Ceritasilat Novel Online

Pendekar Binal 12

Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 12


Ho Sik-hiang jadi melenggong sehingga tidak dapat tertawa, Selanjutnya Kang Giok-long lantas memperkenalkan pula dua pemuda, yang satu tinggi kurus sebagai tiang, namanya Ho Koan-kun, putra Kui-eng-cu (bayangan setan) Ho Bu-siang yang terkenal Ginkangnya nomor satu di daerah Kang-lam. Seorang lagi pendek gemuk berwajah tertawa, sorot matanya tajam, tampaknya ilmu silatnya paling tinggi di antara kelima anak muda ini.
Siau-hi-ji menyapu pandang secara acuh, ia tahu beberapa pemuda putra dari ayah terkenal ini sesungguhnya cuma sok aksi belaka dan menyebalkan.
Tapi ia pun menduga jika tiga di antara mereka berlima itu mengerubutnya, rasanya dirinya sukar melawannya. Padahal mereka itu memandangi Siau-hi-ji dengan rasa mendongkol.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan suara genit, "Ai, dasar Giok-long yang tidak berperasaan, sudah tahu aku berada di sini, tapi aku tak digubrisnya." Menyusul dari salah sebuah kereta itu melangkah turun seorang nona belasan tahun, usianya masih belia, tapi dandanannya seperti siluman tertawa sambil main mata.
Bicara sejujurnya muka anak perempuan ini sebenarnya tidak jelek, cuma Siau-hi-ji merasa mual melihat tingkah lakunya, sebaliknya Kang Giok-long lantas menyambutnya dengan gembira, serunya, "Sun Siau-moay, jika kutahu kau juga datang, sejak tadi tentu sudah kusambut ke situ."
Seperti penari di panggung saja Sun Siau-moay itu terus pentang kedua tangannya dan menubruk ke dalam pelukan Kang Giok-long sambil mengomel genit, "Ai, kau setan cilik ini ke mana saja selama ini, sungguh aku sangat merindukanmu."
Pek Leng-siau lantas berseloroh, "Lihatlah, betapa pun Kang-heng kita memang lebih romantis ...."
Sun Siau-moay berpaling, ucapnya dengan suara kenes, "Coba lihat, bukankah kau jadi jauh lebih kurus?" Sepasang matanya lantas berkedip-kedip dan berlagak mewek-mewek, tapi betapa pun juga tiada setitik pun air mata yang menetes.
Kang Giok-long meraba pipi Sun Siau-moay, katanya dengan tertawa merayu, "Jangan sedih, sayang, aku sudah pulang, bisa jadi kau akan tambah kurus pula."
"Ai, dasar kau ini ...." demikian Sun Siau-moay mengomel sambil meliuk pinggang.
Serentak tertawalah para pemuda. Hanya Siau-hi-ji saja yang merasa muak, kalau saja dia habis makan, bukan mustahil isi perutnya akan tertumpah keluar.
Sun Siau-moay lantas mendelik, dengan bertolak pinggang ia membentak,
"He, siapa kau" Sungguh memuakkan, lekas pergi sana."
"Kalau aku dapat pergi sungguh aku harus berterima kasih kepada langit dan bumi," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.
***** Sambil berdekap di jendela kereta kepala Siau-hi-ji hampir seluruhnya menongol keluar, soalnya 'Sun Siau-moay' itu sedang meringkal dalam pelukan Kang Giok-long, Siau-hi-ji tidak tahan oleh bau harum yang memabukkannya itu.
Hoa Sik-hiang dan Pek Leng-siau sebenarnya juga membawa kereta masing-masing, tapi sekarang mereka pun berjubel dalam satu kereta. Mereka asyik bersenda-gurau dan main cubit segala, pada hakikatnya Siau-hi-ji tak dipedulikan oleh mereka.
Diam-diam Siau-hi-ji heran mengapa Kang Giok-long juga berubah serendah ini, ia coba meliriknya, dilihatnya wajah anak muda itu juga tertawa gembira, tapi sorot matanya tetap gemerdap seperti mata alap-alap sedang mengincar mangsanya. Jelas dia tidak serendah kawan-kawannya itu, dia cuma pura-pura saja mengikuti tingkah mereka. Kalau tidak pura-pura begitu tidak mungkin putra-putra keluarga ternama itu menganggapnya sebagai sahabat karib.
Siau-hi-ji tersenyum, kembali ia menjulurkan kepalanya keluar kereta, dilihatnya Li Beng-sing yang berjuluk "baju merah golok emas" itu menunggang kuda mengiring di belakang, cambuknya menggeletar di udara menakutkan orang yang berlalu lalang dan cepat menyingkir jauh ke tepi jalan.
Terdengar suara tertawa cekikikan Sun Siau-moay di dalam kereta laksana kotekan ayam betina yang sedang berahi. Diam-diam Siau-hi-ji menghela napas gegetun, beginikah angkatan penerus dunia persilatan yang akan datang"
"Ai, hari ini aku benar-benar senang sekali," demikian terdengar Sun Siaumoay lagi berkata dengan cekikikan. "Cuma sayang ...."
"Cuma sayang di sini kelebihan satu orang, begitu bukan?" tukas Hoa Sik-hiang.
Sun Siau-moay berkedip-kedip, ucapnya, "Ya, pernahkah kau melihat orang menjemukan begini?"
"Sudah tentu pernah," jawab Hoa Sik-hiang, "Bukankah di Jun-hoa-ih tempo hari kita juga bertemu seorang nona Po, begitu gembrot dia sehingga Pek-heng hampir tak dapat bernapas tertindih olehnya. Bukankah nona Po itu tidak banyak berbeda dengan saudara ini?"
Belum habis ucapannya, semua orang lantas terpingkal-pingkal. Tapi demi melihat Siau-hi-ji juga tertawa, bahkan tertawanya lebih gembira daripada siapa pun juga, maka seketika mereka tak dapat tertawa lagi.
Sambil melototi Siau-hi-ji, Sun Siau-moay berkata dengan mendongkol,
"Sungguh heran, mengapa saudara ini masih kerasan duduk di sini. Kalau aku menjadi dia, lebih baik kukutungi sebelah tanganku daripada duduk lagi di sini."
Dengan tertawa Siau-hi-ji menanggapi, "Ya, saudara kita ini tiada ciri lain kecuali kulit mukanya teramat tebal, dia lebih suka duduk tiga tahun di sini daripada dia membuntungi tangannya sendiri."
Semua mata melotot, semua orang murka, tapi Siau-hi-ji sedikit pun tidak peduli, ia tahu mereka paling-paling hanya dapat membuatnya marah saja dan tiada cara lain, soalnya Kang Giok-long duduk di sebelahnya dengan tangan terbelenggu menjadi satu, dalam keadaan demikian, jelas mereka tidak berani sembarangan turun tangan padanya. Lebih-lebih Kang Giok-long yang cukup tahu kepandaian Siau-hi-ji, mana dia berani menyerempet bahaya dengan taruhan jiwanya sendiri.
***** Bak mandi itu tampaknya sebuah tong kayu yang dibuat khusus, hampir setinggi orang, di bagian bak bahkan ada tempat perapian, air dalam bak tampak mengepul.
Seluruh tubuh Kang Giok-long terendam di dalam bak air itu, dengan menyipitkan mata saking enaknya, berulang-ulang ia mengeluarkan rintihan kenikmatan.
Tapi bagaimana dengan Siau-hi-ji"
Sungguh sial, dia cuma berdiri saja di luar bak dan menyaksikan orang mandi dengan nikmatnya. Malahan sebelah tangannya harus terangkat di tepi bak, dengan sendirinya dia seperti disiksa.
Pek Leng-siau, itu putra panglima yang cakap duduk di depan sana, kedua kakinya terangkat tinggi di atas meja, sambil meraba jenggotnya yang belum tumbuh merata itu ia berkata dengan tertawa, "Saudara Giok-long, bagaimana rasanya bak mandiku ini?"
"Wah, nikmat sekali," jawab Giok-long sambil menyipitkan mata.
"Jangan kau menyepelekan bak mandi ini," kata Pek Leng-siau pula.
"Tidaklah kecil arti asal usul bak mandi ini, bahkan datangnya dari jauh di timur sana (negeri Jepang). Konon orang di kepulauan timur sana sangat mengutamakan mandi, mandi merupakan kenikmatan hidup terbesar dalam kehidupan mereka. Maka sekali mandi terkadang hingga berjam-jam lamanya."
"Mandiku ini juga lebih satu jam," ucap Giok-long dengan tertawa.
Akhirnya ia bangkit, di tengah tertawa genit, dua pelayan cantik yang menggiurkan dan telanjang kaki membawakan handuk untuk mengeringkan tubuhnya, tangan mereka yang putih halus itu menggosok perlahan badan Kang Giok-long yang kemerah-merahan itu.
"Cara menggosok badan begitu juga adat kebiasaan di kepulauan timur sana, konon kalau tiada perempuan cantik yang menghanduki badanmu, maka belum dapat dianggap sebagai mandi," kata Pek Leng-siau dengan tertawa.
"Wah, jika tiap mandi begini, rasanya aku tidak tahan," ucap Kang Giok-long.
Kedua pelayan cantik tadi tertawa ngikik dan mengenakan baju bagi Kang Giok-long. Sudah tentu segar rasanya seluruh badan sehabis mandi, ia mengulet kemalas-malasan, katanya pula dengan tertawa, "Ruas tulang sekujur badan serasa lepas semua, rasanya tubuhku menjadi lebih enteng sepuluh kati."
"Tapi aku merasa bertambah berat sepuluh kati," kata Siau-hi-ji.
"Sungguh menyesal, tuan rumah di sini tidak berhasrat melayani kau mandi, bila kau juga ingin mandi, boleh silakan mandi keluar sana, tapi Cayhe tidak sanggup mengiringimu," kata Giok-long dengan ketus.
"Sudah tentu, sudah tentu," kata Siau-hi-ji. "Apabila aku ingin mandi, maka tanganku harus dikutungi supaya dapat keluar, begitu bukan?"
"Asal kau tahu saja," jawab Giok-long.
"Tapi biarpun aku tidak mandi juga jauh lebih bersih daripada sementara manusia yang kotor dan tidak tahu malu," ujar Siau-hi-ji.
Pek Leng-siau menjadi marah, "Siapa yang kau maksudkan?"
"Memangnya kau ini manusia kotor dan tidak tahu malu?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kentutmu busuk!" damprat Pek Leng-siau.
"Jika bukan, maka yang kumaki tentunya orang lain, kenapa kau marah-marah?" kata Siau-hi-ji.
Terdengar Sun Siau-moay lagi berseru dengan tertawa genit di luar pintu,
"He, Kang Giok-long, apakah kau mati tenggelam di dalam bak" Kenapa tidak lekas keluar, ayolah makan bersama, hari ini Hoa Sik-hiang akan menjamu engkau di Giok-lau-tang."
"Giok-lau-tang" Apakah cabang restoran terkenal dari Tiangsah itu?" tanya Giok-long.
"Ya, benar," jawab Sun Siau-moay.
"Wah, teringat kepada 'Bit-ciap-hwe-tui' (ham masak saus manis), rasanya air liurku akan menetes," seru Kang Giok-long gembira.
***** Ham masak saus manis restoran Giok-lau-tang memang termasyhur, dipandang di bawah cahaya lampu tampaknya mirip satu porsi batu manikam yang gemerlap menyenangkan.
Akan tetapi ternyata tidak menyenangkan sama sekali bagi Siau-hi-ji, baru saja ia menjulurkan sumpit hendak mencomot, kontan ia disampuk balik oleh sumpit Pek Leng-siau.
"Hihi, aku kan tidak kenal kau, memangnya kami menjamu dirimu," dengan ngikik Hoa Sik-hiang mengejek.
"O, ya, betul, jika aku ingin makan, tanganku harus kubuntungi dan keluar sana untuk makan sendiri," tukas Siau-hi-ji.
"Haha, tampaknya kau semakin pintar," Pek Leng-siau tertawa.
Maka Siau-hi-ji hanya bertugas sebagai penonton saja, menyaksikan mereka makan minum sesukanya, malahan wajahnya terpaksa harus tersenyum simpul, tapi perutnya yang menjerit-jerit minta tolong.
Sambil melirik Siau-hi-ji, Hoa Sik-hiang berolok-olok dengan tertawa, "Jika aku menjadi, dia, rasanya lebih baik aku menyusup ke kolong meja saja, bisa jadi di kolong ada dua-tiga kerat bakkut (tulang iga), daripada cuma duduk menelan air liur."
Kontan Siau-hi-ji balas berolok-olok dengan tertawa, "Jika aku dilahirkan jadi lelaki tidak perempuan bukan, lebih baik kumati terjun ke sumur saja daripada bikin malu orang tua belaka."
Seketika Hoa Sik-hiang menggebrak meja dan mendamprat, "Keparat, kau memaki siapa?"
"Memangnya kau ini bukan lelaki dan tidak perempuan. Makanya marah?"
jawab Siau-hi-ji. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tangga berdetak riuh, beberapa orang muncul dengan langkah cepat. Usia beberapa orang ini rata-rata sudah lebih lima puluhan, dandanan sangat mentereng, begitu sampai di atas loteng, mereka sama memandang kian kemari dengan sikap kereng, jelas mereka bukan sembarangan orang.
Hoa Sik-hiang, Li Beng-sing, Ho Koan-kun yang sok garang itu seketika kuncup dan berdiri demi nampak beberapa orang tua itu. Sikap mereka menjadi alim dan munduk-munduk, ada yang menyebut "Suhu" dan ada yang memanggil "Ayah".
Diam-diam Siau-hi-ji berkerut kening, pikirnya, "Kiranya orang-orang ini adalah ayah dan guru kawanan pemuda ini. Wah, tampaknya aku bisa celaka."
Tak tersangka beberapa orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan anak murid mereka, tapi malah langsung mendekati Siau-hi-ji dan memberi hormat sambil menyapa dengan tertawa, "Apakah ini Kang Hi, Kang-siauhiap adanya?"
Tentu saja Siau-hi-ji tambah heran dan bingung, jawabnya berkedip, "Ya, betul aku."
Salah seorang berwajah putih dan berjenggot jarang-jarang lantas berteriak,
"He, pelayan, lekas sediakan meja perjamuan, kami akan menyambut kedatangan Kang-siauhiap ini."
Seketika Hoa Sik-hiang dan kawan-kawannya sama melenggong seperti orang linglung.
Kini dapat diketahui Siau-hi-ji bahwa si muka putih berjenggot jarang-jarang ini adalah Giok-bin-boan-koan, ayah Hoa Sik-hiang. Selain itu Kui-eng-cu Ho Bu-siang dan Kim-say-cu Li Tik juga hadir semua, tokoh-tokoh persilatan terkemuka di kota ini ternyata tiada seorang pun yang absen.
Maka Siau-hi-ji sendirian dapatlah menghabiskan satu porsi penuh ham masak saus manis, akhirnya ia tertawa geli dan berkata, "Anak-anak menganggap diriku seperti kentut, bapaknya munduk-munduk dan menjamu aku dengan hormat, sebenarnya apa sebabnya, dapatkah kalian menjelaskannya?"
"Jika anak-anak kurang sopan padamu, mohon Kang-siauhiap memberi maaf," ucap Giok-bin-boan-koan.
Siau-hi-ji memandang Kang Giok-long yang melenggong di sampingnya itu, katanya dengan tertawa, "Ah, tidak menjadi soal bagiku, cuma kalian ...."
Kui-eng-cu Ho Bu-siang yang tinggi kurus dan berwajah hitam itu menanggapi, "Atas permintaan seorang Bu-lim-cianpwe (angkatan tua kalangan persilatan) kami selaku tuan rumah di sini disuruh melayani Kang-siauhiap sebaik-baiknya, Bu-lim-cianpwe ini sangat terhormat dan disegani
...." "Siapa dia sebenarnya?" tanya Siau-hi-ji.
"Masa Kang-siauhiap sendiri tidak tahu?" jawab Giok-bin-boan-koan.
"Aku cuma tahu dia punya satu hidung, dua mata dan sepasang telinga."
Giok-bin-boan-koan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa,
"Cianpwe itu menyuruh kami menjaga rahasia, tentunya lantaran beliau tidak mengharapkan balas jasa dari Kang-siauhiap."
"Jangan khawatir, selamanya aku memang tidak kenal balas segala, kalau balas dendam sih tak pernah lupa," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tapi kalau sulit juga untuk balas dendam, terkadang kuanggap beres begitu saja!"
"Kalau setiap orang Kangouw memiliki jiwa besar seperti Kang-siauhiap, sungguh bahagialah dunia persilatan kita," kata Giok-bin-boan-koan.
"Dan sekarang dapatkah kau katakan siapa gerangan beliau?" tanya Siau-hi-ji.
"Ketua Go-bi-pay, Sin-sik Totiang," jawab Giok-bin-boan-koan dengan perlahan dan jelas.
"Kiranya dia," tukas Siau-hi-ji. "Sepanjang jalan dia telah banyak membantuku, kiranya dia tidak melupakan diriku." Lalu ia tepuk tangan Kang Giok-long dan menambahkan, "Kau pun tidak menduganya bukan?"
"Ya," sahut Giok-long kaku.
"Hebat, sungguh hebat, ketua Go-bi-pay yang terhormat dan disegani ternyata sudi menjadi pengawalku," seru Siau-hi-ji sambil tertawa.
Teka-teki yang tak terjawab kini telah dipecahkan, segera Siau-hi-ji makan minum sepuas-puasnya. Dengan tersenyum Giok-bin-boan-koan dan kawan-kawannya memandangi tanpa ikut makan.
Setelah kenyang bersantap, akhirnya Siau-hi-ji menaruh sumpitnya dan meraba perutnya, katanya dengan tertawa, "O, perutku sayang, sudah lunas rasanya utangku padamu."
"Apakah Kang-siauhiap sudah cukup dahar?" tanya Giok-bin-boan-koan.
"Wah, hampir saja perutku meletus," jawab Siau-hi-ji.
"Perlukah menambah makanan kecil atau buah-buahan?" tanya Giok-bin-boan-koan.
"Aku sih kepingin, tapi perut tidak muat lagi," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Jika begitu, rasanya permintaan Sin-sik Totiang sudah kami tunaikan dengan baik dan kewajiban kami sebagai tuan rumah juga terpenuhi," ucap Giok-bin-boan-koan dengan tersenyum.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, tanyanya, "Di dalam ucapanmu rasanya seperti ada ucapan pula" ...."
Sekonyong-konyong Giok-bin-boan-koan berbangkit lalu berkata dengan perlahan, "Silakan saudara membuka daun jendela dan memandang ke sana."
Waktu Siau-hi-ji melakukan apa yang dikatakan itu, tertampaklah bagian jalan raya di bawah sudah tiada penerangan lampu serta orang berlalu pula, sebaliknya ada berpuluh lelaki dengan dandanan ringkas telah mengepung rapat restoran itu.
Baru sekarang Siau-hi-ji menyadari bahwa di atas loteng sekarang juga tiada tetamu lain pula, hanya pelayan saja yang berdiri di dekat tangga sana dan tampaknya gemetar ketakutan.
"Apa-apaan ini?" tanya Siau-hi-ji kemudian.
"Karena permintaan Sin-sik Totiang, maka kami sudah memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah," kata Giok-bin-boan-koan dengan ketus. "Tapi ada seorang lain lagi yang minta kami mengambil kepalamu, coba bagaimana menurut pendapatmu?"
"Haha, sungguh bahagia kepalaku ini juga dimaui orang," kata Siau-hi-ji dengan tergelak. "Tapi siapa pula orang yang menghendaki kepalaku itu"
Betapa pun juga harus kau beritahu bukan?"
"Cukup asalkan kau tahu dia berhidung satu dan bermata dua, begitu saja,"
jengek Giok-bin-boan-koan.
Waktu Siau-hi-ji berpaling, dilihatnya Kang Giok-long dan lain-lain sama mengunjuk rasa girang, sedangkan Kui-eng-cu dan lain-lain tampak prihatin dan penuh nafsu membunuh. Mereka sudah mengepungnya, pada hakikatnya Siau-hi-ji tiada kesempatan buat meloloskan diri, sekali dia bergerak bisa jadi akan terjadi banjir darah. Apalagi sebelah tangannya masih terbelenggu bersama tangan Kang Giok-long, betapa pun ia tak dapat kabur.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya sambil menyengir, "Tampaknya terpaksa harus kuserahkan kepalaku padamu .... Hah, satu porsi ham masak saus manis bertukar dengan kepalaku, sungguh terlalu murah."
"Sret", mendadak Kim-say-cu Li Tik melolos goloknya dan membentak, "Nah, apakah kau menunggu kami bertindak padamu?"
"Tidak perlu," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Hanya ingin kuketahui apakah golokmu ini cukup tajam atau tidak" Jika sekali tebas dapat memenggal kepalaku, maka ingin kupinjam sebentar."
"Baik, mengingat ketenanganmu menghadapi ajal masih sanggup tertawa, biarlah kupinjamkan golok ini padamu," kata Li Tik dengan tergelak, "plok", mendadak ia sambitkan goloknya hingga menancap di atas meja.
Perlahan-lahan Siau-hi-ji menjulurkan tangannya untuk memegang tangkai golok, berpasang sorot mata yang jauh lebih dingin daripada cahaya golok itu sama mengikuti gerak tangannya itu.
Sambil menatap tajam Siau-hi-ji, mendadak Giok-bin-boan-koan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Boan-koan-pit, potlot baja.
Perlahan-lahan Giok-bin-boan-koan mengelus senjatanya, begitu halus caranya mengelus hingga seperti jejaka yang sedang membelai sang kekasih.
Diam-diam Siau-hi-ji sangsi, jarinya sudah menempel tangkai golok, tapi tidak lantas dicabutnya.
"Ayolah cabut, kenapa tidak kau cabut golok itu dan bacokkan padaku atau orang lain atau palangkan mata golok di kuduk Giok-long untuk memaksa kami membebaskanmu"!" kata Gion-bin-boan-koan dengan terbahak-bahak.
Lalu ia menyambung, "Yang jelas kau takkan membunuh diri, betul tidak?"
Tangan Siau-hi-ji sudah memegang tangkai golok dan tetap diam saja. Ia merasa tangannya menjadi dingin, bahkan berkeringat.
"Kutahu kau tak berani mencabut golok itu, sebab kalau kau cabut berarti akan mempercepat kematianmu," kata Gion-bin-boan-koan. "Mengingat kau orang pintar, biarlah kubikin kau mati cepat saja. Nah, pergilah kau!"
Habis berkata, sekali bergerak segera potlot bajanya menutuk ke Thian-tut-hiat di tenggorokan Siau-hi-ji.
Thian-tut-hiat adalah salah satu Hiat-to mematikan di tubuh manusia, asal kena pukul atau tertendang saja juga sukar tertolong, apalagi sekarang ditutuk dengan Boan-koan-pit seorang ahli. Sudah berulang kali Siau-hi-ji mengalami petaka dan tidak mati, siapa tahu sekarang dia harus menemui ajalnya di sini.
Dalam keadaan tidak berdaya, Siau-hi-ji menyaksikan ujung potlot baja yang runcing itu sudah dekat di lehernya. Ia menjadi malas untuk berkelit, sebab ia tahu tiada gunanya mengelak, serangan pertama dapat dihindarkan tentu serangan kedua akan menyusul dan akhirnya juga sukar menyelamatkan diri.
Kalau akhirnya toh harus mati, apa salahnya kalau mati secara cepat dan enak saja.
Tak terduga, ketika ujung potlot baja sudah hampir menutul tenggorokannya itulah mendadak terdengar suara "tring", sebuah cawan arak menyambar tiba dari luar jendela dan dengan tepat mengatup di ujung Boan-koan-pit.
Padahal betapa kuat tenaga tutukan potlot baja itu, cawan arak juga benda yang mudah pecah. Tapi anehnya cawan yang menyambar tiba dari tempat jauh itu dengan tepat menyangkol pada ujung potlot tanpa pecah. Sebaliknya tangan Giok-bin-boan-koan malah kesemutan tergetar. Keruan ia kaget dan cepat melompat mundur sambil membentak, "Siapa itu?"
Di bawah remang-remang sinar bulan sabit tertampaklah di atas papan merek toko kain sutera di seberang jalan sana menongkrong satu orang. Rambut orang itu semrawut, dada baju terbuka, tangan memegang buli-buli besar dan sedang menenggak araknya dengan nafsu, karena sebagian besar wajahnya teraling buli-buli, maka tidak terlihat jelas siapakah dia.
Akan tetapi sekali lirik saja Siau-hi-ji lantas mengenali orang itu, diam-diam ia membatin, "Munculnya orang itu tentu akan menimbulkan banyak tontonan menarik."
Dalam pada itu Giok-bin-boan-koan telah menyendal potlot bajanya tadi, kontan cawan arak yang menyangkol di ujung potlot itu menyambar balik ke sana dan langsung mengincar dada orang aneh itu. Ia percaya dengan tenaganya yang lihai itu, biar siapa pun juga asal terkena cawan arak itu pasti tubuhnya akan bertambah satu lubang.
Maka terdengarlah suara "tring" pula, dengan tepat cawan arak itu menghantam tubuh orang itu, cawan itu pun pecah berantakan, tapi tampaknya orang itu seperti tidak merasakan apa-apa.
Tentu saja Giok-bin-boan-koan terkesiap, Hoa Sik-hiang, Pek Leng-siau dan lain-lain serentak melolos senjata.
Tanpa terlihat bergerak, tahu-tahu tubuh Kui-eng-cu Ho Bu-siang melayang ke sana. Ginkangnya terkenal nomor satu di daerah Kang-lam, gerakannya itu memang cepat luar biasa dan lain daripada yang lain. Selagi tubuh masih terapung di udara, sekaligus tangannya bergerak, berpuluh bintik perak sudah lantas menyambar ke depan.
Orang yang menongkrong di sana itu tertawa terbahak-bahak, sekonyong-konyong satu jalur perak tersembur dari mulutnya, kontan senjata rahasia yang dihamburkan Kui-eng-cu itu tersampuk balik, cahaya perak itu bahkan menyambar pula di tubuh Kui-eng-cu.
Jagoan yang terkenal Ginkangnya nomor satu itu ternyata tidak mampu menahan jalur perak itu, kontan dia terpental balik terlebih cepat daripada melayangnya ke depan tadi, melayang masuk dari jendela terus melintasi meja dan "bluk", akhirnya tertumbuk di dinding.
Dan baru sekarang jalur perak itu muncrat berhamburan, seketika semua orang mengendus bau arak. Kiranya yang tersembur dari mulut orang itu hanyalah arak yang ditenggaknya.
Melulu semburan arak saja dapat membikin Kui-eng-cu mencelat balik, keruan semua orang melongo kaget. Pek Leng-siau, Hoa Sik-hiang dan lain-lain yang belum berpengalaman tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit, segera mereka putar senjata terus hendak menerjang ke sana.
Tapi mendadak terasa sesuatu benda menyambar tiba, menyusul lantas terdengar "plak-plok" beberapa kali, tahu-tahu senjata di tangan Pek Leng-siau dan lain-lain tak kelihatan lagi, masing-masing meraba pipi sendiri yang merah bengap. Rupanya dalam sekejap itu mereka masing-masing telah kena ditempeleng satu kali.
Waktu mereka mengawasi, ternyata orang yang menongkrong di atas papan merek di seberang jalan tadi entah sejak kapan sudah duduk di kursi yang semula diduduki Kui-eng-cu, tangan kirinya memegang buli-buli arak, sedangkan tangan kanan menggenggam berbagai senjata milik Pek Leng-siau dan kawan-kawannya.
Muka Kang Giok-long seketika pucat pasi demi mengenali siapa orang ini.
Mendadak orang itu menggebrak meja dengan senjata-senjata yang digenggamnya itu sambil membentak, "Anak kura-kura, melihat Locu sudah datang, kenapa tidak lekas menyediakan santapan!?"
Giok-bin-boan-koan menyadari kepandaian orang aneh ini sangat tinggi, betapa pun sukar dilawan. Ia khawatir Li Tik dan lain-lain bertindak sembrono, maka ia cepat tampil ke depan, tanyanya dengan meringis, "Numpang tanya siapakah nama saudara yang terhormat" Mengapa pula engkau memukul orang tanpa sebab?"
Orang itu mendelik, jawabnya dengan ketus, "Memangnya siapa saudaramu"
Kau ini kutu busuk apa?"
Sedapatnya Giok-bin-boan-koan bersabar, dengan muka keruh ia menjawab,
"Cayhe Siau Cu-jun, orang Kangouw menyebutku Giok-bin-boan-koan."
"Giok-bin-boan-koan" Hahahaha!" orang itu bergelak tertawa. "Gemilang juga julukanmu, tapi apakah kau sesuai?"
Sembari tertawa segenggam senjata rampasannya terus disodorkan kepada Siau Cu-jun. Dalam kagetnya tanpa terasa Giok-bin-boan-koan Siau Cu-jun terus mengulur tangan untuk menyambut berbagai senjata itu, tapi sebaliknya Boan-koan-pit sendiri tahu-tahu sudah berpindah ke tangan lawan.
Orang itu menaruh buli-buli araknya di meja, tahu-tahu sepasang Boan-koan-pit yang dipegangnya itu patah menjadi empat dan dibuang ke lantai.
Meski Siau Cu-jun sangat sayang pada senjatanya itu, tapi melihat betapa hebat tenaga orang, terpaksa ia hanya menggereget saja tanpa berani bertindak apa-apa.
Kim-say-cu Li Tik belum pernah merasakan pil pahit, disangkanya senjata Siau Cu-jun tidak berguna, maka segera ia hendak melabrak orang. Untung Kang Giok-long keburu menjawilnya dan membisikinya.
Seketika air muka Li Tik menjadi pucat, serunya dengan tergagap, "Eng ...
engkau inikah 'Ok-tu-kui' Han-wan Sam-kong!?"
Memang tidak salah, orang aneh ini ialah Ok-tu-kui, si setan judi alias
"Ketemu orang lantas ajak bertaruh".
Ok-tu-kui tidak menjawab, ia hanya mendengus, golok yang menancap di meja itu dicabutnya terus dibalik membacok sebuah meja kecil di samping.
Meja itu adalah tempat taruh tatakan lilin dan lilin yang besar masih menyala.
Bacokan Ok-tu-kui itu tepat membelah lilin besar itu terus menurun menabas tatak lilin dan meja kecil itu. Mendadak api lilin terpisah menjadi dua dengan perlahan, menyusul tatak lilin dan meja kecil itu pun menjadi dua dan ambruk ke samping.
Ketika Ok-tu-kui mengayun tangannya, "crat", kontan golok yang dipegangnya mencelat ke atas dan menancap di belandar rumah, maka rontoklah debu kotoran bertebaran.
Habis itu, tanpa pedulikan siapa pun juga Ok-tu-kui lantas duduk pula dan berteriak, "Anak kura-kura, melihat Locu datang, kenapa tidak menyiapkan santapan?"
Meski ucapannya ini persis seperti apa yang dikatakannya tadi, tapi bobotnya kini sudah lain bagi pendengaran mereka, tiada seorang pun yang berani lagi menghinanya.
Cepat Li Tik menggebrak meja dan berteriak, "He, pelayan, melihat Locu datang, kenapa tidak lekas menyiapkan santapan?"
Dasar kerja tukang kawal biasanya memang suka mengikuti setiap kehendak sang cukong, maka sekarang ia pun dapat mengikuti arah angin.
Sudah tentu si pelayan ketakutan, cepat ia mengiakan terus lari ke dapur.
Hanya sebentar saja berbagai macam masakan telah dihidangkan. Siau Cu-jun dan Li Tik lantas berebut hendak melayani Ok-tu-kui.
Tapi Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong lantas mendelik, dampratnya, "Siapa minta dilayani kalian" Kecuali bocah she Kang di depanku ini, kalian semua menyingkir jauh ke sana" Habis berkata ia sendiri lantas mengangkat poci arak dan menuangkan arak bagi Siau-hi-ji, lalu dituangkannya pula bagi Kang Giok-long.
Tentu saja Siau-hi-ji kegirangan, sebaliknya Kang Giok-long ketakutan.
"Minum!" seru Han-wan Sam-kong sambil angkat cawannya.
Tanpa ragu-ragu lagi Siau-hi-ji angkat cawannya dan mengeringkan isinya.
Kang Giok-long juga tidak berani membangkang. Baru saja ia menaruh kembali cawannya, dilihatnya Ok-tu-kui lagi melotot padanya.
"Tahukah kau apa namanya arak ini?" tanya Ok-tu-kui kepada Giok-long.
"Tecu terlalu bodoh dan tidak tahu," jawab Kang Giok-long.
"Ini namanya arak taruhan," seru Ok-tu-kui pula. "Siapa pun yang telah minum arak yang kutuangkan baginya, dia harus bertaruh denganku."
Tangan Kang Giok-long menjadi gemetar sehingga cawan yang masih dipegangnya itu terjatuh ke lantai, jawabnya dengan gelagapan, "Tapi ... tapi Tecu ti ... tidak ...."
"Tidak apa" Kau tidak mau taruhan denganku?" Ok-tu-kui melotot.
"O ... ma ... mau ...."
"Hahaha, bagus, lalu taruhan apa"!"
"Ta ... taruhan ap ... apa pun boleh."
"Baik, Locu bertaruh lenganmu ini."
Seketika kaki Kang Giok-long terasa lemas sehingga dia terperosok dari kursinya.
Dengan tertawa Siau-hi-ji menyeretnya bangun, katanya, "Takut apa" Kan belum pasti kalah?"
"Tapi ... tapi Tecu ...." kata Giok-long dengan tergagap dan pucat.
"Duduklah yang tegak," bentak Ok-tu-kui dengan bengis, "Nah, katakan, kau hendak taruhan apa?"
Air mata Kang Giok-long bercucuran, ia menoleh ke arah Giok-bin-boan-koan Siau Cu-jun dan lain-lain, tapi orang-orang ini mana berani membelanya"
Dengan menangis Giok-long berkata, "Kenapa ... kenapa Cianpwe ...."
Pada saat itulah tiba-tiba seorang tertawa lantang dan berseru, "Haha, jika Han-wan Siansing ingin taruhan, biarlah Cayhe saja yang melayani, taruhan dengan anak kecil kan kurang menarik?"
Waktu Siau-hi-ji berpaling, seketika pandangannya terbeliak. Dilihatnya seorang lelaki setengah baya telah muncul di atas loteng.
Orang itu bermuka putih dan bermata terang, berbaju hijau, meski sudah setengah umur, tapi tetap bergaya menarik. Dengan tersenyum simpul ia mendekati orang banyak dengan sikap yang gagah.
Sejak berkelana di Kangouw, selain Bu-koat Kongcu, belum pernah Siau-hi-ji melihat tokoh mempesona seperti lelaki setengah baya ini.
Melihat kedatangan orang ini, Siau Cu-jun dan lain-lain sama menghela napas lega dan mengunjuk rasa girang, bahkan yang paling senang adalah Kang Giok-long, hampir saja ia berjingkrak seperti orang mendapat rezeki nomplok.
Sorot mata Han-wan Sam-kong berkelebat sekilas ke arah orang itu, mau tak mau ia pun tergetar, tanyanya, "Siapa kau?"
"Cayhe Kang Piat-ho adanya," jawab orang itu sambil tersenyum dan memberi hormat.
"O, menurut desas-desus di kalangan Kangouw, katanya di daerah Kang-lam sekarang muncul seorang Enghiong (pahlawan, ksatria) luar biasa, konon dia sesuai diberi julukan 'tayhiap' (pendekar besar) setelah Yan Lam-thian, apakah kau ini orang yang dimaksud itu?" tanya Ok-tu-kui.
"Ah, itu cuma sanjung puji kawan-kawan Kangouw saja, Cayhe sendiri mana sanggup menerimanya," ucap orang yang bernama Kang Piat-ho dengan tertawa.
8 Jilid 8. Pendekar Binal "Apakah dia ini putramu?" tanya Ok-tu-kui sambil menuding Kang Giok-long.
"Betul, ia putraku yang tak becus," jawab Kang Piat-ho dengan kesal.
"Ayah ksatria putra tak becus ...." Ok-tu-kui menukas sambil geleng-geleng kepala, mendadak ia menggebrak meja dan membentak, "Jika betul dia ini putramu, jadi kau ini mewakilkan dia untuk bertaruh denganku?"
"Jika Han-wan Siansing berminat, boleh juga Cayhe mengiringi kehendakmu,"
jawab Kang Piat-ho. Ok-tu-kui bergelak tertawa, katanya, "Dapat bertaruh besar-besaran dengan orang macam kau ini, sungguh suatu kesenangan bagiku."
"Entah taruhan apa yang dikehendaki Han-wan Siansing?" tanya Piat-ho tertawa.
Setelah merenung sejenak, dengan suara keras Ok-tu-kui berkata,
"Pertaruhan kita kukira paling sederhana, tak pedulikan siapa yang kalah, ia harus manda diperlakukan apa pun juga oleh pihak lawan."
Cara pertaruhan ini sungguh membikin semua orang terkesiap. Sebenarnya soal mati atau hidup bagi orang Kangouw bukan sesuatu hal yang luar biasa.
Tapi "manda diperlakukan apa pun juga oleh pihak lawan", betapa pun membuat orang berpikir dua kali. Coba bayangkan, apabila pihak pemenang menyuruh yang kalah melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana atau sesuatu perbuatan yang memalukan, bukanlah hal ini akan jauh lebih susah daripada 'mati'. Apalagi orang yang berkedudukan seperti Kang Piat-ho, kalau dia kalah, betapa pun juga dia tidak dapat ingkar janji dan terpaksa harus melakukan apa yang dihendaki pihak lawan. Karena itulah semua orang mengira Kang Piat-ho pasti tidak terima syarat pertaruhan gila itu.
Tak terduga dia hanya tersenyum hambar saja dan menjawab, "Boleh juga usul Han-wan Siansing ini. Cuma cara bagaimana bertaruhnya masih perlu penjelasan lagi."
Melihat Kang Piat-ho menerima usulnya begitu saja, mau tak mau Ok-tu-kui juga merasa di luar dugaan. Ia angkat cawan araknya dan ditenggaknya habis, lalu berkata dengan tertawa, "Bagus, Kang-tayhiap benar-benar berjiwa ksatria sejati. Tentang cara pertaruhannya boleh terserah kehendakmu saja."
"Ah, tidak perlu Han-wan Siansing rendah hati ...."
"Tidak, taruhannya sudah kutetapkan, cara bertaruhnya harus kau yang menentukan, ini adalah peraturanku," bentak Ok-tu-kui.
"Jika begitu, terpaksa aku menurut saja," ucap Kang Piat-ho dengan tertawa, ia lantas memindahkan sebuah meja kecil ke depan, ia ambil pula satu mangkuk "Ang-sio-hi-sit" dan ditaruh di tengah meja.
Han-wan Sam-kong merasa aneh, katanya, "Untuk apakah ini?"
"Begini caranya," tutur Kang Piat-to, "Kita masing-masing menggebrak meja satu kali, siapa yang membikin tumpah kuah Hi-sit atau merontokkan mangkuk hingga jatuh ke lantai, maka dia dianggap kalah."
"Itu kan terlalu mudah!" seru Han-wan Sam-kong tertawa, perlahan ia lantas menepuk meja dan dengan sendirinya kuah Hi-sit itu tidak muncrat setetes pun. Seketika Ok-tu-kui berhenti tertawa, lalu berkata pula dengan mata mendelik, "Cara pertaruhan begini biarpun berlangsung hingga tahun baru juga takkan terjadi kalah dan menang. Apakah kau sengaja mempermainkan diriku atau hendak menipu aku?"
Kang Piat-ho tersenyum, jawabnya, "Bukan begitu caranya, harus begini ...."
sembari bicara telapak tangannya terus menabok ke permukaan meja.
Tampaknya dia tidak menggunakan tenaga, tapi meja kecil yang terbuat dari papan kayu jambu yang keras itu mendadak berubah seempuk agar-agar, tangan Kang Piat-ho dengan mudah saja menembus permukaan meja dan kuah Hi-sit semangkuk penuh itu tak tercecer setitik pun, bahkan sama sekali tidak bergoyang.
"Nah, cara kita menggebrak meja harus begini, sekaligus harus menembus permukaan meja, seumpama kita sama-sama tidak membikin tumpahnya kuah Hi-sit ini, segera kita pukul meja lagi dan akhirnya permukaan meja tentu akan tersisa bagian tengah yang menyangga mangkuk dan pasti juga akan rontok. Siapa yang terakhir membikin jatuh mangkuk Hi-sit, dia yang kalah."
Mau tak mau berubah juga air muka Han-wan Sam-kong, ia melengak sejenak, kemudian bergumam, "Cara pertaruhan begini memang belum pernah kulakukan."
"Barusan sudah kugebrak satu kali, sekarang giliran Han-wan Siansing," ucap Kang Piat-ho dengan tertawa.
"Hahahaha!" Han-wan menengadah dan terbahak-bahak. "Selama hidupku si Ok-tu-kui sedikitnya sudah beribu kali bertaruh dengan orang dan tak pernah terjadi pertarungan belum berlangsung dan aku sudah mengaku kalah lebih dahulu ...." mendadak ia menatap Kang Piat-ho lekat-lekat, lalu berkata pula,
"Namun sekali ini tanpa bertaruh aku rela mengaku kalah ... biarpun tenaga tanganku mampu menembus permukaan meja, tapi rasanya aku tidak sanggup membuat kuah Hi-sit tak tercecer setitik pun."
Seketika terdengar Giok-bin-boan-koan dan begundalnya menghela napas lega dan kegirangan setengah mati.
Siau-hi-ji juga melengak dan berseru, "He, kau ... kau benar-benar mengaku kalah?"
"Kalah ya kalah, masa pakai benar atau palsu?" seru Ok-tu-kui dengan bengis. Ia tersenyum getir lalu berkata pula kepada Kang Piat-ho. "Nah, apa yang kau kehendaki dariku, silakan bicara saja."
Kang Piat-ho berpikir sejenak, lalu ia menuang dua cawan arak, katanya dengan tertawa, "Biarlah Cayhe menghormati Han-wan Siansing satu cawan."
Tanpa pikir Ok-tu-kui terima suguhan itu dan sekali tenggak isi cawan diminumnya habis. Ia gabrukkan cawan arak ke meja, lalu berseru tegas,
"Baik sekarang Han-wan Sam-kong harus mati atau hidup, ke timur atau ke barat, boleh katakan saja."
"Apa yang kukehendaki bukankah barusan sudah dilakukan oleh Han-wan Siansing?" ujar Kang Piat-ho dengan tersenyum. "Setelah Han-wan Siansing melunaskan pertaruhan, mengapa bicara lagi cara begini?"
Ok-tu-kui jadi melenggong, ia menegas dengan tergagap, "Kau ... kau bilang apa?"
"Bahwa yang kalah harus manda melakukan segala kehendak yang menang, maka Cayhe telah menghukum Han-wan Siansing minum satu cawan arak dan hal itu sudah dilakukan olehmu, itu berarti perjanjian sudah terpenuhi dan utang piutang sudah lunas," ucap Kang Piat-ho dengan tertawa.
Seketika Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong berdiri mematung, gumamnya, "Bila kau membunuhku, entah betapa banyak orang Kangouw akan kagum padamu, jika kau menyuruhku mencari sesuatu, biarpun ratna batu manikam atau benda mestika apa pun juga pasti akan kulaksanakan, tapi sekarang ...."
ia menghela napas dan menyambung pula dengan tersenyum getir, "Engkau hanya minta aku minum satu cawan arak saja."
"Kalau saja aku mampu minum lebih banyak, sedikitnya akan kusuguh tiga cawan lagi padamu," kata Kang Piat-ho.
Mendadak Han-wan Sam-kong angkat buli-buli araknya dan sekaligus menenggak belasan teguk, ia mengusap mulut dengan lengan baju, lalu menengadah dan bergelak tertawa, "Hahaha! Bagus, sungguh tidak malu kau berjuluk 'Kang-lam-tayhiap'. Selama hidupku tak pernah takluk kepada siapa pun, tapi sekarang aku benar-benar menyerah padamu, Kang Piat-ho."
Dia mendekati Siau-hi-ji dan tepuk-tepuk bahunya, katanya, "Adik cilik, urusanmu tidak dapat kubela lagi, tapi Kang-lam-tayhiap berada di sini, kiranya kau pun tidak perlu khawatir dikerubut kawanan tikus itu. Nah, aku akan pergi, sampai berjumpa!"
Begitu lenyap suaranya, tahu-tahu ia sudah melayang keluar jendela dan dalam sekejap saja sudah menghilang dalam kegelapan malam. Angin di luar jendela meniup sepoi-sepoi, bulan sabit tepat menghias di tengah cakrawala.
Kang Piat-ho menyaksikan kepergian Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, dengan gegetun ia bergumam, "Orang ini benar-benar tidak malu sebagai lelaki sejati."
Dengan tersenyum hormat Giok-bin-boan-koan Siau Cu-jun menanggapi,
"Orang ini termasuk salah satu dari Cap-toa-ok-jin, bukankah sayang Kang-heng tidak sekalian bereskan dia tadi?"
"Ksatria semacam ini ada berapa biji di dunia ini" Mana boleh Siau-heng sembarangan bilang membereskan dia?" ujar Kang Piat-ho dengan sungguh-sungguh. "Apalagi selain gemar berjudi, rasanya orang ini pun tidak berbuat sesuatu kejahatan lain."
"Ya, ya, Siaute yang salah," ucap Siau Cu jun dengan munduk-munduk.
"Malahan yang diutamakannya cuma taruhan saja, kalah atau menang sama sekali tidak ingkar janji," kata Kang Piat-ho pula dengan tertawa. "Biarpun kepalanya kalah dalam pertaruhan juga dia tidak menyesal dan rela menyerahkan kepalanya, coba, ada berapa gelintir manusia di jaman ini yang sanggup bertaruh seperti dia?"
Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas dan berkata, "Sungguh sayang Han-wan Sam-kong tidak mendengar ucapanmu ini, kalau mendengar, bukan mustahil dia akan menangis saking terharu dan berterima kasih padamu."


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang Piat-ho mengamati Siau-hi-ji, katanya, kemudian dengan tersenyum,
"Apakah Engkoh cilik ini sahabat baik anakku yang tak becus itu?"
"Sebutan sahabat baik sih tak berani kuterima," ujar Siau-hi-ji.
"Anak yang tak becus itu tentu sepanjang jalan telah mendapat bantuan Engkoh cilik," ucap Kang Piat-ho pula.
Siau-hi-ji menyengir dan menjawab, "Engkoh cilik sih tidak memberi bantuan apa-apa kepada 'adik gede', sebaliknya 'adik gede' cukup banyak bantu membuat sengsara 'Engkoh cilik'. Kalau saja nyawa 'Engkoh cilik' tidak panjang, saat ini kepalanya mungkin sudah berpisah dengan tuannya."
Pandangan Kang Piat-ho beralih ke arah Kang Giok-long, katanya dengan menarik muka, "Jangan-jangan kau telah melakukan sesuatu yang tidak pantas."
"Mana anak berani," jawab Giok-long dengan tunduk kepala.
"Melihat air mukamu kutahu pasti kau berbuat sesuatu yang salah," kata Kang Piat-ho pula dengan bengis, "Setelah pulang nanti kau harus tutup pintu dan merenungkan kesalahanmu, berani berbuat harus berani mengaku salah dan minta maaf, begitulah sikap seorang lelaki sejati."
Giok-long mengiakan dengan kepala menunduk lebih rendah.
Siau-hi-ji berkata pula dengan gegetun, "Bahwa Kang Giok-long mempunyai ayah seperti engkau, sungguh mati sukar dipercaya bagiku. Cuma kalau dia harus tutup pintu dan merenungkan kesalahannya, terpaksa aku pun ikut merenung bersama dia."
Sekilas Kang Piat-ho memandang "belenggu cinta" di tangan kedua anak muda itu, katanya kemudian dengan tersenyum, "Benda sepele begini kuyakin masih mampu membukanya, pokoknya Engkoh cilik ikut pergi bersamaku saja."
"Sesungguhnya aku pun berharap ikut bersamamu, namun di sini masih ada orang yang ingin membunuh diriku, lantas bagaimana baiknya?" ucap Siau-hi-ji tertawa.
"O, siapa?" Kang Piat-ho mengernyit dahi.
"Dengan sendirinya para ksatria yang sudah terkenal, beberapa ksatria termasyhur hendak membunuh diriku, seorang anak tanggung, bukankah suatu kebanggaan bagiku?" ucap Siau-hi-ji.
Ketika sinar mata Kang Piat-ho mengerling sekeliling, serentak Giok-bin-boan-koan dan lain-lain sama menunduk dengan wajah merah padam.
Dengan kalem Kang Piat-ho lantas berkata pula, "Kujamin kejadian ini pasti takkan terulang lagi."
"Selama hidupku juga jarang mengagumi orang, tapi sekarang aku menjadi rada kagum padamu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
***** Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu takkan percaya bahwa "Kang-lam-tayhiap" yang termasyhur itu berdiam di rumah begini sederhana. Memang, tempat tinggalnya ini juga suatu perkampungan yang cukup luas terletak di kaki bukit Ku-san (bukit kura-kura). Namun perkampungan ini sudah lama telantar, maka Kang Piat-ho menggunakan deretan rumah samping sebagai tempat tinggalnya.
Kira-kira tiga-empat rumah bobrok yang digunakannya, meski terawat cukup bersih, namun perlengkapannya sangat sederhana, bahkan tempat tinggal seorang pegawai tata usaha juga lebih mentereng daripada dia. Dengan sendirinya ia pun tidak memakai budak dan pelayan, hanya ada seorang kakek bisu-tuli yang sudah loyo mengerjakan tetek bengek baginya.
Dua hari perjalanan Siau-hi-ji mengikutinya barulah sampai di tempat kediamannya ini.
Selama dua hari ini Siau-hi-ji bertambah merasakan "Kang-lam-tayhiap" ini memang orang luar biasa. Seorang tokoh dunia persilatan yang termasyhur begini ternyata sedemikian ramah tamah dan rendah hati terhadap orang lain, kecuali Kang Piat-ho mungkin tiada yang sanggup berbuat demikian.
Maka Siau-hi-ji heran pula melihat tempat kediaman sang pendekar besar daerah Kang-lam ini.
"Perkampungan ini adalah bekas milik seorang sahabatku, dia telah pindah jauh ke Soatang, maka perkampungan ini telah dihadiahkan padaku,"
demikian tutur Kang Piat-ho. "Cuma sayang aku tidak mampu mempertahankan keindahan perkampungan ini di masa lampau, kalau dipikir sungguh aku malu terhadap sahabatku."
"Dengan nama dan kedudukanmu seharusnya perkampungan ini dapat dibuat lebih megah daripada sebelumnya," ujar Siau-hi-ji tertawa.
"Orang yang suka berkecimpung di dunia Kangouw pada umumnya tidak memikirkan penghasilan dan aku pun tidak terkecuali, kalau aku juga tamak akan harta benda seperti orang lain, rasanya akan mencemarkan nama baik ayah-bunda yang telah melahirkan tubuhku yang suci bersih ini."
Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya pula, "Tapi para sahabatmu kan bisa ...."
"Memang ada juga di antara sanak kerabat yang hendak berusaha bagiku, namun aku merasa tidak pantas menerima pahala tanpa berjasa, apalagi kehidupan begini juga sudah biasa bagiku, rasanya juga tenteram dan bahagia."
"Sungguh sukar dipercaya bahwa 'Kang-lam-tayhiap' yang namanya termasyhur ini ternyata hidup begini sederhana, mungkin tiada duanya di dunia persilatan selama beratus-ratus tahun ini," ujar Siau-hi-ji.
"Menurut petuah orang kuno, dari hemat menuju ke pemborosan adalah mudah, tapi kalau sudah boros akan kembali hemat teramat sulit. Petuah ini selamanya tak pernah kulupakan," kata Kang Piat-ho dengan sungguh-sungguh.
"Engkau benar-benar seorang ksatria sejati," sanjung Siau-hi-ji gegetun.
Tidak lama kemudian mereka pun bersantap, tenyata daharan yang tersedia juga cuma tiga-empat macam sayur-mayur yang sederhana, malahan yang mengantar sayur dan menyiapkan meja makan juga "Kang-lam-tayhiap"
sendiri. Kehidupan yang bersahaja ini sungguh sangat tidak seimbang dengan namanya yang mencolok dan termasyhur itu.
"Pantas setiap orang Kangouw sama menghormati dan segan padamu,"
Siau-hi-ji bergumam, "Seorang dapat melakukan sesuatu yang tak dapat ditahan oleh orang lain, adalah jamak kalau dia berhasil dalam hidupnya ini."
Sorot mata Kang Piat-ho yang berkilauan ini menatap tajam Siau-hi-ji, tiba-tiba ia berkata, "Sungguh aneh, semakin dipandang, rasanya kau menjadi lebih mirip dengan saudaraku yang berbudi almarhum."
"O, siapakah dia?" tanya Siau-hi-ji.
"Dia adalah modelnya orang Kangouw yang paling sopan dan terpelajar, lelaki yang paling cakap di dunia selama ini," tutur Kang Piat-ho, "Sebabnya kuberikan nama 'Giok-long' (lelaki cakap) kepada putraku itu tiada lain adalah untuk mengenang mendiang saudaraku yang berbudi itu."
"Haha, masakah engkau mempersamakan diriku dengan lelaki yang paling cakap?" ucap Siau-hi-ji tertawa, "Kalau aku pun dapat disebut 'sopan dan terpelajar', maka semua lelaki di dunia ini tiada satu pun yang tidak sopan dan terpelajar."
"Mungkin kau tidak terlalu sopan dan terpelajar, tapi sesungguhnya kau mempunyai daya tarik yang sukar dilukiskan," ujar Kang Piat-ho tersenyum.
"Lebih-lebih bilamana kau tertawa, kupercaya setiap gadis di dunia ini pasti akan rontok imannya dan sukar melawan kehendakmu."
"Sungguh aku ingin menjadi lelaki sebagus uraianmu itu juga berharap bisa menjadi putra saudaramu yang berbudi itu, cuma sayang ayahku juga serupa diriku, biarpun beliau juga orang pintar, tapi sekali-kali bukanlah lelaki cakap, apalagi kini beliau masih hidup dengan segar bugar, bisa jadi saat ini beliau sedang duduk di kursi goyang menikmati pipa tembakaunya," sambil terbahak-bahak Siau-hi-ji lantas berbangkit dan keluar. Terpaksa Kang Gioklong harus mengikuti langkahnya.
"Sebenarnya aku ingin mengobrol lebih banyak lagi dengan engkau," ucap Siau-hi-ji sambil menoleh, "Cuma mataku sudah sepat dan ingin tidur, semoga besok engkau dapat mencarikan beberapa tukang kunci untuk membuka 'belenggu cinta' sialan ini."
"Sepanjang jalan sudah hampir seluruh tukang kunci yang paling terkenal kutanyai, tapi ternyata tiada satu pun yang sanggup, sungguh tak terduga bahwa pegas belenggu ini terbuat serumit ini," Kang Piat-ho tertawa, lalu menambahkan, "Tapi kau pun jangan khawatir, dalam waktu singkat tentu dapat kucarikan sebilah golok atau pedang mestika yang dapat memotong besi seperti memotong sayur. Berada di tempatku ini segala persoalan tidak perlu kau risaukan lagi."
"Ya, makanya sekarang asalkan kepalaku menempel bantal, seketika aku dapat tidur nyenyak seperti babi mampus," ucap Siau-hi-ji.
Kini Kang Giok-long mendadak berubah menjadi anak yang paling penurut, pendiam dan paling alim, ke mana pun Siau-hi-ji pergi dia hanya mengikut saja tanpa rewel.
Setelah kedua anak muda itu pergi, perlahan Kang Piat-ho merogoh lengan bajunya dan mengeluarkan sebilah pedang pandak sepanjang satu kaki.
Sarung pedang ini hitam gilap kurang menarik, tapi ketika Kang Piat-ho melolos keluar pedangnya, seketika terpancar cahaya yang kemilau.
Si kakek bisu-tuli berdiri jauh di luar pintu sana, melihat cahaya pedang itu mau tak mau ia pun terbelalak heran seakan-akan lagi berkata, "Tanganmu jelas memegang pedang mestika yang dapat menabas besi seperti memotong sayur, tapi mengapa engkau tidak memotong 'belenggu cinta'
sialan mereka?" Agaknya Kang Piat-ho dapat melihat sorot mata si kakek bisu-tuli yang heran dan kejut itu, seperti dapat meraba perasaan orang, dengan tersenyum ia berkata, "Saat ini belum dapat kupotong belenggu mereka, anak itu jelas sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, siapa pun tak dapat menerka apa yang hendak dilakukannya, terpaksa Giok-long harus kubiarkan senantiasa mendampingi dia dan mengawasinya. Adanya belenggu itu juga membuatnya sukar melarikan diri andaikan dia berniat kabur."
Sayang, karena sasaran bicaranya itu adalah seorang kakek bisu-tuli, dengan sendirinya apa yang diucapkannya tak terdengar sama sekali oleh kakek itu.
***** Di serambi yang panjang ada sebuah lampu kerudung kecil, cahayanya yang redup menyinari halaman yang sunyi. Seekor kucing hitam meringkal di pojok sana, hanya tertampak sinar matanya yang gemerlapan dalam kegelapan.
Siau-hi-ji dan Kang Giok-long menyusuri serambi panjang dan berliku itu, terdengar suara berkeriut lantai yang dilalui mereka diseling suara keresek daun pepohonan yang tertiup angin.
Sambil mengangkat pundak Siau-hi-ji berkata, "Bila ada yang betah tinggal di sini selama sepuluh tahun, mustahil kalau orang itu tidak menjadi gila."
"Kau jangan khawatir, kau tak perlu berdiam hingga sepuluh tahun," ujar Kang Giok-long.
"Haha, akhirnya kau buka suara juga," Siau-hi-ji berolok-olok. "Di depan ayahmu tadi kukira kau telah berubah menjadi bisu."
"Orang yang berani bicara seperti kau di hadapan ayahku, kukira tidak banyak di dunia ini."
Memandang ke taman yang gelap gulita di belakang sana. Siau-hi-ji bertanya,
"Apakah kau pernah masuk ke taman sana?"
"Pernah satu kali," jawab Giok-long.
"Tentunya sudah cukup lama kau tinggal di sini, masakah cuma satu kali saja?"
"Orang yang pernah masuk satu kali ke sana, biarpun kau mencambuknya juga dia takkan pergi lagi untuk kedua kalinya."
"Memangnya di sana ada setannya?"
"Tempat begitu, setan pun tak berani masuk ke sana," kata Giok-long. Ia lantas membuka sebuah pintu dan menyalakan lampu. Ruangan ini tidaklah besar, ada beberapa batang golok dan pedang, satu tumpuk buku, dengan sendirinya ada pula sebuah tempat tidur.
"Inikah kamar tidurmu?" tanya Siau-hi-ji sambil memandang sekeliling kamar.
Giok-long menghela napas panjang, katanya, "Sudah lebih setahun tidak pulang, kini melihat lagi ranjang ini, rasanya seperti ketemu kesayangan."
"Mengingat para sahabatmu yang hebat-hebat itu, mampus juga aku tidak percaya kau dapat tidur secara baik-baik di ranjang ini, memangnya kau betah?"
Giok-long tertawa, jawabnya, "Tengah malam sering kali aku mengeluyur keluar."
"Sudah tentu aku pun tahu putra keluarga tingkat atas kebanyakan mempunyai kebiasaan mengeluyur keluar rumah di tengah malam buta," ucap Siau-hi-ji. "Tapi ayahmu kan berbeda daripada orang lain, masa kau pun dapat mengelabui mata telinganya?"
Giok-long berkedip-kedip, jawabnya, "Tahukah mengapa aku mau tinggal di sini?"
"Tidak tahu," sahut Siau-hi-ji.
"Sebab ruangan ini berjarak paling jauh dengan kamar tidur ayahku, pula berjendela sangat banyak. Tempat ini sebenarnya kamar kaum hamba, tapi sengaja kugunakan sebagai kamar tidurku."
"Sepanjang tahuku, mungkin inilah pilihanmu yang paling cerdik," ujar Siau-hi-ji tertawa.
Berada di kamar tidur sendiri, rupanya Kang Giok-long tidak perlu khawatir apa-apa lagi, berbaring di tempat tidurnya, hanya sebentar saja ia benar-benar sudah terpulas. Agaknya ia merasa tidak perlu berjaga-jaga terhadap Siau-hi-ji lagi, sesungguhnya ia pun sudah teramat lelah, lahir dan batin.
Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga merasa letih, tampaknya ia pun tertidur dengan nyenyaknya.
Entah sudah lewat berapa lamanya, terdengar langkah orang yang sangat perlahan mendekati pintu, berhenti sejenak, lalu mengetuk pintu perlahan.
Tiada jawaban dari dalam, maka orang di luar mendorong pintu sedikit, setelah mengintip ke dalam sejenak, segera suara tindakan orang itu membalik ke sana, seperti menuju ke taman di belakang yang sunyi dan seram itu.
Siau-hi-ji heran, menurut Kang Giok-long, setan pun tak berani datang ke sana, lalu untuk apakah tengah malam buta orang ini pergi ke situ"
Mendadak Siau-hi-ji membuka mata, dari rambutnya dia menggagap sepotong kawat tembaga yang sangat halus, dengan kawat tembaga inilah dia selusupkan ke lubang kunci "belenggu cinta" itu. Dengan perlahan ia putar kawat kecil itu sambil menempelkan telinganya untuk mendengarkan dengan cermat seolah-olah seorang pendengar musik sedang menikmati suatu lagu yang sangat merdu.
Mendadak terdengar suara "klik" perlahan, "belenggu cinta" yang tak dapat dibuka oleh tukang kunci yang paling ahli itu ternyata dapat dibuka olehnya dengan sepotong kawat tembaga yang lembut saja.
Tanpa terasa wajah Siau-hi-ji menampilkan senyuman puas, ia menggerakkan tangannya yang sudah lama kehilangan kebebasan itu, habis itu ia lantas menutuk Hiat-to tidur Kang Giok-long sehingga anak muda itu bertambah nyenyak tidurnya.
Sambil memandangi Kang Giok-long, Siau-hi-ji berkata dengan tersenyum bangga, "Kau mengira dirimu sangat pintar, sesungguhnya kau orang tolol sehingga selalu menganggap aku benar tidak mampu membuka belenggu sialan ini. Hm, kenapa tidak kau pikirkan aku ini dibesarkan di mana?"
Memang, kalau Ok-jin-kok terdapat bandit yang paling top, dengan sendirinya juga ada pencopet atau pencuri yang paling top, bagi mereka di dunia ini tiada kunci yang tak dapat dibuka.
Sudah sejak umur delapan Siau-hi-ji belajar membuka macam-macam jenis kunci gembok. Membuka dan memereteli induk kunci untuk kemudian dipasang kembali adalah permainan yang paling menarik di waktu kecilnya.
Tapi sebab apakah selama ini dia lebih suka terbelenggu bersama Kang Giok-long dan manda menerima macam-macam nista" Sesungguhnya apa yang menjadi pertimbangannya" Apakah memang sudah diduganya bahwa ayah Kang Giok-long pasti seorang tokoh yang sangat aneh dan penuh rahasia" Jangan-jangan sebelumnya dia sudah mengetahui di tempat ini pasti terdapat hal-hal yang gaib dan mengejutkan"
Sebabnya dia manda terbelenggu bersama Kang Giok-long bukan mustahil karena dia ingin datang ke rumahnya ini, dengan demikian dapat pula membuat orang lain tidak menaruh curiga padanya. Setiap orang pasti menyangka dia takkan dapat terpisah dari Kang Giok-long, kalau setiap jengkal dan setiap detik dia selalu mendampingi Kang Giok-long, dengan sendirinya orang lain pun tidak perlu khawatir padanya.
Tapi sekarang Siau-hi-ji sudah membebaskan diri dan mengeluyur keluar. Dia benar-benar harus berterima kasih kepada Kang Giok-long yang telah memilih ruangan belakang ini sebagai kamar tidur, sebab ruangan ini sama sekali terpisah dari beberapa ruangan di bagian depan sana.
Begitulah Siau-hi-ji lantas melayang ke taman belakang sana, taman yang tak berani didatangi setan sekali pun, menurut Kang Giok-long.
Sementara itu suara langkah orang tadi sudah sekian lamanya masuk ke taman sana. Waktu Siau-hi-ji menyusup ke balik pintu bundar sana, terlihat di kejauhan ada cahaya lampu berkelebat, habis itu keadaan lantas gelap, sinar lampu sudah dipadamkan.
Dalam kegelapan hanya terdengar suara keresek daun pepohonan yang tertiup angin sehingga mirip berbagai hantu iblis yang siap hendak menerkam setiap mangsanya. Meski di atas langit juga ada cahaya bintang yang gemerlapan, tapi sinar bintang itu semakin menambah seram dan gaibnya taman ini.
Angin meniup dingin, tapi telapak tangan Siau-hi-ji justru berkeringat malah.
Jika orang lain tentu sudah sejak tadi mundur teratur. Namun Siau-hi-ji bukan
"orang lain", Siau-hi-ji tetap Siau-hi-ji, satu-satunya Siau-hi-ji di dunia ini.
Kalau dia takut dan mundur, maka dia bukanlah Siau-hi-ji. Jika dia bertekad maju, maka tiada sesuatu pun di dunia ini yang mampu membuatnya mundur.
Dalam pada itu ia sudah mengincar baik-baik tempat berkelebatnya sinar lampu tadi, ke sanalah ia melayang dengan cepat.
Terasa angin berkesiur dari depan, di tengah taman itu tersebar bau busuk yang menusuk hidung. Seluruh taman itu menjadi mirip sebuah peti mati, di dalam peti mati hanya ada hawa kematian belaka. Dan saat itu Siau-hi-ji seakan-akan sedang melangkah masuk ke depan peti mati ini, dia menahan napas, langkahnya enteng tanpa mengeluarkan suara, sebab ia menyadari bila dirinya bertindak ceroboh sedikit, seketika benar-benar bisa berubah menjadi sesosok mayat.
Namun di dalam taman hanya terdapat pepohonan yang sudah layu serta batu gunung-gunungan dan gardu pemandangan yang reyot, setitik cahaya lampu tadi entah sudah menghilang ke mana.
Maju dan maju terus, mendadak Siau-hi-ji kehilangan arah. Terasa angin tiba-tiba meniup kencang sehingga tanpa terasa Siau-hi-ji menggigil. Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak tahu lagi harus pergi ke mana" Apa pula yang harus dicarinya"
Pada saat itulah sekonyong-konyong sebuah bayangan hitam melompat keluar dari tempat gelap. Keruan Siau-hi-ji kaget setengah mati, syukur bayangan itu terus menyelonong ke sana, setelah diawasi lagi, kiranya seekor kucing hitam. Sungguh aneh, mengapa kucing hitam ini masuk ke taman sini dan mendadak melompat keluar pula"
Terpikir sesuatu dalam benak Siau-hi-ji, segera ia mendekam di tanah, tepat di depannya ada seonggok batu kerikil dikelilingi tumbuhan bunga yang sudah layu dan kering.
Baru saja ia mendekam, kira-kira belasan depa di sebelah sana, di balik jendela ada cahaya lampu yang baru dinyalakan. Menyusul sesosok bayangan orang lantas melangkah keluar.
Tangan orang itu memegang lampu, cahaya lampu menyinari mukanya dengan terang, jelas Kang Piat-ho adanya.
Terdengar dia bersuara "meong" sekali, segera kucing hitam tadi melompat ke dalam pelukan Kang Piat-ho. Lalu dia merapatkan pintu dan melangkah ke depan sana sambil membawa kucing hitam.
Siau-hi-ji mendekam mepet tanah, bernapas pun tak berani. Perlahan-lahan cahaya lampu menjauh, suasana dalam taman menjadi gelap gulita pula dan rasanya bertambah dingin.
Setelah menunggu pula sekian lama dan tiada suara lain, perlahan-lahan barulah Siau-hi-ji merangkak bangun, dengan berjinjit-jinjit ia merunduk ke sana, sesudah dekat barulah diketahuinya di situ ada sebuah kamar bunga.
Dahulu, di kamar bunga ini bisa jadi terpelihara berbagai jenis bunga yang sukar dicari. Setiba di sini segera tercium bau harum semerbak.
Tapi bagi penciuman Siau-hi-ji sekarang hanyalah bau busuk yang menyeramkan itu. Sekalipun di dalam kamar ini ada tanaman bunga, mungkin sekali hanya bunga kematian saja.
Pintu ternyata sudah terkunci. Tapi bukan soal bagi Siau-hi-ji, kembali ia pertunjukkan kemahirannya memalsu kunci.
Perlahan ia mendorong pintu, ia menyalakan geretan api yang dicurinya dari meja di kamar Kang Giok-long tadi. Kamar bunga ini penuh sawang, bagian pojok bertumpuk pot bunga yang sudah rusak bercampur dengan daun kering dan kayu rongsokan, selain itu tiada terdapat apa-apa lagi. Sungguh aneh, lalu untuk apakah tengah malam buta Kang Piat-ho datang ke rumah bobrok ini"
Daun jendela berkeriut tertiup angin, dari lubang kertas jendela, angin menembus ke dalam sehingga mirip cakar setan yang dingin sedang merabai kuduk Siau-hi-ji.
Sungguh Siau-hi-ji ingin lari kembali ke kamarnya dan menutup kepalanya dengan selimut. Tempat begini benar-benar setan pun tak mau datang seperti ucapan Kang Giok-long.
Tapi tempat yang tidak sudi didatangi setan sekali pun bukankah justru merupakan tempat sembunyi yang paling rahasia"!
Mata Siau-hi-ji jelalatan kian kemari, sampai sekian lama ia mengamat-amati dan tetap tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di dalam kamar ini.
Di mana-mana hanya terdapat debu melulu, jelas kamar ini sudah lama tak pernah didatangi orang.
Akan tetapi jelas sekali Kang Piat-ho baru saja datang ke sini, mengapa debu yang memenuhi lantai kamar ini tidak terdapat bekas kakinya"
Tergerak hati Siau-hi-ji, segera ia berjongkok dan meraba-raba lantai, ternyata debu itu melengket kencang di lantai, kecuali digaruk sekuatnya dengan tangan, kalau tidak, bekas apa pun takkan tertinggal di atasnya.
Hampir saja Siau-hi-ji melonjak kegirangan, ia tahu di dalam kamar ini pasti terdapat lorong di bawah tanah. Ia coba memeriksa lebih teliti, setiap jengkal, setiap pelosok sudah dicarinya, namun tetap tak ditemukan sesuatu pesawat rahasia yang diharapkan.
Hampir saja ia putus harapan, ia menengadah sambil menghela napas.
Terlihat sarang labah-labah bergontai ditiup angin, sebagian sawang itu sudah rantas tertiup angin dan kawanan labah-labah lagi sibuk menyambung jaringannya.
Akan tetapi di antara sekian sarang labah-labah itu ada jaringan yang tahan angin, betapa pun angin meniup, tetap tak dapat membuatnya bergoyang.
Hal ini rasanya takkan diperhatikan oleh orang lain. Namun tiada sesuatu di dunia ini yang dapat mengelabui mata Siau-hi-ji. Seketika ia meloncat ke atas. Segera diketahuinya bahwa sarang labah-labah itu memang lain daripada yang lain, jaring sarang labah-labah itu ternyata terbuat dari benang emas yang sangat halus.
Cepat ia meloncat lagi dan menarik jaring labah-labah itu sekuatnya.
Terdengarlah suara keriat-keriut, menyusul serentetan suara krek-krek pula, onggokan kayu kering di bawah sarang labah-labah mendadak bergeser perlahan, lalu tertampak sebuah lubang.
Banyak juga Siau-hi-ji melihat pesawat rahasia yang terancang dengan amat bagus, tapi belum pernah dilihatnya ada yang lebih bagus dan rahasia daripada tempat ini.
Yang lebih-lebih tak terduga olehnya ialah di bawah tanah itu adalah sebuah kamar tulis. Kecuali tak berjendela, sungguh kamar tulis ini adalah sebuah kamar tulis yang paling ideal, kamar tulis yang indah dan lengkap.
Dinding kanan-kiri kamar tulis itu adalah rak buku yang penuh berderet berbagai macam kitab. Di tengah-tengah ada sebuah meja tulis marmer yang sangat indah, di atas meja tersedia lengkap peralatan tulis. Selain itu, dengan sendirinya terdapat pula sebuah lampu tembaga kecil.
Siau-hi-ji menyalakan lampu itu, lalu dia duduk di kursi besar itu dengan lagak tuan besar. Ia mulai merenung dengan tenang, "Andaikan aku menjadi Kang Piat-ho, akan kusembunyikan di mana rahasiaku?"
Sudah tentu di dalam sebuah kamar tulis terdapat banyak tempat yang bisa digunakan untuk menyimpan rahasia. Tapi umpamanya rahasianya mengenai sehelai kertas, lalu harus disimpan di tempat paling baik mana" Rasanya tempat paling rapi ialah di dalam lipatan buku. Malahan mesti disembunyikan dalam buku yang paling jarang dibaca orang.
Segera ia mendekati rak buku dan memeriksanya dengan teliti, satu per satu dia memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata banyak kitab kuno yang bernilai dan sukar dicari, sungguh koleksi buku yang mengagumkan. Hampir setiap kitab itu penuh berdebu, suatu tanda jarang dijamah orang.
Tujuan Kang Piat-ho ke kamar ini dengan sendirinya bukan untuk membaca, tentu saja kitab ini banyak debunya, tapi anehnya di sini, ya, di sinilah anehnya, justru di sinilah ada satu buku yang tak berdebu, bahkan sangat bersih.
Kitab ini tidak terhitung tipis, Siau-hi-ji lantas melolosnya dari rak, dilihatnya judul yang tertulis di kulit kitab itu berbunyi, "Bok-cau" (tetumbuhan). Kiranya sebuah kitab mengenai obat-obatan. Dengan sendirinya jarang ada peminat yang mau membaca kitab beginian terkecuali ahli obat-obatan.
Siau-hi-ji tersenyum, ia tahu pasti inilah kitab yang hendak dicarinya. Ia membalik-balik halaman kitab itu, segera diketahuinya bahwa bagian tengah kitab itu telah terkorek, tapi sekelilingnya terlengket dengan kencang, maka jadinya seperti sebuah kotak kardus.
Pada bagian kitab yang terkorek seperti itulah tersimpan beberapa helai kedok kulit manusia yang sangat tipis dan bagus sekali pembuatannya. Selain itu ada pula dua-tiga botol kecil, jelas inilah peralatan merias muka.
Namun Siau-hi-ji tidak menaruh minat terhadap benda-benda ini, ia mencari lagi dan mencari terus, maka dapat ditemukannya pula sebuah "kotak kardus"
yang serupa. Di dalam kotak itu pun ada beberapa buah botol kecil, isi botol-botol itu ternyata adalah racun yang sangat sukar dicari dan tinggi nilainya.
Siau-hi-ji menghela napas, ia coba mencari pula dan kembali ditemukan satu lipatan Gin-bio, yaitu surat uang atau yang kini terkenal sebagai cek atau bilyet giro, dalam jumlah besar yang sangat mengejutkan. Bahwa "Kang-lam-tayhiap" Kang Piat-ho yang diketahui hidup sederhana itu ternyata menyimpan bilyet giro berjumlah sedemikian besarnya.
Lalu diketemukan pula sehelai daftar nama yang sangat panjang, Siau-hi-ji malas membaca nama-nama yang tercantum di daftar itu, yang jelas di bawah setiap nama itu diberi bertanda kurung dan di dalam tanda kurung itu tercatat nama "Siau-lim", "Bu-tong" dan sebagainya. Hampir semua tulisan di dalam tanda kurung itu adalah nama sesuatu aliran besar yang terkenal. Bisa jadi nama yang terdaftar itu adalah mata-mata yang diselundupkan Kang Piat-ho ke dalam golongan dan aliran-aliran terkemuka itu.
Tapi Siau-hi-ji juga enggan mengurusnya lebih lanjut, meski hal ini pun suatu rahasia yang sangat mengejutkan, tapi bukan sasaran yang hendak dicari Siau-hi-ji dan sebegitu jauh ternyata belum diketemukan. Ia merasa kecewa dan duduk pula di kursi depan tadi.
Mendadak ia melihat di samping meja tulis itu ada sebuah meja kecil yang penuh tertaruh kertas dari macam-macam ukuran dan warna. Pandangannya terbeliak, cepat ia comot setumpukan kertas itu. Ternyata semua kertas itu blangko kosong tanpa sesuatu tulisan, tapi justru inilah rahasia yang ingin ditemukannya.
Kertas itu sangat enteng dan tipis, tapi ulet, jenis kertas ini sangat spesial pada jaman itu. Siau-hi-ji sendiri hanya pernah melihat satu kali kertas dari kualitas demikian. Akan tetapi ia justru tahu bagaimana rasanya kertas ini kalau dimakan.
Soalnya Siau-hi-ji memang pernah menelan bulat-bulat sehelai kertas jenis ini.
Kiranya kertas ini serupa dengan kualitas kertas bergambar peta harta karun Yan Lam-thian yang diperolehnya dari Thi Sim-lan dahulu itu, peta itu telah ditelannya mentah-mentah, maka selamanya dia takkan lupa.
Dengan hati-hati ia mengerik secomot debu, lalu diusapkannya dengan perlahan di permukaan kertas itu, maka timbullah garis-garis di atas kertas dan ternyata memang benar menggambarkan peta harta karun itu.
Supaya maklum bahwa agar peta harta karun itu mirip aslinya, maka cara melukisnya adalah dengan arang yang keras (seperti potlot), jika kertas yang atas dibuat melukis, kertas di bawahnya dengan sendirinya meninggalkan bekas-bekas goresan.
Kini Siau-hi-ji mengusap permukaan kertas itu dengan debu, dengan sendirinya bekas goresan itu lantas timbul dan tertampak dengan jelas.
Rupanya sewaktu Kang Piat-ho menurun peta yang terakhir kemudian dia tidak pernah mengutik-utik lagi tumpukan kertas ini.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, gumamnya, "Yang membuat peta palsu itu kiranya memang dia. Orang yang sengaja mengadu domba para ksatria di dunia ini agar saling membunuh secara keji, ternyata benar dia inilah biang keladinya."
Lalu ia menjengek sendiri, "Hm, hebat benar 'Kang-lam-tayhiap' yang berbudi dan baik hati"! Hm, sebelum ini memang sudah kuduga kau pasti manusia yang punya ambisi jahat, kalau tidak untuk apa berlagak seperti seorang pendekar sejati" Bukan saja kau bermaksud mengelabui segenap ksatria di jagat ini, bahkan kau hendak menumpas mereka yang tak mau takluk padamu dengan akalmu yang keji, dengan begitu kau akan dapat menjagoi dunia ini."
Dengan hati-hati ia mengembalikan semua benda yang dipegangnya ke tempat semula, lalu bergumam pula, "Jika kau tidak mengganggu diriku, sebenarnya aku pun malas ikut campur urusanmu. Tapi pernah kau bikin aku tertipu satu kali, kalau aku tidak memberi hajaran setimpal padamu rasanya aku berdosa kepada diriku sendiri."
Segera ia padamkan lampu dan mengundurkan diri dari kamar rahasia itu. Ia mengembalikan pesawat rahasianya dalam keadaan seperti semula. Ia tahu, seumpama saat ini juga dia bongkar tipu muslihat Kang Piat-ho, tentu orang lain tidak mau percaya, soalnya Kang Piat-ho benar-benar pintar berlagak.
Terpaksa ia harus menunggu lagi, ia yakin Kang Piat-ho toh takkan mampu lolos.
Begitulah Siau-hi-ji lantas kembali ke kamar tidur Kang Giok-long itu.
Dilihatnya Giok-long masih tidur dengan nyenyak, bahkan masih meringkal miring seperti tadi tanpa berubah sedikit pun, kepalanya setengah terbenam di bantalnya, "belenggu cinta" yang sudah terbuka itu masih mencantol di tangannya.
Dengan diam-diam Siau-hi-ji merebahkan diri, tangannya dimasukkan pula ke dalam belenggu itu, "klik", kuncinya ditutup pula.
Ia tidak ingin memikirkan apa-apa lagi, ia ingin tidur senyenyak-nyenyaknya, supaya penuh semangat untuk menghadapi persoalan yang akan terjadi besok.
Tapi sebelum dia memejamkan matanya, sekonyong-konyong ada orang menyalakan pelita di dalam rumah.
Keruan Siau-hi-ji terkejut, cepat ia pentang mata lebar-lebar, segera dilihatnya seorang berdiri di depan pembaringannya dengan tersenyum simpul, di bawah cahaya lampu yang gemerlap terlihat wajahnya yang pucat. Jelas dia ini Kang Giok-long adanya.
Padahal jelas-jelas Kang Giok-long tidur di sampingnya, mengapa sekarang bisa berdiri di depan pembaringan"!
Seketika Siau-hi-ji melonjak bangun dan memandang orang di sebelahnya. Ia melenggong, orang di sebelahnya juga sedang memandangnya dengan tertawa, kiranya ialah si kakek bisu-tuli yang loyo itu.
Sampai sekian lama Siau-hi-ji tertegun, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata, "Ya, sudah jelas-jelas kutahu Kang Piat-ho seorang tokoh mahalihai, mengapa aku tetap menilai rendah dia?"
"Memangnya itu pun menggelikan?" jengek Kang Giok-long. "Menurut pendapatku, saat ini seharusnya kau menangis."
"Karena ingin menangis tapi tak dapat menangis, dengan sendirinya aku cuma tertawa saja," jawab Siau-hi-ji.
Pada saat itu pula terlihat Kang Piat-ho melangkah masuk dengan perlahan, katanya dengan suara halus dan mengulum senyum, "Kau telah menemukan rahasia yang mahapenting itu, seharusnya kau dapat kabur cepat-cepat, tapi kau ternyata tidak mau lari, sebaliknya malah kembali ke sini seperti tidak pernah terjadi apa-apa, sungguh nyalimu mahabesar dan sangat mengejutkan."
"Sudah jelas-jelas kau mengetahui rahasiamu telah kuketahui, tetapi tetap kau nantikan kembaliku ke sini seperti tidak pernah terjadi apa-apa dan membiarkan aku membelenggu pula diriku sendiri .... Ai, kau benar-benar tokoh yang mahalihai," demikian jawab Siau-hi-ji.
"Kau masih muda belia, tapi dapat menipu aku dan ternyata mampu menemukan rahasiaku, sungguh hal ini tak pernah kubayangkan, aku benar-benar kagum padamu," ucap Kang Piat-ho.
"Kau dapat membuat semua orang percaya penuh padamu sebagai seorang ksatria sejati, seorang pahlawan yang berbudi dan baik hati, setiap orang sama menghormati dan segan padamu, sungguh kau tidak malu disebut sebagai pentolan pada jaman ini," jawab Siau-hi-ji pula.
Begitulah gayung bersambut dan kata berjawab, kedua orang ternyata sama-sama tajam dan saling menyanjung pihak lain. Jika ada orang awam yang menyaksikan dan mendengar percakapan mereka tentu tiada seorang pun yang dapat menerka apa sebenarnya isi hati mereka.
"Sebenarnya aku sangat sayang pada kecerdasan dan kepintaranmu," ujar Kang Piat-ho dengan gegetun. "Tapi mengapa kau justru menjadi lawanku"
Jika kau sudah mengetahui rahasiaku itu, biarpun aku sayang padamu juga terpaksa harus kukorbankan."
"Sesungguhnya aku pun sangat sayang kepada kepintaran dan kecerdikanmu, aku suka menyaksikan usahamu dapat berhasil dengan baik, tapi mengapa kau sengaja membuat peta pusaka sialan itu sehingga aku pun tertipu olehmu?"
Mendadak air muka Kang Piat-ho berubah, serunya, "Dari mana kau tahu peta pusaka itu ada sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Jika bukan lantaran peta harta pusaka itu, mana bisa aku datang ke sini dan mana bisa pula kuselidiki rahasiamu dengan susah payah" Padahal kalau kau tidak merecoki diriku, tentu aku tidak ambil pusing akan segala macam rahasiamu."
Kang Piat-ho memandang Giok-long sekejap, lalu bertanya pula kepada Siauhi-ji, "Sejak kapan kau mengetahui?"
"Waktu kulihat putra kesayanganmu ini membawa sehelai peta wasiat, aku lantas tanya dia peta ini diperoleh dari mana," tutur Siau-hi-ji. "Menurut ceritanya, katanya dia dapat mencuri peta ini dari kamarmu. Tatkala mana lantas terpikir olehku mengapa peta wasiat yang bernilai dan penting begini sembarangan kau taruh saja di kamar tulis" Sejak itulah aku lantas menaruh curiga."
"Curigamu memang beralasan," ujar Kang Piat-ho.
"Kemudian kudengar pula cerita orang lain bahwa ayah dari putra kesayangan ini adalah seorang pendekar besar di jaman ini, maka terpikir pula olehku bahwa seyogianya naga beranak naga dan harimau beranak harimau, mengapa seorang pendekar besar dapat mengeluarkan anak yang begini rendah dan tidak tahu malu?"
"Ehm, makianmu juga cukup beralasan," kata Kang Piat-ho dengan tersenyum.
"Lalu ketemulah aku dengan kau dan ikut ke sini," ucap Siau-hi-ji pula.
"Kulihat seorang pendekar besar ternyata rela berdiam di tempat beginian bahkan bekerja sendiri dan cuma dibantu seorang kakek reyot bisu-tuli. Aku menarik kesimpulan, kalau orang ini bukan nabi pastilah seorang yang mahajahat dan mahaculas. Sebab di dunia hanya dua macam manusia ini saja yang sanggup berbuat demikian."
"Dengan sendirinya aku tidak terlalu mirip nabi," kata Kang Piat-ho dengan tertawa.
"Makanya aku lantas bertekad ingin menyelidiki rahasiamu," sambung Siauhi-ji.
"Kau sungguh teramat sangat pintar, tapi sungguh itu pun merupakan kemalanganmu," kata Kang Piat-ho dengan gegetun.
"Seorang kalau dilahirkan menjadi orang pintar rasanya juga tak dapat menolak dan terpaksa harus terserah pada nasib," ujar Siau-hi-ji.
"Betul, dalam hal ini aku sependapat denganmu," Kang Piat-ho mengangguk.
"Bilamana aku lebih tua sedikit, mungkin aku dapat belajar berlagak bodoh."
"Cuma sayang kau takkan dapat belajar lagi untuk selamanya," ucap Kang Piat-ho.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "Kukira, mungkin sekarang kau akan turun tangan membunuh diriku."
Kang Piat-ho tersenyum, jawabnya, "Selamanya aku tidak tega turun tangan membunuh orang."
"O, jika begitu akan kau pakai cara keji apa pula?" tanya Siau-hi-ji.
Setelah merenung sejenak, lalu Kang Piat-ho berkata dengan tertawa,
"Tahukah bahwa semalam bukan cuma kau satu-satunya orang yang hendak mencelakaiku?"
"O, siapa pula yang ingin mencelakaimu?" tanya Siau-hi-ji.
"Semalam sudah ada orang yang berkunjung ke kamarku, lebih dulu dia meniupkan dupa pembius, lalu mendongkel daun jendela, jelas tujuannya hendak membunuhku. Cuma sayang semalam aku tidak tidur di rumah."
"Betul, semalam kita masih di tengah perjalanan dan bermalam di hotel,"
tukas Siau-hi-ji. "Tapi dari mana engkau mengetahui kamarmu pernah dikunjungi orang?"
"Waktu pulang tadi, di dalam kamarku masih ada sisa bau obat bius, di ambang jendela juga ada bekas telapak kaki," tutur Kang Piat-ho dengan tertawa. "Makanya aku dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang ingin membunuhku semalam itu bukan jagoan yang ulung."
"Jika dia sudah ulung, tentu malam ini dia takkan datang lagi," kata Siau-hi-ji.
"Betul, lantaran dia tidak ulung, maka malam nanti dia masih akan datang lagi," tukas Kang Piat-ho
"Maka kau menghendaki malam nanti kutidur di kamarmu untuk mewakilkanmu dibunuh orang, dengan begitu jiwaku pasti akan amblas, kesempatan mana dapat pula kau gunakan untuk menangkap orang itu, dan bila kau bunuh orang itu dapat kau tonjolkan alasanmu sebagai membalaskan sakit hatiku. Kalau hal ini diketahui orang lain, bisa jadi kau akan dipuji pula sebagai ksatria yang berbudi luhur dan setia kawan."
"Hahaha, bicara dengan anak pintar seperti kau ini sungguh sangat menyenangkan. Pada hakikatnya aku tidak perlu bicara dan semua isi hatiku sudah kau ketahui."
"Aku lebih suka tidak mengetahui apa pun," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.
Dan benar juga, Siau-hi-ji lantas digusur ke kamar tidur Kang Piat-ho dan dibaringkan di tempat tidurnya.
Siau-hi-ji sendiri pula yang membuka kunci "belenggu cinta" itu, tapi begitu belenggu terbuka, seketika beberapa Hiat-to penting di tubuhnya ditutuk oleh Kang Piat-ho.
Sekarang anak muda itu sudah telentang di tempat tidur, matanya terbelalak memandangi langit-langit kamar. Saking kesalnya ia sengaja tidak mau memikirkan apa-apa, untuk melupakan segalanya ia sengaja berhitung, menghitung biri-biri, seekor, dua ekor, tiga, empat, lima ....
Dengan berhitung begitu ia berharap dapat tertidur, kalau sudah tidur nyenyak, maka dia tidak perlu merisaukan akan hidup atau mati. Ia terus berhitung dan hitung terus, tapi meski dia sudah hitung sampai biri-biri yang kedelapan ribu enam ratus lima puluh tujuh, matanya ternyata masih terbelalak lebar.
Karena menghitung biri-biri, tanpa terasa dia lantas teringat kepada si Tho Hoa, terkenang olehnya wajah si Tho Hoa yang kemerah-merahan seperti kulit apel itu, karena itu pula segera ia pun teringat pada Thi Sim-lan.
Selama ini dia tidak tahu bahwa daya pikir renteng manusia umumnya ternyata begini aneh, semakin tidak ingin memikirkan seseorang, bayangan orang itu justru timbul dalam benakmu.
"Di manakah Thi Sim-lan saat ini" Mungkin sedang asyik mengobrol dengan Bu-koat Kongcu yang sopan dan cakap itu. Akan tetapi aku sendiri berada di sini lagi menanti ajal."
Begitulah Siau-hi-ji coba memejamkan mata sebisanya agar tidak memikirkan Thi Sim-lan, tapi bayangan nona itu justru seperti timbul di depan matanya dengan pakaiannya yang putih dan berdiri di bawah cahaya mentari yang gemilang.
Itulah adegan untuk pertama kalinya ia lihat Thi Sim-lan. Jika tiada Thi Sim-lan, tentu ia takkan melihat "peta wasiat" sialan itu, dan kalau bukan lantaran
"peta wasiat" itu, mana bisa ia datang ke sini"
Ia berusaha menghitung biri-biri lagi ... 8658 ... 8659 ... tapi kepala biri-biri seluruhnya seolah-olah berubah menjadi wajah Thi Sim-lan yang cantik.
Sekonyong-konyong terdengar suara keresek perlahan di luar jendela, menyusul sayup-sayup lantas terendus bau harum tersebar di dalam kamar.
Segera Siau-hi-ji menahan napas, pikirnya, "Ini dia, akhirnya datang juga.
Perhitungan Kang Piat-ho ternyata sangat tepat. Ai, sebuah jariku saja tak dapat bergerak, apa gunanya pula menahan napas?"
Karena berbaring tak bisa berkutik, terpaksa Siau-hi-ji hanya dapat mengintip dengan mata setengah terpejam.
Tertampak daun jendela terbuka dengan perlahan, habis itu sesosok bayangan orang lantas menyelinap masuk.
Orang ini memakai pakaian hitam ketat, tangan memegang sebilah golok tipis gemilapan, gerak-geriknya sangat enteng dan gesit, tampaknya nyalinya juga tidak kecil.
Cahaya golok yang gemerlapan itu sekilas menerangi wajah penyatron itu, kebetulan Siau-hi-ji dapat melihat mukanya, seketika ia melongo kaget.
Penyatron berbaju hitam yang bernyali besar itu ternyata bukan lain daripada Thi Sim-lan.
Siau-hi-ji menjadi ragu-ragu pada matanya sendiri, jangan-jangan pandangannya yang kabur" Di dunia ini mana ada kejadian begini kebetulan"
Akan tetapi penglihatannya jelas tidak salah, penyatron ini memang betul Thi Sim-lan adanya.
Begitu menyelinap masuk kamar, setelah melihat di tempat tidur ada orang berbaring di situ, tanpa memandang lebih cermat lagi segera Thi Sim-lan menubruk maju, golok terangkat terus membacok kepala yang berada di atas bantal.
Karena tak dapat bergerak dan juga tak mampu bersuara, Siau-hi-ji menjadi cemas dan pedih dan entah apa pula rasanya. Sungguh sukar dipercaya bahwa dia harus mati di tangan Thi Sim-lan, apakah bukan takdir sengaja berkelakar dengan dia"
Kang Piat-ho dan Kang Giok-long pada saat itu berada di luar pintu dan sedang mengintip segala kejadian yang sedang berlangsung, asalkan golok si nona sudah dibacokkan, seketika mereka akan menerjang masuk ... dan tampaknya bacokan Thi Sim-lan sudah dilakukan dan kepala Siau-hi-ji pasti segera akan berpisah dengan tubuhnya.
Di luar dugaan, pada detik yang menentukan itulah sekonyong-konyong terdengar suara "krek" satu kali, golok yang sudah diangkat tinggi-tinggi oleh Thi Sim-lan dan akan dibacokkan itu mendadak patah menjadi dua secara gaib.
Keruan Kang Piat-ho dan Kang Giok-long sama-sama terkejut, "Siapakah yang memiliki kelihaian sehebat ini?" pikir mereka.
Thi Sim-lan juga tidak kurang kagetnya, wajahnya menjadi pucat, ia menyurut mundur beberapa langkah, tampaknya hendak putar haluan dan melarikan diri.
Pada saat itulah dari luar jendela lantas melayang masuk sesosok bayangan manusia, begitu enteng dan cepat laksana daun tertiup angin saja.
Di bawah kerlipan sinar bintang yang remang-remang tertampak orang ini memakai baju panjang warna putih, wajahnya tersenyum sopan dan ramah, dipandang dalam keadaan remang-remang tampaknya seperti malaikat dewata yang baru turun dari kayangan, begitu memesona daya tarik orang ini sehingga sukar dilukiskan dari mana timbulnya daya tariknya yang luar biasa itu.
Kang Piat-ho juga terpengaruh oleh daya tarik orang yang gagah dan anggun itu, seketika ia tertegun. Tak teringat olehnya di dunia persilatan ada seorang tokoh muda sehebat ini.
Tapi sekali pandang saja Siau-hi-ji lantas mengenali pendatang ini dan hampir saja ia jatuh kelengar.
Dengan sendirinya pemuda ini bukan lain dari pada model manusia yang paling sempurna, yakni Hoa Bu-koat alias Bu-koat Kongcu, sesuai dengan namanya, Bu-koat memang berarti tanpa cacat.
Tanpa terasa Thi Sim-lan menyurut mundur lagi dua tindak, dengan suara serak ia berkata, "Kiranya engkau" Meng ... mengapa engkau datang ...?"
"Ya, aku," sahut Bu-koat Kongcu tersenyum. "Sejak kemarin kau mencari
'Ngo-ko-bi-hun-hiang' (dupa pembius sampai pagi), aku lantas merasa curiga akan tindak tandukmu. Karena itulah selama dua hari ini senantiasa kukuntit kau secara diam-diam."
Thi Sim-lan membanting-banting kaki, katanya dengan mendongkol, "Untuk apa engkau menguntit diriku, kenapa kau rintangi aku membunuh dia?"
"Setiap orang Kangouw sama bilang 'Kang-lam-tayhiap' adalah seorang ksatria yang berbudi luhur, andaikan kau merasa marah padanya kan juga tidak perlu membunuh dia begini saja?" ujar Bu-koat Kongcu dengan suara halus.
"Tapi ... apakah kau tahu bahwa ... bahwa ayahku telah ... telah dibunuh olehnya?" seru Sim-lan dengan suara gemetar.
Pada saat itulah Kang Piat-ho lantas mendorong pintu dan melangkah masuk dengan wajah penuh rasa kejut dan heran, ia berlagak bingung terhadap apa yang dikatakan Thi Sim-lan itu. Ia memberi hormat, lalu bertanya dengan tertawa, "Siapakah kedua saudara muda ini" Selama hidupku rasanya tidak pernah sembarangan membunuh orang yang tak berdosa, dari mana pula Cayhe dapat dituduh membunuh ayah nona" Barangkali terjadi salah paham nona terhadap diriku?"
Mata Thi Sim-lan menjadi merah basah, teriaknya dengan gusar, "Jelas-jelas ayahku meninggalkan tanda rahasia dan memberitahukan padaku bahwa dia datang ke sini mencari kau. Tapi setiba di sini beliau tak pernah keluar lagi dan itu berarti beliau masih berada di sini, kalau orangnya tidak ada itu berarti telah kau bunuh beliau."
"Nona ini siapa ...." tanya Kang Piat-ho.
"Aku she Thi, ayahku adalah 'Ong-say' Thi Cian," jawab Sim-lan dengan suara keras.
"O, kiranya nona Thi," ucap Kang Piat-ho tertawa, "Tapi Cayhe sanggup menjamin dengan nama baikku bahwa Thi-losiansing benar-benar tidak pernah datang ke sini. Coba saja nona pikir dengan seksama, apabila benar Cayhe telah membunuh Thi-losiansing, betapa besar peristiwa luar biasa ini, umpama Cayhe hendak merahasiakannya rasanya juga sukar mengelabui orang Kangouw yang tidak kurang daripada tokoh-tokoh yang berhidung tajam. Apalagi kalau betul kubunuh Thi-losiansing, rasanya Cayhe juga tidak perlu merahasiakannya."
Apa yang diucapkan Kang Piat-ho ini memang cukup beralasan dan masuk di akal. Harus maklum bahwa "Ong-say" Thi Cian, si Singa gila, adalah satu di antara kesepuluh top penjahat Cap-toa-ok-jin yang terkenal itu.
Bahwa orang-orang Kangouw banyak yang ingin membunuh Thi Cian dan kawanan Cap-toa-ok-jin itu dapatlah dimengerti pula. Maka kalau ada orang berhasil membunuhnya, bukan saja hal ini akan menggemparkan dan menggembirakan dunia Kangouw, bahkan setiap orang Kangouw pasti juga akan memberi pujian. Jadi kalau betul terjadi hal yang menggembirakan orang-orang Kangouw itu, mustahil kalau sengaja dirahasiakannya malah.
Maka apa yang diucapkan Kang Piat-ho itu walaupun juga bernada menyindir, tapi juga masuk di akal.


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dasar watak Thi Sim-lan juga seperti ayahnya, yaitu berangasan dan pemberang, meski kedatangannya ini adalah untuk menuntut balas dan bila perlu mengadu jiwa, tapi sesungguhnya apakah ayahnya memang mati terbunuh di sini atau tidak, pada hakikatnya ia sendiri pun tidak tahu dengan pasti.
Begitulah Kang Piat-ho lantas berpaling dan memberi hormat kepada Bu-koat Kongcu, katanya dengan tertawa, "Kongcu benar-benar mutiaranya dunia Kangouw, sudah berpuluh tahun Cayhe berkecimpung di kalangan persilatan, tapi selama itu belum pernah melihat tokoh muda seperti Kongcu ini. Kalau tidak keberatan, bolehkah Cayhe mengetahui nama dan she Kongcu yang terhormat?"
Dengan tersenyum Bu-koat Kongcu menjawab, "Cayhe Hoa Bu-koat dan Tuan ....
"Cayhe Kang Piat-ho adanya," sahut Kang Piat-ho sambil menghormat pula.
Seketika Thi Sim-lan melonjak kaget, teriaknya, "He, jadi engkau ini Kang Piat-ho, lalu siapa pula yang meringkuk di tempat tidur itu?"
Diam-diam Kang Piat-ho tertawa geli akan watak Thi Sim-lan yang ceroboh itu, tampaknya saja nona ini lemah lembut, tapi tindak tanduknya ternyata keras dan ceroboh, masa sejak tadi baru sekarang ditanyakannya siapa yang meringkuk di tempat tidur itu"
Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam benaknya, segera ia mendekati tempat tidur dan menepuk perlahan bahu Siau-hi-ji, lalu menjawab, "Anak ini adalah putra mendiang sahabatku yang berbudi, ia datang dari tempat jauh, maka Cayhe menyilakan dia tidur di kamarku ini. Eh, keponakan yang baik, lekas bangun dan menemui Hoa-kongcu."
Berbareng dengan gerakan tangannya, serentak ia membuka Hiat-to di tubuh Siau-hi-ji yang ditutuknya, tapi segera pula tangannya menekan perlahan di bagian Hiat-to mematikan untuk berjaga-jaga bila Siau-hi-ji berani mengucapkan sesuatu yang tidak menguntungkan dia, maka sekali tangannya menyalurkan tenaga segera anak muda itu tak dapat bicara lebih lanjut lagi alias jiwa akan melayang.
"Orang muda memang suka tidur dengan nyenyak, buat apa tuan membangunkan dia," ujar Bu-koat Kongcu dengan tertawa.
Sebagian kepala Siau-hi-ji terbenam di bantal, mendadak ia berkata, "Aku sudah mendusin sejak tadi, cuma aku malas bicara dengan mereka."
Kang Piat-ho mengernyitkan kening, omelnya, "He, mana boleh kau bersikap tidak sopan begini?"
"Siapakah gerangannya di dunia Kangouw ini yang tidak kenal engkau orang tua adalah ksatria yang berbudi luhur dan baik hati," demikian ucap Siau-hi-ji.
"Tapi mereka justru menuduh engkau telah sembarangan membunuh orang.
Manusia yang tidak bijaksana dan tidak dapat membedakan antara yang salah dan yang benar, untuk apa kubicara dengan dia."
Semula Kang Piat-ho mengira dalam keadaan terancam, paling-paling Siauhi-ji hanya akan tegur sapa sekadarnya saja. Siapa tahu anak muda itu berbalik bersuara membelanya, hal ini sungguh-sungguh tak pernah terpikir olehnya.
Dengan sendirinya Kang Piat-ho tidak tahu bahwa saat ini orang yang paling ditakuti Siau-hi-ji bukanlah dia melainkan si Bu-koat Kongcu yang cakap itu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Thi Sim-lan bersuara, "He, kau ... kau ...."
ia pandang Bu-koat Kongcu sekejap dan mendadak tersenyum, lalu menyambung dengan suara lembut, "O, kalau ... kalau engkau memang tidak membunuh ayahku, ya sudahlah, marilah kita pergi saja."
Kang Piat-ho jadi melengak, ia heran mengapa nona ceroboh ini bisa berubah menjadi begini lembut dalam waktu sesingkat ini.
Sudah tentu baik Kang Piat-ho maupun Bu-koat Kongcu tidak mengetahui bahwa meski Siau-hi-ji berbicara dengan suara yang dibikin serak, tapi Thi Sim-lan adalah nona yang pernah bergaul sekian lama dengan anak muda itu, bahkan nona muda itu sudah jatuh cinta padanya, siang dan malam anak muda itu senantiasa terkenang olehnya. Dengan sendirinya dia dapat mengenali suara Siau-hi-ji biarpun anak muda itu sengaja mengubah suaranya sedemikian rupa.
Karena itulah dengan terkejut dan bergirang ia bersuara hendak menegur, tapi segera teringat olehnya apabila Bu-koat Kongcu mengetahui orang yang meringkuk di tempat tidur itu adalah Siau-hi-ji, maka pasti anak muda itu akan dibunuhnya.
Sebab itulah lekas-lekas ia mengajak Hoa Bu-koat pergi saja.
Hubungan dan sangkut-paut antara beberapa orang ini benar-benar sangat ruwet, betapa pun pintar dan cerdiknya Kang Piat-ho juga seketika tidak dapat memahami seluk-beluknya. Ia hanya tertawa saja dan berkata,
"Kebetulan Hoa-kongcu berkunjung kemari, mana boleh pergi lagi secara terburu-buru begini?"
Hoa Bu-koat tertawa, jawabnya, "Cayhe juga sudah lama mengagumi nama Kang-lam-tayhiap dan ingin minta petunjuk, cuma ...."
Diam-diam Siau-hi-ji bersyukur ketika melihat Hoa Bu-koat hendak pergi, tapi sekarang mendadak didengarnya ucapan Bu-koat Kongcu itu bernada tidak jadi berangkat, saking gugupnya ia lantas berseru pula, "Bila kau benar-benar ingin menemui paman Kang, sepantasnya kau tunggu sampai esok pagi baru berkunjung pula ke sini. Sekarang tengah malam buta kau masuk melalui jendela, mana sopan santunmu sebagai seorang ksatria?"
Air muka Hoa Bu-koat berubah merah padam, bentaknya mendadak, "Siapa kau sebenarnya?"
Cepat Thi Sim-lan menarik tangan Hoa Bu-koat dan berseru, "Peduli siapa dia, lekas kita pergi saja."
Dengan setengah paksa ia seret Hoa Bu-koat keluar jendela, baru saja ia menghela napas lega, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, Hoa Bu-koat sudah menghilang. Waktu ia menoleh, anak muda itu ternyata sudah berada pula di depan pembaringan Siau-hi-ji.
Hampir seluruh kepala Siau-hi-ji dibenamkan ke dalam bantal, diam-diam ia memaki diri sendiri yang goblok.
Melihat Hoa Bu-koat sudah pergi mendadak kembali lagi, tentu saja Kang Piat-ho juga melongo bingung.
Tertampak Hoa Bu-koat menarik muka dengan prihatin, lalu bertanya dengan sekata demi sekata, "Apakah orang ini Kang Hi adanya?"
Kang Piat-ho melengak, jawabnya sambil menyengir, "Hehe, apakah ...
apakah Hoa-kongcu kenal akan keponakanku yang baik ini?"
Hoa Bu-koat menghela napas panjang, lalu berkata dengan berseri, "Hah, bagus, bagus sekali, kau ternyata tidak mati."
Melihat anak muda itu sangat gembira, sama sekali tak diduganya bahwa yang digembirakannya adalah lantaran Ho Bu-koat merasa sekarang dapat membunuh Siau-hi-ji dengan tangannya sendiri, ia malahan mengira anak muda itu adalah sahabat karib Siau-hi-ji, maka dengan tertawa ia menjelaskan, "Dengan sendirinya dia tidak mati, andaikan ada orang hendak membunuhnya juga Cayhe takkan mengizinkan."
"Kau tidak mengizinkan?" Hoa Bu-koat menegas dengan tak acuh.
Melihat sikap orang yang rada aneh itu, diam-diam Kang Piat-ho merasa heran.
Pada saat itulah tahu-tahu Siau-hi-ji telah melompat bangun dan sembunyi di belakang Kang Piat-ho dan mencibir pada Hoa Bu-koat, katanya dengan tertawa, "Nah, kau dengar sendiri, barang siapa ingin membunuh keponakan baik 'Kang-lam-tayhiap', maka dia sama saja sedang bermimpi."
"Selamanya Cayhe sangat kagum dan hormat pada Kang-tayhiap, tapi apa pun juga Cayhe juga harus membunuh orang ini dan tiada pilihan lain," ucap Hoa Bu-koat dengan tenang.
Kembali Kang Piat-ho melengak, serunya, "Kau ... kau ingin membunuhnya?"
"Ya, mau tak mau Cayhe harus membunuhnya," ucap Hoa Bu-koat dengan menyesal.
Kang Piat-ho memandang Hoa Bu-koat, lalu memandang Siau-hi-ji sekejap, diam-diam ia mengeluh, "Wah, celaka, akhirnya aku tetap tertipu oleh akal licik setan cilik ini."
Maklumlah, sekali dia sudah bicara, sesuai nama baik dan kedudukannya, betapa pun ia tidak dapat tinggal diam dan membiarkan sang "keponakan"
sendiri dibunuh orang lain di depan hidungnya.
Melihat sikap Kang Piat-ho yang serba salah itu, sungguh Siau-hi-ji gembira setengah mati, tapi di mulut dia sengaja bicara dengan menyesal, "Paman Kang, kukira jangan ikut campur dan biarkan dia membunuhku saja. Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bagaimanapun engkau juga bukan tandingannya, jika engkau tidak ikut campur, orang Kangouw pasti juga takkan mencemoohkan dirimu."
Siau-hi-ji sengaja menandaskan kata-kata "mencemoohkan dirimu" dengan suara keras, sebab ia tahu bila Kang Piat-ho tinggal diam saja dan membiarkan Hoa Bo-koat membunuhnya, maka sebutan "Kang-lam-tayhiap"
yang diperolehnya dengan susah payah itu seketika akan terhanyut dan tidak laku sepeser pun.
Tentu saja Kang Piat-ho tahu maksud tujuan Siau-hi-ji, sungguh perutnya hampir meledak saking gemasnya, tapi lahirnya dia tetap tenang-tenang saja dan tersenyum, katanya, "Apakah Hoa-kongcu benar-benar hendak bikin susah Cayhe?"
"Sebaiknya engkau menimbang lagi lebih masak," ucap Hoa Bu-koat dengan suara berat. "Jika begitu terpaksa Cayhe ...."
Belum habis ucapan Kang Piat-Ho, tiba-tiba Kang Giok-long menerobos masuk sambil memegangi perut sendiri, mukanya pucat pasi, tubuh gemetar.
"Arak ... arak yang dia bawa itu beracun!" demikian seru Giok-long sambil menuding Siau-hi-ji dengan suara terputus-putus.
Seketika air muka Kang Piat-ho juga berubah, ia berpaling dan melototi Siauhi-ji, bentaknya dengan bengis, "Kami ayah beranak menerima kau dengan baik, mengapa ... mengapa kau hendak mencelakai kami malah" Pantas kau sendiri tidak ... tidak minum barang setetes pun, kiranya arakmu itu ber ...
beracun!" Perubahan ini bukan saja di luar dugaan Hoa Bu-koat, bahkan Siau-hi-ji juga melenggong.
Tapi segera ia paham duduknya perkara, diam-diam ia memaki di dalam hati,
"Keparat, licin dan keji amat muslihatmu ini ...."
Akal bulus Kang Giok-long itu memang lihai, suasana seketika berubah sama sekali, sampai-sampai Kang Piat-ho pun tidak perlu merintangi lagi apa bila Hoa Bu-koat hendak membinasakan Siau-hi-ji, sebab sekarang mereka sudah berdiri dalam satu pihak, sama-sama hendak membunuh Siau-hi-ji.
Begitulah Kang Piat-ho mendadak melolos pedang pusakanya dan mendamprat, "Kuanggap kau seperti anak sendiri, tak tersangka demi mengincar pedang pusaka ini hendak kau racuni aku ... kau manusia berhati binatang yang tidak tahu budi kebaikan, jika ... jika kau dibiarkan hidup, entah betapa banyak orang yang akan menjadi korban kejahatanmu. Demi kesejahteraan keluarga, demi ketenteraman dunia Kangouw, terpaksa harus kubinasakanmu." Habis berkata, sekali bergerak, kontan pedangnya terus menusuk ke dada Siau-hi-ji.
Di luar dugaan, baru saja ia melancarkan serangan, tahu-tahu Hoa Bu-koat melompat maju dan memegang tangan Kang Piat-ho dengan perlahan.
Kembali Kang Piat-ho terkejut oleh kegesitan anak muda yang cakap ini di samping juga heran, ia tidak mengerti mengapa Hoa Bu-koat mendadak berbalik merintanginya, bukankah Hoa Bu-koat sendiri juga bertekad hendak membunuh Siau-hi-ji"
"Hoa-Kongcu, ken ... kenapa kau ...." tanyanya dengan bingung.
"O, maaf," sahut Hoa Bu-koat. "Soalnya aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Mendadak terdengar Kang Giok-long menjerit, berbareng tubuhnya lantas terkulai.
Segera Kang Piat-ho juga memegangi perut dan merintih, katanya dengan tersenyum pedih, "Jika ... jika begitu, silakan kau turun tangan, Cayhe ...."
belum habis bicara, ia terhuyung-huyung dan "bluk", ia jatuh tertunduk di kursinya.
Hoa Bu-koat menghela napas, ia mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan diberikan kepada Kang Piat-ho sambil berkata, "Ini dua jenis obat, Siau-cu-hiang (dupa dewi) dan Soh-li-tan (pil gadis suci), yang satu dibakar dan dicium baunya, yang lain diminum, kedua macam obat ini sekaligus dapat menawarkan segala macam racun di kolong langit ini. Harap engkau memakainya sendiri, maaf, Cayhe tak dapat berdiam lebih lama di sini."
Meski Hoa Bu-koat sudah bertindak dan sudah bicara dengan orang lain, namun sinar matanya tanpa berkedip selalu mengincar ke arah Siau-hi-ji.
Maklumlah, dia sudah pernah diakali dan merasakan kelicikan akal bulus Siau-hi-ji sehingga anak muda itu dapat lolos. Keledai sekali pun takkan terperosot untuk kedua kalinya di tempat yang sama, begitu pula Hoa Bu-Koat tidak ingin mengulangi kejadian tempo hari, tatkala mana Siau-hi-ji dapat kabur, maka sekali ini dia tak berani lengah sedikit pun.
Rupanya Siau-hi-ji juga menyadari sekali ini dirinya jangan harap akan dapat meloloskan diri, maka sekalian ia lantas melipat kaki dan duduk bersila di atas ranjang. Dengan tertawa ia pandang Hoa Bu-koat, katanya, "Bahwa aku tidak jadi mati terbunuh, untuk ini aku harus mengucapkan selamat padamu."
"Betul, bahwa kau tidak sampai mati dibunuh orang, sungguh beruntung bagiku," sahut Bu-koat tertawa.
"Bila orang lain mendengar percakapan kita, mungkin mereka akan mengira kau ini biniku yang menyamar sebagai lelaki. Kalau tidak, masa aku tidak jadi mati kok malah mengucapkan selamat padamu."
Hoa Bu-koat tidak jadi marah, ia tertawa tak acuh, jawabnya, "Nanti kalau kau sudah mati kubunuh, tentu mereka akan tahu bahwa dugaan mereka salah sama sekali."
Memangnya kau yakin sekali ini pasti dapat membunuh diriku?"
"Sekali ini biarpun kau ingin membunuh diri juga tidak mungkin terjadi."
"O, begitukah?" Siau-hi-ji menegak alis.
Dengan tenang Hoa Bu-koat menjawab, "Dalam jarak sedekat ini, asalkan tangan seseorang bergerak sedikit saja, seketika aku dapat mendahului menutuk delapan belas tempat Hiat-to di kedua lenganmu."
Dia bicara dengan acuh tak acuh seakan-akan sedang mengobrol iseng sesuatu hal yang paling mudah dan sederhana, tapi bagi pendengaran Siauhi-ji, ia percaya apa yang diucapkan seterunya itu sedikit pun bukan bualan.
Pada saat itulah Thi Sim-lan yang berdiri di luar jendela sana mendadak menggetarkan goloknya yang tipis sehingga menimbulkan suara mendenging.
Golok itu ada sepasang, tadi sudah patah satu sehingga masih sisa sebuah.
Mendengar suara senjata itu, biji mata Siau-hi-ji berputar, tiba-tiba timbul sesuatu perasaannya, katanya dengan tertawa, "Tidaklah pantas jika kau membunuhku di sini."
"Di mana pun boleh, tempat bukan soal bagiku," ucap Bu-koat.
"Apakah kau berani membiarkan aku berjalan keluar sendiri?"
"Memangnya kau kira dapat kabur?" jawab Hoa Bu-koat tersenyum.
"Untuk apa kau pikir sejauh itu" Aku hanya tidak suka dipondong keluar olehmu dan ingin berjalan sendiri."
Habis berkata ia lantas melompat turun dari tempat tidur, ia pandang sekejap kepada Kang Piat-ho dan Kang Giok-long. Jika orang lain, bukan mustahil saat ini rahasia kemunafikan ayah beranak itu pasti akan dibongkarnya habis-habisan.
Akan tetapi Siau-hi-ji tidak mau berbuat demikian, ia tahu cara demikian hanya akan sia-sia dan membuang tenaga belaka. Seumpama dia dapat membikin Hoa Bu-koat percaya Kang Piat-ho adalah manusia paling keji dan munafik di dunia ini, toh Hoa Bu-koat juga tetap akan membunuhnya lebih dulu, dengan demikian ia menjadi lebih sukar lagi untuk lolos. Mana lagi apa yang dikatakannya juga belum tentu dipercaya oleh Hoa Bu-koat.
Begitulah Siau-hi-ji lantas melangkah keluar. Rumah ini adalah bangunan model kuno, ambang jendelanya sangat pendek mirip ambang pintu saja.
Golok Maut 3 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 11

Cari Blog Ini