Ceritasilat Novel Online

Pisau Terbang Li 9

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 9


tebal. Melihat postur tubuhnya, juga matanya, tampak jelas
bahwa dulunya ia cukup ganteng.
Ia segera kembali dengan cawan di tangannya. Ia
tersenyum dan mengulurkan cawan itu pada Li SunHoan, "Ini arak untukmu."
Dalam keadaan seperti itu lelaki ini masih dapat
tersenyum. Li Sun-Hoan mengeluh dalam hatinya. Diterimanya
cawan itu sambil mengucapkan terima kasih.
Li Sun-Hoan selalu sopan terhadap siapa pun juga. Ia
menganggap setiap orang adalah manusia,
823 bagaimanapun keadaannya. Ia tidak pernah ingin
menyakiti siapapun, sekalipun orang itu membahayakan
dia. Cawan itu besar, lebih besar daripada mangkuk pada
umumnya. Li Sun-Hoan menghabiskannya sekali teguk.
Kata Budha Perempuan Mahagembira, "Hebat! Laki-laki
yang bisa minum arak adalah laki-laki yang baik. Tidak
seorang pun dari lelakiku bisa menandingi kemampuan
minummu." Lelaki berjubah ungu itu mengambilkan secawan arak
lagi untuk Li Sun-Hoan. Katanya, "Li Tamhoa bisa minum
ribuan cawan tanpa menjadi mabuk. Satu cawan lagi?"
Li Sun-Hoan terhenyak. Lelaki ini ternyata mengenalinya.
Budha Perempuan Mahagembira mengangkat alisnya.
"Kau memanggilnya "Li Tamhoa?" "Li Tamhoa" yang mana
dia?" Kata si lelaki, "Hanya ada satu Li Tamhoa. Tentunya dia
adalah Si Pisau Kilat si Li, Li Sun-Hoan."
Wajah Budha Perempuan Mahagembira menjadi kaku.
Mata setiap orang di ruangan itu berbinar-binar.
824 Si Pisau Kilat si Li! Dalam beberapa tahun belakangan ini, hanya ada
beberapa nama yang bisa menandingi ketenarannya.
Budha Perempuan Mahagembira tertawa lagi. Katanya,
"Bagus. Aku sering mendengar bahwa Li Tamhoa bukan
saja gagah berani, namun juga seorang peminum
jempolan. Kau tidak mengecewakan aku. Selain kau, aku
tidak yakin ada orang lain yang berani masuk ke sini."
Si lelaki berbaju ungu berkata, "Pisau Kilat si Li tidak
pernah luput. Orang-orang yang berkemampuan tinggi
memang biasanya gagah berani."
Li Sun-Hoan menatap lelaki ini. Katanya, "Dan kau
adalah"." Si lelaki tersenyum. "Ingatan Li Tamhoa memang sudah
mundur. Tidakkah kau mengenali teman lamamu?"
Budha Perempuan Mahagembira berkata, "Mungkin ia
tidak mengenali wajahmu, namun ia pasti mengenali
jurus pedangmu." Kata si lelaki sambil tersenyum, "Jurus pedangku". Aku
tidak yakin aku masih mengingatnya."
Sahut Budha Perempuan Mahagembira, "Kau tidak
mungkin lupa. Ayo cepat ambil pedangmu."
825 Walaupun lelaki itu agak gempal, namun ia berjalan
cukup cepat. Hanya beberapa detik saja ia kembali
membawa sebilah pedang. Kata Budha Perempuan Mahagembira, "Tunjukkan
padanya ilmu pedangmu."
Lalu dilemparnya ayam goreng yang tinggal setengah itu
ke arah si lelaki. Terdengar bunyi "Ting", dan pedang pun berkilat-kilat.
Lelaki itu menggeser tubuhnya dan pedang pun teracung
dan berkelebat di udara. Ayam itu sudah menjadi empat potong. Keempatnya
tertusuk oleh pedang. Li Sun-Hoan kaget. Katanya, "Hebat sekali."
Ia tidak menyangka lelaki ini memiliki ilmu pedang yang
begini lihai, dengan kecepatan yang begitu cepat pula.
Anehnya, jurusnya seperti sudah pernah dilihatnya.
Sepertinya pernah digunakan untuk menyerangnya.
Lelaki itu berjalan menghampirinya dan berkata, "Ayam
ini cukup lezat. Li Tamhoa silakan mencicipi."
Potongan ayam yang tertusuk di pedang kumala
berwarna gelap itu memang sangat menggugah selera.
Pedang kumala yang berwarna gelap itu berkilauan bagai
air di bawah sinar bulan.
826 Li Sun-Hoan tercekat. Ia berteriak, "Toat-ceng-kiam!"
Lelaki ini memegang Toat-ceng-kiam!
Li Sun-Hoan bergidik memandang lelaki ini. Katanya, "Yu
Liong-sing" Apakah kau adalah Yu-siaucengsu dari Istana
Pedang Rahasia?" Lelaki ini tertawa, sahutnya, "Kita memang kawan lama.
Kau ternyata belum melupakan aku."
Ia tertawa terlalu keras, sampai riasan wajahnya
berguguran. Apakah ia betul-betul Yu Liong-sing" Lelaki yang muda
dan gagah dua tahun yang lalu itu"
Tubuh Li Sun-Hoan gemetar. Ia merasa kasihan terhadap
anak muda ini. Namun Yu Liong-sing tidak kelihatan sedih sedikitpun.
Tanya Budha Perempuan Mahagembira, "Bisakah koki di
Istana Pedang Rahasia membuat ayam goreng selezat
ini?" Sahut Yu Liong-sing, "Di sana ayamnya terasa seperti
sepotong kayu." "Kalau tidak ada aku, kau tak akan pernah merasakan
ayam goreng selezat ini, bukan?"
"Tentu saja." 827 "Apakah kau suka hidup bersamaku?"
"Aku suka sekali."
"Jika kau boleh memilih, siapakah yang kau pilih, Na
Kiat-cu atau aku?" Yu Liong-sing hampir merangkak mencium kakinya.
Sahutnya dengan mata berbinar-binar, "Tentu saja
Budha Perempuanku yang tersayang."
Budha Perempuan Mahagembira tertawa gembira.
Katanya, "Bagus. Kau memang adalah anak muda yang
pandai." Tiba-tiba ia menunjuk pada lehernya sendiri dan berkata,
"Ayo, mari kita buat pertunjukan untuk Li Sun-Hoan.
Tusuk aku tepat di sini."
Kata Yu Liong-sing, "Aku tidak sanggup. Bagaimana jika
aku tidak sengaja melukai Budha Perempuan. Hatiku
akan hancur." Budha Perempuan Mahagembira merengut manja.
"Dasar bocah kecil. Kau pikir kau dapat melukai aku"
Jangan banyak omong, tusuk saja aku di sini."
Ia mengangkat kepalanya dan menunggu Yu Liong-sing
bergerak. Yu Liong-sing terdiam sekejap, matanya melirik ke kiri ke
kanan. Tiba-tiba ia berkata, "Baiklah!"
828 Cahaya kumala berkilauan. Pedang berkelebat secepat
kilat. Yu Liong-sing masih belum bisa menandingi kecepatan A
Fei, namun ia masih merupakan jago pedang kelas satu
di dunia. Li Sun-Hoan cukup tahu akan kemampuannya.
Budha Perempuan Mahagembira tetap duduk di situ,
tidak bergerak sama sekali. Jika ia adalah seorang lakilaki,
ia sungguh tampak seperti patung Budha raksasa.
Pedang yang melesat secepat kilat itu tertancap di
lehernya! Bab 48. Wanita Raksasa Jurus pedang Yu Liong-sing bukan saja sangat cepat,
namun pedang itu adalah salah satu pedang yang paling
tajam di dunia. Li Sun-Hoan tidak bisa percaya kalau ada daging yang
dapat menahan serangan ini!
Lalu terdengar jeritan. Yu Liong-sing Pun terjengkang ke
belakang dan mendarat dekat wanita gemuk yang duduk
di sebelah Li Sun-Hoan. Wanita itu pun tertawa dan merengkuh Yu Liong-sing ke
dalam pelukannya. 829 Pedang itu masih tetap ada di leher Budha Perempuan
Mahagembira. Namun Budha Perempuan Mahagembira masih tetap
duduk di situ, memandang Li Sun-Hoan dengan senyum
lebar. Li Sun-Hoan kehilangan kata-kata.
Ternyata Budha Perempuan Mahagembira mengempit
pedang itu dengan lemak di lehernya!
Tidak seorang pun yang pernah melihat ilmu silat model
begini. Bahkan mendengar pun belum pernah!
Lalu ia berkata, "Wanita gemuk pun ada kelebihannya, ya
kan?" Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, "Orang biasa tidak
akan dapat menyamai kelihaian Budha Perempuan."
Perkataan itu memang sejujurnya, karena memang tidak
ada orang yang mempunyai lemak sebanyak dia.
Kata Budha Perempuan Mahagembira, "Aku pun
mendengar bahwa pisu terbangmu tidak pernah luput.
Bahkan anak angkatku tidak dapat menghindarinya. Kau
pasti cukup yakin dengan pisaumu, bukan?"
Li Sun-Hoan diam saja. "Karena pisaumulah, kau berani masuk ke sini, bukan?"
830 Ia tersenyum dan melanjutkan, "Apakah sekarang kau
masih yakin dapat membunuhku?"
Li Sun-Hoan mendesah. "Tidak."
Budha Perempuan Mahagembira tertawa. "Lalu apakah
kau masih ingin membawa pergi Na Kiat-cu?"
"Ya." Kening Budha Perempuan Mahagembira berkerut, tapi
dengan cepat ia tersenyum kembali. Katanya, "Menarik
juga. Kau memang orang yang cukup menarik.
Bagaimana rencanamu untuk bisa membawa pergi Na
Kiat-cu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Akan kupikirkan caranya. Pada
akhirnya, aku pasti akan menemukan sesuatu."
Budha Perempuan Mahagembira kembali tertawa. "Baik.
Mengapa kau tidak tinggal dulu di sini bersamaku dan
bepikir-pikir." Sahut Li Sun-Hoan, "Di sini ada banyak arak. Aku tidak
keberatan tinggal di sini lebih lama."
Kata Budha Perempuan Mahagembira, "Tapi arakku tidak
gratis." Tanya Li Sun-Hoan, "Apa yang kau inginkan dari aku?"
Budha Perempuan Mahagembira tersenyum sambil
menjawab, "Sebelumnya kupikir kau sudah tua. Namun
831 makin lama, aku makin suka padamu. Jadi mari kita buat
perjanjian. Kau tinggal bersamaku beberapa hari, dan
aku akan membiarkanmu membawa Na Kiat-cu pergi
bersamamu." Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Mungkin aku tidak
terlalu tua untukmu, tapi sayangnya kau terlalu gemuk
untukku. Jika kau dapat membuang beberapa puluh kilo
dagingmu, mungkin aku tak akan keberatan
menemanimu berbulan-bulan. Tapi dalam keadaanmu
saat ini"." Ia menggelengkan kepalanya dan melanjutkan, ?".aku
sungguh tidak berselera."
Wajah Budha Perempuan Mahagembira langsung
berubah total. Ia berkata dingin, "Jadi kau tidak setuju
dengan penawaranku. Baik."
Tiba-tiba dilambaikannya tangannya.
Empat wanita yang duduk di sebelah Li Sun-Hoan segera
bangkit. Walaupun mereka gemuk, mereka cukup gesit.
Keempatnya segera mengepung Li Sun-Hoan.
Langit-langit rumah itu tidak terlalu tinggi, jadi tidak ada
peluang bagi Li Sun-Hoan untuk melompat melampaui
mereka. Ia tidak bisa juga menyusup di antara mereka.
Melihat lemak para wanita itu, Li Sun-Hoan merasa
sangat muak. 832 Namun keempat wanita ini bergerak makin
mendekatinya, seakan-akan ingin menjepitnya. Jika ia
menyambitkan pisau, ia pasti dapat membunuh salah
satunya, tapi tidak akan mempengaruhi yang lain.
Jika mereka benar-benar menjepitnya di tengah-tengah,
Li Sun-Hoan tidak ingin memikirkan bagaimana rasanya.
Terdengar suara Budha Perempuan Mahagembira, "Li
Sun-Hoan, aku tahu kau mampu keluar dari Barisan
Lokyanghan dari Siau-lim-si. Namun jika kau mampu
keluar dari Barisan Dagingku, itu baru suatu keberhasilan
yang patut dibanggakan."
Suara tawanya makin lama makin keras, sampai-sampai
tiang rumah itu bergetar.
Mata Li Sun-Hoan berbinar karena tiba-tiba saja ia
teringat pada Ling Ling. Ling Ling tidak masuk ke dalam rumah itu bersamanya.
Saat itu terdengarlah suara berderak yang amat keras,
dan rumah itu pun jebol. Bersamaan dengan itu, semua
orang pun jatuh ke tanah.
Terlihat sebuah lubang di langit-langit.
Li Sun-Hoan segera melompat dan keluar ke atas melalui
lubang itu. Li Sun-Hoan berpikir bahwa Budha Perempuan
Mahagembira pasti terjatuh juga. Dan karena berat


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

833 badannya yang luar biasa, pasti ia butuh waktu cukup
lama untuk bisa bangun lagi,
Siapa sangka, gerakan Budha Perempuan Mahagembira
sangat cepat dan ilmu meringankan tubuhnya pun sangat
tinggi. Sewaktu Li Sun-Hoan melompat, ia mendengar
suara getaran yang kuat. Ternyata Budha Perempuan Mahagembira menjebol
langit-langit rumah itu dan membuat sebuah lubang yang
lebih besar lagi. Ia meloncat ke atas seperti balon
raksasa, sampai menutupi cahaya bulan.
Li Sun-Hoan tidak melihat ke belakang lagi ketika ia
mendarat di luar hutan. Namun segera terdengar suara Budha Perempuan
Mahagembira tertawa dan berkata, "Li Sun-Hoan, karena
aku telah telanjur suka padamu, jangan harap kau bisa
lolos." Sambil tertawa, ia menyeruduk ke arah Li Sun-Hoan. Li
Sun-Hoan merasakan segulung tenaga yang besar
datang dari arah wanita itu, seolah-olah sebuah gunung
akan runtuh menimpanya. Tiba-tiba tangannya mengibas di belakang dan sejalur
cahaya berkilauan melesat cepat. Pisau Kilat si Li
akhirnya keluar juga! Kalau pisau itu sudah meninggalkan tangannya, ia tidak
akan luput! 834 Darah mengalir dari wajah Budha Perempuan
Mahagembira. Kali ini, Li Sun-Hoan tidak membidik pada lehernya,
namun pada mata kanannya. Ia tahu, sekali pisau itu
meninggalkan tangannya, pisau itu akan sampai ke
tujuannya. Ia begitu yakin akan hal ini.
Namun suara tawa Budha Perempuan Mahagembira tidak
terputus. Suara tawanya membuat bulu kuduk Li SunHoan merinding. Ia menoleh ke belakang dan melihat
Budha Perempuan Mahagembira sedang berjalan ke
arahnya. Wajahnya penuh dengan darah. Pisaunya pun
masih tertancap di mata kanannya.
Tapi kelihatannya ia tidak merasa sakit sedikitpun dan
memang benar-benar tertawa. Katanya, "Jangan kira kau
bisa lolos, Li Sun-Hoan. Berapa banyak pisau lagi yang
kau miliki" Lemparkan semuanya. Pisau sekecil ini, kau
lempar seratus pun tak akan terasa apa-apa."
Tiba-tiba dicabutnya pisau dari matanya dan mulai
mengunyahnya. Li Sun-Hoan terbelalak. Wanita ini bukan manusia. Ia adalah seorang monster.
Namun saat itu juga tiba-tiba Budha Perempuan
Mahagembira menjerit sangat keras dan
menggoncangkan seluruh hutan raya itu.
835 Li Sun-Hoan melihat ujung pedang kumala berwarna
gelap muncul dari dadanya. Sesudah itu terlihat darah
muncrat keluar bagai hujan badai.
Ia pun melihat Yu Liong-sing memegang Toat-ceng-kiam
dengan kedua belah tangannya. Pedang itu menembus
tubuh Budha Perempuan Mahagembira dari belakang.
Pedang itu masuk dari punggungnya, melewati jantung
dan keluar di dadanya. Budha Perempuan Mahagembira pun akhirnya jatuh ke
tanah, menimpa Yu Liong-sing.
Terdengar bunyi tulang belulang gemeretak. Sekujur
tubuh Yu Liong-sing patah tertimpa wanita itu. Namun ia
hanya mengatupkan giginya tanpa suara.
Budha Perempuan Mahagembira masih bisa bernafas
satu-satu dengan berat. "Kau"Ternyata kau!"
Sahut Yu Liong-sing, "Kau tidak menyangka, bukan?"
Kata Budha Perempuan Mahagembira, "Aku
memperlakukanmu dengan baik, mengapa kau
membalasku seperti ini?"
Keringat mengucur di wajah Yu Liong-sing. Sambil
mengertakkan gigi ia berkata, "Alasan mengapa aku
belum mati adalah karena aku menunggu datangnya hari
ini"." 836 Ia tidak bisa bicara lagi karena ia tidak dapat bernafas di
bawah tindihan badan wanita itu. Saat ia melihat
pandangannya mulai menjadi hitam, ia merasa tubuh
Budha Perempuan Mahagembira berguling dari atas
tubuhnya. Akhirnya ia melihat pandangan mata Li Sun-Hoan yang
tenang. Ia pun merasa sepasang tangan menyeka
keringat dari wajahnya. Walaupun tangan ini dapat mengambil nyawa orang
sewaktu-waktu, tangan itu pun dapat memberikan
bantuan kapan saja. Walaupun tangan ini dapat
memegang pisau yang mematikan, tangan itu pun dapat
memberikan segenggam kasih sayang.
Yu Liong-sing berusaha tersenyum, tapi tidak mampu. Ia
mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berkata, "Aku
bukan Yu Liong-sing."
Li Sun-Hoan terdiam sesaat, lalu mengangguk. Katanya,
"Kau memang bukan."
Yu Liong-sing berkata lagi, "Yu Liong-sing telah mati."
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku mengerti."
Lagi Yu Liong-sing menegaskan, "Hari ini kau tidak
bertemu dengan Yu Liong-sing."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku hanya tahu bahwa ia adalah
kawanku. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa."
837 Akhirnya terlihat senyum Yu Liong-sing di sudut bibirnya.
Katanya, "Aku merasa cukup terhormat memiliki teman
seperti dirimu. Sayangnya"."
Ia berusaha keras mengumpulkan sisa-sisa nafasnya dan
berteriak, "Sayangnya aku tidak bisa mati di tanganmu!"
*** Fajar. Tiga kuburan baru terlihat di hutan itu. Satu untuk Yu
Liong-sing. Satu untuk Na Kiat-cu. Satu untuk Budha
Perempuan Mahagembira. Para muridnyalah yang
menggali ketiga kuburan ini.
Para muridnya terlihat tidak terlalu peduli atas kematian
guru mereka. Budha Perempuan ini ternyata tidak
memiliki hati seperti Sang Budha. Ia tidak dikasihi oleh
siapa pun selama hidupnya.
Memang Ling Linglah yang membuat jebol rumah itu.
Ia terlihat cukup bangga atas perbuatannya. "Aku hanya
mengendorkan satu tiang saja, dan seluruh rumah itu
hancur berantakan. Kalau bukan karena kecerdikanku,
kau sudah gepeng sekarang!"
Ketika Ling Ling melihat semua murid Budha Perempuan
Mahagembira pergi dari situ, ia terlihat sangat terkejut.
Mengapa mereka tidak berusaha membalaskan kematian
guru mereka" 838 Kata Li Sun-Hoan, "Mungkin walaupun Budha Perempuan
ini berusaha mengisi perut mereka penuh-penuh, ia tidak
memperhatikan hati mereka sama sekali."
Kata Ling Ling, "Kau benar. Jika seseorang terlalu
kenyang, ia akan menjadi malas untuk peduli akan apa
pun juga." Ling Ling pun cemberut dan berkata, "Aku tahu kau
hanya memiliki Na Kiat-cu dalam hatimu. Memang
kutahu pinggangnya lebih ramping dari pinggangku."
Tanya Li Sun-Hoan, "Kau pikir hanya Na Kiat-cu yang ada
dalam hatiku?" "Sudah pasti. Kau bersedia mengorbankan nyawamu
demi dia. Sebenarnya ia telah lama mati. Kau tidak perlu
kuatir tentang dia."
Kata Li Sun-Hoan, "Jika ia adalah temanku semasa hidup,
ia tetap adalah temanku sesudah meninggal."
Tanya Ling Ling perlahan, "Apa"Apakah aku juga
temanmu?" "Sudah tentu." "Lalu jika kau mau mengorbankan nyawamu demi
temanmu yang sudah mati, mengapa kau tidak peduli
pada temanmu yang masih hidup?"
Mata Ling Ling menjadi merah. Lanjutnya, "Aku tidak
punya sanak saudara. Kini aku pun tidak punya rumah.
839 Apakah kau tega melihatku mengemis makanan setiap
hari?" Li Sun-Hoan hanya bisa tertawa getir.
Ia merasa gadis muda ini makin lama makin pintar
bicara. Ling Ling memandangnya dari sela-sela jarinya yang
menutupi wajahnya. Katanya, "Lagi pula, jika kau tidak
membawaku pergi bersamamu, bagaimana kau akan
menemukan Nonaku" Bagaimana kau akan menemukan
sahabatmu, A Fei?" *** A Fei sedang menghirup supnya.
Sup daging. Sangat lezat, sangat panas.
A Fei memegang mangkuk itu dengan kedua tangannya
dan mengirupnya perlahan-lahan. Matanya menatap sup
itu dengan pandangan kosong. Seolah-olah ia tidak bisa
membedakan rasa sup yang satu dengan yang lain.
Lim Sian-ji duduk di sampingnya dengan bertopang
dagu. Katanya, "Kelihatannya kau tidak bahagia
beberapa hari terakhir ini. Ayo habiskan supmu. Sup ini
sangat bergizi. Nanti kalau sudah dingin rasanya tidak
enak." A Fei menghabiskan mangkuknya dengan cepat.
840 Lim Sian-ji menyeka dagu A Fei dan berkata, "Enak?"
"Ya." "Kau mau semangkuk lagi?"
"Ya." Kata Lim Sian-ji, "Anak baik. Kau makan sedikit sekali
akhir-akhir ini. Kau perlu makan lebih banyak."
Ruangan itu tampak sangat sederhana, namun
dindingnya baru saja dicat. Dapurnya pun sangat bersih
karena mereka baru tinggal di situ dua hari.
Lim Sian-ji membawakan semangkuk sup lagi dan
meletakkannya di hadapan A Fei. Katanya sambil
tersenyum, "Walaupun ini kota kecil, namun pasarnya
cukup besar. Sayangnya si penjual daging suka menipu
pendatang baru. Masa setengah kilo daging harganya
sepuluh keping." Kata A Fei tiba-tiba, "Kita tidak usah makan sup daging
lagi." "Kenapa" Kau tidak suka?"
"Aku suka supnya, tapi kita tidak sanggup membeli
daging semahal itu."
Lim Sian-ji tersenyum. Katanya dengan lembut, "Jangan
kuatir tentang uang. Kulit rubah cukup laku akhir-akhir
841 ini. Aku mendapat lebih dari 27 tail perak dari hasil
buruanmu bulan lalu."
Kata A Fei, "Namun uang itu akan habis. Di sini tidak ada
rubah untuk diburu."
"Jangan kuatir. Aku masih punya tabungan juga."
Kata A Fei, "Aku tidak mau menggunakan uangmu."
Wajah Lim Sian-ji memerah. Ia menundukkan kepalanya
dan berkata, "Mengapa" Aku tidak mencuri atau
merampok uang ini. Aku mendapatkannya dari hasil
menjahit, menisik baju orang yang robek."
Bab 49. Rencana Tiap-Tiap Orang
Saat bicara, air mata turun membasahi wajahnya. Ia
berkata pelan, "Kau tahu bahwa aku sudah
mengembalikan uang yang dulu itu, sesuai dengan
perkataanmu. Kau tidak percaya?"
A Fei menghela nafas panjang. Katanya, "Bukan aku
tidak percaya. Hanya saja"..akulah yang harus
mengurusmu. Aku tidak mau membiarkan kau yang
bekerja mencari uang."
Lim Sian-ji masih menangis sambil menyahut, "Tapi kita
sudah saling mencintai. Tidak ada lagi "milikku" atau
"milikmu" di antara kita. Bahkan hatiku adalah milikmu.
Tidakkah kau tahu?" 842 A Fei memejamkan matanya dan menggenggam tangan
Lim Sian-ji erat-erat. Kalau saja ia dapat menggenggam
tangan ini selamanya, A Fei tidak akan menginginkan
apa-apa lagi. Akhirnya A Fei jatuh tertidur.
Lim Sian-ji menarik tangannya dari genggaman A Fei.
Lalu ia berjalan ke kamarnya sendiri. Dari balik dadanya,
ia mengambil sebuah botol kecil.
Ia menyedu secangkir teh. Lalu diambilnya sedikit bubuk
dari botol itu dan meminumnya. Ia tidak pernah lupa
minum bubuk itu setiap hari.
Bubuk ini terbuat dari mutiara yang ditumbuk sampai
halus. Seorang wanita dapat mempertahankan
kecantikannya dengan minum bubuk itu.
Sambil memandang botol di tangannya, Lim Sian-ji
terkekeh sendiri. Jika A Fei tahu berapa harga sebotol kecil bubuk mutiara
ini, mungkin ia akan mati berdiri.
Ia tahu bahwa laki-laki begitu mudah dibohongi, terlebih
oleh wanita yang dicintainya. Oleh sebab itu ia selalu
menganggap bahwa laki-laki itu patut dikasihani,
walaupun mereka lucu juga.
Ia belum pernah bertemu dengan seorang laki-laki pun
yang tidak bisa diperdaya.
843 Mungkin hanya satu".Li Sun-Hoan.
Setiap kali mengingat Li Sun-Hoan, perasaan Lim Sian-ji


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi jengkel. Hari ini adalah tanggal lima bulan sepuluh.
Apakah Li Sun-Hoan sudah mati" Mengapa belum ada
kabar" Tiba-tiba terdengar langkah orang dari kejauhan. Dua
orang pemuda datang membawa tandu. Mereka berjalan
cepat ke arah rumah itu dan berhenti tepat di depan
pintu. Lim Sian-ji pun keluar tanpa suara. Ia mengunci pintu
dan naik ke atas tandu. Diturunkannya tirai bambu yang
menutupi jendela tandu itu. Tirai itu tidak rapat,
sehingga ia bisa melihat ke luar, tapi orang di luar tidak
bisa melihat ke dalam. Tandu itu segera diangkat dan pergi dengan cepat.
Dekat rumah itu ada hutan yang cukup lebat. Dedaunan
di sana belum lagi gugur. Di sebelah hutan itu ada
sebuah kuil kecil. Di sebelah kanannya ada tanah
pemakaman yang gundul. Tandu itu berhenti di sana. Pemuda yang di depan
mengambil lentera dari bawah tandu dan
mengangkatnya di atas kepalanya. Pada lentera itu ada
gambar bunga Bwe berwarna merah.
844 Setelah lentera itu diangkat, embat sosok bayangan
datang dari empat arah. Keempatnya datang ke arah
cahaya ini. Keempat orang ini bergerak sangat cepat, seolah-olah
mereka tidak sabar menunggu sesuatu. Tapi waktu
mereka tahu ada orang lain yang datang, langkah
mereka melambat. Mereka saling pandang dengan
pandangan menyelidik, juga dengan rasa permusuhan.
Orang yang datang dari arah hutan adalah seorang lakilaki
setengah baya dengan wajah bulat. Ia mengenakan
pakaian yang sangat indah, seperti seorang pedagang
yang kaya raya. Gerakannya menunjukkan bahwa ia mempunyai tenaga
dalam yang sangat hebat. Dua orang datang dari arah kuburan. Yang sebelah
kanan adalah seorang laki-laki kecil yang bertingkah
seperti seorang pencuri yang mengendap-endap. Namun
jelas ilmu meringankan tubuhnya tidaklah rendah.
Yang sebelah kiri tidak jangkung tidak pendek, tidak
gemuk tidak kurus. Pakaiannya pun biasa saja. Tidak ada
yang istimewa dari seluruh penampilannya. Namun ilmu
meringankan tubuhnya satu tingkat lebih tinggi daripada
orang pendek di sebelahnya.
Orang yang datang dari arah kuil adalah yang paling
muda, tapi tampaknya kedudukannya lebih tinggi dari
yang lain. Walaupun menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya, ia tetap membuat langkah-langkahnya berat.
845 Jelas bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang paling
tinggi di antara keempat orang itu.
Lim Sian-ji sudah tahu bahwa keempat orang ini akan
datang. Ia tidak keluar dari tandu. Melongok keluar pun
tidak. Ia hanya tersenyum dan berkata, "Kalian berempat
sudah menempuh perjalaLam-yang-hu cukup jauh. Maaf
tidak ada arak untuk menyambut kalian."
Ketika mereka mendengar suara Lim Sian-ji, tanpa sadar
keempatnya tersenyum. Mereka ingin mengatakan
sesuatu, tapi setelah saling pandang, tidak seorang pun
mengatakan apa-apa. Kata Lim Sian-ji, "Aku tahu kalian berempat ingin bicara.
Siapa yang akan mulai?"
Orang yang berpenampilan biasa memandang tanpa
ekspresi. Kelihatannya ia takut mulai lebih dulu.
Si pemuda berjubah biru mengangkat alisnya. Ia
menaruh tangannya di balik punggungnya dan segera
memutar badannya. Ia menganggap orang-orang ini
tidak sederajat dengannya, oleh sebab itu ia tidak sudi
bicara di depan mereka. Sun-hoan berwajah bulat tersenyum dan berkata kepada
lelaki berjubah hitam, "Kau saja yang mulai duluan."
Kelihatannya si jubah hitam tidak keberatan. Ia langsung
maju ke depan tandu itu. 846 Kata Lim Sian-ji sambil tersenyum, "Sejak pertemuan kita
dua bulan yang lalu, kelihatannya ilmu meringankan
tubuhmu sudah ada kemajuan. Selamat!"
Wajah si jubah hitam yang kelihatan jahat itu berbinarbinar
dengan bangga. Katanya, "Terima kasih, Nona."
Kata Lim Sian-ji, "Aku menyuruhmu melakukan dua hal.
Sudah kau bereskan keduanya, bukan?"
Si jubah hitam mengeluarkan segepok uang kertas dari
sakunya, dan diserahkannya dengan patuh kepada Lim
Sian-ji. Katanya, "Aku sudah berhasil menagih semua
hutang itu. Totalnya 9850 tail. Ginbio (uang kertas) ini
berasal dari Bank "Tong-hok-ho" di Propinsi Soasay.
Tangan Lim Sian-ji yang putih mulus terjulur dari dalam
tandu dan mengambil kertas-kertas itu. Lalu sambil
tersenyum ia berkata, "Maaf telah merepotkanmu. Aku
tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu."
Si jubah hitam terkesima memandangi tempat tangan
Lim Sian-ji keluar tadi. Ia tersadar dan tertawa terpaksa.
Katanya, "Oh, tidak perlu berterima kasih. Kalau kau
masih mengingatku, itu sudah cukup."
Tanya Lim Sian-ji, "Bagaimana dengan si tukang cerita Si
Tua Sun dan cucu perempuannya" Kau sudah
menemukan lokasi mereka, bukan?"
Si jubah hitam menundukkan kepalanya dan berkata,
"Aku telah membuntuti mereka. Namun tiba-tiba mereka
847 menghilang begitu saja. Seperti".seperti hilang ditelan
bumi." Lim Sian-ji diam saja. Si jubah hitam tersenyum kaku dan berkata, "Gerak-gerik
kedua orang ini sangat misterius. Mereka pura-pura tidak
tahu ilmu silat, tapi sudah pasti tidak demikian. Jika Nona
bersedia memberi sedikit lagi waktu, aku pasti akan
menemukan lokasi mereka."
Lim Sian-ji berpikir sejenak, lalu mendesah dan berkata,
"Tidak usahlah. Aku memang sudah tahu kau tidak akan
bisa membuntuti mereka. Jadi walaupun kau gagal, aku
tidak menyalahkanmu. Sesudah ini, aku ada beberapa
tugas lain untukmu."
Si jubah hitam menghela nafas lega dan segera mundur
ke belakang. Si lelaki berwajah bulat memberi hormat kepada yang
lain dan berkata, "Maafkan aku. Maafkan aku."
Sambil berbicara ia berjalan ke depan tandu Lim Sian-ji.
Lim Sian-ji tersenyum dan berkata, "Seorang pedagang
memang selalu memiliki sopan santun yang tinggi. Kau
tampak seperti Loya (tuan besar) saja."
Orang ini tersenyum cerah dan berkata, "Ah, aku hanya
pelayanmu Nona. Tanpa belas kasihan Nona, aku ini
bukan apa-apa. Aku sama sekali tidak pantas disebut
Loya (tuan besar)." 848 Lim Sian-ji menjawab dengan lembut, "Pelayan, majikan,
apalah bedanya" Bisnisku adalah bisnismu juga. Jika kau
terus bekerja dengan giat, tidak lama lagi usaha ini akan
jadi milikmu sendiri."
Wajah si lelaki bersemu merah.
Ia terus-menerus berterima kasih pada Lim Sian-ji,
sebelum mengeluarkan setumpuk uang kertas dari
sakunya dan menghaturkannya dengan hormat kepada
Lim Sian-ji. Katanya, "Ini adalah penghasilan tahun lalu.
Semuanya dalam bentuk uang kertas dari Bank "Tonghokho" juga." Sahut Lim Sian-ji, "Ah, kau sudah bekerja begitu keras.
Aku tahu kau memang orang yang sangat jujur dan
rajin"." Sambil berbicara Lim Sian-ji menerima kertas-kertas bank
itu dan mulai menghitungnya. Tiba-tiba suaranya
berubah bengis. Tanpa sedikit pun kelembutan ia
berkata, "Mengapa cuma ada 6000 tail?"
Kata Sun-hoan, "6300 tail."
Tanya Lim Sian-ji tajam, "Tahun sebelumnya berapa?"
"9400 tail." "Dan sebelumnya lagi?"
Sun-hoan menyeka peluh yang mulai bercucuran.
Jawabnya, "Kurasa".lebih dari 10000 tail."
849 Lim Sian-ji tersenyum sinis. Katanya, "Kau memang
hebat. Kau sanggup membuat usaha itu semakin kecil
saja tiap tahunnya. Beberapa tahun lagi kurasa aku bisa
menutup saja toko-toko itu."
Kini seluruh tubuh Sun-hoan basah kuyup oleh keringat.
Ia berbicara terbata-bata, "Dua tahun terakhir ini, jubah
kain satin tidak lagi digemari. Penghasilan dari kain
popLim pun kurang bagus. Tapi aku yakin, tahun depan
pasti lebih baik." Lim Sian-ji berpikir sejenak, lalu berkata dengan lembut,
"Aku tahu kau sudah begitu bersusah-payah dua tahun
terakhir ini. Sebaiknya kau kembali ke kampung
halamanmu dan beristirahat."
Wajah Sun-hoan langsung berubah total. "Ta"tapi, tokotoko
itu"." Sahut Lim Sian-ji cepat, "Jangan kuatir, akan kusuruh
orang lain untuk mengurusnya."
Kini wajah Sun-hoan sangat pucat dan penuh
kemarahan. Ia mundur selangkah demi selangkah. Lalu
tiba-tiba meloncat dan lari masuk ke hutan.
Setelah ia berlari beberapa langkah, terlihat sinar terang
berkilat. Di antara suara jeritan keras, darah mengucur deras ke
tanah. Dan tubuhnya pun berdebam jatuh.
850 Sebilah pedang baja berwarna hijau terlihat di tangan si
pemuda berjubah biru. Darah menetes dari ujungnya.
Si baju abu-abu memandang pemuda itu sekilas, namun
wajahnya tetap kaku. Katanya singkat, "Jurus pedang
yang bagus." Si pemuda berjubah biru tidak menggubrisnya sedikitpun.
Ia lalu membersihkan noda darah dari sol sepatunya.
Lalu diputarnya pedang itu dengan gaya yang indah
sebelum dimasukkannya ke dalam sarungnya.
Si baju abu-abu pun tidak berkata apa-apa lagi. Ia berdiri
di situ saja. Ia menunggu sekian lama, sampai ia pasti bahwa si
pemuda berjubah biru tidak akan berbicara. Lalu ia maju
perlahan-lahan ke depan tandu.
Mungkin Lim Sian-ji tahu bahwa orang ini tidak dapat
digerakkan dengan kata-kata manis. Oleh sebab itu ia
segera menuju ke pokok pembicaraan. Katanya, "Apakah
Liong Siau-hun sudah kembali ke Hin-hun-ceng?"
Si baju abu-abu menjawab, "Ya, sudah hampir dua
minggu. Ia kembali bersama Oh Put-kiu, juga bersama
dengan seseorang bershe Lu. Kudengar ia adalah
saudara tiri Lu Hong-sian. Kelihatannya ilmu silatnya pun
cukup tinggi." Tanya Lim Sian-ji lagi, "Bagaimana dengan Si Bungkuk
Sun?" 851 "Ia masih ada di warung itu. Ia menyembunyikan jati
dirinya dengan sangat ketat. Tidak seorang pun tahu apa
pun tentang dia." Kata Lim Sian-ji, "Namun aku tahu kau pasti dapat
mengetahuinya cepat atau lambat. Tidak ada sesuatu
pun yang dapat lolos dari pandanganmu."
Si baju abu-abu tersenyum bangga. "Perkiraanku, si
bungkuk itu ada hubungan keluarga dengan tukang
cerita Si Tua Sun. Mungkin ia adalah "Si Gunung di
Punggung, Si Penghancur Gunung", Jisuheng Sun yang
terkenal di masa lalu itu."
Lim Sian-ji terlihat agak terkejut mendengar hal ini.
Setelah berpikir-pikir, ia berkata, "Coba kumpulkan lagi
informasi yang lebih banyak. Besok"."
Suaranya terdengar semakin lembut. Si baju abu-abu
harus mendekat untuk bisa mendengarnya. Setelah
mendengar beberapa kalimat, wajahnya yang selalu
terlihat kaku menjadi berbinar-binar. Ketika ia melangkah
pergi, langkah-langkahnya pun menjadi lebih ringan dan
lebih hidup. Lim Sian-ji memang sungguh tahu bagaimana
menghadapi laki-laki. Lalu lengan Lim Sian-ji keluar dari tandu itu dan memberi
tanda pada si jubah hitam untuk datang mendekat.
Si jubah hitam berdiri di situ seakan-akan terhipnotis.
852 Kata Lim Sian-ji dengan lembut, "Mendekatlah. Aku ingin
bicara denganmu. Besok malam".."
Ia berbisik mesra ke telinga si jubah hitam.
Si jubah hitam tersenyum bahagia sambil menganggukangguk.
Sahutnya, "Ya"ya".ya" Aku mengerti".. Mana
mungkin aku bisa lupa?"
Waktu ia berjalan pergi, seakan-akan tubuhnya
bertambah tinggi satu meter.
Setelah orang itu tidak kelihatan lagi, si pemuda berjubah
biru berjalan mendekat dan berkata dingin, "Nona Lim.
Kau benar-benar orang sibuk."
Lim Sian-ji mendesah dan menyahut, "Apa lagi yang
dapat kulakukan" Mereka semua tidak seperti engkau.
Aku harus berhati-hati terhadap mereka."
Ia mengulurkan tangannya dan merengkuh tangan
pemuda itu. Ia berkata dengan manja, "Apakah kau
masih marah?" Wajah si pemuda tetap garang. "Mmmhh."
Lim Sian-ji terkekeh geli. "Lihatlah dirimu. Seperti anak
kecil saja. Ayo naik ke tandu, akan kuredakan


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amarahmu." Si pemuda berjubah biru masih ingin bersikap garang,
namun akhirnya tidak tahan juga untuk tidak tersenyum.
853 Saat itulah terdengar jeritan melengking".
Jeritan itu berasal dari dalam hutan.
Si jubah abu-abu sudah masuk ke dalam hutan, namun
saat itu ia melangkah mundur satu-satu. Terlihat jejak
darah mengikuti langkah mundurnya.
Si jubah hitam yang baru akan masuk ke dalam hutan
jadi berhenti di tempat karena melihat pemandangan itu.
Si jubah abu-abu tersungkur di depan kakinya.
Apakah si jubah abu-abu melihat hantu di dalam hutan"
Hantu yang bisa membunuh"
Si jubah hitam tercekat. Ia mengambil pisau dari kakinya.
Ia menatap ke arah hutan lebat itu, dan berkata dengan
terbata-bata, "Siapa di sana?"
Tidak ada suara apapun yang menjawab. Setelah
beberapa saat, seseorang keluar dari sana.
Orang ini sangat jangkung. Ia memakai topi bambu yang
sangat lebar sampai menutupi seluruh wajahnya. Ia
berjalan dengan sangat aneh. Ia pun menempatkan
pedangnya di posisi yang tidak biasa. Pedang itu terlibat
begitu saja di pinggangnya.
Pedang itu tidak panjang dan tidak bersarung.
854 Wajah orang ini pun tidak menakutkan. Namun ketika si
jubah hitam melihatnya, tubuhnya langsung gemetaran.
Keringat dingin membasahi tangannya.
Orang itu memancarkan hawa pembunuhan yang sangat
kuat. Hing Bu-bing. Karena Hing Bu-bing masih hidup, pasti Li Sun-Hoanlah
yang mati. Lim Sian-ji tersenyum menang.
Namun ia hanya tersenyum dalam hatinya. Wajahnya
sangat ketakutan. Ia memeluk si pemuda erat-erat,
katanya, "Orang itu mengerikan sekali. Tahukah kau
siapa dia?" Si pemuda berjubah biru memaksakan seulas senyum,
katanya, "Tidak jadi soal dia itu siapa. Selama aku ada di
sini, kau tak perlu merasa takut."
Kata Lim Sian-ji, "Aku tidak takut. Aku tahu kau akan
melindungi aku. Selama aku ada di sampingmu, tidak
akan ada yang dapat menyakitiku."
Si pemuda berjubah biru membusungkan dadanya. "Baik.
Siapapun dia, jika dia berani mendekat, akan kucabut
nyawanya!" Sebetulnya ia sangat takut melihat hawa membunuh
Hing Bu-bing. Tapi ia masih amat muda dan ia sama
855 sekali tidak ingin terlihat lemah di hadapan wanita yang
dicintainya. Hing Bu-bing berdiri di hadapan si jubah hitam.
Si jubah hitam masih memegang pisaunya. Pisau yang
telah menelan begitu banyak korban. Namun saat ini
pisau itu tidak dapat menyerang.
Ia menatap mata Hing Bu-bing yang kosong.
Hing Bu-bing sendiri seperti tidak melihatnya. Ia hanya
bertanya dingin, "Dapatkah pisau di tanganmu itu
membunuh orang?" Si jubah hitam diam mematung.
Pertanyaan itu terdengar bodoh. Namun karena
seseorang menanyakannya, ia harus menjawab. Maka
jawabnya, "Tentu saja bisa."
Kata Hing Bu-bing, "Bagus. Bunuhlah aku."
Si jubah hitam ragu-ragu sesaat, lalu berkata, "Kita kan
bukan musuh. Mengapa aku harus membunuhmu?"
Sahut Hing Bu-bing, "Karena jika kau tidak
membunuhku, akulah yang akan membunuhmu."
Si jubah hitam mundur beberapa langkah. Ia
mengertakkan giginya dan tiba-tiba pisau itu teracung ke
depan secepat kilat. 856 Saat pisaunya teracung, sebilah pedang pun berkilat di
tengah gelapnya malam. Terdengarlah suara jeritan keras. Hing Bu-bing masih
berdiri dengan pedang di pinggangnya, seolah-olah tidak
bergerak sedikitpun. Betapa cepatnya pedang itu!
Si pemuda berjubah biru adalah seorang ahli pedang
yang ternama. Ia selalu berpikir bahwa jurus pedangnya
sangatlah cepat. Tak pernah terpikir olehnya ada yang
lebih cepat lagi. Sampai saat ini. Lim Sian-ji melihat urat-urat di wajah pemuda itu
menegang. Tiba-tiba dikendurkannya pelukannya dan
berkata, "Pedang orang ini sangat terlalu dahsyat.
Kau"kau lari saja. Jangan pedulikan aku."
Jika si pemuda berjubah biru itu sudah berusia empat
puluh atau lima puluh tahun, ia pasti akan segera
mengikuti perkataan Lim Sian-ji. Jika seseorang sudah
hidup sekian lama, ia pasti tahu bahwa hidup itu jauh
lebih berharga daripada wajah yang cantik. Jika ada yang
berkata, "Hidup itu sangat berharga, namun cinta itu
lebih berharga", orang itu pastilah seorang muda yang
masih hijau. Dan orang seperti itu tidak mungkin hidup sampai lima
puluh tahun. 857 Si pemuda berjubah biru mengertakkan giginya dan
berteriak, "Jangan kuatir. Akan kubereskan dia!"
Namun tidak ada semangat dalam kata-katanya. Ia pun
tidak mulai menyerang. Kata Lim Sian-ji, "Tidak"kau tidak boleh mati. Kau masih
punya orang tua, istri dan anak-anak yang harus kau
pikirkan. Larilah selagi masih ada kesempatan. Aku akan
manahan dia sedapat mungkin. Aku tidak punya sanak
saudara. Tidak ada yang peduli apakah aku hidup atau
mati." Si pemuda berjubah biru meraung keras dan menerjang
ke muka. Lim Sian-ji pun tersenyum.
Jika seorang wanita menginginkan seorang laki-laki
berkorban untuk dirinya, cara yang terbaik adalah
dengan mengungkapkan rasa cintanya pada si lelaki.
Bahwa ia rela berkorban jiwa raga demi si lelaki.
Lim Sian-ji sudah menggunakan cara ini ratusan kali.
Selalu berhasil. Kali ini, ia bukan hanya tersenyum dalam hati. Di
wajahnya pun terlihat senyumnya yang cantik.
Karena ia tahu, inilah terakhir kali si pemuda berjubah
biru dapat melihat senyumannya.
858 Pemuda ini bukan hanya mahir ilmu pedang, namun
pedangnya pun pedang pusaka.
Sekejap saja ia telah menyerang Hing Bu-bing lima kali.
Namun ia tidak berkata apa-apa, karena ia menyadari
perkataannya tidak akan berarti apa-apa.
Hing Bu-bing tidak menyerang.
Kelima serangan itu diarahkan ke tempat-tempat yang
sangat berbahaya, namun tidak satupun mengenai
sasaran. Tiba-tiba Hing Bu-bing bertanya, "Apakah kau dari aliran
Tiam-jong-pay?" Si pemuda berjubah biru tertegun. Serangannya yang
Keenam batal. Ia tidak menyangka bahwa orang itu dapat mengenali
jurus pedang gurunya yang istimewa.
Tanya Hing Bu-bing lagi, "Apa hubunganmu dengan Cia
Thian-leng?" Si pemuda berjubah biru menjawab terbata-bata, "Ia"Ia
adalah guruku." Kata Hing Bu-bing singkat, "Aku telah membunuh Kwe
ko-yang." 859 Kalimat ini seakan-akan berasal dari antah berantah.
Sama sekali tidak berhubungan dengan percakapan
mereka. Namun si pemuda berjubah biru mengerti apa
maksudnya. Bab 50. Perangkap Kelembutan
Cia Thian-leng adalah ketua aliran Tiam-jong-pay. Ia
dijuluki Si Pedang Pertama Langit Selatan. Ia tidak
pernah menemukan lawan setanding dalam hidupnya,
kecuali tiga kali dikalahkan oleh Kwe ko-yang. Tigatiganya,
ia kalah telak. Jika seseorang mampu membunuh Kwe ko-yang, sudah
pasti ia lebih baik daripada Cia Thian-leng. Murid Cia
Thian-leng bukanlah lawannya.
Wajah si pemuda berjubah biru menjadi muram.
Setiap orang bisa merasakan bahwa Hing Bu-bing
bukanlah seseorang yang gemar menyombongkan diri.
Kata Hing Bu-bing, "Aku bisa membunuhmu dalam satu
jurus. Kau percaya?"
Si pemuda berjubah biru hanya menggigit bibirnya. Ia
tidak menyahut. 860 Terlihat sebilah pedang berkelebat. Pedang Hing Bu-bing
yang muncul entah dari mana.
Ujung pedang yang dingin itu berada tepat di depan
leher si pemuda. Kata Hing Bu-bing sekali lagi, "Aku bisa membunuhmu
dalam satu jurus. Kau percaya?"
Keringat membasahi wajah si pemuda berjubah biru. Ia
menggigit bibir kuat-kuat sampai berdarah. Lalu ia
berteriak, "Bunuh saja aku!"
"Kau ingin mati?"
"Seorang pria sejati tidak takut mati. Silakan saja bunuh
aku!" Tanya Hing Bu-bing, "Jika aku tidak ingin membunuhku,
apakah kau masih ingin mati?"
Si pemuda berjubah biru terhenyak.
Kalau tidak harus mati, siapakah yang ingin mati"
Kata Hing Bu-bing, "Aku tahu kau ingin mati demi wanita
itu. Supaya ia berpikir bahwa kau adalah pahlawan
penyelamatnya. Tapi jika kau benar-benar mati, apakah
ia masih menyukaimu?"
Ia menambahkan dengan dingin, "Jika ia mati, masihkah
kau mencintainya?" 861 Si pemuda berjubah biru tidak bisa menjawab.
Ia merasa ujung pedang yang dingin itu menjauh dari
lehernya. Ia merasa seperti seorang tolol.
Kata Hing Bu-bing, "Dalam pandangan seorang wanita,
seratus pahlawan yang mati lebih kecil nilainya daripada
seorang pengecut yang masih hidup. Sama seperti dalam
pandanganmu, seratus wanita cantik yang mati tidak ada
harganya dibandingkan dengan seorang wanita yang
hidup".. Mengertikah engkau?"
Si pemuda berjubah biru menyeka keringat dari
wajahnya. "Aku mengerti."
Tanya Hing Bu-bing, "Jadi apakah kau masih ingin mati?"
Si pemuda menjawab dengan wajah merah, "Hidup juga
bukan hal yang jelek."
Kata Hing Bu-bing, "Bagus. Akhirnya kau mengerti."
Lanjutnya lagi, "Biasanya aku tidak suka bicara berteletele,
namun hari ini aku sudah bicara begitu banyak,
hanya supaya kau mengerti akan hal ini".. Sekarang kau
sudah mengerti, jadi aku bisa membunuhmu."
Si pemuda berjubah biru jadi terkejut. "Kau ingin
membunuhku?" 862 Sahut Hing Bu-bing, "Aturannya adalah aku hanya
bertanya, tidak pernah menjawab. Tapi aku selalu
membuat perkecualian bagi orang yang sebentar lagi
akan mati." "Ta".Tapi kalau kau ingin membunuhku, buat apa kau
katakan semua nasihat itu?"
"Karena aku tidak pernah membunuh orang yang ingin
mati". Jika kau memang ingin mati, aku tidak mendapat
kepuasan apa-apa waktu membunuhmu."
Maka si pemuda pun meraung keras dan segera
menyerang dengan pedangnya.
Tapi teriakan itu terpotong pendek, karena saat ia
mengangkat tangannya, pedang Hing Bu-bing sudah
masuk ke dalam mulutnya. Ujungnya yang tajam dan
dingin telah menembus lidahnya.
Rasanya asin. Akhirnya ia merasakan kematian.
Pedang itu masuk kembali ke dalam sarungnya.
Hing Bu-bing punya kebiasaan yang baik. Ia selalu
menyimpan pedang di dalam sarungnya setelah
digunakannya. Seolah-olah ia tidak akan
menggunakannya lagi dalam waktu dekat.
Ia tahu, jika orang melihat pedangnya berada dalam
sarungnya, mereka akan menjadi lebih sembrono.
863 Ia suka orang yang sembrono. Mereka biasanya mati
lebih cepat. Selama itu Lim Sian-ji hanya memandanginya,
mengawasi setiap gerakannya. Di wajahnya terbayang
seulas senyum yang lembut, seperti seorang gadis
memandang kekasihnya. Hing Bu-bing sedikitpun tidak memandangnya.
Lim Sian-ji berdiri dengan gaya menantang, namun Hing
Bu-bing masih tetap mengacuhkannya.
Walaupun wajahnya masih tersenyum, Lim Sian-ji mulai
merasa gelisah.

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Setiap lelaki yang pernah tidur dengan dia akan berusaha
memandangnya setiap ada kesempatan. Namun mata
orang ini sengaja menghindarinya seperti menghindari
racun. Sebaliknya, kedua pengangkat tandu itu memandangi
Lim Sian-ji sampai mata mereka seolah-olah akan copot
sewaktu-waktu. Mereka tidak melihat sinar pedang yang
berkelebat. Tiba-tiba keduanya menjerit, dan pedang Hing Bu-bing
telah kembali ke dalam sarungnya.
Kini ia berdiri di depan Lim Sian-ji.
864 Matanya yang dingin dan mati tetap memandang ke
kejauhan. Hanya ada kegelapan pekat di kejauhan.
Lim Sian-ji mendesah, katanya, "Mengapa kau tidak mau
memandangku" Apakah kau kuatir bahwa setelah
memandangku, kau tidak sanggup membunuhku?"
Otot-otot di sekitar bibir Hing Bu-bing bergerak-gerak.
Setelah sekian lama, akhirnya ia berkata, "Kau tahu
bahwa aku datang untuk membunuhmu?"
Lim Sian-ji mengangguk dan berkata, "Aku tahu".
Betapapun dinginnya, kejamnya seseorang, kalau ia
harus membunuh seseorang yang dicintainya, wajahnya
pasti akan berbeda."
Ia melanjutkan sambil tersenyum, "Aku hanya ingin
menanyakan satu hal saja. Karena sebentar lagi aku akan
mati, kau pasti mau menjawab, bukan?"
Hing Bu-bing diam saja. Namun akhirnya ia menyahut,
"Tanyakan saja. Di depan orang yang sebentar lagi mati,
aku tidak pernah berbohong."
Lim Sian-ji menatap wajah Hing Bu-bing yang kaku dan
bertanya, "Aku hanya ingin bertanya, siapakah yang
menyuruhmu untuk membunuh aku" Apa alasannya?"
Hing Bu-bing mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu
berseru, "Tidak ada yang menyuruh. Tidak ada alasan."
865 Kata Lim Sian-ji, "Pasti ada orang lain".karena kau pasti
tidak ingin membunuhku"."
Lim Sian-ji tertawa dingin. Lalu ia berkata dengan suara
pelan, "Aku tahu kau mencintaiku, dan kau tidak akan
pernah menyakitiku."
Hing Bu-bing mengepalkan tangannya makin kuat. Suara
tulang yang gemeretak hampir bisa terdengar.
Namun wajahnya tetap kaku. Ia bertanya, "Apakah kau
betul-betul tahu" Apakah kau sungguh yakin?"
Sahut Lim Sian-ji, "Ya, aku sungguh yakin. Jika kau tidak
mencintaiku, kau tidak akan membunuh orang-orang ini."
Hing Bu-bing diam saja, memberi kesempatan bagi Lim
Sian-ji untuk terus bicara.
Sambung Lim Sian-ji, "Kau membunuh mereka".karena
kau cemburu pada mereka."
Dahi Hing Bu-bing berkerut. "Cemburu?"
Sahut Lim Sian-ji, "Setiap orang yang pernah
menyentuhku, bahkan hanya melihatku, kau ingin
membunuhnya. Itu namanya cemburu. Jika kau tidak
mencintaiku, buat apa cemburu?"
Wajah Hing Bu-bing pucat seperti kertas. Ia berkata
dengan dingin, "Aku hanya tahu bahwa aku ingin
membunuhmu Dan jika aku ingin membunuh seseorang,
orang itu tidak mungkin bisa hidup lebih lama!"
866 Kata Lim Sian-ji, "Jika kau benar-benar ingin
membunuhku, mengapa tak kau pandang diriku sama
sekali" Kau takut?"
Tangan Hing Bu-bing memegang pedangnya erat-erat. Di
bawah sinar bulan yang remang-remang sekalipun,
terlihat jelas keringat membasahi wajahnya.
Keringat dingin. Lim Sian-ji menatap wajahnya lekat-lekat. Perlahan-lahan
ia berkata, "Melihatku saja kau tidak sanggup. Jika kau
membunuhku, kau pasti akan menyesal."
Ia mengulurkan tangannya, ingin melihat apa reaksi Hing
Bu-bing. Hing Bu-bing diam tidak bergeming.
Akhirnya, tangan Lim Sian-ji merengkuh tangan Hing Bubing.
Dan ia segera menghambur ke pelukan lelaki itu.
Katanya, "Jika kau tidak dapat mengambil keputusan,
bawalah aku padanya."
Belaian Lim Sian-ji sangat lembut, dan ia benar-benar
tahu kapan harus berhenti.
Nafas Hing Bu-bing memburu. Tampak jelas bahwa ia
sangat gelisah. "Si"siapa yang ingin kau temui?"
Sahut Lim Sian-ji, "Orang yang menyuruhmu untuk
membunuhku. Aku tahu aku akan dapat mengubah
pikirannya"." 867 Ia menggigit telinga lelaki itu dengan mesra. Katanya
lagi, "Jangan kuatir, kau tidak akan menyesali
keputusanmu ini." Hing Bu-bing tetap tidak mau memandangnya. Namun
kepalanya menoleh ke arah hutan yang gelap itu.
Lim Sian-ji memutar bola matanya dan berbisik, "Apakah
ia ada di dalam hutan?"
Hing Bu-bing tidak menjawab. Ia tidak perlu menjawab.
Lim Sian-ji berkata dengan lembut, "Baiklah, akan
kutemui dia sekarang. Jika ia tetap tidak mau
melepaskan aku, maka kau boleh membunuhku."
Setelah Lim Sian-ji memutar badan, barulah Hing Bu-bing
berani memandangi punggungnya. Di tengah-tengah
tatapannya yang kelabu dan mati, untuk pertama kali
terlihat sebersit perasaan.
Perasaan apakah itu" Bahagia" Sedih" Benci"
Ia sendiri pun tidak tahu.
Tidak ada cahaya sama sekali dalam hutan itu.
Walaupun Lim Sian-ji berjalan pelan-pelan, ia tiba-tiba
hampir menabrak seseorang.
Orang itu hanya berdiri saja di situ, seperti sebuah
gunung. Seperti sebuah gunung es.
868 Lim Sian-ji bisa saja menghindarinya, namun ia sengaja
menubruknya. Tubuhnya jatuh ke dada orang itu.
Orang itu diam saja, tidak berusaha menahan tubuhnya
supaya tidak jatuh. Lim Sian-ji berusaha mengatur nafasnya dan berusaha
mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Katanya, "Di
sini gelap sekali". Maafkan aku."
Jaraknya dari orang itu kira-kira satu kaki. Ia yakin
bahwa orang itu dapat mencium wangi nafasnya. Ia
sungguh yakin bahwa nafasnya dapat menggetarkan hati
lelaki manapun. Namun orang itu berbicara dengan tenang, "Apakah kau
menggunakan cara ini juga supaya Hing Bu-bing tidak
membunuhmu?" Kata Lim Sian-ji, "Oh, engkaukah yang ingin
membunuhku" Apakah engkau Siangkoan-pangcu?"
Jawab orang itu, "Ya. Aku juga bisa memberitahukan
padamu bahwa cara ini tidak akan berhasil menaklukkan
aku." Nada suaranya tidak dingin, tidak juga kejam, tapi datar
saja, tanpa emosi. Perkataannya seolah-olah sedang
dibacakan dari sebuah buku.
Tanya Lim Sian-ji, "Lalu cara apa yang dapat
menaklukkanmu?" 869 Jawab Siangkoan Kim-hong, "Jika kau masih punya caracara
yang lain, silakan dicoba saja."
Kata Lim Sian-ji, "Aku tahu bahwa kau bukan laki-laki
yang mudah dirayu. Tapi mengapa kau menyuruh Hing
Bu-bing untuk membunuhku?"
Sahut Siangkoan Kim-hong, "Seorang pembunuh yang
terlatih tidak boleh berperasaan. Dan tidak mudah
melatih seorang pembunuh yang kejam. Aku tidak ingin
ia rusak hanya karena engkau."
Lim Sian-ji tertawa. Katanya, "Tapi jika engkau
membunuhmu, kerugianmu akan lebih besar."
"O ya?" "Karena aku lebih berguna daripada Hing Bu-bing."
"O ya?" Sahut Lim Sian-ji, "Hing Bu-bing hanya tahu bagaimana
caranya membunuh. Akupun tahu bagaimana caranya
membunuh. Ia harus membunuh menggunakan pedang
dan menumpahkan darah. Aku dapat membunuh tanpa
senjata, tanpa ada darah."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Tapi ia bisa membunuh lebih
cepat daripada engkau."
"Bukankah kadang-kadang lebih baik membunuh
perlahan-lahan?" 870 Siangkoan Kim-hong termenung lama. Akhirnya ia
bertanya, "Selain membunuh, apa kehebatanmu yang
lain?" Jawab Lim Sian-ji, "Aku punya banyak uang. Begitu
banyak sampai tidak terhitung. Sangat banyak sampai
tidak habis dibelanjakan."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Itu memang sangat hebat."
Perkataannya seolah-olah mengandung senyum, karena
ia tahu persis kegunaan uang yang banyak.
Sambung Lim Sian-ji, "Aku juga sangat pandai. Aku bisa
membantumu dalam banyak masalah."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Kau benar. Orang bodoh
tidak mungkin jadi kaya."
"Selain itu, aku juga bisa memberikanmu satu hal yang
lain"." Suaranya semakin lembut sampai seperti berbisik saja.
Lanjutnya, "Kalau kau laki-laki, kau akan segera tahu."
Setelah berpikir sejenak, Siangkoan Kim-hong berkata,
"Aku laki-laki."
Kabut menyelimuti seantero hutan itu.
Tubuh Hing Bu-bing terlibat oleh kabut itu.
871 Ia berdiri diam tidak bergerak. Seolah-olah tubuhnya
adalah sebatang pohon. Kabut itu sangat tebal. Tidak ada sesuatupun yang
terlihat. Suara apakah itu" Erangan" Atau helaan nafas"
Kata Lim Sian-ji, "Sudah hampir fajar. Aku harus pulang."
Tanya Siangkoan Kim-hong, "Kenapa?"
"Seseorang menungguku."
"Siapa?" "A Fei. Kau pasti pernah mendengar tentang dia."
Sahut Siangkoan Kim-hong, "Tak kusangka kau belum
membunuhnya. Kau membuang terlalu banyak waktu."
Kata Lim Sian-ji, "Aku tak bisa membunuhnya. Juga tidak
berani." "Kenapa?" "Jika aku membunuhnya, Li Sun-Hoan pasti akan
membunuhku." Siangkoan Kim-hong terdiam.
Lim Sian-ji menghela nafas. "Aku tahu kau belum
membunuh Li Sun-Hoan. Kalau sudah, kau tidak akan
872 menyuruh Hing Bu-bing untuk membunuhku. Kau masih
membutuhkan Hing Bu-bing untuk membunuh Li SunHoan, sehingga kau menginginkan dia dalam kondisi
prima." Siangkoan Kim-hong berpikir lama sebelum menyahut,
"Apakah kau benar-benar takut sekali pada Li SunHoan?" "Aku takut setengah mati padanya."
"Kau lebih takut padanya daripada aku?"
"Ya. Ia lebih parah daripada engkau. Karena aku masih
dapat menggerakkan hatimu, tapi aku tidak dapat
menyentuh hatinya." Ia mendesah dan menambahkan, "Ia tidak menginginkan
apapun juga. Itulah yang membuat dia menjadi sangat
berbahaya." Kata Siangkoan Kim-hong, "Tapi ia kan manusia juga. Ia
pasti punya kelemahan."
Sahut Lim Sian-ji, "Satu-satunya kelemahannya adalah
Lim Si-im. Tapi aku tidak dapat menggunakan Lim Si-im
untuk mengancamnya."
"Kenapa?" "Karena aku tidak yakin bisa berhasil. Setiap kali aku
melihat Li Sun-Hoan memegang pisau, kepercayaan
diriku melayang entah ke mana."
873 Ia menghirup nafas panjang dan melanjutkan, "Selama ia
masih hidup, aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap A
Fei." Siangkoan Kim-hong berpikir sekian lama, lalu berkata,
"Jangan kuatir. Ia tidak akan hidup lama."
Bab 51. Peristiwa Aneh Kabut mulai menipis. Hing Bu-bing masih berdiri tegak di tempat yang sama.
Matanya yang kelabu dan mati tertuju pada embun yang
menetes di salah satu sisi topinya.
Ia seperti tidak melihat Siangkoan Kim-hong yang
berjalan keluar hutan sendirian.
Siangkoan Kim-hong pun tidak memandangnya. Ia
berjalan terus melewati Hing Bu-bing dan berkata
dengan ringan, "Ada kabut hari ini. Pasti hari baik."
Hing Bu-bing terlihat ragu-ragu sesaat, lalu berkata, "Ada
kabut hari ini. Pasti hari baik."
Ia memutar badannya dan berjalan seirama di belakang
Siangkoan Kim-hong. Seorang di muka, seorang di
belakang. Keduanya lenyap ditelan kabut.
*** Jalanan sangat ramai, hampir seramai Jembatan Langit di


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibukota. Banyak macam barang yang bisa dibeli di sini.
874 Hari belum lagi siang, namun para pedagang sudah mulai
mendirikan tenda-tenda di tepi jalan. Macam-macam
makanan, macam-macam orang menari dan menyanyi,
macam-macam pembeli. Perasaan Ling Ling meluap-luap melihat pemandangan
yang meriah ini. Ia belum pernah merasa bahagia seperti
ini. Dia memang masih anak-anak.
Ia tidak menyangka Li Sun-Hoan akan mengajaknya ke
tempat seperti ini. Ada kepolosan anak-anak dalam hati kecilnya.
Melihat Li Sun-Hoan memegang gulali, Ling Ling ingin
tertawa terbahak-bahak. Mereka membeli beberapa tusuk gulali. Gulali yang
berwarna merah cerah, seperti batu mirah besar yang
berkilauan. Semua anak gadis pasti suka perhiasaan. Ling Ling ingin
membeli semua gulali itu. Sayangnya ia hanya punya dua
tangan, dan tidak mungkin bisa membawa semuanya.
Seorang gadis tidak pernah merasa membeli terlalu
banyak. Li Sun-Hoan harus membantu membawakan sebagian.
875 Sebenarnya, Li Sun-Hoan pun pernah membeli gulali.
Tapi sudah lama sekali. Waktu itu, ia belum paham apa
artinya duka lara, artinya kekuatiran.
Namun sekarang" Yang pasti ia sedang menguatirkan sesuatu. Ia menatap
seseorang. Ia sudah menatap orang itu sejak lama.
Orang itu berjalan di depannya. Ia mengenakan jubah
yang kotor dan sepasang sandal jerami. Di atas
kepalanya bertengger sebuah topi jerami yang besar.
Orang ini terus menunduk, seolah-olah ia tidak ingin
melihat atau dilihat orang.
Ia berjalan seperti orang bungkuk. Namun terlihat
bahunya yang bidang. Kalau ia berdiri tegak, pasti ia
akan kelihatan gagah. Tapi orang ini tidak kelihatan luar biasa. Paling-paling ia
hanya pesilat rendahan. Atau bahkan mungkin hanya
seorang pengemis biasa. Namun Li Sun-Hoan tertarik padanya sejak pertama kali
melihatnya. Ke manapun ia pergi, Li Sun-Hoan mengikutinya. Oleh
sebab itulah kini mereka ada di jalanan itu.
Anehnya, bukan hanya Li Sun-Hoan yang menguntitnya.
876 Sebetulnya Li Sun-Hoan berencana untuk menghampiri
dan melihat wajahnya. Tapi tiba-tiba ia melihat ada
orang lain yang menguntit pengemis itu.
Orang itu sangat kurus, sangat jangkung dan mempunyai
langkah yang sangat ringan. Walaupun pakaiannya
sederhana, mata orang itu bersinar terang, penuh
dengan semangat dan tenaga.
Li Sun-Hoan tahu orang ini pasti bukan orang
sembarangan. Akan tetapi, orang itu tidak memperhatikan Li Sun-Hoan.
Pandangannya hanya tertuju pada si pengemis. Ketika si
pengemis mempercepat langkahnya, ia pun berjalan
lebih cepat. Waktu si pengemis berjalan pelan-pelan, ia
pun berjalan pelan-pelan. Waktu si pengemis berhenti, ia
pun berhenti dan pura-pura merapikan bajunya atau
mengikat sepatunya. Namun matanya tidak pernah lepas
dari pengemis itu. Orang ini memang mata-mata yang hebat.
Tapi mengapa ia memata-matai seorang pengemis"
Apa tujuannya" Apa hubungan orang ini dengan si
pengemis" Si pengemis sepertinya tidak tahu bahwa ia sedang
dikuntit. Ia terus berjalan perlahan-lahan, tidak pernah
menoleh ke belakang. 877 Jika seseorang memberinya uang, ia menerimanya
dengan sopan. Namun ia tidak pernah berusaha minta
uang. Mata Ling Ling berputar terus. Tiba-tiba ditariknya lengan
baju Li Sun-Hoan dan bertanya, "Apakah kita mengikuti
pengemis itu?" Gadis ini memang sangat pandai.
Li Sun-Hoan mengangguk dan berbisik padanya, "Oleh
sebab itu kita harus bicara pelan-pelan."
"Siapakah dia" Mengapa kita membuntutinya?"
"Itu bukan urusanmu."
Katan Ling Ling, "Itu sebabnya aku bertanya. Kalau kau
tidak mau menjawab, aku akan bertanya keras-keras."
Li Sun-Hoan mendesah, katanya, "Ia seperti teman
lamaku." Ling Ling tampak terkejut. Katanya, "Teman lamamu"
Apakah ia anggota Partai Pengemis?"
"Tidak." "Lalu siapakah dia?"
Wajah Li Sun-Hoan tampak kesal. "Walaupun kuberi tahu
namanya, kau pasti tidak kenal."
878 Ling Ling terdiam sejenak, lalu tiba-tiba bertanya, "Ada
orang lain yang membuntuti pengemis itu juga. Apakah
kau melihatnya?" Li Sun-Hoan terkekeh. "Pandanganmu cukup cermat
juga." Ling Ling pun terkekeh dan bertanya lagi, "Siapakah
orang itu" Apakah ia temanmu juga?"
"Bukan." "O ya" Jadi apakah ia adalah musuh temanmu itu?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Mungkin"."
Tanya Ling Ling, "Lalu mengapa kau tidak
memperingatkan temanmu itu?"
Li Sun-Hoan mengeluh. "Temanku itu agak aneh
tabiatnya. Ia tidak suka orang lain membantunya."
"Tapi"." Ling Ling tidak menyelesaikan kalimatnya.
Ia sudah sibuk memperhatikan sesuatu yang lain.
Memandangnya dengan serius.
Jalan itu cukup panjang. Mereka baru berjalan separuh
saja. Si pengemis berjalan melewati tukang pangsit.
879 Di dekatnya ada seorang penjual arak pikulan. Beberapa
pembeli sedang minum dekat si penjual arak. Ada juga
seorang peramal buta, wajahnya agak pucat.
Di seberang jalan berdiri seorang bertubuh kekar
berjubah hijau. Seorang penjual tahu pikulan membawa dua keranjang
tahu yang bau lewat di dekatnya.
Terlihat pula seorang wanita yang sangat jangkung. Ia
sedang melihat-lihat alat-alat rias dan keperluan
menjahit. Tapi pada saat itu ia mengangkat wajahnya.
Satu matanya sudah buta. Ketika si pengemis berjalan mendekat".
Tiba-tiba si penjual arak menurunkan pikulannya.
Si peramal buta menaruh cawan araknya.
Si lelaki kekar berjubah hijau berjalan keluar.
Si wanita bermata satu memutar badannya dengan
cepat, hampir saja membuat alat-alat rias di sampingnya
jatuh berantakan. Selain orang kurus jangkung yang sejak tadi
menguntitnya, orang-orang ini mengelilingi si pengemis.
Si penjual tahu tiba-tiba berjalan ke depan si pengemis,
menghalangi langkahnya. 880 Ada banyak orang lain di jalan itu. Namun orang-orang
ini terlihat sangat menonjol. Bahkan Ling Ling pun
merasa ada sesuatu yang ganjil. Wajah Li Sun-Hoan
menjadi gelap. Ia sudah mengira sejak tadi bahwa si
pengemis adalah Thi Toan-kah. Kini ia tidak ragu-ragu
lagi. Ia harus bersikap ekstra hati-hati.
Ia tahu orang-orang ini mempunyai dendam kesumat
terhadap Thi Toan-kah. Mereka pasti telah
merencanakan perangkap ini matang-matang. Tidak
memberi jalan sedikit pun bagi Thi Toan-kah untuk lolos.
Jika mereka tahu ada orang yang bermaksud menolong
Thi Toan-kah, mereka pasti akan membunuh orang itu
seketika. Walaupun itu berarti mengorbankan nyawanya, Li SunHoan tidak akan membiarkan Thi Toan-kah disakiti
orang. Ia tidak berhutang pada banyak orang di dunia
ini. Tapi Thi Toan-kah adalah salah satunya.
Li Sun-Hoan tidak bisa kehilangan sahabat seperti dia.
Saat itu, orang-orang ini telah mengepung si pengemis.
Sekejap saja, tiga pisau yang sangat tajam telah
mengancam tubuh si pengemis. Orang-orang lain di jalan
itu segera menyadari apa yang terjadi, dan cepat-cepat
berlalu. Tidak ada seorang pun yang ingin terlibat peristiwa
macam ini. 881 Terdengar si peramal buta berkata dingin, "Ayo ikut
dengan kami. Jangan bicara apapun juga. Mengerti?"
Si lelaki kekar berjubah hijau pun berkata, "Ikuti perintah
kami, dan kau akan hidup sedikit lebih lama. Jika kau
berbuat nekad, kau pasti akan mati seketika."
Reaksi si pengemis sangat lamban. Setelah beberapa
lama, barulah ia mengangguk.
Si wanita bermata satu mendorongnya dari belakang.
Katanya, "Ayo jalan. Apa lagi yang kau tunggu?"
Karena dorongannya, topi jerami itu jatuh, dan terlihatlah
wajah pengemis itu. Wajahnya tampak kuning, seperti baru saja sembuh dari
sakit parah. Hidungnya bengkok dan bersemu merah.
Mulutnya melebar, tersenyum tidak mengerti.
Apakah orang ini adalah Thi Toan-kah" Tentu saja
bukan. Ia tampak seperti orang terbelakang.
Li Sun-Hoan ingin tertawa.
Si wanita bermata satu menjadi sangat marah. Serunya
tidak sabar, "Gosuheng. Bagaimana ini bisa terjadi?"
Wajah si kurus jangkung pucat pasi. Katanya,
"Tapi"..aku tadi yakin bahwa orang ini adalah Thi Toankah.
Aku tidak pernah melepaskan pandanganku dari
dirinya. Bagaimana mungkin".bisa jadi begini?"
882 Si lelaki kekar berjubah hijau menampar wajah pengemis
itu dan membentak, "Siapa kamu?"
Si pengemis masih tersenyum seperti orang bodoh.
Katanya, "Aku ya aku. Kamu ya kamu. Mengapa kau
memukul aku?" Kata si penjual arak, "Mungkin dia adalah Thi Toan-kah
yang sedang menyamar. Mari kucoba menanggalkan
topengnya." Si peramal buta segera berkata, "Tidak perlu. Orang ini
bukan Thi Toan-kah."
Hanya wajah si buta saja yang tetap tenang dan dingin.
Si lelaki kekar bertanya, "Jisuheng, apakah kau
mengenali suaranya?"
Sahut si buta, "Thi Toan-kah lebih baik mati daripada
ditampar olehmu." Kata si kurus jangkung, "Orang ini pasti bersekongkol
dengan Thi Toan-kah. Entah bagaimana, mereka pasti
bertukar tempat, sehingga Thi Toan-kah bisa lolos."
Si wanita bermata satu menjerit dengan marah,
"Bagaimana kau dapat membiarkannya lolos begitu
saja?" Si kurus jangkung menundukkan kepalanya. Katanya,
"Mungkin".waktu ia pergi ke kamar kecil. Tapi aku kan
tidak bisa"." 883 Si lelaki kekar berjubah hijau membentak si pengemis
lagi, "Jadi kau bersekongkol dengan Thi Toan-kah ya.
Akan kubunuh kau!" Ia mengangkat pikulannya hendak menghajar si
pengemis. Saat itu, mau tidak mau Li Sun-Hoan harus campur
tangan. Pengemis itu mungkin memang terbelakang, mungkin
juga tidak. Ia mungkin bersekongkol dengan Thi Toankah,
mungkin juga tidak. Tapi paling tidak ia telah
membantu Thi Toan-kah. Maka Li Sun-Hoan tidak bisa
membiarkan dia mati begitu saja.
Lagi pula, Li Sun-Hoan ingin menanyakan tentang Thi
Toan-kah kepada orang ini.
Tubuh Li Sun-Hoan menerjang ke depan.
Namun segera ia berhenti. Gerakan maju dan berhenti ini
berlangsung sekedip mata saja. Tidak ada yang tahu
bahwa ia sudah bergerak. Kini ia tidak perlu lagi campur tangan.
Terdengar suara berderak dan pikulan si lelaki kekar
berjubah hijau itu patah menjadi dua. Ia pun kehilangan
keseimbangannya dan hampir terjungkal.
884 Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana pikulan itu
bisa patah. Wajah semua orang langsung tegang. Mereka
sama-sama berteriak, "Siapa yang berani ikut campur?"
Seseorang yang berdiri di samping sebuah toko
menjawab dengan tenang, "Aku."
Semua orang menoleh le arah orang itu. Ia mengenakan
jubah putih bagai pualam. Tangannya berada di balik
punggungnya. Ia sedang melihat-lihat sangkar burung di
depan toko itu. Burung di sangkar itu berkicau riang.
Si jubah putih seakan-akan menganggap burung itu jauh


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih menarik daripada manusia. Ia tidak melirik sedikit
pun pada orang-orang ini.
Di sudut matanya terlihat kerut-kerut kecil. Namun
dengan alis yang lebat dan wajah yang putih bersih, lakilaki
ini terlihat sangat gagah. Tidak seorang pun bisa
menebak berapa usianya. Si lelaki kekar berjubah hijau bertanya garang, "Jadi kau
yang mematahkan pikulanku?"
Kali ini si jubah putih tidak menggubrisnya sama sekali.
Si lelaki kekar dan si wanita bermata satu menjadi sangat
berang. Mereka ingin segera menghajar laki-laki ini.
Tiba-tiba si peramal buta berkata, "Berhenti."
885 Ia memungut kepingan perak dari tanah dan berkata
dingin, "Walaupun tuan ini mematahkan pikulanmu,
kepingan peraknya dapat membeli beratus-ratus pikulan
yang baru. Kau seharusnya berterima kasih akan
kebaikan hatinya, bukan malah marah-marah."
Si lelaki kekar berjubah hijau melihat pada pikulan yang
patah di tangannya, kemudian pada kepingan perak di
tangan si buta. Ia tidak bisa percaya bahwa kepingan
perak kecil itulah yang sudah mematahkan pikulannya.
Si jubah putih tiba-tiba tertawa. Katanya, "Baik.
Kelihatannya kau lebih bijaksana daripada orang-orang
yang bisa melihat. Kau boleh simpan perak itu."
Si peramal buta menyahut dingin, "Mataku memang
buta, tapi hatiku tidak. Aku tidak mengambil apa yang
bukan hakku." Ia mengelus kepingan perak di tangannya dan
melanjutkan, "Satu uang perak cukup untuk membeli
satu pikulan baru. Kepingan perak ini paling tidak
berharga 10 tail. Kau tidak perlu mengganti begini
banyak." Sambil berbicara, ia menggosok-gosok kepingan perak
itu menjadi batang kecil. Lalu dengan sentilan tangan
kirinya, sebagian kecil batang itu putus. Kata si peramal
buta, "Terima kasih untuk uang perak ini. Silakan kau
ambil kembaliannya."
Tangannya melambai dan sejalur perak terlihat mengalir
di udara. Batang perak kecil itu melesat ke arah si jubah
886 putih. Sambitan itu mengandung teknik "Seni Pedang
Kebajikan Ganda" dari Bu-tong-pay.
Sejalur cahaya perak itu terarah pada lima Hiat-to (jalan
darah) utama di dada si jubah putih.
Ketika batang perak itu sampai dekat dada si jubah
putih, tiba-tiba ia menjepit batang perak itu dengan
tangan kanannya. Lalu dua jari yang memegang batang
perak itu dengan lambat mengatup dan memotong
batang perak itu. Kata si jubah putih, "Jurus pedangmu cukup bagus juga.
Tapi sayang agak terlalu lambat."
Sambil mengucapkan tiap kata, dipotong-potongnya
batang perak itu dengan jarinya. Ketika selesai bicara, 12
potongan perak telah jatuh ke tanah.
Ling Ling memperhatikan semuanya dari kejauhan. Ia
ternganga melihatnya dan berkata, "Apakah tangan
orang itu terbuat darah dan daging?"
Melihat potongan perak di tangan si buta, wajah semua
orang menjadi kelabu. Semuanya terdiam.
Si jubah putih berkata dingin, "Sekali kulemparkan
keping perak itu, itu sudah menjadi milikmu. Mengapa
tak kau ambil?" Si peramal buta tiba-tiba membungkuk dan memunguti
potongan-potongan perak itu. Tanpa bicara ia memutar
badan dan pergi. 887 Semua orang yang lain pun pergi mengikutinya.
Ling Ling tersenyum dan berkata, "Paling tidak mereka
tahu kapan harus pergi."
Li Sun-Hoan masih muram. Tiba-tiba ia berkata, "Kau
lihatkah toko pangsit itu?"
Jawab Ling Ling, "Tentu saja. Sudah sejak tadi aku ingin
mencoba pangsit di situ."
Kata Li Sun-Hoan, "Bagus. Tunggu aku di situ."
Ling Ling tampak ragu-ragu, lalu bekata, "Apakah kau
masih ingin mengejar si pengemis itu?"
Si pengemis sudah mulai berjalan lagi. Ia tidak berterima
kasih pada si jubah putih, juga tidak memandang siapa
pun juga. Seolah-olah tidak ada yang baru saja terjadi.
Li Sun-Hoan mengangguk dan menjawab, "Aku perlu
menanyakan sesuatu padanya."
Ling Ling menundukkan kepalanya dan bertanya pelan,
"Aku tidak boleh ikut?"
Jawab Li Sun-Hoan singkat, "Tidak."
Air mata Ling Ling sudah hampir menetes. Katanya, "Aku
tahu apa yang kau perbuat. Kau bermaksud
meninggalkan aku di sini."
888 Li Sun-Hoan mengeluh dan berusaha berbicara dengan
lembut, "Aku juga ingin mencicipi pangsit di situ.
Masakan aku tidak kembali?"
"Baik. Aku percaya padamu. Jika kau berbohong, aku
akan menunggumu di sini selama-lamanya."
Si pengemis tidak berjalan cepat.
Li Sun-Hoan pun tidak terburu-buru mengejarnya. Ada
begitu banyak orang di jalan itu.
Di tengah-tengah keramaian tidak leluasa bercakapcakap.
Lagi pula, ia merasa bahwa si jubah putih pun
sudah mengawasinya. Seolah-olah kini ia lebih menarik
daripada burung-burung itu.
Li Sun-Hoan juga ingin berjumpa dengan si jubah putih.
Gayanya memotong batang perak dengan jarinya sangat
menarik hati Li Sun-Hoan.
Tidak banyak orang memiliki kemampuan seperti ini.
Sebenarnya, belum pernah Li Sun-Hoan menjumpai
seseorang dengan kekuatan jari seperti itu. Deskripsi
Ling Ling memang sangat tepat.
Tangan orang itu memang tidak terlihat seperti darah
dan daging. Setiap pesilat tangguh yang menemui orang seperti dia,
pasti ingin melakukan dua hal. Menantang dia berduel,
atau minum bersama dengannya.
889 Di hari-hari lain, Li Sun-Hoan pun tidak akan berbeda.
Tapi hari ini tidak. Ia telah berusaha mencari Thi Toankah
sekian lama. Ia tidak dapat melepaskan kesempatan
ini. Si jubah putih berjalan ke arah Li Sun-Hoan. Seolah-olah
ingin menghalangi jalannya.
Untungnya, kerumunan orang segera mengerubungi si
jubah putih. Mereka ingin melihat orang yang luar biasa
ini. Li Sun-Hoan menggunakan kesempatan itu untuk
menyelinap pergi. Ketika ia melihat ke depan, si pengemis sudah sampai di
ujung jalan dan berbelok ke kiri.
Jalan ini jauh lebih sepi. Dan jauh lebih pendek.
Li Sun-Hoan segera pergi ke sana, namun si pengemis
sudah tidak tampak lagi. Li Sun-Hoan terus menyusuri
jalanan di depan jalan pendek itu. Tetap tidak ada
seorang pun yang kelihatan.
Ke mana perginya si pengemis itu"
Li Sun-Hoan memperlambat langkahnya dan mulai
mencari dengan seksama. Jalan itu adalah jalan belakang rumah-rumah orang.
Seorang laki-laki duduk dekat sebuah pintu. Ia sedang
menggosok-gosok sesuatu di dadanya.
890 Sebelum ia melihat wajah orang itu, ia melihat topi
jerami itu. Jadi si pengemis pergi ke situ.
Apa yang sedang dilakukannya"
Li Sun-Hoan tidak ingin si pengemis menjadi takut. Ia
berjalan perlahan-lahan. Namun si pengemis masih ketakutan juga. Ia segera
berusaha menyembunyikan barang di tangannya.
Sayangnya, mata Li Sun-Hoan jauh lebih cepat daripada
tangan si pengemis. Ia melihat bahwa si pengemis
memegang sepotong perak. Satu potongan yang
dipotong oleh si jubah putih.
Li Sun-Hoan tersenyum dan bertanya, "Bolehkah kutahu
nama sahabat ini?" Si pengemis menatapnya lama. Lalu ia menjawab, "Aku
bukan sahabatmu. Kau bukan sahabatku. Aku tidak
mengenalmu. Kau tidak mengenalku."
Li Sun-Hoan masih tersenyum. Katanya, "Aku ingin
bertanya padamu tentang seseorang. Aku tahu kau pasti
mengenalnya." Bab 52. Jebakan Si pengemis menggeleng-gelengkan kepalanya dan
berkata, "Aku tidak mengenal siapapun. Siapapun tidak
891 mengenalku. Aku tidak mengenal seorangpun.
Seorangpun tidak mengenal aku."
Orang ini pasti agak terbelakang. Kalau tidak, buat apa ia
membuat jawaban yang singkat begitu bertele-tele"
Baru saja Li Sun-Hoan ingin bertanya lagi, si pengemis
sudah kabur. Larinya cukup cepat, tapi ia pasti tidak bisa ilmu
meringankan tubuh. Sepertinya semua pengemis bisa
berlari cepat. Itulah keahlian mereka yang mendarah
daging. Tentu saja Li Sun-Hoan bisa berlari lebih cepat.
Sambil berlari, si pengemis bertanya, "Apa yang kau
inginkan" Kau mau mengambil perakku?"
Lalu ia pun berteriak, "Tolong! Tolong! Ada orang yang
mau merampok uangku!"
Untungnya, di jalan ini sama sekali tidak ada orang.
Kalau tidak, Li Sun-Hoan tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Apa sebutan untuk seseorang ingin
merampok seorang pengemis" Bandit kelas delapan"
Kata Li Sun-Hoan, "Aku tidak menginginkan uangmu.
Tapi jika kau bisa menjawab pertanyaanku, kau bisa
mendapatkan kepingan perak yang lebih besar lagi."
Si pengemis termenung sejenak, lalu mengangguk.
Katanya, "Baiklah. Apa yang ingin kau ketahui?"
892 Kata Li Sun-Hoan, "Apakah kau mengenal seseorang
bernama Thi Toan-kah?"
Si pengemis menggelengkan kepalanya. "Aku tidak kenal
seorangpun. Bagaimana seorang pengemis bisa memiliki
teman?" Tanya Li Sun-Hoan, "Kalau begitu, mengapa engkau
membantunya?" Si pengemis menggelengkan kepalanya lagi. Katanya,
"Aku tidak pernah menolong orang lain. Orang lain tidak
pernah menolongku." "Jadi hari ini kau tidak pernah bertemu dengan seorang
lelaki tinggi, kekar, berkulit gelap dan berjenggot besar?"
Si pengemis berpikir sejenak dan menjawab, "Mungkin."
Li Sun-Hoan bertanya dengan tidak sabar, "Di mana?"
"Di kamar kecil."
"Kamar kecil?" Si pengemis berkata, "Kamar kecil adalah tempat buang
air. Aku sedang buang air besar, ketika ia tiba-tiba
masuk. Ia bertanya apakah aku ingin uang untuk minum
arak." Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Siapa yang tidak
mau uang minum arak."
893 Si pengemis melanjutkan, "Tapi kulihat pakaiannya saja
lebih jelek daripada pakaianku. Bagaimana mungkin ia
punya uang untuk diberikan padaku?"
Li Sun-Hoan berkata dengan tersenyum, "Semakin kaya
seseorang, semakin sering ia bergaya seperti orang
miskin. Apakah kau tahu?"
Si pengemis pun tersenyum. Katanya, "Kau benar. Orang
itu betul-betul punya uang. Ketika ia menunjukkan
kepingan peraknya, aku langsung bertanya bagaimana
aku bisa mendapatkannya."
"Apa jawabnya?"
"Aku pikir ia akan menyuruhku untuk melakukan sesuatu
yang sulit. Tapi ternyata ia hanya ingin bertukar pakaian.
Lalu aku harus berjalan sambil menunduk. Apapun yang
terjadi, aku harus tetap menundukkan kepala."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Cara yang sangat mudah untuk
mendapatkan uang." Kali ini, hatinya pun ikut tersenyum. Ia sangat senang
bahwa kini Thi Toan-kah sudah bisa merancang tipuan
seperti ini. Si pengemis bahkan lebih gembira lagi. Katanya, "Aku
tahu. Oleh sebab itu aku rasa otak orang itu memang
tidak beres." 894 Kata Li Sun-Hoan, "Otakku lebih tidak beres lagi. Lebih
mudah lagi bagimu untuk mendapatkan kepingan
perakku." "O ya?" Li Sun-Hoan mengeluarkan semua perak dari sakunya.
Ketika ia meninggalkan rumah, Thi Toan-kah sengaja
memeberikan uang padanya untuk keperluan sehari-hari.
Dengan uang inilah Li Sun-Hoan bisa hidup sampai
sekarang. Mata si pengemis berbinar-binar melihat semua perak
itu. Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Jika kau bisa
mengantarkan aku pada orang yang otaknya tidak beres
itu, akan kuberikan semua perak ini padamu."
Si pengemis segera menyahut, "Baik, akan kuantarkan


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau padanya. Tapi kau harus memberikan perak ini lebih
dulu padaku." Li Sun-Hoan mengulurkan tangannya untuk memberikan
seluruh perak itu. Ia bersedia memberikan jantungnya demi bertemu
dengan Thi Toan-kah. Air liur si pengemis sudah membasahi kepingan perak
itu. Ia menerimanya sambil terkekeh, "Kau pasti mencuri
perak ini ya" Kalau tidak, bagaimana mungkin kau
memberikannya kepada orang lain begitu saja?"
895 Waktu ia menerima kepingan perak itu, tentu saja
tangannya menyentuh tangan Li Sun-Hoan.
Saat tangannya menyentuh tangan Li Sun-Hoan, kelima
jarinya tiba-tiba terpentang dan tertekuk".
Li Sun-Hoan merasa sepasang borgol besi telah
melingkari tangannya. Ia pun terjengkang jatuh di tanah.
Kecepatan si pengemis memang luar biasa. Gerakannya
sederhana, namun menggunakan empat kekuatan ilmu
silat di dalamnya. Ketika jari-jarinya menyentuh jari-jari Li Sun-Hoan, ia
menggunakan tenaga dalam penyedot yang sangat kuat.
Siapapun yang tertangkap, tidak akan dapat melepaskan
diri dari genggamannya. Sesudah itu, ia menggunakan 72 Jalan Meringkus Tangan
dari Bu-tong-pay dan menutul salah satu Hiat-to (jalan
darah) penting Li Sun-Hoan. Siapapun yang diringkus
dengan cara ini akan kehilangan seluruh tenaganya.
Lalu ia menggunakan jurus Tangan Memisahkan Tulang
untuk memisahkan tulang-tulang Li Sun-Hoan.
Akhirnya, ia menggunakan teknik gulat dari Mongol.
Siapapun yang diangkat dan dibanting dengan cara ini
tidak mungkin dapat berdiri lagi.
896 Si pengemis menggunakan keempat teknik ini dengan
sempurna, dengan kekuatan maksimum.
Sekalipun jika Li Sun-Hoan tahu bahwa ia bukan seorang
pengemis biasa, ia pun tidak akan menyangka bahwa
ilmu silatnya setinggi ini. Sekalipun Li Sun-Hoan tahu
bahwa ia adalah pesilat kelas wahid, ia pun tidak akan
menyangka bahwa orang ini akan menyerang tanpa
peringatan apapun. Li Sun-Hoan belum pernah seterkejut ini dalam hidupnya.
Li Sun-Hoan tergeletak di tanah seperti ikan mati. Ia
merasa sangat pusing, hampir pingsan. Ketika ia
menyadari apa yang terjadi, si pengemis datang ke
sampingnya. Dengan satu tangan ia mencengkeram leher
Li Sun-Hoan. Ia tersenyum lebar.
Siapakah orang ini" Mengapa ia berbuat demikian
padaku" Apakah sudah sejak tadi ia tahu siapa aku"
Apa hubungan orang ini dengan Thi Toan-kah"
Begitu banyak pertanyaan dalam benak Li Sun-Hoan.
Namun satu pun tidak ditanyakannya.
Dalam situasi seperti ini, ia pikir lebih baik ia diam saja.
Namun si pengemislah yang bicara. Katanya sambil
tersenyum, "Mengapa kau diam saja?"
897 Li Sun-Hoan pun tersenyum, jawabnya, "Jika lehermu
sedang dicengkeram orang, apa yang dapat kau
katakan?" Kata si pengemis, "Jika seseorang menyerangku tiba-tiba
seperti ini, dan mencengkeram leherku seperti ini, aku
akan menyumpahi delapan belas keturunannya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Mataku tidak buta, namun aku tidak
bisa melihat kehebatan ilmu silatmu. Jika aku harus
menyumpahi, yang pertama kusumpahi adalah diriku
sendiri." Si pengemis terkekeh dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya, "Kau memang orang aneh. Aku
belum pernah bertemu dengan orang seperti engkau.
Jika kau terus bicara, mungkin mukaku akan bersemu
merah seperti seorang gadis."
Tiba-tiba ia berseru lantang, "Orang ini bukan saja orang
yang terhormat, ia pun seorang yang baik. Orang seperti
inilah yang paling menyebalkan. Jika kalian tidak keluar
sekarang juga, akulah yang akan pergi."
Ah, jadi ia punya pembantu.
Li Sun-Hoan tidak dapat mengira-ira siapakah para
pembantunya itu. Lalu pintu di sebelah mereka terbuka.
Tujuh orang keluar dari sana. Li Sun-Hoan sangat kaget
melihat siapa yang keluar dari pintu itu.
Ia tidak pernah menyangka bahwa orang-orang inilah
pembantu si pengemis. 898 Orang yang pertama adalah si peramal buta.
Lalu si wanita bermata satu, si lelaki kekar berjubah
hijau, si penjual tahu"..
Li Sun-Hoan mendesah. Katanya, "Rencana yang bagus,
rencana yang bagus. Aku sungguh kagum."
Si peramal buta berkata dingin, "Kau terlalu berlebihan."
Kata Li Sun-Hoan, "Jadi ini sama sekali tidak
berhubungan dengan Thi Toan-kah?"
Jawab si buta, "Tidak sepenuhnya benar, kecuali...."
Si pengemis memotong cepat, "Kecuali bahwa aku tidak
pernah bertemu dengan Thi Toan-kah. Mengenal juga
tidak. Pertunjukan yang baru saja berlangsung adalah
untuk dirimu." Li Sun-Hoan tersenyum getir. "Pertunjukan yang sangat
hebat." Si buta pun berkata, "Kalau tidak, bagaimana mungkin
kami dapat menipu Li Tamhoa?"
"Oh, jadi kalian sudah tahu siapa aku dan sudah tahu
bahwa aku datang ke kota ini?"
Jawab si buta, "Seseorang sudah melihatmu sebelum kau
masuk kota." "Tapi bagaimana kalian dapat mengenaliku?"
899 Kembali si buta menjawab, "Mungkin kami tidak
mengenalimu, tapi ada orang yang mengenalimu."
Kata Li Sun-Hoan, "Kalau kalian tidak kenal denganku,
mengapa kalian merancang pertunjukan ini untuk
diriku?" Sahut si buta, "Karena Thi Toan-kah!"
Tiba-tiba wajahnya menjadi beringas, dan ia
melanjutkan, "Kami telah mencari-cari dia selama ini.
Namun kami tidak berhasil menemukan dia. Kalau dia
tahu Li Tamhoa ada di tangan kami, dialah yang akan
datang mencari kami."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Bagaimana kalau ia tidak
datang?" Jawab si buta dingin, "Kau tidak pernah
mengacuhkannya saat ia membutuhkan pertolonganmu,
sama seperti dia tidak akan mengacuhkanmu saat kau
butuh pertolongan. Kami yakin ia pasti akan datang.
Kalau tidak, kami tidak akan repot-repot merancang
rencana ini." Kata Li Sun-Hoan, "Aku harus memuji kalian atas
rencana yang hebat ini."
Sahut si buta, "Jika kami cukup pandai untuk merancang
renana ini, mungkin hari ini aku tidak buta."
"Maksudmu, bukan kalian yang merancangnya?"
900 "Bukan." Si pengemis berkata, "Aku pun tidak merancangnya. Aku
punya problem yang aneh. Setiap kali aku berpikir untuk
menyakiti orang lain, kepalaku berdenyut-denyut."
Li Sun-Hoan mengguman, "Jadi ada orang lain dibalik
semuanya ini".."
Kata si buta, "Kau tidak perlu tanya siapa orang itu,
karena sebentar lagi kau akan bertemu dengannya."
Lalu ia menutup Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan
dengan tongkatnya dan menambahkan dengan dingin,
"Saat kau berjumpa dengannya, mungkin kau merasa
bahwa hidup di dunia ini tidak ada artinya dan bahwa
kematian mungkin adalah jalan yang lebih baik."
Pintu itu tidak besar. Temboknya cukup tinggi.
Tidak ada suara dari dalam pekarangan.
Terdengar suara tawa gembira, dan seseorang berkata,
"Jadi kau sudah berhasil mengundang Toako datang?"
Li Sun-Hoan terkesiap mendengar suara itu.
Itu adalah suara Liong Siau-hun.
Jadi dialah sutradara pertunjukan barusan.
Si buta berkata dingin, "Ya, kami sudah berhasil
mengundang Li Tamhoa ke sini."
901 Sebelum kalimatnya selesai, seseorang telah masuk
melalui pintu itu. Orang itu bukan lain adalah Liong Siauhun.
Setibanya di ruangan itu, segera ia meraih tangan Li SunHoan. Katanya, "Tidak terasa sudah dua tahun, Toako.
Setiap hari kuingat akan dirimu."
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Jika Toako ingin
bertemu, mengapa tidak kau katakan saja" Tidak perlu
repot-repot begini."
Si pengemis tiba-tiba tertawa keras. Katanya, "Bagus!
Bagus! Aku kagum akan ketenanganmu. Aku tidak
menyangka kau masih bisa bersikap tenang dalam situasi
seperti ini." Liong Siau-hun seolah-olah telah menjadi tuli dan tidak
mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.
Liong Siau-hun masih memegang tangan Li Sun-Hoan
dan berkata, "Aku tahu kau pasti akan datang. Maka
sudah kupersiapkan arak istimewa untukmu."
Ia membantu Li Sun-Hoan bangkit berdiri dan berkata
kepada yang lain, "Mari kita bersama-sama merayakan
pertemuan kembali dua saudara angkat."
Si buta tidak bergeming. Tidak satupun dari saudara-saudaranya bergerak.
Liong Siau-hun tersenyum dan berkata, "Oh, kalian tidak
bisa ikut?" 902 Sahut si buta, "Kami hanya melakukan ini demi
mendapatkan Thi Toan-kah. Kami telah memenuhi tugas
kami. Jika Thi Toan-kah sudah datang, jangan lupa beri
tahukan pada kami." Wajahnya lalu menjadi muram dan melanjutkan, "Untuk
arak Liong-siya, aku tidak berani menyentuhnya. Sudah
jelas, aku tidak cukup pantas menjadi sahabat Siya."
Setelah selesai bicara, ia segera melangkah pergi.
Meja di pekarangan itu penuh dengan arak dan
makanan. Makanannya terlihat sangat indah dan lezat. Araknya
semua adalah arak kualitas atas.
Si pengemis tidak merasa perlu untuk berbasa-basi. Ia
segera duduk di salah satu kursi dan berkata,
"Sejujurnya, aku pun ingin segera pergi. Tapi aku tidak
bisa membiarkan makanan dan arak sebaik ini terbuang
percuma." Ia mengangkat secawan arak ke arah Li Sun-Hoan dan
berkata, "Kau harus minum secawan dua cawan juga.
Tidak ada gunanya menolak arak Saudara ini. Walaupun
meminum araknya pun juga tidak ada gunanya."
Kata Liong Siau-hun, "Ini adalah Oh-tayhiap. Toako, aku
rasa kau belum bertemu dengan"."
Potong Li Sun-Hoan, "Oh-tayhiap" Apakah namamu
adalah Put-kui?" 903 Si pengemis tersenyum dan menjawab, "Benar. Oh Putkiu
adalah aku! Kau mungkin memanggilku dengan
sebutan tayhiap, namun dalam hatimu, aku yakin bahwa
kau berpikir "Jadi inilah Oh si gila. Tidak heran ia bersikap
seperti orang gila." Bukankah begitu?"
Li Sun-Hoan terkekeh. Jawabnya, "Kau benar."
Oh Put-kiu tertawa. "Kau memang benar-benar orang
aneh, mungkin sebenarnya kau juga gila. Jika kau tidak
gila, bagaimana mungkin kau mau menjadi sahabat
orang seperti Liong Siau-hun?"
Li Sun-Hoan hanya tersenyum.
Lanjut Oh Put-kiu, "Tapi kurasa, aku pun bukan
sahabatnya. Aku hanya membantunya karena aku pernah
berhutang budi padanya. Setelah tugas ini selesai, aku
tidak ingin punya hubungan apa pun lagi dengan dia."
Tiba-tiba ia menggebrak meja dan berkata lagi, "Namun
tugas ini begitu licik, sangat penuh tipu muslihat yang
jahat. Sangat memalukan, sangat jelek, sangat hina,"."
Sambil berbicara ia menampar pipinya sendiri 17 atau 18
kali. Lalu ia mulai menangis tersedu-sedu dan
menelungkup di atas meja. Sepertinya Liong Siau-hun
sudah terbiasa dengan tingkahnya yang aneh dan tidak
merasa heran sedikitpun. Namun Li Sun-Hoan merasa sedikit menyesal. Katanya
menenangkan, "Apapun yang terjadi, walaupun aku
904 bersiaga penuh, aku tidak mungkin dapat menghindari
serangan terakhir Oh-heng itu."
Sekali lagi Oh Put-kiu menggebrak meja dan berseru
dengan marah, "Jangan ngomong sembarangan! Tanpa
tipu daya, mana mungkin aku bisa menyentuhmu" Aku
sudah mencelakaimu, tapi kau masih berusaha
menghibur aku" Apa maksudmu?"
Li Sun-Hoan tidak tahu harus menjawab apa"
Kata Oh Put-kiu, "Aku memang mudah berubah-ubah,
marah tanpa sebab, aku tidak tahu membedakan yang
benar dan yang salah, selalu berbuat kebalikan dari yang
biasanya, menangis jika ingin menangis, tertawa jika
ingin tertawa". Aku memang penuh kebusukan."
Tiba-tiba ia melotot pada Liong Siau-hun dan berkata,
"Tapi kau lebih busuk lagi. Dan anakmu ini jauh lebih
busuk lagi. Ia punya sepasang kaki, tapi ia bertingkah


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti anjing dan merangkak di bawah meja. Apakah ia
mau mengais-ngais tulang di bawah sana?"
Wajah Liong Siau-hun memerah. Ia melihat ke bawah
meja, dan melihat bahwa Liong Siau-in memang sedang
merangkak di bawah sana. Ia memegang sebilah pisau
dan sedang merangkak ke arah Li Sun-Hoan.
Liong Siau-hun segera menariknya keluar dan
mengangkatnya ke atas. Dengan wajah kesal ia
membentak, "Kau ini sedang buat apa?"
905 Wajah Liong Siau-in terlihat sangat tenang. Katanya,
"Kau pernah mengatakan bahwa seorang laki-laki harus
tahu siapa kawan dan siapa lawan, bukan?"
Sahut ayahnya, "Betul."
"Bukankah dalam dunia persilatan seseorang harus
berusaha membalas dendam dan membalas budi" Ia
telah menghancurkan seluruh ilmu silatku, sehingga aku
menjadi cacad seumur hidup. Menginginkan sepasan
kakinya bukan keterlaluan, bukan?"
Wajah Liong Siau-hun memucat. Katanya, "Jadi kau ingin
membalas dendam?" "Ya." Tanya ayahnya keras, "Tahukah kau siapa dia?"
Jawab Liong Siau-in, "Aku hanya tahu bahwa ia adalah
musuhku"." Sebelum kalimatnya selesai, ayahnya telah menampar
dia kuat-kuat dan berteriak dengan marah, "Tapi kau kan
juga tahu bahwa ia adalah saudara angkat ayahmu" Ia
berhak memberi pelajaran padamu. Bagaimana kau bisa
berpikir tentang membalas dendam" Bagaimana kau bisa
begitu tidak sopan terhadap dia?"
Setelah kena marah begitu rupa, Liong Siau-in berlutut di
hadapan Li Sun-Hoan. Katanya, "Maafkan aku. Aku sudah
mengerti sekarang. Paman Li, kuharap kau mau
memaafkan keponakanmu."
906 Li Sun-Hoan tidak tahu harus bilang apa. Namun Oh Putkiu
telah melompat dari kursinya dan berseru, "Ya,
Tuhan, aku sungguh tidak tahan menghadapi dua anakberanak
ini. Aku sungguh ingin muntah rasanya."
Sambil berteriak, ia keluar dari tempat itu.
Bab 53. Tipuan Liong Siau-hun berpura-pura tertawa. Katanya,
"Seseorang mungkin punya nama yang salah, tapi
julukan itu selalu benar. Seseorang yang bodoh seperti
keledai mungkin bernama Tuan Pintar. Tapi jika
seseorang dijuluki Si Gila, dia pasti benar-benar gila.
Awalnya Li Sun-Hoan tidak ingin menanggapi. Namun
akhirnya ia berkata, "Namun jika seseorang itu terlalu
pandai, tahu terlalu banyak, mungkin sedikit demi sedikit
ia bisa menjadi gila."
"O ya?" "Karena pada akhirnya ia mungkin merasa hidup itu lebih
menyenangkan jika ia menjadi orang gila. Untuk
sebagian orang, penderitaan yang terbesar adalah bahwa
mereka ingin menjadi gila, tapi tidak bisa."
Liong Siau-hun tersenyum. Katanya, "Untungnya aku
tidak sepandai itu. Jadi aku tidak mungkin mempunyai
penderitaan semacam itu."
Tentu saja ia tidak mempunyai penderitaan semacam itu.
Ia bahkan tidak pernah menderita.
907 Karena ia memberikan penderitaannya untuk dipikul
orang lain. Li Sun-Hoan termenung lama. Lalu ia menundukkan
kepalanya dan minum arak perlahan-lahan.
Liong Siau-hun hanya mengawasinya, menunggu.
Ia tahu bahwa jika Li Sun-Hoan minum perlahan-lahan,
ia ingin mengatakan sesuatu yang penting.
Sampai cukup lama, akhirnya Li Sun-Hoan mengangkat
kepalanya dan berkata, "Toako"."
"Ya?" "Ada sesuatu yang mengganggu hatiku yang ingin aku
utarakan. Namun aku tidak tahu apakah aku sebaiknya
mengatakannya atau tidak."
Kata Liong Siau-hun, "Katakan saja."
Kata Li Sun-Hoan, "Apapun yang terjadi, kita sudah
bersahabat bertahun-tahun."
Ralat Liong Siau-hun, "Bukan sahabat, saudara angkat."
"Jadi kau pasti tahu orang macam apa aku."
"Ya"." 908 Walaupun ia hanya mengatakan satu suku kata, Liong
Siau-hun mengambil waktu begitu lama. Kata itu pun
mengandung sedikit rasa penyesalan.
Apapun yang dilakukannya ia masih seorang manusia.
Setiap manusia pasti masih punya rasa kemanusiaan
dalam dirinya. Kata Li Sun-Hoan, "Oleh sebab itu, jika kau ingin aku
melakukan sesuatu, seharusnya kau cukup
mengatakannya padaku. Jika hal itu dapat kulakukan,
pasti aku akan melakukannya."
Perlahan-lahan Liong Siau-hun mengangkat cawan
araknya, seolah-olah ingin menyembunyikan wajahnya.
Li Sun-Hoan sudah berbuat terlalu banyak bagi dirinya.
Setelah sekian lama, ia menghela nafas dan berkata,
"Aku tahu maksudmu. Tapi"..waktu dapat mengubah
begitu banyak hal." Wajah Li Sun-Hoan terlihat semakin muram. Katanya,
"Aku tahu ada salah paham di antara kita"."
Tanya Liong Siau-hun cepat, "Salah paham?"
"Ya, salah paham. Namun dalam hal-hal tertentu, Toako,
seharusnya kau tidak salah paham padaku."
909 Kini wajah Liong Siau-hun sudah pucat pasi. Ia terdiam
sekian lama, dan akhirnya berkata, "Namun dalam satu
hal itu, sama sekali tidak ada kesalahpahaman."
Tanya Li Sun-Hoan, "Hal yang mana itu?"
Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, Li Sun-Hoan
merasa sangat menyesal menanyakannya.
Seharusnya ia sudah tahu jawabannya. Liong Siau-in
sepertinya merasa bahwa ayahnya akan mengatakan
sesuatu yang sangat penting, sehingga ia segera keluar
tanpa bersuara. Liong Siau-hun tidak menjawab sampai cukup lama.
Akhirnya ia berkata, "Aku tahu kau telah menanggung
penderitaan yang cukup berat beberapa tahun terakhir
ini." Sahut Li Sun-Hoan, "Sebagian besar orang hidup
menderita." "Namun penderitaanmu lebih besar daripada orang lain."
"Hah?" Kata Liong Siau-hun, "Karena kau telah melepaskan
wanita yang paling kau cintai. Memberikannya kepada
orang lain untuk menjadi istrinya."
Sepercik angur tumpah dari cawan, karena tangan Li
Sun-Hoan bergetar hebat. 910 Lanjut Liong Siau-hun, "Namun penderitaanmu tidak
sangat sangat dalam. Karena jika seseorang merasa
bahwa dirinya telah berkorban untuk orang lain, ia akan
berbesar hati. Dan hal ini dapat mengurangi
penderitaannya." Perkataan ini sangat tajam, namun juga sangat masuk
akal. Tentu saja, hal ini tidak bisa disamaratakan untuk semua
situasi. Tangan Liong Siau-hun pun bergetar. Katanya, "Mungkin
kau masih belum memahami arti penderitaan yang
sesungguhnya." Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin".."
Kata Liong Siau-hun, "Ketika seorang laki-laki
mengetahui bahwa istrinya adalah hasil pemberian orang
lain, dan bahwa istrinya masih tetap mencintai orang
itu".. Itu adalah penderitaan yang terbesar dalam hidup
manusia!" Benar sekali. Ini bukan saja penderitaan yang terbesar, namun juga
penghinaan yang terbesar.
Biasanya, seorang laki-laki merasa lebih baik mati
daripada mengungkapkan hal ini. Bahkan
mengucapkannya pun terasa sangat menyakitkan!
911 Tidak seorang pun yang ingin menyakiti dirinya sendiri,
mempermalukan dirinya sendiri, seperti ini.
Namun Liong Siau-hun telah mengatakannya. Ia telah
mengatakannya pada Li Sun-Hoan.
Hati Li Sun-Hoan pun hancur.
Dari perkataan ini, ia menyadari dua hal. Yang pertama,
Liong Siau-hun pun ternyata merasakan penderitaan
yang sangat besar. Oleh sebab itulah ia berubah,
berubah begitu drastis. Siapapun yang berada di
tempatnya, pasti akan berubah seperti dia juga.
Tiba-tiba Li Sun-Hoan merasa kasihan pada Liong Siauhun.
Yang kedua, karena Liong Siau-hun telah mengatakan
hal ini padanya, dapat dipastikan bahwa hidupnya tidak
akan lama lagi! Li Sun-Hoan tidak pernah peduli akan hidup dan mati.
Namun dapatkah ia mati sekarang"
Mereka berdua tidak berbicara banyak. Namun tiap kata
keluar dengan hati-hati, setelah dipikirkan masak-masak,
setelah jeda yang begitu lama.
Hari itu mendung. Senja pun sudah mulai turun.
Walaupun hari belum malam, langit sudah sangat gelap.
912 Namun wajah Liong Siau-hun lebih gelap daripada warna
langit saat itu. Ia mengangkat cawan araknya, lalu diturunkannya
kembali. Diangkat, lalu diturunkan"..
Bukan karena ia tidak bisa minum arak itu. Namun
karena ia tidak ingin minum arak itu. Karena ia tahu,
semakin banyak seseorang minum arak, ia akan menjadi
lebih ceroboh. Seorang yang sangat tenang sekalipun,
kalau ia bertindak ceroboh, keputusan yang diambilnya
adalah berdasarkan perasaannya.
Setelah sekian lama, akhirnya Liong Siau-hun berkata,
"Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu hari ini."
Li Sun-Hoan tersenyum dan menyahut, "Setiap orang
pernah mengatakan hal-hal yang tidak ingin mereka
katakan. Itulah manusia."
"Namun aku tidak mengundangmu ke sini untuk
mengatakan hal itu."
"Aku tahu." "Apakah kau tahu mengapa aku mengundangmu ke
sini?" "Ya." Untuk pertama kalinya, Liong Siau-hun terlihat terkejut.
"Kau sungguh-sungguh tahu?"
913 "Aku tahu." Li Sun-Hoan tidak menunggu Liong Siau-hun
menanyakan lagi. Ia segera melanjutkan, "Apakah kau
betul-betul mengira bahwa ada harta karun di Hin-hunceng?"
Liong Siau-hun berpikir sejenak dan menjawab, "Ya."
"Di mana kau pikir harta karun itu berada?"
"Kau pasti tahu tempatnya."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku selalu mempunyai masalah
aneh." "Masalah aneh apa?"
"Masalahku adalah bahwa aku tahu hal-hal yang
seharusnya aku tidak tahu. Namun aku malah tidak tahu
hal-hal yang seharusnya aku tahu."
Mulut Liong Siau-hun terbungkam.
Lanjut Li Sun-Hoan, "Seharusnya kau sudah tahu.
Masalah harta karun ini hanyalah tipuan"."
Liong Siau-hun memotong cepat, "Aku percaya padamu.
Karena kau tidak pernah berdusta padaku."
Ia memandang Li Sun-Hoan lekat-lekat dan
menambahkan, "Jika ada seseorang yang dapat
kupercaya di dunia ini, orang itu adalah engkau. Jika aku
914 masih mempunyai seorang sahabat di dunia ini, orang itu
adalah engkau. Semua perkataanku mungkin adalah
dusta, namun kali ini aku sungguh-sungguh mengatakan
yang sebenarnya." Li Sun-Hoan pun menatap Liong Siau-hun lekat-lekat. Ia
menghela nafas panjang dan berkata, "Aku percaya
padamu karena".."
Ia tidak melanjutkannya, karena ia sudah mulai terbatukbatuk.
Waktu batuknya berhenti, Liong Siau-hunlah yang
menyelesaikan kalimatnya, "Kau percaya padaku karena
kau menyadari bahwa dirimu sudah tidak berguna lagi
bagiku, sehingga aku tidak lagi punya alasan untuk
menipumu. Betul kan?"
Li Sun-Hoan menjawab pertanyaan ini dengan diam.
Liong Siau-hun bangkit berdiri dan berjalan mengitari
meja. Tidak ada suara lain di pekarangan itu. Langkahnya
makin lama makin terasa berat.
Seakan-akan ia merasa gelisah". Atau mungkin ia hanya
ingin Li Sun-Hoan berpikir demikian.
Lalu ia berhenti. Ia berhenti tepat di depan Li Sun-Hoan,
katanya, "Kau pasti mengira aku akan membunuhmu."
915 Wajah Li Sun-Hoan tetap tenang, sangat tenang. Ia pun
menyahut dengan tenang, "Apapun yang kau perbuat,
aku tidak mempersalahkanmu."
Kata Liong Siau-hun, "Namun aku tidak akan
membunuhmu." "Aku tahu."

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kau pasti tahu. Kau sangat memahami diriku."
Tiba-tiba ia berbicara dengan berapi-api dan
melanjutkan, "Karena walaupun aku membunuhmu, aku
tetap tidak dapat memiliki hatinya. Aku hanya akan
membuatnya membenciku lebih dalam lagi."
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang dan berkata, "Ada
begitu banyak hal dalam kehidupan ini yang berada di
luar kendali manusia."
Di luar kendali manusia. Kalimat yang sangat sederhana. Namun merupakan satu
yang yang paling menyakitkan dalam hidup ini.
Ketika kau berjumpa dengannya, kau tidak dapat
melawannya, kau tidak dapat bertempur dengannya.
Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau usahakan,
hal itu tetap berada di luar kuasamu.
Liong Siau-hun mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Katanya, "Aku tidak bisa membunuhmu, tapi bukan
berarti aku akan melepaskanmu."
916 Li Sun-Hoan mengangguk. Karena aku masih berguna bagimu dalam keadaan hidup.
Namun ia tidak mengatakannya.
Bagaimanapun Liong Siau-hun menyakitinya,
mengkhianatinya, ia tidak akan mengucapkan sepatah
katapun yang dapat menyakiti hati Liong Siau-hun.
Liong Siau-hun mengepalkan tangannya lebih kuat lagi.
Karena hanya di hadapan Li Sun-Hoanlah ia merasa
sangat kecil, sangat tidak berarti.
Oleh sebab itulah, rasa setia kawan Li Sun-Hoan yang
begitu besar bukannya melunakkan hatinya, namun
malah membuat amarahnya makin berkobar-kobar.
Ia memandang benci pada Li Sun-Hoan dan berkata,
"Aku akan membawamu menemui seseorang. Orang ini
ingin bertemu denganmu sejak lama. Mungkin".kau juga
ingin menemuinya." *** Ruangan itu besar. Namun walaupun ruangan itu besar, hanya ada satu
jendela di situ. Satu jendela yang sangat kecil dan sangat
jauh di atas. Jendela itu terbuka. Namun pemandangan di luar tidak
bisa terlihat dari jendela itu.
917 Pintunya juga sangat kecil. Seseorang yang berbahu
lebar harus masuk dengan memiringkan badannya.
Pintu itu juga terbuka. Dinding ruangan itu dicat putih. Catnya sangat tebal,
seolah-olah supaya orang tidak tahu apakah itu adalah
dinding batu, dinding beton, atau dinding besi.
Ada dua tempat tidur di sudut ruangan.
Tempat tidur kayu. Seprainya sangat bersih, walaupun tampak sederhana.
Selain kedua tempat tidur itu, hanya ada lagi satu meja
besar di ruangan itu. Meja itu penuh dengan buku-buku rekening dan berkasberkas.
Seseorang berdiri di depan meja itu. Kadang-kadang ia
memberi satu dua tanda di buku rekening itu dengan
kuasnya. Sekali waktu, terbayang seulas senyum di sudut
bibirnya. Ia mengerjakannya dengan berdiri!
Ia merasa bahwa jika seseorang duduk, orang itu
menjadi rileks. Dan jika seseorang menjadi rileks, ia akan
lebih sering melakukan kesalahan.
Ia tidak pernah rileks. 918 Ia tidak pernah melakukan kesalahan.
Ia tidak pernah kalah. Ada seseorang lagi di belakangnya.
Orang itu berdiri bahkan lebih tegak lagi, seperti
sebatang tombak. Ia hanya berdiri di situ. Tidak tahu berapa lama. Ia tidak
bergerak seujung jari pun.
Seekor nyamuk terbang mengitarinya.
Bahkan matanya pun tidak berkedip.
Nyamuk itu hinggap di hidungnya dan mulai mengisap
darahnya. Ia tetap tidak bergeming.
Seolah-olah ia tidak punya perasaan. Tidak merasa sakit,
tidak merasa senang. Mungkin ia pun tidak tahu mengapa ia hidup.
Bab 54. Transaksi Kedua orang ini tentunya adalah Hing Bu-bing dan
Siangkoan Kim-hong. Mungkin dalam dunia ini tidak ada
orang lain seperti kedua orang ini.
919 Seseorang yang begitu kaya, begitu ternama, begitu
berpengaruh, seperti Ketua Kim-ci-pang hidup di tempat
yang begitu sederhana seperti ini. Tidak pernah akan
pernah ada yang mengira. Karena dalam pandangan mereka, uang hanyalah sebuah
sarana. Demikian pula, wanita adalah sebuah alat.
Semua kemewahan di dunia ini adalah alat bagi mereka.
Mereka tidak pernah mempedulikan semuanya itu.
Mereka hanya peduli akan kekuasaan. Kekuasaan. Selain
kekuasaan, mereka tidak membutuhkan apa-apa. Mereka
hidup untuk kekuasaan, dan bahkan mungkin mati demi
kekuasaan. Suasana hening. Selain suara kertas dilembari, hanya ada
kesunyian. Cahaya lilin menerangi mereka. Tidak ada
yang tahu sudah berapa lama mereka bekerja, berdiri di
situ. Yang terlihat hanyalah terang berubah menjadi
gelap, dan gelap berubah lagi menjadi terang. Seolaholah
mereka tidak pernah lelah, tidak pernah lapar. Saat
itu terdengar seseorang mengetuk pintu. Hanya satu
ketukan, sangat perlahan.
Tangan Siangkoan Kim-hong tidak berhenti bekerja.
Mengangkat matanya pun tidak.
Tanya Hing Bu-bing, "Siapa?"
Orang di luar menjawab, "It-jit-kiu )Seratus tujuh puluh
sembilan)." "Apa yang kau inginkan?"
920 "Ada seseorang yang ingin menemui Pangcu."
"Siapa?" "Ia tidak mau menyebutkan namanya."
Tanya Hing Bu-bing, "Untuk apa ia hendak menemui
Pangcu?" Jawab orang di luar, "Katanya ia akan menyampaikan
langsung pada Pangcu."
Hing Bu-bing berhenti bicara.
Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong berkata, "Di mana dia?"
Sahut orang di luar, "Di pekarangan luar."
Tangan Siangkoan Kim-hong masih terus membalik
lembaran-lembaran buku itu. Ia tidak mengangkat
kepalanya sewaktu berkata, "Bunuh dia."
Sahut orang di luar, "Baik."
Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong bertanya, "Siapa yang
mengantarkan orang itu kemari?"
"Pat-tocu (kepala seksi delapan), Hiang Siong."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Bunuh Hiang Siong juga."
"Baik." 921 Lalu Hing Bu-bing berkata, "Aku pergi."
Saat ia mengucapkan perkataan itu, sebelah kakinya
sudah berada di luar, dan dalam sekejap saja ia sudah
berlalu. Kalau soal membunuh, Hing Bu-bing selalu
bersemangat. Lagi pula, julukan Hiang Siong adalah
Hong-ih-liu-sing (Si Meteor Angin dan Hujan). Liu-sing-tui
(Sepasang Palu Meteor)nya ada di peringkat ke-19 dalam
Kitab Persenjataan. Bukan hal yang mudah untuk
membunuhnya. Siapa yang diantarnya untuk menemui Siangkoan Kimhong"
Apa alasannya ia datang" Sepertinya Siangkoan
Kim-hong sama sekali tidak ingin tahu.
Orang ini sungguh tidak berperikemanusiaan.
Kepalanya tidak pernah terangkat. Tangannya tidak
pernah berhenti bekerja. Pintu terbuka. Hing Bu-bing sudah kembali.
Siangkoan Kim-hong tidak perlu bertanya "Apakah dia
sudah mati?" Karena Hing Bu-bing tidak pernah gagal dalam
membunuh. Siangkoan Kim-hong hanya berkata, "Jika Hiang Siong
tidak melawan, berikan 10000 tail emas pada
keluarganya. Jika ia melawan, bunuh seluruh
keluarganya." 922 Kata Hing Bu-bing, "Aku tidak membunuhnya."
Akhirnya Siangkoan Kim-hong mengangkat kepalanya
dan melotot pada Hing Bu-bing.
Wajah Hing Bu-bing tetap kosong. Katanya, "Karena
orang yang diantarkannya itu tidak dapat kubunuh."
Suara Siangkoan Kim-hong mengguntur, "Semua orang
bisa dibunuh. Mengapa dia tidak bisa?"
Sahut Hing Bu-bing, "Aku tidak membunuh anak kecil."
Siangkoan Kim-hong tertegun. Perlahan-lahan
diletakkannya kuasnya. Katanya, "Maksudmu ada
seorang anak kecil yang ingin menemui aku?"
"Ya." "Anak macam apa?"
"Seorang anak cacad."
Mata Siangkoan Kim-hong berkilat tajam. Ia berpikir
sejenak lalu berkata, "Bawa dia masuk!"
Seorang anak kecil berani menemui Siangkoan Kimhong"
Bahkan Siangkoan Kim-hong pun tidak bisa
percaya. Anak ini bukan saja berani mati, mungkin dia
sudah gila. Namun benar-benar seorang anak kecil yang masuk.
923 Wajahnya putih seperti kertas, seperti mayat hidup.
Ia pun tidak berekspresi seperti seorang anak kecil.
Wajahnya serius seperti orang dewasa.
Ia berjalan perlahan-lahan, dengan punggung agak
terbungkuk. Anak kecil ini lebih mirip seorang kakek tua.
Anak kecil ini bukan lain adalah Liong Siau-in.
Siapapun yang bertemu dengan Liong Siau-in akan
memperhatikannya dengan seksama.
Demikian pula Siangkoan Kim-hong.
Matanya mengawasi wajah anak kecil ini.
Siapapun yang dipandang seperti ini oleh Siangkoan Kimhong
akan langsung gemetaran. Paling tidak lutut
mereka akan merasa lemas dan tersungkur.
Tapi Liong Siau-in adalah perkecualian.
Ia masuk perlahan-lahan, membungkukkan badannya
memberi hormat dan berkata, "Aku Liong Siau-in, datang
menghaturkan hormat pada Pangcu."
Tanya Siangkoan Kim-hong, "Liong Siau-in" Liong Siauhun
itu siapamu?" Jawabnya, "Ia adalah ayahku."
924 "Apakah ayahmu menyuruhmu datang ke sini?"
"Ya." "Mengapa ia tidak datang sendiri?"
Sahut Liong Siau-in, "Jika ia sendiri yang datang, belum
tentu ia bisa bertemu dengan Pangcu. Malah mungkin ia
akan mati terbunuh."
Siangkoan Kim-hong membentak, "Kau pikir aku tidak
akan membunuhmu?" "Aku hanya seorang anak kecil. Hidupku ada dalam
genggamanmu. Bukannya kau tidak akan membunuhku,
namun aku tidak cukup berharga untuk dibunuh
olehmu." Wajah Siangkoan Kim-hong berubah cerah. Katanya,
"Kau mungkin sangat muda, dan kau mungkin sakit.
Namun kau sungguh berani."
Kata Liong Siau-in, "Jika seseorang membutuhkan
sesuatu, ia pasti akan menjadi lebih berani."
"Kata-kata yang sangat bagus."
Tiba-tiba ia terkekeh pada Hing Bu-bing. Katanya lagi,
"Jika kau hanya mendengar perkataannya, dapatkah kau
tahu bahwa ia hanya seorang anak kecil?"
925 Walaupun kepalanya masih tertunduk, Liong Siau-in
mengawasi kedua orang ini baik-baik. Ia merasa bahwa
hubungan dua orang ini sangat menarik.
Akhirnya Siangkoan Kim-hong berkata, "Kelebihanmu
yang terutama adalah bahwa kau tidak pernah bicara.
Namun kelemahanmu yang terbesar adalah bahwa kau
tidak pernah mendengarkan orang lain bicara."
Hing Bu-bing diam saja. Setelah sekian lama, akhirnya Siangkoan Kim-hong
bertanya pada Liong Siau-in, "Apa yang kau inginkan?"
"Ada banyak cara untuk mengatakan sesuatu. Aku dapat
menyatakan permohonanku dengan cara berputar-putar.
Namun aku tahu, waktu Pangcu sangat berharga. Jadi
aku akan menyampaikannya secara langsung, tanpa
tedeng aLing-aLing."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Bagus. Aku punya satu cara
yang mujarab untuk mengobati orang yang terlalu
banyak omong. Dengan memotong tenggorokan
mereka." Kata Liong Siau-hun, "Aku datang untuk melakukan
transaksi." "Transaksi?" Wajah Siangkoan Kim-hong kembali membeku.
Lanjutnya, "Banyak orang mau bertransaksi dengan aku.
Kau tahu apa yang kulakukan terhadap mereka?"
926 Sahut Liong Siau-hun, "Aku mendengarkan."


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Siangkoan Kim-hong, "Aku punya satu cara yang
mujarab untuk menghadapi mereka. Dengan membunuh
mereka semua!" Wajah Liong Siau-in tidak berubah sedikitpun. Dengan
tenang ia berkata, "Tapi transaksi ini berbeda. Kalau
tidak, aku tidak mungkin berani datang."
"Transaksi adalah transaksi. Apa yang berbeda dengan
yang satu ini?" "Transaksi ini hanya menguntungkan Pangcu."
"O ya?" Liong Siau-in berkata, "Pangcu sangat ternama di seluruh
dunia. Kekayaanmu pun tidak terhingga. Kau bisa
memiliki apapun yang kau inginkan di dunia ini."
Sahut Siangkoan Kim-hong, "Tepat sekali. Oleh sebab
itu, aku tidak bertransaksi."
Kata Liong Siau-in, "Namun ada sesuatu di dunia ini yang
mungkin tidak bisa didapatkan oleh Pangcu."
"O ya?" "Barang ini mungkin tidak berharga tinggi. Namun
nilainya bagi Pangcu berbeda dari orang lain."
"Barang apa yang kau bicarakan ini?"
927 Jawab Liong Siau-in, "Nyawa Li Sun-Hoan!"
Siangkoan Kim-hong tiba-tiba merasa sangat tertarik.
"Apa kau bilang?"
Sahut Liong Siau-in, "Nyawa Li Sun-Hoan ada di tangan
kami. Jika Pangcu berkenan melakukan transaksi, aku
akan membawanya kepadamu kapan pun kau inginkan."
Siangkoan Kim-hong mulai berpikir-pikir.
Setelah cukup lama, wajahnya kembali menegang.
Katanya, "Li Sun-Hoan tidak berharga sama sekali. Aku
tidak peduli padanya."
Kata Liong Siau-in, "Jika demikian, maka aku mohon
diri." Ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia memutar badan dan
berjalan pergi. Liong Siau-in berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong berkata, "Tunggu."
Senyum puas terbayang di bibir Liong Siau-in. Namun
pada saat ia memutar badannya, di wajahnya hanya
terlihat rasa hormat dan tunduk. Ia membungkukkan
badannya dan berkata, "Ada lagi yang Pangcu ingin
sampaikan?" Kisah Si Rase Terbang 9 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pahlawan Dan Kaisar 4

Cari Blog Ini