Ceritasilat Novel Online

Pedang Awan Merah 7

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Ha-ha-ha, luar biasa sekali. Engkau dapat menemukan bahwa dalam ujar-ujar itu terdapat sesuatu yang bermakna" Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula nona ini?"
"Paman, aku bernama Sia Han Li dan nona ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei."
"Wah-wah, aku sudah mendengar nama besar Kwan Im Sianli. Bukankah nona yang pandai mengobati orang sakit?"
"Ah, paman terlalu memuji, kepandaianku mengobati masih rendah sekali, paman." "Ha-ha-ha, sungguh bagus. Masih muda sudah pandai merendahkan hatinya. Duduklah, kalian dan mari kita bercakap-cakap. Udaranya cerah sekali pagi ini dan kalau kalian mau menemani aku minum arak."
"Maaf, paman. Kami berdua tidak biasa minum arak," kata Han Lin yang segera duduk di atas tanah bertilamkan daun bambu kering, diturut pula oleh Cin Mei. "Bagus! Arak adalah obat penyegar badan yang baik, juga kawan yang baik untuk melupakan sesuatu yang mendatangkan duka, akan tetapi kalau terlampau banyak diminum, akan menjadi musuh yang membahayakan kesehatan. Nah, sekarang, apakah yang hendak kau tanyakan mengenai sajak itu?"
"Maaf, paman. Bukankah sajak itu ada hubungannya dengan keadaan negara di saat ini" Bahwa para pejabat berebutan untuk menonjolkan diri, memperebutkan kekuasaan sehingga mereka semua akan mengalami kehancuran sendiri-sendiri?"
"Orang muda, engkau memiliki pandangan yang luas. Sebetulnya keadaan seperti ini patut disesalkan. Karena semua sumber terletak kepada orang yang memegang tampuk kerajaan. Di waktu Kaisar Beng Ong masih memegang kekuasaan, aku sempat menikmati keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini. Akan tetapi, hanya karena semua orang menuruti kehendak pribadi, maka akhirnya semua kebesaran itu hancur. Aku hanya merindukan keadaan yang aman sejahtera bagi rakyat jelata, murah sandang pangan papan, hidup damai aman tanpa kekerasan dan permusuhan. Betapa akan indahnya hidup ini kalau keadaannya seperti itu."
"Akan tetapi maaf, paman," kata Lie Cin Mei, "keadaan seperti itu tidak akan jatuh begitu saja dari langit, tanpa adanya usaha dari manusia sendiri." "Engkau benar, nona. Akan tetapi sayangnya, setiap usaha manusia selain didasari kepentingan pribadi sehingga hasilnyapun kesenangan pribadi. Terjadilah bentrokan keinginan, bentrokan kepentingan dan usaha untuk mencapai keadaan damai sejahtera menjadi sia-sia, bahkan keadaan menjadi semakin kacau dengan adanya persaingan untuk mencari kesejahteraan itu. Terpecah-pecah antara golongan yang saling gontokgontokan."
"Maaf, paman. Paman dan para sasterawan yang mengetahui keadaan ini, apakah hanya cukup dengan melupakan semua itu tenggelam ke dalam uap arak sambil membaca sajak atau menuliskan syair" Masalah ini perlu dihadapi dengan penanganan langsung. Kejahatan perlu ditentang dan kita harus turun tangan, bukan hanya merengek yang tidak akan ada gunanya."
"Ha-ha-ha-ha, itulah perbedaan antara golongan bu (silat) dan golongan bun (sastera). Golongan bu hanya mengerti kekerasan saja seolah dengan kekerasan akan dapat meniadakan kejahatan dan penyelewengan. Ketahuilah, orang muda, biarpun andaikata engkau membunuhi semua penjahat yang ada, kejahatan tidak akan lenyap selama manusia masih belum menyadari kemanusiaannya. Dan untuk menyadarkan manusia akan kemanusiaannya adalah tugas kami golongan bun, dengan cara menulis syair membaca sajak dan sebagainya."
"Paman, orang jahat perlu dihajar barulah jera. Kalau hanya dinasihati saja, tidak akan dapat memasuki telinga mereka," bantah Han Lin. "Lin-koko, ucapan paman ini benar. Bukan hanya kekerasan saja yang mampu menghilangkan kejahatan. Keduanya harus jalan bersama. Di satu pihak kita menentang kejahatan dengan bu di lain pihak kita menyadarkan mereka dengan bun. Tidakkah begitu, pmaan?"
"Ha-ha-ha, nona ini sungguh bijaksana. Memang selama ini terjadi pertentangan pendapat di antara kami sendiri. Ada yang mengandalkan usaha manusia seperti yang dikehendaki oleh Nabi Khong Cu, ada pula yang menyerahkan kepada Tuhan untuk memperoleh perubahan dan perbaikan. Dan nona mengjukan kerja sama antara keduanya. Bagus sekali!"
"Pada hakekatnya manusia hidup di dunia haruslah melaksanakan kedua kodrat ini, paman," kata pula Han Lin. "Pertama, melaksanakan tugas kewajiban kit adengan semestinya. Kaisar tahu kewajiban sebagai Kaisar, bawahan tahu kewajibannya sebagai bawahan, orang tua tahu kewajibannya sebagai orang tahu, anak tahu kewajibannya sebagai anak. Kalau semua orang melaksanakan kewajibannya dan tahu bahwa tugas kewajiban haruslah dilaksanakan dengan sebaiknya, kemudian kedua menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan dan kepasrahan kepada Tuhan haruslah dibarengi dengan usaha dan ikhtiar. Ikhtiar sja tanpa ingat kepada Tuhan akan menimbulkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, sebaliknya ingat saja kepada Tuhan tanpa melakukan apa-apa juga tidak akan menolong dirinya."
"Benar, paman. Kita berusaha sebaik mungkin dilandasi kepasrahan yang selaras dengan kehendak dna kekuasaan Tuhan, maka hidup seperti itu sudah memenuhi syarat untuk menjadi manusia seutuhnya," sambung Cin Mei.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali aku Wang Wei hari ini bertemu dengan dua orang muda yang bijaksana." Bukan main kagetnya hati Han Lin dan Cin Mei ketika mendengar orang itu menyebutkan namanya. Nama Wang Wei adalah nama seorang pujangga, penyair dan pelukis yang amat terkenal di masa itu, sejajar dengan nama pujangga Li Tai Po, Tu Fu dan yang lain-lain.
Cepat Han Lin dan Cin Mei bangkit dan memberi hormat kepada sasterawan itu. "Kiranya paman adalah Pujangga Wang Wei yang mulia, maafkan kalau kami bersikap kurang hormat!" kedua orang muda itu merasa malu sekali tadi telah bicara "besar" terhadap seorang pujangga yang terkenal!
Akan tetapi tiba-tiba wajah pujangga itu berkerut. "Nah-nah, akhirnya kalian juga tidak lepas dari pada penyakit yang sudah mendarah daging pada manusia. Begitu mendengar bahwa aku bernama Wang Wei, kalian telah memberi hormat secara berlebihan. Andaikata aku ini seorang pengemis, agaknya kalian tentu tidak akan pandang sebelah mata."
"Ah, tidak..., tidak..., paman." Kata Han Lin terkejut.
Akan tetapi pujangga itu telah bangkit membawa tempat araknya dan melangkah pergi sambil bernyanyi-nyanyi! Mereka berdua hanya dapat memandang kakek itu pergi dan keduanya terkesan sekali. akan tetapi karena maklum bahwa para pujangga besar itu, seperti juga para datuk persilatan, memiliki watak yang amat aneh, maka merekapun tidak berani mengejar.
Han Lin menarik napas panjang, "Dia berkata benar, Cin Mei. Kita sudah ketularan kebiasaan umum. Kita menghormati nama, kedudukan, kepandaian, atau harta benda. Penghormatan seperti itu palsu adanya. Kita harus menghormati seseorang demi pribadinya, bukan nama, kedudukan, kepandaian dan harta yang bukan lain hanyalah pakaian belaka. Semua pakaian itu akan lenyap bersama kematian, akan tetapi budi kebaikan tidak akan pernah mati."
"Engkau benar, Lin-ko. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Pemuda dan gadis itu memasuki pintu gerbang kota raja sebelah barat. Kehadiran mereka di kota raja menarik perhatian orang, terutama gadis itu. Ia amat cantik, berusia kurang dari dua puluh lima tahun, seorang gadis yang telah matang. Wajahnya berbentuk bulat telur dan kulit muka putih kemerahan. Matanya indah seperti mata burung Hong. Rambutnya panjang hitam dibiarkan terurai dan diikat sebuah pita kuning. Hidungnya mancung dan mulutnya amat menggaraihkan. Dagunya runcing terhias tahi lalat di samping kiri, alis matanya kecil panjang melengkung. Di punggungnya nampak siang-kiam (pedang pasangan) membuat tubuh yang ramping berpinggul dan berdada besar itu nampak gagah. Pemudanya tinggi tegap dan tampan gagah.
Mereka itu bukan lain adalah Jeng I Sianli Cu Leng Si yang seperti biasa berpakaian serba hijau, dan Gu San Ki yang juga membawa sebatang pedang di punggungnya. Mereka melaksanakan tugas yang mereka terima dari Gubernur Coan untuk menghubungi Liu Taijin, yaitu pembesar tinggi yang menjabat Menteri Keuangan di Kerajaan Tang. Antara Gubernur Coan dan Menteri Liu memang masih terdapat tali persaudaraan, maka mereka berhubungan akrab.
Tidak sukar bagi Gu San Ki dan Cu Leng Si untuk mencari keterangan di mana rumah Menteri Liu itu dan karena hari masih siang, mereka langsung saja datang berkunjung.
Sebetulnya tidaklah begitu mudah untuk berkunjung kepada seorang menteri, apa lagi dilakukan oleh orang biasa. Akan tetapi ketika San Ki mengatakan bahwa mereka berdua adalah utusan dari Gubernur Coan di Nan-yang, Liu-Taijin segera menerima mereka di ruangan tamu yang tertutup.
"Kalian diutus oleh Gubernur Coan dari Nan-yang?" tanyanya sambil memandang tajam. San Ki dan Leng Si melihat bahwa ruangan itu tertutup dan tak seorangpun pengawal mendampingi menteri itu.
"Benar, taijin. Kami datang membawa surat dari beliau," kata Leng Si dan gadis ini mengeluarkan sepucuk surat, menyerahkannya kepada pembesar itu. Pembesar yang bertubuh gendut pendek itu menerima surat dan langsung membuka dan membacanya. Dia membaca dengan bibir bergerak-gerak, lalu wajahnya berubah berseri dan kepalanya mengangguk-angguk. Sehabis membaca, dia lalu merobekrobek surat itu menjadi potongan kecil-kecil.
"Surat ini hanya memperkenalkan kalian sebagai orang-orang kepercayaan Gubernur Coan, dan dia mengatakan bahwa pesannya dibawa oleh kalian berdua, hendak disampaikan dengan mulut. Kalau pesan itu disampaikan tertulis, maka akan berbahayalah kalau sampai surat itu hilang dan terjatuh ke tangan orang lain. Benarkah demikian?"
"Benar sekali, taijin," kata Leng Si yang selalu menjadi juru pembicara karena ia lebih pandai bicara dibandingkan Gu San Ki yang pendiam.
"Nah, cepat sampaikan pesan itu."
"Apakah di sini aman untuk membicarakan urusan penting ini, taijin?" tanya pula Leng Si memancing kesan baik.
"Tentu saja aman. Tanpa seijinku tidak ada seorangpun berani mendekati tempat ini. Katakan saja dan jangan kalian khawatir." "Coan-taiji hendak menyampaikan berita bahwa kerja sama yang direncanakan itu telah berjalan dengan baik dan lancar, taijin. Beliau mengharapkan dukungan taijin agar rancananya berjalan dengan baik."
"Ah, bagus sekali! ceritakan kapan itu diadakan dan siapa saja yang hadir, lalu apa saja yang dibicarakan?"
Dengan lancar Leng Si lalu menceritakan tentang pertemuan rahasia yang diadakan Gubernur Coan dan para sekutunya itu. "Kui-thaikam yang memimpin gerakan itu," demikian katanya sebagai penutup. "Dan pembagian tugas sudah dilakukan. Sam Mo-ong diutus melapor kepada Ku Ma Khan dan mempersiapkan pasukan di perbatasan, Kwan-ciangkun juga bertugas mempersiapkan pasukannya di Lok-yang, dan Coan-taijin bertugas menghubungi rekan-rekan pejabat untuk memperoleh dukungan. Adapun urusan di dalam istana sepenuhnya ditangani Kui-thaikam sendiri. Karena itu maka kmai diutus ke kota raja untuk menghubungi taijin, dan menurut Coan-taijin, taijinlah yang dapat menghubungi rekan-rekan pejabat di kota raja agar semua siap untuk bergerak apa bila saatnya tiba."
Kembali pembesar yang gendut pendek itu mengangguk-angguk sambil merabaraba jenggotnya yang hanay beberapa helai itu. "Katakan kepada Gubernur Coan, jangan khawatirkan tentang itu, karena aku sudah menghubungi banyak orang dan semuanya setuju. Pendeknya, di kota raja sudah ada lima orang pejabat tinggi yang dapat kita tarik dalam kerja sama kita ini. Katakan saja bahwa semua sudah beres dan siap."
"Akan tetapi, taijin. Sebagai bukti bahwa kami benar-benar telah mendapat keterangan yang lengkap dari taijin, harap taijin suka sebutkan nama-nama para pejabat yang siap membantu agar kami dapat membuat laporan selengkapnya kepada Coan-taijin."
"Boleh, boleh. Nah, dengarkan baik-baik dan jangan lupa. Mereka itu adalah Menteri Lai yang menjabat sebagai menteri bagian pertanian, lalu Ciu-taijin kepala para jaksa, Bhe-ciangkun komandan pasukan penjagaan di pintu gerbang kota raja, Phoa-ciangkun dan The-ciangkun yang menjadi perwira-perwira pasukan keamanan."
"Baik, taijin, semua telah kami catat dan akan kami laporkan kepada Coan-taijin," kata Leng Si. Selesai bicara dengan pembesar itu, keduanya lalu berpamit dan menerima hadiah sekantung emas dari pembesar gendut itu.
Han Lin dan Cin Mei juga sudah tiba di kota raja dan merekapun langsung mohon menghadap Kaisar. Tentu saja sulit sekali untuk dapat menghadap Kaisar, melalui peraturan yang berbelit-belit. Akan tetapi, ketika para pengawal itu mendengar bahwa Han Lin dan Cin Mei hendak menghadap Kaisar untuk menyerahkan Ang-in-po-kiam, mereka terkejut bukan main. Pedang yang sudah lama dicari-cari dan dinanti-nantikan itu akhirnya, dibawa pemuda dan gadis ini menghadap Kaisar. Maka, dengan pengawalan ketat akhirnya mereka diantar masuk setelah Kaisar mendengar laporan kepala pengawal dan mengijinkan mereka untuk menghadap.
Selama hidupnya baru sekali ini Han Lin dan Cin Mei memasuki sebuah istana dan keduanya merasa kagum bukan main. Di samping rasa kagum, di dalam hatinya Han Lin merasa terharu sekali. Biarpun ketika lari mengungsi usianya baru lima tahun, akan tetapi setelah kini memasuki istana itu, dia teringat akan semuanya. Teringat akan ayah ibunya yang tewas mempertahankan istana ini, dan teringat pula dia betapa ketika masih kecil dia tinggal di istana ini! Akan tetapi, sedikitpun tidak ada keinginan untuk merebut kekuasaan agar menjadi Kaisar seperti ayahnya. Dia telah mendengar riwayat ayahnya dari paman dan bibinya, mendengar bahwa ayahnya juga merebut kekuasaan sebagai Kaisar dari tangan orang lain, dari keturunan An Lu Shan, maka kalau kemudian Kaisar yang berwenang merampasnya kembali dari tangan ayahnya, hal itu sudahlah wajar. Dan dia tidak mau menjadi pemberontak seperti ayahnya. Bahkan kini dia sudah berjanji dengan San Ki dan Leng Si untuk melindungi Kaisar dari dalam, sementara San Ki dan Leng Si bergerak dari luar.
Kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar. Kaisar memandang kepada mereka dengan kaget dan hampir tidak percaya bahwa pemuda tampan dan gadis cantik itu yang datang mengembalikan pusaka istana yang lenyap dicuri orang itu.
"Hei, orang muda, benarkah kalian datang untuk mengembalikan Ang-in-po-kiam kepada kami?" tanya Kaisar dengan suara lantang. Di kanan kiri dan belakangnya terdapat sedikitnya dua losin pengawal menjaga keselamatannya dan Kui-thaikam bersama beberapa orang thaikam lain juga hadir di situ.
"Benar sekali, Yang Mulia," kata Han Lin. "Hamba berdua menghadap paduka untuk menghaturkan pedang pusaka itu."
"Siapakah nama kalian?"
"Hamba bernama Sia Han Lin dan nona ini bernama Lie Cin Mei, Yang Mulia."
"Han Lin dan Cin Mei, coba keluarkan pedang itu dan berikan kepada pengawal kami." Han Lin menurunkan pedang dari punggungnya dan dengan sikap hormat, dengan kedua tangannya, dia menyerahkan pedang itu kepada seorang pengawal pribadi Kaisar yang mewakili Kaisar turun menerima pedang itu dari tangan Han Lin. Setelah Kaisar menerima pedang itu, dia menghunusnya dari sarungnya dan nampak sinar kemerahan.
"Ang-in-po-kiam...!" kata Kaisar gembira. "Akhirnya engkau kembali juga kepada kami!" dia menyarungkannya kembali, lalu menyerahkan kepada pengawalnya.
"Sia Han Lin, dari mana engkau mendapatkan pedang pusaka itu" Jangan katakan bahwa engkau yang mengambilnya dari gudang pusaka!" "Yang Mulia, pencuri pedang itu adalah mendiang Hoat Lan Siansu ketua Hoatkauw yang hendak memberontak dan ditumpas oleh pasukan kerajaan. Hamba membantu pasukan dan hamba yang menemukan pusaka itu setelah Hoat Lan Siansu tewas."
"Bagus kalau begitu. Nah, memenuhi janji kami kepada siapa yang dapat mengembalikan pedang pusaka itu, kami akan menghadiahkan harta kepadamu dan juga kedudukan. Katakan, apakah kepandaianmu yang kiranya sesuai dengan kedudukan yang hendak kami berikan?"
"Yang Mulia, hamba datang berdua dengan adik Lie Cin Mei, maka apabila paduka memperkenankan, kami berdua mohon agar kami dapat diangkat sebagai pengawal pribadi paduka."
"Hemm, menjadi pengawal pribadi kami tidaklah mudah, orang muda. Dia harus memiliki ilmu silat yang tinggi. Apakah engkau memiliki ilmu itu dan bagaimana pula dengan nona ini" Apakah ia juga seorang ahli silat yang tangguh?"
"Hamba pernah mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun, Yang Mulia. Adapun adik Cin Mei ini telah mempelajari ilmu silat dan terutama ilmu pengobatan." "Begitukah" Pantas engkau minta dijadikan pengawal. Akan tetapi karena kami belum menyaksikan kemampuanmu, kami ingin menguji dulu kepandaianmu. Sanggupkah engkau kalau diuji?"
"Hamba siap melaksanakan segala perintah paduka."
Tiba-tiba Kui-thaikam membari hormat kepada Kaisar. "Yang Mulia, maafkan kalau hamba mengemukakan pendapat hamba."
"Bicaralah," kata Kaisar yang memang amat sayang dan percaya kepada thaikam yang satu ini. "Untuk menjadi pengawal pribadi paduka, bukan saja harus memiliki ilmu silat yang tangguh, akan tetapi juga harus diketahui benar siapa orang ini, karena sekali salah pilih akan membahayakan paduka. Oleh karena itu, sebelum dia diterima menjadi pengawal pribadi paduka, perkenankan hamba yang membawa dia ke rumah hamba dan hamba akan menguji kepandaian dan juga kesetiaannya."
"Aah, itu baik sekali, Kui-thaikam. Han Lin, engkau pergilah bersama Kui-thaikam yang akan menguji kepandaianmu, sedangkan Cin Mei ini, biar kuperbantukan kepada tabib istana kalau memang ia pandai soal pengobatan."
"Hamba siap menaati perintah paduka, Yang Mulia. Hanya ada satu lagi permintaan hamba, mudah-mudahan paduka akan meluluskannya."
"Katakanlah, orang muda. Kalau permintaan itu pantas, tentu akan kupenuhi karena engkau telah berjasa besar terhadap kami." "Hamba mempunyai seorang kakak angkat bernama Cu Leng Si. Cu Leng Si itu adalah puteri dari Cu Kiat Hin, yang pernah menjabat sebagai petugas perpustakaan di istana paduka. Akan tetapi, menurut berita, Cu Kiat Hin telah ditangkap dan dipenjarakan. Oleh karena itu, hamba mohon agar Cu Kiat Hin itu dibebaskan dan kalau ada kesalahan agar dapat diampuni. Hanya itu permintaan hamba, Yang Mulia. Hamba berani memintakan, karena kakak hamba Cu Leng Si itupun berjasa dalam mendapatkan Pedang Awan Merah itu."
"Cu Kiat Hin" Petugas perpustakaan" Yang manakah dia" Kui-thaikam, siapakah Cu Kiat Hin itu?" "Ah, Yang Mulia. Cu Kiat Hin adalah pegawai rendahan di perpustakaan yang berani menghina hambam karena itu hamba memberi pelajaran kepadanya, hamba masukkan dia dalam tahanan agar tidak berani menghina hamba lagi. Hamba adalah pembantu dan kepercayaan paduka, kalau hamba dihina, berarti paduka juga ikut tersinggung kewibawaan paduka."
"Ah, begitukah" Dia sudah kauhukum, tentu sudah jera. Atas permintaan yang layak ini, kami harus memenuhinya. Kaubebaskan Cu Kiat Hin itu, Kui-thaikam."
"Baik, Yang Mulia."
"Terima kasih, Yang Mulia," kata Han Lin dengan girang sambil memberi hormat.
"Bolehkah hamba membawa Sia Han Lin sekarang untuk diuji, Yang Mulia?"
"Bawalah, dan laporkan hasilnya kepadaku besok."
"Baik, hamba melaksanakan perintah paduka." Han Lin mengangguk kepada Cin Mei sebagai isarat perpisahan untuk sementara, sedangkan Kaisar lalu menyuruh pengawal memanggil Tabib Istana Liang. Han Lin pergi bersama Kui-thaikam setelah memberi hormat kepada Kaisar.
Ketika Tabib Istana Liang menghadap, Kaisar Thai Tsung berkata kepadanya, "Tabib Liang, ini ada seorang nona bernama Lie Cin Mei. Kami telah menerimanya sebagai pengawal pribadi dan juga ahli pengobatan. Harap engkau menguji kemampuannya dalam hal pengobatan dan kemudian memberi laporan kepada kami."
"Baik, Yang Mulia." Cin Mei lalu mengikuti tabib yang tinggi kurus itu keluar dari tempat persidangan. Setelah kedua orang itu pergi, Kaisar minta lagi Pedang Awan Merah dari pengawalnya dan bermain pedang beberapa jurus dengan hati gembira. Pedang itu bukan hanya merupakan pusaka kerajaan, akan tetapi menjadi lambang kejayaan kerajaan, maak tentu saja dia merasa gembira sekali.
Betapa banyaknya manusia yang memuja-muja pusaka yang dikatakannya ampuh, bertuah, dapat mendatangkan rejeki, mendatangkan kebahagiaan, keselamatan dan sebagainya. Mereka itu lupa bahwa yang mereka namakan pusaka itu hanyalah sebuah benda mati buatan manusia juga. Sebatang pedang dapat disebut ampuh dan baik kalau pembuatannya memang baik, terbuat dari pada logam pilihan yang baik pula. Akan tetapi kalau mengandung khasiat yang lebih dari pada semestinyya, ini merupakan tahyul belaka. Mereka itu lupa bahwa yang dapat berusaha mendatangkan rejeki keselamatan atau kebahagiaan adalah manusia sendiri, dan yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau manusia sudah menyandarkan kepercayaannya kepada benda mati, maka berarti dia telah dipengaruhi dan dikuasai oleh daya rendah benda itu, seperti halnya kalau manusia dipermainkan harta dan uang. Senjata yang baik dan ampuh memang harus dipelihara baik-baik, dirawat baikbaik agar dapat bertahan kekuatan dan keampuhannya, akan tetapi sama sekali bukan untuk dipuja-puja. Yang patut dan wajib dipuja hanyalah Sang Maha Pencipta, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan Tuhan itu meliputi segala sesuatu yang beradi di alam maya pada ini, akan teatpi kekuasaan Tuhan bersifat kodrati, wajar. Segala yang tidak wajar itu meragukan, mungkin bukan dari kekuasaaan Tuhan datangnya, melainkan dari kekuasaan gelap. Kekuasaan daya rendah memang selalu membujuk manusia dengan hasil-hasil yang menguntungkan, yang menyenangkan, pada hal akhirnya akan menyeret manusia ke jalan kesesatan yang mendatangkan derita kesengsaraan lahir batin, dunia akherat.
Setelah tiba di rumah Kui-thaikam, Han Lin dipersilakan duduk di ruangan dalam oleh thaikam itu. Tidak ada orang lain di situ kecuali mereka berdua.
"Selamat datang, Sia Han Lin. Sudah lama kunantikan kedatanganmu."
"Eh, maksud taijin...?" "Ha-ha-ha, tidak usah kaget, Han Lin. Apakah Ku Ma Khan atau Sam Mo-ong belum memberitahu kepadamu" Aku tahu bahwa engkau adalah mantu Ku Ma Khan yang diutus Ku Ma Khan untuk menyerahkan pedang kepada Kaisar dan kemudian minta kedudukan pengawal pribadi untuk memata-matai keadaan di istana, bukan?"
Han Lin tidak terkejut. Dia maklum bahwa agaknya thaikam ini sudah mendapat keterangan dari Sam Mo-ong yang menjadi sekutunya seperti yang didengarnya dari Leng Si dan San Ki. Akan tetapi dia pura-pura kager dan memandang kepada thaikam itu dengan mata terbelalak.
"Jangan takut, Han Lin. Kita adalah orang-orang sendiri. Ku Ma Khan, mertuamu, itu adalah sekutu kami."
"Akan tetapi... tidak ada yang memberitahu saya tentang hal ini..." "Ha-ha-ha, tentu saja hal ini amat dirahasiakan. Akan tetapi setelah engkai kini diterima Kaisar, perlu engkau ketahui bahwa ayah mertuamu itu bersekutu dengan kami untuk menggulingkan Kaisar yang selalu menentang ayah mertuamu. Kebetulan sekali engkau berada di sini sebagai pengawal pribadi sehingga semua rencana kita menjadi lebih matang. Dari Sam Mo-ong kami sudah mengetahui tentang kepandaianmu, maka tidak perlu diuji lagi."
"Taijin, tugas saya hanya untuk mendekati Kaisar, membujuknya agar dapat berhubungan baik dengan orang Mongol atau setidaknya agar aku mengetahui gerakan-gerakan yang hendak dilancarkan jika Kaisar menyerang bangsa Mongol."
"Aku mengerti. Memang tadinya begitu, akan tetapi sekarang setelah ayah mertuamu bersekutu dengan kami, rencana kami lain lagi. Kami akan menyingkirkan Kaisar dan menggantikan dengan Kaisar baru."
"Ah, begitukah, taijin" Ini berita penting sekali untuk saya. Dan siapa kiranya yang akan diangkat menjadi pengganti Kaisar" Saya perlu mengetahui karena kalau yang diangkat itu Kaisar yang juga memusuhi Mongol, lalu apa gunanya?"
"Ha-ha-ha, tentu saja tidak, Han Lin. Kami merencanakan, jika Kaisar telah disingkirkan, kami akan mengangkat Pangeran Kim Seng, adik Kaisar."
"Akan tetapi, taijin, bukankah yang menjadi putera mahkota sekarang ini Pangeran Tek Tsung?"
"Benar, karena itu, pangeran itupun harus disingkirkan pula agar jangan menjadi penghalang."
"Kenapa tidak membiarkan Pangeran Tek Tsung saja yang menjadi penggantinya, agar lebih mudah?" "Ho-ho, kami tidak bodoh. Selain Pangeran Tek Tsung tidak mudah dipengaruhi, juga kami memilih Pangeran Kim Seng karena dia yang akan menjadi wali kalau Pangeran Tek Tsung meninggal. Pula kami sudah ada hubungan dengan Pangeran Kim Seng dan dia tentu akan menurut segala petunjukku kalau kami dapat mengangkatnya menjadi Kaisar."
"Tapi, itu berbahaya, taijin. Bagaimana kalau pasukan keamanan mengetahuinya dan mereka menangkapi kita?" "Jangan khawatir. Para panglima pasukan keamanan di kota raja sudah menjadi sekutu kami. Pendeknya segala hal telah diatur agar semua rencana berjalan mulus. Di timur ada pasukan sekutu kita yang bergerak di Lok-yang, dan di utara dan barat ada pasukan ayah mertuamu yang juga sudah siap untuk bergerak sewaktu-waktu dibutuhkan. Ha, belum apa-apa, dengan persiapan seperti itu, kita sudah menang!"
"Tapi, taijin, bagaimana caranya... menyingkirkan Kaisar dan putera mahkota?" "Nah, ini yang belum kita tentukan dan sedang dicari cara terbaik. Ada beberapa jalan memang, akan tetapi kita harus mencari cara yang terbaik dan paling aman. Setelah engkau menjadi pengawal pribadi Kaisar, engkau tentu akan selalu dekat dengan Kaisar sehingga amat memudahkan untuk..."
"Ah, taijin, tidak... jangan mengutus hamba melakukan itu, hamba tidak berani!" kata Han Lin terkejut. "Ha-ha, kami juga tidak begitu gegabah untuk mengutus engkau melakukan pembunuhna. Bagaimanapun juga, engkau adalah mantu raja Ku Ma Khan. Akan tetapi kalau engkau dekat dengan Kaisar, tentu engkau dapat menjaga agar jangan ada orang yang mendekati Kaisar dan mengetahui rahasia kita. Kami akan menggunakan pembunuhan melalui obat dan racun."
Han Lin teringat kepada Cin Mei dan hatinya lega. Kalau cara itu yang akan dipakai, di sana ada Cin Mei yang tentu akan dapat mencegahnya. "Ahh, dan putera mahkota?" "Dia akan tewas karena kecelakaan. Kami akan mengajaknya berburu dan dapat saja dia tewas karena kecelakaan. Hal itu mudah diatur dan engkau tidak usah mencampuri."
Setelah menguras semua keterangan yang dibutuhkan dari Kui-thaikam, Han Lin lalu kembali bersama thaikam itu pada keesokan harinya menghadap Kaisar di mana thaikam gendut itu melaporkan bahwa dia telah menguji Han Lin dan merasa puas.
"Bagus, kalau begitu, sekarang juga engkau kuangkat menjadi kepala pengawal pribadi kami, Han Lin. Engkaulah yang mengatur penjagaan dan pengawalan, dan engkau mengepalai seluruh pengawal pribadi yang jumlah sepuluh losin orang."
Han Lin cepat menghaturkan terima kasih kepada Kaisar. "Ampun, Yang Mulia. Bagaimana dengan sahabat hamba, adik Lie Cin Mei?"
"Ia sudah kami angkat menjadi pembantu Tabib Liang, tabib istana karena ternyata sahabatmu itu memang ahli dalam hal pengobatan."
"Sekali lagi, Yang Mulia. Bagaimana dengan paman Cu Kiat Hin seperti yang paduka janjikan?"
Kaisar menoleh kepada Kui-thaikam. "Bagaimana, Kui-thaikam, sudahkah engkau membebaskan Cu Kiat Hin?"
"Sekarang juga akan hamba laksanakan, Yang Mulia," kata thaikam itu cepatcepat. "Cepat laksanakan karena kami sudah menjanjikan kepada Han Lin," perintah Kaisar. Han Lin memang sengaja tidak membicarakan perkara Cu Kiat Hin itu dengan Kui-thaikam, karena dia ingin bahwa Kaisar yang menekan thaikam itu, bukan dia. Dia tidak ingin hubungannya dengan thaikam itu menjadi terganggu, karena dia membutuhkan kepercayaan Kui-thaikam agar dia dapat mengamati gerak-geriknya dan mengetahui rencana jahat yang akan dilakukan thaikam pemberontak tiu.
"Terima kasih, Yang Mulia. Kalau paduka memperkenankan, hamba ingin mengantar Paman Cu Kiat Hin kembali ke rumahnya, baru hamba kana menghadapi lagi dan mulai melaksanakan tugas yang paduka berikan."
"Boleh, boleh, Kui-thaikam, serahkan tawananmu yang bernama Cu Kiat Hin itu kepada Han Lin."
Demikianlah, Kui-thaikam bersama Han Lin pergi ke tempat tahanan dan membebaskan Cu Kiat Hin. "Engkau beruntung sekali, Cu Kiat Hin. Sribaginda Kaisar telah mengampunimu dan mengutus kami membebaskanmu. Akan tetapi, lain kali jangan engkau berani mencampuri urusanku kalau engkau ingin selamat!" demikian tegur Kui-thaikam sebelum Cu Kiat Hin yang kurus dan lemah itu dipapah pergi oleh Han Lin.
Tentu saja kepulangan Cu Kiat Hin ini disambut oleh keluarganya dengan penuh kegembiraan. Dan yang membuat Cu Kiat Hin menjadi semakin gembira dan terharu adalah munculnya Cu Leng Si puterinya yang segera melakukan pembicaraan penting dengan Han Lin di ruangan sebelah dalam, dihadiri pula oleh San Ki. Mereka saling menceritakan pengalaman mereka, dan mendengar keterangan dari kedua pihak, mereka terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa Kui-thaikam telah mengatur rencana begitu jauh dan pelaksanaannya akan segera dilakukan.
"Kalau begitu, Kaisar akan diracuni, Pangeran Mahkota akan dibunuh dalam perburuan, dan kekuasaan akan diberikan kepada Pangeran Kim Seng. Dan untuk mendukungnya, para panglima pasukan keamanan telah siap, juga banyak pejabat telah dihubungi Menteri Keuangan akan memberi dukungan suara. Sementara itu, pasukan di Lok-yang akan menyerbu kota raja, sedangkan pasukan Mongol akan menyerbu dari utara dan barat dan di kota raja sendiri, pasukan keamanan yang bersekutu dengan mereka juga akan bergerak," kata Han Lin.
"Memang bukan main siasat yang diatur oleh Kui-thaikam dan para sekutunya itu. Kita harus cepat bertindak untuk mencegah terjadinya malapetaka ini," kata Leng Si. "Kami akan mengunjungi Panglima Lo, dan sebaiknya kalau engkau minta surat perkenalan dari ayahmu untuk kita bawa menghadap Panglima Lo itu, sumoi," kata San Ki.
Semua orang setuju dan segera mereka menghadap Cu Kiat Hin yang masih beristirahat di dalam kamarnya setelah menderita sengsara selama berbulan-bulan di penjara. Ketika orang tua ini mendengar laporan puterinya, dia bangkit duduk dan mengepal tinju, lalu menghela napas panjang berulang-ulang.
"Aihh, sudah kuduga. Thaikam gila itu akhirnya tentu akan membuang kedok dombanya dan memperlihatkan wajah aselinya. Kiranay dia mengatur pemberontakan! Pangeran Kim Seng adalah seorang pangeran yang sinting, pekerjaannya setiap hari hanya pelesir ke rumah-rumah pelacuran atau rumah-rumah perjudian. Pangeran itu tidak becus apa-apa, bagaimana akan diangkat menjadi Kaisar?"
"Tentu agar mudah dikuasai oleh Kui-thaikam, ayah. Kita tidak boleh tinggal diam dan aku bersama Ki-koko akan segera menghadap Lo-ciangkun. Harap ayah segera membuat surat pengantar atau perkenalan agar kami dipercaya, karena siapa tahu mungkin Lo-ciangkun tidak akan percaya kepada kami karena hal ini amat pelik, gawat dan rahasia."
Cu Kiat Hin mengangguk-angguk. "Dengan surat pengantarku, dia akan percaya sepenuhnya kepada kalian. Yang membuat aku ragu, dia itu akan dapat berbuat apakah" Aku tahu benar bahwa kekuasaan Lo-ciangkun sudah dikurangi banyak dan dia sekarang mempunyai kedudukan yang lemah. Karena tidak mau menjadi antek Kui-thaikam, maka kekuasaannya dikurangi sedikit demi sedikit oleh Kaisar dan semua itu tentulah karena bujukan Kui-thaikam."
"Biarpun demikian, ayah. Lo-ciangkun adalah seorang ahli siasat dan dia tentu dapat menilai pejabat atau panglima mana yang belum menjadi antek Kui-thaikam. Dia dapat menghubungi panglima-panglima yang masih setia untuk membantu dan menyelamatkan Kaisar," kata Leng Si. "Yang jelas, menurut keterangan Liu Taijin itu, hanya ada beberapa pejabat dan panglima saja yang terlibat, masih banyak tentu saja yang masih setia kepada Kaisar."
Cu Kiat Hin mengangguk-angguk, setuju dengan pendapat puterinya itu. "Baik, akan kubuatkan surat itu dan mudah-mudahan saja kalian semua akan dapat menyelamatkan kerajaan ini dari malapetaka."
Dia lalu menuliskan surat dan menyerahkan surat itu kepada puterinya. Leng Si menyimpan surat itu karena ia sendirilah yang akan menghubungi Lo-ciangkun. Han Lin tentu saja tidak dapat karena dia yang kini berada dalam pengawasan Kui-thaikam tentu tidak dapat leluasa bergerak. Sebaliknya, Leng Si dalam pengawasan Gubernur Coan yang berada di Nan-yang, tentu saja lebih leluasa bergerak di kota raja.
Han Lin lalu kembali ke istana, karena tugasnyapun hanya mengantar Cu Kiat Hin pulang. Kalau terlalu lama tentu akan dicurigai. Sebagai pengawal pribadi Kaisar, tentu saja leluasa bagi Han Lin untuk keluar masuk. Dia melakukan penjagaan dengan sungguh-sungguh dan mulai mengatur para pengawal yang bertugas di situ, sepuluh losin orang banyaknya, agar pengawalan dan penjagaan dilakukan dengan ketat. Kaisar senang melihat cara kerja pemuda itu. Dan dalam tugasnya keluar masuk istana ini tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi Han Lin untuk bertemu dengan Cin Mei yang juga tinggal di istana untuk membantu Tabib Liang yang tinggal di bagian samping istana. Tabib Liang juga tidak curiga kalau pembantunya itu mengadakan pertemuan dengan Han Lin, karena bukankah mereka itu datang bersama di istana, bahkan mengaku sebagai kakak beradik seperguruan"
Ketika mendengar dari Han Lin bahwa Cu Kiat Hin, ayah sucinya itu telah dapat dikeluarkan dari tahanan, hatinya merasa gembira sekali. Akan tetapi ia terkejut setengah mati mendengar dari Han Lin tentang rencana busuk Kui-thaikam yang hendak membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota, apa lagi ketika diceritakan oleh Han Lin bahwa pembunuhna terhadap Kaisar akan dipergunakan racun!
"Menurut pendapatku, Tabib Liang juga sudah dipengaruhi oleh Kui-thaikam. Buktinya, setelah dia mengujiku dalam ilmu pengobatan, diam-diam dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyampaikan laporan kepada Kui-thaikam. Kalau memang pembunuhan itu akan dilakukan dengan racun, sudah tentu sekali tangan Tabib Liang yang akan dipergunakan untuk keperluan itu."
"Aku khawatir sekali, Cin Mei. Karena engkau merupakan pembantunya yang baru, bukan tidak mungkin engkau akan diperalat agar kelak kalau sampai ketahuan bahwa Kaisar keracunan, mereka dapat melempar fitnah itu kepadamu. Karena itu, engkau harus waspada mengamati gerak-gerik tabib kurus itu."
"Jangan khawatir, Lin-koko, aku akan waspada selalu dan kalau ada sesuatu yang mencurigakan, tentu akan kuberitahu kepadamu secepatnya." Demikianlah, mereka berdua bersepakat untuk bekerja sama menggagalkan rencana jahat dari Kui-thaikam, dan juga untuk saling memberi keterangan dengan Leng Si dan San Ki yang tentu saja akan dilakukan oleh Han Lin yang lebih leluasa bergerak keluar dari pada Cin Mei.
Han Lin sudah mengambil keputusan tetap untuk memberitahu kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota tentang komplotan busuk itu. Maka, pada suatu saat setelah persidangan para menteri bubar dan dia mendapat kesempatan untul bicara berdua dengan Kaisar, dia berbisik tanpa terdengar oleh siapapun juga.
"Yang Mulian, hamba mempunyai berita penting sekali, menyangkut keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota. Sedapat mungkin, hamba ingin bicara dengan paduka dan Pangeran Mahkota, bertiga saja tanpa diketahui orang lain."
Kaisar mengerutkan alisnya, hampir marah karena permintaan ini dianggapnya melanggar aturan dan lancang sekali. Akan tetapi melihat sinar mata pemuda itu mencorong penuh kejujuran, diapun mengangguk dan meninggalkan ruangan sidang, segera dijemput oleh para thaikam dan pengawal.
Baru pada keesokan harinya, Han Lin dipanggil oleh Kaisar dan thaikam yang diperintah memanggil itu mengantar Han Lin masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup di mana Kaisar dan Pangeran Mahkota telah menanti. Thaikam itu disuruh keluar dan menutupkan daun pintu, menjaga dengan ketat di luar pintu agar tidak ada orang ikut mendengarkan pembicaraan mereka bertiga.
"Nah, Sia Han Lin, sekatang kami berdua hanya bicara denganmu. Kita hanya bertiga, engkau boleh bicara dengan terus terang. Peristiwa penting apakah yang hendak kaulaporkan secara rahasia ini?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba khawatir Sribaginda Yang Mulia tidak akan percaya kepada laporan hamba, maka sebelumnya hamba mohon agar paduka berdua tidak keburu marah dan dapat menerima laporan ini dengan tenang."
"Hemm, engkau penuh rahasia. Katakan, kami tidak akan marah kepadamu." "Sebelumnya hamba ingin menceritakan keadaan hamba yang sebenarnya agar kelak tidak akan menimbulkan kecurigaan dan keraguan di hati paduka. Ketika dahulu hamba mendapatkan Ang-in-po-kian, pedang itu kemudian terampas penjahat dan terjatuh ke tangan Ku Ma Khan, pemuka orang Mongol itu. Dan Ku Ma Khan memaksa hamba untuk menikah dengan puterinya, baru dia akan mengembalikan pedang kemudian dia hendak menjadikan hamba sebagai mata-mata di sini demi kepentingan orang Mongol."
"Ahh...!" Kaisar dan Putera Mahkota menjadi terkejut bukan main wajah mereka menjadi pucat. Kaisar sudah hampir berteriak memanggil para pengawal, akan tetapi Han Lin cepat berkata.
"Yang Mulia, kalau hamba berniat jahat tidak perlu hamba menceritakan semua ini kepada paduka!"
"Benar juga. Lalu kenapa engkau menceritakan hal ini kepadaku dan apa kehendakmu?" "Hamba menerima syarat Ku Ma Khan itu hanya dengan maksud agar pedang dikembalikan kepada hamab. Dan puteri yang dinikahkan kepada hamba itupun sekarang telah tewas, terbunuh oleh musuhnya sehingga hamba bukan lagi mantu Ku Ma Khan. Dan pedang pusaka itu hamba kembalikan kepada paduka atas kehendak hamba sendiri, karena hambalah yang menemukannya."
"Hemm, setelah kauceritakan semua ini, lalu apa kepentingannya?" "Keadaan hamba ini justeru menguntungkan sekali, Yang Mulia. Karena hamba disangka masih mantu yang setia dari Ku Ma Khan, maka para sekutu Ku Ma Khan mempercaya hamba dan terbukalah semua rahasia mereka."
"Apa" Sekutu Ku Ma Khan" Siapa dia?"
"Banyak, Yang Mulia. Akan tetapi terutama sekali, pemimpinnya adalah Kuithaikam yang merencanakan pemberontakan." Ayah dan anak itu bangkit berdiri, wajah mereka memperlihatkan rasa kaget dan juga tidak percaya. "Kui-thaikam" Sia Han Lin, tahukah engkau bahwa fitnah ini dapat membuat engkau dihukum mati?"
"Hamba siap menerima hukuman mati kalau hamba melakukan fitnah. Akan tetapi hamba hanya bicara sebenarnya, Yang Mulia. Bahkan komplotan pemberontak ini melakukan rencana jahatnya untuk membunuh paduka dan Putera Mahkota untuk menggantikan paduka dengan Pangeran Kim Seng."
Kedua orang bangsawan itu saling pandang, muka mereka pucat akan tetapi mereka masih belum percaya. "Ceritakan semua dengan jelas," kata Kaisar sambil duduk kembali dan Pangeran Mahkota Tek Tsung menghapus keringatnya dengan saputangan.
Han Lin lalu menceritakan semuanya tentang usaha pemberontakan Kui-thaikam yang bersekongkol dengan Kwan-ciangkun di Lok-yang, dengan Gubernur Coan di Nan-yang dan dengan beberapa orang pembesar di kota raja seperti yang didengarnya dari penuturan Leng Si.
"Kalau rencana mereka berhasil, yaitu membunuh paduka dan Putera Mahkota, maka pasukan dari Kwan-ciangkun di Lok-yang akan menyerbu kota raja, dibantu oleh panglima-panglima yang menjadi sekutunya dari dalam, dan dari utara dan barat akan menyerbu pasukan dari Ku Ma Khan." Han Lin menutup ceritanya yang diceritakan dengan jelas.
"Hemm, lalu bagaimana mereka hendak membunuh aku dan Pangeran Mahkota. Bukankah engkau sudah berada di sini sebagai pengawal pribadiku?" "Justeru karena hamba yang dianggap mantu Ku Ma Khan menjadi pengawal, mereka mengira hal itu mudah dilakukan. Menurut Kui-thaikam, pembunuhan terhadap paduka akan dilakukan dengan menggunakan racun dari Tabib Liang..."
"Keparat!" "Harap tenang, Yang Mulia. Jangan khawatir, adik hamba Cin Mei berada di sana dan selalu waspada menjaga agar hal itu tidak dapat dilakukan."
"Dan bagaimana dengan aku" Bagaimana mereka akan membunuh aku?" tanya Pangeran Mahkota Tek Tsung dengan suara gemetar.
"Paduka akan diajak berburu binatang dan akan diatur agar terjadi kecelakaan dengan paduka."
"Ahh... mengerikam...!" Pangeran itu menggigil. "Kalau begitu, sekarang juga akan kusuruh tangkap semua pemberontak laknat itu, akan kujatuhi hukuman mati dengan seluruh keluarganya!" kata Kaisar sambil bangkit berdiri.
"Mohon paduka tenang dan bersabar, Yang Mulia. Kalau paduka melakukan itu, apa buktinya" Mereka bahkan akan menuntut hamba dan mengatakan bahwa hamba telah melakukan fitnah. Tanpa bukti paduka tidak akan dapat menuduh mereka. Karena itu, haruslah dibuktikan dulu."
"Dan membiarkan diri kami dan Pangeran Mahkota terancam bahaya maut?" "Harap paduka jangan khawatir. Masih banyak orang yang setia kepada paduka. Hamba dan kawan-kawan sudah mengatur agar paduka dan Pangeran Mahkota dilindungi dan hamba yakin bahwa kalau sudah tiba saatnya mereka turun tangan, hamba akan dapat menangkap mereka. Kalau sudah begitu, barulah ada bukti tentang pemberontakan mereka dan paduka dapat menjatuhkan hukuman berat kepada mereka."
Kaisar termenung dan mempertimbangkan ucapan pemuda itu. Akhirnya dia berkata, "Kalau semua yang kaulaporkan ini benar, Han Lin, maka nyawa kami berada di tangan engkau dan kawan-kawanmu. Baiklah, kami mempercayakan kepadamu untuk mengatasi semua kemulut ini sampai tuntas."
"Harap paduka tidak khawatir. Kawan-kawan hamba sudah menghubungi para panglima yang masih setia kepada paduka untuk melucuti mereka yang akan memberontak dan mengusir pasukan Mongol yang sudah siap di perbatasan. Seperti hamba katakan tadi, hamba siap untuk menerima hukuman besar apabila hamba berbohong, akan tetapi hamba hanya minta agar paduka berdua pura-pura tidak tahu akan adanya rencan pemberontakan itu sehingga sikap paduka berdua tidak mencurigakan. Hamba khawatir mereka akan mengubah rencana dan siasat kalau melihat paduka mencurigakan."
"Tapi, apa yang harus kami perbuat?" tanya pula Kaisar, masih merasa ngeri. "Menurut rencana mereka, Pangeran Mahkota akan lebih dulu diajak berburu. Kalau ajakan itu datang, harap paduka terima saja tanpa curiga. Jangan paduka khawatir, pangeran, karena diam-diam kami mengawasi paduka dan melindungi paduka. Tidak akan ada bahaya. Dan kalau hal itu terjadi, paduka akan kami ungsikan dan singkirkan sementara waktu."
Pangeran Mahkota mengangguk, walaupun anggukannya mengandung keraguan dan kekhawatiran.
"Dan bagaimana dengan kami?" "Paduka tidak perlu khawatir. Semua hidangan yang akan diberikan kepada paduka, sudah diperiksa oleh adik Cin Mei, dan paduka tidak akan keracunan. Akan tetapi, kalau mereka sudah menaruh racun itu, walaupun paduka tidak keracunan, sebaiknya kalau paduka pura-pura keracunan dan jatuh sakit. Ini untuk memancing tindakan mereka selanjutnya. Harap paduka jangan khawatir, kami telah menyusun siasat sebaliknya untuk melawan siasat mereka."
Akhirnya Kaisar dan Pangeran Mahkota dapat menerima usul-usul yang diajukan Han Lin dan menyerah saja karena merekapun tidak tahu harus berbuat apa menghadapi rencana siasat para pemberontak itu. Untuk bertindak menangkap mereka memang tidak mungkin selma belum ada bukti.
Setelah menghadap Kaisar dan Putera Mahkota, Han Lin lalu mengadakan kontak dengan Cin Mei di dalam istana, juga dengan Leng Si dan San Ki di luar istana. Mereka semua telah siap, dan San Ki beserta Leng Si bahkan telah menghubungi Lociangkun yang mengadakan pembicaraan serius dengan para panglima yang masih setia kepada Kaisar dan merekapun telah mempersiapkan pasukan mereka. Mereka semua tinggal menanti saat pelaksanan rencana siasat para pemberontak dengan hati diliputi ketegangan.
Pada suatu hari ketika Han Lin sedang berjalan di dalam kota raja dengan maksud mengunjungi rumah Leng Si, tiba-tiba dia melihat Bi Lan berjalan dengan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Lan-moi...!" Han Lin memanggil dan segera menghampiri.
Bi Lan menoleh dan mukanya berubah pucat ketika ia melihat Han Lin. Teringatlah ia betapa ia telah membunuh Mulani, isteri Han Lin.
"Lin-ko... kau... kau?" katanya gagap. Melihat sikap gadis yang dicintanya, Ting Bu segera berkata. "Ah, inikah saudara Sia Han Lin yang seringkali kau ceritakan padaku itu, Lanmoi?" lalu Ting Bu menghadapi Han Lin, memberi hormat dan berkata, "Perkenalkan, saudara Sia Han Lin, saya bernama Ting Bu, sahabat baik nona Can Bi Lan."
Akan tetapi Bi Lan masih tetap memandang Han Lin dengan sinar mata bingung. "Lin-ko, sudahkah engkau mendengar... tentang Mulani...?" Han Lin mengangguk dan menghela napas panjang. "Sudah kudengar semua dari saudara misanku Souw Kian Bu. Aku tidak menyalahkanmu, Lan-moi. Engkau membela saudara, hal itu sudah sepatutnya."
"Akan tetapi, aku tidak tahu betapa jahatnya mendiang kakakku itu, Lin-ko. Sungguh aku merasa menyesal sekali telah membunuh Mulani. Aku bersalah, Lin-ko, dan kalau engkau hendak membalas kematian isterimu itu, silakan. Aku siap menerima hukuman."
"Sudahlah, Lan-moi. Sudah kukatakan bahwa aku tidak menyalahkanmu. Semua sudah terjadi dan sudah lewat. Sekarang kita bicarakan soal lain saja. Mari kita masuk ke rumah makan itu, agar kita dapat bicara dengan leluasa," kata Han Lin dan mereka semua memasuki rumah makan itu, memilih meja di sudut yang jauh dari tamu lain.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang menyebabkan engkau datang ke kota raja ini, Lan-moi?" Tanpa ragu lagi Bi Lan bercerita tentang Kwan-ciangkun, panglima Lok-yang itu yang bersekongkol dengan Sam Mo-ong. "Mereka tentu bermaksud melakukan pemberontakan dan aku sudah melapor kepada ayah. Dan aku datang ke kota raja ini karena memang tempat tinggalku di sini. Lupakah engkau, Lin-ko bahwa Pek-eng Bukoan berada di sini. Ayahku tinggal di kota raja."
"Ah, benar juga. Kebetulan sekali, Lan-moi, engkau dan ayahmu dapat membantu usahaku. Apa yang kauceritakan tadi memang benar dan aku sudah mengetahui semuanya. Dengar, bahkan aku mengetahui lebih banyak dari itu." Dengan bisik-bisik Han Lin lalu menceritakan tentang rencana pemberontakan yang dipimpin oleh Kuithaikam. Mendengar ini, Bi Lan terkejut bukan main, demikian pula Ting Bu.
"Kalau begitu, kita tidak boleh tinggal diam," kata Ting Bu, "kita harus berbuat sesuatu!" "Benar, saudara Ting BU. Kita memang sudah siap siaga menghadapi semua ini. Kebetulan aku menjadi kepala pengawal pribadi Kaisar dan rencana pemberontakan itu sudah kuberitahukan kepada Kaisar dan Putera Mahkota. Sekarang kita hanya tinggal membagi tugas. Bi Lan, bagaimana kalau engkau dan saudara Ting Bu, menggunakan kekuatan para murid Bu-koan untuk melindungi Pangeran Mahkota?"
"Tentu kami siap, Lin-ko."
"Kalau begitu, mari kita bicarakan dengan ayahmu," ajak Han Lin. Mereka lalu membayar harga minuman dan meninggalkan rumah makan itu. Can-kauwsu (guru silat) Can yang mendengar berita itu dari puterinya, menjadi terkejut setengah mati. "Tentu saja kami siap untuk membantu, Sia-taihiap," katanya kepada Han Lin. "Dan puteriku sudah menceritakan semua tentang perbuatan mendiang puteraku terhadap engkau dan isterimu. Dalam kesempatan ini, aku sebagai ayahnya mintakan maaf kepadamu atas segala perbuatan jahat puteraku. Mengingat dia sudah tewas, harap engkau suka memaafkan dia." Suara orang tua itu tergetar karena haru dan duka.
"Sudahlah, paman. Aku sudah melupakan lagi urusan itu."
"Juga aku mintakan maaf bahwa anakku Bi Lan telah terburu nafsu menewaskan isterimu."
"Aku tidak menyalahkan Lan-moi. Sekarang kita menghadapi urusan yang besar, maka sebaiknya kita melupakan urusan pribadi," kata pula Han Lin. "Sia-taihiap, aku sudah banyak mendengar tentang dirimu dari Bi Lan, akan tetapi setelah berhadapan, baru aku tahu bahwa engkau memang seorang pendekar besar yang bijaksana."
"Paman tidak perlu memuji. Yang penting sekarang, apakah paman sanggup untuk melindungi dan menyelamatkan Pangeran Mahkota" Kalau dia pergi berburu, harap dibayangi dan kalau ada bahaya mengancam, harap paman melindunginya, kemudian diam-diam membawanya pergi dan mengungsi dulu ke rumah paman tanpa ada yang mengetahui. Sanggupkah paman?"
"Kami sanggup, dan akan kami lakukan dengan taruhan nyawa!" jawab Cankauwsu dan Han Lin merasa lega. Kalau yang melindungi rombongan Can-kauwsu tentu akan lebih mudah dari pada kalau dia mengerahkan tenaga para pengawal. Dia dan Cin Mei tidak boleh meninggalkan istana untuk melindungi Kaisar. Dia sudah tahu sampai di mana kelihaian Bi Lan, maka ayahnya tentu lebih lihai lagi. Dibantu oleh Ting Bu yang dia duga tentu saling mencinta dengan Bi Lan, hal yang melegakan hatinya, dan anak buah Pek-eng Bu-koan, dia percaya bahwa keselamatan Pangeran Mahkota tentu akan terlindung. Dia sendiri tentu akan ikut pula mengawasi.
Setelah mengadakan perundingan masak-masak, Han Lin berpamit dan berjanji akan memberitahu kalau saatnya tiba, yaitu kalau Pangeran Mahkota hendak pergi berburu.
Setelah Han Lin pergi, Can-kauwdu memuji-muji pemuda itu, bahkan Ting Bu juga memujinya. "Memang dia hebat sekali. Dia lebih mementingkan keselamatan negara dari pada urusan pribadi. Aku kagum sekali kepada sahabatmu itu, Lan-moi."
Bi Lan diam saja. Ia tidak pernah menceritakan bahwa dahulu ia sangat mencinta Han Lin, akan tetapi cintanya itu menghilang ketika ia mendengar bahwa Han Lin telah menikah dengan Mulani, apa lagi kemudian ia yang membunuh Mulani. Dan terutama sekali setelah ia bertemu dengan Ting Bu, ia merasa telah menemukan pengganti Han Lin yang tidak mungkin dapat diharapkannya lagi.
Hari yang dinanti-nanti, baik oleh Kui-thaikam dan kawan-kawannya, maupun oleh Pangeran Mahkota dan para pelindungnya, tiba. Kui-thaikam mengajak Pangeran Mahkota untuk berburu binatang di hutan buatan di luar kota raja. Pangeran Mahkota dengan tenangnya menerima ajakan itu karena maklum dan percaya sepenuhnya bahwa dia telah diam-diam dilindungi oleh Han Lin dan kawan-kawannya.
Kui-thaikam dan Pangeran Mahkota menunggang kuda dan dikawal oleh selosin orang pengawal berkuda pula. Mereka membawa perlengkapan berburu dan tak lama kemudian tibalah mereka di dalam hutan buatan yang cukup luas itu. Hutan itu adalah hutan buatan di mana dilepas banyak binatang hutan untuk dapat diburu oleh Kaisar dan keluarganya.
Han Lin segera memberi kabar kepada Can-kauwsu yang segera membawa lima puluh orang anak buahnya bersembunyi di hutan itu. Bi Lan dan Ting Bu tidak ketinggalan, ikut pula bersembunyi di hutan untuk melindungi Pangeran Mahkota.
Segera nampak Pangeran itu dan Kui-thaikam diiringi selosin pasukan pengawal memasuki hutan. Pangeran Mahkota tidak memperlihatkan kekhawatiran dan dia berburu binatang seperti biasa dengan gembira.
Akan tetapi ketika mereka tiba di tengah hutan, tiba-tiba saja bermunculan kurang lebih tiga puluh orang yang mengenakan topeng dan mereka itu langsung saja menyerbu. Dan para pengawal itu sama sekali tidak melindungi Putera Mahkota! Melihat ini, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebagaimana diberitahu oleh Han Lin, Putera Mahkota membedal dan membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Kui-thaikam yang pura-pura kelihatan ketakutan.
Dan mendadak muncullah puluhan orang membiarkan Pangeran Mahkota lewat dan menghadang para pengejar itu. Tiga puluh orang perampok bertopeng dibantu selosin pengawal lalu saling serang dengan para anggauta Pek-eng Bu-koan yang dipimpin oleh Can-kauwsu, Bi Lan dan Ting Bu. Pertempuran hebat tak dapat dihindarkan lagi akan tetapi para perampok yang ditugaskan membunuh Pangeran Mahkota itu menjadi bingung karena sama sekali tidak menduga akan menemui halangan seperti ini. Mereka menjadi kacau kehilangan pegangan, terutama sekali karena amukan Can-kauwsu dan Ting Bu, sedangkan Bi Lan sendiri cepat melakukan pengejaran kepada Pangeran Mahkota dan Kui-thaikam untuk melindunginya dari kemungkinan ancaman lain.
Melihat Kui-thaikam dengan pedang di tangan seolah melindungi Pangeran, Bi Lan diam-diam mengaguminya. Thaikam ini memang cerdik sekali. Melihat usaha pembunuhan itu gagal, cepat dia mengubah taktik dan pura-pura melindungi sehingga dia tidak terlibat dalam usaha pembunuhan Putera Mahkota itu. Akan tetapi Bi Lan tidak perduli. Sesuai dengan petunjuk Han Lin, ia menyambar tali kendali kuda sang Pangeran, menendang jatuh Kui-thaikam dari atas kudanya lalu mengajak Pangeran itu untuk melarikan diri. Pangeran Mahkota memang sudah diberitahu oleh Han Lin bahwa dia harus mengikuti gadis berpakaian merah muda yang akan membawanya lari mengungsi.
Setelah tiba di tepi hutan, Bi Lan lalu menyerahkan pakaian pengganti untuk Putera Mahkota. "Paduka harus menyamar sebagai penduduk biasa dalam memasuki kota raja, Pangeran," katanya dan Pangeran itu menurut saja. Pakaian petani yang longgar itu dipakainya menutupi pakaiannya yang serba indah. Kemudian Bi Lan mencambuk kuda sang Pangeran sehingga kuda itu kabur kembali ke dalam hutan dan dara itu mengajak sang Pangeran melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Mereka berhasil memasuki kota raja tanpa menarik perhatian dan Bi Lan mengajak Pangeran itu bersembunyi ke dalam rumah orang tuanya, yaitu di Pek-eng Bu-koan.
Sementara itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Biarpun di antara para perampok bertopeng itu terdapat Thian Te Siang-kui yang lihai, akan tetapi tugas mereka adalah membunuh Pangeran Mahkota, bukan bertempur. Mereka lalu meninggalkan gelanggang pertempuran dan melakukan pengejaran, akan tetapi mereka hanya menemukan Kui-thaikam dan kuda Pangeran Mahkota, sedang Pangeran itu sendiri tidak dapat mereka temukan.
Kui-thaikam menyumpah-nyumpah. Kepada para sekutunya, malam itu dia menceritakan bahwa Pangeran Mahkota diselamatkan seorang wanita yang tidak dikenalnya.
"Kita harus cepat melaksanakan rencana selanjutnya. Putera Mahkota dilindungi orang-orang yang kalau rencana selanjutnya tidak segera dilaksanakan, kami khawatir semuanya akan menjadi gagal," katanya.
Semua orang setuju dan Tabib Liang segera dihubungi agar besok segera melaksanakan rencana mereka untuk meracuni Kaisar! Para pengawal yang selosin orang itu memang anak buah Kui-thaikam dan sekembalinya dari hutan, Kui-thaikam melaporkan kepada Kaisar bahwa Pangeran telah memisahkan diri dari rombongan ketika berburu dan sekarang sedang dicari-cari oleh pasukan. Kaisar menerima berita ini dengan hati tenang saja karena dia sudah tahu dari Han Lin bahwa Pangeran telah diselamatkan dan untuk sementara disembunyikan.
Ketika hidangan makan siang sudah dipersiapkan, Cin Mei melihat sikap Liang Sinshe tidak seperti biasanya. Dia kelihatan gugup dan ketika ia melihat tabib itu menuangkan bubuk putih ke dalam guci emas yang menjadi guci arak Kaisar, ia tahu bahwa saatnya untuk meracuni Kaisar adalah saat itu. Dan racunnya berada di dalam guci emas itulah. Kemudian ia melihat betapa Tabib Liang mengundang seorang thaikam dan menyuruh thaikam ini yang menghidangkan dan membawa guci emas itu kepada Kaisar untuk pelengkap makan siang. Dari ini saja Cin Mei tahu bahwa thaikam itu tentu anak buah Kui-thaikam. Tentu untuk membawa guci emas itu tidak boleh dipercayakan kepada orang lain. Ia pura-pura tidak tahu dan segera mendahului pergi ke kamar makan di mana Kaisar akan makan siang dilayani oleh para gadis pelayan dan thaikam.
Akan tetapi siang itu, Kaisar yang sudah mendapat bisikan dari Han Lin yang menerima kontak dari Cin Mei, menyuruh semua pelayan dan thaikam pergi. Setelah semua orang pergi dan di situ hanya terdapat Cin Mei, Kaisar memanggil thaikam yang membawa guci emas tadi masuk. Semua pintu ditutup dan tak seorangpun diperbolehkan masuk.
"Engkau yang tadi membawa guci arak itu?" tanya Kaisar kepada thaikam.
Karena pertanyaan itu tidak biasa, thaikam itu menjadi pucat wajahnya dan sambil berlutut dia menjawab, "Benar, Yang Mulia."
"Apa isinya guci itu?"
"Tentu saja isinya arak, Yang Mulia. Hamba mengambilnya dari dapur."
"Bagus, engkau telah bekerja dengan baik sekali. karena itu kami berkenan memberi hadiah secawan arak kepadamu. Majulah!" Wajah thaikam itu menjadi semakin pucat. Dengan mata terbelalak dia melihat betapa Kaisar menuangkan arak dari guci emas ke dalam sebuah cawan dan menjulurkan tangan memberikan cawan itu kepadanya. Thaikam itu ketakutan dan hendak melarikan diri, akan tetapi sekali tangan Cin Mei bergerak, thaikam itu menjadi lemas dan tidak mampu bangkit kembali.
"Hayo minum!" kata Kaisar yang menghampirinya dan memaksanya minum secawan arak itu. Karena tidak bertenaga lagi dan tidak dapat melawan, akhirnya thaikam itu terpaksa menelan arak dari cawan itu dan sejenak kemudian iapun roboh dan tewas seketika dengan mulut berubah menghitam!
Kaisar berseru lirih. "Jahanam keji...!" Sesuai dengan rencana, Cin Mei lalu memanggil pengawal kepercayaan Han Lin, dan dengan bantuan pengawal ini, mereka lalu mengangkut jenazah itu dan merebahkan ke dalam pembaringan Kaisar, sedangkan Kaisar sendiri lalu menyembunyikan diri.
Segera tersiar berita bahwa Kaisar menderita sakit keras, bahkan disusul berita bahwa Kaisar telah meninggal dunia! Tentu saja geger di dalam istana, kecuali keluarga istana yang telah diberitahu dulu dengan adanya usaha pemberontakan itu.
"Kita harus meneruskan rencana, sekarang juga! Sebelum Putera Mahkota muncul. Cepat! Sekarang juga harus diadakan persidangan besar. Dan jangan lupa memberi tanda kepada Kwan-ciangkun di Lok-yang dan kepada Ku Ma Khan dan para panglima lain di sini!" demikian perintah Kui-thaikam kepada para sekutunya. Mereka nampak sibuk sekali karena saat besar itu akan tiba. Pangeran Kim Seng juga sudah siap dengan pakaian kebesaran.
Persidangan darurat diadakan dan dihadiri oleh semua menteri, pejabat dan panglima. Menurut perhitungan pada saat persidangan darurat diadakan, istana sudah dikepung oleh pasukan yang memberontak, di bawah pimpinan para panglima yang sebelumnya sudah ditentukan.
Tak seorangpun pejabat tinggi yang hadir dalam persidangan darurat yang diadakan itu. Para pejabat tinggi yang tidak tersangkut, merasa heran sekali dan juga bingung mendengar berita bahwa Kaisar telah wafat. Mereka seolah tidak percaya karena sebelumnya tidak ada berita Kaisar menderita sakit. Juga berita bahwa Pangeran Mahkota lolos dari istana tanpa diketahui ke mana perginya membuat semua orang bertanya-tanya. Maka, ketika diadakan persidangan darurat, berbondong-bondong mereka mendatangi persidangan itu.
Singgasana itu kosong. Kui-thaikam berdiri di dekat singgasana, ditemani oleh Pangeran Kim Seng. Semua orang tahu bahwa pangeran sinting tukang pelesir ini adalah adik Kaisar dan karena Putera Mahkota tidak ada maka tentu saja Pangeran Kim Seng dapat dibilang sebagai anggauta tertua dari Kaisar dan merupakan anggauta keluarga yang penting.
"Cu-wi yang mulia," Kui-thaikam mulai berkata. "Ada berita menyedihkan bahwa Yang Mulia Sribaginda Kaisar telah wafat karena terserang penyakit mendadak. Tabib Liang tidak mampu mengobatinya karena sudah parah sekali. Kata Tabib Liang, Yang Mulia menderita pendarahan di lambung yang amat parah. Dan di samping berita yang amat menyedihkan ini, ada lagi berita yang membingungkan, yaitu bahwa Putera Mahkota Tek Tsung telah lolos dari istana, entah ke mana tak seorangpun mengetahuimua. Kami masih berusaha mencari-cari akan tetapi sementara mencarinya, singgasana tidak baik dibiarkan kosong. Harus ada yang sementara menggantikan kedudukan Kaisar sebelum sang Pangeran dapat ditemukan, untuk mengatur pemakaman dan mengatur hal-hal yang terpenting. Dan mengingat bahwa pengganti Yang Mulia Kaisar, yaitu Pangeran Mahkota Tek Tsung tidak ada, maka satu-satunya pengganti yang tepat adalah Pangeran Kim Seng karena sebagai peman Putera Mahkota, beliau ini dapat dibilang menjadi walinya. Biarlah Pangeran Kim Seng untuk sementara menggantikan kedudukan Pangeran Mahkota yang lolos. Bagaimana pendapat cu-wi yang terhormat?"
Serta merta para pejabat yang sudah menjadi sekutu Kui-thaikam mengancungkan tangan menyatakan setuju dengan suara riuh rendah. Mereka yang setuju ini tentu saja setuju demi kepentingan sendiri karena mereka tentu mengharapkan kenaikan pangkat dari penguasa yang baru.
Akan tetapi banyak di antara para menteri yang menyatakan tidak setuju.
"Jenazah Yang Mulia belum juga dimakamkan, mengapa ribut-ribut soal pengganti Kaisar?"
"Yang penting harus menemukan dulu Pangeran Mahkota, baru ditentukan pengganti Yang Mulia Kaisar."
"Kematian Yang Mulia perlu diteliti karena mencurigakan sekali." Bermacam-macam suara yang memrotes keputusan yang hendak diambil oleh Kuithaikam. Akan tetapi Kui-thaikam mengangkat tangannya dan nampak berwibawa sekali.
"Cu-wi tahu bahwa saya adalah orang yang menjadi kepercayaan Yang Mulia, dan Pangeran Kim Seng adalah adik dari Yang Mulia. Semua keputusan yang hendak dilaksanakan ini sudah benar dan merupakan satu-satunya jalan. Kalau ada yang tidak setuju itu berarti menghalangi kelancaran pemerintahan dan dianggap hendak mengacau san memberontak. Untuk itu kamu sudah siap siaga dengan pasukan dan kalau perlu, mereka yang tidak setuju dapat ditangkap. Istana ini sudah dikepung pasukan yang mendukung keputusan kami!"
Semua pejabat menjadi terkejut mendengar ini dan tahulah mereka semua bahwa sebetulnya Kui-thaikamlah yang memberontak dan hendak memaksakan kehendaknya dengan dukungan pasukan!
Pada saat itu terdengar suara nyaring, "Yang Mulia Sribaginda Kaisar telah tiba!" Semua orang terkejut, terutama sekali Kui-thaikam, memandang terbelalak karena tidak mengerti maksudnya. Dia sudah melihat sendiri betapa jenazah Sribaginda Kaisar rebah di dalam kamarnya!
Semua orang memandang dan benar saja. Sribaginda Kaisar Thai Tsung yang nampak sehat-sehat saja memasuki ruangan itu, diikuti oleh pasukan pengawal dan juga didampingi oleh Han Lin dan para thaikam yang setia.
"Kui-thaikam, engkau mau berkata apa lagi sekarang" Engkau yang bersekutu dengan pemberontak, engkau mengatur pemberontakan, hendak membunuh kami dan membunuh pula Putera Mahkota! Engkau tidak dapat menyangkal pula!"
Kui-thaikam memandang dengan wajah pucat. Akan tetapi dia melihat bahwa ada yang tidak beres dalam rencananya, maka dia hendak berlaku nekat karena sudah kepalang.
"Semua orang menyerah! Istana sudah dikepung dan kota raja sudah diduduki pasukan kami!" bentaknya sambil mengangkat kedua tangan untuk menyuruh pasukan yang sudah mengepung istana itu menyerbu masuk.
Akan tetapi, pintu terbuka lebar dan masuklah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei masuk sambil mencengkeram leher baju di bagian tengkuk Tabib Liang. "Inilah Tabib Liang yang hendak meracuni Yang Mulia Kaisar atas suruhan Kuithaikam!" seru gadis itu dengan suaranya yang merdu dan lantang. Dan didorongnya Tabib Liang sehingga terjatuh berlutut di dekat Kui-thaikam. Kemudian dari pintu yang terbuka lebar itu masuk panglima-panglima yang masih setia, dan mereka itu menggiring lima orang yang menjadi tawanan, yaitu Menteri Lai, Menteri Ciu, Panglima Bhe, Panglima Phoa dan Panglima The. Lima orang sekutu dari Kuithaikam yang sedianya mengerahkan pasukan mengepung istana. Ternyata mereka itu telah didahului oleh panglima-panglima yang dihubungi Lo-ciangkun, ditangkap lebih dulu di rumah masing-masing sehingga tidak sempat menggerakkan pasukan. Kini mereka semua didorong ke depan dan jatuh berlutut di dekat Kui-thaikam, di depan Kaisar.
Melihat ini, Pangeran Kim Seng juga menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. Dari luar ini masuk pula Pangeran Mahkota Tek Tsung diiringkan oleh Bi Lan dan Ting Bu! Maka bergembiralah para pejabat yang setia karena melihat Putera Mahkota itu ternyata dalam keadaan sehat.
"Cu-wi, kalau mau tahu siapa yang hendak membunuhku, maka Kui-thaikam inilah yang mengaturnya pula!" Kini Kui-thaikam sudah tidak melihat jalan keluar lagi. Dia mencabut pedangnya dan sambil berteriak seperti seekor srigala gila dia menubruk ke depan untuk membunuh Kaisar! Akan tetapi, Han Lin yang berdiri di situ menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat Kui-thaikam jatuh terjengkang. Thaikam itu lalu menggerakkan pedang ke lehernya, akan tetapi banyak tangan merampas pedang itu dan dia lalu ditangkap dan diborgol. Kui-thaikam meronta-ronta, memaki-maki, menangis dan tertawa dan ternyata dia mendadak menjadi gila atau pura-pura gila. Kaisar memerintahkan untuk menyeret pergi semua yang terlibat pemberontakan.
Seluruh persekutuan pemberontakan itupun terbongkar. Pasukan pemerintah lalu mengadakan penyerbuan ke Lok-yang, menangkap Kwan-ciangkun. Juga pasukan dikirim ke Nan-yang untuk menangkap Gubernur Coan. Lengkaplah semua kaki tangan Kui-thaikam ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara menunggu keadilan.
Sementara itu, pasukan yang dipimpin Ku Ma Khan di perbatasan, diserbu pasukan yang dibantu oleh para pendekar. Pada hari itu juga pasukan besar dikirim ke perbatasan di utara di mana pasukan Ku Ma Khan masih menanti tanda dari Kuithaikam untuk menyerbu.
Pertempuran itu berlangsung dengan seru. Ketika Sam Mo-ong yang memperkuat pasukan Mongol itu maju, banyak perajurit Kerajaan Tang roboh oleh tiga orang datuk sesat yang lihai itu. Akan tetapi, para pendekar yang melihat ini segera maju.
Han Lin menghadapi Kwi-jiauw Lo-mo, adapun Hek-bin Mo-ong dihadapi Lie Cin Mei dan Cu Leng Si, dan Pek-bin Mo-ong dikeroyok oleh Gu San Ki dan Ting Bu yang lihai.
Dalam waktu singkat saja Sam Mo-ong yang sekali ini bertemu tanding, terdesak hebat. Terutama sekali Kwi-jiauw Lo-mo. Biarpun dia sudah mengamuk dengan sepasang cakar setannya, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi pedang Angin-po-kiam yang oleh Kaisar diberikan lagi kepada Han Lin itu. Dengan ilmu pedang Ang-in-kiam-sut yang digubahnya sendiri, Han Lin mendesak dengan hebat dan pada kesempatan yang baik pedangnya itu mampu membabat putus kedua tangan setan itu. Kwi-jiauw Lo-mo terkejut sekali dan dia berusaha untuk mengamuk dengan pukulan jarak jauhnya, tubuhnya menggelinding ke sana sini seperti sebuah peluru, berputarputar. Namun Han Lin dapat mengimbanginya dengan Khong-khi-ciang yang juga memiliki hawa sin-kang yang amat kuat. Akhirnya, setelah mengadu sin-kang tetap tidak mampu mengatasi Han Lin, Kwi-jiauw Lo-mo menggelinding hendak melarikan diri. Namun Han Lin melempar Pedang Awan Merahnya yang meluncur bagaikan sinar kilat, menusuk punggung kakek itu menembus ke dadanya dan diapun roboh menelungkup dan tewas seketika. Han Lin meloncat datang dan mencabut pedangnya dari tubuh Kwi-jiauw Lo-mo.
Hek-bin Mo-ong yang dihadapi Cin Mei dan Leng Si juga sibuk sekali. dia mengerahkan sin-kangnya yang dingin beracun, jari-jari tangannya berubah menghitam, namun dua orang gadis itu lihai bukan main. Leng Si bersenjata siangkiam dan Cin Mei menggunakan sebatang pedang. Bayangan mereka merupakan bayangan hijau dan putihm dan pedang mereka membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. Baru melawan seorang di antara mereka saja sudah tidak mudah bagi Hek-bin Mo-ong untuk menang, apa lagi dikeroyok dua. Akhirnya pedang Leng Si menembus dadanya dan diapun roboh dan tewas.
Demikian pula Pek-bin Mo-ong. Pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai, terutama sekali Gu San Ki. Murid Pek Mau Siankouw ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw, memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Leng Si atau Cin Mei. Dia sendiri saja sudah merupakan lawan tangguh sekali dari Pek-bin Mo-ong. Apa lagi dikeroyok bersama Ting Bu, murid Bu-tong-pai yang lihai itu. Pekbin Mo-ong hanya sanggup bertahan selama lima puluh jurus dan akhirnya dia tewas oleh tusukan pedang Gu San Ki.
Para pendekar lain mengamuk. Leng Si yang mencari-cari akhirnya dapat menemukan Tee-kui yang amat dibencinya karena penjahat cabul ini hampir saja dulu dapat memperkosanya. Setelah bertemu, ia melarang yang lain untuk melawannya dan ia sendiri yang menyerang Tee-kui dengan siang-kiamnya. Tee-kui dengan sepasang goloknya melawan mati-matian. Sepasang golok melawan sepasang pedang dan pertempuran ini disaksikan oleh yang lain-lain. Sebetulnya tidak mudah bagi Leng Si untuk mengalahkan Tee-kui karena tingkat mereka tidak banyak selisihnya. Akan tetapi karena Tee-kui sudah menjadi panik melihat Sam Mo-ong sudah roboh, juga Thian-kui telah tewas di tangan Kian Bu, maka permainan goloknya menjadi kacan. Dia tahu bahwa untuk melarikan diripun sudah tidak ada jalan. Terlalu banyak pendekar berada di situ, maka diapun hanya dapat berkelahi dengan nekat. Karena memang sudah panik dan permainannya kacau, akhirnya pedang Leng Si membabat lehernya dan diapun roboh dengan leher hampir putus.
Ku Ma Khan akhirnya terpaksa menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke utara. Perangpun berakhir dengan kemenangan pasukan Tang. Kaisar amat berterima kasih kepada para pendekar dan biarpun Kaisar merasa menyesal bahwa Han Lin dan Cin Mei mengundurkan diri dan tidak lagi mau menjadi pengawal, namun Kaisar dapat memaklumi watak para pendekar yang tidak mau terikat itu. Dia hanya dapat membagi-bagikan hadiah kepada para pendekar yang sudah membantu pembasmian persekutuan jahat yang hendak menggulingkan pemerintahannya itu.
Keadaan menjadi aman kembali dan setelah mendapatkan pengalaman pahit itu, Kaisar bersikap hati-hati. Dan Kaisar menasihati Pangeran Mahkota agar dapat menarik pelajaran dari pengalaman itu, yaitu agar jangan terlalu menaruh kepercayaan tanpa batas kepada seorang punggawa, apa lagi kalau punggawa itu seorang yang suka bermuka-muka atau seorang penjilat. Harus mendengarkan nasihat semua pihak dan mempertimbangkan nasihat-nasihat mereka sehingga pemerintahannya akan dapat terkontrol dan semua kesalahan akan dapat diubah.
"Mei-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?" tanya Han Lin kepada Cin Mei. Mereka telah berada jauh dari kota raja, berpisah dari para pendekar lain yang mengambil jalan mereka masing-masing.
Cin Mei nampak terkejut dan bingung mendengar pertanyaan ini. Selama ini ia melakukan perjalanan bersama Han Lin, mengalami segala macam suka duka bersama pemuda itu dan tanpa terasa ia memasuki kehidupan yang lain sama sekali. Ia telah menganggap bahwa memang hidupnya di samping Han Lin, bekerja sama dengan pemuda itu dan agaknya mereka tidak akan saling berpisah lagi. Ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pendekar ini. Dan sekarang, secara tiba-tiba, pemuda itu bertanya ke mana ia hendak pergi dan seolah baru teringat olehnya bahwa akhirnya perpisahan akan tiba juga. Ia harus berpisah dari pemuda ini yang bukan apa-apanya! Dan tiba-tiba saja hatinya terasa sedih bukan main. Sepasang matanya yang lebar itu memandang kepada Han Lin seperti seorang anak kecil yang dimarahi dan tidak tahu harus berkata apa. Dan perlahan-lahan, sepasang mata itu menjadi basah! Ia menahan perasaannya agar jangan sampai menangis di depan pemuda itu, akan tetapi hatinya terasa seperti diremas karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa ia harus berpisah dari pemuda ini. Dan dunia rasanya kiamat kalau ia harus berpisah dari Han Lin.
"Eh, Mei-moi, kenapa engkau diam saja" Ke mana engkau hendak pergi sekarang?"
"Ke... ke mana, ya?"
"Aih, adik Cin Mei, engkau ini bagaimana sih" Ditanya balas bertanya! Apakah engkau akan pulang ke rumah ibumu?"
"Ya, pulang ke rumah ibuku..."
"Atau engkau akan merantau, meluaskan pengalaman?"
"Ya, benar! Aku akan merantau meluaskan pengalamanku!" Han Lin memandang penuh perhatian. Heran dia melihat gadis yang biasanya tenang sekali menghadapi apa saja itu sekarang kelihatan seperti orang bingung, bahkan tidak tahu dengan pasti apa yang akan dilakukannya sekarang.
"Mei-moi, engkau kelihatan bingung. Kenapakah?" "Aku tidak tahu, Lin-ko. Aku... aku bahkan tidak tahu aku harus pergi ke mana sekarang. Aku... sudah terbiasa pergi mengikutimu saja..." gadis itu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Mei-moi, bagaimana mungkin kita pergi berdua" Ada waktu bertemu, ada waktu pula untuk berpisah. Engkau tidak mungkin terus bersamaku, Mei-moi."
"Kenapa tidak bisa, koko?"
"Tentu saja tidak bisa, karena engkau... karena aku..."
"Eh, bicaramu seperti teka-teki. Kenapa kita tidak dapat melakukan perjalanan bersama, Lin-ko" Kenapa kita harus berpisah?"
"Mei-moi, engkau ini aneh. Engkau seorang gadis terhormat, tidak baik melakukan perjalanan terus menerus bersama aku..."
"Apakah engkau bukan seorang laki-laki terhormat?"
"Bukan begitu, akan tetapi apa kata orang kalau melihat kita selalu bersama?" "Lin-ko, sekarang aku minta engkau bersikap dan menjawab dengan sejujurnya saja. Apakah engkau tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamaku" Jawablah, kalau engkau tidak suka, tentu saja aku tidak akan minta kepadamu untuk melakukan perajalanan bersama."
"Tentu saja aku suka, Cin Mei, akan tetapi ini akan merugikan nama baikmu. Ingat, engkau seorang gadis, dan aku, aku adalah seorang duda!"
"Ah, aku tahu pernikahanmu dengan mendiang Mulani. Engkau tidak bersungguhsungguh menikah dengannya, bahkan engkau tidak mencintanya, bukan?" Han Lin menghela napas panjang. "Sesungguhnyalah, dan Mulani tentu akan dapat memaafkan aku. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku... aku merasa tidak pantas mendampingimu, Cin Mei."
"Lin-ko, mengapa engkau berkata demikian" Aku... aku merasa bangga kalau aku boleh mendampingimu, Lin-ko." Han Lin memandang wajah gadis itu, dan Cin Mei juga memandangnya. Sepasang mata bertemu dan beradu, bertaut ketat seolah ada besi semberani yang menarik pandang mata mereka, lalu Han Lin melangkah dekat dan memegang kedua tangan gadis itu.
"Cin-moi, benarkah... benarkah apa yang kaukatakan ini, bukan sekedar hendak menghiburku saja?"
"Koko, engkau yang mengetahui bahwa aku adalah seorang yang tidak suka berbohong." "Kalau begitu... ah, Mei-moi, sejak pertama kali berjumpa denganmu, hatiku mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi selama ini, mengingat bahwa aku telah menikah, aku tidak berani mengharapkan, tidak berani menyatakan. Sekarang, kalau engkau tidak memandang aku sebagai seorang duda, aku berani menyatakan. Aku memang mengharapkan engkau selamanya mendampingiku, Meimoi, sebagai isteriku. Nah, sudah kuucapkan sekarang, kaalu engkau tersinggung dan marah, engkau boleh memaki aku, Mei-moi!"
Cin Mei menggenggam jari-jari tangan pemuda itu, mengangkat mukanya dan tersenyum, akan tetapi matanya berlinang air mata. "Koko, apakah engkau tidak melihat perasaanku melalui pandang mataku, kata-kataku dan sikapku kepadamu" Engkau tidak bertepuk tangan sebelah, koko..."
"Cin Mei...!" Han Lin mendekap kepala itu ke dadanya dan kebahagiaan memenuhi perasaan hatinya. Selama ini dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sedalamnya, dan sekarang, dia telah menemui cintanya, seorang gadis yang hebat, bukan saja cantik lahirnya, juga batinnya cantik sekali.
Sampai lama meraka berpelukan seperti lupa akan segala sesuatu, lupa akan waktu dan sekelilingnya. Kemudian, setelah sadar Han Lin lalu berkata, "Mei-moi, kalau begitu mari kuantar engkau pulang. Aku ingin bertemu dengan ibumu dan bagaimanapun juga, harus ada persetujuan ibumu kalau kita hendak hidup bersama sebagai suami isteri. Kalau ibumu sudah setuju, baru aku akan minta kepada para bibi dan pamanku untuk mengatur perjodohan kita ini."
"Baik, koko, dan aku yakin bahwa ibuku akan menyetujuinya, karena ibu amat menyayang kepadaku dan percaya kepadaku. Iapun tentu akan percaya kepadaku. Iapun tentu akan percaya bahwa pilihan hatiku adalah pria yang terbaik bagiku di dunia ini."
Han Lin mencium bibir yang mengeluarkan kata-kata yang indah baginya itu dan mereka lalu melanjutkan perjalanan. Wi Wi Siankouw, ibu Cin Mei, menjadi seorang pertapa di bukit Liong-san, dan hidup menyendiri sebagai seorang wanita petani dan pertapa.
Dapat dibayangkan betapa girang dan gembira hati wanita tua ini ketika melihat puterinya kembali dalam keadaan sehat. Akan tetapi matanya menatap tajam pemuda yang mendampingi puterinya itu. Cin Mei segera memperkenalkan.
"Ibu, ini adalah kakak Sia Han Lin, seorang... sahabat baikku. Dia ikut ke sini untuk kuperkenalkan kepadamu, ibu."
"Hemm, memperkenalkan seorang pemuda kepadaku berarti bahwa dia adalah pilihan hatimu, betulkah?" Wajah Cin Mei menjadi kemerahan dan Han Lin merasa heran dan aneh sekali melihat kini Cin Mei berubah kekanak-kanakan yang manja. Gadis itu lari merangkul ibunya dan menyembunyikan mukanya di pundak ibunya.
"Aihh, ibu...!"
Wi Wi Siankouw tertawa terkekeh dan nampaknya gembira sekali, akan tetapi ketika tawanya berhenti ia memandang kepada Han Lin dengan tajam.
"Tidak boleh sembarangan laki-laki menikahi puteriku. Dia harus seorang yang berhati mulia dan bijaksana."
"Ibu, Lin-ko adalah seorang yang paling bijaksana dan baik di seluruh dunia ini!" jawab Cin Mei manja.
"Dan dia harus memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi!"
"Ibu, aku sendiri tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Lin-koko. Ilmu silatnya tinggi, juga dia pandai ilmu sastera." "Aihh, tentu saka engkau memujinya setinggi langit karena dia pilihan hatimu. Akan tetapi aku belum merasa puas kalau tidak membuktikannya sendiri. Orang muda, eh, siapa namamu tadi?"


Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nama saya Sia Han Lin, locianpwe."
"Bagus! Sia Han Lin, apakah engkau mencinta puteriku Cin Mei" Jawab sejujurnya, aku tidak suka melihat orang berlika-liku."
"Benar, locianpwe. Saya mencinta adik Lie Cin Mei." "Calon suami Cin Mei haruslah seorang yang berilmu tinggi sehingga kelak dia akan mampu melindungi Cin Mei dan anak-anaknya. Maka engkau harus dapat menandingiku sampai lebih dari tiga puluh jurus! Kalau kurang dari tiga puluh jurus engkau kalah, berarti pinanganmu kutolak. Beranikah engkau?"
"Ibu...!" Cin Mei memrotes ibunya akan tetapi ibunya memandang kepadanya sedemikian rupa sehingga berdiam diri, dan diam-diam ia gembira sekali. Ibunya tentu tidak akan mengalahkan Han Lin sebelum tiga pluh jurus karena dengan menantang calon mantunya itu saja berarti ibunya sudah menerima dan menyetujui. Ibunya hanya ingin menguji Han Lin.
"Saya tidak berani melawan locianpwe, akan tetapi kalau locianpwe menghendaki untuk menguji kepandaian saya yang masih rendah dan memberi petunjuk, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih."
"Hemm, orang muda, engkau pandai bersopan santun dan merendahkan diri. Nah, aku akan mulai menyerangmu dengan kebutan, kau boleh menggunakan pedangmu untuk melindungi dirimu!"
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Wi Wi Siankouw mulai menyerang dengan kebutannya. Kebutan itu menyambar halus, akan tetapi di balik kelembutan dan kelemasan kebutan itu, tersembunyi tenaga yang dahsyat sekali. Han Lin mengelak dengan mudah dan menjaga jarak, kebutan menyambar lagi, kini berputar dan mengeluarkan sura bersiutan. Bertubi-tubi kebutan itu menyerangnya, kadang lemas dan lembut, kadang berubah kaku seperti bulu-bulunya terbuat dari kawat baja! Namun, Han Lin menggunakan kegesitannya mengelak dengan berlompatan dan ketika dia terdesak, diapun mulai bersilat dengan Khong-khi-ciang. Ketika tusukan jari-jarinya membuat bulu kebutan rontok, Wi Wi Siankouw mengeluarkan seruan kaget sekali. Barulah dia tahu bahwa pemuda ini memang benar memiliki ilmu yang aneh dan hebat sekali. Tangan yang kelihatannya kosong tidak bertenaga itu ternyata mampu membuat bulu kebutannya rontok. Ia menjadi gembira karena sudah lama tidak menemukan orang yang akan mampu menandinginya lebih dari tiga puluh jurus. Pemuda ini mampu menandinginya, bahkan sama sekali tidak pernah terdesak, pada hal pemuda ini melawannya dengan tangan kosong saja! Saking gembiranya, Wi Wi Siankouw sampai lupa bahwa ia sudah menyerang lebih dari tiga puluh jurus dan terus melanjutkan serangannya yang kini menjadi amat dahsyat karena ia mengerahkan seluruh tenaganya!
"Haiiiitttt...!" kembali kebutannya menyambar, kini menotok ke arah kedua mata lawan. Han Lin terpaksa melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan itu dan ketika tubuhnya menukik ke bawah, dia menggunakan kedua tangannya untuk merampas kebutan. Wi Wi Siankouw terpekik dan cepat menarik kebutannya yang hampir saja terampas.
"Empat puluh satu... empat puluh dua... eh, ibu, sudah empat puluh dua jurus!" teriak Cin Mei berulang-ulang. Akan tetapi Wi Wi Siankouw yang sedang bergembira memperoleh teman latihan yang sepadan, tidak menghiraukannya, dan kebutannya kini menusuk ke arah dada Han Lin seperti sebuah tongkat atau tombak.
Han Lin dengan Khong-khi-ciangnya menyambut. Kedua telapak tangannya menjepit ujung kebutan itu dari kanan kiri dan kini kebutan itu terjepit telapak tangannya, tidak dapat dilepaskan kembali biarpun pemiliknya sudah mengerahkan tenaga untuk membetonya.
Setelah berulang kali menarik tanpa hasil, barulah Han Lin melepaskan jepitan tangannya dan menjura, "Harap locianpwe suka maafkan saya dan terima kasih bahwa locianpwe bersikap lunak terhadap saya."
Wi Wi Siabkouw terbelalak. Jangankan mengalahkan dalam tiga puluh jurus, bahkan kalau dilanjutkan, ia yang akan kalah melawan calon mantunya ini. Tentu saja ia girang bukan main.
"Han Lin, ilmu ajaib apakah yang kaumainkan untuk melawanku tadi?"
Sekali ini Han Lin tidak berani berbohong. "Ilmu itu adalah ilmu Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong), locianpwe!" "Ahhhh" Itukah ilmu yang dinamakan Khong-khi-ciang" Pantas, pernah menggemparkan kolong langit. Bukankah ilmu itu anya dikuasai oleh seorang manusia ajaib yang dulu dikenal sebagai Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)?"
"Lojin adalah guru saya, locianpwe. Akan tetapi sayapun hanya mengenalnya sebagai Lojin saja."
"Engkau muridnya" Bagus sekali! Aih, Cin Mei, sejak kapan engkau begitu pandai memilih calon suami?"
"Aihhhh, ibu...!" Mereka bertiga bergembira dan terutama sekali Han Lin merasa berbahagia bahwa Ibu Cin Mei sudah dapat menerimanya dengan rela hati. Kini ia tinggal minta bantuan bibinya dan pamannya untk mengajukan pinangan resmi. Ketika dia berpamit, Cin Mei berkeras untuk ikut dengannya dan tentu saja Han Lin setuju sepenuhnya.
"Ibu, calon mantumu sudah datang memperkenalkan diri kepadamu, tidakkah sudah sepatutnya kalau akupun memperkenalkan diri kepada calon paman dan bibi mertuaku?"
Ibunya hanya tertawa dan karena ia tahu bahwa puterinya sedang tergila-gila itu tidak mau berpisah lagi dari calon suaminya, maka iapun memberi persetujuannya. Berangkatlah sepasang kekasih itu dengan penuh kebahagiaan.
"Si-moi, sekarang semua telah beres dengan memuaskan. Semua pemberontak jahat itu telah terbasmi habis dan Kaisar sekeluarganya selamat."
"Benar, Ki-ko, dan sekarang ini engkau hendak pergi ke mana?"
"Aku tidak pergi ke mana-mana, Si-moi, atau kalaupun aku pergi, aku akan pergi ke mana saja engkau pergi!" "Heii, apa-apaan ini" Kenapa begitu?" "Terus terang saja, Si-moi, setelah berkumpul beberapa lamanya denganmu, aku tidak bisa berpisah lagi darimu. Aku cinta padamu, Si-moi, dengarkah kau" Aku cinta
padamu!" "Ihh, suheng, eh... Ki-ko, kenapa tiba-tiba saja engkau berkata begitu" Bukankah dahulu engkau pernah mencinta sumoi Ji Kiang Bwe?" Wajah yang gagah itu menjadi muram. "Aih, sumoi, Si-moi, jangan ungkit-ungkit lagi barang lama yang sudah dipendam. Memang, dahulu aku pernah mencintanya, akan tetapi setelah ia menikah, cintaku menjadi sayang seorang kakak terhadap adiknya. Apakah engkau... cemburu?"
Leng Si tertawa. "Kenapa cemburu" Bukan hanya engkau saja yang pernah mencinta orang akan tetapi gagal karena cintamu bertepuk tangan sebelah. Akupun pernah mencinta orang yang akhirnya kuanggap sebagai adikku karena dia tidak membalas cintaku."
"Sia Han Lin, bukan?"
"Ehh, bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Ki-koko?"
"Mudah saja, aku seorang yang sudah berpengalaman. Melihat pertemuanmu dengan Han Lin, aku sudah menduganya. Kasihan engkau, Si-moi!"
"Dan engkau juga kasihan, Ki-ko. Tidak enak ya kalau cinta kita ditolak orang?" "Dan bagaimana sekarang" Kita sama-sama menjadi manusia putus cinta. Apakah sisa cinta kita masih ada untuk kita masing-masing" Cinta yang masih ada di hatiku kuserahkan kepadamu, Si-moi, tentu saja kalau engkau sudi menerimanya. Aku ngeri kalau membayangkan bahwa aku harus gagal untuk kedua kalinya."
"Katanya engkau sudah berpengalaman, apakah engkau tidak bisa menjenguk isi hatiku, koko?" San Ki tersenyum dan dia melangkah maju dan merangkul Leng Si, yang tidka mengelak. "Karena sudah dapat menduga bahwa engkaupun mencintaku, atau setidaknya tertarik kepadaku, maka aku berani menyatakan cintaku. Kalau aku tidak menduganya begitu, sampai matipun mana aku berani mengaku cinta?"
"Ihh, engkau memang pandai, Ki-ko."
Dua orang itu segera terlelap dalam keasyikan yang mesra. Mereka seperti tanah kering yang tertimpa hujan, atau seperti bunga layu yang diselimuti embun. Cinta memang indah sekali. Bukan cinta kalau mendatangkan duka. Yang mendatangkan duka itu adalah nafsu yang suka menyelinap ke dalam cinta dan membuat cinta itu menjadi satang duka. Cinta menimbulkan kemesraan, menimbulkan kasih sayang, saling mengasihi, saling menyayangi, saling mengasihani. Cinta kasih murni membuat orang selalu ingin melihat yang dikasihi itu bahagia. Akan tetapi begitu nafsu menyelonong masuk seperti pencuri yang ulung, maka timbullah cemburu, timbullah ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan dan selanjutnya yang hanya menimbulkan duka.
Perjodohan antara Leng Si dan San Ki berjalan dengan mulus dan tidak mengalami hambatan. Keluarga Cu Kiat Hin yang kini memperoleh lagi kedudukannya sebagai pejabat tinggi bagian perpustakaan, tidak berkeberatan sama sekali, bahkan mereka beruntung sekali karena pemuda yang akan menjadi mantu mereka adalah seorang di antara para pendekar yang telah menyelamatkan kerajaan. Juga dari guru kedua pihak, tentu saja tidak banyak masalah lagi. Wi Wi Siankouw adalah suci Pek Mau Siankouw tentu saja keduanya setuju sekali kalau murid masing-masing saling berjodoh.
Kian Bu melakukan perjalanan cepat untuk kembali ke Kim-kok-pang. Dia sudah merasa rindu sekali kepada isterinya, apa lagi ditambah perasaan menyesal bahwa dia telah mencurigai isterinya karena cemburu yang amat besar. Dia seperti telah gila oleh cemburu dan baru sekarang dia sadar bahwa semua kecemburuannya itu tidak berdasar dan tidak benar. Isterinya adalah seorang wanita terhormat dan tidak pernah melakukan sesuatu yang menyeleweng seperti yang dengan tega hati dia tuduhkan.
Baru saja tiba di kaki Kim-kok-pang, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di depan dan ketika dia memandang, ternyata yang datang itu adalah isterinya! Isterinya yang baru saja pulang setelah tidak berhasil mencarinya!
"Bwe-moi...!" serunya memanggil.
Ji Kiang Bwe terkejut mendengar panggilan itu dan cepat ia berhenti melangkah dan menoleh. Kian Bu sudah tiba di depannya dan suaminya ini segera memeluknya.
"Bwe-moi...!" "Kau...?" Kiang Bwe mendorong pundak suaminya sehingga rangkulannya terlepas. "Kau... datang hendak menghinaku lagi" Menuduhku yang bukan-bukan" Lebih baik engkau bunuh saka aku dari pada tuduhan yang keji itu kaulontarkan...!" Kiang Bwe sudah menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Souw Kian Bu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ji Kiang Bwe. "Bwe-moi, kau makilah aku, pukullah aku. Aku memang bersalah... aku berdosa kepadamu... ah, betapa bodohku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Bwe-moi, maukah engkau mengampuni aku..." suara Souw Kian Bu terendat-sendat karena terharu dan menyesal, juga kasihan sekali kepada isterinya yang tidak berdosa dan yang dituduhnya secara keji.
"Aku kautuduh bertindak hina, aku... aku malah pergi mencarimu... sampai berbulan-bulan... tanpa hasil, aku pulang dengan hati kosong, dengan pikiran hampir gila... kau... kau..." tangisnya semakin menjadi karena hati yang sakit sekali.
Kian Bu memeluk kedua kaki isterinya. "Bwe-moi, ampunkan aku, Bwe-moi..." Kiang Bwe lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul suaminya dengan penuh kasih sayang. "Suamiku, jangan begitu. Aku... aku tidak berharga untuk kaumintai ampun. Engkau... tidak bersalah, dan sudah semestinya engkau cemburu, aku yang bersalah..."
"Bwe-moi..." "Bu-koko...!" keduanya berangkulan, bertangisan, berciuman karena sesungguhnya mereka saling mencinta. Hanya cinta itu kecolongan dengan masuknya nafsu sebagai cemburu sehingga terjadilah hal-hal yang mendukakan hati. Cinta antara kedua pasangan baru terjadi kalau kedua pihak menhendaki. Cinta harus datang dari kedua pihak, dan tentu saja kedua pihak harus saling percaya. Karena cinta berarti pula setia. Cinta itu abadi, tidak dapat berubah, yang berubah itu nafsu karena nafsu itu membawa kebosanan. Dan cinta bukan berarti sama dengan nafsu berahi, walaupun cinta antara suami isteri memang sudah semestinya mengandung berahi, demi keturunan mereka. Cinta menuntut kebahagiaan bukan untuk diri pribadi, melainkan untuk orang yang dicinta.
Pejodohan antara Ting Bun dan Yap Kiok Hwi, Ting Bu denga Can Bi Lan, juga berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Pernikahan dua saudara kembar ini bahkan dirayakan di Bu-tong-pai, dihadiri oleh semua murid Bu-tong-pai, juga oleh banyak tokoh dunia persilatan.
Akan tetapi, karena persamaan antara kedua orang pemuda itu sangat sukar dibedakan, maka isteri masing-masing menuntut agar mereka mengenakan pakaian dengan warna yang berbeda sehingga tidak akan ada bahaya "tertukar".
Demikianlah, kisah ini ditutup dengan kebahagiaan semua pihak yang membela kebenaran, dan dengan kehancuran mereka yang melakukan penyelewengan dalam kehidupan dna bertindak jahat. Bagaimanapun juga, akhirnya kebenaran dan keadilan akan tetap unggul, hanya tinggal waktunya saja yang menentukan. Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua.
TAMAT Lereng Lawu, awal Oktober 1986
Kampung Setan 3 Elang Pemburu Karya Gu Long Pendekar Jembel 15

Cari Blog Ini