Ceritasilat Novel Online

Rajawali Lembah Huai 4

Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


"Selamat pagi, pangcu."dia berkata setelah berdiri dalam jarak dua meter di belakang wanita itu.
Liu Bi menoleh dan pura-pura hanya mengangkat sepasang alis yang hitam itu ke atas, matanya mengerling tajam dan bibirnya yang kemerahan itu tersenyum.
"Aihhh....selamat pagi, Cu-twako! Sudah berapa kali aku mengingatkan agar kau jangan menyebut pangcu kepadaku! Sebut saja Bi moi (adik Bi), tidak maukah engkau akrab dengan aku"
Goan Ciang yang ingin menyenangkan hatinya dan ingin sekali mendengar tentang kekasihnya, membalas senyumnya. "Tentu saja, Bi-moi."
"Nah, begitu lebih akrab, bukan" Toako, pagi-pagi benar engkau sudah bangun dan nampak segar, sudah mandi dan berganti pakaian. Apakah pelayan telah mengantar sarapan pagi untukmu"
"Belum, dan biarlah nanti saja, Bi moi. Aku sengaja mencarimu di sini untuk menanyakan sesuatu."
"Apa yang hendak kau tanyakan, twako yang baik"
"Aku ingin bertanya tentang Siang-moi! Apakah yang terjadi dengannya maka ia dalam keadaan seperti itu, keracunan hebat" Apa yang terjadi semalam ketika ia minum-minum anggur denganmu, Bi-moi"
Mendengar ini, Liu Bi tersenyum. Senyumnya memang manis sekali. Sepasang bibir lembut itu merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih dan karena mulut itu agak ternganga ketika senyum, nampak rongga mulut yang kemerahan dan ujung lidah yang merah muda. "Engkau tahu bahwa ia keracunan hebat" Akan tetapi engkau tentu tidak tahu bahwa kalau ia tidak mendapatkan obat penawar yang ampuh, dalam waktu tiga hari ia pasti akan mati dan tidak ada obat apapun di dunia yang akan mampu menyembuhkannya."
WajahGoan Ciang berubah agak pucat dan matanya terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh selidik. "Pangcu....eh, Si moi, apa yang telah terjadi dengannya. Mengapa ia dapat keracunan seperti itu"
Senyum itu melebar dan kerlingnya menyambar tajam. "Semua itu karena salahmu, twako."
"Salahku" Apa maksudmu, Bi-moi"
"Semalam itu, engkau merayu dan menjatuhkan hati sumoi. Itulah kesalahanmu yang mengakibatkan kini sumoi terpaksa harus menderita seperti itu."
"Maksudmu" Goan Ciang sungguh tidak mengerti dan menjadi bingung.
"Karena engkau membuat aku membenci sumoiku yang tadinya sudah kuanggap sebagai murid atau adik sendiri. Ia minum anggur yang kucampuri racunku yang amat kuat!"
"Pangcu!!!" Goan Ciang meloncat dan mukanya berubah merah, kedua tangannya gemetar karena timbul perasaan marah yang hebat yang membuat dia hampir tak dapat menahan diri untuk tidak menyerang wanita cantik itu.
Akan tetapi, Liu Bwe tersenyum dan bangkit berdiri, agaknya sudah siap dan berkata lembut, "Tenanglah, twako."
"Pangcu...." "Ingat, Bi-moi, bukan pangcu."
"Baiklah, Bi-moi!" kata Goan Ciang gemas.
"Apa artinya semua ini" Kalau engkau yang meracuni Siang-moi, engkau harus cepat memberinya obat penawar!"
"Kalau aku menolak"
"Demi Tuhan! Aku akan memaksamu!"
"Memaksaku" Hik-hik, lucunya. Pertama, belum tentu engkau dapat mengalahkan aku, apa lagi kalau aku mengerahkan semua anak buahku. Kedua, andaikata engkau mampu mengalahkan aku sekalipun, menyiksa atau membunuh sekalipun, aku tidak akan mau membiarkan kau pergi dan dalam waktu tiga hari, tetap saja sumoi akan mati dalam keadaan tersiksa! Nah, kau tetap hendak memaksaku"
Goan Ciang seorang cerdik dan dia tahu bahwa wanita itu bukan hanya menggertak saja. "Lalu, apa kehendakmu, Bi-moi" Engkau meracuni sumoimu sendiri karena ia cinta kepadaku dan hal ini membuatmu membencinya. Kenapa" Engkau tidak mau mengobatinya, kenapa"
"Cu Goan Ciang, engkau seorang laki-laki, masihkah perlu bertanya lagi sebabnya" Aku tidak ingin ia menjadi isterimu! Itulah sebabnya!"
"Tapi kenapa" Andaikata engkau tidak menyetujui perjodohan kami, dan engkau melarangnyapun, tidak perlu engkau meracuninya dan mengancam nyawanya! Tidak perlu engkau membunuhnya!"
"Cu-twako, apakah engkau menghendaki agar ia hidup kembali" Engkau ingin agar sumoi mendapatkan obat penawar dan nyawanya tidak terancam oleh racun itu"
"Tentu saja! Bi Moi yang baik, tolonglah jangan sampai Siang-moi terancam bahaya maut. Kasihan ia! Bukankah engkau sayang kepadanya, Bi-moi" Tolonglah, berilah obat penawar agar ia sembuh."
"Tentu saja aku sayang kepadanya. Akan tetapi, peristiwa semalam membuat aku tega membunuhnya, twako."
"Akan tetapi kenapa" Apa salahnya kalau dia mencintaiku dan aku mencintainya" Apa salahnya dengan itu"
"Salahnya adalah karena dia membuat aku iri hati, membuat aku cemburu setengah mati.
Goan Ciang terbelalak saking kaget dan herannya. "Cemburu" Ehh...apa....maksudmu, Bi-moi"
"Maksudku, aku tidak ingin engkau menjadi suami sumoi, akan tetapi aku ingin engkau menjadi suamiku, Cu Goan Ciang!"
Goan Ciang tertegun, sejenak tidak mampu bicara, bahkan tidak mampu berpikir karena hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya. Selama belasan hari tinggal di situ dia hanya akrab dengan Lee Siang. Biarpun ketua inipun bersikap ramah kepadanya, namun tak pernah dia melihat tanda-tanda behwa wanita ini tertarik kepadanya. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini menghendaki agar dia menjadi suaminya, dan tega meracuni sumoi yang disayangnya untuk merebut dia dari tangan sumoinya.
"Tapi...tapi...aku sungguh tidak mengerti, Bi-moi. Kenapa begini mendadak dan keinginan itu sungguh....rasanya tak masuk akal dan aneh!
"Apakah yang aneh, twako" Selama ini aku tidak menikah karena kuanggap tidak ada pria yang cocok untuk menjadi suamiku. Ketika aku bertemu denganmu, melihat sepak terjangmu, segera aku yakin bahwa engkaulah satu-satunya pria yang cocok untuk menjadi suamiku. Krena itu, tentu saja aku benci dan marah melihat sumoi hendak merebutmu. Malam tadi, kami berdua masih sama-sama bebas, kami saling mencinta dan..."
"Cukup! Sekarang tinggal terserah kepadamu. Kalau engkau suka menikah denganku, sumoi tidak akan mati. Aku akan memberi obat pemunah racun dan ia akan sembuh kembali. Sebaliknya, kalau engkau menolak, dalam tiga hari sumoi pasti tewas dan tidak adaobat di dunia ini yang akan mampu menyembuhkannya."
"Ahhh...! saking bingungnya, Goan Ciang tidak mampu bicara, hanya berdiri mematung dan memandang wanita itu dengan m ata terbelalak mulut ternganga. Perlahan-lahan mukanya berubah merah sekali saking marahnya. "Jang-kiang Sian li Liu Bi, engkau adalah seorang wanita berhati iblis! Akan kuhancurkan engkau dan perkumpulanmu!" Dia membentak dan siap menyerang.
Liu Bi tersenyum mengejek dan sekali ia mengeluarkan suara bersuit nyaring, dari segenap penjuru bermunculan anak buahnya yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang mengepung tempat itu.
"Engkau memilih sumoi mati tersika dan engkau sendiri mampus oleh pengeroyokan kami" Ingat, aku sendiri saja belum tentu engkau mampu mengalahkan!" katanya.
Goan Ciang tidak takut mati, tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat keadaan kekasihnya, dia gelisah sekali. "Kalau aku menuruti kehendakmu, engkau benar-benar akan menyembuhkan Siang-moi" akhirnya dia bertanya. "Maukah engkau bersumpah"
"Kau laki-laki gila! Janji ketua Jang-kiang pang lebih kuat dari pada sumpah. Pula, aku sayang kepada sumoi dan hanya karena engkau maka aku tega meracuninya."
Diam-diam Goan Ciang mengasah otaknya. Yang terpenting adalah menyelamatkan Lee Siang lebih dahulu, pikirnya. "Berilah waktu kepadaku sampai besok, dan biarkan aku menjaga Siang-moi dan bicara dengannya dahulu sebelum aku memberi keputusanku besok." Dia minta waktu sehari semalam agar dia dapat berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sin-kangnya, juga kalau gadis itu siuman, dia ingin bicara dengan Lee Siang tentang niat gila Liu Bi yang hendak menariknya sebagai suaminya.
Tentu saja Liu Bi dapat menduga apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu dan hanya tersenyum, lalu mengangguk, "Baiklah, aku tidak tergesa-gesa. Akan tetapi ingat, kalau sampai besok malam engkau belum memberi jawaban berati sudah terlambat untuk menolong sumoi.. Bahkan obatku sekalipun tidak akan ada gunanya lagi. Besok siang harus sudah ada keputusan darimu."
"Baik," kata Goan Ciang dan Liu Bi memberi isarat kepada semua anak buahnya sehingga mereka mundur. Dengan langkah gontai Goan Ciang lalu menuju ke kamar Lee Siang, memasuki kamar itu dan menyuruh pelayan yang berjaga di situ keluar. Lalu dia duduk di tepi pembaringan setelah menutupkan daun pintu kamar itu.
Dengan hati-hati Goan Ciang lalu memeriksa lagi keadaan kekasihnya. Dia pernah mempelajari ilmu pengobatan, walaupun tidak banyak, dari gurunya ketika dia berada di kuil Siauw-lim-pai. Setidaknya, oleh Lauw In Hwesio dia diajarbagaimana caranya mengobati luka oleh senjata tajam, bahkan sedikit tentang pengobatan menggunakan tenaga sin-kang seperti mengobati luka dalam dan menggunakan sin-kang mengusir hawa beracun dari dalam tubuh korban.
Dengan hati-hati dia lalu duduk bersila di dekat tubuh kekasihnya, kemudian menghimpun tenaga melalui pernapasan, dan menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung Lee Siang setelah dia membalikkan tubuh kekasihnya itu sehingga rebah miring. Dia lalu mengerahkan sin-kang, disalurkan melalui kedua telapak tangan, menggetar memasuki tubuh Lee Siang dari punggung.
Tak lama kemudian, Lee Siang mengeluh, membuka mata, kemudian berkata, "Hentikan...twako, hentikan....!"
Goan Ciang terkejut dan melepaskan kedua tangannya. Gadis itu telentang lagi dan napasnya terengah, akan tetapi ia telah siuman. Dahi dan lehernya penuh keringat. Goan Ciang menggunakan ujung lengan bajunya menghapus keringat itu.
"Bagaimana rasanya, Siang-moi"
"Lemah....pusing....."
"Kenapa engkau menghentikan usahaku untuk mengusir racun dari tubuhmu"
"Twako, kalau kaulakukan itu....aku....aku akan segera mati...."
Tentu saja Goan Ciang terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Apa" Kenapa begitu.."
Lee Siang kini sudah sadar sepenuhnya dan ia menghela napas panjang. "Racun yang telah masuk ke tubuhku ini amat kuat, bukan saja meracuni darahku, akan tetapi juga merampas tenaga saktiku. Kalau diobati dengan pengerahan sin-kang, maka tenagamu yang menyusup ke dalam tubuhku tidak dapat kubantu dengan tenagaku sendiri dan akibatnya bahkan akan mempercepat jalannya racun. Tanpa diobati, aku akan bertahan tiga hari. Hanya suci yang memiliki obat pemunahnya..."
"Betapa kejamnya Liu-Bi...!" kata Goan Ciang dengan gemas.
"Jangan berkata demikian, twako. Suci menyayangku..."
"Omong kosong ! Menyayangmu dan meracunimu, hendak membunuhmu"
"Hai itu ia lakukan karena ia mencintamu, twako."
"Apa" Kau sudah tahu" Gila benar! Ia mengatakan bahwa ia baru akan memberimu obat penawar racun kalau aku mau menikah dengannya! Aku tidak sudi!"
"Ahhh...Cu-twako..., kuminta....kuharap, jangan engkau menolak permintaannya. Menikahlah engkau dengannya, twako...kata gadis itu dengan suara tersendat bercampur tangis.
Goan Ciang tertegun, terkejut, heran dan penasaran sekali. Kekasihnya ini bahkan minta kepadanya agar dia mau menikah dengan Liu Bi! Kekecewaan menyusup ke dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa kekasihnya yang amat dia cinta dan kagumi ini ternyata pada saat terakhir adalah seorang penakut. Takut mati. Akan tetapi dia menghibur dirinya. Siapa yang tidak akan takut kalau sudah dicengkeram racun seperti yang dialami Lee Siang dan tahu bahwa kalau dia menolak menikah dengan ketua Jang-kiang-pang, dalam waktu tiga hari nyawanya akan melayang"
"Tidak, Siang-moi. Dan jangan engkau takut. Aku akan mencarikan obat untukmu, kalau perlu aku akan menangkap Liu-Bi, menyiksa dan memaksanya agar ia suka mengobatimu sampai sembuh. Kalau perlu akan kuhancurkan seluruh Jang-kiang-pang ini!"
"Twako, engkau salah sangka! Aku tidak takut mati, twako, sama sekali bukan karena aku takut mati makaaku memohon engkau suka menikah dengan suci."
"Lalu kenapa engkau minta aku melakukan hal yang gila itu"
"Twako, aku kasihan dengan suci. Aku sayang padanya, aku berhutang budi padanya, aku berhutang budi padanya, aku ingin melihat ia berbahagia. Kalau engkau suka memenuhi permintaanya, menjadi suaminya dan ia berbahagia, akupun akan merasa berbahagia pula. Mengertikah engkau, twako" Bukan karena aku takut mati, melainkan aku ingin membahagiakan suci. Andaikata aku tahu bahwa suci mencintamu, sudah pasti aku mengeraskan hati menolak cintamu, mengubur perasaan cintaku padamu sebagai rahasia yang akan kubawa mati."
Kembali Goan Ciang terkejut bukan main. Kekasihnya ini adalah seorang gadis luar biasa, penuh kejutan. "Jadi, engkau sama sekali tidak menyesal telah diracuni sucimu sendiri"
Mulut itu tersenyum dan ia menggeleng kepala. "Mengapa mesti menyesal" Suci melakukan ini untuk memaksamu menerima permintaannya. Aku mengenal suci. Ia harus mendapatkan apa saja yang dikehendakinya. Aku hanya menyesal, mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa suci mencintaimu."
"Tapi..., lalu bagaimana dengan kau" Dengan cintamu" Cinta kita"
"Twako, aku rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan suci. Rela kehilangan engkau, kehilangan cintaku, bahkan aku rela mati demi untuk suci. Maka, sekali lagi aku mohon padamu, twako, terimalah suci sebagai isterimu. Kalau engkau menolak, aku akan mati penasaran, twako..."
Goan Ciang terkejut bukan main. Gadis ini rela patah hati, bahkan rela mati demi kebahagiaan iblis betina itu! Melihat pemuda itu duduk tertegun dan mematung dengan wajah pucat, akan tetapi matanya berkilat penuh penasaran dan kemarahan. Lee Siang menangis terisak-isak. Goan Ciang diam saja, akan tetapi tangis itu semakin mengguguk seperti menusuk-nusuk jantungnya.
"Sudahlah, Siang-moi, jangan menangis. Permintaanmu itu sungguh tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku dapat menerimanya. Aku cinta padamu, dan aku sama sekali tidak mencintainya, bahkan muak dan benci rasa hatiku terhadapnya karena perbuatannya terhadap dirimu."
Mendengar ucapan itu, Lee Siang memaksa diri untuk menghentikan tangisnya. Setelah berhasil, ia lalu berkata, suaranya gemetar, "Dengar, twako. Kalau engkau menikah dengan suci, engkau akan membahagiakannya, berarti engkau juga membuat aku berbahagia. Sedangkan kau sendiri aku yakin bahwa engkau akan dapat mencintai suci. Ia seorang wanita yang hebat segala-galanya melebihi siapa saja, melebihi aku. Ia amat lembut dan penuh kasih sayang kepada orang yang dicintanya. Ia hanya kejam dan keras kalau kehendaknya dihalangi. Kita bertiga akan merasa bahagia, twako. Akan tetapi kalau engkau menolak, aku akan.....benci sekali kepadamu! Aku bahkan minta kepada suci agar untuk sementara aku diberi penawar dan aku akan membantunya memusuhimu. Aku bersumpah untuk melakukan itu, twako!"
Goan Ciang tercengang, wajahnya berubah, pucat kini. Agaknya tidak ada jalan lain. Tentu saja dia tidak menghendaki Lee Siang mati keracunan, apa lagi kalau gadis itu sam pai membencinya, dan kalau mati sampai arwahnya menjadi setan penasaran! Kalau dia menerima permintaan Liu Bi, berarti dia berkorban demi kekasihnya ini.
Sampai lama dia tak bergerak seperti patung sampai tangan gadis itu menyentuh lengannya, dan Lee Siang sudah bangkit duduk. "Bagaimana, twako" Sudikah engkau memenuhi permohonanku"
Goan Ciang menoleh. Mereka duduk dengan muka saling tatap, lalu Goan Ciang mengangguk lesu. "Baiklah, akan tetapi ingat, aku melakukan ini hanya demi engkau, Siang-moi, hanya demi keselamatanmu."
"Dan aku melakukan ini hanya demi kebahagiaan suci, twako, kita berdua berkorban, engkau untuk aku dan aku untuk suci. Alangkah indahnya hidup ini kalau kita dapat berkorban demi orang lain...." Gadis itu terisak, akan tetapi bukan karena duka, melainkan karena bahagia.
"Siang moi...!" Goan Ciang tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun merangkul gadis itu dan mendekap kepalanya di dadanya. "Siang-moi, apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu, selamanya.."
Dari dada pemuda itu, Lee Siang berbisik, "Akupun demikian, twako. Biar aku tidak menjadi isterimu, aku akan tetap mencintaimu selama hidupku. Biar cinta kita tidak berakhir dengan pernikahan, namun kita masing-masing menyadari bahwa kita saling mencinta, sampai akhir hayat..." Dengan lembut Lee Siang lalu melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang merebahkan kembali tubuhnya yang lemah.
"Twako, keluarlah dan katakan kesanggupanmu kepada suci, agar ia cepat tahu dan berbahagia. Percayalah, kalau ia merupakan orang yang paling berbahagia, aku adalah orang paling berbahagia ke dua setelah dia."
Goan Ciang menunduk dan menghentikan ucapan gadis itu dengan mencium mulutnya, dan pada saat itu, dua titik air matanya jatuh menimpa pipi Lee Siang. Kemudian, dia cepat turun dan meninggalkan kamar itu, diikuti pandang mata Lee Siang dan gadis inipun tersenyum bahagia!
Tebing bukit yang menjadi markas Jang-kiang pang itu ramai dan meriah sekali. Semua bangunan tempat tinggal para anggotanya dirias, terutama sekali bangunan besar megah yang menjadi tempat tinggal ketua mereka. Sang ketua yang cantik itu merayakan pernikahannya dengan Cu Goan Ciang!
Suasananya amat meriah dan semua orang nampak bergembira ria. Pesta pernikahan itu diadakan secara mewah, dibangun panggung besar yang khusus untuk pesta dan semua anggota Jang-kiang pang mengenakan pakaian baru. Tamu-tamu berdatangan pada sore hari itu, dan di antara para tamu yang sebagian besar adalah orang-orang kang-ouw, terdapat pula banyak orang-orang berpakaian sebagai pembesar dan bangsawan. Akan tetapi di antara para pembesar itu, yang nampak menyolok dan disambut dengan penuh kehormatan adalah seorang pria raksasa. Tidak mengherankan kalau dia dihormati karena orang ini adalah Panglima Khabuli! Usia panglima yang masih bujangan ini sudah empat puluh tahun dan dia memang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar, karena dialah panglima pasukan di Wu-han. Bahkan kepala desa Wu-han sendiri tunduk dan segan kepadanya bukan hanya karena Panglima Khabuli memegang kekuasaan atas pasukan keamanan di daerah Wu-han, akan tetapi terutama sekali karena panglima raksasa hitam ini adalah keponakan dari Menteri Bayan, tangan kanan Kaisar yang amat terkenal di kota raja. Dengan demikian, dapat dibilang bahwa Khabuli merupakan orang yang paling berkuasa di Wu-han! Orangnya memang mengesankan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat seperti benteng. Kulitnya yang agak hitam itu mengkilap seperti berminyak, namun wajah itu tidak kelihatan buruk, bahkan menarik karena nampak jantan. Segala yang ada pada dirinya menimbulkan kesan tebal dan bulat namun tidak gemuk, melainkan kokoh. Matanya lebar dan hidungnya besar. Mulut yang bibirnya tebal itu selalu dihias senyum, akan tetapi tarikan hidungnya membayangkan keangkuhannya dan rasa diri penting.
Di antara para penyambut tamu, yaitu para murid kepala atau anggota tingkat atas dari Jang-kiang-pang, nampak pula kesibukan Lee Siang. Gadis ini sudah sehat kembali, berkat obat penawar dari sucinya, semua racun telah keluar dari tubuhnya. Namun, akibat racun itu, dia masih kehilangan tenaga sinkangnya sehingga untuk sementara waktu, menurut keterangan Liu Bi untuk waktu kurang lebih tiga bulan, Lee Siang hanya merupakan seorang wanita yang tidak memiliki kelihaian luar biasa. Ia memang tidak kehilangan jurus-jurus silatnya, akan tetapi kalau di dasar ilmu silat itu tidak terkandung tenaga yang kuat, apa artinya" Tenaganya seperti tenaga wanita biasa yang sama sekali tidak tahu ilmu silat saja.
Lee Siang nampak cantik manis dan wajahnya berseri gembira. Bukan gembira palsu, melainkan ia benar-benar gembira dan merasa berbahagia melihat sucinya merayakan pesta pernikahannya dengan Cu Goan Ciang! Bahkan ia sendiri yang membantu sucinya berias, dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan melihat betapa cantiknya sucinya dalam pakaian pengantin! Sungguh luar biasa sekali perasaan kasih sayang dan kesetiaan dalam hati Lee Siang terhadap sucinya. Sedikitpun tidak terkandung perasaan iri atau cemburu, walaupun sampai saat itu, ia tetap mencinta Goan Ciang sepenuh hati.
Ketika Lee Siang menyambut para tamu dengan sikap yang ramah dan suasana amat meriah karena musik telah dimainkan sejak tadi oleh para pemusik paling kenamaan dari Wu-han. Ruangan panggung yang luas itu mulai dipenuhi para tamu dan ketika Khabuli dan empat orang pengawalnya muncul, Lee Siang sendiri tergopoh menyambut, mewakili sucinya yang masih belum muncul karena sedang dirias di kamar pengantin.
Ketika Lee Siang memberi hormat menyambutnya, Khabuli tersenyum lebar dan memandang kepada Lee Siang seolah seekor ikan besar yang hendak menelan ikan kecil.
"Selamat datang, Ciangkun (panglima), silakan duduk di kursi kehormatan."kata Lee Siang sambil mempersilakan tamunya untuk duduk di deretan kursi kehormatan, yaitu dekat tempat duduk mempelai, Khabuli memberi isarat kepada empat orang pengawalnya untuk duduk di tempat tamu biasa, sedangkan dia sendiri dengan langkah yang gagah, menggiringkan Lee Siang yang membawanya ke deretan kursi kehormatan, sedangkan para tamu yang sudah hadir, memandang dengan hormat, bahkan mereka yang dilewati panglima itu bangkit memberi hormat.
"Ah, Kim Siocia, engkau sungguh nampak cantik jelita sekali sore ini!" demikian kata panglima itu setelah dia dipersilakan duduk. Lee Siang yang mendengar pujian itu, memberi hormat dan tersipu.
"Terima kasih atas pujian Ciangkun."
"Sungguh, aku tidak hanya memuji kosong. Engkau tidak kalah cantik dibandingkan sucimu."
Lee Siang merasa tidak enak, Ia tahu bahwa antara sucinya dan panglima ini terjalin hubungan yang akrab sekali, bahkan pernah ia mengira bahwa sucinya akan menikah dengan panglima yang biarpun usianya sudah empat puluh tahun akan tetapi masih bujang ini.
"Tidak ada wanita yang secantik suci," demikian katanya lirih.
Panglima itu mengangguk, "Aku tahu, apa lagi kalau sekarang ia mengenakan pakaian pengantin. Mana pengantinnya, kenapa belum keluar"
"Nanti, sebentar lagi, Ciangkun. Belum selesai berias, " hati Lee Siang semakin tidak enak. Baru kemarin panglima ini datang bertamu dan melakukan pembicaraan berdua saja dengan sucinya. Ia dapat menduga bahwa tentu sucinya menjelaskan tentang cintanya kepada Cu Goan Ciang maka menikah dengan pemuda itu, dan mungkin sucinya minta maaf kepada sang panglima. Dan melihat sikap Panglima Khabuli, hatinya juga lega karena agaknya sang panglima sudah dapat menerima kenyataan itu dan tidak akan membuat ribut. Kebetulan para tamu berdatangan lagi sehingga Lee Siang mendapat kesempatan untuk minta maaf dan meninggalkan panglima itu yang kini bercakap-cakap dengan para tamu lain yang mendapatkan kehormatan, seperti para pejabat tinggi dan para undangan, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw.
Hanya karena nama besar Jang-kiang Sian Li sajalah maka tak seorangpun mencurigai pengantin pria. Andaikata ada yang mengenalinya dan menghubungkannya dengan perusuh yang membunuh Bhong-Ciangkun di Wu-han, tentu hal itu akan dilupakan atau dianggap tidak ada. Bagaimanapun juga, orang itu telah melangsungkan pernikahan dengan ketua Jang-kiang-pang, menjadi suami dari ketua yang disegani itu. Akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenal pengantin pria, dan sama sekali tidak pernah dapat menduga bahwa pelarian itulah yang kini menjadi orang paling beruntung dapat mempersunting ketua yang cantik jelita, gagah perkasa dan kaya raya itu.
Ketika sepasang pengantin keluar ke ruangan pesta, semua orang bangkit berdiri dan memberi selamat. Semua orang juga kagum melihat pengantin puteri yang demikian cantiknya, seperti bidadari baru turun dari kayangan. Dan juga mereka semua memuji pengantin pria yang gagah dan tampan, yang cocok sekali untuk menjadi suami ketua Jang-kiang-pang. Musik dibunyikan semakin meriah dan pestapun dimulai. Masakan-masakan yang mewah, mahal dan lezat dihidangkan, juga anggur dan arah yang terbaik.
Panglima Khabuli mendapat kehormatan pertama, yaitu duduk semeja dalam perjamuan itu dengan sepasang mempelai, ditemani pula oleh Lee Siang yang terpaksa ikut duduk karena diminta oleh pengantin puteri. Meja istimew itu hanya dihadapi sepasang mempelai, Lee Siang, dan Panglima Khabuli. Mempelai wanita nampak cantik dan berbahagia, demikian pula dengan Panglima Khabuli yang selalu tersenyum dan tertawa-tawa, menggoda sepasang mempelai dan mengucapkan selamat berulang kali dengan secawan arak. Ketika diperkenalkan, dia bersikap ramah kepada Cu Goan Ciang, dan Goan Ciang juga terpaksa harus bersikap manis dan hormat kepadanya. Bahkan wajah Lee Siang juga nampak bergembira dan murah senyum. Agaknya gadis ini tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia menjadi orang kedua yang paling berbahagia setelah sucinya. Hanya Goan Ciang seorang di antara mereka berempat yang terpaksa menggunakan kekuatan batinnya untuk menahan derita yang dirasakannya sebagai siksaan di saat itu. Andaikata Lee Siang tidak duduk semeja dengan mereka, agaknya tidak akan sedemikian hebat siksaan batin yang dideritanya saat itu. Gadis yang merupakan satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya, duduk semeja dengan dia yang bersanding sebagai pengantin pria dengan wanita lain yang tidak dicintainya! Beberapa kali dia mencuri pandang ke arah waja Lee Siang, untuk menangkap sedikit saja rahasia hati gadis itu. Namun, tidak ada sedikitpun kepura-puraan dalam kegembiraan gadis itu. Demikian wajar, dan diapun percaya bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh telah rela, demi kasihnya kepada sucinya.
Diam-diam Goan Ciang terpaksa memasang muka gembira itu, dan mengeluh dalam hatinya. Dia seoranglah yang sungguh menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk kebahagiaan sucinya, akan tetapi kekasihnya itu benar-benar ikut berbahagia. Hanya dia seorang yang berkorban demi keselamatan Lee Siang, berkorban dengan hati yang hancur!
"Ha-ha-ha, kalian sungguh merupakan pasangan yang amat serasi, yang cocok, seperti pengantin dari kahyangan saja! Belum pernah selama hidupku aku melihat sepasang mempelai yang begini hebat. Yang wanita cantik jelita seperti dewi, yang pria tampan gagah seperti dewa. Aku harus memberi selamat lagi," kata Khabuli sambil tertawa dan mukanya yang hitam itu semakin mengkilap, matanya yang lebar bercahaya. "Selamat kepada kalian!" katanya sambil mengangkat cawan pula menyambut, dan terpaksa Lee Siang juga ikut minum pula anggur dari cawannya. Sebetulnya, ia sudah merasa pusing karena selain ia tidak begitu suka minum banyak anggur keras, juga keadaan dirinya yang masih lemah membuat ia tidak kuasa menolak pengaruh anggur.
"Ha-ha-ha, aku merasa gembira sekali. Malam ini adalah malam yang amat berbahagia karena ketua Jang-kiang-pang akhirnya menemukan jodohnya. Setelah kakak seperguruannya menikah, tinggal adik seperguruannya. Bagaimana, Kim Siocia, kapan tiba giliranmu" Ha-ha-ha!"
"Aih, Ciangkun...!" Lee Siang tersipu dan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Sucinya tertawa manis dan menyentuh lengan sumoinya.
"Sumoi adalah seorang gadis istimewa, harus mendapatkan suami yang istimewa pula. Bukankah engkau juga berpendapat demikian, koko"
Goan Ciang terkejut. Lee Siang tak pernah memandang kepadanya, melirikpun tidak. Dan kini Liu Bi bertanya tentang jodoh Lee Siang. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan mengangguk. "Pendapatmu benar."
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita semua telah sepakat! Untuk itu, mari kita doakan agar nona Kim segera menemukan jodohnya. Mari kita minum tiga cawan arak untuk itu!"
Lee Siang hendak memrotes karena ia telah merasa pening, akan tetapi melihat betapa sepasang mempelai juga minum dengan sikap senang, iapun tidak berani mengecewakan hati sucinya. Iapun memaksa diri minum tiga cawan anggur yang dituangkan ke dalam cawannya oleh tangan panglima sendiri, mendahului para pelayan yang berada di sekeliling meja.
Setelah minum tiga cawan anggur, Lee Siang tidak dapat menahan lagi dan iapun berkata dengan suara keluhan lirih, "Aih...maafkan....kepalaku pusing, suci..." dan iapun meletakkan kepalanya ke atas kedua tangan di meja. Goan Ciang memandang dengan iba.
"Aih, sumoi, engkau memang tidak kuat minum." Ia lalu memberi isarat kepada seorang pelayan yang menjadi kepercayaannya. "Antar nona Kim ke kamarnya, ia perlu mengaso dan tidur." Pelayan itu memberi hormat lalu membantu Lee Siang yang sudah dalam keadaan setengah sadar, terhuyung dan dipapah oleh para pelayan meninggalkan ruangan pesta. Biarpun hatinya merasa kasihan sekali, akan tetapi Goan Ciang tidak memperlihatkan sikap ini, bahkan kini dia nampak lega dan gembira. Lebih baik begitu, pikirnya. Biar Lee Siang mabok dan tidak ingat apa-apa lagi, terbuai dalam tidur pulas! Maka, diapun melayani panglima yang amat kuat minum arak itu dengan gembira. Akhirnya, Liu Bi yang kalah lebih dahulu.
"Aihh, aku sudah terlalu banyak minum, kepalaku sudah mulai terasa pusing. Lebih baik kita istirahat, aku tidak dapat minum lagi...." ia mengeluh. Panglima Khabuli tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, pengantin wanita sudah ingin mengajak pengantin pria ke kamar. Saudara Cu, sebaiknya engkau cepat membimbing isterimu ke kamar kalian, ha-ha-ha!"
Liu Bi tersipu, "Ihh, panglima. Agaknya engkaupun sudah mulai mabok. Hati-hati, kalau sampai terlalu mabok engkau tidak bisa pulang!"
"Hemm, apa susahnya kalau mabok di sini" Apakah aku tidak boleh tidur di sini dan melepaskan mabokku di sini sampai besok pagi"
"Tentu saja boleh, panglima. Engkau adalah tamu kehormatan kami. Pelayanku akan menunjukkan kamar tamu terbaik untukmu..." Liu Bi bangkit dan agak terhuyung. Karena di situ banyak tamu, demi kepantasan Goan Ciang cepat menggandeng lengan isterinya sehingga mereka berdiri bergandengan.
"Para tamu yang terhormat!" kata Panglima Khabuli sambil tersenyum dan mukanya yang kehitaman itu kemerahan, tanda bahwa dia sudah dipengaruhi minuman keras. "Kami memberitahukan bahwa sepasang mempelai sudah cukup makan minum dan kini hendak meninggalkan ruangan, memasuki kamar pengantin mereka. Mohon doa restu dari saudara sekalian!" Dia tertawa-tawa dan para tamu menyambut dengan tawa gembira pula. "Silakan saudara sekalian makan minum sampai selesai!"
Dengan tersipu Goan Ciang dan Liu Bi bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu, diiringkan para pelayan yang mengantar kedua mempelai sampai ke depan kamar pengantin. Keduanya lalu memasuki kamar dan daun pintu kamar ditutup. Para pelayan yang terdiri dari gadis-gadis muda yang manis itumeninggalkan kamar itu sambil tersenyum-senyum dan tersipu.
Biarpun hampir tanpa semangat, mau tidak mau Goan Ciang malam itu tidur sebagai suami isteri dengan Liu Bi. Dia mendapat kenyataan bahwa apa yang dikatakan Lee Siang tentang sucinya memang benar. Liu Bi seorang wanita yang hebat, penuh gairah dan amat mesra. Namun, tetap saja semalam itu dia lebih banyak melamun dan memikirkan Lee Siang sehingga berulang kali isterinya menegurnya.
Menjelang pagi, ketika dengan manja dan mesra Liu Bi merangkulnya dan dia menanggapi kembali Liu Bi menegur, "Engkau kenapa sih" Kita sudah menjadi suami isteri dan malam ini adalah malam pengantin pertama kita, kenapa engkau banyak melamun" Apa yang kaupikirkan" Dalam suaranya yang sejak tadi lembut dan mesra, kini terkandung teguran.
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah dan ingin tidur," kata Goan Ciang, dan dia membalikkan tubuh membelakangi isterinya.
Liu Bi bangkit duduk dan ia menjadi marah. "Aku tahu, engkau tentu memikirkan sumoi, bukan" Hemm, tidak perlu kaupikirkan lagi. Pada saat engkau menjadi suamiku, ia telah menjadi isteri Khabuli Ciangkun!"
Goan Ciang tersentak kaget, bangkit duduk dan menghadapi isterinya, memandang dengan alis berkerut, "Apa yang kaumaksudkan!"
Liu Bi tersenyum manis. "Malam ini, sumoi juga berpengantinan dengan Panglima Khabuli di dalam kamarnya!"
Tentu saja Goan Ciang terkejut bukan main. "Kau.....! Kau....! Ah, jadi kau sengaja membuat Siang-moi mabok, kemudian kauberikan ia kepada jahanam itu"
"Benar, dan apa hubungannya denganmu" Ia adalah sumoiku, dan Panglima Khabuli seorang laki-laki yang baik dan pantaas menjadi suaminya. Mereka memang kujodohkan agar engkau tidak lagi memikirkan sumoi dan..."
"Keparat!" Goan Ciang menyambar pakaiannya, meloncat turun dari pembaringan, mengenakan baju dan cepat meloncat keluar dari kamar itu.
"Koko....!" Liu Bi berteriak memanggil akan tetapi dia tidak perduli. Dengan marah Liu Bi membereskan pakaiannya sebelum lari mengejar. Hari masih pagi sekali. Hampir seluruh penghuni rumah itu masih tertidur karena semalam mereka tidur sampai larut malam. Goan Ciang sudah lari ke kamar Lee Siang dan dengan kemarahan meluap dia mendorong daun pintu yang tertutup dari kamar itu. Ternyata daun pintu tidak terkunci dari dalam dan dengan mudah terbuka. Sebatang lilin masih bernyala di atas meja dan diapun meloncat ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri kaku dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan. Di situ, dia melihat Lee Siang rebah telentang seorang diri dengan pakaian setengah telanjang, kedua tangannya masih memegang pedang yang menembus dadanya sampai ke punggung! Matanya terbuka dan gadis itu telah tewas, akan tetapi agaknya belum lama benar karena darah itu masih belum kering.
"Siang-moi....!! Goan Ciang berteriak dan menubruk ke atas pembaringan, merangkul dan mengangkat kepala gadis itu, dirangkulnya tidak perduli betapa tangan dan pakaiannya terkena darah.
"Siang-moi....ahhh, Siang moi....!" Dia mengeluh dan menangis, tahu atau dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu dalam keadaan lemah dan mabok, mungkin juga terbius, gadis ini semalam telah menjadi korban kebiadaban panglima Mongol itu, dan pada pagi harinya, ketika panglima itu pergi, dan mendapat kesempatan, Siang-moi membunuh diri. Masih belum kering air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu.
"Siang-moi....!" Goan Ciang berteriak lagi mendekap muka itu ke dadanya.


Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu, terdengar suara orang di pintu. "Sumoi....! Apa yang telah terjadi" Liu Bi memasuki kamar itu dan berdiri di dekat pembaringan, wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat sumoinya telah tewas dengan pedang masih menembus dadanya. Iapun mengerti apa yang telah terjadi. Tak disangkanya sumoinya mengambil keputusan pendek dan nekat. Apa salahnya menjadi isteri Panglima Khabuli yang selain berkuasa, juga cukup gagah dan jantan" Ia sendiri, andaikata tidak bertemu dengan Goan Ciang, tentu akan menjadi isteri panglima itu dengan siapa ia telah menjalin hubungan yang mesra selama lebih dari setahun ini.
Begitu mendengar suara Liu Bi, Goan Ciang seperti kemasukan setan saking marah, benci dan sakit hati. Dia mencabut pedang dari dada Lee Siang, kemudian bagaikan seekor harimau, dia meloncat turun dari pembaringan dan pedangnya menyambar ganas, menyerang kepada wanita yang baru semalam menjadi isterinya.
"Koko...!" Liu Bi terkejut dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi ia terguling oleh tendangan Goan Ciang. Dengan kemarahan yang meluap Goan Ciang telah mempergunakan gerakan Sin-tiauw ciang-hoat, tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali menyambar dan pedangnya berkelebat cepat membacok ke arah leher Liu Bi. Wanita itu yang tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan tangan kirinya menangkis.
"Crokkk!" Lengan kiri itu bertemu pedang yang dibacokkan dengan sepenuh tenaga dan dengan itupun buntung! Melihat lengan itu buntung, darah muncrat dan Liu Bi menjerit lalu roboh, Goan Ciang seperti baru sadar. Dia berdiri tertegun. Bukan Liu Bi yang harus dibunuhnya akan tetapi Panglima Khabuli, pikirnya. Liu Bi memang bersalah dan sudah menerima hukumannya! Pada saat itu, berdatanganlah para anggota Jang-kiang-pang dan melihat betapa ketua mereka merintih-rintih dengan lengan kiri buntung dan Goan Ciang berdiri di situ dengan pedang di tangan, juga melihat Lee Siang rebah tewas di pembaringan, mereka segera mengepung dan mengeroyok Goan Ciang!
Goan Ciang mengamuk dengan pedang yang telahmembunuh kekasihnya dan membuntungi lengan ketua Jang-kiang-pang tadi. Akan tetapi, pihak pengeroyok semakin banyak sehingga dia kewalahan dan akhirnya, setelah merobohkan belasan orang, dia sendiri terkena sabetan golok dan tusukan tombak sehingga terluka pada pundak kiri dan paha kanannya. Maklum bahwa kalau dilanjutkan akhirnya dia akan roboh, Goan Ciang lalu meloncat dan melarikan diri, dikejar para anggota perkumpulan itu. Akan tetapi, cuaca yang masih gelap menguntungkan Goan Ciang dan diapun dapat meloloskan diri di tebing itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Goan Ciang telah berada jauh dari tempat itu dan dia hampir pingsan saking kelelahan dan kehilangan darah ketika dia menggulingkan tubuhnya di sebuah gua yang tertutup batu-batu dan semak-semak mengering sehingga tidak nampak dari luar, di lereng sebuah bukit.
Biarpun seluruh tubuhnya nyeri dan lelah, namun Goan Ciang tidak merasakan semua itu karena hati dan pikirannya masih dipenuhi kenangan tentang Lee Siang yang membuat dia serasa jantungnya seperti diremas-remas. Ingin rasanya dia berteriak-teriak menangis, perasaan hatinya hancur penuh penyesalan, tersayat-sayat duka yang menimbulkan dendam. Lee Siang membunuh diri, tentu karena telah kehilangan kehormatannya, semalam dipermainkan oleh Khabuli dalam keadaan tidak berdaya, selain lemah kehilangan tenaganya akibat racun, juga ia dalam keadaan mabok. Semua itu karena ulah Liu Bi yang ingin menjauhkan Lee Siang darinya. Dendam kebencian memenuhi hatinya. Terhadap Liu Bi. Terhadap Khabuli dan mengingat bahwa Khabuli adalah seorang panglima Mongol, maka kebenciannya terhadap permerintah Mongol yang menjajah semakin berkobar.
Tiba-tiba dia bangkit duduk, seluruh sendi tubuhnya menegang. Terdengar suara banyak orang menuju ke gua itu! Siapa lagi kalau bukan para pengejarnya" Tentu para anggota Jang-kiang-pang yang terus mengejar. Dia lalu menyingkap semak-semak, mengintai keluar. Nampak sedikitnya dua puluh orang mendaki lereng itu dan dia terbelalak ketika melihat bahwa di antara orang-orang Jang-kiang-pang terdapat pula beberapa orang yang berpakaian seragam. Perwira-perwira pasukan pemerintah. Hemm, kiranya orang-orang Jang-kiang-pang sudah minta bantuan pasukan pemerintah, pikirnya geram. Apakah Khabuli berada di antara mereka" Kalau benar demikian, dia akan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membunuhpanglima itu! Dengan pedang rampasan di tangannya yang masih berlumuran darah dan berbau amis, dia siap menanti mereka. Dia tahu bahwa dia meninggalkan jejak, dan orang-orang itu akhirnya tentu akan sampai di gua. Kalau mereka sampai tiba di dalam gua itu, tentu saja dia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan leluasa. Tempat itu terlampau sempit dan dia akan terhimpit. Dia melupakan rasa nyeri di pundak dan pahanya, melupakan tubuhnya yang sudah lemah. Melihat para perwira itu, seperti bangkit semangatnya karena dia harus membunuh Khabuli! Membayangkan betapa semalam Khabuli mempermainkan dan menghina tubuh dan kehormatan kekasihnya, kebenciannya memuncak dan melihat serombongan pengejarnya itu tiba di tempat terbuka yang datar, diapun meloncat keluar dan dengan pekik dahsyat seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang mereka, terutama kepada mereka yang berpakaian perwira.
"Hyaaaaatttt....!!" Pedang di tangannya menyambar-nyambar ganas dan biarpun pasukan itu segera mengeroyoknya, namun dua orang di antara mereka roboh terkena sabetan pedang. Bagaikan seekor harimau atau seekor rajawali terluka, Goan Ciang mengamuk dengan pedangnya. Dia sudah lupa akan keadaan dirinya, yang hidup pada saat itu hanyalah semangatnya untuk melawan, mengamuk dan membunuh musuh yang dibencinya. Ditambah lagi dia memainkan ilmu yang dia andalkan, yaitu Sin-tiauw-ciang-hoat, maka gerakannya bagaikan seekor rajawali yang menyambar-nyambar menyebar maut. Akan tetapi karena pihak pengeroyok cukup banyak dan di antara mereka terdapat banyak perwira yang tangguh, maka biarpun Goan Ciang berhasil merobohkan sedikitnya sepuluh orang, dia sendiri menderita luka-luka di seluruh tubuhnya. Hanya keadaan tubuhnya yang kuat itu saja yang membuat dia mampu menerima luka-luka itu dengan pengerahan tenaga sehingga tidak ada luka yang cukup parah untuk merobohkannya. Namun, dia merasa semakin lemah karena banyak darah keluar, maka akhirnya terpaksa dia melarikan diri.
"Kejar!" "Tangkap!" "Bunuh....!!" Pasukan pemerintah dan orang-orang Jang-kiang-pang melakukan pengejaran dengan penasaran dan marah sekali karena banyak kawan mereka yang tewas atau terluka oleh amukan pemuda buronan itu. Mereka mengambil keputusan untuk mengejar sampai berhasil menangkap pemuda itu, bahkan perwiranya lalu minta bala bantuan dan menyebar pasukan untuk terus melakukan pencarian.
Sambil menahan rasa nyeri dan mengerahkan semua sisa tenaganya, Goan Ciang berhasil meloloskan diri dari pada pengejarnya dan dapat menumpang sebuah perahu nelayan melanjutkan pelariannya dengan perahu yang sedang mencari ikan di tepi sungai Yang-ce.
Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang sedang mencoba peruntungannya menangkap ikan dengan jala. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan perahunya terguncang. Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, pakaiannya robek-robek berdarah, tangan kanan memegang sebatang pedang yang juga berlumur darah, dari darat sejauh kurang lebih sepuluh meter telah meloncat ke atas perahunya!"
"Heiii...siapa...kenapa...." Nelayan itu berseru sambil menoleh dan terbelalak, mukanya kemerahan dan dia marah, juga takut.
"Ssttt,paman. Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tolonglah aku. Aku dikejar-kejar pasukan, aku harus menggunakan perahumu ini untuk melarikan diri." Tanpa banyak cakap lagi Goan Ciang mengangkat jangkar perahu, lalu mendayung perahu itu mengikuti arus dengan cepat ke tengah sungai. Nelayan itu terpaksa menarik jalannya.
"Siapakah engkau" Apa yang terjadi" tanyanya sambil menumpuk jala di perahu dan duduk memandang penuh perhatian.
"Nanti saja kuceritakan, sekarang bantulah aku melarikan diri, paman. Kalau paman menolak, aku tidak segan untuk menggunakan pedang ini yang telah membunuh banyak perajurit pasukan pemerintah.
Nelayan itu memang tidak perlu diancam lagi. Dia seorang nelayan sederhana yang tentu saja tidak ingin terlibat, akan tetapi melihat pemuda itu meloncat ke perahunya dan membawa pedang berlumur darah, dia sudah ketakutan. Diapun mengambil dayung kedua dan membantu pemuda itu mendayung perahu dengan cepatnya mengikuti aliran air sungai Yang-ce menuju ke timur.
Demikianlah, Cu Goan Ciang berhasil lolos dari pengejaran pasukan. Setelah dia mengaku kepada nelayan itu bahwa dia yang pernah menggegerkan bandar sungai Wu-han membela para pekerja kasar, nelayan itu tentu saja menghormatinya dan atas bantuan nelayan itu, Goan Ciang berhasil membeli obat-obat untuk luka-luka di tubuhnya, membeli pula pakaian kasar beberapa stel untuk mengganti pakaian pengantin yang masih menempel di tubuhnya, pakaian pengantin yang robek-robek oleh senjata para pengeroyok dan bernoda darah.
Setelah meninggalkan perahu dan nelayan itu di tempat yang jauh sekali dari Wu-han, dia melanjutkan perjalanannya melalui darat, berjalan kaki dan karena dia harus selalu hati-hati, bersembunyi dan tidak berani memperkenalkan diri, maka dia hidup sengsara sekali sebagai seorang buronan. Bahkan dimana dia melihat gambarnya ditempel di dalam kota dan dusun, dengan pengumuman bahwa dia adalah seorang penjahat dan pemberontak yang dicari-cari pasukan! Hal ini membuat dia semakin tidak leluasa bergerak. Kalau hanya dusun-dusun kecil dan dia lebih sering melanjutkan perjalanan di waktu malam. Dia tidak mungkin dapat bekerja untuk biaya hidupnya. Bekal uangnya sudah habis dan pakaiannya sudah tinggal menempel di tubuhnya. Itupun sudah penuh tambalan. Cu Goan Ciang terlunta-lunta dan kalau orang seorang bertemu dengan dia, tentu menganggap dia seorang jembel yang terlantar.
Pada suatu senja dia tiba di luar kota Nan-king. Kota yang besar, merupakan kota ke dua setelah kota raja Pe-king. Kota tua yang pernah menjadi kota raja. Biarpun keadaannya sudah seperti jembel dan mukanya penuh ditumbuhi brewok sehingga keadaannya berbeda sekali dengan gambar yang ditempel di dinding kota-kota besar, namun Goan Ciang tetap tidak mau memasuki kota Nan-king di waktu senja itu. Biasanya pintu gerbang kota lebih diteliti oleh para penjaga setelah hari mulai gelap.
Dengan perut perih karena lapar, tubuh dingin karena udara menjelang malam itu dingin dengan angin dari timur, tubuh lelah walaupun kini luka-lukanya telah sembuh semua. Goan Ciang memasuki sebuah kuil kosong yang berdiri terpencil di bukit kecil, sebelah kiri jalan raya yang memasuki pintu gerbang kota Nan-king. Melihat kuil itu berdiri terpencil dan ada jalan setapak menuju ke sana, diapun mendatangi kuil itu. Melihat bahwa kuil itu adalah kuil tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi, dia lalu memasukinya mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat itu.
Akan tetapi, biarpun dari luar nampak sudah kosong, setelah dia masuk ke dalam kuil yang besar namun keadaannya rusak dan kosong itu, di sebelah dalamnya sama sekali tidak kosong atau sepi. Banyak sekali orang di dalam kuil itu, para pengemis atau jembel yang semuanya memang mempergunakan tempat itu sebagai tempat bermalam mereka! Mereka tentulah para pengemis yang setiap hari berkeliaran di kota Nam-king, bekerja dengan cara meminta-minta, kemudian setelah matahari condong ke barat, mereka keluar kota dan melewati malam di tempat ini. Kuil ini merupakan sarang atau istana, hotel tanpa bayar bagi para pengemis!
Akan tetapi, agaknya para pengemis itu telah menjadi penghuni tetap di kuil itu, walaupun hanya penghuni malam karena kalau siang, tempat itu kosong sama sekali. Maka, begitu melihat ada seorang asing memasukikuil, sedikitnya tiga puluh pasang mata mengikuti gerak-gerik Goan Ciang dengan penuh perhatian dan kecurigaan, Tak seorangpun dari mereka rela kalau ada sudut yang telah menjadi tempat tinggal mereka terganggu orang asing. Mereka seperti sekumpulan binatang yang menjaga kandang masing-masing, kalau perlu dengan perkelahian!
Melihat betapa kuil itu, dari ruangan paling luar sampai paling belakang sudah ditempati orang sehingga sukar mencari tempat untuk melewatkan malam itu. Goan Ciang menjadi bingung juga. Apalagi tempat itu berbau apek dan lembab. Dia keluar lagi dan berdiri bengong di luar kuil. Haruskah malam ini dia berada di tempat terbuka, diterpa angin dan disiksa dingin dan kelaparan" Dia menengadah dan melihat betapa langit yang mulai gelap itu indah, bintang-bintang mulai nampak dengan sinar yang masih lemah disilaukan sinar matahari yang mulai mengundurkan diri. Langit cerah tiada awan. Dia menghela napas panjang. Langit demikian bersih dan damai, betapa jauh bedanya dengan keadaan di permukaan bumi yang kotor dan penuh penderitaan.
Dan di antara bintang-bintang yang mulai bermain mata dengannya, dia melihat sepasang mata Lee Siang! Dan nampak pula garis bentuk wajah gadis itu, kekasihnya, satu-satunya wanita yang pernah dikasihinya. Cantik, manis sederhana, gagah perkasa dan lembut.
"Lee Siang....moi-moi...." dia mengeluh penuh duka, teringat akan tubuh setengah telanjang yang rebah dengan dada yang tertembus pedang. Dia meraba pedang yang disembunyikan di balik bajunya. Dia tidak akan berpisah dari pedang itu. Betapapun menyakitkan perasaan, namun pedang itulah satu-satunya benda terakhir yang pernah dekat dengan Lee Siang, teramat dekat karena pedang itu telah memasuki dada kekasihnya dan menembus jantungnya! Dan pedang itu pula yang telah dia pergunakan untuk membalaskan dendam kematian Lee Siang, membuntungi tangan Jang-kiang Sian-li Liu Bi, dan membunuh entah berapa banyaknya orang-orang yang mengeroyok dan hendak menangkap atau membunuhnya.
"Siang-moi.." kembali dia mengeluh.
"Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya. "Ha-ha-ha-ha, seorang laki-laki pantang menghela napas dan mengeluh! Itu hanya sikap seorang yang lemah dan cengeng!"
Goan Ciang terkejut dan membalikkan tubuh, siap siaga menghadapi lawan. Akan tetapi dia tidak melihat ada orang yang hendak menyerangnya, hanya nampak seorang pengemis tua duduk di sana, bersandar dinding depan kuil, beralaskan jerami, duduk dengan santai dan memandangnya dengan sinar mata yang tajam dan mulut dibalik kumis yang tersenyum mengejek.
Goan Ciang menghampiri kakek itu. Hanya seorang saja yang duduk di bagian luar kuil, yang terbuka dan tidak terlindung sama sekali. Kalau hujan akan kehujanan kalau angin bertiup akan kedinginan. Akan tetapi, setidaknya tempat itu tidak berbau apek dan hawanya segar dan bersih.
"Kakek yang baik, aku tidak mengeluh karena diri sendiri, melainkan karena mengingat keadaan orang-orang lain. Demikian banyaknya penderitaan kulihat di dunia ini."
Kembali kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, kulihat engkau tadi masuk lalu keluar lagi. Tidak mendapatkan bagian tempat duduk atau tidur" Sama dengan aku. Nah, duduklah di sini, orang muda, kita dapat mengobrol dengan asyik!"
Goan Ciang tersenyum, mengangguk, lalu diapun duduk bersila di depan kakek itu. "Bagaimana kalau aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, kek"
"Heh-heh, bagus sekali kalau begitu!"
Goan Ciang bangkit lalu keluar dari pekarangan kuil, mengumpulkan kayu kering. Setelah meraih cukup, dia kembali ke ruangan depan kuil itu dan segera membuat api unggun kecil yang ternyata menyenangkan mereka berdua. Selain api itu dapat mendatangkan kehangatan, mengusir nyamuk, juga mereka kini dapat saling pandang dengan cukup jelas.
"Aha, ternyata engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah! Dan kulihat engkau juga tidak malas dan cekatan!" kakek itu memuji setelah mereka duduk berhadapan lagi. "Engkau pantas kuberi upah beberapa teguk arak. Nah, minumlah!" Dia menyodorkan sebuah guci arak. Tanpa sungkan lagi Goan Ciang menerimanya, membuka tutup guci dan dia terkejut mencium bau arak yang amat sedap, arak yang jelas bukan arak murahan! Diapun mendekatkan guci ke bibirnya, dan minum beberapa teguk. Benar dugaannya.
"Wah, arakmu hebat, kek! Sedap dan enak sekali!"
"Heh-heh-heh, tentu saja. Arak ini mengandung jin-som dan rendaman janin kijang hanya menjadi minuman kaisar di istana, ha-ha!"
Goan Ciang terkejut. Dia pernah mendengar tentang arak yang dicampur jin-som dan rendaman janin kijang yang merupakan minuman yang selain lezat juga amat baik untuk kesehatan. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang jembel tua bisa mendapatkan minuman yang takkan terbeli oleh seorang hartawan sekalipun"
"Engkau sudah makan" tiba-tiba kakek itu bertanya dan wajah Goan Ciang berubah kemerahan. Sejak kemarin dia belum makan! Diapun menggeleng kepalanya.
"Sejak kemarin siang aku belum makan, kek," katanya.
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, lalu dia memandang ke atas dan suara ketawanya memecahkan kesunyian malam, bergelak. Diam-diam Goan Ciang mendongkol, akan tetapi dia mulai memperhatikan kakek itu karena merasa bahwa sikap jembel tua yang biasanya lemah dan selalu hendak menarik perhatian dan iba hati orang lain. Kakek itu usianya sudah enam puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus rambutnya itu panjang putih tiap-tiapnya dibiarkan bergantung di punggung dan kedua pundak, juga kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Sepasang matanya agak sipit, akan tetapi amat tajam dan kadang mencorong penuh wibawa, akan tetapi wajahnya ramah dan mulutnya selalu dibayng senyum sabar. Sikapnya lincah dan jenaka, ramah. Pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih, jelas sering dicuci. Bukan pengemis sembarangan, pikir Goan Ciang.
"Ha-ha-ha, aku suka sekali engkau seorang laki-laki yang jujur! Kalau begitu, kebetulan akupun belum makan malam dan aku masih mempunyai bekal roti kering dan daging dendeng yang cukup untuk kita berdua. Mari makan bersamaku orang muda."
"Aku memang lapar dan akan senang sekali makan bekalmu, kek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak dan malu. Aku seorang pemuda bagaimana mungkin aku harus menyusahkan dan mengganggu seorang tua sepertimu"
Kakek itu tertawa lagi, "Heh-heh-heh siapa mengganggu siapa" Heh-heh, kalau begitu, ketika aku mengambil makanan dan minuman ini dari orang lain, akupun mengganggu mereka" Tidak sama sekali. Marilah, orang muda. Kita makan dulu baru nanti mengobrol melewatkan malam. Kalau sudah makan, perut hangat dan semangat menjadi kuat!"
Goan Ciang memang lapar. Ketika kakek itu mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan, dia melihat roti dan daging yang memang cukup banyak untuk mereka berdua, maka dengan hati lega diapun ikut makan.
Dan dia mendapat kenyataan bahwa seperti juga mutu arak tadi, roti dan dendeng yang dimakannya bukan merupakan makanan murah, apa lagi hanya sisa. Jelas bahwa roti dan dendeng itu bukan hasil mengemis, melainkan merupakan makanan orang mewah, lezat dan tentu mahal harganya. Karena mereka makan dengan lahap, dan keduanya merasa kenyang, dan sehabis makan, mereka minum arak dari guci itu, bergantian karena di situ tidak terdapat cawan untuk minum.
Setelah selesai makan, Goan Ciang menambah kayu pada api unggun, lalu mereka berdua duduk saling berhadapan di lantai yang tertutup jerami. Angin malam semilir lembut membuat api anggun menari-nari.
"Orang muda, siapa namamu" Dari mana kau datang dan hendak ke mana" Dia memandang pedang yang tadi oleh Goan Ciang dikeluarkan dan diletakkan di atas lantai. "Dan untuk apa engkau membawa-bawa pedang tanpa sarung itu" Pedang itu memang hanya dibuntal kain butut oleh Goan Ciang dan selalu dia selipkan di pinggang, disembunyikan di balik bajunya. "Kalau ada perajurit keamanan melihatmu, tentu engkau akan ditangkap karena membawa pedang ini."
Goan Ciang menarik napas panjang. Dia seorang pelarian, seorang buruan. Tidak perlu mencari penyakit dengan memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega untuk membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan dia.
"Kek, namaku....biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang ah, terus terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan ingin pergi ke depan!" Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, "Aku, tidak mempermainkanmu, kek. Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai tujuan perjalanan. Pedang ini adalah kawanku satu-satunya, untuk membela diri kalau diserang orang jahat."
"Hemm, namamu Siauw Cu dan engkau hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki tujuan. Engkau jelas bukan anggota kaipang (perkumpulan pengemis) walaupun pakaianmu tambal-tambal. Aku yakin engkau tidak pernah mengemis."
"Mengemis" Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik. Mengemis adalah pekerjaan yang hina!"
"Ha-ha-ha, jangan katakan bahwa engkau mencari nafkah dengan bekerja" Apa sih pekerjaanmu"
Siauw Cu menggeleng kepalanya. "Aku memang tidak bekerja, kek, aku menganggur dan aku menyusahkan hatiku."
"Engkau tidak bkerja, dan mengemis tidak sudi, Lalu apa yang kaumakan setiap hari" Mencuri"
"Lebih baik mencuri daripada mengemis!"
"Heh-heh-heh, itu kan alasan seorang pencuri. Kalau seorang pengemis tentu akan mengatakan bahwa mengemis lebih baik daripada mencuri. Apa salahnya mengemis makanan kalau kita lapar dan tidak mampu membeli" Setidaknya,mengemis berarti mengetuk hati nurani manusia lain agar menaruh iba kepada sesamanya."
"Akan tetapi, sekali mengemis akan membuat orang menjadi malas bekerja dan hanya mengandalkan pemberian orang saja, bahkan dia lalu mengemis bukan untuk keperluan makan, melainkan untuk mengumpulkan harta."
"Heh-heh-heh, yang demikian bukan pengemis namanya, melainkan penipu. Sudahlah, jangan bicara tentang pengemis, kalau mereka tersinggung, semua penghuni kuil ini akan keluar dan memaki atau mengeroyokmu. Aku ingin bertanya, kenapa engkau tadi menghela napas dan mengeluh panjang pendek" Engkau kelihatan seperti orang yang bersusah hati. Kenapa"
Goan Ciang termenung. Sejak kecil, dia memang lebih banyak mengenal susah daripada senang. "Siapa yang takkan susah hatinya melihat semua penderitaan yang mewarnai kehidupan manusia ini, kek" Di mana-mana aku melihat kesengsaraan manusia!"
"Heh-heh-heh, maksudmu kemiskinan dan penyakit, usia tua dan kematian"
"Bukan itu saja, juga kekecewaan-kekecewaan, harapan-harapan hampa, keputusasaan. Aku sendiri sejak kecil belum pernah menikmati kebahagiaan. Yang kukenal hanya penderitaan, duka nestapa, kekecewaan, dan kesusahan belaka. Apakah memang kehidupan ini berarti penderitaan dan kesusahan, kek"
"Heii, orang muda. Jawab terus terang, apakah engkau pernah merasakan apa yang dinamakan kesenangan itu" Pernahkah engkau senang sejak kecil sampai sekarang"
"Kalau itu tentu saja pernah, kek. Akan tetapi, kesenangan sekelumit yang disusul kesusahan segunung."
"Heh-heh-heh, itulah sebabnya! Karena engkau pernah merasakan senang, maka engkau merasakan susah. Coba andaikata engkau selama hidupmu belum pernah merasakan senang, tidak mengenal senang, aku yakin engkau tidak pula mengenal susah. Mengejar kesenangan sama dengan mengejar kesusahan. Coba pikir, engkau tadi makan minum bersamaku, senang atau tidak"
"Ya, tentu....senang, kek."
"Nah, coba kalau sebelum makan minum engkau tidak merasakan susahnya dan derita perut lapar, apa engkau akan dapat menikmati senangnya makan" Kalau hendak menikmati enaknya minum, haruslah lebih dahulu menderita tidak enaknya haus. Kesenangan merupakan pengalaman, kenangan, dan kita ingin memilikinya secara abadi, sehinggakalau kesenangan itu lepas dari tangan, kita bertemu kesusahan. Senang dan susah sama saja, itu hanya permainan pikiran yang bergelimang nafsu. Nafsu membentuk si-aku yang ingin senang, tidak mau susah, lupa bahwa adanya senang karena adanya susah, adanya siang karena adanya malam. Itulah perimbangannya, yang satu mengadakan yang lain."
"Tapi, kek. Bukankah semua orang juga begitu" Siapa yang mau susah" Bahkan senangpun kalau berekor susah, aku tidak mau. Aku ingin bahagia selamanya, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kebahagiaan."
Kakek itu memandang penuh perhatian dan Goan Ciang menambahkan kayu pada api unggun sehingga nyala api membesar. "Orang muda, dalam pertanyaanmu sudah terdapat jawabannya. Aku melihat bahwa engkau bukan seorang yangtepat untuk mencapai kebahagiaan, melainkan seorang yang memiliki kemauan besar, memiliki bakat besar untuk mendapatkan kesenangan yang sebanyak-banyaknya. Berbakat untuk menjadi orang besar dengan kekuasaan yang tak terbatas!"
"Maksudmu bagaimana, kek"
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak dapat mengatakan lebih dari itu, aku hanya membaca tanda-tanda pada wajahnya. Akan tetapi kembali tentang kebahagiaan, engkau sendiri tadi mengaku bahwa sejak kecil engkau belum pernah merasakan kebahagiaan. Nah, dengan begitu berarti engkau tidak mengenal kebahagiaan dan tidak tahu apa itu kebahagiaan, bukankah begitu"
"Justru, karena itu aku sedang mencarinya, kek. Aku mendambakan kebahagiaan, aku ingin menemukan kebahagiaan."
"Heh-heh-heh, lucunya! Siauw Cu, aku mempunyai seorang kenalan, namanya Akong. Nah, dapatkah engkau mencarinya untukku" Engkau belum mengenalnya, belum mengetahui di mana dia dan tidak mengenal ciri-cirinya, hanya tahu bahwa namanya Akong. Dapatkah engkau menemukannya untukku"
"Wah, jelas tidak mungkin, kek! Andaikan aku bertemu seorang yang namanya Akong sekalipun, aku tidak tahu apakah itu Akong yang benar ataukah Akong yang lain."
"Bagus! Begitu pula dengan kebahagiaan. Kalau engkau belum pernah mengenalnya bagaimana engkau dapat menemukannya" Andaikata engkau bertemu dengan sesuatu yang kaunamakan kebahagiaan sekalipun, engkau tidak tahu apakah itu kebahagiaan yang asli ataukah yang palsu, seperti Akong tadi! Mengertikah engkau, Siauw Cu" Orang tidak mungkin mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang belum pernah dikenalnya. Kalau engkau mencari kesenangan, yaitu pengalaman menyenangkan hati seperti yang pernah kaualami atau yang pernah dialami orang lain dan yang engkau dengar orang lain menceritakannya kepadamu. Dan mencari kesenangan, seperti kita bicarakan tadi, sama dengan mencari kesusahan karena keduanya kait-mengait dan tak terpisahkan."
Siauw Cu mengerutkan alisnya. Belum peernah dia mendengarkan pendapat seperti itu. Belum pernah dia bercakap-cakap dengan orang lain seperti yang dilakukannya pada malam hari sunyi di depan kuil kosong itu. Ia takjub, juga tidak mengerti. Apa yang diucapkan kakek itu hanya samar-samar saja dapat ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.
"Kakek yang baik, aku telah memberitahu namaku. Bolehkah aku mengetahui nama kakek yang bijaksana"
"Bijaksana" Heh-heh-heh, aku sama sekali tidak bijaksana, sama seperti engkau dan orang lain. Kalau makan enak perut kenyang harus senang, heh-heh-heh! Kalau orang-orang menyebutmu Siauw Cu, maka orang-orang menyebut aku Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Berambut Putih). Engkau boleh sebut aku Lo-kai (Jembel Tua) saja."
Akan tetapi Siauw Cu adalah seorang pemuda yang pandai membawa diri. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan mustahil kakek seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Pek-mau locianpwe (Orang Tua Gagah Berambut Putih), aku hanya ingin bertanya dan akupun mengharap locianpwe akan menjawab sejujurnya."
"Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda." Kata kakek itu, tidak kikuk disebut locianpwe.
"Apakah locianpwe tidak seperti aku, tidak mendambakan dan tidak mencari kebahagiaan"
Wajah yang keriputan dibungkus rambut putih itu berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum lebar sehingga kelihatan bahwa mulutnya tidak bergigi lagi, seperti mulut bayi yang belum tumbuh gigi. "Heh-heh-heh, aku tidak butuh kebahagiaan, orang muda. Untuk apa kebahagiaan" Tidak bisa dimakan, tidak bisa dipakai. Untuk apa" Aku adalah aku, seperti inilah, dan aku tidak ingin menjadi yang lain, tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin apa-apa. Kalau aku tua, tualah, kalau miskin, miskinlah, kalau sakit, sakitlah, kenapa harus mengeluh dan tidak menerima kenyataan" Kalau lapar, cari makan, kalau sakit, cari obat, itu saja. Aku tidak butuh bahagia. Nah, sekarang ini perutku kenyang, tubuh terasa nyaman, mataku mengantuk. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh bahagia, hanya butuh tidur!" Setelah berkata demikian, kakek yang tadinya duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring dan dalam beberapa detik saja dia sudah tidur pulas!
Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek yang tidur nyenyak itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung memandang api yang merah. Pandang matanya kosong menerawang, menembus nyala api. Dia menemukan sesuatu, menemukan kenyataan pada diri kakek itu. Itulah bahagia! Itukah" Keadaan tidak ingin apa-apa, ituka yang dinamakan bahagia" Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apa-apa, seperti kakek itu" Menerima keadaan begitu saja" Mungkin bisa dilakukan seorang yang sudah tua seperti kakek itu. Akan tetapi dia" Dia masih muda, dia ingin memperoleh kemajuan dalam segala bidang! Dia bercita-cita. Dia ingin mengusir penjajah Mongol. Dia ingin memimpin rakyat membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dia ingin menjadi pemimpin besar rakyat jelata, ingin mencapai kekuasaan tertinggi! Dia sudah cukup menderita kekurangan, penghinaan, kerendahan. Dia ingin berkecukupan, berlebihan, dihormati dan disembah, dia ingin kedudukan setinggi-tingginya. Salahkah itu" Dia menoleh dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada tidurnya.
"Engkau boleh puas dengan keadaanmu, kek. Akan tetapi aku belum puas dengan keadaanku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, barulah aku akan merasa puas dan bahagia. Ya, puas dengan keadaannya itulah bahagia dan aku tidak berbahagia karena aku belum puas dengan keadaan diriku!"
Cu Goan Ciang masih diombang-ambingkan pikirannya sendiri, tidak tahu bahwa hati akah pikiran itu sudah dikuasai nafsu daya rendah. Oleh karena itu, apapun yang kita pikirkan selalu mempunyai satu tujuan, yaitu demi keenakan dan kesenangan diri pribadi. Dengan selimu dan kedok apapun, berselubung apapun yang menjadi tujuan pemikiran adalah keenakan dan kesenangan diri pribadi. Baik kesenangan dan keenakan diri jasmani maupun keenakan dan kesenangan diri bagian dalam, y aitu batin. Orang yang haus akan kebahagiaan adalah jelas merupakan orang yang tidak berbahagia. Kenyataannya bahwa kita ingin berbahagia menunjukkan bahwa kita tidak berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia" Yang tidak berbahagia itu bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam keadaan sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan" Yang terpenting bukan mencari-cari kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit, apakah kita butuh akan kesehatan lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan. Yang terpenting adalah mengamati, mempelajari, dan meyakinkan mengapa kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang mendatangkan ketidakbahagiaan itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada kebahagiaan" Tentu saja tidak butuh! Orang yang tidak sakit tidak butuh kesehatan karena memang sudh sehat. Orang yang tidak "tak berbahagia" tidak membutuhkan kebahagiaan lagi karena sesungguhnya dialah orang berbahagia! Seperti juga kesehatan, kita tidak pernah menyadari kebahagiaan. Kalau kita sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya. Demikian pula kalau kita berbahagia, kita lupa atau tidak tahu bahwa kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita. Kalau kita sakit, baru kita rindu kesehatan, kalau kita sengsara baru kita mendambakan kebahagiaan! Pada hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya, tidak pernah meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!
Nafsu daya rendah telah mencengkeram kita lahir batin sehingga nafsu yang diikut-sertakan kepada kita dan yang semula dijadikan pembantu dan alat kita dalam kehidupan ini, berbalik memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu mencengkeram kita dan mendorong kita untuk selalu mengejar-ngejar keenakan dan kesenangan diri lahir batin. Hidup kita hanya diseret ke satu arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu keenakan dan kesenangan! Dan untuk mencapai tujuan ini, kita menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa bahwa kita ini manusia, mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan secara berlimpah-limpah. Kita melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan dalam mulut saja, itupun kita lakukan kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan! Kesengsaraan yang menimpa diri kita karena akibat ulah kita sendiri, membuat kita ingat kepada Tuhan, ingat untuk minta tolong, untuk minta dibebaskan dari kesengsaraan! Dalam keadaan menderita, baru kita menjerit-jerit minta ampun kepada Tuhan! Permintaan ampun seperti itu biasanya tidak ada gunanya, karena kita minta ampun dalam keadaan menderita, dengan satu tujuan terselubung, yaitu terlepas dari kesengsaraan! Permintaan ampun seperti itu hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan dan kesenangan karena bebas dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun sudah lupa lagi kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran, sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akah pikiran yang masih bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.
Bebas dari cengkeraman nafsu berarti selalu berada dalam bimbingan kekuasaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan merupakan suatu kebaktian kepadanya karena tidak ada saat di mana kita lupa kepadanya, seolah setiap denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan napas merupakan pujian dan pujaan kepadanya.
Malam semakin larut. Ketika Siauw Cu memandang ke arah kakek pengemis itu, dia tersenyum. Boleh jadi kakek itu merasa puas dan berbahagia, akan tetapi bagaimanapun juga dia hanya seorang kakek pengemis yang papa. Tidurnya saja di luar kuil tua, di tempat terbuka, keadaannya miskin sekali. Bagaimana kalau jatuh sakit" Tidak ada obat, tidak ada yang merawatnya, terlantar dan sengsara. Tidak ada uang pembeli makanan!
Siauw Cu menambahkan lagi kayu pada api unggun. Kehangatan api melindunginya dalam udara malam yang semakin dingin, membuat dia mengantuk. Dia memandang api dan melamun sambil melenggut. Dan dalam keadaan antara sadar dan tidak itu, dia melihat pelangi melengkung di depannya, pelangi yang berwarna, indah sekali seperti tangga yang menuju ke langit. Dan diapun bangkit, lalu berjalan menaiki tangga pelangi itu, makin lama semakin naik tinggi. Di ujung pelangi sana dia melihat sebuah bangunan yang besar dan indah, dan banyak perajurit menyambutnya dengan sikap hormat!
Tiba-tiba suara gaduh menariknya lepas dari dunia mimpi. Dia terkejut dan melihat bahwa tempat dia dan kakek itu berada, telah dikepung oleh belasan orang! Ada yang berpakaian pengemis, adapula yang berpakaian perajurit! Akan tetapi mereka itu bukan menyambutnya dengan hormat, melainkan mengancamnya dengan senjata di tangan. Ada beberapa orang di antar mereka memegang obor dan seorang yang berpakaian pengemis hitam-hitam berteriak dengan lantang.
"Tangkap dia!" "Bunuh, dia berbahaya sekali!" teriak seorang pengemis berpakaian hitam yang lain.
Siauw Cu maklum bahwa tentu mereka itu datang untuk menangkapnya. Akan tetapi dia merasa heran mengapa ada pengemis-pengemis pakaian hitam yang ikut-ikutan membantu para perajurit. Ah, tentu mereka itu mata-mata pasukan keamanan yang menyamar pengemis dan bermalamdi kuil itu untuk melakukan penyelidikan. Merekalah yang mengenalnya dan diam-diam melapor sehingga kini datang pasukan perajurit hendak menangkapnya. Diapun siap siaga dan cepat menyambar pedangnya yang dia letakkan di atas lantai. Ternyata api unggun yang dibuatnya telah padam, mungkin tadi dia telah tertidur sambil duduk dan bermimpi aneh. Mungkin sinar pelangi itu adalah sinar obor-obor yang dipegang oleh para pengepung.
Tiba-tiba seorang pengemis yang berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar dan memegang golok, sudah menerjang ke depan dan mengayun goloknya, akan tetapi tidak menyerang dirinya, melainkan membacok ke arah tubuh Pek Mau Lokai yang masih tidur pulas! Siauw Cu heran dan terkejut, akan tetapi dia cepat menggerakkan pedangnya sambil meloncat, melindungi kakek itu.
"Tranggg.....!" Bunga api berpijar ketika pedangnya menangkis golok yang menyambar ke arah kepala kakek pengemis itu. Penyerangan itu terkejut dan terhuyung ke belakang. Seorang yang berpakaian perwira melangkah maju dan terbelalak memandang kepada Siauw Cu.
"Heiii! Dia itu Cu Goan Ciang, pelarian yang kita cari!"
"Ah, sudah jelas sekarang! Pek Mau Lokai bergabung dengan pemberontak dan pembunuh perwira pasukan kerajaan!" Keadaan menjadi gaduh dan belasan orang itu siap mengeroyok Cu Goan Ciang dan juga kakek yang kini terbangun dan menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan.
"Wah-wah, apa yang terjadi" Begini banyak anjing menggonggong dan hendak menggigit Siauw Cu, apa yang terjadi" Kakek itu mengambil tongkat bututnya.
"Pek-mao Lo-kai Tang Ku it, tidak perlu berpura-pura lagi. Engkau telah bergabung dengan Cu Goan Ciang si pemberontak!" bentak pengemis berjenggot lebat berpakaian hitam. "Bunuh dia!" Si kumis lebat menggerakkan goloknya menikam tubuh kakekyang masih duduk setengah rebah itu Cu Goan Ciang sendiri sudah diserang beberapa orang perajurit sehingga dia tidak lagi dapat melindungi kakek pengemis. Akan tetapi, dia terbelalak dan girang sekali melihat betapa kakek tua itu menggerakkan tongkatnya dan si kumis tebal terjungkal dan tidak dapat bergerak lagi. Tahulah dia bahwa kakek ini, sepertiyang sudah diduganya, amat lihai dan sama sekali tidak membutuhkan bantuannya! Diapun menjadi bersemangat dan mengamuk di samping kakek itu yang kini memutar tongkat bututnya dan telah merobohkan empat orang berpakaian hitam-hitam!
Akan tetapi, para pengeroyok bertambah banyak. Kiranya hampir semua pengemis yang tadi tinggal di kuil, kini datang mengeroyok kakek rambut putih, sedangkan dari luar datang lebih banyak perajurit mengeroyok Cu Goan Ciang.
Betapapun lihainya Cu Goan Ciang, dikeroyok oleh banyak perajurit, dia terdesak hebat. Dia sudah berhasil merobohkan delapan orang pengeroyok, akan tetapi dia sendiri mulai menerima sambaran senjata lawan yang membuat dia luka-luka. Masih baik baginya bahwa di situ terdapat kakek pengemis yang ternyata lihai sekali sehingga para pengemis dan sebagian perajurit terpaksa mengeroyok kakek itu.
Agaknya kakek itupun maklum bahwa keadaan dia dan Siauw Cu tidak menguntungkan. Kalau dilanjutkan, tidak mungkin mereka akan mampu bertahan terus. Apa lagi kalau malam telah lewat dan cuaca menjadi terang. Akan datang lebih banyak perajurit dan akan semakin sukar bagi mereka berdua untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking tinggi yang mengejutkan semua orang.Tak lama kemudian, beberapa buah gulungan jerami yang diikat dan diberi minyak, terbakar bernyala-nyala, dilemparkan orang dari luar ke tempat pertempuran! Tentu saja pengeroyokan menjadi kacau karena semua orang takut terkena api yang bernyala-nyala itu.
Pek Mau Lokai menangkap lengan Siauw Cu. "Mari, kita tunggu kapan lagi" katanya dan Siauw Cu merasa dirinya ditarik amat kuat. Diapun ikut melompat dan melarikan diri ke belakang kuil di mana terdapat sebuah hutan kecil. Kakek itu agaknya hafal akan jalan di situ, dia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon dan semak belukar. Siauw Cu hanya mengikuti saja dengan membuta. Tubuhnya terasa perih dan nyeri karena ada beberapa luka menggores kulitnya dan mengeluarkan darah. Di belakang mereka, terdengar teriakan orang dan dengan derap kaki mereka yang melakukan pengejaran.
Ketika mereka tiba di ujung yang lain dari hutan itu, terdengar derap kaki kuda dan ada tiga orang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis menunggang tiga ekor kuda dan menuntun dua ekor lagi.
Silakan Pangcu (ketua), dan maafkan kelambatan kami tadi karena kami harus membuat bola-bola jerami lebih dulu," kata seorang di antara mereka.
"Siauw Cu, mari kita menunggang kuda dan pergi dari sini. Kalian bertiga bekerja dengan baik!" kata Pek Mau Lokai. Siauw Cu tidak membantah, lalu mereka menunggang dua ekor kuda tadi dan lima orang itupun membalapkan kuda melarikan diri dari tempat itu.
Cu Goan Ciang tidak merasa heran. Memang dia sudah menyangka bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka diapun menyebutnya lo-cian-pwe. Akan tetapi sama sekali ia tidak menyangka bahwa kakek itu ternyata adalah seorang kaipang-cu (ketua perkumpulan pengemis), dan tiga orang yang menolong mereka dengan melemparkan bola-bola jerami bernyala kemudian membawakan dua ekor kuda itu tentulah anak buahnya. Sama sekali keliru semua perkiraannya tadi mengira bahwa kakek itu hidup terlantar, miskin dan papa. Dari perjalanannya selama ini dia tahu bahwa biarpun namanya perkumpulan pengemis, perkumpulan kaum jembel, namun di antara mereka banyak yang memiliki kedudukan kuat dan sama sekali tidak miskin. Pakaian butut tambal-tambalan yang mereka pakai bukan pertanda kemiskinan, melainkan lebih sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota dari perkumpulan pengemis tertentu! Dan melihat pakaian Pek mau Lo-kai yang penuh tambalan namun bersih dan dari kain berkembang, juga ketiga orang pembantunya yang pakaian mereka juga tambal-tambalan akan tetapi dari kain berkembang, dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang pernah didengarnya sebagai perkumpulan pengemis yang kuat dan yang menentang pemerintah Mongol! Kini, tanpa disengaja, dia telah bertemu dengan ketuanya, bahkan makan dan tidur bersama di depan kuil di luar kota Nan-king itu.
Lima orang itu membalapkan kuda mendaki sebuah bukit dan matahari sudah mulai mengirim sinarnya mengusir kegelapan malam ketika mereka tiba di lereng bukit itu, di mana terdapat dinding batu yang panjang, mengandung banyak gua-gua besar. Dan belasan orang pengemis menyambut kedatangan ketua mereka dengan gembira.
Setelah dipersilakan turun dan memasuki gua terbesar di mana terdapat perabot rumah sederhana, Siauw Cu duduk berhadapan dengan Pek-mau Lo kai dan tiga orang anak buahnya tadi.
Kiranya aku berhadapan dengan Hwa Kaipang-cu," kata Siauw Cu sambil memberi hormat kepada kakek itu. "Terima kasih, pangcu, dan terima kasih kepada tiga orang saudara ini. Kalau tidak ada pertolongan kalian, tentu sekarang aku telah menjadi tawanan atau telah menjadi mayat."
"Sudahlah, Siauw Cu. Kita di antara orang sendiri, kalau tidak saling bantu lalu siapa yang akan membantu kita" kata Pek Mau Lokai. "Begitu bertemu di depan kuil itu dan mendengar engkau mengaku bernama Siauw Cu, aku sudah menduga bahwa engkau tentulah Cu Goan Ciang yang telah menggegerkan itu, yang dikagumi semua pejuang karena engkau telah berani membunuh perwira, kemudian membunuh banyak perajurit seorang diri saja, bahkan engkau berani menentang Jang-kiang-pang yang menjadi antek pemerintah Mongol. Engkau hebat, Siauw Cu, akan tetapi engkau juga bodoh!"
Siauw Cu mengamati wajah kakek itu dengan muka berubah merah. "Aku tidak mengerti apa yang lo-cian-pwe maksudkan."
"Bahwa engkau bodoh" Ha-ha, mari perkenalkan dulu dengan tiga orang pembantuku ini." Dia memperkenalkan tiga orang itu. Lee Ti atau Lee-pangcu berusia empat puluh tahun, merupakan ketua Hwa I Kaipang cabang wilayah barat, bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok. Pouw Sen berusia empat puluh tahun, ketua cabang di timur, bertubuh tinggi kurus dan mukanya putih tanpa kumis atau jenggot. Adapun orang ke tiga adalah Kauw Bok atau Kauw Pangcu, ketua cabang selatan bertubuh pendek gendut dan mukanya yang bulat itu selalu tersenyum cerah. Mereka itu menjadi ketua-ketua Hwa I Kaipang di tiga wilayah, dan mereka juga merupakan murid-murid dari Pek Mau Lokai Tang Ku It.
Setelah mereka saling berkenalan, seorang anggota kaipang datang menyuguhkan sarapan pagi. Siauw Cu dipersilakan makan bersama dan setelah makan mereka duduk bercakap-cakap.
"Sekarang harap pangcu suka menjelaskan mengapa aku disebut bodoh." Siauw Cu bertanya kepada ketua itu.
Hwa I Kaipangcu Tang Ku It tertawa. "Bagus, engkau ingin mengetahui kekuranganmu sendiri" Itu pertanda baik, karena hanya orang yang mau mengetahui dan mengakui kekurangan sendiri sajalah yang mempunyai harapan untuk mendapatkan kemajuan dari kehidupan ini. Siauw Cu, aku mengatakan engkau gagah dan pemberani, akan tetapi bodoh. Bagaimana mungkin engkau seorang diri saja berjuang melawan penjajah yang merupakan sebuah kerajaan dengan ratusan ribu pasukannya" Baru menghadapi pengeroyakan puluhan orang perajurit saja engkau sudah luka-luka dan kalau dilanjutkan, engkau akan mati konyol. Kalau engkau berjuang seorang diri, sama saja dengan membunuh diri dan sama sekali tidak ada manfaatnya bagi rakyat.
Siauw Cu mengangguk-angguk. "Aku mengerti akan kesalahanku dan mohon petunjuk."
"Engkau tidak mungkin berjuang melawan pemerintah Mongol tanpa mempunyai pasukan. Engkau harus menghimpun tenaga para patriot, barulah perjuanganmu ada artinya. Kamipun pejuang, dan sejak lama kami menghimpun tenanga, namun juga belum merasa cukup kuat untuk melawan pasukan pemerintah."
"Aku tidak dapat sesabat itu, pangcu, kata Siauw Cu. "Sampai kapan kita akan bergerak menentang penjajah kalau selalu merasa kurang kuat" Aku melihat penderitaan rakyat di mana-mana, aku melihat penindasan, dan aku ingin memberontak. Aku ingin menentang semua penjajah dan penindas, termasuk orang-orang sesat yang menjadi antek penjajah dan yang melakukan kejahatan terhadap sesama bangsa. Aku ingin menghancurkan mereka semua, perwira-perwira terkutuk yang mengganggu wanita, menindas rakyat!"
Pek Mau Lokai tersenyum dan mengangguk-angguk. "Kami sudah mendengar tentang nasib nona Kim Lee Siang."
Siauw Cu tercengang. "Ah, jadi pangcu sudah tahu akan hal itu"
Ketua kaipang itu tersenyun. "Nah, engkau melihat bahwa kalau kita mempunyai banyak anggota, maka di mana-mana kita dapat menaruh penyelidik, dan kita dapat mengetahui banyak hal. Andaikata aku hanya seorang diri seperti engkau, Siauw Cu, tentu akupun tidak tahu apa-apa. Hanya ada satu hal yang membuat kami tidak mengerti. Mengapa seorang pejuang seperti engkau, yang menurut hasil penyelidikan mencinta nona Kim Lee Siang yang anti penjajah Mongol, dapat menjadi calon suami ketua Jang-kiang-pang" Dan kemudian bahkan engkau menyerangnya dan membuntungi lengannya setelah nona Kim Lee Siang membunuh diri"
Siauw Cu mengepal kedua tangannya.
Diingatkan tentang peristiwa itu, dia teringat akan Lee Siang yang dicintanya dan wajahnya diliputi kedukaan, juga kebencian terhadap Liu Bi.


Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perempuan keparat itu!" katanya gemas. "Ketua Jang-kiang-pang itu meracuni sumoinya sendiri dan memaksaku untuk menikah dengannya. Kalau aku tidak mau, ia tidak akan memberi obat penawar kepada Lee Siang. Untuk menyelamatkan nyawa Lee Siang, terpaksa aku menerima permintaannya. Akan tetapi pada malam perayaan pernikahan itu, ia telah menyerahkan Lee Siang yang lemah dan dibius kepada jahanam Khabuli itu!" Mukanya berubah merah dan matanya mencorong penuh kemarahan. "Aku harus membunuh jahanam Mongol itu!!"
"Sabar dan tenanglah, Siauw Cu. Seorang laki-laki tidak hanya menuruti nafsu kemarahannya, dan seorang pejuang mengesampingkan urusan dan kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan perjuangan. Semua itu terjadi, juga semua penderitaan rakyat itu terjadi sebagai akibat dari satu sebab, yaitu penjajahan. Andaikata engkau berhasil membunuh Khabuli karena dia menyebabkan kematian nona Kim, akan muncul ribuan orang Khabuli yang lain, yang mengorbankan ribuan nona Kim yang lain! Andaikata engkau membunuh seorang penindas rakyat, masih akan bermunculan ribuan penindas yang lain. Satu-satunya jalan adalah melenyapkan penjajah dari bumi kita, barulah ada ketenteraman dan kesejahteraan bagi rakyat."
Diam-diam Siauw Cu kagum kepada ketua pengemis itu. Apa yang diucapkannya memang benar dan tepat. Kalau dia ingin berhasil, dia harus menahan diri, tidak menuruti nafsu dendam pribadinya, dan dia juga harus dapat menghimpun tenaga dari rakyat jelata. Dia tidak seharusnya hanya mencurahkan perhatiannya untuk membalas kepada orang-orang seperti ketua Jang-kiang-pang dan perwira Khabuli saja, melainkan kepada pusatnya, yaitu kepada pemerintah Mongol, sang penjajah yang menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat, kesengsaraannya. Sejak kecil, dia telah menderita akibat penjajahan. Orang tuanya sakit dan mati karena kelaparan, dia sendiri hidup terlunta-lunta, semua itu karena keadaan kehidupan rakyat yang miskin dan sengsara, akibat penjajahan. Dia harus berusaha melenyapkan penjajah!
Melihat pemuda itu termenung, Pak-mau Lo-kai yang diam-diam merasa kagum dan suka kepada pemuda itu langsung mengulurkan tangan, "Cu Goan Ciang, kalau engkau sudah dapat mengerti apa yang kumaksudkan, tentu engkau tidak lagi memandang rendah dan hina kepada kita para pengemis.
"Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Sejak pertama kali kita berkenalan, apakah aku pernah memandang rendah kepadamu"
"Bagus, kalau begitu, bagaimana kalau engkau kami tarik sebagai anggota Hwa I Kaipang" Aku ingin engkau menjadi pembantuku yang dapat ku andalkan dan kupercaya.
"Heii, tidak begitu mudah...!!" Tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dari luar gua.
"Wah, si rewel itu akan membuat ulah lagi, heh-heh-heh!" Pek Mau Lokai berkata sambil tertawa dan memandang keluar gua. Tiga orang ketua cabang juga memandang keluar sambil tersenyum. Melihat mereka semua memandang keluar gua, Siauw Cu juga menoleh dan dia melihat seorang gadis berdiri di depan gua. Gua itu agak gelap, dan di luar demikian terangnya sehingga gadis itu seperti berada di dalam sinar yang cerah dari atas. Seorang gadis yang manis sekali dengan pakaian tambal-tambalan dan berkembang-kembang, akan tetapi selain pakaian itu amat bersih, juga potongannya amat manis sehingga tidak seperti pakaian pengemis, melainkan seperti pakaian mode terakhir, model terbaru yang tentu akan menarik perhatian gadis-gadis lain! Rambutnya yang hitam dan lebat itu digelung ke atas, sembarangan saja agak awut-awutan dan diikat pita merah dan diperkuat tusuk sanggul dari perak berbentuk burung merak. Tidak memakai perhiasan lain, namun justeru kesederhanaannya itu bahkan menonjolkan kecantikannya yang alami. Dahinya berkulit halus seperti lilin, dengan anak rambut halus lembut melingkar mesra di dahi dan kening, sepasang alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis dan tidak ditambah penghitam apapun. Sepasang matanya seperti mata burung Hong, tajam dan menantang namun mengandung kelembutan yang khas wanita. Kedua pipinya putuh kemerahan tanpa pemerah, hidungnya kecil mancung dan nampak lucu karena ujungnya agak berdongak, mulutnya amat manis, dengan sepasang bibir yang merah basah tanpa gincu, dan selalu dibayangi senyum dikulum dengan lesung pipit di sebelah kiri dan garis-garis manis di sebelah kanan. Dagunya yang meruncing memberi kesan wajah itu berbentuk seperti telur. Usianya tentu tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dengan tubuh yang tinggi ramping, kedua kaki panjang dan sepatu kulit hitam mengkilap itu sungguh tidak pantas dipakai seorang pengemis!
"Heii, anak bengal! Apa lagi kau ribut-ribut di situ" teriak Pek Mau Lokai. "Kalau mau bicara, jangan berteriak-teriak dari luar, masuklah saja dan bicara yang baik dan pantas!"
"Kong-kong (kakek), aku tidak mau masuk! Di situ ada orang asing!"
Lee Ti, atau Lee-pangcu, ketua cabang Hwa I Kaipang di barat, tertawa dan berseru, "Hui Yen, kami adalah paman-pamanmu, bukan orang asing!"
"Lee-susiok (paman guru Lee), aku tidak maksudkan kalian bertiga!" jawab gadis yang disebut dengan nama Hui Yen itu.
"Yen Yen, jangan tidak sopan. Tamu kita ini adalah Cu Goan Ciang, dan mulai hari ini dia menjadi saudara kita, menjadi pembantu utamaku di sini," kata kakek Pek Mau Lokai sambil tersenyum. Gadis itu bernama Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen, berusia dua puluh tahun. Ia adalah cucu dalam dari Pek Mau Lokai Tang Ku It. Ayah dan ibu anak itu telah tewas dalam pertempuran besar antara kelompok Hwa I Kaipang yang diserbu pasukan pemerintah dan anggota kaipang lain yang memusuhi mereka.
"Justru itulah, kek, maka tadi aku mengatakan tidak boleh begitu mudah. Pembantu kakek berarti seorang yang akan memimpin kaipang kita, berarti dia haruslah seorang yang cakap dalam kepemimpinan, bijaksana, cerdik, berwibawa, dan terutama sekali memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada para anggota kita. Apakah orang muda itu memiliki kesemuanya itu"
Pek Mau Lokai memandang kepada Siauw Cu sambil tersenyum lebar. "Begitulah cucuku itu, selalu ingin memuji orang!"
"Suhu, kami kira hal itu baik sekali. Kalau Cu-sicu ini menjadi pembantu suhu, sudah selayaknya kalau dia memperlihatkan kepandaiannya agar dilihat oleh para anggota sehingga kelak tidak akan ada anggota yang merasa penasaran dan ragu."kata Lee Ti dan kedua orang rekannya juga mengangguk menyetujui.
Siauw Cu mengerutkan alisnya. "Mana aku berani kurang ajar terhadap cucu lo-cian-pwe yang lihai"
"Ha-ha-ha, katakan saja engkau sungkan melawan seorang wanita! Akan tetapi biar ia seorang gadis, Yen Yen telah memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan tingkat para muridku yang lain. Dan biarpun ia cucuku, akan tetapi engkau tidak berkelahi melawannya, melainkan hanya bertanding untuk diuji kepandaianmu olehnya. Nah, sambutlah tantangannya, Siauw Cu."
Terpaksa Siauw Cu bangkit dan keluar, diikuti Pek Mau Lokai dan ketiga orang ketua cabang. Siauw Cu merasa panas juga perutnya melihat gadis manis itu berdiri dengan pandang mata menantang dan senyum mengejek dan memandang rendah.
Diam-diam Yen Yen memperhatikan pemuda yang melangkah keluar dari dalam gua itu. Sejak ayah ibunya belum meninggal dua tahun yang lalu, ayah ibunya selalu mendesaknya agar mau menikah. Namun, Yen Yen selalu menolak. Banyak pinangan datang, namun terpaksa ayah ibunya menolak halus karena gadis itu tidak pernah mau dan mengatakan bahwa kalau ayah ibunya menerima pinangan orang, ia akan menolak dan pada hari pernikahan, ia akan minggat. Ia mengemukakan tekadnya bahwa kalau belum bertemu dengan seorang pria yang menjadi pilihan hatinya, ia tidak mau menikah. Setelah ayah ibunya meninggal, tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, tidak ada lagi orang yang mendesaknya untuk menikah. Kakeknya, yang menjadi pengganti ayah ibunya juga menjadi gurunya, tidak mendesak, hanya bertanya mengapa sampai berusia dua puluh tahun ia belum juga mau menjatuhkan pilihannya. Orang macam apa sih yang diharapkannya demikian kakeknya pernah bertanya. Ia menjawab bahwa pria itu harus memenuhi semua harapan hatinya, cocok dengan seleranya dan terutama sekali, harus dapat mengalahkannya dalam pertandingan silat.
Kini kedua orang muda itu saling berhadapan. Siauw Cu memandang dengan sikapnya yang tenang dan berwibawa, alisnya agak berkerut karena dia menganggap gadis ini terlalu sombong dan manja. Dan Yen Yen berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya seperti seorang nona majikan terhadap seorang muridnya. Sejenak mereka saling pandang, Siauw Cu menunggu dengan tenang, Yen Yen mengamati pemuda itu pernuh selidik dengan sikap menantang, seperti sikap ayam aduan berlagak sebelum bertanding.
"Hemm, orang muda, engkau memiliki kemampuan apa sih mau menjadi pembantu kakekku, ketua Hwa I Kaipang" kata Yen Yen dengan sikap tinggi hati sekali. Kini Pek Mau Lokai dan tiga orang ketua cabang sudah keluar dari gua dan duduk di atas batu, menjadi penonton. Bahkan para anggota Hwa I Kaipang yang kebetulan melihat adegan itu, tanpa dipanggil sudah datang sehingga sebentar saja tempat itu sudah dikelilingi puluhan orang yang menonton dengan hati tegang dan wajah gembira. Mereka mengenal watak Yen Yen yang galak dan yang suka sekali memuji kepandaian orang. Dan banyak di antara mereka yang merasa iba kepada pemuda yang nampak pendiam dan sederhana itu, karena sukar mencari orang yang mampu menandingi kelihaian Yen Yen.
Mendengar gadis itu bicara kepadanya seolah-olah seorang dewasa terhadap seorang kanak-kanak, wajah Siauw Cu menjadi kemerahan dan sinar matanya menyambar dan berkilat.
"Nona kecil, karena usiamu tidak akan lebih tua dari aku, maka tidak semestinya engkau menyebut aku orang muda, seolah-olah engkau sudah tua renta dan pikun!"
Ucapan Siauw Cu ini bukan untuk melucu melainkan karena dia mendongkol, akan tetapi terdengar lucu sehingga Pek Mau Lokai tertawa bergelak dan para anggota Hwa I Kaipang juga tersenyum dengan hati khawatir karena tentu gadis itu akan marah sekali. Dan memang Yen Yen menjadi marah. Mukanya yang memang sudah putih kemerahan itu kini menjadi merah, seperti seekor bunglon yang berubah warna, matanya mencorong dan menggerakkan tangan kirinya, jari telunjuk kiri ditudingkan ke arah muka Siauw Cu.
"Bocah sombong!" Biarpun usiamu lebih tua dariku, dalam pandanganku engkau masih kanak-kanak, tahu" Dan seorang kanak-kanak seperti engkau ingin menjadi pembantu kakekku memimpin para anggota Hwa I Kaipang" Tidak begitu mudah, sobat!"
Panas juga rasa perut Siauw Cu. Gadis ini terlalu memandang rendah dan lidahnya tajam melebihi ujung pedang. Akan tetapi karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah cucu Pek Mau Lokai, diapun menahan diri. "Nona, bukan kehendakku untuk menjadi pembantu kakekmu, melainkan beliau sendiri yang mengkehendakinya."
"Hemm, kukatakan tadi tidak semudah itu. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, engkau tidak pantas menjadi pembantu kakek. Hayo, coba kita lihat bersama apakah engkau mempunyai kemampuan untuk menandingi ilmu silatku. "Berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda dengan lagak yang gagah sekali.
Cu Goan Ciang tersenyum dan dia menoleh ke arah Pek Mau Lokai. Biarpun kakek itu tadi sudah menganjurkan agar dia menyambut tantangan gadis itu, tetap saja dia merasa sungkan dan tidak enak hati terhadap ketua Hwa I Kaipang. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, Pek Mau Lokai sambil tertawa mengangguk.
Siauw Cu lalu melangkah maju menghampiri gadis itu. Dia melihat betapa kuda-kuda gadis itu gagah sekali, dengan kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang, kaki kiri ditekuk rendah, tangan kanan diangkat ke atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada.
Siauw Cu tidak berani memandang ringan. Gadis ini adalah cucu Pek Mau Lokai yang dia tahu amat lihai, maka tentu gadis inipun bukan orang lemah, bahkan mungkin merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi, kecerdikan Siauw Cu membuat dia dapat menduga bahwa dia a kan mampu menandingi gadis itu. Kalau tidak demikian halnya, tidak mungkin kakek itu mengangkatnya sebagai pembantu dan menganjurkan dia menyambut tantangan Yen Yen. Kakek yang sakti itu sudah melihat sepak terjangnya ketika mereka di keroyok pasukan, tentu telah dapat mengukur kepandaiannya dan membandingkan dengan tingkat kepandaian Yen Yen.
"Kuharap nona tidak bersungguh-sungguh, kita bukan musuh yang sedang berkelahi," dia mengingatkan.
Gadis itu cemberut. "Siapa yang memusuhimu" Kita sedang menguji kepandaian, bukan berkelahi. Tentu saja aku bersungguh-sungguh!" katanya.
"Baik, aku sudah siap. Silakan mulai, nona."kata Siauw Cu dan diapun sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki seperti orang menunggang kuda, kedua tangan dirangkap di depan dada seperti memberi hormat dan begitu lawan bergerak, kedua tangannya turun ke dekat pinggang kanan kiri.
"Lihat seranganku, haiiittt....!" Yen Yen berseru dan iapun menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Siau Cu terkejut dan kagum ketika merasa angin pukulan menyambar dengan kuatnya. Benar seperti dugaannya, gadis ini lihai sekali. Karena dia memang sudah menduga demikian, biarpun kaget, dia sudah siap sedia dan cepat dia menggerakkan kaki memutar tubuh miring sambil menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.
"Dukk-duk-dukk!" Tida kali berturut-turut dia menangkis pukulan berantai dari Yen Yen dan tangkisann yang ketiga kalinya membuat gadis itu agak terdorong ke belakang.
Yen Yen merasa penasaran. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, ia masih kalah kuat, maka ia lalu mempergunakan kecepatannya dan menyerang lagi dengan cepat dan bertubi-tubi. Namun, Siauw Cu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki pertahanan yang kokoh. Dia dapat pula mengimbangi kecepatan gerakan lawannya dengan langkah-langkahnya, bahkan dia juga mulai membalas dengan serangan yang tak kalah cepat dan kuatnya.
Terjadilah pertandingan yang membuat semua anggota Hwa I Kaipang merasa kagum. Inilah yang dikehendaki oleh Lee-pangcu ketika dia menyetujui Siauw Cu menerima tantangan itu. Dengan memperlihatkan ilmu silatnya yang ternyata mampu menandingi ilmu kepandaian Yen Yen, dengan sendirinya para anggota Hwa I Kaipang menjadi kagum dan tentu tidak akan ada yang merasa penasaran kalau nanti mereka mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu diangkat menjadi pembantu utama sang ketua.
Lima puluh jurus lewat dengan ramainya dan biarpun para anggota Hwa I Kaipang semua menganggap bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian seimbang dan pertandingan itu seru dan saling serang, namun Yen Yen sendiri, juga tiga orang ketua cabang dan tentu saja Pek Mau Lokai maklum bahwa Siauw Cu telah banyak mengalah dalam pertandingan itu. Balasan serangan pemuda itu bukan untuk mendesak, melainkan hanya dilakukan untuk membendung serangan lawan saja. Serangan balasannya hanya untuk melindungi dirinya, bukan untuk menjatuhkan lawan. Hal ini lama-kelamaan terasa juga oleh Yen Yen, membuat ia menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah dada lawan sambil mengerahkan seluruh tenaganya! Inilah serangan yang amat berbahaya sehingga Pek Mau Lokai sendiri mengerutkan alisnya, menganggap cucunya itu keterlaluan sekali karena serangan maut seperti itu tidak pantas dilakukan dalam pertandingan menguji kepandaian atau pi-bu (adu silat) persahabatan, bukan mengandung kebencian atau permusuhan. Akan tetapi, karena dia percaya akan kemampuan Siauw Cu, diapun tenang-tenang saja, tidak seperti tiga orang muridnya yang menjadi pucat wajahnya. Tiga orang ketua cabang ini memiliki ilmu kepandaian silat yang setingkat dengan Yen Yen dan mereka juga tahu betapa hebatnya ilmu yang juga mereka kuasai itu.
Siauw Cu merasakan sambaran angin dahsyat dari kedua tangan itu dan dia mengenal pukulan berbahaya, maka diapun segera menggunakan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika kedua tangan lawan lewat di bawahnya, kedua tangannya dengan tubuh menukik itu menyambar, mencengkeram ke arah kepala Yen Yen!
"Aihhh....!!" Tiga orang ketua cabang melompat berdiri saking kaget dan khawatirnya, hanya Pek Mau Lokai yang tetap duduk tenang walaupun mukanya berubah kaget karena kalau tadi dia dapat mengenal ilmu silat Siauw Cu dengan jurus-jurus yang ampuh dari Siauw-lim-oai, kini dia tidak mengenal ilmu yang dipergunakan Siauw Cu ketika tubuhnya mencelat ke atas seperti burung itu. Dia yakin bahwa biarpun Siauw Cu dapat mencengkeram kepala dan menewaskan cucunya, namun pemuda itu tidak mungkin mau melakukannya. Dan benar saja, Siauw Cu sudah melompat turun lagi dan berkata lirih.
"Maafkan aku, nona." Tangannya bergerak dan sebatang tusuk sanggul perak melayang ke arah gadis itu. Yen Yens cepat menyambutnya dan mukanya berubah kemerahan. Kiranya, tusuk sanggulnya telah dapat dicabut pemuda itu tanpa ia merasakannya! Ini saja sudah merupakan bukti nyata bahwa ia telah kalah, karena kalau pemuda itu menghendaki tadi dia telah mencabut tusuk sanggul, melainkan mencabut nyawanya melalui cengkeraman pada kepalanya!
Akan tetapi Yen Yen adalah seorang gadis yang galak dan tidak mudah mau menerima kekalahan walaupun sesungguhnya ia tidak sombong. Ia lincah dan agak binal, memandang rendah siapa saja sebelum ia yakin benar akan kemampuan orang itu. Kini, setelah menancapkan lagi tusuk sanggulnya dan peristiwa itu tidak dilihat para anggota Hwa I Kaipang, kecuali kakeknya dan tiga orang ketua cabang, ia lalu menggerakkan tangannya dan di lain saat ia telah mancabut sebatang tongkat sebesar ibu jari kakinya yang tadi ia selipkan di punggung. Ia memutar-mutar tongkat yang panjangnya satu meter itu di antara jari-jari tangan kirinya sehingga tongkat itu berputar cepat seperti kitiran.
"Orang She Cu, engkau boleh juga. Akan tetapi kalau engkau belum mengalahkan tongkatku, aku belum puas. Tongkat adalah senjata keramat para pengemis untuk menaklukkan setan dan iblis. Majulah dan keluarkan senjatamu!" tantangnya.
"Nona, aku hanya mempunyai sebatang pedang, akan tetapi pedang itu hanya akan kupergunakan untuk menghadapi musuh." Dia teringat akan pedangnya, pedang yang pernah menembusi dada Lee Siang kekasihnya, pedang yang sejak saat itu selalu dibawanya dan tadi dia tinggalkan di dalam gua karena dia tidak ingin menghadapi tantangan nona itu dengan senjata di tangannya. "Karena ini hanya merupakan pertandingan persahabatan, aku akan menghadapi tongkatmu dengan tangan kosong saja."
"Ihhh, berani engkau memandang rendah tongkat kami" Ingat, ilmu tongkat kami Hok-mo-tuung (Tongkat Penakluk Iblis) tak terkalahkan di dunia ini!"
Mendengar ini, kakeknya tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Yen Yen, jangan tekebur seperti itu! Engkau memalukan kakekmu saja. Mana ada ilmu yang tak terkalahkan di dunia ini. Tidak ada!"
Yen Yen memandang kakeknya. "Kek, kenapa kita harus merendahkan ilmu sendiri. Orang she Cu, kuperingatkan sekali lagi. Keluarkan senjatamu untuk menghadapi tongkatku!"
"Tidak nona, cukup dengan kedua tangan kakiku saja. Majulah, aku telah siap menghadapi tongkatmu!"
Marahlah Yen Yen. Ia menganggap pemuda itu yang telah berhasil mencabut tusuk sanggulnya, terlalu memandang rendah tongkatnya. "Baik, engkau sendiri yang mencari penyakit. Nah, sambutlah tongkatku!" Berkata demikian, ia menerjang dengan amat cepatnya.
Dengan sigap Siauw Cu mengelak ke samping, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya secara aneh! Dia menggerakkan tangan untuk menangkap ujung tongkat itu, untuk merampasnya, akan tetapi ujung tongkat tergetar dan lepas dari sambaran tangannya dan secara aneh telah meluncur dan menusuk ke arah antara kedua matanya!
"Ehh...!" Siauw Cu terkejut dan cepat melangkah mundur, akan tetapi kembali ujung tongkat itu telah menotoh jalan darah di depan tubuhnya secara bertubi-tubi. Dia mengelak ke sana-sini dan dalam waktu beberapa detik saja, ujung tongkat itu telah menyerang dengan totokan ke arah lima jalan darah di bagian tubuh depan.
Siauw Cu meloncat ke belakang dan agak terhuyung, dan tongkat itu sempat pula menotok pundaknya. Untung dia masih miringkan pundak sehingga tongkat itu tidak tepat mengenai jalan darah, akan tetapi tetap saja sempat membuat dia tergetar dan terhuyung, dan bajunya di bagian pundak itupun berlubang!"
"Nah, baru engkau merasakan sedikit kelihaian tongkatku!" kata nona itu dengan suara mengandung kebanggaan.
"Tongkatmu hebat, nona, akan tetapi aku belum kalah," kata Siauw Cu penasaran dan begitu gadis itu menggerakkan tongkatnya lagi, diapun cepat memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat!
"Hemm...!" Pek-mau Lo kai berseru kagum dan dia tidak berkedip mengikuti gerakan-gerakan Siauw Cu ketika menghadapi desakan tongkat itu dengan ilmunya yang aneh. Dia melihat gerakan pemuda itu seperti seekor burung rajawali saja. Tangkisan yang biasanya dilakukan, lengan menuju ke luar, kini sebaliknya tangkisan itu dari luar ke dalam, disusul cengkeraman. Juga tubuh itu seringkali mencelat ke atas dan menukik seperti seekor burung rajawali menyambar. Kakek itu merasa kagum dan heran. Dia tak mengenal ilmu silat Siauw-lim-pai mengenai dasar gerakan ilmu silat itu yang kokoh kuat, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda ini, walaupun memiliki dasar gerakan kaki tangan Siauw-lim-pai, namun amat aneh gerakan kembangannya, mirip burung rajawali. Pernah dia melihat ilmu silat yang meniru gerakan burung rajawali, seperti yang terdapat pada aliran Kun-lun-pai, akan tetapi tauw-kun (silat rajawali) yang dimainkan pemuda ini berbeda sama sekali dan amat hebatnya.
Yen Yen sendiri menjadi bingung. Kini tongkatnya tak pernah mampu mendekati lawan, bahkan terancam untuk dirampas. Gerakan yang cepat, kadang mencelat ke atas itu amat membingungkannya. Baru belasan jurus saja, dua kali tongkatnya hampir terampas. Lawannya menangkis dari luar ke dalam diteruskan cengkeraman dan dua kali sudah tongkatnya kena dicengkeram lawan, akan tetapi dapat ia tarik lepas kembali. Pek Mau Lokai maklum bahwa yang dua kali itu, kalau Siauw Cu menghendaki, tentu dia sudah dapat merampas tongkat, atau setidaknya mencengkeramnya patah-patah. Akan tetapi, agaknya pemuda itu tidak mau merusak tongkat, dan hal ini membuat dia semakin senang dan kagum. Memang ilmu silat tongkat cucunya belum sempurna benar. Kalau dia yang memainkan tongkat itu, tentu dia akan mampu mengimbangi ilmu silat aneh dari Siauw Cu.
Kuda Besi 8 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Pedang Berkarat Pena Beraksara 10

Cari Blog Ini