Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 13

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 13


serangan ke arah Ding Tao. Tokoh tua itu tidak berani melepaskan serangan dengan sekuat tenaga karena dia khawatir
akan melukai Ding Tao terlalu parah.
Jika Ding Tao mampu mengalahkan anak muridnya tanpa melukai, maka Xun Siaoma pun ingin bisa melakukan hal itu.
Jika tadi sikap Ding Tao membuat dia melepaskan banyak kesempatan, demikian juga sekarang, Xun Siaoma harus
melepaskan banyak kesempatan untuk mengakhiri perlawanan Ding Tao. Tapi berbeda dengan sikap pendirian anak murid
Hoasan, Ding Tao tidak memiliki beban untuk menghapus arang yang mencoreng partainya. Jika sampai sekarang Ding Tao
tidak juga menyerah, itu adalah karena kegembiraannya yang meluap.
Otaknya bekerja dengan cepat menyerap setiap detik dan saat dari pengalaman baru yang dia rasakan saat ini. Menghadapi
seorang pesilat yang jauh lebih unggul dalam membangun strategi dalam permainannya. Dia hanya tidak ingin kesenangan
ini berlalu dengan cepat.
Semakin lama dia bertahan, semakin dia mengenali gaya permainan Xun Siaoma, pertahanannya pun menjadi semakin
kokoh. Bukan hanya itu pengetahuannya akan jurus-jurus pedang milik Partai Hoasan pun bertambah.
Ma Songquan dan Chu Linhe yang pernah merasakan pengalaman yang sama menyeringai dalam hati. Meskipun Ding Tao
kalah hari ini, tapi keuntungan yang didapatkan olehnya tidaklah kecil. Ilmu keluarga Huang belum bisa dijajarkan dengan ilmu-ilmu dari perguruan besar yang sudah melewati masa ratusan tahun, dipelajari, didalami dan dikembangkan oleh para
maha guru dari perguruan tersebut. Ilmu keluarga Huang barulah melewati dua masa generasi, itupun bakat yang dimiliki
belum bisa disandingkan dengan para leluhur partai perguruan besar yang namanya melegenda.
Xun Siaoma sendiri mulai menyadari akan hal itu, selain pertahanan Ding Tao yang makin kokoh. Beberapa kali Ding Tao
mencoba mempraktekkan apa yang baru dia serap dalam permainan pedangnya.
Meskipun apa yang dilakukan Ding Tao tidak persis sama, karena dia hanya meleburkan apa yang baru dia serap dan
berusaha menerapkan prinsip-prinsipnya pada apa yang sudah dia miliki, tapi karena yang ditangkap dan diserap adalah inti dari gerakan, Xun Siaoma tentu saja bisa mengenalinya. Bukan hanya Xun Siaoma saja, tapi Tetua Bai Chungho pun sudah
menyadari apa yang sedang terjadi karena dia sudah cukup sering berlatih tanding dengan Tetua Xun Siaoma.
Dalam latih tanding itu, mereka berdua melakukan hal yang sama, mempelajari kekurangan sendiri, mendalami kelebihan
lawan dan merenungkan bagaimana pengetahuan itu bisa dipakai untuk memoles ilmu sendiri menjadi lebih sempurna.
"Wah celakalah si tua, si tua itu bukannya menghajar malah memberi ajaran.", batin Bai Chungho sambil menyengir.
Jika Bai Chungo bisa menyaksikan hal itu sambil cengar-cengir, tentu saja berbeda keadaannya dengan Xun Siaoma.
"Uh" secepat mungkin pertandingan ini harus diakhiri" tapi bagaimana..", pikir Tetua Xun Siaoma.
Di luar dia terlihat tenang tapi otaknya bekerja keras dan jantungnya mulai berdebaran. Benar-benar seorang jagoan tua, meskipun otaknya bekerja keras, tangan dan kakinya tidak berhenti bekerja dan sedikitpun Ding Tao tidak bisa bergeser
dari tempatnya. "Apa boleh buat?", desah Xun Siaoma dalam hati.
Setelah mengambil keputusan gerakan Xun Siaoma pun jadi lebih mantap. Satu gebrakan, dua gebrakan, Ding Tao kali ini
tidak sempat memperhatikan dan merenungkan serangan Xun Siaoma. Rupanya meskipun sudah tua, kecepatan dan
kekuatannya tidaklah berada di bawah Pan Jun yang masih muda. Ding Tao masih berkonsentrasi untuk bertahan ketika
tiba-tiba Xun Siaoma mundur tiga langkah ke belakang dan di luar kemauannya Ding Tao ikut maju ke depan. Seperti
terpana oleh serangan Xun Siaoma yang sebelumnya mendorong dirinya ke belakang dan tiba-tiba mundur ke belakang.
Pada saat Xun Siaoma bergerak mundur, tibat-tiba seakan tercipta ruang hampa di antara mereka, dan kekosongan itu
membuat Ding Tao terseret maju ke depan di luar kemauannya.
Dengan luwes dan indahnya Xun Siaoma bergerak, hampir seperti seorang gadis muda yang menari. Meliuk dan menggeser
kakinya, tiba-tiba Xun Siaoma sudah berada di belakang Ding Tao dan dengan ringan dia menepuk pundak Ding Tao.
Gerakan itu begitu sederhana, alami dan indah. Mereka yang melihatnya, mau tidak mau merasa kagum pada kemampuan
tokoh tua tersebut. Baik mereka yang bersimpati pada Ding Tao maupun mereka yang menjagoi Xun Siaoma, kedua pihak tanpa terasa
bertepuk tangan, melihat pertunjukan permainan pedang yang memeras pikiran mereka untuk dapat mengikutinya. Bukan
karena kecepatan permainan pedang mereka, namun karena rumitnya pemikiran di balik tiap serangan dan pertahanan.
Segera setelah merasa dirinya terayun ke depan, Ding Tao sudah bisa meramalkan apa yang terjadi berikutnya. Karena itu
ketika tangan Xun Siaoma menepuk pundaknya perlahan dari belakang, Ding Tao hanya memejamkan mata dan mendesah.
Perlahan dia berbalik, membungkuk sambil merangkapkan tangan dan berujar, "Sungguh kepandaian Tetua Xun, jauh
melampaui pemahaman siauwtee. Tidak salah jika Hoasan berdiri berjajar dengan enam perguruan besar yang lain."
Xun Siaoma yang sudah bertarung hampir seratus jurus, menunjukkan keuletan tubuhnya yang sudah renta. Meskipun
tubuhnya berkeringat namun, nafasnya masih teratur dan dalam, sama sekali tidak terganggu oleh pertarungan yang
menghabiskan tenaga tersebut.
"Hmm" Ketua Ding Tao sendiri memiliki bakat yang sulit dicari tandingannya. Beberapa tahun ke depan, aku orang tua ini
tentu sudah tidak bisa mengimbangimu lagi. Yang kuharapkan hanyalah pada saat itu, murid-muridku sudah bisa menyerap
semua apa yang kuajarkan dan selesailah tugasku sebagai seorang tetua.", ujar Xun Siaoma sambil membalas
penghormatan Ding Tao. "Ah mana bisa demikian, Tetua masih begini kuat dan segar. Siauwtee rasa sampai berpuluh tahun ke depan pun Tetua
masih dapat mengalahkan siauwtee kapan saja tetua mau.", jawab Ding Tao sambil tersenyum lebar.
"Ha ha ha, boleh juga kalau memang seperti itu yang terjadi, lain kali biarlah kita bertanding lagi untuk melihat, tebakan siapa yang lebih tepat.", Xun Siaoma yang jarang menunjukkan perasaan, ternyata bisa juga tertawa.
Tawa Xun Siaoma itu memiliki arti yang besar, beban yang menindih perasaan Ding Tao dan para pengikutnya lepas pada
saat itu juga. "Tentu saja, kapan saja Tetua Xun menghendaki, siauwtee tentu siap. Tap isekarang, mari ijikanlah siauwtee menjadi tuan rumah yang baik. Silahkan Tetua mencicipi hidangan yang kami siapkan. Mari silahkan.", ujar Ding Tao sambil
mempersilahkan Tetua Xun Siaoma untuk kembali ke mejanya.
Acara perayaan itu pun dilanjutkan kembali, setelah pertarungan antara Xun Siaoma dengan Ding Tao, beberapa orang yang
datang untuk mencari gara-gara, baik dari golongan hitam yang ingin menguji kesiapan partai yang baru lahir ini, ataupun mereka yang ingin membuat namanya dikenal orang dengan mengalahkan orang-orang dari partai baru ini, semuanya
membatalkan niat mereka. Akibatnya panggung pun hanya diisi dengan pertunjukan, tidak ada lagi yang melakukan tantangan.
Tapi bukan berarti perayaan itu jadi membosankan bagi para tamunya yang keranjingan ilmu silat dan tontonan menarik.
Pertarungan Ding Tao dan Xun Siaoma sudah menjadi pembicaraan yang hangat dan bisa memakan waktu berjam-jam
bahkan berhari-hari. Hasil dari pertemuan kedua belah pihak sendiri tidak terhitung buruk. Nama Ding Tao tidak menjadi
turun karena kekalahannya di tangan Xun Siaoma. Hanya segelintir orang bisa menjajarkan diri dengan tokoh tua itu.
Dalam usianya yang masih sangat muda, apa yang ditunjukkan Ding Tao sudah melampaui dugaan orang banyak.
Sebaliknya nama Hoasan yang sempat terjun ke dalam lumpur pun jadi terangkat kembali. Xun Siaoma berhasil
membuktikan bahwa Hoasan masih merupakan tempat bersembunyinya naga dan harimau.
Perdebatan pun jadi makin memanas, ketika mereka mulai memperdebatkan masalah keinginan Ding Tao untuk ikut dalam
pemilihan Wulin Mengzhu, mereka yang bersimpati pada Ding Tao tertarik pada kemudaan dan semangat yang dibawanya.
Sebagian besar dari mereka yang berpendapat seperti ini, adalah anak-anak muda.
Mereka yang berpendapat sebaliknya, lebih bersandarkan pada bukti bahwa Ding Tao belumlah siap untuk menjadi Wuli
Mengzhu bagi generasi saat ini. Mereka bukan sepenuhnya menolak Ding Tao, hanya saja mereka berpendapat bahwa Ding
Tao harus menunggu beberapa tahun lagi untuk mamatangkan dirinya sebelum mencoba untuk menduduki kedudukan
tertinggi dalam dunia persilatan tersebut.
Ding Tao dan Xun Siaoma sendiri justru tidak memikirkan berbagai masalah itu. Anak murid Xun Siaoma tentu saja tidak
sepenuhnya merasa puas dengan cara Xun Siaoma menyelesaikan masalah. Sedikit banyak, mereka memiliki ikatan batin
dengan Pan Jun yang pernah menjadi pimpinan mereka. Sekarang Xun Siaoma makan dan minum bersama dengan orang
yang membunuh Pan Jun tanpa canggung-canggung. Tapi mereka terlalu menghormati Xun Siaoma untuk menunjukkan
perasaaan tidak suka mereka. Ding Tao yang peka peraaannya, dapat menangkap getar-getar ketidak puasan itu dan
berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Tidak marah, menyindir atau merendahkan mereka, tidak pula dia menyanjungnyajung dan berusaha menyenangkan hati mereka.
Hari yang panjang itu pun akhirnya sampai pada penghujungnya, satu per satu mereka yang bertamu berpamitan. Besok
gedung masih dibuka untuk menerima tamu-tamu lain yang baru datang, namun untuk hari ini kegiatan mereka sudah
sampai pada akhirnya. Pada saat ruangan sudah mulai sepi itulah, Xun Siaoma berkata pada Ding Tao dengan suara perlahan, "Ketua Ding, apakah
ada waktu untuk berbicara di tempat yang lebih nyaman?"
Ding Tao memandangi Xun Siaoma, tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudkan oleh Tetua Xun Siaoma.
"Hari sudah mulai gelap, angin yang dingin membuat tulang-tulang tua ini ngilu, tapi hati masih menginginkan secangkir
arak dan berbincang-bincang. Alangkah baiknya kalau kita pindah ke dalam, di mana ada dinding yang melindungi dari
angin malam.", ujar Xun Siaoma berusaha menjelaskan.
"Ketua Ding, kebetulan aku sudah meminta beberapa orang untuk menyiapkan sedikit hidangan kecil dan arak di ruang
dalam.", ujar Chou Liang sambil mengedip.
Ding Tao bukan orang bodoh, jika tadi dia terlambat menangkap apa maksud Xun Siaoma, itu karena dia memandang
semua orang sama seperti dirinya dan tidak akan berusaha menguping pembicaraan pribadi orang lain dengan sengaja.
"Ah, maafkan aku Tetua Xun, tentu saja, itu ide yang bagus. Marilah kita masuk ke dalam. Apakah Tetua Bai Chungho juga
akan ikut meramaikan?", tanya Ding Tao dengan segera.
"Hehehe, di mana ada arak dan cemilan, sudah tentu aku akan ikut meramaikan", jawab Bai Chungho sambil terkekeh.
Setelah memberikan pesan pada mereka yang masih bertugas di luar, Ding Tao, Xun Siaoma, Bai Chungho dan orang-orang
kepercayaan mereka, berjalan menuju ke dalam gedung, mengikuti Chou Liang yang sudah mempersiapkan segala
sesuatunya. Entah bagaimana rupanya dia sudah bisa menduga bahwa Xun Siaoma akan meminta hal seperti ini. Tapi
kecekatannya dalam berpikir, menarik perhatian Xun Siaoma dan Bai Chungo, meskipun keduanya tidak mengatakan apaapa. Dua orang tokoh kawakan itu belajar untuk menghargai kelebihan manusia-manusia macam Chou Liang, sejalan
dengan pengalaman mereka di dunia yang luas.
Dalam hati mereka memuji bintang keberuntungan Ding Tao sehingga dia ditemukan dengan berbagai macam orang pilihan
yang bisa mendukung gerakannya.
Tidak ada pembicaraan selama perjalanan mereka menuju ke ruang dalam. Semua orang merasa sedikit tegang. Chou Liang
yang cerdik tidak membawa mereka ke ruangan tempat Guru Chen Wuxi, Fu Tong dan Song Luo menunggu. Dengan
demikian keterlibatan ketiga orang itu dengan Partai Pedang Keadilan terjaga dari orang luar.
Setelah mereka sampai di dalam ruangan, dengan gerak matanya, Tetua Bai Chungho dan Xun Siaoma memerintahkan
anak muridnya untuk ikut menjaga "keamanan" dari ruangan itu. Tentu saja bukan masalah takut diserang, karena mereka
yang bisa dianggap setanding dengan mereka berada di dalam ruangan itu bisa dihitung dengan jari. Kedua tetua itu lebih mengkhawatirkan bocornya apa yang sedang mereka bicarakan.
Membuka percakapan mereka Xun Siaoma bertanya pada Ding Tao, "Ketua Ding, jika aku memintamu untuk berbicara di
tempat ini, tentu kai mengerti apa sebabnya?"
"Ya, Tetua tidak ingin ada orang yang tidak bisa dipercaya yang ikut mendengarkan percakapan kita."
"Benar?", jawab Xun Siaoma membiarkan jawabannya menggantung di udara.
Ding Tao melihat pada para pengikut setianya yang berada di ruangan itu, Ma Songquan, Chu Linhe, Chou Liang, Tang
Xiong, Wang Xiaho, Li Yan Mao, Qin Baiyu, Qin Hun dan Tabib Shao Yong, kemudian menjawab, "Mereka semua bisa
dipercaya, aku bersedia mempertaruhkan nyawaku demi salah seorang dari mereka."
Xun Siaoma berpandangan dengan Bai Chungho kemudian mengangguk, "Baiklah kalau begitu, mungkin sebaiknya kita
membicarakan ini sambil berduduk."
Tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao, Xun Siaoma memilih salah satu kursi, diikuti oleh Bai Chungho dan setelah Ding
Tao duduk yang lain pun mengikuti. Untuk beberapa lama mereka terdiam dan Xun Siaoma yang pertama-tama membuka
percakapan. Mendesah sedih Xun Siaoma berkata dengan berat hati, "Ketua Ding, tentang berita yang mengatakan ketua kami, Pan Jun
telah terbunuh di tanganmu, apakah benar adanya" Apakah bisa dipastikan dia adalah Pan Jun?"
Ding Tao tidak langsung menjawab pertanyaan Xun Siaoma, diingat-ingatnya dahulu semua yang terjadi saat itu, kemudian
dengan berhati-hati dia menjawab, "Pada awalnya kami hanya mengenal dia sebagai orang bertopeng dan memang
siauwtee sempat bertempur dengannya, yang berakhir dengan kematian dirinya."
"Pada saat itu Saudara Ma Songquan dan Chou Liang berpendapat baik adanya jika identitasnya tetap tersembunyi dan
berencana hendak menguburkan jasadnya tanpa perlu membuka topengnya. Namun salah seorang yang berada di sana,
membuka topeng itu saat kami lengah. Barulah kemudian beberapa orang mengatakan bahwa orang bertopeng itu adalah
Pendekar pedang Ketua Pan Jun."
Xun Siaoma tercenung sesaat, kemudian bertanya, "Jurus yang tadi kaupakai untuk menyerang, seperti juga jurus yang
digunakan salah seorang anak muridku, apakah itu jurus yang sama seperti yang digunakan oleh orang bertopeng
tersebut?" "Ya benar, hanya saja serangannya jauh lebih tajam. Ketepatan, kecepatan dan kekuatannya hampir mendekati
kesempurnaan.", jawab Ding Tao dengan cukup yakin.
"Apakah benar pembunuh bertopeng itu adalah salah seorang dari tokoh-tokoh yang memimpin penyerangan atas keluarga
Huang di Wuling?", tanya Xun Siaoma lebih lanjut.
"Berdasarkan apa yang dia lakukan di Wuling, berdasarkan perkataan yang keluar dari mulutnya, berdasarkan hubungannya
dengan Tiong Fa, penghianat keluarga Huang, kami yakin bahwa hal itu memang benar adanya.", jawan Ding Tao.
Sekali lagi ruangan itu dipenuhi keheningan, dan dipecahkan oleh helaan nafas Xun Siaoma. Tokoh tua perlahan-lahan itu
menutup matanya dan mendesah s edih.
"Jika demikian, maka biarlah aku memastikan bahwa, dia bukanlah ketua dari Hoasan?", ujarnya dengan lambat dan penuh
kesedihan. Melihat raut wajah dari orang-orang Hoasan, Ding Tao dan kawan-kawan tidak berani mengatakan apa-apa.
"Tetua?", ujar salah seorang anak murid Hoasan dengan terbata, tapi ucapannya terputus oleh gerakan tangan Xun Siaoma
yang melarang dia untuk berbicara lebih banyak.
Tokoh tua itu memandangi anak muridnya satu per satu, lalu memalingkan wajahnya pada Ding Tao dan perlahan-lahan
mengitari ruangan, hingga pandang matanya bertemu dengan tiap orang dari mereka. Kemudian dengan suara parau dia
berkata, "Mengertikah kalian" Dari keterangan yang diberikan oleh Ketua Ding, 9 dari 10 bagian aku bisa meyakinkan bahwa orang
tersebut adalah Pan Jun dan sepenuhnya aku dengan yakin bisa mengatakan bahwa orang itu bukanlah ketua dari Partai
Hoasan, karena seorang ketua dari perguruan Hoasan, tidak akan pernah melakukan perbuatan demikian."
Mendengar perkataan Xun Siaoma dan cara dia mengatakannya, setiap orang yang berada di dalam ruangan bisa
merasakan kepedihan hati dari tokoh tua itu. Mereka pun merasa ikut tercekat oleh kenyataan yang harus dihadapi Xun
Siaoma. Mereka hanya bisa mengangguk untuk menunjukkan bahwa mereka mengerti apa maksud Xun Siaoma.
Xun Siaoma melanjutkan, "Tapi jika benar dia itu Pan Jun, maka yang membuatku tidak habis pikir, mengapa dia sampai
melakukan hal yang sedemikian rupa?"
Ding Tao dan yang lain hanya bisa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku mengenalnya dengan baik, menjadi ketua dari Partai Hoasan adalah hal yang paling dia inginkan. Dia tidak memiliki
ambisi untuk menguasai dunia persilatan. Lalu mengapa dia bisa terjerat dalam urusan yang busuk begini?", desah orang
tua itu dengan sedih. "Kami berdua sudah membicarakan hal ini", ujar Bai Chungho.
"Kami berkeputusan untuk menyelidiki lebih jauh masalah ini, bukan hanya karena Pan Jun pernah menjadi ketua dari Partai Hoasan, tapi jika ada yang bisa membuat Pan Jun menyalahi kedudukannya sebagai ketua Partai Hoasan. Maka kita harus
menyelidikinya sampai tuntas", ujar Bai Chungho melanjutkan.
Ding Tao memandangi kedua orang tua itu kemudian dengan berhati-hati mengatakan, "Beberapa orang berpendapat,
bahwa penggerak dari kejadian ini adalah Ren Zuocan" Apakah tetua berdua juga memiliki pandangan yang serupa?"
"Itu adalah salah satu kemungkinan, Ren Zuocan memiliki jaringan mata-mata yang kuat, bahkan dalam perbatasan
sekalipun. Jika dia berhasil menarik Pan Jun menjadi salah seorang pembantunya, maka ketua dari partai-partai besar yang lain pun perlu diawasi.", ujar Xun Siaoma.
"Kami juga ingin memastikan, alasan apa yang membuat mereka menyerang keluarga Huang" Keluarga Huang memang
sedang menanjak tahun-tahun terakhir ini dan Huang Jin menunjukkan ambisi yang besar. Namun mengapa harus
mengambil resiko terbongkarnya jaringan mereka dengan menyerang keluarga Huang, jika selama ini mereka berdiam diri"
Ada yang mengatakan bahwa Pedang Angin Berbisik sudah jatuh ke tangan keluarga Huang dan sebelumnya pedang itu
sempat berada di tanganmu, jadi kamipun ingin mendengar kejelasannya darimu.", lanjut Bai Chungho sambil memandang
Ding Tao. Berkerut kening Ding Tao, pertanyaan yang sering mengganggunya kembali muncul, "Benarkah mereka menyerbu keluarga
Huang di Wuling karena Pedang Angin Berbisik" Jika benar demikian, bukankah sebenarnya dialah yang menjadi awal segala
permasalahan" Jika dia tidak datang ke Wuling, Huang Ying Ying dan yang lain tentu masih hidup sampai sekarang."
"Bagaimana Ketua Ding" Apakah kau bisa menjawab beberapa pertanyaan yang mengganggu kami itu?", tanya Bai
Chungho. "Tentang Pedang Angin Berbisik, kurang lebih memang demikianlah keadaannya. Pada awalnya pedang itu terjatuh ke
tanganku, namun saat aku berkunjung ke Wuling, pedang itu direbut orang dari tanganku. Orang itu adalah Tiong Fa, entah bagaimana beberapa waktu kemudian kabar yang kudengar adalah keluarga Huang berselisih dengan Tiong Fa. Menurut
dugaan kami pada saat itulah Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan Tiong Fa.", jawab Ding Tao.
"Hmm" kau sendiri berada di mana saat kejadian itu terjadi" Mengapa kau tidak berusaha merebut kembali pedang itu?",
tanya Xun Siaoma menyelidik.
"Selain merebut pedang, mereka juga berusaha membunuhku, meskipun berhasil lolos namun siauwtee mendapatkan luka
dalam dan terpaksa menyembunyikan diri beberapa bulan lamanya hingga luka itu sembuh. Saat siauwtee keluar dari
persembunyian, barulah siauwtee mendengar apa yang terjadi di Wuling.", jawab Ding Tao.
"Hmmm" rupanya begitu?", desah Xun Siaoma.
"Kepandaianmu begitu tinggi, dua orang yang menyerangmu" siapa mereka itu, apakah kau tahu?", tanya Bai Chungho.
Ding Tao berpikir sejenak kemudian menjawab, "Waktu itu, kepandaian siauwtee belumlah setinggi sekarang, lagipula
siauwtee tertidur pulas karena meminum obat tidur yang diberikan " Tiong Fa."
Ding Tao tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa obat itu diberikan oleh Huang Ying Ying atas perintah Tuan besar
Huang Jin, lagipula dia tidak ingin menjelaskan masalah itu berkepanjangan. Penjelasan Ding Tao cukup masuk akal, karena saat itu Tiong Fa masih merupakan salah satu pimpinan tua dari keluarga Huang. Bai Chungho dan Xun Siaoma pun tidak
mengejar lebih jauh. "Jika benar, berarti kemungkinan besar Pedang Angin Berbisik tentu sudah jatuh ke tangan mereka. Benar-benar
berbahaya, jika Ren Zuocan sampai mendapatkan pedang itu, dia bisa seperti Harimau yang tumbuh sayap.", gerutu Bai
Chungho dengan wajah gelap.
"Kejadian itu sudah beberapa lama terjadi, jika benar pedang itu di tangan mereka, saat ini tentunya sudah sampai di
tangan Ren Zuocan.", desis Ding Tao dengan guram.
"Tidak, soal itu aku yakin belum terjadi", kata Bai Chungho dengan nada sangat yakin.
"Bagaimana Tetua Bai begitu yakin?", tanya Ding Tao dengan heran.
"Hehehe, partai kami memang bukan partai terkuat, tapi dalam soal jumlah kamilah yang terbanyak. Jaringan mata dan
telinga kami meliputi hampir seluruh daratan. 3 hari setelah kejadian di Wuling aku sudah mendengarnya dan segera
memerintahkan seluruh anggota partai pengemis untuk mengawasi jalan keluar perbatasan.", jawab Bai Chungho dengan
bangga. "Perbatasan begitu luas, apakah partai pengemis benar-benar memiliki anggota sebanyak itu?", tanpa terasa Chou Liang
menyeletuk dengan mata terbelalak.
Bai Chungho menengok cepat ke arah Chou Liang dan Chou Liang yang sadar betapa kata-katanya bisa dianggap sebagai
penghinaan buru-buru membungkuk meminta maaf, "Maafkan aku Tetua Bai, bukan maksudku meragukan perkataan Tetua
Bai, aku hanya terkejut membayangkan seberapa besar dan banyak anggota partai pengemis, jika Tetua bisa mengatakan
dengan yakin bahwa seluruh jalan menuju luar perbatasan sudah diawasi."
"Hehehe, baguslah kalau kau percaya, tapi biarlah kutegaskan sekali lagi, aku yakin bahwa pedang itu belum keluar
perbatasan. Seandainya mereka memaksa keluar perbatasan, anggota-anggotaku belum tentu mampu menghalangi, tapi
berita tentang usaha mereka keluar perbatasan tentu akan terdengar olehku.", jawab Bai Chungho sambil menganggukangguk. "Jika demikian kita harus cepat bergerak untuk mendapatkan kembali pedang itu", ujar Ding Tao dengan bersemangat.
"Begitu pula pendapat kami berdua, oleh sebab itu kami datang untuk menemui Ketua Ding. Tampaknya jejak paling jelas
yang ditinggalkan kelompok itu adalah Tiong Fa dan ulahnya yang berusaha menguasai seluruh cabang milik keluarga
Huang yang telah dia hancurkan.", kata Xun Siaoma.
"Benar, bekas pengikut keluarga Huang memiliki ikatan batin yang dekat dengan Ketua Ding, apa yang terjadi di Jiangling beberapa waktu yang lalu membuktikan hal itu. Tentu saja kekuatan Ketua Ding saat ini belumlah cukup untuk merebut
kembali cabang-cabang lain dari tangan Tiong Fa dan demi kepentingan yang lebih luas, kami ingin menawarkan bantuan,
bagaimana" Apakah Ketua Ding bisa menerima maksud baik kami?", ujar Bai Chungho menjelaskan alasan sesungguhnya
dari kedatangan dirinya dan Xun Siaoma.
Tawaran yang diberikan cukup mengejutkan Ding Tao, apalagi tawaran itu datang dari dua partai kenamaan dan yang
datang untuk menawarkan adalah dua orang Tetua yang sangat dihormati dan ditakuti oleh orang-orang dunia persilatan.
Untuk sesaat Ding Tao mengitarkan pandangan matanya pada para pengikutnya yang hadir di ruangan tersebut. Dengan
tidak kentara Chou Liang, Ma Songquan dan yang lain perlahan mengangguk tanda setuju, meskipun ada pula yang
melakukannya dengan keraguan terbayang di wajah. Melihat mereka satu suara dalam hal ini dan terutama Chou Liang
tampak yakin dengan tawaran yang diberikan, Ding Tao pun merasa semakin yakin dengan jawaban yang hendak dia
berikan. "Baiklah aku menerima tawaran Tetua berdua.", jawab Ding Tao dengan tegas.
Meskipun hanya sekilas namun Ding Tao dapat melihat seulas rasa penasaran dan sakit hati tergambar di wajah anak murid
Partai Hoasan dan dia pun merasa mendelu dalam hati. Dengan tulus diapun menyampaikan perasaan penyesalannya
tersebut. "Tetua Xun Siaoma sungguh berhati besar, siauwtee di luar sepengetahuan siauwtee telah kesalahan tangan membunuh
anak murid perguruan Hoasan, Pendekar pedang kilat Pan Jun. Namun Tetua justru bersedia untuk menawarkan bantuan
bagi kami. Sesungguhnya dari hati yang terdalam, aku sangat mengagumi Pendekar pedang Pan Jun, berhadapan
dengannya dalam satu pertarungan, mau tidak mau timbul perasaan kagum akan bakat dan kemampuannya.", ujar Ding
Tao dengan tulus. "Itu sebabnya, meskipun kami tidak mungkin mengabarkan kejadian ini pada Partai Hoasan, namun kami sudah
menyelenggarakan pemakaman Pendekar pedang kilat Pan Jun dengan sebaik-baiknya. Dengan setulusnya aku memohon
maaf dari kalian semua atas apa yang terjadi. Saat inipun jika Tetua dan saudara-saudara dari Hoasan hendak mengunjungi persemayaman terakhir dari beliau, aku dapat mengantarkan kalian ke sana."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan Ding Tao dan penyesalannya yang terlihat tulus dan tidak dibuat-buat, menjadi obat yang manjur bagi luka hati
para anak murid Partai Hoasan. Tidak ada ucapan membela diri yang keluar dari mulut Ding Tao, padahal mereka semua
pun tahu apa yang terjadi saat itu. Ding Tao tidak bisa disalahkan dalam kasus itu, namun pemuda itu justru bersedia
memohon maaf pada mereka. Meskipun rasa sakit hati mereka tidak sepenuhnya hilang, namun rasa permusuhan dalam
hati mereka sudah banyak menghilang. Apalagi setelah Xun Siaoma menjawab Ding Tao.
"Hmm" Ketua Ding, mengetahui tingginya ilmu pedang Pan Jun dan mengetahui pula tingkatan yang Ketua Ding miliki, aku
tahu bahwa Ketua Ding tidak memiliki banyak pilihan. Hanya ada dua pilihan terbunuh atau dibunuh. Jika ada yang patut
dipersalahkan, maka itu adalah orang yang sudah membuat Pan Jun tersesat sedemikian rupa. Kematiannya di tangan
Ketua Ding hanyalah akibat, dalam hati aku sudah berketetapan untuk mencari penyebabnya dan membasminya dari muka
bumi ini.", ujar Xun Siaoma dengan suara tergetar dan geram.
Jika Xun Siaoma yang selalu bisa menguasai diri dalam segala keadaan hingga menunjukkan goncangan dalam hati, bisa
dibayangkan betapa geramnya tokoh tua ini.
"Siauwtee aku berusaha sekuat siauwtee untuk ikut membantu usaha Tetua berdua dalam membongkar masalah ini.", ujar
Ding Tao dengan sungguh-sungguh.
"Ya" ya" tentu saja aku percaya akan ketulusan Ketua Ding. Kalau begitu kami akan kembali beberapa hari lagi dan
merundingkan rencana kita. Untuk saat ini, Ketua Ding dan sahabat-sahabat sekalian bisa membaca catatan ini", ujar Xun
Siaoma sambil menyerahkan selembar catatan.
"Ini adalah catatan dari kekuatan Kaypang dan Hoasan yang sudah disiapkan untuk menjalankan rencana ini. Lengkap
beserta tempat kedudukan mereka saat ini. Ketua Ding dan yang lain bisa mempelajari dan merundingkannya berkenaan
dengan Partai kalian. Beberapa hari lagi, kita akan merundingkan kepastiannya.", ujar Xun Siaoma.
Ding Tao membaca lembaran itu beberapa saat lalu menyerahkannya pada Chou Liang yang mempelajarinya lebih lanjut.
Ding Tao sendiri berbalik pada Xun Siaoma dan Bai Chungho, "Siauwtee mengerti, beberapa hari ke depan siauwtee akan
berusaha mempersiapkan kekuatan dari pihak siauwtee sendiri. Siapa yang akan berjaga dan siapa yang akan pergi,
masalah perbekalan dan sebagainya. Dalam 5-6 hari siauwtee tentu sudah siap bergerak."
"Baguslah kalau begitu, 4 hari lagi kami akan kembali berkunjung ke Jiangling dan merundingkan eksekusi rencana ini.",
ujar Bai Chungho. "Kalau begitu, jika Ketua Ding tidak keberatan, aku ingin mengunjungi makam Pan Jun.", ujar Xun Siaoma.
"Tentu saja tidak keberatan, mari aku akan mengantarkan saudara sekalian ke sana", jawab Ding Tao cepat.
Tidak berapa lama kemudian rombongan kecil itu sudah berada di depan makam Pan Jun, anak murid Partai Hoasan merasa
terharu ketika melihat betapa Ding Tao menghargai dan mempelakukan Pan Jun dengan hormat dan sebaik mungkin.
Masing-masing orang menyalakan sebatang dupa dan berdoa. Entah apa yang berkecamuk di benak mereka, tapi yang
jelas, anak murid Partai Hoasan telah mendapatkan sasaran baru untuk menumpahkan kekesalan mereka.
Selepas tamu-tamu mereka meninggalkan Jiang Ling, Ding Tao dan para pengikutnya kembali berkumpul untuk membicarakan apa saja yang baru terjadi sekaligus membahas cara kerja dan struktur organisasi yang baru saja terbentuk
itu. Selain tawaran bantuan dari Hoasan dan Kaypang, banyak kejutan kecil lain yang membuat mereka cukup bersemangat.
Pertarungan antara Ding Tao dengan Xun Siaoma, membuka mata banyak orang akan potensi yang tersimpan dalam diri
Ding Tao dan tentu saja dalam partai yang dia pimpin. Beberapa hari sejak pertarungan itu, sudah beberapa kali terjadi ada perguruan maupun badan usaha dan keluarga yang cukup punya nama, menyatakan ingin bergabung di bawah bendera
Partai Pedang Keadilan. Tentu saja bukan semuanya bergabung karena memiliki cita-cita yang sama, tidak sedikit yang bergabung karena
mengharapkan adanya perlindungan dari Partai yang baru berdiri ini. Tidak bisa disangkal, angin panas sedang bertiup di dunia persilatan.
Mereka yang selama ini belum tergabung dalam ikatan yang lebih luas dan kuat, sedang mencari-cari tempat untuk
menambatkan perahu kecil mereka.
Anak murid keluaran dari perguruan besar, mulai menjalin kembali ikatan yang mungkin sudah lama merenggang. Yang
sudah lama tidak berkunjung ke perguruannya, tiba-tiba sering muncul sambil membawa sedikit bingkisan, dan berbasabasi, membicarakan masa lalu dengan saudara-saudara yang masih tinggal di pusat dan tidak keluar untuk hidup terpisah
dari perguruan mereka. Di luar ke enam perguruan besar yang ada, Shaolin, Wudang, Hoasan, Kunlun, Kongtong dan Emei,
mungkin hanya Kaypang yang bisa disejajarkan.
Tapi Kaypang, sesuai dengan namanya, mengkhususkan diri sebagai organisasi yang melindungi dan beranggotakan para
pengemis. Dengan demikian, Partai Pedang Keadilan yang didirikan oleh Ding Tao, mendapatkan banyak sorotan dan
menjadi tempat pengharapan bagi mereka yang tidak berasal dari enam perguruan besar tersebut.
Memang masih ada beberapa keluarga terkemuka seperti Keluarga Tong yang ahli senjata beracun dan Keluarga Deng yang
ahli bahan peledak. Kekuatan mereka bolehlah disejajarkan dengan Partai Pengemis yang sedang menurun perbawanya.
Namun mereka adalah organisasi berdasarkan darah keturunan, orang luar tentu saja tidak bisa berharap banyak untuk
bergabung dalam kedudukan yang sederajat dengan anggota keluarga tersebut.
Setelah mendengar berdirinya Partai Pedang Keadilan, maka kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki sandaran inipun
mulai berdatangan untuk menggabungkan diri.
Dengan latar belakang demikian, maka dengan sendirinya tidak sedikit dari mereka yang justru lebih merupakan beban
daripada dukungan. Namun di antara mereka ada pula, tokoh-tokoh seperti Sun Liang dari keluarga Sun di Luo Yang, yang
nilainya bisa berpuluh kali lipat dibanding bergabungnya kelompok-kelompok yang bergabung hanya untuk mencari aman.
Meskipun setiap mereka yang datang, tidak datang dengan tangan kosong. Tapi menguntungkan atau tidak, yang pasti
membengkaknya jumlah mereka secara mendadak menimbulkan permasalahan tersendiri.
Di dalam ruangan itu semua pengikut Ding Tao dari sebelum berdirinya Partai Pedang Keadilan sudah berkumpul. Tang
Xiong baru saja melaporkan daftar dari pengikut-pengikut yang baru mengucapkan sumpah setia di hari itu, sekaligus
jumlah permohonan yang masuk namun belum sempat diputuskan apakah akan disetujui atau tidak.
Ding Tao sedang terhenyak bersandar di kursinya dan menggelengkan kepala, "Hmm" kalau terus menerus seperti ini, bisabisa kita tidak akan mengerjakan apa-apa kecuali menghitung jumlah orang yang mendaftar dan jumlah uang yang masuk
ke kas Partai Pedang Keadilan."
Li Yan Mao tertawa dengan senyum ompongnya dan berkata, "Aku tidak melihat ada masalah dengan hal itu."
Gurauan Li Yan Mao disambut tawa kecil dari beberapa orang dan senyum kelelahan dari Ding Tao. Tentu saja mereka
semua mengerti kesulitan yang sedang dihadapi dan gurauan Li Yan Mao tidak lebih hanyalah gurauan belaka.
"Besok pagi, sesuai dengan janji yang mereka berikan, Tetua Xun Siaoma dan Tetua Bai Chungho akan kembali menemui
kita. Sementara di luar perkiraan, jumlah anggota kita membengkak dan kita lebih sibuk mengurusi masuknya anggota baru
daripada mempersiapkan rencana untuk membebaskan tiap-tiap cabang usaha keluarga Huang dari Tiong Fa. Bagaimana
menurut kalian?", ujar Ding Tao sambil melihat ke sekelilingnya.
"Tidak ada yang perlu dikuatirkan, tentang rencana itu, kita tidak perlu memperhitungkan tambahan tenaga yang masuk
beberapa hari terakhir, dengan demikian perhitungannya akan jadi lebih mudah. Di pihak lain, kita juga akan memiliki
cadangan tenaga setelah pertempuran terjadi.", ujar Chou Liang.
"Apakah nantinya para Tetua tersebut tidak menganggap kita bermain dengan licik, mengajukan pihak mereka sebagai
tumbal sementara kita menikmati hasilnya?", tanya Tang Xiong dengan ragu-ragu.
"Tidak, mereka tentunya juga mengerti, anggota yang baru masuk tidak mungkin bisa dipercaya dengan segera. Lagi pula
menunggu memastikan kesetiaan mereka semua, akan memperlambat rencana. Justru kesibukan saat ini bisa jadi selubung
yang tepat terhadap gerakan yang akan kita lakukan. Tiong Fa berpikir kita sedang sibuk menata di dalam, padahal kita
sudah siap untuk mengetuk pintu rumahnya.", jawab Chou Liang dengan cepat.
"Hmm" yang kukuatirkan justru tawaran tersebut, apakah tidak mengandung udang di balik batu?", ujar Ma Songquan
dengan kening berkerut. "Soal itu sudah jelas mereka melakukannya bukan tanpa menghitung keuntungan untuk diri sendiri tapi yang lebih penting, tawaran mereka menguntungkan kedudukan kita.", jawab Chou Liang.
"Hmm" aku kurang mapan dengan pemikiran seperti itu, seakan-akan setiap orang yang kita temui menyimpan rahasia di
balik perkataannya. Mengapa tidak berprasangka baik saja" Bukankah tidak ada permintaan tertentu yang mengiringi
tawaran mereka tersebut?", ujar Ding Tao dengan muram.
"Hahaha, jika orang mengeluarkan modal tanpa mendapatkan hasil kembali, bagaimana mungkin mereka tumbuh menjadi
besar" Ketua Ding, bukan maksudku mengatakan mereka itu orang baik atau jahat, hanya saja menurutku wajar saja jika
setiap tindakan yang mereka ambil tentu dengan menghitung-hitung keuntungan buat partai mereka sendiri pula. Masa
mereka hendak mengorbankan puluhan nyawa anggotanya demi partai kita?", jawab Chou Liang sambil tertawa.
Muka Ding Tao pun jadi tersipu, namun tidak segera menyangkal dan menyediakan telinganya untuk mendengar.
"Ketua Ding, pandangan Ketua baik adanya dan aku setuju bahwa cara pandang Ketua Ding atas tawaran mereka adalah
jalan yang terbaik dalam menanggapi tawaran tersebut. Dengan demikian, sedikit banyak persahabatan akan terjalin lebih
kuat. Namun terlalu naif jika kita menganggap bahwa mereka pun tidak menarik keuntungan dari serangan ini.", ujar Chou
Liang dengan lebih sabar, melihat Ding Tao tersipu malu.
"Partai Hoasan mengalami kemunduran besar dengan matinya Pan Jun, meskipun dari jajaran golongan tua masih ada
orang-orang seperti Tetua Xun Siaoma, namun telah terjadi lubang dalam perpindahan generasi. Keadaan yang hampir
sama ada pada kelompok partai pengemis, setelah Tetua Bai Chungho, tidak ada pengganti yang sebesar dirinya."
"Dengan mengikat persahabatan dengan Partai Pedang Keadilan yang memiliki generasi-generasi muda berbakat yang
berpotensi untuk menjadi besar di masa mereka justru semakin surut. Kedua tetua itu dengan tidak langsung berusaha
memastikan kelangsungan hidup dari partainya. Pada masa mereka meninggal nanti, jika ada masalah dalam partai mereka
atau ada bahaya mengancam. Partai Pedang Keadilan yang di masa kelahirannya mendapatkan bantuan dari mereka, tentu
terikat oleh persahabatan dan juga kepantasan untuk ikut turun tangan dan menyelamatkan mereka dari ancaman yang
ada.", ujar Chou Liang menjelaskan.
Ding Tao menghela nafas, "Tentu saja hal itu wajar dilakukan, saling menolong, saling membantu. Jika mereka
mengorbankan puluhan nyawa untuk kita, tentu kita akan melakukan pula yang sebaliknya bagi mereka, bahkan lebih lagi.
Di antara sahabat, masa masih ada perhitungan untung dan rugi?"
"Ya, justru melihat sifat dari Ketua Ding Tao maka mereka berani menawarkan hal tersebut. Justru melihat dari potensi
yang ada, maka barulah mereka berani membayar harga dari persahabatan itu.", ujar Chou Liang sambil tersenyum lembut.
"Hmm hmm" jika hanya masalah seperti itu, tentunya tidak perlu dipikirkan lebih jauh. Tapi bagaimana masalah Pedang
Angin Berbisik" Tidak pernah ada pembicaraan mengenai pedang itu, pedang hanya satu, tapi ada tiga pihak yang bekerja
sama untuk mendapatkannya. Jika sudah demikian, lalu siapa yang berhak memiliki pedang itu, seandainya kita berhasil
merebutnya?", tanya Ma Songquan mengungkapkan kekuatirannya.
Ding Tao menghela nafas dan kemudian menjawab, "Pedang Angin Berbisik memang sempat jatuh ke tanganku, namun
pada hakekatnya bukanlah milikku. Aku tidak membuatnya, aku bukan pula orang yang diberi oleh pembuatnya. Jika Tetua
Xun Siaoma atau Tetua Bai Chungho menghendakinya, aku tidak akan berusaha untuk menentang keinginan mereka itu."
Membicarakan pedang pusaka bagi orang persilatan tentu memiliki artinya sendiri. Bukan tanpa alasan jika mereka rela
menyabung nyawa demi mendapatkan pedang pusaka. Sebilah pedang pusaka bisa menutupi kekurangan seseorang dalam
hal tenaga dan kecepatan. Di tangan seorang ahli pedang seperti Ding Tao, sebilah pedang pusaka tidak ubahnya senjata
titipan dewa, yang jika diibaratkan oleh seorang pendongeng, layaknya senjata yang mampu membelah gunung dan
mengeringkan air laut. Oleh karena itu, mereka yang medengarnya ikut mengerutkan alis tanda tidak setuju. Justru Chou Liang yang tertawa
sambil memuji Ding Tao, "Keputusan yang baik, keputusan yang baik. Satu benda berharga tentu menjadi berharga karena
memiliki kelebihan, tapi terlalu memandang tinggi nilai suatu barnag hingga melupakan keseluruhan gambar justru menjadi awal dari kehancuran."
"Di jaman tiga kerajaan, kuda mana yang bisa menyaingin kuda berjuluk kelinci merah milik Jendral Lu Bu" Namun demi
mendapatkan kesetiaan Lu Bu, tanpa ragu-rau Dong Zhuo menghadiahkan kuda yang berharga tersebut. Demikian juga
dengan kecantikan Diao Chan, siapa pula yang meragukannya, namun karena Dong Zhuo tidak rela memberikan Diao Chan
pada Lu Bu, jatuhlah buah kepalanya oleh pedang Lu Bu."
"Pedang Angin Berbisik, boleh jadi merupakan sebilah pedang pusaka tanpa tanding, namun nyata mereka yang pernah
memilikinya dan berusaha mempertahankannya dengan taruhan nyawa, toh akhirnya berakhir seperti Dong Zhuo.
Melepaskan apa yang tidak perlu, memiliki pandangan yang jernih terhadap apa yang perlu, adalah kualitas yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin.", ujar Chou Liang menutup uraiannya.
Mendengar uraian Chou Liang, rasa penasaran mereka yang tadinya tidak rela Ding Tao menyerahkan Pedang Angin
Berbisik pada orang lain jadi jauh berkurang. Hanya Ma Songquan yang masih mendengus dengan kesal. Sebaliknya Ding
Tao justru berpikir dua kali tentang keputusannya, apakah dirinya menimbang untung dan rugi seperti yang dikatakan Chou Liang" Dengan mendesah sedih pemuda itu memutuskan bahwa yang paling penting bukanlah untung dan rugi, tapi
integritas dirinya sebagai laki-laki. Jika dia kehilangan itu maka seluruh harta dan kekuasaan yang dia dapatkan tidak ada artinya lagi.
"Sudahlah, yang penting kita semua bisa menilai, uluran persahabatan Hoasan dan Kaypang, tidak perlu dicurigai, kalaupun mereka memiliki agendanya sendiri, toh kita tetap diuntungkan oleh kerja sama ini.", ujar Ding Tao.
"Hmm" bagaimana kalau orang-orang Hoasan sebenarnya masih mendendam dan mereka ingin menjebak kita dalam
skema penyerangan tersebut" Tiba-tiba berbalik menyerang kita di saat kita mengira bahwa mereka adalah sekutu kita?",
tanya Qin Bai Yu yang sedari tadi diam saja mendengarkan.
"Ah..apakah mungkin mereka melakukan hal seperti itu?" Janganlah berpikir terlalu jauh.", tegur Ding Tao pada Qin Baiyu.
"Ya, aku pun berpikir demikian, lebih banyak keuntungannya buat Partai Hoasan jika mereka menjalin persahabatan dengan
kita, dibanding jika mereka menjadikan kita lawan. Namun kemungkinan itu tidak boleh dihapuskan begitu saja.", ujar Chou Liang menimpali.
"Maksud Kakak Chou bagaimana?", tanay Ding Tao yang diikuti dengan cermat oleh Qin Baiyu dan beberapa orang yang
masih ragu akan ketulusan Partai Hoasan.
"Kita harus mengatur penempatan masing-masing orang, agar dalam penyerangan nanti, seandainya pun terjadi hal yang
sedemikian, orang-orang inti dari Partai Pedang Keadilan tidak sampai jatuh menjadi korban.", jawab Chou Liang yang
nampaknya sudah memikirkan masalah ini.
"Coba jelaskan?", ujar Ding Tao sambil mengerutkan alis, dalam hatinya tentu saja pemuda ini kurang menyukai kecurigaan yang harus timbul antara partai mereka dengan partai Hoasan dan Kaypang.
Di lain pihak Ding Tao tidak mau menutup mata pula terhadap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dan resiko yang
ditimbulkan bagi para pengikutnya. Mau tidak mau Ding Tao pun harus bersikap "egois", bukan karena dia serakah, tapi
karena sebagai seorang pemimpin dia merasa bertanggung jawab pula atas kelangsungan hidup mereka yang ada di bawah
pimpinannya. Chou Liang yang sudah memikirkan semuanya, mulai menjelaskan secara terperinci dasar pemikirannya.
"Dari 5 anak cabang milik keluarga Huang di luar kota Wuling, 1 sudah kita kuasai dan 4 yang masih berada dalam
penguasaan Tiong Fa. Agar Tiong Fa tidak sempat melarikan diri, maka serangan dilaksanakan secara serempak pada ke-4
cabang yang tersisa."
"Hal ini tidak mungkin dilakukan sebelumnya, karena kita tidak memiliki kekuatan untuk membagi kelompok kita menjadi
enam bagian, dua kelompok menjaga Wuling dan Jiang Ling, dan empat lainnya untuk menyerbu dan menguasai 4 cabang
yang tersisa." "Tapi dengan adanya tawaran bantuan dari pihak Hoasan dan Kaypang, ditambah lagi, lonjakan anggota baru yaang
diterima oleh partai kita, hal ini menjadi mungkin. Tapi bagaimana jika ada pengkhianatan dari pihak Hoasan dan Kaypang.
Hal ini kecil sekali kemungkinannya, tapi tidak boleh diabaikan begitu saja. Karena itu usulanku adalah, biarlah anggota inti dari Partai Pedang Keadilan terkumpul menjadi satu atau dua kelompok, di mana kekuatan Hoasan dan Kaypang pada dua
kelompok tersebut, berada di bawah kekuatan kita."
"Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan, boleh saja wilayah kita lepas, namun orang-orangnya masih boleh bertahan
hidup dan melanjutkan perjuangan di lain tempat. Untuk itu perlu juga kita buat semacam markas rahasia, tempat anggotaanggota inti kita bisa melarikan diri."
"Hal ini bukan saja untuk keperluan rencana penyerangan Tiong Fa beberapa waktu ke depan, tapi juga untuk persiapan
jangka panjang. DI mana setiap anggota inti selalu tahu, "rumah aman" tempat mereka bisa menyembunyikan diri untuk
sementara waktu." , ujar Chou Liang menjelaskan.
Ding Tao memikirkan penjelasan Chou Liang dan menganggukkan kepala perlahan-lahan.
"Jadi bisa Ketua Ding lihat, kita tidak perlu mengorbankan anak murid Hoasan dan Kaypang sebagai tameng hidup
sementara kita hanya berdiri untuk mengumpulkan hasil. Hanya saja, langkah-langkah penyelamatan diri yang dirahasiakan
dari umum, perlu kita miliki. Dan aku yakin, partai-partai seperti Hoasan dan Kaypang pun tentu memiliki prosedur seperti ini.", ucap Chou Liang meyakinkan Ding Tao.
"Hmm" aku mengerti, hal ini berkaitan pula dengan kerahasiaan akan keterlibatan Guru Chen Wuxi, Saudara Fu Tong dan
Paman Song Luo, yang sudah pernah kita bahas beberapa waktu yang lalu.", ucap Ding Tao.
"Benar", jawab Chou Liang.
"Ketua Ding Tao, apakah maksud ketua, aku bertugas untuk menyiapkan "rumah aman" seluruh anggota inti Partai Pedang
Keadilan?", tanya Song Luo.
"Benar Paman Song, selain menyediakan rumah aman, Paman Song Luo, Guru Chen Wuxi dan Saudara Fu Tong akan
bekerja sama dengan Saudara Chou Liang untuk membentuk jaringan informan yang bertugas mengumpulkan berita bagi
Partai Pedang Keadilan. Mereka yang bekerja untuk paman sekalian, tidak perlu tahu bahwa mereka bekerja untuk Partai
Pedang Keadilan.", ujar Ding Tao.
"Apakah di situ letak perbedaan antara anggota inti dengan yang bukan?", tanya Chen Wuxi setelah mendengar penjelasan
tersebut. "Benar, dengan sendirinya Partai Pedang Keadilan akan terbagi menjadi dua, yang terlihat dan yang tak terlihat, keduanya saling bekerja sama tanpa pihak yang satu mengenal pihak yang lain. Anggota inti, yaitu mereka yang dedikasinya sudah
teruji dan dipercaya akan menjadi otak yang menghubungkan kedua bagian tersebut. Di dalam bagian-bagian tersebut,
masih akan ada pengembangannya sendiri. Tiap-tiap anggota inti akan dipercaya secara berkelompok atau sendirian, untuk
mengembangkan bagian-bagian tersebut. Tujuan utamanya adalah, memastikan bahwa kebocoran atau bahkan kehancuran
di satu bagian, tidak akan menghancurkan partai secara keseluruhan. Dengan demikian, akan selalu ada kesempatan bagi
anggota inti yang bertahan melewati ancaman tersebut, untuk melanjutkan lagi cita-cita dari partai yang dibentuk ini.", ujar Chou Liang, menjelaskan gambaran besar dari partai yang sedang mereka bangun.
"Siapa saja yang menjadi anggota inti?", tanya Fu Tong.
"Untuk awalnya, yang menjadi anggota inti adalah mereka yang sudah bersatu kata dan hati sebelum partai ini secara resmi didirikan. Hal ini untuk mengantisipasi luapan anggota baru seperti yang kita saksikan terjadi selama beberapa hari ini.", jawab Chou Liang.
"Untuk selanjutnya, melalui proses waktu, apabila terjadi kata sepakat oleh seluruh anggota inti, maka kita akan
mengangkat orang-orang tertentu untuk masuk dalam lingkaran terdalam ini.", ujar Ding Tao melanjutkan.
"Ada berapa kelompok di dalam Partai Pedang Keadilan sendiri dan siapa-siapa yang dipercaya untuk mengurusnya?", tanya
Guru Chen Wuxi. "Ada kelompok, yang pertama Kelompok Mata Langit, tugas mereka menjadi mata dan telinga bagi Partai Pedang Keadilan,
mengumpulkan informasi dan berita yang tersebar di luaran. Kelompok ini dibagi lagi menjadi Langit siang dan Langit
malam. Langit siang adalah yang bekerja sebagai bagian dari Partai Pedang Keadilan dan Langit Malam yang bekerja di luar naungan Partai Pedang Keadilan."
"Untuk Kelompok Mata Langit Siang akan dibentuk oleh saudara Tang Xiong. Sedangkan langit malam pembentukannya
akan diserahkan pada Paman Song Luo."
"Kelompok kedua adalah Kelompok Pedang Keadilan, penegak hukum rumah tangga, dikepalai dan dibentuk oleh Saudara
Ma Songquan beserta isteri. Penyelidikan dan hukuman atas anggota partai yang dicurigai melakukan pelanggaran atas
peraturan partai akan dilakukan oleh mereka berdua dan anggota kelompok bentukan mereka."
"Kelompok ketiga adalah Kelompok Pedang dan Perisai, selain bertugas sebagai pelindung Partai juga berperan dalam
kegiatan penyerangan seperti yang akan kita lakukan beberapa hari lagi. Di dalam kelompok inipun akan terdapat dua
bagian, bagian terang dan gelap. Bagian terang, dikepalai dan dibentuk oleh Saudara Li Yan Mao dan Saudara Wang Xiaho.
Dan yang gelap, dikepalai dan dibentuk oleh Guru Chen Wuxi serta Saudara Fu Tong."
"Kelompok keempat adalah Kelompok Padi dan Emas, dari namanya saja sudah jelas, mereka akan berkaitan dengan
jalannya roda usaha yang memberikan kelangsungan hidup bagi seluruh anggota partai. Kelompok ini dipercayakan pada
Tabib Shao Yong, Saudara Qin Hun dan puteranya Qin Baiyu."
"Selain kelompok-kelompok tersebut, aku dan Pendeta Liu Chuncao akan berfungsi sebagai utusan dari Partai Pedang
Keadilan, kami akan bekerja sama dalam berhubungan dengan pihak-pihak di luar Partai Pedang Keadilan.", demikian
penjelasan panjang dari Chou Liang, menuturkan garis besar yang sudah mereka rancang sebelum mereka menginjakkan
kaki di kota Jiang Ling. Song Luo tampak tertegun, kemudian dengan suara terbata-bata dia bertanya, "Pengalamanku tidakalh banyak dalam halhal yang sedemikian, apakah tugas yang diberikan tidak melampaui kemampuan orang tua seperti diriku?"
Chou Liang tersenyum dan menjawab, "Paman tidak perlu kuatir, apa saja ketika baru dimulai tentu terlihat sukar. Namun
paman sudah pernah mengerjakan hal yang serupa meskipun dalam ruang lingkup yang lebih sempit. Penugasan inipun
bukan berarti tiap-tiap orang akan bekerja sendiri tanpa bantuan dari yang lain. Setiap kali ada waktu, tentu kita akan berkumpul bersama seperti saat ini dan dari pertemuan ini tiap kesulitan bisa dibicarakan dan bila perlu bantuan akan
diberikan. Jauh lebih penting daripada kemampuan adalah kepercayaan dan Ketua Ding memilih Paman Song Luo karena
dia percaya pada paman."
"Lagipula, meskipun dibedakan menjadi beberapa kelompok, sebenarnya kita tetap satu tujuan. Seperti pada awal sempat
dikatakan Paman Song Luo, Saudara Fu Tong dan Guru Chen Wuxi akan bekerja sama untuk membangun jaringan informan
bagi Partai Pedang Keadilan. Pengelompokan bukan berarti kita tidak saling membantu dalam pelaksanaannya, hanya untuk
memperjelas, pada situasi tertentu kata-kata siapa yang harus menjadi prioritas.", lanjut Chou Liang yang berusaha
membesarkan hati Song Luo.
Sambil menyeka keringat dingin yang tiba-tiba muncul Song Luo pun berkata, "Wah, kalau begitu, sepertinya di kesempatan ini aku harus mengatakan bahwa aku tidak tahu harus memulai dari mana."
Chou Liang tertawa ramah dan menepuk bahu orang tua itu, "Jangan kuatir, aku sendiri ingin ikut campur dalam menata
bagian yang cukup penting ini. Jika paman tidak keberatan tentu aku akan membantu paman."
"Hmph" pekerjaan begitu besar, bukan hanya Paman Song, aku pun membutuhkan bantuan.", ujar Tang Xiong
menggerutu. "Hah" tugasmu jauh lebih ringan, karena kau bisa melakukannya atas nama partai, dengan kata lain, kau bisa mencari
anggota dari mereka yang sudah termasuk anggota partai. Kalau untuk itu, cukup aku saja membantu dirimu", ujar Liu
Chun Cao sambil menggoda Tang Xiong yang memonyongkan bibir mendengar gurauan Liu Chun Cao.
"Baiklah, kalau begitu diputuskan saja, Chou Liang akan membantu Paman Song Luo sementara Pendeta Liu Chun Cao
membantu Saudara Tang Xiong", ujar Ding Tao dengan senyum lebar.
"Tentang rumah aman yang kita bicarakan tadi, menjadi bagian siapakah untuk membangun rumah aman tersebut?", tanya
Qin Baiyu. "Rumah aman yang penting akan menjadi tugas mereka yang bergerak di luar partai untuk menyiapkannya. Karena
keberadaan rumah-rumah ini harus terjaga rahasianya, bahkan dari mereka yang menjadi anggota Partai Pedang Keadilan.
Namun dalam operasionalnya, ada pula rumah aman-rumah aman lain, yang keberadaannya diketahui secara lebih umum
oleh seluruh anggota. Untuk rumah aman jenis ini, kita yang berada di dalam partai akan ikut menyiapkannya.", jawab
Chou Liang diikuti anggukan kepala oleh Qin Baiyu dan Qin Hun.
Dua orang ayah beranak itu sudah dapat membayangkan, bahwa pembangunan rumah aman itu tentu akan berkaitan pula
dengan bagian mereka sebagai "bendahara dan penjaga lumbung" dari Partai Pedang Keadilan.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah hingga larut malam, mereka membahas rincian dari struktur partai yang baru dibentuk itu. Bagian selanjutnya yang mereka bahas adalah peraturan partai, anggota-anggota baru yang mereka pandang berpotensi untuk ditarik menjadi
anggota inti dan banyak hal lainnya lagi.
Ketika keesokan paginya Tetua Xun Siaoma dan Tetua Bai Chungho secara diam-diam menemui mereka untuk kedua
kalinya, sebuah rancangan yang lebih jelas sudah ada pada Ding Tao. Disertai Chou Liang dan Liu Chun Cao yang bertindak sebagai penasihat Ding Tao dalam pertemuan tersebut, mereka membahas secara terperinci rencana penyerangan atas
Tiong Fa dan organisasi bentukannya. Pembicaraan mereka berlangsung dengan singkat, masing-masing pihak tidak
menghitung untung dan rugi, tapi satu kata dalam usaha untuk mencapai tujuan yang sama.
Karena orang-orang Partai Hoasan dan Kaypang sudah siap beberapa hari sebelumnya, maka segera setelah rencana
menjadi matang, pelaksanaannya pun berlangsung dengan cepat.
Operasi penyerangan balasan atas kejadian serangan di kota Wuling ini, berlangsung tidak kalah hebatnya dengan kejadian di kota Wuling sendiri. Dalam waktu semalaman, markas tempat berkumpulnya anak buah Tiong Fa di bekas-bekas cabang
usaha keluarga Huang, di empat kota berbeda, mendapatkan serangan secara serentak. Mereka memang tidak tahu, di
cabang manakah Tiong Fa bersembunyi, tapi secara mendadak mereka menyerang ke empat tempat itu.Hingga tidak ada
tempat lain bagi Tiong Fa untuk lari bersembunyi. Meskipun Tiong Fa sempat lolos dari serbuan, seperti yang terjadi di kota Jiang Ling, namun kali ini jaringan luas mata-mata miliki Kaypang ikut pula mengawasi seluruh penjuru kota.
Pengikut-pengikut Tiong Fa bisa dikatakan, hampir-hampir tidak memiliki kesempatan untuk melawan. Seperti pada
kejadian di kota Jiang Ling, mereka yang mengikuti Tiong Fa karena terpaksa tidak ikut turun tangan untuk membantu
Tiong Fa. Bahkan sebagian besar dengan cepat menyatu bersama dengan penyerang yang menghajar orang-orang bayaran
Tiong Fa. Berita kemenangan Ding Tao atas orang bertopeng yang menjadi sandaran Tiong Fa, sedikit banyak berpengaruh
pada kekuasaan Tiong Fa atas diri mereka.
Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa bersama dengan Ding Tao adalah orang-orang dari Partai Hoasan dan Kaypang.
Dari empat kelompok penyerang, masing-masing dipimpin oleh pentolan kelas atas, yaitu Tetua Xun Siaoma, Bai Chungho,
Ding Tao sendiri dan Ma Songquan beserta isteri.
Seluruh pengikut inti dari Partai Pedang Keadilan mengikut di bawah pimpinan Ding Tao. Pengikut-pengikut Partai Pedang
Keadilan yang lain, sebagian besar berangkat di bawah pimpinan Ma Songquan. Sisanya terbagi secara merata, tergabung
bersama kelompok di bawah pimpinan Bai Chungho dan Xun Siaoma. Sementara pengikut dari Hoasan dan Kaypang
menyebar secara merata di empat kelompok tersebut. Ditambah sejumlah besar anggota terendah dari Kaypang, yang
bekerja sebagai mata dan telinga mereka tanpa ikut terjun langsung dalam penyerbuan.
Begitu cepat dan rapi kerja mereka, dalam waktu sehari semalam, seluruh usaha Tiong Fa dilibas habis tanpa sisa.
Orangnya pun akhirnya tertangkap oleh Bai Chungho dan sekarang dalam keadaan tertutuk, menjadi pesakitan yang
diinterogasi dan diadili di hadapan ketiga pemimpin dari gerakan tersebut.
Xun Siaoma, Bai Chungho dan Ding Tao.
Tapi Tiong Fa memang tidak malu mendapatkan nama yang disegani lawan di dunia persilatan. Di hadapan tiga orang tokoh
itu dia masih bisa menjaga ketenangannya. Jika ketenangan Xun Siaoma bersandar pada pencapaiannya dalam menguasai
perasaan, ketenangan Tiong Fa asalnya dari kemampuannya menguasai ekspresi wajah dan tubuhnya. Dalam hati tokoh
satu ini merasakan kepahitan yang luar biasa, kebencian dan kemarahan, tapi juga sekaligus ketakutan dan kekuatiran akan nasibnya.
Di luaran, sikapnya tidak berubah, masih sama seperti saat dia membujuk Ding Tao untuk menyerahkan Pedang Angin
Berbisik. Sama tenangnya seperti saat dia berhadapan dengan Ketua Partai Kongtong, Zong Weixia. Padahal di dalam
hatinya dia ketakutan setengah mati, karena di depannya ada Xun Siaoma dan Bai Chungho.
Ding Tao tidak masuk hitungan dalam benaknya, karena setinggi apapun kedudukan Ding Tao dan setinggi apapun
kepandaiannya, bagi Tiong Fa Ding Tao masihlah Ding Tao, tukang kebun keluarga Huang.
"Anjing kecil, aku ingin bertanya dan aku menginginkan jawaban yang jujur keluar daari mulutmu. Seberapa banyak yang
aku sudah ketahui dan seberapa banyak yang belum kuketahui, jangan harap kau bisa mengetahuinya. Karena itu jangan
berpikir untuk berbohong. Jika sampai kau salah pilih waktu untuk berbohong dan aku mengetahuinya. Aku tidak akan
berpikir dua kali untuk melenyapkanmu, karena keterangan dari orang yang berani membohongiku, sama sekali tidak ada
harganya bagiku.", kata Bai Chungho dengan dingin.
Jika wajah Xun Siaoma tidak berubah juga, baik saat bertemu pertama kali dengan Ding Tao dalam suasana perayaan,
maupun sekarang saat duduk bersama sebagai pengadil dan penyidik atas Tiong Fa. Wajah Bai Chungho yang seperti
musim semi saat berkunjung pada perayaan pendirian Partai Pedang Keadilan, sekarang berubah seperti musim dingin
dengan badai salju yang menunggu di ujung cakrawala.
"Tetua sekalian silahkan bertanya, tentu anjing kecil ini akan menjawab sejujur-jujurnya. Tapi jangan salahkan anjing kecil jika dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang Tetua ajukan, karena anjing kecil tentunya tidak mengetahui semua
urusan anjing besar.", jawab Tiong Fa sambil menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya.
Sepercik kemarahan terlontar dari pandang mata Ding Tao, setumpuk kemarahan dan kebencian menggelegak dalam
hatinya, beruntung bagi Tiong Fa pemuda ini pandai mengendalikan diri. Jika tidak tentu sudah sejak beberapa hari yang
lalu nyawanya melayang, saat orang-orang kepercayaan Bai Chungho menyeretnya sebagai tawanan, ke hadapan Ding Tao.
Bai Chungho hanya mendengus dingin, sementara Xun Siaoma tanpa membayang perasaan memandangi setiap gerak gerik
Tiong Fa. Bai Chungho pun memulai interogasi mereka, "Anjing kecil, benarkah dirimu terlibat dalam penyerangan yang menewaskan
hampir seluruh anggota keluarga Huang yang berada di Wuling?"
"Benar Tetua Bai, tentang hal itu anjing kecil ini tidak menyangkal keterlibatannya."
"Siapakah yang memerintahkan penyerangan itu" Siapa yang menjadi dalang di balik penyerangan itu" Dan apa tujuan
sebenarnya dari serangan itu" Apakah semata-mata hanya untuk menguasai usaha dagang keluarga Huang?", tanya Bai
Chungho lebih lanjut. "Siapa yang memerintahkan dan siapa yang menjadi dalang di balik penyerangan itu, sejujurnya anjing kecil ini tidak cukup penting untuk mengetahuinya. Demikian juga mengenai tujuan utama dari penyerangan itu, yang jelas pada malam itu
Pedang Angin Berbisik direbut dari tangan keluarga Huang, demikian juga beberapa hari setelah serangan itu, dimulailah
gerakan untuk menguasai cabang-cabang usaha keluarga Huang yang seperti anak ayam kehilangan induknya.", jawab
Tiong Fa dengan lancar. "Hmmm" kau bliang tidak tahu siapa yang memerintahkan, lalu keikut sertaanmu dalam penyerangan itu, siapa pula yang
menarikmu untuk ikut di dalamnya?", tanya Bai Chungho pada Tiong Fa.
Hingga saat ini, yang lain memilih diam, tampaknya Bai Chungho berperan sebagai interogator. Meskipun di ruangan itu ada Xun Siaoma dan Ding Tao, ada pula pengikut-pengikut Kaypang, Hoasan dan juga pengikut Ding Tao yang berotak cerdik
seperti Chou Liang. Sampai saat ini mereka semua lebih memilih diam dan mendengarkan. Jika sebelumnya Tiong Fa
menjawab dengan lancar dan tanpa ragu, kali ini dia tidak langsung menjawab. Jelas tampak keraguan membayang di
wajahnya. Perhatian tiap orang yang ada di ruangan itupun jadi meningkat.
"Hmmm kenapa diam" Cepat jawab!", gertak Bai Chungho yang melihat kesangsian Tiong Fa.
Perlahan-lahan Tiong Fa pun membuka mulutnya, "Zong" Wei"xia?"
Tiga patah kata dia ucapkan, sebuah nama dia beritahukan dan hampir segenap isi ruangan terkesiap menahan nafas. Tentu
saja ada beberapa orang yang menanggapi kejutan itu dengan dingin. Salah satu di antara orang-orang tersebut adalah Xun Siaoma, kenapa harus kaget" Jika Ketua dari Hoasan bisa terjerat, mengapa harus kaget ketika mengetahui bahwa Ketua
dari Prtai Kongtong pun ternyata ikut terlibat di dalamnya. Apalagi Partai Kongtong saat ini dikenal dengan sifatnya yang lurus tidak, sesatpun tidak.
"Zong Weixia, apakah yang kau maksudkan adalah Zong Weixia Ketua dari Partai Kongtong?", tanya Bai Chungho
menegaskan. "Benar?", setelah memberikan jawaban itu tampaknya Tiong Fa tidak setegang sebelumnya.
Sebelum memberikan jawaban pada Bai Chungho, berbagai pertimbangan sudah berseliweran di benak Tiong Fa.
Bagaimana jika ada orang Zong Weixia yang ikut pula memasang telinga pada pemeriksaan dirinya tersebut" Bukankah
sama artinya dia sedang mencari kematian dengan menyebutkan nama tokoh berkepandaian tinggi itu di depan Xun
Siaoma, Bai Chungho dan Ding Tao" Tapi jika dia membohong, maka ancaman Bai Chungho sebelumnya bukan pula
ancaman kosong, siapa orangnya yang belum tahu akan kehebatan jaringan mata-mata milik Kaypang" Kekuatan Kaypang
boleh saja menurun, namun jaringan mata-mata mereka tetap tanpa tandingan.
Ketika akhirnya Tiong Fa memutuskan untuk menjawab dengan jujur, hal itu dia lakukan karena pertimbangan yang sama.
Zong Weixia boleh jadi berkepandaian tinggi dan licin. Namun tiga orang di hadapannya, atau setidaknya dua orang di
hadapannya itu boleh dibilang tokoh yang kenyang makan asam garamnya dunia persilatan. Selicin-licinnya Zong Weixia,
tidak bakal dia berani bermain api dengan dua orang tetua tersebut.
Berita tertangkapnya dirinya, sudah tentu terdengar oleh Zong Weixia dan Zong Weixia hanya akan bisa menebak-nebak,
apa yang terjadi dan apa saja yang diungkapkan oleh Tiong Fa. Meskipun Tiong Fa menutup mulut, menahan siksaan, tidak
nanti Zong Weixia dengan mudah melepaskan dirinya. Karena itu Tiong Fa memutuskan, daripada memusingkan Zong
Weixia, lebih baik dia memikirkan terlebih dahulu, bagaimana dia bisa lolos dari tiga orang lawan yang ada di depan mata.
"Dalam penyerangan itu, selain Zong Weixia ada beberapa tokoh lain yang kepandaiannya boleh dikata nomor satu dalam
dunia persilatan. Apakah kau tahu siapa saja mereka itu?", tanya Bai Chungho.
"Hehee" selain Ketua Zong Weixia, yang lain selalu mengenakan topeng saat berurusan dengan anjing kecil ini. Meskipun
demikian ada satu tokoh lain yang anjing kecil ini berhasil tahu identitas sesungguhnya.", jawab Tiong Fa sambil
menyunggingkan senyum mengejek.
Xun Siaoma menyahut dengan suara dingin, "Apakah orang yang kaumaksudkan itu sudah mati?"
"Kebetulan sekali memang demikian adanya.", jawab Tiong Fa dengan ringan sambil menatap Xun Siaoma.
"Hmmm" tidak usah kausebutkan namanya, kami tidak tertarik dengan orang yang sudah mati.", dengus Xun Siaoma
dengan dingin, wajahnya yang tanpa ekspresi untuk beberapa waktu kehilangan ketenangannya.
"Tiong Fa! Jaga mulutmu! Jika kau masih hidup sampai saat ini, itulah karena kemurahan kedua Tetua.", hardik Ding Tao
dengan geram. "Ah" Ketua Ding Tao yang terhornat, sungguh menakutkan ancamanmu. Baiklah anjing kecil akan berhati-hati dengan
lidahnya.", ujar Tiong Fa sambil membungkuk dalam-dalam ke arah Ding Tao.
"Keparat..!", geram Ding Tao sambil menahan kemarahannya.
Bai Chungho pun sudah mulai hilang kesabaran, dengan suara yang lebih keras dia bertanya, "Kau mengatakan bahwa
malam itu Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan kalian. Sekarang aku ingin tanya, jika benar demikian, di mana sekarang pedang itu berada?"
Tiong Fa menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Lagi-lagi, tentang hal itu, anjing kecil ini tidak tahu apa-apa.
Sepanjang yang kutahu tentu Ketua Zong Weixia atau empat orang tokoh lain yang bertopeng itulah yang memegangnya
saat ini." "Apakah kau tidak memiliki sedikit petunjuk pun untuk mengurai masalah ini?", desak Bai Chungho.
"Sayang sekali tidak, jika anjing kecil ini tahu, tentu akan diberitahukan sekarang juga, demi sedikit jasa untuk ditukarkan dengan nyawa. Namun yang anjing kecil ini tahu hanyalah Ketua Zong Weixia. Hanya dengan dia saja anjing kecil ini
berhubungan dalam segala sesuatu yang ada hubungannya dengan organisasi yang mengatur kami semua.", jawab Tiong
Fa. Bai Chungho terdiam sejenak, mempertimbangkan benar tidaknya, jawaban-jawaban Tiong Fa. Kemudian dengan perlahan
dia berkata. "Kurasa anjing kecil ini berkata jujur, sesungguhnya dia ini hampir-hampir tidak ada harganya untuk dibicarakan. Jika
mereka menggunakan jasanya, itu hanya karena dia merupakan orang dalam keluarga Huang. Seorang berhati khianat
macam dia, tentu tidak akan dipercaya untuk urusan besar. Bagaimana menurutmu?", ujarnya kepada Xun Siaoma.
Xun Siaoma menatap tajam pada Tiong Fa, meskipun di luaran Tiong Fa menyunggingkan senyum kecil, tapi jantungnya
sudah berdebaran keras dan seluruh tubuhnya sebenarnya sudah terasa panas dingin.
"Jika hendak menelusuri, maka kuncinya ada pada Zong Weixia. Anjing kecil ini sudah tidak berharga, mau dibunuh atau
mau dibiarkan hidup, aku tidak ada urusan lagi dengannya."
"Akupun berpendapat demikian. Ketua Ding, tentang nasib kepala anjing kecil ini, biarlah kau yang memutuskan", ujar Bai Chungho sambil berdiri meninggalkan kursinya.
Xun Siaoma mengikuti jejak Bai Chungho, satu per satu pengikut Hoasan dan Kaypang meninggalkan ruangan itu. Hingga
akhirnya tersisa Ding Tao dan para pengikutnya, yang sebagian besar tentu saja adalah bekas-bekas pengikut keluarga
Huang. Dendam mereka sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Tiong Fa. Nasib Tiong Fa tidak sulit untuk diramalkan, namun
mengapa dalam keadaan demikian pun dia masih bisa bersikap tenang" Sandaran apa yang dimiliki oleh Tiong Fa saat ini"
Ding Tao tidak berkata apa-apa, menunggu tidak ada yang tersisa kecuali dirinya dan para pengikutnya, dia pun berdiri,
mencabut pedang dari sarungnya dan menghampiri Tiong Fa. Tertegun, tidak menyangka Ding Tao akan mencabut
nyawanya begitu saja, tanpa bertanya barang sedikitpu. Mulutnya pun dengan segera terbuka, karena jika Ding Tao
mengayunkan pedang sebelum dia sempat berkata apa-apa, betapa sia-sia segala persiapan yang sudah dia buat untuk hari
ini. Tapi sebelum sempat Tiong Fa berkata, Tang Xiong sudah maju terlebih dahulu untuk menahan Ding Tao yang sedang
berjalan mendekati Tiong Fa, "Ketua Ding, jangan kau kotorkan pedangmu dengan membunuh pengkhianat ini, biarkanlah
aku yang akan memotong kepalanya."
Li Yan Mao, Qin Baiyu dan Qin Hun, serta beberapa orang bekas pengikut keluarga Huang lain yang kebetulan mengikuti
proses pengadilan itu ikut menganggukkan kepala. Pandang mata jijik dan geram dilontarkan ke arah Tiong Fa, tidak ada
yang bersimpati padanya. Padahal setahun yang lalu, mereka masih memandnag tokoh ini dengan segan dan hormat. Tapi
penghargaan mereka dihancurkan oleh Tiong Fa sendiri dalam semalam.
Ding Tao berhenti dan memandangi Tang Xiong, kemudian dengan suara yang tenang dia menjawab, "Orang itu memang
seorang pengkhianat yang rendah, kemarahanku padanya sama panasnya dengan kemarahan kalian, dendamku padanya
sama dalamnya dengan dendam kalian. Tapi jika Kakak Tang Xiong berkata demikian, seakan pedangku lebih mulia dari
pedangmu, tanganku lebih bersih dari tanganmu, aku tidak bisa menerimanya."
"Aku tidak ingin menjadi pemimpin yang berdiri di kejauhan saat pekerjaan yang kotor harus dilakukan. Menjadi bersih atau berpura-pura bersih dengan berlindung di balik mereka yang dipimpinnya. Justru jika bisa, biarlah aku sendiri yang
menanggung dosa dan kesalahan, hutang darah dan dendam. Sekarang silahkan Kakak Tang Xiong minggir, biar aku
selesaikan kehidupan orang itu sampai di sini, sekarang juga.", ujar Ding Tao sambil dengan lembut mendorong Tang Xiong ke samping.
Tang Xiong dan mereka yang mendengarkan ucapan Ding Tao jadi diam tercenung. Memikirkan kembali apa arti menjadi
seorang pemimpin. Di saat yang sama Tiong Fa tidak sempat merenungkan perkataan Ding Tao, kalaupun dia mendengar
perkataan Ding Tao yang terjadi hanya umpatan dalam hati.
"Bah anjing kecil itu pandai pula bersilat lidah! Tak kusangka lidahnya tidak kalah pandai menjilat pantat orang! Tapi hari ini tak kujual nyawaku untku jadi barang suap untuk orang-orangmu?", geram Tiong Fa dalam hati.
"Ding Tao Tunggu!", serunya membuat langkah Ding Tao terhenti untuk kedua kalinya.
Ding Tao diam tidak berkata apa-apa, menunggu apa yang hendak dikatakan Tiong Fa. Saat dia melihat ada yang hendak
membuka mulut, dengan tidak kentara dia menggeleng perlahan. Melihat Ding Tao tidak mengatakan apa-apa, Tiong Fa
menelan ludah dengan perasaan gemas. Padahal dia berharap, orang di depannya bertanya dan dia bisa memainkan
perasaan penasaran mereka. Meskipun tidak menguntungkan apa-apa, kecuali untuk sedikit menghibur egonya yang
terluka. "Hmm" apa kau tidak bertanya kenapa aku menuruhmu untuk menunggu?", jengeknya dengan senyum sinis.
Namun tidak ada tanggapan apa-apa yang diberikan oleh Ding Tao, matanya saja yang menatap Tiong Fa dengan
pandangan tajam yang seakan siap melumatnya menjadi debu halus.
Tidak adanya tanggapan justru membuat Tiong Fa jadi berdebar ketakutan dalam hatinya. Semakin dia takut, semakin benci
dia pada pemuda di hadapannya itu. Dalam benak Tiong Fa saat ini Ding Tao adalah sumber bencana dan kejatuhan dirinya.
Ketika dia menyadari bahwa pemuda itu membuat dirinya takut, inilah penghinaan terbesar yang pernah dia rasakan,
seorang tukang kebun bau kencur, telah berani menakut-nakuti dirinya.
"Hmph, kuingatkan saja, jangan berani-berani menyentuhku, karena nanti kau akan menyesalinya", ujarnya dengan suara
sedikit bergetar oleh rasa takut.
Terbayang dalam benak Tiong Fa, bagaimana suaranya terdengar oleh mereka yang ada dalam ruangan itu. Kepalanya pun
serasa ingin pecah oleh rasa malu dan kebencian yang tidak tertahankan. Inilah sulitnya jika manusia tidak mau mawas diri, selalu mencari obyek lain di luar dirinya untuk menjadi kambing hitam dari kesalahannya sendiri. Kegagalan dan kepahitan akhirnya tidak pernah jadi obat bagi jiwa mereka. Padahal sekiranya seorang manusia mau bijak dalam menghadapi segala
sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, keduanya mampu
membawa hikmah yang membuat hidup jadi lebih berarti dan pribadi pun jadi lebih mulia.
Alis Ding Tao terangkat, seakan bertanya pada Tiong Fa, hanya itu sajakah yang hendak kau katakan" Kemudian dengan
tenang dia kembali berjalan mendekati tokoh yang terkenal dengan kelicinannya itu.
Menderas keringat dingin membasahi tubuh Tiong Fa, untuk pertama kali dalam hidupnya lidahnya terasa kelu, dan hampirhampir saja dia tidak sempat berteriak untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
"Tahan! Tahan! Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu masih hidup! Dan hanya aku yang tahu tempat mereka disekap!",
serunya dalam ketakutan yang sangat.
Semangatnya terbang merasakan hawa pembunuh yang menguar keluar dari tubuh Ding Tao. Setelah sebelumnya tercekat
oleh ketakutan yang sangat, barulah dengan mengumpulkan segenap semangat Tiong Fa mampu bersuara. Suaranya pun
melengking tinggi dan penuh rasa ketakutan, dan celananya membayang basah oleh kotorannya sendiri, tidak ada lagi
wibawa yang biasa dia tunjukkan. Peristiwa itu tentu akan mengundang tawa terbahak-bahak dari Ding Tao dan
pengikutnya, karena begitu lucu dan tidak nyana bisa terjadi pada tokoh sekelas Tiong Fa.
Tapi apa yang dikatakan Tiong Fa membuat kaget setiap mereka yang ada di sana. Perasaan Ding Tao pada Huang Ying
Ying sudah menjadi rahasia umum bagi para pengikutnya. Bersama dengan pemuda itu, mereka ikut merasakan
kedukaannya. Bersama dengan pemuda itu dan dibayangi oleh rasa kehilangan mereka sendiri, seluruh dendam dan benci
sedang ditujukan pada Tiong Fa. Sehingga ketika Ding Tao terpaku di tempatnya, terkejut dan kehilangan daya pikirnya,
oleh karena mendengar teriakan Tiong Fa, merekapun merasakan keterkejutan yang hampir sama melumpuhkannya.
"Apa" maksudmu?", tanya Ding Tao dengan terbata-bata.
Keringat masih bercucuran di dahi Tiong Fa, jantungnya masih keras berdebaran, seringai muncul di wajahnya yang pucat,
"Ha" ha" ha ha ha" Maksudku, Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu, keduanya tidak ikut terbunuh pada malam itu. Ding
Tao, kau boleh percaya atau tidak, keikut sertaanku dalam penyerangan itu adalah karena terpaksa."
Nafasnya mulai kembali teratur, kepercayaan dirinya kembali muncul, kebanggaannya sebagai orang yang pandai memutar
lidah untuk mendapatkan keinginannya sudah mulai kembali ke tempatnya semula, "Kau tahu, Zong Weixia yang
mendatangiku dan memaksaku untuk ikut serta dalam serangan itu. Zong Weixia yang berilmu jauh lebih tinggi dariku. Dan
jangan kaupikir seisi keluarga Huang adalah orang baik-baik, Tuan besar Huang Jin lah yang mengatur pencurian Pedang
Angin Berbisik dari tanganmu?"
"Diam! Katakan saja dengan singkat, apakah mereka benar masih hidup atau tidak! Tidak ada perlunya kau memburukburukkan nama orang yang sudah meninggal!", bentak Ding Tao dengan marah.
Pucat wajah Tiong Fa mendengar bentakan Ding Tao, "Ah tentu" tentu" seperti yang kukatakan, keikut sertaanku adalah
karena takut oleh ancaman Zong Weixia, tapi aku tahu, aku diikut sertakan, tentu karena mereka ingin menjadikanku
sebagai kambing hitam. Sebagai orang yang dianggap telah berkhianat pada keluarga Huang, padahal apa yang terjadi
sebelumnya hanyalah sandiwara yang diatur oleh.."
"Apa kau masih belum mengerti perkataanku?", tanya Ding Tao dengan dingin.
Keringat dingin kembali bercucuran di dahi Tiong Fa, dia tahu bahwa saat ini kesempatan untuk lepas dari tangan Ding Tao cukup luas, tapi sifat Ding Tao yang keras kepala mengenao hal-hal tertentu, menyulitkan dia untuk menggoyang lidahnya,
"Ya.. ya", pokoknya malam itu aku tidak sepenuhnya mengikuti perintah mereka. Aku tahu kau sangat dekat dengan kedua
bersaudara Huang itu dan kuputuskan untuk menyelamatkan mereka secara diam-diam."
"Di mana mereka sekarang?", tanya Ding Tao.
"Di tempat yang aman dan tersembunyi, jika tidak Zong Weixia tentu sudah membunuh mereka.", jawab Tiong Fa.
"Sekarang kau ada di sini dan aku minta kau katakan di mana mereka berdua berada?", tanya Ding Tao sekali lagi.
"Hanya aku yang tahu dan aku tidak akan memberitahukannya padamu.", jawab Tiong Fa dengan nada suara bergetar.
Inilah pertaruhan Tiong Fa, meskipun dia cukup yakin bahwa dia akan memenangkan pertaruhan ini. Mata Ding Tao
menyipit tajam, tangannya sudah bergetar menahan marah. Setiap mereka yang ada di sama sudah gatal-gatal ingin
melumatkan Tiong Fa. "Jika kalian membunuhku atau menahanku lebih lama lagi di sini, kutanggung mereka berdua akan mati.", jawab Tiong Fa
dengan lebih tenang, dia tahu kartua As ada di tangannya.
"Apa maksudmu?", tanya Ding Tao, kemarahannya sedikit menyurut dan hatinya mulai berdegup lebih kencang.
"Orang tua yang mengurus makan dan minum mereka, mendapatkan suplai bahan makanan dan kebutuhan hidup dariku.
Kalian sudah menahanku selama 4 hari, 2 hari lagi tentu simpanan mereka sudah habis. Aku sudah berpesan, jika sampai
pada waktu itu tidak ada kiriman lagi, maka bolehlah mereka pergi meninggalkan kedua bersaudara itu di dalam
kurungannya.", ujar Tiong Fa.
"Kau" kau?", dengan menahan kemarahan Ding Tao melangkah maju tertahan-tahan.
Tiong Fa pun melangkah mundur, menjauhi Ding Tao yang sudah tampak seperti malaikat pencabut nyawa di matanya.
Meskipun kepalanya mengatakan bahwa Ding Tao sudah ada dalam genggaman tangannya, hatinya menciut sekecil biji
kemiri di luar kehendaknya.
"Tahan" ingat, nyawa mereka ada di tanganku. Jangan kau pikir bisa menemukan mereka sendiri, kau tahu seberapa cerdik
diriku, tidak nanti tempat mereka bisa kau ketahui dengan mudahnya. Saat kau sampai, kujamin mereka sudah?"
Terputus perkataan Tiong Fa, dia sudah mundur hingga membentur dinding dan ujung pedang Ding Tao menempel di
lehernya. ?" mati kelaparan..", terbata Tiong Fa menyelesaikan perkataannya.
Lama ruangan itu sunyi tanpa suara, pergolakan perasaan Ding Tao sukar dimengerti dengan pasti, meskipun bisa
dibayangkan. Wajahnya pucat, jari yang menggenggam pedang sudah memucat karena dia menggenggamnya sedemikian
keras. Tiba-tiba terdengar suara lemah berderak, gagang pedang yang dibuat dari kayu tiba-tiba hancur jadi serpihan. Bilah pedang pun jatuh berkelontangan ke atas lantai, meskipun sempat menggores leher Tiong Fa, namun hanya goresan selapis
kulit luar, yang tidak membawa kematian baginya.
"Kulepaskan kau hari ini" dan kau bawa kami untuk bertemu dengan mereka?", ujar Ding Tao dengan perlahan.
"Tidak, kau lepaskan aku dengan membawa uang secukupnya untuk menyambung hidup mereka. Selanjutnya bila aku
sudah merasa aman dari mata-mata kalian, baru aku akan melepaskan mereka. Selamat atau tidaknya mereka dalam
perjalanan bukan urusanku.", ujar Tiong Fa dengan berani, meskipun getaran dalam suaranya menghianati topeng
keberanian yang dia pasang.
"Kau pikir aku tidak berani membunuhmu sekarang juga?", ancam Ding Tao.
"Ya" karena kau tidak akan mempertaruhkan nyawa dua orang yang dekat di hatimu.", jawab Tiong Fa.
"Apa jaminannya bahwa kau tidak akan menyia-nyiakan mereka setelah aku melepaskanmu?", tanya Ding Tao.
"Karena hanya orang yang bodoh yang akan melakukannya, selama mereka hidup dan selama mereka berada di tanganku,
maka nyawaku terjamin oleh tanganmu.", jawab Tiong Fa.
"Antarkan aku kepada mereka dan aku akan menjamin keamananmu!", geram Ding Tao.
"Tidak! Aku tidak percaya padamu, begitu mereka ada di tanganmu, hilang pula jaminan bagiku untuk hidup.", jawab Tiong
Fa tidak kalah kerasnya. "Jika aku melepaskanmu dan mereka tetap dalam kekuasaanmu, lalu apa keuntungan bagiku dengan melepaskanmu?",
geram Ding Tao sambil menatap tajam pada Tiong Fa.
Tapi kali ini gertakan Ding Tao tidak mempan lagi, Tiong Fa sudah tidak takut lagi pada Ding Tao. Saat-saat yang paling menakutkan sudah lewat, ketika Ding Tao tidak mampu mengeraskan hati untuk memenggal kepalanya, Tiong Fa pun tahu
bahwa semua gertakan Ding Tao tidak lebih hanyalah gertak sambal. Chou Liang yang sedari tadi menyaksikan kejadian


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi kejadian, sudah memperkirakan keadaan saat ini. Diam-diam di luar sepengetahuan yang lain, dia meninggalkan
ruangan, menyiapkan satu setel baju, sejumlah uang dan sedikit bekal bagi Tiong Fa.
Dengan tenang Tiong Fa menjawab pertanyaan Ding Tao, "Setidaknya kau tahu bahwa mereka berdua masih hidup dan
masih ada harapan bagimu untuk menemukannya. Kau bisa mengirimkan orang-orangmu untuk mencari-cari, mengadukaduk seluruh negeri. Kau masih punya kesempatan."
"Tapi jika hari ini kau tidak melepaskanku dalam keadaan yang sebaik-baiknya, maka kesempatanmu sama sekali tidak ada.
Dan jangan berpikir bahwa kau bisa menyiksaku untuk mengatakan di mana mereka disekap. Karena Tiong Fa tidak takut
menderita, dia cuma takut mati.", sambung Tiong Fa dengan senyum licik tersungging di wajahnya.
"Jika kau berbohong?", Ding Tao hendak mengancam, namun sadar dia tidak memiliki hati untuk mengambil resiko yang
mempertaruhkan nyawa Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu.
"Bisa jadi aku berbohong, tapi bisa juga tidak. Jika kau memutuskan bahwa mereka berdua sudah mati terbunuh, yakinlah,
apapun kebenarannya, maka itu pasti yang akan terjadi, karena mereka akan mati kelaparan. Tapi jika kau mau
berpengharapan bahwa mereka masih hidup, kemungkinan itu masih ada, meskipun benar tidaknya tentu kau yang harus
bekerja keras untuk mengetahui kepastiannya.", jawab Tiong Fa dengan ringan.
"Kau sungguh orang yang licik?", desis Ding Tao penuh kebencian.
"Memang" justru karena itu, kau harus berhati-hati dengan keputusanmu. Tapi pikirkanlah sekali lagi, apa keuntungannya
membunuhku saat ini" Kekuasaanku sudah hancur, kekuatanku jauh di bawahmu, aku ini bukan ancaman bagimu. Apakah
demi memuaskan dendammu, kau mau mempertaruhkan nyawa dua orang yang tidak berdosa" Dua orang yang sudah
menanamkan begitu banyak budi baik kepadamu?", ujar Tiong Fa dengan lembut.
Ding Tao pun menutup matanya dan berbalik, menjauhi Tiong Fa yang sudah memusingkan kepalanya. Saat dia membuka
mata, dilihatnya Chou Liang yang berjalan menghampiri dengan membawa buntalan kain di tangannya.
"Jika Ketua Ding Tao mengijinkan, biarkan aku yang mengurus masalah ini.", ujarnya dengan lembut.
Sambil menghela nafas Ding Tao menganggukkan kepala dan pergi dari ruangan itu. Beberapa orang termangu menatap
kepergiannya, kemudian sambil menghela nafas mereka pun pergi meninggalkan ruangan. Hingga akhirnya tinggal Chou
Liang, Wang Xiaho, Liu Chuncao dan Ma Songquan berdua yang ada di ruangan.
Dengan sebuah gerakan yang cepat, Chu Linhe menabaskan pedang dan membebaskan Tiong Fa dari tali yang
mengikatnya. Tiong Fa pun mengebas-ngebaskan tangan dan kakinya yang hampir mati rasa. Yang lain hanya berdiri diam
memandangi orang yang kelicikannya memusingkan banyak orang itu. Setelah Tiong Fa selesai melancarkan peredaran
darahnya, Chou Liang mengangsurkan buntalan yang sudah dia siapkan itu.
"Kau boleh periksa, di dalamnya ada pakaian yang layak pakai dan uang cukup banyak untuk membuka dua usaha baru.
Kau boleh pergi dengan hati lega, karena bisa kuyakinkan bahwa tidak ada seorangpun dari kami yang akan menyakitimu.
Kau juga boleh yakin bahwa akan ada orang-orang kami yang berusaha membuntutimu. Kukira kita sama-sama tahu dan
tidak perlu bermain rahasia, apa yang akan kami lakukan dan apa yang akan kau lakukan.", ujarnya dengan tenang dan
dingin, tidak bersahabat, tidak pula menampilkan kemarahan.
Tiong Fa memandangi wajah orang yang baru pertama kali dia lihat ini. Seperti dua ekor ayam jago yang saling berputaran dan menimbang-nimbang bobot dari lawannya. Perlahan-lahan Tiong Fa menganggukkan kepala.
"Hmm" beruntung Ding Tao memiliki orang semacam dirimu. Kita lihat saja nanti, apakah kau berhasil lolos dari tangan
kalian atau tidak.", ujarnya dengan tenang.
"Jangan salah mengerti, kupandang dirimu itu tidak lebih dari sehelai daun kering yang dipermainkan oleh angin. Kau ini orang yang lupa bahwa daun memiliki arti saat dia melekat pada pohonnya. Saat dia sudah lepas dari pohonnya, maka bisa
dipastikan dia akan menjadi kering dan tidak ada artinya lagi, hanya jadi permainan angin belaka. Kulepaskan dirimu hari ini, karena aku tahu, jika tidak maka Ketua Ding Tao akan dihantui oleh rasa bersalah sepanjang hidupnya, padahal
dilepaskan pun orang semacam dirimu ini tidak akan bisa melakukan apa-apa.", ujar Chou Liang dengan tenang.
"Jangan berpikir sedikitpun untuk membalas dendam pada Ketua Ding Tao, kehancuranmu adalah akibat perbuatanmu
sendiri. Oleh kemurahan hatinya kau bebas hari ini, gunakan itu untuk membangun kembali hidupmu. Jika kau berpikir
untuk mendendam?" "Hmph! Hanya dengan satu jari kami akan membuatmu lenyap dari muka bumi ini.", ujar Chou Liang dengan pandangan
tajam menusuk. Tergetar hati Tiong Fa oleh perkataan Chou Liang, campur baur perasaannya saat itu. Sebagian dari dirinya mengakui
kebenaran perkataan Chou Liang, bahwa dengan keadaannya saat ini, dirinya sama sekali tidak memiliki arti di depan Ding Tao. Ding Tao yang sekarang berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh semacam Bai Chungho dan Xun Siaoma. Dua orang tetua
yang memandang dirinya sama rendahnya dengan cara Chou Liang memandang dirinya saat ini. Sebagian dirinya yang lain
merasa marah dan terhina, tidak mampu menerima kenyataan yang terpampang di hadapannya. Di antara dua perasaan itu
akhirnya perasaan yang terakhir yang menang. Benci dan dendam memang tidak pernah jauh dari hati orang yang rendah.
Dengan hati geram, dia tersenyum menghina sambil menerima buntalan kain yang diberikan Chou Liang, "Hmmm" kau ini
orang cerdik yang berjiwa anjing. Tidak perlu banyak cakap, kau jilati saja pantat tuanmu itu, kalian akan lihat nanti, siapa itu Tiong Fa. Kalian akan menyesal sudah membiarkannya hidup hari ini."
Sungguh tajam perkataan Tiong Fa, tapi lebih menyakitkan lagi bagi hatinya saat melihat Chou Liang dengan tenang
menggeleng-gelengkan saja kepalanya, seakan sedang berususan dengan bocah kecil yang nakal, yang tidak berharga
untuk didengarkan perkataannya.
"Marilah kita tinggalkan saja dia.", ujar Chou Liang pada yang lain.
Dan merekapun pergi meninggalkan Tiong Fa sendirian di ruangan itu. Betapa pedih hati Tiong Fa, lebih pedih daripada
apabila dia disiksa. Dia dianggap bukan siapa-siapa, lebih rendah dari penghianat, setidaknya keberadaan seorang
penghianat masih diakui, sedangkan dirinya dianggap ada pun tidak. Dalam hati dia menyumpahi mereka semua, perlahan
dia mengganti bajunya yang sudah kotor dengan baju bersih yang diberikan Chou Liang. Dihitungnya jumlah uang yang
diberikan. Kemudian diapun pergi meninggalkan gedung tersebut, saat dia menoleh untuk terakhir kalinya, terucaplah sumpah, bahwa
dia akan berusaha membalaskan dendamnya ini pada Ding Tao dan seluruh pengikut-pengikutnya.
Tidak jauh dia pergi, ada pula bayangan orang yang mengikuti dirinya. Tiong Fa bukannya tidak tahu akan hal itu, tapi dia memang seorang licin yang sudah menyiapkan segala sesuatunya, jauh sebelum bahaya mendatangi. Tiong Fa menghilang,
jejaknya sulit untuk ditemukan. Tapi bukan berarti usaha Ding Tao untuk mengendus-endus keberadaannya dan dengan
demikian keberadaan Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu terhenti.
Apakah benar kata Chou Liang bahwa Tiong Fa tidak lebih serupa dengan daun kering yang dipermainkan angin" Ataukah
dia akan menjadi duri dalam daging bagi Ding Tao"
Pembicaraan akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu semakin santer di tengah dunia persilatan, semakin dekat mereka
dengan diadakannya pertemuan lima tahunan, maka semakin kuat pula desakan yang muncul utuk diadakannya pemilihan
Wulin Mengzhu yang akan mewakili dan menyatukan seluruh orang persilatan untuk menghadapi Ren Zuocan ketua Partai
Bulan dan Matahari, dalam pertemuan lima tahunan itu.
Di saat yang sama, pamor dari Partai Pedang Keadilan pun semakin menanjak, persahabatan antara Partai Pedang Keadilan
dengan Partai Hoasan dan Kaypang menguatkan kedudukan mereka.
Atas kerja sama Hoasan dan Kaypang pada penyerbuan sebelumnya, Chou Liang menyarankan agar Ding Tao menyerahkan
dua cabang usaha, masing-masing pada Hoasan dan juga pada Kaypang. Selain untuk semakin memperkuat persahabatan
di antara mereka, Chou Liang pun juga berpendapat bahwa kekuatan mereka saat ini tidak mungkin jika harus dibagi terlalu luas. Tiga tempat, satu pusat dan dua cabang, sudah lebih dari cukup. Di pusat tentu saja ada Ding Tao yang didampingi
Chou Liang dan Tabib Shao Yong, di cabang Jiang Ling ada Ma Songquan berdua, sementara di cabang yang lain, berkumpul
Liu Chuncao, Wang Xiaho, Tang Xiong, Qin Baiyu dan yang lainnnya. Termasuk juga memperkuat di sana adalah dua ayah
beranak, Sun Liang dan Sun Gao.
Kekurangan kemampuan per orangan dari Liu Chuncao dan kawan-kawan, ditambal pula dengan mempelajari barisan
pedang. Pertarungan antara Ding Tao melawan anak murid Xun Siaoma memberikan inspirasi bagi Ding Tao untuk
menciptakan semacam barisan pedang pula, bersama dengan Ma Songquan dan Chu Linhe yang sudah lebih dahulu
mengenal imu barisan. Sebaliknya Ma Songquan dan Chu Linhe pun mendapatkan banyak kemajuan dari diskusi mereka
dengan Ding Tao. Demikianlah masing-masing anggota tidak lupa untuk terus memperkuat diri.
Di luaran, jaringan mata-mata Ding Tao mulai terbentuk. Song Luo, Chen Wuxi dan Fu Tong bekerja dengan rajin untuk memperkuat barisan yang ada di bawah mereka. Dengan modal yang diberikan secara diam-diam oleh Qin Hun, maka
kelompok bayangan dari Partai Pedang Keadilan ini pun mengalami kemajuan yang tidak sedikit.
Dari anggota-anggota Partai Pedang Keadilan sendiri, diadakan seleksi, mereka yang dinilai dapat dipercaya, mulai pula
diperkenalkan dengan keberadaan bayangan partai mereka. Mereka ini kemudian akan ditugaskan di tempat jauh atau
mengundurkan diri. Untuk kemudian bergabung dengan Song Luo, Fu Tong dan Guru Chen Wuxi.
Dengan berjalannya waktu, goncangan di hati Ding Tao yang terjadi akibat munculnya harapan bahwa Huang Ying Ying dan
Huang Ren Fu pun mulai mereda. Mereda seiring meredupnya harapan itu. Usaha Chou Liang dan kawan-kawannya yang
tidak kenal lelah, tidak juga membuahkan hasil. Meskipun Chou Liang tidak terlalu mempercayai perkataan Tiong Fa, tapi
Chou Liang bukanlah orang yang melalaikan kepercayaan yang diberikan Ding Tao pada dirinya.
Lagipula Chou Liang cukup cerdik dan bijak, untuk mengatur agar pencarian itu sendiri tidak mengganggu pembentukan
jaringan mata-mata bagi Partai Pedang Keadilan. Justru keduanya berjalan beriringan, karena toh keduanya adalah usaha
untuk mengumpulkan informasi.
Sempat mereka menangkap jejak Tiong Fa di kota jauh di dekat perbatasan di selatan daratan, namun saat ditelusuri
kembali mereka menemu jalan buntu. Namun di saat yang sama mereka yang dikirim pun membuka mata dan telinga untuk
mengumpulkan berita. Sehingga mereka kembali dengan keterangan akan tingginya antusias para tokoh persilatan di
selatan, untuk mendukung Partai Pedang Keadilan. Bukan rahasia lagi jika orang-orang selatan adalah pebisnis yang unggul.
Latar belakang Partai Pedang Keadilan yang berawal dari keluarga Huang, yang juga adalah seorang pedagang, rupanya
menjadi salah satu bagian dari perhitungan mereka.
Mendengar kabar itu maka dikirimkanlah Liu Chuncao untuk mendekati salah seorang tokoh yang diketahui bersimpati
dengan Ding Tao. Demikianlah segala sesuatunya berjalan, dalam hitungan bulan, pamor Partai Pedang Keadilan menanjak
pesat, karena tiap anggotanya bekerja dengan keras.
Di pihak lain, pertemuan dengan Xun Siaoma yang mewakili Hoasan dan Bai Chungho sebagai ketua dari Kaypang juga
berjalan secara rutin, Zong Weixia yang menjadi salah satu mata rantai dalam penyelidikan merekapun tidak lepas dari
pengamatan. Namun mengamati Zong Weixia bukanlah hal yang mudah, Zong Weixia adalah ketua dari Partai Kongtong,
kebesarannya tidak berada di bawah Hoasan ataupun Kaypang. Selain itu rantai penghubung antara Zong Weixia dengan
Ren Zuocan juga belum dapat ditemukan.
Bai Chungho, ketua dari Kaypang pernah mengatakan, "Tentang orang-orang dari Partai Matahari dan Bulan yang ada
dalam perbatasan, tentu saja tidak mungkin untuk mengetahuinya satu per satu. Namun dari jajaran orang-orang penting di dalam partai itu, sudah kupastikan tiap anak buahku mengenali ciri-ciri mereka, sekalipun mereka hendak merias diri, tentu tidak akan lolos dari jaringan kami yang begitu rapat."
Atas ucapannya itu Xun Siaoma menanggapi dengan desahan nafas sedih, "Jika demikian 4 tokoh dengan kepandaian tinggi
yang menyerbu rumah keluarga Huang adalah orang sendiri."
Tapi siapa saja mereka itu, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Apalagi sejak diserbunya Tiong Fa hingga tak
berkutik, Zong Weixia tidak pernah lagi memunculkan batang hidungnya secara terang-terangan di luaran. Beberapa kali
ada tanda-tanda dari aktivitas tokoh nyentrik tersebut, tapi terlambat diikuti. Bagaimanapun juga luasnya jaringan Kaypang, Hoasan dan Partai Pedang Keadilan, mereka yang bertugas untuk itu, tentunya bukanlah ketua-ketua mereka sendiri.
Sementara yang dihadapi adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi.
Ding Tao, Ma Songquan dan Chu Linhe dibatasi geraknya oleh tugas dan kewajiban mereka untuk menjaga tempat mereka
masing-masing. Di luar mereka bertiga tidak ada lagi yang bisa menandingin kecepatan dan kelicinan Zong Weixia. Hoasan
dan Kaypang terbentur pula pada masalah yang sama. Hoasan yang ditinggalkan ketuanya, sedang sibuk membenahi diri
sendiri dan menyiapkan pengganti Pan Jun. Kaypang yang kekurangan generasi penerus, tidak memungkinkan Bai Chungho
untuk bebas bergerak. Akhirnya mau tidak mau, salah satu harapan mereka adalah apabila Ding Tao mampu maju dan
merebut kedudukan sebagai Wulin Mengzhu. Untuk soal maju dan ikut dalam pemilihan tersebut, hampir bisa dipastikan
karena selain kemajuan dari Partai Pedang Keadilan sendiri, Hoasan dan Kaypang sudah menyatakan siap untuk ikut
mendukung pencalonan Ding Tao.
Kepastian akan diadakannya Wulin Mengzhu itu pun menjadi jelas, saat ke-enam partai besar bertemu dan bersepakat,
untuk mengadakan pemilihan Wulin Mengzhu tepat 6 bulan sebelum diadakannya pertemuan lima tahunan. Dengan
penentuan waktu itu, dari saat sekarang hingga pemilihan Wulin Mengzhu, setidaknya ada waktu 10 bulan. 10 bulan
dipandang adalah waktu yang cukup lama, bagi orang-orang di dunia persilatan untuk menimbang-nimbang dan
menentukan pilihan mereka. Sehingga pada waktunya diadakan pemilihan, jumlah calon yang maju tidak terlalu banyak,
tidak pula terlalu sedikit.
6 bulan juga memberikan waktu yang cukup bagi Wulin Mengzhu yang terpilih untuk mengatur barisan dan mempersiapkan
diri dalam menghadapi Ren Zuocan.
Begitu Xun Siaoma sebagai perwakilan dari Hoasan pulang dari pertemuan ke-enam perguruan besar itu, dia langsung pergi
menemui Bai Chungho dan bersama-sama mereka pergi menemui Ding Tao, Orang yang mereka gadang-gadang untuk
menjadi calon Wulin Mengzhu dari pihak mereka.
Sejak itu pula, kesibukan dalam Partai Pedang Keadilan meningkat pesat. Dunia persilatan tidak pernah kekurangan orangorang muda dan berbakat, tidak kekurangan juga dengan orang-orang yang berambisi setinggi langit. Bukan hanya semakin
banyak orang dan perkumpulan yang harus dikunjungi dan dibuat menjadi pendukung Ding Tao, tapi tidak sedikit pula
mereka yang ingin ikut dalam pemilihan itu yang berkunjung ke perkumpulan mereka dan menantang Ding Tao untuk
mengadu kerasnya kepalan dan tajamnya pedang. Yang tidak berani berhadapan secara berterang dan berusaha
menghilangkan saingan lewat jalan gelap pun tidak kurang banyaknya. Tidak jarang serangan ini bukan ditujukan pada
Partai Pedang Keadilan secara langsung, namun pada mereka yang mendukung Partai Pedang Keadilan.
Agar wibawa Ding Tao tidak jatuh, selain juga karena Ding Tao memang merasa bertanggung jawab atas kehidupan mereka
yang bersumpah setia padanya. Maka diadakan pula pengaturna-pengaturan khusus untuk melindungi setiap mereka yang
tergabung dalam Partai Pedang Keadilan.
Itu baru mengenai gangguan-gangguan yang memang muncul oleh kesengajaan. Ada pula perkelahian antar kelompok yang
terpicu semata-mata oleh kemarahan sesaat, karena tidak jarang mereka yang masih berusia muda, beradu mulut
menjagokan jagoannya masing-masing. Ini pun berusaha diredam oleh Ding Tao dan rekan-rekannya.
Pendek kata, jika ada satu kata yang bisa menggambarkan kehidupan Ding Tao dan sahabat-sahabatnya pada bulan-bulan
itu, maka kata itu adalah kerja. Hampir tidak ada waktu yang tersisa bagi mereka untuk memikirkan kehidupan pribadi
mereka masing-masing. Sepertinya setiap saat, setiap hari, selalu saja ada tugas yang harus dikerjakan. Jika ada waktu
luang, maka waktu luang itu dimanfaatkan untuk menempa diri sendiri dan membicarakan perbaikan dalam struktur
organisasi mereka. Oleh sebab itu, ketika tempat mereka kedatangan serombongan orang yang memanggul tandu, mereka yang berjaga di
depan pun bereaksi dengan cepat dan dengan kewaspadaan yang tinggi. Seorang dari mereka pun bergegas lari untuk
memberi tahukan munculnya tamu yang tidak diundang kepada Ding Tao yang sedang bercakap-cakap dengan Chou Liang,
Wang Xiaho, Pendeta Liu Chuncao dan Tabib Shao Yong . Kebetulan Wang Xiaho dan Liu Chuncao baru saja pulang dari
perjalanan untuk mengeratkan hubungan partai mereka dengan beberapa perguruan silat yang ada di Changsha.
Laporan itu hanyalah laporan awal, sehingga mereka pun hanya menganggukkan kepala dan melanjutkan kembali
percakapan mereka. Ketika datang kembali pembawa pesan untuk kedua kalinya, kewaspadaan mereka semua mulai meningkat, meskipun
karena seringnya muncul tantangan dan juga kunjungan dari partai atau perguruan lain, hal ini sudah menjadi hal yang
biasa bagi mereka. Keingin tahuan mereka baru muncul saat melihat raut wajah si pembawa pesan yang sulit untuk
digambarkan. "Eh" maaf Ketua Ding Tao" tamu yang datang, berkata bahwa Ketua Ding Tao mengenalnya dan dia minta ijin untuk
bertemu dengan Ketua Ding Tao secara" eh.. pribadi.", ujarnya dengan sedikit tergagap.
Wajahnya bersemu merah, seperti tersipu malu, meskipun tersipu malu karena apa tentu saja sulit untuk ditebak oleh Ding Tao dan yang lainnya.
Hanya Chou Liang yang tertawa geli dan bertanya, "Apakah tamu yang datang itu seorang gadis cantik jelita?"
"Benar, bukan cuma cantik jelita tapi juga anggun seperti dewa-dewi dari kahyangan" eh maksud saya, iya benar, benar
kata Tuan Chou Liang?", jawab pembawa pesan dengan wajah tersipu malu dan suara tergagap.
Mendengar jawaban dari keanehan si pembawa pesan, meledaklah tawa mereka semua dan semakin tersipu pula wajah si
pembawa pesan yang masih muda ini. Setelah tawa mereka mereda Chou Liang pun menepuk pundak pemuda itu sambil
memberikan nasihat. "Kau boleh terpana melihat kecantikannya, tapi jangan sampai hilang kewaspadaan. Sudah beberapa bulan tamu yang
berkunjung semuanya berwajah sangar atau setidaknya menyandang pedang. Jadi tidak heran bila dirimu sampai terpana
melihat tamu yang sekarang datang. Tapi cobalah berpikir sebagai seorang penjaga yang baik. Apakah ada hal lain yang
perlu kau sampaikan?"
Mendapat teguran dari Chou Liang pemuda itu pun kembali tersipu, namun dengan cepat pikirannya bekerja mengolah apa
yang dia lihat sebelumnya dengan pikiran yang lebih matang. Mereka yang ditugaskan untuk menjadi penjaga, semuanya
adalah orang pilihan, bukan hanya berbakat dalam ilmu silat tapi juga dididik untuk menggunakan mata dan telinga mereka untuk mengumpulkan keterangan mengenai tamu yang datang. Jika biasanya orang yang disuruh melapor ke dalam adalah
orang dengan peringkat terendah dalam kelompok, maka Chou Liang justru menentukan agar mereka yang bermata paling
tajam yang ditugaskan untuk melapor ke dalam. Mereka yang paling tangguh dalam ilmu silat yang menemani tamu di
depan sampai muncul keputusan dari dalam.
Berkerut alis pemuda itu mengumpulkan ingatan sebelum kemudian memberikan laporan yang terperinci.
"Rombongan yang datang kali ini tidak besar, selain 8 orang pemanggul tandu, ada dua orang yang berumur cukup yang
mendampingi rombongan. 10 orang laki-laki ini mampu bergerak tangkas dan terlihat kuat, semuanya menyandang pedang
di pinggang. Yang ditandu dan yang meminta untuk bertemu dengan Ketua Ding Tao adalah dua orang perempuan muda.
Dari pakaian mereka bisa dilihat kalau mereka orang berada, tidak kulihat mereka membawa senjata, namun sekilas kulihat di dalam tandu ada beberapa peti yang tidak terlalu besar."
"Bisa jadi peti itu berisi hadiah dan bingkisan untuk Ketua Ding Tao, bisa juga berisi senjata, salah satu yang mencolok ukurannya seukuran pedang. Tidak akan heran jika peti itu memang dipakai untuk menyimpan pedang."
"Tentang kedua orang nona itu sendiri, tidak dapat kupastikan apakah mereka memiliki kemampuan ilmu bela diri atau
tidak. Yang seorang, yang" terlihat cantik dan anggun, terlihat lemah dan tidak memiliki kemampuan silat. Yang seorang
lagi, lebih muda, juga cantik dan eh" menarik, terlihat mampu bergerak secara tangkas, kemungkinan dia memiliki
kepandaian." "Namun cara mereka membawakan diri tidak menunjukkan ketegangan dari seseorang yang menyembunyikan niat jahat.",
ujarnya mengakhiri laporan.
"Hmmm" baiklah, kurasa mereka tentu utusan dari partai tertentu untuk menjalin persahabatan dengan Partai Pedang
Keadilan. Apakah pakaian mereka menunjukkan golongan tertentu?", tanya Chou Liang.
"Tidak, pakaian mereka tidak menunjukkan tanda-tanda apa-apa, juga mereka saat menyampaikan permohonan untuk
bertemu dengan Ketua Ding Tao tidak menyinggung hubungan mereka dengan partai atau perguruan tertentu. Justru"
urusannya dikatakan urusan pribadi" sebagai sahabat Ketua Ding di masa yang lalu", ujar pemuda itu sedikit ragu.
Chou Liang melirik sekilas pada Ding Tao, dari wajah pemuda itu, Chou Liang bisa menebak, bahwa sepertinya Ding Tao
sudah memiliki dugaan siapa yang datang berkunjung kali ini.
"Persilahkan tamu untuk masuk, antar mereka ke ruangan dekat taman, tempat kita menjamu tamu-tamu yang sudah
dekat hubungannya dengan partai kita.", ujar Chou Liang pada si pembawa pesan.
Tidak lama kemudian setelah si pembawa pesan menghilang, Chou Liang memandangi Ding Tao yang masih terdiam dalam
lamunannya sendiri. Tabib Shao Yong yang paling dekat dengan pemuda itu, perlahan-lahan menepuk pundaknya.
"Anak Ding, apakah kau mengenal tamu yang datang?", tanya Tabib Shao Yong.
Ding Tao pun mengangkat kepalanya, keluar dari lamunan, "Ah" ya, kurasa demikian, bisa jadi salah, namun kukira
kemungkinan besar aku mengenal mereka berdua."
"Apa ada sesuatu yang perlu kami ketahui tentang mereka?", tanya Tabib Shao Yong.
Lama Ding Tao terdiam, akhirnya dia membuka mulut dan berbicara, "Aku bertemu dengan keluarga ini pada saat aku
melarikan diri dalam keadaan terluka setelah kehilangan Pedang Angin Berbisik. Dua orang gadis yatim piatu dari Keluarga Murong" mereka yang membantu kau lepas dari kejaran Sepasang Iblis Muka Giok, mereka pula yang meminjamkan sejilid
kitab dan sekantung obat untuk menyembuhkan luka dalamku."
"Selain itu?", terdiam Ding Tao, tak tahu harus berkata apa untuk menjelaskan hubungannya dengan Murong Yun Hua.
"Sudahlah, mari kita temui saja dahulu mereka. Keng Hui sudah pergi sejak tadi, seharusnya tamu-tamu kitapun sudah
sampai dan sedang menunggu. Tidak baik meninggalkan tamu terlalu lama menunggu. Bagaimana menurut Ketua Ding
Tao?", ujar Chou Liang.
"Ya, Kakak Chou benar, mari kita temui mereka.", angguk Ding Tao membenarkan.
Melihat suasana hati Ding Tao yang tidak menentu, tentu saja yang lain hanya bisa meraba saja hubungan antara Ding Tao
dengan tamu yang baru datang. Sambil berjalan mereka mengamati raut wajah Ding Tao yang berjalan sambil melamun.
Sedikit banyak mereka mulai bisa menebak-nebak adanya hubungan antara Ding Tao dengan salah satu gadis bermarga
Murong itu. Akhirnya Wang Xiaho pun memutuskan untuk bertanya dengan hati-hati pada Ding Tao, "Ketua Ding Tao, apa kau ingin
menemui tamu-tamu itu sendirian?"
Ding Tao kembali keluar dari lamunannya, perkataan Wang Xiaho tentu saja dia dengar, tapi perlu beberapa saat bagi
Hikmah Pedang Hijau 10 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Pasangan Naga Dan Burung Hong 2

Cari Blog Ini