Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas Dua 26

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 26


Begitu tersedot tenaga lawan dan pandangannya tertutup, kedua tangannya serentak meraih dua keris dan ditusukkan berkali-kali.
Robekan kain sutra menimbulkan suara bagai jeritan, karena berubah menjadi serpihan.
Sementara bayangan yang diserang berada di sudut.
"Sudah berani membangunkan dengan memanggil aku Sinuwun, kamu menyerang sungguhan...."
Halayudha memandang dengan sorot mata heran.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kini seluruh ruangan terisi para prajurit yang bersiaga untuk mati bersama.
"Aku baru saja bisa mimpi, setelah sekian lama tak bisa memejamkan...
"Hei, mau ke mana?"
Dengan satu aba-aba kecil, para prajurit tanpa kecuali melangkah balik. Senopati Kuti sendiri mendahului meloncat ke luar. Baginya, sasaran utama adalah Raja. Tak akan memedulikan yang lain.
Adalah di luar dugaannya bahwa yang menempati kamar peraduan utama justru Halayudha!
Kalaupun dalam hatinya bertanya-tanya, Senopati Kuti tak mau menyisakan waktu sedikit pun. Seratus lima prajurit pilihannya langsung mendobrak semua kamar yang tertutup.
Tak ada yang tersisa. Akan tetapi bayangan Raja tak ada.
"Semua berjaga di sini.
"Bunuh setiap gerakan yang mencurigakan."
Senopati Kuti langsung menuju kaputren dengan pengawalan para prajurit. Setiap kamar dibuka dengan paksa. Digeledah. Akan tetapi, bayangan Raja tetap tak berbekas.
Sementara itu, Halayudha yang masih terheran-heran mencoba memusatkan pikirannya. Untuk mengetahui apa yang sesungguhnya tengah terjadi.
Antara sadar dan tidak, Halayudha menyesali dirinya sendiri. Karena yang membenam dalam pikirannya bukan peristiwa apa yang terjadi, melainkan gerakan Kuti yang menusuk dengan ujung tombak, lalu membalik memukul dengan gagang, serta cabutan dua keris. Yang kesemuanya dilakukan dalam satu gerakan mengalir.
Antara sadar dan tidak, Halayudha masih merasa dirinya dipanggil Sinuwun, tetapi juga tak dipedulikan sama sekali. Dengan mencoba memusatkan pikiran, Halayudha keluar dari ruangan.
"Apa yang terjadi"
"Ada apa ini?" Halayudha terus melangkah, mencowel kiri-kanan dan tidak mendapat jawaban. Di kiri-kanannya semua prajurit seperti bersiaga.
"Di mana Raja bersembunyi?"
Halayudha memandang Senopati Kuti.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Rasanya kukenal kamu."
"Paman Halayudha, di mana Raja bersembunyi?"
"Akulah Raja Diraja.
"Aku ini Sinuwun."
Senopati Kuti tak berani gegabah. Karena selama ini mengetahui bahwa ilmu silat Halayudha sudah maju kelewat pesat. Apalagi baru saja dijajal dengan serangan mendadak dan mematikan, Halayudha masih bisa lolos. Tanpa lecet kulit arinya.
Benar-benar luar biasa. "Ya, kamu Sinuwun. "Di mana yang biasa menempati kamar utama?"
"Mada?" Pengakuan Takhta Cara berbicara Halayudha memang tak menentu, akan tetapi mengisyaratkan petunjuk tertentu. Dengan menjawab Mada, jelas itu tidak mungkin. Akan tetapi itu merupakan petunjuk bahwa ada nama lain yang bisa dekat dengan Raja.
Kalau benar prajurit kepercayaan itu Mada, Kuti tak bisa berdiam diri. Prajurit utama yang menjadi murid langsung Eyang Puspamurti itu memang kelihatan jauh lebih menonjol. Tapi yang lebih perlu diperhitungkan ialah bahwa Mada ditunjuk langsung oleh Mahapatih Jabung Krewes.
Senopati Kuti segera memerintah prajuritnya menuju kepatihan.
"Jurang Grawah, aku perintahkan kamu untuk menangkap Mahapatih Jabung Krewes, dengan atau tanpa kekerasan. Kamu menjadi senopati untuk tugas ini."
Pengikut setia Senopati Kuti menyembah dan segera bergegas menuju kepatihan. Iringan yang dibawa serta hanya separuh pasukan, itu pun yang berada di luar Keraton.
Dengan bersenjata lengkap, Jurang Grawah melangkah masuk ke regol, atau pintu depan.
Sambutannya ternyata di luar dugaan.
Jabung Krewes berada di pendapa, dikelilingi prajurit kepatihan yang bersila di sekelilingnya. Yang mengejutkan ialah bahwa seluruh senjata diletakkan di samping tempat bersila.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Menyerah sebelum menarik napas.
Jurang Grawah merasa heran di samping girang.
Heran karena tidak menyangka sama sekali bahwa seorang mahapatih yang gerakan tangannya mampu membuat seluruh prajurit yang ada siap menyabung nyawa, ternyata lebih suka menyambut dengan penyerahan total. Girang karena tanpa perlu mengeluarkan satu gertakan pun, telah berhasil memenangkan pertempuran.
"Apa yang kamu inginkan, Jurang Grawah?"
"Mahapatih masih mengenali saya yang rendah ini"
"Rasanya saya tak perlu mengatakan apa maksud kedatangan saya.
Keraton serta seluruh isinya kini berada dalam tangan dan kekuasaan Senopati Kuti.
"Sebelum Senopati Kuti yang perkasa menjatuhkan hukuman, masih ada kesempatan mengaku salah."
"Saya tak tahu di mana Raja."
"Apakah mungkin seorang mahapatih tak mengetahui di mana rajanya?"
"Itulah yang terjadi.
"Itulah kenyataan yang sesungguhnya.
"Saya tidak memohon keringanan hukuman atau sebaliknya dengan mengatakan ini. Saya telah dikalahkan dari dalam rumah ini, sebelum Senopati Kuti memulai."
Jurang Grawah mendengus. "Atas nama Senopati Kuti yang gagah perkasa, mulai hari ini, apa-apa yang ada di dalem kepatihan tak boleh dipindahkan. Baik harta tak bergerak maupun penghuninya.
"Siapa yang melanggar akan terkena hukuman tanpa pemeriksaan."
Jabung Krewes mengangguk.
"Bersiaplah menghadap Senopati Kuti."
Tanpa perlawanan, tanpa sikap membangkang sedikit pun, Mahapatih Jabung Krewes mengikuti Jurang Grawah menuju Keraton.
Bahkan ketika menunggu di balairung, Jabung Krewes sendiri yang melepaskan kelat bahu tanda kebesarannya.
"Apa maksudmu, Mahapatih"
"Apakah kamu mau mengatakan bahwa kamu tak ada gunanya, sehingga dibunuh pun tak perlu?"
Jabung Krewes menunduk. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seakan seluruh tubuhnya tak bertulang tak berotot.
Senopati Kuti tak pernah bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
Dalam waktu yang belum lama, belum ada sepasar atau lima hari, Jabung Krewes berubah luar biasa. Dari seorang yang masih bisa menggertak, seorang yang mampu menunjukkan kedigdayaan tanpa batas, berubah menjadi seorang yang tak mempunyai semangat hidup sama sekali.
Tapi dengan demikian pula, Senopati Kuti yakin bahwa Jabung Krewes tak mungkin berani menyembunyikan sesuatu.
Yang sedikit masih mengganggu adalah Halayudha yang masih mondar-mandir dan sesekali menyela pembicaraan.
"Tak pernah ada gunanya manusia yang satu ini. Baru mengetahui istrinya dikeloni menantunya saja sudah habis dunianya. Sedangkan aku yang dituduh membunuh satu-satunya anak lelakiku, dengan cara yang paling kejam, masih segar bugar.
"Ah, sudah sajalah. "Kuti, kamu tak memerlukan dia.
"Kamu lebih memerlukan aku. Karena aku bisa memberimu nasihat, petunjuk, di mana Raja."
Senopati Kuti mengajak Halayudha duduk, setelah memerintahkan para prajurit membawa Jabung Krewes pergi.
"Aku sekarang menghadapi Mada.
"Ia bisa lepas dari sergapan. Memang sebelumnya aku sudah menduga bahwa kamu atau senopati utama yang lain akan bergerak mendahului. Tapi Mada memang hebat. Ia bisa bergerak lebih dulu.
Kehebatannya adalah ketika orang lain baru memikirkan, ia sudah melakukan.
"Aku ingin menghadapi kecerdikannya.
"Kuti, kamu jadi saksi bahwa aku bisa mengalahkannya. Ia membawa Raja pergi. Tak ada lagi di Keraton."
"Ke mana?" "Ke mana saja. "Tapi bisa diperhitungkan. Bukan tidak mungkin dibawa ke Daha. Di sana ada Pangeran Muda Wengker yang setia kepada Raja. Terutama Patih Arya Tilam yang sakti-untuk ukuran patih. Patih yang mampu melihat masa depan dengan pertimbangan kekuatan batin. Sayang ilmunya belum menep, belum mengendap. Dan jangan lupa, Daha adalah cikap bakal Keraton, sehingga tempat itu dianggap sangat tepat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tujuan yang lain adalah membawa ke petilasan Singasari. Di sana ada Pangeran Muda Angon Kertawardhana yang termasuk pemberani dan setia, dan penuh perhitungan. Ia memiliki penasihat yang gagah dan mampu bertapa seratus hari tanpa bergerak, Arya Wangkong.
Penasihat rohani pangeran anom ini menurut cerita mampu meramal masa yang akan datang, tapi lebih suka memainkan tenaga kasar.
Menurut perhitungan dan perkiraanku, Wangkong masih ada hubungan darah dengan Mpu Raganata. Entah darah yang mengalir dari hidung atau dari gurung, tenggorokan.
"Tujuan yang lain yang tak bisa kamu duga, adalah membawa ke Perguruan Awan. Di sana paling aman, karena ada Upasara Wulung, ada Jaghana, ada yang lain lagi. Meskipun Raja mati-matian memusuhi Upasara, akan tetapi jika berada di Perguruan Awan, manusia seperti Jaghana akan melindungi lebih mati-matian.
"Tujuan yang lain adalah membawa ke wilayah Pamalayu, mengingat di sana ada Senopati Agung Brahma. Mengingat Mada mengetahui dengan baik tentang laut, perahu, dan angin.
"Tujuan yang lain adalah membawa ke wilayah yang tak kita perhitungkan. Bisa di antara semak dan belukar, di antara ulat dan ular."
Bagi Senopati Kuti, kegendhengan atau kegilaan Halayudha tidak berlaku ketika menerangkan tentang strategi dan peperangan serta ilmu silat.
"Terima kasih, Paman Halayudha.
"Saya akan memerintahkan prajurit untuk melacak sekarang juga."
"Keliru, Kuti. "Aku sudah bilang, aku yang akan menghadapi Mada!
"Dan aku tak perlu bergerak dari tempat ini.
"Mada menyimpan kekuatan yang tak dikenali karena mempelajari ajaran mahamanusia. Itu yang menyebabkan darinya bisa tumbuh berbagai pertimbangan dan keputusan yang tak terduga.
"Tapi aku sudah bilang, aku guru dalam ajaran mahamanusia.
"Sehingga tak perlu mencari dengan prajurit. Cukup kamu kirimkan lima prajurit ke Singasari, ke Daha, ke wilayah-wilayah terpencil. Minta penguasa setempat, para pangeran anom serta para abdinya, untuk mengakui takhta.
"Pengakuan takhta Keraton Majapahit menjadi penting, sehingga bila mereka menyembunyikan Raja, jelas melanggar perintahmu.
Hukumannya adalah rata dengan tanah.
"Untuk apa diperangi kalau bisa kamu tundukkan?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Lama aku menjadi senopati, akan tetapi..."
"Tentu saja ada akan tetapi.
"Kamu menjadi senopati, dan berhenti. Aku benar-benar mahapatih dan tidak berhenti. Aku bahkan sudah disembah sebagai ingkang sinuwun, tetapi tak berhenti.
"Dengan caraku, jelas lebih singkat dan mengena.
"Mada yang bersembunyi akan kelabakan setengah mati. Seperti ditelanjangi perlahan dan disuruh berdiri di atas sarang semut.
Bergerak ketahuan, tidak bergerak kesakitan.
"Cukup jelas, Kuti?"
"Rasanya...." "Aku bisa menebak jalan pikiranmu.
"Pengakuan takhta tidak berarti kamu yang menduduki kursi emas.
Masih ada aku. Masih ada keturunan utama Baginda. Putri Tunggadewi, Putri Rajadewi, semuanya lebih pantas menduduki takhta. Atau bahkan Permaisuri Rajapatni misalnya bisa kamu betot dari pertapaannya di Simping. "Aku bisa mudah menduga, karena kamu ini pada dasarnya senopati Singasari. Tradisi yang ada di sana adalah kesetiaan, ketaatan tanpa batas. Sri Baginda Raja berhasil menanamkan jiwa keprajuritan pengabdi yang tiada taranya. Kidungan Para Raja menunjukkan itu, penghancuran Kidung Paminggir, sampai penerimaan Kidung Pamungkas memperlihatkan itu semua." Lalu setelah terdiam lama,
"Dengan Ngrogoh Sukma mestinya aku tahu di mana Mada."
Siasat Mandragini BUKAN tidak mungkin Halayudha mengetahui di mana Mada.
Meskipun ada kemungkinannya tidak bisa tepat benar. Mengingat Mada memiliki kecenderungan mengambil keputusan sesaat.
Hal ini sangat disadari Halayudha.
Sewaktu Halayudha mengenyahkan Jabung Krewes dan mengajak Mada membicarakan masalah tanah air yang disinggung dalam percakapan Raja dengan Upasara Wulung, Halayudha tak menduga bahwa Mada bisa menerangkan dengan jelas.
"Saya rasa tak terlalu sulit memahami ilmu ciptaan ksatria lelananging jagat yang saat ini tanpa tanding. Paduka mendengar pembicaraannya, melihat contoh dalam ilmu silat ketika menundukkan saya maupun ketika mengecoh Paduka."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa hubungannya dengan Raja?"
"Menurut Eyang Puspamurti..."
"Aku tak suka kakek genit yang tidak waras itu."
"Menurut Eyang Puspamurti, ajaran mahamanusia yang disarikan Eyang Agung Raganata adalah pengabdian kepada Keraton. Bahwa mahamanusia tidak sampai kepada takhta.
"Dan itu yang lebih betul."
"Tidak. "Aku buktinya."
Mada membisu. "Baik, baik. "Terus, bagaimana hubungannya dengan Raja?"
"Bagi Paman Upasara, pengabdian tetap pengabdian. Kalau ia menerobos masuk ke Keraton dan mengambil paksa Bibi Jagattri, itu tidak mengurangi rasa hormat, rasa pengabdian kepada Keraton.
"Ada dua hal yang bertentangan, seperti tanah dengan air.
"Tetapi satu bagi Paman Upasara.
"Yaitu tanah air. "Ada dua tenaga kiri dan kanan yang memainkan tenaga bumi dan tenaga air, yang bisa dibolak-balik, bisa diatur. Tapi sebenarnya itu bukan dua tenaga yang berbeda. Bukan tangan kiri memainkan tenaga air dan tangan kanan memainkan tenaga bumi. Melainkan penguasaan tenaga tanah air.
"Paduka tak bisa, ketika mencoba dengan tenaga saya.
"Atau ketika mencoba mengobati Bibi Jagattri."
"Kamu mau bilang aku kalah dari Upasara?"
"Paduka yang mengatakan.
"Bukan saya." "Menurut penilaian kamu yang bodoh?"
"Penilaian bodoh dan tidak, tergantung menjawab atau tidak."
"Jangan ajak aku berbantah soal itu."
"Paduka yang mengajak."
"Baik, baik. "Upasara lebih unggul?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Masih harus dibuktikan. Kalau Paduka bertanya tentang tenaga tanah air, itu jawabannya."
"Kelihatannya aku yang bertanya, tetapi aku lebih tahu dari kamu.
Dan celakanya, setiap kali pula kamu tambah pandai setingkat karena pembicaraan ini.
"Karena setiap kali aku menjajalnya, dan ilmu yang begini susah kuperoleh, kamu tinggal mengambilnya.
"Coba kita jajal lagi."
Halayudha menarik paksa Mada. Keduanya memusatkan kekuatan pikir, batin, rasa, nalar, untuk disatukan. Itulah saat Halayudha melihat bayangan seorang senopati menyerbu masuk ke dalam Keraton, dan membuat Raja menggigil.
"Kamu lihat itu, Mada?"
"Ya, Paduka." "Kamu kenali siapa yang menyerbu masuk?"
"Tidak." "Aku juga tidak, tapi aku akan segera mengenali," kata Halayudha sambil menghela napas berat, dan melepaskan pemusatan pikirannya.
"Kita tinggal menunggu saja. Apakah yang tergambar dalam pengembaraan sukma sejati tadi akan terjadi atau hanya kesesatan pikiran kita.
"Kalau benar terjadi, kita bisa mencegat perjalanan ilmu Upasara."
Yang tidak diperhitungkan sama sekali oleh Halayudha ialah bahwa Mada tidak menunggu. Sebaliknya dari itu, Mada mempersiapkan prajurit yang paling dipercaya. Tiga belas prajurit kawal raja yang dipilih disiagakan. Bahkan secara teliti diperhitungkan jalan untuk melintas jika Keraton diserang dari arah depan, ataupun dari kaputren.
Ketika Mahapatih Jabung Krewes mulai memerintahkan pengamanan Tujuh Senopati Utama, Mada memberanikan diri menghadap Raja.
Menyembah telapak kaki Raja sambil mengutarakan bahwa kemungkinan terbaik bila terjadi sesuatu adalah bergeser dari Keraton.
"Sekecil itu pangkatmu, senekat itu usulanmu?"
'Duh, Raja sesembahan. "Saat ini hamba tak bisa melihat bahwa Mahapatih akan bisa menyelesaikan penumpasan dengan baik. Sekali saja kedudukan berbalik, seluruh prajurit akan ikut berbalik. Atau paling tidak tak bisa digerakkan.
"Hanya satu perkecualian, kalau Raja berkenan turun tangan sendiri."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah Halayudha tak bisa diandalkan" Dan kamu lebih sakti darinya?"
"Nalar Mahapatih Halayudha sudah keblinger, sudah terbalik tak menentu. Tak bisa dipastikan berpihak ke mana.
"Hamba jauh lebih bodoh, lebih tak bisa apa-apa, akan tetapi hamba bisa menyelamatkan diri."
"Kamu terlalu bermimpi untuk bisa mengambil hatiku."
Mada tak bisa berbuat lain.
Selain berjaga dan mencoba menyerap apa yang terjadi. Maka begitu terjadi keributan di gerbang Keraton, dan kemudian merembet ke dalam, Mada meloncat masuk ke peristirahatan Raja.
Yang ternyata sudah terjaga, dengan mata membelalak, geraham bergeretakan. Suara senjata, teriakan, langkah kaki yang demikian banyak yang mendadak, membuat Raja menyerahkan tindakan yang akan diambil sepenuhnya pada Mada.
Yang segera memerintahkan prajurit kepercayaannya berangkat bersama melalui jalan yang telah ditentukan. Mereka muncul di sebelah timur tanpa menimbulkan banyak kecurigaan. Apalagi di gerbang utama para prajurit masih serba siaga.
Mada memerintahkan berjalan secepatnya.
Di tengah perjalanan Mada memecah rombongan menjadi tiga bagian.
"Satu rombongan ke arah timur. Jangan menoleh, jangan berhenti satu langkah pun.
"Satu rombongan ke arah selatan. Jangan menoleh, jangan berhenti satu langkah pun.
"Ingat, kalian hanya boleh berbicara mengenai hal ini kepada aku seorang. Buktikan kalian prajurit sejati. Berangkatlah, aku akan segera menghubungi kalian.
"Jangan bertanya. "Bergegaslah." Mada memerintahkan kedua rombongan berangkat. Dengan salah seorang prajurit yang tampak paling tampan berada di tengah. Seolah dialah yang paling dilindungi dalam setiap gerakan.
Ia sendiri masih termenung beberapa saat.
"Mada?" "Ya?" Suara Mada yang tinggi nadanya membuat Raja terbelalak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak ada yang kurang ajar di sini, sekarang ini.
"Mereka akan sampai ke Daha dan Singasari. Kalau Senopati Utama mengejar akan menemukan rombongan yang keliru. Kita menuju ke timur-selatan. Kita memakai siasat Mandragini, yang sudah berhasil."
Mandragini adalah nama tempat peraduan Raja. Siasat ini sudah membuahkan hasil tanpa direncana. Kamar peraduan, yang selama ini dipakai seenaknya oleh Halayudha, nyatanya memancing barisan kraman. Kalau Raja benar berada di situ, sulit dibayangkan bisa menyelamatkan diri.
Siasat itu kini digunakan lagi oleh Mada.
Dengan memecah menjadi tiga rombongan, dengan tujuan yang bisa diperhitungkan lawan, sekurangnya lawan akan terkecoh. Merasa menemukan yang dicari, padahal itu hanya umpan.
Apa artinya menangkap lima prajurit"
Apa artinya menangkap seorang yang dilindungi, yang bisa disangka Raja, tetapi sebenarnya prajurit biasa"
Mada menyiapkan diri untuk kemudian berangkat. Ia berada di tengah, bertindak seolah kurang terbiasa menempuh perjalanan, karena langkahnya susah seirama. Dengan perhitungan, kalaupun yang diserang yang di tengah, dirinya bisa menangkis dan melindungi Raja.
"Selama perjalanan tidak ada yang bergerak, menyapa, atau menjawab sapaan. Tak ada yang menoleh, mendongak, atau menggeleng.
"Keselamatan Raja di tangan kita semua."
Rombongan Mada bergerak cepat. Sesampai di luar benteng Keraton, kelimanya bisa bergerak lebih cepat lagi. Adakalanya Mada meninggalkan barisan, bergerak lebih dulu ke depan. Seluruh kemampuannya dikerahkan, kalau-kalau menangkap sesuatu yang mencurigakan.
Akan tetapi justru karena itulah bahaya yang sesungguhnya mengincar. Tanpa terasa Mada berada dalam jebakan yang bisa memusnahkan.
Cegatan Takhta MADA, seperti yang diperhitungkan Halayudha, penuh dengan semangat sesaat. Apa yang dilakukan bisa diubah di tengah jalan jika kehendaknya demikian. Dorongan ini disadari, dan oleh Mada dipakai sebagai kekuatan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti sekarang ini. Dalam menentukan perjalanan, Mada berusaha menyingkir jauh, akan tetapi kemudian juga mengubah kembali. Karena biar bagaimanapun, Raja tak boleh terlalu jauh dari takhta, dari Keraton. Kalau ada sesuatu yang menentukan, harus bisa segera kembali ke Keraton.
Demikianlah, perjalanan yang jauh menyusup, berganti lagi arahnya.
Berputar kembali ke arah Keraton. Meskipun Raja sejak muda mempelajari ilmu silat dan mempunyai tenaga dalam yang kuat, tak urung mulai terkuras tenaganya. Apalagi Mada melarang berhenti, walau hanya untuk sekadar mengambil napas. Akan tetapi juga tak boleh terlihat basah oleh keringat.
"Apa maumu, Mada?"
"Kalau berhenti bisa mengundang kecurigaan. Di tengah malam, kenapa berhenti di tengah jalan. Kalau berkeringat, mengundang kecurigaan kita telah berjalan jauh.
"Malam ini juga, pasukan khusus sudah disebarkan ke segala penjuru. Semua semak dan batu dijungkirbalikkan. Pengalaman prajurit lama ketika mencari Baginda akan dilipat gandakan. Kesempatan kita semakin sempit. Padahal satu kali saja kita alpa, segala usaha kita sia-sia."
Menjelang fajar, Raja tak bisa menahan diri lagi. Berhenti di bawah sebatang pohon, dan langsung berbaring. Dengus napasnya sangat teratur. Tiga prajurit yang lain memandang penuh iba dan sangat hormat.
"Apakah tidak lebih baik kita ke rumah penduduk, dan mencari tempat yang lebih enak?"
"Kalau aku tidak memerintahkan apa-apa, kalian bertiga lebih baik tutup mulut. Saat seperti sekarang ini tak perlu pertimbangan banyak kepala.
"Yang diperlukan satu kepala yang memikul tanggung jawab untuk digantung. Dan itu adalah aku seorang.
"Dengan menginap di rumah penduduk, lebih banyak lagi yang harus menjaga rahasia. Kemungkinan bocor lebih besar. Siapa yang tahan menutup mulut jika mengetahui rumahnya diinapi Raja" Kalian yang biasa sowan saja masih begitu kaku, kikuk, dan salah tindak."
"Kalau memang itu kehendak Lurah..."
"Jangan menaikkan pangkat kalau tidak mempunyai hak. Sejak pertama aku masih bekel, dan barangkali tak akan pernah naik pangkat, karena tak mempunyai atasan.
"Segeralah bersiap. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Begitu Raja menggeliat dan terbangun, kita segera berangkat."
Mereka berempat menjaga dengan ragu. Tak bisa sangat dekat, untuk tidak menimbulkan kecurigaan bahwa yang dijaga adalah orang yang terhormat, dan tak bisa terlalu jauh, karena takut bahaya yang sewaktu-waktu bisa muncul.
Pada saat seperti itu, ketiga prajurit kawal Raja mengakui bahwa Mada memiliki keunggulan jiwa. Sikapnya kukuh, keras, tak mengenal pertimbangan lain, akan tetapi tetap tegar. Tak tampak sedikit pun kebimbangan atau kelelahan. Raut wajahnya sama tak berubah.
Juga ketika mencoba melanjutkan perjalanan, melintas barisan prajurit berkuda. Nyali ketiga prajurit yang lain seakan lenyap, ketika rombongan prajurit berkuda itu berpapasan dengan rombongan yang lain, dan mereka berhenti tepat di tengah jalan.
Mada masih berjalan dengan langkah biasa. Hanya sedikit menepi.
Meskipun darahnya berdesir lebih cepat ketika mengenali bahwa pemimpin rombongan adalah Jurang Grawah. Yang kini mengenakan kain parang dengan sabuk besar, serta keris bertatahkan permata.
"Semua sudah terkuasai sepenuhnya.
"Dengan memakai umpan Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi, kedua pangeran anom menyatakan pengakuan akan takhta. Bahkan terkesan sekali kedua pangeran anom itu memperlihatkan rasa gembira.
Karena keinginan mereka berdua mempersunting kedua putri tak menjadi halangan.
"Aku baru saja menerima laporan bahwa mereka berhasil menangkap prajurit bhayangkara, prajurit kawal raja."
Sampai di sini Mada bersiaga.
Kalaupun terjadi pertarungan, dirinya lebih dulu bersiap.
"Hanya belum jelas apakah mereka bersama Raja atau tidak.
"Menurut pengakuan sementara, mereka ditugaskan memata-matai Upasara Wulung dan Perguruan Awan yang kini menjadi buruan Keraton.
"Ah, kalau kita bisa menangkap Raja, rasanya dalem kepatihan tak terlalu besar untuk kita diami. Dan itu hanya soal waktu belaka."
Mada berjalan di atas belukar. Bersama tiga prajurit yang menyamar.
Raja berada di sebelah kirinya, dengan pandangan menunduk. Debur darah Mada makin mengeras. Ia tak yakin apakah telinganya mendengar desiran angin, ataukah ada orang yang melintas.
Dengan sendirinya, tubuhnya jadi menutupi Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Justru saat itu pundaknya merasa ditabrak sesuatu dengan keras.
Disenggol dengan tenaga keras, sehingga tubuhnya terhuyung ke depan.
Sadar akan kemungkinan yang tidak menguntungkan, Mada sengaja menjatuhkan diri. Tidak memberikan tenaga melawan sama sekali.
Sehingga seperti tersandung akar.
Akan tetapi pada saat bergulingan, kedua tangan dan kaki serta pusat perhatiannya siap meloncat, melancarkan serangan maut.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandangannya membelalak. Karena tenaga yang menyenggolnya itu menabrak deretan prajurit di depannya. Tiga ekor kuda meringkik, lepas kendali, dan ketiga penunggangnya jatuh tersungkur.
Jurang Grawah menghunus kerisnya.
"Siaga satu!" Teriakan yang mengguntur, membuat prajurit yang lain berjajaran di belakang dan dalam keadaan siaga penuh. Tidak percuma selama ini Senopati Kuti melatih keras.
Mada merangkak ke arah yang lebih jauh, bersama Raja dan tiga prajurit yang lain.
Pandangan Mada lebih membelalak.
Karena mengenali jelas bayangan yang menabrak. Bukan tidak mungkin Jurang Grawah juga segera mengenali.
"Pangeran Hiang..."
Yang berdiri gagah memang Pangeran Hiang. Pakaian kebesaran yang dikenakan, sikapnya yang menguasai sekitar, sangat terasakan wibawanya.
Bagi sebagian prajurit, Pangeran Hiang sangat dikenal. Terutama dalam pertarungan terakhir di mana Pangeran Hiang juga muncul di gelanggang. Meskipun saat itu Pangeran Hiang memilih tidak terjun langsung dalam pertarungan, tetapi semua mata bisa melihat sosoknya.
"Katakan di mana Raja Tanah Jawa!"
Suaranya melengking, seperti diucapkan lidah yang kelewat tipis.
"Kalau Pangeran mendengarkan, kami sedang membicarakan."
"Katakan di mana..."
Kedua tangan Pangeran Hiang terangkat. Jurang Grawah meloncat turun bersama para prajurit yang lain. Sebelum kaki-kaki menginjak tanah dengan baik, seakan kena sapu gelombang keras. Tubuh Jurang Grawah terjungkal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sambil menjatuhkan diri, Jurang Grawah menggenggam erat kerisnya. Begitu sampai satu setengah gelundungan, tubuhnya melesat ke atas. Bersama lima atau enam prajurit yang lain. Pangeran Hiang mengeluarkan suara perlahan, sambil menabrak maju.
Benar-benar menabrak maju begitu saja. Tanpa peduli tudingan senjata yang ditujukan ke arahnya. Dan bisa bergerak leluasa. Malah barisan prajurit yang berteriak-teriak kesakitan. Sebagian besar senjata terlepas dari tangan, sebagian memegangi tangan yang melepuh.
Seumur hidup Mada belum pernah menyaksikan ilmu yang begitu tinggi. Sungguh tak terbayangkan. Bahwa dengan melabrak begitu saja, barisan prajurit bersenjata yang diandalkan bisa tumbang berjatuhan.
Tanpa ketahuan menggerakkan tangan atau tendangan.
Tidak hanya berhenti di situ saja. Pangeran Hiang membalik, melangkah ke arah Jurang Grawah. Tangannya memencet pundak para prajurit yang kemudian melolong kesakitan. Melepaskan satu per satu.
Seakan memeriksa tulang pundak.
Kali ini Mada benar-benar terkesiap. Sukmanya seperti lepas dari tubuhnya yang menggigil.
Meskipun hanya dugaan, Mada tak bisa menahan rasa kecut yang menyergap kuat sehingga tak mampu berbuat sesuatu.
Dugaan Mada adalah Pangeran Hiang mencoba mencari Raja. Dengan jalan memencet tulang pundak. Barangkali dengan ilmu yang dimiliki, cara itu bisa untuk membedakan tulang pundak prajurit biasa dengan raja yang sedang menyamar.
Pencarian Raja ini dikaitkan dengan pertanyaan yang diucapkan sebelumnya.
Ini berarti Pangeran Hiang benar-benar mencari Raja.
Pangeran Hiang bergerak ke arah Jurang Grawah, yang mencoba menghindar sambil nekat menghunjamkan keris ke arah lambung.
Pangeran Hiang hanya mengegos pelan, dan tangannya sudah langsung memencet pundak Jurang Grawah.
Yang berteriak mengaduh, bagai lolongan anjing terkena gebukan keras.
Tapi agaknya Pangeran Hiang tidak berusaha menyiksa lebih jauh.
Karena kini pandangannya tertuju ke arah Mada.
Ngwang NAPAS Mada serasa putus. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Rasanya di sini ada Raja Tanah Jawa."
Nada bicaranya melengking, seperti dipaksakan. Berkelebat beberapa bayangan pemikiran dalam diri Mada. Entah dengan cara bagaimana Pangeran Hiang yang ini bisa mengenali bahwa Raja ada di sekitar tempat ini. Dan dugaan itu ditunjukkan dengan cara menabrak begitu saja barisan prajurit. Dugaan yang tepat karena kemungkinan terbesar Raja ada dalam barisan tersebut. Untuk meyakinkan diri, tulang pundak diperiksa. Barangkali ada ilmu tertentu yang dipergunakan sehingga bisa membedakan apakah pemilik tulang pundak rakyat biasa ataukah raja.
Ini berarti Pangeran Hiang yang dihadapi sekarang adalah Pangeran Hiang yang tetap putra mahkota Tartar. Yang berusaha mencegat Raja.
Yang tak bergeser dari keinginan semula, membawa Raja ke negeri Tartar sebagai tanda menyerah.
Dengan mencegat di tengah perjalanan, risiko untuk melawan keroyokan mati-matian bisa dihindari. Sesuatu yang pasti terjadi dengan kengerian apa pun.
Mada terlibat langsung ketika pertarungan habis-habisan di atas perahu Siung Naga Bermahkota. Ketika itu, seluruh ksatria, prajurit, tanpa memperhitungkan nyawa sendiri, tanpa memperhitungkan dendam kepada Keraton, siap membela kehormatan Keraton dengan rajanya.
Hal yang akan selalu terjadi kapan pun.
Kalau kejadiannya di tengah hutan di jalan setapak, tak akan banyak yang memedulikan. Seperti juga langkah yang pernah dilakukan dulu.
Yaitu menculik Baginda ketika bertapa di Simping! Masalahnya bukan soal licik atau culas, akan tetapi bagaimana mendapatkan hasil yang terbesar tanpa pertumpahan darah yang melelahkan. Di samping agaknya sejak pertama Pangeran Hiang sudah memperhitungkan bahwa dengan cara kekerasan tak akan bisa menang.
Pangeran Hiang menyapukan pandangan ke sekeliling.
Sapuan mata yang tajam menguliti, yang bila disusul dengan satu gerakan ringan, akan membuka selubung penyamaran. Dan itu berarti Raja berada dalam bahaya. Berada dalam ambang kehinaan, karena tak akan tertahan lagi.
Dengan menyerahkan seratus nyawa sekalipun, Mada tak akan bisa menarik kembali.
Dalam keadaan yang kritis, Mada mengambil keputusan.
Perlahan ia berdiri, dengan pandangan tegak, mata menatap lurus tak beralih, pundak rata memancarkan wibawa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau benar kamu Pangeran Hiang, kamu akan mengenali siapa Ingsun. Tak perlu dengan menetak tulang pundak. Bau tubuh Ingsun bisa dibedakan dari yang lainnya."
Suara Mada menggeletar, memancarkan pengaruh, seakan semua yang ada di hadapannya sangat kecil dibandingkan dengan dirinya.
Kepura-puraan yang sempurna.
Kalimatnya diucapkan dengan lancar, tak terpengaruh oleh apa yang terjadi. Sekaligus mengurai beberapa hal yang berusaha ditutupi.
Dengan kalimat pembuka, Mada menelanjangi bahwa lawan yang dihadapi bukan Pangeran Hiang. Kesimpulan ini diperoleh dari sikap yang sungguh jauh berbeda, dan terutama sekali logat bicara yang seakan memaksa diri. Biarpun kagok, penguasaan bahasa Pangeran Hiang sangat lancar. Dengan demikian, Mada bisa menebak pasti yang dihadapi bukan Pangeran Hiang yang selama ini dikenal.
Berpura-pura menjadi Raja, bukan sesuatu yang teramat sulit. Mada boleh dikatakan sangat dekat dengan Raja. Sebagai prajurit biasa, hal yang pertama dirasakan perbedaannya yang tajam dengan Raja ialah bau tubuh yang jauh lebih wangi. Karena sejak mandi, membasuh tangan atau kaki, membasahi rambut, atau suasana kamar dan pakaian penuh dengan wewangian. Ketenangannya yang menguasai situasi, yang mengatasi keadaan, menambah bobot penampilannya.
"Mari kita cari tempat yang leluasa untuk berbicara, Ngwang."
"Raja Tanah Jawa mengenaliku?"
Mada melangkah menjauh. Dengan langkah lebar, dada membusung, dagu rata. Tidak berusaha menoleh, melirik, atau memberikan perhatian ketika Ngwang menunjukkan keheranan.
Barangkali kebetulan, barangkali karena cara pengucapan Mada yang memang kurang sempurna di telinga lawan bicaranya. Ngwang, yang dipakai sebutan oleh Mada, sebenarnya menunjukkan orang yang belum dikenal. Yang barangkali saja menunjukkan kedekatan dengan nama Huang, atau Kuang, atau yang sesuara dengan itu.
Ngwang bergerak perlahan. Kakinya seakan tidak menyentuh tanah.
Hanya bayangan tubuhnya tahu-tahu berada di depan Mada. Sedikit pun Mada tidak terpengaruh. Ayunan kakinya yang tinggi tak terganggu iramanya.
Tetap tenang Mada menjauh ke depan.
Dengan jalan demikian, Mada ingin menyeret Ngwang lebih jauh dari kerumunan. Dengan harapan pada saat itu, Raja dan prajuritnya mempergunakan kesempatan untuk meloloskan diri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sampai di tempat yang agak lapang, Mada berbalik.
Ngwang telah melayang di sebelahnya.
"Apa yang kamu harapkan dari Ingsun"
"Membawa ke negeri Tartar sebagai tanda kekalahan?"
"Raja Tanah Jawa telah mengetahui."
"Ingsun tidak akan pernah menolak kata-kata yang telah Ingsun sabdakan. Dengan satu janji seorang ksatria, kalian tidak akan melakukan huru-hara di belakang hari. Kemenanganmu adalah kemenangan atas Raja, bukan atas Keraton atau penghuni tanah Jawa yang tak akan pernah bisa kamu kalahkan sepenuhnya."
"Sikap Raja sangat mengagumkan."
"Bisa sebaliknya. "Kamu membawa Ingsun, akan tetapi takhta sekarang bukan milik pribadi Ingsun. Ada raja yang baru. Yang tak bisa kamu kalahkan. Akan tetapi kalau ini menghentikan pertumpahan darah yang melelahkan, siapa pun akan bersedia melakukan.
"Juga kaisar kamu."
Ngwang mengangguk, memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan.
"Agar kamu puas, marilah kamu tunjukkan kemampuanmu."
Ngwang merasa tertantang.
Apa yang didengarnya, yang oleh Mada sengaja diucapkan perlahan, menandakan bahwa ia berhadapan dengan tokoh yang selama ini dicari.
Semuanya berjalan nyaris sempurna, kalau Jurang Grawah dan para prajuritnya tidak segera mengerubut maju.
"Kalian semua, mundur!"
Tangan Mada melambai. Sejenak Jurang Grawah mengejapkan matanya. Berpandangan dengan para prajurit yang lain.
Sewaktu ia mengedip dan memberi aba, para prajuritnya bergerak.
Tapi kembali terjadi adegan yang aneh. Mereka bagai kena sambar angin puyuh, terpuntir tubuhnya, terbanting, dan menggelinjang.
Bahwa Jurang Grawah bukan senopati unggulan, bisa dimaklumi.
Bahwa kini tangannya terluka bisa dimengerti. Akan tetapi bahwa semua barisan bisa disapu dalam sekejap, membuat Mada terkesiap juga.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam perkiraan sebelumnya, Mada masih berharap bisa mati bersama lawannya. Keunggulan lawan ia akui, akan tetapi untuk mati begitu saja,
Mada tidak rela. Bahwa dirinya telah memilih jalan kematian dengan mengaku sebagai raja, adalah kesadaran pengorbanan. Tetapi masih akan meminta balasan yang ada bekasnya.
Ngwang berdiri tegak. Tangannya terangkat di depan dada.
Mada memperlihatkan bahwa kaki Ngwang, keduanya, seperti tidak menginjak tanah.
Memang tidak. Itu sebabnya bisa bergerak seakan tanpa suara, tetapi sangat cepat sekali melintas.
Mada mengerahkan seluruh kekuatannya. Kalau ada yang menguntungkan dirinya saat itu hanyalah bahwa Ngwang tidak akan menewaskannya. Paling banter menawan tanpa melukai. Dan kesempatan kecil ini akan dipergunakan sepenuhnya.
Mendadak tubuh Ngwang turun.
Kakinya menginjak tanah. Mada mendengar suara samar-samar. Baru beberapa saat kemudian menjadi jelas bahwa suara itu berasal dari bayangan tubuh Nyai Demang serta Jaghana.
"Kalian berdua datang lagi."
Jaghana menunduk dengan anggukan kecil.
Sebaliknya, Nyai Demang mengertakkan gigi. Mengucap dalam bahasa yang hanya dimengerti Ngwang.
"Ya, memang saya orangnya."
"Untuk apa selama ini menyembunyikan diri"
"Ajaran busuk dari Tartar seperti tak ada habisnya. Selama ini kamu telah mempermainkan perasaanku.
"Paman Jaghana..."
Jaghana menggeser langkahnya.
"Di mana Pangeran Hiang"
"Kenapa tidak sekalian berada di sini?"
"Kamu wanita busuk. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Meracuni Pangeran Putra Mahkota Sang Hiang Penguasa Tartar yang Tiada Tara...."
Tangan Ngwang seperti bergerak, bersamaan dengan tubuh yang terangkat dari tanah. Jaghana menggebrak maju. Pundak kirinya maju, tangan kanannya mengeluarkan kepalan yang keras.
Tenaga keras, wungkul, padat membabat.
Ngleyang, Kabur Kanginan PUKULAN Jaghana terasa padat bergulung. Tubuh Ngwang yang terangkat seperti dientakkan dengan dahsyat, melesat ke arah belakang.
Keras. Menabrak pohon di belakangnya.
Benar-benar seperti dibenturkan dengan paksa dan keras.
Akan tetapi dengan sangat menakjubkan tubuh Ngwang tidak menimbulkan bunyi keras. Bahkan pohon pun hanya bergoyang.
Tubuh Ngwang terseret ke belakang pohon, menggeliat, dan sebelum goyangan pohon berhenti sudah melesat di depan Jaghana kembali.
Yang membalikkan tubuhnya, dan melemparkan serangan lewat kaki.
Kembali tenaga dalam mengentak dan menerjang tubuh Ngwang.
Yang kembali melayang bagai kapas tertiup. Tak kuasa menahan.
Namun seperti yang pertama, tubuh itu menggulung dan menyerang dari belakang Jaghana.
Mada ternganga. Belum pernah menyaksikan keunggulan tubuh yang selalu melayang-layang, seakan tanpa kekuatan, tapi bisa bergerak sangat cepat.
Nyai Demang pun terkesima.
Selama ini boleh dikatakan bahwa semua ajaran, semua ilmu, dari negeri Tartar dikenali. Akan tetapi yang sekarang dilihat, betul-betul luar biasa.
Luwes, lemes, memes, tanpa beban.
Sangat ringan. Nyai Demang makin yakin bahwa yang dipanggil Ngwang memang luar biasa. Dalam soal meringankan tubuh, rasanya kapas yang melayang pun masih lebih berat.
Bisa dimengerti kalau selama ini Ngwang bisa bersembunyi. Bisa tak diketahui kehadirannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ngleyang, kabur kanginan...."
Suara Mada seperti merintih.
Selama ini Mada terbiasa menyaksikan sesuatu yang luar biasa, yang tak dikenali, dan saat itu Eyang Puspamurti memberitahukan. Hal yang sama terjadi ketika berlatih bersama Halayudha. Selalu ada penjelasan yang membuatnya bisa mengikuti.
Kali ini Mada sendiri yang mengucapkan tanpa sadar.
Tanpa sadar karena sesungguhnya kleyang, kabur kanginan adalah sebutan untuk sesuatu yang tak jelas, sesuatu yang melayang, tertiup angin.
Ke mana arah angin, ke tempat itulah terbawa.
Tanpa beban, tanpa penahan.
Ini terlihat jelas, karena pukulan Jaghana membuat Ngwang benar-benar terdesak. Semakin keras pukulan Jaghana, semakin terseret tubuh Ngwang. Semakin lemah, semakin pendek juga jarak tubuhnya terpental.
Akan tetapi pada kejapan berikutnya, tubuh itu sudah mendekat kembali.
Sampai beberapa jurus, masih belum terlihat Ngwang melakukan serangan balasan. Meskipun demikian situasi terasa mencekam.
Terkaman ancaman mulai dirasakan. Karena Jaghana seperti diperas tenaganya jungkir-balik, sementara Ngwang hanya mengikuti belaka.
Dengan gerakan yang sangat enteng. Sangat ringan, seperti tak mengeluarkan tenaga sedikit pun.
Nyai Demang yang ingin turut mengepung jadi urung.
Dadanya naik-turun menahan kegusaran yang menggelegak. Makin terbayang dendamnya kepada Pangeran Hiang yang ternyata mengkhianati! Makin terasa sesak karena sama sekali tak memahami gerakan Ngwang.
Jaghana bukan sembarang jago silat. Pada tingkat sekarang ini, kemungkinan hanya Upasara, Pangeran Hiang, ataupun Halayudha yang sedikit mengungguli. Tak ada alasan untuk kalah dalam waktu pendek.
Menyadari pola permainan lawan yang tak dikenali, Jaghana mengubah arus pukulannya. Dengan cepat tenaga dorongnya dibalik menjadi mendorong dan menarik. Tangan kanan memukul, tangan kiri menarik. Seolah memainkan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat.
Hasilnya di luar dugaan. "Guru...!" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Teriakan Mada melengking tinggi.
Dalam keadaan jiwa terimpit, yang melejit adalah ungkapan yang paling pribadi. Dan ungkapan itu adalah sebutan guru. Karena sesungguhnyalah Jaghana yang ketika itu menjadi Truwilun yang pertama kali mengajari Mada.
Kecemasan Mada dirasakan sepenuhnya oleh Nyai Demang.
Justru ketika Jaghana mengubah serangannya menjadi serangan ke depan dan tarikan, tubuh Ngwang berlipat ganda cepatnya.
Wret, wret. Wret. Jubahnya seakan mengiris telinga Jaghana. Tubuhnya menebas Jaghana dengan memotong dari berbagai sisi, dari berbagai penjuru.
Jaghana menggulung diri, memutar tubuhnya.
Ngwang ikut berputar. Pertarungan maut! Sebentar lagi akan segera ketahuan siapa yang menjadi korban.
Itu perhitungan Nyai Demang.
Karena pertarungan dengan menggulung diri adalah pengerahan tenaga penghabisan.
Tapi bukan itu yang dimainkan Jaghana.
Dengan menggulung diri, memutar tubuh cepat sekali, Jaghana menarik Ngwang ke arahnya. Meskipun berbahaya, dengan demikian ia yakin bahwa gerakan tubuh Ngwang seirama dengan gerakannya.
Tak akan lain. Nyatanya begitu. Sehingga Jaghana mampu mematahkan di tengah putaran, dan tubuhnya mumbul ke atas, bagai kapas.
Melayang indah. Berdiri tegak.
Ngwang juga melayang. Dan berdiri tegak. Keduanya berhadapan. Untuk pertama kalinya terlihat bibir Ngwang menyunggingkan senyuman.
"Indah. "Hebat." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Keduanya berdiri. Tetap berdiri. Saling menanti. "Jangan serang lebih dulu, Guru...."
Suara Mada seperti didorong oleh kemauan yang meninggalkan tata krama. Tak layak seorang murid memberitahu gurunya dalam suatu pertarungan.
Akan tetapi Mada memang berbeda dari murid yang lain, dalam hubungan antara guru dan murid.
Pun bila dibandingkan dengan cara pengajaran di Perguruan Awan.
Di tempat ini segalanya bebas, terbuka, tak ada tata krama sebagaimana lazimnya. Meskipun demikian kalimat Mada tetap dianggap kurang ajar.
Mada tidak menyadari hal itu.
Karena memang cara yang dipakai sebagai pendekatan selama ini, seperti saling mengajari. Dalam pertarungan yang tengah terjadi, dalam latihan, atau dalam pembicaraan.
Tapi kalaupun menyadari, Mada tak akan menahan diri.
Apa yang terjadi di depannya yang diikuti dengan sepenuh hati, seperti membuka simpul-simpul kemampuannya. Kekuatan batin, tenaga dalam, yang bersarang dalam tubuhnya seakan terpanggil untuk ikut bertarung.
Inilah salah satu kehebatan ajaran mahamanusia.
Dengan membiarkan diri terbuka, bisa menyerap ilmu yang. ada. Ini pula yang menyebabkan kenapa Mada yang belum cukup lama berlatih, berada dalam tingkatan yang unggul.
Apa yang diserukan barusan, adalah apa yang terlintas di sukmanya.
Bahwa dengan tidak bergerak, lawan pun terdiam.
Jaghana sebenarnya tidak mendengar apa yang diserukan Mada.
Pemusatan pikiran sepenuhnya, membuatnya buta-tuli terhadap keadaan sekeliling. Yang memenuhi angannya sekarang ini hanyalah bayangan tubuh Ngwang.
Yang terseret kekuatan, yang berarti juga tak bergerak kalau tak ada yang menggerakkan.
Kapas pun tak bergerak bila tak ada angin.
Pemecahan yang sederhana.
Tapi ilmu silat Ngwang bukan ilmu silat kapas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam beberapa kejap seperti tak ada yang mulai bergerak, perlahan tubuh Ngwang terangkat ke atas. Tidak menyentuh tanah.
Bergoyang seperti mau jatuh.
Lalu, blap, melabrak Jaghana.
Dengan dua tangan terentang luas. Dengan pakaian longgar yang menutup ruang gerak Jaghana.
Blap. Suara gesekan angin, pakaian, atau tubuh yang bertabrakan susah dipisahkan.
Blap. Keselamatan Takhta NYAI DEMANG masih sepenuhnya tenggelam dalam apa yang tengah berlangsung, ketika Mada membungkukkan diri. Bersila dengan hormat, menyembah, dan bersuara lirih.
"Guru, semua dosa saya tanggung sendiri.
"Saya yang melibatkan Guru dalam pertarungan. Saya yang meninggalkan.
"Maaf, Guru...."
Mada menyembah sekali lagi. Mengelap wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. Baru kemudian berdiri, memberi aba kepada ketiga prajurit, dan menghormat ke arah Raja.
"Secepatnya kita menyingkir."
Perlahan kelimanya bergerak mundur, tanpa menimbulkan suara, tanpa bernapas untuk beberapa langkah.
Bagi Mada perbuatan ini merupakan perbuatan yang paling berat dilakukan. Sebagai murid, Mada justru meninggalkan gurunya yang tengah bertarung.
Perhitungan Mada sebenarnya hanya berdasarkan keselamatan takhta, kerahayuan Raja yang sekarang menjadi tanggung jawabnya.
Saat yang terbaik untuk mengundurkan diri adalah saat pertarungan menjadi gawat.
Berat karena Mada tak bisa hanya memerintahkan para prajurit mengawal Raja. Biar bagaimanapun, dirinya merasa wajib sepenuhnya mengabdi kepada keselamatan Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Barangkali kalau saja Mada tertahan agak lama, kerisauan itu tidak terlalu memberati.
Karena meskipun Ngwang kelihatan unggul dan menguasai sepenuhnya, ternyata tak begitu gampang meraih kemenangan. Sewaktu tubuhnya menabrak Jaghana, terjadi tukar-menukar pukulan yang sama kerasnya. Jotosan beradu, siku beradu, satu menjotos satu menangkis, satu terkena yang lainnya membalas. Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
Tubuh Ngwang masih berada di atas tanah, kedua tangannya bergerak, sementara Jaghana meladeni dengan mantap. Kalau tadi Ngwang mengesankan keunggulan, dalam bertukar pukulan Jaghana merasa pasti bahwa lawannya tak seperti yang diduga.
Justru beberapa pukulan Ngwang sangat lemah. Baik sasaran yang diincar maupun pengerahan tenaga dalamnya. Merasa menemukan peluang untuk menggertak, Jaghana merangsek.
Tubuhnya yang gempal pendek, kepalanya yang gundul pelontos, justru ditarik ke bawah. Ngwang yang jangkung dan berada di atas tanah seperti menyambar angin. Dua pukulan Jaghana menyusup pertahanan perut Ngwang.
Menyusul pukulan ketiga, Jaghana mengerahkan tenaganya.
Dan terjebak. Karena ketika terdesak pukulan, tubuh Ngwang ngleyang, bagai tersapu, untuk kemudian membelut masuk kembali.
Blap! Pandangan Jaghana tertutup pakaian yang dikenakan Ngwang.
Sebuah pukulan kecil mengenai pundaknya. Membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Tidak telak dan tidak mematikan, akan tetapi Jaghana merasa kuda-kudanya menjadi tidak kuat. Kakinya seperti kebal, kulitnya serasa mati seketika.
Nyai Demang bersuit keras.
Selendangnya berkibar, tubuhnya yang montok bagai menggelorakan tenaga bergelombang. Dua tangannya ditarik ke belakang, sebelum secara bersamaan melontarkan pukulan.
Benar perhitungannya. Tubuh Ngwang terdesak, dan kemudian akan berbalik ke arahnya!
Hingga untuk sementara Jaghana terbebas dari blap yang berikut secara berturut-turut. Karena kini sasaran beralih ke Nyai Demang.
Yang bersiap dengan pukulan berikutnya.
Tapi kecele. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika pukulan dilancarkan, tubuh Ngwang tertolak sambil meraih selendang. Sehingga tanpa sadar, tubuh Nyai Demang terbetot!
Dan terlontar ke angkasa.
Pandangan Nyai Demang hilang seketika. Yang terlihat hanya langit sangat terang di mana tubuhnya mendekat dengan sangat cepat.
Mendekat ke arah langit terang.
Ngwang memperlihatkan kemampuan yang sesungguhnya.
Dengan melemparkan Nyai Demang ke angkasa, tubuhnya sendiri melayang ke atas, sekali lagi menyendal tubuh Nyai Demang ke atas.
Tiga kali menyendal ke atas, Nyai Demang benar-benar seolah bisa menyentuh awan.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyai Demang tak kuasa menjerit.
Sewaktu tubuhnya amblas ke bumi, tenaganya tak mampu dikerahkan. Yang disaksikan adalah ujung pohon yang makin dekat, tanah yang makin menatapnya.
Tubuh Nyai Demang meluncur turun dari ketinggian tiga kali pohon yang paling tinggi.
Meskipun limbung, Jaghana tak membiarkan tubuh Nyai Demang amblas ke tanah. Dengan sisa tenaganya, Jaghana meloncat ke atas.
Pada saat itu pula, Ngwang menyelinap dan sikunya masuk ke ulu hati Jaghana.
Tidak keras, tapi ganas. Karena akibat sodokan itu, tubuh Jaghana seakan berpuntir, dan melesat ke atas tanpa penguasaan diri.
Ini sama saja mengadu tubuh Nyai Demang yang amblas ke bawah dengan tubuh Jaghana yang melaju ke atas.
Terlambat. Nyai Demang maupun Jaghana baru menyadari kekuatan ilmu Ngwang yang sesungguhnya.
Tapi terlambat. Nyai Demang menyadari sewaktu tubuhnya disendal ke atas beberapa kali. Bahwa kekuatan utama Ngwang justru permainan di udara telah terbukti jauh sebelumnya. Karena dengan ilmu mengentengkan tubuh yang nyaris sempurna seakan tak menginjak bumi, bahkan Upasara Wulung sendiri tak segera bisa mengenali persembunyiannya. Juga Nyai Demang. Kalau ada bentuk kecurigaan hanyalah lambang-lambang huruf. Selebihnya perkiraan belaka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi terbukti, kesadaran saja tidak cukup. Perlawanan yang diberikan ternyata tak cukup kuat. Dan dengan terpancing ke pertarungan atas, Nyai Demang seakan menjadi mainan.
Jaghana juga menyadari bahwa ilmu yang dimainkan Ngwang justru merupakan kebalikan dari ajaran Kitab Bumi. Ini yang menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ilmu itu sejak dahulu diciptakan, ataukah sengaja diciptakan untuk memberangus ajaran Kitab Bumi"
Karena dari segala sisi, permainan Ngwang justru seperti mematahkan tenaga bumi. Cara paling jelas yang ditunjukkan ialah dengan berdiri tidak di atas bumi. Seakan mengambang, seakan melayang.
Padahal justru dalam Kitab Bumi, pengambilan tenaga berasal dari bumi!
Dilihat dari posisi ini, keunggulan Ngwang terutama sekali karena jurus-jurus ilmu silatnya sengaja membenam dan meredam kemampuan kekuatan bumi. Dengan mengerahkan tenaga bumi, semua tenaga yang tersalur seperti muspra, tanpa guna. Desakan pukulan hanya membuat tubuh Ngwang melayang mundur untuk maju kembali. Semakin didesak, semakin lawan yang terjebak. Apalagi ketika mencoba memainkan jurus Banjir Bandang Segara Asat, pembalikan tenaga yang bertentangan menyebabkan Ngwang menyelusup.
Justru pada saat pengerahan inti tenaga bumi, Ngwang bisa lebih cepat menghabisi.
Bukti yang lain adalah ketika terjadi pertukaran pukulan jarak pendek.
Pada saat itu terasakan oleh Jaghana bahwa kekuatan pukulan Ngwang tidak terlalu istimewa. Hanya merupakan pukulan-pukulan kecil yang tidak mematikan.
Seperti Mada yang menyamakan dengan kabur kleyang kanginan, Jaghana bisa menukik lebih dalam. Kekuatan Ngwang bukan kekuatan yang mengikuti arus, melainkan kekuatan angin.
Angin! Maruta. Sepanjang hidupnya Jaghana tidak pernah mengenal adanya Kitab Angin, atau ajaran seperti itu. Dalam Kitab Bumi, disebutkan mengenai sumber-sumber kekuatan alam, terutama bumi, dan intinya dari pergerakan dan pergeseran bintang. Sehingga pada bagian awal disebut dengan Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Kekuatan yang disinggung adalah kekuatan air, kekuatan bulan, kekuatan matahari, serta kekuatan angin.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya saja kalau kekuatan bumi diuraikan secara habis-habisan, kekuatan bintang sebagai inti bergerak untuk alam yang lain hanya diberikan secara garis besar.
Semuanya ini masuk ke benak Jaghana dalam waktu singkat, karena penguasaan Kitab Bumi yang sempurna. Maka begitu melihat tingkah dan gerakan dasar Ngwang, yang masuk ke perhitungan Jaghana ialah kekuatan angin.
Bukan benda tipis yang tertiup, melainkan kekuatan angin itu sendiri.
Itu pula sebabnya Ngwang bisa menerjang maju kembali, ketika lawan mengeluarkan tenaga. Ketika lawan berdiam, Ngwang boleh dikatakan tidak mendahului. Kalau hanya ada mereka berdua, barangkali pertarungan menjadi batal.
Akan tetapi bila ada kekuatan lain, yang saat itu adalah gerakan Nyai Demang, Ngwang bisa meminjam tenaga yang keluar dan mendesakkan tenaganya sendiri.
Keanekaragaman jurus-jurus serta ajaran silat, sebenarnya bisa diterangkan dari sumbernya. Dan Jaghana cepat menangkap.
Akan tetapi ternyata tetap terlambat.
Tubuhnya melesat ke atas, menabrak tubuh Nyai Demang.
Tengah: Atas dan Bawah PERHITUNGAN jitu. Ngwang bisa memaksakan tubuh Nyai Demang dan Jaghana bertabrakan. Tak meleset sedikit pun, tak bisa ditahan oleh yang bersangkutan.
Nyai Demang yang merasa lebih ngeri. Karena jatuhnya dengan posisi kepala di bawah, menyaksikan bumi makin dekat. Lebih dekat lagi karena tubuh Jaghana mumbul ke atas, dengan kepalanya yang pelontos.
Jaghana sadar sepenuhnya apa yang akan terjadi. Akan tetapi tak mampu menggeser tubuhnya ke sebelah kiri atau kanan, karena mengikuti irama putaran yang membelit. Kalaupun Jaghana berusaha mengurangi pengerahan tenaga dalamnya, geraknya sedikit tertahan, juga tak banyak artinya. Tak banyak artinya karena kecepatan tubuh Nyai Demang makin kencang.
Ngwang memandang tanpa berkedip.
Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
Hanya napasnya dihela, dan matanya terpejam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena saat itu seperti ada bayangan, atau memang bayangan, menyeruak masuk. Seperti ada tenaga, atau memang tenaga, yang memotong tepat di bagian tengah sebelum kepala Nyai Demang beradu dengan kepala Jaghana.
Nyai Demang sendiri merasa ada tenaga yang menahan laju kepalanya. Tenaga yang lembut, yang menggumpal, yang terasakan mengucur lewat jari-jari yang terangkap. Tubuhnya terhenti mendadak, seakan semua darahnya memuncak di kaki. Dalam kejapan berikutnya, kakinya tertarik ke samping dalam gerakan yang patah.
Jaghana juga mengalami hal yang sama. Ada tenaga yang mengikuti putaran kepalanya, yang meredam dengan lembut tapi perkasa, yang membuat tubuhnya menjadi segar. Hanya dengan mengerahkan sedikit tenaga, Jaghana mampu menggeser tubuhnya dan dengan kedua tangannya menangkap tubuh Nyai Demang.
Untuk diturunkan dengan perlahan.
Keduanya berdiri berdampingan.
Di sebelah Upasara Wulung yang berdiri tegap sambil masih memanggul Gendhuk Tri.
"Om, sembah puji bagi Syiwa-Buddha.
"Om, Om, Om." Kedua tangan Ngwang mengikuti anggukan kepalanya.
Tubuhnya melesak dan berdiri di atas tanah. Pandangan matanya memancarkan sebersit rasa kagum.
Nyai Demang masih belum bisa mengerti sepenuhnya. Bagaimana mungkin Upasara bisa menyeruak masuk di tengah, menahan tenaga dari atas dan dari bawah, sementara pundaknya masih dibebani tubuh Gendhuk Tri.
Tenaga dalam apa lagi yang bisa menahan perbenturan dengan cara yang begitu sempurna"
Jaghana bisa memahami bahwa apa yang diperlihatkan Upasara adalah perpaduan yang luar biasa. Menghapus tenaga jatuh dan tenaga mumbul, meredam tenaga meluncur dan tenaga berputar.
Tenaga dalam yang bisa dikendalikan dengan sangat sempurna, sangat berbeda, atau juga sangat bertentangan.
"Om, sembah puji..."
Sewaktu Ngwang melanjutkan kalimatnya, hanya Nyai Demang yang memahami.
"Om, sembah puji bagi Dewa Mahadewa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tanah Jawa tak pernah bisa ditaklukkan. Karena tanah Jawa bukan hanya tanah. Karena tanah bisa berubah."
"Pujian akan mencapai langit, Ngwang.
"Meninggalkan bumi."
Suara Nyai Demang dalam bahasa yang dimengerti Ngwang membuat anggukan lebih dalam.
"Nyai Demang, bolehkah aku yang rendah ini mengetahui apa yang diperlihatkan oleh ksatria lelananging jagat ini?"
"Aku tidak akan menanyakan untuk kamu."
"Baik, baik. "Saya menghaturkan selamat yang besar."
Ngwang bersoja, memberikan penghormatan kepada Upasara.
"Saya kagum akan kehebatan ksatria lelananging jagat."
"Akhirnya Bapa Pendita tampil juga.
"Saya merasa masih terlalu rendah menerima kehormatan ini."
Suara Upasara terdengar dingin nadanya.
"Kenapa ditetas di tengah, kalau saya boleh bertanya?"
Upasara menggeleng perlahan.
"Tengah itu atas dan bawah.
"Tengah itu kiri dan kanan. Tanah dan air. Tengah itu tanah air."
"Saya sangat mengagumi.
"Selamat. "Saya ingin meminta pelajaran lebih jauh. Untuk membuktikan apa yang saya lakukan selama puluhan tahun ini hanya kesia-siaan belaka."
Upasara menggeleng. "Bapa Pendita, masih ada waktu yang lebih baik.
"Pertemuan setiap lima puluh tahun sebagai pertemuan para ksatria sejati lebih tepat. Di situ akan diuji keunggulan dan Jalan Terang yang sesungguhnya.
"Di luar itu adalah nafsu pembunuhan, nafsu mengalahkan, nafsu kemenangan.
"Kalau itu yang Bapa Pendita inginkan, saya akan meladeni."
Jaghana menunduk. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hatinya yang tak terpengaruh perasaan sekali ini diguncang oleh puji syukur yang tulus.
Puji bagi Dewa Yang Mahadewa!
Kalimat singkat Upasara seakan menjelaskan semuanya.
Bahwa pertarungan yang terjadi setiap lima puluh tahun sekali, yang dicetuskan Eyang Sepuh, masih berlaku. Saat diadakannya pertemuan dan pertarungan jago-jago seluruh jagat untuk membuktikan mana ajaran yang lebih benar.
Itulah pertarungan suci yang sesungguhnya.
Di luar itu, para jago silat hanya memamerkan keunggulan untuk membunuh, untuk tujuan yang tidak suci.
Tepat sekali Upasara menentukan tempat yang sesungguhnya bagi ilmu dan jurus silat.
Meskipun demikian, Upasara tidak akan menolak tantangan Ngwang yang disebut dengan Bapa Pendita.
Bagi Jaghana ucapan Ngwang lebih memperjelas ilmu yang baru saja dipamerkan. Bahwa ia sengaja datang untuk menciptakan ilmu yang berasal dari Kitab Bumi. Kalau tadi disebutkan sebagai puluhan tahun, barangkali memang itulah yang terjadi. Ngwang telah mengetahui keunggulan Kitab Bumi, dan ia bergulat untuk mementahkan jurus-jurus di dalamnya.
Celakanya, atau anehnya, justru ketika ilmu yang dipelajari telah rampung, telah terkuasai, Ngwang menemukan "tanah yang berubah"'
menghadapi "bukan bumi yang dulu".
Yang oleh Upasara disebut sebagai tanah air.
"Maaf, Bapa Pendita Ngwang, kenapa Bapa datang terlambat ke Trowulan?"
Suara Jaghana yang lembut membuat perkataan Ngwang berikutnya seakan membelah udara.
"Maaf, Pendita Jaghana..."
"Saya bukan pendita...."
"Saya juga bukan pendita.
"Karena setiap pendita pada dasarnya bukan untuk dipanggil pendita.
Itulah ajaran Tanah Jawa.
"Maaf, saya yang tak tahu-menahu ini memerlukan waktu lebih lama untuk mempelajari Kitab Bumi yang tersohor. Puluhan tahun tidak cukup untuk memahami.
"Sehingga datang terlambat."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa hubungan Bapa dengan Pangeran Hiang?"
Ngwang mendeham perlahan. Pandangannya tidak tertuju ke arah Nyai Demang yang bertanya dengan suara lebih keras.
"Maaf, Nyai. "Saya tidak berhak menyebut hubungan apa-apa. Saya ini hambanya pun bukan.
"Maaf. "Mohon Pangeran Sang Hiang, Putra Mahkota Khan, berkenan menghapuskan dosa saya."
"Kalau bukan apa-apanya, bagaimana mungkin Bapa memakai pakaian Pangeran Hiang" Dan kenapa selama ini selalu bersembunyi seperti bukan layaknya seorang pendita?"
Nyai Demang memuntahkan seluruh ganjalan hatinya.
Meskipun sebenarnya masih ada yang ditahan.
Yaitu pertanyaan: Di mana Pangeran Hiang sekarang ini"
Terdengar helaan napas. Upasara yang menghela napas. Lalu bersila di tanah. Membaringkan tubuh Gendhuk Tri. Kedua tangannya terangkat sejajar dengan pusar, dengan telapak menengadah ke atas. Perlahan kedua tangan naik ke atas, siku mengarah ke belakang.
Tubuh Gendhuk Tri menggelinjang.
Ngwang seperti akan bergerak, ketika Jaghana menutup arah langkahnya.
Jaghana berjaga-jaga untuk kemungkinan yang paling buruk. Karena masih ada yang membuatnya bertanya dalam hati, apa yang akan dilakukan Ngwang. Perasaan was-was ini tetap tinggal tersembunyi.
Walau muncul rasa hormat.
Perasaan was-was, terutama karena menyadari bahwa Gendhuk Tri sedang berada dalam bahaya. Irama napasnya maupun getar darahnya berdesakan. Wajahnya pucat, hitam. Kulit di bagian pundak dan mungkin sekujur tubuhnya memperlihatkan hal yang sama. Ada bagian yang sangat putih, tetapi ada juga titik kelabu di beberapa tempat.
Ini menandakan bahwa Gendhuk Tri terluka berat di dalam.
Luka berat yang, agaknya, belum sepenuhnya diatasi Upasara.
Lumpur yang Luhur KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
RASA was-was Jaghana juga berawal dari pertemuan pertama dengan Pendita Ngwang, yang bertarung melawan Mada. Kalau tidak ada alasan yang kuat, rasanya Ngwang tetap akan menyembunyikan dirinya. Dan alasan yang kuat itu menyangkut Keraton.
Makanya kini Jaghana berjaga-jaga.
Pendita Ngwang menggosok-gosokkan tangannya.
Kakinya terangkat dari tanah.
Nyai Demang berlutut. Menyentuh tangan Gendhuk Tri. Dan merasa kaget sendiri. Selama ini Nyai Demang menyadari bahwa tubuh anak angkatnya ini penuh dengan maut. Ada saat di mana ia terkubur dalam Gua Pintu Seribu, bercampur dengan mayat tokoh silat berbisa.
Sehingga tubuhnya penuh dengan racun. Sehingga bahkan binatang yang paling berbisa pun menjauh. Demikian juga halnya dengan lawan tandingnya. Karena setitik darah yang menetes dari tubuh Gendhuk Tri adalah racun ganas bagi lawannya.
Keadaan seperti itu saja sebenarnya sudah merupakan penderitaan yang berkepanjangan. Barangkali lebih merasa terasing dari kematian itu sendiri.
Tapi Gendhuk Tri tidak mati.
Waktu itu tak ada yang bisa menerangkan kenapa. Kenapa racun yang bisa memangsa setiap orang itu hanya bersemayam dalam tubuh Gendhuk Tri"
Barulah kemudian diketahui bahwa sumber utama tenaga dalam Gendhuk Tri berdasarkan Kitab Air. Yang intinya bisa meredam bisa.
Dapat melarutkan bisa yang masuk.
Akan tetapi agaknya kini tenaga dalam yang sama yang membuatnya menderita.
Nyai Demang merasa dirujit, disayat-sayat perasaannya. Sepanjang ingatannya, Gendhuk Tri sudah lola sejak kecil, tanpa pengasuh.
Sepanjang hidupnya dilewati dari satu pertarungan ke pertarungan yang lain. Dengan pembawaan yang mengikuti selera hatinya, Gendhuk Tri selalu tampil riang penuh canda.
Hanya pada saat-saat tertentu, Gendhuk Tri memperlihatkan perasaannya sebagai wanita. Nyai Demang mulai merasa sangat dekat semenjak untuk pertama kalinya Gendhuk Tri mengakui pilihan hatinya yang mantap adalah Maha Singanada. Seorang ksatria sejati, yang kemudian lebih suka mengorbankan dirinya untuk Upasara Wulung.
Peristiwa itu pun berakhir dengan penderitaan. Cabar, atau bubarnya impian-impian ketenteraman membina keluarga. Dalam keadaan seperti itu, Gendhuk Tri malah kemudian menolak lamaran Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Betapa berat sesungguhnya penderitaan yang disandang Gendhuk Tri. Sebagai sesama wanita, Nyai Demang bisa merasakan semua kepedihan itu. Sebagai wanita, Nyai Demang merasakan betapa Gendhuk Tri menghabiskan usianya, kemanjaannya, yang terampas dalam pertarungan.
Untuk sesuatu yang tak pernah dimiliki.
Untuk sesuatu yang tak pernah bisa memberi imbalan kebahagiaan balik. Seperti juga langkahnya yang terakhir, ketika menghadapi Halayudha. Tak ada yang menyuruh, tak ada yang meminta. Nuraninya sebagai cucu murid Mpu Raganata dan jiwa ksatrianyalah yang menyebabkan Gendhuk Tri menentang maut.
Dan kalau sudah terbaring seperti ini, adakah yang datang dan mengucapkan terima kasih" Adakah yang prihatin padanya"
Tidak. Dan Gendhuk Tri sendiri mungkin tak pernah mengharapkan itu.
Kemuliaan yang tulus. Kalau selama ini Gendhuk Tri dibicarakan secara bisik-bisik sebagai wanita yang tidak jelas sosoknya, yang melewati usia pernikahan, sebagai sesuatu yang kurang, karena tak pernah menangkap sosok yang sebenarnya.
Nyai Demang benar-benar trenyuh, haru sekaligus pilu. Ada rasa yang mengelusi kesedihannya, manakala jemarinya menyentuh kulit Gendhuk Tri.
Bercak-bercak hitam di berbagai tempat, kulitnya yang menjadi putih pada bagian lain, adalah penderitaan yang mengerikan untuk dibayangkan. Apalagi dirasakan.
Itulah yang kini dialami Gendhuk Tri.
Itu pula yang menyebabkan Jaghana sangat prihatin. Penderitaan Gendhuk Tri sekali ini berbeda dengan penderitaan ketika seluruh tubuhnya mengandung racun. Apa yang diderita Gendhuk Tri sekarang ini lebih mengancam kelangsungan hidupnya. Jaghana bisa mengetahui.
Sejak secara tekun mempelajari Kitab Air, merasuk ke dalamnya, kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri telah menyatu dan menemukan bentuknya. Ketika itulah tenaga dalam yang berasal dari Kitab Bumi, yang dimainkan Halayudha, menembus pertahanannya dan tersisa.
Seperti sebongkah tanah yang dilemparkan ke air bersih.
Yang membuat air menjadi keruh. Yang membuat noktah-noktah bagai gumpalan lumpur kental.
Seakan semua cairan di dalam tubuhnya, baik darah maupun air, telah ternoda. Kalau itu disamakan dengan tenaga dalam, bercak-bercak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
itu akan selalu mengganggu hidupnya. Sampai penderitaan itu tak terasakan lagi.
Jaghana mengakui bahwa kemungkinan besar hanya Upasara yang bisa mengobati. Karena Upasara-lah yang mampu memadukan kekuatan tanah dengan kekuatan air, dengan menyatukan sebagai kekuatan tanah air.
Akan tetapi bukti yang terlihat lebih jelas menggambarkan betapa sesungguhnya Upasara sendiri masih mencari-cari. Karena pemecahan akan penyatuan tenaga dalam itu belum sepenuhnya bisa dikuasai.
Karena sampai sekarang Gendhuk Tri masih menderita.
Bahkan lebih dari itu, keadaannya menuntut pengobatan secepatnya.
Kalau dulu Upasara bisa membebaskan racun dalam tubuh Gendhuk Tri dengan mengorbankan seluruh tenaga dalamnya hingga menyebabkan ia menjadi jago silat tanpa tenaga dalam, hal itu rasanya tak mungkin lagi.
Bukan tidak mungkin percobaan seperti itu akan membuat Gendhuk Tri tambah parah, atau Upasara sendiri terluka.
Jika dalam situasi semacam itu, Ngwang mengambil kesempatan, akan lebih berbahaya. Sebab di saat Upasara memusatkan konsentrasi sepenuhnya, boleh dikatakan sedang dalam keadaan kosong.
Pertimbangan itulah yang menyebabkan Jaghana berjaga-jaga.
Pendita Ngwang memejamkan mata sambil menggeleng.
"Aneh, sangat aneh."
Nyai Demang yang bisa menangkap makna ucapannya melirik dan bertanya.
"Apanya yang aneh, Pendita Ngwang?"
"Aneh. Ganjil. "Bercak hitam itu menandakan pertentangan tenaga dalam yang ada.
Aneh dan ganjilnya, bagaimana mungkin hal itu terjadi jika sumber kekuatan itu sebenarnya sangat mirip dasar-dasarnya.
"Bagaimana mungkin semua itu terjadi kalau tidak disengaja?"
"Kenapa disengaja?"
"Itulah ganjilnya."
"Disengaja?" "Om, sembah puji Syiwa-Buddha.
"Disengaja. Tak mungkin pukulan atau desakan tenaga dari luar bisa bercampur di dalam tubuh. Yang wajar terjadi ialah penolakan di luar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti terluka, atau hancur tenaga dalamnya. Tapi yang saya lihat ini lain sekali."
Ngwang tidak mengetahui. Juga Nyai Demang tidak mengetahui bahwa ini semua adalah polah Halayudha. Yang ingin memecahkan rahasia permainan silat Upasara.
Yang memakai tubuh Gendhuk Tri sebagai percobaan. Sehingga memang lebih tepat dikatakan ada kesengajaan dari Gendhuk Tri menerima risiko itu. Padahal sesungguhnya, yang terjadi saat itu adalah bahwa Gendhuk Tri sudah terluka lebih dulu.
"Nyai pasti mengetahui."
"Tidak...." "Tapi rasanya seperti pergumulan tenaga bumi dengan tenaga air.
Yang menggumpal jadi lumpur, yang mengeruhkan simpanan tenaga dalamnya."
"Yang seperti itu tidak terjadi pada Upasara, ksatria lelananging jagat.
Saya melihat, merasakan betul ketika memisahkan Nyai dengan Pendita Jaghana."
"Lalu, apa kesimpulan Pendita?"
"Tenaga yang sama yang berpadu, pada Upasara Wulung menjadi lumpur yang luhur, yang mulia, yang bisa menjadi sumber tenaga baru.
"Akan tetapi pada wanita itu penderitaan."
"Apakah Pendita mengetahui cara pengobatan Tartar?"
"Saya takut saya tak pernah menemukan hal ini di tanah Tartar. Atau di mana pun."
"Apa yang Pendita lakukan jika menghadapi situasi semacam ini?"
"Om." "Apa artinya" "Saya tak bisa menangkap."
"Nasib ada di tangan Dewa Yang Mahadewa."
"Dan apa yang ada di tangan Pendita sekarang?"
Helaan napas terdengar sangat berat.
"Nyai, Nyai adalah permaisuri utama Pangeran Sang Hiang.
"Saya..." "Saya tak suka kalimat itu."
"Maaf." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya bertanya, apakah Pendita akan mengambil keuntungan dengan keadaan seperti ini?"
Jaghana memotong dengan cepat, seakan mengetahui dengan tepat apa yang dibicarakan.
"Nyai, kita tak perlu mengemis pada Pendita Ngwang."
Perpecahan Senopati Utama
SEBENARNYA ketika Mada dan rombongannya meninggalkan tempat, Jurang Grawah dan rombongannya juga mengikuti jejak dalam waktu yang tak berbeda jauh.
Meskipun dua tangannya lunglai, Senopati Jurang Grawah tidak kehilangan semangat. Dengan kekuatan yang ada, dengan barisan kuda yang sambung-menyambung, Jurang Grawah melindas rasa sakit untuk melaporkan apa yang ditemukan di perjalanan. Melaporkan bahwa Raja masih leluasa bergerak, meskipun keadaannya sudah sangat runyam.
Jurang Grawah berharap besar, dengan laporannya Senopati Kuti akan melihat jasa-jasanya dan dirinya bisa mengerahkan tenaga lebih besar untuk melakukan pembersihan. Dengan prajurit-prajurit baru yang tegar, kalau perlu menggeledah semua wilayah sekitar Keraton.
Kalau rencana ini berhasil, derajat dan pangkatnya akan mendaki tiga atau empat tingkat dalam sekali loncatan. Sesuatu yang selalu didambakan.
Hanya saja Jurang Grawah tidak segera bisa melaporkan dan diberi wewenang besar. Karena ternyata di Keraton terjadi sedikit perkembangan yang tak diduga.
Dengan munculnya Senopati Kuti sebagai pemenang dan bisa menguasai Keraton, dengan sendirinya kekuatan yang berada di belakangnya ikut terangkat naik. Memegang jabatan kembali dan pulih nama besarnya.
Dengan kata lain, Tujuh Senopati Utama yang selama ini dikenal sebagai pemberontak atau paling tidak diragukan kesetiaannya kepada Raja, tampil dengan wewenang penuh.
Itu pula yang dilakukan Senopati Kuti di hari kedua menduduki Keraton. Enam senopati utama yang lain dipulihkan nama baiknya dan dikembalikan kepada kedudukan terhormat semula.
Yang menjadi ganjalan ternyata Senopati Tanca.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sewaktu diundang menghadiri pertemuan di Keraton, Senopati Tanca menolak hadir. Ia memilih berdiam bersama istrinya, Senopati Kuti yang akhirnya memutuskan mengunjungi secara pribadi.
"Kakang Tanca, Mbakyu Makacaru, apa yang menyebabkan kalian berdua tidak memenuhi undangan saya?"
"Sebegitu pentingkah kedatangan dan ketidakdatangan itu?" Tatapan mata Makacaru tetap bening walau menunjukkan sikapnya yang keras.
Tatapan mata yang tak ditemui pada wanita yang lain.
"Saya yang mengundang Kakang."
"Apakah mengganggu kehormatan Adik Kuti karena sekarang menguasai Keraton"
"Saya tidak bersedia datang, karena saya tidak mau datang."
"Kakang bisa mengatakan apa sebabnya?"
Mata Senopati Kuti berkedip.
"Segalanya harus berada di tempat yang terang. Adik Kuti, dari dulu kamu selalu sama. Tak berbeda seujung rambut pun."
"Kakang, saya ini orang kasar. Tak bisa mengartikan kata-kata indah.
"Utarakan dengan jelas tanpa perlambang."
Nyai Makacaru menyodorkan sirih.
"Tak ada yang perlu diperlambangkan, adikku.
"Kakangmu Tanca tidak menghadap ke Keraton, karena tidak ingin menjamah Keraton. Karena bagi kakangmu, bukan Keraton tujuannya."
"Mbakyu... "Jadi apa sebenarnya yang Mbakyu dan Kakang kehendaki?"
"Adikku, klilip kecil yang mengganjal rasa manusia kami adalah perbuatan Raja yang merusak tatanan keluarga, tata kemanusiaan."
Senopati Kuti tampak berusaha menahan sabar.
"Mbakyu Kuti, saya mengetahui bahwa Kakang dan Mbakyu sepenuhnya tak bisa menerima tindakan Raja yang ingin mempersunting saudarinya.
"Dan yang saya lakukan kurang-lebih sama.
"Lalu di mana kelirunya?"
"Tak ada yang keliru.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adikku telah melakukan yang seharusnya dilakukan.
"Bagi kami, bukan Keraton yang harus dibenahi dan diselesaikan dan diusadani atau diobati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebab dengan melibatkan diri dalam Keraton, adikku akan mengulang kekeliruan, atau malah lebih dari itu. Begitu adikku berada dalam Keraton, tata krama dan tata aturannya berbeda.
"Seperti juga kehadiran kami berdua.
"Selama ini, kita selalu saling mengundang. Kadang datang, kadang tidak. Tapi ini tak menjadi masalah. Tak perlu diterima dengan jiwa tegang, seperti sekarang."
"Hanya itukah masalahnya"
"Kakang Tanca, bicaralah."
Senopati Tanca mengelus dagunya.
"Apa yang saya katakan, sudah dikatakan mbakyumu."
"Kakang Tanca. "Saya orangnya kasar. Tak mengenal tata krama. Maunya blaka suta, blak-blakan apa adanya. Kalau Kakang tidak setuju dengan apa yang saya lakukan, katakanlah. Kalau Kakang menyesali perhitungan Kakang, bahwa ternyata saya berhasil menduduki Keraton, bagi saya semua itu tidak perlu.
"Kita menjadi dharmaputra secara bersama. Kita sudah bersumpah mati bersama, hidup bersama. Susah bersama, menderita bersama.
"Kakang masih ingat?"
"Kalau ada yang masih bisa saya ingat, kesetiaan kita bersama itulah yang tersisa."
"Apakah Kakang Tanca melihat saya berubah"
"Apakah saya menjadi gila takhta" Apakah saya mempergunakan kepentingan pribadi atas nama Keraton?"
"Saya percaya itu tak akan terjadi pada adikku."
"Nah, lalu apa masalahnya, Kakang"
"Apa masalahnya, Mbakyu?"
"Memang tidak ada. "Hanya karena kamu, adikku, berada di Keraton, dianggap ada masalah."
"Saya tetap tak mengerti."
Senopati Tanca mendoyongkan tubuhnya. Tangannya mencekal dua tangan Senopati Kuti.
"Adikku, lakukan apa yang menurutmu baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kami mempunyai jalan sendiri, dan itu tidak selalu harus diartikan bertentangan. Saya tidak menyembunyikan apa-apa. Tidak akan pernah menyembunyikan apa-apa.
"Hanya pandangan saya berdasarkan pengalaman yang selama ini terjadi tidak ingin bergabung di Keraton.
"Adikku. "Mungkin kakangmu ini salah.
"Mungkin mbakyumu keliru.
"Karena sejak Baginda memindahkan kita bertujuh ke Keraton, saya menjadi tidak tenang. Saya tak bisa dan tak akan biasa mendengar percakapan hati, siapa yang menjadi mahapatih. Apakah satu dari antara kita bertujuh"
"Percakapan yang biasa.
"Tetapi kami berdua tak bisa mendengarkan. Karena telinga kami lebih terbiasa mendengarkan daun-daun jamu, akar-akar umbi jamu, batang-batang jamu.
"Itu saja perbedaannya.
"Dan kamu tak bisa menerima sebagai perbedaan, karena terkesan sebagai perpisahan.
"Adikku, apa yang sedang kita perbincangkan ini "seolah rerasan, membicarakan bersama, akan tetapi sebenarnya saling berbicara sendiri.
"Kita bisa bersama-sama ketika dilereni, dipecat, dan disingkirkan.
Tetapi bisa berbeda ketika di Keraton."
Senopati Kuti menepuk lututnya.
"Kalau itu pendirian Kakang Tanca, saya mohon pamit."
Senopati Kuti mundur dengan membawa sejumlah pertanyaan. Yang makin melengkung ketika dicoba dirembuk bersama Senopati Banyak.
Berbagai kemungkinan berkembang. Sampai dengan kesimpulan yang bukan tidak mungkin Senopati Tanca ingin bergerak sendiri. Ingin menumpas Raja dengan tangannya sendiri, seperti yang selama ini selalu diperlihatkan.
Ini bisa berarti, Senopati Tanca yang menyembunyikan Raja.
Atau menyelesaikan sendiri.
Kemungkinan kedua yang terasa lebih masuk nalar, ketika terdengar kabar bahwa ada rombongan prajurit bhayangkara yang dihabisi oleh Senopati Tanca.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Laporan dari Jurang Grawah lebih menghangatkan. Jurang Grawah mengatakan bahwa ia sudah menemukan Raja di antara beberapa prajurit kawal setianya, akan tetapi kemudian muncul tokoh yang mengacau. Tokoh itu dikenali sebagai Pangeran Hiang.
"Selama ini Pangeran Hiang dekat dengan ksatria dari Perguruan Awan. Kalaupun terjadi perselisihan di antara mereka, tetap saja mereka lebih dekat ke Kakang Tanca daripada senopati utama yang lain.
"Jurang Grawah, kamu kuanggap sebagai tangan kananku. Kamu mulai mendengar banyak hal yang tak terdengar orang lain. Banyak hal yang lebih baik kamu sendiri yang mengetahui.
"Apa pendapatmu?"
"Duh, Senopati Kuti yang perkasa.
"Kalau kita bisa membongkar tanah pendaman prajurit yang dikabarkan pralaya, tewas, di kediaman Senopati Tanca, kita semua lega."
"Dan itu berarti menampar kehormatan Kakang Tanca."
"Biarlah saya yang melalukan, seolah tanpa restu dari Senopati Kuti."
Kuasa Sukma Sejati KALAU Senopati Kuti berada pada titik persimpangan di mana tindakan yang diputuskan berarti membuka pertentangan dengan Senopati Tanca, perasaan yang kurang-lebih sama mengeram dalam hati Nyai Demang.
Ngwang mengetahui perasaan yang mengganggu di wajah Nyai Demang, juga pada sikap kaku Jaghana.
Yang barangkali tidak diperhitungkan, Ngwang sendiri terseret dalam beberapa pertimbangan.
Pertama, Ngwang merasa dirinya sebagai tokoh yang disegani di negerinya. Yang secara khusus memilih mendalami Kitab Bumi untuk mengalahkan, dalam pertarungan utama. Sedemikian larut Ngwang mempelajari, sehingga tugas-tugas utamanya dilepaskan. Satu-satunya yang masih berhubungan dengannya, atau yang dihubungi, hanyalah Pangeran Sang Hiang. Sebagai penasihat rohani, Ngwang selalu dimintai pendapat oleh Pangeran Hiang. Terutama ketika memutuskan datang ke tanah Jawa. Tujuan utama rombongan Pangeran Sang Hiang adalah menaklukkan raja tanah Jawa.
Itulah tujuannya. Yang bersifat kenegaraan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kedua, Ngwang memberi nasihat agar sedapat mungkin menghindari pertarungan. Karena dalam perhitungan sebelumnya, jika mencoba melarutkan diri dalam pertempuran dengan para jago silat, kemungkinan urusan menjadi panjang.
Akan tetapi terbukti kini, bahwa urusan yang kedua ini tak bisa dilepaskan begitu saja. Ngwang menyadari bahwa rombongan Tartar selalu terseret arus ini.
Tujuan kedua ini selalu menggoda.
Dua kepentingan ini seolah bertentangan. Ngwang sudah memastikan bahwa tujuan utama adalah mendampingi Pangeran Hiang.
Menaklukkan raja tanah Jawa, dan membawanya ke negeri Tartar. Akan tetapi telah terbukti bahwa rombongan Pangeran Hiang pun kandas.
Bahkan Gemuka yang tanpa tanding itu bisa dikalahkan, bisa dimusnahkan. Bahkan Barisan Api yang selama ini belum pernah dikalahkan lawan, musnah seluruhnya.
Sementara Pangeran Hiang sendiri diliputi keraguan. Apakah melanjutkan keinginannya semula atau justru sebaliknya. Tanpa sadar Pangeran Sang Hiang masuk ke lingkaran yang menjebaknya. Dengan mengangkat saudara Upasara Wulung, serta melamar Nyai Demang.
Kebimbangan itu menjadi gangguan besar, manakala Ngwang berusaha menghubungi. Lewat tanda-tanda tulisan, Ngwang mencoba mengingatkan kembali tujuan Pangeran Sang Hiang.
Tetapi jawabannya adalah penundaan.
Sikap yang mendua. Bahkan tersirat Pangeran Sang Hiang merasa kurang suka dengan pemunculan Ngwang. Yang mengakibatkan hubungan persaudaraan dengan para ksatria Perguruan Awan menjadi retak.
Ngwang mengingatkan secara langsung, bahwa dirinya mempunyai kuasa bagi tubuh Pangeran Sang Hiang. Namun itu pun ternyata tak mampu membuat Pangeran Sang Hiang memastikan keputusan apa yang harus diambil. Sehingga Ngwang memutuskan bergerak sendiri.
Ketika mendengar adanya huru-hara di Keraton, dan mendengar Raja menyingkir, Ngwang sepenuhnya melaksanakan tugasnya.
Hingga akhirnya bentrok dengan Jaghana, Nyai Demang, dan terakhir ini bahkan melibatkan Upasara Wulung.
Kalau kini bermaksud mundur, semata-mata bukan karena Ngwang takut, melainkan karena kesadaran bahwa tujuannya yang utama mencari Raja.
Namun tidak sesederhana itu. Karena Jaghana telah menutup langkah, dan secara tidak langsung menantang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak bisa dilewatkan begitu saja.
Situasi ini membuat Ngwang bersiaga. Tanpa terasa tubuhnya terangkat dari tanah. Bibirnya seolah tersenyum tipis, menerima tantangan Jaghana.
Dalam pertarungan yang baru saja terjadi, Ngwang merasa dirinya unggul. Kemampuannya selama ini memecahkan dan mengandaskan ajaran Kitab Bumi yang diagung-agungkan di tanah Jawa ternyata mampu membungkam Jaghana.
Kalau sekarang harus berhadapan kembali, Ngwang ingin lebih memastikan apakah masih ada keunggulan jurus-jurus Kitab Bumi yang lolos dari pengamatannya. Karena pastilah Jaghana akan bermain sangat hati-hati.
Perkiraan Ngwang ada benarnya, walau kesimpulannya berbeda.
Karena sebelum gebrakan pertama dimulai, apa yang disaksikan membuat Ngwang bertanya-tanya dalam hati.
Apa yang disaksikan adalah tubuh Jaghana terangkat dari tanah!
Terangkat setinggi setengah tangan!
Ini yang sangat mengejutkan.
Ilmu mengangkat tubuh dari tanah, adalah ilmu yang sangat pelik, yang bahkan di negeri Tartar tak lebih dari tiga tokoh yang mampu menguasai. Bahwa Ngwang perlu menghabiskan seluruh kemampuan dan waktunya untuk mencapai tingkat seperti itu. Adalah tidak masuk dalam perkiraan yang paling gampang sekalipun, bahwa Jaghana bisa melakukan itu.
Dengan sempurna. Hanya dengan sekali melihat.
Makin tidak dimengerti karena justru ilmu yang diperlihatkan Jaghana adalah ilmu yang berasal dari Kitab Bumi secara murni, secara lugas, sebagaimana adanya yang tertulis dalam kitab. Boleh dikatakan Jaghana tak pernah melakukan kembangan-kembangan dari ajaran lain.
Tanpa terasa Ngwang mengerutkan keningnya.
Tangannya gemetar, alisnya tergetar.
Tanah Jawa benar-benar merupakan "kedung naga dan sarang harimau" yang tak pernah bisa diperhitungkan! Baru saja ia temui tokoh sakti Upasara Wulung, yang menetas kekuatan utama. Sekarang, bahkan Jaghana mampu mengangkat tubuhnya lepas dari tanah!
Nyai Demang menggeleng. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jaghana bukan tokoh yang biasa memainkan tipuan tertentu. Tidak juga suka sesongaran, mengumbar dan memperlihatkan keunggulannya, sehingga apa yang diperlihatkan sekarang ini mempunyai dasar yang kuat.
"Om. "Om." Tubuh Ngwang bergoyang. Tubuh Jaghana bergoyang. Mengikuti irama goyangan yang lembut.
"Om!" Kali ini lebih merupakan seruan kaget.
Nyai Demang tak bisa merasakan bahwa Ngwang merasa terpukul keras. Apa yang diunggulkan selama ini, hanya dalam sekejap sudah menjadi milik Jaghana!
Dalam waktu sekejap! Karena kini Jaghana justru memperlihatkan penguasaan ilmu yang selama ini diperdalam oleh Ngwang. Jaghana memakai tenaga inti yang sama, yaitu kekuatan angin. Hebatnya lagi, tenaga gerak yang ada sumbernya dari tubuh Ngwang.
Sehingga kalau Ngwang bergerak, getaran itu pula yang menggerakkan Jaghana.
Membalik telapak tangan! Kalau tadi Ngwang yang mempermainkan tenaga lawan, sekarang dirinya yang dipermainkan. Sekarang justru tenaganya yang dimanfaatkan.
Tubuh Ngwang melorot turun.
Tubuh Jaghana justru naik.
"Kuasa roh yang suci, kuasa sukma sejati.
"Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan."
Nyai Demang menoleh ke arah sumber komentar. Kali ini darahnya berdesir lebih cepat. Karena sama sekali tidak menduga ada orang yang datang menggetarkan angin sekelilingnya. Karena sama sekali tidak menduga yang muncul adalah Halayudha.
"Itu seratus kali Om."
Halayudha merangkapkan kedua tangan di dada. Kekuatannya dipusatkan, dan tubuhnya bergerak-gerak.
Ujung jari kakinya seakan lepas dari tanah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pandangan Ngwang beberapa kali dikejapkan. Ini betul-betul tak bisa dimengerti. Ilmu andalan yang diperdalam menghabiskan usianya, bisa dengan enteng dilakukan oleh seorang yang baru saja muncul.
"Hampir bisa. "Hampir bisa itu artinya sudah bisa tapi belum biasa.
"Paman Gundul, bagaimana memindahkan tenaga secara serentak?"
Tubuh Jaghana melesak turun.
"Selamat datang, Mahapatih Halayudha...."
"Sebenarnya aku lebih suka dipanggil Ingkang Sinuwun. Sebenarnya aku lebih suka mendengar jawabanmu mengenai menyalin tenaga dalam dengan kekuatan sukma sejati. Kamu bisa melakukan sekaligus, sedangkan aku menjajal satu demi satu.
"Jelas kamu bisa menangani lebih cepat.
"Coba kamu lakukan dari awal. Aku pasti bisa mengikuti."
Halayudha tidak memperhatikan sama sekali kehadiran Ngwang. Atau Nyai Demang atau Upasara Wulung.
Satu-satunya yang menggetarkannya hanyalah ilmu silat. Dan yang diperlihatkan Jaghana adalah permainan baru yang membuatnya sangat bersemangat.
Nyai Demang merasakan bahwa situasi makin tidak menentu sekarang ini. Dengan munculnya Halayudha, keadaan bisa menjadi lebih tak teramalkan. Kalau sekarang masih terpusat perhatiannya pada Jaghana, bisa-bisa kemudian beralih kepada Upasara. Yang tengah bersemadi untuk menyembuhkan Gendhuk Tri.
Yang pasti akan menarik perhatian Halayudha.
Kalau itu terjadi, sangat besar bahayanya.
Kuasa Tanah air NYAI DEMANG yang tak terlibat langsung dalam pertempuran atau usaha penyembuhan hanya bisa memandang kiri-kanan sebagai penonton.
Dan setiap kali mengawasi rasa was-was nya makin meningkat.
Memandang ke arah Upasara timbul juga keraguan, betapapun hebat ilmu yang dimiliki. Beberapa kali Upasara terimpit kesulitan, akan tetapi bisa meloloskan diri dengan baik. Namun rasanya sekarang ini keadaannya jauh berbeda. Gangguan kecil saja bisa membuyarkan pemusatan pikiran yang entah akan jadi apa akibatnya. Apalagi seorang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha, yang sakti mandraguna, dan dalam keadaan tidak waras.
Secara gegabah bisa membahayakan, secara permusuhan juga tetap membahayakan. Kalau Halayudha menyerang, siapa yang kuasa menahan"
Padahal sekarang keadaan Jagattri masih tidak menentu. Bercak-bercak hitam di bawah kulit yang terlihat bisa digiring, bisa dikumpulkan Upasara, akan tetapi masih tak bisa terusir. Mengumpul di bagian ujung kaki, di tangan, di lengan.
Upasara sendiri masih tenggelam dalam semadinya dan sekilas menunjukkan bahwa pengerahan tenaga dalamnya makin mendekati puncak, tak menghiraukan yang terjadi kiri-kanan.
Melirik ke arah Jaghana juga sama saja. Kekuatirannya tak bisa ditenteramkan dengan mudah. Ngwang tak akan melepaskan begitu saja. Untuk mengimbangi, agaknya Jaghana perlu mengerahkan seluruh kemampuannya.
"Bagaimana Paman Jaghana bisa meniru dengan cepat?"
"Maaf, saya yang rendah ini tak mengenal gunung yang tinggi, laut yang dalam. Bolehkah saya mengetahui siapa nama besar dan gelar Paduka?"
"Saya biasa dipanggil Ingkang Sinuwun. Sayalah raja yang sebenarnya. Aneh sekali kalau kamu tak pernah mendengar nama besarku.
"Manusia macam apa kamu ini?"
Ngwang berdeham keras. "Maaf, Paduka raja tanah Jawa?"
"Siapa lagi" "Kamu kira di Jawa ada berapa raja?"
Ngwang berubah wajahnya. Tubuhnya terangkat dari tanah, melingkar, tangannya terulur meraih Halayudha, yang mengegos dengan enteng.
Tangan dan jari Ngwang sangat lemas. Bagai seutas tali, bagai selendang, mengusap wajah Halayudha.
Kali ini Halayudha tidak bisa memandang rendah. Tubuhnya bereaksi keras. Kedua tangannya terangkat, membentuk lingkaran, memutar, mengerahkan tenaga mendorong dan menarik.
Nyai Demang melihat adegan yang berulang. Kalau tadi melawan Jaghana, kini melawan Halayudha yang sekali gebrak memainkan Banjir Bandang Segara Asat. Yang lebih bertenaga, lebih keras, sekaligus juga lebih ganas. Gebrakan yang bisa dimengerti karena sifat Halayudha
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memang ganas, di samping dialah pewaris utama ajaran Paman Sepuh Dodot Bintulu, sebagaimana dulu Ugrawe yang perkasa.
Tubuh Ngwang mem-belendot, menggulung, dan maju, tertolak ke belakang dengan cepat. Halayudha tidak menarik mundur tenaganya.
Tidak mengurangi. Bahkan dengan ganas mengimbangi. Akibatnya bisa diduga. Gerakan Ngwang makin cepat, menjauh dan mendekat, sementara Halayudha hanya mengeluarkan suara keras dari lubang hidungnya. Tanpa mengurangi pengerahan tenaganya sedikit pun.
Halayudha memaksakan permainan keras.
Dalam tiga jurus berikutnya, Halayudha tampak keteter. Ngwang bisa menyeruak masuk dan beberapa kali tangannya berkelebat menyambar wajah Halayudha. Akan tetapi Halayudha tak gentar sedikit pun.
Sengaja wajahnya dipasang dan membarengi dengan memeluk Ngwang.
Gerakan dan gertakan yang berani.
Justru karena Ngwang unggul dalam permainan udara, Halayudha mengajak permainan atas dengan memeluk. Kemungkinan gagal lebih besar. Namun mana mungkin Halayudha asal serang tanpa perhitungan, begitulah Nyai Demang berpikir.
Sebaliknya, Jaghana memuji kemantapan Halayudha mengambil sikap menghadapi jurus-jurus Ngwang. Mantap, penuh percaya diri menggebrak, walaupun sadar bahwa Ngwang memiliki keunggulan permainan atas. Sedangkan dirinya sendiri., ketika menghadapi Ngwang, terpaksa mengubah gerakannya, yang justru berarti kekalahan.
Halayudha bermain tajam. Karena mengetahui bahwa Ngwang tak bisa segera memperoleh kemenangan dari posisinya yang kelihatan unggul. Justru sebaliknya kedudukannya terancam. Menang beberapa pukulan tidak banyak artinya kalau Halayudha bisa memasukkan pukulan yang telak. Dan agaknya jalan itu yang ditempuh Halayudha. Membiarkan lawan merangsek masuk.
Mengetahui keunggulannya tak berarti banyak, Ngwang mengubah siasatnya.
Tubuhnya bagai selembar kain tipis, melenggok, menebas, meruncing, dari segala arah. Dalam sekejap tubuh Halayudha seperti terkepung tubuh Ngwang dari berbagai arah dengan berbagai jenis serangan.
Halayudha menarik tangannya, mengumpulkan di depan dada.
Kakinya menggenjot tanah, meloncat sambil membalik, dengan tenaga kaki keras menyamplok lawan. Keras sekali karena kesiuran anginnya tajam sampai di tempat Nyai Demang.
Ngwang yang biasa mengambil keuntungan dari serangan lawan, sebaliknya malah mundur menjauh. Tidak balik menyerang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha mengejar dengan satu loncatan tinggi. Kaki kirinya terjulur bersamaan dengan kepalan tangan kirinya yang sejajar.
Sementara tangan kanannya tertekuk, seperti juga kaki kanannya.
Gerakan meloncat yang disertai teriakan keras mengguntur. Tubuhnya menyambar bagai kilat.
Ngwang membuang tubuhnya jungkir-balik.
Tujuh kali. Tujuh kali lagi tubuhnya berputaran, dengan gerakan yang selama ini tidak pernah terlihat. Yaitu dengan tangan dan kaki menyentuh tanah ketika membalikkan tubuh dalam bentuk lingkaran.
Nyai Demang mengetahui bahwa jurus yang dimainkan Halayudha adalah jurus yang menjadi andalan para jago silat Tartar yang bersifat naga. Benar-benar keberanian yang rada nekat. Kalau tadi bertahan memainkan ajaran Kitab Bumi, sekarang justru memainkan jurus-jurus dari mana Ngwang berasal.
Sebaliknya, Ngwang juga memainkan sumber jurus yang sama.
Berjumpalitan seperti naga.
Nyai Demang cukup mengetahui karena sejak pertama mengenali dasar-dasar silat dari Tartar. Sedangkan Halayudha bukan hanya mengenali tetapi juga mempelajari dengan baik.
Maka bisa memainkan untuk mendesak.
Hanya Jaghana yang merasa bahwa Halayudha terlalu nekat menggempur dengan gaya bersilat yang menjadi keunggulan lawan.
Karena Ngwang bisa memancing sampai tingkat tertentu, dan kemudian menguncinya.
Hal yang terlihat ketika berjumpalitan, Halayudha merangsek maju.
Ruang gerak berada di mana Ngwang memainkan perannya. Langkah-langkah yang tersusun mengikuti irama yang dimainkan Ngwang, meskipun ia kelihatan terdesak. Dan Halayudha memang terus mendesak, dengan gerakan sangat cepat.
Tangan beradu tangan. Siku beradu siku. Kaki beradu kaki. Pukulan saling bertukar hanya dalam jarak beberapa jari di sebelah kiri, kanan, samping, atas dari sasaran. Tangan Halayudha bergerak maju-mundur dengan cepat, sementara Ngwang lebih cepat lagi.
Benar saja. Dalam pandangan Nyai Demang, Halayudha mulai kalah sebat.
Ngwang berhasil menyarangkan beberapa pukulan kecil. Pukulan yang mempengaruhi gerak maju Halayudha. Dan tak bisa leluasa mundur, karena kuda-kudanya telah terpantek dalam keliling yang sepenuhnya dikuasai Ngwang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Posisi yang menyulitkan bagi Halayudha. Bisanya hanya mencoba bertahan. Karena gerakannya tak cukup berarti dalam penyerangan.
Karena memang tidak mungkin.
Halayudha menggerung keras.
Mulai sadar bahwa lawan bisa menguasai keadaan, sementara dirinya berada dalam gerak mati. Yaitu gerakan satu-satunya yang bisa dilakukan, untuk mencegah keadaan lebih buruk. Gerakan satu-satunya karena Ngwang tidak memberi kesempatan gerakan yang lain.
Nyai Demang kaget ketika Jaghana mengeluarkan seruan tertahan.
Apakah Jaghana menguatirkan Halayudha"
Bisa jadi. Akan tetapi seruan tertahan itu ternyata dikarenakan ia melihat tubuh Upasara bergoyangan. Sementara tubuh Jagattri berkelojotan. Reaksi pertama adalah Nyai Demang berusaha menubruk, akan tetapi sebelah tangannya tertahan Jaghana. Bahkan sengaja ditarik keras.
Tubuh Upasara makin berkelojotan. Kepalanya beberapa kali tertarik ke atas, tubuhnya seperti disendal-sendal tali dari dalam. Sebelum terdengar teriakan keras.
Tubuh Upasara membal ke atas dan berdebum di tanah.
Ketika berusaha bangkit, Nyai Demang melihat darah menetes dari tepi mata, dari sudut bibir, dari telinga.
"Anakmas..." Cekalan tangan Jaghana makin keras.
"Paman..." "Sabar, Nyai..." Suara Jaghana lirih, lembut, tapi terdengar sangat getir. "Kuasa tenaga tanah air tak mampu menembus.
"Sabar, Nyai...."
Bagaimana mungkin bisa sabar melihat adegan yang mengerikan di depan matanya, adegan fatal bagi Jagattri dan sekaligus Upasara"
Menyerap Tanpa Mengisap LAIN yang dialami Upasara, lain pula yang dilakoni Halayudha.
Meskipun tempat mereka terpisahkan tak lebih dari seratus tombak, akan tetapi perubahan yang terjadi sangat berbeda.
Nyai Demang seperti mengisap udara kering melihat penderitaan Upasara. Sewaktu pandangannya menoleh ke arah Jagattri, sedikit
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
terhibur. Karena tubuh Jagattri bergerak, dan bangkit, duduk, bersuara perlahan.
"Kakang..." Upasara berusaha mendekat. Nyai Demang berkaca-kaca matanya.
Tak kuat melihat Upasara yang gagah perkasa tampak seperti terbongkok, dan bagian belakang kainnya basah.
Darah" Cekalan di tangan Nyai Demang dilepaskan, dan Nyai Demang bagai terbang menubruk Jagattri.
"Anakku..." Gendhuk Tri mengangguk. Tubuhnya seperti masih gemetar.
"Saya tidak apa-apa, Nyai.
"Kakang... Kakang Upasara..."
Upasara duduk terdiam. Jaghana bersila di sebelahnya.
Tidak berusaha menyalurkan tenaga dalam, tidak berusaha membantu atau melakukan sesuatu. Hanya bersila di sebelahnya.
Hanya itu yang bisa dilakukan.
Apa yang bergolak dalam tubuh Upasara tak sepenuhnya diketahui, walau yakin Upasara terkena pukulan dalam. Itulah yang tadi dikatakan Jaghana sebagai "kuasa tanah air". Tenaga dalam Upasara yang dicoba untuk mengobati ternyata telah gagal. Dan akibatnya kini terlihat jelas.
Sebaliknya, Gendhuk Tri yang kini bisa duduk, dan kemudian berdiri menghampiri tempat Upasara, hanya bisa memandang. Nyai Demang tampak kebingungan.
"Saya tidak apa-apa, Nyai.
"Sejak semula saya tak apa-apa.
"Selain..." Gendhuk Tri tak melanjutkan, karena merasa kurang enak menjelaskan panjang-lebar apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sejak tadi berdiam diri, bukan berarti tidak sadarkan diri. Gendhuk Tri merasa sama sehat seperti sebelumnya, kecuali tiba-tiba saja tenaganya seperti mengganjal tak bisa dikerahkan. Pada saat kumat seperti itu, rasanya bernapas pun terasa berat.
Kalau ia berdiam diri, karena Upasara menghendaki demikian agar bisa lebih lancar memasukkan tenaga dalamnya. Untuk menguras bercak-bercak hitam, untuk menyingkirkan. Proses itu terus berlangsung. Juga dalam perjalanan ketika digendong.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri merasakan itu sejak dikalahkan Halayudha, dan makin menjadi-jadi ketika Halayudha berusaha memadukan tenaga bumi dengan tenaga air.
Hal yang sama yang dilakukan oleh Upasara. Hanya cara pengerahannya sangat jauh berbeda. Upasara memakai perhitungan agar Gendhuk Tri tak lebih parah.
Pada awalnya Gendhuk Tri merasa segar. Tenaga panas, dingin, hangat yang bergantian membuatnya enak, seakan tenaganya pulih seperti sediakala. Itu saat Upasara berhasil menggiring bercak-bercak ke suatu titik di bagian tubuh.
Agaknya itu pula yang menyebabkan Upasara mengempos tenaga dalamnya. Ketika yakin bisa masuk menerobos, Upasara mengerahkan sepenuhnya.
Ternyata kandas. Tenaga dalam itu membalik, seperti merobek pembuluh nadi dan napasnya. Sehingga Upasara terpental dan berdarah.
Jadi kalau Gendhuk Tri mengatakan "tidak ada apa-apa", memang begitulah kenyataannya. Artinya tidak lebih parah atau lebih sehat dari sebelumnya. Sedangkan Upasara sekarang ini jelas terluka parah.
Seberapa dalam lukanya belum bisa diketahui.
Sementara yang dialami Halayudha lain lagi.
Sewaktu ruang geraknya tertutup dan berada dalam langkah mati, Halayudha menyatukan tenaganya. Saat Ngwang merasa unggul dan melancarkan serangan yang menentukan, Halayudha mencuri dengan serangan kecil.
Tapi besar artinya. Halayudha memasukkan kedua tangannya ke daerah serangan, menggenggam pakaian Ngwang, dan dengan tenaga sentakan yang keras, membanting lumat tubuh Ngwang. Yang terbang melewati tubuh Halayudha.
Pendita Ngwang sama sekali tak menduga bahwa dalam situasi begitu terjepit, Halayudha masih bisa memainkan jurus yang sama sekali tak terduga.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jurus bantingan melalui tubuh!
Yang sangat diagungkan di negeri Jepun.
Ngwang mengetahui kekuatan tenaga bantingan, seketika pada saat Halayudha menjambret pakaiannya. Ngwang mengetahui Halayudha mempunyai kembangan dan jenis jurus yang serba aneh, akan tetapi tak memperhitungkan bisa berubah cepat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dari gerakan murni Kitab Bumi, berubah menjadi gerakan naga, dan mendadak berubah lagi dengan membanting lawan.
Bagi Ngwang, sulit menerima kenyataan bahwa di jagat ini ada tokoh yang menguasai berbagai jenis ilmu silat secara menyeluruh.
Padahal, sebenarnya ini memang keunggulan Halayudha dibandingkan para ksatria lain. Bahkan Upasara pun mengagumi keragaman ilmu yang dikuasai.
Agak sulit diterima oleh Ngwang bahwa Halayudha secara langsung benar-benar mempelajari berbagai kembangan ilmu yang ada. Belajar langsung dari kitab-kitab utama, dari tokoh-tokoh yang memuncaki ilmu-ilmu tersebut. Baik dari negeri Tartar, negeri Jepun, maupun dari negerinya sendiri.
Halayudha sangat kerasukan bila sudah mempelajari ilmu silat. Sejak pertama kali mengenalnya.
Kehausan itu tak pernah bisa ditandingi atau disamai oleh yang lain.
Maka sergapan yang mendadak itulah yang membalik jalannya pertarungan. Ngwang bisa ditarik dan dibanting lumat. Tubuhnya melayang ke atas, dan amblas rata dengan tanah. Remuk tulang-kulit serta otot-uratnya. Kalau terjadi pada tokoh biasa.
Ngwang jauh berbeda. Tubuhnya memang terbanting, akan tetapi tidak remuk rata. Melainkan membal ke atas dan turun kembali beberapa kali, makin lama makin perlahan.
Sekali lagi tenaga keras Halayudha ditawarkan dengan benturan tubuh yang bisa membal. Seperti ketika dipukul, tubuh Ngwang bisa mundur dan kemudian maju kembali.
Tenaga mulur-mungkret, yang bisa mengembang dan memendek, telah menyelamatkannya dari kematian.
"Cara yang bagus untuk menyelamatkan diri, Ngwang.
"Tapi aku tak peduli.
"Aku lebih suka cara yang dipergunakan Jaghana tadi.
"Eh, di mana kamu, gundul pelontos?"
Halayudha benar-benar tidak memperhatikan Ngwang. Perhatiannya sudah beralih ke Jaghana. Dan berjalan mendekati.
"Sedang apa kamu"
"Kalau Ingsun bertanya, tak ada alasan berdiam diri. Dan bunyi pertanyaanku adalah: Bagaimana kamu bisa meniru dengan cara yang cepat?"
Jaghana menoleh. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pandangan matanya penuh welas asih.
Penuh kesabaran dan jiwa besar.
"Seperti yang Mahapatih lakukan."
Halayudha menggeleng. "Tidak bisa. Tidak sama.
"Memindahkan tenaga dalam bukan soal sulit. Dengan hantam kromo seperti jurus Banjir Bandang Segara Asat, aku bisa memindahkan tenaga dalam lawan ke dalam tubuhku.
"Tapi yang kamu lakukan berbeda. Tenaga dalam lawan masih ada dan tak terganggu, sedangkan dirimu bisa menguasai."
"Itu yang dinamakan menyerap tanpa mengisap.
"Itu yang seperti Mahapatih lakukan ketika menggunakan tenaga air.
Air bisa memantulkan bayangan, tanpa merebut bayangan itu sendiri.
Air memiliki, tanpa merusak.
"Kalau kita memakai tenaga keras, yang terjadi adalah perubahan bentuk. Yang terjadi adalah pemindahan."
Halayudha mengangguk. "Aku mengerti. "Tapi bagaimana kamu bisa mengisap lebih cepat?"
"Itu hanya sikap batin kita. Semakin ikhlas menerima, semakin tuntas. Semakin banyak yang dipertimbangkan, semakin rumit."
Halayudha tampak berpikir keras.
Jidatnya berkerut, matanya menyipit.
"Bisa kuterima keteranganmu, Paman Jaghana.
"Aha, kamu Jaghana. Ingsun pernah mendengar namamu.
"Tapi Ngwang, atau siapa itu, sejak kapan aku mendengar namamu?"
Pendita Ngwang yang berada agak di kejauhan, merangkapkan kedua tangannya. Mengangguk dalam.
"Saya tidak mempunyai nama sebesar Mahapatih."
"Aku ini raja. "Ingsun sebutanku. "Sekarang giliran kamu aku tanyai. Yang lainnya tetap di tempat."
Halayudha berdiri dengan gagah.
Bertolak pinggang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ingsun bertanya kepadamu, Pendita Ngwang.
"Ilmu membal yang kamu lakukan itu, apakah kamu curi dari ajaran kami" Kalau ya, berasal dari kitab mana, kidungan keberapa?"
Senopati Luwak PERTANYAAN Halayudha ataupun juga gerak-geriknya memang mengundang tanda tanya. Jangan kata Pendita Ngwang yang masih ragu apakah benar Halayudha adalah raja tanah Jawa, bahkan yang merasa mengenal juga masih heran.
Termasuk Senopati Kuti. Ketika Senopati Tanca menyatakan penolakan terbuka untuk datang ke Keraton, dan Jurang Grawah ingin memakai kekerasan, Senopati Kuti berpaling kepada Halayudha.
Tokoh sakti ini, meskipun angin-anginan tak menentu, lejitan pikirannya jelas terbaca.
"Jangan tanya Ingsun.
"Apa urusannya dengan membiarkan atau menggebuk Tanca" Tak ada bedanya. Aku pernah menjadi mahapatih, dan aku tahu bagaimana harus bertindak. Saat ini biarkan saja, kalau kamu bisa menahan kesombonganmu. Sebab di belakang hari, manusia macam itu bisa melaksanakan dendamnya seorang diri.
"Kalau terganggu, sikat saja.
"Jangan suka menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri.
"Aku sekarang sedang melacak Mada. Dan aku tahu ia berada di mana. Bahkan sedang apa aku tahu."
Halayudha meninggalkan Keraton begitu saja.
Ngeloyor tanpa permisi tanpa perlu bilang kepada siapa pun. Memang tak perlu, dan tak ada yang pantas atau perlu diberitahu.
Halayudha mengikuti krenteg, suara dan kehendak batinnya. Ia berjalan membelok ke kiri, menerobos jalanan, hanya mengandalkan rasa untuk mengetahui di mana Mada berada.
Boleh dibilang kebetulan atau tidak, nyatanya Halayudha muncul di tempat Mada berada.
Hanya saat itu Mada telah bergegas meninggalkan, sementara perhatian Halayudha tertuju kepada masalah lain.
Barangkali kalau Halayudha menajamkan kekuatan batinnya, masih bisa melacak. Karena Mada tidak pergi terlalu jauh. Selain memutar
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
arah sedikit ke arah selatan. Menuju suatu desa yang paling tidak sudah dikenali, karena pernah dilewati.
Mada segera mengatur barisannya.
Ia berangkat sendirian, masuk ke satu rumah yang agak terpencil di sudut. Tanpa bertanya apa-apa, Mada langsung membekuk dan menotok penghuni rumah, mengumpulkan di bagian belakang. Barulah kemudian mengajak Raja serta pengikutnya masuk rumah.
"Untuk sementara kita berlindung di sini.
"Tak boleh ada yang melakukan sesuatu tanpa perintah dariku."
"Termasuk Ingsun, Mada?"
"Demikian sebaiknya, Sinuwun..."
"Kadang Ingsun bertanya dalam hati, kamu ini siapa, prajurit mana, apa makanmu, berapa rangkap nyawamu sehingga berani memerintah Raja Besar."
Pedang Golok Yang Menggetarkan 11 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Cinta Bernoda Darah 14

Cari Blog Ini