Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 24
membaik. Satu-satunya ganjalan di antara mereka hanyalah hubungan Ding Tao dengan Hua Ying Ying, sebagai seorang
kakak Huang Ren Fu terperangkap di antara keduanya.
Sedangkan masalah keputusan Ding Tao atas nyawa Shao Wang Gui, mereka berdua akhirnya sepakat untuk berbeda
pendapat, namun saling menghargai, berdasarkan saling percaya akan ketulusan masing-masing pihak.
Tentang hal itu Huang Ren Fu pernah berkata, "Jika aku memiliki kesempatan untuk menyatroni Biara Shaolin dan
menemukan iblis kecil itu di dalam sel tahanannya, tanpa berpikir dua kali aku akan turun tangan untuk memenggal
kepalanya." Yang atas perkataan itu Ding Tao hanya mengangguk-anggukkan kepala, "Aku bisa mengerti" aku juga tidak akan
menyalahkanmu seandainya hal itu terjadi. Hanya saja sebagai seorang sahabat, satu hal kupinta, sebelum kau menebas
lehernya, cobalah lihat dia sebagai manusia, bukan sebagai sesosok iblis atau siluman."
Huang Ren Fu tercenung sejenak, sebelum kemudian pembicaraan mereka beralih pada hal-hal lain, tiba-tiba dia berkata
pula, "Aku akan lakukan itu, aku akan coba lihat dia sebagai seorang manusia, namun kukira, tetap saja aku akan menebas batang lehernya."
Ding Tao pun jadi sedikit bingung, setelah beberapa saat otaknya bekerja, barulah dia sadar Huang Ren Fu tengah
menjawab permintaannya mengenai Shao Wang Gui.
"Terima kasih?", jawabnya singkat.
"Tidak perlu" aku tahu, nasehatmu itu kau tujukan bagi diriku sebagai sahabatmu. Bukan karena Shao Wang Gui, tapi
karena aku.", jawab Huang Ren Fu.
Lama Ding Tao menatap pemuda di hadapannya, beberapa tahun yang lalu dia adalah tuan muda bagi dirinya, sekarang
mereka berdiri sejajar. Namun tidak sedikitpun tampak adanya sikap yang merendahkan muncul dari Huang Ren Fu. Ding
Tao pun mengingat kembali, saat pertama mereka berjanji untuk menjadi sahabat. Dia mengingat pula sikap pemuda itu
jauh sebelumnya. Ding Tao pun merasa kagum pada kerendahan hati Huang Ren Fu, diingatnya setiap tingkah laku dan
tindak tanduk pemuda itu dan tidak didapatinya cela di dalamnya.
"Terima kasih" terima kasih sudah mau menjadi sahabatku", ujar Ding Tao setulus hati.
Huang Ren Fu hanya tertawa saja, sambil menuangkan secangkir the untuk dirinya sendiri. Di luar sana orang lalu lalang
dengan ramai, suara orang berteriak dan berbicara dengan keras. Hua Ying Ying sedang melihat-lihat keramaian ditemani
Chu Linhe. Hua Ng Lau berdua dengan Ma Songquan berjalan di belakang mereka, mengobrol tentang berbagai hal.
"Ah" sebenarnya ada satu masalah yang cukup penting, yang harus kusampaikan pada Ketua Ding Tao, tapi rasanya
waktunya tidak juga pas. Apalagi dengan adanya masalah dalam hubungan anak perempuanku dengannya.", ujar Hua Ng
Lau. "Ah ada soal apakah, kalau aku boleh tahu?", tanya Ma Songquan.
"Tentu saja boleh, justru aku berharap, Saudara Ma Songquan bisa membantu memikirkan masalah ini, tanpa menambah
kepusingan Ketua Ding Tao. Tentang penting atau tidaknya bolehlah kalian pertimbangkan sendiri.", jawab Hua Ng Lau.
"Tabib Hua, anda membuat aku makin penasaran, cobalah ceritakan masalahnya.", kata Ma Songquan tertarik.
Hua Ng Lau pun mulai menceritakan tentang percakapan yang ia curi dengar dari seorang pendekar Kunlun dan seorang
pengikut Ding Tao di Gui Yang. Berlanjut pada usaha mereka untuk mengurai masalah tersebut dan kesimpulan yang
mereka dapatkan. "Nah itulah yang ingin kami sampaikan pada Ketua Ding Tao, masalah ini sudah sempat aku bicarakan pula dengan Ketua
Bai Chungho, namun belum ada waktu yang terasa tepat untuk menyampaikannya pada Ketua Ding Tao. Lagipula dengan
terpilihnya Ketua Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu, juga dengan kekalahan sepasang iblis tua itu, ada kalanya kupikir
masalah ini tidaklah sebesar yang kutakutkan.", ujar Hua Ng Lau menutup ceritanya.
Alis Ma Songquan berkerut-kerut, jarinya membelai-belai pipi sendiri yang sudah mulai ditumbuhi jenggot kasar, "Hmm"
masalah ini tidak bisa dibilang kecil, sejak awal kami sudah merasa curiga dengan Perguruan Kunlun, memang tadinya kami berpikir mereka semua adalah satu komplotan besar. Tapi bisa juga, orang-orang ini bergerak sendiri-sendiri dengan
ambisinya masing-masing. Partai Pedang Keadilan tumbuh terlalu cepat dan membangkitkan pikiran jahat dari orang-orang
yang berambisi besar."
"Benar, itulah yang awalnya aku khawatirkan, namun ternyata di kaki Gunung Songshan, meskipun terjadi kejutan, tapi
tidaklah sebesar yang kita takutkan.", jawab Hua Ng Lau.
"Ya", tapi bisa jadi api itu tidak jadi membara, justru karena kekalahan Thai Wang Gui yang di luar rencana. Seandainya Thai Wang Gui menang, dan kurasa sebagian besar orang berhitung demikian, tentu akan berbeda pula kejadiannya.", ujar
Ma Songquan. "Apakah menurut Saudara Ma, ada kemungkinan memang benar pihak Kunlun bekerja sama dengan sepasang iblis tua
itu?", tanya Hua Ng Lau.
"Kenapa tidak" Kalau menurut Tabib Hua sendiri bagaimana?", Ma Songquan bertanya balik.
"Bisa jadi", yang ada mungkin bukan satu kumpulan dengan satu pimpinan, tapi beberapa kekuatan yang bersekutu untuk
menguasai dunia persilatan. Sepasang iblis tua itu bagian yang terlihat, sementara Kunlun dan mungkin beberapa
perguruan lurus lainnya bekerja di belakang. Seandainya Thai Wang Gui menang, mereka semua akan munculke
permukaan, namun karena Thai Wang Gui kalah, mereka pun urung untuk maju ke depan.", jawab Hua Ng Lau.
"Benar", kurasa juga begitu, Shao Wang Gui memang memberikan daftar panjang dari para pendukungnya. Namun tidak
ada satupun perguruan atau perkumpulan besar dalam daftar itu. Bukan berarti tidak ada dari perguruan atau perkumpulan
ternama yang muncul, tapi kukira kelicikan Shao Wang Gui membuat dia menyembunyikan nama-nama besar yang bekerja
bersamanya.", kata Ma Songquan.
"Ya" iblis kecil itu, tentu tidak ingin mencari perkara dengan orang penting, sementara dirinya sudah menjadi cacat. Lebih baik mengumpankan beberapa ikan kecil untuk menunjukkan kerja sama dan mencari muka. Sementara rahasia kelam
orang-orang ternama dia simpan, selain mencari balas budi, juga bisa digunakan sebagai modal tawar menawar di
kemudian hari.", angguk Hua Ng Lau menyetujui pemikiran Ma Songquan.
"Hari ini juga aku akan mengirim berita ini ke Saudara Chou Liang yang sekarang menjalankan segala urusan perkumpulan
selama kami pergi. Biarlah Ketua Ding Tao memiliki waktu untuk dirinya sendiri selama beberapa hari ini. Tabib Hua
sungguh banyak berjasa bagi kami, mewakili sekalian pengikut Partai Pedang Keadilan, aku ucapkan terima kasih.", ujar Ma Songquan sambil merangkap tangan di depan dada, menunjukkan rasa terima kasihnya pada Hua Ng Lau.
Hua Ng Lau pun membalas penghormatan itu, "Ah " tidak perlu, bagaimana pun juga, perkumpulan kalian memiliki
hubungan yang erat dengan anak angkat dan murid tunggalku. Mana mungkin kami berdiam diri jika melihat sesuatu
mengancam perkumpulan kalian."
"Hahaha, kami sangat beruntung bisa memiliki sekutu seperti Tabib Hua.", balas Ma Songquan sambil tertawa.
"Ah, lihat itu, Tang Xiong sudah datang, kukira perahu untuk kita tentu sudah siap.", ujar Ma Songquan saat melihat Tang Xiong berjalan mendekat.
"Baguslah, aku sudah tua, tidak begitu lagi menikmati perjalanan panjang", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa pelan.
Chu Linhe dan Hua Ying Ying yang ada di depan, bertemu lebih dulu dengan Tang Xiong, setelah bercakap-cakap beberapa
saat, mereka bertiga pergi menemui Ma Songquan dan Hua Ng Lau. Barulah kemudian mereka berlima pergi ke kedai
tempat Ding Tao dan yang lain menunggu. Bersama-sama mereka pergi ke tempat perahu yang disewa Tang Xiong
disandarkan. Perahu itu cukup besar, dengan ruang untuk beristirahat. Tidak aneh karena pemilik perahu ini adalah
langganan lama keluarga Huang, sudah tentu bukan perahu biasa. Saat pergi ke kaki Gunung Songshan Ding Tao dan
pimpinan Partai Pedang Keadilan yang lain juga menggunakan perahu yang sama. Itu sebabnya, sedikit banyak Ding Tao
sudah kenal pula dengan pemilik perahu. Mereka pun bercakap-cakap beberapa saat, sebelum menaiki perahu itu.
Ma Songquan yang ingin secepatnya mengirimkan kabar pada Chou Liang, berpamitan pada Ding Tao, "Ketua Ding Tao,
kalian jalanlah terlebih dahulu. Aku dan Chu Linhe ada sedikit urusan di sini, besok pagi tentu kami sudah akan menyusul kalian semua."
"Apakah ada masalah penting?", tanya Ding Tao perhatian.
"Tidak ada, hanya masalah kecil saja, ada beberapa pesan yang ingin kukirimkan pada saudara-saudara yang ada di pusat.
Selain juga memberitahukan tentang perjalanan kita, supaya mereka tidak usah merasa khawatir", jawab Ma Songquan.
"Oh begitu, tentu saja, itu pemikiran yang baik. Mengapa juga aku sampai tidak berpikir ke sana.", jawab Ding Tao sambil menepuk jidatnya.
"Hahaha, Ketua Ding Tao tidak perlu memikirkan hal-hal yang kecil seperti ini. Sesekali nikmati saja perjalanan dan
pemandangan yang ada. Setelah menjadi Wulin Mengzhu, saat-saat seperti ini tentu akan sulit ditemukan lagi.", ujar Ma
Songquan sambil tertawa lebar.
"Hahaha, ya aku beruntung memiliki banyak sahabat. Baiklah, kami akan berangkat terlebih dahulu.", ujar Ding Tao.
Ma Songquan dan Chu Linhe pun, memandangi orang yang mereka percayai bersama sahabat-sahabat mereka, menaiki
perahu dan menyeberang. Cukup lama mereka berdiri di tepian sungai, memandangi perahu yang bergerak perlahan ke
tengah, sembari mengikuti aliran sungai. Ding Tao dan rombongannya tidak akan menyeberang di tempat itu, melainkan
beberapa li jauhnya ke hilir, di jalan besar yang lebih dekat menuju ke Wuling.
"Kakak", entah mengapa perasaanku sedikit tidak enak. Apalagi setelah mendengar cerita kakak tentang penemuan Tabib
Hua di Gui Yang.", ujar Chu Linhe sambil memandangi perahu yang makin lama makin jauh dan sebentar lagi tidak akan
nampak dari tempat mereka berdiri.
"Hmm", kukira tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan, sudah cukup lama kita mengamati pergerakan orang-orang
Kunlun di daerah kita. Memang sedikit kecolongan di Gui Yang, tapi hal itu tidak begitu aneh, karena Gui Yang baru saja kita kuasai, waktunya pun begitu dekat dengan pemilihan Wulin Mengzhu sehingga kita tidak bisa menaruh banyak perhatian di
sana. Akibatnya tidak banyak orang yang bisa dipercaya di sana.", ujar Ma Songquan sambil menepuk lengan Chu Linhe
mengajaknya pergi, karena perahu yang ditumpangi Ding Tao dan yang lainnya sudah tidak nampak lagi dari tempat
mereka berdiri. Sambil berjalan pergi, menuju tempat penghubung dari daerah itu ke Jiang Ling, di mana seluruh pergerakan Partai Pedang Keadilan dikoordinasikan, dengan Chou Liang sebagai pemikirnya dan Ding Tao sebagai pengambil keputusan terakhir.
Beberapa puluh langkah mereka berjalan Ma Songquan masih diam, Chu Linhe juga tidak menganggunya, mereka sudah
begitu saling mengenal hingga Chu Linhe tahu bahwa Ma Songquan masih memikirkan apa yang dia katakan.
"Hmm", mungkin kau merasa demikian karena segala sesuatunya berjalan terlalu lancar.", ujar Ma Songquan tiba-tiba.
"Mungkin kakak benar", tapi apakah kakak tidak merasa aneh, menjadi Wuling Mengzhu setelah baru saja muncul dalam
dunia persilatan. Apakah mungkin memang ada yang dinamakan pilihan dari langit?", tanya Chu Linhe setelah merenungi
jawaban Ma Songquan. "Mana aku tahu", selama ini yang kurasa langit tidak pernah bersahabat dengan kita. Setidaknya sampai kita bertemu Ding Tao. Tapi kita sudah mengikuti pemuda itu sejak awal terjunnya dia dalam dunia persilatan, menurutmu apakah ada yang
aneh dengan sepak terjangnya?", Ma Songquan bertanya balik.
Ganti Chu Linhe yang terdiam dan lama merenungi pertanyaan Ma Songquan itu. Apakah ada yang aneh dalam diri Ding
Tao" Kepribadiannya yang tulus dan tidak berambisi, bisa dikatakan aneh. Lebih aneh lagi jika seseorang yang sedemikian tidak berambisi, justru sekarang menjadi pimpinan puncak dari seluruh tokoh persilatan di dalam perbatasan. Apakah
mungkin Ding Tao adalah seorang cerdik, licin dan ambisius, namun begitu pandai membungkus ambisinya, sedemikian
rupa sehingga mereka semua menjadi buta matanya, sehingga puluhan bahkan ratusan tokoh persilatan yang kenyang
makan asam dan garamnya kehidupan ditipu mentah-mentah olehnya"
"Apa menurut kakak, kita sudah salah melihat orang?", tanya Chu Linhe pada Ma Songquan.
Kali ini jawaban Ma Songquan datang dengan cepat, sebelum kaki kanan melangkah untuk kedua kalinya dia sudah
menjawab, "Tidak" sekali-kali aku tidak salah mengenal orang. Kalau aku salah menilai orang, dengan dua tanganku sendiri akan kubunuh orang itu dan kubutakan dua mataku yang sia-sia melihat dunia selama puluhan tahun lamanya."
Chu Linhe pun jadi terdiam, dalam hati dia maklum, betapa runyam keadaan mereka berdua sebelum bertemu Ding Tao.
Bisa dikatakan, setiap hari yang ada hanya kegelapan, jika kemudian Ding Tao yang dianggap sebagai secercah cahaya,
hanyalah sebuah kegelapan, betapa gelapnya kegelapan tempat mereka hidup saat ini. Dari jawaban kekasihnya itu, dia
bisa merasakan, rasa percaya yang mutlak bahkan hampir-hampir putus asa pada sosok Ding Tao. Sebuah kengerian
menyelip dalam hatinya, bagaimana jika benar semua yang ditampilkan Ding Tao hanyalah kepalsuan saja" Masih bisakah
mereka berdua bertahan hidup dalam keadaan itu" Chu Linhe selamanya satu perasaan dengan Ma Songquan, kali inipun
dia bisa mengerti benar apa yang dikatakan Ma Songquan barusan. Apakah memang sudah kodrat wanita untuk mencintai
dan mendukung pengejaran hidup seorang laki-laki" Dan sudah kodrat laki-laki untuk mengejar kesempurnaan hidup" Jika
benar Ding Tao hanyalah sebuah kepalsuan, secercah cahaya yang nyatanya adalah kegelapan, Chu Linhe bertekad untuk
membantu Ma songquan membunuhnya dan kemudian hidup sebagai satu-satunya cahaya dalam pencarian Ma Songquan,
menjadi pengganti sepasang bola mata Ma Songquan, yang dia yakin benar akan dicukil keluar oleh Ma Songquan sendiri
tanpa penyesalan, diiringi lolongan kepedihan dari dasar hatinya yang terdalam.
Dua hari kemudian, berita yang dikirimkan Ma Songquan sampai pula ke Jiang Ling. Chou Liang yang membaca pesan dari
Ma Songquan, berkerut alis membaca surat itu berulang-ulang, seakan khawatir ada satu atau dua kata yang terlewatkan.
Sesungguhnyalah demikian, Chou Liang yang mengawasi jaringan mata dan telinga mereka, sangat khawatir dengan berita
yang datang dari Ma Songquan. Meskipun terlihat kecil dan tidak berarti di saat mereka akhirnya berhasil mengantar Ding Tao sampai pada kedudukan Wulin Mengzhu, hal yang sekecil ini bisa jadi adalah batu kerikil yang membuat mereka
terpeleset dan jatuh terguling-guling. Dan batu kerikil ini tidak bisa dikatakan kecil, jika benar cabang Gui Yang sudah jatuh ke tangan orang-orang yang dijerat oleh obat perebut jiwa milik orang Kunlun, maka kemungkinan penyebarannya sulit
diperhitungkan. Bisa jadi terbatas di Gui Yang, bisa juga saat ii sudah mulai menyebar ke cabang-cabang lain.
Chou Liang pun mulai menghitung-hitung, jumlah pengikut yang bisa dipercaya dan tidak bisa dipercaya. Hatinya semakin
getir ketika menyadari, sebagian besar dari mereka yang bisa dipercaya adalah bekas pengikut keluarga Huang. Di saat
yang sama, Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu justru muncul ke permukaan.
Dalam pesan Ma Songquan tersirat masih adanya ganjalan dalam hubungan antara Hua Ying Ying dan Ding Tao. Pesan
kiriman Ma Songquan memang padat tapi mendetail dalam setiap hal yang penting. Kesetiaan Ma Songquan benar-benar
terletak pada Ding Tao, berbeda dengan Tang Xiong dan Li Yan Mao yang berdiri dengan satu kaki di sisi Ding Tao dan kaki yang lain di sisi keluarga Huang. Bagi Tang Xiong dan Li Yan Mao, yang mereka harapkan adalah terjadinya pernikahan
antara Ding Tao dan Hua Ying Ying, dengan demikian tidak ada lagi pertentangan di antara dua kesetiaan yang ada dalam
hati mereka. Tapi bagi orang-orang seperti Ma Songquan dan Chou Liang, kesetiaan mereka terletak sepenuhnya pada Ding
Tao. Bagi mereka ini, kehadiran Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying adalah hal yang hanya memperumit keadaan. Jika Ding
Tao berhasil memenangkan hati Hua Ying Ying, maka kesetiaan pengikut keluarga Huang dalam Partai Pedang Keadilan
akan semakin kokoh. Tapi jika tidak, maka kehadiran mereka berdua justru memperlemah kekuatan Partai Pedang Keadilan.
"Saudara Chou Liang, seharian kau tidak keluar ruangan, apa tidak bosan?", ujar Murong Yun Hua, berjalan masuk tanpa
mengetuk pintu. Chou Liang pun untuk sejenak setelah sekian lamanya menekuni surat kiriman Ma Songquan, menegakkan badan dan
meluruskan lehernya, "Ah.. Nyonya Murong?"
Setelah begitu lama membaca dalam keadaan tegang, barulah sekarang terasa betapa pegal lehernya, sembari memijat
bagian belakang lehernya, Chou Liang menjawab, "Ada berita baru dari Saudara Ma Songquan mengenai rombongan Ketua
Ding Tao." "Ah, baguslah kalau begitu, dengan ini kukira banyak orang akan merasa lega, meskipun kalau dipikirkan sebenarnya tidak ada yang perlu dikuatirkan.", ujar Murong Yun Hua sambil berjalan mendekat.
Murong Yun Hua pun menarik kursi, duduk di depan Chou Liang dan bertanya, "Benar kan" Tidak ada yang perlu
dikuatirkan." Tanpa menjawab dengan satu patah kata pun, Chou Liang mengangsurkan surat yang dia terima dari Ma Songquan. Murong
Yun Hua segera menerima surat itu dan mulai membaca. Tidak berapa lama dia selesai membaca, ekspresinya sudah
berubah sama keruhnya dengan ekspresi wajah Chou Liang.
"Tentang Gui Yang, menurutmu bagaimana?", tanya Murong Yun Hua.
"Anggap saja Gui Yang sudah lepas dari tangan kita.", jawab Chou Liang perlahan.
"Hmm" Ketua Ding Tao baru saja terpilih menjadi Wulin Mengzhu, pijakannya belum kuat, jika kejadian di Gui Yang ini
tersebar, kira-kira apa yang akan terjadi?", tanya Murong Yun Hua dan Chou Liang pun diam tak menjawab untuk waktu
yang cukup lama. Meskipun Chou Liang tidak juga menjawab, Murong Yun Hua pun diam tidak memberikan pendapat, sampai akhirnya Chou
Liang membuka mulut dan berkata, "Jika kita tidak bisa membereskan masalah Gui Yang dengan cepat, penilaian orang
akan kemampuan Partai Pedang Keadilan dan ketua Ding Tao akan turun drastis. Jika itu terjadi, maka Wulin Mengzhu akan
menjadi sebuah nama kosong. Bagaimana mungkin seseorang mengurus seluruh dunia persilatan, jika dia tidak bisa
mengurus satu cabang kecil?"
"Perintahnya akan dipertanyakan dan dilaksanakan dengan setengah hati. Seandainya Ketua Ding Tao orang yang tegas dan
hatinya dingin, masalah seperti itu bisa dengan mudah diatasi. Namun menilik sifatnya, jika sampai terjadi hal seperti itu, tentu akan berusaha dicari jalan yang damai, yang hanya akan memberi angin pada lebih banyak orang untuk
membangkang pada dirinya."
"Jadi bagaimana pendapat Saudara Chou Liang, dengan cara apa kita harus menangani masalah ini?", tanya Murong Yun
Hua. "Untuk saat ini, kita harus menunggu kedatangan Ketua Ding Tao dan yang lain. Kekuatan inti kita tidaklah terlalu besar, sementara penyusupan pihak luar, entah sudah sejauh mana. Baru setelah Ketua Ding Tao ada di pusat, kita akan
mengerahkan seluruh saudara yang bisa dipercaya untuk membereskan masalah di Gui Yang.", ujar Chou Liang.
"Tanpa memberitahu Ketua Ding Tao lebih dahulu?"", sambung Murong Yun Hua.
"Ya", tergantung dengan keadaan Ketua Ding Tao nanti. Apakah Nyonya punya pendapat yang berbeda?",jawab Chou Liang
dengan sedikit ragu, dia merasakan ada nada kurang puas dalam pertanyaan Murong Yun Hua.
Murong Yun Hua pun terdiam untuk beberapa lama sebelum akhirnya menjawab perlahan, "Kukira tidak ada jalan lain, jika
memang masalah ini hendak diselesaikan dengan tangan besi" Tapi entah ada berapa banyak masalah yang sudah Saudara
Chou Liang selesaikan tanpa sepengetahuan Kakak Ding Tao."
Ditanya demikian Chou Liang jadi terdiam, memang bukan sekali ini Chou Liang melakukan sesuatu di belakang Ding Tao.
Hanya saat segala sesuatunya terjadi dan tidak mungkin disembunyikan barulah dia melaporkan hal itu pada Ding Tao.
Memang bisa dikatakan, setiap kali Chou Liang bertindak demikian, tentu tidak ada kerugian yang didapatkan Partai Pedang Keadilan atau Ding Tao. Bahkan bisa dikatakan, perbuatan Chou Liang itu menguntungkan kedudukan Ding Tao. Dalam
segala hal, nama Ding Tao tidak pernah tersangkut dalam urusan yang buruk. Jika nama Chou Liang mewakili sisi
mengerikan dan mengancam dari Partai Pedang Keadilan, nama Ding Tao mewakili segala yang baik dari Partai Pedang
Keadilan. Ding Tao sendiri meskipun sering mengecam maupun mempertanyakan perbuatan Chou Liang, pada akhirnya
harus menyetujui alasan mengapa Chou Liang melakukan hal itu. Para pengikut Ding Tao pun terbagi dua dalam melihat
perbuatan Chou Liang itu, mereka yang lebih praktis dalam menilai keadaan akan mendukung sepenuhnya keputusan Chou
Liang. Sebaliknya, mereka yang berpegang pada prinsip-prinsip tertentu seperti Liu Chuncao, tidak jarang menerimanya
dengan kerutan di alis. Hanya saja selama ini semua hal itu bisa diterima karena mereka memiliki satu tujuan. Juga karena saling percaya yang ada di antara para pendukung awal Ding Tao.
"Maksud Nyonya ?"", tanya Chou Liang ragu-ragu, bagaimana pun juga jarang sekali Murong Yun Hua ikut campur dalam
urusan Partai Pedang Keadilan, terutama sebelum peristiwa penyerangan Kunlun ke Partai Pedang Keadilan.
"Maksudku, tentang Nona muda Huang Ying Ying", ketika pertama kali aku mendengar berita bahwa dia dan saudaranya
masih hidup, sudah ada perasaan yang mengganjal. Apa mungkin Saudara Chou Liang yang terkenal cerdik, bisa kalah main
petak umpet melawan Tiong Fa yang sudah kehilangan sebagian besar kekuatannya?", ujar Murong Yun Hua dengan mata
tajam menyelidik. Chou Liang pun terdiam mendengar pertanyaan Murong Yun Hua. Chou Liang menimbang-nimbang, jawaban apa yang
harus dia berikan. Kenyataannya memang dia yang menyabotase sendiri pencarian sarang Tiong Fa, tapi haruskah dia
menyangkal sekuat-kuatnya" Ataukah lebih baik jika dia mengakui saja hal itu"
"Tadinya aku yakin benar, kedua bersaudara itu sesungguhnya sudah mati di Wuling. Jika benar perkataan Tiong Fa, aku
yakin Saudara Chou Liang pasti mampu menemukan mereka berdua. Apakah ada yang salah dalam pertanyaanku ini?",
karena melihat Chou Liang masih juga terdiam, Murong Yun Hua pun bertanya untuk kedua kalinya.
Chou Liang menghela nafas panjang-panjang dan menjawab, "Memang benar dugaan Nyonya, tapi hal itu kulakukan juga
demi kebaikan kita semua. Di lain pihak, aku sendiri kurang yakin apakah Tiong Fa hanya menggertak saja atau benar
bahwa dua orang bersaudara itu ada di tangannya."
Murong Yun Hua menatap tajam ke arah Chou Liang, dengan suara dingin dia berkata, "Urusan tentang hidup matinya Nona
muda Huang Ying Ying, tidak berhubungan dengan Partai Pedang Keadilan. Hal itu adalah urusan pribadi Ketua Ding Tao
dengannya." Chou Liang menghela nafas untuk kedua kalinya, "Ucapan nyonya benar, dan aku menyesali keputusanku waktu itu."
Dalam hati dia berucap, "Seandainya Huang Ying Ying ditemukan masih hidup, bukankah kau saat ini sudah menjadi ibu dari seorang anak haram?"
Tapi hal itu tidak terlihat di wajahnya, wajah Chou Liang tampil tenang, tidak memperlihatkan kejengkelan dalam hatinya.
Murong Yun Hua menatap tajam Chou Liang yang masih menundukkan kepala, menghindari tatapan matanya.
"Jangan kau pikir, aku tidak bisa meraba apa yang ada dalam benakmu. Menurutmu semua yang kau lakukan adalah demi
kebaikan Ketua Ding Tao. Tapi coba pikirkan seandainya saja waktu itu kau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan jejak Tiong Fa. Bukankah hubungan keluarga Huang dengan Ding Tao akan lebih baik daripada sekarang?",
tegur Murong Yun Hua dengan sedikit ketus.
Dan Chou Liang pun menghela nafas untuk ketiga kalinya, kali ini perasaan menyesal yang tersirat dari jawabannya, benar-benar muncul dari hatinya yang terdalam, "Nyonya benar", sungguh aku menyesali hal itu, seandainya saja aku
bersungguh-sungguh mencarinya, seharusnya hubungan bekas pengikut keluarga Huang dengan Ketua Ding Tao akan
makin erat." "Tapi kau tidak ingin mereka hanya sekedar jadi pendukung Ketua Ding Tao, kau ingin mereka menjadipengikutnya. Itu
sebabnya, bagimu lebih baik jika setiap pewaris sah dari keluarga Huang mati di Wuling.", sambung Murong Yun Hua
dengan dingin. Atas tuduhan Murong Yun Hua itu, Chou Liang tidak mengiyakan, tidak pula menyangkal, hanya menghela nafas panjang
untuk ke sekian kalinya. Melihat Chou Liang tidak menyangkal tuduhannya, tidak juga berusaha membela diri, sebagian
kemarahan Murong Yun Hua jadi sedikit mereda. Apalagi kejutan tentang munculnya Huang Ying Ying sebenarnya sudah
mulai dapat dia atasi. Betapa perasaannya sulit dimengerti ketika berita itu baru saja datang, bersamaan dengan
kemenangan Ding Tao di kaki Gunung Songshan yang dibawa oleh pengikut-pengikut mereka yang sudah kembali lebih
dahulu. Meskipun di luaran Murong Yun Hua tampi tenang dan percaya diri, dalam hatinya siapa yang tahu" Sejak mereka
menikah, dia yang ikut berjuang sekuat tenaga untuk mendukung Ding Tao. Sekarang setelah Ding Tao berhasil menjadi
pimpinan dari seluruh dunia persilatan, justru cinta pertama Ding Tao muncul lagi dalam hidupnya. Bukankah cinta rela
berkorban" Tapi apakah cinta rela berbagi" Bukankah bicara tentang hak, Huang Ying Ying-lah yang lebih berhak" Tapi
bicara saat ini, bukankah dia adalah isteri Ding Tao dan bukan Huang Ying Ying"
"Sudahlah, Saudara Chou Liang, pikirkan saja baik-baik tentang masalah di Gui Yang. Tentang hubungan Kakak Ding Tao
dengan keluarga Huang, biar aku yang menyelesaikan.", kata Murong Yun Hua dengan tegas.
Tanpa banyak cakap, tanpa berpamitan, Murong Yun Hua meninggalkan ruangan Chou Liang. Chou Liang masih saja
menundukkan kepala, menyesali keputusannya yang kurang tepat. Namun mendengar ketegasan Murong Yun Hua, Chou
Liang pun berpikir ulang. Tidak, dia tidak menyesalinya, jika Huang Ying Ying muncul sebelum Ding Tao menikah dengan
Murong Yun Hua, maka Ding Tao tidak akan pernah menikahi Murong Yun Hua. Memang benar, dengan demikian,
keberadaan bekas-bekas pengikut keluarga Huang bisa jadi lebih kokoh. Tapi toh tetap ada kemungkinan bahwa Huang Ren
Fu akan menarik mereka dari Ding Tao. Di lain pihak, Murong Yun Hua terbukti merupakan pasangan yang sepadan bagi
Ding Tao. Lepas dari usianya yang lebih tua, berkali-kali Murong Yun Hua membuktikan bahwa dirinya bukan hanya seorang
isteri yang bisa menyenangkan suaminya, Murong Yun Hua juga merupakan isteri yang bisa mendukung kemajuan
suaminya. Demikian juga dengan masuknya keluarga Murong dalam Partai Pedang Keadilan, jelas tidak sedikit
sumbangannya bagi kemajuan partai.
Sambil menghela nafas, entah untuk ke berapa kalinya di hari itu, Chou Liang memutuskan untuk berkonsentrasi pada
masalah di Gui Yang dan mempercayakan masalah Huang Ying Ying dan Ding Tao, sepenuhnya pada Murong Yun Hua.
Sementara itu Murong Yun Hua berjalan dengan langkah kaki yang cepat, berjalan menuju ke kamar pribadinya. Dua orang
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dayang pembantunya yang masih remaja, sampai setengah berlari, mengikuti dia. Sambil berjalan, otaknya sudah berputar
memikirkan masalah Ding Tao dan Huang Ying Ying. Ketika dia sampai di kamarnya, dia pun berbalik ke arah dua orang
pembantunya. "Kalian pergi, carilah Nyonya Huolin, bawa dia menemuiku.", perintahnya dengan singkat.
Tanpa menunggu mereka pergi, dia pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Baru setelah dia sendirian, Murong Yun
Hua meraih bantal yang ada di atas pembaringan dan membantingnya dengan keras ke atas lantai. Dengan suara tangis
tertahan dia mengambil pula bantal itu kemudian ditekapkan kuat-kuat ke wajahnya. Air mata bercucuran keluar, suara jerit tangis tertahan oleh bantal, sendirian dia menumpahkan segala rasa sakit dan kemarahan yang terpendam. Murong Yun
Hua baru saja menyusuti air matanya, ketika Murong Huolin mengetuk pintu kamarnya.
Bergegas Murong Yun Hua merapikan diri kemudian membuka pintu kamar.
"Kakak" ada apakah?", tanya Murong Huolin sedikit cemas.
"Tidak ada apa-apa, aku ingin mengajakmu untuk pergi menyambut Kakak Ding Tao dan rombongannya.", ujar Murong Yun
Hua dengan tenang, tidak terlihat lagi bekas-bekas tangisannya.
?" entahlah kakak, aku memang ingin bertemu dengan Kakak Ding Tao", tapi " bagaimana jika ada pula Nona muda
Huang Ying Ying di sana" Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap.", jawab Murong Huolin dengan ragu-ragu.
"Jangan bodoh! Justru karena Nona muda Huang Ying Ying ada bersamanya, kita harus pergi menyambut mereka. Baru saja
aku mendapat kabar dari Penasehat Chou Liang, sepertinya ada ganjalan dalam hubungan Kakak Ding Tao dengan Nona
muda Huang Ying Ying.", ujar Murong Yun Hua.
Mendengar berita baru itu, alis Murong Huolin pun terangkat, "Apa maksud kakak" Apakah mereka berdua sedang
bertengkar?" "Kurang lebih seperti itu.", jawab Murong Yun Hua.
Murong Huolin menggigit bibirnya dan berpikir, sesaat kemudian dia pun berkata, "Lalu apa urusannya dengan kita jika
mereka berdua bertengkar, biarlah mereka menyelesaikan sendiri urusannya. Justru bagus bila Nona muda Huang tidak
ingin meneruskan lagi hubungannya dengan Kakak Ding Tao."
"Adik" jangan berpikir sependek itu!", tegur Murong Yun Hua dengan keras.
Kemudian dia pun dengan panjang lebar menjelaskan rencananya dan berusaha membujuk Murong Huolin untuk mengikuti
rencananya. Lama kedua orang bersaudara itu beradu pendapat, kedua pembantu yang ada di luar kamar hanya bisa
mendengar suara-suara dan potongan percakapan yang tak jelas. Ketika pintu kembali terbuka, Murong Huolin keluar
dengan bekas air mata di pipinya.
Murong Yun Hua yang mengantarkan dia keluar, berpesan dengan tegas, "Adik, ingatlah pesanku baik-baik. Jangan kau
mengikuti perasaanmu saja, pikirkan kepentingan yang lebih luas. Pikirkan kewajibanmu."
Dengan sedikit terisak Murong Huolin mengangguk tanpa membalikkan badan, lalu cepat-cepat lari kembali ke kamarnya
sendiri. Murong Yun Hua hanya memandangi kepergiannya dan menghela nafas panjang. Wajahnya sendiri sudah bersih
dari segala kesedihan dan kemarahan, yang ada hanyalah kemauan yang kuat dan tegas untuk melakukan apa yang dia
pandang penting bagi dirinya dan orang-orang yang penting dalam hidupnya.
Keesokan paginya, terlihat kesibukan yang tidak biasa, Murong Yun Hua dan Murong Huolin sibuk mengatur para pekerja di rumah kediaman mereka, mempersiapkan perjalanan bagi mereka berdua. Beberapa orang pelayan lelaki dan perempuan
akan ikut dalam rombongannya. Hari menjelang siang saat segala persiapan selesai dilakukan. Murong Yun Hua pun pergi
menemui Chou Liang untuk menjelaskan rencananya.
"Aku akan pergi menyongsong Kak Ding Tao dan rombongannya", ujar Murong Yun Hua membuka percakapan.
"Kuharap nyonya berhasil dalam perjalanan ini", jawab Chou Liang.
"Aku mengerti tentang pentingnya tugasku, jadi jangan kuatir, akan kulakukan segalanya untuk menyatukan mereka
berdua. Sementara itu kuharap Penasehat Chou Liang bisa mempersiapkan aturan rumah tangga yang jelas, terutama
mengenai sanksi bagi penyelewengan yang saat ini terjadi di Gui Yang.", ujar Murong Yun Hua.
"Hmmm" sebenarnya tentang hal itu bukannya tidak ada aturan yang jelas. Tapi sebelum mereka melakukan tindakan yang
jelas-jelas merugikan, memang aturannya jadi sedikit kabur. Apakah Nyonya memiliki satu ide?", ujar Chou Liang sambil
mengawasi Murong Yun Hua.
"Aku tidak ingin, Penasehat Chou Liang sekali lagi melakukan suatu tindakan atas nama partai, di luar sepengetahuan Kak Ding Tao. Karenanya aku memiliki satu rencana. Buat peraturan yang jelas, sampaikan pada Kak Ding Tao agar dia
menyetujuinya. Pastikan sanksi yang diberikan tidaklah ringan tapi juga tidak terlampau keras sehingga dia menolaknya."
"Dengan kepergianku kali ini, aku akan memastikan Nona muda Huang menikah dengan Kak Ding Tao. Kemudian dengan
alasan pesta pernikahan mereka, undang setiap orang penting yang ada dalam daftar yang diberikan oleh Tabib Hua. Kita
undang juga sekalian tokoh-tokoh penting dari setiap cabang, juga tokoh-tokohpenting dalam dunia persilatan, utamanya
dari enam perguruan besar. Pada saat itulah, di depan semua orang kita tegakkan peraturan partai.", Murong Yun Hua
menjelaskan. Chou Liang diam berpikir lalu berkata, "Dengan demikian, kita akan menunjukkan pada setiap orang bahwa Partai Pedang
Keadilan bukan partai yang bisa dibuat main-main. Ketua Ding Tao harus menyetujui sanksi yang diberikan karena
aturannya sudah dibuat."
"Ya", selain itu dengan mengundang para pimpinan dari cabang-cabang yang lain, serta keberadaan pengikut inti dari partai yang ada di Jiang Ling sendiri, bisa dikatakan seluruh kekuatan kita terhimpun pada acara itu.", ujar Murong Yun Hua.
"Dan mereka yang dari Gui Yang tidak akan curiga, karena sudah sepantasnya memang demikian. Adalah wajar jika dalam
pesta pernikahan Ketua Ding Tao, baik sebagai ketua partai maupun sebagai seorang Wulin Mengzhu untuk mengundang
mereka semua.", sambung Chou Liang sambil menganggukkan kepala.
"Benar", dengan disaksikan semua orang, kita tunjukkan kebesaran partai kita. Biar juga mereka yang dari Kunlun melihat bahwa usaha mereka itu sia-sia saja. Biarlah jadi pelajaran, untuk tidak bermain api dengan Partai Pedang Keadilan.", kata Murong Yun Hua dengan suara tegas.
Chou Liang sekali lagi merasa lega, bahwa dahulu dia sudah mengusahakan agar Ding Tao menikah dengan Murong Yun
Hua. Sekali lagi nyonya ini menunjukkan kemampuannya dalam mengelola sebuah partai yang besar. Dengan dia di
samping Ding Tao, Chou Liang merasa yakin Partai Pedang Keadilan akan tumbuh menjadi partai yang besar. Dirinya sendiri tentu saja tidak merasa di bawah Murong Yun Hua dalam hal kecerdikan. Namun posisi Murong Yun Hua sebagai isteri Ding
Tao membuat dia memiliki kelebihan dibandingkan Chou Liang. Contohnya saja dalam hal menyatukan Hua Ying Ying
dengan Ding Tao, tidak mungkin dia yang bukan apa-apanya Ding Tao ikut campur dalam hal ini, terutama setelah Ding Tao
menikah. Tapi Murong Yun Hua sebagai salah satu isteri Ding Tao dan juga kakak dari isteri Ding Tao yang kedua, dialah
yang paling tepat untuk melakukan hal ini.
Dengan siasat ini, maka satu kali tepuk, tujuh lalat mati sekaligus.
"Baiklah, apakah ada yang bisa kulakukan untuk membantu nyonya agar rencana ini berhasil?", tanya Chou Liang.
"Pastikan saja, nama-nama orang yang harus kita curigai di Gui Yang dan mungkin juga di cabang yang lain. Susun juga
undangannya, persiapkan orang-orang yang akan kita gunakan untuk membekuk para pengkhianat itu. Kemudian bantu
juga untuk memastikan bahwa Kakak Ding Tao dan rombongannya tidak mengambil jalan yang berbeda dengan yang sudah
kuperkirakan sebelumnya.", jawab Murong Yun Hua setelah berpikir sebentar.
Sebenarnya tidak perlu dijelaskan pun sudah tentu Chou Liang tahu apa saja yang perlu dia lakukan dan siapkan. Namun
dengan bertanya, Chou Liang membuat Murong Yun Hua merasa lebih dihargai.
"Baik, akan saya persiapkan semuanya, harap nyonya berdua hati-hati di jalan dan semoga perjalanan nyonya berhasil.",
jawab Chou Liang dengan meyakinkan.
Murong Yun Hua menatap Chou Liang beberapa saat, orang tercerdik dalam Partai Pedang Keadilan, pengikut yang lain
percaya penuh akan kesetiaan Chou Liang, tapi Murong Yun Hua terkadang bertanya-tanya dalam hati. Apakah Chou Liang
tidak menyembunyikan sesuatu dibalik kesetiaannya itu" Mungkinkah Chou Liang memiliki kepentingan sendiri, ambisi
pribadi, dibalik setiap perbuatannya untuk Ding Tao" Saat ini pun, bisa dikatakan, dalam hal mengambil keputusan, Chou
Liang adalah orang pertama yang akan dimintai pendapat, juga orang yang memberikan kata-kata terakhir dalam setiap
pertemuan. Ding Tao boleh jadi adalah ketua partai, hati dan juga pemersatu Partai Pedang Keadilan, namun tidak akan ada yang berkata salah, jika dikatakan Chou Liang adalah otaknya.
"Aku percayakan semuanya padamu, baiklah, aku akan berangkat sekarang.", ujar Murong Yun Hua berpamitan.
Sekali lagi Chou Liang meyakinkan Murong Yun Hua sambil mengantar nyonya itu sampai ke pintu ruangannya. Untuk
beberapa saat lamanya Chou Liang memandangi Murong Yun Hua dari belakang. Dalam hati dia bertanya-tanya, seberapa
tuluskan Murong Yun Hua berusaha menyatukan Ding Tao dan Huang Ying Ying" Murong Yun Hua mungkin seorang wanita
yang memiliki otak cerdas dan bersandar pada logika, tapi bukankah dia tetap seorang wanita yang memiliki perasaan"
Bisakah dia menelan perasaannya demi kepentingan Partai Pedang Keadilan" Chou Liang berdiri di dekat pintu, memandangi
punggung Murong Yun Hua, pada awalnya tidak ada rasa, Murong Yun Hua hanyalah salah satu bagian dari rencananya
untuk memperkokoh kedudukan Ding Tao. Namun sejak dia menyaksikan kecekatan dan kepandaian Murong Yun Hua dalam
menyelesaikan masalah, dia mulai mengagumi wanita itu sebagai seorang manusia dan bukannya sebuah biji catur. Lalu
entah sejak kapan, dia mulai menyadari sisi lain dari wanita itu. Kecantikannya, keluwesannya, tawa renyahnya,
keanggunannya bahkan lekak-lekuk tubuhnya yang samar "samar bisa dia bayangkan ketika memandangi wanita itu.
Jantung Chou Liang tiba-tiba berdebar lebih kencang, terasa keringat dingin menetes di keningnya, saat dia menyadari
perasaannya sendiri. Entah sejak kapan, dia mulai jatuh cinta, pada Murong Yun Hua. Dan sekarang, wanita yang dia cintai itu akan pergi, untuk meyakinkan orang yang dicintainya, supaya dia menikah dengan wanita lain. Chou Liang bisa
membayangkan rasa sakit yang dialami Murong Yun Hua, dulu dia tidak mengerti, tapi sekarang setelah dia menyadari
perasaannya pada Murong Yun Hua, tiba-tiba dia bisa merasakannya. Rasa cemburu yang sering muncul namun terpendam
dalam-dalam, terpendam oleh perasaannya pada Ding Tao. Tiba-tiba sekarang perasaan itu muncul dengan kuatnya, rasa
pahit dan pedihnya, ketika yang dicintai justru menjadi milik orang lain.
Dan dia, Chou Liang, memuji dan mendukung dia untuk melakukan hal itu. 30 tahun lebih Chou Liang hidup sebagai lelaki,
baru kali ini dia mengenal rasanya cinta. Bukannya dia tidak memiliki pengalaman dengan wanita, tapi selamanya dia
menertawakan mereka yang jatuh cinta. Baru sekarang dia merasakan apa itu cinta dan dia tidak bisa tertawa lagi.
Bagaimana perasaan Chou Liang, apakah Murong Yun Hua tahu" Mungkin ya, mungkin juga tidak. Meskipun peribahasa
mengatakan, dalamnya laut bisa didugan hati orang siapa yang tahu, tapi bukan tidak jarang kisah yang menceritakan,
betapa tajamnya perasaan seorang wanita. Apa pun jawabannya dari pertanyaan itu, Murong Yun Hua sekarang sedang
duduk dalam kereta bersama dengan adiknya Murong Huolin. Tidak seperti biasa, keduanya tidak saling bicara meskipun
berada dalam kereta yang sama.
"Apakah kakak sudah yakin dengan rencana kakak?", akhirnya Murong Huolin bertanya.
Murong Yun Hua menatap tajam ke arah Murong Huolin dan menjawab dengan tegas, "Ya, aku sudah yakin dengan rencana
ini. Sudah kupikirkan baik-baik dan aku tidak melihat ada jalan lain yang lebih baik dari jalan ini."
Murong Huolin terlihat sedikit gemetar di bawah tatapan tajam Murong Yun Hua, namun gadis itu tidak menunduk dan
mengalah, selamanya Murong Yun Hua adalah seorang kakak, pengganti orang tua, namun dalam hal cinta, jangankan
seorang kakak, bukankah seringkali orang tua pun dilawan"
"Meskipun kakak mencintainya dan kakak tahu bahwa di matanya, kakak adalah orang yang paling dia cintai?", tanyanya
dengan suara gemetar. Murong Yun Hua tidak segera menjawab, apakah terlihat ada sedikit keraguan di wajahnya" Jika memang ada, maka hal itu
hanya sebentar saja terlintas di sana, karena Murong Huolin berusaha mencari setitik tanda keraguan dan dia tidak
mendapatinya di sana. Mungkin ekspresi ragu dan kepedihan yang dia lihat tadi hanyalah khayalannya semata" Berharap
Murong Yun Hua membatalkan rencana ini.
Masih dengan wajah yang tegas dan pandang mata yang tidak tergetar sedikitpun Murong Yun Hua menjawab, "Ya",
meskipun aku yakin dia mencintaiku dan aku mencintainya."
Murong Huolin pun tidak bisa berkata-kata lebih banyak, dia akhirnya membuang muka, memandangi isi kereta hingga tiap
detail-detailnya, tanpa sekalipun menatap Murong Yun Hua untuk kedua kalinya.
Sampai Murong Yun Hua memanggil namanya, "Adik Huolin?"
Murong Huolin pun menengok ke arah Murong Yun Hua, entah sudah sejak kapan hubungan mereka seperti itu. Dia selalu
menjadi adik yang manis dari Murong Yun Hua dan Murong Yun Hua menjadi kakaknya yang baik.
"Adik" apakah kau masih percaya padaku" Pernahkah aku mengecewakanmu sebelumnya?", tanya Murong Yun Hua dengan
lembut. Perlahan Murong Huolin menjawab, "Ya" aku percaya pada kakak, tidak sekalipun kakak berbuat sesuatu yang
merugikanku." Murong Yun Hua tersenyum lembut, "Percayalah padaku, rencana ini adalah rencana yang terbaik bagi kita semua."
Lama tapi akhirnya Murong Huolin mengangguk juga.
"Bagus, masih beberapa hari sebelum kita bertemu Kak Ding Tao dan rombongannya. Berusahalah berdamai dengan
hatimu, supaya saat kita bertemu mereka, perasaanmu tidak lepas kendali. Jangan sampai kau melakukan sesuatu yang
menyakitkan hati Nona muda Huang.", ujar Murong Yun Hua dengan lembut.
Murong Huolin menganggukkan kepala perlahan, setetes air mata jatuh mengaliri pipinya yang halus, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Murong Yun Hua tidak berkata apa-apa lagi, hanya perlahan dia meraih tangan Murong Huolin dan
meremasnya dengan lembut.
Beberapa ratus li jauhnya dari rombongan Murong Yun Hua, adalah rombongan Ding Tao. Jarak di antara keduanya,
semakin lama semakin dekat dengan berlalunya waktu. Hari demi hari berlalu, setiap orang dengan pikirannya masingmasing. Pikiran yang menyenangkan, pikiran yang menyedihkan, pikiran yang membangkitkan amarah. Siapa yang bisa
membuat otak berhenti berpikir" Saat demi saat, gerbong demi gerbong pemikiran berendeng berjalan dalam otak kita.
Satu pemikiran selesai, yang lain akan datang. Terkadang satu pemikiran dengan pemikiran yang lain saling bersambung,
terkadang melompat tak terhubung dengan pemikiran yang sebelumnya. Terus menerus dia berlari, bahkan saat tertidur
pun terkadang dia masih bekerja dan muncul dalam bentuk mimpi.
Huang Ren Fu berjalan dalam diam, dia pun sedang berpikir. Selama beberapa hari ini bercakap-cakap dengan Tang Xiong
dan Li Yan Mao, sebuah pemikiran terbentuk dalam benak mereka bertiga. Lama dia memandang Ding Tao yang berjalan di
depannya, berdua dengan adik kandungnya. Tang Xiong dan Li Yan Mao berjalan mengiringi pemuda itu, keduanya diam,
menanti keputusan Huang Ren Fu, sibuk menerka-nerka dan berpikir tentang apa yang sudah mereka percakapkan.
Huang Ren Fu tiba-tiba berkata, "Aku akan pergi untuk berbicara dengan Ding Tao, kalian berdua tidak usah ikut."
Li Yan Mao dan Tang Xiong saling berpandangan kemudian menjawab, "Baik tuan muda, kami mengerti."
Huang Ren Fu pun berjalan lebih cepat, menyusul Ding Tao dan Hua Ying Ying yang berjalan di depan. Li Yan Mao menghela
nafas panjang, sementara Tang Xiong diam terpekur.
"Saudara Li" apakah pendapat kita salah?", tanya Tang Xiong sambil memandangi punggung Huang Ren Fu.
Li Yan Mao tidak segera menjawab, "Entahlah" aku sendiri tidak bisa menjawab dengan pasti. Jika sahabat baru datang lalu kita melupakan sahabat lama, orang bilang kita tidak punya rasa persahabatan. Lalu jika yang berlaku sebaliknya, apakah namanya itu" Tapi jika kita benar menilai kepribadian Ketua Ding Tao dan Tuan muda Huang Ren Fu, kukira inilah jalan
yang baik. Tidak akan ada yang dirugikan, tidak Ketua Ding Tao, tidak juga keluarga Huang."
"Bagaimana jika Ketua Ding Tao menolak?", tanya Tang Xiong.
"Jika demikian, berarti jelas siapa yang kemaruk harta dan siapa yang tidak.", jawab Li Yan Mao dengan tenang.
"Berarti, apapun jawaban Ketua Ding Tao, kita tidak akan mengambil jalan yang salah, bukankah benar demikian?", tanya
Tang Xiong kembali. "Seharusnya benar demikian.", jawab Li Yan Mao dengan berat hati.
"Seharusnya demikian?", ulang Tang Xiong bergumam tak jelas.
"Tapi mengapa hati ini merasa berat?"", ujar Tang Xiong sambil menghela nafas panjang.
Li Yan Mao sendiri tak tahu jawabnya dan hanya bisa berjalan dalam diam, menemani Tang Xiong dengan pergumulan
hatinya, dengan serentetan pikirannya sendiri. Memandangi Huang Ren Fu yang kini sudah berdiri sejajar dengan Ding Tao.
"Saudara Ding To, bisakah kita bicara berdua saja sebentar?", tanya Huang Ren Fu sambil menepuk pundak pemuda itu.
Ding Tao menoleh ke arah Huang Ren Fu, tersenyum dan menjawab, "Tentu saja."
Baru setelah menjawab, dia melihat ada yang berbeda di wajah Huang Ren Fu. Huang Ren Fu tidak berkata lebih banyak,
tapi memandang ke arah Hua Ying Ying.
Hua Ying Ying pun bertanya, "Apakah kakak ingin berbicara berdua saja dengan Kak Ding Tao?"
"Uhm" ya", kalau kalian tidak keberatan.", ujar Huang Ren Fu sedikit ragu.
"Tentu saja tidak", jawab Hua Ying Ying yang kemudian berjalan lebih cepat, menyusul Ma Songquan, Chu Linhe dan Hua Ng
Lau yang berada paling depan.
Ding Tao merasa hatinya tidak tenteram dan bertanya, "Saudara Ren Fu", sebenarnya ada apa" Apakah masalah
keputusanku terhadap Shao Wang Gui di Shaolin?"
"Tidak" tidak" bukan itu.", jawab Huang Ren Fu cepat-cepat.
"Sebenarnya bukan satu masalah yang penting?", ujar pemuda itu ragu, ragu dengan keputusannya untuk berbicara
dengan Ding Tao tentang masalah yang dia simpan di benaknya selama beberapa hari ini.
Ding Tao melihat kesulitan yang dihadapi Huang Ren Fu dan tidak ingin menambah rumit masalah pemuda itu, "Saudara
Ren Fu, katakanlah dengan bebas, apa pun masalah itu. Apakah masalah itu ada hubungannya dengan Adik Ying Ying" Atau
masalah yang lain" Percayalah, apapun yang kau katakan, kita tetap bersahabat."
Huang Ren Fu memandang ke arah Ding Tao, sekali lagi dia menimbang-nimbang, sebelum akhirnya dia menghembuskan
nafas kuat-kuat untuk mengusir kegalauan dalam hatinya dan berkata, "Ding Tao", aku ingin membicarakan masalah
peninggalan keluarga Huang, terutamanya yang ada di Wuling. Sebenarnya sejak bertemu dengan guru, kami berdua, aku
dan Ying Ying sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan masa lalu kami dan memulai lembaran yang baru."
"Tidak sedikitpun terlintas dalam pikiran kami, untuk meminta apa yang menjadi hak kami. Tapi beberapa hari ini, berbicara dengan Paman Li Yan Mao dan Tang Xiong", aku berubah pikiran. Bagaimanapun juga sejarah keluarga Huang tak boleh
terhapus begitu saja di tanganku. Apalagi cabang di Wuling yang menjadi cikal bakal, berkembangnya keluarga Huang."
"Itu sebabnya", aku ingin meminta padamu, untuk mengembalikan seluruh milik keluarga Huang yang ada di Wulin kembali
ke tanganku. Aku tahu, setelah peristiwa pembantaian itu, tempat itu tidak ubahnya seonggok puing-puing, jika bukan
kalian dari Partai Pedang Keadilan yang membangunnya kembali, tapi di situlah sejarah keluarga ini dimulai. Aku pun tidak ingin mengambil hasil kerja keras orang lain, suatu saat nanti, aku akan mengembalikan setiap sen yang sudah digunakan
untuk membangun kembali tempat itu. Ding Tao jika permintaanku ini kau pandang terlalu berlebihan, aku ?"
"Cukup?", ujar Ding Tao menghentikan kata-kata Huang Ren Fu.
Wajah Ding Tao bersemu kemerahan.Entah menahan marah atau malu" Huang Ren Fu pun memandang pemuda itu dengan
hati berdebar, namun tangan terkepal. Sudah berulang kali dia memikirkan hal ini, dia tidak bisa melihat di mana letak
kesalahannya, karena memang semua itu adalah haknya sebagai satu-satunya yang tertinggal dari keluarga Huang.
Ding Tao memejamkan mata beberapa saat lamanya sebelum kemudian membuka mulut dan berkata, "Saudara Ren Fu"
maafkan aku", mendengarmu berkata sepanjang itu, hanya untuk mendapatkan apa yang sebenarnya memang merupakan
hak-mu. Ah" betapa perih hatiku. Betapa aku malu memikirkan hal ini, tanpa mengetahui bahwa kalian yang merupakan
pewaris sah dari keluarga Huang masih hidup, aku berdiri, berjalan dan memanjat ke atas menggunakan hak milik kalian
berdua." Huang Ren Fu pun jadi tergagap dan merasa malu dengan kecurigaannya, "Ding Tao.. jangan berkata demikian, tatkala
semuanya direbut orang, kaulah yang menyatukan kembali sisa-sisa keluarga Huang dan merebut kembali apa yang sudah
diambil oleh penjahat-penjahat itu."
"Dan aku lupa untuk mengembalikannya, bukankah aku tidak ubahnya seperti para penjahat itu?", ujar Ding Tao dengan
senyum pahit. Huang Ren Fu menggelengkan kepala dengan tegas, "Tidak, tidak, jangan pernah samakan dirimu dengan para penjahat itu.
Ding Tao, jika kata-kataku sudah melukai hatimu, aku minta maaf dengan setulus-tulusnya."
Ding Tao terdiam, menghela nafas, "Adakah dia merasa tersinggung dengan ucapan Huang Ren Fu?"
"Ya" ada sebagian dari dirinya yang merasa tersinggung dengan ucapan Huang Ren Fu. Adakah sebagian dari dirinya yang
merasa tidak rela untuk menyerahkan kembali miliki keluarga Huang yang ada di Wuling pada Huang Ren Fu?"
Dengan kecewa Ding Tao menjawab jujur pada dirinya sendiri, "Ya" ada sebagian dari dirinya yang tidak rela menyerahkan
apa yang sesungguhnya memang bukan miliknya."
Dengan pandangan mata yang lebih jernih, Ding Tao menatap Huang Ren Fu, "Saudara Ren Fu, aku akan berkata jujur
padamu. Sebagian dari diriku merasa tersinggung oleh ucapanmu barusan, sebagian dari diriku tidak rela untuk
menyerahkan Wuling padamu, meskipun itu adalah hakmu."
Huang Ren Fu mendengarkan dengan penuh perhatian, sebagian dari dirinya terkejut oleh pernyataan Ding Tao, tapi sudah
tidak ada lagi kecurigaan yang sempat bersemayam dalam hatinya. Ding Tao mungkin berubah oleh berjalannya waktu,
mungkin dia berubah oleh keadaan, tapi di dasar hatinya yang terdalam, Ding Tao tetaplah orang yang sama. Orang yang
dia percayai beberapa tahun yang lalu dan sekarang masih dia percaya dengan sepenuh hatinya.
"Jadi kau lihat, aku tidak sebaik dugaanmu, tapi jangan kuatir, aku masih bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Memang bersama beberapa orang sahabat aku mendirikan Partai Pedang Keadilan, tapi sebagian besar dari apa
yang kami miliki saat ini sesungguhnya adalah milik kepunyaan kalian berdua. Selekasnya aku sampai di Jiang Ling aku
akan mengurus segala sesuatunya, agar apa yang menjadi hak kalian, kami kembalikan pada kalian.", ujar Ding Tao dengan
hati yang tiba-tiba terasa lapang.
Ya, hati Ding Tao tiba-tiba terasa lapang, begitu dia melepaskan segala keinginan untuk menguasai apa yang dulunya milik keluarga Huang. Justru di saat dia memutuskan untuk kehilangan sebagian besar, jika bukan keseluruhan, dari apa yang
pernah dia pandang sebagai miliknya, di saat itu justru hatinya terasa lapang. Serasa sebuah beban yang berat lepas dari jiwanya.
Tapi Huang Ren Fu sekali lagi menggelengkan kepala, "Ding Tao, kau salah jika mengambil keputusan demikian dan aku
akan menyesali keputusanku seumur hidupku jika kau memaksa untuk melakukan hal itu. Sedikit pun aku tidak ingin kau
mengembalikan semuanya itu kembali pada keluarga Huang."
Ding Tao diam mendengarkan dan Huang Ren Fu pun berkata lagi, "Aku hanya menginginkan akar, cikal bakal dari keluarga
Huang di Wuling, satu kenangan, satu ungkapan, penghargaan pada usaha yang sudah dikerjakan selama 3 generasi. Satu
titik, di mana aku akan membangun sendiri keluarga Huang, dengan dua tanganku sendiri. Bukan dari sisa keluarga Huang
yang kau selamatkan dengan kekuatan orang lain."
Lama Ding Tao diam, sebelum akhirnya dia menjawab, "Aku mengerti", tapi tawaranku tetap adanya. Kapan pun kau
menghendaki, kau atau keturunanmu, aku akan mengembalikan semua yang pernah menjadi milik keluarga Huang pada
kalian." "Aku mengerti maksudmu, hanya saja kuharap kau mengerti juga apa yang ada dalam hatiku. Semua yang kau katakan
sebagai milik keluarga Huang, bagiku sudah hilang di malam pembantaian itu. Tak mau aku bangkit berdiri oleh pertolongan orang lain, aku ingin bangkit berdiri dengan kekuatanku sendiri. Sekali-kali bukan karena aku tak percaya padamu, tapi
inilah yang kurasakan.", jawab Huang Ren Fu.
Ding Tao menganggukkan kepala, "Tentu saja, aku tidak berani mengatakan bahwa aku mengerti apa yang kau rasakan.
Tapi aku percaya padamu."
Baru kali ini hati Huang Ren Fu terasa lega, setelah lama dia menyimpan pikiran ini, sebuah senyum pun terungkap tulus di wajahnya, "Lain hari ketika kita bertemu, saat aku sudah membangun kembali keluarga Huang dengan dua tanganku,
barulah aku merasa berdiri sejajar dengan dirimu."
"Hah" jangan berpikir bodoh, apapun keadaan kita, kita selalu sahabat bukan" Apakah jika aku jatuh dari kedudukanku
sekarang, kau akan memandangku dengan belas kasihan, seperti memandang seorang pengemis yang kelaparan" Kuharap
bila itu terjadi kau tidak berlaku demikian, tapi tetap memandangku sebagai seorang sahabat.", sahut Ding Tao sambil
memukul lengan Huang Ren Fu.
"Hahaha" ya" ya", anggap saja aku yang salah, tapi lihat saja, akan kubangun keluarga Huang kembali dari reruntuhan.
Dan setiap sen biaya yang kau gunakan untuk membangun kembali kediaman keluarga Huang di Wuling, aku akan
mengembalikannya.", jawab Huang Ren Fu sambil tertawa.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keduanya pun bercakap-cakap dengan bebas, sebuah ganjalan sudah dilemparkan jauh-jauh dari persahabatan mereka
berdua. Tidak mudah untuk membicarakan hal yang tidak menyenangkan, tapi jika dia memang seorang sahabat, maka kau
harus percaya bahwa apa pun itu, tidak akan mengubah persahabatan yang ada. Sekilas Huang Ren Fu berpikir, betapa
Ding Tao sesungguhnya memang sudah berubah, Ding Tao yang dulu tidak akan sebebas ini berlaku terhadap dirinya. Ding
Tao yang dulu selalu membawa diri sebagai seorang hamba terhadap tuan mudanya. Tapi Huang Ren Fu tidak merasa
terganggu dengan Ding Tao yang baru ini.
Bicara ke kanan dan ke kiri, tiba-tiba Huang Ren Fu bertanya, "Bagaimana hubunganmu dengan Adik Ying Ying?"
Ditanya demikian Ding Tao pun tergagap, "Eh" apa " ah" entahlah?"
Memikirkan Ying Ying, Ding Tao jadi terdiam dan lesu, hilang sudah tawa cerianya bersama Huang Ren Fu tadi.
Huang Ren Fu pun menghela nafas, lalu berkata, "Ding Tao", sedikit banyak aku sudah mendengar tentang kisah
hubunganmu dengan kedua isterimu. Aku pun pernah melihat mereka berdua saat kau mengadakan syukuran kelahiran
puteramu yang pertama. Keduanya memang wanita yang bisa dikatakan sulit dicari bandingannya."
Ding Tao masih terdiam dan Huang Ren Fu pun terdiam beberapa lama, mencari kata-kata yang tepat untuk
mengungkapkan pikiran dalam benaknya, "Kau tahu dalam hal hubungan kalian, kedudukanku berada di posisi yang serba
tidak enak. Di satu sisi, kau ini sahabatku dan sebagai lelaki, meskipun aku tidak akan membenarkan perbuatanmu, tapi
aku juga bisa memahami bagaimana hal itu sampai terjadi."
"Di sisi lain, Ying Ying adalah adikku yang kusayangi dan sekarang dia merupakan satu-satunya keluargaku di dunia ini. Tak mau aku melihat dia bersedih atau dihinakan orang.", ujar Huang Ren Fu.
Ding Tao pun mendesah sedih dan berkata, "Ren Fu", tak nanti aku akan menghinakan atau membuat Ying Ying bersedih."
Huang Ren Fu mengangguk dan berkata, "Ya", aku percaya, tapi bagaimana dengan orang lain" Bagaimana dengan dua
orang isterimu" Inilah pula yang menjadi salah satu alasanku, meminta kembali harta milik kami yang ada di Wuling.
Dengan jalan itu aku berharap bisa memberikan latar belakang yang layak bagi Ying Ying. Bukan sekedar anak yatim piatu
yang tidak memiliki apa-apa, seorang murid perantauan. Meskipun guru memiliki nama besar dalam dunia persilatan, tapi
seorang anak gadis tanpa keluarga yang kuat di belakangnya, akan ada saja orang yang akan mencibir dirinya."
"Ding Tao, apakah kau masih mencintai Ying Ying" Apakah engkau masih berpikir untuk menikahinya?", tanya Huang Ren
Fu. Ding Tao mengangguk dengan tegas, "Ya", sejak pertemuan kita kembali di kaki Gunung Songshan, perasaanku padanya
semakin kuat. Aku memang mencintainya dan jika dia bersedia, aku akan menikahinya. Aku tidak ingin memaksa dia untuk
mengambil satu keputusan, tapi inilah yang ada dalam hatiku, lepas dari apa yang nantinya akan terjadi."
Huang Ren Fu tersenyum puas, "Aku percaya padamu, aku percaya kau akan berusaha untuk membahagiakan dia. Dan
percayalah, dia sungguh mencintaimu, selama ini dia terus memikirkan dirimu. Mungkin saat ini dia masih butuh waktu
untuk bisa memaafkanmu, tapi pada akhirnya dia akan memaafkanmu."
Ding Tao terdiam beberapa lama, memandangi punggung Hua Ying Ying yang sedang bercanda dengan Chu Linhe, "Ya"
kuharap dia bisa memaafkanku."
"Apakah kau sudah berusaha menyampaikan padanya, mengenai keinginanmu untuk menikahi dia?", tanya Huang Ren Fu.
"Sudah?" "Lalu apa jawabnya?"
"Dia berkata akan mempertimbangkannya lebih dahulu.", jawab Ding Tao sambil tersenyum pahit.
"Sudahkah kau bertanya lagi padanya setelah itu?", tanya Huang Ren Fu pada Ding Tao.
"Belum", aku tidak ingin mendesak dia terus menerus" Sungguh aku merasa bersalah padanya dan aku tidak ingin terlalu
mendesak dia. Setelah apa yang kulakukan sudah wajar jika dia menolak pinanganku itu.", jawab Ding Tao dengan pilu.
"Jangan bodoh, sudah berapa lama kau menunggu jawaban darinya?", tanya Huang Ren Fu.
"Entahlah, setidaknya sudah lewat beberapa hari, mungkin 1 minggu", jawab Ding Tao.
"Sudah cukup lama, bukankah sekarang dia sudah mulai mau kau ajak bercakap-cakap. Cobalah bertanya lagi padanya,
masa kau berharap seorang gadis berbicara lebih dahulu mengenai masalah pernikahan" Jika kau tidak bertanya padanya,
bisa jadi kalian berdua sebenarnya saling menunggu dan menunggu.", ujar Huang Ren Fu mendorong Ding Tao.
Ding Tao pun berpikir beberapa lama, lalu menjawab, "Kau benar", begitu ada waktu yang tepat, aku akan bertanya lagi
pada dia." "Itu bagus?", jawab Huang Ren Fu.
Dan hari itu pun akhirnya berlalu tanpa Ding Tao sempat bertanya pada Hua Ying Ying mengenai pinangannya pada gadis
itu. Keesokan paginya Ding Tao berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi Hua Ying Ying. Mereka
berangkat dari penginapan pagi-pagi sekali, ketika matahari baru bersinar dengan terang, rombongan Ding Tao sudah jauh
meninggalkan desa tempat mereka menginap semalam. Udara yang cerah membuat semangat mereka semua terbangun.
Bahkan Hua Ying Ying yang beberapa hari ini sering diam, tampak lebih banyak bicara, membuat Ding Tao tersenyum lebih
banyak daripada kemarin. Dengan sengaja, kali ini Ding Tao mengajak Hua Ying Ying berjalan paling belakang. Huang Ren
Fu yang bisa mengira-ngira apa yang akan mereka bicarakan, dengan sengaja mengajak Tang Xiong dan Li Yan Mao untuk
ikut bergabung dengan Hua Ng Lau bertiga, berjalan paling depan.
"Kak Ding Tao, apa yang kemarin hendak dibicarakan Kakak Ren Fu denganmu?", tanya Hua Ying Ying tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan. Ding Tao terdiam sejenak, "Tidak ada yang penting" kakakmu", dia ingin tinggal lagi di Wuling itu saja."
Hua Ying Ying mendesah, "Jadi akhirnya kakak setuju dengan saran Paman Li", tidak perlu ditutupi, sedikit banyak kakak
sudah pernah berunding pula denganku."
"Oh begitu", lalu bagaimana menurut pendapat Adik Ying Ying tentang hal itu?", tanya Ding Tao.
"Aku tidak suka?", ujar Hua Ying Ying perlahan.
"Ah", kenapa?", tanya Ding Tao tak tahu harus berkata apa.
"Kakak Ren Fu dan aku sudah memutuskan untuk membuang masa lalu, mengapa sekarang kami justru meminta lagi apa
yang kami anggap sebagai hak kami" Entahlah" aku merasa, aku lebih bahagia seperti sekarang ini" bebas dari segala
ikatan yang tak perlu?", ujar Hua Ying Ying perlahan.
"Tapi" kakakmu, melakukan hal itu, juga demi kebaikanmu" dia ingin?", Ding Tao tak tahu harus bagaimana
menyampaikan apa yang dibicarakan dengan Huang Ren Fu kemarin.
Setelah beberapa saat terdiam akhirnya Ding Tao memberanikandiri untuk bertanya, "Adik Ying Ying, tentang lamaranku
beberapa waktu yang lalu, sudahkah adik mempertimbangkannya?"
Hua Ying Ying tidak langsung menjawab, Ding Tao dibuat berdebar-debar menunggu jawabannya.
"Sudah kupertimbangkan?", ujar Hua Ying Ying pendek, kemudian lama dia terdiam kembali, membuat Ding Tao hanya bisa
menunggu dengan dada yang serasa dihimpit gunung anakan.
"Kakak, jika teringat kakak sudah menikah, apalagi kakak berkenalan dan" bercinta dengan wanita lain, bahkan sebelum
kakak mengira aku mati, sementara aku selalu menanti-nanti kedatangan kakak, hatiku terasa sakit" sakit sekali.", ujar
Hua Ying Ying lalu kembali diam.
Mendengar perkataan itu hati Ding Tao ikut terasa sakit, sakit oleh penyesalan, tapi waktu tidak bisa diputar kembali, hanya bisa berjalan terus ke depan.
"Tapi aku pun mengerti, kakak toh hanya seorang manusia, sementara bahkan dewa pun bisa tergerak hatinya dan
melakukan kesalahan, apalagi manusia biasa. Dan kedua isteri kakak, memang bisa dikatakan serupa dengan dewi-dewi di
langit cantiknya. Lagipula, aku tahu benar sifat kakak, tiap perkataan kakak, aku tidak meragukan ketulusannya. Sedikit banyak, kukira aku bisa belajar untuk memaafkan perbuatan kakak itu.", ujar Hua Ying Ying membuat harapan Ding Tao
kembali muncul ke permukaan.
"Aku mencintai Kak Ding Tao, aku tidak bisa membohongi hatiku, semarah apapun, sebesar apapun rasa kecewa yang
pernah kurasakan. Di lain pihak, aku jadi berpikir, jika aku menikah dengan Kak Ding Tao", apakah kedua isteri Kak Ding Tao tidak akan merasakan sakit yang kurasakan" Jadi" jadi aku memutuskan?", tinggal satu kata, ya atau tidak, tapi berat sekali bagi Hua Ying Ying untuk mengatakannya.
"Aku memutuskan?", ujar Hua Ying Ying setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya, tapi omongannya itu terputus saat
Tang Xiong dengan setengah berlari datang mendekat dan menunjuk jauh ke depan.
"Ketua" lihat, sepertinya ada rombongan dari Partai Pedang Keadilan yang datang menyambut kita.", seru Tang Xiong yang
tidak tahu menahu tentang pembicaraan penting dari sepasang kekasih itu.
Otomatis, Hua Ying Ying pun tidak meneruskan perkataannya dan Ding Tao ditinggalkan bertanya-tanya. Untuk beberapa
saat keduanya terdiam serba salah dan Tang Xiong yang menyadari suasana itu pun bertanya perlahan-lahan, "Maaf"
apakah aku mengganggu pembicaraan yang penting?""
Gemas sekali hati Ding Tao, rasanya ingin dia menggampar wajah Tang Xiong yang baru saja sadar, sudah mengganggu
satu pembicaraan yang penting. Sekalipun demikian, tak sampai hati dia memaki Tang Xiong. Dengan menahan kesal
pemuda itu pun menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak ada apa-apa", ujarnya sambil memandang ke depan, ke arah yang ditunjuk oleh Tang Xiong.
Hua Ying Ying yang ikut merasa serba salah dengan kedatangan Tang Xiong yang tiba-tiba, cepat-cepat menyambung
perkataan Ding Tao, supaya Tang Xiong tidak sempat bertanya lebih panjang, "Kak Ding Tao, apakah benar yang di depan
sana itu rombongan dari Partai Pedang Keadilan" Kalau benar, ayolah kita cepat-cepat menyongsong mereka pula."
"Benar, ayolah Paman Tang Xiong, mari kita percepat jalan kita.", ujar Ding Tao dengan segera menyambut usul Hua Ying
Ying. "Eh" ya baiklah, kukira di antara mereka tentu ada nyonya berdua, jika bukan mereka siapa lagi yang menggunakan
kereta" Apakah Saudara Chou Liang" Menurut ketua bagaimana?", ujar Tang Xiong sambil mempercepat langkah kakinya.
Mendengar ucapan Tang Xiong, hati Ding Tao terasa tenggelam, "Kukira kau benar" tentu mereka berdua, jika tidak
masakan harus pakai kereta segala."
Hua Ying Ying melirik sekilas ke arah Ding Tao, melihat wajah Ding Tao seketika itu juga hatinya mengkal, dalam hati dia membatin, "Huh" tadi bersemangat sekali, sekarang melihat isterimu datang, toh kau jadi ketakutan?"
Ya, tapi siapa yang bisa menyalahkan Ding Tao, Tang Xiong yang tadinya bersemangat menyampaikan berita, begitu
melihat wajah Ding Tao barulah dia tersadar. Sudah juga jadi lelaki, kalau ada banyak wanita yang mengejar. Dengan wajah kecut, Tang Xiong pun berjalan mengiringi Ding Tao tanpa berani banyak berkata apa-apa. Ding Tao sendiri jadi tenggelam dalam segala macam perasaan dan perhitungan. Seandainya Hua Ying Ying sudah memberikan jawaban yang pasti, maka
lebih mudah bagi dia untuk mengambil satu keputusan. Tapi Ying Ying belum sempat mengatakan ya atau tidak. Betapa
bodohnya jika dia menyambut kedua isterinya dan mengatakan akan menikahi Hua Ying Ying, tapi ternyata jawaban dari
gadis itu adalah tidak. Sebaliknya dia bisa merasakan pandangan tajam mata Hua Ying Ying yang mengamati setiap detail
ekspresi wajahnya dan berusaha membaca perasaannya. Hendak bertanya lebih jelas pada Ying Ying, tapi ada Tang Xiong di
sana, sehingga dirinya pun tidak leluasa untuk bertanya.
Ding Tao masih sibuk berpikir bagaimana caranya agar dia bisa berbicara berdua saja dengan Ying Ying, ketika terlihat,
kereta kuda yang ada di kejauhan itu berhenti bergerak, dengan serta merta Ding Tao pun berkata pada Tang Xiong,
"Saudara Tang Xiong, cobalah berjalan lebih dulu dan lihat, mengapa kereta itu berhenti bergerak, mungkin mereka butuh
pertolongan." Tang Xiong pun merasa lega dan dengan segera menjawab, "Ah" tentu saja, baiklah ketua, aku akan bergegas ke sana,
mendahului ketua." Siapa sangka di saat itu, Hua Ying Ying yang masih merasa mengkal atas sikap Ding Tao berkata pula, "Paman Tang Xiong,
aku ikut denganmu, siapa tahu mereka memang perlu bantuan."
Dan habis berkata demikian tanpa menunggu gadis itu pun mempercepat langkahnya, meninggalkan Ding Tao dan Tang
Xiong yang melengong dengan mulut setengah terbuka.
"Ketua" soal ini?", sedikit terbata Tang Xiong berdiri termangu memandang Ding Tao.
Ding Tao pun hanya bisa menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala, "Ahh" sudahlah", ayolah kita semua sedikit
bergegas." Akhirnya mereka bertiga pun bergegas menghampiri rombongan yang ada di depan, kemudian bersama-sama,
mempercepat langkah kaki mereka untuk menemui para penyambut dari Kota Jiang Ling. Dari kejauhan mereka melihat dua
orang wanita turun dari kereta, siapa lagi jika bukan Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Dengan berjalan kaki, kedua
wanita itu bersama-sama para pengantarnya, pergi menyambut Ding Tao dan rombongannya. Seperti apa perasaan Ding
Tao, sulit sekali untuk dijelaskan, karenanya penulis memilih untuk membiarkan pembaca membayangkan sendiri perasaan
Ding Tao saat itu. Siapa yang hendak disalahkan jika pertemuan suami isteri yang sudah lama terpisah jadi terkesan sedikit kaku dan
dipaksakan" Ah, mungkin ini jelas-jelas salah Ding Tao, lelaki mana yang punya akal sehat akan datang bertemu dengan
kedua isterinya, sembari membawa cinta pertamanya" Tapi Ding Tao sendiri tidak pernah menduga bahwa Murong Yun Hua
dan Murong Huolin akan pergi untuk menyambutnya, sehingga sebelum mereka bertemu, sementara permasalahan antara
dirinya dan Hua Ying Ying belum memiliki kejelasan. Bukan hanya Ding Tao, yang lain pun merasa berada di dalam
kesusahan yang sama. Hua Ying Ying yang bersangkutan langsung jelas ikut berdebar-debar jantungnya, meskipun debaran
itu sedikit tersamar oleh kekesalannya pada Ding Tao. Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau sebagai orang terdekat dari Hua Ying
Ying, ikut pula merasa mulas perutnya dengan semakin dekatnya jarak di antara dua rombongan ini. Li Yan Mao dan Tang
Xiong, meskipun tidak terkait secara langsung, ikut terpengaruh dengan suasana yang menyesakkan. Hanya Ma Songquan
dan Chu Linhe saja yang tidak terlalu ambil peduli, tapi mengamati kejadian ini dengan penuh rasa ingin tahu.
Tapi ketegangan itu dengan segera menjadi cair ketika kemudian Murong Yun Hua dan Murong Huolin berlari kecil dan
dengan hangat menyapa, bukan saja Ding Tao tapi juga Hua Ying Ying dan yang lainnya.
"Kak Ding Tao", syukurlah kalian semua baik-baik saja" Bagaimana dengan tangan kakak" Apakah masih sakit?", sapa
Murong Yun Hua dan Murong Huolin dengan hangat pada Ding Tao.
Kemudian sebelum Ding Tao sempat membuka mulut, keduanya meraih tangan Hua Ying Ying dan menggandeng gadis itu
di kiri dan kanan, "Nona Ying Ying, syukurlah ternyata kalian berdua baik-baik saja. Sungguhpun kami sangat terkejut
mendengar berita tentang kalian berdua, tapi kami juga sangat bersyukur bahwa kalian berdua ternyata baik-baik saja.
Kalau saja kau tahu betapa Kak Ding Tao sangat bersedih jika sedang memikirkan kalian berdua."
Dengan beberapa kalimat itu, dan disambung dengan sapaan-sapaan dan pertanyaan yang ramah pada semua orang yang
ada, maka ketegangan yang sempat dirasakan itu pun dengan cxepat mencair. Meskipun tentu ada sisa-sisa perasaan yang
mengganjal, tapi perasaan itu tidaklah sampai membuat suasana menjadi rusak. Kedua isteri Ding Tao dengan pandainya
membawakan peranan mereka sebagai isteri-isteri yang berbahagia karena bertemu kembali dengan suami yang dikasihi.
Tentang kedudukan Hua Ying Ying sebagai kekasih Ding Tao, tidak sedikitpu mereka singgung, dan orang berakal mana
yang mau coba-coba menyinggung masalah itu dalam keadaan demikian" Dengan bijaksana kedua orang nyonya itu
berjalan beriringan dengan Hua Ying Ying bukan berjalan beriringan dengan Ding Tao. Dengan cara mereka bersikap, orang
bisa menangkap, bahwa mereka tidak menafikan adanya hubungan hati antara Ding Tao dengan Hua Ying Ying. Di saat
yang sama mereka juga menunjukkan bahwa, mereka tidak akan memusuhi atau menyalahkan Hua Ying Ying atas
hubungan gadis itu dengan suami mereka.
Tentu saja tidak ada seorangpun yang percaya bahwa kedua nyonya itu sungguh-sungguh tidak menyimpan ganjalan apa
pun dalam hati mereka. Namun justru ketulusan mereka dalam menyambut Hua Ying Ying, keramahan yang tidak dibuatbuat, membuat mereka semua kagum pada jiwa besar kedua orang nyonya itu. Termasuk Hua Ying Ying sendiri, gadis itu
ikut tergerak oleh keramahan mereka berdua yang tulus dan semakin kuatlah keyakinannya untuk menolak pinangan Ding
Tao. Gadis itu toh bukannya gadis yang egois dan mau menang sendiri. Jangankan kedua orang nyonya itu bersikap ramah
pada dirinya, seandainya mereka bersikap cemburu pun dia bisa mengerti.
Sikap ramah mereka berdua, juga cara mereka berusaha menjaga perasaan setiap orang, baik Ding Tao maupun dirinya,
membuat Hua Ying Ying merasa kecil di hadapan mereka berdua. Dia yang baru saja bersikap semaunya dan tidak mau
tahu dengan kedudukan Ding Tao yang serba salah, tiba-tiba dihadapkan pada dua orang nyonya ini, yang menurut Ying
Ying lebih berhak untuk merasa kesal dengan Ding Tao, tapi ternyata justru berusaha menghilangkan kekakuan yang ada di
antara mereka ber-empat. Di antara mereka semua, tentu saja yang paling merasa lega dan bersyukur adalah Ding Tao, wajahnya yang murung pun
sekarang menjadi cerah. Meskipun kedua isterinya justru bergandengan tangan dengan Hua Ying Ying, tapi justru itu yang
membuat dia merasa senang. Ding Tao pun menepuk jidatnya sendiri dalam hati, mengapa pula dia sempat merasa
menyesal sudah menikahi dua kakak beradik itu. Tak sedikitpun ada cela dalam sikap mereka sebagai isteri. Tentu saja
timbul pertanyaan dalam benak Ding Tao, jika demikian, lalu bagaimana dengan Hua Ying Ying sekarang" Pemuda itu pun
berharap-harap cemas, bahwa pada akhirnya semua akan berakhir dengan baik.
Dengan keceriaan dua orang nyonya itu, perjalanan yang panjang pun menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Tanpa
terasa akhirnya mereka sampai pula pada kota tujuan mereka untuk hari itu. Penginapan pun dipesan, dalam pembagian
kamar tentu saja Ding Tao dan kedua isterinya diberikan satu kamar tersendiri. Tapi ketika yang memesan kamar
menyampaikan pembagian itu pada yang lain, Murong Yun Hua menggamit tangan Ding Tao dengan lembut.
"Suamiku, kuharap kau tidak marah, tapi bagaimana jika untuk malam ini, biarlah aku dan Adik Huolin tidur sekamar
dengan Adik Ying Ying. Sungguh, ada banyak hal yang ingin kami bicarakan.", ujar Murong Yun Hua dengan lembut namun
cukup jelas bagi setiap orang.
Ding Tao tertegun menatap Murong Yun Hua beberapa lama, sebelum kemudian hatinya dipenuhi satu kehangatan oleh
tatapan mesra yang terpancar dari mata Murong Yun Hua, "Tentu saja, tentu aku tidak marah. Kupikir, adalah baik kalau
kalian bertiga saling mengenal lebih dekat."
"Terima kasih?", ucap Murong Yun Hua pendek saja.
Meskipun pendek tapi banyak arti yang tersirat di dalamnya, jika bukan Ding Tao percaya, tentu bukan demikian jawaban
Ding Tao. Atas kepercayaan Ding Tao ini, betapa besar rasa terima kasih Murong Yun Hua, semuanya tertumpang di atas
satu kata itu saja. Untuk sekejap lamanya, kedua orang ini saling memandang dengan mesra, sebelum Murong Yun Hua
memalingkan wajahnya dan menarik tangan Hua Ying Ying dengan ceria.
"Ayolah Adik Ying Ying, kita lihat kamar kita, tubuhku sudah penat sekali tidak terbiasa dengan perjalanan panjang. Pasti nikmat berendam bersama dalam satu bak air panas yang besar."
Kemudian berpaling pada pemilik penginapan diapun berkata dengan ramah, " Tuan pemilik, tentu bisa menyediakannya
bukan?" "Tentu nyonya, tentu, tentu saja kami bisa menyiapkan, akan kami siapkan dengan segera.", jawab pemilik penginapan itu
dengan ramah dan pandang mata kagum yang tidak bisa disembunyikan.
Melihat cara pemilik penginapan itu memandang Murong Yun Hua, Ding Tao hanya tersenyum saja, memiliki isteri yang
cantik, apalagi dua orang isteri yang cantik tentu harus siap melihat lelaki lain memandang mereka dengan penuh
kekaguman, asalkan tidak terlihat sorot mata yang kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Jika kurang rasa percaya pada pasangan, tentu mudah membuat timbulnya pertengkaran. Apalagi jika si suami rendah diri, tentu pernikahan jadi
neraka. Bukan tidak mungkin isteri yang setia pun jadi berubah hati. Beruntung baik Ding Tao maupun kedua isterinya
saling percaya, atau mungkin karena mereka masih pengantin baru" Entahlah kita Cuma bisa ikut menyimak saja
perjalanan cinta mereka semua.
Ajakan Murong Yun Hua awalnya membuat Hua Ying Ying terkejut, namun melihat keceriaan Murong Huolin dan ketulusan
Murong Yun Hua, perasaan gadis itu pun ikut terbawa suasana, meskipun debar-debar kecil masih samar-samar terasa
dalam dada. Ketiganya saling bercanda, bercakap-cakap dengan ramai, seperti biasa ketika gadis-gadis berkumpul, seakanakan sudah bersahabat sejak lama. Meskipun demikian Hua Ying Ying dalam hatinya yang terdalam merasa, bahwa
tentunya Murong Yun Hua memiliki maksud tertentu ketika mengatur agar mereka bertiga mendapatkan kamar yang sama.
Debar-debar itu semakin jelas terasa, saat Murong Yun Hua dengan lembut berkata, "Adik Ying Ying, bisakah kita berbicara mengenai hubunganmu dengan Kak Ding Tao?"
Ying Ying tergagap menjawab, "Ah" apa perlunya" di antara kami sudah tidak ada apa-apa."
Murong Yun Hua tersenyum dengan lembut, "Adik Ying Ying, tidak ada yang perlu kau sembunyikan, kami tahu kalian
berdua pernah saling mencintai dan kukira masih saling mencintai."
"Apakah keramahan mereka hanya sandiwara saat berada di depan Kak Ding Tao" Dan sekarang setelah kami tinggal
bertiga, mereka ingin memastikan agar tidak ada hubungan asmara di antara kami berdua?", dalam hati Hua Ying Ying
bertanya-tanya. Melihat Hua Ying Ying diam tak segera menjawab, Murong Yun Hua memegang tangan Hua Ying Ying dengan lembut, "Adik
Ying" mengapa tidak terbuka saja, percayalah kami memahami keadaanmu."
Mendengar suara Murong Yun Hua yang lembut dan keibuan, air mata pun mulai mengembeng di pelupuk mata Hua Ying
Ying, terisak dia menjawab, "Ah" enci" kalaupun sudah tahu, apa lagi yang perlu diceritakan?"
Murong Yun Hua menghapus air mata yang mulai mengalir, sementara Murong Huolin memeluk Hua Ying Ying dari samping.
Untuk beberapa lama, mereka bertiga tidak ada yang berbicara.
"Setelah pertemuan kalian di kaki Gunung Songshan, apakah Kak Ding Tao pernah menyatakan cintanya padamu" Apakah
dia sudah pernah meminanngmu untuk jadi isterinya?", tanya Murong Yun Hua perlahan, ketika isak Hua Ying Ying sudah
berkurang. Hua Ying Ying menganggukkan kepala sebagai jawaban, kepalanya menunduk memandangi lantai, tak berani bertatap muka
dengan dua orang isteri Ding Tao yang sekarang sedang menghiburnya.
"Lalu" apakah Adik Ying Ying sudah menjawab?", tanya Murong Huolin hati-hati.
Hua Ying Ying menggelengkan kepala, kemudian berkata, "Tapi enci berdua tidak perlu khawatir, semuanya sudah
kupikirkan baik-baik dan aku memutuskan untuk menolak pinangan Kak Ding Tao"."
Untuk sejenak Murong Yun Hua dan Murong Huolin saling berpandangan penuh makna, namun Hua Ying Ying yang masih
menenangkan diri tak melihat hal itu.
"Hei" mengapa demikian" Apakah Adik Ying Ying sudah tak mencintainya lagi?", tanya Murong Huolin dengan heran.
Agak lama sebelum Hua Ying Ying menjawab, "Aku" aku tidak ingin berbohong pada enci berdua, sebenarnya perasaan itu
belumlah hilang. Tapi aku tidak ingin menjadi pengganggu kebahagiaan kalian. Aku yakin Kak Ding Tao sudah mendapatkan
dua orang isteri yang sangat baik, yang akan dapat membahagiakan dirinya. Sedangkan diriku, kukira setelah beberapa
tahun, tentu perasaan ini akan hilang dengan sendirinya."
"Anak bodoh?", tegur Murong Yun Hua penuh rasa sayang.
"Bagaimana mungkin dia bisa berbahagia, jika dia tidak bersanding dengan dirimu, tak tahukah kamu, betapa dia
mencintaimu?", tanya Murong Yun Hua pada Hua Ying Ying.
Pipi Hua Ying Ying bersemu dadu mendengar perkataan Murong Yun Hua dan tidak menjawab apa-apa. Meskipun sudah
bertekad untuk menolak pinangan Ding Tao, bagaimanapun juga hatinya mengembang mendengar kata-kata Murong Yun
Hua itu. Tiba-tiba Murong Yun Hua mendesah sedih dan Hua Ying Ying pun menengadahkan kepala, melihat kesedihan di
wajah Murong Yun Hua dan bertanya.
"Enci" mengapakah enci bersedih?", tanya Hua Ying Ying dengan kuatir.
"Bagaimana aku tidak bersedih" Kalian berdua tidak bisa bersatu", semua itu adalah salahku.", keluh Murong Yun Hua.
Hua Ying Ying yang sudah timbul perasaan suka dan sayangnya pada kedua bersaudara Murong itu, dengan serta merta
menjawab, "Jangan berpikir demikian, aku sudah mendengar semua kisahnya dari Kak Ding Tao dan aku kira itu semua
bukan kesalahan enci berdua."
"Ah" benarkah demikian" Coba kau ceritakan apa yang Kak Ding Tao katakan kepadamu tentang pertemuannya dengan
kami berdua.", ujar Murong Yun Hua.
Maka Hua Ying Ying pun bercerita, menceritakan pengakuan Ding Tao tentang pertemuannya dengan kedua Murong
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersaudara itu. Ding Tao adalah seorang pemuda yang tulus hati, dengan sendirinya dalam cerita itu dia tidak menceritakan bagaimana Murong Yun Hua menggodanya. Sebagai seorang pemuda yang lembut hati, dia menjaga nama baik kedua
orang isterinya itu, dan kesalahan sepenuhnya tertimpa pada kelemahan hatinya.
Setelah Hua Ying Ying selesai bercerita, maka Murong Yun Hua pun berkata, "Ah" Ding Tao memang sungguh seorang lelaki
sejati, tak hendak dia membuka aibku, meskipun dengan demikian dia bisa membersihkan namanya. Adik Ying, kisah Ding
Tao itu meskipun tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar."
"Maksud enci?", tanya Hua Ying Ying dengan hati berdebar.
Murong Yun Hua memandangi Hua Ying Ying lama sekali, kemudian berkata, "Adik Ying Ying, sebelum kuceritakan yang
sebenarnya, maukah kau berjanji untuk tidak memandang rendah diriku?"
"Tentu saja aku tidak akan pernah melakukan hal itu, sudah kudengar banyak hal yang baik tentang Enci Yun Hua, dan hari ini aku membuktikannya dengan mataku sendiri, mana mungkin aku memandang rendah enci?", jawab Hua Ying Ying
dengan yakin. Tersenyum sedih, membuat mereka yang melihatnya merasa pilu, Murong Yun Hua pun menjawab, "Jika sudah kuceritakan
kisah yang sebenarnya, mungkin Adik Ying Ying tidak akan berpikir demikian lagi. Namun demi kebahagiaan kalian berdua,
biarlah aku membuat pertaruhan ini."
"Dengarlah, sesungguhnya antara aku dan Ding Tao tidak pernah terjadi apa pun, sebelum pernikahan kami. Meskipun
benar adanya kami berdua sudah jatuh cinta padanya, namun Ding Tao selalu mengingat dirimu semata. Hanyalah setelah
mengira engkau sudah tiada, barulah hatinya terbuka bagi kami berdua. Itu pun pada awalnya dilakukan semata-mata
karena rasa kasihan dan keinginan untuk membalas budi.", ujar Murong Yun Hua menjelaskan pada Hua Ying Ying.
"Aku tidak mengerti", jika kalian berdua belum pernah berhubungan, lalu" lalu?", ujar Hua Ying Ying terbata-bata, tak
tega hendak melanjutkan pertanyaannya.
"Lalu dengan siapa aku berhubungan hingga akhirnya aku berbadan dua.", sambung Murong Yun Hua melanjutkan
pertanyaan yang tidak sampai hati diselesaikan oleh Hua Ying Ying.
Air mata pun meleleh, membasahi kedua pipi Murong Yun Hua , "Ah" adik" sebelum aku bertemu dengan Ding Tao, aku
tidak tahu seperti apa lelaki yang baik itu."
Untuk beberapa saat lamanya ruangan itu hening, tak ada seorang pun yang bicara, kemudian Murong Yun Hua
melanjutkan, "Aku tertipu oleh seorang laki-laki" kukira apa yang terjadi tidak perlu kujelaskan, kau toh sudah mengerti.
Tadinya sudah kuputuskan hendak hidup jauh dari orang-orang, biarlah kusembunyikan aib ini sendiri. Tapi nasib berkata
lain, dalam pelariannya Ding Tao bertemu kami berdua."
"Saat itu dia dalam keadaan terluka dan dikejar-kejar oleh Sepasang Iblis Muka Giok, oleh belas kasihan, kami berdua
memutuskan untuk menolong dirinya. Dalam waktu yang singkat itu, memang kami berdua dibuat terpikat oleh sifatsifatnya yang mulia. Namun dalam hatinya hanya ada dirimu, tak ada tempat bagi yang lain. Aku pun bisa menerima
kenyataan itu, mengingat keadaanku " ah" masakan aku cukup berharga untuknya?", Murong Yun Hua bercerita penuh
perasaan, membuat Hua Ying Ying ikut hanyut dalam ceritanya.
"Ketika kami mendengar nasib buruk yang menimpa dia, tak tahan, kami pun datang mengunjunginya, untuk memberikan
sedikit bantuan yang bisa kami berikan. Keadaanku yang berbadan dua, tentu saja mengundang pertanyaan. Tapi di sinilah
kemurahan haitnya sungguh terlihat, tanpa ragu dia mengakui anak ini sebagai anaknya. Adik Ying Ying, kau yang paling
mengenal dirinya, jika dia merasa berhutang budi pada seseorang, dalam keadaan seperti itu, di mana dia juga mengira
dirimu sudah meninggal, menurutmu apakah dia akan berlaku demikian?", tanya Murong Yun Hua pada Hua Ying Ying.
Hua Ying Ying pun tercenung, dan mengingat-ingat segala sifat baik Ding Tao. Kelembutannya bahkan kelemahan hatinya
jika melihat kesusahan orang lain. Apakah mungkin ini kisah yang sebenarnya" Bagi kita yang mengikuti perjalanan Ding
Tao dari awal hingga sekarang, tentu saja kita tahu bahwa cerita Murong Yun Hua tidak lebih hanyalah karangan belaka.
Jika Ding Tao mengisahkan pertemuannya dengan Murong Yun Hua sambil menutupi bagian-bagian yang dia anggap bisa
mempermalukan Murong Yun Hua, maka justru Murong Yun Hua tanpa ragu mengisahkan kisah itu dengan memikul semua
aib pada dirinya, mengangkat Ding Tao seakan dia seorang lelaki tanpa cacat, serupa malaikat atau orang suci. Apakah ada manusia sebaik itu" Mungkin demikian kita akan bertanya-tanya, tapi Hua Ying Ying yang sedang jatuh cinta pada Ding Tao, mana mungkin bertanya demikian.
Melihat Hua Ying Ying termakan oleh ceritanya, Murong Yun Hua pun melanjutkan, "Sungguh aku berterima kasih tak terkira dalamnya saat dia meminang wanita yang penuh noda ini, menjadi pahlawan yang menghapuskan aib, yang kukira harus
kutanggung oleh diriku dan oleh anak dalam kandunganku seumur hidupku."
Air mata Hua Ying Ying kembali mengembeng, perasaannya campur aduk antara terharu, bangga dan bahagia.
"Tapi aku merasa diriku tak pantas baginya, di saat yang sama, pinangan itu adalah berkah yang tak terkira harganya.
Kebetulan aku tahu bahwa Adik Huolin menyimpan rasa pada dirinya, dan aku memutuskan untuk menerima pinangannya,
asalkan dia bersedia menikah pula dengan Huolin adikku yang masih suci. Hanya dengan cara itu, setidaknya aku tidak
merasa terlampau malu, merasa tak pantas setiap kali aku bersanding dengan dirinya.", ujar Murong Yun Hua melengkapi
kisah buatannya. "Adik Ying Ying, mengertilah, sungguh hanya dirimu yang ada dalam hatinya. Jika sekarang kau menolak pinangannya,
betapa kau juga menambahkan bara di atas kepalaku. Jika karena keegoisanku, kalian berdua tidak bisa bersatu, lebih
baik" lebih baik aku mati saja sekarang ini", ujar Murong Yun Hua menutup siasatnya, diiringi tangis yang sangat sedih.
"Ah"enci" janganlah berpikir demikian", ujar Murong Huolin dengan sedih dan ikut pula menangis.
Ketiga gadis itu pun bertangis-tangisan untuk beberapa lama. Perasaan memang mudah dipermainkan, betapa banyak
orang mencari untung dengan curang bermodalkan kepandaian mereka memainkan perasaan orang lain. Kali ini Murong Yun
Hua membuat perasaan Hua Ying Ying naik dan turun, air mata diperas seperti curahan hujan. Tapi jika penipu, menipu
untuk keuntungannya sendiri, Murong Yun Hua menipu untuk keuntungan suaminya dan merugikan diri sendiri.
"Ah lebih baik aku mati", keluh Murong Yun Hua untuk ke sekian kalinya.
Dengan penuh rasa haru Hua Ying Ying pun menggenggam erat tangan Murong Yun Hua yang sedang menarik-narik rambut
sendiri, "Sudahlah enci, hentikan" hentikan", jangan pernah berpikir demikian. Jika enci meninggal bagaimana dengan
anak enci yang masih kecil?"
"Tapi jika karena diriku, aku justru membuat tuan penolongku tak bisa bersatu dengan gadis yang dia cintai, masakan aku kasih punya muka untuk hidup lagi", ujar Murong Yun Hua sambil menangis.
"Tidak" tidak", aku akan menerima pinangannya, jadi enci janganlah berpikiran demikian lagi.", jawab Hua Ying Ying
dengan air mata berlinangan.
"Maksud adik" adik tidak jadi memutuskan untuk menolaknya?", tanya Murong Yun Hua sambil menyusut air mata.
Dengan wajah bersemu merah Hua Ying Ying menganggukkan kepala, disambut dengan seruan gembira oleh kedua orang
bersaudara Murong. Sekali lagi mereka saling berangkulan dan sungguh sulit mengerti wanita, saat sedih mereka menangis, siapa sangka saat bahagia pun mereka juga menangis. Puas menangis, barulah mereka saling berpandangan dan melihat
keadaan masing-masing. Sambil tertawa geli mereka merapikan diri masing-masing, kemudian dengan kerlingan nakal Murong Huolin berkata, "Tapi
biarlah keputusan Adik Ying Ying ini, jangan kita sampaikan dulu pada Kak Ding Tao. Mulai besok, kita bertiga harus
bersikap agak dingin padanya. Biarlah dia diberi pelajaran, agar tidak mudah menebar pesona, jika tidak, sekarang ada tiga, bisa-bisa nanti akan ada yang ke-empat, ke-lima dan selanjutnya."
Usul Murong Huolin yang nakal itu dengan serta merta diterima, diiringi oleh tertawa terkikir dari kedua orang gadis yang lain. Dengan ini, maka selesailah masalah Ding Tao dengan Hua Ying Ying, meskipun sisa perjalanan mereka dipenuhi
dengan berbagai macam kejahilan ketiga orang wanita ini kepada Ding Tao. Meskipun demikian, melihat ketiganya akur
adalah hiburan terbaik bagi Ding Tao. Kalaupun terkadang dia mendapati sikap yang bermusuhan dari ketiganya, hal itu
masih jauh lebih baik bagi dia, daripada melihat ketiganya bertengkar di depan dirinya. Perubahan suasana ini tentu saja ditangkap oleh anggota rombongan yang lain, dengan sendirinya perjalanan yang cukup panjang jadi lebih menyenangkan.
Sesampainya mereka di Jiang Ling, tidak banyak yang bisa diceritakan lagi, kecuali tentang persiapan pernikahan Ding Tao dan perjalanan Wang Shu Lin yang semakin lama semakin mendekati kota Jiang Ling. Sementara nama Murong Yun Hua
semakin harum di antara mereka yang mendengar kisah tentang kesetiaan dan kebesaran hatinya. Sosok wanita itu jadi
semakin menawan, bagi dia yang diam-diam menyimpan cinta padanya. Semakin besar cinta yang terasa, semakin sakit
pula karena tidak bisa memilikinya. Di satu sisi, seakan kekusutan jaring-jaring cinta dalam kehidupan Ding Tao sudah bisa diluruskan, tapi diam-diam justru tumbuh masalah lain yang semakin besar, namun sampai saat ini belum kelihatan.
Hampir satu bulan lamanya Jiang Ling disibukkan dengan persiapan pernikahan Ding Tao dengan Hua Ying Ying. Di saat
yang sama, Tiong Fang mengajukan hukum-hukum dan peraturan dalam partai yang nantinya disiapkan untuk
menangani para pengkhianat di Guiyang, sesuai dengan pemikiran Murong Yun Hua. Dunia persilatan pun ramai dengan kabar pernikahan Ding Tao dengan isteri yang ketiga. Tidak sedikit yang meragukan kerja dari Wulin Mengzhu yang baru,
bayangkan saja dalam waktu kurang dari satu tahun menikahi tiga orang wanita. Apakah dia lawan yang sepadan bagi Ren
Zuochan" Jika dia sibuk dengan kehidupan cintanya sementara Ren Zuochan sibuk melatih ilmunya. Baiknya masih ada
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Lepas dari Ding Tao sebagai tokoh paling menonjol di generasi yang sekarang,
dua orang tokoh tua ini masih merupakan pilar yang menjadi penyangga kegarangan dunia persilatan dalam perbatasan.
Hanya mereka yang tidak mengenal Ding Tao yang berpikir demikian, atau mereka yang memang ingin melihat kejatuhan
pemuda itu. Dalam kenyataannya Ding Tao sangat menyadari posisinya saat ini. Hampir setengah dari seluruh waktunya dia
habiskan untuk mendalami apa yang sudah dia pelajari. Beruntung ada orang-orang yang bisa dia percayai untuk
memegang kendali partai, sementara dia berkonsentrasi untuk meningkatkan terus ilmu-ilmu yang sudah dia miliki.
Pamor Partai Pedang Keadilan semakin mencorong dengan dua pedang pusaka di tangan mereka. Pedang Angin Berbisik
kembali dipegang Ding Tao, sementara Pedang Amarah Phoenix menjadi penanda kuasa bagi mereka yang diutus Ding Tao
atas nama Partai Pedang Keadilan. Di tangan seorang ahli pedang seperti Liu Chun Cao, maka memberikan tanda kuasa
dalam bentuk sebuah pedang pusaka sungguh membuat perbedaan yang besar, seperti seekor harimau tumbuh sayap.
Tapi semuanya datang dengan harga yang tidak murah, orang boleh saja iri dengan Ding Tao yang memiliki dua orang isteri yang cantik dan dalam waktu dekat akan menikah dengan isteri yang ketiga. Memiliki nama besar dalam usia yang sangat
muda, memiliki kedudukan nomor satu dalam dunia persilatan, apa lagi yang kurang" Namun dalam kenyataannya, dengan
segala pencapaiannya itu, Ding Tao menghabiskan lebih banyak waktu untuk memenuhi tanggung jawabnya, daripada
menikmati pencapaian-pencapaian itu. Semakin sibuk Ding Tao, semakin sedikit waktu yang bisa dia berikan untuk kedua
orang isterinya. Satu malam Ding Tao yang baru saja selesai bercinta dengan kedua isterinya, tengah berbaring sambil memeluk Murong
Yun Hua dan Murong Huolin di kiri dan kanannya. Dengan lembut dia membelai-belai rambut mereka yang hitam tebal,
sementara matanya menerawang ke langit-langit kamar tidur mereka. Menghitung balok-balok kayu yang saling silang di
atas sana. Tiba-tiba dia menghela nafas, "Hehh"., isteriku", kalau dipikir baik-baik, betapa banyak yang kalian berikan, namun betapa sedikit aku membalas kebaikan kalian"."
Sambil tertawa lembut Murong Huolin tidak berkata banyak, hanya bergerak merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Ding
Tao. Membuat darah Ding Tao berdesir dan dadanya dirambati kehangatan, saat merasakan tubuh lembut dan hangat
Murong Huolin merapat ke tubuhnya. Apalagi ketika kaki Murong Huolin yang panjang bergerak menindih paha Ding Tao,
dan Ding Tao bisa merasakan bulu-bulu di bagian tertentu milik Murong Huolin membelai pangkal pahanya, membangkitkan
kembali yang baru saja tertidur. Perubahan pada tubuh Ding Tao tidak lepas dari perhatian Murong Yun Hua, sambil tertawa geli Murong Yun Hua menggeser tubuhnya ke atas, membuat sepasang putingnya tepat berada di depan wajah Ding Tao.
Remangnya malam, tidak mampu menyembunyikan bentuk sempurna dari sepasang buah dada Murong Yun Hua. Cahaya
lilin yang sesekali bergoyang, membentuk siluet lengkung yang sempurna di mata Ding Tao.
Murong Yun Hua pun merintih perlahan saat Ding Tao dengan lembut merengkuh sepasang payudaranya. Sekali lagi kamar
itu pun dipenuhi desahan dan erangan kenikmatan. Waktu pun terus berjalan, entah berapa lama sebelum akhirnya mereka
bertiga berbaring dengan tenaga terperas namun puas.
Berbantalkan sebelah tangan Murong Yun Hua, kepala Ding Tao bersandar pada dada isterinya itu, sementara Murong Yun
Hua dengan lembut membelai dan menyisir rambut Ding Tao, "Ding Tao" jangan pernah berpikir tentang siapa yang lebih
banyak memberi dan siapa yang lebih banyak menerima. Bagi kami, asalkan kau sungguh-sungguh mencintai kami, kami
sudah merasa sangat bahagia."
"Itu benar Kak Ding Tao?", ujar Murong Huolin sambil menyandarkan kepalanya di dada Ding Tao yang bidang.
"Kalian terlalu baik padaku?", kata Ding Tao terharu.
"Asalkan kami selalu ada dalam hati kakak?", jawab Murong Huolin.
"Tentu saja" aku tidak akan pernah berhenti mencintai kalian berdua.", jawab Ding Tao dengan setulusnya.
Udara semakin dingin, namun mereka merasa hangat meskipun tanpa selembar kain pun untuk menutup tubuh mereka.
Kehangatan yang menyebar dari dalam dada mereka.
Murong Yun Hua diam-diam menghela nafas, "Apakah ini yang namanya kebahagiaan?"
Ding Tao dan Murong Huolin sudah tertidur pulas, perlahan-lahan Murong Yun Hua menarik lengannya dari bawah kepala
Ding Tao dan bangkit berdiri dari pembaringan. Berjalan dalam keadaan telanjang, Murong Yun Hua perlahan tanpa suara
duduk di sebuah kursi tempat dia biasa merias diri. Sebuah cermin besar terbuat dari perunggu ada di depannya. Duduk
dengan punggung tegak, Murong Yun Hua perlahan menyisir rambutnya yang panjang dan lebat, sembari mengamat-amati
bentuk tubuhnya. Mengamati garis rahangnya yang lembut namun tegas, membingkai sepasang mata yang jeli, hidung
yang mancung dan bibir merah merekah . Mengamati lehernya yang jenjang yang menopang wajah yang cantik itu, sebuah
garis lembut ke bawah, kemudian melekuk mendatar, menampilkan dua bahu yang halus. Perlahan Murong Yun Hua
mengangkat dua buah tangannya, menggelung rambutnya yang panjang. Matanya menelusuri garis lengan, yang mengalir
bersambung dengan garis yang membentuk tubuhnya, ke arah sepasang payudara yang menggantung, mengundang.
Memandang ke arah pinggangnya yang ramping dengan pinggul membulat. Ke arah pahanya yang bersilang,
menyembunyikan miliknya yang paling berharga.
Salahkah dia bila merasa bangga dengan kecantikannya sendiri"
Tersenyum bangga melihat kesempurnaan tubuhnya, Murong Yun Hua mengalihkan pandangannya, memandangi Ding Tao
yang tertidur pulas dengan Murong Huolin dalam pelukannya.
Memandangi Ding Tao, perasaan Murong Yun Hua bercampur aduk tak menentu. Sungguh dia tidak mengerti, apa yang
membuat Ding Tao berbeda dari lelaki lain dalam hidupnya. Dengan cara apa pemuda itu mampu membuat perasaannya
goyah" Memandangi Ding Tao, Murong Yun Hua tiba-tiba terkenang pada lelaki pertama dalam hidupnya, Jin Yong,
pendekar pedang yang terkenal itu. Dia teringat pertama kali ayahnya mengundang Jin Yong untuk menginap di kediaman
keluarga Murong dan memperkenalkan Jin Yong pada setiap anggota keluarga Murong. Waktu itu umurnya belum lagi genap
15 tahun, meskipun tubuhnya sudah mulai menojolkan lekuk tubuh wanita dewasa, pikirannya masihlah seorang kanakkanak yang baru mulai mengerti apa itu cinta antara lelaki dan perempuan. Bersama teman sebaya saling menggoda dan
terkikik geli membicarakan anak lelaki yang seumuran.
Jin Yong memang pantas untuk menjadi tokoh kenamaan di generasinya, wajahnya mungkin tak setampan Ding Tao,
namun gerak-gerik dan perilakunya jauh lebih berwibawa dan memancarkan rasa percaya diri yang tinggi, membuat orang
yang berhadapan dengannya merasa kagum dan lawan yang berhadapan dengannya merasa gentar.
Murong Yun Hua pun saat itu dibuat kagum dan berdebar-debar saat ayahnya memperkenalkan pendekar pedang kenamaan
itu pada dirinya. Usia Murong Huolin saat itu masih terlampau muda untuk mengerti hal-hal demikian. Gadis kecil itu
bersembunyi di belakang tubuh ibunya, takut dan malu-malu saat hendak diperkenalkan pada Jin Yong. Meskipun
menyimpan rasa kagum pada Jin Yong, tetap saja Murong Yun Hua terkejut dan ragu, ketika ayahnya mengusulkan pada Jin
Yong, untuk mengambil Murong Yun Hua sebagai isterinya. Saat itu Murong Yun Hua belum memahami pesona dirinya
sendiri atas lelaki. Apalagi di usianya yang masih remaja, kecantikannya memancarkan keluguan kanak-kanak, yang seakan
bersih dari dosa, memberikan kesan yang berbeda dari kecantikan yang berasal dari dunia lain, seperti seorang peri hutan yang malu-malu. Hati Jin Yong pun tergetar begitu pertama kali melihat dia. Seperti juga Ding Tao saat pertama kali melihat dia.
Gayung pun bersambut, Jin Yong yang terpukau oleh kecantikan Murong Yun Hua tentu saja menyambut gembira usulan
ayah Murong Yun Hua. Sementara Murong Yun Hua yang belum benar-benar mengerti cinta, setidaknya menyimpan rasa
kagum atas diri Jin Yong dalam hatinya. Pernikahan pun dilaksanakan, sampai pada titik itu, tidak ada seorang pun yang
merasa diperalat, baik Murong Yun Hua maupun Jin Yong sendiri.
Tapi tidak ada pernikahan yang berjalan tanpa masalah.
Teringat dengan Jin Yong maka ingatan Murong Yun Hua pun berkelebat pergi, berkelana kembali pada pengalamannya
yang pertama dengan kebuasan laki-laki.
Saat itu Murong Yun Hua sedang berbaring dengan jantung berdebar-debar di atas pembaringan yang sudah disiapkan. Bau
wewangian memenuhi ruangan, kepalanya masih terasa ringan setelah meneguk arak pernikahan. Jin Yong belum masuk,
masih tertahan di luar dengan beberapa orang tamu laki-laki, yang terdengar dari tempat Murong Yun Hua menanti,
hanyalah suara ramai yang tidak jelas. Dengan jantung berdebar, Murong Yun Hua memasang telinga, membayangkan apa
yang terjadi di luar sana. Satu kali sorakan terdengar lebih keras dari sebelumnya, disusul langkah kaki yang perlahan-lahan mendekat.
Jantung Murong Yun Hua pun terasa berdebar begitu keras, seakan dadanya akan pecah oleh detakan jantungnya. Ketika
pintu perlahan-lahan terbuka, Murong Yun Hua yang gugup, berpura-pura sudah tertidur dan menutup matanya rapat-rapat.
"Yun Hua?", panggil Jin Ying perlahan, diiikuti suara pintu ditutup dan dipalang dari dalam.
Detak jantung Muring Yun Hua semakin keras, memenuhi telinganya, wajahnya merah padam, namun dalam cahaya lilin
yang temaram, hal itu hanya membuat dia makin menawan.
"Yun Hua" apakah kau sudah tertidur?", sekali lagi Jin Yong bertanya dengan suara perlahan sambil berjalan mendekat.
Kelopak mata Murong Yun Hua sedikit bergetar, terlalu lama dipaksa menutup, padahal dia belum tertidur pulas. Murong
Yun Hua yang tidak tahu harus berbuat apa, meneruskan saja sandiwaranya, nafasnya dibuat sehalus mungkin menyerupai
orang yang sudah tertidur pulas. Meskipun demikian, seluruh inderanya yang lain bekerja dengan keras. Jantungnya serasa akan melompat saat dia merasa, selimut yang menutupi tubuhnya ditarik pergi. Menyusul pembaringan yang bergerak saat
Jin Yong membaringkan tubuhnya di sisi Murong Yun Hua. Bau arak samar-samar tercium, makin lama makin keras,
bersamaan dengan hangatnya nafas Jin Yong yang menghembus lehernya.
"Yun Hua" apakah kau sudah tertidur?"", untuk kedua kalinya Jin Yong bertanya, pertanyaan yang tidak menunggu
jawaban dari Murong Yun Hua.
Sejak tadi Jin Yong sudah menyadari gadis di depannya hanyalah berpura-pura tertidur pulas. Dia tidak menjadi marah,
justru dia menikmati pemandangan yang ada di depannya, menghabiskan waktu mengagumi gadis yang baru dia nikahi.
Dadanya berdebar, tapi bukan oleh rasa takut seperti Murong Yun Hua, melainkan berdebar karena nafsu yang makin
memuncak. Darah Murong Yun Hua pun berdesir, saat hembusan nafas Jin Yong semakin dekat, meniup-niup lehernya. Apalagi ketika
dia merasakan bibir Jin Yong mengecupi lehernya yang jenjang. Sebuah perasaan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata,
desir-desir sensasi kenikmatan yang merambat ke seluruh tubuhnya. Setengah sadar, Murong Yun Hua merasakan jubah
luarnya disingkapkan. Murong Yun Hua pun terkesiap kaget, saat tangan Jin Yong menyusup masuk ke dalam pakaian
dalamnya dan meremas-remas sepasang payudaranya, kepalanya yang terasa ringan setelah meminum arak pernikahan,
sekarang semakin melayang. Seluruh tubuhnya terasa panas, terutama di bagian tertentu dari tubuhnya.
Murong Yun Hua tak bisa lagi berpura-pura tertidur pulas, nafasnya memburu dan tanpa bisa ditahan dia mengerang
nikmat. Antara sadar dan tidak, Murong Yun Hua samar-samar mengingat, bagaimana pakaiannya dilucuti satu per satu,
rasa malu bercampur takut tidak bisa mengalahkan kenikmatan yang dia rasakan.
Semuanya begitu membingungkan sampai ketika Jin Yong mulai menindih tubuhnya dan dia bisa merasakan sesuatu yang
keras hendak memasuki dirinya. Di saat itu, tiba-tiba panik dan takut menguasai dirinya.
"Tunggu" jangan?", rintih Murong Yun Hua sambil meronta berusaha lepas dari tindihan Jin Yong.
Tapi Jin Yong sudah tidak bisa mengendalikan diri,sedikitpun dia tidak menyadari ketakutan dalam suara Murong Yun Hua.
Rontaan dan rintihan Murong Yun Hua justru seperti minyak yang disiramkan ke atas api, membuat nafsu Jin Yong semakin
membara. Apalah artinya kekuatan Murong Yun Hua dibandingkan kekuatan Jin Yong" Semakin Jin Yong memaksa, semakin
besar ketakutan dan kepanikan yang menguasai Murong Yun Hua, dan semakin bersemangat pula Jin Yong untuk
mendapatkan apa yang dikehendakinya. Puncaknya saat Jin Yong dengan sekuat tenaga mengambil kesucian Murong Yun
Hua. Murong Yun Hua memekik kesakitan saat kesuciannya direnggut dengan paksa, tapi hal itu tak sedikitpun
memadamkan bara api dalam dada Jin Yong. Tanpa mempedulikan permohonan dan isak tangis Murong Yun Hua, Jin Yong
bergerak tanpa henti, merobek-robek khayalan indah Murong Yun Hua menjadi satu mimpi buruk yang panjang.
Teringat kembali dengan kejadian malam itu, Murong Yun Hua menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir pergi ingatan
yang pernah menghantui dirinya. Tidak, dia bukan lagi seorang gadis bodoh seperti belasan tahun yang lalu. Seulas senyum mengejek terbentuk di wajahnya, menertawakan kebodohan dirinya di masa muda.
Tusuk Kondai Pusaka 11 Tugas Rahasia Karya Gan K H Pendekar Pengejar Nyawa 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama