Ceritasilat Novel Online

Pedang Tetesan Air Mata 1

Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bagian 1


" Jilid ke 1 PEDANG TETESAN AIR MATA Ying Xiong Wu Lei / A Hero Without Tears Karya: Khu Lung - Diceritakan oleh: Siau-Siau Prolog Sebuah bukit. Sebuah karang. Sebuah sumber mata air. Sebatang pohon cemara. Seonggokan api. Sepoci teh. Seorang kakek dan seorang anak muda. "Senjata apa yang paling menakutkan di dunia ini?", tanya sang pemuda kepada si kakek, "apakah pisau terbangnya Siau-li?" "Dulu mungkin, tapi sekarang tidak." "Mengapa" "Sebab, sejak wafatnya Siau-li Tham-hoa, senjata macam itu telah punah," si kakek menghela napas sedih, "mulai sekarang tiada manusia seperti Siau-li Tham-hoa lagi di dunia ini dan mustahil akan muncul senjata macam pisau terbangnya." Pemuda itu mengangkat kepalanya, memandang bukit di kejauhan sana, awan putih menyelimuti sekitar puncaknya dengan tebal. "Lantas senjata apa yang paling menakutkan di dunia ini sekarang?", kembali pemuda itu bertanya, "apakah pedang antik Lan-san-ku-kiam milik Lan-toa-sianseng?" "Bukan!" "Apakah gurdi raksasa milik Sin-lok-ong dari laut selatan?" "Bukan!" "Gada Lok-jit di Kwan Tong?" "Juga bukan!"
"Apakah golok pengiring rembulan yang pernah dipakai untuk membasmi delapan penyamun ulung di jalan raya Han-ciam tiga tahun berselang?" "Bukan!" "Aaaahhh......, teringat sekarang," pemuda itu berseru girang, "pasti senjata kaitan milik Nyo Keng yaaa, pasti senjata kaitan milik Nyo Keng" "Juga bukan," si kakek menggeleng, "walaupun senjata-senjata yang kau sebutkan tadi menakutkan semua, namun bukan termasuk senjata yang paling menakutkan." "Lantas senjata apa yang paling menakutkan?" "Sebuah kotak" "Sebuah kotak?" pemuda itu berseru kaget, "jadi senjata yang paling menakutkan di dunia dewasa ini adalah sebuah kotak?" "Benar!" ooo)O(ooo Bab-1. Sebuah Kotak Seorang manusia, sebuah kotak. Seorang manusia yang sederhana, pendiam, membawa sebuah kotak kayu yang sederhana dan kuno, berjalan di bawah cahaya matahari senja, memasuki kota Tiang-an. ooo)O(ooo Bulan satu tanggal lima belas. Kota Tiang-an. Cho Tang-lay menutup pintu, meninggalkan badai salju yang tak pernah berhenti melanda kota Tiang-an di luar pintu, dan melepaskan mantel bulunya untuk digantung pada rak baju di tepi pintu. Sewaktu membalikkan badan, di tangan kanannya telah membawa sebuah jepitan api dan menambah kayu ke dalam tungku pemanas. Di tepi tungku pemanas, terletak sebuah meja, di atas meja terdapat botol-botol kristal yang berisikan cairan, arak Persia kegemarannya. Ia cukup maju dua langkah untuk duduk di kursi kebesarannya dan menuang secawan arak. Ia gemar warna merah tua. Ia gemar pakaian indah, arak wangi dan perempuan cantik. Ia memang pandai mencari kesenangan. Terhadap setiap persoalan ia selalu memilih, setiap pekerjaannya selalu diatur dengan rapi dan cermat, ia segan membuang tenaga dengan percuma, iapun tak ingin teledor, termasuk dalam kehidupannya sehari-hari.
Itulah Cho Tang-lay. Ia dapat hidup hingga kini, mungkin sebagian besar disebabkan dia adalah manusia type demikian. Cho Tang-lay telah duduk, mencicipi araknya yang wangi. Bangunan rumah yang indah dan hangat, arak yang manis dan harum, telah mengusir semua hawa dingin dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa sangat letih. Untuk mempersiapkan upacara besar malam nanti, selama dua hari belakangan ini ia sudah mengacaukan kebiasaan hidupnya yang selalu dipegang ketat selama ini. Ia tak ingin terjadinya sedikit kesalahanpun dalam peristiwa ini, sebab kesalahan yang bagaimanapun kecilnya, mungkin akan menciptakan suatu kesalahan besar yang selamanya tak dapat diperbaiki, kalau sampai demikian, bukan hanya dia yang bakal menyesal sepanjang masa, majikannyapun akan turut terseret, bahkan situasi dalam dunia persilatanpun mungkin akan berubah akibat dari kesalahan tersebut. Yang paling penting, ia tidak boleh membiarkan nama kedudukan Suma Cau-kun yang sedang berjaya bagaikan matahari di tengah angkasa mengalami kerugian atau pukulan barang sekecilpun. Bagi seorang manusia yang lambat laun sudah berubah menjadi lambang keberhasilan bagi umat persilatan, dia memang tak boleh melakukan kegagalan, dia harus berhasil dalam pekerjaan apapun. Ada dua hal yang tak bisa ditahan oleh Cho Tang-lay sepanjang hidupnya, yakni "kesalahan' dan 'kegagalan'. ooo)O(ooo Suma Cau-kun memang tak pernah gagal. Sejak berumur delapan belas tahun terjun ke dalam dunia persilatan, sudah tiga puluh tiga kali pertempuran besar maupun kecil yang dialaminya, hingga kini belum pernah ia menderita kegagalan. Dia gagah, perkasa, ganteng, kekar dan berwajah cerah, dengan senyuman manis selalu menghiasi bibirnya, bahkan musuhpun harus mengakui bahwa dia memang seorang lelaki gagah, seorang lelaki yang tak akan kekurangan wanita. Tapi ia selalu setia, baik terhadap istrinya, putra-putrinya maupun terhadap sahabatnya, belum pernah ia percikkan setitik nama jelekpun kepada mereka. Kesemuanya ini masih belum terhitung hal-hal yang patut dia banggakan. Yang paling membanggakan dirinya sepanjang hidupnya kini adalah suatu perbuatannya pada dua tahun berselang.
Dengan ilmu silat, kecerdasan serta kepandaiannya bergaul, ia berhasil membujuk tiga puluh sembilan jagoan kaum rimba hijau yang selalu beroperasi di sekitar daerah dua tepi sungai besar hingga wilayah Kwang-tong untuk melepaskan jalan sesat dan kembali ke jalan yang benar. Bahkan ia berhasil pula mengorganisir mereka untuk membentuk sebuah piau-kiok (perusahaan ekspedisi) yang terbesar dalam dunia persilatan dewasa ini dan menerima pengawalan barang maupun jiwa para pedagang dengan biaya terendah. Di bawah perlindungan panji perusahaan mereka yang berhuruf "Toa" belum pernah terjadi suatu kesalahan atau musibah yang menimpa barang kawalan mereka. Hasil semacam ini boleh dibilang merupakan hasil karya terbesar yang belum pernah terjadi selama ini dalam dunia persilatan, karena hasil tersebut hanya bisa diperoleh dengan semangat yang membaja dan cucuran air keringat serta darah. Kini, Suma Cau-kun baru berusia tiga puluh enam tahun, tapi lambat laun ia sudah berubah menjadi perlambang bagi umat persilatan, lambang seorang pendekar yang tak pernah terkalahkan. Hanya dia pribadi dan Cho Tang-lay yang mengerti, dengan cara apakah kedudukan tersebut berhasil mereka ciptakan. ooo)O(ooo Ketika secawan arak habis diteguk, Cho Tang-lay telah merenungkan sekali lagi semua rencananya yang matang tentang upacara besar yang akan berlangsung malam nanti. Arak ini diteguknya amat lambat, tapi jalan pemikirannya berputar dengan cepat. Hari ini adalah hari pertama Suma Cau-kun membuka pintu menerima murid, ditinjau dari segi manapun peristiwa tersebut boleh dibilang merupakan suatu peristiwa besar yang amat menggemparkan dunia persilatan. Yang paling mengejutkan adalah murid yang akan diterima Suma Cau-kun kali ini ternyata orang itu bukan lain adalah Nyo Kian yang belum sebulan berselang mengkhianati Hiong-say-tong di Tong-ciu. Hiong-say-tong merupakan satu-satunya organisasi di antara empat puluh aliran di utara yang tidak bergabung dengan Suma Cau-kun, tapi justru merupakan organisasi dengan pengaruh yang terbesar dan kemampuan yang terhebat. Sebetulnya Nyo Kian termasuk salah satu di antara empat panglima utama yang paling di sayang oleh Cu tongcu dari Hiong-say-tong. Siapapun tak pernah menyangka kalau Nyo Kian bakal mengkhianati Hiong-say-tong, tapi setiap orang tahu, keesokan harinya sepeninggal Nyo Kian, pihak Hiong-say-tong yang dipimpin ketuanya Cu Bong telah menyebar Bu-lim-tiap (Surat undangan persilatan) sambil menyatakan sikap: 'Barang siapa berani menampung Nyo Kian, entah dia perguruan atau partai manapun, maka ia akan dianggap sebagai musuh besar Hiong-say-tong, serta akan menerima pembalasan yang paling keji dari pihak Hiong-say-tong' Sekarang bukan saja Suma Cau-kun telah menampung Nyo Kian, bahkan secara terang- terangan menerimanya sebagai murid kepala.
ooo)O(ooo Pihak Hiong-say-tong memang tidak menggabungkan diri ke dalam kelompok biro ekspedisi yang dipimpin Suma Cau-kun, akan tetapi mereka pun tak pernah bermusuhan secara langsung atau mengganggu barang kawalan mereka. Si singa jantan Cu Bong termasuk seorang manusia yang licik berakal bulus, keji, tak berperasaan dan sukar dihadapi, lagi pula yang diucapkan selalu dilaksanakan. Bila ia pernah berkata akan menghadapi seseorang dengan cara apapun, maka siasat busuk atau perangkap keji yang berbentuk apapun dapat dipergunakan olehnya. Untuk mencapai tujuannya itu, biar dia mesti menukarnya dengan tiga ribu delapan ratus butir kepala anggota Hiong-say-tong pun ia tak segan-segan untuk melakukannya. Perempuan yang paling disayang dan paling dihormati sepanjang hidupnya bersama adalah Hoa Wu. Hoa Wu selain cantik, tariannya pun sangat indah. Ti Kim-ling, seorang tokoh silat yang mengerti menikmati perempuan di dunia saat itu tak mampu berkata sepatah katapun setelah menyaksikan tarian dari Hoa Wu, jauh sebelum dia tewas di ujung senjata kaitan Li-piat-koan. Ketika orang lain bertanya bagaimana perasaannya, lewat lama...... lama kemudian ia baru menghela napas seraya menjawab: "Aku tak bisa memberi komentar apa-apa, belum pernah kuduga kalau dari tubuh manusia biasa bisa kujumpai sepasang kaki yang begitu indah, aku sendiripun belum pernah melihatnya." ooo)O(ooo Setiap umat persilatan yakin dan percaya dalam keadaan dan situasi seperti apapun, Cu Bong tak akan melepaskan Nyo Kian dengan begitu saja. Walaupun untuk sementara ini ia belum berani mengusik Suma Cau-kun, tapi yang pasti Nyo Kian pasti akan berusaha dilenyapkannya lebih dulu. Namun berbeda sekali dengan jalan pemikiran Cho Tang-lay. Ia percaya dan yakin, dalam keadaan dan situasi apapun, kali ini jangan harap Cu Bong bisa mengusik Nyo Kian barang seujung rambutpun. Ia yakin akan hal ini. ooo)O(ooo Upacara kebesaran yang diselenggarakan kali ini terbuka untuk umum, setiap orang yang menerima surat undangan dipersilahkan langsung masuk ke ruang dalam serta menjadi tamu agungnya Suma Cau-kun. Sebaliknya bagi mereka yang tidak menerima surat undangan, merekapun boleh memasuki halaman dan menonton keramaian dari luar ruang utama. Di antara anggota-anggota Hiong-say-tong, banyak terdapat juga jago-jago tangguh yang sudah berpengalaman luas dalam berbagai pertempuran.
Pembunuh-pembunuh bayaran yang bisa membunuh orang di bawah pengawasan yang ketatpun tak sedikit jumlahnya. Orang-orang semacam ini bisa jadi akan berdatangan pula ke sana malam itu, membaurkan diri di antara orang banyak dan menunggu datangnya kesempatan baik untuk membunuh Nyoo Kian. Dalam pelaksanaan upacara kebesaran tersebut tentu saja kesempatan semacam ini tak akan banyak. Tapi Cho Tang-lay percaya, upacara masih dapat diselenggarakan dengan lancar dan sukses. Nyo Kian tetap tidak akan menderita cedera barang sedikitpun. Karena ia telah memperhatikan setiap situasi yang mungkin bisa dihadapi, iapun sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal diambil pihak lawan termasuk orang- orang yang mungkin dikirim untuk membunuh Nyo Kian. Orang-orang yang dicurigai hampir boleh dibilang sudah berada di bawah pengawasannya yang ketat. Gara-gara persoalan ini, dia sudah menggerakkan seratus delapan puluh enam orang jago kelas satu dari tiga puluh sembilan piau-kiok (perusahaan ekspedisi) pimpinannya. Setiap jago yang diturunkan dalam peristiwa ini berkemampuan untuk menghadapi dua puluh delapan orang jago lawan. Cho Tang-lay membagi mereka menjadi delapan kelompok, setiap kelompok mampu untuk menghadapi satu arah. Tapi di antaranya terdapat satu kelompok yang dibentuk secara khusus dengan orang-orang pilihan hanya untuk dipersiapkan menghadapi tiga orang saja. ooo)O(ooo "Siapakah ketiga orang itu?" Pagi tadi Suma Cau-kun telah mengajukan pertanyaan ini kepada Cho Tang-lay. "Mengapa kau persiapkan satu kelompok manusia untuk menghadapi mereka?" Cho Tang-lay cukup menyebutkan nama dari dua orang untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Sebab di antara ke tiga ini terdapat Han Ciang dan Bok Ki (Ayam Kayu)!" Waktu itu Suma Cau-kun sedang sarapan. Dia adalah seorang lelaki yang bertubuh kekar, hanya hidangan yang kaya akan gizi dapat menunjang kekuatan tubuhnya. Menu sarapannya hari ini adalah sepotong daging sapi yang tidak berbobot tiga kati di tambah sepuluh butir telur dan sejumlah besar sari buah. Daging sapi itu dipanggang dengan arang, di atasnya dibubuhi kecap dan bumbu secukupnya. Daging panggang yang amat lezat.
Menu seperti ini termasuk salah satu menu kegemarannya, namun setelah mendengar kedua nama yang disebut Cho Tang-lay barusan, ia segera meletakkan kembali pisau lengkung buatan Persia yang sedang dipakai untuk memotong daging itu dan mengawasi wajah Cho Tang-lay dengan sorot mata setajam sembilu. "Han Ciang dan Bok Ki pun telah datang?" "Benar!" "Dahulu kau pernah bersua dengan kedua orang ini?" "Belum!" sahut Cho Tang-lay hambar, "aku yakin belum pernah ada orang yang pernah bersua dengan mereka." Nama besar mereka hampir diketahui sebagian besar orang persilatan, tapi amat jarang yang pernah bersua dengan kedua orang itu. Han Ciang seperti juga Nyo Kian, termasuk panglima-panglima kesayangan pihak Cu Bong si Singa Jantan, ia merupakan orang yang paling dipercaya, tapi terhitung pula manusia yang paling berbahaya. Cu Bong jarang sekali membiarkan mereka meninggalkan sisi tubuhnya. Bok Ki (Si Ayam Kayu) jauh lebih berbahaya ketimbang Han Ciang. Ia tak punya rumah, tak punya rumah kediaman yang pasti, juga tidak mempunyai cara hidup yang tetap, oleh sebab itu siapapun tak dapat menemukan dirinya. Tapi seandainya ada orang membutuhkannya dan iapun beranggapan dirinya membutuhkan orang ini, maka dia akan muncul secara tiba-tiba di hadapan orang itu. Yang ia butuhkan biasanya adalah intan permata dan emas murni dalam jumlah besar dari orang lain. Sebaliknya yang dibutuhkan orang lain dari dirinya biasanya adalah pisau terbang berantai emas serta dua bilah goloknya yang tak pernah berpisah dari tangannya. Sebilah golok panjang dan sebilah golok pendek. Bila dia sedang menggorok leher orang dengan goloknya, maka ini akan dilakukan sama hapalnya dengan seorang petani sedang mengarit rumput atau ilalang. Bila dia sedang menjerat leher orang dengan tali, maka hal tersebut akan dilakukan seluwes seorang lelaki romantis yang sedang menghadiahkan kalung mata rantai ke atas leher kekasihnya. Tentu saja semua perbuatannya itu membutuhkan imbalan jasa, bila imbalan yang kau tawarkan tidak dapat memuaskan hatinya, biar kau berlutut sambil memohon kepadanya, tak nanti dia akan membunuh seekor semutpun bagimu. Barang siapa menghendaki jasanya, maka dia harus membayar dulu sejumlah balas jasa yang dapat memuaskan hatinya. Kecuali satu orang karena sepanjang hidupnya Bok Ki pernah berhutang budi kepadanya. Orang inilah yang tak lain adalah Cu Bong si Singa Jantan.
ooo)O(ooo Pisau lengkung bertatahkan batu pualam sudah diletakkan kembali ke baki kayu, mata pisau masih ternoda oleh minyak daging yang tebal. Suma Cau-kun menyeka mata pisau tersebut dengan secarik handuk hingga bersih dan berkilat, lalu dia baru bertanya kepada Cho Tang-lay. "Kau belum pernah bertemu dengan mereka, darimana kau bisa tahu bahwa mereka telah datang?" "Aku tahu," sahut Cho Tang-lay hambar, "karena aku tahu, oleh sebab itu aku tahu." Jawaban apa ini" Pada hakekatnya jawaban semacam ini tak bisa dianggap sebuah jawaban, siapapun tak akan merasa puas oleh jawaban semacam itu. Tapi justru Suma Cau-kun merasa puas sekali. Sebab jawaban itu diutarakan sendiri oleh Cho Tang-lay, ia percaya dengan daya kemampuan Cho Tang-lay di dalam menganalisa sesuatu, seperti ia percaya kalau pisau di atas baki kayu itu dapat dipakai untuk mengiris daging. Tapi sorot matanya tiba-tiba memancarkan suatu perubahan yang sangat aneh, tiba-tiba mengucapkan perkataan yang sangat aneh. "Keliru", dia berkata, "kali ini Cu Bong keliru." "Mengapa?" "Sekarang apakah Han Ciang dan Bok Ki sudah sampai di tempat ini?", kembali Suma Cau- kun bertanya. "Benar!" "Dapatkah mereka tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup?" "Tidak dapat!" "Bukankah mereka amat berguna bagi Cu Bong?" "Benar!" "Mungkinkah kau lakukan suatu perbuatan yang membiarkan dua manusia yang amat berguna untuk menghantar kematian?", tanya Suma Cau-kun lebih jauh, "mungkinkah kau lakukan hal seperti itu?" "Tidak mungkin!" Suma Cau-kun segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaahhhh........ haaahhhhhhh...... haaaahhhhh..... oleh sebab itu Cu Bong keliru, ia jarang melakukan kekeliruan, tapi kali ini ia keliru besar."
Cho Tang-lay tidak tertawa, menanti hingga Suma Cau-kun selesai tertawa, pelan-pelan ia baru berkata: "Cu Bong tidak keliru" "Oya?" "Ia menyuruh mereka datang kemari bukanlah suruh mereka menghantar kematian.", kata Cho Tang-lay. "Lantas apa yang harus mereka lakukan di sini?" "Sebagai kedok," sahut Cho Tang-lay, "Han Ciang dan Bok Ki tak lebih hanya sebagai kedok." "Mengapa?" "Karena orang yang benar-benar akan membunuh Nyo Kian bukan mereka, melainkan orang lain, seandainya kita hanya berjaga-jaga terhadap mereka, maka orang ke tiga akan lebih gampang menunaikan tugasnya......" "Siapakah orang ini?" "Seorang pemuda yang memakai baju kasar dengan membawa sebilah pedang, ia berdiam di rumah penginapan kecil yang murahan, setiap kali bersantap hanya memesan semangkuk mie di masak kuah kol hijau." Cho Tang-lay menerangkan, "ia sudah tiga hari sampai di sini, tapi kecuali keluar rumah untuk makan mie, hampir boleh dibilang tak pernah melangkah keluar dari pintu kamarnya." "Apa yang dia lakukan dengan mengurung diri di dalam rumah kecil yang kecuali kutu busuk, apapun tiada itu" "Siapa tahu?" "Darimana dia datang?" "Entahlah!" "Ilmu pedang apa yang dipelajari" Hebatkah kepandaian ilmu silatnya....?" "Entahlah!" Tiba-tiba saja kelopak mata Suma Cau-kun berkerut kencang. Perkenalannya dengan Cho Tang-lay sudah berlangsung dua puluhan tahun, sejak dari lumpur kesulitan dan kemiskinan hingga merangkak ke kedudukan hari ini. Tiada orang yang lebih memahami watak Cho Tang-lay daripada dirinya, juga tiada orang yang lebih memahami tentang dirinya daripada Cho Tang-lay. Ia tak menyangka kalau ucapan 'entahlah' bisa muncul pula dari mulut Cho Tang-lay. Bila Cho Tang-lay hendak menyelidiki seseorang, paling banter dia hanya membutuhkan waktu selama tiga sampai lima jam untuk mengetahui asal usul orang itu, latar belakang kehidupannya, kebiasaannya serta aliran ilmu silat yang dimilikinya. Bahkan iapun akan melengkapi pula dengan keterangan darimana ia berasal dan hendak kemana dia akan pergi.
Dalam melakukan pekerjaan seperti ini, bukan saja dia sangat berpengalaman, bahkan iapun mempunyai akal, mempunyai banyak cara untuk melaksanakannya, setiap cara yang dimilikinya semuanya manjur. Cara-cara tersebut diketahui pula oleh Suma Cau-kun. "Ia berdiam di rumah penginapan murahan, mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan makan mie kuah sayur yang murah," kata Suma Cau-kun kemudian, "ditinjau dari beberapa hal ini, paling tidak kau harus dapat melihat bahwa dia bukan seorang manusia yang terlalu berhasil, asal- usulnyapun tentu tidak terlalu baik." "Seharusnya memang demikian, tapi pemuda ini teristimewa." "Mengapa?" "Sebab kewibawaannya," Cho Tang-lay menerangkan, "ketika kujumpai dia, meski ia sedang makan semangkuk mie kuah di rumah makan murahan yang berdesakan dengan para kuli dan pendorong kereta, namun gaya maupun gerak-geriknya justru menyerupai seorang mahasiswa yang lulus ujian dan sedang menghadiri perjamuan mewah yang diselenggarakan oleh Sri Baginda Kaisar. Meski hanya mengenakan pakaian dari bahan kasar, namun seolah-olah mengenakan bulu musang yang tak ternilai harganya." "Mungkin ia memang sengaja berlagak demikian?" "Sikap seperti ini tak mungkin bisa diperlihatkan orang biasa, hanya seorang manusia yang terlalu percaya dengan kemampuan sendiri baru akan bersikap begini, belum pernah kusaksikan manusia yang begitu percaya pada diri sendiri macam ini." Mencorong sinar tajam dari balik mata Suma Cau-kun, lambat-laun ia mulai ketarik dengan pemuda tersebut. Belum pernah ia saksikan Cho Tang-lay menilai amat tinggi seseorang seperti apa yang dilakukannya sekarang. "Nama yang digunakan olehnya dalam rumah penginapan itu adalah Li Hui-seng, tapi aku yakin nama tersebut pasti palsu," Cho Tang-lay kembali berkata. "Darimana kau tahu kalau palsu?" "Sebab aku melihat sendiri ia menulis namanya di meja kasir, tulisannya sih bagus, Cuma gaya tulisannya kaku. Bagi seseorang yang pandai menulis, mustahil dia akan menulis namanya dengan gaya tulisan yang kaku." "Dengan dialek darimana ia berbicara?" "Aku belum pernah berbicara dengannya, tapi sudah kutanyakan hal ini kepada pemilik rumah penginapan itu." "Apa dia bilang?" "Dahulu ia pernah menjadi seorang Siang-cu-jiu dari suatu piau-kiok (biro ekspedisi), banyak tempat yang telah ia kunjungi dan ia menguasai tujuh delapan macam dialek, tapi ia tak dapat mendengar darimanakah asal dari tamu she Li ini." "Mengapa?"
"Sebab Li sianseng inipun pandai menggunakan tujuh delapan macam dialek, bahkan setiap macam dialek yang dikuasainya tidak lebih jelek darinya." "Bagaimana dengan pakaian yang dikenakannya?" Seringkali dari pakaian yang dikenakan seseorang pun dapat dilihat banyak keterangan. Bahan yang dipakai untuk membuat pakaian berbeda, meski sama kain belacu, jenisnya pun sangat banyak, pemintalan setiap daerah berbeda-beda, hasil kapas tiap daerah pun tak sama. Untuk membedakan dalam hal ini, Cho Tang-lay pun terhitung seorang ahli. "Aku percaya kau pasti sudah melihat pakaiannya, apa yang berhasil kau lihat?" tanya Suma Cau-kun. "Apapun tak berhasil kulihat," kata Cho Tang-lay, "belum pernah kulihat kain belacu jenis tersebut, bahkan dengan benang apakah pakaiannya dijahitpun sama sekali tidak kuketahui." Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Aku percaya kain itu pasti hasil pemintalannya sendiri, pakaian itupun jahitannya sendiri, bahkan kapas yang dipakai sebagai bahanpun ditanam di suatu tempat yang istimewa, mungkin kita berdua belum pernah berkunjung ke tempat tersebut." Mereka turun ke arena dunia persilatan bersama-sama, menjelajahi kolong langit bersama- sama, tempat yang pernah dikunjungi Cho Tang-lay tentu pernah dikunjungi pula oleh Suma Cau- kun. Sambil tertawa getir Suma Cau-kun berkata: "Kalau kita saja tak pernah berkunjung ke situ, mungkin orang yang pernah berkunjung ke situ tak akan terlalu banyak." "Akupun tidak melihat pedangnya," Cho Tang-lay kembali berkata, "pedangnya selalu terbungkus dibalik kain tebal, bungkusan itu selalu dibawa kemanapun dia pergi." "Samakah bahan kain yang dipakai untuk membungkus pedangnya itu dengan bahan pakaiannya?" "Sama seratus persen" Tiba-tiba Suma Cau-kun tertawa. "Tampaknya Li sianseng memang seorang manusia aneh, seandainya ia berniat membunuhku, suasana pada malam nanti pasti akan bertambah meriah." ooo)O(ooo Senja baru saja menjelang tiba. Ruangan sebuah warung makan kecil penuh diliputi bau harum minyak babi cah sawi, bau busuk keringat para penghela kereta serta bau pedas arak, selada dan cabe yang bercampur aduk menjadi satu menciptakan semacam bau yang aneh.
Siau-ko menyukai bau semacam ini. Ia menyukai bau harum pohon dan dedaunan di puncak bukit yang terhembus angin dingin, namun diapun menggemari bau-bauan semacam ini...... Ia suka kelembutan dan keagungan para sastrawan, seniman dan orang-orang kenamaan, tapi diapun menyukai bau busuk para pekerja kasar yang berpenghasilan kecil, bau lagi kasar ini. Pokoknya ia menyukai makhluk yang bernama Manusia. Karena sudah lama ia hidup menyendiri selain gunung, awan, air terjun dan cemara, ia jarang bertemu manusia. Hingga tiga bulan berselang, ia baru kembali ke dunia ramai, dalam tiga bulan yang singkat ia telah membunuh empat orang. Ke empat orang ini rata-rata merupakan pemimpin suatu wilayah tertentu yang ternama dan berkedudukan luar biasa, empat orang yang meski pantas dibunuh namun tak mungkin bakal mampus. Ia suka manusia, tapi ia harus membunuh mereka. Ia tidak senang membunuh manusia, tapi ia harus membunuh orang-orang itu. Banyak persoalan di dunia ini memang selalu demikian, membuat kau tiada pilihan lain. ooo)O(ooo Tiang-an adalah sebuah kota kuno yang megah, ramai dan penuh dengan aneka cerita dan catatan sejarah yang luar biasa. Tapi Siau-ko bukan datang lantaran persoalan ini. Siau-ko datang dikarenakan seseorang....... Suma Cau-kun, si pahlawan yang tak pernah terkalahkan. Ia datang membawa pedangnya dan pedang tersebut kini berada di sisi tangannya selalu dan selamanya berada di sisi tangannya. Pedang tersebut merupakan pedang yang dibungkus dengan kain kasar. Jarang sekali ada yang dapat melihat pedang ini. Sejak pedang tersebut ditempa, sedikit sekali yang dapat melihatnya. Pedang itu memang bukan barang tontonan. Siau-ko tahu sudah ada orang yang mulai menaruh perhatian kepadanya. Hari kedua setibanya dia di sini, segera diketahui olehnya kalau ada orang sedang memperhatikan gerak-geriknya, seorang lelaki bertubuh kurus, kecil, memakai pakaian perlente dan mempunyai sepasang mata yang kelabu, sepasang mata yang dingin, kaku dan seakan-akan tak pernah menampilkan perasaan apapun. Ia pernah menyaksikan sepasang mata semacam ini.
Ketika ia masih berusia sebelas tahun, nyaris jiwanya melayang di ujung cakar seekor macan tutul. Nah, sepasang mata orang itu mirip sekali dengan mata macan tutul tersebut. Tatkala orang itu menampakkan diri, semua orang yang berada di dalam warung seolah-olah berhenti bernapas. Akhirnya ia mendapat tahu kalau orang ini adalah seorang pembantu utama dari Suma Cau- kun, pemimpin dari tiga puluh sembilan piau-kiok (biro ekspedisi) wilayah utara, Cho Tang-lay adanya. Siau-ko pelan-pelan menyuapi hidangannya ke mulut, dia merasa amat riang. Sebab dia tahu Cho Tang-lay dan Suma Cau-kun tentu menaruh curiga kepadanya, membicarakan dirinya dan coba menduga manusia macam apakah dirinya. Dia yakin mereka tak akan mengetahui siapakah dirinya. Karena dia seperti juga dengan pedangnya, hingga kini jarang sekali ada yang pernah melihatnya. ooo)O(ooo Lambat laun hari menjadi gelap, walaupun dalam ruangan tiada lentera, cahaya api di luar sana kian lama kian bertambah benderang. Ketika angin dingin berhembus lewat melewati celah jendela, lambat-lambat terdengar suara pembicaraan manusia dan gelak tertawa yang bergema datang dari halaman depan sana. Suma Cau-kun tahu, tamu-tamu agung yang khusus diundang olehnya serta orang-orang yang tidak diundang telah berdatangan semua. Diapun tahu, setiap orang sedang menunggu penampilannya, menunggu untuk melihat dia. Tapi ia justru duduk di kusir tanpa berkutik sama sekali, bahkan tatkala istrinya masuk ke dalampun ia belum beranjak dari posisi semula. Ia begitu masgul dan kesal. Terhadap persoalan seperti membuka upacara menerima tamu, memimpin perjamuan dan menyambut tamu agung, semuanya baginya terasa mengesalkan dan membikin hati terasa masgul. Sekarang dia hanya ingin duduk tenang di situ sambil meneguk secawan arak. ooo)O(ooo Go Wan cukup memahami jalan pemikirannya. Tiada orang yang lebih memahami Suma Cau-kun daripada Go Wan sendiri. Mereka sudah menikah sebelas tahun, telah dikaruniai seorang anak berumur sembilan tahun. Ia memang bermaksud mendesaknya agar cepat-cepat keluar.
Tapi dia masuk secara diam-diam lalu keluar lagi secara diam-diam, sama sekali tidak mengusiknya. Sewaktu meninggalkan ruangan, tiba-tiba saja air matanya jatuh bercucuran. ooo)O(ooo Suma Cau-kun kembali memenuhi cawannya dengan arak. Arak ini bukan cawan yang pertama lagi, melainkan cawan yang ke dua puluh tujuh. Arak yang diteguk bukan arak anggur Persia seperti yang diteguk Cho Tang-lay, yang diteguk adalah arak putih, meski tidak berwarna atau berbau, namun setelah masuk ke dalam perut akan menimbulkan hawa panas seperti dibakar dengan api. Ia tidak menghabiskan isi cawannya ini. Pintu kembali di buka pelan-pelan, kali ini yang masuk bukan Go Wan melainkan Cho Tang- lay. Suma Cau-kun menurunkan tangannya dan meletakkan kembali cawan araknya ke atas meja lalu memandang bayangan Cho Tang-lay yang berdiri di depan pintu. "Apakah aku harus keluar sekarang?" "Benar!" ooo)O(ooo Ruang tengah terang benderang bermandikan cahaya, suasana amat gaduh dengan suara manusia. Siau-ko berdiri di tengah kerumunan orang, sebab dia tidak termasuk tamu kehormatan yang diundang Suma Cau-kun, maka tentu saja iapun tak boleh memasuki ruang tengah yang gemerlapan oleh cahaya lentera itu. Tak sedikit manusia yang hadir dalam ruang tengah, tentu saja mereka adalah orang-orang kenamaan, manusia-manusia yang punya kedudukan, punya nama besar serta mempunyai kekuasaan. Kecuali manusia-manusia tenar itu, terdapat pula sekelompok lelaki kekar berbaju hijau yang bertindak sebagai penerima tamu, mereka semua memiliki gerak-gerik yang amat cekatan dan gesit, sorot mata mereka semua tajam dan jeli, tak nanti mereka lakukan kesalahan yang bagaimanapun kecilnya. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Pemimpin tiga puluh sembilan piau-kiok wilayah utara, manusia paling tangguh dari dunia persilatan dewasa ini, Suma Cau-kun yang selamanya tak pernah terkalahkan, akhirnya munculkan diri. Suma Cau-kun muncul dengan mengenakan satu stel pakaian hitam putih yang dirancang serta dibuat secara khusus, membuat perawakan tubuhnya nampak lebih tinggi, lebih kekar dan perkasa, bahkan membuat usianya nampak jauh lebih muda daripada usianya yang sesungguhnya.
Dengan sikap yang tulus dan ramah, ia menyapa tamu-tamu undangannya, bahkan secara khusus keluar dari ruangan untuk menyapa kawanan manusia yang berkerumun di luar halaman. Di tengah sorak-sorai yang memekikkan telinga, Siau-ko tidak memperhatikan Suma Cau-kun, melainkan dua orang yang lain. Dandanan maupun potongan wajah ke dua orang ini sangat sederhana, namun sepasang mata mereka justru memancarkan semacam hawa pembunuhan yang sadis dan menakutkan. Mereka tidak berdiri berjajar, tidak pernah saling berpandangan mata, namun di seputar mereka justru berdiri delapan sembilan orang yang secara diam-diam mengamati gerak-gerik mereka, selalu mengikuti kemanapun mereka pergi dengan menjaga suatu jarak tertentu. Siau-ko yang menyaksikan kesemuanya itu segera tersenyum. Ia mengerti, dua orang itu datang lantaran masalah Nyo Kian, mereka adalah pembunuh- pembunuh kelas satu yang dikirim Cu Bong. Ia pun mengerti, Suma Cau-kun dan Cho Tang-lay tentu menganggapnya sealiran dengan kedua orang ini, sebab ia menyaksikan di sekelilingnya pun ada orang yang sedang mengamatinya, bahkan orang yang mengamati gerak-geriknya kian lama kian bertambah banyak. Tak disangkal lagi Cho Tang-lay pasti menganggap dia sebagai manusia yang paling berbahaya. "Tapi kali ini Cho Tang-lay salah menduga," demikian Siau-ko berpikir sambil tersenyum, "percuma saja ia mengutus orang untuk menguntitku, sebab cara seperti ini hanya membuang tenaga dengan percuma." ooo)O(ooo Dua batang lilin raksasa yang berada di atas meja besar di tengah ruangan telah disulut. Suma Cau-kun telah duduk pula di kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau. Di depan kursi terlihat permadani merah, di atas permadani tampak pula bantal untuk berlutut. Upacara besar segera akan dimulai. Dua manusia bermata hawa pembunuhan telah makin maju ke depan, tentu saja orang-orang yang menguntit merekapun ikut menggeserkan langkah masing-masing, tangan mereka telah merogoh ke dalam saku bersiap sedia. Benda yang disembunyikan dalam saku mereka tentu saja senjata-senjata pembunuh. Asal kedua orang itu menunjukkan sesuatu gerakan, maka dalam waktu singkat orang-orang itu pasti akan mengeluarkan senjata pembunuh mereka dan melancarkan serangan yang mematikan. Tapi Siau-ko yakin, kedua orang ini tak akan berhasil. 'Pasti ada orang ketiga di sekitar sana, dan orang itulah pembunuh yang sebenarnya dipersiapkan untuk menghabisi nyawa Nyo Kian'
Ternyata jalan pemikiran Siau-ko sejalan dengan jalan pemikiran Cho Tang-lay, hanya bedanya adalah Siau-ko tahu kalau orang tersebut bukan dirinya. Lalu siapakah orang itu" Mendadak kelopak mata Siau-ko mengerut kencang. Mendadak ia melihat seseorang yang tak mungkin akan menarik perhatian orang lain menyelinap di antara kerumunan orang banyak. Siau-ko menaruh perhatian kepada orang ini, karena orang ini membawa sebuah peti yang aneh. Sebuah kotak yang sederhana, biasa dan tak mungkin akan memancing perhatian orang lain. Dia ingin memandang wajah orang itu, namun orang itu tak pernah berpaling ke arahnya. Dia ingin menyelinap ke sana namun gerombolan manusia mendesak pula ke depan, sebab tokoh dari upacara kali ini sudah berjalan masuk ke dalam ruangan. Paras muka Nyo Kian nampak pucat dan lemah, namun sekulum senyuman masih menghiasi wajahnya. Dia masuk ke dalam ruangan dikelilingi enam orang manusia. Siau-ko tidak kenal siapakah ke enam orang itu, tapi bagi mereka yang sering berkelana dalam dunia persilatan, sedikit sekali yang tidak kenal mereka, sebab di antaranya bukan saja merupakan jagoan lihay yang sudah lama termasyhur di bidang piau-kiok, bahkan perampok ulung yang pernah malang melintang di jalan raya Kwan-lok, Im-boan-thian (Awan memenuhi angkasa) pun terdapat di antara mereka. Di bawah perlindungan enam jago lihay semacam ini, siapakah yang mampu melukai Nyo Thian" ooo)O(ooo Nyo Kian telah berada di atas permadani, berjalan ke depan kasur yang khusus disediakan sebagai tempat untuk menghormati bakal gurunya. Pada saat itulah dari arah halaman mulai terjadi kegaduhan. Di dalam waktu singkat ada dua puluh orang yang roboh terjungkal, mengucurkan darah dan roboh binasa ke atas tanah. Jeritan kaget, bentakan nyaring segera berkumandang memecahkan keheningan. Orang-orang yang roboh binasa bukan anak buah Cho Tang-lay, sebagian besar malahan orang-orang yang tidak berdosa. Rencana ini memang sudah dirundingkan Han Ciang dan Bok Ki secara cermat. Tentu saja merekapun tahu ada orang sedang mengawasi mereka, maka sebelum turun tangan, mereka harus menerbitkan kekalutan lebih dulu, kekalutan yang diciptakan dengan cucuran darah orang-orang yang tak bersalah. Di tengah kekalutan tersebut, tubuh mereka bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya menerjang ke arah Nyo Kian.
Siau-ko sama sekali tidak memandang ke arah mereka, melirikpun tidak. Ia percaya, biar menggunakan taktik macam apapun tak nanti ke dua orang itu akan berhasil, yang diperhatikan olehnya hanya si manusia pembawa peti itu. Tapi orang tersebut sudah lenyap tak berbekas. Suma Cau-kun masih tetap duduk di kursi kebesarannya, sama sekali tak berkutik, paras mukapun tak berubah. Para pembunuh sudah tertahan di bagian luar ruang tengah. Di bawah lindungan enam jago lihay, Nyo Kian telah berjalan menuju ke ruang belakang melalui pintu darurat. Sejak tadi Siau-ko sudah memperhatikan arah pintu tersebut dengan seksama. Ia selalu mengamati orang-orang itu, begitu perhatian mereka membuyar, tiba-tiba saja Siau- ko menyusup ke dalam ruang tengah, lalu dengan mempergunakan gerakan tubuh yang istimewa dan tak terlukiskan dengan kata-kata, dia menyusup melalui dinding samping dan menerobos ke dalam jendela. Tentu saja jendela dan arah pintu itu searah. Halaman belakang penuh ditumbuhi pohon Bwee dan pohon Cemara, bau harum semerbak memancar kemana-mana. Tapi sepanjang beranda tersebut, suasana terasa menyeramkan karena sederet pengawal berbaju hijau dengan golok terhunus berjaga-jaga di situ. Di ujung beranda terdapat pula sebuah pintu. Tatkala Siau-ko menyelinap keluar melalui jendela, kebetulan ia saksikan Im-boan-thian sekalian dengan mengiring Nyo Kian menyelinap masuk ke dalam pintu tersebut. Pintu segera tertutup rapat. Sementara itu golok panjang telah diloloskan dari pinggang kawanan pengawal berbaju hijau itu, di antara kilauan cahaya golok, ada dua belas orang di antaranya telah menerkam ke arah Siau-ko. Mereka tidak bertanya siapakah Siau-ko, juga tidak bertanya mau apa dia datang ke situ. Mereka hanya tahu melaksanakan perintah, barang siapa berani memasuki halaman tersebut, segera bunuh tanpa ampun. Siau-ko pun tidak menerangkan mengapa dia datang ke situ, situasi saat ini sudah mencapai saat dimana orang tak dapat menjelaskan masalahnya dengan perkataan. Yang harus dilakukan olehnya sekarang adalah merobohkan orang-orang itu. Mempergunakan cara yang tercepat untuk merobohkan orang-orang tersebut. Ia harus secepatnya menerjang masuk ke ruangan di ujung beranda tersebut.
Ketika cahaya golok menyambar datang menyilaukan mata, pedang Siau-ko masih berada dalam bungkusan kainnya. Ia tak perlu meloloskan pedangnya, dengan bungkusan itulah dia menghajar tiga bilah golok sampai mencelat dan merobohkan empat musuhnya. Di saat ia menyerbu ke dalam beranda itulah kembali ada tujuh delapan orang yang dirobohkan. Di saat orang-orang itu roboh, ia telah menyerbu ke luar pintu. Tapi saat itulah Cho Tang-lay sudah muncul di pintu depan. Dia memang seorang manusia yang selalu bersembunyi di belakang layar, tapi bila terjadi perubahan yang luar biasa, segera munculkan diri tepat pada saatnya. Siau-ko memandang ke arahnya, kemudian menghela napas panjang: "Sebetulnya mungkin masih sempat, sayang, sekarang sudah tak sempat lagi." Cahaya golok dari belakang kembali membacok tiba, Siau-ko tidak berpaling, sebaliknya Cho Tang-lay segera mengulapkan tangannya, cahaya golok yang berkilauan di tengah udara segera terhenti. "Mau apa kau kemari?" Cho Tang-lay menegur dingin, "apa yang hendak kau lakukan?" "Aku hanya ingin melihat seseorang." "Melihat siapa?" "Manusia yang membunuh manusia." Cho Tang-lay segera tertawa dingin. "Tiada orang yang dapat membunuh manusia di sini." serunya. "Ada, ada seorang." Tiba-tiba paras muka Cho Tang-lay berubah, sebab ia telah mengendus bau amis darah yang tipis. Bau amisnya darah itu berasal dari bilik pintu ruangan yang tertutup rapat itu. Cho Tang-lay membalikkan badan sambil menjebol pintu tersebut, tapi apa yang kemudian terbentang di depan mata membuat tubuhnya seolah-olah terjerumus ke dalam neraka. Di balik pintu sebenarnya terbentang sebuah ruangan yang sangat indah dan mewah, namun sekarang ruangan tersebut telah berubah menjadi neraka. Tiada manusia hidup yang dapat berdiam di neraka, demikian pula dalam ruangan tersebut. Tujuh orang yang tadi masuk dalam keadaan segar bugar, kini tak pernah dapat keluar lagi dari ruangan tersebut dalam keadaan hidup, ada yang lehernya digorok orang, ada yang jantungnya ditembusi pedang, ada pula yang dadanya tertusuk tombak sehingga tembus belakang punggungnya.
Keadaan paling parah dialami oleh Nyo Kian. Batok kepala Nyo Kian telah hilang, sementara di sisinya tertinggal secarik kertas yang bertuliskan: ' BEGINILAH NASIB SEORANG PENGKHIANAT' Di dalam ruangan terdapat empat buah jendela, semua jendela tersebut berada dalam keadaan tertutup. Kemana perginya si pembunuh tersebut" Jendela segera dibuka, bintang dan rembulan bersinar cerah di angkasa, dari kejauhan sana terdengar suara gembrengan dan tambur yang dibunyikan, hari ini memang hari Goan-siau. Angin malam berhembus lewat mendatangkan hawa dingin yang menusuk tulang. Lama sekali Cho Tang-lay berdiri termenung, ia tidak mengutus orang untuk menelusuri jejak sang pembunuh tersebut, tapi pelan-pelan membalikkan badan dan menatap wajah Siau-ko. "Engkau tahu, kalau ada orang bakal kemari membunuh orang?" ia bertanya. "Bukan cuma aku yang tahu, seharusnya kaupun tahu," Siau-ko menghela napas panjang, "aku memang berharap dapat menjumpai raut wajah orang itu." "Tapi orang yang melakukan pembunuhan ini, jelas bukan satu orang......" Untuk memotong leher dan membacok kepala dipakai sebilah golok tipis yang tajam, sedang untuk menembusi jantung dan ulu hati orang digunakan sebilah tombak yang tajam. Sebaliknya batok kepala Nyo Kian agaknya dipenggal dengan sebilah kampak. Sikap Cho Tang-lay pelan-pelan menjadi tenang kembali. Tenang dan dingin. "Tentu kau dapat melihat, paling tidak ada tiga orang yang hadir di tempat kejadian," ujarnya, "tiada orang dapat mempergunakan tiga macam senjata yang berbeda dan jurus serangan yang berbeda pula untuk membunuh orang dalam waktu yang bersamaan." "Ada" jawab Siau-ko penuh keyakinan, "ada seseorang!" "Kau anggap di dunia ini benar-benar terdapat manusia semacam ini" Dapat membunuh tujuh orang jago lihay pada saat yang bersamaan dengan mempergunakan tiga macam senjata?" "Benar!" jawaban Siau-ko sangat meyakinkan, "mungkin tiada orang ke dua di dunia ini yang bisa berbuat demikian, tapi yang jelas tentu ada satu orang." "Siapakah orang itu?" "Aku tidak tahu!" Sekali lagi Siau-ko menghela napas panjang. "Tadi, seandainya kau tidak merintangi aku, mungkin aku dapat melihat wajahnya." Cho Tang-lay menatapnya lekat-lekat. Ia sudah merasakan betapa telapak tangannya mulai berkeringat dingin.
"Tapi aku tidak mengetahui bila ia telah tiba di kota Tiang-an," kata Siau-ko lebih jauh, "akupun tidak menyangka kalau dia akan membantu Cu Bong untuk membunuh orang." Sekali lagi Cho Tang-lay mengamati wajahnya sampai lama sekali, memperhatikan sorot matanya, memperhatikan sikapnya, memperhatikan caranya berdiri dan memperhatikan pedangnya yang terbungkus oleh secarik kain kasar. Tiba-tiba ia berkata: "Aku percaya kepadamu, seandainya kau ingin pergi, sekarang juga kau boleh pergi." Orang yang sempat mendengar pembicaraan ini tentu terkejut, tentu tercengang, sebab sikap semacam ini bukan sikap Cho Tang-lay yang sesungguhnya, belum pernah ia lepaskan seseorang dengan begitu saja. Hanya Cho Tang-lay seorang yang tahu mengapa dia berbuat demikian. Ia sudah merasakan Siau-ko adalah seorang manusia yang berbahaya sekali. Berada dalam keadaan begini, dia tidak ingin mencari gara-gara lagi bagi dirinya sendiri. Siau-ko segera tertawa. "Akupun tahu bila aku ingin pergi, setiap saat aku dapat pergi," katanya, "sayang aku masih belum ingin pergi." "Mengapa?" "Sebab aku belum memberitahukan sesuatu hal kepadamu." "Soal apa?" "Aku tidak she Li, juga tidak bernama Li Hui-seng," kata Siau-ko, "akupun bukan datang kemari lantaran Nyo Kian." "Aku tahu," kata Cho Tiang-lay, "justru karena aku tahu, maka aku ijinkan dirimu untuk pergi." "Sayang masih banyak persoalan yang belum kau ketahui," Siau-ko tersenyum, "justru karena kau belum mengetahui, maka aku belum dapat pergi dari sini." Cho Tang-lay mengepal tangannya kencang-kencang. Mendadak ia merasakan suatu ambisi yang aneh dan sukar dirasakan orang lain pada diri pemuda ini, seperti seekor binatang buas yang baru turun dari gunung, terhadap masalah dan manusia macam apapun tak pernah merasa takut. "Aku she Ko, aku datang karena seseorang." "Karena siapa?" "Karena Suma Cau-kun, Suma Cau-kun yang tak pernah terkalahkan." Tangan Cho Tang-lay yang mengepal kencang, tiba-tiba terasa basah oleh keringat dingin. "Kau adalah Ko Cian-hui?" ia bertanya kepada Siau-ko, "jago pedang muda Ko Cian-hui yang telah membunuh empat jago lihay dari Kun-lun-pay, Hoa-san-pay dan Khong-tong-pay pada tiga bulan berselang?"
"Benar, itulah aku!" Malam semakin kelam, angin berhembus makin kencang. "Aku tak pernah membunuh orang di kegelapan," ujar Siau-ko, "maka aku minta kalian yang memilih suatu tempat dan memilih waktu tepat, agar aku dapat melihat, benarkah Suma Cau-kun tak pernah kalah untuk selamanya." Mendadak Cho Tang-lay tertawa. "Kujamin dia pasti akan memberitahukan kepadamu, cuma kuanjurkan lebih baik kau jangan mengetahui hal ini untuk selamanya." ooo)O(ooo Jalan raya yang panjang gemerlapan oleh aneka cahaya lentera. Berbagai macam manusia, bercorak ragam lentera, bertebaran di mana-mana, namun Siau-ko seolah-olah tidak melihatnya. Cho Tang-lay telah berjanji kepadanya, dalam sebulan mendatang pasti akan memberi jawaban kepadanya, bahkan menjamin akan mengadakan suatu pertarungan yang adil baginya dengan Suma Cau-kun. Sebenarnya ia datang karena persoalan itu, tapi sekarang dia seperti tidak terlalu memperhatikan akan hal ini. Yang dipikirkan olehnya sekarang hanya seorang, seorang manusia dengan sebuah peti. Manusia macam apakah orang ini" Berapa banyak senjata menakutkan yang terdapat di balik peti itu" Waktu itu memang terdapat seseorang yang membawa sebuah peti, sedang berjalan ke luar dari kota Tiang-an, menelusuri jalan yang sepi dan menentang angin malam yang dingin. ooo)O(ooo Bab-2. Sebuah Batok Kepala Manusia Angin berhembus amat kencang, bunga salju berhamburan melapisi permukaan tanah. Dari kejauhan sana tampak seekor kuda dilarikan kencang-kencang menembusi badai salju dan menerobos masuk ke kota Ang-hoa-ki, seratus enam puluh li di bagian barat daya kota Tiang- an. Malam Goan-siau telah lewat, hari libur yang penuh kegembiraan pun sudah berakhir. Sebuah lentera warna-warni bergulingan di atas lapisan salju, dimainkan angin yang kencang, lalu diseret ke balik selokan yang telah membeku menjadi salju. Meski masih nampak indah dan cerah, namun tiada orang yang memperhatikannya lagi, seperti seorang perempuan yang telah ditiduri semalam, lalu dicampakkan keesokan harinya. Penunggang kuda itu menghentikan perjalanannya di luar kota, mengikat kudanya pada sebatang pohon dan melepaskan pakaiannya yang indah dan mahal harganya untuk ditukar dengan seperangkat pakaian berwarna biru.
Dari atas pelana, dia menurunkan sebuah karung goni, mengeluarkan sebuah payung dan sepasang sepatu berpaku. Ia kenakan sepatu berpaku itu, mengembangkan payungnya dan menjinjing buntalan karung goni itu, dandanannya sekarang tak jauh berbeda dengan kebanyakan orang dusun yang lain. Kemudian ia baru beranjak dan menelusuri permukaan salju menuju kota Ang-hoa-ki. Di balik karung goninya itu tersimpan suatu rahasia besar yang akan menggetarkan seluruh kolong langit, sedang di hati kecilnya tersembunyi suatu rahasia besar yang akan menggetarkan jagat, di kolong langit hanya dia seorang yang mengetahui rahasia tersebut. Ia datang ke situ, karena dia harus menyerahkan barang yang berada di dalam karung goni itu kepada seseorang di rumah pelacuran kota Ang-hoa-ki. Tapi apakah isi karung goni itu" Benda tersebut harus diserahkan kepada siapa" Seandainya ada orang yang mengetahui rahasia ini, tidak sampai beberapa saat, orang tersebut sudah akan dicincang hancur hingga berkeping-keping. Orang tua, anak istri serta sanak keluarganya tak sampai hari ketiga pun akan dibantai pula sampai ludas. Untung saja rahasia semacam ini tak akan pernah bocor untuk selamanya, karena selama dia sendiri tidak membocorkannya, tak mungkin orang lain akan tahu. Sebab siapapun tidak mengira kalau si Singa Jantan Cu Bong akan meninggalkan markas besarnya yang berpenjagaan ketat di Lok-yang pada saat seperti ini dan seorang diri memasuki wilayah kekuasaan Suma Cau-kun. Bahkan Cho Tang-lay yang berotak cerdas dan berakal banyak pun tak pernah mengira kalau ia berani datang menyerempet bahaya. ooo)O(ooo Kota Ang-hoa-ki terhitung sebuah kota kecil yang tidak begitu ramai. Dalam kota tersebut hanya terdapat sebuah rumah pelacuran yang buruk sekali keadaannya. Cu Bong sambil bertelanjang dada duduk di atas kursi, ia meneguk arak dengan cawan besar dan didampingi tujuh delapan orang perempuan penghibur. Setiap kali ada yang meneguk secawan arak, ia segera mengiringi pula dengan secawan arak. Takaran minum orang ini memang hebat, meski empat puluh tiga cawan besar arak sudah berpindah ke dalam perutnya, paras mukanya sama sekali tidak berubah. Tentu saja keadaan seperti ini akan mengejutkan semua orang yang melihatnya. Lelaki kekar bercambang lebat ini seakan-akan terdiri dari baja saja, sehingga usus dan lambungnya pun seolah-olah terbuat dari besi baja. "Kali ini giliran siapa?" terdengar Cu Bong berseru sambil memenuhi cawannya dengan arak, "siapa yang akan beradu denganku?" Tentu saja tak seorangpun yang berani melayani tantangannya, bahkan si pelacur yang termasyhur sebagai Toa-hay-kang atau Gentong Samudra pun tak berani banyak berbicara lagi.
Biasanya, tamu yang sudah mabuk akan bersikap lebih royal, sedang meloloh tamu dengan arak justru merupakan kepandaian andalan dari pelacur-pelacur tersebut. "Tapi orang ini..........." Si Gentong Samudra bercerita kemudian kepada orang lain, "pada hakekatnya dia bukan manusia, dia adalah gentong arak, gentong arak tanpa alas." Cu Bong tertawa terbahak-bahak, sekaligus dia meneguk habis tiga cawan arak, kemudian tiba-tiba saja ia membanting mangkuknya ke atas tanah hingga hancur berantakan. Kemudian dengan sepasang matanya yang bulat besar dan memancarkan cahaya setajam sembilu, dia awasi si pelayan yang baru masuk ke dalam ruangan dan berlutut dengan ketakutan itu. "Apakah dari luar sana ada yang datang?" ia menegur. "Benar!" "Apakah datang mencariku?" "Benar!" suara sang pelayan kedengaran makin gemetar, "dia adalah seorang manusia dengan nama yang sangat aneh." "Siapa namanya?" "Ia bernama si Sepatu Paku." Cu Bong segera bertepuk tangan keras-keras. "Bocah keparat, akhirnya kau datang juga. Ayo cepat suruh dia menggelinding masuk." ooo)O(ooo Si Sepatu Paku melepaskan dulu sepatu berpaku yang dikenakan olehnya, lalu dia baru menjinjing bungkusan karung goni itu dan memasuki ruangan yang dihangatkan dengan membakar tahi kuda. Baru saja dia melangkah masuk, tahu-tahu karung goni di tangannya sudah direbut orang dan dituang isinya. Sebuah benda segera menggelinding keluar dari karung tersebut dan menggelinding ke sisi pembaringan. Ternyata benda tersebut tak lain adalah sebutir batok kepala manusia. Suasana segera menjadi gempar, para nona ketakutan setengah mati, sementara sang pelayan sampai terkencing-kencing di celana. Sebaliknya Cu Bong malah tertawa terbahak-bahak. "Haaaaaahhhh........ haaaaahhhh....... haaaaaahhhhhhh..... rupanya aku memang tidak salah menilai dirimu, kau masih mampu melakukan tugas bagiku, sekembalinya dari sini nanti, ku tanggung kuhadiahkan dua istri muda untukmu." Tiba-tiba gelak tertawanya terhenti, sambil menatap tajam wajah si Sepatu Paku, tanyanya dengan suara dalam: "Apakah ia tidak berpesan apa-apa kepadamu?"
"Tidak!" sahut si Sepatu Paku, "aku hanya melihat tangannya seperti menjinjing sebuah peti, bagaimanakah bentuk wajahnya boleh dibilang sama sekali tak kulihat." Mendadak dari balik mata Cu Bong yang tajam memancar keluar sinar yang sangat aneh, kemudian ia menghela napas panjang, gumamnya: "Sekarang kau sudah tidak berhutang apapun lagi kepadaku, aku hanya berharap lain kali kau masih teringat untuk menengokku dan menemaniku meneguk beberapa cawan arak." Tentu saja perkataan semacam ini bukan ditujukan kepada si Sepatu Paku, helaan napaspun bukan termasuk suatu kebiasaannya. Maka dia tertawa terbahak-bahak kembali, serunya lebih jauh: "Cho Tang-lay, wahai Cho Tang-lay, orang lain mengatakan kau adalah Cukat Liang, tapi siapa yang menduga kalau aku dapat bercokol dalam sarang anjingmu semalaman suntuk tanpa kau ketahui." "Cara kerja Tongcu memang selamanya hebat dan tak bisa di duga orang, bagaimana mungkin orang she Cho itu dapat menduganya?" Si Sepatu Paku menundukkan kepalanya rendah-rendah, "tapi ia pasti telah menduga kalau batok kepala Nyo Kian tentu akan dikirim ke kota Lok-yang, maka diapun pasti sudah memasang mata-matanya di sekitar tempat ini......" "Kentut busuk!" Cu Bong melotot besar, "jika ia tak pernah menyangka kalau aku berada di sini, mungkinkah dia akan mengalihkan kekuatannya kemari?" "Tidak mungkin!" "Mungkinkah dia akan datang bersama Suma Cau-kun?" "Tidak mungkin!" "Oleh sebab itu, orang yang dikirimnya paling-paling adalah manusia yang jenggotpun belum tumbuh, sudah pasti kaum anak iblis yang baru lahir," Cu Bong menegaskan, "sudah kuduga yang dikirim kemari kalau bukan si Kwik Cung, sudah pasti Sun Thong." "Benar! Memang begitulah kira-kira." Sepatu Paku menundukkan kepalanya, sebab ia tak boleh memperlihatkan rasa takut yang sudah memancar keluar dari balik matanya itu kepada Cu Bong. Mendadak ia menemukan bahwa si manusia yang kasar dan penuh dengan jenggot ini, bukan saja jauh lebih pandai daripada orang lain, bahkan lebih menakutkan daripada siapapun. Mendadak Cu Bong melompat bangun, ia berdiri tegak bagaikan raksasa di situ, kemudian serunya keras-keras kepada para nona dan pelayan yang masih terkencing-kencing di tempat :" Sekarang, apakah kalian sudah tahu siapakah aku?" Tak seorangpun menjawab, tak seorang manusiapun berani menjawab pertanyaan itu. "Aku Cu Toa-ya!" Cu Bong menunjuk ke ujung hidung sendiri, "akulah musuh bebuyutan dari Suma Cau-kun." Mendadak dia melompat keluar, menyambar sebuah mangkuk bak dan sebatang pit, kemudian dengan tinta yang tebal dia mencoretkan pit-nya di atas dinding ruangan yang putih bersih dengan beberapa buah tulisan. 'Lok-yang Tayhiap Cu Bong pernah berpesiar kemari'
Selesai menuliskan huruf-huruf segede gajah itu, Cu Bong mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Aku telah berkunjung kemari dan sekarang harus pulang," kemudian sambil menepuk bahu si Sepatu Paku, terusnya, "mari kita pulang bersama-sama, coba kita saksikan siapa yang mampu menghalangi perjalanan pulang kita." ooo)O(ooo Sun Thong sebenarnya tidak seharusnya bernama Sun Thong. Ia lebih pantas kalau di sebut Sun Tang. Sebab Cho Tang-lay pernah memujinya di hadapan orang banyak: "Walau usia Sun Thong tidak besar, namun entah siapapun yang datang, ia pasti dapat menahannya, entah kejadian apapun yang berkobar, dia dapat menahannya, bahkan kalau sudah menahannya, ia pasti dapat menahan untuk selamanya." Di tepi jalan raya di luar kota Ang-hoa-ki terdapat rumah penjual teh. Bila kau duduk di dekat pintu, maka setiap orang yang berlalu lalang di jalan raya tersebut dapat terlihat dengan sangat jelas. Sun Thong pun duduk di tempat yang strategis tersebut. Di kedua sisi emperan rumah, asal tempat tersebut dapat digunakan untuk berteduh dari angin dan salju, pasti berdiri seorang dua orang manusia berbaju hijau. Usia dari orang-orang itu jauh lebih tua daripada usia Sun Thong sendiri. Tugasnya di dalam piau-kiok pun jauh lebih berat daripadanya, namun mereka semua adalah anak buahnya. Meskipun orang-orang itu merupakan jago-jago pilihan, ketajaman matanya luar biasa dan pengalaman maupun pengetahuannya sangat luas, akan tetapi dalam bidang apapun Sun Thong masih jauh lebih bagus ketimbang mereka. Tentang hal ini, mereka semuapun mengakui dengan tulus dan benar-benar merasa takluk. Mereka diutus kemari karena Sun Thong ingin mempergunakan ketajaman mata serta pengalaman mereka untuk memeriksa setiap orang yang berlalu lalang di dalam kota Ang-hoa-ki. Setiap orang, entah siapapun, asal dia patut dicurigai dan dalam genggamannya membawa bungkusan yang dapat berisikan batok kepala, atau tandu serta kereta yang bisa dipergunakan untuk menyembunyikan batok kepala, semuanya mendapat pemeriksaan dan penggeledahan yang teliti dari mereka. Kendatipun pemeriksaan dan penggeledahan itu kadangkala menimbulkan kesulitan bagi orang lain, namun tak ada yang berani memprotes atau membangkang, sebab setiap orang tahu, lebih baik menuruti perkataan dari orang-orang yang datang dari 'Toa Piau-kiok (Biro Ekspedisi Besar)' daripada mencari gara-gara dengan mereka. Apalagi Sun Thong memang tidak takut menghadapi siapapun yang mencoba untuk mencari gara-gara.
Ia telah memperoleh perintah dari Cho Tang-lay, entah berada dalam keadaan bagaimanapun, batok kepala Nyo Kian tak boleh sampai diselundupkan ke luar dari wilayah kota Tiang-an. Biasanya perintah yang diberikan kepadanya selalu dapat dilaksanakan hingga tuntas. Jilid ke-2 Ketika Siau-ko keluar dari kota Ang-hoa-ki, Sun Thong tidak menaruh perhatian khusus kepadanya. Sebab seluruh badan Siau-ko, dari atas sampai ke bawah, memang tiada bagian yang perlu dicurigai sebagai tempat untuk menyembunyikan sebuah batok kepala. Namun Siau-ko justru menghampiri ke hadapannya, bahkan duduk di depan kursinya, malah sambil tertawa menegurnya: "Siapa namamu?" Sun Thong tidak tertawa, namun tidak pula menampik untuk menjawab: "Aku She Sun, bernama Thong." "Baik-baikkah kau?" "Biarpun tidak terlalu baik, juga tidak terlalu jelek," sahut Sun Thong hambar, "paling tidak batok kepalaku masih berada di atas tengkuk." Siau-ko segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaaaahhhh...... haaaaaahhh..... haaaahhhh...... bisa mengetahui batok kepala sendiri masih berada di atas tengkuk, hal ini memang terhitung suatu kejadian yang sangat menggembirakan, apalagi bila mengetahui dimanakah batok kepala Nyo Kian disembunyikan, kejadian tersebut pasti lebih menyenangkan lagi." "Kau mengetahui?" "Aku hanya tahu, Cho sian-seng tentu tidak senang bila batok kepala Nyo Kian sampai terjatuh kembali ke tangan Cu Bong dan memberi kesempatan kepadanya untuk memperlihatkan batok kepala itu di hadapan sahabat-sahabat dunia persilatan dan menambah pamornya, itulah sebabnya kalian diutus kemari." "Ehmm, tampaknya tidak sedikit yang kau ketahui!" "Sayang aku masih tak habis mengerti, orang yang hendak menuju ke kota Lok-yang tidak selalu melalui jalan raya, bahkan aku si manusia dari dusun lainpun mengetahui, kalau di sini paling tidak masih ada dua tiga jalan kecil lagi." "Bagiku hanya mengurusi jalan raya, tak akan mencampuri urusan di jalan kecil." "Mengapa?" "Orang yang melalui jalan kecil, nyalinya pasti tidak terlalu besar, jadi tak perlu kuhadapi sendiri." "Bagus, bagus sekali perkataanmu."
Siau-ko menuang secawan air teh dari poci Sun Thong, kemudian setelah merendahkan suaranya, dia bertanya lagi: "Sudah kau temukan orang yang mencurigakan?" "Hanya kutemukan seorang." "Siapa?" "Kau!" Sekali lagi Siau-ko tertawa terbahak-bahak. "Haaaahhh..... haaahhh..... haaahh, seandainya benar aku, tentu peristiwa ini menyenangkan sekali." "Siapa yang senang?" "Kau!" Siau-ko memandang Sun Thong tanpa berkedip, kemudian melanjutkan lebih jauh. "Seandainya aku suka membawa batok kepala Nyo Kian untuk melewati tempat ini, maka bisa jadi kau akan merasa secara tiba-tiba saja batok kepalamu itu sudah tidak berada di tempatnya lagi." Bahkan kemudian dia menjelaskan lebih jauh. "Kau yang kumaksud adalah dirimu sendiri." Sun Thong tidak marah, paras mukanyapun tidak pula berubah, bahkan sepasang matanya tidak pula berkedip. "Akupun dapat melihat kalau kau tidak membawa batok kepala Nyo Kian," Sun Thong menerangkan, "tapi aku dapat melihat kalau kau membawa sebilah pedang." "Ya, pandanganmu memang tidak keliru." "Mengapa kau tidak mencabut keluar pedangmu untuk mencoba?" "Mencoba apa?" "Mencoba untuk dibuktikan, batok kepala siapakah yang bakal rontok dari tengkuknya." Siau-ko membelai lembut bungkusan kain yang belum pernah dilepaskan dari genggamannya itu, kemudian sambil tersenyum menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku tak boleh mencobanya, tak boleh sekali-kali untuk mencobanya." "Jadi kau tidak berani?" "Bukannya tidak berani, namun tak bisa." "Mengapa?" "Sebab, pedangku ini bukan dipersiapkan untuk menghadapi kau," kemudian dengan nada yang amat sungkan, Siau-ko melanjutkan, "sebab kau belum pantas untuk menghadapinya."
Paras muka Sun Thong belum juga berubah, namun matanya tiba-tiba saja diliputi oleh selapis cahaya merah. Banyak sekali manusia yang menunjukkan gejala demikian bila mereka telah bersiap untuk membunuh orang. Tangannya sudah diluruskan ke bawah, menggenggam gagang pedangnya yang diletakkan di atas kursi. Siau-ko sendiri malah sudah bangkit berdiri, membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Bila dia ingin turun tangan, tiada orang yang bisa menghalangi niatnya, namun apabila dia tidak ingin turun tangan, tiada orang pula yang bisa memaksanya. Tapi sebelum ia berjalan ke luar dari tempat tersebut, mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang sangat ramai. Di balik suara derap kaki kuda itu terselip pula suara langkah kaki manusia yang sangat aneh, hanya manusia yang berjalan di atas salju dengan mengenakan sepatu paku saja yang bisa menimbulkan suara langkah kaki seperti ini. Belum lagi ke dua jenis suara yang berbeda itu bisa didengar dengan jelas, terlihat seekor kuda dipacu kencang-kencang melewati jalan raya di depan warung. Penunggangnya adalah seorang manusia bercambang dan mengenakan baju dari kulit kambing yang kencang, bagian dadanya dibiarkan terbuka. Walaupun angin salju menerpa dadanya yang telanjang bagaikan tusukan pedang dan sayatan golok, namun ia sama sekali tidak menggubris. Di belakangnya mengikuti seseorang yang mengenakan sepatu paku, tangannya yang satu menarik ekor kuda, sedang tangan yang lain membawa sebatang bambu, di ujung bambu tergantung sebuah bungkusan kain besar. Sambil berlarian mengikuti di belakang kuda tersebut, ia berteriak tiada hentinya: "Batok kepala Nyo Kian berada di sini, inilah akhir dari seorang pengkhianat...." Sementara teriakan bergema, orang yang berada di atas kudapun tertawa terbahak-bahak tiada hentinya, gelak tertawanya seperti auman singa, membuat salju yang berlapis di atas emper rumah berguguran ke atas tanah. Tentu saja Siau-ko mengurungkan niatnya untuk berlalu dari tempat itu. Biarpun dia belum pernah bersua dengan Cu Bong, namun sekilas pandangan saja ia sudah tahu kalau orang ini adalah Cu Bong. Selain si Singa Jantan Cu Bong, siapa lagi yang berani bergaya seperti ini" Diapun tidak menyangka kalau Cu Bong akan munculkan diri secara tiba-tiba di situ, namun diapun berharap Sun Thong bisa membiarkan mereka lewat. Sebab ia sudah melihat kalau Cu Bong membawa sebilah golok raksasa berpunggung emas dalam genggamannya.
Golok raksasa itu panjangnya empat depa sembilan inci, punggung goloknya sangat tebal, tapi mata golok lebih tipis dari pada selembar kertas. Sun Thong masih terlampau muda. Siau-ko benar-benar tak ingin membiarkan seorang pemuda semacam dia tewas tercincang di depan derapan kaki kuda. Sayang sekali Sun Thong telah melompat ke luar, dia melejit keluar sambil membawa serentetan cahaya pedang yang berkilauan. Dari belakang meja, dia langsung melayang keluar seperti seekor burung, cahaya pedangnya yang membias seperti bianglala, langsung menusuk ke tenggorokan Cu Bong di atas kuda. Serangan ini ibaratnya taruhan terakhir bagi seorang penjudi, karena selembar nyawa sendiripun turut dijadikan taruhan. Karenanya serangan tersebut harus mematikan, harus menimbulkan korban, kalau bukan nyawa lawan, tentulah nyawa sendiri. Cu Bong tertawa seram. "Haaahhh..... heeehh.... haaahh..... bocah muda, kau memang bernyali!" Di tengah gelak tertawanya yang keras, golok raksasa sepanjang empat depa sembilan incipun diangkat tinggi-tinggi ke udara, cahaya emas dari punggung golok serta cahaya dingin dari mata golok membiaskan sinar tajam di balik lapisan salju seperti tusukan jarum yang mata tajam. Siau-ko hanya sempat menyaksikan berkelebatnya cahaya golok, tahu-tahu saja segala sesuatunya berubah menjadi merah. Percikan bunga darah yang segar, seperti percikan bunga api dari balik cahaya golok, segera menyebar ke empat penjuru dan bergumul dengan warna putih keperak-perakan dari salju yang segera menimbulkan suatu pemandangan yang indah. Tiada orang yang bisa melukiskan keindahan tersebut, karena indahnya indah yang keji, indah yang mengenaskan dan memilukan hati. Detik itu, seluruh kejadian dan kegiatan di kolong langit seolah-olah turut terhenti oleh keindahan yang menggidikkan hati itu. Siau-ko merasakan detak jantung serta napas sendiripun seolah-olah terhenti. Walaupun kejadian tersebut hanya berlangsung sebentar saja, namun detik yang amat singkat itu seolah-olah merupakan sesuatu yang kekal. Karena memang 'mati' saja yang bersifat kekal. ooo)O(ooo Kuda itu masih berlari kencang, si Sepatu Paku masih mengikuti pula di belakangnya. Baru setelah mencapai jarak sejauh dua puluhan kaki lebih, jenasah Sun Thong baru roboh ke atas tanah, roboh di hadapan anak buah serta kudanya, roboh terkapar di atas permukaan salju yang dingin dan tak berperasaan.
Kemudian bunga-bunga darah baru meleleh keluar dan menghiasi permukaan salju yang putih. Bunga darah yang merah segar dengan lapisan salju yang putih bersih. Mendadak terdengar ringkikan kuda bergema memecahkan keheningan, menyusul kemudian kuda yang sedang berlari kencang itupun berhenti berlari. Walaupun kawanan manusia berbaju hijau yang berdiri di kedua sisi jalan telah meloloskan golok mereka, biarpun mata golok mereka sama tajamnya dengan mata golok Cu Bong, namun paras muka serta sorot mata mereka telah berubah menjadi ke abu-abuan. Sekali lagi Cu Bong tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh...... haaahhh...... haahh..... kalian sudah melihat jelas, akulah Cu Bong," ia tergelak, "sekarang aku akan membiarkan batok kepala kalian tetap di tempat masing-masing, karena aku hendak mempergunakan mata kalian untuk melihat diriku dengan jelas, kemudian dengan mulut kalian untuk memberitahu kepada Suma Cau-kun serta Cho Tang-lay bahwa aku telah berkunjung kemari, dan sekarang aku hendak pergi lagi. Biarpun di sini terhitung sarang naga gua harimau, bila aku ingin mendatangi, aku bisa datang, bila ingin pergi, aku bisa segera pergi." Kemudian bentaknya lagi keras-keras: "Mengapa kalian tidak segera enyah dari sini?" Kawanan manusia berbaju hijau itu memang sudah mundur terus tiada hentinya, begitu bentakan bergema, serentak mereka membalikkan badan dan lari terbirit-birit, jauh lebih cepat daripada kuda mereka sendiri. Sebenarnya Cu Bong ingin tertawa lagi, namun ia tak sempat untuk tertawa lagi, karena tiba- tiba terdengar seseorang berkata sambil menghela napas: "Sekarang aku baru tahu, rupanya orang yang tidak takut mati seperti Sun Thong memang tidak banyak jumlahnya di dunia ini." ooo)O(ooo Siau-ko sudah duduk, duduk di bangku yang baru saja ditinggalkan Sun Thong, bahkan dia memungutkan pula sarung pedang Sun Thong yang terjatuh ke lantai tadi ke atas meja dan diletakkan sejajar dengan bungkusan kain sendiri. Ia tidak memandang ke arah Cu Bong dengan pandangan lurus, namun dia tahu paras muka Cu Bong telah berubah. Kemudian diapun merasakan Cu Bong telah berada di hadapannya, duduk di kudanya sambil mengawasi wajahnya dengan sepasang mata yang melotot besar. Tapi Siau-ko seolah-olah tidak mengetahui kedatangannya, ia masih meneguk air tehnya dengan tenang. Air teh dalam cawan sudah dingin, maka ia membuangnya lalu memenuhi lagi dari poci, tapi kembali air itu dibuang karena air dalam poci sudah dingin, biarpun demikian ia menuang pula cawannya dengan air teh. Cu Bong mengawasi terus gerak-geriknya dengan mata melotot, tiba-tiba teriaknya keras: "Hei, apa yang sedang kau lakukan?" "Aku ingin minum teh, aku haus, ingin minum teh."
"Tapi kau tidak meminumnya." "Karena air tehnya sudah dingin, aku tak pernah suka minum air teh dingin." Kemudian setelah menghela napas, katanya lagi: "Kalau minum arak aku tak ambil perduli, arak macam apapun kuminum, tapi kalau soal minum teh, maka hal tersebut kuperhatikan benar- benar, air teh dingin tak boleh diteguk, aku lebih suka minum arak beracun daripada harus minum air teh dingin." "Apakah kau masih berharap bisa muncul air teh panas dari dalam poci tersebut?" tanya Cu Bong. "Sebenarnya aku memang berharap demikian." "Tahukah kau semua air teh yang berada dalam poci itu sudah dingin....?" "Aku tahu, tentu saja aku tahu." Cu Bong memandangnya tanpa berkedip seperti lagi mengawasi sesosok makhluk aneh saja. "Kalau toh kau sudah tahu air teh dalam poci sudah dingin, bagaimana mungkin bisa muncul air teh panas dari dalam poci tersebut?" "Bukan Cuma hangat bahkan harus panas sekali, air teh yang panas dan mendidih baru sedap diteguk." Tiba-tiba Cu Bong tertawa lagi, sambil berpaling kepada si Sepatu Paku, ia berkata: "Sebenarnya aku ingin memenggal batok kepala dari bocah ini, tetapi sekarang aku tak akan memenggalnya, bocah ini sudah edan, aku tak pernah memenggal batok kepala dari seseorang yang sudah edan....." Si Sepatu Paku tidak tertawa, sebab dia telah menyaksikan suatu peristiwa aneh. Ia melihat air teh yang mengalir keluar dari poci berisi air teh dingin, di tangan Siau-ko itu sekarang mengalir keluar air teh yang panas, bukan cuma panas bahkan baru saja mendidih dan mengeluarkan asap tebal. Gelak tertawa Cu Bong dengan cepatnya turut terhenti, sebab diapun telah menyaksikan kejadian tersebut. Memang tidak banyak manusia yang masih bisa tertawa setelah menyaksikan kejadian seperti ini, sebab orang yang bisa mempergunakan hawa murni yang dialirkan melalui telapak tangan untuk merubah sepoci air dingin menjadi air panas memang tidak banyak jumlahnya. Mendadak Cu Bong berpaling ke arah si Sepatu Paku, kemudian tanyanya lagi: "Apakah bocah ini sudah edan?" "Tampaknya tidak!" "Apakah bocah ini seperti mempunyai sedikit kepandaian silat yang tulen?" "Tampaknya memang begitu." "Benar-benar tidak kusangka, kalau bocah ini adalah bocah yang hebat, hampir saja aku terkelabuhi."
Selesai mengucapkan perkataan itu, diapun melakukan suatu perbuatan yang tak pernah disangka oleh siapapun. Tiba-tiba ia melompat turun dari kudanya dan menancapkan golok raksasanya ke lantai, kemudian setibanya di hadapan Siau-ko, ujarnya bersungguh-sungguh sambil menjura: "Kau bukan orang edan, kau adalah seorang Ho-han, asal kau bersedia menjadi saudaraku, bersedia menemani aku pulang untuk minum arak sampai puas, sekarang juga aku akan berlutut dan menyembahmu tiga kali." Dalam Hiong-say-tong boleh dibilang jago lihay tak terhitung jumlahnya, si Singa Jantan Cu Bong sendiri mempunyai kedudukan serta nama besar yang menggetarkan seantero jagat, tapi mengapa ia bersedia melakukan hal tersebut terhadap seorang pemuda rudin" Namun kalau dilihat dari tampangnya, dia seperti bukan cuma berbicara di bibir belaka. Siau-ko seperti tertegun dibuatnya, beberapa saat kemudian baru menghela napas dan berkata sambil tertawa getir: "Sekarang aku baru percaya kalau apa yang dikatakan orang-orang persilatan tidak salah, Si Singa Jantan Cu Bong memang seorang manusia yang luar biasa, tak heran kalau begitu banyak orang takluk kepadamu dan bersedia menjual nyawa untukmu." "Bagaimana dengan kau?" Cu Bong segera bertanya, "apakah kaupun bersedia untuk berteman denganku?" Mendadak Siau-ko menggebrak meja keras-keras kemudian teriaknya lantang: "Neneknya, berteman ya berteman, apa sih hebatnya dengan suatu persahabatan?" Suaranya jauh lebih keras dari Cu Bong, bahkan terusnya dengan suara menggeledek: "Aku Ko Cian-hui sudah beberapa bulan luntang-lantung dalam dunia persilatan, namun belum pernah kujumpai seorang manusia yang begitu memandang tinggi diriku, mengapa kita tak boleh bersahabat?" Cu Bong segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak: "Haaahh..... haaaahhh....... haaahhh..... bagus, bagus sekali!" "Cuma kau harus urungkan niatmu untuk menyembah di hadapanku, bila kau berlutut akupun tak dapat berdiri, jika ke dua-duanya sama berlutut dan sama-sama menyembah, kau kepadaku dan kau menyembah kepadamu, bukankah kedua-duanya akan menjadi sepasang manusia dungu?" Lalu teriaknya lagi keras-keras: "Aku tak akan melakukan pekerjaan dungu seperti ini!" Cu Bong segera menyatakan persetujuannya. "Baik, kalau toh aku mengatakan tak akan melakukan, kita tak usah melakukannya." "Akupun tak dapat menemani kau pulang untuk minum arak, sebab di Tiang-an aku masih ada suatu janji mati hidup." "Kalau begitu kita boleh minum di sini, minum sepuas-puasnya." "Minum di sini?" Siau-ko berkerut kening, "kau tidak kuatir Suma Cau-kun menyusul kemari?" Mendadak Cu Bong menggebrak meja keras-keras.
"Neneknya, sekalipun ia datang kemari, apa sih hebatnya" Paling banter aku pertaruhkan nyawaku untuk di adu nyawanya, memangnya ia bisa mengapakan diriku" Cuma kita harus melangsungkan juga perjamuan ini, sebab kalau tidak akan lebih menderita daripada mati..........." "Baik, minum ya minum! Asal kau tidak takut, memangnya aku mesti takut?" Dalam warung itu bukan cuma tak ada tamu, para pelayanpun sudah kabur menyelamatkan diri. Untung saja guci arak tak akan turut melarikan diri. Cu Bong dan Siau-ko minum arak, si Sepatu Paku yang menuangkan, ia menuang dengan cepat sedang yang meneguk lebih cepat lagi. Tapi seguci arak belum habis diteguk, dari kejauhan sana sudah kedengaran suara derap kaki kuda. Derap kaki kuda itu amat kencang dan keras, paling tidak ada enam tujuh puluh ekor yang datang bersama. Ang-hoa-ki memang termasuk wilayah kekuasaan dari Suma Cau-kun, bila ada orang mengatakan ini perintah dari Suma Cau-kun, maka dalam waktu singkat sebuah bukit kecilpun akan rata menjadi tanah lapang. Namun Cu Bong sama sekali tidak mengerdipkan matanya, dia tetap memegang cawan besar yang penuh dengan arak, setetespun tak ada yang mengalir keluar. "Aku akan menghormati tiga cawan lagi untukmu," katanya kepada Siau-ko, "semoga kau banyak rejeki, panjang umur dan selalu sehat wal'afiat." "Baik, akan ku teguk" Biar ia meneguk dengan cepat, suara derap kaki kuda itu lebih cepat lagi, tiga mangkuk arak baru habis diteguk, suara derap kaki kuda sudah menggebu-gebu. Tangan si Sepatu Paku yang memegang guci arak sudah mulai melemas, tapi paras muka Cu Bong sama sekali tidak berubah. "Kali ini giliranku yang menghormatimu," ia berkata lagi, "maka paling tidak kaupun harus menghormati tiga mangkuk arak pula untukku." Tiba-tiba si Sepatu Paku menimbrung: "Lapor Tongcu, ke tiga mangkuk arak tersebut mungkin tak dapat diminum lagi." "Mengapa" Mengapa tak dapat diteguk?" seru Cu Bong gusar. "Lapor Tongcu, bila diteguk maka nyawa Ko siauya mungkin akan menemani Tongcu sama- sama melayang." Tiba-tiba saja hawa gusar Cu Bong hilang lenyap, setelah menghela napas panjang ujarnya: "Apa yang dia ucapkan memang masuk di akal, bila nyawaku yang hilang masih mendingan, mengapa aku mesti menyeret pula keselamatan jiwamu?"
Baru saja dia hendak melompat bangun, Siau-ko telah menekan bahunya sambil berkata seenaknya: "Nyawaku tidak lebih berharga daripada nyawamu, kau saja berani adu jiwa, mengapa aku tak berani" Apalagi kita toh belum tentu tak mampu melawan mereka?" Cu Bong segera tertawa terbahak-bahak setelah mendengar perkataan tersebut, serunya: "Betul! Ucapanmu memang tepat sekali." "Oleh sebab itu akupun hendak menghormati tiga mangkuk arak untukmu, semoga kaupun banyak rejeki, panjang umur dan selalu sehat wal'afiat." Mereka berdua bersama-sama tertawa tergelak. Belum berhenti gelak tertawanya, derap kaki kuda yang menggebu sudah mengurung warung tersebut rapat-rapat. Menyusul kemudian derap kaki kuda berhenti, setelah beberapa ringkikan kuda, tiada suara lagi yang kedengaran. Tiba-tiba saja suasana disekitar tempat itu menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun, warung itu seolah-olah berubah seperti berada di kuburan. Tiba-tiba si Sepatu Paku turut duduk, lalu katanya sambil tertawa getir: "Lapor Tongcu, sekarang akupun ingin minum sedikit arak." Golok tanpa suara, pedang tanpa suara, manusia tanpa suara, kudapun tak bersuara. Sebab setiap orang, setiap ekor kuda telah mendapat pendidikan yang amat berdisiplin selama banyak tahun, bila berada dalam keadaan yang tak bersuara, mereka dapat berdiam diri tanpa menimbulkan sedikitpun suara, biar kepala dipenggalpun tak nanti akan kedengaran suara. Di tengah keheningan yang luar biasa, tampak seorang berkopiah kemala, bermantel bulu binatang dan bergendong tangan, pelan-pelan memasuki ruangan warung teh itu. Cho Tang-lay telah muncul di situ. Sikapnya amat tenang dan mantap, hanya seseorang yang tahu bahwa posisi dan kedudukannya jauh lebih menguntungkan daripada kedudukan lawan yang bisa menunjukkan sikap tenang dan mantap seperti ini. Sebab dia yakin, tiga manusia dengan tiga lembar jiwa yang berada dalam warung teh itu sudah berada di dalam genggamannya. Namun Siau-ko maupun Cu Bong tak memandang sekejap matapun terhadap kehadirannya, seakan-akan mereka tidak mengetahui akan kehadirannya saja. "Aku ingin menghormati tiga mangkuk arak lagi untukmu," demikian Siau-ko berkata, "ketiga mangkuk arak ini ku tunjuk untukmu semoga kau panjang umur, kaya sentausa, banyak anak banyak cucu." Belum lagi arak dituang, Cho Tang-lay telah berada di hadapan mereka dan menyela dengan hambar: "Ketiga mangkuk arak ini seharusnya akulah yang menghormati kepada kalian." "Mengapa?"
"Cu Tongcu datang dari tempat jauh, kami belum sempat menjadi seorang tuan rumah yang baik, maka sudah sepantasnya bila akulah yang menghormati ke tiga mangkuk arak ini untuknya." Cu Bong tidak mengucapkan sepatah katapun, dengan cepat dia meneguk habis tiga mangkuk arak. Cho Tang-lay tidak ketinggalan, ternyata diapun meneguk habis tiga mangkuk arak tak kalah cepatnya daripada lawan. "Akupun hendak menghormati lagi Cu Tongcu dengan tiga mangkuk arak......", kembali Cho Tang-lay berkata, "ketiga mangkuk arak inipun harus kuminum juga." "Mengapa?" "Sebab sehabis meneguk ketiga mangkuk arak tersebut, aku hendak menanyakan suatu persoalan kepada Cu Tongcu." "Urusan apa?" Cho Tang-lay meneguk dulu tiga mangkuk arak, lalu baru berkata: "Cu Tongcu tak menentu gerak-geriknya, kau bisa pergi datang sekehendak hati sendiri, seolah-olah menganggap tempat ini sebagai tempat yang tak berpenghuni......" Kemudian setelah menghela napas panjang, terusnya: "Bila Cu Tongcu hendak pergi semenjak tadi kami tentu tak mampu untuk berbuat apa-apa." Kemudian sambil mendongakkan kepalanya dan memandang wajah Cu Bong dengan sorot mata dingin, terusnya: "Tadi, mengapa Cu Tongcu tidak segera pergi?" "Kau tidak menyangka bukan?" "Ya, aku benar-benar tidak menyangka." "Padahal aku sendiripun tidak menyangka sebab waktu itu aku belum bersahabat dengan teman seperti ini," Cu Bong menepuk-nepuk bahu Siau-ko, "sekarang setelah aku mempunyai seorang sahabat seperti ini, tentu saja aku harus menemaninya untuk meneguk beberapa cawan arak, apalagi diapun tak bisa turut aku pulang, terpaksa akulah yang tetap tinggal di sini untuk menemaninya." Setelah berhenti sejenak dan tertawa terbahak-bahak, Cu Bong berkata lebih jauh: "Sesungguhnya alasanku amat sederhana, cuma sayang manusia seperti kalian tak nanti akan mengerti." Mendadak Cho Tang-lay tidak berbicara lagi, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia menghela napas panjang, tidak minum arak, pun tidak berbicara. Dalam beberapa waktu ini, dia seolah-olah berubah menjadi manusia kayu, bahkan sorot matanya pun tidak menunjukkan sedikit perubahanpun. Dari luar sana pun tidak nampak sesuatu gerakan, sebelum ada perintah dari Cho Tang-lay, siapapun tak berani melakukan tindakan atau gerakan apapun. Waktu-waktu semacam ini ternyata tidak berlangsung pendek.
Dalam beberapa saat tersebut, apa yang telah dilakukan Siau-ko serta Cu Bong, ternyata Cho Tang-lay tidak tahu, diapun tidak ambil perduli. Selama keheningan berlangsung, hanya mimik wajah Siau-ko seorang yang kelihatan sangat aneh. Dilihat dari mimik wajahnya itu, dia seolah-olah seperti melihat dengan jelas ada tujuh delapan ekor kalajengking, belasan kutu busuk yang menerobos masuk ke dalam bajunya, namun justru ia merasa tak tega untuk mengusiknya. Dia memang menyaksikan sesuatu yang orang lain tak akan melihatnya, sebab arah tempat duduknya persis menghadap ke arah sebuah jendela di sebelah kiri dan kebetulan jendela tersebut berada dalam keadaan terbuka. Di luar jendela tentu saja terdapat orang-orang yang dibawa Cho Tang-lay, namun sudut yang ditempati Siau-ko sekarang justru persis mengarah ke sebuah pohon di antara celah-celah kawanan manusia. Pohon itu sebuah pohon Pek yang besar dan sudah mengering, di bawah pohon Pek tersebut berdirilah seseorang. Seorang manusia yang sederhana, tenang dan membawa sebuah peti kayu kuno. Siau-ko ingin menerjang keluar, beberapa kali sudah siap menggerakkan tubuhnya, namun ia tak pernah bergerak. Karena dia tahu, saat ini sudah mencapai saat yang paling memuncak mati hidup semua orang akan ditentukan oleh keputusan yang diambil waktu itu, setiap gerakan atau setiap perbuatan yang dilakukan olehnya kemungkinan besar dapat mencelakakan keselamatan sahabatnya. Itulah sebabnya ia tak boleh bergerak. Dalam keadaan demikian dia hanya bisa berharap orang yang berdiri di bawah pohon sambil membawa peti itu jangan beranjak pula dari posisinya. Entah berapa saat kemudian, mendadak ia menyaksikan lagi suatu peristiwa yang sangat aneh. Tiba-tiba saja dia melihat Cho Tang-lay tertawa. Sampai detik itulah dia baru menemukan bahwa senyuman Cho Tang-lay sebenarnya amat memukau hati. Ia menyaksikan Cho Tang-lay bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu dengan mempergunakan sikap yang amat indah dia memberi hormat kepada Cu Bong. "Cu Tongcu, aku tak ingin menghormatimu secawan arak lagi," kata Cho Tang-lay, "perjalanan dari sini menuju ke Lok-yang sangat jauh, minum arak kelewat banyak kurang baik bagi kesehatan badanmu." Siau-ko tertegun, demikian pula dengan Cu Bong. "Kau mempersilahkan dia untuk pergi?" tanya Siau-ko, "kau benar-benar rela membiarkan dia pergi?" Cho Tang-lay tertawa hambar.
"Ia dapat bersahabat denganmu, mengapa tidak pula denganku" Ia dapat duduk di sini menemanimu minum arak sambil menyerempet bahaya, mengapa aku tak boleh membiarkan dia pergi meninggalkan tempat ini?" Ternyata ia menuntunkan sendiri kuda milik Cu Bong, sambil katanya lagi: "Cu Tongcu, setelah perpisahan hari ini mungkin kita masih akan bersua lagi di kemudian hari. Maaf kalau aku tak dapat menghantarmu lebih jauh." Debu menggulung-gulung setinggi langit-langit, seekor kuda dengan membawa Cu Bong dan Sepatu Paku telah berlalu dari situ dengan kecepatan tinggi. Memandang bayangan tubuh mereka hingga lenyap dari pandangan mata, Siau-ko baru berpaling ke arah Cho Tang-lay sambil menghela napas panjang. "Aaaai, sekarang aku baru percaya akan perkataan dari orang-orang persilatan, Cho Tang-lay memang seorang manusia yang luar biasa." Cho Tang-lay menghela napas pula. "Aaaaai, sayang aku tahu kalau kau tak akan berteman dengan manusia seperti aku ini, sebab kau hanya ingin menjadi tenar, ingin membunuh Suma Cau-kun di ujung pedangmu." Siau-ko termenung, termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya: "Yang mati mungkin bukan dia, melainkan aku." "Ya, benar!. Kemungkinan besar kaulah yang akan mati," kata Cho Tang-lay hambar, "bila ada orang bertaruh denganmu, aku berani bertaruh sepuluh lawan satu dengan memegang kau yang mati." Ia memandang sekejap ke arah Siau-ko, kemudian melanjutkan: "Jika kau bersedia untuk bertaruh denganku, akupun bersedia." "Aku tidak bersedia." "Mengapa?" "Sebab kalau kalah, aku tak mampu membayar." Selesai mengucapkan perkataan itu, Siau-ko menerjang keluar, sebab tiba-tiba ia menemukan orang yang semula berdiri di bawah pohon Pek kini sudah hilang secara tiba-tiba. Kali ini Siau-ko sudah bertekad akan menyusulnya sampai ketemu. ooo)O(ooo Bab-3. Penyergapan Fajar baru menyingsing, udara terasa dingin sekali hingga serasa menusuk tulang. Ketika Cho Tang-lay baru mendusin, Suma Cau-kun sudah menanti di ruang depan, duduk di kursi beralaskan kulit binatang dan meneguk arak anggur buatan Persia-nya.
Hanya Suma Cau-kun seorang yang boleh berbuat demikian, sebab dahulu pernah terjadi suatu peristiwa. Suatu hari seorang gadis yang mengira Cho Tang-lay tak mungkin bisa meninggalkan dirinya, baru akan duduk di kursi tersebut. Akibatnya dalam keadaan telanjang bulat dia dilempar keluar dari pintu. Semua yang dimiliki Cho Tang-lay hanya milik dia seorang, tak nanti dia akan mengijinkan orang lain untuk turut menikmatinya kecuali Suma Cau-kun seorang. Tapi Cho Tang-lay toh membiarkan boss-nya menunggu cukup lama di luar sebelum dia keluar dari kamar tidurnya dengan mengenakan jubah longgar dan bertelanjang kaki. Ucapan pertama darinya adalah bertanya kepada Suma Cau-kun: "Begini pagi sudah sampai di sini, apakah kau ingin buru-buru mengetahui mengapa kulepaskan Cu Bong kemarin?" "Benar!" sahut Suma Cau-kun, "aku tahu kau pasti mempunyai banyak alasan, sayang tak satupun yang berhasil kudapatkan." Cho Tang-lay juga duduk di atas sebuah kursi beralas kulit binatang, padahal di hari-hari biasa ia selalu berpakaian rapi di depan Suma Cau-kun, sikapnya hormat dan belum pernah duduk sejajar dengan Suma Cau-kun. Karena dia ingin orang lain merasa bahwa Suma Cau-kun selalu berada di atas. Tapi sekarang dalam ruangan itu hanya mereka berdua. "Aku tak dapat membunuh Cu Bong," ujar Cho Tang-lay, "pertama karena aku tidak ingin membunuhnya, kedua akupun tak punya keyakinan untuk berhasil." "Mengapa kau tak ingin membunuhnya?" "Seorang diri ia memasuki daerah pusat kekuasaan kita, dengan babatan goloknya menghabisi nyawa panglima kita, setelah tu sebenarnya dia bisa pergi dari sana, tapi lantaran ia harus menemani seorang sahabat untuk minum arak, maka ia tetap tinggal di situ." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya lagi dengan suara hambar: "Bila kubunuh dia dalam keadaan begitu, di kemudian hari orang persilatan pasti akan mengatakan bahwa si Singa jantan Cu Bong memang tak malu disebut seorang lelaki sejati, cukup setia kawan, cukup punya nyali." Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya: "Bila kubinasakan dirinya, bukankah hal ini sama artinya dengan menyempurnakan ketenarannya." Suma Cau-kun memperhatikan arak dalam cawan kristalnya, sampai lama kemudian dia baru berkata lagi dingin: "Aku tahu kau pasti mempunyai alasan, tapi aku tidak habis mengerti, mengapa kau katakan tak yakin bisa menang" Bukankah jumlah anak buah yang kau bawa sangat banyak" Masa kekuatan sedemikian besarnya tak sanggup menghadapi mereka bertiga?" "Bukan tiga, melainkan empat orang." "Siapakah orang yang ke empat itu?" "Aku tidak melihat dengan jelas, tapi aku dapat merasakan dia berdiri di luar jendela di belakangku, walaupun dia berdiri agak jauh di luar jendela, namun dalam perasaanku dia seakan- akan berada begitu dekat dengan punggungku."
"Mengapa?" "Sebab dia mempunyai hawa napsu membunuh. Belum pernah kujumpai hawa pembunuhan yang sedemikian menakutkannya." "Kau tidak berpaling untuk melihatnya dengan jelas?" "Tidak! Sebab aku tahu dia mengawasiku terus menerus, seakan-akan memberi peringatan secara khusus kepadaku, asal aku berani melakukan suatu gerakan, entah gerakan apapun, ia dapat turun tangan secara tiba-tiba." Setelah berhenti sejenak, terdengar Cho Tang-lay berkata lebih jauh: "Biarpun aku tidak melihat wajahnya, namun Ko Cian-hui tentu melihat tampangnya dengan jelas." "Darimana kau tahu?" "Waktu itu Ko Cian-hui duduk tepat di hadapanku, persis menghadap ke arah jendela, ketika kurasakan hawa napsu membunuh tersebut, paras muka Ko Cian-hui turut berubah pula, seakan- akan ia melihat sukma gentayangan secara tiba-tiba. Ko Cian-hui boleh di bilang seorang jago pedang nomor wahid di kolong langit dewasa ini, bila tanpa suatu sebab tertentu, mengapa dia menaruh perasaan jeri dan ngeri terhadap seseorang yang masih terasa asing baginya?" Mendadak Suma Cau-kun mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Maka kaupun merasa takut?" dengan nada mengejek Suma Cau-kun berkata, "benar-benar tak kusangka Cho Tang-lay pun bisa menjadi takut, takut kepada seseorang yang sama sekali tak sempat dilihatnya dengan jelas." Cho Tang-lay memandang wajahnya dengan pandangan dingin, menanti gelak tertawanya sudah selesai, dia baru berkata dengan suara yang tenang: "Biarpun aku tidak menyaksikan wajahnya, namun aku tahu siapakah dia." "Siapakah dia?" Suma Cau-kun segera menghentikan gelak tertawanya, "apakah kau menganggap dia adalah orang yang telah membinasakan Nyo Kian?" "Benar, sudah pasti benar!" Setelah berhenti sejenak Cho Tang-lay berkata lebih jauh: "Orang ini pasti sangat jarang melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan, pasti mempunyai suatu hubungan yang sangat istimewa dengan Cu Bong, tapi bukan berarti menjadi anak buahnya Cu Bong..... dan akupun yakin senjata yang dipergunakan orang ini sudah pasti terhitung senjata yang paling menakutkan dan belum pernah dijumpai manusia selama ini, senjata yang pada saat bersamaan dapat menggunakan banyak jenis senjata untuk menunjukkan kehebatannya......." "Masih ada?" Suma Cau-kun bertanya. "Sudah tidak ada lagi." "Hanya itu saja yang berhasil kau ketahui?" "Sampai detik ini hanya itu saja yang kuketahui, bahkan bagaimanakah bentuk dari senjata tersebut pun belum bisa kubayangkan sekarang, tapi aku yakin apa yang keketahui sekarang masih jauh lebih banyak daripada apa yang diketahui orang lain."
Suma Cau-kun ingin tertawa, namun ia tak mampu memperdengarkan gelak tertawanya. Cho Tang-lay adalah sahabatnya, sahabat karib yang pernah hidup mati gembira sengsara bersamanya, Cho Tang-lay terhitung pembantunya yang paling diandalkan pula. Tapi siapapun tak mengerti, apa sebabnya bila mereka berdua sedang berada berdua, ia selalu berusaha memojokkan Cho Tang-lay seakan-akan ingin melukai hatinya. Selama ini Cho Tang-lay tak pernah memberikan perlawanan, bahkan reaksi sedikitpun tak ada. Selesai meneguk habis secawan arak anggur, mendadak Suma Cau-kun bertanya kepada Cho Tang-lay: "Sekarang Sun Thong sudah mati, bagaimana dengan Kwik Chung?" "Kwik Cung pun tak ada!" "Kemarin pagi aku masih melihat dia, mengapa pagi ini sudah tak nampak?" "Sebab kemarin pagi aku sudah menyuruh dia berangkat ke Lok-yang. Begitu mendengar Cu Bong sudah sampai di Ang-hoa-ki, aku lantas menitahkan kepadanya untuk pergi." Setelah berhenti sebentar, lanjutnya: "Aku suruh dia setiap lima ratus li ganti kuda sekali, siang malam menempuh perjalanan tiada hentinya, dia mesti sampai dulu ke kota Lok-yang sebelum Cu Bong pulang." Berkilat sepasang mata Suma Cau-kun, mendadak ia bertanya: "Apakah dia pasti dapat menyusul ke sana?" "Pasti dapat!" "Seandainya ia gagal?" "Aku suruh dia mampus di kota Lok-yang dan tak usah pulang lagi." sahut Cho Tang-lay hambar. Suma Cau-kun sama sekali tidak bertanya lagi kepada Cho Tang-lay, apa sebabnya dia menyuruh Kwik Chung pergi ke Lok-yang dan mengerjakan apa di sana. Masalah seperti ini tak perlu ditanyakan lagi. Cho Tang-lay adalah pembantunya yang terutama, boleh dibilang semua rencana dan gerak- geriknya cukup dia pahami. Sekarang Cu Bong sedang menempuh perjalanan jauh, biarpun jago-jago andalannya tidak turut datang, sudah pasti mereka telah mempersiapkan diri di sepanjang jalan. Ini berarti sebelum Cu Bong pulang kembali, penjagaan di dalam markas besar Hiong-say-tong pasti lemah sekali, inilah kesempatan yang terbaik untuk melancarkan penyergapan. Asal kesempatan yang terbaik ini bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, penyergapan kali ini pasti akan jauh lebih bermanfaat daripada sepuluh kali pertarungan sengit. Siasat perang semacam ini sesungguhnya merupakan siasat yang sering digunakan Cho Tang-lay.
Rencananya kali ini benar-benar keji, dahsyat dan berani, juga merupakan taruhan terbesar yang dilakukan Cho Tang-lay selama ini. Terpaksa Suma Cau-kun bertanya kepada Cho Tang-lay: "Kau hanya mengutus Kwik Chung?" "Di kota Lok-yang pun kita mempunyai anak-buah, jadi Kwik Chung bukan pergi ke sana seorang diri." "Masih ada siapa lagi?" "Masih ada Bok Ki si Ayam Kayu!" "Hah...si Ayam Kayu?" tergetar wajah Suma Cau-kun, "kau tidak membunuhnya?" "Dia adalah seorang manusia yang sangat berguna, berguna pula untuk diri kita, mengapa aku harus membunuhnya?" "Dia toh di utus Cu Bong untuk membunuh Nyo Kian. Apakah kau tidak kuatir dia akan mengkhianati kita?" "Yang akan dibunuh olehnya sekarang sudah bukan Nyo Kian, melainkan Cu Bong." "Mengapa?" "Karena dia sudah tahu kalau Cu Bong hanya ingin memperalat dirinya sebagai tameng belaka, bahkan memang berniat menghantarkan kematiannya kemari, sebab Cu Bong sudah menghitung dengan tepat kalau dia tak akan berhasil. Dia tidak takut diperalat orang, tapi tak akan tahan menghadapi penghinaan seperti ini." Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan: "Apalagi aku telah membayar sejumlah uang yang jauh lebih besar daripada apa yang dibayar Cu Bong kepadanya." Suma Cau-kun menatap ke arahnya, sorot mata itu penuh memancarkan sinar ejeken yang sinis. "Sekarang aku baru tahu mengapa kau tidak membunuh Cu Bong," kata Suma Cau-kun, "kau mengharapkan dia pulang dalam keadaan hidup, kau ingin dia merasakan dulu pelajaran yang akan kau berikan kepadanya, kau menginginkan agar dia mengetahui kelihayanmu." Sambil memandang Cho Tang-lay dan tersenyum ia melanjutkan: "Kau memang selalu demikian, selalu menginginkan agar orang lain membencimu juga takut kepadamu." "Benar! Aku memang berharap Cu Bong menjadi takut, agar dia takut sehingga melakukan kesalahan dan kebodohan yang tak terampuni lagi. Cuma yang benar aku bukan berniat membuatnya takut kepadaku, melainkan takut kepadamu." Suaranya lembut sekali, seakan-akan dia memang berbicara dengan suara hati yang sebenarnya: "Kecuali kita sendiri, tiada orang yang tahu siapakah yang sebenarnya mengatur gerakan kali ini." Suma Cau-kun melompat bangun, otot-otot hijau pada keningnya pada menonjol semua.
"Tapi aku tahu dengan pasti," teriaknya keras-keras, "untuk melakukan pekerjaan sedemikian besarnya, mengapa kau tidak bertanya dulu kepadaku" Mengapa kau harus melakukannya lebih dulu baru kemudian melaporkan segala sesuatunya kepadaku?" Sikap Cho Tang-lay masih tetap tenang dan kalem, dengan suatu pandangan yang lembut ditatapnya wajah Suma Cau-kun. "Karena yang kuinginkan darimu bukan pekerjaan semacam ini, aku ingin kau melakukan suatu pekerjaan besar, agar kau menjadi seorang Enghiong yang tiada keduanya di dunia ini serta menyelesaikan suatu karya besar yang tak pernah ada keduanya di kolong langit......" Suma Cau-kun mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang dan melotot ke arahnya sampai lama sekali, mendadak dia menghela napas dan mengendorkan kembali kepalannya. Pelan-pelan dia bangkit berdiri kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun berjalan menuju keluar. Tiba-tiba Cho Tang-lay bertanya kembali: "Ko Cian-hui masih berada di sekitar Tiang-an, menunggu jawaban darimu, kapan kau berniat untuk bertarung dengannya?" Suma Cau-kun tidak berpaling, ia masih melanjutkan langkahnya ke depan. "Terserah kepadamu," tiba-tiba suaranya berubah sedingin salju, "dalam masalah seperti ini, aku percaya kau tentu sudah mempersiapkannya dengan baik, bagaimanapun juga bertarung dalam keadaan dan saat apapun sama saja hasilnya bagi dia, ia tak mempunyai setitik kesempatanpun, karena aku tak akan memberikan kesempatan seperti apapun kepadanya.............." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya: "Maka di dalam masalah seperti ini, kau tak usah bertanya lagi kepadaku di kemudian hari." ooo)O(ooo Ketika Ko Cian-hui mendusin, tangan dan kakinya hampir menjadi kaku karena kedinginan. Sebenarnya di dalam bilik sederhana dalam rumah penginapan murahan ini terdapat sebuah tungku pemanas kecil namun sekarang arang untuk tungku pemanas tersebut sudah hampir ludas terbakar. Ia melompat bangun dan melakukan enam tujuh puluhan macam gaya yang aneh-aneh, tubuhnyapun seperti karet lemas dapat berputar dan membentuk gerakan apapun yang dikehendaki. Baru setelah mencapai gerakan ke sebelas, seluruh badannya mulai terasa hangat kembali, tatkala semua gerakan sudah selesai dilakukan, ia merasa semangatnya menjadi segar kembali, wajahnya bercahaya dan hatinya amat riang. Ia percaya, hari ini pasti dapat bertemu dengan orang yang membawa peti tersebut. Sejak meninggalkan warung teh kemarin, dia telah berjumpa tiga kali lagi dengan orang ini, pertama kali bertemu di tepi sebuah sungai kecil yang telah membeku, sekali berjumpa di kaki bukit dan sekali lagi di sebuah lorong sempit dalam kota Tiang-an. Ia dapat melihat kesemuanya itu dengan jelas. Biarpun sampai sekarang dia belum dapat melihat jelas paras muka orang itu, namun jubah kapasnya yang abu-abu dan kotak kulit kerbaunya yang coklat tak mungkin akan salah lihat lagi.
Sayangnya setiap kali dia menyusul ke depan, orang itu seakan-akan menguap ke udara saja, tahu-tahu hilang lenyap tak berbekas. Namun ia tak putus asa, dalam hati kecilnya dia telah memutuskan untuk melanjutkan pengejaran, dan dia harus pulang ke rumah untuk beristirahat lebih dulu sebelum melanjutkan cita- citanya. Beberapa kali pemunculannya membuat dia menarik kesimpulan kalau orang itu bukannya tidak bermaksud untuk bertemu dengannya, kalau tidak, mustahil dia akan sengaja menampakkan diri di hadapannya sebanyak tiga kali. Bisa jadi orang itu sedang menyelidiki tentang dia, menyelidiki ilmu silatnya, menyelidiki apakah dia menaruh niat jahat kepada dirinya. Siau-ko percaya bila ia tidak pergi mencarinya lagi, cepat atau lambat orang itu tentu akan menampakkan diri. Biarpun salju sudah berhenti sekarang, udara terasa lebih dingin, maka Siau-ko memutuskan untuk bersantap semangkuk mie kuah panas lebih dulu. Baru tiba di rumah makan, penjual mie langganannya, Siau-ko telah melihat lagi orang itu bersama petinya. Sekarang, belum tiba saat untuk bersantap siang, tidak banyak tamu yang bersantap di warung penjual bakmi itu. Orang itu duduk di sudut ruang yang merupakan tempat Siau-ko biasa duduk, ia sedang makan semangkuk mie, semangkuk mie kuah sawi putih seperti kegemaran Siau-ko. Petinya terletak di sisi tangannya. Sebuah peti berbentuk pipih dengan lebar satu depa dan panjang dua depa. Benda apakah yang terdapat dalam peti itu" Benarkah peti yang begini sederhananya adalah senjata yang paling menakutkan di dunia saat ini" Siau-ko ingin sekali menerjang ke depan, merampas peti tersebut dan membukanya. Tapi ia berusaha untuk mengendalikan gejolak emosi tersebut. Entah bagaimanapun juga, kali ini dia dapat melihat raut wajah orang itu dengan jelas. Selembar wajah kuning kepucat-pucatan dengan sepasang mata yang sayu tak bercahaya, gerak-geriknya lemah seperti orang tak bertenaga, persis seperti pasien yang terserang sakit parah selama tujuh delapan belas tahun, orang yang hampir sekarat. Biarpun dalam warung itu penuh dengan tempat kosong, namun Siau-ko bersikeras menghampiri orang itu dan duduk dihadapannya. Ia memesan dulu semangkuk mie, kemudian baru ujarnya kepada orang tersebut: "Aku she Ko, Ko dalam arti kata tinggi, nama lengkapku Ko Cian-hui yang artinya kian lama kian terbang tinggi."
Pedang Ular Merah 8 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 16

Cari Blog Ini