Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 26
"Menurutmu, apa kira-kira mereka sedang bersembunyi dan mengamat-amati keadaan, berjaga jika ada orang yang
membuntuti mereka?", tanya Zhu Yanyan.
"Bisa jadi", jawab Khongti singkat, sementara matanya yang tajam melihat ke sekelilingnya.
Untuk beberapa lama dua orang itu mengamati keadaan di sekitar mereka, kemudian Khongti berkata lagi, "Biarlah kita bagi tugas, aku akan menilik tikungan yang satu lagi, sementara kakak bisa mencari-cari di sekitar tempat mereka terakhir kali terlihat."
"Kurasa sebaiknya begitu, kau hati-hatilah di jalan, siapa tahu mereka sudah tahu sedang dikuntit dan sedang mencari cara untuk memisahkan kita, sehingga lebih mudah dihadapi.", ujar Zhu Yanyan mengingatkan.
"Hmm", jawab Khongti singkat sambil menganggukkan kepala.
Tidak menunggu lagi Khongti pun segera berlari cepat, menyusuri jalan ke arah yang berbeda. Sebaliknya Zhu Yanyan tidak tergesa-gesa bergerak, sambil menarik nafas perlahan-lahan, dia kembali mengamati keadaan di sekelilingnya. Dengan
pikiran yang tenang, Zhu Yanyan menyusuri jalan yang sudah mereka lalui, baik sisi kiri maupun sisi kanan jalan. Setelah mendapati beberapa tempat yang terlihat biasa dilalui orang untuk masuk ke dalam hutan, Zhu Yanyan pun menimbang-nimbang, akhirnya dia memilih salah satu jalan setapak yang terlihat seperti baru saja dilewati orang. Baru saja dia
memasuki hutan, telinganya yang tajam menangkap suara langkah orang di depan, cepat-cepat pendekar tua inipun
menyembunyikan diri di balik pepohonan yang ada di dekatnya.
Ternyata Zhu Yanyan tidak salah memilih jalan, salah satu dari dua orang yang dia ikuti sedang berjalan keluar melalui jalan setapak yang sedang dia telusuri.
Dengan jantung berdebar sedikit lebih kencang, Zhu Yanyan, mendekam saja di tempatnya. Yang dia khawatirkan bukan
dirinya, tapi Khongti yang sedang memeriksa jalan utama, bisa jadi saat ini Khongti justru sedang kembali untuk mencari dirinya. Dengan jantung berdebar, Zhu Yanyan terus menunggu, hingga suasana kembali sunyi dan orang itu jauh pergi.
Barulah perlahan dia bergerak ke arah orang itu pergi, sampai ke jalan utama. Dari tempatnya dia bersembunyi dia bisa
melihat orang itu berjalan sendirian, kembali ke arah Kota Jiang Ling. Sambil menghembuskan nafas lega, karena orang itu tidak bertemu dengan Khongti, dia pun mengedarkan matanya melihat ke sekeliling.
Tidak menunggu berapa lama, Khongti muncul dari kejauhan sambil bersiul pelan. Zhu Yanyan membalas siulan Khongti.
Kedua orang sahabat itu pun berkumpul kembali.
"Tidak kudapat jejaknya di jalan sana", ujar Khongti menyampaikan.
"Hm, barusan sudah kudapat jejaknya di dalam hutan, yang seorang tampaknya tinggal dan yang lain kembali ke Jiang
Ling, mungkin untuk memberi kabar.", kata Zhu Yanyan memberitahukan penemuannya.
"Oh demikian rupanya" Jadi bagaimana, apa kita coba cari ke dalam hutan atau kita kembali ke Jiang Ling dulu?", tanya
Khongti. Zhu Yanyan terdiam sejenak kemudian menjawab, "Biar aku sekali lagi coba melihat ke dalam, sementara kau ikuti orang
yang satunya lagi, pastikan apakah memang dia kembali melapor atau pergi ke tempat lain lagi. Setelah ada kepastian,
kalian jangan buru-buru bergerak beri aku waktu sampai malam. Kecuali jika selewat malam aku belum kembali, bolehlah
kalian datang mencari."
Khongti menepuk pundak Zhu Yanyan, "Baiklah aku pergi, kakak sendiri hati-hati dalam bergerak."
"Aku tahu", jawab Zhu Yanyan singkat sambil tersenyum menenangkan.
Tanpa banyak cakap mereka berdua pun pergi ke arah masing-masing. Zhu Yanyan menghilang ke dalam hutan, sementara
Khongti bergerak kembali ke Jiang Ling. Di lain tempat ada pula kejadian penting yang terjadi. Kali ini bukan Wang Shu Lin dan enam orang gurunya yang berperan, namun Huang Ren Fu yang akhirnya berkumpul kembali dengan orang-orang sisa
keluarga Huang. Sejak dia tinggal di Jiang Ling, pemuda ini pun menjadi sibuk. Terutama dengan keinginan sebagian besar bekas pengikut keluarga Huang, yang ingin membangun kembali Wuling. Hal ini cukup wajar, kebanyakan dari mereka
masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Huang atau sudah mengikuti keluarga Huang selama beberapa generasi.
Ketika tidak ada satu pun keturunan keluarga Huang yang tersisa, Ding Tao menjadi suar tumpuan harapan mereka. Namun
sekarang pewaris sah dari keluarga Huang ternyata masih hidup dan kembali bersama mereka.
Apakah itu yang membuat wajah pemuda ini guram" Sepertinya bukan, karena jauh-jauh hari, pemisahan yang terjadi di
dalam tubuh Partai Pedang Keadilan itu sudah disetujui oleh Ding Tao sendiri. Pula Huang Ren Fu yang bersahabat akrab
dengan Ding Tao sudah berjanji akan menjadi sekutu dari Partai Pedang Keadilan. Memang segala sesuatunya berubah,
namun seharusnya perimbangan kekuatan dalam dunia persilatan tidaklah bergerak banyak.
Apa benar demikian" Tentu saja benar, bukankah Huang Ren Fu adalah sahabat baik Ding Tao" Tapi bagaimana kalau
terjadi sesuatu dengan persahabatan mereka"
Beberapa bulan ini, dengan kesibukannya dan persiapan pernikahan Hua Ying Ying, Huang Ren Fu semakin jarang bertemu
dengan guru dan adiknya. Disengaja atau tidak, Huang Ren Fu lebih sering berkumpul dengan bekas-bekas pengikut
keluarga Huang, mengatur urusan mengenai pemulihan kantor keluarga Huang di Wuling, sementara Hua Ng Lau lebih
sering bersama Hua Ying Ying dan Tabib Shao Yong. Tabib yang menyandang nama tabib dewa itu tampak kagum dengan
kebun obat-obatan milik Tabib Shao Yong, demikian juga usaha toko obat-obatan dan pertabiban Partai Pedang Keadilan
yang semakin hari semakin maju. Jika tidak sedang bersama mereka, tentu dia akan ditemukan sedang bersama-sama Bai
Chungho dan Xun Siaoma, tiga tokoh tua dari generasi yang sejaman ini makin hari makin akrab bersahabat.
Meskipun demikian, tak pernah Huang Ren Fu terlihat muram, seperti hari ini. Pemuda itu justru tampak bersemangat,
sahabatnya hendak menikah dengan adiknya, lalu dia akan kembali ke Kota Wuling dan membangun kembali sisa warisan
milik keluarganya. Bolak-balik dia berjalan mondar-mandir di salah satu selasar gedung Partai Pedang keadilan di Jiang Ling, sesekali dia
celingukan bila mendengar suara orang berjalan mendekati tempat dia berada, lalu bergegas pergi menghilang untuk
kemudian kembali beberapa saat kemudian setelah suasana kembali sunyi. Agaknya dia sedang menunggu kedatangan
seseorang dan tidak ingin ada orang lain yang melihatnya ada di sana.
Siapa gerangan yang sedang ditunggu pemuda ini"
Sekali lagi terdengar suara langkah kaki orang, diiringi desir suara gaun bergesekan. Sekali lagi Huang Ren Fu bergegas mengintip siapa yang datang. Kali ini dia tidak pergi menghilang, melainkan berdiri menanti. Gaun sutra berwarna merah
muda, bau harum samar-samar tercium, yang datang tentu seorang wanita, apa pemuda ini sedang jatuh cinta" Memang
kadang jatuh cinta menyebabkan orang menderita, tidak aneh jika dia bermuram durja.
"Yun Hua?", bisik Huang Ren Fu terbata-bata saat sosok itu berjalan semakin dekat.
Seperti baru sadar bila ada Huang Ren Fu ada di sana, Murong Yun Hua terhenti begitu mendengar suara pemuda itu,
wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, setetes air mata jatuh menuruni pipinya sebelum dia cepat-cepat membalikkan
badan, hendak pergi dari sana. Huang Ren Fu dengan sigap mendekat dan menangkap lengan nyonya yang cantik itu.
"Yun Hua" tunggu dulu, marilah kita bicara?", bisik pemuda itu dan dengan sedikit memaksa menyeret Yun Hua masuk ke
sebuah ruangan tak jauh dari sana, sebelum kemudian menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya dari dalam.
Murong Yun Hua tampak lemah dan menurut saja, perlahan terdengar isak tangis tertahan, sambil menghela nafas, Huang
Ren Fu mendekap lembut Murong Yun Hua.
"Diamlah" jangan menangis" apa yang terjadi semuanya memang salahku?", ujar pemuda itu sambil membelai rambut
Murong Yun Hua yang hitam tebal.
"Tidak".tidak". jangan kakak berkata demikian?" ujar Murong Yun Hua sambil berusaha membebaskan diri dari pelukan
Huang Ren Fu. Namun demikian lemah tenaganya, sehingga tidak lebih hanya menggeser-geserkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu saja,
tanpa berhasil lepas dari pelukannya. Semakin dia bergerak, semakin Huang Ren Fu mengetatkan pelukannya, semakin pula
dia liar bergerak untuk melepaskan diri dan semakin tubuh mereka saling menyentuh. Jantung Huang Ren Fu toba-tiba
berdebaran saat dia menyadari apa yang sedang dia rasakan, dengan wajah merah padam dia hendak melepaskan pelukan.
Siapa sangka, di saat dia hendak melepaskan Murong Yun Hua, justru nyonya itu akhirnya menyerah dan justru
menyandarkan kepalanya di dada Huang Ren Fu sambil menangis tertahan. Sambil menahan nafsu yang sempat
menggelora, pemuda itu pun menyediakan dadanya untuk menjadi tempat Murong Yun Hua menangis, melepaskan
kesedihannya. Kesedihannya" Ya, memang buat pembaca yang sudah mengenal siapa Murong Yun Hua, akan berkata dengan sinis
memikirkan Murong Yun Hua sedang bersedih lalu membiarkan diri tenggelam dalam pelukan Huang Ren Fu. Tapi Huang
Ren Fu tidak tahu apa yang kita tahu, pula seorang pemuda yang sedang jatuh cinta, apakah dia bisa menilai dengan benar orang yang dicintainya"
Dengan perasaan hancur berderai, Huang Ren Fu membelai-belai rambut Murong Yun Hua dan mengeluarkan kata-kata
untuk menghibur nyonya cantik itu.
Ketika isak tangis Murong Yun Hua mulai mereda, Huang Ren Fu berkata, "Dengar", memang apa yang kita lakukan tidak
bisa dibenarkan" tapi jangan menyalahkan dirimu terlampau keras. Saat itu kau sedang bersedih, sedang lemah
menghadapi kenyataan tentang diri Ding Tao yang sebenarnya. Harusnya aku yang lebih tenang bisa menahan diri?"
Murong Yun Hua menggelengkan kepalanya dengan lemah dalam pelukan pemuda itu.
"Ya seharusnya aku dapat menahan diri" namun aku tak mampu" Yun Hua" Yun Hua" aku mencintai dirimu" jika ada
yang harus dipersalahkan, maka orang itu adalah aku?", keluh Huang Ren Fu.
"Kakak" benarkah itu" Benarkah apa yang kakak katakan itu?", tiba-tiba Murong Yun Hua bertanya, dengan nada terkejut
bercampur bahagia yang tertahan.
"Ya" benar. Aku mencintaimu, aku menginginkanmu.", jawab Huang Ren Fu dengan lembut namun tegas.
Murong Yun Hua mengeluh panjang, untuk sesaat tubuhnya terasa lemas dalam pelukan Huang Ren Fu, kemudian samarsamar terdengar Murong Yun Hua berbisik, "Aku bahagia" aku bahagia" karena aku pun" aku pun mencintaimu?"
Mendengar bisikan Murong Yun Hua, Huang Ren Fu pun mengendurkan pelukannya, memegang kedua lengan nyonya cantik
itu dengan lembut dan menatapnya lurus, "Yun Hua" tidak salahkah pendengaranku?"
Tersipu malu Murong Yun Hua tak menjawab, sungguh hebat cara dia bersandiwara, wajahnya tampak memerah karena
malu, membuang muka tak hendak menjawab sambil tersipu-sipu, dia tampak makin memikat. Dengan lembut Huang Ren
Fu yang merasa dadanya membuncah dengan rasa bahagia, menyentuh pipi Murong Yun Hua dan menggerakkan wajah
gadis itu agar menatap lurus ke arahnya. Sesaat lamanya pandang mata mereka bertemu, ribuan kata terucapkan dalam
keheningan. "Yun Hua", benarkah yang kudengar itu" Benarkah kau mencintaiku, seperti aku mencintaimu?", tanya Huang Ren Fu
dengan lembut. Ditanya demikian, makin tersipulah Murong Yun Hua, merasa malu dan tak mampu menatap pemuda itu lebih lama, dia
memejamkan matanya dan berusaha melepaskan diri dari pandang mata Huang Ren Fu yang menyelidik. Betapa menggoda
apa yang dia lihat saat ini, Huang Ren Fu tanpa ragu dengan sedikit bernafsu, menundukkan wajahnya dan mencium
Murong Yun Hua dengan mesra. Murong Yun Hua pun menggeliat berusaha lepas, tapi apa artinya tenaga lemah yang dia
gunakan, ketika dibandingkan dengan tenaga pemuda itu" Usaha melepaskan diri yang setengah-seengah itu, hanya
membuat darah Huang Ren Fu semakin membara, apalagi ketika tidak berapa lama kemudian, Murong Yun Hua menyerah
pasrah, bahkan memberikan tanggapan. Untuk beberapa lama, yang terdengar hanya erangan tertahan, desahan nafas
memburu dan desir-desir sutra bergesekan.
Berhadapan dengan Ding Tao yang malu-malu dan ragu, dia tampil agresif. Berhadapan dengan Chou Liang, dia tampil
tegas dan penuh pertimbangan. Berhadapan dengan Huang Ren Fu yang bersifat terbuka dan penuh percaya diri, dia tampil
lemah dan malu-malu. Tidak salah jika ada yang mengatakan, Murong Yun Hua adalah wanita paling memikat di masanya.
Di antara desahan dan erangan, terdengar Murong Yun Hua berkata, "Kakak" jangan sekarang" jangan di sini?"
Nafas Huang Ren Fu masih memburu, matanya menatap nanar, seluruh tubuhnya menguarkan hawa panas.Baju bagian
atasnya sudah terbuka, menggantung di pinggang, dadanya yang bidang dibasahi keringat, meskipun sibuk dengan
berbagai urusan tak pernah dia melupakan latihan, terlihat dari otot-ototnya yang terbentuk. Dalam pelukannya ada Murong Yun Hua, tubuh atas nyonya yang cantik ini pun sudah tidak ditutupi sehelai benangpun, nafasnya sama memburu,
membuat sepasang bukit yang ranum itu bergerak naik dan turun.
"Nanti ada yang menemukan kita?", bisik Murong Yun Hua menghapuskan sisa kabut yang masih menutupi pikiran Huang
Ren Fu. Nafasnya masih terengah-engah, namun pikirannya sudah jauh lebih jernih, tersipu malu Huang Ren Fu mengendurkan
pelukannya. Untuk beberapa lamanya dia diam memandangi wajah cantik yang balik menatapnya dengan mesra itu,
deburan jantung di dadanya perlahan mengendap seiring dengan usahanya mengatur nafas dan mengumpulkan semangat.
"Maaf?", ujarnya sambil melepaskan Murong Yun Hua.
"Tidak", tidak ada yang perlu dimaafkan?", ujar Murong Yun Hua sambil menundukkan wajahnya dan memperbaiki
pakaiannya yang sudah terbuka ke mana-mana, hanya ikat pinggangnya saja yang masih menahannya agar tidak meluncur
jatuh ke atas lantai. Huang Ren Fu mengalihkan pandangannya ke arah lain, melihat Murong Yun Hua membenahi pakaiannya tidak kalah
menggoda dibandingkan melihat dia melepaskan pakaiannya.
Mendesah panjang dia memikirkan keruwetan hubungan asmaranya dengan Murong Yun Hua. Sejak pertemuan mereka
yang pertama kali, ketika Murong Yun Hua dan Murong Huolin datang menyambut kedatangan mereka dari kaki Gunung
Songshan dia sudah mengagumi nyonyda muda itu. Apalagi ketika dia mendengar dari Hua Ying Ying, bagaimana nyonya
muda itu membujuk dia untuk menikahi Ding Tao. Dalam hatinya dia ragu bahwa kejadiannya persis sama seperti yang
diceritakan Murong Yun Hua. Dalam hatinya dia yakin bahwa Murong Yun Hua sengaja mengarang cerita itu untuk menutupi
kekurangan Ding Tao dan membujuk adiknya untuk menerima cinta Ding Tao. Tentu saja dia tidak mengatakan dugaannya
itu pada siapapun. Tapi dari sikap Hua Ng lau, dia menangkap bahwa gurunya pun berpendapat sama, meskipun seperti dia,
gurunya itu tidak mengatakan apa-apa.
Bagaimana pun juga, sulit buat Huang Ren Fu untuk menyalahkan Ding Tao jika pemuda itu sampai terpikat pada Murong
Yun Hua, meskipun pandangannya atas sifat pemuda itu tentu saja mengalami sedikit perubahan, karena jika dihitunghitung itu artinya Ding Tao sudah berhubungan dengan Murong Yun Hua sebelum pemuda itu mendengar kabar tentang
pembantaian di Wuling. Setelah sampai di Jiang Ling, Ding Tao menjadi sibuk dengan persiapannya untuk menghadapi Ren
Zuocan, juga kesibukannya sebagai ketua partai dan Wulin Mengzhu yang baru. Tidak seperti saat perjalanan dari kaki
Gunung Songshan ke Jiang Ling, kedua sahabat itu hampir-hampir tidak memiliki waktu untuk bertemu.
Kemudian mulailah muncul kabar dan cerita tentang Ding Tao yang memperbesar retakan kecil yang baru saja timbul.
Kisah-kisah itu utamanya datang dari bekas-bekas pengikut keluarga Huang yang memiliki tempat tersendiri dalam hati
Huang Ren Fu. Di lain pihak, dalam berbagai kesempatan yang tidak disengaja, Huang Ren Fu sering bertemu dengan
Murong Yun Hua. Awalnya hanya sekedar demi sopan santun mereka bersakap-cakap. Tapi tanpa dia sadari, Huang Ren Fu
mulai merindukan pertemuan-pertemuan itu. Murong Yun Hua adalah seorang wanita dengan pengetahuan yang sangat
luas, pandangannya terhadap suatu masalah sangat mendalam, terkadang tanpa ragu nyonya muda itu mengambil
pendirian yang berbeda dengan umumnya orang, tapi bukannya tanpa dasar, melainkan dengan pemikiran yang kuat.
Saat dia mulai menyadari perasaannya pada Murong Yun Hua, perasaannya pada Ding Tao mulai getir oleh berbagai kabar
yang dia dengar. Di saat-saat seperti itulah, tiba-tiba Guang Yong Kwang menemui dia dan datang kabar yang menjungkir
balikkan pendapatnya tentang Ding Tao.
Guang Yong Kwang memberikan kabar bahwa Shao Wang Gui yang ditahan di Shaolin memberikan pengakuan bahwa Ding
Tao adalah satu di antara lima orang yang memimpin penyerbuan Wuling.
"Pengakuan iblis kecil itu memang bisa jadi benar, bisa jadi salah, aku sendiri ragu apakah harus menyampaikan hal ini
kepadamu atau tidak. Tapi mengingat adikmu hendak menikah dengannya, akhirnya aku memberanikan diri untuk
menyampaikan kabar ini padamu.", demikian kata Guang Yong Kwang saat itu.
Huang Ren Fu tidak lah mudah menerima berita begitu saja, meskipun dadanya bergemuruh, karena memang benih-benih
itu sudah tertanam, tapi di luar dia tetap tenang, "Hmm" terima kasih ketua sudah banyak memikirkan tentang keluarga
kami, tapi seperti yang ketua katakan, ucapan iblis itu tidak bisa dijadikan pegangan yang kuat. Bisa jadi dia sengaja
berucap demikian karena merasa sakit hati atas kekalahannya di kaki Gunung Songshan. Atau ada orang-orang yang tidak
puas dengan hasil pemilihan itu yang mendorong dia untuk membuat pengakuan seperti itu."
Merasa tersindir wajah Guang Yong Kwang sedikit memerah, namun demi berjalannya rencana, dia menahan diri dan tetap
bersikap sopan, "Aku mengerti, aku mengerti", aku pun merasa berita ini tentu sulit diterima, tapi di lain pihak aku juga merasa berkewajiban untuk menyampaikan berita ini pada Saudara Huang Ren Fu sebagai satu-satunya pewaris sah
Keluarga Huang." Percakapan mereka singkat saja, setelah Guang Yong Kwang berpamitan, Huang Ren Fu pun segera pergi ke ruang latihan
dan menumpahkan segala kegalauan hatinya di sana. Dengan hati panas dan keringat bercucuran, pemuda itu berusaha
merunutkan setiap kabar yang dia dengar tentang Ding Tao hingga hari ini. Dalam hatinya yang terdalam, ada pertentangan batin yang sangat hebat. Di satu sisi ada bagian dari dirinya yang masih mengingat sifat-sifat Ding Tao yang pernah dia kenal dan menolak kemungkinan yang dikatakan Guang Yong Kwang. Di sisi lain ada bagian dari dirinya yang justru
berharap, Ding Tao adalah si jahat dalam kisah ini, dan dia akan menjadi pahlawan yang membunuh naga dan
membebaskan sang puteri. Tak ada yang tahu, isi pergolakan dalam dada pemuda itu, berkutat dengan apa yang dia ketahui dari berbagai pihak,
mulailah dia berusaha memilah dan menyusun kembali segala apa yang dia ketahui mengenai Ding Tao dan kejadian di
Wuling. Satu titik penting adalah apa yang terjadi setelah Ding Tao melarikan diri dari kediaman keluarga Huang. Jika benar cerita Ding Tao, bahwa dia menghabiskan waktu beberapa bulan setelah pertemuannya dengan Murong Yun Hua untuk
menyembuhkan diri, maka tidak mungkin dia terlibat dalam pembantaian keluarga Huang di Wuling. Namun apakah benar
cerita Ding Tao itu" Satu-satunya saksi yang menguatkan kisah Ding Tao adalah Ma Songquan dan Chu Linhe, namun dari Li
Yanmao dan Tang Xiong, Huang Ren Fu mendapatkan informasi bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah tokoh sesat
dunia hitam, sepasang iblis muka giok, bisakah kesaksian mereka dipercaya" Kedekatan mereka dengan Ding Tao justru
mengukuhkan kecurigaan Huang Ren Fu, namun pemuda itu bukan orang yang dengan mudah mengambil kesimpulan,
tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam.
Dan Huang Ren Fu memiliki banyak kesempatan untuk itu, hubungannya dengan Murong Yunhua semakin akrab. Tidak
jarang mereka hanya berduaan dan bercakap-cakap untuk waktu yang lama. Meskipun demikian, ada keraguan dalam hati
Huang Ren Fu untuk menanyakan apa yang ingin dia tanyakan. Sesungguhnya Huang Ren Fu adalah seorang pemuda yang
memiliki kelembutan hati, lepas dari keinginannya untuk memiliki Murong Yun Hua, lepas dari kecurigaannya pada Ding Tao, ada rasa tak tega untuk merusak kebahagiaan mereka, seandainya benar Ding Tao tersangkut dengan pembantaian
keluarga Huang di Wuling.
Peperangan batin yang begitu hebat terjadi di balik penampilannya yang selalu tenang dan ceria, di luar sadarnya, yang
sedang bertarung bukan hanya keinginan dan nilai-nilai dalam dirinya. Murong Yun Hua pun dengan kecerdikannya sedang
memintal jaring-jaring halus untuk memerangkap dirinya. Dengan lembut mengarahkan Huang Ren Fu pada jalan yang dia
kehendaki. Seperti seorang pengail yang dengan sabar, mempermainkan umpan atau menarik ulur kailnya, perlahan namun
pasti ikan gemuk itu pun masuk ke dalam perangkap.
Pemenang dalam peperangan batin Huang Ren Fu pun pada akhirnya diputuskan. Hari itu untuk ke sekian kalinya Huang
Ren Fu dan Murong Yun Hua mendapatkan kesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja. Benak Huang Ren Fu sudah
mantap dengan apa yang hendak dia lakukan, pemuda itu sudah terlalu lelah, terombang-ambing dengan segala
pertentangan batin yang dia hadapi. Dia ingin mendapatkan kepastian, dia ingin mendapatkan kejelasan.
Setelah berbasa-basi beberapa saat, Huang Ren Fu pun mulai bertanya-tanya, "Adik Yun Hua, sebenarnyaaku selalu
penasaran, bagaimana awalnya kau bisa bertemu dengan Ding Tao?"
Murong Yun Hua pun dengan sedikit tersipu, bercerita bagaimana dia dan adiknya melihat Ding Tao yang sedang terluka,
dikejar-kejar oleh sepasang iblis muka giok.
"Oh" begitu", kapankah kejadian itu terjadi?", tanya Huang Ren Fu lagi.
Murong Yun Hua tampak menjebikan bibirnya yang mungil, mencoba mengingat-ingat kapan tepatnya dia bertemu Ding
Tao, tanggal sekian dan bulan sekian, demikianlah jawabnya. Di luaran Huang Ren Fu tidak terlihat tegang, tapi jika mata orang cukup awas akan terlihat tangannya bergetar. Pura-pura menghirup arak, Huang Ren Fu berusaha mengatur
perasaannya. Ketika dia kembali bertanya, suaranya sudah terdengar wajar, "Ah" demikian rupanya. Ding Tao berkata dia berhutang budi pada kalian berdua, karena berkat kalian berdualah luka dalamnya bisa disembuhkan. Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Ah tidak ada hal hebat apa yang kami lakukan. Kebetulan koleksi buku keluarga Murong sangatlah banyak dan bervariasi,
termasuk di dalamnya mengenai obat-obatan, di salah satu buku kami menemukan cara pengobatan terhadap luka dalam
Kakak Ding Tao.", jawab Murong Yun Hua.
"Ohh begitu, tapi luka Ding Tao begitu berat, tentu kalian berdua harus bekerja keras untuk menyembuhkannya.", ujar
Huang Ren Fu sambil menuangkan arak untuk Murong Yun Hua.
Arak terus mengalir, membuat kata-katanya lebih mudah mengalir, demikian pikir Huang Ren Fu dan demikianlah
sepertinya yang terjadi. Kata-kata keluar dari bibir mungil Murong Yun Hua seperti air mengalir. Hanya sayang, aliran air ini membawa racun yang memahitkan hati Huang Ren Fu.
"Hihihi, tidak juga, kalau sudah tahu caranya, luka itu pun mudah disembuhkan. Kami tinggal membeli ramuan yang sesuai
seperti yang tertera dalam buku itu. Tidak sampai hitungan minggu, luka Kak Ding Tao sudah sembuh.", jawab Murong Yun
Hua ceria. Kali ini butuh waktu lebih lama bagi Huang Ren Fu untuk meredakan ketegangan perasaannya, karena berdasarkan
pengakuan Murong Yun Hua, itu artinya ada banyak waktu antara setelah Ding Tao sembuh dari lukanya dan sebelum
terjadinya penyerbuan di Wuling. Hal ini berbeda dengan kisah Ding Tao, seperti yang kita ketahui, setelah menyembuhkan lukanya dan menguasai isi kitab tenaga inti bumi, hanya beberapa hari dia lewatkan di kediaman Murong Yun Hua untuk
kemudian bergegas pergi ke Wuling. Di tengah perjalanan barulah dia mendengar tentang apa yang terjadi di Wuling.
Perbedaan waktu yang mencolok ini tentu saja besar sekali artinya. Berapa cangkir arak pun mengalir lewat
tenggorokannya, sementara Murong Yun Hua dengan senyum tak berdosa mengiringi, secawan demi secawan.
"Ah" tentu Ding Tao merasa sungkan untuk tetap tinggal di tempat kalian setelah lukanya pulih.", ujar Huang Ren Fu
melanjutkan. "Ya", tapi ingat, di luar sana masih ada orang-orang seperti sepasang iblis muka giok yang mengincar dirinya, tapi seperti yang sudah kukatakan, kumpulan buku keluarga Murong sangatlah banyak. Bukan hanya ilmu pengobatan, ilmu silat pun
banyak ada di sana. Adikku Huolin suka mempelajarinya namun bakatnya jauh di bawah Ding Tao, itu sebabnya dia sangat
merasa kagum melihat bakat Ding Tao yang cepat sekali memahami setiap kitab yang dia baca.", ujar Murong Yun Hua
panjang lebar. Sebuah ingatan melintas di benak Huang Ren Fu, Ding Tao memang berbakat, tapi pemuda itu membutuhkan belasan tahun
untuk mematangkan ilmu keluarga Huang, dari mana sekarang Murong Yun Hua bisa mengatakan, Ding Tao mampu
melahap habis berbagai macam kitab dalam waktu singkat"
"Wah, tak kusangka Ding Tao demikian berbakat", puji Huang Ren Fu.
Wanita mana yang tak suka suaminya dipuji, Murong Yun Hua pun tampaknya demikian, setidaknya itu yang diperlihatkan
dan dilihat oleh Huang Ren Fu. Dada Huang Ren Fu di luar maunya merasa sesak oleh cemburu.
Tanpa ragu Murong Yun Hua mulai bercerita panjang lebar, sesekali terlihat Murong Yun Hua mengerutkan alis mengingatingat apa yang tepatnya terjadi saat itu, "Awalnya tidak demikian", ya seingatku bukan dari awal seperti itu. Hmm"
sepertinya Kak Ding Tao menemukan satu kitab ilmu, entah apa, yang pasti setelah dia meyakinkan isi kitab itu, tiba-tiba kemampuan belajarnya meningkat dengan pesat."
Mendengar itu, tentu saja kecurigaan Huang Ren Fu semakin kuat, apalagi temuan gurunya tentang obat perebut sukma
beberapa waktu yang lalu, mengindikasikan efek yang serupa. Apakah Ding Tao sudah terjerat dalam kekuasaan seseorang"
Jika benar demikian, siapa orang itu" Apakah Ren Zuocan" Tapi Murong Yun Hua mengatakan, perubahan itu terjadi setelah
Ding Tao mempelajari satu kitab tertentu. Mungkin dia salah, mungkin sebuah ilmu yang memberikan efek serupa obat
temuan gurunya. Atau jangan-jangan di dalam kitab yang dipelajari itu, tertulis cara untuk membuat ramuan obat tersebut.
Berbagai kemungkinan berkelebatan dalam benak Huang Ren Fu.
"Itu kitab yang sangat menarik, bolehkah aku meminjamnya?", tanya Huang Ren Fu dengan ringan.
"Tentu saja", jawab Murong Yun Hua dengan bersahabat, namun sejurus kemudian dia mengerutkan alis dan berkata pula,
"Hmm" selama ini aku yang selalu membereskan dan memelihara setiap kitab-kitab itu, namun baru sekarang aku ingat,
sejak Kak Ding Tao membacanya, tak pernah lagi aku melihat kitab itu di antara kitab-kitab yang lain. Mungkin Kak Ding
Tao yang menyimpannya?"
"Ah, kalau begitu sepertinya kitab itu tentu sangat penting untuk Ding Tao, biarlah aku tak usah meminjamnya. Apa Adik
Yun Hua sendiri sama sekali tidak memiliki bayangan, apa isi kitab itu?", sahut Huang Ren Fu.
Murong Yun Hua tertawa geli, "Tidak, setahuku kitab itu, sebuah kitab tidak keruan yang dibawa ayahku, di dalamnya
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bercampur baur antara ilmu obat-obatan, perbintangan dan segala macam lainnya. Pernah sekilas kubaca, namun tidak
tertarik untuk membacanya lebih lanjut, karena kebanyakan isinya ngawur dan tidak jelas."
"Hahaha, ya, kukira Ding Tao memiliki ketelitian melebihi kebanyakan orang. Jadi setelah sembuh dari lukanya, dia
menghabiskan waktu beberapa bulan di kediaman keluarga Murong sambil memperdalam ilmunya?", tanya Huang Ren Fu
tidak sabar ingin menegaskan kecurigaannya.
"Tidak", beberapa kali dia pergi dan kembali. Pernah satu kali dia pergi cukup lama, hampir seminggu lamanya.", jawab
Murong Yun Hua dengan alis berkerut dan nada suara berhati-hati.
Setelah beberapa lama menunggu dan tidak ada reaksi dari Huang Ren Fu, Murong Yun Hua pun bertanya, "Saudara Ren
Fu, sebenarnya ada apakah" Aku merasa pertanyaan-pertanyaan barusan, bukanlah pertanyaan biasa" apakah" apakah
ada sesuatu dengan Kak Ding Tao?"
Wajah Huang Ren Fu sudah merah padam, senyum yang tadinya masih bisa dipaksakan sudah lama tak muncul di
wajahnya. Entah sudah berapa cangkir arak masuk ke dalam perutnya, berusaha menenangkan hati dan memunculkan
kembali senyum di wajahnya. Tapi semakin banyak arak yang dia minum, semakin gelap hatinya. Jika tadi otaknya masih
bisa diajak berpikir, memikirkan pembelaan bagi Ding Tao, sekarang pikirannya sudah gelap, semakin lama semakin yakin
bahwa Ding Tao sudah mempermainkan perasaan adik satu-satunya, mengkhianati keluarganya dan ikut seta dalam
membantai habis seluruh keluarganya. Tidak lagi ada ingatan tentang sifat-sifat Ding Tao yang baik. Justru sekarang Huang Ren Fu semakin yakin bahwa tentu semua itu hanyalah sandiwara belaka. Berusaha merebut hati adiknya, berambisi untuk
mendapatkan kedudukan dalam keluarga Huang. Sayang datangnya Wang Chen Jin mengganggu rencana Ding Tao, tapi di
saat yang sama dia mendapatkan pedang angin berbisik. Tidak puas dengan pedang itu, setelah beberapa tahun lewat, dia
kembali berusaha mendekati Huang Ying Ying. Siapa sangka pedang itu justru menjadi penghalang. Dalam pelarian, kembali
Ding Tao melihat kesempatan kali ini pilihannya jatuh pada keluarga Murong. Demikianlah segala kisah yang membusukkan
Ding Tao mulai terangkai dalam benak Huang Ren Fu.
Betapa mudah memang pikiran kita melakonkan suatu cerita, tidak gampang untuk memahami sesuatu secara terang,
perasaan hati tentu berpengaruh pada apa yang kita pikirkan. Itu sebabnya perasaan rendah diri sama buruknya dengan
tinggi hati. Orang yang rendah diri akan merasa tawa orang sebagai tawa menghina. Jika melihat orang sedang berkumpul
bercakap-cakap, dalam hati kemudian berpikir, jangan-jangan membicarakan keburukanku. Begitu juga dengan hati yang
kotor juga cenderung melihat orang lain sesuai dengan kekotoran hatinya. Jika ada orang bekerja dengan jujur dan rajin, dikatakannya sedang mencari muka. Jika orang menolak suap, dianggapnya pengecut dan munafik. Melihat wanita
tersenyum dianggapnya menggoda.
Jadi siapa yang sebenarnya jadi tuan, hati atau pikiran"
Lepas dari itu semua, Murong Yun Hua yang melihat wajah Huang Ren Fu semakin gelap, bertanya dengan nada takut, "Kak
Ren Fu, apakah aku ada salah bicara?"
Emosi melonjak tak tertahankan, cawan arak yang ada di tangan pun pecah berkeping-keping, dengan nada tinggi dia
berkata pada Murong Yun Hua, sembari berdiri dan menunjuk-nunjuk nyonya muda itu, "Apa yang salah katamu! Butakah
matamu"! Sudah tumpulkah otakmu!" Bukankah suamimu yang kau puja dan banggakan itu adalah penjahat paling keji "!!
Wanita bodoh, apakah kau begitu hausnya laki-laki, hingga otakmu tidak bisa bekerja lagi"!"
Pucat pasi wajah Murong Yun Hua dimaki-maki demikian, terhuyung dia bangkit berdiri dan mundur menjauh dari Huang
Ren Fu, "Kak Ren Fu, sadarlah, apa maksudmu" Apa maksudmu?"
Melihat Murong Yun Hua ketakutan, bukannya reda kemarahan dalam hati Huang Ren Fu, justru kemarahannya makin
menggelora, dia pun maju mendesak Murong Yun Hua dan berkata, "Pikirkan lagi, laki-laki jujur mana yang akan menggoda
dan meniduri seorang wanita, sementara dia sudah memiliki kekasih hati yang menunggu kedatangannya" Pikirkan, wanita
macam apa yang selalu dia dekati" Wanita dengan kekayaan yang tidak dia miliki."
"Tidak" tidak" engkau salah?", ujar Murong Yun Hua dengan suara bergetar.
"Salah" Ketika dia pergi dari kediamanmu, bukankah dia sedang mengumpulkan kawan-kawannya dan kemudian pergi
untuk membantai habis keluargaku" Katanya dia menderita luka berat selama berbulan-bulan, sehingga tak seorangpun
mencurigai dirinya, nyatanya sesuai jawabmu, lukanya sembuh dalam waktu yang lebih singkat.", ujar Huang Ren Fu
dengan memburu. "Tidak mungkin" tidak mungkin?", ujar Murong Yun Hua dengan air mata berlinangan, punggungnya membentur dinding
dan tak bisa lari lagi. "Tidak mungkin" Apa masih kurang bukti lagi" Kau bilang sepasang iblis muka giok mengejar-ngejarnya, jika demikian
kenapa sekarang sepasang iblis itu justru bekerja untuk dirinya" Bukankah itu artinya pengejaran itu hanya sandiwara saja, sandiwara untuk menipu dua orang wanita bodoh yang haus cinta!", bentak Huang Ren Fu sambil mendesak Murong Yun
Hua hingga tak bisa bergerak, wajahnya hanya beberapa cun jauhnya dari wajah Murong Yun Hua, kedua tangannya
memegang tembok, di kiri dan kanan Murong Yun Hua.
Dengan wajah sudah penuh air mata, Murong Yun Hua menangis tersedu sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah,
"Tidak" kau bohong" siapa sepasang iblis itu" Tak ada ?"
"Hehh, kau memang benar-benar buta, tidak tahukah kau bahwa Ma Songquan dan Chu Linhe adalah sepasang iblis muka
giok yang sedang menyamar?", jawab Huang Ren Fu sambil tertawa sinis.
Tak lagi bisa menjawab, Murong Yun Hua hanya bisa menangis sesenggukan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sungguh mengenaskan keadaan Murong Yun Hua saat ini. Sementara kemarahan Huang Ren Fu mulai mereda, namun
dalam keadaan begitu dekat dengan Murong Yun Hua, satu perasaan yang berbeda mulai muncul dari dalam hatinya. Sama
panasnya dengan kemarahan yang mulai mereda, api nafsu perlahan mulai membakar hati pemuda itu. Di saat itu, tiba-tiba
Murong Yun Hua melorotkan tubuhnya, dan berusaha menyelinap lari dari bawah tangan Huang Ren Fu. Kemarahann yang
mulai mereda, tiba-tiba kembali mengglora, secara refleks tangan Huang Ren Fu bergerak hendak menangkap, tapi yang
terpegang adalah baju Murong Yun Hua di bagian pundak. Yang satu meronta lepas, yang satu menarik dengan kasar, baju
Murong Yun Hua terbuat dari kain sutra yang halus dan mahal, dengan suara keras baju Murong Yun Hua pun terobek lepas.
Murong Yun Hua terjatuh dengan bagian atas tubuhnya tersibak bebas, dengan sia-sia tangannya berusaha menutupi
dadanya yang terbuka, bukannya berhasil menutupi justru membuat dadanya yang montok seperti meronta keluar di selasela jari tangan dan lengannya yang bersilang menutupi dada.
Api membakar Huang Ren Fu, dibantu dengan arak yang sudah bekerja sejak tadi, api nafsu pun membakar habis,
menghabiskan seluruh sisa pikiran sehat dan sopan santunnya. Apa yang terjadi hari itu bisa dibayangkan sendiri oleh
pembaca. Ketika api sudah puas membakar, yang tersisa hanyalah penyesalan. Hari-hari penuh penderitaan, didera
perasaan berdosa tapi juga rindu, antara ingin bertemu dengan rasa malu untuk bertemu. Sejak hari itu, baru hari inilah keduanya kembali bertemu.
------- o ------- Murong Yun Hua sudah selesai membenahi pakaiannya, perlahan dia menyentuh lengan Huang Ren Fu, menyadarkan
pemuda itu dari lamunannya.
"Dengar" Ding Tao sudah mempermainkan kita semua. Tapi lebih dari itu, kekuasaan seorang Wulin Mengzhu tidak boleh
berada di tangan orang seperti dia. Demi kebaikan banyak orang, kita tidak boleh ragu. Orang mungkin akan menilai sinis kita berdua, mempertanyakan motivasi kita?", ujar Murong Yun Hua dengan suara sedikit bergetar.
Kemudian dia pun menjatuhkan diri dalam pelukan Huang Ren Fu, dengan sendu dia memohon, "Kakak" lindungi aku" beri
aku kekuatan." Salah satu cara menaklukkan lelaki, adalah dengan membuat dia merasa jadi seorang pahlawan. Semakin wanita tampak
tak berdaya, lelaki pun semakin berdiri gagah berusaha membela. Semakin cantik wanita itu, semakin tuluslah dia berusaha membela. Semakin tangguh wanita yang memohon perlindungan padanya, semakin berbesar hatilah dia. Di masa itu, di
antara sekian wanita Murong Yun Hua yang dipandang tercantik. Di antara sekian banyak wanita, Murong Yun Hua yang
dikenal paling bijak dan kuat. Dan sekarang dia tampil lemah tak berdaya, memohon perlindungan pada Huang Ren Fu.
Siapa bisa menyalahkan Huang Ren Fu, bila dia lupa pada persahabatan" Jika rasa percaya sudah hilang, persahabatan pun
mati dengan cepat. Bila wanita sudah terlibat, tidak jarang lelaki lupa pada sahabat.
Jauh di sana, di luar kota Jiang Ling, seorang lelaki yang rasa persahabatannya sudah teruji oleh waktu dan tantangan
hidup, sedang bergerak dengan hati-hati, menggunakan lebatnya pepohonan dan rimbunnya dedaunan, untuk bergerak
dalam bayang-bayang, menjelajahi isi hutan. Zhu Yanyan bergerak dengan sangat hati-hati, sebelum dia bergerak, terlebih dahulu dia akan memastikan tidak ada orang di sekitarnya, tidak ada orang yang akan melihat gerakannya menuju ke
tempat persembunyiannya yang berikutnya.
Bergerak seperti itu tentu saja menghabiskan waktu yang sangat lama. Antara mereka yang tersebar, berjaga-jaga di
tempat yang tersembunyi, beradu kesabaran dengan dia yang bergerak perlahan, menembus penjagaan.
Mungkin umur Zhu Yanyan yang sudah matang, membuat dia lebih sabar dibanding lawan-lawannya. Sebuah pertarungan
tanpa jurus, tanpa pedang, namun setiap saat nyawa bisa melayang. Beberapa kali kesabaran Zhu Yanyan membuahkan
hasil, matanya yang tajam mengawasi keadaan menangkap gerakan dari mereka yang berjaga. Mungkin pinggul yang
pegal, pantat yang terasa tebal, mungkin ada serangga yang menggigit atau sekedar bosan diam berjaga. Tapi gerakan
mereka itu membuat keberadaan mereka tertangkap oleh mata Zhu Yanyan yang tajam.
Semakin lama, penjagaan semakin rapat, hingga akhirnya pada satu titik, Zhu Yanyan pun dipaksa untuk menyerah. Tidak
dilihatnya jalan untuk masuk lebih dalam lagi tanpa membunuh beberapa penjaga, sementara dia tidak ingin keberadaannya
diketahui orang. Zhong Weixia tidak boleh tahu jika ada orang yang sedang mengamati gerak-geriknya. Sadar akan hal itu, Zhu Yanyan pun diam-diam menghela nafas dan memuaskan dirinya dengan mengamati apa yang bisa diamati.
Menjelang tengah hari, satu per satu orang mulai berdatangan. Dari tempatnya yang tersembunyi, Zhu Yanyan pun mulai
menghitung dan mencatat. Pertemuan ini begitu rahasia, penjagaannya begitu ketat, mereka yang datang, entah sendirian atau dalam kelompok kecil
semuanya punya nama dalam dunia persilatan. Sebelum Zhong Weixia sendiri muncul sudah ada belasan orang yang
datang. Jangan dilihat jumlahnya yang sedikit lebih dari jumlah jari tangan, karena setiap orang memiliki pengaruh yang besar dan bisa menggerakkan puluhan hingga ratusan orang. Keringat dingin pun membasahi punggung Zhu Yanyan. Tapi
kejutan belum habis smpai di situ, seperti yang sudah mereka duga, Zhong Weixia datang bersama dengan Guang Yong
Kwang, artinya jelas keduanya bekerja sama. Kejutan terbesar justru datang, setelah kedatangan mereka berdua.
Sekelompok bhiksu Shaolin datang sembari mengawal Shao Wang Gui yang terikat erat di tengah mereka. Kemudian tiga
orang Bhiksuni dari Enmei menyusul datang.
Dua orang tetua dari Hoasan, dengan kedudukan hanya selapis di bawah Xun Siaoma turut pula datang, Menyusul tiga
orang tetua partai pengemis. Tampaknya hanya dari pihak Wudang saja yang tidak seorangpun diundang dalam pertemuan
ini. Bukan hanya berkeringat dingin, sekarang Zhu Yanyan dibuat menjadi pening melihat siapa-siapa yang hadir dalam
pertemuan ini. Dan dua orang terakhir yang menghadiri pertemuan rahasia itu, lebih-lebih lagi membuat dia tak mengerti, Huang Ren Fu
dan Murong Yun Hua. Sebenarnya apa yang terjadi, jangan-jangan, orang yang mengumpulkan mereka semua ini
sesungguhnya adalah Ding Tao sendiri. Apa yang terjadi dalam pertemuan itu sendiri, Zhu Yanyan tidak bisa tahu.
Tempatnya terlalu jauh dari pertemuan diadakan dan penjagaan terlalu ketat untuk menyusup diam-diam. Zhu Yanyan
hanya bisa menunggu pertemuan itu bubar, sembari bertanya-tanya dalam hati. Masakan Ding Tao hendak menggerakkan
orang melawan Wudang" Tapi jika tidak demikian, mengapa di antara sekian banyak undangan, hanya Wudang yang tidak
mendapatkan undangan" Jika pertemuan ini begitu penting, mengapa Ding Tao sendiri tidak hadir" Atau jangan-jangan
orang-orang terpenting, seperti Tetua Xun Siaoma, Ketua Bai Chungho, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan Ding Tao
sendiri sedang membahas soalan ini. Atau mungkin sengaja tidak bergerak untuk mengelabui mata orang"
Begitu banyak pertanyaan, pada akhirnya Zhu Yanyan sampai pada satu pemikiran. Yaitu menemui saudaranya yang telah
lama tidak dia temui. Pendeta Chongxan mungkin bisa memberikan jawabannya. Setidaknya, dengan bertemu, ada
beberapa kemungkinan yang bisa dicoret, sekaligus dia bisa memberikan peringatan seandainya benar Wudang-lah yang
menjadi sasaran. Menunggu mereka bubar, ternyata membutuhkan kesabaran yang jauh lebih besar. Apalagi dengan pertanyaan dan
kekhawatiran yang muncul, perasaan bahwa dirinya sedang berpacu dengan waktu, membuat dia semakin sulit bersabar.
Namun Zhu Yanyan memiliki watak dasar yang penyabar, ditambah ketekunan berlatih untuk menahan diri dan menjaga
semangat selama puluhan tahun, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran, Zhu Yanyan tetap bersembunyi dengan
sabar. Pertemuan itu berlangsung cukup lama, dengan pendengarannya yang tajam Zhu Yanyan bisa mendengar beberapa kali ada
sorakan yang cukup keras, meskipun hanya sayup-sayup sampai di telinganya. Dari suara yang dia dengar Zhu Yanyan pun
bisa memperkirakan di mana pertemuan itu dilaksanakan. Meskipun demikian apalah gunanya bagi dia, toh tetap saja dia
tidak bisa pergi mendekat dan ikut mendengarkan dengan jelas isi pertemuan itu. Matahari pun sudah condong ke arah
barat, ketika satu per satu, peserta pertemuan itu pergi meninggalkan tempat. Zhu Yanyan pun mendekam saja di tempat
dia bersembunyi, apalagi dia sadar orang-orang macam Zhong Weixia ada di sana. Ketahuan sama artinya dengan
kematian. Setelah seluruh peserta pertemuan itu pergi menghilang, Zhu Yanyan masih mendekam tidak bergerak. Benar
saja, menunggu beberapa lama, sekali lagi serombongan orang pergi dari hutan itu, melewati tempat persembunyiannya,
mereka ini tentulah orang-orang yang ditugaskan untuk berjaga tadi. Setelah hutan kembali sepi, Zhu Yanyan masih
menunggu beberapa lama lagi. Menjelang sore hari, barulah dia berani bergerak, sedemikian berhati-hatinya dia, itulah Zhu Yanyan, orang pertama dari enam sahabat pengikat enam perguruan besar.
"Hmm.. tentu yang lain sudah mulai berkhawatir", pikir Zhu Yanyan.
Teringat dengan saudara-saudara dan muridnya, maka dia pun bergegas pergi, bergerak dengan ringan, berkelebatan di
antara pepohonan. Zhu Yanyan masih bergerak ke arah lain beberapa lama, sebelum mengambil arah menuju ke jalan
besar. Muncul di titik lain dari jalan besar itu, barulah dia berjalan cepat dengan langkah panjang-panjang menuju ke Jiang Ling. Tidak berapa lama kemudian, mereka bertujuh pun sudah berkumpul di sebuah ruangan kecil, di dalam toko yang
mereka beli beberapa bulan yang lalu. Dengan mendetail Zhu Yanyan menyampaikan apa yang dia lihat dan dengar. Tidak
banyak memang, tapi apa yang dilihat Zhu Yanyan memberikan gambaran, tentang skala gerakan yang sedang mereka
hadapi ini. Dengan wajah sedikit pucat Chen Taijiang menggelengkan kepala tak percaya dan berujar, "Mendengar penuturan Saudara
Yanyan, seakan-akan seluruh tokoh dunia persilatan tertumpah di Jiang Ling."
"Lebih ngerinya lagi, tidak akan ada orang yang merasa aneh melihat hal itu, mengingat pesta pernikahan Wulin Mengzhu,
Ding Tao akan diadakan dalam waktu dekat ini.", sambung Hu Ban dengan wajah serius.
"Aku akan pergi menemui Chongxan diam-diam,masalah ini harus secepatnya dibuat terang, jika tidak aku tidak akan bisa
tidur dengan tenang.", ucap Zhu Yanyan menyampaikan pemikirannya.
Ke enam orang yang lain pun mengangguk setuju, Wang Shu Lin sejak tadi sudah kehilangan kekuatan untuk mengucapkan
sepatah kata pun. Apa yang diceritakan Zhu Yanyan, jelas di luar perkiraannya. Gerakan yang dilakukan Zhong Weixia
sungguh terlampau besar, melampaui kekhawatiran-kekhawatirannya selama ini. Usul Zhu Yanyan untuk menemui Pendeta
Chongxan memberi dia satu harapan baru.
"Hmm" menurutku, ada kemungkinan besar Ketua Khongzhen juga tidak mengetahui hal ini. Shaolin memang terlihat besar
dan kokoh dari luar. Tapi sesungguhnya yang ada di dalam tidaklah seharmonis apa yang terlihat di luar. Justru jumlah
anggota yang terlalu besar ini, menimbulkan adanya fraksi-fraksi dalam Shaolin. Berbeda dengan Wudang yang lebih kecil, namun lebih kuat kekeluargaannya.", ujar Khongti sambil berpikir.
"Saudara Yanyan, jika kau pergi menemui Pendeta besar Chongxan, aku pun akan pergi menemui Bhiksu besar
Khongzhen.", sambung dia setelah berpikir sejenak.
"Kukira kau benar. Semoga saja pergerakan rahasia ini sepengetahuan Ding Tao dan mereka berdua. Jika demikian beres
sudah urusannya. Tapi bila tidak?", ujar Zhu Yanyan menggantung, tak sanggup membayangkan apa yang terjadi jika tidak
demikian halnya. "Perasaanku tidak tenang", besar kemungkinan semuanya ini terjadi di luar tahu mereka", ucap Shu Sun Er sambil
menghela nafas berat. Tidak ada yang menjawab ucapan Shu Sun Er, mereka semua termenung dengan dada terasa sesak ditekan oleh
ketegangan dan perasaan buruk oleh peristiwa yang akan datang.
"Kapan kalian berdua akan pergi menemui Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan", tiba-tiba Pang Boxi bertanya,
memecahkan keheningan. Khongti dan Zhu Yanyan saling berpandangan beberapa saat, kemudian Zhu Yanyan menjawab dengan tegas, "Malam ini
juga." Dengan tiga kata itu, selesailah pertemuan mereka. Meskipun tidak juga membubarkan diri, namun tidak ada pula yang
mengucapkan sepatah kata pun. Mereka bertujuh sudah kehilangan nafsu untuk berbicara ataupun untuk makan. Tidak
lama kemudian Zhu Yanyan menutup mata dan mulai bermeditasi. Segera yang lain pun berturut-turut mengikuti apa yang
dilakukan Zhu Yanyan. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu malam tiba dan hati mereka terlalu kisruh untuk
memikirkan langkah-langkah lain yang pelru dilakukan. Apalagi mengingat jumlah kekuatan mereka yang terlalu kecil jika
dibandingkan dengan persekutuan yang dibangun oleh Zhong Weixia.
Malam pekat, bulan sabit hanya seleret tipis, bintang-bintang pun ditutupi awan, ketika Khongti dan Zhu Yanyan bergerak diam-diam mendekati penginapan tempat Rombongan dari Shaolin dan Wudang menginap. Sebagai tokoh besar, tentu saja
Partai Pedang Keadilan menyediakan tempat yang terbaik bagi tokoh-tokoh enam perguruan besar. Sebuah penginapan
terkenal di Jiang Ling disewa seluruh kamarnya, untuk menyediakan tempat bagi rombongan dari enam perguruan besar.
Tapi dari enam perguruan hanya empat yang menempati penginapan tersebut, Khongtong dan Kunlun memilih tempat
penginapannya sendiri. Tempat yang kosong akhirnya disediakan bagi partai pengemis dan beberapa tokoh kenamaan lain.
Suasana begitu sunyi, tapi samar-samar terdengar suara orang membaca sutra Buddha. Khongti memberi tanda pada Zhu
Yanyan, suara Khongzhen tentu sangat dia kenal, belasan tahun hidup bersama di biara, ada selirit rasa rindu, tapi urusan besar sedang menunggu. Perlahan dia bayangan itu pun bergerak mendekati sumber suara pelantun sutra Buddha. Kamar
Bhiksu besar Khongzhen terletak di utara bangunan dengan jendela menghadap ke jalan besar. Setelah sampai di depan
jendela, mereka berdua pun berdiri diam, ragu-ragu untuk sesaat lamanya. Khongti baru saja hendak mengetuk daun
jendela ketika dia mendengar Bhiksu besar Khongzhen berhenti melantunkan sutra. Gerakan tangannya pun terhenti, sekali
lagi ragu hendak mengetuk atau tidak.
Dari dalam terdengar suara Bhiksu Khongzhen, " A Yung, A Man, kalian berdua, pergilah berjaga di depan pintu."
Dua orang bhiksu muda yang disuruh keluar oleh Bhiksu Khongzhen itu pun slaing berpandangan, bertanya-tanya dalam
hati, namun dengan patuh mereka pergi keluar meninggalkan Bhiksu Khongzhen sendirian di kamar. Bhiksu Khongzhen
mengikuti kepergian mereka dengan senyum dikulum, keduanya adalah generasi baru yang berbakat, juga berkepribadian
baik. Dia memaruh harapan yang besar pada dua orang itu. Setelah pintu kamar ditutup rapat, Bhiksu Khongzhen pun
dengan tenang mengambil dua buah cangkir dan menuangkan teh, kemudian duduk bersila dengan tenang di salah satu
kursi yang ada. Kemudian dengan suara lembut menelusup telinga dia memanggil Zhu Yanyan dan Khongti yang berada di luar, "Sahabat di
luar, jika hendak berkunjung, kenapa tidak segera masuk, dua cawan teh manis sudah kusediakan untuk kalian berdua?"
Mendengar suara Bhiksu besar Khongzhen itu, Zhu Yanyan dan Khongti saling berpandangan dengan senyum dikulum.
Tanpa ragu lagi, mereka berdua mendorong daun jendala yang tak terkunci dan masuk ke dalam.
"Kakak?", ujar Khongti dengan suara tertahan.
"Ketua Khongzhen", ujar Zhu Yanyan dengan sopan sembari memberi penghormatan.
Melihat mereka berdua, tak urung Bhiksu besar Khongzhen yang sudah matang dalam olah batin itu terguncang juga. Bukan
oleh rasa takut dan khawatir, tapi oleh rasa rindu dan sayang pada saudara mudanya yang telah lama menghilang.
"Ah" kalian berdua" tentu ada masalah yang penting hingga kalian datang menemuiku. Baiklah, cepat duduk dan ceritakan
masalah kalian.", ujar Bhiksu besar Khongzhen, meskipun suaranya sedikit bergetar namun dengan cepat dia berhasil
menguasai perasaannya. Mendengar penjelasan Khongti dan Zhu Yanyan yang secara bergantian menyampaikan penemuan mereka, wajah Bhiksu
besar Khongzhen pun sedikit menegang. Hatinya merasa tidak enak, sebuah bayangan buruk melintas di benaknya.
"Saudara Yanyan", Adik Khongti" berita yang kalian sampaikan ini sungguh mengejutkan. Apalagi ada anak murid Shaolin
yang berani membawa keluar Shao Wang Gui di luar tahuku. Menurutku dugaan Adik Khongti ada benarnya, diam-diam di
dalam Shaolin ada yang bekerja untuk orag luar. Ini sungguh memalukan dan mencemaskan.", ujar Bhiksu besar
Khongzhen dengan hati rawan.
"Lalu apa yang harus kita lakukan kak?", tanya Khongti pada Bhiksu besar Khongzhen.
"Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan meminta A Man memanggil kakakmu Pendeta Chongxan ke mari.", ujar Bhiksu
besar Khongzhen pada Khongti dan Zhu Yanyan.
"A Man kau dengar pembicaraan kami?", tanya Bhiksu Khongzhen pada A Man yang berjaga di depan pintu.
"Dengar guru", jawab A Man.
"Bagus, pergilah.", ucap Bhiksu besar Khongzhen singkat saja.
"Menurut kakak, apa tujuan gerakan ini sebenarnya?", tanya Khongti.
"Tunggu, biarlah kita tunggu sampai Saudara Chongxan datang", ujar Bhiksu besar Khongzhen.
Khongti pun terpaksa menahan diri, baik dia dan Zhu Yanyan tidak berani mengajak Bhiksu besar Khongzhen bicara lagi,
karena Bhiksu besar Khongzhen tampaknya juga larut dalam perenungannya. Tidak menunggu berapa lama, Pendeta besar
Chongxan pun masuk ke dalam ruangan. Dari wajahnya terlihat dia pun mendapatkan perasaan yang tidak enak dari
kejadian malam ini. "Ah" Adik Yanyan, Saudara Khongti" angin apa yang membawa kalian ke mari?", sapanya dengan senyum lembut di
wajah, meskipun disertai selapis kekhawatiran.
"Ceritakan semuanya?", ujar Bhiksu besar Khongzhen sebelum kembali diam dalam renungannya.
Khongti dan Zhu Yanyan pun kembali mengulang apa yang tadinya mereka sampaikan pada Bhiksu besa Khongzhen
sebelumnya. Pendeta Chongxan pun mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak sedikitpun dia meragukan keteranganketerangan yang diberikan kedua orang itu. Setelah mereka berdua selesai bercerita, Pendeta Chongxan tidak segera
memberikan tanggapan, seperti juga Bhiksu besar Khongzhen dia justru larut dalam pemikirannya sendiri. Khongti dan Zhu
Yanyan hanya bisa saling berpandangan dan menunggu. Mereka pun menaruh kepercayaan penuh pada dua orang itu. Alis
keduanya ikut berkerut, mencoba ikut merenung, namun beban yang menekan perasaan mereka cukup berat membuat
keduanya sulit berpikir. Tapi keduanya sudah cukup matang pula, melihat apa yang dilakukan Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan, membuat mereka sadar. Persoalan boleh besar, tapi perasaan harus dapat dikendalikan, pikiran harus
dapat ditenangkan, dengan demikian baru bisa berpikir jernih. Kesadaran tidak boleh goyah, pun bila dalam merenungkan
persoalan tentu muncul kekhawatiran. Menghela nafas dalam-dalam keduanya berusaha menenangkan hati dan ikut
berpikir. Cukup lama mereka berempat duduk dalam diam, ketika Bhiksu Khongzhen menegakkan badan dan menghela nafas,
hampir berbarengan Pendeta Chongxan, Zhu Yanyan dan Khongti melakukan hal yang serupa. Wajah mereka tampak
kelam, tidak ada senyuman di sana, jelas situasinya sangatlah buruk dalam pandangan mereka berempat.
"Bagaimana menurut Ketua berdua?", tanya Khongti pada akhirnya.
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan saling berpandangan sejenak, Bhiksu Khongzhen yang kemudian menjawab lebih
dahulu, "Delapan dari 10 bagian tentu Wuling Mengzhu, Ketua Ding Tao yang menjadi sasaran."
"Zhong Weixia dan orang-orangnya menyembunyikan hal ini dari kami berdua, tentu dia memiliki rencana yang tidak baik,
tapi bagaimana dia bisa membuat orang dari berbagai golongan bergerak bersama, kukira ada pegangan yang kuat.",
sambung Pendeta Chongxan.
"Sementara dari pihak kita sendiri, hanya segelintir kecil yang benar-benar bisa dipercaya.", ujarnya lagi.
Khongti dan Zhu Yanyan mengangguk setuju.
"Waktunya begitu dekat, sementara apa sebenarnya rencana mereka belum begitu jelas, apa yang bisa kita lakukan?",
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Khongti. "Melihat keadaannya, persiapan mereka tentu sudah sangat matang, meskipun ketua berdua ikut campur pun?", Zhu
Yanyan ragu untuk melanjutkan.
"Tidak apa, kenyataannya memang demikian, jika mereka sudah berani bergerak, tentu kekuatan kami berdua pun sudah
diperhitungkan. Artinya entah mereka memiliki siasat untuk mengikat tangan kami berdua, atau jumlah kekuatan di sisi
mereka, jauh lebih besar dari yang ada di pihak kita.", lanjut Bhiksu Khongzhen dengan tenang.
"Jadi" bagaimana?"", kembali Khongti bertanya.
"Hmm" kita harus bersikap waspada namun luwes, siap menghadapi segala perubahan keadaan dan tidak terpaku pada
rencana tertentu.", jawab Bhiksu Khongzhen.
"Ada satu hal yang bisa kita persiapkan dari sekarang.", ujar Pendeta Chongxan.
"Benar", jawab Bhiksu Khongzhen pula.
Zhu Yanyan dan Khongti hampir bersamaan berkata, "Persiapan untuk melarikan diri"."
"Benar", keadaan jelas tidak menguntungkan, kemungkinan besar, apa yang akan kita hadapi nanti berada di luar
jangkauan kita. Jika itu benar, kita harus menyiapkan jalan mundur dari sekarang.", kata Bhiksu Khongzhen dengan satu
kepastian. Persoalan besar belum hilang, tapi setidaknya sekarang ada pegangan tentang apa yang bisa dan harus mereka berbuat.
Perasaan Zhu Yanyan dan Khongti pun jadi jauh lebih mantap. Mereka berempat pun kemudian sibuk membahas lebih jelas
mengenai persoalan yang ada di depan dan persiapan menjelang pernikahan Ding Tao.
"Yang membuat bertanya-tanya dan membuat kita semakin sulit menentukan siapa lawan dan siapa kawan, adalah
kehadiran isteri dan sahabat Ding Tao dalam pertemuan rahasia itu.", ujar Khongti.
"Benar", untuk memberi kisikan pada Ding Tao pun jadi tidak mudah. Jika kita memberikan kisikan tanpa memberi tahu
keterlibatan isterinya, maka ada kemungkinan dia akan menyampaikan masalah ini pada isterinya sehingga lawan tahu
rahasianya telah bocor. Di lain pihak jika kita berkata bahwa isterinya terlibat, tentu dia tidak percaya pada perkataan kita.", keluh Zhu Yanyan.
"Hmm" tampaknya jalan Ding Tao tidak akan mudah" semoga kita bisa membantunya melewati kesulitan ini. Adik Yanyan,
kau ingat baik-baik, jika keadaan sangat buruk dan baik Wudang maupun Shaolin tidak bisa bergerak bebas, kau
antarkanlah Ketua Ding Tao ke sebuah desa di luar perbatasan. Nama desa itu, Desa Hotu, kemudian carilah seorang tabib
di desa itu, ceritakan apa yang terjadi di sini.", ujar Pendeta Chongxan sebelum mereka berpisah.
"Aku mengerti", apakah ada petunjuk lain?", jawab Zhu Yanyan.
"Tidak ada, hanya sekali lagi ingat baik-baik, bawa dia ke desa itu, hanya jika Shaolin dan Wudang tidak bisa bergerak
bebas. Aku berharap Shaolin dan Wudang bisa mengimbangi gerakan tersembunyi ini, tapi aku kuatir", bila dugaanku
benar, tidak akan banyak yang bisa kami lakukan.", ujar Pendeta Chongxan sambil menghela nafas.
"Baiklah kalau begitu kami pamit pergi dahulu.", ujar Zhu Yanyan kemudian memberi hormat, demikian juga Khongti.
Pendeta Chongxan pun menepuk-nepuk pundak Zhu Yanyan, "Adik, hati-hatilah dalam bertindak, meskipun mati sebagai
pahlawan berarti hidup tidak sia-sia. Namun hidup tetaplah sesuatu yang lebih berharga daripada kematian. Jika ada waktu, kalian datanglah ke Gunung Wudang, ada tempat untuk kalian berenam di sana."
"Tentu saja"." Jawab Zhu Yanyan dengan tenggorokan tercekat.
"Kakak, aku pergi ?", ujar Khongti.
"Hmm" pergilah, tampaknya kehidupan di luar biara lebih sesuai untuk dirimu", ujar Bhiksu Khongzhen sambil tersenyum
simpul. Khongti membelai rambutnya yang panjang dan menyengir lebar, "Hehe, ya" entah apa aku akan tahan jika harus kembali
dalam biara." "Hm..hm.., yang penting adalah batin yang bersih. Daripada terlampau sibuk memperhatikan aturan untuk tubuh tapi lupa
menjaga kejernihan hati. Boleh saja sekarang kau berhenti jadi seorang biarawan, hanya kuharap jangan lupa pada hal-hal yang prinsip.", nasehat Bhiksu Khongzhen pada Khongti.
Khongti pun mengangguk dengan serius, "Nasihat kakak, tentu akan selalu kuingat."
"Hahaha, sebenarnya kurasa tidak perlu aku menasihatimu. Aku percaya akan kebersihan hatimu, sungguh aku sebenarnya
rindu dengan kekonyolanmu, Shaolin jadi terlalu sepi tanpa lawakanmu. Tapi sudahlah, tidak ada gunanya membicarakan
masa lalu, tentang masa depan, kukira undangan Saudara Chongxan perlu kalian pikirkan, hatiku mengatakan, awan gelap
akan menyelimuti dunia persilatan. Bahkan Shaolin pun tampaknya tidak luput darinya.", ujar Bhiksu Khongzhen sambil
mendorong pergi Khongti dengan lembut.
Mendengar ucapan Bhiksu Khongzhen itu, suasana hati Zhu Yanyan dan Khongti pun jadi sendu.
"Baiklah kami pergi", ucap mereka berdua.
Dalam sekejap, bayangan mereka pun sudah ditelan kegelapan malam. Setelah mereka berdua pergi, Bhiksu Khongzhen
berpandangan dengan Pendeta Chongxan.
"Sahabat", tampaknya sosok gelap yang menghantui tidur kita akhirnya muncul juga.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan
nada sedih. "Ya", pada kejadian di kaki Gunung Songshan, aku sempat berharap semuanya tuntas sudah, tapi bahkan pada waktu itu
pun, perasaan bahwa ada kegelapan yang sedang menunggu dan menjalin jaring-jaringnya tidak hilang dari hatiku.", jawab
Pendeta Chongxan. "Perasaanku semakin kuat, bahwa semua kejadian beberapa puluh tahun terakhir, mulai dari isu-isu mengenai ambisi Ren
Zhuocan, munculnya pedang angin berbisik, menghilangnya Jinyong, kematian beberapa orang tokoh, bersatunya Thai
Wang Gui dan Shao Wang Gui, semuanya berkutat dan berpusar pada satu orang atau satu organisasi saja.", kata Bhiksu
Khongzhen. "Apakah Bhiksu Khongzhen setuju, bila kukatakan bahwa sosok itu sepertinya berasal dari keluarga Murong?", tanya
Pendeta Chongxan. "Demikiankah perasaan Pendeta?", tanya Bhiksu Khongzhen.
"Ya", saat ini tidak ada pegangan yang pasti tapi perasaanku berkata demikian.", jawab Pendeta Chongxan.
Beberapa lama Bhiksu Khongzhen diam, kemudian berujar, "Sepertinya perasaan Pendeta benar, jika Murong Yun Hua kita
letakkan di posisi itu, maka banyak kejadian aneh dalam dunia persilatan yang bisa dijelaskan. Entah sudah berapa lama dia membangun jaring di sekitar kita, bahkan Shaolin pun tidak luput darinya. Semakin lama aku memikirkannya, hatiku
semakin ngeri untuk menghadapi hari-hari di depan."
"Heh" golok di depan mata mudah dihindari, panah gelap dari belakang lebih berbahaya", ujar Pendeta Chongxan singkat.
Demikianlah, maka di luar tahunya Ding Tao dan Hua Ying Ying, menjelang pernikahan mereka berdua, sebuah jebakan
sedang disiapkan. Sedangkan di luar tahunya mereka yang sedang membangun jebakan itu, ada pula kekuatan yang
mencoba menggagalkan rencana mereka. Namun Murong Yun Hua, Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, terbukti memang
pantas jadi orang-orang nomor satu dalam dunia persilatan. Rencana mereka matang dan teliti, serta dilaksanakan dengan
sangat berhati-hati. Akhirnya tiba juga hari yang dinanti-nanti oleh banyak orang, masing-masing dengan tujuannya sendiri.
Pagi itu Ding Tao sudah berdandan rapi, meskipun ini adalah kali kedua dia menikah, dengan isteri yang ketiga, tetap saja jantungnya sedikit berdebar menanti datangnya waktu untuk bertemu pengantin wanita. Di kamar dia berdua saja dengan
Tabib Shao Yong yang hari ini menjadi wali bagi dirinya. Beberapa pengikutnya yang lain baru saja keluar menuju gedung
tempat akan diselenggarakannya pernikahan Ding Tao. Memandangi Ding Tao yang sudah tumbuh dewasa dan sekarang
menjadi orang nomor satu dalam dunia persilatan, berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hati Tabib Shao Yong.
"Tabib Shao, mengapa kau melamun saja, harusnya justru aku yang banyak melamun hari ini", ujar Ding Tao menggoda
Tabib Shao Yong ketika dilihatnya tabib tua itu menatap dirinya dengan pandangan entah ke mana.
Mendengar ucapan Ding Tao, tabib tua itu pun tersenyum, "Hahaha" aku hanya membayangkan, betapa cepat waktu
berlalu, rasanya baru kemarin aku menyuruhmu mencari akar-akaran."
Sambil mengangkat tangannya setinggi pinggang dia menyambung, "Tinggimu baru segini, tiba-tiba sekarang kau sudah
jauh lebih tinggi dari kebanyakan orang."
Tiba-tiba Tabib Shao Yong tampak sedih dan terdiam.
Melihat itu Ding Tao jadi terharu, dia berpikir, tentu Tabib Shao Yong teringat oleh keadaannya yang tidak berputera, "Tabib Shao, hari ini kau menjadi waliku, tapi sejak dulu, dalam hati kau memang sudah kupandang sebagai pengganti orang
tuaku." Mendengar perkataan Ding Tao, mata Tabib Shao Yong membasah, dengan sedih dan haru dia mengelus kepala pemuda itu.
Ding Tao tentu saja merasa heran, namun juga terharu melihat perhatian orang begitu besar pada dirinya. Tiba-tiba Tabib Shao Yong mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan memberikannya pada Ding Tao.
"Simpan ini baik-baik, jangan sampai ada orang yang melihatmu menyimpannya.", ujarnya dengan sungguh-sungguh.
"Tabib Shao" apa ini?", tanya Ding Tao ingin tahu dan juga heran.
"Anak Tao, kau bilang kau anggap aku ini ayahmu", ujar Tabib Shao Yong.
"Ya", benar, Tabib Shao, percayalah aku tidak bermain-main saat mengatakan itu", ucap Ding Tao tulus.
"Aku percaya, kalau benar demikian, lakukanlah apa yang aku suruh ini, simpan baik-baik bungkusan ini, mungkin bisa
membantumu.", sekali lagi Tabib Shao Yong berkata dengan sungguh-sungguh.
Meskipun masih merasa heran, Ding Tao pun segera menyimpan bungkusan itu di bagian dalam bajunya tanpa banyak
bertanya lagi. Melihat Ding Tao sudah menyimpan bungkusan itu, Tabib Shao Yong tampak sedikit lega.
"Ayolah, sudah waktunya kita pergi. Jika tidak para tamu tentu akan terlalu lama menunggu", ujar Tabib Shao Yong dengan senyum di wajah.
Melihat Tabib Shao Yong terlihat lebih ceria, hati Ding Tao pun jadi lega, "Tabib Shao benar, ah" dadaku jadi berdebardebar" Tapi ayolah."
Diiringi dengan tawa dari Tabib Shao Yong, mereka pun pergi menuju ke gedung tempat pernikahan akan dilaksanakan.
Sembari berjalan terlihat ada pikiran yang membebani hati Tabib Shao Yong, baru beberapa langkah mereka berjalan,
ketika di sekitar mereka sepi dari orang tiba-tiba Tabib Shao Yong berkata, "Anak Tao", seandainya aku memintamu,
melepaskan kedudukanmu sebagai Wulin Mengzhu dan pergi membawa Ying Ying pergi ke desa kecil, jauh dari kota, hidup
sederhana sebagai seorang petani, apakah kau akan mendengarkan permintaanku itu?"
Ding Tao melihat ke arah Tabib Shao Yong dengan alis terangkat, "Tabib Shao", kenapa bertanya demikian?"
Ditanya demikian, Tabib Shao Yong tergagap, "Eh" ah" tidak apa, hanya ingin tahu saja, dulu kehidupan seperti itulah
yang kubayangkan ketika kau beranjak dewasa."
Ding Tao merenung sejenak kemudian menjawab, "Seandainya bisa, tentu aku akan memilih jalan itu. Tapi sejak aku secara
tidak sengaja, menemukan Pedang Angin Berbisik, tampaknya jalan hidupku sudah ditentukan akan menjadi beda dengan
keinginanku. Awalnya demi mengemban tugas dari guru. Semakin lama, semakin banyak jerat hutang budi dan harapan
orang, yang tidak mungkin aku lepaskan begitu saja. Bukan karena aku menginginkannya, tapi aku tak mungkin
mengkhianati cita-cita bersama demi keinginanku pribadi."
Tabib Shao Yong mendesah sedih dan Ding Tao pun ikut mendesah sedih. Kaki Tabib Shao Yong terasa berat, apa yang
akan dihadapi Ding Tao dia sudah tahu. Tentu saja dia tahu, bukankah dia termasuk orang kepercayaan keluarga Murong
yang disusupkan ke dalam keluarga Huang" Bahkan disusupkan sejak dia masih muda. Kepada keluarga Murong dia terikat
oleh hutang budi, bahkan berhutang nyawa. Kepada Ding Tao dia merasakan kasih seorang ayah kepada anaknya. Sejak dia
bekerja dalam keluarga Huang, dia sudah menjaga hatinya dari segala perasaan simpati kepada orang-orang dalam
keluarga Huang. Meskipun dia bersikap baik kepada setiap orang, tapi dalam hatinya dia sudah membangun sebuah tembok
bagi mereka. Tak akan dia menangisi kepergian mereka. Tapi Ding Tao berbeda, tak pernah dia berpikir Ding Tao kecil akan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, seorang tokoh besar yang punya arti untuk dimanfaatkan dan harus
disingkirkan jika menjadi berbahaya. Itu sebabnya tidak ada tembok terbangun di antara dirinya dan Ding Tao.
Setiap manusia membutuhkan hangatnya kasih sayang, entah lewat hubungan keluarga atau persahabatan. Tabib Shao
Yong menutup pintu itu terhadap semua orang, jauh dalam hatinya tentu saja dia menderita. Hingga hadir Ding Tao kecil,
seorang anak yatim piatu yang dididik dengan keras oleh orang tuanya untuk mengerti budi dan kewajiban. Tabib Shao
Yong jatuh hati pada pandangan pertama. Hatinya yang kosong tiba-tiba terisi dengan kehangatan. Dia bukan seorang
peramal, tak dapat dia tahu, bahwa pada akhirnya dia harus ditempatkan di situasi yang memilukan hatinya.
Bukan hanya kesetiaan pada keluarga Murong yang menahan lidah Tabib Shao Yong, tapi juga betapa rapat dan betapa
kuat sesungguhnya keluarga Murong. Sungguhpun dia ingin melepaskan Ding Tao, dia juga tidak melihat jalannya. Jika Ding Tao melawan, maka setitik kecil harapan dia untuk menyelamatkan Ding Tao mungkin akan hilang pula. Sebuah bungkusan
dia berikan pada Ding Tao, segenap harapannya agar pemuda itu selamat, ada dalam bungkusan itu. Selama hari ini bisa
dilewati tanpa Ding Tao mati oleh pedang, pemuda itu masih punya harapan. Dengan pemikiran ini, langkah kaki Tabib Shao Yong jadi lebih mantap. Segenap yang dia bisa lakukan, sudah dia lakukan.
"Anak Tao, tersenyumlah sedikit, jika tidak nanti Ying Ying kira kau bersedih menikah dengannya. Atau jangan-jangan
memang benar demikia" Kata orang satu isteri saja sudah cukup untuk membuat pusing seorang laki-laki dan sekarang kau
malah hendak menikahi isteri yang ketiga.", ujar Tabib Shao Yong ketika melihat wajah sedih Ding Tao.
Digoda demikian, Ding Tao pun tersipu malu, "Tabib Shao", kau bisa saja."
Malu, tapi setidaknya sekarang wajahnya sudah ceria kembali. Dengan senyum di wajah, Ding Tao berjalan menuju ke
gedung tempat perayaan akan dilakukan. Jauh sebelum memasuki gedung, dia disambut oleh para tamu, menerima ucapan
selamat, membalas salam dan segala keramaian yang biasa ditemukan dalam perayaan pernikahan. Di antara puluhan
pengunjung yang tidak mendapatkan tempat di dalam gedung, terselip tujuh orang yang mengawasi kedatangan Ding Tao
dengan hati berdebar. Mengkhawatirkan nasib dari pemuda itu, juga nasib Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang
berada di dalam gedung. Meskipun dua orang itu memiliki ilmu silat tanpa tanding, tapi di dalam sana, ada berapa jumlah lawan dan ada berapa jumlah kawan semuanya masih gelap.
Setelah melewati sekian banyak orang, akhirnya sampai juga Ding Tao di ruang utama, kedatangannya segera disambut
oleh orang-orang terdekatnya. Mereka yang sudah berjuang sejak awal hingga sampai kedudukan Ding Tao yang sekarang
ini. "Mana, pengantin wanitanya, apakah sudah tiba?", tanya Wang Xiaho dengan wajah memerah sudah terlalu banyak minum
arak. "Hahaha, masa Ketua Ding Tao yang hendak menikah, Tetua Wang yang lebih dahulu tidak sabar untuk bertemu dengan
pengantin wanitanya.", sahut Fu Tong sambil tertawa terbahak-bahak.
Chou Liang hanya menggelengkan kepala melihat itu semua, ada sedikit rasa iri dalam hatinya, tapi yang sedikit itupun
cepat-cepat dia singkirkan. Bagaimanapun juga, jika tidak ada Ding Tao, sampai sekarang mungkin dia masih menelusuri
gang-gang sempit di Wuling dengan hati acuh tak acuh melihat orang-orang di sekelilingnya.
Demikian Ding Tao merasa berbahagia, dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya, satu pandangan, satu cita-cita. Ada Chou Liang, Pendeta Liu Chuncao, Ma Songquan dan Chu Linhe, Wang Xiaho, Chen Wuxi, Fu Tong, Sun Gao dan Sun Liang, Qin Baiyu
dan ayahnya Qin Hun dan masih ada puluhan orang lainnya lagi yang berkumpul di sekeliling Ding Tao. Untuk beberapa
lamanya mereka tertawa riang, sebelum perlahan-lahan sadar, betapa senyap suasana dalam gedung itu. Hanya mereka
saja yang terdengar suara tawanya. Kesadaran itu datang perlahan, diikuti dengan perasaan seram yang merayapi hati
mereka sedikit demi sedikit. Tanpa ada yang mengatur, setiap orang berdiri membentuk lingkaran, menghadap keluar,
memandangi wajah-wajah dingin yang mengepung mereka. Tidak semuanya mengepung mereka, setidaknya ada
sekelompok kecil, yaitu mereka yang datang dari Wudang dan Shaolin, tapi sisanya memandang mereka seperti sekelompok
serigala memandangi mangsanya.
Suara Bhiksu Khongzhen yang berwibawa, seketika itu juga terdengar bergaung rendah memenuhi ruangan, "Ada apa ini"
Sudahkah kalian semua kehilangan akal" Mengapa sikap kalian tiba-tiba berubah dalam sekejap mata" Atau jangan-jangan
kalian semua sudah merencanakan sesuatu?"
Zhong Weixia sebagau orang yang paling senior dalam kumpulan itu maju ke depan dan menjawab pertanyaan Bhiksu
Khongzhen, "Bhiksu Khongzhen, tidak salah kalau kau mengatakan kami sudah merencanakan ini semua. Memang kami
sudah berencana untuk menangkap seorang pengkhianat, penipu, pembunuh anak-anak dan orang tua, seorang bertopeng
kebaikan namun busuk di dalam. Orang ini sangat berbahaya bagi dunia persilatan, oleh karena itu kami semua sepakat
untuk menangkapnya."
?" sebenarnya kami ingin membunuhnya, tapi karena seseorang, kami memutuskan, cukup asalkan orang ini ditahan
sehingga tidak bisa lagi membahayakan orang lain.", sambung Zhong Weixia setelah berhenti sejenak.
Begitu mendengar perkataan Zhong Weixia, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun bisa meraba apa yang akan
terjadi sebentar lagi, tapi dua tokoh itu memang sudah matang batinnya, tak mudah tergoncang dengan berbagai macam
bahaya. Suara Bhiksu Khongzhen pun tetap tenang saat bertanya dan menegur Zhong Weixia.
"Ketua Zhong Weixia, siapa orangnya yang kau maksudkan" Kuharap kalian tidak sembarangan menuduh orang, tanpa
bukti yang jelas.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan tegas.
Mendengar ketegasan dalam suara Bhiksu Khongzhen itu, beberapa orang tokoh yang sudah memberikan kata setuju pada
Zhong Weixia tampak meragu. Terlihat dari cara mereka menengok ke arah Zhong Weixia, mencari kepastian dari Ketua
Kongtong tersebut. Zhong Weixia hanya tersenyum sinis, melihat keraguan mereka, membuat mereka itu menundukkan
wajah tersipu malu. "Bhiksu Khongzhen", jika kami tidak memiliki bukti yang kuat, mana mungkin kami berani bergerak, karena orang yang
hendak kami tangkap tersebut adalah Wulin Mengzhu, Ketua Partai Pedang Keadilan, Ketua Ding Tao.", tegas Zhong Weixia
menjawab tanpa keraguan sedikitpun, membuat beberapa orang yang tadinya terombang-ambing kembali yakin dengan
keputusan mereka. "Bagus" kalau memang kau memiliki bukti yang kuat, mari kita adakan pengadilan terbuka sekarang juga. Jika tidak jangan harap, kami dari Shaolin dan Wudang berdiam diri saat kalian hendak melaksanakan rencana keji kalian!", geram Pendeta
Chongxan membuat beberapa orang mundur beberapa tindak.
Wibawa dua orang tokoh besar itu memang sulit ditandingi di masanya, bahkan Ding Tao yang menjadi Wulin Mengzhu pun
belum sempat menancapkan wibawa dan reputasi seperti dua orang tokoh besar itu dalam dunia persilatan. Jika tidak,
mana mungkin ada begitu banyak orang yang sanggup dihasut oleh Zhong Weixia untuk berbalik memusuhi Ding Tao
setelah beberapa bulan sebelumnya mereka bersumpah setia pada Ding Tao. Murong Yun Hua memang bergerak cepat atau
nasib yang mempermainkan Ding Tao" Kemunculan dua bersaudara Huang dan gurunya Hua Ng Lau, memaksa Murong Yun
Hua memainkan kartu ini. Seandainya tidak, tentu Murong Yun Hua akan terus membantu Ding Tao memupuk namanya,
sembari kuku-kukunya semakin dalam mencengkeram. Apakah ini nasib baik" Ataukah ini nasib buruk" Baikkah bila
namanya terus membubung tinggi, namun satu hari dia bangun dan tersadar seluruh hidupnya berada di bawa permainan
orang lain" Burukkah nasibnya, karena sebentar lagi seluruh pekerjaannya yang dibangun dengan susah payah akan hancur
dalam semalam, namun di saat yang sama dia lepas dari rencana orang untuk menjadikan dia seorang kaisar boneka"
Di saat yang genting itu, muncul dua orang sosok masuk ke dalam ruangan, dengan senyum kemenangan Zhong Weixia
memandang ke arah mereka berdua, "Bhiksu Khongzhen" Pendeta Chongxan" orang bilang kemampuan kalian dalam
menilai seseorang tidak tertandingi. Kuharap mulai hari ini kalian lebih rendah hati. Bukti yang kalian minta, bukan aku yang akan membeberkan" ada yang lebih pantas, biarlah mereka berdua yang menjelaskan semuanya."
Dengan sendirinya mata setiap orang mengikuti arah pandangan Zhong Weixia dan jatuh ke arah dua orang tersebut,
Huang Ren Fu dan Murong Yun Hua. Melihat kehadiran Huang Ren Fu dan Murong Yun Hua berbagai macam perasaan
bergejolak dalam hati Ding Tao dan kawan-kawannya.
"Zhong Weixia, kau jelaskan sekarang juga, apa maksudmu ini" Atas dasar apa kau menuduhku" Atas kejahatan apa kau
hendak menangkapku?", suara Ding Tao menggelegar memenuhi ruangan.
"Ding Tao! Masihkah kau mau berpura-pura " Jangan mengelak lagi, kaulah yang ada di belakang pembunuhan keluarga
Huang di Wuling!", ujar Huang Ren Fu dengan suara tidak kalah kerasnya, telunjuknya menunjuk lurus ke arah Ding Tao.
Dengan bibir menggeletar menahan emosi Ding Tao menjawab, "Ren Fu, sungguh aku memang tidak mengerti " aku tidak
percaya" perkataan bohong apa yang sudah disampaikan orang bermarga Zhong itu padamu" Yun Hua" kenapa kau juga
ikut percaya?" Murong Yun Hua tampak terhuyung lemas, untung Huang Ren Fu dengan cepat menangkap tubuhnya. Bersandar beberapa
lama pada Huang Ren Fu, tampak Murong Yun Hua mendapatkan kembali kekuatannya, dengan suara yang sedikit bergetar
namun dengan kalimat yang tertata rapi, dia menjawab pertanyaan Ding Tao.
"Ding Tao", dari penuturan Saudara Huang Ren Fu, menurut kisahmu kau sedang menyembuhkan lukamu saat
pembunuhan itu terjadi. Namun aku tahu sendiri, pada saat itu lukamu telah sembuh. Beberapa kali kau datang dan pergi
ke kediaman kami, kepergianmu justru tepat sekali waktunya dengan terjadinya pembunuhan di Wuling."
"Kedua, saat bertemu denganku, kau mengaku sedang dikejar oleh sepasang tokoh dari aliran sesat, yaitu mereka yang
dikenal sebagai Sepasang Iblis Muka Giok, jadi bagaimana penjelasanmu, jika sekarang ternyata mereka bekerja di bawah
perintahmu?" "Ketiga, aku sudah memeriksa salah satu kitab yang dulu pertama kau pinjam dari perpustakaan keluarga Murong, di
dalamnya aku melihat ada cara pembuatan Obat Dewa Pengetahuan. Apakah kau akan menyangkal bahwa kau sudah
menggunakan obat itu untuk meningkatkan kemampuanmu dalam menyerap ilmu-ilmu yang ada?"
"Dan yang lebih keji, setelah kau menyadari, adanya efek samping yang membuat orang ketagihan terhadap obat itu, kau
dengan sengaja menyebarkannya pada anggota-anggota baru Partai Pedang Keadilan yang kau ragukan kesetiaannya!"
Ding Tao tentu saja tidak mengerti semuanya ini, dengan wajah pucat pias dia menggelengkan kepala dan menjawab, "Yun
Hua, kau salah, kau" bagaimana kau bisa berkata demikian" Aku" bukankah?"
Sebelum Ding Tao sempat membela diri sendiri, beberapa orang sudah maju ke depan, mereka adalah orang-orang Partai
Pedang Keadilan di cabang Gui Yang yang mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan.
"Ding Tao, jangan lagi menyangkal, lihat, mereka ini telah mengakui sendiri, bagaimana kau sudah mempengaruhi mereka
untuk mengkonsumsi obat sesat itu.", ujar Murong Yun Hua dengan keras.
Belum ladi Ding Tao membuka mulut, maju pula ke depan beberapa orang anak murid Perguruan Kunlun dan kali ini Guang
Yong Kwang yang berkata dengan suara menggelegar, "Bukan saja anak murid partaimu sendiri, kau bahkan mempengaruhi
pula anak murid perguruan kami!"
Belum mereda gema suara Guang Yong Kwang, maju lagi, kali ini dari perguruan Hoasan dan Tetua Xun Siaoma yang
berkata dengan lantang, "Ding Tao! Tadinya aku percaya kau lelaki sejati, namun apa yang kudapat, kau sudah
menyusupkan obat sesatmu itu pada anak murid perguruan Hoasan. Sudahkah kau lupa pada budi baik perguruan kami
padamu, ketika kau baru saja belajar berdiri"!"
Dan sebagai penutup, majulah adik seperguruan Bhiksu Khongzhen, Biksu Khongbu, bersama empat orang bhiksu shaolin,
menyeret Shao Wang Gui yang tertatih-tatih mengikutinya dari belakang, "Jika Ketua Ding Tao merasa masih mau
mengelak dari kenyataan, maka apa Ketua Ding Tao masih mau mengelak lagi, lhat setan inipun sudah mengakui siapa
orang ke-lima yang memimpin penyerbuan keluarga Huang di Kota Wuling."
Dengan sedikit keras dia mendorong Shao Wang Gui ke depan, sehingga setan tua kecil itu pun jatuh terhuyung-huyung,
kemudian dengan suara parau Shao Wang Gui pun berkata,"Ding Tao", Ketua Ding Tao-lah yang menjadi dalang di
belakang kejadian itu. Pan Jun dari Hoasan sama sekali tidak terlibat, justru dia hendak membongkar topeng Ketua Ding
Tao. Hanya saja, keburu Ketua Ding Tao berhasil menutup mulutnya. Orang-orang keluarga Huang yang terbunuh oleh Pan
Jun adalah mereka yang sudah berkomplot dengan Ketua Ding Tao, menghianati keluarga Huang."
Suasana pun jadi semakin riuh ramai dengan pengakuan Shao Wang Gui tersebut. Selain pihak Shaolin dan Wudang ada
cukup banyak tamu yang tidak tahu menahu, tidak termasuk pada pihak Shaolin, tidak juga mengikut pihak Khongtong,
mereka inilah yang sekarang riuh ramai, mulai mencaci maki Ding Tao dan pengikut setianya. Orang-orang yang berada di
pihak Khongtong dan sudah mendengarkan kesaksian-kesaksian ini dari pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia,
ikut pula menambahi bumbu-bumbu dalam cerita yang disampaikan. Sebagian memang karena merasa dengki pada Ding
Tao, tapi tidak sedikit pula yang memang mengira bahwa kesaksian itu benar adanya. Dan kenapa tidak, mereka yang maju
memberi kesaksian adalah anak murid perguruan ternama seperti Kunlun dan Hoasan. Bahkan isteri Ding Tao yang terkenal
setia pun ikut memberikan kesaksian yang memberatkan Ding Tao.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bhiksu Khongbu pun memberi hormat pada Bhiksu Khongzhen dan berkata pula, "Ketua", seperti yang ketua lihat, Ketua
Ding Tao tidak bisa dipercaya. Maafkan kami jika baru menyampaikannya sekarang. Iblis tua itu baru membuka mulut
setelah Ketua pergi menuju ke Jiang Ling. Mendengar pengakuannya, kami pun, sesegera mungkin berusaha menyusul
ketua, namun masih juga terlambat, sehingga setelah perayaan dilakukan baru kami sampai di Jiang Ling. Tapi langit benar tidak buta, sehingga meski kami terlambat tapi sudah ada banyak saudara lain yang menyibak topeng Ketua Ding Tao."
Ucapan ini tentu saja tidak benar, seperti yang sudah kita ketahui mereka sudah sampai sebelumnya. Tapi mereka yang
mengetahuinya pun tidak berani membuka mulut, meskipun ada pula yang bertanya-tanya dalam hati, apakah ada
perpecahan dalam Biara Shaolin sendiri"
Bhiksu Khongzhen yang tidak mau membocorkan keberadaan enam orang sahabat pengikat enam perguruan besar dan
Wang Shu Lin pun berpura-pura menerima penjelasan Bhiksu Khongbu, "Hmm" baguslah kalau benar yang adik katakan,
sehingga Shaolin tidak sampai membela orang yang bersalah. Tidak perlu menyesal karena datang terlambat, karena
bukankah sebenarnya kalian tidak terlambat" Kalaupun tidak ada saudara lain yang bersaksi, bukankah kedatangan kalian
masih tepat waktunya?"
Bhiksu Khongbu mendengarkan dengan hati berdebar, apa ada maksud terselubung di balik jawaban Bhiksu Khongzhen itu"
"Terima kasih ketua, tapi memang sepertinya kedatangan kami tidak banyak berarti?", jawabnya berpura-pura rendah hati,
meskipun jantungnya belum mau diminta tenang.
"Hmm.. sudahlah, sekarang mari kita dengar apa jawab Ketua Ding Tao terhadap tuduhan-tuduhan ini.", ujar Bhiksu
Khongzhen dengan berwibawa.
Bhiksu Khongbu pun menghela nafas lega karena Bhiksu Khongzhen tidak memperpanjang lagi masalah kedatangannya dan
dengan perkataannya itu, perhatian setiap orang sekarang beralih pada Ding Tao.
"Ketua Ding Tao" ada begitu banyak orang datang dengan tuduhan padamu. Apakah kau memiliki pembelaan atas tuduhan
mereka?", tanya Pendeta Chongxan setelah suasana mereda.
Chou Liang yang sudah mulai bisa berpikir lebih tenang, sejak tadi mengerutkan alis dan berpikir dengan keras, ketika
suasana mulai tenang dan semua orang menantikan jawaban dari Ding Tao, berkatalah dia kepada Ding Tao, "Ketua Ding
Tao, kita tahu semua tuduhan itu adlah bohong belaka. Hanya saja mengapa sampai nyonya ikut pula menuduh ketua
demikian, ini yang tidak masuk akal. Yang lain tentulah kesaksian palsu saja, tapi bagaimana mungkin Nyonya Murong Yun
Hua ikut pula di dalamnya. Tentu ada yang memaksanya. Coba lihat, di mana Murong Ding Yuan" Di mana Nyonya Murong
Huolin" Demikian juga Nyonya Hua Ying Ying dan gurunya, waktu sudah berjalan sedemikian lama, tak seorang pun terlihat.
Jangan-jangan ada orang menyekap mereka dan memaksa Nyonya Murong Yun Hua dan Tuan muda Huang Ren Fu untuk
bersaksi melawan ketua."
Ucapan Chou Liang itu ditujukan kepada Ding Tao saja, tapi suaranya disengaja cukup keras sehingga setiap orang yang
hadir di ruangan itu bisa mendengarnya. Di mata Chou Liang Murong Yun Hua adalah seorang dewi dari kahyangan.
Sehingga menilik dari situasi yang terjadi, itulah yang terpikirkan olehnya. Pikiran yang sama bukannya tidak lewat di benak Ding Tao, tapi justru hal itu membuat Ding Tao tidak berani membuka mulutnya, karena mengkhawatirkan mereka yang
menjadi sandera. Tidak demikian bagi Chou Liang, yang terpenting justru nama Ding Tao dan keselamatannya. Lagi pula
dengan membuka kemungkinan tersebut, Ding Tao dan mereka yang berada di pihaknya justru memiliki kebebasan untuk
bertindak dan membebaskan Murong Yun Hua dari paksaan lawan. Akibat dari perkataan Chou Liang itu, suasana kembali
menjadi ramai, mereka yang tidak berada di pihak Zhong weixia kembali meragu dan memandang ke arah Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang dari sikapnya terlihat condong membela Ding Tao.
Dalam hati Murong Yun Hua dan Zhong Weixia memuji kecerdikan Chou Liang, hanya dengan beberapa kalimat, orang itu
bisa membalikkan kembali keadaan.
Zhong Weixia pun dengan segera angkat bicara sebelum keadaan berubah menguntungkan Ding Tao lebih jauh lagi, "Hmph!
Kau bisa berkata macam-macam, kenyataannya orang-orang yang kau sebutkan itu berada dalam keadaan baik-baik saja.
Mereka tidak datang karena masih sulit menerima kenyataan dan tidak tega melihat kebusukan Ketua Ding Tao dibongkar.
Jika memang dikehendaki, biarlah dari pihak Shaolin menjemput mereka di tempat mereka berada sekarang ini. Jangan
kami yang menjemput, supaya jangan pula orang mengira kami sedang mengancam mereka."
"Tadpi ada dua kesaksian penting yang bisa dibuktikan dengan jelas tanpa kehadiran mereka. Benarkah Ketua Ding Tao
menggunakan obat sesat untuk meningkatkan ilmunya" Untuk membuktikan ini, Tabib dewa Hua Ng Lau bisa dipanggil
untuk memeriksa nadinya dan memberikan keterangan. Yang kedua, benarkan dua iblis sesat, sepasang kekasih cabul, iblis
muka giok bekerja untuk Ketua Ding Tao" Bukankah mereka berdua sekarang ini ada di sini pula, meskipun dengan
samaran. Apakah perlu kami menunjuk muka, atau mereka mau maju sendiri ke depan?", sambung Zhong Weixia penuh
kemenangan. "Ketua Ding Tao, apa jawabmu terhadap dua hal itu?", tanyanya dengan seringai mengejek di wajahnya.
Terhadap pertanyaan Zhong Weixia itu, termangu-mangu Ding Tao tak bisa menjawab. Tentang obat dewa pengetahuan,
memang dia pernah meminumnya. Meskipun dia tidak sadar, bahwa selama ini dia masih terus menerus mengkonsumsi
obat itu lewat berbagai cara, tapi ragu juga dalam hatinya apakah efek dari obat itu tidak tersisa dan terdeteksi oleh Hua Ng Lau. Apalagi ketika ditanya mengenai sepasang iblis muka giok. Selagi dia termangu, Ma Songquan dan Chu Linhe pun
berkata dengan lantang. "Memang kami berdua, sepasang iblis muka giok telah lama mengikut Ketua Ding Tao. Tapi hal ini adalah di luar tahunya,
bukankah kalian semua tidak akan pernah tahu siapa kami ini dengan samaran yang kami pakai sekarang" Jadi bagaimana
Ketua Ding Tao bisa tahu siapa kami ini sebenarnya?", demikian ucap Ma Songquan membuat geger suasana.
Selama malang melintang sebagai tokoh sesat, sudah ada banyak dendam dia tebarkan, sekarang begitu banyak tokoh
persilatan berkumpul, tentu tidak sedikit yang menyimpan dendam pada sepasang iblis itu dan teriakan-teriakan pun mulai muncul di antara mereka semua.
"Jika Ketua Ding Tao benar tak bersalah, serahkan sepasang iblis itu pada kami untuk kami cincang!!", seru salah seorang tokoh yang datang pada pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia.
Orang ini dan beberapa orang lain, sengaja diundang karena permusuhan mereka dengan Sepadang Iblis Muka Giok.
Dengan satu seruan itu, segera saja suasana jadi ramai oleh teriakan-teriakan lain yang bernada sama. Belum lagi reda
suasana, terlihat Murong Huolin menggendong putera Ding Tao, Murong Ding Yuan bersama dengan Hua Ying Ying dan Hua
Ng Lau memasuki ruangan dan diantarkan ke tempat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Beberapa orang yang
melihat kehadiran mereka, dengan segera menunjuk dan menyampaikan kabar itu pada yang lain. Suasana pun menjadi
semakin riuh rendah dengan hujatan, semakin yakinlah mereka pada tuduhan-tuduhan yang disampaikan kepada Ding Tao.
"Ding Tao menyerahlah! Serahkan dirimu utuk ditangkap, aku berjanji tidak akan ada yang melukai dirimu maupun
pengikut-pengikut setiamu!", suara Murong Yun Hua tiba-tiba terdengar lantang dan disambut riuh suara orang.
Chou Liang menatap tajam ke arah Murong Yun Hua, pikirannya menghitung-hitung setiap kemungkinan. Memandangi
wajah Murong Yun Hua yang menyiratkan ekspresi kemenangan. Melihat cara Murong Yun Hua menyandarkan diri pada
bahu Huang Ren Fu. Mengingat kembali setiap kejadian-kejadian yang berhubungan dengan Murong Yun Hua. Dan sebuah
perasaan ngeri, serta nyerinya dikhianati menyusup ke dalam hatinya.
Dengan suara tertahan dia menarik keras lengan Ding Tao dan berbisik, "Ketua Ding Tao" jangan menyerah, cepat lari! Kita sudah dikhianati orang! Kita sudah dijebak! Cepat lari!"
Suaranya makin lama makin keras, menyadarkan setiap orang di sekeliling Ding Tao. Meskipun mereka belum sampai
memahami seluruhnya pemikiran Chou Liang, keadaan di sekeliling mereka sudah memberi tahukan pada mereka
kebenaran dari perkataan Chou Liang. Bersamaan mereka pun berseru dan yang dekat dengan Ding Tao berusaha menariknarik lengan pemuda itu. "Ketua! Sadarlah! Lari, pergi sekarang juga!"
Ma Songquan dan Chu Linhe yang sempat tercenung memandangi wajah Murong Yun Hua, tiba-tiba meraung marah, sambil
menggerung hebat mereka tiba-tiba menggebrak kepungan terdekat, "Buka jalan untuk Ketua Ding Tao!!!"
Mendengar seruan ini, terbangkitlah semangat juang setiap pengikut Ding Tao yang setia, jumlah mereka tidak lebih dari
tiga puluh orang, namun kemarahan mereka sempat membuat ngeri setiap orang sehingga jalan pun terbuka untuk sesaat.
Tapi di pihak lawan ada Zhong Weixia dan Guang Yongkwang, bahkan ada pula bersama mereka Tetua Xun Siaoma dan
ketua partai pengemis Bai Chungho, dengan cepat jalan itu pun menutup kembali. Apalagi Ding Tao sendiri masih saja
termangu-mangu di tempatnya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Murong Yun Hua sudah mengkhianati dirinya.
Otaknya masih saja berputar berusaha mencari kemungkinan lain dari perangkap yang ada di hadapannya ini.
"Tidak mungkin dia" bukan dia?", demikian Ding Tao bergumam pada dirinya sendiri.
Beruntung mereka yang maju menyerang sampai saat itu belum bisa mencapai Ding Tao yang berada di tengah-tengah
perlindungan pengikut-pengikutnya yang setia. Pertarungan riuh itu baru sempat berjalan beberapa jurus, ketika sebuah
raungan dengan suara rendah bergema, berbarengan dengan sebuah siutan tinggi menggetarkan setiap orang dan
membuat gerakan mereka terhenti di tempatnya. Dua bayangan berkelebat cepat ke arah Ding Tao. Sebuah hawa serangan
yang menderu, menyerang hebat ke arah Ding Tao dan para pengikutnya. Begitu kuat hawa murni yang dihempaskan,
sehingga kumpulan orang yang demikian banyaknya itu pun tersibak di hadapan dua orang tersebut. Bahkan Ding Tao yang
masih termangu pun dibuat bangkit semangat bertarungnya menghadapi serangan yang hebat itu.
Dalam sekejapan saja, segera hawa murni meledak ke segala penjuru, dua bayangan itu bukan lain adalah Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan.
"Ding Tao !!! Matilah kau !!!", seru Pendeta Chongxan dan pedangnya pun berputaran seperti pusaran angin putting beliung, mengancam segala yang ada di depannya.
Ilmu Ding Tao boleh saja seluas lautan, namun di hadapan serangan Pendeta Chongxan, pemuda itu hanya mampu
menangkis dan bergerak mundur. Belasan jurus berlalu dengan cepat tanpa Ding Tao mampu membalas, dalam sekejapan
mata, segera saja Ding Tao terdesak mundur hingga keluar ruangan. Tak urung keadaan di luar pun menjadi heboh dan
kacau tak karuan. Ketika di dalam ruangan terjadi huru hara, yang di luar sudah sibuk menduga-duga, begitu pintu pecah
berhamburan dan tiga orang itu melesat keluar, keadaan pun jadi semakin kacau. Habis jurus serangan Pendeta Chongxan,
segera Bhiksu Khongzhen ganti menyerang. Jika serangan Pendeta Chongxan seperti angin putting beliung, maka
hempasan-hempasan hawa murni yang dilemparkan dari sepasang telapak tangan Bhiksu Khongzhen tak ubahnya badai di
samudera yang mengamuk. Serangan yang membabi buta, membuat keadaan semakin kacau, bukan hanya Ding Tao yang
didesak mundur, mereka yang hendak mengejar pun dibuat terhenti di tempatnya.
Kemarahan Ding Tao sudah sampai di ubun-ubunnya, jika sejak tadi dia segan untuk mengangkat senjata melawan dia
orang tokoh tua itu, lama kelamaan, habis pula kesabarannya. Difitnah, dikhianati dan sekarang diserang tanpa diberi
kesempatan untuk membela diri. Segala yang dibangun hancur pula dalam sehari, luapan emosi itu pun tak tertahankan
lagi, hawa pedang pun berkesiuran menyambar dari kedua telapak tangannya.
Pedang Angin Berbisik tentu saja tak dibawa, karena Ding Tao datang bukan hendak berperang, melainkan untuk menikah
dengan cinta pertamanya. Tapi latihan yang dilakukannya selama berbulan-bulan sekarang baru ditunjukkan hasilnya,
apalagi Ding Tao sama sekali tidak menahan-nahan tenaganya, ditambah dengan kemarahan maka hebatlah perbawa yang
dihasilkan. Belasan jurus pun berlalu, dua orang melawan satu orang. Dua orang tokoh utama dari generasi tua, melawan tokoh utama
dari generasi muda. Masakan Ding Tao sehebat itu" Memang terlihat hebat pertarungan mereka, namun semarah-marahnya Ding Tao dia tidak
jadi buta hatinya. Pemuda itu pun mulai menyadari bagaimana dalam serangan-serangannya dua orang tokoh tua itu
meninggalkan lubang-lubang tempat dia bisa meloloskan diri. Dalam belasan jurus itu, sadarlah Ding Tao, betapa dua orang itu berniat baik pada dirinya. Bukan hanya Ding Tao, orang yang punya otak dengan sendirinya sedikit banyak sadar apa
yang sedang terjadi. Namun siapa yang berani menuduh dua orang tokoh tua itu sedang bermain sandiwara.
Semakin lama, tentu saja semakin kentara, betapa mereka berdua memberi kelonggaran pada Ding Tao. Seharusnya Ding
Tao tahu diri dan menerima maksud baik orang, dan bukannya Ding Tao tidak tahu diri, tapi setiap kali dia hendak beranjak pergi, teringatlan dia pada para pengikutnya yang masih pula bertarung menghadang serbuan Zhong Weixia dan kawan-kawannya yang hendak menyerbu keluar.
Zhong Weixia tentu saja tidak buta, dia pun dengan cepat menyadari apa yang sedang terjadi, dasar otaknya licin dengan
cepat dia menemukan kelemahan dalam rencana Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.
Dengan seringai licik dia pun memberikan perintah, "Jangan bunuh seorang pun! Jangan sembarangan menumpahkan darah
orang tak bersalah! Tangkap mereka semua hidup-hidup!!! Beri kesempatan pada yang mau menyerah!"
Ya, sehebat-hebatnya permainan silat pengikut Ding Tao yang setia, jumlah mereka tidaklah sebanding dengan para
penyerangnya. Dalam belasan jurus itu, sudah beberapa orang mengejang ditinggalkan nyawanya, beberapa orang yang
lain sudah mulai terluka. Hanya tokoh-tokoh liat macam Ma Songquan, Chu Linhe, Fu Tong, Liu Chuncao dan belasan yang
lain yang masih bertahan. Jika Zhong Weixia tidak memberikan perintah, niscaya dua puluhan orang yang masih bertahan
itu akan mati pula meregang nyawa dan tidak ada lagi talih yang menahan kepergian Ding Tao. Justru dengan perintah yang sepertinya memberi jalan hidup pada lawan, dia menciptakan belenggu yang tak terlihat bagi Ding Tao. Sekaligus
mempermalukan dua orang tokoh tua itu, entah orang akan menggunjingkan bagaimana mereka bersandiwara, atau orang
menggunjingkan ketidak mampuan mereka menangkap Ding Tao yang bertarung seorang diri. Ding Tao pun bertarung
semakin menggebu-gebu, dia mengerti kesusahan orang, di saat yang sama tidak bisa pula melarikan diri. Meski demikian
sampai berapa lama Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bisa berpura-pura" Sementara ratusan tokoh-tokoh dunia
persilatan berdiri di sana menyaksikan jalannya pertarungan. Baik mereka yang berada di pihak Zhong Weixia, maupun
mereka yang hanya menjadi penonton dan masih bingung dengan apa yang terjadi.
Zhong Weixia pun tertawa dalam hati, seringai mengejek tak lepas dari wajahnya. Tapi Zhong Weixia pun masih salah
perhitungan. Ma Songquan yang menyadari apa maksud seruan Zhong Weixia tiba-tiba melompat mundur dan membuat jarak dengan
lawan-lawannya. Dengan sendirinya Chu Linhe mengikuti apa yang dilakukan suaminya. Zhong Weixia dan Tetua Xun
Siaoma yang berpasangan menahan serangan dua orang itu pun tidak buru-buru mengejar, karena lawan masih berada
dalam kepungan. "Ah" apa kalian berdua sudah hendak menyerah?", tanya Zhong Weixia dengan alis terangkat.
Sepasang suami isteri itu bisa dikatakan sudah menjadi ujung tombak dari dua puluhan pengikut Ding Tao yang lain, ketika mereka mundur dan mengendurkan serangan, dengan sendirinya yang lain pun mengikuti. Di lain pihak Zhong Weixia sudah
menjadi pimpinan dari persekutuan untuk melawan Ding Tao, ketika Zhong Weixia tidak maju mendesak lawan yang
mundur, sekalian orang yang bermufakat dengan dia pun ikut menahan serangan dan sekedar membangun kepungan yang
rapat. Ma Songquan tidak segera menjawa pertanyaan Zhong Weixia, sekilas saja dia memandang Ketua Partai Kongtong itu,
seakan-akan mengesankan betapa tidak berharganya Zhong Weixia untuk didengarkan. Tapi apa yang dia lakukan
berikutnya, sungguh membuat hati setiap orang bedebar dan tercekam.
"KETUA DING TAO !!! LARI !!!!", suaranya menggelegar menarik perhatian setiap orang, termasuk Ding Tao, Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan.
Dan dalam sekejapan itu, ketika Ma Songquan melihat pandang mata Ding Tao tertuju ke arahnya, maka pedangnya pun
berkelebat dengan cepat. Cepat, secepat kilat, serangan pedang tercepat yang pernah dia lakukan sepanjang hidupnya.
Pedang Ma Songquan berkelebat tanpa bisa ditahan seorang pun, tidak pula bisa dihindari oleh sasaran serangan pedang
itu, pun sasarannya memang tidak berusaha menghindar sedikitpun. Pedang Ma Songquan berkelebat menebas batang
lehernya sendiri. Jantungnya sedang berdebar cepat, setelah mengerahkan sekian banyak tenaga. Emosinya meluap-luap
oleh rasa marah dan putus asa. Darahnya dipompa kencang mengaliri seluruh tubuhnya. Ketika pedang menebas lehernya,
darah pun memancar seperti semburan gunung berapi.
Setiap orang masih tertegun tak mengerti, ketika Chu Linhe berteriak "PERGI!!!"
Dan darah pun kembali menyembur.
Chou Liang yang berada di tengah-tengah kerumunan itu, memandangi kematian Ma Songquan dan Chu Linhe dengan mata
nanar. Di antara mereka semua, mungkin hatinyalah yang paling pedih. Pengkhianatan Murong Yun Hua terhadap Ding Tao,
dirasakannya seperti pengkhianatan seorang kekasih. Ditambah lagi kesadaran, betapa dia yang mengatur pernikahan ini,
seharusnya dia bisa menyadari apa yang terjadi, bila saja dia tidak sedang dimabuk cinta, mabuk cinta pada isteri Ding Tao, orang yang memberikan kepercayaan begitu besar pada dirinya. Penyesalan tiada tara, ditambah lagi melihat tatapan Ding
Tao di kejauhan yang mengkhawatirkan keadaan mereka semua.
Sambil mengeluh pendek dengan permintaan maaf yang tak tersampaikan, Chou Liang menggerakkan sebilah pedang di
tangannya, menebas nadi yang ada di lehernya. Sepanjang pertarungan, pedang Chou Liang tak pernah menyentuh tubuh
lawan, tapi dengan satu gerakan itu ribuan kata tercurahkan dalam tindakan.
Pendeta Liu Chuncao menyaksikan itu semua dengan air mata berlinang, sebelum kemudian tertawa berkakakan, mengiringi
tersemburnya darah untuk ke sekian kalinya membasahi gedung pernikahan itu. Tanpa bisa ditahan lagi, pedang-pedang
pun berkelebatan menabas putus leher masing-masing, satu orang, dua orang, tiga, empat, susul menyusul mereka rebah
meregang nyawa, sementara merahnya darah membasahi tanah. Setiap orang hanya bisa mendelu, baik lawan maupun
kawan termangu. Bahkan Zhong Weixia pun tak sempat berpikir dan hanya bisa mendelong melihat darah menyembur ke
mana-mana, seringai di wajahnya terhapus, benaknya kosong tak mampu berpikir sedikitpun.
Di antara dua puluhan orang itu ada pula Sun Gao, Sun Liang, Qin Hun dan Qin Baiyu. Sebagai orang muda, dengan
sendirinya berdarah panas, Sun Gao pun cepat hendak menebas lehernya sendiri, namun ayahnya yang lebih matang
dengan cepat menahan lengan putera kebanggaannya itu.
"Tahan !!! Sudah cukup?", seru Sun Liang.
Seruan Sun Liang menyadarkan Qin Hun yang dengan cepat menahan pula lengan puteranya Qin Baiyu, sementara sisa
yang lain tak ada yang menahan dan dengan sendirinya satu per satu bertumbangan menebas leher sendiri, atau menusuk
jantung sendiri, memutuskan rantai yang menahan Ding Tao di sini.
Dengan mata liar nyalang Sun Gao menatap penasaran pada ayahnya. Begitu dia menatap, terlihatlah pandang mata teduh
dari ayahnya, sendu namun juga mengisyaratkan keteguhan hati yang tak pernah hilang. Ayahnya tidak berkata apa-apa
hanya menunjuk ke arah Ding Tao yang sudah berada jauh di luar kepungan. Apa yang terjadi dengan Ding Tao"
Apa yang dirasakan pemuda itu jika bukan sebuah kiamat, ketika dia melihat Ma Songquan menebas lehernya sendiri"
Apalagi ketika berturut-turut para pengikutnya yang setia mengorbankan nyawa, meminta dia untuk pergi melarikan diri.
Masihkah dia hendak bertahan, jika itu artinya kematian bagi para pengikutnya" Sebuah lolongan menyayat hati terlontar
keluar dari dada pemuda itu. Bhiksu Khongzhen yang tanggap dengan keadaan, menggerakkan kedua telapak tangannya,
mendorong ke depan, sebuah hempasan hawa murni yang kuat melemparkan pemuda itu jauh ke belakang. Di saat yang
sama, di telinga Ding Tao terdengar bisikan Pendeta Chongxan, lembut namun terdengar jelas, seperti berbisik tepat di
dekat telinganya. "Larilah ke arah barat !"
Pikiran pemuda itu sudah pepat, layaknya tubuh tak berjiwa, tak ada yang memimpin gerak tubuhnya, semata digerakkan
naluri yang paling dasar. Tanpa berayal, tanpa menyimpan-nyimpan tenaga, begitu kakinya menginjakn tanah, setelah
dihempaskan pergi oleh tenaga Bhiksu Khongzhen, pemuda itu pun bergerak, berlari, melompat, menabrak apa saja yang
ada di depannya, seperti kuda liar yang membedal pergi berlari, ke arah mana Bhiksu Khongzhen melontarkannya. Yaitu ke
arah barat. Suasana masih serba bingung, ketika suara tegas Bhiksu Khongzhen mengatasi keributan dan mengambil alih pimpinan
dengan cepat, "Jangan sampai dia pergi melarikan diri, cepat menyebar ke empat penjuru! Tutup seluruh arah lari keluat
kota! Aku dan rekan Pendeta Chongxan akan mengejar ke arah barat! Ketua Zhong Weixia dan Ketua Guang Yong Kwang
pergilah ke gerbang timur, siapa tahu dia mengambil jalan memutar untuk menyesatkan kita! Tetua Xun Siaoma dan Ketua
Bai Chungho harap pergi ke gerbang selatan kota! Bhiksuni Huan Feng dan saudara yang lain harap menutup jalan di
utara!" Perintah itu datang di saat kepemimpinan sedang kosong, jangankan mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan
rencana bumi hangus Partai Pedang Keadilan, Zhong Weixia pun sempat bergerak selangkah ke arah timur sebelum dia
sadar apa yang sedang terjadi. Namun tanpa menunggu siapapun Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sudah melesat
ke arah barat, demikian juga Bhiksuni Huan Feng yang tidak mengerti urusan, diikuti dengan ragu oleh beberapa orang dan dengan semangat oleh sebagian yang lain. Langkah kaki Zhong Weixia yang sempat terhenti pun akhirnya dilanjutkan lagi,
meskipun rasa-rasanya kakinya ini diganduli beban ratusan kati. Sambil memaki-maki Bhiksu Khongzhen dalam hati, dia
melesat ke arah timur diikuti oleh Guang Yong Kwang.
"Ketua Zhong?", bisik Guang Yong Kwang.
"Jangan bodoh! Jika kita menolak, hanya akan menimbulkan kecurigaan orang, biarlah kita pergi ke timur untuk kemudian
memutar ke barat!", desis Zhong Weixia dengan kesal.
Dengan sendirinya tokoh-tokoh lain yang cukup berpengalaman, berpikiran sama dengan Zhong Weixia, secepat mungkin
Rahasia Peti Wasiat 7 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Sadis 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama