Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Setelah melihat lawan terengah-engah dan sambaran pukulan dan cengkeraman tangannya tidaklah seganas tadi, tanda bahwa tenaga lawan mulai berkurang, barulah Shu Ta mengirim serangan balasan. Ketika melihat lengan kanan lawan yang besar panjang itu menyambar lewat, secepat kilat dia menggunakan jari-jari tangan terbuka menghantam dari samping ke arah belakang siku lawan.
"Dukk...!!" Tangannya tepat sekali mengenai otot yang berada di dekat siku dan seketika lengan kanan Khabuli tergetar hebat dan seperti lumpuh. Pada saat itu, kaki Shu Ta juga menyambar dan mengenai belakang lutut kiri lawan.
"Dukkk...!!" Kembali Khabuli merasa betapa kakinya tergetar dan lumpuh, dan tak dapat pula dia menahan dirinya untuk jatuh berlutut dengan sebelah kakinya! Kalau Shu Ta menghendaki, tentu dia dapat mengirim serangan susulan pada saat lawan berlutut itu. Akan tetapi dia tidak melakukan hal itu, hanya menanti dengan berdiri tegak.
Terdengar tepuk tangan. Yang bertepuk tangan adalah Mimi karena gadis ini merasa girang sekali melihat jagoannya menang. "Kakak Khabuli, engkau sudah kalah!"teriaknya.
Akan tetapi Khabuli yang merasa penasaran dan marah, tidak percaya bahwa dia dapat dibuat jatuh berlutut oleh lawan, menggunakan kesempatan itu untuk melompat dan sekali terkam, kedua lengannya yang panjang itu telah berhasil menerkam tubuh Shu Ta. Mimi mengeluarkan seruan kaget, juga Bouw Kongcu terbelalak, maklum betapa bahayanya kalau orang sudah dapat diterkam oleh Khabuli seperti itu. Jari-jari tangan yang terlatih dengan ilmu gulat itu tentu akan dapat mematahkan tulang, mencekik dan mengunci, membuat lawan tidak mampu melepaskan diri lagi. Khabuli mengeluarkan gerengan seperti seekor beruang yang berhasil menangkap mangsanya. Agaknya, rasa malu karena tadi dijatuhkan, membuat panglima raksasa ini lupa bahwa dia sedang menguji kepandaian seorang calon, bukan sedang berkelahi melawan musuh! Dia sudah mengerahkan tenaga dan siap mematahkan lengan atau tulang punggung lawan.
Akan tetapi, sesungguhnya, Shu Ta bukan dapat diterkam karena lengah. Dia memang sengaja membiarkan dirinya diterkam untuk cepat menyudahi pertandingan itu. Maka, begitu kedua pundaknya dapat diterkamm sebelum lawan mampu mengerahkan tenaganya, secepat kilat kedua tangannya sudah melakukan totokan-totokan.
"Tuk! Tuk!" Dua kali jari tangannya menotok dan seketika tubuh Khabuli menjadi lemas. Walaupun kedua lengan Khabuli masih merangkul dan menerkamnya, namun sesungguhnya, raksasa itu sudah kehilangan tenaga karena berada dalam keadaan tertotok! Shu Ta tidak ingin membikin malu lawan, maka diapun mengerahkan tenaga dan memanggul tubuh yang masih menerkamnya itu, membawanya ke meja dan mendudukkan tubuh Khabuli ke atas kursinya, kemudian, secepat kilat dia menggerakkan tangan memulihkan totokan lalu mundur, mendekati kursinya sendiri!
Bouw Kongcu dan Bouw Siocia bertepuk tangan dengan gembira. "Kakak Khabuli, engkau sudah kalah, hayo cepat minta maaf kepada saudara Shu Ta!" kata Bouw Kongcu.
Sekali ini, Khabuli tidak dapat lagi menyangkal kekalahannya. Dia maklum bahwa pemuda sederhana itu benar-benar amat lihai. Juga dia tahu bahwa Shu Ta sengaja tidak ingin merobohkannya dan membikin malu, maka diapun tidak dapat berkata apa-apa lagi. Wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam.
"Kakak Khabuli, hayo kau mengaku kalah!" kata pula Mimi dengan gembira.
"Bouw Kongcu dan Bouw Siocia, sudahlah, sesungguhnya, Khabuli-Ciangkun telah bersikap mengalah. Dia memang hebat, memiliki tenaga yang kuat dan ilmu silat serta ilmu gulatnya lihat sekali," kata Shu Ta yang tidak ingin menanam permusuhan dalam penyusupannya di pasukan Mongol.
"Saudara Shu Ta, melihat ilmu kepandaianmu, kami merasa gembira menerimamu sebagai seorang perwira dalam pasukan kami. Engkau kami beri tugas untuk mengajarkan ilmu silat kepada para perwira rendahan agar tingkat mereka bertambah."
Khabuli yang merasa malu dan juga tidak enak untuk terus berada di siu, bangkit berdiri. "Ilmu totok dari saudara Shu Ta memang sungguh lihai sekali sehingga aku dapat dibuat tidak berdaya. Yauw-Ciangkun, aku masih mempunyai kepentingan lain di kota. Aku pergi dulu! Tanpa menanti jawaban, Khabuli sudah melangkah keluar dari ruangan itu dengan tergesa-gesa.
Demikianlah, mulai hari itu, Shu Ta diterima sebagai seorang perwira baru, dan dia mendapat tugas untuk melatih ilmu silat kepada para perwira lain. Dia bekerja dengan baik, dan atas desakan kedua putera puteri Menteri Bayan itu, sebentar saja dia sudah mendapatkan kepercayaan dan kenaikan pangkat sehingga dia dipercaya untuk memimpin seregu pasukan. Shu Ta memang cerdik sekali. Setiap kali menerima tugas, selalu dia laksanakan dengan baik. Kalau pasukannya menerima tugas untuk menjaga keamanan, dia bersungguh-sungguh menumpas gerombolan penjahat sehingga setelah dia menjadi perwira keamanan, daerah Nan-king menjadi aman. Dan kalau dia menerima tugas untuk membasmi kelompok pemberontak, dia selalu berhasil memberi kabar kepada kelompok itu, sehingga pada saat dia dan pasukannya tiba, maka para pemberontak itu sudah kabur sehingga tidak terjadi pembasmian atau penangkapan.
Seperti yang telah dia perhitungkan dan harapkan ketika timbul pikirannya untuk menyusup menjadi seorang perwira kerajaan Mongol, Shu Ta dapat mulai mengumpulkan keterangan tentang keadaan kerajaan Mongol, tentang kekuatannya, dan tentang kemunduran-kemunduran yang sedang terjadi karena kaisarnya, yaitu Kaisar Togan Timur (1333-1368), bukan merupakan seorang kaisar yang bijaksana dan pandai seperti nenek moyangnya. Seluruh kekuasaan dikendalikan oleh para menteri, terutama Menteri Bayan, dan para thai-kam (orang kebiri), yaitu mereka yang mempengaruhi kaisar dari sebelah dalam istana. Korupsi merajalela, pemerintahan lemah sekali dan pengendalian atau pengontrolan terhadap para pejabat di daerah hampir tidak ada lagi. Para pejabat di daerah dapat bertindak sesuka hati sendiri, dan kalaupun ada pemeriksa datang dari kota raja, pemeriksa itu tentu melaporkan yang baik-baik saja ke pusat karena dia sudah menerima suapan dari para pejabat daerah. Dalam keadaan pemerintah lemah seperti itu, di daerah selalu timbul pergolakan, gerombolan-gerombolan pemberontak bermunculan, gerombolan-gerombolan penjahat juga saling memperebutkan kekuasaan. Makin nampaklah oleh Shu Ta bahwa saatnya hampir masak untuk mengadakan pemberontakan besar-besaran yang pasti akan mampu menggulingkan pemerintah yang sedang dalam keadaan lemah itu. Apa lagi pemerintahan penjajah yang memiliki pamong praja yang korup itu amat dibenci rakyat, karena para pejabat itu melakukan penekanan, penindasan dan penghisapan. Pemerintah yang para pejabatnya korup, mementingkan kesenangan sendiri, di mana terjadi perebutan kekuasaan, pemerintah yang tidak disuka oleh rakyat jelata, condong untuk mudah berantakan dan roboh. Hanya pemerintah yang dipimpin oleh mereka yang benar-benar mencinta negara dan bangsa, mereka yang adil dan jujur, tidak korup, yang memiliki pasukan yang kokoh kuat dan taat serta setia, yang didukung oleh rakyat jelata, pemerintah seperti itu yang akan berhasil memajukan kehidupan rakyat dan memperkuat negara ddan pemerintahannya.
Hubungan Shu Ta yang kini disebut Shu-Ciangkun (Panglima Shu) dan kakak beradik Bouw semakin baik dan biarpun mereka tinggal saling berpisah jauh, karena kakak beradik itu tinggal di Peking, namun mereka sering saling memberi kabar dan setiap kali ada kesempatan, mereka saling bertemu, terutama kalau kakak beradik itu pergi ke Nan-king.
Kita tinggalkan dulu Shu Ta yang kini telah menjadi seorang panglima muda yang dipercaya di Nan-king, yang mendiami sebuah gedung dan memiliki belasan orang pengawal dan pelayan walaupun dia masih hidup membujang. Shu Ta sama sekali tidak tahu bahwa beberapa bulan kemudian setelah dia menjadi panglima di Nan-king, terjadi kegemparan dengan adanya berita tentang seorang pemberontak yang telah melakukan pembunuhan terhadap seorang perwira yang bertugas di Wu-han, bahkan gambarnya dipasang di mana-mana agar orang-orang mengetahui dan membantu pemerintah menangkap pembunuh itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal gambar itu sebagai suhengnya, Cu Goan Ciang! Akan tetapi tentu saja dia pura-pura tidak tahu, hanya memesan kepada semua anak buahnya bahwa kalau mereka sampai dapat bertemu dengan "pembunuh" itu, agar jangan dibunuh akan tetapi ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya. Orang itu amat penting, harus ditangkap dan dibawa membuka rahasia para pemberontak, demikian katanya, maka tidak boleh dibunuh dan dihadapkan kepadanya hidup-hidup. Tentu saja perintah ini dikeluarkan untuk melindungi Goan Ciang agar jangan sampai terbunuh.
Pada suatu pagi, seorang pemuda dusun yang nampak bodoh dan lugu, memasuki pintu gerbang kota Nan-king bersama seorang pemuda lain yang agak jangkung, juga seorang dusun yang kelihatan bodoh dan bermata sipit, jenggot dan kumisnya kacau tak terpelihara. Tidak ada seorangpun yang akan mengenal mereka, karena wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali dari keadaan asli mereka. Mereka adalah Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang melakukan penyamaran sebagai dua orang dusun yang bodoh dan sederhana seklai. Siapa akan mengira bahwa pemuda jangkung yang mukanya buruk dan licik, juga nampak amat bodoh itu, adalah Cu Goan Ciang yang baru saja menggegerkan Wu-han karena dia telah membunuh seorang perwira tinggi dan beberapa orang prajurit" Wajah aslinya tampan dan gagah, akan tetapi sekarang dia kelihatan seperti seorang pemuda dusun yang bodoh. Adapun pemuda ke dua yang nampak muda dan juga bodoh itu, lebih mengagumkan lagi kalau orang melihat wajah aslinya. Ia adalah seorang gadis yang cantik jelita, lincah jenakan, bahkan ia adalah wakil ketua umum dari Hwa I Kaipang yang terkenal! Adapun Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantunya.
Dua orang pimpinan Hwa I Kaipang ini sengaja menyamar dan memasuki Nan-king untuk menyelidiki tentang Hek I Kaipang yang kini agaknya diperalat oleh pemerintah Mongol, menjadi antek Mongol. Mereka ingin menyelidiki sampai berapa jauh hubungan atau persekongkolan antara Hek I Kaipang dengan para pembesar Mongol sehingga perkumpulan pengemis itu tega untuk mengkhiananti golongan sendiri, membantu para prajurit untuk menyerang Hwa I Kaipang.
Tidak sukar bagi kedua orang itu untuk membaur dengan banyak orang yang keadaannya mirip mereka. Di kota Nan-king memang setiap hari berdatangan penduduk dusun untuk menjual hasil sawah ladang mereka. Ratusan orang banyaknya, datang dari berbagai dusun di sekitar Nan-king. Para penghuni dusun ini seperti keadaan mereka berabad-abad yang lalu, masih sama saja. Rajin bekerja, sederhana, kurang akal sehingga hasil merekapun amat sederhana, namun agaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sederhana pula. Setiap hari atau beberapa hari sekali, setelah memetik hasil ladang mereka, para petani ini berangkat dari dusun pada pagi hari sekali, bahkan yang jaraknya agak jauh berangkat malam-malam, membawa obor di tangan, memikul barang dagangan berupa sayur mayur, buah-buahan dan sebagainya, untuk dibawa ke kota Nan-king dan tidak kesiangan tiba di pasar, di mana banyak orang berbelanja. Setelah dagangan mereka habis, biasanya mendapatkan uang tidak berapa banyak untuk ukuran orang kota, mereka menghabiskan pula uang itu untuk berbelanja bermacam keperluan, baju baru, sepatu atau makanan yang tidak terdapat di dusun untuk anak mereka. Mereka tidak tahu betapa hasil ladang mereka yang didapat dengan cucuran keringat ketika menanam, merawat, kemudian memtik dan memikulnya ke pasar, diharbai semurah-murahnya oleh orang kota, tidak tahu pula bahwa barang-barang yang mereka beli dari orang kota, dihargai amat mahal. Orang bodoh selalu menjadi makanan orang pintar, pada hal, sepantasnya orang pintar menjadi guru orang bodoh, orang kaya menjadi penderma orang miskin, orang kuat menjadi pelindung orang lemah dan selanjutnya. Sayang keadaan di dunia tidaklah demikian adanya. Yang kuat menindas yang lemah, yang pintar menipu yang bodoh, yang kaya merendahkan yang miskin.
Cu Goan Ciang yang menggunakan nama baru Hung Wu bersama Tang Hui Yen yang memakai nama Siauw Yen, memasuki pasar di mana terdapat banyak orang dusun. Mereka tadi telah membeli lima buah kue bakpouw untuk sarapan pagi. Mereka, seperti orang-orang dusun itu, tidak malu untuk makan bakpouw di tepi jalan, mendorong makanan itu ke dalam perut dengan air teh yang mereka bawa sebagai bekal, seperti kebiasaan orang-orang dusun pula. Hung Wu menghabiskan tiga buah bakpouw, masih menerima sepotong pula dari Siauw Yen karena gadis yang kini menjadi pemuda remaja itu hanya mampu menghabiskan satu setengah saja.
Mereka kini sengaja menghampiri sekelompok pengemis yang berkeliaran di dalam pasar, minta sedekah. Mereka melihat bermacam pengemis, dari yang tua sampai yang muda dan kanak-kanak, akan tetapi mereka itu adalah pengemis biasa, yaitu mereka yang hidupnya terlantar dan tidak termasuk pengemis yang berorganisasi. Tidak nampak seorangpun pengemis yang berpakaian hitam-hitam, yaitu anggota Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Diam-diam mereka berdua merasa heran. Mereka tahu bahwa Hek I Kaipang berpusat di Nan-king, dan merupakan perkumpulan pengemis yang berkuasa di Nan-king. Akan tetapi kenapa di kota Nan-king sendiri tidak nampak seorangpun pengemis anggota Hek I Kaipang"
Tiba-tiba Siauw Yen menyentuh tangan Hung Wu dan berbisik, "Hung-twako, kita ikuti dua orang anak itu."
Hung Wu memandang dan melihat dua orang anak jembel yang tadinya dia lihat menghitung-hitung uang receh berkeping-keping kini berjalan keluar melalui pintu belakang pasar. Dia tidak tahu mengapa Siauw Yen mengajak dia mengikuti dua orang anak itu, akan tetapi dia tidak membantah dan dengan langkah santai agar tidak kentara mereka mengikuti dua orang anak-anak yang keluar dari dalam pasar melalui pintu belakang. Dua orang anak laki-laki berusia antara dua belas sampai lima belas tahun itu keluar dari pintu menuju ke sebuah jembatan. Di tebing dekat jembatan, bagian bawahnya, nampak seorang laki-laki setengah tua sedang duduk dan kini Hung Wu dan Siauw Yen memandang penuh perhatian karena laki-laki itu adalah seorang anggota Hek I Kaipang! Dua orang anak laki-laki itu menghampiri pengemis baju hitam yang menyambut mereka dengan mata melotot dan sikap bengis.
"Paman, kalau boleh, hari ini setoranku kukurangi tiga keping, besok akan kutambahkan tiga keping. Adikku sakit dan aku ingin membelikan buah yang segar untuknya," kata anak yang lebih kecil dengan suara memohon. Sedangkan anak yang lain sudah menyerahkan uang yang dihitung oleh pengemis itu, jumlahnya sepuluh keping.
"Apa" Si pengemis melotot dan membentak. "Kalau ingin mendapatkan penghasilan lebih, bekerjalah lebih giat! Tidak boleh potong, kalau setoranmu kurang, jari tanganmu yang akan kupotong!"
Anak itu menjadi ketakutan dan biarpun dia cemberut, dia menyerahkan semua uangnya yang jumlahnya juga hanya sepuluh keping. Setelah pengemis itu menerima uang mereka, kedua orang anak jembel itu pergi. Kemudian berdatangan para pengemis yang tadi dilihat oleh Hung Wu dan Siauw Yen di pasar, dan mereka semua menyetorkan uang kepada anggota Hek I Kaipang itu.
Hung Wu dan Siauw Yen saling pandang. Tanpa bicarapun mereka mengerti sekarang mengapa mereka tidak melihat seorangpum anggota Hek I Kaipang mengemis di kota Nan-king. Kiranya mereka itu sekarang bukan lagi mengemis sendiri melainkan menjadi pemeras para pengemis. Para pengemis yang melakukan pekerjaan mengemis, dan hasil pekerjaan itu harus disetorkan kepada mereka sebagai semacam "pajak"! Dan orang-orang Hek I Kaipang pasti tidak akan berani melakukan pemerasan seperti itu kalau tidak mendapat restu dari penguasa setempat. Agaknya inilah imbalan Hek I Kaipang membantu pasukan pemerintah untuk memusuhi golongannya sendiri. Mereka mendapatkan kekuasaan tertentu, di antaranya memungut pajak dari para pengemis lain yang bukan anggota Hek I Kaipang.
Hung Wu dan Siauw Yen lalu meninggalkan jembatan itu dan sehari mereka berkeliaran di kota dan melakukan penyelidikan. Akhirnya, mereka mengetahui bahwa benar seperti yang mereka duga, Hek I Kaipang kini benar-benar telah merupakan sebuah perkumpulan yang menjadi antek pemerintah Mongol, telah rela menjual golongan sendiri, bangsa sendiri, demi kemakmuran yang mereka peroleh dari pejabat setempat. Hek I Kaipang yang telah bersekongkol dan menjadi antek Mongol, dan untuk balas jasa, para pejabat tinggi memberi hak kepada mereka untuk memungut pajak para pengemis lain, dan menguasai pula tempat-tempat hiburan, seperti rumah-rumah pelesir, rumah-rumah judi dan lain-lain. Di tempat-tempat hiburan ini, merekapun memungut pajak besar dan tidak ada pengusaha rumah pelesir atau rumah judi yang berani menentang mereka karena di belakang para pengemis ini berdiri pembesar setempat. Tentu saja, Hek I Kaipang memperoleh penghasilan besar, pemasukan uang secara mudah sekali.
Lewat tengah hari, Hung Wu dan Siauw Yen mengaso di sebuah taman di kota, duduk di bangku. Mereka merasa lelah, juga marah, melihat betapa perkumpulan pengemis Hek I Kaipang kini jelas menjadi antek pemerintah dan kini mereka tahu mengapa Hek I Kaipang menyerang Pek Mau Lokai.
"Sungguh aneh," kata Siauw Yen. "Dahulu Hek I Kaipang merupakan rekan dari Hwa I Kaipang, bahkan para pimpinan Hek I Kaipang adalah sahabat-sahabat baik kakekku. Apa lagi setelah ketua Hek I Kaipang yang baru adalah murid keponakan kakek sendiri, hubungan di antara kedua perkumpulan amat baik, bahkan bekerja sama dalam menentang pemerintah penjajah Mongol. Akan tetapi, sejak Coa Kun itu menjadi ketuanya, terjadi perubahan. Dan sekarang, kita melihat sendiri betapa Hek I Kaipang benar-benar menjadi antek dan bahkan mendapatkan kekuasaan di Nan-king. Hal ini berbahaya sekali."
"Kurasa, jalan satu-satunya untuk melemahkan penjajah adalah menguasai Hek I Kaipang. Kurasa, para anggota Hek I Kaipang hanya terbawa oleh ketuanya, kalau kita mampu mengambil alih kepemimpinan atas para anggota Hek I Kaipang, kita dapat mengubah kemudi dan mengarahkan Hek I Kaipang kepada perjuangan."
Mendengar usul Hung Wu atau Cu Goan Ciang itu, Siauw Yen mengangguk-angguk dan berkata, "Memang benar. Kakek pernah mengatakan pendapat seperti itu. Akan tetapi, bagaimana kita mampu mempengaruhi mereka atau mengambil alih kekuasaan" Dengan kekerasan, tentu akan terjadi pertempuran antara kedua kaipang, dan mengingat bahwa pasukan pemerintah tentu akan membantu Hek I Kaipang, sukar sekali bagi kita untuk mendapatkan kemenangan."
"Tentu saja tidak dengan kekerasan, karena maksud kita bukan membasmi perkumpulan itu dan memusuhi anggotanya, melainkan menundukkan para pimpinannya agar kita dapat mengembalikan Hek I Kaipang ke jalan perjuangan."
"Akan tetapi bagaimana caranya, toako" Hek I Kaipang memiliki pemimpin-pemimpin yang lihai. Ketuanya, Coa Kun itu lihai sekali terutama puterinya yang bernama Coa Leng Si, biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi ia memiliki kepandaian yang melebihi ayahnya! Aku sendiri bahkan pernah bertanding dengannya dalam sebuah bentrokan baru-baru ini, dan harus kuakui bahwa ia amat lihai dan kalau dilanjutkan tentu aku akan roboh olehnya."
"Hemm, begitu hebatkah ia"
"Masih ada para pembantu pimpinan yang juga lihai dan jangan dilupakan, setelah kini mereka membantu pemerintah, tentu mereka dekat dengan para jagoan Mongol yang berada di Nan-king. Tidak mudah menundukkan Hek I Kaipang sekarang ini, toako."
"Akan tetapi, kita harus mencari jalan, harus menundukkan mereka dan merenggut mereka lepas dari pengaruh pemerintah Mongol. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita dapat bergerak bebas"
"Ssttt... lihat di sana, toako," tiba-tiba Siauw Yen berbisik dan matanya memandang ke arah jalan. Hung Wu menengok dan diapun melihat apa yang menarik perhatian gadis yang menyamar sebagai pemuda itu. Seorang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berjalan di tepi jalan. Yang menarik perhatian mereka berdua adalah bahwa laki-laki itu mengenakan pakaian berkembang dan tambal-tambalan, pakaian seorang anggota Hwa I Kaipang!
"Jelas dia seorang yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang," kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk. Peraturan pertama yang mereka berikan kepada para anggota dan yang segera ditaati, kini sudah menghasilkan buah. Dengan peraturan baru itu, kalau ada yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang, akan mudah dilihat dan segera dikenal. Kalau orang tinggi kurus itu seorang anggota Hwa I Kaipang yang asli tentu dia sudah tahu akan peraturan baru itu dan tidak akan mengenakan pakaian menyolok itu! Jelas, dia seorang mata-mata yang biasa menyelidiki Hwa I Kaipang. Mungkin orangnya pemerintah, mungkin pula orangnya Hek I Kaipang.
"Mari kita membayanginya," kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk dan tersenyum, karena dia merasa semakin kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang bukan saja berjiwa pahlawan, patriotik, akan tetapi juga cerdik dan pemberani!
"Dia bukan anggota kita" Dalam perjalanan membayangi pengemis itu, Hung Wu bertanya. Siauw Yen menggeleng kepala dan Hung Wu merasa yakin karena tentu saja gadis yang mewakili kakeknya memimpin Hwa I Kaipang ini sudah hafal akan semua anggota perkumpulan itu.
Tepat seperti telah diduganya, Siauw Yen melihat orang itu memasuki pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang. Di depan rumah itu terdapat papan nama besar dengan tulisan Hek I Kaipang yang coretannya gagah dan di pekarangan itu terdapat sebuah gardu penjagaan di mana terdapat belasan orang anggota Hek I Kaipang berjaga. Orang yang berpakaian pengemis baju kembang itu berhenti sebentar karena ditahan oleh para penjaga, akan tetapi setelah bicara sebentar, dia diperkenankan masuk.
Melihat ini, Siauw Yen berbisik kepada Hung Wu, "Toako, jelaslah bahwa pihak Hek I Kaipang menyebar mata-mata yang menyamar seperti anggota kita. Akan tetapi, dengan adanya peraturan baru kita, maka kini kita semua akan mudah menangkap mata-mata mereka. Kiranya sudah banyak yang kita dapatkan dalam penyelidikan kita tadi, mari kita pulang, toako."
Hung Wu mengangguk, akan tetapi pada saat itu nampak sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dipersiapkan orang di pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang. Siauw Yen memberi isarat kepada Hung Wu untuk menanti sebentar. Mereka dapat melihat seorang laki-laki yang berusia lima puluhan tahun, bertubuh sedang dan mukanya gagah sekali, seperti muka harimau, keluar dari dalam rumah itu bersama seorang kakek dan nenek yang keduanya sudah tua renta dan berjalan dibantu tongkat. Mereka bertiga naik ke dalam kereta dan Siauw Yen cepat memberi isarat kepada Hung Wu untuk segera pergi dari situ. Siauw Yen mengajaknya menyelinap di tempat sepi dan berkata, "Toako, engkau harus membayangi kereta itu jangan dilepaskan. Laki-laki tadi adalah ketua Hek I Kaipang, Coa Kun. Kebetulan sekali dia hendak keluar kota dan yang menemaninya hanya seorang kakek dan seorang nenek yang sudah sangata tua. Inilah kesempatan tepat bagi kita untuk turun tangan, membunuh pengkhianat bangsa itu. Kalau dia mati dan Hek I Kaipang dipegang orang lain mungkin sikap mereka akan menjadi lain. Kau bayangi saja, jangan turun tangan karena dia cukup lihai. Aku akan mencari bala bantuan." Tanpa menanti Hung Wu menjawab, Siauw Yen sudah menyelinap dan lenyap.
Hung Wu tinggal seorang diri, termangu. Namun, dia dapat melihat kebenaran dalam pendapat gadis itu. Memang sayang sekali kalau Hek I Kaipang dibawa menyeleweng oleh ketuanya, menjadi antek Mongol. Semua kekuatan yang ada pada rakyat yang terjajah harus dikerahkan, kalau hendak membebaskan diri dari belenggu penjajah. Terutama semua perkumpulan, harus bersatu padu. Kalau perkumpulan yang tidak mau bersatu, apa lagi yang bahkan berkhinat membantu penjajah, harus dibasmi, karena hal ini berarti merontokkan sebuah di antara gigi dan kuku penjajah.
Kereta itu mulai bergerak meninggalkan pekarangan. Hung Wu segera mengikutinya dari jauh. Untung baginya bahwa kereta itu oleh kusirnya, dijalankan lambat-lambat sehingga tidak sukar baginya untuk terus membayangi kereta itu. Kereta itu ternyata menuju ke utara dan keluar dari pintu gerbang utara. Hung Wu juga keluar dari pintu gerbang itu. Matahari sudah mulai condong ke barat. Hung Wu menduga-duga apakah Siauw Yen berhasil mendapatkan bala bantuan. Ah, gadis itu terlalu berhati-hati, pikirnya. Biarpun ketua Hek I Kaipang lihai, kalau dia, maju bersama Siauw Yen, tentu akan mampu mengalahkannya! Bahkan dia sendiripun agaknya tidak takut menghadapinya. Bukankah Siauw Yen pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak gentar menghadapi ketua Hek I Kaipang, akan tetapi yang amat lihai adalah puteri ketua itu" Dan sekarang yang berada di dalam kereta hanyalah Coa Kun, sang ketua, bersama seorang kakek dan seorang nenek yang sudah tua renta dan nampak loyo. Juga kusirnya itu tentulah hanya anak buah biasa saja.
Pada waktu itu, karena tadi matahari amat teriknya, jalan yang keluar dari Nan-king ke utara itu nampak sunyi. Hal ini juga memudahkan Hung Wu untuk membayangi kereta yang kini berjalan agak cepat sehingga dia harus berlari.
Bagaimana kalau Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan" Dan bagaimana pula kalau Siauw Yen tidak dapat menyusulnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara" Apakah dia harus mengikuti terus sampai kelelahan" Atau harus membiarkan saja ketua Hek I Kaipang itu pergi tanpa mengganggunya" Akan tetapi, kalau dia turun tangan sendiri kemudian gagal, bukankah hal itu akan membuat Siauw Yen menjadi amat kecewa dan marah" Sungguh serba salah, pikirnya.
Setelah kini kereta tiba di jalan menuji perbukitan yang sunyi dan kereta dilarikan semakin cepat, Hung Wu mengeluh. Kalau begini terus, akhirnya sebelum mati tiba dia akan kehabisan tenaga dan semua usahanya membayangi akan sia-sia belaka. Sudah hampir dua jam dia membayangi dan belum juga Siauw Yen muncul. Sebaiknya, aku turun tangan sendiri, membunuh ketua Hek I Kaipang, pikirnya. Andai kata gagalpun, dia masih dapat menyelamatkan diri dan diapun tidak akan malu kepada Siauw Yen akan kegagalannya, karena setidaknya dia telah berusaha! Agaknya Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan, atau gadis itu mengambil jalan yang keliru ketika mengejarnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara.
Hung Wu mempercepat larinya, mendahului kereta. Setelah mendahului kereta dalam jarak tiga puluh meter, dia berhenti, membalik dan menghadang, mengangkat kedua tangan ke atas dan membentak kepada kusir agar menghentikan keretanya.
Kusir kereta yang duduk di depan atas, melihat seorang pemuda jangkung berpakaian seperti seorang petani menghadang di tengah jalan dan membentak agar kerta dihentikan, tentu saja menjadi marah sekali. Dua ekor kudanya juga menjadi ketakutan ketika dihadang orang yang membentak-bentak. Kusir menghentikan keretanya lalu menghardik.
"Siapakah engkau yang tak tahu diri dan kurang ajar berani menghentikan kereta" Tidak tahukah siapa yang menjadi penumpang kereta ini" Minggir, atau aku akan menerjangmu dan melindasmi!" Tukang kereta menggerakkan cambuknya yang panjang untuk mengusir orang itu yang dianggapnya sinting atau kurang ajar. Cambuknya yang panjang menyambar ke arah kepala Hung Wu. Akan tetapi, pemuda ini menyambar ujung cambuk dan secara tiba-tiba seklai dia menarik cambuk itu sehingga kusinya yang memegang gagang cambuk terkejut dan terbawa jatuh dari atas keretanya!
"Heii, apa yang terjadi" terdengar teriakan dari dalam kereta. Pintu kereta terbuka, tirainya tersingkap dan keluarlah tiga orang dari dalam kereta itu. Mereka adalah Coa Kun ketua Hek I Kaipang dan dua orang tua renta tadi. Seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya berusia delapan puluh tahun, memegang tongkat dan kurus, nampak ringkih dan loyo. Coa Kun melihat betapa kusirnya mengerang kesakitan dan tidak mampu bangun karena sebelah kakinya terkilir, ketika dai terbanting jatuh dari atas kereta. Marahlah ketua Hek I Kaipang itu.
"Jahanam keparat! Sudah gilakah engkau" Siapakah engkau berani menghadang keretaku" Apa matamu sudah buta, tidak melihat bahwa aku, ketua Hek I Kaipang yang menjadi penumpang kereta ini"
Hung Wu memandang dengan mata bersinar-sinar. "Aku tahu bahwa engkau adalah Twa-sin-to Coa Kun, ketua Hek I Kaipang yang telah membawa perkumpulan itu menjadi pengkhianat bangsa, penjilat orang-orang Mongol. Karena itu, aku akan membunuhmu!"
"Keparat, engkaulah yang akan mampus di tanganku!" Coa Kun membentak dan diapun sudah menerjang maju dengan marah. Orang she Coa ini adalah ketua Hek I Kaipang, bukan saja kepandaiannya tinggi, akan tetapi dia juga telah bersekutu dengan pasukan pemerintah, tentu saja dia menyadari akan kekuasaannya. Kini muncul seorang pemuda dusun berani mati mengancam hendak membunuhnya, maka tentu saja dia marah bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengerahkan tenaganya dan dengan bertubi, tangan kananya mencengkeram ke arah kepala sedangkan tangan kirinya menyusul dengan tangan miring menghantam ke arah dada lawan.
Melihat gerakan lawan, tahulah Hung Wu bahwa nama besar ketua Hek I Kaipang ini bukan nama kosong belaka. Orang ini memiliki tenaga yang kuat, hal ini dapat dia ketahui dari sambaran angin pukulan yang menyerangnya. Diapun cepat mengelak dari cengkeraman tangan kanan ke belakang, lalu menyambut pukulan tangan lawan dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk!!" Keduanya tergetar, akan tetapi kalau Hung Wu hanya tergetar lengannya yang menangkis, dengan kedudukan kaki masih tegak, adalah pangcu (ketua) itu yang selain tergetar hebat, juga kakinya melangkah ke belakang dua langkah. Ini saja sudah membuktikan bahwa dia kalah tenaga melawan Hung Wu. Bukan main kagetnya Coa Kun. Tak disangkanya pemuda dusun yang nampak bodoh ini bukan saja mampu mengelak dan menangkis serangannya, bahkan dapat membuat dia melangkah ke belakang. Dia kalah kuat dalam hal tenaga! Kemarahan dan rasa penasaran membuat Coa Kun meraih gagang goloknya dan segera nampak sinar berkilat ketika golok besar yang tergantung di pinggang itu telah dicabutnya. Golok itu besarm lebar dan berkilauan, tentu tajam bukan main.
Melihat ini, Hung Wu tidak berani memandang ringan. Ketua Hek I Kaipang ini berjuluk Twa-sin-to (Golok Besar Sakti), tentu dia ahli bermain silat golok. Oleh karena itu, Hung Wu juga mencabut pedang yang tadinya disembunyikan di balik bajunya.
Coa Kun sudah menerjang lagi, kini sambil menggerakkan goloknya dan nampak gulungan besar sinar yang menyambar-nyambar. Namun, Hung Wu juga sudah menggerakkan pedangnya dan karena dia maklum betapa lihainya lawan, dan dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh ketua Hek I Kaipang ini, diapun segera menggerakkan pedangnya, menangkis dan balas menyerang dengan dasar ilmu silat Rajawali Sakti. Terjadi perkelahian yang seru, akan tetapi setelah lewat dua puluh jurus, perlahan-lahan ketua Hek I Kaipang mulai terdesak oleh gulungan sinar pedang di tangan Hung Wu. Ilmu silat Rajawali Sakti memang hebat, dan Coa Kun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget. Kakek dan nenek yang tua renta itu tetap menonton, berdiri seperti patung bertopang pada tongkat mereka. Kusir kereta sudah dapat bangkit kembali dan kini menenangkan dua ekor kuda penarik kereta, sambil memandang dengan gelisak ke arah perkelahian, karena dia melihat betapa ketuanya mulai terdesak.
Selagi Hung Wu mendesak lawannya dan merasa gembira karena besar harapannya dia akan berhasil, terdengar derap kaki kuda. Wajah Hung Wu berseri karena tanpa melihatpun dia hampir yakin bahwa tentu itu rombongan bala bantuan yang didapatkan Siauw Yen dan kini mereka datang untuk membantunya. Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa ketua Hek I Kaipang tentu akan dapat ditewaskan! Apa lagi ketika dia sempat melirik ke arah suara derap kaki kuda dia melihat bahwa penunggang kuda terdepan adalah seorang gadis! Siapa lagi kalau bukan Yen Yen!
Kini, rombongan orang yang jumlahnya belasan itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan suara wanita, "Ayah, biar aku yang melawannya!"
Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang menyambar ganas ke arahnya. Dia terkejut dan menangkis. "Tranggg...!!" Nampak bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu dan Hung Wu terkejut bukan main, cepat melompat ke belakang. Ketika dia memandang penuh perhatian, wajahnya berubah. Kiranya gadis itu bukan Yen Yen, melainkan seorang gadis yang lebih muda dari Yen Yen, cantik pula, dengan pedang di tangan. Dan belasan orang yang bersama gadis itu, lebih mengejutkan hatinya lagi. Terdapat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tinggi besar berkepala botak dengan jubah merah, dan yang lain adalah pasukan pemerintah, dapat dikenal dari pakaian seragam mereka! Celaka, dia belum berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, sekarang telah dikepung pasukan pemerintah, dan agaknya gadis berpakaian serba hijau yang tadi menyerangnya dengan pedang adalah puteri ketua Hek I Kaipang yang pernah dia dengar dari keterangan Yen Yen. Gadis yang membuat Yen Yen kewalahan dan katanya lebih lihai dibandingkan ketua Hek I Kaipang sendiri. Belum lagi kakek botak itu yang kini sudah turun dari kuda, dan berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong, yang dia duga tentulah seorang yang lihai pula.
"Siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang ayahku" Gadis itu yang kini berdiri di depan Hung Wu, bertanya dengan suara nyaring.
"Tidak perlu tahu aku siapa, aku adalah orang yang akan membunuh semua orang yang menjadi pengkhianat bangsa dan menjadi antek penjajah Mongol!"
Mendengar ini, perwira yang agaknya memimpin pasukan itu mencabut goloknya dan berseru, "Kiranya seorang pemberontak! Tangkap! Bunuh dia!" Teriakan ini merupakan aba-aba dan disambut oleh anak buahnya dengan cabutan golok. Belasan orang prajurit itu segera mengepung dan mengeroyok, membantu gadis baju hijau yang juga sudah menerjang dengan pedangnya.
Begitu mereka saling serang, keduanya terkejut bukan main. Segera Hung Wu mengenal ilmu silat Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) persis seperti ilmu silat yang dikuasainya! Ini tidak mungkin! Demikian dia berpikir dengan kaget. Ilmu silat ini adalah ciptaan gurunya, Lauw In Hwesio, dan merupakan ilmu simpanan yang hanya diajarkan kepadanya saja, tidak pernah diajarkan kepada murid lain. Akan tetapi gadis ini kini memainkannya, dan permainannya begitu baik, bahkan tidak kalah olehnya!
Gadis baju hijau itupun terkejut bukan main, akan tetapi dengan penasaran ia menyerang terus sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan aneh karena mereka memiliki gerakan yang sama! Akan tetapi karena ternyata tingkat kepandaian antara mereka seimbang, dan masih ada belasan orang prajurit Mongol mengeroyoknya, sebentar saja Hung Wu terdesak dan terkepung ketat.
Tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek botak yang sejak tadi memandang penuh perhatian, "Leng Si, mundurlah, dan suruh semua prajurit mundur. Aku sendiri yang akan menghadapi pemuda ini!"
Mendengar ucapan parau itu, gadis berbaju hijau melompat mundur dan memberi aba-aba kepada pasukan kecil itu untuk mundur pula. Kemudian, kakek botak tinggi besar itu sekali menggerakkan kakinya, sudah berdiri di depan Hung Wu yang masih melintangkan pedang di depan dadanya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian pria botak itu berkata dengan suaranya yang parau.
"Orang muda, dari mana engkau mempelajari Sin-tiauw ciang-hoat" Apa hubunganmu dengan Lauw In Hwesio"
Mendengar pernyataan ini, seketika Hung Wu tersadar. Gadis itu memiliki pula ilmu Sin-tiauw ciang-hoat, pada hal ilmu itu hanya dikuasai oleh dua orang yang merangkai ilmu itu, yaitu Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio. Karena itu, mudah diduga dengan siapa dia berhadapan.
"Lauw In Hwesio adalah guruku," kata Hung Wu, "dan agaknya lo-cian-pwe tentu supek (uwa guru) Bouw In Hwesio." Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada agak meragu karena kakek di depannya itu tidak gundul sepenuhnya, melainkan botak dan memelihara rambut di bagian belakang dan kanan kirinya. Juga pakaiannya tidak seperti pakaian hwesio walaupun dia mengenakan jubah hwesio yang berwarna merah.
Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kiranya murid sute Lauw In Hwesio!" katanya. "Sungguh heranm kenapa sute mengajarkan ilmu itu kepada seorang pemberontak"
Hung Wu mengerutkan alisnya, "Suhu tentu akan merasa heran pula kalau mengetahui bahwa supek mengajarkan ilmu itu kepada seorang antek Mongol!" katanya dengan berani sambil memandang kepada gadis baju hijau tadi.
"Hemm, bocah sombong, berani engkau berkata demikian kepadaku" Aku tahu bahwa para pemberontak adalah orang-orang jahat yang mempergunakan kedok perjuangan untuk menutupi kejahatan mereka. Mereka hanya perampok dan mencuri. Nah, ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu dengan ilmu kami itu." Setelah berkata demikian, Bouw In Hwesio yang kini tidak lagi menjadi hwesio itu sudah menggerakkan kedua lengannya dan dia maju menyerang. Begitu kedua tangan digerakkan, maka kedua lengan bajunya yang panjang, bagian dari jubah merahnya, menyambar dengan dahsyat ke arah Hung Wu.
Pemuda ini sudah siap. Biarpun supek sendiri, kalau dia menjadi antek Mongol berarti menjadi musuhnya! Maka, dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Kini terjadi perkelahian yang ditonton banyak orang, perkelahian yang menarik, di mana pedang berkelebatan disambut sepasang lengan jubah merah. Namun, karena memang kalah matang dalam ilmu Sin-tiauw ciang-hoat dna kalah tenaga sakti, sebentar saja Hung Wu terdesak dan hanya mampu memutar pedang melindungi tubuh tanpa mampu membalas lagi.
Pada saat itu terdengar bentakan, "Toako, jangan khawatir aku datang membantumu!" dan muncullah Siauw Yen.
"Siauw Yen, pergilah! Cepat larilah sebelum terlambat, siauw-te!" teriak Hung Wi, terkejut dan khawatir sekali melihat Yen Yen muncul dengan penyamarannya, seorang diri saja tanpa bantuan! Namun, Yen Yen adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan pemberani. Apa lagi ia merasa amat kagum kepada Hung Wu, bahkan pemuda itu telah diangkat menjadi pembantu utamanya. Oleh karena itu, melihat Hung Wu terancam bahaya, bagaimana mungkin ia dapat pergi begitu saja menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan pemuda itu terancam bahaya" Tadi ia sudah berusaha mencari bala bantuan, akan tetapi ia telah gagal. Ia hanya bertemu dengan dua orang saja anggota Hwa I Kaipang di kota Nan-king, dua orang anggota biasa yang ilmu kepandaiannya tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Hung Wu bertindak sendiri dan terancam bahaya, maka iapun melakukan pengejaran seorang diri dan muncul pada saat Hung Wu didesak seorang kakek yang amat lihai. Biarpun ia melihat bahwa selain kakek botak yang lihai, di situ terdapat pula belasan orang prajurit, bahkan ia mengenal pula kehadiran ketua Hek I Kaipang, yaitu Coa Kun, dan puterinya yang lihai di samping seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang tadi berkereta bersama ketua Hek I Kaipang, Yen Yen tidak merasa gentar. Ia harus membantu dan menolong Hung Wu, apapun yang terjadi, maka iapun sudah menerjang ganas, menyerang dan mengeroyok kakek botak yang kedua lengan jubahnya lihai bukan main itu. Tongkatnya segera memainkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Hok-mo-tung.
Sesosok bayangan berkelebat dan gadis baju hijau Coa Leng Si sudah menggunakan pedang menyambut Yen Yen. Mereka berdua segera saling serang dengan seru, dan biarpun Yen Yen maklum akan kelihaian Leng Si, namun untuk dapat menolong Hung Wu, ia melawan dengan nekat dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hok-mo-tung.
Melihat permainan tongkat pemuda dusun yang masih remaja itu, Coa Kun segera mengenal ilmu itu sebagai ilmu andalan dari Hwa I Kaipang. Dia cepat melompat dan membantu puterinya dengan golok besarnya sambil berseru, "Mereka orang-orang Hwa I Kaipang. Tangkap hidup-hidup!"
Kini keadaan Hung Wu dan Siauw Yen tiada bedanya, sama-sama terdesak hebat oleh pihak lawan. Hung Wu yang melawan mati-matian, tidak berdaya karena yang menandinginya adalah supeknya yang tentu saja memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Sedangkan Siauw Yen sendiri, melawan Leng Si seorang saja sudah kalah, apa lagi dikeroyok dua oleh gadis lihai itu dan ayahnya, ketua Hek I Kaipang. Gadis yang menyamar itu hanya mampu menggerakkan tongkat untuk melindungi dirinya saja. Akhirnya, hampir berbareng dengan Hung Wu, ia roboh tertotok oleh Leng Si. Hung Wu sendiri juga roboh lemas terkena totokan ujung lengan jubah Bouw In Hwesio.
"Akupun mengenal ilmu tongkat dan gerakannya, ayah. Kalau tidak salah, ia adalah cucu dari Pek Mau Lokai, gadis yang kabarnya kini menjadi pemimpin Hwa I Kaipang, yang bernama Tang Hui Yen." Setelah berkata demikian, Coa Leng Si berlutut mendekati Siauw Yen yang rebah lemas tak berdaya. Leng Si menggosok sana-sini di muka, kepala dan leher. Leng Si, melepaskan kain penutup rambut dan sebentar saja nampaklah bahwa pemuda petani itu bukan lain adalah seorang gadis cantik!
"Hemm, benar katamu, Leng Si. Ia adalah Tang Hui Yen, tokoh Hwa I Kaipang. Kalau begitu, aku yakin bahwa yang seorang lagi inipun tokoh Hwa I Kaipang," kata Coa Kun dan diapun berlutut mendekati Hung Wu dan seperti yang dilakukan puterinya tadi, dia menggosok muka Goan Ciang atau Hung Wu sehingga penyamaran pemuda itu terbuka dan nampak wajah aslinya. Begitu kelihatan wajah aslinya, perwira yang memimpin pasukan kecil itu berseru kaget.
"Ah, dia adalah pemberontak yang dicari itu! Dia Cu Goan Ciang!"
"Cu Goan Ciang" kata Coa Kun. "Hemm, siapa dia"
"Pangcu, dia adalah pemberontak yang telah membunuh Bhong-Ciangkun dari Wu-han dan membunuh banyak prajurit kita. Bahkan Shu-Ciangkun telah memesan kepada kami bahwa kalau kami dapat menangkap Cu Goan Ciang, agar tidak dibunuh dan cepat dibawa menghadap Shu-Ciangkun, karena beliau hendak melakukan pemeriksaan dan memaksa dia menceritakan semua tentang para pemberontak. Pangcu, kami harap agar pangcu suka menyerahkan kedua orang tawanan ini kepada kami, karena sekarang juga akan kami hadapkan kepada Shu-Ciangkun."
Pangcu dari Hek I Kaipang mengangguk-angguk. Dia mengenal siapa yang disebut Shu-Ciangkun itu. Seorang perwira tinggi yang biarpun baru beberapa bulan bertugas di Nan-king, namun telah membuat nama besar dan banyak juga membersihkan Nan-king dan sekitarnya dari gangguan para penjahat. Tentu saja dia tidak ingin membantah kehendak panglima baru yang menjadi tangan kanan atau pembantu utama Yauw-Ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan keamanan di Nan-king.
"Baik, akan tetapi agar kedua orang ini jangan sampai lolos dalam perjalanan, biar kita bersama kembali ke Nan-king. Baru setelah tiba di sana kalian boleh membawa mereka ke benteng."
Tubuh kedua orang pemberontak yang masih lemas itu lalu ditelikung dan kaki tangan mereka dibelenggu. Mereka diangkat dan dimasukkan ke dalam kereta, kemudian rombongan itu berangkat menuju ke Nan-king.
"Ayah, bagaimana ayah bersama kedua lo-cian-pwe (orang tua gagah) dapat berada di hutan dan dihadang oleh Cu Goan Ciang itu" tanya Leng Si kepada ayahnya. "Aku sedang membujuk suhu untuk suka datang ke Nan-king, dikawal tiga belas orang prajurit seperti yang diperintahkan ayah. Akan tetapi, kenapa tahu-tahu ayah dan kedua orang lo-cian-pwe berada di hutan itu"
"Karena tidak sabar menanti kembalimu, maka aku mengajak suhu dan subo untuk menyusul saja ke sana, dan aku sendiri yang akan membujuk gurumu. Syukurlah kalau beliau sudah mau datang bersamamu. Bagaimanapun juga, karena aku tidak sabar, maka kita berhasil menangkap dua orang tokoh Hwa I Kaipang, bahkan yang seorang adalah pemberontak yang dicari-cari oleh para panglima. Sekali ini kita berjasa besar!" kata ketua Hek I Kaipang itu dengan gembira.
Ternyata bahwa benar seperti dugaan Goan Ciang, kakek botak itu adalah Bouw In Hwesio, atau bekas hwesio Siauw-lim-pai. Dahulu, Bouw In Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berbeda dari para hwesio yang lain, suka sekali merantau. Dia adalah suheng dari Lauw In Hwesio, bahkan bersama Lauw In Hwesio, dia berhasil merangkai ilmu silat Sin-tiauw ciang-hoat yang ampuh. Dalam perantauan ini dia bertemu dengan Coa Leng Si dan gadis itu lalu menjadi muridnya selama dua tahun. Sebelum itu, Leng Si memang sudah merupakan seorang gadis yang lihai, karena ia puteri tunggal Twa-sin-to Coa Kun. Dia tinggal di lereng Bukit Bambu di luar kota Nan-king, dibuatkan sebuah rumah oleh muridnya dan pada hari itu, muridnya datang bersama seregu prajurit yang membawa surat dari Panglima Yauw dari Nan-king. Juga ketua Hek I Kaipang menyuruh puterinya untuk ikut membujuk agar Bouw In Hwesio suka datang ke Nan-king karena bantuannya amat dibutuhkan untuk menghadapi para pemberontak yang dipimpin orang-orang pandai. Bahkan Coa-pangcu berhasil pula mendatangkan dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek tua renta itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka berdua itu, bersama Bouw In Hwesio, diharapkan untuk dapat membantu pemerintah menundukkan para pimpinan pemberontak. Karena tidak sabar menanti pulangnya Leng Si, maka Coa-pangcu mengajak suhu dan subonya untuk menyusul dengan kendaraan kereta.
Setelah tiba di Nan-king, kedua orang tawanan itu diserahkan kepada regu pasukan pemerintah untuk dibawa ke markas atau benteng dan dihadapkan kepada Shu-Ciangkun yang oleh Yauw-Ciangkun memang diserahkan tugas untuk mengatur keadaan di Nan-king dan sekitarnya, bukan hanya untuk membasmi gerombolan penjahat, akan tetapi terutama sekali para pemberontak.
Cu Goan Ciang atau Hung Wu dibawa ke dalam benteng dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan secara terpisah, walaupun bersebelahan. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara. Kini, Hung Wu yang dibelenggu kaki tangannya, duduk bersanding dinding kamar tahanan. Dia tahu bahwa dia menghadapi ancaman maut. Dia tidak takut, hanya merasa menyesal mengapa semua usahanya gagal dan kini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu untuk negara dan bangsanya. Semua cita-citanya kandas dan hancur. Dia memang bodoh, sesalnya kepada diri sendiri. Terlalu memandang rendah kepada lawan sehingga bukan dia berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, bahkan dia yang tertawan, dan dia pula yang menyebabkan Yen Yen ikut tertawan. Akan tetapi, satu hal yang membuat dia paling penasaran adalah keadaannya supeknya, Bouw In Hwesio. Menurut suhunya, yaitu Lauw In Hwesio, supeknya itu seorang hwesio perantau yang bijaksana. Pada umumnya, para pendekar Siauw-lim-pai tidak suka kepada penjajah Mongol walaupun mereka tidak berdaya. Akan tetapi kenapa Bouw In Hwesio itu agaknya menjadi antek orang Mongol"
Memang aneh keadaan bekas tokoh Siauw-lim-pai itu. Memang dahulu dia dikenal sebagai seorang hwesio perantau yang bijaksana dan gagah perkasa. Akan tetapi, apa yang telah terjadi dua tida tahun yang lalu telah mengubah jalan hidupnya sama sekali.
Hampir tiga tahun yang lalu dia merantau sampai ke daerah Secuan, menyusuri sepanjang sungai Yang-ce. Pada suatu senja, ketika dia mendayung sebuah perahu kecil sederhana yang dibelinya dari seorang nelayan, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita di pantai yang sunyi dan penuh semak belukar itu. Mendengar jeritan ini, Bouw In Hwesio cepat mendayung perahunya ke tepi sungai dan sambil memegang ujung tali perahu, dia meloncat ke darat. Setelah mengikatkan tali itu pada sebatang pohon, dia cepat berlari ke arah suara jeritan yang kini terdengar lagi.
Dia menyusup-nyusup di antara semak belukar dan pohon-pohon, dan ketika dia tiba di tengah hutan kecil itu, dia melihat tiga orang laki-laki sedang menggumuli seorang wanita! Wanita itu meronta-ronta, akan tetapi tidak mampu menjerit lagi karena mulutnya didekap tangan, pakaiannya koyak-koyak dan nyaris tiga orang laki-laki itu mencapai niat keji mereka, yaitu memperkosa wanita itu.
"Omitohud...!" Bouw In Hwesio berseru dan dia meloncat ke depan, kaki tangannya bergerak dan tiga orang laki-laki itu terpental dan terlempar dari wanita yang mereka gumuli. Wanita itu menangis dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kain robekan pakaiannya, matanya terbelalak memandang kepada Bouw In Hwesio sambil menggeser ke belakang ketakutan, seluruh tubuh menggigil dan tidak mampu bangkit berdiri saking takutnya.
Tiga orang laki-laki itu berlompatan berdiri dan mereka marah sekali ketika melihat bahwa yang menarik dan melemparkan mereka adalah seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar. Adapun Bouw In Hwesio ketika memandang kepada tiga orang itu, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat, yang agaknya sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, biasa mempergunakan kekerasan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka berusia empat puluh tahun lebih, memiliki perawakan yang kokoh kuat dan kini ketiganya sudah mencabut sebatang golok besar dan memandang kepadanya dengan wajah bengis. Ketika Bouw In Hwesio melirik ke arah wanita tadi, di melihat bahwa wanita itu berusia tiga puluh tahun lebih, seorang wanita yang berwajah sayu namun memang memiliki daya tarik, baik pada wajahnya yang lembut dan manis maupun pada tubuhnya yang ramping padat. Bukan wanita kaya, karena pakaian yang sudah koyak-koyak itu seperti pakaian wanita dusun saja, dari kain kasar yang murah. Namun ada sesuatu pada pandang mata wanita itu yang membuat Bouw In Hwesio mengambil keputusan untuk melindunginya.
"Hwesio keparat! Berani engkau mencampuri urusan kami" bentak seorang di antara tiga pria itu, yang pipinya dihias codet.
"Omitohud, pinceng harap kalian bertiga suka bertaubat dan tidak melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan jahat," kata Bouw In Hwesio sambil mengerutkan alisnya.
"Hwesio yang bosan hidup!" bentak si codet dan bersama dua orang kawannya, dia menerjang ke depan, menyerang pendeta itu dengan goloknya. Dua orang temannya juga menyerang dari kanan kiri.
Diterjang tiga batang golok dari depan, kanan dan kiri, Bouw In Hwesio cepat menggerakkan kaki mundur. Dari sambaran golok dan cara tiga orang itu menyerangnya, tahulah hwesio ini bahwa dia berhadapan dengan tiga orang yang cukup tangguh. Maka, diapun segera memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat. Bagaikan seekor burung rajawali, tubuhnya berkelebat di antara tiga gulungan sinar golok.
Wanita yang nyaris diperkosa tadi tidak menangis lagi, akan tetapi kini, sambil duduk bersimpuh di atas rumput, matanya terbelalak penuh kegelisahan memandang ke arah perkelahian. Penolongnya, hwesio itu, dikepung dan diserang tiga orang jahat itu dengan golok, sedangkan hwesio itu sendiri sama sekali tidak memegang senjata. Tentu saja ia merasa khawatir sekali dan merasa ngeri untuk melihat hwesio itu nanti roboh dan mandi darah.
Akan tetapi dengan ilmu silatnya yang amat tangguh itu, Bouw In Hwesio yang bertangan kosong sama sekali tidak dapat disentuh oleh tiga batang golok itu. Bahkan gerakannya membuat tiga orang pengeroyoknya mulai merasa pening, tubuh lawan itu seperti beterbangan saja dan ketika mendapat kesempatan, ujung lengan jubah Bouw In Hwesio menyambar tiga kali dan tiga orang pengeroyok itupun terpelanting roboh, golok mereka beterbangan. Masih untung bagi mereka bahwa Bouw In Hwesio tidak ingin membunuh mereka, maka ujung lengan jubah tadi hanya mematahkan tulang pundak dan lengan kanan saja, membuat mereka menyeringai kesakitan, tidak mampu melawan lagi dan begitu mereka dapat bangkit, mereka seperti dikomando, lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Bouw In Hwesio tidak mengejar, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah perempuan tadi. Ketika melihat betapa hwesio itu telah berhasil mengusir tiga orang penjahat, wanita itu lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio, menangis tersedu-sedu, tidak dapat mengeluarkan kata apapun untuk menyatakan terima kasihnya.
Melihat wanita itu berlutut di depan kakinya sambil menangis, tangis yang menunjukkan kesedihan yang mendalam, Bouw In Hwesio merasa kasihan sekali. Dia membungkuk, menyentuh kedua pundak wanita itu dan berkata dengan lembut, "Toanio (nyonya), bangkitlah dan hentikan tangismu. Bahaya telah lewat dan kita patut bersyukur bahwa malapetaka tidak jadi menimpa dirimu."
Dia setengah menarik wanita itu agar mau bangkit berdiri, kemudian mengajaknya duduk di atas rumput tebal, di mana tadi tiga orang penjahat menggumulinya. Wanita itu menurut diajak ke situ, akan tetapi masih tetap menangis sesunggukan.
"Duduklah, toanio dan ceritakan apa yang telah terjadi. Bagaimana engkau sampai dapat dibawa oleh tiga orang sesat tadi ke tempat ini" Di mana rumahmu, dan di mana keluargamu"
Ditanya demikian, tangis itu menjadi-jadi. Wanita itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, duduknya hampir menelungkup dan dari celah-celah jari tangannya mengalir air mata.
Bouw In Hwesio menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu menyelimuti tubuh yang setengah telanjang karena pakaian yang koyak-koyak itu. Merasa ada kain menyelimutinya, wanita itu membuka kedua tangan, lalu menangkap kedua ujung jubah dan menyelimuti tubuhnya rapat-rapat, kemudian ia menangis lagi. Tangisnya amat menyedihkan dan Bouw In Hwesio hanya duduk memandang, membiarkan tangis itu memperoleh penyaluran agar hati yang nampaknya ditekan duka itu dapat meringan. Ketika wanita itu tadi menurunkan kedua tangan dari muka untuk memegang ujung jubah sehingga wajahnya terbuka dan nampak jelas, diam-diam Bouw In Hwesio terkejut dan jantungnya berdebar keras. Dia merasa seolah-olah isterinya yang telah meninggal dunia hidup kembali! Dua puluh tahun yang lalu, isterinya tewas di tangan penjahat dan ketika itu, usia isterinya seperti wanita ini, dan sungguh ajaib, ada kemiripan wajah yang luar biasa! Ketika itu, dua puluh tahun yang lalu, dia belum menjadi hwesio, hidup bahagia dengan isterinya. Akan tetapi, karena sejak muda dia menentang kejahatan sebagai seorang pendekar, dia dimusuhi banyak penjahat dan pada suatu hari, penjahat-penjahat datang ke rumahnya untuk membunuhnya. Dia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi isterinya tewas di ujung senjata para penjahat. Karena hampir gila oleh kematian isterinya yang tersayang, akhirnya diapun menjadi hwesio! Dan kini, dia menyelamatkan seorang wanita dari tangan tiga orang penjahat, dan wanita itu persis isterinya!
Setelah membiarkan wanita itu menangis beberapa lamanya, akhirnya tangis itupun mereda, tinggal isaknya saja. Bouw In Hwesio maklum bahwa kini tiba saatnya untuk mengajak wanita itu bicara.
"Nah, sekarang ceritakanlah kepada pinceng, apa yang telah terjadi, nyonya. Siapa tiga orang jahat itu, kenapa engkau berada di sini. Siapa engkau dan siapa pula keluargamu."
"Nama saya Kui Lan Bi tinggal di dusun Kwa-ci bersama suami saya bernama Tang Lok. Kami hanya tinggal berdua sebagai petani karena kami tidak mempunyai anak. Biarpun hidup kami miskin, namun kami cukup berbahagia. Akan tetapi tadi... ketika saya dan suami saya sedang bekerja di ladang, muncul tiga orang itu. Mereka... mereka bersikap kurang ajar kepada saya dan suami saya..." wanita itu mengerang dan menangis lagi.
"Suamimu kenapa, nyonya" Bouw In Hwesio bertanya, namun alisnya berkerut karena dia menduga apa yang mungkin terjadi. Dugaannya memang benar.
"Suami saya... dia membela saya dan... dan... mereka membunuhnya... lalu melarikan saya ke sini..."
"Omitohud...! Kalau pinceng tahu begitu, tidak akan pinceng biarkan mereka melarikan diri begitu saja! Nyonya, mari kita cepat ke sana menengok keadaan suamimu!" Wanita itu bangkit dan berselimut jubah lebar, terhuyung berlari meninggalkan tempat itu. Khawatir kalau wanita itu terjatuh, Bouw In Hwesio memegang tangannya dan menggandeng sambil setengah menunjang agar wanita itu tidak sampai terjatuh.
Ketika mereka tiba di ladang itu, mayat suami wanita itu sudah dirubung banyak penduduk dusun. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa suami wanita itu, Tang Lok, tahu-tahu tewas di ladang dengan leher hampir putus terbacok. Kini, Kui Lan Bi datang berlari-larian, berselimut jubah, bersama seorang hwesio yang tidak mengenakan baju hanya bercelana saja, tentu hal ini membuat para penghuni dusun menjadi semakin heran dan mereka hanya dapat memandang terbelalak ketika Kui Lan Bi menubruk mayat suaminya dan menangis tersedu-sedu.
Dengan sabar dan tenang, Bouw In Hwesio menceritakan kepada para penghuni dusun itu apa yang telah terjadi. Mendengar bahwa hwesio itu telah menyelamatkan Kui Lan Bi dari perkosaan yang dilakukan oleh para pembunuh Tang Lok, para penduduk dusun baru mengerti, dan di antara mereka ada yang memberikan pakaian kepada wanita itu dengan mengambilkan pakaiannya dari rumah. Jubah milik Bouw In Hwesio dikembalikan oleh Kui Lan Bi yang kini sudah menjadi agak tenang.
Bouw In Hwesio merasa kasihan sekali kepada Kui Lan Bi, apa lagi ketika dia melihat betapa sikap dan pandang mata para penduduk terhadap Lan Bi mengandung rasa tidak suka dan merendahkan, pandang mata para pria di dusun itu mengandung kekurang ajaran dan pandang mata para wanitanya mengandung perasaan tidak senang dan cemburu. Diapun tahu mengapa demikian, Kui Lan Bi adalah seorang janda, tanpa anak, masih cukup muda dan berwajah manis menarik. Bahkan dia kini tahu bahwa Kui Lan Bi hidup sebatang kara setelah kematian suaminya, maka tentu banyak mata pria di situ menaksirnya, dan para wanitanya menjadi cemburu dan curiga. Bouw In Hwesio melihat pula betapa miskin keadaan Kui Lan Bi. Bahkan untuk membeli peti mati saja ia tidak mempunyai uang, dan terpaksa menjual semua perabot rumah untuk ditukarkan dengan peti mati sederhana! Dia merasa kasihan sekali dan dengan sukarela, dia ikut berkabung, mengatur persembahyangan jenazah dan membantu sampai jenazah itu dikubur.
Bouw In Hwesio yang menghibur Kui Lan Bi dengan nasihat-nasihat selama tiga hari janda itu menangisi kemaratian suaminya yang kini telah dikubur. Dan lebih menyedihkan lagi, jarang ada tetangga yang datang. Yang pria takut kalau dicurigai dan dicemburui isterinya, yang wanita merasa iru dan cemburu. Mereka yang masih membujang juga merasa rikuh karena bagi para pemuda, janda itu merupakan seorang wanita yang lebih tua dengan usianya yang tiga puluh lima tahun dibandingkan mereka yang baru dua puluhan tahun!
Pada hari ke empat, Bouw In Hwesio berpamit kepada Lan Bi yang nampak pucat dan kurus karena selama tiga hari itu ia hanya menangis saja, lupa makan lupa tidur.
"Nyonya, hari ini pinceng akan pergi melanjutkan perjalanan pinceng, harap engkau baik-baik menjaga dirimu dan jangan menenggelamkan hati dan pikiran ke dalam lautan duka."
Mendengar ini, Lan Bi yang sudah mulai mau bekerja dan pagi itu mempersiapkan makan pagi untuk Bouw In Hwesio, terbelalak memandang kepada pendeta itu. Wajah yang pucat itu, mata yang sayu dan kini dibuka lebar-lebar, bibir yang setengah terbuka dan gemetar, kembali mengingatkan Bouw In Hwesio kepada isterinya, menjelang kematian isterinya yang terluka parah oleh serangan penjahat. Kemudian, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata apapun, Kui Lan Bi menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesunggukan, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya Tuhan, lebih baik aku mati saja... lebih baik mati saja..." demikian ratapnya di antara tangisnya.
Diam-diam Bouw In Hwesio terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pamitnya itu akan membuat nyonya muda itu menjadi berduka kembali, bahkan seolah kehilangan pegangan, kehilangan harapan.
"Omitohud, kenapa begini, nyonya" Bangkit dan duduklah, mari kita bicara baik-baik dan tenangkan hati dan pikiranmu," katanya dan dia menarik wanita itu bangun lalu menuntunnya agar duduk di atas bangku kasar yang tidak laku dijual.
"Nah, sekarang katakan, kenapa setelah pinceng berpamit untuk melanjutkan perjalan pinceng, engkau menjadi berduka dan putus asa"
Kui Lan Bi menyusut air matanya, "Suhu telah membebaskan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut, kemudian suhu membantu saya mengurus penguburan suami saya. Sekarang, setelah saya masih dapat bertahan hidup karena ada suhu yang menghibur dan menasihati, tiba-tiba suhu hendak pergi meninggalkan saya. Membayangkan harus hidup seorang diri di sini, tidak mempunyai apa-apa lagi, hidup sebatang kara sebagai seorang janda... ah, saya merasa ngeri, suhu. Saya akan menjadi bahan gunjingan, bahan ejekan, bahkan bahan penghinaan orang-orang. Saya tidak sanggup menghadapi semua itu dan lebih baik saya mati saja, suhu..." Kembali wanita itu menangis sedih.
"Omitohud...!" berulang kali Bouw In Hwesio menggumamkan pujian ini dan di dalam hati dia merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa takutnya wanita ini menghadapi kehidupan seorang diri, dan dia tahu pula bahwa kekhawatiran wanita itu bukan tak berdasar. Sebagai janda muda tanpa anak, tanpa keluarga sama sekali, sudah pasti akan banyak pria datang menggoda dan banyak wanita mencemburuinya. Hidupnya akan merupakan siksaan belaka, apa lagi keadaannya amat miskin.
"Nyonya, apakah engkau sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi kepada siapa engkau akan dapat minta bantuan dan tinggal bersama mereka" Kalau tidak sanak keluarga, sanak keluarga suamimu"
"Tidak, tidak ada, suhu. Biarpun ada akan tetapi sama dengan tidak ada. Dahulu, dalam usia delapan belas tahun, orang tuaku hendak memberikan aku kepada seorang hartawan unuk menjadi selirnya. Akan tetapi aku tidak mau, dan aku lalu melarikan diri dengan Tang Lok, pemuda tetanggaku yang menjadi suamiku kemudian. Kalau aku pulang, orang tuaku tentu tidak akan sudi menerimaku, demikian pula orang tua Tang Lok yang semua mengutuk perbuatan kami melarikan diri. Suhu, saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi..."
"Hemm, kalau begitu, lalu bagaimana kehendakmu, nyonya"
Wanita itu bangkit dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio, "Hanya suhu seorang manusia di dunia ini yang sekarang menjadi harapanku. Suhu, kalau suhu pergi, bawalah saya. Saya akan merawat dan melayani semua keperluan suhu, mencuci pakaian, menyediakan makanan, bekerja sebagai pembantu, sebagai budak. Setidaknya ada artinya saya hidup. Kalau suhu tidak mau menerima saya, dan meninggalkan saya di sini seorang diri, saya lebih senang mati menyusul suami saya dari pada hidup menderita siksaan lahir batin."
Bouw In Hwesio terkejut, sejenak tak dapat bicara. Dia sendiri seorang hwesio, perantau pula, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidak mempunyai harta kekayaan. Bagaimana mungkin dia menerima seorang wanita, seorang janda, yang ingin mengikutinya" Sebagai pembantu" Betapa janggal dan anehnya, seorang pendeta miskin perantau mempunyai pembantu! Menjadi murid" Kui Bi Lan tidak memiliki bakat menjadi seorang pesilat, apa lagi ia seorang wanita, seorang janda yang usianya sudah tiga puluh lima tahun. Akan tetapi kalau dia menolak" Dia hampir yakin bahwa tentu wanita yang putus asa ini akan membunuh diri! Kalau dia yang hidup tidak mau diikutinya, tentu wanita itu memilih ikut suaminya yang sudah mati! Dan kalau terjadi wanita ini membunuh diri karena dia, berarti dia yang menyebabkan wanita itu mati, dan dia memikul karma yang buruk. Akan tetapi kalau dia menerimanya, lalu bagaimana" Tiba-tiba timbul harapannya. Biarlah wanita ini mengikutinya, kalau nanti merasa tidak tahan dengan kehidupan perantauan yang miskin dan sukar, tentu wanita itu akan mundur sendiri. Dan kalau wanita itu yang meninggalkannya, bukan dia yang meninggalkan wanita itu, lalu terjadi apa-apa dengan wanita itu, dia tidak bertanggung jawab lagi, lahir maupun batin. Akan tetapi, bayangan inipun tidak mengenakkan hatinya. Dia sungguh merasa kasihan kepada wanita ini, wanita yang mengingatkan dia kepada isterinya!
"Omitohud, apa yang dapat pinceng lakukan" Baiklah, nyonya, kalau itu yang kaukehendaki. Engkau boleh ikut pinceng, hanya ketahuilah bahwa pinceng seorang pendeta perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal, yang miskin dan..."
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan ucapannya karena wanita itu sudah menubruk kakinya dan menangis sambil mengucapkan terima kasih. Air matanya bercucuran membasahi dan membasuh kedua kaki Bouw In Hwesio yang masih bertelanjang karena belum mengenakan sepatunya itu.
"Terima kasih, suhu, terima kasih... suhu telah menyambung kehidupan saya..."
"Nyonya, jangan begitu. Bangkitlah...!" Bouw In Hwesio mengangkatnya bangun dan kini wanita itu memandang kepadanya dengan mata yang merah dan muka basah, akan tetapi mulutnya mengandung senyum kebahagiaan dan penuh harapan.
"Suhu, nama saya Kui Lan Bi, panggil saja Lan Bi, harap jangan menyebut nyonya lagi, suhu sudah siap" Biar saya ambilkan sepatu suhu...!" Dengan cekatan seolah ada semangat dan hidup baru yang menggerakkan tubuhnya yang selama beberapa hari nampak layu dan lemah, Lan Bi setengah berlari ke bilik dan mengambilkan sepatu hwesio itu. Dengan cekatan pula ia membawa sepatu itu, berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio dan hendak membantu hwesio itu mengenakan sepatunya, sikapnya seperti seorang hamba sahaya yang setia dan taat!
Bouw In Hwesio merasa terharu. "Mulai sekarang, engkau harus mentaati semua petunjukku, Lan Bi. Nah, perintahku yang pertama, jangan engkau membantuku memakai sepatuku, akan tetapi cepat kauselesaikan mempersiapkan sarapan pagi. Sebelum kita pergi, engkau harus makan dulu. Sudah tiga hari ini engkau tidak makan, engkau dapat jatuh sakit. Cepat laksanakan perintahku ini!"
Lan Bi bangkit berdiri, memandang kepada hwesio itu penuh rasa terima kasih, lalu menjawab penuh semangat, "Baik, suhu, akan saya laksanakan perintah suhu!" Dan iapun setengah berlari pergi ke dapur. Bouw In Hwesio menjatuhkan dirinya di atas bangku, mengenakan sepatunya lalu termenung dan berulang kali menghela napas panjang, menggeleng kepala, tersenyum-senyum pahit, menggeleng kepala lagi, lalu mengangguk-angguk.
Pada keesokan harinya, mereka berdua pergi meninggalkan dusun, diiringi jebiran dan gunjingan orang sedusun. Akan tetapi Lan Bi tidak menghiraukan itu semua, bahkan setelah ia dan hwesio itu jauh meninggalkan dusun, semakin ringan rasa hatinya, seolah seekor burung yang baru saja terlepas dari sangkarnya.
Mungkin karena merasa hutang budi, apa lagi karena di dunia ini tidak ada orang lain lagi yang bersikap baik terhadapnya, yang dapat digantungi harapan masa depannya, Lan Bi benar-benar amat taat dan berbakti terhadap Bouw In Hwesio. Di lain pihak mungkin karena iba hati dan karena persamaan janda itu dengan mendiang isterinya, Bouw In Hwesio juga merasa sayang. Suka duka mereka dalam perjalanan, dalam perantauan, dalam menghadapi bahaya, ketika mereka saling membela, saling menghibur, bukan hal yang aneh kalau akhirnya timbul perasaan lain dalam hati masing-masing. Cinta kasih dapat bersemi di tempat manapun juga, dan dapat melanda di hati siapapun, tua muda, kaya miskin. Bouw In Hwesio yang semenjak ditinggal mati isterinya, dua puluh tahun yang lalu, hidup sebagai pendeta, mengekang nafsu duniawi dan menjauhi segala kesenangan, kini setelah bergaul dengan Lan Bi yang hidup di sampingnya, tak kuasa menahan gairah cintanya. Akhirnya, dengan sukarela, keduanya mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri! Bouw In Hwesio rela meninggalkan kependetaannya, menjadi orang biasa yang berkepala botak, namun bagi Lan Bi, dia merupakan pria terbaik di dunia ini, pengganti suaminya!
Cinta asmara memang sesuatu yang ajaib. Bukan monopoli pria ganteng dan wanita jelita saja. Juga cinta asmara bukan didatangkan karena ketampanan atau kecantikan belaka. Bukan pula karena harta kekayaan. Bahkan lebih sering dan lebih kuat cinta asmara yang dibangkitkan oleh persamaan watak dan kebaikan pribudi ini biasanya lebih kuat dan lebih awet, sebaliknya, yang dibangkitkan oleh keelokan wajah dan banyaknya harta benda, kadang kala malah rapuh. Memang tidak mengherankan. Kecantikan dan ketampanan wajah hanyalah setipis kulit, tidak menembus batin. Maka, yang tadinya nampak cantik atau tampan, setelah timbul pertikaian karena keburukan watak, maka yang cantik atau tampan itu nampak buruk seperti setan! Demikian pula harta kekayaan, hanya menempel di luar kulit belaka. Betapa banyaknya orang yang menikah dengan hartawan, akhirnya menderita batinnya dan harta kekayaan yang tadinya diidamkan, kehilangan daya tariknya, bahkan kehilangan daya hiburnya. Sebaliknya, suami isteri miskin yang tidak cantik tidak tampan sekalipun, dapat hidup berbahagia dan saling mencinta karena mereka memang memiliki cinta yang murni, cinta yang mendatangkan perasaan belas kasihan, mendatangkan kemesraan, mendatangkan perasaan tenang dan aman tenteram, ada ikatan batin yang mendalam.
Setelah menjadi suami isteri, Lan Bi menceritakan kepada suaminya bahwa ia memiliki seorang kakak misan yang juga merupakan seorang ahli silat kenamaan akan tetapi sudah lama ia tidak pernah berhubungan dengan kakak misan itu. Suaminya, Bouw In Hwesio yang sekarang kalau memperkenalkan diri bernama Bouw In saja, terkejut ketika mendengar bahwa kakak misan isterinya itu bukan lain adalah Twa-sin-to Coa Kun dan karena kebetulan perantauan mereka tiba tak jauh dari Nan-king, merekapun pada suatu hari mengunjungi Coa Kun atau Coa-pangcu (ketua Coa) di kota Nan-king. Pertemuan antara saudara misan itu tentu tidak akan mengesankan atau pihak keluarga Coa tidak akan menyambut dengan gembira kalau saja Lan Bi datang seorang diri. Akan tetapi, adik misan ini datang sebagai isteri Bouw In Hwesio! Tentu saja demi bekas pendeta itu, Coa Kun menyambut dengan penuh kegembiraan dan kehormatan dan mereka diterima sebagai tamu kehormatan.
Akan tetapi, Bouw In Hwesio atau sebaiknya kalau kita sebut nama barunya, Bouw In tanpa embel-embel hwesio, tidak mau tinggal menumpang di rumah besar ketua Hek I Kaipang. Atas bantuan Coa Kun, dia memilih tinggal di sebuah dusun di luar kota Nan-king, dibelikan sebuah rumah oleh Coa Kun. Untuk membalas budi Coa Kun, Bouw In tidak menolak ketika puteri Coa Kun, yaitu Coa Leng Si, mengangkatnya sebagai guru. Bahkan setelah melihat bakat besar yang dimiliki Leng Si yang memang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya, Bouw In merasa suka sekali kepada murid ini dan dia bahkan mengajarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat! Tentu saja Leng Si maju pesat selama dua tahun digembleng Bouw In, dan tingkat kepandaiannya bahkan melebihi tingkat ayahnya!
Demikianlah sedikit riwayat Bouw In mengapa dia kini dekat dengan pimpinan Hek I Kaipang. Biarpun dahulu dia tidak pernah menentang pemerintah secara berterang, namun diapun tidak suka membantu pemerintah Mongol. Dia tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan maupun pemberontakan. Beberapa kali dia dibujuk oleh Coa Kun untuk membantu pemerintah menumpas pemberontak, akan tetapi selalu ditolaknya dengan halus.
"Coa-pangcu, sejak semula aku sudah memberi tahu kepadamu bahwa aku tidak ingin terlibat dalam urusan pemerintah yang bermusuhan dengan para pemberontak. Aku tidak ingin membantu pemerintah, juga tidak mau membantu pemberontak. Aku ingin hidup tenteram di dusun bersama isteriku, menghabiskan masa tuaku," demikian dia memberi alasan.
Akan tetapi, pada siang hari itu, muridnya, Coa Leng Si datang bersama seregu prajurit yang membawa surat undangan dari Panglima Yauw Tu Cin. Leng Si membujuk suhunya untuk datang menghadap, menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Yauw-Ciangkun di rumah ayahnya. "Suhu, urusannya bukan sekedar penumpasan pemberontakan. Suhu tidak akan dilibatkan dengan urusan itu, akan tetapi ada hal lain yang amat penting, yang membutuhkan bantuan suhu. Bahkan ayah telah mengundang kakek dan nenek guru untuk datang membantu."
Bouw In tentu saja merasa tertarik. "Apasih urusannya" akhirnya dia bertanya, karena biarpun dia dapat menolak undangan Coa Kun, ia merasa tidak enak kalau tidak menghiraukan undangan Yauw-Ciangkun, komandan pasukan keamanan di Nan-king. Menolak undangan itu berarti dia mengambil sikap menentang, dan dia bisa dianggap bersekutu dengan pemberontak!
"Teecu (murid) sendiri belum tahu, suhu. Agaknya urusan penting yang dirahasiakan." Demikianlah, Bouw In berangkat menunggang kuda bersama Leng Si dan belasan orang prajurit, dan dapat membantu Coa Kun yang bertanding melawan Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen sehingga kedua orang muda itu akhirnya tertawan.
Setelah dua orang tawanan itu dibawa pergi oleh pasukan untuk dihadapkan komandan mereka, Coa Kun lalu memperkenalkan Bouw In dengan sepasang kakek dan nenek itu. Akan tetapi sebelum dia memperkenalkan, baru berkata, "Ini adalah suhu dan suboku..." Bouw In sudah memotongnya sambil tersenyum.
"Aku sudah mengenal mereka. Siapa yang tidak akan mengenal Thian Moko (Iblis Langit) dan Tee Moli (Iblis Bumi)" Ha-ha, sudah bertahun-tahun tidak pernah bersua, apakah kalian baik-baik saja, Siang Lomo (Sepasang Iblis Tua)" Dan angin apa yang meniuo kalian memasuki dunia ramai"
Sepasang kakek nenek tua renta itu saling pandang, lalu mengamati pria tinggi besar yang kepalanya botak dan berjubah lebar itu. Kemudian, kakek tua renta yang berjuluk Thian Moko mengerutkan alisnya, memandang tajam dan berkata, suaranya tinggi kecil, cocok dengan tubuhnya yang tinggi kurus pula.
"Sungguh mata ini sudah terlalu tua, ingatan ini sudah terlalu pikun. Akan tetapi, kami rasanya tidak pernah jumpa dengan si-cu (orang gagah), walaupun gerakan si-cu tadi jelas berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Siapa gerangan si-cu"
"Ilmu silat tadi aneh, biarpun dasarnya Siauw-lim-pai, akan tetapi belum pernah aku menyaksikan orang Siauw-lim-pai bersilat seperti itu, seperti gerakan burung!" kata si nenek tua renta yang usianya sekitar hanya satu dua tahun lebih muda dari suaminya, yaitu sekitar delapan puluhan tahun. Kalau kakek itu suaranya meninggi kecil, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus, nenek yang berjual Tee Moli ini memiliki suara yang parau besar, sesuai pula dengan tubuhnya yang pendek dan gemuk sekali.
Bouw In tertawa. "Omitohud! Apakah Siang Lomo hanya mengenal orang karena pakaiannya belaka" Andai kata aku mengenakan jubah merah dan kepalaku gundul, lalu bersikap sebagai seorang hwesio, agaknya baru kalian akan mengenalku. Memang aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang tidak lagi menjadi seorang hwesio."
"Ah, kiranya Bouw In Hwesio!" kini kakek itu berseru.
"Luar biasa!" kata isterinya. "Bagaimana mungkin ini" Kalau orang biasa mengubah dirinya menjadi pendeta untuk menebus dosa dan kembali ke jalan benar, itu baru wajar. Akan tetapi kalau hwesio mengubah diri menjadi orang biasa, menambah dosa memilih jalan sesat, barulah luar biasa!"
Bouw In tertawa. "Kembali kalian hanya menilai orang dari pakaian dan kedudukannya. Pada hal, pakaian dan kedudukan itu hanya kulitnya belaka, dan yang terpenting adalah isinya, bukan" Bagi manusia, isi dirinya nampak pada sepak terjangnya dalam kehidupan, pada pikiran, kata-kata dan perbuatannya."
Siang Lomo saling pandang dan tertawa. Thian Moko tertawa dengan suaranya yang kecil tinggi, lalu berkata, "Bukan main! Sejak dahulu menjadi seorang hwesio sampai sekarang, Bouw In Hwesio memang seorang yang aneh dan menyimpang dari orang lain, ingin sekali kami berdua melihat apakah ilmu kepandaianmu juga tetap aneh dan menyimpang dari orang lain! Dahulu ketika engkau menjadi hwesio, engkau tidak pernah tinggal di kuil mengajarkan agama, tidak pernah mengemis makanan, melainkan berkelana seperti seorang petualang sejati. Kini, setelah menjadi orang biasa, engkaupun aneh, bahkan bersembunyi di dusun dan tidak ikut dengan persaingan keramaian dunia. Heh-heh-heh!"
Melihat percakapan itu menjurus kepada kritikan yang mungkin akan menimbulkan bentrokan, atau setidaknya mengadu kepandaian, Hek I Kai-pangcu Coa Kun cepat menengahi.
"Suhu dan subo, dan juga Bouw In suhu, harap sam-wi (kalian bertiga) bersabar sampai kita tiba di rumah, barulah kita dapat melakukan percakapan panjang yang lebih dan penting. Apa lagi, sekarang tentu Yauw-Ciangkun telah menanti di rumah kami dan saya tidak ingin mengecewakan hati Yauw-Ciangkun dengan membiarkan dia menunggu terlalu lama."
Mereka lalu menuju ke rumah Coa Kun dan benar saja, Yauw-Ciangkun telah menanti di rumah itu. Akan tetapi, komandan kota Nan-king ini tidak marah, bahkan dia merasa gembira sekali mendengar ditawannya pemberontak Cu Goan Ciang dan cucu dari Pek Mau Lokai yang menjadi pimpinan Hwa I Kaipang, perkumpulan pengemis yang dianggap menentang pemerintah. Mendengar bahwa pasukan telah membawa merka ke benteng untuk menyerahkan mereka kepada Shu-Ciangkun, komandan ini tertawa gembira.
"Bagus, Shu-Ciangkun tentu akan dapat memaksa mereka mengakui di mana adanya pimpinan para pemberontak yang lain. Hanya Shu-Ciangkun yang akan mampu menindas pemberontakan dan memadamkan api pemberontakan sebelum menjalar luas," kata Yauw-Ciangkun yang merasa bangga dengan pembantu barunya yang masih muda dan lihai itu.
Mereka semua lalu mengadakan pertemuan di ruangan yang luas dan memang disediakan untuk pertemuan yang penting. Ruangan itu tertutup dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh anak buah Hek I Kaipang sehingga jangan harap ada orang luar akan mampu ikut mendengarkan apa yang dibicarakan di dalam ruangan itu. Panglima Yauw Tu Cin atau nama aslinya Yatucin, komandan kota Nan-king, duduk sebagai pimpinan di kepala meja. Coa Kun dan puterinya, Coa Leng Si, duduk di sebelah kananya. Di sebelah kirinya duduk suami isteri Siang Lomo atau sepasang Iblis, kemudian baru duduk Bouw In yang bersikap sederhana, bahkan agak acuh.
"Pertama-tama, kami atas nama pemerintah mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada sam-wi lo-cian-pwe (tiga orang tua gagah), yaitu Huang-ho Siang Lomo (Sepasang Iblis Tua Sungai Kuning) dan lo-cian-pwe Bouw In yang sudah banyak kami dengar kesaktiannya dari saudara Coa Kun."
"Aihh, kami berdua adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua dan loyo," kata Thian Moko dengan suaranya yang tinggi.
"Akan tetapi, untuk murid kami Coa Kun, kami akan mempersiapkan tenaga kami kalau memang dapat membantunya," sambung Tee Moli dengan suaranya yang parau dan besar.
"Omitohud..., saya telah lama mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan negara, Ciangkun," kata pula Bouw In.
"Terima kasih kepada ji-wi Siang Lomo yang telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantu saudara Coa Kun. Sebetulnya, urusan ini memang bukan hanya menyangkut diri saudara Coa Kun, akan tetapi terutama sekali menyangkut kehidupan rakyat. Bouw lo-cian-pwe, biarpun lo-cian-pwe tidak mau mencampuri urusan negara, akan tetapi kami percaya bahwa seorang gagah perkasa dan juga beribadat seperti lo-cian-pwe, akan suka menyumbangkan tenaganya demi kesejahteraan dan ketenteraman rakyat, bukan"
"Hemm, terus terang saja, Ciangkun. Saya menghormati Ciangkun sebagai komandan di Nan-king yang bertanggung jawab akan keamanan dan ketertiban di sini, maka saya datang memenuhi undangan Ciangkun. Sebelum saya menyatakan pendapat dan keputusan saya menyambut tawaran Ciangkun, saya ingin mendengar dulu, apa yang dapat saya lakukan untuk membantu Ciangkun. Terus terang saja lebih dulu saya beritahukan bahwa kalau saya disuruh membantu Ciangkun untuk menumpas pemberontak, saya tidak akan dapat menerimanya. Bukan karena saya memihak pemberontak, melainkan karena di antara para pemberontak itu terdapat banyak sahabat-sahabat baik saya. Saya tidak ingin menjadi seorang pengkhianat terhadap para sahabat saya sendiri, Ciangkun."
"Baiklah, lo-cian-pwe. Kami tidak akan memaksa siapapun melakukan sesuatu yang bertentangan dengan suara hati sendiri. Akan tetapi kamipun tidak mengajak sam-wi untuk membantu kami menumpas pemberontakan. Kami hanya mengajak sam-wi untuk membantu agar jangan sampai terjadi perang, jangan sampai terjadi bentrokan besar-besaran yang akan menghancurkan persatuan orang-orang kang-ouw. Kami dari pihak pemerintah merasa amat penting menjaga keutuhan para tokoh dunia persilatan karena kekuatan mereka yang akan mampu mempertahankan keamanan dalam kehidupan rakyat jelata. Para penjahat tidak berani merajalela hanya karena mereka takut kepada para pendekar, bukankah demikian" Nah, masalah yang akan kami bicarakan, yaitu tentang pemilihan Beng-cu di antara para tokoh persilatan."
"Apa yang dapat saya lakukan dalam urusan pemilihan Beng-cu, Ciangkun" Saya tidak ingin menjadi Beng-cu, kalau itu yang Ciangkun maksudkan," kata pula Bouw In Hwesio.
"Heh-heh, kamipun sudah terlalu tua untuk menjadi Beng-cu!" kata Thian Moko dan isterinya mengangguk membenarkan.
"Harap sam-wi tidak keliru dan salah sangka. Bukan maksud kami minta kepada sam-wi untuk menjadi Beng-cu. Akan tetapi, sam-wi tentu mengetahui apa akibatnya kalau sampai kedudukan Beng-cu dipegang seorang pemberontak. Sudah pasti dia akan mengerahkan semua tenaga orang-orang dunia persilatan untuk memberontak terhadap pemerintah. Nah, kalau begitu maka akan terjadi perang dan terjadi perpecahan di antara para tokoh kang-ouw. Tidakkah itu menyedihkan sekali" Sebaliknya, kalau yang menjadi Beng-cu seorang yang tidak suka adanya perang, yang menghendaki rakyat hidup tenteram dan sejahtera, tentu dia akan mencegah adanya perang. Di sinilah bantuan sam-wi kami butuhkan, yaitu untuk memberi suara kepada calom yang suka damai dan menentang dipilihnya calon yang akan menimbulkan perang."
Setelah mendapatkan kesempatan, Coa Kun sendiri lalu bicara. "Suhu, subo dan Bouw-suhu, apa yang dikemukakan yauw-Ciangkun tadi adalah garis besarnya, dan pokok persoalan. Akan tetapi banyak sekali kaitannya. Pemilihan Beng-cu masih lama, akan tetapi yang sekarang perlu kita tanggulangi adalah bahaya yang mengancam kedamaian rakyat. Baru saja sam-wi melihat sendiri betapa kami diserang oleh dua orang pemberontak. Yang seorang sudah terkenal sebagai pemberontak berbahaya, yaitu Cu Goan Ciang yang telah membunuhi banyak orang, dan yang ke dua adalah cucu Pek Mau Lokai ketua Hwa I Kaipang. Nah, sudah jelas bahwa Hwa I Kaipang adalah perkumpulan yang memberontak. Mereka mendatangkan kekacauan, pembunuhan, dan segala macam kejahatan yang meresahkan rakyat. Akan tetapi harus diakui bahwa Pek Mau Lokai amatlah lihainya. Untuk menghadapi dia dan para pembantunyalah kami mohon bantuan sam-wi. Selama para pimpinan Hwa I Kaipang tidak ditangkap atau dibunuh, selalu akan timbul kekacauan dan ketidak amanan di Nan-king."
Huang-ho Siang Lomo tentu saja siap untuk membantu murid mereka menghadapi Hwa I Kaipang. Bouw In tadinya merasa enggan untuk mencampuri, akan tetapi mengingat bahwa isterinya masih adik misan Coa Kun, dan ketua Hek I Kaipang ini sudah banyak membantu dia dan isterinya, menerimanya dengan ramah dan baik, lebih-lebih kini puteri ketua itu, Coa Leng Si, telah menjadi muridnya yang dia sayang, maka diapun tidak dapat menolak lagi.
Demikianlah, sejak hari itu, Hek I Kaipang diperkuat oleh tiga orang tokoh besar ini sehingga selain Coa Kun merasa gembira, juga Yauw-Ciangkun senang karena di pihak yang pro pemerintah bertambah tenaga yang dapat diandalkan.
Dalam keadaan kaki tangan terbelenggu, Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen didorong jatuh menjerembab di atas lantai, di depan seorang panglima muda yang duduk di kursinya dengan sikap angkuh. Cu Goan Ciang mengangkat mukanya memandang dan dia terbelalak. Panglima muda itu! Dia berani bersumpah bahwa panglima ini adalah sutenya, Shu Ta! Akan tetapi, dia membantah keyakinannya sendiri. Tidak mungkin sutenya kini menjadi panglima yang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mongol! Mustahil! Dia mengenal benar siapa dan bagaimana watak sutenya. Shu Ta adalah seorang yang berjiwa patriot, yang seperti juga dia, bertekad untuk berjuang mengusir penjajah Mongol. Bagaimana mungkin kini menjadi panglima Mongol" Tentu dia salah lihat, atau memang wajah panglima ini mirip Shu Ta.
Panglima itu memandang kepada dua orang tawanannya, lalu memberi perintah kepada para pengawalnya. "Kosongkan ruangan ini! Aku sendiri yang akan memeriksa mereka!"
Mendengar suara panglima ini, hampir saja Cu Goan Ciang berteriak. Suara itu! Tak salah lagi, orang ini pasti Shu Ta. Mana ada dua orang yang serupa segala-galanya, termasuk suaranya" Para pengawal dan prajurit yang membawa dua orang tawanan itupun tidak berani membantah perintah sang panglima. Hanya kepala regu penawan itu yang berkata, "Tai-Ciangkun, dua orang tawanan ini lihai sekali, mereka berbahaya!"
Panglima itu melotot. "Biar mereka tidak terbelenggu sekalipun, aku dapat mengatasi mereka. Apa lagi mereka terbelenggu. Kaukira aku takut! Hayo cepat keluar, aku akan memeriksa dan memaksa mereka mengaku!" Dibentak demikian, semua prajurit segera meninggalkan ruangan itu.
Setelah mereka pergi, Cu Goan Ciang yang tidak dapat menahan lagi penasaran di hatinya, berseru, "Kau..."
"Sssttt...!" Panglima itu yang bukan lain adalah Shu Ta, cepat menaruh telunjuknya di atas bibir, memberi isarata kepada Cu Goan Ciang untuk diam. Panglima itu lalu menulis di atas sehelai kertas dengan cepat, dan menyerahkan "surat" itu kepada Cu Goan Ciang yang cepat membacanya. Singkat saja, akan tetapi cukup meyakinkan. "Bersikaplah seolah kita tidak saling mengenal. Jangan khawatir, aku akan membebaskanmu." Hanya demikian isi surat. Cu Goan Ciang mengangguk dan surat itupun diambil kembali oleh Shu Ta.
"Nah, sekarang kalian ceritakan, siapa saja dan di mana adanya kawan-kawan kalian, para pimpinan pemberontak itu!" tiba-tiba Shu-Ciangkun membentak dengan suara nyaring.
Tang Hui Yen tadi juga membaca tulisan panglima itu. Dara ini amat cerdik sehingga melihat sedikit tulisan itu, ia telah tanggap, apa lagi ketika Cu Goan Ciang memperkenalkan dengan bisikan. "Dia suteku." Tahulah gadis ini bahwa sute dari Cu Goan Ciang ini merupakan satu-satunya harapan mereka untuk dapat lolos, maka iapun membantu permainan sandiwara panglima itu.
"Hemm, apa perlunya membujuk atau menakut-nakuti kami" Kami sudah tertawan, mau hukum, hukumlah, mau bunuh, bunuhlah, kami tidak takut mati dan tidak perlu lagi engkau banyak bicara!" Bentakan gadis itu nyaring sekali dan Shu Ta tersenyum, matanya bersinar gembira dan kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya.
Tadi ketika para prajurit menyerahkan tawanan, Shu Ta mendengar laporan mereka bahwa gadis itu adalah cucu Pek Mau Lokai, pimpinan Hwa I Kaipang, maka tahulah dia bahwa gadis ini seorang pejuang yang gagah. Diapun tertawa bergelak, suara tawa yang seperti mengejek. "Ha-ha-ha-ha, engkau ini yang menjadi pimpinan perkumpulan jembel Hwa I Kaipang yang membuat kerusuhan dan kekacauan di Nan-king, ya" Seorang wanita muda! Aku mempunyai cara yang membuat seorang wanita akan menyesal menjadi manusia kalau engkau tidak cepat membuat pengakuan!"
Cu Goan Ciang tadinya terkejut bukan main ketika mengenal komandan Mongol itu ternyata sutenya sendiri, akan tetapi sekarang diapun sudah dapat menenangkan diri. Entah apa alasan Shu Ta menjadi seorang panglima Mongol! Apapun alasannya, dapat dibicarakan kelak. Kini yang terpenting, sutenya itu berjanji akan membebaskan dia dan Yen Yen! Maka, melihat sikap Yen Yen, diapun segera menanggapi.
"Perwira Mongol keparat! Kami memang pemberontak, kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah. Sekarang kami telah tertawan, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami siap menerima hukuman mati sekalipun!"
"Jadi kalian tidak mau mengaku siapa kawan-kawan kalian dan di mana mereka"
"Tidak sudi!" Goan Ciang dan Hui Yen menjawab serentak.
Shu-Ciangkun tertawa lagi. "Hemm, aku memberi waktu kepada kalian sampai besok pagi. Malam ini pikirkan baik-baik karena kalau besok kalian tetap berkeras kepala tidak mau menunjukkan tempat sembunyi kawan-kawan kalian, maka kalian akan mati sekerat demi sekerat!" Shu-Ciangkun bertepuk tangan memberi isarat kepada para pengawal. Biarpun para pengawal tadi tidak ada yang berani mengintai ke dalam, akan tetapi telinga mereka dapat menangkap percakapan yang nyaring itu.
Setelah empat orang pengawal masuk, Shu-Ciangkun memberikan perintahnya.
"Masukkan mereka ini ke dalam sel. Satukan dalam sel agar mereka dapat berunding. Biarkan belenggu kaki tangan mereka dan baru boleh dilepaskan kalau mereka akan makan dan ada keperluan ke belakang. Jaga ketat, dan di luar kamar tahanan mereka harus selalu dijaga oleh dua belas orang pengawal. Malam ini, semua penjaga di luat pintu sel jangan ada yang tertidur atau aku akan memberi hukuman berat!"
"Baik, panglima!" kata kepala pengawal dan empat orang itu lalu menarik Goan Ciang dan Hui Yen keluar dari ruangan itu, memasukkan mereka di dalam sel yang istimewa, yaitu sel yang terpisah dan dijaga ketat.
Setelah mereka berdua didorong masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu sehingga mereka terpelanting roboh dan rebah miring, pintu sel ditutup dan dipasangi gembok baja yang besar dari luat. Sel itu hanya tiga kali tiga meter luasnya, tanpa ada perabot apapun sehingga mereka berdua terpaksa harus rebah di atas lantai yang dingin. Temboknya amat tebal dan di depan terdapat pintu baja dan juga lubang angin yang dipasangi terali baja yang kokoh kuat.
Goan Ciang bergulingan mendekati Hui Yen dan mereka rebah miring saling berhadapan. "Kenapa sutemu menjadi panglima Mongol" Hui Yen bertanya dalam bisikan.
"Entahlah, akan tetapi dia pejuang sejati."
"Hemm, bagaimana kita dapat percaya padanya" Jangan-jangan sikapnya tadi hanya pancingan agar kita tunduk dan taat, suka bekerja sama dengan dia."
"Tidak mungkin! Aku mengenal dia sejak kecil. Dia cerdik sekali dan aku bahkan yakin bahwa masuknya menjadi panglima Mongol merupakan siasatnya."
"Jadi engkau percaya bahwa dia pasti akan membebaskan kita"
"Aku percaya. Kita tunggu saja dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan."
Hening sejenak, kemudian terdengar bisikan halus Hui Yen, "Cu-twako..."
Goan Ciang memandang heran karena dalam suara gadis itu kini terkandung getaran aneh dan ketika dia melihat mukanya, jelas nampak betapa rasa takut terbayang di sana. "Ada apakah, Yen-moi" Lalu melihat wajah gadis itu, dia menyambung, "Engkau takut..."
Dalam keadaan biasa, kalau ada yang menyangka ia takut, gadis yang lincah periang dan galak ini tentu akan marah-marah. Akan tetapi saat itu, ia sama sekali tidak marah, bahkan mengangguk! "Twako, bagaimana andai kata... seandainya saja sutemu itu hanya berbohong dan menjebak kita" Bagaimana andai kata ancamannya tadi bukan hanya kosong belaka" Kita akan disiksa..."
"Yen-moi, dalam keadaan seperti ini, jangan membiarkan pikiran membayangkan hal yang belum terjadi, karena rasa takut timbul oleh ulah pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak enak. Kita melihat kenyataan saja, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan waspada dan siap siaga, tanpa membayangkan sesuatu, tidak akan ada rasa takut. Yang akan terjadi, terjadilah, namun kita selalu siap menanggulanginya, selalu wajib berikhtiar sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Kita adalah orang-orang yang berjuang demi membela rakyat dan tanah air, dan jelas bahwa taruhannya adalah kalau atau terbunuh. Dan kita akan melawan sampai titik darah yang penghabisan, bukan"
Perlahan-lahan, bayangan rasa takut meninggalkan wajah yang cantik manis itu dan kini kembali sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. "Terima kasih, koko. Engkau telah menenteramkan hatiku. Maaf... rasa takut tadi menguasaiku..., sungguh memalukan sekali..."
"Ah, Yen-moi, kenapa memalukan" Takut itu wajar saja. Kaukira akupun tidak mengenal takut" Semua manusia mempunyai rasa takut ini, akan tetapi kalau kita tidak membiarkan pikiran kita melayang dan membayangkan hal-hal yang belum terjadi, maka rasa takut akan menghilang."
"Terima kasih, dan kini hatiku mantap dan tenang. Andai kata sudah takdirnya aku akan matipun, aku tidak gentar! Bukankah ada engkau di sampingku" Kalau ada engkau mendampingiku, biar matipun aku tidak takut. Kita akan mati bersama, toako!"
Goan Ciang merasa terharu. Dia mengerti apa yang terjadi dalam hati gadis ini. Ia jatuh cinta kepadanya! Dan dia sendiri" Ah, belum sempat dia berpikir tentang cinta, belum hilang luka di hatinya oleh kematian Kim Lee Siang, wanita yang pertama kali menjatuhkan hatinya, yang dicintanya dan mencintanya. Akan tetapi, dia yakin pula bahwa tidak akan sukar bagi hatinya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Yen ini. Akan tetapi, belum waktunya untuk membiarkan diri hanyut dalam kemesraan cinta lagi. Perjuangan masih belum selesai, bahkan kini mereka berdua menjadi tawanan dan mereka hanya dapat mengandalkan sutenya untuk dapat meloloskan diri. Tanpa bantuan sutenya, bagaimana mungkin membebaskan diri dalam kamar tahanan sebuah benteng"
"Yen-moi, aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Semua ancaman bahaya kita hadapi bersama, dan kalau perlu, kita mati bersama demi perjuangan!"
"Demi perjuangan!" kata pula Yen Yen dengan penuh semangat.
"Sekarang, kita harus sedapat mungkin tidur dan menghimpun tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan," bisik Goan Ciang.
Sementara itu, tertawannya Cu Goan Ciang membuat Shu Ta menjadi risau. Bagaikan seekor harimau yang tertangkap dan dikurung dalam kerangkeng, pemuda yang berhasil menjadi panglima Mongol ini berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Dia memang merasa seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Sambil berjalan hilir mudik berjam-jam lamanya, dia mencari jalan keluar dari dalam kerangkeng itu. Mencari akal yang baik untuk dapat keluar dari keadaan yang mencemaskan keadaan hatinya itu. Dia harus membebaskan suhengnya dan gadis pemberani itu, apapun resikonya! Dan dia harus mencari cara yang tepat, karena ada dua hal yang harus dapat dia kerjakan dengan baik. Pertama tentu saja mengusahakan agar suhengnya dna gadis itu dapat lolos dengan berhasil, dan ke dua agar usaha meloloskan dua orang itu tidak sampai melibatkan dirinya! Pada hal, dia tidak mempunyai seorangpun yang dapat dipercaya dalam benteng itu, tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia tidak dapat mengharapkan bantuan orang lain, dan harus dia lakukan seorang diri!
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Shu Ta baru saja menghadap Yauw-Ciangkun, atasannya dan dia melaporkan bahwa dia sedang berusaha agar dua orang tawanan itu membuka rahasia dan mengakui tentang kawan-kawan mereka agar pasukan dapat melakukan pembersihan total.
"Mereka berdua adalah orang-orang penting dalam gerombolan pemberontak," demikian antara lain dia melapor dan mengajukan usul. "Oleh karena itu, saya bersikap sabar dan memberi waktu kepada mereka semalam ini untuk berpikir dan memilih, yaitu pada besok hari, mereka menceritakan tentang tempat persembunyian kawan-kawan mereka, atau mereka akan disiksa perlahan-lahan sampai mereka tidak tahan dan terpaksa mengaku juga. Hal ini penting sekali, Ciangkun. Kalau membunuh mereka begitu saja, mereka mati tanpa ada manfaatnya bagi kita. Sebaliknya kalau mereka mau mengaku, kita untung besar dan dapat membasmi para pemberontak dengan cepat."
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk dan tersenyum. "Aku percaya padamu, Shu-Ciangkun. Terserah kepadamu untuk bertindak."
Demikianlah, ketika malam itu turun hujan, Shu Ta merasa gembira di dalam hatinya. Agaknya alam juga membantu lancarnya siasat yang akan dilakukannya malam itu. Dia telah mempersiapkan segalanya. Dia lalu mengadakan perondaan, hal yang tidak luar biasa karena komandan muda ini memang seringkali turun ke lapangan dan di waktu malam suka melakukan perondaan untuk memeriksa sendiri para prajurit yang melakukan penjagaan. Dalam hal ini, dia bersikap keras dan berdisiplin. Maka, ketika malam itu dia meronda, dari ujung benteng di pintu gerbang sampai ke tempat tawanan umum dan tawanan istimewa, para penjaga tidak merasa heran. Shu Ta sempat memberi teguran di sana-sini, dan memperingatkan bahwa malam itu terdapat dua orang tawanan penting, maka penjagaan harus diperketat. Bahkan dia memerintahkan agar malam itu diadakan perubahan pada cara perondaan.
"Malam ini, setiap satu jam sekali, dari menara harus dibunyikan lonceng lima kali dengan nyaring agar semua penjaga tidak sampai tertidur. Dan setelah lonceng berbunyi, seregu penjaga harus melakukan perondaan memutari tembok benteng dengan mengambil searah jarum jam, dari kanan terus memutar sampai kembali, ke pintu gerbang. Hujan lebatpun, perondaan harus dilakukan! Siapa melanggar, akan dihukum berat! Ingat, aku ikut mendengarkan lonceng itu, dan perondaan harus tepat pada waktunya." Setelah meninggalkan pesan ini kepada kepala penjaga, yaitu perwira yang bertugas malam itu, Shu-Ciangkun lalu meronda ke tempat tahanan istimewa, di mana malam itu hanya ada dua orang tahanan, yaitu Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen.
Dia memeriksa keadaan ruangan tahanan itu. Ada seorang penjaga di setiap pintu dan tempat itu mempunyai tujuh lapis pintu! Sungguh merupakan tempat yang amat kokoh kuat dan betapapun tinggi tingkat kepandaian seseorang, kalau dia disekap di dalam tempat itu, jangan harap akan mampu meloloskan diri. Di bagian dalam sendiri terdapat tujuh orang penjaga sehingga jumlah mereka dari depan sampai ke dalam ada empat belas orang penjaga. Setiap tiga jam sekali, empat belas orang ini diganti dengan tenaga yang masih baru sehingga tidak mungkin ada yang mengantuk. Kalau ada tahanan hendak melarikan diri, lebih dahulu dia harus membunuh tujuh orang penjaga sebelah dalam itu, lalu dia harus mampu membuka setiap pintu baja sampai tujuh kali, pada hal semua pintu terkunci dari luar, dan harus membunuh setiap orang penjaga. Sebelum dia dapat melakukan ini, si penjaga tentu saja dapat memukul kentungan tanda bahaya dan dalam waktu sebentar saja tempat itu akan dipenuhi pasukan. Tidak, tidak mungkin orang dapat melarikan diri dari situ, betapapun lihainya.
Shu Ta memesan kepada semua penjaga agar malam itu hati-hati melakukan penjagaan dan siapapun juga orangnya, malam itu tidak diperkenankan masuk, kecuali kalau dia sendiri hendak memeriksa tahanan.
Tak lama setelah Shu Ta kembali ke bangunan tempat tinggalnya sendiri dalam perbentengan itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan menyelinap di antara kegelapan bayang-bayang bangunan di dalam benteng itu. Agaknya dia mengenal baik keadaan di situ. Dia menyusup-nyusup dan menghindarkan pertemuan dengan para petugas yang melakukan penjagaan malam itu. Betapapun ketatnya penjagaan karena malam itu turun hujan, maka para petugas agak enggan untuk berhujan-hujan dan mereka hanya berjaga-jaga di pos penjagaan. Tak seorangpun dapat melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya amat cepat itu, apa lagi malam itu amat gelapnya, biarpun hujan turun sejak tadi, langit masih saja gelap.
Setelah tiba di pintu pertama tempat tahanan istimewa, bayangan itu telah berubah menjadi Panglima Shu Ta, berpakaian lengkap. Tentu saja penjaga pintu pertama terkejut melihat munculnya komandan ini. Memang tidak aneh, kalau sang komandan melakukan perondaan, akan tetapi di malam hujan dan gelap dingin seperti itu!
"Buka pintu, aku akan memeriksa tawanan, lalu tutup lagi pintu, kunci dari dalam dan kau ikut mengawalku masuk," kata sang komandan dengan singkat, namun suaranya mengandung perintah yang tidak boleh dibantah. Penjaga itu tentu saja melaksanakan perintah ini dengan girang bahwa dia disuruh mengawal masuk karena diapun ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan panglima yang bertangan besi terhadap para penjahat itu terhadap dua orang pemberontak yang ditawan.
Shu Ta mengulangi perintahnya di pintu-pintu berikutnya, yaitu mengunci pintu kembali dari dalam dan memerintahkan penjaga ikut pula mengawalnya masuk. Sikap ini tentu saja tidak membuat para penjaga itu seujung rambutpun tidak mencurigai panglima ini. Panglima itu menyuruh mereka mengunci pintu dan mengajak mereka ikut masuk. Jelas ini merupakan langkah keamanan dan mereka merasa terhormat dipercaya untuk ikut masuk ke dalam tempat yang sesungguhnya terlarang oleh siapapun kecuali sang komandan dan petugas yang melakukan tugas jaga di dalam.
Tujuh orang penjaga di dalampun merasa heran ketika melihat komandan mereka muncul dikawal tujuh orang penjaga pintu. Kini Shu Ta berada di depan ruang tahanan bersama empat belas orang prajurit penjaga.
"Kalian semua harus berjaga dengan ketat di luar ruangan tahanan. Aku akan memeriksa tahanan dan membujuk mereka agar mengaku. Awas, semua siap, akan tetapi sebelum ada perintah dariku, jangan bergerak. Mereka terbelenggu, tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kepala jaga, serahkan kunci-kuncinya kepadaku!"
Seuntai kunci diserahkan kepala jaga kepada Shu Ta, terdiri dari dua kunci pintu baja dan dua buah kunci belenggu kaki tangan dua orang tawanan itu. Setelah sekali lagi memperingatkan mereka untuk berjaga-jaga di luar menanti perintahnya, Shu Ta sendiri membuka pintu ruangan itu. Ketika dia memasuki ruangan itu, Goan Ciang dan Hui Yen yang sejak tadi sudah mendengarkan suara Shu Ta dan mereka berdua sudah siap siaga.
"Panglima Mongol jahanam busuk, mau apa engkau masuk ke sini" Pergi, engkau memuakkan perutku saja!" terdengar Yen Yen berteriak memaki-maki.
"Hemm, panglima Mongol, kami sudah tertawan dan kami siap menerima hukuman mati. Tidak ada gunanya bagi engkau membujuk kami, kami tetap tidak mau membantumu. Bunuhlah kalau kau mau membunuhku!" kata pula Goan Ciang dengan suara penuh geram.
Sementara itu, Shu Ta sudah mengeluarkan kunci dan membuka belenggu kaki tangan dua orang itu selagi mereka memaki-makinya, dan dia berbisik, "Di luar ada empat belas orang pengawal, kita harus membunuh mereka dengan serentak, suheng. Kalau ada seorang saja yang lolos, kita bertiga takkan dapat lolos, dari sini!"
Goan Ciang sudah dapat mengerti dan dia merangkul Shu Ta. "Baik, sute, mari kita bunuh mereka!"
"Kalian pura-pura masih terbelenggu dan rebah, akan kupanggil mereka semua ke sini," bisik Shu Ta dan diapun menjenguk keluar dari pintu kamar tahanan dan berteriak, "Kalian semua ke sini, aku membutuhkan bantuan kalian. Semua ke sini, jangan ada yang berada di luar!"
Mendengar perintah ini, empat belas orang penjaga itu seperti berlomba memasuki kamar tahanan. Hal ini tidak aneh karena seorang di antara dua tawanan itu adalah seorang gadis yang amat cantik manis dan mereka mengharapkan untuk dapat memperoleh tugas menggarap gadis itu agar mengaku.
Melihat empat belas orang itu sudah masuk semua, Shu Ta malah melangkah keluar dan menjaga di pintu, seolah menjaga agar dua orang tawanan itu tidak dapat lari keluar.
Setelah empat belas orang itu memasuki kamar tahanan sehingga agak berhimpitan, mereka tidak tahu harus berbuat apa karena belum ada perintah. Mereka semua menghadap ke arah pintu sehingga membelakangi dua orang tawanan yang masih rebah miring. Mereka semua menanti perintah dari sang komandan. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tawanan yang tadinya nampak rebah miring dengan kaki tangan terbelenggu, tiba-tiba berloncatan bangun dan begitu kaki tangan mereka bergerak, empat orang penjaga roboh! Yen Yen merampas sebatang tombak, sedangkan Goan Ciang merampas sebatang pedang, lalu kedua orang ini mengamuk dari dalam.
Seruling Gading 10 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Pedang Naga Kemala 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama