Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 21

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 21


terjadi satu dua kali, tapi berkali-kali.Baik antar pendukung calon Wulin Mengzhu, atau bahkan perselisihan lama yang
kembali muncul karena bertemu secara tidak sengaja di hari itu. Di baris-baris depan saja perkelahian seperti itu tidak terjadi, maklum saja, mereka yang duduk di baris ini sudah memiliki nama dan tidak mudah terpancing untuk saling
berselisih, meskipun saling ejek atau saling sindir masih juga terjadi.
Lepas dari perkelahian yang terjadi, pertanyaan yang sama sebenarnya juga muncul dalam benak banyak orang. Mengapa
Lu Jingyun yang tidak suka terikat, kali ini justru menceburkan diri dalam pemilihan Wulin Mengzhu"
Setelah saling memberi hormat, Ximen Lisi juga menanyakan hal yang sama, "Saudara Lu Jingyun, nama besar saudara
sudah sering aku dengar. Hanya saja sedikit mengherankan, Saudara Lu Jingyun yang terkenal tidak suka terikat dengan
macam-macam aturan, mengapa kali ini ikut maju dalam pencalonan Wulin Mengzhu?"
Lu Jingyun hanya tersenyum-senyum saja dan menjawab, "Jika orang seperti dirimu ingin menjadi Wulin Mengzhu, aku pun
jadi ingin ikut-ikutan mencoba jadi Wulin Mengzhu."
"Orang seperti diriku" Aku tidak mengerti". Memangnya aku orang semacam apa?", tanya Ximen Lisi sambil tertawa kecil.
"Kukira Ximen Lisi tentu tahu orang macam apa dirinya tanpa kuberitahu", ujar Lu Jingyun dengan santai.
Ximen Lisi pun tersenyum dingin dan berkata, "Hm..hm" baguslah kalau begitu. Kuharap kau sudah siap untuk berhadapan
denganku kalau begitu."
"Entahlah" kalau ternyata kemampuanmu di luar dugaanku, aku akan lari", jawab Lu Jingyun ringan.
Mendengar jawaban Lu Jingyun, Ximen Lisi tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, benar-benar lelaki sejati. Tidak malu diberi
julukan pendekar empat kaki."
Disindir demikian Lu Jingyun hanya tersenyum saja, "Sudah selesaikah kau tertawa" Kalau sudah selesai, sebaiknya kita
mulai saja pertarungan ini, aku sudah bosan mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulutmu."
Merah padam wajah Ximen Lisi mendengar jawaban Lu Jingyun yang pedas, "Bagus ! Sebaiknya Saudara Lu Jingyun
berharap masih bisa lari selesai kita bertarung nanti."
Lu Jingyun tidak menjawab apa-apa, hanya tangannya memberi tanda agar Ximen Lisi cepat-cepat memulai. Ximen Lisi
menggeram marah, dengan wajah murka dia mencabut golok yang dia bawa. Lu Jingyun sendiri yang bersenjata sepasang
pisau pendek segera bersiap menerima serangan lawan. Ximen Lisi tidak membuang waktu lagi, segera setelah Lu Jingyun
mencabut sepasang pisaunya, dia pun dengan cepat menyabetkan goloknya menyerang Lu Jingyun.
Jangan salah melihat penampilan Ximen Lisi yang lemah lembut seperti seorang sastrawan, goloknya menyambar-nyambar
dengan ganas membawa hawa pembunuhan yang pekat. Lu Jingyun pun menunjukkan kemampuan yang mengangkat
namanya dalam dunia persilatan, tubuhnya bergerak lincah mengatasi cepatnya sambaran golok Ximen Lisi. Meskipun
demikian nama Ximen Lisi juga bukan nama kosong, sudah beberapa jurus berlalu Lu Jingyun tidak juga menemukan
kelemahan dalam pertahanan Ximen Lisi.
Golok sendiri bukanlah senjata andalan Ximen Lisi, 18 macam senjata semuanya dia bisa menggunakan. Jurus tangan
kosong maupun senjata lontar juga bisa dia lakukan dengan baik, tidak ada yang tahu persis apa ilmu yang ditekuni dan
menjadi andalan Ximen Lisi. Atau mungkin Ximen Lisi memang ahli dalam segala ilmu bela diri. Sesekali terlihat Ximen Lisi menggunakan beberapa jurus dari Shaolin, Kongtong, dan Kunlun. Dengan menggunakan jurus yang campur aduk itu,
beberapa kali Ximen Lisi berhasil mendesak Lu Jingyun, namun berkat kecepatan geraknya di saat-saat terakhir Lu Jingyun selalu berhasil melepaskan diri. Melihat Ximen Lisi bisa menggunakan jurus-jurus golok dari beberapa perguruan, alis
mereka yang berasal dari perguruan tersebut pun berkerut. Namun karena jurus-jurus yang digunakan Ximen Lisi belum
bisa dianggap merupakan jurus-jurus rahasia dari perguruan mereka, maka mereka pun menahan diri untuk tidak
mengucapkan apa-apa. Bagaimana pun juga, perguruan mereka sudah berdiri ratusan tahun, entah sudah ada berapa ratus
atau ribu murid yang lulus dari perguruan dan tersebar di dunia persilatan. Tidak mungkin mereka bisa terus menerus
menjaga agar jurus-jurus milik perguruan mereka tidak tersebar juga pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan
dengan perguruan mereka. Yang lebih mengagumkan adalah kemampuan Ximen Lisi untuk mempelajari begitu banyak
aliran dan mengombinasikannya dengan baik.
Tapi nama besar Lu Jingyun bukanlah nama kosong belaka, perlahan-lahan kecepatan gerak Lu Jingyun semakin meningkat.
Hingga pada satu titik, Ximen Lisi mulai kesulitan untuk mengikuti kecepatan gerak Lu Jingyun. Jika sebelumnya Lu Jingyun hanya bisa menghindar, setelah memasuki jurus ke 30 Lu Jingyun mulai balas menyerang.
Dengan kecepatan geraknya Lu Jingyun berhasil menghindari serangan Ximen Lisi, menyerang di titik terlemah, kemudian
kembali menghindar sebelum golok Ximen Lisi berhasil menyentuhnya. Semakin lama, gerakan Lu Jingyun semakin cepat.
Bukan hanya mengincar titik lemah dalam pertahanan Ximen Lisi, beberapa kali Lu Jingyun bahkan berhasil menghilang dari pandangan Ximen Lisi. Tidak mampu mengikuti kecepatan gerak Lu Jingyun, ganti Ximen Lisi yang dipaksa untuk bertahan.
Ximen Lisi memiliki kepekaan panca indera yang tajam, meskipun Lu Jingyun berhasil menghilang dari pandangannya dan
menyerang dari sudut yang tidak terlihat oleh matanya, Ximen Lisi masih bisa menggunakan perasaan dan intuisinya untuk
menentukan dari mana Lu Jingyun akan menyerang. Goloknya pun dengan segera menyambar ke arah Lu Jingyun, sebelum
Ximen Lisi sempat mengubah kedudukan tubuhnya. Dengan demikian sekian lama Lu Jingyun berhasil lari dari mata Ximen
Lisi, tapi belum ada serangan yang berarti dari Lu Jingyun. Beberapa kali justru Lu Jingyun yang harus cepat menghindar sebelum sempat menyerang, karena dengan tiba-tiba golok Ximen Lisi menghadang di depan jalannya.
Melihat keadaan Lu Jingyun, tiba-tiba Ding Tao bertanya, "Jika aku turun tangan untuk menolong salah seorang dari
mereka, apakah itu akan dianggap mengganggu jalannya pertandingan?"
Para pengikutnya pun saling memandang dan mengangkat alis, Ma Songquan kemudian balas bertanya, "Maksud ketua
menolong salah seorang dari mereka untuk memenangkan pertarungan ini?"
"Bukan" bukan begitu" sejak kekalahan Saudara Bai Shixian, aku sudah merasa sangat menyesal. Seharusnya pertarungan
yang terjadi, tidak perlu terjadi sampai saling melukai apalagi mengorbankan nyawa. Aku hanya berpikir, jika kalah dan
menang sudah jelas, lalu aku ikut campur hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, apakah bisa dianggap
mengganggu jalannya pertandingan?", jawab Ding Tao menjelaskan.
Liu Chuncao dan Ma Songquan saling berpandangan, kemudian Liu Chuncao menjawab, "Jika demikian halnya kurasa tidak
akan dianggap demikian. Asalkan pihak yang kalah tidak menggunakan kesempatan itu untuk melukai yang seharusnya
memenangi pertandingan."
"Hmm" benar juga" tapi kurasa jika waktunya tepat, aku bisa memastikan hal itu tidak terjadi.", gumam Ding Tao.
"Selain itu, ketua juga harus memastikan agar keadaannya benar-benar tepat. Jika ada keraguan tentang siapa yang
seharusnya menang dan siapa yang seharusnya kalah, maka bisa jadi pihak yang kalah akan mengelak dari kenyataan dan
melanjutkan pertarungan. Padahal menang dan kalah, terkadang hanya sebatas rambut. Yang kalah di satu saat, bisa jadi
menang bila diberi kesempatan beberapa jurus lebih banyak. Jika demikian yang terjadi, banyak orang akan menyalahkan
ikut campurnya ketua dalam pertarungan itu.", Liu Chuncao buru-buru menjelaskan.
Ding Tao mengerutkan alis dan berpikir, "Hmmm" tidak mudah juga ya?"
"Menurut ketua sendiri siapa yang akan kalah dalam pertarungan ini?", tanya Ma Songquan.
"Menurutku Saudara Lu Jingyun yang akan kalah dalam pertarungan ini dan jika aku tidak ikut campur untuk menahan
serangan terakhir Saudara Ximen Lisi, maka kalaupun tidak mati, tentu Saudara Lu Jingyun akan cacat seumur hidup.",
jawab Ding Tao dengan yakin.
Para pengikutnya yang mendengar perkataan Ding Tao itu, tidak ada yang meragukan pendapatnya. Ada juga pihak luar
yang mendengar ucapan Ding Tao, mereka ini pun mulai berbisik-bisik membicarakan dugaan Ding Tao dan juga keinginan
calon Wulin Mengzhu yang satu ini.
Lei Jianfeng yang akhirnya mendengar juga apa yang dikatakan orang mengenai pembicaraan antara Ding Tao dan
pengikutnya, meludah ke atas tanah dan bergumam, "Dasar, bocah kecil yang sok suci."
"Ketua, jika boleh tahu apa alasan sebenarnya sehingga ketua ingin menyelamatkan Lu Jingyun?", tanya Ma Songquan.
Ding Tao terdiam sejenak sebelum menjawab, "Sejak aku secara tidak sengaja membuat Saudara Bai Shixian terluka parah,
hatiku sudah merasa terganggu. Bagaimana pun juga, kami sebenarnya tidak memiliki permusuhan apa-apa. Demikian juga
saat melihat Saudara Deng Songyan harus mengalami cedera yang sedemikian berat, hingga kemungkinan besar untuk
selanjutnya dia menjadi orang yang cacat. Akhirnya aku pun merasa, seandainya bisa, aku harus berusaha agar tidak jatuh lebih banyak korban dari saudara segolongan sendiri."
Sekali lagi para pengikut Ding Tao saling berpandangan, tiba-tiba Wang Xiaho tersenyum lebar. Orang tua itu menepuk
perlahan bahu Ding Tao dan berkata, "Jika demikian pandangan ketua, maka lakukan saja apa yang ketua pandang benar.
Kami semua akan berdiri di belakang ketua."
Ding Tao pun menoleh ke belakang dan di sana dilihatnya wajah-wajah bersahabat. Seluruh dunia persilatan boleh saja
menyumpahi Ding Tao dan mempertanyakan ketulusannya. Namun orang-orang ini percaya penuh pada dirinya dan siap
untuk berdiri di sampingnya saat kesulitan datang. Dengan sendirinya Ding Tao merasakan keragu-raguan yang sempat
menguasai dirinya lenyap, oemuda itu balas tersenyum dan kembali memperhatikan pertarungan yang sedang terjadi di
depannya dengan cermat. Ding Tao sudah mengambil keputusan, mulai saat ini dia akan berusaha agar tidak ada korban
lain yang jatuh dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini.
Mereka yang mendengar perhitungan Ding Tao tentang jalannya pertarungan, awalnya banyak yang tidak percaya dengan
pendapat Ding Tao. Tapi setelah puluhan jurus berlalu, terbukti Ding Tao dengan tepat memperhitungkan jalannya
pertarungan. Lu Jingyun yang dipaksa untuk bergerak dalam wilayah yang lebih luas, perlahan-lahan mulai menurun
kecepatannya. Seandainya Lu Jingyun bisa menggunakan kecepatannya untuk menyarangkan satu atau dua serangan,
mungkin dia bisa memenangkan pertarungan ini. Namun Ximen Lisi bisa menutupi kelemahannya dalam hal kecepatan
dengan pertahanan yang rapat dan pembacaan keadaan yang tepat. Sementara Lu Jingyun hanya memiliki kecepatan saja,
saat kecepatannya mulai menurun, Ximen Lisi sudah bersiap untuk kembali menyerang.
Beberapa belas jurus kembali berlalu dan saat itu pun tiba. Dengan susah payah Lu Jingyun berusaha menghindari serangan Ximen Lisi yang mencecarnya tanpa jeda. Ding Tao semakin waspada, matanya dengan tajam mengawasi jalannya
pertarungan. Dalam hati Ding Tao berharap Lu Jingyun menyerah seperti apa yang dilakukan Shan Zhengqi saat menyadari dirinya tidak
mungkin menang melawan Tong Baidun. Apalagi di awal pertandingan Lu Jingyun sudah mengatakan akan melarikan diri
seandainya dia tidak tahu tidak bisa memenangkan pertarungan ini. Namun berbeda dengan apa yang dia katakan di awal
pertandingan, jelas Lu Jingyun tidak berniat untuk menyerah sebelum dia tergeletak tak berdaya.
Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Lu Jingyun, namun Lu Jingyun tetap tidak menyerah. Sesekali dia bahkan berusaha
untuk menyerang Ximen Lisi, meskipun untuk melakukan hal itu dia harus mengambil resiko yang tidak kecil. Luka-luka pun mulai menghiasi tubuh Lu Jingyun.
"Hehe, apakah ini belum waktunya untuk melarikan diri" Atau kau sudah kehabisan tenaga untuk lari?", ejek Ximen Lisi.
Merah wajah Lu Jingyun, tiba-tiba dia menggeram dan melemparkan sebuah pisau pendeknya ke arah Ximen Lisi. Sebilah
pisau itu pun berkelebat cepat menyambar Ximen Lisi dengan suara mendengung. Serangan Lu Jingyun itu sedikit di luar
dugaan tapi tidak membuat Ximen Lisi kehilangan pengamatan. Dengan cepat Ximen Lisi menggeser tubuhnya untuk
menghindar sambil menarik balik serangan goloknya untuk berjaga. Seperti yang sudah dia duga di saat dia bergerak
menghindar, Lu Jingyun melepaskan pisau kedua. Pisau kedua ini berkelebat jauh lebih cepat daripada serangan yang
pertama, jelas serangan yang pertama hanya berfungsi untuk memancing gerakan lawan dan serangan kedua bertujuan
sebagai serangan yang sesungguhnya. Banyak penonton yang terkejut melihat serangan Lu Jingyun ini, lontaran Lu Jingyun
tidak di bawah serangan Tong Baidun.
Selamanya Lu Jingyun lebih banyak mengandalkan kecepatannya dan berkelahi dengan tangan kosong. Jika dia merasa
tidak bisa menang, dia pun akan lari tanpa memikirkan apa ucapan orang.
Entah mengapa kali ini terihat berbeda, bahkan Lu Jingyun sampai menggunakan jurus serangan simpanannya. Tapi yang
dia hadapi adalah Ximen Lisi yang tidak pernah kehilangan kewaspadaan. Serangan putus asa Lu Jingyun dengan mudah
dihindarkan, bahkan karena Ximen Lisi sudah bersiap maka begitu goloknya berhasil menangkis serangan pisau kedua,
golok itu dengan cepat berbalik arah menyambar ke arah Lu Jingyun yang sekarang harus bertarung tanpa senjata.
"Lu Jingyun menyerahlah!", seru Ximen Lisi tanpa memperlambat sedikit pun ayunan goloknya.
"Sampai mati aku tidak akan menyerah padamu!", seru Lu Jingyun sambil melemparkan diri ke belakang, menghindari
ayunan golok Ximen Lisi. Ximen Lisi tentu saja tidak membiarkan Lu Jingyun lepas begitu saja, tubuhnya meluncur ke depan, memburu Lu Jingyun
yang berusaha mengelak dari serangan Ximen Lisi yang bertubi-tubi. Di saat-saat yang genting ini, semangat Lu Jingyun
ikut terbangkit, entah oleh kemarahannya pada ejekan Ximen Lisi atau oleh naluri bertahan hidup yang dia miliki. Lu
Jingyun kembali bergerak dengan cepat, entah dari mana sepasang pisau pendek kembali berada di tangannya. Lu Jingyun
yang bangkit semangatnya ini berani menyerang dengan mengorbankan diri sendiri. Luka-luka di tubuhnya seperti tidak dia rasakan. Ximen Lisi pun dipaksa untuk berhati-hati dalam menyerang dan tidak melupakan pertahanan.
Sebenarnya jika Ximen Lisi mau dia bisa saja menyudahi pertarungan ini lebih cepat, tapi dengan mengambil resiko terluka pula oleh serangan Lu Jingyun. Melihat serangan Lu Jingyun yang membabi buta, justru membuat Ximen Lisi waspada. Dia
sadar, kalaupun dia menang melawan Lu Jingyun, jika dia mendapat kemenangan itu dengan sebuah luka berat di
tubuhnya, itu sama artinya dia harus melupakan kedudukan Wulin Mengzhu karena Lei Jianfeng yang akan dia hadapi di
babak berikutnya bukanlah lawan yang mudah. Sebaliknya Lu Jingyun juga memperhitungkan hal ini dan dengan beraninya
mengambil resiko. Pendek kata, sekalipun Ximen Lisi berhasil menabas putus lehernya, setidaknya dia masih bisa
menyarangkan sepasang pisaunya dalam-dalam ke tubuh Ximen Lisi. Sekarang nyawanya boleh saja melayang, tapi dengan
luka yang didapatkan, nyawa Ximen Lisi sama saja tinggal menunggu giliran berikutnya, saat dia berhadapan dengan Lei
Jianfeng. Itu sebabnya pertarungan yang seharusnya bisa dimenangkan dengan mudah oleh Ximen Lisi, menjadi pertarungan yang
lebih panjang dan sukar. Di lain pihak, melihat kenekatan Lu Jingyun, adalah Ding Tao yang jadi semakin berdebar-debar.
Seluruh syarafnya sudah menegang, tidak ubahnya dia sendiri yang sedang bertarung di atas panggung.
Meskipun demikian, perlahan-lahan Ximen Lisi kembali mendapatkan posisi yang lebih baik. Setinggi apa pun semangat Lu
Jingyun, kekuatan tubuhnya tetap saja terbatas. Tapi perlawanan Lu Jingyun yang penuh semangat membuahkan hasil,
meskipun tidak bisa dikatakan seimbang dengan pengorbanan nyawa. Selain dia berhasil banyak menguras tenaga Ximen
Lisi, beberapa luka sudah menghiasi lengan Ximen Lisi. Luka goresan pisau Lu Jingyun itu sendiri tak terlampau dalam dan berbahaya, namun luka tersebut tidak ubahnya sebuah corengan di atas gemerlapnya reputasi Ximen Lisi. Setidaknya dalam
benak Ximen Lisi sendiri, karena itu dengan hati panas Ximen Lisi pun bertekad untuk membasuh rasa malu dan kesalnya
dengan darah Lu Jingyun. Dalam sebuah serangan Lu Jingyun dipaksa untuk melompat mundur bergulingan di atas panggung. Ximen Lisi yang tidak
sempat melompat mengejar, menimpukkan goloknya. Goloknya pun berkelebat cepat, menjadi bayangan hitam yang
melesat cepat ke arah Lu Jingyun.
Dengan sekuat tenaga, Lu Jingyun menjejakkan kaki untuk mengubah arah gerak tubuhnya yang sedang meluncur ke
belakang. Golok Ximen Lisi pun gagal menembusi tubuh Lu Jingyun dan melaju tipis di sisi kiri Lu Jingyun. Dengan
kedudukan yang masih goyah, Lu Jingyun menggunakan kesempatan yang langka itu untuk menerjang Ximen Lisi yang
tidak bersenjata. Kesempatan tidak akan datang dua kali, Lu Jingyun yang sadar dirinya sudah mulai kehabisan tenaga tidak memiliki kesempatan kedua. Dengan pemikiran itu, Lu Jingyun pun mengerahkan seluruh sisa tenaga yang dia miliki untuk
menyerang Ximen Lisi. Tubuhnya melesat cepat ke depan, dengan pisau di tangan siap diayunkan.
Di luar dugaan setiap orang, golok yang sudah melaju, melewati tubuh Lu Jingyun, tiba-tiba berputar dan sekarang
mengancam punggung Lu Jingyun yang terbuka lebar.
Lu Jingyun yang merasakan desiran angin di belakang tubuhnya, tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya melaju terlampau
cepat ke depan, dia sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengubah arah. Satu-satunya yang dia harapkan adalah dia
bisa maju lebih cepat dari sambaran golok yang datang dari belakang. Ingin mengerahkan lebih banyak tenaga untuk
mempercepat luncuran tubuhnya ke depan pun sudah tidak bisa. Lu Jingyun hanya bisa pasrah pada nasib saja.
Tubuh Lu Jingyun meluncur cepat ke depan. Golok Ximen Lisi yang dengan ajaibnya berubah arah dan sedang bergerak
hendak menabas tubuh Lu Jingyun juga bergerak dengan cepat. Hanya Ximen Lisi tidak juga beranjak dari tempatnya.
Di saat yang sama seorang yang lain dari luar panggun berkelebat dengan cepat mendekat ke arah dua orang yang sedang
bertarung. Sebuah percikan bunga api, sebuah denting dan suara logam beradu, suara teriakan pedih seorang yang terluka.
Setiap kejadian berlangsung dengan sangat cepat, terasa seperti bersamaan meskipun bukan bersamaan.
Saat semuanya berhenti bergerak yang mereka lihat adalah Ding Tao yang berdiri dengan tangan menghunus pedang.
Sebuah potongan golok yang terlempar di atas lantai panggung dan sedang berputar-putar, terguling-guling tak tentu arah sebelum akhirnya diam. Lu Jingyun yang berlutut dengan punggung sobek oleh golok Ximen Lisi yang sekarang sudah
kutung separuh lebih. Dan Ximen Lisi yang memandangi Ding Tao dengan pandangan yang berapi-api.
Ketika mereka semua diam, barulah mereka yang ada di baris terdepan dan memiliki mata yang tajam, melihat seuntai
rantai tipis yang terikat di pergelangan tangan Ximen Lisi, rantai yang terus terulur dan menjuntai ke arah potongan golok yang baru saja melukai punggung Lu Jingyun. Rupanya gagang golok Ximen Lixi menyimpan segulung rantai atau benang
tipis yang kuat, pada saat Ximen Lisi melemparkan goloknya ke arah Lu Jingyun, seutas rantai itu masih menghubungkan
golok dengan pemiliknya. Saat Lu Jingyun berhasil menghindari golok, Ximen Lisi menendang rantai tipis itu, menciptakan sebuah poros di tengah rantai yang terentang. Golok pun sekarang bergerak berputar ke arah Lu Jingyun dengan kaki
Ximen Lisi yang menahan rantai sebagai pusatnya.
Melihat dari keadaannya, jika Ding Tao tidak menyerbu masuk dan memotong golok Ximen Lisi, sudah tentu sekarang ini
tubuh Lu Jingyun sudah tertabas menjadi dua buah potong. Golok yang sudah kutung itu saja, masih sempat melukai
punggung Ximen Lisi cukup dalam.
Dengan cekatan bhiksu tua yang bertugas mengobati mereka yang cedera dalam pertandingan, sudah berada di atas
panggung bersama dengan dua bhiksu muda yang bertugas untuk membantunya.
"Tuan", bagaimana keadaannya?", tanya Ding Tao dengan khawatir.
Bhiksu tua itu menyelesaikan pekerjaannya, membersihkan luka dan memeriksa keadaan Lu Jingyun sebelum menjawab,
"Syukurlah, berkat pertolongan Ketua Ding Tao, Tuan Lu Jingyun tidak menderita satu luka yang membahayakan jiwanya.
Maju sedikit lagi, tentu tulang belakangnya akan terluka oleh golok Tuan Ximen Lisi dan untuk seterusnya dia akan menjadi orang cacat."
"Ketua Ding Tao, apakah perbuatanmu ini tidak keterlaluan?", tanya Ximen Lisi dengan dingin.
Perhatian Ding Tao yang sebelumnya lebih tertuju pada Lu Jingyun yang terluka pun, teralihkan ke arah Ximen Lisi, "Ah", maafkan aku Saudara Ximen Lisi, tapi kukira, tindakanku ini tidak merugikan siapa-siapa. Soal siapa menang dan siapa
kalah, kukira semuanya sudah jelas. Saudara Lu Jingyun pun tentu akan mengakui kekalahannya. Aku hanya sekedar
mencegah agar tidak ada korban yang jatuh lagi."
"Hmm" bukankah kita semua sudah biasa mempertaruhkan nyawa" Yang naik ke atas panggung ini sudah sadar akan
resikonya. Mengapa Ketua Ding Tao merasa perlu untuk menyusahkan diri, bertindak seakan-akan diri sendiri yang paling
benar dan berlagak sok suci?", tegur Ximen lisi dengan ketusnya.
Jantungnya berdebaran oleh kemarahan, wajah Ding Tao pun memerah mendengar teguran Ximen Lisi yang dilakukan di
hadapan orang banyak, "Saudara Ximen Lisi, terserah apa penilaianmu terhadap perbuatanku, tapi jelas apa yang
kulakukan tidak merugikan dirimu. Jadi dengan alasan apa kau menegurku" Apakah lebih baik, jika sesama saudara
segolongan saling membunuh dan mencederai?"
"Bagaimana dengan dirimu sendiri" Bukankah kau sudah membunuh lawanmu di babak pertama" Apakah nyawa Lu Jingyun
lebih berharga dari nyawa Bai Shixian?", tanya Ximen Lisi tidak mau mengalah.
Sambil menggertakkan gigi Ding Tao menjawab, "Hati-hati dengan ucapanmu Ximen Lisi. Nyawa mereka berdua kupandang
sama berharganya, apa yang terjadi pada Saudara Bai Shixian membuatku sangat menyesal. Seandainya ada yang bisa
menghentikan seranganku pada waktunya, sehingga Saudara Bai Shixian bisa terhindar dari seranganku, aku akan sangat
berterima kasih pada orang tersebut. Justru kau yang haus darah ini yang membuatku muak."
"Tapi tindakanmu sudah merugikanku", kata Ximen Lisi.
"Apa maksudmu?", tanya Ding Tao penasaran.
Ximen Lisi menunjuk pada kutungan goloknya, "kau sudah mengutungkan senjata yang kupercaya. Setiap pendekar yang
berlatih menggunakan senjata tentu tahu, senjata yang sudah dipakai selama bertahun-tahun, tidak ubahnya seperti
anggota badan sendiri. Berat senjata, jangkauannya, kekuatannya, setiap aspek dari senjata itu sudah begitu kita kenal
sehingga dengan demikian kita bisa menggunakan senjata itu dan mengembangkan jurus yang kita miliki dengan
semaksimal mungkin. Sekarang kau sudah mengutungkan golokku, jika nanti aku harus bertarung dengan senjata yang
lain, bukankah kerugian ada di pihakku?"
Ding Tao merasa bahwa Ximen Lisi hanya mengumbar kata-kata kosong, Ximen Lisi dikenal sebagai seorang pendekar yang
bisa menggunakan segala jenis senjata tanpa pernah menggunakan senjata khusus tertentu. Namun Ding Tao juga tidak
berani memastikan bahwa Ximen Lisi hanya berbohong saja. Lagipula Ding Tao juga tahu, seperti apa rasanya memiliki
senjata yang baik dan sudah dikenal.
Tidak ingin menuduh orang sembarangan namun juga merasa orang sedang bermain kata-kata saja, akhirnya Ding Tao
hanya bisa mengeraskan hati dan bertanya, "Baiklah, tapi hal itu sudah terjadi, lalu apa maumu?"
Ximen Lisi tersenyum mengejek dan berkata, "Tidak ada yang bisa kau lakukan, golok sudah terpotong jadi dua, dalam
waktu yang singkat ini mana bisa dikembalikan seperti semula. Jelas sangat merugikanku saat babak kedua melawan
Saudara Lei Jianfeng nanti."
Ximen lIsi sengaja terdiam sejenak seperti sedang berpikir, kemudian dia menambahkan, "Tapi setidaknya ada satu hal
yang bisa kaulakukan."
"Apa itu?", tanya Ding Tao.
"Bila aku beruntung bisa lolos ke babak selanjutnya, kemudian kita harus saling berhadapan di babak terakhir, kau bisa
membuat keadaan sedikit lebih berimbang bila kau berjanji untuk tidak menggunakan pedangmu itu. Aku tanpa golok
kepercayaanku dan kau tanpa pedang andalanmu. Bagaimana?", tanya Ximen Lisi pada Ding Tao.
"Huh! Tipuan anak kecil, Ketua Ding Tao jangan termakan oleh ucapannya!", sergah Tang Xiong sambil melompat ke depan
menjajari Ding Tao. Rupanya Tang Xiong sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan Ximen Lisi. Lagipula mereka semua merasa ucapan itu
terlalu mengada-ada. Jelas tujuan utama Ximen Lisi adalah menghalangi Ding Tao untuk menggunakan pedang pusaka yang
dia bawa. Setiap orang bisa melihat bahwa pedang Ding Tao bukanlah pedang sembarangan. Jika tidak mana mungkin golok
yang tebal dan berat bisa dipotong hingga putus. Selain itu, kabar burung tentang munculnya pedang angin berbisik di
tangan Ding Tao masih diingat banyak orang. Tang Xiong yang khawatir Ding Tao termakan oleh ocehan lawan, segera maju
ke depan untuk mengingatkan, tapi Ding Tao mengangkat tangannya, memberi tanda agar Tang Xiong dan yang lain diam.
"Aku terima syaratmu itu.", jawab Ding Tao dengan tegas.
"Ketua Ding Tao?", seru Tang Xiong penasaran.
Lu Jingyun yang sudah selesai dirawat dan ikut mendengarkan pembicaraan mereka pun berseru, "Saudara Ding Tao!"
Tapi Ding Tao mengangkat tangannya, meminta mereka semua diam dan sekali lagi menegaskan, "Jika kau bisa lolos ke
babak selanjutnya dan aku pun beruntung bisa lolos, sehingga kita saling berhadapan, aku akan menghadapimu dengan
menggunakan pedang lain dan bukan dengan pedang andalanku ini. Apakah kau sudah puas?"
Ximen Lisi mengangguk puas dan menjawab, "Bagus, tidak salah kabar yang mengatakan bahwa Ketua Ding Tao adalah
seorang lelaki sejati. Aku percaya pada janjimu."
Di tempat duduknya Lei Jianfeng memandangi Ximen Lisi yang berjalan kembali ke kursinya dengan amarah yang menyalanyala. Harga dirinya tersinggung karena Ximen Lisi sudah berani membicarakan babak selanjutnya, seakan-akan dia pasti
menang melawan Lei Jianfeng. Ding Tao sendiri sudah mengalihkan perhatiannya pada Lu Jingyun.
"Saudara Lu Jingyun, bagaimana keadaanmu?", tanyanya dengan perhatian yang tulus.
Lu Jingyun tersenyum kecut dan menjawab, "Heheheh, kalau bukan karena pertolongan Ketua Ding Tao tentu aku sudah
tinggal nama sekarang ini. Entah, apakah ada sesuatu yang Ketua Ding Tao inginkan dariku?"
Cepat-cepat Ding Tao menggelengkan kepala, "Tidak ada, tentu saja tidak ada. Asalkan Saudara Lu Jingyun baik-baik saja, hal itu sudah membuatku senang. Sungguh aku menyesali jatuhnya pendekar-pendekar hebat dalam pertandingan kali ini.
Tidak ada maksud lain kecuali berusaha mencegah jatuhnya lebih banyak korban lagi."
Lu Jingyun menganggukkan kepala, namun terlihat tidak sepenuhnya percaya pada Ding Tao, "Ah" begitu rupanya... Tidak
salah jika Ximen Lisi memanggilmu lelaki sejati. Kalau begitu aku pamit lebih dulu, aku ingin mengistirahatkan tubuhku


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang terluka ini."
Ding Tao pun buru-buru memberi jalan pada Lu Jingyun yang berjalan pergi sambil dibantu dengan seorang bhiksu muda
dari Shaolin. Tidak seperti Lu Jingyun, bhiksu tua yang sebelumnya juga sempat mengobati Ding Tao, tampaknya menaruh
kepercayaan pada pemuda itu.
"Tuan, baik sekali apa yang tuan lakukam barusan. Kuharap tuan tidak menjadi kecil hati dengan tanggapan orang yang
bermacam-macam.", ujar bhiksu tua itu.
Ding Tao pun mengangguk dengan sopan dan menjawab, "Sudah kupikirkan masak-masak apa yang tuan bhiksu katakan.
Bukankah sekarang ini yang bisa kita lakukan hanya berusaha mengurangi jumlah korban semampu kita. Tuan bhiksu
dengan kemampuan tuan dalam hal pengobatan dan aku dengan sedikit kepandaian yang kumiliki."
Bhiksu tua itu tersenyum senang, "Baguslah kalau tuan berpandangan seperti itu. Perlu tuan ketahui, jatuhnya korban juga membuat sedih ketua kami dan sahabat ketua kami Pendeta Chongxan. Namun sebagai penyelenggara pertandingan ini,
tangan mereka lebih banyak terbelenggu dengan berbagai kesulitan. Lepas dari itu semua, apa yang tuan lakukan
mendapat dukungan dari mereka, meskipun hanya dalam hati saja."
Selesai menyampaikan itu, bhiksu tua itu pun pergi kembali ke tempatnya, meninggalkan Ding Tao yang termangu
beberapa saat lamanya. Pandang mata Ding Tao pun melayang ke arah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Kedua
orang tokoh besar itu dengan samar menganggukkan kepala mereka begitu tatapan mata mereka saling bertemu. Dengan
hati yang lega dan bersemangat, Ding Tao membungkukkan badan, memberikan hormat pada mereka sekalian yang duduk
berdampingan, ke arah para pimpinan enam perguruan besar. Saat dia kembali untuk duduk di kursinya, nyeri di lengan
kirinya pun jadi terlupakan untuk sesaat lamanya.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena baru saja dia duduk, seorang bhiksu Shaolin yang bertugas membacakan
jalannya pertandingan sudah maju ke depan dan mengumumkan hasil pertandingan di babak pertama dan pertandingan
yang akan diadakan berikutnya.
Siapa lagi jika bukan Ding Tao dan Tong Baidun.
Selesai nama mereka dipanggil, keduanya pun tidak membuang waktu untuk maju ke atas panggung. Tong Baidun tanpa
malu-malu atau ragu, menggunakan taktik yang sama yang dia pakai saat melawan Shan Zhengqi. Begitu dia merasa jarak
paling optimal antara dirinya dan Ding Tao tercapai, dia pun merangkapkan tangan di depan dada dan mengucapkan salam.
Menurut hemat setiap oragn, Ding Tao yang sudah menyaksikan jalannya pertarungan antara Tong Baidun dan Shan
Zhengqi tidak perlu terjebak dalam jebakan yang sama. Maju saja berjalan, beberapa langkah lebih dekat, sebelum
membalas salam Tong Baidun.
Tapi tentu saja bukan Ding Tao namanya jika dia melakukan hal itu. Sejak kehadirannya dalam dunia persilatan, apa yang
dia lakukan seringkali berada di luar perhitungan orang pada umumnya. Dalam hal ini ada kemiripan antara Ding Tao dan Lu Jingyun, apa yang hendak dia lakukan akan dia lakukan. Bedanya Lu Jingyun hanya menuruti keinginan hatinya, sedangkan
Ding Tao berusaha mengikuti prinsip yang dia yakini bukan apa yang dia ingini. Jika dia yakin itu benar, maka dia akan
melakukannya tanpa memperhitungkan pendapat banyak orang. Demikian juga sekarang, jika orang lain memberi salam,
sudah selayaknya dia membalas salam orang itu. Jadi itu pula yang dilakukan Ding Tao, meskipun sekarang dia harus
menghadapi masalah yang sama yang dihadapi Shan Zhengqi.
Di lain pihak, bisa dikatakan seandainya saat itu bukan Ding Tao yang berhadapan dengan Tong Baidun, orang itu tetap saja akan melakukan hal yang sama. Anggap saja Lei Jianfeng yang berhadapan dengan Tong Baidun, masakan dia mau
mengakui ketakutannya pada senjata rahasia Tong Baidun" Jika dia tidak segera membalas salam dari Tong Baidun dan
berusaha memperpendek jarak antara dirinya dengan Tong Baidun sebelum pertarungan dimulai, bukankah itu artinya dia
sudah mengakui keunggulan lawan"
Dengan demikian pertanyaannya bukan pada mengapa Ding Tao membalas salam Tong Baidun meskipun dia sudah tahu hal
itu akan merugikannya. Pertanyaannya sekarang adalah, dengan cara bagaimana Ding Tao hendak mengubah kedudukan
yang merugikannya itu, sehingga dia bisa meraih kemenangan.
Kedua jagoan itu pun berdiri dengan tenang, saling berhadapan dengan seluruh panca indera dikerahkan untuk menangkap
gerakan lawan dan keadaan di sekitarnya. Pernafasan Ding Tao dan Tong Baidun sama-sama masih teratur dan tidak
terganggu dengan ketegangan yang semakin memuncak. Keadaan tubuh mereka bisa dikatakan rileks dan waspada di saat
yang bersamaan. Ding Tao tidak ingin membuat tubuhnya terlalu tegang dengan terlalu bersiap sedia terhadap serangan
lawan. Seperti busur yang direntangkan penuh, jika anak panah tidak segera dilepaskan maka tangan pun akan mulai pegal
dan kewaspadaan akan terganggu. Yang terbaik adalah dalam keadaan siap namun rileks, perubahan dari diam jadi
bergerak hanya dalam hitungan kejapan mata.
Tong Baidun sadar, lawan di hadapannya tidak sama seperti lawan yang sebelumnya. Dalam hal menjaga agar syaraf tidak
terlalu tegang, meskipun tetap waspada, Tong Baidun memiliki keuntungan. Dia dapat menyerang lawan sementara lawan
tidak mungkin menyerang dia tanpa mendekat terlebih dahulu.
Dengan keyakinan seperti ini, tentu saja lebih mudah bagi Tong Baidun untuk tetap rileks sambil menunggu lawan
melakukan kesalahan. Entah sudah berapa helaan nafas berlangsung dan keduanya masih saja berdiri dalam diam, saling berhadapan. Tidak
terlihat tanda-tanda akan ada yang bergerak lebih dulu. Kali ini tidak ada suara-suara yang mengeluhkan pertandingan yang membosankan itu. Masih segar dalam ingatan mereka nasib dari Bi Yonggi yang tidak bisa menjaga lidahnya. Adu
kesabaran, adu kekuatan psikis dan mental, keduanya saling bertatapan dan mengamati lawan, tanpa melakukan gerakan.
Tong Baidun dengan mata elangnya, melihat bagaimana nafas Ding Tao tidak juga berubah iramanya. Otot-otot di badannya
tidak sedikitpun menunjukkan keseimbangannya terganggu. Memikirkan hal itu, Tong Baidun sempat tergoncang
perasaannya untuk beberapa kejap.
Yang sekejap itu tidak lepas dari pengamatan Ding Tao, dalam sekejap itu Ding Tao menggeser kedudukannya maju
beberapa langkah. Ding Tao tidak melompat dalam satu lompatan yang besar, dia bergerak dengan cepat tapi dengan
langkah yang pendek-pendek, sehingga setiap saat dia bisa mengubah arah gerakannya dengan cepat. Kelemahannya dia
tidak bisa menutup jarak yang jauh itu secepat apabila dia melakukannya dalam satu kali lompatan.
Di lain pihak, Tong Baidun yang tadi terguncang perasaannya, tidak berada dalam keadaan yang siap untuk menyerang saat
Ding Tao mulai bergerak. Hal itu membuat dia semakin gugup dan tidak sempat berpikir untuk mengamati gerakan Ding
Tao dan memilih waktu yang tepat untuk menyerang. Demi menjaga agar jarak di antara mereka berdua tetap sama, Tong
Baidun pun menyurut mundur beberapa langkah.
Tapi Tong Baidun bukan baru kali ini berhadapan dengan tokoh besar dalam dunia persilatan. Menyadari kesalahannya,
Tong Baidun pun berusaha menguasai kembali perasaannya secepat mungkin. Ding Tao yang tidak pernah melepaskan
pengawasannya bisa melihat perubahan di ekspresi wajah dengan gerak-gerik Tong Baidun. Saat Tong Baidun kembali
mendapatkan kendali atas dirinya, selarik cahaya hitam melesat cepat mengarah ke bagian tubuh Ding Tao yang terdekat,
yaitu ke arah lutut Ding Tao yang sedang bergerak ke depan. Tidak kalah cepat Ding Tao menggerakkan pedang yang masih
berada dalam sarungnya untuk menangkis serangan tersebut.
4 kali serangan susul menyusul dilepaskan Tong Baidun, memaksa Ding Tao untuk berhenti bergerak. Meskipun tidak
satupun serangan Tong Baidun mengenai sasaran, setidaknya serangan itu membantu Tong Baidun untuk meneguhkan
kembali kedudukannya. Untuk beberapa lama mereka pun kembali berdiri diam dan saling mengamati. Beberapa orang penonton tanpa sadar
mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya keluar kuat-kuat.
"Ah" dasar sialan, membuat jantungku jadi berdebaran begini.", gerutu salah seorang dari mereka.
Ya, tontonan kali ini bukan hanya membosankan tapi juga teramat sangat membuat orang menderita. Menunggu bosan, tapi
jika perhatian mereka teralihkan sedikit saja, bisa jadi pada saat itu akan terjadi gebrakan yang paling menentukan hasil pertarungan ini. Sehingga yang menyaksikan pertarungan itu dipaksa untuk beradu konsentrasi, kesabaran dan ketenangan
dengan dua petarung yang berada di atas panggung.
Mereka yang masih lemah pengendalian dirinya dengan cepat kehilangan fokus dan butuh waktu lama untuk bisa kembali
mengikuti pertarungan itu dengan sabar.
Salah satunya adalah Sun Gao yang masih muda, anak muda itu menggerutu dengan suara perlahan. "Mengapa juga Ketua
Ding Tao tidak menggunakan saja ilmu barunya, dengan begitu pertarungan akan jadi lebih seru dan selesai dalam waktu
yang singkat." Ayahnya yang mendengar keluhan itu tertawa kecil dan menjawab, "Kenapa kau hilang kesabaran" Ketua Ding Tao yang
berhadapan dengan orang bermarga Tong sendiri saja masih bisa sabar. Gunakan kesempatan ini untuk melatih
kesabaranmu, teladanilah Ketua Ding Tao, dari segi umur dia seumuran denganmu, namun kesabaran dan ketenangannya
sudah jauh melampaui dirimu."
Qin Bai Yun yang ikut mendengar teguran Sun Liang pada Sun Gao, menyeringai pada temannya itu, dia pun berbisik pada
Sun Gao, "Rasakan kau."
"Sialan", gerutu Sun gai sambil memukul pundak sahabatnya itu.
Di atas panggung, rupanya justru Tong Baidun yang terlebih dahulu habis kesabarannya. Melihat ketenangan Ding Tao dan
belajar dari kesalahan sebelumnya, akhirnya Tong Baidun sampai pada kesimpulan bahwa dia harus memaksa Ding Tao
bergerak terlebih dahulu dan menunggu Ding Tao membuat kesalahan. Setelah sampai pada kesimpulan itu pun, dia segera
bersiap. Meskipun dari luar tidak terlihat ada pergerakan, mau tidak mau, hawa pembunuh itu terasa keluar dari tubuh Tong Baidun. Dari sini bisa dilihat seberapa tinggi tingkat kepandaian Tong Baidun. Semakin menanjak kekuatan dan semangat
seseorang, semakin cepat terasa dan semakin menekan semangat yang timbul dari kesiapan mereka untuk menyerang.
Namun di tingkat-tingkat yang tertinggi, justru keinginan itu tidak bisa dirasakan oleh lawan.
Jika Ding Tao orang awam, bisa jadi dia mengkerut ketakutan oleh tekanan semangat lawan, tapi dia sudah pernah
menghadapi lawan yang lebih mengerikan dari Tong Baidun. Hawa pembunuh yang memancara dari Tong Baidun hanya jadi
pertanda bagi Ding Tao untuk bersiap-siap dan meningkatkan kewaspadaan. Mereka yang menyaksikan dan berilmu cukup
tinggi juga bisa merasakan adanya perubahan situasi di atas panggung, dengan sendirinya tubuh mereka menegak dan
jantung mereka berdebar sedikit lebih cepat, mengantisipasi badai serangan yang akan segera mereka saksikan, bahkan
mungkin juga akan ada beberapa senjata lontar yang berkunjung ke tempat mereka duduk menonton.
Benar saja, begitu Tong Baidun selesai mengumpulkan hawa murni dan sudah mapan semangatnya, segera saja belasan
senjata rahasia melesat cepat ke arah Ding Tao. Benar-benar unik serangan Tong Baidun ini, tiap-tiap senjata rahasia
dilemparkan dengan tenaga dan kecepatan yang berbeda-beda. Ada serangan yang sekedar memancing gerakan lawan, ada
serangan yang tujuannya menutup jalan mundurnya lawan ada pula serangan yang memang ditujukan untuk melukai
lawan. Kalau dibuat contoh yang paling sederhana, Tong Baidun bisa melontarkan satu serangan yang terlihat cepat padahal
lambat. Saat Ding Tao menghindar ke samping, Tong Baidun melepaskan serangan lain yang lebih cepat, sementara
serangan yang pertama justru berada di belakang serangan kedua. Akibatnya, jika Ding Tao menghindari serangan yang
kedua dengan kembali ke posisinya semula, dia justru akan bertemu dengan senjata rahasia Tong Baidun yang pertama kali
dilepaskan. Dan semuanya itu jadi lebih rumit, karena Tong Baidun memiliki variasi serangan yang sangat beragam. Ada
yang terlihat cepat tapi tiba-tiba melambat, ada yang di awalnya terlihat lambat tapi semakin lama semakin cepat, ada pula senjata yang dapat bergeser arah serangannya bahkan ada yang dapat berputar kembali menyerang Ding Tao dari belakang
sesudah melewati Ding Tao dari samping.
Saat bertarung melawan Shan Zhengqi, Tong Baidun baru bermain dengan kecepatan serang senjata rahasianya untuk
mengacaukan pengamatan Shan Zhengqi. Baru sekarang inilah mata setiap orang jadi terbuka, betapa mengerikannya
senjata rahasia milik Tong Baidun.
Terlebih Ding Tao yang berhadapan dengan senjata-senjata Tong Baidun. Lebih sulitnya lagi, sudah menjadi pengetahuan
umum, senjata rahasia milik keluarga Tong ada pula yang dilapisi dengan racun, sedikit saja luka goresan di atas tubuh
sudah bisa mengakibatkan kematian. Mati-matian Ding Tao mencoba menyelamatkan diri dari serangan senjata rahasia
Tong Baidun, tapi bukannya mundur, justru Ding Tao memilih untuk berusaha mendekat maju. Semakin pendek jarak
antara Ding Tao dengan Tong Baidun, semakin singkat waktu yang dimiliki Ding Tao untuk menangkis atau menghindari
senjata rahasia yang dilepaskan Tong Baidun. Mengingat hal itu, Tong Baidun memutuskan untuk bertahan di posisinya saat ini dan tidak menjauh dari Ding Tao yang langkah demi langkah semakin dekat dengan dirinya. Tong Baidun memilih untuk
mencecar Ding Tao dengan lebih banyak serangan, kalaupun dia tidak bisa melukai Ding Tao, dia berharap bisa memaksa
Ding Tao mundur. Ketika melihat sudah sekian puluh senjata rahasia dilepaskan, tapi Ding Tao masih juga mampu berjalan mendekat ke
arahnya. Keringat dingin mulai membasahi dahi Tong Baidun. Jarak mereka sudah tinggal beberapa langkah lagi. Jika Ding
Tao bisa melampaui jarak itu, maka Ding Tao bisa melepaskan serangan ke arah Tong Baidun.
Tong Baidun pun bersiap untuk melompat mundur, jika Ding Tao berjalan satu langkah lagi lebih dekat. Dalam
ketegangannya, Tong Baidun mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam melepaskan senkata rahasia. Tujuh macam
senjata rahasia dilepaskan dalam satu tarikan nafas, tujuh tempat terancam oleh serangan itu. Menyusul 9 macam senjata
rahasia yang berbeda dilepaskan pula di tarikan nafas yang kedua, menutup jalan bagi Ding Tao untuk menghindar dari
serangan yang pertama. Ding Tao pun menggertakkan gigi dan membangkitkan semangatnya, tangan kanannya berkelebatan ke atas dan ke bawah,
menangkis serangan Tong Baidun. 1, 2, 3, 4 senjata rahasia berhasil ditangkisnya, namun 3 yang lain sudah terlalu dekat.
Tanpa bisa dihindari lagi, 3 senjata rahasia itu pun dengan telak mengenai tubuh Ding Tao. Dua di bahunya dan satu di
punggungnya. "Kena!", Tong Baidun pun bersorak, seraya melompat mundur, menjauh dari Ding Tao yan masih bergerak mengejarnya.
Sambil berhitung dalam hati, Tong Baidun berusaha lepas dari desakan Ding Tao yang berusaha memojokkan dia di sudut
panggung. Ding Tao sendiri saat Tong Baidun berseru, bergerak lebih cepat dan berusaha mendesak Tong Baidun
secepatnya. Jantung tiap orang berdebaran, sekarang ini pertanyaannya, siapa yang lebih cepat" Ding Tao yang hendak
mengirimkan serangan maut ke arah Tong Baidun atau racun dari senjata rahasia Tong Baidun. Suasana pun jadi hening
mencekam, baik pendukung Ding Tao maupun pendukung Tong Baidun tidak ada yang mampu mengeluarkan suara untuk
bersorak. Bahkan mereka yang tidak mendukung keduanya pun ikut menyaksikan dengan tegang. Nyawa dua orang jagoan
tingkat atas sedang berada di ujung tanduk. Apakah Ding Tao akan mati sebelum dia berhasil menyerang Tong Baidun
ataukah Ding Tao akan berhasil mengajak pembunuhnya mati bersama"
10 hitungan sudah berjalan, namun tidak ada tanda-tanda Ding Tao menderita keracunan. Akhirnya Tong Baidun masuk
dalam jangkauan Ding Tao dan sebuah serangan dilancarkan. Tong Baidun pun dipaksa untuk mengelak mundur, semakin
terpojok di sudut panggung. Sungguh tidak masuk akal Tong Baidun, karena seharusnya sudah dua hitungan yang lalu Ding
Tao terkapar di atas panggung. Tapi bukan saja pemuda itu tidak terkapar tak berdaya, bahkan dia masih menyerangnya
dengan hebat Sambil mengelak dari serangan Ding Tao yang berikutnya, hampir putus asa Tong Baidun pun menghamburkan senjata
rahasianya yang paling berbisa.
Jarak mereka sudah begitu dekat, belasan biji peluru pipih dengan ujung tajam itu menyambar dengan cepat ke arah Ding
Tao. Senjata ini bukan saja beracun tapi juga lebih berat daripada jarum-jarum yang ringan. Kalaupun Ding Tao kebal
racun, senjata ini akan mampu menembusi otot dan uratnya dan mengakibatkan luka yang cukup parah. Dengan
pedangnya yang belum dicabut, Ding Tao mengebaskan 3 senjata yang mengarah ke wajahnya, tapi 9 senjata yang lain
tidak sempat dia tangkis ataupun hindari. Mata Tong Baidun menatap nyalang ke arah laju senjata rahasia yang dia
lemparkan. Waktu seperti melambat dan mata Tong Baidun pun mendelik tak percaya. Pada saat senjata rahasianya hampir
mengenai tubuh Ding Tao, tiba-tiba baju yang dikenakan pemuda itu seperti mengembang. 9 senjata rahasia yang melaju
itu tiba-tiba melambat begitu mendekati Ding Tao dan runtuh sebelum berhasil melukai Ding Tao sedikitpun, seakan
tertahan oleh tenaga yang tak terlihat.
Tercengan, tergoncang, Tong Baidun pun tak sempat mengelak saat tangan Ding Tao bergerak menghajar perutnya. Tong
Baidun hanya bisa mengeluh tertahan, terhuyung mundur dengan isi perut terasa terbalik. Saat dia akhirnya bisa
menegakkan badan dan menengadahkan kepala, yang terlihat adalah ujung pedang Ding Tao yang mengancam tepat di
antara dua matanya. Entah sejak kapan, Ding Tao mengempit sarung pedangnya di ketiak tangan kiri, mencabut pedangnya dan menodongkan
pedang itu ke arah Tong Baidun. Jarak antara mata pedang dengan dahi Tong Baidun tidak lebih dari 1 cun. Senjata rahasia Tong Baidun boleh saja cepat, tapi sebelum dia bisa menggerakkan tangannya, dahinya sudah terlebih dahulu berlubang.
Memandang Ding Tao dengan rasa tak percaya, Tong Baidun berucap lemah, "Aku kalah"."
Suasana yang hening mencekam pun dengan segera pecah oleh sorak sorai para pengikut Ding Tao, diikuti oleh sorakan ragu-ragu oleh mereka yang mendukung Ding Tao namun bukan pengikut Ding Tao. Dua orang bhiksu tua yang ahli dalam
hal pertabiban, melompat dengan cepat mendekati Ding Tao. Dalam bayangan mereka saat ini, pemuda itu tentu sedang
mengerahkan hawa murni untuk mencegah racun merambat ke seluruh tubuhnya. Di saat yang sama, entah siapa yang
memulai, tapi jelas berasal dari kelompok pengikut Ding Tao. Sebuah bisikan menyebar ke seluruh penjuru.
"Yi Cun Kai!" "Yi Cun Kai?" Apa maksudnya Yi Cun Kai" Baju besi satu inci" Apa maksudnya itu"
Entah siapa yang memulai, kisah tentang Ding Tao yang berhasil mempelajari sebuah ilmu dari daratan yang jauh pun
menyebar di antara orang-orang dunia persilatan yang sedang menyaksikan pemilihan Wulin Mengzhu tersebut. Karena ilmu
itu sendiri sebenarnya dirahasiakan keberadaannya, sudah tentu yang pertama kali membocorkan adalah dari pengikut Ding
Tao sendiri. Oleh karena perasaan gembira yang meluap, tanpa sadar sekelompok kecil mereka yang tahu, membocorkan
rahasia ini pada sesama pengikut yang tidak tahu. Yang tidak tahu ini pun dengan rasa bangga yang meluap,
menceritakannya pada teman dan kenalan, meskipun mereka ini bukan pengikut Partai Pedang Keadilan. Dari satu mulut ke
mulut yang lain. Suasana pun dengan cepat menjadi riuh oleh suara mendengung, bisik-bisik yang terjadi hampir secara
bersamaan di seluruh penjuru.
Ma Songquan hanya bisa menggelengkan kepala, "Hehh". Siapa lagi ini yang sudah menyebarkan cerita tentang Yi Cun
Kai?" Wang Xiaho yang masih meluap kegembiraannya menyaksikan Ding Tao menang melawan Tong Baidun tertawa terbahakbahak sambil menepuk-nepuk pundak Liu Chuncao yang berada di sampingnya, "Hahahaha, siapa yang peduli" Cepat atau
lambat mereka juga akan mendengarnya."
Liu Chuncao pun mengangkat bahu, menatap Ma Songquan sambil menyengir, tak bisa menahan kegembiraannya,
"Saudara Wang Xiaho benar, bagaimana pun juga toh ilmu itu sudah diperlihatkan. Setidaknya Tong Baidun tentu bisa
menyaksikannya dalam jarak begitu dekat. Kalaupun tidak ada dari saudara sendiri yang bercerita, sebelum pertarungan
antara Lei Jianfeng dan Ximen Lisi selesai, semua orang yang ada di sini tentu sudah mendengar ceritanya."
Akhirnya Ma Songquan pun ikut tersenyum dan tertawa bersama saudara-saudaranya yang lain.
Jadi sebenarnya apa itu Yi Cun Kai" Dari sekian banyak kitab-kitab ilmu silat yang dikoleksi keluarga Murong, ada satu kitab yang bukan berasal dari daratan Cina sendiri. Menurut penulisnya ilmu itu berasal dari sebuah pulau yang jauh, di selatan daratan Cina, melewati samudra luas dan beberapa kepulauan. Sebuah negara yang jauh namun sudah maju
peradabannya. Sebuah negara yang penuh dengan berbagai cerita akan kekuatan misterius dan mistis.
Ketika Murong Yun Hua mendapati kitab ini, dengan serta merta dia mengajukannya pada Ding Tao. Pertama, kalaupun
Ding Tao mempelajari ilmu ini, maka tidak akan ada aliran ilmu bela diri di daratan yang akan merasa dicuri ilmunya oleh Ding Tao. Yang kedua, apabila benar ilmu itu bisa dipelajari dan digunakan, bukankah ilmu ini setanding dengan ilmu baju besi milik Ren Zuocan" Sebuah bekal yang tepat untuk mengimbangi Ren Zuocan yang menjadi lawan utama Ding Tao
nantinya. Yi Cun Kai sendiri, seperti namanya, membentuk sebuah perisai yang tak terlihat di sekujur tubuh penggunanya. Sebuah
perisai setebal 1 cun yang terbentuk oleh olahan hawa murni, menyebabkan setiap serangan lawan terhenti 1 cun sebelum
benar-benar mengenai tubuh penggunanya.
Ding Tao sendiri sebenarnya belum menguasai ilmu ini secara sempurna, sehingga dia tidak bisa menerapkan ilmu ini
dengan cepat. Ding Tao masih butuh waktu untuk mengolah hawa murni di tubuhnya, menerapkan ilmu ini, sampai perisai
itu benar-benar siap dan bisa menangkal serangan lawan. Beruntung lawan Ding Tao kali ini adalah Tong Baidun. Siasat
Tong Baidun yang menunggu lawan melakukan kesalahan, justru berbalik merugikan Tong Baidun sendiri. Di saat mereka
saling diam itu, Ding Tao justru mendapatkan kesempatan untuk menggerakkan hawa murninya sesuai apa yang diajarkan
dalam kitab itu. Sehingga tatkala dia mulai menyerang, ilmu itu sudah diterapkan dengan sempurna. Sebenarnya tidak perlu Ding Tao susah payah menghindar ataupun menangkis senjata rahasia Tong Baidun, namun Ding Tao masih berharap bisa
mengalahkan Tong Baidun tanpa menunjukkan ilmu andalannya tersebut. Hanya saja, ilmu Tong Baidun memang tidak bisa
dianggap enteng, meskipun Ding Tao berusaha semampunya untuk menangkis dan menghindari senjata rahasia Tong
Baidun, tetap saja beberapa di antaranya lolos dan berhasil menghajar tubuh Ding Tao.
Setelah 3 senjata rahasia Tong Baidun berhasil mengenai dirinya dan satu-satunya yang menahan adalah ilmu baru yang
dia andalkan. Ding Tao pun beranggapan tidak ada gunanya lagi dia berusaha menyembunyikan ilmu itu. Ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa ilmu itu belum benar-benar dikuasainya sehingga Ding Tao hanya bisa menggunakan ilmu itu
dalam waktu yang terbatas, maka Ding Tao pun memutuskan untuk mengakhiri pertarungan mereka secepat mungkin. Itu
sebabnya gerakannya pun berubah jadi semakin cepat dan semakin berani.
Di saat yang sama Tong Baidun yang menyangka Ding Tao sudah terkena senjata beracunnya, tidak dengan segera
menyerang pemuda itu lagi. Sampai di saat yang paling kritis, barulah dia menghamburkan senjata rahasianya. Ding Tao
terpaksa menangkis serangan yang mengarah ke wajahnya, karena ilmunya yang belum sempurna, belum bisa melindungi
bagian-bagian yang lemah seperti mata, lubang hidung dan telinganya.
Meskipun ilmu itu sendiri belum sempurna, namun apa yang ditunjukkan Ding Tao sudah cukup untuk membuat heboh
seluruh orang dunia persilatan yang menyaksikan pameran kekebalan tubuhnya itu.
Sangat jarang tokoh dalam dunia persilatan yang memiliki ilmu baju baja seperti Ren Zuocan. Meskipun cukup banyak
macam ilmu kebal yang dikenal, seperti Tie Bu Shan dari Shaolin atau Jin Zhong Zhao dari aliran Dao, tapi sangat jarang ada tokoh persilatan yang melatih ilmu tersebut. Salah satu alasannya adalah karena sulitnya untuk menguasai ilmu itu
secara sempurna, sampai pada taraf di mana ilmu itu bisa digunakan secara efektif dalam satu pertarungan. Ilmu-ilmu ini justru lebih banyak dipelajari oleh pesilat jalanan yang mencari uang dengan mempertontonkan ilmu kebal mereka.
Sebelum mereka mulai menusukkan tombak atau membiarkan tubuh mereka dipukul dengan keras, tentu mereka terlebih
dahulu menghabiskan waktu beberapa lama untuk menerapkan ilmu kebal mereka itu. Waktu yang tentunya tidak selalu
tersedia sewaktu bertarung dalam pertarungan yang sesungguhnya. Apalagi ilmu kebal Ding Tao ini bukanlah ilmu kebal
yang sudah umum dikenal, tentu saja mengundan rasa tertarik orang-orang persilatan untuk membahasnya.
Lei Jianfeng dan Ximen Lisi yang menyaksikan pertarungan itu memiliki pemikirannya sendiri-sendiri. Dengan kemenangan
Ding Tao atas Tong Baidun itu artinya bila mereka memenangkan pertandingan berikutnya, mereka harus menghadapi Ding
Tao dengan ilmu yang bernama Yi Cun Kai itu.
Lei Jianfeng mengamati bagaimana Ding Tao mengebaskansenjata rahasia yang mengancam daerah mukanya dan berpikir,
"Hmm" kalaupun dia memiliki ilmu kebal, toh ilmu itu belum bisa melindungi seluruh tubuhnya. Jika demikian aku bisa
berfokus pada daerah kepalanya. Selain itu pada saat melawan Bai Shixian, bukankah lengannya jadi patah oleh pukulan
Bai Shixian" Berarti kemungkinan besar, ilmu kebal Ding Tao mungkin bisa digunakan melawan serangan senjata tajam
atau pukulan biasa, tapi tidak untuk pukulan tenaga dalam."
Lei Jianfeng memiliki keyakinan akan Luo Yan Zhang-nya, dia yakin Luo Yan Zhang tidak akan kalah dengan Tinju Petir milik Bai Shixian, sambil tersenyum Bai Shixian berpikir, "Apalagi Luo Yan Zhang milikku memiliki perkembangan yang lebih
banyak macamnya dari tinju petir miliki Bai Shixian. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan dengan ilmu kebal Ding Tao.
Justru pedangnya itu yang membuatku khawatir. Sungguh cerdik Ximen Lisi, dia bisa membuat Ding Tao berjanji untuk
tidak menggunakan pedang pusaka itu."
"Tapi saat melawan Bai Shixian yang bertangan kosong, bukankah Ding Tao memilih untuk tidak mencabut pedang
pusakanya" Moga-moga bila aku bertarung dengan tangan kosong, dia akan melakukan hal yang sama.", pikir Lei Jianfeng
dalam hati. Ximen Lisi yang duduk di sisi yang berlawanan juga sedang memikirkan infirmasi baru tentang Ding Tao ini, "Hmmm banyak
orang menggambarkan Ding Tao sebagai pemuda yang lugu. Nyatanya dia menyembunyikan ilmunya ini dari penciuman


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Hal ini membuktikan bahwa meskipun mungkin saja dia orang yang jujur, bukan berarti dia bodoh dan bekerja
secara sembarangan."
"Hmm.. saat melawan Bai Shixian mengapa dia tidak menggunakan ilmu kebalnya itu" Apakah karena tinju petir Bai Shixian
terlampau keras sehingga menembus kekebalannya" Ataukah karena Bai Shixian menyerang sebelum dia sempat
menerapkan ilmu kebalnya itu" Kukira keduanya sangat mungkin, Tong Baidun yang menunggu-nunggu hanya memberi
kesempatan pada Ding Tao untuk menyiapkan ilmu kebalnya.", pikir Ximen Lisi menganalisa kedua pertarungan Ding Tao.
"Atau bisa juga ilmu kebal itu terbatas pada badannya saja, itu sebabnya lengannya patah dan saat senjata rahasia Tong
Baidun mengarah ke wajahnya dia harus menangkisnya."
Seulas senyum pun tersungging di wajah Ximen Lisi, "Aku tahu, pada pertandingan melawan Ding Tao aku akan
menggunakan toya besi yang berat. Dengan senjata itu, kukira tenaga serangan yang dihasilkan tidak berada di bawah tinju petir Bai Shixian. Seandainya Ding Tao menggunakan pedang pusakanya, toya besi itu bisa dengan mudah dia potong-potong. Tapi dia sudah berjanji untuk tidak menggunakan pedang pusakanya, jadi tidak ada yang perlu kukhawatirkan."
Baik Lei Jianfeng dan Ximen Lisi sama-sama sudah tersenyum membayangkan kemenangan di depan mata, ketika mereka
mendengar nama mereka dipanggil untuk maju bertarung, memperebutkan posisi di babak selanjutnya. Sekilas mata
mereka pun bertubrukan dan senyum pun hilang dari wajah mereka.
"Pertarungan berikutnya, antara Pendekar Lei Jianfeng dari Qinghai melawan Pendekar Ximen Lisi dari Shanxi.", demikian
seru seorang bhiksu Shaolin yang bertugas untuk mengumumkan nama-nama mereka yang bertanding.
Belum habis gema suaranya, yang dipanggil sudah berada di atas panggung. Kali ini Ximen Lisi membawa sebuah tombak
panjang terbuat dari baja pilihan, seluruh tombak terbuat dari baja, mulai dari gagang hingga mata tombaknya, sudah tentu tombak tersebut sangat berat untuk dimainkan, namun Ximen Lisi membawanya seperti sedang membawa sebuah tombak
mainan saja. Sementara Lei Jianfeng, tetap dengan membawa sepasang pedangnya. Keduanya tampil keren dan berwibawa,
jubah luar mereka berkibar-kibar tertiup angin, baik jubah maupun pakaian dijahit dari bahan kain sutra yang mahal.
Bedanya Lei Jianfeng tampil lebih konservatif dengan warna-warna gelap, sedangkan Ximen Lisi menggunakan warna cerah,
sesuai benar dengan kemudaannya.
"Saudara Ximen Lisi, sudah lama kutunggu kau berkunjung ke Qinghai tapi sepertinya Saudara Ximen Lisi terlalu sibuk
dengan berbagai urusan. Siapa sangka akhirnya kita bertemu juga. ", sapa Lei Jianfeng.
"Kalau aku tahu Saudara Lei Jianfeng sedang menunggu kunjunganku ke Qinghai tentu aku akan pergi ke sana. Sayangnya
urusan di Shanxi sangat banyak hingga aku tidak sempat memikirkan urusan tetangga dekat.", jawab Ximen Lisi.
"Hahaha, tidak apa, toh akhirnya kita sudah bertemu sekarang. Kuharap sejak hari ini, tidak perlu lagi ada yang menebak-nebak tentang siapa yang terkuat di utara.", ujar Lei Jianfeng sambil tertawa.
"Ah" rupanya tentang hal itu, kukira siapa yang lebih kuat dan siapa yang lebih lemah sudah cukup jelas. Sehingga akupun tidak pernah berpikir untuk berkunjung ke Qinghai. Seandainya aku tahu masih ada orang-orang yang berdebat tentang hal
itu, tentu akan kusempatkan juga untuk berkunjung ke Qinghai.", jawab Ximen Lisi dengan cerdik.
"Heh, cukuplah kita bicara. Lidahmu tajam tapi apa tombakmu itu setajam lidahmu" Biarkan sepasang pedangku ini mencari
tahu.", ujar Lei Jianfeng sambil mengambil kuda-kuda.
Ucapan Ximen Lisi menyinggung harga dirinya, namun tidak menggoncangkan ketenangannya. Jagoan yang sudah cukup
berumur ini sudah kenyang dengan pengalaman dan tidak mudah dipancing emosinya. Dua orang dari generasi yang
berbeda sudah berhadapan, Lei Jianfeng yang baru saja menginjak 40-an dan Ximen Lisi yang seumuran dengan Ding Tao.
Yang satu tampil tenang dan berwibawa, Lei Jianfeng berdiri seperti sebatang pohon beringin raksasa yang sudah berdiri
kokoh selama ratusan tahun, menjadi keras dan tegar setelah melewati puluhan hujan badai dan kerasnya alam. Di
hadapannya seorang muda dengan semangat menggelora, seperti api unggun yang menari-nari, siap membakar apa pun
yang menghalangi jalannya.
"Mari", ujar Lei Jianfeng.
"Hati-hati, akan kumulai.", jawab Ximen Lisi dan secepat dia berujar, secepat itu pula tombaknya meluncur ke depan.
Cepat dan keras tombak itu meluncur ke depan, tombak yang terbuat dari baja itu pun berkilauan memantulkan cahaya
matahari, serupa sinar keperakan dia meluncur ke arah Lei Jianfeng. Dengan sebuah ayunan yang melingkar Lei Jianfeng
menangkis tombak Ximen Lisi, suara berdentang keras memenuhi telinga saat pedang bertemu tombak. Mata tombak
Ximen Lisi terdorong ke lantai panggung, kemudian terpental membal, tepat kembali menyerang Lei Jianfeng yang sedang
bergerak maju. Jangan dilihat bahannya dari baja, tombak Ximen Lisi bisa bergerak dengan lentur seperti terbuat dari kain saja. Seperti ular yang mematuk-matuk, tombak Ximen Lisi bergerak dengan lincahnya, diiringi derik-derik suara seperti
giring-giring di kaki gadis muda yang sedang berlari. Jika diamati lebih dekat lagi, terlihatlah ruas-ruas tipis di sepanjang batang tombak Ximen Lisi, rupanya tombak baja itu dibuat dari potongan-potongan yang lebih pendek dan disatukan
dengan satu cara tertentu sehingga dapat bergerak dengan lebih bebas dibandingkan tombak biasa.
Dengan kekuatan dan cara dia memainkan tombaknya, tombak Ximen Lisi terkadang bergerak hampir seluwes sebuah pecut
yang terbuat dari baja daripada sebatang tombak biasa.
Menggunakan panjang tombak dan kelincahannya Ximen Lisi menyerang Lei Jianfeng sekaligus menahan laju majunya Lei
Jianfeng mendekat ke arahnya. Sepasang pedang Lei Jianfeng sendiri, menjadi tembok pertahanan yang tangguh, sembari
Lei Jianfeng berusaha maju mendesak kedudukan Ximen Lisi. Saling menyerang dan bertahan, keduanya bertarung dengan
jurus-jurus yang mematikan namun indah dipandang. Matahasri sudah semakin tinggi di atas, pedang dan tombak
berkilauan ditempa cahayanya. Permainan pedang Lei Jianfeng lebih mantap dan bertenaga, permainan tombak Ximen Lisi
lincah dan cepat, keduanya tidak ada yang mau mengalah. Deng Songyan mengawasi pertarungan itu dengan hati yang tak
tentu. Ximen Lisi memilih tombak, Deng Songyan yang sejak kanak-kanak sudah memegang tombak dengan cepat bisa
menyelami permainan tombak Ximen Lisi, dalam hati dia bertanya-tanya, bukankah permainan tombaknya lebih baik
dibandingkan Ximen Lisi" Lalu mengapa sekarang ini yang berada di atas panggung bukan dia melawan Ximen Lisi tapi Lei
Jianfeng melawan Ximen Lisi. Jika dia lebih kuat dibandingkan Ximen Lisi, dan dia kalah melawan Lei Jianfeng, bukankah itu artinya Ximen Lisi juga akan kalah melawan Lei Jianfeng" Apakah menang kalah adalah hasil pertaruhan belaka,
kemampuan untuk memanfaatkan datangnya kesempatan yang selisihnya hanyalah sehelai rambut dibagi tujuh" Bukankah
sebenarnya permainan pedang Lei Jianfeng sudah jatuh ke dalam permainan tombaknya" Mengapa oleh karena tergelincir
pada satu kesalahan kecil saja harus berakhir dengan tragis" Seharusnya saat ini dirinyalah yang berhadapan dengan Ximen Lisi.
Tidak sedikit orang yang berpikir sama seperti Deng Songyan, mereka menunggu dan menunggu, saat-saat kekalahan
Ximen Lisi. Permainan tombak Ximen Lisi tidaklah lemah, 18 macam senjata dia kuasai dengan baik. Tiap-tiap senjata penguasaannya
tidak di bawah orang lain. Namun jika permainan tombaknya dibandingkan dengan permainan tombak Deng Songyan yang
selama belasan tahun melulu berlatih tombak, tentu saja permainan tombak Deng Songyan lebih hidup dan lebih kuat.
Jika permainan tombak Deng Songyan bisa menguasai sepasang pedang Lei Jianfeng, tidak demikian dengan permainan
tombak dari Ximen Lisi. Di sele-sela serangan tombak, sesekali Lei Jianfeng berhasil menyerbu masuk dan menyerang
dengan sepasang pedangnya. Pada saat demikian maka kelincahan dan pemahaman ruang Ximen Lisi yang baik membuat
dia bisa menghindari serangan sekaligus memperbaiki kedudukan. Pertarungan pun berjalan dengan ketat, antara Lei
Jianfeng yang sebenarnya ahli pukulan tangan kosong tapi menggunakan sepasang pedang, melawan Ximen Lisi yang
menguasai 18 macam senjata tanpa mengkhususkan diri pada satu ilmu tertentu.
Perlahan namun pasti Lei Jianfeng mulai menguasai pertarungan, dalam 10 jurus terakhir Ximen Lisi selalu didesak mundur oleh Lei Jianfeng. Pilihannya hanyalah mundur atau dia akan berada pada posisi bisa diserang namun tak bisa balas
menyerang. "Sepertinya lawan ketua di babak akhir nanti adalah Lei Jianfeng?", bisik Liu Chuncao pada Ding Tao.
"Sepertinya begitu", tapi entah mengapa aku tidak mendapatkan kesan tersebut dari wajah Ximen Lisi. Bagi setiap orang
yang melihat sudah jelas dalam beberapa jurus terakhir dia terdesak. Tapi tak kulihat ada kecemasan di wajahnya. Bisa jadi dia sedang menyiapkan sesuatu.", jawab Ding Tao yang terus mengamati pertarungan itu dengan cermat.
"Hmmm" benarkah demikian?", pikir Liu Chuncao sambil mengamati wajah Ximen Lisi.
Mereka yang mendengar percakapan itu pun jadi semakin tertarik untuk mengikuti jalannya pertarungan. Apakah
pengamatan Ding Tao akan terbukti benar"
Lei Jianfeng telah mengurung Ximen Lisi dengan langkah-langkah Bagua-nya. Semakin lama Ximen Lisi semakin terdesak,
hingga pada satu saat Ximen Lisi tidak lagi mungkin bergerak mundur karena dia sudah berada di pinggir panggung. Sebuah teriakan penuh kemenangan pun terdengar dari mulut Lei Jianfeng, mengiringi serangan kilatnya yang dilancarkan sekuat
tenaga. Pedang di tangan kiri menebas tombak Ximen Lisi, mendorongnya ke arah luar. Di saat yang bersamaan pedang di
tangan kanan bergerak menusuk ke arah lubang pertahanan yang terbuka. Jarak mereka berdua sudah begitu dekat, mata
tombak Ximen Lisi berada di belakang Lei Jianfeng dan tidak mungkin bisa digerakkan untuk menyerang Lei Jianfeng.
Di saat yag paling kritis untuk Ximen Lisi itulah tiba-tiba terjadi kejadian yang mengejutkan. Sepersekian kejap setelah Lei Jianfeng berteriak, sebuah suara berkeratakan terdengar dari tombak Ximen Lisi, dibarengi suara mendesing. Dalam
sekejap mata, tombak Ximen Lisi tiba-tiba terpisah-pisah menjadi beberapa bagian, masing-masing ruas dihubungkan
dengan sebuah rantai pendek dan di saat yang bersamaan dari pangkal tombak yang tumpul mendesing keluar sebilah mata
tombak yang lain. Kerena tombak tidak lagi menjadi sebatang tombak maka memang benar bagianujung tombak Ximen Lisi
terdorong keluar, namun bagian lain yang terpegang oleh Ximen Lisi tidak ikut terdorong oleh pedang kiri Lei jianfeng.
Dengan gesit Ximen Lisi menggunakan ruas yang dipegang tangan kirinya untuk menangkis serangan Lei Jianfeng,
sementara tangan kanan yang memegang pangkal tombak bergerak menyambar tubuh Lei Jianfeng yang tengah bergerak
mendekat. Celaka bagi Lei Jianfeng, pedang di tangan kiri menebas terlalu kuat, karena tenaga tombak yang seharusnya menahan laju pedang menjadi tidak ada. Di saat yang sama pedang di tangan kanan tertangkis ke arah luar oleh Ximen Lisi, tubuhnya
yang sedang bergerak mendekat menjadi hidangan empuk bagi mata tombak Ximen Lisi yang menebas ke depan.
Tapi bukan sekali ini saja Lei Jianfeng harus berhadapan dengan maut di depan mata, jagoan tua itu tidak menjadi gugup
menghadapi perubahan yang tiba-tiba itu. Nalurinya untuk bertahan hidup dan keteguhan hatinya dalam menghadapi
kematian memberi dia pikiran yang jernih di saat yang kritis itu. Sadar bahwa sepasang pedangnya tidak akan memiliki
waktu yang cukup untuk menahan serangan Ximen Lisi, Lei Jianfeng segera mengemposkan seluruh tenaga di kakinya
untuk melompat mundur. Tanpa malu-malu jagoan yang sudah matang itu bergulingan ke belakang untuk menghindari
mata tombak Ximen Lisi yang tiba-tiba muncul dari pangkal tombaknya, tak urung tombak Ximen Lisi berhasil mengiris dada Lei Jianfeng cukup dalam, darah pun dengan cepat mengucur deras.
Ximen Lisi yang tidak mau melepaskan kesempatan baik, memburu ke depan, namun sebelum dia sempat bergerak terlalu
dekat, sebilah pedang Lei Jianfeng meluncur cepat ke arah wajahnya dengan suara mengaung. Ximen Lisi pun dipaksa
untuk menghindar dan menyampok jatuh pedang yang disambitkan Lei Jianfeng. Masih dalam keadaan bergulingan, tangan
kanan Lei Jianfeng yang sudah tidak lagi memegang pedang, dengan cepat menotok jalan darah di sekitar luka yang
diterimanya. Saat Ximen Lisi kembali memburu ke depan, Lei Jianfeng sudah berdiri di atas kedua kakinya, melompat mundur beberapa
langkah, melintangkan pedang yang ada di tangan kiri di depan dada dan tangan kanannya menempel di pinggang siap
untuk melontarkan serangan. Ximen Lisi pun tidak berani menyerang dengan sembrono, serangan yang dia lontarkan adalah
serangan yang terukur tenaganya.
Pedang di tangan kiri Lei Jianfeng pun dengan lincah menangkis serangan Ximen Lisi, langkah bagia Lei Jianfeng kali ini digunakan untuk menghindar dan bukan lagi untuk mengurung Ximen Lisi.
Perubahan pada senjata Ximen Lisi sangat mengejutkan, membuat yang melihat pertarungan itu merasa kagum sekaligus
ngeri dengan kayanya perubahan dan rahasia yang tersimpan dalam diri ilmu bela diri Ximen Lisi dan senjatanya. Namun
terlebih kagum pada ketenangan dan kemampuan Lei Jianfeng untuk lolos dari pintu gerbang kematian yang datang dengan
tidak disangka-sangka. Bahkan Deng Songyan yang merasa benci dan penasaran atas kekalahannya di tangan Lei Jianfeng,
memandang jagoan itu dengan pandangan mata yang berbeda.
Keadaan yang dihadapi Lei Jianfeng barusan, tidaklah lebih ringan dibandingkan dengan keadaan yang dialami Deng
Songyan saat bertarung dengan Lei Jianfeng. Ketika saat-saat kemenangan berubah menjadi ancaman kematian dalam
waktu yang kurang dari sekejapan mata. Tapi kejutan yang membuat Deng Songyan membeku di tempatnya, bisa dihadapi
dengan tenang oleh Lei Jianfeng. Kejutan itu tidak membuat Lei Jianfeng kehilangan akal. Kengerian yang dihadapi ketika sadar dirinya sudah jatuh dalam jebakan lawan, tidak membekukan tubuh Lei Jianfeng. Permainan tombaknya boleh jadi
lebih tinggi beberapa lapis dibandingkan permainan senjata Lei Jianfeng dan Ximen Lisi. Namun ketenangan dan
kemampuan untuk bertindak dengan cepat di saat-saat yang kritis dari Lei Jianfeng melampaui dirinya. Di saat-saat itu,
tiba-tiba Deng Songyan mendapatkan satu kedamaian dan ketenangan yang belum pernah dia rasakan. Satu penerimaan
akan keadaan dirinya sebagai sesuatu yang memang sewajarnya terjadi. Deng Songyan menjadi manusia yang baru, tulang
bahunya yang remuk tidak menghalangi Deng Songyan untuk menemukan jalannya kembali.
Keteguhan hati, kekuatan jiwa dan semangat yang ditunjukkan Lei Jianfeng membukakan satu pintu pada jalan buntu yang
dihadapi Deng Songyan. Pada dasarnya Deng Songyan bukanlah orang yang lemah dan berjiwa sempit. Setelah melihat kematangan yang
ditunjukkan oleh Lei Jianfeng, pemuda itu menemukan kembali semangatnya sendiri. Di kemudian hari, Deng Songyan
menelurkan pemuda-pemuda berbakat dari generasi berikutnya dalam keluarga Deng. Meskipun pada akhirnya tulang
bahunya tidak dapat disembuhkan dan sebagai akibatnya kedua lengannya harus dipotong, Deng Songyan tidak kemudian
menjadi manusia yang cacat jiwanya. Justru keadaannya yang cacat membuat api dalam dadanya berkobar lebih garang.
Deng Songyan menciptakan sebuah ilmu tendangan yang didasari oleh ilmu tombak yang selama ini dia tekuni.
Menambahkan ilmu keluarga baru dalam keluarga Deng.
Belasan tahun setelah pertemuan Wulin Mengzhu ini, tersiarlah sebuah perkataan dalam dunia persilatan. Jika bertemu
dengan keluarga Deng yang membawa senjata, hati-hati dengan ilmu tombaknya. Jika hendak menghadang keluarga Deng
yang tidak membawa senjata, berhati-hatilah dengan tendangannya.
Deng Songyang yang menonton di pinggir arena boleh mendapatkan jalan hidup, tapi Lei Jianfeng yang berada di atas
panggung harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan pintu kehidupan yang semakin lama semakin tertutup.
Tombak Ximen Lisi yang sekarang berubah menjadi ruyun beruas tujuh dengan dua ujung bermata tombak, tidak kalah
mengerikan dari permainan tombak atau permainan golok Ximen Lisi. Sementara Lei Jianfeng sudah terluka berat di
dadanya, sepasang pedangnya pun sudah berubah menjadi sebatang pedang.
Ding Tao yang bertekad untuk berusaha agar tidak ada korban lain yang jatuh dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini dibuat
ketar-ketir oleh keadaan Lei Jianfeng. Untuk turun ke panggung, keadaannya belumlah memungkinkan, meskipun sudah
terdesak namun Lei Jianfeng masih melawan Ximen Lisi dengan penuh semangat. Namun keadaan Lei Jianfeng sudah
sedemikian buruknya hingga bisa terjadi setiap saat Ximen Lisi akan memberikan serangan terakhir yang menjadi penutup
pintu kehidupan bagi Lei Jianfeng. Apalagi senjata Ximen Lisi yang berupa ruyung beruas tujuh itu jauh lebih sukar
diperkirakan gerakannya dibandingkan dengan golok atau tombaknya.
Beberapa kali Ding Tao sudah bersiap untuk melompat maju namun harus membatalkan niatnya.
Tang Xiong yang ikut tegang melihat pertarungan itu dan kesulitan yang dihadapi Ding Tao, akhirnya tidak tahan lagi dan berseru, "Lei Jianfeng jangan bodoh, menyerah sajalah, sayangi nyawamu yang cuma satu itu!"
"Dengar itu orang tua, dengarkan nasihat itu, cepatlah menyerah sebelum kau terjungkal di bawah kakiku!", seru Ximen Lisi menimpali seruan Tang Xiong.
"Eh! Budak keparat! Kenapa kau berkata demikian?", seru Tang Xiong terkejut, tidak mengira Ximen Lisi membuat
seruannya jadi bahan untuk mengejek Lei Jianfeng.
Seruan kaget Tang Xiong itu hanya dijawab dengan suara tawa berkakakan oleh Ximen Lisi dan pendukungnya. Sementara
para pendukung Lei Jianfeng melirik pada Tang Xiong dengan pandang mata penuh kemarahan. Ding Tao pun menepuk
lengan Tang Xiong dan memberi tanda untuk tidak membuka mulut lagi. Terpaksa Tang Xiong hanya bisa menundukkan
kepala dengan hati mendelu, menyesali diri sendiri yang tidak bisa menahan mulut. Maksud hati Tang Xiong tidaklah buruk, namun bagi telinga Lei Jianfeng masihat yang tulus itu terdengar sebagai satu penghinaan yang memedihkan. Apalagi
setelah Ximen Lisi menyambung seruan Tang Xiong itu dengan hinaan. Bukannya membuat hati Lei Jianfeng jadi lunak,
seruan Tang Xiong itu justru membuat hati Lei Jianfeng semakin keras. Sambil menggertakkan gigi Lei Jianfeng terus
melawan Ximen Lisi dengan luka di dadanya yang terasa nyeri dan terus mengucurkan darah, meskipun tidak terlalu deras
karena sudah tertahan oleh tutukan yang dia lakukan.
Pandangan mata Lei Jianfeng mulai berkunang-kunang, kepalanya terasa ringan, gerakannya semakin melemah, tubuhnya
sudah kehilangan banyak darah yang terus mengucur tanpa henti. Ximen Lisi terus mencecar Lei Jianfeng, tidak
mengijinkan jagoan itu untuk mengambil nafas sedikitpun.
Pada jurus yang ke 71, Ximen Lisi mundur setengah langkah mengambil jarak, Lei Jianfeng yang sudah mulai hilang
kesadarannya terhuyung menghindar. Dengan satu gerakan pergelangan tangan, ruyung beruas tujuh milik Ximen Lisi
bergerak melingkar melilit pedang Lei Jianfeng. Ximen Lisi pun menghentakkan tenaga, menyendal ruyungnya ke atas,
tanpa bisa ditahan lagi pedang Lei Jianfeng terlepas dari tangannya. Alam bawah sadarnya menyadari bahaya yang
mengancam, secara intuitif Lei jianfeng berusaha bergerak menghindari serangan Ximen Lisi yang datang menyusul. Apa
daya tubuhnya sudah tidak bisa diajak bekerja sama, meskipun serangan Ximen Lisi mampu dihindari, tubuh Lei Jianfeng
tanpa bisa ditahan lagi terguling jatuh di atas panggung.
Saat itu juga tubuh Ding Tao sudah berkelebat maju ke depan,sudah cukup lama dia mengamati gerak ruyung beruas tujuh
milik Ximen Lisi. Dengan matanya yang tajam dan otaknya yang encer, dia bisa membayangkan bagaimana akhir dari
gerakan ruyun beruas tujuh itu kali ini.
Tanpa berkedip sedikitpun Ximen Lisi meneruskan jurusnya hingga puncaknya, ruyung beruas tujuh miliknya bergerak
berputaran dan dengan satu hentakan mata tombak yang berada di ujung ruyung meluncur cepat ke arah Lei Jianfeng yang
sudah tidak berdaya. Meskipun demikian Ximen Lisi sudah tahu bahwa mata tombaknya itu tidak akan sampai pada
sasaran. Matanya berkilat ketika dari ujung ekor matanya dia bisa melihat tubuh Ding Tao yang meluncur cepat ke arah
dirinya. Dengan suara melengking pedang Ding Tao menusuk mata tombak Ximen Lisi yang sedang meluncur ke arah Lei
Jianfeng yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Pedang Ding Tao meluncur dengan kerasnya, membawa mata tombak
Ximen Lisi terbang beberapa langkah jauhnya dari Lei Jianfeng.
Tapi ruyung beruas tujuh milik Ximen Lisi memiliki dua mata tombak, ketika mata tombak yang satu bergerak menusuk Lei
Jianfeng, mata tombak yang lain sedang bergerak melingkar, tersembunyi di balik punggung Ximen Lisi. Saat Ding Tao
sudah berada di depan Lei Jianfeng, mata tombak itu pun muncul dari balik punggung Ximen Lisi dari sisi yang lain,
bergerak memutar mengancam punggung Ding Tao yang dari sudut yang tak terlihat oleh mata Ding Tao.
Agaknya dari awal Ximen Lisi bukan bertujuan untuk menghabisi Lei Jianfeng, tapi dengan menggunakan Lei Jianfeng
sebagai umpan, dia sedang membuat jebakan bagi Ding Tao. Mata tombak bergerak dengan cepat menuju punggung Ding
Tao yang tak terjaga. Hanya tinggal sejengkal lagi mata tombak itu akan menembus punggung Ding Tao ketika Ximen Lisi
tiba-tiba merasakan ruyungnya tertarik ke arah yang berlawanan.
Agaknya lontaran pedang Ding Tao demikian keras, membawa mata tombak Ximen Lisi di ujung yang lain dengan kuatnya,
hingga pegangan Ximen Lisi atas ruyung beruas tujuhnya terlepas. Di saat yang kritis itu, justru pedang Ding Tao menjadi tenaga yang menahan mata tombak Ximen Lisi yang menyerang punggungnya. Ruyung yang terlepas dari genggaman
tangan Ximen Lisi sekarang berbalik meluncur ke arah yang membahayakan Ximen Lisi sendiri. Meskipun mata tombak yang
tajam masih teracung ke arah Ding tao, namun sisi-sisi yang tajam dari mata tombak itu bisa mengiris putus jari-jari tangan Ximen Lisi yang menggenggam ruas ruyung. Ruyung yang sekarang dengan cepat meluncur melalui genggaman tangannya
dengan membawa mata tombak yang tajam. Namun Ximen Lisi tidak menjadi gugup, dalam waktu yang sekejap itu dia
mengerahkan tenaganya menghentikan luncuran ruyung yang tidak terkendali itu dan dengan sebuah gerakan menyendal
dia menghunjamkan mata tombak yang meluncur ke arah dirinya ke atas lantai panggung. Sekaligus menghentikan
lanjunya mata tombak lain yang terbawa oleh pedang pusaka Ding Tao.
Tapi dalam saat yang sama tubuh Ding Tao sudah berkelebat pula dan dengan gerakan yang indah dan mengalir, mencabut
pedang pusakanya yang masih tertancap pada mata tombak Ximen Lisi, menyarungkannya kembali dan berdiri tegap di
antara Lei Jianfeng yang tidak sadarkan diri dengan Ximen Lisi yang sekarang sudah berdiri pula dengan sepasang mata
tombak di tangan. Ding Tao yang jarang-jarang terlihat marah, kali ini memandangi Ximen Lisi dengan mata menyala-nyala, "Keji sekali
perbuatanmu! Mengapa kau berusaha menyerang lawan yang sudah jelas-jelas tidak sadarkan diri?"
Sebaliknya Ximen Lisi justru memandangi pemuda itu dengan mata yang nakal, seperti seorang anak kecil yang
mendapatkan mainan baru dan sedang memikirkan cara paling unik dan menarik untuk memainkannya, "Hahaha, Ketua
Ding Tao benar-benar hebat, rupanya kau sungguh-sungguh berupaya agar tidak ada lagi korban yang jatuh."
Ding Tao tidak menjawab, hanya alisnya saja yang makin berkerut dan rahangnya mengatup erat, jika dia membuka mulut,
mungkin yang keluar hanyalah sumpah serapah.
"O o o, apakah Ketua Ding Tao sedemikian murkanya padaku" Ketua Ding Tao, aku toh tidak akan berlaku sekeji itu pada
lawan. Aku menyerang Lei Jianfeng yang sudah jatuh tak sadarkan diri, karena aku percaya Ketua Ding Tao pasti akan
menyelamatkannya dari mata tombakku itu.", ujar Ximen Lisi dengan tenang dan tertawa-tawa.
Mendengar jawaban Ximen Lisi wajah Ding Tao jadi mengendur, tidak lagi semurka sebelumnya, "Hmm" jadi maksudmu
kau bukan hendak membunuh Lei Jianfeng" Hanya memancingku untuk maju ke depan, tapi untuk apa?"
Sebelum Ximen Lisi sempat menjawab Ding Tao sudah terlebih dahulu berkata lagi, "Hmm" sungguh licik perbuatanmu,
apakah itu sebabnya kau menggunakan jurus itu, sehingga ketika aku menolong Saudara Lei Jianfeng, mata tombakmu
yang kedua menyerangku dari belakang?"
"Hahaha, benar-benar pengamatan yang jitu, seperti yang sudah kuduga, Ketua Ding Tao memiliki pengamatan yang tajam.
Memang benar di jurus ke 17, 30 dan 43, aku menggunakan jurus yang sama, tapi kukira tidak banyak orang yang bisa
mengingat jurus itu dengan tepat sehingga tahu apa yang akan terjadi setelah Pendekar Lei Jianfeng jatuh tak sadarkan
diri.", jawab Ximen Lisi dengan tenang.
Wajah Ding Tao masih gelap, meskipun tidak lagi sekeras sebelumnya, "Sepertinya Saudara Ximen Lisi sudah tidak sabar
lagi untuk memulai pertarungan di antara kita berdua?"
Ximen Lisi menengok ke arah Lei Jianfeng yang sedang digotong turun dari panggung, dikerumuni oleh para pendukungnya
dan sudah mendapatkan perawatan dari pihak Shaolin. Di dekat tangga kayu menuju ke atas panggung, bhiksu yang
bertugas mengumumkan jalannya pertandingan masih berdiri, meragu, apakah hendak naik atau menunggu mereka berdua
menyisihkan diri dari tengah arena.
"Hmm" mengapa tidak" Apakah kita sebangsa wanita yang harus berdandan terlebih dahulu sebelum mengunjukkan diri di
depan orang?", tanyanya pada Ding Tao.
"Baiklah kalau begitu", jawab Ding Tao dengan singkat sebelum menengok ke arah para pengikutnya.
"Paman pendeta Liu Chuncao, bisakah aku minta pinjam pedangmu?", ujarnya pada Liu Chuncao yang berdiri sambil
membawa pedang. Tanpa banyak tanya Liu Chuncao pun maju dengan pedangnya, sementara pedang Ding Tao diserahkan pula padanya.
Ximen Lisi memandangi mereka berdua dengan senyum dikulum.
Diapun menengok ke arah para pengikutnya yang ada di sana, "Xiaohu, ambilkan aku toya yang biasa kupakai untuk
berlatih!" Dengan tangkas, salah seorang pengikutnya pun maju membawa sebuah toya terbuat dari besi. Dengan ringan dia
melompat ke atas panggung sambil memanggul toya besi itu, kayu-kayu yang menjadi lantai panggung berderak saat orang
itu menginjakkan kakinya di atas panggung. Setiap langkahnya membawa suara berderit-derit dari panggung yang terbuat
dari kayu. Bisa dibayangkan, seberapa berat toya besi yang dia panggul.
Liu Chuncao yang memandangi orang tersebut, dengan prihatin berbisik pada Ding Tao, "Ketua" berhati-hatilah. Otaknya
sungguh panjang, bukan lawan yang mudah dihadapi" Bisa jadi apa yang dia lakukan tadi, adalah usaha untuk memancing
emosi ketua saja." Ding Tao terdiam untuk beberapa lama, kemudian menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Liu Chuncao.
. "Aku mengerti paman?", jawabnya singkat.
"Baiklah, kalau begitu aku turun dulu ketua.", jawab Liu Chuncao.
Ding Tao hanya menganggukkan kepala sekali lagi sebelum perhatiannya tertuju sepenuhnya pada Ximen Lisi yang
sekarang sudah membolang-balingkan toya besi yang ada di tangannya. Toya besi yang berat bisa dia gerakkan dengan
mudah, seperti memainkan toya kayu biasa. Pameran tenaga luar yang luar biasa ini saja sudah mengundang decak kagum
banyak orang yang menyaksikan. Mereka yang condong pada Ding Tao pun merasa jantungnya berdebaran lebih kencang.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di satu sisi adalah Ximen Lisi dengan penampilannya yang meyakinkan, memainkan sebuah toya besi yang berat dengan
mudahnya. Di pihak lain, adalah Ding Tao dengan tangan kiri masih terbebat dan digantungkan dengan menggunakan
selembar kain ke atas pundaknya, di tangan kanannya sebagai ganti pedang pusaka yang bisa memotong besi seperti
memotong sayur, hanyalah sebilah pedang biasa.
"Apa kita mulai sekarang?", tanya Ximen Lisi sambil tersenyum-senyum.
"Silahkan dimulai", jawab Ding Tao singkat.
Tanpa banyak menawar lagi Ximen Lisi pun menggerakkan toya besinya sambil berseru, "Awas serangan!"
Suara angin menderu mengikuti bergeraknya toya besi yang menggebah Ding Tao dengan kuat dari sisi kanan Ximen Lisi.
Toya berat dan kuat, Ding Tao tidak ingin mencoba-coba kekuatan pedangnya dengan menangkis serangan itu. Ding Tao
pun memilih untuk menyingkir ke belakang sembari terus memperhatikan lawan. Toya besi yang berat, setelah berputar
tentu tidak mudah dihentikan, tapi memang tidak percuma Ximen Lisi dikatakan sebagai seorang jenius dalam ilmu silat.
Toyanya terus berputar, mengikuti alurnya, di saat toya sedang berputar, giliran tendangan kaki kiri Ximen Lisi yang
mencuat keluar. Pedang Ding Tao yang sejak tadi disimpan saja di belakang punggung, dengan cepat bergerak menusuk ke
arah kaki yang menyerang. Sebelum pedang sampai mencium kaki Ximen Lisi, kaki kiri sudah ditarik kembali ke belakang
sementara toya besi kembali muncul dari sisi kanan tubuhnya dan kembali menyerang Ding Tao dengan kekuatan yang
berlipat ganda. Tapi yang banyak disebut orang sebagai jenius dalam dunia persilatan bukan hanya Ximen Lisi seorang. Tentu saja Ding Tao sudah bersiap dengan serangan toya yang berikutnya. Tubuhnya dengan cepat meliuk, merendah, menghindari serangan
toya, sementara pedangnya masih terus bergerak mengikuti gerak kaki Ximen Lisi yang ditarik mundur, kali ini arahnya
berubah ke arah pergelangan tangan Ximen Lisi.
Ximen Lisi pun melompat mundur tanpa sedikitpun membatalkan gerak toyanya yag berputaran di sekitar tubuhnya, hanya
arahnya yang digeser sedikit sehingga sekarang mengarah tubuh Ding Tao yang merendah. Dari posisi yang rendah, tentu
tidak mudah untuk bergerak, tapi nyatanya Ding Tao masih bisa menghindar. Bisa dikatakan sejak awal dia menyerang kaki
Ximen Lisi yang menendang dia sudah memperkirakan perubahan ini, dengan cekatan dia menegakkan tubuh sambil
melompat ke depan, membiarkan toya lewat di bawah tubuhnya dengan sendirinya. Sementara pedangnya sendiri masih
sekarang ganti mengejar ke arah wajah Ximen Lisi. Demikianlah Ding Tao menghindari serangan toya yang kembali datang,
tanpa sedikitpun mengendurkan serangannya atas Ximen Lisi.
Kembali Ximen Lisi dipaksa untuk mundur selangkah, kali ini dia menahan tenaga berputar yang keluar dari gerak putar
toya besinya. Dibantu dengan munculnya tenaga tolak saat ujung toya besinya menghantam lantai panggung, toya itu pun
kali ini bergerak ke arah yang berlawanan. Sementara kaki Ding Tao yang sudah menjejak lantai, dengan cepat bergerak
menghindar ke belakang. Toya besi Ximen Lisi yang kehilangan sasaran untuk ke sekian kalinya kembali berubah arah, sementara tangan yang di
depan menahan lajunya toya besi, tangan yang di belakang menggerakkan pangkal toya ke atas. Kemudian dengan gerakan
yang sebat, Ximen Lisi menusukkan toya dari posisi tersebut. Dengan tangan di depan bekerja sebagai penahan, tangan di
belakang dan ditambah berat toya itu sendiri sebagai pendorongnya, toya itu pun melaju pesat mengejar Ding Tao yang
mundur ke belakang. Mengapa di serangan yang pertama Ding Tao menyurut mundur ke belakang" Mengapa di serangan yang kedua, saat Ximen
Lisi menendang dia justru maju menyerang, jika dia tahu bahwa serangan toya yang kedua kalinya sudah siap untuk
menyambar" Mengapa setelah dua kali menyerang, Ximen Lisi mengganti pola serangannya" Dan mengapa pula Ding Tao
menghentikan serangannya"
Pada serangan toya yang pertama, Ding Tao memilih mundur ke belakang, karena dia tahu bahwa tenaga putaran toya
masih bisa dikendalikan dengan baik oleh Ximen Lisi, jika dia maju menyerang maka Ximen Lisi bisa mengubah arah
serangan toyanya setiap saat dan itu berbahaya bagi Ding Tao yang bersenjata lebih ringan.
Pada serangan yang kedua, meskipun Ding Tao tahu bahwa tendangan Ximen Lisi hanyalah pancingan, sebuah serangan
yang digunakan Ximen Lisi sekedar untuk mengisi kekosongan di antara serangan toyanya, Ding Tao berani maju ke depan.
Karena pada saat toya kembali menyerang dirinya untuk kedua kalinya, tenaga putar toya sudah dua kali lipat dari tenaga pada serangan sebelumnya. Dengan demikian, meskipun toya datang lebih cepat dan lebih kuat, jika Ding Tao menghindar
ke arah lain, tidaklah mudah bagi Ximen Lisi untuk mengubah arah serangannya. Dengan laju dan arah toya yang bisa
diperkirakan, Ding Tao tidak perlu mengkhawatirkan serangan toya Ximen Lisi dan dengan pedang yang tajam dia bisa
melukai bagian tubuh Ximen Lisi yang manapun yang bisa dia capai.
Pada putaran toya besi yang ketiga, Ximen Lisi yang mampu mengukur kekuatannya, justru mengeluarkan sedikit tenaga
untuk mengurangi tenaga putar toya besinya. Sehingga toya besinya masih menyerang Ding Tao dengan hebat, tapi tidak
secepat dan sekuat serangan yang kedua. Dengan mengurangi tenaga putar toya besinya, toya besi Ximen Lisi pun kembali
dapat dia kendalikan dengan lebih bebas. Ding Tao yang menyadari hal ini, tidak lagi melanjutkan serangannya, karena dia paham bahwa setelah gerakan menebas ke bawah itu, tenaga putar dari toya besi akan jauh berkurang dan toya bisa
bergerak ke mana saja dengan cepat. Sebelum dirinya terjebak dalam permainan toya besi Ximen Lisi, Ding Tao memilih
untuk bergerak keluar. Ximen Lisi yang tidak ingin melepaskan Ding Tao begitu saja, sekali lagi menyerang Ding Tao, tapi kali ini dengan gerakan menusuk. Gerakan menusuk lurus ke bawah dan tidak melingkar. Tenaga serang yang keluar tetap
berbahaya bagi Ding Tao, tapi kalaupun serangan itu bisa dihindarkan, maka tidak akan berupa gerakan mengalir yang
melipat gandakan tenaga serang untuk kedua kalinya. Serangan itu akan terhenti pada saat ujung toya memukul lantai dan
bisa dengan segera ditarik untuk serangan berikutnya. Demikianlah yang terjadi, gerak mundur Ding Tao tidak kalah cepat dengan toya yang menusuk deras ke arah dirinya. Ujung toya membentur lantai panggung, selisih beberapa jari di depan
kaki Ding Tao, sebelum dengan cepat ditarik kembali ke posisi semula oleh Ximen Lisi.
"Ilmu pedang yang bagus", ujar Ximen Lisi memuji.
"Toya besi yang mengerikan", sahut Ding Tao balas memuji.
Menyusul jawaban Ding Tao, toya besi Ximen Lisi pun kembali menusuk dengan cepat ke depan, tidak berani menangkis
serangan Ding Tao memilih bergerak ke samping sambil berusaha maju ke depan, mempersempit jarak di antara mereka.
Namun serangan Ximen Lisi kali ini sudah terukur benar tenaganya. Cepat untuk menyerang, cepat pula kembali ke posisi
semula. Seperti jarum mesin jahit yang bergerak ke bawah dan ke atas dengan cepat, toya besi Ximen Lisi bergerak maju
dan mundur dengan cepat, mengejar Ding Tao ke mana pun dia pergi. 12 kali serangan sebelum gerakan toya Ximen Lisi
menurun kecepatannya. Seketika itu juga ganti Ding Tao yang mengejar maju ke depan. Meskipun tenaga Ximen Lisi
sempat menurun, bukan berarti dia mudah untuk diserang. Kali ini toya besinya bergerak berputaran di sekitar tubuhnya
membentuk benteng pertahanan. Ding Tao yang bersenjatakan pedang tidak ingin pedangnya membentur toya besi Ximen
Lisi yang berat. Jika Ximen lIsi berdiri diam di tempat, sembari menggerakkan toya besinya mengelilingi tubuhnya, maka ganti Ding Tao
bergerak dengan cepat di sekeliling Ximen Lisi berusaha menemukan lubang untuk diserang. Seperti seekor lebah yang
mengelilingi bunga, hanya saja bunga yang satu ini bukan hanya batangnya berduri, salah perhitungan sedikit saja bukan
Ximen Lisi yang terluka tapi justru pedang atau bahkan lengan Ding Tao yang patah terlanggar oleh toya besi.
Setelah beberapa tarikan nafas, mulailah tenaga Ximen Lisi kembali terkumpul. Bagaimana bisa" Bukankah Ximen Lisi harus memutar toyanya untuk membentuk benteng pertahanan" Sekilas memang terlihat seperti itu, tapi dengan memegang toya
di titik keseimbangannya, maka dengan tenaga yang relatif kecil Ximen Lisi pun bisa memutar toya besi itu dengan cepat
mengitari tubuhnya. Tenaga yang membentuk benteng pertahanan itu sendiri adalah tenaga putar yang timbul dari berat
toya besi itu sendiri. Ximen Lisi hanya perlu mengeluarkan sedikit tenaga untuk menjaga agar toya tetap berputar dan
berputar mengikuti jalur yang dia inginkan.
Begitu tenaganya kembali, ganti Ximen lisi yang menyerang dari berputar untuk bertahan, toya itu pun berputar untuk
menyerang. Demikian kedua tokoh muda terbaik di jaman itu, bergantian saling menyerang dan bertahan dengan cepat.
Jurus berganti jurus, tanpa terasa 35 jurus sudah berlalu, peluh sudah membasahi tubuh keduanya. Apalagi Ximen Lisi yang harus terus menerus menggerakkan toya besi yang berat, meskipun daya kekuatan itu timbul dengan sendirinya oleh
karena gaya berat dari senjata itu sendiri, tenaga yang dikeluarkan Ximen Lisi untuk mengatur gerak dari senjata itu sudah tentu lebih besar dibandingkan Ding Tao yang bersenjatakan sebilah pedang.
Beberapa kali toya besi Ximen Lisi sempat mampir ke tubuh Ding Tao, namun berbekal ilmu kebalnya yang sudah mulai dia
terapkan perlahan-lahan sejak mereka mulai berhadapan, tubuh Ding Tao tidak mengalami cedera yang berarti.
Nyata meskipun Ximen Lisi sudah mengetahui keadaan Ding Tao, toh bukanlah perkara yang mudah untuk menyerang titik
lemah pemuda itu. Baik lengan kirinya yang patah ataupun kepalanya, beberapa kali menjadi sasaran toya besi Ximen Lisi
yang ganas, tapi Ding Tao bisa menjaga dengan baik titik-titik lemah pada dirinya. Dibarengi dengan ilmu kebal yang dia terapkan, pertahanan pemuda itu pun jadi kokoh tak tertembus oleh serangan-serangan Ximen Lisi. Namun bukan berarti
ilmu kekebalan yang dia terapkan itu tidak memiliki harga, karena untuk menerapkan ilmu kebal itu sebagian konsentrasi
Ding Tao jadi terpecah, antara pengaturan hawa murni untuk membentuk benteng tak terlihat bagi tubuhnya dan bertarung
dengan Ximen Lisi, sehingga beberapa kali kesempatan untuk menyerang jadi tersia-siakan. Penerapan ilmu itu juga
menguras cadangan hawa murni yang dia miliki. Dengan demikian setelah sekian lama bertarung, keadaan mereka berdua
tidak bisa dikatakan ada yang lebih baik atau yang lebih buruk.
Seandainya saja lengan kiri Ding Tao tidak cedera mungkin dia bisa lebih leluasa dalam bergerak dan mampu mendesak
Ximen Lisi tanpa harus terlalu banyak mengandalkan ilmu kekebalan.
Seandainya saja Ding Tao bisa mempergunakan pedang pusakanya, maka toya besi itu bisa dibuatnya jadi potonganpotongan kecil dalam waktu singkat.
Seandainya saja Ximen Lisi tidak menggunakan senjata yang demikian berat, sehingga menghasilkan daya serang yang
kuat, mungkin Ding Tao tidak perlu terlalu sering bersandar pada ilmu kekebalannya untuk melindungi tubuh, dia bisa
memanfaatkan pedangnya untuk menangkis serangan lawan.
Tapi 2 dari 3 alasan tersebut terjadi karena kecerdikan Ximen Lisi dan bukan semata-mata ketidak beruntungan Ding Tao.
Bagi para tokoh dunia persilatan yang menyaksikan pertarungan itu, kecerdikan Ximen Lisi tidak sepenuhnya dipandang sebagai satu kelicikan. Bagaimanapun juga bagi sebagian besar dari mereka, siasat dan strategi adalah bagian dari
pertarungan. Semata-mata mengandalkan kekuatan dan kecepatan, tidak ubahnya seperti seekor banteng, bukan sesuatu
yang pantas dipuji. Di lain pihak, ada pula yang justru bersimpati pada pilihan-pilihan merugikan diri sendiri yang diambil Ding Tao. Seakan tanpa siasat dia menghadapi kecerdikan Ximen Lisi, murni mengandalkan kepandaiannya dalam ilmu silat.
Meskipun memiliki pedang pusaka, Ding Tao memilih untuk tidak menggunakannya dalam setiap pertarungan yang dia
hadapi. Di saat melawan Bai Shixian yang bertangan kosong, bahkan dia tidak mencabut pedangnya, meskipun dia dikenal
sebagai pendekar pedang. Ditambah lagi beberapa kali dia bergerak untuk menyelamatkan saingannya yang tersingkir dari
bahaya kematian. Ada yang memandang dia terlalu bodoh, ada pula yang memandang dia memegang teguh kehormatan dan harga dirinya
sebagai seorang pendekar. Ada yang memandang dia sebagai seorang pendekar yang lemah hati, ada pula yang
memandang dia sebagai pendekar yang penuh welas asih.
Betapa berbeda cara tiap-tiap orang memberikan arti pada sesuatu yang dia lihat dan dia dengar. Nyata sesungguhnya,
penghakiman yang diberikan pada orang lain seringkali lebih mencerminkan keadaan diri sendiri dibandingkan keadaan yang sedang dihakimi. Hati yang keras akan memandang belas kasih orang lain sebagai satu kelemahan, hati yang penuh curiga
akan memandang kebaikan orang lain sebagai muslihat yang disembunyikan dan hati yang hanya mencintai diri sendiri akan
melihat kebaikan orang sebagai satu kebodohan. Mungkin itu sebabnya, orang berhikmat justru berhati-hati dalam menilai
orang lain, sementara orang yang bodoh dengan cepat memberikan penghakiman.
Semakin lama semakin sulit bagi Ximen Lisi untuk mengendalikan tenaga dari toya besinya, hingga pada satu titik dia
menyambitkan toya besi itu sekuat tenaga ke arah Ding Tao. Toya besi itu pun meluncur diiringi dengungan yang keras.
Menurut perkiraan banyak orang tentulah Ding Tao akan melompat menghindar, tapi di luar sangkaan orang justru Ding Tao
menyambut datangnya toya besi itu dengan dada terbuka, meskipun tubuhnya tetap bergerak menyurut ke belakang
beberapa kaki. Jika pada pertarungan sebelumnya, biji-biji senjata rahasia yang dilontarkan oleh Tong Baidun terhenti satu cun dari tubuh Ding Tao, kali ini toya besi yang dilontarkan Ximen Lisi yang terhenti satu cun jaraknya dari tubuh Ding Tao.
Apakah Ding Tao dengan sengaja memamerkan kekuatan ilmu kebalnya" Ataukah toya besi itu datang begitu cepat
sehingga Ding Tao tidak sempat menghindarinya" Sebelum keheranan mereka itu sempat terlontar, jawabannya sudah bisa
dilihat di depan mata. Tidak kalah cepat dari toya yang dilepaskan, menyusul pada saat yang hampir bersamaan Ximen Lisi menghamburkan
senjata rahasia ke arah Ding Tao. Meskipun caranya melemparkan senjata rahasia masih kalah jika dibandingkan dengan
Tong Baidun, namun kebrutalan toya besi yang dilontarkan sebelumnya seakan menjadi pengalih perhatian bagi senjata
rahasia yang jauh lebih kecil dan tidak menarik perhatian seperti toya besi yang besar dan mengerikan.
Di belakang hamburan senjata rahasia itu, masih tersimpan pula kejutan yang lain. Entah sejak kapan di tangan Ximen Lisi sekarang sudah tergenggam sebatang pedang. Rupanya di dalam toya besi masih juga disembunyikan sebilah pedang.
Dengan mata yang awas dan kecepatan tubuh yang meningkat setelah berganti dengan senjata yang lebih ringan, Ximen
Lisi bergerak menyerang Ding Tao.
Serangan yang berlapis-lapis ini pun berhasil dimentahkan oleh Ding Tao dengan tenang. Pertama dia menyusut mundur
dan menahan serangan toya besi dengan menggunakan kekebalan tubuhnya. Begitu toya besi itu kehilangan tenaga serang,
dengan sangat indah dia menggerakkan tubuh dan pedangnya. Toya besi yang dilontarkan Ximen Lisi, dibuat bergerak
berputaran dengan pedang Ding Tao sebagai porosnya, menjadi tameng melawan hamburan senjata rahasia yang datang.
Tentu saja dengan badan dan sebelah tangan, tidak mungkin memutar toya terlalu lama, ketika pedang Ximen Lisi datang
menyerang Ding Tao sudah lepas dari ancaman senjata rahasia dan toya besi pun sudah tidak lagi diperlukan. Sambil
melompat menghindar dari serangan Ximen Lisi, toya besi dibiarkan saja terjatuh berputaran, menyerang kaki Ximen Lisi
yang hendak menginjak lantai setelah melompat menyerang. Baru saja Ximen Lisi berhasil menghindar dari toya besinya
yang berputaran dengan liar, pedang Ding Tao sudah ganti menyerang.
Seandainya Ding Tao bergerak menghindar selain menyurut ke belakang, tentu senjata rahasia Ximen Lisi akan
menghadang jalannya. Saat Ding Tao kerepotan, tentu pedang Ximen Lisi akan memanfaatkan lubang yang tercipta.
Namun setiap serangan Ximen Lisi sudah diantisipasi oleh Ding Tao. Pemuda itu yakin sepenuhnya bahwa Ximen Lisi bukan
orang yang mudah merasa putus asa, sehingga melemparkan senjata yang dia gunakan tanpa menyiapkan sesuatu di
baliknya. Oleh karena itu ketika toya besi dilontarkan, Ding Tao pun menajamkan mata, membiarkan pedang di tangan
kanannya dalam keadaan siap bergerak, sambil menggunakan ilmu kekebalannya untuk menahan lajunya toya besi yang
datang. Dari diserang berbalik menjadi penyerang dalam satu jurus yang sama, mereka yang menyaksikan mau tidak mau berdecak
kagum dan mengakui keahlian Ding Tao bermain pedang, ketenangan dan kemampuannya membaca keadaan.
Dari 3 keuntungan yang berhasil diciptakan Ximen Lisi, dua di antaranya sudah hilang. Setelah tenaganya terperas akibat menggunakan toya besi yang berat tanpa memberikan hasi lyang maksimal, sekarang Ximen Lisi dipaksa untuk bertarung
menggunakan pedang yang jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan toya besinya. Dengan sendirinya tenaga serangnya
jauh lebih menurun, karena sekarang Ding Tao tidak perlu takut untuk mengadu senjata. Meskipun senjata Ding Tao
bukanlah sebuah pedang pusaka, tapi kualitasnya tidak di bawah pedang milik Ximen Lisi. Keadaanpun berbali jadi tidak
menguntungkan bagi Ximen Lisi. Meski bukan berarti Ding Tao bisa mengalahkannya dengan mudah. Di balik jubah luar
yang lebar itu, entah masih ada senjata apa lagi yang tersembunyi.
Banyaknya variasi serangan dan jenis ilmu yang dimiliki Ximen Lisi terbukti menjadi ancaman yang tidak ringan bagi lawan-lawannya. Apakah kali ini Ding Tao juga akan jatuh, mengikuti Lei Jianfeng dan Lu Jingyun, yang sudah termakan kelihaian Ximen Lisi"
Sepertinya tidak, meskipun masih berusia muda, Ding Tao dengan hati-hati menjaga kedudukannya yang lebih baik.
Pemuda itu tidak terburu nafsu menggunakan kesempatan yang ada untukmengakhiri perlawanan Ximen Lisi secepatnya.
Serangan-serangannya cepat tapi terukur, meskipun Ximen Lisi tidak bisa dijatuhkan dalam satu serangan, namun Ximen
Lisi pun tidak menemukan celah dalam pertahanan Ding Tao yang bisa dimanfaatkan untuk membalikkan keadaan.
Perlahan namun pasti Ximen Lisi didesak oleh serangan-serangan Ding Tao. Bagi mereka yang sudah pernah bertarung
dengan Ding Tao, dengan yakin mereka memprediksikan kemenangan Ding Tao. Ketika Ding Tao sudah mulai memainkan
jurus-jurusnya dengan mantap seperti saat ini, jarang terjadi ada yang bisa lolos dari permainan pedangnya. Ximen Lisi
bukanlah perkecualian, meskipun Ximen Lisi memiliki banyak akal dan terbukti tidak kalah dalam hal kekayaan ilmu dan
ketajaman pengamatan. Tapi ilmu pedang Ximen Lisi tidaklah sematang ilmu pedang Ding Tao. Serangan Ding Tao lebih
tajam dan lebih mantap, variasi perkembangan jurus pedang yang dimilikinya jauh lebih kaya. Pada saat-saat seperti inilah baru terasa kekurangan Ximen Lisi yang memilih untuk tidak mendalami satu jenis senjata saja.
Seperti tukang sulap yang sudah kehabisan tipuan, Ximen Lisi tidak memi ki apa-apa lagi untuk digunakan melawan Ding
Tao. Pertarungan jadi berlangsung lebih lama dari yang diperlukan, karena Ding Tao ragu-ragu, dengan cara apa dia bisa
mengalahkan Ximen Lisi tanpa melukainya dengan parah. Tadinya dia berharap, bisa membuat Ximen Lisi terjebak dalam
permainan pedangnya, perlahan-lahan diarahkan pada satu posisi di mana Ximen Lisi tidak memiliki jalan lain lagi. Seperti Tong Baidun yang ditodong ujung pedang di keningnya. Siapapun yang melihat bahkan Tong Baidun pun sendiri tidak akan
bisa mengelak bahwa Ding Tao telah menang, tanpa Ding Tao harus membuat lawannya jatuh tergeletak, penuh luka dan
tak berdaya di atas panggung. Berbeda antara keinginan dan keadaan yang sesungguhnya, Ximen Lisi memang cerdik, tidak
kalah cerdik dibandingkan Ding Tao. Ilmunya pun sangat beragam, sehingga pengamatannya atas serangan-serangan Ding
Golok Bulan Sabit 14 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 5

Cari Blog Ini