Kiam Hoat (satu jurus pedang) yang diturunkan orang
tua pincang itu. Meskipun cuma tiga jurus, Ciang Hoat penuh mengandung
kekuatan yang amat dahsyat dengan perubahan yang tak terduga.
Satu jurus pedang itu bahkan jauh lebih lihay dan dahsyat. Kendati
pun cuma satu jurus, tapi banyak perubahan yang tak terduga.
Hingga saat ini, Siau Liong agak kecewa karena tidak
mengetahui nama kedua jurus itu. Sudah berkali-kali ia bertanya
namun orang tua pincang itu tetap tidak memberitahukannya.
Pagi yang cerah".. Setelah menyapu bersih halaman belakang, Siau Liong duduk di
bawah sebuah pohon rindang. Mungkin karena iseng, maka
dipungutnya sebuah ranting, kemudian bangkit berdiri dan mulailah
berlatih satu jurus pedang itu.
Ketika ia sedang berlatih dengan mencurahkan seluruh
perhatiannya pada jurus pedang tersebut, mendadak terdengar
suara tawa yang nyaring dan merdu di belakang gunung-gunungan.
"Siau Liong! Sungguh di luar dugaan, ternyata engkau bisa silat
juga!" Menyusul muncul sosok bayangan yang ramping dari belakang
gunung-gunungan itu. Sosok bayangan itu ternyata seorang gadis
yang cantik jelita. 19 Siapa anak gadis itu" Tidak lain putri kesayangan Siauw Thian
Lin, yang bernama Hui Ceh.
"Socia (nona), selamat pagi!" ucap Siau Liong sopan sambil
menjura. Entah apa sebabnya, mendadak Hui Ceh cemberut.
"Bagaimana sih engkau, Siau Liong?" tegurnya tidak senang.
Siau Liong tertegun mendengar teguran itu, lalu cepat-cepat ia
menjura lagi. "Socia, memangnya aku kenapa?" tanyanya heran.
"Aku sudah bilang berapa kali padamu, jangan memanggilku
Socia! Kenapa engkau masih memanggilku Socia" Telingaku jadi
sakit mendengarnya."
"Oh?" Siau Liong tertawa geli. "Ini kesopanan, bagaimana
mungkin aku berani melanggar tata krama?"
"Eh?" Hui Ceh mengernyitkan kening. "Jangan begitu, aku tidak
suka akan kesopanan ini. Pokoknya engkau tidak boleh memanggilku
Socia." "Kalau begitu, selanjutnya aku akan memanggilmu kouw nio
(anak gadis) saja." "Tidak!" Hui Ceh mengernyitkan kening lagi. "Panggil kouw nio
pun tidak boleh." "Kalau begitu"..." Kening Siau Liong berkerut. "Aku harus
memanggilmu apa?" Pertanyaan ini membuat sepasang mata Hui Ceh yang bening itu
berbinar-binar, lalu ujarnya dengan suara rendah namun merdu.
"Namaku Hui Ceh, selanjutnya kau panggil namaku saja!"
"Ini".. ini"..." Siau Liong tampak ragu.
"Lho, kenapa?" Hui Ceh menatapnya tajam.
"Aku tidak berani memanggil namamu, Socia." Siau Liong
menundukkan kepala. "Soda lagi Socia lagi!" tegur Hui Ceh cemberut. "Kenapa engkau
tidak berani memanggil namaku?"
"Itu".. itu"..."
"Aku orang, engkau pun orang. Apakah ada perbedaan di antara
kita?" "Memang tidak berbeda, kita sama-sama orang. Tapi derajat kita
tidak sama, maka"..."
"Sudahlah!" Hui Ceh tertawa cekikikan. "Engkau memang pandai
bicara. Aku kalah kalau mengadu mulut denganmu. Pokoknya aku
20 tidak senang kau panggil nona, dan aku mengharuskanmu
memanggil namaku. Kalau tidak"..."
Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya, hanya memandang Siau
Liong dalam-dalam dan mengalihkan pembicaraan.
"Siau Liong, barusan engkau berlatih jurus pedang ya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Itu memang jurus pedang."
"Jurus pedang apa?" Hui Ceh ingin mengetahuinya..
"Aku......" Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sendiri
pun tidak tahu nama jurus pedang itu."
"Eh?" Hui Ceh melotot, namun justru bertambah cantik. "Engkau
tidak mau memberitahukan padaku?"
"Aku sungguh tidak tahu."
Hui Ceh menatapnya dalam-dalam penuh selidik.
"Engkau tidak membohongiku?"
"Aku tidak perlu membohongimu." sahutnya bersungguhsungguh.
Hui Ceh menatapnya lagi, kemudian manggut-manggut
percaya. "Bolehkah aku tahu siapa yang mengajarmu jurus pedang itu?"
"Bu beng lo jin (Orang tua tak bernama)."
"Apa?" kening Hui Ceh berkerut-kerut. "Bu beng lo jin"
Bagaimana rupanya?" "Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, badannya agak
gemuk dan wajahnya agak dingin, namun penuh kasih sayang."
Siau Liong memang berdusta, tapi justru ada benarnya juga.
Karena hingga saat ini, ia belum tahu juga nama orang tua pincang
itu. Ia memberitahukan rupa orang tua pincang itu secara jujur,
namun merahasiakan tentang kakinya yang pincang.
"Oooh!" Hui Ceh manggut-manggut. "Siau Liong, cukup lama aku


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersembunyi di belakang gunung-gunungan menyaksikan engkau
berlatih jurus pedang itu. Kelihatannya jurus itu amat lihay dan
dahsyat, maka aku ingin belajar. Engkau mau mengajariku kan?"
Sungguh di luar dugaan, gadis itu ingin belajar jurus pedang
tersebut. Itu membuat Siau Liong mengernyitkan kening dan tampak
serba salah. "Ini"..." Wajah Hui Ceh yang cantik jelita tampak kecewa.
"Engkau tidak mau mengajariku?" tanyanya dengan nada tidak
senang. "Mau sih mau, tapi"..." Siau Liong salah tingkah.
21 "Tapi kenapa?" "Menurutku, mengenai ini terlebih dahulu harus ada persetujuan
dari orang tua itu."
"Orang tua itu berada di mana sekarang?" tanya Hui Ceh
mendadak. Pada waktu bersamaan, terdengar suara yang amat nyaring.
"Hui moi, engkau sedang berbicara dengan siapa?"
Meskipun tanpa melihat orangnya Siau Liong sudah tahu itu
suara Tu Cu Yen. Begitu suara itu hilang, muncullah Tu Cu Yen di pintu halaman.
Ketika melihat Siauw Hui Ceh berdiri di hadapan Siau Liong.
Sepasang mata Tu Cu Yen pun menyorot dingin sekelebatan, namun
wajahnya tampak hambar. "Oh, ternyata Siau Liong!" ujarnya sambil mendekati Siauw Hui
Ceh. Semula wajah Siau Liong tampak berseri, namun begitu melihat
kemunculan Tu Cu Yen, langsung berubah dingin.
Siau Liong memang tidak terkesan baik terhadap Tu Cu Yen, tapi
mau tidak mau ia harus berlaku sopan padanya.
"Siau Liong menghadap Tu Siau ya (Tuan muda Tu)!"
"Ng!" sahut Tu Cu Yen dingin dan angkuh. "Engkau sedang
berbicara apa dengan nona?"
"Oh, nona mengajukan beberapa pertanyaan padaku," ujar Siau
Liong. Tu Cu Yen mengarah pada Siauw Hui Ceb. "Benarkab Hui moi?"
tanyanya. "Kalau tidak percaya, janganlah bertanya," sahut Siauw Hui Ceh
dingin. Tu Cu Yen ketemu batu, tetapi tidak merasa tersinggung dan
malah tertawa-tawa. Namun kemudian mendadak wajahnya berubah
dingin dan berbicara mengarah pada Siau Liong.
"Nona mengajukan pertanyaan apa padamu?"
Siau Liong memang sudah menyiapkan jawaban, maka segera
menjawab tanpa ragu sama sekali.
"Menanyakan aku berasal dari mana."
"Pertanyaan apa lagi yang diajukan nona?"
"Tentang margaku."
Mendadak hati Tu Cu Yen tergerak, dan cepat-cepat ia bertanya.
"Dengar-dengar engkau berasal dari San Si ya?"
22 "Ya." Siau Liong mengangguk.
"Engkau marga apa?"
"Marga Hek (Hitam)."
Begitu lancar Siau Liong menjawab, sama sekali tidak tampak
berbohong, maka mau tidak mau Tu Cu Yen mempercayainya.
"Tadi saya dengar nona bertanya, orang tua itu berada di mana
sekarang. Siapa orang tua itu?" tanya Tu Cu Yen.
"Orang tua itu yang mengajariku ilmu pedang."
"Siapa orang tua itu?"
"Bu beng lo jin."
"Oh?" Tu Cu Yen mengernyitkan kening. "Jadi engkau pernah
belajar kiam hoat?" "Ya." Siau Liong mengangguk.
"Jurus pedang apa?"
"Jurus pedang yang amat lihay dan aneh."
"Apa nama kiam hoat itu?"
"Bu beng lo jin itu tidak memberitahukan padaku."
"Kiam hoat itu berjumlah berapa jurus?"
"Delapan jurus."
Tu Cu Yen tersentak kaget dalam hati.
"Apakah Thian Liong Pat Kiam (Delapan jurus Naga Langit)?"
tanyanya. "Entahlah." Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun
tidak mengetahuinya."
"Coba mainkan jurus-jurus pedang itu untuk kulihat!
Bagaimana?" Tu Cu Yen manatapnya.
Siau Liong mengangguk. "Baiklah." Siau Liong memungut ranting yang dibuangnya tadi, kemudian
mulai memainkannya lagi. Itu memang jurus pedang, namun merupakan jurus pedang
yang kacau balau, bukan jurus pedang yang diajarkan orang tua
pincang. Itu membuat Hui Ceh nyaris tertawa geli, dan kemudian
membatin. "Tak sangka dia begitu nakal dan banyak akal!"
Tentunya Tu Cu Yen tidak tahu bahwa itu bukan merupakan
jurus-jurus pedang, maka ia terus memperhatikannya. Semula
23 keningnya tampak berkerut-kerut, tapi kemudian malah tertawa
gelak. "Kukira betapa lihay dan dahsyatnya jurus-jurus pedangmu,
tidak tahunya cuma jurus-jurus pedang yang tidak karuan!"
"Hiyaaat! Ciaaat...!" Sementara Siau Liong masih terus
memainkan ranting itu sambil berteriak keras.
"Berhenti, Siau Liong!" bentak Tu Cu Yen mendadak.
Siau Liong segera berhenti, setelah itu ia pun berpura-pura
bernafas ngos-ngosan seraya bertanya.
"Kenapa Siau ya menyuruhku berhenti" Apakah jurus-jurus
pedang ini tak sedap dilihat?"
Tu Cu Yen tertawa sinis, lama sekali barulah berkata.
"Jurus pedangmu itu cukup lihay, tapi belum bisa digunakan
untuk memukul seekor anjing."
Siau Liong pura-pura tidak percaya, maka sepasang matanya
terbelalak lebar. "Tu Siau ya, terus terang, aku tidak percaya. Sebab kata bu
beng lo jin itu, kalau aku menguasai delapan jurus pedang ini, maka
diriku akan menjadi kiam khek (Pendekar Pedang) yang tak
terkalahkan di kalangan kang ouw (Sungai telaga)."
Tu Cu Yen tertawa dingin, kemudian wajahnya berubah tak
sedap dipandang, seraya menghardik.
"Siau Liong! Kau sungguh nyali anjing! Justru berani"..."
"Tutup mulutmu!" bentak Siau Liong.
Ternyata ucapan Tu Cu Yen tadi telah membangkitkan
kegusarannya. Sepasang alisnya yang melengkung bagaikan golok
terangkat tinggi, wajahnya berubah dingin dan sepasang matanya
pun menyorot tajam. "Wah!" seru Siauw Hui Ceh dalam hati. "Sungguh berwibawa!"
Selama ini, tiada seorang pun yang berani membentak Tu Cu
Yen. Oleh karena itu, bentakan Siauw Liong tadi membuatnya
tertegun. "Tu Cu Yen! Aku memperingatkanmu! Kalau bicara sopanlah
sedikit!" lanjut Siau Liong bernada dingin. "Jangan bicara begitu
kasar!" Setelah tertegun beberapa saat, Tu Cu Yen pun mulai gusar.
Sepasang matanya berapi-api menatap Siau Liong.
"Hek Siau Liong, sungguh berani engkau membentak Siau ya!
Hm! Kelihatannya engkau mau cari penyakit!"
24 Siau Liong tertawa dingin.
"Tu Cu Yen, sadarlah kau! Sikapmu itu dapat menakutkan orang
lain, tapi tidak dapat membuatku gentar!" sahutnya.
"Oh?" wajah Tu Cu Yen semakin dingin.
"Kalau membicarakan soal berkelahi, engkau punya sepasang
tangan, aku pun sama! Nah, siapa yang cari penyakit" "Engkau atau
aku?" "Hek Siau Liong!" Tu Cu Yen tertawa dingin. Engkau punya nyali
tidak?" "Tentu punya!" "Bagus! Bagus!" Tu Cu Yen terus tertawa dingin.
"Engkau katakan bagus, apakah ingin berduel denganku?" tanya
Siau Liong dengan kening berkerut.
"Betul! Aku memang bermaksud begitu! Engkau berani?" Tu Cu
Yen menatapnya dengan mata membara.
"Kenapa tidak?" sahut Siau Liong dengan alis terangkat tinggi.
"Bagus!" Tu Cu Yen tertawa licik. "Sambutlah satu pukulanku
ini!" Tu Cu Yen langsung menyerang Siau Liong. Kecepatan
pukulannya bagaikan sambaran kilat mengarah pada bagian dada
Siau Liong. Siau Liong tidak menduga Tu Cu Yen akan menyerangnya secara
mendadak, bahkan dengan jurus yang mematikan. Tidak salah Tu
Cu Yen memang menghendaki nyawa Siau Liong.
Betapa terperanjatnya Siau Liong. Secepat kilat ia berkelit dan
sekaligus membalas menyerang dengan sepasang telapak
tangannya. Siau Liong berhati bajik, serangan telapak tangannya hanya
diarahkan pada kedua belah bahu Tu Cu Yen, bukan pada bagian
yang mematikan. Tu Cu Yen sama sekali tidak menyangka pukulannya akan
terluput dari sasaran. Semula ia pikir Siau Liong pasti mati oleh
pukulannya itu, tetapi, Siau Liong dapat berkelit secara cepat. Itu
sungguh di luar dugaan dan membuatnya tersentak.
"Hmm!" dengusnya dingin. "Pantas engkau berani omong besar
dan menantangku! Ternyata engkau memiliki jurus-jurus tangan
kosong yang cukup lihay!"
Bagian ke 4: Cinta Kasih Yang Mendalam
25 Mulut berbicara, tangan pun bergerak cepat mengarah pada
bagian tubuh Siau Liong yang mematikan. Itu membuat sekujur
badan Siau Liong terkurung dalam pukulan-pukulan yang amat
dahsyat. Siau Liong berkelit ke sana ke mari menghindari jurus-jurus
pukulan yang akan merenggut nyawanya. Dalam sekejap, mereka
sudah berduel lebih dari tiga puluhan jurus.
Ilmu silat yang dimiliki Siau Liong memang tidak rendah, namun
karena usianya masih sangat muda, maka lwee kang (Tenaga
dalam)nya masih di bawah tingkat Tu Cu Yen. Biar bagaimana pun,
ia tetap bukan tandingan pemuda tersebut.
Namun ia mampu berduel sekian jurus dengan Tu Cu Yen, itu
sudah amat mengagumkan dan luar biasa.
Mendadak Tu Cu Yen membentak keras. Suara bentaknya
bergema menusuk telinga. "Roboh!"
Menyusul terdengar pula suara 'Blam', dada Siau Liong terkena
pukulan yang amat dahsyat sehingga badannya bergetar hebat dan
sempoyongan ke belakang delapan langkah. Mulutnya mengeluarkan
darah segar. Jelas ia telah terluka dalam tapi masih kuat berdiri.
Betapa terkejutnya Siauw Hui Ceh. Gadis itu segera mendekati
Siau Liong dengan wajah cemas.
"Kakak Siau Liong, bagaimana keadaanmu" Berat tidak lukamu
itu?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Siau Liong menghapus darah segar di bibirnya dengan ujung
lengan bajunya, kemudian tertawa getir seraya berkata.
"Legakanlah hatimu, Hui Ceh! Nyawaku masih panjang dan luka
ini tidak akan merenggut nyawaku."
Siauw Hui Ceh memandangnya dengan mata bersimbah air, dan
tampak cemas sekali. "Siau Liong ko, aku yang bersalah. Kalau tidak karena aku,
bagaimana mungkin dia"..."
Siau Liong menggoyang-goyangkan sepasang tangannya, agar
Siauw Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya.
"Hui Ceh, jangan berkata begitu! Ini bukan kesalahanmu, yang
bersalah adalah diriku sendiri, karena tidak memiliki ilmu silat yang
tinggi." 26 Ketika menyaksikan sikap Siau Liong dan Siauw Hui Ceh begitu
mesra, hati Tu Cu Yen menjadi panas dan cemburu, ia lalu
mendekati Siau Liong dengan mata berapi-api penuh kebencian.
"Tu Cu Yen!" bentak Siauw Hui Ceh dingin. "Jangan ke mari!
Kalau engkau berani ke mari, mulai saat ini dan selanjutnya aku
tidak akan memperdulikanmu lagi!" Tu Cu Yen tertegun mendengar
ucapan Siauw Hui Ceh. Ia segera menghentikan langkahnya dan
berdiri terpaku di tempat, tapi kemudian tertawa sinis.
"Hui moi, kenapa engkau begitu gusar?"
Siauw Hui Ceh menatapnya dingin, dan bertanya dengan nada
dingin pula. "Apakah dia dan engkau punya dendam kesumat?"
"Tidak," sahut Tu Cu Yen hambar.
"Kalau begitu, kenapa engkau turun tangan sedemikian berat
terhadapnya?" Siauw Hui Ceh mengernyitkan kening.
"Oooh!" Tu Cu Yen manggut-manggut. "Jadi Hui moi gusar
padaku karena itu?" "Hmm!" dengus Siauw Hui Ceh dingin.
"Hui Moi," Tu Cu Yen tertawa. "Engkau telah salah paham
terhadap diriku." "Bagaimana aku salah paham padamu?"
"Dalam hal ini aku tidak bisa disalahkan."
"Lalu harus menyalahkan dia atau aku?"
"Hui moi," Tu Cu Yen menggelengkan kepala. "Tentunya tidak
bisa menyalahkannya, juga tiada alasan untuk menyalahkanmu."
"Kalau begitu, menurutmu harus menyalahkan siapa?" tanya
Siauw Hui Ceh sengit. "Tidak dapat menyalahkan siapa pun, melainkan"..." Tu Cu Yen
tidak melanjutkan ucapannya hanya menggeleng-gelengkan kepala
sambil tersenyum getir. "Lanjutkanlah!" desak Siauw Hui Ceh. Sepasang alisnya yang
bagaikan bulan sabit itu terangkat ke atas.
"Hui moi, aku harus bagaimana mengatakannya" Yah!" Tu Cu
Yen pura-pura menarik nafas panjang. "Karena aku tidak keburu
menarik kembali pukulanku itu, jadi bukan sengaja aku ingin
melukainya." Siauw Hui Ceh tahu Tu Cu Yen menyangkal hal yang
sebenarnya, maka ia pun tersenyum dingin.
"Kalau begitu, engkau memang tidak berniat jahat. Ya, kan?"
27 "Sesungguhnya memang begitu." Tu Cu Yen manggut-manggut.
"Sungguhkah begitu?" tanya Siauw Hui Ceh dingin.
"Kalau Hui moi tidak percaya, aku pun tidak bisa apa-apa."


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah Tu Cu Yen tampak serius.
Ketika Siauw Hui Ceh bersitegang dengan Tu Cu Yen, Siau Liong
memanfaatkan kesempatan. Diam-diam ia menghimpun kekuatan
tenaga dalamnya untuk menyembuhkan luka dalamnya lalu berkata.
"Tu Cu Yen, aku percaya engkau tidak keburu menarik kembali
pukulanmu itu, namun"..."
"Siau Liong!" potong Tu Cu Yen cepat. "Walau tidak sengaja
melukaimu, aku merasa tidak enak dalam hati. Kuharap engkau
jangan menyimpan rasa benci dalam hati"..."
Tu Cu Yen tidak melanjutkan ucapannya, melainkan mengarah
pada Siauw Hui Ceh sambil tersenyum lembut.
"Hui moi, Siau Liong percaya bahwa aku tidak sengaja
melukainya, engkau pun percaya kan?"
Siauw Hui Ceh tidak menyahut, hanya terus memandang Siau
Liong dengan penuh perhatian.
"Siau Liong ko, engkau percaya dia"..."
Siau Liong menggoyang-goyangkan tangannya, mencegah Siauw
Hui Ceh melanjutkn ucapannya, kemudian menatap Tu Cu Yen
seraya berkata dingin. "Pukulanmu itu harus kau ingat baik-baik. Suatu hari nanti aku
pasti membalasnya." "Ha ha!" Tu Cu Yen tertawa gelak.
Sedangkan Siau Liong bicara mengarah pada Siauw Hui Ceh
dengan rasa penuh terima kasih.
"Hui Ceh, engkau sedemikian memperhatikan diriku, seumur
hidup aku tidak akan melupakannya. Mengenai jurus pedang itu,
asal bu beng lo jin setuju, kalau kelak kita bertemu, aku pasti
mengajarkan padamu. Hari ini kita berpisah di sini, kuharap engkau
menjaga diri baik-baik."
Usai berkata begitu, Siau Liong langsung mengayunkan kakinya
meninggalkan halaman itu.
"Siau Liong ko!" panggil Siauw Hui Ceh sambil berlari
menyusulnya. Siau Liong berhenti, dan Siauw Hui Ceh lalu berdiri di
hadapannya sekaligus menatapnya dalam-dalam.
"Engkau sudah mau pergi, Siau Liong ko?" tanyanya.
28 "Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku telah mengambil keputusan
untuk pergi hari ini."
"Mau pergi ke mana?"
"Ke tempat yang harus ku cari."
"Punya tujuan tertentu?"
"Ya." "Bolehkah aku tahu?"
"Maaf!" ucap Siau Liong sambil menggelengkan kepala. "Tidak
bisa kuberitahu padamu."
"Siau Liong ko......" Siauw Hui Ceh menarik nafas panjang
dengan wajah muram sekali. "Masih bisakah kita bertemu?"
"Hui Ceh, kalau orang belum mati, tentunya masih ada
kesempatan untuk bertemu kembali."
"Ya." Siauw Hui Ceh manggut-manggut dengan mata bersimbah
air, kemudian gumamnya, "Siau Liong ko, kalau orang belum mati,
tentunya masih bisa bertemu kembali."
"Betul." "Siau Liong ko!" Mendadak Siauw Hui Ceh menatapnya dengan
penuh rasa cinta kasih yang dalam. "Aku menunggumu."
Sikap yang mesra dengan ucapan yang menyentuh hati itu
membuat wajah Tu Cu Yen semakin tak sedap dipandang. Hatinya
bertambah panas dan rasa cemburunya pun bergejolak hebat.
Namun Tu Cu Yen berhati licik dan banyak akal busuknya, maka
semua itu tidak tersirat pada wajahnya. Pemuda itu hanya menatap
mereka dengan sorotan yang dingin sekali.
Apa yang diucapkan Siauw Hui Ceh, membuat hati Siau Liong
terharu. Ia menatap gadis itu dengan lembut.
"Hui Ceh, paling lambat lima tahun, aku pasti kemari
menengokmu." ujarnya berjanji dan melanjutkan. "Itu demi engkau
dan demi aku. Baik-baiklah engkau menjaga diri!"
"Siau Liong ko, engkau juga harus baik-baik menjaga diri." Siauw
Hui Ceh juga menatapnya lembut, namun sepasang matanya yang
bening itu tampak bersimbah air.
"Ya." Siau Liong manggut-manggut. "Hui Ceh, aku pasti bisa
menjaga diri. Legakanlah hatimu, kini aku mau pergi."
Usai berkata itu, Siau Liong pun mengayunkan kakinya
meninggalkan halaman tersebut dengan langkah lebar.
29 Sementara Tu Cu Yen terus memandang punggung Siau Liong,
kemudian tersenyum dingin dan timbul pula hawa membunuh yang
hebat pada wajahnya. Tampak dua ekor kuda berlari kencang meninggalkan Siauw Keh
Cung. Kedua ekor kuda itu berbulu hitam dan kuning. Penunggang
kuda hitam seorang pemuda ganteng berpakaian hitam, sedangkan
penunggang kuda kuning seorang tua berjubah abu-abu.
Di punggung pemuda itu, tergantung sebuah piau hok (buntalan
pakaian), sedangkan orang tua tersebut tidak membawa apa-apa.
Kedua orang itu adalah Siau Liong dan orang tua pincang.
Mereka menunggang kuda meninggalkan Siau Keh Cung. Dalam
sekejap, kuda-kuda itu telah berlari dua puluh li. Berselang beberapa
saat kemudian, Siau Liong menarik tali kendali menghentikan
kudanya, lalu berkata pada orang tua pincang itu.
"Lo jin keh sudah cukup jauh lo jin keh mengantarku, lebih baik
lo jin keh pulang saja!"
Orang tua pincang tersenyum lembut, dan menatap Siau Liong
dalam-dalam seraya berkata.
"Siau Liong, tahukah engkau kenapa lo ciau mengantarmu
sampai sekian jauh?"
Siau Liong tertegun, dan memandang orang tua pincang dengan
penuh keheranan. "Lo jin keh, apakah ada suatu alasan tertentu?" tanyanya.
"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang ada
alasan tertentu." "Oh?" Hati Siau Liong tergerak. "Adakah urusan penting yang
ingin lo jin keh sampaikan padaku?"
"Tidak salah terkaanmu." Orang tua pincang tertawa. "Siau
Liong, enam li lagi ada sebuah kedai teh, kita minum teh di sana
sambil mengobrol." Siau Liong manggut-manggut. Mereka lalu melanjutkan
perjalanan menuju kedai itu. Sepanjang jalan Siau Liong terus
berpikir, orang tua pincang itu akan menyampaikan urusan apa
padanya" Ia terus berpikir, dan kuda yang ditungganginya pun terus
berlari kencang. 30 Siau Liong dan orang tua pincang itu duduk berhadapan di
dalam sebuah kedai. Di atas meja telah tersedia sebotol arak dengan
dua buah cangkir penuh berisi minuman keras itu.
"Siau Liong," Orang tua pincang tersenyum lembut sambil
mengangkat minumannya. "Secangkir arak ini untuk perpisahan kita,
semoga engkau selamat di perjalanan, aman sampai di tempat
tujuan dan ".. cepat kembali ke utara!"
"Terima kasih!" Siau Liong segera mengangkat minumannya, ia
tampak terharu sekali. "Lo jin keh sangat baik terhadap diriku, entah
harus bagaimana aku membalas budi kebaikan lo jin keh. Kini aku
menghormati lo jin keh dengan secangkir arak ini, semoga lo jin keh
panjang umur dan sehat wal'fiat!"
Mereka meneguk arak itu. Sepasang mata orang tua pincang
berbinar-binar sambil tertawa gelak.
"Siau Liong," Orang tua pincang menaruh cangkirnya, kemudian
ujarnya serius, "lo jin keh ingin memohon sesuatu, sudikah engkau
mengabulkannya?" "Beritahukan saja, lo jin keh!"
"Jadi engkau mengabulkannya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk tanpa ragu. "Lo jin keh, asal aku
mampu melaksanakannya, aku pasti tidak akan ingkar janji. Walau
itu harus menerjang lautan api.
Orang tua pincang tertawa terbahak-bahak.
"Tidak perlu menerjang lautan api, hanya saja".." Orang tua
pincang menghentikan ucapnya sejenak kemudian menatap Siau
Liong tajam sambil melanjutkan, "Tugas itu sangat berat, karena
urusan itu teramat penting."
"Oh?" Sepasang alis Siau Liong yang berbentuk golok itu
terangkat sedikit. "Lo jin keh, kita bersama sudah dua bulan, apakah
lo jin keh masih belum melihat jelas sifatku" Asal aku telah
mengabulkan, melaksanakannya tanpa memikirkan nyawa sendiri."
"Engkau memang berjiwa kesatria, lo ciau tidak salah melihat
dirimu. Dengan ucapanmu barusan, lo ciau sudah merasa puas.
Kalau mati, lo ciau pun tidak akan penasaran."
Orang tua pincang manggut-manggut kagum.
"Lo jin keh".." Ucapan orang tua pincang yang terakhir itu
membuat hati Siau Liong tersentak. "Tidak usah berkata begitu!"
"Aaakh...!" Orang tua pincang menarik nafas panjang.
31 "Sebetulnya ada urusan apa lo jin keh." desak Siau Liong ingin
mengetahui urusan itu. "Siau Liong!" Orang tua pincang menatapnya dalam-dalam.
"Engkau berangkat sekarang, harus membutuhkan waktu berapa
lama baru bisa kembali ke utara?"
"Tidak dapat dipastikan"..." Siau Liong mengernyitkan kening.
"Namun tidak akan lewat lima tahun."
Orang tua pincang manggut-manggut sambil berpikir, kemudian
ujarnya seakan bergumam. "Lima tahun bukan waktu yang pendek, tapi masih keburu.
Mudah-mudahan keburu, itu lebih baik"..."
Siau Liong diam, tidak menyahut.
Berselang sesaat, orang tua pincang melanjutkan ucapannya
sambil memandang Siau Liong dengan penuh perhatian.
"Kalau engkau kembali ke utara, sudikah mampir dulu ke Siauw
Keh Cung?" Siau Liong mengangguk, namun merasa heran.
"Itu kenapa, lo jin keh?"
"Sampai waktunya engkau akan mengetahuinya," sahut orang
tua pincang. "Kenapa tidak sekarang saja beritahukan padaku?"
"Siau Liong, sebetulnya lo ciau ingin beritahukan sekarang,
tapi......" Orang tua pincang menarik nafas panjang sambil
tersenyum getir. "Lo ciau tahu engkau berjiwa kesatria. Leher boleh
putus dan darah boleh mengalir, tapi tekad tidak boleh putus di
tengah jalan." "Lo jin keh!" Kening Siau Liong berkerut. "Apakah tidak leluasa
dan sulit mengutarakannya?"
"Tidak juga." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Padahal sesungguhnya, lo ciau pun tidak tahu apa urusan itu,
hanya berfirasat akan terjadi suatu malapetaka."
"Itu".. bagaimana mungkin?"
"Siau Liong," Mendadak orang tua pincang mengalihkan
pembicaran. "Masih ingatkah kau ketika itu lo ciau mendesakmu
agar tinggal tiga bulan di Siauw Keh Cung?"
"Aku ingat, kalau bukan karena kejadian tadi pagi, mungkin aku
tidak akan berangkat sekarang. Aku mohon maaf padamu dalam hal
ini." 32 "Anak yang berbakat dan berjiwa kesatria"..." Orang tua
pincang menatapnya sambil tersenyum. "Lo ciau tidak melarangmu
berangkat hari ini, tentunya juga tidak akan menyalahkanmu."
"Terima kasih, lo jin keh," ucap Siau Liong. "Atas kesudian lo jin
keh memberi maaf padaku."
Bagian ke 5: Berpisah "Ha ha!" Orang tua pincang tertawa gelak. "Siau Liong, engkau
jangan berlaku sungkan. Oh ya, tahukah engkau kenapa lo ciau
menahan dirimu tinggal tiga bulan di Siauw Keh Cung?"
"Apakah lo jin keh punya tujuan tertentu?"
"Betul." Orang tua pincang mengangguk. "Lo ciau memang
punya tujuan tertentu."
"Oh?" Siau Liong berpikir sejenak. "Maaf, aku sangat bodoh,
sama sekali tidak tahu apa tujuan lo jin keh!"
"Ingin menyelidiki, bagaimana sifatmu, juga agar engkau tahu
jelas mengenai keadaan Siauw Keh Cung."
Siau Liong tercengang dan tidak mengerti akan ucapan orang
tua pincang itu. "Kok begitu" Maksud lo jin keh?" tanyanya dengan heran.
"Apakah engkau telah menemukan sesuatu di Siauw Keh Cung?"
Orang tua pincang balik bertanya.
"Keadaan Siauw Keh Cung begitu damai, maka aku tidak
menemukan apa pun." "Siau Liong, dalam dua bulan ini, benarkah engkau tidak
menemukan suatu apa pun?" Siau Liong semakin tidak mengerti.
"Apakah di rumah Siauw ada sesuatu yang tak beres?" tanyanya
dengan alis terangkat. "Siau Liong!" Wajah orang tua pincang berubah serius. "Ada
mara bahaya!" "Apa?" Hati Siau Liong tersentak. "Mara bahaya?"
"Rumah Siauw sedang diselimuti bahaya. Di luar memang
tampak tenang dan damai, namun".. justru dalam keadaan
bahaya." "Kok aku tidak melihat adanya mara bahaya itu?" Siau Liong
tampak bingung. "Lo jin keh, aku memang bodoh, tidak bisa melihat
adanya mara bahaya itu."
"Siau Liong!" Orang tua pincang menarik nafas panjang. "Jangan
merasa malu hati. Engkau tidak bisa melihat adanya mara bahaya
33 itu, lantaran engkau berhati luhur, bukan karena bodoh. Maka
engkau tidak memperhatikan itu."
Siau Liong diam saja, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan."
"Siau Liong." Lanjut orang tua pincang. "Mudah-mudahan pada
waktu engkau kembali, lo ciau masih bisa bertemu denganmu!"
"Lo jin keh, kenapa berkata begitu?" Hati Siau Liong tergetar,
karena ucapan orang tua pincang itu bernada bahwa hidupnya tidak
akan lama lagi. "Siau Liong".." Orang tua pincang menarik nafas panjang.
"Lo jin keh, kita bersama sudah dua bulan, kini kita pun akan
berpisah, tapi aku masih belum tahu nama lo jin keh. Apakah lo jin
keh masih tega tidak memberitahukan?"
"Siau Liong, lo ciau bukan tega, melainkan"..." Orang tua
pincang menatapnya. "Bukankah kita telah bersepakat untuk tidak
mengetahui riwayat hidup kita masing-masing?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Namun kini".. kalau
dugaanku tidak meleset, lo jin keh sudah tahu jelas mengenai jati
diriku." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang tidak salah, dari
tempo hari lo ciau sudah tahu jati dirimu. Tapi cuma menerka saja,
belum berani memastikan bahwa engkau keturunan siapa?"
"Oh?" Siau Liong heran. "Kenapa begitu?"


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siau Liong, tahukah engkau betapa kerasnya pukulan Tu Cu
Yen?" tanya orang tua pincang.
Siau Liong manggut-manggut, namun tidak menyahut.
"Jurus telapak Tu Cu Yen dapat merenggut nyawamu, akan
tetapi, Thai Ceng Sin Kangmu (Tenaga sakti pelindung badan) itu
walau cuma mencapai tingkat keempat, masih mampu mengurangi
tenaga pukulan Tu Cu Yen, maka telah menyelamatkan nyawamu
sendiri." "Lo jin keh!" Siau Liong tampak terkejut. "Lo jin keh kenal Thai
Ceng Sin Kang?" "Justru itu lo ciau berani memastikan jati dirimu." Orang tua
pincang tertawa. "Nah, engkau mengerti, Siau Liong?"
Mata Siau Liong bersinar aneh, kemudian memandang orang tua
pincang dengan mata terbelalak.
"Kalau begitu, lo jin keh kenal keluargaku?" Orang tua pincang
manggut-manggut sambil tersenyum lembut dan penuh kasih
sayang. 34 "Lo ciau pernah bertemu beberapa kali dengan orang tuamu."
"Oh" Kalau begitu, Siauw cung cu juga kenal keluargaku?"
"Seperti lo ciau, cung cu pun pernah bertemu beberapa kali
dengan orang tuamu."
Kini Siau Liong sudah tahu jelas, bahwa cung cu Siauw Thian Lin
dan orang tua pincang itu mempunyai hubungan erat dengan
keluarganya, namun orang tua pincang tidak mau memberitahukan
lebih jelas. Itu pasti ada sebab musababnya. Percuma ia bertanya,
sebab kalau orang tua pincang mau beritahukan, dari tadi sudah
beritahukan. "Lo jin keh," ujar Siau Liong mengalihkan pembicaraan. "Ada
suatu urusan yang aku tidak mengerti, apakah lo jin keh, tahu
urusan itu?" "Justru lo ciau juga tidak mengerti." Orang tua pincang
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian tanyanya mendadak,
"Bagaimana menurutmu tentang diri Tu Cu Yen?"
"Jumawa, dingin dan ..... tidak menghargai orang lain," jawab
Siau Liong. Orang tua pincang manggut-manggut. Ia menatap Siau Liong
dan bertanya lagi dengan suara dalam.
"Selain itu, apakah masih ada yang lain?" Siau Liong berpikir
lama sekali, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak dekat dengannya, maka tentang yang lain aku tidak
begitu jelas." "Siau Liong, engkau sungguh tidak tahu ataukah tidak mau
bilang?" Orang tua pincang menatapnya.
"Lo jin keh!" wajah Siau tampak kemerah-merahan. "Padahal
sesungguhnya apa yang kukatakan tadi sudah keterlaluan."
Orang tua pincang menarik nafas ringan, berselang sesaat ia
berkata perlahan-lahan. "Siau Liong, engkau memang berbudi luhur seperti ayahmu. Lo
ciau senang sekali." Orang tua pincang tersenyum dan melanjutkan,
"Tu Cu Yen pemuda pendendam, lagi pula berhati licik dan sadis."
Siau Liong diam, tidak menyahut.
"Siau Liong, kalau kelak bertemu dengannya, engkau harus
berhati-hati dan waspada terhadapnya!"
Ucapan itu membuat Siau Liong teringat sesuatu. Ia pun segera
bertanya dengan suara rendah.
"Yang lo jin keh maksudkan mara bahaya itu, apakah"..?"
35 "Siau Liong," potong orang tua pincang. "Apa yang engkau
curigakan, simpan saja dalam hati! Sebelum ada bukti, urusan apa
pun jangan di cetuskan. Mengertikah Siau Liong?"
"Terima kasih atas nasihat lo jin keh!" ucap Siau Liong sambil
mengangguk. "Aku sudah mengerti."
Orang tua pincang juga manggut-manggut, tapi kemudian
mendadak wajahnya berubah serius.
"Siau Liong, ada suatu barang, sebetulnya cung cu ingin
menyerahkan sendiri padamu, namun tidak leluasa. Maka lo ciau di
perintah untuk menyerahkan padamu di tengah jalan."
Usai berkata, orang tua pincang mengeluarkan sebuah kotak
kecil, lalu diberikan pada Siau Liong.
"Barang apa ini?" tanya Siau Liong sambil menerima kotak kecil
itu. Namun ketika ia baru mau membukanya, orang tua pincang
cepat-cepat mencegahnya. "Siau Liong, jangan dibuka, cepatlah engkau simpan!"
Siau Liong menurut, dan segera menyimpan kotak kecil itu ke
dalam saku. "Lo jin keh, kotak kecil ini berisi apa" Sangat pentingkah?"
tanyanya sambil menatap orang tua pincang itu.
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang ada di dalam kotak kecil itu, lo ciau pun tidak tahu
dan tidak pernah melihatnya," ujarnya.
"Oh?" Siau Liong mengerutkan kening.
"Kata cung cu, barang yang ada di dalam kotak itu sangat
penting," Orang tua pincang memberitahukan. "Bahkan sangat
membantu dalam perjalananmu. Maka cung cu berpesan, engkau
harus berhati-hati menyimpannya. Jangan sampai orang lain melihat
isinya. Itu akan merepotkanmu dan juga membahayakan nyawamu.
"Hah"!" Siau Liong terperanjat bukan main. "Cung cu bilang
barang yang di dalam kotak itu sangat membantu dalam
perjalananku, apakah cung cu sudah tahu tempat tujuanku?"
"Sebetulnya tidak tahu, namun pagi ini setelah mengetahui jati
dirimu, barulah cung cu tahu tempat tujuanmu itu."
"Apakah lo jin keh yang memberitahukan pada cung cu?"
"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang lo ciau
yang memberitahukan padanya.
"Kalau begitu, apa kegunaan barang yang ada di dalam kotak
kecil ini?" tanya Siau Liong mendadak.
36 "Kata cung cu, jika engkau tiba di tempat tujuan itu, dan
menemukan halangan, maka engkau boleh mengeluarkan kotak kecil
itu dan sekaligus membukanya. Lalu angkatlah kotak itu tinggi-tinggi
dan sebutkan jati dirimu dengan suara nyaring! Saat itu pasti akan
muncul orang untuk membawamu menemui orang yang ingin kau
temui itu." Mendengar keterangan itu Siau Liong pun percaya, bahwa Siauw
Thian Lin telah mengetahui tempat tujuannya, namun ia masih
merasa heran. "Ini sungguh mengherankan," gumamnya. "Sebetulnya kotak ini
berisi barang apa?" "Siau Liong, pada saatnya nanti engkau akan mengetahui urusan
ini," ujar orang tua pincang "Sementara ini engkau tidak perlu
banyak berpikir tentang ini, hati-hatilah dalam perjalanan!"
"Ya, lo jin keh," Siau Liong mengangguk "Terima kasih atas
semua budi kebaikan lo jin keh, kita pasti berjumpa lagi."
Ketika hari mulai senja, kuda yang ditunggangi Siau Liong telah
berlari ratusan li. Betapa indahnya panorama tempat-tempat yang
dilalui Siau Liong. Namun anak itu tidak mempunyai waktu untuk
menikmati keindahan alam sekitarnya. Ia terus memacu kudanya.
Kini Siau Liong telah memasuki rimba yang banyak pepohonan
rindang. Oleh karena itu kudanya tidak bisa berlari kencang lagi,
melainkan berjalan perlahan.
Mendadak terdengar suara bentakan yang keras dan dingin. Siau
Liong terkejut dan segera menghentikan kudanya.
"Bocah! Cepat berhenti!"
Menyusul berkelebat tiga sosok bayangan, lalu berdiri
menghadang di depan Siau Liong.
"Kenapa kalian bertiga menghadang perjalananku?" tanya Siau
Liong dengan sikap sopan.
Salah seorang penghadang itu menatap Siau Liong dengan
tajam, kemudian tertawa dingin.
"Mau mencabut nyawamu!" sahutnya.
Siau Liong mengernyitkan kening, dan memandang ketiga orang
itu. "Kenapa"..?" tanyanya.
"Diam!" bentak yang lain dengan wajah bengis. "Bocah! Cepatlah
engkau turun untuk menerima kematianmu!"
37 "Selain nyawaku, apakah kalian bertiga masih menghendaki
barang lain?" tanya Siau Liong dengan mata menyorot dingin.
Pertanyaan tersebut membuat ketiga orang itu tertegun. Mereka
saling memandang, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
"Kalian bertiga siapa yang menjadi kepala?" tanya Siau Liong
lagi. "Aku! Kenapa?" sahut orang yang Brewok.
"Tidak kenapa-kenapa." Siau Liong tertawa hambar. "Harap
jawab pertanyaanku tadi!"
"Oh?" Sepasang bola mata si Brewok berputar sejenak. "Engkau
membawa suatu barang istimewa?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku membawa ratusan tael
perak dan sebilah pedang panjang."
Si Brewok tertawa gelak, dan menatap Siau Liong.
"Bocah! Ratusan tael perak itu memang terhitung banyak,
namun masih tidak dalam pandangan Tuan besar. Mengertikah
engkau, Bocah?" "Kalau begitu"..." Kening Siau Liong berkerutkerut. "Kalian
bertiga menghadangku, bukan demi uang perak itu?"
"Betul," sahut si Brewok sambil tertawa. "Kami justru cuma ingin
mencabut nyawamu! Sudah lama kami menunggumu di sini, ha ha
ha!" "Bolehkah aku tahu nama besar Tuan?" tanya Siau Liong dengan
mata menyorot tajam. "Engkau tidak perlu mengambil hati kami!" bentak si Brewok.
"Tidak berani memberitahukan?" ujar Siau Liong menyindir.
"Apa?" Si Brewok melotot dan wajahnya pun berubah beringas.
"Bocah! Hari ini engkau pasti mampus, kenapa kami tidak berani
memberitahukan nama kami?"
"Nah!" Siau Liong tersenyum hambar. "Beritahukanlah nama
kalian bertiga!" "Baik! Engkau dengar baik-baik!" sahut si Brewok mengeraskan
suaranya. "Kami bertiga adalah Ling Ni Sam Hou (Tiga Harimau Ling
Ni)!" "Oooh!" Siau Liong menatap mereka tajam. "Apakah kalian
bertiga punya dendam denganku?"
"Bocah!" Si Brewok tertawa licik. "Pernahkah engkau bertemu
kami?" "Tidak pernah."
38 "Kalau begitu, apakah kami punya dendam denganmu, bocah?"
Si Brewok terkekeh-kekeh.
Siau Liong mengerutkan kening sambil membatin. Ling Ni Sam
Hou ini tidak punya dendam denganku, lalu kenapa menghadang di
sini untuk membunuhku" Lagi pula bagaimana mereka bisa tahu
bahwa aku akan melewati rimba ini" Berpikir sampai di sini, ia pun
segera bertanya. "Kalian bertiga tidak punya dendam denganku, kenapa ingin
mencabut nyawaku" Ini membuatku tidak habis berpikir. Bolehkah
kalian memberitahukan sebab musababnya?"
"Engkau ingin tahu?" tanya si Kurus, teman si Brewok.
"Tentu." Siau Liong mengangguk. "Kalaupun mati, aku tidak
akan merasa penasaran lagi."
Si Kurus manggut-manggut, kemudian menatap Siau Liong
dengan bengis. "Karena sesaat lagi engkau mampus, maka kami pun
bersedia memberitahukan."
"Beritahukanlah!" desak Siau Liong.
"Kami hanya melaksanakan perintah!" Si Kurus memberitahukan.
"Perintah dari siapa?" tanya Siau Liong cepat.
"Perintah dari atasan kami!" sahut si Brewok dan menambahkan.
"Kini engkau sudah tahu, bersiap-siaplah untuk mampus!"
Bagian ke 6: Ingin Membunuh Malah Dibunuh
"Siapa atasan kalian?" tanya Siau Liong. Ia sama sekali tidak
gentar akan ancaman si Brewok.
"Perlukah Tuan besar memberitahukan padamu?"
"Perlu." "Nah, dengar baik-baik!" Si Brewok memberitahukan dengan
suara lantang. "Beliau pemilik rumah makan Si Hai Ciu Lau di Kota
Ling ni!" "Oooh!" Siau Liong manggut-manggut dengan mata
menyorotkan sinar aneh. "Siapa nama pemilik rumah makan itu?"
"Eh?" Si Gemuk, teman Si Brewok melotot. "Bocah! Sudah
terlampau banyak engkau bertanya!"
Siau Liong mengernyitkan kening, kemudian tersenyum hambar.
"Kalian bertiga, bukankah hari ini aku sulit melepaskan diri dari
tangan kalian, kenapa kalian tidak mau memberitahukan nama
pemilik rumah makan itu?" tanyanya perlahan.
39 "Lo Sam (Saudara ketiga)!" Si Brewok meliriknya. "Apa yang
dikatakannya memang tidak salah, sesaat lagi dia akan mampus!
Kita takut apa" Beritahukanlah!"
Si Gemuk atau Lo Sam itu mengerutkan kening, lama sekali
barulah membuka mulut. "Menurut aku, itu".. tidak baik."
"Lo Sam!" Si Brewok tertawa. "Legakanlah hatimu, orang yang
sudah mampus tidak akan bisa bicara lagi."
"Itu"..." Lo Sam tampak ragu.
Sementara si Brewok menatap Siau Liong sambil tertawa dingin,
kemudian menudingnya dan berkata.
"Bocah! Dengar baik-baik! Pemilik rumah makan Si Hai Ciu Lau
itu bernama Toan Beng Thong, berjuluk Thi Sui Phoa (Sui Phoa besi)
yang telah menggetarkan kang ouw!"
"Jadi".. dia yang memerintah kalian bertiga ke mari?"
"Betul." Si Brewok mengangguk. "Setahu kami, dia pun
melaksanakan perintah atasannya."
"Oh?" Sapasang mata Siau Liong menyorot tajam. "Siapa
atasannya?" "Itu"..." Si Brewok menggeleng-gelengkan kepala. "Kami tidak
tahu!" "Sungguhkah kalian bertiga tidak tahu?"
"Bocah! Engkau pasti mampus, untuk apa kami
membohongimu?" Si Brewok tertawa dingin. "Tuan besar, tidak perlu
merahasiakannya!" "Kalau begitu"..." tanya Siau Liong setelah berpikir sejenak.
"Kenapa kalian bertiga tahu aku akan melewati rimba ini?"
"Tentunya ada petunjuk dari atasan kami itu!" jawab Si Brewok
dan menambahkan, "Bocah! Engkau masih ada pertanyaan lain?"
"Tidak ada." Siau Liong menggelengkan kepala.
"Kalau begitu"..." Si Brewok tertawa dingin. "Engkau punya
suatu pesan sebelum mampus?"
"Ada." "Apa pesanmu" Cepat beritahukan, Tuan besar harus segera
mencabut nyawamu!" Si Brewok tertawa gelak.


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Liong tidak menyahut, melainkan melompat turun dari
punggung kudanya. Ia menaruh buntalan bajunya ke bawah,
kemudian mengambil pedangnya.
40 "Pesanku yakni menginginkan kepala kalian bertiga," ujar Siau
Liong. Ia berdiri tegak sambil menatap mereka bertiga dengan
tajam. "Kalian mengabulkan itu?"
Air muka Ling Ni Sam Hou langsung berubah. Mereka bertiga
saling memandang, kemudian si Brewok tertawa keras.
"Bocah! Beranikah engkau bertarung dengan kami?"
"Bukan cuma berani, bahkan aku pun menghendaki kepala
kalian," sahut Siau Liong dengan wajah dingin. "Kalian bertiga mau
mencabut nyawaku, tentunya aku harus mempertahankan."
"Oh, ya?" Si Brewok tertawa. "Satu lawan tiga, engkau kira
masih bisa hidup?" "Aku tidak tahu itu, yang jelas aku harus melawan kalian
bertiga," ujar Siau Liong berani.
"Kalau begitu"..." Si Kurus terkekeh-kekeh. "Engkau sudah
memutuskan untuk bertarung dengan kami?"
"Hm!" dengus Siau Liong. "Jangan banyak bicara! Cepat hunus
senjata kalian masing-masing!"
Si Kurus segera mencabut senjatanya yang berupa sebilah golok
yang amat tajam. Itu golok bergagang kepala setan.
"Bocah! Aku akan menghabiskanmu!" bentaknya sambil
menyerang Siau Liong dengan jurus golok yang mematikan. Betapa
dahsyatnya sabetan golok setan itu. Si Kurus ingin memenggal
kepala Siau Liong dalam satu jurus.
Sementara Siau Liong masih berdiri tegak di tempat, kemudian
mendadak ia menghunus pedangnya. Ditangkisnya sabetan golok si
Kurus dan membalas menyerang dengan jurus pedang yang
diajarkan orang tua pincang.
Trannng! Golok dan pedang saling membentur, bunga api pun
berpijar. Serangan balasan Siau Liong dengan jurus pedang itu,
membuat si Kurus terkurung dalam bayangan pedang tersebut.
Pedang itu pun mengeluarkan hawa dingin, yang sungguh
mengejutkan si Kurus. Tiba-tiba terdengarlah suara jeritan yang
menyayat hati. "Aaaakh...!" Darah muncrat, lengan kanan si Kurus melayang ke
atas, lalu jatuh. Golok setan itu masih tergenggam erat.
Si Kurus terhuyung-huyung dengan wajah pucat pias, bahu
kanannya masih mengucurkan darah.
41 Si Brewok terkejut bukan main. Ia segera mendekati si Kurus,
kemudian menotok bahunya agar darah tidak terus mengucur.
Setelah itu ia pun membalur bahu si Kurus dengan obat.
Sementara itu, Siau Liong masih berdiri tegak di tempat. Ia
tertegun dan termangun. Sejak ia belajar jurus pedang itu, baru pertama kali
dipergunakannya untuk bertarung dengan lawan. Sungguh di luar
dugaan, jurus pedang itu begitu lihai dan sadis.
Nafas Si Kurus terengah-engah ketika si Brewok memapahnya
lari ke bawah pohon. Setelah mendudukkan si Kurus di bawah
pohon, si Brewok pun menghunus senjatanya, lalu selangkah demi
selangkah mendekati Siau Liong dengan mata berapi-api.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam. Posisinya masih tetap
seperti semula, berdiri tegak di tempat, pedang yang di tangannya
diluruskan ke bawah. "Hiyaaat!" pekik si Brewok sambil menyerang Siau Liong.
"Ciaaat!" Si Gemuk juga ikut menyerang dari belakang.
Siau Liong menjadi gugup, namun pada waktu bersamaan,
secepat kilat ia mengayunkan pedangnya, tetap dengan jurus
pedang yang diajarkan orang tua pincang.
Apa yang terjadi setelah ia mengeluarkan jurus tersebut" Ia
sendiri pun tidak mengetahuinya, yang jelas Si Brewok dan Si Gemuk
menjerit menyayat hati pada waktu bersamaan pula.
Darah muncrat ke mana-mana. Kepala Si Brewok terbang ke
atas, sedangkan badan Si Gemuk terputus menjadi dua.
Badan Si Brewok yang tak berkepala itu masih mampu berjalan
beberapa langkah, lalu roboh. Sementara kaki dan tangan Si Gemuk
yang telah terpisah itu, masih bergerak-gerak, kemudian diam.
Si Kurus yang duduk di bawah pohon, nyaris pingsan ketika
menyaksikan kejadian yang mengerikan itu.
Bagaimana Siau Liong" Ia sendiri pun terbelalak dan terpaku di
tempat, seperti kehilangan sukma. Sejak ia bisa memainkan sejurus
pedang itu, baru kali ini ia bertarung dengan lawan. Kelihayan dan
kehebatan sejurus pedang itu, membuatnya terperangah.
Padahal sesungguhnya Siau Liong berhati bajik. Meskipun Ling Ni
Sam Hou ingin mencabut nyawanya, karena mereka hanya
melaksanakan perintah, ia sama sekali tidak berniat membunuh
mereka, tapi jurus pedang itu.....
42 Lama sekali Siau Liong berdiri terperangah, kemudian barulah
memandang kedua sosok mayat yang tak utuh itu. Ia menggelenggelengkan
kepala sambil menarik nafas panjang dan merasa tidak
tega. Ia menyarungkan pedang yang digenggamnya, lalu menatap Si
Kurus yang duduk di bawah pohon.
"Jangan menyalahkanku!" ujarnya perlahan. "Yang bersalah
dalam hal ini Thia Sui Pho Toan Beng Thong. Kini kalian bertiga
tinggal satu. Aku pun tidak akan berbuat apa-apa terhadapmu.
Mengenai dendam ini, terserah engkau kelak."
Usai berkata demikian, Siau Liong membalikkan badannya, lalu
melangkah menghampiri kudanya.
"Berhenti, bocah!" bentak Si Kurus.
Siau Liong berhenti lalu menoleh.
"Engkau mau bicara apa?" tanyanya sambil menatap Si Kurus.
"Bocah, lebih baik bunuhlah aku juga!" sahut Si Kurus.
"Apa"!" Siau Liong tertegun. "Engkau ingin mati?"
"Tidak salah. Aku memang ingin mati. Bunuhlah aku!"
"Kenapa?" Siau Liong menatapnya heran. Ia tidak habis berpikir,
kenapa Si Kurus minta dibunuh"
"Tidak kenapa-napa, aku cuma ingin mati. Bocah, cabutlah
pedangmu dan penggallah kepalaku!"
"Meskipun engkau ingin mati, aku tidak ingin membunuhmu,"
sahut Siau Liong sambil menarik nafas. "Lagi pula"..."
"Bocah!" Potong Si Kurus cepat. "Engkau tidak berani?"
"Bukan tidak berani, melainkan tidak ingin membunuhmu." Siau
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Bocah!" bentak Si Kurus gusar. "Kenapa engkau tidak mau
membunuhku?" "Karena aku bukan pembunuh," sahut Siau Liong tenang. "Juga
tidak suka membunuh."
Si Kurus tertawa dingin, dan menatap Siau Liong seraya berkata,
"Engkau sungguh pandai berkata! Hmm!" dengus si Kurus.
"Padahal"..." Si Kurus menghentikan ucapannya, berselang baru
dilanjutkan. "Kalau begitu, kenapa engkau membunuh mereka
berdua?" Siau Liong menarik nafas panjang, dan memandang si Kurus
sambil tersenyum getir. 43 "Mereka berdua mati karena pedangku, itu sungguh di luar
dugaan. Sesungguhnya aku tidak berniat membunuh mereka,
tapi"..." "Karena kepandaian mereka sangat rendah kan?" sela si Kurus.
"Aku tidak bermaksud begitu," ujar Siau Liong dengan wajah
murung. "Lalu apa maksudmu?"
"Terus terang, aku sendiri pun tidak tahu begitu lihay dan hebat
jurus pedang itu, bahkan sangat sadis pula. Padahal itu cuma
sejurus".." Siau Liong berkata sesungguhnya. Akan tetapi, bagaimana
mungkin Si Kurus itu percaya. Ia melotot dengan mata membara
penuh dendam. "Bocah! Engkau sungguh pandai berbohong!" tandasnya dengan
suara keras. "Aku berkata sesungguhnya, sama sekali tidak bohong."
"Hmm!" dengus Si Kurus dingin. "Engkau yang mengeluarkan
jurus pedang itu, bagaimana mungkin tidak tahu kehebatannya?"
"Aku tidak bohong."
"Bocah!" bentak Si Kurus. "Jangan bohong! Siapa pun tidak akan
percaya!" Tiba-tiba wajah Siau Liong berubah serius, dan tertawa dingin.
"Engkau tidak percaya, terserah."
Si Kurus menatapnya dengan bengis, berselang beberapa saat
kemudian, wajahnya berubah murung.
"Siau hiap (Pendekar muda), aku bermohon padamu......" Si
Kurus menundukkan kepala.
"Apa yang engkau pinta?" tanya Siau Liong lembut.
"Katakanlah!" "Aku mohon agar Siau hiap juga membunuh aku," sahut Si
Kurus. "Eeeh?" Siau Liong tercengang. "Aku sungguh tak mengerti,
kenapa engkau ingin mati?"
Si Kurus tertawa sedih. "Kalau Siau hiap tidak membunuhku, aku pun tidak bisa hidup."
jawabnya. Siau Liong tertegun, dipandangnya Si Kurus dengan mata
terbeliak. "Itu kenapa?" 44 "Setelah aku pulang......" Si Kurus menarik nafas. "Thi Sui Phoa
Toan Beng Thong juga tidak akan melepaskan diriku."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Begitu kejam
Toan Beng Thong itu?"
Si Kurus tertawa getir, lalu menarik nafas sambil menggelenggelengkan
kepala. "Toan Beng Thong memang kejam, tapi tidak bisa disalahkan."
"Lho, kenapa?" Siau Liong tampak bingung.
"Peraturan atasan terhadap bawahan sangat ketat dan keras.
Jika anak buah tidak bisa melaksanakan perintah atasan dengan baik
atau tidak berhasil, pasti dihukum mati."
"Oh?" kening Siau Liong berkerut. "Atasan sama sekali tidak
bertanya kenapa tidak berhasil?"
"Pokoknya gagal, pasti dihukum mati."
"Itu sungguh kejam." Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak beraturan sama sekali."
"Yaah!" Si Kurus menarik nafas panjang.
"Seandainya berhasil, tentunya memperoleh imbalan, kan?"
tanya Siau Liong mendadak.
"Benar." Si Kurus mengangguk. "Imbalan yang luar biasa dan
istimewa." "Oh" Bagaimana luar biasa dan istimewanya?"
"Itu"..." Si Kurus tidak langsung menjawab, melainkan berpikir,
lama sekali barulah melanjutkan ucapannya. "Atasan punya sebuah
Bun Jiu Kiong (Istana Lemah Lembut) yang tak kalah mewah dan
megah dibandingkan dengan istana raja. Di dalam istana itu penuh
dengan gadis cantik jelita"..."
"Oh?" Siau Liong terheran-heran. "Pernahkah engkau ke istana
itu?" Si Kurus menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak pernah."
"Engkau tidak pernah ke sana, tapi kok begitu jelas mengenai
istana itu?" "Aku mendengar dari orang."
"Siapa yang memberitahukan padamu?"
"Dia"..." Si Kurus tampak ragu, namun kemudian
memberitahukan juga dengan suara rendah. "Toan Beng Thong."
"Pernahkah dia ke istana itu?"
"Aku tidak tahu jelas, tapi aku pernah bertanya padanya, dia
cuma tersenyum." 45 Siau Liong berpikir. "Siapa yang berhasil melaksanakan perintah atasan, maka
imbalannya berkunjung ke istana Bun Jiu Kiong itu?" tanyanya
kemudian. Si Kurus manggut-manggut, lalu menjelaskan.
"Bukan cuma berkunjung, bahkan boleh memilih salah seorang
gadis yang ada di dalam istana itu, dan diizinkan bercinta sampai
lima belas hari. Sampai waktunya harus meninggalkan istana itu,
kalau terlambat pasti dihukum berat."
Bagian ke 7: Rumah Makan Empat Lautan
Kini Siau Liong sudah mengerti, apa sebabnya Si Kurus ingin
mati, bahkan tahu tentang Bun Jiu Kiong. Sungguh lihay atasan
tersebut memperalat pada bawahan dengan imbalan berupa gadis
cantik. Bawahan mana yang tidak akan tergiur dan mati-matian
melaksanakan perintah atasan itu" Kelemahan kaum lelaki memang
terletak di situ, maka atasan tersebut memikat para bawahan
dengan cara itu. "Tahukah engkau di mana Istana Lemah Lembut itu?" tanya Siau
Liong mendadak. Si Kurus menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, bahkan yang pernah ke sana pun tidak tahu di
mana letak Bun Jiu Kiong itu." jawabnya jujur.
"Kok begitu?" "Karena Bun Jiu Kiong itu berada di tempat yang rahasia. Siapa
yang ke sana, harus di tutup matanya dengan kain, ada orang
mengantar ke tempat itu. Keluar pun begitu, mata harus di tutup
juga. Maka siapa pun yang pernah ke Bun Jiu Kiong itu, sama sekali
tidak tahu tempatnya."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut. Ia percaya akan apa
yang dikatakan Si Kurus, kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Walau engkau tidak bisa pulang ke sana, menurutku, engkau pun
tidak perlu mati." "Itu tidak mungkin." Si Kurus tertawa sedih. "Apakah Siau hiap
punya akal untuk mengatasinya?"
Siau Liong mengangguk. "Aku punya akal."
Sepasang mata Si Kurus tampak berbinar.
46 "Bagaimana akal Siau hiap?" tanyanya penuh harap.
"Sekarang aku bertanya dulu, apakah engkau mau pulang ke
sana?" "Maksud Siau hiaup......" Si Kurus dapat menduganya.
"Menyuruhku jangan pulang ke sana?"
"Betul." Siau Liong tersenyum. "Engkau boleh pergi begitu saja."
Si Kurus tersenyum getir, dan tampak putus asa.
"Aku bisa ke mana?"
Siau Liong mengerutkan kening.
"Bumi begitu luas, tentunya engkau dapat menyembunyikan
diri," ujarnya. "Tidak salah kata Siau hiap, tapi"..." Si Kurus menarik nafas


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang, sesaat baru melanjutkan ucapannya. "Kalau aku bisa kabur,
tentunya tidak mau mati dan sudah kabur."
"Jadi..... engkau tidak bisa kabur?"
"Kini lenganku telah putus, dan masih dalam keadaan terluka.
Lagi pula aku pun tidak punya uang, tenagaku juga telah berkurang
karena terluka. Dengan sepasang kakiku ini, dapat kabur berapa
jauh" Tidak sampai tiga puluh li, Toan Beng Thong pasti menyuruh
orang untuk mengejarku, dan begitu tertangkap, aku pasti dihukum
mati." Apa yang dikatakan Si Kurus memang masuk akal. Maka Siau
Liong mengerutkan kening sambil berpikir, setelah itu, ia pun
mengambil suatu keputusan.
"Karena secara tidak sengaja aku telah membunuh kedua
saudara angkatmu, itu membuat aku merasa tidak enak hati. Oleh
karena itu, kuda yang kutunggangi itu, kuberikan padamu. Aku bawa
ratusan tael perak, kita bagi dua, jadi engkau bisa pergi sejauhjauhnya."
Usai berkata begitu, Siau Liong segera membuka buntalan
bajunya. Diambilnya seratus lima puluh tael perak dan diberikannya
kepada Si Kurus. "Cepatlah engkau naik ke punggung kuda! Mengenai mayat
kedua saudara angkatmu itu, aku akan menyuruh penduduk sini
untuk menguburnya." Ini sungguh di luar dugaan Si Kurus. Ia sama sekali tidak
menyangka Siau Liong begitu baik hati. Betapa gembira hatinya dan
terharu. 47 "Kalau begitu, bagaimana dengan Siau hiap bukankah harus
berjalan kaki?" Siau Liong tersenyum lembut.
"Itu tidak apa-apa. Dari sini ke kota Ling Ni sudah tidak begitu
jauh, malam ini aku bisa sampai di sana dan membeli seekor kuda."
"Haah?" Si Kurus terbelalak. "Siau hiap mau ke kota Ling Ni?"
"Ya. Aku mau ke Rumah makan Si Hai untuk menemui Toan
Beng Thong. Aku mau memberitahukan kepadanya bahwa aku telah
membunuh kalian. "Siau Hiap!" Si Kurus terkejut bukan main. "Sebaliknya Siau hiap
jangan ke sana." "Aku tahu maksud baikmu." Siau Liong tersenyum. "Engkau
takut aku mengantar diri ke mulut harimau, kan?"
"Betul." Si Kurus mengangguk. "Siau Hiap harus tahu, selain
Toan Beng Thong di rumah makan itu masih ada yang lain yang
memiliki ilmu silat tinggi. Kalau Siau Hiap ke sana, itu amat
membahayakan." Siau Liong tidak merasa gentar, ia cuma tersenyum hambar.
"Terima kasih atas peringatanmu! Namun engkau boleh berlega
hati, aku tidak akan bertindak ceroboh."
"Tapi......" "Sampai jumpa!" ucap Siau Liong sambil menjura, kemudian
mendadak ia melompat pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Dalam sekejap ia telah hilang dari pandangan Si Kurus.
"Dalam bu lim (rimba persilatan) akan muncul seorang pendekar
budiman." gumam si Kurus, lalu melompat ke atas punggung kuda.
Hari sudah malam. Di kota Ling Ni telah muncul seorang pemuda
ganteng. Ia mengenakan baju hitam, dan tangannya menjinjing
sebuah buntalan baju. Siapa pemuda itu" Tidak lain Siau Liong. Ia melangkah perlahan
menuju rumah makan Si Hai. Di dalam rumah makan itu telah penuh
para tamu. Para pelayan sibuk melayani tamu yang memesan
makanan dan minuman. Tidak heran, ketika Siau Liong memasuki rumah makan itu, tiada
seorang pelayan pun meladeninya.
Siau Liong menengok ke sana ke mari, tiada meja yang kosong.
Akhirnya matanya mengarah ke sebuah meja. Di situ tampak
seorang pemuda berbaju ungu duduk seorang diri.
48 Pemuda itu ganteng bukan main. Siau Liong sudah ganteng,
namun masih kalah ganteng dibandingkan dengan pemuda itu.
Walau pemuda itu duduk seorang diri, di atas meja justru tersedia
dua buah cangkir, itu pertanda dia sedang menunggu temannya.
Tampak seorang pelayan mendekati Siau Liong dengan sikap
hormat sambil tersenyum. "Maaf, kong cu ya (Tuan terpelajar), semua tempat telah
penuh"..." Sebelum pelayan itu menyelesaikan ucapannya, pemuda baju
ungu itu bangkit berdiri, lalu menjura pada Siau Liong.
"Semua tempat duduk di rumah makan ini telah penuh, kalau
Saudara tidak merasa enggan, silakan duduk bersama di sini!
Bagaimana?" Ucapan tersebut membuat pelayan itu sangat girang. Ia segera
menyahut dengan wajah berseri.
"Ini sungguh baik sekali! Silakan Tuan duduk di sini saja!"
Siau Liong manggut-manggut, lalu memandang pemuda berbaju
ungu itu seraya berkata dengan sopan.
"Bukankah Saudara sedang menunggu teman" Itu rasanya
kurang leluasa." Pemuda berbaju ungu menggeleng kepala, kemudian tersenyum.
"Tidak apa-apa. Waktu yang dijanjikan, telah lewat, temanku
mungkin ada urusan, dia tidak akan ke mari. Aku duduk seorang diri,
bagaimana kalau kita bersama sambil mengobrol" Saudara, mari
silakan duduk!" Ucapan pemuda berbaju ungu itu sangat sopan dan ramah, Siau
Liong merasa tidak enak apabila menolaknya.
"Terima kasih atas kebaikan saudara!" Siau Liong menjura.
"Kalau begitu, aku akan duduk di sini."
"Jangan sungkan-sungkan!" Pemuda berbaju ungu tersenyum
lembut. Mereka lalu duduk. Pemuda berbaju ungu segera menjulurkan
tangannya untuk mengambil botol arak.
Ketika melihat tangan pemuda berbaju ungu itu, Siau Liong
tertegun dan membatin. Sungguh halus, mulus dan indah
tangannya! Tidak salah, pemuda berbaju ungu itu memiliki tangan yang
amat halus, mulus dan indah, terutama jari tangannya, lebih indah
dari jari tangan anak gadis.
49 Karena melihat Siau Liong sedang menatap tangannya, seketika
juga wajah pemuda berbaju ungu itu tampak kemerah-merahan.
Mengherankan sekali kan"
"Saudara," ujar pemuda berbaju ungu sambil menuang arak ke
dalam cangkir Siau Liong. "Aku menghormatimu dengan secangkir
arak ini." "Terima kasih! Seharusnya aku yang harus menghormati saudara
dengan secangkir arak." Siau Liong mengangkat minuman itu
dengan sikap menghormat pada pemuda berbaju ungu. "Mari kita
minum!" "Terima kasih!" sahut pemuda berbaju ungu sambil tersenyum
lembut. Usai meneguk arak itu, pemuda berbaju ungu menaruh
cangkirnya. "Bolehkah aku tahu nama saudara?" tanyanya.
"Aku bernama Hek Siau Liong. Selanjutnya aku mohon saudara
banyak-banyak memberi petunjuk."
"Oooh!" Pemuda berhaju ungu manggut-manggut. "Saudara
jangan terlampau merendah diri!"
"Oh ya, bolehkah aku tahu nama saudara?"
"Namaku Se Pit Han."
"Ternyata Saudara Se. Aku merasa senang sekali hari ini bisa
berkenalan dengan saudara.
"Oh, ya?" Se Pit Han tersenyum lembut.
"Aku berkata sesungguhnya. Saudara Se memang pemuda yang
baik hati, sopan dan ramah tamah"..."
"Sudah! Sudahlah!" Se Pit Han menggoyang-goyangkan
tangannya. "Saudara Hek, engkau memang pandai berbicara, aku percaya
engkau berkata sesungguhnya."
Apa yang diucapkan Se Pit Han, membuat dua orang pemuda
yang duduk tak jauh dari tempat itu tersenyum aneh. Kedua pemuda
itu mengenakan baju hijau.
Siapa kedua pemuda berbaju hijau itu" Kenapa ucapan Se Pit
Han membuat mereka berdua tersenyum aneh"
Selain mereka berdua, orang lain tidak akan mengetahuinya.
Tidaklah demikian. Seharusnya masih ada seseorang yang tahu.
Orang tersebut tidak lain Se Pit Han sendiri. Akan tetapi, saat ini Se
Pit Han sedang menatap Siau Liong dengan penuh perhatian, sama
50 sekali tidak melihat kedua pemuda baju hijau itu tersenyum aneh.
Seandainya Se Pit Han melihat, dia pasti"..
Siau Liong tersenyum-senyum, kemudian mendadak
mengalihkan pembicaraan. "Logat saudara Se kedengarannya bukan orang utara. Di mana
kampung halaman Saudara Se?"
"Kampung halamanku di Lam Hai."
Hati Siau Liong tersentak, namun sepasang matanya berbinarbinar.
"Saudara Se berasal dari Lam Hai?" tanyanya penuh perhatian.
Se Pit Han manggut-manggut sambil tersenyum, lalu tanyanya
dengan wajah tampak heran.
"Kenapa Saudara Hek tersentak" Adakah suatu urusan?"
Siau Liong bersikap tenang, ia menggeleng-geleng kepala.
"Tidak ada urusan apa-apa."
"Saudara Hek," ujar Se Pit Han sambil menatapnya. "Engkau sudi
berteman denganku?" "Saudara Se, engkau baik, sopan dan ramah tamah".."
"Jangan bicara itu!" tandas Se Pit Han dingin. "Engkau cukup
menjawab pertanyaanku. Engkau sudi berteman denganku?"
"Tentu," jawab Siau Liong cepat.
Seketika itu juga wajah Se Pit Han berseri dan suaranya pun
berubah lembut. "Kalau begitu, kenapa engkau tidak mau berkata
sesungguhnya?" Pertanyaan itu membuat Siau Liong melongo, ia memandang Se
Pit Han dengan heran. "Mana aku tidak berkata sesungguhnya?"
Mendadak Se Pit Han tertawa dingin.
"Begitu menyinggung Lam Hai, air mukamu langsung berubah.
Itu pertanda di dalam benakmu terdapat suatu urusan, tetapi justru
bilang tidak ada urusan apa-apa. Apakah ini engkau berkata
sesungguhnya?" "Ini"..." Siau Liong tergagap.
"Bagaimana?" Sepasang alis Se Pit Han terangkat.
Aku......" ujar Siau Liong perlahan. "Aku memang sedang menuju
Lam Hai." "Oh?" Se Pit Han menatapnya dalam-dalam. "Ada urusan apa
engkau pergi ke Lam Hai?"
51 "Bolehkah sementara ini Saudara tidak menanyakan tentang
itu?" Siau Liong mengerutkan kening.
"Mengapa" Engkau punya kesulitan untuk memberitahukan?" Se
Pit Han tampak penasaran.
Siau Liong mengangguk. "Benar. Maka aku mohon maaf padamu."
"Karena engkau punya kesulitan, aku tidak akan bertanya lagi,"
ujar Se Pit Han, lalu mengalihkan pembicaraan bernada teguran.
"Saudara Hek, engkau sungguh berani!"
"Lho, kenapa?" Siau Liong bingung. "Kenapa saudara
mengatakan begitu?" Tiba-tiba wajah Se Pit Han berubah, ia menatap Siau Liong
serius seraya berkata dengan suara rendah.
"Saudara Hek, engkau sungguh tidak mengerti atau sengaja
berpura-pura?" "Aku sama sekali tidak tahu maksud Saudara, maka tidak
berpura-pura." Siau Liong tampak sungguh-sungguh.
Se Pit Han percaya, bahwa Siau Liong tidak berpura-pura,
wajahnya berseri lagi. "Saudara Hek, aku bertanya padamu, tahukah engkau tempat
apa ini?" "Si Hai Ciu Lau."
"Tahukah siapa pemilik rumah makan ini?" tanya Se Pit Han
merendahkan suaranya. "Tahu," jawab Siau Liong dan tersentak dalam hati.
"Kalau tahu, kenapa masih menempuh bahaya untuk ke mari?"
tanya Se Pit Han bernada dingin.
"Eh" Saudara Se"..." Air muka Siau Liong berubah, bahkan
matanya pun terbelalak lebar.
"Apa yang kumaksudkan, engkau sudah paham?" tanya Se Pit
Han dingin. Siau Liong berlaku tenang, ia manggut-manggut.
"Aku paham. Namun masih ada yang kurang kupahami. Sudikah
saudara menjelaskan?"
"Apa yang tidak engkau pahami?" Se Pit Han menatapnya.
"Beritahukanlah!"
"Saudara kok tahu urusan ini?"
"Saudara Hek," jawab Se Pit Han mengejutkan. "Engkau nyaris
mati! Tahu?" 52 Bagian ke 8: Pesan Wasiat Leluhur
Air muka Siau Liong berubah lagi. Ia sungguh terkejut akan
ucapan Se Pit Han, sekaligus menatapnya dengan tajam.
"Saudara Se, maksudmu ada orang ingin mencelakaiku secara
diam-diam?" "Itu sih tidak."
"Kalau begitu, apa maksud saudara?"
"Saudara Hek." Se Pit Han tersenyum. "Ketika pedangmu
membunuh kedua orang itu, ada orang lain bersembunyi di balik
pohon." "Oh?" Siau Liong terperanjat. "Orang itu juga ingin
membunuhku?" "Tidak salah." Se Pit Han manggut-manggut. "Itu karena engkau
turun tangan terlampau sadis."
"Oh?" Siau Liong menarik nafas panjang. "Lalu kenapa orang itu
tidak jadi membunuhku?"
"Karena engkau sendiri pun tidak tahu akan kehebatan sejurus
pedang itu, juga tidak mau membunuh si Kurus yang ingin mati itu.
Bahkan engkau pun memberikannya kuda dan seratus tael perak, itu
pertanda engkau berhati bajik dan berbudi luhur. Oleh karena itu,
orang tersebut pun berubah pikirannya tidak jadi membunuhmu."
"Oh?" Mata Siau Liong bersinar aneh. "Kok Saudara tahu tentang
itu?" "Karena pada waktu itu, aku juga bersembunyi di balik pohon
yang lain." Se Pit Han memberitahukan.
"Jadi"... Saudara kenal orang itu?" tanya Siau Liong agak


Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbelalak. "Ya." Se Pit Han mengangguk. "Aku memang kenal orang itu."
"Siapa orang itu?"
"Juga orang yang akan menemuiku di sini."
"Tidak sudikah Saudara memberitahukan namanya?"
"Setelah bertemu nanti, aku pasti memperkenalkannya padamu."
Se Pit Han tersenyum, kemudian tanyanya, "Ketika memasuki rumah
makan ini, engkau melihat pemiliknya?"
"Aku tidak mengenalnya." Siau Liong menggelengkan kepala.
"Orang yang duduk di tempat kasir itu, aku yakin dia bukan pemilik
rumah makan ini." 53 "Memang bukan dia. Sebab dia tidak akan begitu cepat pulang."
Se Pit Han memberitahukan dengan wajah serius.
"Oh?" Siau Liong tercengang. "Tahukah saudara dia ke mana?"
"Tentu tahu." "Dia pergi berbuat apa?"
"Mengejar orang."
Siau Liong tersentak, air mukanya pun tampak tegang.
"Mengejar siapa?"
Se Pit Han tidak segera menjawab, melainkan cuma tersenyumsenyum,
berselang sesaat, barulah membuka mulut.
"Kenapa engkau tampak tegang?" tanyanya.
"Itu menyangkut mati hidupnya seseorang, bagaimana aku tidak
tegang?" sahut Siau Liong sambil mengerutkan sepasang alisnya.
"Engkau kira dia pergi mengejar Si Kurus?" Se Pit Han
tersenyum. "Apakah bukan?" Diam-diam Siau Liong menarik nafas lega.
"Memang bukan." Se Pit Han tersenyum lagi. "Dia pergi
mengejar orang yang ada janji denganku."
"Oh" Mereka berdua punya dendam?"
"Mereka berdua tidak pernah bertemu, bagaimana punya
dendam?" "Kalau begitu, kenapa dia pergi mengejar orang itu?"
"Karena......" Se Pit Han serius. "Orang itu menyamar engkau,
sengaja memperlihatkan dirinya agar pemilik rumah makan ini
mengejarnya." "Kenapa dia mau menyamar diriku" Apa alasannya?" tanya Siau
Liong heran. "Alasannya"..." Se Pit Han tersenyum-senyum. "Demi menolong
orang." "Menolong siapa?"
"Menolongmu." Se Pit Han memberitahukan. "Sekaligus
menolong si Kurus pula. Engkau mengerti?"
Siau Liong tentu mengerti, orang itu bermaksud baik. Namun ia
tidak kenal orang itu. Kenapa orang itu justru menolongnya" Apakah
orang itu mempunyai tujuan tertentu di balik kebaikan tersebut" Apa
tujuannya" Siau Liong terus berpikir, sedangkan Se Pit Han pun
terus menatapnya dengan penuh perhatian.
"Saudara Hek, apa yang sedang engkau pikirkan?" tanya Se Pit
Han. 54 "Ti..... tidak. Aku tidak berpikir apa-apa," jawab Siau Liong
sambil menggelengkan kepala.
"Tidak?" Se Pit Han menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu,
kenapa engkau melamun?"
"Aku memikirkan teman Saudara itu. Dia menyamar diriku,
tentunya usianya belum begitu tua bahkan juga memiliki ilmu silat
yang tinggi. Ya, kan?"
"Ilmu silatnya memang tinggi, tapi usianya terpaut jauh dengan
usiamu." "Oh?" Siau Liong tertegun. "Usianya sudah tua sekali?"
"Berapa usiamu sekarang, Saudara Hek?" tanya Se Pit Han
mendadak. "Lima belas, berapa usiamu?"
"Tujuh betas." "Lalu berapa usia orang itu?"
"Usianya lima kali usiamu."
"Apa"!" Siau Liong terperangah. "Usia orang itu sudah tujuh
puluh lima?" "Engkau tidak percaya?"
"Aku percaya, tapi"..."
"Kenapa?" "Aku merasa heran, bagaimana orang yang berusia tujuh puluh
lima dapat menyamar diriku" Itu".. itu sungguh tak masuk akal."
"Saudara Hek, pernahkah engkau dengar, dalam Rimba
Persilatan, terdapat seorang tua yang punya julukan Ceng Pian Kui
Bing (Setan Seribu Muka)?"
"Pernah." Siau Liong manggut-manggut. "Orang tua itu memang
ahli merias wajah. Dalam sekejap ia mampu merias wajah yang
berlainan." "Betul." "Apakah dia Ceng Pian Kui Bing?"
"Bukan." Se Pit Han menggelengkan kepala dan melanjutkan,
"Dalam sekejap Ceng Pian Kui Bing memang mampu merubah
wajahnya menjadi beberapa rupa, tapi itu bukan dengan cara merias
wajahnya." "Oh?" Siau Liong tampak bingung.
"Dia memakai kedok kulit manusia." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, orang tua yang menyamar diriku, juga memakai
kedok kulit manusia?"
55 "Ya." Se Pit Han mengangguk, kemudian menatapnya tajam
seraya bertanya, "Saudara Hek, barusan engkau sedang memikirkan
persoalan ini?" Sungguh lihay Se Pit Han. Walau sudah membicarakan lain,
akhirnya tetap kembali pada pokok pembicaraan.
"Jadi Saudara masih tidak percaya padaku?"
"Aku memang kurang percaya, maka"..." Wajah Se Pit Han
berubah dingin. "Saudara Hek, jadi teman haruslah jujur. Kalau
punya kesulitan untuk membuka mulut pada orang lain, itu masih
bisa dimaklumi. Tapi seandainya".."
Walau Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya, Siau Liong
sudah tahu apa kelanjutan ucapan itu, maka wajahnya tampak
kemerah-merahan. "Saudara Se, bolehkah aku mohon tanya beberapa persoalan?"
"Silakan tanya, Saudara Hek!"
"Maaf!" ucap Siau Liong dan bertanya, "Apakah saudara Se
seorang bu lim?" "Boleh dibilang ya, boleh juga dibilang tidak."
"Eh?" Siau Liong melongo. "Aku tidak mengerti, mohon
dijelaskan!" "Keluargaku memang terhitung keluarga bu lim, namun ratusan
tahun hingga kini, tiada salah satu anggota keluarga menginjak ke
dalam bu lim, bahkan tidak mau tahu tentang urusan bu lim."
"Oh?" Siau Liong terbelalak. "Lalu bagaimana selanjutnya"
Saudara Se juga tidak berniat terjun ke dalam bu lim?"
"Itu pesan wasiat leluhur, maka semua keturunan dilarang terjun
ke bu lim, juga tidak boleh tahu menahu tentang urusan itu.
Tentunya aku tidak boleh melanggar pesan wasiat itu."
"Seandainya ada orang bu lim, cari gara-gara dengan Saudara,
apakah Saudara akan tinggal diam?"
"Itu sudah lain," sahut Se Pit Han.
"Saudara Se." Siau Liong tersenyum. "Aku bertanya lagi, orang
tua yang menyamar diriku, apakah teman atau masih terhitung
anggota keluarga Saudara?"
"Dia jongos tua tiga turunan keluargaku."
"Kalau begitu, orang tua itu terhitung anggota keluarga
Saudara?" Se Pit Han berotak cerdas, ia sudah tahu maksud tujuan
pertanyaan Siau Liong, maka ia pun tersenyum.
56 "Walau dia terhitung salah seorang anggota keluargaku, di luar
pesan wasiat leluhur. Oleh karena itu, dia boleh bergerak dalam bu
lim. "Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Kalau begitu,
dia menyamar diriku itu rencana Saudara?"
"Benar." Se Pit Han mengangguk. "Itu memang rencanaku."
"Saudara Se." Siau Liong menatapnya. "Kenapa engkau mau
turut campur dalam urusan itu?"
Pedang Naga Kemala 10 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Pedang Penakluk Iblis 14

Cari Blog Ini