Ceritasilat Novel Online

Pisau Terbang Li 3

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 3


Li Sun-Hoan tidak ingin membicarakan hal ini, jadi
dipotongnya dengan dan berkata, "Toako, aku ingin
bertemu dengan seseorang."
"Siapa?" Alisnya terangkat dan sebelum Li Sun-Hoan menjawab, ia
menambahkan, "Apakah dengan Lim Sian-ji?"
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, "Toako memang
sungguh memahami aku."
Liong Siau-hun tertawa keras. "Aku tahu kau pasti
penasaran. Jika Li Sun-Hoan tidak ingin bertemu dengan
wanita tercantik di dunia, maka Li Sun-Hoan bukan lagi Li
Sun-Hoan." Li Sun-Hoan hanya tetap tersenyum, seakan-akan
mengiakan. Namun apa sebenarnya yang ia pikirkan" Hanya dia
seorang saja yang tahu. Liong Siau-hun segera menggamit lengannya, dan
berkata sambil tersenyum, "Jika kau pergi ke sana untuk
196 menemuinya, kau pergi ke tempat yang salah. Setelah
kejadian dua malam yang lalu, ia telah pindah dari bilik
itu." "O ya?" Kata Liong Siau-hun lagi, "Dua malam ini ia tinggal
bersama Si-im. Kau bisa sekaligus bertemu mereka
berdua. Bagaimana pun juga, Si-im adalah seorang
wanita. Kau harus berusaha menenangkannya sedikit."
Sepertinya ia tidak memperhatikan kepedihan yang
terlukis di wajah Li Sun-Hoan. Ia terus saja berbicara,
"Sebenarnya, ia bukannya tidak tahu perbuatan buruk
Anak In di luaran. Ia tidak betul-betul menyalahkanmu."
Li Sun-Hoan memaksakan seulas senyum, katanya, "Tapi
kita kan sudah sampai di sini. Mari kita mampir sebentar
ke Leng-hiang-siau-tiok. Mungkin Nona Lim sudah
kembali." Jawab Liong Siau-hun sambil tersenyum, "Boleh juga.
Nampaknya kalau kau tak berjumpa dengannya malam
ini, kau tak akan bisa tidur."
Li Sun-Hoan tersenyum saja, tidak berkata apa-apa.
Namun ada sesuatu yang terbayang di matanya. Sesuatu
yang menyiratkan bahwa ia menyimpan suatu rahasia.
Tidak ada siapa-siapa dalam bilik itu.
197 Ketika Li Sun-Hoan masuk, seakan-akan ia masuk ke
alam sepuluh tahun yang lalu.
Tidak ada yang berubah sedikit pun. Meja dan kursi,
bahkan kertas-kertas, kuas, tinta, semua ada pada
tempat asalnya. Jika ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, kemungkinan ia
baru saja menemani Si-im menghitung bunga-bunga
Bwe, mungkin ia kembali untuk mengambilkan mantel
bulu untuk Si-im, atau mungkin ia kembali untuk
menuliskan percakapan mereka supaya ia tidak akan
pernah lupa. Tetapi sekarang, waktu diingatnya kembali semua itu,
tidak ada satu pun kenangan yang terlupakan. Jika ia
tahu, takkan dihabiskannya waktu untuk menuliskannya.
Salju telah turun lagi. Bunga-bunga salju jatuh perlahan ke atas atap, lembut
bagai ucapan sang kekasih.
Li Sun-Hoan menarik nafas dalam, lalu katanya, "Sepuluh
tahun". Mungkin bahkan lebih. Kadang-kadang kau
merasa waktu berjalan lambat sekali. Namun sekali
mereka berlalu, kau baru sadar betapa cepatnya mereka
berlalu." Liong Siau-hun tertawa dan berkata, "Ingatkah kau
pertama kali kita tiba" Seingatku hari itupun salju turun."
Sahut Li Sun-Hoan, "Ba" bagaimana mungkin aku lupa."
198 Liong Siau-hun tertawa. "Aku ingat hari itu kita mungkin
minum seluruh arak yang ada di rumahmu saat itu.
Itulah sekali-kalinya aku melihat engkau mabuk, tapi kau
tak mau mengakuinya. Kau malah bertaruh denganku
bahwa kau pasti dapat menulis "Delapan Qiu Xing"
[kemungkinan kumpulan puisi] tanpa salah."
Tiba-tiba diraihnya sebatang kuas dari atas meja,
sambungnya, "Aku ingat, inilah kuas yang kau pakai."
Senyum Li Sun-Hoan terasa palsu, namun ia terus
tersenyum. "Aku juga ingat, kau tak mau bertaruh."
Sahut Liong Siau-hun, "Tapi kau tidak menyangka bukan,
bahwa sepuluh tahun kemudian kuas ini masih ada di
sini?" Li Sun-Hoan tersenyum saja, tidak menjawab. Namun
sebuah pikiran terLimtas di benaknya, "Kuas itu masih di
sini, tapi bukankah seseorang tinggal di sini sekarang?"
Kata Liong Siau-hun, "Memang agak aneh. Lim Sian-ji
seperti punya firasat bahwa kau akan pulang. Walaupun
ia telah tinggal di sini beberapa tahun, ia tidak pernah
memindahkan barang-barang ini."
Kata Li Sun-Hoan, "Seharusnya tidak perlu begitu."
Liong Siau-hun tersenyum dan berkata, "Kami pun tidak
memaksanya untuk berbuat begitu, tapi"."
Tiba-tiba seseorang di luar berseru, "Siya (Tuan
Keempat). Liong-siya!"
199 Liong Siau-hun membuka jendela dan menjawab dengan
jengkel, "Aku di sini. Ada apa?"
Ekspresinya tiba-tiba berubah, dan ia menoleh ke
belakang, katanya, "Toako, kau"."
Kata Li Sun-Hoan, "A".aku masih ingin di sini sebentar
lagi. Tidak apa-apa, kan?"
Liong Siau-hun menjawab sambil tersenyum, "Tentu
saja. Semua ini adalah milikmu. Bahkan jika Lim Sian-ji
kembali, ia akan menyambutmu dengan gembira."
Lalu ia pergi tergesa-gesa. Saat dia melewati pintu,
senyuman telah hilang dari wajahnya.
Li Sun-Hoan duduk di kursi lebar yang ditutupi dengan
kulit harimau. Kursi ini lebih besar daripada ingatannya.
Ia ingat, waktu dia masih kecil, ia suka sekali memanjat
ke atas kursi ini dan mengencerkan tinta untuk ayahnya.
Ia ingin segera cepat tinggi, supaya bisa duduk di atas
kursi ini. Saat itu ia mempunyai pikiran yang aneh. Ia
takut bahwa kursi ini juga seperti manusia, menjadi
makin besar dengan berlalunya waktu.
Akhirnya tiba saatnya ia bisa duduk di kursi itu. Ia
menyadari bahwa kursi tidak bisa tumbuh. Maka dalam
hatinya, ia merasa kasihan pada kursi itu.
Namun sekarang, ia berharap bisa seperti kursi itu, tidak
pernah bertambah tua, tidak pernah merasa sakit. Kursi
itu tetap sama, tapi ia telah menjadi seorang tua.
200 Tua". sudah tua".
Tiba-tiba didengarnya tawa halus dan seseorang berkata,
"Siapa yang bilang kau sudah tua?"
Orang ini masih di luar, namun suara tawanya telah
menghangatkan seluruh ruangan. Walaupun tubuhnya
belum lagi masuk, suaranya telah membawa musim semi
ke dalam ruangan. Jika suara tawanya begitu merdu,
orang dapat membayangkan bagaimana rupa orang ini.
Mata Li Sun-Hoan tiba-tiba bercahaya, namun ia hanya
menatap ke arah pintu. Ia tidak bangkit berdiri, tidak
juga mengatakan apa-apa. Lim Sian-ji akhirnya masuk.
Semua orang ternyata tidak membual. Ia sangat cantik
bagai seorang dewi. Jika seseorang berusaha melukiskan
kecantikannya, orang itu sedang berbuat ketidakadilan
padanya. Tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak
menggairahkan. Bagian yang paling menawan dari
seluruh tubuhnya adalah matanya. Tidak ada seorang
laki-lakipun di dunia yang sanggup menolak tatapan
matanya. Memandang matanya membuat orang merasa sedang
melakukan kejahatan. Tapi apapun juga yang dilakukannya, ia tak dapat
menghapus bayangan Li Sun-Hoan yang pertama.
201 Karena ini bukanlah kali pertama Li Sun-Hoan berjumpa
dengannya. Di dapur warung arak itu Li Sun-Hoan telah merasakan
kelembutannya, kehangatannya. Namun Li Sun-Hoan
masih tidak bisa percaya bahwa wanita yang sedang
berdiri di depannya adalah sama dengan si cantik yang
misterius yang ingin bertukar Kim-si-kah dengannya.
Penampilannya hari ini sungguh berbeda dengan hari itu.
Jika Li Sun-Hoan meragukan matanya, maka ia tidak
mungkin percaya bahwa wanita yang berbisa itu sama
dengan wanita yang sedang tersenyum manis dan lugu
di hadapannya. Li Sun-Hoan menghela nafas dan memejamkan matanya.
Air mata mulai meleleh di pipi Lim Sian-ji. Ia berkata
lembut. "Mengapa kau pejamkan matamu" Kau tak ingin
memandangku?" Li Sun-Hoan terkekeh, jawabnya, "Aku hanya sedang
mengingat-ingat bagaimana rupamu hari itu tanpa
selembar benangpun."
Wajah Lim Sian-ji menjadi merah, katanya, "Awalnya aku
tak ingin kau mengenali aku, namun aku juga tahu itu
tak mungkin terjadi."
Kata Li Sun-Hoan, "Kalau aku telah melupakanmu,
tidakkah kau akan merasa kecewa?"
202 Lim Sian-ji tetap tersenyum. "Tapi waktu kau melihat
aku, kau tidak tampak terkejut. Apakah engkau telah
menebak siapa aku?" Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin karenan tidak banyak
wanita yang tergolong cantik di dunia ini."
Lim Sian-ji tersenyum lagi, katanya, "Tapi mungkin juga
karena kau melihat murid In Gok, dan kau teringat akan
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)ku. Lalu kau melihat Yu
Liong-sing, dan kau pun teringat pada Hi-jong-kiam
(Pedang Usus Ikan)ku, bukan?"
Li Sun-Hoan juga tersenyum, jawabnya, "Aku hanya ingin
tahu, walaupun kau tahu aku ada di sini, mengapa kau
berani datang menemuiku?"
Lim Sian-ji mendesah, jawabnya, "Seorang menantu
berwajah buruk harus menemui ibu mertuanya cepat
atau lambat. Itu tak terelakkan. Jadi waktu Kakak Liong
menyuruh aku datang, aku segera datang."
"Benarkah" Ia menyuruhmu datang kemari?"
Lim Sian-ji tertawa, katanya, "Kau tidak paham
alasannya" Sudah sejak beberapa waktu yang lalu ia
telah berusaha agar kita bertemu. Mungkin karena ia
merasa berhutang padamu. Ia telah merebut"."
Waktu ia mengatakan ini, ia melihat wajah Li Sun-Hoan
langsung menjadi keruh, karena Li Sun-Hoan tahu apa
yang hendak dikatakannya. Waktu dilihatnya demikian, ia
langsung terdiam. 203 Ia tidak pernah mengatakan hal-hal yang tidak ingin
didengar oleh lawan bicaranya.
Namun Li Sun-Hoan seakan-akan menunggu ia
menyelesaikan kalimatnya. Setelah hening beberapa
saat, barulah ia berkata, "Ia tidak berhutang apa-apa
padaku. Akulah yang berhutang kepada banyak orang."
Lim Sian-ji menatapnya dan bertanya, "Kau berhutang
apa?" Li Sun-Hoan menjawab dingin, "Aku berhutang pada
begitu banyak orang. Tidak terhitung jumlahnya."
Lim Sian-ji berkata dengan lembut, "Apapun yang kau
katakan, aku tahu kau bukan orang seperti itu."
"Kau tahu aku ini orang macam apa?"
"Tentu saja. Aku telah mendengar tentang engkau dari
aku masih kecil. Jadi waktu aku tahu bahwa di sinilah
dulu kau pernah tinggal, aku sangat berbahagia, sampaisampai
aku tidak bisa tidur."
Ia melihat ke sekeliling ruangan, katanya, "Lihatlah.
Semuanya di sini. Tidakkah ini persis sama dengan
sepuluh tahun yang lalu waktu kau tinggalkan" Bahkan
botol arak yang kau sembunyikan di rak buku aku tak
pindahkan. Kau tahu kenapa?"
Li Sun-Hoan hanya memandangnya dingin.
204 Lim Sian-ji mengikik. "Pasti kau tidak tahu. Tapi kuberi
tahu engkau sekarang. Dengan cara ini, aku dapat
merasakan kehadiranmu di sini. Kadang-kadang aku
membayangkan kau ada di sini, duduk di kursi ini dan
berbincang-bincang denganku."
Lalu ia melanjutkan dengan suara yang lebih halus,
"Kadang-kadang aku bangun di tengah malam,
membayangkan aku ada di sampingku. Di tempat tidur
itu, di atas bantal itu."
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Selain aku, ada
juga orang lain di situ, bukan?"
Lim Sian-ji menggigit bibirnya dan bertanya, "Kau
sungguh berpikir aku mengizinkan orang lain masuk ke
sini?" Sahut Li Sun-Hoan, "Ini adalah kamarmu. Kau boleh
membiarkan siapa saja masuk."
Kata Lim Sian-ji lagi, "Kau pikir orang-orang seperti Yu
Liong-sing dan Ku Tok pernah ada di sini, bukan?"
Matanya telah menjadi merah, dan ia melanjutkan, "Asal
kau tahu, mereka tidak pernah menginjakkan kaki dalam
ruangan ini. Maka dari itu, mereka menunggu di hutan.
Jika aku mengizinkan mereka masuk, mungkin Ku Tok
dan Yu Liong-sing masih hidup sekarang."
"Kalau begitu, mengapa tak kau izinkan mereka masuk?"
205 Lim Sian-ji menggigit bibirnya lagi, jawabnya, "Karena ini


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah kamarmu. Aku harus". membantumu
menjaga"." Ia seakan-akan tidak tahu bagaimana melanjutkannya.
Li Sun-Hoan tersenyum, menyelesaikan kalimat itu
untuknya, "aroma tubuhku?"
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya dan berkata, "Aku
tidak mengatakannya supaya kau dapat mengolok-olok
aku." "Lalu untuk apa?"
"Kau masih belum paham?"
Li Sun-Hoan tertawa, katanya, "Kalau begitu, tanpa
bantuan orang lain pun aku telah mempunyai
kesempatan yang baik denganmu."
Kata Lim Sian-ji, "Jika aku tidak" punya perasaan apaapa"
lalu bagaimana mungkin hari itu aku"."
Ia hanya mengatakan kalimat-kalimat itu setengahsetengah.
Namun kadang-kadang setengah kalimat lebih
efektif daripada seluruh kalimat. Lagi pula, itu lebih
menarik. Kata Li Sun-Hoan, "Jadi kau berbuat begitu karena kau
suka padaku" Dan aku berpikir bahwa kau melakukannya
demi rompi itu." 206 Lim Sian-ji menjawab, "Tentu saja aku juga
menginginkan rompi itu. Namun jika orang itu bukan
engkau, apakah aku". apakah aku akan?"
Li Sun-Hoan tertawa. "Jadi kau ingin dua-duanya?"
Kata Lim Sian-ji, "Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku
menginginkan Kim-si-kah itu, bukan?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Sejujurnya, aku memang ingin
tahu." Lim Sian-ji menjelaskan, "Karena aku ingin membunuh
Bwe-hoa-cat dengan tanganku sendiri!"
"Ha?" "Kau pasti sudah dengar bahwa aku telah mengatakan
aku akan menikah dengan siapapun yang dapat
membunuh Bwe-hoa-cat . Walaupun aku
mengatakannya, aku tidak menyukai ide itu."
Li Sun-Hoan berkata, "Kau ingin membunuh Bwe-hoa-cat
supaya kau dapat menikah dengan dirimu sendiri?"
Jawab Lim Sian-ji, "Aku melakukan hal ini hanya karena
aku tidak ingin menikah. Jika si bandit dapat kubunuh
dengan tanganku, maka aku tidak perlu lagi menikah."
Tiba-tiba ditatapnya Li Sun-Hoan dan sambungnya,
"Karena tidak ada pria di muka bumi yang pantas
menikahi aku." 207 Mata Li Sun-Hoan pun menatapnya dan ia bertanya,
"Bagaimana dengan aku?"
Wajah Lim Sian-ji langsung merah padam, jawabnya,
"Tentu saja kau berbeda."
"Mengapa?" Lim Sian-ji menjawab perlahan, "Karena kau berbeda dari
laki-laki lain. Mereka semua hanya seperti anjing.
Bagaimanapun kuperlakukan mereka, mereka tetap
mengikutiku. Hanya engkau"."
Li Sun-Hoan tersenyum sedikit, katanya, "Lalu mengapa
engkau tidak membiarkan Kim-si-kah jatuh ke tanganku"
Jika aku membunuh Bwe-hoa-cat , kau akan bisa
menikah denganku. Bukankah itu keinginanmu?"
Lim Sian-ji ragu-ragy sejenak, lalu katanya, "Ini adalah
ide yang bagus. Mengapa tak terpikir olehku
sebelumnya." Mata Li Sun-Hoan berbinar, ia tersenyum lebar sambil
berkata, "Siapa selain aku yang dapat mempunyai ide
secemerlang itu." Lim Sian-ji seperti tidak mengerti maksud perkataan Li
Sun-Hoan. Ia malah meraih tangan Li Sun-Hoan dan
berkata, "Aku taCui-coa Oh Bi-hoa-cat akan muncul
besok atau lusa malam. Besok akan kutunggu dia di sini."
Kata Li Sun-Hoan, "Kau ingin aku datang juga, bukan?"
208 Sahut Lim Sian-ji, "Kau dapat memakai aku sebagai
umpan, supaya ia muncul. Kau punya rompi itu, jadi
kalaupun kau tak berhasil membunuhnya, kaupun tidak
akan terluka. Jika kau berhasil menangkapnya"."
Ditundukkannya kepalanya lagi, matanya memandang Li
Sun-Hoan diam-diam. Ia tidak mengatakan apa-apa,
namun matanya menggambarkan perasaannya dengan
sempurna. Mata Li Sun-Hoan pun bercahaya, lalu dengan seulas
senyum ia berkata, "Baik. Aku pasti datang besok malam.
Jika aku tidak datang, maka?"
Lim Sian-ji menarik tangannya menjauhi Li Sun-Hoan,
namun di punggung tangan Li Sun-Hoan, digambarnya
sebuah Lingkaran dengan jarinya. Seakan-akan ingin
melingkari hati Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tiba-tiba tertawa, katanya, "Sepertinya kau
sudah belajar jadi sopan sekarang."
Sahut Lim Sian-ji dengan wajah merah, "Aku selalu
bersikap sopan." Kata Li Sun-Hoan, "Akhirnya kau belajar memberi
kesempatan bagi laki-laki untuk melakukan langkah
pertama." Namun Lim Sian-ji menjadi gelisah, dan berkata, "Tapi
kau" kau tak akan" sekarang, bukan?"
209 Li Sun-Hoan memandangnya. Matanya memandang
dengan dingin, namun senyumnya mulai sedikit mencair,
katanya, "Bagaimana kau tahu kalau aku tidak akan?"
Lim Sian-ji mengikik, katanya, "Karena engkau adalah
pria sejati, bukan?"
Kata Li Sun-Hoan, "Aku hanya pernah menjadi pria sejati
sekali seumur hidup. Lalu aku menyesali keputusanku
tiga hari tiga malam."
Lim Sian-ji tertawa, tapi terasa bahwa ia berusaha
menghindar. Li Sun-Hoan merenggut tangannya tiba-tiba, lalu berkata
sambil tersenyum, "Jadi kau tidak hanya belajar
membiarkan laki-laki melakukan langkah pertama, kau
juga belajar untuk menghindar."
Lim Sian-ji menjawab, "Tapi inilah yang kau ajarkan.
Inilah cara yang kauajarkan padaku untuk merayumu,
bukan?" Bab 10. Persoalan 18 Tahun yang Lalu
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, lalu berkata, "Aku
mengajarimu terlalu banyak. Dan kau pun belajar terlalu
cepat." Ia tiba-tiba melepaskan tangannya, bangkit dan
merapikan pakaiannya. Ia melihat keluar jendela dan
berkata, "Pertunjukan hari ini telah selesai. Jika kau
belum puas, silakan datang lagi besok pagi."
210 Suara tawa terdengar dari luar jendela. Katanya,
"Teknikmu sungguh luar biasa. Kuharap pisaumu pun
sama bagusnya." Setelah kalimat terakhirnya diucapkan, ia pun telah
menghilang. Wajah Lim Sian-ji berubah, "Itu adalah Yu Liong-sing."
Li Sun-Hoan bertanya, "Kau kuatir dia cemburu?"
Mata Lim Sian-ji berkilat jahat, ia tertawa dingin. "Apa
haknya untuk cemburu" Aku tak menyangka orang yang
dalam dunia persilatan disebut berkarakter mulia dapat
berbuat seperti ini. Jangan kira aku sudi berbicara
dengan dia lagi." Kata Li Sun-Hoan sambil tersenyum, "Kau tidak takut ia
akan meminta Hi-jong-kiam (Pedang Usus Ikan)nya
kembali?" Sahut Lim Sian-ji, "Kalaupun aku melemparkan pedang
itu ke depan hidungnya, ia tidak akan berani
menyentuhnya." "O ya?" Lim Sian-ji tersenyum licik, "Sudah kubilang. Orangorang
ini seperti anjing. Semakin sering kau memaki dan
menendang mereka, semakin dekat mereka mengikutimu
sambil mengibas-ngibaskan ekornya."
211 Li Sun-Hoan menjawab, "Tidak jelek juga mempunyai
anjing yang mengibaskan ekornya di hadapanmu."
Lim Sian-ji meraih tangannya, dan berkata, "Kau
sungguh akan pergi" Tak maukah kau duduklah di sini
sebentar lagi?" Sahut Li Sun-Hoan sambil tersenyum, "Jika aku duduk di
sini, menunggu anjing menggigitku, itu tidak menarik
lagi." Lim Sian-ji mendengus, "Hmmmh. Ia tidak mungkin
berani"." Sebelum perkataannya selesai, terdengar suara Yu Liongsing
dari jauh, "Pertunjukan itu sudah selesai, tapi
pertunjukan yang lain baru saja dimulai. Tidakkah kalian
ingin menonton?" Kata Li Sun-Hoan, "Betul, kan" Ia tak mau membiarkan
aku duduk lebih lama di sini."
Sahut Lim Sian-ji geram, "Dasar setan menyebalkan."
Tapi tiba-tiba ia tersenyum, digenggamnya tangan Li
Sun-Hoan dan berkata, "Tapi masih ada hari esok".
Datanglah lebih awal besok."
Baru saja Li Sun-Hoan keluar dari hutan, terdengarlah
suara dua orang yang sedang bertengkar.
Ia mengenali suara yang seorang adalah suara Sang
Kusir. Ia segera menggunakan jurus "Burung Pipit
212 Menutul Air Tiga Kali", memantul ke tanah tiga kali
sebelum sampai di tujuan.
Saat itu, kedua orang itu telah bertempur. Dengan
kekuatan dahsyat telapak tangan dan kepalan mereka,
salju berhamburan mengelilingi mereka.
Terdengar Sang Kusir berkata, "Cin, kau membuat dirimu
tampak berbudi, namun kenyataannya kosong
melompong. Lalu kenapa kalau anakmu tidak tertolong
lagi" Bukan salah siapa-siapa. Mengapa kau malah ingin
membunuhnya?" Orang yang bertempur dengannya adalah Cin Hau-gi. Ia
hanya menjengek, "Kau pikir kau ini siapa" Mengacalah
dan tahulah kedudukanmu. Berani-beraninya kau ikut
campur urusanku. Baik, akan kubuat cacad juga engkau."
Liong Siau-hun berusaha melerai, namun Yu Liong-sing
hanya berdiri menonton. Saat Li Sun-Hoan tiba, Liong Siau-hun langsung
menemuinya dan berkata, "Toako, tolong coba
tenangkan mereka. Bwe-hoa-cat belum lagi datang, kita
sudah bertengkar sendiri. Ini" ini sungguh-sungguh?"
Yu Liong-sing tertawa dingin dan berkata, "Ini yang
disebut "Tidak ada tentara yang lemah di bawah Jenderal
yang kuat". Aku tidak menyangka pelayan Li Sun-Hoan
sekuat ini. Sungguh-sungguh berbahaya, berbahaya?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Benar sekali. Ia cukup berbahaya.
Tapi hanya jika seseorang membuatnya marah."
213 Ia tidak memberikan kesempatan pada Yu Liong-sing
untuk menjawab. Ia menoleh pada Liong Siau-hun dan
bertanya, "Apa yang terjadi?"
Sahut Liong Siau-hun, "Luka-luka Cin Tiong sangat parah
dan ia tidak tertolong lagi. Saudara Cin"."
Potong Li Sun-Hoan cepat, "Ia menyalahkan Bwejisiansing,
bukan?" Liong Siau-hun tertawa pahit, "Hubungan ayah dan anak
sangatlah erat. Sudah dapat diduga Saudara Cin menjadi
sangat marah. Ia tidak sengaja melukai Bwe-jisiansing.
Lukanya pun tidak serius."
Li Sun-Hoan hanya terkekeh, tidak merasa perlu untuk
menambahkan apa-apa. Kata Liong Siau-hun, "Tolong hentikan dia. Aku tahu, ia
hanya mau mendengarkan engkau."
Li Sun-Hoan menjawab dingin, "Mengapa aku harus
menghentikan dia" Jika ia tidak melakukannya, akulah
yang akan melakukannya."
Liong Siau-hun terdiam sesaat, tak tahu harus bilang
apa. Kepalan Sang Kusir bertenaga hebat. Tiap-tiap tinjunya
adalah serangan yang mematikan. Walaupun gerakannya
tidak rumit, tenaga membunuh yang melandasi
pukulannya sangat mengagetkan.
214 Cin Hau-gi terlihat sulit bahkan untuk bernafas.
Yu Liong-sing tertawa dingin. "Seorang pelayan dengan
ilmu silat seperti ini, sungguh amat langka."
Li Sun-Hoan bertanya, "O ya?"
Kata Yu Liong-sing lagi, "Setiap kali ia bergerak, seakanakan
ia pun telah siap juga kena pukul. Gaya kepalannya
sungguh sulit dimengerti."
Sahut Li Sun-Hoan, "Itu karena ia dapat menahan
serangan lawannya. Namun jika kepalannya mengenai
lawan, orang itu akan mendapat kesulitan yang serius."
Sebelum Yu Liong-sing menjawab, seseorang telah
datang sambil berseru, "Sungguh anjing pelayan yang
tak tahu diri. Berani menyerang orang yang setingkat di
atasmu. Lihat bagaimana aku menyelesaikanmu."
Dengan kata-kata ini Tio Cing-ngo pun tiba.
Baru saja ia akan ikut membantu, didengarnya Li SunHoan berkata dingin, "Jika seseorang ingin bertarung dua
lawan satu dan menang karena jumlah, aku rasa aku
harus melepaskan pisauku!"
Tio Cing-ngo langsung berhenti, takut maju selangkah
saja. Tapi dengan marah ia berteriak, "Kau bawa
pembantu yang berani menyerang seseorang yang
setingkat di atasnya. Kau tidak saja tidak mendisiplinkan
dia, bahkan kau membantunya juga" Kau pikir tak ada
keadilan di dunia persilatan?"
215

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, "Keadilan apa"
Apakah bertarung dua lawan satu itu keadilan?"
Tio Cing-ngo menjawab keras, "Kau seharusnya tahu
bahwa ini bukan pertempuran. Ini adalah mendisiplinkan
bawahan!" Kata Li Sun-Hoan, "Ia tidak perlu didisiplinkan. Tapi jika
Tio-toaya ingin bertempur dengan dia, silakan. Tapi bawa
Cin Hau-gi keluar medan laga, dan bertempurlah sendiri."
Kata Tio Cing-ngo, "Ia pikir dia itu apa" Ia tidak pantas
bertempur denganku."
Li Sun-Hoan menjawab lagi, "Betul. Dia memang bukan
"apa-apa". Ia seorang manusia."
Ia lalu memandang Tio Cing-ngo dan bertanya, "Jadi Tiotoaya,
apakah engkau "apa-apa?""
Amarah Tio Cing-ngo meluap, sehingga mukanya
menjadi sangat kuning. Dalam situasi seperti ini, bahkan Liong Siau-hun pun tak
tahu harus berkata apa. Tiba-tiba dengan suara keras,
dua kepalan beradu. Tapi ke mana perginya Cin Hau-gi"
Sepertinya ia terpelanting setelah kena pukulan, dan
jatuh berdebam ke tanah. Lagi-lagi Yu Liong-sing tertawa dingin. "Sepertinya
majikan bukan hanya tak mampu mendisiplinkan
pelayannya, malah sebaliknya yang terjadi."
216 Lalu Cin Hau-gi berbisik ke telinga Tio Cing-ngo. Tio
Cing-ngo bangkit dan menatap Sang Kusir, katanya, "Aku
tak menyayangkan kau punya ilmu silat yang hebat.
Bahkan aku pun tak menyadarinya. Tak heran waktu
Samko kurang siaga, kau menggunakan cara-cara licik
untuk mengalahkannya."
Sang Kusir tertawa dingin. "Kalau kalian kalah, maka
pastilah pihak lain berbuat curang. Kalau aku yang kalah,
kepandaiankulah yang lebih rendah. Aku cukup faham
dengan ide ini. Kau tak perlu mengulang-ngulang."
Tio Cing-ngo membentak dengan marah, "Awalnya
kupikir kau adalah seorang pemberani, maka aku ingin
melindungimu. Jangan buat aku marah."
Jawab Sang Kusir, "Aku telah hidup sekian lama tanpa
perlindunganmu. Kupikir, aku mulai bosan dengan
hidupku, jadi kalau ada sesuatu di balik lengan bajumu,
silakan gunakan dan maju saja."
Tio Cing-ngo menatapnya dengan mata berapi-api, lalu
menyeringai kejam, "Bagus sekali?"
Ia berkata "Bagus sekali" sekitar lima atau enam kali.
Lalu didukungnya Cin Hau-gi dan pergi.
Liong Siau-hun mengejarnya dan berkata, "Jika ada
kesalahpahaman, bisa kita bicarakan. Mengapa"."
Cin Hau-gi terkekeh, "Setelah apa yang terjadi pada aku
dan putraku, kau pikir masih ada waktu untuk
berbicara?" 217 Liong Siau-hun mundur selangkah, dan menatap Cin
Hau-gi dan Tio Cing-ngo yang terus pergi.
Li Sun-Hoan menarik nafas dalam-dalam, lalu berkata,
"Toako, aku baru saja kembali dan sudah mengakibatkan
begitu banyak permasalahan bagimu. Kalau"aku
tahu"." Liong Siau-hun tiba-tiba tertawa keras, "Toako. Jangan
pernah kau katakan itu. Sejak kapan kita kuatir akan
masalah ini itu?" Li Sun-Hoan memaksakan diri tersenyum. "Toako, aku
tahu"aku telah membuat lebih sulit bagimu?"
Kata Liong Siau-hun, "Toako, jangan menguatirkan aku.
Apapun yang kau perbuat, aku selalu ada di
sampingmu." Li Sun-Hoan hampir tak dapat menahan air mata bahagia
mengalir keluar. Liong Siau-hun memandang Sang Kusir, seakan-akan ia
ingin berkata sesuatu, namun dibatalkannya. Kemudian
dia berkata kepada Li Sun-Hoan, "Sudah hampir fajar.
Sepertinya Bwe-hoa-cat tak akan muncul hari ini. Kau
habis menempuh perjalanan jauh, istirahatlah sebentar di
sini." "Baiklah." Kata Liong Siau-hun, "Aku telah menyiapkan sebuah
ruangan bagimu. Namun jika engkau ingin tinggal di
218 bilikmu yang lama, aku akan menyuruh Lim Sian-ji
pindah." Jawab Li Sun-Hoan, "Tidak perlu."
Sang Kusir duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya.
Setelah cukup lama, dikatupkannya giginya rapat-rapat,
seolah-olah akan mengambil suatu keputusan yang sulit.
Lalu katanya, "Siauya, sepertinya aku harus pergi
sekarang." "Kau mau pergi" Kau juga mau pergi?"
Kata Sang Kusir, "Kau adalah penyelamatku. Sebetulnya
aku ingin melayani engkau seumur hidupku, tapi kini"."
Terdengar suara derap langkah kuda di tengah malam
buta. Lanjutnya, "Tio Cing-ngo telah mengetahui identitasku.
Kemungkinan besar saat ini ia tengah berusaha
menghubungi musuh-musuhku. Sebenarnya aku tak
peduli dengan hidupku, jadi aku pun tak peduli dengan
mereka. Tapi"."
"Tapi kau tidak ingin melibatkan aku?"
Kata Sang Kusir, "Siauya, aku tahu kau tidak takut pada
persoalan. Namun si tertuduh pada kasus 18 tahun yang
lalu adalah aku. Aku tak ingin Siauya kena dibentakbentak
orang bersama dengan aku."
219 Li Sun-Hoan berpikir beberapa saat, lalu berkata, "Itu
kan kecelakaan. Dalam 18 tahun terakhir ini, sudah
cukup kau membayar kesalahanmu."
Sahut Sang Kusir, "Namun mereka tidak akan peduli.
Dalam dunia persilatan, hutang darah hanya dapat
dibayar dengan darah!"
Ia tidak menunggu jawaban Li Sun-Hoan dan
melanjutkannya, "Lagi pula, aku ingin mencari Bwejisiansing.
Setelah terluka, aku tak tahu berapa jauh ia
dapat berjalan. Apa pun yang terjadi, ia datang hanya
karena kita." Li Sun-Hoan tetap duduk di situ. Setelah cukup lama, ia
bertanya, "Jadi ke manakah kau akan pergi?"
Sang Kusir menghela nafas, jawabnya, "Sekarang, aku
belum tahu. Tapi"."
Ia tiba-tiba tersenyum dan melanjutkan, "aku tak akan
pergi jauh-jauh. Waktu ada malam yang tenang,
diterangi cahaya bulan, aku akan kembali untuk minum
bersama Siauya." Li Sun-Hoan bangkit dan berkata, "Benarkah?"
"Pasti!" Ketika mata mereka bertemu, air mata mereka meleleh.
Mereka terpaksa memandang ke arah lain. Ketika orangorang
gagah berpisah, kadang-kadang mereka cengeng
daripada gadis-gadis kecil. Ini karena mereka sungguh
220 memperhatikan satu dengan yang lain, namun mereka
tak pernah mengungkapkannya.
Li Sun-Hoan hanya berkata, "Kalau kau memang
berkeras untuk pergi, paling tidak mari kuantarkan kau
sampai di luar." Jalanan di luar sangat sepi. Bahkan suara batuk Li SunHoan tidak mampu memecahkan keheningan malam.
Sang Kusir tiba-tiba berhenti. "Kita harus berpisah
sekarang atau nanti. Siauya". Kembalilah pulang."
Li Sun-Hoan masih berjalan beberapa langkah, namun
akhirnya dia berhenti juga. Ia menatap kosong pada
sebatang pohon di ujung jalan, lalu ia menoleh. "Baiklah,
sampai di sini saja. Jagalah dirimu baik-baik."
Sang Kusir mengangguk. Katanya, "Siauya, jagalah
dirimu baik-baik juga."
Ia tidak memandang Li Sun-Hoan lagi saat berjalan
melewatinya. Setelah berjalan beberapa meter, ia
berkata, "Jika Siauya tidak punya hal penting yang harus
dikerjakan, tinggallah di tempat ini. Apapun yang terjadi,
Tuan Liong adalah sahabat yang baik."
Dan ditambahkannya lagi, "Jika demikian, mungkin aku
akan kembali ke sini mencari Siauya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin aku akan tinggal di sini. Ke
mana lagi aku bisa pergi?"
221 Ia tersenyum, tapi mengapakah ia tersenyum"
Sang Kusir mengatupkan giginya kuat-kuat dan berjalan
terus. Kini ia harus melanjutkan hidup persembunyiannya. Ia
telah bersembunyi dengan Li Sun-Hoan selama sepuluh
tahun. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam
hidup ini. Seperti mimpi yang tak pernah berakhir.
Namun selama sepuluh tahun terakhir, paling tidak ia
punya Li Sun-Hoan yang menemaninya.
Sekarang ia sebatang kara.
Jika ia adalah seorang pengecut, mungkin ia tidak akan
melarikan diri. Karena ia tahu, sebenarnya bersembunyi
adalah lebih menderita daripada mati.
Namun ia harus melarikan diri. Ia melihat bahwa ada
kesempatan bagi Li Sun-Hoan untuk menjalani kehidupan
yang mapan. Maka ia harus pergi. Kalau ia pergi, Li SunHoan dapat menjalani kehidupan yang damai.
Seharusnya ia merencanakan segala sesuatu sebelum
pergi. Namun saat itu, ia tidak dapat menenangkan diri
untuk berpikir jernih. Ia hanya ingin pergi ke tempat
yang sangat ramai dengan orang. Setelah berjalan sekian
lama, sampailah dia di sebuah pasar sayuran. Dalam
hati, ia merasa geli. Dalam hidup ini, ia telah mengunjungi begitu banyak
tempat. Ia pernah berada dalam puri yang indah,
222 ataupun gubug yang reyot. Ia pernah bertemu dengan
putri-putri aristokrat, namun pernah juga singgah di
tempat-tempat pelacuran kelas bawah. Ia pernah pergi
ke tempat yang sangat dingin sampai hidungnya
membeku di Hek-liong-kang [sebuah sungai di bagian
paling utara Cina]. Ia juga pernah ada di tempat yang
sangat panas, sampai telur pun bisa digoreng di atas
tanah yaitu daerah Turfan yang terletak di wilayah
Sinkiang. Ia pernah melihat matahari terbit dari puncak gunung
yang tinggi. Ia pernah menikmati matahari terbenam dari
tepi pantai. Ia pun pernah menyantap daging mentah
bersama-sama suku-suku barbar di tempat yang sangat
terpencil. Namun inilah pertama kalinya ia ada di pasar sayuran.
Di pagi musim dingin, hanya pasar sayuranlah yang
dipenuhi dengan begitu banyak orang. Siapapun yang
datang ke sini, tak mungkin merasa kesepian.
Ada ibu yang sedang menggendong bayinya. Ada orang
tua yang berjalan dengan tongkatnya. Ada tukang masak
yang tubuhnya penuh minyak.
Segala macam orang membawa keranjang, membeli
sayur-mayur, tawar-menawar dengan para pedagang
demi sepeser uang. Tercium pula bau amis ikan, bau minyak dari macammacam
gorengan, juga bau ayam dan bebek.
223 Tiba-tiba didengarnya seseorang berteriak dari arah
depan, "Daging". Kami menjual daging segar"."
Tiba-tiba suara itu berhenti.
Orang-orang di depan pun tiba-tiba mundur. Wajah
mereka sangat pucat. Seseorang dari belakang bertanya, "Apa yang terjadi?"
Seseorang di depan menjawab, "Ada yang berjualan
daging." "Ada lusinan orang di sini berjualan daging. Apa
anehnya?" "Orang ini menjual daging jenis lain. Ia menjual daging
manusia." Sang Kusir mengangkat alisnya, dan menyeruak ke
depan untuk melihat. Waktu ia melihat, ia menjadi lebih terkejut daripada
orang lain. Penjual daging itu memasang papan tanda yang
bunyinya, "Sapi Kuning, Domba Putih. Bunuh sekarang,
jual segera". Di belakang meja dagangan terlihat seorang wanita
bertubuh tinggi kekar, bermata satu. Di tangannya
terlihat sebilah pisau daging yang besar.
224 Namun yang ada di atas meja adalah manusia hidup!
Pakaian orang ini telah terkoyak-koyak, dan terlihat
tubuhnya yang kurus kering dan pucat. Seluruh tubuhnya
menggigil. Si wanita mata satu ini memegang leher orang itu
dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya memegang
pisau daging. Matanya penuh dengan hasrat membunuh.
Si wanita mata satu memandang sekilas pada Sang Kusir,
lalu tersenyum dan berkata, "Apakah kau datang untuk
membeli daging?" Sang Kusir melongo, dan sepertinya tidak mendengar
apa-apa. Si wanita mata satu terkekeh. "Aku sudah tahu bahwa
kau hanya mau membeli daging semacam ini. Aku telah
menunggumu." Sang Kusir hanya dapat menghela nafas. Lalu ia
tersenyum pahit. "Sudah bertahun-tahun. Toaso, kau"."
Si wanita mata satu meludah ke wajah Sang Kusir, dan
berkata dengan berang, "Toaso" Siapa sudi jadi
Toasomu" Kalau kau panggil aku seperti itu lagi, akan
kupotong lidahmu!"

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Kusir diam saja. 225 Si wanita mata satu melanjutkan, "Kau khianati Ang
Thian-kiat. Kau pasti sudah kaya raya sekarang, bukan"
Lalu mengapa untuk beli daging saja ragu-ragu?"
Ia merenggut rambut orang itu dan bertanya keras, "Mau
beli atau tidak" Kalau tidak, akan kubunuh saja dia dan
kujadikan makanan anjing."
Sang Kusir memandang orang itu dan terperangah,
"Bwe-jisiansing!"
Orang di atas meja itu memandang dengan tatapan
kosong. Air liurnya terus keluar dan ia tidak bisa bicara.
Kata Sang Kusir kemudian, "Baik. Kubeli dia."
Sahut wanita itu, "Jika kau membelinya, kau harus ikut
aku." Sang Kusir mengertakkan giginya, lalu berkata, "Baik,
aku akan ikut denganmu."
Wanita itu memandang dia lagi dan berkata, "Kau pintar
juga. Aku telah mencari engkau selama 17 tahun. Kau
pikir aku akan membiarkanmu lolos?"
Sang Kusir menghela nafas, "Karena kau telah
menemukan aku, aku tidak berniat untuk melarikan diri."
Di kaki bukit itu, ada sebuah rumah kecil bersebelahan
dengan tanah kuburan. 226 Di dalamnya, ada seorang yang sudah tinggal di situ
bertahun-tahun lamanya. Ia hanya duduk sambil
mengamati sebuah mangkuk dengan tatapan aneh.
Di matanya tergambar kesedihan dan kemarahan, namun
tidak jelas apa yang dipikirkannya. Tanah telah
membeku, tapi seakan-akan ia tidak tahu. Setelah
beberapa saat, terdengar suara dari luar.
Disambarnya kapaknya, lalu bertanya, "Siapa?"
Dari luar, si wanita mata satu menjawab, "Ini aku."
Orang ini menjadi gelisah dan bertanya, "Apa betul ia
ada di kota?" Sahut si wanita mata satu, "Informasi Si Kura-kura Tua
memang tepat. Aku telah membawa dia ke sini!"
Tiba-tiba ia membalikkan badan dan berlutut. Matanya
penuh dengan air mata. Ia tidak bangkit sampai cukup
lama. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah lain.
Si wanita mata satu bertanya, "Siapa?"
Seseorang dari luar menjawab, "Aku dan Lojit (Saudara
Ketujuh)." Yang satu berwajah burik dan bertubuh kekar. Ia
mengangkut sekeranjang kubis di bahunya. Yang satu
lagi kecil kurus. Ia menjual tahu.
227 Mereka berdua memandang Sang Kusir dengan penuh
kebencian. Si penjual kubis menyambarnya dan berseru,
"Thi keparat, apa yang hendak kau katakan sekarang?"
Si wanita mata satu berkata, "Lepaskan dia. Jika kau
ingin bertanya, tunggu sampai semuanya hadir."
Si wajah burik mengertakkan giginya, namun akhirnya
dilepaskannya juga. Ia membungkuk tiga kali ke arah
mangkuk di atas meja. Matanya pun penuh dengan air
mata. Dalam waktu satu jam berikutnya, datang tiga orang lagi.
Yang satu menenteng kotak obat-obatan, seorang tabib.
Yang satu membawa arak, ayam, dan beberapa cawan.
Yang satu lagi adalah seorang peramal buta.
Ketika ketiga orang ini melihat Sang Kusir, mata mereka
pun penuh dengan kebencian. Tujuh orang duduk
mengelilingi Sang Kusir. Wajah mereka semua tegang.
Mereka kelihatan seperti tujuh hantu yang keluar dari
neraka untuk membalas dendam.
Sementara itu, wajah Sang Kusir tampak biasa. Ia juga
diam saja. Tiba-tiba si wanita mata satu bertanya, "Gosuheng,
tahukah kau bila Losam akan datang?"
Si penjual arak yang gemuk itu menjawab, "Ia pasti
datang. Aku telah menerima suratnya."
228 Tanya si wanita lagi, "Kalau begitu, mengapa ia belum
juga kelihatan?" Si peramal buta menghela nafas, lalu berkata, "Kita telah
menungggu selama 17 tahun. Apa artinya menunggu
satu dua jam lagi?" Si wanita mata satu menggumam, "Tujuh belas tahun,
tujuh belas tahun?" Mungkin tujuh delapan kali ia menggumam. Setiap kali
terdengar lebih pahit. Tujuh belas tahun ini pastilah sangat berat bagi mereka.
Kepahitan yang tidak terkira memenuhi hidup mereka.
Begitu banyak darah dan air mata!
Si peramal buta itu pun berkata, "Tujuh belas tahun
terakhir ini, setiap saat aku ingin melihat dengan She Thi.
Sayangnya kini"."
Lalu ia bertanya, "Seperti apa rupanya sekarang" Losi,
beri tahukan padaku."
Si tabib menjawab, "Ia tampak sama seperti tujuh belas
tahun yang lalu. Hanya saja jenggotnya makin panjang
dan tubuhnya sedikit lebih gemuk."
Kata si buta, "Bagus. Bagus. Thi keparat, tahukah kau
bahwa selama tujuh belas tahun ini aku berdoa supaya
engkau selalu sehat" Sepertinya Langit telah menjawab
doaku." 229 Si wanita mata satu mengertakkan giginya dan berkata,
"Ia telah mengkhianati Ang Thian-kiat, jadi ia pasti sudah
jadi kaya raya sekarang. Bagaimana ia bisa mengerti
hidup kita yang sengsara?"
Ia menunjuk pada si penjual arak, "An-lok kongcu ThioGosuheng sekarang menjual arak. Ih-jiko sekarang
matanya buta. Kau tidak tahu, bukan?"
Sang Kusir diam saja. Ia kuatir jika kata-kata keluar dari
mulutnya, air mata pun akan menetes dari matanya.
Namun siapa yang dapat mengerti penderitaan yang
telah dia lalui" Tiba-tiba terdengar seruan dari luar, "Toaso, aku punya
kabar baik"." Bab 11. Penyelamat dari Langit
Ketika si wanita mata satu mendengar seseorang
berteriak dari luar, ia segera keluar dan bertanya, "Apa
yang begitu penting sampai kau berteriak-teriak seperti
oang kesurupan?" Kata orang itu, "Aku baru saja bertemu dengan Tio Cingngo.
Katanya orang she Thi itu ada"."
Sambil berbicara, dibukanya pintu dan masuk ke dalam.
Begitu sampai di dalam ia tercekat dan mematung.
Orang yang hendak diceritakannya telah berada di situ.
230 Si wanita mata satu terkekeh, "Kau tak menyangka,
bukan?" Orang itu menghembuskan nafas panjang dan berkata,
"Kata Tio Cing-ngo, ia berada di rumah Liong Siau-hun.
Tak kusangka"."
Dicekalnya tangan wanita itu, tanyanya, "Bagaimana kau
bisa menemukan dia?"
Sahutnya, "Aku mendengar dari Si Kura-kura Tua dari
Liong-sin-bio bahwa ia dan Li Sun-Hoan akan datang.
Jadi kami membuntuti mereka. Awalnya aku takut pada
Li Sun-Hoan, jadi aku tidak melakukan apa-apa. Siapa
sangka, ia pergi meninggalkan Li Sun-Hoan?"
Orang yang terakhir datang ini mengenakan baju yang
sobek-sobek. Dari kedelapan orang di rumah itu, hanya
dia yang berpakaian seperti orang dunia persilatan.
Sebatang tombak menyembul di punggungnya.
Kemudian ia pun menatap Sang Kusir dan berseru, "Thi
Toan-kah, masih ingatkah kau padaku?"
Thi Toan-kah mengangguk. "Apa kabar?"
Orang itu memotong cepat, "Aku baik-baik saja. Karena
aku tak pernah berbuat bejad, aku tak pernah harus
bersembunyi. Jadi kehidupanku lebih baik daripada
kehidupanmu, bukan?"
231 Si wajah burik berkata, "Samko, mengapa kau masih
berbicara dengan dia" Bunuh saja dia sekarang. Bunuh
dia sebagai persembahan bagi Lotoa."
Pian Go menjawab, "Lojit, perkataanmu itu salah.
Memang betul kita ada di sini untuk membunuh
seseorang. Namun kita harus melakukannya dengan tata
cara yang benar, sehingga tak ada seorang pun yang
dapat menggugat kita."
Si buta menambahkan, "Kita sudah menunggu selama
tujuh belas tahun, menunggu sebentar saja tak akan
membunuh kita." Setelah ia mengucapkan kalimat ini dua kali, tidak ada
yang membantah lagi. Si wanita mata satu bertanya, "Lalu bagaimana kita
melakukannya?" Jawab Pian Go, "Kita harus mengetahui keseluruhan
kisahnya, dan kita pun harus mencari seorang hakim.
Jika semua orang berpendapat bahwa orang she Thi ini
pantas mati, maka kita akan membunuhnya."
Si wajah burik melompat, katanya, "Kenapa banyak
cingcong" Tak mungkin ada orang yang berpendapat
bahwa ia tidak pantas mati."
Sahut si buta dengan dingin, "Kalau begitu, apa salahnya
kita bertanya?" 232 Si wajah burik mengertakkan giginya, lalu berkata, "Siapa
yang akan kau tanyai?"
Sahut Pian Go, "Orang yang kuundang terkenal akan
keadilannya. Ia juga tak ada sangkut pautnya dengan
kita "Tionggoan-pat-gi" (Delapan Orang Benar dari
Tionggoan) ataupun dengan Thi Toan-kah."
"Katakan, siapa orang itu."
Pian Go menjawab, "Orang yang pertama adalah Thi-binbusu, Tio Cing-ngo. Orang ini adalah"."
Thi Toan-kah mendadak tertawa. "Kalian tidak perlu
bersusah-payah. Bunuh saja aku dan selesai sudah
urusannya. Aku mengakui aku telah mengkhianati Ang
Thian-kiat. Aku tidak menyesal mati hari ini."
Si wanita mata satu berkata, "Sepertinya dia tidak suka
pada Tio Cing-ngo ini."
Kata si buta, "Tio Cing-ngo memberitahukan keberadaan
orang ini pada samko. Mungkin ada persoalan di antara
mereka. Bagaimana dia bisa menilai permasalahan kita
dengan adil?" Sahut Pian Go, "Tidak apa-apa, karena aku membawa
dua orang lagi selain dia. Yang satu adalah Cianpwe
(tetua) Pena Cepat. Ia dianggap penulis terbaik saat ini.
Dan lagi dia tidak punya hubungan apa-apa dengan
dunia persilatan. Yang terakhir adalah seorang anak
muda?" 233 Si wanita mata satu bertanya sangsi, "Mungkinkah
seorang anak muda bisa mengerti?"
Pian Go menyahut, "Walaupun pemuda ini baru dalam
dunia persilatan, kepribadiannya sangat kuat dan
tergolong pria sejati. Walaupun aku baru mengenalnya
dua hari, aku yakin bahwa ia benar-benar bisa
dipercaya." Si wanita mata satu itu tertawa dingin, dan berkata, "Kau
bisa tahu orang macam apa dia dalam waktu dua hari"
Sepertinya kebiasaanmu dalam berteman belum berubah
juga." Lalu tambahnya, "Kaulah juga yang dulu membawa
orang she Thi ini ke sini. Katamu dia orang baik-baik.
Jika dulu kita tidak menjadi sahabatnya, bagaimana
mungkin Ang Thian-kiat bisa mati begitu muda?"
Pian Go menundukkan kepala dan terdiam.
Namun si buta berkata, "Apapun yang terjadi, lebih baik
kalau ada beberapa saksi. Kita tidak boleh membunuh
tanpa alasan." Ia tertawa dan melanjutkan, "Karena Samko telah
membawa mereka datang, biarkanlah mereka masuk ke
dalam." Thi Toan-kah bersumpah takkan membuka matanya lagi.
Ia sungguh tidak ingin melihat tampang Tio Cing-ngo
lagi. 234 Ia juga bersumpah tak akan mengatakan satu perkataan
pun. Lalu didengarnya langkah kaki. Dua orang masuk ke
dalam rumah itu. Langkah orang yang pertama terdengar berat,
menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi. "Lan-kunpaktui (Kepalan Selatan Kaki Utara)". Tio Cing-ngo
berasal dari utara, maka sebagian besar ilmu silatnya
berada pada kakinya. Orang yang kedua bernafas
dengan berat, menunjukkan bahwa jika ia tahu ilmu silat
pun, ilmunya tidak tinggi. Ia tidak mendengar adanya
langkah orang yang ketiga.
Mungkinkah langkah orang yang ketiga tidak terdengar
sama sekali" Si buta bangkit dan berkata, "Akibat kemalangan yang
menimpa beberapa saudara kami di masa lalu, hari ini
kami harus mengundang kalian bertiga datang ke sini,
dan menunggu lewatnya badai salju. Aku sungguh minta
maaf." Suaranya datar. Perkataannya tidak cepat, tidak pula
lambat. Tidak ada seorang pun yang tahu apakah ia
sedang bersungguh-sungguh atau berpura-pura.
Terdengar Tio Cing-ngo berkata dengan suaranya yang
menggelegar, "Untuk membawa keadilan dalam dunia
persilatan, mati sekalipun aku rela. Ih-jisiansing tak perlu
sungkan."

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

235 Pembicaraan orang ini seharusnya terdengar berbobot
dan tulus. Namun Thi Toan-kah malah ingin muntah
setelah mendengarnya. Terdengar suara lain berbicara dengan tenang dan
tajam. "Aku hanya seorang penulis. Tapi aku sering
mendengar kisah-kisah kepahlawanan dalam dunia
persilatan. Aku bangga kalian di sini menganggap aku
cukup berharga untuk menjadi seorang hakim."
Kata si buta, "Aku berharap kau dapat menuliskan cerita
ini selengkapnya, supaya jika di kemudian hari ada orang
yang mengungkitnya, mereka akan tahu bahwa
keputusan kita hari ini adalah benar."
Penulis tua itu berkata, "Pasti. Setelah aku kembali, akan
kutuliskan seluruh kebenarannya. Waktu Tuan Pian
mengajak aku datang, itupun sudah terpikir olehku."
Thi Toan-kah akhirnya mengerti mengapa Pian Go
mengajak orang ini datang. Timbul rasa hormatnya
karena ketelitian Pian Go yang begitu rupa.
Si wanita mata satu berkata, "Tapi siapakah Tuan ini"
Sudikah engkau memperkenalkan namamu pada kami?"
Pertanyaan ini tertuju pada orang yang ketiga.
Orang ini tidak menjawab. Pian Go menjawab, "Temanku
ini tidak suka diketahui namanya."
Si buta berkata dingin, "Namanya tidak ada sangkutpautnya
dengan masalah ini. Kalau dia tidak mau
236 mengatakan, kita pun tak perlu bertanya. Namun dia
harus tahu nama kita."
Pian Go segera berkata, "Kami adalah delapan
bersaudara yang dijuluki "Tionggoan-pat-gi" oleh orangorang
kalangan persilatan. Namun mereka terlalu
berlebihan." Si buta memotong cepat. "Mereka tidak berlebihan.
Walaupun ilmu silat dan wajah kami tidak menonjol, kami
melakukan segala sesuatu dengan mengutamakan
kebenaran." Kata Tio Cing-ngo, "Siapa yang tidak kenal "Tionggoanpatgi?"" Si buta tidak menggubris, lanjutnya, "Aku adalah Ih
Beng-oh. Dulu aku dijuluki "Sin-bok-ji-tian (Si Mata Cepat
Halilintar)". Sekarang"." Disambungnya sambil
tersenyum, "julukanku adalah "Yu-gan-bu-cu (bermata
tapi tak bisa melihat)"."
Lalu si tabib berkata, "Kurasa kalian sudah mengenal
Samte "Po-ma-sin-jian (Si Kuda Cepat Tombak Hebat")"
Pian Go. Dan aku adalah Losi. Cayhe Kim Hong-pek."
Si penulis berkata, "Dari logatmu, sepertinya kau dari
Lam-yang-hu (Nan Yang)."
"Benar." 237 Si penulis berkata lagi, "Ada sebuah toko obat yang
terkenal milik keluarga Kim di Lam-yang-hu. Aku pun
pernah membeli obat dari sana satu kali. Apakah kau"."
Kim Hong-pek tertawa dan menyahut, "Apa istimewanya"
Bahkan Juragan muda Ban-seng-wan pun sekarang
berjualan ceker ayam."
Penulis tua itu bertanya, "Yang manakah dia?"
Penjual arak itu menjawab, "Sudah jelas aku."
[Ceker ayam adalah masakan yang biasanya disantap
sambil minum arak, sehingga beberapa penjual arak pun
menjual ceker ayam] "Cayhe Thio Seng-hun," kata si penjual arak pula, "si
tukang kayu adalah Lakte (adik Keenam) kami, meski
kapaknya sekarang cuma digunakan untuk memotong
kayu, tapi dahulu terkenal sebagai Lip-pi-hoa-san (sekali
tabas membelah gunung Hoa) ...."
"Dan aku Lojit (ketujuh), Cayhe Kongsun Uh, aku
bernama Uh (hujan), sebab lubang burik pada mukaku
mirip tetesan hujan," demikian si bopeng juga berucap.
Si penjual sayur kemudian berkata, "Dan aku Lopat
(kedelapan), Cayhe Sebun Liat."
Penulis itu bertanya, "Di manakah Lotoa kalian?"
Jawab Kongsun Uh, "Lotoa kami, Ang Thian-kiat, telah
terbunuh. Ini adalah jandanya"."
238 "Cayhe tidak sedap didengar, Li-tu-hou (si wanita jagal)
Ang-toanio," tukas si perempuan bermata satu, "kuharap
kau ingat baik-baik Cayhe."
Penulis itu tersenyum. "Walaupun aku sudah tua,
ingatanku masih cukup baik."
Ang-toanio berkata, "Kami ingin kau mengingat nama
kami bukan supaya kami terkenal, namun agar kisah
sedih kami didengar oleh banyak orang. Dengan cara ini,
orang-orang dunia persilatan akan tahu kebenarannya."
Kongsun Uh menambahkan, "Orang ini bernama Thi
Toan-kah. Ia adalah pembunuh Lotoa kami!"
Kim Hong-pek berkata, "Kami saudara berdelapan,
sangat dekat hubungannya. Walaupun kami punya
pekerjaan masing-masing, kami berdelapan selalu
berkumpul untuk merayakan tahun baru di rumah
Lotoa." Thio Seng-hun menambahkan, "Kami berdelapan sangat
berbahagia, sehingga kami tidak pernah berusaha
mencari teman yang lain. Namun pada tahun itu, Samko
datang membawa seseorang ke pertemuan tahunan
kami. Katanya, orang itu adalah sahabatnya."
Kongsun Uh memotong dengan nada getir, "Orang itu
adalah keparat yang tak tahu terima kasih, yang menjual
sahabatnya demi uang, Thi Toan-kah."
Kim Hong-pek lalu berkata, "Lotoa adalah seseorang
yang tidak takut mati. Waktu ia melihat bahwa Thi ToanKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
239 kah bersikap seperti seorang pria sejati, ia dengan tidak
ragu-ragu memperlakukan Thi Toan-kah sebagai sahabat
juga. Siapa sangka, ia bukan manusia, tapi seekor
anjing!" Thio Seng-hun menyambung ceritanya, "Setelah
perayaan tahun baru, kami pun pergi, namun Lotoa
menahannya untuk tinggal satu dua bulan lagi. Saat
itulah ia diam-diam menghubungi musuh-musuh Lotoa.
Mereka menyerang di malam hari dan membunuh Lotoa.
Walaupun istrinya tidak mati, ia terkena luka yang
serius." Ang-toanio berteriak, "Lihat bekas luka di wajahku ini!
Luka ini hampir saja membelah wajahku menjadi dua.
Jika mereka tahu aku belum mati, aku tak akan bisa
lolos." Kongsun Uh berkata, "Hari itu, semua orang di rumah itu
mati, sehingga tidak seorang pun tahu siapa pelakunya."
Kim Hong-pek berkata, "Waktu kami tahu, kami
meninggalkan segala sesuatu dan bersumpah untuk
membalas dendam. Untunglah, Langit masih punya
mata"." Ang-toanio mengakhiri, "Kami sudah menceritakan kisah
kami. Katakanlah sekarang, apakah orang ini pantas mati
atau tidak." Tio Cing-ngo langsung menjawab, "Jika ceritamu benar,
maka disayat menjadi seribu bagian pun belum cukup
untuk membayar kesalahannya."
240 Kongsun Uh melompat bangkit dan berkata dengan
marah, "Tiap kata adalah kebenaran. Jika kalian tidak
percaya pada kami, tanyakanlah sendiri padanya!"
Thi Toan-kah berkata sambil mengatupkan giginya, "Aku
sudah bilang dari dulu. Aku malu akan perbuatanku. Aku
bersedia mati." Kongsun Uh berseru, "Dengar! Dia sendiri mengakuinya!"
Penulis itu berkata, "Ia sangat licik dan kejam."
Ang-toanio berkata, "Kalau begitu, kalian bertiga yakin
bahwa dia pantas mati, bukan?"
Penulis itu menjawab dengan yakin, "Ya!"
Tio Cing-ngo berkata, "Jangan hanya bunuh dia, potongpotong
dia jadi seribu bagian, supaya keadilan dalam
dunia persilatan sungguh-sungguh ditegakkan."
Lalu terdengar suara lain, "Kau terus-menerus
mengatakan "dunia persilatan". Apakah kau mewakili
dunia persilatan?" Suara itu tajam dan menusuk. Seperti pedang, dingin
dan cepat. Ini pertama kalinya ia berbicara dalam ruangan itu. Ini
pasti si orang ketiga dapat berjalan tanpa suara itu.
Hati Thi Toan-kah berdegup kencang. Ia merasa kenal
dengan suara ini. 241 Ia terpaksa membuka matanya, dan terlihat olehnya
bahwa orang yang duduk di sebelah Tio Cing-ngo adalah
si anak muda kesepian, A Fei!
Fei-siauya (tuan Fei)" Mengapa kau ada di sini"
Pertanyaan itu hampir saja terucap dari bibir Thi Toankah,
namun diurungkannya. Perangai Tio Cing-ngo langsung berubah. "Maksudmu,
dia tidak pantas mati?"
A Fei menjawab dingin, "Kalau aku merasa dia tidak
pantas mati, apakah akan kaubunuh aku juga?"
Kata Ih Beng-oh, "Kami membawa kalian ke sini untuk
keadilan. Jika kau mempunyai alasan yang kuat untuk
melepaskannya, akan kami lakukan dengan segera."
Tio Cing-ngo berkata, "Kurasa ia hanya mau membuat
masalah. Mengapa harus berdebat dengan dia?"
A Fei memandangnya. Lalu ia berkata dengan tenang,
"Kau bilang ia mengkhianati sahabatnya demi harta, tapi
bukankah kau juga sama saja" Hari itu di rumah Tuan
Ang, bukankah kau pun salah satu yang menyerang dia"
Hanya saja Ang-toanio tidak melihatmu!"
Delapan bersaudara itu nampak sangat terkejut, tanya
mereka, "Apakah benar begitu?"
Kata A Fei, "Ia ingin membunuh orang itu untuk
membungkam mulutnya."
242 Tio Cing-ngo awalnya tetap tenang, namun kini ia mulai
gemetar. "Kau"." Dengan sangat marah ia mulai menyerukan segala
macam sumpah serapah. Baru belakangan dia menyadari
kata-kata kotor itu tidak bermanfaat sama sekali.
Lalu ia tersenyum dingin dan berkata, "Tak disangka
anak muda macam kau bisa berbohong tanpa berkedip.
Tapi itu kan hanya perkataanmu saja. Tidak ada yang
mau percaya!" Kata A Fei, "O ya" Lalu mengapa kita percaya kata-kata
mereka?" Tio Cing-ngo berkata, "She Thi sudah mengakui
perbuatannya. Tidakkah kau dengar?"
Sahut A Fei, "Aku dengar."
Sebelum perkataannya, ujung pedangnya telah berada di
depan leher Tio Cing-ngo.
Tio Cing-ngo telah bertempur ratusan kali. Tidak mudah
untuk menyerangnya tanpa ketahuan. Namun entah
bagaimana, ia bahkan tidak melihat kapan anak muda itu
menarik keluar pedangnya!
Ia hanya melihat suatu bayangan samar, dan detik
selanjutnya, pedang itu telah mengancam lehernya. Ia
langsung mematung, lalu katanya, "A"Apa maumu?"
243 Sahut A Fei, "Aku hanya ingin tanya. Hari itu di rumah
Tuan Ang, apakah kau ada di sana?"
Tio Cing-ngo berteriak marah, "Apakah kau sudah gila?"
A Fei menyahut dengan tenang, "Jika kau tak mengaku,
aku harus membunuhmu."
Ia mengatakan kalimat itu dengan nada datar, seolaholah
sedang bercanda. Keringat mulai membasahi muka Tio Cing-ngo.
"A"Aku"."
Kata A Fei, "Lebih baik kau menjawab dengan benar.
Berdoalah agar jawabanmu tidak salah."
Semua orang di situ telah melihat pedang A Fei yang
terselip di pinggang. Mereka semua berpikir pedang itu
lucu sekali. Namun sekarang, tidak seorang pun berpikir
demikian. A Fei terus berbicara, "Ini adalah terakhir kalinya aku
akan bertanya. Aku tak akan mengulangi lagi. Apakah
kau membunuh Ang Thian-kiat?"
Tio Cing-ngo tak tahu harus menjawab apa dan akhirnya
berkata, "Ya"."
Waktu ia menjawab demikian, kedelapan bersaudara itu
terperangah, tak percaya pendengaran mereka.
244 A Fei lalu tersenyum dan berkata, "Jangan kuatir. Dia tak
ada sangkut-pautnya dengan kematian Ang Thian-kiat."
Kini delapan bersaudara itu bengong memandang A Fei.
A Fei melanjutkan, "Aku hanya ingin menyampaikan satu
hal. Jika seseorang mengakui kesalahannya dibawah
tekanan, itu tidak dapat dijadikan bukti!"
Namun delapan bersaudara itu bertanya, "Kapan kami
menekan dia?" "Kau pikir kami memukulinya sampai dia mengaku?"
"Jikalau demikian, mengapa ia tidak berkata apa-apa?"
Tiba-tiba Ih Beng-oh berkata, "Thi Toan-kah, jika kau
merasa diperlakukan tidak baik, katakanlah sekarang."
Thi Toan-kah hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Wajahnya penuh dengan kepedihan.
Kata Ang-toanio, "Karena kau tak bilang apa-apa, berarti
kau telah mengakuinya. Kami tidak pernah
mengancammu dengan pedang di lehermu."
Thi Toan-kah berkata, "Fei-siauya (tuan Fei), aku tidak
bisa bilang apa-apa. Maafkan aku. Kebaikan hatimu
tersia-sia begitu saja."
Sahut A Fei,"Apapun yang dia katakan, aku tidak percaya


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau dia orang semacam itu."
245 Kata Kongsun Uh, "Lihatlah fakta-faktanya. Kau tidak
bisa mendebatnya." Ang-toanio tertawa dingin, "Siapa yang peduli apakah dia
percaya atau tidak. Mengapa kita harus mempedulikan
dia?" Kim Hong-pek pun angkat suara, "Betul. Masalah ini tak
ada sangkut-pautnya dengan dia."
Ang-toanio berseru dengan kasar, "Kau pikir kau ini
siapa" Mencampuri urusan kami."
Si tabib juga berkata, "Bagaimana kalau kulukai dia" Apa
yang akan kau perbuat?"
Si tabib paling jarang berbicara. Namun paling cepat
bergerak. Sebelum selesai bertanya, kapaknya telah
memotong dengan gerakannya yang paling terkenal, "Lippihoa-san (Membelah Gunung Huo". Thi Toan-kah duduk
diam, menunggu kapak itu membelahnya menjadi dua.
Penulis itu tercekat, disangkanya darah akan muncrat
keluar. Tak disangka, pada saat yang tepat, sebilah pedang
berkilat dan memotong kapak itu menjadi dua! Sepotong
jatuh di depan Thi Toan-kah. Delapan bersaudara itu
menyaksikan rentetan kejadian itu dan tak seorang pun
mempercayai penglihatan mereka. Sebelum ada yang
sempat bicara, pedang A Fei telah sampai ke depan leher
si tabib. 246 Waktu A Fei menyerang Tio Cing-ngo, mereka tidak
menganggapnya sungguh-sungguh. Namun saat ini,
semuanya terlihat sangat terkejut dan ketakutan.
Mereka tidak bisa percaya ada pedang dengan kecepatan
seperti itu! Namun A Fei sendiri bersikap biasa saja. Dibantunya Thi
Toan-kah bangkit, lalu katanya, "Mari kita minum arak."
Kongsun Uh, Kim Hong-pek dan Pian Go segera
menghalangi jalan mereka.
Kata Kim Hong-pek, "Kau hendak pergi sekarang" Tidak
semudah itu." A Fei menyahut dengan tenang, "Apa yang kau ingin aku
lakukan" Membunuhmu?"
Tiba-tiba Ih Beng-oh mendesah, "Biarkanlah mereka
pergi." Kata Ang-toanio berang, "Bagaimana kita membiarkan
dia pergi" Semua usaha kita sia-sia?"
Ih Beng-oh melanjutkan, "Kau boleh pergi. Ini adalah
cara dunia persilatan. Siapa yang memiliki pedang
tercepat, dialah yang benar."
Sahut A Fei, "Terima kasih untuk pengarahanmu. Aku tak
akan pernah lupa." 247 Ang-toanio kini tersedu-sedu, "Bagaimana bisa kau
lepaskan dia" Bagaimana bisa kau lepaskan dia!"
Wajah Ih Beng-oh membatu. "Apa yang kau inginkan"
Kau ingin dia membunuh kita semua?"
Kata Pian Go, "Jisuheng memang benar. Selama kita
masih hidup, kita dapat membalas dendam di kemudian
hari." Tiba-tiba Ang-toanio melompat dan merenggut bajunya.
"Kau masih punya nyali untuk berbicara" Ini satu lagi
"kawanmu". Ini sudah kali kedua"."
Kata Pian Go, "Kau benar. Akulah yang membawanya.
Aku akan bertanggung jawab." Sambil mengatakan ini, ia
keluar dari ruangan. Nyonya tercekat, lalu berteriak, "Samko, kembalilah!"
Segera ia mengejar keluar, namun Pian Go sudah tidak
terlihat lagi. Ih Beng-oh mendesah dan berkata, "Biarkanlah dia pergi.
Kuharap ia dapat bertemu dengan temannya."
Mata Kim Hong-pek berbinar, "Maksudmu?"
Sahut Ih Beng-oh, "Jika kau sudah tahu siapa yang
kumaksud, mengapa bertanya lagi?"
248 Kata Kim Hong-pek, "Jika Samko benar-benar dapat
menemukan dia, bagaimana pun cepatnya pedang anak
muda ini, ia tidak akan mungkin lolos."
Tio Cing-ngo tiba-tiba tertawa. "Sebenarnya Tuan Pian
tidak perlu mencari orang itu."
"O ya?" Sahut Tio Cing-ngo, "Dalam dua hari ini, tiga orang akan
datang ke sini. Walaupun anak muda itu punya tiga
kepala Tan Oknam tangan, aku jamin ketiga kepalanya
akan copot seketika!"
Tanya Kim Hong-pek, "Siapa ketiga orang itu?"
Kata Tio Cing-ngo, "Jika kusebutkan nama mereka,
mungkin kau pun akan mati berdiri."
Bab 12. Keduanya adalah Orang-orang yang Patah
Hati Walaupun hari masih siang, langit mendung bagaikan
magrib. A Fei berjalan tenang, sama seperti waktu pertama kali
Thi Toan-kah melihat dia berjalan. Masih begitu
kesepian, begitu lelah. Namun sekarang Thi Toan-kah tahu. Begitu ada bahaya,
anak muda ini akan langsung waspada. Berjalan
berdampingan dengannya, sebenarnya Thi Toan-kah
ingin membicarakan begitu banyak hal, namun ia tidak
249 tahu harus mulai dari mana. Li Sun-Hoan tidak pernah
bicara banyak. Dan setelah bersama-sama dengan Li
Sun-Hoan selama bertahun-tahun, ia tahu bagaimana
menggunakan keheningan untuk menggantikan katakata.
Hanya dua kata yang diucapkannya, "Terima
kasih." Namun segera disadarinya bahwa dua kata ini pun tidak
perlu diucapkan. Karena A Fei sama dengan Li Sun-Hoan.
Seseorang tidak perlu mengatakan "terima kasih" di
hadapan mereka. Ada sebuah paviliun di sana. A Fei berjalan menuju ke
sana, dan tiba-tiba ia bertanya, "Mengapa kau tak
mengatakan yang sesungguhnya pada mereka?"
Thi Toan-kah berpikir cukup lama, lalu mendesah. "Ada
beberapa hal yang tidak ingin kuucapkan. Lebih baik mati
daripada mengucapkannya."
Kata A Fei, "Kau memang sahabat yang baik, namun kau
salah akan satu hal."
"Apa itu?" Sahut A Fei, "Kau pikir karena nyawamu adalah milikmu,
kau berhak untuk mati."
"Salahkah itu?"
Jawab A Fei, "Salah sekali."
250 Tiba-tiba ia menoleh dan menatap Thi Toan-kah. Lalu
katanya, "Seseorang dilahirkan, bukan untuk mati."
Kata Thi Toan-kah, "Kau benar. Tapi kalau bukan karena
situasi yang tak ada jalan keluarnya"."
A Fei berkata lagi, "Sekalipun kau harus mati, kau tetap
harus mengerahkan segala daya upaya untuk tetap
hidup." Ia terus menatap Thi Toan-kah. Katanya dengan tajam,
"Tuhan telah memberi engkau begitu banyak. Apa yang
telah kau perbuat bagiNya?"
"Tidak ada." "Untuk membesarkanmu, ayah dan ibumu telah
berkorban begitu banyak. Apa yang telah kau perbuat
bagi mereka?" Thi Toan-kah hanya dapt menundukkan kepalanya.
Kata A Fei, "Kau tahu bahwa ada hal-hal yang tidak
dapat dibicarakan. Jika kau mengatakannya, berarti kau
mengkhianati sahabatmu. Namun jika kau mati begitu
saja, apakah kau tidak mengkhianati ayah ibumu,
mengkhianati Tuhan?"
Thi Toan-kah menengadah ke langit, lalu berkata, "Aku
salah". Aku salah"."
Sepertinya ia telah mengambil suatu keputusan besar.
"Aku tak mau mengatakannya karena"."
251 A Fei memotong cepat, "Aku percaya padamu. Kau tak
perlu memberi penjelasan."
Thi Toan-kah tidak tahan untuk tidak bertanya,
"Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku tidak melakukan
apa yang mereka tuduhkan?"
Jawab A Fei, "Aku hanya mengetahuinya."
Matanya sungguh terang, penuh dengan rasa percaya
diri. Lalu ia melanjutkan, "Mungkin karena aku tumbuh di
alam bebas. Seperti binatang buas, aku punya naluri
membedakan yang baik dan yang jahat."
*** Dalam benak Li Sun-Hoan, ada yang lebih menyebalkan
daripada tidak bisa minum arak, yaitu minum arak
dengan orang-orang yang menyebalkan.
Ia merasa bahwa semua orang yang ada di situ sangat
menyebalkan. Bayangkan, Yu Liong-sing adalah yang
terbaik dari sekumpulan orang itu. Setidaknya ia tidak
bukan penjilat. Maka dia pura-pura sakit.
Liong Siau-hun tahu sifat Li Sun-Hoan, sehingga ia diam
saja. Oleh sebab itu, Li Sun-Hoan berbaring saja dalam
kamarnya menunggu datangnya malam.
Ia tahu, malam ini akan terjadi sesuatu yang menarik.
252 Waktu ia terpikir akan kencannya dengan Lim Sian-ji
nanti malam, matanya bercahaya. Namun waktu ia
terpikir akan Thi Toan-kah, wajahnya kembali murung.
Akhirnya, hari mulai gelap.
Li Sun-Hoan bangkit. Namun ia mendengar langkah
ringan di atas salju di luar, jadi ia kembali berbaring.
Langkah itu berhenti di depan jendela.
Li Sun-Hoan hanya menunggu dengan diam. Ia tidak
bertanya siapa yang datang. Orang itu tampaknya raguragu
untuk masuk, jadi tidak mungkin Liong Siau-hun.
Liong Siau-hun tak mungkin menunggu di depan pintu.
Jadi siapakah orang ini"
Si-im" Seluruh darah dalam tubuhnya bergejolak. Tubuhnya
sampai menggigil. Kemudian orang di luar terbatuk kecil.
"Apakah Li-heng sedang tidur?"
Ini adalah suara Yu Liong-sing. Li Sun-Hoan menghela
nafas lega. Ia tidak tahu apakah ia harus sedih atau
gembira. Yu Liong-sing masuk dan duduk. Matanya tidak pernah
memandang ke arah Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan
menyalakan lilin, dan baru ia sadari bahwa wajah
pemuda ini sangat pucat. 253 Li Sun-Hoan bertanya sambil tersenyum, "Kau ingin
minum teh, atau arak?"
Yu Liong-sing menjawab pendek, "Arak."
Li Sun-Hoan masih tersenyum. "Bagus. Aku memang
tidak punya teh." Yu Liong-sing minum tiga cawan dalam sekejap. Lalu ia
bertanya, "Tahukah kau mengapa aku minum arak?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Sepertinya kau tidak sedang
bersedih. Jadi mungkin untuk menambah semangat?"
Yu Liong-sing kini menatap Li Sun-Hoan. Tiba-tiba
tawanya meledak. Saat itulah, dihunusnya pedang dari pinggangnya.
Tiba-tiba pula tawanya berhenti. Lalu ia bertanya,
"Kenalkah kau dengan pedang ini?"
Li Sun-Hoan menyentuh sedikit sisi pedang itu, katanya,
"Pedang yang luar bisasa."
Mata Yu Liong-sing berbinar. "Li-heng adalah ahli
tentang pedang. Aku yakin kau pasti tahu bahwa pedang
ini adalah salah satu pedang paling terkemuka di dunia."
Ia melihat pada pedang itu dan menyambung, "Ini
adalah "Toat-ceng-kiam (Pedang Perenggut Cinta")" yang
dipakai oleh Tik Bu-cu 300 tahun yang lalu. Aku yakin Liheng
tahu latar belakang kisahnya, bukan?"
254 "Ceritakan saja."
"Tik Bu-cu cinta setengah mati pada pedangnya,
sehingga ia tidak pernah jatuh cinta pada seorang wanita
sampai ia setengah umur. Mereka lalu berencana untuk
menikah. Namun beberapa hari sebelum pernikahan, ia
baru tahu bahwa tunangannya dan sahabat karibnya Si
Dewa Golok, Pang Ging, diam-diam berkencan. Dalam
kemarahannya, ia membunuh Pang Ging dengan pedang
ini. Dan pedang ini pun menjadi teman hidupnya dan dia
tidak pernah lagi berpikir untuk menikah."
Ia memandang Li Sun-Hoan. "Kau mungkin berpikir
bahwa cerita ini sederhana dan membosankan. Namun
ini adalah kisah nyata."
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Aku hanya berpikir
bahwa Tik Bu-cu, walaupun dia adalah jago pedang yang
hebat, pikirannya agak sempit. Mengapa seorang pria
sejati mengorbankan persahabatan demi seorang
wanita?" Yu Liong-sing pun tersenyum, katanya, "Tetapi
menurutku, ia adalah pria sejati. Hanya pria sejati yang
dapat mencintai begitu dalam."
Li Sun-Hoan terkekeh, "Jadi kau ingin mengikuti jejak Tik
Bu-cu 300 tahun yang lalu. Betul kan?"
Yu Liong-sing menatap Li Sun-Hoan dengan pandangan
sedingin es, dan berkata dingin, "Itu tergantung apakah
Li-heng akan mengikuti jejak Si Dewa Golok Pang Ging
300 tahun yang lalu atau tidak!"
255 Li Sun-Hoan mengeluh. "Kau tahu, malam ini bulan
sangat indah. Mengapa kau merusak suasana yang
begitu damai dengan kata-kata seperti itu?"


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Yu Liong-sing, "Jadi kau masih akan pergi ke sana
malam ini?" Sahut Li Sun-Hoan, "Jika aku membiarkan seorang gadis
seperti Nona Lim menikmati keindahan bulan sendirian,
aku merasa seperti seorang penjahat."
Wajah Yu Liong-sing yang pucat menjadi merah padam.
Kemarahannya tergambar dengan jelas. Pedang itu
berbalik, terarah pada samping leher Li Sun-Hoan.
Namun Li Sun-Hoan masih tersenyum. "Dengan ilmu
pedangmu, kau masih belum bisa menandingi Tik Bu-cu."
Yu Liong-sing berseru dengan marah, "Aku tidak perlu
mengerahkan seluruh kemampuanku untuk
membunuhmu!" Saat mengucapkan kalimat itu, Yu Liong-sing telah
menyerang sepuluh langkah.
Terdengar suara pedang membelah angin, cepat dan
keras. Cawan arak di meja hancur berantakan oleh angin
pedang itu. Arak tumpah membasahi lantai. Walaupun
gerakan pedangnya makin lama makin cepat, Li SunHoan tidak tampak bergerak. Seolah-olah tak ada yang
terjadi. Semua serangannya mengenai tempat kosong.
256 Yu Liong-sing mengertakkan giginya. Serangannya
menjadi semakin tajam. Ia melihat tangan Li Sun-Hoan masih kosong. Setiap
serangan pedangnya dibuat untuk menghalangi Li SunHoan menggunakan pisaunya.
Namun Li Sun-Hoan memang tidak bermaksud
menggunakan pisaunya. Ia hanya menantikan
berakhirnya serangan ini. Tiba-tiba ia tersenyum,
katanya, "Untuk seorang pemuda seusiamu, ilmu
pedangmu sungguh hebat. Namun untuk seorang
pemuda yang memiliki seorang ayah seperti ayahmu dan
guru seperti gurumu, jika engkau berkelana, habislah
sudah reputasi mereka."
Sungguh luar biasa, ia masih dapat berbicara dengan
santai dibawah serangan setajam itu. Yu Liong-sing
menjadi semakin marah dan tidak sabar. Namun entah
bagaimana, serangannya selalu luput, tidak
mengoyakkan sedikit pun baju Li Sun-Hoan.
Ketika ia menyerang leher Li Sun-Hoan, Li Sun-Hoan
berkelit ke kiri. Ketika dipindahkan serangannya ke kiri,
seakan-akan Li Sun-Hoan tidak jadi berkelit. Jadi
walaupun serangannya sangatlah mematikan, Li SunHoan sama sekali tidak terpengaruh.
Yu Liong-sing kembali mengertakkan giginya. Serangan
berikutnya terarah ke dada Li Sun-Hoan. Pikirnya,
"Sekarang, apapun yang terjadi, aku takkan tertipu lagi."
257 Setelah tertipu beberapa kali, kali ini ia bertekad tidak
akan mengubah arah serangannya.
Dilihatnya bahu kiri Li Sun-Hoan bergerak sedikit,
tubuhnya meliuk ke kanan. Kali ini, ia benar-benar
bergerak! Pedang Yu Liong-sing luput lagi.
Kemudian Li Sun-Hoan menjentikkan jarinya di pinggir
pedang itu. Yu Liong-sing merasakan getaran yang sangat kuat.
Tubuhnya tiba-tiba seolah-olah lumpuh, pedangnya tak
terkendali dan terlempar ke luar jendela menuju ke arah
hutan. Li Sun-Hoan tetap berdiri di situ. Bahkan kakinya tak
bergeser sejengkalpun. Yu Liong-sing merasa seluruh darahnya naik ke kepala,
lalu serentak turun ke kakinya. Tubuhnya terasa dingin.
Li Sun-Hoan menepuk pundaknya, dengan tersenyum ia
berkata, "Pedangmu sangat berharga. Pergi dan
ambillah." Yu Liong-sing menghentakkan kakinya, lalu berbalik dan
segera pergi. Namun tiba-tiba saja ia berhenti. Katanya,
"Kalau". Kalau kau punya nyali, tunggulah satu tahun
lagi. Tahun depan aku akan mencarimu untuk membalas
dendam." Sahut Li Sun-Hoan, "Satu tahun" Kelihatannya satu tahun
masih kurang." 258 Lalu ia menambahkan, "Kau punya potensi yang baik.
Ilmu pedangmu pun cukup baik. Permasalahannya
adalah emosimu. Kau tidak sabar dan sombong. Jadi,
ketika kau bertemu dengan lawan yang lebih kuat, kau
langsung hancur. Sebenarnya, jika hari ini kau lebih
sabar sedikit, kau bisa melukai aku. "
Mata Yu Liong-sing langsung bersinar, namun Li SunHoan meneruskan, " Tapi kesabaran itu lebih mudah
diucapkan daripada dijalankan. Jadi, kalau kau ingin
mengalahkan aku, kau perlu setidaknya tujuh tahun!"
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata lagi, "Pergilah. Dan
berlatihlah baik-baik tujuh tahun, baru kembali untuk
membalas dendam. Tujuh tahun bukanlah waktu yang
lama." Malam kembali tenang. Li Sun-Hoan memandang langit malam melalui jendela
kamarnya. Ia berdiri di sana cukup lama. Lalu ia
menggumam sambil memandang ke malam kelam, "Anak
muda, janganlah kau membenci aku. Sebetulnya, aku
ingin menyelamatkanmu. Jika kau terus bersama dengan
Lim Sian-ji, ia akan menghancurkan hidupmu."
Li Sun-Hoan tahu Lim Sian-ji sedang menantikan dia dan
telah mempersiapkan tipu daya yang lain. Ia penasaran
akan apa yang sedang direncanakan oleh wanita itu.
Waktu Yu Liong-sing pergi, ia bukan lagi anak muda yang
sombong, yang angkuh. Ia berkata pada Li Sun-Hoan,
"Jika kau betul-betul menyukai Lim Sian-ji, kau akan
259 menyesal. Ia adalah milikku. Kami telah". telah".
Mengapa kau mau memakai sepatu bekasku?"
Namun saat itu Li Sun-Hoan hanya tersenyum dan
menjawab, "Sepatu bekas selalu lebih nyaman daripada
sepatu baru." Ketika ia membayangkan wajah Yu Liong-sing saat
meninggalkannya, ia merasa kasihan, namun ia juga
merasa geli. Apakah Lim Sian-ji betul-betul wanita
semacam itu" Ia melangkah keluar pintu, dan dilihatnya sekelebat
cahaya dari dalam hutan. Dua pelayan datang mendekat. Mereka membawa
sepasang lentera dan berbisik-bisik satu dengan yang
lain, lalu tertawa tertahan. Ketika mereka melihat Li SunHoan, mereka langsung terdiam.
Kini Li Sun-Hoanlah yang terkekeh, katanya, "Apakah
Nona Lim menyuruh kalian untuk memanggilku?"
Pelayan yang di sebelah kiri, yang tampak lebih tua dan
lebih jangkung menjawab, "Sebetulnya, Nyonya kamilah
yang ingin bertemu dengan Li-tayhiap."
Li Sun-Hoan terperangah, "Nyonya?"
Ia bertanya dengan gelisah, "Nyonya yang mana?"
Pelayan yang lebih muda mengikik. "Hanya ada satu
Nyonya dalam rumah ini."
260 Tubuh Li Sun-Hoan masih di sana, namun pikirannya
telah melayang ke luar hutan pohon Bwe itu. Ke pondok
kecil itu". Sepuluh tahun yang lalu, ia selalu berkunjung ke sana. Ia
ingat, yang ada di meja selalu hanya makanan-makanan
kesukaannya. Li Sun-Hoan berjalan tergesa-gesa. Kini ia berada di
pondok kecil itu lagi. Cahaya di atas terlihat temaram. Sama seperti sepuluh
tahun yang lalu. Bahkan salju di atas atap pun masih
sama indahnya dengan sepuluh tahun yang lalu.
Namun, sepuluh tahun telah berlalu".
Sepuluh tahun yang takkan mungkin terulang lagi.
Li Sun-Hoan tidak punya cukup keberanian untuk naik ke
atas. Namun ia harus ke sana. Apapun alasannya dia meminta Li Sun-Hoan datang, ia
tidak mungkin menolaknya.
Sesampainya di puncak tangga, badannya serasa
membeku. Sepuluh tahun, seperti terhapus begitu saja. Rasanya ia
telah kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Hatinya
berdegup kencang, seperti anak muda yang jatuh cinta
261 pertama kali. Kehangatan sepuluh tahun yang lalu"..
Mimpi-mimpi sepuluh tahun yang lalu.
Li Sun-Hoan tidak berani melanjutkan pikirannya. Itu
artinya mengkhianati Liong Siau-hun, dan juga dirinya
sendiri. Ia ingin sekali lari dari situ.
Namun didengarnya suara dari balik tirai, "Silakan
duduk." Suara itu masih semerdu sepuluh tahun yang lalu. Hanya
kini, suara itu terasa jauh, dan dingin. Kalau tidak
melihat makanan yang sama pula terhidang di atas meja,
mungkin tak bisa dipercaya bahwa ia sedang menjumpai
kenalan lama. Ia hanya bisa duduk dan berkata, "Terima kasih."
Lalu seseorang keluar dari balik tirai itu.
Nafas Li Sun-Hoan hampir berhenti. Namun yang keluar
hanyalah seorang anak kecil. Ia masih mengenakan
bajunya yang merah, tapi wajahnya tampak seputih
kertas. Terdengar lagi suara dari balik tirai, "Jangan lupa apa
yang Ibu baru saja katakan. Tuangkanlah secangkir arak
untuk Paman Li." Ang-hai-ji menyahut patuh, "Ya."
Li Sun-Hoan tidak tahu harus berpikir atau berkata apa.
Walaupun ia tidak melakukan apa pun yang salah, ia
262 tetap merasa seperti seorang penjahat di hadapan anak
ini. Si-im, Si-im. Apakah maksudmu mengundangku adalah
untuk menyiksaku" Bagaimana ia dapat minum arak ini" Namun, bagaimana
pula kalau tak diminumnya arak ini"
Ang-hai-ji berkata, "Walaupun keponakan tak bisa lagi
berlatih ilmu silat, seorang laki-laki tak bisa hidup
dibawah naungan orang tuanya seumur hidupnya. Aku
harap Paman Li bersedia mengajarkan beberapa jurus
perLindungan diri, supaya keponakan tidak dipermainkan
orang di kemudian hari."
Li Sun-Hoan mengeluh dalam hati, lalu diulurkannya
tangannya. Di tangan itu terdapat sebilah pisau.
Lim Si-im berkata dari balik tirai, "Pamanmu tak pernah
mengajarkan ilmu pisau itu kepada siapapun. Jika kau
mempelajarinya, kau tak perlu takut orang akan
mempermainkan engkau. Cepat berterima kasih pada
Paman Li." Ang-hai-ji lalu berlutut dan berkata, "Terima kasih,
Paman Li." Li Sun-Hoan tersenyum. Pikirnya, "Tak ada yang dapat
mengalahkan kasih ibu terhadap anaknya. Namun
pertanyaannya sekarang, bagaimanakah seorang anak
memperlakukan ibunya?"
263 Seorang pelayan lalu membawa anak itu pergi, namun
Lim Si-im masih berada di balik tirai. Tapi ia juga tidak
membiarkan Li Sun-Hoan pergi.
Li Sun-Hoan biasanya adalah seseorang yang percaya
diri. Namun saat itu, entah mengapa, ia hanya bisa
duduk diam di situ seperti orang tolol.
Malam telah bertambah larut.
Apakah Lim Sian-ji masih menunggunya"
Tiba-tiba Lim Si-im bertanya, "Apakah kau ada urusan
lain?" Jawab Li Sun-Hoan, "Ti".Tidak."
Lim Si-im terdiam sejenak, lalu berkata, "Kau pasti sudah
bertemu dengan Lim Sian-ji."
Kata Li Sun-Hoan, "Satu atau dua kali."
Kata Lim Si-im lagi, "Ia sungguh malang. Ia tumbuh
dalam Lingkungan yang buruk. Jika kau telah berjumpa
dengan ayahnya, kau pasti mengerti."
"Aku mengerti."
Lim Si-im melanjutkan, "Suatu hari, aku pergi ke "Tebing
Pengorbanan" untuk berdoa. Aku melihat dia akan terjun
dari atas tebing itu. Jadi kuselamatkan dia". Kau tahu
mengapa ia ingin terjun dari atas tebing itu?"
264 Jawab Li Sun-Hoan, "Tidak."
Sahut Lim Si-im, "Karena penyakit ayahnya."
Li Sun-Hoan hanya tergugu di kursinya.
Lim Si-im melanjutkan lagi, "Ia tidak hanya pandai dan
sangat cantik, ia juga amat tegar. Ia tahu, ia berasal dari
keluarga miskin, sehingga ia harus bergantung dari
banyak orang. Ia kuatir orang-orang akan menghina dia."
Kata Li Sun-Hoan, "Kurasa kini tak akan ada yang
menghina dia, bukan?"
Sahut Lim Si-im, "Itu akibat dari ketegarannya bertahuntahun
ini. Sayangnya, ia masih amat muda, sehingga
hatinya pun sangat lembut. Aku kuatir ia akan terjerat
tipu daya orang lain."
Li Sun-Hoan tertawa getir. "Jika orang lain tidak
terperdaya olehnya, aku sungguh bergembira."
Kata Lim Si-im, "Aku hanya berharap ia mendapatkan
suami yang baik, tidak terkecoh begitu saja dan
menderita seumur hidupnya.
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu bertanya, "Mengapa
kau katakan ini padaku?"
Lim Si-im pun berpikir sejenak, lalu menjawab, "Kau
tidak tahu mengapa aku katakan ini padamu?"
Sebenarnya Li Sun-Hoan memang tahu.
265

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maksud Lim Si-im menahan dia di situ adalah untuk
mencegah pertemuannya dengan Lim Sian-ji. Yu Liongsing
pasti telah memberitahukan padanya.
Lim Si-im berkata, "Apapun yang terjadi, kita adalah
teman lama. Aku ingin memohon bantuanmu."
Hati Li Sun-Hoan membeku, namun ia tetap tersenyum.
"Kau tidak ingin aku menemui Lim Sian-ji?"
"Betul." Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, lalu berkata,
"Kau"Kau pikir aku menyukai dia?"
Sahut Lim Si-im, "Aku tak peduli apa perasaanmu
terhadap dia. Aku hanya mohon kau tidak menemuinya."
Li Sun-Hoan menghabiskan arak dalam cawan itu dengan
sekali teguk. Lalu ia berkata, "Kau benar. Aku adalah
petualang yang tidak berguna. Jika aku pergi
menjumpainya, aku hanya akan menyakitinya"."
Bab 13. Bencana yang Aneh
Tanya Lim Si-im, "Jadi kau setuju?"
Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. "Tak tahukah kau
bahwa aku suka sekali menyakiti orang?"
Ia bangkit dan berkata, "Selamat malam."
266 Suara Lim Si-im bergetar. "Kau telah pergi, mengapa kau
kembali lagi" Kami telah hidup dengan damai.
Mengapa".Mengapa kau harus kembali dan membuat
kesulitan bagi kami?"
Li Sun-Hoan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
mengatupkan mulutnya. Namun bibirnya masih bergetar.
Suara Lim Si-im menjadi pedas. "Tak cukupkah engkau
menghancurkan putraku" Kau harus menghancurkan adik
angkatku juga?" Wajahnya masih putih, masih cantik. Namun matanya
penuh dengan luka, dengan kesakitan. Ia tidak pernah
lepas kendali di depan orang lain sebelumnya.
Mungkinkah ini hanya demi Lim Sian-ji"
Li Sun-Hoan tidak menoleh.
Ia tidak punya keberanian untuk menoleh, untuk
memandang Lim Si-im. Ia menuruni tangga dengan cepat, sambil berkata
dengan tenang, "Sebenarnya kau tak perlu memohon.
Aku tidak menyukai dia sama sekali!"
Lim Si-im mengawasi kepergiannya. Tubuhnya langsung
lemas terkulai ke lantai.
*** 267 Kolam itu telah menjadi es. Ada jembatan di atas kolam
itu. Li Sun-Hoan duduk di atas jembatan itu dan menatap
kosong ke arah kolam. Hatinya sama seperti kolam itu.
Ia dapat melihat secercah cahaya dari bilik Lim Sian-ji di
kejauhan. Apakah Lim Sian-ji masih menantikan
kedatangannya" Ia tahu ada alasan mengapa Lim Sian-ji minta dia datang
malam itu. Ia juga tahu bahwa kalau di datang, banyak
hal menarik yang akan terjadi. Namun ia masih saja
duduk di situ, hanya memandangi cahaya lilin itu dari
kejauhan. Ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Tiba-tiba, terlihatlah sesosok bayangan dalam bilik itu. Li
Sun-Hoan seketika mempersiapkan diri dan melesat ke
sana. Langkahnya begitu cepat tak terlukiskan. Namun waktu
ia tiba di sana, bayangan itu telah menghilang.
Li Sun-Hoan berpikir-pikri, "Apakah aku salah lihat?"
Ia membuka daun jendela dan berbisik, "Nona Lim."
Tidak ada jawaban. 268 Li Sun-Hoan melihat ke dalam bilik. Terlihat ada arak
tumpah di lantai. Dan di atas meja, terlihatlah setangkai
bunga Bwe! Bwe-hoa-cat ! Mungkinkah Lim Sian-ji telah tertawan oleh Bwe-hoa-cat
" Li Sun-Hoan memungut cawan arak itu. Keringat mulai
membasahi telapak tangannya.
Saat itulah terdengar suara yang lemah dan tiba-tiba lilin
pun padam. Lalu datanglah ratusan senjata rahasia dari
segala arah. Namun dari seluruh senjata rahasia di dunia ini, apakah
yang dapat menandingi Li si pisau terbang"
Li Sun-Hoan meliukkan tubuhnya, dan tangannya
menangkap 18 macam senjata. Yang lain terpental oleh
kakinya. Lalu terdengar seruan keras dari luar.
"Bandit Bunga Bwe. Kau tak akan lolos hari ini. Keluar
dan matilah kau!" "Sehebatnya apapun engkau, kami masih dapat
membuat engkau mati menderita!"
269 "Aku tidak berbohong. Dian-jitya dari Lokyang Yang ada
di sini. Demikian pula Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap, Tiotoaya,
dan Liong-siya." Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya tidak percaya.
Lalu ia menggumam, "Dian-jitya benar-benar datang."
Lalu terdengar seseorang berkata, "Kau sudah ada di
sini, mengapa tidak keluar?"
Li Sun-Hoan berdehem, lalu berkata dengan suara berat,
"Kalian sudah ada di sini, mengapa tidak masuk?"
Orang-orang di luar mulai berkasak-kusuk di antara
mereka, "Sepertinya orang ini ingin memancing kita
masuk ke dalam." Lalu sebuah suara menggelegar mengatasi hingar-bingar
itu. "Bwe-hoa-cat hanya bisa mengendap-endap dalam
kegelapan. Mana mungkin dia punya nyali untuk bertemu
dengan kita semua." Semua orang segera mengiakan
ucapan ini dan mendesak orang yang di dalam untuk
keluar. Lalu mereka mendengar jawaban, "Memang benar, Bwehoacat suka mengendap-endap dalam kegelapan. Tapi
apa hubungannya dengan aku?"
Suara yang menggelegar itu berkata, "Jika kau bukan
Bwe-hoa-cat , siapakah engkau?"
270 Suara yang lain berkata, "Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap,
buat apa kita berdebat dengan dia" Tio-toaya tidak
mungkin salah. Orang ini pastilah Bwe-hoa-cat ."
Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. "Tio Cing-ngo, aku
tahu ini pasti perbuatanmu." Di tengah tertawanya, ia
melesat ke luar melalui jendela, ke tengah kerumunan
itu. Semua orang mundur selangkah.
Lalu Liong Siau-hun berseru, "Semua berhenti. Ini adalah
Toako, Li Sun-Hoan."
Li Sun-Hoan langsung menatap Tio Cing-ngo. Ia
tersenyum dan berkata, "Penglihatan Tio-lotoa memang
sungguh tajam. Jika tangan dan kakiku kurang Lincah
sedikit saja, aku pasti sudah menjadi mayat pengganti
Bwe-hoa-cat ." Wajah Tio Cing-ngo menjadi hijau. Ia menyahut dingin,
"Seseorang bersembunyi di sini di tengah malam. Jika dia
bukan Bwe-hoa-cat , siapa lagi" Bagaimana aku bisa tahu
bahwa kau tiba-tiba sembuh dan diam-diam datang ke
sini?" Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, "Aku tidak perlu
datang dengan diam-diam. Aku bisa pergi ke manapun
aku mau. Lagi pula, bagaimana Tio-toaya bisa yakin
bahwa aku tidak diundang oleh Si Nona?"
Tio Cing-ngo tertawa. "Aku tidak tahu apa hubunganmu
dengan Nona Lim. Tapi semua orang tahu, Nona Lim
tidak mungkin ada di sini malam ini."
271 "O ya?" Kata Tio Cing-ngo, "Untuk menghindari Bwe-hoa-cat , ia
telah pindah tadi pagi."
Kata Li Sun-Hoan lagi, "Jika demikian, paling tidak
seharusnya kau memastikan dulu siapa orangnya,
sebelum mulai menyerang."
Sahut Tio Cing-ngo, "Dalam menghadapi penjahat seperti
Bwe-hoa-cat , kita harus berinisiatif. Kalau tidak, ia pasti
akan lolos." Semua kata-katanya terdengar logis dan benar. Tidak
dapat dibantah. Li Sun-Hoan tertawa keras. "Bagus sekali "berinisiatif".
Kalau saja aku mati hari ini di tanganmu, aku hanya
dapat menyalahkan kesialanku, tak bisa menyalahkan
engkau." Liong Siau-hun terbatuk dua kali, lalu memaksakan
sebuah senyuman. "Mudah sekali melakukan kesalahan
di malam gelap gulita. Lagi pula"."
Tio Cing-ngo memotong dengan dingin, "Lagi pula
mungkin aku tidak melakukan kesalahan."
Kata Li Sun-Hoan, "Oh" Maksudmu, akulah Bwe-hoa-cat
?" Tio Cing-ngo tertawa sinis. "Mungkin, mungkin juga
tidak. Semua orang hanya tahu ilmu meringankan tubuh
272 Bwe-hoa-cat sangat hebat. Kecepatannya juga luar
biasa. Namun apakah namanya Zhang, atau Li, tidak ada
yang tahu." Kata Li Sun-Hoan, "Kau benar. Ilmu meringankan
tubuhku memang cukup baik. Kecepatanku pun tidak
jelek. Saat Bwe-hoa-cat muncul kembali pun bertepatan
dengan kepulanganku. Kalau aku bukan Bwe-hoa-cat ,
pasti ada yang salah."
Ia terkekeh. Lalu mentap Tio Cing-ngo. "Jika kau begitu
yakin bahwa akulah Bwe-hoa-cat , mengapa tak kau
tangkap aku sekarang?"
Tio Cing-ngo menjawab, "Tidak jadi soal kapan aku
menangkapmu. Lagi pula, ada Dian-jitya dan Muo Yun di
sini. Kau pikir kau bisa lolos?"
Wajah Liong Siau-hun langsung memucat. Katanya,
"Ayolah. Ini hanya bercanda, bukan" Jangan keterlaluan.
Aku berani jamin bahwa ia bukanlah Bwe-hoa-cat ."
Kata Tio Cing-ngo, "Tidak ada yang bercanda mengenai
hal sepenting ini. Sudah sangat lama kalian berdua sudah
tidak berjumpa. Bagaimana kau bisa yakin?"
Sahut Liong Siau-hun, "Tapi"tapi aku tahu persis orang
macam apa dia." Seseorang tiba-tiba tertawa, "Kau mungkin kenal dengan
seseorang, tapi kau takkan tahu isi hatinya. Liong-siya
pasti pernah mendengar ucapan ini."
273 Orang ini kurus kering seperti batang bambu. Mukanya
berkerut-kerut, seperti orang tua yang sakit. Namun
suaranya sangat jernih. Ini adalah Kongsun Mo-in.
Seorang yang lain muncul dari belakangnya. Orang ini
terlihat seperti Siauya yang kaya. Ia terkekeh dan
berkata, "Betul sekali. Aku, Dian-jitya, adalah teman lama
Li Sun-Hoan. Namun jika hal seperti ini terjadi, aku harus
mengesampingkan persahabatan."
Kata Li Sun-Hoan, "Walaupun aku punya banyak teman,
aku rasa aku belum pernah berteman dengan orang yang
berkedudukan sebegitu tinggi, seperti Dian-jitya."
Wajah Dian-jitya berubah. Matanya memancarkan
cahaya membunuh. Semua orang dalam dunia persilatan sudah tahu bahwa
kalau ia ingin membunuh, ia akan segera menyerang.
Akan tetapi, kali ini ia hanya berdiri di sana.
Kongsun Mo-in, Tio Cing-ngo dan Dian-jitya mengelilingi
Li Sun-Hoan. Wajah ketiganya tampak tegang.
Namun mereka hanya dapat berdiri di sana, memandangi
pisau di tangan Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tidak memandang mereka sekilas pun. Ia
hanya berkata, "Aku tahu, kalian bertiga sudah tidak
sabar untuk membunuhku. Dengan membunuhku, kalian
bukan hanya akan menjadi kaya raya dan mendapatkan
wanita yang cantik, tapi nama kalian pun akan harum di
kemudian hari." 274 Sahut Tio Cing-ngo, "Uang dan wanita tidaklah penting.
Kami hanya ingin membunuhmu demi keadilan dalam
dunia persilatan." Li Sun-Hoan tertawa terbahak-bahak. "Betapa sucinya!
Betapa agungnya! Kau sungguh-sungguh hidup
berpadanan dengan julukanmu, Tuan yang Terhormat."
Ia menyentuh ujung pisaunya, lalu berkata lagi, "Lalu
mengapa tak kau tangkap aku?"
Pandangan Tio Cing-ngo tak pernah lepas dari pisau itu.
Ia tidak menjawab. Li Sun-Hoan berkata lagi, "Oh, aku tahu. Tongkat Dianjitya
tidak ada tandingannya di dunia. Tio-lotoa pasti
sedang menunggu Dian-jitya untuk memulai. Jadi,
mengapa Tuan Dian-jitya hanya berdiri di sana saja?"
Kedua tangan Dian-jitya tetap berada di balik
punggungnya. Seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa.
Li Sun-Hoan bertanya lagi, "Apakah Tuan Dian-jitya
sedang menunggu Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap untuk
memulai" Ide yang cukup baik. Kepalan 14 Awan milik
Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap punya ribuan variasi. Tentulah
ia yang harus mulai."
Kongsun Mo-in pun seakan-akan mendadak tuli. Ia tidak
bergerak sedikitpun. 275 Li Sun-Hoan tertawa lagi dan berkata, "Sungguh aneh.
Ketiganya ingin membunuhku. Namun tidak seorang pun
bergerak. Kenapa ya?"
Ketiga orang ini sungguh-sungguh sabar. Bagaimana pun
Li Sun-Hoan mengolok-olok mereka, mereka tetap berdiri
di sana tidak bergerak. Memang ketiganya sungguh ingin membunuh Li Sun

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoan secepatnya. Namun Pisau Kilat si Li tak pernah
luput. Selama pisau itu ada di tangannya, siapakah yang
berani bergerak" Liong Siau-hun tiba-tiba tersenyum. "Toako, mereka ini
cuma bercanda. Mari kita pergi minum arak saja."
Ia berjalan menuju Li Sun-Hoan dengan senyum lebar.
Ditariknya tangan Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan terkejut luar biasa, dengan suara bergetar ia
berkata, "Toako, kau"."
Ia ingin menghindar dari tarikan tangan Liong Siau-hun,
namun terlambat. Saat itu, hampir dengan tanpa suara tangan Dian-jitya
muncul dari balik punggungnya. Sebatang tongkat
pendek keemasan tergenggam di tangannya, dan
memukul Li Sun-Hoan tepat di kakinya.
Tangan Li Sun-Hoan, walaupun tanpa pisau, masih
tergolong salah satu yang terbaik di dunia. Namun
276 karena tangannya ditarik oleh Liong Siau-hun, ia tidak
berbuat apa-apa. Setelah ia jatuh berlutut, Kongsun Mo-in segera menutup
ketujuh Hiat-to (jalan darah) di punggungnya. Tio Cingngo
lalu menendang dia dan Li Sun-Hoan pun
terjengkang ke belakang. Liong Siau-hun terlompat kaget dan berseru, "Mengapa
kalian memperlakukan dia seperti ini" Cepat bebaskan
dia." Tio Cing-ngo menjawab dingin, "Kami tak bisa
mengambil resiko seperti itu."
Kata Dian-jitya, "Maafkan kami, Tuan Liong."
Kongsun Mo-in telah menghadang langkah Liong Siauhun.
Liong Siau-hun berusaha menyerang, namun
tongkat Dian-jitya segera melumpuhkan kakinya.
Sebelum ia bisa berbuat apa-apa, Tio Cing-ngo segera
menutup Hiat-to (jalan darah)nya.
Ketika Liong Siau-hun jatuh ke tanah, ia berkata,
"Saudara Tio-lotoa, teganya kau"."
Kata Tio Cing-ngo, "Walaupun kita bersaudara, keadilan
dalam dunia persilatan harus didahulukan. Kuharap kau
bisa mengerti, supaya kau tidak terjerumus oleh orangorang
busuk macam dia." 277 Sahut Liong Siau-hun, "Namun dia tidak mungkin Bwehoacat ." Kongsun Mo-in lalu berkata, "Liong-siya, kau memiliki
rumah yang indah dan reputasi yang baik. Tidak perlu
kau bersimpati terhadap orang semacam dia."
Liong Siau-hun berkata, "Jika kau membebaskan dia, aku
akan bertanggung jawab."
Sahut Tio Cing-ngo, "Bagaimana dengan istrimu"
Anakmu" Kau ingin melihat mereka terseret bersama
dengan engkau?" Tubuh Liong Siau-hun menggigil hebat.
Pisau Li Sun-Hoan masih ada di tangannya, namun ia
tidak berkesempatan menggunakannya!
Akankah orang benar ini, pahlawan sejati ini, akan
berakhir secara tragis seperti ini"
Liong Siau-hun menitikkan air mata. Katanya, "Toako, ini
semua karena kesalahanku. Aku telah mencelakaimu.
Kakakmu telah mengecewakan engkau."
Sesaat sebelum datangnya fajar adalah saat yang
tergelap. Semua cahaya di bangsal pun tak dapat
menerangi kegelapan yang pekat itu.
Sekelompok orang berkumpul di luar bangsal, bercakapcakap
di antara mereka. 278 "Dian-jitya sungguh hebat. Kau lihat betapa cepat
tongkatnya" Walaupun Liong-siya tidak ada, aku yakin Li
Sun-Hoan tak akan mampu menangkisnya."
"Lagi pula ada Tio-lotoa dan Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap
bersamanya." "Ya, benar. Tak heran, kata orang kaki Tio-toaya
berharga 20 ribu tail emas. Tendangannya sungguh
mengagumkan." "Bagaimana dengan pukulan Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap"
Jika ia tidak menyerang begitu sigap, kurasa Li Sun-Hoan
tidak akan jatuh secepat itu."
"Dian-jitya, Tio-lotoa, Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap.
Hmmmh, Li Sun-Hoan sungguh sial bertemu mereka
bertiga." "Walaupun demikian, jika bukan karena Liong-siya".."
"Ada apa dengan Liong-siya" Apakah ia lebih dari
sekedar sahabat bagi Li Sun-Hoan?"
"Liong-siya sungguh seorang sahabat sejati. Li Sun-Hoan
amat beruntung memiliki saudara seperti dia!"
Liong Siau-hun duduk di atas sebuah kursi kayu merah
dalam bangsal. Kata-kata terakhir itu seakan-akan
menancap di hatinya seperti sebatang jarum. Wajahnya
penuh dengan keringat. 279 Dilihatnya Li Sun-Hoan terbaring di lantai, terus terbatukbatuk.
Liong Siau-hun kembali menitikkan air mata. "Toako,
semua ini salahku. Betapa sialnya engkau mempunyai
sahabat seperti aku. A"Aku telah menghancurkan
hidupmu." Li Sun-Hoan berusaha keras untuk berhenti batuk. Ia
memaksakan diri tersenyum, dan berkata, "Toako, aku
hanya ingin engkau tahu satu hal. Jikalau aku dapat
mengulang kembali hidupku, aku tetap ingin menjadi
sahabat karibmu." Liong Siau-hun kini tersedu-sedu. "Tapi". jika tidak
kutarik tanganmu, engkau tak mungkin"."
Li Sun-Hoan berkata dengan tulus, "Aku tahu, apapun
yang kau perbuat adalah untuk kebaikanku. Aku hanya
bisa berterima kasih."
Kata Liong Siau-hun, "Mengapa kau tak menegaskan
pada mereka bahwa kau bukanlah Bwe-hoa-cat "
Mengapa kau"." Li Sun-Hoan tersenyum. "Hidup dan mati adalah soal
kecil. Aku telah merasa puas hidup. Mengapa aku harus
kuatir akan kematian" Mengapa aku harus menyembahnyembah
orang-orang kotor yang menyebalkan itu?"
Dian-jitya mendengarkan pembicaraan itu dengan
seksama. Ia memandang mereka dan bertepuk tangan.
"Bagus sekali. Hebat."
280 Kongsun Mo-in pun tertawa dingin. "Ia tahu kita tak akan
melepaskan dia, apa pun yang terjadi. Jadi biarlah dia
mengolok-olok kita, menghibur dirinya sedikit sebelum
mati." Li Sun-Hoan menyahut dengan tenang, "Kau memang
benar. Saat ini, aku hanya bisa memohon kematian.
Namun sekarang, tak ada lagi pisau di tanganku.
Mengapa belum juga kalian bunuh aku?"
Wajah Kongsun Mo-in yang berkerut-kerut menjadi
merah padam. Tio Cing-ngo menyergah dengan tidak sabar, "Jika kami
membunuh kau sekarang, kabar yang akan tersiar dalam
dunia persilatan adalah bahwa kami hanya
membunuhmu demi kepentingan pribadi kami. Kami akan
mengadilimu dengan adil."
Li Sun-Hoan menghela nafas. "Tio Cing-ngo, aku
sungguh mengagumimu. Walaupun hatimu busuk, katakatamu
sangat baik dan bijak. Dan kau pun
mengatakannya dengan wajah yang jujur."
Dian-jitya tertawa dan berkata, "Li-tayhiap, kau memang
punya nyali. Jika kau memang ingin cepat mati, aku
punya rencana." Kata Li Sun-Hoan, "Awalnya aku pun ingin berbicara
denganmu, namun aku tak ingin mengotori mulutku."
Dian-jitya tidak menggubris. "Jika kau ingin mati sedikit
lebih cepat, tulislah surat pengakuan bahwa kau
281 bersalah. Kami pun akan membuat kematianmu lebih
mudah." Li Sun-Hoan segera menjawab tanpa pikir panjang. "Baik.
Aku ucapkan. Kau tuliskan."
Liong Siau-hun segera menyela, "Toako, jangan lakukan
itu." Li Sun-Hoan terus saja berkata, "Kejahatanku terlalu
banyak untuk dituliskan. Aku berpura-pura suci,
walaupun hatiku sangat kotor. Aku berkomplot demi
kekuasaan, merusak persahabatan, membokong orang
lain, menggunakan cara-cara licik dalam bertempur, aku
tidak punya integritas dan telah melakukan berjuta-juta
perbuatan keji. Namun aku masih merasa bahwa aku
adalah seorang pria sejati!"
Terdengar suara keras. Tio Cing-ngo menampar muka Li
Sun-Hoan! Li Sun-Hoan tersenyum. "Tidak apa-apa. Rasanya seperti
digigit anjing gila saja."
Tio Cing-ngo berseru dengan marah, "Keparat kau.
Dengar baik-baik. Walaupun aku belum bisa
membunuhmu sekarang, aku bisa membuatmu merasa
lebih baik mati!" Li Sun-Hoan hanya tertawa. "Kalau aku takut padamu,
Tuan yang Palsu, aku bukanlah seorang pria sejati.
Gunakan saja cara penyiksaan yang engkau inginkan."
282 Sahut Tio Cing-ngo, "Bagus!"
Liong Siau-hun hanya dapat menggigil di kursinya.
Katanya, "Toako, maafkan aku. Kau adalah seorang
pahlawan, namun aku seorang pengecut. Aku?"
Kata Li Sun-Hoan, "Ini bukan kesalahanmu, Toako. Jika
aku mempunyai anak dan istri, aku pun akan berbuat
seperti engkau." Saat ini Tio Cing-ngo telah mencengkeram dia dan
menarik otot-ototnya kuat-kuat. Rasa sakitnya sungguh
tak terkatakan, namun Li Sun-Hoan tetap tersenyum.
Lalu terdengarlah seseorang berkata di luar, "Nona Lim,
dari manakah engkau" Dan siapakah temanmu ini?"
Semua orang memandang ke arah Lim Sian-ji. Bajunya
kusut, sebagian terkoyak. Ia berjalan masuk ke dalam
bangsal itu. Di sebelahnya tampak seorang pemuda. Di malam yang
begitu dingin ia hanya mengenakan selembar baju tipis.
Namun bahunya tetap tegak. Seolah-olah, tak ada
sesuatu pun di dunia ini yang dapat
membengkokkannya! Ia masuk memanggul seorang mayat.
A Fei! Mengapa A Fei ada di sini"
283 Hati Li Sun-Hoan berdegup kencang, tak tahu harus
merasa gembira atau terkejut. Namun dipalingkannya
wajahnya. Ia tidak ingin A Fei melihatnya dalam keadaan
seperti itu. Ia tidak ingin A Fei bertindak bodoh demi dirinya.
Namun A Fei telah melihatnya.
Wajahnya yang dingin menjadi bercahaya. Ia berjalan ke
arah Li Sun-Hoan. Tio Cing-ngo tidak menghalanginya. Ia
tahu tingginya ilmu silat A Fei.
Namun Kongsun Mo-in tidak tahu. Segera ia halangi
langkah A Fei dan membentaknya, "Kau kira kau ini
siapa" Apa maumu?"
Sahut A Fei, "Memberimu pelajaran!"
Mendengar ini, Kongsun Mo-in segera menyerang.
Lim Sian-ji terkesima menatap Li Sun-Hoan, tak peduli
pada yang lain. Sedangkan Liong Siau-hun tak ingin
melakukan apa-apa lagi. Anehnya, A Fei tidak berusaha mengelak.
Terdengar suara keras saat kepalan Kongsun Mo-in
mendarat di dada A Fei. A Fei tidak bergerak seincipun,
namun Kongsun Mo-in sungguh kesakitan, sampaisampai
ia jatuh berlutut. 284 A Fei tidak menghiraukan dia. Ia berjalan lagi ke arah Li
Sun-Hoan dan bertanya, "Apakah dia temanmu?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Kau pikir aku punya teman
seperti itu?" Saat itu, Kongsun Mo-in kembali menyerang. Tiba-tiba A
Fei memutar tubuhnya, dan terdengar bunyi berdebum.
Kongsun Mo-in telah terjengkang ke belakang beberapa
meter. Orang-orang tak dapat mempercayai penglihatan
mereka. Siapa yang dapat percaya bahwa Si Kepalan
Awan yang terkenal itu menjadi pecundang di hadapan
anak muda ini. Hanya Dian-jitya yang tertawa terbahak-bahak.
"Sahabat, kau cukup sigap. Anak-anak muda benar-benar
telah menyusul kita yang tua."
Ia membungkuk dan berkata, "Cayhe Dian-jitya.
Siapakah namamu" Mungkin kita dapat bersahabat."
A Fei menjawab, "Aku tak punya nama. Juga tak ingin
bersahabat denganmu."
Wajah semua orang di situ langsung berubah, namun
Dian-jitya tersenyum saja. "Sayangnya, kau tidak pandai
berteman." Kata A Fei, "O ya?"
285 Dian-jitya menunjuk ke arah Li Sun-Hoan, "Apakah dia
temanmu?" "Ya." Dian-jitya bertanya, "Tahukah kau siapa dia?"
"Tahu." Dian-jitya terkekeh. "Tahukah kau bahwa ia adalah Bwehoacat ?" A Fei mengangkat alisnya, "Bwe-hoa-cat ?"
Kata Dian-jitya, "Memang sulit dipercaya. Namun kita
harus mempercayai fakta."


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

A Fei menatapnya. Tatapannya menembus ke dalam
hatinya. Lalu A Fei berkata dengan dingin, "Dia pasti bukan Bwehoacat ." "Kenapa?" Tiba-tiba dilepaskannya mayat yang sedari tadi
dipanggulnya. Katanya, "Sebab inilah Bwe-hoa-cat yang
sesungguhnya!" Orang-orang langsung mengerumuni mayat itu.
Mayat itu kurus kering. Luka pisau di wajahnya membuat
ia sulit dikenali. 286 Dian-jitya tertawa lagi. "Katamu, inilah Bwe-hoa-cat
yang sesungguhnya?" Sahut A Fei, "Ya."
Dian-jitya berkata, "Kau benar-benar masih hijau. Kau
pikir semua orang akan percaya begitu saja" Kau pikir
kami akan percaya karena kau datang membawa mayat
dan berkata bahwa ialah Bwe-hoa-cat ?"
Sahut A Fei lagi, "Aku tidak pernah bohong. Dan aku
tidak pernah dibohongi."
Dian-jitya bertanya, "Kalau begitu, bagaimana kau bisa
membuktikannya?" Sahut A Fei, "Lihat saja mulutnya!"
Dian-jitya tertawa lagi. "Mengapa harus kulihat
mulutnya" Apakah dia bisa bicara?"
Semua orang ikut tertawa. Walaupun mereka tidak
merasa lucu, mereka tertawa juga karena Dian-jitya
tertawa. Tiba-tiba Lim Sian-ji maju dan berkata, "Aku tahu ia tidak
bohong. Orang itu memang Bwe-hoa-cat ."
Dian-jitya bertanya, "O ya" Apakah mayat itu
memberitahukan padamu?"
Lim Sian-ji menjawab, "Betul. Dia sendiri yang
mengatakannya." 287 Ia segera melanjutkan sebelum ada yang menyela.
"Sewaktu Cin Tiong mati, aku bisa melihat bahwa ia mati
karena serangan senjata rahasia yang hebat. Tidaklah
aneh jika dia tak dapat menghindarinya. Namun aku
merasa aneh kalau seorang ahli kawakan seperti Go Bunthian
pun tidak dapat menghindarinya. Kini aku tahu
mengapa." Mata Dian-jitya berkedip-kedip. "Oh" Jadi mengapa?"
Jawab Lim Sian-ji, "Rahasianya ada pada mulutnya."
Tiba-tiba diambilnya sebilah pisau untuk membuka mulut
mayat itu. Ada sepucuk senjata di situ.
Kata Lim Sian-ji, "Senjata itu dilepaskannya pada saat ia
berbicara. Tidak ada seorang pun yang siap menghadapi
serangan semacam itu!"
Kata Dian-jitya, "Jika senjata itu ada dalam mulutnya,
bagaiman ia bisa berbicara?"
Sahut Lim Sian-ji, "Ini adalah rahasia di dalam rahasia. Ia
tidak memerlukan mulutnya untuk berbicara. Ia bisa
berbicara dengan perutnya. Mulutnya hanya untuk
membunuh orang!" Apa yang dikatakannya memang kedengaran seperti
bualan, namun orang terpelajar seperti Dian-jitya tahu
bahwa keahlian semacam itu memang ada. Kabarnya,
ilmu itu berasal dari Persia dan biasanya dipergunakan
dalam pertujukan sirkus. Biasanya suara itu memang
288 kedengaran aneh, tapi jika dilakukan dengan ilmu silat
yang tinggi, suara itu akan terdengar lebih realistis.
Lim Sian-ji bertanya, "Sebelum Dian-jitya dan yang lain
bertempur, ke mana arah pandangan kalian?"
Jawab Dian-jitya, "Sudah tentu ke arah tubuh lawan."
Lim Sian-ji bertanya lagi, "Bagian mana dari tubuhnya?"
Jawab Dian-jitya, "Pundak dan tangannya."
Lim Sian-ji tersenyum. "Betul. Itulah yang kumaksud.
Waktu akan bertempur, ahli-ahli silat tak akan
memperhatikan mulut lawan. Hanya jika anjing yang
bertempur, mereka akan memperhatikan mulut
lawannya. Tapi manusia kan bukan anjing. Mereka tidak
menggigit." Semua orang terkekeh. Jika seorang yang sangat cantik
seperti Lim Sian-ji mengatakan hal seperti ini, bagaimana
mungkin seseorang tidak ikut terkekeh-kekeh"
Dian-jitya pun bertanya, "Bagaimana kau mengetahui
rahasianya?" Jawab Lim Sian-ji, "Aku baru tahu setelah ia
menggunakan senjata rahasianya."
Kini Dian-jitya yang terkekeh. "Jadi teman kita di sini
adalah seekor anjing" Ia suka memperhatikan mulut
lawannya?" 289 Bab 14. Beberapa Hal Tak Bisa Dijelaskan
Sahut Lim Sian-ji, "Jadi Dian-jitya belum bisa melihat
bahwa ia mengenakan Kim-si-kah ?"
Mata Dian-jitya melebar. "Jadi itulah sebabnya saat
Saudara Muo Yun memukulnya, malah tangannya sendiri
yang terluka." Kata Lim Sian-ji, "Aku tidak berniat kembali ke bilikku
malam ini. Namun kemudian aku teringat ada sesuatu
yang penting tertinggal di sana. Pada saat aku akan
kembali, Bwe-hoa-cat muncul."
Di wajahnya yang ayu terbayang ketakutan yang sangat
dan ia melanjutkan, "Saat itu aku belum melihatnya. Aku
hanya merasa ada seseorang di belakangku. Waktu aku
menoleh, ia telah menutup Hiat-to (jalan darah)ku."
Kata Dian-jitya, "Jika demikian, ilmu meringankan tubuh
orang ini pasti cukup tinggi."
Lim Sian-ji mendesah. "Gerakannya seperti hantu saja.
Aku bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi
saat ia menarik tubuhku. Lalu aku menyadari, ini pastilah
Bwe-hoa-cat . Maka aku pun bertanya padanya, "Apa
maumu" Mengapa tak kau bunuh saja aku?""
"Apa jawabnya?"
Lim Sian-ji mengatupkan giginya kesal, lalu katanya, "Ia
tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tertawa sinis."
290 Mata Dian-jitya langsung bersinar. "Jadi ia tidak bilang
bahwa dialah Bwe-hoa-cat ?"
Sahut Lim Sian-ji, "Dia tidak perlu mengatakannya. Saat
itu, aku berharap segera mati, namun sayangnya aku tak
bertenaga lagi. Kemudian tiba-tiba, sesosok bayangan
muncul di hadapan kami."
Kata Dian-jitya, "Pasti orang itu adalah teman kecil kita di
sini." Sahut Lim Sian-ji, "Betul, memang dia."
Ia memandang A Fei dengan pandangan yang sangat
berterima kasih. "Ia datang begitu tiba-tiba, sampai Bwehoacat pun terkejut. Segera dilepaskannya tubuhku
jatuh ke tanah. Lalu aku mendengar dia bertanya,
"Apakah engkau Bwe-hoa-cat ?". Bwe-hoa-cat segera
menjawab, "Kalau ya, kenapa" Kalau tidak, kenapa"
Siapa pun aku, kau akan mati sekarang juga."
Sebelum ia selesai bicara, senjatanya sudah melesat dari
mulutnya. Aku terkejut dan sangat ketakutan. Waktu aku
melihat senjata itu terarah pada dada lelaki ini, aku yakin
dia pasti akan mati. Namun anehnya, ia terluka pun
tidak." "Setelah itu, aku hanya melihat kilatan pedang, dan Bwehoacat rebah ke tanah. Kecepatannya begitu rupa, tak
terbayangkan." 291 Saat itu, semua mata tertuju ke arah pedang di pinggang
A Fei. Tidak ada yang menyangka pedang itu dapat
membunuh orang, apalagi membunuh Bwe-hoa-cat !
Dian-jitya pun menatap pedang itu lekat-lekat.
Lalu ia tersenyum. "Sepertinya kau memang sudah
menunggu di sana." Sahut A Fei, "Benar."
Kata Dian-jitya, "Maka waktu kau melihat mereka, kau
segera mendekat dan bertanya apakah dia itu Bwe-hoacat
?" "Benar." Dian-jitya tersenyum lagi. "Jadi kau suka ya bersembunyi
dalam gelap, dan bertanya pada orang yang lewat
apakah dia itu Bwe-hoa-cat ?"
A Fei menjawab, "Aku tidak punya waktu senggang
begitu banyak." Dian-jitya bertanya lagi, "Tapi kalau kau sedang punya
waktu senggang, apa yang kau tanya pada orang-orang
yang lewat di jalan?"
Kata A Fei, "Mengapa aku harus menanyai mereka" Apa
hubungannya mereka dengan aku?"
Dian-jitya tersenyum lagi sambil berkata, "Maka dari itu.
Kalau kau ingin tahu siapa orang itu, kau akan bertanya,
292 "Siapakah engkau?". Seperti tadi kau bertanya pada Moinjiu Kongsun-tayhiap. Kau tidak bertanya apakah dia itu
Bwe-hoa-cat ." Sahut A Fei, "Aku tahu dia bukan Bwe-hoa-cat . Mengapa
aku harus bertanya lagi?"
Wajah Dian-jitya menjadi serius. Ia menunjuk pada
mayat itu dan berkata, "Kalau begitu, mengapa kau
bertanya pada orang itu" Mungkinkah kau sudah tahu
bahwa ia adalah Bwe-hoa-cat " Kalau kau sudah tahu,
mengapa harus bertanya lagi?"
"Karena seseorang memberi tahu aku bahwa Bwe-hoacat
akan muncul dalam hari-hari ini."
Dian-jitya kini menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. "Siapa
yang memberi tahu engkau" Apakah Bwe-hoa-cat
sendiri" Atau sahabatnya?"
Dia tahu A Fei tak akan menjawab pertanyaan ini.
Namun, hanya dengan bertanya, tujuannya sudah
tercapai. Ia memang tidak memerlukan jawaban.
Ketika semua orang mendengar itu, mata mereka pun
langsung terarah ke Li Sun-Hoan. Kini mereka menyadari
bahwa semua ini adalah permaiLam-yang-hu telah
direncanakan oleh Li Sun-Hoan dan A Fei.
Dian-jitya segera maju ke hadapan seorang pemuda dan
bertanya keras, "Apakah kau adalah Bwe-hoa-cat ?"
293 Pemuda itu menjadi sangat ketakutan dan gelagapan.
"A"Aku?" Sebelum perkataannya selesai, Dian-jitya menutup Hiatto
(jalan darah)nya. Ia memutar badannya dan berseru
dengan sinis, "Hei, lihat! Aku telah menangkap seorang
lagi bandit bunga Bwe."
Ia melanjutkan dengan serius, "Semua orang di sini
setuju bahwa tidaklah mudah menangkap Bwe-hoa-cat ,
bukan?" Meledaklah tawa kerumunan orang itu. Mereka mulai
bertanya-tanya di antara mereka sambil bercanda,
"Apakah kau Bwe-hoa-cat ?"
"Sebenarnya, kau lebih mirip untuk jadi Bwe-hoa-cat ."
"Mengapa kini jadi ada makin banyak bandit bunga
Bwe?" Li Sun-Hoan mengeluh. Katanya pelan, "Toako, pergi
sajalah." A Fei kelihatan sangat gusar, "Pergi?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Dengan adanya Tio-toaya dan
Dian-jitya yang terkenal seantero dunia, mana mungkin
seorang pemuda yang tidak dikenal bisa membunuh
Bwe-hoa-cat " Apapun yang kau katakan akan sia-sia
belaka." 294 A Fei menggenggam pedangnya kuat-kuat. Katanya
dingin, "Aku pun tak ingin bicara dengan orang-orang ini.
Tapi pedangku"."
Kata Li Sun-Hoan, "Walaupun kau bunuh mereka semua,
tetap tidak ada yang akan percaya bahwa kau telah
membunuh Bwe-hoa-cat . Tidakkah kau mengerti?"
Mata A Fei menjadi suram, "Kau benar. Kini aku
mengerti. Aku mengerti"."
Li Sun-Hoan terkekeh. "Jika kau ingin jadi terkenal, kau
harus ingat hal ini. Kalau tidak, cepat atau lambat kau
akan berakhir seperti aku, menjadi seorang bandit bunga
Bwe." Kata A Fei, "Jadi maksudmu, jika aku ingin jadi terkenal,
aku harus mengikuti kehendak orang lain, bukan?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Tebakanmu sangat tepat. Jika kau
biarkan para "pahlawan" inilah yang mendapatkan semua
pujian, mereka akan mengangkat engkau sebagai
pemuda bermasa depan cerah. Lalu setelah 10 atau 20
tahun, setelah mereka semua mati, kau akan jadi
terkenal." A Fei berdiri mematung untuk sekian lama, lalu ia
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 13 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Payung Sengkala 2

Cari Blog Ini