Ceritasilat Novel Online

Pendekar Binal 2

Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 2


"Benar, Congpiauthau," jawab Lui-lotoa.
"Memang sudah kuduga hanya kau seorang saja yang akan menyusul kemari."
"Dengan ucapan Congpiauthau ini, biarpun mati aku pun rela. Meski Lui-Siau-hou adalah orang bodoh, tapi sekali-kali bukan manusia pengecut dan binatang yang tidak tahu budi. Cuma Congpiauthau engkau ... engkau sekali ini ...."
"Apakah kau heran karena aku tidak mengajak sahabat-sahabatku yang lain?"
"Ya, begitulah," jawab Lui-lotoa.
"Kawanan Cap-ji-she-shio itu masing-masing memiliki ilmu saktinya sendiri-sendiri, jarang di antara kawan-kawan Kangouw kita yang mampu mengalahkan mereka. Jika kuajak teman, sudah tentu mereka akan hadir mengingat jiwa setia kawan mereka, tapi apakah aku tega membuat susah kawan sendiri dan mengorbankan jiwa mereka secara sia-sia."
"Congpiauthau tetap Congpiauthau, jiwamu yang luhur sungguh membuatku tunduk benar-benar," ujar Lui-lotoa, "Sekalipun aku Lui Siau-hou memiliki kepandaian setinggi Congpiauthau juga tidak mungkin mampu menjabat pemimpin umum dari gabungan tiga buah Piaukiok besar, aku ...." belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong.
Ada anjing menggonggong atau lebih tepat mengaum bulan di waktu malam di tengah ladang belukar sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, yang aneh adalah suara auman anjing ini lain daripada yang lain, suara gonggongan anjing ini mengandung rasa yang aneh dan menyeramkan.
Seketika air muka Lui-lotoa berubah, katanya tergegap, "Jangan-jangan ...
jangan-jangan ...." Belum habis ucapannya, serentak suara anjing menggonggong berjangkit di kota kecil tadi, sahut menyahut akibat auman anjing pertama tadi. Betapa pun besar nyali Lui-lotoa tidak urung juga rada gemetar, tapi ketika dilihatnya sikap sang Congpiauthau tidak gentar sedikit pun, mau tak mau ia pun menjadi tabah, katanya dengan menyeringai, "Tampaknya kawanan Cap-ji-she-shio ini memang rada-rada aneh ...."
"Gerombolan Cap-ji-she-shio itu memang suka berbuat aneh-aneh dan menggoda untuk membikin jeri lawannya," kata Sim Gin-hong. "Kalau kita juga kena digertak berarti kita sudah patah semangat lebih dulu."
"Tidak, aku tidak takut, Congpiauthau," seru Lui Siau-hou sambil membusungkan dada. "Pengecutlah orang yang takut, anak kura-kura kalau takut."
Meski di mulut menyatakan tidak takut, namun sesungguhnya hatinya kebat-kebit, suaranya juga rada keder. Di malam sunyi, di tengah ladang belukar auman anjing yang mirip orang menangis dan seperti serigala menyalak memang menggetar sukma.
Segera Sim Gin-hong mengangkat tangan memberi hormat dan berseru lantang, "Silakan Cap-ji-she-shio perlihatkan diri. Sim Gin-hong sudah datang berkunjung!"
Biarpun tubuhnya kurus kecil, tapi suaranya lantang keras menembus suara gonggongan anjing yang sahut menyahut dengan riuhnya itu.
Di tengah cuaca remang-remang sekonyong-konyong meloncat keluar segulung bayangan hitam yang menyerupai seorang penunggang kuda.
Waktu Sim Gin-hong mengamati lebih teliti, kiranya seekor kera besar berbulu kuning menunggang seekor anjing dengan siungnya yang menyeringai seram.
Anjing itu sangat besar, yaitu anjing serigala atau anjing herder (gembala) menurut istilah sekarang. Kera berbulu kuning emas itu pun aneh, matanya merah memancarkan sinar yang menyeramkan. Anjing dan kera itu seakan-akan bukan makhluk di dunia ini, tapi seperti siluman yang datang dari akhirat.
Dengan tegak tak gentar Sim Gin-hong mengikuti datangnya si kera menunggang anjing itu. Sesudah dekat, mendadak kera itu bersuara mencuit sambil menyodorkan sebuah Tho.
Sim Gin-hong menjengek, "Sungguh bagus anjing sakti menyambut tamu dan kera ajaib menyuguh buah. Tapi yang ingin kutemui adalah manusianya dari Cap-ji-she-shio dan bukan kawanan binatang ini."
Kera bulu emas itu seperti paham ucapan manusia, "ciit", sambil bersuara mendadak ia berjumpalitan di atas punggung anjing tunggangannya itu, tiba-tiba tangannya sudah membentang sehelai kain putih dengan tulisan, "Jika kau berani makan ini, tentu ada orang yang akan menemuimu"
"Hm, kalau Cap-ji-she-shio hanya kawanan tikus yang cuma pintar menakut-nakuti orang, tentu orang she Sim takkan datang ke sini," jengek Sim Gin-hong pula, "Apa pun juga Sim Gin-hong percaya penuh pada kalian, biarpun racun juga akan kumakan."
Baru saja ia hendak menerima buah Tho yang disodorkan si kera tadi, tak terduga mendadak Lui Siau-hou menyerobot maju, buah Tho itu disambernya terus dilalap habis ke dalam perut, katanya, "Makan Tho gratis, kalau tidak mau kan bodoh!"
Serentak terdengarlah seorang tertawa seram dan menanggapi, "Bagus!
Pantas Sam-wanpiaukiok dapat berjalan lancar di utara dan selatan Sungai (Yangce), buktinya di dalam perusahaannya memang tidak sedikit laki-laki berani mati ...." berbareng beberapa bayangan orang lantas muncul.
Kalau perawakan Sim Gin-hong sudah terhitung kurus kecil, maka kini orang yang muncul paling depan ternyata jauh lebih kurus kecil daripada Congpiauthau gabungan tiga perusahaan pengawalan itu. Jubah yang dipakai orang kerdil ini berwarna emas mengkilat, mukanya tirus, yakni tulang pipi menonjol dan janggutnya runcing, tapi kedua matanya merah membara, mulutnya lebar, waktu tertawa ujung mulutnya hampir melebar sampai di pangkal telinga. Kalau tiga bagian masih mirip manusia, maka orang ini tujuh bagian lebih menyerupai monyet.
Enam-tujuh pengikutnya lagi berseragam hitam pula, hanya kelihatan mata mereka yang berkedip mirip mata setan.
"Yang datang ini apakah ...."
Belum sempat Sim Gin-hong menegur, si kerdil berjubah emas itu sudah memotong, "Dari bentuk kami, sekali pandang saja tentu kau tahu melambangkan apa kami ini, jadi tidak perlu kujelaskan lagi bukan?"
"Ya, cuma Cayhe (aku yang rendah) heran mengapa di antara kalian tiada terdapat Hek-bian-kun dan Su-sin-khek?" ujar Sim Gin-hong.
"O, kedua kawan kami itu sedang melakukan jual-beli yang lain, memangnya kau anggap tidak cukup kehadiran kami ini?"
"Soalnya orang she Sim sudah sengaja datang dan tidak berpikir untuk pulang dengan hidup, maka kuharap bisa melihat wajah asli dari keduabelas lambang binatang yang termasyhur ini. Kalau sekarang jumlah yang hadir ternyata kurang lengkap, betapa pun aku rada menyesal."
"Hehe, kutahu nyalimu tidak kecil, tak tahunya mulutmu juga cukup tajam,"
ujar si kera dengan menyeringai. "Yang harus disayangkan adalah kedudukanmu sebagai Congpiauthau yang kau capai dengan susah payah ini, jika kau harus mati begitu saja apakah kau tidak penasaran?"
"Kedatanganku ini bukan untuk mengadu lidah denganmu," bentak Sim Gin-hong ketus.
"Memangnya kau ingin berkelahi?" tanya Kim-goan-sing, si kera emas.
"Benar," jawab Sim Gin-hong. "Kalau orang she Sim ini menang, kuharap kalian membatalkan niat mengincar barang kawalanku ...."
"Kalau kalah?" sela Kim-goan-sing. "Akan kau serahkan barang kawalanmu?"
"Hahaha!" Sim Gin-hong tertawa. "Partai barang yang kalian incar itu sudah diantar ke tempat tujuan oleh wakilku Song Tek-yang, kedatanganku ini hanya sekadar memenuhi janji saja."
"O, begitukah?" Kim-goan-sing menegas. Tiba-tiba ia memanggil Hek-kau-sing, si anjing hitam, yang segera menyerahkan sebuah kotak kecil. Waktu kotak itu dibuka, dengan suara dingin Kim-goan-sing berkata, "Silakan Sim-congpiauthau memeriksa apa isi peti ini!"
Waktu Sim Gin-hong melongok sekejap ke dalam peti yang disodorkan itu, seketika ia kaget, mukanya menjadi pucat. Ternyata isi peti itu adalah kepala Song Tek-yang yang disebut sebagai wakilnya tadi.
"Kalian " kalian telah ...." Sim Gin-hong tidak sanggup lagi menyambung ucapannya.
"Hehehe!" Kim-goan-sing terkekek-kekek. "Jika Cap-ji-she-shio mudah ditipu orang, tentu orang Kangouw juga takkan kepala pusing bila terbentur kami.
Bicara terus terang, harta benda kawalan kalian itu sudah jatuh di tangan kami. Kedatangan kami ini hanya ingin mencabut nyawamu!" Habis ini ia memberi tanda kepada begundalnya dan berseru, "Maju semua!"
Sekali ia bersuit, mendadak kera bulu emas itu melompat ke udara terus menubruk ke arah Sim Gin-hong, jarinya secepat kilat mencolok kedua mata musuh. Sedangkan anjing gembala yang besar tadi terus mengaum dan menubruk Lui Siau-hou.
Tidak kepalang kaget Lui Siau-hou, cepat ia mengelak. Tak terduga gerakan anjing besar itu sangat gesit, sekali tubruk luput, segera memutar balik dan menerjang lagi. Sekali ini Lui Siau-hou tidak mampu menghindar, ia tertubruk jatuh, dilihatnya sebaris gigi putih tajam menerkam ke tenggorokannya.
Dengan mati-matian Lui Siau-hou menahan dagu anjing, terjadilah pergulatan maut antara manusia dan anjing itu, anjingnya mengaum buas, Lui Siau-hou juga mengerang murka seperti binatang.
Di sebelah lain Sim Gin-hong juga sudah balas menyerang beberapa kali, tapi si kera bulu emas ternyata sangat gesit, jarinya senantiasa mengincar kedua biji mata lawannya.
"Hehehe! Tak kusangka para jago kawal Sam wan-piaukiok juga kewalahan menghadapi dua ekor binatang saja," jengek Kin-goan-sing.
Belum lenyap suaranya, mendadak terlihat Sim Gin-hong meraba pinggangnya, seutas cambuk panjang terbuat dari untiran perak lantas menyabet, kontan kera bulu emas tadi dipaksa melompat mundur.
"Lari ke mana"!" bentak Sim Gin-hong. Berpuluh-puluh bintik perak seketika berhamburan, sebagian menuju kera bulu emas itu, tapi sebagian besar menyerang anjing gembala tadi untuk menolong Lui-lotoa.
Seri 1: Jilid 1-C. Pendekar Binal
Betapa pun cerdik dan gesitnya, kera tetap binatang, mana mampu menghindari sambitan senjata rahasia maut dari pimpinan besar gabungan tiga Piaukiok termasyhur itu. Kontan kera bulu emas itu menguik dan roboh binasa. Tapi pada saat lain Kim-goan-sing dan Hek-kau-sing, si binatang lambang kera dan lambang anjing hitam beserta anak buahnya juga lantas menubruk tiba. Dalam keadaan demikian biarpun Sim Gin-hong memiliki tiga kepala dan enam tangan juga sukar menahan serbuan tujuh-delapan musuh sekaligus.
Cepat Sim Gin-hong menjatuhkan diri sambil menggelinding ke samping, cambuknya berputar untuk membela diri, namun pihak musuh sudah di atas angin, mana dia mampu lolos lagi.
Di sebelah sana anjing raksasa tadi juga berhasil menggigit tenggorokan Lui Siau-hou yang berdekatan dengan pundak, tapi Lui Siau-hou tetap bertahan mati-matian, ia pun balas menggigit tenggorokan anjing herder yang ganas itu, seketika darah berceceran, satu orang dan seekor anjing sama bergelimang dalam genangan darah.
Pada saat yang gawat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar seseorang, begitu keras suara itu laksana bunyi geledek di tengah hari cerah, seorang mendadak melayang tiba laksana malaikat yang turun dari langit.
Serasa rontok nyali semua orang oleh suara gertakan keras itu, seketika Kim-goan-sing dan Hek-kau-sing tertegun. Tertampaklah seorang laki-laki tinggi besar dengan rambut semrawut, sorot matanya tajam beringas dengan penuh rasa sedih dan murka cukup membuat orang merasa ngeri, apalagi sikapnya yang kereng itu. Yang aneh adalah di punggung lelaki kekar itu ternyata menggendong seorang bayi.
Dengan berlumuran darah Sim Gin-hong berteriak kegirangan, "Yan-tayhiap datang!"
"Apakah Yan Lam-thian"!" tanya Kim-goan-sing jeri.
"Cap-ji-she-shio, saat kematian kalian sudah tiba kini!" bentak Yan Lam-thian.
"Selamanya Cap-ji-she-shio tiada permusuhan apa pun denganmu, mengapa engkau ...." belum habis Kim-goan-sing bicara serentak Yan Lam-thian sudah menerjang tiba.
Salah seorang kawanan "anjing hitam", yaitu yang berseragam hitam ketat tadi yang pertama diterjangnya, sebisanya anjing hitam memapak dengan hantaman kedua tangannya. "Blang-blang" dua kali, dengan tepat hantamannya mengenai dada Yan Lam-thian, tapi sedikit pun Yan Lam-thian bergeming, sebaliknya tulang pergelangan tangan orang itu patah mentah-mentah, belum lagi dia sempat menjerit atau dadanya sudah kena dicengkeram Yan Lam-thian.
Dalam keadaan kepepet sebisanya Hek-kau-sing itu berusaha melawan, sebelah kakinya hendak menendang. Tendangan ini sungguh lihai, sasarannya bagian selangkangan. Namun sekali gentak Yan Lam-thian membuat Hek-kau-sing kehilangan imbangan badan, menyusul kakinya yang terangkat itu terpegang pula terus dibetot. Kontan darah berhamburan, tubuh Hek-kau-sing itu terbeset menjadi dua.
Kawanan "anjing hitam" yang lain menjadi murka dan kaget, berbareng mereka menerjang maju dengan meraung kalap.
Sebenarnya ilmu silat beberapa orang itu masing-masing tidak tinggi, tapi enam orang mengerubut sekaligus menjadi repot juga untuk melayaninya.
Namun Yan Lam-thian laksana harimau menerjang di tengah gerombolan domba saja, kedua potong mayat yang dibesetnya tadi digunakan sebagai senjata sehingga terjadilah hujan darah. "Krek, bluk", kembali tiga orang seragam hitam dirobohkan pula.
Seorang lagi menjadi nekat dan menerjang mati-matian. Tapi sekali sabet, kembali Yan Lam-thian membuat lawannya tergeletak dengan tulang iga remuk seluruhnya. Seorang lain lagi menjadi ketakutan dan berusaha kabur.
Namun di tengah gelak tertawanya Yan Lam-thian, setengah mayat yang dipegangnya itu terus disambitkan, "bluk", dengan tepat punggung orang yang sedang kabur itu tertumbuk, orang itu masih sempat lari beberapa langkah lagi ke depan, habis itu setengah badan atas lantas roboh ke belakang dan kakinya masih melangkah ke depan, kiranya tulang punggung orang itu tertumbuk patah, akhirnya roboh binasa.
Sisa lagi seorang terakhir melihat Yan Lam-thian rada meleng, mendadak ia menubruk ke belakangnya, sasarannya adalah bayi yang digendong Yan Lam-thian, kalau bayi dapat direbut tentu dapat pula digunakan sebagai sandera.
Tak tersangka punggung Yan Lam-thian seperti bermata juga, mendadak ia membentak, "Berdiri!"
Seketika orang itu berdiri mematung karena gertakan itu, sedangkan sisa setengah potong mayat yang dipegang Yan Lam-thian lantas mengepruk kepalanya. Di tengah berhamburnya darah dan daging, orang itu sudah telanjur ketakutan sehingga lupa untuk menghindar, ia terpantek mentah-mentah di tempat berdirinya sehingga tubuhnya seakan-akan mengkeret separo.
Sim Gin-hong sampai merinding menyaksikan semua kejadian itu. Kim-goan-sing yang biasanya membunuh orang tak terhitung lagi banyaknya kini juga melenggong oleh kelihaian Yan Lam-thian.
"Apakah masih perlu kuturun tangan padamu"!" bentak Yan Lam-thian.
"Mengapa ... mengapa engkau memusuhi ka ...." Kim-goan-sing ingin penjelasan.
"Mengapa" Hm, apakah kalian tidak tahu hubungan persaudaraan antara diriku dengan Kang Hong?" bentak Yan Lam-thian dengan murka.
"O, jadi kawanku si babi dan ...." Kim-goan-sing tergegap jeri
"Hm, kalau kawan-kawanmu itu sudah mampus, untuk apa kau hidup sendirian" Serahkan nyawamu!" baru habis ucapannya segera pula Yan Lam-thian menubruk maju dan jari tangannya yang keras laksana baja mencengkeram dada lawan.
Kim-goan-sing, si binatang kera emas itu ternyata tidak mengelak dan juga tidak melawan sama sekali. Ketika cengkeraman Yan Lam-thian diperkeras, seketika jari-jarinya menancap ke dalam daging Kim-goan-sing.
Tapi Kim-goan-sing masih tetap berdiri tanpa merintih sedikit pun.
"Hm, tak nyana tubuhmu meski kecil ternyata juga seorang laki-laki," kata Yan Lam-thian. "Jika dalam keadaan biasa dapatlah kuampuni jiwamu, tapi sekarang ... Hm, apa yang akan kau katakan lagi?"
Mendadak Kim-goan-sing menengadah dan tertawa seperti orang gila, lalu berkata, "Walaupun tubuhmu gede, tapi kau pun belum terhitung seorang lelaki sejati."
Dalam keadaan demikian, andaikan Kim-goan-sing mencaci maki Yan Lam-thian dengan kata-kata kotor dan rendah apa pun juga dapat dimengerti, namun dia justru menista bahwa Yan Lam-thian bukan seorang lelaki sejati, betapa pun makian ini membuat pendekar besar itu melengak.
"Hm, selama hidupku ini, setiap tindakanku rasanya dapat kupertanggungjawabkan kepada dunia dan akhirat, sudah tentu banyak juga orang yang mencaci maki diriku, tapi antara baik dan jahat memang tidak mungkin berdiri bersama, maka makian apa pun yang kau lontarkan padaku tidak menjadi soal bagiku. Namun apa yang kau katakan sekarang perlu juga diketahui apa dasarnya, coba jelaskan."
"Kalau tidak dapat membedakan antara benar dan salah, tidak tahu memisahkan antara budi dan benci, apakah orang demikian dapat dianggap sebagai lelaki sejati?"
"Hm, memangnya aku ...."
Belum sempat Yan Lam-thian melampiaskan suaranya yang murka itu, dengan suara keras Kim-goan-sing lantas memotongnya, "Jika engkau adalah manusia yang tahu membedakan antara yang benar dan salah, maka engkau tidak layak membunuh diriku?"
"Mengapa tidak layak membunuhmu?" tanya Yan Lam-thian penasaran.
"Coba jelaskan dulu, sebab apa kau ingin membunuhku?" balas Kim-goan-sing bertanya.
Dengan suara bengis Yan Lam-thian berteriak, "Kang-jiteku telah ...."
"Itulah dia," kembali Kim-goan-sing memotong ucapannya, "kalau engkau membunuh diriku lantaran persoalan lain, maka aku takkan bicara apa-apa.
Tapi kalau kau bunuh diriku karena urusan Kang Hong, maka itu berarti engkau tidak tahu antara budi dan benci dan tidak dapat membedakan yang salah dan yang benar."
"Memangnya gerombolan Cap-ji-she-shio kalian menyangkal tidak pernah menewaskan Kang-jiteku?" bentak Yan Lam-thian dengan murka.
"Tidak. Pihak Cap-ji-she-shio adalah gerombolan bandit, bahwa bandit kerjanya merampok dan membunuh memang bukan rahasia lagi, maka apa yang terjadi bukanlah sesuatu dendam kesumat yang luar biasa. Yang lebih penting adalah peranan lain, yaitu orang yang menghubungi pihak Cap-ji-she-shio agar mengerjai Kang Hong, dia itulah sasaran sesungguhnya bagimu untuk menuntut balas. Dan apakah kau tahu siapa gerangan dia itu"
Bukankah lucu, engkau tidak mencari musuh yang sesungguhnya, tapi malah mencari kami. Sekalipun engkau dapat membunuh habis seluruh anggota Cap-ji-she-shio juga tidak berarti engkau telah berhasil menuntut balas bagi kematian Kang Hong."
Cara bicara Kim-goan-sing yang lancar, tegas serta berani itu membuat Yan Lam-thian yang murka itu jadi melenggong juga. Tiba-tiba terkilas suatu pikiran dalam benaknya, bentaknya mendadak, "Mungkinkah orang yang menghubungi Cap-ji-she-shio kalian adalah si binatang kecil Kang Khim" Ya, tentang perjalanan Kang-jite hanya binatang kecil itu saja yang diberitahu dan dia pula yang disuruh menyampaikan beritanya padaku."
Air muka Kim-goan-sing tampak rada berubah, jawabnya, "Ya, memang tepat terkaanmu. Tampaknya tidak cuma badanmu saja yang gede, tapi otakmu juga berkembang dengan baik. Kang Hong memang telah dijual oleh kacung kepercayaannya, dijual dengan harga tiga ribu tahil perak, hanya tiga ribu tahil perak."
"Binatang, bangsat keparat!" teriak Yan Lam-thian dengan suara serak dan beringas.
"Dan apakah kau tahu binatang itu berada di mana?" kata Kim-goan-sing pula dengan menyeringai.
"Sim Gin-hong," cepat Yan Lam-thian berpaling kepada Congpiauthau itu,
"apakah kau melihat ke mana perginya binatang kecil itu?"
Walaupun tahu sikap beringas Yan Lam-thian itu bukan ditujukan kepadanya, tidak urung Sim Gin-hong rada gemetar juga, dengan suara tergegap ia menjawab, "Cayhe ... Cayhe tak memperhatikannya."
Mendadak Yan Lam-thian angkat tubuh Kim-goan-sing yang kecil itu dan berteriak dengan suara parau, "Kau tahu ke mana perginya, bukan" Katakan, lekas!"
"Tahu, sudah tentu kutahu ke mana perginya, kalau tidak tentu aku takkan membicarakan soal ini," jawab Kim-goan-sing tenang-tenang tanpa gentar.
"Ke mana dia" Lekas katakan!" bentak Yan Lam-thian pula.
Walaupun tubuh Kim-goan-sing diangkat ke atas, tapi sikapnya bahkan lebih tenang daripada berdiri di tanah, ia tersenyum saja dan menjawab, "Umpama tidak kukatakan, bagaimana pendapatmu?"
"Jika kau tidak mau bicara, sungguh aku kagum padamu," ujar Yan Lam-thian sambil menatap tajam wajah orang.
Jika dia menyatakan akan membunuh, menyembelih, mencincangnya apabila Kim-goan-sing tidak mengaku, maka jelas Kim-goan-sing tak gentar sedikit pun, sebab si binatang kera itu yakin sebelum Yan Lam-thian mengetahui di mana beradanya Kang Khim tidak mungkin membunuhnya. Tapi karena ucapan Yan Lam-thian juga luar biasa itu, mau-tak-mau Kim-goan-sing menjadi bergidik sendiri.
"Dan bagaimana jika kukatakan?" tanya Kim-goan-sing kemudian.
"Kalau kau mau mengaku terus terang, segera kucolok kedua biji matamu,"
jawab Yam Lam-thian. Hampir saja Sim Gin-hong menjerit heran, pikirnya, "Pendekar besar ini mengapa tidak bijaksana begini" Kalau orang mengaku dia malah membutakan matanya. Jika demikian jelas Kim-goan-sing tak mau bicara."
Di luar dugaan, tiba-tiba Kim-goan-sing menghela napas panjang, katanya,
"Meski kehilangan mata, mendingan masih bisa hidup."
"Nah, katakan!" desak Yan Lam-thian.
"Tapi biarpun kukatakan juga belum tentu kau berani ke sana."
Yan Lam-thian menjadi gusar, teriaknya, "Di dunia ini tiada tempat yang tak berani didatangi orang she Yan!"
Kedua mata Kim-goan-sing meram-melek, wajahnya senyum-tak-senyum seperti orang mengejek, katanya kemudian dengan perlahan, "Kang Khim itu bukan orang tolol, dia cukup kenal Cap-ji-she-shio bukanlah orang-orang yang mudah diajak berkomplot, ia pun tahu membunuh orang bagi kawanan Cap-ji-she-shio tiada ubahnya seperti memites seekor semut saja. Dan setelah dia terima tiga ribu tahil perak dari Cap-ji-she-shio, hah, masakah dia tidak takut kepalanya bakal berpisah dengan tubuhnya?"
"Coba lanjutkan," kata Yan Lam-thian.
"Dia begitu berani, soalnya dia sudah mempunyai tempat tujuan untuk sembunyi, tiga ribu tahil perak itu justru akan digunakan sebagai sangu hidup, sedangkan tempat yang ditujunya itu, biarpun keduabelas orang kawanan Cap-ji-she-shio berkumpul sekaligus juga tidak berani mendekat ke sana."
"Hahaha!" Yan Lam-thian bergelak tertawa, "Apa kau maksudkan Ih-hoa-kiong" Haha, orang she Yan ini justru hendak ke sana."
"Di dunia ini kan bukan cuma Ih-hoa-kiong saja yang disegani orang persilatan?"
"Habis mana lagi selain Ih-hoa-kiong?" bentak Yan Lam-thian.
"Ok-jin-kok di Kun-lun-san ...."
Begitu mendengar nama tempat itu, serentak air muka Sim Gin-hong berubah pucat dan badan gemetar, serunya, "Yan-tayhiap, engkau ... engkau jangan ke sana!"
Tapi Yan Lam-thian tambah beringas, dengan tajam ia membentak pula,
"Apakah betul ucapanmu ini?"
"Yang kukatakan ini apa adanya, percaya atau tidak terserah padamu," jawab Kim-goan-sing.
"Yan-tayhiap, "Ok-jin-kok" (lembah kaum penjahat) adalah tempat berkumpulnya kaum penjahat yang terdesak dan menghadapi jalan buntu, mereka sama mengungsi ke sana," demikian tutur Sim Gin-hong dengan suara gemetar. "Penjahat yang berada di sana semuanya mahajahat dan kejam, tangan mereka rata-rata pernah berlumuran darah, semuanya adalah sampah masyarakat dunia persilatan, penjahat sebanyak itu berkumpul menjadi satu, sekalipun mereka dibenci dan banyak orang ingin membinasakan mereka, namun siapa yang berani mendekat ke sana"
Malahan "Kun-lun-jit-kiam" (tujuh pendekar Kun-lun), "Siau-lim-su-sin-ceng"
(empat paderi sakti Siau-lim-si) dan Kang-lam-kiam-khek (pendekar pedang daerah Kang-lam) Hong Siau-uh, semuanya juga tidak berani ke sana ...."
"Demi kebenaran, demi persahabatan, biarpun terjun ke lautan api atau air mendidih juga aku tidak gentar," teriak Yan Lam-thian.
"Tapi bisa jadi Ok-jin-kok hanya tipu muslihat Kim-goan-sing saja, dia sengaja menjebak engkau, karena dendamnya dia sengaja memancing engkau ke sana agar ...." meski Gin-hong belum melanjutkan ucapannya yang terakhir
"agar mengantar nyawa", namun apa yang akan dikatakannya sudah cukup jelas bagi orang lain.
"Sekalipun Ok-jin-kok adalah gunung bergolok dan lautan api juga belum tentu dapat mencabut nyawaku," teriak Yan Lam-thian sambil bergelak tertawa keras.
"Tapi ... tapi ...."
"Tekadku sudah bulat, tidak perlu lagi kau bicara," bentak Yan Lam-thian sebelum lanjut ucapan Sim Gin-hong. Terpaksa pemimpin perusahaan pengawalan itu tutup mulut dan menghela napas belaka.
"Bagus!" Kim-goan-sing juga memuji dengan gegetun. "Yan Lam-thian ternyata seorang ksatria sejati, sampai Ok-jin-kok juga berani diterobosnya.
Meski kepergianmu ke sana jelas tiada harapan buat pulang kembali lagi, tapi engkau pasti akan dikagumi setiap insan persilatan di dunia ini."
"Dan apalagi yang hendak kau katakan?" tanya Yan Lam-thian.
"Tidak ada lagi, ambillah biji mataku!" jawab Kim-goan-sing.
Di tengah suara jeritan ngeri, sepasang biji mata Kim-goan-sing si binatang kera dari kawanan Cap-ji-she-shio itu tahu-tahu sudah terkorek keluar, yang tertinggal hanya lubang mata yang berdarah.
Yan Lam-thian lemparkan tubuh Kim-goan-sing ke depan Sim Gin-hong dan berseru, "Kuserahkan orang ini padamu!" Habis berkata segera ia melayang pergi dengan cepat.
Lui Siau-hou masih menggeletak di tengah genangan darah menindihi anjing herder tadi, anjing dan manusianya sama kempas-kempis dan tak sanggup bergerak lagi.
Dengan pandangan haru Sim Gin-hong memandang sekejap pada Lui Siau-hou, lalu sorot matanya beralih kepada Kim-goan-sing, katanya dengan penuh benci, "Betapa pun cerdiknya kau kera ini, nyatanya kau pun dapat berbuat bodoh."
Meski rasa sakitnya tadi membikin Kim-goan-sing setengah semaput, tapi sekarang ia sudah sadar kembali, seperti didorong oleh kekuatan gaib saja, kini ia dapat menahan penderitaannya dan mengeluarkan sebungkus obat untuk dibubuhkan pada lubang matanya sendiri. Bahkan mulutnya masih sanggup bicara walaupun dengan rada gemetar, "Kau bilang aku berbuat bodoh?"
"Ya, meski Yan-tayhiap tidak mencabut nyawamu tapi kau diserahkan padaku, memangnya aku dapat mengampuni jiwamu?" ujar Sim Gin-hong,
"Biarpun lukamu diberi obat, lalu apa gunanya lagi?"
"Sudah tentu besar gunanya," jawab Kim-goan-sing, "Aku takkan mati. Kau tidak mampu membunuh diriku."
"Hahahaha!" Sim Gin-hong mengakak keras, "Siapalagi yang dapat menolongmu sekarang?"
"Aku sendiri," jawab Kim-goan-sing.
Sejenak Sim Gin-hong melengak, tapi segera ia membentak, "Baik, ingin kulihat cara bagaimana kau menolong jiwamu sendiri ...." di tengah bentakannya itu telapak tangannya terus menabok batok kepala Kim-goan-sing.
Mendadak Kim-goan-sing berseru, "Apakah kau tidak lagi ingin menemukan kembali harta benda kawalanmu yang hilang itu?"
Seketika telapak tangan Sim Gin-hong terhenti di udara. Memang benar juga, kalau Kim-goan-sing dibunuh, lalu kepada siapa ia harus mencari keterangan"
"Nah, apa kataku" Memang sudah kuperhitungkan kau takkan berani membunuh diriku," demikian Kim-goan-sing terkekek-kekek senang.
Beberapa kali Sim Gin-hong akan membinasakan musuh itu saking gemasnya karena ejekan itu, tapi akhirnya tak jadi, ia menghela napas dan menarik kembali tangannya dan berkata, "Baiklah kau yang menang.
Sementara ini kau harus ikut padaku."
Harta benda yang hilang di bawah pengawalannya itu memang menyangkut nasib hidup dan matinya Sam-wan-piaukiok, selamanya Sim Gin-hong tidak pernah mengingkari janji dan senantiasa bertugas dengan baik, kali ini ia pun tidak ingin mengingkari kewajiban atas kepercayaan para pemilik barang kepada Sam-wan-piaukiok itu.
Dengan terkekek-kekek Kim-goan-sing mengejek pula, "Nah, Sim Gin-hong, sekarang kau baru tahu bahwa aku tidak begitu mudah dibunuh oleh siapa pun juga, bukan"!"
***** Malam sudah larut, pelita di rumah-rumah kota kecil itu pun banyak yang sudah dipadamkan. Di kedai minum "Thay-pek-ki" yang tinggal beberapa tukang mabuk itu pun berturut-turut pergi dengan langkahnya yang sempoyongan.
Ketika pelayan kedai itu kucek-kucek matanya yang sepat mengantuk dan hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara gemertaknya roda kereta, sebuah kereta besar tampak muncul dari ujung jalan sana.
Anehnya yang menarik kereta itu bukanlah kuda melainkan manusia, yaitu lelaki kekar yang siangnya baru menipu seribu tahil perak Lui-lotoa dan kawan-kawannya itu.
Setelah dekat, tertampaklah sekujur badan lelaki tegap itu berlumuran darah, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, kelihatan menyeramkan tapi juga kereng.
Setiba di depan pintu kedai, si pelayan rada keder melihat keadaan lelaki yang menakutkan itu. Yang aneh adalah kereta besar yang biasanya harus ditarik dua ekor kuda itu bagi lelaki itu kini hanya seperti benda enteng tanpa arti apa-apa.
Sesudah menyandarkan kereta itu, lelaki tegap itu, Yan Lam-thian, melangkah masuk kedai dengan memondong bayi yang tertidur nyenyak itu.
"Apakah ... apakah Toaya ingin minum arak?" dengan tabahkan hati si pelayan bertanya dengan mengiring senyum.
Mendadak Yan Lam-thian membentak tertahan, "Siapa bilang aku ingin minum arak?"
Si pelayan melengak, tanyanya pula dengan gugup, "Bukan arak" Habis ...
Toaya ingin minum apa?"
"Tajin!" sahut Yan Lam-thian singkat.
Kembali si pelayan melengak, sungguh aneh, lelaki tegap begini bukannya minum arak, sebaliknya ingin minum tajin (kanji, air nasi). Tapi ketika ia melihat bayi di dalam pelukan lelaki itu, segera ia paham untuk apa lelaki itu menginginkan tajin. Dengan tergegap-gegap ia pun menjawab, "Tapi ... tapi kami tidak ... tidak menjual ...."
"Persetan!" omel Yan Lam-thian sambil mendelik. "Masakkan dulu dua mangkuk tajin yang kental, habis itu baru sediakan arak bagiku."
Dalam keadaan ketakutan, mana si pelayan berani membantah lagi dan cepat berlari pergi mengerjakan apa yang dipesan.
Sehabis kenyang minum tajin, tidur bayi itu semakin nyenyak. Yan Lam-thian sendiri pun mulai minum arak, sinar matanya yang tajam sungguh menakutkan, sekejap saja si pelayan tak berani menatapnya.
Walau tak berani memandangnya, tapi diam-diam pelayan itu menghitung ...
satu, dua, tiga, empat ... hanya sejenak saja Yan Lam-thian sudah menenggak habis tujuh belas mangkuk besar arak keras. Keruan si pelayan melelet lidah dan hampir saja tak dapat mengkeret kembali.
Mendadak dilihatnya Yan Lam-thian mengeluarkan dua potong perak dan dilemparkan ke atas meja sambil berseru, "Pergi membelikan barang untukku."
"Toaya ingin ... ingin membeli apa?" tanya si pelayan.
"Peti mati! Dua buah peti dari kualitas yang paling bagus!"
Pelayan itu berjingkat saking kagetnya hingga hampir jatuh terjungkal, mulutnya ternganga hingga sekian lama tidak sanggup bersuara, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Tiba-tiba Yan Lam-thian menggebrak meja perlahan sehingga kedua potong perak tadi mencelat, tapi dengan tepat justru mencelat ke dalam saku si pelayan. Lalu bentaknya pula, "Peti mati, kau dengar tidak" Dua buah peti mati dari kualitas yang paling bagus"
"Ya ... ya, dengar ...." sahut si pelayan tergopoh-gopoh.
"Kalau sudah dengar, kenapa tidak lekas pergi"!" kata Yan Lam-thian.
Seperti melihat setan saja segera pelayan itu berlari pergi. Setelah Yan Lam-thian menghabiskan araknya yang ketiga puluh dua mangkuk, si pelayan tampak kembali dengan mengangkut dua buah peti mati yang dipesan tadi.
Cekatan dan pintar juga cara kerja si pelayan, ia pun tahu bilakah harus menurut perintah orang dan ke mana harus mengerjakan tugasnya dengan baik, dalam waktu sesingkat itu dia sudah mendatangi perusahaan peti mati yang terbagus.
Dengan mata merah Yan Lam-thian mengeluarkan jenazah Kang Hong dan Hot Goat-loh dari keretanya yang diseret datang tadi, kedua sosok mayat itu dimasukkannya ke dalam peti mati. Semuanya itu dikerjakannya dengan tangan sendiri. Maklumlah, ia tidak ingin orang lain menyentuh lagi seujung rambut saudara angkat bersama kekasihnya itu.
Habis itu, dengan tangan telanjang Yan Lam-thian mulai memantek tutup peti mati.
Pada umumnya paku pemantek peti mati cukup besar, tapi sebuah demi sebuah Yan Lam-thian memantekkan paku itu ke dalam papan peti mati yang tebal itu dengan jari tangannya tanpa susah payah, mirip lidi yang dicobloskan ke dalam tahu saja.
Keruan si pelayan tambah melongo, ia menjadi bingung apakah yang dilihatnya sekarang ini manusia, malaikat atau setan"
Menghadapi peti mati yang sudah selesai dipantek itu, kembali Yan Lam-thian menghabiskan tujuh-delapan mangkuk arak. Dia tidak meneteskan air mata, tapi wajahnya tampak jauh lebih sedih daripada seorang yang menangis.
Sambil memegangi arak mangkuk terakhir, Yan Lam-thian berdiri termangu-mangu hingga lama sekali, terpaksa si pelayan mengiringnya berdiri tanpa berani bersuara.
Akhirnya Yan Lam-thian berkata dengan perlahan, "Jite, kuingin engkau mendampingi aku agar engkau dapat menyaksikan sendiri kubinasakan musuhmu seorang demi seorang!"
***** "Jian-li-hiang", itulah tiga huruf emas yang tertatah pada sebuah papan merek di jalan raya kota Thay-goan di propinsi Soasay, cahaya sang surya pada waktu senja masih mencorong dengan gemilangnya sehingga tiga huruf emas merek dagang itu pun memantulkan sinarnya yang gemerlapan.
"Jian-li-hiang" atau harum seribu li, ini adalah benar-benar merek dagang emas, setiap penduduk propinsi Soasay kenal nama perusahaan dagang ini, bahwa bahan wewangian produksi Jian-li-hiang adalah barang tulen, murni, tiada kadar campuran sedikit pun.
Menjelang maghrib, belasan pegawai toko Jian-li-hiang sedang makan malam, orang berlalu lalang di jalan raya, itulah saatnya paling ramai bagi orang berbelanja, berjalan-jalan atau melihat-lihat.
Sekonyong-konyong sebuah kereta besar dilarikan dengan kencang melalui jalan raya paling ramai itu, sekali pengendara kereta itu membentak laksana bunyi guntur menggelegar, langsung kereta itu menerobos masuk ke dalam toko Jian-li-hiang.
Tentu saja pegawai toko wewangian itu kaget dan gusar pula, serentak mereka mengerubut maju. Tapi sekali pengendara kereta itu melompat turun, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu belasan pegawai toko itu merasa badan kaku kesemutan, lalu tak mampu bergerak lagi. Dengan melongo mereka menyaksikan lelaki kekar pengendara kereta itu mengambil rempah-rempah wewangian seguci demi seguci dan dijejalkan ke dalam kedua peti mati yang berada di atas kereta.
Sejenak kemudian lelaki kekar itu menghalau keretanya keluar dari toko dengan cepat sambil berteriak, "Setengah jam lagi kalian akan pulih seperti biasa, tentang harga wewangian yang kuambil ini, kelak pasti kubayar dengan harga lipat!"
Banyak juga orang ramai menyaksikan kejadian itu, tapi setiap orang sama terpengaruh oleh sikap garang dan kereng lelaki itu sehingga tiada seorang pun berani merintanginya ....
Sore hari, ladang semangka di tepi jalan mengeluarkan bau sedap semangka yang sudah waktunya dipanen. Seorang wanita petani muda tampak duduk kemalas-malasan berteduh di bawah pohon di tepi ladang semangka.
Baju wanita petani muda itu setengah tersingkap sehingga jelas kelihatan buah dadanya yang lebih bernas daripada semangka di ladang. Wanita muda itu sedang menyusui bayi dalam pangkuannya dengan air teteknya yang terlebih manis daripada air semangka.
Angin meniup silir-silir membuat wanita muda itu mengantuk. Dalam keadaan setengah tertidur itu ia seperti merasakan ada sepasang mata yang sedang mengincar dadanya yang montok itu.
Di kampung petani itu juga tidak sedikit pemuda bajul buntung, sehari-harinya dia sudah biasa dipandangi orang. Maklum biarpun wanita petani, dia masih muda, montok, wajahnya juga tidak terlalu jelek. Tapi dia sudah punya anak, dia merasa tiada artinya soal pandang memandang itu. Akan tetapi kini ia merasakan sepasang mata itu lain daripada yang lain.
Tanpa terasa ia buka matanya, terlihatlah di samping pohon sana benar-benar ada seorang lelaki yang sedang melotot ke arah dadanya.
Lelaki itu tidak tampan, pakaiannya juga tidak perlente, wajahnya bahkan kekurus-kurusan, tapi entah mengapa, tampaknya kereng dan berwibawa.
Yang aneh adalah lelaki kekar itu justru memondong seorang bayi.
Walaupun merasa heran, tapi wanita petani itu tidak ambil pusing, ia menunduk kembali memandang bayinya sendiri. Mendadak terdengar bayi dalam pondongan lelaki itu menangis, suara tangisnya juga nyaring.
Perempuan muda itu belum lama menjadi ibu, hatinya sedang penuh diliputi kasih sayang seorang ibu, mendengar tangisan bayi itu, tanpa terasa ia angkat kepalanya lagi. Sekali ini dia dapat membedakan bahwa sepasang mata lelaki kekar yang mengincar dadanya itu lain daripada mata pemuda bajul umumnya, tapi penuh mengandung perasaan memohon kasihan.
Tanpa terasa perempuan petani itu tersenyum dan bertanya, "Apakah ibu anak itu tidak berada di sini?"
"Ya, tidak ada," lelaki itu menggeleng.
Wanita petani itu berpikir sejenak, lalu berkata pula, "Tampaknya dia lapar."
"Ya, lapar," sahut lelaki itu sambil mengangguk.
Setelah memandang sekejap bayi dalam pangkuannya sendiri, mendadak wanita petani itu berkata dengan tertawa, "Coba berikan anakmu itu, biar kususui dia. Mendingan kemarin aku baru lalap dua ekor ayam tim, air tetekku lagi kelebihan, kukira takkan habis diminum anakku ini."
Seketika wajah lelaki yang kereng itu mengunjuk rasa girang, cepat ia mengucapkan terima kasih dan menyodorkan bayinya.
Terlihat bulu halus bayi itu belum lagi rontok, kulitnya masih kemerah-merahan, jelas baru beberapa hari saja dilahirkan. Tapi mukanya yang berkulit lembut itu ternyata sudah ada segaris bekas luka.
Wanita petani itu berkerut kening, katanya, "Ai, kalau membawa anak perlu hati-hati sedikit. Ibu si bocah ini juga terlalu, masakah diserahkan padamu tanpa khawatir apa-apa."
"Ibu anak ini sudah meninggal," kata lelaki itu dengan sedih.
Wanita petani itu melengak, perlahan ia membelai wajah bayi yang halus itu, katanya dengan terharu, "Ai, sungguh kasihan, baru lahir sudah kehilangan ibu."
Lelaki itu menengadah dan menghela napas panjang, dengan pandangan sayu dia menatap anak bayi itu dengan perasaan pedih dan duka yang tak terlukiskan serta kasih sayang yang tak terkatakan.
Anak itu seakan-akan memang dilahirkan dengan nasib malang. Baru dilahirkan sudah mengalami bunuh membunuh dan kematian, agaknya nasib kehidupannya nanti seakan-akan ditakdirkan penuh malapetaka. Sungguh kasihan, anak sekecil itu sudah tentu tidak tahu apa-apa, kini wajahnya yang kecil mungil itu malahan sedang tersenyum penuh bahagia.
***** Kun-lun-san, barisan pegunungan terpanjang dan terbesar di Tiongkok, terbagi tiga cabang: utara, tengah dan selatan. Tiga cabang bukit barisan ini berpangkal dari dataran tinggi Pamir di pegunungan Himalaya dan membentang ke timur hingga hampir meratai seluruh negeri Tiongkok.
Kun-lun-San atau pegunungan Kun-lun yang dimaksudkan di sini adalah pegunungan sumber aliran ilmu silat yang termasyhur yang terletak di hulu sungai Yalung, di propinsi Cinghay.
Di antara puncak gunung yang berderet-deret itu berdiri tegak Giok-liong-hong, puncak naga kemala. Meski sekarang masih musim panas, namun di kaki Giok-liong-hong sudah terasa seperti di musim dingin, angin meniup keras dan kabut tebal membungkus pegunungan yang lembab itu.
Akhirnya Yan Lam-thian tiba juga di kaki Giok-liong-hong itu, orangnya kelihatan pucat kurus, kudanya juga kelelahan, bahkan roda keretanya seakan-akan juga sukar menggelinding lagi. Bayangan raksasa pegunungan dengan berat menindihi kereta kuda itu.
Tangan kiri Yan Lam-thian memegang tali kendali dan tangan kanan memondong bayi, bau harum menusuk hidung yang tersiar dari dalam kereta membuatnya hampir muntah.
Tapi bayi itu sedang tidur dengan lelapnya, anak sekecil itu rupanya sudah terbiasa oleh siksa derita dalam pengembaraan.
Dengan penuh kasih sayang tak terbatas Yan Lam-thian memandangi wajah kecil itu, tiba-tiba ia mengulum senyum dan bergumam, "Nak, sepanjang jalan ini tidak sedikit kau meneteki susu orang. Dari Tionggoan sampai di sini kau disusui orang secara berganti-ganti, di dunia ini selain dirimu rasanya tiada anak lain yang ...." sampai di sini mendadak ucapannya terhenti, tubuhnya juga mendadak mengapung ke atas.
Pada detik tubuhnya mengapung ke udara itulah segera terdengar pula suara
"tek-tak-tok" belasan kali, belasan jenis senjata rahasia dari berbagai ukuran sama menancap di tempat yang didudukinya tadi.
Sungguh berbahaya. Apabila dia terlambat mengapung sedetik saja, tentu tubuhnya sudah bertambah belasan lubang.
Setelah berjumpalitan di udara, tangan kirinya, meraih pelana kuda, segera orangnya menyusup ke bawah perut kuda, ia tidak takut dirinya sendiri terluka, tapi menguatirkan keselamatan bayi dalam pelukannya itu.
Gerakannya itu sungguh cepat dan gesit luar biasa, mau-tak-mau membuat si penyergap berseru memuji, "Kepandaian hebat!"
"Main sergap, terhitung jago macam apa itu?" bentak Yan Lam-thian.
Belum lenyap suaranya, kembali kuda tadi meringkik kaget dan berdiri menegak, badan kuda segera menyemburkan belasan pancuran darah segar.
Tanpa pikir lagi telapak tangan Yan Lam-thian lantas menghantam, "blang-blang", kayu kereta yang mengapit kuda patah dan kuda yang terluka itu meloncat ke depan. Menyusul Yan Lam-thian menghantam pula sekerasnya,
"blang", dinding kereta berlubang besar, selagi kuda tadi meringkik panjang, bayi di tangan kirinya itu telah dimasukkan ke dalam kereta melalui lubang yang dibobolnya tadi. Sementara itu berpuluh bintik-bintik perak telah menghujani pula.
Secepat kilat Yan Lam-thian menjulang tinggi lagi ke atas, terdengar suara mendenging menyambar lewat di bawah kakinya. Dalam keadaan gawat begitu, kalau sedikit lena saja, sekalipun Yan-Lam-thian sendiri selamat, bayi dalam pondongannya pasti akan menjadi korban. Andaikan bayinya tidak tewas, tentu kereta itu juga akan ditarik kuda yang terluka itu dan menggilasnya.
Begitulah selagi tubuh Yan Lam-thian masih terapung di udara, tiba-tiba ia sudah dikerubut oleh beberapa jalur sinar pedang. Begitu ketat jaringan pedang itu mengurungnya, tampaknya sukar baginya untuk mengelakkan diri, andaikan dapat menghindarkan serangan pedang ini tentu juga tak terluput oleh tebasan pedang yang lain.
Siapa duga, selagi badan terapung di udara itulah, sekuatnya ia pentang kedua tangan, mendadak tubuhnya mengapung lebih tinggi lagi beberapa meter sehingga semua serangan pedang menyambar lewat di bawah kakinya.
Terdengar suara "trang-tring" yang ramai, serangan beberapa pedang itu tak sempat menahan diri sehingga saling bentur sendiri. Tapi sekali saling gebrak, lalu berhenti, tujuh atau delapan orang sama melompat mundur. Di bawah cuaca remang-remang tertampak si antara mereka itu ada empat orang berdandan sebagai Tojin (pendeta agama To).
Sementara itu Yan Lam-thian sempat menancapkan kakinya di atas kereta, habis itu secepat kilat ia meluncur ke depan, kedua telapak tangan terus menghantam batok kepala seorang Tojin berjubah biru paling depan.
Karena merasa dirinya diserang secara keji, maka serangan balasannya sekarang juga tanpa kenal ampun. Betapa hebat pukulan Yan Lam-thian ini sungguh luar biasa.
Tentu saja si jubah biru terkejut oleh sambaran angin pukulan yang mahadahsyat itu, ia tergetar mundur dan sebisanya pedang terus menabas.
Tojin ini bukan sembarangan Tojin, jurus pedangnya ini hasil latihan berpuluh tahun lamanya, ia yakin seumpama pedangnya tidak dapat melukai musuh, sedikitnya cukup untuk membela diri. Tak terduga, belum habis sama sekali pedangnya ditebaskan, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kencang, pedang sudah berpindah ke tangan lawan.
Sungguh Tojin yang hebat, menghadapi bahaya ia tidak menjadi bingung dan sempat menyelinap lewat di bawah angin pukulan Yan Lam-thian.
Melihat ketangkasan lawan, tanpa terasa Yan Lam-thian juga berseru memuji,


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus!" Berbareng dengan seruannya itu, pedang rampasannya lantas menyabet lawan yang berada di sampingnya.
Yan Lam-thian berjuluk "Si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia", maka dapat dibayangkan betapa lihai serangannya. Di tengah guncangan angin senjata, sayup-sayup membawa serta suara gemuruh.
Orang itu bermaksud menangkis dengan pedang, tapi tiba-tiba pikirannya tergerak, air mukanya berubah pucat, cepat ia mendoyong ke belakang dan tak berani menangkis, sebisanya ia melompat mundur.
Namun sinar pedang Yan Lam-thian seakan-akan tidak terputus-putus dan terus membayangi lawannya. Keruan nyali orang itu serasa rontok, terpaksa ia menangkis sekuatnya dengan pedang.
"Trang", kedua pedang beradu. Kedua batang pedang itu sebenarnya berasal dari gemblengan pandai besi yang sama ahli, tapi entah mengapa pedang orang itu ternyata kena ditebas menjadi dua.
Untuk menghindari renggutan maut, cepat orang itu menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana.
Tiba-tiba Yan Lam-thian bersuit panjang, laksana sinar kilat pedangnya menyambar pula. Betapa lihai serangan ini sungguh menggetar bumi dan mengguncang langit.
Di tengah bertebarnya sinar pedang, sekonyong-konyong terdengar suara,
"creng" yang nyaring memekak telinga.
Tertampak tiga Tojin jubah biru dengan sebelah kaki bertekuk-lutut di tanah, pedang mereka bersilang menangkis ke atas untuk menahan serangan pedang Yan Lam-thian yang mahalihai itu. Sedangkan orang tadi hampir saja kelengar saking kagetnya.
Dengan berdiri tegak berwibawa menekan pedangnya ke bawah, Yan Lam-thian bertanya dengan kereng, "Yang menangkis pedangku ini Su-ciu (empat rajawali) atau Sam-eng (tiga elang)?"
"Su-ciu!" sahut salah seorang Tojin itu. "Dari mana kau tahu ...."
"Di jaman ini, kecuali Kun-lun-jit-kiam (tujuh ahli pedang Kun-lun), siapalagi yang mampu menangkis tebasan pedangku ini?" ujar Yan Lam-thian.
"Di dunia ini, selain Yan Lam-thian, Yan-tayhiap, mungkin tiada orang lain lagi mampu membuat kami bertiga terpaksa harus menangkis suatu serangan bersama!" kata Tojin itu.
"Tapi mengapa Kun-lun-jit-kiam melakukan sergapan keji ini kepadaku, sungguh aku tidak mengerti?" bentak Yan Lam-thian.
"Kami sengaja menunggu di sini, sebenarnya yang ingin kami cegat adalah seorang pelarian yang hendak memasuki "Ok-jin-kok"," tutur Tojin itu dengan tersenyum getir. "Sungguh kami tak pernah menduga bahwa Yan-tayhiap juga bisa mendatangi Ok-jin-kok ini."
"O, apakah kalian menyangka diriku ini orang yang kalian incar itu?" tanya Yan Lam-thian.
"Ya, jika bukan begitu, masakah kami sampai mencari perkara kepada Yan-tayhiap?" kata si Tojin dengan menyesal.
Yan Lam-thian menarik kembali pedangnya, dan baru saja pedangnya diangkat, "trang", serentak pedang ketiga Tojin itu jatuh ke tanah, tangan mereka serasa tak sanggup diangkat lagi.
"Siapakah orang yang hendak kalian cegat itu?" tanya Yan Lam-thian.
"Suma Yan," jawab Kun-lun Tojin.
"Apakah Suma Yan yang berjuluk "Coan-jong-kiam" (pedang penembus usus) itu?" tertarik juga Yan Lam-thian oleh nama itu.
"Benar, memang bangsat keparat itulah," kata Kun-lun Tojin dengan gemas.
"Dari mana kalian mengetahui bangsat itu akan datang kemari?"
"Joan-tiong-pat-gi (delapan pendekar dari Joan-tiong) mengejarnya sepanjang jalan hingga di sini," tutur Kun-lun Tojin. "Ketiga saudara inilah Nyo Peng, tertua dari Joan-tiong-pat-gi, Hay Tiang-po, pendekar ketiga dan Hay Kim-po, pendekar ketujuh ...."
Nama Joan-tiong-pat-gi cukup tenar juga di dunia Kangouw, ketiga orang yang diperkenalkan itu memang gagah dan berwibawa.
Nyo Peng, tertua Joan-tiong-pat-gi itu lantas memberi hormat dan berkata,
"Sudah cukup jauh kami memburu bangsat Suma itu, sampai di lembah sungai Hwang barulah kehilangan jejaknya. Kalau dia sempat memasuki Ok-jin-kok, sungguh Wanpwe merasa penasaran, sebab itulah kami mengundang keempat Totiang untuk membantu berjaga di sini, siapa tahu ... siapa tahu bertemu dengan Yan-tayhiap."
"Pantas cara turun tangan kalian sangat keji," ujar Yan Lam-thian. "Ya, terhadap kaum penjahat begitu memang perlu tindakan tegas, semakin keji semakin baik, tidak perlu kenal ampun."
Cong-ek-cu, Tojin yang mengepalai keempat Kun-lun Tojin itu, bertanya, "Dan entah sebab apakah Yan-tayhiap juga datang ke sini?"
"Tempat tujuanku memang Ok-jin-kok!" jawab Yan Lam-thian.
Kun-lun-si-cu (keempat Cu (gelar Tojin) dari Kun-lun) dan Joan-tiong-pat-gi sama melengak, tanya mereka berbareng, "Jadi Yan-tayhiap sengaja hendak pergi ke Ok-jin-kok?"
"Ya," jawab Yan Lam-thian dengan tertawa. "Tapi kepergianku ke sana bukanlah untuk menghindari pencarian musuh atau mengasingkan diri melainkan justru hendak mencari musuh yang sembunyi di sana."
"Namun ... namun Ok-jin-kok adalah ...."
Belum habis Cong-ek-cu bicara, dengan suara bengis Yan Lam-thian memotong, "Biarpun Ok-jin-kok itu adalah sarang harimau atau kubangan naga juga akan kuterjang!"
"Keperwiraan dan keluhuran budi Yan-tayhiap sudah cukup kami kenal," ujar Cong-ek-cu. "Cuma ... cuma Ok-jin-kok adalah tempat berkumpulnya kaum penjahat, mungkin dalam sejarah belum pernah ada tempat yang dihuni oleh penjahat sebanyak itu, bahkan juga belum pernah terjadi seorang berani menghadapi penjahat sebanyak itu dengan sendirian. Maka sebaiknya Yan Lam-thian suka ... suka menimbang kembali maksud tujuanmu."
Sinar mata Yan Lam-thian menyala bagai obor dan memandang jauh ke lembah yang diselimuti kabut tebal itu, katanya dengan suara mantap,
"Seorang lelaki sejati, asalkan dapat berbuat beberapa hal yang tak berani dilakukan orang lain, sekalipun mati juga takkan menyesal."
Kun-lun-si-cu saling pandang sekejap dengan rasa malu diri.
Nyo Peng berkata pula, "Tapi setahu Cayhe, selama dua puluh tahun ini, di antara kesepuluh gembong iblis yang paling jahat di dunia Kangouw, sedikitnya ada empat orang yang telah memasuki Ok-jin-kok itu."
"Mungkin lebih daripada empat orang," ujar Hay Tiang-po. "Yang jelas sudah berada di sana adalah "Hiat-jiu" (si tangan berdarah) Toh Sat, lalu "Siau-li-cong-to" (di balik tertawa tersembunyi sembilu) Ha-ha-ji, "Put-lam-put-li"
(bukan lelaki bukan perempuan alias si banci) To Kiau-kiau serta "Put-sip-jin-thau" (tidak makan kepala manusia) Li Toa-jui ...."
"Li Toa-jui?" Yan Lam-thian menegas. "Apakah si iblis yang terkenal gemar makan manusia itu?"
"Ya," jawab Hay Tiang-po. "Orang memoyoki dia tidak memakan kepala manusia untuk menggambarkan bahwa kecuali kepala manusia, semuanya dimakan olehnya. Dia malah bergelak tertawa mendengar nama poyokan itu, dia bilang sebenarnya kepala manusia juga dimakan olehnya."
"Bangsat sejahat itu, mana boleh dibiarkan hidup terus," kata Yan Lam-thian dengan gusar.
"Konon Li Toa-jui ini rada memiliki sifat kejantanan, baik ilmu silatnya maupun ilmu sastranya boleh dikatakan cukup lumayan, selain gemar makan manusia, urusan lain-lain terhitung baik."
"Hm, masakah makan manusia saja belum cukup jahat?" teriak Yan Lam-thian dengan gusar.
"Sungguh pun begitu, tapi Ketua Perserikatan Bu-lim di daerah tiga propinsi utara, yaitu Thi Bu-siang, Thi-tayhiap, entah sebab apa ternyata menaruh simpatik padanya," tutur Hay Tiang-po, "dengan tulus hati Thi-tayhiap ingin menarik Li Toa-jui ke jalan yang baik, untuk itu beliau rela menjodohkan putri tunggal kesayangannya kepada orang she Li itu, maksudnya agar putrinya dapat mengawasi tindak-tanduk Li Toa-jui demi memperbaiki perbuatannya yang jahat itu."
"Thi Bu-siang berjuluk "Ay-cay-ji-heng" (sayang pada orang berbakat melebihi jiwa sendiri), ternyata memang tidak bernama kosong," ujar Yan Lam-thian dengan gegetun.
"Tapi dasar jahat ya tetap jahat, betapa pun anjing tetap makan najis," tutur Hay Tiang-po. "Siapa tahu, belum ada tiga hari dinikahkan, kegemaran Li Toa-jui sudah timbul kembali, pengantin perempuan telah disembelihnya dan dimakan mentah-mentah olehnya."
"Sungguh bangsat keparat!" teriak Yan Lam-thian saking murka.
"Karena itu juga Thi-tayhiap menjadi gusar, bersama belasan anak muridnya ia bersumpah akan mencabut nyawa Li Toa-jui. Namun orang she Li itu cukup cerdik, sebelumnya dia sudah kabur masuk ke Ok-jin-kok."
Dengan menyesal Nyo Peng lantas menyambung, "Sudah tentu Thi-tayhiap sangat menyesalkan keputusannya yang salah memungut menantu Li Toa-jui, tapi ia pun tidak tega menyiarkan kematian putrinya yang mengerikan itu, dia hanya memberi keterangan bahwa putrinya meninggal karena sakit keras.
Kalau saja hubungan kami dengan Thi-tayhiap tidak cukup erat, mungkin urusan ini takkan diketahui sejelas ini oleh orang lain."
"Pantas orang Kangouw tidak banyak yang mengetahui kejadian ini," kata Yan Lam-thian dengan gemas." Tapi ... Thi Bu-siang terhitung juga ksatria yang tak gentar terhadap siapa pun juga, masakah dia tinggal diam saja menyaksikan bangsat she Li itu hidup bebas tenteram di Ok-jin-kok?"
"Thi-tayhiap memang bermaksud memburunya ke Ok-jin-kok, namun anak muridnya sama menahannya dengan sangat, Thi-hujin (nyonya Thi) juga berlutut dan mohon sang suami agar jangan pergi ke sarang penjahat itu, mau-tak-mau Thi-tayhiap menjadi ragu untuk bertindak."
"Baru kehilangan putri kesayangan, pantas kalau Thi-hujin tidak mau membiarkan sang suami menyerempet bahaya pula," kata Yan Lam-thian sambil menghela napas. "Ai, seorang lelaki sejati tidak perlu harus beristri, rasanya tindakan demikian juga bukan sesuatu yang bodoh."
"Kecuali keempat iblis tadi," sambung Hay Tiang-po, "kabarnya Im Kiu-yu, itu iblis yang membanggakan Ginkangnya tiada bandingannya di dunia ini serta suka meracun orang secara diam-diam, katanya juga kabur ke Ok-jin-kok."
"O, jadi "Poan-jin-poan-kui" (setengah manusia setengah setan) Im Kiu-yu juga berada di sana?" Yan Lam-thian menegas dengan waswas.
"Konon dia berhasil mengerjai murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, yaitu Li Tay-goan, tapi kabarnya dia juga sudah dibereskan oleh para tertua Siau-lim-si."
"Ya, di dunia Kangouw memang tersiar berita demikian," ujar Hay Tiang-po,
"tapi menurut sumber yang mengetahui kejadian di balik layar, katanya para tertua Siau-lim-pay memang sudah berhasil membekuk dan mengurung iblis
"setengah manusia setengah setan" itu, namun akhirnya dia berhasil lolos pula. Karena kejadian ini menyangkut kehormatan Siau-lim-pay, maka anak murid Siau-lim-pay sama sekali tidak ada yang mau bercerita."
"Itulah kelemahan manusia umumnya yang suka menjaga muka," ujar Yan Lam-thian dengan gegetun. "Sebabnya Siau-lim-pay yang terkenal itu makin hari makin merosot, soalnya karena setiap murid Siau-lim-pay terlalu suka menjaga muka."
"Ya, memang bukanlah pekerjaan mudah untuk tetap mempertahankan wibawa dan nama baik sesuatu aliran agar tidak merosot," kata Cong-ek-cu.
Sudah tentu ucapannya ini timbul karena ada sebabnya. Bukankah Kun-lun-pay mereka pun kian hari kian lemah"
"Kaum penjahat itu rada-rata adalah orang yang sukar dilayani," tutur Nyo Peng, "lebih-lebih To Kiau-kiau, si tidak lelaki bukan perempuan itu, bukan saja banyak tipu akalnya, bahkan kepandaiannya menyamar boleh dikatakan tiada bandingannya. Sekalipun orang yang paling karib dengan engkau, bisa jadi mendadak berubah menjadi iblis itu yang menyamarnya. Konon sebabnya orang ini kabur ke Ok-jin-kok bukan karena menghindari pencarian musuh, tapi ada sebab lain."
"Benar, dengan kepandaiannya menyamar, pada hakikatnya dia tidak perlu kabur ke Ok-jin-kok, sebab orang lain toh tidak tahu persis bentuknya yang asli," ujar Hay Tiang-po.
"Tak peduli kaburnya ke Ok-jin-kok itu disebabkan apa, tak peduli betapa pintarnya dia mengubah wajahnya, yang pasti kumasuk ke sana sendirian, biarpun dia menyamar menjadi siapa pun juga takkan mengelabui aku," kata Yan Lam-thian. "Haha, memangnya dia mampu menyamar menjadi bayi yang baru setengah bulan dilahirkan?"
"Benar juga," kata Nyo Peng dengan tertawa, "sekali ini Yan-tayhiap masuk ke sana dengan sendirian, biarpun dia memiliki kepandaian setinggi langit mungkin juga tiada gunanya lagi. Cuma ... cuma ...."
Tanpa menunggu selesai ucapan orang, segera Yan Lam-thian memberi salam perpisahan terus melangkah pergi.
"Yan-tayhiap, engkau ...." serentak semua orang berseru.
Namun Yan Lam-thian tidak menoleh lagi, sambil menyeret keretanya ia terus melangkah ke depan. Dia menarik keretanya dengan sebelah tangan saja, tapi ternyata jauh lebih kuat dan cepat daripada kereta itu dihela kuda.
Semua orang saling pandang dengan melongo dan terdiam sekian lamanya, akhirnya Cong-ek-cu menghela napas dan berkata, "Sering kudengar orang mengatakan ilmu silat Yan-tayhiap mahatinggi dan tiada bandingannya, setelah menyaksikan tadi ... Ai ...."
"Tinggi ilmu silatnya memang sangat membuat kagum orang, yang lebih kukagumi adalah jiwa ksatrianya, budi luhurnya, semua ini membuat kaum kita harus malu diri," ujar Nyo Peng.
Sambil memandangi bayangan Yan Lam-thian yang semakin menjauh dan akhirnya lenyap, Hay Tiang-po bergumam, "Semoga kepergiannya ke Ok-jin-kok ini masih dapat keluar lagi untuk bertemu dengan kita ...."
Jalan pegunungan semakin berliku dan terjal, tapi Yan Lam-thian tetap melangkah dengan biasa sambil menarik kereta, tampaknya sama sekali tidak makan tenaga.
Di tengah remang maghrib diliputi kabut itu, tiba-tiba timbul setitik sinar pelita di depan sana.
Itulah lampu minyak sejenis sentir yang disebut "Khong-beng-teng", lampu yang asalnya diciptakan Khong Beng, itu ahli siasat di jaman Sam-kok.
Secara tepat dan mengagumkan diselipkan di celah-celah batu cadas yang teraling dari tiupan angin, sinar lampu yang kelap-kelip di lembah pegunungan yang menyeramkan ini tampaknya mirip "api setan" saja di waktu malam.
Di bawah cahaya lampu itu, terlihat dua baris huruf yang terukir pada batu gunung itu berbunyi "Laksana naik ke langit untuk masuk ke lembah ini.
Pendatang disilakan jalan di sebelah sini".
Bagian bawah kedua baris huruf itu ada ukiran ujung panah yang menunjukkan arah yang harus diturut. Sepanjang mata memandang ke sana terlihat lembah yang dikelilingi oleh gunung-gemunung.
"Kurang ajar! Sungguh kaum penjahat yang terlalu berani, secara terang-terangan ternyata berani memberi petunjuk jalan bagi orang yang hendak masuk ke sarang mereka," demikian omel Yan Lam-thian dengan gemas.
"Ya, mungkin kalian mengira di dunia ini tidak ada orang baik yang berani masuk ke lembah maksiat kalian ini."
Padahal, orang baik-baik yang masuk ke Ok-jin-kok memang Yan Lam-thian sendirilah terhitung orang pertama.
2 Seri 1: Jilid 2-A. Pendekar Binal
Meski lereng pegunungan Kun-lun-san sangat curam, tapi jalan yang menuju ke Ok-jin-kok itu ternyata teratur dengan baik menembus ke balik gunung sana dan Ok-jin-kok itu justru terletak di dasar lembah yang diapit gunung-gunung itu. Sebab itulah jalan yang masuk Ok-jin-kok bukan menanjak ke atas, tapi justru semakin menurun, sampai akhirnya Yan Lam-thian tidak perlu lagi menghela keretanya, sebaliknya dia malah seperti didorong oleh keretanya. Hanya jalan pegunungan itu semakin melingkar, cuaca juga tambah gelap sehingga pandangan sukar mencapai jauh.
Sekonyong-konyong pandangan Yan Lam-thian terbeliak, di tengah-tengah lembah yang dilingkari gunung-gemunung itu mendadak timbul lapangan pelita secara aneh dan menakjubkan, begitu banyak titik-titik lampu hingga seperti bintang-bintang bertaburan di langit.
Yan Lam-thian tahu di mana terletak sinar lampu yang tak terhitung jumlahnya itu adalah "Ok-jin-kok", sarang berkumpulnya penjahat pelarian dari seluruh jagat ini.
Biarpun hatinya sekeras baja, nyalinya sekuat besi, tapi menghadapi Ok-jin-kok, tempat yang paling misterius dan paling berbahaya di dunia ini, mau-tak-mau timbul juga semacam perasaan aneh, serasa darahnya jadi mendidih dan mata berapi. Tanpa ragu kakinya tetap tegap melangkah ke depan sana.
Dalam bayangan Yan Lam-thian tadinya, Ok-jin-kok itu tentunya gelap gulita, seram dan menakutkan, tapi kini, sarang penjahat itu ternyata terang benderang oleh cahaya lampu. Namun cahaya lampu itu sama sekali tidak mengurangi keadaan misterius Ok jin-kok itu, sebaliknya malah menambah kegaibannya yang sukar dilukiskan.
Lantas, bagaimanakah sesungguhnya keadaan di Ok jin-kok"
Yan Lam-thian merasa denyut jantung sendiri pun bertambah keras, teka-teki akan segera terbongkar jawabannya.
Di bawah cahaya lampu terlihat sebuah tugu batu berdiri tegak di tepi jalan dengan tulisan yang bersemboyan: "Masuk dan masuklah lembah ini, selamanya engkau takkan jadi budak".
Selewatnya tugu itu, jalanan mendadak menjadi datar, halus, di bawah cahaya lampu tampaknya licin laksana cermin. Namun Yan Lam-thian juga menyadari bahwa jalan yang halus licin ini juga jalan yang paling berbahaya di dunia ini. Setiap melangkah satu tindak terasa semakin dekat dengan bahaya dan kematian.
Bukan hutan bukan gunung, Ok jin-kok itu tampaknya lebih mirip sebuah kota kecil pegunungan. Deretan rumah berdiri di kedua sisi jalan, semua rumah dibangun secara indah, di balik pintu dan jendela tampak cahaya lampu sehingga suasana terasa aman tenteram.
Tapi di tengah kota pegunungan yang aman tenteram itu sebenarnya tersembunyi betapa banyak perangkap yang telah mencelakai orang, betapa banyak tangan yang berlumuran darah manusia" Semua ini sukar diterka.
Tangan Yan Lam-thian yang menarik kereta sudah berkeringat, kini ia sudah memasuki Ok-jin-kok, setiap saat mungkin diserang secara keji dan mendatangkan maut baginya.
Tiba-tiba dari depan sana ada orang datang. Seketika Yan Lam-thian waswas, ia tahu dalam sekejap ini mungkin akan terjadi pertarungan maut.
Siapa duga kedua orang yang berpapasan dengan dia itu sama sekali tidak memandangnya, pakaian kedua orang itu sangat perlente, namun mereka lewat begitu saja di sebelah Yan Lam-thian.
Dilihatnya orang di jalanan semakin banyak, akan tetapi tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Keruan Yan Lam-.thian menjadi ragu, heran dan sangsi. Sebab ia tahu pasti orang yang berlalu-lalang itu semuanya adalah penjahat yang tangannya berlumuran darah. Kalau orang-orang itu serentak melancarkan serangan padanya takkan membuatnya heran, tapi kini gerak-gerik orang-orang itu tiada sesuatu pun yang mencurigakan, inilah yang membuatnya ragu dan tak dapat meraba apa sebenarnya yang akan terjadi.
Ok-jin-kok yang dipandang sebagai lembah maut bagi setiap insan persilatan, kini baginya ternyata seperti memasuki sebuah kota yang makmur, aman dan tenteram.
Pikiran Yan Lam-thian menjadi bingung malah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama hidupnya entah betapa banyak persoalan pelik dan berbahaya yang telah dihadapinya, tapi belum ada sesuatu yang membuatnya bimbang seperti sekarang.
Dalam kereta yang diseretnya itu terdengar suara tangisan bayi. Yan Lam-thian menghela napas, ia coba tenangkan diri. Dilihatnya di depan sana ada sebuah pintu yang terbuka. Dari dalam rumah itu terasa ada bau sedap makanan.
Tanpa pikir panjang Yan Lam-thian menarik keretanya ke sana. Dengan langkah lebar ia masuk ke rumah itu.
Ruangan yang indah dengan beberapa meja yang indah pula, dua meja di antaranya terdapat beberapa orang sedang minum arak sambil bersenda-gurau. Rumah ini seperti sebuah rumah makan, tapi jelas jauh lebih indah dan mewah daripada rumah makan umumnya.
Dengan membopong bayi Yan Lam-thian memilih salah sebuah meja dan duduk, dilihatnya rumah makan itu tiada sesuatu yang aneh, beberapa orang yang sedang minum arak itu berpakaian perlente dan bicara sewajarnya, sedikit pun tiada tanda-tanda bahwa mereka adalah penjahat yang pernah menghadapi jalan buntu dan terpaksa merat ke lembah terpencil ini, sungguh aneh dan mengherankan Yan Lam-thian.
Ia lupa bahwa manusia yang paling jahat, orang yang paling culas, pada lahirnya justru sukar ditemukan tanda-tanda khas itu. Kalau wajah mereka kelihatan bengis menakutkan sehingga orang yang melihatnya segera waswas akan segala kemungkinan, lalu kejahatan apa yang akan dapat mereka lakukan" Tentu akan gagal bukan" Hal ini sebenarnya sangat sederhana, namun jarang direnungkan oleh manusia dan tidak banyak yang paham.
Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang. Orang ini pendek gemuk, mukanya berseri-seri, senyum selalu dikulum, itulah tipe seorang pemilik rumah makan yang selalu harus ramah tamah terhadap tamunya.
Sedapatnya Yan Lam-thian bersabar dan duduk di tempatnya. Tapi si gemuk berwajah bulat itu lantas mendekatinya serta menegur dengan memberi salam, "Selamat datang Saudara!"
"Ehm," Yan Lam-thian hanya mendengus perlahan.
Si gemuk berkata pula dengan tertawa, "Tiga tahun yang lalu sudah tersiar berita bahwa Hengtay (saudara) mengikat permusuhan dengan Joan-tiong-pat-gi, sejak itu kami sudah berharap-harap akan kedatanganmu ke sini.
Siapa duga Saudara tidak segera muncul sehingga kami lama menunggu sampai sekarang."
"O," Yan Lam-thian bersuara singkat pula. Diam-diam baru ia tahu bahwa orang-orang ini telah salah menyangkanya sebagai "Joan-jong-kiam" Suma Yan sebagaimana para Tosu Kun-lun-pay serta Joan-tiong-sam-gi itu menyangkanya. Namun sedapatnya ia tetap tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu.
Ketika si gemuk bermuka bulat itu menggapai, segera datang seorang dengan langkah gemulai, seorang gadis berbaju hijau, cantik dan genit.
Matanya jeli dan giginya putih bak biji mentimun. Dengan lirikan yang genit gadis cantik itu mengucapkan salam hormat juga kepada Yan Lam-thian dan dijawab dengan dengusan singkat pula.
Melihat sikap Yan Lam-thian yang kaku dan acuh itu, si gemuk berkata dengan tertawa, "Rupanya baru tiba dari tempat jauh, Suma-siansing tiada hasrat bercengkerama denganmu. Lekas mengambilkan arak saja bagi Suma-siansing, lalu membuatkan tajin kental bagi kawan kecil kita ini."
"Sungguh anak yang mungil dan manis," kata gadis itu dengan tertawa genit sambil melirik sekejap kepada Yan Lam-thian, lalu melangkah pergi dengan gaya yang menggiurkan.
Sorot mata Yan Lam-thian menatap si gemuk berwajah bulat itu, diam-diam ia pikir, "Mungkin orang inilah "Siau-li-cong-to", si Budha tertawa kecil, Ha-ha-ji.
Kalau melihat wajahnya yang selalu tertawa, terhadap anak kecil juga begini simpatik, lalu siapa yang menyangka bahwa di dalam semalam saja dia telah membunuh seluruh anggota keluarga gurunya. Soalnya cuma lantaran Siausumoay-nya memaki dia dengan istilah "babi" saja."
Tengah termenung, si gadis genit tadi sudah kembali dengan langkahnya yang meliak-liuk dan membawa satu nampan daharan dan arak. Terendus bau arak yang harum, warna masakannya juga sangat menarik dan membuat orang meneteskan air liur.
"Suma-siansing datang dari jauh, tentu sudah lapar," kata si gemuk dengan tertawa. "Silakan dahar saja, habis itu baru kita bicara lagi."
Kembali Yan Lam-thian cuma mendengus saja, tapi tidak menyentuh daharan yang disuguhkan itu.
"Umumnya menyangka kami yang berada di sini pasti hidup susah dan menderita," kata pula si pendek gemuk dengan tertawa, "mereka tidak tahu bahwa dengan berkumpulnya kaum cerdik pandai sebanyak ini di sini mana bisa kami menderita. Seumpama arak dan masakan ini, sekali pun raja juga sukar menikmatinya, supaya terbukti, silakan Sum-siansing mencicipinya."
"O," lagi-lagi Yan Lam-thian bersuara singkat saja.
"Siapakah gerangan koki yang memasak daharan ini, kuyakin sama sekali takkan pernah terpikir oleh Suma-siansing," ujar si buntak dengan tertawa.
"Siapa?" tanya Yan Lam ;thian.
"Pernahkah Saudara dengar di dalam Kay-pang dahulu ada seorang tokohnya yang berjuluk "Thian-sip-sing" (si tukang gegares)" Hanya di dalam setengah jam saja dia telah meracun mati tujuh tertua dari Pang mereka ...."
sampai di sini, mendadak "brak", si buntak menggebrak meja, lalu menyambung dengan bergelak, "Sungguh seorang ksatria sejati, seorang tokoh besar. Nah, yang membuat daharan ini adalah dia."
Diam-diam Yan Lam-thian terkejut, tapi tetap berlagak acuh-tak-acuh dan menanggapi dengan suara, "O!" begitu saja.
Mendadak si gemuk buntak itu tertawa pula dan berseru, "Suma-siansing benar-benar adalah tokoh pilihan kaum kita, sebelum persoalan menjadi jelas, sama sekali engkau tidak sudi makan. Padahal sebelum kedatangan Suma-heng ini sebenarnya kami sudah pandang dirimu sebagai saudara sekaum ..."
sampai di sini, segera ia angkat sumpit, setiap macam daharan dicicipinya dulu satu kali. Lalu menambahkan dengan tertawa, "Nah, apakah sekarang Suma-heng masih sangsi?"
"Jika mereka telah salah sangka diriku sebagai Suma Yan, inilah kesempatan baik bagiku untuk menyelidiki jejak bangsat Kang Khim itu," demikian pikir Yan Lam-thian. "Kalau sekarang aku berkeras tidak mau makan, tentu akan menimbulkan curiga mereka. Apalagi mereka sudah mengira aku ini Suma Yan, rasanya mereka takkan mencelakai aku dengan racun."
Maklumlah sekali pun Yan Lam-thian adalah lelaki berdarah panas, tapi kecerdikannya tidak di bawah orang lain, kalau tidak masakah kawanan Piausu itu dapat diakali hingga kelabakan. Kini setelah dia pikir dan timbang lagi, ia merasa lebih baik makan daripada tidak, maka ia lantas angkat sumpit dan berkata, "Baiklah, mari makan!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia terus makan dan minum.
Beberapa macam santapan itu memang punya cita rasa yang lezat dan sukar dicari bandingannya. Dalam waktu singkat daharan itu sudah disikat bersih oleh Yan Lam-thian. Apalagi kalau mengingat sebentar lagi harus banyak mengeluarkan tenaga, jika perut kenyang tentu akan lebih kuat, maka dia makan dengan lebih cepat.
"Nah, bagaimana kepandaian masak Thian-sip-sing itu?" tanya si gemuk dengan bergelak tertawa.
"Lezat!" sahut Yan Lam-thian sambil mengusap mulutnya dengan lengan baju.
"Sebentar lagi tajin untuk kawan kecil itu tentu juga akan dibawa kemari," ujar si gemuk pula.
"Ya, makin cepat makin baik," kata Yan Lam-thian.
"Haha, setelah kawan kecil ini minum tajin, maka Yan-tayhiap juga boleh mulai turun tangan," demikian ucap si gemuk tiba-tiba.
Keruan air muka Yan Lam-thian berubah seketika, katanya, "Apa ... apa yang kau katakan?"
Kembali si gemuk tertawa terbahak-bahak, katanya, "Nama Yan-tayhiap termasyhur di seluruh jagat, tampangmu juga lain daripada yang lain, sekali pun aku Ha-ha-ji bermata buta juga dapat mengenal Yan-tayhiap. Haha, tadi aku pura-pura salah sangka engkau sebagai Suma Yan, tujuanku adalah untuk mengelabui Yan-tayhiap, kalau tidak masakah engkau sudi dahar makanan yang dibuat oleh Thian-sip-sing dengan campuran obat biusnya yang khas itu. Hahaha "."
"Bangsat keparat!" bentak Yan Lam-thian murka, sebelah kakinya terus mendepak, kontan meja dengan mangkuk piring di atasnya mencelat dan berantakan.
Si pendek itu memang betul "Si Budha Tertawa" Ha-ha-ji alias "Siau-li-cong-to" atau di balik tertawanya tersembunyi pisau. Julukannya ini melukiskan hatinya yang berbisa, tapi lahirnya suka tertawa, setiap ucapan pasti disertai tertawa ngakak, makanya dia bernama Ha-ha-ji atau si tukang Ha-ha.
Ketika meja didepak Yan Lam-thian, dengan gesit ia sudah melompat ke samping, lalu berolok-olok dengan tertawa, "Sebaiknya Yan-tayhiap jangan banyak mengeluarkan tenaga, kalau tidak, obat bius di dalam tubuhmu tentu akan bekerja terlebih cepat dan ... Haha ... Haha ...."
Yan Lam-thian merasa badannya tiada sesuatu tanda yang mencurigakan, ia pikir mungkin orang sengaja menggertak dan menakut-nakuti. Tapi ketika diam-diam ia coba mengerahkan tenaga dalamnya, benar saja, terasa sukar dikeluarkan. Keruan ia cemas dan gusar pula, segera ia menubruk maju terus menghantam.
Tapi Ha-ha-ji tetap berdiri tegak di tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak dan tidak menyerang.
Ternyata sebelum pukulan Yan Lam-thian itu dilontarkan, lebih dulu tubuhnya sudah jatuh terjungkal. Anggota badannya terasa lemas lunglai, tenaga saktinya yang beribu-ribu kati itu entah hilang ke mana"
Lamat-lamat didengarnya suara tertawa senang Ha-ha-ji serta suara tangis anak bayi ... suara tertawa dan menangis itu terasa semakin menjauh dan akhirnya ... segalanya tak terdengar lagi ....
Entah berselang berapa lama, Yan Lam-thian merasa ada lampu sedang memancarkan sinarnya di depan wajahnya. Perlahan ia membuka mata, terasa lampu itu seperti berputar-putar di depan matanya, ia ingin mendekap matanya tapi kaki dan tangan sedikit pun tak dapat bergerak.
Kepalanya terasa sakit seakan-akan pecah, tenggorokan juga panas seperti terbakar. Sekuatnya ia mengertak gigi dan mendelik untuk memandang lentera itu. Mana ada lampu yang berputar" Segera ia dapat melihat jelas wajah tertawa di belakang lentera itu.
"Bagus, Yan-tayhiap sudah siuman," terdengar Ha-ha-ji berseru dengan tertawanya yang khas. "Di sini ada beberapa kawan yang sedang menunggu dan ingin menyaksikan betapa gagahnya si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia."
Segera Yan Lam-thian juga dapat melihat beberapa bayangan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, tapi sinar lentera menusuk pandangannya sehingga bagaimana macam orang-orang itu tidak jelas terlihat.
Terdengar Ha-ha-ji berkata pula dengan tertawa, "Apakah Yan-tayhiap kenal beberapa kawan ini" Haha, biarlah kuperkenalkan mereka padamu, Nah, inilah "Hiat-jiu" Toh Sat."
Lalu terdengar seorang membuka suara dengan nada dingin, "Dua puluh tahun yang lalu pernah kuberjumpa satu kali dengan Yan-tayhiap, cuma sayang waktu itu Cayhe ada urusan penting sehingga tidak sempat belajar kenal dengan kungfu sakti Yan-tayhiap."
Yang bicara ini berperawakan tinggi kurus, memakai jubah panjang putih mulus, kedua tangan tersembunyi di dalam lengan bajunya yang panjang dan longgar. Wajahnya tampak pucat pasi, begitu pucat sehingga mirip es batu yang tembus cahaya.
Dengan menahan rasa sakit kepalanya, Yan Lam-thian bergelak tertawa keras dan menjawab, "Ya, dua puluh tahun yang lalu, jika tidak mengingat kamu habis dilukai oleh "Lam-thian-tayhiap" (pendekar di langit selatan) Loh Tiong-to dan aku merasa tidak sudi melabrak seorang yang sudah terluka, kalau tidak, masakah kamu mampu hidup sampai sekarang?"
Air muka Toh Sat sama sekali tidak berubah, dengan dingin ia menjawab,
"Nyatanya Cayhe masih hidup sampai sekarang, bahkan akan terus hidup, sebaliknya Yan-tayhiap sendiri selekasnya akan mati."
"Namun sebelum ajal Yan-tayhiap masih sanggup tertawa, hal ini rada-rada mirip dengan aku si Ha-ha-ji ini," seru Ha-ha-ji dengan mengakak. "Dan kawan yang ini adalah "Put-sip-jin-thau" Li Toa-jui, apakah Yan-tayhiap pernah kenal atau mendengar namanya?"
Suara seorang yang lantang segera menanggapi lebih dulu, "Sudah lama kudengar Yan-tayhiap memiliki otot kawat tulang besi, kukira dagingnya pasti sama enak dengan dendeng sapi, nanti harus kukunyah dan kutelan dengan pelan-pelan agar dapat menikmati rasanya yang sejati."
"Haha, dasar, setiap membuka mulut Li Toa-jui tidak pernah lupa pada kegemarannya," kata Haha ji. "Kuperkenalkan Yan-tayhiap padamu, sepantasnya kau bicara secara ramah-tamah, mengapa sekali pentang mulut lantas menyatakan ingin makan dagingnya?"
"Kukatakan daging Yan-tayhiap pasti lezat, ini kan juga ucapan sanjung pujiku. Kalian yang hanya suka makan daging babi mana tahu artinya?" ujar Li Toa-jui dengan tertawa.
"Bicara makanan, babi adalah binatang kotor dan busuk, memang tidak sebersih daging manusia," kata Ha-ha-ji dengan tertawa. "Aku menjadi tertarik pada propagandamu dan ingin mencicipi daging Yan-tayhiap ini bagaimana rasanya. Haha, tapi kukuatir daging Yan-tayhiap ini terlalu kasar, jangan-jangan nanti ... Hahaha ...."
"Kamu bukan ahli makan, maka tidak paham," sela Li Toa-jui. "Daging yang seratnya kasar ada rasa kasar tersendiri, daging halus juga ada rasa halus tersendiri pula. Daging Hwesio (biksu) ada rasa daging Hwesio, daging Nikoh (biksuni) juga ada rasa daging Nikoh, satu dan lain tidak sama, masing-masing mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri."
"Apakah daging Hwesio juga pernah kau makan?" tiba-tiba sebuah suara genit bertanya.
"Hah, tidak cuma pernah, bahkan sering," sahut Li Toa-jui. "Yang paling terkenal adalah Thi-koh Hwesio dari Ngo-tay-san, hampir tiga hari suntuk kumakan dia .... Daging orang terkenal rasanya memang lebih lezat dan sedap."
"Sudah berapa orang yang kau makan seluruhnya?" tanya suara merdu tadi dengan tertawa genit.
"Wah, sukar dihitung," jawab Li Toa-jui.
"Daging siapa yang paling lezat?" tanya pula suara genit itu.
"Kalau bicara halusnya dan lezatnya harus diakui daging biniku dahulu itu,"
tutur Li Toa-jui. "Dagingnya yang putih halus itu, wah, kalau terkenang sekarang sungguh air liurku bisa menetes."
"Haha, sudahlah, sudahlah, jangan bicara tentang daging manusia lagi," seru Ha-ha-ji. "Coba lihat, betapa gusarnya Yan-tayhiap ...."
"Benar, kita jangan membuat marah Yan-tayhiap lagi, orang marah dagingnya akan kecut, ini adalah hasil penelitianku selama ini, kalian perlu tahu," ujar Li Toa-jui.
Lalu Ha-ha-ji menuding lagi kawannya yang lain dan memperkenalkannya pada Yan Lam-thian, "Dan yang ini adalah "Bukan lelaki bukan perempuan"
To Kiau-kiau ...." "Kan tadi aku yang membawakan arak dan santapan bagi Yan-tayhiap," sela suara genit tadi. "Jadi Yan-tayhiap sudah kenal diriku, tidak perlu lagi kau perkenalkan."
Terkesiap juga hati Yan Lam-thian, pikirnya, "Jadi gadis baju hijau tadi adalah samaran "si bukan lelaki bukan perempuan" (alias banci) To Kiau-kiau.
Padahal iblis ini sudah terkenal lebih dua puluh tahun yang lalu, namun menyamar gadis berusia enam belas-tujuh belas tahun ternyata juga begitu persis."
Tangan berdarah Toh Sat, kegemaran Li Toa-jui memakan daging manusia, semua ini belum membuat terkejut pendekar besar ini, tapi kepandaian menyamar To Kiau-kiau yang dapat mengelabui siapa pun juga ini sungguh membuatnya terkesiap.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru, "Ha-ha-ji, kenapa cerewet saja sejak tadi, memangnya kamu ingin memperkenalkan segenap penghuni lembah ini padanya" Ada lebih baik lekas kau tanya dia, habis mendapatkan keterangan selekasnya mengirim dia untuk menemani aku di akhirat."
Suara orang itu seperti mengambang di udara dan terputus-putus, kalimat pertama kedengaran berada di sebelah kiri, kalimat berikutnya terasa di sisi kanan. Cara bicara orang biasa betapa pun anehnya tentu juga bertenaga, cara bicara orang ini ternyata tiada tenaga sama sekali, mirip orang yang sekarat dan seperti orang bersuara dari dalam peti mati.
Tanpa terasa mengkirik juga bulu roma Yan Lam-thian, pikirnya, "Benar-benar cocok dengan julukannya sebagai "setengah manusia setengah setan" Im Kiu-yu ini, bahkan cara bicaranya juga "tujuh bagian berbau setan."
"Hahaha!" demikian terdengar Ha-ha-ji lagi berkata dengan tertawa, "Jadi setan saja Im-lokiu juga tidak mau kesepian. Kalau Yan-tayhiap sudah datang kemari, masakah kau khawatir takkan mendapat teman di akhirat?"
"Aku tidak sabar menunggu lagi!" sahut suara aneh tadi, suara Im Kiu-yu yang berjuluk "setengah manusia setengah setan" itu.
Belum lenyap suara itu, tiba-tiba Yan Lam-thian merasa sebuah tangan meraba kuduknya dari belakang, tangan itu terasa lebih dingin daripada es, seketika Yan Lam-thian juga menggigil karena rabaan itu.
"Im-lokiu, singkirkan tanganmu!" bentak Li-Toa-jui. "Sekali kena diraba tangan setanmu, mana daging itu dapat dimakan lagi?"
Im Kiu-yu terkekeh, katanya, "Kamu yang turun tangan juga boleh, cuma lekasan sedikit."
"Nanti dulu, aku ingin menanyai dia lagi!" seru Toh Sat mendadak.
"Tanyalah, kan tiada yang merintangimu," ujar To Kiau-kiau dengan mengikik genit.
"Yan Lam-thian," segera Toh Sat mulai bertanya, "apakah kedatanganmu ke sini hendak mencari diriku?"
"Kamu belum sesuai bagiku," jawab Yan Lam-thian.
Toh Sat tidak marah, dengan nada dingin ia bertanya pula, "Aku tidak sesuai bagimu, habis siapa yang sesuai?"
"Kang Khim," jawab Yan Lam-thian singkat.
"Kang Khim?" Toh Sat mengulang nama itu. "Siapa dia" Pernahkah para kawan mendengar nama itu?"
"Haha, di Ok-jin-kok tiada terdapat Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco) begitu!" kata Ha-ha-ji.
"Meski bangsat itu tak terkenal, tapi busuknya berpuluh kali lipat daripada kalian," ujar Yan Lam-thian dengan geregetan. "Asalkan kalian mau menyerahkan keparat itu padaku, maka aku berjanji takkan membikin susah kalian."
"Haha bagus, bagus! Kalian dengar tidak apa yang dikatakan Yan-tayhiap, beliau takkan membikin susah kita. Ayolah kita lekas mengucapkan terima kasih banyak-banyak."
Belum habis ucapannya, bergemuruhlah "hahahihi-kikik-kekek", berbagai macam suara tertawa bergelak serentak.
"Memangnya kalian merasa geli?" tawa Yan Lam-thian dengan geram.
To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, "Saat ini kamu terikat oleh tiga belas utas tali, empat Hiat-tomu ditutuk pula oleh Toh-lotoa, mestinya kamu harus minta ampun pada kami, tapi kamu malah bilang takkan membikin susah kami, masakah di dunia ini ada kejadian yang lebih menggelikan daripada ini?"
"Hm, " Yan Lam-thian hanya menjengek.
"Baiklah, biar kukatakan juga padamu bahwa di Ok jin-kok ini benar-benar tiada terdapat orang bernama Kang Khim," kata Kiau-kiau. "Pasti kamu telah dikibuli orang, agaknya orang itu sengaja mendorongmu untuk mengantarkan nyawa ke sini."
"Hahaha! Dan ternyata kau percaya begitu saja pada perkataan orang itu,"
seru Ha-ha-ji dengan tertawa. "Haha, sungguh lucu, sudah tua bangka Yan Lam-thian ternyata dapat ditipu seperti anak kecil saja."
"Bangsat!" sekonyong-konyong Yan Lam-thian membentak, suaranya keras laksana guntur menggelegar dan memekak telinga.
"Celaka!" seru To Kiau-kiau kaget. "Tenaga orang ini tampak kuat, jangan-jangan ilmu Tiam-hiat Toh-lotoa telah dibobolnya secara diam-diam tadi."
"Hehe, terkaanmu memang tidak salah!" bentak Yan Lam-thian sambil tertawa. Mendadak ia melompat bangun, sekali kedua tangannya terpentang, serentak tiga belas tali kulit yang meringkus badannya itu putus semua.
"Wah, celaka, mayat hidup lagi!" seru Im Kiu-yu. Belum lenyap ucapannya, tahu-tahu orangnya sudah berada belasan meter jauhnya. Orang she Im ini suka membanggakan Ginkangnya nomor satu, ternyata cara larinya memang cepat luar biasa, tentu saja yang konyol adalah kawan-kawannya.
Terdengarlah suara "brak", sebuah meja ditumbuk roboh oleh Ha-ha-ji, orangnya berguling-guling beberapa kali dan mendadak menghilang. Kiranya telah menyusup ke dalam liang di bawah tanah.
"Ai, perempuan baik-baik takkan berkelahi dengan lelaki," seru To Kiau-kiau.
"Awas, aku akan buka baju!"
Benar saja, mendadak ia menanggalkan pakaiannya terus dilemparkan ke arah Yan Lam-thian. Ketika Yan Lam-thian menyampuk jatuh baju itu, ternyata si banci juga sudah menghilang.
Li Toa-jui tidak sempat kabur, terpaksa ia berdiri di situ, katanya dengan tertawa, "Bagus, Yan Lam-thian, biar orang she Li yang coba-coba mengukur kepandaianmu."
Sembari bicara, mendadak ia menyelinap ke belakang Toh Sat dan berkata pula, "Namun apa pun juga kepandaian Toh-lotoa lebih hebat daripadaku, adik tak berani bersaing dengan sang kakak. Silakan maju dulu, Toh-lotoa!"
Padahal meski Yan Lam-thian sudah berdiri, namun tenaga murninya belum terhimpun, kalau saja beberapa orang itu mengerubutnya sekaligus, betapa pun dia sukar terhindar dari maut. Tapi Yan Lam-thian memperhitungkan dengan tepat jiwa licik orang-orang ini, berani pada yang lemah, takut pada yang kuat. Mementingkan diri sendiri dan lebih suka merugikan orang lain.
Jika mereka disuruh bagi rezeki tentu akan maju sekaligus, sebaliknya jika mereka disuruh mengadu jiwa, jangan harap!
Begitulah maka Im Kiu-yu, To Kiau-kiau, Ha-ha-ji, Li Toa-jui, dalam sekejap saja sama menghilang, hanya tertinggal Toh Sat yang masih berdiri mematung di situ.
Sementara itu tenaga murni Yan Lam-thian sudah terkumpul, sorot matanya memancar tajam, cuma ia belum segera turun tangan, dengan suara bengis ia membentak, "Kenapa kamu tidak lari seperti kawan-kawanmu?"
"Menghadapi lawan, selamanya orang she Toh tak pernah lari!" jawab Toh Sat tegas.
"Jadi kau berani bergebrak dengan aku?" tanya Yan Lam-thian.
"Benar!" belum lenyap suara Toh Sat, serentak ia melompat maju, di tengah berkibarnya pakaian putih laksana gumpalan salju terseling dua buah tangan merah berdarah. Tui-hun-hiat-jiu, tangan berdarah pemburu sukma, ilmu pukulan berbisa andalan Toh Sat.
"Bagus!" sambut Yan Lam-thian dengan tertawa keras. Ia pun angkat kedua tangan dan balas menghantam kedua telapak tangan lawan yang merah itu.
Diam-diam Toh Sat bergirang. Maklumlah, ia disegani karena tangan berbisanya yang merah berdarah itu, sebab dia memakai sarung tangan berduri yang telah direndam dengan cairan beratus macam racun. Asalkan badan kulit orang tergores sedikit saja, maka tidak sampai setengah jam kemudian orang itu pasti akan binasa. Racun itu boleh dikatakan "kena darah lantas tutup napas", ganasnya luar biasa.
Tapi sekarang Yan Lam-thian berani memapak tangannya yang berbisa itu dengan tangan telanjang, bukankah ini sama dengan mengantarkan nyawa"
Maka terdengarlah suara gertakan berbaur dengan suara jeritan, menyusul lantas berbunyi "krek" satu kali.
Sudah jelas Yan Lam-thian memapak serangan tangan berdarah lawan dengan pukulan pula, tapi sampai di tengah jalan, entah bagaimana mendadak gerak serangannya itu berubah. Sekonyong-konyong Toh Sat merasakan serangannya tak mencapai sasarannya, perasaannya mirip orang berjalan yang mendadak sebelah kaki menginjak tempat kosong. Keruan ia terkejut, gugup dan bingung pula.
Pada saat itulah kedua pergelangan tangannya sudah kena dipegang Yan Lam-thian, baru saja dia menjerit kaget dan cemas, "krek", pergelangan tangan kanannya telah dipatahkan mentah-mentah oleh lawan.
Sebelum tubuh lawan roboh, Yan Lam-thian sempat mencengkeram pula baju dadanya dan membentak dengan bengis, "Di sini ada orang bernama Kang Khim tidak?"
Rasa sakit Toh Sat tak terkatakan, namun ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sahutnya dengan parau, "Kalau memang tidak ada ya tetap tidak ada!"
"Dan di mana anak bayi itu?" bentak Yan Lam-thian pula.
"Ti ... tidak tahu! Kau bunuh saja diriku!"
"Mengingat keperkasaanmu, jiwamu kuampuni!" kata Yan Lam-thian, mendadak tangannya mengebas, Toh Sat terlempar jauh.
Hebat juga Toh Sat dan tidak malu sebagai tokoh Bu-lim yang disegani, dalam keadaan demikian dia masih sanggup menguasai diri, dia berjumpalitan satu kali di udara, lalu tancapkan kakinya dengan enteng di atas tanah tanpa sempoyongan dan terjatuh. Jubahnya yang putih mulus sudah berlepotan darah, dengan tangan kiri memegangi tangan kanan sendiri, ia berseru dengan suara serak, "Sekarang kamu mengampuni aku, sebentar lagi kamu takkan kuampuni!"
"Hahaha! Bilakah Yan Lam-thian pernah minta diampuni orang?" jawab Yan Lam-thian sambil tertawa.
"Baik!" kata Toh Sat sambil melangkah pergi.
"Kembalikan anak itu, kalau tidak, lembah ini pasti kuhancurleburkan!" bentak Yan Lam-thian dengan kereng. Suaranya menggelegar, namun segalanya sunyi senyap.
Yan Lam-thian menjadi gusar, "blang", sebuah meja ditendangnya hingga mencelat. "Brek", sekali hantam dinding lantas berlubang.
Begitulah ia terus mengamuk, segala isi rumah itu diobrak-abriknya hingga berantakan. Namun penghuni Ok jin-kok seakan-akan sudah mampus seluruhnya, tiada seorang pun berani menongol.
"Baik, ingin kulihat kalian akan sembunyi sampai kapan!" bentak Yan Lam-thian dengan murka sambil mengamuk sepanjang jalan.
Tiba-tiba ia menerjang masuk sebuah rumah, "blang", ia depak daun pintu rumah itu hingga sempal sebelah, di dalam rumah ada dua orang, mereka menjadi kaget melihat Yan Lam-thian menerjang masuk bagai orang gila, segera mereka hendak kabur.
"Lari ke mana?" bentak Yan Lam-thian.
Seperti kucing menerkam tikus, dengan cepat ia melompat maju, sekali meraih, punggung salah seorang itu kena dicengkeramnya.
Kepandaian orang itu sebenarnya tidak lemah, tapi entah mengapa kini ia tak dapat berkutik sama sekali dan kena diangkat begitu saja seperti elang mencengkeram anak ayam.
Di tengah gertakan Yan Lam-thian, sekali dorong, kontan kepala orang itu pecah berantakan menumbuk dinding.
Keruan orang yang lain ketakutan setengah mati, kaki pun terasa lemas dan tidak sanggup lari lagi. "Bluk", ia jatuh mendeprok di tanah.
Segera Yan Lam-thian mencomot kuduk orang itu sambil membentak,


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat! Pergilah menyusul kawanmu!"
"Nanti dulu, dengarkan perkataanku!" mendadak orang itu berteriak.
"Apa yang hendak kau katakan?" tanya Yan Lam-thian, ia mengira orang akan memberitahukan di mana beradanya bayi yang hilang, sebab itulah ia menghentikan aksinya.
Tak tahunya orang itu lantas bertanya malah, "Ada permusuhan dan dendam apa antara engkau dan aku, mengapa engkau berbuat sekeji ini?"
"Penghuni Ok jin-kok adalah kawanan bangsat yang mahajahat, biarpun kubunuh habis juga takkan keliru!" bentak Lam-thian gusar.
"Benar!" seru orang itu. "Aku Ban Jun-liu dahulu memang betul orang jahat, tapi sudah lama aku memperbaiki diriku, mengapa kau ingin membunuhku pula" Ber ... berdasarkan apa engkau membunuh aku?"
Sejenak Yan Lam-thian melengak, gumamnya kemudian, berdasar apa aku membunuhnya" Mengapa aku tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperbaiki kelakuannya dan memperbaharui hidupnya?"
Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia lepaskan pegangannya dan membentak perlahan, "Pergilah!"
Cepat orang itu meronta bangun, tanpa menoleh lagi terus berlari pergi dengan langkah terhuyung.
Sambil menyaksikan kepergian orang itu, Yan Lam-thian menghela napas panjang dan bergumam pula, "Apa gunanya membunuh orang yang tak bersalah" Wahai, Yan Lam-thian, Kang-jitemu hanya meninggalkan yatim piatu ini, jika kamu tidak bertindak dengan tenang dan menggunakan akal sehat, bisa jadi keturunan saudara angkatmu itu akan lenyap, biarpun kau bunuh habis segenap penghuni Ok-jin-kok ini juga tiada gunanya lagi "."
Berpikir demikian, seketika api amarahnya padam. Segera ia pun menemukan berbagai keanehan di tempat ini.
Ia lihat rumah ini sangat besar, sebuah ruangan yang penuh tertimbun macam-macam bahan obat-obatan. Selain itu ada belasan anglo dengan apinya yang sedang membara, setiap anglo itu ada perkakas masak sebangsa wajan, ceret serta alat lain yang berbentuk aneh dan tak diketahui namanya. Di dalam setiap perkakas masak itu teruar bau harum obat yang menusuk hidung.
Yan Lam-thian sudah kenyang asam garam dunia Kangouw, pengalamannya banyak, pengetahuannya luas, terhadap ilmu pertabiban dan pengobatan juga tidak asing, pada waktu menganggur dia sering mencari bahan obat-obatan di lereng gunung dan pernah pula membuat beberapa macam obat luka menurut resepnya sendiri.
Tapi sekarang bahan obat-obatan yang tertimbun di rumah ini, baik yang tertumpuk di pojok ruangan maupun yang sedang dimasak, paling-paling Yan Lam-thian hanya kenal dua-tiga jenis di antaranya, selebihnya hampir tak pernah dilihatnya.
Baru sekarang ia terkejut, pikirnya, "Kiranya begini tinggi ilmu pertabiban Ban Jun-liu tadi, syukur aku tidak jadi membunuhnya. Jika dia tidak pernah menyesal pada kejahatannya yang dahulu dan tidak ingin memperbaikinya, tentu dia takkan susah payah mempelajari ilmu pengobatan yang bermanfaat bagi orang lain ini."
Bau harum obat yang dimasak itu semakin keras hingga akhirnya rumah itu penuh kabut asap dan menambah gaibnya rumah itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam tampak melangkah datang menembus kabut asap itu. Langkah orang itu sedemikian ringan, begitu gesit, sepasang matanya juga mengerling lincah dan terang.
Yan Lam-thian menahan perasaannya dan menatap orang tanpa bicara.
Orang berbaju hitam itu langsung mendekati Yan Lam-thian dan berdiri di depannya. Di antara sorot matanya yang licik itu terkulum juga senyuman licin pada mulutnya.
"Selamat, Yan-tayhiap!" tiba-tiba orang itu menyapa dengan tertawa sambil angkat tangan memberi hormat.
"Hm," Yan Lam-thian hanya mendengus saja.
"Cayhe "Joan-jong-kiam" Suma Yan," kata pula si baju hitam.
Meski Yan Lam-thian sudah mengambil keputusan akan bersabar dan bersikap tenang, kini tidak urung terguncang juga perasaannya dan berseru tanpa kuasa, "Kiranya kau! Jadi kamu sudah di sini"!"
Suma Yan terkekek licik, katanya, "Sebelum Yan-tayhiap tiba, lebih dulu Cayhe sudah sampai di sini. Pengalaman Yan-tayhiap akhir-akhir ini sudah kudengar, sebab itulah, begitu Yan-tayhiap datang, orang-orang di sini juga lantas tahu."
Mendelik mata Yan Lam-thian, tapi tetap diam saja.
"Yan-tayhiap tidak perlu melotot padaku, kukira engkau takkan membunuh aku," ujar Suma Yan, dengan tertawa licik.
"Berdasar apa kau kira aku tak berani membunuhmu" Sungguh aneh, coba katakan!" bentak Yan Lam-thian bengis.
"Sederhana, di antara dua negeri yang berperang, tidak mungkin membunuh duta dari salah satu pihak," kata Suma Yan dengan tertawa.
"Duta" Kamu ini duta" Duta dari mana?" Yan Lam-thian menegas.
"Cayhe datang atas perintah untuk menanyai sesuatu pada Yan-tayhiap,"
jawab Suma Yan. "Apakah urusan mengenai anak itu?" tergerak juga hati Yan Lam-thian.
"Benar!" jawab Suma Yan dengan tertawa.
Segera Yan Lam-thian mencengkeram baju orang itu, bentaknya dengan suara parau, "Di mana anak itu?"
Suma Yan tidak menjawab, dengan mengulum senyum ia pandang tangan Yan Lam-thian.
Yan Lam-thian menggreget, tapi akhirnya ia kendurkan tangannya.
Dengan tertawa-barulah Suma Yan menjelaskan, "Cayhe disuruh menanyai Yan-tayhiap, apabila mereka menyerahkan kembali anak itu padamu, lalu bagaimana urusannya?"
Tergetar hati Yan Lam-thian, sahutnya, "Untuk ini "."
"Apakah Yan-tayhiap akan terus berangkat pergi dan untuk selamanya takkan datang lagi ke sini?" Suma Yan menegas.
Kembali Yan Lam-thian menggreget, jawabnya dengan parau, "Demi anak itu, baik kuterima."
"Sekali sudah berjanji ...."
"Apa yang pernah kukatakan selamanya takkan berubah!" bentak Yan Lam-thian dengan gusar.
"Baik, silakan Yan-tayhiap ikut padaku!" kata Suma Yan dengan tertawa.
Berturut-turut mereka lantas keluar dari rumah itu.
Suasana malam yang tenang meliputi Ok-jin-kok, di bawah cahaya bulan yang remang-remang Ok-jin-kok tampaknya bertambah aman dan tenteram.
Suma Yan melangkah di jalanan batu yang licin itu, tindakannya enteng tanpa bersuara sedikit pun, tanpa berhenti ia terus menuju ke sebuah rumah dengan pintu setengah tertutup dan kelihatan cahaya terang menembus keluar.
"Di dalam rumah inilah anak itu berada," kata Suma Yan setiba di depan pintu. "Diharap setelah Yan-tayhiap memondong anak itu keluar, hendaklah segera mundur kembali ke jalan engkau datang semula. Kereta yang dibawa Yan-tayhiap itu pun sudah siap di mulut lembah sana."
Yan Lam-thian tidak sabar lagi, tanpa menunggu habis ucapan orang itu, segera ia menerobos ke dalam rumah.
Di tengah rumah kelihatan ada sebuah meja bulat, anak itu memang betul tertaruh di atas meja. Darah Yan Lam-thian bergolak, sekali lompat maju segera ia pondong anak itu sambil berkata dengan pilu, "O, anak yang malang!"
Tapi belum habis ucapannya, mendadak anak itu dibantingnya ke lantai sambil mengerang murka, "Bangsat keparat!"
Anak itu ternyata bukan anak bayi yang diharapkan itu melainkan sebuah boneka belaka. Namun sudah terlambat, seluruh rumah berjangkit suara mendenging, beratus-ratus bintik perak memancar ke arahnya bagai hujan.
Suara mendesing senjata rahasia itu tajam lagi cepat serta kuat pula, jelas beratus-ratus senjata rahasia itu seluruhnya tersambit dari tangan kaum ahli dan bertekad harus membinasakan Yan Lam-thian. Segenap pelosok rumah itu adalah sasaran berbagai macam senjata rahasia sehingga Yan Lam-thian benar-benar tidak diberi peluang untuk berkelit dan menghindar.
Mana tahu mendadak Yan Lam-thian bersuit nyaring, tubuh terus mengapung ke atas, terdengarlah suara gemuruh, ia telah membobol wuwungan rumah dan melayang keluar. Di bawah terdengar suara nyaring riuh ramai, beratus-ratus senjata rahasia berserakan memenuhi lantai.
Di balik bayang-bayang gelap sekeliling rumah segera terdengar jerit kaget berulang-ulang, belasan bayangan orang segera berlari simpang siur.
Kembali Yan Lam-thian bersuit panjang, laksana naga turun dari langit, mendadak ia menubruk dari atas. Terdengarlah suara gedebak-gedebuk disertai jeritan beberapa kali, seorang ditumbuknya hingga mencelat ke tepi jalan, seorang dilemparkannya jauh ke tengah jalan, seorang lagi disodok hingga menerobos genting rumah. Semuanya kepala pecah dan otak berantakan. Namun sisanya masih sempat kabur, hanya sekejap saja lantas lenyap.
Berdiri di tengah jalan raya itu Yan Lam-thian berteriak dengan suara murka,
"Main sergap, tapi bisakah kalian menjatuhkan diriku" Kalau ingin jiwa orang she Yan, ayolah keluar bertanding!"
Suara raungan murka Yan Lam-thian itu menggema angkasa dan tak hentinya menimbulkan kumandang dari jauh suara tantangan itu.
Dengan langkahnya yang tegap kuat Yan Lam-thian menyusuri jalan sambil mencaci-maki dan menantang. Namun Ok-jin-kok itu seakan-akan tak berpenghuni lagi, tiada seorang pun yang berani menongol.
Meski seorang diri, namun Yan Lam-thian telah membuat seluruh penjahat yang menghuni Ok-jin-kok itu mengkeret semua, sungguh gagah perkasa dan berwibawa.
Namun sedikit pun hati Yan Lam-thian tidak merasa bangga dan puas, sebaliknya ia merasa cemas, pedih dan murka. Meski langkahnya enteng gesit, namun perasaannya amat berat.
Sekonyong-konyong, entah sejak kapan, seluruh sinar lampu di Ok jin-kok itu padam semua. Walaupun ada cahaya rembulan dan bintang, namun lembah maut itu tetap gelap gulita dan menggetar sukma.
Mendadak selarik sinar mengkilat menyambar dari balik pintu rumah sebelah, sebuah golok membacok sekuatnya. Serangan itu jelas berasal dari seorang jago silat terkenal, baik waktunya yang tepat, arahnya yang jitu, semuanya dilakukan dengan kena benar dan berkeyakinan kepala Yan Lam-thian pasti akan terbelah menjadi dua.
Di luar dugaan, Yan Lam-thian yang tampaknya sama sekali tidak tahu akan serangan itu, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong tubuhnya dapat menyurut mundur sehingga golok itu menyambar lewat di depan hidungnya tanpa melukai seujung rambut pun.
"Trang", saking kerasnya tenaga serangan itu hingga golok membacok tanah dan memercikkan lelatu api.
Secepat kilat tangan Yan Lam-thian terus membalik dan tepat mencengkeram pergelangan tangan penyergap itu sambil membentak bengis, "Keluar! Ingin kutanya padamu."
Di luar dugaan. mendadak pegangan Yan Lam-thian terasa enteng, meski tangan orang itu kena ditariknya keluar, tapi melulu sebuah tangan berlumuran darah tanpa pemiliknya. Kiranya orang itu telah menabas mentah-mentah lengan kanan sendiri.
Keji amat dan tega benar hati orang itu. Bahkan suara mendengus saja tak terdengar sama sekali.
Kejut, cemas, gusar dan gemas pula Yan Lam-thian, ia ambil goloknya dan buang lengan buntung itu, menyusul golok itu terus membacok, sebuah daun pintu kontan jebol. Namun di balik pintu tiada nampak bayangan seorang pun.
Yan Lam-thian seperti orang gila, ia menerobos setiap rumah, namun tetap tiada seorang pun yang ditemukan. Ia gelisah dan mengamuk, tapi semua itu tiada gunanya. Gigi gemertukan, mata merah membara, ia berteriak dengan suara serak, "Baiklah, kalian boleh sembunyi, ingin kulihat sampai kapan kalian sanggup sembunyi!"
Kisah Si Rase Terbang 5 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Kedele Maut 8

Cari Blog Ini