Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 20
yang lain tidak berani mengikuti apa yang dilakukan oleh Ximen Lisi dan Bai Shixian. Jika ada seorang lagi yang
mendukung, bukankah jadi 4 suara melawan 4 suara, bisa-bisa Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan benar-benar
mengubah pendirian mereka. Lagipula setelah 3 orang memberikan suara, kalaupun mereka ikut berdiri dan memberikan
suara, tentu nilainya sudah jauh berbeda. Nilai yang tertinggi tentu bagi yang berdiri pertama kali, semakin lama nilainya semakin rendah.
Tinggal ke 5 orang calon Wulin Mengzhu yang tidak cukup cepat untuk angkat bicara, berdiam diri dengan perasaan serba
salah dan wajah yang tidak enak untuk dilihat.
Sementara di bawah panggung suara orang bergumam sudah seperti sekumpulan lebah yang mendengung. Perdebatan
antara mereka yang menyukai Ding Tao, Ximen Lisi dan Bai Shixian dengan mereka yang menganggap perbuatan mereka
tidak lebih dari sebuah peran untuk memenangkan hati orang lain.
Beruntung mereka tidak perlu berada dalamkeadaan serba salah terlampau lama. Bhiksu Khongzhen dengan cepat
mengatasi keadaan. Bhiksu tua itu mengangkat tangannya.
"Harap tenang", ujar Bhiksu tua itu, suara yang disertai pengerahan tenaga dalam, mampu menggetarkan hati setiap orang
dan membuat suasana menjadi tenang.
Setelah semua orang tenang, baru Bhiksu Khongzhen melanjutkan, "Tentang pemilihan Wuling Mengzhu ini dan pendirian
Shaolin, sudah dibicarakan panjang lebar sebelum akhirnya diambil satu keputusan. Tentu saja, apa yang dinyatakan oleh
Ketua Bai Chungho, Ketua Ding Tao, Saudara Ximen Lisi dan Saudara Bai Shixian, adalah sesuatu yang baik. Namun yang
baik itu belum tentu bisa dijalankan tanpa adanya kesalah pahaman dan pertentangan pendapat dengan semua pihak."
"Setelah memikirkan hal ini secara mendalam, memang rasanya tidak ada jalan lain kecuali lewat adu kepandaian.
Bagaimanapun juga yang hendak dipilih adalah pemimpin bagi dunia persilatan. Jika dipilih mengikuti perasaan satu orang atau satu perguruan, bagaimana pun juga tentu akan mudah timbul kecurigaan atau perkataan-perkataan yang tidak enak
didengar, yang dengan mudah bisa menyulut pertikaian di antara saudara sendiri. Beda bila pemilihan ini didasarkan pada adu kepandaian yang adil dan disaksikan oleh kita semua.", ujar Bhiksu Khongzhen menjelaskan.
Penjelasan ini nyata membuat banyak orang merasa puas, lepas dari kenyataan bahwa Shaolin sudah menyatakan diri akan
menolak calon-calon tertentu, pun seandainya apabila mereka berhasil menunjukkan kelebihan mereka dibandingkan caloncalon yang lain. Banyak orang menunggu Bai Chungho untuk kembali bertanya atau mengajukan keberatan, namun Ketua
dari Partai Kaypang itu memilih diam setelah mendengar penjelasan Bhiksu Khongzhen.
Setelah menunggu beberapa lama tidak ada yang mengajukan keberatan lebih lanjut, Bhiksu Khongzhen pun berkata,
"Baiklah, kukira semua yang hadir di sini bisa menerima tata cara yang hendak kita pakai untuk menentukan siapa yang
pantas menjadi Wulin Mengzhu. Jika demikian, aku minta tiap-tiap calon Wulin Mengzhu memperhatikan medali giok
masing-masing. Di atas medali tersebut, telah tertulis angka-angka, seluruhnya ada 64 medali giok yang disiapkan. 9 tidak pernah kembali, 8 di antara 9 itu ada di tangan kalian. Berdasarkan angka yang tertera di medali giok akan kita tentukan bagaimana pertandingan ini dilaksanakan, siapa akan melawan siapa, sampai pada akhirnya tersisa 1 orang pemenang."
Masing-masing calon pun mulai melihat medali giok yang mereka pegang. Beberapa calon yang lebih teliti sudah terlebih
dahulu memeriksa medali giok yang mereka pegang, jauh-jauh hari dan sudah tahu angka yang tertera di sana. Satu per
satu mereka menyampaikan angka pada medali giok mereka, sementara Bhiksu Khongzhen dibantu seorang anak murid
Shaolin mencatatnya dalam sebuah lembaran sutra. Di atas lembaran itu sudah tergambar peta kompetisi dalam pemilihan
Wulin Mengzhu ini, tinggal mengisikan nama sesuai dengan urutan angka yang tertera di medali giok masing-masing.
Di saat kesibuka itu terjadi, Ma Songquan sedari tadi justru tidak memperhatikan kegiatan di sekelilingnya, matanya
menatap tajam ke arah Guang Yong Kwang. Sejak Bhiksu Khongzhen mengatakan bahwa pemilihan Wulin Mengzhu akan
dilakukan berdasarkan adu kepandaian, demi memenuhi rasa keadilan seluruh anggota dunia persilatan, Ma Songquan
mengarahkan pandangan matanya ke arah Guang Yong Kwang. Lama kelamaan Guang Yong Kwang tentu saja sadar
dengan tatapan tajam dari Ma Songquan. Ketua Partai Kunlun yang masih muda itu pun wajahnya mulai memerah, awalnya
dia berusaha menatap balik, namun yang ditatap balik tidak juga menunjukkan perubahan apa-apa. Adu melotot ini terjadi
cukup lama, namun perlahan-lahan tentu saja orang di sekeliling mereka mulai menyadari ada yang aneh dengan mereka
berdua. Bhiksuni Huan Feng yang ada di sebelah Guang Yong Kwang pun menggamit tangan anak muda itu dan bertanya, "Ketua
Guang Yong Kwang, apakah ada masalah?"
Sadar dirinya mulai menjadi perhatian banyak orang Guang Yong Kwang pun jadi salah tingkah, cepat-cepat dia
mengalihkan pandangan dan menggelengkan kepala, "Ah tidak ada apa-apa. Benar tidak ada apa-apa."
Demikian dia berujar, meyakinkan orang di kiri dan kanannya, saat dia melirik ke arah Ma Songquan, pendekar itu sudah
mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Dengan santainya dia bercakap-cakap dengan Chu Linhe dan Wang Xiaho yang
ada di dekatnya. "Kakak, kenapa kau iseng memelototi bangsat itu?", tanya Chu Linhe pada Ma Songquan.
"Hemm" biar dia sedikit tahu rasa, seenaknya saja mau bermain-main dengan kita.", jawab Ma Songquan.
"Saudara Ma Songquan benar, melihat dia salah tingkah hatiku sedikit puas. Bayangkan saja, dari perkataan Bhiksu
Khongzhen, sudah jelas mereka memutuskan untuk melakukan pemilihan Wulin Mengzhu lewat adu kepandaian. Tapi dia
menyatroni partai kita dengan alasan untuk mencari dukungan, seakan-akan pemilhan dilakukan berdasarkan besarnya
pengaruh tiap-tiap tokoh. Lebih lagi dia berani menjanjikan dukungannya untuk Ketua Ding Tao. Dukungan macam apa
coba yang bisa dia berikan?", gerutu si tua Wang Xiaho.
"Jika dipikir memang rasanya tidak mungkin dia menyatroni tempat kita untuk mencari dukungan, kukira yang lebih tepat
adalah dia ingin menyingkirkan saingan dari temannya si Lei Jianfeng itu.", sahut Tang Xiong setengah berbisik sambil
melirik ke arah Lei Jianfeng yang duduk di ujung kiri deretan kursi, di seberang mereka.
"Hmm" tindakan yang merugikan Kunlun" Kalau Saudara Chou Liang justru berpendapat, bahwa orang yang
menggerakkannya adalah otak di balik pembantaian di Wuling yang nyata mampu menggerakkan pula Ketua dari Hoasan.",
gumam Li Yan Mao. "Akhir-akhir ini aku justru berpikir sedikit berbeda dan dari tindakan pencegahan yang diambil oleh Saudara Chou Liang, kukira dia juga mencurigai hal yang sama", ujar Tang Xiong.
"Maksudmu bagaimana?", tanya Wang Xiaho.
"Itu" markas di Jiang Ling bisa dikatakan kosong dari orang-orang lama Partai Pedang Keadilan, bahkan keluarga Ketua
Ding Tao juga disembunyikan. Bukankah Saudara Chou Liang mengkhawatirkan ada musuh di dalam?", tanya Tang Xiong.
"Memang beberapa gerakan orang-orang Kunlun sejak mereka gagal menyatroni kita cukup mencurigakan. Namun itu
terjadi setelah penyerangan mereka, jadi bagaimana hal itu mengubah pemikiranmu tentang alasan serangan mereka?",
tanya Li Yan Mao heran. "Hmm" akhir-akhir ini aku mulai berpikir, bahwa serangan mereka terlalu tepat waktunya.", ujar Tang Xiong.
"Terlalu tepat?", sekali lagi Li Yan Mao bertanya.
Tapi kali ini Ma Songquan yang menjawab, "Mereka datang kira-kira 3 minggu setelah Ketua Ding Tao mulai mengurung
diri. Jika ada orang yang memberi kabar tentang hal itu, setidaknya akan memberi kabar setelah Ketua Ding Tao 2-3 hari
mengurung diri. Dengan berjalan cepat dari Jiang Ling ke pusat Perguruan Kunlun kurang lebih makan waktu 7 hari,
membuat rencana bisa makan waktu 1-2 hari, bagaimana pun resiko dari penyerangan itu cukup besar. Dari rombongan itu
berangkat hingga sampai ke Jiang Ling, makan waktu 7-8 hari, ditambah waktu untuk memastikan berita 1-2 hari."
"Seandainya Saudara Ma Songquan dan Chu Linhe terlambat 1 hari saja atau Guang Yong Kwang lebih cepat 1 hari saja,
hasilnya mungkin akan berbeda.", sambung Tang Xiong.
Lama mereka semua terdiam, membayangkan apa yang terjadi jika apa yang diaktakan Tang Xiong benar terjadi, tiba-tiba
Li Yan Mao kemudian menghembuskan nafas panjang dan berujar, "Bagus juga Saudara Chou Liang berhasil memonopoli
penggunaan burung merpati sebagai pembawa pesan di sekitar kota-kota tempat kita menancapkan kekuasaan."
Chu Linhe tersenyum kecil dan berkata, "Benar", bukan saja menambah pemasukan kita dari orang-orang pemerintahan
dan orang kaya yang ingin mengirimkan pesan memakai merpati. Tapi kita juga bisa mengawasi setiap pesan-pesan yang
keluar masuk daerah kita. Lawan pun dipaksa untuk mengirimkan kabar dengan pengirim pesan yang lebih lambat
dibandingkan memakai merpati."
Wang Xiaho tersenyum lebar, "Aku ingat sewaktu Saudara Chou Liang baru saja berhasil mendapatkan persetujuan dari
pejabat negara untuk mengatur lalu lintas pengiriman pesan dengan merpati pos. Hehe, beberapa orang nekat mengirimkan
merpati-merpati pos mereka sendiri dan selama beberapa hari aku dan anak buahku setiap hari makan merpati panggang."
Tawa kecil pun menyebar di antara pengikut Ding Tao, hanya Ding Tao yang menghela nafas, meskipun dia juga ikut geli
membayangkan Wang Xiaho yang berpesta panggang merpati. Tapi helaan nafas Ding Tao mengingatkan pengikutnya
bahwa Ding Tao sebenarnya kurang setuju dengan tindakan yang diambil Chou Liang. Meskipun akhirnya dia menyerah,
setelah Chou Liang mengajukan argumentasinya, dan terbukti memang monopoli iut menguntungkan mereka. Meskipun
beberapa partai lain kemudian melakukan hal yang serupa dengan mereka, tapi dengan meluasnya pengaruh Partai Pedang
Keadilan di bagian selatan, pada akhirnya bisa dikatakan seluruh cabang-cabang mereka bisa terhubung dengan baik lewat
merpati pos, sementara lawan mereka jadi kesulitan untuk mengirimkan berita keluar dari wilayah mereka.
Pengikut Ding Tao pun terdiam beberapa lama sampai kemudian Tang Xiong kembali memecahkan kediaman mereka, "Yang
jadi pemikiran sekarang ini, jika memang ada kebocoran di Jiang Ling, lalu siapakah orangnya" Dan siapakah
penghubungnya di luar?"
"Sekarang tidak perlu dipikirkan lagi, kita sudah sampai di sini", jawab Wang Xiaho dengan tenang.
Untuk beberapa lama Tang Xiong memikirkan perkataan Wang Xiaho, akhirnya dia menganggukkan kepala. Untuk
sementara ini hal itu harus dilupakan, daripada pikiran bercabang dan tidak ada satu pun pekerjaan yang selesai, lebih baik selesaikan saja satu per satu.
"Lagipula bukankah masih ada Chou Liang yang memang khusus berurusan dengan hal-hal yang demikian?", pikir Tang
Xiong dalam hati. Perhatian mereka pun kembali kepada Bhiksu Khongzhen yang tengah mengumumkan urutan pertandingan.
Hasil dari undian adalah sebagai berikut:
Di putaran pertama, Ding Tao akan melawan Bai Shixian; Shan Zhengqi akan melawan Tong Baidun; Lei Jianfeng akan
melawan Deng Songyan; Ximen Lisi akan melawan Lu Jingyun. 4 pemenang dari putaran pertama akan saling bertanding
dan dua pemenang dari putaran kedua akan bertarung untuk memperebutkan kursi Wulin Mengzhu. Sederhana saja, tidak
ada yang terlalu rumit. Sederhana, bisa dimengerti dan bisa diterima semua orang.
Setelah urutan pertandingan dibacakan, maka panggung pun dikosongkan dan tinggal dua orang yang berdiri di sana. Di
tengah panggung, Ding Tao dan Bai Shixian saling berhadapan. Bai Shixian bertubuh tinggi besar, biasanya dia selalu
menatap mata lawannya dari ketinggian. Hari ini dia bertemu lawan yang sama tinggi dengan dirinya. Bedanya tubuh Ding
Tao terlihat lebih padat dan lentur. Jika sekilas dilihat maka Ding Tao berhadapan dengan Bai Shixian, seperti sebatang pohon yang sudah tumbuh tinggi berhadapan dengan sebongkah batu raksasa. Sama tingginya, namun yang seorang
mengesankan kecepatan, kelenturan dan keseimbangan, sedangkan yang seorang lagi, mengesankan kekuatan yang tak
tergoyahkan. Suasana berubah sunyi senyap begitu dua tokoh yang berada pada satu tingkatan yang sama itu, berdiri berhadapan.
Ding Tao yang pertama-tama merangkapkan tangan di depan dada dan menyapa lawan, "Saudara Bai Shixian, senang
bertemu, sudah lama siauwtee mendengar nama besar tinju petir Bai Shixian."
Bai Shixian menyeringai lebar dan balik menjawab sambil merangkapkan tangan di depan dada, "Heehee.. nama Ketua Ding
Tao pun sudah kudengar. Ketua Partai Pedang Keadilan dalam waktu kurang dari 1 tahun sudah merajai daerah selatan."
"Ah" itu semua berkat kerja keras saudara-saudara yang lain.", jawab Ding Tao merendah.
"Ha ha ha ", kerendahan hati Ketua Ding Tao juga sudah kudengar, ternyata bukan hanya omong kosong. Entah bagaimana
dengan ilmu pedang Ketua Ding Tao, apakah juga setinggi apa yang dikatakan orang. Aku bukan orang yang pandai bicara,
lebih suka aku menggunakan kepalan tanganku. Nah mari kita mulai saja sekarang.", ujar Bai Shixian untuk kemudian
dengan segera mengambil kuda-kuda dengan kedua tinju petirnya siap melontarkan serangan.
"Baiklah, apakah Saudara Bai Shixian tidak menggunakan senjata?", tanya Ding Tao ragu-ragu.
"Huhh! Bertahun-tahun yang kuandalkan adalah sepasang tinjuku ini, bagaimana mungkin sekarang aku menggunakan
senjata. Kudengar kau seorang pendekar pedang, tidak usah ragu, cabut saja pedangmu dan aku dengan dua kepalanku
ini", jawab Bai Shixian dengan gusar.
Ding Tao pun mengerutkan alisnya, memang ada benarnya jika seseorang sudah melatih tinjunya sekian puluh tahun, bisa
dikatakan, menggunakan senjata justru akan mengurangi kedahsyatan serangannya. Di lain pihak, bagaimana pun juga besi
tentu lebih keras dari otot dan tulang, pedang tentu lebih tajam dari kepalan, karena itu Ding Tao merasa ragu untuk
mencabut pedangnya "Tunggu apa lagi"!", tanya Bai Shixian dengan gusar.
"Silahkan Saudara Bai Shixian yang mulai lebih dahulu", jawab Ding Tao sambil mengambil kuda-kuda, namun pedang tidak
juga dia cabut dari sarungnya.
"Hmph! Terserah apa katamu!", gerung Bai Shixian sambil melompat ke depan mengirimkan tinju petirnya.
Tinjunya benar-benar seperti petir, orang yang melihat besar tubuhnya seringkali terkejut oleh kecepatan serang Bai
Shixian. Tubuhnya yang tinggi besar itu tiba-tiba terihat kabur oleh kecepatan geraknya yang sukar ditangkap oleh mata.
Bahkan oleh mata para pendekar yang sudah terlatih untuk menangkap gerak cepat lawan yang ada di hadapannya. Lebih
lagi bagi orang-orang biasa yang melihat di kejauhan, Bai Shixian terlihat seperti antara ada dan tidak ada. Dikatakan
menghilang bukan menghilang, karena mata mereka masih menangkap sosok tubuhnya, namun otak mereka tidak dapat
mencerna apakah Bai Shixian ada di sana atau di sana.
Dalam keadaan masih bergerak maju, tinjunya sudah bergerak memukul ke depan. Pergerakannya tepat benar, kapan dia
maju menutup jarak antara dirinya dengan Ding Tao, kapan kakinya menghentak di lantai panggung, untuk kemudian
kekuatan yang dibawa itu menggerakkan tubuh, mengalirkan tenaga dari kaki, panggul, bahu sampai pada kepalan
tangannya yang melayang bagai petir menggelegar. Orang yang hanya pernah mendengar cerita akan Bai Shixian, jadi
terbuka matanya. Kisah Bai Shixian menghabiskan satu gerombolan penyamun seorang diri, hanya berbekal dua kepalan
tangannya memang sulit dipercaya.
Jika Bai Shixian menggunakan senjata mungkin masih bisa dimengerti, karena setiap orang yang jatuh tentu tidak akan bisa berdiri lagi. Tapi hanya dengan dua kepalannya saja, bagaimana dia bisa menghabiskan satu gerombolan penyamun" Yang
jatuh masih ada kesempatan untuk bangkit karena rekannya akan membuat repot Bai Shixian sehingga dia tidak sempat
memberikan pukulan kedua. Sehingga satu gerombolan itu akan jadi jumlah yang tak terbatas. Ada pula yang berpikir
bahwa Bai Shixian menggunakan ilmu totok atau ilmu kuncian untuk mematahkan persendian lawan. Dengan demikian
setiap kali ada yang jatuh oleh serangannya, tidak akan bangkit kembali untuk kedua kalinya. Atau jika tidak, gerombolan penyamun itu tentu segerombolan penyamun rendahan yang tidak mengerti ilmu bela diri.
Sekarang setelah melihat sendiri seperti apa tinju petir Bai Shixian, dengan sendirinya cerita itu jadi mudah untuk
dipercaya. Tinju petir Bai Shixian terlontar dalam hitungan kurang dari sekejap mata. Tenaga tinju petirnya tidak berada di bawah kecepatannya, orang yang terkena tinju petir itu sudah pasti tidak akan sanggup berdiri lagi.
Tinju itu bergerak dengan cepat, kurang dari sekejapan mata tinju itu sudah sampai di depan dada Ding Tao. Jadi apakah
nasib Ding Tao sama dengan nasib segerombolan penyamun itu" Terlempar jatuh dan tidak bangkit lagi oleh satu pukulan
saja" Sudah tentu tidak, Ding Tao toh tidak selemah atau selamban gerombolan penyamun itu, jika tidak mana mungkin dia bisa
mengalahkan Pan Jun dengan pedang kilatnya"
Jika tinju petir Bai Shixian tidak bisa menjatuhkan Ding Tao, apakah itu artinya kali ini Bai Shixian yang jatuh tersungkur atau setidaknya dipukul mundur dalam keadaan terluka" Jika tinju petir senjata andalannya bisa dihindari, bukankah ganti kedudukan Bai Shixian yang terancam" Tunggu dulu, jika semudah itu mengalahkan Bai Shixian, sejak dulu tentu sudah
banyak orang yang mengalahkannya.
Tinju petir Bai Shixian sungguh cepat. Bukan hanya cepat, tinju itu juga menyimpan banyak perubahan. Bukan hanya cepat
dan menyimpan banyak perubahan saja, tinju itu juga menyimpan kekuatan penghancur yang mengerikan. Jangankan Ding
Tao yang menjadi sasaran, beberapa orang penonton yang duduk di barisan terdepan pun bisa merasakan hawa panas yang
mengikuti tinju tersebut. Jadi apa yang terjadi dengan Ding Tao" Atau lebih tepatnya apa yang terjadi dengan dua orang
yang sedang berhadapan itu"
Mata Ding Tao yang tajam membuat pemuda itu mampu melihat kerumitan tinju petir Bai Shixian yang terlihat sederhana.
Perasaannya yang peka bisa melihat kerumitan yang tak tertangkap oleh matanya, mata hatinya merasakan kengerian
maut yang membayang dari tinju petir Bai Shixian. Tinju itu sendiri datang dengan kecepatan kilat, tidak mungkin Ding Tao mampu meraba seluruh perubahan yang ada dan menentukan gerakan apa yang harus dia lakukan dalam waktu yang
sesingkat itu. Dalam waktu yang singkat itu Ding Tao dipaksa untuk memutuskan cara terbaik untuk lolos dari serangan
tinju Bai Shixian. Akankah dia menghindar" Jika menghindar, ke mana dia harus menghindar" Ataukah dia sebaiknya
menangkis serangan Bai Shixian" Jika ditangkis, hendak ditangkis seperti apa" Tinju Bai Shixian ada dua, yang satu sedang menyerang, lalu tinju yang satunya lagi akan melakukan apa" Jika terlalu banyak berpikir, belum sempat bertindak tinju itu tentu sudah menghajar dadanya terlebih dahulu. Di sini pengalaman sangat berpengaruh, setidaknya Ding Tao sudah
memiliki pengalaman bahwa berpikir terlalu panjang akan merugikan dalam pertandingan di mana semuanya berlangsung
dalam hitungan kejapan mata.
Dalam waktu yang singkat itu, Ding Tao mengambil keputusan, sejak dari dia menangkap gerakan Bai Shixian sampai dia
mengambil keputusan, jedanya sepersekian dari kecepatan tinju Bai Shixian yang kurang dari sekejapan mata. Gerakan
pembelaan dirinya lebih merupakan reaksi yang dipicu oleh kengerian yang muncul dari tiju petir itu. Ding Tao pun bergerak mundur, sambil menjaga kedudukan tangan dan tubuh tetap seperti semula. Tujuannya hanya dua, mengurangi kekuatan
tinju yang datang dan memberi dia kesempatan untuk berpikir dan mengamati jurus serangan Bai Shixian sejenak lebih
lama. Di saat yang dirasa tepat Ding Tao pun mengerahkan tenaga, tangan kirinya menyilang di depan dada, dengan hawa murni
disalurkan sepenuhnya untuk menahan serangan lawan. Tangan kanan bergerak pula menahan tangan kiri yang sudah
disilangkan, selain memperkuat pertahanan, gagang pedang juga teracung ke arah lawan, siap melancarkan serangan
bilamana dimungkinkan. Kakinya sendiri dibiarkan dalam keadaan melayang dan bukan dengan kuda-kuda tertancap kuat di
tanah. Dalam sekejapan dua kekuatan saling berbenturan. Dalam sekejapan mata, Bai Shixian harus menentukan langkah
apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Gagang pedang teracung ke arah kepalanya, Ding Tao yang tidak sempat atau
tidak mau mencabut pedang dari sarungnya, memilih menggunakan gagang pedang yang terbuat dari baja untuk
mengancam lawan. Apakah Bai Shixian berani mencoba meneruskan serangan kedua yang sudah disiapkan" Ataukah dia
sebaiknya mundur dahulu dan merencanakan serangan kedua perlahan-lahan"
Jika gerakan Bai Shixian yang menyerbu ke depan itu cepat, gerakan Ding Tao yang mundur ke belakang juga tidak kalah
cepat. Jarak antara serangan Bai Shixian dimulai sampai benturan tenaga itu terjadi sepersekian saja lamanya.
Yang terlihat oleh penonton adalah dua bayangan yang saling beradu untuk kemudian diam.
Ya. Diam. Sesaat setelah benturan terjadi bukan hanya Bai Shixian yang dihadapkan pada pilihan-pilihan. Ding Tao pun dihadapkan
pada pilihan-pilihan. Dia bisa menggunakan tenaga pukulan Bai Shixian untuk mendorong dirinya lebih jauh lagi ke
belakang. Dia bisa pula menghentakkan kakinya ke bawah dan ganti mendorong Bai Shixian mundur, sembari pedangnya
menyerang begitu ada jarak yang tepat di antara mereka berdua.
Atau bisa pula dia melakukan seperti apa yang dia lakukan sekarang.
Ding Tao memilih menggunakan tangannya sebagai peredam pukulan Bai Shixian, tanpa memanfaatkannya untuk
melontarkan diri ke belakang, tidak pula balas mendorong ke depan. Keputusannya cukup tepat, seandainya dia
melontarkan diri ke belakang, Bai Shixian sudah siap untuk menyusulkan tinju petir yang kedua. Seandainya dia mendorong Bai Shixian mundur, maka Bai Shixian sudah bersiap untuk menggunakan dorongan itu, untuk mendorong dirinya sendiri
lebih jauh ke belakang. Tujuannya agar Ding Tao kehilangan momentumnya untuk menyerang dengan pedang, di saat yang
sama Bai Shixian kembali mendapatkan jarak yang tepat untuk melontarkan tinju petirnya.
Tapi keputusan Bai Shixian yang selanjutnya tidak kalah pula tepatnya, begitu menyadari apa yang hendak dilakukan Ding
Tao. Bai Shixian tidak ingin dirinya jatuh dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Jika Ding Tao tetap rapat dalam jarak yang sama, maka gagang pedang Ding Tao yang lebih unggul dari tinju petirnya. Karena untuk mencapai serangan puncak
tinju petir dia justru membutuhkan jarak yang lebih panjang dibandingkan Ding Tao yang menggunakan senjata. Tinju petir adalah tinju yang menggunakan seluruh pegas dalam tubuh untuk melontarkan serangan terkuatnya, dimulai dari kaki
menjejak, pergelangan kaki, lutut, panggul, pinggang, bahu, siku sampai ke pergelangan tangan, ditambah dengan
kecepatan tubuh saat awal dia melontarkan tubuhnya memperpendek jarak dengan lawan. Dalam jarak dekat, justru tinju
petir kehilangan puncak kekuatannya. Sementara serangan seperti apa yang akan digunakan Ding Tao dia belum bisa
meraba karena Ding Tao belum menyerang. Yang pasti Ding Tao yang memegang senjata berada dalam keadaan yang lebih
menguntungkan. Kerasnya gagang pedang yang dari baja itu sudah pasti lebih keras dari batok kepala Bai Shixian. Atau jika Ding Tao cukup kejam, bisa juga mengarah pada mata.
Di saat yang sekejap mata itu pula Bai Shixian mengambil keputusan untuk melontarkan seluruh tenaganya ke tinju yang
sedang menyerang. Tidak ada tenaga yang disimpan untuk mengeluarkan tinju yang kedua. Benturan antara dia tenaga
raksasa pun terjadi. Mereka yang berdiri di barisan terdepan masih bisa merasakan ledakan udara yang terjadi akibat
benturan tersebut, p adahal mereka masih berjarak beberapa kaki dari dua orang jagoan itu.
Gerakan kedua orang itu seperti badai yang tiba-tiba mengamuk dan tiba-tiba berhenti. Mereka yang menyaksikan hatinya
dibuat terbang dan tercekam. Terbang nyalinya saat melihat kecepatan dan dahsyatnya benturan. Tercekam karena saat
yang diam ini, hanyalah sesaat sebelum badai mengamuk kembali.
Dua orang itu berdiri berhadapan. Ding Tao berdiri tegak, sementara Bai Shixian berdiri dalam posisi tubuh jauh condong ke depan dengan tangan terulur lurus, menempel pada tangan kiri Ding Tao yang bersilang. Melihat kedudukan Bai Shixian
yang terlalu condong ke depan, sementara Ding Tao masih berdiri dengan berimbang, jika dilihat di permukaannya saja,
maka ini adalah saat yang paling tepat bagi Ding Tao untuk menyerang. Kenyataannya Ding Tao sudah tidak memiliki
tenaga lagi untuk menyerang.
Begitu Bai Shixian memutuskan untuk mengerahkan seluruh tenaganya di tinju yang pertama, Ding Tao merasa seluruh
tubuhnya dilanda hempasan gelombang air pasang dan dipaksa untu menggunakan segenap tenaganya untuk menahan.
Jangankan menyisakan tenaga untuk balas menyerang, untuk menahan serangan pun Ding Tao sudah kewalahan. Itu
sebabnya meskipun kedudukan Bai Shixian tampaknya kurang baik, Ding Tao tidak memiliki tenaga yang dia yakini cukup
besar untuk menyerang Bai Shixian tanpa membahayakan diri sendiri.
Baik Ding Tao maupun Bai Shixian dipaksa untuk menghempaskan hampir seluruh tenaga mereka dalam serangan yang
lamanya hanya sekejap mata itu. Sehingga untuk sesaat mereka pun seperti kehilangan tenaga untuk bergerak.
Terkejut juga Bai Shixian melihat tenaga simpanan Ding Tao, alis matanya naik ke atas dan memandangi pemuda itu
dengan pandangan yang baru. Bai Shixian yang mengagung-agungkan sepasang kepalan tangannya, memandang pendekar
lain yang menggunakan senjata sebagai jagoan yang setengah matang, karena mereka menyandarkan diri pada sebentuk
senjata. Siapa sangka, ternyata ada juga pendekar pedang yang memiliki tenaga setara dengan dirinya. Tentu saja hal ini tidak tepat benar, karena sebelum berbenturan, Ding Tao terlebih dahulu menghindar ke belakang, sehingga tenaga Bai
Shixian sudah susut beberapa bagian sebelum mereka mulai beradu tenaga.
Sebaliknya Ding Tao sendiri juga menatap kagum pada lawan yang ada di hadapannya. Tidak pernah terpikirkan olehnya
ada manusia yang memiliki kekuatan keras sebesar ini. Jika dia beradu keras lawan keras sudah tentu dia akan terlempar
ke belakang dan menderita kerugian. Sekarangpun saat dia memilih untuk menggunakan kelembutan untuk menahan
serangan lawan, tangan kirinya yang beradu dengan tenaga lawan terasa nyeri dan pegal-pegal. Dalam satu gebrakan ini
Ding Tao harus mengaku kalah satu pukulan. Untungnya Bai Shixian tidak tahu hal ini dan Ding Tao cukup cerdik pula untuk tidak memperlihatkan rasa nyeri yang dia rasakan.
Dua orang jagoan yang sedang bertarung itu, untuk sesaat lamanya saling berpandangan. Melihat pandang mata Ding Tao
yang penuh kekaguman, Bai Shixian tiba-tiba merasa geli, begitu dia mendapat tenaga untuk melompat mundur raksasa ini
pun tidak membuang waktu.
Bai Shixian pun melompat ke belakang sambil tertawa berkakakan, "Bagus! Bagus! Tidak rugi dirimu jadi jagoan pedang
yang menaklukkan 6 propinsi di bawah kekuasaanmu."
"Saudara Bai Shixian terlalu berlebihan", ucap Ding Tao merendah.
Namun Bai Shixian bukan hanya melompat ke belakang sembarangan, dia melompat untuk mendapatkan jarak yang tepat
untuk menyerang kembali. Begitu kata-katanya selesai, dia pun kembali menggunakan tinju petirnya untuk menyerang.
Tapi Ding Tao yang menjawab juga tidak kehilangan kewaspadaannya, sembari berbicara dia pun dengan gesit melompat
menghindar. Kali ini Ding Tao sudah bisa meraba ke mana dia harus menghindar dan bagaimana dia harus membalas
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan lawan. Meskipun dia belum bisa menangkap seluruh perubahan yang ada dalam tinju petir Bai Shixian, tapi
menghadapi jurus yang sama untuk kedua kalinya, Ding Tao tidak merasakan kengerian yang sama seperti saat
menghadapi jurus itu untuk pertama kalinya. Bagaimana pun juga dia sudah sempat melihat dan merasakan satu kali jurus
serangan lawan. Selain itu, tangan kirinya masih terasa nyeri dan dia tidak yakin bisa menghadang serangan Bai Shixian
untuk kedua kalinya. Serangan Bai Shixian sendiri kali ini dilepaskan dengan sedikit persiapan, lebih mengutamakan
kecepatan dan kejutan. Bai Shixian juga maklum bahwa Ding Tao sudah sempat merasakan tinju petirnya dan tidak
berharap terlalu banyak bahwa Ding Tao akan termakan pukulannya. Dengan sendirinya dia menyiapkan pula tenaga untuk
bertahan dan menyarangkan serangan susulan.
Kedua orang itu pun mulai saling menyerang dan bertahan dengan lebih hati-hati.
Belasan jurus pun dengan cepat berlalu, benturan dahsyat di saat awal pertarungan justru tidak terjadi untuk kedua kalinya.
Baik Ding Tao maupun Bai Shixian masih tidak ingin berbenturan dengan segenap tenaga mereka, untuk kedua kalinya.
Keduanya memilih bertarung dengan mengandalkan kecepatan dan kerumitan jurus-jurus mereka.
Beberapa kali serangan Bai Shixian sempat masuk, meskipun tidak dengan telak. Demikian juga sebaliknya, ada juga
serangan Ding Tao yang menghajar tubuh Bai Shixian, meskipun bukan di tempat yang mematikan. Sampai menginjak
jurus ke-20, belum juga Ding Tao mencabut pedangnya. Sehingga lepas dari masuknya beberapa serangan dari kedua belah
pihak, belum ada satu pihakpun yang terluka parah hingga tidak mampu melanjutkan pertarungan. Jika hendak dinilai dari
kerusakan badan yang dialami, sebenarnya Ding Tao yang berada pada posisi kalah, karena tangan kirinya menderita nyeri
yang sangat hebat. Pukulan Bai Shixian di gebrakan awal sudah membuat tulang dari legan kiri Ding Tao retak. Untung saja bengkak di lengan kiri Ding Tao masih ditutupi oleh lengan bajunya yang panjang. Ding Tao pun cukup cerdik dan tabah,
sehingga meskipun dia harus menahan nyeri setiap kali dia menggunakan tangan kirinya, tidak jarang dia justru menyerang Bai Shixian menggunakan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga yang cukup besar. Serangan itu juga dilaksanakan
pada saat yang tepat dan dengan jurus yang memaksa Bai Shixian untuk menghindar dan bukan menangkis lengan kirinya.
"Hmm" apa Ding Tao merendahkan lawannya" Mengapa sampai sekarang tidak juga dia mencabut pedangnya" Bukankah
dia seorang ahli pedang?", salah seorang dari mereka yang menonton bertanya sambil menonton pertarungan itu.
Pertanyaan yang sama dengan bentuk kalimat yang berbeda terdengar di beberapa tempat yang lain. Pertanyaan yang tidak
diarahkan pada orang tertentu, tapi merupakan pertanyaan buat setiap orang yang sama-sama menonton dan mendengar
pertanyaan itu. Mereka yang mendengar itu pun menjawab, ada berbagai macam jawaban.
Salah satunya adalah jawaban dari pendukung Lei Jianfeng, "Hmph" bocah muda itu rupanya begitu sombong, Sudah jelas
ilmu andalannya adalah ilmu pedang, tapi dia tidak mau mencabut pedangnya."
Ada juga yang menjawab, "Itulah kebesaran dan keadilan dari seorang ketua dan tokoh dalam dunia persilatan. Meskipun
umurnya masih muda namun Ketua Ding Tao jelas memahami dua hal tersebut. Bagaimana pun juga, tidak adil jika seorang
yang bersenjata melawan seseorang yang tidak bersenjata dalam pertarungan satu lawan satu."
Ada juga yang menyahut, "Sudahlah diam saja dan lihat. Kalau Ding Tao mencabut senjatanya yang tidak mendukung dia
akan bilang dia menang karena senjata. Jika tidak mencabut, dibilangnya dia sombong. Dicabut atau tidak, yang penting
siapa yang masih berdiri setelah pertarungan selesai, dialah yang menang dan melanjutkan ke babak berikutnya."
Ada banyak lagi macam jawaban, tapi jika dikelompokkan kurang lebih tiga macam jawaban itu mewakili mereka. Yaitu
mereka yang mendukung Ding Tao, yang berusaha menjatuhkan nama Ding Tao dan yang hanya ingin melihat tanpa
mendukung baik Ding Tao maupun Bai Shixian. Tapi yang pasti jawaban mereka semua tidaklah tepat benar, karena
kalaupun Ding Tao ingin mencabut pedangnya, dia tidak bisa. Karena lengan kirinya sudah tidak bisa menggenggam dengan
benar, lalu bagaimana dia bisa mencabut pedang dari sarungnya" Tapi karena tidak ada seorang pun yang tahu tentang
cedera di lengan kiri Ding Tao, sementara pemuda itu beberapa kali menyerang hebat Bai Shixian dengan lengan kirinya,
maka pikiran itu pun tidak mampir dalam benak mereka.
Sepandai-pandainya Ding Tao menyembunyikan cedera pada lengan kirinya, Bai Shixian bukan pendekar kemarin sore,
yang baru saja menginjak dunia persilatan. Bukan sekali ini saja Bai Shixian terlibat dalam pertarungan, pelan namun pasti Bai Shixian mulai curiga pada keadaan lengan kiri Ding Tao. Dia pun mulai menimbang-nimbang kekuatan pukulan tinju
petirnya dan himpunan hawa murni Ding Tao yang dia tunjukkan selama puluhan jurus itu berlangsung. Sambil berkelahi
otaknya pun membuat perhitungan. Menghitung-hitung kekuatan pukulannya dan kekuatan Ding Tao, Bai Shixian pun mulai
yakin bahwa tulang lengan kiri Ding Tao yang terpukul oleh tinju petirnya setidaknya tentu sudah retak sekarang ini.
Dalam satu kesempatan Ding Tao menggunakan tinju kirinya untuk memukul perut Bai Shixian yang terbuka. Menurut
perhitungan Ding Tao, Bai Shixian masih bisa menghindari tinju kirinya. Siapa sangka Bai Shixian justru terlambat
menghindar beberapa kejap, tinju Ding Tao pun tanpa bisa dihindari lagi masuk telak memukul perut Bai Shixian.
Bai Shixian pun terhuyung ke belakang sambil menggerung, "Ugh" keparat?"
Tinju Bai Shixian segera bergerak memukul berturutan memaksa Ding Tao menjauh tanpa sempatmengirimkan serangan
susulan. Di saat terakhir Ding Tao masih sempat menahan tenaganya, sehingga tinju kirinya tidak memukul perut Bai
Shixian dengan kekuatan penuh. Meskipun demikian tinjunya sudah meluncur terlalu cepat dan benturan yang terjadi
membuatrasa nyeri menyerangnya dengan hebat. Peluh pun memenuhi dahi Ding Tao yang menahan diri untuk tidak
menggerung kesakitan. Bai Shixian melompat mundur beberapa langkah, seakan khawatir Ding Tao mengirimkan serangan
yang lain. Namun dalam hati dia tersenyum senang, pukulan Ding Tao masuk bukan karena kelengahan Bai Shixian. Bai
Shixian dengan sengaja menyediakan perutnya untuk dipukul, ini suatu pertaruhan, namun Bai Shixian yakin 8 dari 10
kemungkinan, dia yang menang dalam pertarungan itu.
Kalaupun dia salah, dia sudah mengumpulkan hawa murni untuk menahan tinju Ding Tao sebisa mungkin. Sambil
menyiapkan diri untuk menerima pukulan Ding Tao, mata Bai Shixian yang tajam mengamati wajah Ding Tao dengan lekat.
Ekspresi wajah Ding Tao yang terkejut dan khawatir saat Bai Shixian tidak bisa menghindari tinju kirinya. Kerutan di dahi menahan nyeri saat tinju kiri Ding Tao menghantam perutnya. Ditambah lagi dengan betapa lemahnya pukulan Ding Tao
yang mengenai perutnya, jelas-jelas Ding Tao berusaha menahan tenaganya di saat-saat terakhir. Semua itu hanya
memiliki satu arti dan Bai Shixian pun melonjak kegirangan dalam hati. Dengan sengaja dia berpura-pura terhuyung setelah kakinya mendarat kembali di panggung. Dengan cermat dia menghitung jarak antara dirinya dengan Ding Tao. Sebelum
Ding Tao sempat mengejar, Bai Shixian pun mengerahkan jurus pamungkasnya, tinju petir yang dikembangkan sampai ke
puncaknya. Diiringi bentakan yang menggelegar, Bai Shixian pun berkelebat secepat kilat menyerang.
Ding Tao yang baru saja pulih dari serangan rasa nyeri yang menyerang lengan kirinya merasakan hawa pembunuhan yang
begitu kuat terpancar dari serangan Bai Shixian. Bukankah Ding Tao sudah menghindari jurus yang sama beberapa kali"
Ketika Bai Shixian tiba-tiba menyerangnya di awal pertarungan, memang Ding Tao terpaku dan dalam waktu yang singkat
itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar kecuali menyurut mundur ke belakang sambil menyilangkan tangan untuk menahan
tinju petir Bai Shixian. Tapi pada serangan yang kedua, bukankah dia sudah mulai dapat meraba serangan lawan dan
melihat jalan keluar" Mengapa sekarang di saat Bai Shixian kembali menggunakan jurus yang sama, yang sudah beberapa
kali dia lihat, Ding Tao kembali merasakan kengerian yang dia rasakan saat pertama kali Bai Shixian menggunakan jurus
itu" Kengerian yang membuat dia merasa tidak ada jalan lain bagi dirinya kecuali menyurut mundur sambil menyilangkan
tangan untuk menahan serangan tinju Bai Shixian"
Dalam sepersekian kejap yang singkat itu, sembari tubuhnya menyurut mundur seperti yang dia lakukan pada serangan Bai
Shixian yang pertama, Ding Tao menyadari kenyataan akan tinju petir Bai Shixian.
Tinju petir Bai Shixian yang dilancarkan pertama kali, adalah tinju petir yang sama dengan tinju petir yang dilancarkan Bai Shixian kali ini. Tinju petir itu juga adalah tinju petir yang berbeda dengan tinju petir yang sempat dia hindari beberapa kali dalam sekian puluh jurus yang terjadi dalam pertarungan mereka. Tinju petir, tapi bukan tinju petir. Jurus yang bukan
jurus. Terlihat serupa namun tak sama.
Inilah tinju petir yang menjadi jurus pamungkas Bai Shixian.
Jika umumnya ketika pendekar bertarung melawan pendekar lain, tidak dengan segera menggunakan jurus pamungkas
mereka, melainkan perlahan-lahan meningkatkan ilmunya dari tataran tertentu naik ke tataran berikutnya, dan baru ketika tidak ada jalan lain lagi, barulah mereka menggunakan puncak ilmunya, tidak demikian dengan Bai Shixian dalam
pertarungannya melawan Ding Tao kali ini.
Bai Shixian justru mengerahkan puncak ilmunya pada gebrakan yang pertama.
Biasanya seseorang tidak ingin sembarangan menggunakan jurus utama yang dia miliki dalam sebuah pertarungan, apalagi
pertarungan itu dilakukan di depan banyak orang, karena semakin sering orang melihat jurus yang dia gunakan, maka
semakin besar kesempatan seseorang untuk mengamati, mempelajari dan mencari kelemahan dari jurus tersebut. Tapi Bai
Shixian memiliki jurus yang bukan jurus. Jurus tinju petir yang nampak seperti tinju petir tapi bukan tinju petir. Entah ada berapa orang yang pernah melihat tinju petir yang sebenarnya. Apalagi yang selamat hidup-hidup dari tinju petir yang
sesungguhnya itu sehingga bisa mengenali perbedaan jurus tinju petir yang sesungguhnya dan tinju petir yang kosong tak
berisi. Bai Shixian pun mengeluarkan segenap kekuatannya tanpa ragu-ragu. Jika pada serangan yang pertama, serangannya
sudah sedemikian mengerikan, betapa lebih lagi serangannya yang terakhir ini. Kali ini Bai Shixian sudah memiliki kepastian akan menang dengan satu jurus pamungkasnya ini. Tidak ada lagi yang perlu disimpan. Sudah belasan tahun dia memoles
dan memoles jurus simpanannya ini. Berulang kali dia memikirkan sendiri cara untuk memecahkan serangan tinjunya.
Jika dua tangan atau seluruh tenaga digunakan untuk menahan serangan tinju petir, maka petir kedua siap menyambar.
Saat serangan kedua ditahan, tinju petir yang ketiga sudah siap untuk menyambar.
Jika lawan mengelak ke kiri atau ke kanan atau ke mana saja selain mundur ke belakang sambil menahan serangan, maka
kembangan selanjutnya dari tinju petir sudah siap untuk menyerang. Seperti gerakan petir yang acak dan sulit diduga,
demikian pula perkembangan yang tersembunyi dalam serangan tinju yang terlihat sederhana itu.
Apa yang dilakukan Ding Tao saat gebrakan pertama mereka adalah jalan keluar terbaik yang bisa dia sendiri bisa temukan.
Menyurut mundur untuk mengurangi tenaga tinju petir yang sampai. Menggunakan satu tangan untuk menahan serangan
tinju petir dan satu tangan yang lain menyiapkan serangan balasan.
Tapi sekarang satu dari tangan Ding Tao sudah cedera dan tangan yang cedera adalah tangan yang tidak membawa
senjata. Itu artinya Ding Tao harus menahan serangan Bai Shixian dengan tangan kanan yang menggenggam senjata. Jika
tadi sembari tangan kiri menahan tangan kanan mengancam dengan gagang pedang dari baja. Maka sekarang yang bisa
dilakukan Ding Tao hanyalah tangan kanan menahan dan tangan kiri yang sudah mau patah mengancam hendak
menyerang. Jika Bai Shixian harus mempertaruhkan batok kepalanya untuk diadu dengan gagang pedang yang terbuat dari baja, diapun
tidak berani mengambil resiko itu. Tapi kali ini yang hendak beradu dengan batok kepalanya adalah sebuah kepalan tangan yang terdiri dari tulang, darah dan daging. Otak memang organ tubuh yang mudah cedera, tidak lebih seperti sebuah agar-agar yang dengan sedikit tepukan saja bisa hancur dan rusak. Namun alam memberikan pelindung bagi organ terlemah itu.
Tulang tengkorak manusia, bisa dikatakan adalah bagian yang terkuat dan terkeras dari tubuh manusia. Kepalan tangan
yang tidak terlatih dengan mudah bisa mengalami cedera jika harus beradu dengan batok kepala manusia yang keras.
Apalagi Bai Shixian sudah bersiap, jika tinju kiri Ding Tao benar-benar menyerang, maka dia pun akan mengadu tinju Ding Tao dengan dahinya. Bagian terkeras dari kepala manusia. Bagian yang sudah dilatihnya bertahun-tahun untuk menutupi
kelemahan tinju petir yang dia miliki. Terlebih lagi lengan kiri Ding Tao sudah dalam keadaan retak, Bai Shixian pun yakin jika itu terjadi maka kerugian yang lebih besar ada pada Ding Tao. Bukan saja tangan kanannya akan terhajar oleh tinju
petir, tangan kirinya pun sudah pasti akan patah oleh benturan itu. Selanjutnya Ding Tao tidak memiliki satu tangan pun untuk menahan tinju petir yang datang berikutnya.
Terlebih lagi jika Ding Tao tidak menggunakan tinju kirinya untuk menyerang Bai Shixian, itu artinya setelah Bai Shixian menghajar lengan kanan Ding Tao, maka tinju petir yang kedua akan menyelesaikan pertarungan itu.
Yang dijelaskan panjang lebar dengan kata-kata, terjadi dalam sekejapan mata. Sekali lagi tubuh Bai Shixian dan Ding Tao tampak mengabur bagi mereka yang melihatnya. Sekali lagi terjadi benturan maha dahsyat dan ledakan udara yang
menerpa sekalian mereka yang duduk di deretan terdepan.
Sekali lagi terjadi benturan antara dua kekuatan raksasa, kali ini hati setiap orang bukan saja tercekam oleh dahsyatnya benturan yang terjadi. Suara berderaknya tulang dan jeritan yang menyayat hati, mengiringi benturan antara dua orang
pendekar pilih tanding tersebut.
Ketajaman pikiran Bai Shixian sudah membongkar kelemahan Ding Tao. Tahu kekuatan lawan dan tahu kekuatan sendiri,
adalah kunci untuk bertempur seratus kali dan memenangkan seratus pertempuran. Apakah ada kemungkinan dia akan
kalah" Tinju pamungkasnya yang menggetarkan langit sudah dilancarkan sementara Ding Tao harus menghadapinya dengan
sebelah tangan terluka. Apakah masih ada kemungkinan Bai Shixian menemui kekalahan"
Apakah masih ada kemungkinan Bai Shixian kalah"
Nyatanya Bai Shixian salah menilai Ding Tao, tidak pernah terbayangkan dalam benak Bai Shixian bahwa Ding Tao akan
menggunakan tangan kirinya yang sudah retak untuk menahan tinju petir yang dilontarkan oleh Bai Shixian. Ledakan udara
yang terjadi diiringi pula dengan suara berderaknya tulang Ding Tao yang patah oleh tinju petir Bai Shixian. Meskipun Ding Tao sudah menyurut mundur sejauh mungkin ke belakang, meskipun Ding Tao mengerahkan hawa murninya untuk
melindungi lengan kirinya, tidak urung tinju petir Bai Shixian menghajar lengan kiri Ding Tao hingga patah. Namun dengan menguatkan diri untuk menggunakan lengan yang sudah retak untuk menahan serangan Bai Shixian, maka tangan kanan
Ding Tao pun memiliki kesempatan untuk mengirimkan serangan balasan.
Suara tulang yang berderak bukan hanya berasal dari patahnya lengan kiri Ding Tao. Suara tulang yang berderak itu juga
berasal dari pecahnya batok kepala Bai Shixian yang beradu dengan gagang pedang Ding Tao yang terbuat dari baja.
Saat Ding Tao membalas serangan Bai Shixian dengan sebuah pukulan menggunakan gagang pedang ke arah kepala Bai
Shixian, Bai Shixian sendiri sudah bersiap untuk menyambut serangan Ding Tao dengan membenturkan dahinya. Kenyataan
bahwa Ding Tao justru berkeras untuk menahan serangan Bai Shixian dengan lengan kirinya yang cedera, sehingga dia bisa
membalas serangan Bai Shixian dengan kekuatan penuh, tidak sempat diolah oleh otak Bai Shixian yang sudah menyiapkan
rencana sebelumnya. Gagang pedang yang melaju disambut dengan sebuah tandukan sekuat tenaga. Gagang pedang baja
sudah tentu berbeda dengan tinju manusia. Kerasnya dahi Bai Shixian yang sudah terlatih masih kalah keras dengan
gagang pedang dari baja. Dahi yang sudah terlatih belasan tahun itu, dahi yang biasa memecahkan kayu setebal jari kaki itu, kini pecah dan melesak ke dalam dihantam oleh gagang pedang dari baja.
Dahsyatnya hasil dari serangan Ding Tao sebagian besar juga disebabkan oleh kerasnya tandukan Bai Shixian sendiri. Ding Tao sendiri pun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, baik oleh karena pukulan tinju petir, maupun tandukan
kepala Bai Shixian. Lengan kirinya patah terkulai, bahu kanannya pun terasa pegal. Tapi akibat yang lebih parah dari
benturan mereka berdua dialami oleh Bai Shixian yang sudah melesak ke dalam dahinya, dengan darah mengucur keluar
dari kedua lubang telinga, mata, hidung, mulut dan dahinya yang berlubang.
Dengan cepat para pengikut kedua calon memburu ke depan, Tang Xiong dan Li Yan Mao dengan cepat menahan tubuh Ding Tao yang terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang ke belakang. Wang Xiaho dengan cekatan mengambil
pedang Ding Tao yang jatuh bergelontangan di atas lantai panggung. Ma Songquan dan Chu Linhe dengan cepat berdiri
menghadang di depan Ding Tao, siap menghadapi jika ada yang menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Ding Tao.
Menyusul dengan cepat belasan pengikut Ding Tao yang lain berlompatan dan berbaris di belakang mereka berdua.
Di sisi lain, para pendukung Bai Shixian melakukan hal yang sama. Bedanya jika Tang Xiong dan Li Yan Mao, memapah Ding
Tao yang masih hidup dan perlahan-lahan mulai pulih nafas dan juga tenaganya. Maka para pendukung Bai Shixian sedang
memapah Bai Shixian yang sudah kehilangan kesadarannya, dengan badan mengejang dan meregang nyawa. Kematian Bai
Shixian terjadi dalam sebuah pertarungan yang adil dan disaksikan banyak orang. Tidak ada dasar untuk membalaskan
dendam. Kalaupun ada dari pendukung Bai Shixian yang ingin membalas dendam, mereka tidak punya kesempatan, di
depan mereka menghadang Ma Songquan, Chu Linhe dan belasan pengikut Ding Tao yang lain.
Terdengar sorak sorai dari para penonton yang mendukung Ding Tao, senyap dari mereka yang mendukung Bai Shixian.
Tapi baik mereka yang mendukung Ding Tao maupun mereka yang mendukung Bai Shixian, mau tidak mau merasa kagum
pada kepandaian ditunjukkan oleh kedua orang tersebut. Bai Shixian boleh saja mati di atas panggung, namun kisah
kepahlawanannya dan dua kepalan dengan tinju petirnya masih hidup sampai beberapa generasi kemudian. Tapi apakah Bai
Shixian masih bisa menikmati ketenaran itu" Apakah harumnya nama Bai Shixian sampai juga pada arwahnya" Siapa yang
tahu" Adakah segala usaha yang dilakukan manusia masih berarti bagi dirinya sendiri setelah dia mati"
Dua orang bhiksu Shaolin yang ahli dalam hal pengobatan, dengan cepat mendekati kedua orang jagoan yang baru saja
selesai bertarung itu. Di belakang mereka masing-masing, mengikuti dua orang bhiksu yang lebih muda membawa tas berisi
berbagai macam obat dan peralatan. Shaolin memang gudangnya ilmu, perpustakaan mereka yang besar sudah terkenal di
seantero negeri, berisi berbagai macam kitab pengetahuan, dari ilmu pengobatan, ilmu perbintangan, ilmu bercocok tanam, ilmu silat dan banyak lagi ragam lainnya.
Yang memeriksa Bai Shixian hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan sedih, meskipun tetap berusaha berbuat sebisa
mungkin untuk meringankan penderitaan Bai Shixian. Beberapa jarum dengan cekatan ditancapkan di beberapa tempat,
sementara peralatan ketabiban dicuci dengan obat. Bhiksu tua itu berusaha dengan sehati-hati mungkin mengambil
serpihan tengkorak yang masuk ke dalam otak. Tapi apa yang bisa dia lakukan, bhiksu tua itu berkali-kali menggelengkan
kepala sambil menyebut-nyebut nama Buddha. Entah jalan darah mana yang ditotok, atau titik apa yang ditusuk dan obat
apa yang diberikan. Bai Shixian sudah tidak lagi mengejang-ngejang dan perlahan tertidur pulas. Tetapi meskipun dia masih bernafas, belum pernah bhiksu tua itu melihat ada orang yang bisa hidup setelah menerima luka seperti itu. Sebisa mungkin bhiksu tua itu membersihkan luka, memberikan obat, kemudian membebat kepala Bai Shixian dengan kain yang bersih.
Sambil mengiringi para pendukung Bai Shixian membawa tubuh tinggi besar itu ke tempat yang sudah disediakan, bhiksu
tua yang welas asih itu terus menerus membacakan doa sambil sesekali menghela nafas.
Di tempat lain rekannya yang berjenggot panjang dengan warna seperti salju sedang memeriksa lengan Ding Tao. Gerakgeriknya cekatan, demikian pula dua orang bhiksu muda yang membantunya.
"Hmm.. patahan yang bagus", katanya sambil menarik nafas lega saat dia memeriksa lengan kiri Ding Tao.
"Ketua Ding Tao, harap gigit kayu ini", ujarnya sambil mengangsurkan sebatang kayu kecil yang sudah dibebat kain.
Ding Tao mengangguk dan tanpa banyak bertanya melakukan apa yang disuruh.
"Siao Fei, siapkan baluran untuk patah tulang, pelat dan perban. Siao Xiang siapkan obat untuk membersihkan luka, juga
jarum dan benang.", demikian bhiksu tua itu mulai memberikan perintah pada kedua orang pembantunya, sementara dia
sendiri bekerja merawat Ding Tao.
Dengan cekatan Bhiksu tua itu menotok bagian-bagian tertentu hingga darah berhenti mengucur. Tulang yang patah
dikembalikan ke tempatnya. Luka akibat patahan tulang yang menembus otot dengan cepat dibersihkan,kemudian dijahit.
Obat dibalurkan dan pelat dipasang, agar tulang yang patah dan sudah kembali ke tempatnya tidak lagi berubah tempat.
Dengan cekatan pelat-pelat itu dibebat dengan kain yang sudah disiapkan. Dahi Ding Tao pun penuh dengan peluh yang
bercucuran, beberapa kali dia menggeram menahan sakit yang luar biasa.
Ketika seluruhnya sudah selesai dan bhiksu tua itu sedang membereskan peralatannya, dibantu oleh para pembantunya,
Ding Tao bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Saudara Bai Shixian?"
Mereka yang mendengar pertanyaan Ding Tao terdiam sejenak, Bhiksu tua itu akhirnya membuka mulut dan menjawab,
"Dari sekilas yang sempat kulihat, sepertinya tipis sekali harapannya."
Ding Tao yang mengirimkan serangan itu tentu saja lebih tahu daripada orang lain, namun sebagian hati kecilnya masih
berharap Bai Shixian bisa diselamatkan. Pemuda itu pun hanya bisa menghela nafas dan menggelengkan kepala.
"Dia seorang pendekar yang hebat?", ujarnya dengan sedih.
Bhiksu tua itu pun berkata, "Dua orang bertarung demi sebuah jabatan yang sedemikian menggiurkan. Jabatan yang
menjanjikan kekuasaan yang besar. Bukan hal yang mengherankan jika adu kepandaian pun berubah jadi pertarungan
hidup dan mati. Itu sebabnya ketua kami pada awalnya menolak usulan dari banyak pihak untuk mengadakan pemilihan
Wulin Mengzhu ini." Ding Tao menganggukkan kepala dengan sedih, Wang Xiaho pun perlahan-lahan menepuk pundak anak muda itu, "Toh
pemilihan itu akhirnya diadakan juga. Jika bukan dirimu, bisa jadi orang lain yang membunuh dia, atau dia membunuh
pendekar lainnya. Apakah menurut ketua, kejadian akan berubah bila Ketua Ding Tao tidak ikut serta" Setiap orang yang
maju, mereka maju dengan tujuan dan keyakinannya sendiri. Selama kita yakin tujuan dan dasar perbuatan kita benar,
maka tidak ada yang perlu disesali."
"Bukankah Ketua Ding Tao juga sudah berusaha agar pemilihan ini tidak jadi dilaksanakan?", ujar Chu Linhe mengingatkan.
"Kenyataannya Bhiksu Khongzhen pun mengerti, apabila pemilihan Wulin Mengzhu ini tidak dilaksanakan sekarang, di
bawah pengawasan Shaolin. Akan ada banyak pihak yang akan tetap melaksanakannya. Dengan cara mereka sendiri, bisa
jadi akan bermunculan dua atau tida orang Wulin Mengzhu, masing-masing dengan pengikut yang besar di belakangnya.",
tambah Ma Songquan. Bhiksu tua itu pun menganggukkan kepala dengan sedih dan ikut pula menghibur Ding Tao, "Ketua Ding Tao, pemilihan ini
memang tidak bisa dihindarkan, demi terhindarnya dari pertikaian yang lebih besar. Demikian pula jatuhnya korban, yang
bisa kita lakukan hanyalah berusaha sebisa mungkin untuk memperkecil jumlah korban. Aku pribadi berharap Ketua Ding
Tao bisa berhasil memenangkan adu kepandaian ini."
Pembicaraan tentang Bai Shixian masih belum reda.Ding Tao masih merenungi kematian seorang yang tangguh dan
berbakat oleh perbuatannya. Ingatan tentang pertarungan yang menegangkan masih belum sepenuhnya hilang. Namun di
atas panggung sudah berdiri dua orang.
Shan Zhengqi, pendekar yang terkenal dengan ilmu totokannya, melawan Tong Baidun yang ahli senjata rahasia. Ilmu
tentang jalan darah dan jalur energi, tentu saja hampir setiap orang yang berlatih ilmu silat mengerti. Tapi yang mengerti keseluruhan peta energi dan jalan darah dengan lengkap mungkin tidak banyak dan dari yang sekian banyak itu, yang bisa
menggunakannya dalam sebuah pertarungan, terlebih sedikit lagi jumlahnya. Titik-titik pada tubuh manusia itu kecil sekali luasannya, tidak lebih besar dari ujung jari. Sementara lawan bergerak ke sana, ke mari dengan cepatnya, karena itu
tidaklah mudah melatih ilmu bela diri dengan menitik beratkan pada ilmu totok ini. Dibutuhkan reaksi penglihatan yang
cepat, daya ingat yang kuat, kecepatan dan juga ketepatan.
Biasanya Shan Zhengqi hanya menggunakan jari-jarinya, namun jika terpaksa dia pun memiliki senjata. Senjatanya tidaklah lumrah, bentuknya adalah sepasang kuas sepanjang lengan dengan gagang dari baja. Bulu-bulu kuasnya sendiri cukup
panjang dan lebat, sehingga mirip kebutan yang terkadang dibawa pendeta wanita. Ujung-ujung dari gagang kuas itu
luasnya sebesar ujung jari kelingking, bentuk yang pas untuk jadi alat penutuk. Bulu-bulu dari kuas itu sendiri bukan pula hanya jadi hiasan, bulu-bulu itu terkadang digunakan untuk menyerang mata lawan atau setidaknya mengaburkan
pandangan mata lawan dengan gerakan yang membingungkan.
Tong Baidun seperti anggota keluarga Tong lainnya, membekal senjata rahasia yang tersimpan di kantung-kantung kulit
yang tergantung di pinggangnya. Jenis senjata rahasia yang mereka miliki sungguh beragam, dari jarum-jarum biasa
sampai bola-bola besi yang justru meledak bila ditangkis lawan dan pecahannya inilah yang berbahaya. Dari sekian macam, tidak satupun yang tidak berbisa, entah hanya sekedar membuat lumpuh sementara, sampai yang mengakibatkan
kematian. Melempar sejata rahasia juga merupakan ilmu yang sulit untuk ditekuni. Butuh mata yang tajam, pengolahan tenaga yang
tepat, selain juga kemampuan untuk menghitung jarak antara diri sendiri dan lawan yang selalu bergerak. Tidak bisa
seorang yang menekuni ilmu ini sembarangan saja melemparkan senjata rahasianya, karena saat isi kantung mereka habis,
itu artinya habis pula nyawanya.Jika batasan bagi pendekar lain adalah stamina dan tenaga mereka, batasan bagi anak
murid keluarga Tong adalah jumlah senjata rahasia mereka. Lagipula bukan hanya masalah jumlah senjata rahasia yang
terbatas, biaya untuk pembuatannya juga tidak murah. Demikian pula rancangan dari senjata itu sendiri juga sangat
dirahasiakan. Tidak bedanya dengan seorang pendekar pedang merahasiakan jurus pamungkasnya, dari sekian banyak
kantung kulit yang tergantung di pinggang, ada kantung-kantung yang tidak akan pernah disentuh dan digunakan kecuali
dalam keadaan paling menentukan.
Butuh waktu beberapa saat sebelum bisik-bisik di antara penonton mereda dan mereka menyadari kehadiran dua orang itu
di atas panggung. "Saudara Shan Zhengqi", ujar Tong Baidun sambil merangkapkan tangan di depan dada.
"Saudara Tong Baidun", balas Shan Zhengqi.
Itu saja, tidak ada kata-kata lainnya lagi, ceceran darah dan sebagian cairan otak Bai Shixian di atas panggun masih belum kering. Dua orang ini sudah siap menambahkan tumpahan darah yang lain. Ketika sadar bahwa pertarungan di antara dua
orang itu akan segera dimulai, tiba-tiba deretan terdepan dari para penonton saling berpandangan. Ada apa gerangan"
Wajah-wajah kecut saling berpandangan, tawa serba salah pun terdengar di beberapa tempat, meskipun ada pula yang
berusaha menjaga agar wajahnya tetap tampil keren berwibawa. Namun hampir bersamaan mereka semua mundur
beberapa langkah ke belakang, menjauh dari panggung pertarungan. Ah, rupanya mereka semua sama-sama jeri dengan
senjata rahasia keluarga Tong. Memang senjata itu bukan ditujukan ke arah mereka, tapi Shan Zhengqi tentu saja tidak
akan diam di tempat dan menangkapi senjata rahasia itu satu per satu. Jika dia menghindar dan senjata itu melaju ke
arahmu, atau Shan Zhengqi menangkis dan senjata rahasia itu meluncur ke arahmu, kalau satu dua masih tidak mengapa,
bagaimana kalau nanti Tong Baidun menghujani Shan Zhengqi dengan puluhan jarum beracun dan jarum-jarum itu
ditangkis pergi ke arahmu"
Tapi untuk mundur ke tempat yang aman, juga bukan masalah kecil. Mereka yang duduk di deretan paling depan, sudah
tentu yang memiliki reputasi tidak kecil. Mana mau mereka mengaku ketakutan terkena senjata nyasar, baru setelah
melihat di kiri dan kanan punya pikiran yang sama, barulah mereka mundur bersamaan.
Siapa sangka di saat seperti itu terdengar suara mengejek dari salah seorang yang ada, "Hmmm" ternyata Li Nan Hun yang
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternama itu takut juga dengan senjata rahasia keluarga Tong, bukankah sesumbarnya dia tidak takut pada apa pun?"
Li Nan Hun yang mendengar ejekan itu pun berhenti di tempat dan melotot pada orang yang berbicara, "Hmmm" rupanya
Saudara Chen Xigong" tadinya aku ikut mundur karena memandang mukamu. Kalau kau merasa tidak perlu untuk mundur
seperti yang lain, tentunya aku pun akan tetap duduk di sini."
Beberapa patah kata dari mereka berdua sudah cukup untuk membuat setiap orang merasa malu dan bakal jatuh namanya
jika mereka tetap bergerak menjauh dari panggung. Dengan punggung berkeringat dingin, mereka pun membatalkan
niatnya untuk mencari jarak yang cukup aman. Li Nan Hun sudah terlebih dahulu duduk kembali di tempatnya sambil
matanya tidak lepas memandangi Chen Xigong. Chen Xigong yang ditatap oleh Li Nan Hun pun membalas tatapan matanya
dan dengan senyum masam duduk kembali di tempatnya. Dua orang ini memang sudah sejak lama bermusuhan. Setiap kali
bertemu tentu akan ada pertengkaran, mulai dari pertengkaran mulut biasa sampai beradu kepalan. Biasanya bertemunya
dua orang ini jadi hiburan yang cukup menyenangkan bagi orang-orang dunia persilatan yang suka menonton perkelahian.
Tapi kali ini mereka semua memaki-maki dalam hati kedua orang tersebut.
Akibatnya bukan hanya dua orang yang berhadapan di atas panggung saja yang merasakan ketegangan dari sebuah
pertarungan hidup dan mati. Yang menonton di baris terdepan pun ikut berdebar-debar dan menajamkan panca inderanya.
Jika penonton di baris terdepan memilih pergi menjauh, tentu saja tidak demikian dengan ke-enam ketua perguruan besar
dan 5 orang calon Wulin Mengzhu yang lain. Perbuatan demikian bisa meruntuhkan pamor mereka. Zhong Weixia yang
melihat kesibukan yang sempat terjadi di barisan terdepan, terkekeh-kekeh menghina. Demikian pula pandang mata Guang
Yong Kwang. Di antara 5 orang calon Wulin Mengzhu, hanya Ding Tao yang hendak menjauh dari panggung, segera setelah
mengerti alasan mereka yang di bawah hendak mundur menjauh.
"Baiknya kita mundur menjauh, tidak ada perlunya mengambil resiko.", ujar Ding Tao.
Tang Xiong melirik ke arah 5 orang calon yang lain dan berkata, "Tapi mereka akan mentertawakan kita. Menurut
pendapatku biarlah kita menunggu saja di sini."
Wang Xiaho dan yang lainnya mengerti mengapa Tang Xiong menolak mengikuti perintah Ding Tao. Pada dasarnya yang
dikhawatirkan Ding Tao tentu saja bukan dirinya sendiri, melainkan yang lain yang ilmunya tidak seberapa tinggi.
Pengikutnya seperti Li Yan Mao dan Wang Xiaho sudah terlalu tua untuk meningkatkan ilmunya lebih jauh lagi. Tidak seperti Liu Chuncao dan Tang Xiong yang masih muda dan mengalami peningkatan yang cukup berarti selama beberapa bulan
terakhir. Justru karena perintah Ding Tao itu lebih demi keselamatan mereka dan bukan demi diri pemuda itu sendiri, maka para pengikutnya enggan untuk mentaatinya. Mereka sadar, perbuatan itu akan menjatuhkan nama Ding Tao dan mereka
tidak rela itu terjadi. "Kalian semua berkeras untuk tetap berada di sini?", tanya Ding Tao.
"Benar ketua", asalkan kita tidak lepas kewaspadaan aku yakin tidak akan ada masalah dan aku lebih baik menerima
ratusan jarum keluarga Tong daripada harus ditertawakan orang.", jawab Tang Xiong dengan tegas.
"Ketua Ding Tao tak perlu khawatir, di masa lalu kami pernah bentrok beberapa kali dengan anak murid keluarga Tong. Aku yakin kita semu ayang ada di sini bisa saling menjaga dan tidak akan terjadi apa-apa", kata Ma Songquan dengan suara
perlahan. Ding Tao pun melihat ke arah pengikutnya yang lain, satu per satu dari mereka tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Ding Tao pun hanya bisa mendesah saja, dirnya sendiri belum pernah berhadapan dengan salah seorang dari keluarga Tong
dan tidak bisa membayangkan seperti apa senjata rahasia mereka.
"Baiklah kalau itu mau kalian", jawab pemuda itu sambil menyiapkan diri.
Tapi berbeda dengan Ding Tao adalah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, ketika melihat barisan terdepan yang
hendak menjauh tidak jadi menjauh. Dua orang itu pun saling berpandangan, tanpa perlu bertukar kata mereka segera
mengerti apa yang ada di pikirannya masing-masing. Tanpa merasa malu keduanya berdiri dan menggeser kursinya
menjauh dari panggung. Bhiksu Khongzhen pun dengan suara yang disertai pengerahan hawa murni berujar, "Saudara-saudara sekalian, kami harap
sedikit menjauh dari panggung. Mengingat ilmu andalan Saudara Tong adalah melemparkan senjata rahasia, ada baiknya
kita semua mengambil jarak yang cukup dari kedua pahlawan di atas."
Bhiksuni Huan Feng dan Xun Siaoma segera maklum dengan apa yang akan dilakukan dua orang tokoh besar itu, segera
setelah mereka berdiri dan mulai mendorong kursinya menjauh. Dua orang yang cukup berumur itu pun mengikuti teladan
mereka. Hanya tinggal Guang Yong Kwang dan Zhong Weixia yang mengeraskan hati dan tetap duduk di tempatnya dengan
wajah kesal dan senyum mengejek. Namun apa yang dilakukan Bhiksu Khongzhen ini memiliki arti besar bagi yang lainnya.
Apalagi Ding Tao yang tetap saja merasa khawatir dengan keselamatan para pengikutnya, hatinya tergerak oleh kebesaran
hati kedua orang tokoh besar itu.
"Kalian lihat apa yang dilakuka oleh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan" Demi keselamatan orang banyak, mereka
tidak malu untuk pergi menjauh, padahal siapa yang tidak tahu betapa tinggi ilmu mereka" Ayolah kita juga mengundurkan
kursi-kursi ini agar tidak terlalu dekat dengan panggung.", ujar Ding Tao dengan bersemangat.
Tanpa menunggu jawaban dari seorangpun Ding Tao pun segera bangkit berdiri dan mengangkat kursinya. Jika Ding Tao
sudah bertindak demikian, apa yang bisa dilakukan oleh pengikutnya"
Buru-buru Tang Xiong mengambil kursi yang diangkat Ding Tao, "Ketua biarkan aku yang mengangkat kursi itu."
Merekapun mundur menjauh dari panggung ke tempat yang lebih aman, tindakan Ding Tao itu dengan segera
menghapuskan keraguan beberapa orang yang masih ragu-ragu untuk mundur ke belakang. Hampir serempak para
penonton pun menjauh dari panggung, meskipun masih ada perbedaan dalam hal berapa jauh mereka harus mundur.
Setidaknya mereka tidak perlu merasa malu untuk mundur, jika tokoh-tokoh seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan saja sudah melakukan hal itu. Tindakan Ding Tao itu sendiri tidak diikuti oleh 4 calon Wuling Mengzhu yang lain, bahkan Ximen Lisi yang tadi memilih untuk meniru Ding Tao pada pembukaan acara. Tindakan Ding Tao itu memang tidak
lepas dari mata sekalian orang dan mau tidak mau mereka membandingkan Ding Tao dengan calon-calon yang lain. Ada
banyak reaksi, mulai dari yang mencemooh sampai yang berusaha membela keputusannya tapi semuanya itu tidak
dipedulikan Ding Tao, pemuda itu merasa lega dan puas, karena dia yakin apa yang dia lakukan sudahlah tepat.
Pemuda itu teringat dengan perkataan bhiksu tua yang baru saja merawat dirinya, "Jatuhnya korban memang tidak bisa
dihindari, tapi setidaknya mereka bisa berusaha semaksimal mungkin untuk memperkecil jatuhnya korban."
Sementara itu di atas panggung Tong Baidun dan Shan Zhengqi masih diam di tempatnya masing-masing. Sudah jelas
mereka tidak ingin bercakap-cakap, seperti yang sempat dilakukan Ding Tao dan Bai Shixian. Lalu apa lagi yang mereka
tunggu" Masalahnya Shan Zhengqi tidak ingin bergerak lebih dahulu, dia menunggu Tong Baidun menyerang lebih dahulu. Demikian
juga Tong Baidun, Tong Baidun justru menunggu Shan Zhengqi bergerak. Saat ini Shan Zhengqi berada pada kondisi siap
bergerak, seperti pegas yang ditekan tapi belum dilepaskan, setiap saat Shan Zhengqi bisa melenting ke arah mana pun,
bila Tong Baidun melepaskan senjata rahasianya sekarang, dengan mudah Shan Zhengqi bisa menghindar.Harapan Tong
Baidun adalah menangkap saat Shan Zhengqi berada di tengah-tengah pergerakan, di mana Shan Zhengqi akan sulit untuk
mengubah arah. Saat itulah, di saat yang hanya sekejap saja, adalah saat yang paling tepat bagi Tong Baidun untuk
menyerang Shan Zhengqi. Shan Zhengqi sendiri tidak bisa bergerak sembarangan, dia mengerti benar resikonya. Lawan memiliki jangkauan yang
jauh, sebelum Tong Baidun masuk dalam jarang serangannya, dia sudah terlebih dahulu berada dalam jarak serang Tong
Baidun. Sejak dia dengan spontan membalas salam Tong Baidun, Shan Zhengqi sadar bahwa dia sudah jatuh dalam jebakan lawan.
Mereka baru saja sama-sama naik ke atas panggung dan berjalan beberapa langkah ke tengah, ketika Tong Baidun
merangkapkan tangan dan mengucapkan salam. Spontan Shan Zhengqi membalas salam Tong Baidun, tapi pada saat dia
merangkapkan tangan dan mengucapkan salam, saat itu pula Shan Zhengqi sadar dia sudah berbuat kesalahan.
Segera setelah saling mengucapkan salamm, sudah bisa dikatakan bahwa mereka siap saling menyerang. Segera setelah
Tong Baidun mengucap salam, Tong Baidun berhenti di tempatnya dan tidak lagi melangkah ke depan. Jarak Tong Baidun
dengan Shan Zhengqi masih ada beberapa langkah jauhnya, jika Shan Zhengqi ingin menyerang maka dia harus melompat
jauh ke depan. Padahal di saat yang sama Tong Baidun sudah bisa menyerang dia dengan senjata lontarnya saat itu juga.
Itu sebabnya begitu mengucapkan salam, langkah kaki Shan Zhengqi segera terhenti. Bagusnya Shan Zhengqi dengan
cepat menyadari keadaan dan bersiap untuk menghindar, terlambat sedikit saja senjata rahasia Tong Baidun tentu sudah
menyambar. Sehingga saat banyak orang menunggu pertarungan di antara dua orang jagoan tersebut, sebenarnya pertarungan itu
sendiri sudah dimulai. Pertarungan itu sudah dimulai sejak Tong Baidun menghitung jarak antara dirinya dengan Shan
Zhengqi, menunggu Shan Zhengqi masuk tepat dalam jarak yang paling ideal dan mengucapkan salam untuk menjebak
Shan Zhengqi. Pertarungan kedua orang ini, berbeda 180 derajat dengan pertarungan antara Ding Tao dan Bai Shixian. Pertarungan Ding
Tao dan Bai Shixian tidak ubahnya menyaksikan amukan badai dan topan. Sementara pertarungan antara Tong Baidun dan
Shan Zhengqi adalah sebuah penantian yang menyiksa. Sekian lama mereka berhadapan, keduanya masih juga berdiri
dengan posisi yang sama. Tidak ada kata-kata, tidak ada gerakan, hanya naik turunnya perut dan dada yang menunjukkan
pernafasan mereka, itu pun bisa dikatakan tak tampak karena begitu halusnya pernafasan mereka.
Tiba-tiba salah seorang dari penonton memaki, "Jika mereka berdua mau jadi calon Wulin Mengzhu, sebaiknya mereka
menunjukkan sedikit keberanian. Apalagi orang bermarga Tong itu, jarak lawan masih begitu jauhnya, tapi dia tidak juga
punya keberanian untuk menyerang. Bukankah dia ahli senjata lontar" Atau matanya sudah mulai buram sehingga dia
sudah tidak bisa melihat dengan jelas lagi" Hei Tong" grgh" ack?"
Baru saja dia selesai berkata, seketika itu juga terdengar suara desingan halus dan sebatang jarum halus menancap di
tenggorokannya. Nama orang itu Bi Yonggi, ilmunya tidak begitu tinggi namun memiliki hubungan baik dengan banyak
pejabat negeri. Keluarganya memiliki latar belakang yang dekat dengan istana, itu sebabnya dia bisa duduk di deretan kursi bagian depan, meskipun dari segi ilmu dia belum bisa dimasukkan dalam hitungan.
Bi Yonggi juga dikenal memiliki hubungan yang baik dengan Shan Zhengqi, mungkin itu pula sebabnya Bi Yonggi secara
sembrono mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan buat Tong Baidun. Ditambah lagi dia bukan duduk di deretan
terdepan, melainkan di baris ketiga, tidak pernah lewat dalam benaknya, jarum beracun milik Tong Baidun bisa menemukan
jalan untuk sampai pada dirinya. Entah apa yang ada dalam benak Bi Yonggi sekarang, karena dia sudah tidak bisa berkatakata, yang pasti serangan Tong Baidun tadi membawa perubahan di atas panggung. Di saat Tong Baidun menyerang Bi
Yonggi, di saat itu pula Shan Zhengqi bergerak mendekat. Cepat bukan main gerakan Shan Zhengqi, meskipun tidak
secepat tinju petir Bai Shixian, namun pilihan waktunya sungguh tepat. Tepat di saat Tong Baidun baru saja melepaskan
sebatang jarumnya ke arah Bi Yonggi, saat itu pula Shan Zhengqi melenting ke depan.
Tong Baidun menyambit Bi Yonggi dengan tangan kirinya, betapa cepat gerakannya tak tertangkap mata banyak orang,
namun masih terlihat oleh Shan Zhengqi yang bermata tajam dan sudah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk
mengawasi Tong Baidun sejak mereka mulai berhadapan.
Shan Zhengqi sama sekali tidak memikirkan nasib Bi Yonggi, bisa dikatakan Shan Zhengqi tidak memikirkan apapun juga.
Sejak tadi seluruh tubuhnya hanya bersiap menanti ada kelemahan yang terbuka pada Tong Baidun. Seperti busur yang
sudah dipentang sekian lama, saat Tong Baidun bergerak, seketika itu juga Shan Zhengqi melenting cepat ke arah Tong
Baidun. Matanya yang tajam mengawasi secara ketat tangan kanan Tong Baidun, bukankah dia menyerang Bi Yonggi
dengan tangan kiri" Itu artinya jika sekarang dia menyerang dia akan menyerang dengan tangan kanan.
Tiba-tiba seluruh syaraf Shan Zhengqi berteriak ngeri, otot-ototnya terasa menciut dengan cepat dan tulang belakangnya
terasa mengejang. Selarik tipis sinar hitam menyambar ke arah dahinya, tepat di antara kedua bola matanya. Dengan cara
apa Tong Baidun menyerang" Sudah jelas tangan kanannya belum bergerak dari tempatnya. Shan Zhengqi tidak sempat
berpikir, tubuhnya sedang melayang, tidak mungkin untuk mengubah arah, kedua tangannya pun bergerak dengan cepat,
memutar kuas, menciptakan perisai. Segera saja suara berdenting-denting memenuhi tempat itu. Senjata rahasia Tong
Baidun susul menyusul menyerang Shan Zhengqi. Kuas baja itu terhitung ringan dibandingkan sebuah tongkat pemukul
atau rantai baja, tanpa tenaga yang terlalu besar, bisa diputar dengan cepat untuk membentuk perisai. Namun panjang
kuas baja yang hanya selengan, membuat Shan Zhengqi harus sibuk menggerakkan perisai ciptaannya itu ke berbagai sisi
untuk melindungi tubuhnya dari jarum-jarum Tong Baidun yang dengan gesit mengincar bagian tubuh yang tidak terjaga.
Begitu kakinya menginjak ke tanah, secepat mungkin Shan Zhengqi melompat sejauh mungkin menjauh dari Tong Baidun.
Keputusan yang tepat, meskipun di saat yang singkat itu Shan Zhengqi tidak tahu tepat tidaknya keputusan itu, karena
pada saat itu dia belum menyadari bahwa Tong Baidun menyerangnya sambil bergerak mundur dan menjaga agar jarak
mereka masih sama jauhnya. Baru setelah hujan serangan Tong Baidun berhenti dan dia bisa menarik nafas lega, barulah
dia menyadari hal itu dan bersyukur bahwa dia memutuskan untuk lari dan bukan menerjang ke depan.
Di waktu jeda yang singkat itu barulah beberapa hal terpikir oleh Shan Zhengqi. Saat tangan kiri Tong Baidun bergerak
untuk meraih senjata di kantungnya, kemudian melepaskan serangan ke arah Bi Yonggi, dia sudah menghitung lamanya
waktu yang dibutuhkan, dari sejak Tong Baidun meraih senjata di kantungnya sampai jarum meninggalkan tangannya dan
melesat ke arah Bi Yonggi. Dengan perhitungan itu dia yakin bisa melompatn mendekat dan menginjakkan kakinya kembali
ke atas panggung sebelum tangan kiri Tong Baidun bisa meraih senjata rahasia yang lain, sehingga yang perlu dia waspadai hanyalah tangan kanan Tong Baidun. Kenyataannya berkata lain, jarum yang mengancam dahinya meluncur dari arah
tangan kiri Tong Baidun. Artinya serangan Tong Baidun ke arah Bi Yonggi tadi, tidak lebih dari sebuah pancingan agar dia bergerak. Dengan sengaja Tong Baidun memperlambat gerakan tangannya agar Shan Zhengqi salah perhitungan.
Kecepatan dan kekuatan serangan Tong Baidun yang asli adalah yang direkam oleh tubuhnya pada serangan-serangan
berikutnya. Saat dia menyadari hal itu, keringat dingin pun mengucur membasahi punggung Shan Zhengqi. Benar memang dia masih
hidup sampai saat ini. Tidak salah jika dikatakan dia berhasil menghalau belasan serangan-serangan Tong Baidun.
Masalahnya hingga jarum-jarum ke 3 atau ke-4 Shan Zhengqi masih dapat mengikut ialur serangannya, dua serangan
berikutnya dia hanya mengandalkan nalurinya saja, menginjak serangan ke 7 dan seterusnya kecepatan senjata yang
mengejar dirinya sudah menurun karena pada saat itu jarak di antara mereka berdua kembali melebar dengan melompat
mundurnya Shan Zhengqi. Wajah Tong Baidun terlihat begitu geram, kesempatan yang lepasbenar-benar di luar dugaannya. Hawa membunuh Tong
Baidun sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Perlahan Tong Baidun menggeser kedudukannya ke depan, berusaha kembali
memasuki jarak paling ideal bagi dirinya untuk menyerang Shan Zhengqi. Tanpa terasa Shan Zhengqi menyurut mundur,
secara naluriah mencari jarak yang aman dari Tong Baidun yang hendak menghabisi dirinya.
Semangat Shan Zhengqi sudah goyah, Tong Baidun pun bisa merasakan hal ini, perlahan seulas senyum kejam terbentuk di
wajahnya. Wajah Shan Zhengqi sudah pucat pasi, pertarungan kali ini bukan lagi antara dirinya dengan Tong Baidun.
Pertarungan kali ini adalah antara dirinya dengan ketakutannya sendiri.
Jika ada yang menghalangi dirinya untuk melemparkan sepasang kuas baja itu ke atas lantai panggung dan menyerah,
maka itu adalah bayangan dari segala jerih payahnya dalam memupuk kedudukannya hingga sampai pada kedudukan yang
setinggi sekarang ini. Bisa dia bayangkan apa kata orang jika dia menyerah sekarang ini, entah sudah ada berapa banyak
tokoh silat yang dia hancurkan nama dan reputasinya, demi mengangkat pamornya sendiri. Sekarang dia yang harus
menghadapi kenyataan serupa.
Setiap langkah dia menyurut mundur, yang terjadi adalah pertarungan dalam dirinya, antara kengerian untuk berhadapan
dengan kematian, melawan kengerian untuk hidup dengan nama ternoda.
Shan Zhengqi sudah hampir sampai di tepi panggung, tiba-tiba ujung matanya menangkap ceceran darah dan cairan otak
milik Bai Shixian yang belum sempat dibersihkan.Terbayang tokoh besar yang mengejang-ngejang hendak melepas nyawa.
Terbayang tatapan kosong dan nanar Bai Shixian yang tidak lagi mengenali keadaan di sekelilingnya, saat bhiksu tua dari Shaolin selesai memberikan perawatannya. Kalaupun Bai Shixian berhasil diselamatkan, dia akan hidup tidak ubahnya
seperti orang-orangan sawah.
Di saat itu juga nyali Shan Zhengqi terbang ke langit lapis tujuh. Lengannya tiba-tiba terasa lemas.
Dengan parau dia berteriak, "Aku menyerah."
Benar-benar anti klimaks, beberapa orang dengan jelas-jelas mendengus penuh penghinaan. Tapi itulah kenyataannya,
Tong Baidun pun mengeluarkan tawa menghina dan Shan Zhengqi hanya bisa menggigit bibir dengan rasa malu tidak
terkira. Di hadapan banyak orang Shan Zhengqi melangkah dengan berat, menuju ke undak-undakan untuk turun ke bawah. Tidak
ada keberanian untuk kembali ke kursinya sendiri. Seandainya dia bisa, dia akan memilih untuk berlari sekencang mungkin, meninggalkan tempat itu. Namun dari harga dirinya yang masih secuil tersisa, Shan Zhengqi menguatkan hati untuk tidak
lari dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Kepalanya menunduk ke bawah, tanpa berani menengok ke kiri ataupun
kanan. Ramai suara orang bercakap atau berbisik, begitu riuh dalam benaknya, tak satupun yang tertangkap jelas, namun
dia yakin semuanya berisi cercaan dan ejekan atas kepengecutannya. Tiba-tiba dia merasakan, satu tangan menahan
bahunya. Dengan rasa marah yang hampir meledak akibat rasa malu yang tidak tertahankan, dia mendongakkan kepala dengan mata
mendelik dan tangan mengepal, "Apa maumu!?"
Tapi kemarahannya dengan cepat menjadi surut saat dia melihat siapa yang sudah menahan bahunya. Ding Tao pada
awalnya ikut merasakan kekecewaan karena Shan Zhengqi menyerah kalah tanpa melakukan perlawanan. Namun ketika
banyak orang mulai menghina Shan Zhengqi, timbul rasa kasihan dalam hatinya. Melihat langkah demi langkah yang
dilewati Shan Zhengqi dengan menanggung rasa malu, perasaan Ding Tao mulai berubah, dari sekedar kasihan menjadi
kekaguman. Karena kasihan Ding Tao bisa bersimpati pada Shan Zhengqi. Dia bisa menempatkan dirinya di posisi Shan
Zhengqi, merasakan beratnya tiap langkah yang harus diambil dan menyadari apa yang tidak pernah terpikirkan oleh Shan
Zhengqi sendiri. "Apa maumu?", tanya Shan Zhengqi untuk kedua kalinya, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda.
Bagaimanapun juga yang menepuk bahunya ini adalah seorang ketua dari sebuah partai yang menguasai 6 propinsi di
daerah selatan. Orang yang baru saja menumbangkan Bai Shixian dalam sebuah pertarungan yang gemilang. Selain itu ada
satu perasaan yang terpancar dengan tulus dalam sorot pandang Ding Tao. Di sana Shan Zhengqi tidak melihat ada
penghinaan. "Satu hari nanti, kuharap kita bisa minum arak bersama, sebagai seorang sahabat.", ujar Ding Tao sambil tersenyum.
"Aku" aku.. aku tidak mengerti.", ujar Shan Zhengqi terbata-bata.
Ding Tao mengerutkan alis sejenak, berusaha mengubah perasaannya menjadi kata-kata dan kemudian menjawab, "Untuk
sesaat lamanya, aku pun merasa kecewa dan memandang rendah dirimu. Kemudian aku merasa kasihan mendengar
cemoohan orang atas dirimu. Namun kemudian kulihat dan kurasakan betapa berat tiap langkah yang harus kau ambil
untuk meninggalkan panggung ini. Tiba-tiba saja, jadi timbul perasaan kagum akan dirimu. Terkadang lebih mudah untuk
mati daripada untuk hidup, bahkan bila kita mati untuk satu tujuan yang tidak berharga."
Berhenti sejenak Ding Tao melanjutkan, "Entah mengapa tiba-tiba kalimat itu terpikir olehku. Dan akupun sadar, betapa
satu kebodohan jika kau harus mati hanya demi sebuah kedudukan atau harga diri."
Dengan sebuah senyum Ding Tao memukul lengan Shan Zhengqi dengan bersahabat, " Entahlah tiba-tiba aku merasa bisa
melihat kekuatan dan segi baik dari dirimu. Kekuatan yang membuat kau bisa berjalan pergi dari panggung ini sebagai
seorang laki-laki. Kali lain aku bertemu dengan dirimu, aku yakin akan bertemu dengan seorang pahlawan sejati."
Beban berat yang disandang Shan Zhengqi di pundaknya tiba-tiba hilang lenyap. Dia tidak sepenuhnya memahami apa yang
dikatakan Ding Tao. Ding Tao sendiripun mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia coba katakan. Tapi Shan
Zhengwi bisa merasakan perasaan Ding Tao yang tulus. Di saat dirinya sendiri tidak bisa mempercayai dirinya. Di saat
dirinya sendiri menyalahkan apa yang baru saja dia lakukan dan meragukan seluruh keberadaannya, tiba-tiba ada
seseorang yang berkata bahwa dia percaya pada dirinya. Sebagian orang terdiam oleh perbuatan Ding Tao, sebagian yang
lain tetap mencemooh Shan Zhengqi. Bahkan sekarang ada juga yang membicarakan perbuatan Ding Tao dengan nada
menghina. Tapi semuanya itu tidak lagi menjadi racun-racun yang bersarang di hati Shan Zhengqi.
Shan Zhengqi pun merangkapkan tangan dan menganggukkan kepala pada Ding Tao dengan senyum lebar di wajahnya,
"Kali lain, aku akan datang ke tempatmu dengan membawa seguci arak tapi kau yang menyediakan bebek panggangnya."
Ding Tao pun tersenyun lebar dan berkata, "Hahahaha, bagus! Kau boleh datang kapan saja, aku tentu akan menyiapkan
bebek panggangnya." Sambil berpamitan Shan Zhengqi pun berkata, "Baiklah aku pergi sekarang, ingat janjimu, jangan berani mati sia-sia di
sini." Ding Tao tersenyum dan menganggukkan kepala. Shan Zhengqi pun pergi berlalu, langkah-langkahnya terasa jauh lebih
ringan. Hinaan orang dia balas dengan senyuman saja. Bagaimana pun juga, dia masih sempat berada di atas sana,
sedangkan mereka yang menghina dia sekarang ini, belum tentu memiliki keberanian dan kemampuan untuk berdiri di atas
panggung itu. Dia naik ke atas panggung untuk mengejar satu impian kosong, untuk mempertaruhkan hidup matinya demi
sesuatu yang tidak berharga. Sekarang dia turun sebagai orang yang kalah, namun dia mendapatkan sesuatu yang jauh
lebih berharga daripada sebuah reputasi. Shan Zhengqi sekarang tahu seberapa berharganya satu kehidupan. Dalam hati
dia berjanji, akan mengingat baik-baik apa yang dia rasakan hari ini. Selamanya dia menganggap diri tak terkalahkan,
selamanya diamemandang rendah pancaran rasa takut dari lawan-lawannya. Selama ini dia tidak pernah memikirkan nyawa
yang melayang oleh kedua tangannya. Teringat ini terselip pula rasa penyesalan dalam hati Shan Zhengqi, namun di saat
yang sama sebuah tekad yang kuat menggelora dalam dadanya. Dia akan jadi manusia yang baru, jika kali lain dia harus
menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dia ingin menjalani pertarungan itu untuk satu tujuan yang berarti, bukan sekedar mencari reputasi kosong. Satu pertarungan, di mana bila dia harus memilih, maka dia akan memilih mati tanpa
ragu lagi. Tapi kematiannya akan menjadi sesuatu yang berharga dan tidak akan dia sesali.
Shan Zhengqi pun menghilang di balik kerumunan orang banyak dan perhatian tiap orang kembali tertuju ke atas
panggung. Kali ini Lei Jianfeng berhadapan dengan Deng Songyan.
Deng Songyan dengan cekatan memutar tombak peraknya dengan ringan, seperti sedang bermain-main, sebelum dia
merangkapkan tangan di depan dada dan mengangguk pada Lei Jianfeng. Lei Jianfeng yang dikenal dengan pukulan tangan
kosongnya, naik ke atas panggung membawa sepasang pedang di tangannya, menganggukkan kepala sebagai balasan.
Tanpa banyak cakap, mereka berdua segera mengambil kuda-kuda dan siap bertarung.
"Saudara Deng Songyan, kau tidak ada rencana untuk mundur sebelum bertanding kan?", tanya Lei Jianfeng sambil tertawa
dibuat-buat. "Hmm" tentu saja tidak, hanya pengecut yang mundur dengan tubuh tanpa luka sedikitpun.", jawab Deng Songyan dengan
senyum dingin. "Bagus" bersiaplah.", ujar Lei Jianfeng.
"Silahkan mulai lebih dulu", ujar Deng Songyan.
Tanya jawab mereka ini mengundang tawa dari beberapa orang, tapi juga menusuk hati mereka yang dekat dengan Shan
Zhengqi, karena sudah jelas perkataan itu ditujukan untuk Shan Zhengqi. Ding Tao yang baru saja bersahabat dengan Shan
Zhengqi mengerutkan alis tidak senang, namun seperti banyak teman Shan Zhengqi yang lain, tidak ada yang dapat dia
katakan. Perbuatan Shan Zhengqi memang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang memalukan. Tapi mungkin ada perbedaan
antara Ding Tao dan banyak sahabat Shan Zhengqi yang lain, dalam diamnya Ding Tao percaya suatu saat Shan Zhengqi
akan bangkit dan memperbaiki namanya dengan usahanya sendiri.
Pertarungan Lei Jianfeng dan Deng Songyan merupakan pertarungan yang klasik. Tidak ada gebrakan yang dengan sepenuh
tenaga di awal pertarungan seperti yang dilakukan Bai Shixian dan Ding Tao. Bukan pula pertandingan dalam diam seperti
Tong Baidun melawan Shan Zhengqi. Lei Jianfeng dan Deng Songyan dengan cepat mulai saling menyerang dan bertahan,
mengukur kekuatan dan kelebihan lawan secara bertahap. Sepasang pedang dan tombak menari-nari di atas panggung,
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belasan jurus pun dengan cepat berlalu, semakin lama gerakan kedua orang itu semakin cepat. Yang mengejutkan adalah
Lei Jianfeng, dikenal sebagai seorang ahli pukulan, ternyata Lei Jianfeng mampu mengimbangi Deng Songyan dengan
sepasang pedangnya. Menonton pertandingan di antara keduanya, tiba-tiba Ma Songquan mendesis, "Ah, dasar Bai Shixian keparat itu..."
Tentu saja Ding Tao menarik muka dan bertanya, "Saudara Ma Songquan, apa maksudmu" Mengapa berkata demikian, aku
tidak ingin ada yang menjelek-jelekkan Saudara Bai Shixian, dia sungguh seorang yang hebat."
Ma Songquan menghela nafas, "Maafkan aku ketua, masalahnya cobalah kita lihat dua pertandingan yang baru saja lewat.
Setiap calon bertanding dengan berhati-hati, tidak ada yang sembarangan mengobral tenaga dan serangan. Dalam
pertandingan semacam ini, hal itu penting sekali."
Ding Tao mengerutkan alisnya sebentar sebelum menjawab dengan nada yang lebih lunak, "Aku mengerti" tapi sudahlah,
apa yang terjadi tidak perlu dibicarakan lagi."
Ma Songquan menganggukkan kepala dan sekali lagi mendesah, Li Yan Mao yang tadi hanya ikut mendengarkan tiba-tiba
berkata, "Jika demikian halnya, orang bermarga Tong itu adalah orang yang memiliki kesempatan paling besar untuk
memenangi pertandingan ini."
Mereka semua terdiam sebelum Tang Xiong menjawab, "Hmm" dengan senjata rahasianya dia bisa menyerang dari jauh
dan menang tanpa harus menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya. Kalau dipikir-pikir, rasanya jadi kurang adil?"
"Tidak juga, setiap mereka yang maju ke atas panggung ini, membawa ilmu dan tehnik yang mereka latih selama bertahuntahun. Jika Tong Baidun yang melatih senjata rahasia dianggap lebih beruntung. Itu artinya kita semua sudah salah
mendalami ilmu.", ujar Ding Tao dengan tenang.
"Benar", jika ada yang bisa menghadapi senjata rahasianya, Tong Baidun bukan apa-apa.", ujar Ma Songquan.
"Tapi" kenapa ketua bisa begitu sialnya, di pertandingan pertama dia harus bertemu Bai Shixian yang hanya tahu bertarung tanpa memikirkan pertarungan berikutnya. Yang gaya bertarungnya seperti mengajak lawan mati berbareng. Lalu di
pertarungan kedua, bertemu pula dengan Tong Baidun yang mengandalkan senjata rahasia?", keluh Tang Xiong disambut
senyum tawar oleh yang lain.
"Jangan kuatir, bukankah kita masih punya ilmu simpanan?", ujar Wang Xiaho sambil tersenyum.
Mendengar kata-kata Wang Xiaho, mata Tang Xiong ikut menyala dengan semangat, "Benar, Ketua Ding Tao sudah
mempelejari ilmu itu. Kita bisa lihat nanti, bagaimana Tong Baidun menghadapi ilmu itu."
"Bagaimana menurut ketua?", tanya Tang Xiong dengan bersemangat.
Ding Tao pun tersenyum dan menjawab, "Kukira, dengan lengan kiriku yang patah ini, tidak ada jalan lain kecuali
menggunakan ilmu itu."
"Haha" kalau begitu Tong Baidun boleh mengucapkan selamat tinggal dalam pertarungan nanti.", ujar Tang Xiong dengan
puas. Tang Xiong pun menoleh dengan penasaran saat mendengar Ma Songquan menghela nafas panjang.
"Kenapa?", tanyanya dengan heran.
Ma Songquan tidak langsung menjawab, sepertinya dia berpikir sejenak apakah lebih baik dijawab ataukah tidak. Akhirnya
dia memilih untuk menjawab.
"Masalahnya ilmu simpanan itu harusnya disimpan sampai pada saat pertandingan terakhir. Dengan adanya cedera di
lengan kiri, Ketua Ding Tao harus menggunakannya di pertandingan kedua. Itu artinya lawan di pertandingan terakhir akan memiliki kesempatan untuk mempelajari ilmu itu.", ujar Ma Songquan menjelaskan.
Wajah Tang Xiong pun berubah jadi lesu, Ding Tao yang melihatnya lesu dengan tenang menepuk lengan Tang Xiong dan
berkata, "Jangan kehilangan semangat seperti itu. Kita hadapi saja setiap pertandingan satu per satu."
Selagi mereka berbicara, pertarungan antara Lei Jianfeng dan Deng Songyan sudah memasuki jurus ke 48. Dengan
jangkauan tombak yang lebih jauh Deng Songyan berhasil mendesak Lei Jianfeng. Ujung tombak dengan lincah mencecar,
mengincar setiap bagian yang terbuka dari pertahanan lawan. Tapi bukan berarti Deng Songyan sudah pasti menang,
karena sedikit saja dia mengendurkan serangan, Lei Jianfeng akan bergerak masuk dan pada saat itu Deng Songyan akan
berada dalam kesulitan. Lei Jianfeng sendiri tentu saja bukannya tidak mengerti hal ini, sepasang pedangnya bergerak
dengan lincah, bukan hanya menangkis serangan lawan tapi juga berusaha menghalau pergi tombak Deng Songyan agar dia
bisa masuk ke dalam wilayah Deng Songyan, tapi tombak Deng Songyan sungguh lincah, batang kayu yang kaku bisa
tampak selentur cambuk. Pula Deng Songyan tidak berdiri di tempat, jika Lei Jianfeng sempat bergerak maju, dengan cepat dia bergerak mundur dan pada serangan berikutnya dia kembali bisa mendesak mundur Lei Jianfeng.
Kecepatan gerak tombak Deng Songyan perlahan-lahan menunjukkan kelebihannya. Wajar saja karena sejak berumur 5
tahun dia sudah memegang sebatang tombak, sementara Lei Jianfeng memilih untuk mendalami Luo Yanchang dengan
kedua telapak tangannya. Jurus-jurus Luo Yanchang yang dia kembangkan tampak bagus juga ketika diterapkan dengan sepasang pedang, namun
jelas dalam hal menggunakan sepasang pedang sebagai senjata, Lei Jianfeng masih kalah jam terbang dibandingkan Deng
Songyan dengan tombaknya. Dengan langkah Bagua-nya Lei Jianfeng berusaha mengimbangi kelincahan tombak Deng
Songyan, namun menggerakkan mata tombak jelas lebih ringan daripada menggerakkan seluruh tubuh. Pakaian Lei
Jianfeng sudah lama dibasahi keringat sementara Deng Songyan baru saja berpeluh. Tombak Deng Songyan yang panjang
mampu menutup kelincahan gerak Lei Jianfeng. Padahal sebagai seorang pendekar yang menekuni jurus tangan kosong,
sudah banyak lawan yang bersenjata dikalahkan Lei Jianfeng hanya dengan berbekal kedua tangannya itu. Namun kali ini
jangankan untuk menyentuh Deng Songyan, untuk mendekat pun dia tidak mampu.
Lei Jianfeng sudah terdesak hingga tepi panggung, tahu dirinya tidak mungkin mundur selangkahpun lagi, Lei Jianfeng pun memutar sepasang pedangnya mengelilingi seluruh tubuh, membentuk sebuah perisai yang kuat yang sulit ditembus.
Gerakan ini tentu saja menghabiskan banyak tenaga, namun di saat yang kritis nyata mampu menahan serangan tombak
Deng Songyan. Beberapa kali serangan tombak Deng Songyan terpental oleh perisai yang diciptakan oleh sepasang pedang itu. Bahkan Lei
Jianfeng mulai berani bergerak maju ke depan, selain untuk menghindar agar tidak terjebak di tepi panggung, Lei Jianfeng juga berusaha ganti mendesak Deng Songyan.
Deng Songyan pun surut mundur beberapa langkah, namun Deng Songyan tidak mudah dikalahkan, sembari mundur dia
mulai mempelajari jurus lawan sambil menghimpun kekuatan. Pada langkah ke 7, Deng Songyan tiba-tiba berteriak keras
dan tombaknya meluncur masuk ke dalam putaran pedang Lei Jianfeng. Lei Jianfeng pun mengerahkan tenaganya untuk
memutar perisai pedangnya lebih cepat lagi. Mata tombak Deng Songyan yang sempat masuk ke dalam pusaran sepasang
pedang Lei Jianfeng ikut terbawa berputar. Pendukung Lei Jianfeng pun bersorak memberi semangat sementara pendukung
Deng Songyan ganti mengepalkan tangan dengan cemas.
Di saat yang kritis bagi dirinya Deng Songyan menunjukkan kemahirannya sebagai pewaris ilmu tombak keluarga Deng.
Deng Songyan bukan berusaha menarik mundur serangannya, tapi justru menambahkan tenaga mengikuti gerak
berpusaran dari sepasang pedang Lei Jianfeng.
Tiba-tiba pertarungan berubah bentuknya, dengan tombak di tengah pusaran pedang, Deng Songyan berusaha menekan
agar tercipta lubang di tengah-tengah lingkaran pedang Lei Jianfeng. Sebaliknya Lei Jianfeng berusaha menekan mata
tombak Deng Songyan ke arah dalam dan menutup lubang yang terbentuk. Kaki kedua orang pendekar itu pun tertancap
kuat di atas panggung, meskipun kedua tangan mereka yang bekerja keras, namun kaki yang berpijak sebagai dasar,
haruslah kuat menopang pergerakan badan di atas. Lei Jianfeng tidak berani sembarangan mengubah jurus sebelum mata
tombak Deng Songyang berhasil dia patahkan atau sampai Deng Songyang menarik mundur tombaknya. Sebaliknya Deng
Songyan yang merasa yakin akan keahliannya dalam hal senjata, tidak ingin melepaskan kesempatan yang baik ini. Begitu
lubang yang dia ciptakan cukup lebar, dia bisa menusukkan tombaknya secepat kilat menyerang bagian dada Lei Jianfeng
yang terbuka lebar. Namun Deng Songyan juga tidak berani terburu-buru menyerang. Jika dia salah perhitungan maka
sebelum mata tombaknya melubangi dada Lei Jianfeng, sepasang pedang Lei Jianfeng akan memotong batang tombak yang
terbuat dari kayu. Setiap mereka yang menyaksikan pertandingan itu pun tahu, bahwa ini adalah saat yang paling menentukan dalam
pertarungan antara Lei Jianfeng melawan Deng Songyan. Jika Lei Jianfeng berhasil memotong putus tombak Deng Songyan,
berarti Deng Songyan harus mengaku kalah karena Deng Songyan tanpa tombaknya tidak ubahnya seperti Tong Baidun
tanpa senjata rahasianya. Di lain pihak jika Deng Songyan berhasil menciptakan celah dalam perisai pusaran pedang yang
dibentuk Lei Jianfeng, maka nyawa Lei Jianfeng sudah dipastikan akan melayang.
Baik pendukung Lei Jianfeng maupun pendukung Deng Songyan sama-sama merakan ketegangan mereka memuncak. Deng
Songyan tadinya berharap dia akan dapat membuka celah dari pusaran sepasang pedang Lei Jianfeng dengan
menambahkan tenaga berputar dari mata tombaknya sendiri. Di luar dugaan, Lei Jianfeng memiliki tenaga yang besar di
kedua belah telapak tangannya, gagang pedang seperti lengket di tangannya. Meskipun di awal-awal Lei Jianfeng sempat
kelabakan dan Deng Songyan berhasil menekan sepasang pedang Lei Jianfeng sehingga sepasang pedang Lei Jianfeng
bergerak melebar. Namun di saat berikutnya Lei Jianfeng mulai berhasil mengikuti kecepatan gerak tombak Deng Songyan
dan ganti menekan mata tombak Deng Songyan mengikuti putaran pedangnya.
Kehilangan kesempatan untuk menusuk Lei Jianfeng lewat lubang yang tercipta, sekarang Deng Songyan harus berjuang
keras hanya untuk dapatmelepaskan mata tombaknya dari pusaran pedang Lei Jianfeng.
Tapi ketrampilan tangan Deng Songyan dalam memainkan tombaknya memang perlu diacungi jempol. Antara tombak
dengan manusianya sudah tidak terpisahkan. Bukan hanya tombak akan bergerak sesuai kemauan Deng Songyan, Deng
Songyan bahkan bisa merasakan dan menganalisa kekuatan dan kecepatan pedang lawan, lewat persentuhan mata tombak
dengan pedang Lei Jianfeng. Benar-benar tombak sudah merupakan bagian dari dirinya. Pelan namun pasti, sepasang
pedang Lei Jianfeng jatuh dalam permainan tombak Deng Songyan. Seulas senyum terbentuk di wajah Deng Songyan.
Dengan satu teriakan, "Kena !"
Tombak Deng Songyan berhasil mengungkit pedang Lei Jianfeng hingga pedang Lei Jianfeng terlempar dari tangannya.
Pendukung Deng Songyan pun bersorak penuh kemenangan, namun sorak sorai mereka segera terhenti karena di saat yang
hampir bersamaan Lei Jianfeng memanfaatkan saat-saat di mana mata tombak Deng Songyan bergerak melontarkan
pedang Lei Jianfeng, untuk bergerak dengan cepat menutup jarak antara dirinya dengan Deng Songyan.
Gerakan Lei Jianfeng ini terasa tidak masuk akal bagi Deng Songyan, sebagai ahli senjata dia tahu benar bahwa dalam
pertarungan untuk saling menguasai senjata lawan, kuda-kuda harus kuat menancap di tanah. Masalahnya Deng Songyan
lupa, Lei Jianfeng tidaklah serupa dengan dirinya, tidak pula seperti seorang pendekar pedang yang memandang pedang
sebagai nyawa sendiri. Bagi kebanyakan ahli senjata, kehilangan senjata andalan dalam sebuah pertarungan tidak ubahnya
seperti kehilangan nyawa. Tapi Lei Jianfeng bukanlah seorang ahli senjata, dia seorang ahli berkelahi dengan tangan kosong yang kebetulan menggunakan sepasang pedang. Saat menyadari dia tidak dapat lagimempertahankan sepasang pedangnya, Lei Jianfeng dengan segera memutuskan untuk melepaskan sepasang pedangnya dan menggunakan saat-saat di mana
konsentrasi Deng Songyan masih tersedot pada usaha untuk melepaskan pedang dari tangan Lei Jianfeng, untuk menutup
jarak di antara mereka. Kemampuan dua orang ini tidak berselisih banyak. Kesalahan perhitungan yang fatal harus dibayar Deng Songyan dengan
mahal. Susul menyusul Lei Jianfeng mengirimkan sebuah tepukan ke atas dua pundak Deng Sonyan. Sebuah pukulan yang
dikembangkan berdasarkan Luo Yanchang, telah menghancurkan tulang pundak Deng Songyan. Luo Yan Zhang yang asli
hanya menyerang dari atas ke bawah, Luo Yan Zhang yang dikembangkan Lei Jianfeng bisa menyerang dari berbagai arah,
bisa pula menjadi serangan berantai, tanpa mengurangi terlampau banyak besarnya tenaga serang Luo Yan Zhang.
Dari segi besarnya tenaga, Luo Yan Zhang yang asli masih lebih unggul, namun dari variasi serangan dan kecepatan Luo
Yan Zhang yang dikembangkan Lei Jianfeng lebih unggul. Terbukti dia bisa mengirimkan dua kali serangan dalam satu
tarikan nafas. Hampir bersamaan dengan jatuhnya sepasang pedang Lei Jianfeng ke atas lantai, tombak Deng Songyan pun terlepas dari
tangannya. Dua tangannya terkulai ke bawah tanpa tenaga, rasa nyeri tidak dirasakan oleh Deng Songyan. Begitu dia sadar kedua tulang pundaknya sudah remuk oleh pukulan Lei Jianfeng, dunia Deng Songyan menjadi gelap. Apa artinya hidup
dengan lengan yang cacat" Puluhan tahun dia melatih ilmu tombaknya, sekarang dia tidak bisa menggunakan kedua
tangannya. Dengan penuh kepahitan dia memandang pada Lei Jianfeng, suaranya parau saat dia berkata, "Lebih baik, bunuh saja
aku?" Lei Jianfeng hanya tersenyum saja, menunjuk ke arah kejantanan Deng Songyan dan menjawab, "Sudahlah, terima saja
nasibmu, kalaupun ternyata bahumu tidak dapat disembuhkan, setidaknya kau masih bisa menyambung keturunan keluarga
Deng." Dengan langkah santai Lei Jianfeng pun meninggalkan Deng Songyan yang sudah dikerubuti oleh sanak keluarganya. Bhiksu
tua yang bertugas untuk menangani cedera dan luka yang terjadi sudah sibuk memeriksa dan merawat Dneg Songyan.
Deng Songyan sendiri hanya bisa terdiam dengan lidah kelu, beberapa saat yang lalu dia menertawakan Shan Zhengqi dan
menggelengkan kepala atas nasib Bai Shixian. Siapa sangka dirinya tidak luput dari nasib yang sama. Sejak dia masih kecil, Deng Songyan sudah berambisi untuk menjadi orang terkuat. Ketika perjalanan yang dia tempuh, dipaksa untuk berakhir
dengan tragis, tiba-tiba hidup Deng Songyan terasa begitu hampa. Menempa diri untuk menjadi pendekar terkuat, apa
hanya sebuah pencarian kosong" Sampai saat dia sudah diusung turun pun Deng Songyan masih membisu, terdiam dalam
pencarian. Setiap manusia pasti memiliki tujuan hidup, beberapa mengejarnya dengan seluruh yang ada pada dirinya.Sebagian yang
lain mungkin justru tidak pernah memiliki bentuk yang jelas dengan tujuan hidupnya. Bagi Deng Songyan yang memiliki
tujuan hidup yang jelas, ketika jalan itu tiba-tiba direnggut dari dirinya, guncangan yang dialami oleh jiwanya, lebih berat dari rasa sakit yang dirasakan oleh tubuhnya.
Apakah Deng Songyan bisa bangkit dari kegagalannya atau tidak, kisah ini sendiri tidak memuatnya. Untuk saat ini, seperti biasa mata hanya memandang pada pemenang, sementara yang kalah digusur ke belakang. Perhatian setiap orang, kembali
beralih ke atas panggung, di sana berdiri Ximen Lisi yang tampan dan Lu Jingyun, pendekar berkaki empat.
Lu Jingyun dijuluki berkaki empat bukan saja disebabkan oleh ilmu meringankan tubuhnya yang disegani lawan, tapi juga
disebabkan oleh wataknya yang tidak mau terikat. Tidak memiliki tempat tinggal tertentu, tidak memiliki keluarga dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Lu Jingyun hidup tidak ubahnya seperti angin yang selalu bertiup. Jika Ximen Lisi sangat
memperhatikan penampilannya, apa yang dipakai, bagaimana rambutnya ditata dan juga bagaimana dia berlaku. Lu Jingyun
berbalik 180 derajat dari Ximen Lisi, pakaiannya boleh jadi baru dicuci, tapi terlihat tambalan di sana-sini. Rambutnya yang sudah disisir, digelung secara sembarangan. Kumis dan jenggot pun tumbuh tidak beraturan. Buat mereka yang sudah
pernah bertemu dengan Lu Jingyun, akan mengatakan inilah penampilannya yang paling rapi jika dibandingkan dengan
penampilan Lu Jingyun biasanya.
"Hmm" tidak pernah kuduga, Lu Jingyun akan ikut menjadi calon dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini", ujar seseorang di
antara ribuan yang ikut menyaksikan pemilihan Wulin Mengzhu ini.
"Apa menurutmu dia kurang pantas untuk jadi Wulin Mengzhu?", tanya orang di sebelahnya, dalam benaknya penampilan
seorang Wulin Mengzhu pantasnya seperti Lei Jianfeng yang keren dan berwibawa; Ximen Lisi yang tampan dan halus; atau
minimal seperti Ding Tao yang meskipun bersahaja tetap menampilkan keberadaan seorang ketua dari partai yang besar.
"Bukan begitu, tapi sifatnya yang tidak mau terikat dengan segala macam aturan dan ikatan sudah begitu terkenal, hingga dia mendapatkan julukan empat kaki. Mengapa dia tiba-tiba tertarik untuk menjadi Wulin Mengzhu?", jawab yang seorang.
"Lebih ruwet lagi kalau dia sampai jadi Wulin Mengzhu, bakal jadi Wulin Mengzhu macam apa dia nanti?", sahut seorang
yang lain lagi. "Jangan seenaknya bicara! Setidaknya Lu Jingyun masih lebih baik daripada orang munafik macam Ximen Lisi atau Lei
Jianfeng.", terdengar ada orang yang membentak.
"Siapa kau ini berani mengatakan Lei Jianfeng seorang munafik?", tegur yang seorang lagi.
"Hmph, kau kira aku takut pada Lei Jianfeng dan begundalnya" Namaku Chen Thai, asal dari Bei Hai. Kau sendiri siapa?",
jawab yang ditanya dengan garang.
Tiba-tiba terdengar lagi orang lain menyahut, "Sudah tidak usah banyak bicara, hajar saja biar tahu aturan."
Dan benar saja yang marah-marah saat Lei Jianfeng dikatakan munafik dengan segera melayangkan pukulan, yang
mengaku bernama Chen Thai pun dengan cekatan mengelak dan balik menyerang. Mereka pun beradu jurus sambil disoraki
oleh orang-orang yang berada di dekatnya, sebelum muncul petugas ketertiban dari pihak Shaolin yang melerai mereka.
Hari itu benar-benar hari yang sibuk bagi perguruan Shaolin sebagai tuan rumah. Perselisihan semacam itu bukan hanya
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 8 Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama