Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 30

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 30


kekaguman memandang Ding Tao.
"Aku mengerti sekarang, mengapa kau memberikan semua tugas itu pada Shin Su", ujar Hu Ban sambil mengelus-elus
dagunya. "Bagus, jadi bisakah aku menitipkan masalah ini pada tetua sekalian?", tanya Ding Tao pada mereka.
"Ya, serahkan semuanya pada kami, kami akan berusaha agar pada pertemuan lima tahunan nanti semuanya sudah siap.
Dan kau, jangan pikirkan yang lain, konsentrasikan saja seluruh kemampuanmu untuk menerobos pintu yang terakhir itu.",
ujar Zhu Yanyan dengan bersemangat.
"Baik, maaf jika pada akhirnya aku percayakan sisanya pada tetua sekalian.", jawab Ding Tao.
"Hm.. tidak masalah, kulihat sekarang kau sudah tumbuh jadi lebih dewasa, sungguh pantas untuk menjadi pemimpin
sebuah partai.", ujar Zhu Yanyan dengan bangga.
"Ya, kami semua bangga padamu, sekarang pergilah menyepi, jangan pikirkan macam-macam, kami yang tua ini pun masih
punya semangat, kau tidak perlu khawatir.", ujar Chen Taijiang sambil tersenyum, aneh kali ini mukanya tidak terlihat
sedih. "Ya, aku percaya pada tetua sekalian, juga padamu Nona Wang Shu Lin.", ujar Ding Tao tiba-tiba mengalihkan perhatiannya pada Wang Shu Lin.
Tentu saja Wang Shu Lin jadi berdebar-debar, sejak Ding Tao bebas dari pengaruh buruk Obat Dewa Pengetahuan dia
menjauhkan diri dari Ding Tao, demikian pula pemuda itu. Tiba-tiba sekarang Ding Tao menegurnya secara langsung.
Apalagi kemudian Ding Tao berkata, "Tetua sekalian, kalau boleh aku minta ijin untuk berbicara berdua saja dengan murid kalian."
"Hm.. tentu saja boleh, pergilah kalian berdua, kami percaya kalian berdua sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan
urusan kalian sendiri.", ujar Shu Sun Er dengan wajah cerah.
"Eh" guru" aku toh tidak ada yang hendak dibicarakan", ujar Wang Shu Lin tiba-tiba merasa gugup dan tidak memiliki
keberanian untuk berdua saja dengan Ding Tao.
"Jangan bodoh, pergilah sana, tak pernah kulihat kau sepenakut ini.", ujar Shu Sun Er sambil mendorong Wang Shu Lin
pergi. Ding Tao sudah mendahului berjalan keluar dari rumah, Wang Shu Lin yang sedikit terlambat di belakang masih menoleh
sekali lagi pada guru-gurunya. Mereka pun memberi tanda dengan tangan, menyuruh gadis itu pergi bersama Ding Tao.
"Moga-moga ada kepastian dengan hubungan mereka berdua", ujar Hu Ban berharap.
"Entahlah, Ding Tao yang sekarang memang sudah jauh lebih dewasa, tapi seringnya seorang laki-laki yang tahu tanggung
jawab dan berada dalam posisi sepertinya, wanita jadi berada pada urutan yang ke sekian", ujar Shu Sun Er dengan mata
jauh menerawang. "Hmm" lalu mengapa kau tadi terlihat begitu senang, masakan kau berharap Wang Shu Lin patah hati?", tanya Pang Boxi
pada Shu Sun Er. Shu Sun Er tersenyum, "Lelaki bukan cuma satu orang, yang kuharapkan hanyalah agar Ding Tao tidak menggantung terus
Anak Shu Lin, jika jadi ya jadi, kalau tidak ya tidak. Dengan begitu Anak Shu Lin pun bisa berjalan ke depan dan tidak terus menerus menantikan sesuatu yang tak pasti."
Hu Ban menengok ke arah Shu Sun Er, kemudian kembali memandang ke arah perginya Wang Shu Lin, perlahan dia
menghela nafas, "Kau benar" dia masih muda, masih sangat muda" sayang jika waktu harus berjalan terus untuk
menantikan yang tidak mungkin."
"Hei" apa kau menyindirku?", tanya Shu Sun Er sambil melirik ke arah Hu Ban.
"Oh" tidak, tidak", ujar Hu Ban sambil tersenyum kecut.
Tiba-tiba Shu Sun Er tampak melembut perlahan dia bilang, "Aku bukannya tidak mengerti perasaanmu" tapi kita sudah
tua, jadi biarlah kita simpan saja perasaan ini dalam hati."
"Hei hei" jika kalian berdua sudah tua, lalu bagaimana denganku" Aku tidak mau menjadi tua.", keluh Chen Tai Jiang
membuat mereka tertawa geli.
"Hahaha, tapi perkataan Adik Taijiang kali ini ada benarnya, sudah lama kami mengamati kalian berdua, sebagai saudara
kami pun merasa sedih. Kalau memang Adik Sun Er sudah berpikir demikian, kenapa juga harus berhenti sampai di sini.
Kita toh sudah tua, sudah bisa memandang segala sesuatunya dengan lebih matang, tahu mana yang berlebihan dan mana
yang wajar.", ujar Khongti sambil mendorong bahu Hu Ban.
Hu Ban sudah berumur, tapi masih bisa juga tersipu malu, mengumpulkan segenap keberaniannya dia pun mendekati Shu
Sun Er dan berkata, "Adik Sun Er", mungkin kau pandang ini tak perlu, tapi" tapi" jika kau tidak keberatan" aku berharap kita bisa" "
Mengambil nafas dalam-dalam Hu Ban kemudian berkata, "Sun Er, menikahlah denganku."
"Nah begitu baru benar", ujar Pang Boxi sambil menepuk pundak Hu Ban, diikuti Khongti dan Chen Taijiang, tentu saja
dengan berbagai komentar.
Zhu Yanyan hanya ikut tertawa saja, sementara Shu Sun Er jadi tersipu malu.
"Kalian ini semua, rambut kalian saja sudah beruban, tapi tingkah kalian masih seperti anak-anak.", ujarnya sambil
menggelengkan kepala dan bergerak hendak pergi.
Tapi buru-buru Hu Ban menahan lengannya, "Adik Sun Er, tunggu sebentar, jangan salah mengerti, aku tidak lupa dengan
umur kita, aku hanya berharap, bisa menghabiskan sisa umurku sebagai suamimu."
Shu Sun Er bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Hu Ban, langkah kakinya pun terhenti dan ketika matanya bertemu
pandang dengan mata Hu Ban, hatinya pun tersentuh, sudah sedemikian lama Hu Ban menanti dirinya, seberapa besar rasa
cinta Hu Ban tidak bisa dia pikirkan.
Setelah lama mereka saling memandang, akhirnya Shu Sun Er melepaskan tangannya dari genggaman Hu Ban dengan
lembut, dan berkata, "Ya sudahlah terserah kalian, tapi aku tidak mau pesta macam-macam, awas saja kalau kalian berani
membikin pesta yang berlebihan."
Mendengar jawaban Shu Sun Er itu pun, Khongti, Chen Taijiang dan Pang Boxi bersorak-sorak, sementara Hu Ban dan Zhu
Yanyan tertawa bahagia. Tetua Shen sebagai orang luar sedikit banyak bisa meraba hubungan di antara mereka berdua ikut
merasa bahagia dan tertawa.
"Apakah kita perlu mengundang orang-orang di desa?", tanyanya.
"Tidak, jangan, cukup kita sendiri saja, jangan membuatku malu, masa sudah setua ini masih juga mencari suami.", ujar
Shu Sun Er sambil cepat-cepat pergi dengan wajah mulai memerah karena malu.
Sorakan dan godaan Khongti, Chen Taijian dan Pang Boxi masih bisa didengarnya ketika dia berjalan menjauh, meski di
mulut dia memaki, namun dalam hati Shu Sun Er pun merasa bahagia.
Di tempat lain Wang Shu Lin sedang berdebar-debar duduk di dekat Ding Tao yang tampak jauh lebih dewasa.
"Ini tidak mudah?", ujar Ding Tao membuka percakapan.
?" tidak apa jika tidak dibicarakan?", ujar Wang Shu Lin suaranya berbeda jauh dengan saat dia menjadi Ximen Lisi.
"Tidak", aku berhutang budi padamu, aku bersalah jika mendiamkan saja masalah ini.", ujar Ding Tao lembut tapi juga
tegas. Tiba-tiba perasaan Wang Shu Lin seperti tenggelam dan dia pun kehilangan kekuatan untuk berkata-kata.
"Nona Wang Shu Lin", apakah aku salah jika aku menduga bahwa nona menaruh hati padaku?", tanya Ding Tao hati-hati.
Lama Wang Shu Lin tidak menjawab dan Ding Tao pun menanti dengan sabar menunggu jawaban darinya. Akhirnya Wang
Shu Lin mendapatkan kekuatan untuk menjawab.
"Tidak" tidak salah" apakah Kak Ding Tao tidak merasakan hal yang sama?", suara Wang Shu Lin bergetar dan hampirhampir tak terdengar. Ding Tao pun menghela nafas dalam-dalam, "Maafkan aku nona, tapi aku tidak bisa membalas perasaan nona."
Terisak Wang Shu Lin pun bergerak hendak meninggalkan tempat itu. Tapi tangan Ding Tao dengan cepat menahannya
dengan lembut. "Nona", tunggu dulu?"
"Ada apa lagi Ketua Ding Tao?", tanya Wang Shu Lin menahan isak.
"Nona" betapa mudah bagiku untuk jatuh cinta padamu" dalam segala hal, nona ini adalah wanita di antara wanita. Hanya
saja memang sengaja aku tutup hatiku dari Nona Wang Shu Lin. Nona tentu tahu sejarah kelamku, cinta pertamaku,
pernikahanku. Kalaupun aku buka hatiku, di dalamnya sudah ada banyak cinta, terbagi dengan yang lain.", Ding Tao
berkata dengan lembut, tangannya tegas menggenggam tanpa terlalu keras meremas.
"Nona Wang Shu Lin", sesungguhnya aku merasa bersalah pada nona jika aku terima cinta nona, sementara dalam
hidupku, nona bukanlah yang satu-satunya. Bahkan pada Adik Ying Ying pun, aku sedang berpikir untuk melepaskannya.
Dia pun seorang gadis yang baik, dia pantas mendapatkan cinta yang sepenuhnya, yang utuh dari seorang pemuda yang
baik. Bisakah nona mengerti itu?", tanya Ding Tao pada Wang Shu Lin.
"Entahlah, aku tidak sebijak tuan, jadi sulit buatku untuk mengerti.", jawab Wang Shu Lin dengan hati tak karuan.
Memang benar dia sudah siap untuk mencintai Ding Tao dari kejauhan, tapi dalam hatinya juga masih berharap. Percakapan
ini, menghapuskan harapan itu dan dia sendiri tidak bisa mengerti apa perasaannya saat ini. Sakit dan malu, tapi dia juga tidak bisa membenci Ding Tao.
"Lalu mengapa tentang Nona Huang, tuan masih berpikir, sedangkan bagiku dengan mudahnya tuan membuat keputusan"
Tidak ingatkah tuan, apa yang terjadi di kaki Gunung Songshan?", tiba-tiba ada rasa tidak mau terima yang muncul dan
bertanyalah dia. Di luar dugaan Ding Tao tiba-tiba menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Nona" betapa mudah bagiku untuk mencintaimu?", bisiknya di telinga Wang Shu Lin, membuat perasaan gadis itu
semakin kacau. "Tapi aku percaya dan aku memutuskan, biarlah di antara kita yang ada hanyalah hubungan kasih antara seorang kakak
dengan adiknya. Apakah itu bukan kasih yang lebih murni dari kasih antara lelaki dan wanita yang biasanya mengharapkan
sesuatu?", bisik Ding Tao dengan lembut.
"Aku juga ingat di kaki Gunung Songshan ada seorang pemuda yang sangat mencintaimu. Tidak bisakah kau buka hatimu
untuknya" Jika Adik Shu Lin bisa membuka hati untuknya, aku yakin dengan mudah Adik Shu Lin bisa mencintainya.",
kembali Ding Tao berbisik lembut.
Hati Wang Shu Lin yang mulai terhibur, kembali terasa mengkal mendengar bujukan Ding Tao itu, dia pun meronta hendak
lepas dari pelukan Ding Tao sambil berujar, "Supaya aku melupakanmu, supaya kau bisa kembali pada dua orang isterimu
dan kekasih mu itu kan?"
Tapi Ding Tao tidak hendak melepaskan pelukannya, justru dia mempererat pelukannya itu, "Shu Lin" Shu Lin" cobalah
berhenti berpikir" rasakan saja, rasakan ketulusanku ini?"
Bercampur baur perasaan Wang Shu Lin, dia pun menangis terisak-isak dalam pelukan Ding Tao. Perlahan-lahan dia pun
tidak lagi meronta, hanya menangis terisak, perlahan, dalam pelukan Ding Tao yang memberinya kehangatan.
"Aku tidak mengerti" aku tidak mengerti?", ujar Wang Shu Lin dalam isaknya.
"Aku pun tidak mengerti" seandainya saja kita bertemu sebelum semuanya itu terjadi?", ujar Ding Tao dengan suara
tercekat. Dan Wang Shu Lin pun merebahkan kepalanya di dada Ding Tao, tangannya erat memeluk pemuda itu, seakan tak ingin
melepaskannya. Dia pun berbisik perlahan, "Ciumlah aku sekali saja" sekali saja?"
Ding Tao mengangkat dagu gadis itu dengan lembut, dihapusnya air mata yang membasahi pipi gadis itu.. Ding Tao
memandangi wajahnya dalam-dalam, kedua pasang mata mereka bertemu, memadang mesra dan lembut. Tersenyum,
Wang Shu Lin pun menutup matanya. Ding Taomenghela nafas dalam-dalam, kemudian dengan lembut dia mencium
keningnya, lalu kedua pipinya dan dengan lembut dia memutuskan untuk tidak mengikuti keinginan hatinya untuk mencium
bibir gadis itu, melainkan dia memeluk kembali gadis itu dengan erat. Wang Shu Lin tersenyum dengan sedih, namun kali
ini dia tidak lagi meronta, diisinya dadanya penuh-penuh dengan udara, lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Seiring
dengan hembusan itu, dia buang pula segala perasaan sakit, tidak rela dan kemarahan yang masih tersisa di dalam
dadanya. Perlahan-lahan Ding Tao pun merenggangkan pelukannya.
"Apakah menurut kakak , Zhu Jiuzhen adalah seorang pemuda yang baik?", tanya Wang Shu Lin masih bersandar pada dada Ding Tao.
"Seharusnya kau yang lebih tahu, dari sekilas yang kulihat, aku hanya tahu bahwa dia sangat mencintaimu. Meski
terkadang ada bermacam-macam bentuk cinta, ada cinta yang ingin memiliki dan dengan demikian justru membuat yang
dicintai menderita karena terlalu dikekang.", jawab Ding Tao.
"Jadi menurut kakak aku harus bagaimana?", tanya Wang Shu Lin.
"Aku hanya meminta, cobalah buka hatimu, beri dia kesempatan. Jangan pula karena aku yang meminta kemudian adik
menerima cintanya tanpa pertimbangan. Umur adik masih muda, jalani saja perlahan-lahan, jika kemudian adik yakin dia
bisa membahagiakan adik, tentu saja adik harus menerima cintanya.", ujar Ding Tao memberi nasehat.
"Jika aku sudah menerima cintanya tapi kemudian ternyata aku salah, apa yang harus kulakukan?", tanya Wang Shu Lin
dengan sedih. "Jika terjadi demikian, maka carilah aku, datang padaku.", ujar Ding Tao sambil mendekap gadis itu.
"Kakak berjanji tidak akan berubah hati padaku?", tanya Wang Shu Lin, sambil membalas dekapan Ding Tao.
"Tidak, aku berjanji tidak akan berubah hati padamu.", jawab Ding Tao.
"Meski aku sudah bukan lagi seorang gadis" Meski kakak sudah rujuk kembali dengan isteri-isteri kakak" Meski kakak sudah menikah dengan Nona Huang?", tanya Wang Shu Lin kembali terisak.
"Tidak, aku berjanji tidak akan berubah, aku akan selalu ada untukmu. Yang kuminta hanyalah berikan kesempatan pada
dirimu untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih sempurna.", ujar Ding Tao dan kali ini dia tidak bisa menahan diri, untuk tidak mengangkat dagu gadis itu dan kemudian mencium bibirnya dengan mesra.
Untuk beberapa lamanya mereka pun saling berpagutan, berciuman dengan ketat, mencurahkan segala perasaan hati
mereka. Ketika kemudian mereka saling memisahkan diri dengan nafas sedikit memburu, Ding Tao pun membelai rambut
gadis itu, membelai pipinya dan sekali lagi mengecup kening gadis itu.
"Ingatlah, benar-benar kuminta, berikan pada dirimu, kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih sempurna.
Bagaimana pun juga, adalah tidak mungkin seorang lelaki membagi hatinya pada banyak wanita, tanpa ada yang akan
merasakan sakit hati. Mengertikah kau" Meski kau menjadi milikku, hatiku akan sedih bila melihatmu bersedih, tapi jika aku bisa melihatmu berbahagia, meski itu dengan orang yang berbeda, aku pun akan merasa bahagia. Mengertikah kau?"
Wang Shu Lin pun menganggukkan kepala, untuk kemudian menyurukkannya ke atas dada Ding Tao dan Ding Tao pun
dengan lembut memeluk dan membelai-belai rambutnya yang halus dan panjang. Lama mereka duduk berdua, dengan
Wang Shu Lin bersandar pada Ding Tao, saling berbicara mengenai masa lalu mereka, kekhawatiran mereka dan harapan
mereka tentang masa depan. Ketika akhirnya mereka berpisah, hati mereka sudah lega dan tidak lagi dipenuhi beban
perasaan mengenai hubungan mereka. Ketika Wang Shu Lin melambai, dia melambai dengan senyum di wajahnya, meski
matanya sedikit membasah oleh air mata. Ding Tao pun memulai pengasingannya dengan perasaan tanpa beban,
langkahnya mantap, berjalan menuju ke tempat yang jauh, mencari hutan atau tempat sepi lainnya, di mana dia bisa
berlatih tanpa terganggu.
Sementara Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya pun sibuk dengan urusan yang ditinggalkan Ding Tao pada mereka, tidak
kurang dari tiga hari setelah kepergian Ding Tao mulailah datang utusan dari Shin Su, menyampaikan hasil dari tugas yang diberikan Ding Tao pada mereka. Maka Wang Shu Lin dan enam orang gurunya pun membagi tugas, mereka meninggalkan
Desa Hotu, Tetua Shen sudah menyanggupi untuk menjadi penghubung antara mereka dengan Ding Tao nanti. Segala
pesan untuk Ding Tao sementara dia masih menyepi akan diterima olehnya.
Wang Shu Lin sendiri pergi ke Shan Xi, selain untuk memperkuat perkumpulan yang dia miliki demi membantu Ding Tao
pada saatnya dibutuhkan nanti, dia pun kembali ke Shan Xi untuk belajar membuka hatinya untuk Zhu Jiuzhen. Tidak
mudah memang, apalagi dia sudah pernah berpikir, bahwa seluruh hati, jiwa dan tubuhnya akan dia serahkan pada Ding
Tao. Namun Ding Tao sendiri yang meminta, meski berat Wang Shu Lin pun berupaya untuk menutup hatinya bagi Ding
Tao, meski mungkin jauh di dalam perasaan itu masih ada.
Tapi kita tidak akan mengikuti perjalanan mereka, terlalu panjang jika apa yang dilakukan tiap-tiap orang harus diceritakan.
Kita akan mengikuti perjalanan Ding Tao seorang, dua hari perjalanan akhirnya Ding Tao mendapatkan tempat yang cocok
untuk menyepi. Tempatnya dekat dengan sebuah sungai kecil, jadi mudah untuk mendapatkan air, juga tersedia ikan untuk
ditangkap. Pepohonan di sekitarnya cukup rapat, tidak terlihat ada jalan setapak, kecuali jalan setapak yang terbentuk
karena binatang-binatang yang lalu lalang untuk minum dan mandi di sungai kecil itu. Justru dari jalan setapak itu Ding Tao menemukan sungai kecil itu. Melihat keadaaannya, Ding Tao berharap, tempat itu termasuk tempat yang jarang didatangi
manusia. Karena tidak ada tanah lapang, Ding Tao pun akhirnya berlatih di sungai kecil itu, dia berjalan sampai menemukan tempat di mana airnya tidak terlalu dalam, hanya sampai di pinggangnya saja dan dasarnya cukup datar dan luas untuk berlatih.
Berlatih di dalam air tentu tidak semudah berlatih di atas tanah lapang, tapi Ding Tao menjadikannya bagian dari latihan itu sendiri. Meski tentu saja, fokus Ding Tao saat ini bukan lagi melatih keseimbangan atau menguatkan kuda-kuda, dia
mencari sesuatu yang lebih dari itu. Dia berusaha menyelami lagi apa saja yang pernah dia pelajari, lebih dalam lagi dari yang sampai saat ini dia dapati.
Jika tidak berlatih tentu dia bermeditasi, sedikit sekali waktu yang dia gunakan untuk beristirahat atau mencari makan.
Dalam satu hari, mungkin dia hanya makan beberapa ekor ikan atau pernah juga dia cukup beruntung sehingga dia
mendapatkan seekor kelinci, pernah juga seekor ular, binatang lain yang lebih besar dia tidak mau, bukan karena
pantangan tertentu, hanya saja dia seorang diri dan Ding Tao merasa sayang jika daging binatang itu harus terbuang siasia. Tapi sekian hari sudah berlalu, Ding Tao tidak juga mendapatkan kemajuan, semakin sering dia berlatih semakin rasanya
sia-sia saja. Tidak ada yang lebih lagi yang bisa dia gali dari segenap ilmu yang sudah dia pelajari. Tidak ada yang baru yang bisa dia dapatkan, kecuali dari dua ilmu, warisan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang terkadang kemudian
dia menyadari perubahanan atau variasi yang sebelumnya tidak dia sadari ada dalam gerakan itu. Tapi sebenarnya bukan
itu pula yang dia cari, pemahaman yang demikian hanya menambah pengetahuannya, tapi tidak membantu dia untuk lebih
menyatu lagi dengan jurus-jurus yang ada padanya saat ini.
Dalam ketekunannya berlatih dan berusaha untuk sampai pada tahap yang selanjutnya, tanpa sadar Ding Tao semakin
berlebihan dalam berlatih dan semakin lupa pada tubuh fisiknya.
Pada satu hari, setelah malam sebelumnya dia tidur larut malam, pagi harinya Ding Tao sudah mulai berlatih kembali,
mengulang satu per satu setiap jurus yang pernah dia pelajari, mulai dari yang pertama kali dia pelajari sewaktu dia masih kanak-kanak sampai pada jurus-jurus yang diwariskan kedua tetua padanya. Berulang kali tanpa henti, pikirannya yang
sudah membentur jalan buntu akhirnya membuat dia bergerak tanpa berpikir. Ketika akhirnya dia sadar, barulah terasa
perutnya perih, otot-ototnya terasa sangat lemah. Hampir-hampir dia tidak kuat berjalan ke tepian. Ketika sudah sampai di tepi sungai, Ding Tao pun roboh kelelahan, pingsan, masih dengan baju yang basah dan perut yang kosong.
Ketika dia tersadar kembali, malam sudah tiba, tubuhnya menggigil kedinginan, bajunya sudah kering dengan sendirinya.
Ketika dia meraba dahinya, terasalah betapa panas tubuhnya, meski dia menggigil kedinginan. Dengan tubuh gemetaran
Ding Tao mengenakan baju dan jubah luarnya. Susah payah dia menyalakan api unggun.
Perutnya yang terasa perih tak dia hiraukan, dalam keadaan demam Ding Tao pun jatuh tertidur kembali.
Entah berapa kali dalam tidurnya dia terbangun dan tertatih-tatih pergi ke sungai untuk meminum air sungai sebanyakbanyaknya dan kemudian kembali ke api unggun untuk sekali lagi bergelung dan akhirnya jatuh tertidur.
Pagi datang kembali dan Ding Tao terbangun, hampir-hampir tidak ada kekuatan dan dia bisa merasakan tubuhnya demam
begitu hebat. Sadar dia tak boleh terus menerus melewatkan waktu tanpa mengisi perutnya dengan makanan, Ding Tao
memaksakan diri untuk pergi ke sungai dan berusaha menangkap ikan. Ding Tao harus bekerja keras, apa yang biasanya
bisa dia lakukan dengan mudah, sekarang membutuhkan segenap konsentrasi, kekuatan dan kecepatan yang dia miliki.
Syukurlah usahanya tak sia-sia, sekaligus dia menangkap beberapa ekor ikan, lebih banyak dari biasanya.
Hari itu pun berlalu tanpa latihan, hanya demam yang tinggi, istirahat, makan dan minum. Tak dapat lagi dia memikirkan
yang lainnya. Baru kali itu dia merasakan dirinya selemah itu. Mungkin tidak separah saat dia sedang membersihkan diri
dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, tapi pada saat itu pikiran Ding Tao juga tidak sedang berjalan sehingga dia tidak
benar-benar menyadari keadaannya. Berbeda dengan sekarang ini.
Dengan keadaan tubuh yang lemah itu, tak ada yang bisa dilakukannya, Ding Tao tiba-tiba merasa lemah dan tak berdaya.
Dalam gemetar dia tiba-tiba tertawa geli, geli dan juga pahit, dia tertawa menertawakan kesombongannya, kepongahannya.
"Inikah Ding Tao yang hendak menyelamatkan dunia?", pikirnya dalam hati.
Betapa lemahnya sesungguhnya dia sebagai manusia. Hanya sehari saja dia bekerja tanpa makanan dan dia sudah jatuh
sakit tak berdaya. Betapa terbatasnya sebenarnya dirinya itu. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk mengubah dunia,
meruntuhkan gunung dan mengeringkan laut, jika dia jatuh tak berdaya hanya karena perkara perut"
Pikiran-pikiran ini membuat Ding Tao merasa dirinya begitu kecil.
Setengah mengigau karena demam, mulailah timbul perasaan mengasihani diri sendiri, bertanyalah dia mengapa dia
ditinggalkan kedua orang tuanya dalam usia begitu muda. Mengapa dia harus mengalami fitnah orang. Mengapa dia harus
dipisahkan dari kekasih hatinya. Mengapa pula orang yang dicintainya begitu dalam justru mengkhianati dia.
Perlahan menetes air mata dari kedua matanya, Ding Tao merasa sedih, marah dan tak berdaya. Dipandangnya langit dan
keluarlah segala tuduhan dari hatinya. Entah berapa lama dia terbaring di sana, menatap langit biru kelam dengan bintang bertaburan di atasnya. Antara tidur dan mengigau oleh karena demam panas tubuhnya. Antara sadar dan tak sadar, dia
bertanya, dia meminta, dia menuntut kepada langit yang ada di atasnya. Entah berapa lama dia seperti tu, tanpa sadar oleh lelah dan tekanan perasaan dia pun tertidur pulas.
Saat dia bangun demamnya sudah mulai turun, kesadarannya pun perlahan-lahan kembali. Ketika matanya terbuka yang
pertama kali terlihat olehnya adalah langit yang berwarna biru kelam, perlahan-lahan berubah jadi keunguan, bintangbintang masih bersinar terang sementara jauh di timur matahari perlahan-lahan mulai bersinar.
Segala caci maki yang dia lontarkan semalam tiba-tiba membuat dia malu. Betapa langit bermurah hati, dalam sakitnya
cuaca begitu cerah, angin menerpa tubuhnya terasa sejuk membuai. Kehangatan api unggun menyelimuti tubuhnya.
Perlahan Ding Tao bangun dan menyandarkan tubuhnya di pohon yang terdekat, perasaan nyaman memiliki tempat untuk
bersandar, memandang tulang-tulang ikan yang berserakan, entah bagaimana dia memasak ikan-ikan itu, dia pun tidak
sadar dengan cara apa dia bisa memakannya tanpa harus tersedak dengan duri-duri ikan itu.
Ding Tao pun merasa malu.
Ding Tao merasa dirinya semakin kecil, semakin tak berarti, hanya sejumput debu dalam alam semesta yang tak terbatas.
"Siapa aku?", pertanyaan itu pun terlontar tanpa sadar.
Betapa pendek umur manusia, manusia lahir dan mati, matahari masih terus berjalan dari timur ke barat tanpa henti.
Pohon-pohon yang berumur ratusan tahun, ada saatnya tumbang dan membusuk, tapi lautan tetap pasang dan surut tanpa
henti. Segalanya terus berjalan, yang baru datang yang lama pergi. Sesungguhnya apa artinya manusia ini, seperti embun
yang datang di pagi hari dan menghilang begitu matahari sudah bersinar terang di atas langit. Tak ubahnya bunga-bunga
rumput liar, yang hari ini berkembang besok sudah berguguran.
Teringat itu semua, Ding Tao merasa dirinya makin kecil.
Semakin dia malu telah mencaci langit, semakin malu dia mencaci Yang Maha di atas sana. Matahari, udara, makanan dan
kehidupan, semuanya diberi tanpa pernah dia diminta imbalannya. Adakah matahari hanya bersinar untuk mereka yang
berbuat baik" Tidakkah Dia yang Maha memberi seperti seorang ibu yang bersabar pada anaknya yang nakal, menerima
segala caciannya dengan sabar. Menina bobokkan dia dengan hangatnya api unggun, menurunkan demamnya dengan
hembusan angin yang sejuk, menaunginya dengan cuaca yang cerah, memberinya makan di luar sadarnya.
Sebenarnya selama hidupnya apa yang sudah pernah dia lakukan untuk membalas segala kebaikan dalam kehidupan yang
dia terima" Mungkin dia kehilangan kedua orang tuanya, tapi sebagai ganti ada banyak orang-orang yang datang dan
melimpahinya dengan kasih. Di masa kecilnya ada Tabib Shao Yong dan ada gurunya Gu Tong Dang. Ada pula Huang Ying
Ying" ya Huang Ying Ying yang telah dia khianati kesetiaannya, ketika dia menyerahkan hatinya pada Murong Yun Hua. Lalu dalam perjalanan hidupnya dia bertemu dengan sahabat-sahabat, orang-orang terhormat yang menghargai persahabatan
lebih dari nyawa mereka sendiri. Ada berapa orang yang hidup dan pernah mendapatkan persahabatan yang sedemikian


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rupa" Lalu dia di sini, merasa dirinya hidup menderita dan diterpa ketidak adilan. Betapa sempit cara dia memandang. Sekali lagi Ding Tao merasa malu.
Teringatlah dia pada orang-orang yang telah dia bunuh, pada kehidupan yang telah dia renggut sebelum waktunya, demi
menyelamatkan nyawanya sendiri. Dipandanginya kedua belah tangannya, yang sudah berlumuran darah. Ketika dia dulu
kembali ke Wuling, benarkah itu karena cinta" Tiba-tiba dia bertanya.
Apakah itu cinta" Dia merasakan cinta pada kecantikan dan kebaikan Huang Ying Ying. Tapi kemudian ketika dia bertemu
dengan Murong Yun Hua betapa mudahnya hatinya tergetar dan jatuh cinta pula pada yang lain. Apakah itu cinta"
Ketika dia berpikir tentang cinta, yang ada dalam angan-angannya adalah satu kehidupan yang berbahagia dengan wanita
yang dicintainya. Benarkah demikian" Ataukah dia sedang berangan-angan hidup dengan wanita yang bisa membuatnya
bahagia, wanita yag bisa memenuhi keinginannya sebagai seorang pria, seorang wanita yang setia, dengan laku lembut,
manja yang bisa membuatnya bahagia" Apakah benar dia mencintai Hua Ying Ying, Murong Yun Hua, Murong Huolin dan
bahkan Wang Shu Lin" Ataukah sebenarnya dia hanya mencintai dirinya sendiri"
Cintanya timbul karena mereka membuat dia bahagia, ketika Murong Yun Hua mengkhianatinya, berubahlah cintanya
menjadi benci. Itukah cinta"
Teringat juga bagaimana dia mencium Wang Shu Lin dengan penuh nafsu, apakah itu cinta" Dia sudah meminta gadis itu
untuk mencari kebahagiaan yang lebih sempurna bersama lelaki yang tidak menduakannya, bagaimana bisa dia melakukan
sesuatu yang seharusnya menjadi hak lelaki itu" Sungguhkan cintanya itu murni, sungguhkah cintanya itu suci"
Terhuyung-huyung Ding Tao berjalan ke tepian sungai, jatuh terduduk di sana dia memandangi air yang mengalir tiada
henti. Dia pun merasa diri semakin tak berarti, seperti air yang datang dan pergi, sebentar ada sebentar lagi tiada. Dan antara yang ada dan tiada itu telah dia isi dengan kebohongan, dengan penipuan pada diri sendiri.
Teringat dia dengan igauannya semalam, sungguh dalam kisah hidupnya dialah pahlawan, dialah korban. Tapi ketika hari
terang, sadarlah dia, dia bukan pahlawan, dia juga bukan korban. Kejatuhannya adalah kesalahannya sendiri, dalam
kesalahannya dia sudah pula mengorbankan orang lain. Berpikir demikian, berpikirlah pula Ding Tao, tiap-tiap orang adalah pahlawan dan korban dalam kisah hidupnya sendiri. Bahkan Murong Yun Hua pun pastilah demikian, meski apa yang dia
lakukan, tentulah dia memiliki alasan dan pembelaannya sendiri.
Berpikir demikian, perasaannya terhadap Murong Yun Hua berubah jauh lebih baik.
Di saat yang sama Ding Tao belum selesai menghakimi dirinya sendiri, sudah tak teringat lagi dia dengan pertemuan lima
tahunan dan pertarungannya dengan Ren Zhuocan.
"Siapakah aku?", sekali lagi pertanyaan yang sama bergaung dalam benaknya.
Tak ada yang baik yang dia temukan untuk menjawab pertanyaan itu. Segala kebaikannya tiba-tiba terlihat begitu semu,
kebaikan yang terdorong kecintaan pada diri sendiri, kebaikan pada sesama yang begitu dangkal dan tak berarti, selalu
berkait dengan untung dan rugi. Jika Sepasang Iblis Muka Giok tidak menunjukkan persahabatan padanya, tapi sebaliknya
meludahi uluran persahabatan yang dia berikan, masihkah dia akan memandang mereka sebagai sahabat" Masih bisakah
dia memandang mereka dengan kasih" Bukankah dia akan meludah dan berkarta, bahwa seekor babi selamanya babi, tak
akan mereka mengerti apa itu kebaikan orang, tak akan mengerti uluran kemurahan.
Kebaikannya begitu dangkal, begitu mudah berubah, pemikirannya tentang pengampunan tentang kesempatan bagi setiap
orang untuk berubah hanyalah seumur embun pagi dan sependek ujung kukunya. Sedikit panas sudah menguapkannya,
selangkah tersesat sudah membuat dia kehilangan kepercayaannya.
Begitu terpuruk Ding Tao dalam penghakimannya hingga tiba-tiba dia berpikir, "Adakah manusia sepertiku punya harga
untuk hidup?" Matanya memandang kosong jauh ke kedalaman sungai itu, hatinya kelu, diam tak mampu lagi berbicara, pikirannya
mendelu yang terngiang hanyalah hujatan dan penghakiman pada diri sendiri, bahkan itu pun perlahan semakin sayup dan
yang ada hanya kekosongan, kehampaan dan keputus asaan yang tak bertepi, tanpa awalan dan tanpa akhiran. Kakinya
perlahan berjalan ke tengah sungai, membiarkan tubuhnya sedikit demi sedikit semakin terendam oleh air sungai yang
dingin menggigik tulang, seakan ingin menghukum diri sendiri sampai setiap rasa bersalah yang menggerogotinya hilang,
tapi rasa bersalah dan tak berharga itu tak juga mereda.
Di saat itulah tiba-tiba sebuah kehangatan menyelimuti dirinya, sebuah suara memenuhi hatinya. Suara yang tak
berbahasa, untaian kata-kata yang penuh makna tapi tak dapat dia katakan ataupun tuliskan. Suara yang begitu keras
hingga mengguncangkan dia, membangunkan dia dari dari keputus asaannya. Suara yang demikian lembut hingga dia
mendapatkan penghiburan. Seperti sapuan angin yang keras, meniup habis setiap kegalauan hatinya.
Begitu kejut Ding Tao oleh apa yang dia alami, tubuh yang tadinya tercenung, merunduk lemas, tiba-tiba tegak saking rasa kejutnya.
"Apa itu?", tanyanya dalam hati.
Tapi suara itu sudah tidak berkata-kata lagi, namun masih begitu nyata dalam benaknya apa yang dia rasakan barusan. Dia mencoba menguraikannya dalam kata namun tak dapat. Yang ada hanya rasa, bahwa dia berharga dalam sebuah gema
yang tak ada akhirnya. Seakan tiba-tiba dia di ngatkan kembali pada bagaimana dia dijaga dalam sakitnya. Betapa dia dikasihi dalam segala
kekurangannya, sebuah perasaan syukur yang membuncah tumpah ruah, sulit diungkapkan dalam kata. Sekilas dia
terbayang dan sekilas dia paham, mengapa Ma Songquan dan Chu Linhe bisa begitu setia padanya. Sekilas dia mengerti dan
bisa merasakan apa yang dirasakan Chou Liang ketika mereka pertama kali bertemu. Tapi dia juga bisa mengatakan betapa
berkali lipat kebaikan yang dia telah dia terima dalam hidup ini. Kebaikannya pada Ma Songquan, Chu Linhe dan Chou Liang demikian dangkal, tapi sekarang ketika dia menyadari ketika dia memandang dirinya sendiri dan mendapati dirinya sekotor dari sepasang iblis muka giok, ketika dia memandang dirinya sendiri dan merasakan perasaan yang sama bagaimana Chou
Liang merasa orang tak menghargai dirinya. Kemudian berbalik apa yang dia ulurkan pada mereka, diulurkan pada dirinya
tapi dengan beratus kali lipat adanya.
Dia yang mengatakan dirinya berharga, jauh lebih mulia dari dirinya, Dia yang mengatakan dirinya berharga sudah melihat sampai kedalaman dirinya melihat segala kedangkalan, kedegilan dan kebusukannya.
Untuk pertama kalinya Ding Tao tiba-tiba mengerti mengapa bisa mereka mengorbankan nyawa mereka demi dirinya
karena dia pun bisa merasakan perasaan yang sama bagi Dia yang menerima dia apa adanya ini. Untuk pertama kalinya dia
lepas dari pusat keakuan yang selama ini menjerat dia.
Setelah lepas dari jerat keakuan, pikirannya pun terbuka pada keberadaan dirinya dengan hubungannya dengan yang lain
yang ada di luar dirinya.
"Siapa aku?", tiba-tiba pertanyaan itu kembali padanya.
Dan sambil tertawa Ding Tao menjawab, "Tidak ada aku di sini."
Dipandangnya langit yang kini sudah berwarna kemerahan, dipandangnya air sungai yang terus mengalir, dihirupnya udara
yang sejuk membelai tubuhnya.
"Ini aku?", pikirnya.
"Dulu aku tak ada, sekarang aku pun tak ada"
"Dari ayah dan ibuku, aku terbentuk"
"Oleh susu dan makanan aku dijalin sedemikian rupa."
"Oleh udara ini, oleh sinar matahari ini, oleh sungai, laut, pepohonan, segala macam binatang, oleh tanah, oleh sesama, aku dihidupkan."
Dipandangnya air sungai dan sambil tertawa berkatalah dia, "Apa kabarmu saudaraku laki-laki?"
Tangannya bergerak meraih dedaunan dari ranting yang menjulur ke atas sungai kecil itu dan dia berkata, "Kau juga
saudaraku." "Siapa aku?" "Aku tidak ada"
Bagaimana dikatakan aku jika unsur pembentuk dirinya selalu berubah, dia yang sekarang sudah berbeda dengan dia
belasan tahun yang lalu. Dan bagian dari dirinya pun ada yang kembali pada alam dan nantinya seluruhnya akan kembali
pada alam. Dari unsur-unsur yang sama dia berbagi asal dengan manusia, binatang dan pepohonan, seperti rumput yang
tumbuh di sana-sini, namun jauh di dalam tanah, ternyata berasal dari satu akar. Apakah dia satu atau semua" Dan
seluruhnya itu, baik segala makhluk hidup, maupun unsur-unsur lain dalam alam semesta, seluruhnya ada dalamNya.
"Aku ada di semua."
"Tidak ada aku."
Ding Tao merasa dirinya kecil bagai sebutir debu dalam padang pasir yang luas, setetes air di lautan. Tapi dia juga besar karena dia juga padang pasir, dia juga lautan, dia bukan besar karena dia, tapi dia besar karena DIA.
"Siapa aku?" "TIDAK ADA AKU"
Dalam ledakan pengertian yang tak bisa diuntai dalam kata-kata, yang diungkapkan dalam hening bukan karena dia diam,
tapi karena dia terlalu rumit, seperti untaian jutaan mutiara dijalin dan dipintal dalam sebuah kelopak bunga teratai yang terkembang, Ding Tao pun mulai bergerak. Tidak ada aku, setiap gerakan bukanlah gerakannya, sekaligus adalah
gerakannya. Bukan matanya yang melihat, meski memang matanya yang melihat. Bukan telinganya yang mendengar meski
memang dengan telinganya dia mendengar. Bukan tangannya yang mengibas meski memang tangannya yang mengibas.
Bukan dia tidak sadar, tapi dia penuh dengan kesadaran, bukan dia yang menggelorakan air di sungai kecil itu. Bukan dia yang berputar dan menggulung air hingga dasar sungai pun tersibak mengering di sekitar dirinya. Bukan dia yang menebah
dasar sungai dan menghamburkan batu-batuan hitam itu menjadi serbuk debu. Bukan dia tapi DIA.
Aku itu tidak ada. Dalam sebuah ledakan seluruhnya berhamburan, baik air maupun tanah, debu-debu berterbangan, pepohonan di sekitarnya
terhuyung-huyung bagai diterpa badai. Lalu perlahan semuanya diam.
Ding Tao diam tak bergerak, air sungai kembali memenuhi dasar sungai, membentuk pusaran kecil di sekitar tubuhnya,
debu-debu yang berterbangan perlahan-lahan jatuh di sekelilingnya.
Ding Tao diam, siapa Ding Tao"
Tidak ada Ding Tao. Pertemuan lima tahunan akhirnya tiba juga, seluruh dunia persilatan baik yang di dalam perbatasan maupun yang di luar
perbatasan terserap dalam pusaran yang tak terlihat. Dua kekuatan besar akhirnya siap untuk berhadapan.
Ren Zhuocan memiliki keyakinan, dengan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, Ren Zhuocan tak memiliki
tandingan. Siapa pun yang mewakili tokoh-tokoh dunia persilatan dari dalam perbatasan tak akan mampu menandinginya,
itu artinya dia yang terkuat dan dialah yang paling berhak untuk berkuasa atas semuanya. Jika mereka tetap menentang,
itu artinya perang dan dia yang akan menang.
Di lain pihak seluruh dunia persilatan dalam perbatasan telah bersatu di bawah panji keluarga Murong. Dengan kematian
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, yang mereka bawa adalah kesatuan mereka. Dalam jumlah ada kekuatan.
Ren Zhuocan boleh jumawa, tapi dia hanya ada satu orang. Ren Zhuocan boleh memiliki puluhan ribu bawahan, tapi
merekapun sekarang telah bersatu dan tidak akan kalah jika hanya dalam hal jumlah. Dalam hal tokoh-tokoh besar mereka
masih memiliki 5 perguruan besar yang sekarang bersatu di bawah satu panji. Semangat mereka makin bangkit, ketika
Murong Yun Hua menunjukkan hasil latihannya selama ini di depan banyak orang. Disusul kemudian maju puluhan orang
terlatih dari keluarga Murong, diikuti pameran kepandaian dari murid-murid utama 5 perguruan besar. Meski ada
kekecewaan karena Wudang menyatakan diri menutup dari urusan dunia luar, namun melihat pameran kekuatan itu,
semangat setiap orang pun melambung tinggi.
Tapi yang terlihat di luar tidak sepenuhnya sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Ada sekelompok kecil orang yang
menghadapi pertemuan lima tahunan ini dengan hati berdebar-debar dan semangat tak menentu. Kecil jumlah mereka
namun akan besar akibatnya bila apa yang mereka tunggu-tunggu ternyata benar adanya.
Pertemuan lima tahunan kali ini, tidaklah sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Demikian besar gerakan yang
terjadi dalam dunia persilatan hingga setiap orang awam pun mengetahuinya. Bukan hanya orang-orang dalam dunia
persilatan saja yang menantikan hasil dari pertemuan ini dengan dada berdebar, tapi juga sekalian pembesar negeri,
karena para polisi rahasia sudah mengendus ambisi Ren Zhuocan dan hubungan baik Ren Zhuocan dengan penguasa di luar perbatasan.
Mereka pun sadar, pertemuan lima tahunan kali ini adalah pertemuan yang menjadi penentuan. Gugurnya dua orang tokoh
besar yang selama ini membuat ambisi Ren Zhuocan terganjal, membuat perimbangan kekuatan berubah
mengkhawatirkan. Meski dari dunia persilatan di dalam perbatasan pun muncul Murong Yun Hua yang menyatukan mereka
di bawah satu bendera. Maka dengan hati berdebar, orang-orang kerajaan ini pun mengamati berjalannya pertemuan lima
tahunan ini. Kuda-kuda pembawa pesan berpacu hilir mudik, memberikan laporan pada pejabat di pusat sana.
Ketika tokoh demi tokoh berdatangan, partai demi partai mengirimkan kekuatannya, setiap perubahan ini pun segera
dilaporkan ke atas sana. Yang di luar pengetahuan mereka adalah Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya, Shin Su dan 49
orang saudaranya. Bergerak dalam bayangan, apa yang mereka lakukan tak tampak di permukaan.
Namun saat ini mereka sendiri sedang menanti-nanti dengan hati berdebar. Tetua Shen yang sudah ada bersama-sama
dengan mereka dibanjiri pertanyaan.
Tapi tak satupun ada yang bisa dijawabnya.
"Hahhh" aku pun tak tahu, sampai aku pergi meninggalkan Desa Hotu, aku tak juga melihat batang hidung Ketua Ding
Tao.", jawab Tetua Shen sambil menghembuskan nafas kuat-kuat, berusaha mengusir pergi perasaan marah yang sudah
mau timbul karena berkali-kali dihujani pertanyaan, terutama oleh Shin Su dan saudara-saudaranya yang tidak bisa
menerima bahwa Ding Tao belum juga muncul, sementara waktunya semakin dekat.
"Tidak mungkin Ketua Ding Tao gagal, kalaupun gagal dia pasti tetap datang untuk mempertaruhkan nyawa.", gumam salah
seorang dari mereka dan kurang lebih seperti itulah isi percakapan mereka dari hari ke hari.
Tidak heran Tetua Shen hampir dibuat gila oleh isi percakapan mereka itu. Zhu Yanyan dan yang lainnya pun kadang
rasanya sudah hampir hilang kesabaran. Tapi setidaknya mereka berutung, karena pada saat kelompok itu mulai bertanya,
bukan ada mereka bertujuh orang-orang itu bertanya, tapi pada Tetua Shen yang tugasnya memang menunggu kedatangan
Ding Tao di Desa Hotu. "Mengapa Tetua Shen tidak menunggu sehari dua hari lagi?", itulah salah satu isi pertanyaan mereka.
Begitu buruk suasana hati Tetua Shen sehingga beberapa kali dia pun pergi meninggalkan penginapan sendirian untuk pergi ke warung dan minum arak sepuasnya. Jika sudah demikian, maka dia pun akan memaki Ding Tao panjang pendek.
Semakin dekat dengan diadakannya pertemuan lima tahunan, semakin sering Tetua Shen pergi untuk minum arak.
Satu hari, tinggal dua hari lagi menjelang Pertemuan Lima Tahunan diadakan, Tetua Shen benar-benar dalam keadaan yang
buruk, hari masih pagi ketika dia sudah melarikan diri dari kejaran pertanyaan dan berkunjung ke kedai arak langganannya.
Pelayan di sana sudah tentu hafal dengan kesukaan kakek tua ini, meski sedikit janggal bahwasannya di hari sepagi itu
Tetua Shen sudah datang untuk minum arak, tapi yang namanya pelanggan adalah raja, buru-buru kakek tua itu disambut
dengan ramah. "Selamat pagi tuan", apa pesanannya pagi ini" Apa seperti biasanya" Mungkin mau ditambah sedikit makanan yang agak
berat untuk mengganjal perut?", sapa pelayan warung itu dengan ramah.
"Ya, boleh juga, sediakan yang seperti biasanya dan beri juga aku beberapa biji bakpau.", jawab Tetua Shen yang sudah
merasa baikan begitu mendengar sapaan ramah dari pelayan warung itu.
Memang dibandingkan pertanyaan Shin Su dan kawan-kawannya, sapaan pelayan itu terdengar seperti nyanyian biduan
yang merdu di telinga. Dalam waktu singkat, apa yang diminta Tetua Shen pun sudah tersedia, dua guci arak yang sudah
dihangatkan ditambah satu piring berisi bakpau yang masih mengepul karena baru keluar dari pancinya.
"Mari tuan, silahkan dinikmati, kalau nanti ada yang kurang, panggil saja saya.", ucap pelayan itu sambil menyajikan
pesanan Tetua Shen. "Heheheh, bagus, bagus, kau siapkan saja lagi dua guci arak, supaya kalau yang ini habis kau bisa cepat menghidangkan
yang berikutnya", ujar Tetua Shen sambil terkekeh puas.
"Baik tuan, tentu tuan", jawan pelayan itu dengan sigap, membuat hati Tetua Shen makin hangat.
Makan dan minumlah Tetua Shen sampai puas dan seperti biasa, kalau sudah mula terpengaruh arak maka yang dimakimakinya adalah Ding Tao. "Nah, kau pp.. ppikir baik-baik aa a apa bbukan anak " anak" anak haram jadah dia itu" Aku sudah begitu baik padanya,
tapi tapi" dia malah lupa dengan janjinya. Ss..s.ssampai hari ini bhathang hh hi.. hi ..hhidungnya pun tidak" tidak"
terdengar?", ujar Tetua Shen pada pelayan yang lewat dengan beberapa kata-katanya sedikit tidak jelas.
Pelayan itu tentu saja setuju dengan apa pun yang dikatakan Tetua Shen, "Tentu saja benar tuan, orang seperti itu sudah sepantasnya mendapat hajaran."
Pelayan sudah lewat dan Tetua Shen masih mengomel, "Heh.. he" hehehe, benarr juga pelayan itu", bo..bo..boocah sial itu harus kuhajar", cuma dengan cara apa aku menghajarnya?"
Dan mulailah Tetua Shen menyebutkan jurus-jurus andalannya sembari membayangkan dirinya menghajar Ding Tao.
Sialnya dasar seorang ahli silat, dalam mabuknya pun dia bisa membayangkan bagaimana Ding Tao akan menghadapi
jurus-jurusnya dan pada akhirnya bukan dia yang menghajar Ding Tao malah dirinya yang kena hajar Ding Tao.
"Kep" kep" keppparat! Sungg..gguhh bocah ssial!.. Mmasa"masa" masa aku kalah lagi?", ujar Tetua Shen dengan sendu.
Tiba-tiba datang seorang tua lain, tubuhnya terbungkuk-bungkuk di balik jubah yang kebesaran, wajahnya sudah sama
keriput dengan rambut panjang dan jenggot yang beruban, di punggungnya terikat sebuah bungkusan yang besar.
"Sobat, siapa bocah sialan yang bikin hatimu jengkel itu?", tanyanya sambil menarik kursi dan ikut duduk di meja Tetua
Shen. "Ss.. siapa..siapa lagi kalau bukan Ding" ding.. Ding Dong!", jawab Tetua Shen sambil melirik temannya yang baru datang.
"Hahaha" lalu mengapa tidak kau hajar saja bocah nakal itu?", tanya teman barunya itu.
"Hmm" justru" justru itu" sudah kuhajar, tapi justru balik aku yang kena hajar", jawab Tetua Shen dengan kesal.
"Kalau begitu biar aku bantu kau menghajar si Ding Dong itu", jawab teman barunya.
"Hahaha" bagus.. eh bagus" ya bagus, kalau kita berdua sama-sama tua, tenttu harus bekerja sssama, supaya orang
muda tidak kurang ajar pada kita", jawab Tetua Shen sambil tertawa bergelak.
"Kalua begitu ayo kita pergi sekarang, antar aku ke tempat Ding Dong yang kurang ajar itu, biar kubantu kau menolong
dia.", jawab teman barunya itu.
"Bbagus! Bagus! Ayo kita cari bb bo bocah haram jadah itu!", sahut Tetua Shen sambil berdiri sempoyongan dan menaruh
sepotong uang perak di atas meja.
Pelayan pun cepat-cepat mengantar dia pergi sambil berkata, "Terima kasih tuan, lain kali datang lagi"
Yang dijawab Tetua Shen dengan lambaian tangan, sambil berjalan sempoyongan setengah dipapah oleh teman barunya itu.
Pelayan yang melihat tingkah polah dua orang itu pun hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil memonyongkan bibir.
"Kalau sudah tua memang susah kalau punya anak tidak berbakti. Hmm.. makanya si A Sau harus kuajar benar-benar
supaya tidak lupa jasa orang tua. Kalau tidak nanti tua aku bakalan seperti kakek itu.", gumamnya sembari mengantungi
uang perak dan membersihkan meja.
Sementara itu Tetua Shen yang dipapah teman barunya, berjalan sempoyongan, berputar-putar di dalam kota, melewati
gang sempi dan jalan-jalan yang tidak karuan. Ketika sampai di satu tempat yang sepi tiba-tiba dia mencengkeram teman
barunya itu. "Sobat, boleh tahu siapa namamu?", tanyanya dengan keren, hilang sudah kata-katanya yang tidak jelas dan jalannya yang
sempoyongan. Tapi ditegur demikian sobat barunya tidak menjadi gugup malah tertawa, "Hahaha, Tetua Shen, masa sudah lupa dengan
namaku" Ini aku " Ding Dong."
Mendengar jawaban itu melototlah mata Tetua Shen, dan dia pun memaki-maki sambil membanting kaki, "Benar-benar
haram jadah! Jika tidak ingat siapa dirimu dan apa kedudukanmu sudah kuajak kau bertarung sampai mati. Bocah edan,
kau menghilang sedemikian lama, sekarang begitu muncul kau malah mengajak bercanda tidak karuan. Apa kau tidak tahu
betapa repotnya aku harus menjawab pertanyaan dan tuduhan 50 orang pengikutmu yang tidak becus itu!?"
Tetua Shen pun sampai nafasnya memburu karena kesal dan juga lega, akhirnya Ding Tao yang ditunggu-tunggu itu tiba
juga. Ding Tao yang tadinya bangkit keinginannya untuk bercanda karena secara tidak sengaja mendengar caci maki Tetua
Shen atas dirinya jadi merasa kasihan juga melihat orang tua itu, maka sikapnya pun berubah dengan tulus dia memberi
hormat. Katanya, "Tetua Shen, maaf aku sudah membuatmu repot, tapi bukan maksudku demikian, ketika aku datang ke rumahmu
kau sudah pergi. Aku membaca pesanmu, tapi untuk tidak menarik perhatian, terpaksa aku mengambil jalan memutar dan
menyamar. Kemudian karena 50 pengikutku yang kurang becus itu kecolongan di Jiang Ling, terpaksa aku turun tangan
sendiri diam-diam. Makanya aku datang sangat terlambat, tapi syukurlah segala urusan sudah selesai."
"Heh" sudahlah aku sudah puas memaki-makimu, lagipula dengan kau datang, kau bisa suruh tutup mulut 50 orang
pengikutmu itu. Omong-omong mereka salah apa di Jiang Ling?", tanya Tetua Shen terhibur hatinya, bagaimana pun juga
sejak awal dia sudah menyukai bahkan menghormati Ding Tao, jika bukan karena terus menerus disudutkan oleh pengikut
Ding Tao tidak nanti dia memaki-maki Ding Tao.
"Mereka salah menghitung jumlah pengikut Murong Yun Hua yang punya kepandaian, sebenarnya tidak seluruhnya dibawa
ke mari, namun ada 10 orang yang masih berjaga di Jiang Ling, dengan sendirinya Tetua Hua Ng Lau, Adik Hua Ying Ying
dan Adik Murong Huolin yang sudah setuju untuk membebaskan Pendekar pedang Jin Yong jadi kesulitan. Untung aku
datang di waktu yang tepat dan bisa membantu mereka membebaskannya.", jawab Ding Tao kemudian serba singkat
menceritakan keadaan di Jiang Ling waktu itu.
Setelah mendengar cerita Ding Tao, Tetua Shen pun ikut menghela nafas lega, "Syukurlah Ketua Ding Tao bergerak dengan
bijak. Tidak hanya terima laporan tapi Ketua Ding Tao masih menyempatkan diri memastikan keadaan di tempat-tempat
yang penting. Dengan adanya Pendekar pedang Jin Yong di pihak kita, rencana kita bisa dikatakan akan berjalan dengan
mulus." "Ya, semoga saja begitu, di mana yang lainnya sekarang berada?", tanya Ding Tao kemudian.
"Ayo, aku antarkan ke mereka, biar bungkam mulut 50 orang bebek itu.", ujar Tetua Shen dengan bersemangat.
"Eh, bungkusan yang kau bawa-bawa itu apa?", tanya Tetua Shen tiba-tiba.
Ding Tao pun tersenyum dan menjawab sedikit berahasia, "Oo" ini oleh-oleh untuk Ketua Partai Kongtong Zhong Weixia,
kupikir aku harus memberikan sedikit hadiah supaya semuanya berjalan lebih lancar."
"Hmm" hmm" boleh saja kau bermain rahasia denganku, tunggu saja sampai kau bertemu dengan 50 orang pengikutmu
itu. Kita lihat apa kau masih bisa bermain rahasia.", jawab Tetua Shen sambil mengulum senyum
Mendengar jawaban Tetua Shen itu Ding Tao tertawa saja.
Kedatangan Ding Tao itu tentu saja disambut dengan gembira oleh mereka semua, untuk beberapa lama Ding Tao pun
harus melayani berbagai pertanyaan yang datang tak henti-hentinya. Termasuk tentang bungkusan yang dibawa-bawa Ding
Tao. Benar saja ramalan Tetua Shen, akhirnya Ding Tao harus membuka juga rahasia dari bungkusan besar itu, meski dia
berpesan sungguh-sungguh agar kisah dari bungkusan besar itu tidak menyebar ke mana-mana. Setelah pertanyaan
mereka semua terpuaskan barulah mereka bisa mundur sejenak dan meresapi Ding Tao yang sekarang ini. Dalam
ketenangan itu, masing-masing dari mereka, bergantung dari kepekaan mereka, bisa merasakan perubahan yang terjadi
dalam diri Ding Tao. Sesuatu yang kasat mata, tak bisa dijelaskan, entah dari sikap tubuhnya atau dari ekspresi pada raut wajahnya, terasalah ada satu perbawa yang keluar, yang membuat mereka merasa tunduk di luar maunya.
Zhu Yanyan yang pertama bertanya, "Tetua Shen, bagaimana, secepatnya kita harus menyusul para tokoh dunia persilatan
yang sudah berangkat ke Gurun Gobi. Bisa kubayangkan saat ini tenda-tenda sudah memenuhi dataran yang luas itu,
dengan satu sisi penuh oleh pengikut Ren Zhuocan dan perguruan-perguruan dari luar perbatasan yang sudah
ditaklukkannya dan di sisi lain Murong Yun Hua sebagai Wulin Mengzhu dengan hampir seluruh saudara-saudara kita."
"Tentu saja, kita sudah terlambat beberapa hari, hari ini juga sebaiknya kita bergegas pergi ke sana. Tentunya jika Ketua Ding Tao tidak ada masalah dengan hal ini, karena seperti yang sudah ketua ceritakan, pagi ini dia baru saja sampai di kota ini setelah menyelesaikan berbagai urusan.", jawab Tetua Shen.
"Lalu bagaimana dengan ujian yang Tetua Shen ajukan, apakah masih perlu untuk menguji kesiapan Ketua Ding Tao untuk
menghadapi Ren Zhuocan?", tanya Zhu Yanyan.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetua Shen pun terdiam sambil memandangi Ding Tao, yang dipandangi hanya tersenyum-senyum saja. Cukup lama Tetua
Shen menimbang-nimbang. Kemudian dia bertanya, "Apa hati dan pedang sudah menyatu?"
Ding Tao pun menjawab, "Apa itu hati" Apa itu pedang" Tidak ada aku, tidak ada pedang, hanya ada satu."
Tetua Shen dan yang lainnya pun diam merenungkan jawaban Ding Tao, akhirnya Tetua Shen pun menghela nafas dan
berkata, "Sudahlah kita berangkat saja, apa yang mau diuji jika orangnya tidak ada."
Shin Su dan teman-temannya yang masih rendah ilmunya hanya bisa saling berpandangan dan mengangkat bahu. Bahkan
dari enam guru Wang Shu Lin pun hanya Zhu Yanyan yang bisa meraba maksud mereka berdua. Bagi yang lain, meski
merasa jawaban itu punya arti, tapi mereka sendiri tak berani mengartikannya.
"Baiklah, kalau kita Shin Su, sebaiknya kau siapkan semuanya, segera setelah segalanya siap, kita langsung berangkat.
Sementara kita bersiap, Ketua Ding Tao bisa beristirahat sejenak.", ujar Zhu Yanyan.
Shin Su dan rekan-rekannya pun segera bekerja, menyiapkan bekal, kuda dan segala yang diperlukan nanti dalam
perjalanan. Juga tenda dan selimut, karena pertemuan lima tahunan kali ini akan diadakan di dataran gurun Gobi, tidak ada tempat lain yang lebih tepat untuk bertemunya ratusan ribu pesilat dari kedua belah pihak. Selain letaknya yang tepat
berada di perbatasan, juga dataran yang luas itu satu-satunya yang bisa menampung jumlah orang-orang dari kedua belah
pihak yang jumlahnya sudah melewati 100.000 dari masing-masing pihak saja.
Jumlah yang besar ini tentu saja sampai pula di telinga para pembesar negeri, baru kali ini seluruh dunia persilatan
bergabung menjadi satu, di bawah satu panji. Melihat jumlah mereka, mau tidak mau setiap penguasa propinsi dan kota,
berdebar-debar. Jumlah sebesar itu bisa dengan mudah menaklukkan satu propinsi. Setiap mata memandang peristiwa di
Gurun Gobi, dalam gegap gempitanya suasana, tak terdengar nama Ding Tao yang hilang beberapa bulan sebelumnya.
Dalam keramaian itu lah Ding Tao dan mereka yang membantunya, menyebar diam-diam. Shin Su dan saudara-saudaranya
tetap diminta untuk menghindar dari pekerjaan yang berbahaya, mereka menyebar entah sebagai kelompok orang awam
yang ikut mendapatkan keuntungan dari keramaian itu, atau mereka yang sekedar mencari pengalaman. Wang Shu Lin dan
ke-enam gurunya memisah menjadi dua kelompok. Wang Shu Lin kembali pada perannya sebagai Ximen Lisi didampingi Lu
Jing Yun, Zhu Jiuzhen dan orang-orang kepercayaannya, sudah membawa pengikutnya yang berjumlah ratusan, ikut berada
di bawah panji Murong Yun Hua sebagai Wulin Mengzhu. Sementara Zhu Yanyan menghilang di antara kerumunan tak
terlihat oleh mata, demikian juga Khongti menghilang diam-diam. Hu Ban memimpin Pang Boxi, Chen Taijiang dan Shu Sun
Er sudah membaur dengan kelompok-kelompok kecil lainnya.
Ding Tao bersama Tetua Shen sudah menyamar pula dan membaur bersama para pendekar di bagian lain dari perkemahan
yang luas itu. Hari yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya datang juga, bila barisan di belakang Ren Zhoucan berbaris dengan rapi, sesuai dengan urutan dari yang paling senior sampai prajurit kecil berbaris di belakang mereka. Maka barisan Murong Yun Hua
justru membuat para mata-mata dari kerajaan semakin gentar. Barisan diatur sesuai dengan strategi perang, masingmasing kelompok dibagi menurut bagiannya masing-masing dan dipimpin oleh ketuanya masing-masing, dalam satu formasi
yang efektif untuk melawan lawan yang tidak memiliki bentuk khusus.
Berada di bagian paling depan, di tengah-tengah barisan yang lain, adalah barisan di bawah kendali Murong Yun Hua.
Hebatnya terlihat bermacam-macam bendera dipegang oleh salah seorang anak buah Murong Yun Hua. Bukan saja jadi
barang pameran, tapi juga diperagakan. Dengan sebuah isyarat lewat panji-panji itu, maka barisan di bawah perintah
Murong Yun Hua bergerak serempak mengikuti isyarat. Terlihat cukup teratur, meski dalam pergerakannya masih kurang
rapi. Namun jelas terlihat bahwa mereka yang memimpin tiap-tiap kelompok sudah mendapatkan pengarahan khusus dan
mampu menerapkannya. Ren Zhuocan mungkin tidak mengerti ilmu perang, tapi melihat apa yang ditunjukkan itu, hatinya
pun sedikit berdebar-debar. Namun keyakinannya pada ilmunya yang menurutnya sudah setinggi langit, membantu
keyakinannya tidak sampai goyah.
"Hmm" mereka boleh memiliki siasat perang, namun dalam pandanganku, ribuan orang tak ada artinya. Mereka semua
akan kutebas dalam satu gebrakan. Nanti akan kita lihat, apa mereka bisa mempertahankan semangatnya.", pikir Ren
Zhuocan. Ya, Ren Zhuocan mungkin tidak begitu mengerti siasat perang, namun dia mengerti prinsip dasar dalam sebuah
pertarungan. Bukan hanya masalah siasat, tapi juga kesatuan dan semangat dari mereka yang berperang. Para pendekar di
bawah pimpinan Murong Yun Hua bukan semuanya hasil didikan bertahun-tahun untuk menjadi sebuah pasukan. Sementara
semangat dan kedisiplinan adalah hal yang penting dalam menggerakkan satu pasukan agar bergerak sebagai satu
kesatuan. Para pendekar yang lebih individualistis, tentu tidak bisa bergerak seperti pasukan yang terlatih, di mana ada saatnya mereka bergerak, sekedar menjadi umpan yang bisa dikorbankan atau menjadi perisai bagi teman-teman yang
lainnya. Tidak pameran itu memang sempat menggetarkan hati Ren Zhuocan, tapi dengan cepat dedengkot dari luar perbatasan itu
sudah menenangkan hatinya.
Melihat lawan sudah berbaris rapi bahkan memamerkan sedikit kemampuan mereka, Ren Zhuocan pun tak mau kalah
gertak. Diam-diam dikerahkannya hawa murni dan ketika dia membuka mulutnya, maka terdengarlah suaranya bergaung,
bergema memenuhi seluruh dataran. Membuat jantung mereka yang belum mapan ilmunya, seakan-akan melonjak-lonjak
di dalam dadanya. "Salam saudara-saudara sekalian, seperti yang sudah kita lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, kita datang untuk
mengadu ilmu, menguji kemajuan kita masing-masing. Di sini sudah ada Ren Zhuocan! Siapa di antara kalian yang akan
maju mewakili, untuk menguji ilmu dengan Ren Zhuocan?", demikian Ren Zhuocan mengambil inisiatif membuka pertemuan
itu. Suaranya yang menggetarkan dada setiap orang, membuat seluruh daratan hening terdiam untuk sesaat.
Murong Yun Hua tentu saja paham, Ren Zhuocan sedang memamerkan ilmunya untuk menggoyahkan semangat orangorang yang berdiri di pihaknya. Maka sebelum hilang gema suara Ren Zhuocan, Murong Yun Hua pun sudah membuka
mulut dan menjawab. "Wuling Mengzhu seluruh daratan, Murong Yun Hua akan maju melayani tantangan Ketua Ren Zhuocan.", suaranya lembut
namun suara yang lembut itu mampu mengisi seluruh daratan dari ujung ke ujung, seperti tiupan seruling di tengah
keheningan, lembut namun terdengar jelas di telinga.
Melihat kemampuan Murong Yun Hua yang mampu menyamai apa yang ditunjukkan Ren Zhuocan, meski dalam bentuk
yang berbeda, pecahlah sorak sorai, utamanya dari mereka yang tadi nyalinya sudah sempat ciut, ditekan oleh gelombang
suara yang menggetarkan dada mereka. Ketegangan yang tadi mereka rasakan, mereka tumpahkan dalam sorakan.
Tapi belum lama hilang gema suara Murong Yun Hua, terkejutlah hati semua orang, sebuah suara lain bergulung-gulung
menggelora tidak ubahnya seruan Ren Zhuocan mengaduk-aduk perasaan mereka semua, "Tahan", Murong Yun Hua, kau
bukanlah Wulin Mengzhu " akulah Wulin Mengzhu yang terpilih!"
Ketika kata "terpilih!" dikatakan, suara itu bukan hanya bergulung dan menggelora tapi menghentak dada setiap orang.
Beberapa orang yang dangkal ilmunya dan terlalu dekat dengan sumber suara itu pun terhuyung-huyung dan jatuh
terduduk di tempatnya masing-masing, membuat barisan mereka menjadi kacau dan tentu saja sebentar kemudian suasana
menjadi ricuh ketika dia yang bersuara tampil pula ke depan.
"Ding Tao?" "Ding Tao?" Nama itu pun dibisikkan di mana-mana, jika sebagian besar dari mereka terkejut melihat perkembangan yang tidak didugaduga ini, maka beberapa gelintir orang sudah berdebar-debar ketakutan karena apa yang dibisikkan di telinga mereka
ternyata benar adanya. Dan sekarang mereka pun sibuk memutar otak, melihat bagaimana kartu akan dimainkan oleh Ding
Tao dan Murong Yun Hua, serta bagaimana mereka harus memainkan kartu di tangan mereka. Tapi yang pertama-tama
bergerak bukanlah segelintir orang itu, melainkan Huang Ren Fu yang memimpin sekelompok kecil barisan yang dibentuk
dari para pengikut Keluarga Huang.
"Ding Tao! Setelah sekian lama kau sembunyi, akhirnya berani juga kau menampakkan diri! Saudara-saudara, cabut senjata
kalian, kita balaskan dendam segenap keluarga Huang!!!", seru Huang Ren Fu dengan senjata di tangan.
"Tahan dulu Saudara Huang! Aku punya bukti dan saksi, bahwa semua yang dituduhkan padaku adalah fitnah belaka.
Sebaliknya, Murong Yun Hua-lah yang ada dibalik ini semua, termasuk pembantaian Keluarga Huang di Wuling.", ujar Ding
Tao tegas dan berwibawa, membuat semua orang yang tadinya bergerak hendak menyerang terhenti di tempatnya.
"Adik Huolin, Adik Ying Ying tolong bawa Tetua Jin ke depan", suara Ding Tao terdengar jelas di daratan yang luas itu dan pandang mata setiap orang pun mencari-cari, siapa yang dipanggil Ding Tao.
Tidak perlu lama mereka menunggu, dituntun oleh Murong Huolin di kanan dan Hua Ying Ying di kiri, diiringi oleh Hua Ng
Lau di belakang mereka, juga ada seorang entah siapa membawakan kursi, tampil ke depan Pendekar pedang Jin Yong.
Mukanya masih pucat, tubuhnya masih terlihat lemah, namun tubuhnya sudah mulai berisi dan matanya tidak lagi kosong.
Obat Tabib Shao Yong sudah memulihkan sebagian kondisi Pendekar pedang Jin Yong, meski otot-otot tubuhnya sudah
terlampau lemah untuk pulih seperti sedia kala dalam waktu yang singkat, setelah sekian lama tidak pernah digunakan.
"Mohon sekalian saudara semuanya tenang! Supaya Tetua Pendekar pedang Jin, bisa terdengar, karena kondisi beliau
begitu lemah.", sekali lagi bergema suara Ding Tao ke seluruh penjuru.
Karena tertarik dan juga karena wibawa dari Ding Tao, terdiamlah semua orang, memasang telinga baik-baik untuk
mendengar ucapan Pendekar pedang Jin Yong.
Dengan suara bergetar, tapi cukup jelas untuk orang-orang yang berada di sekitarnya, Pendekar pedang Jin Yong pun
berkata sambil menunjuk ke arah Murong Yun Hua, "Terlampau panjang jika harus kuuraikan satu per satu. Secara
singkatnya, selama ini aku berada di bawah sekapan perempuan itu."
"Dan aku bisa bersaksi lewat yang kudengar dari perkataan perempuan itu sendiri, bahwa apa yang dikatakan Ketua Ding
Tao adalah benar adanya. Dialah yang sesungguhnya berada di balik pembantaian keluarga Huang di Wuling, juga dialah
yang menyebarkan obat perebut semangat yang bernama Obat Dewa Pengetahuan. Aku dan Ketua Ding Tao juga menjadi
korban dari obat terkutuk itu.", lanjut Pendekar pedang Jin Yong sebelum memberikan tanda pada Hua Ying Ying dan
Murong Huolin untuk memapahnya ke tempat duduk yang disiapkan untuknya.
Mereka yang tidak mendengar jelas perkataan pendekar pedang itu, bertanya pada mereka yang berada lebih dekat. Maka
suasana yang tadinya hening, perlahan-lahan mulai riuh seperti desau air.
"Bohong!", tiba-tiba terdengar suara Murong Yun Hua mengatasi keramaian itu.
"Apa buktinya bahwa dia Pendekar pedang Jin Yong yang asli" Masakan oleh perkataan satu orang tua yang cacat dan tidak
jelas asal usulnya, kalian semua percaya?", tanya Murong Yun Hua dengan nada yang tinggi, matanya menatap tajam ke
arah Murong Huolin, seakan-akan ingin membunuh adik sepupunya itu dengan pandang matanya.
"Bagaimana dengan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan" Apa kalian sudah lupa?", tanya Murong Yun Hua
balik hendak menyudutkan Ding Tao.
Tapi belum habis dia berbicara, terdengar gemuruh orang berbaris maju ke depan. Dipimpin oleh Khongti dan Zhu Yanyan,
diiringi oleh empat orang saudara mereka,juga anak murid Shaolin dan Wudang maju ke depan. Setiap orang bertanyatanya dalam hati, untuk apa mereka maju ke depan, apakah hendak membalaskan dendam ketua mereka pada Ding Tao"
Tidak lama pertanyaan mereka pun terjawab.
Zhu Yanyan membuka mulut, "Saudara-saudara mungkin sudah lupa, tapi bagi generasi tua kuharap masih ingat dengan
namaku. Zhu Yanyan, dan ini adikku Khongti. Kami berdua adalah saksi hidup yang bisa memastikan bahwa Ketua Ding Tao
bukanlah pembunuh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Bahkan kedua tetua berpesan pada kami berenam untuk
membantu Ketua Ding Tao melepaskan diri dari jebakan orang."
Maju pula dari anak murid Shaolin dan Wudang yang ikut berkata, "Kami pun adalah saksi hidup mengenai keputusan Ketua
berdua untuk melindungi Ketua Ding dari jebakan perempuan iblis itu."
Suasana pun jadi makin riuh ramai, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak dan bertanya, "Jadi siapakah orangnya yang
sudah membunuh kedua Tetua?"
Diiringi ramai suara lain yang berteriak-teriak menanyakan hal yang sama. Di tempatnya masing-masing, Zhong Weixia,
Tetuz Xun Siaoma, Bai Chungho dan Guang Yong Kwang pun berdebar-debar menanti jawaban Zhu Yanyan.
Menanti teriakan-teriakan itu agak mereda, Zhu Yanyan pun menjawab dengan suara lantang, "Sayangnya kami tidak tahu
siapa yang membunuh mereka berdua. Tapi kami tahu pasti itu bukan Ketua Ding Tao karena saat itu dia bersama kami.
Yang kami tahu sebelum berpisah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan berkata bahwa dia akan menghadang siapa
pun yang berusaha menangkap Ketua Ding Tao, dan memberi kami waktu untuk melarikan diri."
"Menurut dugaan kami, besar kemungkinan yang membunuh adalah pengikut-pengikut pilihan dari keluarga Murong!
Dengan jalan keroyokan mereka telah membunuh kedua tetua!", sambung Zhu Yanyan dengan lantang.
Karena sebelumnya telah melihat pameran kepandaian dari pengikut inti Murong Yun Hua, orang-orang pun jadi bisa
membayangkan, bahwa memang ada kemungkinan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan terbunuh oleh mereka.
Sementara 4 orang pelaku yang sesungguhnya menghembuskan nafas lega. Melihat bagaimana Ding Tao memainkan
kartunya, maka sedikit banyak mereka pun sudah mengambil keputusan, bagaimana mereka akan memainkan kartu
mereka. Murong Yun Hua yang semakin panik berteriak kembali, "Apakah kalian semua begitu mudahnya dihasut orang" Tadi
muncul orang yang mengaku dirinya Pendekar pedang Jin Yong. Lalu sekarang muncul pula orang yang mengaku menjadi
saksi bahwa Ding Tao bukanlah pelakunya. Tapi siapa mereka itu" Siapa yang bisa membuktikan kebenaran perkataan
orang-orang tua tak dikenal ini?"
Tiba-tiba dari tengah barisan terdengar suara, "Apakah aku juga hanya seorang tua yang tidak dikenal?"
Dan semua orang pun menoleh ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari Tetua Xun Siaoma. Tokoh tua itu pun maju ke depan diiringi seluruh barisan anak murid perguruan Hoasan.
"Aku Xun Siaoma, siapa berani tak percaya pada kesaksianku" Pada peristiwa di Jiang Ling aku telah dipaksa untuk
mengikuti perintah perempuan iblis itu.", ujarnya membuat orang-orang yang mendengarnya tertegun tak percaya.
"Supaya jelas, biarlah kupaparkan kebobrokan partai kami sendiri. Pan Jun ketua Hoasan yang sebelumnya, telah jatuh
dalam pikatan perempuan iblis itu. Hubungan antara mereka berdua menghasilkan keturunan yang oleh perempuan itu
diaku sebagai anak Ketua Ding Tao. Nah mengguakan anak itu lah, sebagai pewaris sah dari kedudukan Ketua Pan Jun dia
memaksa kami untuk mengikuti perintahnya, memfitnah Ketua Ding Tao.", ujar Tetua Xun Siaoma lantang terdengar ke
segala penjuru. Karuan saja Murong Yun Hua murka, "Kau" kau" berani-beraninya kau memfitnahku!"
Tetua Xun Siaoma hanya tersenyum mengejek, "Memfitnahmu atau mengatakan yang sebenarnya" Lihat ini, Ketua Ding
Tao telah berhasil membebaskan anak itu dari sekapanmu dan mengantarkannya pada kami."
Salah seorang anak murid Hoasan maju menggandeng Murong Ding Yuan ke depan dan pucatlah wajah Murong Yun Hua,
keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Melihat apa yang terjadi sekarang, dia mulai berhitung apa saja yang telah dilakukan Ding Tao dibalik punggungnya. Matanya berkeliaran melihat ke sekelilingnya, ketika terbentur pada mata Ding
Tao, ketakutannya pun semakin memuncak. Pandang mata Ding Tao yang memandangnya penuh belas kasihan, membuat
dia semakin yakin bahwa Ding Tao telah menyiapkan bukti dan saksi-saksi lainnya. Jika tidak, tidak akan pemuda itu
memandangnya dengan cara demikian. Sedemikian yakin dengan dirinya, sedemikian yakin dengan akhir yang menantinya.
Belum habis gema suara Tetua Xun Siaoma, Ding Tao membuka suara dan mengeluarkan bungkusan besar yang dia bawabawa, "Ketua Zhong Weixia, lihatlah, pusaka Partai Kongtong turun temurun, yang telah dicuri dan digunakan Murong Yun
Hua untuk memerasmu sudah ada di tanganku. Mengapa Ketua Zhong tidak maju dan mengambilnya. Kuharap Ketua Zhong
juga mau menjelaskan duduk perkaranya. Supaya lebih jelas bagi semua orang, siapa yang hitam dan siapa yang putih."
Zhong Weixia pun terbelalak melihat isi bungkusan besar itu, tatkala Ding Tao dengan hikmat membuka tali yang mengikat
bungkusan itu dan memperlihatkan apa isi dari bungkusan itu. Sebuah kapak bertangkai panjang, senjata pusaka milik
pendiri Partai Kongtong, beserta beberapa jilid kitab yang dia kenal betul adalah kitab yang dijanjikan Murong Yun Hua
padanya. Soal kitab memang benar kata Ding Tao, telah lama hilang tercuri dan ada di tangan Murong Yun Hua, kemudian
digunakan sebagai alat barter untuk kerja samanya. Tapi kapak besar bertangkai panjang itu, tidak pernah hilang, meski
sudah lama tak terlihat, turun temurun kapak itu disampaikan pada Ketua Partai Kongtong pada generasinya untuk
disimpan dalam ruang rahasia. Jika sekarang kapak itu ada di tangan Ding Tao, berarti dengan satu cara Ding Tao sudah
menyatroni Partai Kongtong, mengalahkan beberapa orang tetua yang bertugas menjada ruang rahasia itu, dan melenggang
pergi membawa senjata pusaka mereka.
Berdebar dada Zhong Weixia, ini bukan cuma sekedar memainkan kartu, memberikan dia jalan untuk beralih pihak dari
mendukung Murong Yun Hua berbalik mendukung Ding Tao. Tapi ini juga semacam ancaman halus, sebuah pertunjukan
akan kemampuan Ding Tao dan para pengikutnya, bahwasannya tembok-tembok dan penjagaan Partai Kongtong tak ada
artinya buat mereka. Berat langkah kaki Zhong Weixia tapi dia tidak melihat jalan keluar lain, dengan langkah tegap dia maju ke depan dan
memberikan hormat pada Ding Tao, "Sungguh Wulin Mengzhu Ding, sangatlah bijak dan memiliki kemampuan, aku ucapkan
terima kasih yang tak terhingga atas bantuan yang diberikan Ketua Ding pada kami dari Partai Kongtong."
Setelah menerima kitab dan kapak itu dari tangan Ding Tao, dan di hadapan sekian banyak orang dia memberikan hormat
dan mengucap terima kasih, Zhong Weixia berbalik dan berseru dengan keras, "Adalah benar apa yang dikatakan Ketua
Ding Tao, menyandera barang-barang pusaka peninggalan pendiri Partai Kongtong, perempuan iblis itu memaksa kami
untuk ikut dalam usahanya menjebak dan memfitnah Ketua Ding Tao."
Huang Ren Fu menyaksikan semuanya ini dengan mulut terbuka dan mata nanar, terbata-bata dia berpaling pada Murong
Yun Hua dan bertanya, "Yun Hua" ada apa ini" ada apa ini?" Benarkah apa yang mereka katakan itu?"
Dada Murong Yun Hua sudah berdebaran tidak karuan, melihat apa saja yang terjadi yakinlah dia bahwa Ding Tao dengan
diam-diam sudah mengatur apa saja yang akan terjadi hari ini. Dia tidak siap, selamanya dia yang bergerak dalam
kegelapan, kali ini berbalik orang lain yang bergerak dalam bayangan, sementara dia berada di tempat yang terang. Dia
tidak siap, panik dan putus asa, kemarahannya pun memuncak mendengar pertanyaan Huang Ren Fu yang mengiba-iba.
"Diam keparat!!! Diaaam!!!", desisnya penuh rasa marah pada Huang Ren Fu.
Membuat semua orang semakin yakin bahwa benarlah apa yang Ding Tao katakan, perubahan ini terjadi begitu cepat,
setiap orang dibenturkan dengan kejutan demi kejutan. Meski kenyataan begitu besar dinyatakan di depan mata, sebagian
besar dari mereka rasa-rasanya masih belum bisa berpikir dengan terang dan tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Bagaimana dengan Ren Zhuocan di sana" Tapi kejutan demi kejutan belum berakhir, dari barisan yang berbaris rapi di
belakang Murong Yun Hua, tiba-tiba bergerak memisah, hampir lewat separuh dari mereka yang berdiri sebagai anggota
Partai Pedang Keadilan, bergerak serempak mengikuti aba-aba dari pemimpin kelompok mereka. Bergerak memisahkan diri
dari barisan Murong Yun Hua menuju ke sisi tempat Ding Tao berada.
Berbarengan dengan suara lantang mereka bersama-sama memberi hormat pada Ding Tao, "Hormat kami pada Ketua Ding
Tao!" Ding Tao pun mengangguk dan melambaikan tangan. Dia yang tadi sendirian, sekarang dengan tiba-tiba di belakangnya
telah berdiri ratusan orang jumlahnya. Lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba dihantarkan oleh Pang Boxi dan Chen Taijiang,
sekelompok kecil orang bergabung dengan ratusan orang yang sudah berbaris di belakang Ding Tao, ketika banyak orang
mengamati lebih jauh, ternyata mereka adalah pengikut-pengikut setia Ding Tao yang masih hidup dan menghilang setelah
kejadian di Jiang Ling, di antara mereka ada Sun Gao, Sun Liang, Qin Hun dan Qin Baiyu.
Belum selesai mereka membicarakan itu, sudah terdengar suara lain yang mengatasi sekian banyak suara, "Murong Yun
Hua! Kau bersandiwara bak seorang malaikat, membuat kami dari Emei pun bersimpati padamu, tak kusangka kau tidak
lebih dari seorang iblis yang memakai topeng. Jangan harap kami dari Emei akan menolongmu keluar dari masalah ini."
Itulah Bhiksuni Huan Feng yang telah menggerakkan barisan anak murid Emei mengepung kelompok kecil Murong Yun Hua
yang makin lama makin kecil saja dengan perginya sebagian pengikut Partai Pedang Keadilan kepada Ding Tao.
Bai Chungho yang licik dengan cerdik menggunakan kesempatan segera setelah Ketua Emei berbicara, dengan lantang dia
berseru, "Benar-benar siluman rubah! Aku yang sudah tua pun tertipu oleh sandiwaramu. Saudara-saudara dari Partai
Pengemis, kepung mereka, jangan biarkan ada celah terbuka!"
Ya, tidak seperti Zhong Weixia dan Tetua Xun Siaoma, Bai Chungho mendukung gerakan Murong Yun Hua karena uang, jika
dia tidak memanfaatkan situasi dan cepat-cepat mengekor dengan apa yang dilakukan Bhiksu ni Huanfeng, bisa-bisa dia
nanti akan kelabakan mencari alasan untuk menjaga mukanya. Dari sekian banyak pendukung Murong Yun Hua, sekarang
tinggal ah Guang Yong Kwang yang berdiri dengan wajah pucat, pandangan matanya sekarang tertuju pada Ding Tao dan
dalam hati dia memaki, juga memohon.
"Setan, bocah keparat, kau sudah beri jalan pada Zhong Weixia dan Xun Siaoma untuk mundur, kapan giliranku?", demikian
pikirnya kobat-kabit. Matanya pun berbenturan dengan pandang mata Ding Tao yang melihat awas pada semua yang terjadi di dataran Gurun
Gobi itu, seulas senyum samar-samar bisa dia lihat terbentuk di wajah Ding Tao, dan diapun memaki dalam hatinya sejadijadinya. "Ketua Guang Yong Kwang, aku tahu, seperti diriku dan Tetua pendekar pedang Jin Yong, kau pun telah terjebak dengan
tipuan Murong Yun Hua dan meminum Obat Dewa Pengetahuan. Jangan khawatir, seperti yang kau lihat, aku sudah
memiliki penawarnya. Baik diriku maupun Tetua Jin, telah pulih dari efek samping yang mengerikan dari Obat Dewa
Pengetahuan. Kau tidak perlu lagi menjadi tawanan Murong Yun Hua, kemarilah, akan aku berikan resepnya.", ujar Ding Tao sambil menunjukkan secarik kertas yang dia ambil dari dalam jubahnya.
Hampir berlari Guang Yong Kwang berjalan cepat ke arah Ding Tao, menghaturkan hormat seperti yang dilakukan Zhong
Weixia dia pun menerima secarik kertas yang diberikan Ding Tao padanya dan dengan suara yang terdengar jelas oleh
semua orang dia berkata, "Wulin Mengzhu sungguh bijak, aku haturkan terima kasih yang tak terkira oleh pertolongan
Wulin Mengzhu ini." Menengok ke arah Murong Yun Hua dia pun berteriak lantang, "Sekalian anak murid Kunlun, bersiap untuk menerima
perintah dari Wulin Mengzhu Ding Tao!"
Habislah sudah Murong Yun Hua, dia menengok ke kiri dan ke kanan, ke belakang dan ke depan, di sekelilingnya adalah
sekian banyak orang yang dahulu menjadi sekutunya, tapi sekarang mereka berbalik menjadi lawan. Jumlah orang di
pihaknya sendiri masih cukup besar, tapi apa artinya jika dibandingkan dengan lautan manusia yang mengepungnya saat
itu" Belum lagi dia bisa berpikir, terdengar Ding Tao berkata.
"Kalian yang pernah menjadi pengikut Partai Pedang Keadilan, jangan kira aku tidak tahu siapa yang sungguh-sungguh setia dan siapa yang sejak awal sudah bermuka dua, berucap sumpah setia kepadaku namun diam-diam tunduk pada Murong
Yun Hua dan bersedia untuk menggulingkan diriku. Tapi pada kalian kuberikan juga kesempatan kedua. Menyerahlah
sekarang dan aku tidak akan memperhitungkan pengkhianatan kalian ini. Menyerahlah dan menyingkirlah dari barisan itu!", lantang berwibawa suara Ding Tao.
Mereka ini yang sejak tadi sudah kebat-kebit melihat jagoan mereka tiba-tiba menjadi sasaran kemarahan sekalian orangorang dari dunia persilatan memang sudah tidak tahan ingin lari dari barisan Murong Yun Hua. Berbeda dengan para
pengikut keluarga Murong yang sudah mengikuti Murong Yun Hua belasan tahun. Kalau pengikut inti Murong Yun Hua ini,
meski melihat keadaan dan menjadi panik, tak sedikitpun terlintas dalam benak mereka untuk meninggalkan Murong Yun
Hua. Tapi orang-orang persilatan yang tadinya mengikut Partai Pedang Keadilan untuk menebeng kebesaran partai itu,
kemudian tertarik untuk mengikut Murong Yun Hua, mana ada kata kesetiaan dalam hati mereka. Melihat keadaan
berbahaya, sebenarnya tak tahan mereka ingin ikut bergerak bersama pengikut setia Ding Tao yang sudah lebih dahulu
meninggalkan barisan. Namun kaki mereka sungguh hilang kekuatan, apalagi setiap kali pandang mata mereka bentrok


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pandang mata Ding Tao yang berwibawa yang melihat ke sekelilingnya seakan-akan menjenguk isi hati setiap
orang. Sekarang tiba-tiba Ding Tao memberikan jalan hidup bagi mereka, maka tanpa mempedulikan lagi harga diri, mereka pun
bergerak hampir tunggang langgang, memisahkan diri dari barisan Murong Yun Hua. Tersemburlah caci maki dari para
pengikut setia Murong Yun Hua melihat kepengecutan mereka. Tapi mana mereka itu ingat pada harga diri" Nyawa hampir
saja melayang, soal harga diri bisa diurus nanti.
Bukan hanya para pengikut Murong Yun Hua, sebagian besar tokoh-tokoh dunia persilatan pun memandang mereka penuh
penghinaan. Banyak nama mereka yang diam-diam sudah tercatat dalam benak sekalian orang dunia persilatan. Inilah para
pengecut yang hanya tahu mencari untung, tapi di saat tuannya kesulitan mereka berbalik menggigit tangan yang pernah
memberi mereka makan. Bai Chungho pun terkekeh geli dalam hati.
"Dasar orang goblok, tidak bisa cepat melihat berubahnya arah angin", ejeknya dalam hati.
Ya, Bai Chungho bukankah sebenarnya serupa mereka" Hanya saja tokoh yang satu ini cukup licin untuk bisa
menyelamatkan diri dan juga harga dirinya di depan orang banyak.
Habis sudah dukungan untuk Murong Yun Hua, hanya tersisa dirinya dan sekitar seratusan orang pengikut setianya. Meski
demikian tidak ada yang bergerak sembarangan, kepandaian yang ditunjukkan Murong Yun Hua, beserta kira-kira 30-an
orang pengikut yang dibinanya masih terekam dengan baik dalam ingatan. Jumlah mereka boleh kecil, tapi dari segi
tingginya ilmu, tidak bisa dipandang remeh.
Ding Tao diam sejenak, dibiarkannya Murong Yun Hua mengedarkan pandangan matanya ke seluruh dataran itu,
dibiarkannya Murong Yun Hua meresapi keadaannya, kemudian dengan suara yang hampir-hampir lembut dia bertanya,
"Nah Murong Yun Hua, apa jawabmu?"
Seperti seekor tikus yang dikejar-kejar, dalam benak Murong Yun Hua berpacu berbagai perhitungan, mencari cara untuk
menyelamatkan diri, jumlah 6 perguruan besar, ditambah ratusan pengikut Ding Tao dan beberapa ribu anggota Partai
Pengemis,mencapai kira-kira setengah dari total seluruh mereka yang datang di bawah panji-panjinya. Masih ada setengah
lagi yang terdiri dari berbagai macam tokoh persilatan, perguruan kecil dan sebagainya.
Dengan suara yang bergetar namun masih terkendali dia menatap ke arah mereka dan berkata, "Jangan terpedaya! Ding
Tao sudah bekerja sama dengan Ren Zhuocan, lihatlah, barisan kita yang besar ini sudah terpecah menjadi dua. Jangan
salah mengambil langkah, jangan jatuh ke dalam jebakan lawan!"
Melihat perkembangan ini tentu saja yang paling gembira adalah Ren Zhuocan, dalam pertarungan antar tokoh dia memiliki
keyakinan dengan dirinya. Satu-satunya yang menggetarkan dari pihak lawan adalah jumlah mereka yang cukup besar dan
mampu menandingi jumlah orang di pihaknya. Sekarang dengan munculnya Ding Tao mereka mulai bertengkar di antara
dirinya sendiri. Tapi jika Ding Tao berhasil menyatukan mereka semua, dikurangi jumlah mereka yang setia pada Murong
Yun Hua jumlah itu masih cukup besar juga. Lebih baik jika mereka terbagi menjadi dua, atau bisa juga jika mereka
bergerak saling serang, saling bunuh dan mengurangi kekuatan mereka.
Maka terdengarlah suara Ren Zhuocan tertawa terbahak-bahak, "Benar juga kata nona itu! Meski aku datang untuk
menantang kalian satu lawan satu, tidak ada yang lebih lucu dan menggelikan daripada melihat kalian saling cakar sendiri.
Hahahaha, meski aku harus mengatakan bahwa baik Ding Tao atau pun Murong Yun Hua, nama itu aku tak kenal.
Hahahaha." Mereka yang mendengar ucapan Ren Zhuocan pun saling berpandangan, apa yang harus mereka lakukan sekarang, di
seberang sana ada Ren Zhuocan dan ratusan ribu orang di bawahnya. Di pihak mereka ada Murong Yun Hua dan Ding Tao.
Kalaupun Ding Tao yang benar, lalu apa yang harus mereka lakukan dengan Murong Yun Hua dan pengikutnya" Melepaskan
mereka" Menawan mereka" Menumpas mereka terlebih dahulu"
Zhong Weixia yang licik dengan suara yang lantang bertanya pada Ding Tao, "Ketua Ding, beri kami perintah, apa yang
harus kami lakukan sekarang?"
Ren Zhuocan boleh jadi menjadi ancaman, tapi kedengkian Zhong Weixia tak kenal batas, sungguh kesal dia melihat Ding
Tao yang saat ini berdiri demikian tegar sebagai Wulin Mengzhu yang sah. Dengan pertanyaannya ini dia sudah siap
mempertanyakan keputusan Ding Tao, apa pun keputusannya.
Dalam hati sebuah senyum mengejek terbentuk di wajah Zhong Weixia ketika terdengar suara Huang Ren Fu berteriak
lantang. "Beri kami keluarga Huang keadilan!", teriak pemuda itu lantang, matanya menatap liar penuh dendam ke arah Murong Yun
Hua. Sebentar kemudian terdengar suara-suara lain yang ikut mendukung pemuda itu, meski di saat yang sama Huang Ren Fu
melihat beberapa orang kepercayaannya justru diam dan memandang Murong Yun Hua menanti perintah. Beberapa di
antara mereka adalah Tang Xiong dan LI Yan Mao, orang-orang yang meyakinkan dirinya bahwa Ding Tao-lah yang berada
di balik pembantaian di Wuling, maka makin tenggelamlah hati pemuda itu melihat kenyataan ini. Dengan sebuah gerakan
kepala dari Murong Yun Hua, beberapa orang pengikut Murong Yun Hua yang disisipkan ke dalam Keluarga Huang itu pun
dengan cepat bergerak menyatukan diri ke dalam kelompok Murong Yun Hua, di luar dugaan orang, jumlah pengikut
keluarga Murong yang menyusup ke berbagai partai, perguruan, keluarga ternama bahkan ke dalam enam perguruan besar
tidaklah kecil jumlahnya. Mengikuti apa yang dilakukan mereka yang bertugas menyusup ke dalam keluarga Huang, satu
dua orang hampir dari tiap-tiap kelompok yang cukup punya nama dalam dunia persilatan bergerak menyatukan diri di
dalam barisan Murong Yun Hua.
Sungguh jumlah mereka di luar dugaan banyak orang, jumlah yang tadinya hanya seratusan lebih, tiba-tiba membengkak
mendekati 1000 orang. Ren Zhuocan yang melihat itu dari kejauhan tertawa senang, semakin lama perkembangan yang terjadi semakin
menguntungkan dirinya. Dia pun diam-diam menanti dengan penuh perhatian, apa yang akan dilakukan Ding Tao
menghadapi keadaan ini"
Ding Tao mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat setiap orang berhenti berbicara dan berteriak. Kemudian dia
berpaling ke arah Ren Zhuocan.
"Ketua Ren Zhuocan", maaf kami mempertunjukkan satu pertunjukan yang buruk di hadapan ketua. Ketua Ren datang ke
mari untuk saling menguji, saling bertukar ilmu dan melihat perkembangan ilmu silat dari masing-masing negara. Tapi kami justru bertengkar sendiri di depan Ketua Ren, sungguh memalukan saja.", ujar Ding Tao dengan tenang, sembari maju
melangkah mendekati barisan Ren Zhuocan.
"Ketua Ding, bagaimana dengan keluarga Murong?", sekali lagi Zhong Weixia bertanya.
Langkah Ding Tao pun terhenti, menghela nafas dia berbalik dan menengok ke arah Zhong Weixia, "Ketua Zhong, Ketua
Zhong adalah ketua dari satu partai yang besar, masakan tidak mengerti bagaimana kita harus menangani masalah ini. Di
depan tamu, apakah pantas kita bertengkar antar saudara sendiri" Urusan di dalam biarlah kita selesaikan setelah tamu kita pulang."
Merah padam wajah Zhong Weixia ditegur sedemikian rupa di depan orang banyak. Tanpa menunggu jawaban dari Zhong
Weixia, Ding Tao sudah memalingkan muka dan kembali bergerak mendekati Ren Zhuocan. Huang Ren Fu yang tadinya
hendak membuka mulut dan menuntut keadilan sekali lagi, ikut terdiam mendengar jawaban Ding Tao pada Zhong Weixia.
Suara Ding Tao terdengar jelas ketika dia berkata, "Ketua Ren, ayolah kita saling mengukur kepandaian. Bukankah untuk
itu Ketua Ren datang ke dataran ini?"
"Hahahahah, bagus, bagus, sungguh pahlawan sejati, benar-benar pantas untuk menjadi Wulin Mengzhu. Hebat Ketua
Khongzhen dan Chongxan boleh pergi, tapi penggantinya tak kalah hebat. Bagus!", jawab Ren Zhuocan sembari berjalan
maju, menemui Ding Tao di tempat yang luas, di antara barisannya dan barisan para pendekar dari dalam perbatasan.
Melihat dua orang jagoan hendak bertarung, perhatian setiap orang pun tertuju pada dua orang itu. Murong Yun Hua boleh
jadi merupakan berita yang mengejutkan, tapi pertarungan antara dua orang jagoan nomor satu dari dua negara yang
berbeda, lebih menarik bagi sebagian besar orang yang hadir di situ, para penggila ilmu silat. Ketegangan pun menyelimuti dataran Gurun Gobi.
Tetua Shen, Wang Shu Lin dan enam orang gurunya, mereka yang mengikuti Ding Tao sampai saat-saat terakhir sebelum
Ding Tao menghilang, menyaksikan itu semua dengan jantung berdetak kencang. Seperti apakah Ding Tao yang sekarang"
Benarkah dia sudah mencapai tataran yang sama dengan Ren Zhuocan" Sementara Murong Yun Hua menyaksikan
pertemuan dua orang jagoan itu dengan pemikiran yang berbeda, jika Ding Tao kalah dalam pertarungan itu, dia sudah
bersiap untuk melompat ke depan dan menantang Ren Zhuocan. Jika dia bisa mengalahkan Ren Zhuocan, penilaian orang
pun tentu akan berbeda lagi. Ada kesempatan yang lebih besar baginya untuk menyelamatkan diri.
Tapi entah mengapa, dalam hati kecilnya tiba-tiba dia berharap agar Ding Tao bisa menang melawan Ren Zhuocan.
"Gila!", makinya dalam hati dengan perasaan tak menentu.
Sementara itu Ding Tao dan Ren Zhuocan berjalan makin perlahan, dalan tiap langkah mereka, semakin dekat jarak di
antara mereka, maka tekanan yang timbul dari perasaan mereka yang peka akan bahaya dari lawan yang ada di hadapan
mereka semakin besar. Makin lama makin perlahan, hingga akhirnya mereka berhenti, lima langkah jaraknya antara Ding
Tao dan Ren Zhuocan. Udara di antara dua orang jagoan itu pun rasa-rasanya sudah pekat dengan tenaga yang tak terlihat.
Naiklah alis mata Ren Zhuocan.
"Heh", boleh juga bocah ini, dalam hal pengolahan hawa murni dan semangat, dia tidak berada di bawah Khongzhen dan
Chongxan. Tapi jangankan bocah ini, mereka berdua pun saat ini bukanlah tandinganku.", pikirnya dalam hati.
"Ketua Ding, kulihat kau membawa pedang, apakah dalam pertarungan ini kau akan menggunakan pedang?", tanya Ren
Zhuocan. "Benar", jawab Ding Tao tenang.
"Kalau begitu silahkan Ketua Ding mencabut senjata.", ujar Ren Zhuocan mempersilahkan.
Ding Tao kemudian balik bertanya, "Bagaimana dengan Ketua Ren, apakah tidak menggunakan senjata" Jika demikian
maka baiklah aku pun tidak menggunakan senjata."
Ren Zhuocan tersenyum dan menjawab, "Pedang sudah tidak ada di tanganku lagi, pedang sudah ada di hatiku."
Jawaban ini membuat orang-orang yang ada di barisan terdepan dan mendengar ucapan Ren Zhuocan itu saling berbisik
dan perlahan ucapan Ren Zhuocan itu pun menyebar sampai pada mereka yang berada di baris belakang. Mereka yang
berdiri di belakang Ding Tao pun memasang telinga dan menunggu apa jawaban Ding Tao.
"Oh begitu" baiklah kalau begitu aku pun tidak akan mencabut pedangku", jawab Ding Tao sederhana.
Tetua Shen yang ikut menonton dari balik kerumunan orang, tersenyum dalam hati, "Tahu rasa kau, Ren Zhuocan, gayamu
hendak menyombong, sekarang ketemu batunya, mau apa kau kalau dijawab seperti itu?"
Memang maksud hati Ren Zhuocan hendak menyombongkan dirinya, sekaligus menggertak lawan, siapa sangka justru Ding
Tao bersikap seakan tak mengerti apa maksud dari perkataannya itu. Seakan-akan apa yang dicapai Ren Zhuocan bukanlah
sesuatu yang perlu dipikirkan, mau pedang di tangan, mau pedang di hati, mau pedang di pantat, juga semau dia, tidak ada urusannya dengan Ding Tao. Wajah Ren Zhuocan pun berubah jadi gelap.
"Baiklah" Awas serangan kalau begitu!", seru Ren Zhuocan dengan hati geram dia pun berkelebat menyerang Ding Tao.
Jarak yang lima langkah, dalam satu kejapan mata sudah ditutup, sebuah serangan dilancarkan, tangan kanan memancing,
tangan kiri bersiap. Sederhana saja, namun kekuatan dan kecepatannya sungguh mengerikan. Tapi yang lebih mengejutkan
adalah tanggapan Ding Tao, seakan dia sudah bisa membaca pikiran lawan, sebelum Ren Zhuocan sampai dia sudah
bergeser ke kiri, ke sisi kanan Ren Zhuocan, tangannya yang membawa pedang menggerakkan gagang pedang bergerak
menutuk ke arah mana pergelangan tangan Ren Zhuocan akan sampai seandainya serangan diteruskan. Gerakan Ding Tao
tidak secepat Ren Zhuocan, namun antara kecepatan dan waktu serangan, bila Ren Zhuocan tidak menghentikan
serangannya, tidak bisa dihindari pergelangan tangannya akan kena ketuk oleh gagang pedang Ding Tao.
Ren Zhuocan pun dengan cepat mengubah pukulannya menjadi cengkeraman, tangan yang tadinya hendak bergerak lurus
ke depan, sekarang berubah menyambar ke samping, tangan yang tadinya terkepal sekarang terbuka dan hendak
menangkap tangan Ding Tao yang bergerak hendak menyerang pergelangan tangannya.
Tapi lagi-lagi dengan kecepatan yang berada di bawah serangan Ren Zhuocan, Ding Tao sudah bergerak menarik
serangannya dan melangkah bergeser maju, membuat sambaran tangan Ren Zhuocan akan mengenai udara kosong,
sementara gagang pedang yang tadi bergeraj hendak mengetuk pergelangan tangan, ditarik ke arah dada dan mengarah ke
arah siku Ren Zhuocan. Jika Ren Zhuocan terlambat menarik serangannya, niscaya sikunya akan membentur dengan
gagang pedang Ding Tao dan akan terluka oleh kekuatannya sendiri.
Ren Zhuocan bukan anak kemarin sore, kepandaiannya tidak di bawah Bhiksu Khongzhen atau Pendeta Chongxan. Dua
gebrakan sudah cukup untuk menyadarkan dia bahwa dia terlalu memandang rendah lawan.
Sembari menarik serangan Ren Zhuocan menggeser tubuhnya menjauh dari jangkauan serangan Ding Tao. Dalam satu
gerakan yang singkat itu, Ren Zhuocan meredakan kemarahannya dan mengkonsentrasikan pikirannya, memasuki keadaan
kosong. Sekali lagi Ding Tao bergerak seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi, meski Ren Zhuocan bergerak mundur dia
tidak maju memburu. Melainkan dia berdiri diam di tempatnya, tubuhnya berdiri dalam keadaan sempurna, tidak terlalu
tegang tapi juga tidak terlalu santai. Pedang yang belum dicabut disilangkan di depan dadanya, tangan yang lain
disembunyikan di belakang punggung. Matanya menatap lurus ke arah Ren Zhuocan, tapi tidak berfokus pada Ren Zhuocan.
Ren Zhuocan pun sekarang berdiri diam, dalam sikap sempurna yang tak jauh berbeda dengan sikap yang diambil Ding Tao.
Kedua tangannya tergantung di sisi tubuhnya dalam posisi bisa berubah setiap saat. Seluruh panca inderanya menajam,
semangatnya berada dalam keadaan wajar, tidak rendah tidak tinggi. Matanya lurus menatap Ding Tao, tapi bukan hanya
matanya yang mengamati pemuda itu, bahkan seluruh indera perasa pada kulitnya ikut mengamati gerak gerik pemuda itu.
Keduanya tidak lagi menyandarkan serangan dan pertahanan pada pemikiran mereka yang wajar. Lebih tepat jika disebut
intuisi, mungkin juga kepekaan hati, kumpulan pengalaman, pengetahuan, proses berpikir yang berbeda. Menyerang atau
tidak, apakah ada kelemahan pada lawan atau tidak, semuanya bukan bersandar pada pikiran sadar. Lebih seperti orang
yang berkedip, sebelum berpikir untuk berkedip, ketika ada benda yang hendak sampai di matanya. Proses berpikir yang di luar kewajaran manusia pada umumnya.
Jika dua orang tokoh seperti mereka mengambil sikap kuda-kuda, apakah ada kelemahannya" Tentu saja hampir-hampir
tidak ada, jika tidak bisa dikatakan tidak ada. Jika dilihat dengan mata saja dan menggunakan cara berpikir yang biasa, mungkin justru orang akan melihat lubang-lubang kelemahan. Tapi lewat intuisi mereka berdua, mereka tahu itu bukan
kelemahan. Justru maut yang akan didapat jika mereka mencoba menyerang titik-titik tersebut. Jika demikian, kapankah
mereka akan bergerak" Adakalanya bisa dikatakan ini pertarungan antara semangat yang seorang dengan yang lain. Siapa
yang semangatnya turun lebih dulu dan kewaspadaannya kendur sehingga terbuka jalan untuk diserang, apakah semangat
lawannya masih terjaga dan kewaspadaannya tidak kendur sehingga bisa memanfaatkan kesempatan itu.
Tapi keduanya pun bisa dikatakan hampir berimbang, semangat keduanya bekerja dengan wajar, tidak berlebihan sehingga
justru hilang kewaspadaan, tidak juga menurun sehingga melemahkan pertahanan dan serangan.
Tidak ada jurus pancingan, tidak ada gerakan yang memancing gerakan lawan. Tanpa bergerak, tanpa dicoba, mereka
berdua sudah tahu gerakan itu tidak akan berguna untuk lawan mereka kali ini.
Maka pertarungan kali ini pun seperti perlombaan untuk diam dalam keadaan sempurna. Mereka yang tidak paham mulai
bosan dan bertanya-tanya. Jika ada mereka yang lebih berpengalaman, memiliki pengetahuan dan tidak pelit untuk berbagi, maka orang-orang itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Maka keheningan itu mulai diisi dengan bisik-bisik di
antara mereka yang melihat pertarungan itu. Antara guru dengan murid-muridnya. Antara senior dengan juniornya.
Dari hening kemudian timbul suara, keseimbangan yang tercipta sebelumnya bergeser sedikit saja dan dua orang itu pun
bergerak. Namun pergeseran itu hanya singkat saja umurnya, karena pada saat Ren Zhuocan kehilangan keseimbangan
dengan sangat cepat dia memulihkan diri dan bergerak mengimbangi gerakan Ding Tao. Jika terlambat sedikit saja, tentu
saat ini Ding Tai sudah menyerang dan mencecar Ren Zhuocan. Kekalahan yang selapis kulit ari itu, jika terjadi pada orang lain mungkin membuat semangat mereka terguncang dan tak mampu kembali pada keseimbangannya. Jika itu yang terjadi
maka selesailah pertarungan ini. Tapi Ren Zhuocan terbuat dari bahan yang lebih liat. Penguasaan dirinya tidak tergoyahkan oleh kesalahan yang sesaat itu. Dengan cepat kedudukan kembali seperti semula.
Nafas tiap-tiap orang yang sempat terhenti pun mulai berjalan kembali.
Sampai berapa lama" Cukup lama, tiap-tiap kali ada perubahan pada lingkungan mereka, tiupan angin padang gurun, pergerakan matahari, awan
tipis yang mungkin lewat, keringat yang mulai menetes di dahi mereka. Setiap perubahan, selalu menuntut penyesuaian,
keduanya pun tanpa terasa sudah berpindah tempat, namun sampai saat itu belum juga ada yang bergerak menyerang.
Ada kalanya sebelum berangkat berduel, seseorang memeriksa dahulu tempat yang akan mereka gunakan untuk berduel.
Ren Zhuocan yang sudah bersiap sudah melakukan hal itu, bisa dikatakan dia sudah menghafal, bahkan dengan sengaja
mengatur tata letak dari arena tempat mereka akan bertarung. Tidak demikian dengan Ding Tao, dia berangkat setelah
waktunya sangat dekat. Mereka sampai hanya selisih satu hari sebelum diadakannya pertarungan, itu pun dia harus
memastikan segala sesuatunya siap untuk mengurung Murong Yun Hua dengan serangan-serangannya hingga Murong Yun
Hua tidak bisa berkutik lagi.
Ada yang Ren Zhuocan tahu mengenai medan itu yang Ding Tao tidak tahu. Ketika Ren Zhuocan menantikan saat-saat itu,
Ding Tao tidak tahu saat-saat apa yang ditunggu Ren Zhuocan.
Pada satu saat, mereka kembali bergeser oleh terjadinya pergeseran matahari, kaki Ding Tao bergerak, seharusnya
menginjak tanah berpasir yang padat, tapi dalam hitungan sepersekian detik dia mendapati tanah di bawahnya bergerak
hendak ambles ke bawah. Itulah jebakan yang sudah disiapkan Ren Zhuocan, ada beberapa tempat di mana dia menanam
bebatuan sehingga permukaan tanah berpasir itu menjadi tidak rata, ada pula tempat di mana dia mengubur di bawah
pasir-pasir itu kantung kemih babi yang ditiup sehingga menggembung berisi udara. Sepertinya tanah itu rata, tapi begitu Ding Tao menginjaknya, meletuslah kantung tipis itu dan tanah pun ambles ke dalam
Hanya sepersekian kejap saja kejadiannya, Ren Zhuocan berkelebat menyerang, setiap orang menahan nafas. Beberapa
orang dari mereka yang mendukung Ding Tao bahkan berteriak kaget. Mereka yang mendukung Ren Zhuocan ada yang
bersorak tertahan. Bagaimana tidak, semua orang tahu, pertarungan ini akan diselesaikan dalam satu serangan dan Ren
Zhuocan-lah yang bergerak menyerang lebih dahulu.
Sedemikian cepat apa yang terjadi, hampir-hampir tidak ada seorang pun yang dapat mengikuti apa yag terjadi. Serangan
Ren Zhuocan datang dengan cepat, tangan kanannya bergerak dari sisi tubuhnya, mengarah ke atas, menyambar Ding Tao
yang hilang keseimbangan dan miring ke arah kiri. Telapak tangan yang berkembang bergerak menyambar kepala Ding Tao
yang seakan bergerak hendak menyambut tamparan maut itu.
"Kena!", dalam hati Ren Zhuocan berteriak.
Tapi tidak, begitu kaki kirinya ambles ke dalam tanah, Ding Tao tidak kehilangan keseimbangan, justru dia menekuk kaki
kirinya sehingga tubuhnya merendah dengan cepat, mendahului serangan Ren Zhuocan yang datang menyambar.
Tamparan Ren Zhuocan pun lewat tipis di atas kepalanya. Bertumpu pada kaki kiri, tangan kiri Ding Tao bergerak
menyerang bagian pinggang Ren Zhuocan, hebat serangan itu karena sembari memukul, dibarengi juga dengan hentakan di
kaki kiri dan tumpuan digeser ke arah kanan.
Salah perhitungan, Ren Zhuocan sekarang justru berada pada kedudukan yang tidak menguntungkan. Tangannya sudah
menyambar ke depan, membuat pinggang kanannya terbuka lebar untuk diserang. Tapi Ren Zhuocan tidak menjadi gugup,
sekejap sebelum pukulan Ding Tao sampai dia sudah mengerahkan ilmu kebalnya untuk melindungi bagian itu. Sementara
tangan kanannya yang sudah berada di atas, sekarang bergerak ke bawah, hendak menghantam kepala Ding Tao dengan
sikunya. Tapi sekali lagi Ren Zhuocan salah perhitungan, karena pada saat itu juga Ding Tao menggunakan kaki kanannya untuk
mendorong tubuhnya ke belakang. Hentakan kaki kiri Ding Tao ditambah dengan pergeseran tumpuan tubuhnya, membuat
tubuh Ding Tao bergerak ke arah mundur ke sisi kanan. Pukulan tangan kiri Ding Tao ke arah pinggang justru hanya sebuah gerak tipu. Begitu dia mendapatkan pijakan yang kuat, tangan kanan Ding Tao bergerak cepat memukul dengan
menggunakan gagang pedang ke arah dada Ren Zhuocan.
Tidak kalah cepat tangan kiri Ren Zhuocan bergerak menangkis serangan Ding Tao, tapi pada saat tangannya berbenturan
dengan sarung pedang Ding Tao, terjadilah hal di luar dugaan Ren Zhuocan, alih-alih tertangkis, justru Ding Tao
menggunakan kekuatan tangkisan Ren Zhuocan sebagai tumpuan bagi pedangnya untuk berputar, dengan cepat gagang
pedang mundur dan ujung pedang yang masih dalam sarung bergerak menebas maju, dan kali ini tanpa bisa dihindari,
ujung pedang Ding Tao memukul telak leher Ren Zhuocan. Pukulan ini bukan pukulan biasa, apalagi Ren Zhuocan sudah
salah mengarahkan ilmu kebalnya. Jika yang terkena pukul bukan Ren Zhuocan, mungkin sudah patah tulang pundaknya,
tapi ini Ren Zhuocan, meskipun demikian pukulan itu membuat keseimbangannya terguncang. Ren Zhuocan pun terhuyung
ke kanan. Ding Tao tanpa ragu menggunakan jurus-jurus serangan yang diwariskan Pendeta Chongxan dan Bhiksu
Khongzhen padanya. Terdesak Ren Zhuocan hanya mampu menghindar mundur dan menangkis. Debu-debu berterbangan di sekitar mereka,
dalam sekejapan mata sudah belasan langkah mereka bergerak, Ding Tao menyerang maju, sementara Ren Zhuocan
terdesak mundur tanpa mampu melepaskan diri dari tekakan Ding Tao. Serangan, demi serangan dilontarkan, beberapa
terkena telak mendarat di tubuh Ren Zhuocan, beberapa bisa ditangkis, tak satupun berhasil dihindari apalagi untuk
menghindar ke kiri atau ke kanan. Satu kali dada Ren Zhuocan tak terjaga lagi dan jurus serangan yang pamungkas pun
dikerahkan. Terjadilah benturan hebat antara ilmu kebal Ren Zhuocan dengan Telapak Buddha tingkat akhir warisan Bhiksu
Khongzhen, sebuah ledakan hebat terdengar menggetarkan setiap orang yang menyaksikan pertarungan itu. Debu-debu
dan pasir pun berhamburan membentuk kabut. Untuk sesaat lamanya udara di sekitar dua orang itu menjadi hampa, dalam
satu jurus simpanan Ding Tap bergerak mundur dan menghisap ruang hampa mengikuti arah geraknya, tubuh Ren Zhuocan
terhuyung ke depan tersedot oleh udara di sekitarnya.
Kemudian dengan satu hentakan, satu kali lagi Ding Tao menghajar Ren Zhuocan dengan Telapak Buddha tingkat akhir.
Seperti layang-layang putus tubuh Ren Zhuocan terpental jauh ke belakang.
Semuanya terjadi dengan cepat, sejak Ding Tao hilang keseimbangannya, sampai pada serangan terakhir, kebanyakan
orang hanya melihat bayangan Ding Tao dan Ren Zhuocan bergerak, untuk kemudian menyurut mundur dan ada satu tubuh
yang terpental, melayang ke belakang dan terbanting di atas tanah.
Tapi mereka yang sudah mapan ilmunya bisa melihat, siapa menyerang dan siapa diserang. Maka sorak sorai pun terdengar
dari barisan para pendekar yang berasal dari dalam perbatasan. Debu-debu mulai melayang turun, kabut pasir mulai
menghilang, namun sorak sorai dari para pendekar justru semakin keras. Semakin banyak orang yang melihat bahwa Ding
Tao masih berdiri tegap, dan Ren Zhuocan lah yang terlontar ke belakang dan sekarang terbaring tak berdaya, semakin
banyaklah yang bersorak-sorai. Suara mereka semakin keras memenuhi seluruh padang gurun itu, pihak yang kalah tentu
saja hanya bisa terdiam membeku di tempatnya. Apa yang harus mereka lakukan sekarang" Tak pernah terbayangkan,
ketua mereka yang pilih tanding tak pernah terkalahkan itu ternyata akhirnya kalah di tangan seorang pemuda. Kejutan itu terlalu besar bagi mereka. Apakah Ren Zhuocan mati" Jika mati, lalu siapa yang sekarang memegang pimpinan" Siapa yang
Bukit Pemakan Manusia 11 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Kilas Balik Merah Salju 1

Cari Blog Ini