Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 3
Setelah mendengar seluruh kisah Ding Tao, semua yang hadir di sana mengangguk-angguk dengan puas.
"Adik Huang, menurutku, tidak ada salahnya kalau Ding Tao menginap di sini selama beberapa hari sebagai tamu kita. Aku
yakin banyak teman lama yang ingin ditemuinya.", ujar salah seorang kakak sepupu Huang Jin.
"Ya, aku setuju sekali dengan pendapat Engkoh Tiong, Ding Tao, bagaimana menurutmu" Kuharap kau tidak keberatan
untuk menginap beberapa malam di rumah kami. Aku yakin ceritamu akan sangat menarik hati buat anak-anak muda di
sini. Jangan sungkan, meskipun sekali lagi aku katakan, aku sudah mengambil keputusan untuk menganggapmu bukan
bagian dari keluarga ini lagi. Tapi tetap aku berharap antara keluarga Huang dan dirimu bisa terjalin hubungan yang baik."
Dengan muka memerah Ding Tao mengangguk setuju, "Kalau Tuan besar Huang mengundang, tentu hamba tidak berani
menolak, tapi kalau kamar yang dulu masih kosong, biarlah hamba beristirahat di situ saja."
Tentu saja pada awalnya Tuan besar Huang tidak setuju jika Ding Tao hendak tidur di kamarnya yang dulu, di bagian
tempat para pelayan dalam. Tapi karena Ding Tao berkeras, akhirnya Tuan besar Huang pun menyetujuinya.
Tapi sebelum Ding Tao beristirahat di sana, Tuan besar Huang terlebih dahulu memerintahkan pelayan-pelayannya untuk
membersihkan ruangan itu dan mengisinya dengan perabot-perabot yang lebih baik.
Ding Tao sedang mengamati kamarnya yang lama dengan rasa haru, berbagai kenangan baik yang pahit maupun yang
manis singgah di benaknya. Setelah selesai melewati tanya jawab dengan Tuan besar Huang Jin, sebuah beban yang berat
dirasanya lepas dari pundaknya.
Apa yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi, kesalah pahaman dua tahun yang lalu bisa diluruskan dengan mudah,
bahkan bila menilik sikap dan perkataan Tuan besar Huang Jin, kesalah pahaman itu sendiri tidaj pernah ada.
Tiba-tiba barulah terasa, betapa penat tubuhnya. Melihat kasur yang empuk timbul keinginannya. Sudah dua tahun dia tidur hanya beralaskan kain, jangankan dengan kasur baru yang disiapkan Tuan besar Huang Jin, kasur kerasnya yang lama pun
sudah jadi satu kemewahan. Dengan satu hembusan nafas lega dia menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk.
Terbayang kehidupan gurunya yang tua, Gu Tong Dang, yang saat ini tentu masih saja tidur beralaskan kain dan beratap
ilalang. Dalam hati Ding Tao berjanji sesegera mungkin dia harus memberi kabar pada gurunya itu, seandainya saja dia bisa meyakinkan gurunya agar kembali pada keluarga Huang, tentu hidupnya akan jauh lebih baik dan tidak terlunta-lunta di
usia tuanya. Tapi untuk saat ini, lelah dan penat yang dirasakan mengalahkan segala macam pikiran yang ada. Sebentar memejamkan
mata Ding Tao segera terlelap dalam tidur.
Entah untuk berapa lama dia terlelap, tiba-tiba saja kesadarannya dihentakkan kembali ke alam sadar dengan suara
gedoran di pintu kamarnya disertai suara yang sudah sangat dikenalnya, "Ding Tao! Ding Tao! Ayo buka?"
"Ssst.. Adik Ying, jangan teriak-teriak. Bagaimana kalau dia sedang tidur, mungkin sebaiknya kita kembali saja nanti."
"Huuhh" jam segini tidur" Dulu dia tidak pernah malas, dua tahun keluyuran apa sekarang dia jadi pemalas?"
Sekali lagi pintu kamarnya digedor dengan keras, "Ding Tao! Baaanguuuuun !!!!"
"Astaga " orang mati pun bisa bangun lagi kalau teriakanmu seperti itu."
"Bagus malah, memang aku mau membangunkan Ding Tao yang tidur setengah mampus."
"Aih" Adik Ying."
Kemudian terdengar ketukan yang lebih perlahan dan panggilan yang jauh lebih sopan, "Saudara Ding, apa kau sudah
bangun" Ini aku Huang Ren Fu dan Ying Ying."
Senyum lebar terbit di wajah Ding Tao, sudah sejak tadi, mendengar percakapan mereka di luar hatinya merasa geli
sekaligus bahagia. Bisa dibayangkannya bagaimana Huang Ren Fu mati kutu mennghadapi adiknya yang nakal itu.
Secepat mungkin dia membenahi pakaiannya dan menjawab panggilan Huang Ren Fu, "Sebentar Tuan muda Huang, aku
akan sedikit beberes."
Ketika dibukanya pintu maka yang pertama kali menyambutnya adalah sebuah cubitan yang keras dari Huang Ying Ying,
"Bagus ya, sedari tadi kupanggil tidak kau jawab. Begitu Kakak Ren Fu yang memanggil kau bukakan pintu."
"Aduh" aduh nona, maafkan aku. Tadi memang aku sedang tertidur pulas, baru saja tersadar saat mendengar suara Tuan
muda Huang." "Huhh" jangan banyak alasan."
Sambil tersenyum kecut Ding Tao memberikan hormat pada kedua kakak beradik itu.
"Tuan muda Huang, nona muda Huang, senang sekali bertemu kalian lagi. Maafkan aku kalau sudah membuat keluarga
kalian banyak susah."
Huang Ren Fu yang memang terbuka tabiatnya dengan bercanda memukul dada Ding Tao, "Nah, apa sampai sekarang pun
kau masih memanggil kami dengan sebutan tuan muda dan nona muda" Sedikit-sedikit sudah kudengar kisahmu dari ayah,
sekarang kau menjadi tamu kami, jangan lagi panggil tuan dan nona, panggil saja Saudara Fu dan Adik Ying."
"Itu" sepertinya kurang sopan.", dengan sungkan Ding Tao bergumam.
"Kurang sopan apanya, Ding Tao apa kau mau kucubit lagi.", ancam Ying Ying dengan nada menggoda.
Huang Ren Fu yang melihat gaya adiknya tertawa, "Benar Ding Tao, kalau kau masih juga sungkan-sungkan, jangan
salahkan aku kalau nanti tubuhmu memar-memar. Adik Ying setelah mulai belajar ilmu pedang jadi tambah galak saja."
Dengan muka bersemu merah Ding Tao tertawa, "Eh" baiklah, jadi nona muda" maksudku Adik Ying sekarang juga belajar
ilmu pedang keluarga Huang?"
"Hmmm" heran ya" Makanya sekarang kau mesti lebih hati-hati kalau berbicara denganku. Aku ini kan gadis berbakat,
belajar apa saja tentu bisa. Jangan kau samakan dengan dirimu. Jurus dasar sudah aku selesaikan dalam 3 bulan pertama
dan sekarang jurus lanjutan sudah hampir selesai kupelajari."
"Adik Ying, jangan menyombong, apa tidak kau dengar kata ayah, dalam dua tahun ini Ding Tao sudah mendapat banyak
kemajuan.", kata Huang Ren Fu yang merasa geli terhadap kesombongan adiknya.
Peringatan kakaknya itu hanya dijawab dengan cibiran saja oleh Huang Ying Ying. Tapi baik Ding Tao maupun Huang Ren Fu
tidak merasa terganggu oleh ulah gadis muda itu, mereka mengenal dengan baik adat Ying Ying yang suka mengoceh dan
berulah tapi hangat dan bersahabat.
"Kakak Fu, aku sebenarnya ragu apa benar kata ayah, yang kuihat sih Ding Tao Cuma bertambah tinggiii saja. Benar tidak Ding Tao?", ujar Huang Ying Ying dengan kerling menggoda.
Ding Tao pun menggaruk kepalanya sambil tertawa geli, kemudian sahutnya dengan sopan, "Sebenarnya memang aku
sendiri meskipun merasakan adanya kemajuan tapi tidak begitu yakin juga dengan kemampuan yang sebenarnya."
"Apa sewaktu dalam perjalanan kau tidak pernah bertemu dan berkelahi dengan penjahat Ding Tao?", tanya Ying Ying
dengan penuh rasa keingin tahuan.
"Tidak, tidak juga, biasanya aku berpergian dalam satu rombongan besar, beramai-ramai dengan para pedagang dan orang
lain. Mereka ini biasanya sudah menyewa pengawal, jadi sepanjang perjalanan tidak banyak halangan."
"Aduh" membosankan sekali?", keluh Huang Ying Ying dengan manja, mulutnya cemberut, tapi bagi Ding Tao justru
membuat gadis itu makin menggemaskan.
Huang Ren Fu tertawa mendengar keluhan adiknya itu, "Jangan konyol, memangnya kaupikir setiap hari penjahat selalu
bermunculan di jalanan seperti dalam cerita silat yang kau baca?"
"Huuh, kalau tidak berkelahi lalu untuk apa belajar silat, membosankan sekali. Kalau tidak menghajar pantat penjahatpenjahat, lalu siapa yang harus kuhajar" Bukankah antara satu kota dengan kota yang lain masih banyak hutan dan gunung
yang terpencil?" "Hehehe, mungkin kau hajar saja pantatmu sendiri. Adik Ying, di tempat yang terpencil seperti itu memang terkadang ada
saja gerombolan penjahat, tapi biasanya kelompok pengawalan sudah menyiapkan pajak khusus buat mereka."
"Maksud Kakak, seperti ayah yang mengirimkan uang untuk Wang Dou itu ya?"
"Ya begitulah, Paman Wang Dou memiliki pengaruh yang cukup besar di sisi utara sungai, hampir setiap kelompok di sana
tidak ada yang berani macam-macam dengannya. Asalkan kita menjalin hubungan baik dengannya, kiriman barang
melewati daerah itu tentu akan aman-aman saja."
"Huh.. pengaruh apanya, maksud kakak, dia itulah gembong penjahatnya, kakek moyang maling dan perampok di sana."
Membicarakan Wang Dou, Huang Ying Ying jadi teringat cerita ayahnya tentang Ding Tao dan Wang Chen Jin, berbalik
melihat Ding Tao diraihnya tangan pemuda itu lalu dengan sungguh-sungguh dia berkata, "Ding Tao, aku sudah mendengar
cerita ayah tentang Wang si keparat itu. Sungguh kalau aku tahu dia selicik itu, tidak akan aku menerima
persahabatannya." Tangan Huang Ying Ying yang lembut dan hangat membuat Ding Tao berdebar-debar. Sambil berpura-pura tidak merasakan
apa-apa, dia berusaha menjawab, "Jangan berkata begitu nona" eh" Adik Ying. Aku sendiri tidak menduga dia akan
menyerangku secara demikian. Lagipula, mungkin itu terdorong oleh rasa?"
Tersadar Ding Tao bahwa dia hendak mengatakan,?" terdorong oleh rasa cemburunya."
Tapi cepat-cepat dia menghentikan kata-katanya, jangan-jangan nanti dia dianggap tidak tahu diri. Kalau bilang cemburu, bukankah itu berarti Ding Tao menafsirkan kebaikan Huang Ying Ying sebagai tanda cinta.
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu justru tidak menangkap apa-apa dari perkataan Ding Tao, Ding Tao sendirilah yang
terlalu banyak berpikir dan merasa. Huang Ying Ying yang mendengar Ding Tao tidak menyalahkan dirinya tersenyum
gembira. "Terima kasih Ding Tao, aku tahu sifatmu tidak picik dan suka mendendam. Tapi saat kudengar cerita dari ayah aku jadi
merasa bersalah sudah berteman dengan si licik Wang cilik itu."
"Aku juga Ding Tao, aku pun menyesal tidak bisa melihat kelicikan dalam diri pemuda itu.", sahut Huang Ren Fu dengan
sungguh-sungguh. "Tapi kata ayah, dari peristiwa itu, kau justru mendapat keberuntungan. Apa benar pedang pusaka milik keluarga Wang
jatuh ke tanganmu?", tanya Huang Ren Fu yang teringat lagi dengan cerita ayahnya.
Huang Ying Yiing yang juga merasa penasaran dengan kisah Ding Tao ikut mendesaknya. Tidak berapa lama kemudian, tiga
orang muda itu pun larut dalam percakapan yang seru. Atas desakan kedua bersaudara itu, Ding Tao sempat pula
memamerkan kehebatan Pedang Angin Berbisik yang bisa dengan mudahnya memotong kayu setebal paha orang dewasa.
-------------- o --------------Mereka bertiga tidak sadar, beberapa pasang mata sedang mengamat-amati ketiganya. Mereka itu adalah Huang Jin, Tuan
besar Huang Jin, kepala keluarga besar Huang. Tiong Fa, sepupu jauhnya yang sering dimintainya nasihat. Huang Ren Fang, putera pertama Huang Jin dan penerus yang diharapkan. Serta Huang Yunshu, paman Huang Jin, satu-satunya saudara
ayah Huang Jin yang masih hidup.
"Kalian lihat pedang itu" Menurut kalian apakah benar dugaan Gu Tong Dang bahwa pedang itu adalah Pedang Angin
Berbisik?", tanya Huang Jin dengan suara rendah.
Tiong Fa yang seringkali bertindak sebagai pencari berita bagi keluarga Huang mengangguk dengan yakin, "Aku cukup
yakin, pedang itu adalah Pedang Angin Berbisik. Karena menurut penyelidikanku pedang itu memang pada saat terakhir
jatuh ke tangan Wang Dou. Sayang belum sempat kita mengatur jerat di sekitarnya, justru anak Wang Dou merusakkan
setiap rencana kita dan menghadiahkan pedang itu pada si dungu itu."
"Hmph" benar-benar gemas aku kalau mengingat hal itu. Sungguh langit tidak punya mata, sekian tahun kita bekerja
keras, anak dungu itu justru mendapatkannya tanpa usaha."
Huang Jin meremas sekuntum bunga yang kebetulan ada di dekatnya sampai hancur lumat, wajahnya tidak lagi terlihat
ramah dan arif. Wajah ke empat orang yang lain tidak kalah menakutkan.
Lucu memang bila dipikirkan, sepertinya langit yang dipandang adil, menurut pandangan mereka haruslah adil dalam cara
yang sesuai dengan kepentingan mereka. Tidak teringat bahwa Ding Tao hampir mati malam itu. Tidak teringat pula alasan
Ding Tao menemui Wang Chen Jin malam itu adalah karena kesetiaannya pada keluarga Huang.
"Menurut Paman Yunshu, sebaiknya apa yang kita lakukan pada Ding Tao?"
"Hmm" tidak salah kita memilih Gu Tong Dang menjadi pelatih bagi bibit-bibit muda. Orang itu memang punya mata yang
jeli. Si dungu itu punya bakat yang bagus. Siang tadi saat aku memperhatikan cara dia berjalan memasuki ruangan, cara
dia berdiri tegap dan imbang di atas kedua kakinya. Anak dungu itu kukira cukup berisi."
"Jadi maksud paman, kita tarik saja dia kembali dalam keluarga Huang?"
Berdiam diri sejenak Huang Yunshu yang sudah memutih semua rambutnya itu perlahan-lahan menggeleng, "Tidak
semudah itu, anak itu" anak itu" terlalu lurus."
Sepertinya kata lurus itu berat sekali keluar dari mulutnya, sampai mati pun keluarga Huang memandang dirinya sebagai
aliran yang lurus. Menyebut Ding Tao sebagai orang yang lurus dan tidak bersesuaian dengan keluarga Huang, terasa
seperti memaksakan posisi sebagai penjahat pada keluarga Huang.
Karena itu diapun melanjutkan, "Sifatnya yang lurus terkadang tidak sesuai dengan keadaan. Untuk menggapai tujuan
besar, seseorang harus memiliki keteguhan hati untuk mengorbankan sesuatu. Bersikap cerdik di waktu yang dibutuhkan
dan anak itu tidak memilikinya sama sekali."
Tiong Fa ikut memberikan pendapat, "Bisa saja dia ditarik menjadi anggota keluarga Huang, tapi pedang itu harus
diserahkan pada kita. Tidak boleh kita menjadikan anak itu sebagai andalan. Karena selalu ada kemungkinan dia justru akan bangkit melawan kita kalau dilihatnya ada yang tidak sesuai dengan nuraninya."
Huang Jin mengelus-elus kumisnya yang tebal, "Hmmm" apakah menurutmu itu mungkin" Ding Tao menyerahkan
pedangnya dengan suka rela hingga kita bisa menariknya ke keluarga kita, sekaligus mendapatkan pedang itu?"
Sambil memandang ke arah Ding Tao di kejauhan, Tiong Fa tersenyum melecehkan, "Pemuda itu begitu dungu, saat ini dia
memandang keluarga Huang seperti memandang sekumpulan orang suci. Jika kita bisa memberikan alasan yang mulia, dia
akan menyerahkan pedang itu tanpa segan-segan sedikitpun."
Huang Ren Fang yang sedari tadi berdiam diri menyambung, "Selain itu, kulihat pemuda dungu itu jungkir balik jatuh cinta dengan Adik Ying."
Huang Jin yang mendengar hal itu melirik tajam ke arahnya, bagaimanapun Huang Ying Ying adalah puteri satu-satunya,
"Maksudmu kita mengumpankan adikmu untuk mendapatkan pemuda dungu itu?"
Dengan dingin Huang Ren Fang mengangkat bahunya, "Setiap perjuangan butuh pengorbanan, lagipula jika anak muda itu
sudah seperti mabok arak hanya karena tangannya menggenggam tangan Adik Ying, kukira bila kita memberikan harapan
lebih baginya, jangankan pedang, nyawanya pun mungkin akan diberikan."
Merasakan ayahnya kurang suka dengan pendapatnya itu, dia menambahkan, "Ayah tidak perlu cemas, belum tentu kita
perlu menikahkan Adik Ying dengan dirinya, cukup kita berikan dia harapan saja tanpa janji yang pasti."
Huang Yunshu yang mendengarkan pendapat cucunya dengan tenang ikut menyambung, "Sebagai seorang suami pun,
pemuda dungu itu tidaklah buruk, bakatnya bagus dan sifatnya, seperti yang sudah kukatakan, jujur dan setia."
Huang Jin yang mendengar pendapat pamannya itu mau tidak mau harus menerimanya, dengan mendesah dia pun setuju,
"Hahhh". Ya sudahlah, moga-moga saja anaknya tidak sedungu bapaknya. Tapi bagaimana jika dia masih menolak juga?"
Sejenak ketiga orang yang diajaknya berbicara itu saling melihat, lalu satu pikiran mereka mengangguk, "Tidak ada jalan lain, dia harus dibunuh, apa pun caranya."
Hening sejenak sebelum Tiong Fa berkata, "Tapi aku yakin, lidahku ini sudah cukup untuk membuat pemuda itu
menyerahkan pedangnya. Serahkan saja semuanya padaku saat jamuan makan malam nanti."
--------------------- o ---------------------Jamuan makan malam dilakukan dengan cukup sederhana, namun hampir seluruh anggota keluarga Huang diundang di
sana. Tidak kurang dari 30 orang ikut makan bersama, untuk itu sebuah meja yang panjang dan lebar sudah disediakan, di bagian kepala meja tentu saja duduk Tuan besar Huang Jin. Di kiri dan kanannya adalah Tiong Fa dan Huang Yunshu, kemudian
menyusul berturut-turut orang-orang kepercayaan Huang Jin.
Semakin jauh dari bagian kepala meja, semakin rendah dan muda dari segi umur yang duduk di sana. Ding Tao tidaklah
berada di ujung yang satu tapi tidak pula dekat dengan posisi Huang Jin. Tapi Ding Tao tidak merasa tersinggung, justru dia merasa senang karena di dekatnya adalah orang-orang yang hampir seumuran dengannya.
Tepat di sisi kanannya adalah Huang Ying Ying yang berceloteh tiada henti. Entah apa saja yang dibicarakan, tapi buat
telinga Ding Tao setiap cerita atau gurauan yang dilontarkan sangatlah menarik dan lucu.
Sepanjang acara makan bersama itu, senyum dan tawa tidak pernah lepas dari bibirnya.
Tentu saja hal itu tidak lepas dari perhatian Huang Jin, dalam hati dia terpaksa mengakui kebenaran kata-kata Huang
Yunshu dan putera sulungnya Huang Ren Fang. Hatinya sedikit terhibur melihat Huang Ying Ying sendiri tampaknya
menyukai Ding Tao dan sepanjang acara itu Ding Tao bersikap sangat sopan terhadap puterinya.
Karena itu diapun tidak terlalu gusar saat dia mendengar putera sulungnya menggoda Huang Ying Ying, "Adik Ying, kulihat Ding Tao itu orang yang sopan sekali, bisa dibilang cocok untuk menjadi suami seorang gadis sepertimu yang punya sifat
bengal." Godaan Huang Ren Fang itu kontan saja membuat muka Ding Tao memerah seperti kepiting rebus, Huang Ying Ying yang
biasanya tidak ambil peduli pendapat orang itu pun, entah kenapa malam itu sedikit berbeda. Meskipun mulutnya terbuka
tapi gadis nakal yang biasanya bisa cepat membalas godaan orang itu kali ini mati kutu.
Tentu saja melihat reaksi keduanya, orang-orang di sekitarnya pun jadi ikut menggoda.
Acara makan itu pun menjadi semakin meriah, tentu saja bukan melulu menggoda sepasang muda-mudi itu, soal lain pun
ikut dibahas. Antara lain tentang pengalaman Ding Tao selama dua tahun itu. Beberapa kali pemuda itu harus mengulangi
cerita yang sama tentang pertarungannya dengan Wang Chen Jin dan bagaimana Gu Tong Dang menyelamatkan nyawanya
di saat yang paling kritis.
Ketika Tiong Fa melihat bahwa hampir semua orang sudah berhenti makan, dia berdeham sejenak untuk menarik perhatian.
Saat perhatian semua orang tertuju padanya Tiong Fa menoleh ke arah Ding Tao dan dengan nada yang bersungguhsungguh dia bertanya, "Ding Tao, sebenarnya aku tidak ingin untuk menanyakan hal ini. Tapi sedari tadi siang, aku berpikir-pikir, tentang pedang itu. Apakah tidak lebih baik kau serahkan pedang itu pada keluarga Huang kami?"
Ruangan yang tadi riuh dengan percakapan tiba-tiba menjadi sepi, senyum lebar di wajah Ding Tao menghilang digantikan
wajah yang memucat. Seandainya saja pertanyaan diajukan tadi siang, saat dia baru bertemu dengan Tuan besar Huang Jin, mungkin Ding Tao
tidak sekaget sekarang. Bukan hanya Ding Tao yang terkejut, banyak orang muda yang ada di ruangan itu pun sama terkejutnya. Urusan ambisi
keluarga Huang dalam dunia persilatan dan sangkutannya dengan Pedang Angin Berbisik memang urusan yang dijaga
rahasianya baik-baik oleh Huang Jin dan orang-orang kepercayaannya.
Tiong Fa yang cerdik tentu saja sudah memperhitungkan hal ini. Sedari awal keluarga Huang memandang dirinya sebagai
bagian dari aliran yang lurus, jika sekarang Tiong Fa mengatakan dia ingin meminta pedang itu dari Ding Tao tanpa bisa
memberikan alasan yang kuat, tentu seluruh tokoh dunia persailatan akan memandang mereka sebagai sampah.
Termasuk orang-orang dalam keluarga Huang sendiri, utamanya mereka yang masih berusia muda dan idealis.
"Ding Tao, janganlah kau salah mengerti, pendapatku ini bukanlah didasari ambisi pribadi."
Berdiam diri sejenak Tiong Fa memandang ke sekeliling ruangan, "Aku lihat di sini yang ada di sini, semuanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Aku juga yakin Ding Tao cukup bijaksana untuk merahasiakan tentang keberadaan pedang yang
ada di tangannya itu."
Setiap orang menatap ke arah Tiong Fa dengan wajah serius, hanya seorang yang sedikit berbeda, yaitu si nakal Huang Ying Ying. Mukanya sedikit memerah sambil menggigit bibir bawahnya.
Bagaimana tidak malu, gadis nakal ini yang paling susah menahan bicara, dalam hati dia bersyukur, untung tadi siang saat hendak menemui pengasuhnya dan menceritakan tentang pengalaman Ding Tao, ayahnya keburu memanggil dia ke ruang
latihan. Coba kalau tidak, pasti dia sudah menceritakan soal pedang itu pada bibi pengasuhnya, yang tidak kalah bawel dan suka bergosip.
Dalam keadaan seperti itu, wajah gadis itu sendiri sebenarnya jadi semakin manis dan menggoda, sayang tidak seorangpun
di ruangan itu tidak sempat mengaguminya. Apalagi Ding Tao yang saat itu merasa seperti sedang ditodong dengan pedang
tepat di atas jantungnya.
"Tapi satu hal yang perlu diingat, serapat apapun rahasia itu ditutup, satu saat akan terbongkar juga. Ding Tao tidak
tahukah dirimu ada berapa banyak tokoh dalam dunia persilatan yang berusaha mengendus jejak dari pedang di tanganmu
itu?" "Selama kau memegang pedang itu, selama itu pula nyawamu terancam. Tapi itu bukan satu-satunya alasanku untuk
memintamu meninggalkan pedang itu dalam pengawasan keluarga Huang."
"Alasan lainnya adalah masalah Sekte Matahari dan Bulan yang diketuai Ren Zuocan. Mungkin kau belum tahu, satusatunya yang membuat takut iblis itu adalah pedang di tanganmu itu, sebelum dia berhasil memusnahkan atau
mendapatkan pedang itu dia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang."
"Kekuasaannya dan kekuatannya secara pribadi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Banyak anggota dunia persilatan
yang diam-diam sudah bersumpah setia kepadanya. Bukan hanya dunia persilatan yang berada dalam bahaya, tapi juga
negara kita secara keseluruhan. Bayangkan saja jika dedengkot barbar itu berhasil menguasai dunia persilatan daratan,
berapa lama sebelum pasukan mereka akan menyeberangi perbatasan dan menjarah rumah-rumah kita?"
Mendengar kata-kata Tiong Fa yang penuh semangat patriotisme, wajah-wajah yang sebelumnya mengerutkan alis
sekarang mengangguk-angguk setuju.
Termasuk Ding Tao sendiri.
"Karena itu Ding Tao, dengan berat hati dan memendam rasa malu, aku memintamu untuk menyerahkan pedang itu ke
dalam pengawasan keluarga Huang. Bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena rasa sayangku padamu dan juga
kewajibanku pada negara dan tanah air."
Hebat benar lidah licin Tiong Fa, sudah dari jaman dulu kala, ada saja orang-orang yang berlidah licin selicin ular, yang dengan kemampuannya berbicara dan bersandiwara mampu memikat hati pendengarnya. Apalagi pemuda-pemuda yang
tidak berpengalaman itu. Apalagi yang mengucapkan adalah orang yang mereka hormati di hari-hari biasa, tidak sebetik
pun terlintas dalam pikiran mereka bahwa kata-kata yang manis dan penuh semangat itu, tidak lebih dari arak wangi yang
menyembunyikan amisnya racun keji.
Begitu hebatnya kata-kata, bahkan yang mengucapkan sendiri ikut terbuai olehnya. Dalam bayangan Huang Jin dan orangorang kepercayaannya, ada sebagian dari diri mereka yang menghibur hati dengan pembelaan itu, Meskipun jauh di dalam
lubuk hati mereka, mereka tahu bahwa ambisi pribadi dan keserakahan adalah motivasi penggeraknya.
Padahal mereka semua adalah orang yang mengerti bahkan beberapa di antaranya sangat taat dalam beragama. Ada yang
menekuni agama Buddha ada pula yang menekuni ajaran Konfusius. Lalu mengapa keserakahan masih menguasai hati
mereka" Mengapa mereka tega untuk mengorbankan orang lain demi ambisi pribadi mereka"
Bagaimana bisa seorang tabib menyembuhkan si sakit, jika si sakit itu sendiri tidak mau menyadari sakitnya"
Sungguh celaka orang yang sudah menipu dirinya sendiri, sesungguhnya kecerdikan mereka justru menjadi jerat bagi
jiwanya sendiri. Perhatian setiap orang sekarang beralih pada Ding Tao, Ding Tao yang merasakan tatapan setiap orang pada dirinya
menjadi salah tingkah. Teringatlah dia pada kata-kata gurunya, pada sumpah yang pernah dia ucapkan, meskipun gurunya
membatalkan sumpah itu. Pemuda ini tidak meragukan sedikitpun ketulusan Tiong Fa, bahkan dalam hatinya dia justru
meragukan kemampuannya sendiri.
Seandainya saja malam itu Gu Tong Dang tidak memberikan nasihat dan perintah demikian, mungkin saat itu juga, Pedang
Angin Berbisik sudah diserahkannya pada Tiong Fa.
Beruntung bagi Ding Tao, gurunya bukan orang yang masih hijau, gurunya cukup mengenal orang-orang yang ada dalam
kelompok pimpinan keluarga Huang. Sehingga sebagai bekal bagi Ding Tao, telah dinasihatkannya dengan sungguhsungguh pada pemuda itu untuk mempertahankan kepemilikannya atas pedang itu.
Gu Tong Dang sadar dia tidak bisa menahan Ding Tao untuk tidak menemui keluarga Huang tanpa membuat getir hati
muridnya dan dia cukup bijaksana untuk memahami bahwa seorang guru ataupun orang tua, pada satu titik tidak bisa lagi
terus menerus melindungi anak atau muridnya.
Ada saatnya rajawali muda harus belajar terbang dan mencari makan sendiri, meskipun untuk itu dia bisa saja terluka atau bahkan mati di dunia yang keras.
Karena itu dilepaskannya Ding Tao pergi ke sarang serigala, segala bekal yang bisa dia berikan sudah diberikan, sisanya ada pada diri Ding Tao sendiri dan kehendak langit.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam nun jauh di sana, guru tua itu berdoa dengan khusyuknya, demi keselamatan murid yang dia kasihi, tidak ada
lain lagi yang bisa dia lakukan sekarang.
Dengan suara sedikit gemetar Ding Tao menjawab, "Maafkan aku Tetua Tiong, tapi dengan sesungguhnyalah aku tidak bisa
memberikan pedang ini kepada keluarga Huang?"
Suara bisik-bisik pun memenuhi ruangan itu, mereka yang tadinya tidak puas pada permintaan Tiong Fa, sekarang berbalik
tidak puas pada jawaban Ding Tao. Tapi pemuda itu bukanlah Tiong Fa yang pandai bersilat lidah, dengan wajah merah
padam dia hanya bisa berdiam diri dan menekuri pedang yang ada di hadapannya.
Tiong Fa pun berkerut alisnya, jawaban Ding Tao sedikit di luar dugaannya, namun Tiong Fa yang cerdik ini yakin
sepenuhnya pada kemampuannya menilai seseorang, karena itu dia tidak cepat menjadi gugup atau marah.
"Anak Ding, mengertikah kau dengan uraianku sebelumnya" Sebenarnya apa yang kau cari dengan pedang itu" Apakah kau
menginginkan ketenaran" Kekayaan?"
Menggeleng Ding Tao mendengar pertanyaan itu, "Bukan Tetua Tiong, sungguh bukanlah demikian maksudku. Sebenarnya
sebelum aku pergi, guru, telah menceritakan hal ihwal pedang ini terhadapku dan pesannya yang selanjutnya adalah agar
aku mengemban tugas, melenyapkan Ren Zuocan dengan menggunakan pedang ini."
Atas jawaban Ding Tao ini bermacam-macam reaksi yang muncul. Ada sebagian yang mengagumi kegagahan pemuda itu,
apalagi mereka sudah mengenal kejujuran Ding Tao dan tanpa ragu lagi meyakini ketulusan kata-katanya.
Tapi ada juga mereka yang menjadi kurang puas dan merasa pemuda itu terlalu sombong atau setidaknya sudah salah
menilai dirinya sendiri. Tiong Fa tersenyum dalam hatinya, mendengar jawaban Ding Tao, maka jelas baginya, tidak ada kesalahan dalam
penilaiannya atas diri pemuda itu. Diam-diam dia memaki kelicinan Gu Tong Dang.
Siapa sebenarnya yang licin Gu Tong Dang atau dirinya" Tentu saja buat Tiong Fa, Gu Tong Dang-lah yang licin dan licik, sedangkan dirinya adalah cerdik dan bijak. Tapi dia tetap tertawa dalam hati, menertawakan kebodohan Gu Tong Dang,
karena sekarang dia melihat sebuah celah yang bisa dimasukinya.
"Ding Tao, sungguh aku hargai keberanian dan tekadmu, tapi tahukah kau siapa itu Ren Zuocan" Mungkin kau pikir satusatunya ilmu andalan Ren Zuocan itu adalah ilmu kebalnya dan dengan pedang di tanganmu itu kau akan mampu
menembusnya." "Jangan salah nak, bukan hanya ilmu kebal, tapi Ren Zuocan itu gudangnya ilmu. Dia memiliki ilmu pukulan, tenaga dalam
dan ilmu tombak yang tidak kalah menggiriskannya dari ilmu kebalnya yang terkenal. Jika bukan demikian, tentu orang
dunia persilatan tidaklah begitu gentar padanya."
Wajah Ding Tao yang sudah merah, semakin memerah, tentu saja dia mengetahui semua hal itu. Sekali lagi jika bukan
karena pesan gurunya tentu pedang itu sudah dia serahkan sekarang, tapi terngiang-ngiang di benaknya perkataan
gurunya, "Kaulah yang pantas menjadi pemilik pedang itu."
Tiong Fa yang melihat bahwa kata-katanya sudah mulai menjerat Ding Tao melanjutkan, "Nak, mungkin saja kau tidak
takut kehilangan nyawa dalam usahamu untuk menggenapi tugas yang diberikan oleh Pelatih Gu padamu, tapi tidakkah kau
bayangkan, apa yang akan terjadi jika kau gagal" Bukan saja kau akan kehilangan nyawa, tapi pedang itu akan jatuh ke
tangan Ren Zuocan, bagaikan harimau tumbuh sayapnya. Jika sekarang saja kita harus bersusah payah untuk membendung
ambisinya, kalau pedang itu sampai jatuh ke tangannya, apa yang bisa kita lakukan?"
"Apakah kita semua haris beramai-ramai menyerahkan nyawa padanya?"
Ding Tao pun semakin terdesak oleh argumentasi Tiong Fa, sampai akhirnya dengan terbata-bata dan suara yang hampirhampir tidak terdengar dia berkata, "Tapi" tapi" ah" "
"Tapi menurut guru, aku bisa melakukannya dan" kemampuanku sudah cukup untuk mempertahankan pedang ini."
Setelah berkata demikian pemuda itu menundukkan kepala, tidak berani untuk melihat ke kiri dan kanan. Tak sampai hati
dia untuk berkata bahwa Gu Tong Dang percaya bahwa dari antara seluruh tokoh dunia persilatan, dialah yang pantas
memiliki pedang itu. Tapi perkataannya tadi itupun sudah cukup menyiratkan hal itu.
Ruangan itupun jadi penuh dengan suara riuh rendah, mereka yang tadinya bersimpati pada Ding Tao pun merasa bahwa
pemuda itu sudah keterlaluan memandang tinggi dirinya. Apalagi mereka yang sejak tadi sudah merasa tidak puas dengan
sikap Ding Tao, tanpa segan-segan mereka mengemukakan pendapatnya.
Ding Tao yang menunduk, semakin saja menunduk. Entah apa di antara pembaca pernah merasakan hal yang demikian,
merasa melakukan sesuatu yang memalukan di hadapan banyak orang. Sampai rasanya ingin bumi terbelah menjadi dua
dan menelan kita lenyap dari permukaan bumi.
Yang seharusnya merasa malu tidak merasa malu, bahkan bersorak dalam hati. Yang tidak perlu merasa malu justru
merasa malu. Dalam keadaannya yang serba getir itu, tiba-tiba Ding Tao merasakan satu sentuhan lembut pada tangannya yang
tersembunyi di bawah meja.
Terkejut dia menoleh sekilas ke arah Huang Ying Ying dan dilihatnya gadis itu memandang dirinya penuh simpati, terasa
pula bagaimana tangan gadis itu meremas tangannya, seakan memberikan semangat baginya untuk bertahan.
Ding Tao merasa sedikit keberaniannya kembali muncul, tidak lagi dia merasa sesengsara seperti tadi. Meskipun dia masih merasa malu kepada anggota keluarga Huang yang lain.
Tiong Fa membiarkan saja keriuhan itu terjadi, dibiarkannya keadaan itu mengendap dalam perasaan setiap orang.
Setelah dia merasa cukup menanamkan racun itu di hati setiap orang, dia mengangkat tangannya, "Tahan sebentar,
cobalah tenang. Kita harus menghargai sikap Ding Tao, sebagai salah seorang tetua dalam keluarga Huang, aku berharap
setiap generasi muda dalam keluarga Huang mengambil sikap Ding Tao terhadap perintah gurunya itu sebagai satu
teladan." Inilah hebatnya Tiong Fa, dengan satu kalimat dia berhasil menampilkan dirinya sebagai seorang yang arif, bijak dan barhati besar. Bahkan memenangkan hati Ding Tao yang sebenarnya justru sudah menjadi korban lidahnya yang beracun.
Menunggu suasana mereda, Tiong Fa sekali lagi mengajak Ding Tao berbicara, "Anak Ding, sebenarnya aku merasa malu
untuk mengajukan usul ini. Orang mungkin akan menganggap aku sebagai golongan yang lebih tua menekan yang muda."
Tentu saja sebenarnya memang itu yang sedang dia lakukan, tapi setelah kata-katanya yang sebelumnya siapa dalam
ruangan itu yang berpikir demikian"
"Tapi karena rasa kewajibanku pada bangsa dan negara, mau tidak mau aku mengajukan usul ini. Kau berteguh hati hendak
mempertahankan pedang itu karena gurumu telah berpesan bahwa kau memiliki kesanggupan untuk melindungi pedang itu.
Jika hal itu benar, tentu akupun tidak berkeberatan. Tapi bagaimana jika dia salah menilai dirimu?"
"Karena itu bagaimana kalau sekarang kita melakukan saut pertandingan persahabatan, antara dirimu, dengan orang-orang
dalam keluarga Huang. Jika kau berhasil mengalahkan kami, maka itu berarti kau memang memiliki kemampuan yang lebih
dari kami untuk melindungi pedang itu. Tapi jika tidak, kukira kaupun tidak berkeberatan untuk mempercayakan
pengawasan pedang itu pada keluarga Huang."
Sebenarnya usulan Tiong Fa ini tentu saja jauh dari adil. Untuk membuktikan dirinya Ding Tao tentu harus melayani orang-orang dari keluarga Huang sendirian. Di mana letak keadilannya" Tapi bila mengikuti argumentasi Tiong Fa, tentu saja
orang jadi dibuat setuju oleh pendapatnya.
Dengan menggigit bibir akhirnya Ding Tao pun mengangguk setuju, "Tetua Tiong, sebenarnya aku merasa malu, tapi kurasa
itulah jalan yang terbaik. Sehingga jika nanti kuserahkan pedang ini ke dalam pengawasan keluarga Huang, bukan berarti
aku melanggar pesan guruku. Namun memang keluarga Huang lebih pantas untuk menyimpannya."
Demikianlah dengan kelicinan lidahnya Tiong Fa berhasil mengatur panggung sandiwara, di mana setiap orang berhasil
dimainkan menurut kemauannya.
Huang Jin, Huang Yunshu dan Huang Ren Fang, serta beberapa orang kepercayaan keluarga Huang yang lain, yang
mengetahui tentang rencana ini, mengangguk-angguk dengan puas. Dalam hati mereka bersyukur ada orang macam Tiong
Fa dalam keluarga mereka. Bersyukur tapi juga bergidik, ketika membayangkan bila Tiong Fa justru berdiri di pihak lawan.
Pertandingan persahabatan itu dilakukan di ruang latihan, selain mereka yang hadir pada jamuan makan malam itu, tidak
ada yang lain yang hadir di sana.
Tiong Fa sendiri sudah mengatur siapa-siapa yang hadir dalam jamuan makan malam itu. Selain putera dan puteri Huang
Jin, anak-anak muda yang lain adalah bibit-bibit muda yang berbakat dari keluarga Huang. Lalu kemudian mereka yang
sudah berpengalaman di dunia persilatan dan merupakan orang pilihan dalam keluarga Huang. Dan kelompok terakhir tentu
saja Huang Jin dan orang-orang kepercayaannya.
Pendek kata, tanpa disadari orang lain, Tiong Fa sudah mengatur agar segenap kekuatan keluarga Huang berkumpul malam
itu. Huang Ying Ying mungkin bisa dijadikan perkecualian, tapi bahkan kehadirannya sebagai puteri Huang Jin pun bisa
dimanfaatkan Tiong Fa sebaik-baiknya. Dalam rencana yang ada di angan-angannya sudah terbayang, bagaimana Ding Tao
akhirnya akan tunduk di tangan salah satu jagoan keluarga Huang.
Dia sudah membayangkan kata-kata penghiburan yang akan diucapkan, lalu dengan sedikit dorongan dia akan
menempatkan Huang Ying Ying sebagai penghibur dan perawat Ding Tao. Dalam sekali jerat, bukan hanya pedang
didapatkan tapi keluarga Huang pun akan mendapatkan satu kekuatan lagi.
Tentu saja, kalau nanti ternyata Ding Tao keok di tangan anggota terlemah yang hadir malam itu, Tiong Fa akan
membalikkan keadaan. Si cantik Huang Ying Ying, baginya terlalu berharga jika hanya digunakan untuk menggaet jagoan
kelas kambing. Suasana di ruang latihan itu jadi sedikit menegangkan, meskipun tadinya banyak yang memandang Ding Tao sudah terlalu
sombong setelah dua tahun menghilang. Setelah mereka siap untuk berhadapan dalam satu pertarungan, mau tak mau
mereka mulai bertanya-tanya, apakah bukan mereka yang kelewat tinggi menilai diri sendiri.
Ding Tao sendiri justru mendapatkan ketenangannya di ruang latihan itu. Baginya tidak ada masalah apakah dirinya akan
menang atau kalah saat itu.
Ding Tao yang sudah dibuat percaya penuh pada kemuliaan hati para pemimpin keluarga Huang, tidak melihat adanya masalah jika pedang itu jatuh ke tangan mereka. Jika sampai dirinya yang memenangkan pertandingan itu"
Yah, sejujurnya Ding Tao sendiri tidak pernah berpikir bahwa dia akan memenangkan pertandingan itu, meskipun dia
berharap juga bahwa setidaknya dia bisa memenangkan beberapa pertarungan agar gurunya tidak menjadi malu sudah
mendidik dia sebagai murid.
Inilah pertarungan yang pertama sejak dua tahun yang silam. Ada juga dalam hatinya rasa penasaran dan ingin menguji,
sebenarnya sudah sejauh mana kemajuannya dalam menekuni ilmu bela diri.
Karena itu wajah-wajah yang tegang dari orang-orang muda dalam keluarga Huang, tampak begitu kontras dengan wajah
Ding Tao yang tenang, dan penampilannya yang tenang ini tentu saja membuat banyak perasaan yang hadir di situ semakin
bergetar. Terutama mereka yang belum mempunyai keyakinan penuh atas kemampuannya sendiri.
Perlahan-lahan Tiong Fa mengedarkan pandangannya ke sekeliling arena. Kali ini Tiong Fa memang berperan sebagai
sutradaranya, bahkan Huang Jin yang menjadi kepala dari keluarga Huang pun tidak ikut memberikan masukan sedikitpun,
karena dua alasan. Yang pertama, dia percaya penuh pada kelicinan Tiong Fa, dalam hatinya Huang Jin mengakui bahwa kecerdikan orang
kepercayaannya ini ada di atas kecerdikannya sendiri. Seandainya pernah timbul sedikit saja kecurigaan dalam hatinya atas kesetiaan Tiong Fa, Huang Jin tidak akan segan-segan untuk menghabisi nyawanya.
Tapi baik Tiong Fa maupun Huang Jin cukup cerdik untuk mengetahui bahwa mereka berdua saling membutuhkan. Tiong Fa
membutuhkan kekuatan Huang Jin dan Huang Jin membutuhkan kecerdikan Tiong Fa, kesadaran inilah yang membuat
keduanya bisa berjalan dengan penuh "persahabatan" hingga puluhan tahun berselang.
Alasan yang kedua adalah, seandainya ada kesalahan perhitungan, apa pun itu, Huang Jin tidak mau namanya ikut jadi
tercemar. Pada saat terakhir dia masih bisa melemparkan kesalahan itu pada pundak Tiong Fa, meskipun tidak seluruhnya.
Pandangan mata Tiong Fa jatuh pada seorang anak muda yang menjadi juara dalam ujian kelulusan 6 tahun yang lalu.
Dengan anggukan kepala dia memberikan perintah pada anak muda itu untuk maju ke depan, menjadi kelinci percobaan
untuk menguji sejauh mana kemajuan ilmu Ding Tao.
Feng Xiaohong nama anak itu, dalam umur 12 tahun dia berhasi lulus sebagai peserta terbaik, otaknya encer dan cepat
menyerap setiap pelajaran.
Kalau ada kekurangannya, maka itu terletak pada sifatnya yang cepat puas diri. Guru-gurunya harus menyesuaikan
kecepatan pelajaran yang baru dengan kemampuannya menyerap pelajaran. Mungkin ini salah satu kelemahan orang yang
berotak encer, justru karena dia lebih cepat dalam memahami sesuatu, maka cepat pula dia ingin mempelajari yang baru.
Berbeda dengan Ding Tao yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyelami kegunaan beberapa jurus hingga ke
dasar-dasarnya. Feng Xiaohong ini melahap ratusan jurus dalam waktu yang sama.
Tiong Fa tentu saja tahu kelemahan Feng Xiaohong, tapi seperti biasa otaknya yg cermat selalu bekerja tidak tanggungtanggung, dua sasaran yang dia inginkan. Melihat tingkat kemajuan Ding Tao, dan itu dapat dinilainya dengan
menghadapkan Ding Tao dengan Feng Xiaohong yang berpengetahuan luas meskipun agak dangkal.
Dan sasaran yang kedua, adalah menyadarkan Feng Xiaohong akan perlunya menekuni dan menyelami jurus-jurus yang
sudah dia pelajari. Dua pemuda itu pun mulai berhadapan, Feng Xiaohong bukan orang bodoh, dia sempat melihat pertarungan antara Wang
Chen Jin dengan Ding Tao, di mana variasi serangan Wang Chen Jin akhirnya berhasil dimentahkan oleh balasan Ding Tao
yang sederhana namun tepat.
Bahkan pertarungan itu sempat membangkitkan minatnya untuk kembali menelaah setiap jurus yang sudah dia pelajari.
Tapi ibaratnya jika Ding Tao menyelam sampai ke dasar lautan dan mengamati seluruh isinya. Feng Xiaohong sudah merasa
puas, ketika dia merasa sudah melihat dasarnya.
Sebuah jurus yang indah segera dilancarkan oleh Feng Xiaohong, pedang kayunya bergerak membuat lingkaran serangan.
Dengan cerdiknya disisakannya lubang di antara serangan itu.
Jika Ding Tao bergerak menghindar maka serangan susulan akan terus menerus mengikutinya. Jika Ding Tao termakan
siasat itu dan berusaha membalas menyerang menggunakan lubang pertahanan yang sengaja disisakan, maka sebuah
serangan mematikan sudah disiapkan oleh Feng Xiaohong.
Pedangnya akan berbalik mengurung jalan keluar Ding Tao sementara pukulan tangannya akan melancarkan serangan yang
mematikan. Ini adalah salah satu jurus tingkat tertinggi yang boleh dipelajari oleh orang yang tidak berhubungan darah dengan keluarga Huang. Tiong Fa merasa puas melihat keputusan Feng Xiaohong, dia sendiri tentu saja akan mampu memecahkan kepungan
itu, terutama berlandaskan himpunan tenaganya yang sudah terpupuk jauh lebih lama.
Tapi apakah Ding Tao mampu memecahkan jurus serangan itu"
Pada gebrakan pertama Ding Tao bergerak menyurut ke belakang, mereka yang sedang mengamati pertandingan itu
melihatnya dengan berbagai tanggapan. Bagi mereka yang berada di tingkat terbawah, jurus yang dikeluarkan Feng
Xiaohong adalah jurus pamungkas dari bagian lanjutan yang diajarkan pada mereka yang tidak memiliki pertalian darah
dengan keluarga Huang. Sudah tentu, bagi mereka jurus ini adalah jurus yang tidak terpecahkan, bagi mereka Ding Tao yang belajar dari Gu Tong
Dang adalah sama dengan mereka. Bagi Ding Tao tentulah jurus ini adalah jurus serangan yang pamungkas, tidak
terpecahkan. Bagi mereka, masalahnya hanyalah siapa yang lebih cepat mengambil inisiatif, siapakah yang lebih mahir dalam menyerang
dan siapakah yang lebih kuat.
Dia yang lebih cepat mengambil inisiatif akan mengambil keuntungan, dia yang lebih mahir akan lebih sedikit menyisakan
lubang kelemahan dan dia yang lebih kuat akan memiliki kemungkinan untuk mengacaukan jebakan yang disusun lewat adu
kekuatan. Bagi mereka yang setingkat di atasnya, mereka yang sudah berpengalaman dan sedikit banyak mencicipi satu atau dua
jurus simpanan keluarga Huang. Jurus serangan Feng Xiaohong bukanlah jurus yang tidak terpecahkan.
Setelah mengikut sekian lama dan berkelana sekian lama di dunia persilatan, akhirnya mereka pun bisa melihat dan menilai jurus pamungkas yang menjadi milik mereka selama dalam pelatihan. Mereka ini sudah banyak yang mengembangkan
sendiri jurus-jurus yang ada berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami.
Tentu dengan warna dan bentuknya masing-masing, sesuai dengan bakat dan pengalaman yang unik dari tiap orang.
Mereka ini memandang dengan waspada dan penuh rasa ingin tahu, apakah Ding Tao pun sudah berhasil memecahkan
jurus itu" Kalau iya, dengan cara apa pemuda itu akan melakukannya"
Lalu bagi mereka yang memiliki pertalian darah dengan keluarga Huang serta telah menamatkan keseluruhan ilmu keluarga
Huang, kelemahan dan pemecahan jurus serangan Feng Xiaoho sudahlah jelas dan bagi mereka itulah cara yang terbaik.
Dengan pandangan dingin mereka menunggu untuk melihat sejauh mana Ding Tao berhasil mendalami jurus-jurus keluarga
Huang yang sempat dia pelajari lewat Gu Tong Dang.
Terutama mereka yang dekat dengan para pimpinan, karena menghilangnya Ding Tao sudah menjadi salah satu perhatian
mereka, Tiong Fa yang menyebarkan para mata-matanya dengan yakin menyatakan bahwa jejak Ding Tao tidak ditemui di
perguruan silat atau tokoh persilatan yang mana pun. Itu berarti satu-satunya sumber Ding Tao adalah ilmu bela diri
keluarga Huang. Permasalahannya tinggal sejauh mana pemuda itu mampu mendalami dan mengembangkannya. Ini sangat menarik bagi
mereka, karena dari sini mereka bisa menilai seberapa tinggi bakat yang dimiliki Ding Tao.
Tapi gerakan Ding Tao yang berikutnya membuat semua orang terpana. Seperti yang sudah diduga, bila Ding Tao bergerak
menghindar, maka itu akan berarti gerakan pedang Feng Xiaohong akan mengejar dan berusaha membuat kedudukan Ding
Tao semakin buruk. Bila pada gebrakan pertama Ding Tao bergerak menyurut mundur, demikian pula pada gebrakan kedua dan ketiga. Tapi
menginjak serangan ketiga dan seterusnya, pedang Ding Tao ikut bergerak bersamaan dengan gerak mundurnya.
Gerakan pedang Ding Tao tidaklah cepat atau kuat, tapi tepat seirama dengan gerakan pedang Feng Xiaohong, dalam
beberapa gebrakan yang terjadi mengejutkan setiap orang, pedang Ding Tao bagaikan menempel pada pedang Feng
Xiaohong. Tidak ada yang lebih jelas tentang apa yang dilakukan Ding Tao selain Feng Xiaohong sendiri. Jika pedang Feng Xiaohong
bergerak ke kanan, maka pedang Ding Tao akan tepat mendorong pedang Feng Xiaohong lebih jauh ke kanan. Jika bergerak
ke kiri maka demikian pula pedang Ding Tao seakan menempel dan ikut mendorong pedangnya ke kiri.
Dalam waktu singkat gerakan Feng Xiaohong menjadi kacau balau, keringat dingin keluar, pedang Ding Tao bagaikan
bayangan hantu. Bahkan ketika dia berusaha melepaskan diri dengan mundur, pedang itu terus mengikutinya. Menempel
dan tidak pernah lepas. Kali ini Feng Xiaohong-lah yang bergerak mundur dan menghindar, sementara Ding Tao bagaikan lintah melekat erat atau
bagai hantu dan arwah yang membayangi Feng Xiaohong.
Memucat wajah setiap orang yang menyaksikan hal itu, tidak seorangpun dari mereka yang bisa membayangkan hal itu
akan terjadi. Bukan kenyataan bahwa Ding Tao bisa mengalahkan Feng Xiaohong, akan tetapi cara Ding Tao mengalahkan
Feng Xiaohong yang jauh di luar dugaan mereka.
Tidak lama setelah Ding Tao berhasil menggerak Feng Xiaohong mundur, Ding Tao berhasil menekan pedang Feng Xiaohong
hingga terlepas dari tangannya, ujung pedang Ding Tao pun berakhir di depan tenggorokan Feng Xiaohong.
Tidak perlu juri untuk menentukan siapa pemenangnya, bahkan tidak perlu menunggu pedang Ding Tao mengancam
tenggorokan Feng Xiaohong untuk tahu siapa pemenangnya, sejak Ding Tao berhasil menempel pedang Feng Xiaohong
akhir dari pertandingan itu sudah bisa ditebak.
Dengan muka merah dan pucat berganti-ganti Feng Xiaohong pun mengakui kekalahannya dengan badan lemas bercampur
kagum, "Aku mengaku kalah" Ding Tao?"
"Jangan dipikirkan Saudara Feng, hanya sedikit keberuntungan di pihakku. ", hibur Ding Tao sambil balas membungkuk
dengan hormat. Cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong, ucapannya, bisa saja ditangkap sebagai kesombongan atau penghinaan, tapi
bila melihat ekspresi wajahnya yang tulus dan jujur. Dari tiap kata dan gerak-geriknya bisa tertangkap ketulusan dan niat yang bersahabat.
Feng Xiaohong pun tersenyum, pemuda ini memang sering memandang tinggi dirinya sendiri, tapi dia bukan pula orang
yang sempit hatinya. Dia memang tidak sungkan-sungkan untuk mengunggulkan bakatnya dibandingkan bakat orang lain,
tapi tidak malu-malu juga untuk mengagumi orang lain yang lebih berbakat dari dirinya.
"Jangan bodoh, kalah dengan cara begini sudah tentu bukan masalah keberuntungan. Selamat Saudara Ding, tidak
kusangka ada juga cara seperti itu.", ujarnya dengan sungguh-sungguh dan senyum di bibir.
Senyum pun merekah di wajah Ding Tao, alangkah menyenangkan bisa melakukan pertandingan persahabatan, menguji diri
sendiri, menambah pengalaman, mencoba hal-hal yang baru dan lebih-lebih lagi mendapatkan sahabat baru.
Dia pernah hidup selama 18 tahun di keluarga Huang, sudah tentu cukup lama juga dia mengenal Feng Xiaohong. Tapi Feng
Xiaohong yang tinggi hati ini tidak memandang sebelah mata pada dirinya yang dianggapnya dungu. Bukan menghina,
hanya seakan-akan tidak ada orang yang bernama Ding Tao di dunia Feng Xiaohong.
Tapi kali ini Feng Xiaohong memandang dirinya dengan penuh persahabatan.
Tiong Fa yang sempat terkejut melihat cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong dengan cepat menguasai hatinya.
Otaknya berputar cepat, bakat Ding Tao jelas berada di luar dugaannya, tapi dia masih yakin pada akhirnya Ding Tao akan kalah. Permasalahannya sekarang siapa yang harus ditunjuknya.
Jika orang berikutnya kalah dengan cara yang sama mengenaskannya, moral dari keluarga Huang bisa semakin terpuruk.
Tapi jika terlalu cepat dia mengajukan jago-jago keluarga Huang, dia akan kehilangan keuntungan yang dia miliki dari segi jumlah.
Sebisa mungkin Tiong Fa ingin agar tenaga Ding Tao terkuras saat harus menghadapi lawan yang sesungguhnya. Tadinya
dia berpikir salah satu dari mereka yang bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan dapat melakukan hal itu.
Mungkin Wei Mo yang sering bertugas mengawal barang-barang kiriman keluarga Huang ke daerah yang berbahaya, sudah
beberapa kali jagoan itu bersama dengan rekan-rekannya menghadapi pentolan penjahat yang punya nama.
Atau Zhang Zhiyi yang seringkali dia percayai untuk memata-matai perguruan-perguruan besar di daerah selatan ini.
Dari segi pengalaman bertarung Wei Mo yang menonjol, dari segi pengetahuan dan kecerdikan Zhang Zhiyi yang lebih
menonjol. Sudah ada rencana untuk mengikat hubungan kekeluargaan dengan keduanya. Wei Mo yang lebih tua,
rencananya salah satu puterinya akan dilamar oleh salah satu cucu Huang Yunshu.
Untuk Zhang Zhiyi yang masih muda dan belum menikah, sedang dicarikan salah satu anak gadis keluarga Huang yang
dirasa cocok. Tapi melihat cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong, mau tidak mau Tiong Fa harus berpikir ulang.
"Mungkin nantinya harus aku sendiri yang turun tangan.", demikian dia berpikir dalam hati.
Melihat tingkat Ding Tao, sudah sepantasnya jika Tiong Fa menunjuk Wei Mo atau Zhang Zhiyi, tapi bukan Tiong Fa
namanya jika melakukan sesuatu hanya berdasarkan kepantasan. Setelah mengerutkan alis sejenak dia memandang ke
salah seorang murid yang dilatihnya sendiri.
"Zhu Lizhi, coba kau maju."
Pemuda yang dipanggil merasa sedikit terkejut, pameran keahlian yang ditunjukkan Ding Tao sudah membuat dia merasa
takluk. Tapi dengan mengeraskan hati dia maju ke depan dan dengan gagah membungkuk memberi hormat pada Ding Tao.
"Sepertinya kali ini aku yang mendapat berkah untuk menerima pelajaran darimu Saudara Ding."
"Sama-sama Saudara Zhu."
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awas serangan!"
Kali ini serangan yang dilakukan Zhu Lizhi adalah serangan yang sederhana saja, mengambil pelajaran dari Feng Xiaohong
tadi, Zhu Lizhi tidak ingin kena tempel oleh pedang Ding Tao, karenanya dia justru mengutamakan kecepatan dan kekuatan
dengan jurus-jurus yang sederhana yang lebih berkonsentrasi pada pertahanan.
Murid Tiong Fa tentu bukan orang sembarangan, sesuai sifatnya yang cermat, Tiong Fa pun menekankan kecermatan dan
kecerdikan pada murid-muridnya dalam satu pertarungan.
Karena itulah Tiong Fa memilih Zhu Lizhi, dia tidak berharap Zhu Lizhi memenangkan pertandingan ini, harapannya hanya
agar Zhu Lizhi dapat mengambil pengalaman yang akan menguntungkan dia dlam perkembangan ilmu silatnya, sekaligus
karena dia yakin Zhu Lizhi akan dapat bertahan cukup lama dan sedikit banyak membantunya menguras tenaga Ding Tao.
Sesuai harapannya pertandingan kali ini berlangsung cukup seru. Serangan Zhu Lizhi tidaklah serumit jurus yang
dilancarkan Feng Xiaohong. Tapi jurus yang sederhana dilancarkan dengan cermat dan tepat, sebaliknya pertahanan Zhu
Lizhi sangatlah rapat, sehingga meskipun mudah bagi Ding Tao untuk mematahkan serangan Zhu Lizhi, tidaklah demikian
untuk mengalahkannya. Melihat jalannya pertandingan, diam-diam Tiong Fa mendesah lega. Mungkin penilaiannya terhadap Ding Tao tadi terlalu
tinggi, mungkin Feng Xiaohong yang terlalu terburu-buru.
-------------------------- o --------------------------20 jurus sudah berlalu dan Ding Tao belum membuat gebrakan yang berarti.
Bahkan Feng Xiaohong pun mengerutkan alisnya, bagi seseorang yang sudah pernah menghadapi Ding Tao secara
langsung, hal ini menimbulkan keheranan dalam dirinya.
Sebenarnya Ding Tao memang belum mengerahkan segenap kemampuannya, jika tadi dia menjadi terbangkit
kegembiraannya saat dipaksa menghadapi jurus pamungkas yang dikeluarkan Feng Xiaohong. Saat dia menghadapi Zhu
Lizhi perasaannya sudah sedikit mengendap. Tadinya dia sempat khawatir Feng Xiaohong akan merasa tersinggung
dikalahkan dengan cara demikian, betapa lega hatinya saat Feng Xiaohong ternyata bisa menerima kekalahan dengan hati
terbuka. Oleh karena itu saat menghadapi Zhu Lizhi, Ding Tao tidak terburu-buru mendesak lawannya.
Meskipun dengan mudah dia mematahkan serangan Zhu Lizhi tapi dia tidak mendesak Zhu Lizhi terlalu hebat. Sekali dua
kali dia mendesak dan berhasil menempatkan Zhu Lizhi di posisi, di mana dalam benaknya terbayang bagaimana dia akan
mengakhiri perlawanan Zhu Lizhi, tapi pada dua atau tiga langkah terakhir dengan sengaja dilepaskannya Zhu Lizhi.
Keputusan Zhu Lizhi untuk lebih mementingkan pertahanan, memberikan Ding Tao ruang gerak yang leluasa untuk
mengembangkan permainan. Dengan tidak adanya desakan-desakan yang berarti dari Zhu Lizhi, Ding Tao jadi bebas untuk
mencoba-coba, jurus-jurus yang sudah dia pelajari selama ini.
Meskipun demikian Ding Tao melakukannya dengan sangat berhati-hati, karena dia tidak ingin membuat Zhu Lizhi merasa
dipermainkan. Karena itu bagi mereka yang menyaksikan, pertandingan itu tampak berimbang.
Setelah 30 jurus berlalu barulah Ding Tao memutuskan untuk mengakhiri perlawanan Zhu Lizhi. Bukan dengan pameran
kekuatan atau keahlian seperti yang dia lakukan pada pertarungan pertama. Tapi justru dengan serangan-serangan yang
wajar, tapi setiap serangan memiliki tujuan.
Tanpa terasa Zhu Lizhi digiring oleh serangan-serangan Ding Tao untuk sampai pada jurus tertentu dan posisi tertentu.
Ketika Zhu Lizhi menyadari bagaimana posisi di dadanya terbuka lebar dari sudut tempat pedang Ding Tao mengincar,
barulah dia sadar telah masuk dalam jebakan Ding Tao.
Dalam waktu yang sekejapan itu, tiba-tiba pertarungan mereka yang sebelumnya seperti tampak jelas dalam ingatan Zhu
Lizhi dan sadarlah dia, bahwa sejak tadi Ding Tao sudah melakukan hal yang sama.
Bahkan sebelum dia merasakan hantaman pedang kayu itu di dadanya, Zhu Lizhi sudah memejamkan mata mengakui
kekalahan dirinya. Dua orang sudah berhasil dikalahkan, seperti juga Feng Xiaohong Zhu Lizhi menerima kekalahannya dengan lapang dada.
Apalagi di saat terakhir dia tersadar bahwa Ding Tao sudah banyak mengalah padanya dalam pertandingan tadi.
Dengan setulusnya pemuda itu membungkuk hormat pada Ding Tao, "Selamat Saudara Ding, ilmumu ternyata sudah maju
jauh melampaui kami semua yang seangkatan dengan dirimu."
"Ah Saudara Zhu terlampau memuji, ketatnya pertahanan Saudara Zhu sungguh membuatku kagum.", jawab Ding Tao
dengan ramah. Sekilas Zhu Lizhi mengamati wajah Ding Tao, sempat timbul pertanyaan dalam hatinya apakah orang di hadapannya ini
sedang hendak menyindirnya. Maklum gurunya adalah Tiong Fa yang licin, tapi ketika terpandang wajah Ding Tao yang
bersih dari segala tipu daya, senyum persahabatan pun mengembang di wajah Zhu Lizhi.
Dalam hati dia merasa takluk luar dalam pada Ding Tao, baik pada ilmu pedangnya, maupun pada watak dan karakter dari
pemuda itu. Apalagi ketika dia terbayang sifat gurunya yang seringkali membuat dia selalu menebak-nebak, ada apa di balik wajah agung sang guru.
Berhadapan dengan Ding Tao, barulah Zhu Lizhi bisa merasakan seperti apa rasanya memiliki seorang sahabat yang bisa
dipercaya. Dua orang sudah dikalahkan oleh Ding Tao. Kemenangan yang kedua memang tidak segemilang kemenangan yang
pertama, tapi sebagian besar dari mereka yang hadir tidak lagi memandang perkataan Ding Tao di jamuan makan
sebelumnya sebagai satu kesombongan kosong dari seorang anak muda yang tidak tahu mengukur dirinya sendiri.
Dengan sendirinya mereka yang bersimpati pada Ding Tao dan sempat terganggu oleh jawabannya saat itu, kembali
bersimpati padanya. Apalagi si nona muda yang cantik Huang Ying Ying, seandainya saja suasana di ruang latihan itu tidak begitu angkernya,
mungkin sejak tadi dia sudah bersorak dan melompat-lompat mengelilingi ruangan itu.
Dalam hatinua timbul debaran-debaran aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dahulu dia sudah menyukai
Ding Tao yang jujur dan sopan. Apalagi sebagai pelayan tentu saja saat bermain Ding Tao lebih sering mengalah pada
Huang Ying Ying. Menginjak remaja Huang Ying Ying bukannya tidak bisa merasakan pandangan kagum Ding Tao pada dirinya, tapi hal itu
tidak mengganggunya, karena Ding Tao selalu bersikap sopan padanya. Kalaupun Ding Tao terkadang memandangi dirinya,
itu dilakukan dengan sorot mata yang kagum dan bukan sorot mata yang kurang ajar.
Tentu saja siapa yang tidak senang menjadi pusat kekaguman seseorang" Dan bagi Huang Ying Ying, jadilah Ding Tao
seorang pemuda yang disukainya, suka seperti seorang gadis menyukai bunga atau anjing kecil yang lucu. Kalau bunga yag
indah layu atau anjing yang lucu itu terluka tentu gadis itu akan merasa sedih, tentu ada perasaan ingin melindungi atau ingin mengajak bermain anjing yang lucu itu.
Tapi perasaan yang dirasakan Huang Ying Ying pada Ding Tao sekarang sungguh jauh berbeda. Hal itu dirasakannya sejak
Ding Tao kembali setelah menghilang selama dua tahun.
Lalu sekarang pemuda itu berdiri di sana, berdiri dengan tegap tapi luwes, dengan pedang di tangan. Tubuhnya yang tinggi, semakin terlihat tinggi ketika berdiri sejajar dengan pemuda lainnya, Feng Xiaohong yang bertubuh jangkung pun hanya
setinggi puncak hidungnya. Apalagi berhadapan dengan Zhu Lizhi yang hanya setinggi bahunya.
Bahunya lebar, serasi dengan tinggi badannya, jika Feng Xiaohong yang jangkung seringkali dikatainya seperti tiang
jemuran, tidak demikian dengan Ding Tao.
Pakaiannya yang sederhana dan sedikit terlalu sempit, justru menonjolkan otot-otot yang liat yang tersembunyi di balik
bajunya. Alisnya tebal, matanya memancarkan kepercayaan diri, garis rahang yang kuat dan senyum yang tulus menghiasi wajah
pemuda itu. Tapi betapa wajah yang sama dengan mudahnya menjadi kemerahan karena tersipu malu. Memikirkan itu
semua tanpa terasa gadis muda ini mendesah rindu.
Saat dia sadar mukanya pun terasa panas, dengan sedikit rasa khawatir dia menengok ke kiri dan ke kanan, hatinya sedikit lega ketika dilihatnya perhatian semua orang sedang tertuju pada Ding Tao dan tidak ada yang sempat memergoki gerak-geriknya.
Dengan hati berdebar dan wajah sedikit memerah, gadis ini bergerak menyurut mundur, bersembunyi di balik tubuh
kakaknya. Dari situ dia baru merasa bisa memandangi Ding Tao dengan aman. Memandangi" Apakah Ding Tao sebegitu menariknya
untuk dipandangi" Tapi mengapa dia bisa merasa seperti itu"
Ah betapa hati gadis itu semakin berdegup kencang, dengan menggigit bibir dia memaki dirinya sendiri dalam hati. Tapi
sesudah itupun tanpa sadar dia kembali mengintip Ding Tao yang sedang berhadapan dengan lawannya yang ketiga
Di hadapan Ding Tao berdiri seorang jago yang sudah cukup berumur, satu dua uban nampak mencuat dari rambutnya yang
tidak terikat dengan rapi. Agak berbeda dengan penampilan tokoh-tokoh lain dari keluarga Huang ini, penampilan jagoan
yang satu ini memang sedikit berantakan.
Kumisnya yang tumbuh jarang-jarang tapi tiap helainya tebal seperti kawat, dibiarkan saja bermunculan ke segala arah.
Ding Tao yang harus menghadapi orang yang jauh lebih tua, membungkuk dengan hormat yang dibalas dengan anggukan
yang dingin. Wang Sanbo, orang yang terkenal diam dan tidak banyak bicara. Dalam setiap urusan tidak pakai terlalu banyak basa basi, begitu juga gaya bertarungnya. Ketika dia melihat Ding Tao tidak kunjung juga menyerang, tanpa sungkan-sungkan dialah
yang pertama kali menyerang.
Menurut kebiasaan, biasanya yang lebih tua memberi kesempatan yang muda untuk lebih dulu menyerang. Kali ini Ding Tao
yang serba sungkan, tidak berani menyerang lebih dulu sebelum lawannya yang lebih tua menyuruhnya demikian.
Sementara Wang Sanbo yang tidak peduli segala macam aturan, melihat Ding Tao berdiri menunggu tanpa banyak
pertimbangan mendahului menyerang.
Buat Wang Sanbo tidak ada bedanya siapa yang menyerang lebih dulu, kalau Ding Tao kalah langkah karena terlambat
mengambil inisiatif maka itu salah Ding Tao sendiri.
Dan tiba-tiba tanpa banyak ba bi bu, sebuah tendangan kilat dilemparkan, menggempur ke arah kaki Ding Tao. Begitu keras tendangan jago tua ini, hingga terdengar angin menderu-deru.
Setelah menghadapi dua lawan yang penuh sopan santun, tidak urung Ding Tao kaget juga saat tiba-tiba mendapatkan
serangan. Gaya serangan Wang Sanbo justru lebih sederhana lagi dibandingkan jurus serangan Zhu Lizhi, tapi kecepatan
gerak dan tenaga yang dibawanya berkali-kali lipat lebih mengerikan.
Untuk beberapa saat Ding Tao pun terdesak.
Gaya Wang Sanbo berkelahi memang seperti banteng ketaton, tidak jarang meskipun pedang Ding Tao mengancam
tubuhnya, jago tua ini tidak juga menghentikan serangannya, malah dilontarkan serangan yang lebih hebat seakan
mengajak Ding Tao mati bersama.
Diserang dengan gaya membabi buta ini, untuk beberapa saat Ding Tao jadi kewalahan. Antara memahami teori sebuah
ilmu bela diri sudah tentu lebih sukar daripada menerapkan teori itu dalam pertarungan yang sesungguhnya.
Dalam sebuah situasi yang relatif tenang di ruang latihan dengan gerakan pelatih yang memang sengaja untuk melatih
jurus yang sedang dipelajari, tentu sangat berbeda dalam pertarungan yang sesungguhnya, di mana lawan bergerak
secepat mungkin dengan arah serangan yang tidak bisa diduga.
Kondisi inilah yang terbentuk ketika Ding Tao harus menghadapi Wang Sanbo, tidak seperti dua lawan sebelumnya yang
benar-benar menyerupai sebuah pertandingan persahabatan.
Berbeda juga dengan perkelahiannya melawan Wang Chen Jin dua tahun yang lalu, karena saat itu Wang Chen Jin bukan
menyerang bak orang kalap seperti yang dilakukan Wang Sanbo.
Melawan Wang Sanbo, Ding Tao dipaksa untuk bereaksi secepat mungkin, tanpa sempat menghitung-hitung rencana
selanjutnya. Ini pengalaman yang berharga buat Ding Tao, baru setelah lewat berpuluh jurus, barulah Ding Tao bisa menyesuaikan diri
dengan gaya permainan Wang Sanbo yang bagaikan angin puyuh, membadai tiada henti.
Perlahan-lahan Ding Tao kembali bisa menerapkan pemahamannya akan ilmu yang sudah dia pelajari dalam pertarungan
yag dia jalani. Seperti pada saat melawan Zhu Lizhi, sedikit demi sedikit Ding Tao mulai menebarkan perangkap bagi Wang Sanbo,
bedanya dia tidak sempat berpikir terlalu panjang, dia dipaksa untuk menentukan sikap dalam hitungan kejapan mata.
Beberapa kali sempat juga pukulan dan tendangan Wang Sanbo mampir di tubuhnya.
Karena pilihannya terkena pukulan atau terkena tusukan atau sabetan pedang dan Ding Tao memilih yang pertama.
Sebenarnya akibat yang dihasilkan tidak jauh berbeda karena pedang yang mereka gunakan adalah pedang kayu, tapi
dalam benak pemuda itu, pertandingan ini adalah bagian dari pembelajaran untuk menghadapi pertarungan yang
sesungguhnya. Pertandingan dengan kayu ini adalah bagian dari ujian terhadap dirinya, apakah dia benar-benar mampu
mengemban tugas gurunya untuk membinasakan Ren Zuocan.
Dan dalam pertarungan yang sesungguhnya jika dia harus memilih luka mematikan dari senjata tajam atau memar di
tubuh, tentu dia memilih yang kedua.
Meskipun demikian tidak ada serangan Wang Sanbo yang benar-benar masuk dengan telak. Pukulan dan tendangan yang
mampir di tubuh Ding Tao tidaklah telak mengenai daerah yang berbahaya seperti ulu hati atau jantung, yang bisa
menimbulkan luka dalam. Bahkan jika pertandingan ini adalah pertarungan yang sesungguhnya, dengan pedang baja yang tajam, mungkin sudah
sejak beberapa waktu yang lalu jago tua ini mati oleh pedang Ding Tao.
Bagaimana tidak, entah sudah berapa sering Wang Sanbo meyerang tanpa mempedulikan ancaman pedang Ding Tao. Tidak
seperti Ding Tao yang bersikap seakan-akan menghadapi pedang yang sesungguhnya, Wang Sanbo justru memanfaatkan
kenyataan bahwa yang mereka pakai adalah pedang kayu. Bisa jadi akan membuat tulang retak atau patah, tapi Wang
Sanbo masih cukup yakin pada keliatan tubuhnya yang ditopang hawa murni.
Bahkan untuk membuktikan hal itu ada satu dua kali, di mana ujung pedang Ding Tao sempat pula mampir di tubuh jago
tua ini. Jago tua ini bukannya tidak memahami hal ini, sebenarnya sudah sejak berapa jurus yang lalu, rasa kagum yang jujur
muncul dari dalam hatinya. Hanya saja wataknya yang keras tidak mengijinkannya berhenti sebelum Ding Tao berhasil
menjatuhkan dirinya dengan telak.
Tapi seperti Zhu Lizhi yang perlahan tapi pasti jatuh dalam permainan jurus Ding Tao, Wang Sanbo pun tanpa sadar telah
masuk dalam perangkapnya.
Dalam gerak terakhirnya, Ding Tao telah berhasil menempatkan Wang Sanbo di posisi yang dia inginkan. Dengan sengaja
sebuah lobanng pertahanan dia tunjukkan. Bagi Wang Sanbo sebenarnya tidak ada pilihan lain kecuali menyerang lobang
pertahanan tersebut. Jika tidak maka dari posisi pedangnya yang sekarang Ding Tao bisa menyerang ubun-ubun jago tua
itu. Ibarat orang bermain catur, tinggal selangkah lagi dan Wang Sanbo terkena skak-mat. Apapun langkah yang dia pilih, tidak nanti dia bisa lepas dari serangan maut Ding Tao.
Wang Sanbo yang melihat lobang di pertahanan Ding Tao, memaksakan diri untuk menyerang, meskipun pada saat itu
kedudukannya tidaklah menguntungkan. Untuk menyerang Ding Tao dia harus melakukan bergerak memutar dan untuk
sekian kejap punggungnya akan terbuka lebar.
Tapi itulah yang dia lakukan, dengan sekuat tenaga jago tua itu mengemposkan seluruh tenaga simpanannya dan
melakukan tendangan berputar.
Gerakannya sebat, kakinya menyambar bagai kilat, tapi sayang sasaran yang dituju tidak ada di sana. Dengan cepat Ding
Tao maju untuk memotong gerakan Wang Sanbo dan dengan sebuah serangan yang cepat, 3 sabetan pedang mampir di
tubuh jago tua itu. Satu di punggungnya, satu di pundaknya dan yang terakhir dengan indahnya bergerak seperti seorang kekasih yang
membelai leher jago tua itu dari kiri ke kanan.
Seandainya saja Wang Sanbo punya penyakit jantung, mungkin saat itu juga jantungnya berhenti berdetak. Ketegangan
jago tua itu bagaikan meledak saat dia merasakan pedang Ding Tao membelai lehernya. Bisa dia bayangkan jika Ding Tao
memegang pedang yang sesungguhnya, tentu lehernya sudah menggelinding di lantai.
Jagoan tua itu pun menutup matanya untuk sesaat, untuk menenangkan diri sekaligus mengatur kembali nafasnya yang
sudah memburu. Saat dibukanya mata, terlihatlah di hadapannya Ding Tao yang berdiri dengan serba salah.
"Paman Wang"uhm" maafkan anak Ding."
"Heh" kau menang.", ujar jago tua itu dengan singkat sebelum keluar dari arena pertandingan.
Untuk sesaat desahan nafas terdengar memenuhi ruangan itu, terutama dari mereka yang masih berumur muda. Rupanya
pertandingan tadi telah menyita segenap perhatian mereka dan mencapai klimaksnya saat Ding Tao mengakhirinya dengan
serangan yang mematikan. Dari wajah-wajah mereka mudah saja dilihat siapa yang bersimpati dan sekarang menjagoi Ding Tao, dan siapa yang masih
mengharapkan kemenangan dari keluarga Huang.
Anehkah jika sebagian besar generasi muda yang menyaksikan pertandingan itu mendukung Ding Tao dalam hati kecilnya"
Ikut cemas saat Ding Tao sepertinya akan mengalami kekalahan dan bersorak dalam hatinya saat Ding Tao berhasil
mengalahkan Wang Sanbo"
Lepas dari kesetiaan mereka terhadap keluarga Huang dan kelompok sendiri, saat ini Ding Tao mewakili perubahan,
mewakili generasi mereka. Apalagi Ding Tao pernah 18 tahun hidup bersama mereka, sehingga tidaklah sulit bagi para
orang muda ini untuk menerima Ding Tao sebagai sosok yang mewakili diri mereka.
Perlukah kita menengok pada Huang Ying Ying" Rasanya hal itu tidak diperlukan, kalau mereka yang memandang Ding Tao
sebelah mata saja, sekarang ini terdorong untuk mengagumi bahkan mendukung pemuda itu, tentunya pembaca bisa
membayangkan sendiri bagaimana perasaan Huang Ying Ying sekarang ini.
Tiga pertarungan sudah dilalui, masih berapa banyak lagi yang harus dia hadapi"
Tiong Fa yang bisa melihat bagaimana di setiap kemenangan, simpati kepada Ding Tao semakin bertambah, menggerutu
dalam hatinya. Dengan perhitungan yang dingin, dia merasa sudah cukup mengetahui tingkatan Ding Tao. Cukup satu kali
lagi pertandingan yang menguras tenaga dan dia akan maju sendiri untuk mengakhiri perlawanan anak muda itu.
------------------------ o ----------------------------Zhang Zhiyi berdiri tidak jauh dari Tiong Fa, dengan sebelah tangannya Tiong Fa menggamit Zhang Zhiyi lalu menggerakkan kepalanya, memberi tanda pada Zhang Zhiyi untuk maju menghadapi Ding Tao.
Zhang Zhiyi bukanlah orang semacam Feng Xiaohong, Zhu Lizhi atau Wang Sanbo. Jika dia sering mendapat tugas menjadi
mata-mata oleh Tiong Fa, sebabnya adalah kemampuan dia untuk mengamati keadaan serta mengambil kesimpulan.
Tidak seperti yang lain, Zhang Zhiyi tentu saja tidak termakan bualan Tiong Fa, dia tahu apapun yang terjadi dalam
pertandingan hari ini, pedang itu pasti akan lepas dari tangan Ding Tao.
Masalahnya hanyalah apakah Ding Tao akan menyerahkannya dengan suka rela atau dengan cara paksa.
Zhang Zhiyi juga pandai menilai tingkatan ilmu bela diri lawannya. Tahu keadaan lawan dan tahu keadaan sendiri, dengan
sendirinya 100 kali bertempur 100 kali pula meraih kemenangan. Kalau Zhang Zhiyi masih hidup sampai sekarang melewati
tugas-tugas berbahaya, itu bukan hanya karena kemampuan ilmunya yang tergolong sudah mapan, tapi dia juga tahu
kapan harus berkelahi dan kapan dia harus lari.
Jika harus menghadapi Ding Tao dalam perkelahian hidup dan mati, Zhang Zhiyi akan lebih memilih lari, karena meskipun
dia masih memiliki harapan untuk menang melawan Ding Tao tapi baginya saat ini seberapa dalam ilmu Ding Tao belum
dapat dia pahami dengan benar. Dalam penilaiannya Ding Tao masih penuh dengan kejutan.
Sambil berjalan ke dalam arena otaknya berputar memikirkan siasat untuk melawan Ding Tao.
Berbeda dengan Wang Sanbo yang dingin, Zhang Zhiyi menyapa Ding Tao dengan senyum hangat, "Heh, setelah dua tahun
menghilang, kau tiba-tiba jadi makin hebat saja anak Ding, apa kau menemukan buah sakti atau obat dewa?"
Matanya berputar dan mengedip dengan nakal pada Ding Tao. Ding Tao jadi tertawa geli dan menjadi jauh lebih rileks.
"Tidak Paman Zhang, hanya saja guru mengajarku baik-baik."
"Oh begitu, tapi kalau kau benar dapat obat dewa, jangan lupa kau bagi sedikit pada pamanmu yang tambah tua ini."
Sambil tertawa Ding Tao menjawab, "Tentu paman, aku tidak akan lupa."
"Baiklah sekarang kita harus saling menguji kemampuan kita masing-masing. Sebagai yang lebih muda kau mulailah lebih
dahulu." "Baik paman." Setelah mereka sama bersiap dan berhadapan, dengan sopan Ding Tao memulai, "Awas serangan paman!"
------------------ o ----------------Siapa bilang yang mengambil inisiatif terlebih dahulu akan mengambil keuntungan darinya" Mungkin saja benar demikian,
tapi tidak kali ini. Kalau Tiong Fa cerdik seperti musang, Zhang Zhiyi mungkin pantas dipanggil musang kecil.
Setelah beramah tamah dengan Ding Tao, diberinya kesempatan Ding Tao maju lebih dulu. Jika lawannya bukan Ding Tao,
jika ini bukan pertandingan persahabatan, mungkin berbeda yang terjadi. Tapi yang kita bicarakan di sini ini adalah Ding Tao, bukan hanya lugu tapi juga sejak kecil sudah diajar untuk menghormati orang yang lebih tua.
Benar dia bergerak lebih dulu, tapi serangannya bukanlah serangan yang membahayakan Zhang Zhiyi, bukan pula serangan
yang akan membuat Zhang Zhiyi terpaksa mundur ke posisi yang merugikan. Bukan juga bagian dari siasat untuk
mendesak Zhang Zhiyi mengikuti permainan silat Ding Tao.
Serangan setengah matang semacam ini tentu saja tidak merugikan Zhang Zhiyi, justru serangan mentah ini menjadi
kerugian buat Ding Tao. Perlu dipahami saat seseorang menyerang tentu ada bagian dari pertahanannya yang terbuka.
Serangan bisa menjadi pertahanan yang baik, jika serangan itu dilancarkan dengan tepat. Kalaupun gagal mencapai hasil,
setidaknya serangan itu memaksa lawan untuk mundur atau menangkis serangan, sehingga tidak sempat memanfaatkan
celah-celah yang timbul untuk balik menyerang.
Teori ini tentu saja dipahami dengan baik oleh Ding Tao, tetapi pemuda itu terlanjur terbawa oleh suasana persahabatan
yang diumpankan oleh Zhang Zhiyi. Siapa sangka serangan Zhang Zhiyi justru telengas dan sebat, tak sepadan dengan
senyum di wajahnya. Dengan satu gerakan yang sama Zhang Zhiyi mudah saja menghindari serangan Ding Tao, sekaligus masuk ke dalam
daerah pertahanannya. Tangannya pun cepat terjulur menghajar ke dada Ding Tao, sementara pedangnya mengayun
menutup jalan mundurnya. Padahal di saat itu tangan Ding Tao yang memegang pedang sudah terlanjur maju dalam
gerakan menyerang. Untuk menarik serangannya jelas tidak sempat, tapi jika Ding Tao mengelak mundur maka pedang akan menghajar
tubuhnya, mau tidak mau Ding Tao harus menerima hajaran Zhang Zhiyi.
Untung Ding Tao masih sempat menggeser posisi tubuhnya dan menyilangkan satu tangannya di depan dada. Meskipun
tidak sepenuhnya dapat menahan serangan Zhang Zhiyi, setidaknya mampu mengurangi sebagian dari daya serangan itu
yang mencapai jantungnya.
Tapi bahaya belum lewat sepenuhnya karena pedang di tangan Zhang Zhiyi sudah siap mengancam punggung Ding Tao.
Hebatnya Ding Tao, serangan yang di depan dia tahan, serangan yang dari belakang pun tidak lepas dari pengamatan. Pada
saat yang bersamaan pedangnya sudah ditarik mundur, bergerak menyilang menjadi perisai bagi punggungnya.
Diam-diam Zhang Zhiyi memuji kecekatan anak muda itu, tapi kekagumannya tidak membuat dia menjadi bermurah hati
pada pemuda itu. Tanpa mengendurkan sedikit pun serangan kali ini kakinya yang bergerak menendang ke depan.
Dalam beberapa gebrakan saja, Zhang Zhiyi sudah berhasil mendesak mundur Ding Tao. Bukan hanya itu saja, pemuda itu
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat merasakan betapa jantungnya tergetar saat telapak Zhang Zhiyi mampir di dadanya tadi. Rupanya tanpa sungkansungkan Zhang Zhiyi sudah mengerahkan segenap hawa murni yang dia miliki dibalik pukulannya tadi.
Jika pemuda itu tidak rajin-rajin berlatih dan menghimpun hawa murni sejak dia mulai belajar, mungkin sekarang pemuda
itu sudah tergeletak dengan jantung yang terluka parah.
Beruntung dia memiliki himpunan hawa murni yang cukup mapan, lagipula gerakannya menghindar dan melindungi dada,
mengurangi sebagian lontaran tenaga Zhang Zhiyi.
Tapi tetap saja aliran tenaganya menjadi kacau, sementara serangan Zhang Zhiyi tanpa hentinya dilancarkan tanpa belas
kasihan. Baru kali ini Ding Tao menghadapi situasi di mana dia harus mati-matian menyelamatkan diri. Bahkan pada saat
kekalahannya ketika melawan Wang Chen Jin, keadaannya masih jauh berbeda. Dia masih memiliki ruang untuk
mengamati, berpikir dan merencanakan jurus yang harus dia lancarkan.
Tapi tidak kali ini, rasa nyeri di dadanya, ditambah lagi serangan Zhang Zhiyi yang bervariasi dan dilancarkan tanpa henti membuat dia tidak memiliki kesempatan untuk berpikir sama sekali. Berbeda dengan serangan Wang Sanbo yang
membadai tapi sederhana bentuknya.
Serangan Zhang Zhiyi selain dilambari dengan penggunaan hawa murni yang menggiriskan hati, setiap serangan tentu
memiliki kerumitan di baliknya. Jika tadi Ding Tao membuat lawannya bergerak menuruti permainannya, kali ini Ding Tao
jatuh dalam permainan Zhang Zhiyi.
Jangankan untuk melepaskan diri bahkan untuk bernafas pun hampir-hampir tidak.
Dengan cepat tenaganya terkuras, otaknya dipaksa berputar keras. Keadaan Ding Tao benar-benar bagaikan telur di ujung
tanduk. Mereka yang bersimpati pada Ding Tao pun sama-sama mengalirkan keringat dingin.
Sementara seulas senyum terbentuk di wajah Tiong Fa dan para tokoh pimpinan keluarga Huang. Sudah terbayang
kemenangan keluarga Huang di depan mata, apa lagi jika mereka membayangkan bahwa setelah ini mereka akan dapat
menarik Ding Tao untuk memperkuat barisan.
Kekalahan Ding Tao melawan Zhang Zhiyi, tidaklah menurunkan harganya, di mata mereka yang berpengalaman justru
harga Ding Tao naik berkali lipat. Mereka sama-sama maklum akan sifat Ding Tao dan kecerdikan Zhang Zhiyi yang
memanfaatkannya. Tapi taktik licik seperti itu sudah terang tidak akan bisa dipakai untuk kedua kalinya. Kekalahan Ding Tao kali ini justru akan membuat pemuda itu jadi lebih berpengalaman dan waspada dalam bentrokan-bentrokan selanjutnya di masa depan. Jika
Ding Tao diberi kesempatan untuk memulihkan diri, lalu melakukan pertandingan ulang melawan Zhang Zhiyi, mereka yakin
sepenuhnya bahwa pemuda itu yang akan memenangkan pertandingan.
Bahkan Tuan besar Huang Jin yang tadinya tidak rela mengumpankan puterinya Huang Ying Ying untuk menikahi Ding Tao,
sekarang ini berbalik merasa sayang jika Ding Tao sampai terluka parah. Dalam hati dia memaki Zhang Zhiyi yang
terlampau keras melukai calon menantunya.
Tentu saja dia sadar bahwa Zhang Zhiyi memang harus berlaku demikian, jika tidak, belum tentu Zhang Zhiyi dapat
memenangkan Ding Tao dalam pertandingan ini.
Melirik ke arah puterinya, Tuan besar Huang Jin jadi geli dan tertawa senang dalam hati. Sambil mengangguk-angguk, dia
memuji kecerdikan Tiong Fa dan kejelian putera sulungnya. Sungguh-sungguh keluarga Huang mendapat untung besar kali
ini. Teringat dia pada Gu Tong Dang, diapun berjanji dalam hati, setelah semua ini berakhir dia akan menjemput pelatih tua yang sudah banyak berjasa pada keluarga Huang.
Huang Ying Ying yang tadinya bersembunyi di belakang kakaknya, tanpa terasa bergeser maju ke depan. Wajahnya penuh
kecemasan, air mata pun mengembeng di pelupuk matanya. Yang sempat melihat, tentu sudah bisa menebak isi hati gadis
muda ini. Tapi selain ayahnya, tidak ada yang sempat melirik gadis itu. Perhatian setiap orang tertuju pada pertarungan antara Ding Tao dan Zhang Zhiyi.
Serangan Zhang Zhiyi yang membadai dan keuletan Ding Tao yang berusaha bertahan.
Setiap saat selalu saja mereka disuguhi dengan gebrakan yang mendebarkan hati. Entah sudah berapa kali mereka sempat
berpikir, akhirnya, kalah juga pemuda itu, atau robohlah dia sekarang. Tapi dengan keras kepalanya pemuda itu masih
sempat saja untuk meloloskan diri.
Yang tidak disangka semua orang adalah sebenarnya saat itu Zhang Zhiyi sudah hampir berputus asa.
Pengetahuannya yang luas dalam ilmu bela diri sudah diperasnya habis-habisan. Selain dari ilmu keluarga Huang, Zhang
Zhiyi memiliki banyak simpanan ilmu yang didapatnya saat dia memata-matai perguruan besar yang ada di daratan. Tapi
kali ini dia bertemu batunya, yaitu Ding Tao yang hanya mempelajari ilmu keluarga Huang tapi berhasil menangkap inti sari dari ilmu keluarga Huang.
Ding Tao memang belum berhasil menyelami hakekay ilmu bela diri sampai kedalaman yang terdalam, mendaki hingga
puncak yang paling puncak. Di mana semua aliran yang berbeda itu bisa dipahami bersumber sari satu sumber yang sama.
Di mana menguasai yang satu sama artinya dengan menguasai semua.
Tapi dia sudah menyelami ilmu keluarga Huang hingga tuntas, sehingga sedikit banyak, pemahaman itu sudah ada
padanya, meskipun masih berupa bayangan yang tidak jelas. Itu sebabnya berhadapan dengan jurus serangan Zhang Zhiyi
yang berbagai macam jenisnya, Ding Tao masih bisa menyelamatkan diri. Bahkan sedikit demi sedikit, ruang geraknya
menjadi semakin luas. Zhang Zhiyi justru sebaliknya, semakin lama dia bisa merasakan genggamannya atas diri Ding Tao semakin melemah, ikan
yang sudah terkail olehnya itu mulai melepaskan diri.
Mereka yang di luar pertarungan tentu saja tidak bisa memahami hal ini, karena sampai sekarang pun Ding Tao masih saja
harus pontang panting menyelamatkan diri dari serangan Zhang Zhiyi.
Hingga terkejutlah mereka ketika melihat bagaimana pertarungan itu berakhir.
Saat itu Zhang Zhiyi sedang melancarkan satu tendangan ke arah Ding Tao yang sedang bergerak mundur. Seharusnya
Ding Tao masih dapat menangkis serangan, tapi di luar dugaan mereka justru pemuda itu membiarkan perutnya terkena
tendangan Zhang Zhiyi. Bukan main hebatnya tendangan itu, meskipun Ding Tao sudah bersiap-siap dengan memusatkan hawa murninya di bagian
itu, tidak urung dia harus menggertakkan giginya kuat-kuat untuk meneruskan rencananya.
Sebenarnya Zhang Zhiyi sudah bersiap-siap dengan serangan yang berikutnya, tapi tindakan Ding Tao di luar dugaannya.
Dengan menerima tendangan itu, Ding Tao meluncur lebih jauh lagi ke belakang, memberinya ruang untuk balik
melancarkan serangan. Tanpa memperbaiki posisi terlebih dahulu, tidak juga menghimpun dahulu tenaga yang membuyar. Ding Tao langsung
melancarkan serangan. Serangan itu sederhana saja, tapi dilontarkan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya.
Zhang Zhiyi pun mundur untuk kemudian berbalik menyerang karena dia tahu, tentu himpunan tenaga Ding Tao belumlah
sepenuhnya pulih setelah terkena tendangannya tadi.
Tapi ternyata serangan itu hanyalah gertakan saja, saat Zhang Zhiyi mundur, Ding Tao ikut menyurut mundur. Ketika
Zhang Zhiyi sadar, dalam waktu yang singkat itu Ding Tao sudah berhasil mengatur kembali aliran hawa murni di tubuhnya
dan sebelum Zhang Zhiyi sempat bereaksi dia sudah melancarkan serangan selanjutnya.
Itulah serangan yang dilancarkan oleh Feng Xiaohong sebelumnya, kali ini Ding Tao yang memainkannya dan perbawa jurus
itu terasa jauh lebih hebat. Gulungan hawa pedang menyambar Zhang Zhiyi.
Sayang lawannya adalah Zhang Zhiyi, Zhang Zhiyi sudah lama merenungi jurus serangan ini dan sudah memegang cara
untuk memecahkannya. Inti serangan jurus itu terletak pada jebakan yang siap menyambut lawan, saat lawan berusaha
memanfaatkan celah yang sengaja dibuka.
Tapi jika lawan sudah bersiap terhadap jebakan itu, lalu apa artinya jebakan itu"
Muka Zhang Zhiyi yang sempat pucat saat dirinya salah memperhitungkan reaksi Ding Tao kembali berwarna. Dengan sigap
dia menyerang melalui celah yang sengaja dibuka.
Ketika dilihatnya pukulan Ding Tao menyambar, dia sudah siap. Pedang yang menusuk hanyalah pancingan, dengan sebat
gerakan itu berubah di tengah, berbalik hendak memangkas tangan Ding Tao yang maju menyerang.
Entah ada berapa banyak pasang mata yang terhenti nafasnya.
Tapi bukan tangan Ding Tai yang terpapas, sebaliknya justru pedang Ding Tao yang menempel pada leher Zhang Zhiyi.
Rupanya pukulan Ding Tao itupun hanyalah serangan palsu. Dibalik muslihat, ada muslihat.
Serangan pedang yang seharusnya hanya merupakan pancingan justru menjadi serangan yang sesungguhnya. Pukulan
yang tersembunyi ternyata hanya pancingan.
Pucat wajah Zhang Zhiyi, kejadian ini di luar dugaannya, tapi pedang sudah melintang di depan lehernya. Tidak ada lagi
yang bisa dia lakukan kecuali mengakui kekalahannya.
Kali ini beberapa orang yang mendukung Ding Tao tanpa sadar bersorak, meskipun dengan cepat sorakan itu terhenti dan
mereka yang bersorak cepat-cepat menunduk dengan wajah bersalah. Apalagi ketika mereka merasa pandangan mata para
pimpinan keluarga Huang yang tajam menusuk, ditujukan pada mereka.
Untuk beberapa saat Zhang Zhiyi kehilangan kata-kata, ketika akhirnya dia membuka mulut nada suaranya terdengar lesu
dan senyumnya terasa dipaksakan, "Hehh" Anak Ding, rupanya aku pun harus mengakui kehebatanmu."
Nafas Ding Tao masih sedikit tersengal, banyak tempat di sekujur tubuhnya yang terasa sakit, tapi dikuat-kuatkannya juga untuk menjawab dengan sesopan mungkin, "Maafkan aku Paman Zhang, hanya keberuntungan saja, kalau tidak tentu
sudah sejak tadi aku terjungkal oleh pukulan dan tendangan paman."
Zhang Zhiyi mengangguk-angguk, kemudian menepuk pundak pemuda itu sebelum kembali ke pinggir arena.
Seperti saling berjanji, pandang mata setiap orang sekarang tertuju pada Tiong Fa, sudah jelas bahwa pertandingan ini
dialah yang mengatur. Dalam hati setiap orang bertanya-tanya, siapa lagi yang akan diajukan oleh Tiong Fa, apakah belum cukup kemampuan yang ditunjukkan oleh Ding Tao"
Ketika Tiong Fa dengan langkah yang tenang berjalan ke tengah arena, tanpa terasa banyak dari mereka yang mendukung
Ding Tao, menutup mata dan menghela nafas.
Pikir mereka, "Sayang sekali, sebenarnya sungguh tidak adil, tapi kali ini habislah Ding Tao."
Tiong Fa sudah ada di hadapan Ding Tao, wajahnya tenang tidak menunjukkan kekejian hatinya.
Ditampilkannya wajah menyesal dan berkata dia pada Ding Tao, "Sebenarnya aku merasa malu, harus mendesakmu sedemikian rupa."
Ding Tao yang masih saja percaya pada Tiong Fa membalas dengan tidak kalah sopannya, "Anak Ding mengerti hati Paman
Tiong, apalagi justru ini menjadi pengalaman yang baik bagi anak. Tidak nanti akan menyalahkan paman."
"Hemm" terima kasih untuk pengertianmu Anak Ding. Aturlah dulu nafasmu, kapan kau siap, kau saja yang membuka dulu
serangan. Aku orang tua sudah sepantasnya mengalah sejurus pada yang lebih muda."
"Terima kasih paman.", ujar Ding Tao yang sungguh-sungguh merasa berterima kasih.
Jauh di pinggir arena Zhang Zhiyi memaki Tiong Fa dalam hati. Selama apa Ding Tao hendak mengatur nafas" Luka yang
dideritanya sejak tadi melawan dirinya dan Wang Sanbo tentu tidak mudah hilang begitu saja.
Tapi Ding Tao yang tidak berpikir macam-macam, benar-benar menggunakan kesempatan itu untuk sebisa-bisanya
mengumpulkan lagi hawa murni di tubuhnya. Perlahan-lahan dialirkan hawa murni mengitari seluruh tubuhnya, sekedar
untuk meringankan kerusakan yang sudah terjadi.
Pemuda itu tidak terburu-buru melakukan serangan, sambil berusaha memulihkan diri dia berpikir keras, cara apa yang
akan dia ambil untuk menghadapi Tiong Fa.
Tiong Fa yang tadi dengan murah hati memberikan waktu pada Ding Tao untuk memulihkan diri, diam-diam menjadi kesal.
Tidak disangkanya pemuda itu benar-benar menggunakan waktu tanpa sungkan-sungkan.
"Dasar pemuda dungu tidak tahu malu.", makinya dalam hati.
Ding Tao sendiri sebenarnya merasa malu dan sungkan, karena membuat semua yang hadir di situ menunggui dirinya, tapi
pemuda itu memandang tugas yang diberikan gurunya jauh lebih penting dari itu semua. Saat akhirnya dia bersiap untuk
menyerang, tubuhnya sudah terasa jauh lebih segar, rasa nyeri pada bagian-bagian tubuh yang terluka masih bisa
ditahannya tanpa mengganggu jalannya hawa murni dalam tubuh.
"Maaf paman, jika terlalu lama menunggu.", ujarnya dengan muka sedikit memerah.
"Ah, tidak apa, tidak apa. Apakah kau sudah siap sekarang?"
"Iya paman, aku akan memulai sekarang. Awas serangan!"
Jurus yang dilancarkan Ding Tao adalah jurus ketiga dari 3 jurus dasar pedang keluarga Huang. Kali ini tidak berani dia melancarkan serangan yang setengah-setengah. Pengalamannya dengan Zhang Zhiyi sudah cukup mengajarinya untuk
tidak bermain-main dalam setiap pertarungan. Siapa pun lawannya dan bagaimana pun keadaannya.
Tusukannya begitu cepat dan keras, hingga pedang kayunya pun berdengung.
Tiong Fa tidak menjadi gugup karenanya, dengan mudah serangan itu dia pecahkan. Menyusul berganti dia yang
menyerang. Dalam waktu singkat, berpuluh jurus sudah mereka lancarkan bergantian. Kedua pihak masih seimbang, baik Ding Tao
maupun Tiong Fa masih saling menyerang dan bertahan dengan rapatnya. Tiong Fa yang mengharapkan tenaga Ding Tao
sudah jauh melemah setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya jadi mengeluh dalam hati, ketika menyaksikan keuletan
pemuda itu. Tapi Tiong Fa cukup sabar dan berpengalaman, tanpa terburu-buru dia dengan tenang berusaha menekan Ding Tao,
sesekali menjauh sambil dibukanya celah untuk memancing Ding Tao melompat menyerang, agar tenaga pemuda itu
semakin cepat habis. Dua orang itupun seperti sedang melakukan tarian pedang, mengelilingi arena yang cukup luas.
Keringat Ding Tao yang baru saja mengering, dengan cepat mengalir kembali dengan deras. Nafasnya sedikit-sedikit mulai
memburu. Baru pada saat itulah mulai Tiong Fa mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Ini adalah jurus-jurus rahasia, yang hanya diketahui oleh keluarga sendiri.
Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit Ding Tao mulai terdesak.
Tidak ada yang berpikir Ding Tao akan menang, dengan sendirinya jantung mereka yang melihat tidak berdebar sekeras
pertandingan-pertandingan sebelumnya. Kebanyakan justru menggunakan kesempatan ini untuk sebanyak mungkin
menangkap jurus-jurus rahasia keluarga Huang yang belum pernah mereka lihat.
Dengan hati yang jauh lebih tenang, pengamatan mereka pun jauh lebih cermat. Meskipun mereka mengagumi jurus-jurus
yang diperagakan Tiong Fa, lebih kagum lagi mereka pada Ding Tao yang mampu bertahan sekian lama. Entah berapa kali
mereka bertanya pada diri sendiri, seandainya mereka yang diserang dengan cara demikian, dapatkah mereka lolos dari
serangan itu" Tentu saja setelah melihat cara Ding Tao meloloskan diri, pemecahannya jadi bisa dimengerti dengan jauh lebih mudah.
Tapi yang membuat mereka heran, bagaimana cara Ding Tao yang belum pernah mempelajari jurus rahasia itu, hingga anak
muda itu bisa tahu cara pemecahannya"
Tiong Fa tidak kalah kagumnya dengan bakat pemuda itu, tapi kekagumannya berubah menjadi rasa iri dan dengki. Apa lagi
ketika dia teringat rencana mereka untuk menarik pemuda itu ke dalam keluarga Huang. Diam-diam dia justru merasakan
kekhawatiran berkembang dalam hati kecilnya, apakah pemuda itu tidak akan membahayakan kedudukannya dalam
keluarga Huang nanti"
Justru karena bakat pemuda itu yang terlampau besar.
Sebelum menghadapi pemuda itu secara langsung, hal ini tidak terbayang oleh Tiong Fa, tapi sekarang setelah dapat
menyelami sendiri secara langsung bertarung dengan pemuda itu, mulailah keragu-raguan itu mengganggu hatinya.
Ding Tao memang selalu terlambat satu atau setengah langkah menghadapi jurus-jurus rahasia keluarga Huang. Tapi
kenyataan bahwa pemuda itu mampu menghindarkan diri dan tidak sampai jatuh ke dalam permainan Tiong Fa,
menunjukkan bahwa dalam waktu yang singkat itu, pemuda itu sudah mampu menangkap garis besar atau ide yang dibawa
oleh jurus-jurus tersebut.
Jangankan Tiong Fa yang menghadapi pemuda itu secara langsung, bahkan Huang Jin yang menonton dari pinggir arena
pun seperti tidak percaya pada penglihatannya.
Demikian juga tokoh-tokoh pimpinan yang lain, seperti Huang Yunshu dan Huang Ren Fang, terutama Huan Ren Fang yang
tiba-tiba saja bisa merasakan kedudukannya sebagai calon utama pengganti ayahnya sedang digeser oleh tangan yang tak
terlihat. Ketakutan yang muncul di hati Tiong Fa juga muncul di hati mereka. Merekrut orang berbakat memang perlu, tapi jika
orang itu jauh lebih berbakat dari mereka sendiri, apakah tidak seperti memelihara anak harimau, yang jika besar nanti
malah membahayakan jiwa pemeliharanya"
Biasanya untuk memastikan bahwa anak murid yang ditarik masuk tidak akan membahayakan bagi dirinya, seorang guru
akan menyimpan satu atau dua jurus pamungkas. Jurus yang nantinya akan bisa digunakan jika muridnya ternyata tidak
setia pada perguruan. Tapi hal itu tidak berlaku buat orang semacam Ding Tao, dengan bakatnya diberi tahu satu, dia sudah bisa mengerti dua
dan tiga. Apalagi Ding Tao sudah mempelajari lengkap seluruh jurus dasar dan jurus lanjutan. Ibaratnya untuk memasuki
satu ruangan, pintunya sudah ditemukan dan kuncinya sudah ada di tangan. Tinggal satu langkah saja, segenap ilmu
keluarga Huang akan dikuasainya.
Jika orang bermain kartu dan semua kartu As sudah ada di tangan, apakah akan dengan sengaja mau mengalah"
Orang mengukur orang lain dengan ukurannya sendiri, ketika melihat bakat Ding Tao keringat dingin mereka pun mengalir
keluar. Dengan menggertak gigi, dalam hati Tiong Fa memaki. Semakin lama, perlawanan Ding Tao justru semakin ulet.
Menghadapi jurus rahasia keluarga Huang, justru pikiran pemuda itu jadi semakin terbuka. Bila orang bermain puzzle dan
hampir seluruh puzzle-nya telah tersusun, maka makin mudah pula untuk menemukan tempat bagi sisa-sia potongan yang
ada. Demikian juga keadaan Ding Tao saat ini, jika dia tidak melihat dan mengalami sendiri jurus-jurus rahasia keluarga Huang, mungkin baginya perlu waktu satu atau dua tahun untuk mengembangkan apa yang sudah dia miliki hingga menguasai
sampai pada puncaknya. Tapi serangan-serangan Tiong Fa justru membuka matanya dan yang satu-dua tahun itu dengan
mudah dikuasainya sekarang.
Meskipun penguasaannya tidak benar-benar sempurna, tapi untuk menahan serangan Tiong Fa, hal itu jauh lebih daripada
cukup. Penonton yang tadinya menyaksikan pertandingan itu tanpa perasaan, jadi tergerak melihat perlawanan Ding Tao yang
semakin mantap. Apalagi ketika kedudukan keduanya jadi mulai berimbang.
Pembaca yang suka menonton pertandingan balap kuda mungkin bisa membayangkan perasaan mereka saat itu,
bagaimana ketika kuda yang tidak dijagokan sebelumnya, tiba-tiba mulai mendekati kuda terdepan di putaran terakhir.
Apalagi jika pembaca kebetulan sudah memasang taruhan pada kuda tersebut.
Sungguh celaka bagi Tiong Fa, semakin lama dia bertarung dengan Ding Tao, semakin cepat pula pemuda itu mematangkan
penguasaannya. Satu-satunya harapan Tiong Fa adalah tenaga pemuda itu yang sudah terlebih dahulu terkuras.
Yang tidak diduga oleh siapapun, adalah penemuan Ding Tao saat dirinya bertarung antara batas hidup dan mati melawan
Wang Chen Jin. Dan itulah yang terjadi sekarang, ketika Ding Tao sudah merasa mengerti semua kunci-kunci jurus rahasia keluarga Huang, mulailah dia mampu memberikan perlawanan. Sadar bahwa yang dia ketahui belum cukup untuk menggunakannya untuk
menjebak Tiong Fa untuk jatuh dalam permainan pedangnya, terpikirlah Ding Tao untuk menggunakan kelebihannya
tersebut. Tenaganya mulai disalurkan pada pedang kayu yang ada di tangannya.
Pada mulanya Tiong Fa masih belum menyadarinya, baru setelah beberapa kali tangannya tergetar setiap kali pedang
mereka berbenturan, sadarlah dia. Pucat wajah Tiong Fa ketika menyadari hal itu, keterkejutannya itu membuat lemah
permainan pedangnya. Untuk beberapa saat lamanya Ding Tao balik menggempur tokoh utama keluarga Huang tersebut.
Tapi Tiong Fa mendapatkan kepercayaan dari Huang Jin bukan tanpa alasan, dengan cepat dia berhasil menguasai
perasaannya, diapun menyalurkan hawa murninya ke tangan sehingga pada setiap benturan yang terjadi tangannya tidak
lagi tergetar dan pertarungan pun kembali menjadi seimbang.
Mengandalkan himpunan hawa murninya yang lebih mapan, Tiong Fa berusaha mendesak Ding Tao. Pertarungan pun
menjadi semakin seru, hingga menginjak ratusan jurus yang sudah dikeluarkan. Gulungan pedang keduanya saling
membelit dan berkitaran di tengah arena. Tidak satupun dari keduanya terdesak mundur dari kedudukan terakhir.
Pada saat yang makin menegangkan itulah, tiba-tiba terdengar suara pedang kayu yang berderak patah. Salah satu
gulungan pedang yang berputaran di arena pertandingan menghilang.
Itulah pedang Tiong Fa yang patah jadi serpihan. Nyata bahwa meskipun himpunan hawa murni Tiong Fa lebih mapan, tapi
penguasaan Ding Tao terhadap pengaturan hawa murninya justru lebih baik dan lebih menyatu dengan senjata di
tangannya. Nafas Ding Tao terdengar memburu di tengah ruang latihan yang sunyi.
Wajah Tiong Fa pucat lesi, meskipun keadaannya jauh lebih baik dari Ding Tao. Bahkan Tiong Fa yang terkenal cerdik pun
kali ini kehilangan akalnya.
Pedang Ding Tao belum sampai mampir di tubuh Tiong Fa, pemuda itupun tidak menyerang, hanya mengambil posisi yang
siap mengirimkan serangan. Jika patahnya pedang Tiong Fa tidak dihitung sebagai satu kekalahan, bukan tidak mungkin
akhirnya Ding Tao akan kalah karena kehabisan nafas.
Tapi kedudukan Tiong Fa sebagai tokoh yang lebih tua, tentu membuat hal itu akan tampak sangat memalukan.
Adalah Tuan besar Huang Jin yang lebih dahulu pulih dari rasa kagetnya. Suara tepuk tangannya menyadarkan semua yang
hadir di ruang latihan itu. Ketika mereka melihat Tuan besar Huang Jin-lah yang bertepuk tangan maka sorak sorai pun
pecah memenuhi ruangan. Mereka yang masih muda berlari mendekat untuk memberikan selamat pada Ding Tao, dengan tawa lebar mereka
menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Ada pula yang dengan bercanda mendorong badan pemuda yang sudah kepayahan itu.
Huang Ying Ying yang tadi ikut bersorak, kali ini justru bersikap malu-malu, gadis itu hanya ikut tertawa dari kejauhan saja.
Tuan besar Huang Jin diam-diam membisikkan sesuatu kepada putera sulungnya, kemudian dengan langkah yang tegap
mendekati Tiong Fa dan Ding Tao.
Mereka yang melihat kedatangan Tuan besar Huang Jin, mundur keluar dan berbaris dengan rapi dan tertib di pinggir arena.
Menepuk-nepuk pundak Tiong Fa Tuan besar Huang Jin berkata, "Pertandingan yang bagus, tidak perlu berkecil hati. Sudah
jadi pepatah dunia persilatan, gelombang ombak yang baru selalu mendorong menggantikan yang lama."
Kemudian berbalik pada Ding Tao dia tersenyum lebar pada pemuda itu, "Selamat Anak Ding, kemajuanmu dalam
menguasai ilmu keluarga Huang sungguh di luar dugaan kami semua. Kecuali satu dua jurus pamungkas, yang memang
hanya diturunkan pada kepala keluarga besar Huang, semuanya bisa kau kuasai."
"Benar-benar bakat yang luar biasa."
Ding Tao yang mendapat pujian sedemikian tinggi hanya bisa menggumamkan terima kasih sambil menundukkan kepala.
Mereka yang mendengar pujian Huang Jin pun semakin terheran-heran dan mengagumi bakat pemuda itu. Seandainya saja
mereka tahu yang sesungguhnya tentu akan berkali-kali lipat pula rasa heran dan kagum mereka. Karena hanya bualan
kosong belaka jika Tuan besar Huang Jin mengatakan, bahwa seolah-olah masih ada satu atau dua jurus pamungkas
keluarga Huang yang belum dikuasai oleh Ding Tao.
Jangankan jurus pamungkas yang dikuasai oleh Tuan besar Huang Jin, bila diberikan waktu yang cukup buat Ding Tao,
bukan tidak mungkin jurus pamungkas yang dikuasai oleh Tuan besar Huang Jin itu pun akan dapat disempurnakannya
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melebihi penguasaan Tuan besar Huang Jin sendiri.
Hanya saja kenyatan seperti itu sangat sulit diterima oleh akal, yang salah ternyata bisa jauh lebih masuk di akal dari kenyataannya. Karenanya dalam pikiran setiap orang, apa yang dicapai Ding Tao masih kalah seusap dengan tingkatan
Tuan besar Huang Jin. Meskipun hal itu ada benarnya, tapi sebenarnya yang seusap itu adalah masalah himpunan tenaga
dalam Tuan besar Huang Jin yang jauh lebih mapan.
Bahkan dalam hal itu pun, tidak akan banyak membantu bila keduanya harus berhadapan dalam pertandingan yang
sesungguhnya. Karena sebesar apa pun simpanan hawa murni yang berhasil dihimpun, penggunaannya masih sangat
bergantung pada kemampuan pemiliknya untuk menguasai dan menyalurkan tenaga itu secara tepat.
Lebih lagi jika dipertimbangkan bahwa, hawa murni yang bisa membuat pemiliknya bergerak lebih ringan, lebih cepat dan
lebih kuat itupun, dalam pengerahannya masih dibatasi juga oleh keterbatasan dari tubuh penggunanya.
Ding Tao yang lebih muda dan terlatih tubuhnya dibanding Tuan besar Huang Jin, memiliki kemampuan untuk
menggunakan hawa murni yang lebih besar.
Bila hendak diibaratkan sebuah bendungan, maka himpunan hawa murni itu seperti air yang tertampung dalam bendungan,
tubuh adalah saluran irigasi yang dilewati oleh air itu nantinya dan penguasaan akan hawa murni itu adalah pintu-pintu
yang mengatur besar kecilnya dan ke arah mana, air akan dilewatkan.
Jika saluran irigasi yang akan dilewati tidak kuat dan air yang lewat dipaksakan terlalu besar, maka hancurlah saluransaluran itu dan air pun akan tumpah sebelum sampai pada tujuannya.
Demikian juga jika seseorang memaksakan diri untuk menggunakan hawa murni secara berlebihan, pada waktu yang
singkat bisa jadi dia akan menghasilkan daya hancur yang besar, tapi daya hancur yang sama itu pula akan merusakkan
tubuhnya. Lagipula meskipun Tuan besar Huang Jin sudah bertahun-tahun lebih lama berlatih dan menghimpun hawa murni, tapi
bukankah apa yang dia simpan itu dia gunakan pula" Entah dalam latihan atau dalam pertarungan yang sesungguhnya. Itu
sebabnya bahkan keunggulan yang seusap itupun sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Siapa yang sebenarnya lebih
unggul, Ding Tao atau Tuan besar Huang Jin sebagai tokoh utama dalam keluarga Huang.
Tidak lama setelah Tuan besar Huang Jin berbasa-basi, Huang Ren Fang telah datang bersama seorang pelayan, membawa
sebuah baki berisi dua cawan dan sebotol arak.
Tuan besar Huang Jin, mengisi kedua cawan itu lalu menyerahkan yang satu pada Ding Tao, kemudian sambil mengangkat
cawan arak yang lain, dia berucap dengan sungguh-sungguh.
"Anak Ding, hari ini kau sudah membuktikan bahwa kau memang pemilik yang tepat dari pedang itu. Aku, mewakili
keluarga Huang, mengucapkan selamat."
"Dan mengingat tugas yang kau pikul di pundakmu adalah tugas yang menyangkut kepentingan seluruh negeri, kami
seluruh anggota keluarga Huang, dengan ini memberikan kesanggupan kami untuk berdiri di belakangmu dan membantumu
sekuat tenaga kami, sampai kau berhasil menunaikan tugasmu itu."
"Sekali lagi aku ucapkan selamat!"
Dan dengan satu tegukan Tuan besar Huang Jin menghabiskan arak di cawannya. Tepuk tangan dan sorak sorai pun
memenuhi ruang latihan itu untuk kedua kalinya. Ding Tao dengan mata yang basah oleh air mata, meneguk habis arak di
cawannya. Cepat Tuan besar Huang Jin menangkap pundak pemuda itu, ketika dia hendak bersoja di depannya, dengan kebapakan
Tuan besar Huang Jin membimbing pemuda itu, "Sudah, sudah, cukup, aku tahu ketulusanmu. Malam ini kau sudah banyak
menguras tenaga, sebaiknya cepatlah beristirahat. Besok, kita akan bicarakan lebih jauh masalah tugas yang dibebankan
oleh gurumu." Menoleh ke salah satu anak muda yang ada di situ dia berpesan, "Antar dia ke kamarnya, dan jangan habiskan waktu untuk
mengobrol yang tidak perlu. Besok masih ada banyak waktu, malam ini biarkan Ding Tao istirahat sebaik-baiknya."
Dengan perkataan itu bubarlah mereka semua dari ruang latihan, masing-masing pergi ke ruangan mereka, beberapa orang
mengantarkan Ding Tao yang sudah kelelahan ke kamarnya. Mereka pun menaati pesan Tuan besar Huang Jin, apalagi
ketika melihat keadaan Ding Tao yang benar-benar terkuras tenaganya.
"Sampai besok Ding Tao, selamat atas kemenanganmu. Sekarang beristirahatlah baik-baik.", pamit mereka.
"Terima kasih atas perhatian kalian semua. Sampai besok.", jawab Ding Tao yang baru sekarang merasa betapa tenaganya
benar-benar terkuras. Segera setelah dia menutup pintu, Ding Tao merebahkan tubuhnya ke atas pembaringan. Seluruh tulang dan ototnya terasa
lemas tak bertenaga. Untuk sesaat pemuda itu belum memejamkan mata, kejadian malam itu sungguh di luar
bayangannya. Kisah Sepasang Bayangan Dewa 1 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Harpa Iblis Jari Sakti 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama