Ceritasilat Novel Online

Pisau Terbang Li 6

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 6


aku yang membuat kau marah" Mengapa kau
memperlakukan aku seperti ini" Apa kesalahanku"
Katakan saja padaku dan aku pun tak akan mati dengan
menyesal." A Fei mengepalkan tangannya.
Ia baru saja melihat buku apa yang sedang dibaca oleh
Lim Sian-ji. Kitab suci agama Budha.
504 Kitab suci dari Kuil Siau-lim-si.
A Fei menatapnya, seolah-olah ia tidak mengenal orang
ini. Lalu A Fei berkata dengan dingin, "Apa yang kau
lakukan" Kau tahu bahwa waktu aku melangkah masuk
ke dalam rumah Sin-losam jiwaku akan melayang."
Kata Lim Sian-ji, "Ap"Apa maksudmu?"
Kata A Fei, "Waktu Pek-hiau-sing dan Sin-kam Taysu
memberikan kitab Siau-lim-si itu padamu, kau menyuruh
mereka memasang perangkap di rumah Sin-losam."
Lim Sian-ji menggigit bibirnya kuat-kuat. Katanya, "Kau
berpikir bahwa aku ingin mencelakaimu?"
Sahut A Fei, "Sudah pasti. Hanya kau seorang yang tahu
bahwa aku akan datang ke rumahnya malam itu."
Lim Sian-ji menutupi wajahnya dengan tangannya dan
menangis lagi. "Tapi, kenapa aku ingin mencelakaimu"
Kenapa?" "Karena kaulah Bwe-hoa-cat !"
Wajah Lim Sian-ji bengong seperti baru saja dicambuk
seseorang tiba-tiba. Ia langsung melompat dan berseru,
"Aku adalah Bwe-hoa-cat " Berani-beraninya kau bilang
bahwa aku adalah Bwe-hoa-cat ?"
Sahut A Fei tegas, "Ya, kaulah Bwe-hoa-cat ."
505 Kata Lim Sian-ji, "Bwe-hoa-cat kan sudah mati. Kau"."
A Fei segera memotongnya, "Aku hanya membunuh
salah seorang bonekamu, supaya kau dapat mengalihkan
kecurigaan orang dari dirimu."
Ia melanjutkan lagi, "Kau tahu bahwa Kim-si-kah ada
pada Li Sun-Hoan, dan kau tahu bahwa ia tidak akan
tertipu olehmu. Maka kau ada dalam bahaya besar. Oleh
sebab itulah, kau undang dia datang ke bilikmu malam
itu." Sahut Lim Sian-ji, "Aku memang punya janji bertemu
dengan dia malam itu, karena saat itu aku belum
mengenal engkau." A Fei tidak menggubrisnya. "Kau suruh bonekamu itu
pura-pura menculikmu, supaya Li Sun-Hoan datang
menyelamatkanmu dan membunuhnya. Jika seluruh
dunia tahu bahwa Bwe-hoa-cat sudah mati, tidak akan
ada yang bisa mencurigaimu."
Lim Sian-ji pun menjadi tenang. Ia hanya berkata,
"Teruskan." Kata A Fei, "Tapi kau tidak menyangka bahwa Li SunHoan dijebak orang lain, dan lebih tidak menyangka lagi
bahwa aku akan muncul."
Kata Lim Sian-ji, "Jangan lupa, aku pun menyelamatkan
engkau." "Betul sekali."
506 "Jika aku adalah Bwe-hoa-cat , mengapa aku
menolongmu?" Sahut A Fei, "Karena rencanamu gagal, dan pada saat
itu, bagimu aku lebih berguna dalam keadaan hidup.
Waktu tidak ada seorang pun yang datang memeriksa
bilikmu saat itu, aku mulai curiga."
Tanya Lim Sian-ji, "Kau pikir aku bersekongkol dengan
Liong Siau-hun dan yang lain untuk menjatuhkan Li SunHoan?" Jawab A Fei, "Tentu saja mereka tidak tahu rencanamu.
Kau hanya memanfaatkan mereka.
Lagi pula, Liong Siau-hun sudah lama membenci Li SunHoan. Jadi ia pasti tidak keberatan ikut dalam
rencanamu." Kata Lim Sian-ji, "Apakah ini semua ide Li Sun-Hoan?"
Sahut A Fei, "Kau pikir semua laki-laki di dunia ini adalah
orang tolol, boneka yang bisa kau permainkan. Waktu Li
Sun-Hoan tidak kena kau kibuli, kau segera memasang
merangkap untuk melenyapkan dia."
A Fei merasa suaranya mulai bergetar. Ia mengertakkan
giginya dan melanjutkan, "Kau bukan hanya licik dan
berdarah dingin. Kaupun sangat rakus, sampai tega
merampok kitab suci Siau-lim-si. Kau".. Kau".."
Lim Sian-ji mendesah. "Sepertinya aku salah menilai
engkau." 507 Sahut A Fei, "Tapi aku tidak salah menilai engkau!"
Kata Lim Sian-ji, "Jika kukatakan bahwa bukan Tan Ok
dan Pek-hiau-sing yang memberikan kitab-kitab ini
padaku, kau tak akan percaya bukan?"
Kata A Fei, "Apapun yang kau katakan, selamanya aku
tidak akan pernah percaya padamu lagi."
Lim Sian-ji tertawa. "Sekarang aku mengerti engkau,
mengerti hatimu"."
Sambil berbicara, ia melangkah mendekati A Fei.
Langkahnya pasti. Angin menderu dan cahaya lilin pun bergoyang-goyang.
Cahaya lilin menerangi wajahnya yang ayu, yang
bersimbah air mata. Ia menatap A Fei lekat-lekat dan
berkata, "Aku tahu kau datang untuk membunuhku,
bukan?" A Fei hanya mengepalkan tangannya dan mengatupkan
bibirnya. Ia menunjuk ke dadanya. "Kau ada pedang, mengapa
belum juga kau bunuh aku" Aku harap kau tusuk aku di
sini, tepat di hatiku."
Pedang A Fei telah tergenggam di tangannya.
Lim Sian-ji memandangnya sayu, katanya, "Bunuhlah
aku. Aku berbahagia bisa mati di tanganmu."
508 A Fei tidak sanggup memandangnya. Ia memandang ke
arah pedangnya. Matanya penuh perasaan. Penuh kelembutan, penuh
kasih, namun juga penuh kebencian". Tidak ada satu hal
pun di dunia ini yang dapat menggetarkan hati laki-laki
lebih kuat daripada sepasang mata ini.
Secercah sinar terpancar di sudut matanya. "Kau adalah
orang yang paling kusayangi di dunia ini. Jika kau pun
tak mempercayai aku, tidak ada alasan lagi bagiku untuk
hidup lebih lama." A Fei menggenggam pedangnya erat-erat, sampai jarijarinya
merasa sakit. Lanjut Lim Sian-ji, "Jika kau pikir aku adalah Bwe-hoa-cat
, aku adalah wanita yang menjijikkan, bunuh sajalah aku.
Aku".Aku tidak akan menyalahkan engkau."
Tangan A Fei mulai bergetar.
Pedang yang kejam. Pedang memang kejam. Namun hati
manusia" Bagaimana mungkin manusia tidak berperasaan"
Cahaya lilin pun padam. Namun kecantikan Lim Sian-ji kian berkilau dalam
kegelapan. 509 Ia tidak mengatakan apa-apa. Namun dalam kegelapan,
suara nafasnya pun terdengar sungguh menghanyutkan,
menghangatkan hati yang mendengar.
Adakah kekuatan yang lebih besar daipada kekuatan
cinta" Melihat wanita seperti ini, mengingat perasaan terdalam
yang pernah dialaminya seumur hidupnya, memandang
kegelapan tak berujung itu"..
Bagaimana mungkin A Fei membunuhnya"
Pedang memang kejam! Namun si ahli pedang memang
lembut hati! Bab 26. Orang Aneh di Warung Kecil
Musim gugur, daun-daun berguguran.
Di ujung jalan itu terlihat sebuah puri besar. Namun
seperti daun-daun di musim gugur, telah tiba waktunya
untuk runtuh. Di depannya tampak pintu besar yang kelihatannya tidak
pernah dibuka lebih dari satu tahun. Pegangan
tembaganya sudah penuh dengan karat.
Sudah begitu lama tidak terdengar suara apapun dari
dalam. Hanya suara jangkrik dan burung gereja.
Namun demikian, tidak selamanya puri itu seperti
sekarang ini. Tujuh Jin Shi dan tiga Tamhoa pernah
510 hidup di sini, termasuk satu di antaranya yang
merupakan pahlawan gagah dunia persilatan.
Namun dua tahun yang lalu, puri ini berganti pemilik, dan
begitu banyak kejadian menegangkan terjadi di sini.
Begitu banyak pesilat tangguh mati di sini.
Setelah itu, puri ini menjadi sunyi senyap.
Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi. Ada yang
bilang sepertinya ada hawa kejahatan yang
menyelimutinya. Kini, tidak lagi terdengar suara tawa dari dalam. Tidak
ada lagi lentera yang menerangi di malam hari. Hanya
sebatang lilin yang menyala di ruangan kecil di bagian
belakang. Seolah-olah orang di dalam itu sedang menantikan
kedatangan seseorang. Tapi siapa yang dinantinantikannya"
*** Sekotor apapun, segelap apapun suatu tempat, ada saja
orang yang mau tinggal di situ.
Mungkin karena orang itu tidak punya tempat tinggal
lain, atau mungkin orang itu sudah bosan dengan
kehidupan, lebih suka bersembunyi dalam kegelapan,
menunggu orang-orang melupakannya.
511 Di jalan kecil ini ada sebuah warung kecil. Warung ini
menjual makanan dan arak di depan, dan di belakang
adalah beberapa kamar untuk penginapan. Pemiliknya, Si
Bungkuk Sun, adalah seorang cacad.
Walaupun ia tahu bahwa tempat itu bukan tempat yang
baik untuk bisnis, ia tidak mau memindahkan warungnya.
Ia memilih hidup sebatang kara di situ, tidak mendengar
suara tawa gembira orang lain, karena ia tahu uang tidak
bisa membeli ketenangan hidup.
Tentu saja ia kesepian. Kira-kira setahun yang lalu, seorang pelanggan yang
aneh datang ke warungnya. Sebenarnya, ia tidak
mengenakan pakaian yang aneh, ataupun bertampang
aneh. Walaupun ia cukup jangkung dan berwajah cukup
lumayan, ia kelihatan sangat lemah, selalu sakit-sakitan
dan tidak henti-hentinya batuk.
Ia benar-benar tampak seperti orang biasa.
Namun Si Bungkuk Sun langsung tahu bahwa ia lain dari
yang lain. Ia tidak menertawai Sun karena punggungnya yang
bungkuk, tapi ia juga tidak peduli dan tidak menunjukkan
sedikitpun rasa simpati. 512 Ia tidak pilih-pilih tentang arak, juga tidak menilai. Ia
tidak banyak bicara. Yang aneh, setelah ia masuk ke warung itu, ia tidak
pernah keluar lagi. Pertama kali ia datang, ia memilih meja di sudut. Ia
memesan tahu kering, daging sapi, dua kerat roti dan
tujuh guci arak. Setelah ia menghabiskan araknya, ia meminta Si
Bungkuk Sun untuk membawakan lagi tujuh guci. Lalu ia
tidur di kamar paling pojok di penginapan itu, dan
bangun esok senja. Waktu ia keluar, ketujuh guci araknya sudah pasti habis
ludes. Itu sudah berlangsung satu tahun, kini. Tiap malam,
sudut yang sama, makaLam-yang-hu sama, tahu kering,
daging sapi, dua kerat roti dan tujuh guci arak.
Ia minum sambil terbatuk-batuk. Setelah habis, ia akan
membawa tujuh guci lagi masuk ke dalam kamarnya, dan
tidak muncul lagi sampai malam berikutnya.
Si Bungkuk Sun juga seorang peminum, tapi ia kagum
pada orang ini. Baru kali ini ia melihat orang minum 14
guci dan tidak mabuk. Kadang-kadang ia ingin bertanya pada orang itu, tapi
diurungkannya. Ia tahu bahwa ia tidak akan mendapat
jawaban. 513 Si Bungkuk Sun pun bukan orang yang senang ngobrol.
Ini sudah terjadi berbulan-bulan, ketika hawa menjadi
sangat dingin dan hujan terus menerus beberapa hari. Si
Bungkuk Sun pergi ke belakang untuk memastikan
semuanya baik-baik saja. Ia melihat jendela kamar pojok
itu terbuka. Ia melongok ke dalam dan terlihat si orang
aneh itu telentang di lantai dengan wajah sangat merah,
seolah-olah berlumuran darah.
Si Bungkuk Sun segera membaringkannya di tempat tidur
dan pergi mencari obat, memasaknya dan merawatnya
selama tiga hari. Sampai ia bisa bangkit dari tempat tidur
dan meminta arak lagi. Saat itu tahulah Si Bungkuk Sun bahwa orang itu
memang ingin mati. Jadi ia berusaha menasihatinya,
"Tidak ada orang yang bisa hidup kalau minum arak
terus seperti ini." Tapi orang itu hanya tersenyum. Ia bertanya,
"Bagaimana kau tahu kalau minum arak akan
memperpendek umurku?"
Si Bungkuk Sun tidak bisa menjawab.
Sejak hari itu, mereka menjadi sahabat.


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika tidak ada tamu lain, mereka akan minum bersama,
mengobrol ngalor ngidul. Si Bungkuk Sun jadi tahu,
orang ini cukup terpelajar.
514 Ia hanya tidak mau bicara tenTong Toka hal, masa
lalunya dan namanya. Suatu ketika Si Bungkuk Sun bertanya, "Kita kan
sekarang berteman, bagaimana aku memanggilmu?"
Ia berpikir sebentar lalu menjawab, "Aku kan seorang
pemabuk, panggil saja aku seperti itu."
Si Bungkuk Sun pun jadi paham bahwa orang ini pasti
mempunyai masa lalu yang tragis, sampai-sampai ia
tidak mampu menyebutkan namanya sendiri, dan lebih
memilih untuk tenggelam dalam araknya.
Selain arak, orang ini punya satu kesukaan lain.
Mengukir. Ia selalu menggunakan pisau kecilnya untuk mengukir
potongan-potongan kayu. Namun Si Bungkuk Sun tidak
pernah tahu apa yang diukirnya, karena ia tidak pernah
menyelesaikan ukirannya itu."
Tamu ini memang benar-benar aneh, bahkan bisa
dibilang, menakutkan. Namun Si Bungkuk Sun berharap dia tidak akan pernah
pergi. Pagi ini cuaca sungguh dingin. Si Bungkuk Sun harus
mengenakan mantel tebalnya untuk keluar membuka
warungnya. 515 Lalu dilihatnya dua orang menunggang kuda datang ke
arah warungnya. Tidak banyak orang yang menunggang kuda di daerah
ini, jadi Si Bungkuk Sun memperhatikan dengan
seksama. Kedua orang ini mengenakan jubah panjang berwarna
kuning. Orang yang di depan bermata besar, dan yang di
belakang berhidung runcing. Keduanya berambut pendek
dan berusia sekitar 30-an.
Kedua orang ini tidak tampak luar biasa, hanya jubah
mereka yang kuning sangat menyolok. Mereka tidak
memperhatikan Si Bungkuk Sun. Mereka hanya
mengawasi keadaan sekitar.
Ia tahu bahwa kedua orang ini tidak menyadari
kehadirannya. Kedua orang ini terus melewati warungnya dan lenyap
dari pandangan. Namun sebentar kemudian, mereka
kembali lagi. Anehnya, kali ini mereka turun dari kuda tepat di depan
warung itu. Walaupun tabiat Si Bungkuk Sun sering juga aneh, ia
masih ingin berdagang. Oleh sebab itu segera ia
bertanya, "Apa yang Tuan-Tuan perlukan?"
Si mata besar berkata, "Kami tidak perlu apa-apa, kami
hanya ingin bertanya."
516 Si Bungkuk Sun meneruskan pekerjaannya. Ia memang
tidak gemar bercakap-cakap.
Si hidung runcing pun tertawa dan berkata, "Bagaimana
jika kami membeli jawaban darimu" Satu tail perak untuk
tiap jawaban." Mata Si Bungkuk Sun pun menjadi cerah. Ia mengangguk
dan menjawab, "Boleh."
Seraya menjawab, ia mengacungkan satu jari.
Si mata besar tertawa. "Tadi sudah termasuk satu
jawaban?" Si Bungkuk Sun menjawab, "Ya."
Kini dua jari teracung. Si hidung runcing bertanya, "Sudah berapa lama kau
tinggal di sini?" Si Bungkuk Sun menjawab, "Dua puluh tahun lebih."
Si hidung runcing bertanya lagi, "Siapa yang tinggal di
puri di seberang warungmu itu?"
"Keluarga Li." Si hidung runcing kembali bertanya, "Siapa pemiliknya
setelah itu?" "Shenya Liong, namanya Liong Siau-hun."
517 Lagi ia bertanya, "Pernahkah kau melihat dia?"
"Tidak." "Di mana dia sekarang?"
"Ia sudah pergi."
"Kapan?" "Kira-kira setahun yang lalu."
"Ia tidak pernah kembali lagi sejak itu?"
"Tidak." "Jika kau tidak pernah melihat dia, bagaimana kau tahu
begitu banyak?" "Tukang masaknya sering datang membeli arak ke sini."
Si hidung runcing berpikir beberapa saat lalu bertanya,
"Belakangan ini, adakah orang asing yang datang ke sini
dan bertanya-tanya?"
"Tidak. Jika ada".aku pasti sudah kaya raya."
Si mata besar tersenyum. "Ini upahmu."
Ia melemparkan beberapa koin perak, lalu tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka menaiki kuda mereka dan pergi.
518 Si Bungkuk Sun memandangi uang perak itu dan
menggumam, "Kadang-kadang aku tidak bisa percaya
begitu mudahnya mendapatkan uang."
Ia membalikkan badannya, dan kaget karena si pemabuk
itu sudah berada tetap di belakangnya. Ia memandang
ke arah kedua penunggang kuda itu pergi.
Si Bungkuk Sun tersenyum. "Kau bangun pagi sekali hari
ini." Si pemabuk pun tersenyum. "Semalam aku minum cepat
sekali. Jadi aku sudah sadar lagi pagi-pagi."
Ia menunduk dan terbatuk, lalu bertanya, "Hari ini
tanggal berapa?" Kata Si Bungkuk Sun, "Tanggal 14 bulan 9."
Wajah si pemabuk yang pucat menjadi bersemu merah.
Ia memandang ke kejauhan dan terdiam cukup lama.
Lalu ia bertanya, "Jadi besok adalah tanggal 15 bulan 9,
bukan?" Si pemabuk sepertinya masih ingin bicara, namun ia
mulai terbatuk-batuk. Dan ia terus terbatuk-batuk.
Si Bungkuk Sun mengeluh sambil menggelengkan
kepalanya. "Jika seuma orang minum arak sebanyak
engkau, semua penjual arak akan jadi orang kaya."
Senja pun tiba dan di kejauhan cahaya lilin tampak di
ruangan kecil di bagian belakang.
519 Si pemabuk pun tetap minum di tempatnya yang biasa.
Bab 27. Makin Banyak Orang Aneh yang Datang
Hari ini si pemabuk tampak berbeda. Ia minum sangat
sangat lambat. Matanya sangat terang. Tidak ada
potongan kayu di tangannya dan secara khusus
dipindahkannya lilin di mejanya ke tempat lain.
Matanya terus memandang ke pintu, seolah-olah
menantikan kedatangan seseorang.
Namun waktu terus berlalu tanpa ada tamu lain yang
datang. Si Bungkuk Sun menguap. "Sepertinya sudah tidak akan
ada tamu lagi. Aku rasa sudah waktunya tutup warung."
Si pemabuk tertawa. Katanya, "Jangan buru-buru.
Kujamin, hari ini bisnismu akan luar biasa."
Si Bungkuk Sun bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Jawab si pemabuk, "Karena aku bisa meramal."
Ia memang benar-benar bisa meramal, karena sebentar
saja, beberapa kelompok orang telah datang ke warung
itu. Kelompok yang pertama terdiri dari dua orang.
Yang satu adalah orang tua berambut putih, berbaju biru
dan membawa sebuah pipa. 520 Yang satu lagi adalah seorang gadis kecil, kelihatannya
adalah cucu orang tua itu. Rambutnya yang hitam
berkilauan itu dikuncir dua. Kedua matanya besar, lebih
hitam dan lebih berkilauan daripada rambutnya.
Kelompok yang kedua juga terdiri dari dua orang.
Keduanya terlihat kotor dan berantakan, namun mereka
berdua berbadan kekar dan mengenakan pakaian yang
sama persis, dan membawa senjata yang sama pula.
Seperti pinang dibelah dua.
Kelompok yang ketiga terdiri dari empat orang.
Yang seorang bertubuh jangkung, yang seorang
bertubuh pendek, yang seorang adalah seorang pemuda
berbaju ungu dan membawa tombak di punggungnya,
dan yang seorang lagi seorang wanita berbaju hijau yang
mengenakan begitu banyak perhiasan. Wanita ini
berjalan sambil menggoyangkan pantatnya seperti
seorang gadis kecil. Padahal ia sudah cukup tua untuk
menjadi ibu seorang gadis kecil.
Kelompok yang terakhir hanya terdiri dari satu orang.
Orang ini sangat sangat kurus. Ia membawa pedang
lemas yang tersemat di pinggangnya.
Di ruangan itu ada lima meja, sehingga keempat
kelompok ini sudah memenuhi seluruh warung. Si
Bungkuk Sun menjadi sangat sibuk. Ia hanya bisa
berharap besok warungnya tidak selaris ini lagi.
521 Keempat kelompok orang ini hanya duduk-duduk sambil
minum arak. Mereka berbicara sedikit saja. Kalaupun
berbicara, mereka berbisik-bisik, seolah-olah takut yang
lain akan mendengar. Setelah beberapa saat, si pemuda bertombak mulai
memandang si gadis berkuncir. Anehnya si gadis itu
tampak tidak peduli. Si pemuda itu tiba-tiba tertawa. "Apakah gadis ini
seorang penyanyi?" Si gadis berkuncir menggelengkan kepala, sehingga
kuncirnya berkibar-kibar ke kiri ke kanan. Ia tampak
makin cantik. Kata si pemuda, "Walaupun kau bukan penyanyi, pastilah
kau bisa menyanyi. Jika kau menyanyi dengan baik, aku
akan memberimu hadiah."
Si gadis berkuncir menyahut, "Aku tidak bisa menyanyi,
aku hanya bisa bicara."
"Bicara tentang apa?"
"Tentang buku, atau cerita."
Kata si pemuda, "Oh, itu lebih bagus. Tapi cerita macam
apakah yang akan kau ceritakan" Pelajar dan gadis yang
bertemu di taman" Anak perempuan menteri mencari
jodoh?" 522 Si gadis berkuncir menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Salah semua. Aku bercerita tentang kabar terbaru dan
terhangat dari dunia persilatan."
Si pemuda bertepuk tangan senang. "Hebat. Hebat. Aku
jamin, cerita itulah yang paling diminati semua orang di
sini. Ayo cepat mulai."
Sahut si gadis berkuncir, "Tapi bukan akulah yang bisa,
hanya kakekkulah yang akan bercerita."
Si pemuda memandang si orang tua, lalu bertanya pada
si gadis, "Lalu apa yang kau bisa?"
"Aku hanya dapat membantu kakekku."
Si orang tua minum beberapa cawan arak, lalu mulai
mengisap pipanya. Ia bekata perlahan-lahan, "Pernahkah
kau dengar nama Li Sun-Hoan?"
Selain si pemuda, orang-orang lain di warung itu tidak
memperhatikan kakek dan cucu ini. Namun ketika
mereka mendengar nama Li Sun-Hoan disebut, telinga
mereka langsung berdiri. Si gadis berkuncir menjawab sambil tersenyum, "Tentu
saja pernah. Ia adalah seorang pahlawan yang gagah, Litamhoa
yang terkenal itu, bukan?"
Jawab si orang tua, "Tepat sekali."
523 Si gadis berkuncir berkata, "Kudengar Pisau Kilat si Li
tidak pernah luput. Sampai hari ini, tidak ada seorang
pun yang dapat lolos darinya. Apakah memang begitu?"
Sahut si orang tua, "Jika kau tidak percaya, kau boleh
tanya pada si serba tahu Pek-hiau-sing, atau Ngo-toktongcu,
dan kau pun akan mengerti apakah perkataan itu
benar atau tidak." Tanya si gadis berkuncir, "Maksudmu Pek-hiau-sing dan
Ngo-tok-tongcu sudah mati?"
"Ya. Mereka mati karena mereka tidak percaya akan
perkataan itu." Orang kurus jangkung itu terbatuk perlahan, namun
semua orang telah hanyut dalam cerita itu, sehingga
mereka tidak memperhatikan.
Hanya si pemabuk yang tertelungkup di atas mejanya,
sepertinya ia sudah mabuk berat.
Si orang tua menyeruput tehnya, lalu berkata,
"Sayangnya, Li Sun-Hoan pun sudah mati."
Si gadis berkuncir terperanjat, "Mati" Siapa yang begitu
hebat bisa membunuh dia?"
Sahut si orang tua, "Dirinya sendiri!"
Si gadis berkuncir memandang kakeknya beberapa saat,
lalu ia tersenyum. "Mana mungkin ia bunuh diri" Ia pasti
masih hidup." 524 Si orang tua mendesah. Katanya, "Walaupun ia masih
hidup, ia pun hidup seperti orang mati". Sungguh
sayang".." Si gadis berkuncir pun mendesah. Lalu bertanya, "Selain
dia, siapakah lagi yang bisa disebut sebagai pahlawan?"
Kata si orang tua, "Pernahkah kau dengar tentang A
Fei?" Si gadis berkuncir menjawab, "Sepertinya pernah
dengar."

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya berputar, lalu ia melanjutkan, "Kudengar
kecepatan pedangnya tiada duanya di dunia persilatan.
Benarkah itu?" Si orang tua balas bertanya, "Menurutmu bagaimanakah
ilmu silat In Gok?" Jawab si gadis berkuncir, "Dalam Kitab Persenjataan,
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) menduduki tempat
kesembilan. Jadi pastilah dia sangat hebat."
Tanya si orang tua lagi, "Bagaimana dengan Thi-tiok
Siansing, Pendeta Sin-kam Taysu, Tio Cing-ngo dan Dianjitya?"
Jawab si gadis berkuncir, "Mereka semua orang-orang
terkenal dalam dunia persilatan. Semua orang tahu
tentang mereka." 525 Kata si orang tua, "Jika pedang A Fei tidak terlalu cepat,
bagaimana mungkin semua orang ini dikalahkannya?"
Tanya si gadis berkuncir, "Apa yang terjadi pada A Fei
sekarang?" Si orang tua menghela nafas. "Seperti Li-tamhoa, ia pun
menghilang. Tidak ada yang tahu di mana ia berada.
Hanya saja, ia menghilang hampir bersamaan waktunya
dengan menghilangnya Lim Sian-ji."
"Lim Sian-ji" Maksudmu wanita yang katanya tercantik di
seluruh dunia?" Jawab si orang tua, "Betul sekali."
Si gadis berkuncir pun berkata, "Oh, apakah cinta itu"
Mengapa banyak orang terperangkap oleh cinta dan tidak
dapat lepas".."
Si pemuda menjadi tidak sabar dan berkata, "Jangan
menyimpang dari cerita. Ayo cepat teruskan."
Si orang tua menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Orang seperti A Fei dan Li Sun-Hoan sudah tidak ada
lagi. Apa lagi yang dapat diceritakan tenTong Toknia
persilatan" Sampai di sini saja."
Si kurus tertawa dingin, "Mungkin kau salah."
Kata si orang tua, "Maksudmu, kau punya cerita yang
lebih baik?" 526 Orang itu memandang ke sekelilingnya. "Aku tahu,
sesuatu yang luar biasa akan terjadi sebentar lagi."
Tanya si orang tua, "Kapan" Di mana?"
Si kurus menggebrak meja lalu berseru, "Sekarang, di
sini!" Waktu mendengar ini, kedua orang kembar dan
kelompok empat orang itu menjadi pucat. Hanya si
wanita berbaju hijau itu saja yang masih tersenyum.
Katanya, "Aku tidak melihat ada sesuatu pun yang luar
biasa yang sedang terjadi."
Kata si kurus, "Menurut perhitunganku, setidaknya akan
ada enam orang yang mati di sini SEKARANG!"
Si wanita baju hijau bertanya, "Enam orang yang mana?"
Si kurus minum araknya, lalu menjawab, "Pek-mo-kau
(monyet berbulu putih) Oh Hui, Tay-lik-sin (malaikat
bertenaga raksasa) Toan Kay-san, Thi-jiang-siau-pa-ong
(si raja tombak) Nyo Seng-cu, Cui-coa (ular air) Oh Bi,
dan Lam-san-sin-hou kedua Han bersaudara!"
Setelah disebutnya enam nama itu, dua bersaudara dan
keempat orang dari kelompok yang ketiga itu pun segera
bangkit. Mereka berteriak, "Kau pikir kau ini siapa"
Berani-beraninya kau omong kosong di sini!"
Suara yang terkeras sudah pasti adalah suara si orang
berotot besar itu, Tay-lik-sin Toan Kay-san.
527 Waktu ia berdiri, ia lebih jangkung daripada semua orang
yang lain. Bahkan Lam-san-sin-hou kedua Han
bersaudara yang tinggi besar pun lebih pendek setengah
kepala. Kelihatannya ia masih belum puas mengejek. "Aku rasa
kaulah yang sedang sial hari ini. Kau tidak akan hidup
lewat tengah malam"."
Belum selesai ia bicara, si kurus mengangkat kakinya
menendang dan menampar pipinya tujuh belas kali.
Walaupun Tay-lik-sin Toan Kay-san punya dua tangan, ia
tidak dapat menangkis tamparan itu. Walaupun ia punya
dua kaki, ia tidak dapat mengelak dari tamparan itu.
Seakan-akan kepalanya dipukul sampai dia Linglung,
tidak bisa bergerak. Yang lain hanya bisa memandang dengan heran.
Namun orang itu berkata, "Kau pikir aku ini datang untuk
membunuh kalian" Kalian ini tidak berharga untuk
kubunuh! Aku hanya ingin memberi kalian pelajaran,
supaya kalian belajar sopan santun dalam berbicara."
Seraya berbicara, ia kembali ke tempat duduknya.
Kata Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu, "Tunggu dulu.
Katakan, siapa yang akan datang untuk membunuh
kami?" Sambil bertanya, ia menghunus tombaknya tiba-tiba.
528 Ditusukkannya ke arah si kurus.
Orang itu tidak melirik sedikitpun. Katanya, "Orang yang
akan membunuh kalian sudah hampir tiba."
Pinggang si kurus meliuk sedikit dan kini tombak itu telah
terjepit di bawah ketiak si kurus. Thi-jiang-siau-pa-ong
Nyo Seng-cu berusaha keras menariknya kembali, namun
tidak berhasil. Wajahnya langsung memucat.
Si kurus kemudian berkata, "Karena kau tidak mungkin
lolos, sebaiknya kau tunggu saja di sini dengan tenang."
Mendadak ia kendurkan kepitannya, karena lagi
membetot dengan bernafsu, keruan Nyo Seng-cu
kehilangan imbangan badan, ia terjengkang ke belakang.
Kalau Cui-coa Oh Bi, yaitu si nyonya berbaju hijau, tidak
keburu menahannya, bisa jadi meja kursi akan
ditumbuknya hingga berantakan.
Waktu ia periksa tombak sendiri, tombak itu sudah
berubah menjadi toya. Entah sejak kapan ujung
tombaknya telah hilang. Terdengar suara berdesing dan kepala tombak itu sudah
menancap di meja. Si kurus menuang arak lagi ke
cawannya, seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang baru
saja terjadi. Tetapi Keenam orang tidak bisa setenang si kurus. Wajah
mereka sudah tidak ada warnanya.
529 Mereka semua sedang berpikir, "Siapakah yang akan
datang untuk membunuh kami" Siapa"."
Angin di luar bertiup makin kencang, sampai lentera di
dalam pun bergoyang-goyang. Si kurus tetap duduk di
situ tanpa bicara. Siapakah orang ini" Dilihat dari ilmu silatnya, ia pasti adalah salah satu tokoh
dunia persilatan yang hebat. Namun mengapa mereka
semua tidak mengenalnya"
Kenapa ia datang ke sini"
Tidak ada seorang pun yang tahu jawabannya.
Bagaimana mungkin mereka bernafsu untuk minum arak
lagi" Beberapa dari mereka sudah ingin kabur, tapi mereka
tahu itu tindakan pengecut. Lagi pula, bagaimana mereka
bisa kabur" Oh Hui bertubuh kurus kecil, pada mukanya berbulu
putih, maka berjuluk si monyet berbulu putih, mendadak
ia berbangkit dengan sinar mata gemerdep, ia mendekati
meja kedua Han bersaudara itu, ia memberi hormat dan
menyapa, "Nama kebesaran Lam-san-siang-hou sudah
lama kukagumi." Cepat kedua Han bersaudara juga berdiri dan membalas
hormat, Toa-hou, si harimau besar, Han Pan, menjawab,
"Ah, terima kasih. Oh-tayhiap dan nona Oh berdua
530 saudara juga terkenal menguasai Ginkang dan senjata
rahasia yang tidak ada bandingannya, kami juga sudah
lama sangat kagum." "Terima kasih," sahut Oh Hui.
Di sebelah sana si ular air Oh Bi yang berbaju hijau itu
pun mengangguk dengan tertawa genit sebagai tanda
hormat. Segera Oh Hui berkata pula, "Apabila Anda berdua tidak
menolak, bagaimana kalau pindah saja ke sebelah sana
untuk bicara lebih lanjut?"
"Baik, kami memang ada maksud demikian," jawab Han
Beng, si harimau kedua. Kedua kelompok ini bila bertemu di tempat lain, bisa jadi
akan segera saling labrak mati-matian, tapi sekarang
mereka harus menghadapi musuh yang sama, biarpun
bukan sahabat juga berubah menjadi keluarga.
Sesudah berkumpul dan saling angkat cawan arak, lalu
Oh Hui berkata pula, "Selama ini kalian tinggal di daerah
timur, sedangkan kami bergerak di daerah selatan,
sungguh tidak habis kupikir siapakah gerangan yang
bermaksud menumpas kita sekaligus?"
"Ya, kami juga heran," jawab Han Pan.
"Dari nada ucapan sobat itu tadi, Kungfu orang yang
hendak membunuh kita itu pasti sangat tinggi, mungkin
kita memang bukan tandingannya," kata Oh Hui pula.
531 "Tapi apa pun juga, gabungan beberapa orang bodoh
akan menghasilkan seorang pintar. Dengan tenaga
gabungan kita berenam rasanya masih dapat
memberikan perlawanan yang memadai."
Serentak semangat kedua Han bersaudara terbangkit,
seru Han Pan, "memang tepat ucapan Oh-heng. Jelekjelek
kita berenam juga tokoh daerahnya masing-masing,
kita bukan patung, memangnya diam saja membiarkan
kepala sendiri dipenggal orang?"
Segera Han Beng juga berseru, "Betul, seperti kata
peribahasa, datang prajurit tahan dengan panglima,
banjir air uruk dengan tanah. Jika dia betul-betul datang
.... Hehe ...." Banyak orang memang membesarkan nyali, setelah
enam orang bergabung, hati Toan Kay-san dan Nyo
Seng-cu menjadi tabah juga. Mereka terus berceloteh,
yang ini memuji yang itu, yang itu mengumpak pula yang
ini. Mendadak terdengar orang menjengek di luar.
Wajah keenam orang ini langsung berubah. Dalam
tenggorokan mereka seolah-olah tumbuh tumor,
sehingga mereka tidak dapat bicara. Bahkan tidak dapat
bernafas. Si Bungkuk Sun amat ketakutan. Namun keenam orang
ini lebih lagi ketakutannya.
Empat orang muncul di pintu.
532 Keempat orang ini semuanya mengenakan jubah panjang
berwarna kuning. Satu bermata besar, satu berhidung
runcing. Merekalah orang yang datang tadi pagi.
Walaupun mereka sudah di depan pintu, tidak ada
seorang pun yang masuk. Mereka berempat hanya
berdiri di situ. Wajah mereka pun tidak menakutkan.
Si Bungkuk Sun tidak habis pikir mengapa keenam orang
ini sungguh ketakutan melihat mereka. Dari wajah
Keenam orang itu, seakan-akan empat orang yang baru
datang itu bukan manusia, tapi setan dari neraka.
Mereka kini menjadi iri hati terhadap si pemabuk, karena
ia tidak melihat apapun, mendengar apapun, sehingga
sedikitpun ia tidak merasa takut.
Yang aneh adalah perilaku kelompok yang pertama. Si
orang tua itu hampir tidak punya gigi lagi, dan si gadis
kecil itu masih sangat muda. Seolah-olah angin sepoisepoi
pun dapat menerbangkannya.
Namun kedua orang ini tidak menunjukkan sedikitpun
rasa takut. Si orang tua masih terus minum arak.
Mereka hanya memandang sekilas ke arah empat orang
itu, lalu minggir sedikit.
Seorang pemuda yang masih sangat muda masuk,
tangannya ada di balik punggungnya. Ia berjalan pelanpelan.
533 Anak muda ini juga mengenakan jubah kuning panjang.
Ia kelihatan sangat berwibawa, dan perilakunya penuh
tata krama. Perbedaannya dengan keempat orang yang
lain hanyalah bahwa jubahnya memiliki garis keemasan
di bagian samping. Akan tetapi, wajahnya sedingin es, tanpa perasaan
sedikitpun. Matanya tertuju pada si jangkung kurus.
Si kurus tidak mempedulikan anak muda itu. Ia terus saja
minum. Si anak muda berrjubah kuning itu hanya tersenyum, lalu
menoleh ke arah enam orang yang lain.
Keenam orang ini semuanya kelihatan terlebih buas
daripada anak muda itu, tapi tersapu oleh sorot matanya,
kaki keenam orang itu serasa lemas semua, berduduk
saja tidak mantap. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah mereka, sambil
mengeluarkan beberapa koin emas. Lalu diletakkannya
koin itu ke atas kepala kepala Keenam orang itu, masingmasing
satu. Keenam orang itu seakan-akan berubah menjadi
sebatang kayu. Mereka hanya menatap nanar waktu si
anak muda meletakkan koin itu ke atas kepala mereka.
Kentut saja tidak berani.
Si anak muda berbaju kuning itu masih punya beberapa
koin lagi di tangannya. Ia lalu berjalan ke arah si orang
tua dan si gadis muda. 534 Si orang tua tersenyum. "Jika kau ingin minum arak,
silakan saja. Aku yang bayar."
Si orang tua kelihatan sudah agak mabuk. Pipinya
menggembung seperti ada telur di dalamnya. Bibirnya
membengkak, sehingga kata-katanya sulit dimengerti.
Si anak muda berjubah kuning itu menatap dia lekatlekat
dengan wajah kaku. Tiba-tiba ia menggebrak meja


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kacang goreng dalam piring pun berhamburan ke
udara, lalu berjatuhan ke atas kepala si orang tua.
Si orang tua pasti ketakutan setengah mati, sampaisampai
ia tidak berusaha menghindar dari kacang-kacang
itu. Namun sebelum kacang itu mengenai kepalanya, si
anak muda mengebaskan lengan bajunya dan kacangkacang
itu pun kembali jatuh ke atas piring.
Si gadis berkuncir tertawa gembira. "Wah. Hebat sekali.
Aku tidak tahu kalau kau bisa ilmu sulap. Bisakah kau
mengulanginya sekali lagi" Jika kau mau, pasti kakekku
tak akan keberatan mentraktirmu arak."
Si anak muda berjubah kuning itu baru saja
mendemonstrasikan ilmu silat tingkat tinggi, namun
sayangnya kali ini ia bertemu dengan dua orang yang
tidak tahu apa-apa. Bahkan menyangka dia sedang main
sulap. Tapi si anak muda ini tidak marah. Ia memandang
sekejap pada si gadis berkuncir, dan tersenyum. Lalu ia
pergi meninggalkan mereka.
535 Tapi si gadis berkuncir berkata dengan tidak sabar,
"Kenapa kau tidak mau mengulanginya sekali lagi" Aku
ingin melihatnya lagi."
Si kurus tiba-tiba tertawa. "Lebih baik kau tidak
melihatnya terlalu sering."
"Kenapa?" Jawab si kurus, "Kalau kau tahu ilmu silat, sulapan itu
akan membuatmu menjadi orang mati."
Si gadis berkuncir melirik si anak muda berjubah kuning
itu dengan sudut matanya, seakan-akan tidak percaya.
Namun ia tidak berani bertanya apa-apa lagi.
Sementara itu si anak muda berjubah kuning itu sendiri
tidak mendengar percakapan itu. Ia sudah berjalan
menghampiri si pemabuk. Koin bergemerincing di
tangannya. Si pemabuk sudah mabuk berat dari tadi. Ia tidur saja
seperti orang mati. Si anak muda tertawa sambil mencekal rambutnya. Ia
memandang wajah si pemabuk dan melepaskan
pegangan pada rambutnya. Kepala si pemabuk berdebam ke meja, namun ia terus
tidur. Si kurus berkata, "Mabuk dapat menyembuhkan banyak
kekuatiran. Perkataan ini benar sekali. Lihat saja,
536 keadaan si pemabuk ini lebih baik daripada keadaan
Keenam orang yang sadar ini."
Si anak muda berjubah kuning itu tidak menghiraukan
perkataannya. Ia berjalan ke arah pintu.
Lucunya Keenam orang dengan koin emas di atas kepala
mereka berbaris mengikuti dia. Seakan-akan mereka
ditariknya dengan tali. Wajah mereka semua murung. Mereka memandang
kosong. Kaki mereka melangkah ke depan dan tubuh
mereka tegak seperti tongkat, seolah-olah takut koin itu
akan jatuh. Si Bungkuk Sun sudah hidup berpuluh-puluh tahun, tapi
baru kali ini ia melihat pemandangan seaneh ini.
Kalau mengingat ilmu silat mereka, seharusnya mereka
bisa memberikan perlawanan. Mengapa mereka melihat
si anak muda seperti tikus melihat kucing"
Si Bungkuk Sun sungguh tidak mengerti.
Tapi ia pun tidak kepingin tahu. Untuk orang setua dia,
ada beberapa hal lebih baik ia tetap tidak tahu.
Sudah cukup lama tidak turun hujan, sehingga debu
beterbangan saat angin bertiup.
Keempat orang berjubah kuning itu menggambar
beberapa Lingkaran di tanah, ukurannya kira-kira sebesar
mangkuk sup. 537 Ketika Keenam orang itu sudah di luar, mereka tidak
menunggu perintah, masing-masing langsung berdiri di
dalam satu Lingkaran. Mereka berdiri tegak seperti sebatang pohon.
Si anak muda berjubah kuning itu berjalan kembali ke
arah warung, dan duduk di kursi yang tadinya diduduki
Tay-lik-sin Toan Kay-san.
Wajahnya masih tetap dingin. Ia pun tidak berbicara
sepatah katapun. Beberapa menit kemudian, ada seorang berjubah kuning
lagi yang masuk ke dalam warung.
Orang ini tampak lebih tua, satu telinganya sudah putus,
satu matanya buta, dan wajahnya penuh amarah.
Dijubahnya pun ada garis emas di bagian sampingnya.
Bersama dia datang sekelompok orang, ada yang
jangkung, ada yang pendek, ada yang tua, ada yang
muda. Dari penampilan mereka, kelihatannya mereka adalah
orang-orang yang cukup penting. Hanya saja wajah
mereka terlihat sama dengan wajah Tay-lik-sin Toan Kaysan
dan teman-temannya. Mereka pun lalu mengikuti
orang berjubah kuning itu keluar dan masing-masing
juga berdiri dalam sebuah Lingkaran.
Salah satu dari mereka berkulit gelap dan kurus kering.
Wajahnya tampak sangat kacau.
538 Ketika yang lain melihat dia, mereka semua
memandangnya dengan aneh. Seakan-akan heran,
mengapa ia ada di situ. Si mata satu memandang sekilas pada Tay-lik-sin Toan
Kay-san dan yang lain-lain, ia terkekeh. Lalu ia masuk ke
dalam warung dan duduk di depan si anak muda.
Mereka saling pandang. Keduanya mengangguk, tapi
tidak bicara apa-apa. Tidak berapa lama kemudian, seorang berjubah kuning
lagi datang. Ia lebih tua lagi. Rambutnya sudah putih semua.
Jubahnya pun bergaris emas dan di belakangnya tampak
lebih banyak lagi orang. Dari jauh ia tidak kelihatan istimewa, tapi setelah dekat,
terlihat wajahnya yang hijau. Ditambah dengan
rambutnya yang seluruhnya putih, ia tampak sangat
menyeramkan. Bukan hanya wajahnya yang hijau, tangannya pun hijau.
Orang-orang yang berdiri di luar memandangnya seperti
melihat hantu. Nafas mereka tertahan, beberapa bahkan
gemetaran. Dalam satu jam saja, seluruh Lingkaran telah terisi
dengan orang yang berdiri kaku, tidak berani bergerak
atau bicara. 539 Orang keempat berjubah kuning bergaris emas pun tiba.
Yang terakhir ini adalah seorang tua yang tampak lemah.
Ia lebih tua lagi dari orang yang tadi. Sampai-sampai
berjalan pun susah. Tapi jumlah orang yang dibawanya
adalah yang terbanyak. Keempat orang ini duduk semeja, di tiap-tiap sisinya.
Mereka duduk di situ tanpa berbicara.
Orang-orang di luar pun tida ada yang berbicara. Yang
terdengar hanya suara nafas mereka.
Warung kecil ini sepertinya telah berubah menjadi
kuburan. Bahkan Si Bungkuk Sun pun tidak tahan lagi!
Namun si orang tua dan si gadis muda itu belum pergi
juga. Apakah mereka sedang menunggu pertunjukan sulap
berikutnya" Ini memang benar-benar pertunjukan yang sangat hebat!
Bab 28. Koin Pencabut Nyawa
Setelah beberapa lama, terdengar suara du, du, du, du".
dari arah jalan. Suara itu monoton dan membosankan.
Namun di tengah malam seperti itu, suara itu sungguh
mencekam. Seakan-akan memukul-mukul hati manusia
dengan tongkat. Du, du, du". bisa membuat orang yang mendengarnya
jadi gila. 540 Keempat orang berjubah kuning itu saling pandang, lalu
keempatnya bangkit berdiri.
Dari kegelapan malam, muncul sesosok bayangan.
Kaki kiri orang ini buntung, ia berjalan dengan tongkat.
Ketika cahaya suram dari warung itu menyinari wajah
orang itu, terlihatlah rambutnya yang acak-acakan,
wajahnya yang hitam seperti pantat panci dan penuh
dengan bekas luka. Matanya segitiga, alisnya tebal, hidungnya besar,
mulutnya pun besat. Wajahnya sangat jelek, walaupun
tanpa bekas-bekas luka itu.
Semua orang pasti jijik melihatnya.
Namun keempat orang berjubah kuning itu
menghampirinya dan membungkuk dengan hormat.
Si kaki satu hanya mengibaskan tangannya.
Du, du, du". orang itu berjalan masuk ke dalam warung.
Si Bungkuk Sun melihat bahwa orang inipun mengenakan
jubah kuning dengan garis keemasan di bagian
sampingnya. Si kurus pun melihat dia masuk. Wajahnya langsung
berubah. 541 Si kaki satu memandang ke seluruh ruangan. Matanya
berbinar waktu melihat si kurus. Katanya pada keempat
orang itu, "Kalian telah bekerja keras."
Walaupun wajahnya mengerikan, suaranya amat
menyenangkan. Keempat orang berjubah kuning itu hanya menjawab,
"Ah, biasa saja."
Si kaki satu bertanya, "Apakah mereka semua di sini?"
Salah seorang yang berjubah kuning itu menjawab,
"Semuanya ada 49 orang. Mereka semua di sini."
Si kaki satu bertanya lagi, "Apakah kalian yakin mereka
semua datang untuk itu?"
Si tua berjubah kuning menjawab, "Aku telah
memastikannya. Mereka semua datang dalam tiga hari
terakhir ini. Jadi pasti mereka datang untuk itu. Kalau
tidak, buat apa mereka datang ke sini?"
Si kaki satu mengangguk dan berkata, "Bagus kalau kau
sudah memastikannya, jadi kita tidak akan menyakiti
orang yang tidak berdosa."
Si tua berjubah kuning pun menyahut, "Tentu saja."
Si kaki satu pun bertanya, "Jadi orang-orang itu sudah
paham?" Sahut si tua berjubah kuning, "Belum."
542 Si kaki satu pun berkata, "Kalau begitu mereka harus
diberi tahu." "Ya." Ia berjalan keluar, lalu berkata, "Aku yakin kalian semua
tahu siapa kami. Kami pun tahu pasti apa maksud kalian
datang ke sini." Sambungnya, "Aku tahu kalian semua mendapatkan
surat yang sama. Itulah alasannya kalian datang kemari."
Orang-orang itu tidak bisa mengangguk, dan mereka pun
takut salah bicara. Jadi tidak ada seorang pun yang
menjawab. Si tua berjubah kuning pun berkata lagi, "Tapi dengan
kemampuan kalian, kalian tidak pantas datang. Oleh
sebab itu, kalian semua harus berdiri di sini. Sampai kami
menyelesaikan urusan kami, dan demi keselamatan
kalian semua, berdirilah di sini dengan tenang. Kalian
akan baik-baik saja."
Ia terkekeh. "Aku yakin kalian tahu bahwa kecuali
terpaksa, kami tidak akan melukai siapapun."
Ketika ia mengatakan ini, seseorang terbatuk.
Orang itu adalah Cui-coa Oh Bi, si wanita genit berbaju
hijau. Supaya pinggangnya tetap tampak ramping, ia lebih baik
kedinginan daripada mengenakan pakaian yang tebal. Ini
543 adalah salah satu kebiasaan buruk yang dimiliki hampir
setiap wanita. Ia berpakaian sangat minim dan kebetulan hari ini angin
bertiup cukup kencang. Ditambah lagi, ia berdiri paling
depan, sehingga angin langsung menerpanya. Tidak
heran, ia langsung masuk angin.
Sewaktu ia bersin, koin di atas kepalanya jatuh.
Terdengar bunyi "cring" sewaktu koin itu jatuh ke tanah
dan bergulir menjauh. Wajahnya langsung memucat,
demikian pula wajah semua orang di situ.
Si tua berjubah kuning bertanya, "Kau tahu peraturan
kami?" Cui-coa Oh Bi menjawab terbata-bata, "Y".ya."
Si tua berjubah kuning menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Kau seharusnya lebih berhati-hati."
Seluruh tubuh Cui-coa Oh Bi gemetaran. "Itu adalah
kecelakaan. Tolong ampuni nyawaku."
Si tua berjubah kuning pun menyahut, "Aku pun tahu itu
kecelakaan, tapi aku tidak bisa melanggar peraturan.
Siapa yang akan menaati peraturan jika orang bisa
seenaknya melanggar" Kau sudah lama berkecimpung
dalam dunia persilatan. Seharusnya kau sudah tahu."
Cui-coa Oh Bi menoleh pada Pek-mo-kau Oh Hui,
kakaknya. "Toako, kau" tidak mau menolong aku?"
544 Pek-mo-kau Oh Hui memejamkan matanya. Otot
wajahnya mengejang. "Aku bisa berbuat apa?"
Cui-coa Oh Bi tersenyum. "Aku mengerti". Aku tidak
akan menyalahkan engkau."
Mata Cui-coa Oh Bi kini memandang Thi-jiang-siau-paong
Nyo Seng-cu. "Bagaimana dengan engkau, Yang
sayang" Aku sudah akan pergi, adakah yang ingin kau
katakan padaku?"

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu terus
memandang kosong ke tanah, tanpa perasaan.
Kata Cui-coa Oh Bi, "Kau bahkan tidak ingin melihatku?"
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu memejamkan
matanya. Cui-coa Oh Bi tiba-tiba tertawa histeris sambil menuding
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu. "Kalian semua, lihat
ini. Orang ini adalah kekasihku. Semalam ia berkata
bahwa selama aku mencintainya, ia rela mati bagiku.
Tapi sekarang" Sekarang, melihat padaku pun tidak mau,
seakan-akan aku akan menularkan penyakit"."
Tawanya sedikit demi sedikit berhenti, berganti dengan
air mata yang turun membasahi pipinya. "Apa itu kasih
sayang" Apa itu cinta" Untuk apa aku hidup sekarang"
Lebih baik mati sekarang daripada terus hidup."
Sambil berbicara, tubuhnya berguling di tanah sejauh
beberapa meter dengan cepat dan disambitkannya
545 sejumlah senjata rahasia Bintang Es ke arah si tua
berjubah kuning itu. Lalu tubuhnya segera melayang, berusaha melewati
tembok. Keahlian Cui-coa Oh Bi adalah meringankan tubuh dan
senjata rahasia. Kepandaiannya di bidang ini sebetulnya
cukup tinggi. Menyambitkan begitu banyak Bintang Es
dengan cepat, akurat, dan sangat mematikan!
Si tua berjubah kuning itu hanya mengangkat alisnya
sedikit lalu berkata, "Buat apa kau berbuat ini"."
Ia mungkin berjalan dan berbicara dengan lambat,
namun gerakannya sungguh sangat cepat. Ketika
kalimatnya selesai, ia pun sudah menangkap seluruh
Bunga Es itu dengan lengan bajunya.
Pada saat Cui-coa Oh Bi akan melompat melewati
tembok itu, ia merasa ada serangkum tenaga yang besar
datang ke arahnya, sehingga ia malah menubruk tembok
itu dan jatuh ke tanah. Seluruh tubuhnya mengeluarkan
darah. Kata si tua berjubah kuning, "Sebenarnya kau bisa mati
dengan tenang, sayang"."
Tangan Cui-coa Oh Bi memegangi dadanya. Ia terbatuk
dan terus terbatuk, mengeluarkan darah.
Si tua berbaju kuning pun berkata lagi, "Sebelum kau
mati, akan kukabulkan satu permintaanmu."
546 Tanya Cui-coa Oh Bi, "Ini juga salah satu peraturanmu?"
"Ya." "Apapun yang kuminta, akan kau kerjakan?"
Si tua menjawab, "Jika kau punya urusan yang belum
selesai, kami akan menyelesaikannya. Jika kau ingin
membalas dendam, kami dapat melakukannya untukmu."
Ia terkekeh, lalu menyambung, "Jadi siapapun yang mati
di tangan kami bisa dibilang cukup beruntung."
Mata Cui-coa Oh Bi menjadi cerah. Katanya, "Karena aku
memang harus mati, bolehkah aku memilih siapa yang
akan membunuhku?" Si tua berjubah kuning menjawab, "Tidak ada masalah.
Siapa yang kau inginkan?"
Cui-coa Oh Bi menggigit bibirnya, dan berkata, "Dia, Thijiangsiau-pa-ong Nyo Seng-cu!"
Wajah Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu langsung
memucat, katanya, "Apa maksudmu" Kau ingin
membunuhku juga?" Sahut Cui-coa Oh Bi, "Kau cuma berpura-pura sayang
padaku, padahal aku betul-betul cinta padamu. Jika aku
bisa mati di tanganmu, aku mati berbahagia."
547 Si tua berjubah kuning pun berkata, "Mudah sekali
membunuh orang. Jangan bilang bahwa kau tidak pernah
membunuh." Tangannya bergerak sedikit dan sebilah pisau pun keluar.
Lalu ia berjalan dan memberikannya kepada Thi-jiangsiaupa-ong Nyo Seng-cu. "Pisau ini sangat tajam. Tidak
perlu menusuk dua kali untuk membunuh."
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu menggelengkan
kepalanya, katanya, "Aku tidak".."
Sewaktu berbicara, koin di atas kepalanya pun jatuh ke
tanah. Tubuh Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu langsung
mengejang. Cui-coa Oh Bi langsung tertawa terbahak-bahak.
"Katamu kemarin, jika aku mati, kau pun tidak ingin
hidup lagi. Kini, kau benar-benar akan mati bersamaku.
Setidaknya sebagian kata-katamu benar juga."
Tubuh Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu bergetar
hebat, lalu ia berteriak, "Kau"..!!! Kau wanita tidak
berperasaan?" Ia segera menyambar pisau itu, berjalan cepat ke arah
Cui-coa Oh Bi-toasiansingn menyayat leher Cui-coa Oh
Bi. Darah muncrat membasahi tubuhnya.
Akhirnya dia menjadi tenang dan mengangkat kepalanya.
548 Semua orang memandangnya dingin.
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu menghentakkan
kakinya, lalu menyayat lehernya sendiri dengan pisau
yang sama. Tubuhnya menelungkup di atas tubuh Cuicoa
Oh Bi. Kini Si Bungkuk Sun mengerti mengapa orang-orang itu
berjalan dan berdiri dengan aneh.
Peraturan orang-orang berjubah kuning ini sungguh
mengerikan dan sulit dimengerti.
Namun si kurus tidak peduli sedikitpun. Seolah-olah hal
seperti ini terjadi setiap hari.
Saat ini, si kaki satu bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah
meja si kurus dan duduk di hadapannya.
Si kurus pun mengangkat kepalanya dan memandang si
kaki satu lekat-lekat. Mereka tidak bicara sepatah kata pun, namun Si Bungkuk
Sun merasa suatu peristiwa besar akan segera terjadi.
Mata kedua orang ini bagaikan pisau, saling menusuk
hati satu sama lain. Cukup lama mereka saling pandang, akhirnya si kaki satu
tersenyum. 549 Senyumnya sangat unik, sangat aneh. Bisa membuat
orang lupa betapa jelek wajahnya, karena senyumnya
begitu hangat dan lembut.
Ia tersenyum sambil berkata, "Sekarang aku tahu siapa
engkau." "O ya?" "Aku rasa kau pun tahu siapa kami."
"Dalam dua tahun terakhir ini, rasanya tidak ada seorang
pun yang tidak tahu siapa kalian."
Si kaki satu terkekeh. Lalu dikeluarkannya selembar
surat. Surat itu tampak biasa saja, namun Si Bungkuk Sun ingin
sekali tahu apa isi surat itu.
Si kaki satu berkata, "Aku rasa kau datang jauh-jauh
karena surat ini juga, bukan?"
Si kurus menyahut, "Mungkin."
Kata si kaki satu, "Katanya, lebih dari seratus orang
menerima surat ini, namun tidak seorang pun yang tahu
siapa pengirimnya. Walaupun sudah berusaha kuselidiki,
aku tidak menemukan jejak apapun."
Si kurus pun berkata, "Jika kau tidak berhasil
menemukan jejaknya, tidak ada seorang pun yang bisa!"
550 Kata si kaki satu, "Walaupun kami tidak tahu siapa
penulisnya, kami tahu alasan dia menulis."
"O ya?" Si kaki satu menerangkan, "Ia berusaha mengumpulkan
jago-jago silat ke tempat ini, supaya kita semua saling
bertempur, dan pada akhirnya dialah yang memetik
hasilnya." Tanya si kurus, "Kalau begitu, mengapa kau masih ada di
sini?" "Karena rencana yang sangat berbahaya itulah, kami
harus datang." "O ya?" Si kaki satu tersenyum. "Kami datang untuk memberi
tahu semua orang alasan surat itu dikirimkan, supaya
tidak seorang pun masuk ke dalam perangkapnya."
Si kurus pun menyahut, "Betapa setia kawannya
engkau." Si kaki satu seperti tidak menangkap nada sindiran dalam
suara si kurus. Ia berkata, "Kami hanya ingin membuat
persoalan besar menjadi kecil, dan persoalan kecil
menjadi tidak ada, agar semua orang bisa hidup
tenteram." 551 Si kurus pun berkata, "Sebenarnya, tidak ada yang tahu
pasti apakah di sini betul-betul ada harta karun atau
tidak." Sahut si kaki satu, "Oleh sebab itu, bukankah sangat
disayangkan kalau seseorang kehilangan nyawanya
hanya karena omong kosong ini."
Si kurus pun menjawab, "Namun karena aku sudah
berada di sini, sekalian saja aku lihat apa yang
sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin hanya dengan
beberapa kata seseorang berusaha membujukku untuk
pergi?" Wajah si kaki satu pun berubah tegang, katanya, "Jadi
kau tidak mau pergi?"
Si kurus tertawa dingin. "Walaupun aku pergi, harta
karun itu tidak akan jatuh ke tanganmu!"
Sahut si kaki satu, "Selain engkau, kurasa tidak ada lagi
yang dapat menandingi kami."
Ia menekan tongkat besinya dan terdengar suara
berderak. Tongkatnya yang dua meter itu kini satu
setengah meternya tertanam dalam tanah.
Si kurus berkata dengan dingin, "Ilmu silat kelas tinggi.
Tidak heran dalam Kitab Persenjataan Pek-hiau-sing,
tongkat besimu ada di urutan ke delapan."
552 Si kaki satu pun berseru, "Cambuk Ularmu yang terkenal
itu ada di urutan ketujuh. Aku sudah lama ingin
menjajalnya!" Si kurus pun menjawab, "Aku pun sudah menantinantikan
pertempuran ini!" Bab 29. Cambuk yang Punya Mata
Tangan si kurus menggebrak meja dan tubuhnya
melayang ke udara. Angin dingin berkelebat dan sebuah
cambuk berwarna hitam mengkilat telah tergenggam di
tangannya. Ia menyentak pergelangan tangannya dan cambuk
panjang itu bergelora, menghasilkan angin yang menerpa
orang-orang yang berada di luar. Terdengar suara ting
ting tang tang. Empat puluh koin jatuh ke tanah.
Keempat puluh orang itu adalah jago-jago dalam dunia
persilatan, namun tidak satupun pernah melihat
permainan cambuk yang begitu mengagumkan.
Ketika cambuk itu ada di tangannya, cambuk itu seolaholah
menjadi hidup, seperti punya mata.
Keempat puluh orang itu saling pandang, lalu segera
menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka untuk
kabur. Sebagian lari ke jalan, sebagian memanjat
tembok. Langit penuh dengan bayangan orang-orang
yang berhamburan. Dalam sekejap saja, semua sudah
pergi. 553 Wajah si tua berjubah kuning itu memucat. Ia
membentak dengan marah, "Kau telah mengambil Koin
Pencabut Nyawa mereka. Apakah kau ingin mati
menggantikan mereka?"
Si kaki satu tertawa dingin, "Nyawa Dewa Cambuk Sebun
Yu memang cukup berharga untuk menggantikan nyawa
mereka semua!" Ditariknya tongkatnya dan ia pun berdiri dengan satu
kaki. Seakan-akan kakinya itu tertancap di tanah, seperti
sebatang pohon yang kuat.
Si tua berjubah kuning mengacungkan tangannya. Dalam
tangannya tergenggam sebuah Boan-koan-pit, Pensil
Baja. Siapapun yang mempunyai senjata seperti itu, pastilah
mempunyai kungfu tingkat tinggi.
Empat orang mengelilingi Sebun Yu.
Si mata satu mundur beberapa langkah dan membuka
jubahnya. Tampak 49 mata tombak, ada yang panjang,
ada yang pendek. Kelima pasang mata orang itu memandang ke arah
cambuk panjang Sebun Yu. Si kaki satu lalu tertawa. "Aku rasa kau pasti sudah tahu
siapa keempat temanku ini."
Sahut Sebun Yu, "Aku sudah tahu dari tadi."
554 Si kaki satu berkata, "Kalau dipandang dari segi keadilan,
kami berlima seharusnya tidak main keroyok. Tapi hari ini
lain." Sebun Yu tertawa. "Aku sudah melihat begitu banyak
orang dalam dunia persilatan menang dengan cara main
keroyok. Kau pikir aku peduli?"
Si kaki satu pun menyahut, "Awalnya, aku tidak ingin
membunuhmu, tapi kau telah melanggar peraturan kami.
Bagaimana mungkin kami melepaskanmu" Jika kami
membiarkan peraturan kami dilanggar, kami akan jadi
sekelompok pendusta. Aku harap kau bisa mengerti."
Kata Sebun Yu, "Bagaimana jika aku mau pergi?"
Si kaki satu menjawab, "Kau tidak bisa lagi pergi!"
Sebun Yu hanya tertawa. "Kalau aku benar-benar ingin
pergi, kalian berlima tidak mungkin menghalangiku!"
Si kaki satu menggeram, tongkatnya sudah bergerak!


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun gerakannya sederhana, tenaganya sungguh
tidak terkira! Sebun Yu masih tersenyum, cambuknya meliuk-liuk
dengan cepat seraya melompat ke atas.
Si mata satu mengacungkan tangannya dan 13 mata
tombak mencelat, membawa segulung angin ke arah
Sebun Yu. 555 Yang panjang disambitkan lebih dulu, namun yang
pendek lebih cepat. Terdengar suara klak klak klik klik
secara beruntun, waktu cambuk itu menghalau ketiga
belas mata tombak itu. Seperti angin puyuh, Sebun Yu melayang makin tinggi,
lalu tiba-tiba mencelat, menghilang dari pandangan.
Si kaki satu segera berseru, "Kejar!"
Si kaki satu pun menutul tanah dengan tongkat besinya
dan melayang ke udara. Ilmu meringankan tubuhnya
lebih baik dari orang berkaki dua. Ia pun segera
menghilang dari pandangan.
Keempat orang berjubah kuning yang lain segera
menyusul, dan seketika warung itu pun sunyi senyap.
Hanya dua mayat tertinggal di situ.
Kalau bukan karena kedua mayat itu, Si Bungkuk Sun
mengira bahwa itu semua hanya mimpi buruk belaka.
Si kakek tua terbangun. Pada wajahnya tidak kelihatan
tanda-tanda ia mabuk. Ia memandang ke arah orangorang
berjubah kuning itu pergi dan menghela nafas.
"Tidak heran bahwa Cambuk Ular Sebun Yu berada di
urutan yang lebih tinggi daripada Jing-mo-jiu (Tangan
Setan Hijau) In Gok. Dari gerakannya, ia memang pantas
disebut Si Dewa Cambuk. Pek-hiau-sing memang benarbenar
tahu apa tentang persenjataan."
Si gadis berkuncir bertanya, "Apakah betul ia adalah ahli
cambuk yang paling hebat saat ini?"
556 Sahut si orang tua, "Keahlian yang baru saja
ditunjukkannya itu belum pernah ada di antara ahli
senjata lemas dalam tiga puluh tahun terakhir ini."
Tanya si gadis berkuncir lagi, "Bagaimana dengan si kaki
satu?" "Ia bernama Cukat Kang. Julukannya di dunia persilatan
adalah Heng-siau-jian-kun" "Si Penyapu Seribu Tentara".
Tongkatnya yang disebut Tongkat Baja Emas,
mempunyai berat 100 kati. Senjata yang terberat yang
pernah ada." Si gadis berkuncir pun tersenyum. "Yang satu bernama
Sebun Yu. Yang satu lagi bernama Cukat Kang. Mereka
memang ditakdirkan menjadi musuh."
[Yu artinya lunak. Kang artinya keras.]
"Meski senjata Sebun Yu termasuk lunak, tapi orangnya
justru sangat lurus dan keras, sebaliknya Cukat Kang
yang bersenjata keras itu justru berhati licik dan licin.
Kungfu kedua orang memang saling berlawanan,
perangai masing-masing juga tidak sama, namun lunak
dapat mengatasi keras, bicara tentang Kungfu, Cukat
Kang kalah setingkat, soal adu tipu akal Sebun Yu bisa
jadi akan kecundang."
"Menurut pandanganku, si kakek berjenggot putih itu
jauh lebih culas daripada Cukat Kang," kata si nona.
557 "Orang itu bernama Ko Hing-kong, seorang ahli Tiamhiat
(ilmu totok) (ilmu menutuk Hiat-to)," tutur si kakek.
"Sedangkan si mata satu bernama Yan Siang-hui,
sekaligus ia mampu menyambitkan 49 buah lembing kecil
dalam sekejap dan jarang meleset. Senjata kedua orang
ini dalam daftar senjata yang disusun Pek-hiau-sing
menempati urutan nomor 37 dan 46, di dunia Kangouw
mereka pun tergolong jago kelas satu."
Si nona berkucir mencibir, "Huh, masakah urutan nomor
46 juga terhitung jago kelas satu?"
"Memangnya kau tahu ada berapa juta orang di dunia
ini yang berlatih ilmu silat, dan ada berapa orang pula
yang namanya bisa tercantum dalam daftar yang disusun
Pek-hiau-sing itu?" "Dan orang yang bermuka pucat hijau itu menggunakan
senjata macam apa" Apakah juga terdaftar?"
"Orang itu bernama Tong Tok dan berjuluk "Tok-tanglang"
(si belalang berbisa), senjata yang digunakannya
disebut Tong-long-to (golok belalang), golok beracun,
558 barang siapa sampai terluka oleh goloknya, dalam waktu
satu jam pasti binasa tanpa tertolong."
Si nona tertawa mengikik, "Hihi, aku jadi ingat, konon
orang ini gemar makan lima macam serangga berbisa,
karena hobi makannya itu sehingga sekujur tubuhnya
berubah warna hijau, sampai matanya juga berwarna
hijau." "Ya, beberapa orang itu sudah tergolong jago kelas
terkemuka di dunia Kangouw," tutur si kakek sambil
mengetuk pipa tembakaunya dan mengisi tembakau, lalu
udut lagi. Setelah mengembuskan asap tembakaunya, ia
menyambung pula, "Tapi bila mereka dibandingkan anak
muda berbaju kuning yang angkuh itu, mereka boleh
dikatakan belum masuk hitungan."
"Benar, dapat kulihat juga orang itu memang tidak boleh
diremehkan," ujar si nona, "Meski usianya paling muda,
tapi dia paling sabar, senjata yang digunakannya juga
lain daripada yang lain, entah bagaimana asal usulnya?"
"Pernahkah kau dengar nama Liong-hong-goan (gelang
naga dan hong) Siangkoan Kim-hong?" tanya si kakek.
559 "Tentu saja pernah kudengar," sahut si nona. "Senjata
andalan orang ini bernama Cubo-liong-hong-goan
(gelang induk beranak naga dan hong) dan menempati
urutan nomor dua dalam daftar senjata susunan Pekhiausing, namanya bahkan di atas pisau kilat Li-tamhoa.
Orang Kangouw siapakah yang tidak kenal namanya?"
"Nah, pemuda itu bernama Siangkoan Hui, dia putra
satu-satunya Siangkoan Kim-hong," tutur si kakek tukang
dongeng. "Cukat Kang, Tong Tok, Ko Hing-kong dan Yan
Siang-hui, mereka juga anak buah Siangkoan Kim-hong."
Si nona berkucir melelet lidah, "Wah, pantas mereka
bertindak sedemikian semena-mena, kiranya mereka
mempunyai dukungan sekuat itu."
"Sudah cukup lama Siangkoan Kim-hong menghilang,"
tutur pula si kakek, "tapi dua tahun yang lalu mendadak
dia muncul kembali, ada 17 tokoh kelas top yang
termasuk dalam daftar senjata itu dicakup olehnya dan
terbentuklah Kim-ci-pang (sindikat mata uang emas).
Selama dua tahun ini mereka malang melintang di dunia
Kangouw dan tidak terkalahkan, setiap orang Kangouw
sama miring terhadap mereka, besar pengaruh mereka
560 sekarang bahkan sudah di atas Kay-pang (serikat
pengemis)." "Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia persilatan,
masakah sindikat yang kurang terhormat seperti mereka
itu dapat menandingi Kay-pang?" ujar si nona.
Si kakek menghela napas, "Selama dua tahun ini,
kesatria Kangouw yang hebat sudah semakin berkurang,
yang baik surut, yang jahat tumbuh, apabila kaum
kesatria muda tidak berusaha maju dari berjuang, entah
sampai kapan dunia ini akan dikuasai Kim-ci-pang."
Sampai di sini, seperti tidak sengaja ia melirik sekejap ke
arah "setan arak" yang masih tetap mendekap di atas
meja dan belum lagi sadar itu.
Nona berkucir itu menghela napas gegetun, "Jika
demikian, bila Kim ci-pang sudah ikut campur urusan ini,
pihak lain terpaksa harus menonton saja di samping."
"Itu pun belum pasti," ujar si kakek dengan tertawa.
561 "Memangnya ada pendatang baru yang Kungfunya
terlebih tangguh daripada Siangkoan Kim-hong?" tanya
si-nona. "Meski Liong-hong-goan termasuk senjata nomor dua
dalam daftar senjata, tapi pisau kilat si Li yang
menempati urutan nomor tiga dan Ko-yang-thi-kiam
(pedang besi Ko-yang) yang nomor empat itu, Kungfu
keduanya belum pasti di bawah Siangkoan Kim-hong," si
kakek tertawa, lalu menyambung pula dengan perlahan,
"Apalagi di atas Liong-hong-goan juga masih ada
sebatang pentung mahasakti dan serbahebat yang
disebut Ji-ih-pang (pentung serbajadi)."
"Sesungguhnya di mana letak kehebatan Ji-ih-pang itu,
mengapa bisa mendapatkan urutan nomor satu di dalam
daftar senjata Pek-hiau-sing?" tanya si nona.
Si kakek menggeleng, "Ji-ih-pang juga disebut Thian-kipang
(pentung rahasia alam), rahasia alam tidak boleh
dibocorkan, maka selain Thian-ki-lojin (si kakek rahasia
alam) yang memegang Thian-ki-pang itu, mana orang
lain bisa tahu?" 562 Nona berkucir itu termenung sejenak, mendadak ia
tertawa dan berkata pula, "Biarpun Kim-ci-pang itu
sangat hebat, tapi kurang pintar mencari nama, masa
pakai nama "uang" segala, kan mata duitan jadinya"
Sungguh lucu dan menggelikan."
"Setan pun doyan duit, apalagi manusia," ucap si kakek
dengan sungguh-sungguh. "Segala apa di dunia ini,
adakah yang punya daya pikat terlebih besar daripada
"duit?" Nanti kalau kau sudah berumur setua diriku
barulah kau tahu nama ini tidak menggelikan sedikit
pun." "Tapi di dunia ini juga ada sementara orang yang tidak
dapat dipengaruhi dengan duit," ucap si nona.
"Ya, tapi orang macam begitu teramat sedikit, bahkan
makin lama semakin jarang," kata si kakek.
Kembali si nona terdiam dan termenung memandangi
kuku jari sendiri. 563 Si kakek asyik udut pula, lalu dia mengetuk pipa
tembakaunya di tepi meja dan berkata lagi, "Apa yang
kuceritakan ini telah kau dengar seluruhnya bukan?"
Berputar biji mata si nona, ia pun melirik si setan arak
sekejap dan menjawab dengan tertawa cerah, "Aku kan
tidak mabuk, tentu sudah kudengar dengan jelas."
Si kakek manggut-manggut, "Dan asal usul orang-orang
itu tentu juga sudah kau ketahui semua?"
"Ya, tahu semua," jawab si nona.
"Bagus, dengan demikian selanjutnya kau perlu hati-hati
bilamana bertemu dengan mereka."
Dengan tersenyum si kakek lantas berbangkit, lalu
bergumam, "Meski arak di warung ini lumayan, tapi
orang hidup kan tidak dapat senantiasa berendam di
dalam guci arak dan melewatkan hidup ini secara sia-sia,
jika tiba waktunya harus pergi kan harus angkat kaki
juga. Betul tidak juragan?"
564 Kedua kakek bercucu ini bertanya jawab seakan akan
sedang bercerita bagi orang lain.
Sampai terkesima Sun bungkuk mendengarkan, kini ia
tidak tahan, tanyanya dengan tertawa, "Wah, tampaknya
Losiansing sangat hafal terhadap segala seluk-beluk
dunia Kangouw, tentu engkau jaga seorang kesatria
besar, maka rekening minum kalian biarlah kubereskan
bagimu." Si kakek tukang dongeng menggeleng dengan tertawa,
"Ah, sama sekali aku bukan kesatria apa segala, paling
banter aku cuma setan arak saja. Baik seorang kesatria
maupun seorang pemabuk, utang harus dibayarnya
sendiri, tidak boleh ingkar, juga tidak dapat menghindar."
Si orang tua mengeluarkan beberapa uang perak dan
meletakkannya di atas meja. Ia dan cucunya lalu keluar
dari warung itu masuk ke dalam kegelapan malam.
Si Bungkuk Sun mengawasi kepergian mereka. Sewaktu
ia menoleh kembali, ia melihat bahwa si pemabuk pun
kini sudah bangun. Ia berjalan ke arah tempat duduk
yang tadi diduduki oleh Sebun Yu. Ia memungut surat
yang ditinggalkan oleh Cukat Kang.
565 Si Bungkuk Sun tersenyum. "Sayang sekali kau sudah
mabuk tadi. Kau melewatkan pertunjukan yang sangat
seru." Si pemabuk tertawa, lalu menghela nafas. "Pertunjukan
yang sebenarnya belum lagi dimulai. Walaupun aku tidak
ingin menonton, aku kuatir aku harus menontonnya."
Si Bungkuk Sun hanya menaikkan alisnya. Ia merasa
semua orang sangat aneh hari ini. Seolah-olah mereka
salah minum obat. Si pemabuk membaca surat itu dalam sekejap, dan
wajahnya pun berubah merah. Ia membungkuk dalamdalam
dan mulai terbatuk-batuk.
Si Bungkuk Sun bertanya, "Apa kata surat itu?"
Sahut si pemabuk, "Ti"tidak apa-apa."
Kata Si Bungkuk Sun, "Kudengar mereka semua datang
ke sini karena surat itu."
"O ya?" Si Bungkuk Sun pun tersenyum. "Mereka menyebutnyebut
tentang semacam harta karun. Apa pun itu,
mereka pasti hanya main-main."
Lalu ia pun bertanya, "Kau mau arak lagi" Kali ini gratis."
566 Ia tidak mendengar jawaban. Ketika ia menoleh,
dilihatnya si pemabuk hanya berdiri di situ sambil
menatap ke kejauhan. Matanya tidak tampak mabuk, bahkan tersirat suatu
kegagahan yang tidak biasa.
Si Bungkuk Sun mengikuti arah pandangannya. Ia hanya
dapat melihat secercah cahaya lilin di kejauhan. Cahaya
itu tampak semakin jauh karena kabut yang menyelimuti


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat itu. *** Waktu Si Bungkuk Sun kembali ke halaman belakang,
hari sudah tengah malam. Di halaman, suasana selalu tenang. Terlihat lilin di kamar
si pemabuk masih bercahaya, namun pintunya terbuka
lebar. Melambai-lambai karena tiupan angin.
Si Bungkuk Sun pergi ke sana untuk melihat. Ia
mengetuk pintu dan bertanya, "Apakah kau sudah tidur?"
Tidak ada suara. Apa yang dilakukannya di luar selarut ini"
Si Bungkuk Sun masuk. Dilihatnya ruangan itu kacau
balau. Potongan-potongan kayu tersebar di seluruh
ruangan, tapi pisau kecilnya tidak nampak di mana pun
juga. Setengah guci arak terlihat masih di atas meja.
567 Segumpal kertas yang telah diremas-remas ada di
sampingnya. Si Bungkuk Sun segera mengenali bahwa itu adalah surat
yang ditinggalkan oleh Cukat Kang.
Ia tidak tahan untuk tidak membacanya.
"15 September. Hin-hun-ceng akan menunjukkan harta
karunnya. Anda diharapkan datang untuk turut
menyaksikan." Hanya tiga kalimat saja. Lebih sedikit yang tertulis, surat
itu menjadi lebih misterius dan menarik perhatian orang.
Penulisnya sungguh memahami hati manusia.
Si Bungkuk Sun mengangkat alisnya. Wajahnya pun
berubah. Ia tahu Hin-hun-ceng adalah puri di depan warungnya.
Namun ia tidak habis pikir, apakah hubungan si pemabuk
dengan puri itu" Bab 30. Malam yang Sangat Sangat Panjang
Kabut menyelimuti keheningan malam. Di dahan hanya
terlihat satu dua lembar daun. Kolam teratai pun penuh
dengan daun-daun kering yang gugur. Rumput di jalan
setapak sudah menjadi coklat. Dulu, bunga-bunga
berwarna merah, pohon-pohon penuh dengan daunnya
yang hijau lebat, harum bunga Bwe semerbak ke seluruh
568 paviliun. Tapi kini semua telah tiada. Di ujung jembatan
itu ada sebuah bangunan kecil, Leng-hiang-siau-tiok.
Di sini pernah tinggal pahlawan gagah dunia persilatan.
Pernah juga tinggal wanita tercantik di seluruh dunia.
Saat itu, bunga-bunga Bwe masih bermekaran dan
keharumannya sungguh menawan hati.
Namun kini, sarang laba-laba terlihat di tiap sudut
ruangan. Debu tebal melapisi jendela. Tidak ada
keindahan yang tersisa. Bahkan pohon Bwe pun sudah
menjadi kering. Dalam kegelapan malam, sesosok bayangan muncul.
Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut. Ia kelihatan
seperti gembel jalanan, namun wajahnya tampak gagah,
matanya bersinar terang bagai bintang.
Ia berjalan melewati jembatan sambil memandangi
pohon-pohon Bwe. Ia menghela nafas. Pohon-pohon
Bwe itu adalah sobat lamanya. Namun kini, mereka
sudah layu, sama seperti dirinya sendiri.
Tapi tiba-tiba ia melayang terbang ke sana bagai seekor
burung! Jendela di tingkat atas tertutup rapat.
Namun ada banyak guratan di jendela itu. Dari sela-sela
guratan itu, terlihatlah wajah seorang wanita yang
kesepian. Ia menghadap ke arah cahaya lilin, menjahit.
569 Wajahnya pucat. Matanya yang dulu menarik bagai
magnet kini tampak sayu. Wajahnya tampak dingin, tidak berperasaan. Seakanakan
ia sudah lupa arti kebahagiaan ataupun kesedihan.
Ia duduk di sana menjahit, dan layu sedikit demi sedikit.
Lubang di baju dapat ditambal, namun lubang di hati
tidak dapat ditutup".
Di sisi lain ruangan itu, tampak seorang anak lelaki
berusia 13 atau 14 tahun.
Wajahnya kelihatan sangat pandai. Matanya yang
bersinar membuat dia tampak semakin pandai. Namun
wajahnya pucat, sangat pucat sampai orang akan lupa
bahwa ia masih kanak-kanak.
Ia sedang berlatih menulis.
Walaupun ia sangat muda, ia sudah belajar hidup dalam
kesepian. Lelaki tua itu mengawasi mereka dari luar.
Air mata meleleh, membasahi pipinya.
Setelah sekian lama, anak itu berhenti menulis. Ia
mengangkat kepalanya dan menatap api lilin.
Si wanita pun berhenti menjahit dan memandangi
putranya. Wajahnya penuh lelembutan seorang ibu dan
570 bertanya dengan halus, "Siau-in, apa yang sedang kau
pikirkan?" Anak itu menggigit bibirnya dan berkata, "Aku hanya
sedang berpikir kapan ayah akan kembali?"
Tangan si wanita gemetar hebat, jarumnya menusuk
salah satu jarinya. Namun sepertinya ia tidak merasa
kesakitan, karena semua rasa sakitnya sudah terkumpul
dalam hatinya. Kata anak itu lagi, "Ibu, kenapa ayah
tiba-tiba pergi" Sudah dua tahun dan sama sekali tidak
ada kabar." Si wanita hanya terdiam lama. Ia mendesah dan
menjawab, "Aku pun tidak tahu mengapa ia pergi."
Tiba-tiba wajah anak itu menyiratkan kebencian yang
mendalam. Katanya, "Aku tahu kenapa ia pergi."
Ibunya berkata dengan lembut, "Kau kan masih anakanak.
Kau tahu apa?" Sahut anak itu, "Tentu saja aku tahu. Ayah pergi karena
ia takut Li Sun-Hoan akan datang untuk membalas
dendam. Setiap kali ia mendengar nama Li Sun-Hoan
diucapkan, wajahnya langsung berubah."
Si wanita tadinya ingin menjawab, tapi diurungkannya. Ia
hanya menghela nafas. Ia menyadari bahwa anaknya memang tahu banyak hal,
mungkin terlalu banyak. 571 Anak itu melanjutkan, "Namun Li Sun-Hoan tidak pernah
datang. Mengapa ia tidak pernah menjengukmu, Bu?"
Tubuh si wanita bergetar. Ia berseru, "Mengapa ia harus
datang untuk menjengukku?"
Anak itu tersenyum. "Aku tahu ia dan Ibu adalah sahabat
karib, bukan?" Wajah ibunya putih seperti kertas. Keningnya berkerut.
"Sudah hampir fajar, mengapa kau belum pergi tidur?"
Si anak mengejapkan matanya, katanya, "Aku tidak mau
tidur. Aku ingin menemani Ibu, sebab dalam dua tahun
ini Ibu tidak pernah tidur nyenyak."
Ibunya memejamkan matanya, dan air matanya meleleh
turun. Anak itu bangkit dan tersenyum. "Tapi aku memang
harus tidur sekarang. Besok adalah hari ulang tahun Ibu.
Aku mau bangun pagi-pagi".."
Ia menghampiri ibunya dan mengecup keningnya.
Katanya lagi, "Ibu juga harus tidur. Sampai jumpa
besok." Ia tersenyum sambil melangkah keluar. Di luar ruangan,
senyumnya langsung lenyap dan berganti dengan wajah
yang penuh kelicikan, "Li Sun-Hoan, semua orang takut
padamu, namun aku tidak. Cepat atau lambat, kau pasti
mati di tanganku." 572 Mata si wanita mengiringin kepergian anaknya. Mata itu
penuh dengan kesedihan dan kelembutan. Putranya
memang adalah anak yang pandai.
Ia hanya memiliki seorang putra.
Putranya adalah seluruh hidupnya. Walaupun ia
melakukan perbuatan yang membuatnya sedih atau
marah, ia tetap akan mencintainya sepenuh hati.
Kasih seorang ibu terhadap anaknya selalu tidak
terbatas, selalu tidak bersyarat.
Ia kembali duduk dan menyalakan lilin yang lain.
Setiap malam menjelang fajar, perasaan hatinya selalu
teramat muram. Suara batuk terdengar dari luar jendela.
Wajah si wanita langsung berubah.
Seluruh tubuhnya menjadi kaku seperti sebatang kayu.
Ia tidak dapat bergerak, hanya matanya yang
memandang cepat ke arah jendela. Dalam matanya
terbersit kegembiraan, namun juga kesedihan".
Setelah sekian lama, akhirnya ia bangkit dari kursinya
dan berjalan menuju ke jendela. Dengan tangan gemetar
dibukanya daun jendela itu perlahan-lahan. Ia berseru,
"Siapa di situ?"
Tidak ada setitik bayangan pun di luar sana.
573 Si wanita memandang ke sekelilingnya, lalu berkata, "Aku
tahu kau ada di sini. Kalau sudah datang, mengapa tidak
menemuiku?" Tidak ada suara, tidak ada jawaban.
Si wanita mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata,
"Aku tidak menyalahkanmu jika kau tidak ingin bertemu.
Aku sudah bersalah padamu"."
Suaranya semakin lemah, dan akhirnya ia hanya berdiri
di situ, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya
ditutupnya kembali daun jendela itu.
Bumi diselimuti kegelapan.
Sesaat sebelum fajar adalah saat yang paling gelap.
Namun kegelapan pasti akan berlalu, seiring dengan
munculnya secercah sinar dari arah timur. Sesosok
bayangan muncul dari balik pepohonan.
Ia telah berdiri tidak bergerak di sana cukup lama.
Rambutnya, pakaiannya, semua basah kuyup oleh air
mata. Matanya tidak pernah lepas dari jendela itu. Ia kelihatan
sangat tua, sangat kuyu, sangat lemah".
Ia adalah orang yang sama yang datang ke situ tadi
malam. Orang yang sama dengan si pemabuk daro
warung Si Bungkuk Sun! 574 Ia tidak berbicara, namun hatinya menggapai-gapai.
Si-im, Si-im, kau tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Akulah yang bersalah padamu".
Walaupun aku tidak melihat wajahmu selama dua tahun
ini, aku selalu berada di sisimu sepanjang waktu,
menjagamu. Tahukah engkau"
Langit semakin terang. Tangan orang ini membekap mulutnya, berusaha keras
untuk tidak terbatuk. Lalu ia berjalan menuju ke pintu. Pintu itu tidak dikunci.
Didorongnya pintu itu. Sewaktu pintu itu terbuak bau arak langsung menyengat
hidungnya. Kamar itu kator dan bernatakan. Seorang
laki-laki tidur di atas meja. Tangannya menggenggam
sebotol arak. Seorang pemabuk lagi. Ia tersenyum dan mengetuk pintu.
Si pemabuk terbangun. Diangkatnya kepalanya dan
tampaklah wajahnya burik.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa ia adalah ayah
Lim Sian-ji. 575 Masih setengah mabuk, ia memandang sekelilingnya.
Katanya, "Mengapa ada yang datang pagi-pagi buta
begini" Habis bertemu setan atau hantu?"
Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, barulah dilihatnya
laki-laki setengah baya berdiri dekat pintu. "Siapa kamu"
Apa kerjamu di sini?"
Si lelaki setangah baya tersenyum. "Kita bertemu dua
tahun yang lalu. Kau sudah lupa?"
Si burik menatap orang itu lekat-lekat, lalu dengan
tercekat ia berkata, "Kau Li"."
Ia bermaksud akan berlutut, namun sebelum lututnya
menyentuh lantai, Sun-hoan mengangkat tubuhnya.
"Bagus juga kau masih mengenaliku. Ayo, mari kita
duduk-duduk dan berbincang-bincang sejenak."
Si burik tersenyum. "Bagaimana mungkin aku tidak
mengenalimu, Tuan. Aku berjanji tidak akan berbuat
seperti itu lagi. Namun, Tuan, kau kelihatan bertambah
tua dalam dua tahun ini."
Sun-hoan merasa hangat di dadanya. "Kau pun
bertambah tua. Semua orang juga bertambah tua. Apa
kabarmu dua tahun ini?"
Sahut si burik, "Di depan orang lain aku bisa
menyombong, tapi di hadapanmu, Tuan, aku"."
Ia menghela nafas, lalu melanjutkan, "Sejujurnya, aku
tidak tahu bagaimana aku bisa melewati dua tahun ini.
576 Hari ini aku menjual lukisan, besok aku menjual
perabot,".." Si lelaki setangah baya mengangkat alisnya. "Apakah
seburuk itu keadaannya, sampai tidak ada uang sama
sekali di sini?" Si burik hanya menunduk. Sun-hoan bertanya lagi, "Maksudmu, waktu Liong-siya
pergi, ia tidak meninggalkan sepeser pun untuk
menunjang rumah tangga ini?"
Si burik menggelengkan kepalanya. Matanya merah.
Wajah Sun-hoan pun menjadi pucat lesi, dan ia mulai
batuk-batuk tidak berhenti.
Si burik pun berkata, "Pada awalnya, Nyonya memiliki
banyak perhiasan. Namun hatinya sungguh mulia. Ia
memberikan uang pesangon pada para pelayan, supaya
mereka bisa membuka usaha sendiri di luar". Nyonya


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih baik menderita daripada melihat para pelayan
menderita." Ia mengatakannya dengan suara serak.
Sun-hoan hanya terdiam sampai beberapa lama. Lalu ia
berkata, "Namun kau tidak pergi. Kau adalah orang yang
setia." Si burik tersenyum kecut. "Aku hanya tidak punya tempat
tujuan lain." 577 Sahut Sun-hoan, "Kau tidak perlu menjelaskan. Ada
orang yang perangainya kasar, namun hati mereka baik.
Hanya sedikit orang saja yang dapat mengerti mereka."
Wajah si burik menjadi merah. Ia memaksakan seulas
senyum. "Arak ini tidak lezat, namun jika Tuan tidak
keberatan, mari kita munm bersama."
Ia hendak menuangkan isi botol itu ke dalam cawan, dan
baru disadarinya bahwa botol itu sudah kosong.
Sun-hoan pun tersenyum. "Aku tidak ingin minum arak
saat ini, teh saja. Tidakkah kau heran bahwa aku ingin
minum teh" Sudah lama aku tidak melakukannya."
Si burik pun ikut tersenyum. "Aku akan menjerang air
untuk membuat teh." Kata Sun-hoan, "Siapa pun yang kautemui, jangan
katakan bahwa aku ada di sini."
Si burik pun menjawab, "Jangan kuatir, Tuan. Rahasiamu
aman padaku." Ia keluar dengan hati riang, sampai lupa mengunci pintu.
Sun-hoan mengerutkan keningnya sambil menggumam,
"Si-im, Si-im, kau telah mengalami begitu banyak
penderitaan karena aku. Aku harus menjagamu. Takkan
kubiarkan siapapun menyakitimu."
Sinar matahari telah menembus melewati jendela. Hari
sudah siang. 578 Tehnya sama sekali tidak sedap.
Namun selama teh itu kental, orang dapat meminumnya.
Sama seperti seorang wanita. Selama ia masih muda,
tidak akan ada yang menolaknya.
Sun-hoan minum tehnya perlahan-lahan, lalu tiba-tiba
tertawa. "Dulu aku punya teman yang pandai, katakatanya
selalu tepat mengenai sasaran."
Si burik tertawa juga. "Tuan, Anda pun pandai juga."
Kata Sun-hoan, "Dia pernah bilang, "Tidak ada arak yang
tidak memabukkan, dan tidak ada gadis muda yang
jelek". Kemudian dia berkata, "Karena dua hal inilah aku
bertahan hidup"."
Matanya penuh dengan tawa. Sambungnya, "Namun
sebenarnya, arak yang baik adalah arak yang sudah
disimpan lama, demikian juga wanita yang lebih tua
sesungguhnya lebih baik karena mereka lebih
berpengalaman." Si burik tidak mengerti secara keseluruhan, jadi dia tidak
menyahut. Ia hanya menuangkan teh ke dalam cawan
lagi. "Mengapa Tuan kembali lagi?"
Sun-hoan terdiam beberapa saat sebelum menjawab,
"Katanya di sini ada harta karun"."
Si burik tertawa. "Harta karun" Ya, aku juga berharap
ada harta karun di sini."
579 Tiba-tiba tawanya berhenti. Matanya menatap Sun-hoan
lekat-lekat. "Jika di sini ada harta karun, Tuan pasti tahu,
bukan?" Sun-hoan hanya mendesah. "Walaupun kau dan aku
tidak percaya kabar burung ini, kelihatannya banyak
orang yang percaya."
Si burik bertanya, "Siapa yang menyebarkan kabar
burung itu" Kenapa?"
Jawab Sun-hoan, "Ada dua alasan. Yang pertama, untuk
mengundang orang-orang yang rakus datang dan saling
membunuh, supaya pada akhirnya ialah yang mengeruk
keuntungan." Tanya si burik, "Alasan yang lain?"
Sahut Sun-hoan, "Sudah lama aku tidak muncul. Banyak
orang ingin tahu di mana keberadaanku. Siapa pun yang
menyebarkan kabar burung itu, pasti ingin aku segera
muncul." Kata si burik, "Apa salahnya" Mereka akan tahu betapa
hebatnya Anda." Kata Sun-hoan, "Namun kali ini ada beberapa orang yang
tidak mampu kuhadapi."
Si burik sungguh terkejut. "Maksudmu, ada orang di
dunia ini yang kautakuti?"
580 Sebelum pertanyaannya sempat dijawab, terdengar
bunyi orang mengetuk pintu dengan keras. Lalu
terdengar suara lantang berseru, "Apakah betul ini
tempat tinggal Liong-siya" Kami datang untuk bertamu."
Kata si burik, "Sungguh aneh. Kami tidak pernah
kedatangan tamu dua tahun terakhir ini. Siapakah
mereka itu?" Setelah hampir satu jam, si burik kembali sambil
terkekeh-kekeh. "Hari ini adalah hari ulang tahun nyonya.
Aku saja lupa, tapi orang-orang itu ingat. Mereka bahkan
membawa hadiah." Sun-hoan berpikir sesaat, lalu bertanya, "Siapakah
mereka?" Jawab si burik, "Ada lima orang yang datang. Seorang
tua yang sangat modis, seorang pemuda gagah, seorang
bermata satu, seorang yang sangat jelek dengan wajah
hijau,"." Sun-hoan memotong, "Dan yang kelima adalah seorang
berkaki satu, bukan?"
Si burik mengangguk. "Betul". Bagaimana kau bisa
tahu" Tahukah kau siapa mereka itu?"
Sun-hoan terbatuk. Matanya bersinar tajam, setajam
pisau. Namun si burik tidak memperhatikan, dan ia terus
tersenyum. "Walaupun orang-orang ini kelihatan aneh,
581 hadiah mereka sungguh luar biasa. Kami tidak pernah
mendapat hadiah seperti itu, bahkan waktu Liong-siya
masih ada di sini." "O ya?" "Salah satu dari hadiah itu adalah sebatang emas murni
yang beratnya paling tidak 4 atau 5 kati. Aku belum
pernah melihat orang begini royal sebelumnya."
Sun-hoan mengangkat alisnya dan bertanya, "Nyonya
berkenan menerima hadiah ini?"
Sahut si burik, "Awalnya beliau tidak mau, tapi orangorang
itu terus duduk di ruang tamu dan tidak mau
pergi. Mereka berkeras hendak bertemu dengan nyonya,
karena mereka adalah sahabat Liong-siya. Nyonya tidak
tahu harus bagaimana, jadi disuruhnya Siauya untuk
melayani mereka." Ia tersenyum. Lanjutnya, "Tuan, walaupun Siauya masih
sangat muda, ia sungguh tahu bagaimana melayani
tamu, kadang-kadang lebih mahir daripada kita yang
sudah dewasa. Para tamu semuanya memuji-muji
kepandaiannya." Sun-hoan hanya memandangi cawan tehnya. "Apakah
masih ada orang yang akan datang lagi, apakah masih
ada orang yang berani datang?"
Cukat Kang, Ko Hing-kong, Yan Siang-hui, Tong Tok, dan
Siangkoan Hui, mereka semua duduk di ruang tamu yang
582 luas. Mereka sedang berbicara dengan seorang anak
berjubah merah. Walaupun mereka ini adalah jago-jago silat kenamaan,
mereka tidak memandang rendah pada anak ini sama
sekali. Hanya Siangkoan Hui yang duduk diam di situ, tidak
berbicara sepatah katapun. Seolah-olah tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang dapat membuat dia bicara.
Cukat Kang tersenyum sambil berkata, "Siauya sungguh
hebat sekali. Potensimu tidak terbatas. Di kemudian hari,
sewaktu engkau menjadi pahlawan yang terkenal, aku
harap engkau tidak akan melupakan kami yang tua-tua."
Anak itupun tersenyum dan berkata, "Kalau nanti aku
bisa mencapai setengah kesuksesanmu saja, aku sudah
sangat puas. Yang pasti, aku membutuhkan pengarahan
para Cianpwe di kemudian hari."
Cukat Kang bertepuk tangan. "Siaucengcu sungguh
pandai bicara. Tidak heran Liong-siya"."
Tiba-tiba ia berhenti bicara dan memandang ke luar, ke
halaman di depan. Si burik masuk lagi mengantar seseorang yang
berpakaian serba hitam. Jubah hitam, celana hitam,
sepatu hitam, dan menyandang sebilah pedang panjang
berwarna hitam di punggungnya.
583 Orang ini besar dan berotot, hampir dua kali lipat besar
si burik. Wajahnya menyiratkan hawa membunuh.
Matanya tajam, dan jenggotnya menari-nari ditiup angin.
Ia tampak angkuh, namun gagah dan tegas, juga terlihat
agak liar. Setiap orang yang melihatnya pasti sadar bahwa orang
ini bukanlah orang sembarangan.
Kelima orang ini saling pandang, seakan-akan berusaha
menebak identitas tamu yang baru datang ini.
Ang-hai-ji bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah
orang itu, lalu membungkuk. "Senang sekali Tuan mau
berkunjung. Cayhe Liong Siau-in"."
Si jubah hitam menatapnya. "Jadi kau ini anak Liong
Siau-hun?" Jawab Ling Siau-in, "Ya. Cianpwe pasti sahabat lama
ayah. Bolehkah aku mengenal namamu?"
Si jubah hitam menjawab, "Walaupun kuberi tahu, kau
juga tidak akan kenal."
Ia melangkah masuk ke dalam ruangan.
Cukat Kang bangkit berdiri dan membungkuk. "Aku
adalah"." 584 Baru dua kata diucapkannya, si jubah hitam sudah
memotongnya. "Aku tahu siapa engkau. Kalian tidak
perlu repot-repot berusaha mengetahui siapa diriku."
Kata Cukat Kang, "Tapi"."
Si jubah hitam memotongnya lagi. Katanya dengan nada
sedingin es, "Aku datang untuk alasan yang berbeda
dengan kalian. Aku hanya ingin menonton."
Cukat Kang tersenyum. "Aku sangat senang
mendengarnya. Setelah kami selesai dengan urusan kami
di sini, kami pasti sangat berterima kasih kepadamu."
Sahut si jubah hitam, "Aku tidak mencampuri urusan
kalian. Kalian jangan ikut campur urusanku. Kita urus
saja urusan kita masing-masing. Tidak perlu berterima
kasih." Ia menarik sebuah kursi, duduk, dan memejamkan
matanya, beristirahat. Kelima orang itu hanya bisa saling pandang.
Ko Hing-kong tersenyum. "Katanya halaman belakang
rumah ini sangat terkenal. Apakah Siauya sudi mengajak
kami berjalan-jalan."
Liong Siau-in hanya mendesah. "Sayangnya, halaman
belakang kini sudah tidak terpelihara?"
Kata Ko Hing-kong, "Ah, tidak apa-apa. Kami hanya ingin
melihat-lihat." 585 Sahut Liong Siau-in, "Kalau begitu, mari kutunjukkan."
Orang-orang itu berbaris keluar ke arah halaman
belakang. Yang paling depan adalah Liong Siau-in, yang paling
belakang adalah si jubah hitam. Matanya setengah
terbuka, setengah terpejam, seakan-akan ia sedang
menghemat tenaganya. Liong Siau-in menunjuk ke arah hutan yang dipenuhi
oleh pohon Bwe yang sudah mengering. Katanya, "Di
sana itu adalah Leng-hiang-siau-tiok (Villa Keharuman
Sejuk)." Mata Yan Siang-hui berbinar-binar. "Katanya dulu Li
Tamhoa tinggal di sana?"
Liong Siau-in menundukkan kepalanya. "Ya, betul."
Yan Siang-hui menggenggam mata tombaknya dan
tertawa dingin. "Ia punya pisau terbang, aku punya
tombak terbang. Jika kita berdua bisa berduel suatu hari
nanti, pasti sangat menyenangkan."
Si jubah hitam menyahut dari kejauhan, "Jika kau bisa
berduel dengan dia, itu baru namanya mujizat."
Yan Siang-hui menoleh cepat ke arahnya dan
menatapnya dengan sangat marah.
586 Bab 31. Pisau Kilat si Li
Ketika Liong Siau-in melihat kemarahan Yan Siang-hui,
cepat-cepat ia berkata, "Pisau terbangnya hanya terbuat
dari besi biasa. Sama sekali bukan senjata mustika, tapi
entah mengapa orang-orang menganggapnya seperti
mustika. Kadang-kadang aku pikir itu sangat
menggelikan." Si jubah hitam berkata dengan tenang. "Kudengar ia
sudah memusnahkan ilmu silatmu. Kau pasti masih
sangat membencinya, bukan?"
Liong Siau-in tersenyum sambil berkata, "Paman Li
adalah seorang Cianpwe. Mana mungkin aku marah
terhadap Cianpwe yang memberi pelajaran kepadaku"
Lagi pula, seseorang tidak hanya memerlukan ilmu silat
untuk menjadi terkenal."
Si jubah hitam memandanginya, tidak dapat mengerti
jalan pikirannya. Cukat Kang kembali bertepuk tangan. "Bagus sekali! Kau
memang betul. Kau memang pantas menjadi anak Liong
Siau-hun."

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong Siau-in membungkukkan badannya. "Cianpwe, kau
sungguh berlebihan."
Tiba-tiba Siangkoan Hui buka suara, "Katanya Lim Sian-ji
juga pernah tinggal di sini, bukan?"
587 Ia benar-benar buka suara. Bahkan Liong Siau-in pun
tidak menyangka. "Betul sekali."
Tanya Siangkoan Hui, "Ke mana dia pergi?"
Jawab Liong Siau-in, "Bibi Lim tiba-tiba menghilang dua
tahun yang lalu. Ia bahkan tidak membawa perhiasan
ataupun pakaiannya. Tidak seorang pun tahu ke mana
dia pergi. Ada yang bilang dia diculik A Fei, ada yang
bilang A Fei sudah membunuhnya."
Siangkoan Hui hanya mengangkat alisnya dan tidak
bersuara lagi. Barisan orang ini terus menyeberangi jembatan dan
sampailah mereka di Leng-hiang-siau-tiok.
Mata Cukat Kang bersinar lagi, seakan-akan ia sangat
tertarik pada bangunan ini.
Tanya Ko Hing-kong, "Jadi apakah tempat ini" Apakah
ibumu tinggal di sini?"
"Ya." Kata Ko Hing-kong, "Kami sebenarnya datang untuk
memberikan hadiah ulang tahun pada ibumu. Bolehkah
kami naik ke atas untuk menemui beliau?"
Mata Liong Siau-in berputar dan ia pun tersenyum. "Ibu
tidak biasa menemui tamu. Bolehkah aku naik untuk
menanyakannya pada beliau?"
588 Sahut Ko Hing-kong, "Tentu saja."
Liong Siau-in naik ke atas perlahan-lahan.
Tong Tok tersenyum. "Sangat menakjubkan kalau anak
seperti itu dapat berumur panjang."
Senyum Cukat Kang lenyap dari bibirnya. Dengan wajah
serius ia bertanya, "Apa kau yakin ini tempatnya?"
Sahut Ko Hing-kong setengah berbisik, "Telah kupelajari
surat itu dengan seksama semalam. Harta karun
keluarga Li memang ada di sini. Katanya, sudah
beberapa generasi keluarga ini merupakan pejabat
kerajaan tingkat tinggi, jadi pastilah kekayaan mereka
tidak terkira." Sambil bicara, matanya melirik pada si jubah hitam.
Si jubah hitam berdiri di kejauhan sambil mengawasi dua
jangkrik yang sedang berkelahi. Seakan-akan ia tidak
peduli sama sekali pada orang-orang ini.
Kata Cukat Kang, "Sebetulnya harta karun itu tidak
terlalu penting. Yang lebih berharga adalah lukisanlukisan
berharga milik Li Tamhoa dan buku-buku
silatnya." Ko Hing-kong mengangguk. Pada saat yang sama terlihat
Liong Siau-in menuruni anak tangga.
Cukat Kang kembali tersenyum, katanya, "Jadi apa
jawaban ibumu?" 589 Liong Siau-in menggelengkan kepalanya. "Ibu tidak ada
di atas." Tanya Cukat Kang, "Lalu di mana?"
Sahut Liong Siau-in, "Aku pun bingung. Ibu hampir tidak
pernah meninggalkan kamarnya."
Kata Cukat Kang, "Kalau begitu kami akan menunggu
beliau di atas." Tiga orang berjubah kuning segera menghambur ke atas.
"Kami akan membereskan kamar itu lebih dulu."
Liong Siau-in sepertinya ingin menghalangi langkah
mereka, namun ia takut, sehingga akhirnya dibiarkannya
mereka pergi ke atas. Lalu terdengar bunyi "Wuuuut". Cambuk sepanjang lima
meter telah membuat tiga Lingkaran, masing-masing di
sekeliling leher ketiga orang itu.
Cambuk panjang itu seketika menegang, lalu
mengendur. Orang pertama tidak mengeluarkan suara sedikit pun
sebelum jatuh ke tanah, mati.
Orang kedua hanya bersuara "Eek", sebelum tergeletak
mati. 590 Orang ketiga memegangi lehernya, terhuyung-huyung ke
depan lalu tersungkur. Seluruh tubuhnya bergetar hebat,
ia tidak bisa bicara. Walaupun ia tidak mati seketika, rasa sakit yang
dialaminya sepuluh kali lebih buruk daripada kematian itu
sendiri. Kemampuan merubuhkan tiga orang sekaligus seperti ini
sungguh mencengangkan, bahkan bagi Cukat Kang.
Hanya si jubah hitam yang tidak kelihatan terkejut.
Katanya, "Ternyata Cambuk Ular itu terlalu dilebihlebihkan
orang." Ia menghela nafas dan kelihatan sangat kecewa.
Jikalau ilmu Sebun Yu telah mencapai kesempurnaan,
ketiga orang itu akan mati seketika. Tapi karena ketiga
orang itu mati tidak bersamaan, bahkan dengan cara
berbeda-beda, menandakan bahwa ilmu cambuknya
belum sempurna. Mata Cukat Kang kembali berbinar. "Sebun Yu, kemarin
kau masih beruntung bisa kabur. Namun kau pikir kau
akan beruntung lagi hari ini?"
Sebun Yu tidak menjawab. Hanya cambuknya yang
menerjang. Cambuknya tidak bersuara sedikit pun. Hanya pada saat
cambuk itu terentang, terdengar bunyi letupan kecil,
seakan-akan kecepatannya melebihi kecepatan suara.
591 Cukat Kang segera melompat dan tongkat besinya
bertemu dengan cambuk itu di udara. Cambuk itu
membelit dan meremas tongkat itu seperti ular.
Lalu terdengar dentuman keras, saat tongkat itu
menghantam tanah. Kaki Cukat Kang terarah ke atas, tubuhnya terbalik 180
derajat dan meliuk. Tongkatnya pun ikut meliuk
mengikuti gerakan tubuhnya.
Cambuk itu makin membelit tongkat itu dan menjadi
semakin pendek. Sebun Yu pun terpaksa bergerak
semakin mendekat. Kini cambuk itu hampir seluruhnya
terlilit pada tongkat. Satu tangan Sebun Yu masih memegangi cambuknya,
sehingga tenaganya sangat kurang dibandingkan dengan
Cukat Kang, yang seluruh kekuatannya sudah terkumpul
pada tongkatnya. Wajahnya berubah dari pucat menjadi merah, dari merah
menjadi seputih kertas. Keringat pun mulai membasahi
tubuhnya. Cukat Kang berteriak keras dan tubuhnya yang terbalik
itu mencelat. Gerakan ini mirip dengan jurusnya yang sangat terkenal
"Sekali Sapu Seribu Tentara". Hanya saja kali ini,
tubuhnya berperan sebagai tongkatnya, dan tongkatnya
sebagai tubuhnya. 592 Jika Sebun Yu melepaskan cambuknya, ia pasti dapat
menghindari serangan itu. Namun ia terkenal karena
cambuknya. Bagaimana mungkin ia melepaskannya"
Jika ia tidak melepaskan cambuknya, ia hanya dapat
menghadang tendangan Cukat Kang dengan tangan
kirinya, dan sudah dapat dipastikan tangan kirinya pasti
patah. Namun Sebun Yu adalah salah satu jagoan di antara
jago-jago silat, sehingga di saat genting seperti ini pun ia
tidak kehilangan ketenangannya. Tiba-tiba ia
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dan mulai
berputar di sekeliling tongkat itu.
Pastinya, ia ingin melepaskan lilitan cambuknya dari
tongkat itu, namun Cukat Kang pun telah menduganya.
Ia pun mulai berputar. Kakinya hanya berada sedikit di
belakang tubuh Sebun Yu. Si jubah hitam mengeluh lagi. "Ternyata Tongkat Baja
Emas pun dilebih-lebihkan orang."
Jika perhitungan Cukat Kang lebih akurat, tendangannya
pasti sudah dapat membunuh Sebun Yu.
Walaupun jurus itu tidak dilakukannya dengan sempurna,
tetap saja kedudukan Sebun Yu ada di ujung tanduk.
Sepertinya ia akan segera mati oleh tendangan Cukat
Kang. 593 Tong Tok tertawa. "Mengapa kau terus berusaha kalau
sudah pasti mati" Mari, kubantu kau."
Ia menghunus senjatanya yang unik, Tang-long-to (sabit
Belalang). Sekilas cahaya berkelebat, dan sabit itu tertuju
ke punggung Sebun Yu."
Namun baru saja ia melakukannya, tubuhnya telah
terjengkang ke belakang, seolah-olah didorong oleh
tangan yang tidak nampak. Ia terduduk di tanah.
Sebelum ia dapat berbicara, nafasnya sudah berhenti!
Karena sebilah pisau telah tertancap di tenggorokannya!
Pisau yang biasa. Namun wajah semua orang langsung berubah.
Cukat Kang melihat pisau itu dan menjerit kaget, "Pisau
Kilat si Li!" Pergelangan tangan Sebun Yu langsung mengejang.
Cambuk Ularnya meliuk menjauhi tongkat itu.
Cukat Kang bersalto di udara, lalu jatuh ke tanah dan
terhuyung sedikit sebelum keseimbangannya pulih. Di
kejauhan tampak seseorang muncul.
Pakaian orang ini berantakan, rambutnya pun kusut
masai. Wajahnya tampak lemah, namun sinar matanya
sangat tajam. 594 Cukat Kang mempererat genggamannya pada
tongkatnya. Teriaknya, "Li-tamhoa?"
Orang ini tersenyum, "Kau terlalu berlebihan."
Cukat Kang berseru lagi, "Mengapa kau melawan kami?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tidak pernah ingin melawan
siapa pun, namun aku pun tidak ingin siapa pun
menggangguku." Ia memutar-mutar pisau di tangannya. "Tidak ada harta
karun di sini. Maaf, kalian sudah membuang banyak
waktu. Oh, jangan lupa bawa pulang juga hadiah kalian
tadi." Cukat Kang, Siangkoan Hui, dan Ko Hing-kong hanya
menatap pisau di tangannya lekat-lekat. Tenggorokan
mereka seakan-akan tersumbat, tidak bisa bicara.
Yan Siang-hui tiba-tiba berteriak marah, "Bagaimana
kalau kami tidak mau pergi?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Sebaiknya kalian mengikuti
saranku dan segera pergi."
Kata Yan Siang-hui, "Aku selalu ingin berduel denganmu.
Orang lain boleh takut akan engkau, tapi aku tidak!"
Ia membuka mantelnya dan terlihatlah dua lajur mata
tombak. Li Sun-Hoan tidak meliriknya sedikitpun.
595 Yan Siang-hui berteriak dan kedua tangannya bersamaan
menyambitkan sembilan mata tombak. Semuanya jatuh
ke tanah sebelum sampai ke tempat Li Sun-Hoan.
Ketika orang-orang melihat ke arah Yan Siang-hui, ia
sudah rebah di tanah. Di tenggorokannya telah tertancap
sebilah pisau yang berkilauan.
Pisau Kilat si Li! Tidak ada seorang pun yang melihat kapan pisau itu
tertancap di lehernya, mungkin hanya sekejap setelah ia
menyambitkan mata tombaknya.
Oleh sebab itu tenaganya pun tidak penuh waktu
menyambit, sehingga mata tombak itu tidak sampai ke
tempat Li Sun-Hoan. Pisau yang luar biasa cepat!
Dalam kematiannya sekalipun, Yan Siang-hui tidak
percaya ada pisau yang dapat bergerak secepat itu di
dunia ini. Si jubah hitam memandang sekilas ke arah tubuh Yan
Siang-hui dan tersenyum. "Sudah kubilang bahwa kau
tidak sekelas dengan dia. Kau percaya sekarang?"
Ia mengangkat wajahnya dan memandang Li Sun-Hoan.
Katanya sekata demi sekata, "Pisau Kilat si Li tidak
mengecewakanku." Kata Li Sun-Hoan, "Dan kau adalah"."
596 Si jubah hitam memotongnya cepat. "Aku telah
mendengar kemashuran nama Li Tamhoa sejak lama.
Sungguh beruntung kita bisa bertemu hari ini"."
Setelah selesai bicara, ia langsung mencelat.
Terdengar bunyi mendesing dan pedang pun keluar dari
sarungnya. Pedang itu seluruhnya hitam legam, tidak berkilau.
Sewaktu keluar, Lintasan hitam berkelebat membawa
tenaga yang besar. Ko Hing-kong merinding sewaktu Lintasan pedang hitam
itu lewat di depan matanya. Lintasan hitam itu seolaholah
mengiris bola matanya. Ia menutup matanya dan rasa sakit pun lenyap.
Ia jatuh ke tanah. Cukat Kang hanya melihat pedang hitam itu menyapu ke
depan dan tiba-tiba darah sudah muncrat dari tubuh Ko
Hing-kong. Ko Hing-kong tidak sempat menangkis
ataupun mengelak. Pedang si jubah hitam berbelok dan menerjang ke arah
sebaliknya. Terdengar suara "Tang", dan tongkat seberat
100 kati itu pun patah menjadi dua, namun pedang itu
tidak berkurang kecepatannya sedikit pun!
Cukat Kang merasa merinding sedikit, namun hanya
sekejap saja. 597

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekejap berikutnya, ia sudah rebah di tanah.
Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari satu menit.
Sebun Yu menatap ke langit dan mendesah. "Sepertinya
tidak ada lagi tempat bagiku dalam dunia persilatan"."
Ia pun menghilang ke balik atap.
Di saat itu, Siangkoan Hui pun segera melompat dengan
ilmu meringankan tubuhnya.
Namun Lintasan pedang hitam itu sudah mengejarnya.
Siangkoan Hui segera mengeluarkan Cincin Baja IbuAnaknya dan melingkarkannya pada pedang itu dan
menangkisnya. Si jubah hitam berseru, "Bagus!"
Di saat yang sama, pedangnya bergetar dan membelah
cincin itu. Ujung pedang itu berhenti tepat di depan leher
Siangkoan Hui. Siangkoan Hui memejamkan matanya, namun wajahnya
tetap dingin dan tenang. Seolah-olah hati pemuda ini
terbuat dari batu. Si jubah hitam menatapnya dan bertanya dingin,
"Apakah kau murid Siangkoan Kim-hong?"
Siangkoan Hui mengangguk.
598 Si jubah hitam berkata, "Pedangku tidak pernah
membiarkan siapapun hidup, namun walaupun engkau
masih sangat muda, engkau sudah berhasil menangkis
seranganku satu kali. Sangat mengesankan."
Ditariknya kembali pedangnya dan ditepuknya bahu
Siangkoan Hui. "Kau boleh pergi."
Siangkoan Hui tidak bergerak. Ia menatap si jubah hitam
dan berkata, "Kau tidak membunuhku, namun aku harus
memberi tahu engkau satu hal."
Sahut si jubah hitam, "Katakan saja."
Kata Siangkoan Hui, "Walaupun hari ini kau biarkan aku
hidup, suatu hari nanti aku akan menuntut balas. Saat
itu, aku tidak akan melepaskanmu!"
Si jubah hitam tertawa. "Bagus. Memang pantas kau jadi
putra Siangkoan Kim-hong."
Ia berhenti tertawa, matanya menatap lurus ke arah
Siangkoan Hui. "Jika suatu hari nanti aku bisa mati di
tanganmu, aku tidak akan menyalahkanmu. Aku malah
akan berbahagia, karena aku tidak salah menilaimu."
Wajah Siangkoan Hui tetap membeku. "Kalau begitu,
selamat tinggal." Kata si jubah hitam, "Aku akan menunggumu."
Tiba-tiba si jubah hitam berseru, "Tunggu!"
599 Siangkoan Hui memperlambat langkahnya, kemudian
berhenti. Kata si jubah hitam, "Ingat ini baik-baik. Kulepaskan kau
hari ini bukan karena kau adalah putra Siangkoan Kimhong,
tapi karena kau adalah kau."
Siangkoan Hui tidak menjawab. Ia kembali melangkah
dan perlahan-lahan hilang dari penglihatan. Si jubah
hitam lalu menoleh pada Li Sun-Hoan. "Aku gembira kita
bisa bertemu hari ini. Li Sun-Hoan memandangi pedangnya, lalu bertanya, "Koyangthi-kiam (Pedang Besi Puncak Matahari)?"
Si jubah hitam menyahut, "Aku memang Kwe ko-yang."
Li Sun-Hoan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Koyangthi-kiam memang sehebat apa kata orang!"
Kwe ko-yang memandangi pedangnya. "Namun
bagaimana kalau dia melawan Pisau Kilat si Li?"
Li Sun-Hoan terkekeh. "Sebenarnya aku lebih baik tidak
tahu jawabannya." "Kenapa?" Sahut Li Sun-Hoan, "Karena"..jika kita ingin tahu
jawabannya, salah satu dari kita akan menyesal."
Kwe ko-yang mengangkat kepalanya.
600 Sebersit rasa haru tampak di wajahnya. Namun ia
berseru, "Namun cepat atau lambat kita hatus tahu,
bukan?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku berharap kita tahu
selambatnya." Kata Kwe ko-yang tegas, "Aku lebih suka tahu
secepatnya." "O ya?" Kata Kwe ko-yang, "Sampai hari kita tahu siapa
pemenangnya, aku tidak akan dapat tidur nyenyak."
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu ia bertanya, "Kapan
kau ingin menyelesaikannya?"
Jawab Kwe ko-yang, "Hari ini!"
Tanya Li Sun-Hoan lagi, "Di sini?"
Kwe ko-yang memandang sekitarnya lalu tertawa dingin.
"Dulunya ini rumahmu. Jika kita bertarung di sini, kau
akan untung, sudah tahu keadaannya."
Li Sun-Hoan terkekeh. "Betul juga. Ditilik dari kalimatmu
yang terakhir, kau memang patut disebut jago silat kelas
wahid." Kata Kwe ko-yang, "Tapi aku sudah menentukan
waktunya. Sekarang kau yang menentukan tempatnya."
601 Sahut Li Sun-Hoan, "Tidak perlu sungkan."
Kwe ko-yang pun berpikir lama, lalu berkata, "Bagus.
Kalau begitu, ikut aku."
Kata Li Sun-Hoan, "Silakan jalan dulu."
Li Sun-Hoan berjalan beberapa langkah, lalu tidak tahan
untuk tidak menoleh ke belakang, ke arah Leng-hiangsiautiok. Dilihatnya Liong Siau-in sedang menatap
kepergiannya. Matanya penuh dengan bisa.
Tidak ada sesuatu pun, bahkan jurus pedang Kwe koyang
yang luar biasa, ataupun kematian Cukat Kang dan
yang lain, yang bisa menggerakkan hati anak kecil ini.
Namun begitu pandangannya bertemu dengan
pandangan Li Sun-Hoan, seketika ia tersenyum dan
membungkuk. "Paman Li. Apa kabarmu?"
Li Sun-Hoan mengeluh dalam hati sambil tersenyum.
"Halo." Kata Liong Siau-in, "Ibu memikirkan engkau setiap saat.
Kau harus datang menjenguk kami lebih sering."
Li Sun-Hoan pura-pura terkekeh.
Ia selalu mengalami kesulitan menjawab anak kecil ini.
Liong Siau-in datang mendekat. Ia menarik jubahnya dan
berbisik, "Orang itu kelihatan seram. Paman, mungkin
kau seharusnya tidak pergi dengan dia."
602 Sahut Li Sun-Hoan, "Kalau kau sudah dewasa nanti, kau
akan mengerti bahwa kadang-kadang kau harus
melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan."
Kata Liong Siau-in dengan memelas,
"Tapi".Tapi"..bagaimana jika paman sampai mati"
Siapa yang akan mengurus ibu dan aku?"
Li Sun-Hoan mematung. Setelah sekian lama, diangkatnya kepalanya. Ia melihat
Lim Si-im berdiri di puncak anak tangga, mengawasi
mereka berdua. Ia terlihat kuatir, namun wajahnya juga membayangkan
kegembiraan. Li Sun-Hoan merasa ulu hatinya tertusuk. Ia menunduk
lagi. Seru Liong Siau-in, "Ibu, lihatlah. Paman Li baru saja
datang, namun ia sudah akan pergi lagi."
Lim Si-im memaksakan seulas senyum. "Paman Li ada
urusan yang penting. Dia".Dia harus pergi."
Senyumnya sangat lemah, sangat terpaksa. Jika Li SunHoan melihat senyum ini, hatinya pasti akan hancur
lebur. Kata Liong Siau-in, "Ibu, tidak adakah yang kau ingin
bicarakan dengan Paman Li?"
603 Bibir Lim Si-im bergetar. "Itu bisa menunggu sampai dia
kembali." Bibir Liong Siau-in berkerut. Ia mengejapkan matanya.
"Tapi"..kupikir setelah Paman Li pergi hari ini, ia tidak
akan pernah kembali lagi."
Lim Si-im segera menyergah dengan setengah berbisik,
"Husss! Sana pergi ke atas supaya Paman Li bisa segera
berangkat." Liong Siau-in akhirnya mengangguk. Dilepaskannya
pegangannya pada jubah Li Sun-Hoan dan berkata,
"Paman Li, kau boleh pergi sekarang. Jangan kuatir akan
kami. Ibu dan aku sudah terbiasa hidup kesepian. Jangan
kuatir." Ia mengusap matanya, seakan-akan air mata akan
segera keluar". Kwe ko-yang sudah berada di ujung jembatan. Ia hanya
memandangi mereka. Li Sun-Hoan akhirnya memutar badan.
Ia tidak mengangkat wajahnya, tidak mengatakan apa
pun juga. Dalam keadaan seperti ini, kata-kata tidak akan berarti.
Lagi pula, ia memang tidak tahu harus bicara apa.
Waktu seseorang terbawa perasaan, kadang-kadang ia
malah jadi terlihat tidak berperasaan.
604 Di luar tembok, tanda-tanda musim gugur lebih nyata.
Kedua tangan Kwe ko-yang terbungkus lengan bajunya.
Ia berjalan perlahan di depan.
Li Sun-Hoan mengikutinya dari belakang.
Jalan itu panjang dan agak sempit. Ujungnya tidak
kelihatan. Angin musim gugur bertiup, daun-daun sudah berubah
warna. Walaupun langkahnya perlahan, langkah Kwe ko-yang
lebar-lebar. Tatapan Li Sun-Hoan lekat pada langkahnya.
Tanah yang mereka injak agak empuk, sehingga tiap
langkah meninggalkan jejak. Jejak Kwe ko-yang sama
jaraknya dan kedalamannya.
Walaupun ia seperti sedang berjalan santai, ia
sebenarnya sedang mengumpulkan tenaga dalam yang
khusus. Seluruh tubuhnya berirama harmonis, sehingga
menghasilkan langkah-langkah yang sama persis.
Ketika ia sudah mengumpulkan seluruh tenaganya, ketika
tubuhnya sudah berada dalam harmoni yang sempurna,
ia akan berhenti". Itu adalah ujung jalan ini.
Bab 32. Mengerti Musuh Terbesar
605 Waktu sampai di sana, salah satu dari hidup mereka
akan berakhir! Li Sun-Hoan sungguh menyadarinya.
Kwe ko-yang memang musuh yang sangat berbahaya.
Sepanjang hidup Li Sun-Hoan, mungkin inilah pertama
kalinya ia berhadapan dengan musuh yang setanding.
Banyak jago silat "mencari kekalahan" karena mereka
berpikir bahwa selama mereka bisa bertemu dengan
lawan yang setanding, walaupun kalah, mereka akan
merasa bahagia. Namun Li Sun-Hoan sama sekali tidak berbahagia.
Hatinya berdebar-debar. Ia tahu, dalam kondisinya saat ini, kemungkinan besar ia
akan kalah. Ketika jalan ini berakhir, kemungkinan demikian pula
hidupnya! Ini bisa jadi jalan menuju ke neraka baginya.
Ia tidak takut mati, namun bagaimana bisa dia mati
sekarang" Keadaan sekeliling semakin tandus, terlihat hutan di
depan sana. 606 Daun-daun musim gugur berwarna merah bagai darah.
Mungkinkah ini ujung jalan itu"
Langkah Kwe ko-yang makin lama makin besar, dan jejak
kakinya makin lama makin dangkal. Ini menunjukkan
bahwa tenaga dalam dan tenaga luarnya sudah hampir
bersatu padu mencapai puncaknya.
Saat itu, konsentrasinya, tenaganya, tubuhnya, akan
menjadi satu dengan pedangnya. Saat itu, pedangnya
bukan lagi hanya sebilah logam, tapi pedang itu sudah
mempunyai jiwa. Saat itu, kekuatan pedangnya akan
menjadi tanpa batas dan tidak ada sesuatu pun yang
dapat menghalanginya! Li Sun-Hoan tiba-tiba berhenti.
Ia tidak berbicara. Ia tidak bersuara sedikit pun. Namun
Kwe ko-yang tahu. Ia tidak menoleh, hanya bertanya singkat, "Di sini?"
Li Sun-Hoan diam saja sampai cukup lama. Lalu katanya,
"Hari ini".aku tidak dapat melawanmu."
Kwe ko-yang memutar badannya, dan matanya menusuk
tajam menatap Li Sun-Hoan. Ia berteriak, "Apa katamu?"
Li Sun-Hoan menunduk. Kepalanya terasa berdenyutdenyut.
607 Ia tahu ini adalah tindakan pengecut, sesuatu yang
dalam mimpi pun tak pernah dilakukannya.
Tapi saat ini, itulah yang harus dilakukannya.
Tanya Kwe ko-yang, "Katamu, hari ini kau tak dapat
melawan aku?" Li Sun-Hoan hanya bisa mengangguk.
Tanya Kwe ko-yang, "Mengapa?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Karena aku mengaku kalah."
Kwe ko-yang menatapnya dengan pandangan tidak
percaya. Seakan-akan tidak dikenaLimya lagi orang ini.
Sampai sekian lama, akhirnya Kwe ko-yang mengambil
nafas panjang. "Li Sun-Hoan, Li Sun-Hoan, kau betulbetul
pahlawan sejati!" Li Sun-Hoan terkekeh. "Pahlawan" Orang seperti aku
disebut pahlawan?" Kwe ko-yang menggelengkan kepalanya dan mendesah.
"Mungkin di seluruh dunia ini, hanya kaulah yang dapat


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disebut pahlawan sejati."
Li Sun-Hoan diam saja dan Kwe ko-yang melanjutkan,
"Kau mengaku kalah. Aku tahu betapa sulitnya
mengatakan hal itu. Bagiku, mungkin lebih baik mati
daripada harus mengatakannya."
Jago Kelana 2 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Pedang Sakti 1

Cari Blog Ini