Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 4
"Haha, betul juga ucapanmu, masuk akal!" seru Ha-ha-ji.
"Dan apalagi?" tanya Siau-hi-ji.
Ini ... lihatlah!" kata Kiau-kiau. Dia membuka suatu bungkusan lain, isinya ternyata satu tumpuk kertas emas. Mungkin tidak seberapa banyak manusia di dunia ini yang pernah melihat emas murni sebanyak ini.
Tapi Siau-hi-ji justru berkerut kening, katanya, "Ah, terhitung benda baik apakah ini" Lapar, tidak dapat dimakan, dahaga, tidak dapat diminum dibawa dalam saku juga berat .... Aku tidak mau barang ini."
"Anak tolol," omel Kiau-kiau dengan tertawa. "Benda ini meski tidak menarik, tapi siapa saja yang memilikinya, ingin membeli barang apa pun pasti terkabul. Untuk memilikinya, tidak sedikit manusia di dunia ini saling baku hantam memperebutkannya, tapi kau malah menolaknya!"
"Tidak, aku tidak mau, aku bukan orang tolol macam begitu," kata Siau-hi-ji.
Sambil mencomot sepotong kecil kertas emas itu, Li Toa-jui berkata dengan tertawa, "Apakah kau tahu bahwa dengan sepotong kecil benda ini sedikitnya dapat membeli tiga perangkat pakaian seperti yang kau pakai sekarang, untuk biaya hidup keluarga biasa sedikitnya cukup untuk dua tahun lamanya."
"Haha, bukankah kau suka pada kuda?" ujar Ha-ha-ji. "Nah, hanya dengan sepotong kecil benda ini pun cukup untuk membeli seekor kuda Tibet yang paling bagus. Kalau benda ini tidak baik, maka tiada barang lain lagi yang lebih baik di dunia ini."
Siau-hi-ji menghela napas, katanya, "Baiklah, sedemikian tinggi kalian menilainya, biarlah kuterima. Tapi selain ini masih ada barang apalagi?"
"Ai, setan cilik, masakah belum cukup?" omel Kiau-kiau. "Selama ini milik kami sudah bersih kau kuras, mana ada sisanya lagi?"
Siau-hi-ji termenung sejenak, kemudian diangkatnya ransel tadi, berbangkit terus bertindak pergi.
"He, he! Kau mau apa?" seru Li Toa-jui.
"Mau apa" ... Berangkat kan!" sahut Siau-hi-ji.
"Berangkat dengan begitu saja?"
"Habis mau tunggu apalagi" Arak tidak boleh minum pula, barang juga tidak ada lagi ...."
"Kau hendak pergi ke mana?" tanya Li Toa-jui.
"Sekeluarnya lembah ini, langsung aku menuju ke tenggara sana, sampai ke mana aku pun tidak tahu," jawab Siau-hi-ji.
"Apa yang hendak kau lakukan nanti?" tanya Li Toa-jui pula.
"Tidak melakukan apa-apa, jika ketemu yang cocok, aku lantas minum arak bersama dia, kalau tidak cocok, aku lantas menggoda dia agar dia kapok dan serba konyol."
"Hahaha, bagus, bagus! Jadi manusia harus begitu barulah ada artinya," seru Ha-ha-ji sambil keplok.
"Dan kau akan ... akan pulang lagi ke sini tidak?" tiba-tiba Toh Sat bertanya.
"Kalau orang di luar sana sudah kuganggu seluruhnya, selekasnya aku akan pulang ke sini, sekembalinya nanti akan kuganggu kalian lagi," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Haha, bagus!" seru Ha-ha-ji. "Bila orang-orang di luar sana benar-benar kau ganggu hingga serba konyol, maka kami akan sambut pulangmu dengan gembira dan rela diganggu olehmu."
"Baiklah, sampai bertemu, selekasnya aku kembali!" seru Siau-hi-ji sambil melambaikan tangan. Dia benar-benar lantas berangkat, berangkat tanpa menoleh lagi.
Toh Sat mengantarnya keluar pintu, katanya dengan perlahan, "Tega benar hati anak ini."
"Kita justru berharap dia berhati tega, haha, makin keras hatinya makin bagus!" ujar Ha-ha-ji.
"Sudah terlalu lama dunia Kangouw aman tenteram, sudah saatnya kini diaduk oleh orang macam dia ini," ucap To Kiau-kiau. "Cuma sayang, kita tidak dapat menyaksikan sendiri."
Begitulah dengan dandanannya yang serba baru sambil memanggul ranselnya, Siau-hi-ji menyusuri jalanan batu itu, sepatu kulitnya yang baru itu menimbulkan suara berkelotak dan terdengar jelas di malam sunyi.
Sembari berjalan Siau-hi-ji sengaja berteriak-teriak, "Wahai, kawan-kawan, Siau-hi-ji akan berangkat sekarang, selanjutnya kalian dapatlah tidur dengan nyenyak dan aman."
Rumah-rumah di kedua tepi jalan serentak ramai, ada yang membuka jendela, ada yang membuka pintu, tiap-tiap kepala sama menongol keluar mengikuti kepergian Siau-hi-ji.
"He, kulakukan perbuatan sebaik ini, mengapa kalian tidak lekas bersorak dan keplok gembira?" teriak Siau-hi-ji. "Kalau kalian tidak bertepuk tangan, biarlah kubatalkan kepergianku saja."
Belum habis ucapannya, serentak semua orang sama berkeplok riuh ramai.
Maka tertawalah Siau-hi-ji tergelak-gelak. Ketika melalui rumah Ban Jun-liu, tertawanya terhenti sejenak, ia pandang tabib itu sekejap, hanya sekejap saja, tanpa bicara.
Ban Jun-liu juga tidak berucap apa-apa. Banyak hal di dunia ini memang tidak perlu diutarakan dengan berbicara.
Akhirnya Siau-hi-ji meninggalkan Ok-jin-kok.
Bintang bertaburan menghiasi cakrawala nan kelam, meski di malam musim panas, namun di lembah sunyi yang terletak di perbatasan antara propinsi Tibet dan Jinghay itu terasa dingin oleh embusan angin malam yang menusuk tulang.
Siau-hi-ji memakai mantelnya, ia menengadah memandangi langit yang penuh bintang-bintang berkelip itu, ia termangu-mangu sejenak. Langit berbintang demikian selanjutnya masih akan dilihatnya, namun takkan dilihatnya dengan berdiri di sini. Segera dia akan berada di suatu dunia yang asing baginya. Apakah dia takut" Tidak, dia tidak takut! Hanya dalam hatinya terasakan sesuatu yang aneh, entah rasa apa, sukar dikatakan.
Namun dia tetap melangkah ke depan, lurus ke depan, tanpa menoleh.
***** Menjelang maghrib, cuaca di daerah pegunungan sudah berubah kelam.
Kabut lambat-laun menyelimuti lereng gunung, suasana remang-remang meliputi padang rumput yang tak tertampak ujungnya itu.
Angin meniup sepoi-sepoi sejuk, di tengah embusan angin itu terdengar suara mengembik kambing, suara menguak sapi, suara meringkik kuda, bercampur-baur menjadi macam paduan suara yang menawan hati. Kemudian gerombolan biri-biri, sapi dan kuda bagai gugur gunung membanjir tiba. Sapi yang cokelat, kuda yang kuning, biri-biri yang putih, berbondong-bondong lalu di padang rumput yang luas laksana pasukan tentara berbaris panjang menuju medan bakti.
Dari jauh Siau-hi-ji memandangi adegan itu, wajahnya menampilkan cahaya yang bersemangat, sinar matanya juga gemerlap, betapa hebat dan besar pemandangan luar biasa itu, betapa megah dan besarnya alam semesta ini.
Dari maghrib hingga menjelang gelap malam, untuk sekian lamanya Siau-hi-ji berdiri termangu mangu, hati dan pikirannya mendadak seperti terbuka dan banyak bertambah lapang.
Setelah rombongan ternak jauh berlalu, dari kejauhan terdengar kumandang suara nyanyian merdu, tinggi dan nyaring suara nyanyian itu, namun Siau-hi-ji tidak paham apa yang dinyanyikan itu. Ia hanya dengar awal dari lagu yang dinyanyikan itu berbunyi "Allah ...." dan entah apalagi seterusnya.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa arti "Allah" adalah Tuhan menurut kepercayaan kaum muslimin, suku bangsa Hwe di daerah Tibet dan Jinghay.
Siau-hi-ji terus menuju ke arah datangnya suara itu. Entah berapa lama dia berlari-lari, akhirnya tertampak beberapa buah kemah warna putih menghiasi padang rumput nan luas itu. Bintik-bintik sinar lampu tampaknya begitu kecil berbanding kelip cahaya bintang-bintang di langit, namun penuh mengandung puitis.
Langkah Siau-hi-ji bertambah cepat menuju ke sana. Di depan kemah ada api unggun, tampak gadis-gadis suku Tibet sedang bernyanyi dan menari.
Pakaian mereka beraneka warna menarik, jubah panjang dengan lengan baju yang longgar, rambut halus mereka dikepang menjadi kuncir-kuncir panjang bergelantungan di pundak.
Perawakan gadis-gadis Tibet itu kecil mungil, badan penuh dihiasi batu manikam warna-warni, kepala mereka pun mengenakan kopiah kecil berwarna mencolok.
Terkesima Siau-hi-ji melihatnya, dengan setengah linglung ia melangkah maju, mendekati mereka.
Melihat kedatangan Siau-hi-ji, gadis-gadis Tibet itu sama berhenti menyanyi serta merubunginya, ada yang tertawa nyekikik, ada yang meraba-raba bajunya, banyak pula yang bicara dalam bahasa yang tidak diketahui apa artinya.
Pada dasarnya gadis Tibet memang kekanak-kanakan, simpatik dan lugu.
Tanpa terasa Siau-hi-ji lantas bertanya dengan tersenyum, "Apa yang kalian ucapkan?"
"Kami bicara bahasa Tibet, apakah kau ... bangsa Han?" tiba-tiba seorang gadis menanggapinya. Gadis ini berkucir paling panjang, bermata paling besar, tertawanya paling manis.
Mata Siau-hi-ji berkedip, jawabnya, "Mungkin begitulah."
Para gadis Tibet itu kembali tertawa nyekikik ramai. Gadis bermata jeli tadi berkata pula, "Siapa namamu?"
"Siau-hi-ji ... O, bukan, aku she Kang, namaku Hi."
"Hihi, namamu Hi (ikan)?" gadis mata jeli menegas. "Konon lezat sekali ikan yang hidup di sungai itu, sayang aku tidak pernah merasakannya." Lalu dengan bahasa setempat ia menguraikan kembali apa yang dikatakannya kepada kawan-kawannya sehingga gadis-gadis itu pun mengikik tawa.
"Selain engkau, apakah mereka tidak dapat bicara?" tanya Siau-hi-ji.
"Bisa," sahut si mata jeli, "cuma mereka tidak dapat bicara bahasa Han."
"Mengapa mereka tak bisa dan kau sendiri fasih?" tanya Siau-hi-ji pula.
"Sebab ayahku juga bangsa Han," jawab si mata jeli dengan membusungkan dada, sambil tersenyum bangga. "Di sini, akulah paling fasih berbahasa Han.
Sebab itulah aku diminta menjadi juru bahasa mereka untuk menghadapi orang-orang Han yang akan datang ke sini untuk berdagang."
"Selain cantik kau pun sangat cekatan," ujar Siau-hi-ji tertawa.
Wajah si mata jeli menjadi merah, tampaknya menjadi lebih cantik di bawah cahaya api unggun, katanya sambil tersenyum, "Ai, adik cilik ini sungguh pintar bicara. Eh, apakah engkau bukan rombongan pedagang-pedagang itu"
Mengapa engkau tiba lebih dulu, sedangkan mereka ...."
"Aku datang sendirian," sela Siau-hi-ji.
Mata si mata jeli semakin terbelalak lebar, serunya, "He, engkau datang sendirian" Engkau ... sungguh pemberani."
Siau-hi-ji hanya tertawa, tanyanya kemudian, "Kau bernama siapa?"
"Namaku menurut artinya dalam bahasa Han adalah Tho-hoa (bunga Tho).
Sebab menurut mereka, katanya wajahku ... wajahku mirip bunga Tho."
"Tho-hoa ...." Siau-hi-ji mengulang nama itu. "Ehm, meski tak pernah kulihat bagaimana bentuknya Tho-hoa, tapi kuyakin bunga Tho itu pasti tidak secantik dirimu."
Tho-hoa terkikik-kikik gembira, jawabnya, "Walaupun belum pernah kumakan ikan yang hidup di sungai, tapi kuyakin ikan itu pasti tidak semanis mulutmu."
Sementara itu dari dalam kemah telah keluar beberapa lelaki, semuanya terbelalak memandangi Siau-hi-ji. Perawakan mereka tidak tinggi besar, tapi cukup kekar.
"Sudahlah aku hendak berangkat," kata Siau-hi-ji kemudian.
"Jangan takut, meski mereka tampaknya melotot, tapi tidak bermaksud jahat,"
ujar Tho-hoa. "Aku tidak takut, aku hanya ingin berangkat," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Jangan pergi dulu," mata jeli Tho-hoa mengerling sambil menggigit bibir.
"Besok ... besok pagi akan datang sejumlah orang Han seperti dirimu, suasana di sini akan menjadi ramai dan menarik."
"Sejumlah orang Han ... padahal sepanjang jalan sama sekali tiada kulihat siapa-siapa."
"Betul, aku tidak berdusta," kata Tho-hoa.
"Lantas malam ini ...."
"Malam ini kau boleh tidur di kemahku, akan kutemanimu mengobrol," kata Tho-hoa dengan menunduk tertawa. Dia sedikit lebih tinggi daripada Siau-hi-ji, kuncirnya tertiup angin sehingga mengusap muka Siau-hi-ji, sinar matanya gemerlap laksana kelip bintang-bintang di langit.
Begitulah malam itu Siau-hi-ji lantas menumpang di kemah si Tho-hoa. Cukup hangat berada di dalam kemah, hangat lagi berbau harum susu biri-biri.
Siau-hi-ji menanggalkan bajunya. Kembali mata Tho-hoa bercahaya.
Perlahan dia merabai bekas luka yang memenuhi tubuh Siau-hi-ji itu, katanya dengan suara lembut, "Sungguh kasihan, adik cilik, mengapa engkau terluka sedemikian rupa" Cuma aneh, tubuhmu yang penuh luka ini tampaknya tidak menjadi jelek, sebaliknya malah menyenangkan."
"Meski aku terluka, tapi serigala dan harimau yang melukai aku itu sudah mati semuanya," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kau ... engkau pernah membunuh harimau?" Tho-hoa terbelalak heran.
"Ya, tidak banyak, cuma empat-lima ekor," jawab Siau-hi-ji.
Tho-hoa memandangnya dengan terkesima dan tanpa bergerak hingga sekian lamanya.
"Kau tidak percaya?" tanya Siau-hi-ji..
"Percaya! Masakah aku tidak percaya pada ucapanmu?"
"Mengapa kau percaya pada ucapanku?"
Tho-hoa melengak, tapi lantas menjawab dengan tersenyum, "Sebab engkau adalah adikku. Sekali melihatmu, segera kuingin engkau menjadi adikku."
"Bukanlah sesuatu yang baik memiliki adik seperti diriku ini," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
Malam ini Siau-hi-ji tidur dengan sangat nyenyak dan marem. Esoknya ketika dia bangun, Tho-hoa sudah tiada, tapi tertinggal sebotol susu kambing di samping bantalnya.
Setelah minum susu dan mengenakan pakaian, Siau-hi-ji keluar kemah.
Segera dilihatnya belasan meter di sebelah sana sudah bertambah sebuah kemah besar dan dikerumuni orang banyak.
Dari jauh Siau-hi-ji melihat Tho-hoa berdiri di tengah serombongan orang Tibet dan orang-orang Han, nona itu sedang tertawa manis dan bicara ke sana ke sini seperti burung berkicau. Kuncirnya yang kecil itu tampak bergerak kian-kemari mengikuti goyangan kepalanya, di bawah sinar matahari wajahnya yang ayu itu semakin menyerupai bunga Tho yang sedang mekar, bahkan mungkin tiada bunga Tho di dunia ini secantik dia.
Setiap kali si Tho-hoa habis berucap, segera seorang Tibet tampil ke depan dan berjabatan tangan dengan seorang Han, jelas itulah tandanya telah menjadi sesuatu jual-beli. Setiap kali terjadi sesuatu perdagangan (dengan barter atau tukar-menukar barang), maka tertawa si mata jeli juga bertambah manis.
Siau-hi-ji mendekat ke sana, ia tidak menyapa si Tho-hoa melainkan putar kayun ke sana ke sini, dilihatnya di depan setiap perkemahan terpajang macam-macam benda mestika yang aneh, banyak pula perhiasan yang indah dan menarik.
Beberapa lelaki dari berbagai ukuran, ada yang tinggi, ada yang pendek, yang gemuk, yang kurus, sama menjagai dasaran barang dagangannya itu.
Ada pula beberapa orang Tibet yang juga berbangun tubuh macam-macam ukuran sedang memilih dan membeli barang-barang itu dengan bahasa isyarat tangan.
Siau-hi-ji tertarik dan geli, ia merasa orang-orang ini sungguh bodoh, tiba-tiba ia menemukan sesuatu, yakni bahwa orang bodoh di dunia ini jauh lebih banyak daripada orang pintar.
Tiba-tiba seorang tinggi kurus muncul dengan menuntun seekor kuda kecil, bulu suri yang putih bagai salju itu bergoyang-goyang terembus angin dan sangat menarik perhatian Siau-hi-ji.
Tanpa terasa Siau-hi-ji mendekati kuda itu dan meraba-raba punggungnya, tanyanya kemudian, "Apakah kuda ini dijual?"
Si tinggi kurus itu memandang sekejap pada anak muda itu, jawabnya, "Kau ingin beli" Baiklah panggil orang tuamu ke sini."
"Untuk apa panggil orang tua?" ujar Siau-hi-ji. "Ada duit sama saja dengan orang tua."
"Kau punya duit?" si jangkung tertawa.
Siau-hi-ji tepuk-tepuk ikat pinggangnya dan menjawab, "Duit tidak punya, emas kubawa tidak sedikit."
Tertawa si jangkung makin lebar, matanya terus mengincar bungkusan yang terikat di pinggang Siau-hi-ji, sambil mengelus bulu halus kuda yang masih muda itu ia berkata dengan tertawa, "Kuda bagus ini harganya cukup tinggi."
"Berapa harganya, katakan saja," ujar Siau-hi-ji.
Mata si jangkung berkedip-kedip, katanya dengan rada samar-samar.
"Harganya paling sedikit sera ... seratus ... seratus sembilan puluh ... seratus sembilan puluh tahil perak."
Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian sambil menggeleng, "Kukira harga ini tidak betul."
Tiba-tiba wajah si jangkung yang berseri-seri tadi berubah menjadi merengut,
"Mengapa tidak betul, kau harus tahu, ini kuda wasiat, sedikitnya berharga
...." "Jika kuda wasiat, maka sedikitnya berharga tiga ratus delapan puluh tahil perak, permintaanmu cuma seratus sembilan puluh tahil perak, terlalu sedikit, sungguh terlalu murah."
Si jangkung jadi melenggong, mendadak ia berteriak dengan gusar, "He, kau sengaja berkelakar?"
"Emas selamanya tidak pernah berkelakar ...." kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Satu tahil emas bernilai enam puluh tahil perak, tiga ratus delapan puluh tahil perak sama dengan emas enam tahil koma tiga tiga-tiga-tiga .... Nah, kertas emas ini kira-kira berbobot tujuh tahil, ambil saja!"
Sekali ini si jangkung benar-benar melenggong dan mengira sedang mimpi, dengan setengah linglung ia terima daun emas itu dan tanpa sadar mengangsurkan tali kendali kudanya. Kalau pegangannya tidak kencang, bisa jadi daun emas itu sudah jatuh ke tanah.
Dengan tertawa gembira Siau-hi-ji lantas pesiar ke sana kemari dengan menuntun kuda putih yang baru dibelinya itu. Segera ia mendapatkan penemuan baru pula, yakni selain orang-orang itu lebih banyak yang bodoh dari pada yang pintar, yang bermuka buruk juga jauh lebih banyak dari pada yang berwajah cakap. Hanya ada seorang pemuda baju putih yang bentuknya sama sekali berbeda dengan orang-orang lain.
Pemuda baju putih itu berdiri jauh menyendiri di sana seakan-akan tidak sudi bercampur-baur dengan orang-orang lain. Baju putih pemuda itu bergerak tertiup angin seperti salju di puncak Kun-lun-san, matanya gemerlap laksana kelip bintang yang dilihatnya semalam.
Tanpa terasa Siau-hi-ji memandang beberapa kejap kepada pemuda itu, ternyata mata si pemuda baju putih yang besar itu pun sedang memandang Siau-hi-ji.
3 Seri 1: Jilid 3-A. Pendekar Binal
Dengan sendirinya Siau-hi-ji menyambut pandangan orang itu dengan tertawa, tapi pemuda itu ternyata tidak mengacuhkannya, bahkan berkedip pun tidak. Siau-hi-ji berkerut-kerut hidung dan melelet-lelet lidah padanya dengan muka badut, tapi pemuda itu lantas berpaling ke sana seakan-akan tidak sudi memandang Siau-hi-ji lagi.
Mendongkol juga hati Siau-hi-ji, ia bergumam, "Hm, lagaknya! Kau tidak sudi gubris diriku, memangnya aku sudi gubris dirimu"!" Ia sengaja melantangkan suaranya agar didengar pemuda itu.
Tapi pemuda itu justru anggap tidak mendengar.
Siau-hi-ji terus menuju ke sana, menghampiri sebuah dasaran pedagang yang terdekat dengan pemuda itu. Banyak perhiasan barang tiruan yang dijajakan di situ, bentuknya indah dan bercahaya, seakan-akan sedang menunggu orang yang mau masuk perangkap.
Siau-hi-ji ambil sebuah perhiasan bunga mutiara, matanya memandang pemuda tadi dan bertanya, "Ini dijual tidak?"
Tapi yang menjawab bukanlah pemuda itu melainkan seorang pendek berkopiah tinggi, dengan cengar-cengir si buntak ini berkata, "Pandangan tuan muda sungguh jitu, mutiara pilihan ini sungguh sukar dicari." Sambil bicara, matanya terus mengincar pinggang Siau-hi-ji. Rupanya ia sudah menyaksikan cara Siau-hi-ji membeli kuda tadi.
"Berapa harganya?" tanya Siau-hi-ji.
"Empat ... lima ... tu ... tujuh puluh tahil."
"Tujuh puluh tahil"!" teriak Siau-hi-ji.
Si buntak berjingkat kaget, cepat ia menanggapi, "Ya, tu ... tujuh puluh tahil tidaklah mahal."
"Tapi mutiara ini kan imitasi," ujar Siau-hi-ji.
"Imitasi" Siapa bilang?" seru si buntak dengan agak penasaran. "Ini ... ini sungguh suatu penghinaan bagiku."
"Haha, sejak umur dua tahun aku sudah bermain mutiara dan menggunakannya sebagai peluru pelinteng, tulen atau palsunya mutiara akan ketahuan bila kucium dengan hidung saja," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Diam-diam perut si buntak hampir meledak saking gemasnya, ia heran mengapa bocah ini mendadak berubah menjadi cerdik. Tapi ia pura-pura berlagak penasaran dan berkata, "Wah, baiklah, kuberi diskon, biarlah kuhitung enam puluh tahil saja ...."
"Ah, kau salah lagi," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Mutiara yang tulen dapat digagapi dengan mudah di lautan, sedangkan mutiara palsu justru harus membuatnya dengan susah payah, bahkan hasilnya sedemikian miripnya, maka harga mutiara palsu harus lebih mahal daripada yang tulen."
Kembali si buntak melengak, katanya dengan tergagap, "Ini ... ini ...."
"Kalau tulen harganya tujuh puluh tahil, maka yang palsu harus seratus empat puluh tahil perak, kira-kira emas murni dua tahil lebih ...." demikian Siau-hi-ji sengaja membual dengan harapan si pemuda baju putih tadi akan tertarik dan memandang atau tertawa padanya.
Siapa tahu pemuda itu ternyata tidak menggubrisnya, bahkan menyingkir pergi.
Lekas-lekas Siau-hi-ji melemparkan emasnya dan berkata, "Nah, ini bobotnya tiga tahil." Tanpa ambil pusing si buntak yang ternganga bingung itu, cepat ia memburu ke sana. Namun pemuda baju putih entah berada di mana, sudah tidak kelihatan lagi.
Siau-hi-ji rada kecewa, ia termangu-mangu sambil menggigit bibir. Pada saat itulah tiba-tiba sebuah tangan menjulur tiba terus menyeretnya berlari.
Tangan itu putih halus, itulah tangan Tho-hoa.
Begitulah dengan tarik-menarik, akhirnya mereka lari masuk ke kemah si Tho-hoa, wajah nona itu tampak merah, napasnya tersengal-sengal, ia mengomel perlahan, "Kau ... kau ini sungguh bodoh, ingin membeli barang kenapa tidak cari padaku, tapi lebih suka ditipu orang. Kudamu ini harganya tidak sampai delapan puluh tahil perak, mutiara ini ...."
"Paling tinggi sepuluh tahil," sambung Siau-hi-ji.
Tho-hoa jadi melengak malah, tanyanya, "Jadi kau ... kau pun tahu?"
"Orang pintar seperti diriku ini masakah tidak tahu," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Sudah tahu mengapa kau kena tipu?"
"Tertipu terkadang berarti menarik keuntungan," ujar Siau-hi-ji sambil memicingkan mata.
Tho-hoa memandang Siau-hi-ji dengan mata melotot laksana sedang memandang sesuatu makhluk yang aneh dan ajaib. Sungguh selama hidupnya belum pernah melihat bocah seaneh ini.
Bunga mutiara imitasi yang baru dibelinya itu lantas ditancapkannya pada ikal rambut si Tho-hoa, lalu Siau-hi-ji berkata, "Cici yang baik, jangan marah ya"
Lihatlah betapa cantiknya engkau memakai bunga mutiara ini, sungguh mirip seorang putri. Cuma sayang, di sini tidak ada pangeran yang cocok bagi sang putri."
"Bukankah kau ini sang pangeran bodoh!" demikian Tho-hoa berseloroh.
Siau-hi-ji berkedip-kedip pula, katanya, "Kau bilang aku bodoh, sebentar lagi tentu kau akan tahu bahwa aku tidaklah bodoh. Sebentar lagi orang yang menipu aku tadi pasti akan lebih konyol tertipu olehku."
"Mereka akan tertipu olehmu?" tanya Tho-hoa heran.
Siau-hi-ji hanya tertawa tanpa menjawab. Ia tepuk leher kuda putih yang baru dibelinya dan berkata, "Kuda yang baik, lekas keluar dan berdiri di sana agar orang-orang itu datang kemari dan masuk perangkapku."
Kuda itu meringkik perlahan, seperti tahu kehendak tuannya, benar juga lantas menerobos keluar kemah, tapi Siau-hi-ji tetap memegangi ekornya agar tidak jauh meninggalkan perkemahan.
Dengan gegetun Tho-hoa berkata, "Ai, kau benar-benar anak ajaib, apa yang kau katakan selalu tidak dipahami orang dan apa yang kau lakukan tentu sukar ditebak."
Belum lagi Siau-hi-ji menjawab, tiba-tiba terdengar suara ribut di luar kemah.
Seorang bersuara serak sedang berteriak, "He, tuan muda yang membeli kuda tadi apakah berada di dalam kemah?"
Siau-hi-ji berkerut hidung terhadap Tho-hoa, katanya dengan tertawa, "Itu dia orang yang mau masuk perangkapku telah datang sendiri!" Mendadak ia dorong Tho-hoa ke dalam selimut, katanya, "Baik-baik berbaring di sini, sayang, jangan bersuara."
Tentu saja Tho-hoa merasa bingung dan ingin bicara, namun sebelum membuka mulut, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah menyelubungi kepalanya dengan selimut sambil berseru, "Aku berada di sini, silakan masuk!"
Yang masuk sedikitnya ada belasan orang, dipimpin oleh si jangkung penjual kuda tadi. Belasan orang itu sama membawa bungkusan besar kecil masing-masing, bungkusan yang dibawa si buntak yang menjual bunga mutiara itu adalah terbesar sehingga dia seakan-akan menjadi satu gumpalan bersama bungkusannya itu.
Siau-hi-ji sengaja berkerut kening dan menegur, "He, apa-apaan kalian"
Barang sebanyak ini ...."
Si jangkung munduk-munduk dan menjawab dengan menyeringai, "Hehe, kata peribahasa, barang baik harus dijual pada yang mengerti. Ketika kawan-kawan ini mendengar tuan muda adalah seorang ahli membeli barang, berbondong-bondong mereka pun ingin memperlihatkan barang dagangan baik mereka kepadamu."
"Hihi, kalian tidak menipu aku, bukan?" Siau-hi-ji berolok dengan tertawa.
Cepat si jangkung menanggapi, "Ah, mana bisa jadi, mana bisa jadi ....
Ayolah, lekas membuka bungkusan kalian dan perlihatkan kepada tuan muda kita." Belum habis ucapannya, serentak bungkusan besar kecil itu sudah dijereng di depan Siau-hi-ji.
Barang baik dalam bungkusan-bungkusan ini memang tidak sedikit, ada mutiara mestika, ada perhiasan tulen, ada kulit binatang yang mahal, ada Siahio (bibit wewangian dari kelenjar binatang sebangsa serigala) dan macam-macam lagi, pada hakikatnya barang-barang ini baru saja mereka beli dari orang-orang Tibet tadi.
"Ehm, barang-barang ini tidak jelek, aku ingin beli semuanya," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Belasan orang sama tertawa gembira hingga mulut mereka seakan-akan sukar terkatup kembali, serentak mereka berseru, "Alangkah baiknya tuan muda beli seluruhnya."
"Baik, bungkus saja semuanya," kata Siau-hi-ji.
Beramai-ramai belasan orang itu lantas meringkasi belasan bungkusan kecil itu menjadi satu sehingga bungkusannya sekarang lebih besar dari pada Siau-hi-ji, mungkin sekali sukar diangkat oleh orang biasa.
Habis itu, belasan orang itu lantas berdiri tegak dan menunggu pembayarannya. Namun Siau-hi-ji seperti tidak ambil pusing, ia bersiul-siul kecil sendirian seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Akhirnya si buntak tidak tahan, katanya, "Tuan muda, harga ... harga barang
...." "O, kau minta pembayaran" Apa susahnya" Berapa, katakan saja sesuka kalian!" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
Beramai-ramai belasan orang itu lantas menyebut harga barang bawaannya masing-masing, sudah tentu harga yang mereka sebut sedikitnya tujuh atau delapan kali lipat daripada nilai yang sebenarnya.
Tho-hoa tidak tahan lagi mendengar harga-harga yang disebut itu, dia ingin melompat keluar, tapi kepalanya ditahan oleh tangan Siau-hi-ji sehingga tak dapat berkutik. Didengarnya Siau-hi-ji lagi berkata dengan tertawa, "Dan total jenderal menjadi berapa?"
Rupanya si jangkung memang ahli hitung cepat, dalam sekejap saja ia dapat menjumlah seluruhnya dan berseru, "Total seluruhnya menjadi enam ribu enam ratus tahil perak."
"Ah, harga ini tidak betul," tiba-tiba Siau-hi-ji menggeleng.
Si buntak dan si jangkung sudah pernah mendengar kalimat ini, mereka tahu sang juragan muda mempunyai kebiasaan menambah satu kali lipat dari harga yang disebut, sudah barang tentu orang lain juga sudah mendengar akan sifat baik dan kebiasaan baik sang juragan muda kita. Maka mereka sama menjawab dengan mengiring tawa, "Ya, ya, harga tersebut tidak betul, terserah saja kepada juragan muda."
"Terserah padaku?" Siau-hi-ji menegas. "Tapi jangan-jangan kalian ...."
"Kami pasti setuju," cepat beberapa orang memotong.
"Jika begitu ...." Siau-hi-ji sambil merogoh bungkusan di pinggangnya,
"baiklah, menurut perhitunganku, harga barang-barang kalian total jenderal kubayar ...." pandangan semua orang sama terbelalak mengikuti gerak jari Siau-hi-ji, terlihat dua jarinya menjepit sepotong kecil daun emas, lalu menyambung pula dengan tertawa, "kubayar seluruhnya satu tahil emas kepada kalian."
Baru sekarang belasan orang itu melenggong, dengan menyeringai dan tergagap-gagap si jangkung berkata, "Tuan ... tuan muda janganlah bercanda."
Tiba-tiba Siau-hi-ji menarik muka, katanya, "Kan pernah kukatakan bahwa emas tidak suka bercanda. Kalian sendiri bilang terserah padaku, bahkan menyatakan pasti setuju. Sekarang sudah terlambat biarpun kalian merasa menyesal." Ia lemparkan potongan kecil emas itu ke tanah, bungkusan besar tadi terus diangkatnya dan hendak melangkah pergi. Padahal bungkusan itu jauh lebih besar daripada tubuhnya, namun sedikit pun ia tidak buang tenaga untuk mengangkatnya.
Sekarang Tho-hoa baru tertawa geli, diam-diam ia menongolkan kepalanya, dilihatnya belasan orang itu sama terkesima. Tapi segera mereka membentak gusar dan mengudak keluar.
"Penipu kecil, kembalikan barang kami!" demikian orang-orang itu sama berteriak.
Lalu terdengar Siau-hi-ji menjawab, "Siapa penipu" Kalian sendirilah penipu."
Menyusul lantas terdengar serentetan suara orang menjerit kesakitan dan teriakan minta tolong, berbareng terdengar pula suara gedebukan seperti jatuhnya benda berat.
Tho-hoa bersabar sejenak, akhirnya ia tidak tahan dan segera melompat bangun dan berlari keluar, terlihatlah belasan orang tadi tiada satu pun yang berdiri, semuanya roboh terguling. Belasan laki-laki kekar itu telah dihajar Siau-hi-ji hingga babak-belur, ada yang mukanya bengkak, ada yang hidungnya keluar kecap, ada yang patah tulang kakinya, semuanya menggeletak di tanah dan tidak sanggup bangun.
Mau tak mau Tho-hoa melongo kaget juga, ia tahu kaum musafir yang berani berdagang ke daerah terpencil ini rata-rata bertenaga besar dan mahir beberapa jurus. Sungguh sama sekali tak pernah terpikir olehnya bahwa si anak aneh itu ternyata memiliki kepandaian setinggi itu, belasan lelaki kuat itu dapat dirobohkan sekaligus.
Sekian lamanya Tho-hoa termangu-mangu, ketika kemudian ia berpaling, cahaya sang surya cerlang-cemerlang menyinari padang rumput, namun si anak ajaib dengan kuda putih yang baru dibelinya itu sudah tak kelihatan lagi.
***** Bungkusan itu terletak di punggung kuda putih, Siau-hi-ji sendiri menuntun kuda itu, sekaligus mereka lari hingga beberapa li jauhnya. Sungguh geli dan ingin tertawa jika Siau-hi-ji ingat tampang belasan orang yang diakalinya itu.
Menjelang lohor, sinar matahari makin panas, Siau-hi-ji belum begitu merasakannya, tapi kuda putih itu sudah rada payah.
Padang rumput yang luas itu tiada kelihatan bayangan orang maupun tempat berteduh. Tiba-tiba pikiran Siau-hi-ji tergerak, ia membuka bungkusan besar itu, diambilnya sepotong tanduk kambing benggala (dapat digunakan sebagai obat), ia pandang benda berharga itu, lalu tertawa dan membuang jauh tanduk itu.
Begitulah sambil berjalan Siau-hi-ji terus membuang, satu bungkus besar barang-barang yang sangat berharga itu telah dilemparkannya dengan tertawa riang tanpa sayang sedikit pun, sama saja seperti orang membuang sampah.
Sampai akhirnya sisa barang tinggal sedikit, tanpa pikir Siau-hi-ji mengemasi bungkusan itu terus dilemparkan jauh ke tengah semak rumput. Habis itu ia berkeplok tangan dan tertawa puas.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara nyaring orang memanggilnya, "Siau-hi
... Kang Hi ... berhenti dulu, tunggu!"
Seekor kuda tampak berlari tiba secepat terbang, penunggangnya berbaju gemerlap, belasan kuncir tampak menari-nari tertiup angin, wajahnya merah menyerupai bunga Tho.
"Aha, hebat sekali kepandaian menunggang kudamu ... sungguh indah!" seru Siau-hi-ji memuji.
Setelah dekat, Tho-hoa sudah berdiri di punggung kuda, mendadak ia berjumpalitan di udara. Siau-hi-ji kaget, tapi Tho-hoa sudah berdiri di depannya.
Sambil menggigit bibir, Tho-hoa membanting-banting kaki, matanya mengembang air, seperti habis menangis dan seakan-akan ingin menangis, dengan napas terengah ia mengomel, "Mengapa ... kau pergi tanpa ... pamit"
Kau ...." "Aku telah menimbulkan onar, kalau tak kabur tentu membikin susah dirimu,"
ujar Siau-hi-ji tertawa. "Ken ... kenapa engkau menipu orang lain?" kata Tho-hoa pula.
"Mereka menipu aku, kenapa aku boleh menipu mereka?" jawab Siau-hi-ji.
Tho-hoa melengak, matanya yang jeli mengerling dan bertanya, "Mana barangnya?"
"Sudah kubuang semua," tutur Siau-hi-ji.
"Kau buang?" Tho-hoa terkejut. "Ken ... kenapa engkau berbuat begitu?"
"Habis tadinya barang-barang itu termuat di punggung kuda, aku sendiri malah harus berjalan kaki di bawah terik sinar matahari, bukankah aku menjadi orang tolol" Makanya kupikir barang-barang itu harus kubuang saja."
Mata Thoa-hoa terbelalak lebar, katanya, "Ta ... tapi barang-barang itu sangat berharga, engkau tidak merasa sayang?"
"Bukan soal bagiku, sudah tentu aku tidak sayang," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Barang-barang berharga di dunia ini kan tidak cuma barang tadi, jika mau setiap saat aku bisa mendapatkannya."
"Kau ... kau sungguh gila," omel Tho-hoa.
Siau-hi-ji bergelak tertawa, selang sejenak barulah ia berkata pula, "Barang-barang yang kubuang itu tentu akan ditemukan orang, jika penemu itu orang baik-baik, tentu mereka akan kegirangan. Bila kubayangkan wajah mereka yang tertawa gembira itu, rasanya hatiku pun ikut gembira, hal ini sudah cukup bagiku daripada susah payah kubawa sendiri barang-barang itu dalam perjalanan."
"Tapi kalau penemu itu orang busuk, lalu bagaimana?" tanya Tho-hoa.
"Bila penemu itu orang-orang busuk, maka mereka pasti akan berkelahi karena pembagian rezeki yang tidak rata, malahan kalau ada yang bermaksud mencaplok sendiri rezeki yang ditemukan, bisa jadi kawan sendiri akan dibunuhnya."
"Begini kau pun senang?" tanya Tho-hoa.
"Mengapa tidak senang" Haha, teramat senang!"
"Kau ... kau sungguh telur busuk!" omel Tho-hoa dengan terbelalak.
"Selain itu, bila barang-barang itu ditemukan oleh manusia malas, pasti dia tidak mau bekerja apa-apalagi dan sehari-harian hanya ingin mencari rezeki di tengah semak-semak rumput itu, dia mencari dan mencari terus sampai dia lupa daratan dan mati kelaparan." Siau-hi-ji terkekek-kekek, lalu menyambung pula, "Coba lihat, aku cuma membuang sedikit barang begitu, tapi jelas akan mengubah betapa banyak kehidupan manusia, bukankah ini permainan yang paling menarik di dunia ini?"
Tho-hoa melongo seperti patung, sekian lamanya barulah dia menghela napas perlahan dan bergumam, "Kau sungguh iblis kecil."
"Baik, tadi kau memaki aku tolol, memaki aku gila dan iblis kecil, jika begitu, mengapa kau menyusul ke sini?"
Tho-hoa menunduk, jawabnya dengan lirih, "Aku ... aku cuma ingin tanya mengapa ... mengapa kau pergi tanpa pamit."
"Apa pun juga aku toh harus berangkat, pamit dan tidak apa gunanya?" ujar Siau-hi-ji. "Jika pamit dapat membuat kau melupakan diriku tentu tidak menjadi soal, cuma sayang kau kan tak dapat melupakan daku?" kata Siauhi-ji dengan tertawa.
Tho-hoa memandangnya dengan mata melotot, entah mengapa, air matanya lantas bercucuran.
"Apa yang kau tangiskan?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa. "Usiaku masih kecil, kan tidak dapat menjadi suamimu, apalagi kau sangat cantik, tidak perlu khawatir takkan mendapatkan suami."
"Kau ... kau sangat ...." Tho-hoa berteriak dengan suara serak, tapi ia tidak sanggup melanjutkan lagi, sukar baginya untuk memilih istilah yang cocok untuk melukiskan tindak-tanduk makhluk cilik yang binal ini. Mendadak ia membanting kaki terus mencemplak ke atap kudanya, ia pukul pantat kuda sekeras-kerasnya terus dilarikan secepat terbang.
Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala, katanya dengan gegetun, "O, perempuan ... kiranya perempuan kebanyakan rada sinting."
Dia membelai-belai bulu suri kuda putih dan bergumam pula, "Wahai, kudaku sayang, apabila kau pun cerdik seperti aku, maka jangan sekali-kali mendekati perempuan, lebih-lebih jangan mau ditunggangi perempuan, kalau tidak, bisa konyol dan sial kau, sebab bila marah, orang perempuan akan menjadikan kau sebagai sasaran pelampias marahnya .... Ai, kukira pantat kuda itu pasti akan bengkak dipukul si Tho-hoa."
Ia lantas naik kudanya dan melanjutkan perjalanan ke depan. Tapi belum seberapa jauh, tiba-tiba seorang mengadang di tengah jalan.
Di bawah cahaya matahari terlihat jelas pakaian orang ini seputih salju, matanya bersinar, meski wajahnya tampak mengunjuk marah, sedikit pun tidak menakutkan, bahkan kelihatannya sangat menyenangkan.
Segera Siau-hi-ji dapat mengenalinya, yaitu si pemuda yang angkuh itu.
Dengan tertawa ia menyapa, "Eh, kiranya kau berada di sini. Apakah kau sedang berjemur di sini?"
"Menunggu kau!" dengus pemuda itu.
Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menunggu aku?" Siau-hi-ji menegas dengan tertawa. "Tadi kau tidak menggubris diriku, sekarang malah ...."
"Tidak perlu banyak omong, serahkan!" bentak pemuda baju putih.
"Serahkan" Serahkan apa?" tanya Siau-hi-ji heran.
"Barang hasil tipuanmu itu," kata si pemuda.
Kembali Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, "O, kiranya maksudmu barang-barang itu. Jika kutahu kau menginginkan barang-barang itu tentu akan kusimpan untukmu. Tapi sekarang ... ai, sekarang sudah kubuang seluruhnya."
"Kau buang" Hm, memangnya kau ingin mendustai aku?" teriak pemuda baju putih dengan gusar.
"Untuk apa kudusta" Apa gunanya pula barang-barang rongsokan sebanyak itu?" ujar Siau-hi.
Setelah mengikik tawa, lalu ia berkata, "He, apakah kau tahu waktu marah wajahmu yang kemerah-merahan ini menjadi sangat cakap, sungguh mirip ...
mirip anak perempuan .... Sungguh aku kenal seorang anak perempuan, waktu marah mukanya kemerah-merahan dan sangat cantik, tampaknya dia dan kau adalah suatu pasangan yang setimpal, apakah mau kuperkenalkan kalian" ...."
Muka si pemuda baju putih bertambah merah, dia ingin memperlihatkan sikap yang lebih garang dan bengis, tapi justru tidak bisa, terpaksa ia hanya mendelik saja, katanya dengan suara keras, "Jika benar kau telah membuang barang-barang itu, maka harus kau ganti."
"Kau minta ganti padaku?" tanya Siau-hi-ji.
"Ya, harus ganti!"
"Kedatanganmu ini benar-benar demi mengejar barang-barang itu?"
"Tentu!" "Ah, kukira belum tentu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Mati-hidup orang-orang ini tidak kau pikirkan apalagi cuma sedikit barang yang tertipu, mana lagi semua itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Kukira kau bukan ...
bukan mengejar barangnya, tapi ... tapi mengejar diriku."
Dengan muka merah si pemuda baju putih membentak, "Benar aku memang mengejarmu. Selagi usiamu masih kecil begini sudah sedemikian busuk perbuatanmu, kalau sudah besar apalagi!"
Siau-hi-ji meraba-raba kepalanya yang tidak gatal, tanyanya kemudian dengan tertawa, "Kau ingin membunuh aku?"
"Bunuh kau juga pantas," seru si pemuda. "Cuma ... cuma usiamu masih kecil, rasanya masih ada obatnya. Kalau kau mau mengangkat aku sebagai guru, setelah kudidik dengan baik, mungkin kau akan menjadi orang baik-baik."
Siau-hi-ji menatapnya sejenak, habis itu mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Hahahaaah! Kau ingin menerimaku sebagai murid!?"
"Memangnya apa yang perlu ditertawakan?" sahut pemuda itu dengan gusar.
"Sebenarnya mempunyai guru muda secakap dirimu ini juga lumayan, cuma, apa yang dapat kau ajarkan padaku" Dalam hal apa kau lebih kuat daripadaku" Huh, kukira lebih tepat bila kau yang menjadi muridku."
"Hm, kau ingin belajar silat tidak?" jengek pemuda baju putih.
"Memangnya kau kira ilmu silatmu lebih tinggi daripadaku?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Tahukah bahwa aku ini jago nomor satu di wilayah Jwantiong (daerah tengah propinsi Sujwan)?" seru pemuda baju putih dengan gusar.
"Haha, jika benar jagoan kelas tinggi, tentu kau takkan lari ke sini, betul tidak?" ucap Siau-hi-ji dengan tenang. "Kedatanganmu ke sini bukan untuk berdagang dan juga tidak melancong, tapi seorang diri berada di daerah terpencil ini pasti kau ingin menghindari pencarian seseorang, betul tidak?"
Seketika air muka pemuda baju putih berubah, rupanya ucapan Siau-hi-ji itu dengan tepat mengenai lubuk hatinya. Tiba-tiba sorot matanya menjadi buas, bentaknya, "Siapa kau sebenarnya" Kau berasal dari mana?"
"Peduli siapa diriku" Kau pun tidak perlu urus kudatang dari mana," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kalau kau anggap ilmu silatmu cukup tinggi, boleh juga kau coba-coba dengan aku, yang kalah harus menjadi murid."
"Baik, aku justru ingin tahu dari mana aliran ilmu silatmu," jengek si pemuda baju putih.
"Ingat, kalah harus menjadi murid yang menang, kau sudah sanggup, tidak boleh mungkir janji ...." belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak tubuhnya mengapung dari punggung kudanya, kedua kakinya sekaligus menendang, yang diarah adalah kedua mata lawan. i
Sama sekali si pemuda baju putih tidak menyangka gerak tubuh Siau-hi-ji bisa sedemikian gesit dan cepat, ia benar-benar terkejut. Tapi ilmu silat pemuda ini memang juga tidak lemah, pengalaman tempurnya juga luas, dalam keadaan terkejut ia tidak menjadi gugup. Sebaliknya ia malah mendesak maju sambil mengegos ke samping, dengan demikian ia sempat memutar ke belakang Siau-hi-ji dan tanpa menoleh lagi sebelah tangannya terus menabok. Serangan ini sangat cepat, gayanya juga indah, Hiat-to yang diarah juga jitu seakan-akan di punggung juga bermata.
Tadinya Siau-hi-ji mengira sekali serang akan dapat mendahului musuh, siapa tahu kesempatan menyerang segera direbut oleh lawan. Cepat kedua kakinya memancal, ia berjumpalitan di udara, lalu turun beberapa depa di sebelah sana. Katanya dengan tertawa, "Eh, tunggu, tunggu dulu!"
"Tunggu apa?" terpaksa si pemuda baju putih menghentikan serangannya.
"Apakah betul kau mampu melihat dari mana asal aliran ilmu silatku?" tanya Siau-hi-ji.
"Pasti, dalam sepuluh jurus cukup," jengek pemuda baju putih.
"Hah, aku tidak percaya," Siau-hi-ji menggeleng dengan tertawa, berbareng kedua kepalan lantas menjotos. Meski tertawa, namun pukulannya cukup keras dan ganas, inilah ajaran yang diperolehnya dari Ha-ha-ji, yakni di balik tertawa terus menikam.
Pemuda baju putih ternyata kena dikerjai, walaupun tidak sampai terkena jotosan, tapi kesempatan menyerang dahulu tadi jadi berantakan dan berbalik kena dicecar oleh Siau-hi-ji.
"Hihi, kukira kau lebih baik ...." belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, pemuda itu membarengi dengan menghantam dada lawan, ternyata dia menjadi nekat untuk gugur bersama Siau-hi-ji.
Sekali ini yang terkejut adalah Siau-hi-ji, sudah tentu dia tidak ingin merasakan hantaman lawan, cepat ia menangkis sambil tubuh mendoyong ke belakang terus menggeliat dan menerobos ke samping.
Mana si pemuda baju putih mau memberi kelonggaran, ia terus membayangi dan mengejar ke sana, kedua kepalan beruntun menghantam pula tanpa kenal ampun.
Terpaksa Siau-hi-ji melayani serangan lawan dengan sangat tangkasnya, terkadang dia memakai kepalan, mendadak berubah menjadi telapak tangan, gerak serangannya kadang-kadang keji, tiba-tiba cuma pancingan belaka, suatu saat keras, lain kali lunak dan macam-macam variasi lagi.
Begitulah Siau-hi-ji mengeluarkan segenap kemahirannya yang diperoleh dari para paman dan mamak di Ok-jin-kok, yaitu kombinasi kekejian Toh sat, kelicikan Im Kiu-yu, kekerasan Li Toa-jui, kelembutan To Kiau-kiau serta kepalsuan Ha-ha-ji.
Dengan ilmu silatnya itu sebenarnya sudah jarang ada tandingannya di dunia Kangouw, siapa tahu ilmu pukulan pemuda baju putih ini ternyata luar biasa dahsyatnya, serangan membadai dan membikin Siau-hi-ji hampir tak sempat bernapas.
Namun diam-diam pemuda baju putih juga terkejut, sungguh tak tersangka olehnya bahwa ilmu silat anak muda ini dapat berubah sebanyak ini sehingga sama sekali ia tak dapat menerka dari mana asal-usulnya.
"Hei, berhenti!" mendadak Siau-hi-ji berteriak.
"Baik, berhenti!" kata pemuda baju putih, tapi berbareng dengan ucapannya itu sekaligus ia menyerang pula enam kali.
Siau-hi-ji berkelit ke kanan dan mengegos ke kiri, pada kesempatan itu ia pun balas menghantam tiga kali, serunya, "Huh, beginikah caramu berhenti?"
"Hm, sekali ini aku takkan tertipu lagi," jengek pemuda baju putih.
"Tapi sepuluh jurus yang kau sebut tadi sudah lalu, dapatkah kau lihat asal-usul ilmu silatku" Kalau tidak hendaklah lekas berhenti dan dengarkan keteranganku," seru Siau-hi-ji sambil berkelahi.
Mau tak mau gerak serangan si pemuda baju putih menjadi rada kendur, kesempatan itu segera digunakan oleh Siau-hi-ji untuk melompat mundur, katanya sembari tertawa, "Coba katakan, dapatkah kau kenali aliran silatku?"
Terpaksa pemuda baju putih menghentikan serangannya, jengeknya, "Hm, dengan sendirinya sukar dikenali, pada hakikatnya ilmu silatmu tidak memakai aturan dan jelas bukan berasal dari sesuatu aliran."
"Bukannya tidak beraliran, sebaliknya terlalu banyak alirannya sehingga kau sendiri bingung," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Coba katakan, dapatkah kau kenali aliran silatku?"
"Terlalu banyak alirannya" Aliran mana?" tukas pemuda itu.
"Baiklah kuberitahu, ilmu silatku ini berasal dari ajaran lima orang, ilmu silat kelima orang ini pun entah meliputi berapa banyak alirannya, ilmu silat masing-masing juga sangat ruwet, hebat dan juga aneh ...."
"Setiap aliran ilmu silat terkemuka di daerah Tionggoan boleh dikatakan kukenal seluruhnya, tapi tiada satu pun yang mirip dengan gaya ilmu silatmu, kukira kelima gurumu itu adalah sebangsa penjual obat kelilingan dan tukang ngamen di pasar?"
"Penjual obat dan pengamen" Hehe, kalau nama mereka kusebut, mustahil kau takkan berjingkat kaget. Mungkin waktu mereka mengasingkan diri kau sendiri masih menetek, tentu saja kau tidak tahu mereka."
"Hm, beberapa jurus silat kembangan begitu mana dapat dibandingkan pula dengan ilmu silatku?" seru pemuda itu dengan gusar.
"Ilmu silatmu .... Ehm, boleh juga," kata Siau-hi-ji. "Tapi kalau melihat potonganmu yang lemah lembut, sungguh sukar dibayangkan bahwa kau mau belajar jurus serangan yang menyerupai orang gila itu."
"Hm, kau tahu apa?" jengek pemuda baju putih. "Ilmu silatku 108 jurus pukulan gila ini andaikan tidak dapat dikatakan nomor satu, sedikitnya juga terhitung nomor dua daripada berbagai ilmu pukulan di dunia persilatan pada jaman ini."
"Hahaha, namanya 108 jurus pukulan gila, ternyata benar ilmu silat permainan orang gila," Siau-hi-ji berkeplok dan tertawa. "Cuma sayang, orang cakap macam dirimu kenapa mesti belajar ilmu silat orang gila begini.
Sungguh membikin tidak enak hati orang yang melihatnya."
"Tidak enak hati dilihat, kalau dimainkan lebih-lebih membikin tidak enak hati orang yang melihatnya," tukas pemuda itu.
"Tapi aku sendiri tidak merasakan sesuatu, aku pun tidak mau belajar ...."
baru saja sampai di sini sekonyong-konyong ia menubruk maju dan menghantam dua kali.
Sekali ini si pemuda baju putih sudah berpengalaman, sebelumnya dia sudah waspada, maka ketika serangan Siau-hi-ji tiba, berbareng ia pun melancarkan serangan untuk membendung pukulan Siau-hi-ji itu.
Siau-hi-ji juga sudah kapok dan tidak berani lagi menghadapinya dengan keras lawan keras, segera ia bergerak memutar ke sana kemari sambil menonjok dan menghantam.
Namun daya tekanan "108 jurus pukulan gila" itu pun sangat mengejutkan, ilmu silat "gila" jenis ini sungguh jauh lebih lihai daripada ilmu silat Toh Sat, Im Kiu-yu dan lain-lain, Siau-hi-ji benar-benar tidak enak menghadapinya.
Setelah melayani belasan jurus pula, mendadak Siau-hi-ji berseru, "Berhenti dulu! Ilmu pukulanmu ini memang lumayan, aku ingin belajar."
Dengan enteng pemuda baju putih melompat mundur, dadanya berjumbul-jumbul, napasnya rada terengah-engah. Diam-diam ia pun mengakui lawannya bukan lawan empuk.
Siau-hi-ji lantas berkata pula dengan tertawa, "Pantas orang bilang bahwa orang waras jangan sekali-kali berkelahi dengan orang gila, sebab pasti bukan tandingannya. Sekarang aku baru percaya ucapan itu memang tidak salah."
"Jadi sudah tahu kelihaianku sekarang?" tanya pemuda baju putih.
"Cuma sayang kau bukan orang gila, kalau tidak ilmu pukulan yang kau mainkan itu pasti terlebih lihai," kata Siau-hi-ji. "Tapi lama-lama jika terlalu sering memainkan ilmu pukulanmu ini, jangan-jangan kau akan menjadi gila sungguhan."
Pemuda baju putih berkerut kening, katanya, "Jika kau ingin mengangkat guru padaku, kenapa kau bicara secara kurang ajar begini?"
"Aku cuma mengatakan ingin belajar ilmu pukulanmu dan tidak menyatakan hendak mengangkat guru padamu," ujar Siau-hi-ji. "Padahal guru juga boleh belajar ilmu pukulan pada muridnya, betul tidak?"
"Memangnya kau ingin berkelahi pula?" jengek pemuda itu dengan gusar.
"Tidak, jangan berkelahi lagi," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sekali kau keluarkan tenaga lagi segera kau akan mati dengan tujuh lubang (hidung, mata, telinga, dan mulut = tujuh lubang) keluar darah. Nah, kuberitahukan dengan maksud baik, janganlah kau tidak percaya lagi."
Saking gusarnya pemuda itu berbalik tertawa, katanya, "Kau setan cilik ini membual seperti setan, kau kira dapat menggertak diriku."
"Menggertak kau" Tidak, sama sekali aku tidak main gertak, tapi bicara sungguh-sungguh. Apakah kau tahu di dunia persilatan ada semacam ilmu gaib yang disebut 'pukulan angin berbisa tujuh langkah'. Artinya, barang siapa terkena pukulan ini, kecuali berdiri tak bergerak, bila bergerak, maka tidak lebih jauh dari tujuh langkah orangnya pasti akan roboh dan tamat riwayatnya."
"Omong kosong, di dunia ini mana ada ilmu pukulan begitu," jengek si pemuda baju putih. Walaupun di mulut ia tidak percaya, tapi diam-diam ia pun merasa seram, kaki terasa lemas dan tidak berani bergerak lagi.
Sambil menatap orang dengan tajam, Siau-hi-ji berkata lirih, "Ilmu pukulanku ini sudah ratusan tahun kehilangan turunan, dengan sendirinya kau tidak tahu, dan tentu juga tidak percaya. Namun tanpa sengaja kudapatkan ajaran orang sakti dan berhasil meyakinkan ilmu pukulan ini, maka ...."
"Kau telah berhasil memukul aku satu kali, begitu bukan?" sambung pemuda itu dengan mendengus. Walaupun ia sengaja berlagak tak mengacuhkan ucapan Siau-hi-ji tadi, tapi dalam keadaan demikian, siapa pun pasti waswas dan tidak berani sembarangan melangkah. Maklumlah nama ilmu pukulan
"tujuh langkah" itu cukup menakutkan.
"Hah, sekali ini ucapanmu memang tepat," demikian Siau-hi-ji menanggapi,
"cuma aku hanya memukul satu kali, bahkan memukul dengan perlahan.
Asalkan kau mau mengangkat guru padaku, maka dapatlah kutolongmu."
"Jika kau kira dengan beberapa patah katamu ini dapat menggertak diriku, maka keliru besar dan salah alamat," jengek si pemuda baju putih.
"O, jadi kau tidak percaya?" Siau-hi-ji menegas. "Baik, sekarang kau boleh meraba tulang igamu yang nomor tiga di sebelah kiri, coba apakah di situ terasa kemeng atau tidak" Itulah gejalanya kalau terkena pukulan berbisa
'tujuh langkah' yang kukatakan tadi."
"Hm ...." kembali pemuda baju putih mendengus, tanpa kuasa tangannya terus meraba tulang iga yang disebut Siau-hi-ji, tanpa terasa air mukanya lantas berubah juga.
Siau-hi-ji tampak menunduk memandang bayangan sendiri yang membayang di sebelah kaki, katanya, "Bagaimana, terasa sakit dan kemeng bukan?"
Walaupun jarinya rada gemetar, tapi di mulut pemuda itu tetap berteriak,
"Sudah tentu sakit, setiap orang pasti mudah merasakan sakit di bagian ini."
"Tapi itu bukan rasa sakit biasa melainkan rasa sakit khusus, rasanya seperti tertusuk jarum, bagai terbakar, sakit bercampur panas, betul tidak?" sembari bicara sorot mata Siau-hi-ji beralih ke muka lawannya, lalu menyambung pula dengan perlahan, "Sekarang coba raba lagi ... bukan, bukan di situ. Ya, ke kiri sedikit, ya di situ ...."
Begitulah tanpa terasa jari pemuda baju putih bergerak mengikuti komando Siau-hi-ji, mendadak Siau-hi-ji berseru, "Ya, betul di situ tempatnya, tekan jarimu sekuatnya!"
Benar juga, tanpa terasa jari pemuda baju putih menekan bagian tubuh sendiri dengan kuat. Tapi segera tubuhnya terasa kaku kesemutan, "bluk", ia terguling dan tak dapat bergerak lagi.
"Hahaha!" Siau-hi-ji tertawa gembira, "betapa pun cerdikmu akhirnya kena kukerjai juga. Nah, apakah kau tahu cara bagaimana kau tertipu olehku?"
Walaupun takdapat bergerak, tapi mata pemuda baju putih melotot dengan geregetan, matanya merah membara, tapi mulut sukar berucap.
"Nah, dengarkan, di dunia ini pada hakikatnya tidak ada pukulan berbisa
'tujuh langkah' segala dan dengan sendirinya aku pun tidak menguasai ilmu demikian itu. Namun di dunia ini memang benar ada semacam ilmu gaib yang disebut 'Tiam-hiat-cat-meh' (menutuk simpul darah memotong nadi)."
Bicara sampai di sini, Siau-hi-ji berlari ke sana dan menyeret kembali si kuda putih yang menyingkir pergi karena ketakutan tadi. Mata si pemuda baju putih terpentang lebih lebar seperti tidak sabar lagi, ingin mendengar lebih lanjut keterangan Siau-hi-ji.
Dengan perlahan baru Siau-hi-ji berkata pula, "Tiam-hiat yang kumaksudkan lain daripada Tiam-hiat yang dikenal umum. 'Hiat' yang kumaksud adalah darah dan bukan Hiat titik urat nadi. Tiam-hiat yang satu itu gayanya mati, sedangkan Tiam-hiat (tutuk darah) yang kumaksud adalah hidup."
Sembari bicara ia terus tutuk pula dua Hiat-to di tubuh pemuda itu, lalu menyambung, "Dan inilah Tiam-hiat menurut pengertianmu. Hiat-to yang kututuk selalu berada di sini dan takkan berubah dan tak bisa bergeser, makanya kubilang Tiam-hiat adalah mati."
Habis itu Siau-hi-ji menepuk dua kali pula di bawah iga pemuda itu dan berkata lagi, "Sedangkan menutuk darah adalah memotong nadi darahmu, kalau aliran darah tidak lancar, dengan sendirinya tubuhmu tak dapat bergerak. Karena darahmu senantiasa mengalir tanpa berhenti, maka tutuk darah harus tepat menutuk sedetik sebelum aliran darahmu tiba, dengan demikian barulah bisa tepat memotong jalan darahmu. Lantaran darah senantiasa mengalir, sebab itu Tiam-hiat yang kumaksudkan adalah hidup, sekarang kau paham tidak?"
Pemuda baju putih seperti terkesima mendengarkan kuliah Siau-hi-ji dan tanpa terasa menjawab, "Ya, paham."
"Tapi Tiam-hiat untuk memotong jalan darah ini tidak boleh berlangsung terlalu lama, kalau lama orang yang tertutuk bisa mati," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sebab itu barusan sudah kubuka jalan darahmu yang terhenti tadi, makanya sekarang kau dapat bicara lagi."
Walaupun marah, tapi ingin tahu juga pemuda itu, ia bertanya, "Jadi tadi kau memandangi bayangan di tanah adalah untuk menghitung waktu yang tepat mengenai aliran darahku" Lalu kau suruh aku menekan bagian tubuhku dengan sekuatnya."
"Bagus!" Siau-hi-ji berkeplok. "Diberitahu satu segera paham tiga, kau memang anak cerdik."
Pemuda itu mendongkol, tapi katanya, "Meski kau mahir sedikit ilmu Tiam-hiat segala, tapi yang kau pahami tidaklah banyak, pada hakikatnya kau tidak mampu menutuk diriku, makanya kau sengaja menipu aku agar menutuk diriku sendiri."
"Betul, sedikit pun tidak salah," sahut Siau-hi-ji dengan tertawa. "Soalnya orang yang mengajarkan ilmu Tiam-hiat padaku itu silatnya juga sangat rendah, tapi ilmu pertabibannya sangat tinggi, pengertiannya terhadap setiap bagian tubuh manusia boleh dikatakan sejelas dia memandang telapak tangan sendiri, dia dapat menghitung waktu-waktu tertentu serta garis aliran darah di tubuh manusia, tapi tidak tahu cara bagaimana menutuknya.
Makanya aku pun terpaksa minta pertolonganmu."
"Huh, akal bulus, terhitung apa?" jengek si pemuda baju putih dengan gemas.
"Akal bulus, katamu" Hm, apakah kau tahu untuk bisa menggunakan akal bulus begitu diperlukan betapa besar ilmu pengetahuan" Pertama aku membikin kau selalu waspada terhadap diriku, dengan demikian selalu mengumpulkan tenaga murni pada tangan dan jarimu. Kedua, aku sengaja mengarang nama 'pukulan berbisa tujuh langkah' yang menakutkan itu agar kau menjadi bimbang."
Mau tak mau si pemuda baju putih menghela napas gegetun, katanya,
"Cukuplah dengan kedua akalmu itu."
"Tidak cukup," seru Siau-hi-ji. "Paling sedikit aku pun harus paham dasar ilmu Tiam-hiat dan harus dapat menghitung dengan tepat saat aliran darahmu berdekatan dengan Hiat-to yang bersangkutan sehingga kau sama sekali tidak berjaga-jaga."
Sampai di sini Siau-hi-ji lantas membusungkan dada dan berseru, "Nah, kepandaianku ini pada hakikatnya adalah paduan antara ilmu silat dan kecerdasan. Kalau ilmu silatku tidak tinggi, cara bagaimana dapat membuat kau waswas, bila kecerdasanku tidak cukup, mana lagi dapat membuat kau bimbang. Dari semua ini jelas dalam segala hal kau tidak dapat mengungguli aku, kalau kau mengangkat guru padaku rasanya juga tidak penasaran bagimu."
"Mengangkat guru padamu" Hm, kau ... kau mimpi!" bentak pemuda itu dengan gusar.
"Lho, sebelum bergebrak tadi kan sudah ada janji, mengapa kau menjilat ludah sendiri?" tanya Siau-hi-ji.
Wajah pemuda itu menjadi merah, jawabnya, "Kau bunuh aku saja!"
"Untuk apa kubunuh kau" Jika kau sengaja mungkir janji, biarlah kupotong hidungmu, kucungkil biji matamu, kuiris lidahmu dan ...."
"Mati saja aku tidak takut, masakah kutakut hal-hal begitu?" teriak pemuda itu.
"Benar kau tidak takut?" tanya Siau-hi-ji.
"Hm," jengek pemuda baju putih.
Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat akal, katanya dengan tertawa, "Baik, karena kau tidak takut, biarlah kuganti cara lain."
"Cara apa pun tetap aku tidak takut!" teriak si pemuda baju putih.
"Kalau kugantung kau di atas pohon, kucopot celanamu dan kupukul pantatmu, kau takut tidak?" tanya Siau-hi-ji. Ia tahu ada sementara orang yang tidak takut mati, tapi kalau dibilang akan dilepas celana dan memukul pantatnya, maka hal ini akan membuatnya mati kutu.
Benar juga, air muka pemuda baju putih mendadak berubah, sebentar merah sebentar pucat. Kalau merah sampai merah padam, kalau pucat sampai pucat menghijau.
"Haha, akhirnya kau takut juga bukan" Nah, lekas panggil Suhu padaku,"
kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sampai gemetar tubuh pemuda itu karena menahan perasaannya yang bergolak, teriaknya dengan serak, "Kau ... kau iblis ...."
"He, kau tidak panggil Suhu malah panggil iblis padaku .... Baik," mendadak Siau-hi-ji berjongkok dan segera hendak menarik celana orang.
Tanpa disuruh lagi mendadak pemuda itu berteriak, "Suhu! Suhu ...."
Baru panggil dua kali, air matanya sudah lantas bercucuran.
Siau-hi-ji mengusapkan air mata orang, lalu berkata dengan suara halus,
"Menangisi apa" Mempunyai guru macam aku apakah kurang baik" Apalagi kau sudah memanggil Suhu, menangis juga tidak ada gunanya .... He, kau menangis lagi, apa kau minta dipukul pantatmu?"
Sedapatnya pemuda itu menggigit bibir dan menahan air matanya.
"Nah, mesti begitu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Oya, kau harus memberitahukan padaku, siapa namamu?"
"Thi ... Thi Sim-lam!" jawab pemuda itu.
"Lam (lelaki) atau Lan (anggrek)?" tanya Siau-hi-ji sambil memicingkan mata.
"Sudah tentu Lam lelaki."
"Thi Sim-lam, lelaki berhati baja, bagus, nama yang bagus, hati kaum lelaki seharusnya keras seperti baja, tapi bentukmu serupa anak perempuan, sebaliknya namamu sedemikian keras."
"Dan engkau?" tiba-tiba pemuda baju putih atau Thi Sim-lam, menatap Siauhi-ji dan bertanya.
"Meski aku terlebih keras daripadamu, tapi namaku tidak sekeras dirimu, namaku Kang Hi ... apakah kau tahu ikan, ikan di sungai itu. Nah, orang bilang ikan sungai sangat enak dimakan, pernahkah kau memakannya?"
"Aku ... aku sangat ingin memakannya?" jawab Thi Sim-lam dengan menggereget.
Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa, mendadak ia mengulur sebelah tangannya ke depan mulut Thi Sim-lam dan berkata, "Kau ingin memakannya, nah, silakan!"
"Kau ... kau ...." Thi Sim-lam melengak malah.
"Bukankah kau sangat ingin memakan dagingku?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Terus terang, apa pun yang terpikir dalam benakmu tak nanti bisa mengelabui aku, sekali kuterka saja lantas kena."
Thi Sim-lam menghela napas panjang. Memang, selain menghela napas, apa yang dapat diperbuatnya atas Siau-hi-ji"
"Berapa umurmu tahun ini?" tanya Siau-hi-ji.
"Sedikitnya lebih dua tahun daripadamu."
"Seumpamanya benar kau lebih tua dua tahun, tapi ilmu tidak membedakan tua atau muda, yang lebih mahir adalah guru, ini ...."
Sampai di sini, tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan orang, "Siau-hi-ji!
Kang Hi! Kau jangan pergi! Tidak boleh pergi!"
Seekor kuda secepat terbang berlari tiba, pakaian penunggangnya masih gemerlap, kuncirnya yang kecil-kecil bergoyang-goyang, sesudah dekat penunggangnya terus memberosot turun dan tidak main jumpalitan lagi.
Mukanya kini tidak menyerupai bunga Tho pula, tapi pucat seperti mayat, matanya masih bersinar, namun sinar yang penuh rasa khawatir dan takut.
Siapalagi dia kalau bukan si Tho-hoa.
Begitu berhadapan Tho-hoa terus merangkul Siau-hi-ji dan berkata dengan tersendat, "Syukurlah Alhamdulillah .... Dia ... dia masih berada di sini."
"Ada apalagi kau menguber diriku?" tanya Siau-hi-ji.
"Tolong, kumohon, janganlah engkau marah," ucap Tho-hoa. "Engkau boleh memaki dan memukul diriku, tapi engkau harus ... harus ikut kembali ke sana bersamaku." Habis berkata air matanya pun bercucuran.
"Ai, tambah lagi seorang tukang menangis, sialan!" ucap Siau-hi-ji sambil mengusapkan air mata Tho-hoa dengan lengan bajunya. "Sudahlah, jangan menangis, kalau matamu bendul lantaran menangis jangan-jangan nanti kau harus ganti nama menjadi bunga jambu dan bukan bunga Tho lagi."
Mendadak Tho-hoa mengikik tawa geli.
"Ya menangis ya tertawa, anak kucing meang-meong ...." Siau hi-ji berseloroh.
Tapi Tho-hoa lantas menangis lagi, lengan baju Siau-hi-ji ditariknya untuk mengusap ingusnya, lalu berkata, "Tadi setelah kutinggalkan pulang, dari tempat kejauhan kulihat perkemahan kami banyak dikerumuni orang, terdengar suara cambuk yang menggelegar disertai suara orang sedang membentak, 'Ayo, dilarang bergerak, berbaris di sana, awas kusembelih kalian ....' Aku tidak jadi mendekat dan cepat melompat turun dari kuda, aku merunduk ke dekat kemah di semak rumput yang lebat. Sesudah dekat, kulihat perkemahan kami telah dikelilingi satu gerombolan orang, semuanya bersenjata golok dan cambuk, garang dan buas sekali orang-orang itu seperti kawanan bandit."
"Aha, ada bandit menarik juga," kata Siau-hi-ji.
"Kawanan bandit itu telah mengurung saudagar-saudagar Han dan suku bangsa kami, kulihat mereka mencambuki suku bangsaku, sungguh ngeri, dan hancur hatiku menyaksikan kekejaman mereka."
"O, kiranya bandit di padang rumput sedemikian buas," kata Siau-hi-ji.
"Meski di padang rumput ini juga ada bandit, tapi bukan orang-orang macam begitu," tutur Tho-hoa.
"Dari mana kau tahu" Apakah kau kenal kawanan bandit di padang rumput sini?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Walaupun bandit padang rumput juga bangsa Han, tapi supaya leluasa beraksi, mereka suka mengenakan pakaian kaum penggembala, sedangkan dandanan kawanan bandit tadi sekali pandang saja kutahu mereka datang dari Kwanlwe (dalam benteng tembok besar), kuda tunggangan mereka juga bukan kuda Tibet melainkan kuda Sujwan, kaki kuda Tibet panjang, kaki kuda Sujwan pendek, sekali lihat saja dapat membedakannya."
Siau-hi-ji tak berolok-olok pula, ia mengernyitkan dahi dan berkata, "Jadi orang-orang itu jauh-jauh datang dari Kwanlwe, dengan sendirinya tujuan mereka bukan untuk merampas harta benda kalian, tapi ...."
"Benar, mereka tidak merampas harta benda melainkan mencari orang," sela Tho-hoa.
"Mencari orang" Mereka hendak menculik" Kau akan diculik?" tanya Siau-hi-ji dengan terbelalak.
"Mereka mencari seorang lelaki bangsa Han, konon orang itu telah diuber hingga lari ke tempat kami ini, ada seorang pengintai mereka menyaksikan orang itu berada di perkemahan kami, sebab itulah mereka memaksa kawan-kawan kami menyerahkan orang yang dicari mereka itu."
"Dan sudahkah orang itu diserahkan?" tanya Siau-hi-ji.
"Pada hakikatnya kami tidak tahu siapa yang mereka cari, seluruh perkemahan juga sudah mereka obrak-abrik dan tidak menemukannya, mereka menuduh kami menyembunyikan dia dan memberi batas waktu satu jam untuk menyerahkan orangnya, kalau tidak ... mereka mengancam akan membunuh dan menodai saudara-saudara perempuan kami," berkata sampai di sini Tho-hoa lantas menangis sedih. Dia mendekap di tubuh Siau-hi-ji dan berkata pula, "Makanya kususul kemari untuk memohon pertolonganmu, kutahu engkau serba pandai, harimau saja pernah kau bunuh beberapa ekor, betapa pun buasnya orang-orang itu tetap manusia dan tak dapat dibandingkan dengan kebuasan harimau ...."
"Kau salah," kata Siau-hi-ji, "manusia terkadang lebih buas daripada harimau."
"Tapi engkau harus kembali ke sana untuk menolong mereka, harus ... harus
...." Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu bertanya, "Tahukah kau siapa yang dicari mereka?"
"Tadinya kukira yang dicari mereka adalah dirimu, tapi dari percakapan mereka kemudian kutahu yang dicari adalah seorang 'bocah she Thi'. Apakah
... apakah kau tahu siapa dia?"
"She Thi?" Siau-hi-ji menegas sambil mengerling binal, "O, aku ... aku tidak tahu ...."
Sejak tadi Thi Sim-lam mengikuti pembicaraan mereka dengan melotot, kini mendadak ia berteriak, "Aku inilah she Thi, aku inilah yang mereka cari!"
Tho-hoa terkejut, ia menatap Thi Sim-lam dengan terbelalak heran.
"Tolol, mengapa kau mengaku," ujar Siau-hi-ji sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Tapi Thi Sim-lam tidak menggubrisnya, teriaknya pula, "Adakah orang perempuan di antara kawanan bandit itu?"
"Ti ... tidak ada," sahut Tho-hoa ragu-ragu. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa orang yang dicari kawanan bandit itu adalah anak muda yang cakap dan lembut ini. Seketika ia melenggong dan tidak menangis lagi.
Segera Thi Sim-lam berteriak pula, "Baik, mereka mencari diriku, biarlah kuikut ke sana!"
"Kau akan ke sana" Ah, jangan, jangan!" kata Tho-hoa.
"Hanya dengan kepergianku ke sana baru dapat menyelamatkan suku bangsamu, mengapa jangan?" kata Thi Sim-lam.
Tho-hoa menunduk, katanya dengan perlahan, "Orang seperti engkau, kalau ke sana kan sama saja seperti domba masuk mulut harimau" Mana kutega membiarkan kau mati konyol" Kukira lebih baik ... lebih baik kau lari saja."
"Hm, memangnya kau kira aku takut pada mereka?" jengek Thi Sim-lam.
"Huh, orang-orang geblek macam mereka itu biarpun seratus orang bergabung menjadi satu juga tak dapat menandingi sebuah jariku."
"Jika kau tidak takut pada mereka, mengapa jauh-jauh kau kabur ke sini?"
ujar Tho-hoa. "Aku ... aku ...." Thi Sim-lam jadi gelagapan dan tak dapat menjawab.
"Ah, jangan-jangan yang kau takutkan hanya seorang perempuan, sebab itulah demi mendengar mereka itu lelaki semua, lalu kau tidak takut lagi," kata Tho-hoa tiba-tiba.
Muka Thi Sim-lam menjadi merah, serunya, "Kau tidak perlu urus!"
"Aha, kiranya kau tidak takut pada lelaki melainkan cuma takut pada perempuan," seru Siau-hi-ji sambil berkeplok. "Hah, penyakitmu ini ternyata hampir sama dengan diriku, sungguh aku pun kepala pusing bila melihat perempuan."
"Biarlah aku ke ... ke sana!" teriak Thi Sim-lam.
"Eh, kalau kau mati nanti, kan aku pun kehilangan murid," kata Siau-hi-ji.
"Kutanggung pasti kembali ke sini," seru Thi Sim-lam.
Dengan memiringkan kepala Siau-hi-ji berlagak berpikir, lalu berkata dengan tertawa, "Coba lihat, ksatria sejati bukan muridku ini, Tho-hoa?"
Tapi Tho-hoa memandang Thi Sim-lam dengan terkesima, katanya kemudian dengan berdoa, "Semoga Allah memberkati engkau."
"Haha, ksatria menolong si cantik, kisah indah harus kusambut dengan baik.
Baiklah, berangkatlah engkau!" habis berkata, Siau-hi-ji menepuk perlahan dua kali di punggung Thi Sim-lam dan segera pemuda itu melompat bangun.
"Dan engkau" ...." tanya Tho-hoa.
"Sudah ada seorang ksatria masakah belum cukup?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Biarlah kutunggu saja di sini."
"Orang yang tidak suka menolong sesamanya, kelak tentu juga tiada orang yang menolong engkau," omel Tho-hoa. Tanpa memandang lagi pada Siauhi-ji, segera ia mencemplak ke atas kuda dan berseru, "Thi ... ayolah engkau juga naik kudaku!"
Thi Sim-lam memandang sekejap ke arah Siau-hi-ji dengan ragu, tapi akhirnya ia mencemplak juga terus dilarikan secepat terbang.
Sambil mengikuti kabut debu yang mengepul makin jauh itu, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa, "Nona yang suka pacaran, cintanya pasti tidak teguh. Sekali Thi Sim-lam tergoda olehnya, entah kapan baru dia dapat melepaskan diri." Perlahan ia tepuk leher kuda putihnya, lalu berkata pula,
"Kudaku sayang, marilah kita pun pergi menonton keramaian. Tapi bila melihat kuda betina cantik janganlah kau mendekatinya, usia kita masih kecil, bila tergoda oleh perempuan, maka tenggelamlah selama hidupmu."
Dalam pada itu Tho-hoa sedang melarikan kudanya secepat terbang, rambutnya yang panjang melambai tertiup angin dan mengusap muka Thi Sim-lam, tapi Thi Sim-lam seperti tidak merasakan sesuatu dan tanpa bergerak.
Tho-hoa merasakan hawa hangat napas Thi Sim-lam mengembus ke kuduknya hingga membuatnya kerih, namun sedapatnya dia pegang tali kendali dengan kencang, katanya sambil melirik ke belakang, "Apakah dudukmu cukup kukuh?"
"Ehm," sahut Thi Sim-lam.
"Jika dudukmu tidak enak, sebaiknya kau rangkul aku agar tidak terperosot,"
kata Tho-hoa pula. "Ehm," kembali Thi Sim-lam menjawab singkat dan tanpa rikuh ia benar lantas merangkulnya.
Seluruh badan Tho-hoa merasa lemas semua, mendadak ia berkata,
"Asalkan kau dapat menyelamatkan suku bangsaku, apa pun ... apa pun akan kuberikan padamu."
Seri 1: Jilid 3-B. Pendekar Binal
"Ehm," lagi-lagi Thi Sim-lam hanya mendengus saja.
Tho-hoa mencambuk kudanya lebih keras. Perjalanan ini sebenarnya tidak dekat, tapi Tho-hoa merasa hanya sebentar saja sudah sampai. Mereka sudah dapat melihat tanda warna kuning di kejauhan dan dapat mendengar suara jerit takut orang banyak.
"Apakah kita terjang masuk begini saja?" tanya Tho-hoa sesudah dekat.
Mendadak sesosok bayangan putih melayang dari belakang, Thi Sim-lam yang duduk di belakangnya itu tahu-tahu sudah berdiri di depan sana. Tho-hoa terkejut dan bergirang, cepat ia menahan kudanya.
Segera Thi Sim-lam membentak ke arah perkemahan, "Ini Thi Sim-lam berada di sini! Siapa yang mencari aku?"
Jerit takut dan mencaci maki di dalam kemah seketika sirap. Terdengar suara angin mendesir, baju Thi Sim-lam berkibar terembus angin. Mendadak seorang bergelak tertawa di dalam kemah dan berteriak, "Bagus, bocah she Thi, kau memang pemberani, tidak sia-sia juga saudara keluarga Li kami menunggu di sini."
"Hm, memang sudah kuduga pasti kalian," jengek Thi Sim-lam. "Jika yang kalian kehendaki adalah diriku, nah, tunggu apalagi" Ayolah keluar ikut padaku!" Berbareng ia terus putar tubuh dan melangkah ke sana dengan perlahan.
Serentak suara ramai berjangkit dari dalam kemah, belasan ekor kuda menerobos keluar sekaligus, di tengah teriakan seram tercampur gemuruh lari kuda, sungguh membuat hati orang berdebar.
Namun Thi Sim-lam masih tetap berjalan dengan perlahan, bahkan berkedip saja tidak.
Menyaksikan itu dari jauh diam-diam Tho-hoa khawatir dan girang. Girangnya karena pemuda she Thi memang ksatria sejati dan gagah berani.
Khawatirnya karena bentuk Thi Sim-lam yang lemah lembut itu mungkin bukan tandingan kawanan bandit itu.
Begitulah belasan penunggang kuda dalam sekejap saja telah mengepung Thi Sim-lam di tengah. Tapi Thi Sim-lam tetap tidak menggubris, walaupun kawanan bandit itu sama bersenjata, namun tiada seorang pun berani turun tangan.
Setelah berjalan agak jauh barulah Thi Sim-lam berhenti, lalu menjengek,
"Baiklah, sekarang katakan, untuk apa kalian mencari diriku?"
Seorang lelaki berewok dan bermata satu paling depan segera berteriak dengan bengis, "Kami ingin tanya kau dulu, benda itu berada padamu bukan?"
"Betul, berada padaku," jengek Thi Sim-lam. "Tapi melulu beberapa orang macam kalian ini tidak sesuai untuk mengincarnya. Jika kalian mengira kedatanganku ke sini adalah untuk menghindari pencarian kalian, maka salahlah kalian."
"Keparat?" teriak si mata satu dengan murka, mendadak ia tarik tali kendalinya, kudanya berjingkrak, lalu menerjang maju, cambuknya menggeletar terus menyabet laksana lilitan ular.
"Turun!" bentak Thi Sim-lam nyaring, sekali tangannya bergerak, entah cara bagaimana tahu-tahu ujung cambuk sudah dipegangnya terus disendal, kontan tubuh si mata satu yang besar itu mencelat dan jatuh terguling jauh di sana.
Ketika Thi Sim-lam memutar cambuknya, kuda lawan sama meringkik kaget dan berjingkrak mundur. Mendadak sinar golok berkelebat, dua penunggang kuda menyergap dari belakang, golok besar terus menabas kuduk Thi Sim-lam.
Tanpa menoleh Thi Sim-lam sedikit mendak ke bawah, kedua golok musuh menyambar lewat di atas kepalanya, sebelum lawan sempat berbuat lain, cambuk Thi Sim-lam sudah menyambar, ujung cambuk menutul perlahan bagian iga kedua musuh itu dan kontan terguling dari kuda mereka. Seorang bahkan ketambahan disepak oleh kaki kuda sendiri sehingga terpental, golok yang dipegang pun menabas sebagian pipi sendiri sehingga darah bercucuran. Seorang lagi sebelah kakinya masih tersangkut pada injakan pelana dan sukar terlepas, akibatnya dia terseret oleh kudanya yang lari ketakutan.
Begitulah dalam sekejap saja Thi Sim-lam berhasil membereskan tiga lawan dengan mudah, keruan sisa musuhnya menjadi takut.
"Hehe, kiranya cuma begini saja kepandaian keluarga Li, tapi berani mengincar barangku?" jengek Thi Sim-lam.
"Kalau saudara keluarga Li tidak sesuai mengincar barangmu, bagaimana kalau saudara keluarga Mo?" demikian tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara dingin, ketus suara itu, perlahan seperti mengambang terbawa angin dan membuat telinga si pendengarnya merasa risi.
Seketika air muka Thi Sim-lam berubah pucat, tanpa terasa ia bergumam,
"Tiga utas bulu dari Gobi-san ...."
"Hehe, kiranya kau pun kenal nama kami!" kembali suara seorang menanggapi, suaranya tajam seperti ayam berkotek yang lehernya tercekik.
Perlahan Thi Sim-lam membalik tubuh, terlihatlah seekor kuda tinggi besar berdiri di belakangnya, di atas pelana ukuran besar yang di buat secara khusus duduk berjajar tiga orang.
Orang pertama sekilas pandang mirip anak kecil berumur lima-enam tahun, tapi kalau diteliti barulah jelas kelihatan bahwa "bocah" ini sudah berjenggot.
Jenggotnya yang putih halus itu mirip bulu kera.
Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan saja bagian mulutnya berbulu, bahkan di atas matanya, bagian dahi, kuduknya, telapak tangan .... setiap bagian tubuh yang dapat terlihat, semuanya berbulu.
Anggota badannya tidak cacat atau kurang, cuma tempatnya yang keliru, mata kiri lebih tinggi daripada mata kanan, mulut merot hingga ujung bawah dekat dengan tenggorokan, hidungnya hampir terbalik menjungkit ke atas.
Bentuknya itu pada hakikatnya tidak memper manusia, atau manusia yang kurang sempurna karena salah cetak.
Merinding rasanya Thi Sim-lam menyaksikan wajah buruk itu meski di tengah hari bolong.
Orang aneh itu pun sedang memandang Thi Sim-lam, katanya sambil mengekek, "Pernahkah kau dengar nama 'makan hati kunyah jantung' Mo Mo-diong" Nah, itulah diriku sendiri. Paling baik jangan kau pandang padaku, jika pandang agak lama mungkin perutmu bisa sakit."
Memang memuakkan juga orang ini, Thi Sim-lam tidak ingin mendengar ucapannya, tapi justru tak bisa tidak harus mendengarnya, habis mendengar rasanya ingin muntah. Maka cepat ia pandang orang kedua.
Bentuk orang kedua pun tidak lebih "cakap" daripada Mo Mo-diong atau si ulat berbulu, tubuhnya paling tidak lebih besar satu kali lipat, malahan lehernya paling sedikit tiga kali lipat lebih panjang, leher yang kecil panjang itu justru menyangga sebuah kepala yang kecil dan meruncing ke atas, kepala dan leher hampir sama besarnya, rambutnya kaku berdiri laksana landak, tapi mulutnya merongos, dagu bawah menonjol keluar dan hampir dapat dibuat gantungan botol.
Sebisanya Thi Sim-lam menahan perasaannya, tegurnya, "Dan kau inikah Mo Kong-keh (si ayam jantan she Mo)?"
Orang itu tertawa lebar sehingga kelihatan barisan giginya yang mirip gergaji, jawabnya, "Kau jangan menggreget, sudah biasa, barang siapa melihat aku pasti geregetan."
Sungguh Thi Sim-lam ingin mendekap telinganya, sebab suara orang ini pada hakikatnya bukanlah manusia sedang bicara melainkan lebih mirip ayam berkotek pada waktu akan disembelih.
Kalau bentuk tampang kedua orang ini sedemikian jelek, maka Thi Sim-lam benar-benar tidak ingin memandang lagi orang ketiga. Namun mau tak mau dia memandang juga. Ia pikir orang ketiga ini mungkin lebih enak dipandang, ia tidak percaya ada manusia lain yang lebih buruk rupa daripada kedua orang tadi.
Mendingan jika tidak dilihatnya, sekali pandang, ya Allah! Kalau kedua orang tadi masih ada sedikit bentuk manusia, orang ketiga ini sungguh sedikit pun tiada berbentuk manusia, tapi lebih tepat disebut Kingkong, itu raksasanya orang hutan.
Jika tubuh Mo Kong-keh lebih besar satu kali lipat daripada Mo Mo-diong, maka tubuh si "Kingkong" ini paling sedikit empat kali lipat lebih gede daripada Mo Mo-diong.
Kalau leher Mo Kong-keh panjang dan kecil, si "Kingkong" ini ternyata sama sekali tidak punya leher, buah kepalanya itu pada hakikatnya tumbuh langsung dari pundaknya.
Mo Mo-diong berbulu putih dan halus, adapun bulu si "Kingkong" ini tebal, kasar dan hitam, bahkan mulut dan hidung pun tak kelihatan, hanya sepasang matanya yang bersinar buas.
Di tempat sembunyinya, Siau-hi-ji juga dapat melihat dengan jelas bentuk ketiga orang ini, sungguh ia ingin tertawa geli. Ia tidak habis pikir cara bagaimana ketiga orang itu dicetak dan dilahirkan oleh ibunya. Jika anak-anaknya berbentuk demikian, maka wajah bapak biangnya sungguh sukar untuk dibayangkan.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa ketiga bersaudara she Mo ini adalah tokoh kalangan hitam yang terkenal kejam dan keji selama belasan tahun terakhir ini. Siapa yang kepergok mereka, jangankan tertawa, ingin menangis saja tak dapat menangis.
Sudah sejak tadi Siau-hi-ji mengikuti jejak mereka secara diam-diam, ia lihat beberapa Li bersaudara mengejar Thi Sim-lam, dilihatnya pula Mo bersaudara ini pun mengintil di belakang Li bersaudara. Kuda tunggangan bersama ketiga Mo bersaudara itu sungguh tinggi besar, tapi langkahnya enteng dan cepat sehingga sepanjang jalan tak diketahui oleh Li bersaudara.
Tentu saja sekarang Li bersaudara itu sudah tahu, lelaki kekar yang tadi kelihatan kereng itu kini jadi mengkeret demi nampak ketiga makhluk aneh ini, tanpa terasa tubuh mereka gemetar.
Diam-diam Siau-hi-ji heran. Jelas sasaran ketiga makhluk aneh itu bukankah pihak Li bersaudara, mengapa mereka jadi ketakutan" Apakah ketiga makhluk aneh itu mungkin keji dan suka membunuh siapa pun tanpa kenal ampun.
Dilihatnya badan Li bersaudara itu gemetar dan bermaksud mengeluyur pergi.
Belasan saudara keluarga Li itu memang cekatan dalam hal menunggang kuda, tanpa tanda apa pun kuda mereka tampak mundur perlahan.
Tiba-tiba Mo Mo-diong bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha! Sungguh aneh, bocah she Thi ini belum lagi kabur, tapi orang she Li sudah ingin mengeluyur pergi lebih dulu."
Satu di antara belasan Li bersaudara itu cepat memberi hormat dan menyeringai, "Kami bersaudara tidak berani berebut jasa dengan para Cianpwe, benda yang berada pada orang she Thi ini kami pun tidak ingin menerima bagiannya, sebab itu biarlah kami berangkat lebih dulu."
Mo Kong-keh tertawa terkekeh, katanya, "Baru melihat kami segera kalian hendak pergi, apakah barangkali kalian merasa jijik melihat rupa kami ini?"
Orang she Li tadi menjadi pucat dan tambah gemetar, jawabnya, "Ah, mana
... mana kami ... be ... berani."
"Jika tidak berani, mengapa mau mengeluyur pergi?" tanya Mo Kong-keh.
"Ah, inilah engkau yang keliru, saudaraku," ujar Mo Mo-diong tertawa. "Kaki kuda bukan tumbuh di tubuh mereka, kaki mereka sendiri kan tak bergerak, yang bergerak adalah kaki kuda."
"O, jika begitu bukanlah salah mereka melainkan kuda mereka yang tidak tahu aturan," kata Mo Kong-keh.
Cepat orang she Li tadi menyambung, "Ben ... benar, ku ... kuda kami ...."
"Pantas mampus kuda-kuda itu," ujar Mo Kong-keh.
Baru habis ucapannya, mendadak Mo Sing-sing, si Kingkong, melompat turun dari kudanya. Meski tubuhnya besar, namun kedua lengannya terlebih panjang dan besar sehingga hampir menyentuh tanah. Tubuh segede itu ternyata tidak mengurangi kegesitan gerak-geriknya. Sekali lompat tahu-tahu sudah berada di depan kuda pertama para Li bersaudara, sekali menjotos, tanpa bersaudara sedikit pun kontan kuda itu roboh terkulai, kepalanya hancur luluh kena jotosan itu.
Mau tak mau Siau-hi-ji terperanjat menyaksikan itu, diam-diam ia mengakui betapa hebat tenaga orang.
Dalam pada itu tiga ekor kuda lain sudah roboh pula, semua kepala terpukul hancur. Kuda lain sama meringkik takut, tapi Mo Sing-sing terus memburu maju, setiap ekor diberi tonjokan satu kali laksana menggepuk semangka saja, dalam sekejap belasan ekor kuda itu sudah roboh binasa tanpa kepala.
Para Li bersaudara itu sama terperosot jatuh, semuanya pucat lesi bagai mayat. Seorang di antaranya mendadak menjerit terus berlari ke sana, tampaknya ia menjadi gila karena ketakutan.
"Eh, ada lagi yang tidak menurut," kata Mo Kong-keh. Sekonyong-konyong ia melayang ke sana dengan kepala di depan dan kaki di belakang laksana anak panah pesatnya. "Blang" kepalanya yang menyerupai kepala jago itu tepat menumbuk punggung orang yang lari itu.
Orang itu tidak sempat menoleh, tahu-tahu tertumbuk dan tulang punggungnya patah terus terkulai. Tapi sebelum roboh Mo Kong-keh keburu menangkap bahunya terus dilemparkan ke belakang sambil berseru,
"Untukmu saudaraku, inilah, santapan kegemaranmu!"
"Haha, ada bakpau masih hangat-hangat," seru Mo Mo-diong sambil tertawa.
Sementara itu tubuh lelaki yang dilemparkan Mo Kong-keh itu telah melayang lewat di atas kepala orang banyak, ketika tepat di atas kepala Mo Mo-diong, mendadak tangannya yang kecil terus merogoh ke dada lelaki itu, ia hanya merogoh secara perlahan saja, tubuh orang itu masih terus melayang ke sana, darah tampak memancur keluar, lalu terbanting jatuh di tanah dengan berlumuran darah, dadanya ternyata sudah berlubang.
Dalam pada itu tangan Mo Mo-diong sudah memegang satu buah hati manusia yang merah berdarah, bahkan jelas kelihatan masih berdenyut.
"Hehe, apakah di antara hadirin ada yang pingin makan bakpau" Masih hangat-hangat, harum dan sedap," demikian kata Mo Mo-diong dengan tertawa.
Keruan wajah Li bersaudara pucat sebagai mayat. Air muka Thi Sim-lam juga berubah.
"Tampaknya kalian tak berminat makan enak, untung bagiku," kata Mo Mo-diong pula dengan tertawa. Menyusul hati manusia yang dipegangnya terus digigitnya separo, lalu dikunyahnya dengan berkeriat-keriut seperti orang makan kacang goreng, darah pun merembes keluar dari mulutnya.
Badan para Li bersaudara serasa lemas lunglai dan tak sanggup berdiri lagi, tanpa terasa Thi Sim-lam menutupi mulut sendiri, hampir saja ia muntah.
Bahkan Siau-hi-ji juga merasa muak menyaksikan adegan luar biasa itu.
Sudah sering Siau-hi-ji menyaksikan Li Toa-jui makan daging manusia, tapi cara makannya terasa jauh lebih "beradab", bahkan mengutamakan cara mengolahnya apakah lebih enak dimasak tim kuah, diang-sio atau digoreng, waktu makan juga sopan santun dan tidak menakutkan orang.
Tapi cara makan Mo Mo-diong sekarang ini sungguh tak pernah dilihat Siauhi-ji, pada hakikatnya menjijikkan, terasa biadab dan rakus, tidak paham cara orang menikmati santapan enak. Seumpama ingin makan manusia, minimal juga harus belajar cara makan seperti Li Toa-jui itu.
Namun besarnya tenaga Mo Sing-sing, kegesitan Mo Kong-keh serta kecepatan tangan Mo Mo-diong ini, semuanya membuat orang terkejut pula.
Untuk hal ini Siau-hi-ji harus mengakui kelihaian mereka. Lebih Mo Mo-diong hanya sekali merogoh saja dapat mengorek keluar hati manusia yang menjadi sasarannya, baik kecepatannya, terutama ketepatan tempatnya yang harus dirogoh ternyata tidak meleset sedikit pun, apa pun juga Siau-hi-ji merasa kagum sekali.
Karena itu ia sengaja berdiam diri dan ingin menonton lebih lanjut. Dilihatnya dalam sekejap Mo Mo-diong sudah makan habis hati manusia tadi, bahkan darah yang meleleh di ujung mulutnya juga terjilat bersih, lalu ia menepuk perut sendiri dan berkata dengan tertawa, "Sudah dekat musim rontok, obat kuat harus dimakan tepat pada waktunya. Lihatlah kalian, baru habis makan kan semangatku lantas bertambah!"
Benar juga, seketika Mo Mo-diong tampak bersemangat, bukan saja suaranya tambah lantang, bahkan sorot matanya juga tambah terang, mukanya juga bersemu merah.
"Hm, apakah kalian sengaja pamer kekuatan padaku?" Sim-lam menjengek.
"Eh, jangan lupa, dalam tubuhmu juga terdapat sebuah begini," ujar Mo Mo-diong dengan tertawa.
"Jika kau sayang bakpaumu kumakan, hendaklah lekas serahkan barang itu agar aku tidak perlu membuang tenaga untuk bergebrak, kalau mengeluarkan tenaga aku lantas kepingin makan bakpau lagi."
"Hm, jangan kau harap!" bentak Thi Sim-lam, mendadak ia melompat mundur. Rupanya ia pikir jalan paling selamat adalah kabur.
Di luar dugaan, tahu-tahu Mo Sing-sing sudah mengadang di depannya, kedua lengannya yang panjang itu terpentang, betapa pun Thi Sim-lam hendak menerobos pasti akan kena bekuk.
"Haha, kepala yang indah begitu, sayang kalau kuhancurkan," kata Mo Sing-sing dengan tertawa.
Hanya dua kalimat saja Mo Sing-sing berbicara, lambat lagi ucapannya, tapi sekaligus Thi Sim-lam sudah memberondong lawannya belasan kali pukulan dan tepat mengenai sasarannya, terdengar suara "blak-bluk" berulang-ulang, dada, perut dan bahu Mo Sing-sing benar-benar tergenjot dengan keras.
Tapi Mo Sing-sing menganggapnya seperti tidak kena saja, tubuhnya bergeming, bahkan mulutnya tetap mengeluarkan ucapannya tadi, pukulan itu malah seperti menambahkan semangatnya.
Habis memukul 14 kali muka Thi Sim-lam sampai pucat dan musuh tetap diam saja, ia tidak mampu melontarkan pukulan ke-15 lagi, ia berdiri terkesima.
"Sudah habis?" tanya Mo Sing-sing sambil melonggarkan napas.
"Habis," jawab Thi Sim-lam dengan menggereget.
"Baik, sekarang giliranku!" kata Mo Sing-sing. "Wuuutt!" mendadak sebelah tangannya menghantam.
Mana bisa Thi Sim-lam menahan pukulan dahsyat itu, cepat ia mendak ke bawah dan menerobos lewat di bawah ketiak orang, berbareng sebelah kakinya menjegal dan ditambahi pula dengan sedikit pukulan.
Thi Sim-lam tidak berani memandang cara jatuh orang yang serba konyol itu, tapi ia terus melompat ke depan. Mendadak di depan menyembul keluar sebuah benda, ternyata sebuah kepala yang menyerupai kepala ayam jantan.
Waktu ia menoleh, dilihatnya Mo Sing-sing sudah melejit bangun dan sedang tertawa lebar. Sedangkan dari sebelah kiri tiba-tiba terjulur sebuah tangan kecil berbulu seperti tangan kera dan berkata, "Serahkan barangnya!"
Dari gerakan ketiga orang itu, sejak tadi Siau-hi-ji sudah tahu Thi Sim-lam pasti tidak mampu lolos, berkelahi jelas juga bukan tandingan mereka. Diam ia menghela napas dan membatin, "Tampaknya aku harus ikut campur tangan, walaupun sang guru juga belum tentu mampu menyelamatkan si murid, tapi barang yang dibawa muridnya sekali-kali tidak boleh direbut orang."
Dilihatnya Thi Sim-lam sudah terkepung di tengah. Sambil menggosok-gosok kepalan segera Siau-hi-ji hendak menerjang keluar. Tapi pada saat itulah tiba-tiba terdengar kumandang suara keleningan kuda dari kejauhan.
Menyusul lantas terlihat sesosok bayangan merah, seperti gumpalan api.
Gumpala api itu ternyata terdiri dari seorang bersama kudanya, pakaiannya merah, kudanya juga merah. Semula hanya kelihatan titik merah, tapi dalam sekejap saja sudah dekat.
Waktu terdengar kumandang suara keleningan, hati Li dan Mo bersaudara serta Thi Sim-lam sama terkesiap, ketika nampak munculnya orang bersama kudanya yang merah membara itu, belasan orang seketika terkesima seperti patung.
Terdengar suara nyaring merdu membentak, "Seluruhnya ada 19, siapa pun dilarang bergerak!"
Menyusul cambuk yang juga berwarna merah berputar dan menyabet secepat kilat, dalam sekejap saja para Li bersaudara sama terguling dan meringis kesakitan, cambuk orang menyambar tiba, tapi para Li bersaudara itu tidak berani lari dan juga tidak berani menangkis, ingin menjerit saja tampaknya juga tidak berani, terpaksa mereka hanya menggereget menahan rasa sakit.
Penunggang dan kudanya yang berwarna merah itu terus mengitar satu kali, para Li bersaudara seluruhnya terkapar. Diam-diam Siau-hi-ji bersorak memuji permainan cambuk orang, ia pun bersyukur bahwa Thi Sim-lam mempunyai seorang kawan selihai itu sehingga dirinya tidak perlu lagi turun tangan menolongnya.
Siau-hi-ji tidak tahu bahwa air muka yang berubah paling pucat bukan lain daripada Thi Sim-lam sendiri. Maklumlah, Siau-hi-ji benar-benar terpesona oleh pendatang yang hebat sehingga tidak sempat mengamati orang lain.
Kalau ketiga Mo bersaudara terlalu buruk rupa, maka pendatang ini sungguh teramat cantik, pada hakikatnya serupa bidadari yang baru turun dari kayangan. Bajunya merah laksana bara, wajahnya juga bergincu merah bercahaya, kalau cambuknya serupa ular berbisa dari neraka, maka matanya bersinar laksana bintang di langit. Cambuknya berputar, matanya mengerling.
Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, batinnya, "Asalkan dapat memandang sekejap dua saja olehnya, biarpun dicambuk dua-tiga kali juga bukan soal. Namun ...
namun sabetan cambuknya sungguh teramat keji. Rupanya pemeo yang mengatakan wanita yang kelewat cantik, hatinya juga semakin keji, tampaknya memang tidak salah."
Sementara itu para Li bersaudara yang terguling dan merangkak di tanah karena cambukan nona baju merah, tadi mereka masih mampu merintih, tapi kemudian merintih saja tidak sanggup, apalagi bergerak. Namun cambuk si nona baju merah tidak pernah berhenti menyabet, matanya mendelik, wajahnya bersungut, dinginnya sungguh menakutkan orang yang berani memandangnya.
Sekonyong-konyong Thi Sim-lam berteriak, "Ada permusuhan apa antara mereka denganmu, mengapa kau menghajar mereka sekeji itu?"
"Hm, setiap orang jahat di dunia ini adalah musuhku yang tak dapat kuampuni," jengek si nona baju merah.
"Kau ber ... berhenti!" seru Thi Sim-lam pula dengan serak.
"Kau minta aku berhenti, aku justru ingin menghajar terus!" jawab si nona baju merah. Berturut-turut ia menyabet lagi belasan kali, habis itu mendadak berhenti. Ia memutar kudanya, dihadapinya ketiga Mo bersaudara, matanya menatap tajam, jengeknya, "Bagus, kalian tidak angkat kaki, cukup cerdik, tapi aku pun tidak melupakan kalian."
"Nona suruh kami jangan pergi, dengan sendirinya kami menurut," jawab Mo Mo-diong sambil tertawa.
"Tahukah kau mengapa cambukku belum kugunakan terhadap kalian?" tanya pula si nona baju merah.
"Tidak tahu," sahut Mo Mo-diong.
"Orang yang merasakan cambukanku boleh hidup, yang tidak merasakan cambukanku harus mati," kata si nona pula.
"Tapi apakah nona tahu sebab apa kami tidak pergi?" Mo Mo-diong balas tanya.
"Memangnya kau berani pergi?" ujar si nona.
"Hah, sebabnya kami tidak pergi adalah karena orang lain takut padamu, tapi kami bersaudara tidak takut," kata Mo Mo-diong dengan tertawa aneh.
Seperti sudah janji sebelumnya, ketiga Mo bersaudara itu serentak menubruk maju. Kepala Mo Kong-keh yang runcing itu menumbuk ke pinggang si nona, kepalan Mo Sing-sing juga lantas menjotos kepala kuda, sepasang cakar kera Mo Mo-diong terus mencolok mata lawan secepat kilat.
Melihat serangan cepat lagi berbahaya itu sungguh Siau-hi-ji tidak berani membayangkan cara bagaimana si nona akan menangkisnya. Serangan ketiga orang itu mengarah bagian atas, tengah dan bawah, andaikan si nona dapat menyelamatkan kedua matanya tentu juga tak dapat mengelakkan serangan yang menuju pinggangnya, umpama pinggang juga dapat terhindar, tentu kepala kudanya akan remuk.
Tak tahunya hanya terdengar si nona membentak, "Cari mampus ya!"
Berbareng itu ia bersiul perlahan, mendadak kuda merah tunggangannya itu berdiri menegak, kedua kaki depan kuda itu terus menggepruk kepala si Kingkong.
Sekalipun Mo Sing-sing tahan pukul kepalan manusia, ternyata tidak sanggup menahan injakan kaki kuda, sebisanya ia berusaha mengelak, namun tidak urung pundaknya tetap terinjak sehingga jatuh terguling.
Saking kagumnya hampir saja Siau-hi-ji bersorak gembira, walaupun sudah diduganya bahwa ilmu silat si nona baju merah pasti sangat lihai, tapi tak terpikir olehnya bahwa kuda tunggangannya juga lain daripada yang lain.
Waktu ia berpaling ke sana, terlihat Mo Mo-diong dan Mo Kong-keh juga menggeletak semua, kedua tangan Mo Mo-diong patah sebatas pergelangan tangan, sedang kepala Mo Kong-keh pecah terpisah menjadi dua.
Biarpun tajam pandangan Siau-hi-ji, namun ia cuma mempunyai sepasang mata, sempat melihat sebelah sini, sukar lagi memandang sebelah sana pada saat yang sama, sama sekali ia tidak tahu cara bagaimana si nona baju merah membereskan kedua lawan yang lain. Tanpa turun dari kudanya, hanya sekejap saja nona cantik itu sudah membereskan ketiga makhluk aneh itu, sungguh sukar dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya.
Namun Thi Sim-lam cukup kenal kepandaian si nona baju merah, rupanya ia pun sudah tahu apa yang bakal menimpa diri ketiga orang aneh itu, makanya sama sekali ia tidak mengunjuk rasa kaget, ia tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Si nona baju merah tidak menggubris Thi Sim-lam, dia mengendarai kudanya memutar satu lingkaran, cambuknya tetap menyabet ke sana ke sini, setiap tubuh yang sudah menggeletak itu dicambuknya untuk mengetahui apakah orang masih dapat bergerak atau tidak. Tapi tiada seorang pun dapat bergerak lagi, 19 sosok mayat sudah menggeletak dengan babak belur, ada yang kehilangan kaki atau tangan, ada pula yang kepalanya pecah.
Sementara itu sang surya sudah mulai terbenam di ufuk barat, senja telah tiba, si nona baju merah yang cantik itu perlahan mengelilingi mayat yang bergelimpangan itu. Thi Sim-lam tetap berdiri di sana tanpa ada maksud ingin melarikan diri, ia hanya melotot memandang si nona baju merah, namun air mukanya yang pucat tidak berbeda banyak dengan tubuh-tubuh yang menggeletak di tanah itu.
Akhirnya si nona baju merah memutar kudanya ke depan Thi Sim-lam.
Walaupun tempat sembunyi Siau-hi-ji berada di belakang si nona sehingga tidak dapat melihat mukanya, tapi ia menduga si nona tentu sedang tertawa.
Tanpa tertawa saja sudah demikian cantiknya, waktu tertawa entah berapa kali terlebih menggiurkan. Diam-diam Siau-hi-ji menyesal tak dapat melihat wajah si nona. Ia menduga si nona mungkin menaruh hati kepada Thi Sim-lam, makanya dia membereskan semua orang yang memusuhi Thi Sim-lam.
Tak terduga lantas terdengar nona cilik itu mendengus, "Hm, bagus Thi Sim-lam, kau memang hebat sehingga mampu lari sampai di sini. Orang yang dapat kabur sejauh ini dari tanganku, selain dirimu tiada keduanya lagi."
Thi Sim-lam tetap mendelik saja tanpa menanggapi.
Si nona baju merah berkata pula, "Tapi sekarang kau tak mungkin dapat kabur lagi."
"Sebab itulah aku tidak kabur," jawab Thi Sim lam tiba-tiba.
"Ehm, sangat cerdik, jauh lebih pintar daripada orang ini," kata si nona baju merah. "Tapi kalau kau benar cerdik, maka lekas serahkan barangmu itu agar aku tidak perlu buang tenaga lagi."
Mendengar percakapan mereka itu semakin kaku, baru sekarang Siau-hi-ji tahu bahwa maksud tujuan kedatangan si nona baju merah tenyata tidak untuk menolong Thi Sim-lam melainkan serupa dengan orang yang dibinasakannya itu. Tiba-tiba tergerak hati Siau-hi-ji, ia merogoh keluar semacam benda, lalu merunduk ke sana. Angin meniup santer sehingga rumput panjang berkeresekan oleh desiran angin dan kebetulan dapat menutupi suara gerak-gerik Siau-hi-ji.
"Kau mau menyerahkan atau tidak?" demikian terdengar si nona baju merah mendesak.
"Barang apa" Pada hakikatnya aku tidak tahu apa kehendakmu?" jawab Thi Sim-lam.
Si nona baju merah menjadi gusar, bentaknya, "Selamanya belum pernah kubicara sehalus ini dengan orang, tapi kau malah ... malah berlagak pilon."
Mendadak cambuknya berputar, "tarrr", kontan ia menyabet.
Walaupun tubuh Thi Sim-lam terkena sabetan cambuk, namun sabetan itu tidak terlalu keras, Thi Sim-lam tetap berdiri tegak, katanya dengan hambar,
"Biarpun kau bunuh aku juga tidak tahu barang apa yang kau maksud."
"Baik, kau yang memaksa aku bertindak, kau tentu sudah kenal sifatku," si nona baju merah mengumbar marahnya dan cambuknya terus menyabet.
Dalam keadaan gusar, nona itu tidak tahu Siau-hi-ji telah merunduk ke belakang kudanya, mendadak tampak lelatu api meletik, ekor kuda lantas tersulut api dan membakar pantat.
Betapa pun tangkas dan pintarnya kuda merah itu tetap binatang juga, mana ada binatang di dunia ini yang tidak takut pada api. Keruan kuda itu meringkik kaget dan membedal ke depan. Belum lagi habis ucapan si nona baju merah tadi, tahu-tahu ia sudah dilarikan kudanya hingga belasan meter jauhnya.
Andaikan dia mau melompat turun, betapa pun Siau-hi-ji dan Thi Sim-lam tetap sukar lolos.
Namun si nona teramat sayang pada kudanya, ia merasa berat untuk meninggalkannya dan sedapatnya ingin menjinakkan kuda itu. Hal ini rupanya sudah dalam perhitungan Siau-hi-ji, kalau tidak tentu perbuatan itu tak dilakukannya. Nyatanya api yang membakar ekor dan pantat kuda itu tambah ganas sehingga kuda itu ketakutan dan membedal sejadi-jadinya seperti gila.
"Berhenti! Delima, berhenti, jangan takut! Ber ... berhenti, Delima!" demikian si nona baju merah berteriak kaget dan berusaha menjinakkan kudanya yang bernama "Delima" itu.
Namun si Delima ternyata sukar lagi dikendalikan, bahkan kabur secepat terbang ke depan sana, hanya sekejap saja sudah menghilang dari pandangan.
Kesempatan itu dengan sendirinya digunakan Siau-hi-ji untuk menarik Thi Sim-lam dan lari ke jurusan berlawanan. Kuda putih ternyata masih mengenal Siau-hi-ji, ia pun ikut lari dari jauh.
Entah sudah berapa jauhnya mereka berlari tanpa berhenti, wajah kedua anak muda itu sudah lesu dan bermandi keringat.
Cuaca mulai gelap, agaknya cukup jauh mereka berlari. Jangankan Siau-hi-ji, mungkin selama hidup Thi Sim-lam juga tidak pernah lari sejauh itu sekaligus tanpa berhenti.
Lari punya lari, akhirnya tertampak di depan sana ada sebuah rumah gubuk bobrok, tanpa pedulikan rumah itu ada penghuninya atau tidak, terus saja mereka menerjang ke dalam. Dan begitu berada di dalam gubuk itu, kedua orang terus berbaring dengan napas ngos-ngosan seperti kerbau, kepala Siau-hi-ji berbantalkan perut Thi Sim-lam dan terdengar jantungnya berdetak keras seakan-akan meloncat keluar.
Untung gubuk itu tiada penghuninya, terlihat sawang di sana-sini, jelas gubuk ini sudah lama ditinggalkan penghuninya. Maka waktu mereka menerobos ke dalam, dengan sendirinya kepala mereka pun berlepotan sawang labah-labah.
Baru saja Siau-hi-ji bermaksud membersihkan kotoran sawang itu, mendadak Thi Sim-lam mendorongnya dengan keras sehingga dia terguling jauh ke sana.
Keruan Siau-hi-ji melotot, katanya, "Sudah kuselamatkan jiwamu, apakah begini caramu berterima kasih padaku?"
"O, ma ... maaf! Ya, terima kasih!" kata Thi Sim-lam dengan tergegap dan wajah merah.
"Terima kasih, minta maaf, kentut, bau ...." belum habis Siau-hi-ji berseloroh, tiba-tiba Sim-lam benar-benar mengentut, keruan Siau-hi-ji geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.
Muka Thi Sim-lam bertambah merah hingga mirip kepiting rebus, saking malunya sungguh ia ingin menyusup ke dalam bumi apabila ada lubang.
"Apa salahnya orang kentut?" ujar Siau-hi-ji sambil berbangkit. "Selagi ketakutan setiap orang bisa terkencing-kencing dan terberak-berak, kentut kan kejadian biasa, mengapa kau jadi seperti anak perempuan, sedikit-sedikit muka berubah merah"
Pendekar Muka Buruk 13 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Han Bu Kong 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama