Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas Dua 15

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 15


"Apakah Kakang takut kutukan Dewa"
"Takut mengganggu garis keturunan Uma dengan Siwa?"
"Tidak." "Kenapa?" "Kakang belum siap menerima kebahagiaan yang begitu besar."
Inilah jawaban sebenarnya.
Gayatri adalah wanita satu-satunya, yang sempurna dalam diri Upasara Wulung. Tak ada yang lainnya.
Tak ada sisa di hatinya. "Ratu Ayu Bawah Langit?"
"Apa maksud pertanyaan Adik"
"Bagaimana membandingkannya" Atau perasaan saya?"
"Kakang mencintai Ratu Ayu?"
"Rasanya iya." "Huh. "Dasar lelaki. Gayatri mau, Ratu Ayu mau. Huh!"
Upasara mencoba menggandeng Gendhuk Tri.
Tangan Gendhuk Tri mengibas.
"Kakang kena penyakit apa?"
Pertanyaan Gendhuk Tri kali ini memang karena merasa terkejut.
Rasanya belum pernah Upasara bersikap aneh seperti sekarang ini.
"Dalam gua bawah tanah sewaktu bersama Dewa Maut, secara tidak beraturan saya mempelajari kitab-kitab yang diingat Dewa Maut.
"Ternyata apa yang dilakukan Dewa Maut merupakan kunci untuk memahami Kitab Bumi, Kidungan Para Raja, Kidung Pamungkas, maupun Kidung Paminggir.
"Tidak perlu dibedakan.
"Tidak perlu dipertentangkan siapa menulis kitab yang mana."
"Apa hubungannya dengan tindakan Kakang yang aneh?"
"Kitab Bumi, Kidungan Paminggir... apa lagi hubungannya kalau bukan Eyang Sepuh?"
"Kenapa Eyang Sepuh?"
"Eyang Putri Pulangsih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Menurut cerita, inti Kitab Penolak Bumi adalah penolakan Eyang Sepuh akan daya asmara. Barangkali benar adanya. Akan tetapi, bukankah kemudian Eyang Sepuh bisa menerima Eyang Putri Pulangsih"
"Adik Tri, "Saya merasa bagian dari Eyang Sepuh, begitu melihat Adik Tri berloncatan di pinggiran bengawan yang mengingatkan akan Eyang Putri."
Gendhuk Tri menghela napas berat.
"Kakang sebaiknya kita mencoba membuat perahu. Tempat ini tidak terlalu baik untuk didiami lebih lama lagi."
Raga Remuk GENDHUK TRI melakukan apa yang dikatakan.
Mengumpulkan kayu-kayu, menyusun, menyatukan dengan akar-akar pohon yang dipintal. Kalaupun berhenti sebentar, untuk mencari buah-buahan sekenanya atau memakan yang diambilkan Upasara.
Hatinya makin gelisah. Ingin berdekatan dengan Upasara.
Akan tetapi begitu niatan itu mendapat sambutan, malah menjauh sendiri.
Upasara sendiri kemudian menjauh.
Hanya mengajak bercakap sekenanya. Lebih suka menunggui Pangeran Hiang yang kadang sehari-semalam menunggui Putri Koreyea yang tetap tak bergerak.
"Pangeran Upasara, katakanlah terus terang, di manakah dosa itu berada"
"Di manakah hukuman dan karma itu?"
"Tergantung dari jalan mana yang kita lewati, Pangeran Hiang."
"Sebutkan jalan yang mana saja.
"Saya bertanya, menyalahkan, menggugat, mencaci kepada Dewa yang Maha dewa sebagai ganti doa. Akan tetapi hasilnya tak berbeda.
"Putri Koreyea tetap seperti sekarang ini.
"Katakan, Pangeran Upasara."
"Saya ragu untuk mengutarakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau benar keteg, getar kehidupan, tak teraba dalam tubuh Putri Koreyea, bagaimana mungkin bisa bertahan sampai kini?"
"Semua terjadi tiba-tiba.
"Saya tak mau menceritakan sebelumnya. Namun toh tak ada bedanya juga.
"Dalam perjalanan di laut, Putri Koreyea mendadak mengatakan tubuhnya kurang enak. Lalu berbaring.
"Saya masih membayangkan kegembiraan. Bahwa rasa mual, kurang enak badan, selalu menyertai wanita yang sedang hamil. Tapi sejak itu saya tak berhasil membuatnya berjalan kembali.
"Ada saatnya terbuka matanya, meneteskan air mata, berbicara.
"Akan tetapi makin lama makin lemah."
"Apa keluhannya selama ini?"
"Cahaya terlalu menyilaukan.
"Angin terlalu menyakitkan hidung.
"Suara terlalu bising.
"Bahkan tanpa gerakan di sampingnya pun, Putri tetap mengeluh. Itu sebabnya saya bertanya-tanya., Karma apa, kesalahan apa yang harus saya tebus"
"Pangeran Upasara, saya melakukan banyak kekeliruan dalam hidup.
Banyak mengenal wanita, banyak mengalahkan lawan. Tapi yang melakukan saya.
"Bukan Putri. "Kenapa harus terjadi padanya?"
Upasara berjalan di samping Pangeran Hiang menuju ke tempat Putri Koreyea.
Duduk di sebelahnya. "Gemuka mengatakan bahwa raga Putri remuk dari dalam. Tubuhnya tak mempunyai kekuatan lagi, sehingga udara pun menyakitkan gendang telinganya.
"Gesekan angin bisa menyakitkan gendang telinganya."
"Saya kira begitu, Pangeran.
"Saya melihat tubuhnya amat sangat lemah."
"Saya mengerti. "Tapi apa sebabnya?"
"Pangeran Hiang bisa menebak nanti.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang diperlukan adalah bagaimana mengobatinya."
Pangeran Hiang menggeleng keras.
"Pangeran Upasara, "Di jagat ini saya mengerti segala jenis obat dan ramuan. Kotoran kuda pun bisa menjadi obat. Saya besar dan hidup dari tempat seperti itu.
"Jangan ajari saya tentang hal itu."
"Ada satu ilmu yang secara tidak langsung dipelajari Dewa Maut. Ilmu mengenali seluruh kekuatan dari telapak kaki.
"Kalau Pangeran Hiang bisa mengingat, Dewa Maut melakukan itu untuk membebaskan Adik Tri, Paman Jaghana, dan Mpu Sina.
"Saya tidak tahu apakah Pangeran bersedia mencobanya."
"Sama saja." "Dengan izin Pangeran saya akan mencoba."
Pangeran Hiang mengangkat alisnya.
"Pangeran Upasara mau menunjukkan lebih hebat dari saya" Lebih menang dari saya?"
Mata Upasara berkejap-kejap.
"Apa yang akan Pangeran lakukan?"
"Pertama kali mengetahui di mana yang tidak betul. Apakah betul raganya remuk?"
"Bahkan melihat kulit telapak kakinya pun tidak akan kuizinkan.
"Kecuali, kecuali kalau Pangeran Upasara bisa mengatakan dengan jelas, dan saya bisa menerima kalimat-kalimat itu."
"Saya hanya ingin menjajal.
"Pangeran Hiang masih ingat pertanyaan yang belum terjawab: Kenapa saya bisa mematahkan serangan Barisan Api"
"Jawabannya adalah menjajal.
"Mencoba. "Itulah laku." Kepala Pangeran Hiang sedikit miring.
Menunggu. "Pangeran Hiang, ada suatu kekuatan yang kita tidak pernah bisa mengetahui seluruhnya. Baik itu kekuatan raga maupun kekuatan sukma.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya bisa mengetahui bahwa Barisan Api dididik sejak kecil.
Kemudian menjadi jelas ketika Pangeran menerangkan bahwa tubuh mereka sengaja ditusuk dengan jarum di bagian tertentu untuk menyuntikkan ramuan tertentu atau penambahan kekuatan. Ditambah dengan latihan keras, pengekangan hawa nafsu, pematian indria yang lain, jadilah kekuatan yang luar biasa.
"Nyatanya begitu. "Semua itu adalah usaha yang wadag, yang kasat mata. Bisa dilihat, bisa ditiru, bisa dilakukan siapa saja.
"Seperti juga kita melatih gerakan dalam ilmu silat.
"Otot, urat, pergelangan menjadi luwes. Menyatu dengan tenaga dalam.
"Akan tetapi pertanyaan kita adalah: Dari mana asalnya tenaga dalam itu sendiri" Bukankah ia sudah ada sebelum dilatih"
"Maaf kalau saya menggurui.
"Dengan memberi nama apa saja, apakah chi, apakah keteg, apakah alamiah, kekuatan Dewa, tetap tak menerangkan kenyataan, dari mana asalnya tenaga"
"Bagaimana mungkin tenaga itu berubah"
"Saya mencoba menerangkan mulai saat saya menghadapi Barisan Api. Tak sedikit pun tersedia jawaban sebelumnya. Bahkan bagaimana Barisan Api saya tak mengetahui.
"Ketika bertarung, dalam gebrakan pertama yang saya ketahui hanyalah bahwa kekuatan Barisan Api di luar perhitungan. Tenaga luar dan tenaga dalamnya sangat luar biasa.
"Apalagi ketika membentuk barisan di ruang yang sempit, telapak tangan yang bersinggungan bisa menambah lipat tenaga yang ada.
"Pikiran yang membersit pertama ialah mengupayakan agar Barisan Api tidak bersenggolan, tidak saling menyulut kekuatan.
"Akan tetapi ruangan untuk bertarung sempit.
"Kemungkinan untuk itu terlalu kecil ditiadakan.
"Saat itulah membersit dalam pikiran upaya untuk menangkap kekurangan.
"Rasanya tak ada. "Barisan Api terlalu digdaya.
"Geraknya lugas, menyerang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Di sinilah bersitan itu menemukan bentuknya. Saya bisa segera menangkap bahwa gerakan Barisan Api sangat tertentu. Ada irama di mana yang satu mulai bergerak, yang lain menunggu. Sampai hitungan tertentu baru bergerak. Kalau perhitungan saya tidak salah, gerakan yang kedua sangat tergantung pada gerakan yang ada. Bisa gerakan Jalu pertama, bisa karena gerakan tubuh saya.
"Satu-satunya jalan bagi saya adalah mengupayakan gerakan saya seirama dengan gerakan Barisan Api. Yang mula-mula bergerak, menjadi bagian dari gerakan saya, untuk berada selangkah di depan.
Sehingga yang pertama bergerak mengikuti saya.
"Dengan gerak berirama ini, kemungkinan mereka bersinggungan sangat kecil.
"Semakin saya berhati-hati dan tepat, semakin tak ada kemungkinan mereka bersinggungan.
"Kemudian dalam soal menggempur, saya memakai pukulan mematikan dan terkena. Dengan cara seperti itu, saya bisa sedikitnya mengurangi jumlah Barisan Api, sehingga kekuatan mereka tak bisa penuh.
"Saya tak mungkin menggebrak maju, karena tenaga saya hanya akan membangkitkan gerakan Barisan Api untuk bersinggungan dan berubah menjadi hebat.
"Saya juga tak akan menang melawan kesemuanya seketika. Karena kekuatan Barisan Api tak bisa ditandingi.
"Ternyata siasat itu berhasil."
"Kembali ke pertanyaan semula. Dari mana kekuatan yang menangkap bahwa gerakan Barisan Api ini searah"
"Kekuatan dari mana?"
"Karena bisa terbaca, Pangeran.
"Siapa saja bisa membaca, tapi belum tentu bisa menemukan. Saya kebetulan bisa dua-duanya.
"Karena saya menjajal."
Mangkara Kumuda PANGERAN HIANG tetap menghalangi.
"Saya tak memperbolehkan.
"Tak akan ada orang lain yang bisa menyentuh istri saya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pangeran Hiang masih curiga?"
"Ini bukan soal curiga.
"Saya tak akan mengizinkan."
"Bagaimana kalau Adik Tri yang menjajal?"
Pangeran Hiang sejenak ragu.
"Tidak ada salahnya kita jajal, Pangeran."
"Baik." Ternyata yang tidak mudah justru mengajak Gendhuk Tri. Ketika Upasara mengutarakan keinginannya untuk mencoba mengobati Putri Koreyea melalui Gendhuk Tri, yang diajak malah menggeleng.
"Untuk apa kita meributkan masalah yang tidak diperlukan oleh yang bersangkutan" Kakang mengira bisa menjadi Dewa karenanya"
"Kalau Pangeran Hiang tidak ikhlas, sampai kapan pun juga tak akan sembuh."
"Adik..." "Urusan saya sekarang adalah menyiapkan perahu untuk meninggalkan tempat ini."
Gendhuk Tri bahkan tidak memedulikan Upasara maupun Pangeran Hiang. Ia lebih suka mengumpulkan kayu, menebas dengan kedua tangannya, mengikat dengan sulur-sulur pepohonan hingga merupakan rakit yang besar. Karung kulit bekas pembungkus tubuhnya dan Upasara sudah dijajal dan direntang-rentang.
Tidak mau meladeni pembicaraan Upasara. Malah terjun ke tengah bengawan. Berusaha menyeberang ke tepi yang lain. Dua-tiga kali mencoba, akan tetapi selalu kandas.
"Adik Tri, hati-hati sedikit.
Arus bengawan di bagian ini memutar deras. Itu sebabnya kita bisa terdampar di sini. Rasa-rasanya di sebelah selatan arah ini sudah dekat dengan Laut Kidul."
Dengan gelagapan Gendhuk Tri mencoba kembali ke tepi.
"Laut Kidul?" "Campuran panas air menunjukkan hal itu.
"Saya kira Adik Tri sudah mengetahui ketika memutari pulau ini."
"Celaka. "Kalau benar begitu kita bakal terkurung di sini seumur-umur.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pantas saja di sini tak ada penghuni dan bekas-bekas hunian sama sekali."
"Memang sepi. "Tak ada perahu atau nelayan yang lewat."
Mendadak Gendhuk Tri meloncat lagi ke dalam air. Menuju sedikit ke tengah.
"Kakang, cepat loncat."
"Kenapa?" "Kita bisa menemukan mangkara kumuda di sini."
Upasara meloncat ke tengah bengawan. Dan berendam, seperti juga Gendhuk Tri.
Mangkara kumuda, atau udang teratai, adalah jenis udang yang berwarna seperti bunga seroja, putih. Mangkara atau udang jenis ini hanya bisa hidup di tempat yang arusnya berputar, terutama sekali sungai yang berada di mulut laut dengan ombak besar.
Gendhuk Tri mengetahui lebih dalam mengenai hal ini dari penuturan Dewa Maut. Tokoh yang pernah dalam satu masa hidupnya hanya berada dalam perahu sepanjang Brantas!
Hanya saja selama ini Dewa Maut belum pernah menemukan udang seroja. Gendhuk Tri sendiri belum pernah melihat. Hanya mendengar penuturan bahwa udang itu besarnya bisa mencapai paha. Warna putihnya cepat sekali menarik perhatian, dibandingkan dengan udang besar yang biasanya selalu terdiri atas enam warna.
Dengan mengeram dalam air, Gendhuk Tri berharap akan didatangi mangkara kumuda. Sebab begitulah cara yang pernah dikatakan Dewa Maut.
Tidak jauh berbeda dengan Gendhuk Tri, Upasara juga pernah mendengar tentang khasiat mangkara kumuda. Juga cara-cara menangkapnya.
Akan tetapi karena binatang langka itu susah diburu, seperti juga jenis binatang atau buah langka yang lain, Upasara tak terlalu peduli.
"Rasa-rasanya iya. "Selama kita di sini tak ada seekor ikan pun. Menurut cerita, ikan lain sangat takut kepada udang seroja."
"Itulah, Kakang. "Siapa tahu dengan cara ini kita bisa menolong Putri Koreyea."
Upasara melengak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa Adik mau menolongnya?"
"Saya mau menolong, seperti juga Kakang.
"Seperti juga Pangeran Hiang, saya tak mau Kakang menyentuh Putri Koreyea."
Hampir saja terlontar pertanyaan kenapa.
Tetapi Upasara bisa menahan diri. Ada kearifan yang menahan rasa ingin tahu lebih jelas alasan yang dikemukakan Gendhuk Tri.
"Sampai kapan kita berendam seperti ini?"
"Sampai udang itu datang."
"Kalau ternyata tak ada."
"Masih lebih baik daripada menunggui Putri tidur."
Upasara mendeham keras. "Adik Tri, apakah Adik berpikir kakangmu ini sudah demikian buruk?"
"Tidak. "Sama sekali tidak. "Tetapi Kakang tak pernah bisa mengelak kalau sudah berdekatan.
Dengan Gayatri saja Kakang begitu terpesona. Bukan karena Gayatri hebat seperti bidadari. Hanya karena itulah wanita pertama yang begitu memperhatikan Kakang.
"Dengan Ratu Ayu, Kakang bahkan mengawini. Meskipun dalam sayembara murahan.
"Sekarang ini apa lagi.
"Saya bisa mengerti kalau Pangeran Hiang tak rela Kakang memegang-megang tubuhnya."
"Adik Tri... Bagaimana bentuk udang itu?" Upasara mengalihkan pembicaraan.
"Ya seperti udang yang besar."
"Apakah beracun, berbahaya, atau bagaimana?"
"Mana saya tahu"
"Bagaimana kalau Kakang bertanya kepada Dewa Maut lebih dulu?"
Kerenyahan suara Gendhuk Tri menandai keakraban yang juga kemanjaan sekaligus. Hanya dalam satu tarikan napas, Gendhuk Tri bisa berubah terbalik.
"Kenapa Kakang diam?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan-jangan udang itu takut mendengar suara."
"Atau sebaliknya. "Kakang tahu bagaimana cara memanggil udang?"
"Memanggil udang?"
"Ya. "Kalau kumbang bisa disuiti Dewa Maut, apa bedanya dengan binatang lain?"
Pangeran Hiang yang mendengarkan dari kejauhan tergugah pikirannya.
Tentang kemungkinan mencari udang seroja.
Tentang hubungan Upasara dengan Gendhuk Tri yang dianggap aneh, padahal dirinya sendiri dianggap sama anehnya.
Inilah jagat yang tak akan pernah bisa dimengerti.
Jagat tanah Jawa. Jagat ksatria yang mampu menyimpan dendam gunung meletus dalam senyuman. Ksatria yang tak bisa diperhitungkan sebelumnya.
Seperti mencari kebetulan.
Seperti bersandar kepada nasib.
Tapi itu suatu usaha. Suatu yang disebut laku.
Apa yang baru saja dilakukan Gendhuk Tri menunjukkan hal itu.
Pada saat mencoba meninggalkan pulau, saat itu pula seluruh kemampuannya berkembang ke arah itu. Menjajal menuju tepi, memperhitungkan aliran sungai.
Dan tik. Meletikkan pikiran mengenai udang seroja.
Pada saat sebelumnya tak pernah ada ingatan tentang udang seroja itu. Walaupun sudah lama berada di tempat ini, tak pernah menyebut sedikit pun.
Tapi tik. Letikan yang bahkan, menurut Pangeran Upasara Wulung, tak disadari. Yang justru dipertanyakan. Kekuatan apa yang menyebabkan tik"
Tik Cuma tik. itu yang menyebabkan Barisan Api bisa ditebak langkah dan geraknya serta sumber kekuatannya.
Tik yang berikutnya yang menemukan cara untuk mengungguli.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Inikah sumber kekuatan ksatria tanah Jawa" Pertanyaan itu menggoda Pangeran Hiang. Karena siapa pun dengan mudah akan menyadari bahwa Sri Baginda Raja berani menantang Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa.
Dari segi perhitungan prajurit, kesiagaan perang, Keraton Singasari tak ada apa-apanya. Dengan cara apa pun akan tetap kalah.
Akan tetapi toh Sri Baginda Raja tidak ragu sedikit pun menantang.
Mengangkat senjata kepada keraton yang telah menguasai jagat seluruhnya. Yang dikuasai dengan cara kekerasan!
Memancing Itu Laku APA yang terlihat di depan mata Pangeran Hiang membuka kedalaman pandangan untuk memahami manusia tanah Jawa.
Manusia yang bisa tertawa, bisa bermain dalam hidupnya, tetapi ternyata mempunyai keuletan dan tak terkalahkan.
Seperti sekarang ini. Upasara dan Gendhuk Tri yang berendam di pinggir bengawan sambil berbicara ke sana-kemari. Sesuatu yang dilakukan dengan wajah riang.
"Kakang tahu tidak bahwa Kakang itu sebenarnya sangat tolol?"
"Tahu." "Dalam hal apa?"


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau saya tahu tolol dalam hal apa, namanya bukan tolol."
"Kakang boleh mengaku menguasai Kitab Bumi. Boleh menjadi ksatria tanpa tanding. Boleh memecahkan rahasia Barisan Api.
"Tapi sekarang ini sangat dungu.
"Apa yang Kakang lakukan" Berada di bengawan dan menunggu udang...."
"Di mana tololnya?"
"Apa mungkin udang seroja yang kita cari tiba-tiba mau mendatangi kita dan menyerahkan tubuhnya"
"Udang saja pastilah tidak setolol Kakang!"
"Lalu?" "Kita harus menjebak. Udang atau binatang apa pun, tak mungkin mau menyerahkan dirinya begitu saja.
"Dengan cara itu kemungkinan kita mendapatkan lebih besar."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dengan apa kita menjebak?"
"Kita tak punya apa-apa, tapi rasanya masih ada kulit beruang. Salah satu bisa kita pergunakan."
Perhitungan Gendhuk Tri adalah: bau kulit itu bisa merangsang udang untuk datang. Pertanyaannya: selama ini tidak terpengaruh sama sekali.
Jawabannya: kulit itu dijadikan kulit kembali. Bagian-bagian yang telah digosok hingga mengilat dihilangkan. Atau sekurangnya dihilangkan.
Itu yang dilakukan kemudian.
Dan dengan kukunya Upasara menyobeki lembaran itu hingga menjadi tali yang panjang ketika disambung. Dengan cara itu lebih memancing kedatangan udang.
Itulah yang kemudian dilakukan.
Keduanya bukan hanya berendam setengah badan, akan tetapi berusaha lebih ke tengah. Bukan pekerjaan yang mudah, karena pusaran air sangat keras.
Beberapa kali Upasara mencoba berada di pusaran. Mencoba mengerahkan tenaga dalamnya melawan pusaran air. Tenaga dalamnya yang kuat membuat kuda-kudanya sangat kokoh.
Akan tetapi itu hanya sebatas kakinya bisa bertahan. Jika mencoba masuk ke bagian yang lebih dalam, pijakan itu tidak menemukan kekuatan sehebat kalau menginjak.
Dengan kaki menendang-nendang air, tubuh Upasara beberapa kali terseret putaran.
Ini berbeda dengan Gendhuk Tri yang agaknya bisa menyesuaikan diri dengan gerakan air. Tubuhnya kemudian bisa menyatu. Mengikuti arus, berputar kembali, tenggelam, untuk kemudian muncul.
Tali kulit selalu bergerak.
Upasara tak mau menyerah begitu saja.
Ia menuju ke tengah. Tubuhnya amblas ke bawah, ke dasar bengawan. Dengan kaki berpijak, Upasara tak terseret arus. Akan tetapi dengan berbuat begitu ia tak bisa bernapas.
Hingga perlu sesekali muncul ke permukaan.
Untuk menghirup udara segar.
Dan menenggelamkan tubuhnya lagi.
Setiap kali Upasara muncul, Gendhuk Tri menyambut dengan senyum ejekan. Karena Gendhuk Tri bisa bergerak leluasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri hanya menyelam sementara, untuk melihat sekelilingnya. Apakah udang seroja yang belum pernah dilihat itu ada di sekitarnya.
Usahanya mulai berhasil. Beberapa jenis ikan tertentu mulai mendekat, karena bau kulit yang sangat merangsang.
Beberapa kali muncul, Gendhuk Tri heran karena tidak melihat Upasara.
Jangan-jangan... "Kakang..." Gendhuk Tri menyelam, berenang ke arah Upasara. Menyelam sampai dasar!
Ternyata Upasara berdiri gagah di bawah.
Melawan arus dengan membuka kedua tangannya, kakinya melengkung. Samar-samar terlihat tali kulit digerak-gerakkan.
Gendhuk Tri bisa mengikuti akan tetapi tak bisa bertahan lama seperti Upasara.
Kalau Gendhuk Tri sekali lagi memuji pengaturan napas Upasara, tidak terlalu berlebihan. Yang selalu dikagumi dari kakangnya ini adalah kemampuannya yang cepat untuk mengatasi masalah.
Begitu susah berenang, Upasara mengerahkan kemampuannya mengatur napas. Dengan tetap berada di dasar bengawan.
Itu pula yang sejak pertama diperhatikan Pangeran Hiang.
Gendhuk Tri yang melenggok, berenang ke sana-kemari, menyelam dan muncul lagi. Wajahnya kelihatan benar-benar bersemangat.
Demikian juga Upasara. Sesekali muncul ke permukaan air, dengan mengembuskan napas keras, mengisap, dan kemudian tenggelam lagi.
Semangat. Kegembiraan. Permainan. Tujuan. Semuanya bisa menyatu. Antara memburu tujuan menangkap udang seroja, dan bermain di air yang menimbulkan kegembiraan serta semangat setelah sekian lama berada di pulau tanpa jelas apa yang dilakukan.
Inikah yang disebut laku"
Seperti yang disebut berulang kali dalam berbagai kitab.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Inikah yang disebut menjajal"
Seperti yang dikatakan Upasara.
Inilah usaha. Seperti yang disimpulkan.
Laku itu usaha, tetapi sekaligus juga cara, yang sudah menyatu dalam perilaku.
Memancing udang adalah bagian dari laku. Berendam di dasar sungai adalah bagian dari laku. Bisa berarti melatih tenaga dalam, melatih kesabaran, membuka pikiran, menyatu dengan alam, mencari dirinya sendiri.
Selama bersama Gendhuk Tri dan Upasara beberapa hari, Pangeran Hiang menyaksikan sendiri bahwa keduanya tidak secara khusus berlatih ilmu silat atau mengatur pernapasan.
Tak pernah ditemui hal itu.
Akan tetapi, ternyata itu semua dilakukan bersama dalam kegiatan sehari-hari. Ketika Gendhuk Tri mengumpulkan kayu untuk rakit, ketika berkeliling, ketika Upasara menorehkan kukunya ke kulit beruang yang keras dan liat.
Barangkali inilah sumber tenaga ksatria tanah Jawa yang sesungguhnya.
Yang pada beberapa orang tertentu bisa mencapai puncak penguasaan diri. Sehingga mampu menghadapi serangan apa pun!
Pangeran Hiang bisa melihat lebih jelas, karena ia berasal dari tradisi yang berbeda.
Melihat bahwa pengaruh dari tanah Hindia dan Syangka, seperti yang kemudian dibuktikan sendiri, tak mengubah seluruhnya. Masih tetap ada sesuatu yang milik mereka sendiri.
Gerakan ilmu silat mereka, dasarnya sama dengan apa yang dipelajari di negerinya. Yang diajarkan dengan susah payah untuk mengambil tenaga dari sedotan hidung, dibawa ke atas ke tempurung kepala, dan diturunkan lewat rangkaian tulang belakang, sebelum akhirnya terkumpul di pusar. Sama semuanya.
Hanya saja hasilnya berbeda.
Karena tenaga yang kemudian bisa dimuntahkan, ternyata bisa berasal dari tenaga pusar yang dipusatkan, atau juga berasal dari sumber lain.
Yang agaknya ini merupakan bentuk perwujudan diri mereka dalam pencapaian.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Hiang seperti mengoreksi dirinya.
Semakin jauh dirinya tenggelam meneliti dan terlibat, semakin terseret pula. Terseret dan tenggelam dalam tata krama yang ada pada Gendhuk Tri maupun Upasara.
Kini makin disadari bahwa kalahnya Naga Nareswara, Raja Segala Naga, pada titik tertentu karena berusaha masuk dan memahami ilmu dari tanah Jawa. Pada saat itu, akan selalu bisa diungguli oleh mereka yang memang berada di situ, yang setiap saat dalam hidupnya memang begitu.
Atau dengan kalimat yang sederhana, ketika Naga Nareswara berusaha memakai pendekatan yang digunakan Upasara, ia akan selalu bisa dikalahkan. Karena pendekatan Upasara memang sudah menyatu dengan hidupnya!
Titik pijak ini pula yang pada awalnya sudah menyesatkan Naga Nareswara yang mengubah kedatangannya sebagai pendeta menjadi sebagai jago silat. Hingga datang ke pertarungan yang menurut cerita diadakan setiap lima puluh tahun sekali.
Sehebat apa pun, kalau mengikuti gaya permainan yang menjadi sikap hidup bangsa lain, sulit menemukan keunggulan.
Hanya saja, Pangeran Hiang sepenuhnya sadar, sewaktu ia memakai pendekatan yang sama sekali berbeda, ternyata juga tak bisa merebut kemenangan.
Laku Itu Prasaja DALAM hati, Pangeran Hiang mengagumi betapa Saudara Tua Gemuka jauh hari sudah melihat kemungkinan yang bisa muncul.
Adalah Gemuka yang pertama kali mengatakan ketidaksetujuan untuk berangkat. Gemuka berkeberatan Pangeran Hiang pergi ke tanah Jawa. Bukan karena dengan demikian kemungkinan menduduki takhta jadi jauh, akan tetapi pertama-tama karena ada yang tak bisa diperhitungkan, walaupun dengan saksama dicoba diteliti.
Kesan itu demikian kuat mendasar, sehingga akhirnya Gemuka memilih jalan yang berbeda.
Pangeran Hiang memuji. Tapi juga sangsi. Apakah kalau Gemuka tetap berada dalam satu rombongan, Barisan Api bisa dengan mudah dipatahkan"
Apakah Upasara mampu menghadapi saat itu"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini pertanyaan yang mengganggu.
Tapi tak banyak artinya. Karena nyatanya Gemuka memisahkan diri, dan nyatanya Barisan Api bisa dikalahkan.
"Bagaimana, Kakang?"
Teriakan Gendhuk Tri menyadarkan lamunan Pangeran Hiang.
"Saya tidak melihat apa-apa, selain ikan biasa."
"Barangkali sebentar lagi."
"Saya kita begitu. "Di bengawan ini boleh dikatakan tak ada yang terseret arus. Kalau benar perahu itu meledak, kepingan kayu atau arang mestinya ada juga yang melewati arus ini. Nyatanya, sejak pertama kali sadar berada di sini, tak ada barang lain.
"Taruh kata sebagian ikut hanyut bersama karung kulit, mestinya ada yang lain..."
Gendhuk Tri memekik. Tubuhnya menyelam cepat sekali.
Upasara menggeliatkan perutnya. Tubuhnya menyelam, bergerak menuju Gendhuk Tri.
Benar juga! Ada bayangan putih bergerak, memburu ke antara kaki Gendhuk Tri.
Meskipun di dalam air Upasara tak bisa bergerak sempurna, akan tetapi tetap bisa lebih cepat dari Gendhuk Tri. Kedua tangannya yang memegang tali kulit menyentak.
Pusaran air dipatahkan. Sejenak udang putih itu seperti kehilangan irama arus.
Satu sabetan lagi Upasara berhasil melingkar tali ke tubuh udang.
Bersamaan dengan tali yang disabetkan Gendhuk Tri.
Berada dalam air bengawan yang jernih, keduanya bisa saling mengetahui.
Merasa tangkapannya mengena, Gendhuk Tri mengibaskan ke atas.
Udang putih itu melayang ke atas permukaan air.
Upasara menggenjot tubuhnya ke dasar bengawan. Mumbul ke permukaan air.
Bersamaan dengan Gendhuk Tri.
"Kena!" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kedua tali di tangan Gendhuk Tri bagai tali jerat. Melibat udang seroja.
"Tangkap, Kakang."
Gendhuk Tri mengayun ke arah tepi.
Udang seroja yang terikat itu terlempar lagi ke tengah udara.
Ke arah tepi. Upasara menyongsong cepat.
Menangkap ujung tali yang lepas, dan menyentakkan ke tepi.
"Tangkap..." Kini Gendhuk Tri yang meraup dan melemparkan pendek ke tepi.
Satu kali lagi hal itu dilakukan, keduanya sudah berada di tepi.
Dengan udang seroja di tangan.
Gendhuk Tri meleletkan lidahnya.
Udang seroja itu benar-benar sebesar pahanya. Seluruhnya berwarna putih. Tampaknya masih terengah-engah. Supitnya bergerak-gerak.
Gendhuk Tri merasa ada sesuatu yang aneh.
Barulah kemudian sadar bahwa di pepohonan sekitar sini dipenuhi oleh burung-burung yang luar biasa banyaknya.
Berkaokan. Mata membelalak. Dan terjun beramai-ramai.
"Awas...!" Upasara menarik tali, sementara tangan lainnya melancarkan pukulan dengan tenaga ringan. Karena Upasara tidak ingin membunuh burung-burung yang datang. Hanya mengusir.
Lima burung yang berwarna hitam mengeluarkan kaokan hebat, tubuhnya terdorong ke air, tapi jumlah yang lebih banyak terus menyambar ke arah udang!
Gendhuk Tri bersuit keras.
Dua tangannya menyambar ke atas. Meraup sekenanya beberapa ekor burung yang mematuk, mencakar. Untuk dikedutkan dan saling ditabrakkan.
Burung-burung itu berkaokan.
Suasana menjadi bising. Ribut.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena makin lama jumlah burung makin banyak dan makin beraneka. Semua mengincar udang seroja.
Upasara meloncat ke dalam hutan.
Baru beberapa saat berdiri, merasa bahwa hutan seakan digerakkan oleh gesekan tubuh.
Gendhuk Tri mengedutkan tali kulit.
Plas. Seekor ular menggelepar, hancur tubuhnya!
Tapi gesekan di antara daun-daun masih terdengar.
Keduanya berpandangan. Bagi Gendhuk Tri jelas, bahwa udang seroja yang diambil memang merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan juga di antara binatang-binatang hutan.
Kalau tadinya tempat ini seperti hanya dihuni mereka berempat, kini rasanya jadi penuh sesak. Dari segala semak bisa bermunculan segala jenis binatang.
"Pangeran... berikan buat Putri."
Di luar dugaan Upasara, Pangeran Hiang menggeleng.
"Coba saja." "Tak ada gunanya. "Saya tahu dan mengerti udang itu jenis yang dicari di mana pun.
Seperti halnya cula badak atau tanduk rusa cabang tiga belas.
"Akan tetapi apa artinya"
"Putri tak bisa memakan.
"Tak bisa menggerakkan bibir."
Benar juga! Betapapun susahnya mencari udang seroja, betapapun hebat khasiatnya, kalau tak bisa dimakan, tak ada gunanya.
"Paksa saja. Jejalkan ke mulut," teriak Gendhuk Tri kesal.
"Tak ada gunanya."
"Baik, kalau begitu," kata Gendhuk Tri. "Saya akan bakar sendiri.
Berkhasiat atau tidak, pastilah dagingnya lezat sekali. Kalau tidak, burung dan ular tidak ngiler dan nekat."
Gendhuk Tri benar-benar gemas.
Tangannya meraup ke tali yang dipegang Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebaiknya kita coba."
Upasara tidak secara sengaja menghindar. Melainkan bergerak ke arah lain. Menuju ke gua pepohonan tempat Putri Koreyea ditempatkan.
Gendhuk Tri dan Pangeran Hiang menyusul.
Bahkan dengan satu loncatan, Pangeran Hiang mampu mengungguli loncatan Upasara.
Pertanda ilmu mengentengkan tubuh yang hebat.
Memang Upasara tidak terlalu unggul dalam soal meringankan tubuh.
Akan tetapi apa yang dilakukannya jauh lebih cepat dan lebih lebar dibandingkan dengan loncatan Gendhuk Tri.
Toh Pangeran Hiang yang selama ini tak pernah kelihatan bergerak, bisa melakukan dengan luar biasa.
Hanya dengan tiga lompatan keduanya sampai ke dekat Putri Koreyea.
Pangeran Hiang bisa menghalangi.
Namun kali ini berdiam, menunggu.
Karena ada getaran aneh. Getaran tubuh Putri Koreyea!
Inilah luar biasa. Tak bisa dipercaya. Ketika Upasara mendekatkan udang seroja yang tangan dan kakinya masih terus bergerak, dengusan napas Putri Koreyea berubah. Ketika lebih mendekat lagi, cuping hidung Putri Koreyea bergerak. Bergerak.
Napas Gendhuk Tri masih terengah-engah. Enam atau tujuh loncatan yang dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya benar-benar menguras tenaga dalamnya, setelah bermain-main di tengah bengawan.
"Baukan lagi, Kakang...."
Gendhuk Tri adalah wanita, yang dalam soal bau lebih tajam dibandingkan Upasara dan Pangeran Hiang. Sejak menangkap pertama, sudah mencium bau harum yang lembut, samar.
Bau yang menyebabkan burung-burung kini berada di mulut gua.
Putri Koreyea bergerak. Matanya yang selalu tertutup selama ini menunjukkan gerak biji matanya.
Pangeran Hiang berlutut. Begitu prasaja, begitu sederhana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kemenangan Tanpa Mengalahkan
KEDUA tangan Pangeran Hiang terkepal di atas kepala, ikut berayun bersama separuh tubuhnya bagian atas. Beberapa kali naik-turun.
Disertai helaan napas panjang kemudian.
Disusul ucapan yang bisa dimengerti oleh Pangeran Hiang sendiri.
Mungkin juga Putri Koreyea, andai sudah sadar sepenuhnya.
Sorot mata Pangeran Hiang penuh dengan rasa terima kasih, walau bibirnya tak mengucapkan sepatah kata pun.
Upasara mendekatkan udang seroja.
Menggoyang sedikit di atas wajah Putri Koreyea.
Sebenarnya ada juga rasa kuatir Gendhuk Tri. Kalau-kalau udang itu lepas dan mengenai wajah Putri Koreyea yang putih mulus bagai kapas padat. Soalnya, Gendhuk Tri tidak tahu persis apakah udang itu tidak berbahaya. Jika sapitnya atau tanduknya atau apanya ternyata menyimpan bisa, bisa membahayakan.
Tapi tidak. Meskipun udang seroja itu masih bisa menggerakkan kakinya yang banyak, akan tetapi tidak jatuh. Tidak juga meloncat.
Putri Koreyea terbuka matanya.
Terbuka. Mata yang bagai garis tipis itu bergerak perlahan.
Satu sorot mata yang sayu, sangat sayu, mencoba menatap sekitar.
Mata yang hitam kelam. Kembali Pangeran Hiang mengucapkan sesuatu.
Putri Koreyea seperti mendengar. Ada reaksi dalam sorot mata itu, sebelum akhirnya menutup kembali.
Napasnya turun-naik dengan teratur.
"Saya sebenarnya masih bingung," kata Gendhuk Tri lirih. "Udang seroja ini mau diapakan. Apakah cukup dibuat bauan begini saja, atau perlu dibakar, atau bagaimana."
"Adik Tri... "Untuk sementara ini cukup. Saya juga kurang mengetahui, akan tetapi jelas membawa berkah yang besar.
"Entah kebetulan entah tidak, akan tetapi ini pertama kalinya Putri Koreyea kembali sadar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Untuk ini, adalah sangat hina kalau saya tidak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam."
"Saya bisa mengerti," jawab Gendhuk Tri menirukan gaya bicara Pangeran Hiang. "Saya bisa mengerti sepenuhnya. Sementara kita belum mengetahui apa yang akan kita lakukan, bagaimana kalau udang seroja ini kita kembalikan ke bengawan?"
"Binatang itu sangat langka dan susah dicari.
"Pun di negeri kami.
"Mencari udang sebesar ini, bukan sesuatu yang sulit. Akan tetapi menemukan yang berwarna putih bagai susu kambing, Khan yang Perkasa pun belum tentu bisa mendapatkan.
"Apakah tidak terlalu sia-sia jika kita kembalikan?"
"Tidak. "Kita masih bisa menangkap kembali. Rasanya yang seperti ini tidak hanya satu ekor. Soalnya saya mulai mendengar gerisik suara ular dan kaokan burung warna hitam di luar."
"Ular-ular atau burung itu tak akan berani mendekat," jawab Pangeran Hiang mantap. "Saya telah membuat garis di tanah."
"Saya bisa mengerti.
"Bisa mengerti sepenuhnya bahwa Pangeran mempunyai ilmu tentang binatang berbisa, karena pernah mengumpulkan semut merah dan ular hijau.
"Kalau begitu Kakang tak usah menenteng terus seperti itu."
Upasara tidak melayani perkataan Gendhuk Tri.
Ucapannya tertuju kepada Pangeran Hiang.
"Pangeran Hiang, kini kesempatan untuk memberikan tenaga dalam seperti sebelumnya.
"Tubuh Putri Koreyea sudah bisa memberikan reaksi. Berarti ada keteg tubuhnya."
Pangeran Hiang melorot ke bawah tubuh Putri Koreyea yang tetap terpejam, terdiam kaku. Telapak tangan Pangeran Hiang menyelusup ke bawah baju.
Perlahan asap putih keluar dari tubuhnya.
Mengepul. Upasara menjauhkan udang seroja dari kepulan asap yang panas.
Gendhuk Tri menjauh beberapa langkah.
"Kakang, aku merasa lapar."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara merasa kadang-kadang Gendhuk Tri bersikap keterlaluan manja dan nakalnya. Sesuatu yang tampak dibuat-buat justru karena kini tubuhnya sudah dewasa sempurna.
"Mungkin ini saat terbaik merasakan daging."
"Adik Tri... udang ini..."
"Siapa bilang mau makan udang" Saya hanya bilang lapar dan ingin makan daging. Kalau di atas banyak burung, ular, dan entah apa lagi, bukankah itu juga daging"
"Kalau udang itu sudah bisa menolong, dan karena langka, biar saja dilepas kembali. Kita sudah memperoleh kemenangan tanpa mengorbankan udang."
Meskipun jelas sasaran ucapan Gendhuk Tri tertuju kepada Pangeran Hiang, akan tetapi yang dimaksud tidak mendengar sama sekali.
Seluruh kemampuannya sedang dikerahkan untuk menerobos dan mengirimkan tenaga dalamnya lewat pusar Putri Koreyea.
Dan bisa. Berhasil. Tenaga yang selama ini terbendung, membentur dan lenyap begitu saja, kini bisa mendorong maju. Hawa panas menyusup masuk ke tubuh Putri Koreyea.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai kira-kira sepenanak nasi, Pangeran Hiang melepaskan diri.
Menyusup dari bawah tubuh Putri Koreyea, duduk bersemadi untuk beberapa saat.
Wajahnya tampak sangat letih.
"Bagaimana, Pangeran Hiang?"
"Ada perubahan. Untuk sementara saya bisa mengirimkan tenaga di sekitar pusar. Akan tetapi usaha selanjutnya saya masih ragu, karena seperti semula, tak ada jawaban."
Upasara memandang lekat. Pangeran Hiang tersenyum.
"Tenaga dalam saya cukup untuk menerobos batu karang di sini.
Akan tetapi nyatanya tak bisa.
"Saya akan menjajalnya lagi."
Namun setelah berusaha lagi, Pangeran Hiang menggeleng.
"Sekarang justru tenaga dalam saya yang tak mampu menerobos."
"Saya bisa mengerti.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pangeran Hiang tak perlu putus asa. Meskipun hawa panas itu hanya berada di sekitar pusar, akan tetapi kini jelas bahwa Putri Koreyea untuk beberapa saat belum akan meninggal.
"Barangkali kalau bergantian dengan Kakang Upasara, hasilnya akan lebih nyata."
Jalan pikiran sederhana. Jitu. Karena dengan bergantian, Pangeran Hiang bisa beristirahat dan saat itu Upasara mengirimkan tenaga dalamnya, atau sebaliknya.
Dua tokoh yang bekerja sama, bisa memberi hasil lipat ganda.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pangeran Hiang tetap tak akan mengizinkan Upasara menyentuh tubuh Putri Koreyea.
Berarti memang hanya Pangeran Hiang yang bisa melakukan. Dengan kecemasan yang tersisa. Kalau tidak segera bisa menghimpun tenaga bukan tidak mungkin Pangeran Hiang yang akan kehabisan tenaga.
Sementara Putri Koreyea bisa mendingin kembali tubuhnya.
Hal ini disadari baik oleh Upasara maupun Pangeran Hiang.
Dari ajaran yang mana pun, cara memberikan bantuan dengan mengirim tenaga dalam bersifat sementara. Lebih untuk membangkitkan kekuatan yang ada. Tenaga dalam kiriman hanyalah tenaga bantuan untuk menggugah. Selanjutnya tergantung bagaimana si penerima.
Kalau bisa memanfaatkan dengan baik, akan berhasil. Kalau tidak, paling hanya menunda apa yang akan terjadi.
"Sekarang ini kita berpacu.
"Antara menyelamatkan udang seroja ini, dengan hawa panas dalam tubuh Putri Koreyea.
"Menurut pendapat saya, udang seroja ini sudah cukup memberikan bauan yang menghidupkan kembali. Tinggal kita, bagaimana memanfaatkan kemungkinan yang ada."
Kalimat Gendhuk Tri seperti mengulang-ulang pikiran sebelumnya.
Merasa tidak bisa menemukan cara yang tepat, Gendhuk Tri mendesis sendiri.
"Ada cara yang lebih baik." Suara Upasara terdengar mantap sekali.
"Adik Tri yang menggantikan."
"Kakang, tenaga dalam saya tak cukup."
"Saya akan mendampingi."
Gendhuk Tri berkejap matanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa Pangeran masih tetap berkeberatan dengan cara ini?"
Pangeran Hiang menggigit bibirnya.
Keras. "Pangeran Upasara, mari kita jajal bersama."
Kali ini Pangeran Hiang duduk membelakangi Upasara dan Gendhuk Tri. Tangannya meraba pusar Putri Koreyea. Mengirimkan tenaga dalam.
Upasara tak menunggu lagi.
Tali kulit di mana udang seroja bergantung, diserahkan kepada Gendhuk Tri. Tangannya kemudian menepuk pundak Pangeran Hiang.
Merabai bagian punggung. Mencari saluran yang tepat.
Kemudian mulai mengirimkan tenaga dalam.
Theg YANG dicoba Upasara adalah tenaga sepersepuluh, untuk mengetahui bagaimana reaksi tubuh Pangeran Hiang. Di luar dugaannya sendiri, ternyata tubuh Pangeran Hiang bisa menyalurkan, tanpa kesulitan yang berarti.
Seolah Upasara sendiri yang memegang langsung pusar Putri Koreyea.
Dan merasakan tenaganya masuk, menjelajah.
Terasakan. Upasara mengempos lagi semangatnya.
Tiga persepuluh tenaga dikirimkan.
Melesak. Upasara menambah lagi tenaga dalamnya. Yang terasa kemudian adalah bahwa tenaga itu seperti berputar di tempat. Tidak menerobos, meskipun juga tidak dilawan.
Tubuh Upasara menjadi basah oleh keringat.
Tanpa hasil. Beberapa kali Upasara menjajal, tetap saja gagal.
Celakanya justru ketika tenaganya ingin ditarik kembali, tubuh Pangeran Hiang tak bergerak memberikan kemungkinan.
Tubuh dan tenaga dalam Pangeran Hiang seakan membetot seluruh tenaga dalam yang berada dalam tubuh Upasara.
Inilah bahaya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mengetahui ada sesuatu yang tak beres.
Akan tetapi tak bisa berbuat suatu apa.
"Kakang..." Suaranya merintih. Pedih. "Kakang..." Suaranya pedih. Merintih. "Ka..." Suaranya habis. Tubuhnya gemetar. Putri Koreyea tetap terbaring. Tak berubah. Tangan Pangeran Hiang masih tetap menempel. Tapi tubuhnya kaku bagai batu. Tak ada uap putih mengepul. Tak ada tanda-tanda mendengar atau sadar apa yang tengah terjadi.
Sementara tubuh Upasara sudah sepenuhnya basah oleh keringat.
Wajahnya, dengan mata terpejam, tampak seperti menahan beban yang makin tak bisa dikuasai.
Kalau bisa berteriak, Upasara sudah meneriakkan dengan suara memekakkan telinga. Namun, tak ada suara.
Dadanya sesak. Seakan meledak tersentuh angin.
"...kang..." Upasara makin limbung kesadarannya. Kekuatannya tak bisa ditarik kembali. Tak bisa dihentikan. Seakan tenaganya terus disedot, diserap, dikuras.
Pupuh sepuluh, masih atas nama Sri Baginda Raja masihkah"
akhirnya sama saja siapa pun tidak berbeda sebab manusia itu juga raja
juga Dewa juga mahamanusia pupuh ini tanpa kidungan KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
karena tak ada lagu karena tak perlu tanpa kekuatan karena kekuatan tanpa Dewa karena Dewa tanpa manusia karena manusia inilah pupuh yang paling kisruh
kacau paling theg theg sebenarnya hanya theg, itulah Wahyu Paminggir dengan theg
jagat dicipta dengan theg jagat musna dengan theg zaman Kaliyuga bukan apa theg atau tik letikan bisa sinar bisa bukan sinar Wahyu Paminggir rumasuk tanpa bekas Wahyu Paminggir keluar tanpa batas tanpa kabar KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
theg theg theg satu theg inilah pupuh kesepuluh theg.... Bibir Upasara seperti menggetarkan Kidungan Paminggir pupuh kesepuluh. Seperti gemetar tanpa nada.
Pangeran Hiang sebenarnya menyadari bahaya yang terjadi. Bahwa tubuhnya, kesadaran dan kekuatannya telah menjadi perangkap bagi Upasara Wulung. Yang terus mengisap, tanpa bisa dikuasai sendiri, meskipun mengetahui bahwa tubuh Putri Koreyea tetap membeku.
Karena dorongan tenaga dalam yang bagaimanapun tetap buntu.
Sangat gawat. Gawatnya. Terutama karena Pangeran Hiang merasa tak bisa berbuat apa-apa. Di satu pihak tenaga dalamnya sendiri malah menjadi penghantar yang kuat, di pihak lain tubuh Putri Koreyea bergeming.
Berarti pengeluaran tenaga dalam yang deras tanpa guna.
Gawatnya lagi, Pangeran Hiang berada dalam posisi di mana pengerahan pikirannya untuk mengantarkan tenaga dalam Upasara, dan tak bisa menguasai untuk menahan atau menarik kembali. Karena kuatir tindakan yang tiba-tiba akan membawa akibat cukup berat.
Bahkan bisa fatal. Bagi Putri Koreyea! Karena penghentian yang tiba-tiba atau bahkan penarikan, bisa menyebabkan tenaga yang kini berada pada sekitar pusar Putri Koreyea tertarik ke luar.
Kalau ini terjadi sama dengan membunuhnya!
Ini yang tak mungkin dilakukan Pangeran Hiang.
Ini bahaya yang sesungguhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang Gendhuk Tri pun bisa mengetahui, akan tetapi tak bisa cepat menentukan harus berbuat bagaimana. Gendhuk Tri menyadari tenaga dalamnya tak sekuat Upasara atau Pangeran Hiang. Sehingga campur tangannya akan lebih membahayakan dirinya. Kalau ia mengambil jalan menarik tubuh Putri Koreyea misalnya, hatinya tak tega.
Itu yang menyebabkan Gendhuk Tri seperti lumpuh.
Kejadian yang berlangsung cepat ini dalam beberapa saat membuat Upasara tersengal-sengal. Kini bukan hanya bibir, akan tetapi seluruh tubuhnya gemetar, bergoyangan.
...dalam pupuh sepuluh ini juga
seperti pupuh kedua yang direstui Sri Baginda Raja bicara soal Wahyu Paminggir
wahyu adalah karunia, adalah cahaya, adalah theg berdiam, bertapa, terima wahyu
theg begitu jadilah ia Ksatria Paminggir
Dewa pun tak tahu kenapa tak sempat bertanya kenapa wahyu bisa theg manjing, merasuk Dewa pun ingin bisa menerima wahyu dan bisa juga andai mau andai menjadi mahamanusia
melalui manusia theg theg jadilah theg mulai dengan theg sukma lepas dari raga KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
theg sukma menjelma theg sukma sejati theg.... Kodrat Duka TUBUH Upasara menyatu dengan pikirannya, dengan tenaga dalamnya, menyatu dengan sukma, dengan rasa, dengan irama kidungan yang bertitik-titik, seperti meluncur ke arah theg.
Theg. Bagai dipatahkan gerakannya, tubuh Upasara tersengat oleh tenaga dalamnya sendiri. Begitu kuat, begitu keras, hingga tubuhnya terayun ke belakang.
Lepas dari pegangan Pangeran Hiang.
Sambil mengeluarkan pekikan keras.
Demikian juga halnya dengan Pangeran Hiang. Mengeluarkan suara keras tak bisa diketahui artinya. Tubuhnya bagai dilontarkan ke atas.
Tetap bersila, tubuhnya mumbul ke atas, untuk kemudian jatuh secara terbalik.
Kepalanya di bawah. Dengan kaki masih bersila.
Gendhuk Tri sendiri tak bisa menguasai rasa kagetnya. Tubuhnya meloncat mundur seketika begitu Upasara memekik. Akibatnya udang seroja jatuh.
Mengenai bagian leher Putri Koreyea.
Kaki-kaki udang seroja yang jumlahnya banyak itu seakan merayapi, mengusap, demikian juga sungutnya.
Gendhuk Tri bereaksi cepat.
Takut ada bahaya yang akan datang, seketika dua jarinya menyentil.
Udang seroja yang berada di leher terkena pukulan tenaga sentilan.
Melejit ke atas, melayang ke luar gua.
Jatuh ke tanah. Pada saat itu semua burung hitam bergaok-gaok, turun bersamaan menyambar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mereka yang telah mengepung sejak tadi dan tak bisa masuk ke lingkaran, kini menemukan kesempatan untuk menerkam. Upasara tak bergerak, Pangeran Hiang masih menenangkan diri dengan duduk bersila secara terbalik.
Tinggal Gendhuk Tri. Yang begitu sadar dari kagetnya ingin menyelamatkan udang seroja.
Semacam gerakan seketika saja, yang muncul dari kesadarannya untuk menyelamatkan udang seroja dari serbuan burung-burung hitam dan serbuan ular-ular besar.
Aneh. Sebelum bergerak, Gendhuk Tri melihat bahwa puluhan burung itu memekik nyaring ketika mematuk udang seroja. Tapi begitu paruhnya mengenai bagian tubuh udang seroja, burung itu segera menggelepar.
Jatuh ke tanah berpasir. Tak bergerak. Tak bergerak lagi. Kalau jatuhnya menelentang, tetap menelentang. Kalau jatuhnya tengkurap, tetap tengkurap. Satu-dua tiga ekor burung hitam mengalami perubahan kondisi. Yang segera diikuti burung yang lain.
Dalam sekejap saja, belasan burung hitam bergeletakan di sekitar udang seroja.
Demikian juga barisan ular.
Seekor ular bisa menggigit dan berusaha lari, begitu udang seroja lepas dari gigitannya ular itu jatuh ke tanah. Badannya mengejang, mengendur, tak bergerak.
Lemas. Tanpa tenaga. Pemandangan yang mengguncang hati.
Gendhuk Tri merasa ngeri.
Tubuhnya pernah memendam racun yang luar biasa ganas, sehingga binatang hutan tak ada yang berani mendekati. Para tokoh sakti pun jeri padanya, karena satu torehan luka bisa menyalurkan racun yang ada dalam tubuh Gendhuk Tri!
Tapi ini lebih mencekam! Karena burung-burung dan barisan ular itu tidak mengeluarkan pekikan, tidak berteriak.
Tidak mundur. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi juga tidak mati seketika.
Itulah yang disaksikan Gendhuk Tri.
Barisan burung hitam itu menggeletak, terbaring, dengan pandangan mata yang masih berkejap-kejap. Demikian juga barisan ular. Lidahnya masih ada yang terjulur dan masuk, akan tetapi gerakannya sangat perlahan.
Ketika Gendhuk Tri berusaha mendekat, kakinya berusaha menyentuh, tak ada reaksi perlawanan. Padahal jelas tubuh ular itu masih hangat. Masih hidup, seperti tak ada apa-apanya.
Hanya tak mampu bergerak.
Seperti burung-burung hitam yang demikian gesit, tangkas dan selalu hinggap di atas pohon.
Bergeming. Gendhuk Tri mengambil tali kulit. Perlahan mendekat kembali ke arah salah seekor burung. Ketika disentuhkan dan ditarik, burung itu terlontar ke udara.
Dan jatuh seperti batu. Daerah sekitar gua menjadi jajaran tubuh-tubuh tak bertenaga.
Udang seroja itu sendiri masih bergerak-gerak.
Walau tubuhnya terluka oleh patukan dan gigitan, masih bisa bergerak. Menggerakkan semua kakinya, menyeret tubuhnya, kembali ke sungai.
Gendhuk Tri terbatuk. Beberapa ekor burung yang baru datang melakukan sergapan yang sama.
Dengan akhir yang sama. Beberapa ekor ular kecil masih nekat maju, melewati ular-ular lain, akan tetapi begitu menggigit, langsung lemas.
Dalam keadaan tubuh compang-camping, udang seroja terus bergerak, kembali ke sungai.
Jalan pikiran Gendhuk Tri melesat, mendahului gerakan udang seroja.
Kalau udang seroja yang terluka seluruh tubuhnya ini kembali ke sungai, sama artinya dengan menyebar maut. Dalam waktu seketika, bisa-bisa seluruh isi bengawan musnah dan lumpuh.
Hanya dengan satu gerakan kecil, Gendhuk Tri menyentilkan tali kulit. Sret. Mematok udang seroja hingga tak bergerak lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan itu saja. Gendhuk Tri mengambil kulit beruang untuk menutup tubuh udang seroja. Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan binatang lain yang menjadi korban.
Barulah kemudian sekali Gendhuk Tri menarik napas lega.
Dan perlahan, jalan pikirannya tersusun kembali. Tertata satu bagian demi satu bagian.
Udang seroja yang menurut cerita sangat berkhasiat ini telah berubah menjadi penyimpan kelumpuhan yang sangat berbahaya. Yang bila menyentuh binatang lain, menularkan kehancuran seketika.
Sumber kehancuran itu berada dalam tubuh Putri Koreyea.
Tak bisa lain. Yang dalam seketika terisap ke dalam tubuh udang seroja. Dan mengeram di situ. Mengenai semua burung hitam dan ular. Yang kalau juga digigit binatang lain, akan mengakibatkan hal yang sama.
Gendhuk Tri tak mau menunggu korban lebih banyak.
Ia segera mengumpulkan semua binatang yang lumpuh itu menjadi satu. Menempatkan pada satu tempat yang tak bisa dimakan binatang lain untuk sementara.
Tubuh Pangeran Hiang merebah.
Lalu bangun dan duduk kembali. Bersemadi untuk beberapa saat.
"Adik Tri..." Suaranya mengandung duka yang kelewat sarat memberat.
"...Kini Adik Tri mengetahui kenapa selama ini saya tak mau menceritakan penyakit yang diderita Putri Koreyea.
"Penderitaan yang sangat mengerikan.
"Penyakit kutukan Dewa.
"Yang tak terpahami, tak terobati, tak diketahui sebab-musababnya kenapa Dewa memberikan kutukan seperti ini kepada seorang wanita yang seumur hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa.
"Adik Tri... "Ketika Pangeran Upasara mengatakan kehidupan lebih berarti dari kemenangan dan kematian, saya bisa mengerti. Tetapi kehidupan macam apa yang harus dipertahankan"


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sedangkan Adik Tri sendiri tak tega membunuh burung dan ular, apa-lagi manusia. Apalagi wanita yang tak pernah membuat dosa sepanjang hidupnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Katakan, Adik Tri, kutukan macam apa ini, kodrat duka apa yang harus ditanggung Putri Koreyea?"
Suaranya bagai rintihan, bagai erangan. Sebagian dalam bahasa yang bisa dimengerti Gendhuk Tri, sebagian dalam bahasa yang tak terpahami.
Seperti mengalir dari ganjalan yang sekian lama dibenamkan dalam hati.
"Dewa Yang Maha Terkutuk, apa yang ingin kamu lakukan?"
Upasara yang terdiam sejak tadi, menggerakkan tangannya. Kedua tangannya mengusap wajah dengan lembut. Dari atas ke bawah.
Lepas di bawah dagu, membentuk gerak tertentu di dada seperti menyembah. Sebelum kedua tangan itu berpisah. Satu tangan kiri memegang lutut kiri, satu tangan kanan memegang lutut kanan.
Helaan napas panjang. Panjaaaaang sekali. Sudah lama Gendhuk Tri tidak menyaksikan Upasara mengakhiri semadi dengan rasa syukur yang begitu mendalam dan khusyuk.
Pertanda bahwa peristiwa yang baru saja lewat, pantas disyukuri secara tulus.
Perjalanan Sukma LEBIH dari yang diperkirakan Gendhuk Tri, Upasara baru saja terbebas dari pengalaman batin yang luar biasa hebat.
Itu pula sebabnya, ia lebih lama mengakhiri pemulihan tenaga dibandingkan dengan Pangeran Hiang.
Karena guncangan batin yang baru dialami, tidak dengan mudah bisa dikuasai.
Ketika menyadari bahwa tenaga dalamnya makin terkuras, Upasara berada dalam titik kritis. Hanya dalam waktu beberapa saat lagi, tenaganya akan habis terkuras.
Tak berbeda dari ketika berusaha menyembuhkan Gendhuk Tri yang ketika itu tubuhnya terkena racun.
Namun ada bedanya. Dulu Upasara yakin bisa memulihkan tenaga dalam Gendhuk Tri.
Sedangkan sekarang ini, tubuh Putri Koreyea tak bisa menerima.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Saat itulah pengertian tumbal, pengertian bersedia mengorbankan diri, berkobar dalam jiwa Upasara Wulung.
Pengorbanan seperti yang diajarkan dalam Kitab Bumi terutama di delapan jurus terakhir, tidak tepat untuk saat seperti sekarang.
Pengorbanan yang sia-sia adalah kekonyolan, yang justru merugikan diri sendiri.
Akan tetapi Upasara tak bisa membendung.
Tak bisa menghentikan. Karena ajaran dalam Kitab Bumi tidak mempertimbangkan kesadaran untuk berkorban. Berkorban adalah berkorban.
Kesadaran pada situasi sekarang ini, menyelinap dan meletik dalam diri Upasara di luar ajaran yang ada. Karena selama ajaran itu diciptakan, peristiwa seperti yang diderita Putri Koreyea belum ada.
Pada saat itu, Upasara berada dalam kebimbangan.
Kebimbangan pikiran, menyebabkan pengaturan tenaga dalamnya makin payah. Makin tak terkuasai, sehingga menderas keluar.
Upasara juga menyadari bahwa tubuh Pangeran Hiang tak bisa menjadi penghalang.
Kelebatan pikiran yang meletik adalah ajaran Kidung Paminggir. Yang secara mendalam dipelajari kala bersama Dewa Maut. Yang pernah dipraktekkan Dewa Maut dengan pendekatan Ngrogoh Sukma Sejati.
Seperti diketahui, Upasara mengetahui kekuatan itu, akan tetapi tak pernah menjajalnya. Karena bagian itu merupakan bagian yang belum sepenuhnya terpahami. Baik karena kemampuannya, maupun karena isi kidungan itu seperti bertentangan dengan lirik-lirik dalam kidung sebelumnya.
Kidungan Paminggir, pupuhnya-pupuhnya ditulis atas nama Sri Baginda Raja. Hanya di pupuh sepuluh lebih jelas diterangkan bahwa bisa atas nama Sri Baginda Raja, bisa atas nama siapa saja.
Pendekatan pengertian inilah yang membuat Sri Baginda Raja berang.
Karena tidak lagi mengacu kepada Sri Baginda Raja sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan.
Padahal, memang itu yang dimaksudkan Eyang Sepuh.
Sekurangnya dalam penangkapan dan pemahaman Upasara sekarang ini.
Sri Baginda Raja bisa diibaratkan sebagai tenaga dalam. Sumber segala sumber kekuatan dalam mengatur pernapasan dan permainan ilmu silat. Kenyataannya itulah yang terjadi selama ini. Dari mana pun
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
asal tenaga dalam, memakai pendekatan bumi, air, atau benda lain, tetap mempergunakan tenaga dalam.
Sedangkan pupuh sepuluh menyebutkan, bahwa kekuatan baru yang dilambangkan dengan Wahyu Paminggir bisa memakai kekuatan tenaga dalam sebagai sumber, bisa pula yang lainnya.
Yang lain itulah yang disebut sebagai kekuatan sukma.
Jadi jelas sekali, bahwa Eyang Sepuh ingin membedakan sumber kekuatan yang utama. Yaitu bisa berasal dari tenaga dalam, dan bisa berasal dari gerak sukma.
Sukma menjadi sumber kekuatan.
Yang bentuk dan perwujudannya tidak sama dengan cara-cara mengerahkan tenaga dalam.
Pada kidungan, hanya diistilahkan dengan tenaga theg. Tenaga tik.
Itulah wahyu, itulah anugerah, kekuatan yang baru.
Sejauh Upasara tahu, penjelasan yang lain tidak ada.
Dewa Maut sendiri tak bisa memahami sepenuhnya. Karena yang kemudian bisa dilakukan adalah memisahkan sukma dengan Merogoh Sukma Sejati. Memisahkan sukma dari badan wadak. Sehingga Dewa Maut bisa menjadi badan yang lain.
Upasara menemukan kemungkinan lain.
Dalam keadaan tenaga dalamnya terkuras, tak mungkin melakukan Ngrogoh Sukma Sejati. Karena dalam keadaan seperti itu, sukmanya bisa lepas, akan tetapi tetap saja tenaga dalamnya tersedot habis.
Yang dilakukan adalah menyatukan.
Sukma dengan tubuh, dengan raga.
Caranya, dengan theg. Theg seperti apa dan bagaimana, agaknya Eyang Sepuh ketika menciptakan belum merinci lebih dalam. Ini berbeda dari Kitab Bumi, di mana latihan pernapasan sangat jelas. Bahkan jurus-jurus dan sumber kekuatan diuraikan dengan contoh jelas: kekuatan dan letak bintang di langit.
Kalau kemudian Upasara menjajal, sebenarnya karena tak ada pilihan lain.
Sukmanya melepas, berjalan, menuju ke arah theg, bersama seluruh kesadarannya, yang tiba-tiba saja terjadi.
Sehingga bisa membebaskan diri.
Kalau itu gagal, akibatnya bisa lebih parah dari sekadar kehilangan semua tenaga dalamnya!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perjalanan sukma, perjalanan kehidupan yang panjang mengerikan karena tak ada batasnya.
Upasara makin menyadari betapa sesungguhnya ia hanyalah seorang ksatria, yang dalam hal ini bila dibandingkan dengan Eyang Sepuh tak ada apa-apanya.
Eyang Sepuh sudah berada pada tingkat di mana kearifan, ketajaman, penelusupan kemampuannya mengatasi tindak-tanduknya.
Bahkan kekuatan utama dari sukma, yang berbeda jauh dari pengerahan tenaga dalam, sudah dilihat.
Dan dicoba dirumuskan. Dengan satu kata: theg. Yang dijabarkan dengan pengertian wahyu. Anugerah Dewa, tetapi Dewa sendiri ingin memiliki.
Rada rumit. Tetapi toh Eyang Sepuh dengan cara yang luar biasa mampu menyusunnya.
Suatu pemikiran yang paling berani, terobosan yang menjungkirkan pengertian yang selama ini telah diyakini. Bahwa biasanya menjadi kemungkinan semua manusia bisa menduduki takhta, ini merupakan kewajaran yang berkesinambungan.
Karena ajaran dalam ilmu silat berasal dari suatu pandangan, suatu sikap pokok, di mana unsurnya bisa mencakup tata pemerintahan Keraton.
Rasa hormat yang tulus tadi, bagi Upasara adalah memuji keluhuran dan kedewaan Eyang Sepuh.
Meskipun mungkin sedikit berbeda, bila saja saat itu Eyang Sepuh mengetahui. Atau sekarang ini mengetahui di suatu tempat entah di mana.
Perbedaannya, karena Upasara mampu mengembangkan kekuatan sukma, yang pada Eyang Sepuh agaknya baru tersiratkan bahwa kekuatan itu ada.
Upasara-lah yang mampu mengembangkan.
Lebih dari Dewa Maut. Lebih dari Jaghana, yang pada bersitannya menjadikan dirinya sebagai Truwilun, dukun yang berusaha menolong sesama.
Intinya sama. Kekuatan sukma. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kekuatan yang selama ini terabaikan, karena dianggap pengerahan tenaga dalam saja sudah cukup. Atau pengerahan tenaga dalam dengan sendirinya pengerahan sukma. "Kakang..."
Upasara mengangguk perlahan.
"Pangeran Upasara tidak apa-apa," suara Pangeran Hiang terdengar sangat perlahan. "Meskipun saya hampir saja menghancurkannya.
"Pangeran Upasara, segalanya telah jelas sekarang.
"Mengenai penyakit yang diderita Putri Koreyea, mengenai pribadi dan jiwa kita. Kalau Pangeran Upasara tidak berkeberatan, perkenankan saya mengajukan diri menjadi saudara muda Pangeran."
Upasara menggeleng lembut.
"Pangeran Hiang, saya tak berhak menerima kebesaran ini."
"Terima saja, Kakang.
"Sebab dengan demikian, sebagai sesama saudara kalian tak akan saling mengirimkan pasukan dan melibatkan Keraton."
Upasara menangkap maksud Gendhuk Tri. Dengan mengangkat saudara, pasukan Tartar tak akan menyerbu ke tanah Jawa lagi.
"Lebih dari itu, sebagai sesama saudara, adikmu ini akan mengikuti apa keinginan Kakang..."
Suaranya haru ketika menyebut kata Kakang.
"Sebagai saudara, saya hanya akan menyusahkan tradisi dan niat Pangeran yang sesungguhnya.
"Sementara Putri Koreyea tetap tak bisa kita tolong."
Pangeran Hiang menghela napas penyesalan.
Wajahnya membayang duka yang tak bersisa.
Gendhuk Tri menunduk. Perasaannya terguncang. Kini semua jelas alasannya, kenapa selama ini Pangeran Hiang selalu menghindar dan tak mau menjawab langsung penderitaan Putri Koreyea. Mengeduk duka sempurna!
Musna Daya GUGATAN Pangeran Hiang adalah jeritan yang paling pedih. Pekikan tanpa suara, rintihan tanpa nada, penderitaan tanpa warna.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perlahan kemudian Pangeran Hiang menceritakan, bahwa kejadiannya juga sangat tiba-tiba. Dalam perjalanan di atas perahu, Putri Koreyea menderita gering. Sangat tiba-tiba karena sebelumnya tidak menunjukkan tanda apa-apa.
Sesaat sebelum Gemuka meninggalkan perahu, Pangeran Hiang mendengarkan secara terbuka.
"Penyakit Putri Koreyea bukan penyakit yang ringan, Saudara Muda.
Bukan juga penyakit berat. Melainkan sangat berat. Saya tak menemukan apa sebabnya dan bagaimana pengobatannya."
"Segera akan baik kembali, Saudara Tua."
"Kamu pasti mengetahui juga, Saudara Muda.
"Tubuh Putri Koreyea tak mempunyai kekuatan dalam arti sesungguhnya. Daya tubuhnya seolah musna, tak bersisa."
"Saya bisa memberikan tenaga dalam.
"Pada saat yang tepat."
"Itu kalimat yang tidak menyelesaikan."
Pangeran Hiang menyadari bahwa penderitaan Putri Koreyea memang tak terkirakan sebelumnya. Beberapa kali usaha untuk menembus tetap tak bisa.
Bahkan kemudian terbukti bahwa penyakit musna daya, atau tanpa tenaga sama sekali itu lebih dahsyat lagi. Contohnya terjadi baru saja.
Tenaga dalamnya sendiri terkuras. Tenaga dalam Upasara terkuras, sehingga akhirnya akan menderita kemusnahan tenaga.
Contoh yang kemudian lebih jelas lagi terjadi pada burung-burung serta ular-ular. Satu gigitan paruh saja bisa menghancurkan daya tubuh.
Kalau udang seroja bisa sedikitnya bertahan, barangkali karena sedikit-banyak tubuhnya mempunyai kekebalan tertentu. Akan tetapi yang lebih mengerikan, justru pada tubuh udang seroja itu tersimpan daya penghancur yang sama.
Musna daya ini berbeda dengan penderita yang keracunan. Karena penderita yang keracunan bisa dihancurkan racunnya. Bisa dilenyapkan, meskipun barangkali bisa menular. Yang diderita Putri Koreyea sebaliknya.
Pangeran Hiang menolak kenyataan itu dalam hati.
Sampai terbukti dengan usaha Upasara.
Dalam keadaan seperti itulah Pangeran Hiang menggugat sempurna kepada Dewa yang memberikan penyakit tersebut. Dosa atau karma apa yang harus ditanggung dengan penderitaan yang begitu berat"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Guratan kepedihan itulah yang terasakan oleh Upasara. Sehingga hatinya tersentuh.
"Pangeran Hiang, kalau Pangeran Hiang memang merasa bersedia, dengan senang hati saya mengucapkan terima kasih...."
Pangeran Hiang mengangguk.
"Adik Tri bersedia mengangkat saudara dengan kami berdua?"
"Saya... saya... "Saya kira saya mau... Saya kira tidak saja."
Rada aneh kedengarannya. Belum lama Gendhuk Tri menganjurkan Upasara menerima pengangkatan saudara. Kini dirinya sendiri jadi gelagapan.
Bukan karena apa. Gendhuk Tri merasa menjadi kikuk. Ia sama sekali tak berkeberatan mengangkat saudara dengan Pangeran Hiang.
Kalaupun tak ada untungnya untuk diri sendiri, tak ada ruginya juga.
Akan tetapi demi kepentingan Keraton akan lebih baik dan terjamin.
Hanya saja kalau ia harus mengangkat saudara dengan Upasara, rasanya bagaimana... Masih ada ganjalan.
Selama ini Gendhuk Tri mengaku sebagai adik. Menganggap dan memanggil Upasara sebagai kakang. Rasa persaudaraan mereka tak perlu dipertanyakan lagi.
Namun kalau dalam upacara resmi, apakah itu tidak berarti mengangkat menjadi saudara kandung"
Kalau benar begitu, tertutup kemungkinan untuk mendapatkan Upasara.
Itu suara hati kecil Gendhuk Tri.
Tidak. Gendhuk Tri sama sekali tidak meniadakan Maha Singanada.
Tak ada pikiran menyeleweng dari itu. Rasanya itu saja sudah lebih dari pilihannya yang mantap.
Hanya saja, masih ada hanyanya.
Ada pertimbangan tertentu mengenai Upasara....
"Adik Tri, upacara ini hanyalah upacara persaudaraan.
"Supaya kita lebih bisa mengalami kepedihan dan kegembiraan bersama seperti yang selama ini terjadi. Membantu satu sama lain, saling menepati janji.
"Tak ada hubungannya dengan kemungkinan perkawinan Adik Tri dengan Pangeran Upasara."
Wajah Gendhuk Tri menjadi merah padam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Hiang mendahului maju. Menuju kepada satu pohon besar.
Upasara mengikuti di sampingnya, menundukkan kepala, bersembah seperti yang dilakukan Pangeran Hiang.
Tanpa dupa. Tanpa bunga. Hanya kalimat sederhana. "Kami, Pangeran Sang Hiang, Pangeran Upasara Wulung, serta Adik Tri, yang dilahirkan lain tempat dan lain waktu, atas perkenan Dewa Langit dan Dewa Bumi, mengikat tali persaudaraan.
"Kami akan bantu-membantu selamanya. Kami rela mati bersama.
"Bila salah seorang di antara kami mengingkari sumpah, semoga Dewa Langit dan Dewa Bumi memberikan hukuman yang seberat-beratnya."
Selesai mengucapkan sumpah, Pangeran Hiang memanggil Upasara dengan sebutan Kakang. Dan meminta Upasara memanggil dengan sebutan Adik.
"Dewa Langit mengabulkan doa kita...."
Suara Pangeran Hiang diiringi oleh gerimis.
Gerimis yang pertama sejak mereka berada di pulau.
Gendhuk Tri setengah percaya setengah tidak. Nyatanya memang ada gerimis, dan rambutnya basah. Hingga ia terpaksa menyembunyikan udang seroja serta para binatang di dalam gua.
Pangeran Hiang membuat perapian dari kayu kering dan letikan batu api.
Saat itulah Gendhuk Tri menyaksikan bahwa burung-burung yang tak bertenaga itu menggigil perlahan dan mati.
Mati. Demikian juga beberapa ular.
Aneh. Burung dan ular yang terbiasa dengan alam ini, mendadak tak tahan dengan alam ini, mendadak tak tahan dengan perubahan cuaca dalam sekejap.
Bahkan udang seroja itu tampak menggulung kaki dan badannya.
"Adik Tri, itulah penderitaan yang dialami Putri Koreyea.
"Daya tahan tubuhnya tak ada. Sehingga kalau angin berubah arah, akan menyebabkan parah. Kalau batuk dan bersin, menjadi penderitaan yang luar biasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bahwa sekarang masih bertahan hidup, itu suatu mukjizat."
"Hawa panas dalam perutnya itu merupakan sisa tenaga terakhir."
"Entah berapa lama bisa bertahan.
"Hawa itu bisa menerobos masuk ketika bau udang seroja mengusik hidung. Sekarang kalau Adik Tri perhatikan baik-baik, udang putih itu telah berubah warna menjadi keabu-abuan. Berarti daya tahan tubuhnya sebagian telah musnah.
"Inilah yang lebih membuat menderita.
"Tubuh Putri Koreyea bukan hanya menanggung beban penyakitnya, akan tetapi juga bisa menularkan kepada orang lain, yang berhubungan tenaga dalam dengannya.
"Putri Koreyea menjadi penyebar bencana."
"Kakang Pangeran sendiri selama ini tidak tertular?"
"Tidak. "Karena tak mampu membuat terobosan ke dalam. Kalau seperti yang dilakukan bersama Kakang Upasara, bisa saja terjadi.
"Tidakkah itu mengerikan?"
"Tidak. "Karena Putri Koreyea mengetahui penyakitnya bisa menular, makanya Putri menutup kemungkinan merembesnya tenaga dalam dari luar. Ini hanya perhitungan saya sementara.
"Akan tetapi bila kita memberitahunya bahwa kita tak akan melakukan itu, atau paling tidak Kakang Pangeran Hiang tidak melakukan, barangkali Putri Koreyea bisa membuka kebuntuan itu."
"Kenapa begitu?" tanya Upasara.
"Saya bisa mengerti kenapa Kakang Upasara bertanya begitu.
"Sewaktu Kakang berusaha mengerahkan tenaga dalam bersama Kakang Pangeran, yang terjadi pertama adalah tenaga yang buntu.
Karena memang Putri Koreyea membuntunya.
"Perkiraan saya penutupan itu karena Putri Koreyea tak ingin Kakang Pangeran ketularan. Hal yang pasti tetap akan dilakukan, pun andai Kakang Pangeran tahu akibatnya.
"Dengan begitu Putri Koreyea ingin menanggung sendiri akibatnya.
Akan tetapi itu memperburuk tubuh dan kekuatannya.
"Maka kalau Kakang Pangeran mau memberitahu dan berjanji akan mematuhi hal ini, Putri Koreyea akan, sedikitnya, lebih baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hanya memang Kakang Pangeran harus berjanji untuk mematuhi.
Kalau tidak, Putri Koreyea akan merasa dua kali berdosa. Dan tak punya pengampunan lagi."
Ucapan Gendhuk Tri memang masuk akal.
Sama-sama mengawasi, menekuni, akan tetapi ternyata bersitan pikiran Gendhuk Tri bisa menemukan apa yang tidak dilihat Pangeran Hiang.
Ketika hal ini dibisikkan, dan Pangeran Hiang kembali menyentuhkan kepalanya ke bumi sebagai tanda bersumpah, segera terjadi perubahan.
Perjalanan Kemenangan TUBUH Putri Koreyea bergerak.
Bergerak. Tubuhnya! Bukan hanya bola matanya.
Tubuhnya. Dengan gerakan yang sangat lembut, Putri Koreyea duduk, bersimpuh. Menunduk.
"Maafkan aku, suamiku tercinta, Pangeran Sang Hiang Liong Khan yang Gagah.
"Maafkan aku, Kakang Pangeran Upasara.
"Maafkan aku, Adik Tri yang budiman.
"Maafkan...." Nadanya kaku, akan tetapi suaranya bisa dimengerti maknanya.
"Apa yang dikatakan Adik Tri benar sekali.
"Kini aku lebih lega. Kalaupun penderitaan ini pernah ada, aku sendiri yang menanggung."
Pangeran Hiang memeluk kencang Putri Koreyea.
Memeluk kencang. Rapat. Gendhuk Tri memberi peringatan.
"Kakang Pangeran Hiang, hati-hati sedikit.
"Tubuh Putri Koreyea masih lemah."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Hiang tetap memeluk.
Dengan rangkulan lembut. Barulah kemudian mereka berempat duduk bersama membentuk lingkaran. Tanpa api, karena Putri Koreyea akan merasa kepanasan sekali. Tubuhnya sedikit lebih enak setelah memakan secara mentah daging udang seroja yang masih putih bersih.
Sedangkan sisanya, bersama dengan binatang-binatang lain, dikubur dalam-dalam. Agar tidak menular kepada makhluk lain.
Malam itu dengan suara perlahan Putri Koreyea bercerita.
Bahwa semua yang selama ini diperbincangkan, dipercakapkan, terdengar jelas olehnya. Putri Koreyea bisa mengerti bahasa Upasara, karena ia sudah mempelajari sedikit-sedikit kala menemani Pangeran Hiang di Keraton, ketika mengadakan persiapan akan ke tanah Jawa.
Untuk ini Putri Koreyea mengucapkan beribu terima kasih akan semua usaha, budi baik, pertolongan yang diberikan.
"Suamiku tercinta tak akan mau membiarkan aku menderita.
Makanya, begitu mendengar sumpahnya, aku baru mau percaya."
"Kenapa Putri menutup diri, ketika Kakang Upasara membantu?"
"Itu juga terbaik, Adik Tri.
"Penyakit yang kuderita adalah kutukan dari Dewa yang keliru. Tapi itu bukan kesalahan Dewa atau siapa saja. Itu adalah kodrat yang harus kita lewati.
"Semua harus melalui jalan.
"Aku diciptakan untuk melalui jalan hidup seperti ini.
"Untuk apa disesali"
"Untuk apa digugat"
"Hanya aku tak ingin orang lain menderita karena aku yang menjadi penyebabnya. Apalagi itu suamiku sendiri, atau Kakang Pangeran Upasara yang baik hati.
"Kalau aku membuka diri, berarti ada kemungkinan suamiku tercinta dan orang lain yang baik hati tertular penyakit yang sama.
"Aku tak kuasa menanggung dosa berganda."
"Putri Koreyea, kenapa Putri menganggap ini kutukan Dewa, seperti juga Kakang Pangeran Hiang?"
Putri Koreyea membaringkan tubuhnya ke dada Pangeran Hiang.
"Selain Dewa yang sanggup membuatku begitu, siapa lagi?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri kemudian menceritakan bahwa di tanah Jawa ini ada satu tokoh yang sakti, bernama Eyang Kebo Berune. Tokoh ini tak bisa bergerak, karena keliru dalam cara mengatur tenaga dalamnya.
Sehingga tubuhnya lumpuh tak bisa digerakkan.
Hal yang sangat lumrah dan bisa terjadi pada siapa saja.
Termasuk Upasara sendiri yang pernah menghabiskan tenaga dalamnya. Sehingga menjadi orang biasa.
"Di sini bedanya, Adik Tri.
"Aku memang pendekar silat. Di negeriku, pendekar wanita yang bisa mengalahkanku tidak ada. Suamiku yang tercinta ini hampir kalah olehku.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku melatih tenaga dalam.
"Tapi tak ada hubungannya dengan penyakitku. Seperti sudah kamu lihat, aku menderita kehancuran daya tahan tubuh. Bukan saja ilmu silat dan tenaga dalamku lenyap, akan tetapi aku bukan orang biasa.
Aku orang yang cacat. "Yang tak tahan melihat sinar matahari, tak tahan angin dan bau.
Apalagi kena senjata. "Selembar bulu burung pun bisa melukaiku.
"Bagiku, untuk mati hanya menunggu saat saja. Bisa dihitung kapan datangnya."
"Tapi selama tidak terkena apa-apa, bukankah bisa bertahan?"
"Apa mungkin, Adik Tri"
"Apa mungkin aku berada dalam awang-awang tak menyentuh angin, air, dan tergigit nyamuk"
"Daya tubuh ini musnah dengan sendirinya.
"Ah, sudahlah. "Perjalanan ke tanah Jawa ini perjalanan yang sangat menyenangkan.
Sangat membahagiakan. Hingga aku bisa mati dengan tenteram, tanpa penyesalan.
"Aku tak pernah merasakan ini di negeriku.
"Juga di Keraton Tawu.
"Melainkan di sini. "Di tanah becek. "Aku menemukan suami tercinta yang tiada taranya menyayangiku, melindungiku, membuktikan dengan tindakan nyata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku menemukan sahabat yang hebat, saudara yang tidak dilahirkan dari satu perut, tapi lebih dekat dari urat leher sendiri.
"Tidakkah itu membahagiakan"
"Tidakkah ini penemuan yang abadi"
"Aku merasakan perjalanan ini sebagai perjalanan kemenangan.
Kemenangan menemukan kebahagiaan, kemenangan yang gilang-gemilang.
"Adik Tri, tidak semua orang bisa seperti diriku.
"Menemukan kesempurnaan seperti ini.
"Itulah sebabnya aku tidak menggugat, tidak menuntut. Barangkali dengan melewati jalan ini aku menemukan cinta yang sejati pada suami yang sejati."
Gendhuk Tri meneteskan air mata.
Pangeran Hiang bergelora dadanya. Napasnya tersendat.
Putri Koreyea mengatur napas.
"Biar saya bercerita sebentar lagi.
"Siapa tahu maut sudah berada di sekitar. Siap menjemput. Sisa waktu yang sedikit ini ingin kupergunakan dengan baik. Untuk menyatakan cinta dan terima kasih yang dalam.
"Sekian lama aku menutup diri.
"Merasakan sendiri. "Kini bisa membuka diri.
"Adik Tri, maukah Adik menolongku?"
Gendhuk Tri mengangguk. Tangannya menggenggam lembut jemari Putri Koreyea.
"Adik Tri harus tetap awas, dan waras.
"Wanita selalu bisa menahan rasa dan emosi. Tidak laki-laki seperti suamiku yang tercinta, atau Kakang Pangeran Upasara.
"Jadi, Adik Tri mulai besok pagi melanjutkan membuat rakit.
Menyiapkan diri untuk segera meninggalkan pulau ini. Cepat atau lambat, ditunggu atau tidak, keadaanku tak jauh berbeda. Berdiam di sini atau pergi, akan selalu ada angin dan matahari.
"Adik Tri mau berjanji?"
"Mau, Putri. "Tetapi rasanya saya mau mencari udang seroja yang lain...."
"Ah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Masihkah Adik Tri percaya aku bisa disembuhkan?"
"Saya tidak tahu. "Tetapi barangkali kekuatan Putri akan bertambah sedikit-sedikit."
"Memang bau harum udang itu membuat aku lapar dan ingat hawa nafsu. Tetapi aku mau memakannya, dan sekarang tidak sebagai cara Kakang Pangeran Upasara atau suamiku yang tercinta mencoba menyembuhkan dengan tenaga dalam.
"Kamu berjanji, Adik Tri?"
"Dengan senang hati, Putri."
"Janji seorang ksatria tak bisa diingkari."
Malam itu mereka berempat beristirahat. Pangeran Hiang berjaga terus, membebaskan sekitar gua dari kemungkinan masuknya binatang atau nyamuk sekalipun.
Dan pagi-pagi berikutnya, Pangeran Hiang sudah berendam di bengawan untuk mencari udang seroja.
Gendhuk Tri sendiri berada di pinggir, dan mulai mengumpulkan pohon-pohon kering. Sementara Putri Koreyea berada di dalam gua.
Kadang duduk, berbaring, mengawasi, atau menutup mata.
Menjelang malam, Pangeran Hiang hanya menemukan seekor udang seroja yang kecil. Tapi itu cukup untuk makan Putri Koreyea seharian.
Ada beberapa buah-buahan, akan tetapi Pangeran Hiang belum berani mencobakan. Hanya menimbang-nimbang.
Tiga hari kemudian, Putri Koreyea berjalan perlahan mendekati Gendhuk Tri.
"Adik Tri, rakit itu tak akan pernah jadi.
"Tapi aku ada rencana lain. Adik Tri harus mau menolongku."
Kembali ke Ajal GENDHUK TRI tak pernah menyangka.
Bahwa tekad Putri Koreyea sangat mantap. Pilihannya hanya satu, berangkat dengan rakit.
"Putri," Gendhuk Tri berbisik. "Saya mengerti Putri tak ingin memberati hati Pangeran Hiang atau Kakang Upasara atau bahkan saya.
"Tetapi kalau Putri meninggalkan tempat ini, bagaimana dengan yang ditinggal?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tidak lebih buruk kalau aku tetap di sini.
"Adik Tri, di tempat ini hanya kita berempat. Aku memilihmu karena kaum wanita selalu paling sehat. Lebih waras, karena kakinya menginjak ke bumi.
"Perjalananku adalah yang terbaik.
"Cepat atau lambat aku akan mati juga. Perjalananku adalah perjalanan menuju ajal, tak berbeda dengan semua orang. Hanya mungkin aku berjalan lebih cepat."
"Saya mengerti...."
"Adik Tri, kenapa Adik begitu tega memperolok suamiku yang tercinta?"
Gendhuk Tri tersenyum kecut.
"Putri, saya tak tahu kiri dan kanan.
"Kalau kita naik rakit, kita tak tahu akan mendarat di mana. Sebelah selatan seperti lautan bebas yang ganas."
"Kalau begitu, Adik Tri menolongku.
"Selesaikan rakit itu, dan aku akan berangkat."
"Putri..." "Adik Tri, kalau aku tetap di sini, kamu akan tertahan di sini. Suami yang tercinta akan tertahan di sini. Kakang Pangeran Upasara akan tertahan pula di sini.
"Dosa apa lagi yang harus kutanggung"
"Kalian semua adalah ksatria, ada tugas mulia yang lain. Membantu sesama. Hanya karena aku seorang kalian meninggalkan tugas ksatria, bukankah menambah dosa bagiku?"
Gendhuk Tri mengiyakan. "Hanya rasanya tidak mungkin kita pergi menyelinap tanpa mereka ketahui."
Putri Koreyea tersenyum. "Adik Tri, aku punya rencana.
"Suamiku yang tercinta pasti akan menolak kalau kukatakan, atau kamu katakan, bahwa di sebelah hulu lebih banyak udang serojanya.
Kakang Pangeran Upasara tak akan menolak kalau kuminta melihat kemungkinan sekeliling pulau ini."
"Akal yang bagus."
"Hanya wanita yang memiliki akal yang bagus."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri masih sedikit ragu. Meskipun bisa menerima alasan yang dikemukakan Putri Koreyea. Permintaan yang tulus, yang bisa bergema dalam hatinya sebagai sesama wanita. Permintaan yang mulia, demi kebaikan.
Kalaupun banyak bahaya yang lain, itu bukan berarti halangan.
"Besar kemungkinannya kita akan bertemu Gemuka.
"Kalau peristiwa di perahu itu diketahui, Gemuka bisa menelusuri bengawan ini dan menemukan kira-kira di mana kulit karung yang kita pakai."
Putri Koreyea merangkul Gendhuk Tri.
"Aku tahu, Adik Tri, kamu tak tega melepas aku sendirian. Tetapi aku minta, kalau memang tak bisa dipertahankan lagi, demi keselamatanmu dan demi ketenangan sukmaku, jangan hiraukan apa yang terjadi nanti.
"Kamu berjanji?"
"Putri, saya bukan suami tercinta.
"Kalau saya berjanji, saya bisa mengingkari."
"Kenapa?" "Karena wanita banyak akalnya."
Putri Koreyea merangkul kencang.
Hari ini kelihatan bersemangat. Wajahnya yang pucat beku kelihatan seperti bercahaya. Gairah hidupnya seperti menyala kembali.
Perjalanan ajal, yang membangkitkan.
Perjalanan kematian, yang memberi kehidupan.
Inilah yang ganjil. Inikah jiwa wanita" Ternyata yang paling tidak menyadari hal ini adalah Upasara Wulung.
Dengan lugu ia berangkat menuju hulu, menuju datangnya air.
Mengulang perjalanan ketika mengikuti Gendhuk Tri. Hanya kali ini dilakukan dengan saksama, dengan penuh perhatian.
Hingga menjelang senja. Hingga kaget karena Pangeran Hiang menyusul dengan tergesa.
"Kakang Pangeran, kita katiwasan!"
Upasara seperti tak mau percaya. Ia berusaha menengok kembali ke tempat semula. Akan tetapi Pangeran Hiang memutuskan memakai beberapa batang pohon yang diikat, dan mereka berdua terus berlayar mengikuti arus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semakin cepat menemukan mereka berdua, semakin besar kemungkinan kita memberikan pertolongan."
Dalam gelap, mereka berdua naik ke batang perahu.
Mengikuti arus bengawan. Baik Pangeran Hiang maupun Upasara mempunyai tenaga dalam yang besar, sehingga batang pohon itu bisa dikayuh dengan lebih cepat.
Pandangan keduanya menyelusup ke kiri dan kanan. Menebak-nebak dalam gelap.
Tengah malam, pohon yang mereka tumpangi mulai oleng. Ombak arus sungai seperti bergolak.
Benturan batu-batu dan pusaran ombak yang makin keras tak bisa diimbangi dengan ikatan dari sulur kayu. Putus, dan dua batang kayu itu memisah.
Upasara segera meloncat, berenang ke arah tepi.
Bersama dengan Pangeran Hiang.
Tidak seperti yang diduga, pusaran ombak sangat kuat sekali.
Sehingga beberapa kali mereka gagal menepi.
Upasara membiarkan tubuhnya terseret hingga dasar, baru kemudian menjejakkan tubuhnya. Meluncur keras menuju ke tepi. Tenaganya dikerahkan penuh.
Bukan cara berenang yang baik, akan tetapi itulah yang menyelamatkan hingga tepi.
Begitu juga Pangeran Hiang yang terpaksa melepaskan pakaian kebesarannya.
Barulah mereka menyadari bahwa keduanya berada di muara samudra.
Angin barat menderu kencang sekali.
Pangeran Hiang segera berlari sepanjang pantai. Mencari dan mencari, bolak-balik dan berteriak mengguntur, memanggil dengan suara keras sekali.
Upasara bagai orang yang sama tololnya, mengikuti berlari, berteriak, dan terus mengitar.
Baru kemudian sadar untuk mendatangi penduduk sekitar. Ketika melewati perumahan penduduk, Upasara berhenti untuk bertanya.
Lama sekali baru dibukakan pintu.
Agaknya penduduk yang tidak seberapa jumlahnya itu makin ketakutan karena mendengar suara teriakan Pangeran Hiang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kami kira suara penunggu laut," jawaban pertama dari yang berani membuka pintu.
"Maaf, Paman. "Saya dan kadang, saudara, saya ini kehilangan teman. Kami ingin bantuan Paman untuk mencari...."
"Kami tidak berani, apalagi di tengah malam pada musim barat seperti ini."
"Kami membutuhkan pertolongan Paman....
"Andai saja ada yang menemukan teman saya. Dua orang wanita."
Mulailah usaha pencarian yang dilakukan secara beramai-ramai.
Apalagi ketika pemimpin nelayan itu mengenali Upasara Wulung, mereka merasa mendapat kehormatan besar.
Tanpa diminta, suami-istri dan anak-anak menyalakan kayu dan sabut kelapa.
Pertanyaan Upasara mendapat jawaban yang sama. Bahwa sejak sore mereka tak berani ke laut, sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi.
"Senopati dari mana" Kenapa bisa kemari?"
Upasara menerangkan bahwa ia tadinya berada di Lodaya, lalu terseret arus hingga sampai ke suatu pulau kecil, sebelum akhirnya sampai di tempat sekarang ini.
"Apakah Senopati mengarungi Sungai Sumbermanjing?"
Upasara mengangguk ragu. "Saya bahkan tidak tahu namanya. Tapi terusan dari Brantas."
"Ya, itulah Sungai Sumbermanjing.
"Apakah Senopati dan temannya juga dari tempat yang sama?"
"Ya, kira-kira di mana bermuara kalau tidak di sini?"
Pemimpin nelayan itu ragu.
"Hanya tempat ini..."
Suaranya menggantung. "Atau pantai Ngliyepan...
"Tapi mustahil. Mustahil."
Pangeran Hiang mengepalkan tangannya. Jari-jari tangannya mengeluarkan suara keras.
"Lebih baik Senopati tidak ke sana...
"Tak mungkin, sekarang ini...
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mohon..." Bagi Pangeran Hiang dan Upasara tidak ada pilihan lain. Meskipun penjelasan bahwa pantai di wilayah Ngliyepan dianggap pantai yang paling ganas dan menakutkan.
Pada hari-hari biasa tak ada yang berani ke tempat tersebut.
Apalagi di musim angin begitu keras menabrak apa saja.
Kunjara Ngliyepan PANGERAN HIANG tak sabar mendengarkan.
Tapi Upasara tak bisa meninggalkan begitu saja. Karena tata krama maupun karena melihat nasihat yang diberikan dengan sepenuh hati. Di samping, ia sendiri tak begitu mengenal wilayah yang akan dilalui.
Selama ini dirinya ternyata terseret arus Brantas hingga terdampar di pulau kecil yang terjadi karena arus sungai terbelah. Wilayah yang paling jarang, atau tak pernah, dilalui nelayan.
Karena belahan arus itu mengalir kuat menuju laut. Baik yang melalui Sungai Sumbermanjing, yang masih lebih baik alamnya dibandingkan dengan pesisir, maupun pantai Ngliyepan.
Sebab pesisir Ngliyepan selama ini dikenal sebagai wilayah tak berpenghuni selain setan lautan. Pesisir itu oleh masyarakat sekitar diberi julukan Kunjara Ngliyepan.
Kunjara bisa berarti gajah, tapi juga bisa diartikan penjara.
Sedangkan ngliyep berarti mengantuk atau tertidur. Yang bisa berarti pula tertidur untuk selamanya.
Apa pun terjemahannya, artinya sama. Siapa pun yang menginjakkan kaki ke wilayah tersebut, tak akan pernah kembali. Peribahasa penduduk adalah sato mara sato mati, jalma mara jalma mati, binatang datang binatang yang mati, manusia datang manusia pula yang mati.
Tidak peduli binatang atau manusia, bakal sirna selamanya.
Keangkeran wilayah pesisir itu bukan hanya dongengan, karena selama ini terbukti tak pernah dipergunakan untuk keperluan apa pun.
Baik keperluan Keraton atau kepentingan penduduk untuk menangkap hasil laut.
Keraton bahkan menganggapnya sebagai benteng pertahanan alam yang tak mungkin diterobos siapa pun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara mengakui bahwa apa yang diceritakan bukan hanya omongan yang ditambah-tambahi. Bahkan keadaan sebenarnya lebih ganas.
Meniti pesisir Sumbermanjing menuju pesisir Ngliyepan memerlukan daya tahan yang besar. Apalagi mereka berdua berusaha selalu berada di pesisir berombak, sehingga bisa melihat kalau-kalau Gendhuk Tri dan Putri Koreyea terdampar.
Akan tetapi sampai fajar menyingsing, tak ada tanda-tanda adanya seseorang atau rakit yang terempas.
Sampai mereka tiba di pesisir yang ombaknya sebesar gajah.
"Tidak masuk akal kalau mereka berdua hilang begitu saja, Kakang Pangeran Upasara."
"Barangkali kita bergerak terlalu cepat."
"Saya berpikir begitu juga.
"Kakang Pangeran Upasara, saya tak ingin memberati Kakang.
Biarkan saya kembali mengarungi jalanan yang tadi. Siapa tahu masih sempat bertemu dengan sisa tubuh mereka."
"Adikku Pangeran Hiang,
"Jangan merasa merepotkan. Saya mempunyai tanggung jawab yang sama."
Mereka berdua kembali ke pesisir Sumbermanjing. Dari sana dengan sampan yang lebih ramping, dengan galah sebagai penyangga yang lebih kuat. Melawan arus kuat, menuju ke tempat semula.
Perjalanan yang hampir tidak mungkin karena arus berputar keras.
Hanya karena tekad yang membaja dan usaha keras, mereka berdua bisa kembali ke tempat semula.
Mengitari kembali pulau kecil.
Dan kembali ke tempat semula.
"Ada kemungkinan lain.
"Adik Tri cukup pintar. Bukan tidak mungkin ia sengaja membawa rakit ke depan, lalu mengikuti arus yang tidak bermuara ke laut.
"Saya akan melewati tempat itu.
"Sebaiknya Kakang Upasara melewati jalur yang tadi. Kalau umur kita panjang dan Dewa berkenan, kita akan segera bertemu kembali."
"Adik Pangeran..."
Upasara tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Tak perlu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena ia menyadari apa yang berkecamuk dalam hati Pangeran Hiang.
Kalaupun Upasara menguatirkan Gendhuk Tri, keadaannya tidak seperti Putri Koreyea. Yang sedang berada dalam keadaan menunggu ajal.
Upasara membungkukkan badan, mengikuti tata krama Pangeran Hiang.
Pertemuan yang singkat, tetapi membawa perubahan banyak.
Sejak berada dalam perahu Siung Naga Bermahkota, dirinya dengan Pangeran Hiang berhadapan sebagai musuh yang menentukan kemenangan dari kematian lawan.
Pertarungan yang menegangkan dan disambung dengan ajakan Pangeran Hiang untuk menyelamatkan diri sewaktu perahu diserbu dengan panah api.
Itu titik yang makin nyata bagi Upasara untuk mengenal dan mempercayai jiwa besar Pangeran Tartar, putra mahkota Kubilai Khan yang Perkasa.
Apalagi berada di tempat terpencil, di mana pergumulan dan penemuan nilai-nilai kehidupan mencapai bentuknya dengan saling mengangkat saudara.
Suatu penguburan dendam masa lalu, yang tadinya seakan tak mungkin terjadi.
Dan sekarang ini berpisah.
Untuk waktu yang tidak jelas, kapan bisa bertemu lagi.
Pangeran Hiang mengalami perasaan yang sama, akan tetapi putra mahkota yang dibesarkan dengan gemblengan sifat lelaki di gurun pasir, bisa lebih menguasai perasaannya.
Setelah membungkuk sekali lagi, Pangeran Hiang mendayung perahunya. Melawan arus lagi, untuk menemukan pecahan Kali Brantas dan menyisiri dari pinggiran yang berbeda.
Upasara menggunakan dua batang pohon yang kini diikat lebih erat, lebih kuat.
Kembali menelusuri Sungai Sumbermanjing hingga ke pesisir.
Yang berbeda kali ini adalah bahwa ketika ia meminggirkan rakitnya, puluhan warga nelayan menunggu dan menyambutnya dengan penghormatan penuh.
Upasara terpaksa menunda keberangkatannya dan bermalam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baru esok paginya Upasara meneruskan perjalanan menuju pedalaman. Menuju Keraton Majapahit.
Masih ada yang menunggu di sana.
Masih ada yang tersisa sebagai pertanyaan.
Yang pertama adalah keadaan Dewa Maut. Tokoh berambut putih yang menggugah kembali jiwa ksatria ini bersifat angin-anginan.
Hatinya yang baik, sifatnya yang luhur, dan keinginannya menolong bisa dengan mudah dibelokkan untuk tujuan jahat.
Yang kedua adalah Jaghana. Paman yang bersahaja itu sedang menderita luka. Dalam keadaan seperti itu, lawan yang menganggapnya bahaya bisa melenyapkan. Demikian juga Nyai Demang.
Ah. Rasanya Upasara menjadi kangen untuk mengetahui apa yang terjadi.
Dorongan itu membuat langkahnya makin lama makin cepat, Hanya saja jarak menuju ke Keraton bukan jarak pesisir Sumbermanjing dengan pesisir Ngliyepan. Dua kali Upasara beristirahat di tempat yang tidak mengganggu siapa pun.
Ingin rasanya bermalam di rumah penduduk, mendengarkan obrolan.
Akan tetapi hati kecilnya menahan keinginan itu. Karena hanya akan merepotkan. Dan ia tak bisa berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan.
Bukan artinya kebaikan harus segera dibayar lunas, akan tetapi Upasara menyadari dirinya tidak siap untuk itu. Tak ada sekeping uang di sakunya.
Malam ketiga, ketika Upasara mulai masuk ke wilayah Keraton, baru ia mendengar kabar. Kabar pertama yang mengagetkan.
Bahwa Raja Jayanegara akan menikahi secara resmi Tunggadewi maupun Rajadewi. Sesuatu yang tidak masuk akalnya sama sekali.
Bukan karena Upasara merasa sangat dekat dengan dua putri Permaisuri Rajapatni sejak masih kecil, melainkan karena kedua putri itu saudara seayah dengan Raja.
Niatan lama Raja yang pernah mendapat banyak tantangan itu kini diwujudkan kembali.
Banyak isyarat yang dimunculkan dari keberanian ini. Sekurangnya Raja ingin menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya penguasa. Bahwa sekarang Baginda yang berada di Simping tak lagi berhak mencampuri urusan Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sesuatu yang terasakan oleh Upasara dari pembicaraan tersamar yang didengar. Bahwa sejak Baginda tertawan Pangeran Hiang, pamornya menyusut dengan keras, walau tidak secara terang-terangan.
Apa pun alasannya, Upasara tidak akan membiarkan pernikahan resmi itu terjadi.
Dengan jalan apa pun. Harta dan Wanita UPASARA tidak menyadari bahwa sejak pertarungan di Lodaya, terjadi beberapa perubahan. Kalau kemudian hatinya tergerak untuk melibatkan diri dalam rencana pernikahan Raja dan dua putri Permaisuri Rajapatni, itu adalah bagian yang memang direncanakan Halayudha.
Sejak pertarungan yang diakhiri dengan pembakaran perahu Siung Naga Bermahkota hingga karam dan tinggal arang yang mengapung, Halayudha merasa segalanya sudah di tangan.
Apalagi telah disaksikannya sendiri beberapa mayat yang hangus tak bisa dikenali lagi. Meskipun tidak yakin mana mayat hangus Upasara, untuk sementara Halayudha merasa terhibur.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terutama karena kini kekuasaan sebagai mahapatih telah berada dalam tangannya. Wewenang telah diisyaratkan Raja, dan ia telah memakai kesempatan dengan baik.
Mahapatih Nambi telah disingkirkan.
Baik dalam pengertian pangkat dan jabatan serta derajat, maupun dalam pengertian badaniah. Mahapatih Nambi telah dikembalikan ke Lumajang. Lengkap dengan ayahnya dan seluruh prajurit, dengan beban telah melakukan kesalahan.
Baginda tidak banyak berbuat. Karena lebih berkenan mencari dirinya melalui semadi yang panjang di Sanggar Pamujan Simping. Berarti secara resmi halangan di sekitar Keraton tak ada lagi. Tidak juga Permaisuri Indreswari yang selalu lebih awas dan penuh perhitungan.
Dalam perhitungan Halayudha, Raja Jayanegara tak banyak menimbulkan persoalan.
Memang begitu. Hanya saja ada yang tidak diduga oleh Halayudha.
Ketika Raja menanyakan apakah benar Dewa Maut bisa membebaskan Gendhuk Tri, Jaghana, serta Senopati Sina hanya dengan menusuk telapak kaki.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Perhitungan raja sangat tepat sekali."
"Bawa dia menghadap kepadaku.
"Aku ingin menyembuhkan Permaisuri Praba Raga Karana."
Bagai disambar petir di tengah hari, Halayudha mendengar perintah Raja.
Betapa tidak. Kalau Dewa Maut bisa membebaskan Praba Raga Karana, sama juga dengan dirinya menyerahkan kepala untuk dipenggal. Pengakuan Praba akan memusnahkan seluruh impiannya. Justru di saat telah dipegang erat.
"Hamba akan usahakan, Raja yang Bijaksana.
"Hanya Dewa Maut agak aneh kelakuannya."
"Lakukan segala bujuk rayu."
"Demi Raja..." "Lakukan, Halayudha."
"Sendika dawuh, Ingkang Sinuhun..."
"Lakukan. "Di jagat ini semua lelaki sama. Menginginkan harta atau wanita atau dua-duanya. Berikan apa saja yang diminta."
Inilah yang merepotkan. Dewa Maut, meskipun kelakuannya tak bisa ditebak dan kemauannya serba ngawur, akan tetapi tak akan menolak kalau mendengar ada yang meminta bantuannya. Dengan ilmunya, bukan tidak mungkin mampu menerobos totokan nadi yang dilakukan Halayudha.
Inilah repotnya. Karena Halayudha tak bisa menunda, atau tidak menjalankan sama sekali.
Sebab Praba Raga Karana bagi Raja adalah segalanya.
Takhta dan kehormatan akan menjadi urutan kesekian.
"Raja yang Maha bijaksana.
"Hamba mengetahui sedikit rasa dan daya asmara Raja. Permaisuri Praba Raga Karana cepat atau lambat akan segera baik kembali.
"Hanya saja, selama menunggu, apakah Raja tidak berkenan menyanding putri yang lain?"
"Siapa yang kamu maksudkan?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hamba hanya mengingatkan bahwa di taman kaputren masih ada dua putri yang elok, dan mempunyai darah raja...."
"Kalau itu saja, apa susahnya?"
"Maksud hamba, Raja berkenan mengangkat sebagai salah satu selir kesayangan, kalau bukan permaisuri."
"Halayudha! "Ingsun bisa melakukan itu tanpa saranmu. Dulu bisa, sekarang pun bisa."
"Dalam suatu pesta Keraton."
"Apa itu perlu"
"Apa itu tidak membuat Permaisuri Praba Raga Karana bertambah sedih karenanya?"
Halayudha menyembah hingga menunduk.
Dalam hatinya tersenyum. Umpan Raja mengenai arta lan wanita, harta dan wanita, untuk Dewa Maut, kini yang disodorkan Halayudha.
Untuk Raja! Inilah taktik. "Hamba mengetahui, merasakan daya asmara Raja.
"Apalagi Permaisuri Praba Raga Karana.
"Sedih sesaat, akan tetapi akan berbahagia bila kemudian Raja berkenan mengangkatnya sebagai permaisuri. Di lain pihak, duh Raja, semua hati wanita mempunyai rasa sujana, selalu mempunyai rasa tidak mau mempercayai karena rasa cemburu.
"Mohon maaf, Raja. "Hati wanita siapa pun, akan tetap memiliki rasa itu.
"Dalam kaitan ini, Permaisuri Praba Raga Karana justru akan mendekat ke Raja untuk nyuwita, untuk mengabdikan dirinya.
"Dan juga pertimbangan lain."
"Apa itu?" "Raja yang Bijaksana sekarang benar-benar penguasa tertinggi di tanah Jawa. Tak ada yang lain. Bayangan kebesaran tak akan tertutupi oleh yang lain.
"Melihat suasana pembebasan Baginda di pinggir Kali Brantas, hamba merasa bahwa Baginda masih berusaha menempatkan diri pada pusat kekuatan. Sehingga merasa tetap berkuasa, karena Mahapatih Nambi yang sedang palapa karya bersedia datang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kini saatnya Raja membuktikan bisa menentukan sendiri.
"Menganggap sepi Baginda.
"Dengan mengawini dua putri Baginda sekaligus.
"Pertimbangan yang lain, demi keamanan takhta Raja. Kita tak tahu, apakah kedua putri Permaisuri Rajapatni masih mempunyai dendam yang bersarang dalam tubuh Permaisuri Tribhuana, yang ingin meneruskan keturunan memegang takhta.
"Kemungkinan yang ada, bersandar pada harapan kedua putri Permaisuri Rajapatni.
"Siapa pun suami mereka di belakang hari, akan mudah terkena kisikan bahwa, maaf sekali, Raja bukan turunan darah asli Singasari.
Suatu pikiran licik yang bisa dipakai untuk memanaskan suasana.
"Dengan mengambil kedua putri Permaisuri Rajapatni, kemungkinan itu tak ada sama sekali.
"Pertimbangan lain, agaknya kedua putri sekar kedaton, bunga Keraton, cukup elok dan hangat serta bisa meladeni Raja."
"Boleh juga pertimbangan kamu, Halayudha.
"Hanya dari mana semua perhitungan itu" Apakah dari hatimu yang juga busuk, sehingga mengetahui secara jelas?"
"Hamba..." "Tak apa. "Ingsun menerima apa yang kamu sarankan.
"Tetapi, sambil mengupayakan pesta itu, Ingsun pribadi ingin mengetahui mengenai pengobatan oleh Dewa Maut."
"Sembah bagi Raja...."
"Lakukan!" Ada kesempatan untuk mengambil napas. Walau waktunya terbatas.
Tak mudah Halayudha menyingkirkan Dewa Maut begitu saja.
Kecurigaan Raja bisa mengubah segala rencana. Juga tak bisa membiarkan Dewa Maut lolos serta melarikan diri ke gua bawah Keraton. Karena kini semua berada dalam tanggung jawab dan wewenangnya.
Cara terbaik hanyalah mempengaruhi sehingga Dewa Maut tetap kacau dan ngawur.
Juga dalam penyembuhan. Tapi ini yang sulit ditebak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak ada jalan lain kecuali mengadakan pendekatan sendiri. Mendekati Dewa Maut, dengan jalan mengajaknya ke kapustakan.
"Untuk apa" "Aku bisa ke sana sendiri."
"Dewa Maut, maukah Dewa Maut memberi petunjuk bagaimana menentukan penyakit lewat totokan dan tusukan jari pada telapak kaki?"
"Jarimu ada yang putus, mau apa"
"Haha. "Tapi aku tak boleh bilang begitu.
"Aku ingin tanya dulu. Di mana Tole, di mana Dewa Maut" Di mana jalan menuju ke gua"
"Di mana Jaghana, Nyai Slemok yang tubuhnya bagus"
"Di mana siapa?"
"Semua menunggu Dewa Maut di bawah gua."
"Bagus itu. Terima kasih.
"Kalau kamu mau belajar ilmu itu, ada di kapustakan. Di situ ada kitab, ada tulisan, ada kidungan.
"Begitu." "Kitab yang mana?"
"Yang mana saja."
Kekuatan Wadat HALAYUDHA tersenyum geli dalam hati.
"Kitab mana?" tanyanya mengulang.
"Mana saja," jawab Dewa Maut sama.
"Dalam Kitab Bumi..."
"Ya." "Atau Kidungan Paminggir?"
"Ya." "Kidungan Pamungkas?"
"Ya." "Atau kitab Dlamakan Megar.."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bisa juga..." Tangan Halayudha mengusap bibirnya. Hatinya berkata, bahwa dalam gilanya Dewa Maut sebenarnya tidak ngawur dalam segala hal.
Jawaban-jawaban yang sekenanya, sebenarnya memang kena.
Bukan tidak mungkin cara penyembuhan lewat telapak kaki itu ada dalam kitab-kitab yang disebutkan. Ketika Halayudha menyebutkan kitab Dlamakan Megar, Dewa Maut tidak langsung mengiya. Melainkan membuka kemungkinan.
Sudah barang tentu Halayudha hanya main-main untuk menjajal Dewa Maut. Selama ini tak pernah ada kitab Dlamakan Megar, atau Telapak Kaki Membuka. Ternyata Dewa Maut tidak asal mengiya.
"Bagaimana kalau kita coba saja?"
"Mencoba apa?" "Saya pura-pura diperiksa."
"Tak bisa pura-pura."
"Coba Dewa Maut periksa, apa yang salah dalam diri saya."
Tanpa ragu Halayudha berbaring.
Telapak kakinya membuka. "Tapi kamu siapa?"
"Saya Halayudha."
"Halayudha itu siapa?"
Dewa Maut menunduk. Telunjuk tangannya menusuk telapak kaki kiri pada beberapa bagian.
Mendadak meloncat kaget. Berdiri. Halayudha juga tersentak kaget.
"Kamu siapa?" Pandangan mata Dewa Maut luar biasa bernas, tajam, menghunjam.
Kepalanya bergerak ke kiri, sedikit miring.
"Aku tahu kini, kamu Dewa Maut yang sedang ngrogoh sukma sejati, mau mengetahui asal-usulku.
"Aha, tak begitu gampang.
"Aku bukan orang yang gampang dimasuki, ditelanjangi, dan dilihat.
Aku adalah Halayudha, senopati, sekaligus juga mahapatih, juga calon penguasa tertinggi.
"Aku adalah batu karang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu tak akan menang denganku, Dewa Maut. Aku sedang mempermainkan, agar kamu tak bisa menyembuhkan wanita menyebalkan itu."
Halayudha mengeluarkan keringat dingin.
Adalah di luar dugaannya bahwa Dewa Maut bisa mengubah diri.
Menjadi dirinya dan mengeluarkan isi hatinya.
Inilah celaka. Jika sampai diketahui orang lain.
Jika sampai didengar telinga lain.
Akan tetapi ada rasa aman. Pertama, karena mereka berdua berada di tempat tersendiri. Kedua, siapa yang mau percaya omongan Dewa Maut yang dikenal kurang waras"
Namun hatinya bercekat juga. Kata-kata yang membuatnya mengeluarkan keringat dingin, bukan hanya karena dengan demikian Dewa Maut bisa menelanjangi bawah sadar dan keinginannya yang terpendam saja, melainkan juga karena Dewa Maut menyebut mengenai merogoh sukma sejati.
Selama ini Halayudha hanya mendengar saja, belum pernah melihat sendiri.
Baru sekarang ini. "Aku tahu kamu heran, Dewa Maut.
"Karena aku adalah Halayudha yang selama ini tak diketahui orang.
Aku senopati yang paling tersamar, paling tak dikenali. Itulah keuntunganku. Aku senopati kitab tertutup, yang tak bisa dibaca.
"Dewa Maut, percuma kamu masuk dan menukik ke dalam diriku."
Ludah Halayudha tertahan.
Matanya nyalang. Dewa Maut menusuk kembali telapak kaki Halayudha.
Dan untuk kedua kalinya meloncat kaget.
"Kamu baru tahu, Dewa Maut"
"Akulah ksatria wadat yang sesungguhnya."
Kali ini Halayudha yang sesungguhnya meloncat kaget. Tubuhnya mencelat dari pembaringan. Kedua tangannya terulur cepat. Tapi urung dengan sendirinya.
Halayudha masih bisa berpikir untuk tidak berlaku gegabah melukai Dewa Maut. Kali ini bukan hanya pertimbangan dirinya pengawas hidup
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dewa Maut, melainkan, lagi-lagi, kalimat Dewa Maut yang menyebut wadat.
Selama ini, Halayudha selalu menyembunyikan hal itu.
Rapat tertutup. Rapi terkunci.
Wadat adalah istilah yang diberikan kepada lelaki atau perempuan yang menyendiri selama hidupnya. Tidak mau mengenal dan berhubungan dengan lawan jenisnya.
Para pendeta, resi, banyak yang memilih cara hidup seperti ini.
Bukan sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi bahwa Dewa Maut bisa mengetahui dan memahami hanya dengan menusuk telapak kaki satu kali saja, itulah yang luar biasa.
"Urat planangan masih utuh dan buntu.
"Bagaimana mungkin bisa begitu?"
Wajah Halayudha pias. Tenggorokannya tercekik. Matanya membalik. Yang kelihatan hanya putihnya.
"Urat planangan, itu urat kelelakian. Yang membuat lelaki menjadi jantan, menjadi pejantan yang menyemprotkan bibit keturunan.
"Kamu punya itu. "Tapi buntu. "Jadi, bagaimana bisa begitu?"
"Tid... tidak..."
"Halayudha, kamu keliru.
"Aku bisa mengetahuinya, dengan merogoh sukmamu."
Halayudha menunduk. Tubuhnya gemetar dan mandi keringat.
Basah hingga menyungai di lantai.
Pukulan dan guncangan yang dahsyat.
Selama ini Halayudha selalu menyembunyikan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Tak pernah ada yang mengetahui.
Ada. Ada. Eyang Puspamurti. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya Eyang Puspamurti yang berhasil membuatnya telanjang, dan menelungkupkan serta menelentangkan tubuhnya!
Selebihnya tak ada. Selebihnya, Halayudha sendiri tak mau melihatnya.
Kini dengan tepat, Dewa Maut bisa melihatnya.
Dan mengatakannya! Halayudha berusaha memusatkan tenaga batinnya. Ia tak mau sukmanya dibetot oleh Dewa Maut.
Tapi ternyata tak ada gunanya.
Dewa Maut yang berada di depannya, seolah menjadi Halayudha yang berdiri goyah.
"Dewa Maut, apakah betul kamu ingin mengetahui keadaan diriku"
"Aku ini Halayudha. "Murid kesayangan, murid utama, tumpuan segala keinginan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang menciptakan Kitab Bumi. Tokoh sakti mandraguna dan baik hati.
Harpa Iblis Jari Sakti 8 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Hina Kelana 44

Cari Blog Ini