Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 1

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 1


Hari bahagia bagi si dungu.
Han1977 26 December 2011 at 7:48pm
Composed by: www.cersilanda.com (fbms)
Malam gelap, ribuan bintang bercahaya di langit. Seorang pemuda dengan tekun berulang-ulang melatih jurus yg sama.
Tubuhnya tinggi tegap, melampaui pemuda lain yg seumuran dengannya. Seluruh bajunya sudah basah kuyup dengan
keringat. Terkadang dia bergerak dengan mantap, tapi tidak jarang dia bergerak dengan lambat seakan ragu, gerakan apa yg harus dia lakukan selanjutnya. Alisnya berkerut, merenungkan gerakan yg sedang dia lakukan. Beberapa kali dia mengulang dan terhenti pada gerakan yg sama. Sampai akhirnya dia berhenti dan melemparkan tubuhnya ke tanah yg berumput tebal. Sesaat kemudian terdengar dia mengeluh,"Ahh... dasar otakku memang bebal, yang lain sudah semakin maju dan
mempelajari jurus-jurus yg baru, tapi aku baru jurus-jurus dasar pun aku belum menyelesaikan semuanya."
Sambil mencabuti rumput dia bergumam pada diri sendiri, "Untuk apa aku berlatih siang dan malam" Tuan besar Huang Jin juga tidak mengharap banyak dari seorang tukang kebun seperti aku."
"Akupun tidak mengharap pekerjaan yang lain, mengatur kebun bunga dan menanam sayuran lebih menyenangkan
daripada melelang nyawa menjadi pengawal pribadi Tuan besar Huang Jin."
Dengan kemalas-malasan dia berdiri, dilepasnya baju yg sdh basah kuyup dengan keringat. Bertelanjang dada, dia berjalan melewati, sawah-sawah dan rumah-rumah para pekerja, pemuda itu terus berjalan dengan lesu menuju ke rumah terbesar dan termewah yg terletak di tengah.
Beberapa peronda yg bertemu dengannya mengangguk dan menyapa, "Hei Ding Tao, baru selesai latihan malam?"
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum ramah, "Iya paman, sebentar lagi akan diadakan ujian kenaikan tingkat."
"Semoga kau lulus tahun ini."
"Ya, terima kasih paman.", Ding Tao menyeringai kecut, dalam hati dia sudah membayangkan bakal gagal ujian kenaikan tingkat untuk kesekian kalinya.
Sampai di pintu belakang dari rumah mewah itu, kembali Ding Tao bertemu dengan para penjaga.
"Habis berlatih?"
"Ya paman.", jawabnya dgn sopan.
"Hmm..., baiklah cepat masuk. "
"Baik paman." Dengan menunduk hormat pada para penjaga, Ding Tao menyelinap masuk dan bergegas menuju kamar tempat di tinggal.
Sesaat sebelum meninggalkan jauh para penjaga itu sempat dia mendengar, sepotong percakapan mereka.
"Anak baik, sayang bakatnya buruk sekali."
" Ya... kemajuannya lambat sekali."
"Padahal dia tidak pernah absen dari jam latihan dan masih berlatih sendirian setiap malam."
"Hmm, setidaknya latihan itu membuatnya sehat."
Dan penjaga yang lain pun tertawa mendengarnya.
Ding Tao hanya tersenyum kecut, dia tahu mereka tidak bermaksud buruk, hanya saja memang demikianlah kenyataannya.
Ketika Ding Tao berjalan melewati sebuah kebun kecil dekat kamarnya, tiba-tiba sesosok bayangan melompat, menghadang
di depannya. "Hyaahh....." Ding Tao yg sedang melamunkan keadaannya pun terkejut bukan kepalang, dia melompat surut ke belakang, memasang
kuda-kuda, jantungnya berdegup kencang.
Melihat Ding Tao yg terkejut tadi, bayangan itu berjalan mendekat sambil terkekeh geli, "Hihi, kena kau, dari mana sih malam-malam."
Seorang gadis berumur belasan berjalan mendekat, gelapnya malam menyembunyikan wajahnya, tapi Ding Tao sangat
mengenal suara itu, cara gadis itu berjalan melenggang, suara tawa yang renyah.
"Nona muda Huang, kau mengagetkanku.", ujar Ding Tao sambil mendesah lega, tanpa terasa sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.
"Tapi apa yang nona lakukan malam-malam seperti ini. Kalau ayah nona tahu, dia akan marah."
"Huuhh, aku tidak bisa tidur, jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman.", jawab gadis itu sambil mencibir.
Ding Tao tergelak mendengar jawaban gadis itu, entah mengapa dia merasa bahagia setiap kali berada di dekatnya, "Tapi nona, tidak baik kalau nona keluar malam-malam bertemu dengan lelaki seperti begini sendirian."
"Aku kan cuma kebetulan saja bertemu denganmu."
"Tapi tetap saja nona, bisa menimbullkan kesan yg kurang baik."
Gadis itu mencibir tapi tidak membantah, "Ah... Ding Tao, sekarang kamu rewel sekali, seperti kakek-kakek saja. Baiklah aku akan masuk kembali ke kamar."
Sambil berbicara tidak terasa kedua pemuda dan pemudi itu semakin mendekat. Ketika si nona muda melihat Ding Tao yang
tidak berbaju, mukanya pun jadi bersemu merah dan tanpa terasa nona muda itu pun memekik kecil, "Aihh.... idih... idih...
tidak tahu malu." Terkejut dan malu gadis itu pun membalikkan badan dan berlari kembali ke kamarnya, entah mengapa jantungnya
berdegup kencang. Terbayang tubuh yang tegap dan dada yang bidang, dengan otot liat yang terbentuk seperti pahatan.
Ding Tao yang baru sadar akan keadaan dirinya jadi gelagapan dan terbata-bata ingin meminta maaf, tapi tidak tahu apa
yang harus dikatakan. Tapi setelah beberapa langkah gadis itu berlari, dia berbalik dan tersenyum manis dengan muka yang masih bersemu
merah, "Ding Tao, semoga ujian nanti kamu lulus ya."
Berkali-kali dia sudah mendengar ucapan yg sama, tapi tatkala ucapan itu keluar dari nona muda itu, hatinya serasa
mengembang, dan dengan senyum lebar dia menjawab, "Tentu nona, ujian nanti, ujian nanti saya pasti akan lulus."
Tersenyum manis nona muda itu mengangguk dan pergi meninggalkan Ding Tao sendiri. Ding Tao berdiri memandangi
sosoknya yang bergoyang gemulai, dia berdiri diam sampai nona muda itu tidak terlihat lagi olehnya, sebelum dia berbalik memasuki kamarnya.
Senyumnya tidak juga hilang, meskipun dia sudah merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Membayangkan bagaimana dia
akan lulus ujian beberapa hari lagi, membayangkan kegembiraan nona muda itu saat dia lulus nanti.
Tapi ketika dia teringat akan kegagalannya dalam menjalankan jurus-jurus dasar hingga tamat, senyum itupun menghilang,
digantikan desah kegalauan.
"Hmm... kalau kali ini aku gagal lagi, tentu nona akan sangat kecewa..."
Membayangkan wajah nona muda yg kecewa, dia menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan, "Kali ini harus berhasil."
Perlahan dia bangkit dari tempat tidur, berlatih, berusaha memecahkan masalah yang dihadapinya.
Demikian berhari-hari Ding Tao mencurahkan segenap pikiran dan kekuatannya untuk dapat menguasai jurus-jurus dasar
keluarga Huang, hingga harinya tiba. Setiap kali ditemuinya jalan buntu yang membuatnya terduduk lesu, senyum nona
muda yang manis menghalau kegalauan dan memberikannya semangat untuk maju.
---------- o ---------- Hari itu dari tahun ke tahun, selalu menjadi hari yg istimewa, hal ini ada sebabnya.
Kakek buyut Tuan besar Huang Jin, cikal bakal berdirinya perkampungan keluarga Huang, adalah seorang tokoh persilatan
yang cukup disegani oleh kawan dan lawan.
Meskipun pada perkembangannya keluarga Huang lebih condong untuk mengembangkan usaha mereka dalam pertanian
dan perdagangan, namun mereka tidak pernah lalai untuk menjaga nama baik yang sudah dipupuk oleh pendirinya dalam
dunia persilatan. Keluarga Huang bukanlah golongan nomor satu yang bisa merajai dunia persilatan, tetapi keluarga Huang juga tidak ingin
menjadi golongan kelas kambing yang bisa diinjak-injak dan dijadikan sapi perahan. Sadar bahwa dunia persilatan adalah
dunia yang mengandalkan tajamnya pedang dan kerasnya kepalan tangan, Tuan besar Huang Jin pun tidak lupa untuk
memperdalam ilmu bela diri.
Tanah miliknya cukup luas dan cabang-cabang usahanya pun ada di beberapa kota. Mereka yang menjadi penanggung
jawab di tiap-tiap tempat, bukan hanya menjadi pengelola usaha keluarga Huang, tapi juga menyandang nama keluarga
Huang dalam dunia persilatan.
Itu sebabnya posisi-posisi penting dalam keluarga Huang, haruslah dipegang mereka yang sudah mapan ilmu bela dirinya.
Dalam hal mempercayakan tanggung jawab ini, Tuan besar Huang Jin adalah orang yg memiliki pandangan yang cukup
terbuka. Posisi-posisi yang penting bukan hanya disediakan untuk anggota keluarga yg bertalian darah saja, tapi setiap mereka yang berada dalam organisasinya mendapatkan kesempatan yang sama. Mereka yang benar-benar berbakat, kemudian ditarik
menjadi bagian dari keluarga besar Huang, ada yang lewat perjodohan dengan salah satu keluarga Huang Jin, ada pula
yang kemudian diadopsi menjadi anak dari salah satu keluarga Huang.
Dengan jalan ini, keluarga Huang tidak pernah kekurangan orang berbakat dan semakin disegani baik dalam dunia
perdagangan maupun dalam dunia persilatan.
Dan salah satu upaya keluarga Huang untuk menyaring orang-orang yang berbakat ini adalah lewat ujian kenaikan tingkat
yang dilakukan pada hari tersebut.
Itulah sebabnya mengapa hari itu menjadi hari yang istimewa bagi setiap anggota perkampungan keluarga Huang.
Salah satu kisah sukses dalam pertandingan itu adalah Chen Hui, yang ayahnya bekerja sebagai penggembala ternak, ayah
dari Tuan Besar Huang Jin. Berhasil menjadi peserta terbaik pada ujian kelulusan yang diadakan pada masa mudanya, dia
kemudian ditarik menjadi pengawal pribadi ayah Tuan besar Huang Jin.
Setelah beberapa tahun menjadi pengawal pribadi, dia dipercaya untuk mengawasi usaha kain keluarga Huang di kota
Chang Sha. Tidak lama kemudian, dia diambil menjadi menantu oleh salah seorang paman Huang Jin.
Memang mereka yang mendapatkan nasib baik seperti Chen Hui hanya bisa dihitung dengan jari, karena selain kemampuan
bela diri, keluarga Huang juga melihat sifat-sifat lain dari orang yang bersangkutan.
Tapi setiap mereka yang berhasil menunjukkan bakatnya dalam ilmu bela diri, tentu mendapatkan kedudukan yang cukup
baik dan bagi mereka yang merasa berbakat, inilah kesempatan mereka untuk menonjolkan diri.
Setiap anak-anak dalam perkampungan tuan Huang, termasuk mereka yang bekerja di cabang perusahaan, diwajibkan
untuk mempelajari dasar-dasar ilmu keturunan keluarga Huang.
Ilmu silat keluarga Huang sendiri bersumber dari Shaolin, yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu tangan kosong dan
ilmu pedang keluarga Huang, oleh kakek buyut Huang Jin.
Terdiri dari 12 jurus dasar, 9 jurus dasar tangan kosong dan 3 jurus dasar pedang.
Setelah menginjak usia belasan, maka pemuda-pemuda itu akan didorong untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat, dan jika
mereka berhasil lulus, akan diajarkan pada mereka jurus-jurus lanjutan yang terdiri dari 36 jurus pedang keluarga Huang.
Kebanyakan dari anggota perkampungan keluarga Huang ada dalam tingkat ini, yang kemudian disesuaikan menurut
pengamatan para pelatihnya akan mendapatkan peringkat-peringkat sesuai dengan kemampuannya. Pada hari ujian
kenaikan tingkat ini pula diadakan pertandingan bagi mereka yang sudah mempelajari jurus lanjutan, dan menjadi ajang
bagi mereka yang ingin menunjukkan kemajuan mereka dalam hal ilmu bela diri.
Jurus-jurus tingkat atas yang menjadi jurus andalan, hanya diperuntukkan keluarga Huang sendiri.
Kemudian ada pula jurus rahasia yang hanya disampaikan oleh pimpinan keluarga, kepada keturunan keluarga Huang yang
dipercaya untuk mewarisi kedudukan sebagai pemimpin keluarga.
--------- o --------- Beberapa hari sebelum hari istimewa itu, para pengurus usaha keluarga Huang yg berada di beberapa kota lain pun mulai
berdatangan. Baik yang datang sendiri, maupun yang datang bersama-sama dengan keluarga dan orang kepercayaannya.
Sahabat-sahabat dekat keluarga Huang pun turut berkunjung, orang-orang tua dan berjenggot yang pernah memiliki nama
besar. Wajah-wajah keras dan tubuh berotot yang pekerjaannya dalam dunia persilatan hanya disampaikan dengan bisikbisik dan dari mulut ke mulut. Guru-guru silat yg terkenal dengan murid andalannya. Pendek kata berbagai macam
golongan hari itu berkumpul.
Kedatangan mereka itu sudah menjadi satu keramaian tersendiri, baik mereka yang berjumpa setelah setahun penuh tidak
bertemu, maupun pembicaraan ttg orang-orang yang mereka bawa, yang tentunya dipandang memiliki kelebihan dan
kisahnya sendiri. Yang sudah tua, ramai membicarakan perkembangan keluarga Huang dan kisah-kisah di masa lalu. Yang masih muda ramai
membicarakan harapan mereka di masa depan, tidak luput juga mereka membicarakan kecantikan atau ketampanan dari
pemuda yang ini atau gadis yang itu.
Pada hari itu hampir seluruh kegiatan dalam keluarga Huang dihentikan, bahkan penjagaan pun tidak seketat biasanya,
maklum saja hampir seluruh dedengkot keluarga Huang sedang berkumpul sehingga sulit dibayangkan bakal ada orang
yang berani mencari gara-gara di hari itu.
Setelah upacara sembahyangan di pagi hari dan upacara syukuran yang dipimpin seorang pendeta tao, maka tiba saatnya
untuk anak-anak muda yang bekerja di keluarga Huang untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Hari itu kurang lebih ada 23 orang yang mengikuti ujian kelulusan, 7 di antaranya dibawa dari cabang perusahaan keluarga Huang.
Ujian itu dilaksanakan di sebuah lapangan yang cukup luas, di salah satu sisinya didirikan beberapa tenda besar, tempat orang-orang penting dalam keluarga Huang dan undangan-undangan duduk.
Ketika mereka masuk ke dalam lapangan, tepuk tangan pun terdengar. Beberapa orang terdengar bersuit, ada juga yang
memanggil-manggil nama orang yg mereka kenal. Salah satunya adalah nona muda kelurga Huang yang berteriak cukup
keras, "Ayo Ding Tao!! Semangat !!"
Ding Tao yang sedari tadi menunduk pun mendongakkan kepala, wajahnya yang bersemu merah, semakin bersemu merah.
Dilihatnya nona muda keluarga Huang melambaikan tangannya, sampai salah seorang kakak lelakinya menarik tangannya
sambil tertawa besar. Ding Tao yang berada di antara 23 orang itu pun merasa berdebar-debar. Wajahnya yang bersemu merah lebih banyak
menunduk, dalam hatinya dia merasa malu, karena peserta yang lainnya berumur jauh lebih muda dari dirinya. Apalagi
Ding Tao termasuk tinggi untuk pemuda seusianya, sehingga dia jadi lebih menonjol lagi dari ke-23 orang itu.
Sekilas dilihatnya di deretan terdepan, Tuan besar Huang Jin, bersama isteri dan anak-anaknya, sedang bercakap-cakap
dengan salah satu undangan, seorang laki-laki berusia 40-an, kumis dan jenggotnya yang lebat ditata rapi, badannya tinggi tegap menambah wibawanya.
Di sebelahnya seorang pemuda yang tampan dengan senyum yang menawan, yang sibuk berusaha mengajak nona muda
keluarga Huang untuk mengobrol.
Setelah seluruh peserta berbaris rapi di dalam lapangan, Tuan besar Huang Jin berdiri dan memberikan kata sambutan.
Tiba-tiba Ding Tao merasa sebal dengan pemuda tampan itu. Dia sendiri merasa heran apa sebabnya dia merasa sebal,
kata-kata sambutan dari Tuan besar Huang Jin pun tidak sepenuhnya masuk dalam ingatannya, setiap kali dia menegakkan
kepala tentu yang dilihatnya adalah pemuda tampan itu, yang berusaha memikat si nona muda.
Sifat nona muda keluarga Huang memang terbuka dan sedikit kelaki-lakian, dengan cepat merasa akrab dengan sahabat
barunya. Ketika Ding Tao melihat pemuda itu akrab dengan nona muda keluarga Huang, semakin lama semakin sebal pula hatinya.
Tiba-tiba dia tersadar bahwa Tuan besar Huang Jin sudah selesai dengan kata sambutannya dan para peserta mulai
menyebar dan bersiap untuk mendemonstrasikan jurus-jurus.
Ding Tao pun segera bersiap,
Pertama-tama mereka menjalankan 9 jurus dasar tangan kosong. Satu demi satu, jurus diperagakan, meskipun semuanya
memperagakan jurus yang sama, terdapat perbedaan-perbedaan dari seorang dengan yang lain.
Beberapa memperagakan jurus-jurus itu dengan setiap kembangan-kembangannya yang membuat jurus-jurus itu terlihat
lebih indah tanpa mengurangi kekuatannya.
Yang lain lebih menonjolkan kekuatan dari jurus itu, memperagakannya dengan gerakan yg lebih sederhana tapi cepat dan
keras. Ada juga yang lebih memperhatikan ketepatan perubahan dari tiap jurus, bergerak dengan tenang, tidak terlalu cepat, tidak pula lambat, setiap gerakan tampak mengalir sambung menyambung. Namun dengan mudah bisa dilihat mereka
memperagakan jurus yang sama.
Ding Tao termasuk mereka yang memperhatikan tiap detail, tiap kembangan dan setiap bagian terkecilnya, hanya sayang
meskipun gerakannya mantap tapi tak seindah yang lain.
Seorang lelaki tua dengan baju hitam sederhana, mondar-mandir, memperhatikan gerakan tiap-tiap orang, dia adalah
pelatih Gu, Gu Tong Dang. Orang tua ini sudah berumur 70-an, menjadi pelatih silat keluarga Huang sejak Tuan besar
Huang Jin masih muda. Ilmu silatnya bukanlah yang terbaik, tapi bakatnya dalam sebagai pendidik sulit dicari
bandingannya. Matanya pun jeli dalam menilai bakat seseorang.
Dia juga yang bertanggung jawab untuk melatih Ding Tao dan atas penilaiannya pula Ding Tao tidak pernah diluluskan pada ujian tahun-tahun sebelumnya.
9 jurus dasar tangan kosong selesai diperagakan, penonton pun memberikan tepuk tangan. Pedang dibagikan krn setelah ini mereka akan memperagakan 3 jurus dasar pedang keluarga Huang.
Ding Tao menyempatkan diri untuk melihat sekilas ke arah nona muda Huang, hatinya terasa mengembang saat dilihatnya
gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. Bagaimanapun juga gadis itu memperhatikan dirinya. Tapi ketika terlihat olehnya pemuda tampan di sampingnya, jantungnya berdegup dan tangannya mengepal kencang, pemuda itu sedang memandang
dirinya dengan pandangan mencemooh.
Sesaat lamanya pandang mata mereka beradu dan ketidak sukaan berkembang di hati keduanya.
Ding Tao tidak berlama-lama memikirkan hal itu, dia sadar saat ini dia harus memusatkan pikirannya pada ujian yang dia
hadapi. Pedang-pedang selesai dibagikan, sekali lagi ke 23 peserta berbaris rapi dan menunjukkan kebolehan mereka, 3 jurus
berlalu dengan cepat dan tibalah saatnya Gu Tong Dang menyampaikan hasil ujian hari itu.
Dengan langkah-langkah yang tenang dia berjalan ke arah Tuan besar Huang Jin, membawa selembar kertas di tangannya.
Tersenyum-senyum, kakek tua ini sesekali melirik ke arah para peserta yang memperhatikan tiap langkahnya dengan wajah
tegang. Entah sudah berapa puluh kali dia menjalani ritual yang sama, tapi tidak pernah bosan dia memandangi wajah-wajah muda
penuh semangat itu. Selembar kertas itupun berpindah tangan, Tuan besar Huang Jin membaca hasil penilaian Gu Tong Dang untuk beberapa
saat. Perhatian segenap mereka yang ada di lapangan itupun tertuju pada Tuan besar Huang Jin, ketika Tuan besar Huang Jin
tampak menggelengkan kepalanya, setiap orang pun bertanya-tanya, ada apa gerangan.
Ketegangan pun mulai merayap, ketika Tuan besar Huang Jin tampak berdiskusi dengan Gu Tong Dang, apalagi ketika
beberapa orang kepercayaan dalam keluarga Huang dipanggil berdiri dan turut ikut menyampaikan pendapatnya.
Inilah satu kejutan bagi mereka yang sudah menyaksikan ritual yang sama selama bertahun-tahun, biasanya hasil penilaian Gu Tong Dang selalu diterima Tuan besar Huang Jin tanpa pertanyaan, sepertinya tahun ini berbeda dengan tahun
sebelumnya. Setelah beberapa lama berdiskusi tampaknya mereka mencapai satu kesimpulan yang sama. Masing-masing kembali ke
tempat duduknya sementara Tuan besar Huang Jin dengan langkah yang tegap maju ke depan.
Seperti suara daun yg berdesir-desir, terdengar bisik-bisik di antara penonton yang berada di pinggir lapangan, semuanya sibuk ikut berbisik, mempercakapkan keanehan pada tahun ini.
Tuan besar Huang Jin pun berdehem keras dan mengangkat tangannya sebagai tanda agar semuanya diam.
Setelah mendapatkan perhatian dari setiap orang, maka mulailah dia membacakan hasil ujian.
Suaranya menggema dilambari tenaga dalam, terdengar ke seluruh penjuru dengan jelas.
"Kita sebagai bagian dari keluarga Huang, tidak pernah lalai akan asal usul kita sebagai orang-orang dari dunia persilatan."
"Tidak pernah lalai akan nama besar pendiri perkampungan ini."
"Tidak pernah lalai dalam mengasah dan memperdalam ilmu yang sudah menjadi warisan keluarga Huang dari generasi ke generasi berikutnya."
"Hari ini kita mengadakan satu ujian, bagi generasi yang baru, satu tahapan bagi mereka untuk membuktikan bahwa
mereka layak untuk dipercaya..."
"Memperdalam dan memperkaya ilmua warisan keluarga Huang."
"Dan hasil dari ujian tahun ini..."
Entah sengaja atau tidak, atau dari kebiasaan Tuan besar Huang Jin memberikan jeda sebelumm mengumumkan hasil
ujian, tentu saja membuat setiap orang dengan berdebar menunggu.
"Seluruhnya lulus !!!"
Sorak sorai pun terdengar dari berbagai penjuru, wajah para peserta ujian pun menunjukkan kelegaan. Bagi Ding Tao dan
beberapa peserta yang lain yang sudah takut tidak akan lulus ujian yang ada hanya kelegaan yang besar tetapi bagi
beberapa peserta yang lain dan juga sebagian besar penonton masih ada pengumuman yang mereka tunggu-tunggu, yaitu
peserta yang lulus ujian dengan nilai terbaik.
Ketika gemuruh sorak sorai mulai mereda, Tuan besar Huang Jin pun melanjutkan,

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan peserta dengan nilai terbaik adalah... Ding Tao !!!" Gemuruh sorak sorai mengalahkan sorak sorai sebelumnya, maklum penonton terbanyak tentu mereka yang tinggal di perkampungan keluarga Huang, dari cabang- cabang usaha yang tersebar di beberapa kota, jumlahnya mungkin hanya dua-tigapuluh orang, sementara Ding Tao mempunyai hubungan yang baik dengan seluruh penduduk di
situ. Apalagi semua orang mengetahui ketekunannya selama bertahun-tahun berusaha mempersiapkan diri untuk mengikuti
ujian itu, sementara teman-teman sebaya sudah banyak yang mendahuluinya.
Otaknya yang dipandang agak bebal untuk menerima pelajaran silat, justru membuat orang menjadi bersimpati tatkala
melihat ketekunannya yang tidak kenal kata menyerah.
"Ding Tao kemari, maju ke depan.", sambil tersenyum Tuan besar Huang Jin memandang pemuda dungu yang berhasil lulus sebagai peserta terbaik itu, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, lulusan terbaik akan menerima hadiah berupa pedang
berukir huruf Huang di gagangnya.
Pedang itu memang bukan sejenis pedang pusaka yang diperebutkan tokoh-tokoh persilatan, namun pedang itu terbuat dari
baja pilihan yang tinggi kualitasnya dan dibuat dengan ketelitian yang tinggi oleh seorang ahli pembuat pedang yang sudah masuk menjadi salah seorang anggota keluarga Huang.
Dengan dada berdebar-debar Ding Tao maju untuk menerima pedang tersebut, wajahnya memerah karena malu, menjadi
pusat perhatian sekian banyak orang.
Nona muda keluarga Huang tidak hentinya bertepuk tangan.
Sesampainya di depan, Ding Tao tidak lupa membungkuk, memberikan hormat pada Tuan besar Huang Jin. Sambil
menepuk-nepuk pundak Ding Tao, Tuan besar Huang Jin menyerahkan pedang itu, "Selamat, ini semua hasil ketekunanmu
selama bertahun-tahun."
Tiba-tiba di tengah sorak sorai itu terdengar suara yang tidak terlalu keras, namun cukup nyaring untuk terdengar oleh
orang-orang yang berada di bagian depan, "Hebat benar ketekunannya, bertahun-tahun mempelajari jurus-jurus dasar,
mungkin nanti setelah 70-an lebih barulah tamat pelajarannya. Cuma entah, waktu itu dia masih kuat mengangkat
pedangnya atau tidak."
Sontak semua orang yg mendengar itu terdiam dan menoleh ke arah suara itu.
Rupanya si pemuda tampan tadi yang merasa tidak senang nona muda Huang memuji-muji Ding Tao tidak dapat lagi
menahan perasaannya. Dalam hatinya dia tidak bisa menerima, bahwasannya Ding Tao yang dungu dalam pikirannya, bisa
mendapat begitu banyak perhatian. Apalagi setelah dia mendengar cerita orang-orang di sekelilingnya, bagaimana Ding Tao gagal dalam ujian di tahun-tahun sebelumnya.
Semakin dilihatnya wajah Ding Tao yang berseri-seri, semakin sebal pula hatinya, hingga akhirnya tanpa tertahan
muncullah seruan itu. Ketika pemuda itu sadar, ucapannya telah menarik perhatian banyak orang, mukanya pun berubah merah padam, tapi
memang adatnya yg tinggi tidak bisa diubah, apalagi dia tidak merasa salah dengan ucapannya tersebut.
Dalam hati dia menghibur diri sendiri, "Hmm.. perduli apa orang katakan, toh yang kuucapkan itu benar."
Dalam waktu yg singkat lapangan yang tadinya penuh sorak sorai jadi lenggang dan sepi. Tidak sedikit pula peserta yg
merasa dirinya layak menjadi pemenang bersorak dalam hati dan menanti-nanti apa yang akan terjadi setelah ini.
Untuk sesaat tidak ada seorangpun yang bersuara, bahkan Tuan besar Huang Jin yang menjadi tuan rumah pun, kehilangan
kata-kata. Tadinya dia berharap, tamu undangannya, lelaki 40-an dengan kumis dan jenggot yang rapi dipangkas itu, akan
menegurnya, menegur anaknya yang sudah kelepasan omongan.
Tapi setelah ditunggunya beberapa saat, lelaki itu hanya diam saja, dalam hati Huang Jin memaki, otaknya pun berputar
keras. Sebenarnya hubungannya dengan lelaki itu belumlah terlalu akrab, lelaki itu adalah Wang Dou, orang terkuat yang
menguasai daerah di sekitar utara sungai Yangtze. Tuan besar Huang Jin sedang berusaha untuk menjalin hubungan di
antara mereka karena dia berambisi untuk meluaskan usahanya ke daerah utara.
Untuk itu dia membutuhkan hubungan baik dengan orang ini, agar distribusi ke daerah yang baru tidak terganggu.
Tujuannya hari ini mengundang Wang Dou dan anaknya, Wang Chen Jin, selain untuk memperdalam hubungan yang sudah
ada, juga untuk menunjukkan kekuatan dari keluarga Huang.
Bermusuhan tidak menguntungkan, tapi jika Wang Dou memandang dirinya terlalu lemah, juga tidak akan menguntungkan.
Sekarang tampaknya Wang Dou justru berusaha menguji keteguhannya, jika dia mandah saja dihina sedemikian rupa, tentu
Wang Dou akan menganggap dirinya lemah dan bisa menentukan pajak keamanan semaunya sendiri.
Jika dia terlalu keras dalam menyikapi masalah ini, bukan tidak mungkin akan timbul permusuhan yang mendalam di antara
keduanya, karena dalam dunia persilatan, masalah harga diri seringkali menjadi masalah yang pelik.
Tapi bukan Tuan besar Huang Jin yang terlebih membuka mulut, bukan pula Wang Dou, melainkan nona muda Huang yang
setelah hilang kagetnya, berubah menjadi naik darah, "He, apa maksudmu berkata demikian!?"
Sambil berkacak pinggang dia berdiri menantang Wang Chen Jin.
Wang Chen Jin yang ditantang sedemikian rupa oleh gadis yang sudah memikat hatinya jadi tergagap-gagap. Tapi adatnya
memang tinggi, tidak bisa dia mengaku salah ataupun meminta maaf, pun jika itu terhadap gadis pujaannya.
Dengan wajah merah padam dia berusaha membela diri, "Apa salah perkataanku" Jika bukan orang dungu tentu dalam
waktu singkat sudah menguasai jurus-jurus sederhana macam itu. Jika bukan orang tidak tahu malu, tentu dia akan
menolak penghormatan ini. Aku tahu kebaikan hati kalian keluarga Huang, tapi orang dungu dan tidak tahu malu seperti
dia, sudah sepantasnya diingatkan."
Ding Tao yang mendengar jawaban itu dalam hati merasa semakin rendah diri, meskipun di sudut hatinya ada pula rasa
bangga karena nona muda yang dipujanya itu begitu membelanya, tapi sungguh dia berharap peristiwa itu tidak
berkepanjangan. Lebih baik buatnya bila gelar lulusan terbaik itu dicabut dan diberikan kepada orang lain.
Sungguh mati dia tidak mengharapkan gelar itu, asalkan bisa lulus dia sudah sangat bersyukur.
Diliriknya Tuan besar Huang Jin dan dengan terbata-bata dia berbisik, "Tuan besar..., ini... ini... pedang... mungkin memang tidak pantas untuk diriku... aku..."
Tuan besar Huang Jin yang mendengar perkataan itu hanya tersenyum, perlahan dia menepuk bahu Ding Tao dan berbisik,
"Sudah, tenangkan saja hatimu, kita lihat bagaimana, anak Ying, menyelesaikan masalah ini."
Memang majunya si nona muda Huang Ying-Ying ini menyenangkan hati ayahnya, seperti Wang Dou mendiamkan anaknya
menghina Ding Tao untuk menguji dirinya, Huang Jin membiarkan Ying Ying maju melabrak Wang Chen Jin dan melihat
reaksi Wang Dou. Sementara itu Ying Ying yang mendengar pembelaan Wang Chen Jin menjadi semakin marah, maklum seperti Wang Chen
Jin juga nona muda ini, seorang gadis yang tinggi adatnya, sebagai satu-satunya anak gadis dalam keluarga Huang dia
dimanjakan oleh ayah dan saudara-saudara lelakinya, "Apa" Apa" Apa katamu" Dungu" Kau yang dungu!"
Otaknya pun berputar mencari pembelaan untuk Ding Tao dan tiba-tiba teringatlah cerita ayahnya ttg sepak terjang kakek
buyutnya ketika masih aktif dalam dunia persilatan.
"Hmm... kamulah pemuda yang tidak tahu tinggi dan dalamnya ilmu silat. Apa tidak pernah dengar perkataan, dengan 3
jurus pedang Huang Cheng Yan menguasai Wuling" Justru pandanganmu yang lebih dungu dari Ding Tao, tidak bisa menilai
kedalaman suatu jurus."
Ganti si pemuda yang merasa penasaran, tanpa terasa dia meloncat dari kursinya dan menunjuk-nunjuk ke arah Ding Tao
dengan gagang pedangnya, "Apa" Apa" Aku lebih dungu dari kerbau itu" Suruh dia melawan aku dan akan aku tunjukkan
betapa dungunya dia."
Wang Dou yang sejak tadi berdiam diri saja, tiba-tiba berdiri dan menepuk pundak anaknya sambil tertawa-tawa, "Hahaha, dasar anak muda tidak punya sopan santun."
Berpaling dia ke arah Tuan besar Huang Jin dan para tetua keluarga Huang yg lain sambil sedikit membungkukkan badan,
dengan dua tangan rangkap di depan, "Tuan-tuan, maafkan anakku yang masih muda ini, memang orang tuanya ini kurang bisa mengajarkan dia sopan santun. Harap maklum, kami tidak lebih dari orang-orang kasar, yang mempelajari ilmu perang
tapi tidak tahu ilmu surat."
"Tapi memang, orang persilatan, kalau belum beradu pedang dan kepalan, sepertinya belum menjadi kenalan baik.
Bagaimana kalau kita biarkan saja dua anak muda ini bertanding."
Sambil menunjuk ke arah Ding Tao dia berkata, "Biar pahlawan kecil itu memberikan hajaran pada anakku yang kurang ajar ini."
Tuan besar Huang Jin membalas penghormatan Wang Dou dengan penghormatan yang sama, ketika Wang Dou
menawarkan pertandingan antara Ding Tao dan anaknya, dia tidak segera menjawab, bagaimanapun juga ada sedikit
keraguan dalam hatinya, ditengoknya Gu Tong Dang dengan alis terangkat, meminta pertimbangan.
Gu Tong Dang berpikir sebentar, sambil mengamati Wang Chen Jin. Umur pemuda itu tidak jauh berbeda dengan Ding Tao,
dan dia mengajukan Ding Tao sebagai peserta terbaik bukanlah tanpa alasan. Jika sekarang dia menyarankan Tuan besar
Huang Jin untuk menolak pertandingan itu, tentu akan memalukan bagi dirinya sebagai pengajar.
Tapi Wang Chen Jin tentu sudah pula mewarisi ilmu ayahnya, mungkin hampir tuntas, krn seumuran dia memang sudah
waktunya untuk menerima ilmu dengan tuntas, sehingga sisanya hanyalah untuk mematangkan ilmu yang sudah ada.
Pada kasus Ding Tao memang ada perbedaannya, Ding Tao hanyalah seorang anak pembantu yang kemudian dijadikan
tukang kebun dalam keluarga Huang setelah orang tuanya meninggal. Sehingga tidak mungkin akan diajarkan ilmu keluarga
hingga tuntas, kecuali jika Tuan besar Huang Jin tertarik pada bakat anak muda itu dan memutuskan untuk menariknya
menjadi bagian keluarga Huang.
Seandainya Ding Tao memang sedungu anggapan semua orang, tentu Gu Tong Dang tanpa berpikir dua kali akan menolak
pertandingan itu, lebih baik bagi dirinya untuk mendapat malu daripada membahayakan muridnya.
Tapi Gu Tong Dang bukan menunjuk Ding Tao sebagai lulusan terbaik karena belas kasihan. Justru dia melihat satu
kelebihan sendiri dari dalam diri Ding Tao, itu pula sebabnya dia dengan sengaja tidak meluluskan pemuda itu untuk
mendorong pemuda itu untuk mendalami jurus-jurus dasar yang sama selama bertahun-tahun lamanya.
Hanya saja, apakah dengan kelebihannya itu Ding Tao akan mampu menjaga dirinya dalam pertandingan itu"
Hal ini masih menjadi pertanyaan tersendiri bagi Gu Tong Dang. Sebenarnya perkataan nona muda Huang yang
sembarangan itu tanpa sengaja sudah menebak dengan tepat keadaan Ding Tao.
Adalah perkataan orang ttg pendiri keluarga Huang, Huang Cheng Yan, yang membuat Gu Tong Dang sengaja memaksa
Ding Tao mengulang-ulang jurus yang sama dengan cara mencegah pemuda itu mengikuti ujian.
Sejak pertama melatih Ding Tao yang saat itu masih kanak-kanak, Gu Tong Dang melihat kepekaan Ding Tao dalam
menyerap jurus-jurus yang diajarkan. Detail kecil yang tak terlihat orang, bahkan dirinya sendiri, ternyata bisa dirasakan keganjilannya oleh Ding Tao.
Ketika Ding Tao kecil menyampaikan perasaannya pada Gu Tong Dang dan bertanya, mengapa gerakan tangan itu tidak
sedikit lebih ke bawah, mengapa kaki terlalu rapat, dan sebagainya, terbukalah pikiran guru tua itu.
Ding Tao memiliki kepekaan terhadap kewajaran suatu gerakan, bagaimana satu gerakan yang lebih alami dapat
menghasilkan tenaga yang lebih besar, lebih cepat, lebih mudah mengubah kedudukan dan sebagainya.
Sejak saat itu, Gu Tong Dang berusaha mengarahkan Ding Tao untuk merenungkan setiap gerakan yang dia lakukan. Bukan
hanya dari sisi kewajaran alamiah suatu gerakan, namun juga dari sisi strategi dalam sebuah pertarungan.
Itu sebabnya Ding Tao membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum dapat meyakinkan ke-12 jurus dasar itu, karena bagi
Ding Tao setiap gerakan, setiap kedudukan yang diambil tiap-tiap jurus, merupakan satu rangkaian gerak 3-4 langkah ke
depan. Seperti seorang ahli catur memainkan biji caturnya, setiap kali Ding Tao melakukan pembukaan maupun gerakan, dalam
benaknya sudah terbayang apa gerakan selanjutnya, seandainya lawan bereaksi demikian atau demikian.
Kelebihan Ding Tao ini disimpan sendiri oleh Gu Tong Dang yang tidak ingin Ding Tao yang rendah hati itu berubah menjadi sombong, sehingga bakat yang ada menjadi terbuang sia-sia.
Di luar mulutnya selalu menunjukkan kedunguan Ding Tao, sementara secara diam-diam dan lewat perkataan-perkataan
yang sepertinya sambil lalu, dia memberikan petunjuk dan arahan pada Ding Tao tanpa anak itu sendiri menyadarinya.
Dengan berdebar-debar akhirnya guru tua itu mengangguk, meskipun Ding Tao mungkin tidak bisa memenangkan
pertandingan, tapi guru tua itu yakin Ding Tao akan dapat bertahan.
Keluarga Huang tidak akan dipermalukan dan pandangan orang-orang terhadap Ding Tao sendiri tentu akan berubah. Dalam
hati guru tua itu berdoa kepada dewa-dewa dan nenek moyangnya, untuk melindungi murid kesayangannya itu.
Tuan besar Huang Jin yang tadinya masih ragu, melihat keyakinan Gu Tong Dang, akhirnya menepis habis keraguannya,
dengan senyum mengembang diapun menjawab, "Saudara Wang memang bijaksana. Memang urusan anak muda
selamanya membuat orang yang sudah tua menjadi pusing. Kalau hanya dijelaskan dengan kata-kata, tentu selamanya
akan merasa penasaran. Biarlah setelah pertandingan mereka boleh saling menghargai dan menjadi teman akrab."
Dengan perkataannya itu secara tidak langsung Tuan besar Huang Jin, membenarkan perkataan Ying Ying dan dengan halus
mengatakan bahwa jurus-jurus dasar keluarga Huang sudah cukup untuk menghadapi ilmu Wang Dou yang diwarisi Wang
Chen Jin. Wang Dou bukannya tidak merasakan sindiran halus itu, tetapi Wang Dou sudah malang melintang dalam dunia persilatan
selama bertahun-tahun, kontrol dirinya sudah matang, meskipun di dalam hati dia memaki-maki tapi di luaran dia tertawa
senang, "Hahaha, benar sekali, benar sekali. Memang anak muda tidak boleh takut dengan sedikit goresan pedang. Anak Jin, majulah sana, mintalah petunjuk pada engkoh kecil itu."
Wang Chen Jin yang mendengar perkataan ayahnya itu melompat dengan tangkas ke tengah lapangan. Wajahnya
bersemangat, dari perkataan ayahnya dia paham, bahwa meskipun dia harus berhati-hati untuk tidak membunuh lawan,
tapi dia tidak perlu sungkan untuk melukai lawannya.
Sebentar dia melirik ke arah nona muda Huang sambil tersenyum dan berkata dalam hati, "Hmm... nona cantik... akan aku pertunjukkan kelebihanku dari pemuda dungu itu."
Huang Ying Ying yang melihat senyuman itu melengos membuang muka, dipandangnya Ding Tao dengan cemas, dalam
benaknya dia sudah bisa membayangkan bagaimana Ding Tao akan kalah dan terluka.
Ding Tao bukannya tidak melihat itu semua, tapi melihat itu justru membuat semangatnya bangkit. Di depan gadis yang
disukainya, dia ingin menunjukkan kebolehannya atau setidaknya kejantanannya. Dadanya boleh terbelah pedang lawan,
tapi tidak nanti dia akan mundur atau mengeluh.
Jika sebelumnya perasaannya kacau balau dan penuh kekuatiran, ragu akan kemampuannya sendiri, takut jika nanti dia
akan mempermalukan keluarga Huang dan dirinya sendiri. Sekarang perasaan itu semuanya hilang.
Dengan hati yang membara, dia membungkuk hormat pada Huang Jin sebelum pergi ke tengah lapangan, berhadapan
dengan Wang Chen Jin. Tuan besar Huang Jin yang melihat roma wajah Ding Tao merasa terhibur, dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu
tidak akan mempermalukan nama keluarganya. Kalaupun kalah tentu akan kalah dengan gemilang.
Setelah keduanya berhadapan maka Tuan besar Huang Jin pun memberikan arahan, "Hari ini kita akan melakukan
pertandingan persahabatan. Tidak ada dendam permusuhan, baik sebelum maupun setelah pertandingan nanti.
Bertandinglah dengan jujur, sebisa mungkin jaga jangan sampai saling melukai."
Ding Tao mengangguk dengan patuh, "Baik tuan Huang."
Sementara Wang Chen Jin tersenyum-senyum, "Tentu saja paman Huang."
Dalam hatinya Wang Chen Jin sudah merancangkan bagaimana dia akan mengalahkan Ding Tao dengan gemilang, kalau
perlu dia akan memberikan sedikit tanda mata di wajahnya. Atau mungkin mencungkil salah satu bola matanya, semakin
buruk wajahnya semakin baik, supaya dia tidak ada keberanian untuk mendekati Huang Ying Ying. Ayahnya tidak akan
marah dan siap membela dirinya, selama pemuda itu masih hidup saja, tentu tidak akan ada masalah panjang.
"Mulai!!" Segera setelah mendengar aba-aba dari Huang Jin, tanpa menunggu Ding Tao bersiap, Wang Chen Jin menyerang dengan
sigap, ujung-ujung pedangnya tampak berpencaran mengincar titik-titik tubuh yang vital.
Cepatnya serangan itu tidak urung membuat Ding Tao gelagapan, beruntung latihan yang berulang-ulang membuat
tubuhnya bergerak secara refleks untuk menghindar.
Tapi Wang Chen Jin tidak mau melepaskan kesempatan yang baik itu, kakinya bergerak cepat menyusul Ding Tao yang
menghindar, pedangnya kembali tampak bergetar dan memecah menjadi beberapa bayang pedang.
Tapi kali ini Ding Tao sudah mampu mengendalikan perasaannya, pikirannya sudah mulai berkonsentrasi pada ancaman di
depannya, meskipun dia belum sempat memperbaiki kedudukan ataupun mengambil sikap bertahan, tapi dia mampu
menghindar ke posisi yang lebih baik.
Dalam satu gerakan menghindar itu sekaligus pula Ding Tao menarik pedang dari sarungnya.
Serangan Wang Chen Jin yang membadai mulai dihadang oleh pertahanan yang kuat dari DIng Tao.
Gerakan Ding Tao tidaklah rumit, namun setiap gerakannya tepat pada sasaran, menutup setiap celah yang ada.
Tangkisannya bukan hanya menghentikan serangan Wang Chen Jin, tapi juga selalu membuat Wang Chen Jin kerepotan
untuk melanjutkan serangannya.
Ini memang pertarungan yang pertama bagi Ding Tao, tapi entah sudah berapa kali dia melangsungkan pertarungan dalam
benaknya. Perlahan-lahan dia mulai mampu menyesuaikan sikapnya dan mengamati jurus serangan Wang Chen Jin.
Dan pengalamannya bertarung dengan sungguh-sungguh ini membawa kegembiraan baru bagi dirinya. Jika selama ini dia
hanya bertarung dalam angan-angan, sekarang dia melihat bayangannya menjadi nyata, dengan desingan pedang lawan
mengancam dirinya membuat darahnya mengalir deras.
Setiap gebrakan membuat semangatnya semakin terbangun, otaknya berputar keras dan seluruh inderanya menajam.
Seperti seekor ikan yang dilepaskan ke dalam kolam besar untuk pertama kalinya, seperti seseorang yang baru saja berhasil belajar berenang, Ding Tao seperti tidak ada bosannya dengan pengalamannya saat itu. Hilang sudah semua rasa takut dan
keraguan, yang ada hanya ketegangan yang menggairahkan.
Sementara itu bagi Wang Chen Jin, ini bukanlah pertarungan yang pertama bagi dirinya, tapi kesigapan Ding Tao di luar
dugaannya. Seandainya saja dia tidak terlalu menganggap remeh Ding Tao mungkin akan berbeda hasilnya.
Sayang pemuda yang tinggi adatnya ini tidak mau melihat kenyataan. Kegagalannya dalam menyerang tidak juga
menyadarkan dirinya, apalagi hingga saat itu Ding Tao masih belum membalas serangannya.
Akibatnya Wang Chen Jin semakin bernafsu untuk menyerang.
Wang Dou yang menyaksikan pertandingan itu bukannya tidak menyadari kesalahan anaknya, tapi jago tua itu tidak mau
menjatuhkan namanya dengan memberikan petunjuk pada anaknya yang sembrono itu.
Ketika kebanyakan wajah penonton, termasuk nona muda Huang dihiasi kehawatiran. Senyum bangga justru menghiasi
wajah-wajah para jagoan dari keluarga Huang juga menyadari keadaan kedua pemuda itu.
Maklum bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat ilmunya, keadaan kedua pemuda itu tampak jelas bagi mereka.
Ding Tao yang kelihatannya selalu terdesak dan diserang, selalu berhasil menggagalkan serangan Wang Chen Jin dan bukan
hanya menggagalkan serangan lawannya, Ding Tao juga berhasil membuka celah pertahanan lawan.
Jika pada awal-awal Wang Chen Jin masih berhati-hati dan memperbaiki kedudukannya sebelum melancarkan serangan
berikutnya, maka setelah lewat beberapa jurus, mulailah pemuda itu kehilangan kesabarannya.
Wang Chen Jin hampir meledak dengan rasa marah, ketika serangan demi serangan bisa dihadang oleh Ding Tao, emosinya
menjadi semakin terbakar karena dia menyadari bahwa sedari tadi Ding Tao melawannya dengan 3 jurus yang itu-itu saja.
3 Jurus yang remeh tapi sangat mengganggunya.
Lubang-lubang kelemahanpun mulai terbuka dalam setiap serangannya.
Ding Tao yang selalu mengingat perkataan Huang Jin, tidak dengan segera mengambil keuntungan dari celah yang
dilihatnya. Dia kuatir akan melukai Wang Chen Jin terlalu berat.
Kebaikan Ding Tao ini salah dimengerti oleh Wang Chen Jin, tidak pernah terbayang dalam benaknya bahwa Ding Tao
dengan sengaja melepaskan peluang karena mengkhawatirkan keselamatannya.
Jika saja Ding Tao sudah memiliki lebih banyak pengalaman, mungkin Ding Tao akan menyerang melalui celah-celah itu dan
menarik serangannya tepat pada waktunya, untuk menyadarkan lawan akan kekalahannya.
Tapi tidak demikian yang dilakukan DIng Tao, setiap celah yang dia lihat, hanya diisi dengan serangan bayangan dalam
otaknya. Diam-diam dia sudah memasukkan 7 serangan mematikan ke arah Wang Chen Jin, tapi bukan itu yang dia tunggu.
Wang Chen Jin pun menganggap hal itu sebagai hasil dari ketidakmampuan Ding Tao. hingga dalam satu waktu Wang Chen
Jin menyerang tanpa memperhatikan lagi pertahanannya.
Dalam benaknya Ding Tao tidak akan mampu menghindar, kalaupun menghindar Ding Tao tidak akan mampu mengambil
kesempatan untuk menyerang dirinya.
Bagaikan kilat Wang Chen Jin bergerak hingga bayangannya tampak seperti menyerang dari dua arah sekaligus.
Serangan yang pertama hanyalah tipuan, ketika Ding Tao bergerak seperti yang dia harapkan, Wang Chen Jin dengan cepat
mengubah posisi tubuhnya dan menyerang dari arah yang berlawanan.
Di luar dugaan, Ding Tao justru bergerak lebih cepat lagi memotong pergerakan Wang Chen Jin, belum sempat serangan
kedua dilancarkan, selarik cahaya pedang berkelebat menetak pergelangan tangan Wang Chen Jin.
Serangan Wang Chen Jin yang membadaipun bagaikan dihentakan angin topan, seperti layang-layang yang putus talinya.
Hawa pedang menyurut hilang, yang tertinggal hanyalah dua orang pemuda yang saling berhadapan.
Ding Tao yang berdiri dengan tegap dengan pedang di tangan.
Dan Wang Chen Jin yang menyeringai kesakitan, tangan kirinya memegangi tangan kanan yang sudah membengkak biru,
tidak mampu lagi menahan pedangnya yang meluncur jatuh ke bawah.
Sekali lagi sorak sorai memecahkan suasana.
Para penduduk perkampungan keluarga Huang berlompatan gembira, mengelu-elukan pahlawan mereka hari ini.
Para tamu dan undangan yang sudah bersahabat dekat dengan keluarga Huang pun ikut memuji dan memberikan selamat
pada anggota keluarga Huang yag kebetulan duduk di dekat mereka.
Tuan besar Huang Jin pun tidak menutupi kegembiraannya, akan tetapi dia tidak juga lupa dengan kepentingan bisnisnya di utara. Dengan segera dia menghampiri kedua pemuda itu,.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terhadap Ding Tao dia menepuk pundak pemuda itu dan mengucapkan pujian singkat, "Bagus, sekarang pergilah dan cari uwak Guan untuk mengobati luka tuan muda Wang."
Kemudian dibimbingnya Wang Chen Jin yang terluka kembali ke tempat duduknya.
Wajah Wang Dou memerah, untuk sesaat dia kelihatan seperti tokoh Guan Yu dalam kisah-kisah kepahlawanan jaman
dahulu. Tapi dengan cepat dia bisa menguasai dirinya dan buru-buru menyambut kedatangan Tuan besar Huang Jin dan
anaknya. Dengan tertawa-tawa dia membungkuk memberi hormat pada Huang Jin, "Sungguh tepat perkataan orang, ilmu keluarga
Huang memang benar-benar dahsyat, siapa sangka dengan 3 jurus menaklukkan Wuling, hari ini dengan mata kepala
sendiri bisa aku saksikan."
Tuan besar Huang Jin pun segera mengulapkan tangannya, "Tentu tidak demikian, masalahnya anak-anak muda sering
terburu nafsu, jika anak Wang lebih dingin tentu hasilnya akan berbeda."
Untuk beberapa saat keduanya berbasa-basi saling memuji dan merendahkan diri, dalam hati entah siapa yang tahu.
Nona muda Huang pun berceloteh seperti seekor burung menyambut pagi, saudara-saudara lelakinya tertawa terbahakbahak mendengar celotehannya.
Huang Ren Jie, saudara yang tertua akhirnya menghentikan celotehannya itu. Si nona muda yang kena tegur pun jadi sadar
dan memerah mukanya. Salah seorang tamu, menggoda si nona muda dan meledaklah tawa mereka sekalian yang
mendengarnya. Tak lama kemudian seorang tabib datang untuk merawat Wang Chen Jin, kemenangan Ding Tao menghapuskan kemarahan
Huang Ying Ying dan dengan penuh perhatian dia ikut pula membantu tabib itu merawat luka Wang Chen Jin.
Luka itu sendiri tidak membahayakan jiwa, namun pukulan Ding Tao ke arah pergelangan tangan Wang Chen Jin cukup
keras, meskipun hanya menggunakan lempeng pedang yang tidak tajam, tapi pergelangan Wang Chen Jin pun
membengkak dan untuk beberapa lamanya tidak bisa digunakan.
Hari itu pun dilewatkan dengan banyak kegembiraan bagi keluarga Huang dan Ding Tao khususnya. Gu Tong Dang pun
mendapatkan pujian karena kejeliannya menemukan bakat-bakat baru bagi keluarga Huang.
Wang Dou pun bukan orang yang berpikiran pendek, jika dia hanyalah jagoan pedang yang tidak memikir panjang ke depan
dan mendahulukan perasaan, sudah tentu dia tidak akan mencapai kedudukannya yang sekarang.
Kerja sama antara dirinya dan Tuan besar Huang Jin akan membawa keuntungan bagi mereka berdua dan itu lebih penting
daripada sekedar mengikutii emosi karena tersentuh harga dirinya.
Apalagi Tuan besar Huang Jin dan keluarganya pandai membawa diri, ketika pesta hari itu berakhir Tuan besar Huang Jin
dan Wang Dou pun mencapai kesepakatan kerja sama yang memuaskan keduanya.
Untuk sesaat segala sesuatunya tampak berjalan lancar dan memuaskan. Seandainya saja kisah ini berhenti di sini, tapi
selamanya dunia persilatan penuh dengan kejutan. Dendam dan budi, harga diri dan kehormatan, akibat penasaran seorang
anak muda, gelombang besar yang mengubah wajah dunia persilatan di masa itu pun dimulai.
Wang Dou dan puteranya menghabiskan beberapa malam lagi di kota Wuling, karena meskipun sudah ada kesepakatan
antara Wang Dou dengan Tuan besar Huang Jin, mereka masih ingin berdiskusi lebih jauh dalam masalah pelaksanaannya.
Untuk menemani Wang Chen Jin, maka Tuan besar Huang Jin memerintahkan salah seorang puteranya, Huang Ren Fu dan
puterinya Huang Ying Ying untuk menemani Wang Cheng Jin menjelajahi kota Wuling dan sekitarnya.
Rupanya Wang Dou tidak hanya mengajarkan ilmu pedang pada puteranya, namun juga mengundang guru-guru untuk
mengajarkan ilmu sastra dan pemerintahan. Dengan demikian Wang Chen Jin bisa menjadi sahabat yang menyenangkan
untuk diajak berbicara. Lagipula memang wataknya pandai mengambil hati orang, nona muda Huang pun tidak bisa marah berlama-lama, dan mau
tidak mau mengagumi pemuda yang tampan, pandai dalam ilmu pedang juga berpengetahuan luas. Dan kedua bersaudara
Huang itupun dengan cepat merasa akrab dengan Wang Chen Jin.
Hari itu, mereka bertiga sedang beristirahat di salah satu pondokan yang terdapat dalam taman di perkampungan Huang.
"Saudara Wang, hari ini apa tidak mau jalan-jalan ke kota lagi?", tanya Huang Ren Fu.
"Ya, ya, bukannya kemarin kau berjanji untuk membelikanku sepasang tusuk konde yg berhias mutiara itu?", desak Huang Ying Ying.
Tertawa bergelak Wang Chen Jin menjawab, "Nah, nah, aku pasti tidak lupa janjiku, hanya saja hari ini rasanya aku malas pergi berjalan-jalan, cuaca begitu panas. Kalau kalian tidak berkeberatan lebih baik kita habiskan siang ini di dalam taman ini saja."
"Huuh.. kalau begitu kapan kau belikan aku tusuk konde itu?", rajuk Huang Ying Ying dengan bibir mencibir.
"Wah, mana boleh begitu, saudara Wang ini kan tamu, soal tusuk konde biar aku yang membelikan.", sergah Huang Ren Fu sambil tertawa.
"Tidak, tidak perlu, tusuk konde itu pasti aku hadiahkan pada nona muda Huang sebelum aku pulang. Tapi sungguh mati, cuaca hari ini terlalu panas untukku."
"Janji ya?", sahut Ying Ying dengan mengerling nakal.
"Tentu, tentu, janji seorang laki-laki, lebih berat dari ribuan kati.", jawab Wang Chen Jin sambil tersenyum.
"Saudara Huang, taman ini indah sekali, kalian keluarga Huang memang benar-benar kaya, tentu pengurus taman ini pun bukannya orang yang tidak punya nama. Aku sudah pernah melihat berbagai taman, bahkan di rumah para bangsawan, tapi tidak ada yang seindah taman kalian."
Kedua bersaudara Huang itu pun merasa senang mendengar pujian itu, siapa orangnya yang tidak bangga mendengar
pujian" Huang Ying Ying terkikik geli, "Saudara Wang, orang ternama yang kamu maksudkan itu toh kamu sudah kenal."
Huang Ren Fu yang kuatir Wang Dou teringat lagi dengan kekalahannya tempo hari merasa tidak enak hati dan berusaha
agar adiknya tidak berbicara lebih lanjut, "Ah adik Ying, jangan banyak bercanda."
Tapi Wang Chen Jin justru semakin tampak penasaran dan mendesak, "Wah, orang itu sudah aku kenal" Tapi baru pertama kali ini aku pergi ke wilayah selatan. Lagipula dari mana nona muda Huang bisa tahu kalau aku sudah mengenalnya?"
Lain di wajah, lain pula di hati, sesungguhnya Wang Chen Jin sudah mengetahui siapa tukang kebun yang dimaksud, karena
malam itu sesudah kekalahannya, di kamar mereka menginap, ayahnya mencaci maki habis dirinya.
Dia sudah kalah bertarung melawan tukang kebun keluarga Huang, putera kebanggaannya, kalah melawan seorang tukang
kebun. Betapa sakit hati Wang Dou dilampiaskannya malam itu.
Betapa sakit hati Wang Chen Jin bertumpuk-tumpuk malam itu.
Dalam hati dia bersumpah akan membalas sakit hatinya berkali-kali lipat dan jika Wang Dou seorang yang cerdik dan licin, puteranya pun tidak kalah cerdik dan licin. Adalah Wang Chen Jin yang meminta ayahnya agar menyampaikan pada Huang
Jin, supaya Huang Ying Ying boleh menemaninya selama mereka berada di Wuling.
Pemuda itu dapat menangkap perasaan hati Ding Tao pada Huang Ying Ying, lewat pandang mata dan kebanggaan yg
terpancar dari Ding Tao setiap kali Huang Ying Ying bersorak bagi dirinya.
Setelah beberapa hari berhasil memenangkan hati kedua bersaudara Huang, dia pun dengan sengaja mengajak mereka
menghabiskan waktu di taman.
Benar saja, tidak berapa lama mereka menghabiskan waktu di taman, dari sudut matanya terlihat olehnya Ding Tao sedang
mengurus tanaman-tanaman yang ada di taman itu.
Dengan sengaja, Wang Chen Jin semakin menunjukkan keakraban dirinya dengan kedua bersaudara itu, terlebih kepada
Huang Ying Ying. Dalam hati diapun tersenyum mengejek, "Anak tukang kebun, seberapa tinggi bakatmu, selamanya tetap saja hanya akan jadi pelayan, jangan mimpi untuk mendapatkan pujaan hatimu."
Tentu saja apa yang ada di benak Wang Chen Jin ini tidak diketahui oleh Huang Ying Ying ataupun saudaranya Huang Ren
Fu, dengan polosnya Huang Ying Ying pun menjawab pertanyaan Wang Chen Jin, "Ding Tao, orang yang mengalahkanmu
tempo hari itu, dia itulah tukang kebun kami."
Berlagak terkejut Wang Chen Jin tertawat terbahak-bahak dan menepuk jidatnya sendiri, "Astaga, jadi pemuda yang tempo hari itu adalah tukang kebunmu" Hanya seorang tukang kebun?"
Huang Ren Fu yang tadinya kuatir akan membuat marah atau sakit hati Wang Chen Jin pun menjadi lega ketika dilihatnya
pemuda itu tidak menjadi marah.
Huang Ying Ying pun tidak mengerti pedang bermata dua yang sedang ditusukkan oleh Wang Chen Jin ke dalam hati Ding
Tao, dengan polosnya diapun ikut tertawa, "Iya, dia itu tukang kebun kami."
"Astaga, hanya seorang tukang kebun.", sekali lagi Wang Chen Jin mengatakan hal itu sambil menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
"Hanya seorang tukang kebun dan bisa begitu hebat. Ilmu keluarga Huang memang benar-benar istimewa."
"Jika seorang pelayan saja sudah sedemikian hebatnya, bagaimana dengan yang lainnya. Sungguh rumah kalian ini seperti sarang naga dan harimau saja."
Demikian Wang Chen Jin mengumpak kedua anak keluarga Huang tersebut, sekaligus merendahkan bakat Ding Tao secara
halus, dengan meninggikan arti ilmu keluarga Huang, seakan-akan seorang dungupun akan menjadi hebat dengan
mempelajari ilmu keluarga Huang.
Buku-buku jari Ding Tao memucat, tangannya menggenggam keras sekop kecil yang dia gunakan untuk menggemburkan
tanah di sekitar bunga yang baru dia tanam.
Setiap kali Wang Chen Jin mengatakan "tukang kebun" bukan main sakit perasaan Ding Tao, saat dia melihat mereka bertiga begitu akrab.
Dia sadar, sesadar-sadarnya bahwa nona muda Huang dan dia berbeda status. Sedikitpun tidak terbersit dalam benaknya
untuk menjalin hubungan yang khusus dengan nona muda itu. Yang dia rasakan hanyalah kebahagiaan saat dekat dengan si
nona muda dan sakitnya hati saat melihat Wang Chen Jin berakrab-akrab dengan nona muda itu.
Kalaupun kata cinta terlintas dalam benaknya, dikuburnya kata-kata itu jauh ke dalam.
Tapi betapa sakit ketika berulang kali Wang Chen Jin mengatakan bahwa dirinya hanya sekedar tukang kebun.
Akhirnya diapun tidak tahan dan dengan tergesa-gesa dia meninggalkan pekerjaannya.
Wang Chen Jin yang melihat semua itu dari sudut matanya, tertawa terbahak-bahak. Tawa yang seakan mengikuti Ding Tao
ke mana pun dia pergi. Bahkan ketika dia sudah jauh dari taman, di dalam biliknya yang sempit, tawa Wang Chen Jin masih mengikutinya.
Terbayang keakraban pemuda itu dengan Huang Ying Ying dan tangannya pun mengepal erat. Kepalanya terasa berdentumdentum dengan kencang. "Apakah nona muda akan menikahi pemuda itu?", tanyanya dalam hati.
"Pemuda itu berwajah tampan, memiliki nama dalam dunia persilatan, lagipula dia pandai dalam ilmu surat dan ilmu
pedang. Sungguh pasangan yang serasi dengan nona muda."
"Mengapa aku berpikiran sempit, jika memang cinta bukankah seharusnya aku bahagia untuk nona muda?"
"Apakah harapanku, nona muda dengan aku berbeda jauh. Seorang tukan kebun membawakan sepasang kasutnya pun aku
tidak pantas." "Wang Chen Jin menjanjikan sepasang tusuk konde berhiaskan mutiara, apa yang bisa aku janjikan untuk nona muda?"
Demikianlah ribuan pertanyaan dan jawaban, berlarian dalam benaknya. Antara hati dan pikiran tidak dapat diperdamaikan.
Seribu alasan dia ajukan kepada dirinya sendiri, namun kegalauan hatinya tidak juga mereda.
Terkadang harapannya melambung tinggi, "Aku memang hanya tukang kebun, tapi pak pelatih Gu mengakui bakatku."
Kemudian terhempas tatkala dia mengingat asal usulnya, "Tidak berbapak tidak beribu, lagipula aku bukannya berbakat, jika tidak tentu tidak butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk mempelajari jurus dasar."
"Bagaimana kalau seperti yang dikatakan pemuda itu, hingga tua pun aku tidak akan pernah tamat belajar."
Tanpa terasa air matanya meleleh, dengan tangan terkepal ditinjunya lantai yang dari tanah. Tenaganya begitu kuat,
gumpalan tanah terbang bercerai berai.
"Bodoh! Lelaki sejati pantang menitikkan air mata!"
"Ding Tao... betapa bodohnya dirimu! Apa akan menangis hanya karena urusan perempuan."
Dengan menggertakkan gigi, pemuda sederhana itupun mengambil posisi meditasi. Perlahan-lahan diaturnya napas,
pikirannya yang berlari liar, perlahan-lahan mulai mengendap. Sakit hatinya pun terasa menumpul.
Menunggu hatinya semakin tenang, mulailah dia mengatur jalan nafas dan aliran energi yang dia rasakan dalam tubuhnya.
Pada dasarnya Ding Tao adalah seorang yang peka, hatinya mudah tergerak, tapi untunglah hal itu diimbangi pula dengan
kemauannya yang keras. Hanya dengan kemauannya yang keras itulah, dia dapat mengatur gerak liar pikirannya, dengan konsentrasi yang kuat
diapun mulai mengatur jalan hawa murni dalam tubuhnya.
Ilmu keluarga Huang berasal dari Shaolin, dalam hal tenaga dalam, yang diutamakan adalah ketekunan dalam memupuk
hawa murni. Tidak ada teori dan metode yang memberikan hasil besar dalam waktu singkat.
Sungguh sesuai dengan watak Ding Tao yang sederhana dan berkemauan kuat.
Tidak lama kemudian pemuda itupun larut dalam latihan menghimpun hawa murni.
Lewat satu hio, pemuda itupun membuka matanya perlahan-lahan. Hatinya sudah terasa tenang, sungguhpun masih
tergerak jika teringat akan kedekatan Wang Chen Jin dan Huang Ying Ying, tapi dengan kemauan yang kuat dia berhasil
mengendalikan pikirannya.
Sadar dia belum menyelesaikan pekerjaannya, Ding Tao pun pergi kembali ke taman setelah merapikan lubang di lantai
tanah yang tadi dibuatnya.
Meskipun hatinya sudah tenang tidak urung dia merasa lega ketika melihat mereka bertiga sudah tidak ada lagi di dalam
taman. Wang Chen Jin yang sudah merasa berhasil menyakiti hati Ding Tao, merasa tidak perlu lagi berlama-lama berada di sana.
---------------- o ---------------- Akhirnya tiba hari untuk Wang Dou dan puteranya meninggalkan Wuling untuk kembali ke rumah mereka. Ding Tao yang menyadari keadaan hatinya dengan sengaja selalu menghindar dari Wang Chen Jin bertiga. Tapi hari itu, Tuan besar Huang Jin meminta murid- murid utama keluarga Huang untuk ikut mengantar kepergian mereka. Sementara beberapa orang kepercayaan Wang Dou telah datang untuk menjemput ketua dan puteranya, sehingga dua
kelompok itu pun bertemu untuk saling memperkenalkan diri secara singkat.
Ding Tao yang lulus sebagai peserta terbaik, telah diangkat menjadi salah satu murid utama di bawah asuhan salah seorang tetua keluarga Huang. Dengan sendirinya diapun ikut mengantarkan Wang Dou dan puteranya.
Seandainya saja pada hari itu tidak terjadi pertemuan antara Wang Chen Jin dan Ding Tao mungkin kisah ini memang cukup
ditutup pada kisah sebelumnya.
Wang Chen Jin yang sudah merasa berhasil menyakiti hati Ding Tao dan membalas kekalahannya tempo hari, menampilkan
kesan sebagai seorang yang berjiwa besar. Setelah selesai berpamitan pada Tuan besar Huang dan keluarganya, dengan
tersenyum dan sopan dia menghampiri Ding Tao, "Ah saudara Ding, waktu itu aku belum sempat meminta maaf atas
perkataanku yang sembrono."
Sikapnya yang terbuka ini mengundang simpati bagi mereka yang melihatnya. Tuan besar Huang Jin mengangguk2 sambil
tersenyum, Wang Dou pun mengelus jenggotnya sambil mengangguk2 bangga.
Ding Tao yang tidak menyangka bakal disapa oleh Wang Chen Jin pun jadi tersipu dan dengan terbata-bata menjawab,
"Tidak perlu sungkan Tuan muda Wang, tidak perlu, justru aku yang harus meminta maaf telah melukai pergelangan
tanganmu." Sebenarnya ungkapan Ding Tao ini keluar tulus dari dalam hati, semenjak peristiwa di taman itu, dengan kemauan yang
kuat dia mengubur dalam-dalam perasaannya pada Huang Ying Ying. Dengan kemauan yang kuat pula dia membuang jauhjauh perasaan tidak sukanya pada Wang Chen Jin.
Tapi tidak demikian yang diterima oleh Wang Chen Jin, jantungnya berdenyut kencang saat mendengarnya, serasa
bergemuruh diterjang badai. Jawaban yang diberikan secara tulus, bagi telinga Wang Chen Jin terdengar sebagai satu
sindiran yang sengaja mengingatkan dia pada kekalahannya tempo hari.
Dengan senyumnya yang manis dan tawanya yang wajar, pemuda yang cerdik itu pun membalas dengan perkataan yang
berbisa, "Haha, jangan begitu saudara Ding, justru aku harus berterima kasih untuk luka yang kau berikan itu. Gara-gara luka itu, tampaknya nona muda Huang jadi bersimpati padaku."
Sambil tertawa dia mengerling menggoda pada Huang Ying Ying, karuan saja nona muda Huang itu menjadi tersipu malu.
Sebenarnya perkataan itu bisa dianggap sebagai kekurang ajaran, namun justru di sini letak kehebatan Wang Chen Jin,
godaan itu dilontarkannya dengan pembawaan yang sopan dan tawa yang wajar.
Sehingga yang mendengar pun tidak menangkap kekurang ajaran dari perkataannya, yang terlihat hanyalah seorang
pemuda yang bersenda gurau, berusaha meringankan beban perasaan bersalah dari teman dekatnya.
Bukan marah yang timbul, justru yang mendengarnya pun jadi ikut tertawa, saudara tua nona muda Huang yang berdiri di
dekat gadis itupun meyodok pinggang sang adik sambil tertawa, keruan nona muda Huang semakin tersipu malu dan
akhirnya lari ke dalam rumah, diikuti tawa semua orang yang meledak melihat tingkah si nona muda.
Tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa perkataan itu dilontarkan untuk menyakiti hati Ding Tao yang menyimpan
perasaan suka pada nona muda Huang.
Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana tajam mata Wang Chen Jin mengawasi raut muka Ding Tao. Mulutnya ikut
tertawa namun sorot matanya dingin mengerikan, meskipun hal itu hanya untuk sesaat lamanya.
Ya, Wang Chen Jin semakin murka.
Seharusnya Ding Tao menjadi marah, seharusnya Ding Tao menjadi sakit hati. Sedikitpun gerak tubuh dan raut wajah
pemuda itu tidak lepas dari penilaian Wang Chen Jin, tapi sekeras apapun dia berusaha menemukan tanda-tanda itu, tidak
terlihat apa yang diharapkannya.
Ding Tao sudah berhasil mengendalikan pikirannya dan merelakan gadis pujaannya untuk bersanding dengan orang yang
menurutnya lebih pantas. Apalagi ketika Wang Chen Jin meminta maaf padanya barusan, serta merta pikiran buruk yang
masih tersisa atas pemuda itu pun hilang dari dalam hati Ding Tao.
Meskipun untuk sesaat, jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa menyesakkan yang timbul, dengan cepat perasaan itu
ditekannya. Hanya karena memang dia belum terbiasa dengan kedudukannya sebagai salah satu murid utama, dia tidak ikut tertawa
lepas seperti yang lain. Pemuda itu hanya menyengir dan dengan perlahan menggelengkan kepala saja.
Demikian sifat Ding Tao yang lurus justru membuat bara api di dada Wang Chen Jin yang licin menjadi membara. Inilah
kekalahannya yang kedua. Yang pertama belum berhasil dia balaskan, justru untuk kedua kalinya dia dikalahkan oleh si
pemuda dungu. Tidak ada jalan lain penghinaan ini harus dibalas.
Tetapi semakin dia merancangkan yang kejam, semakin manis pula raut wajahnya. Otaknya berputar kencang, melihat
perhatian orang-orang masih tertuju pada nona muda Huang yang berlari karena malu, Wang Chen Jin berbisik cepat pada
Ding Tao, "Saudara Ding, malam ini temui aku di luar gerbang utara kota Wuling, masalah penting tentang nona muda
Huang." Kemudian cepat-cepat dia kembali berdiri di samping ayahnya, tidak ada seorangpun yang memperhatikan raut wajah Ding
Tao yang terlengong-lengong.
Perhatian mereka berpindah dari nona muda Huang yang berlari malu pada pasangan ayah dan anak Wang yang sekali lagi
berpamitan. Setelah pertemuan itupun kedua kelompok berpisah, yang satu ke arah utara dalam perjalanan kembali ke sisi utara sungai.
Yang satu kembali ke dalam kota. Ding Tao, dari urutan masih merupakan salah satu yang termuda dalam kelompok
keluarga Huang, lagipula latar belakangnya hanyalah seorang pelayan dan untuk hal itu masih belum mendapatkan promosi,
siapa yang memperhatikannya"
Perkataan Wang Chen Jin, terngiang-ngiang di benaknya, "Malam ini, di luar gerbang utara."
"Masalah penting, nona muda Huang."
Ding Tao bukan jagoan yang sudah berpengalaman malang melintang di dunia persilatan, keluar masuk gerbang kota pada
waktu malam bukan urusan kecil. Tapi jika masalah itu menyangkut nona muda Huang, jangankan melawan satu regu
penjaga gerbang. Hujan golok dan pedang pun akan dilaluinya.
Tapi Ding Tao bukan seorang yang berpikiran pendek, jika demikian tentu Gu Tong Dang tidak akan tertarik padanya.
Sungguh kombinasi yang menarik ada dalam diri pemuda ini. Biasanya mereka yang bisa berpikir rumit, hatinya pun
serumit pikirannya, cenderung bermain taktis, licin dan berkelok-kelok.
Ding Tao memiliki pemikiran yang panjang dan dalam segala pekerjaan selalu banyak pertimbangan baik dengan rasa
maupun logika. Namun hatinya justru lurus dan sederhana.
Tidak lewat dalam pikirannya bahwa Wang Chen Jin bermaksud buruk atau hendak menipu dirinya.
"Masalah penting dengan nona muda Huang"
Dalam benaknya kalau bukan Wang Chen Jin yang ingin untuk menjalin hubungan lebih mendalam dengan nona muda
Huang lewat dirinya. Mungkin Wang Chen Jin mengetahui satu perkara yang bisa mengancam jiwa nona muda itu dan
sekarang dia ingin melindunginya lewat Ding Tao.
Setelah menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya Ding Tao memutuskan untuk pergi diam-diam keluar kota sebelum
gerbang ditutup. Dia bisa kembali keesokan harinya saat gerbang sudah dibuka kembali.
Tentu saja itu berarti dia harus menghabiskan waktu semalaman di luar, tapi saat ini musim panas, tidak perlu dia
mengkhawatirkan dinginnya malam.
Berhasil mengambil keputusan pemuda itupun segera menyingkirkan segala keraguan dari benaknya. Tidak lagi dia
memikirkan masalah itu atau mencoba mereka-reka permasalahan yang sesungguhnya.
Di saat yang sama Wang Chen Jin sedang sibuk memikirkan cara untuk membalaskan sakit hatinya pada Ding Tao.
Sejak kekalahannya Wang Chen Jin sudah berulang kali memainkan ulang pertandingan itu dalam otaknya. Otaknya tidak
kalah encer dengan Ding Tao, diapun bukan orang yang buta atas kekurangan sendiri.
Berulang kali dia menganalisa pertandingan itu, hingga pada akhirnya dia pun yakin bahwa seharusnya dia dapat
memenangkannya, seandainya saja dia tidak memandang remeh lawan dan tidak kehilangan kesabaran.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada awalnya hal ini membuat sakit hatinya jauh berkurang dan baginya adalah cukup dengan menyakiti hati pemuda itu
lewat permainan lidahnya, tapi hari ini, semua sakit hati itu terungkit kembali.
Segala umpatan dan makian yang dilontarkan ayahnya, terkenang kembali.
Wang Chen Jin bukan orang yang suka berlama-lama dalam mengambil keputusan, sekali dia memutuskan maka pikirannya
akan ditujukan dengan bagaimana dia berhasil menyelesaikan hal itu.
Hari itu dia sudah memutuskan untuk melenyapkan nyawa Ding Tao.
Tinggal bagaimana dia melakukannya, langkah pertama sudah dia ambil, dia mempunyai keyakinan bahwa Ding Tao akan
ada di luar gerbang utara kota malam ini.
Sekarang tinggal langkah selanjutnya, dari percakapan dengan beberapa orang dalam rombongannya kali ini, Wang Chen
Jin tahu bahwa mereka akan berhenti di salah satu penginapan yang dibuka di sepanjang jalan dari Wuling ke utara dan
berangkat kembali keesokan harinya.
Malam ini, dia bisa dengan diam-diam mengambil salah satu kuda yang terbaik dan sampai ke gerbang utara kota Wuling
sebelum tengah malam. Masalah terakhir yang harus dipecahkan adalah, bagaimana dia membunuh Ding Tao. Sekali ini tidak boleh ada kesalahan,
karena semua topeng akan disingkapkan, jika Ding Tao berhasil lolos dari pedangnya, maka hubungan yang baru saja dijalin antara ayahnya dan Tuan besar Huang Jin bisa berantakan.
Kalaupun hubungan itu masih bisa dipertahankan, karena perhitungan untung dan rugi, adalah hubungannya dengan nona
muda Huang yang sudah bisa dipastikan berakhir.
Karena itu Ding Tao harus mati, bukan hanya mati, tapi juga tidak boleh ada orang yang bisa menghubungkan kematian
Ding Tao dengan dirinya. Kematiannya juga harus berlangsung dengan cepat, karena butuh waktu untuk kembali dari Wuling ke penginapan itu, dan
dia harus kembali sebelum fajar tiba.
Dari pemikiran ini, maka Wang Chen Jin sampai pada satu kesimpulan, untuk membunuh Ding Tao, dia harus meminjam
pedang pusaka milik ayahnya.
Pedang pusaka ini tidak bernama, keberadaannya pun sangat dirahasiakan, kecuali ayahnya dan 2 orang kepercayaan
dalam kelompok mereka, tidak ada seorangpun yang tahu mengenai keberadaan pedang pusaka ini.
Pedang pusaka ini sesungguhnya tidak tepat dinamakan pedang, panjang mata pedangnya tidak lebih dari 5 cun, tapi
tajamnya luar biasa. Seluruh bagiannya merupakan kesatuan, dari gagang hingga mata pedang, hampir tidak ada penahan yang memisahkan
mata pedang dengan gagang pedang.
Jika tidak waspada dan tidak kuat menggenggam, bukan tidak mungkin jari pemakainya bisa terpotong sendiri oleh
tajamnya pedang. Pembuatnya secara tidak sengaja telah menambahkan unsur kimia dari logam lain ketika mengolah biji besi yang
digunakannya. Hal ini terjadi tanpa sengaja dan tidak disadari, hingga ketika pembuatnya mendapati pedang buatannya, jauh lebih kuat, lebih lentur dan bisa dibuat sedemikian tajamnya tanpa menjadi retas, tidak dapat pula dia untuk membuat pedang yang
berkualitas sama untuk kedua kalinya.
Ditambah keahlian dari pembuat pedang, maka tidak salah jika pedang ini menjadi pedang pusaka.
Sudah tentu dulunya pedang ini memiliki nama, sebagai pedang pusaka yang tidak ada duanya. Tapi dalam genggaman
Wang Dou pedang ini berubah menjadi pedang tak bernama.
Begitu berharganya pedang ini sehingga kemanapun Wang Dou pergi, pedang ini tentu dibawanya. Tapi tidak sekalipun
pedang ini digunakannya. Dibuatnya selongsong kayu dan disimpannya pedang itu di tengahnya. Jika orang memandang maka yang terlihat adalah
sebuah tongkat. Dan tongkat itulah yang dipakai Wang Dou sebagai senjata, tapi tidak sekalipun dia menarik pedang yang
tersembunyi dalam tongkat.
Ambisinya besar, sebelum dia yakin akan menguasai seluruh dunia persilatan, tidak akan ditariknya pedang itu. Pun jika
nyawanya sudah berada di ujung tombak.
Wang Chen Jin adalah putera satu-satunya, kepada puteranya itu tidak mau tidak, rahasia itu diberitahukan. Harapannya
kelak, jika sampai dia gagal meraih cita-citanya, maka puteranyalah yang akan meneruskan.
Pedang inilah yang menjadi kekuatan utama Wang Chen Jin untuk melenyapkan Ding Tao.
Tidak jarang seorang ahli bisa mengurai pembunuh seseorang lewat luka yang ditinggalkan. Tapi tidak seorangpun dalam
dunia persilatan yang tahu akan pedang pusaka milik ayahnya, dengan demikian jejak luka yang tertinggal di tubuh Ding
Tao tidak akan merembet pada dirinya atau ayahnya.
Dari segi ilmu dia yakin dapat mengalahkan Ding Tao, ditambah dengan pedang pusaka maka kesempatannya pun
meningkat berkali-kali lipat.
Selama perjalanan hal ini berulang kali dipikirkannya, dan semakin dia memikirkan rencana itu, semakin dia yakin bahwa
rencananya akan berhasil.
------------------ o -----------------Malam sudah tiba, hari cerah tak berawan, bulan masih berbentuk sabit dan di langit tampak bertaburan bintang.
Di salah satu sudut di dekat gerbang utara kota Wuling, Ding Tao meringkuk diam, menunggu. Sudah sejak sore tadi dia
menunggu, diam, jauh dari kerumunan, di sebuah gerobak yang sudah sejak siang ditinggalkan pemiliknya, karena isi
dagangannya telah habis. Besok dia akan mengisinya dengan dagangan yang baru, tapi sekarang gerobak itu ditinggalkannya begitu saja.
Sebilah pedang, pedang yang menjadi kebanggaannya, pertanda akan hasil ketekunannya dipeluknya erat-erat. Malam ini
pedang itulah satu-satunya teman dalam penantian.
Dari sore hingga jauh tengah malam, jika bukan Ding Tao mungkin sudah lama pergi meninggalkan tempat itu, setidaknya
berpindah ke tempat lain.
Tapi tidak demikian dengan Ding Tao, ditunggunya dengan sabar, jika perlu hingga fajar datang.
Sambil menunggu direnungkannya jurus-jurus baru yang dia pelajari beberapa hari ini.
Betapa dia merasa gembira karena jurus-jurus yang baru ini banyak mengungkap kemungkinan-kemungkinan dalam
memainkan pedang dan tangannya. Pertanyaan yang dulu belum terjawab saat melatih jurus-jurus dasar, dia temukan
jawabannya di jurus-jurus yang baru ini.
Sejak pertarungannya dengan Wang Chen Jin, pemahaman Ding Tao akan seni bela diri mendapatkan satu terobosan.
Hampir seperti mendapatkan pencerahan, seorang siswa yang belajar dengan tekun suatu ilmu tentu pernah merasakan
terobosan semacam ini. Ketika tiba-tiba yang awalnya hanya berupa hapalan, berupa laku yang ditekuni, tiba-tiba
didapatkan pemahaman. Dan yang tadinya terasa antara ada dan tiada, dimengerti tapi tak dapat dipahami, melihat namun hanya bayang-bayang
saja. Tiba-tiba dalam satu titik tertentu terungkap dan bisa dimengerti dengan terang.
Dalam waktu yang kurang dari seminggu, Ding Tao hari ini berbeda dengan Ding Tao yang berusaha lulus dalam ujian
kenaikan tingkat. Hal ini bukanlah karena obat ajaib atau ilmu ajaib, ini adalah hasil ketekunan.
Pencerahan datangnya memang sulit diduga dan bergantung pada bakat serta keberuntungan. Pada beberapa orang setelah
bertekun berpuluh-puluh tahun barulah mendapatkan kemajuan, pada beberapa yang lain pencerahan itu datang seperti
tiba-tiba. Kedalaman pemahaman seseorang pun bervariasi tergantung dari bakat dan pengetahuan yang sudah dipupuk sebelumnya.
Tapi yang pasti pencerahan itu sendiri adalah akumulasi perenungan, laku dan usaha yang tidak kenal lelah, meskipun
pelakunya sendiri terkadang tidak menyadarinya.
Dalam keadaan seperti itu, menghabiskan waktu berlama-lama dengan berduduk diam di satu tempat tidak menjadi
masalah bagi Ding Tao. Berjam-jam berlalu Ding Tao hanyut dalam renungannya.
Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, hal-hal lain jadi terlupakan.
Malam begitu sepi, derap kuda yang melambat terdengar jelas. Ding Tao menajamkan matanya, mencoba menembus
kegelapan malam, di kejauhan dilihatnya sesosok bayangan.
Siapa lagi jika bukan Wang Chen Jin, tidak ada orang lain yang berkeliaran selarut itu, Ding Tao berdiri meninggalkan
bayang-bayang yang menyembunyikan dirinya, tidak lupa pedang sudah siap di tangan, karena bila bayangan itu bukan
Wang Chen Jin yang ditunggunya, besar kemungkinan tentu bukan orang baik-baik.
Dengan jantung berdebar-debar dia berjalan menghampiri penunggang kuda itu. Tanpa terasa keringat membasahi
tangannya. Penunggang kuda itu melihat Ding Tao dan turun dari kudanya, dengan dituntun dibawanya kuda itu mendekat ke arah Ding
Tao, ketika jarak di antara mereka sudah tak begitu jauh, terdengar penunggan kuda itu berbisik menyapa, "Saudara Ding Tao, engkaukah itu?"
Mendengar suara itu, hati Ding Tao pun lega. Sambil mempercepat langkah kakinya dia menjawab, "Benar tuan muda, ini saya, Ding Tao."
Tidak terlihat dari tempat Ding Tao, Wang Chen Jin tersenyum kejam, perlahan tanngannya meraba ke arah hulu pedang
yang disimpan di samping pelana.
"Apakah kau datang sendirian?"
"Ya tuan muda, kupikir sebaiknya demikian, lagipula tuan muda menyampaikannya dengan berahasia. Jadi kuputuskan
untuk datang sendirian."
"Bagus sekali, memang cermat pemikiranmu Saudara Ding."
Sambil saling bercakap, tak terasa mereka sudah bertatapan muka, tak sedikitpun tampak ada niat jahat di raut wajah
Wang Chen Jin. "Tuan muda, sebenarnya ada masalah apa dengan nona muda Huang?"
Alis Wang Chen Jin berkerut, senyum persahabatan yang tadi terlihat di wajahnya, berubah menjadi seraut wajah yang
penuh kekhawatiran. Perubahan ini membuat Ding Tao jadi berdebar-debar, ada masalah apa dengan gadis pujaannya.
"Hmmm... sebaiknya kita mencari tempat yang lebih baik untuk membicarakannya."
Wang Chen Jin menebarkan pandangan ke sekitar tempat itu, mencari tempat yang cukup tersembunyi sehingga dia bisa
menyembunyikan mayat Ding Tao dengan cepat. Setidaknya memberi lebih banyak waktu baginya sebelum kematian Ding
Tao diketahui orang. Ding Tao dalam hati merasa sedikit heran, apa yang dimaksud Wang Chen Jin sebagai tempat yang lebih baik. Malam begitu
sepi, sehingga rasanya di mana pun sama sepinya, atau mungkin Wang Chen Jin ingin berbicara sambil duduk-duduk
dengan sedikit nyaman" Tentu itu maksudnya, pikirnya dalam hati.
Sementara itu mata Wang Chen Jin tertumbuk pada sebuah sumur yang berada di dekat tempat itu, dalam hati dia
bersorak, tapi di luar wajahnya tidak berubah.
"Mari kita pergi ke sana."
"Baiklah" Berdua mereka berjalan ke arah sumur itu dalam diam. Ding Tao yang tidak tahu apa yang akan dikatakan dan Wang Chen
Jin yang dengan tegang menanti-nanti saat yang tepat untuk menghabisinya.
Semakin dekat dengan sumur itu, jantung Wang Chen Jin berdebar semakin kencang. Ding Tao yang seharusnya tidak bisa
menjenguk ke dalam hati Wang Chen Jin, tiba-tiba merasakan jantungnya berdebaran.
Seperti mendapatkan peringatan, Ding Tao bisa merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya.
Hal ini sulit dijelaskan, apakah memang ada pertolongan dari dewa-dewa yang melindungi orang yang baik.
Ataukah ini alam bawah sadar Ding Tao yang bekerja, menerjemahkan masukan-masukan, keanehan-keanehan dari Wang
Chen Jin, dan sebelum alam sadar Ding Tao mengambil kesimpulan, intuisinya telah terlebih dahulu mencapai kesimpulan.
Jika hendak diperdebatkan antara mereka yang mempercayai keberadaan dewa-dewa dan mereka yang tidak
mempercayainya, tentu tidak akan pernah ditemukan titik temu.
Tapi yang pasti intuisi Ding Tao itu telah menyelamatkan nyawanya.
Saat pedang dicabut, suara mata pedang yang bergesekan dengan sarungnya, terdengar bagaikan sambaran guruh di
telinga Ding Tao yang sudah tegang sejak tadi. Naluri Ding Tao membuatnya melompat cepat, membuang tubuhnya
menjauh dari sumber suara itu.
Seandainya saja Ding Tao terlambat sesaat saja mungkin saat itu tubuhnya sudah terbelah menjadi dua. Namun berkat
kesigapannya, sambaran pedang itu tidak sampai menghabisinya, meskipun demikian segaris luka memanjang telah
menghiasi dada Ding Tao. Bajunyapun dalam waktu singkat menjadi kotor penuh debu akibat bergulingan di atas tanah, tapi tak ada waktu untuk
memikirkan semua hal kecil itu.
Di hadapannya telah berdiri seorang musuh yang akan menghabisinya bila dia lalai sekejap mata saja.
Wang Chen Jin yang tidak menyangka bahwa serangannya yang tiba-tiba itu bakal meleset, terlambat beberapa detik untuk
meneruskan serangannya. Beberapa detik yang singkat itu sudah cukup untuk Ding Tao melompat berdiri dan mencabut pedang.
Sejenak keduanya berhadapan, bagaikan pengulangan dari pertarungan beberapa hari sebelumnya, untuk kedua kalinya
dua orang pemuda dengan sifat yang jauh bertolak belakang berhadapan untuk mengadu tajamnya pedang dan kerasnya
kepalan. Wang Chen Jin yang lebih berhati-hati kali ini tak hendak buru-buru menyerang seperti pada pertarungan sebelumnya.
Ding Tao yang memang pada dasarnya tidak menyukai konflik dan banyak berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu.
Keduanya berdiri diam dengan pedang di tangan.
Ding Tao bersiap dalam posisi pembukaan jurus pertama dari 3 jurus dasar pedang keluarga Huang. Tangan kanan yang
menggenggam pedang menjulur ke depan dengan ujung condong menghadap ke tanah, tangan kiri menyilang di depan
dada. Kaki kanan di depan, sementara kaki kiri di belakang, menunjang badan yang berdiri tegak berimbang.
Wang Chen Jin, berdiri tegak, kedua kaki yang agak merenggang, sedikit menekuk dan bertumpu pada ujung bagian depan
telapak kaki. Tangan kanan menggenggam pedang, bersilang di depan dada dan tangan kiri bersiap di pinggang.
Kali ini Wang Chen Jin tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya, kegesitan Ding Tao, menghindar dari serangannya yang
tiba-tiba membuat dia jauh lebih berhati-hati.
Tidak lagi dia menilai rendah pemuda itu seperti pada pertarungan yang sebelumnya.
Apalagi sekarang dia berkepentingan untuk menghabisi pemuda itu secepatnya, dalam benaknya berkelebatan jurus
serangan dan bagaimana Ding Tao nanti akan berusaha mengatasinya.
Tiba-tiba disadarinya betapa kokoh pertahanan dari pemuda di hadapannya. Berdebaran jantung Wang Chen Jin ketika
menyadari hal tersebut, dari pengalaman ini terbukalah pikirannya, bahwa jurus-jurus dasar pun memiliki kedalamannya
sendiri. Mungkin ada puluhan orang yang mengambil pembukaan seperti Ding Tao, tapi apakah mereka mampu menjadikannya
benteng yang kokoh seperti yang dilihatnya sekarang ini"
Posisi siku, pergelangan tangan dan pedang, siap menghadang setiap serangan dari depan. Gerakan menangkis serangan,
berapa banyak kombinasinya, pada dasarnya tidak jauh berbeda, dan kedudukan tubuh atas Ding Tao secara keseluruhan
memungkinkannya untuk menangkis setiap serangan dengan sebaik mungkin.
Jika Wang Chen Jin berusaha menghindari hadangan di depan dengan berpindah posisi ke sisi lain, kedudukan kaki Ding Tao pun memungkinkannya untuk berganti arah dengan cepat.
Bahkan hal itu bisa berbalik membahayakan Wang Chen Jin jika dia tidak berhati-hati, karena bisa juga terjadi Ding Tao
akan bergerak cepat lurus ke depan dan memotong pergerakannya, seperti pada pertarungan yang lalu.
Dengan demikian Wang Chen Jin pun berlaku hati-hati.
Ding Tao yang terlihat bagai benteng yang kokoh di mata Wang Chen Jin, sesungguhnya tidak kalah berdebar-debar.
Diperhatikannya kuda-kuda Wang Chen Jin yang ringan, seperti anak panah siap lepas dari busurnya, tapi ke arah mana
anak panah itu akan meluncur sungguh dia tidak bisa menduga.
Pedang menyilang dan kepalan tersembunyi di belakangnya. Memandang pedang bergerak, melupakan kepalan bisa jadi
berbahaya. Tapi sebaliknya kepalan yang tersembunyi bisa menjadi pengalih perhatian sementara gerakan pedang yang menjadi
pembuka serangan, justru sedang mengambil kedudukan untuk menyerang.
Dalam tegangnya Ding Tao berdiam menanti lawan mengambil inisiatif terlebih dahulu.
Yang ingin menyerang tak dapat untuk segera menyerang. Yang sedang bertahan tak berani bergerak dan membuka
peluang pada lawan untuk menyerang.
Seandainya Ding Tao memiliki lebih banyak pengalaman mungkin akan berbeda pula sikapnya.
Seandainya Wang Chen Jin mengetahui kebimbangan lawan di hadapannya, mungkin akan berbeda pula sikapnya.
Entah berapa lama sesungguhnya mereka berdiri diam, tapi jika ditanyakan pada mereka berdua, waktu yang seharusnya
sama ternyata menjadi berbeda.
Bagi Wang Chen Jin waktu yang dia lalui serasa bagaikan beribu tahun lamanya, otaknya yang bergerak gesit memikirkan
satu serangan ke serangan berikutnya tapi tidak juga dia menemukan jalan untuk menembus benteng pertahanan Ding Tao.
Seakan diam tapi dalam bayangannya sudah 30 jurus dia lancarkan dan setiap jurus dapat dimentahkan oleh Ding Tao.
Tentu saja itu hanya dalam bayangan, kenyataannya belum tentu Ding Tao dapat mementahkannya. Tapi Ding Tao yang
ada di dalam benaknya saat ini mampu mementahkan setiap serangannya itu.
Bagi Ding Tao waktu yang dia lalui terasa jauh lebih singkat, sejak berhadapan tidak sedetikpun dia berani melepaskan
perhatiannya dari keadaan lawan. Kebiasaan bermeditasi, melatih ketajaman rasa dan juga mengumpulkan hawa murni,
tanpa sadar mengambil alih.
Pernapasannya menjadi dalam dan teratur, setiap panca inderanya menajam. Waktu jadi tidak lagi berarti, Waktu bisa
dikatakan sedang berhenti atau tidak ada sama sekali.
Perlahan-lahan sosok lawan yang menakutkan, yang dibumbui oleh ketegangannya sendiri, menjadi semakin mendekati
kewajarannya. Ketika pikirannya berjalan dengan tenang mulailah dia bisa menganalisa kedudukan dirinya dan Wang Chen
Jin dengan wajar. Kuda-kuda lawan mengandalkan kecepatan dan menitik beratkan pada serangan, tapi lawan tidak juga menyerang, dalam
hal ini terjadi ketidak sesuaian, seharusnya yang dia lakukan adalah menggunakan kesempatan itu untuk balik menyerang
lawan. Berusaha memaksa lawan untuk berpindah ke kedudukan yang kurang menguntungkan, sekaligus melihat reaksi lawan,
dalam usaha untuk lebih jauh mengenali tanggapan lawan atas serangan tertentu.
Atau bisa juga dia dengan sengaja menunjukkan kelemahan dalam pertahanannya, memancing lawan masuk ke arah yang
dapat diperkirakannya, menyiapkan jebakan, memotong lawan pada saat yang tepat.
Tergelitik oleh berbagai kemungkinan, Ding Tao pada akhirnya justru menjadi larut dalam menjajagi berbagai kemungkinan
yang akan timbul. Untuk berapa saat lamanya, di dalam dirinya bagaikan muncul dua sosok Ding Tao, yang seorang mengawasi setiap gerak
gerik dan desahan nafas lawan, yang seorang lagi sedang bermain dengan angan-angannya, seperti bermain catur dia
menghitung-hitung apa yang bisa dia lakukan dan bagaimana lawan akan bereaksi.
Dalam waktu yang tidak jelas berapa lamanya tersebut, kedua pemuda itu telah bertanding puluhan jurus tanpa bergerak
sedikitpun. Perbedaannya adalah, jika Wang Chen Jin dikejar-kejar waktu, Ding Tao justru sudah melupakan berjalannya
waktu. Sekali lagi perbedaan sifat dari keduanya dan juga dasar di mana mereka berdiri dalam menghadapi pertarungan itu, turut mempengaruhi jalannya pertarungan di antara dua pemuda berbakat.
Ditilik dari segi bakat keduanya sama-sama memiliki otak yang encer dalam mendalami ilmunya masing-masing.
Dari segi pengalaman Wang Chen Jin berada di atas Ding Tao, namun masih diimbangi pula dengan ketajaman pengamatan
dan kepekaan rasa Ding Tao yang melebihi orang rata-rata.
Tapi Wang Chen Jin sedang berusaha melenyapkan nyaway orang atas dasar iri hati, meskipun dia bisa membela dirinya
sendiri dengan berbagai argumentasi, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia sadar bahwa dia sedang menempuh jalan yang
dipandang hina oleh manusia.
Apalagi dia sudah "meminjam" pedang pusaka ayahnya secara diam-diam, dikejar oleh perasaan bersalah, waktu menjadi musuh kedua bagi dirinya.
Sebaliknya Ding Tao dalam hatinya memiliki keyakinan bahwa dia berdiri teguh atas landasan kebenaran. Dia datang karena keinginannya untuk melindungi keluarga Huang yang sudah banyak menanamkan budi pada dirinya, terlebih khusus nona
muda Huang. Setitik pun tak terbersit mencari keuntungan pribadi, meskipun sekarang dia sadar bahwa semuanya itu tidak lebih dari
perangkap yang dibuat oleh Wang Chen Jin secara licik.
Bahwasannya dia sekarang menggenggam pedang dan mungkin akan melukai bahkan membunuh lawan, hal itupun bukan
dikarenakan keinginannya sendiri, melainkan dalam kewajibannya untuk melindungi kehidupan yang sudah dikaruniakan
kedua orang tuanya pada dirinya.
Tapi ada satu faktor di luar kemampuan dan kemantapan masing-masing kedua pemuda itu yang ikut menentukan hasil
pertarungan. Sebilah pedang yang tajam.
Pada saat itu, di antara mereka berdua hanya Wang Chen Jin yang menyadari kelebihan itu.
Dalam hati dia merasa sudah melakukan tindakan yang tepat dengan "meminjam" pedang pusaka itu, nyata bahwa
perhitungannya akan kemampuan Ding Tao tidaklah tepat seperti perkiraannya.
Jika saja yang dibawanya hanyalah pedang biasa, benteng pertahanan Ding Tao adalah benteng yang tidak tertembus oleh
kemampuannya sendiri. Mengandalkan kelebihan dari pedang pusakanya itu akhirnya Wang Chen Jin sampai pada satu keputusan.
Keheningan malam itu pun tiba-tiba pecah, dalam remangnya malam yang hanya diterangi cahaya bintang dan bulan sabit,
pedang pusaka berkilauan menyambar-nyambar.
Untuk sesaat tidaklah mudah mengikuti bayangan kedua pemuda itu, setelah beberapa saat lamanya melihat mereka diam
mematung lalu dengan tiba-tiba mereka bergerak lincah bagai capung-capung yang bermain di padang rumput.
Suara pedang beradu pedang, suara besi mengiris besi memenuhi malam, sambung menyambung oleh cepatnya serangan
dan tangkisan. Pada beberapa benturan awal, Ding Tao sudah merasakan satu keganjilan, perasaannya yang peka menyadari ada sesuatu
yang salah, sesuatu yang tidak sesuai dengan perhitungan dalam benaknya.
Dengan berjalannya waktu, diapun sadar, pedang lawan bukan hanya membentur pedang miliknya, tapi pedang lawan
sudah meninggalkan luka-luka di sepanjang bilah pedang miliknya.
Hatinya mencelos, seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam.
Betapa ulet dan kerasnya pedang hadiah dari Tuan besar Huang Jin tidak disangsikan lagi oleh Ding Tao, bahwa pedang
baja pilihan itu bisa mengalami kerusakan sedemikian parah membuktikan bahwa pedang yang digunakan Wang Chen Jin


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu adalah satu pedang pusaka.
Baru belasan jurus, pedangnya sudah hampir rusak di setiap tempat, jika dia meneruskan hal cepat atau lambat tentu
pedangnya akan kutung tak berguna.
Mengingat hal itu maka Ding Tao pun jadi jauh lebih berhati-hati dalam menangkis serangan lawan, dijaganya agar tiap kali pedangnya membentur pedang lawan, dia tidak membentur bagian mata pedang yang tajam.
Dengan cepat kedudukan Ding Tao pun berubah jadi terdesak.
Wang Chen Jin tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, serangannya semakin gencar menekan Ding Tao.
Belajar dari pengalaman sebelumya Wang Chen Jin tidak menyerang dengan sembarangan, meskipun dia sudah yakin
bahwa malam itu kemenangan akan ada pada pihaknya, setiap serangan tentu diperhitungkannya baik-baik, tidak pernah
lupa dia untuk menjaga pertahanannya sendiri.
Ding Tao yang berusaha mencari celah kelemahan dalam permainan pedang Wang Chen Jin pun kesulitan untuk
menemukannya. Tanpa terasa Ding Tao semakin terdesak mendekati lubang sumur yang menganga.
Peluh sudah bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, bercampur dengan darah yang terus mengucur dari luka di dadanya.
Nafasnya semakin tidak teratur, demikian pula dengan tenaganya semakin terkuras. Bukan saja oleh pengerahan tenaga,
tapi juga dari kehilangan darah yang mengucur deras akibat pengerahan tenaga dan gerakan-gerakan yang dilakukan.
Untuk sesaat Ding Tao kehilangan harapan, tapi dia mengeraskan hati dan berusaha menujukan pikirannya sepenuhnya
pada pertarungan, berusaha untuk mencapai yang terbaik tanpa memikirkan hasil akhirnya.
Laki-laki boleh mati, tapi jangan pernah melupakan budi, terngiang2 pesan akhir dari ayahnya sebelum menghembuskan
nafas yang terakhir. Ketika dia merasakan kakinya telah membentur pinggiran dari sumur itu, Ding Tao pun menggertakkan giginya,
mengerahkan upaya yang terbaik yang bisa dia pikirkan. Secara tidak sengaja, hawa murninya terbangkit dan menerobos
melewati jalur energi di sepanjang tubuhnya dan mengalir, tersalur ke dalam pedangnya.
Wang Chen Jin yang tahu bahwa dia sudah sampai pada serangan terakhir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu,
disambutnya tabasan pedang Ding Tao dengan pedang pusakanya, sementara kaki kirinya bergerak pula untuk menendang
dada Ding Tao. Ding Tao yang sudah pasrah menerima kematian, hanya dapat berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan perjuangan
sampai akhir. Tidak melihat kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, Ding Tao tidak berusaha menghindar dari pedang
maupun tendangan Wang Chen Jin.
Ketika melihat tendangan Wang Chen Jin ke arahnya, diapun berusaha menendang Wang Chen Jin.
Sekalipun perlu berpuluh kata untuk menggambarkan serangan terakhir ini, sesungguhnya semuanya itu terjadi dalam
hitungan detik bahkan sepersekian detik.
Dan terjadilah serentetan kejadian yang mengejutkan keduanya.
Pedang pusaka Wang Chen Jin, berhasil mengiris pedang Ding Tao sampai setengah dari lebar bilah pedang Ding Tao, tapi
pedang Ding Tao yang sudah tersaluri tenaga dalam, mampu bertahan untuk tidak putus tertabas pedang Wang Chen Jin.
Bahkan akibat dari benturan itu pedang Wang Chen Jin terjepit oleh bilah pedang Ding Tao yang tertabas setengah. Pada
posisi itu, tendangan Wang Chen Jin telah masuk pula ke dada Ding Tao.
Pada saat yang sama, Ding Tao yang berusaha menendang ke arah perut Wang Chen Jin, justru tendangannya mengenai
pergelangan Wang Chen Jin yang menggenggam pedang.
Ding Tao pun terjungkal keras, terguling melewati bibir sumur dan jatuh ke dalamnya, darah segar menyembur dari
mulutnya. Oleh tendangan Ding Tao, pedang pusaka terlepas dari tangan Wang Chen Jin dan terbawa Ding Tao ikut pula jatuh ke
dalam sumur, masih terjepit pada belah pedang di tangan Ding Tao.
Untuk beberapa saat lamanya Wang Chen Jin yang berhasil membinasakan musuh bebuyutannya itu berdiri termangu.
Terhenyak melihat pedang pusaka milik ayahnya lenyap dalam lubang sumur yang gelap.
Satu hitungan, dua hitungan, hingga 20 hitungan lebih baru terdengar suara Ding Tao yang tercebur ke dalam air.
Tercenung Wang Chen Jin, berdiri memandang ke dalam kegelapan yang ada di hadapannya. Kemenangan diraihnya, tapi
hatinya tidak sedikitpun merasakan kegembiraan. Wajahnya pucat pasi, sesaat dia berpikir untuk menuruni sumur itu.
Tapi sumur begitu dalam dan dia juga sering mendengar bahayanya turun ke dalam sumur. Apalagi di bawah sana ada Ding
Tao yang baru saja dibunuhnya.
Meskipun biasanya pemuda itu menertawakan cerita-cerita setan atau arwah penasaran yang didengarnya dari pembantu
ayahnya, tapi saat itu dia tidak bisa tertawa saat membayangkan arwah Ding Tao yang penasaran sedang menanti dia di
bawah sana. Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara ayam yang berkokok, tersadarlah Wang Chen Jin, waktu sudah mendekati
fajar. Tanpa terasa pertarungannya melawan Ding Tao menghabiskan waktu lebih panjang dari yang dia perkirakan.
Dengan menggertak gigi dia berlari ke arah kudanya, lalu mencemplaknya, berpacu dengan waktu, kembali ke tempat
penginapan di mana rombongannya pergi menginap.
-- o" Sepanjang perjalanan jantungnya berdebar-debar, kepalanya serasa akan pecah memikirkan pedang pusaka yang hilang.
Namun dia sedikit terhibur dengan kematian Ding Tao, bila tidak ada yang menemukan mayat Ding Tao maka untuk
sementara pedang itu akan aman.
Mendekati penginapan yang dituju, hatinya menjadi semakin mengkerut tatkala melihat, ayah dan pamannya sedang
berduduk di sebuah pohon besar dan rindang, di depan penginapan.
Tidak ada kesempatan bagi dirinya untuk menyembunyikan diri. Lagipula setelah berpikir di sepanjang perjalanan, Wang
Chen Jin memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya.
Segarang-garangnya harimau tidak akan memakan anak sendiri. Terlebih lagi dirinya adalah putra satu-satunya dari Wang
Dou. Dengan hati berdebar, Wang Chen Jin menghampiri ayahnya, meskipun sudah ada 1001 alasan yang terbentuk di benaknya,
tapi semuanya menghilang saat akan dikatakan.
Terdiam dia menunduk, merasa takut, merasa malu, merasa bersalah.
Pandangan ayahnya tajam mengamati sang putera, diamnya sang ayah, membuat hati Wang Chen Jin semakin kecut.
"Hmmm... dari Wuling ?"
"Eh.. iya...", terbata Wang Chen Jin menjawab, kepalanya tertunduk, hanya bisa diam dan memandangi ujung sepatunya.
Dilihatnya noda-noda darah yang sudah mengering di sana. Tentu bukan darahnya karena tidak ada luka-luka di sana.
Untuk sesaat tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka.
"Di mana pedang pusakaku?"
Terkejut dengan pertanyaan ayahnya yang langsung menuju pada sasaran, tanpa terasa kedua lututnya lemas. Pemuda itu
pun dengan gemetar jatuh berlutut. Mulutnya terkunci, pandang matanya memohon belas kasihan.
Berkerut-kerut wajah Wang Dou, tiba-tiba kepalan tangannya melayang dan menghajar kepala putera kesayangannya itu.
Wang Chen Jin pun terpelanting keras ke belakang.
Sebelum dia sempat bangun, bayangan Wang Dou sudah kembali berkelebat, siap melontarkan pukulan berikutnya. Tapi
cepat bayangan lain mengejar dan mendorong tubuh Wang Chen Jin berguling menjauh.
"ADIK WANG!! Ingat!! Ingat... dia puteramu satu-satunya", dengan sebelah tangan menahan tubuh Wang Dou, paman Wang Chen Jin, kakak dari ibunya, Fu Tsun berusaha melindungi keponakan yang disayanginya itu.
"ANAK BODOH !!! Cepat berlutut minta ampun pada ayahmu !!!", bentaknya pada Wang Chen Jin.
Wang Chen Jin yang menyadari betapa murka ayahnya dan betapa besar kesalahannya, cepat-cepat berlutut dan
menyembah-nyembah memohon ampun pada ayahnya.
Mata Wang Dou masih melotot, tapi raut wajahnya perlahan-lahan berkurang kebengisannya. akhirnya dengan menggeram
didorongnya Fu Tsun beberapa langkah mundur.
"Anak Bodoh!!! Keparat !!!"
Mendekat ke telinga Wang Chen Jin, Wang Dou berdesis, "Diam-diam pergi dengan membawa pedang itu, kau tahu betapa
penting artinya pedang itu bagi rencana kita!"
"Maafkan aku ayah... maksudku hanya untuk meminjamnya saja lalu akan segera kukembalikan."
"Kalau begitu di mana pedang itu sekarang?"
"Pedang itu... pedang itu... "
"Tentu engkau sudah menghilangkannya, benar kan?"
"Jadi... ayah sudah tahu?"
"Heh... jika kau membawanya tentu sudah kau tunjukkan pedang itu sekarang ini. Dari wajahmu yang lesu dan sikapmu
yang ketakutan mudah saja ditebak."
Kemarahan yang tadi meledak sudah mereda, wajah yang bengis berubah menjadi seraut wajah tua yang lelah. Hati Wang
Chen Jin pun merasa tertusuk, alangkah lebih baik bagi dirinya jika ayahnya murka. Melihat ayahnya sedih hatinya jauh
lebih teriris. Dengan terisak dia pun meminta maaf dengan terbata-bata.
Pamannya mendekat, melihat ayah dan anak sudah kembali akur hatinya merasa tenang.
"Sudah sudah ... hentikan tangismu, orang akan heran melihat tingkah kalian. Sekarang ceritakan bagaimana hingga kau kehilangan pedang itu."
Dengan terbata-bata Wang Chen Jin mengisahkan kejadian semalam, sejak dari pertemuannya dengan Ding Tao hingga
jatuhnya pedang itu ke dalam sumur bersama-sama dengan mayat Ding Tao.
Sesudah dia selesai bercerita, maka pamannya menepuk-nepuk pundaknya dan berusaha menyabarkan Wang Dou.
"Tidak begitu sial, pedang ada di dalam sumur, secepatnya hari ini aku akan kembali ke Wuling, melihat apakah ada yang menemukan mayat di dalam sumur. Moga-moga sumur itu bukan sumur yang biasa dipakai umum. Sebisanya aku akan
mencegah seseorang memakainya. Tapi jika aku gagal, aku pun akan mengawasi dengan ketat, ke manakah pedang itu
dibawa." "Malam nanti, adik Wang bisa menyusulku, bersama-sama, kita akan mengambil kembali pedang itu. Entah masih berada di
sumur atau di bawah pengawasan petugas di kota Wuling."
Wang Dou mengeluh, "Bisa juga keluarga Huang yang mendapatkannya. Ding Tao adalah orangnya, bukan tidak mungkin
dia bisa mendekati petugas dan meminta agar barang-barang bukti yang ditemukan diserahkan kepadanya."
Paman Wang Chen Jin mengangguk, "Itu adalah kemungkinan yang terburuk, tapi secepatnya aku akan pergi ke sana,
sebisa mungkin akan kucoba agar tidak ada orang yang memakai sumur itu, kalaupun itu terjadi dan ada yang menemukan
pedang itu, jika memungkinkan aku akan mengambil pedang itu."
Dengan pandang sedih Wang Dou memandangi puteranya, "Bodoh... bodoh... sekali apa yang kau lakukan itu anak Jin.
Kehilangan pedang, bolehlah kita anggap masalah rejeki. Tapi jika kau masih saja tidak bisa berpikir lebih tenang dan
mudah menuruti keinginan hati bagaimana dengan kehidupanmu di masa depan nanti."
Suara ayahnya terdengar begitu sedih, Wang Chen Jin merasa sangat terpukul, hilang sudah ketakutannya digantikan
dengan penyesalan yang tulus.
"Sebagai orang yang hidup dalam dunia yang keras, sekali berbuat kesalahan, akibatnya bisa menjadi fatal. Kali ini urusan hilangnya pedang, seharusnya tidak perlu terjadi kalau kau bisa mengendalikan perasaanmu. Seharusnya kekalahanmu
sebelumnya kamu jadikan pelajaran untuk memperbaiki diri. Kebencianmu pada pemuda itu sungguh tidak ada gunanya."
Fu Tsun pun segera pergi untuk mengambil kuda dan tidak lama kemudian sudah dalam perjalanan menuju ke Wuling.
Sementara itu Wang Dou memberikan nasihat-nasihat pada puteranya. Tentang pedang pusaka yang hilang, ketiga orang
itu masih menyimpan harapan besar untuk memperolehnya kembali.
Menanti malam tiba, kedua ayah beranak berusaha menampilkan wajah yang tenang meskipun hati mereka tidak sabar
menantikan datangnya malam, meskipun pedang itu dengan aman tersembunyi di dalam sumur, tapi sebelum pedang itu
berada di tangan kembali, hati mereka tidak bisa tenang.
Terhadap anggota rombongan yang lain, Wang Dou menjelaskan bahwa dirinya merasa sedikit lelah setelah perjalanan ke
Wuling dan ingin beristirahat beberapa hari sebelum kembali ke rumah.
Meskipun ada yang bertanya-tanya dalam hati, tidak ada yang berani menanyakan keheranan mereka pada Wang Dou.
Yang bertanya-tanya ini, cukup cerdik untuk mengerti bahwa jika pun memang ada alasan tertentu, tentu ada pula
alasannya sehingga Wang Dou tidak memberitahu mereka.
--------- o --------- Gu Tong Dang tidak bisa tidur dengan tenang malam itu. Dia sendiri tidak tahu dengan jelas apa yang menyebabkan dirinya susah untuk tidur.
Seakan-akan ada sesuatu yang terlupakan dan sekarang otaknya berusaha untuk mengingat-ingat apa ada yang dia lupa
untuk kerjakan hari itu. Maklum umurnya sudah bertambah tua.
Perlahan-lahan, ditelusurinya apa saja yang dia kerjakan hari itu, tapi tidak juga teringat apa yang sebenarnya mengganggu perasaannya malam itu.
Kerja otak memang aneh, tidak jarang kita melupakan nama seseorang dan ketika kita berusaha keras untuk
mengingatnya, ingatan itu tidak juga kembali. Terasa oleh kita bahwa di suatu tempat di dalam otak kita, tersimpan nama orang itu, tapi dengan cerdiknya ingatan itu bersembunyi dari kita.
Demikian pula keadaan Gu Tong Dang waktu itu, dia tahu bahwa ada sesuatu yang penting yang terlupa olehnya, tapi
apakah itu" Hal itu sangat mengganggu tidurnya dan seperti yang sering kita alami, saat kita sudah hampir menyerah tiba-tiba ingatan itu pun muncul. Seperti seorang anak nakal yang bermain petak umpet.
Untuk sesaat Gu Tong Dang tersenyum lebar menunjukkan giginya yang masih lengkap terawat di umur yang sudah begitu
lanjut, merasa senang karena ingatan yang dikejar-kejarnya itu akhirnya tertangkap juga.
Tapi tidak lama kemudian, alisnya berkerut dan wajahnya mengunjuk rasa kuatir, teringatlah kejadian saat Wang Chen Jin
berbisik pada Ding Tao dan wajah Ding Tao tampak menegang. Tentu ada suatu yang penting yang dibisikkan, demikian
pikir Gu Tong Dang. Beberapa lama guru tua itu termangu, tiba-tiba dikepalkannya tangan dan dengan gerakan yang gesit dia meloncat berdiri,
"Hmm" dipikirkan ke sana ke mari, kalau tidak ditanyakan langsung pada orangnya mana bisa aku tahu" Sebaiknya aku
pergi menemui Ding Tao sekarang juga untuk menanyakannya, kalau tidak, sampai matahari terbit pun, mata tua ini tidak
akan juga bisa terpejam."
"Moga-moga Ding Tao bisa memahami kekuatiranku, dan tidak memandangku terlalu cerewet."
Sambil berlalu menuju kamar tempat Ding Tao tinggal, diapun berpikir dalam hati, "Apakah memang semakin tua aku jadi
semakin bawel?" Terkekeh geli sendiri guru tua itu membayangkan bagaimana dirinya setelah tua menjadi seorang nenek yang bawel, tanpa
terasa teringatlah dia terhadap mendiang isterinya.
Mendesah dia mengingat kenangan manis di masa lalu, sayang mereka berdua tidak kunjung diberkati keturunan.
Dengan mengenang masa lalu sampailah guru tua itu di depan kamar Ding Tao, perlahan-lahan diketuknya pintu kamar itu
Riwayat Lie Bouw Pek 13 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Tiga Dara Pendekar Siauw Lim 4

Cari Blog Ini