Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 8
berotot, tentu bukan jaminan, apalagi bagi murid-murid Perguruan Bangau Putih yang mementingkan tenaga lembut. Meski
mereka tetap bersikap sopan, tidak urung ada pandangan-pandangan mata yang "keaslian" Ding Tao yang datang
berkunjung ini. Berbeda dengan orang-orang Biro Pengawalan Golok Emas yang sempat beberapa hari mengadakan perjalanan bersama
Ding Tao. Kesan rendah hati dan keramahan pemuda itu sudah membuat mereka bersimpati, sebelum mereka mulai
mendengar kisah pertarungan Ding Tao. Meskipun demikian dalam hati mereka terselip juga keraguan yang sama. Tapi
keraguan itu segera saja tertutupi oleh sikap baik Ding Tao pada mereka selama ini. Apalagi ketika A Sau dan A Chu
bercerita tentang penjelasan Ding Tao di sepanjang perjalanan.
Dengan berbagai macam gambaran yang berbeda tentang diri pemuda ini, mereka sama-sama masuk menemui Wang Xiaho
dan Chen Wuxi. Segera saja Ding Tao dipersilahkan untuk duduk di meja utama bersama Chen Wuxi dan Wang Xiaho. Dengan sungkan Ding
Tao memberi hormat pada kedua orang tua itu sebelum dia duduk satu meja.
Setelah berbasa-basi sebentar, Chen Wuxi yang juga merasakan keraguan pada diri pemuda itu berkata, "Ding Tao, setelah
kudengar dari beberapa kawan yang menyaksikan ilmu pedangmu, aku jadi tertarik untuk melihat sedikit demonstrasi.
Bagaimana menurutmu?"
"Ah, tapi ilmuku belum begitu matang?", ujar Ding Tao sambil menggaruk kepala.
"Hahaha, Ding Tao apa benar kau sempat berhadapan dengan Sepasang Iblis Muka Giok?", tanya Wang Xiaho sambil
tertawa. "Ya, begitulah, tapi tidak bisa terlalu dibanggakan, akhirnya tidak ada keputusan yang jelas siapa menang dan siapa yang kalah. Malah di pertarungan kami yang pertama, siauwtee harus lari terbirit-birit bila tidak mau jatuh ke tangan mereka.", jawab Ding Tao sambil cengar-cengir malu.
"Hoo" maksudmu kau sempat bertemu dan bertarung dengan mereka sebanyak dua kali?", tanya Chen Wuxi menegas,
maklum pertarungan kedua antara Ding Tao dan Sepasang Iblis Muka Giok belum ada yang tahu sampai sekarang.
"Eh, iya.. begitulah.", jawab Ding Tao serba salah.
"Ha, apa kau tidak tahu, bisa lolos dari tangan mereka saja sudah terhitung jempolan, apalagi dua kali kau pecundangi
mereka. Ding Tao, tidak perlu sungkan-sungkan, aku juga sudah tidak sabar ingin melihat ilmu silatmu.", desak Wang Xiaho dengan bersemangat.
"Iya Ding Tao, peragakan saja beberapa jurus.", sahut beberapa orang anak buah Wang Xiaho.
Setelah didesak beberapa kali, akhirnya Ding Tao menyerah, "Baiklah kalau kalian ingin melihatnya, aku akan coba
memperagakan sejurus dua jurus yang aku punya."
Chen Wuxi jadi bersemangat, sambil menepuk pahanya dia berkata, "Bagus, anak muda memang harus punya semangat.
Ruang ini kecil, baiknya kita pindah ke halaman belakang."
Rupanya halaman belakang rumah Chen Wuxi berfungsi juga sebagai tempat latihan murid-muridnya. Ada rak-rak senjata
kayu untuk latihan, ada pula boneka kayu dan berbagai alat latihan lainnya. Halaman itu cukup luas, di satu sisi yang
beratap, ada sebuah meja dan beberapa bangku. Wang Xiaho dan Chen Wuxi duduk di sana, sementara murid-murid Chen
Wuxi berdiri berjajar di sebelah Chen Wuxi dan orang-orang Biro Pengawalan Golok Emas di sisi yang lain.
Setelah membungkuk hormat pada Wang Xiaho dan Chen Wuxi, mulailah Ding Tao memainkan jurus-jurus yang dia pelajari
dari keluarga Huang. Wang Xiaho dan Chen Wuxi yang punya pengalaman yang luas, dengan segera bisa mengenali ciri
khas ilmu keluarga Huang dari jurus-jurus yang dimainkan Ding Tao. Dengan sendirinya ini sudah cukup membuktikan kalau
memang benar ini Ding Tao yang sama dengan Ding Tao yang mereka dengar dari berita.
Tapi baik Wang Xiaho dan Chen Wuxi kurang puas dengan peragaan yang mereka lihat. Meskipun cara Ding Tao
menjalankan jurus-jurus itu memang tepat dan cepat, tapi mereka tidak bisa melihat di mana kelebihannya. Wang Xiaho
yang mulai paham sifat rendah hati dari Ding Tao masih dapat memahami hal ini, berbeda dengan Chen Wuxi. Dalam benak
Chen Wuxi timbul keraguan apakah benar Ding Tao mampu menghadapi jagoan sekelas Sepasang Iblis Muka Giok.
Setelah peragaan jurus-jurus itu selesai, anggota Biro Pengawalan Golok Emas, terutama yang masih muda, segera saja
bertepuk tangan memuji Ding Tao dengan hati yang tulus. Tapi yang lain, terutama murid-murid Chen Wuxi, bertepuk
tangan hanya sekedar menghormati tamu saja, karena dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, mengapa hanya
begini saja. Karena tidak puas, Chen Wuxi pun memutar otak, bagaimana caranya dia bisa mengorek lebih banyak tentang tingkatan
Ding Tao, akhirnya dia berkata, "Ding Tao, murid-muridku ini kurang berpengalaman di luar. Meskipun mungkin ada satudua yang sudah cukup lama berguru, bagaimana kalau kau bertanding dengan mereka" Sekedar meluaskan pengalaman
dan menjalin persahabatan, bagaimana?"
Ding Tao sedikit mengerutkan alis, tapi teringat dengan pertandingan persahabatan melawan keluarga Huang beberapa
waktu yang lalu, pemuda itu jadi bersemangat. Sedikit banyak Ding Tao bisa merasakan bahwa tuan rumah ingin menjajaki
ilmu silatnya dan ada juga keinginan untuk sedikit unjuk gigi.
"Baiklah, kalau Guru Chen berpendapat demikian."
"Bagus, ayolah segera kita mulai kalau begitu.", ajak Chen Wuxi sambil bangkit berdiri lalu pergi ke arah murid-muridnya berkumpul.
Chen Wuxi memilih dua orang murid utamanya dan membisikkan sesuatu pada mereka.
Saat Ding Tao sudah berdiri di tengah arena, perhatian semua orang tertuju pada dua murid utama dari Perguruan Bangau
Putih, rupanya Chen Wuxi tanpa ragu-ragu mengutus dua orang muridnya sekaligus untuk melawan Ding Tao. Beberapa
orang jadi berbisik-bisik melihat hal itu, tapi Wang Xiaho yang cukup paham dan percaya pada sahabatnya ini diam saja
menonton. Ding Tao juga sedikit terkejut melihat lawan ada dua orang, Chen Wuxi buru-buru menjelaskan agar tidak ada salah paham,
"Ding Tao, terus terang saja, aku ingin melihat sampai di mana kemampuanmu. Jika kau mampu bertahan melawan
sepasang iblis itu, maka jujur saja, sebenarnya akupun bukan tandinganmu. Itu sebabnya sekaligus aku mengirim dua
orang muridku untuk bertanding denganmu."
"Ah Guru Chen, waktu berhadapan dengan sepasang iblis itu aku memang sedang beruntung saja."
"Tidak masalah, pertandingan inipun hanya pertandingan persahabatan. Kuharap kau mau menunjukkan sejurus dua pada
kedua muridku ini, supaya mereka boleh menambah pengalaman juga."
Melihat dia akan menghadapi dua orang lawan, Ding Tao jadi teringat pada jurus yang baru dia ciptakan. Hingga saat ini
Ding Tao belum berkesempatan untuk mencoba jurus itu dalam pertarungan yang sesungguhnya. Teringat jurus itu,
terbetiklah keinginan dalam hatinya untuk menguji jurus yang dia ciptakan itu.
"Baiklah Guru Chen, moga-moga aku tidak sampai mengecewakan.", jawab Ding Tao dengan sopan.
Jawaban Ding Tao menumbuhkan perasaan suka dalam hati Chen Wuxi, dia juga mulai memahami mengapa Wang Xiaho
memiliki perhatian yang besar pada pemuda itu.
"Hmmm" kepribadiannya sungguh baik, semoga saja kepandaiannya tidak mengecewakan", batin guru tua itu.
"Mulai !", ujarnya memberikan aba-aba.
Ding Tao berdiri dengan tenang menghadapi kedua lawan tandingnya. Jika sebelumnya kedua lawannya itu meragukan
kepandaian Ding Tao, sekarang begitu mereka berhadapan, tiba-tiba hati mereka disusupi oleh keraguan. Berhadapan
dengan Ding Tao yang berdiri dengan tenang dan sikap yang kokoh, tiba-tiba saja mereka merasa seperti sedang
berhadapan dengan gunung karang yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Belum juga mereka bertanding
mengerahkan jurus, tapi wibawa Ding Tao sudah mendesak mereka sedemikian hebat.
Begitu hebatnya hingga, nafas mereka pun tiba-tiba memburu dan keringat dingin membasahi punggung mereka.
Bagi yang menonton di lapangan, mereka tidak ikut merasakan tekanan yang dirasakan oleh kedua orang itu. Tapi
pandangan mata yang tajam dari Chen Wuxi dan Wang Xiaho segera saja menangkap gelagat yang timbul. Mereka sudah
cukup sering melihat duel antara dua orang jagoan pedang. Bukan sekali dua, mereka melihat bagaimana perbawa dari
seorang yang sungguh-sungguh kosen bisa membuat lawan kalah sebelum bertanding.
Meskipun keduanya sudah membayang-bayangkan tingkat ilmu Ding Tao, apa yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaan
mereka. Dalam usia yang masih begitu muda, Ding Tao sudah memiliki kepercayaan diri dan perbawa yang sedemikian
hebat. Keduanya saling berpandangan, Chen Wuxi tersenyum kecut.
"Saudara Wang, sepertinya jika mau coba menjajagi ilmu pemuda itu, harus kita berdua yang maju ke sana.", ujar Chen
Wuxi dengan suara rendah.
"Heheh, sepertinya begitu. Betapa menyenangkan, tidak kusangka, di usia yang sekarang ini aku bisa merasakan
berhadapan dengan tokoh sekosen ini.", jawab Wang Xiaho.
"Hahaha, benar juga, ini namanya kesempatan seumur hidup. Belum tentu ada kesempatan kedua untuk merasakan
nikmatnya berhadapan dengan seorang jagoan kosen.", sambil tertawa Chen Wuxi menjawab dengan bersemangat.
Tidak aneh jika dua orang tua ini merasakan demikian, keduanya memang bukanlah orang yang memiliki nama besar dalam
dunia persilatan. Jagoan-jagoan kelas satu sudah tentu tidak pandang mata terhadap mereka, jangan harap mereka dapat
kesempatan berlatih tanding. Bisa saja karena suatu sebab mereka berhadapan dalam pertarungan yang sesungguhnya,
tapi kalau itu terjadi sudah bisa dipastikan nyawa mereka bakal melayang. Padahal bagi orang yang menekuni ilmu silat,
berhadapan dengan jagoan yang tingkatannya lebih tinggi selalu menguntungkan, itu adalah salah satu cara untuk
memperdalam pemahaman sendiri, megenali kelemahan diri sendiri dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa
dikembangkan. Akan tetapi karena sifat dunia persilatan yang tidak kenal ampun, cara tersebut jadi sulit dilakukan. Seorang guru tidak akan dengan mudahnya mau memberikan petunjuk pada orang luar, jangankan pada orang luar, pada murid sendiri pun
tidak jarang masih ada jurus simpanan yang dirahasiakan. Itu sebabnya tidak jarang setelah tamat belajar, seseorang pergi berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari lawan, menambah pengalaman dan memperdalam ilmu.
Beruntung mereka yang mendapatkan bimbingan dari perguruan-perguruan ternama. Sebaliknya untuk orang-orang seperti
Wang Xiaho dan Chen Wuxi, sulitlah untuk mengembangkan ilmu lebih jauh lagi.
Keduanya memilih senjata kesukaan masing-masing, Wang Xiaho mengambil sebuah golok kayu yang besar. Chen Wuxi
sudah mengambil sepasang pedang. Perbuatan mereka tentu saja menarik perhatian, apalagi ketika mereka ikut melangkah
masuk dalam arena. "Ding Tao, aku sudah bersalah padamu, terlampau memandang rendah dirimu, sepertinya tidak cukup jika hanya dua orang
muridku yang maju jika kami ingin melihat kemampuanmu.", ujar Chen Wuxi menjelaskan.
Halaman itu pun dipenuhi suara berbisik, tidak seorangpun yang menyangka kedua jagoan tua itu akan ikut turun ke tengah arena. Dan ini bukannya menyuruh dua orang yang sudah ada mundur, tapi mereka maju untuk menambah jumlah lawan
Ding Tao. Melihat Ding Tao yang meragu, Wang Xiaho cepat memberikan penjelasan susulan.
"Ding Tao, percayalah, tidak ada maksud buruk dalam hati kami. Tapi sungguh kami akan berterma kasih jika kau mau
bermurah hati memberi satu atau dua petunjuk untuk meningkatkan ilmu kami."
"Ah, Paman Wang, siauwtee jadi merasa tidak enak."
"Heh, terhadap kawan sendiri masa aku akan memusingkan segala nama atau menyelamatkan muka. Ding Tao apa kau
sungguh-sungguh tidak mau menyenangkan hati orang tua ini?", desak Wang Xiaho.
"Bukan begitu paman, hanya saja kupikir paman terlalu memandang tinggi diriku. Tapi marilah, aku pun ingin menambah
pengalaman.", jawab Ding Tao mengambil keputusan, setelah berpikir sejenak.
Pemuda itu melihat sifat Wang Xiaho yang terbuka, Chen Wuxi yang bersahabat dengannya tentu punya sikap yang sama.
Teringat pengalamannya, di mana lewat pertandingan bisa menjadi sahabat erat, Ding Tao pun tidak ragu lagi. Begitu
pemuda itu mengambil sikap, ke empat lawannya kembali merasakan tekanan yang hebat.
Dalam hatinya Chen Wuxi merasa kagum, jika tadi dia sempat merasa kecewa pada kedua murid utamanya. Sekarang rasa
kecewa itu hilang, karena dia merasakannya sendiri, perbawa yang keluar dari Ding Tao. Hawa pedang yang tebal, terasa
menyelimuti sekujur tubuhnya, membuat dia merasa sulit untuk menyerang. Bagi Ding Tao sendiri ini adalah pengalaman
baru, jurus yang baru saja dia ciptakan, belum pernah dipakainya dalam satu pertarungan.
Baru kali ini dia coba menerapkannya, Ding Tao sendiri tidak sadar apa akibat dari jurus yang diciptakannya itu pada lawan.
Perbawa yang kuat menekan, menyulitkan lawan untuk mengembangkan serangan. Satu jurus yang menutup jalan
serangan lawan, mengancam setiap lubang pertahanan, tanpa keinginan untuk membunuh atau menghabisi lawan. Tujuan
utamanya, memaksa lawan menyerah tanpa harus terjadi pertumpahan darah. Jurus ini tercipta dari sari pati setiap jurus
dan pengalaman yang didapatkan Ding Tao, dilambari dengan dua macam hawa murni yang berbeda sifat dan dihasilkan
dari pemikiran yang dibantu ketajamannya oleh obat sakti dewa pengetahuan.
Mungkin jurus ini bila sudah sepenuhnya digali dan dikembangkan, bisa disejajarkan dengan jurus-jurus legendaris dari
perguruan besar, ciptaan para guru besar yang sudah tiada.
Begitu hebatnya perbawa jurus ini, hingga jagoan tua seperti Chen Wuxi bisa terpaku di tempatnya. Wang Xiaho yang sudah sering mengadu nyawa pun merasakan tekanan itu. Tapi dua jagoan tua itu tidak menjadi beku ketakutan di tempatnya
seperti dua orang murid Chen Wuxi yang belum sematang gurunya. Sambil menenangkan hati, perlahan-lahan dua orang
jagoan tua itu mulai membajakan semangatnya yang terserang oleh perbawa jurus milik Ding Tao. Beruntung bagi mereka,
ini hanyalah pertandingan persahabatan dan Ding Tao tidak berniat untuk menyerang lebih dulu. Hingga mereka punya
cukup waktu untuk menenangkan hati sendiri.
Mereka yang menonton di pinggir, meskipun tidak berhadapan langsung, semakin lama mengamati, semakin bisa meresapi
perbawa yang dikeluarkan oleh jurus Ding Tao. Pada awalnya mereka bertany-tanya mengapa tidak ada yang menyerang.
Kemudian mereka mulai mengamati kedudukan dan sikap yang diambil Ding Tao. Otak mereka mulai mereka-reka dan
menganalisa alasan mengapa tidak ada seorang pun yang memulai serangan. Mulailah mereka merasakan sentuhansentuhan dengan jurus yang disiapkan Ding Tao. Sehingga meskipun hanya sebagian kecil dari perbawa jurus itu yang
mereka rasakan, mereka mulai bisa membayangkan lawan seperti apa yang harus dihadapi oleh guru, pimpinan dan
saudara mereka. Jantung setiap orang seperti ditekan oleh bukit batu, berdebar, menanti ... dan bagaikan pecah saat tiba-tiba Wang Xiaho berteriak mengiringi ledakan serangan yang disertai segenap semangat yang berhasil dia kumpulkan. Hebat sungguh
serangan Wang Xiaho, perbawa dari jurus Ding Tao adalah ibarat tali yang mengikat ujung selang, sementara usaha Wang
Xiaho untuk mengumpulkan semangat adalah ibaratnya terus menerus memompakan air ke dalam selang itu. Hingga pada
satu waktu, semangatnya berhasil mengatasi perbawa jurus Ding Tao dan seperti air bah yang memancar dari bendungan
yang pecah, serangan Wang Xiaho membadai, meluncur ke arah Ding Tao.
Wang Xiaho melompat bergulingan rendah di tanah, golok yang terbuat dari kayu bergerak membelah bagai kilat,
mengincar kuda-kuda Ding Tao. Di saat yang sama, Chen Wuxi berteriak dengan keras, melompat tinggi ke atas, pedang di
tangannya bergetar, mengincar setiap lubang kelemahan yang ada pada bagian atas tubuh Ding Tao.
Tapi Ding Tao tidak menjadi gugup, kakinya dengan lincah dan mantap menghindari serangan golok Wang Xiaho tanpa
kehilangan keseimbangan. Pedangnya bergerak menutup serangan Chen Wuxi. Saat perhatian Ding Tao teralihkan oleh
serangan Wang Xiaho dan Chen Wuxi, tekanannya pada dua murid Chen Wuxi jadi berkurang. Terbebas dari perbawa jurus
Ding Tao, kedua orang itu segera mengumpulkan semangat dan melompat untuk menyerang Ding Tao.
Sebilah golok, tiga bilah pedang, satu sasaran, bekerja sama menyerang dari empat penjuru. Bagaimana cara Ding Tao
menghadapinya" Tingkatan Wang Xiaho, Chen Wuxi dan dua orang muridnya, mungkin bisa dijajarkan dengan Fu Tsun dan Xiang Long. Jika
Fu Tsun dan Xiang Long yang dibantu belasan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Ding Tao, kesempatan apa yang
dimiliki Wang Xiaohu dan Chen Wuxi.
Dengan gerakan kaki yang tepat, Ding Tao menyelusup keluar dari kepungan mereka berempat. Dengan serangan
pedangnya dia memaksa dua orang di sisi terluar bergerak ke tengah.
Setelah sasaran terkumpul dalam satu tempat, jurus pamungkas pun dikeluarkan. Jika sedang Ding Tao bersiap
mengembangkan jurus saja, ke empat orang itu jatuh dalam perbawanya. Apalagi sekarang saat Ding Tao mengembangkan
jurusnya untuk menyerang. Tidak ada yang bisa melihat dengan jelas gerakan Ding Tao, tapi semua bisa merasakan hawa
pedang yang meliputi seluruh halaman, bahkan mereka yang berada di pinggir arena, tidak luput dari pengaruh hawa
pedang. Setiap lubang dan celah tertutup oleh hawa pedang Ding Tao, ke empat lawannya terpaku di tempat. Tidak tahu harus bergerak ke mana, tidak bisa berpikir harus menyerang dengan jurus apa, tidak mampu pula memutuskan harus bertahan
dengan cara apa. Setiap cara yang dipikirkan, selalu terasa salah, sementara pedang Ding Tao bergerak dengan cepat tanpa ampun menghajar seorang demi seorang.
Sekilas tidak jauh bedanya dengan jurus pamungkas keluarga Huang di mana serangan pedang bergulung menyerang
lawan. Tapi jurus Ding Tao tidak menyisakan tempat untuk melarikan diri, tidak ada jebakan di balik serangan. Jika hendak lari tidak ada jalan. Jika hendak melawan, hawa pedang Ding Tao terlampau jauh di atas kekuatan mereka. Selain itu hawa pedang Ding Tao tidak diikuti hawa pembunuh, sehingga serangan Ding Tao tidak membangkitkan naluri bertahan hidup
dari lawan. Semangat untuk melawan dengan sendirinya jadi melemah, karena tidak ada kemungkinan untuk menang, tapi
kalah pun tidak menakutkan.
Dalam jurus ini, Ding Tao bukan hanya memikirkan bagaimana caranya menggunakan hawa pedang untuk menyerang dan
menutup jalan lawan. Tapi Ding Tao juga memperhitungkan keadaan mental lawan.
Karena itu Ding Tao juga mencari cara menghilangkan hawa pembunuh dalam jurus serangannya. Seekor tikus yang sudah
terpojok akan menggigit, meskipun tikus itu tahu dia tidak punya kesempatan untuk menang. Mengapa" Karena dia
merasakan adanya bahaya, nalurinya untuk bertahan hidup, membuat dia mencari jalan kehidupan, saat semua jalan buntu,
maka terpiculah sifat agresifnya.
Demikian juga saat Ding Tao bertarung dengan lawannya, lewat jurus-jurus yang dia miliki dan kecerdikannya, dia mampu
memojokkan lawan sampai lawan berdiri di posisi tidak bisa lari lagi. Tapi hal itu tidak membuat lawan menyerah, karena lawan merasakan hawa pembunuh yang keluar dari jurus serangan Ding Tao. Sehingga di posisi itu tidak ada pilihan lain
kecuali membunuh atau terbunuh. Ding Tao yang merasa muak dengan pembunuhan demi pembunuhan yang harus dia
lakukan, akhirnya mendapatkan inspirasi untuk menghilangkan hawa pembunuh itu dari jurus serangannya.
Sehingga lawan berada di posisi tidak mungkin menang, tapi kalaupun kalah, hal itu tidak membahayakan nyawa mereka.
------------------ o ------------------Inspirasi yang sama bisa ditemukan dalam kisah tiga negara, dalam percakapan antara Liu Bei dengan Zhu Jun. Pada saat
itu Jendral besar pasukan kerajaan Han, Zhu Jun dan Liu Bei berhasil mengepung pemberontak di kota Wang Cheng.
Pemberontak ikat kepala kuning, yang kehabisan bahan makanan, mengirimkan kurir menyampaikan tawaran untuk
menyerahkan diri. Namun Zhu Jun menolak penyerahan mereka itu, mendengar sikap Zhu Jun, Liu Bei bertanya, "Mengingat pendiri Dinasti
Han, Nenek Moyang kita yang besar, Liu Bang, mengampuni orang-orang yang mau menyerah padanya, kenapa kita
menolak penyerahan ini?"
"Kondisi saat itu dan sekarang berbeda," jawab Zhu Jun. "Di masa itu kekacauan terjadi secara menyeluruh dan tidak ada
seorang pimpinan yang tetap. Itu sebabnya mereka yang mau menyerah diterima dengan baik, untuk mendorong lebih
banyak lagi orang bergabung dan mempercepat penyatuan negara."
"Sekarang negara sudah bersatu, dan pemberontakan Zhang Jiao adalah satu-satunya penyebab kekacauan. Memberikan
pengampunan tidak akan mendorong perbuatan yang baik. Mengijinkan pemberontakan saat mereka berhasil, akan
membuat mereka semakin banyak meminta. Memberikan mereka pengampunan saat mereka gagal, hanya akan
memberikan keberanian untuk memberontak. Rencanamu untuk mengampuni mereka, bukanlah rencana yang baik."
Liu Bei pun menjawab, "Tidaklah masalah jika kita tidak memberikan pengampunan. Tapi saat ini kota sudah terkepung
dengan ketat. Jika kita menolak memberikan pengampunan, maka para pemberontak akan menjadi putus asa dan akan
bertempur sampai mati. Korban yang berjatuhan dari pihak kita akan sangat besar, belum lagi terhitung penduduk sipil
yang tinggal di dalam kota. Karena itu baiklah kita melonggarkan penjagaan di satu sisi dan menyerang dari sisi yang lain.
Mereka pasti akan melarikan diri dan kehilangan keinginan untuk bertempur. Saat itulah kita akan menghabisi mereka."
Taktik Liu Bei berjalan dengan baik, pemberontak yang melihat ada jalan untuk lari di satu sisi dan pasukan kerajaan yang sangat besar di sisi lain, kehilangan semangat untuk bertempur dan melarikan diri dari kota, di mana pasukan kerajaan
yang lain sudah siap untuk membantai mereka.
------------------------ o ----------------------Ding Tao bukan Zhu Jun, pendiriannya lebih condong pada pendirian Liu Bei, yaitu untuk memberikan pengampunan pada
lawannya. Jurus Ding Tao tidak sepenuhnya sesuaii dengan taktik Liu Bei. Tapi ide dasar dari taktik ini, yaitu memberikan jalan penghidupan pada lawan demi melemahkan semangat bertempur lawan, tidaklah berbeda. Sedikit berbeda dengan
kisah tiga negara di atas, yang dilakukan Ding Tao adalah serupa dengan bagaimana Zhu Jun dan Liu Bei berhasil
mengepung lawan. Tapi jika Zhu Jun tidak bersedia memberikan pengampunan, Ding Tao memilih untuk memberikan
pengampunan, dengan demikian pertarungan dapat diselesaikan tanpa ada korban yang jatuh.
Tentu saja bisa diperdebatkan, apakah pilihan Ding Tao ini tepat atau tidak, karena tidak semua lawan Ding Tao akan
bertindak seperti sepasang iblis muka giok. Akan ada mereka yang menggunakan kesempatan itu untuk memupuk kembali
kekuatan dan mencoba menantang atau mencelakakan pemuda ini di kemudian hari. Seperti kata Zhu Jun, memberikan
pengampunan di situasi yang tidak tepat, seringkali justru mendorong lebih banyak pelanggaran.
Tapi Ding Tao bukanlah Zhu Jun.
Jika serangan Ding Tao hendak dijabarkan dalam kata-kata, bisa berlembar-lembar habis untuk menjelaskan. Jika dilihat,
hanya sekejap mata saja kejadiannya.
Dalam sekejap setelah Ding Tao berhasil mengumpulkan lawan di satu tempat, pedang dan golok berjatuhan di lantai. 4
orang lawan, 4 wajah pucat pasi dan 4 pasang tangan terkulai lemas.
Tidak ada yang membuka mulut, peristiwa itu terlalu mengejutkan.
Ding Tao merasa tidak enak, cepat-cepat meletakkan pedangnya kemudian pergi untuk menyapa ke empat lawannya,
"Paman, Guru Chen, saudara berdua, kalian tidak apa-apa bukan" Maaf jika aku kelepasan tangan."
Sikap Ding Tao yang rendah hati dan dengan tulus mengkhawatirkan keadaan lawannya, mencairkan keadaan. Ke empat
lawannya yang sedang tercekam oleh jurus Ding Tao, tiba-tiba merasa bisa bernafas dengan lega kembali. Demikian juga
mereka yang menonton di tepi arena, merasakan ketegangan yang tadinya menyelimuti mereka mencair. Berbisik-bisik
mereka membicarakan apa yang baru mereka lihat dengan orang di kiri dan kanan mereka.
Chen Wuxi menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan apa yang barusan dia alami, "Astaga, tidak kukira ada jurus
semacam itu. Sungguh beruntung sudah setua ini masih sempat menyaksikan bahkan merasakan dahsyatnya jurus tuan
pendekar." "Guru Chen, jangan memanggilku begitu, bukankah umurku jauh berada di bawah Guru Chen, panggil saja namaku Ding
Tao seperti biasa.", ujar Ding Tao merasa tidak enak dipanggil tuan.
"Hah, apa artinya umur, di dunia kita, tingkatan diukur bukan dari umur tapi dari kemampuan. Apa kata orang jika mereka tahu aku memanggilmu dengan nama, orang bisa mengatakan aku tidak tahu diri, bukankah demikian Saudara Wang?"
"Ya benar sekali itu, hmm, kalau aku teringat sudah menawarimu menjadi rekanan dalam Biro Pengawalanku, betapa malu
rasanya. Heh, benar-benar makin tua makin pikun, tidak lihat ada Gunung Thaisan di depan mata.", jawab Wang Xiaho
sambil memandang pemuda itu penuh rasa kagum.
Ding Tao menggeleng-gelengkan kepala dan menggoyang tangan menolak, "Paman, mana boleh begitu" Di antara sahabat,
mana ada pandang tingkatan-tingkatan. Jika aku menghormat pada yang lebih tua itulah yang wajar."
"Hmm" baiklah kalau memang itu maumu.", akhirnya Chen Wuxi pun mengalah, dalam hati tumbuh perasaan kagum dan
hormat yang lebih dalam lagi terhadap Ding Tao.
Ding Tao memandang guru tua itu dan Wang Xiaho. Memandang berkeliling pada orang di sekitarnya, terasa cara mereka
memandangnya jadi berubah.Mereka memandangnya sepertinya dia seorang tuan tanah atau seorang pendekar besar, tidak
lagi sedekat sebelumnya. Dalam hati Ding Tao merasa sedikit sedih, meskipun juga bercampur rasa bangga. Ding Tao
bertekad tidak akan mengubah sikapnya terhadap mereka, berharap, perlahan-lahan mereka akan menerima dirinya
kembali sebagai teman segolongan tanpa ada sekat atau batasan.
"Ding Tao, ayo, kita kembali ke ruang tamu.", ajak Chen Wuxi setelah dia selesai menyimpan senjata latihan dan merapikan pakaiannya.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersama-sama mereka berjalan kembali. Ding Tao, Wang Xiaho dan Chen Wuxi berjalan di depan. Yang lain mengikut di
belakang, dengan telinga dipasang baik-baik, ikut mendengarkan percakapan mereka.
Di luar sepengetahuan mereka sepasang mata mengikuti jalannya pertarungan itu dari tempat yang tersembunyi.. Siapa
lagi jika bukan sepasang iblis muka giok. Memang tepat kalau julukan iblis itu disematkan pada sepasang kekasih ini.
Meskipun ilmu silat mereka belum tergolong nomor satu, tapi ilmu meringankan tubuh, penyamaran dan juga cara mereka
datang dan pergi ke tempat yang mereka tuju tanpa diketahui orang, benar-benar nomor satu.
Setelah semua orang pergi, dengan suara perlahan mereka bercakap-cakap, "Kakak, kau benar, jurus Ding Tao hebat
sekali, tidak kusangka bisa sedemikian hebatnya saat digunakan."
"Hmm" apakah kau tidak melihat kekurangan?"
"Apakah ada kekurangannya?", tanya iblis betina kemudian terdiam sejenak untuk berpikir.
Lama dia berpikir, kemudian mendesah sayang dia berkata, "Ya.. kakak benar, jurus itu belum sempurna benar. Menurut
kakak bagaimana caranya menutupi kekurangan dari jurus itu?"
"Heh, soal itu biarkan saja jadi urusan Ding Tao, adik, mari kita menyusup mendekat, coba mencuri dengar pembicaraan
mereka di ruang dalam."
Dengan gerakan gesit dan ringan keduanya menyusup ke dalam rumah, seperti sepasang arwah gentayangan, tanpa suara,
tanpa terlihat orang-orang yang ada di dalam rumah.
Sementara itu Wang Xiaho yang penasaran sekaligus terkagum-kagum dengan kekalahannya tadi bertanya pada Ding Tao,
"Ding Tao, kalau boleh tahu, apa nama jurus yang tadi kau pakai untuk melawan kami tadi?"
"Ehm" entahlah Paman Wang, siauwtee belum sempat memikirkan nama untuk jurus itu, lagipula apalah artinya sebuah
nama.", jawab Ding Tao sambil tersenyum.
Wang Xiaho dan Chen Wuxi yang mendengar jawaban pemuda itu pun melengak keheranan. Karena itu berarti jurus ini
adalah ciptaan Ding Tao sendiri. Tahu bahwa pemuda itu tidak suka disanjung-sanjung, dua orang tua itu pun menahan diri untuk tidak mengucapkan apa-apa. Tapi dalam hati mereka sudah membuat keputusan. Mereka yang berjalan di belakang
ketiga orang itu tidak berani banyak bersuara, mendengar jawaban Ding Tao mereka hanya saling berpandangan, dengan
wajah menyatakan keheranan dan kekaguman.
A Sau dan A Chu yang sempat mendapatkan beberapa petunjuk dari Ding Tao menjadi sangat bersemangat. Mereka sudah
tidak sabar ingin cepat melatih kembali jurus-jurus pedang mereka.
Saat mereka tiba di ruang tamu, hari sudah menjelang sore, Chen Wuxi memerintahkan murid-muridnya untuk menyiapkan
makan malam. Sambil menunggu, Chen Wuxi dan Wang Xiaho berniat untuk menyampaikan buah pikiran mereka pada
pemuda itu. "Ding Tao, kudengar dari Saudara Wang, kau sedang dalam perjalanan menuju ke Wuling, benarkah itu?", tanya Chen Wuxi.
"Iya, benar sekali Guru Chen."
"Bolehkah aku tahu apa tujuanmu pergi ke kota Wuling?", tanya Chen Wuxi kembali.
Ding Tao merasa agak ragu untuk menjawab, karena sepanjang sepengetahuannya urusan pengkhianatan Tiong Fa masih
merupakan urusan dalam keluarga Huang dan belum tersiar keluar.
Melihat pemuda itu ragu untuk menjawab Chen Wuxi coba menjelaskan, "Apakah salah tebakanku, jika kubilang tujuanmu
pergi ke kota Wuling ada hubungannya dengan Tiong Fa yang mengkhianati keluarga Huang dan Pedang Angin Berbisik?"
"Ah, jadi Guru Chen sudah tahu rupanya?", tanya Ding Tao.
"Hmm, tahu persis juga tidak tapi sedikit banyak aku mendengar berita-berita dari saudara yang lain. Ding Tao jika aku
tidak salah kau sempat menghilang kira-kira 5 bulan, sejak kau berhasil keluar dari Wuling. Apakah selama itu kau
mendengar kabar, tentang apa yang terjadi di Wuling?"
Ding Tao menggelengkan kepala, "Tidak paman, saat itu aku sedang menyepi untuk mengobati tubuhku dari luka dalam,
sekaligus memperdalam ilmu. Setelah selesai aku segera melakukan perjalanan ke Wuling, belum pernah sepanjang
perjalan mendengar kabar apapun dari sana."
Melihat wajah Chen Wuxi dan Wang Xiaho yang serius, perasaan Ding Tao mengatakan ada kejadian yang tidak beres,
dengan nada kuatir dia bertanya, "Paman, apakah terjadi sesuatu di kota Wuling?"
Sejenak Chen Wuxi berpandangan dengan Wang Xiaho.
"Baiknya Saudara Chen saja yang menyampaikan, aku orang tua ini kurang pandai dalam menyampaikan sesuatu.", ujar
Wang Xiaho menyerahkan pada Chen Wuxi.
Chen Wuxi menghela nafas, kemudian dengan lebih singkat dan serius dia sampaikan berita tentang kehancuran keluarga
Huang, ceritanya runut dimulai dari sejak berpisahnya Tiong Fa dari keluarga Huang, sampai berita terakhir tentang
pembunuhan besar-besaran atas segenap anggota keluarga Huang yang tinggal di Wuling. Mendengar cerita Chen Wuxi,
wajah Ding Tao berubah jadi pucat pasi. Jantungnya berdebar dan dadanya terasa sesak, begitu Chen Wuxi selesai
bercerita, pemuda itu bangkit berdiri dan membungkuk memberi hormat, berpamitan.
"Paman Chen, Paman Wang, maafkan aku tidak dapat tinggal lebih lama. Aku harus segera pergi ke Wuling.", ujar Ding Tao
berpamitan dengan suara bergetar.
Reaksi Ding Tao membuat Wang Xiaho yang melihatnya menjadi cemas, "Tunggu dulu Ding Tao, apakah tujuanmu ke
Wuling hendak mencari jejak Pedang Angin Berbisik dan merebutnya kembali" Karena jika demikian, mengapa tidak
menunggu barang dua hari, ada dua orang sahabat yang pergi untuk mengendus-endus berita dari Kota Wuling. Dalam 2
atau 3 hari ini mereka tentu sudah sampai kemari dan kau bisa berangkat dengan persiapan yang lebih mantap."
Baik Wang Xiaho maupun Chen Wuxi sudah bangkit berdiri, berusaha menahan pemuda yang jelas-jelas sedang kalut
pikirannya itu. "Maaf paman, tapi ini" ini bukan hanya soal pedang?"
"Ding Tao, setidaknya tenangkanlah dulu hatimu, jika kau pergi dalam keadaan seperti sekarang, hanya akan mengundang
banyak bencana bagi dirimu. Jika bukan soal pedang soal apa" Apakah ada sahabatmu di antara keluarga huang" Jika
demikian berita itu tentu bisa kaudengar setelah dua orang sahabat kami kembali.", ujar Chen Wuxi berusaha menenangkan
pemuda itu. Jika dalam keadaan yang biasa mungkin Ding Tao akan kesulitan bicara, tapi hatinya saat ini sedang kalut, mana terpikir tentang malu dan sebagainya, "Maaf paman, aku mencintai puteri keluarga Huang, Huang Ying Ying. Aku harus pergi ke
Wuling untuk memeriksa keadaannya. Maafkan aku, harap paman jangan berusaha menahan, aku tahu maksud baik paman
sekalian, namun kali ini aku terpaksa harus menolaknya."
Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang itu, Ding Tao mengundurkan diri, dengan beberapa kali lompatan, pemuda itu
sudah sampai di depan pintu dan berlari dengan cepat menuju ke Wuling, sebentar saja pemuda itu hilang dari pandangan
mereka. Mereka yang ada di sana, hanya bisa memandangi kepergiannya dengan hati cemas. Tidak ada yang tega untuk
mencegah, meskipun tahu dalam keadaan pikiran yang terganggu seperti saat ini, tentu tidak baik melakukan perjalanan
jauh. Apalagi jika hendak dipikir dengan kepala dingin, Wuling sudah jelas tidak akan bisa dicapai dalam semalam. Kalaupun Ding Tao hendak memaksa pergi ke sana, bukankah lebih baik menunggu semalam, lalu besok pagi-pagi tuan rumah bisa
meminjamkan seekor kuda untuk mempercepat perjalannya ke Wuling.
Tapi melihat kecemasan yang terpampang di wajah Ding Tao, Chen Wuxi pun tidak mampu mengatakan apa-apa. Dua
orang tua itu hanya bisa menghela nafas panjang.
"Astaga, urusan asmara memang membuat orang muda hilang akal" seorang berbakat pun tidak lepas dari jerat asmara?",
keluh Chen Wuxi sambil menggelengkan kepala.
Wang Xiaho tiba-tiba memukul meja, "Hah, sudah hidup begini lama, masakan tidak memiliki guna. Saudara Chen bisakah
kau meminjamiku dua ekor kuda" Aku akan berusaha menyusul Ding Tao, sekuat apapun anak itu, akan lebih cepat jika
menunggang seekor kuda."
"Hemm, tentu saja, apakah kau akan ikut pergi ke Wuling?", tanya Chen Wuxi.
"Ya, kupikir sebaiknya begitu, pikirannya sedang kalut, meskipun ilmu silatku tidak ada seujung kukunya, dalam keadaan
begini kepalaku lebih dingin.", Wang Xiaho mengangguk dengan tegas.
Menoleh pada orang-orangnya, Wang Xiaho meninggalkan pesan, "Kalian segera kembali ke kantor kita, sesegera mungkin
aku akan kembali, tapi jika sampai 3 bulan tidak ada kabar dariku, kalian bagikan saja uang yang ada dan bubarkan Biro
Pengawalan Golok Emas, untuk sementara jangan ikut campur urusan dunia persilatan. Tidak usah merasa sayang, jika
memang masih ada umur, kita akan bertemu lagi."
Sementara Wang Xiaho memberi pesan pada orang-orangnya, salah seorang murid Chen Wuxi sedang bergegas
menyiapkan kuda. Chen Wuxi bukan orang yang kaya, di rumahnya hanya ada 3 ekor kuda. Tapi 2 yang terbaik dia siapkan
untuk Wang Xiaho dan Ding Tao. Inilah kelebihan Chen Wuxi, tidak pernah banyak berhitung jika itu untuk membantu
teman. Dengan sendirinya banyak orang merasa suka menjadi sahabatnya. Orang pun jadi segan untuk mencari urusan
dengan guru tua ini. Matahari sudah mulai tenggelam dan langit mulai gelap, saat Wang Xiaho memacu kudanya sepanjang jalan menuju Wuling,
kira-kira 3-4 li di luar kota, barulah dia menyusul Ding Tao yang berlari dengan cepat di depannya.
Ding Tao memang cepat, tapi kuda yang ditunggangi Wnag Xiaho lebih cepat. Begitu melihat sosok Ding Tao di depannya,
Wang Xiaho tanpa ragu berteriak memanggil, "Ding Tao" Ding Tao" tunggu sebentar!"
Mendengar suara Wang Xiaho, Ding Tao memperlambat larinya, keringat sudah bercucuran membasahi pakaiannya. Suara
derap kaki kuda makin mendekat, saat suara itu sudah sangat dekat Ding Tao berhenti berlari dan menanti Wang Xiaho.
"Ada apa paman" Jangan kuatir, aku memang mencemaskan keadaan Adik Ying, tapi sambil berlari pikiranku sudah mulai
tenang. Meskipun hatiku tetap meronta untuk secepatnya sampai ke Wuling.", ujar Ding Tao saat mereka sudah bertatapan
muka. "Hemm, kalau mau ke Wuling secepatnya, lebih baik pakai kuda, nah kau naiklah kuda ini, aku akan menyertaimu sampai
ke Wuling." Jawab Wang Xiaho sambil menyerahkan tali kekang pada Ding Tao.
Ding Tao memandang Wang Xiaho dengan pandangan terkejut campur berterima kasih. Wang Xiaho melihatnya dan
tertawa, "Hahaha, jangan terlalku sungkan denganku, ini bukan kuda milikki, kedua kuda ini milik guru Chen."
"Paman berdua sungguh terlalu baik", jawab Ding Tao sambil melompat ke atas pelana.
"Hahaha, bukankah katamu di antara sahabat tidak usah banyak perhitungan. Ayo, marilah kita lanjutkan perjalanan,
mumpung langit cerah."
"Baiklah paman, mari.", jawab Ding Tao.
Wang Xiaho tidak banyak bicara, diamatinya saja Ding Tao yang kelihatan jelas pikirannya sedang terpaku di kota Wuling.
Tapi jagoan tua itu merasa lega, karena kekuatiran Ding Tao itu tidak mengabutkan penalaran anak muda itu. Ding Tao
merasa cemas itu sudah jelas, tapi Ding Tao tidak kehilangan akal sehatnya, bukannya memacu kudanya secepat mungkin,
pemuda itu memacu kudanya secukupnya saja, sehingga kuda tunggangannya tidak cepat lelah. Setelah yakin bahwa akal
sehat Ding Tao berjalan dengan baik, Wang Xiaho membuka mulutnya.
"Ding Tao, perjalanan ke kota Wuling tidaklah dekat, bagaimana dengan rencana perjalananmu?"
"Ya, dengan berjalan kaki terus menerus, kutaksir butuh waktu setidaknya 1 minggu, beruntung Paman Wang menyusulku
dengan membawa kuda. Jika kita bisa menjaga agar kuda kita tidak cepat lelah, sesekali menunggang kuda, sesekali
berjalan. Lalu beristirahat secukupnya saja, aku berharap bisa menyingkatkan waktu jadi 3-4 hari saja."
"Hmm" kita langsung saja masuk ke kota?"
"Tidak, kupikir begitu kota Wuling sudah tinggal setengah hari perjalanan, sebaiknya kita beristirahat dengan sebaikbaiknya, sehingga tubuh dan pikiran kita segar sewaktu memasuki kota Wuling."
Wang Xiaho mengangguk puas, "Ding Tao, sebenarnya selain ingin berkenalan dan juga berbagi kabar tentang kejadian di
Wuling ada hal lain yang aku dan Guru Chen ingin sampaikan. Apa kau tidak keberatan jika kita membicarakan hal ini di
perjalanan?" Ding Tao menoleh, memandang wajah Wang Xiaho dan meminta maaf, "Maafkan sikapku yang kurang sopan paman,
sungguh hatiku sangat kacau mendengar berita itu. Itu sebabnya tanpa mendengarkan penjelasan paman berdua lebih
lanjut, aku berpamitan untuk pergi. Kuharap Paman Wang dan Guru Chen tidak merasa tersinggung oleh perbuatanku."
"Tidak masalah, kami pun pernah muda, berita itu berkaitan erat dengan orang yang kau kasihi, sudah tentu kau ingin
secepat mungkin pergi ke Wuling untuk melihat keadaan. Tidak usah kaupikirkan lagi."
"Tentang persoalan yang ingin Paman Wang katakan, tentu saja tidak ada salahnya jika kita bicarakan sepanjang
perjalanan. Mungkin lebih baik begitu, supaya pikiranku tidak terlalu keruh, mengkhawatirkan sesuatu, yang atasnya aku
tidak bisa berbuat apa-apa.", ujar Ding Tao sambil menghela nafas.
"Hmm.. ", jawab Wang Xiaho pendek.
Untuk beberapa lama mereka menunggang kuda dalam keheningan, hanya suara derap kaki kuda yang terdengar.
"Ding Tao, tentang penyerbuan terhadap keluarga Huang, menurut pendapatmu, siapakah yang mungkin melakukannya?",
tanya Wang Xiaho membuka percakapan.
Ding Tao mengerutkan alis, cukup lama pemuda itu berpikir, namun akhirnya dia menggelengkan kepala, "Entahlah Paman
Wang, aku tidak bisa membayangkan siapa orangnya yang tega dan memiliki kekuatan untuk melakukan hal itu."
"Hmm" ada cukup banyak orang yang tega melakukan hal itu, demi mendapatkan Pedang Angin Berbisik."
"Jika hanya ingin mendapatkan Pedang Angin Berbisik, bukankah lebih baik mencari cara untuk mencurinya diam-diam
daripada melakukan pembunuhan besar-besaran?", tanya Ding Tao.
"Ya, justru itulah, aku dan Guru Chen berpendapat, di balik pembunuhan ini ada masalah yang lebih besar daripada Pedang Angin Berbisik itu sendiri."
Dengan sabar Ding Tao menanti penjelasan Wang Xiaho.
"Ding Tao, kau pernah hidup dalam keluarga Huang cukup lama, menurutmu berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk
melakukan pembasmian terhadap keluarga Huang yang ada di Wuling?", tanya Wang Xiaho, tidak sadar bahwa
pertanyaannya membut jantung Ding Tao serasa tertusuk.
Berusaha mengendalikan perasaan Ding Tao memaksa dirinya untuk berpikir, "Setahuku di Wuling sendiri ada sekitar 80
sampai 90 orang yang benar-benar bisa diandalkan dalam satu pertempuran. jika seluruh laki-laki yang bisa mengangkat
senjata dihitung, jumlahnya bisa mencapai 120 orang lebih. Tapi yang benar-benar patut diperhitungkan kurasa tidak lebih dari 3 atau 4 orang, Tuan besar Huang Jin, Tetua Huang Yunshu, Huang Ren Fang putera sulung Tuan besar Huang Jin dan
Wei Mo. Kemudian kira-kira ada 30-an orang yang jika bekerja sama akan bisa merepotkan seorang jagoan kelas atas."
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Ding Tao memberikan jawaban, "Mungkin 20-an orang dengan tingkatan setingkat
Sepasang Iblis Muka Giok."
"Hmm" mencari 20 orang setingkat sepasang iblis itu, yg mau bekerja sama bukan pekerjaan gampang. Kau sudah pernah
bertemu sepasang iblis itu, sedikit banyak kau bisa meraba sifat mereka, bisakah kaubayangkan orang-orang dengan harga
diri setinggi itu mau bekerja sama" Bahkan dalam perguruan besar seperti Shaolin dan Wudang, mungkin hanya ada 5 atau
6 orang yang setingkat dengan mereka."
"Maksud paman, salah satu atau lebih dari satu perguruan besar bekerja sama, melakukan hal ini?", tanya Ding Tao.
"Justru itu yang membuatmu bingung bukan" Perguruan semacam Shaolin, Wudang atau Hoasan punya reputasi yang baik,
rasanya tidak masuk akal jika mereka melakukan hal semacam ini. Lebih tidak terbayangkan lagi jika mereka bekerja sama
untuk melakukannya. Siapapun yang memimpin dan merencanakan penyerangan ini pastilah seorang tokoh yang sulit dicari
tandingannya." Wang Xiaho diam menunggu Ding Tao sampai pada kesimpulannya sendiri, Ding Tao yang mengikuti uraian Wang Xiaho
bisa merasakan itu, jadi daripada bertanya dia memilih memikirkannya sendiri.
"Ren Zuocan, ketua sekte Matahari dan Bulan?", tebak Ding Tao.
"Itulah kesimpulanku dan Guru Chen, demikian juga kesimpulan para sahabat yang membicarakan hal ini. Kekhawatiran
kami yang paling besar adalah, bahwa kabar angin yang mengatakan ada perguruan dan orang-orang dalam perbatasan
yang diam-diam bersumpah setia padanya, adalah benar. Tapi hanya itu yang bisa menjelaskan penyerangan atas keluarga
Huang." "Karena Ren Zuocan menginginkan Pedang Angin Berbisik dan dia sekaligus bisa menguji kesetiaan orang-orang yang sudah
bersumpah setia padanya.", bisik Ding Tao dengan kemarahan yang tersembunyi.
"Ya, dan kukira bukan hanya itu saja, tapi sekaligus merupakan peringatan bagi mereka yang coba-coba menentang
mereka. Keluarga Huang mungkin bukan organisasi terkuat dalam dunia persilatan, reputasi mereka masih di bawah
perguruan seperti Kunlun, Hoasan dan Kongtong. Tapi juga tidak bisa diremehkan begitu saja. Tepatnya, mereka memiliki
besaran kekuatan yang pas untuk dijadikan contoh bagi orang-orang dalam dunia persilatan."
"Jika hal itu benar?", Ding Tao tidak melanjutkan kata-katanya, tapi tidak ada rasa takut atau cemas pada wajahnya, yang terlihat adalah kegeraman dan kemarahan yang ditahan.
Ekspresi Ding Tao itu membawa rasa bangga dan lega di hati Wang Xiaho. Dengan jujur dalam hati dia mengaku bahwa
ketika dia mengambil kesimpulan yang sama, yang dia rasakan adalah kengerian. Memang umur Ding Tao yang masih
muda, berpengaruh dengan cara dia memandang segala sesuatu. Tapi Wang Xiaho sudah merasakan kehebatan Ding Tao
dan diapun meletakkan harapannya pada diri pemuda itu. Menyaksikan wajah Ding Tao yang bersemangat, dia semakin
yakin bahwa pilihan dirinya dan Chen Wuxi tidaklah salah.
"Ding Tao, kukira tentang siapa Ren Zuocan dan apa bahayanya orang itu bagi kita tidak perlu lagi kuutarakan. Demikian
juga dengan kekuatan yang berhasil dia kumpulkan, satu orang sendirian bukanlah tandingan bagi dirinya.", ujar Wang
Xiaho. "Ya, paman benar, dia memiliki anak buah yang ribuan jumlahnya. Di antara mereka banyak jagoan-jagoan kelas atas. Tapi
aku akan mencoba peruntunganku di pertemuan 5 tahunan, itu adalah salah satu tugas yang dibebankan oleh guruku.",
jawab Ding Tao. "Nah, apa yang aku dan Guru Chen ingin sampaikan padamu berkaitan erat dengan masalah ini."
Ucapan Wang Xiaho berhasil mendapatkan perhatian Ding Tao.
"Beberapa sahabat, mengatakan bahwa mulai ada gerakan dari berbagai golongan dalam dunia persilatan kita. Ada rencana
untuk mengadakan pertemuan besar sebelum pertemuan 5 tahunan, yang tujuannya untuk mempersatukan kita semua di
bawah satu pimpinan. Pemilihan Wulin Mengzhu, sudah terlalu lama kedudukan itu kosong, dalam keadaan kritis seperti
sekarang, inilah waktu yang tepat untuk mengadakannya. Bagaimana menurut pendapatmu?"
Ding Tao memukul pahanya, "Wah, tepat sekali ide itu Paman Wang. Jika seluruh dunia persilatan mau bersatu, maka Ren
Zuocan pun bukan apa-apa. Seharusnya dari dulu hal ini dilakukan."
"Heheh, memang seharusnya begitu, tapi kau tahu sendiri sifat keras kepala dan betapa susahnya orang-orang dalam dunia
persilatan untuk menundukkan kepala pada orang lain. Tapi dengan semakin bertambahnya usia Biksu Khongzhe dan
Pendeta Chongxan, dan dengan kejadian yang menimpa keluarga Huang?"
Mata Ding Tao mencorong tajam, suaranya dingin sewaktu berkata, "Hmm" kali ini Ren Zuocan salah perhitungan,
maksudnya menakut-nakuti, tapi justru gertakannya membuat kita semua bersatu" dan akan kupastikan dia menyesali
perbuatannya." "Bagus, bagus, memang anak muda harusnya bersemangat seperti itu. Hahaha, aku dan Guru Chen sudah sepakat, jika
pemilihan Wulin Mengzhu itu benar akan diadakan, kami akan mendukungmu untuk merebut kedudukan itu.", ujar Wang
Xiaho sambil tertawa gembira.
Wajah Ding Tao pun jadi pucat karena kaget mendengar ucapan Wang Xiaho, "Tunggu dulu paman, apa maksud paman"
Aku tidak ada keinginan untuk menjadi Wulin Mengzhu. Seharusnya lebih pantas jika yang diangkat itu Biksu Khongzhe dari Shaolin atau Pendeta Chongxan dari Wudang. Bukan aku."
"Hoho, tadi kau penuh semangat, kenapa sekarang jadi malu-malu seperti perawan yang mau dikawinkan?", tanya Wang
Xiaho geli. Merah muka DIng Tao digoda demikian, "Paman Wang jangan salah paham, tidak pernah aku berpikir untuk menduduki
kedudukan sebagai Wulin Mengzhu, tadi aku berkata demikian, maksudku aku akan mengerahkan segenap kemampuanku
untuk membantu Wulin Mengzhu yang terpilih dalam melawan keganasan Ren Zuocan."
"Oh, kalau begitu menurutmu siapa yang paling tepat untuk menduduki kursi Wulin Mengzhu?"
"Ada Biksu Khongzhe dan ada juga Pendeta Chongxan, keduanya mungkin adalah pendekar terhebat di masa ini. Juga dari
segi kebijaksanaan dan kebaikan, keduanya tidak perlu diragukan."
Wang Xiaho menggeleng, "Keduanya tidak akan bisa menjadi Wulin Mengzhu, kau tahu kenapa?"
Ditanya demikian Ding Tao menggelengkan kepala.
"Pertama-tama, keduanya adalah tokoh agama yang menghindari kedudukan duniawi. Jangankan tidak ada yang meminta
atau mendukung mereka untuk mengambil kedudukan itu. Seandainya kita meminta atau mengajukan mereka pun, belum
tentu mereka bersedia untuk mengajukan diri untuk menjadi calon Wulin Mengzhu.", dalam hatinya Wang Xiaho
menambahkan, "Sedikit mirip dengan dirimu".
"Kedua, kedua tetua itu mengepalai dua aliran besar dalam dunia persilatan, sementara sebagai Wulin Mengzhu justru
dituntut adanya perlakuan yang adil dan merata pada seluruh golongan dan aliran. Hal ini bisa menjadi ganjalan, bila ada kebijakan yang merugikan kelompok tertentu, hal itu bisa diungkit-ungkit sebagai satu ketidak adilan hingga meretakkan
persatuan yang hendak dibangun."
"Dan yang ketiga, adalah masalah ambisi-ambisi pribadi dari tokoh-tokoh dunia persilatan. Memang dengan adanya
ancaman dari luar, sepertinya akan timbul satu persatuan. Tapi persatuan ini adalah persatuan yang rapuh, mereka bersatu hanya untuk melindungi diri sendiri. Itu sebabnya dalam memilih Wulin Mengzhu pasti setiap orang akan menjagokan
golongannya masing-masing."
"Terutama dari kelompok perguruan-perguruan besar lainnya, seperti Kunlun, Kongtong dan Hoasan. Jika Shaolin atau
Wudang yang terpilih, mereka akan kuatir bahwa wibawa mereka akan semakin turun saja. Dengan demikian ketiga
perguruan besar lainnya ini pasti mati-matian akan menentang pencalonan Biksu Khongzhe atau Pendeta Chongxan."
"Paman Wang, kalau demikian sulitnya, mengapa Paman Wang berpikir bahwa aku memiliki kesempatan untuk maju dalam
pemilihan itu?", tanya Ding Tao sambil tersenyum berpikir bahwa Wang Xiaho mengajukan dirinya menjadi calon Wulin
Mengzhu tanpa alasan yang jelas.
"Tunggu dulu, sebelum kujelaskan apa yang kubicarakan dengan Guru Chen ketika kami menunggu A Sau dan A Chu
mengantarkanmu. Aku ingin bertanya dulu, bagaimana?"
"Silahkan Paman Wang bertanya, aku tentu akan menjawab pertanyaan paman dengan sejujurnya." Jawab Ding Tao,
hatinya mulai tertarik oleh uraian Wang Xiaho.
"Bagus! Sekarang aku hendak bertanya, jika kami bisa membuktikan bahwa kau adalah salah satu orang yang sesuai untuk
menduduki kursi Wulin Mengzhu itu, maukah kau menerima dukungan kami dan maju dalam pencalonan Wulin Mengzhu?",
tanya Wang Xiaho. "Selama aku tidak melihat ada calon lain yang lebih tepat dari diriku, ya, aku akan maju dalam pencalonan itu.", jawab Ding Tao dengan tegas.
"Kau tidak akan lari dari tanggung jawab?"
"Tidak, aku tidak menginginkan kedudukan itu, tapi aku juga tidak akan lari dari tanggung jawab, bila hal itu dipercayakan padaku."
Puas mendengar jawaban Ding Tao, Wang Xiaho mengangguk senang sambil tersenyum, "Baguslah kalau begitu. Sekarang
coba dengar uraianku."
"Tadi sudah kusinggung masalah tentang posisi Wuin Mengzhu yang harus bisa berdiri tanpa ikatan dengan satu aliran pun
di dunia persilatan. Agar keputusannya tidak disangkut pautkan dengan hubungan dekatnya pada aliran tertentu. Jika itu
terjadi, maka hanya akan menimbulkan bibit perpecahan di tengah persatuan yang rapuh. Dalam hal ini, dirimu memenuhi
persyaratan ini. Benar tidak?", tanya Wang Xiaho setelah menguraikan panjang lebar.
Ding Tao berpikir sejenak, kemudian mengangguk menerima pendapat Wang Xiaho, "Ya, dalam hal itu paman benar. Tapi
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang pemimpin juga perlu memiliki pengalaman dan kebijaksanaan dalam hal ini umurku yang masih muda tidaklah
sesuai untuk kedudukan tersebut. Lagipula persyaratan ini tidaklah mengikat, meskipun ikut mempengaruhi pertimbangan
dalam memilih seseorang."
Wang Xiaho terkekeh geli, "Hehehehe, di sini engkau setengah benar, setengah salah, jangan kau nilai semua orang sama
seperti dirimu. Dalam pemilihan Wulin Mengzhu nanti, berani bertaruh 100 tael emas, yang terpenting bukanlah
kebijaksanaan seseorang, melainkan tinggi rendah ilmu silatnya."
"Ah tidak juga paman, dari guruku aku tahu ada pula Wulin Mengzhu di masa lalu yang tingkatan ilmunya bukan yang
tertinggi, tapi masih juga terpilih sebagai Wulin Mengzhu oleh karena sifat-sifatnya yang baik.", jawab Ding Tao sambil menggeleng.
"Ho ho, memang benar, meskipun ilmu silatmu bukan yang tertinggi, asalkan memiliki dukungan yang cukup kuat dan
calon-calon lain setuju, kau akan bisa diangkat jadi Wulin Mengzhu. Tapi sekarang kutanya, menurutmu ada berapa banyak
tokoh dunia persilatan yang menginginkan kedudukan sebagai Wulin Mengzhu?"
"Mungkin ada banyak, tapi yang tidak memiliki dukungan di belakangnya tentu tidak akan berani mengajukan diri. Jika apa yang paman katakan tentang Biksu Khongzhe dan Pendeta Chongxan benar, berarti setidaknya ada 3 orang calon, masing-masing dari perguruan Kongtong, Kunlun dan Hoasan. Di luar mereka mungkin ada 2 atau 3 orang lagi pendekar yang
mendapatkan dukungan dari para sahabat."
"Hoho, bagus-bagus, cara berpikir yang bagus sekali. Nah, katakanlah ke-enam orang itu maju sebagai calon, dengan cara
bagaimana kita akan memilih" Apakah dengan cara bertanding di atas panggung?", tanya Wang Xiaho.
"Hmm" mungkin?", jawab Ding Tao ragu-ragu, karena jika dikatakan ya, berarti masalah pengalaman dan kebijakan tokoh
yang bersangkutan tidaklah penting, tidak seperti yang dia katakan sebelumnya.
"Hehehe, jadi kau setuju bahwa tidak ada urusannya dengan pengalaman atau kebijaksanaan orangnya, tapi yang penting
tinggi-rendahnya ilmu silat?", desak Wang Xiaho.
"Tunggu dulu paman, umurku masih muda jadi tidak banyak yang aku tahu. Tapi adalah kenyataan bahwa tidak selamanya
seorang Wulin Mengzhu adalah orang yang tertinggi ilmu silatnya. Kalau memang pada akhirnya urusannya jatuh dalam
masalah tinggi rendah ilmu silat, lalu bagaimana mereka dulu bisa terpilih?", tanya Ding Tao penasaran.
"Hemm" akupun baru belum pernah melihat pemilihan Wulin Mengzhu tapi dari yang kudengar, ada beberapa kejadian di
mana, nama dan reputasi tokoh tersebut memang sudah sangat dikenal orang, sehingga saat namanya diajukan, hampir
semua yang datang menyetujuinya. Ada juga terjadi tokoh ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh sakti lainnya sehingga
saat namanya diajukan tidak ada yang berani untuk maju dan menguji ilmunya.", jawab Wang Xiaho.
Mendengar jawaban Wang Xiaho itu, senyum di wajah Ding Tao melebar, "Nah paman dari dua kemungkinan itu, diriku ini
masuk kemungkinan yang keberapa?"
"Hehehe, jangan kau pikir bisa lolos begitu saja. Pada saat pemlihan nanti, bila kami berhasil mendapatkan cukup dukungan untuk mengajukan dirimu sebagai calon Wulin Mengzhu, kuyakin yang pertama-tama diuji adalah ilmu silatmu. Kau tahu
kenapa?", tanya Wang Xiaho.
Ding Tao merenung sejenak baru menjawab, "Kukira itu karena umurku masih muda, jadi banyak orang akan meragukan
kemampuanku. Satu-satunya cara yang paling mudah untuk mengujinya adalah lewat pertarungan."
"Ya, selain itu calon yang lain, akan memandang sebelah mata padamu, sehingga berpikir itulah kesempatan paling mudah
untuk menyingkirkan dirimu.", lanjut Wang Xiaho
"Bisa jadi mereka benar paman, dari segi pengalaman aku memang masih jauh di bawah saudara-saudara yang lain. Kalau
dihitung baru beberapa bulan saja aku mulai mengembara di dunia persilatan. Jika dihitung jumlah pertarungan, mungkin
baru dua atau tiga kali saja bertarung sungguh-sungguh.", dengan sabar Ding Tao menjelaskan, takut mengecewakan Wang
Xiaho yang kelihatan berapi-api dalam mengajukan dirinya sebagai Wulin Mengzhu.
"Hmm" apakah kau tidak percaya dengan penilaianku dan penilaian Guru Chen?", tanya Wang Xiaho pura-pura sedikit
tersinggung. "Bukan begitu Paman Wang" Tapi di atas gunung ada gunung, di atas langit ada langit. Baru keluar perguruan masa
siauwtee berani berpikir demikian?"
"Heh, rendah hati itu memang sifat yang baik Ding Tao, tapi kau juga harus bisa menilai dengan lebih seimbang. Jangan
kemudian terlampau rendah menilai diri sendiri. Sekarang aku hendak bertanya padamu, semenjak kau keluar berkelana,
apakah kau pernah kalah dalam satu pertarungan?"
"Eh", satu kali, sewaktu pertama kali melawan Sepasang Iblis Muka Giok.", jawab Ding Tao dengan ragu-ragu, karena
dalam hati kecilnya dia harus mengakui bahwa dirinya tidak merasa kalah melawan sepasang iblis itu.
"Hmm" sepasang iblis itu termasuk jagoan juga, tidak banyak yang bisa menghadapi mereka saat mereka bertarung
berpasangan. Lagipula, bukankah waktu itu engkau dikeroyok oleh banyak orang?", tanya Wang Xiaho menyelidik.
"Tidak juga paman, sewaktu melawan sepasang iblis itu, yang lain sudah pada menyingkir."
"Oh begitu, tapi itu terjadi saat kau menderita luka dalam, bukankah begitu?", ujar Wang Xiaho teringat cerita Ding Tao tentang apa yang dia lakukan beberapa bulan ini.
"Eh, ya, begitulah paman."
"Lalu di pertemuan yang kedua kalinya melawan sepasang iblis itu, keduanya tidak bisa mengalahkanmu. Ding Tao jangan
kau sembunyikan sesuatu, katakan dengan jujur, bukankah sebenarnya di pertarungan yang kedua ini, kau yang
memenangkannya?" Melihat cara Wang Xiaho memandang dirinya Ding Tao jadi merasa tidak enak kalau hendak membohong, pada saat yang
sama hendak mengatakan dirinya menang juga serasa seperti menyombong, akhirnya dengan hati berat dia menjawab
sederhana, "Ya" bisa dibilang begitu Paman Wang."
"Hehehe, tidak perlu malu, aku tahu kau yang memenangkan pertarungan itu, karena jika sepasang iblis itu berada di atas angin, masa mereka mau melepaskanmu untuk kedua kalinya?", tertawa terkekeh Wang Xiaho berujar.
Ding Tao mengangguk-angguk saja sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Nah, begitu lebih baik, jadi jagoan tua ini tidak jadi rendah diri. Jelek-jelek belajar bertahun-tahun masa kecundang begitu memalukan di tangan orang yang mengalahkan sepasang iblis itu saja tidak mampu.", dengan puas Wang Xiaho berujar.
"Menurut paman apa ilmuku sudah tinggi sekali" Bukankah masih ada para ketua dari perguruan seperti Kongtong, Kunlun
dan Hoasan.", tanya Ding Tao menegas.
"Hmm" aku juga belum pernah melihat langsung kehebatan mereka. Tapi kalaupun kau tidak bisa mengalahkan mereka
setidaknya kau akan sanggup bertahan menghadapi gempuran mereka. Kuyakin jika kau sempat maju untuk menunjukkan
kemampuanmu dalam satu pertadingan banyak orang akan kagum, mengingat dirimu bukan berasal dari perguruan besar
dan umurmu yang masih muda. Jadi kaulihat, kurangnya pengalamanmu justru menjadi satu keuntungan di sini."
"Mungkin saja begitu tapi rasanya siauwtee tidak bakal bisa menang kalau lawannya tokoh-tokoh seperti yang Paman Wang
sebutkan.", jawab Ding Tao dengan ragu.
"Belum tentu juga, meskipun aku juga kesulitan untuk coba menjajagi kemampuan mereka. Tapi ada keuntungan lain dari
kurangnya pengalamanmu. Coba pikir, jika kau ingin menduduki kedudukan itu, tapi sudah yakin tidak bisa menang dalam
perebutan, siapa yang akan kau dukung" Orang yang licin, berpengalaman dan punya kekuasaan. Atau seorang pemuda
lugu, yang belum berpengalaman dan pendukung yang tidak seberapa?", mata Wang Xiaho bergerak-gerak, seakan
bertanya, nah apa kataku.
Muka Ding Tao memerah dengan agak kesal dia menjawab, "Paman Wang, daripada aku hanya jadi Wulin Mengzhu boneka,
lebih baik aku tidak jadi Wulin Mengzhu sekalian."
"Hoo, tunggu dulu anak muda, jangan terburu-buru marah. Coba pikir, setelah kedudukan itu ada di tanganmu, apakah kau
mau jadi boneka atau tidak, bukankah itu terserah padamu" Yang penting di sini adalah keteguhan hati dan ketelitianmu.
Hmm.. bagaimana?", jawab jago tua itu dengan senyum dikulum.
Mendengar jawaban itu Ding Tao jadi sadar sudah terlalu cepat menghakimi orang, "Maafkan aku paman, tadi tidak sampai
terpikir seperti itu."
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?", tanya Wang Xiaho.
Mendapat pertanyaany itu, Ding Tao berpikir sangat lama. Permasalahannya bukan masalah kecil, menjadi Wulin Mengzhu
tentu sangat membantu dirinya untuk menyelesaikan tugas dari Gu Tong Dang. Membantu dia jika dia ingin menuntut
keadilan bagi keluarga Huang. Teringat keluarga Huang, hatinya terasa perih, pikirannya melayang pada nasib Huang Ying
Ying dan Huang Ren Fu, keluarga Huang Jin yang lain, serta sahabat-sahabatnya sekalian. Menduduki jabatan Wulin
Mengzhu, jelas akan memberikan banyak kegunaan bagi dirinya. Tapi di saat yang sama, tanggung jawab yang besar sudah
menanti. Untuk tugas yang diberikan Gu Tong Dang saja, Ding Tao tidak merasa yakin bisa memenuhinya atau tidak. Apalagi untuk
menjadi Wulin Mengzhu. Perlahan pemuda itu menggeleng, "Maafkan aku Paman Wang, jujur aku merasa tidak layak menerima kepercayaan itu.
Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan" Bagaimana kalau aku salah mengambil keputusan dan karenanya banyak
orang menderita?" "Ding Tao, kalau kau merasa demikian, aku justru merasa semakin mantap. Tidak tahukah dirimu" Banyak dari mereka
yang nantinya akan mengajukan diri, bukan saja tidak takut membuat orang lain menderita, bahkan mereka siap untuk
membuat orang lain menderita demi kepentingan pribadi.", ujar Wang Xiaho sambil memandang jauh ke depan.
"Ding Tao, orang-orang seperti aku dan Guru Chen, hanya ikan teri saja di dunia Wulin yang luas ini. Tapi kami ini sudah sering melihat, tingkah laku mereka yang berada di atas. Jangan kaukira tutur kata yang halus sebagai tanda orang
berbudi. Tidak sedikit, mereka sampai di puncak, bermodalkan hati yang bengis, otak yang licin dan tangan yang
berlumuran darah." Dalam diam Ding Tao membayangkan Tiong Fa dan kelicikannya. Teringat pada perbuatannya sendiri saat menggunakan
siasat untuk mengadu domba Fu Tsun, Xiang Long dan Sepasang Iblis muka Giok. Teringat pada kesedihan yang terpancar
dari sorot mata sepaasng iblis yang kejam. Pembantaian keluarga Huang yang baru saja didengarnya.
Ya dunia persilatan penuh dengan darah, dendam, kekejian dan kebencian.
"Kau yang masih bersih ini, mendatangkan harapan bagi kami semua. Mungkin kedatanganmu bisa membawa sedikit angin
segar di dunia persilatan yang makin sumpek ini. Aku tidak akan memaksamu lagi tapi kuharap kau pertimbangkan
perkataanku baik-baik.", ujar Wang Xiaho.
"Aku mengerti paman.", jawab Ding Tao dengan suara lirih.
Hampir semalaman mereka berkuda, menjelang fajar baru keduanya beristirahat sejenak, sebelum kembali melanjutkan
perjalanan. Tidak ada yang menyinggung-nyinggung lagi masalah Wulin Mengzhu atau pembantaian keluarga Huang. Tapi
pikiran-pikiran itu masih tergantung-gantung di benak keduanya.
Ding Tao juga manusia biasa, mendengar pujian-pujian Wang Xiaho tentu saja hatinya merasakan kebanggaan. Tapi
bayangan akan tanggung jawab dan pengharapan yang begitu besar, yang hendak dibebankan di pundaknya, membuat
pemuda ini gentar. Ditambah lagi dengan cara berpikirnya yang cenderung terlalu banyak menimbang-nimbang. Ketika dia
mulai mengambil keputusan untuk menerima tawaran Wang Xiaho, maka muncullah pertanyaan, benarkah dia dengan tulus
menerima tanggung jawab itu" Ataukah dia menerimanya demi keuntungan pribadi"
Sebaliknya ketika hendak menolak, bertanya pula pemuda itu dalam hati. Apakah itu memang oleh kerendahan hatinya,
apakah itu pertimbangan yang sejujurnya" Ataukah dia hanya ingin lari dari tanggung jawab"
Wang Xiaho yang mengerti bahwa pemuda itu sedang mencoba merenungkan perkataannya, tidak berani mengganggu Ding
Tao. Dibiarkannya saja pemuda itu diam dan berpikir. Dalam hatinya Wang Xiaho berdoa, agar pemuda itu mau menerima
tawarannya. Sempat juga terbayang, betapa membanggakan kalau Ding Tao berhasil menjadi Wulin Mengzhu dan dia akan
dikenal sebagai orang yang mempelopori membentuk barisan pendukung Ding Tao. Tapi jago tua itu segera saja memaki
diri sendiri dalam hati dan membuang pikiran itu jauh-jauh.
Mereka hanya beristirahat kira-kira sepeminuman teh, matahari masih baru saja terbit ketika mereka memulai perjalanan
lagi. Setelah beristirahat sejenak, Ding Tao merasa tubuhnya jauh lebih segar. Berbeda dengan Wang Xiaho yang sudah
mulai berumur, pantatnya masih pegal-pegal setelah semalaman menunggang kuda tanpa henti.
Ding Tao yang menyadari hal ini, mengajak Wang Xiaho untuk berjalan kaki perlahan-lahan saja. Selain untuk menghemat
tenaga kuda mereka, dia juga ingin memberi kesempatan bagi Wang Xiaho untuk melemaskan kaki.
Belum lama mereka berjalan, mereka melihat debu mengepul di depan sana dan mendengar suara derap kaki kuda. Hari
masih begitu pagi, siapa yang sudah memulai perjalanan jauh sepagi itu" Jalan ini jauh dari kota maupun desa, jika
penunggang kuda di depan sudah melewati jalan ini di waktu sepagi ini, berarti mereka sudah berangkat sejak matahari
masih belum terbit. Seperti saling berjanji, tanpa kata-kata, keduanya menepi. Wang Xiaho menggeser letak goloknya yang tergantung di
pinggang, sehingga dia bisa mudah menariknya jika diperlukan. Ding Tao berdiri diam tidak melakukan persiapan, namun
matanya tajam menatap ke arah penunggang kuda yang datang mendekat, telinganya memperhatikan suara derap kuda di
depan dengan sebaik-baiknya.
"Dua orang?", ujar Ding Tao.
Wang Xiaho ikut menajamkan mata, tapi penunggang kuda itu belum terlihat, kemudian diperhatikannya suara derap kuda
baik-baik dan akhirnya diapun mengangguk setuju.
"Hmm. Dua kuda.", jawabnya singkat.
Tidak lama kemudian yang mereka nantikan muncul juga di garis pandang mereka. Wang Xiaho yang sudah tua, matanya
tidak setajam Ding Tao, tapi dia merasa sudah mengenali kedua penunggang kuda itu. Ditungguhnya beberapa lama hingga
kedua penunggang kuda itu makin dekat, saat dia yakin dengan identitas keduanya, seulas senyum muncul di bibirnya.
"Teman baik, tidak usah kuatir, mereka itu dua orang yang kuceritakan padamu.", ujarnya sambil menepuk lengan Ding
Tao. "Oh, Pendekar Fu Tong dan Pendeta Pengelana Liu Chuncao."
"Ya, mari kita tunggu saja di sini.", ujar Wang Xiaho sambil melambaikan tangan ke arah kedua penunggang kuda yang
mendekat dengan cepat. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menunggu Fu Tong dan Liu Chuncao, tapi yang sesaat itu terasa bertahun-tahun
lamanya untuk Ding Tao. Sejak dia mendengar berita itu dari Chen Wuxi, sebuah bayangan yang menakutkan mengendapendap masuk ke dalam hatinya. Sepanjang perjalanan dia mengucap doa, sepanjang perjalanan dia berusaha meyakinkan
dirinya bahwa masih ada kemungkinan bahwa berita yang diterima Chen Wuxi tidak tepat benar. Tapi sekeras apapun dia
berusaha membunuh ketakutan yang menyelinap dalam hatinya, dia tidak mampu. Ketakutan itu tidak kalah liciknya
dengan Hawa liar Tinju 7 Luka yang sempat merusak tubuhnya dari dalam.
Itu sebabnya Ding Tao memaksa untuk segera pergi ke Wuling, meskipun logikanya bisa menerima pendapat Wang Xiaho
dan Chen Wuxi untuk menanti kedatangan Fu Tong dan Liu Chuncao. Tapi Ding Tao tidak mampu bertahan menghadapi
ketakutannya itu, dia memilih lari dari ketakutan itu. Dengan berlari, dengan melakukan sesuatu, dia ingin agar pikiran itu tidak menghantuinya.
Untuk beberapa saat dia berhasil menyingkirkan ketakutan itu di sudut pikirannya yg terjauh. Sekarang saat dia harus
menghadapi berita itu, Ding Tao merasa tidak siap. Perutnya terasa mengejang, seluruh isi perutnya seperti berbalik-balik di dalam.
Akhirnya keduanya sampai juga, dengan gerakan yang ringan keduanya melompat turun dari kuda dan menyapa Wang
Xiaho sertamengangguk pada Ding Tao.
Fu Tong si tongkat besi, disebut demikian karena senjata andalannya adalah sebuah tongkat dari besi. Tapi Ding Tao sedikit curiga bahwa bukan itu satu-satunya alasan dia dipanggil tongkat besi. Fu Tong berbadan kurus tinggi dengan otot yang
terlihat bagai dipahat dari batu padas, singkat kata, Fu Tong tampak seperti terbuat dari tongkat besi.
Liu Chuncao sebaliknya bertubuh sedikit gemuk dengan lemak menutupi tubuhnya, sebilah pedang diikatkan di
punggungnya. Dari sorot mata yang tajam dan gerakan yang lembut dan ringan, Ding Tao menduga pendeta ini tentu lebih
mendalami penggunaan hawa murni daripada melatih tenaga luar.
"Halo Saudara Wang, tidak disangka kita bertemu di sini.", sapa Fu Tong si tongkat besi, Liu Chincao memilih diam dan
memasang senyum ramah. "Hehe, aku baru saja dari kediaman Guru Chen dan kudengar berita tentang keluarga Huang di Wuling.", sahut Wang Xiaho.
"Ah" begitu ya, jadi kau putuskan untuk pergi ke sana dan memeriksa kebenaran berita itu?"
"Sebenarnya aku hanya menemani sahabat muda di sini.", ujar Wang Xiaho sambil menunjuk ke arah Ding Tao.
"Ah, boleh aku tahu nama saudara kecil ini?", jawab Fu Tong sambil sedikit membungkuk ke arah Ding Tao, diikuti Liu
Chuncao. Cepat Ding Tao membalas menghormat, tapi Wang Xiaho lah yang memperkenalkan dirinya, "Namanya Ding Tao."
"Ding Tao?", tanya Fu Tong menegas, sementara Liu Chuncao memandangi pemuda itu dengan pandangan tertarik.
"Benar paman.", jawab Ding Tao singkat, ingin bertanya tapi takut mendengar jawabannya.
Wang Xiaho yang ingin menjelaskan keadaannya supaya Fu Tong dan Liu Chuncao tidak salah omong, cepat-cepat
menyambung, "Ding Tao dan aku sedang dalam perjalanan ke Wuling untuk mencari kabar tentang keadaan keluarga
Huang. Adik Ding Tao ini memiliki hubungan baik dengan nona muda puteri Huang Jin."
"Ah.. begitu..", ujar Fu Tong sedikit terkejut, wajahnya menampilkan rasa kasihan pada Ding Tao.
Melihat itu tentu saja Ding Tao jadi merasa tidak tenang, jelas berita yang dibawa Fu Tong bukanlah berita baik. Jika berita baik, tidak nanti dia akan melihat ke Ding Tao dengan cara seperti dia memandang Ding Tao sekarang.
"Paman, ceritakan saja hasil penyelidikan paman", ujar pemuda itu dengan suara bergetar menahan perasaan, mukanya
pucat dan tubuhnya terasa dingin.
Liu Chuncao yang memperhatikan Ding Tao sejak tadi, membuka mulutnya sebelum yg lain sempat mengatakan apa-apa,
"Sebaiknya kita cari tempat untuk duduk-duduk dengan nyaman."
Fu Tong mengangguk sambil berujar, "Ya, ya, ceritanya akan cukup panjang, marilah kita cari tempat untuk beristirahat
dulu." Wang Xiaho menepuk punggung Ding Tao sambil berjalan menyusul kedua orang itu, "Ayo Ding Tao."
"Mari Paman.", sambil mengambil nafas dalam-dalam Ding Tao mengikuti ketiga orang tersebut.
Setelah mengikat kuda di sebatang pohon, mereka duduk tidak jauh dari sana dan untuk beberapa saat tidak ada
seorangpun yang bicara. Fu Tong berpandangan dengan Liu Chuncao, Liu Chuncao mengangkat bahu dan tangannya
bergerak, memberi tanda pada Fu Tong bahwa sebaiknya dia yang mulai bercerita.
Fu Tong terdiam, menghela nafas lalu mulai bercerita, "Kami sampai di kota Wuling kira-kira 4 hari yang lalu. Begitu kami sampai, yang pertama kami lakukan adalah pergi melewati bangunan tempat kediaman keluarga Huang dan kami lihat
seluruh bangunan sudah menjadi puing-puing bekas terbakar."
Pucat pasi wajah Ding Tao, mengeluh panjang pemuda itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Banyak anggota keluarga Huang yang menjadi korban malam itu, banyak dari mayat yang berhasil diselamatkan, tidak bisa
dikenali karena sudah hangus terbakar bersama kediaman keluarga Huang. Tapi masih ada beberapa yang berhasil
selamat.", ujar Fu Tong sambil memandang Ding Tao.
"Masih ada yang selamat, maksud paman, berita yang mengatakan seluruh anggota keluarga Huang di Wuling terbunuh
tidaklah tepat benar?", tanya Ding Tao dengan secercah harapan terpancar dari wajahnya.
"Ya, Ding Tao, itu benar, tentang siapa saja yg benar-benar terbunuh malam itu, tidak mudah untuk diketahui karena
penyerang membakar kediaman keluarga Huang. Dari beberapa orang yang berhasil lolos dari penyerangan itu, kami
berhasil mengetahui bahwa penyerangnya adalah Tiong Fa. Kami yakin bahwa tidak mungkin Tiong Fa bekerja sendiri tapi
dari para saksi, bisa dipastikan dia ikut dalam penyerangan itu. ", lanjut Fu Tong.
"Tiong Fa?", desis Ding Tao.
"Ya, Tiong Fa, beberapa orang yang selamat sempat melihatnya ikut dalam penyerangan itu, selain itu, penyerang masuk
lewat jalan rahasia yang hanya bisa diketahui oran-orang penting dalam keluarga Huang. Tapi kami yakin hanya dengan
bantuan dari luar dia bisa berhasil dalam penyerangan itu."
"Bagaimana dengan nasib Tuan besar Huang Jin dan keluarganya?", tanya Ding Tao.
"Tuan besar Huang Jin, pamannya Huang Yunshu dan putera sulungnya sudah bisa dipastikan gugur dalam pernyerangan
itu, karena masing-masing berhadapan satu lawan satu dengan tiga orang dari pihak penyerang dan cukup banyak saksi
yang melihat bagaimana ketiga orang itu akhirnya gugur dalam perlawanan. Anggota keluarga yang lain tidak begitu jelas
nasibnya, kamipun tidak bertanya lebih lanjut dengan mereka yang lolos. Karena kami memang hanya berusaha mencari
kepastian tentang kejadian ini, tidak lebih dan tidak kurang.", kali ini Liu Chuncao yang menjelaskan.
Ding Tao menoleh pada Wang Xiaho, "Paman, kupikir aku akan melanjutkan perjalanan ke Wuling, masih ada hal yang
harus kupastikan." Wang Xiaho mengangguk, "Tentu saja, aku mengerti, aku akan ikut denganmu."
Wang Xiaho menoleh pada Fu Tong dan Liu Chuncao, "Bagaimana dengan kalian?"
Fu Tong terdiam dan berpikir, adalah Liu Chuncao yang pertama kali memutuskan, "Aku akan ikut dengan kalian. Aku dan
Fu Tong sudah tahu beberapa orang yang selamat dalam penyerangan itu dan kami tahu di mana mereka tinggal sekarang,
Akan jauh lebih mudah bagi kalian kalau salah satu dari kami ikut dengan kalian ke Wuling."
"Hmm, baiklah kalau begitu, kurasa sudah diputuskan aku akan memberi kabar pada Guru Chen, sementara kalian
melanjutkan perjalanan ke Wuling. Tapi ingat, aku akan menunggu kabar dari kalian di rumah Guru Chen, jangan lupa
untuk mampir ke sana.", ujar Fu Tong.
"Hahaha tentu saja, kita perlu membicarakan lebih lanjut tentang desas-desus akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu
sebelum pertemuan 5 tahunan berikutnya.", sahut Wang Xiaho.
"Tentu saja, ayolah kita mulai perjalanan sekarang, semakin cepat kalian sampai di kota Wuling tentu lebih baik. Akupun tidak sabar ingin beristirahat dengan nyaman di rumah Guru Chen.", ujar Fu Tong sambil tersenyum lebar.
Ke empat orang itupun kemudian berpamitan dan berpisah jalan, Fu Tong memacu kudanya sendirian ke arah perguruan
Guru Chen, Ding Tao bertiga memacu kudanya berderap menuju kota Wuling.
Sepanjang perjalanan tidak lupa Wang Xiaho berserita tentang pertandingan yang mereka lakukan di perguruan Guru Chen
dan bagaimana Ding Tao mengalahkan mereka berempat dengan satu jurus saja. Liu Chuncao sangat tertarik pada cerita itu
dan meminta Wang Xiaho untuk menceritakan kembali bersama dengan detail-detailnya.
Ding Tao hanya bisa menjawab dengan tersipu dan merendah.
Semakin Ding Tao merendah semakin seru pula Wang Xiaho bercerita, membuat Liu Chuncao semakin penasaran. Setiap
orang yang gemar bersilat tentu saja suka mendengar kisah-kisah pertarungan antara dua orang jagoan. Bukan hanya
mendengar saja, lama-lama Liu Chuncao pun akhirnya jadi gatal-gatal ingin mencoba kemampuan Ding Tao. Liu Chuncao
tidak sabar ingin melihat jurus Ding Tao yang berhasil mengalahkan Guru Chen, dua orang murid utamanya dan Wang
Xiaho, empat orang dengan satu jurus serangan saja.
Ketika kurang dari 1 hari perjalanan mereka akan sampai di Wuling, seperti rencana Ding Tao dan Wang Xiaho sebelumnya,
mereka memilih untuk beristirahat sehari penuh sebelum memasuki kota. Pada saat mereka makan pagi bersama, Liu
Chuncao pun mengungkapkan keinginannya untuk bertarung dengan Ding Tao.
Bubur dan bakpau yang dihidangkan sudah habis, ketiganya sedang meniup-niup dan menyeruput teh panas yang
dihidangkan ketika Liu Chuncao mengungkapkan keinginannya itu.
"Ding Tao, kuharap kau tidak merasa tersinggung, tapi buatku sulit untuk menerima cerita Sahabat Wang Xiaho sebelum
merasakannya sendiri.", ujar Liu Chuncao sambil menikmati teh yang dihidangkan.
"Maksud Paman Liu..", tanya Ding Tao berhati-hati.
"Hehehehe, maksudnya dia mau menantangmu bertarung.", sahut Wang Xiaho sambil tertawa.
"Ding Tao sebaiknya kau turuti saja, kalau tidak pendeta gelandangan ini tidak akan bisa tidur nyenyak dan makan enak.
Tulang-tulangnya bakal linu-linu kalau tidak kau beri sedikit hajaran.", tambahnya lagi.
Mendengar gurauan Wang Xiaho, Liu Chuncao tertawa dan berucap pada Ding Tao, "Benar Ding Tao, jangan kau tolak
permintaanku ini. Hitung-hitung buat menambah pengalaman seta melemaskan otot."
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah kalau paman berpendapat begitu, di mana kita akan melakukannya?", jawab Ding Tao tersenyum melihat kelakuan
kedua orang gila silat itu, dirinya pun termasuk orang yang gila silat, jadi dia bisa mengerti apa yang dirasakan Liu
Chuncao. "Hmmm" di pelataran belakang penginapan ini kurasa tidak ada masalah. Kebetulan mereka sepi pengunjung hari ini.
Lagipula ini hanya pertandingan persahabatan saja, jadi kita bisa mengira-ngira jangan sampai merusakkan barang
mereka.", jawab Liu Chuncao setelah berpikir sejanak.
"Baiklah, apakah akan kita lakukan sekarang?", tanya Ding Tao sambil bangkit berdiri.
Sambil menenggak habis teh yg masih tersisa di cangkirnya, Liu Chuncao ikut bangkit berdiri dan menjawab, "Ya, ayolah
kita lakukan sekarang, mumpung udara masih sejuk."
Dengan menenteng senjata di tangan, ketiganya pergi ke pelataran belakang penginapan kecil itu. Sesampainya di sana,
tanpa banyak basa-basi, Liu Chun Cao berjalan ke tengah pelataran dan mencabut pedang dari sarungnya.
Ding Tao sudah berpikir tentang pertarungan ini dalam perjalanan, dia tidak ingin menggunakan jurus yang sama, yang
dipakainya untuk melawan Wang Xiaho. Dalam percobaan pertama, jurus itu memberikan hasil yang memuaskan. Jurus itu
mewakili apa yang dia inginkan dari sebuah jurus pedang, kemenangan tanpa menyakiti lawan, tapi jurus itu masih jauh
dari sempurna. Saat menggunakannya melawan Wang Xiaho dan Chen Wuxi, Ding Tao menjadi sadar pada kelemahan jurus yang dia
ciptakan itu. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi berkelebatan dalam benaknya. Satu-satunya alasan mengapa jurus
itu bisa berhasil saat itu, adalah karena perbedaan tingkatan Wang Xiaho dan Chen Wuxi berada jauh di bawah tingkatan
yang dia capai saat ini. Jurus Ding Tao menyebar bagai jala, berusaha menutupi setiap lubang yang ada. Dengan sendirinya tenaga Ding Tao
terbagi, terbagi sebanyak lubang yang hendak dia tutup. Ketika tenaga terfokus pada titik tertentu, akan ada titik-titik di mana kekuatan menjadi lemah. Ketika tenaga dibagi pada semua titik, maka kekuatan di setiap titik menjadi lemah. Apa
yang tidak disadarinya sewaktu menciptakan jurus itu, menjadi jelas baginya saat lawan ada di hadapannya. Meskipun
waktu itu ke-empat lawannya kalah dengan mengenaskann dan semua orang memuji dirinya, di balik apa yang terlihat oleh
orang, Ding Tao meneteskan keringat dingin.
Dia membayangkan jika dia menggunakan jurus itu melawan lawan sekelas sepasang iblis muka giok, apalagi sekelas Ren
Zuocan. Atau lawan yang menggunakan pedang pusaka seperti Pedang Angin Berbisik, jurusnya akan dirobek2 seperti
sebilah pedang dengan mudah merobek jaring laba-laba, yang rapat tapi rapuh.
Belum lagi perasaan lemas setelah mengerahkan jurus itu.
Ding Tao sadar, jika jurus itu mau jadi jurus yang berguna, harus ada perubahan pada jurus itu. Pilihan yang lain adalah Ding Tao harus meningkatkan himpunan dan kekuatan hawa murninya.
Cara kedua sulit sekali untuk berhasil, kecuali jika Ding Tao memiliki kesempatan untuk bertahun-tahun menghimpun hawa
murni. Kenyataannya waktu tidak berpihak pada Ding Tao. Pilihan Ding Tao tinggal satu, dia harus bisa menyempurnakan
jurus itu sebelum berhadapan dengan Ren Zuocan.
Hanya saja Ding Tao mengalami jalan buntu ketika berusaha memikirkan cara untuk menutupi kelemahan jurus buatannya,
tanpa mengorbankan sifat dari jurus itu sendiri.
Ding Tao ingin melihat lebih banyak lagi ilmu silat yang ada, Ding Tao merasa perlu untuk menambah banyak
perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman yang dia miliki. Saat Liu Chuncao menantangnya bertarung, Ding Tao tidak
menolaknya, karena dia sendiripun membutuhkan pertarungan dengan sebanyak mungkin lawan. Dan buat Ding Tao tidak
ada yang lebih baik daripada sebuah pertandingan persahabatan.
Dengan semangat yang mantap pemuda itu maju berhadapan dengan Liu Chuncao, setelah membungkuk dengan hormat,
Ding Tao mengambil kuda-kuda dan menunggu.
Liu Chuncao tidak menunggu lama, melihat Ding Tao tidak berniat menyerang lebih dulu, pendeta pengelana itu segera
menyerang. Ilmu pedang Liu Chuncao berasal dari Wudang, sempat menjadi murid Wudang selama sepukuh tahun, Liu
Chuncao memutuskan untuk menjadi pendeta pengelana dan mengembangkan sendiri ilmu-ilmunya. Serangannya
mengutamakan kecepatan dan ketepatan. Dalam pertahanan dia mengutamakan, melawan yang keras dengan yang lembut.
Seperti air yang berusaha mencari celah-celah di antara pertahanan Ding Tao yang kokoh, pedang Liu Chuncao mengancam
bahkan retakan yang terkecil sekalipun dalam pertahanan Ding Tao.
Baik ujung pedang yang tajam, maupun pangkal pedang yang tumpul, pukulan dan tendangan. Serangan Liu Chuncao
bervariasi dan tidak menekankan pada penggunaan pedang saja. Tapi serangan-serangan itu membentur pertahanan Ding
Tao yang kokoh. Belasan jurus berlalu dan Liu Chuncao belum berhasil menerobos pertahanan Ding Tao.
Liu Chuncao semakin penasaran dan mulai mengerahkan segenap kemampuan yang dia miliki. Wang Xiaho yang
memperhatikan dari samping, jadi bertanya-tanya, mengapa Ding Tao tidak segera menyelesaikan pertarungan. Pada jurus
ke 35, tiba-tiba mata kedua orang itu pun terbuka lebar. Ding Tao mulai menyerang, tapi bukan dengan jurus serangannya
sendiri, melainkan menggunakan jurus serangan milik Liu Chuncao.
Serangan itu mengagetkan Liu Chincao, karena Ding Tao menggunakan jurus serangan miliknya sendiri, selain kaget Liu
Chuncao pun merasa sedikit marah. Bagaimanapun juga jurus itu sudah menjadi jurus andalannya selama bertahun-tahun,
apakah Ding Tao mengira dia bisa menguasainya dalam sekejapan saja" Apalagi jurus itu digunakan untuk melawan pemilik
asli dari jurus itu. Karena sudah sangat mengenal jurus itu maka dengan mudah Liu Chuncao menghindarinya. Susul menyusul tiga jurus
dilepaskan Ding Tao, semuanya adalah jurus serangan milik Liu Chuncao, tapi pada jurus yang ketiga, terkejutlah Liu
Chuncao karena perkembangan yang di luar dugaannya.
Tergetar hati Liu Chuncao, tidak pernah menyangka bahwa jurusnya bisa juga digunakan dengan cara demikian. Terjebak
oleh pengetahuannya sendiri Liu Chuncao harus membuang diri berguling-guling untuk melepaskan diri dari serangan Ding
Tao. Saat itu Liu Chuncao sudah hendak mengaku kalah dan menyudahi pertarungan, ketika tiba-tiba Wang Xiaho melompat
masuk dan menyerang Ding Tao dengan serangannya yang khas, posisi tubuh yang sangat rendah, terkadang bergulingan
dengan serangan mengarah ke tubuh dari sudut yang rendah atau mengarah ke lutut dan kaki lawan.
"Sahabat Liu, ayo coba kita keroyok dia!", teriaknya sambil menyerang Ding Tao.
Wang Xiaho yang berada di luar bisa mengamati pertarungan dengan pendangan yang lebih obyektif. Dia melihat serangan
Ding Tao meskipun memiliki kesamaan dengan jurus serangan Liu Chuncao sebenarnya tidaklah persis sama. Jurus Ding
Tao memiliki ciri khas sendiri, Wang Xiaho yang sudah pernah merasakan kehebatan jurus ciptaan Ding Tao, bisa
merasakan semangat yang sama mewarnai jurus yang dilancarkan Ding Tao.
Untuk sesaat lamanya jagoan tua itu bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Ding Tao saat ini. Mengapa jauh berbeda
dengan saat Ding Tao melawan dirinya berempat dengan Chen Wuxi dan murid-murid Chen Wuxi"
Meskipun Wang Xiaho tidak bisa menemukan kelemahan dalam jurus ciptaan Ding Tao, tapi dia bisa meraba bahwa saat ini
Ding Tao sedang menambah pengetahuan dan mencoba mengembangkan ilmu ciptaannya sendiri. Pada dasarnya Wang
Xiaho sangat simpti pada pemuda ini, melihat semangat dan bakat pemuda itu, semangatnya pun terbangkit. Dengan ikut
maju dalam pertandingan, Wang Xiaho berharap dirinya bisa ikut membantu, menyumbangkan sedikit pengetahuan yang
ada padanya untuk menyempurnakan ilmu ciptaan Ding Tao.
Tanpa segan-segan lagi jago tua itu mengerahkan segenap jurus yang dia miliki, satu per satu dia menggunakannya untuk
menyerang dan bertahan melawan Ding Tao. Liu Chuncao yang tadinya sudah hendak mengaku kalah, terpaksa kembali ikut
menyerang Ding Tao. Sebenarnya ada perasaan tidak rela dalam hati pendeta pengelana ini, karena dia sadar Ding Tao
secara tidak langsung sedang menyadap ilmunya.
Tapi di saat yang sama, dia pun tertarik untuk melihat bagaimana Ding Tao mengembangkan ilmu yang disadap dari
dirinya. Dalam hatinya dia mengaku, pertarungan ini, memberikan dia masukan dan pelajaran yang sangat berarti. Selama
ini ilmunya sudah mandeg dan tidak mengalami kemajuan. Latihannya hanyalah pengulangan dan pengulangan. Berusaha
meningkatkan ketepatan, kecepatan, daya tahan dan kekuatan, sementara dari sisi teknik tidak ada kemajuan yang berarti.
Pertarungan dengan Ding Tao telah membukakan jalan baru bagi pengembangan ilmunya. Oleh karena itu, yang awalnya
meragu, lama-lama terbawa oleh semangat Wang Xiaho dan Ding Tao, Liu Chuncao pun akhirnya tidak segan-segan untuk
mengeluarkan segenap ilmu simpanannya.
Puluhan jurus telah lewat, sampai akhirnya Wang Xiaho melompat ke belakang dan berteriak sambil terengah-engah,
"Sudahlah, sudah, heh, seluruh ilmuku sudah kukuras habis. Kukira Sahabat Liu pun demikian."
"Ya, ilmuku pun sudah kukuras habis.", sahut Liu Chuncao dengan senyum kecil sambil menyeka keringat yang membasahi
dahinya. Liu Chuncao yang sedikit lebih muda dari Wang Xiaho dan memiliki himpunan hawa murni yang lebih baik, masih dapat
bernafas dengan teratur, meskipun keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ding Tao yang merasa mendapatkan
banyak pelajaran dari pertarungan mereka, dengan tulus membungkuk memberi hormat pada dua orang itu.
"Terima kasih banyak paman, banyak sekali yang siauwtee pelajari dari paman berdua hari ini.", ujarnya hormat.
"Hehehe, asal kau ingat-ingat saja Ding Tao, apa yang kau serap hari ini, kuharap kau pakai untuk kebaikan banyak
orang.", sahut Wang Xiaho.
Mendengar jawaban Wang Xiaho, Liu Chuncao jadi sadar bahwa jago tua itu memang sengaja membuka dirinya,
menunjukkan seluruh ilmu yang dia miliki demi perkembangan ilmu pemuda yang tidak ada hubungan apa-apa dengan
dirinya. Diam-diam Liu Chuncao merasa malu, merasa kalah dalam hal kepribadian jika dibandingkan dengan Wang Xiaho.
Melihat sikap Wang Xiaho, pikiran Liu Chuncao jadi lebih terbuka. Sebelum berangkat ke Wuling, Liu Chuncao, Fu Tong dan Chen Wuxi sudah pula berdiskusi tentang desas-desus akan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhi. Sekarang setelah
bertemu Ding Tao dan melihat bakat serta kepribadiannya. Pikiran yang sama dengan Wang Xiaho dan Chen Wuxi, muncul
di benaknya. "Ayolah kita masuk ke dalam, pakaian kita basah semua oleh keringat.", ujarnya ringan, sementara otaknya masih
memikirkan tentang Ding Tao dan pemilihan Wulin Mengzhu.
Bertiga mereka masuk kembali ke penginapan, Liu Chuncao mengusulkan agar mereka sebaiknya berganti pakaian sebelum
duduk-duduk di teras depan. Mereka bertiga menyewa satu kamar saja, dengan menambah dipan, ketiganya sudah biasa
hidup tanpa terlalu rewel dengan kenyamanan.
Tidak lama kemudian, ketiganya sudah duduk-duduk di teras penginapan itu. Liu Chuncao yang sudah berpikir sejak mereka
selesai bertanding, membuka percakapan, "Saudara Wang, apakah sudah sempat berbicara dengan Guru Chen tentang
pemilihan Wuling Mengzhu?"
Ding Tao mendengar perkataan Liu Chuncao merasa tidak enak hati, teringat dengan pemintaan Wang Xiaho terhadap
dirinya, agar dia sudi mencalonkan diri sebagai Wulin Mengzhu, ikut dalam pemilihan yang akan diadakan. Wang Xiaho
sebaliknya bersemangat mendengar perkataan Liu Chuncao, dia sudah berketetapan hati untuk mendukung Ding Tao
mencalonkan diri sebagai Wulin Mengzhu, setiap ada kesempatan untuk membicarakan pemilihan itu tentu disambut baik
olehnya. "Tentu, tentu, bahkan kami sudah membicarakan calon yang baik untuk kedudukan itu.", jawab Wang Xiaho.
"Hmmm", kupikir aku tahu siapa yang ada dalam pikiran Saudara Wang. Tapi yang ingin kubicarakan adalah perlu atau
tidaknya diadakan pemilihan Wulin Mengzhu ini.", ujar Liu Chuncao dengan hati-hati.
"Hee.., pendeta bau, apa maksudmu dengan perkataan itu?", tanya Wang Xiaho dengan penasaran.
"Ya, kulihat kau sama seperti Guru Chen dan Tongkat Besi itu. Kalian begitu bersemangat dengan adanya seorang Wuling
Mengzhu. Apa kalian tidak ingat, alasan sehingga kedudukan itu kosong dalam waktu yang cukup lama?", tanya Liu
Chuncao. "Hmmm". jangan kau anggap aku pikun, saat itu aku masih sangat muda, tapi aku masih ingat dengan jelas Tsao Yun yang
kehilangan akal dan ingin menjadi kaisar. He, kau sudah lihat pemuda ini, apa kau pikir dia ada potongan seperti itu?", tanya Wang Xiaho dengan alis berkerut.
Liu Chuncao memandang ke arah Ding Tao yang memilih untuk memperhatikan taman kecil di pelataran penginapan itu
daripada ikut dalam percakapan.
"Tidak, tentu saja Ding Tao nampaknya bukan orang seperti itu, tapi tidak ada jaminan bahwa dia tidak akan berubah
seperti itu. Tsao Yun pun pada awalnya seorang yang dikenal rendah hati dan terbuka terhadap semua pihak. Itu sebabnya
dia terpilih. Kekuasaanlah yang membuatnya menjadi lupa diri.", ucap Liu Chuncao sambil memperhatikan baik-baik wajah
Wang Xiaho, dia tahu Wang Xiaho suka pada Ding Tao.
Benar saja, muka Wang Xiaho jadi sedikit kemerahan menahan marah, "Hmm. Dan kira-kira menurutmu siapakah yang
pantas menduduki kedudukan itu" Apakah dirimu pendeta bau?"
Liu Chuncao tidak tersinggung dengan jawaban Wang Xiaho yang pedas, dia menjawab dengan tersenyum, "Sudah tentu
bukan diriku, Saudara Wang kau melewatkan sesuatu dari apa yg kukatakan. Bukan aku tidak setuju Ding Tao maju sebagai
calon, yg kukatakan adalah pemilihan Wuling Mengzhu ini yang seharusnya dibatalkan."
Wang Xiaho mengerutkan alis dan berusaha menenangkan diri sebelum menjawab, "Aku tidak mengerti, dengan ancaman
dari Ren Zuocan, bukankah adanya Wulin Mengzhu membuat kita menjadi lebih kuat?"
"Inilah perbedaan pendapat antara aku dan kalian. Menurutku kedudukan Wulin Mengzhu yang mengikat setiap orang dalam
dunia persilatan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada pemegangnya. Apalagi kedudukan itu sifatnya seumur
hidup. Kekuasaan sebesar itu, dipercayakan pada seseorang, menurutku mengundang bahaya yang lebih besar daripada
keberadaan Ren Zuocan.", jawab Liu Chuncao sambil menghela nafas.
"Hmm.., kenyataannya kekuasaan Ren Zuocan sudah mulai menyusup ke dalam perbatasan, jika kita tidak menggalang
kekuatan, menyatukannya di bawah pimpinan satu orang akan sulitlah untuk meredam ambisinya."
"Sebenarnya menggalang kekuatan tidak harus dengan mengadakan kembali kedudukan Wulin Mengzhu, bisa kita coba
dengan menggalang persekutuan yang sementara saja sifatnya, dipimpin oleh satu dewan yang diisi oleh ketua-ketua dari
perguruan besar." "Hehehe, dan apa yang kauharapkan dari dewan yang seperti itu" Masing-masing membawa egonya, masing-masing
membawa kepentingan golongannya sendiri. Kujamin dalam hitungan bulan mereka akan bertengkar di antara mereka
sendiri, tanpa menghasilkan apa-apa bagi kita.", ujar Wang Xiaho dengan sinis.
"Hahh" sesungguhnya aku bukannya tidak menutup mata terhadap kemungkinan itu, tapi jika memang bahaya sudah di
depan mata, masakan mereka masih berkukuh pada kepentingan golongan sendiri?", kesedihan tampak membayang di
wajah Liu Chuncao. Melihat wajah Liu Chuncao yang sedih, Wang Xiaho tidak tega untuk mendesak lebih lanjut, hiburnya, "Kurasa tidak semua
orang seperti itu, yang kita bisa yakin dengan pasti adalah Kepala Biara Shaolin, Biksu Khongzhe dan Pendeta Chongxan
dari Wudang akan bersedia bekerja sama, mereka berdua sudah lama bersahabat. Kemudian Ketua baru dari Hoasan, Pan
Jun, kulihat juga orang yang terbuka pikirannya hanya sayang wataknya sedikit lemah dan kurang berwibawa. Tapi
sisanya?" "Sisanya adalah ketua Kongtong yang punya watak kejam, Chong Weixia dan ketua baru Kunlun, Wu Liang, yang ambisius.
Ketua Hoasan, Pan Jun, bisa dipastikan akan seperti pohon bergoyang-goyang diterjang angin, tidak bisa menentukan sikap antara mendukung Pendeta Chongxan dan Biksu Khongzhe atau Chong Weixia yang bisa dipastikan akan bekerja sama
dengan Wu Liang demi mengimbangi pihak yang lain.", ucap Liu Chuncao melanjutkan.
"Jangan lupa masih ada ketua partai pengemis, Bai Chungho, meskipun kekuatan partai pengemis banyak merosot, tapi
nama dan peranan mereka di masa lalu tidak bisa diremehkan.", ujar Wang Xiaho, jika tadi dia menentang pemikiran Liu
Chuncao justru sekarang dia sepertinya berusaha mendukung pemikiran Liu Chuncao.
Bantuan Wang Xiaho itu ditanggapi dengan senyum pahit oleh Liu Chuncao, "He, aku tahu apa yang ada dalam otakmu, jika
kita minta Bai Chungho untuk dimasukkan ke dalam dewan maka keluarga Tong akan minta satu wakil masuk pula ke
dalamnya. Jika wakil dari Keluarga Tong masuk ke dalam dewan, maka Keluarga Deng yang menjadi saingan Keluarga Tong
turun temurun akan menuntut pula posisi dalam dewan tersebut. Jika keluarga Huang masih ada, mereka pun akan ikut
menuntut masuk dalam dewan."
"Dan semakin banyak isinya, semakin banyak pula kepentingan yang berebut keuntungan di dalamnya. Keadaan akan jauh
lebih buruk daripada sebelumnya.", ujar Wang Xiaho menutup uraian Liu Chuncao dengan sebuah kesimpulan.
Liu Chuncao memandang ke arah Ding Tao, memandangi punggung pemuda itu, yang sedang bermain dengan seekor anak
anjing peliharaan pemilik penginapan.
"Apakah kita memang sebebal itu" Kadang-kadang kupikir ada baiknya Ren Zuocan datang dan menggebug kepala-kepala
batu itu dengan kepalannya. Aku akan pergi berkelana ke gunung-gunung yang tinggi dan hutan-hutan yang terpencil.",
ujar Liu Chuncao dengan sedih.
"Tapi kau tak akan lari meninggalkan sahabat-sahabatmu. Jadi kau terpaksa menunggu bersama kami dan mengadu nyawa
bersama.", ujar Wang Xiaho sambil menepuk pundak sahabatnya yang lebih muda itu.
Liu Chuncao tersenyum pahit, "Ya" begitulah, aku tidak tahu sebenarnya apa ada harganya mati bersama orang-orang
semacam kalian ini."
"Hehehehe, tidak usah berpikir terlalu jauh, segera kita kembali ke rumah Guru Chen, kita bisa bersantai-santai
menghabiskan persediaan araknya. Kalau mau pergi juga belum terlambat.", jawab Wang Xiaho sambil tertawa.
Liu Chuncao ikut tertawa, untuk sekejap kesedihan tersaput bersih dari wajahnya. Puas tertawa dengan wajah yang lebih
serius dia berkata, "Jika memang pemilihan Wulin Mengzhu tidak bisa dihindarkan, kukira Ding Tao memang pilihan yang
terbaik. Chong Weixia dan Wu Liang sudah bisa dipastikan akan ikut dalam pemilihan. Tapi siapapun dari perguruan besar
yang menang, maka empat perguruan besar yang lain kemungkinan besar tidak akan bersedia untuk bersumpah setia."
"Ya, begitu juga pemikiranku dan Guru Chen."
"Tapi yang jadi masalah adalah pengalaman dan ilmu silat Ding Tao. Aku yakin pada akhirnya akan berujung pada adu
kekuatan. Apakah menurutmu Ding Tao bisa menghadapi ketua-ketua dari perguruan besar?", tanya Liu Chuncao.
"Tadinya aku masih ragu, tapi setelah pertarungan kita pagi ini, ada satu pikiran, bagaimana jika kita membukakan pada
anak itu seluruh ilmu yang kita miliki. Dengan kemampuannya untuk menyerap dan mengamati, jelas dia berkembang
dalam setiap pertarungan. Kitapun ikut juga mendapatkan pemikiran baru dan kemajuan dalam ilmu kita."
"Heh, entahlah, jika semua pendukungnya mau melakukan hal itum sedikit banyak tentu akan menambah pengalaman dan
pendalaman pemuda itu terhadap ilmu yang dia miliki. Tapi apakah ada banyak yang mau membuka ilmu perguruannya
kepada orang luar?", tanya Liu Chuncao.
"Bertanding saja dengan pemuda itu, kalau perlu kita berkeliling, memperkenalkan diri dan menantang dari satu perguruan ke perguruan lain."
"Menantang" Apakah tidak justru akan menumbulkan permusuhan?"
"Tidak perlu menantang, cukup kita antar dia dan kita katakan bahwa kita berniat untuk mendukung dia mencalonkan diri
dalam pemilihan Wulin Mengzhu, aku yakin 9 dari 10 orang akan menantangnya bertarung.", jawab Wang Xiaho dengan
yakin. Liu Chuncao coba membayangkan hal itu sebentar, kemudian tertawa, "Hehehe, benar-benar, makin tua makin banyak
akalnya. Ya kupikir cara itu pasti akan berhasil. Selain mendapatkan dukungan kita juga akan menambah pengalaman
pemuda itu." "Tentu saja ilmu mereka tidak bisa dibandingkan dengan ilmu rahasia dari perguruan besar, tapi setidaknya kesempatan
Ding Tao untuk memenangkan kedudukan Wulin Mengzhu akan jadi semakin besar."
"Tidak masalah, jika kita sudah memilih satu jalan, tidak ada jalan lain kecuali berusaha sebaik-baiknya, tentang hasil, biarlah kita serahkan pada Thian saja."
"Bagus, jawaban yang bagus. Ding Tao kau dengar apa kata Pendeta liu tadi?", tanya Wang Xiaho pada Ding Tao.
Perlahan Ding Tao membalikkan badan, wajahnya tampak serius dan tegas, tidak tersenyum, tidak tersipu malu atau salah
tingkah seperti biasa. Lama dia terdiam, lalu dengan perlahan-lahan tapi jelas dan tanpa keraguan dia menjawab, "Paman
sekalian memmpercayakan tanggung jawab yang berat ke atas pundakku. Jika mengikuti keinginanku sendiri siauwtee tidak
akan bersedia mengajukan diri. Namun demi kepentingan yang lebih besar siauwtee menerimanya."
"Bagaimana dengan masalah keluarga Huang" Maafkan aku Ding Tao, jika pertanyaanku ini terdengar tidak berperasaan
bagimu. Namun ada kemungkinan besar, nona muda keluarga Huang tidak selamat dalam penyerangan itu. Jika hal itu
terjadi, masih dapatkah kau berdiri dengan tegar dan memberikan jawaban yang sama?", tanya Liu Chuncao dengan
berhati-hati. Wang Xiaho mengerutkan alisnya, teringat bagaimana gugupnya Ding Tao saat mendengar berita tentang penyerangan atas
keluarga Huang. Wang Xiaho kuatir, Ding Tao akan kembali kehilangan kontrol dirinya. Tapi dia tak sampai hati
menyampaikan kekuatirannya itu.
Namun pemuda itu ternyata cukup tegar, meskipun kesedihan tidak dapat disembunyikan dari raut wajahnya, suaranya
terdengar tegas saat dia menjawab, "Kepentingan umum harus diletakkan di atas kepentingan pribadi. Apapun hasil dari
penyelidikan kita di Wuling, paman sekalian tidak perlu kuatir, orang She Ding tidak akan lari dari kepercayaan yang kalian berikan."
Liu Chun Cao memandangi pemuda itu dalam-dalam, sebagai seorang yang sering berkelana dan bertemu berbagai macam
orang, Liu Chun Cao cukup yakin akan kemampuannya mengenali sifat-sifat seseorang. Sambil menghembuskan nafas
akhirnya dia berkata, "Aku percaya padamu?"
Wang Xia Ho tersenyum, Liu Chun Cao mungkin bukan pendekar pedang nomor satu, tapi tidak pernah dia bertemu orang
yang berhati seteguh Liu Chun Cao. Sedikit ada kemiripan dengan Ding Tao, tapi Liu Chun Cao bukan orang yang naif, yang tidak pernah melihat sisi buruk dari kehidupan tokoh-tokoh yang disanjung puja dalam dunia persilatan. Liu Chun Cao
adalah orang yang cenderung kritis, bahkan sinis jika harus berurusan dengan tokoh-tokoh penting dalam dunia persilatan.
Jika orang berkata-kata tentang Liu Chun Cao, baik dengan nada hormat maupun dengan nada menghina, Pendeta
Pengelana Liu Chun Cao selalu dikatakan, pikirannya lurus, selurus pedang miliknya, tapi pendek sependek gagang
pedangnya. Perkataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan, kejujuran dan sifat Liu Chun Cao yang tidak bisa dikompromikan.
Itu sebabnya adalah sangat berarti jika Liu Chun Cao sampai bersedia mendukung Ding Tao.
"Ding Tao, hendaknya kau mengerti, dunia persilatan, idealnya didirikan berdasarkan Yi dan Xin, kebenaran dan
kehormatan. Kita hidup dalam dunia kita sendiri, bebas dari aturan dan kekuasaan pemerintahan yang korup, hidup
bersandar pada kebenaran dan kehormatan. Kenyataannya kebenaran dan kehormatan, seringkali hanyalah kata-kata, yang
bersandarkan pada kekuatan seseorang untuk mengartikannya. Mengandalkan pedang di tangan, menegakkan kebenaran
dan keadilan. Kebenaran menurut siapa dan keadilan untuk siapa" Pada akhirnya kita yang berdiri di jalan pedang, bukanlah manusia yang berbeda dengan manusia lainnya.", kata Liu Chun Cao dengan sungguh-sungguh.
"Hmm" benar, ilmu pedang saja tidak akan mengubah watak dasar seseorang. Hanya karena mempalajari ilmu silat, bukan
berarti menjadi orang yang mengerti kebenaran dan kehormatan.", sahut Wang Xiaho.
"Tidak ada bedanya dengan keadaan pemerintahan yang menyimpan pejabat-pejabat korup. Dunia persilatan pun dihuni
oleh orang-orang dengan sifat serakah yang sama. Meskipun di luar dia berlaku seperti seorang yang terhormat, di baliknya tersimpan siasat licik, keegoisan yang mengorbankan orang lain demi diri sendiri."
"Tentu saja paman, hal itu tidak bisa dihindari dan tugas seorang pendekar yang sejati adalah menegakkan kebenaran dan
menjunjung tinggi kehormatan.", jawab Ding Tao.
"Idealnya seperti itu Ding Tao, tapi tidaklah mudah untuk memisahkan mana yang bisa disebut seorang pahlawan dan mana
yang bisa disebut penjahat. Tidak jarang mereka yang dipanggil sebagai seorang pahlawan dalam dunia persilatan adalah
seorang penjahat yang sesungguhnya. Tidak lepas pula kemungkinan mereka yang dianggap golongan sesat, hanyalah
seorang pahlawan yang kalah kuat dan tersisih.", ujar Liu Chun Cao dengan mendesah sedih.
Dalam benak Ding Tao terbayang kesedihan yang terpancar dari sorot mata Sepasang Iblis Muka Giok. Dengan tegas dia
menjawab, "Harus ada yang bersedia untuk meluruskan kesalahan-kesalahan tersebut."
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan senyum kecut Liu Chun Cao balik bertanya, "Dengan apa seorang pendekar hendak meluruskan ketidak adilan itu?"
Ding Tao terdiam sejenak sebelum dengan berat hati menjawab, "Lewat kemampuannya dalam ilmu bela diri?"
"Ya, atas dasar kekuatan pedang dan senjata. Cepat atau lambat, mereka akan menyadari bahwa sendirian dia tidak berarti.
Untuk membuat perubahan, dia harus mengumpulkan kekuatan, dia perlu dukungan dari pendekar-pendekar lain. Kemudian
demi mendapatkan kekuatan untuk membersihkan dunia dari kejahatan, mereka pun jatuh ke dalam kubangan yang sama."
Sambil menggertakkan gigi Ding Tao menjawab, "Harus ada bedanya, kebenaran dan keadilan tidak boleh berganti arah
hanya melihat siapa kuat siapa lemah. Mereka yang ingin dirinya dipanggil pahlawan akan tetap berdiri di pihak yang benar meski dirinya lebih lemah. Karena kebenaran dan kehormatan adalah prinsip dasarnya, kemampuan bertarung hanyalah
alatnya. Jika kemampuan bertarung diletakkan di tempat yang lebih penting, maka itulah suatu kesalahan."
"Bagaimana jika berpegang teguh pada kebenaran dan kehormatan berarti maut dan celaka" Bukan hanya untuk dirimu tapi
juga bagi orang-orang yang dekat denganmu?", kejar Liu Chun Cao.
Mulut Ding Tao sudah terbuka untuk menjawab, tapi tertutup kembali ketika dia berpikir lebih jauh. Jika bahaya itu hanya untuk dirinya tentu tidak jadi masalah, tapi jika ancaman itu datang pada orang-orang yang dekat dengannya, orang-orang seperti gurunya Gu Tong Dang, Huang Ying Ying, Murong Yunhua atau Murong Huolin, masih bisakah dirinya mengatakan
hal yang sama. Tiba-tiba dia menangkap dan merasakan kepahitan dalam ekspresi wajah Liu Chun Cao. Kesedihan yang
bisa dia rasakan, terpancar pula dari sinar wajah Sepasang Iblis Muka Giok.
Bende Mataram 22 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Pendekar Muka Buruk 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama