Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 12

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 12


dipotong untuk penghidupan mereka, sebagian besar keuntungan disumbangkan pada kepentingan perkumpulan.
Demikian juga rencana Tabib Shao Yong untuk membuka toko obat dan usaha pertabibab berjalan dengan lancar, karena
tidak perlu lagi memikirkan masalah modal dan tempat usaha.
Satu minggu berlalu sejak kejadian yang menghebohkan kota Jiang Ling itu. Hari itu di gedung usaha keluarga Huang
tampak kesibukan yang luar biasa padahal justru hari itu mereka tidak melayani traksaksi sama sekali.
Mereka yang terlihat keluar masuk gedung, semuanya berpakaian rapi dan baru, meskipun tidak semuanya bisa dikatakan
mewah. Tentu saja kesibukan mereka mengundang keingin-tahuan dari tetangga-tetangga yang tidak tahu menahu. Salah
seorang dari mereka kebetulan mengenal orang dari keluarga Huang yang sedang mengangkat keranjang berisi makananmakanan kecil yang tersusun rapi ke atas kereta pengangkut.
"Psst.. A Kau, A Kau?", panggil orang itu, sedikit ragu karena tahu bahwa keluarga Huang bukan usaha dagang biasa,
apalagi setelah ikut menyaksikan pertempuran yang terjadi seminggu yang lalu, tapi rasa penasarannya tidak bisa diredam begitu saja.
Yang dipanggil A Kau segera menoleh lalu sambil tersenyum lebar menyapa kenalannya itu, "Oh kau Lau Sau, ada apa?"
"Hehe, apa aku tidak mengganggu kerjamu?", tanya Lau Sau berbasa-basi.
"Oh tidak-tidak, lagipula kalau kau takut mengganggu kenapa juga kau memanggil-manggil begitu", jawab A Kau sambil
menyengir. "Hehehe, ya begitulah, sebenarnya tidak ada yang penting, cuma kami ini penasaran, ada apa sih sehingga kalian kelihatan sibuk sekali?" tanya Lau Sau pada A Kau, sambil menunjuk pada teman-temannya yang bergerombol sedikit di belakang.
Dalam hati teman-temannya memaki si Lau Sau.
"Dasar tua bangka, cari kesulitan kok ngajak2 teman.", batin mereka dalam hati, tapi di luaran mereka ikut mengangguk dan tersenyum pada A Kau.
"Oh, soal kesibukan kami ini. Kalian bukan orang persilatan, maka dari itu kalian mungkin belum dengar, tapi hari ini adalah hari penting di kota Jiang Ling, hampir segenap orang dunia persilatan mendengar kabar ini, tamu-tamupun tidak lama lagi tentu akan mulai berdatangan dari banyak wilayah.", jawab A Kau sambil tersenyum bangga, karena menjadi bagian dari
sesuatu yang istimewa. Dengan rasa tertarik mereka yang mdengar perkataan A Kau itu bergerak mendekat, yang tadinya memaki Lau Sau dalam
hati sudah lupa pada makiannya.
"A Kau, memangnya ada hal penting apa di Kota Jiang Ling, sampai orang-orang dunia persilatan dari berbagai wilayah
datang ke mari?", tanya Lau Sau semakin ingin tahu.
"Hmm" kau kan ikut melihat juga pertarungan yang hebat seminggu yang lalu?", tanya A Kau pada Lau Sau.
Lau Sau dan beberapa temannya yang kebetulan ikut melihat kejadian itu menganggukkan kepala, sebenarnya tidak tepat
jika mereka ini dikatakan ikut menyaksikan, karena mereka sama seperti orang kebanyakan, hanya berani melihat dari
kejauhan saja. "Ya, kami melihatnya, memangnya kenapa" Apa kesibukan kali ini masih ada hubungannya dengan pertarungan waktu
itu?", jawab Lau Sau yang segera balik bertanya.
"Tentu saja ada hubungannya, bahkan hubungannya erat sekali. Pendekar yang waktu itu bertarung adalah seorang
pendekar muda yang lahir dan besar dari keluarga Huang di kota Wuling. Meskipun sudah beberapa tahun dia memilih
jalannya sendiri, dia tidak lupa dengan budi baik keluarga Huang. Begitu mendengar tentang musibah yang dialami oleh
keluarga Huang, diapun tidak tinggal diam. Ditelusurinya jejak para pembunuh yang membantai keluarga Huang di Wuling,
hingga sampai ke kota Jiang Ling ini."
"Oh begitu, lalu mengapa dia bertarung dengan orang dari keluarga Huang di kota ini?", tanya Lau Sau.
"Nah inilah yang tidak kalian ketahui, para pembunuh itu bukan hanya membinasakan keluarga Huang di kota Wuling, tapi
juga membunuh orang-orang penting di tiap anak cabang keluarga Huang, kemudian dengan menggunakan kekuatan
mereka, menekan kami yang ada di anak cabang ini agar bekerja untuk mereka.", jawab A Kau menjelaskan.
"Wah kenapa kalian menurut saja?", tanya Lau Sau dengan lagak tidak puas.
"Hmm..hmm, kau ini gampang saja bicara, tapi apakah kau mengerti tentang kehebatan para pembunuh itu" Jangankan
kami yang di anak cabang, sedangkan pusat keluarga Huang di kota Wuling saja mereka hancurkan.", jawab A Kau sambil
memelototi Lau Sau. "Eh, eh, jangan marah saudara. Aku kan awam soal ini, benarkah para pembunuh itu sehebat itu hingga kalian semua bisa
dikalahkan oleh dirinya seorang?", tanya Lau Sau sambil menyengir minta maaf.
"Hmm, tentu saja benar, memang dia sangat hebat sekali, dia itu orang kenamaan dalam dunia persilatan. Jangankan kami
semua, ditambah dua kali lipat jumlah kamipun, ibaratnya hanya seperti ngengat yang menerjang api.", jawab A Kau
dengan sungguh-sungguh. Penjelasan A Kau membuat mereka yang mendengar saling berpandangan dan meleletkan lidah. Lau Sau yang serba ingin
tahu cepat bertanya, "Eh A Kau, kalau dia jagoan sehebat itu dan sangat terkenal, siapa pula namanya" Dan apa
kedudukannya dalam dunia persilatan?"
"Dia itu Pendekar pedang Pan Jun, ketua Partai Hoasan", jawab A Kau dengan dada terangkat, dalam hatinya dia tidak ingin diremehkan oleh teman-teman kenalannya itu.
Semakin hebat orang yang membuat mereka tunduk tanpa mampu melawan tentu makin baik. Jawaban A Kau itu
mengundang kericuhan kecil dari mereka yang mendengar, maklum, meskipun mereka orang awam, namun nama besar
Partai Hoasan sudah dikenal oleh segenap rakyat.
Melihat reaksi mereka, pucatlah wajah A Kau ketika teringat oleh petuah Chou Liang, untuk tidak menyebar luaskan berita tentang identitas pembunuh bertopeng itu, cepat-cepat dia menakupkan tangan ke mulut Lau Sau yang mengulang-ulang
ucapannya. "Siapa kira coba, Pendekat pedang Pan..", ujar Lau Sau yang terputus karena mulutnya disumpal oleh A Kau.
"Sssttt" jangan diulang2 perkataan itu", ujar A Sau dengan wajah sedikit pucat.
Lau Sau yang kesal mendorong pergi tangan A Kau lalu bertanya, "Lho, kenapa juga kau ini, tadi kau sendiri yang bilang, kenapa sekarang kami harus tutup mulut."
"Ssssttt! Goblok, apa sudah kau pikirkan apa yang bakal terjadi kalau kau menceritakan hal itu pada orang-orang yang kau jumpai?", tanya A Kau dengan gemas pada Lau Sau.
"Ho" memangnya kenapa?", tanya Lau Sau dengan wajah bingung.
"Hmm" kau kira orang Partai Hoasan mau mengakui kalau ketuanya terjungkal di bawah pedang ketua kami?", tanya A Kau
menggertak Lau Sau, nada suaranya sudah lebih tenang karena sekarang ini dia sudah memiliki pegangan untuk menakutnakuti Lau Sau. "Ehm", maksudmu mereka belum tahu kalau ketuanya mati di tangan kalian?", tanya Lau Sau ragu-ragu.
"Hehehe, bukannya mereka tidak tahu, tapi mereka pura-pura tidak tahu. Kalau dunia persilatan tahu bahwa ketua Partai
Hoasan mati di tangan seorang pemuda yang baru keluar perguruan, apa nama Partai Hoasan tidak akan terjun ke dalam
rawa berlumpur?", jengek A Kau.
"Oh" jadi maksudmu, orang Partai Hoasan sudah tahu tapi mereka berusaha menutupi hal itu?", tanya Lau Sau.
"Tentu saja, itulah yang terjadi, coba saja bayangkan sendiri kalau ada orang mengatakan mie buatannya lebih enak
daripada mie buatanmu, apa kau mau mengakuinya pada orang lain?", tanya A Kau pada Lau Sau.
"Hmm" mie buatanku memang paling enak di kota ini, kalau sampai ada yang sembarangan mengatakan bahwa mie
buatannya lebih enak, tentu akan aku labrak.", jawab si Lau Sau, yang rupanya punya usaha kedai mie.
"Nah apakah sekarang kau sudah mengerti?", tanya A Kau sambil menggendong tangan dan tersenyum menang.
Mulailah Lau Sau dan teman-temannya merenungkan perkataan A Kau dengan tengkuk meremang.
"Untung kau mengingatkan kami, tapi A Kau, kalau demikian kenapa kalian tidak menyiarkan berita ini untuk meningkatkan
pamor kalian?", tanya Lau Sau sambil mengusap-usap lehernya.
"Itulah sifat ketua kami yang baru, beliau tidak menyukai kekerasan. Prinsip dan aturan perkumpulan kami yang baru
adalah menciptakan kedamaian atas dasar kebenaran, keadilan dan pengampunan. Jadi tujuan kami yang utama adalah
menjaga kedamaian.", jawab A Kau sambil membusungkan dada.
Jawaban A Kau ini mengundang pertanyaan dan keheranan dari pendengarnya. Mereka saling berpandangan dan diam. Lalu
dengan suara perlahan Lau Sau bertanya, "Eh A Kau, apa tidak salah dengar?"
"Hoo, apa maksudmu salah dengar" Kau anggap aku ini orang linglung?", tanya A Kau dengan alis berkerut.
"Sabar kawan, sabar, bukannya kalian ini belajar ilmu silat untuk berkelahi, mengapa pula sekarang ada kata-kata menjaga kedamaian, bahkan pengampunan" Apa kalian beralih aliran dan membuka satu agama?", tanya Lau Sau mewakili rasa
penasaran teman-temannya.
"Agama" Tentu saja tidak, tapi pada awalnya seseorang belajar ilmu silat bukankah karena ingin menjadi pahlawan yang
menolong rakyat yang lemah" Adalah satu penyelewengan ketika orang-orang dunia persilatan makin banyak yang
menggunakan kepandaiannya untuk keuntungan diri sendiri, apalagi hingga menekan orang yang lebih lemah. Itu sebabnya
kami berniat untuk meluruskan kembali penyimpangan ini. Itu mengapa tujuan kami adalah menciptakan kedamaian.", ujar
A Kau dengan rasa bangga, seakan-akan perkataan itu muncul dari isi kepalanya sendiri, padahal kata-kata itu dia contoh dari keterangan yang diberikan oleh Qin Hun.
"Oh" begitu, lalu mengapa dikatakan pula pengampunan" Apakah penjahat harus diampuni juga" Jika demikian di mana
letak keadilannya?", tanya Lau Sau
"Hoo Lau Sau, kerjamu hanya membuat mie, apa kau belum pernah mendengar cerita seorang sarjana bernama Chen Shi"
Tentang pencuri yang ketahuan dan kemudian bertobat?", tanya A Kau semakin sombong.
"A Kau, jangan terlalu merendahkan orang, jelek-jelek begini aku juga pernah bersekolah, tentu saja aku pernah
mendengarnya. Orang baik pun ada kalanya dikarenakan keadaan, jatuh dalam perbuatan dosa, karena itu orang yang
bijak, seharusnya membenci kejahatan namun memberi kesempatan pada pelaku kejahatan untuk bertobat.", jawab Lau
Sau sambil memonyongkan bibirnya.
Sambil tersenyum penuh kemenangan A Kau pun menjawab, "Nah, kalau begitu kenapa lagi kau masih bertanya?"
Lau Sau menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir kuda, lalu diapun menjawab, "He A Kau, jangan
terlalu bangga, semua perkataan ini tentu bukan berasal dari isi kepalamu sendiri. Benar tidak?"
A Kau pun ganti menyengir kuda dan menjawab, "Hehe, memang benar, baru beberapa hari ini, setiap dari kami
mendapatkan pengajaran tentang pandangan hidup dan prinsip yang ingin diterapkan oleh ketua baru kami. Aku sih hanya
bisa mengulangi apa yang dikatakan oleh para pimpinan."
Jawaban A Kau yang jujur tentu saja mengundang tawa mereka semua, salah seorang dari mereka kemudian menyeletuk,
"Eh A Kau, kalau begitu kau sekrang tidak boleh terlalu galak. Kau kan berlatih silat bukan untuk gagah-gagahan lagi."
"Ya, ya, sekarang aku pun tidak belajar silat untuk sekedar memamerkan kekuatan.", jawab A Kau dengan sungguhsungguh meskipun dia mengatakan hal itu sambil tersenyum lebar.
"Hmm.. kau bilang ketuamu yang baru, apakah pemuda yang kau bilang mengalahkan Pan" eh jagoan pedang kemarin itu"
Apakah setelah kemenangannya itu, kalian semua ditarik menjadi pengikutnya?", tanya Lau Sau pada A Kau.
"Orangnya memang benar dia, umurnya masih sangat muda, bahkan setahun lebih muda dari diriku, tapi kepandaiannya
setinggi langit. Tapi tidak tepat jika dibilang dia menarik kami untuk jadi pengikutnya. Yang terjadi justru pada awalnya dia menolak saat pimpinan kami hendak menyerahkan kekuasaan atas usaha kami pada dirinya. Tapi tergerak oleh kebaikan
hatinya, maka satu per satu dari pimpinan kami secara suka rela, secara pribadi, menyatakan keinginan mereka untuk
menjadi pengikutnya.", kata A Kau menjelaskan kejadian yang terjadi selama beberapa hari ini.
"Oh, lalu kalian pun mengikuti pimpinan kalian dan menjadi pengikutnya pula?", kata Lau Sau.
"Tidak, para pimpinan menyerahkan keputusan itu pada kami masing-masing, ada juga yang memutuskan untuk pulang
kampung dan memulai usaha sendiri di sana. Keluar dari urusan dunia persilatan, tapi lebih banyak lagi yang seperti diriku ini. Kami tergerak oleh cita-cita yang dimiliki oleh Ketua Ding Tao dan memutuskan untuk menjadi pengikutnya.", ujar A
Kau menjelaskan. Termenung Lau Sau mendengarkan penjelasan A Kau, kemudian dengan nada sungguh-sungguh dia berkata, "A Kau, kau
memilih untuk mengikuti orang yang hebat, jika benar ceritamu itu, berarti orang ini pun sama bijaknya dengan Chen Shi
dari jaman dinasti Han yang terkenal itu. Aku jadi iri terhadap dirimu yang memilih kehidupan dalam dunia persilatan."
Ucapan Lau Sau diikuti oleh anggukan kepala dari teman-temannya yang lain, bahkan A Kau sendiri pun ikut merenungkan
perkataan Lau Sau. Ada saat-saat di mana dalam pembicaraan, apa yang ada dalam benak dan hati bukan hanya
tersampaikan lewat kata-kata. Namun dalam pembicaraan ada pula rasa yang tersampaikan. Saat ini mereka yang saling
berbicara itu bisa merasakan apa rasa hati Lau Sau dan tersentuh olehnya.
Dengan suara serius A Kau menjawab, "Aku mengerti, sebenarnyalah perkataanmu itu tepat adanya. Seorang laki-laki bisa
mengikut orang yang tepat, kalaupun harus kehilangan nyawa bukanlah satu kerugian."
Lau Sau mengangguk dan tersenyum, "Kau benar, sudahlah, kulihat kau juga sedang ada kesibukan, kau lanjutkan
kerjamu. Lain kali jika kau atau kawanmu mampir di kedaiku, kalian bisa makan minum sepuasnya, jangan pikirkan soal
uang." A Kau tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja, lain kali akan kuajak kawan-kawan ke kedaimu. Kaupun tidak usah
sungkan jika hendak mampir ke tempatku. Perayaan kali ini, terbuka untuk umum, jika mau kalian pun boleh datang, sama
sekali tidak ada masalah."
"Benarkah" Baiklah tentu kami akan datang. Omong-omong kau belum bilang ada perayaan apa hari ini?"
"Oh ini upacara pembukaan perkumpulan kami secara resmi, sebelumnya ketua dan para pimpinan belum memutuskan satu
nama, hanya dalam hati sudah saling berikrar. Setelah beberapa lama slaing berdiskusi, akhirnya ditetapkan nama
perkumpulan kami adalah Partai Pedang Keadilan. Hari ini kami mengundang sahabat-sahabat dari dunia persilatan dan
siapa saja yang mau datang, untuk merayakan kelahiran perkumpulan kami ini.", jawab A Kau dengan wajah yang cerah.
"Partai Pedang Keadilan" Nama yang bagus, kalau ada waktu tentu aku kan datang. Kapan mulai diadakan dan di mana?",
tanya Lau Sau dengan bersemangat.
"Di gedung rumah makan keluarga Hok dan waktunya sepanjang hari, tiga hari, tiga malam kami akan menerima tamu dan
membagikan makanan serta angpau pada setiap orang yang datang.", jawab A Kau.
"Wah, bagus sekali, baiklah aku akan datang. Eh apa kalian mau beramai-ramai pula ke sana?", jawab Lau Sau yang
kemudian berbalik pada teman-temannya dan bertanya.
"Sudah, kalian datang saja, aku harus segera kembali bekerja, tapi kalian jangan lupa untuk datang.", sahut A Kau sambil melangkah masuk ke dalam gedung usaha keluarga Huang dan melambaikan tangan.
Ya hari itu, perkumpulan yang didirikan Ding Tao dan rekan-rekannya, akhirnya mendapatkan bentuknya dan menyatakan
keberadaannya secara resmi. Di rumah makan terbesar yang ada di kota Jiang Ling, perayaan itu diadakan. Segenap
sahabat dan kenalan dalam dunia persilatan mendapatkan undangan. Bahkan orang-orang dari perguruan ternama pun ada
pula yang datang, meskipun mereka tidak ikut diundang. Karena memang disiarkan bahwa perayaaan ini terbuka untuk
umum dan tidak menetapkan satu undangan resmi pada kelompok tertentu.
Gosip dan desas-desus akan matinya Pan Jun di tangan Ding Tao, membuat orang-orang banyak yang tertarik untuk datang
dan menyaksikan keramaian. Tidak sedikit orang yang melakukan taruhan bahwa akan ada orang dari Partai Hoasan yang
datang untuk mencari keributan.
Meskipun banyak juga yang berpendapat, bahwa justru hal itu tidak mungkin terjadi karena bila itu terjadi, sama artinya Partai Hoasan mengakui bahwa ketua mereka terjungkal di bawah pedang Ding Tao. Hingga saat ini berita yang disebarkan
oleh Partai Hoasan sendiri mengatakan bahwa Pan Jun sedang menutup diri dalam ruang rahasia, demi mempelajari salah
satu ilmu rahasia, simpanan dari Partai Hoasan. Secara tidak langsung menyangkal berita yang mengatakan bahwa Pan Jun
mati terbunuh di Jiang Ling dalam pertarungan melawan Ding Tao.
Di saat itu, Ding Tao dan beberapa orang pengikut terdekatnya, antara lain Chou Liang, Liu Chun Cao, Fu Tong si tongkat besi, guru Chen Wuxi, Qin Hun dan pemilik kedai di perbatasan Wuling sedang beristirahat melepas lelah, sementara rekan-rekan yang lain menggantikan mereka untuk menemui tamu-tamu yang datang.
Sambil beristirahat melepas lelah, pembicaraan ringan pun terjadi dan pada satu kesempatan Chou Liang bertanya pada
Ding Tao, "Ketua Ding Tao, hal ini tidak pernah kita bicarakan sebelumnya, tapi ada sedikit rasa penasaran yang tidak bisa lagi kutahan-tahan."
"Apakah itu Kakak Chou Liang" Kalau bisa kujawab tentu aku jawab.", ujar Ding Tao sambil tertawa geli melihat keseriusan Chou Liang.
"Hal ini tentang pertarunganmu tempo hari dengan pendekar pedang pencabut nyawa itu.", ujar Chou Liang.
Gelaran pendekar pedang pencabut nyawa, saat ini telah digunakan untuk menyamarkan nama besar Pan Jun, bila mereka
sedang membicarakan hal itu.
"Selama seharian Ketua memikirkan cara untuk mengalahkan pendekar pedang pencabut nyawa tersebut, sebenarnya cara
apa yang sudah ketua temukan sehingga berhasil memenangkan pertarungan?", lanjut Chou Liang meneruskan
pertanyaannya. Serentak perhatian mereka yang ada dalam ruangan itu pun tertuju pada Ding Tao. Mereka juga ingin mendengar
penjelasan Ding Tao mengenai hal itu, sejak pertarungan tempo hari, mereka sibuk untuk meresmikan perkumpulan yang
mereka dirikan. Baru kali ini ada kesempatan untuk berbicara secara bebas.
Melihat ke sekelilingnya, Ding Tao pun sadar bahwa dia tidak bisa mengelak dari pertanyaan Chou Liang, setelah berpikir sejenak dia pun membuka mulut untuk menjelaskan.
Melihat tidak ada jalan lain kecuali menceritakan apa yang terjadi saat pertarungan antara dirinya dan Pan Jun berlangsung, Ding Tao menghela nafas dan tersenyum kecut, "Yah" sebenarnya kalau hendak diuraikan juga tidak terlalu rumit. Jika
dibilang aku memiliki kelebihan dibanding Pendekar pedang Pan Jun, juga kurang begitu tepat."
"Perbedaan menang dan kalah begitu tipis, bisa dikatakan jika ada kelebihan padaku, itu lebih pada masalah mental dan
psikologis saja.", ujar Ding Tao.
"Kecepatan pedang Pendekar pedang Pan Jun sangatlah tinggi dan serangannya dapat dilancarkan dari sudut-sudut yang
menurut nalar sulit dilakukan. Apalagi serangannya berupa tusukan pedang dan bukan tebasan pedang, dengan demikian
jalur serangannya lebih sempit dan sulit ditangkis."
Mendengar penjelasan Ding Tao sampai di sini, mereka yang mendengarkan menganggukkan kepala, memahami apa yang
sudah dijelaskan, meskipun masih belum melihat di mana titik pemecahannya dari kehebatan pembunuh bertopeng itu.
"Pada pertarungan kami yang pertama, aku sudah merasakan betapa sulitnya untuk menghindari serangan-serangan itu.
Ketika aku berusaha menentukan arah dari serangan lawan, serangan itu sudah tiba di depan mata, akibatnya akupun harus
berjuang keras hanya agar dapat menghindari serangannya itu tanpa melemahkan kedudukan sendiri."
"Selama ini, dalam setiap pertarungan, selalu ada kesempatan bagiku untuk mengamati jurus-jurus lawan, kemudian
setelah memahami lawan, barulah aku memikirkan cara untuk mengalahkannya. Perlahan-lahan, jurus demi jurus aku
menempatkan lawan pada posisi di mana aku bisa mengirimkan satu serangan terakhir untuk megalahkannya. Pendek kata,
aku menciptakan kesempatan untuk menyerang. Namun berhadapan dengan Pendekar pedang kilat, Pan Jun, hal itu tak
dapat kulakukan." "Kecepatan dan ketepatan serangannya melebihi semua lawan yang pernah kuhadapi sebelumnya. Jangankan untuk
menggiring lawan masuk dalam situasi di mana aku bisa mengirimkan serangan terakhir. Untuk bertahan dari serangannya
saja sudah cukup sulit. Tidak ada pilihan lain kecuali bertahan dan menunggu adanya kesempatan untuk menyerang.
Hampir putus asa rasanya, sampai tiba-tiba terlintas dalam ingatanku, luka-luka pada mayat, korban serangan pedang kilat Pan Jun."
Di antara mereka yang hadir di ruangan pada saat itu, hanya Liu Chun Cao-lah yang terus mengikuti Ding Tao dari sejak
ditemukannya mayat Mao Bin hingga pertarungan Ding Tao dengan Pan Jun untuk kedua kalinya. Mendengar Ding Tao
menyinggung-nyinggung masalah luka pada mayat-mayat korban Pan Jun, ditambah lagi dengan ingatannya atas
pertarungan antara Pan Jun dengan Ding Tao yang kedua kalinya. Pendeta itupun tanpa terasa menepuk pahanya dan
berseru. "Ah, ya benar" semuanya mati oleh sebuah tusukan di kepalanya.", seru pendeta itu sambil menepuk pahanya sendiri.
Mendengar seruan Liu Chun Cao, pikiran semua orang pun terbuka lebar dan mereka menangkap apa maksud dari seruan
itu. Ding Tao melihat ke sekelilingnya dan tersenyum.
"Ya, dengan mengetahui arah dari serangan lawan sebelum serangan itu diluncurkan, kesempatan untuk berhasil menahan
serangan lawan tentu menjadi semakin besar. Dengan demikian, meskipun kecepatan serangan dan teknik serangannya
sangat tinggi, yang perlu dilakukan hanyalah mengawasi datangnya serangan ke arah kepala. Meskipun kemenangan masih
jauh dari jangkauan, setidaknya ada harapan besar untuk dapat bertahan hingga muncul kesempatan untuk menyerang.",
ujar Ding Tao membenarkan apa yang ada dalam benak mereka semua.
"Meskipun dia memiliki berbagai macam jurus serangan, namun pada puncak pengembangan jurusnya, selalu saja dia
menyerang dengan sebuah tusukan ke arah kepala. Setelah semalaman kupikirkan akhirnya aku menemukan gerakan untuk
menahan serangan tersebut. Jadi yang perlu kulakukan adalah bertahan sekuatnya sambil menanti dia mencapai puncak
serangannya, di mana aku sudah menemukan cara untuk menangkalnya.", kata Ding Tao menjelaskan pemikirannya untuk
melawan Pan Jun. Sejenak lamanya mereka merenungkan hal itu, kemudian Fu Tong si tongkat besi berkomentar, "Hmmm" kedengarannya
mudah dilakukan, tapi kenyataannya tentu tidak semudah kedengarannya, di antara kita semua, kecuali Ketua Ding Tao
mungkin tidak ada orang lain yang mampu melakukan. Mungkin Saudara Ma Songquan dan isterinya bisa bertahan setelah
mengetahui hal ini, tapi apakah bisa menggunakan kesempatan itu untuk memenangkan pertarungan masih patut
dipertanyakan." Ding Tao merenung sebentar dan kemudian menjawab, "Sebenarnya akupun merasa seperti sedang melintasi jurang
dengan meniti di atas tali yang tipis. Sedikit saja terlambat dalam bereaksi, bisa dipastikan kematian akan datang
menjemput. Lagipula, bisa dikatakan satu pertaruhan juga, bagaimana jika tiba-tiba dia memutuskan untuk menyerang
bagian lain dari tubuhku?"
"Tapi 9 dari 10 bagian, tentu dia akan menyerang kepala Ketua Ding Tao. Yang pertama, harga dirinya sebagai pedang kilat tentu tidak mengijinkan dia untuk menyerang tempat lain. Yang kedua, untuk mematangkan satu serangan seperti yang dia
lakukan, tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tidak bia kubayangkan berapa puluh ribu kali dia melatih gerakangerakan tersebut.", ujar Liu Chun Cao menjawab Ding Tao.
"Ya" setelah bertahun-tahun melatih dan meyakinkan jurus tusukan pedang itu, bisa dikatakan, jurus pedang ya Pan Jun,
Pan Jun ya jurus pedang itu. Satu serangan yang bisa dia lakukan dalam keadaan tidak sadar sekalipun, setiap pergerakan, nafas dan pengolahan tenaga, sudah terukir kuat dalam benak, hati dan tubuhnya. Mengubah bentuk serangan di tengah
pertarungan hanya akan melemahkan serangannya itu sendiri.", Qin Hun melanjutkan penjelasan Liu Chun Cao, sambil
mengangguk-angguk membenarkan.
Liu Chun Cao terdiam sejenak kemudian berkata, "Sebenarnya, Pan Jun harusnya bisa menyadari bahwa Ketua Ding Tao
sudah memegang kelemahannya tersebut, dalam beberapa kali usahanya untuk mengakhiri perlawanan Ketua Ding Tao, dia
sudah menggunakan jurus itu, meskipun belum dilakukan dengan segenap kekuatan seperti pada saat serangan yang
terakhir." Chou Liang yang tidak terlatih dalam ilmu silat namun banyak membaca ajaran-ajaran dari kitab-kitab kuno bahkan kitab
seni perang, ikut pula menyerap banyak pengetahuan baru dari pembicaraan mereka, "Hmm" Pendekar pedang Pan Jun
pasti juga dihadapkan pada kedua pilihan itu, segera setelah menyadari bahwa Ketua Ding Tao sudah bisa meraba arah
serangannya. Namun di antara dua pilihan itu, akhirnya dia memilih untuk mempertaruhkan semuanya pada jurus serangan
yang menjadi andalannya. Satu jurus yang diyakinkan selama bertahun-tahun, puncak dari segenap pencapaian dan
kebanggan dirinya." Mereka yang mendengarkan sama-sama menganggukkan kepala, dalam hati merasa kagum pula pada Pan Jun yang
mampu mengasah ilmu pedangnya hingga sehebat itu. Ada juga rasa sayang, bahwa orang sehebat itu, bisa jatuh ke jalan
yang sesat. Qin Hun lah yang menyuarakan penyesalan itu, "Pendekar pedang Pan Jun sungguh orang yang hebat, tidak kusangka dia
bisa memilih jalan gelap. Padahal dia terkenal jujur dan keras dalam peraturan, meskipun sedikit sombong dan memandang
rendah orang lain." Ding Tao yang dalam hati merasa kagum pada Pan Jun, meskipun tidak menyetujui sikap yang diambil oleh tokoh tersebut
menambahkan pula, "Benar, pilihan yang dia ambil saat pertarungan itu, memperlihatkan wataknya yang keras dan harga
diri yang tinggi. Tanpa keraguan sedikitpun dia memilih, untuk menyerang dengan jurus yang sudah dia latih selama
bertahun-tahun itu."
Guru Chen memejamkan mata dan menghela nafas, hampir semua orang yang berada di ruangan itu merasakan penyesalan
dan kegalauan yang sama, "Saudara Qin Hun benar, sungguh di luar dugaan bahwasannya Pendekar pedang Pan Jun,


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang ketua dari partai ternama, ternyata menjadi kaki tangan dari orang yang menggerakkan pembantaian atas keluarga
Huang." "Bukan saja membuat orang terkejut dan merasa sayang, tapi juga membuat tulang-tulang tua ini merasakan kengerian.
Musuh macam apa yang sedang kita hadapi kali ini, sampai-sampai tokoh sekosen Pendekar pedang Pan Jun pun bisa
menjadi kaki tangannya?", ujar Guru Chen Wuxi menutup keluhannya.
"Hmm" mengetahui diri sendiri dan mengetahui lawan, maka bisa memenangkan setiap pertempuran. Dalam
pertarungannya melawan Pendekar pedang Pan Jun, Ketua Ding Tao berhasil menunjukkan penerapan dari teori ini. Namun
dalam cakupan yang lebih luas, ternyata justru kita sudah kalah langkah terhadap lawan. Mereka masih tersembunyi dalam
kegelapan, sementara kita sudah maju ke depan.", ujar Chou Liang kemudian terdiam memikirkan kedudukan mereka saat
ini. "Apakah itu berarti kekalahan sudah ada di depan mata?", tanya Fu Tong dengan suara pahit.
Kemudian sambil menggeram dia menambahkan, "Kalaupun harus kalah dalam pertarungan ini, aku akan mengadu nyawa,
seberapa yang bisa akan aku bawa lawan untuk menemaniku ke neraka."
Liu Chun Cao tertawa mendengar geraman Fu Tong, sementara Ding tao buru-buru berusaha menenangkan Fu Tong.
"Ah" Saudara Fu Tong, jangan sampai gelap mata. Sebenarnya kami sudah pula membicarakan masalah ini, sebelum
akhirnya memutuskan untuk melakukan serangan kepada lawan.", ujar Ding Tao menghibur Fu Tong.
"Ya, itu benar, meskipun saat ini keadaan lawan masih gelap, sementara justru kekuatan kita secara keseluruhan menjadi
nampak lewat serangan untuk membebaskan rekan-rekan di Jiang Ling, tapi pertaruhan kemarin memberikan suntikan
kekuatan yang cukup besar bagi perkumpulan kita. Nyata hari ini kita semua bisa berkumpul sebagai satu partai yang cukup besar.", ujar Chou Liang sambil tersenyum.
"Hmm" tapi bukankah teori perang itu yang baru disebutkan, menunjukkan bahwa kita akan berada pada posisi yang
lemah?", tanya Fu Tong dengan kening berkerut.
"Ya, kita berada di posisi yang lebih lemah, tapi dengan kedudukan yang lebih kuat dibanding kedudukan kita beberapa
minggu yang lalu. Lagipula lawan belum sepenuhnya mengetahui kekuatan kita, benar mereka sekarang tahu bahwa di
pihak kita, orang terkuat adalah Ketua Ding Tao, Saudara Ma Songquan dan isterinya Nyonya Ma. Namun selain dalam
beberapa hari ini datang tambahan-tambahan kekuatan baru, seperti Saudara Fu Tong dan Guru Chen Wuxi. Seberapa
tingginya tingkatan Ketua Ding Tao sendiri belum sepenuhnya dapat mereka selami.", ujar Chou Liang menjelaskan.
"Sementara mereka berusaha mengumpulkan data-data yang baru ini, kita pun tidak boleh tinggal diam. Kita harus
melakukan kegiatan-kegiatan yang menyulitkan lawan untuk menghitung kekuatan kita yang sebenarnya, sembari
mengumpulkan kekuatan tersembunyi yang tidak terlihat oleh lawan."
"Hmm" ilmu perang, sepertinya bersinggungan erat dengan ilmu silat.", ujar Fu Tong dengan kening berkerut.
Liu Chun Cao tertawa melihat sahabatnya itu berpikir dengan keras, "Tentu saja ada persinggungan, jika kau mau sedikit
saja menggunakan otakmu itu dan bukan hanya menggunakan tongkat besimu, tentu peringkatmu dalam dunia persilatan
bisa naik beberapa tingkat."
Gurauan Liu Chun Cao itu membuat mereka semua tertawa, termasuk Fu Tong sendiri, setelah tawa mereka sedikit mereda,
Fu Tong berkata, "Hmph! Mau jurus tipuan atau sungguhan, justru membuat otakku pening berpikir, aku tetap saja lebih
suka pukul dulu, pikir belakangan."
Dan tawa mereka pun kembali meledak. Memang suasana di gedung itu pada saat ini penuh dengan kegembiraan, lepas
dari tantangan yang ada di depan mata, terselip satu rasa syukur bahwasannya mereka semua boleh berkumpul juga pada
hari ini. Bisa dikatakan, seandainya saat itu juga, lawan-lawan yang kuat datang menyerang dan mereka semua mati
binasa, matipun mereka akan mati dengan senyum dikulum, karena mereka sudah bertemu dan mendapatkan sahabatsahabat sejait, kawan seperjuangan yang memiliki prinsip dan harapan yang sama.
Setelah tawa mereka mereda, Song Luo bertanya pula, bagi pembaca yang lupa, Song Luo adalah pemilik kedai dekat
rumah Mao Bin, dia termasuk orang yang menjadi pengikut Ding Tao sejak awal didirikannya perkumpulan mereka yang
saat itu belum bernama. Meskipun tidak memiliki ilmu silat, bahkan tidak tergolong orang dari dunia persilatan, Ding Tao tidak melupakan niatan baik orang ini dan pada saat perencanaan untuk mengadakan perayaan berdirinya Partai Pedang
Keadilan, secara rahasia, Song luo ikut diundang untuk datang ke kota Jiang Ling.
Orang tua itu bertanya pada Ding Tao, "Ketua, sebenarnya sejak kemarin ketika ketua menyatakan bahwa sebagai orang
yang memutuskan untuk mengikut ketua sejak awal, diriku termasuk pula menjadi anggota inti dari Partai Pedang Keadilan, aku jadi merasa serba salah. Apa yang bisa kulakukan sebagai anggota inti dari Partai Pedang Keadilan, sedangkan
kebisaanku hanyalah memasak mie saja?"
Liu Chun Cao, Ding Tao dan Chou Liang saling berpandangan untuk sesaat lamanya. Kemudian Chou Liang menegakkan
badannya dan berbicara dengan suara perlahan, "Untuk lebih jelasnya, akan kita bicarakan setelah perayaan ini selesai.
Namun secara garis besar, dalam Partai Pedang Keadilan akan ada dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok kecil
yang terdiri dari orang-orang yang terpercaya."
"Kelompok kedua adalah mereka yang berada di luar kelompok pertama ini yang secara umum dilihat sebagai anggota dari
Partai Pedang Keadilan, namun sesungguhnya akan ada banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang partai ini sendiri."
"Kelompok pertama yang menjadi inti dari Partai Pedang Keadilan, justru tidak selalu menampakkan diri sebagai anggota
partai. Itu sebabnya di antara mereka yang diundang ke mari untuk berikrar setia, ada juga beberapa yang datang sebagai tamu biasa, seperti Guru Chen Wuxi dan Saudara Fu Tong. Atau bahkan yang kedatangannya disamarkan dan sebisa
mungkin tidak diketahui orang seperti Paman Song Luo. Tentang apa tugas dan kewajiban masing-masing anggota, hal itu
pun sudah dibicarakan secara masak."
"Setiap anggota inti dari Partai Pedang Keadilan, akan memiliki tugas yang khusus. Termasuk Paman Song Luo, tentu saja
hal-hal itu akan kita bahas lebih lanjut dalam pertemuan dan kesempatan yang lebih sesuai.", ujar Chou Liang mengakhiri penjelasannya.
Wajah Qin Hun, Song Luo, Chen Wuxi dan Fu Tong pun berubah menjadi serius setelah mendengar penjelasan Chou Liang.
Bukan hanya Song Luo, yang lainpun mulai merasakan beban tanggung jawab yang harus mereka hadapi nantinya. Ada
rasa bangga, tapi terselip juga pertanyaan, akankah mereka mampun menjalankan tanggung jawabnya masing-masing.
Tidak ada yang bertanya lebih lanjut, penjelasan Chou Liang sudah mengisyaratkan bahwa penjelasan yang lebih terperinci haruslah dilakukan dalam situasi yang jauh lebih aman.
Di saat seperti itulah tiba-tiba Tang Xiong masuk ke dalam ruangan dan langsung menghadap Ding Tao, "Ketua Ding Tao,
ada tamu penting, kami rasa sebaiknya ketua keluar untuk menemuinya."
Kegugupan Tang Xiong dengan cepat menyebar pada yang lain. Maklum saja, jauh-jauh hari mereka sudah menyadari,
membuka satu partai persilatan dan mengundang teman-teman dari dunia persilatan untuk ikut merayakan, sudah tentu
yang datang bukan hanya mereka yang ingin ikut mengucapkan selamat. Tentu akan datang pula mereka yang ingin
menjajal dan menjajagi kekuatan partai yang baru lahir ini. Itu sebabnya, jika Ding Tao sedang beristirahat, tentu ada Ma Songquan dan isterinya yang menggantikan dirinya untuk ikut menyambut tamu. Seberapa tinggi ilmu silat bekas sepasang
iblis itu mereka sudah sama tahu. Jika sekarang Tang Xiong datang dengan gugup, maka itu berarti tamu yang cukup
penting sudah datang pula ke tempat mereka.
"Baiklah, aku akan segera ke sana, Pendeta Liu Chun Cao, Paman Qin Hun dan Kakak Chou Liang baiklah ikut pula keluar,
saudara yang lain sebaiknya tetap menunggu di sini saja.", ujar Ding Tao dengan tenang, sambil berdiri dan merapikan
pakaian. Ketenangan Ding Tao dengan sendirinya menyebar dan membuat hati mereka pun sedikit lebih tenang. Bahkan Tang Xiong
pun tampaknya ikut terhibur oleh ketenangan Ding Tao. Segera mereka yang diajak untuk ikut, bangkit pula, mengikuti
Ding Tao dan Tang Xiong yang sudah mulai meninggalkan ruangan. Fu Tong, Song Luo dan Guru Chen Wuxi hanya bisa
saling berpandangan dan menduga-duga.
"Siapa pula gerangan yang datang berkunjung?", ujar Fu Tong sambil mengangkat alis matanya.
"Entahlah, apa mungkin orang dari Perguruan Hoasan?", jawab Chen Wuxi menduga-duga.
"Hmm" bisa jadi, Hoasan masih menyimpan banyak tokoh tua dan desas-desus tentang kekalahan Pan Jun di tangan Ketua
Ding Tao sudah pasti menjadi duri dalam daging mereka. Meskipun tidak bisa membalaskan dendam Pan Jun secara terangterangan, bukan tidak mungkin mereka datang untuk mencari gara-gara.", geram Fu Tong ddengan wajah gelap.
"Ya, satu kali rengkuh, dua tiga pulau terlampaui. Mempermalukan Ketua Ding Tao sebagai ganti balas dendam, sekaligus
menutup mulut orang-orang yang menyebarkan berita busuk itu dan mengembalikan nama besar Partai Hoasan yang
sempat tercoreng oleh kekalahan Pan Jun.", uar Chen Wuxi dengan nada sedih.
"Kira-kira, apa Ketua Ding Tao bisa mengatasi mereka bila mereka benar-benar mencari masalah?", tanya Song Luo yang
kurang tahu dengan jelas seluk beluk dunia persilatan.
"Hmm" sulit dikatakan, Pan Jun memang ketua dari Partai Hoasan, namun tidak berarti dia adalah orang terkuat dalam
Hoasan. Lagipula jika benar yang mencari setori adalah orang dari Partai Hoasan, tentu yang datang adalah orang yang
lebih kuat dari Pan Jun, tidak akan mereka mengirimkan orang yang lebih lemah darinya.", jawab Guru Chen Wuxi dengan
wajah muram. "Astaga" apakah Ketua Ding Tao bisa terluka nanti" Apakah kita tidak perlu keluar untuk memberikan bantuan?", tanya
Song Luo dengan cemas. "Tentu saja tidak. Kalau sampai terjadi pertarungan, tentu yang terjadi adalah pertarungan satu lawan satu. Tidak mungkin bagi kita untuk ikut campur tanpa mempermalukan Ketua Ding Tao, moga-moga saja tokoh tua yang datang tidak sampai
menjatuhkan tangan jahat pada Ketua Ding Tao.", jawab Fu Tong.
"Aku kenal watak orang-orang Hoasan, meskipun kejayaan partai mereka sedang meredup, namun mereka memegang
teguh adat kebiasaan dan peraturan yang ada. Jika yang datang benar tokoh tua dari Hoasan, maka sudah pasti dia akan
memberikan keringanan pada Ketua Ding Tao dan tidak sampai menurunkan tangan keras.", ujar Chen Wuxi menanggapi Fu
Tong. "Hmm" tidak ada tokoh seangkatan Pan Jun yang melebihi dirinya, yang datang pasti dari angkatan tua.", jawab Fu Tong
pula. "Kalau begitu kita bisa sedikit berlega hati. Moga-moga tidak terjadi apa-apa", ujar Chen Wuxi dengan nada berharap.
"Apakah tidak ada kemungkinan yang datang bukan dari Hoasan?", tanya Song Luo pula.
"Kemungkinan seperti itu tentu saja ada, tapi seharusnya jika bukan dari Hoasan, masalahnya pun tidak akan sebegitu
gawat. Paling-paling hanya sedikit penjajagan saja pada kekuatan kita, tidak akan sampai bersungguh-sungguh mendesak
kita sebagai tuan rumah.", jawab Chen Wuxi.
"Kecuali jika dia memang memiliki niat jahat untuk merusak acara ini", ujar Fu Tong.
"Ya" sudahlah, kita di sini hanya bisa berdoa saja, semoga tidak terjadi hal-hal yang buruk di luar sana.", jawab Chen Wuxi.
Mendengar perkataan Chen Wuxi itu, Song Luo pun memejamkan matanya dan mulutnya berkomat-kamit, entah berdoa
pada siapa. Kecemasan tergurat jelas pada wajahnya yang sudah mulai berkeriput. Fu Tong dan Chen Wuxi yang melihat itu
tidak bisa menyembunyikan pula kerisauan dalam hati mereka, diam-diam dalam hati merekapun mengucapkan doa-doa,
memohonkan keselamatan bagi mereka yang di luar.
Siapa sebenarnya yang datang mengunjungi mereka, hingga Tang Xiong pun dibuat gugup saat menyampaikan berita dan
Ding Tao harus keluar secara pribadi untuk menemui kedatangannya"
Sambil berjalan ke pintu depan, Ding Tao pun sempat bertanya pada Tang Xiong, "Siapa yang datang sebenarnya?"
Dengan suara tertekan Tang Xiong menjawab, "Ketua Partai Pengemis, Tetua Bai Chungho?"
"Ah, benarkah" Sungguh satu kehormatan yang besar, sudah lama aku mengagumi namanya", ujar Ding Tao dengan wajah
cerah. "Dia tidak sendirian saja kan?", tanya Liu Chun Cao dengan nada rendah, jika hanya Bai Chungho yang datang, mana
mungkin Tang Xiong begitu cemas.
"Ya" dia datang bersama seorang kakek tua kurus kering, dia hanya mengenalkan namanya Put Meng Sao. Tapi kurasa?",
terbata Tang Xiong saat hendak mengucapkan dugaannya.
"Kurasa, dia itu tentunya Pendekar Pedang sembilan pedang, Xun Siaoma?", lanjutnya dengan suara sedikit tergetar.
"Xun Siaoma?", desis Liu Chun Cao.
"Siapa itu Pendekar pedang Xun Siaoma?", tanya Chou Liang.
"Salah satu tokoh tua dari Partai Hoasan yang sudah lama mengundurkan diri dan mengurung diri di puncak Gunung
Hoasan. Dijuluki sembilan pedang, karena pada masa jayanya, sembilan orang pendekar pedang ternama dari sembilan
propinsi kalah di tangannya. Sejak itu dia pergi kemana-mana dengan menyandang sembilan pedang pusaka milik lawan
yang berhasil dia kalahkan. Beberapa kali orang-orang itu berusaha merebut pedang mereka kembali, namun selalu berhasil dikalahkan dengan mudah.", jawab Liu Chun Cao dengan nada rawan.
Ding Tao tersenyum dan menghibur mereka, "Sudahlah, kuyakin tokoh-tokoh tua seperti Pendekar pedang Xun Siaoma dan
Tetua Bai Chungho, tentu bisa menilai segala sesuatunya dengan adil dan tidak sembarangan menurunkan tangan jahat.
Jika perlu aku akan memohon maaf padanya atas apa yang terjadi."
"Ya, semoga Tetua Bai Chungho bisa menjadi penengah yang adil?", desah Qin Hun yang mengikut di belakang.
"Apapun juga yang terjadi, tidak perlu kita berkecil hati, selama kita yakin kita sudah melakukan yang terbaik dan sudah berpijak pada kebenaran, kalaupun harus mati, apa yang perlu disesali?", ujar Ding Tao dengan tegas.
Jantung Ding Tao sebenarnya juga ikut berdebaran, namun dari hari ke hari, dia makin menyadari apa artinya menjadi
seorang ketua. Sebagai kepala dan penanggung jawab dari sebuah organisasi, dia harus menjadi teladan dan penyemangat
bagi yang lain. Itu sebabnya dari hari ke hari, pemuda itu semakin berwibawa, tindakan dan kata-katanya memiliki
ketegasan yang jarang terlihat sebelumnya. Jika dahulu Ding Tao seringkali malu-malu dan peragu, hari-hari ini hal itu
sudah jarang lagi terlihat. Ding Tao sadar, jika sebagai pemimpin dia tampil ragu-ragu, maka keragu-raguan itu akan
melemahkan semangat mereka yang mengikuti dirinya. Hal ini bukan berarti Ding Tao tidak lagi mau mendengar nasihat
dari rekan-rekannya, sama sekali tidak. Ding Tao tetap menanyakan dan mendengarkan pertimbangan dari tiap-tiap orang.
Bedanya adalah pada saat mengambil keputusan, dia tidak lagi menampakkan keragu-raguan.
Ketegasan ini datang pula dengan pengertian yang mendalam tentang tanggung jawab dan resiko yang mungkin timbul dari
kesalahan mengambil keputusan. Pada awalnya hal itu sering membuat Ding Tao takut dan ragu, tapi pada akhirnya
pemuda itu pun menyadari dan menerima kelemahannya sebagai manusia, tidaklah mungkin dia mengetahui dengan pasti,
akibat yang akan timbul dari keputusannya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha sebaik-baiknya dan
selalu siap mempertanggung jawabkan akibat dari keputusan yang dia buat.
Entah karena pertambahan umur, atau memang karena perubahan cara berpikirnya, wajah Ding Tao pun tampak beberapa
tahun lebih tua dibanding ketika dia baru saja melarikan diri dari kediaman keluarga Huang beberapa waktu yang lalu.
Perubahan ini bukannya tidak tertangkap oleh mereka-mereka yang pernah bertemu dengan Ding Tao sebelum dia menjadi
Ketua Partai Pedang Keadilan. Orang-orang tua seperti Wang Xiaho, Guru Chen Wuxi dan Tabib Shao Yong memperhatikan
perubahan itu dengan penuh harap tapi juga cemas. Berharap dan juga bangga karena Ding Tao semakin hari bertindak
semakin dewasa dan sesuai dengan kedudukannya. Tapi juga muncul kecemasan bahwa pemuda itu akan berubah terlalu
jauh, hingga ingkar dari dirinya yang mula-mula. Entah apa yang akan terjadi pada pemuda itu, hanya waktu yang akan
menjawab pertanyaan mereka.
Tidak lama kemudian mereka pun sampai di depan, Ma Songquan dan Chu Linhe dengan sangat sopan melayani kedua
orang tetua yang datang. Namun terlihat jelas pikiran dua orang tua itu tidak tertuju pada mereka, melainkan menantikan kedatangan Ding Tao. Terlhat dari cara mereka yang sering mengalhkan perhatian ke pintu yang menuju ke ruang dalam.
Bersama dua orang tetua itu, ikut juga beberapa angkatan muda baik dari Partai Hoasan sendiri, maupun dari Partai
Pengemis. Sekilas melihat saja terlihat perbedaan dari kedua kelompok tersebut, angkatan muda dari Partai Pengemis bersikap lebih ramah dan terlihat keingin tahuan yang besar dari cara mereka berbisik dan melihat ke arah Ding Tao dan rekan-rekannya
yang baru masuk. Sementara dari angkatan muda Partai Hoasan, meskipun bersikap sopan, terasa dingin dan meskipun
berusaha ditutupi, beberapa kali tampak kilatan mata marah terlontar pada Ding Tao dan rombongannya.
Permusuhan terselubung yang terpancar dari angkatan muda Partai Hoasan, tidak terlihat pada wajah Tetua Xun Siaoma,
namun wajahnya yang tenang, tidaklah memberikan petunjuk apa yang ada dalam hati tokoh tua itu. Penguasaan dirinya
sudah sempurna hingga yang melihat dirinya merasa seperti sedang melihat patung dewa atau patung Buddha. Wajahnya
tenang tanpa memperlihatkan gejolak perasaan sedikitpun.
Disandingkan dengan Tetua Bai Chungho, maka kedua orang itu bagaikan pasangan Yin dan Yang. Yang satu lembut namun
beku seperti hamparan salju tebal di musim dingin, yang lain begitu hidup dan bergairah, seperti anak-anak kelinci yang berlompatan di musim semi. Gairah orang tua itu tidak kalah dengan yang mereka yang masih muda. Melihat wajahnya
seketika Ding Tao merasa ingin tertawa, meskipun dia tidak melihat ada yang lucu, hanya tertawa karena senang.
Itu sebabnya meskipun ada sorot bermusuhan tersembunyi yang terpancar dari orang-orang Partai Hoasan, Ding Tao
menghampiri mereka dengan senyum lebar dan wajah yang cerah.
Dengan ramah dan penuh hormat pemuda itu memberi salam pada tamu yang mereka lewati dan sedikit berbasa-basi.
Namun merekapun tahu, siapa yang hendak ditemui Ding Tao. Bisik-bisik di antara mereka yang hadir sudah terjadi sejak
Bai Chungho dan Xun Siaoma tiba. Tiap-tiap tamu yang datang memperhatikan yang sedang terjadi di hadapan mereka
dengan penuh perhatian. Sesampainya di depan Bai Chungho dan Xun Siaoma, Ding Tao, sebagai generasi yang lebih muda memberi salam dengan
sangat hormat. "Tetua sekalian berkenan untuk ikut datang meramaikan perayaan berdirinya perkumpulan kami yang kecil ini, sungguh
membuat kami merasa sangat beruntung.", ujar Ding Tao dengan tulus.
Bai Chungho dengan ramah tertawa dan menjawab, "Terlalu memuji, justru kami yang beruntung bisa melihat keramaian
dan menghabiskan simpanan arak kalian."
"Ah, persediaan arak yang kami punya biasa-biasa saja, jika Tetua sekalian menikmatinya, itu membuat kami senang.
Perkumpulan kami baru dibuka, tentu saja masih banyak kekurangan. Tetua sekalian sudah banyak pengalaman, jika Tetua
berdua mau bermurah hati memberikan nasihat dan masukan, kami akan sangat bergembira.", jawab Ding Tao merendah.
"Hmm" hmm...biarpun aku sudah tua, tapi aku tidak merasa lebih tahu dari kalian yang lebih muda. Kukira tidak ada apa
yang bisa kunasihatkan yang kalian belum pernah mendengarnya.", ujar Bai Chungho sambil tersenyum, tidak bisa
dikatakan senyum yang ramah tapi juga bukan senyum yang dingin.
Melihat senyum dan cara Bai Chungho menjaga jarak, Ding Tao jadi sadar bahwa orang di depannya bukan seorang tua
biasa. Meskipun berpenampilan dan bergaya apa adanya, Bai Chungho tetaplah seorang ketua dari sebuah partai yang
besar. Dengan senyumnya seakan Bai Chungho berkata, tidak mudah untuk menjadi salah seorang sahabatnya. Dia tidak
akan mempercayai Ding Tao sekarang ini, dia sedang melihat pemuda itu dan menilainya. Dan mungkin suatu saat nanti
jika dia memandang Ding Tao dapat dia percaya, mungkin pada saat itu mereka dapat menjadi saudara.
Tidak ada kata-kata, semuanya itu tidak lebih dari rasa yang muncul dari hati Ding Tao. Benarkah itu yang dimaksudkan Bai Chungho" Apa memang seperti itu yang ada dalam hatinya" Tentu saja tidak ada yang tahu.
Tapi itulah yang dirasakan Ding Tao dan pemuda itu tidak menjadi benci pada Bai Chungho karenanya. Pemuda itu merasa
diingatkan pada kedudukannya sebagai ketua dari satu perkumpulan. Kedudukan itu berarti, mulai sejak saat itu, setiap
keputusannya akan mempengaruhi nasib dari sekian banyak orang yang mempercayakan pilihan mereka pada dirinya.
Tercenung sejenak, pemuda itu kemudian mengangkat wajahnya, tersenyum dan dengan hormat berkata pada Bai
Chungho. "Siauwtee mengerti" Menerima tanggung jawab untuk menjadi ketua dari satu perkumpulan, entah besar atau kecil, berarti
bersedia mempertanggung jawabkan pula nasib dari setiap anggota dari perkumpulan itu. Itu sebabnya seorang ketua,
harus memikirkan setiap tindakan dan keputusannya dengan hati-hati."
"Dia harus berusaha mencari jawaban dari persoalan yang ada di tangannya, dengan segenap akal dan hati nuraninya.
Bukan bergantung pada pendapat orang lain, meskipun bukan berarti menutup telinga dari perkataan orang-orang
kepercayaannya." Bai Chungho mendengarkan hingga Ding Tao selesai berbicara, kemudian dia menjawab sambil tersenyum kebapakan,
"Hmmm". bukan aku yang mengatakan hal itu, kau sendiri yang membuat kesimpulan. Sebenarnya aku ke tempat ini,
karena aku ingin mengantarkan sahabat di sampingku ini. Apakah kau mengenalnya?"
Ding Tao mengalihkan pandangan ke arah Xun Siaoma, kemudian dengan hormat dia berkata, "Jika tidak salah, beliau ini
Tetua dari Hoasan, Pendekar pedang, sembilan pedang, sembilan propinsi, Xun Siaoma. Satu kehormatan besar anda
bersedia untuk berkunjung."
Salah seorang dari angkatan muda Hoasan yang mendengar perkataan Ding Tao mendengus kesal. Ding Tao mendelu
dalam hati, namun di luar dia tetap berusaha menampilkan ketenangan. Beda pula sikap orang-orang yang ada di
belakangnya. Ma Songquan dan Chu Linhe, pada dasarnya memang dingin terhadap mereka yang mengaku-aku pendekar,
sehingga raut wajah merekapun kaku tiada perubahan. Mereka yang sudah tua bisa menahan sabar, seperti Qin Hun, Tabib
Shao Yong dan Li Yan Mao, paling-paling hanya mendesahkan nafas panjang, menyesali kejadian yang sudah terjadi. Yang
masih muda dan berdarah panas seperti Tang Xiong atau Qin Bai Yu berbeda lagi, loncatan kemarahan terlihat meletik dari sorot pandang mata mereka. Chou Liang pandai mengatur ekspresi wajahnya, mendapat tanggapan demikian, justru
wajahnya terlihat makin polos.
Melihat mulai memanasnya suasana, perhatian para pesilat yang datang pun mulai terfokus pada dua kelompok yang
sekarang saling berhadapan ini. Tidak ada suara percakapan yang dilakukan dengan suara lantang, tapi ruangan seperti
berdengung karena mereka saling berbisik-bisik, menduga-duga dan saling memberikan pendapat tentang apa yang akan
terjadi. Wajah Xun Siaoma tidak berubah, dengan tenang tokoh tua itu memperhatikan raut wajah Ding Tao dan pengikutnya.
Mencoba menakar bobot mereka masing-masing, meskipun belum secara langsung, setidaknya dia mencoba mengukur
kemampuan mereka mengendalikan diri. Tokoh tua inipun mulai menghitung-hitung, kekuatan yang dia bawa dan kekuatan
lawan di hadapannya. Ma Songquan, Chu Linhe, Ding Tao dan Chou Liang dengan cepat naik dalam urutan orang yang dia
anggap berbahaya. Selanjutnya para orang tua dan baru kemudian Tang Xiong dan Qin Bai Yu yang terlihat tidak bisa
mengendalikan emosi dengan baik.
Perlahan-lahan, tokoh tua itu pun berkata, "Hmm" rupanya kakek pikun ini masih cukup punya ketenaran juga. Tahukah
kau apa alasanku datang ke tempat perayaanmu ini?"
Pertanyaan itu diajukan pada Ding Tao, dengan sendirinya yang lain tidak berani lancang menjawab. Yang seorang adalah
tokoh tua yang dihormati, yang seorang lagi adalah ketua dari perkumpulan yang baru didirikan ini. Semua orang hanya
bisa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ding Tao. Xun Siaoma sendiri bertanya demikian tentu ada tujuannya.
Lewat pertanyaan itu Xun Siaoma ingin mengetahui karakter Ding Tao sebagai seorang laki-laki dan bagaimana Ding Tao
menempatkan dirinya dalam hubungan antara perkumpulan yang baru didirikan dengan Partai Hoasan.
Ditanya demikian, Ding Tao tidak bisa segera menjawab. Jika dia menjawab tidak tahu, hal itu terasa sebagai satu
kebohongan, karena meskipun Ding Tao tidak bisa memastikan sepenuhnya, tapi 9 dari 10 bagian, kedatangan Xun Siaoma
tentunya berhubungan dengan kematian Pan Jun. Sebaliknya jika Ding Tao mengutarakan apa yang ada dalam benaknya
secara berterang, itu artinya pertikaian antara perkumpulan yang dia pimpin dengan Partai Hoasan tidak akan bisa
dihindarkan. Selama berita tentang kematian Pan Jun di tangan Ding Tao tidak terucap oleh mulut mereka, berita itu
selamanya hanyalah desas-desus.
Tapi jika Ding Tao sampai mengucapkan hal itu, sekarang ini, di depan sekian banyak orang persilatan dan di depan orang-orang Hoasan sendiri. Maka seandainya Partai Hoasan, mengamini pernyataannya itu, maka terikat oleh budi dan dendam,
mereka pasti akan mengadakan serangan untuk membalaskan dendam ketua mereka. Jika mereka menyatakan bahwa
pernyataan Ding Tao itu sebagai kebohongan, pertikaian pun tidak bisa dihindarkan, karena itu berarti Ding Tao sudah
menyebarkan kebohongan yang mencoreng nama baik partai mereka.
Jadi Ding Tao terdiam untuk beberapa lama, menimbang-nimbang antara mementingkan perdamaian dengan
mengorbankan integritasnya sebagai seorang laki-laki, atau mengutarakan yang benar namun membawa pertumpahan
darah. Keningnya sedikit berkerut, matanya memandang ke jalan di depan rumah makan tersebut. Ding Tao tidak memilik
waktu seharian untuk memikirkan jawaban yang harus dia berikan. Diapun tidak memiliki kesempatan untuk bertanya pada


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang kepercayaannya. Mendesah panjang pemuda itu pun mengambil keputusan.
Dengan nada penuh hormat dan keseriusan, dia menjawab Xun Siaoma, suaranya tenang dan tegas tanpa keraguan. Ding
Tao bisa menjawab dengan tenang bukan berarti Ding Tao sudah yakin bahwa jawaban yang dia pilih adalah yang terbaik.
Bukan pula karena dia seorang ahli negosiasi dan aktor yang ulung seperti Chou Liang. Tapi pemuda itu mendasarkan
keyakinannya bahwa inilah yang terbaik yang bisa dia pikirkan saat ini, dan pilihan ini dia dasarkan pada niat baik yang tulus dari hatinya.
"Tetua Xun Siaoma, kurasa kedatangan tetua ini tentu berkaitan dengan beredarnya desas-desus yang mengatakan bahwa
Ding Tao telah membunuh Pendekar pedang Pan Jun, ketua dari Partai Hoasan. Tentang kebenaran dari desas-desus itu,
sudah tentu Tetua dan anak murid Partai Hoasan yang paling mengetahui kebenarannya, namun perkataan-perkataan dari
orang yang tidak bertanggung jawab itu tanpa bisa dihindari telah menimbulkan perasaan yang tidak baik."
"Baik bagi Partai Hoasan, demikian pula bagi kami. Secara pribadi siauwtee sangat menghormati dan menghargai
kepahlawanan Pendekar pedang Pan Jun dari Hoasan. Sebisa mungkin kami berusaha untuk meredam berita busuk
tersebut. Sayang usaha kami kurang berhasil, jika tetua merasa tersinggung dengan berita itu, siauwtee secara pribadi
memohon maaf.", ujar Ding Tao dengan sopan tanpa merendahkan diri melampaui batas kewajaran, penghormatan akan
seorang yang lebih muda pada orang lain yang lebih tua.
Ding Tao mengucapkannya dengan cara yang wajar dan tulus, meskipun dia sadar terselip juga usaha untuk menutupi
kebenaran dalam apa yang dia katakan, setidaknya apa yang dia katakan bukanlah satu kebohongan. Tapi Ding Tao pun
sudah berpikir, seandainya Xun Siaoma masih mendesak juga dan bertanya apakah dia membunuh Pan Jun, mau tidak mau
dia akan mengatakan kebenarannya tanpa berusaha menutupi apapun. Ada dua sebab, yang pertama Ding Tao tidak ingin
mengkompromikan integritasnya dengan mengatakan kebohongan. Yang kedua, jika sampai Xun Siaoma menanyakan hal
itu, maka jelas kedatangannya memang untuk memulai satu pertempuran dan apa pun yang dia coba lakukan, pihak lawan
akan terus mencari-cari alasan.
Pandangan Xun Siaoma melunak, ekspresi wajahnya masih dingin dan sulit menduga apa isi hatinya. Namun meskipun
hanya seulas saja, tapi bagi mereka yang peka, terasalah perubahan perasaan dari tokoh tua itu.
Dengan suara yang lembut dia menjawab, "Hmmm" sebenarnyalah demikian. Baguslah kalau Ketua Ding Tao mampu
memahami duduk persoalannya. Tadinya ada kekhawatiran dari pihak Hoasan bahwa dari Partai Pedang Keadilan, ada yang
dengan sengaja menyebarkan berita itu. Tapi jawaban Ketua Ding Tao aku rasa cukup memuaskan, dengan demikian kukira
tentang masalah desas-desus itu bisa kita anggap selesai sampai di sini."
Percakapan kedua orang itu menimbulkan banyak pertanyaan, dugaan dan pendapat di antara mereka yang
mendengarkannya. Tentu saja dilakukan dengan suara yang lirih agar tidak sampai terdengar oleh telinga tajam dari dua
pihak yang sedang berhadapan. Salah seorang dari mereka adalah seorang muda yang datang menghadiri perayaan itu
bersama dengan ayahnya. Pemuda itu bernama Sun Gao, sedang ayahnya bernama Sun Liang, mereka berdua berasal dari kota Luo Yang. Keluarga
Sun dari Luo Yang memiliki nama yang cukup dihormati dalam dunia persilatan, jurus-jurus tendangan dari Keluarga Sun
disegani kawan dan lawan. Lagipula Sun Liang adalah seorang yang berpendidikan dan berwawasan luas, ahli dalam sastra,
seni dan ilmu bela diri. Sehingga ketika Sun Gao bertanya pada ayahnya, mereka yang duduk di sekitar kedua orang itu pun ikut memasang telinga
untuk mendengar pandangan Sun Liang mengenai apa yang sedang terjadi saat ini.
"Ayah, tadinya kupikir Pihak Hoasan datang untuk membersihkan nama mereka yang tercoreng oleh desas-desus yang
beredar. Melihat mereka datang ke perayaan ini, tadinya aku menduga pasti akan terjadi pertarungan, tapi mengapa
dengan mudahnya Tetua Xun Siaoma menganggap masalah ini selesai, hanya dengan mendengarkan jawaban dari Ketua
Ding Tao?", tanya Sun Gao pada ayahnya.
"Hmm" tentu saja kita hanya bisa menduga-duga, tapi marilah coba kita uraikan duduk persoalannya.", jawab ayahnya
sambil mengelus jenggot panjangnya yang tertata rapi.
"Pertama tentang desas-desus itu sendiri, menurutmu apakah benar Ketua Partai Hoasan mati terbunuh dalam satu
pertarungan satu lawan satu melawan ketua dari partai yang baru saja didirikan ini?", tanya Sun Liang pada anaknya.
"Menurut anak Gao tentu demikianlah kejadiannya. Jika tidak demikian kejadiannya, apa sulitnya membungkam desasdesus tersebut. Bukankah dengan majunya Pan Jun ke muka umum hal itu akan dapat diselesaikan dengan cepat?", jawab
Sun Gao. "Hohoho, kalian orang muda memang sangat bersemangat. Yang satu benar belum tentu yang kedua dan yang ke
seterusnya juga benar. 7 dari 10 bagian, kemungkinan besar memang Pan Jun sudah terbunuh. Tapi siapa yang
membunuh" Benarkah Ketua Ding Tao yang membunuhnya" Apakah benar terbunuh dalam pertarungan satu lawan satu?",
jawab ayahnya sambil tertawa kecil.
"Hmm" ayah benar, tidak munculnya Pan Jun untuk membungkam desas-desus itu, membuktikan bahwa berita
kematiannya adalah benar. Namun bukan berarti keseluruhan dari desas-desus itu kemudian dapat dipercaya. Tentang
kaitannya dengan pembunuhan keluarga Huang, siapa yang membunuhnya dan bagaimana cara kematiannya, itu semua
belum bisa dipastikan.", jawan Sun Gao sambil tercenung memikirkan kembali masalah yang diajukan oleh ayahnya.
Rupanya inilah salah satu cara Sun Liang untuk mendidik putranya. Dia tidak memberikan jawaban saat puteranya
bertanya, namun dia berusaha menuntun puteranya untuk memikirkan sendiri jawaban dari pertanyaannya.
Sesaat kemudian Sun Gao berkata, "Tapi aku merasa bahwa bagian yang mengatakan bahwa pertarungan antara Ketua
Ding Tao dan Ketua Pan Jun bukan atas kehendak Ketua Ding Tao. Demikian juga bagian yang mengatakan bahwa
terbunuhnya Ketua Pan Jun adalah dalam pertarungan satu lawan satu, bisa dipercaya."
"Mengapakah demikian?", tanya ayahnya dengan nada tertarik.
Cara ayahnya bertanya, perhatian yang diberikan dan rasa tertarik ayahnya pada pemikirannya membuat Sun Gao
bersemangat untuk berpikir dan mengutarakan pemikirannya.
"Karena dari sekilas yang kulihat dan kudengar tentang Ketua Ding Tao, semuanya memberikan aku keyakinan bahwa
Ketua Ding Tao adalah seorang tokoh yang memiliki integritas yang tinggi. Dia bukan orang yang akan mengambil jalan
yang curang atau bertentangan dengan hati nuraninya.", jawab Sun Gao dengan yakinnya.
"Hahaha, baik sekali jawabanmu, ada kalanya kita bisa menentukan benar tidaknya satu masalah, dengan menyelidiki
karakter dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika demikian bisakah kau sekarang menjawab tiga pertanyaanku.
Yang pertama, apa alasan Tetua Xun Siaoma datang kemari. Mengapakah Tetua Xun Siaoma mengajukan pertanyaan itu
dan mengapa pula dia menganggap masalah desas-desus itu selesai segera setelah mendengar jawaban dari Ketua Ding
Tao?", ujar ayahnya dengan suara dan ekspresi yang menunjukkan betapa dia bangga akan puteranya yang mampu
memikirkan sendiri jawaban dari pertanyaannya.
Sun Gao pun terdiam dan berpikir, mereka yang ikut mendengarkan percakapan ayah dan anak itu, ikut pula berpikir keras.
Yang berotak encer mulai pula dapat menangkap ke arah mana Sun Liang mengarahkan puteranya. Setelah mendapatkan
pegangan yang cukup, Sun Gao menjawab dengan hati-hati.
"Untuk pertanyaan yang pertama, dari percakapan mereka berdua alasan dari kedatangan Tetua Xun berkaitan dengan
berita terbunuhnya Pendekar pedang Pan Jun. Tapi apakah tujuannya?", ujar pemuda sambil berpikir keras.
"Apakah untuk membalaskan dendam Pan Jun" Jika demikian mengapa dengan jawaban yang diberikan Ketua Ding Tao,
masalahnya ditutup sampai di situ" Lagipula membalaskan dendam, kenapa tidak dilakukan secara diam-diam, sementara
jelas-jelas mereka tidak mau urusan ini tersiar keluar lebih luas lagi."
"Cobalah menempatkan dirimu sebagai seorang tetua dari sebuah partai yang besar, yang sedang dilanda masalah yang
dihadapi oleh Hoasan saat ini", ujar ayahnya memberikan pengarahan.
"Pendekar pedang Pan Jun adalah ketua dari Hoasan, kedudukannya tentu saja sangat penting, tapi jauh lebih penting lagi adalah kelanjutan dari partai itu sendiri?", gumam Sun Gao.
"Jika benar Ketua Pan Jun terbunuh, maka aku akan ingin memastikan siapa pelakunya dan apa alasannya. Apakah ini
akibat permusuhan pribadi ataukah sasaran sebenarnya adalah Hoasan" Seberapa besar bahaya yang ditimbulkan oleh
orang ini dan sebagainya."
Sampai di situ, Sun Goan sedikit menegakkan badannya sambil memandangi wajah ayahnya, "Pendek kata, mencari tahu
tentang diri lawan dan menentukan sikap yang terbaik dalam menghadapinya."
Sun Liang tidak membenarkan atau menyalahkan tapi dia mengangguk-angguk setuju, "Lalu bagaimana dengan pertanyaan
yang kedua?" Sun Gao dengan cepat menjawab pertanyaan kedua ini, "Itu mudah, setelah memikirkan pertanyaan pertama, dengan
sendirinya jawaban dari pertanyaan kedua terbuka bagiku. Tetua Xun Siaoma ingin menguji Ketua Ding Tao. Sun Tzu
mengatakan tentang mengenal diri sendiri dan lawan. Tetua Xun Siaoma tentu ingin menilai sendiri laki-laki seperti apakah Ketua Ding Tao itu."
"Jadi bagaimana dengan pertanyaan ketiga?", tanya Sun Liang sambil tersenyum sayang pada putera bungsunya itu.
"Dari cara Ketua Ding Tao menjawab, Tetua Xun Siaoma bisa mengetahui bahwa Ketua Ding Tao tidak menginginkan
perselisihan antara dirinya dengan Partai Hoasan. Di saat yang sama dia juga bisa menilai bahwa Ketua Ding Tao adalah
seorang pendekar yang lurus dan terhormat.", ujar Sun Gao dengan penuh keyakinan.
"Jika Ketua Ding Tao membunuh Ketua Pan Jun karena ingin mencari masalah dengan Partai Hoasan, maka ada dua
kemungkinan jawaban. Yang pertama dia akan menyombongkan kemenangannya atas Ketua Pan Jun dalam pertarungan
tersebut." "Yang kedua, bisa jadi dia ingin menjatuhkan Partai Hoasan, namun dengan cara diam-diam dan licik. Jika demikian, tentu Ketua Ding Tao akan bisa menjawab pertanyaan Tetua Xun Siaoma dengan cepat dan jawaban yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Jawaban seperti itu tentu akan jauh lebih bersahabat, lebih merendah dan menyanjung-nyanjung Partai
Hoasan." "Ketika pertanyaan itu diajukan, jelas-jelas Ketua Ding Tao tidak siap untuk menjawab, sehingga dia terdiam cukup lama.
Jika dia seorang laki-laki yang sudah biasa berbohong, tentu dengan mudah dia akan menjawab dengan kebohongan. Tapi
kenyataannya, dia harus berpikir dengan keras, untuk menghindari perselisihan dengan Hoasan tanpa berbohong.",
demikian Sun Gao menjelaskan setiap pertimbangannya, satu demi satu.
"Jadi dari jawaban Ketua Ding Tao, Tetua Xun Siaoma bisa menyimpulkan bahwa Ketua Ding Tao bukanlah ancaman bagi
Partai Hoasan, itu sebabnya beliau berkata bahwa masalah desas-desus itu sudah bisa dianggap habis sampai di sini.", ujar Sun Gao, menutup penjelasannya dengan mata berbinar-binar.
Sun Liang mengangguk-angguk puas dan kemudian menambahkan, "Uraian dan penjelasan yang bagus, sebagian besar
kejadian hari ini sudah kau jelaskan. Sisanya akan kita lihat sebentar lagi, bukan sesuatu yang penting, tapi cukup menarik untuk ditunggu.", ujar Sun Liang sambil memainkan matanya.
"Maksud ayah?"", ragu-ragu Sun Gao bertanya sambil berpikir.
"Ah" ya", aku mengerti.", ujarnya sambil menepuk paha, sebelum ayahnya memberikan jawaban.
Melihat anak bungsunya mampu berpikir dan mendapatkan jawaban tanpa menunggu dirinya Sun Liang merasa berbesar
hati. Sun Gao adalah putera bungsunya, putera satu-satunya yang diharapkan menjadi penerus keluarga Sun. Memang Sun
Liang memiliki 6 orang anak dari kedua orang isterinya, namun 5 yang lain adalah perempuan. Meskipun Sun Liang
mengasihi mereka semua, namun tidak mungkin mengharapkan salah seorang dari puterinya untuk melanjutkan nama
keluarga. Ketika Sun Gao lahir, betapa meriah pesta yang diadakan. Banyak orang mengira, Sun Liang akan memanjakan
putera satu-satunya ini. Namun tidak demikian yang terjadi, Sun Liang mendidik Sun Gao bukan hanya dengan kasih
sayang, namun juga dengan ketegasan.
Setiap kali ada kesempatan untuk mendidik puteranya, baik dalam pengetahuan budi pekerti maupun mengasah kecerdikan
dalam hidup, tentu Sun Liang akan melakukannya. Demikian pula dalam hal ilmu silat, Sun Liang terkenal keras dalam
melatih putera satu-satunya tersebut.
Semuanya itu tidak sia-sia, dalam usianya yang 16 tahun, Sun Gao sudah disegani kawan dan lawan di kotanya sendiri.
Nama baik keluarga Sun dalam dunia persilatan pun jadi makin cemerlang, karena sekarang Sun Liang sudah memiliki
penerus yang bisa diharapkan.
Mereka yang mendengar penjelasan Sun Gao jadi kagum pada kecerdasan pemuda itu dan cara Sun Liang mendidiknya.
Beberapa orang dari mereka yang masih lambat dalam berpikir, mengikuti arah pandang kedua orang itu dan menanti, apa
gerangan yang akan terjadi. Tapi bagi mereka yang cukup berotak, dengan mengikuti percakapan kedua orang itu, maka
menjadi cukup jelas bagi mereka tentang apa yang sedang dan akan terjadi sebentar lagi.
Kembali pada Ding Tao dan Xun Siaoma, mendengar Xun Siaoma menganggap masalah di antara mereka sudah selesai,
bukan main rasa syukur Ding Tao. Dengan tulus pemuda itu membungkuk hormat pada kedua tetua dan mengucapkan
terima kasih. "Ah, sungguh siauwtee merasa bahagia, tadinya ada rasa khawatir bahwa berita yang tidak mengenakkan itu akan
mengakibatkan perselisihan yang tidak perlu antara siauwtee dan Partai Hoasan. Siauwtee ucapkan beribu terima kasih
pada Tetua Xun dan Tetua Bai, kedatangan Tetua berdua hari ini membuat siauwtee merasa ringan, terlepas dari beban
pemikiran dan kekhawatiran."
Chou Liang yang paling tajam pikirannya, tentu saja dengan cepat memahami apa yang terjadi. Diapun merasa sangat
bersyukur dengan perkembangan yang terjadi. Sehingga saat Ding Tao membungkuk dan mengucapkan terima kasih,
diapun segera mengikuti apa yang dilakukan Ding Tao, meskipun tidak ikut mengucapkan kata apa-apa. Beberapa orang
seperti Qin Hun, Qin Bai Yu, Li Yan Mao dan Tang Xiong segera pula mengikuti apa yang dilakukan Chou Liang. Tentu saja
sulit kita mengharapkan Ma Songquan yang angkuh untuk membungkuk hormat pada orang lain selain Ding Tao, namun
bahkan Ma Songquan berdua pun menunjukkan ekspresi yang ramah di wajah mereka.
Berbeda dengan kehangatan yang menyebar dari kelompok Ding Tao, nampak mendung kelabu masih meliputi anak-anak
muda dari Partai Hoasan. Meskipun hawa permusuhan sudah tidak setajam sebelumnya, namun jelas mereka belum bisa
mengikuti teladan Xun Siaoma yang menganggap masalah sudah selesai.
Hal itu tidak lepas dari pengamatan Ding Tao, namun pemuda itu dapat pula memahami perasaan mereka dan tidak
menyalahkan sikap mereka itu. Karenanya dengan ramah diapun mengangguk dan tersenyum pada mereka. Yang dibalas
dengang anggukan sopan yang kaku dan canggung.
Xun Siamo yang melihat hal itu menanggapinya dengan tenang, ekspresi wajahnya memang begitu datar, hingga orang sulit
menebak apa yang berkecamuk dalam hatinya. Dengan tenang tokoh tua itu menunggu beberapa saat sebelum kemudian
berkata. "Ketua Ding Tao, kedatanganku saat ini memiliki pula tujuan lain."
Ding Tao yang mendengar itu tentu saja menjadi bertanya-tanya, "Tetua Xun, apakah tujuan Tetua Xun yang kedua" Jika
kami dapat membantu Tetua Xun, tentu saja dengan senang hati akan kami lakukan."
"Hmm" tujuanku yang kedua adalah untuk menambah pengalaman dari murid-muridku ini. Kelima orang ini adalah
generasi muda Partai Hoasan yang pendidikannya telah dipercayakan padaku. Bakat mereka cukup bagus, namun sayang
sedikit terlalu tinggi dalam menilai diri sendiri. Mendengar tentang kemampuan Ketua Ding Tao yang masih muda, aku ingin mereka menyaksikan dan merasakan sendiri, bahwa ada orang seumuran dari mereka yang masih jauh lebih tinggi
tingkatannya dalam ilmu bela diri dibandingkan mereka ini."
Mendengar penjelasan Tetua Xun, wajah tiap orang jadi berubah. Namun sungguh Ding Tao memang cepat belajar dan
beradaptasi dengan kedudukannya saat ini. Jika Ding Tao yang dulu mungkin akan keripuhan, merendahkan diri, serta
menolak ajakan untuk bertanding itu, maka Ding Tao yang sekarang, menyadari bahwa dirinya mewakili pula rekan-rekan
yang lain. Jika dia tampil tidak meyakinkan dan memalukan, maka yang malu bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga sekian banyak dari mereka yang sudah mengikut dirinya. Karena itu, meskipun sempat terkejut dengan cepat Ding Tao menguasai
diri. Dengan dada tengadah, pemuda itu menggerakkan tangannya, menunjukkan panggung yang ada di tengah ruangan.
Panggung itu digunakan bagi beberapa anak murid bekas keluarga Huang untuk memamerkan sedikit kebolehan mereka.
Baik untuk menghibur para tetamu dan juga untuk menunjukkan sedikit kekuatan dari Partai Pedang Keadilan. Selain itu
karena mereka tahu bahwa para tamu yang datang adalah orang-orang dunia persilatan, maka panggung itu juga disiapkan
bila ada tetamu yang ingin sedikit mencoba-coba dan menguji kekuatan dari partai yang baru berdiri itu. Bila kebetulan ada tantangan yang muncul dari mereka yang datang, panggung itu menjadi arena pertandingan persahabatan.
Dengan senyum yang ramah Ding Tao mempersilahkan anak murid Xun Siaoma, "Marilah kalau begitu, akupun merasa
senang jika bisa menjalin persahabatan dengan kalian semua. Orang bilang, setelah beradu kepalan, bolehlah mengikat
persahabatan. Mari, mari?"
Tanpa menunggu jawaban, Ding Tao berjalan menuju ke atas panggung, mereka yang kebetulan sedang menunjukkan
kebolehannya di atas panggung, buru-buru menghentikannya, membungkuk hormat pada Ding Tao yang datang, lalu turun
meninggalkan panggung. Tetua Xun Siaoma diam dan menimbang-nimbang, kali ini dia harus dapat mengembalikan nama baik Partai Hoasan.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengirimkan murid tertuanya.
"Yi Ji, kau perlihatkanlah bagaimana kemampuan Hoasan, ingat jika benar dia dapat mengalahkan Pan Jun, berarti dia
memiliki kekuatan beberapa lapis di atasmu, jangan gegabah, bertarunglah dengan cerdik.", ujar Xun Siaoma setengah
berbisik pada murid tertuanya yang bernama Yi Ji.
Yi Ji mengangguk tanda paham, lalu segera menyusul Ding Tao yang sudah terlebih dahulu melangkah menuju panggung.
Sesaat kemudian, keduanya pun berhadapan dan saling memberi hormat. Sebagai seorang yang berkedudukan lebih tinggi
Ding Tao pun mempersilahkan Yi Ji untuk menyerang terlebih dahulu. Meskipun Yi Ji lebih tua dari Ding Tao, dia tidak mau meremehkan pemuda itu, dia pun sadar dengan beban yang ada di pundaknya kali ini.
"Saudara Yi Ji, silahkan memulai lebih dahulu", ujar Ding Tao sambil mengangguk ramah.
"Baiklah", jawab Yi Ji pendek, dari getar suaranya, Ding Tao dapat merasakan ketegangan yang membebani pundak Yi Ji.
Tapi tidak salah Xun Siaoma mengirimkan Yi Ji, dalam keadaan tertekan, beberapa orang justru bertindak penuh emosi dan
terburu-buru. Tidak demikian dengan Yi Ji, dia menyadari keadaannya dan terlebih dahulu mengatur pernafasan dan
menenangkan hati dan pikirannya. Ketika dia sudah tenang kembali, barulah dia mulai memikirkan serangan apa yang
hendak dia gunakan. Karena Ding Tao sudah mempersilahkan Yi Ji untuk menyerang terlebih dahulu, maka meskipun Yi Ji tidak segera
melakukan serangan, Ding Tao tidak akan menyerangnya.
Melihat ketenangan Yi Ji, Ding Tao mengangguk-angguk, setengah berbisik dia menyatakan kekagumannya, "Hmm"
bagus?" Yi Ji tidak pandang sikap lawan, pikirannya hanya berfokus pada bagaimana dia harus bertarung melawan Ding Tao. Setelah pikirannya mantap, tanpa ragu dia pun mulai menyerang Ding Tao. Yi Ji memilih untuk menyerang Ding Tao dengan jurus
yang dia tahu, sangat disukai oleh Pan Jun. Sebuah tusukan kilat menyerang Ding Tao, meskipun tidak sekuat serangan Pan Jun, namun tidak kalah cepatnya.
Ding Tao yang tidak menginginkan terjadi perselisihan lebih jauh dengan Hoasan, membatasi diri dalam pertarungan ini dan memilih menangkis serangan lawan sambil mencari kedudukan yang lebih baik. Meskipun sebenarnya ada peluang untuk
mengirimkan serangan, namun jika serangan itu dilakukan setengah-setengah dan gagal, maka justru akan merugikan
dirinya. Tapi jika dilakukan dengan sepenuh hati, ada kemungkinan besar Yi Ji akan terbunuh atau setidaknya terluka parah dan cacat seumur hidupnya.
Keringat dingin membasahi punggung Yi Ji sesaat setelah dia mengirikan serangan, dia sudah memiliki cukup banyak
pengalaman dan pada saat Ding Tao menekan pedangnya dan menggeser arah serangannya, Yi Ji sudah bisa
membayangkan satu serangan mematikan akan dikirimkan ke arahnya.
Untuk sesaat gerakannya terhenti, dan gelombang perasaan yang sulit digambarkan memenuhi dadanya, ketika dia sadar
Ding Tao hanya menghindar saja.
Jantungnya masih berdebar-debar, ditatapnya Ding Tao lalu dengan gerakan yang tidak kentara dia mengangguk
mengucapkan terima kasih tanpa kata. Ding Tao membalas anggukannya dengan ramah, tapi Yi Ji mengemban tugas
sebagai anak murid Hoasan. Meskipun dia merasa berhutang nyawa pada Ding Tao, hutang budinya pada Hoasan jauh lebih
menggunung. Tanpa ragu Yi Ji memanfaatkan kemurahan Ding Tao.
Serangan yang lain pu dilontarkan dengan cepat, lebih cepat dari serangan yang pertama, karena sekarang Yi Ji tahu bahwa Ding Tao tidak akan mengirimkan serangan yang bisa mencelakainya.
Ding Tao yang bertarung dengan membatasi diri, Yi Ji yang bertarung dengan sepenuh hati, siapakah yang akan menang
dalam pertarungan ini"
Serangan Yi Ji datang seperti curahan hujan derasnya, Ding Tao menghindar dan menangkis serangan Yi Ji tanpa bisa
membalas. Mereka yang menyaksikan pertarungan itu, sempat pula merasa kecewa dengan lemahnya Ding Tao, namun itu
hanya sesaat saja. Serangan Yi Ji sudah membuat sebagian dari mereka merasa kagum, menilik usianya yang masih muda, ilmunya bisa
dibilang sudah cukup matang. Tapi lebih-lebih lagi mereka kagum pada Ding Tao yang berusia lebih muda, bisa berkelit dengan mudahnya dari serangan yang tercurah, sehingga panggung yang berukuran 5x5 itu bisa menjadi ruang yang tak
berbatas luasnya. Apakah Ding Tao dapat menang melawan Yi Ji"
Sebuah pertanyaan yang tidak perlu diajukan, perbedaan mereka cukup besar, beberapa lapis jaraknya. Pertarungan ini
tidak jauh berbeda dengan pertarungan saat Ding Tao ditantang Tiong Fa untuk menunjukkan siapa yang paling layak untuk
menyimpan Pedang Angin Berbisik, dirinya ataukah keluarga Huang. Jika dibandingkan tingkatan Yi Ji dengan Tiong Fa, dia masih seusap di bawah Tiong Fa. Sementara Ding Tao sudah beberapa lapis lebih maju dibanding saat itu. Jika Ding Tao
tidak memandang muka Partai Hoasan, mudah saja baginya untuk mengakhiri pertarungan.
Namun Ding Tao ingin menguburkan kesan buruk yang sudah tertanam dalam hati orang-orang Hoasan terhadap Partai
Pedang Keadilan. Karena itu dia tidak segera menjatuhkan Yi Ji, melainkan memikirkan cara untuk mengalahkannya secara
tidak kentara. Setelah bertarung belasan jurus, Yi Ji pun menyadari hal ini. Hanya ingatannya akan kebaikan Hoasan pada dirinya yang
memaksa dia untuk tetap berusaha, melawan Ding Tao sekuat yang dia bisa. Tapi ketika dalam satu serangan, pedang Ding
Tao berhasil menyentuh dengan ringan, pergelangan tangannya, Yi Ji pun sampai pada batas rasa malunya.
Pemuda itu segera melompat ke belakang, menghentikan serangan dan dengan jantan berkata, "Aku kalah."
"Hanya kebetulan saja", jawab Ding Tao dengan ramah sambil sedikit membungkukkan badan dengan tangan terangkap di
depan dada. Xun Siaoma tampaknya santai saja dengan kekalahan itu, meskipun sulit untuk menebak apa yang ada dalam kepala tokoh
tua ini dengan wajahnya yang tak pernah berubah. Dengan tenang dia menoleh pada anak muridnya yang lain yang
berjumlah empat orang. "Bagaimana" Masih ada yang penasaran ingin mencoba-coba Ketua Ding Tao?", tanyanya pada mereka.
Ke empat pemuda itu pun saling berpandangan, keraguan membayang di wajah mereka. Bukan takut mati, tapi takut kalau
sampai kalah maka akan menambahkan corengan di wajah partai mereka. Di lain pihak, merekapun merasa penasaran
untuk menyerah kalah sebelum mencoba. Meskipun jujur, mereka pun mengakui pemuda yang seumuran dengan mereka
itu masih beberapa lapis tingkatannya di atas mereka.
Tampaknya Xun Siaoma bisa membaca apa yang ada dalam benak mereka, karena dia kemudian berbalik menghadap ke
arah Ding Tao yang sedang beriringan dengan Yi Ji menghampiri mereka.
"Ketua Ding Tao, kuharap kau mau memberi muka pada orang tua ini. Tampaknya murid-muridku yang lain penasaran ingin
juga mencoba-coba kepandaianmu."
Ding Tao berhenti di tempatnya dan berpikir sejenak lalu menjawab, "Tentu saja, kata orang, lewat bela diri, bisa juga
menjalin persahabatan."
Yi Ji yang saat itu sudah sampai di belakang Xun Siaoma, merenungkan perkataan Ding Tao dan mendesah dalam hati,
"Seandainya saja tidak ada masalah terbunuhnya ketua dari partainya, Pan Jun, tentu dia akan suka menjadi sahabat Ding
Tao." Keempat orang yang lain saling berpandangan, jika memang diperbolehkan untuk maju mencoba kepandaian Ding Tao, lalu
siapa yang akan maju, masing-masing dari mereka sudah kehilangan rasa percaya diri jika harus berhadapan dengan Ding


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tao. "Baguslah kalau begitu, tapi kali ini sedikit berbeda.", ujar Xun Siaoma setelah mendengar jawaban Ding Tao.
"Maksud Tetua Xun bagaimana?", tanya Ding Tao.
"Kalau Ketua Ding tidak keberatan, biarlah mereka berempat maju bersama. Per orangan tentu saja mereka bukan
tandingan Ketua Ding, tapi berempat mungkin pertarunagan bisa sedikit lebih berimbang. Jika perbedaan tingkatan antara
yang berhadapan terlalu jauh, bukankah jadi kurang menarik, bagaimana?", ujar Xun Siaoma menjelaskan.
Mendengar ucapan Xun Siaoma, mereka yang mengikuti apa yang sedang terjadi antara dua pihak yang berhadapan ini,
saling berbisik. Bukan apa-apa, jika empat murid Hoasan maju bersama-sama, lalu mereka juga mengalami kekalahan,
bukankah nama Hoasan akan makin jatuh lagi di mata orang-orang dunia persilatan"
Ada pula yang berpendapat, meskipun kedudukan Ding Tao adalah ketua sebuah partai, namun umurnya tidak terpaut jauh
dengan anak murid Hoasan yang datang kali ini, jadi bukankah keterlaluan jika Xun Siaoma hendak mengadu Ding Tao
melawan 4 orang sekaligus" Apakah ini bukan usaha Xun Siaoma untuk membalaskan dendam Pan Jun" Terluka atau mati
dalam satu pertandingan persahabatan, bukannya satu hal yang tak pernah terdengar dalam dunia persilatan.
Yang lain berpendapat bahwa wajar saja jika Xun Siaoma mengajukan 4 orang anak muridnya untuk bersama maju
melawan Ding Tao, meskipun dari segi usia merasa sepadan, namun dalam tingkatan dan kedudukan, jelas ada perbedaan
yang besar. Sun Liang bertanya pula pada Sun Gao, "Menurutmu apakah yang dilakukan Tetua Xun Siaoma ini sudah pantas" Ataukah
hal ini hanya membuat Partai Hoasan semakin turun nilainya di mata dunia persilatan."
"Hmm" kepandaian orang yagn pertama tadi tidaklah buruk, jika aku yang harus bertarung melawan dirinya di atas
panggung, belum tentu juga aku bisa menang. Hanya orang yang buta matanya yang merendahkan Partai Hoasan oleh
kekalahan pendekar muda tersebut.", jawab Sun Gao.
"Yang jadi permasalahan di sini ada dua.", ujarnya lagi.
"Oh begitu, kalau begitu apakah dua permasalahan itu?", tanya Sun Liang sambil mengulum senyum.
"Yang pertama, seberapa tinggi kepandaian Ketua Ding Tao, dalam pertarungan perbedaab di antara keduanya ada
beberapa lapis dan sulit untuk melihat seberapa tinggi tingkatan ilmunya. Dengan mengirimkan 4 orang, Tetua Xun Siaoma
bisa melihat lebih jelas tingkatan ilmu dari Ketua Ding Tao."
"Lalu yang kedua?"
"Yang kedua, bila Tetua Xun Siaoma ingin menjalin hubungan antara Partai Hoasan dengan Partai Pedang Keadilan, maka
pertama-tama dia harus mampu meredakan permusuhan yang masih bercokol dalam dada anak murid Partai Hoasan."
"Dan hal itu bisa dilakukan lewat pertarungan ini?"
"Ya, kurasa begitu, sebagai orang yang terjun dalam dunia persilatan, seringkali kita menilai orang dari tingkatannya dalam ilmu silat. Setidaknya mereka bisa dibuat menyadari kekuatan dari lawan dan tidak salah menilai diri sendiri dan lawan, hingga mudah tersulut oleh orang luar yang menyebabkan terjadi bentrokan antara Partai Hoasan dan Partai Pedang
Keadilan.", jawab Sun Gao dengan yakin.
Tapi kemudian merasa ragu dia pun bertanya pada ayahnya, "Ayah, sudah betul tidak pengamatanku?"
"Hahaha, tidak ada pengamatan yang 100% tepat, setiap orang memiliki pengamatannya sendiri. Siapa benar dan siapa
yang salah, baru ketahuan nanti pada waktunya. Yang terpenting adalah memililki pengamatan yang teliti, kebijaksanaan
untuk menguraikan apa yang diamati dan tidak bergantung pada pendapat orang lain tanpa berani berpikir untuk diri
sendiri. Tapi jika kau bertanya, maka menurutku, pengamatanmu itu sudah sangat baik."
Berbunga-bunga hati Sun Gao mendengar pujian ayahnya. Mereka yang mendengarkan ikut merenung dan beberapa orang
di antara mereka jadi merasa malu, karena selama ini mereka mudah diombang-ambingkan oleh perkataan orang, tanpa
pernah memiliki keberanian atau kesadaran untuk berusaha berpikir dan merenungkan sendiri. Sehingga tidak jarang
mereka hanya menjadi pion yang dimanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya.
Sementara itu dengan senyum lebar Ding Tao sudah menjawab tantangan Xun Siaoma, "Tentu saja tidak ada masalah, aku
gembira kita bisa saling belajar dan bertukar pengalaman, meskipun lewat kepalan dan ujung pedang."
Wajah keempat orang anak murid Hoasan itupun dipenuhi semangat, maju seorang demi seorang mereka tahu mereka
tidak memiliki kesempatan, tapi maju berbareng mereka masih memilikisatu pegangan untuk menang melawan Ding Tao.
Tanpa banyak perkataan kelima orang itu sudah menaiki panggung. Biasanya jika banyak orang melawan satu orang, maka
yang sendirian akan dikepung di tengah.
Tidak demikian kali ini, setelah mereka saling menghormat dan berbasa-basi, keempat anak murid Hoasan itu mengambil
kedudukan seperti busur panah, keempatnya menghadap Ding Tao dalam satu sisi saja, tidak ada yang berjaga di kiri,
kanan dan belakang Ding Tao.
"Silahkan mulai terlebih dahulu", ujar Ding Tao dengan tenang, namun perhatiannya benar-benar tercurah penuh.
Begitu melihat kedudukan setiap orang, Ding Tao langsung tahu bahwa dia tidak boleh memandang remeh lawan-lawannya
kali ini. Sudah beberapa kali Ding Tao mengalami, berkelahi melawan lawan yang berjumlah banyak. Setiap kali dia
mengalami hal itu dia selalu bisa melihat lubang dalam barisan lawan, dia bisa melihat bagaimana dia bisa bergerak dan
mengacaukan barisan mereka.
Berbeda saat melihat keempat orang itu, melihat mereka Ding Tao teringat saat dia menghadapi sepasang iblis muka giok,
jika yang seorang menyerang, yang lain akan bertahan. Lebih mudah untuk melarikan diri dari kepungan, karena memang
tidak ada yang menjaga jalan mundurnya. Dia juga tidak perlu menjaga sisi yang tidak terlihat. Namun menjadi sulit jika dia bukan sedang berencana untuk lari dari pertarungan dan dengan saling membantu dalam satu barisan, serangan tiba-tiba
yang dilancarkan bisa lebih berbahaya, karena saat yang seorang menyerang, yang lain akan memperhatikan dirinya baikbaik. Jika Ding Tao lengah dan ada bagian dari pertahanannya yang terbuka, maka dia akan menyelinap dan mengirimkan
serangan. Ding Tao juga dihadapkan pada kesulitan lain, jika ini pertarungan hidup mati, tanpa ragu dia akan melumpuhkan lawan
satu per satu. Seandainya dia seorang ahli totok yang dapat melumpuhkan lawan lewat menyerang titik-titik jalan darah
dan jalan energi di tubuh lawan mungkin tidak serepot sekarang. Tapi dia bukan seorang ahli di bidang itu, tidak bisa
seseorang menjadi ahli dalam sesuatu jika perhatiannya terlalu melebar. Kebanyakan ahli silat memilih untuk mendalami
satu ilmu tertentu dan Ding Tao telah mengkhususkan diri dalam penggunaan pedang.
Pertarungan di antara kelima orang itu berlangsung dengan cepat, tidak seperti Yi Ji yang harus banyak berpikir sebelum menyerang, keempat anak murid Hoasan ini sudah terlatih untuk menyerang dan bertahan dalam barisan. Lagipula
keyakinan mereka sangat tinggi pada barisan yang diajarkan oleh Xun Siaoma sendiri. Keempat orang itu bekerja sama
dengan sangat baik, di antara mereka sudah terjalin rasa percaya yang tinggi. Yang mendapat bagian untuk menyerang
tidak akan mengkhawatirkan pertahanan dirinya sama sekali karena percaya bahwa rekannyalah yang melakukan hal itu
untuk dirinya. Seorang demi seorang, mereka tidaklah lebih baik dari Yi Ji, tapi berempat, mereka tidak kalah berbahaya dibandngkan Pan Jun.
Sedikit demi sedikit Ding Tao terdesak, bergerak semakin mendekati pinggir arena. Para pengikut Ding Tao mengikuti
pertarungan itu dengan hati berdebar. Serangan ke empat orang itu tidak secepat serangan Pan Jun hingga tiap orang bisa melihat jalannya perkelahian dengan cukup jelas. Tapi kurangnya kecepatan dan kekuatan, diimbangi oleh jumlah. Jika Pan Jun yang menggunakan satu pedang, bisa membuat seakan-akan dia menusuk dari dua arah yang berbeda dengan
kecepatannya. Kali ini memang ada dua sampai tiga orang yang terkadang menyerang Ding Tao dengan selisih waktu yang
sangat singkat. Setiap kali Ding Tao menghindar atau menangkis satu serangan, penyerang yang lain dengan cepat mengirimkan serangan
ke bagian yang terlemah dari pertahanannya.
Hanya Ma Songquan dan Chu Linhe yang bisa mengikuti pertarungan itu dengan tenang, mereka sudah pernah merasakan
seberapa kokoh benteng pertahanan Ding Tao dan bagaimana dia bisa mempelajari jurus-jurus lawan sambil bertahan dari
serangan lawan. Puluhan jurus berlalu dan akhirnya Ding Tao sampai pula di pinggir panggung, selangkah lagi dia mundur maka dia akan
terjatuh dari panggung. Meskipun dalam pertarungan yang sesungguhnya dia belum kalah, namun dalam pertandingan kali
ini, tentu saja hal itu akan dipandang sebagai satu kekalahan. Melihat keadaan Ding Tao tidak juga berubah, bahkan Ma
Songquan dan Chu Linhe pun jadi mengerutkan alis dan merasa cemas.
Mereka melihat beberapa kali Ding Tao melepaskan kesempatan untuk menyerang karena tidak mau melukai lawan.
Padahal dalam keadaan terdesak seperti ini, menyia-nyiakan kesempatan tentu saja sangat merugikan posisi Ding Tao.
Di saat yang genting bagi Ding Tao itu, Xun Siaoma menghela nafas. Yi Ji yang mendengar helaan nafas Xun Siaoma pun
merasa heran. Apakah Tetua Xun Siaoma menyayangkan kekalahan Ding Tao" Ataukah Tetua Xun Siaoma ingin keempat
muridnya menyadari bahwa Ding Tao sudah mengalah dan ingin agar mereka pun menunjukkan hal yang sama, untuk
menunjukkan bahwa Hoasan pun tidak menginginkan perselisihan.
Yi Ji tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui mengapa Xun Siaoma menghela nafas.
Empat orang tentu saja berbeda dengan satu orang. Empat pikiran tidak sama dengan satu pikiran. Seorang guru
menciptakan barisan, karena empat pikiran selamanya tidak bisa saling mengerti seperti satu orang mengerti dengan jelas apa yang akan dilakukan sepasang tangan dan kakinya. Oleh karena itu mereka harus berlatih untuk bekerja sama dalam
satu barisan, dengan daftar aturan tertentu. Dengan cara itu, jika seorang bergerak ke arah tertentu, tiga orang yang lain bisa segera tahu ke arah mana mereka harus bergerak. Demikian juga satu orang tadi juga tahu posisi ketiga orang
rekannya tanpa harus melihat.
Tapi kali ini seperti Ding Tao dibatasi oleh panggung, gerakan keempat orang itupun sesungguhnya sama dibatasinya oleh
empat sisi panggung yang ada.
Selama puluhan jurus berlangsung, Ding Tao sudah mencoba-coba dan mengingat reaksi mereka terhadap berbagai
keadaan. Dengan cara itu Ding Tao mulai memahami cara kerja dari barisan mereka. Memanfaatkan pengetahuan itu,
perlahan-lahan dia bergerak ke salah satu sisi panggung. Meskipun dia terdesak untuk mundur ke belakang, namun di saat
yang sama dia berhasil mendesak lawan yang berada di ujung kanan barisan dan memaksa barisan tersebut menggeser ke
kiri, sementara di sisi tersebut batas panggung sudah begitu dekat.
Akibatnya lawan yang berada di kiri ujung barisan, terpaksa harus memilih antara bergerak ke arah belakang Ding Tao, atau mundur ke belakang barisan untuk kemudian menjadi ujung paling kanan dari barisan.
Tapi Ding Tao sudah menunggu-nunggu saat itu, pada saat dia melihat bagian paling kiri dari barisan mundur ke belakang
dan berada segaris lurus dengan orang kedua dari kiri, Ding Tao segera menyerang dengan kuat orang tersebut.
Diserang Ding Tao dan kehilangan rekan di sisi kirinya, orang itu pun terdesak mundur ke belakang, orang yang berada di belakangnya jadi gagal untuk bergeser ke kanan karena terbentur oleh rekannya yang mundur ke belakang. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Ding Tao mendesak ke depan dan sekarang berada di tengah, membagi keempat orang itu menjadi
dua bagian. Ganti sekarang Ding Tao menyerang dua orang yang lain, yang berada segaris lurus dengan dirinya yang sudah
maju ke depan. Demikian Ding Tao bergantian menyerang dan mendesak, hingga barisan itu pun tercerai berai. Ding Tao tidak membiarkan
mereka mengatur kembali barisan mereka. Sekali barisan itu terpecah, kemampuan orang per orang tidaklah dapat
dibandingkan dengan kepandaian Ding Tao. Menyadari kedudukan mereka, keempat orang itu tiba-tiba melompat menyebar
jauh ke belakang. Ding Tao segera memburu salah seorang dari antara mereka, tapi sebelum dirinya sampai keempat orang itu sudah
menyarungkan kembali pedang mereka, merangkapkan tangan di depan dada dan berseru.
"Kami mengaku kalah."
Ding Tao pun tersenyum lega, menyarungkan pedangnya dan membalas salam mereka, "Terima kasih sudah banyak
mengalah." Dengan lesu keempat orang itu berjalan kembali ke tempatnya. Yi Ji sekarang mengerti mengapa gurunya Xun Siaoma
menghela nafas. Dengan wajah muram Yi Ji tersenyum lemah pada keempat saudarnya yang kembali dengan lesu. Xun
Siaoma tentu saja bisa merasakan menurunnya semangat mereka. Orang tua itu berpikir sejenak lamanya, kemudian
setelah mengambil nafas dalam-dalam dia berdiri dari tempat duduknya.
"Guru?", terkejut Yi Ji melihat gurunya berdiri.
"Heh" sedikit kekalahan sudah membuat kalian lesu seperti ini, bagaimana aku bisa berdiam diri. Akan kuperlihatkan
seperti apa ilmu pedang Perguruan Hoasan, biar mata kalian terbuka lebar.", ujarnya sambil melangkah ke arah Ding Tao
yang hendak menuruni panggung.
Melihat Xun Siaoma berjalan ke arah panggung, Ding Tao tidak jadi turun dari sana. Dengan hati berdebar dia menunggu
kedatangan Xun Siaoma di atas panggung. Xun Siaoma melangkah dengan perlahan, jika orang tidak tahu dia seorang ahli
pedang, melihat gerak-geriknya tentu akan disangka seorang tua yang sudah lemah tubuhnya.
Sesampainya di atas panggun Xun Siaoma merangkap tangan di depan dada, "Ketua Ding Tao, tidak disangka di umur yang
masih sangat muda sudah menguasai kepandaian yang begitu tinggi. Di masa depan tentu dirimu akan menjadi obor
penerang bagi generasi dunia persilatan di masa itu."
Meskipun sudah membiasakan diri menerima penghormatan dari orang lain, kali ini Ding Tao tetap saja tersipu malu
mendapatkan pujian dari seorang tetua seperti Xun Siaoma.
Mukanya memerah dan dengan sedikit tergagap dia menggelengkan kepala dan menjawab, "Tidak berani, pujian setinggi itu
siauwtee tidak berani menerimanya. Siauwtee sadar di atas langit masih ada langit, kepandaian para ketua perguruan besar tentunya jauh di atas diri siauwtee. Apalagi jika dibandingkan dengan para tetua, apalah artinya kepandaian siauwtee ini?"
"Pujian Tetua Xun, siauwtee tidak berani menerima. Tidak berani menerima.", ujarnya merangkapkan tangan di depan dada
sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
"Hmmm" baguslah kalau kau sadar, di atas langit masih ada langit. Rendah hati adalah sifat yang baik. Hari ini dua kali anak murid Hoasan kalah di tanganmu, jika aku orang tua tidak menunjukkan sedikit kemampuan, tentu orang akan
memandang rendah partai kami. Hal itu tidak boleh terjadi. Kuharap kau mengerti, bukan karena aku orang tua ingin
menekan yang lebih muda.", ujar Xun Siaoma sambil menatap Ding Tao.
"Siauwtee mengerti, harap orang tua memberi pelajaran pada yang lebih muda.", ujar Ding Tao sambil membungkuk sekali
lagi. Pedang sudah dicabut dari sarungnya, Ding Tao tidak berani meremehkan tokoh tua di hadapannya ini. Dia menghadapi Xun
Siaoma dalam sikap bertahan.
Xun Siaoma berdiri dengan tenang, pedangnya diacungkan lurus ke depan. Untuk beberapa lama mereka berhadapan tanpa
ada yang memulai terlebih dahulu. Akhirnya Xun Siaoma membuka mulut dan berkata.
"Ketua Ding, kau mulailah lebih dahulu."
"Baiklah, harap Tetua Xun bersiap-siap", jawab Ding Tao pendek.
"Awas serangan!", seru Ding Tao sebelum melontarkan serangan yang dahsyat.
Inilah Ding Tao yang sekarang, jauh berbeda dengan Ding Tao yang menahan serangan saat berhadapan dengan Tiong Fa
dulu. Tapi bukan hanya karena mengalami pahitnya kelicikan orang, tapi Ding Tao juga yakin bahwa Tetua Xun Siaoma
menyimpan banyak kejutan bagi dirinya. Ding Tao tidak ingin mempermalukan dirinya dan partai yang dipimpinnya.
Yang paling mengejutkan adalah serangan yang dilakukan adalah jurus serangan yang dimiliki Pan Jun dan tadi juga
digunakan oleh Yi Ji. Bukan hanya mereka yang melihatnya, bahkan Tetua Xun Siaoma dan Bai Chungho yang sudah kenyang malang melintang
puluhan tahun dalam dunia persilatan pun sempat dibuat terkejut. Xun Siaoma mundur setapak, sebelum menggeser
tubuhnya dan menangkis pedang Ding Tao. Sementara Tetua Bai Chungho di luar pengamatan orang telah mengepalkan
tangan dan menegakkan tubuhnya. Meskipun hanay sedikit gerakan yang tidak kentara dan tidak ada seorang pun yang
melihatnya, tapi jarang sekali ada sesuatu yang mampu mengejutkan orang tua ini.
"Apakah dia sekedar menirukan saja?", demikian kurang lebih pikiran yang berkelebat dalam benak kedua orang itu.
Namun serangan-serangan Ding Tao yang berikutnya menjawab pertanyaan mereka. Serangan Ding Tao sudah memiliki inti
dari jurus tersebut, meskipun dalam hal latihan dan pendalaman masih dua-tiga lapis di bawah Pan Jun yang sudah
menekuninya belasan tahun lamanya. Jika dibandingkan dengan Yi Ji Ding Tao bisa dikatakan masih satu lapis lebih baik,
karena Yi Ji belum mampu menyelami jurus serangan itu hingga ke intinya. Xun Siaoma pun dipaksa untuk mundur tiga
langkah lagi. Namun jika kedua tetua itu terkejut oleh serangan Ding Tao, maka Ding Tao pun tidak kalah terkejutnya. Saat dia
menghadapi Pan Jun, dia harus pontang panting hanya untuk bertahan menghadapi jurus serangan itu. Berhadapan dengan
Xun Siaoma, ternyata jurus serangan itu bisa dihindarkan dengan mudah.
Serangan Ding Tao cukup cepat meskipun tidak secepat pedang kilat Pan Jun tapi Xun Siaoma bisa menghindarinya dengan
gerakan yang wajar-wajar saja dan tidak terlalu cepat, hanya saja sangatlah tepat menempatkan diri di posisi terlemah Ding Tao.
Merasakan sendiri bagaimana Tetua Xun Siaoma mengatasi jurus serangan pedang kilat milik Pan Jun, pikiran Ding Tao jadi terbuka dan heran, mengapa dulu tidak terpikirkan hal ini. Setelah melihat Xun Siaoma melakukannya, barulah terasa
betapa sebenarnya sederhana saja untuk memecahkan jurus serangan kilat Pan Jun. Sebenarnya tidaklah sepenuhnya
tepat, Xun Siaoma sebagai tetua dari Partai Hoasan tentu saja mengenal jurus serangan Pan Jun lebih dari Ding Tao yang
baru melihatnya beberapa kali. Sebab kedua adalah perbedaan antara Ding Tao yang baru menyelami intinya tanpa sempat
melatih jurus tersebut hingga mendarah daging, dibandingkan dengan Pan Jun yang mencurahkan waktu dan usahanya
untuk menyempurnakan jurus tersebut.
Meskipun tidak sepenuhnya pula salah, seandainya waktu itu Ding Tao tidak terpaku pada kedahsyatan jurus serangan kilat Pan Jun, maka seharusnya dia pun mampu melihat celah-celah di antara serangan Pan Jun. Hanya saja perbawa serangan
Pan Jun begitu kuat menekan Ding Tao hingga mempengaruhi pikiran dan permainan pedangnya.
Menyadari bahwa jurus serangan milik Pan Jun tidak akan m ampu mendesak Xun Siaoma lebih jauh, maka mulailah Ding
Tao mengombinasikannya menggunakan jurus-jurus serangan yang berbeda.
Ilmu pedang Ding Tao bisa dikatakan campur aduk, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk melatih ilmu
pedang keluarga Huang secara mendalam, namun dalam perjalanannya Ding Tao menyerap banyak jenis ilmu lain. Di
antara jurus-jurus yang dia serap dalam pengalamannya, jurus serangan Pan Jun mungkin yang terkuat, namun juga yang
paling lemah dalam penguasaan. Tapi Ding Tao memang tidak seperti Pan Jun yang menghabiskan waktunya untuk
menyempurnakan suatu jurus. Kelebihan Ding Tao justru ada pada keaneka ragaman jurus yang dia serap, kecepatan cara
berpikirnya, keluwesan dalam menyesuaikan diri dengan keadaan dan kepekaannya dalam menilai keadaan lawan dan
dirinya. Gaya permainan pedang Ding Tao justru sangat bersesuaian dengan gaya permainan pedang Xun Siaoma. Pada masa
mudanya Xun Siaoma pun mengikuti cara berpikir Pan Jun dan memilih untuk menyempurnakan satu jurus pilihan. Dengan
satu dua jurus pilihan dia mampu menaklukkan pendekar-pendekar pedang dari sembilan propinsi. Namun berjalannya
waktu, kemampuan fisik Xun Siaoma pun menurun. Tokoh tua itu mulai memikirkan, permainan pedang yang
membutuhkan kekuatan dan kecepatan seminimal mungkin, untuk mengimbangi penurunan fisiknya.
Xun Siaoma pun mulai menapaki jalan yang kini sedang ditapaki oleh Ding Tao.
Saling berhadapan, dua jagoan pedang yang memiliki gaya permainan yang menitik beratkan pada strategi dan permainan
pikiran untuk mengalahkan lawan, terciptalah pertarungan yang membuat kagum para tokoh dunia persilatan.
Gerakan mereka tidaklah secepat kilat, sehingga mudah untuk diikuti. Namun tiap gerakan memiliki pecahan kemungkinan
yang banyak jumlahnya. Keduanya saling berusaha menguasai permainan, setiap jengkal panggung tempat mereka
bertanding memiliki arti. Panggung yang berukuran sedang, sudah berubah menjadi sebuah medan perang yang seluas
dataran padang pasir Gobi. Terkadang mereka bertempur sengit demi menguasai satu petak, namun di lain saat mereka
dengan sengaja melepaskan kedudukan mereka untuk menjebak lawan dalam permainan mereka. Mengikuti permainan
pedang mereka memang tidak menyusahkan mata, namun ternyata memeningkan kepala.
Bagi Ding Tao inilah pertama kalinya dia menghadapi lawan yang memiliki gaya permainan pedang mirip dirinya. Semakin
lama mereka bertarung, semakin dia larut dalam permainan pedang mereka. Tidak ada ubahnya anak kecil yang baru
mendapatkan kawan bermain yang sesuai dengan dirinya, Ding Tao tidak lagi memikirkan kalah atau menang, hanya
menikmati saja permainan adu otak ini. Bercampur antara penasaran, keinginan untuk menang dan juga kegembiraan yang
sulit dijabarkan. Xun Siaoma pun merasakan hal yang mirip dengan Ding Tao, bedanya dia sudah beberapa kali menghadapi tokoh dengan
tingkatan yang setinggi dirinya.
Salah satunya adalah pengemis tua Bai Chungho, ada juga Pendeta Chong Xan dari Butong. Beberapa kali Xun Siaoma,
bertanding dan mendiskusikan masalah permainan pedang dengan dua orang yang sama gilanya dengan ilmu silat.
Bagi mereka yang belum begitu dalam pemahamannya akan ilmu silat maka kurang dapat mengerti apa yang sedang terjadi
di atas panggung, dengan sendirinya meskipun menikmati pula keluwesan dan kelincahan kedua orang yang sedang
bertarung, mereka tidak ikut merasakan ketegangan yang dirasakan oleh mereka yang mampu mengikuti jalannya
pertarungan dan apa yang diinginkan oleh kedua orang yang sedang bertarung itu dengan serangan yang mereka bangun.
Bagi mereka ini, justru Yi Ji dan keempat saudaranya menampilkan serangan yang lebih dahsyat.
Para guru dan orang tua yang membawa murid atau anaknya, dengan segera menyuruh mereka untuk memperhatikan
baik-baik pertarungan kedua orang itu. Jika ada yang bertanya, tentu akan dijawab agar mencurahkan seluruh perhatian
mereka untuk melihat dan mengingat sebanyak mungkin apa yang mereka lihat. Nanti baru setelah pertarungan itu selesai,
mereka bisa bertanya. Maklumlah pada masa itu belum ada alat yang bisa digunakan untuk merekam satu kejadian. Satusatunya yang bisa digunakan untuk merekam kejadian yang penting adalah mata dan ingatan mereka.
Pertarungan kali ini berlangsung hingga puluhan jurus, tapi menginjak jurus ke 58, mulai terlihat Ding Tao kalah
pengalaman dibandingkan dengan Xun Siaoma. Hanya kepekaan perasaannyalah yang beberapa kali menyelamatkan dia
dari kedudukan yang tidak memiliki jalan keluar lagi.
Dengan sekuat tenaga dan segenap pikiran Ding Tao berupaya keluar dari permainan pedang Xun Siaoma, namun tokoh tua
itu jelas menang dalam hal pengalaman. Ding Tao beberapa kali melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan dan
akhirnya terpojok, terkurung oleh serangan-serangan Xun Siaoma. Ding Tao pun tidak mau mengalah begitu saja,
menyadari dirinya sudah berada dalam posisi yang terjepit, pemuda itu membangun benteng pertahanan yang kuat untk
melindungi sekujur tubuhnya.
Tinggal selangkah lagi dan Xun Siaoma akan mengalahkan Ding Tao. Namun keuletan dan daya juang pemuda itu
membuktikan bahwa yang selangkah itu tidak dijual murah.
Ding Tao tidak mampu berpindah dan keluar dari posisinya saat ini, namun Xun Siaoma pun belum bisa menyarangkan satu
Memburu Iblis 21 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Rahasia Peti Wasiat 10

Cari Blog Ini