Ceritasilat Novel Online

Pantang Berdendam 2

Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Bagian 2


"Saya juga malu jika ada orang yang tahu bahwa ayah beradu kekuatan dengan Ki Lebai Karat demi supaya saya menang dalam persaingan. Saya juga malu pada bekas luka cakaran di jidat ayah, dicakar oleh Ketua Harimau yang tak bisa ayah tandingi".
"Hei dengar, Pita Loka!" ujar Ki Putih Kelabu dengan nada sedih, Dia duduk di kursi goyang, dan suaranya pun luruh "Jangan kaget, apabila bekas cakaran ini bukannya bekas kuku Ki Karat. Ini bekas cakaran Gumara!"
"Ayah! Jangan memfitnah!" seru Pita Loka.
"Aku tak menggemari fitnah. Harap saja kau rahasiakan hal ini. Demi cintaku padamu, harus kuceritakan hal ini kepadamu. Demi cintaku padamu, justru akulah yang menginginkan Gumara jadi suamimu. Demi keturunan darah keluarga kita akan berkembangbiak, beranak pinak. Tengah malam aku datangi dia. Aku secara jantan meminta kepadanya, agar dia sudi memperisterimu. Tapi harap kau jangan sedih, dia menolak saranku itu!"
Pita Loka terdongak kaget.
"Aku sedih, demi cintaku padamu, Aku malu, demi kehormatanku sebagai ayah, Lalu aku keluarkan semua ilmuku. Kami berkelahi. Namun dia menang. Jadi, aku telah kalah dua kali, anakku!" Pita Loka melihat ayahnya meneteskan airmata. Tanpa dia sadari, betapa pun dia coba bertahan, airmatanya pun ikut berhamburan,
"Ayah salah langkah", ujar Pita Loka dengan pilu.
"Memang aku salah langkah".
"Tanpa sadar, ayah telah menjegal saya", kata Pita Loka.
"Yah, ini terpaksa kau ketahui. Aku harus mengajarmu jujur, terus terang dan hal ini kupupuk dalam jiwamu sejak kecil. Kini kau dan ayahmu sama sedih dan sama malu!"
Pita Loka melompat menyambar tubuh ayahnya, memeluknya "Jangan berkecil hati, ayah. Memang saya pun jadi sedih dan malu karena tindakan ayah yang tergesa-gesa.
Saya akan berusaha untuk menjadi pemenang dalam persaingan merebut hati Pak Gumara".
"Tidak perlu lagi. Persaingan itu sudah tak ada lagi. Dengan perbuatanku yang salah langkah itu, persaingan itu musnah sudah, Dan kini, Harwati yang merupakan satu-satunya pemenang".
Koleksi Kang Zusi "Tidak, ayah", bantah Pita Loka, "Jalan apa pun akan saya tempuh untuk menebus sedih dan malu ini, Jalan apa pun!"
"Lalu apa rencanamu?" tanya Ki Putih Kelabu.
"Kini saya meyakini yang ghaib. Di atas segala yang konkrit dan nyata, ada keghaiban yang tersembuyi, yang mesti dicari mata hati manusia. Saya akan meninggalkan cara konkrit, demi sedih dan malu ini".
Alangkah gembiranya sang ayah.
"Kau akan mencari guru penakluk?" tanya Ki Putih Kelabu.
"Ya". "Alangkah senangnya hatiku! Kucoba mengajarkan, demi mewarisi ilmuku padamu, kau tolak selama ini! Kini kau sendiri menyatakan padaku akan berguru. Boleh ayah tahu kepada siapa kau akan berguru?" "
"Yang terang bukan kepada Pak Gumara Peto Alam. Ayah bilang, Peto Alam adalah harimau yang ketujuh di Kumayan. Tapi saya akan berguru kepada Harimau Yang ke
-19". Mendengar angka yang aneh itu, Ki Putih Kelabu kuatir puterinya sudah menjadi gila.
Sebaliknya, Gumara kini merasa dirinya lebih aman dari dulu. Kalau ibunya bercerita tentang desa Kumayan begitu mengerikan, kini Gumara tidak melihat kengerian itu.
Tapi dia pun sadar, bahwa dia sebenarnya dicintai oleh dua gadis cantik di Kumayan ini. Namun tujuan Gumara ke sini bukan untuk bercinta. Semata-mata memenuhi khayalannya di masa kanak, lalu ingin bertemu dengan Ketua Para Harimau Kumayan, dan kebetulan ditugaskan mengajar matematika ke sini.
Gumara mempunyai kesan,kota kecil kecamatan ini sesungguhnya memiliki bibit-bibit manusia unggul dalam llmu Fisika dan llmu Matematika. Dia berharap, salah seorang daripada bibit unggul itu dapat melanjutkan ilmu kekota agar dia menjadi sarjana dan ilmuwan. Dia telah menguji ketajaman otak bibit unggul ini. Pendeknya semua soal dapat dijawab tangkas oleh Pita Loka.
Dan suatu hari di depan kelas Gumara bertanya pada Pita Loka yang barusan menyelesaikan soalan dalam waktulima menit dari waktu setengah jam yang disediakan.
"Setamat SMP, ke mana kamu akan melanjutan pelajaran?" tanya Gumara.
"Kawin", ujar murid lelaki. Ini membuat seisi kelas ketawa terkakah. Pita Loka biasanya tersipu-sipu malu tapi setuju. Kini dia berubah banyak. Dia yang gemar bercanda dan suka mendebat, berubah menjadi pendiam. Hal itu pun diketahui oleh Gumara.
Koleksi Kang Zusi "Kamu pendiam sekarang, Pita Loka", ujar Gumara.
"Patah hati, Pak", kata murid-murid lelaki. Seisi kelas tertawa terkakah-kakah lagi.
Segera saja Gumara ingat pada kedatangan Pak Putih Kelabu dulu, Yang menyuruhnya melamar puterinya itu. Yang ditolaknya. Yang menyebabkan uji adu tenaga. Yang mungkin saja hal itu diceritakannya pada Pita Loka, sehingga kelincahan Pita Loka yang dulu memikat, kini lenyap.
Hal ini pun diketahui oleh Hura Gatali, sekalipun hanya reka-rekaan saja. Hura Gatali yang bertubuh kekar itu, yang pernah dianggap pahlawan muda setelah berhasil membunuh seekor ular sanca yang panjanguya 15 meter itu, sekarang mencoba mendekati Pita Loka. Dicegatnya Pita Loka sepulang dari sekolah.
"Boleh saya temani kau pulang?" tanya Hura Gatali.
"Tidak". "Wah, mentang-mentang kamu cantik ya, saya ini kau kira pengemis cinta!"
"Masa bodoh!" balas Pita Loka.
"Memang teman kecantikan adalah judes dan angkuh", ujar Hura Gatali.
Pita Loka berhenti sejenak. Ingin saja diludahinya pemuda iseng itu. Lalu dia melanjutkan melangkah. Dan Hura Gatali melanjutkan menggoda.
"Percuma kamu mengharapkan cinta Pak Gurumu. Semua orang tahu, bahwa Pak Gurumu lebih suka pada Harwati. Jadi sebaiknya kamu dengan saya saja", ujar Hura Gatali menggoda.
Pita Loka menghentikan langkah. Dia menatap Hura Gatali. Kali ini bukan muka Hura Gatali yang diludahinya. Tapi tanah bumi yang dia ludahi sembari memaki
" Lelaki tak tahu sopan santun!"
Dan Pita Loka melangkah bergegas pergi. Dan Hura Gatali terdiam malu. Wajahnya merah padam sampai Pita Loka hilang di simpang jalan.
Hura Gatali geram. Dilihatnya tanah bumi itu. Di situ masih tersisa air ludah Pita Loka. Niat jahat pun memperangkap batinnya. Dikoreknya tanah yang terkena ludah Pita Loka. Lalu dibungkusnya tanah itu dengan sapu-tangan, Dan dengan langkah dendam, Hura Gatali langsung menuju rumah Ki Lading Ganda.
"Saya menyerah sekarang, Ki Lading Ganda", ujar Hura Gatali.
"O, saya faham. Kamu menyerah untuk belajar ilmu pada saya sebab kamu membutuhkan sesuatu. Dulu, ketika jadi pahlawan Kumayan karena berhasil membunuh ular sanca raksasa, saya sendiri menganjurkan padamu untuk mempertinggi keberanianmu dengan belajar padaku. Kini kamu menyerah, tentu ada sebabnya".
Koleksi Kang Zusi "Ya, tentu ada sebabnya. Saya menyerah untuk belajar dengan tuan, tapi dengan syarat agar tuan berikan bukti kepandaian tuan padaku lebih dulu", ujar Hura Gatati seraya mengeluarkan saputangan pembungkus tanah yang berisi bekas ludah Pita Loka. Digelarkannya saputangan yang berisi tanah basah itu. Dan berkatalah pemuda itu
"Selagi ludahnya belum kering, saya minta anda kerjakan puteri Ki Putih Kelabu.
Namanya Pita Loka, dia hina saya dan dia ludahi bumi. Tak ada malu paling besar selain penghinaan ini. Karena ludah ini datang dari mulut, dapatkah anda rusak mulutnya yang cantik itu?"
Ki Lading Ganda tersenyum senang. Dia suruh Hura Gatali menghampirinya. Setelah Hura Gatali mendekat, dibelainya kepala pemuda ganteng itu, Dia berbisik; "Sekarang aku senang. Karena semua anak harimau di desa Kumayan ini perempuan termasuk semua anakku, kini ada yang akan mewarisi ilmuku. Aku yakin dapat merusak mulut yang cantik itu menjadi buruk!"
Malam itu juga, Hura Gatali diminta untuk menyaksikan pekerjaan itu. Ki Lading Ganda duduk bersila di kamar tempat dia selalu bersemedi. Hura Gatali di sampingnya. Lalu Ki Lading Ganda mencabut dua goloknya sekaligus mengadu mata golok itu sehingga terdengar bunyi disertai kilatan api. Dan golok itu seketika itu juga dari dua menjadi satu. Kalau tadi mata golok itu cuma satu, kini mata golok itu menjadi berganda, muka dan belakang, tapi gagangnya pun menjadi kembar.
Golok dua yang menjadi satu itu pun ditaruh Lading Ganda di atas tikar. Lalu dia berkata pada Hura Gatali "Taruh buah pepaya itu di depan golokku ini, Hura".
Hura menaruh buah pepaya itu.
"Jika pepaya ini kepala si Pita Loka anak si Putih Kelabu anak si Mayang Saga anak si Peto Gaharu . . . coba kamu tunjuk saja di mana mulut Pita Loka!" Hura Gatali menunjuk kira-kira tempat mulut Pita Loka.
"Rupanya dari mulut ini keluar ludah penghinaan Pita Loka kepada Hura Gatali", ujar sang guru seraya memungut tanah bekas ludah Pita Loka dari saputangan, lalu memolesnya pada buah pepaya yang ditunjuk Hura Gatali tadi.
Ujung golok lalu ditusuknya sedikit pada tepi bibir imajiner itu, dan getah pepaya itu mulai menyembul. Lalu keluar.
"Beginilah jadinya mulut Pita Loka yang menghinamu", ujar sang guru. Hura Gatali senang seketika.
"Itu semacam koreng bernanah ya tuan?" tanya Hura Gatali.
"Dan tidak akan sembuh", ujar Ki Lading Ganda.
"Tapi jika ayahnya Ki Putih Kelabu lalu minta pertolongan Ki Lebai Karat, bagaimana pak?" tanya Hura Gatali.
Koleksi Kang Zusi "Dia takkan mau, itu merusak gengsi. Mereka berdua merasa sama berilmu tinggi", ujar Ki Lading Ganda. Lalu, bahu Hura Gatali ditepuknya.
"Kapan saya bisa melihat buktinya, bahwa mulut Pita Loka berkoreng dan bernanah ini, pak?" tanya pemuda ganteng itu.
"Besok pagi mampir saja ke rumahnya. Cari alasan untuk bertemu muka. Dan kau berhak menghina mulutnya yang korengan dan bernanah itu", ujar sang guru.
Ketika Hura Gatali tergesa hendak pergi, Ki Lading Ganda menyergap tangannya,
"Kapan kamu akan belajar padaku?"
"Jika ilmu bapak sudah saya saksikan", sahut Hura Gatali.
"Memang kamu calon jagoan", kata Ki Lading Ganda, "Sebab setiap jagoan senantiasa punya kesan angkuh yang sebetulnya harga diri!"
Pada saat yang sama di tengah malam itu, Pita Loka merintih kesakitan. Dia merasa mulutnya gatal. Ketika dirabanya mulutnya, terasa melendung bagai bisul. Cepat Pita Loka melompat menuju kaca hias antik. Dan dilihatnya wajahnya di kaca itu. Melihat lendungan bisul di sekitar mulutnya, Pita Loka bukan menjerit. Dia hanya menahankan rasa gatal itu, dan seketika itu juga tahu siapa yang mengerjakan ini.
Dia bersitenang sejenak. Rasa gatal dia lawan. Rasa takut dia singkirkan. Dan ketika sebuah koreng (bisul) itu pecah, nanah pun keluar. Pita Loka kembali ke kaca. Dia lihat nanah busuk itu menetes sedikit demi sedikit. Dan ketika pagi ayahnya bangun, Pita Loka bukannya mengadu pada sang ayah. Dia tunggu sampai reaksi ayah muncul.
Betul. Ayahnya terpana sejenak melihat mulut anaknya yang dihiasi koreng bernanah.
"Aku tahu siapa yang membuatku. Tapi kuharap, jangan ayah membantuku", ujar Pita Loka.
"Bagaimana kamu ini, Pita" Aku sudah dapat menerka, bahwa ini diperbuat oleh si Hura Gatali bin DangSamar bin Abdi Kumat bin Taja Gugu. Dan dia pasti minta kepandaian si Lading Ganda, sebab Lading Ganda bersimpati pada anak muda itu ketika berhasil membunuh ular sanca tempohari. Nah, masihkah kau keras kepala tidak minta bantuanku?"
"Saya dapat mengatasinya sendiri", ujar Pita Loka. Setelah melayani ayahnya sarapan pagi, Pita Loka pergi ke rumah dr. Kadir. Dokter itu belum bangun. Begitu dia bangun dan melihat mulut Pita Loka, sang dokter risau.
"Saya minta pak dokter menyuntikkan obat antibiotik", kata Pita Loka.
"Ini bukan koreng biasa", kata sang dokter.
"Persetan dengan ilmu setan, Pendeknya saya minta dokter menyuntik saya dengan obat anti biotik beserta obatnya", segera Pita Loka menaruhkan uang di atas meja.
Setelah Pita Loka disuntik, lalu dokter memberikan kapsul anti biotik pada Pita Loka Koleksi Kang Zusi
seraya berkata "Semoga cepat sembuh".
Pita Loka ketika keluar dari pekarangan rumah dokter menjadi tontonan tetangga.
Mereka saling berbisik, "Kenapa dia tidak berobat pada ayahnya saja" Bukankah itu mudah disembuhkan?"
Setiba di rumah, Pita Loka kembali dibujuk ayahnya, Tapi Pita Loka menolak.
Pita Loka teramat tenang. Rasa gatal ditahannya. Dia mencoba penyakit ilmu teluh ini dapat diatasi secara akal sehat saja. Namun tekadang dia tergoda untuk belajar ilmu sakti pada seorang guru yang jauh melebihi enam harimau Kumayan tersohor.
Cuma ketika dia digoda untuk itu, hatinya bertanya "Tapi apa ilmu sakti begini di zaman moderen mampu melawan bom kimia?"
Lalu dia persiapkan buku-buku sekolahnya. Ketika akan berangkat, Ki Putih Kelabu menegurnya, "Pita, coba kau menghadap pada ayah".
Pita Loka berbalik dan menghadap. Sang ayah tampak begitu sedihnya melihat puterinya yang cantik berubah jadi buruk.
"Kenapa kau masih akan ke sekolah, padahal mukamu . . . . "
" . . . Mukaku jelek" Ah, kecantikan dan keburukan itu pun relatif. Seorang gadis cantik setelah usianya tua pun jadi jelek", sahut Pita Loka, "Saya akan berangkat sekolah sekarang!"
"Pita!" "Ya ayah?" "Apa nanti pembicaraan orang-orang mengenai kau?"
"Justru itu yang saya harapkan. Mereka membicarakan saya. Dan mereka tahu, saya tidak minta bantuan ayah. Lalu berobat pada dokter Kadir", kata Pita Loka.
"Itu akan membuatku jadi malu". kata Ki Putih Kelabu "Setidaknya mereka menganggap ilmuku lebih rendah dari ilmu si Lading Ganda, sehingga tidak mampu mengobati teluhan dia".
"Biarlah tiap orang Kumayan membicarakan itu, Agar mereka yakin, saya tidak bersedia menerima warisan ilmu ayahku", kata Pita Loka.
Susah bagi Ki Putih Kelabu untuk marah pada puterinya. Karena dia amat begitu sayang.
Setiba di sekolah, Pita Loka jadi tontonan murid -murid. Dia santai saja. Tapi Harwati memegang kedua bahunya "Hai, kamu diteluh seseorang!"
"Ya". Koleksi Kang Zusi "Minta bantuanlah pada ayahmu!" ujar Harwati.
"Aku tidak membutuhkan bantuan siapa pun".
"Atau kau sedia jika saya yang membantumu?" tanya Harwati.
Pita Loka tersenyum "Alangkah luhurnya budimu, Wati!"
"Kau bersedia kuobati,sekarang juga?" tanya Harwati.
"Aku menghormati kesucian hatimu, Tersentuh hati nuranimu melihat temanmu menderita teluh musuh. Alangkah baiknya kau, Harwati", ujar Pita Loka.
"Tapi kau menolak kuobati?" tanya Harwati.
"Ya". Ketika Pita Loka memasuki kelas, semua biji mata tertuju pada mulut Pita Loka. Dan hari itu tidak ada jam pelajaran matematika. Tapi ketika jam pelajaran ilmu Fisika dan Pak Guru Gumara memasuki kelas, murid-murid berkata "Pak, obatilah mulut Pita Loka".
Barulah Gumara sempat melihat gadis manis yang kini sekitar bibirnya ditumbuhi koreng. Wajahnya tenang. Tanpa kelihatan satu reaksi mengasihani. Ia seakan-akan sedang diuji seluruh kelas untuk bersikap.
"Saya sudah pergi berobat pada dokter Kadir, pak. Sudah disuntik", kata Pita Loka.
"Kenapa tidak berobat pada ayahmu sendiri?" tanya Parlindungan.
"Ayahku bukan seorang dokter", sahut Pita Loka yang. membuat seluruh kelas heboh tertawa.
Tetapi, seharian mengajar itu, Guru Gumara risau. Dia kuatir apabila dia obati Pita Loka, akan muncul dua macam isyu. Isyu pertama adalah, dia akan dianggap dukun sakti. Isyu kedua, mungkin dia dianggap mencintai Pita Loka.
Ketika Pita Loka pulang ke rumah, ayahnya tak didapatinya. Tapi jelas, ayah tampaknya sudah makan siang,Ada bekas tanda-tanda sudah makan siangnya ayah.
Tapi kemana pula ayah pergi" Pita Loka menduga, ayah akan menempuh jalan sendiri, demi cintanya padaku, mencoba mengembalikan sakit teluh ini kepada pengirimnya.
Sehabis makan siang, Harwati muncul. Dia berkata ramah Ayoh ikut aku ke rumahku.
"Aku tahu kau risau melihat keadaanku. Dan kau akan minta bantuan ayahmu, sebab dia Ketua Harimau Kumayan. Terimakasih atas simpatimu. Aku dapat sembuh sendiri". Harwati pamit pada Pita Loka. Setiba di rumahnya, kejadian yang dialami Pita Loka diceritakannya pada ayahnya.
Koleksi Kang Zusi Ki Lebai Karat menjawab singkat "Kalau memang Pita Loka itu turunan syah Ki Putih Kelabu, dia akan sembuh sendiri".
"Apa sikap ayah jika terjadi pertarungan antara dua harimau?"
"Maksudmu pertarungan Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda?" tanya Ki Karat.
"Jadi ayah mengetahui, teluh itu dibuat oleh Lading Ganda?"
"Ya, jika pun terjadi pertarungan, itu biasa di antara kami".
Matahari mulai menggelincir. Tetapi dua lelaki tua itu masih saja bertarung sejak waktu asyar tadi. Jadi sudah dua jam lebih dua jagoan itu beradu tenaga. Tubuh mereka sudah bercampur tanah lumpur. Sebagian lagi menyelip daun-daunan.
Memang, Bukit Anggun konon tempat berkelahinya harimau-harimau Kumayan.
Sebagian sisi bukit itu berlumpur tempat turunnya bangau-bangau. Kini, menjelang magrib, Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda masih saja bertarung. Pertarungan itu mungkin jadi lama karena tanpa senjata. Juga mereka sudah berjanji secara satria, bahwa mereka satu sama lain tidak akan menjelma menjadi harimau.
Kini, nafas kedua lelaki tua itu mulai sama sesak.
Tanaman liar berupa pohonan kecil setinggi badan umumnya sudah rusak, Biarpun lelah, kedua jagoan itu tak seorangpun yang mau mengusulkan dihentikannya perkelahian itu. Dengan sempoyongan, Ki Putih Kelabu maju lagi menuju Ki Lading Ganda yang juga melangkah sempoyongan.
Ki Putih Kelabu mengambil napas dalam-dalam, lalu menghantamkan tinjunya ke dada Ki Lading Ganda. Lading Ganda terlambat mengelak. Dia terpelanting jungkir balik sampai ke lumpur. Lain Ki Putth Kelabu menghampirinya. Ketika Ki Lading Ganda merasa sulit untuk ke luar dari lumpur, waktu itulah Ki Putih Kelabu menghantam leher Ki Lading Ganda dengan ujung kakinya, Namun dia sendiri berteriak kesakitan dan jatuh terhempas di tepi lumpur.
Ki Putih Kelabu berusaha bangkit. Hampir tegak, dia jatuh lagi.
Ki Lading Ganda pun berusaha untuk bangkit sekeluarnya dari lumpur. Tapi dia tidak berdaya, lalu jatuh pula.
Kini kedua jagoan itu sama menelentang dalam jarak dekat dalam lelah dan sesak napas. Mata mereka menatap langit. Ki Putih Kelabu berkata dengan napas sepotong sepotong "Kau belum juga mau menyerah?"
"Belum". "Bangsat kau!"teriak Ki Putih Kelabu.
Langit semakin merah jingga, pertanda malam akan tiba. Ki Putih Kelabu berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Begitu dia berdiri, setelah tiga langkah dia berjalan, Koleksi Kang Zusi
dilangkah keempat dia berteriak seraya mencuatkan tubuhnya ke udara, lalu kedua kakinya menghentak ke perut Ki Lading Ganda.
"Adddduuuuuh!" teriak Lading Ganda menahankan nyeri perutnya.
"Mampus kau!" seru Ki Putih Kelabu.
Serentak dengan itu, setelah mengumpulkan tenaga, Lading Ganda bangkit yang langsung mengejar dan menubruk tubuh Ki Putih Kelabu dengan sabetan gasingan. Ki Putih Kelabu tegak teguh berdiri, lalu setelah itu dia jatuh tersungkur. Ketika dia menelentang untuk bangkit, dari pandangan matanya di udara ada dua kaki yang mau menghentak perutnya. Cepat dia berkelit berguling dan didengarnya suara teriakan,
"Aduh kakiku patah!"
Memang kaki Ki Lading Ganda patah seketika.
Ki Putih Kelabu hanya menatapnya saja dengan menyeringai, lalu dia berucap "Patah kakimu sudah cukup bagiku."
Lalu Ki Putih Kelabu pulang dengan hati yang sudah puas. Sewaktu dia melintasi rumah Gumara, ia berfikir sejenak. Perlukah aku mampir" Dia merasa perlu.
Begitu dia mengetuk pintu dan terbuka, tampaklah olehnya Gumara tercengang, Gumara bertanya "Kenapa bapak mandi lumpur dan darah ?"
"Aku ingin pulang dalam keadaan bersih,bolehkah aku numpang mandi di sini?"
"Tentu." "Boleh aku memetik daun sirih di pekaranganmu itu . .sementara itu aku minta tolong dengan sembah 10 jari agar kau sudi menjerang air panas?"
"Tentu, tuan Guru", ujar Gumara dengan nada hormat. Gumara segera menjerang air panas, sementara Ki Putih Kelabu memetik daun sirih. Setelah penuh dua kantong baju Cina, sirih itu dibawa masuk. Dan langsung saja dimasukkan ke jerangan air. Dia membuka pakaiannya, kecuali celana dalam. Gumara masuk ke kamar.
Tapi dia tak menyaksikan bagaimana Ki Putih Kelabu berbuat sesuatu di depan tungku. Dia berkonsentrasi dengan mantera " Panas api panas matahari panas kau tungku panas kau tungku panas matahari ".
Jerangan air berisi daun sirih itu menggelegak mendidih. Lalu dia basuh luka-luka di tubuhnya dengan airpanas bercampur daun sirih yang jadi hancur macam bubur. Baru kemudian dia mandikan seluruh tubuhnya. Tiba-tiba Ki Putih Kelabu mendengar suara Gumara "Pak, ini pakaian untuk salin, pakaian Cina saya dan celana batik saya.
Semoga muat di tubuh bapak."
Aduh betapa senangnya hati si tua dengan penghormatan itu. Apalagi baju Cina maupun celana batik itu begitu pas. Dia ke luar dari kamar mandi dia berkata "Pita Loka mengira aku barusan kembali dari pesta."
Koleksi Kang Zusi Setiba Ki Putih Kelabu di rumahnya. dia mengharapkan dipuji oleh Pita Loka karena berpakaian rapi. Tapi sekonyong yang muncul malah pertanyaan "Di mana ayah berkelahi dengan Ki Lading Ganda ?"
Sembari duduk menghempas, Ki Putih Kelabu terpaksa mengaku; "Kami bakuhantam di Bukit Anggun"
"Ayah menang?" "Dia patah kaki. Aku tentu menang."
"Ayah menang, tapi ayah tidak menaklukkan dia. Dia tidak menyerah, bukan?"
"Betul." "Lalu . ,. .. baju Cina yang rapi ini tentulah ayah pinjam pada Guru Gumara", ujar Pita Loka.
"Dari mana kau tahu, heh?"
"Dari huruf G di kantong".
Ki Putih Kelabu langsung duduk bersila pada tikar permadaniBagdad , menyantap makan malam.
"Masih gatal koreng teluh kamu itu?"
"Tidak lagi, ayah."
"Besok akan sembuh. Percayalah. Biarpun dia tidak menyerah, patah kaki itu bukti kekalahannya. Kami harimau yang berenam di Kumayan ini. seburuk-buruk laku kami, masih menghargai kelebihan lawan. Dengan patah kaki, kini pun dia mengakui kelebihanku daripadanya. Pengakuan itu mengurangi mantera-manteranya sewaktu dia menteluh kau. Kurasa besok pagi ketika kau bangun, kau dapati wajahmu sudah cantik kembali!"
Pita Loka terharu. Sewaktu dia menunggui ayahnya yang makan dengan lahap, airmata gadis jelita itu pun berluruhan. Lalu airmata itu disaksikan Ki Putih Kelabu.
Tak ada bicara di antara keduanya. Tapi luruhnya airmata sang ayah, membuktikan, jalinan kasih antara anak dan ayah maupun sebaliknya amat indah. Seindah angin yang menyanyi sembari mengipas keringat Ki Putih Kelabu yang akhirnya kekenyangan makan.
Malam itu Pita Loka menyukuri nikmat kehidupan
"Ya Tuhan, aku bersyukur punya ayah seperti Ki Putih Kelabu yang selalu sayang padaku. Hanya padamu jua aku bersyukur dan memohon kesembuhan."
Lalu dia memicingkan mata, tertidur pulas. Paginya ketika dia membuka mata, Koleksi Kang Zusi
pertama teringat kembali ucapan ayahnya bahwa wajahnya akan sembuh. Ketika dia meraba mulut dan sekitarnya, dia tak merasa ada bentolan-bentolan koreng teluh.
Cepat dia melompat menuju kaca hias. Dan dia berucap lagi dengan berlinangan airmata, "Terimakasih padaMu Tuhanku, aku kausembuhkan."
Ketika sarapan pagi, sang ayah berkata "Kini sudah waktunya kau menyediakan diri berguru pada ayahmu."
"Usulan yang baik. Tapi lebih baik lagi jika ayah mengusulkan supaya saya berguru pada Harimau Ke Sembilan Belas, bukan Harimau ke Dua ayahku sendiri."
"Tapi si Wati berguru juga pada Ki Karat", ujar sang ayah.
"Dia berbeda dengan saya", kata Pita Loka.
Dan Harwati pun kaget ketika Pita Loka memasuki pekarangan sekolahnya dalam keadaan cantik kembali.
"Ini hasil kerja keras ayahmu membela anak. Kudengar dia berbakuhantam selama tiga jam di Bukit Anggun melawan Ki Lading Ganda", ujar Harwati.
"Benar. Dan ayah menang."
"Tadi pagi ketika kutemui di jalan, Ki Lading Ganda kakinya pincang,"
"Itu hasil pekelahian seru itu", ujar Pita Loka, "Tapi tawaran ayah agar aku mewarisi ilmunya, aku tolak. Aku ingin jadi penerbang pesawat jet, bukan jadi harimau. Beda dengan kau, yang belajar mantap dari ayahmu, Sudah sejauh mana ilmu yang kau dapat ?"
Harwati bangga menjawab, "Taruhlah tumpukan bara panas, aku akan berjalan di atasnya dengan telapak telanjang."
"Itu Ilmu Nabi Ibrahim", kata Pita Loka.
"Adabaiknya kau belajar pada ayahmu", anjur Harwati.
"Aku ingin belajar ilmu harimau pada Guru Gumara", kata Pita Loka.
Seketika itu juga Harwati ternganga, lalu bertanya "Sudah kau kemukakan maksudmu?"
"Tidak, aku hanya sekedar mengujimu saja, kau cemburu atau tidak pada ucapanku."
"Aku cemburu", kata Harwati.
"Apa alasan cemburumu padaku?"
"Kurasa dia lebih sayang kepadamu", kata Harwati.
Koleksi Kang Zusi Pita Loka kaget "Jangan kau bohong."
"Buktinya kemarin sore dia minta ayahku agar menyembuhkan sakit terkena teluh yang kau derita. Dia sendiri meminta pada ayahku, apakah itu bukannya bukti bahwa dia lebih cinta padamu daripada pada saya?"
Pita Loka melongo. Dan rupanya, ucapan Harwati itu telah melecut kembali semangat Pita Loka untuk memenangkan persaingan. Ketika bubaran sekolah, Pita Loka menyamperi Guru Gumara dan berkata "Bapak tidak pulang naik sepedakan ?"
"Ya, betul.Ada apa?"
"Boleh saya berjalan pulang seiring dengan bapak?" tanya Pita Loka,
"Boleh saja", sahut Gumara.
Harwati meneliti dari jarak jauh sewaktu Guru Gumara berjalan seiring dengan Pita Loka. Dia ingin melihat akhir perjalanan itu.
Ketika membelok ke jalan kecil, Harwati juga ikut membuntut dari jarak jauh. Pita Loka dengan gugup berkata "Pak, besar terimakasihku pada Bapak, yang membuang waktu meringankan langkah ke rumah Guru Lebai Karat agar saya yang terkena teluh diobati beliau."
"Saya?" Gumara terheran.
"Jadi bukannya kemarin sore bapak kesana ?"
"Saya ada di rumah memperbaiki sepedaku yang suka dicakar kuku", kata Guru Gumara.
"O,maafkan. Jadi bapak bukan kesana ", kata Pita Loka.
"Untuk apa saya kesana . Saya tidak akan kedukun selagi ilmu kedokteran dapat menolong diriku. Ketika saya muntah darah, saya ke dokter Kadir, murid ayahmu itu." Pita Loka sulit untuk menyembunyikan malu mukanya. Dia tahu Harwati membuntuti dari belakang tadi. Rupanya dia ingin melihatku malumuka.
"Baiklah pak, kita pisah di sini", ujar Pita Loka.
Pita Loka melangkah berbalik agar dia dapat bertemu dengan Harwati. Begitu dia berpapasan, Pita Loka langsung menuding "Kamu . . . . si cantik busuk!"
Pada malam itu juga, mengingat betapa dongkolnya dia pada Harwati, Pita Loka ingin berbicara resmi dengan ayahnya.
"Ayah, katakan padaku, siapa Guru Ayah?" Ki Putih Kelabu tentu saja gembira.
Koleksi Kang Zusi "Kau ingin belajar?"
"Saya ingin belajar. Tapi tidak menuntut ilmu pada ayah, Katakan padaku Guru Ayah."
"Guruku Harimau Tunggal", ujar Ki Putih Kelabu.
"Guru dari enam harimau di Kumayan ini ?"
"Benar". "Tapi setelah mendapatkan ilmu dari Harimau Tunggal, lalu kalian yang berenam mengembangkan ilmunya sendiri-sendiri."
"Begitulah jalan yang kami tempuh", kata Ki Putih Kelabu.
"Tunjukkan padaku di mana Harimau Tunggal berada", kata Pita Loka.
"Kenapa?" "Bukankah di Kumayan baru ada enam harimau" Aku akan menjadi Harimau Yang Ketujuh ", ujar Pita Loka.
Mendengar ucapan puterinya itu, Ki Putih Kelabu bukan bersemangat. Tetapi beliau menyesali "Sayang kamu terlambat, nak. Harimau yang ke Tujuh itu sudah hadir dan hidup di Kumayan ini."
"Siapa?" "Kau sudah tahu".
"Siapa, ayah?" Pita Loka agak memaksa.
"Guru matematikamu itu. Guru Gumara Peto Alam", ujar sang ayah.
Pita Loka tertawa mencemooh "Tidak mungkin. Dia tak meyakini ilmu yang ghaib-ghaib. Sama halnya dengan saya sebelum saya terperangkap dua tiga kali untuk membuktikan ilmu nyata lebih tinggi dari ilmu tak nyata."
Putih Kelabu dalam kesulitan. Dia kenal benar puterinya ini keras kepala. Tapi sikap keras kepala ini cukup sebagai modal.
"Lewatilah Bukit Anggun. Jika tiba dibukit itu, kau pandang ke timur. Di situ ada satu bukit lagi, namanya Bukit Kerambil. Disana ada guru yang khusus mengajarkan silat kera. Lalu kau lewati lembah di bawahnya untuk sampai kepada Bukit Cangang, di mana di situ kau akan menemukan ahli-ahli sihir yang membikin orang tercengang-cengang. Semua bukit itu ada anaknya, kecuali sebuah bukit terakhir, Bukit Tunggal.
Disana ada sebuah guha. Di situ ada seorang lelaki tua pertapa. Beliaulah Harimau Tunggal. Tapi .....?"". apakah kau sanggup, menempuh jarak itu dengan syarat berpuasa siang malam" Seluruhnya 40 hari baru kau akan tiba disana . Beliau tentu Koleksi Kang Zusi
akan gembira apabila kau minta diajari ilmu harimau, untuk pelengkap Harimau Yang Enam di Kumayan. Beliau sudah lama berharap mempunyai murid wanita, tapi tak ada yang ke sini, Apakah kau berani sendirian ?"
"Berani", ujar Pita Loka dengan mantap.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Ki Putih Kelabu.
"Sekolah untuk mendidik orang jadi pandai, tapi bukan mendidik bagaimana mengatasi dibikin malu orang.
Tekad Pita Loka semakin berkobar, ketika suatu pagi dia pergoki Harwati barusan saja ke luar dari rumah Guru Gumara. Kobaran itu tak lain dan tak bukan adalah tujuan untuk berguru kepada Harimau Tunggal yang tempat pertapaannya adalah di BukitTunggal. Pita Loka merasa pedih hatinya karena dia telah dipotong kompas oleh Harwati secara kurang jujur. Hatinya berkata "Suatu ketika, aku akan membalas dendam."
Karena cemburu butanya itu, setiba Harwati di sekolah, Pita Loka mencegatnya.
Matanya bemyala, nafasnya sesak. Dia tidak lagi menggunakan akal sehat yang dia agungkan selama ini. Dia langsung main todong tanya "Hai, sejak subuh atau sejak semalam kamu di rumah Guru Gumara ?"
Harwati tahu apa maksud pertanyaan itu. Karena itu dia cuma berkilah, sekedar memanaskan hati Pita Loka, dengan jawaban; "Itu rahasia pribadi."
"Kau sudah melakukan persaingan tak jujur, Wati", ujar Pita Loka.
"Itu wajar saja,kan " Kurasa, aku sah yang pertama jatuh cinta dengan pandangan pertamaku. Jadi aku berhak menghalangi siapapun untuk mencintai dia, dengan cara apapun. Kejujuran dalam bercinta hanya bagi dua insan yang bercinta saja, kepada siapapun di luar yang berdua, boleh saja kita berdusta. Dusta itu halal demi eratnya pertalian hidup."
"O, begitu falsafahmu ya?" Pita Loka mulai panas.
"Kau jangan coba adu tenaga denganku. Injak dulu olehmu bara panas dengan telapak kaki telanjang, nanti baru kau berhak melawanku", ujar Harwati.
Ucapan Harwati semakin memperteguh tekad Pita Loka untuk mendapatkan gelar Harimau. Gumara tak berhak untuk mendapatkan gelar Harimau Yang Ketujuh, sebab dia bukan orang aseli Kumayan, fikirnya. Aku akan mendahului dia sebelum penduduk Kumayan menobatkannya sebagai harimau terakhir di negeri ini.
"Berani kamu menginjak bara api?" tanya Harwati menantang.
Pertengkaran itu dekat pagar. Kebetulan ada orang merokok di warung. Harwati meminjam rokok orang itu dan mendemonstrasikan ilmunya. Te!apak kakinya yang bersih kemerahan itu, disundutnya dengan api di ujung rokok. Perlahan, perlahan, dan dengan perlahan api itu padam. Harwati langsung berkata "Lihat, api padam, tapi tak Koleksi Kang Zusi
ada bekas melepuh atau memar di permukaan telapak kakiku. Kau mau coba seperti yang kulakukan tadi?"
Pita Loka jadi malu, kuatir dia akan gagal.


Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sedih tanpa sepatah kata pun, dia masuk kelas. Dalam kelas, pelajaran guru-guru lain, diperhatikan dengan tekun. Terutama ketika ibu Wamiri mengajar mata pelajaran Sejarah. Pita Loka bertanya "Apakah ibu pernah mendengar nama Harimau Tungga!?"
"Siapa itu, Pita ?"
"Dia seorang pahlawan besar. Apa tercatat dalam sejarah, Bu?"
"Kita kurang mengenalnya. Mungkin dia pahlawan kecil, pahlawan lokal".
"Memang seorang Pahlawan, tidak selalu mesti terkenal. Ketika patroli Belanda akan menyerbu desa Kumayan, pahlawan tak dikenal Harimau Tunggal membiarkan tank-tank musuh itu lewat, Lalu dirubahnya pandangan mata Belanda itu, sehingga semuanya Jatuh masuk tebing. Ketika itu orang berfikir cuma suatu kecelakaan, Bu Guru. Dan Harimau Tunggal tidak menceritakan kisah kepahlawanan itu kecuali pada ayah saya. Maka ia tak dikenal, dia dianggap sebagai pahlawan lokal. Padahal 20 tank musuh yang masuk jurang, Bu!"
"Terimakasih atas keteranganmu, Pita. Tapi ada pertanyaan lain sejalan dengan mata pelajaran yang barusan ibu berikan pada kalian?"
"Adalagi, Bu", ujar Pita Loka.
"Silahkan, Pita!"
"Guru tidak pernah disebut oleh sejarah, Karena itu bisa saja seorang Hitler yang tak bermoral diejek-ejek oleh sejarah. Tapi guru yang tak bermoral tak pernah diejek oleh Sejarahkan Bu?"
"Siapa guru yang tak bermoral, Pita?" tanya Bu Wamiri.
"Yaitu guru yang bermain cinta dengan murid perempuan", ujar Pita Loka.
Seisi kelas tertawa berderai, dikira Pita Loka melucu. Padahal wajah Pita Loka tetap saja geram. Dan dia tetap saja berwajah geram sewaktu Guru Gumara memasuki kelas. Seperti biasa, dia mengembalikan buku-buku PR yang sudah beliau periksa.
Pita Loka menerima buku PR-nya, dan tentu dapat angka 10. Kemudian, seperti biasa, Gumara berkata, "Kalian akan bapak berikan rumus baru."
"Lagi-lagi rumus", Pita Loka menggerutu.
"Siapa yang menggerutu itu?" tanya Gumara ramah.
Ketika dia menoleh mau melihat yang mengacungkan tangan, Gumara kaget. Sebab Koleksi Kang Zusi
selama ini Pita Loka paling getol dengan urusan rumus.
"Hai, koq kamu tiba-tiba seperti anti matematika?" tanya Gumara.
"Karena matematika tunduk pada rumus, maka matematika tidak mengenal moral.
Jadi saya berpendapat, matematika adalah musuh manusia", ujar Pita Loka. Gumara tenang, lalu berkata "Kalau tak suka, silahkan ke luar."
Pita Loka bukannya sedih diusir dari dalam kelas. Malahan dia santai ke luar kelas.
Dan Gumara dengan tenang melanjutkan mengajar.
Tapi lebih dulu dia memberi komentar "Saya kagum pada orang pintar. Tapi saya tidak suka pada orang kebelinger. Orang pinter sering kebelinger. Tahu kamu apa arti kebelinger" Inilah rumusnya."
Lalu Guru Gunnara menulis rumus matematikanya di papan tulis; 0 = 0
Barulah beliau mengajar rumus yang dia janjikan tadi. Hal ini tidak dibicarakannya kepada Dewan Guru yang biasanya duduk ngobrol pada jam istirahat. Tetapi keesokan harinya, ketika Guru Gumara memasuki kelas, dia melihat ada tulisan di papan tulis
MATEMATIKA = TANPA MORAL TANPA MORAL = MUSUH MANUSIA
MATEMATIKA = MUSUH MANUSIA
MUSUH MANUSIA = NOL (0) MATEMATIKA = NOL (0) NOL = NOL 0 = 0 Belum pernah Gumara marah dengan wajah merah padam. Kali ini wajahnya merah padam. Dia langsung menuding PitaLoka "Kamu yang membuat rumus konyol itu?"
"Betul, pak. Apa hukumannya kali ini?" tanya Pita Loka.
"Saya akan mengusulkan pada Dewan Guru supaya kamu dipecat. Ini kelas, bukan ruang sidang DPR, mengerti ?"
"Saya tidak mengerti", ujar Pita Loka, "Kalau matematika saya mengerti Pak. Tapi mengerti bukan berarti setuju."
"Kalau kamu tidak setuju dengan kurikulum, silahkan minta berhenti." kata Gumara.
"Saya tak akan minta berhenti. Saya lebih suka dipecat", ujar Pita Loka.
Gumara menahan geram. Lalu dengan tenang beliau berkata "Keluar kamu."
Tapi dengan tenang pula Pita Loka ke luar kelas. Juga dengan tenang ketika dia menerimasurat pemecatan dari Kepala Sekolah yang disepakati oleh Dewan Koleksi Kang Zusi
Guru.Surat itu diserahkannya pada ayahnya. Ki Putih Kelabu hanya menggeleng-gelengkan kepala "Aku tahu. yang kau benci bukan ilmu matematikanya. Tapi Gumara, guru matematikanya.
"Kenapa kau berubah picik?" Pita Loka tahu ayahnya marah, sekalipun berkata lembut. Tapi semula dia kira, pemecatannya itu membuat ayahnya berpihak padanya.
Bukan pada Gumara, Maka dengan hati yang luluh, Pita Loka lari ke kamar, dan membanting diri ke kasur.
"Yang membuat kau merasa begini, adalah soal jodoh. Soal yang ghaib, yang cuma Tuhan Maha Tahu. Ayah tidak menyangka, kamu begini gila mencintai Gumara.
Padahal ada pemuda tampan dan gagah, yang dulu begitu baik, yang mencintaimu, koq kamu tolak cintanya" Apakah kau mencintai Gumara?"
"Tidak, saya membencinya", sahut Pita Loka.
"Kalau kau sudah membencinya, apa tindakanmu selanjutnya?"
"Aku akan memohon suatu permintaan", ujar Pita Loka seraya merangkul sang ayah.
Dan Ki Putih Kelabu merasa amat terharu karena belum pernah menyaksikan puterinya tersayang begini sedih dan pilu.
"Katakan, akan ayah kabulkan, Pita", ujar Ki Putih Kelabu.
"Aku mohon, malam ini juga, supaya ayah mewariskan satu saja ilmu mantera untuk saya," ujar Pita Loka.
"Baiklah. Mantera apa yang kau minta?" tanya Ki Putih Kelabu.
"Mantera untuk membikin pikiran seseorang menjadi kacau" ujar Pita Loka.
"Ha" Wah, itu tak baik, aku tak mau!" Ki Putih Kelabu menolak tegas.
Pita Loka menangis sejadi-jadinya. Dia peluk ayahnya erat, lalu berkata "Belum pernah saya meminta pada ayah. Saya telah dibuatnya malu. Kali ini saya ingin membalas malu itu."
"Tidak bisa, Pita", ujar sang ayah berat.
Dia tetap merasa berat, sekalipun sudah tiga jam Pita Loka menangis sampai larut malam, sampai bengkak matanya. Ki Putih Kelabu, demi cintanya pada anak gadis tunggalnya, akhirnya menyerah, "Kendati berat, terpaksa kuberikan. Tapi selesai membaca mantera itu, kau harus meninggalkan Kumayan, sekalipun tebusannya adalah mati bagimu."
Airmata Ki Putih Kelabu tertahan lalu bercucuran melihat Pita Loka begitu teguh ampuh berkonsentrasi membaca mantera itu, dengan telunjuk bergerak di atas sebuah piring sebagai syaratnya. Ketika telunjuk itu berhenti, Ki Putih Kelabu terdongak kaget, dan, berseru, "Cepatlah pergi dari sini", Koleksi Kang Zusi
Rupanya Pita Loka sudah slap untuk pergi. Begitu cepat langkahnya ke luar masuk hutan rimba, menjelang matahari terbit dia sudah melewati Bukit Anggun dan tanpa istirahat dia mulai mendaki Bukit kedua, Bukit Kerambil.
Gumara resah seharian. Biasanya, sepulang dari mengajar dia masih sempat membaca beberapa buku-buku atau catatan. Hari ini, sehabis makan siang dia langsung mengantuk dan tidur. Dan sewaktu bangun dari tidur, dia kembali resah tanpa tahu sebab-sebab keresahan.
Keresahan itu tampak ketika dia mengajar matematika atau fisika di depan kelas. Hal ini diketahui hanya oleh seseorang yang memperhatikannya dengan cara saksama.
Dan yang memperhatikan hal itu adalah Harwati. Maka pada jam istirahat terakhir, Harwati sengaja mendekati Guru Gumara yang tidak berada di ruang Dewan Guru melainkan di bawah pohon flamboyan di pekarangan sekolah. Pak Guru sedang memegang dahan flamboyan yang merendah.
"Wah, kali ini koq Bapak ada di sini?" tanya Harwati. Gumara diam saja.
"Kalau pulang jalan kaki, boleh Wati menemani Bapak?" tanya Harwati. Juga Gumara diam saja.
Dan sewaktu guru itu pulang sehabis bubaran sekolah, dengan lngkah yang dipercepat seperti di"kejar"nya Guru Gumara. Setelah seiring, Harwati bertanya "Sudah tahukah Bapak, setelah dipecat si Pita Loka melarikan diri dari Kumayan?"
"Dia minggat?" tanya Gumara.
"Mungkin minggat. Hai ini diberitahukan sendiri oleh tuan guru Ki Putih Kelabu pada ayahku, Sebagai laporan bahwa puterinya pergi entah ke mana."
Langkah Gumara dan Harwati terus menyelusuri jalan kampung yang kecil itu. Dan Gumara tak memberikan komentar apa-apa.
"Saya duga Bapak sedih atas kepergian Pita Loka", tuding Harwati.
Karena Gumara diam saja, Harwati mengepungnya dengan pertanyaan, "Apa Bapak jadi risau begini karena mencintainya ?"
"Mencintai Pita Loka" Ah. itu cuma tuduhanmu", kata sang guru.
"Kalau begitu apa yang membuat Bapak kelihatan murung ?"
"Entah, saya tak tahu."
Harwati lebih mengepungnya "Jadi kemurungan Bapak bukan karena kepergian Pita Loka dari Kumayan?"
"Sama sekali bukan," sahut Gumara.
Koleksi Kang Zusi Alangkah senangnya hati Harwati mendengar jawaban itu. Hal itulah yang dia harapkan, Tetapi anehnya, malam itu Gumara bermimpi! Dia bermimpi melihat Pita Loka sedang dikerubungi kera-kera besar di sebuah hutan. Ia menganggap mimpi ini ada takwilnya. Begitu terbangun, Gumara memikirkan takwil mimpi itu untuk mencari tafsirannya.
Dan anehnya, apa yang ada dalam mimpi Guru Gumara itu, memang sedang dialami Pita Loka. Pita Loka berputar di sekitar lorong-lorong-sesat yang diperbuat penduduk Bukit Kerambil. Dua hari dua malam Pita Loka berjalan di sekitar tempat yang sama, digiring o!eh monyet-monyet kecil, Karena letih, Pita Loka duduk pada sebuah batu.
Seingat dia, ayahnya tidak menceritakan lebih terperinci mengenai lorong sesat Bukit Kerambil ini. Namun dia usahakan agar dia tetap memenuhi puasa, sebab puasa 40
hari itu musti dia lakukan sampai dia tiba di Bukit Tunggal tujuan terakhirnya.
Mendadak melompat ke depannya seekor kera besar.
Jelas itu raja dari kera-kera yang menggiringnya. Waktu itu matahari telah terbit. Pita Loka meneliti kera besar itu. Agaknya dia bukan kera, tapi manusia berwujud kera.
Tampaknya kera itu menawarkan kelapa yang sudah berlubang. Kelapa muda! Ah, tawaran yang ramah, Pita Loka menggelengkan kepala. Kera besar itu memberikan contoh bahwa kelapa hijau yang diberinya itu untuk minum. Kera itu minum dan tertawa. Pita Loka langsung berfirasat, bahwa ini jebakan.
"Saya puasa, tuan", sahut Pita Loka ketika kera besar itu sepertinya memaksanya untuk minum. Lalu kera itu membelah kelapa itu, dan mengambil daging kelapa.
Baunya harum seakan menguji daya tahan Pita Loka yang sudah 3 hari berpuasa siang malam. Kera itu menggodanya dengan unjuk cara, memakan daging kelapa itu. Pita Loka mengulangi penolakannya "Saya puasa, tuan."
Untuk mengelak, Pita Loka melanjutkan langkah. Namun dia kembali lagi ke tempat semula, dengan bukti bekas belahan kelapa hijau tadi. Pita berkata "Aku tak sudi terjebak dalam labyrinth. Lorong sesat ini sengaja menjebakku untuk menetap di Bukit Kerambil."
"Ya, menetaplah di sini", lalu dengan cepat Pita membalik tubuhnya dan mendengar seorang berkata, ternyata memang manusia, berwujud orangtua. Orangtua itu memegang rantai.
"Jika kamu menolak, kamu kami tawan", ujar lelaki tua itu.
Pita Loka melihat dirinya dikepung oleh kera-kera. Tetapi dia seketika itu juga merasa yakin bahwa dia mampu mengalahkan si tua, Dia tidak menunggu sampai kena rantai.
Dia hentakkan kedua telapak kakinya ke dada si tua itu dengan sekuat tenaga dan loncatan macan. Lelaki tua itu memang terjengkang jatuh, namun bangkit lagi dengan gerak gerik menyeramkan.
Pita Loka tidak menunggu waktu sampai lelaki tua itu berdiri teguh. Langsung saja dia lompati dengan sebuah tendangan sebagaimana pemain bola sayap kanan menendang bola ke gol dengan tujuan membobolkan gawang lawan. Di luar dugaan tendangan itu mengenai rusuk lelaki tua itu. Lelaki tua itu tersungkur. Tapi kera-kera Koleksi Kang Zusi
yang mengepungnya tampak hanya menontoni saja.
Aneh! Begitu lelaki tua itu tersungkur, tampak ada jalan ke luar. Tampak bukit di hadapannya. Itulah Bukit Cangang yang dikatakan ayah! Pita cepat melarikan diri melewati jalan "ke luar" di hadapannya. Tetapi kalau dia tidak cekatan, tentulah dia sudah masuk ke jurang. Jalan "keluar" itu rupanya jebakan bagi siapa yang mencoba melarikan diri dari Bukit Kerambil ini.
Bagai rem yang pakem, Pita Loka menghentikan langkah, sementara suara batu-batu bergelundungan ke bawah menciptakan gema di lembah bawah. Pita Loka mau segera berbalik, tapi lelaki tua yang tadi dia sungkurkan kini telah mencegatnya.
"Pilihan hanya dua, anak perawan. Kalau terus mati masuk jurang, atau menyerah dan belajar pada kami", kata lelaki tua itu.
"Belajar apa, tuan?" tanya Pita Loka berpura-pura ramah.
"Belajar ilmu silat kera," sahut lelaki tua itu.
"Berapa lama pelajarannya?"
"Tujuh tahun", sahut lelaki tua itu, mengulurkan tangan.
Uluran tangan itulah yang membuat Pita Loka mendapatkan siasat. Diterimanya jabat tangan itu, tetapi kemudian dia remas telapak tangannya dengan tekukan kuat, sehingga lelaki tua itu mendadak mencakar-cakar Pita Loka. Setika dia berteriak kesakitan, dia berubah menjadi seekor kera besar. Ya kera besar yang pertama menawarkan minum air kelapa dan menawarkan daging kelapa.
Pita Loka tidak sedikitpun mengurangi remasan dan tekukannya, membiarkan kera besar itu menjerit-jerit. Pada saat yang sudah dianggapnya tepat, Pita Loka membungkuk sedikit untuk mengambil tenaga mengentakan tubuh untuk membanting kera besar itu. Bantingan itu sangat sempurna!
Kera besar itu menggelepar begitu terjengkang di tanah. Dan pita Loka cepat melarikan diri ketika dia melihat adanya batu bersusun kayak tangga. Dia tidak terjebak o!eh jalan lurus di depan, karena dia menduga dalam sedetik bahwa itu cuma jalan "ke luar" jebakan lagi. Betullah. Setelah sekuat tenaga dia naik tangga itu tampaklah rumpunan pohon-pohon kelapa dan dia lintasi pohon-pohon kelapa itu mengarah ke Bukit nun jauh disana , yang tak lain tentulah Bukit Cangang. Dia tidak tercengang menatapi Bukit Cangang itu, tetapi dengan meluncur dia terus turun ke lembah di bawah, berbelok-belok di sela-sela pohon petai cina.
Dan pada tengah hari, Pita Loka sudah sampai pada lembah yang terbawah. Nafasnya sesak, dan sungai yang mengalir itu membuat dirinya tambah sesak nafas. Lalu rasa haus mulai menggodanya. Tapi dia ingin mempertahankan tekad bulat untuk tetap berpuasa 40 hari siang malam dalam perjalanan ke Bukit Tunggal.
Tiba-tiba dia memutuskan untuk menyeberangi sungai itu. Ketika dia mencelupkan kaki, dirasanya betapa nikmatnya air pada telapak kakinya. Menyegarkan tubuh Koleksi Kang Zusi
secara menyeluruh! Namun Pita Loka tak tergoda berlama-lama mencelupkan kaki.
Dia melangkah di air, dan terdengar bunyi kecipak air. Dia meloncat ke sebuah batu, Tapi ketika dia sudah meloncat pula ke batu yang kedua, mendadak muncul seperti potongan kayu. Ternyata itu punggung seekor huaya. Adanya sungai yang berbuaya itu pun tidak pernah dituturkan oleh ayahnya. Tapi satu hal yang membuat dia selalu berani, karena ayah berpesan pada suatu malam dulu "Jika kau menemui halangan menjelang tiba di Bukit Tunggal, kau mantapkan hati bahwa rintangan itu dapat kau kalahkan."
Kini Pita Loka bersikuat batin. Dia kumpulkan tenaga untuk meloncat ke batu besar yang dirintangi oleh punggung buaya itu. Punggung buaya itu hanya jebakan saja.
Lalu . .. .. setelah tenaga terkumpul dan batin membaja, Pita Loka meloncat ke batu besar itu melangkahi dahan kayu jebakan punggung buaya itu. Satu pukulan keras menampar tubuhnya sehingga Pita Loka jatuh terjerembab ke permukaan batu.
Dianggapnya saja punggungnya tak sakit.
Lalu dia berdiri tetapi di hadapannya dia melihat ada benda kayak gergaii yang mau menampar mulanya. Pita Loka tidak mengelak. Dia nanti beberapa detik menjelang benda itu tepat untuk dipegang sebelum menampar. Seketika dia pegang saja ekor buaya itu, yang licin, namun akhirnya terpegang erat, yang kemudian ternyata sebuah kaki manusia.
Manusianya menggelepar dalam sungai, berkecipak-kecipak.
Pita Loka berusaha agar tidak kecebur. Dia terus bertahan dengan dua telapak kaki bagai dipakukan pada permukaan batu besar itu. Dia biarkan manusia yang menggelepar itu mereguk air sampai pengap dalam usaha membebaskan diri dari cengkeraman cekatan tangan Pita Loka. Setelah dia sesak nafas, Pita Loka menghela ujud manusia itu. Yang ternyata lelaki tua berkaki satu. Pita Loka bersikuat hati untuk tidak terbujuk oleh rasa kasihan padanya, karena kuatir rengek si tua hanya jebakan.
Malahan dia segera melompat ke sebuah batu dan kemudian ke batu-batu yang menyembul di permukaan sungai, sampai dia mencapai tepi sungai di seberang itu.
Dia tidak tunggu waktu tergoda haus oleh wanginya bau sungai. Dia terus memanjati tebing dengan berpegang pada akar-akar besar. Lalu memanjati Bukit Cangang.
Dikumayan, malam itu Gumara berteriak nyaring karena sebuah mimpi. Teriakan ini membuat Talang Padu, jirannya di sebelah rumah yang dibatasi kebun sirih, terbangun dan segera menuju rumah Gumara. Diketuknya pintu rumah guru yang dikenalnya amat berbudi itu,
"Siapa?" tanya Gumara menghapus keringat.
"Saya, Pak Talang", sahut Talang Padu.
Talang Padu dikenal baik oleh Gumara setelah mendapat keterangan dan Harwati. Dia bernama Sariman, tapi setelah berilmu dia digelari Ta!ang Padu. Dia terima gelar itu setelah bertaubat dari ilmu hitam dan cuma bertani dan bersembahyang saja setelah bertobat itu. Begitu Gumara membuka pintu, Talang Padu masuk.
Koleksi Kang Zusi "Sepertinya nak Gumara cuma bermimpi", kata Talang Padu.
"Ya. Saya mimpi melihat seorang yang saya kenal sedang disihir oleh ahli telepati di satu bukit", kata Gumara.
"Oh, saya tahu bukit itu, Bukit Cangang. Di situ berkumpul ahli sihir, dan bahkan saya pun sebelum bertobat menuntut ilmu sihir disana . Yah, tak mungkin nak Gumara tak diceritakan orang mengenai masa silam saya. Saya punya masa silam yang buruk, yaitu gemar mengganggu rumah tangga orang yang sedang damai.
Caranya menaruhkan sebuah batu di talang air rumah orang yang damai suami isteri itu. Setelah itu, batu yang sudah saya isi dengan sihir itu akan menciptakan pertengkaran rumah tangga. Akhirnya Ki Putih Kelabu yang menaklukkan saya sampai saya digelari si Talang Padu."
Setelah bicara tentang dirinya, kini dia bertanya "Boleh saya tahu siapa orang yang anda kenal dalam mimpi itu?" Gumara menggelengkan kepala. Dia memejamkan mata sambil mengingat mimpi yang barusan berlalu. Mimpi itu masih segar. Tampak olehnya Pita Loka dihadapkan pada duabelas orang tua. Karena tidak sudi menjadi murid, satu dari 12-tua itu mencekik leher Pita Loka. Ketika itulah karena kasihan menyaksikan, Gumara menjerit dengan teriakan ketakutan ........ lalu dia terbangun dalam keadaan mandi peluh.
Talang Padu lalu pamitan pulang. Dan Gumara tak dapat tidur hingga pagi. Paginya setelah dia berkemas untuk menomon pertandingan olahraga volley, muncullah Harwati dalam pakaian celana panjang olahraga berwarna merah berstrip dua putih.
Dalam pakaian "training" itu, Harwati tampak lebih jelita dan gagah. Dia akan memperkuat regu SMP melawan regu Muspida.
Lalu Harwati berjalan seiring dengan Guru Gumara.
"Saya tadi pagi dapat informasi dari ayah", ujar Harwati.
"Informasi" Mengenai apa?"
"Adainfo mengenai Pita Loka. Dia rupanya bukan minggat. Tentu saja ayahnya merahasiakan kepergiannya.
Ayah barusan kembali dari tempat pertapaan, dan menerima wangsit bahwa Pita Loka sedang menuju Bukit Tunggal untuk menuntut ilmu ghaib pada Ki Harimau Tunggal.
Anehnya, ayah gembira!" Harwati menunggu reaksi Gumara. Tapi Gumara merahasiakan mimpinya semalam. Dia berdiam diri.
Juga sehabis pertandingan volley, Gumara berdiam diri. Dia menolak Harwati untuk pulang bersama. Dan ingin jalan sendirian ke suatu tempat. Dia ingin duduk di puncak Bukit Kumayan, bukit satu-satunya di sebelah kidul yang tidak ditumbuhi pohonan.
Anehnya, bukit itu bundar. Dan mungkin di situ ada kadar menyan yang banyak, atau bisa juga seluruh bukit bundar itu adalah bukit menyan. Menikmati bau menyan di Bukit Kumayan itu, bukan menciptakan ketenangan. Malah dia gelisah. Lebih heran lagi muncul Lading Ganda. Lalu Ki Lading Ganda berkata "Hati-hati duduk di bukit yang seluruhnya berisi menyan raksasa ini. Kalau di sini terjadi perkelahian, maka Koleksi Kang Zusi
yang mati akan masuk ke tanah tak ke luar lagi jadi tumbal dan jadi batu menyan."
Gumara hanya melirik. Ki Lading Ganda lalu bersimpuh menghadap pada Gumara yang bersimpuh pula. Ki Lading Ganda berkata "Percuma tuan guru mengingat Pita Loka di sini. Karena aku mendapatkan ilmu peramal dari guruku, aku ingin menyatakan ramalanku!"
"Tak usahlah, Ki. Saya tak percaya ramalan", ujar Gumara.
"Namun ingin saya nyatakan. Saya ramalkan Pita Loka bukan minggat sebab malu dipecat, tapi melarikan diri ke satu tempat menuntut ilmu. Harimau yang enam termasuk Ki Putih Kelabu pasti sudah tahu ke mana perginya. Dia akan kembali ke Kumayan untuk jadi musuh tuan guru. Dan Harwati" Saya ramalkan takkan jadi isteri anda. Memang dia mencintai tuan dan tuanpun mencintainya. Tapi lebih tepat jika tuan mengawini Keni, puteriku, adik si Pina."
Keni memang cantik, Tapi Gumara diam. Dan Ki Lading Ganda menjebaknya dengan berkata "Kalau anda diam, berarti setuju."
Gumara terpaksa jadi marah. Kemarahan inilah yang diharapkan Lading Ganda.
Berdiri merentak, Gumara berkata merentak pula "Jangan lamar aku. Sebab aku ingin hidup membujang!". Ki Lading Ganda bagai mencegatnya. Lalu orangtua itu berkata,
"Penolakan berarti penghinaan. Kalau anda jantan, jangan dulu pergi. Layani dulu permintaanku.
Aku ingin mencoba ilmumu."
Gumara tenang. Teramat tenang. Matahari sore agak menyilaukan Gumara yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda menggertaknya "Jika kau tak menyerah, kau akan kuhabisi sekarang!"
Langsung saja lelaki tua itu dengan dua tangannya mencabut dua buah golok dari pinggangnya. Dalam sekelebatan golok itu diadunya dan menciptakan kilatan api dan bunyi nyaring, Golok itu seketika berubah menjadi satu golok yang bergagang kembar dan bermata dua.
Gumara berdiam diri, namun tak mengucapkan kata-kata menyerah. Tetapi hatinya menganggap ilmu si tua ini amat rendah. Sekelebatan tampak olehnya sinar yang melayang mau menebasnya, membuat Gumara merunduk menjatuhkan diri sebab sinar itulah sinar mata golok yang mau menebas lehernya. Begitu dia menjatuhkan diri, Ki Lading Ganda menyerang dari belakang, tetapi kaki kanan Gumara menuat menangkis dengan putaran. Tepat mengenai Ki Lading Ganda sampai ia terjengkang.
Gumara tidak mengambil sikap menyerang, melainkan bertahan. Terutama menyalurkan ketenangan nafas. Waktu dia hendak berdiri, satu kilatan menghantam bahunya. Golok itu tepat mengenai bahu kanan, tetapi golok itu membal, terpelanting lepas dari tangan Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda sudah menduga bahwa itu akan membuat tangan kanan Gumara copot. Kini dia terpelongo, terheran-heran. Dia tidak memungut goloknya. Tapi cepat Koleksi Kang Zusi
menghatur sembah sungkem layaknya, berlutut dihadapan dengkul Gumara. Katanya,
"Anda rupanya diam-diam punya ilmu kebal."
Gumara berpekak-telinga seolah tak mendengar. Dia melangkah, dengan maksud meninggalkan Ki Lading Ganda. Tetapi Ki Lading Ganda menungkai dengan kakinya sehingga Gumara jatuh tersungkur. Dia bangun lagi. Tapi lalu pergi setelah membersihkan tanah yang diciumnya oleh mukanya sewaktu tersungkur tadi.
Ki Lading Ganda masih duduk di puncak Bukit Kumayan itu bagai terpesona. Setelah diambil goloknya yang tadi terpelanting itu, lalu golok itu ditetakannya ke keningnya.
Sebuah dari kembarannya meloncat ke udara, dan disanggep oleh tangan kiri Ki Lading Ganda. Dengan serempak kedua golok itu masuk ke sarung-sarungnya kiri kanan di pinggang lelaki tua itu.
Ketika Gumara tiba di rumahnya, ia kaget melihat sudah tersedia hidangan di meja selain rantang kiriman Pak Yunus. Lalu muncul Harwati dari dapur" Rupanya dia!ah yang telah memasak makanan siang ini.
"Jika ayahmu tahu, kurasa dia akan marah kau ada di rumahku", kata Gumara. Dan memang benarlah apa yang dikatakan Gumara senja itu. Setiba di rumah Harwati dipanggil oleh ayahnya.
Sebelum ayahnya bicara, Harwati berkata "Sudah banyak orang yang mau berobat pada ayah."
"Katakan pada mereka, hari ini aku tidak melayani tamu, kecuali orang yang sakit parah."
"Tapi ada satu tamu, pejabat penting darikota , ingin minta perkukuh jabatan pada bapak, katanya. Malah dia ingin didahulukan", ujar Harwati.
Dengan langkah geram Ki Lebai Karat keluar dari ruangannya menemui tamu itu.
Dan tamu itu memperkenalkan diri sebagai tamu darikota . Drs. Jamal Wangsadan menyatakan hasratnya untuk diangkat sebagai walikota.
"Oh, itu mudah saja. Tuan tak usah mendatangi Ki Karat. Berbakti pada kepentingan rakyat dengan baik, sampai Pak Gubernur tahu bahwa anda paling tepat untuk menjadi walikota. Itu saja. Saya kira tuan sakit atau berkelahi dengan isteri."
Ucapannya yang kedengaran angkuh itu membuat Drs. Jamal Wangsa pun mengimbanginya dengan keangkuhan.
Katanya "Saya kira, begitu saya dengar bapak adalah dukun sakti, bapak dapat berbuat segala-galanya."
"Oh, yang bisa berbuat Segala-Galanya itu, cuma Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Bukan saya. Saya rasa tuan salah alamat", kata Ki Karat.
Lalu Ki Karat menyuruh masuk seorang ibu tua yang lumpuh, Setelah Ibu tua lumpuh itu ke luar lagi sehabis diobati, ia tak lagi dibimbing. Ia malahan menolak untuk Koleksi Kang Zusi
dipegangi. Ia melangkah dengan sempurna. Sehabis seluruh pasien di obati oleh Ki Lebai Karat, kini Harwati mendengar namanya diteriaki oleh ayahnya. Dia merasa nada itu tinggi, terlalu tinggi, dan benarlah ramalan Pak Guru bahwa dia akan di marahi. Wajah ayahnya setelah berhadapan tampaknya begitu geram.
"Aku tidak setuju kau terlalu rapat dengan Peto Alam.
Gumara Peto Alam itu hanya tepat sebagai guru sekolahmu, saudaramu dan bukan calon suamimu. Orang menyampaikan kau sibuk memasaki di rumahnya, padahal rumahnya tak pernah ada asap dapur sebab dia menerima kiriman rantangan dari guru Tarikh,"
Mendengar kata-kata ayahnya itu, Harwati berlinang airmata. Dan dia tampaknya melawan dengan tudingan tuduhan "Pantas ayah begitu senang mendengar Pita Loka pergi berguru ke Bukit Tunggal. Jadi ayah lebih rela apabila kelak Pita Loka menjadi isteri Gumara Peto Alam ketimbang aku, ya?"
Ayah yang berbudi itu lalu membelai kepala Harwati setelah tak kuasa mendengar isak tangis anaknya, Katanya; "Gumara itu bukan dampinganmu, nak!"
Dibelai dengan ucapan yang begitu, bukannya membuat Harwati lega, malahan tambah terisak-isak. Semalannan dia tak dapat tidur. Menjelang subuh tiba, Harwati menemukan keputusan sendiri. Dia secara rahasia memasuki kamar-pertapaan ayahnya. Dibongkamya semua buku yang berisi mantera-mantera yang bertulisan arab-gundul. Tanpa tanda baca. Tapi Harwati dapat membacanya karena tulisan arabgundul itu bukan berbahasa Arab melainkan mantera-mantera berbahasa daerahnya sendiri. Karena kamar ini jarang dimasuki ayahnya, Harwati bertambah tekun mencari satu kitab yang berisi rumusan-rumusan pikat. Kitab Pikat yang dicarinya itu agaknya disembunyikan ayah, fikirnya. Lalu dia melihat ada sebuah gembok pada lantai papan.
Rupanya ayah membuat lantai itu berpintu, Gembok itu membuat dia penasaran.
Karena dia harus mencari kunci. Dia cari tempat kunci itu. Dan dia temui. Semua kunci dicobakannya pada gembok itu. Seluruhnya tujuhpuluh buah kunci. Dan pada kunci bernomor arabgundul 49, Harwati lega karena kunci itu cocok.
Pintu rahasia itu kini dia buka. Jika saja dia tidak diwarisi keberanian, tentu dia menjerit melihat seekor kelabang hitam berkaki 33 yang muncul dari lemari bawah tanah itu. Kelabang hitam itu menatapnya lama, tapi lama-kelamaan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Harwati menjerit sewaktu kelabang hitam itu melompat ke arah kepalanya.
Ki Karat yang sedang makan siang segera bertindak cekatan menuju kamar pertapaan.
Dia dapati puterinya pingsan, Dia langsung menoleh ke lemari bawah tanah yang pintunya terbuka. Dia membaca-baca mantera. Lalu merangkaklah kelabang-hitam berkaki 33 itu. Begitu patuh. Begitu ketakutan gayanya merangkak. Dia lalu merangkak ke kening Harwati. Tambah ada beberapa tetes seperti minyak yang dipoleskannya dengan sungutnya ke kening yang membundar biru itu. Makin lama kening itu berkurang birunya, tapi Harwati belum sadarkan diri. Tampaknya kelabang hitam itu sudah menyelesaikan tugasnya, lalu kembali menuju sarangnya, yakni lemari rahasia tadi. Ketika kelabang hitam itu hampir pada tepi pintu, Ki Karat membentak ke arahnya; "Mampus kau!"
Koleksi Kang Zusi Kelabang itu terjengkang menelentang seketika.
Malahan dia diinjak-injak oleh Ki Lebai Karat. Dan rupanya Harwati tersadar dari pingaannya karena bentakan ayahnya pada kelabang hitam tadi. Dia kemudian duduk.
Dia belum tahu ada ayahnya di kamar pertapaan itu. Dia mencari-cari kelabang hitam yang menyengat keningnya tadi. Ketika dilihatnya kelabang itu sudah remuk, barulah Harwati sadar tentu ada seseorang yang menginjaknya.
Barulah dia menoleh sekeliling. Tolehannya terhenti pada wujud ayahnya yang duduk tenang di korsi goyang. Dan Ki Karat pun berkata "Terpaksa kubunuh si penjaga itu hanya karena kelakuan kau. Memang kitab itu, Kitab Pikat itu, aku sengaja sembunyikan. Sudah kuterka sekali waktu kau akan mencarinya. Tapi dengan menggembognya, itu berarti termasuk kamu dilarang membacanya."
"Kenapa ayah?" "Kitab Pikat itu penemuanku sendiri setelah selesai berguru pada Ki Macan Tunggal.
Sesungguhnya dia sebuah kitab yang buruk dan merusak. Jadi kuharap, jangan sekali-kali kau baca kitab itu, sekalipun si kelabang penjaga sudah mampus. Aku tahu, kau amat cinta pada Peto Alam. Tapi masih banyak pria yang mungkin lebih baik sebagai dampinganmu. Cinta itu berbuah perkawinan. Kau bukan sakedar dampingan suami, tetapi isteri itu harus menjadi garwa suaminya . Tahukah kau arti garwa ?"
"Tahu, ayah, ketika Wati berusia 12 dan mulai menstruasi, ayah menerangkan arti garwa itu. Saya mohon maaf dan ampunan ayah atas kelancangan saya", lalu dia meraung dengan suara ratapan yang menghibakan hati.
Hati Ki Lebai Karat memang hiba. Tetapi dia tidak ingin mewarisi pada Harwati ilmu memikat yang dangkal. Dan batinnya tetap tidak rela apabila Harwati justru akan menjadi garwa bagi Gumara Peto Alam.
Kemurungan Ki Lebai Karat itu membuat kawanan empat sekawan Harimau Kumayan yang dipimpin Ki Lading Ganda, adalah termasuk yang ditolak oleh ayah Harwati. Empat lelaki tua itu pulang dengan kecewa, juga orang-orang yang akan berdukun kecuali yang sakit keras.
Dan sejak larangan ayahnya itu dimaklumkan, Harwati tetap saja mengukuhkan perasaan cintanya pada Gumara. Tapi memasuki pekarangan Gumara, dia tak berani.
Dan takkan pernah berani, sebab dia tahu jika ayah mengutuk seseorang. Akibatnya akan selalu negatif.
Dan di sekolah, pada hari Kamis itu, seluruh murid tercengang ketika melihat Guru Gumara jatuh pingsan sewaktu mengajar, Guru itu digotong murid lelaki, namun Harwati ikut memegangi kepala Gumara sambil berdesih-desih membaca mantera bagi seseorang yang pingsan. Harwati gembira, manteranya kabul dan Guru Gumara sadarkan diri di ruang Dewan Guru.
Tak ada desas-desus, Tapi hari berikutnya, ketika Guru Gumara mengajar !agi di kelas IPA itu, ucapannya tiba-tiba aneh Saya sering pusing, siapa di antara kalian Koleksi Kang Zusi
yang sering bawa obat pening kepala?". Semuanya heran membisu.
Hari demi hari, pribadi Guru Gumara berubah. Anak-anak SMP Kumayan membicarakan hal ini. Tetapi, yang paling cemas adalah Harwati. Dan pada suatu hari Harwati berkata pada ayahnya "Ayah, jika saya melaporkan hal ini pada ayah, jangan ayah mengira karena saya mencintainya, dan saya kepingin jadi garwa-nya. Ini adalah soal Prikemanusiaan".
"Mengenai nasib Gumara?" tanya Ki Karat.
"Ya". "Aku sudah lebih dulu mendapat berita".
"Dari mana?" "Dari Harimau Yang Empat, dipimpin oleh Ki Lading .Ganda. Semua laporannya masuk akal."
"Tentang pergunjingan orang mengenai Guru Gumara?"
"Ya, tentang si Peto Alam itu. Mulanya kukira karena Lading Ganda merasa iri tak habis-habis kepada Ki Putih Kelabu,"
"Nah, itulah yang akan saya laporkan", ujar Harwati gembira, "Yaitu terlibatnya Ki Putih Kelabu dalam penyakit aneh Guru kami itu, Pak. Seakan dia diperbuat malu di hadapan murid-murid. Tapi kami murid-murid tidak terpengaruh oleh kegugupan, mudah lupa kadangkala ketololan Pak Guru kami itu. Saya sudah mempengaruhi teman sejak awal, bahwa pasti Pak Gumara dikerjain orang. Pendeknya, wibawa Pak Gumara tidak menurun. Soalnya, Ayah . . . kasihan kita pada dia. Kita harus selidiki siapa yang bikin gara-gara . Saya cenderung untuk menduga ini semua perbuatan halus dan licik Ki Putih Kelabu. Dia membalas penghinaan terhadap Pita Loka.
Bayangkan halusnya teluh Ki Putih Kelabu. Sudah 21 hari Pita Loka melarikan diri, baru akhir-akhir inilah muncul penyakit aneh Pak Gumara".
Ki Lebai Karat terdiam. Ia sebetulnya kagum pada puterinya. Masuk akal memang, yang mengerjai Gumara adalah Ki Putih Kelabu. Memang teluh. Tapi lelaki tua ini berkata yakin "Ki Putih Kelabu mungkin saja terluka hatinya. Tapi dia tidak sejahat Lading Ganda".
Harwati jadi tidak puas. Namun dia kembali lega ketika ayahnya berkata "Nanti akan kupilih hari memanggil dia. Kalau dia tak datang, itu suatu tanda bahwa dia perlu dicurigai".
Keesokan harinya, ketika melalui jalan yang melewati rumah Guru Gumara, Harwati mampir. Mampirnya dia kebetulan terlihat oleh Hura Gatali. Hura Gatali menyelidiki di bawah pohon randu depan rumah Gumara. Harwati mengabarkan usulnya kepada ayahnya, agar sang guru bersimpati padanya. Gumara berkata "Sebetulnya aku tak ingin melibatkan hal ini melalui ayahmu. Tapi nyeri di kepala ini menyebalkan sekali".
Koleksi Kang Zusi "Yang semacam mimpi aneh, pernah Pak Guru alami ndak?" tanya Harwati, Gumara hampir menceritakan mimpinya yang dua kali, yaitu ketika dia mimpi Pita Loka di Bukit Kerambil disergap kera dan mimpinya tentang Pita Loka yang terjebak dengan ahli-ahli sihir di Bukit Cangang.
"Yah, tak usahlah aku ceritakan", ucap Gumara.
"Katakanlah, supaya ayahku dapat mempermudah pemecahannya", kata Harwati.
"Mimpi itu mengerikan, semalam . . .. Ah, tak usah saya ceritakan. Mari kita berangkat ke sekolah, sudah dekat setengah tujuh", kata Gumara. Nah, ketika turun tangga rumah di pekarangan, Hura Gatali yang penuh selidik itu pun mulai nguping.
Dia mendengar percakapan Gumara dan Harwati.
"Katakanlah mimpi Pak Guru itu", ujar Harwati.
Saat itu Gumara kebetulan kurang kontrol. Penyakitnya kambuh. Dan dia bicara tanpa tahu akibatnya, padahal dia ingin merahasiakannya agar orang-orang Kumayan tidak bertambah jengkel pada Pita Loka atau Putih Kelabu.
Gumara bercerita, didengar baik oleh Hura Gatali "Begini, Wati. Tadi malam itu saya menjadi yakin, bahwa Pita Loka sudah berguru pada ahli-ahli sihir dan teluh di Bukit Cangang!"
"Astagfir, ya Tuhan!"
"Dia berguru di sana, mungkin ilmunya kelak akan sejalan dengan Lading Ganda"
Mendengar ucapan ini, Hura Gatali yang sembunyi di balik pohon randu menjadi geram. Ditunggunya sampai Gumara lewat dua langkah, lalu dia hantam dengan tendangan ke sudut pinggang.
"Aduh, sakitnya!" teriak Gumara. Dia seperti orang mabuk. Geraknya lamban . Dia hanya menangkis tidak pernah menyerang. ia seperti satria mabuk. Tiga sampai lima kali tendangan Gatali ditangkisnya jatuh bangun. Harwati menjadi murka sekali, lalu dia lepaskan tendangan giling-tebu hingga Hura Gatali jatuh jungkir balik kayak orang bersalto . Hura Gataili jadi ragu. Gumara seperti mabuk mendekatinya, dan menyodokkan kepalanya ke perut Hura dengan lamban.
Kepala itu dipelintir oleh Hura.
Pelintiran itu menyebabkan Harwati dengan buas melakukan tendangan berbalik badan tepat mengenai dada Hura Gatali. Darah kental menyembur seketika dari mulut pemuda yang sempat dikenal sebagai Pahlawan Ular Sanca itu. Dia tersungkur. Lalu Harwati menggunakan kesempatan itu menyeret tubuh gurunya sekuat tenaga, masuk kembali ke pekarangan rumah Gumara.
Gumara tersenyum, lalu meronta minta dilepas. Dia macam orang gila merangkak memasuki pintu rumah. Harwati kehilangan akal. Dia mau melihat dulu keadaan di luar. Di luar, di tempat Hura jatuh muntah darah, dia pun tak ada lagi di situ!
Koleksi Kang Zusi Harwati kalang kabut kembali dia masuk rumah, dan didapatinya Gumara bukan duduk, tapi macam binatang berkaki empat layaknya. Telapak tangan di lantai papan, dan dengkul pun menekan lantai. Raut wajahnya macam orang bodo.
Harwati segera berlari kencang menuju rumah, Dengan nafas sesak, dia masuk rumah,
"Ayah! Ayah! Ayah!" Ki Lebai Karat tak di rumah. Ternyata beliau dengan lewat hutan kecil menempuh jalan pintas yang begitu kencang langkahnya sampai merobohkan sekian pohon pisang, pohon petai cina ataupun pohon akasia lainnya.
Dia tiba di rumah Gumara bagaikan harimau yang sedang cemas. Begitu dia masuk, didapatinya Gumara menjulurkan lidah, Bengong. Macam binatang berkaki empat.
Melihat kejadian itu, teteslah airmata Ketua Harimau Yang Enam di Kumayan itu, dan menyergap Gumara dengan pelukan erat "O, Peto Alam . . . Kenapa kau jadi menderita begini, nak?"
"He-he-he . . . . "
"Peto Alam!" bentak Ki Lebai Karat sembari terpaksa menampar Gumara agar segera sadar. Tapi Gumara tersenyum lebar, seperti orang teler yang kesenangan disakiti;
"He-he-he . . . tuan Ki Karat ya?"
"O, Peto, bangkit dan berdirilah! Lawan musuhmu dengan kepala tegak!", dan didekapnya kepala Gumara. Diangkatnya untuk berdiri, tapi Gumara menjatuhkan dirinya lagi ke lantai bagai binatang berkaki empat; "He, he . . . . "
Tampaklah kecemasan luarbiasa di wajah Ki Lebai Karat. Dibiarkannya Gumara begitu saja. Orangtua itu lalu duduk di kursi, terperangah. Dia sedang memilih cara terbaik Menghancur-luluhkan Ki Putih Kelabu . . . atau . . . mengobati Gumara lebih dulu. Untuk keduanya diperlukan tindakan sportip. Lalu dilihatnya lagi Gumara. Hati Ki Karat hancur luluh tak tahan melihat Peto Alam lebih gila dari orang gila, lebih pikun dari orang pikun, lebih teler dari orang mabuk.
"Gumara, sadarlah nak?" bentak Ki Lebai Karat. Bentakan dahsyat ini membuat Harwati tak jadi masuk pintu. Dia, hanya mengintip lewat celah, memperhatikan apa yang diperbuat ayahnya. Harwati melihat satu kejadian yang aneh. Dilihatnya ayahnya memeluk kepala Gumara, membelainya dengan cucuran airmata, dan berkata
"O, Peto Alam . , , sekiranya aku boleh kembali pada ilmu kasar, aku mampu mengembalikan pikun kau ini pada pembuatnya.
Ah, kasihan aku melihat kau!"
Harwati bercucuran airmata babagia mendengarnya. Dia masuk tetapi kaget ketika ayahnya mendadak berubah sikap menghapus airmata dengan cepat dan segera menjadi gugup namun gagah.
Mendadak saja ayah itu meninggalkan Harwati dan Gumara. Dia kemudian menuju rumah Ki Putih Kelabu, hal yang tak pernah diperbuatnya sebelumnya!
Kesombongannya Karena dialah ketua Harimau Kumayan ditanggalkannya. Dia Koleksi Kang Zusi
sangat hormat ketika bertanya pada Ki Putih Kelabu "Bolehkah hamba masuk?"
"O, tuan Ketua . . . kenapa tidak?"
Hati-hati ia duduk. Hati-hati ia berkata "Aku mohon pertolonganmu. Dengan segala kerendahan hati, dengan sepuluh jari tanganku disertai satu kepalaku, kumohon kau obati si Peto Alam".
Ki Putih Kelabu jadi terheran-heran melihat Sang Ketua begitu merendah. Dia jadi kebingungan. Dan dengan nafas tersengal-sengal dia berkata menyerah
"Mungkin tuan Ketua tidak percaya, bahwa bukan saya membuatnya".
"Kalau begitu aku mohon petunjuk", ujar Ki Karat. Ki Putih Kelabu berada di persimpangan pikiran. Jika diberinya petunjuk, Pita Loka puterinya tercinta akan menanggung akibatnya. Jika ditolak, penolakan ini tidak sesuai dengan sifatnya yang dia punyai. Kalau berdalih, pasti Ki Karat akan tahu alasannya dibuat-buat. Lalu dia Cuma bertanya "Kenapa tuan Ketua begitu bersemangat membela nasib seorang yang tak ada kaitan darahnya dengan tuan?"
Di luar dugaan, itu membuat Ki Karat bukannya bersemangat, tapi mundur dan berkata "Kalau begitu, baiklah aku akan atasi sendiri. Jika atap gagal diraih, terpaksalah anak tangga terbawah yang kuperbuat. Kumaklumkan dari sekarang, kucopot kedudukanku sebagai Ketua. Aku terpaksa menempuh anak tangga yang terendah".
Dengan cekatan beliau pulang. Mandi kembang dan berkata "Harimau Tunggal aku terpaksa melepaskan ilmu yang kau berikan, demi nyawa Peto Alam!"
Pada detik itu juga, di sebuah guha di Bukit Tunggal di tempat pertapaan nya, lelaki tua keriput berambut putih tersentak dari duduk rapinya bersila.
Sebuah keris jatuh di hadapannya. Dibacanya huruf arab gundul pada gagang keris itu, tertera nama Ki Putih Kelabu. Dan beliau cuma diam memegang keris itu.
Gagangnya terbuat dari kayu cendana mengering bagai areng pikulan. Dan batangan logam keris berukir itu meleleh hancur berjatuhan di permukaan tanah.


Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada detik itu juga. Ki Lebai Karat dalam keadaan telanjang menebah dadanya sendiri, "Aku kini Ki Gumilang yang dulu!"
Tindak-tanduknya jadi kasar. Dan ketika dia masuk ke rumah, dia dapati Harwati tersenyum-senyum dan berkata "Dia sudah sembuh!"
"Apa kamu bilang?"
"Peto Alam yang ayah sayangi sudah sembuh. Saya kira dia sendiri yang menyembuhkan dirinya, bukan saya dan bukan ayah", ujar Harwati. Dan pada waktu makan malam, Harwati berkata pada ayahnya, "Tahu ayah berita gembira yang perlu saya sampaikan?"
Koleksi Kang Zusi "Katakan, anak tolol" bentak lelaki tua yang kini merasa Ki Gumilang.
"Hal pertama Hati saya luluh bahagia sewaktu ayah memeluk Gumara Dan hal kedua yang membahagiakan hatiku Cinta saya berbalas!"
"Apa katamu, goblok!"
"Dia membalas ucapan cinta saya. Dia juga berkata, bahwa dia bersedia melamar saya. Dan saya akan dengan segera menjadi garwa atau isterinya. Oh, ayah, betapa bersyukurnya diriku sehabis musibah ini!"
Ki Gumilang Jalang tersenyum menyeringai. Dia geleng-geleng kepala, lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau kau bahagia dua kali, malam ini kumaklumkan padamu, bahwa aku benci dua kali. Pertama benci pada diriku sendiri, kedua aku benci pada Gumara. Malu aku kalau dia melamar kamu, Harwati!"
"Ayah, betapa takaburnya ayah!" seru Harwati.
Dan tiba-tiba lelaki tua yang amat dihormati itu membuat Harwati jadi ngeri. Sorot matanya jalang. Biarpun dalam jarak jauh, seakan-akan mata ayahnya berkobar nafsu sampai Harwati berteriak, "Ayah! Ayah akan jadi gila! Itu bukan sorot mata Ki Lebai Karat yang mulia! Sorot mata ayah adalah sorot mata lelaki pejantan yang suka melacur!"
Ki Gumilang bukannya jadi malu karena ucapan puterinya. Dia malah mendekat ingin meraih rambut Harwati, tapi gadis itu segera melakukan tindakan cepat memutar tubuh dan menyepak ke belakang sampai Ki Gumilang terjungkal setelah telapak Harwati mengenai dadanya.
"Baik, aku kalah", kata lelaki tua itu.
"Nikahkan saya segera dengan Gumara!"
"Oh, itu boleh saja", ujar Ki Gumilang.
Dan dengan nada terharu, Harwati berkata, "Terimakasih untuk ayah. Terimakasih untuk Ketua Harimau Yang Enam atas dikabulkannya permohonan ini. Tapi kapan ayah menerima Guru Gumara Peto Alam untuk melamar saya?"
"Pertama akan kujawab dulu soal yang sulit untuk dirahasiakan lagi. Kau tentu sudah melihat bahwa ayahmu sudah berubah", kata lelaki tua itu.
"Memang hari ini saya lihat ayah halus, tapi kepadaku berubah kasar, Toh ayah sayang pada Gumara, dan sayang pada saya. Buat apa lama-lama ditunda perkawinan kami?" tanya Harwati.
"Perlu kau ketahui mengapa aku berubah watak?"
Koleksi Kang Zusi "Tidak perlu, yang perlu kawini kami segera", ujar Harwati.
"Itu soal ringan. Tapi soal pelik yang menggoncang jiwaku sekarang ini mesti kau ketahui. Dulu, ataupun malam ini, pada hakikatnya aku tak sudi kau mencintai Gumara, begitu pun aku tak sudi Gumara mencintai kau, Apalagi Gumara kawin dengan kau!"
Harwati terdongak mendengarnya. Dia cepat membalik dan menuding.
"Kenapa ayah tidak semulia dulu?"
"Karena aku tak patut dimuliakan lagi. Tanyalah pada Ki Putih Kelabu, bahwa aku telah mencopot gelar Ketuaku di Kumayan ini. Hanya karena Gumara. Lalu, apa masuk akal kalau lamarannya kuterima?"
"Lidah ayah kini bercabang! Harimau yang aku segani, ayah yang aku hormati, kini lidahnya tak dapat dipercaya lagi. Sebentar setuju, sebentar menolak. Di mana pendirian ayah yang sebenarnya?"
Lelaki tua itu hanya diam. Hatinya sedang membeku, Lalu secara mendadak dia tarik kaki kursi kecil dan dia lempar kursi itu pada Harwati. Harwati kaget ketika ayahnya meloncat mau menerkam dia. Dia terpaksa mengeluarkan tangkisan dengan tendangan melurus ke leher ayahnya sampai ayahnya tersungkur. Tapi, kali ini sang anak terheran-heran. Pencak silat itu, yang diajarkan ayah, sepertinya tak mampu ditangkis ayah, Kenapa" Jiwanya berubah, raganya pun tidak memperlihatkan kemampuan bersilat seorang Ketua. Apalagi Ketua Macan. Dan Harwati tambah kaget karena dilihatnya ayahnya pingsan! Jagoan pingsan"
Dan ternyata kemudian, sebelah badan ayahnya lumpuh. Harwati kuatir ilmu ayahnya yang dulu itu sudah pudar. Mungkin sebagaimana ilmu itu rumah yang dikontrak penghuninya, penghuninya pergi karena kontraknya habis.
Pagi buta, Harwati mendatangi Gumara. Gumara senang dan mengulangi ucapannya kemarin "Terimakasih karena kamu yang pertama ketika saya sadar dari kemabukan aneh itu. Tapi tentu terimakasih pada ayahmu yang baik hati. Dan barusan saja pergi Ki Putih Kelabu dari sini setelah menjenguk saya".
"Apa perlunya Putih Kelabu ke sini?" tanya Harwati.
"Mulanya kedatangannya ingin mengobati saya. Namun setelah dilihatnya saya segar bugar, dia malahan heran. Setelah mengucapkan selamat sembuh, dia pergi. Barusan saja dia pergi", ujar Gumara.
"Hampir aku curiga atas kedatangannya", kata Harwati.
"Apa lagi yang perlu kau curigai. Toh sebentar lagi aku menjadi suamimu dan kau jadi isteriku".
Harwati tersenyum senang, lalu bertanya "Apakah tidak sebaiknya segera melamar?"
"Tak usah terburu-buru", kata Gumara.
Koleksi Kang Zusi "Tapi ada kabar sedih. Ayahku lumpuh. Badannya mati sebelah. Aku kuatir ayah berlarut dan mati, kita kehilangan waktu perkawinan yang tepat", kata Harwati.
Gumara tercengang mendengar ayah Harwati bisa menderita sakit badan mati sebelah, Tapi Harwati tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
"Kalau begitu aku perlu menemui beliau?" ujar Gumara.
"Maka pagi ini aku ke sini agak kepagian. Sebab selain hari ini hari Minggu, juga ayah sudah meminta aku tadi pagi bahwa beliau tidak lagi melayani pengobatan".
"Wah, kalau begitu sekarang sajalah kita ke rumahmu", ujar Gumara.
Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagi Harwati kecuali sikap Gumara Minggu pagi ini! Dia memang tidak ingin terlambat, takut keduluan Pita Loka saja! Ya, siapa tahu Pita Loka mendadak kembali dari perguruan sihir, lalu merebut hati Gumara dengan caranya sendiri"
Dan kedua pasangan insan itu melangkah. Jalan sunyi. Kesunyian itu bertambah lagi sunyinya karena udara berkabut berhubung tibanya musim panas dl kawasan Kumayan. Harwati tiba-tiba merasa perasaannya tak enak. Dia berbisik sembari memegangi lengan Gumara "Aku tiba-tiba ngeri".
Barulah saat ini Gumara menemukan pertanyaan yang selalu mengganggunya. Sejak tiba di Kumayan yang dia teruji oleh beberapa orang lawan. Tapi semua bisa diatasi.
Yang mengherankannya ketika dihajar oleh Hura Gatali tempohari, dalam keadaan seperti teler dan mabuk, dan masih bereaksi, cuma lamban. Tapi serangan Hura Gatali yang mengenai tubuhnya tidak sakit. Seperti tidak lukanya dia dibacok golok sakti Lading Ganda di Bukit Menyan.
"Kaulah orang yang memberi jawaban dari pertanyaanku sejak kanak. Kenapa aku pandai mengelak jika diserang. Yah, mungkin saja ini warisan dari ayahku".
"Siapa ayahmu?" tanya Harwati.
"Aku cuma kagum cerita ibuku mengenai ayahku. Tapi tentu dia orang sakti. Ilmunya pasti tinggi, sedemikian tingginya dia warisi pada diriku, kemungkinan ketika aku masih dalam kandungan ibuku", suaranya gembira, dan tanpa mereka sadari telah sampailah mereka ke padepokan Ki Lebai Karat.
Begitu masuk ke rumah memberi salam, Gumara mempunyai perasaan bahwa rumah ini seperti sedang mengalami perubahan. Entah apanya yang berubah. Dan dia terkejut melihat ayah Harwati terbaring. Lalu disapanya ramah orangtua yang badannya mati sebelah itu.
"Jangan kalian berdua kuatir. Aku akan sembuh dan kuat perkasa lagi seperti masa mudaku. Apa maksud kedatangan kau ke sini Peto Alam?"
"Pertama saya ingin menjenguk tuan yang sakit", kata Gunnara.
Koleksi Kang Zusi "Lalu apa lagi, Peto Alam?" tanya ayah Harwati.
"Dia ingin melamar saya pada ayah", potong Harwati yang tak sabaran. Sang ayah menatap berang pada Harwati
"Kau sebaiknya tak mendengar kata-kata lamaran Gumara. Jika kau tak ngeri kesakitan kau tidak akan luntur, ikuti nasehat ayahmu Kau keluar. Tinggalkan kami berdua. Dan jangan sekali-sekali mengintip atau nguping apa yang kami bicarakan, mengerti"!"
"Mengerti, ayah", ujar Harwati.
Dia sungguh-sungguh menepati janji. Dia malahan pergi ke sebuah kebun jeruk dan menikmati keharuman limau-limau ranum itu.
"Aku hargai kau, Peto Alam, sebagai pria bujangan, bicara langsung melamar puteriku. Tapi aku pun ingin menjawabuya secara jantanAKU MENOLAK
LAMARANMU DAN TAK KURIDOI JIKA KALIAN BERDUA KAWIN LARI
" Gumara terperangah. Airmatanya berlinang. Tapi anehnya, jiwanya tenteram dan langkah mereka berdua makin hati-hati. Derak suara dahan yang terpijak seakan menimbulkan gema. Kadangkala keduanya berhenti karena keraguan akan sesat.
Mendadak Gumara merinding. Dan berbisik; "Bau apa yang kau rasakan?"
"Bau bangkai", ujar Harwati.
"Tentu ada salah seorang tua di sekitar sini", ujar Gumara.
Harwati mendadak merinding lagi. Dipegang eratnya lengan Gumara, lalu dia berbisik
"Kau rasakan bau menyan?"
"Ya, bau setanggi", ucap Gumara.
"Kita berhenti dahulu", ucap Harwati gemetaran.
Dia belum pernah segemetar pagi berkabut begini. Tadi pun sudah ada kabut ketika dia ke rumah Gumara, lewat jalan ini juga. Tapi kini tambah tebal. Dan itu mempertebal kengeriannya kini !
"Ada bayang sosok mendekat", bisik Harwati.
Gumara berdiam diri. Mendadak angin kencang berhembus ketika bayangan sosok manusia mendekat itu semakin dekat. Kabut terusir oleh derasnya angin. Dan makin nyatalah siapa yang mendekat itu.
"O, Kau, Hura Gutali", ujar Gumara geram.
"Apa yang kau mau lakukan?"
Koleksi Kang Zusi "Aku, bersama seluruh murid yang setia ke Ki Cangan siap menghabisimu. Dan kau harus tahu, bahwa Pita Loka sekarang sudah sealiran dengan kami. Kau berdua perlu dihabisi", kata Hura Gutali.
"Ingatlah kau Jagoan muda usia. Bahwa siapa pun manusianya, di Kumayan ini harus mengenal pantangan. Disini pantang berdemdam," ujar Gumara, yang mendadak dilihat Hura Gutali menjelma menjadi seekor harimau. Tapi Gumara sendiri tidak menyadari dirinya berubah bentuk. Geraknya bagai siap untuk menerkam. Dan Hura Gutali ingin mengalihkan perhatian Gumara dengan jalan seakan-akan hendak menerkam Harwati. Ketika Hura Gatali siap untuk melakukan, tendangan suara mengaum yang mengerikan Gumara sekaligus menerkam Hura Gutali. Hura Gutali berteriak kesakitan terkena cakaran, dan dengan meraung-raung kesakitan di melarikan diri. Sementara itu Harwati hanya berdiam diri bagai patung.
"Heran, ilmu apakah yang kau punyai sehingga dia meraung setelah kau serang", kata Harwati.
"Ilmu rasional saja, tanpa mantera. Ada aksi, ada reaksi. Tindakanku tadi diluar dugaanku, diluar kemauanku, datang saja secara mendadak", kata Gumara. Cepat Harwati berkata, "kalau begitu ilmumu diwarisi ketika anda lahir. Jadi tanpa menuntut-nuntut!"
Lelaki tua itu batuk-batuk sejenak. Lalu, "Mari kulanjutkan alasanku menolak lamaran, Pertama kedatanganmu menemuiku karena disuruh ibumu, bila ke Kumayan, kau harus pertama kali menemuiku. Kau tahu, ibumu adalah wanita yang paling cantik" Dia bukan isteriku. Dia isteri seseorang yang malah tidak aku kenal. Dan ketika namaku termashur sampai jauh ke luar Kumayan, ibumu muncul ingin berobat padaku karena katanya dia mandul. Ingat, namaku ketika itu Ki Dukun Gumilang.
Aku pada mulanya bukan berniat cabul pada ibumu. Tapi aku maupun dia, begitu saling pandang pertama kali, sama-sama jatuh cinta. Demikianlah, tiap dia berobat padaku, kami melakukan hubungan gelap. Harap kau jangan sedih, itu semua bukan atas kemauanku. Lalu dia hamil. Sejak hamil tua dia tak ke sini lagi hingga hari ini.
Sempat aku pesan padanya, agar kalau dia melahirkan, berilah nama anaknya Peto Alam. Tapi entah bagaimana dia menambah nama itu menjadi Gumara Peto Alam.
Dalam bahasa kami di sini, dalam kamus kuno, Peto artinya Putera . Jadi Gumara adalah putera alam. Tapi kenapa kau tidak sedih?"
Gumara berdiam diri. Dia terus berdiam diri. Tapi dalam diam itu jantungnya bergerak teratur, dan batinnya menyatakan ingin mengobati Ki Lebai Karat dan ingin mengembalikan wibawanya. Lalu dia menoleh pada Ki Lebai Karat. Lelaki tua itu terheran-heran, "Izinkan aku menyebut tuan dengan sebutan Ayah . Aku tak menolak takdir ini. Kuterima takdir ini. Coba bangunlah ayah , semoga ayah telah kusembuhkan".
Ki Lebai Karat tercengang. Dia langsung bisa duduk. Dan tetap tegar berdiri.
"Bagaimana caranya melunakkan hati Harwati" Bukankah dia adikmu, biarpun adik tirilah namanya namun dia sedarah denganmu, sama-sama titisanku!", ucap Ki Lebai Karat.
"Akan kurubah secara berangsur lewat kekuatan batin yang kini makin yakin aku, Koleksi Kang Zusi
bahwa ini kumiliki sebagai rahmat Maha Pencipta Alam, secara gaib. Ayah tak perlu merisaukannya. Aku akan mencoba secara sabar dan berangsur-angsur agar cintanya padaku pupus perlahan." Gumara semakin tenang. Juga dia tenang tanpa haru ketika Ki Lebai Karat, ayah kontannya, memeluknya erat. Dan ketika itulah Harwati masuk lagi dan mendapatkan Gumara dan ayahnya sedang berpeluk erat. Dia tentu mengira, lamaran Gumara diterima ayahnya. Padahal perkiraan itu meleset. Perkawman itu tidak akan terjadi, tidak pernah akan dia alami, selama-lamanya.
Ketika Gumara pamitan, Harwati melepas kepergiannya dengan hati yang sangat-sangat, sangat bahagia. Ki Lebai Karat pun lega saat itu, dan beliau pantas merasa bahagia yang paling bahagia da!am hidupnya.
TAMAT Memanah Burung Rajawali 19 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Kucing Suruhan 3

Cari Blog Ini